PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN"

Transkripsi

1 PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL (PROTOKOL II) Disusun oleh : DIREKTORAT JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA 2003

2 PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL (PROTOKOL II) Disusun oleh : DIREKTORAT JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA 2003

3 PENGANTAR Memahami akan pentingnya data informasi yang lengkap, sistematis dan akurat mengenai Terjemahan Protokol I dan II Konvensi Jenewa Tahun 1949, maka diterbitkan Buku Terjemahan Protokol Tambahan pada Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan yang berhubungan dengan Perlindungan Korban-korban Pertikaian-pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) dan Bukan Internasional (Protokol II). Penerbitan buku ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat dan instansi-instansi, baik pemerintah maupun swasta, serta kalangan akademisi di dalam mencari data mengenai Keputusan Presiden tentang amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Akhirnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, sehingga memungkinkan terlaksananya penerbitan buku himpunan ini, disampaikan ucapan terima kasih. Semoga penerbitan Buku Terjemahan Protokol Tambahan pada Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan yang berhubungan dengan Perlindungan Korban-korban Pertikaianpertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) dan Bukan Internasional (Protokol II), akan bermanfaat bagi masyarakat dan dapat memudahkan kelancaran pelaksanaan tugas bagi instansi yang memerlukannya. Jakarta, Agustus 2003 DIREKTUR JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM ZULKARNAIN YUNUS, S.H., M.H. NIP iii

4 PROTOKOL - I PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI- KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949, DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN SENGKETA-SENGKETA BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL -I) PEMBUKAAN Pihak-Pihak Peserta Agung, Mengumumkan hasrat keinginan mereka yang sungguh-sungguh untuk melihat terwujudnya, perdamaian diantara rakyat-rakyat. Mengingat bahwa sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa setiap negara berkewajiban untuk tidak melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan di dalam hubungan-hubungan internasionalnya terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik dari sesuatu Negara, atau dengan cara apapun lainnya yang bertentangan dengan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berpendapat, sekalipun demikian, perlu menegaskan kembali dan mengembangkan ketentuan-ketentuan yang melindungi para korban sengketa-sengketa bersenjata dan melengkapi tindakan-tindakan yang bertujuan untuk memperkuat kembali penerapannya. Menyatakan keyakinan mereka bahwa tidak satupun ketentuan di dalam protokol ini atau di dalam Konvensikonvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 dapat diartikan sebagai mengesahkan atau mengijinkan setiap tindakan agresi atau setiap penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 1

5 Menegaskan kembali selanjutnya bahwa ketentuan-ketentuan dari Konvensi-Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 dan Protokol ini harus diterapkan sepenuhnya di dalam segala keadaan bagi semua orang yang dilindungi oleh persetujuan-persetujuan tersebut tanpa suatu pembedaan yang merugikan yang didasarkan atas sifat atau asal mula sengketa bersenjata itu atau atas sebab-sebab yang ditimbulkan oleh atau yang dianggap berasal dari Pihakpihak dalam sengketa. Telah menyetujui sebagai berikut : BAB - I KETENTUAN-KETENTUAN UMUM Pasal Asas-asas umum dan ruang lingkup penerapan 1. Pihak-pihak Peserta Agung berjanji untuk menghormati dan menjamin dihormatinya Protokol ini dalam segala keadaan. 2. Dalam hal-hal yang tidak tercantum di dalam Protokol ini atau di dalam persetujuanpersetujuan internasional 1ainnya, orang-orang sipil dan kombatan-kombatan tetap berada di bawah perlindungan dan kekuasaan asas-asas hukum internasional yang berasal dari kebiasaan yang telah berlaku, dari asas-asas kemanusiaan dan dari suara hati nurani rakyat. 3. Protokol ini, yang melengkapi Konvensikonvensi Jenewa 12 Agustus 1949 untuk perlindungan korban-korban perang, harus berlaku di dalam situasi-situasi yang disebut dalam pasal 2 yang umum dikenal pada Konvensi-Konvensi tersebut. 2

6 4. Yang dimaksud situasi-situasi di dalam ayat di atas termasuk pula sengketa-sengketa bersenjata yang didalamnya rakyat-rakyat sedang berperang melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing dan melawan pemerintahan-pemerintahan rasialis untuk melaksanakan hak menentukan nasib sendiri mereka, sebagaimana yang dijunjung tinggi di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi tentang Asas-asas Hukum Internasional mengenai Hubungan-hubungan Persahabatan dan Kerjasama di antara Negara- Negara sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. Pasal Definisi - definisi Untuk tujuan-tujuan Protokol ini : (a) Konvensi Pertama, Konvensi Kedua, Konvensi Ketiga dan Konvensi Keempat", masing-masing berarti Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang luka dan sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran, tanggal 12 Agustus 1949, Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam. tanggal 12 Agustus 1949; Konvensi Jenewa mengenai Periakuan Tawanan Perang. tanggal 12 Agustus 1949; Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orangorang Sipil di Waktu Perang tanggal 12 Agustus 1949; untuk perlindungan korban-korban Perang; 3

7 (b) Peraturan-peraturan hukum internasional yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata berarti peraturan-peraturan yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata seperti yang dimaksudkan di dalam persetujuan-persetujuan internasional yang didalamnya yang diartikan dengan Pihak-Pihak dalam sengketa adalah Pihak-pihak, dan asasasas dan peraturan-peraturan hukum internasional yang secara umum diakui yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata; (c) Negara Pelindung berarti sebuah negara netral atau negara lainnya bukan pihak dalam sengketa yang telah ditunjuk oleh suatu Pihak dalam sengketa dan disetujui oleh Pihak lawannya dan yang telah menyetujui untuk melaksanakan fungsifungsi yang dibebankan kepada suatu Negara Pelindung berdasarkan Konvensi dan Protokol ini; (d) pengganti berarti suatu organisasi yang bertindak menggantikan suatu Negara Pelindung sesuai dengan Pasal 5. Pasal Permulaan dan akhir penerapan. Tanpa mengurangi arti ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan di segala waktu : (a) Konvensi dan Protokol ini harus berlaku sejak dari permulaan setiap situasi seperti yang disebut dalam Pasal I dari Protokol ini; 4

8 (b) Penerapan Konvensi dan Protokol ini harus berakhir, di wilayah pihak-pihak dalam sengketa, pada saat diakhirinya secara umum operasi-operasi militer dan dalam hal wilayah-wilayah yang diduduki, pada saat diakhirinya pendudukan itu kecuali, didalam kedua keadaan tersebut, bagi orang-orang yang pembebasan terakhir, pemulangan atau penempatan kembali mereka berlangsung sesudahnya. Orang-orang ini harus tetap memperoleh manfaat dari ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dari Konvensi dan Protokol ini sampai pembebasan terakhir, pemulangan dan penempatan kembali mereka. Pasal Kedudukan hukum pihak - pihak dalam sengketa. Penerapan Konvensi itu dan Protokol ini, maupun diadakan persetujuan-persetujuan yang mengukuhkannya, tidak boleh mempengaruhi kedudukan hukum dari Pihak- Pihak dalam sengketa. Baik pendudukan suatu wilayah ataupun penerapan Konvensi dan Protokol ini tidak boleh mempengaruhi kedudukan hukum dari wilayah yang masih menjadi masalah. Pasal Penunjukan negara-negara pelindung dan penggantinya. 1. Kewajiban dari Pihak-pihak dalam sengketa untuk sejak permulaan sengketa itu menjamin pengawasan dan pelaksanaan Konvensi 5

9 itu dan Protokol ini dengan penerapan sistim Negara-Negara Pelindung, termasuk inter alia - penunjukan dan penerimaan negara-negara itu, sesuai dengan ayat-ayat berikut ini. Negaranegara Pelindung harus berkewajiban menjaga kepentingan-kepentingan dari Pihak-Pihak dalam sengketa. 2. Sejak dari permulaan situasi termaksud dalam Pasal l, setiap Pihak dalam sengketa tanpa menunda-nunda harus menunjuk sebuah negara pelindung untuk tujuan menerapkan Konvensi dan Protokol ini, begitu pula tanpa menunda-nunda dan untuk tujuan yang sama harus mengijinkan kegiatan-kegiatan sebuah Negara Pelindung yang telah disetujuinya setelah penunjukan oleh Pihak lawannya. 3. Apabila sejak dari permulaan situasi termaksud dalam Pasal 1, sebuah Negara Pelindung belum ditunjuk atau disetujui, maka Komite Internasional Palang Merah, tanpa mengurangi hak dari sesuatu organisasi kemanusiaan yang tak berpihak lainnya untuk berbuat serupa, harus menawarkan jasa-jasa baiknya kepada Pihak-Pihak dalam sengketa dengan mengingat kepada penunjukkan tanpa ditundatunda sebuah Negara Pelindung yang disetujui oleh Pihak-pihak dalam sengketa. Untuk tujuan itu maka ia, inter alia, boleh meminta masing-masing Pihak memberikan kepadanya sebuah daftar dari sedikitnya lima negara yang oleh pihak tersebut dianggap dapat diterima untuk bertindak sebagai Negara Pelindung atas namanya dalam hubungan dengan pihak 6

10 lawannya, dan meminta kepada setiap pihak lawan untuk memberikan sebuah daftar dari sedikitnya lima negara yang akan diterima sebagai Negara Pelindung dari Pihak Pertama; daftar-daftar ini harus disampaikan kepada Komite (Internasional Palang Merah ) di dalam waktu dua minggu setelah menerima permintaan; Komite tersebut harus memperbandingkannya dan mencari persetujuan atas sesuatu negara yang diusulkan yang namanya tercantum didalam kedua daftar tersebut. 4. Apabila tidak ada Negara Pelindung, walaupun adanya ayat tersebut diatas, maka Pihakpihak dalam sengketa harus menerima tanpa menunda-nunda tawaran yang mungkin dibuat oleh Komite Internasional Palang Merah atau oleh suatu organisasi lainnya yang menawarkan semua jaminan tidak berpihak dan upayaupaya, setelah konsultasi gang harus diadakan dengan Pihak-Pihak yang dimaksud dan memperhatikan hasil konsultasi itu. untuk bertindak sebagai pengganti. Berfungsinya pengganti itu harus mendapatkan persetujuan dari Pihak-Pihak dalam sengketa; Pihak-pihak dalam sengketa harus melakukan setiap usaha untuk memungkinkan dilakukannya operasioperasi oleh organisasi pengganti didalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya berdasarkan Konvensi dan Protokol ini. 5. Sesuai dengan Pasal 4, penunjukan dan penerimaan Negara Pelindung untuk tujuan menerapkan Konvensi dan Protokol ini tidak boleh mempengaruhi kedudukan hukum dari 7

11 Pihak-pihak dalam sengketa atau dari sesuatu wilayah, termasuk wilayah yang diduduki. 6. Pemeliharaan hubungan-hubungan diplomatik antara Pihak-pihak dalam sengketa atau pemberian kepercayaan untuk melindungi kepentingan-kepentingan sesuatu Pihak dan warga negaranya kepada sebuah Negara ketiga sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Internasional mengenai hubungan-hubungan diplomatik tidak merupakan penghalang bagi ditunjuknya Negara-negara Pelindung untuk tujuan menerapkan Konvensi dan Protokol ini. 7. Setiap sebutan suatu Pelindung selanjutnya di dalam Protokol ini termasuk pula pengganti. Pasal Orang-orang yang memenuhi syarat keahlian 1. Pihak-pihak Peserta Agung dengan bantuan Perhimpunan-Perhimpunan Palang Merah Nasional (Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah) harus berusaha juga dimasa damai, untuk mendidik tenaga-tenaga yang memenuhi syarat keahlian guna memungkinkan pelaksanaan Konvensi dan Protokol ini, dan khususnya kegiatan-kegiatan Negara-negara Pelindung. 2. Pengadaan tenaga-tenaga tersebut dan pelatihannya berada di dalam yurisdiksi dalam negeri. 3. Komite Internasional Palang Merah harus memiliki bagi kepentingan Pihak-pihak Peserta Agung daftar-daftar tenaga-tenaga yang sudah 8

12 terdidik sedemikian yang mungkin untuk tujuan itu telah ditetapkan dan dikirimkan kepadanya oleh Pihak-pihak Peserta Agung. 4. Didalam setiap hal, syarat-syarat yang mengatur dipekerjakannya tenaga-tenaga itu diluar wilayah nasional, harus tunduk pada persetujuan-persetujuan khusus antara pihakpihak yang bersangkutan. Pasal Sidang-sidang Negara penyimpan Protokol ini harus mengadakan sidang dari Pihak-pihak Peserta Agung, atas permintaan dari satu atau lebih Pihak-pihak tersebut itu dan atas persetujuan suara terbanyak dari pihak-pihak tersebut, untuk mempertimbangkan masalah-masalah umum mengenai penerapan Konvensi dan Protokol. 9

13 BAB - II YANG LUKA, SAKIT DAN KORBAN KARAM BAGIAN - I --- PERLINDUNGAN UMUM Pasal Peristilahan Untuk tujuan-tujuan dari Protokol ini : (a) (b) yang dimaksud dengan yang luka dan yang sakit adalah orang-orang, baik militer maupun sipil yang karena trauma, penyakit atau gangguan mental atau ketidak-mampuan jasmani, memerlukan bantuan atau perawatan kesehatan, dan yang menjauhkan diri dari setiap tindakan permusuhan. lstilah-istilah ini juga meliputi hal-hal kesehatan ibu, bayi-bayi yang baru lahir dan orang-orang lainnya yang mungkin memerlukan bantuan atau perawatan kesehatan yang segera, seperti halnya ibuibu yang lemah atau sedang mengandung, dan yang menjauhkan diri dari tindakan permusuhan. yang dimaksud dengan korban karam adalah orang-orang baik militer maupun sipil, yang hidupnya berada dalam hahaya di laut maupun di perairan lainnya sebagai akibat kemalangan yang dialami oleh mereka atau oleh kapal atau alat angkutan udara yang membawa mereka dan yang tidak melakukan tindakan permusuhan. Orang-orang ini asalkan 10

14 mereka terus menjauhkan diri dari setiap tindakan permusuhan, akan tetap dianggap sebagai korban karam selama penyelamatan mereka sampai mereka memperoleh kedudukan lain berdasarkan Konvensi dan Protokol ini; (c) yang dimaksud dengan anggota-anggota dinas kesehatan adalah orang-orang yang oleh suatu Pihak dalam sengketa ditugaskan khusus untuk tujuan-tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (e) atau untuk administrasi satuansatuan kesehatan atau untuk pelaksanaan kerja atau administrasi pengangkutan kesehatan. Penugasan-penugasan itu dapat bersifat tetap atau sementara. Di dalam istilah ini termasuk: (i) tenaga-tenaga dinas kesehatan dan suatu pihak dalam sengketa, baik militer maupun sipil. termasuk mereka yang diterangkan didalam Konvensi Pertama dan Konvensi Kedua, dan mereka yang ditugaskan pada organisasiorganisasi pertahanan sipil: (ii) tenaga-tenaga kesehatan dari Perhimpunan-Perhimpunan Palang Merah Nasional (Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah) dan perhimpunan-perhimpunan pemberi bantuan sukarela nasional lainnya yang patut diakui dan diberi kuasa oleh suatu pihak dalam sengketa; 11

15 (iii) tenaga-tenaga kesehatan dari satuan kesehatan atau pengangkutan kesehatan seperti diterangkan didalam Pasal 9, ayat (2). (d) yang dimaksud dengan anggota-anggota dinas keagamaan adalah rokhaniwanrokhaniwan, militer maupun sipil, seperti petugas agama, yang khusus bekerja pada tempat ibadah mereka dan ditugaskan : (i) pada angkatan Perang dari Pihak dalam sengketa; (ii) pada satuan kesehatan atau pengangkutan kesehatan dan Pihak dalam sengketa; (iii) pada satuan kesehatan atau pengangkutan kesehatan seperti diterangkan dalam Pasal 9, ayat (2); atau (iv) pada organisasi pertahanan sipil dan Pihak dalam sengketa. Penugasan tenaga-tenaga dinas keagamaan itu dapat hersifat tetap atau sementara, dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengannya yang tercantum di dalam sub-ayat (k) berlaku bagi mereka; (e) satuan-satuan kesehatan berarti hentukan-hentukan dan satuan-satuan lainnya, baik militer maupun sipil, 12

16 yang diselenggarakan untuk tujuantujuan kesehatan, yaitu pencarian, pengumpulan, pengangkutan, diagnosa atau penanganan termasuk penanganan pertolongan pertama bagi yang luka, sakit dan korban karam, atau untuk pencegahan penyakit. Istilah ini juga mengandung arti, misalnya rumah-rumah sakit dan satuan-satuan serupa lainnya, pusat-pusat transfusi darah, pusatpusat dan lembaga-lembaga pengobatan pencegahan, depo-depo kesehatan, dan tempat-tempat penyimpanan alat-alat kesehatan dan obat-obatan dan satuansatuan tersebut. Satuan-satuan kesehatan itu dapat berupa benda tidak bergerak atau bergerak, bersifat tetap atau sementara: (f) pengangkutan kesehatan berarti pengangkutan melalui darat, laut dan udara bagi yang luka, sakit, korban karam, tenaga kesehatan, tenaga petugas keagamaan (rokhaniwan), peralatan, kesehatan atau perbekalan kesehatan yang dilindungi oleh Konvensi dan Protokol ini; (g) (h) angkutan kesehatan berarti setiap alat pengangkutan, baik militer maupun sipil, tetap atau sementara, yang ditugaskan khusus untuk pengangkutan kesehatan dan berada di bawah kontrol seorang pejabat yang berwenang dari Pihak dalam sengketa; kendaraan kesehatan berarti alat angkut kesehatan apa saja melalui darat: 13

17 (i) (j) (k) (l) kapal dan atas angkut kesehatan berarti alat angkut kesehatan apa saja melalui air; pesawat - terbang kesehatan berarti atas angkut kesehatan apa saja melalui udara; tenaga kesehatan tetap, satuan kesehatan tetap dan angkutan kesehatan tetap berarti semuanya itu yang ditugaskan khusus untuk tujuan-tujuan kesehatan selama suatu jangka waktu yang tidak ditentukan. Tenaga kesehatan sementara. kesatuan kesehatan sementara dan angkutan kesehatan sementara berarti semuanya itu yang ditugaskan khusus untuk tujuan-tujuan kesehatan selama jangka waktu terbatas di dalam seluruh jangka waktu itu, kecuali ditentukan lain daripada tersebut itu. Istilah-istilah tenaga kesehatan, satuan kesehatan dan angkutan kesehatan meliputi baik golongan tetap maupun sementara. lambang pengenal adalah lambang pengenal palang merah bulan sabit merah atau singa dan matahari merah di atas dasar putih apabila digunakan untuk perlindungan satuan-satuan dan alat angkut kesehatan, atau tenaga-tenaga dinas kesehatan dan dinas keagamaan (rokhaniwan), perlengkapan atau perbekalan kesehatan; (m) isyarat pengenal adalah setiap isyarat atau pesan yang ditentukan secara khusus untuk menandai satuan-satuan atau alat 14

18 angkut kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Bab III Iampiran I Protokol ini. Pasal Bidang Penerapan 1. Bab ini, yang ketentuan-ketentuannya dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan yang luka, sakit dan korban karam, harus berlaku bagi semua mereka yang terkena oleh situasi yang disebut di dalam Pasal 1, tanpa sesuatu pembedaan yang merugikan yang didasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, pandangan politik atau pandangan lainnya. asal kebangsaan atau sosial, kekayaan, keturunan atau kedudukan lainnya, atau atas kriteria lain yang serupa. 2. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud dari Pasal-pasal 27 dan 32 dari Konvensi Pertama harus berlaku bagi satuan-satuan dan alat angkut kesehatan yang bersifat tetap (kecuali kapal-kapal rumah sakit, yang baginya berlaku Pasal 25 dari Konvensi Kedua) dan anggota-anggotanya disediakan bagi Pihak dalam sengketa untuk tujuan-tujuan kemanusiaan : (a) oleh sebuah Negara netral atau Negara lainnya yang bukan pihak dalam sengketa; (b) oleh sebuah perhimpunan pemberi bantuan yang diakui dan dikuasakan dari Negara tersebut diatas; (c) oleh sebuah organisasi kemanusiaan internasional yang tidak berpihak. 15

19 Pasal Perlindungan dan Perawatan l. Semua yang luka, sakit dan korban karam, dari pihak manapun mereka itu, harus dihormati dan dilindungi. 2. Dalam segala keadaan mereka itu harus diperlakukan secara perikemanusiaan dan harus memperoleh perawatan kesehatan dan perhatian penuh yang diperlukan karena keadaan mereka sampai sejauh apa yang dapat dilakukan dan dengan sesedikit mungkin penundaan. Tidak boleh ada perbedaan diantara mereka itu yang didasarkan atas alasan apapun selain daripada keadaan kesehatan mereka. Pasal Perlindungan bagi orang-orang 1. Kesehatan dan keutuhan jasmani atau rokhani dari orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Pihak-Pihak lawannya atau yang diinternir, ditahan atau dengan cara lain dicabut kemerdekaannya sebagai akibat dari suatu situasi tersebut dalam Pasal 1, tidak boleh dibahayakan jiwanya oleh suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan atau sengaja tidak dilakukan. Karena itu, adalah dilarang menempatkan orang-orang yang ditetapkan dalam Pasal ini dibawah suatu prosedur perawatan kesehatan yang tidak didasarkan pada keadaan kesehatan orang yang bersangkutan dan yang tidak sesuai dengan ukuran-ukuran perawatan kesehatan yang diakui secara umum yang akan diterapkan dalam keadaan kesehatan serupa 16

20 pada orang-orang warganegara dari Pihak yang menjalankan prosedur dan yang sama sekali tidak dicabut kemerdekaannya. 2. Terutama adalah dilarang melaksanakan terhadap orang-orang tersebut diatas, sekalipun dengan persetujuan mereka (a) (b) (c) mutilasi anggota tuhuh; percobaan-percobaan kesehatan ataupun ilmiah: memindahkan jaringan syaraf tubuh atau organ-organ tubuh untuk pencangkokan. kecuali apabila tindakan-tindakan itu dapat dibenarkan sesuai dengan keadaan sebagaimana diatur dalam ayat (1). 3. Pengecualian-pengecualian terhadap pelarangan dalam ayat 2 huruf c dapat dilakukan hanya didalam hal pemberian sumbangan darah untuk transfusi atau sumbangan kulit untuk mengenten, asalkan saja diberikan secara sukarela dan tanpa suatu paksaan apapun atau tipu muslihat, dan kemudian hanya untuk tujuan-tujuan pengobatan penyakit, dengan syarat-syarat yang sesuai dengan ukuranukuran pengobatan dan pengawasan kesehatan yang diakui secara umum, yang bertujuan bagi kemanfaatan pemberi sumbangan maupun penerima sumbangan. 4. Setiap tindakan sengaja atau sengaja tidak dilakukan yang membahayakan, secara gawat kesehatan jasmani atau rokhani ataupun keutuhan jasmani seseorang yang berada di 17

21 dalam kekuasaan suatu pihak yang bukan Pihak tempat ia bergantung dan yang melanggar setiap larangan tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) ataupun yang tidak mau memenuhi syaratsyarat seperti tersebut dalam ayat 3, akan merupakan pelanggaran terhadap Protokol ini. 5. Orang-orang yang disebut di dalam ayat (1) berhak menolak suatu operasi pembedahan. Dalam hal penolakan ini, tenaga dinas kesehatan harus berusaha mendapatkan sebuah pernyataan tertulis mengenai hal tersebut, yang ditanda tangani atau diakui oleh pasien. 6. Setiap Pihak dalam sengketa harus memiliki suatu catatan kesehatan untuk setiap sumbangan darah bagi transfusi atau sumbangan kulit bagi pengentenan oleh orang-orang yang disebut dalam ayat (1), jika sumbangan itu dibawah tanggung jawab Pihak tersebut. Selain itu, setiap pihak dalam sengketa harus berusaha memiliki suatu catatan tentang semua prosedur pengobatan yang dilakukan berkaitan dengan setiap orang yang diinternir, ditahan atau dengan cara lain yang dicabut kemerdekaannya sebagai akibat suatu situasi yang disebut dalam Pasal 1. Catatan-catatan ini harus setiap saat selalu tersedia untuk pemeriksaan oleh Negara Pelindung. 18

22 Pasal Perlindungan satuan - satuan kesehatan. 1. Satuan-satuan kesehatan harus setiap saat selalu dihormati dan dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran serangan. 2. Ayat (1) harus berlaku bagi satuan-satuan kesehatan sipil asalkan mereka: (a) (b) (c) termasuk dalam salah satu dari Pihak- Pihak dalam sengketa: diakui dan dikuasai oleh pejabat yang berwenang dari salah satu Pihak-Pihak dalam sengketa, atau dikuasai sesuai dengan Pasal 9 ayat (2), dari Protokol ini atau Pasal 27 dari Konvensi Pertama. 3. Pihak-pihak dalam sengketa diundang untuk saling memberitahu mengenai letak tempat dari satuan-satuan kesehatan yang menetap. Tiadanya pemberitahuan itu tidak boleh membebaskan salah satu dari Pihak-Pihak tersebut dan kewajiban mematuhi ketentuanketentuan ayat (1). 4. Dalam keadaan apapun satuan-satuan kesehatan tidak boleh dipergunakan dalam usaha untuk melindungi obyek-obyek militer dari serangan. Apabila mungkin Pihak-Pihak dalam sengketa harus menjamin bahwa satuan-satuan kesehatan ditempatkan sedemikian rupa sehingga seranganserangan terhadap obyek-obyek militer tidak membahayakan keselamatan mereka. 19

23 Pasal Penghentian perlindungan bagi satuan-satuan kesehatan sipil. 1. Perlindungan yang merupakan hak bagi satuansatuan kesehatan sipil tidak boleh berakhir kecuali jika mereka dipergunakan di luar fungsi kemanusiaan mereka untuk melakukan tindakantindakan yang merugikan musuh. Akan tetapi perlindungan dapat berakhir hanya setelah diberikan suatu peringatan dengan menetapkan, manakala dianggap patut, suatu batas waktu yang layak, dan setelah peringatan seperti itu masih tetap diabaikan. 2. Hal-hal berikut ini tidak boleh dianggap sebagai tindakan-tindakan yang membahayakan musuh : (a) (b) (c) (d) bahwa anggota-anggota dari satuan tersebut dilengkapi dengan senjata-senjata ringan perorangan untuk pertahanan diri atau untuk pertahanan yang luka-luka dan yang sakit yang berada didalam tanggung jawabnya. bahwa kesatuan itu dikawal oleh sebuah satuan piket atau oleh satuan pengawal atau oleh satuan pengantar; bahwa senjata-senjata ringan dan amunisi yang disita dari yang luka-luka dan yang sakit, dan yang belum diserahkan kepada dinas ketentaraan yang berhak, diketemukan pada satuan-satuan kesehatan tersebut. bahwa anggota-anggota Angkatan Perang dan kombatan-kombatan lainnya terdapat 20

24 di dalam satuan tersebut karena alasanalasan kesehatan. Pasal Pembatasan atas rekuisisi satuan-satuan kesehatan sipil 1. Penguasa pendudukan berkewajiban menjamin bahwa kebutuhan kesehatan bagi penduduk sipil diwilayah yang didudukinya tetap selalu dipenuhi. 2. Penguasa pendudukan karenanya tidak boleh merekuisisi satuan-satuan kesehatan sipil, perlengkapan mereka, material mereka atau jasa jasa dari anggota-anggota mereka, selama sumbersumber perlengkapan, material dan jasa-jasa ini diperlukan bagi penyediaan pelayanan kesehatan yang layak untuk penduduk sipil dan bagi perawatan kesehatan yang masih harus diteruskan pada setiap orang yang luka-luka dan yang sakit yang sudah berada di dalam perawatan. 3. Asalkan ketentuan umum di dalam ayat (2) tetap dipenuhi, Penguasa Pendudukan boleh merekuisisi sumber-sumber tersebut diatas. dengan syarat-syarat khusus sebagai berikut : (a) (b) bahwa sumber-sumber tersebut diperlukan untuk perawatan kesehatan yang segera dan layak bagi anggota-anggota Angkatan Perang yang luka-luka dan sakit dan Penguasa Pendudukan atau tawanantawanan perang; bahwa rekuisisi itu berlaku terus hanya selama adanya keharusan demikian, dan 21

25 (c) bahwa pengaturan-pengaturan mendesak dibuat untuk menjamin tetap terus dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan kesehatan penduduk sipil dan mereka yang luka-luka dan yang sakit yang masih dalam perawatan, yaitu mereka yang dikenakan rekuisisi itu. Pasal Perlindungan bagi anggota-anggota dinas kesehatan sipil dan dinas keagamaan. 1. Anggota-anggota dinas kesehatan sipil harus dihormati dan dilindungi. 2. Apabila diperlukan, semua bantuan yang bisa diperoleh harus diberikan kepada anggotaanggota dinas kesehatan sipil di wilayah dimana dinas-dinas kesehatan sipil tercerai berai oleh sebab kegiatan tempur. 3. Penguasa Pendudukan harus memberikan kepada anggota-anggota dinas kesehatan sipil di wilayah-wilayah pendudukan setiap bantuan yang memungkinkan mereka melaksanakan fungsi-fungsi kemanusiaan mereka sesuai kemampuan yang ada pada mereka. Penguasa Pendudukan tidak boleh menuntut bahwa di dalam melaksanakan fungsi-fungsi itu tenagatenaga kesehatan tersebut harus memberikan pengutamaan bagi perawatan seseorang kecuali atas dasar alasan kesehatan. Mereka tidak boleh dipaksa melakukan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan tugas kemanusiaan mereka. 22

26 4. Anggota-anggota dinas kesehatan sipil harus mempunyai hak masuk ke setiap tempat dimana jasa-jasa mereka sangat diperlukan dengan dikenakan tindakan-tindakan pengawasan dan Pengamanan selama Pihak yang bersangkutan dalam sengketa menganggapnya perlu. 5. Rokhaniwan-rokhaniwan dari dinas keagamaan sipil harus dihormati dan dilindungi, Ketentuanketentuan dan Konvensi dan Protokol ini yang mengenai perlindungan dan pengenalan anggota-anggota dinas kesehatan harus berlaku sama pada orang-orang tersebut itu. Pasal Perlindungan umum tugas-tugas kesehatan. 1. Di dalam keadaan apapun seseorang tidak boleh dihukum karena melakukan kegiatan-kegiatan kesehatan yang sesuai dengan norma-norma etika kedokteran, tidak peduli apakah orang tersebut menarik manfaat dari kegiatannya itu. 2. Orang-orang yang bekerja dalam kegiatankegiatan kesehatan tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan-tindakan atau melaksanakan pekerjaan yang bertentangan dengan aturan-aturan etika kedokteran atau ketentuan-ketentuan lainnya yang bertujuan bagi manfaat orang yang luka-luka, yang sakit atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dan Konvensi atau Protokol ini, atau dipaksa untuk tidak melakukan tindakan-tindakan atau melaksanakan pekerjaan yang diwajibkan 23

27 oleh kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan tersebut. 3. Tidak seorangpun yang bekerja dalam kegiatankegiatan kesehatan boleh dipaksakan untuk memberikan kepada siapapun, baik dari Pihak lawan maupun dari Pihaknya sendiri, kecuali diwajibkan oleh Undang-undang dari Pihak tersebut terakhir, keterangan mengenai mereka yang luka-luka dan yang sakit yang berada atau pernah berada di dalam perawatannya, apabila pada pendapatnya keterangan itu akan terbukti merugikan diri orang-orang yang dirawat itu atau keluarga mereka. Namun, peraturan-peraturan mengenai kewajiban memberitabukan tentang penyakitpenyakit yang dapat menular harus dihormati. Pasal Peranan penduduk sipil dan perhimpunanperhimpunan bantuan 1. Penduduk sipil harus menghormati mereka yang luka-luka, yang sakit dan korban karam, sekalipun dari Pihak lawan, dan tidak boleh melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka. Penduduk sipil dan perhimpunanperhimpunan bantuan, seperti Perhimpunan- Perhimpunan Palang Merah Nasional (Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahan Merah), harus diperbolehkan mengumpulkan dan merawat yang luka-luka, yang sakit dan korban karam, juga di daerah-daerah yang diserbu atau yang diduduki, sekalipun atas prakarsa mereka sendiri. 24

28 Tidak seorangpun boleh dirugikan, dituntut dinyatakan bersalah atau dihukum karena melakukan tindakan-tindakan kemanusiaan itu. 2. Pihak-Pihak dalam sengketa boleh meminta kepada penduduk sipil dan perhimpunanperhimpunan bantuan seperti disebut dalam ayat 1 untuk mengumpulkan dan merawat mereka yang luka-luka, yang sakit dan korban karam, dan mencari mereka yang tewas dan melaporkan tempatnya, Pihak-pihak dalam sengketa itu harus memberikan baik perlindungan maupun fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi mereka yang memenuhi permintaan itu. Apabila Pihak lawan menguasai atau menguasai kembali daerah. pihak tersebut harus juga memberikan perlindungan dan fasilitas-fasilitas serupa selama diperlukan. Pasal Pengenalan 1. Setiap pihak dalam sengketa harus herusaha menjamin bahwa anggota-anggota dinas kesehatan dan dinas keagamaan dan satuansatuan dan alat angkut kesehatan dapat dikenal. 2. Setiap Pihak dalam sengketa harus berusaha mengambil dan melaksanakan metodametoda dan tata cara (prosedur) yang akan memungkinkan untuk mengenal satuan-satuan dan alat angkut kesehatan yang menggunakan lambang pengenal dan isyarat pengenal. 3. Diwilayah pendudukan dan di daerah-daerah dimana pertempuran sedang berlangsung atau 25

29 mungkin akan terjadi, anggota-anggota dinas kesehatan dan dinas keagamaan hendaknya dapat dikenal dengan lambang pengenal dan dengan suatu kartu tanda pengenal yang menerangkan kedudukan mereka. 4. Dengan seijin pejabat yang berwenang, satuansatuan dan alat angkut kesehatan harus ditandai dengan lambang pengenal. Kapal-kapal dan angkutan perairan yang disebut dalam Pasal 22 dan Protokol ini harus di tandai sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan Konvensi kedua. 5. Selain dari lambang pengenal itu, suatu Pihak dalam sengketa, sebagaimana ditetapkan didalam Bab III dan lampiran I pada Protokol ini, dapat mengijinkan penggunaan isyarat pengenal untuk mengenal satuan-satuan dan alat angkut kesehatan. Dengan perkecualian, didalam hal-hal khusus seperti tercantum di dalam Bab tersebut, alat angkut kesehatan boleh menggunakan tanda-tanda pengenal tanpa memperlihatkan lambang pengenal. 6. Penerapan ketentuan-ketentuan dan ayat (1) sampai dengan 5 dari pasal ini diatur oleh Babbab I sampai dengan III dari Lampiran 1 pada Protokol ini. Tanda-tanda yang dimaksudkan dalam Bab III dari Lampiran itu semata-mata untuk penggunaan satuan-satuan dan alat angkut kesehatan, kecuali sebagaimana ditetapkan di dalamnya. tidak boleh dipergunakan untuk suatu tujuan lain dari pada untuk mengenal satuan-satuan dan alat angkut seperti yang diperinci di dalam Bab tersebut. 26

30 7. Pasal ini tidak memberikan kewenangan yang lebih luas lambang pengenal itu dimasa damai selain yang diterangkan di dalam Pasal 44 dan Konvensi Pertama. 8. Ketentuan-ketentuan Konvensi dan Protokol ini yang mengenai pengawasan atas penggunaan lambang pengenal dan yang mengenai pencegahan dan penindakan terhadap setiap penyalahgunaannya harus berlaku bagi isyarat pengenal. Pasal Negara-Negara Netral dan lainnya yang bukan pihak-pihak dalam sengketa. Negara-negara netral dan negara lainnya yang bukan Pihak-Pihak dalam sengketa harus menerapkan ketentuan-ketentuan yang relevan dan Protokol ini pada orang-orang yang dilindungi oleh Bagian ini yang dapat diterima atau diasingkan di dalam wilayah mereka. dan pada setiap orang yang tewas dan Pihak- Pihak dalam sengketa yang mungkin mereka temukan. Pasal Larangan tindakan - tindakan pembatasan. Tindakan-tindakan pembatasan terhadap orang-orang atau benda-benda yang dilindungi oleh Bagian ini adalah dilarang. 27

31 BAGIAN - II --- PENGANGKUTAN KESEHATAN Pasal Kendaraan-kendaraan kesehatan Kendaraan-kendaraan kesehatan harus dihormati dan dilindungi dan cara yang sama seperti satuan-satuan kesehatan yang bergerak berdasarkan Konvensi-Konvensi dan Protokol ini. Pasal Kapal-kapal rumah sakit dan alat angkut air penyelamat pantai. 1. Ketentuan-ketentuan dari Konvensi-konvensi yang mengenai : (a) (b) (c) (d) kapal-kapal yang diterangkan dalam Pasal-Pasal , 25 dan 27 dan Konvensi Kedua, sekoci-sekoci penolong dan atas angkut air kecil mereka, tenaga-tenaga kesehatan dan para awak kapal mereka, dan yang luka, sakit dan korban karam yang berada di kapal. harus juga berlaku manakala perahu tersebut mengangkut orang-orang sipil yang luka, sakit dan korban-korban karam yang tidak termasuk dalam salah satu dari golongan-golongan yang dimaksudkan dalam Pasal 13 Konvensi Kedua. Namun orang-orang sipil itu tidak boleh diserahkan kepada sesuatu Pihak yang bukan Pihaknya, atau ditawan di laut. Apabila mereka berada dalam kekuasaan suatu pihak dalam sengketa yang bukan Pihaknya sendiri, bagi 28

32 mereka ini harus berlaku Konvensi keempat dan Protokol ini. 2. Perlindungan yang ditetapkan oleb Konvensi bagi perahu-perahu yang dimaksud dalam Pasal 25 dari Konvensi kedua harus berlaku pula bagi perahu-perahu rumah sakit yang disediakan guna tujuan-tujuan kemanusiaan untuk suatu pihak dalam sengketa : (a) (b) oleh sebuah Negara netral atau negara lainnya yang bukan Pihak dalam sengketa; atau oleh sebuah organisasi kemanusiaan internasional yang tidak berpihak. asalkan, didalam kedua hal tersebut. syarat-syarat yang diterangkan dalam Pasal tersebut dipenuhi. 3. Alat angkutan air kecil yang dimaksud dalam Pasal 27 dan Konvensi Kedua harus dilindungi walaupun seandainya tidak dibuat pemberitahuan lebih dulu seperti dikemukakan dalam Pasal tersebut. Namun demikian Pihak- Pihak dalam sengketa diminta untuk saling memberitabukan setiap perincian dari alat angkut air itu guna memungkinkan pengenalan mereka dan pemberian pengakuan mereka. 29

33 Pasal Kapal-kapal dan angkutan air kesehatan lainnya. 1. Kapal-kapal dan alat angkutan air kesehatan yang lain dari yang dimaksudkan dalam Pasal 22 dari Protokol ini dan Pasal 38 dari Konvensi kedua, harus dihormati dan dilindungi, baik dilaut maupun di perairan lainnya, dengan cara yang sama seperti satuan-satuan kesehatan bergerak berdasar-kan Konvensi dan Protokol ini. Karena perlindungan hanya dapat efektif apabila kapal-kapal itu dapat dikenal dan diakui sebagai kapal-kapal atau alat angkutan air kesehatan, maka perahu-perahu itu hendaknya ditandai dengan lambang pengenal dan sejauh mungkin sesuai dengan ayat (2), Pasal 43 dari Konvensi Kedua. 2. Kapal-kapal dan alat angkutan air yang dimaksud dalam ayat (1) harus tetap tunduk kepada hukum perang. Setiap kapal perang di atas permukaan air yang dapat dengan segera memberlakukan komandonya boleh memerintahkan kapalkapal itu berhenti, memerintahkan kapal-kapal itu berangkat, atau menyuruh kapal-kapal itu harus mematuhi setiap komandonya. Kapalkapal dan alat angkutan air yang demikian itu tidak boleh dengan cara apapun mengalihkan dari tugas kesehatan mereka selama kapalkapal itu diperlukan bagi yang luka-iuka, sakit dan korban karam yang ada di atas kapal. 3. Perlindungan yang ditetapkan dalam ayat (1) akan berakhir hanya di bawah syarat-syarat yang dimaksud dalam Pasal-Pasal 34 dan 35 dari Konvensi Kedua. 30

34 Suatu penolakan yang jelas untuk mematuhi komando yang diberikan sesuai dengan ayat (2) harus dianggap sebagai tindakan yang merugikan musuh berdasarkan Pasal 34 dari Konvensi Kedua. 4. Suatu Pihak dalam sengketa dapat memberitabukan kepada Pihak lawannya sejauh mungkin sebelum pelayaran di mulai tentang nama, uraian, waktu pelayaran yang diharapkan, arah dan kecepatan yang diperkirakan dari kapal atau alat angkutan air kesehatannya, khususnya dalam hal kapalkapal yang berukuran diatas ton bobot mati, dan dapat memberikan keterangan lainnya yang akan memudahkan pengenalan dan pengakuan. Pihak lawan dalam pada itu harus memberitabukan tentang telah diterimanya keterangan tersebut. 5. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 37 dari Konvensi Kedua harus berlaku bagi anggotaanggota dinas kesehatan dan dinas keagamaan di atas kapal-kapal dan alat angkutan air yang demikian itu. 6. Ketentuan-ketentuan dan Konvensi Kedua harus berlaku bagi yang luka-luka, sakit dan korban karam, yang dimaksud dalam golongan-golongan yang dimaksud dalam Pasal 13 dari Konvensi Kedua dan dalam Pasal 44 dari Protokol ini, yang mungkin berada di atas kapal-kapal kesehatan dan alat angkutan air seperti tersebut itu. Orang-orang sipil yang luka-luka, sakit dan korban karam yang tidak 31

35 termasuk dalam salah satu dari golongangolongan yang dimaksudkan dalam Pasal 13 dan Konvensi Kedua, selama di laut, tidak boleh diserahkan kepada setiap Pihak yang bukan Pihaknya sendiri atau untuk pindah dari kapal-kapal atau alat angkutan air itu; apabila mereka berada di dalam kekuasaan suatu Pihak dalam sengketa yang bukan Pihaknya sendiri, mereka ini harus dilindungi oleh Konvensi Keempat dan Protokol ini. Pasal Perlindungan alat angkutan udara kesehatan Alat angkutan udara kesehatan harus dihormati dan dilindungi, tunduk pada ketentuanketentuan dari Bab ini. Pasal Alat angkutan udara kesehatan di daerahdaerah yang tidak dikuasai oleh pihak lawan. Didarat dan diatas daerah-daerah yang secara fisik dikuasai oleh angkatan perang yang bersahahat atau di laut dan diatas laut dari daerah-daerah yang tidak secara fisik dikuasai oleh suatu Pihak lawan, Penghormatan dan perlindungan alat angkutan udara dan suatu Pihak dalam sengketa tidak tergantung kepada sesuatu persetujuan dengan suatu Pihak lawan. Akan tetapi demi keselamatan yang lebih besar, suatu pihak dalam sengketa yang alat angkutan udara kesehatannya beroperasi di daerah-daerah itu dapat memberitahu pihak lawannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, khususnya ketika alat angkutan udara itu sedang melakukan penerbangan yang 32

36 membawa-nya sampai berada di dalam jarak tembak sistim senjata dari permukaan bumi ke udara dan Pihak lawannya. Pasal Alat angkutan udara kesehatan di daerahdaerah serangan atau yang serupa. 1. Di darat dan diatas bagian-bagian dan daerah serangan yang secara fisik dikuasai oleh angkatan perang kawan dan di darat dan diatas daerah-daerah yang belum dengan jelas dikuasai secara fisik oleh siapa, perlindungan bagi alat angkutan udara kesehatan dapat menjadi efektif sepenuhnya hanya melalui persetujuan sebelumnya antara pejabat-pejabat militer yang berwenang dan Pihak-Pihak dalam sengketa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. Walaupun dalam keadaan tiadanya persetujuan seperti itu, alat angkutan udara kesehatan yang melakukan penerbangan atas resikonya sendiri harus dihormati setelah dikenal. 2. Daerah serangan berarti suatu daerah di darat dimana unsur-unsur yang sedang bergerak maju dan angkatan perang yang sedang berperang berada dalam keadaan saling berhadapan satu sama lainnya, terutama dimana kedua-duanya dihadapkan pada tembakan langsung dari darat. Pasal Alat angkutan udara kesehatan didaerah-daerah yang dikuasai oleh Pihak Lawan. l. Alat angkutan udara kesehatan dan suatu Pihak dalam sengketa harus terus dilindungi ketika 33

37 sedang melakukan penerbangan di atas daerahdaerah darat dan laut yang secara fisik dikuasai oleh suatu Pihak lawan, asalkan persetujuan sebelumnya bagi penerbangan-penerbangan seperti itu telah diperoleh dari pejabat yang berwenang dan Pihak lawan itu. 2. Sebuah alat angkutan udara kesehatan yang terbang di atas suatu daerah yang secara fisik dikuasai oleh Pihak lawan tanpa, atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan dari suatu persetujuan yang ditetapkan dalam ayat (1) di atas, baik disebabkan oleh kesalahan navigasi atau karena suatu keadaan darurat yang menimpa keselamatan penerbangannya itu. harus berusaha sedapat-dapatnya untuk mengenalkan dirinya dan memberitahu Pihaklawan tentang keadaanya. Segera setelah alat angkutan udara kesehatan itu diakui oleh pihak lawan, maka Pihak lawan ini harus melakukan segala usaha yang patut untuk memberikan perintah mendarat atau turun di laut, seperti ditunjukkan dalam Pasal 30, ayat (1) atau mengambil langkah-langkah lain guna menyelamatkan dirinya sendiri, dan di dalam kedua hal itu, memberikan waktu bagi alat angkutan udara itu untuk mematuhi perintahnya sebelum melancarkan suatu serangan terhadap alat angkutan udara tersebut. Pasal Pembatasan-pembatasan terhadap operasioperasi alat angkutan kesehatan. 1. Pihak-pihak dalam sengketa dilarang mempergunakan alat angkutan udara kesehatan 34

38 mereka untuk mencoba mendapatkan sesuatu keuntungan militer atas Pihak lawannya. Kehadiran alat angkutan udara kesehatan tidak boleh dipergunakan dalam suatu usaha untuk menjadikan sasaran-sasaran militer bebas (immune) dari sasaran serangan. 2. Alat angkutan udara kesehatan tidak boleh dipergunakan untuk mengumpulkan atau mengirimkan bahan-bahan keterangan intelijens dan tidak boleh membawa sesuatu alat perlengkapan yang dimaksudkan untuk tujuan-tujuan seperti itu. Alat angkutan udara kesehatan dilarang membawa seseorang atau muatan yang tidak termasuk di dalam perumusan dalam Pasal 8, huruf f. Membawa kedalam alat angkutan udara kesehatan barang-barang bernilai pribadi milik penumpang atau alatalat perlengkapan yang semata-mata bertujuan untuk memudahkan navigasi. komunikasi atau pengenalan pesawat tersebut tidak boleh dilarang. 3. Alat angkutan udara kesehatan tidak boleh membawa persenjataan apapun kecuali senjatasenjata ringan dan amunisi yang diambil dan yang luka-luka, sakit dan korban karam yang berada dalam alat angkutan udara itu dan yang belum diserahkan kepada dinas kctentaraan yang berhak, dan senjata-senjata ringan perorangan itu yang mungkin diperlukan untuk memungkinkan anggota-anggota dinas kesehatan di dalam alat angkutan udara itu melakukan pembelaan diri mereka dan yang luka-luka, sakit dan korban karam yang berada di dalam tanggung jawab mereka. 35

39 4. Ketika melakukan penerbangan seperti yang dimaksud dalam Pasal-pasal 26 dan 27, alat angkutan udara kesehatan tidak boleh dipergunakan untuk mencari yang luka-luka, sakit dan korban karam, kecuali dengan persetujuan sebelumnya dari Pihak lawan. Pasal Pemberitahuan dan persetujuan mengenai alat angkutan udara kesehatan. 1. Pemberitahuan berdasarkan Pasal 25, atau permintaan untuk mengadakan persetujuan sebelumnya berdasarkan Pasal-Pasal 26,27,28 (ayat 4), atau 31 harus menyatakan jumlah alat angkutan udara yang diusulkan, rencana-rencana penerbangan mereka dan alat-alat pengenalan, dan harus benar-benar dimaksudkan bahwa setiap penerbangan akan dilaksanakan sesuai dengan Pasal Suatu Pihak yang menerima suatu pemberitahuan seperti dimaksud dalam Pasal 25 harus dengan segera mengumumkan telah diterimanya pembentahuan itu. 3. Suatu Pihak yang menenma suatu permintaan akan persetujuan sebelumnya berdasarkan Pasal-Pasal 26, 27, 28 (ayat 4), atau 31 harus dengan secepat mungkin memberitahu Pihak yang mengajukan permintaan itu: (a) (b) (c) bahwa permintaan itu disetujui; bahwa permintaan itu ditoiak: atau tentang usul-usul alternatif yang layak terhadap permintaan itu. Pihak tersebut dapat juga mengusulkan suatu pelarangan 36

40 atau pembatasan penerbanganpenerbangan lain di dalam daerah selama waktu terlibat. Apabila Pihak yang memajukan permintaan itu menerima usul-usul alternatif itu. maka ia harus memberitahu kepada Pihak lainnya itu tentang telah diterimanya usul-usul alternatif itu. 4. Pihak-Pihak tersebut harus mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk menjamin bahwa pemberitahuan dan persetujuan dapat dihuat secepatnya. 5. Pihak-pihak tersebut diatas juga harus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyebarluaskan dengan cepat isi dari setiap pemberitahuan dan persetujuan itu kepada satuan-satuan militer yang bersangkutan dan harus menginstruksikan satuan-satuan itu mengenai alat-alat pengenalan yang akan dipergunakan oleh alat angkutan udara kesehatan tersebut. Pasal Pendaratan dan pemeriksaan alat angkutan udara kesehatan. 1. Alat angkutan udara kesehatan yang terbang di atas daerah-daerah yang secara fisik dikuasai oleh Pihak lawan, atau diatas daerah-daerah yang belum dengan jelas dikuasai secara fisik. dapat diperintahkan untuk mendarat atau turun di laut, secara layak, untuk membolehkan pemeriksaan sesuai dengan ayat-ayat berikut ini. Alat angkutan udara kesehatan harus mematuhi perintah yang demikian itu. 37

41 2. Apabila sebuah alat angkutan udara seperti itu mendarat atau turun ke laut, baik karena diperintahkan untuk melakukan hal itu maupun karena sebab-sebab lain, alat angkutan udara tersebut dapat mematuhi untuk dilakukannya dikenakan pemeriksaan semata-mata untuk mematuhi hal-hal seperti yang dimaksud dalam ayat (3) dan (4). Setiap pemeriksaan demikian harus dimulai tanpa ditunda-tunda dan harus dilakukan secara cepat. Pihak yang melakukan pemeriksaan tidak boleh meminta yang luka-luka dan sakit untuk dipindahkan dari alat angkutan udara itu kecuali pemindahan mereka itu sangatlah penting bagi pemeriksaan. Pihak tersebut harus di dalam keadaan apapun menjamin bahwa keadaan yang luka-luka dan sakit tidak dirugikan oleh pemeriksaan atau pemindahan itu. 3. Apabila pemeriksaan itu membuktikan bahwa alat angkutan udara tersebut : (a) adalah sebuah alat angkutan udara kesehatan didalam pengertian seperti dalam Pasal 8, huruf (j), (b) (c) adalah tidak melanggar syarat-syarat tercantum dalam Pasal 28, dan, tidak terbang bukan tanpa atau melanggar suatu persetujuan sebelumnya dimana persetujuan seperti itu diperlukan, maka alat angkutan udara tersebut beserta penumpang-penumpangnya yang 38

42 termasuk dari Pihak lawan atau sebuah negara netral atau negara lain yang bukan Pihak dalam sengketa harus diijinkan untuk melanjutkan penerbangannya tanpa ditunda-tunda. 4. Apabila pemeriksaan itu membuktikan bahwa alat angkutan udara tersebut (a) adalah bukan alat angkutan udara kesehatan di dalam pengertian seperti dalam Pasal 8, huruf (f), (b) (c) melanggar syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 28, atau telah terbang bukan tanpa atau melanggar suatu persetujuan sebelumnya dimana persetujuan itu diperlukan. maka alat angkutan udara tersebut boleh disita. Para penumpangnya harus diperlakukan sesuai dengan ketentuanketentuan yang berhubungan dengan-nya dari Konvensi dan Protokol ini. Setiap alat angkutan udara yang disita, yang telah ditugaskan sebagai sebuah alat angkutan udara kesehatan yang bersifat tetap, boleh dipergunakan setelah itu hanya sebagai sebuah alat angkutan udara kesehatan. Pasal Negara-negara netral atau negara lainnva yang bukan pihak-pihak dalam sengketa. 1. Kecuali dengan persetujuan sebelumnya. alat angkutan udara kesehatan tidak boleh terbang diatas atau mendarat di wilayah dari sebuah 39

43 negara netral atau negara lainnya yang bukan suatu Pihak dalam sengketa. Akan tetapi dengan suatu persetujuan demikian, alat angkutan udara itu harus dihormati sepanjang penerbangannya dan juga selama waktu singgah di wilayah tersebut. Namun demikian alat angkutan udara itu harus tunduk pada setiap panggilan untuk mendarat atau turun di laut, sebagaimana diisyaratkan. 2. Apabila didalam keadaan tidak ada suatu persetujuan atau menyimpang dan ketentuanketentuan dan suatu persetujuan sebuah alat angkutan udara terbang di atas wilayah dari suatu negara netral atau negara lainnya yang bukan suatu pihak dalam sengketa, baik disebabkan kesalahan navigasi atau karena suatu keadaan darurat yang menimpa keselamatan penerbangan, maka alat angkutan udara tersebut harus melakukan setiap usaha memberitabukan tentang penerbangannya itu dan mengenalkan diri. Segera setelah alat angkutan udara kesehatan itu dikenal, Negara itu harus melakukan segala usaha yang layak untuk memerintahkannya mendarat atau turun ke laut seperti dimaksud dalam Pasal 30, ayat 1, atau mengambil langkah-langkah lain untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri, dan kesemuanya itu untuk mematuhi perintahnya sebelum melancarkan suatu serangan terhadap alat angkutan udara tersebut. 3. Jika sebuah alat angkutan udara, baik karena adanya persetujuan maupun karena berada didalam keadaan dimaksud dalam ayat (2) di 40

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP. Annex I KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT Bagian 1. Ketentuan Umum BAB VII LAUT LEPAS Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu negarapun yang dapat secara

Lebih terperinci

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA 1 K 29 - Kerja Paksa atau Wajib Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum Catatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC (Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah) SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te No.1133, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Penggunaan Senjata Api Dinas. Ditjen Bea dan Cukai. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PENGGUNAAN SENJATA

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan kemanusiaan berupaya untuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PENGGUNAAN SENJATA API DINAS DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2018 KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6180) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a. bahwa pertahanan negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, Terbuka untuk penandatanganan Ratifikasi dan Aksesi MUKADIMAH Negara-negara

Lebih terperinci

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA)

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) Tentang: MOBILISASI DAN DEMOBILISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA 1 K 100 - Upah yang Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya 2 Pengantar

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1997 TENTANG MOBILISASI DAN DEMOBILISASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1997 TENTANG MOBILISASI DAN DEMOBILISASI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1997 TENTANG MOBILISASI DAN DEMOBILISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. PEMBUKAAN ( P r e a m b u l e )

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. PEMBUKAAN ( P r e a m b u l e ) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PEMBUKAAN ( P r e a m b u l e ) Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR

K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR 1 K-106 Istirahat Mingguan Dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa

Lebih terperinci

K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA

K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA 1 K-88 Lembaga Pelayanan Penempatan Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1983 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG REJIM HUKUM NEGARA NUSANTARA DAN HAK-HAK MALAYSIA DI LAUT TERITORIAL DAN

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981

K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 2 K-155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 Konvensi mengenai Keselamatan dan Kesehatan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA Pembukaan

UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA Pembukaan UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945 Pembukaan Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS Disetujui dan dibuka bagi penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 Desember 1965 Berlaku 4 Januari 1969

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara Paragraf 1 Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasal 212 (1) Setiap

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 25 Mei 2000 Negara-negara Pihak

Lebih terperinci

ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S , s.d.u. dg. S terakhir s.d.u. dg. S

ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S , s.d.u. dg. S terakhir s.d.u. dg. S ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S. 1930-225, s.d.u. dg. S. 1931-168 terakhir s.d.u. dg. S. 1947-208. Pasal I Dengan mencabut Peraturan-peraturan uap yang ditetapkan berdasarkan Ordonansi tanggal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 No.1459, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Prajurit TNI. Status Gugur/Tewas. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG STATUS GUGUR ATAU TEWAS BAGI PRAJURIT

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang

2016, No Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang No. 397, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Pencarian dan Pertolongan Bantuan Militer Asing. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG BANTUAN MILITER ASING

Lebih terperinci

KONVENSI MENGENAI KERJA PAKSA ATAU KERJA WAJIB

KONVENSI MENGENAI KERJA PAKSA ATAU KERJA WAJIB 1 KONVENSI MENGENAI KERJA PAKSA ATAU KERJA WAJIB Ditetapkan oleh Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional, di Jenewa, pada tanggal 28 Juni 1930 [1] Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI TENTANG LAUT LEPAS Pihak negara-negara ke Konvensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1952 TENTANG PERATURAN DEWAN KEHORMATAN MILITER. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1952 TENTANG PERATURAN DEWAN KEHORMATAN MILITER. Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1952 TENTANG PERATURAN DEWAN KEHORMATAN MILITER Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa, untuk menjaga kehormatan Angkatan Perang pada umumnya

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI 1.1 "Wajib" digunakan dalam Lampiran untuk menunjukkan suatu ketentuan, penerapan yang seragam

Lebih terperinci

UNTAET REGULASI NOMOR 2001/1 TENTANG PENDIRIAN TENTARA NASIONAL TIMOR LOROSAE

UNTAET REGULASI NOMOR 2001/1 TENTANG PENDIRIAN TENTARA NASIONAL TIMOR LOROSAE UNITED NATIONS United Nations Transitional Administration Unies in East Timor UNTAET NATIONS UNIES Administration Transitoire des Nations au Timor Oriental UNTAET/REG/2001/1 Januari 31 2001 REGULASI NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.368, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HUKUM. Luar Negeri. Pengungsi. Penanganan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 2 K-95 Konvensi Perlindungan Upah, 1949 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Mukadimah Negara-negara Pihak Kovenan ini, Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diumumkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci