KOEFISIEN INBREEDING JALAK BALI (Leucopsar rotschildi Stresemann 1922) DI PENANGKARAN TEGAL BUNDER TAMAN NASIONAL BALI BARAT ADILIA PUTRI RAHMAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KOEFISIEN INBREEDING JALAK BALI (Leucopsar rotschildi Stresemann 1922) DI PENANGKARAN TEGAL BUNDER TAMAN NASIONAL BALI BARAT ADILIA PUTRI RAHMAWATI"

Transkripsi

1 KOEISIEN INBREEDING JALAK BALI (Leucopsar rotschildi Stresemann 1922) DI PENANGKARAN TEGAL BUNDER TAAN NASIONAL BALI BARAT ADILIA PUTRI RAHAWATI DEPARTEEN KONSERVASI SUBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA AKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN ENGENAI SKRIPSI DAN SUBER INORASI SERTA PELIPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Koefisien inbreeding jalak bali (Leucopsar rotschildi Stresemann 1922) di penangkaran Tegal Bunder Taman Nasional Bali Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2016 Adilia Putri Rahmawati NI E

4 ABSTRAK ADILIA PUTRI RAHAWATI. Koefisien Inbreeding Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann 1922) di Penangkaran Tegal Bunder Taman Nassional Bali Barat. Dibimbing oleh BURHANUDDIN ASY UD dan LIN NURIAH GINOGA. Penangkaran Tegal Bunder merupakan salah satu lembaga konservasi ekssitu yang menangkarkan jalak bali untuk pelepasliaran. Penangkaran eks-situ memiliki resiko terjadinya silang dalam atau inbreeding tinggi, yang dapat menyebabkan adanya perubahan atau abnormalitas pada satwa. Penelitian dilakukan untuk menganalisis manajemen perkawinan dan mengidentifikasi inbreeding melalui hubungan kekerabatan, koefisien inbreeding, serta karakteristik morfologis. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi lapang, wawancara, dan studi pustaka. Hasil identifikasi inbreeding yang diperoleh menunjukkan bahwa telah terjadi inbreeding pada jalak bali, sedangkan pada pengamatan karakteristik morfologis diduga telah terjadi tekanan inbreeding pada jalak bali di penangkaran Tegal Bunder. Kata kunci: inbreeding, jalak bali, manajemen perkawinan ABSTRACT ADILIA PUTRI RAHAWATI. Inbreeding Coefficient of Bali Starling (Leucopsar rothschildi Stresemann 1922) in Tegal Bunder captive West Bali National Park. Supervised by BURHANUDDIN ASY UD and LIN NURIAH GINOGA. Tegal Bunder captive is one of ex-situ conservation organization that breed bali starling for release. The risk of inbreeding is high as an animal captivity. This research aimed to analyse management breeding and identify in breeding based on kinship, inbreeding coefficient, and morphological characteristic. Observation, interview, and literature study were used in this research. The identification of inbreeding showed that there was indeed inbreeding occured in Tegal Bunder captive, and there was significant difference of morphological characteristic, body size of the progeny, which indicated inbreeding depression of bali starling in Tegal Bunder captive. Keywords: bali starling, inbreeding, management of breeding

5 KOEISIEN INBREEDING JALAK BALI (Leucopsar rotschildi Stresemann 1922) DI PENANGKARAN TEGAL BUNDER TAAN NASIONAL BALI BARAT ADILIA PUTRI RAHAWATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEEN KONSERVASI SUBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA AKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

6

7 Judul Skripsi: Koefisien Inbreeding Jalak Bali (Leucopsar rotschildi Stresemann 1922) di Penangkaran Tegal Bunder Taman Nassional Bali Barat Nama : Adilia Putri Rahmawati NI : E Disetujui oleh Dr Ir Burhanuddin asy'ud, S Pembimbing I Ir Lin Nuriah Ginoga, Si Pembimbing II Tanggal Lulus: 2 OEC 2016

8 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dari penelitian yang telah dilakukan berjudul Koefisien inbreeding Jalak Bali (Leucopsar rotschildi Stresemann 1922) di Penangkaran Tegal Bunder Taman Nasional Bali Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Burhanuddin asy ud, S dan Ir Lin Nuriah Ginoga Si selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan saran kepada penulis selama penyusunan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penyusunan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pihak Taman Nasional Bali Barat yang telah mengizinkan, memfasilitasi, dan membantu penulis sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar sampai selesai. Penulis menyampaikan penghargaan sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, Bapak Cucuk Sugiarto dan Ibu Yuni Hastuti serta kedua orang kakak penulis yang selalu memberikan do a dan memberi dukungan bagi penulis. Penghargaan penulis sampaikan kepada Pak Nana, Pak Putu, Pak Heri, as Ari, as Hanung, as Harpa, serta seluruh staff Pusat Pembinaan Jalak Bali Tegal Bunder Taman Nasional Bali Barat yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada keluarga besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) IPB, keluarga besar Cantigi Gunung (KSHE angkatan 49), HIAKOVA, Kelompok Pemerhati Kupu-Kupu SARPEDON, sahabat dunia akhirat, serta seluruh pihak yang turut menyukseskan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Desember 2016 Adilia Putri Rahmawati

9 DATAR ISI DATAR TABEL vii DATAR GABAR vii DATAR LAPIRAN vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 anfaat Penelitian 2 ETODE 2 Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Alat dan Bahan 3 Objek Penelitian 3 etode Pengumpulan Data 3 etode Analisis Data 8 HASIL DAN PEBAHASAN 9 Hasil 9 Pembahasan 17 SIPULAN DAN SARAN 23 Simpulan 23 Saran 23 DATAR PUSTAKA 23 LAPIRAN 26

10 vii DATAR TABEL 1 Jenis data dan metode pengumpulan data 3 2 Pengukuran ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder 4 3 Kategori tingkat inbreeding 8 4 Dasar pemilihan bibit jalak bali jantan dan betina di PPJB Tegal Bunder 9 5 Ciri-ciri morfologis jalak bali jantan dan betina di PPJB Tegal Bunder 10 6 Jenis dan ukuran kandang jalak bali PPJB Tegal Bunder 11 7 Asal indukan transfer jalak bali di PPJB Tegal Bunder 13 8 Nilai koefisien inbreeding jalak bali tiap generasi 14 9 Perbandingan ukuran tubuh jalak bali jantan dan betina pada SPSS Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak bali tiap generasi pada SPSS Perbandingan pola (variasi) jalak bali di PPJB Tegal Bunder Rekomendasi skenario pengaturan kawin jalak bali di PPJB Tegal Bunder 22 DATAR GABAR 1 Peta lokasi penelitian 2 2 Contoh silsilah suatu individu X 8 3 Pasangan jalak bali di kandang pembiakan (A) jantan dan (B) betina 10 4 Gowok pada kandang jalak bali di PPJB Tegal Bunder 12 5 Penelusuran silsilah jalak bali dengan kode Diagram panah hubungan kekerabatan jalak bali di PPJB Tegal Bunder 14 7 Rentang sayap (A) dan bulu ekor (B) jalak bali di PPJB Tegal Bunder 21 8 Warna mata (A) dan kaki (B) jalak bali di PPJB Tegal Bunder 21 DATAR LAPIRAN 1 Perhitungan nilai koefisien inbredding jalak bali di PPJB Tegal Bunder 26 2 Silsilah jalak bali di PPJB Tegal Bunder 28

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Jalak bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) atau juga dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama curik bali merupakan burung yang berasal dari suku sturnidae. Jalak bali merupakan satwa endemik Bali yang berstatus terancam punah (critically endangered) (IUCN 2012) dan saat ini habitat alaminya hanya ditemukan di Taman Nasional Bali Barat (). Jalak bali juga terdaftar di dalam Apendiks I CITES yakni termasuk kelompok yang terancam punah dan dilarang untuk diperdagangkan. Di Indonesia burung ini masuk dalam kategori jenis yang dilindu ngi oleh pemerintah melalui SK enteri Pertanian No.421/Kpts/Um/8/70 tanggal 26 Agustus 1970 dan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar. Populasi jalak bali di alam setiap tahunnya mengalami penurunan, sampai dengan tahun 2005 tercatat bahwa jumlah populasi jalak bali di alam sebanyak 12 ekor (Rianto 2006). enurut (2013) hal ini disebabkan karena perburuan, predator, dan kebakaran hutan. Jumlah populasi jalak bali yang sangat sedikit menjadi alasan pentingnya upaya konservasi, salah satunya adalah penangkaran dan pelepasliaran hasil penangkaran ke alam. Saat ini, upaya konservasi eks-situ jalak bali telah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Keberadaan jalak bali di eks-situ selain meningkatkan populasi juga dapat membantu upaya konservasi dan penelitian jalak bali. Program penangkaran di Pusat Pembinaan Jalak Bali (PPJB) Tegal Bunder ditujukan untuk menangkarkan jenis yang terancam punah dan dikembalikan atau dilepasliarkan ke habitat alaminya. Untuk keberhasilan pelepasliaran dibutuhkan bibit jalak bali yang berkualitas baik dengan salah satu indikator berupa kualitas dan genetik yang baik. Di dalam penangkaran jalak bali ada kecenderungan terjadinya silang dalam atau inbreeding. Inbreeding dapat diidentifikasi melalui analisis silsilah jalak bali dan besarannya dapat dilihat dari nilai koefisien inbreeding. Inbreeding dapat menimbulkan pengaruh buruk seperti penurunan fertilitas, peningkatan mortalitas, penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit, penurunan daya hidup, dan penurunan laju pertumbuhan (Noor 2008). Kondisi abnormalitas juga dapat terjadi pada satwa sebagai efek dari inbreeding. Untuk mengetahui terjadinya abnormalitas ini, maka perlu diketahui perihal koefisisen inbreeding agar dapat dilakukan pengaturan perkawinan dengan tepat dan penelaahan karakteristik morfologis untuk mengetahui ada atau tidaknya tekanan inbreeding pada jalak bali di Pusat Pembinaan Jalak Bali (PPJB) Tegal Bunder. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. engkaji manajemen perkawinan pada jalak bali di PPJB Tegal Bunder 2. enghitung hubungan kekerabatan dengan menggunakan diagram pohon dan koefisien inbreeding pada jalak bali di PPJB Tegal Bunder

12 2 3. engukur perbandingan karakteristik morfologis jalak bali untuk mengidentifikasi keberadaan tekanan inbreeding pada jalak bali di PPJB Tegal Bunder. anfaat Hasil penelitian mengenai koefisien inbreeding pada jalak bali diharapkan dapat dijadikan dasar pengelolaan PPJB dan lembaga konservasi eks-situ lainnya, dan memperoleh informasi mengenai tingkat inbreeding pada jalak bali, serta memperoleh informasi mengenai karakteristik morfologis pada jalak bali yang ada di PPJB Tegal Bunder. ETODE Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai analisis koefisien inbreeding jalak bali dilakukan di PPJB Tegal Bunder, Taman Nasional Bali Barat tersaji pada Gambar 1. Penelitian dilakukan pada bulan aret September Gambar 1 Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain alat tulis, penggaris, jangka sorong, kamera digital, dan pita ukur. Bahan yang digunakan adalah tally sheet.

13 3 Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalak bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) dengan spesifikasi analisis koefisien inbreeding. Jenis dan etode Pengumpulan Data Data primer Data primer merupakan data yang didapatkan langsung di lokasi penelitian. Data primer yang diambil meliputi manajemen perkawinan, koefisien inbreeding dan karakteristik morfologis (Tabel 1). etode pengambilan data meliputi pengamatan langsung, pengukuran, wawancara semi terstruktur kepada pihak pengelola, dan perhitungan. Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data Data yang diambil etode Pengamatan Pengukuran Wawancara Perhitungan A. anajemen perkawinan 1. Pemilihan bibit v v 2. Penentuan jenis v v kelamin 3. Penjodohan 4. Pemantauan selama massa bertelur dan penyapihan anak 5. Pengaturan kawin kembali v v v v v v B. Koefisien inbreeding Silsilah jalak bali v v C. Karakteristik morfologis Data kuantitatif (pengukuran terhadap peubah ukuran tubuh) v v v Data kualitatif (warna, pola bulu sayap dan bulu ekor) Keterangan : v (data yang diambil) v v

14 4 A. anajemen perkawinan Data mengenai manajemen perkawinan meliputi pemilihan bibit, penentuan jenis kelamin, penjodohan, dan pengaturan kawin. Data pemilihan bibit di maksudkan untuk mengetahui cara penentuan jenis kelamin indukan. Kegiatan pengaturan kawin yaitu cara penjodohan yang dilakukan pengelola. B. Koefisisen inbreeding Perhitungan koefisien inbreeding pada jalak bali diawali dengan penelaahan hubungan kekerabatan atau silsilah seluruh individu jalak bali pada (studbook) kemudian dibuat dalam diagram panah untuk menentukan hubungan kekerabatan antar jalak bali (Gambar 16). Pengambilan data juga dilakukan dalam bentuk wawancara kepada pengelola untuk mengetahui silsilah jalak bali yang ada di PPJB. C. Karakteristik morfologis Data karakteristik morfologis yang bersifat kuantitatif meliputi ukuran tubuh yang diukur mencakup panjang paruh, tinggi paruh, lebar pangkal paruh atas, panjang kepala, lebar kepala, tinggi kepala, panjang tibia kanan dan kiri, panjang tarsometatarsus kanan dan kiri, panjang jari kaki ketiga kanan dan kiri, diameter tarsometatarsus kanan dan kiri, panjang tubuh total, panjang rentang sayap kanan dan kiri, serta panjang bulu ekor (Tabel 2). Perkembangan pertumbuhan individuindividu jalak bali ini akan dijadikan salah satu parameter untuk mengetahui tekanan inbreeding yang terjadi. Salah satu dampak yang ditimbulkan akibat adanya inbreeding adalah pertumbuhan tidak normal. Pada peubah ukuran tubuh yang tersebar secara bilateral (kiri-kanan), maka pengukuran dilakukan pada kedua bagian tubuh tersebut (peubah ukuran tubuh bagian kiri dan bagian kanan). Data karakteristik morfologis yang bersifat kualitatif meliputi warna dan pola bulu sayap dan bulu ekor, warna kaki, warna mata, dan daerah sekitar mata. Data yang diperoleh dijadikan sebagai salah satu indikator terhadap adanya gejala inbreeding pada jalak bali. Tabel 2 Pengukuran ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder NO Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran 1. Panjang tubuh total yang diukur dari ujung paruh sampai dengan ujung bulu ekor

15 Tabel 2 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder (lanjutan) No Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran 2. Panjang paruh yang merupakan panjang maxilla (paruh atas) 5 3. Tinggi paruh pada bagian paruh tertinggi 4. Lebar pangkal paruh atas diukur melintang pada lebar pangkal paru atas 5. Panjang kepala yang diukur dari bagian tengkuk hingga ujung paruh 6. Lebar kepala yang diukur dari bagian tengah kepala terlebar

16 6 Tabel 2 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder (lanjutan) No Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran 7. Tinggi kepala diukur dari bagian tinggi kepala terbesar 8. Panjang rentang sayap diukur dari pangkal sayap hingga ujung sayap 9. Panjang ekor yang diukur dari pangkal ekor sampai ujung ekor 10. Panjang kaki yang diukur dari pangkal kaki hingga ujung kaki 11. Panjang tibia diukur dari panjang tulang femur hingga tulang metatarsal

17 Tabel 2 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder (lanjutan) No Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran 12. Panjang tarsometatarsus diukur dari persendian tarsometatarsus sampai tempat jari-jari kaki melekat Panjang jari ketiga diukur dari pangkal hingga ujung jari ketiga 14. Diameter tarsometatarsus diukur mengelilingi tarsometatarsus Data sekunder Data sekunder yang diambil meliputi data jalak bali yang ada di studbook atau buku catatan informasi jalak bali dan data mengenai jalak bali berdasarkan literatur yang berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku, jurnal ilmiah, skripsi, dan artikel. etode Analisis Data anajemen perkawinan Data menajemen perkawinan dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan dijabarkan dalam uraian atau penjelasan disertai dengan gambar atau foto untuk memperjelas atau indikator tentang ada tidaknya pengaruh inbreeding terhadap manajemen perkawinan.

18 8 Perhitungan koefisien inbreeding enurut Noor (2008), koefisien inbreeding dapat dihitung menggunakan diagram panah. Pembuatan diagram panah setiap individu pada kedua silsilah tersebut dimasukkan sekali pada diagram panah walaupun pada kenyataannya individu-individu tersebut muncul beberapa kali. Contoh silsilah (pohon filogeni) dan aliran genetik disajikan dalam Gambar 2. A () B () B () C () D () E () D () G B () G (a) (b) : ale, : emale Gambar 2 (a) Silsilah suatu individu G; (b) Aliran gen individu G. Langkah 1 : Individu G memiliki nenek moyang yang sama (B), dapat dipastikan bahwa koefisian inbreeding-nya lebih besar dari nol Langkah 2 : Nenek moyang B tidak diketahui sehingga koefisien inbreeding B diasumsikan nol (noninbred) Langkah 3 : Terdapat satu moyang bersama individu G, yaitu G-D-B-E-G. Koefisien inbreeding dari individu dihitung dengan menentukan n, yaitu banyaknya individu dalam alur (tidak termasuk individu yang diperhatikan) yang terdiri dari moyang bersama dari tetua yang kawin sedarah (inbred). Nilai berkisar antara 0 atau tidak ada perkawinan sedarah sama sekali hingga 1 atau kawin sedarah total (Allendorf dan Luikart 2008). Perhitungan koefisien inbreeding pada dasarnya adalah mengalikan koefisien kekerabatan dengan ½. Nilai koefisien inbreeding dihitung dengan rumus menurut Allendorf dan Luikart (2008) : Keterangan: = Nilai Koefisien inbreeding n = banyaknya anak panah dalam setiap jalur ca = Koefisien inbreeding moyang bersama x= Σ[( 1/2) n-1 (1+ca )] enurut Cervantes et al. (2007), hasil perhitungan koefisien inbreeding ini kemudian dibagi ke dalam empat selang nilai disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Kategori tingkat inbreeding Nilai Koefisien Inbreeding () Kategori 0 Non Inbreed 0-6,25 % Rendah 6,25-12,5 % Sedang > 12,5 % Tinggi Sumber: Cervantes et al. (2007) E ()

19 9 Karakteristik morfologis Data karakteristik morfologis yang dianalisis berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif ditabulasi dan dihitung nilai rataan dan simpangan bakunya, selanjutnya dilakukan pengujian perbandingan nilai rataan dengan uji t- student pada selang kepercayaan 95% menggunakan software SPSS untuk menentukan adanya perbedaan antar jenis kelamin dan tiap generasinya. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk menentukan ada tidaknya indikasi tekanan inbreeding karena terjadinya penurunan dari sifat-sifat morfologisnya. HASIL DAN PEBAHASAN Hasil anajemen perkawinan anajemen perkawinan atau reproduksi merupakan komponen pengelolaan yang penting dan perlu diperhatikan dalam penangkaran satwa karena salah satu indikator keberhasilan sebuah penangkaran. Pemilihan indukan yang tepat dapat menjadi faktor penentu keberhasilan reproduksi. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara oleh pihak pengelola, aspek reproduksi yang terdapat di penangkaran PPJB Tegal Bunder meliputi pemilihan bibit, penentuan jenis kelamin, penjodohan, pemantauan selama masa bertelur dan penyapihan anak, serta pengaturan kawin kembali. 1. Pemilihan bibit Langkah awal dalam menangkarkan jalak bali yaitu dengan menyeleksi atau memilih bibit kualitas baik yang nantinya akan dipelihara atau dikembangbiakan. Tujuan dari adanya seleksi bibit ini unuk mendapatkan jalak bali yang benar-benar bagus dan sehat sehingga nantinya dapat menghasilkan indukan yang berkualitas baik. Dasar bagi pengelola penangkaran PPJB Tegal Bunder dalam pemilihan bibit jalak bali untuk indukan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Dasar pemilihan bibit jalak bali jantan dan betina di PPJB Tegal Bunder No Kriteria Jantan Betina 1 Perilaku Aktif (lincah) Aktif (Lincah) 2 Bulu Bulu terlihat tidak kusam Bulu terlihat tidak kusam 3 Usia inimal berumur 1 tahun inimal berumur 8 bulan 4 isik Tidak cacat atau kelainan Tidak cacat atau kelainan 2. Penentuan jenis kelamin Penentuan jenis kelamin merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah dilakukan, karena tampilan luar antara jalak bali jantan dan jalak bali betina tidak jauh berbeda. Penangkaran di PPJB Tegal Bunder mempunyai cara sendiri dalam menentukan jenis kelamin jantan dan jenis kelamin betina pada jalak bali berdasarkan morfologi dan aktivitasnya (Tabel 5).

20 10 Tabel 5 Ciri-ciri morfologis jalak bali jantan dan betina di PPJB Tegal Bunder No Kriteria Ciri Jantan Betina 1 orfologis Postur Tubuh Tampak lebih besar dari betina Tampak lebih kecil dari jantan Jambul enjurai diatas kepala lebih panjang enjurai di atas kepala lebih pendek Daerah sekitar mata Warna biru lebih gelap, permukaan mata tampak lebih kasar Warna biru lebih terang, permukaan mata tampak lebih halus 2 Aktivitas Gerakan Lebih aktif dan agresif Kurang aktif Identifikasi jenis kelamin penting untuk mempermudah proses perkawinan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan indukan, baik pada jantan maupun betina. Di penangkaran jalak bali PPJB Tegal Bunder identifikasi jenis kelamin jalak bali dilakukan dengan melihat ciri morfologis yang ada pada jantan dan betina (Gambar 3). Gambar 3 Pasangan jalak bali di kandang pembiakan (A) jantan dan (B) betina 3. Penjodohan Langkah awal yang dilakukan untuk mengembangbiakan jalak bali adalah membentuk pasangan atau menjodohkan pasangan jalak bali yang ditangkarkan. Penjodohan dilakukan dengan mengawinkan satu jantan dan satu betina dalam satu kandang pembiakan (Tabel 6).

21 No Tabel 6 Jenis dan ukuran kandang jalak bali di PPJB Tegal Bunder Jenis Ukuran Jumlah asilitas ungsi Kandang Kandang 37 4 m x 4 m x 2,5 m dan 3 m x 2,5 m x 2,25 m 1 Kandang Pembiakan 2 Kandang Sapihan 3 Kandang Karantina 4 Kandang Habituasi (kubah) 5 3 m x 3 m x 2,5 m 2 4 m x 3 m x 2,5 m 2 Tinggi 27,5 m dan diameter 17,5 m Gowok (tempat bersarang), tempat bertengger, pohon (sawo, murbei, tekik), tempat makan dan minum Tempat bertengger, pohon (sawo, murbei, tekik), tempat makan dan minum Tempat bertengger, tempat makan dan minum Gowok (2 buah), tempat bertengger, tempat makan dan minum, rumput, pohon (asam) Penjodohan, bertelur, mengeram, menetas, dan mengasuh anakan enampung anakan usia sapih 11 enempatkan burungburung jalak bali yang baru datang atau burung yang sakit enampung individu yang akan dilepasliarkan (individu calon pelepasliaran) Penentuan pasangan dilakukan dengan membiarkan jalak bali memilih pasangannya sendiri, dengan cara menempatkan beberapa pasang jalak bali yang sudah dewasa kelamin di dalam satu kandang biak. Perkembangbiakan diawali dengan pemilihan pasangan jalak bali pada kandang sapih. Induk diperoleh dari anakan di kandang sapih, yaitu individu anakan yang telah berumur lebih dari 7 bulan. Pemilihan calon indukan dari kandang sapih harus berasal dari individu anakan burung yang menunjukkan tingkah laku berpasangan. Hal ini akan mempengaruhi keberhasilan penjodohan burung jalak bali. Apabila terdapat jalak bali yang berpasangan, maka akan diamati lebih lanjut kecocokan pasangannya, termasuk diperiksa hubungan kekerabatannya dengan cara melihat buku silsilah (studbook). Berdasarkan perilakunya akan ditetapkan pasangan untuk masingmasing jalak bali apabila menunjukan ketidakcocokan maka pasangan akan diganti dengan yang baru. Jalak bali yang sudah berjodoh ditandai selalu berdua dengan pasangannya dan berkicau sahut menyahut. Pasangan jalak bali yang telah berjodoh diamati perkembangannya sampai terjadi perkawinan dan bertelur. Apabila sudah terjadi proses perkawinan, maka intensitas perawatan kandang harus dikurangi.

22 12 Keberhasilan penjodohan jalak bali sangat tergantung pada keberhasilan pemilihan bibit dan membedakan jenis kelamin (jantan dan betina), baik pada jalak anakan maupun jalak dewasa, oleh karena itu burung yang akan dijodohkan harus dapat dipastikan kualitas bibit baik dan jenis kelaminnya masing-masing (jandan dan betina). 4. Pemantauan selama massa bertelur dan penyapihan anak Penangkaran PPJB Tegal Bunder selama satu tahun jalak bali betina dapat menghasilkan empat kali masa bertelur. Proses perkawinan jalak bali menurut pengelola PPJB Tegal Bunder terjadi setiap bulan dengan jumlah telur yang dihasilkan antara 2 4 butir, dengan masa bertelur selama 2 hari. Jalak bali betina mengeluarkan telur per hari dan terus berlanjut hingga jumlah telur di tubuhnya habis. Proses dilanjutkan dengan mengerami telur selama 14 hari hingga menetas. Telur jalak bali menetas pada usia hari. Apabila telah memasuki hari ke-16, maka telur yang gagal menetas dibuang agar tidak membusuk di dalam gowok. Kandang pembiakan dilengkapi dengan gowok (Gambar 4) yang berfungsi untuk tempat meletakkan telur. Keberhasilan kawin dapat dilihat dari tingkah laku betina yang aktif membuat sarang di dalam gowok, tingkah laku tersebut dapat dilihat dengan adanya aktivitas betina mengumpulkan bahan-bahan sarang yang dimasukkan ke dalam gowok sebagai tempat bertelur. Gambar 4 Gowok di dalam kandang jalak bali di PPJB Tegal Bunder Pengecekan telur dilakukan setiap hari dan dilakukan pencatatan terkait tanggal bertelur indukan. Berdasarkan hasil wawancara dari pihak pengelola PPJB Tegal Bunder penyebabkan kegagalan dalam penetasan telur jalak bali biasanya dikarenakan faktor lingkungan sehingga ini dapat mempengaruhi proses pengeraman pada indukan. 5. Pengaturan kawin kembali Pengaturan kawin jalak bali kembali dilakukan pasca penyapihan anak. Penyapihan anakan di PPJB Tegal Bunder ini dilakukan secara alami, yaitu penyapihan dilakukan secara intensif oleh indukan sendiri. Penyapihan secara alami ini untuk menjaga sifat liar dari burung jalak bali karena penangkaran ini bertujuan menghasilkan keturunan yang produktif untuk memenuhi kebutuhan cikal bakal peliaran dalam rangka pemulihan populasi liar Jalak Bali. Penyapihan secara alami juga bertujuan untuk mengurangi kematian jalak bali di penangkaran. Proses

23 penyapihan indukan terhadap anakannya berlangsung selama 45 hari atau sampai anakan bisa makan dengan sendirinya. Pengaturan kawin kembali dapat dilakukan ketika indukan telah selesai melakukan penyapihan anakan ± 45 hari. Selama pengaturan kawin kembali pasangan jalak bali akan diamati perilakunya, ketika salah satu individu jalak bali menunjukkan perilaku tidak mau kawin maka indukan akan diganti. Koefisien inbreeding Jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder berdasarkan data terakhir Januari 2015 berjumlah 150 individu dengan jumlah jantan 34 individu, betina 35 individu, dan anakan berjumlah 81 individu. Indukan jalak bali didapatkan melalui sumbangan dan penukaran antar indukan dari beberapa penangkaran (Tabel 7). Asal indukan jalak bali yang ada di penangkaran PPJB Tegal Bunder diberikan kode atau penamaan untuk memudahkan penjodohan jalak bali (Tabel 7), antara lain yaitu Kebun Binatang Surabaya (KBS), Taman ini Indonesia Indah (TII), Taman Safari Indonesia (TSI), BKSDA DKI (DKI), penangkar di Denpasar (DPS), penangkar di Bandung (BDG), penangkar di adiun (DN), Asosiasi Penangkar Curik Bali (APCB), dan Pemerintah Jepang (Jepang). Tabel 7 Asal indukan transfer jalak bali di PPJB Tegal Bunder No Transfer Jumlah Tahun Jumlah Asal KBS KBS/DPS TII/BDG TII TII/DN/TSI DKI/BDG DKI/BDG DKI/Jepang TSI/APCB TSI/Jepang TSI/Jepang Sumber : B 2012 Berdasarkan penelusuran silsilah Gambar 5 dapat dilihat bahwa asal indukan jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder adalah DPS 2, KBS 82,,, 0319 RTII dan 048 CZoo dengan tetua nenek moyang yang tidak diketahui sehingga diasumsikan berasal dari alam dengan koefisien inbreeding 0. Inbreeding terjadi pada perkawinan antara jalak bali jantan 424 dengan betina

24 14 DPS 2 KBS RTII 048 CZoo : ale, : emale Gambar 5 Penelusuran silsilah jalak bali dengan kode 685 Jalak bali jantan 424 dengan betina 428 merupakan saudara sedarah sehingga perkawinan antar kedua jalak bali ini menghasilkan anakan yang inbreed yaitu 685. Hal ini menghasilkan data diagram panah kekerabatan seperti dalam Gambar 6. Nilai koefisien inbreeding pada individu 685 sebesar () 33 () Kbs 104 () 428 () 57 () Kbs 103 () Keterangan : : Hubungan antara individu ke anak jalak bali di PPJB Tegal Bunder : ale : emale Gambar 6 Diagram panah hubungan kekerabatan jalak bali di PPJB Tegal Bunder Hasil analisis dari data silsilah dan hubungan kekerabatan jalak bali yang berada di penangkaran PPJB Tegal Bunder berdasarkan perhitungan nilai koefisien inbreeding memiliki hasil seperti ditampilkan pada Tabel 8 (Lampiran 1-2). Tabel 8 Nilai koefisien inbreeding jalak bali di PPJB Tegal Bunder tiap generasi No Status ilial Jumlah Total Kosfisien Inbreeding Rata-rata Keterangan: 2 : Anak generasi 2 3 : Anak generasi 3 4 : Anak generasi 4 5 : Anak generasi 5

25 Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 8), terdapat empat generasi jalak bali dengan koefisien inbreeding yang berbeda. Koefisien inbreding mulai terjadi pada generasi kedua sebesar 0.25, generasi ketiga terdapat 12 individu dengan nilai koefisien inbreeding yaitu Koefisien terbanyak terjadi pada generasi keempat terjadi pada 32 individu dengan nilai koefisien inbreeding sebesar Generasi kelima terdapat empat individu dengan koefisiean inbreeding sebesar 0.03 Karakteristik morfologis Hasil perbandingan ukuran tubuh jalak bali jantan dan betina disajikan di dalam Tabel 9 dan hasil perbandingan ukuran tubuh jalak bali tiap generasi disajikan pada Tabel 10. No Tabel 9 Perbandingan ukuran tubuh jalak bali jantan dan betina pada SPSS Parameter (cm) Jantan (n=3) Betina (n=3) 15 Uji t- student 1 Panjang total tubuh ± ± Panjang paruh 2.64 ± ± Tinggi paruh 0.96 ± ± Lebar pangkal paruh 0.92 ± ± Panjang kepala 7.03 ± ± Lebar kepala 2.51 ± ± Tinggi kepala 2.66 ± ± Panjang rentang sayap kiri ± ± Panjang rentang sayap kanan* ± ± Panjang ekor 9.46 ± ± Panjang kaki 6.24 ± ± Panjang tibia kanan 5.19 ± ± Panjang tibia kiri 5.22 ± ± Panjang tarsometatarsus kanan 3.3 ± ± Panjang tarsometatarsus kiri 3.25 ± ± Panjang jari ketiga kanan 3.01 ± ± Panjang jari ketiga kiri 2.99 ± ± Diameter tarsometatarsus kanan 0.31 ± ± Diameter tarsometatarsus kiri 0.37 ± ± Keterangan : *) Beda nyata (P<0,05) Tabel 10 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak bali tiap generasi pada SPSS No Parameter (cm) (n=3) (n=4) (n=4) 1 Panjang total tubuh 23.3 ± 0.31 a ± 1.17 a ± 0.33 a 2 Panjang paruh* 1.95 ± 0.31 a 2.02 ± 0.06 a 2.08 ± 0.16 b 3 Tinggi paruh 0.96 ± 0.14 a 0.91 ± 0.20 a 0.92 ± 0.10 a 4 Lebar pangkal paruh 0.92 ± 0.08 a 0.9 ± 0.01 a 0.86 ± 0.04 a 5 Panjang kepala 5.66 ± 0.85 a 6.1 ± 0.09 a 6.19 ± 0.09 a

26 16 Tabel 10 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak bali tiap generasi pada SPSS (lanjutan) No Parameter (cm) (n=3) (n=4) (n=4) 6 Lebar kepala* 2.17 ± 0.67 a 2.21 ± 0.18 a 1.95 ± 0.13 b 7 Tinggi kepala 3.56 ± 0.91 a 3.16 ± 0.17 a 2.64 ± 0.17 a 8 Panjang rentang sayap kiri ± 1.56 a 18.7 ± 0.37 a ± 0.41 a 9 Panjang rentang sayap kanan ± 1.63 a ± 0.36 a ± 0.11 a 10 Panjang ekor 6.91 ± 0.74 a 6.97 ± 0.22 a 8.76 ± 0.37 a 11 Panjang kaki 6.2 ± 0.51 a 6.39 ± 0.85 a 5.99 ± 0.19 a 12 Panjang tibia kanan 5.18 ± 0.21 a 5.09 ± 0.05 a 4.90 ± 0.37 a 13 Panjang tibia kiri 5.22 ± 0.21 a 5.13 ± 0.06 a 5.18 ± 0.22 a 14 Panjang tarsometatarsus kanan 3.3 ± 0.33 a 3.21 ± 0.07 a 3.19 ± 0.28 a 15 Panjang tarsometatarsus kiri 3.25 ± 0.27a 3.22 ± 0.05 a 3.11 ± 0.11 a 16 Panjang jari ketiga kanan 3.17 ± 0.08 a 3.28 ± 0.02 a 2.81 ± 0.10 a 17 Panjang jari ketiga kiri 2.99 ± 0.07 a 3.27 ± 0.53 a 2.89 ± 0.18 a 18 Diameter tarsometatarsus kanan 0.30 ± 0.04 a 0.36 ± 0.07 a 0.30 ± 0.02 a 19 Diameter tarsometatarsus kiri 0.34 ± 0.03 a 0.32 ± 0.01 a 0.27 ± 0.04 a Keterangan : *) huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P<0,05) Penelaahan terhadap pola warna bulu sayap, bulu ekor, mata, kaki dari ketiga pasang jalak bali contoh dibandingkan dengan pola (variasi) merutut (Alikodra 1987) tidak menujukan tidak ada perbedaan (Tabel 11). Tabel 11 Perbandingan pola (variasi) jalak bali di PPJB tegal Bunder Parameter Alikodra (1987) Warna Pola Hasil 1 Bulu Sayap Putih bersih hanya pada Rata - rata memiliki Tidak ujung sayap berwarna helai bulu berbeda hitam (blackspotted) sayap No 2 Bulu ekor Putih bersih hanya pada ujung ekor berwarna hitam (blackspotted) ± 25 mm Rata - rata memiliki helai bulu ekor 3 ata Biru tua Pelupuk mata berwarna biru tua mengelilingi bola mata 4 Kaki Biru abu - abu empat jemari ( satu ke belakang dan tiga kedepan) Tidak berbeda Tidak berbeda Tidak berbeda

27 17 Pembahasan anajemen perkawinan aktor yang sangat diperhatikan pada proses pengembangbiakan di penangkaran PPJB Tegal Bunder adalah pemilihan bibit indukan jalak bali, penentuan jenis kelamin, penjodohan, dan pengaturan kawin. Tujuan dari seleksi bibit ini adalah untuk mendapatkan bibit jalak bali yang benar-benar bagus dan sehat sehingga nantinya dapat menghasilkan jalak bali yang berkualitas baik. Dalam hal penangkaran, kualitas bibit yang digunakan perlu memperoleh perhatian sangat serius, khususnya dalam hal variasi genetiknya (Thohari 1987). Apabila bibit jalak bali yang digunakan kualitasnya buruk, seberapa pun bagusnya kualitas pemeliharaan yang telah diberikan tidak akan memperoleh hasil yang maksimal. enurut asy ud (2010) pemilihan bibit jalak bali yang dijadikan sebagai indukan yaitu harus dalam kondisi sehat dan tidak cacat, energik (aktif), nafsu makannya baik, mata jernih, bulunya bersih mengkilap, dan gerakannya lincah. Hal ini juga dijadikan dasar bagi pengelola penangkaran PPJB Tegal Bunder, pemilihan bibit jalak bali memiliki ciri-ciri sehat yaitu mempunyai tingkah laku yang aktif lincah dan bulu terlihat tidak kusam (bulu harus terlihat cerah dan mengembang). enurut Panuju dan Sri (2006) memilih calon indukan yang unggul baik betina maupun jantan harus mempertimbangkan tujuh kriteria yakni (1) sehat, (2) tidak cacat, (3) tidak mudah stress, (4) jika bisa burung calon indukan hasil penangkaran, (5) tidak buas, (6) mutu suara bagus dan (7) bentuk fisik besar dan lincah, sehingga perlu dijadikan acuan tambahan bagi pengelola dalam pemilihan bibit jalak bali. Jalak Bali mempunyai sifat yang peka tehadap gangguan, mudah mengalami stress dalam keadaan lingkungan yang tidak wajar (Alikodra 1987). Secara umum burung jalak bali yang dipilih sebagai bibit lebih baik yang masih muda karena kemungkinan stress dengan sifat liarnya relatif kecil (asy ud 2010). Identifikasi jenis kelamin jalak bali yang dikenal dengan istilah sexing ini sangat penting untuk dilakukan karena berkaitan dengan proses penjodohan. Hal ini untuk mempermudah proses penjodohan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan indukan, baik pada jantan maupun pada betina yang dijodohkan. asy ud (2010) juga menyebutkan jalak bali termasuk burung monomorfik yang memiliki tampilan luar relatif sama, maka membedakan jenis kelamin antara burung jantan dan betina relatif sulit. Tidak ada kriteria baku dalam menentukan jenis kelamin jalak bali. Penangkaran PPJB Tegal Bunder mengidentifikasi jalak bali dengan melihat ukuran tubuh, jambul, dan daerah sekitar mata. Jalak bali jantan mempunyai ciri berupa bentuk tubuh yang lebih besar dari burung jalak bali betina, burung jalak bali jantan mempunyai ukuran bulu jambul di kepala yang lebih panjang dari burung jalak bali betina, serta bagian kulit yang tidak berbulu di sekitar mata pada burung jalak bali jantan terasa dan terlihat lebih kasar dari pada burung betina serta terlihat berwarna lebih biru tua dari pada burung betina (Gambar 3). Pengelola PPJB Tegal Bunder dalam mngidentifikassi jenis kelamin jalak bali diamati juga melalui aktivitas yaitu jalak bali jantan lebih aktif dan agresif dibandingkan betina. enurut asy ud (2010) perbedaan antara jalak bali jantan dan jalak bali betina yaitu jalak bali jantan memiliki volume suara yang lebih besar, bulunya lebih cerah, gerakannya lincah dan gesit, serta jambulnya relatif lebih panjang jika dibandingkan dengan betina. Selain itu Yunanti (2012) menambahkan, untuk menentukan jenis kelamin pada jalak bali dapat dilakukan dengan teknik

28 18 endoskopi (pemeriksaan organ kelamin bagian dalam melalui pembedahan ringan dan dengan bantuan endoskop) dan analisa karyotipe (kromosoma) atau analisa DNA. Penjodohan terhadap jalak bali yang berada di penangkaran PPJB Tegal Bunder adalah dengan mengawinkan satu jantan dengan satu betina dalam satu kandang pembiakan. Jalak tergolong hewan monogamus yang hanya memiliki satu pasangan dalam satu musim kawin sehingga sex rasionya adalah 1:1 (asy ud 2010). Penentuan pasangan dilakukan dengan membiarkan jalak bali memilih pasangannya sendiri, dengan cara menempatkan beberapa pasang jalak bali yang sudah dewasa kelamin di dalam satu kandang biak, cara penentuan pasangan seperti ini telah sesuai dengan asy ud (2010) dan penelitian Yunanti (2012) di penangkaran ega Bird and Orchid arm Bogor. Campur tangan manusia dilakukan dalam mengatur pemilihan pasangan. Sistem monogami yang dikembangkan tidak bersifat tetap, artinya pasangan yang dibentuk bisa diganti atau dipasangkan lagi dengan yang lain. Hal ini juga dilakukan oleh pengelola penangkaran PPJB Tegal Bunder ketika salah satu pasangan baik itu jantan atau betina yang menunjukkan sikap tidak mau bereproduksi maka akan digantikan dengan indukan yang lainnya. Jalak bali yang sudah berjodoh ditandai selalu berdua dengan pasangannya dan berkicau sahut menyahut. asy ud (2010) juga menyatakan hal yang sama, calon indukan yang sudah berjodoh dan memasuki masa birahi akan ditandai dengan perilaku bersuara/berkicau sepanjang hari yang diikuti dengan aktivitas saling dekat. Jalak bali penangkaran PPJB Tegal Bunder selama satu tahun dapat menghasilkan empat kali masa bertelur, namun berdasarkan hasil penelitian Aziz (2013) di penangkaran UD Anugrah Kediri menunjukkan bahwa jalak bali selama satu tahun dapat menghasilkan 12 kali masa bertelur. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan cara pembesaran piyik yang dilakukan oleh penangkar. Purnamasari (2014) juga menyatakan hal yang sama yaitu perbedaan masa bertelur dapat dipengaruhi oleh pengaturan perkembangbiakan, perawatan, pembesaran anak dan frekuensi perawatan burung berhubungan nyata dengan kematian burung. enurut asy ud (2010) perkembangbiakan jalak bali di penangkaran pada dasarnya dapat diatur, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih maksimal. Tingkat gangguan lingkungan kandang juga sangat berpengaruh terhadap daya tetas telur, terutama untuk pasangan burung jalak bali. Dalam pengamatan diketahui bahwa jika ada gangguan maka cenderung induk betina jalak bali yang sedang mengerami telur akan meninggalkan telurnya bahkan seringkali telurnya dimakan atau dipecahkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Widiyanti (2015) burung jalak bali sifat liarnya masih relatif tinggi sehingga kepekaannya terhadap gangguan faktor lingkungan masih sangat tinggi. asy ud (2010) juga menyatakan hal yang sama, dalam proses perkawinan intensitas kandang harus dikurangi dan faktor-faktor gangguan sedapat mungkin harus dihindari karena jika terdapat gangguan jalak bali seringkali memperlihatkan sifat tidak mau bertelur, dan tidak mau mengerami telurnya bahkan kanibalisme. Pemilihan pembesaran anakan jalak bali secara alami dimaksudkan untuk menjaga sifat liar karena penangkaran ini bertujuan untuk pelepasliaran jalak bali di alam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yunanti (2012) perawatan secara alami akan menghasilkan anak-anak burung tumbuh secara sehat dan mandiri karena piyik mendapatkan menu makanan yang paling sesuai, kenyamanan hidup yang

29 optimal dalam lingkungan kasih sayang induk, serta mendapatkan pendidikan dasar dari indukannya. Penangkaran PPJB Tegal Bunder juga melakukan penyapihan secara alami dengan tujuan untuk megurangi kematian pada jalak bali hal ini telah dibuktikan oleh penelitian Widiyanti (2015) bahwa angka kematian piyik jalak bali di PPJB Tegal Bunder lebih kecil jika dibandingkan dengan penangkaran UD Anugrah Kediri. Pengaturan kawin kembali dapat dilakukan ketika indukan telah selesai melakukan penyapihan anakan ± 45 hari. enurut asy ud (2010) Jalak bali yang telah bertelur dan menetaskan anaknya akan bertelur kembali setelah berusia sekitar 4-5 minggu atau jarak waktu bertelur sekitar dua bulan. Koefisien inbreeding Inbreeding merupakan perkawinan yang terjadi antara dua individu yang berasal dari satu garis keluarga dekat (Thohari 1987). Inbreeding atau silang dalam adalah persilangan antar satwa yang memiliki hubungann kekerabatan yang lebih dekat jika dibanding dengan rataan hubungann kekerabatan kelompok tempat satwa tersebut (Noor 2008). enurut Allendorf dan Luikart (2008) perkawinan inbreeding akan menyebabkan kehilangan variasi genetik. Kedua individu yang dikawinkan secara inbreeding tersebut akan mempunyai moyang bersama pada beberapa generasi keatasnya dan dengan adanya peristiwa inbreeding pada satwa berpengaruh terhadap pertumbuhan satwa tersebut (Dinarwati 2011). Dengan demikian, keturunan dari hasil perkawinan inbreeding ini akan mempunyai dua gen pada lokus yang identik dengan gen moyang bersama (Hardjosubroto, 2001). Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 8), terdapat empat generasi jalak bali dengan koefisien inbreeding yang berbeda. Koefisien inbreding mulai terjadi pada generasi kedua sebesar 0,25. Generasi ketiga terdapat 12 individu dengan nilai koefisien Inbreeding yaitu 0,71. Koefisien terbanyak terjadi pada generasi keempat terjadi pada 32 individu dengan nilai koefisien inbreeding sebesar 1,22. Generasi kelima terdapat empat individu dengan koefisiean inbreeding sebesar 0,03. Cervantes et al. (2007) menyajikan nilai koefisien inbreeding berdasarkan selang angka tertentu. Secara umum, rata-rata koefisien inbreeding jalak bali di PPJB Tegal Bunder adalah 0,045 atau 4,5 % sehingga termasuk kedalam kategori rendah. Hal ini perlu sangat diperhatikan oleh pihak pengelola penangkaran di PPJB Tegal Bunder. Inbreeding di PPJB Tegal Bunder dapat berubah apabila terus dilakukan kawin, maka kategori inbreeding yang ada dapat meningkat yang disebabkan keterbatasan jumlah pasangan jantan dan betina dalam populasi jalak bali yang bisa dikawinkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiener (1994) bahwa pada populasi yang terbatas, inbreeding tidak dapat dihindari namun hanya dapat dikurangi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi inbreeding yaitu mengawinkan jalak bali secara teratur disertai dengan pencatatan yang lengkap terhadap semua individu. enurut Thohari (1987) semakin tinggi variasi genetik dari bibit yang digunakan maka semakin tinggi kualitasnya sebagai induk, demikian pula kualitas yang diharapkan pada keturunannya akan bertambah kecil apabila jumlah populasi pada penangkaran semakin besar. enurut Armbruster dan Reed (2005) efek dari inbreeding cenderung terjadi lebih parah di dalam komunitas yang terbatas dengan tekanan yang tinggi. Nilai koefisien inbreeding jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder dapat berkurang dengan menerapkan cara 19

30 20 pengembangbiakkan satwa menurut Thohari (1987) agar terhindar dari inbreeding, antara lain: 1. Pada penangkaran jalak Bali perlu dilakukan perkawinan secara teratur dan pencatatan terhadap semua individu secara lengkap. Dengan demikian, pengelola akan tahu kedudukan seluruh individu dalam keluarga. 2. Secara berkala dimasukkan individu-individu jalak Bali baru dan memiliki kekerabatan yang jauh dengan individu lama dalam kelompok yang sedang ditangkar, sebagai upaya penyegaran genetik ke dalam kelompok lama. Apabila kondisi jumlah jalak bali dengan hubungan sedarah tinggi maka kemungkinan munculnya gejala efek gen lethal pada jalak bali pun tinggi dan akan memicu terjadinya pengurangan, atau bahkan kepunahan satwa baik di alam dan dalam penangkaran (Rivanisa 2015). Penurunan keanekaragaman genotipe sebagai akibat dari efek inbreeding, penyimpangan genetik atau perkawinan sedarah dapat menyebabkan perubahan kondisi suatu organisme (Zakharov 1997). Inbreeding dapat menimbulkan pangaruh buruk seperti penurunan fertilitas, peningkatan mortalitas, penurunan daya tahan terhadap penyakit, penurunan daya hidup, dan penurunan laju pertumbuhan (Noor 2008). Thohari (1987) juga menyatakan bahwa hasil perkawinan dalam atau inbreeding umumnya rentan dalam kemampuan reproduksi, kekuatan, dan mengurangi penampilan (performance) bibit jalak Bali. Koefisien inbreeding dapat digunakan untuk mengukur peningkatan homozigositas suatu individu akibat silang dalam atau inbreeding (Noor 2000). Terjadinya peningkatan homozigositas dapat menyebabkan terjadinya tekanan inbreeding (Thohari 1987). Yunanti (2012) menambahkan, Inbreeding dapat menimbulkan karakter buruk pada satwa jika terlalu dekat hubungan kerabatnya karena karakter buruk ini bersifat resesif. enurut Allendorf dan luikart (2008) laju peningkatan homozigositas akibat silang dalam pada suatu individu tergantung dari seberapa dekat hubungan kekerabatan kedua tetuanya. Apabila koefisien inbreeeding meningkat, jumlah anak yang mampu untuk hidup menurun, penurunan ini disebut tekanan inbreeding yang meliputi tiga macam yaitu tekanan terhadap kemampuan hidup, tekanan terhadap fekunditas, dan tekanan terhadap sex ratio (Thohari 1987). Karakteristik morfologis Pekembangan suatu individu dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. aktor genetik ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang dimiliki tiap individu. aktor genetik merupakan faktor yang bersifat baku atau tidak berubah selama hidupnya sedangkan faktor lingkungan bersifat tidak baku atau tidak dapat diwariskan pada keturunannya (Hardjosubroto 2001). Hasil pengukuran terhadap tiga pasang individu jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder terlihat adanya perbedaan ukuran tubuh jalak bali jantan lebih besar dibandingkan jalak bali betina (Tabel 8), hal ini sesuai dengan asy ud (2010) Ukuran tubuh jantan relatif lebih besar dan panjang dari pada betina. Hal ini juga didukung oleh penelitian Kurniawan (2014), penangkar jalak bali di ega Bird and Orchid arm (BO) menyatakan bahwa ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan dengan betina, memiliki kicauan lebih nyaring dan sering, dan sebaliknya pada individu betina, selain itu, warna bulu tubuh jantan lebih cerah dan ekornya lebih panjang dibandingkan dengan betina.

31 Pengaruh terjadinya inbreeding pada jalak bali di PPJB Tegal Bunder dapat dilihat dengan membandingkan ukuran jalak bali pada individu jantan dan betina dengan perhitungan uji t dengan selang kepercayaan 95% menggunakan SPSS. Hasil pengamatan (Tabel 9) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) pada peubah ukuran tubuh panjang rentang sayap kanan (P=0,039). Hasil pengukuran (Tabel 9) menunjukkan peubah ukuran tubuh yang berbeda nyata antara individu jantan dan betina dengan nilai pengukuran individu jantan selalu lebih besar dibandingkan dengan betina. Hasil pengukuran peubah ukuran tubuh jalak bali pada tiap generasi (Tabel 10) terdapat perbedaan yang signifikan pada panjang paruh (P=0.038) dan lebar kepala (P=0.045) pada generasi pertama (0), generasi kedua (1) dan generasi ketiga (2). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan performa pertumbuhan pada peubah ukuran tubuh yang dibandingkan. Beda nyata yang terdapat pada peubah ukuran tubuh panjang paruh dan lebar kepala jalak bali di PPJB Tegal Bunder dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Apabila terdapat perbedaan pada performa individu maka penyebabnya adalah faktor genetik, pengaruh lingkungan yang diasumsikan sama (aulana 2014). enurut Lacy (2000) pada kondisi dimana kondisi lingkungan dan manajemen yang sama, diduga faktor inbreeding memiliki peran yang cukup besar terhadap perubahan kondisi yang dialami satwa. Hasil analisis statistik perbandingan rata-rata dari semua komponen ukuran tubuh dengan menggunakan uji t-student menunjukan ada perbedaan yang nyata pada panjang paruh, lebar kepala, dan panjang ekor pada selang kepercayaan 95%. Hal ini diduga bahwa telah adanya tekanan inbreeding pada jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder namun masih rendah. Penelaahan terhadap pola warna bulu sayap, bulu ekor, mata, kaki dari ketiga pasang jalak bali contoh menunjukkan tidak ada perbedaan (Tabel 10). Dari hasil pengamatan terhadap pola pola warna bulu sayap dan bulu ekor (Gambar 7), mata dan kaki (Gambar 8) menunjukkan pola warna yang sama (tidak berbeda). 21 (A) (B) Gambar 7 Rentang sayap (A) dan bulu ekor (B) jalak bali di PPJB Tegal Bunder (A) (B) Gambar 8 Pola warna mata (A) dan kaki (B) jalak bali di PPJB Tegal Bunder

32 22 Variasi pada sifat bawaan dalam suatu kelompok timbul karena adanya faktor keturunn dan faktor lingkungan. Selain itu Thohari (1987) menambahkan variasi genetik tersebut dapat dimungkinkan akibat adanya individu-individu yang memiliki kombinasi gen-gen (genotipe) yang berbeda sehingga tidak dapat diamati secara langsung, oleh karena itu perlu meggunakan sifat-sifat luar yang bisa diamati, disebut fenotipe. Dengan demikian sifat kualitatif secara fenotipe dari ketiga pasang jalak bali contoh untuk pola warna bulu sayap, bulu ekor, mata, dan kaki tidak terlihat adanya perbedaan. Hal ini dapat dinyatakan bahwa jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder belum menunjukkan adanya perubahan (variasi) pola sifat secara kualitatif. Skenario pengaturan perkawinan jalak bali di PPJB Tegal Bunder Pengaturan kawin jalak bali perlu dilakukan untuk menekan atau mengurangi adanya inbreeding di penangkaran PPJB Tegal Bunder. Berdasarkan data analisis koefisien inbreeding jalak bali di PPJB Tegal Bunder dapat direkomendasikan skenario pengaturan kawin jalak bali di PPJB Tegal Bunder (Tabel 12). asingmasing indukan jalak bali yang di rekomendasikan memiliki nilai koefisien inbreeding sebesar 0, sehingga dapat dipastikan tidak ada perkawinan sedarah antar tetuanya. Tabel 12 Rekomendasi skenario pengaturan kawin jalak bali di PPJB Tegal Bunder NO Indukan Jantan Betina GA Kbs

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian mengenai teknik penangkaran dan analisis koefisien inbreeding jalak bali dilakukan di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Jalak Bali Jalak bali tergolong dalam jenis burung berkicau. Dalam bahasa Bali diberi nama Curik putih atau Curik bali sedangkan dalam bahasa asing

Lebih terperinci

ANALISIS KOEFISIEN INBREEDING DAN KARAKTERISTIK SUARA JALAK PUTIH (Sturnus melanopterus Daudin 1800) DI PUSAT PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA JAWA BARAT

ANALISIS KOEFISIEN INBREEDING DAN KARAKTERISTIK SUARA JALAK PUTIH (Sturnus melanopterus Daudin 1800) DI PUSAT PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA JAWA BARAT ANALISIS KOEISIEN INBREEDING DAN KARAKTERISTIK SUARA JALAK PUTIH (Sturnus melanopterus Daudin 1800) DI PUSAT PENYELAATAN SATWA CIKANANGA JAWA BARAT BANGKIT AULANA DEPARTEEN KONSERVASI SUBERDAYA HUTAN DAN

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran UD Anugrah Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni-Juli 2012.

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKARAN DAN ANALISIS KOEFISIEN INBREEDING

TEKNIK PENANGKARAN DAN ANALISIS KOEFISIEN INBREEDING TEKNIK PENANGKARAN DAN ANALISIS KOEFISIEN INBREEDING PADA JALAK BALI (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM BOGOR, JAWA BARAT BELINDA DWI YUNANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi) IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi) Oleh: Sri Harteti 1 dan Kusumoantono 2 1 Widyaiswara Pusat Diklat SDM LHK 2 Widyaiswara Balai Diklat LHK Bogor Abstract Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN)

I. PENDAHULUAN. alam. Dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah satwa endemik Pulau Bali yang sekarang penyebarannya terbatas hanya di sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Burung ini dikategorikan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI INBREEDING PADA JALAK PUTIH (STURNUS MELANOPTERUS DAUDIN 1800) DI PUSAT PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA, JAWA BARAT

IDENTIFIKASI INBREEDING PADA JALAK PUTIH (STURNUS MELANOPTERUS DAUDIN 1800) DI PUSAT PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA, JAWA BARAT Media Konservasi Vol 20,.1, April 2015: 21-26 IDENTIFIKASI INBREEDING PADA JALAK PUTIH (STURNUS MELANOPTERUS DAUDIN 1800) DI PUSAT PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA, JAWA BARAT Inbreeding identification on

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Teknik Penangkaran Secara umum beberapa aspek teknik manajemen penangkaran satwa sangat menentukan keberhasilan suatu jenis satwa. Aspek teknik penangkaran tersebut diantaranya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Teknik Penangkaran Secara umum terdapat beberapa aspek teknik manajemen penangkaran satwa yang diketahui dapat menentukan keberhasilan penangkaran suatu jenis satwa. Aspek

Lebih terperinci

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD Nama : Angga Rio Pratama Kelas : S1 TI 2C NIM : 10.11.3699 Lingkungan Bisnis STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2010/2011 Peluang Usaha Pengembangbiakan Love Bird (

Lebih terperinci

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Alat Percobaan Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah puyuh Malon betina dewasaumur 4-5 bulan. Jumlah puyuh Malon yang dijadikan sampel sebanyak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Ayam kampung merupakan turunan panjang dari proses sejarah perkembangan genetik perunggasan di tanah air. Ayam kampung diindikasikan dari hasil domestikasi ayam hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan di bidang peternakan yang semakin luas,

I. PENDAHULUAN. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan di bidang peternakan yang semakin luas, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Seiring perkembangan ilmu pengetahuan di bidang peternakan yang semakin luas, jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat pun semakin beragam. Beternak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus

BAB I PENDAHULUAN. Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus monodon Fabricius,1798) merupakan komoditas primadona dan termasuk jenis udang lokal yang berasal

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI BURUNG CEMDRAWASIH KUNlNG KECIL ( Paradisaea minor ) SKRIPSI Oleh RlSFlANSYAH B 21.0973 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITWT PERTANIAN BOGOR 1990 RINGKASAN RISFIANSYAH.

Lebih terperinci

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Ternak penelitian yang digunakan adalah Coturnix coturnix Japonica

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Ternak penelitian yang digunakan adalah Coturnix coturnix Japonica III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Perlengkapan penelitian 3.1.1 Objek ternak dan jumlah sampel Ternak penelitian yang digunakan adalah Coturnix coturnix Japonica jantan lokal dan Coturnix coturnix

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan ternak unggas yang cukup popular di masyarakat terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang mungil yang cocok untuk dimasukkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran Dibentuknya suatu lembaga penangkaran harimau Sumatera di luar habitatnya didasari oleh kategori harimau Sumatera yang tergolong langka, sehingga dilakukan

Lebih terperinci

Enceng Sobari. Trik Jitu menangkarkan Lovebird. Sang Burung Primadona

Enceng Sobari. Trik Jitu menangkarkan Lovebird. Sang Burung Primadona Enceng Sobari Trik Jitu menangkarkan Lovebird Sang Burung Primadona i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xii BAB I PENDAHULUAN. 1 BAB II BURUNG LOVEBIRD.

Lebih terperinci

SKRIPSI. PERILAKU HARIAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) PERIODE BREEDING PADA RELUNG YANG BERBEDA DI BALI BIRD PARK, GIANYAR, BALI

SKRIPSI. PERILAKU HARIAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) PERIODE BREEDING PADA RELUNG YANG BERBEDA DI BALI BIRD PARK, GIANYAR, BALI SKRIPSI PERILAKU HARIAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) PERIODE BREEDING PADA RELUNG YANG BERBEDA DI BALI BIRD PARK, GIANYAR, BALI Untuk Skripsi S-1 Oleh: I KOMANG ANDIKA PUTRA 0908305009 JURUSAN

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKARAN DAN AKTIVITAS HARIAN JALAK BALI (Leucopsar rotschildii Stresemann 1912) DI PENANGKARAN UD ANUGRAH, KEDIRI JAWA TIMUR

TEKNIK PENANGKARAN DAN AKTIVITAS HARIAN JALAK BALI (Leucopsar rotschildii Stresemann 1912) DI PENANGKARAN UD ANUGRAH, KEDIRI JAWA TIMUR TEKNIK PENANGKARAN DAN AKTIVITAS HARIAN JALAK BALI (Leucopsar rotschildii Stresemann 1912) DI PENANGKARAN UD ANUGRAH, KEDIRI JAWA TIMUR ADITYA SAIFUL AZIS DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

Lebih terperinci

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A.

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. 1. Pokok Bahasan : Jenis dan tipe ayam komersial A.2. Pertemuan minggu ke : 6 (2 jam) B. Sub Pokok Bahasan: 1. Ayam tipe petelur 2. Ayam tipe pedaging 3. Ayam tipe dwiguna

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 7 TAHUN 1999 (7/1999) Tanggal : 27 Januari 1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Friesien Holstein Sapi perah adalah jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu (Blakely dan Bade, 1992) ditambahkan pula oleh Sindoredjo (1960) bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya pemerintah Indonesia dalam rangka menyumbangkan ekosistem alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan konservasi yang dilaksanakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Page 1 of 9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pengembangannya harus benar-benar diperhatikan dan ditingkatkan. Seiring

I PENDAHULUAN. pengembangannya harus benar-benar diperhatikan dan ditingkatkan. Seiring I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Unggas merupakan ternak yang sangat populer di Indonesia sebagai sumber protein hewani daging dan telur. Hal tersebut disebabkan karena ternak unggas harganya relatif murah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Jenis Kelamin Ciamis Tegal Blitar 45 ekor 20 ekor 38 ekor 56 ekor 89 ekor 80 ekor

MATERI DAN METODE. Jenis Kelamin Ciamis Tegal Blitar 45 ekor 20 ekor 38 ekor 56 ekor 89 ekor 80 ekor MTERI DN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di tiga lokasi yang berbeda, yaitu dilaksanakan di Desa Tanjung Manggu, Ciamis; Desa Mejasem Timur, Tegal; dan di Desa Duren Talun, litar. Penelitian

Lebih terperinci

Karya Ilmiah Peluang Bisnis

Karya Ilmiah Peluang Bisnis Karya Ilmiah Peluang Bisnis STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Kampus terpadu : Jl. Ring Road Utara, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta DI SUSUN OLEH : Nama : M.Ghufron.Wiliantoro NIM : 10.12.4963 Jurusan :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Ayam Kedu Jengger Merah dan Jengger Hitam generasi pertama dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. Ayam Kedu Jengger Merah dan Jengger Hitam generasi pertama dilaksanakan 7 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai Karakterisasi Sifat Kualitatif dan Sifat Kuantitatif Ayam Kedu Jengger Merah dan Jengger Hitam generasi pertama dilaksanakan pada bulan Maret 2016 - Oktober

Lebih terperinci

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) adalah burung. endemik Pulau Bali, dan distribusinya sampai tahun 2005 hanya ada di Taman

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) adalah burung. endemik Pulau Bali, dan distribusinya sampai tahun 2005 hanya ada di Taman PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) adalah burung endemik Pulau Bali, dan distribusinya sampai tahun 2005 hanya ada di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Jalak

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN DESA JATILOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA)

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN DESA JATILOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA) SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN DESA JATILOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGARUH PAKAN TERHADAP PERKEMBANGBIAKAN JALAK BALI (Leucopsar rotschildi Stressmann 1912) DI PENANGKARAN TEGAL BUNDER TAMAN NASIONAL BALI BARAT BIDANG KEGIATAN : PKM-AI Disusun

Lebih terperinci

PERFORMANS AYAM MERAWANG BETINA DEWASA BERDASARKAN KARAKTER KUALITATIF DAN UKURAN- UKURAN TUBUH SEBAGAI BIBIT

PERFORMANS AYAM MERAWANG BETINA DEWASA BERDASARKAN KARAKTER KUALITATIF DAN UKURAN- UKURAN TUBUH SEBAGAI BIBIT PERFORMANS AYAM MERAWANG BETINA DEWASA BERDASARKAN KARAKTER KUALITATIF DAN UKURAN- UKURAN TUBUH SEBAGAI BIBIT HASNELLY Z. dan RAFIDA ARMAYANTI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi, 1 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Manajemen Pemeliharaan dan Pakan Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi, yang berbatasan dengan desa teras bendung di sebelah utara dan desa jeruk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

MODEL KOLABORASI PENANGKARAN JALAK BALI BERBASIS MASYARAKAT DI DESA SUMBERKLAMPOK, BALI MARIA EDNA HERAWATI

MODEL KOLABORASI PENANGKARAN JALAK BALI BERBASIS MASYARAKAT DI DESA SUMBERKLAMPOK, BALI MARIA EDNA HERAWATI MODEL KOLABORASI PENANGKARAN JALAK BALI BERBASIS MASYARAKAT DI DESA SUMBERKLAMPOK, BALI MARIA EDNA HERAWATI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. koordinat 107º31-107º54 Bujur Timur dan 6º11-6º49 Lintang Selatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN. koordinat 107º31-107º54 Bujur Timur dan 6º11-6º49 Lintang Selatan. 25 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi 4.1.1 Kabupaten Subang Kabupaten Subang terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Utara pada koordinat 107º31-107º54 Bujur Timur dan 6º11-6º49 Lintang Selatan.

Lebih terperinci

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG HASNELLY Z., RINALDI dan SUWARDIH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung Jl. Mentok Km 4 Pangkal Pinang 33134 ABSTRAK

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : NAZRIAH PRATIWI / AGROEKOTEKNOLOGI PEMULIAAN TANAMAN

SKRIPSI. Oleh : NAZRIAH PRATIWI / AGROEKOTEKNOLOGI PEMULIAAN TANAMAN IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGIS DAN HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA GENOTIPE DURIAN (Durio zibethinus Murr) DI KECAMATAN TIGALINGGA DAN PEGAGAN HILIR KABUPATEN DAIRI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : NAZRIAH

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar PERFORMA PRODUKSI PUYUH PETELUR (Coturnix-coturnix Japonica) HASIL PERSILANGAN WARNA BULU HITAM DAN COKLAT THE PRODUCTION PERFORMANCE OF LAYING QUAIL (Coturnix-coturnix Japonica) COME FROM BLACK AND BROWN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Puyuh petelur Jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan penyedia telur

PENDAHULUAN. Puyuh petelur Jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan penyedia telur I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh petelur Jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan penyedia telur puyuh utama di Indonesia. Dalam satu tahun puyuh ini mampu menghasilkan 250 sampai 300 butir

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG Menimbang : MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI

STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI VINDHA YULI CANDRAWATI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab. 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan pertambahan penduduk dan tingkat kesadaran masyarakat akan gizi, diperlukan peningkatan ketersediaan sumber gizi terutama protein hewani. Salah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur dan susu, semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pendapatan.

Lebih terperinci

Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda

Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda Standar Nasional Indonesia Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Rawamangun Selatan, Gg. Kana Tanah Merah Lama, Jakarta Timur. Penelitian dilakukan empat bulan, yaitu mulai bulan Agustus sampai

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki banyak potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan maupun tumbuhan dapat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI priyambodo@fmipa.unila..ac.id #RIPYongki Spesies dan Populasi Species : Individu yang mempunyai persamaan secara morfologis, anatomis, fisiologis dan mampu saling

Lebih terperinci

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda Standar Nasional Indonesia Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...i Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup...1 2 Istilah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING S. SOPIYANA, A.R. SETIOKO, dan M.E. YUSNANDAR Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sejarah Perkembangan Puyuh Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan terhadap burung puyuh. Mula-mula ditujukan untuk hewan kesenangan dan untuk kontes

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HAYATI. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem

KEANEKARAGAMAN HAYATI. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem KEANEKARAGAMAN HAYATI Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem Tujuan Pembelajaran Mampu mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Indonesia Mampu membedakan keanekaragaman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.747, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Lembaga Konservasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.31/Menhut-II/2012 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pembibit Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock dan merupakan hasil pemeliharaan dengan metode perkawinan tertentu pada peternakan generasi

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci

Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ.

Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ. Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES Upaya konservasi In-situ Ex-situ PENANGKARAN PERJALANAN 2015 ANOA BREEDING CENTER 2009 EKOLOGI

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Ayam Kampung Jantan (a) dan Ayam Kampung Betina (b) dari Daerah Ciamis

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Ayam Kampung Jantan (a) dan Ayam Kampung Betina (b) dari Daerah Ciamis MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Ciamis (Jawa Barat), Tegal (Jawa Tengah) dan Blitar (Jawa Timur). Waktu penelitian dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama yaitu pengukuran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Penangkaran Rusa Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PPPKR) yang terletak di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENANGKARAN BURUNG PARKIT (Melopsittacus undulatus)

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENANGKARAN BURUNG PARKIT (Melopsittacus undulatus) ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENANGKARAN BURUNG PARKIT (Melopsittacus undulatus) Oleh: Rizki Kurnia Tohir Rizki Amalia Adinda Putri Priyatna Windya Giri E34120028 E34120047 E34120074 DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa satwa merupakan sebagian sumber daya

Lebih terperinci