BAB II LANDASAN TEORI. dan kondisi keberuntungan diri sendiri (Ghufron, 2011:98).
|
|
- Hengki Atmadja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI A. Optimisme 1. Pengertian Optimisme Carole (2007:296) mengatakan optimisme adalah harapan bahwa semua hal akan berjalan dengan baik, tidak peduli apapun halangan yang muncul membuat hidup lebih mudah. Optimisme adalah adanya kecendrungan pada indivdu untuk memandang segala sesuatu hal dari sisi dan kondisi keberuntungan diri sendiri (Ghufron, 2011:98). Seligman (1991) mengatakan bahwa optimisme (dalam Ghufron 2011:96) adalah suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik, berfikir positif, dan mudah memberikan makna bagi diri individu yang optimis mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang telah lalu, tidak takut pada kegagalan, dan berusaha untuk tetap bangkit mencoba kembali bila gagal. Optimisme mendorong individu untuk selalu berfikir bahwa sesuatu yang terjadi adalah hal yang terbaik bagi dirinya. Hal ini yang membedakan dirinya dengan orang lain. Menurut Segerestrom (Ghufron 2011:95) mengatakan bahwa optimisme adalah cara berfikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah. Berfikir posistif adalah berusaha mencapai hal terbaik dari keadaan terburuk. Optimisme dapat membantu meningkatkan kesehatan 14
2 15 secara psikologis, memiliki perasaan baik, melakukan penyelesaian masalah dengan cara yang logis sehingga hal ini dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Optimisme menentukan apakah seseorang akan melakukan coping atau tidak, orang yang optimis akan memilih untuk melakukan coping untuk mencari solusi untuk meredakan ketegangan yang dialaminya, salah satunya dengan mencari rencana pemecahan masalah, dan mencari dukungan sosial. Orang yang pesimis akan memilih untuk melakukan avoidant coping seperti menghindar dan kebingungan (Hefferon & Ilona, 2011). Berdasarkan defenisi para tokoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa optimisme adalah suatu pandangan yang ada pada diri individu bahwa segala sesuatu yang akan terjadi berakhir dengan kebaikan, serta tidak akan menyerah meski mengalami kegagalan. 2. Aspek-Aspek Optimisme Menurut Saligman (Wururu, 2006) terdapat 3 aspek dari optimisme yaitu: permanence, pervasiveness, personalization. a. Permanence Permanence adalah pola berfikir mengenai seberapa sering atau seberapa lama suatu keadaan baik atau buruk akan dialaminya. Permanence terdiri dari dua, yaitu permanence Good (PmG) dan
3 16 Permanence Bad (PmB). (PmG) menunjukkan pola pikir seberapa lama peristiwa baik akan dialami, sedangkan PmB menunjukkan pola pikir seberapa lama peristiwa buruk akan dialami. Pada peristiwa buruk, orang optimis berfikir bahwa peristiwa tersebut hanya bersifat sementara saja ( temporary). Sedangkan orang pesimis akan berfikir bahwa peristiwa tersebut akan bersifat menetap (permanence) dan mempengaruhi hidupnya. Pada peristiwa baik, orang optimis berfikir bahwa peristiwa tersebut akan menetap sedangkan orang yang pesimis akan berfikir bahwa peristiwa tersebut hanya bersifat sementara saja ( temporary). Jadi pada aspek ini, individu yang optimis akan berfikir bahwa peristiwa baik yang dialaminya akan menetap, dan peristiwa buruk yang dialaminya akan bersifat sementara. b. Pervasiveness Pervasiveness adalah suatu pola pikir mengenai terjadinya suatu peristiwa karena ruang lingkupnya.pervasiveness terdiri dari dua, yaitu pervasiveness good (PvG) dan Pervasiveness Bad (PvB). PvG adalah pola pikir mengenai suatu ruang lingkup terjadinya peristiwa baik, sedangkan PvB adalah pola pikir mengenai ruang lingkup terjadinya peristiwa buruk. Orang optimis akan berfikir bahwa peristiwa baik akan terjadi pada semua yang akan dilakukan. Sedangkan orang pesimis akan
4 17 berfikir bahwa peristiwa baik tersebut hanya terjadi pada suatu kejadian tertentu saja. Pada peristiwa buruk orang optimis akan berfikir bahwa peristiwa buruk tersebut hanya terjadi pada situasi tertentu saja. Sedangkan orang pesimis akan berfikir bahwa peristiwa buruk akan terjadi hampir pada semua kejadian yang terjadi dalam hidupnya. c. Personalization Personalization adalah pola pikir mengenai siapa penyebab terjadinya suatu peristiwa yang dialaminya. Personalization terdiri dari dua, yaitu personalization good (PsG) dan personalization bad (PsB).PsG individu berfikir mengenai siapa penyebab terjadinya peristiwa baik, sedangkan PsB individu berfikir tentang siapa penyebab terjadinya peristiwa buruk. Pada peristiwa baik, individu yang optimis akan berfikir bahwa penyebab dari peristiwa baik adalah dirinya sendiri. Sedangkan individu pesimis berfikir penyebab peristiwa baik yang dialaminya adalah karena lingkungan yang ada di luar dirinya. Pada peristiwa buruk, individu optimis akan berfikir bahwa penyebab dari peristiwa tersebut adalah lingkungan diluar dirinya, berbeda dengan orang pesimis akan berfikir bahwa keadaan tersebut disebabkan dirinya sendiri dan menyalahkan dirinya.
5 18 3. Ciri-ciri Optimisme Orang yang optimis percaya bahwa kegagalan hanyalah suatu kemunduran yang bersifat sementara dan penyebabnya pun terbatas, mereka juga percaya bahwa hal tersebut muncul bukan diakibatkan oleh faktor dalam dirinya, melainkan diakibatkan faktor luar (Seligman, 1995 dalam Adilia, 2010). Menurut Alan McGinnis (Kerley, 2006 dalam Adili a, 2010) mengatakan bahwa ciri-ciri orang yang optimis yaitu: a. jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang optimis berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada hari esok. b. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang yang optimis berpandangan bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil. Mereka membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang bisa ditangani. c. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan masa depan mereka. Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa individu mengusai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama setelah lain-lainnya menyerah.
6 19 d. Kemungkinan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang menjaga optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu bertahun-tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan) pribadi, untuk memastikan bahwa sistem tidak meninggalkan mereka. e. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran yang lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak hal sepadat mungkin dari segi pandangan yang menguntungkan. f. Meningkatkan kekuatan Apresiasi. Yang kita ketahui bahwa dunia ini, dengan semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh dengan hal-hal baik untuk dirasakan dan dinikmati. g. menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya. Mereka belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif. h. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis.
7 20 i. Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur. Optimisme tidak peduli berapapun umurnya, individu mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari dirinya belum tercapai. j. Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita bicarakan dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting terhadap suasana hati kita. k. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi dan menikmati banyak hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat kuat yang membantu mereka memperoleh optimisme. l. Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang berhasrat mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat frustasi dan mereka melihat orang-orang ini tidak akan berubah, mereka menerima orang-orang itu apa adanya dan bersikap santai. Mereka berprinsip Ubahlah apa yang bisa anda ubah dan terimalah apa yang tidak bisa anda ubah.
8 21 B. Religius Coping 1. Pengertian Religius Coping coping religius terdiri dari dua kata, yaitu coping dan religius, masing-masing memiliki pengertian sendiri-sendiri. Coping dalam Kamus Psikologi disebutkan sebagai tingkah laku atau tindakan penanggulangan, sembarang perbuatan dalam mana individu, melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas yang sedang dihadapinya (Chaplin, 2009:112). Menurut Feldman (2012) coping didefenisikan sebagai usaha untuk mengontrol, mengurangi, atau belajar untuk menoleransi ancaman yang menyebabkan stress. Strategi coping merupakan suatu cara atau metode yang dilakukan oleh tiap individu untuk mengatasi dan mengendalikan situasi atau masalah yang dialami dan dipandang sebagai hambatan, tantangan yang bersifat menyakitkan, serta ancaman yang bersifat merugikan (Aldwin dan Revenson; Kartamuda dan Hediansyah, 2006; Mariana, 2015). Menurut Baron dan Byrne ( Putra: 2013) menyatakan bahwa coping adalah respon individu untuk mengatasi masalah, respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi. Coping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap, yang merupakan
9 22 kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama. Sedangkan coping yang tidak efektif berakhir dengan mal-adaptif yaitu perilaku yang menyimpang dan keinginan normatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan. Setiap individu melakukan coping tidak sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dan kondisi individu. Dari penjeasan diatas, dapat disimpulkan bahwa coping adalah suatu usaha yang dilakukan oleh individu untuk mengontrol dan mengatasi masalah yang dihadapi baik yang berasal dari diri sendiri ataupun dari lingkungan. Sedangkan menurut M. Djamaludin ( Masyitoh, 2007:16) mendefenisikan religius sebagai manifestasi seberapa jauh individu penganut agama meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan, agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua aspek kehidupan. Lebih lanjut Jalaludin (Masyitoh, 2007) menjelaskan religius merupakan bentuk pengalaman baik berupa sikap maupun tindakan dari keberagamaan seseorang. Religius adalah keadaan dimana individu merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia, dan hanya kepada-nya manusia bergantung dan
10 23 berserah diri. Semakin manusia megakui adanya kekuatan Tuhan dan kekuasaan-nya maka akan semakin tinggi tingkat religiusnya. Coping religius adalah suatu cara individu menggunakan keyakinannya dalam mengelola stress dan masalah-masalah dalam kehidupan (Wong-McDonald dan Gursuch dalam Utami, 2012:49). Menurut Koenig et al. (Safaria: 2011) religious spiritual coping didefenisikan sebagai sejauh mana individu menggunakan keyakinan dan praktek religiusnya untuk menfasilitasi proses pemecahan masalah dalam mencegah atau meringankan dampak psikologis negatif dari situasi yang penuh stress, dan hal ini membantu individu untuk beradaptasi dalam situasi kehidupan yang menekan. Sedangkan menurut Pargament (Masyitoh, 2007) religius copingadalah salah satu metode copingyang menggunakan pendekatan agama dalam mengatasi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Coping religious mempengaruhi pola kognitif seseorang saat mencari solusi dalam menghadapi situasi sulit yang dihadapinya dan dapat meningkatkan religius seseorang. Dari defenisi-defenisi diatas, maka penulis mengambil kesimpulan coping religious adalah usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan mengatasi masalah atau situasi yang menekan dengan cara melakukan atau mengamalkan sikap maupun tindakan yang sesuai dengan tuntunan agama yang dianutnya.
11 24 2. Agama sebagai coping Bagi sebagian besar orang, agama merupakan suatu orientasi filosofis penting yang mempengaruhi pemahaman mereka mengenai dunia, selain itu mereka juga dapat memahami serta dapat menahan penderitaan dan kenyataan yang sedang dihadapi. Ada tiga cara dimana agama dapat dibedakan dalam coping (Pargament; Azizah, 2003; Masyitoh, 2007) yaitu: a. Agama dapat menjadi bagian dari tiap-tiap elemen proses coping. Kejadian dalam hidup pasti di dalamnya terdapat hal-hal yang bersifat keagamaan. Baik itu pernikahan, perceraian, pengalaman mistis, dll. Dalam agama pula dapat ditemukan makna hidup atau sumber kejelasan dari suatu kejadian hidup yang dapat menjadi penilaian yang religius. Sebagai contoh: pada peristiwa bencana alam yang tengah sering dilanda, hampir semua individu mengambil makna dalam suatu peristiwa ini sebagai bagian dari rencana Tuhan, agar kita lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. b. Agama dapat memberi kontribusi pada proses coping. Beberapa dapat menunjukkan bahwa agama dapat berkontribusi dalam proses coping. Sebagai contoh: pada penelitian yang dilakukan oleh Universitas Miami, mengatakan bahwa pendekatan kepada agama sangat membantu dalam mengatasi penyakit pada para penderita HIV/AIDS (Donnelly dalam Masyitoh, 2007).
12 25 c. Agama dapat menjadi hasil dari proses coping. Agama lebih disukai untuk digunakan kedalam coping bagi orang yang menganggap agama sebagai aspek menonjol yang paling besar dari pemahaman mereka akan diri dan dunia daripada coping bagi orang yang kurang beriman (Park, dalam Masyitoh, 2007). 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religius Coping Menurut Yatmi (Masyitoh, 2007) dalam menentukan strategi copingyang digunakan, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan strategi coping itu sendiri yaitu: a. Jenis Kelamin Laki-laki dan perempuan tidak berbeda jauh penggunaannya pada coping yang terpusat pada emosi. Hanya saja laki-laki cenderung lebih sering menggunakan coping yang terpusat pada masalah dibandingkan dengan perempuan. b. Kepribadian individu Menurut Lazarus (Masyitoh, 2007) individu dengan tipe kepribadian internal locus of control lebih sering menggunakan usaha coping langsung dengan sedikit usaha supperesion atau menekan, sedangkan para individu dengan tipe eksternal locus of control cenderung lebih membuka diri dan tidak menekan permasalahan yang dihadapinya. Dapat diambil kesimpulan bahwa, tipe kepribadian seorang individu sangat mempengaruhi strategi coping yang akan digunakan.
13 26 c. Usia Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, tidak ada perbedaan yang signifikan antara subjek yang berusia muda ataupun berusia tua dalam menentukan strategi coping yang digunakan. d. Pendidikan Subjek dengan pendidikan yang lebih tinggi sering menggunakan strategi problem focused coping (coping berpusat masalah), dan sebaliknya pada individu yang tingkat pendidikannya rendah, akan cenderung menggunakan strategi emotion focused coping (coping terpusat emosi) dan cenderung menghindar dalam menghadapi permasalahan yang ada. Dari pengerrtian diatas, pendidikan yang dimiliki seseorang mempengaruhi strategi coping seperti apa yang akan digunakan. e. Budaya Pada masyarakat industri, cenderung menampilkan perilaku copig yang lebih bersifat aktif.dan sebaliknya, pada masyarakat agraris, cenderung menampilkan perilaku coping yang bersifat pasif. Pernyataan diatas menjelaskan bahwa faktor budaya dimana individu tinggal dan hidup juga mempengaruhi strategi coping yang akan dipakai dalam mengatasi permasalahan.
14 27 f. Situasional Individu yang menganggap stressor dapat ditangani, cenderung memilih problem focused coping, dan sebaliknya jika individu merasa bahwa situasi yang dihadapi kurang atau tidak dapat ditangani dengan baik, maka individu cenderung memilih emotion focused coping. Jadi dalam memilih strategi coping yang akan digunakan individu, faktor situasi dan kondisi apa dan bagaimana permasalahan itu terjadi juga ikut mempengaruhi pemilihan strategi coping yang akan dilakukan oleh seorang individu dalam mengatasi permasalahannya. g. Penilaian terhadap tersedianya dukungan sosial Strategi coping dengan cara mencari dukungan dari orang-orang disekitarnya, cenderung dilakukan pada individu yang menilai bahwa lingkungan yang ada mampu untuk memberinya dukungan sosial yang baik. Sedangkan, strategi coping menghindar, biasanya dilakukan pada individu yang kurang memiliki dukungan sosial dari orang-orang disekitarnya. 4. Bentuk-Bentuk Religius Coping Adapun bentuk-bentuk coping menurut Lazarus dan Folkman (Mariana:2015) terbagi menjadi dua yaitu: a. Problem focus coping
15 28 Digunakan oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan atau pengembangan sumber daya pada dirinya. Individu akan mengurangi stressor dengan mempelajari cara atau keterampilan baru. Pendekatan ini cendrung digunakan jika individu yakin dapat merubah situasi sehingga individu tersebut dapat mengurangi ketegangan dengan cara melakukan sesuatu, seperti memodifikasi, atau meminimalis situasi yang sedang dihadapi. b. Emotion focused coping Digunakan untuk mengatasi respon emosional terhadap stress. Pengatura respon emosi menggunakan dua pendekatan yaitu perilaku dan kognitif. Pendekatan perilaku termasuk dengan menggunakan alkohol, mencari social support dari teman atau keluarga, dan melakukan aktivitas lain. Sedangkan pendekatan kognitif adalah bagaimana orang berfikir mengenai situasi yang penuh tekanan. Tipe ini melibatkan berbagai upaya coping religius untuk meredakan sejenak emosi-emosi yang disebabkan oleh peristiwa yang stressful (Carver, Weintroub, dan Scheier; Sugiarti,2000; Masyitoh, 2007), mengemukakan bahwa turning to religion termasuk dalam strategi coping tipe emotion focused menurut beberapa peneliti tentang coping bahwa agama secara eksklusif adalah sebagai bentuk dari emotion focused coping (Pargament dalam Masyitoh,2007).
16 29 Turning to religion termasuk dalam emotion focused coping, dimana individu melakukan perilaku coping dengan cara kembali berpaling pada agama dalam keadaan ketika sedang mengalami stress. Oleh karena itu agama dapat berfungsi sebagai sumber dukungan emosi serta solusi untuk mengartikan suatu situasi secara positif meskipun dapat pula hanya berfungsi sebagai siasatcoping aktif. 5. Aspek-Aspek Religius Coping Pargament, Smith, Koenig, dan Perez (Pargament, et al., 2011; Ano dan Vasconcelles, 2005; Utami, 2012) menghipotesiskan dua pola coping religius, yaitu: a. Religius Coping Positif Merefleksikan hubungan yang aman dengan Tuhan, suatu keyakinan dimana ada sesuatu yang lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan rasa spiritual dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam penelitian ini coping religius positif diidentifikasi menjadi beberapa aspek yaitu: 1) Benevolent religious reappraisal: menggambarkan kembali stressor melalui agama secara baik dan menguntungkan. Misalnya ada anggapan bahwa apa yang didapatkan saat ini adalah balasan Allah atas amal baik yang telah mereka lakukan. Mereka dapat mengambil hikmah atas cobaan yang
17 30 dialaminya. Ketika harapannya tidak tercapai, mereka tetap berfikir bahwa Allah memberikan yang terbaik untuknya. 2) Collaborativereligious coping: mencari control melalui hubungan kerja sama dengan Allah dalam pemecahan masalah. Ketika sedang menghadapi masalah individu mampu berusaha, berdoa, dan merasa mendapatkan bimbingan dari Allah. Mereka merasa ditemani Allah saat menghadapi kesulitan. 3) Seeking spiritual support: mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang Allah. Ketika menghadapi musibah individu menganggapya sebagai ujiankarena ia disayang Allah. Ia akan berusaha iklas dalam menghadapi cobaan. Ia juga akan berusaha mengingat Allah untuk menghilangkan ketakutan yang dirasakan. 4) Religious purification: mencari pembersihan spiritual melalui amalan religius, misalnya mengakui dosa-dosa yang telah diperbuat dan memohon ampun kepada Allah. Untuk mengurangi dosanya, mereka perbanyak melakukan amal/kebaikan. 5) Spiritual connection: mencari rasa keterhubungan dengan kekuatan transenden. Misalnya adanya anggapan bahwa segala susuatu yang dialami sudah menjadi kehendak Allah. Dengan
18 31 melihat ciptaan Allah, mereka semakin yakin bahwa Allah itu ada, dan merasa doa-doanya dikabulkan Allah. 6) Seeking support from clergy of members: mencari keyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman dan alim ulama, misalnya ketika menghadapi cobaan individu akan mencari dukungan spiritual dari ustad. 7) Religious helping: usaha untuk meningkatkan dukungan dan kenyamanan pada sesame, misalnya mendoakan teman agar mereka dapat diberi kekuatan Allah untuk mengatasi masalahnya.s 8) Religious forgiving: mencari pertolongan agama degan membiarkan pergi setiap kemarahan, rasa sakit dan ketakutan yang berkaitan dengan sakit hati. Misalnya untuk mengurangi rasa marah, dan menghilangkan rasa takut berusaha mohon bimbingan dan mohon pertolongan Allah. Dengan mengingat Allah mereka mudah iklas menerima kejadian yang tidak menyenangkan. b. Coping Religius Negatif Melibatkan ekspresi yang kurang aman dalam berhubungan dengan Tuhan, pandangan yang lemah dan tidak menyenangkan terhadap dunia, dan perjuangan religius untuk menemukan dan
19 32 berbicara atau berdialaog dengan orang lain dalam kehidupan. Dalam penelitian ini beberapa aspek coping religius negatif, yaitu: 1) Punishing God reappraisal: menggambarkan kembali stressor sebagai sebuah hukaman dari Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan oleh individu. Misalnya individu merasa diabaikan, ditinggalkan, atau dihukum oleh Allah. 2) Demonic reappraisal: menggambarkan kembali stressor sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh kekuatan jahat/setan. Misalnya individu percaya bahwa kejadian buruk yang pernah dialami karena pengaruh santet. 3) Reappraisal of God s power: menggambarkan kekuatan Allah untuk mempengaruhi situasi stress. Misalnya individu mendoakan supaya Allah membalas orang yang pernah menyakitinya. 4) Self-directing religious coping: mencari control melalui inisiatif individu dibandingkan meminta bantuan kepada Tuhan. Misalnya individu mencoba mengatasi masalah sendiri tanpa memohon pertolongan Allah, ia percaya tanpa bantuan Allah sudah dapat mengatasinya. 5) Spiritual discontent: ekspresi kecemasan dan ketidak puasan kepada Tuhan. Misalnya individu merasa marah, kecewa karena tidak diperhatikan Allah.
20 33 6) Interpersonal religious discontent: ekspresi kecemasan dan ketidakpuasan terhadap alim ulama ataupun saudara seiman. Misalnya individu merasa tidak puas dengan saran ustad dalam menangani masalahnya. C. Penelitian Relevan Penelitian ini juga menggunakan tambahan literatur untuk bahan acuan dan memperkuat teori dan referensi dalam penelitian ini, selain dari referensi yang dipakai dari buku, artikel maupun internet, penulis juga menambahkan jurnal dan skripsi terdahulu. Triantoro Safaria Peran Religius Coping Sebagai Moderator dari Job Insecurity Terhadap Stress Kerja Pada Staf Akademik (Skripsi). Membuktikan religius coping memodifikasi efek dari job insecurity terhadap stress kerja. Religius coping memainkan peranan penting dalam menurunkan atau menahan ( reducing and buffering) efek stressor pada individu. Implikasinya, pengembangan keterampilan dan perilaku religius dan religius coping sangat dianjurkan sebagai sebuah kekuatan bagi individu untuk menghadapi tuntutan stress kerja yang semakin meningkat. Muhana Sofiati Utami Religiusitas, Koping Religius, dan Kesejahteraan Subjektif (Skripsi). Secara bersama -sama religiusitas, koping religius positif, dan koping religius negatif dan dapat menjadi prediktor
21 34 terhadap kesejahteraan subjektif mahasiswa dalam kehidupannya di kampus dan kehidupan personalnya. Hal ini berarti semakin tinggi religiusitas, semakin tinggi koping religius positif dan semakin rendah koping religius negatif maka akan semakin tinggi kesejahteraan subjektif mahasiswa. Demikian sebaliknya semakin rendah religiusitas, semakin rendah koping religius positif, dan semakin tinggi koping religius negatif maka akan semakin rendah kesejahteraan subjektif mahasiswa. Berdasarkan penelurusan yang telah dilakukan, penelitian tentang religius coping memiliki dampak terhadap penahanan dan penurunan tingkat stress. Namun nampaknya belum ada penelitian yang secara khusus meneliti tentang: Hubungan Antara Optimisme dengan Religius Coping pada Mahasiswa Semester Akhir yang Menyelesaikan Skripsi di Fakultas Ushuluddin UIN Imam Bonjol Padang. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, baik dari subjek, variabel, dan lokasi penelitian. Karena itu penelitian ini belum pernah dilakukan dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. D. Kerangka Konseptual Berdasarkan hasil studi pendahuluan sebagaimana yang diuraikan pada latar belakang masalah dan rumusan masalah tersebut, serta memperhatikan teori dan konsep yang mendukung, maka dapat diungkapkan kerangka
22 35 konseptual penelitian yang menggambarkan hubungan antara variabel bebas (optimisme) dan variabel terikat (coping religius) sebagai berikut : Mahasiswa Fakultas Ushuluddin yang Menyelesaikan Skripsi Optimisme Aspek-aspek Optimisme: 1. Permanence 2. Pervasiveness 3. Personalization Religius Coping Aspek-aspek Religius Coping: 1. Religius Coping Positif 2. Religius Coping Negatif Apabila optimisme seseorang semakin tinggi maka semakin tinggi pula religius coping yang dilakukan begitu sebaliknya apabila optimisme seseorang rendah maka religius coping seseorang tersebut juga rendah dan religius coping dan mana yang lebih dominan digunakan oleh subjek religius coping positif atau religius coping negatif. Kemudian di dalam penelitian ini akan melihat apakah optimisme memiliki hubungan dengan religious coping pada mahasiswa semester akhir di Fakultas Ushuluddin UIN Imam Bonjol Padang.
23 36 E. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis membuat hipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara optimisme dengan coping religius pada mahasiswa semester akhir di Fakultas Ushuluddin UIN Imam Bonjol Padang. Semakin tinggi optimisme maka semakin tinggi coping religius yang dilakukan oleh mahasiswa semester akhir yang sedang menyelesaikan skripsi di Fakultas Ushuluddin UIN Imam Bonjol Padang. Sebaliknya, jika semakin rendah optimisme maka coping religius yang dilakukan oleh mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang akan rendah pula.
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi ini para peserta didik berlomba-lomba untuk bisa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi ini para peserta didik berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan pendidikan terbaik. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Koping Religius. menimbulkan masalah dinamakan koping. Koping adalah kemampuan
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Koping Religius A. Koping Religius Proses yang digunakan seseorang untuk menangani tuntutan yang menimbulkan masalah dinamakan koping. Koping adalah kemampuan mengatasi
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. penelitian, pelaksanaan penelitian, pengumpulan data,
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan hasil penelitian sesuai dengan data yang diperoleh. Pembahasan diawali dengan memberikan gambaran subjek penelitian, pelaksanaan penelitian, pengumpulan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress 1. Definisi Coping Stress Lazarus dan Folkman (Sugianto, 2012) yang mengartikan coping stress sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996). Mahasiswa yang dimaksud adalah individu yang berada
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak 1. Pengertian Coping Stress Coping adalah usaha dari individu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dari lingkungannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan tidak pernah lepas dari masalah. Masalah dapat muncul dari berbagai setting
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap aspek kehidupan mahasiswa merupakan suatu hal yang kompleks dan tidak pernah lepas dari masalah. Masalah dapat muncul dari berbagai setting dan setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pelbagai kemunduran fungsi diri yaitu fisiologis, psikologis, sosial dan ekonomi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa dewasa akhir merupakan masa tatkala seseorang mengalami pelbagai kemunduran fungsi diri yaitu fisiologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Orang dewasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. siapa lagi yang akan dimintai bantuan kecuali yang lebih mampu. Ketika
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia yang hidup di dunia ini tidak pernah lepas dari permasalahan. Berbagai permasalahan datang silih berganti mulai dari yang ringan sampai yang berat. Pada awalnya
Lebih terperinciKesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi
Modul ke: Kesehatan Mental Mengatasi Stress / Coping Stress Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Coping Stress Coping Proses untuk menata tuntutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir semua bidang kehidupan berkembang sangat pesat. Berkembangnya berbagai bidang kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan siswa diharapkan akan memperoleh kemampuan, pengetahuan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu
PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Peraturan Republik Indonesia No. 30 tahun 1990 mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Mahasiswa sebagai subjek yang menuntut
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORITIS. pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan
BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Optimisme 2.1.1 Definisi Optimisme Optimisme merupakan bagaimana seseorang bereaksi terhadap kegagalan sosial dalam kehidupannya (Myers, 2008). Dalam keadaan yang memicu stress
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya penyakit Lupus. Penyakit ini merupakan sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. cerminan dari peradaban manusia dan merupakan sesuatu yang dapat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Kesenian merupakan salah satu unsur budaya universal yang menjadi cerminan dari peradaban manusia dan merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi perjalanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan otomotif khususnya mobil, akan terus berusaha untuk memproduksi unit-unit mobil dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan
Lebih terperinciPSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress
PSIKOLOGI UMUM 2 Stress & Coping Stress Pengertian Stress, Stressor & Coping Stress Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan kedokteran. Ia mendefinisikan stress
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep koping 1.1. Pengertian mekanisme koping Koping adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, ancaman, luka, dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Pengertian Strategi Coping Coping berasal dari kata cope yang dapat diartikan menghadang, melawan ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
8 BAB II LANDASAN TEORI A. Optimisme 1. Definisi Optimisme Optimis dalam KBBI diartikan sebagai orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal sedangkan optimistis didefenisikan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya terhadap 31 responden
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya terhadap 31 responden (dewasa akhir) yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di Gereja Salib Suci kota Bandung,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap pasangan menikah pasti menginginkan agar perkawinannya langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan akan kelanggengan perkawinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu bidang yang penting dan perlu mendapatkan perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya manusia
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. OPTIMISME 1. Defenisi Optimis, Optimistis dan Optimisme Optimis dalam KBBI diartikan sebagai orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal sedangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Coping Mechanism adalah tingkah laku atau tindakan penanggulangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Coping Mechanism adalah tingkah laku atau tindakan penanggulangan sembarang perbuatan, dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan
Lebih terperinciLETTER OF CONSENT. Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini
LAMPIRAN LETTER OF CONSENT Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Usia : Alamat : Menyatakan bersedia dengan sukarela untuk Membantu peneliti dalam menyusun penelitiannya yg berjudul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif dengan menerapkan psikologi positif dalam pendidikan. Psikologi positif yang dikontribusikan
Lebih terperinciKesehatan Mental. Mengatasi Stress/Coping Stress MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10
MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental Mengatasi Stress/Coping Stress Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 10 MK61112 Aulia Kirana, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan anak selalu ada kebutuhan untuk dikasihi dan merasakan bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya. Keluarga
Lebih terperinciSTRATEGI KOPING PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI
STRATEGI KOPING PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MAHASISWA PSIKOLOGI UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MAHASISWA PSIKOLOGI UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI Ushfuriyah_11410073 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat menyebabkan perubahan gaya hidup pada masyarakat. Perubahan gaya hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Di era modern masa kini, banyak ditemukannya permasalahan yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak sesuai dengan rencana. Segala permasalahan
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian ini. Selanjutnya juga akan dipaparkan hasil diskusi dan saran. 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Dalam menjalani kehidupan, seorang manusia memiliki kodrat- kodrat yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia diberi dorongan untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kalanya masalah tersebut berbuntut pada stress. Dalam kamus psikologi (Chaplin,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman dan teknologi pada saat ini yang begitu pesat membuat banyak masalah kompleks yang terjadi dalam kehidupan manusia. Ada kalanya masalah tersebut
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self-Efficacy 1. Definisi Self-Efficacy Seseorang bertingkah laku dalam situasi tertentu pada umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kognitif, khususnya faktor kognitif
Lebih terperinciBAB V HASIL PENELITIAN
BAB V HASIL PENELITIAN A. Rangkuman Hasil Penelitian Ketiga subjek merupakan pasangan yang menikah remaja. Subjek 1 menikah pada usia 19 tahun dan 18 tahun. Subjek 2 dan 3 menikah di usia 21 tahun dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah dambaan dalam setiap keluarga dan setiap orang tua pasti memiliki keinginan untuk mempunyai anak yang sempurna, tanpa cacat. Bagi ibu yang sedang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang tidak pasti dari kematian adalah waktu datang dan proses menjelangnya.
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi dalam kehidupan ini. Hal yang tidak pasti dari kematian adalah waktu datang dan proses menjelangnya. Hal ini menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan dengan usaha menyeluruh, yaitu usaha promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga kesehatan yang sangat vital dan secara terus-menerus selama 24 jam berinteraksi dan berhubungan
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA
HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA Sugianto 1, Dinarsari Eka Dewi 2 1 Alumni Program Studi Psikologi,Univ Muhammadiyah Purwokerto 2 Program
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan jaman semakin dibutuhkan pula individu yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi individu tercermin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pencapaian beban studi, praktikum, PKLI dan skripsi. Namun, dalam proses
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar di jenjang lembaga perguruan tinggi, dimana tugas mereka yang paling utama yaitu dituntut untuk memiliki kemandirian dan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut
12 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pengatasan Masalah Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) pengatasan masalah merupakan suatu proses usaha individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari penjajahan. Walaupun terbebas dari penjajahan, seluruh warga negara Indonesia harus tetap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULAN. adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Jenjang pendidikan tertinggi
1 BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Seiring dengan hal globalisasi yang tidak dapat diprediksi, peningkatan sumber daya mansia sangat dibutuhkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan adalah hal yang selalu ingin dicapai oleh semua orang. Baik yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka ingin dirinya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat disembuhkan, salah satu jenis penyakit tersebut adalah Diabetes Mellitus (DM). DM adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia
Lebih terperinciSebagaimana yang diutarakan oleh Sarafino dan Smith (2012, h.29) bahwa stres memiliki dua komponen, yaitu fisik, yang berhubungan langsung dengan
BAB V PEMBAHASAN Setiap individu pasti menginginkan pekerjaan yang memiliki masa depan yang jelas, seperti jenjang karir yang disediakan oleh perusahaan, tunjangan tunjangan dari perusahaan berupa asuransi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Membicarakan tentang pendidikan memang tidak ada habisnya. Tidaklah heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur menunjukkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugerah terindah yang diberikan Allah kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga bisa menjadi sebuah impian setiap orang
Lebih terperincijuga kelebihan yang dimiliki
47 1. Pengertian Optimisme Seligman (2005) menjelaskan bahwa optimisme adalah suatu keadaan yang selalu berpengharapan baik. Optimisme merupakan hasil berpikir seseorang dalam menghadapi suatu kejadian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Hidup
26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Hidup 1. Pengertian Kualitas Hidup Kualitas hidup didefinisikan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Meningkatkan optimisme siswa menguasai materi pelajaran matematika di Kelas
12 II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini berjudul Penggunaan Layanan Bimbingan Kelompok dalam Meningkatkan optimisme siswa menguasai materi pelajaran matematika di Kelas XII SMA Negeri 1 Labuhan Maringgai
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. dan menampilkan hasil berupa angka-angka. Sedangkan metode dalam
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Karena dalam pengolahan data peneliti menggunakan perhitungan statistik yang telah baku dan menampilkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jumlah lapangan kerja yang terbatas, membuat tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah pengangguran terbuka nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia dalam kehidupannya bisa menghadapi masalah berupa tantangan, tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitar. Setiap tahap perkembangan dalam rentang kehidupan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Pengertian Spot (2004) menjelaskan kebahagiaan adalah penghayatan dari perasaan emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang diinginkan,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradapatasi dengan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Konsep Lansia Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradapatasi dengan stress lingkungan.
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seluruh subjek mengalami stres. Reaksi stres yang muncul pada subjek penelitian antara lain berupa reaksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa merupakan orang yang sedang dalam proses pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut maupun akademi. Mahasiswa adalah generasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang menginginkan kesejahteraan didalam hidupnya, bahkan Aristoteles (dalam Ningsih, 2013) menyebutkan bahwa kesejahteraan merupakan tujuan utama dari eksistensi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping. fisik, psikis dan sosial. Namun sayangnya, kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Problem Focused Coping Pada umumnya setiap individu memiliki banyak kebutuhan yang ingin selalu dipenuhi dalam kehidupannya. Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan fisik,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran dan fungsi ibu dalam kehidupan seorang anak sangat besar. Anak akan lebih merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa dengan bertambahnya usia, setiap wanita dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi dalam beberapa fase,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan setiap anak di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak hanya anak normal saja
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi
Lebih terperinciLAMPIRAN 1 INSTRUMEN PENELITIAN
LAMPIRAN 1 INSTRUMEN PENELITIAN SURAT PERNYATAAN BERSEDIA BERPARTISIPASI SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Umur : Alamat : Saya telah membaca surat permohonan dan mendapatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sesuatu hal yang sangat penting bagi setiap individu. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Interaksi manusia dengan lingkungannya sering kali menimbulkan berbagai macam masalah mulai dari standar kebutuhan hidup yang terus meningkat, membuat manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu dihadapkan pada pemikiran-pemikiran tentang seberapa besar pencapaian yang akan diraih selama
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. dalam mengatasi permasalahannya (back to religion). Artinya koping. ketuhanan, hal ini dinamakan dengan koping religius.
BAB II KAJIAN TEORI A. Koping Religius 1. Pengertian Koping Religius Pada umumnya, seseorang yang memiliki keyakinan pada Tuhan apabila dihadapkan pada situasi yang menekan (stresor) maka individu tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia. Semakin banyaknya orang yang ingin menjaga kondisi tubuhnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan teknologi sudah semakin maju. Melalui perkembangan teknologi ini maka semakin banyak bidang lain yang berpengaruh dalam kehidupan kita,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang dan masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara. Namun, pada saat ini banyak
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu
BAB II LANDASAN TEORI A. STRATEGI COPING 1. Pengertian Coping Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan salah satu modal utama yang harus dimiliki oleh setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang sehat, maka
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Personal Adjustment 1. Definisi Personal Adjustment Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah sebuah proses psikologis yang dijalani seseorang yang mengakibatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. oleh individu. Siapapun bisa terkena stres baik anak-anak, remaja, maupun
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Stres dan ketidakpuasan merupakan aspek yang tidak dapat dihindari oleh individu. Siapapun bisa terkena stres baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Mahasiswa merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seorang wanita dalam kehidupan berkeluarga memiliki peran sebagai seorang istri dan sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) yang sudah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang meluas, meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) yang sudah ditemukan oleh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup senantiasa barada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berakhir ketika individu memasuki masa dewasa awal, tetapi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adanya suatu periode khusus dan periode sulit, dimana pada tahun-tahun awal. masa dewasa banyak merasakan kesulitan sehingga mereka
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang sedang melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Menurut Hurlock, masa dewasa awal dimulai pada umur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia pada umumnya memiliki harapan dengan memiliki tubuh yang selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari kesejahteraan. Mereka mencoba berbagai cara untuk mendapatkan kesejahteraan tersebut baik secara
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 me 2.1.1 Pengertian me Seligman (1991) menyatakan optimisme adalah suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik, berpikir positif dan mudah memberikan makna bagi
Lebih terperincicommit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang
6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang paling penting pada seseorang. Kepercayaan diri merupakan atribut yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORI
9 BAB II TINJAUAN TEORI A. Minat Siswa Kelas XII SMA Mengikuti Ujian Nasional Kejar Paket C sebagai Alternatif Kelulusan 1. Pengertian Minat Siswa Kelas XII SMA Mengikuti Ujian Nasional Kejar Paket C sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu
Lebih terperinci