TUJUAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA

Transkripsi

1 TUJUAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA 1. Kesinambungan kebijakan fiskal (fiscal sustainability) secara makro 2. Mengoreksi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah 3. Mengoreksi ketimpangan horisontal (horizontal imbalance) antar daerah 4. Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas & efisiensi Pemda. Meningkatkan kualitas pelayanan publik 6. Meningkatkan partisipasi masyarakat dlm pembuatan keputusan.

2 Table 1. Perimbangan Keuangan (%) menurut No. /1974 dan No. 2/1999 /1974 2/1999 No Sumber Pendapatan Pus Prov Lok Pus Prov Lok Phs. Tet. La. 1 PBB 19 16,2 64,8 9 16,2 64,8 2 BPHTB Minyak dan LPG Pendapatan minyak setelah pajak Pendapatan LPG setelah pajak Kehutanan - Royalti HPH Dana Reboisasi Pertambangan Umum - Sewa tanah Royalti Perikanan Dana Alokasi Umum , 22, (DAU) 8 Dana Alokasi Khusus (DAK) , 22, Keterangan: Pus : Pemerintah Pusat Prov : Pemerintah Provinsi Lok : Pemerintah Lokal (Kabupaten/Kota) Phs. : Kabupaten Penghasil Tet. : Kabupaten Tetangga dalam Provinsi yang Sama La. : Seluruh Kabupaten Lainnya

3 LINTASAN PERISTIWA... Terdapat kesepakatan untuk membagi pendapatan dari minyak dengan menggunakan prinsip Net Operating Income (NOI). Namun, ternyata masih banyak kesalahpahaman apakah pendapatan minyak itu hanya meliputi pendapatan dari kontrak-kontrak bagi hasil (production sharing) atau juga termasuk pendapatan dari Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional Menurut Peraturan Pemerintah No. 104/2000 tentang Dana Perimbangan dan Peraturan Pemerintah No. 11/2000 tentang Perimbangan Keuangan bagi Pajak Penghasilan Dalam-Negeri, bagian daerah dari produksi minyak dan gas di tingkat hulu dihitung dari pendapatan PBB, BPHTB, dan pajak penghasilan pribadi. Akan tetapi banyak pejabat daerah yang berpendapat bahwa mereka semestinya berhak atas bagian pendapatan dari laba bersih Pertamina. Pada tanggal 27 Mei 2002, sebanyak 48 wakil dari kabupaten penghasil minyak di bawah bendera FKDPM (Forum Komunikasi Daerah Penghasil Minyak) mengancam untuk menutup kegiatan produksi minyak dan gas di daerah mereka apabila pemerintah pusat tidak mau menarik kembali keputusan Menteri Keuangan No. 214/KMK.06/2002 yang hanya mengalokasikan dua persen dari pendapatan minyak dan gas bumi kepada kabupaten-kabupaten. Dradjat Hadiwijoyo, pemimpin FKDPM, mengatakan bahwa keputusan Menkeu tersebut menyalahi No. 22/2001 tentang migas, yang menetapkan bahwa daerah berhak atas 1% pendapatan dari minyak dan 30% pendapatan dari gas bumi. Bagian yang sebesar 1% dan 30% bagi pemerintah kabupaten itu tetap berlaku. Namun perhitungan proporsinya kemudian didasarkan pada pendapatan bersih minyak dan gas bumi sesudah pajak yang diperhitungkan di Depkeu dan bukan dari pendapatan yang diperoleh Pertamina. Lihat Berbelit, Perhitungan Bagi Hasil Migas, Suara Pembaruan, 28 April 2003.

4 Tabel 2. Pembagian Hasil Minyak antara PSC dan Pemerintah Indonesia Menurut Beberapa Undangundang Butir Ord.PPS 192 No.7/1983 No.10/1994 No.17/2000 Pajak Perusahaan 4 % 3 % 30 % 30 % Pajak Dividen 11 % 13 % 14 % 14 % (PBDR); [PBDR x (100% - Pajak Perusahaan)] Total Pajak 6 % 48 % 44 % 44 % Kontraktor Bersih 44 % 2 % 6 % 6 % (Sesudah Pajak) Perhitungan Bagian Pemerintah dan Kontraktor Bagian Kontraktor 1 % 1 % 1 % 1 % Pendapatan Kena Pajak bagi Kontraktor (100/kontraktor bersih sesudah pajak / bagian kontraktor) 34,09 % 28,8 % 26,78 % 26,78 % Bagian Pemerintah 6,91 % 71,1 % 73,22 % 73,22 % Pajak Kontraktor 19,09 % 13,8 % 11,78 % 11,78 % Penerimaan Pemerintah (Termasuk Pajak) Catatan: PSC = Production-Sharing Contractor Sumber: Departemen Keuangan, % 8 % 8 % 8 %

5 Tiga Bentuk Kontrak Produksi Minyak 1) Production-Sharing Contract (PSC) di mana pemerintah Indonesia diwakili oleh Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan 0% dari bagian pendapatannya (dalam bentuk tunai) disetor ke Departemen Keuangan 2) Kontrak bilateral antara sebuah perusahaan swasta dan Pertamina melalui apa yang disebut Enhanced Oil Recovery (EOR), di mana pemerintah memperoleh bagian 60% (non-tunai) yang disetor ke Pertamina. 3) Joint Operation Body (JOB), kontrak tripartit antara pemerintah Indonesia, perusahaan swasta dan Pertamina, di mana produksi minyak ada di wilayah milik Pertamina. Dalam JOB, Pemerintah (Departemen Keuangan) memperoleh pendapatan (non-tunai) dari kontraktor sebesar 0% seperti di dalam sistem PSC dan 60% dari laba bersih yang diperoleh Pertamina. Namun menurut No. 8/1971 mengenai Pertamina, bagian sebesar 60% dari keuntungan bersih Pertamina itu dikategorikan sebagai pajak pendapatan pajak (tax revenues), yang semestinya tidak dibagi dengan pemerintah daerah. Catatan: No. 22/2001 mengenai minyak dan gas bumi disahkan sebagai pengganti No. 8/1971 mengenai Pertamina dan peraturanperaturan mengenai pertambangan minyak dan gas bumi lain yang dipandang kedaluwarsa dengan berlakunya No. 2/1999.