Penerimaan Daerah dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penerimaan Daerah dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam"

Transkripsi

1 BAPPENAS Penerimaan Daerah dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam Oktober 2000 Bekerjasama dengan : LPEM FEUI Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

2 Penerimaan Daerah dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam Oktober 2000

3 The NRM Program s Policy and Planning Group supports cross-cutting policy analysis and institutional development and provides economic and quantitative policy analysis services to all project components and partner organizations. Working with BAPPENAS and its provincial government counterparts, NRM Policy and Planning Group works in three main subject areas:spatial and land use planning; environmental economic valuation; economic analysis/impact assessment. In addition, policy issues related to communitybased resource management and land use issues are supported in collaboration with the Forestry Management Group. For further information, please contact: Raksaka Mahi (LPEM-FEUI), Anton Hendranata (LPEM-FEUI), Vid Adrison (LPEM-FEUI), Riatu Mariatul Qibthiyyah (LPEM-FEUI), Budy Resosudarmo (NRM), Timothy Brown (NRM), Virza Sasmitawidjaja (NRM), Vivi Yulaswati Hadi (Bappenas) dan Mas Wedar H. Adji (Bappenas) at: Ratu Plaza Bldg., 17 th fl., Jl. Jend Sudirman 9, Jakarta Telephone ; fax: ; secretariat@nrm.or.id

4 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel...iii Daftar Diagram...vii Daftar Singkatan... ix Ringkasan Eksekutif... xi 1. Pendahuluan Peranan Penerimaan Bagi Hasil Dalam Membiayai Pengeluaran Daerah Selama Ini Undang-Undang Serta Peraturan Daerah yang Mengatur Penerimaan dan Bagi Hasil Jenis Penerimaan Bagi Hasil Menurut UU No.25/ Penerimaan pajak yang dibagi-hasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibagi-hasilkan Minyak Bumi dan Gas Alam Pertambangan umum Kehutanan Perikanan Penjelasan Peraturan Perhitungan Bagi Hasil Sumber Daya Alam Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas) Sumber Daya Alam Non Migas Sektor Pertambangan Umum Sektor Kehutanan Sektor Perikanan Metode Estimasi Perhitungan Sumber Daya Alam Metode LPEM-FEUI Minyak Bumi dan Gas Alam Minyak Bumi Gas Alam Pertambangan Umum Metode NRM Minyak dan Gas Kehutanan Hasil Perhitungan i

5 4.4. Data Pembanding Data Pembanding Migas Data Pembanding Non Migas Hasil Perhitungan Data Pembanding Penutup Migas Non Migas Aturan Bagi Hasil Secara Umum Metode Estimasi ii

6 Daftar Tabel Tabel 1: Perbandingan Bagi Hasil Plus PAD dengan Pengeluaran Total dan Pengeluaran Rutin Daerah Propinsi... 4 Tabel 2: Nama Propinsi, Perbandingan Bagi Hasil Plus PAD dengan Rata-rata Pengeluaran Total dan Rata-rata Pengeluaran Rutin... 5 Tabel 3: Perbandingan Bagi Hasil Plus PAD dengan Pengeluaran Total dan Pengeluaran Rutin Daerah Kabupaten Kotamadya... 5 Tabel 4: Nama Kabupaten/Kota Perbandingan Bagi Hasil Plus PAD dengan Rata-rata Pengeluaran Total dan Rata-rata Pengeluaran Rutin... 6 Tabel 5::Pembagian (%) Penerimaan Sumber Daya Alam Menurut UU No. 25/ Tabel 6: Tiga Rejim Pajak yang Berlaku di Indonesia Tabel 7: Tarif Sumber Daya Pertambangan Menurut Jenisnya Tabel 8: Kontraktor Minyak Bumi dan Gas Alam Berdasarkan Propinsi Daftar Tabel Lampiran Tabel Lampiran 1: Daftar Jenis Penerimaan, Mekanisme, Pembagian dan Distributor dan Peraturan Penjelas pada Setiap Tingkat Pemerintahan Tabel Lampiran 2: Daftar Equity Share dan Tax Rate, Terinci Menurut Kontraktor Production Sharing Minyak Bumi Tabel Lampiran 3: Daftar Equity Share & Tax Rate, Terinci Menurut Kontraktor Production Sharing Gas Alam Tabel Lampiran 4: Tarif Royalti Sektor Pertambangan Umum Berdasarkan PP No. 13/ Tabel Lampiran 5: Tarif Iuran Tetap untuk PMA Berdasarkan SK Mentamben No. 931K/844/M.PE/ Tabel Lampiran 6: Tarif Iuran Tetap (Land Rent) untuk PPMDN Berdasarkan SK Mentamben No. 1165K/844/ iii

7 Tabel Lampiran 7: Tarif Dana Reboisasi Berdasarkan PP No. 92/ Tabel Lampiran 8: Tarif PSDH Berdasarkan PP SK Menhutbun No. 859/Kpts-II/ Tabel Lampiran 9: Tarif IHPH Berdasarkan PP No. 59/ Tabel Lampiran 10: Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) Berdasarkan SK Mentan No. 424/Kpts/7/ Tabel Lampiran 11: Tarif Pungutan Hasil Perikanan (PHP) Berdasarkan SK Mentan No. 424/Kpts/7/ Tabel Lampiran 12: Estimasi Bagi Hasil Minyak Bumi Menurut Propinsi dan Metode Estimasi Tabel Lampiran 13: Estimasi Bagi Hasil Gas Alam Menurut Propinsi dan Metode Estimasi Tabel Lampiran 14: Estimasi Bagi Hasil Pertambangan Umum Menurut Propinsi dan Metode Estimasi Tabel Lampiran 15: Estimasi Bagi Hasil Sumber Daya Kehutanan Metode NRM Terinci Menurut Propinsi 65 Tabel Lampiran 16: Data Pembanding Bagi Hasil Minyak Bumi Tabel Lampiran 17: Data Pembanding Bagi Hasil Gas Alam Tabel Lampiran 18: Data Pembanding Bagi Hasil Pertambangan Umum Tabel Lampiran 19: Data Pembanding Bagi Hasil Sumber Daya Kehutanan iv

8 Tabel Lampiran 20: Selisih Estimasi Bagi Hasil Minyak Bumi Metode NRM dan LPEM-FEUI dengan Data Pembanding Tabel Lampiran 21: Selisih Estimasi Bagi Hasil Gas Alam Metode NRM dan LPEM-FEUI dengan Data Pembanding v

9 vi

10 Daftar Diagram Diagram 1: Perhitungan Komposisi Pajak dan Non Pajak Minyak Bumi Berdasarkan UU No. 25/ Diagram 2: Perhitungan Komponen Pajak dan Npn Pajak Gas Alam Berdasarkan UU No.25/ Daftar Gambar Gambar 1: Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak Metode LPEM-FEUI Gambar 2: Bagi Hasil Sumber Daya Alam Gas Metode LPEM-FEUI Gambar 3: Bagi Hasil Sumber Daya Alam Tambang Metode LPEM-FEUI Gambar 4: Perhitungan Bagi Hasil Sumber Daya Alam Metode NRM vii

11 viii

12 Daftar Singkatan Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BPHTB : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan DAK : Dana Alokasi Khusus DATI : Daerah Tingkat.. DAU : Dana Alokasi Umum Deptamben : Departemen Pertambangan dan Energi DHPB : Dana Hasil Produksi Batubara DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DR : Dana Reboisasi DWT : Dead Weight Ton EOR : Enhanced Oil Recovery HPH : Hak Pengusahaan Hutan HPHH : Hak Pemungutan Hasil Hutan HPHTI : Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri IHH : Iuran Hasil Hutan IHPH : Iuran Hak Pengusahaan Hutan IPK : Izin Pemanfaatan Kayu IT : Iuran Tambang JOB : Joint Operation Body LHP : Laporan Hasil Penebangan LPEM-FEUI : Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Migas : Minyak Bumi dan Gas Alam NOI : Net Operating Cost/Keuntungan Operasi Bersih NRM : Natural Resources Management Program PAD : Pendapatan Asli Daerah PBB : Pajak Bumi dan Bangunan PBDR : Pajak Bunga Dividen dan Royalti PBBKB : Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor PDB : Produk Domestik Bruto PDRB : Produk Domestik Regional Bruto PERTAMINA : Perusahaan Tambang Minyak Negara PHP : Pungutan Hasil Perikanan ix

13 PMA : Penanaman Modal Asing PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak PP : Peraturan Pemerintah PPN : Pajak Penerimaan Negara PPP : Pungutan Pengusahaan Perikanan PSC : Production Sharing Contract/Jenis Kontrak Bagi Hasil Murni PSDH : Provisi Sumber Daya Hutan RAPBD : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah SDA : Sumber Daya Alam SHU : Sisa Hasil Usaha SIKP : Surat Ijin Kapal Perikanan SK : Surat Keputusan SKSHH : Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan TPE : Tarif Pajak Efektif UU : Undang-undang x

14 Ringkasan Eksekutif UU No. 25/1999 (dan juga UU No. 22/1999) akan dilaksanakan secara menyeluruh pada tahun depan ini. Satu hal penting yang perlu diketahui dengan baik oleh daerah adalah aturan bagi hasil sumber daya alam dan cara menghitungnya. Selain bagi hasil ini akan merupakan sumber penerimaan penting bagi pemerintah daerah, akan banyak pemerintah daerah yang berusaha meningkatkan penerimaannya melalui peningkatan kegiatan eksploitasi sumber daya alam daerahnya. Secara ringkas aturan bagi hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah per jenis sumber daya alam menurut UU No. 25/1999 adalah sebagai berikut: Tabel 1. Pembagian Penerimaan SDA Menurut UU No. 25/1999 No. Penerimaan Pusat Propinsi penghasil Kabupaten / Kota penghasil Kabupaten / Kota lainnya dalam propinsi (total) Kabupaten/ Kota lainnya di seluruh Indonesia (total) A Migas 1 Penerimaan negara bukan pajak 85% 3% 6% 6% - berasal dari minyak bumi 2 Penerimaan negara bukan pajak 70% 6% 12% 12% - berasal dari gas alam B Non-migas 1 Pertambangan - Sewa tanah (Land rent) 20% 16% 64% Royalti 20% 16% 32% 32% - 2 Kehutanan - PSDH 20% 16% 32% 32% - - IHPH 20% 16% 64% Dana Reboisasi 60% - 40% Perikanan 20% % Namun demikian perlu diperhatikan mengenai apa tepatnya penerimaan negara dari sumber daya alam yang dibagi-hasilkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Yang dibagi-hasilkan adalah penerimaan negara bukan pajak dari kegiatan ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Berikut ini adalah penjelasan perhitungannya secara singkat. xi

15 Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas) Pembagian antara pemerintah/negara dengan kontraktor (production sharing contract dan joint operation body) ditentukan berdasarkan Keuntungan Operasi Bersih atau Net Operating Income (NOI), yaitu pendapatan dari produksi dikurangi pengeluaran untuk operasi produksi. Sebenarnya, penerimaan negara dari minyak bumi dan gas alam ini selain berasal dari kontraktor, ada juga yang berasal dari Pertamina. Namun untuk penerimaan yang berasal dari Pertamina belum jelas akan dibagi-hasilkan juga atau tidak, karena, menurut UU No. 8/1971 tentang Pertamina, bagian yang diserahkan Pertamina ke pemerintah adalah sebesar 60% dari keuntungan dan dikategorikan sebagai penerimaan pajak. Secara umum, untuk suatu operasi penambangan di suatu daerah, total penerimaan negara (pajak dan bukan pajak) adalah 85% dari NOI untuk minyak bumi dan 70% dari NOI untuk gas alam. Adapun dari total penerimaan ini, total komponen penerimaan pajaknya adalah 31,6% dari NOI untuk minyak bumi dan 43,19% dari NOI untuk gas alam, dengan demikian penerimaan yang dibagi-hasilkan antara pemerintah pusat dengan daerah besarnya adalah 53,4% dari NOI untuk minyak bumi atau 26,81% dari NOI untuk gas alam. Dengan menerapkan aturan pada UU No. 25/1999, maka penerimaan bagi hasil yang diterima oleh kabupaten/kota penghasil adalah 3,2% dari NOI untuk minyak bumi dan 3,22% dari NOI untuk gas alam (lihat Tabel 2). Kabupaten-kabupaten dan kota-kota lain yang berada di satu propinsi dengan kabupaten/kota penghasil akan menerima sebagian dari 3,2% dari NOI untuk minyak bumi dan 3,22% dari NOI untuk gas alam. Tepatnya bagaimana cara membagi-bagi yang 3,2% dan 3,22% ini ke kabupaten dan kota lainnya tersebut belum jelas. Tabel 2. Bagi Hasil Sumber Daya Alam Migas (persentasi dari NOI) No. Penerimaan Pusat Propinsi penghasil 1 Penerimaan negara bukan pajak berasal dari minyak bumi 2 Penerimaan negara bukan pajak berasal dari gas alam Kabupaten / Kota penghasil Kabupaten/ Kota lainnya dalam propinsi (total) 45,39% 1,60% 3,2% 3,2% 18,77% 1,61% 3,22% 3,22% xii

16 Sekurangnya ada dua hal kelemahan pembagian berdasarkan NOI yang perlu diperhatikan. Pertama, pada dua operasi penambangan yang berbeda, operasi penambangan yang menghasilkan produksi lebih banyak belum tentu menghasilkan NOI yang lebih besar, karena tergantung dari besarnya biaya produksi di kedua operasi penambangan tersebut. Kedua, ada kemungkinan untuk suatu penambangan (walaupun sudah berproduksi), besarnya NOI sama dengan nol untuk suatu tahun. Hal ini dapat terjadi pada operasi penambangan yang relatif baru atau pada operasi penambangan yang nilai ekonomisnya rendah. Lebih jauh lagi, dalam pelaksanaan perhitungannya diperkirakan akan muncul beberapa persoalan, antara lain: (1) Penentuan suatu lokasi penambangan migas masuk wilayah kabupaten/kota mana kadang kala sulit ditentukan. Misalnya untuk kasus penambangan lepas pantai (offshore) dengan jarak 12 mil dari pantai, hingga saat ini, belum semuanya jelas masuk dalam wilayah kabupaten/kota mana. (2) Penentuan suatu kegiatan penambangan migas masuk dalam wilayah suatu kabupaten/kota tertentu tergantung dari tempat diekspoitasinya migas tersebut, walaupun asal dari migas ini berada juga di bawah beberapa wilayah kabupaten/kota lainnya. Kalau kabupaten/kota, yang migas di wilayahnya di eksploitasi di kabupaten/kota lain, ternyata berada di luar propinsi kabupaten pengeksploitasi, maka kabupaten/kota yang migasnya di eksploitasi oleh kabupaten/kota lain tidak mendapat bagian bagi hasil sedikit pun. Hal ini akan menimbulkan masalah. (3) Standar biaya operasi penambangan migas belum jelas. Akan timbul perdebatan apakah suatu kegiatan dapat dikategorikan sebagai biaya operasi dan apakah besarnya biaya relatif bisa diterima. Dengan sistem pembagian berdasarkan NOI, kontraktor tidak punya banyak insentif menekan biaya produksi seminimum mungkin. Pertambangan Umum Berbeda dengan migas, penerimaan negara bukan pajak yang akan dibagi-hasilkan dengan pemerintah daerah dari sektor pertambangan umum terdiri dari royalti dan iuran tetap sewa tanah (land rent). Peraturan mengenai royalti di sektor pertambangan umum tercantum dalam PP No. 13/2000. Dalam peraturan tersebut tarif royalti adalah persentasi xiii

17 tertentu yang dikenakan terhadap pendapatan kotor kontraktor atau harga jual yang dikalikan dengan jumlah produksi. Adapun besarnya tarif royalti berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian: antara 2 sampai 7%. Dengan demikian penerimaan bagi hasil royalti pertambangan umum yang akan diterima kabupaten/kota penghasil adalah sekitar 0,64 sampai 2,24 % dari total pendapatan kotor kontraktor di daerahnya. Besarnya iuran tetap sewa tanah di sektor pertambangan umum dibedakan berdasarkan kategori kontraktor: PMA atau PMDN. Tarif iuran tetap kontraktor PMA merupakan tarif satuan atas nilai US $ per luas area eksploitas/eksplorasi (hektar), dan besarnya tarif ini dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak): antara 0,025 sampai 3 US $ per hektar. Adapun tarif iuran tetap yang dikenakan pada kontraktor PMDN merupakan tarif satuan atas nilai rupiah per satuan luas eksploitasi/eksplorasi (hektar), dan besarnya tarif juga dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak): antara 50 sampai 1500 rupiah per hektar. Pemungutan iuran tetap ini, baik PMA maupun PMDA, dilakukan setiap semester. Dalam kasus pertambangan umum ini, hal yang perlu diamati dengan baik adalah, pertama, jenis dan kualitas hasil tambang yang dihasilkan. Kontraktor punya insentif untuk mengkategorikan produksinya pada jenis hasil tambang dengan kualitas dimana besarnya tarif royalti relatif rendah. Kedua, mengenai penambangan yang daerah tambangnya meliputi beberapa kabupaten, sementara kantor operasi produksinya berada di satu kabupaten tertentu. Dalam hal ini perlu dijelaskan bagaimana penentuan kabupaten/kota penghasilnya. Perlu diperhatikan, kombinasi royalti dan iuran sewa tanah pada penambangan umum ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem bagi hasil pada migas. Satu, kontraktor pertambangan umum akan punya insentif yang besar untuk menekan biaya produksi seminimum mungkin. Dua, walaupun belum berproduksi, negara sudah menerima pendapatan dari suatu kegiatan penambangan. Begitu suatu operasi penambangan mulai berproduksi, maka penerimaan negara akan naik sesuai dengan naiknya tingkat produksi (untuk harga yang relatif tetap). Namun dilain pihak, jika usaha kontraktor dalam meminimisasi biaya produksi berlebihan, maka perlindungan terhadap kualitas lingkungan sebagai dampak dari kegiatan penambangannya, yang seharusnya dilakukan oleh kontraktor, bisa terabaikan. xiv

18 Kehutanan Penerimaan negara bukan pajak dari sektor kehutanan terdiri: (1) Dana Reboisasi; (2) PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) yang merupakan royalti; dan (3) IHPH (Iuran Hak Pengusahaan Hutan) yang berupa iuran tetap sewa tanah (land rent). Tarif Dana Reboisasi merupakan tarif dengan satuan US $ per m³ (ada juga yang dalam US $ per ton) dimana besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Besarnya tarif berkisar antara 0 sampai US $ 18 per m³, untuk kayu cendana US $ 18 per ton. Pungutan Dana Reboisasi ini dikenakan terhadap pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan. Khusus untuk Dana Reboisasi, pelaksanaan bagi-hasilnya akan menggunakan mekanisme Dana Alokasi Khusus. Tarif PSDH umumnya merupakan tarif dengan satuan rupiah per m³ (ada juga yang rupiah per ton, per batang, per kg, per lembar, per keping, atau per liter) yang besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Besarnya tarif PSDH sangat bervariasi: antara 5000 sampai 100 ribu rupiah per m³, antara 2000 sampai 700 ribu rupiah per ton, dan antara 10 rupiah sampai 35 ribu rupiah per batang. PSDH dikenakan terhadap pemegang HPH, pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan dan pemegang Izin Pemanfaatan Kayu. Adapun tarif IHPH dikenakan dalam rupiah per satuan luas HPH (hektar). Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru, perpanjangan atau HPHTI). Besarnya IHPH antara 2600 sampai 50 ribu rupiah per hektar. IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu berlakunya HPH (atau umumnya sekitar 20 tahun). Persoalan penting dari iuran di sektor kehutanan ini adalah sangat beragamnya besaran dan satuan tarif, serta luasnya daerah operasi. Kontrol terhadap apa dan berapa yang diproduksi sangat sulit dilakukan. Seperti halnya dalam kasus pertambangan umum, pengusaha hutan punya insentif yang besar untuk efisien, tapi usaha perlindungan lingkungan hutan yang seharusnya dilakukan dapat terabaikan. Perikanan Penerimaan negara bukan pajak dari sektor perikanan terdiri dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Pengusahaan Perikanan xv

19 (PPP) bersifat iuran perijinan (license fee), dikenakan satu kali pada saat pengajuan permohonan Surat Ijin Kapal Perikanan. Tarif PPP merupakan tarif nominal (US $) dan didasarkan atas ukuran kapal penangkapan ikan (DWT). Dalam hal ini tarif dikenakan atas dasar berat kosong kapal. Untuk kapal dengan berat kosong lebih kecil dari 50 DWT, dikenakan tarif sebesar US $ 500. Untuk kapal dengan berat kosong antara 50 sampai 100 DWT dikenakan tarif sebesar US $ Untuk setiap kelebihan diatas 100 DWT dengan pembulatan perhitungan sampai dengan 50 DWT dikenakan tambahan US $ 250 per 50 DWT. Adapun Pungutan Hasil Perikanan (PHP) hanya dikenakan pada hasil produksi sektor perikanan yang diekspor. Tarif yang dikenakan bersifat persentasi dari nilai produksi ekspo, di mana besar tarif dibedakan menurut kelompok jenis ikan: antara 1 sampai 2%. Mengingat transaksi penjualan dapat dilakukan di atas kapal, efektivitas penarikan iuran PHP merupakan sebuah persoalan. Ditambah lagi dengan banyaknya pencurian ikan, terkurasnya sumber daya ikan akan tidak sebanding dengan penerimaan negara di sektor ini. Penutup Mengestimasi berapa besarnya penerimaan bagi hasil yang diterima daerah ternyata sangat sulit. Dua metode yang dikembangkan tulisan ini: metode LPEM-FEUI dan metode NRM tidak berhasil dibuktikan sebagai metode yang relatif valid dan reliabel. Usaha pengembangan metode untuk dapat mengestimasi penerimaan bagi hasil perlu terus dilakukan agar setiap tahun pemerintah daerah dapat mengestimasi penerimaannya dari bagi hasil sumber daya alam. Sebagai penutup ada beberapa masalah yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam, yang tentunya punya implikasi terhadap penerimaan pemerintah daerah: 1. Cara penarikan pungutan/bagi hasil. Misalnya di sektor migas, cara penarikan bagi hasil berdasarkan NOI tidak memberikan banyak insentif bagi kontraktor untuk menekan biaya produksi. xvi

20 2. Macam pungutan/bagi hasil. Perlu dipertimbangkan untuk menarik pungutan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Tentunya dalam hal ini bisa juga dilakukan dalam bentuk pajak daerah. Tapi bukan dalam bentuk pajak nasional, karena tidak dibagi-hasilkan ke daerah. Adanya sifat kompensasi bagi yang terkena kerusakan amat penting dalam hal ini. 3. Besaran pungutan/bagi hasil. Dapat dilihat bahwa besarnya penerimaan negara dan daerah relatif sangat kecil dibandingkan dengan nilai produksi sumber daya alam yang dieksploitasi. Perlu dipertanyakan apakah besaran tarif pungutan dan persentasi bagi hasil yang diterapkan pada kontraktor/pengusaha sekarang ini merupakan besaran maksimum yang mungkin dicapai. Catatan, penerimaan daerah (dan juga negara) dari pajak sehubungan dengan kegiatan sumber daya alam pun relatif kecil dibandingkan dengan nilai produksi sumber daya alam yang dieksploitasi. Studi banding dengan keadaan di negara lain perlu diperlihatkan secara transparan. 4. Kontrol akan berapa dan apa yang diproduksi. Areal operasi dari berbagai usaha eksploitasi ini sulit diawasi. Karenanya, kontrol terhadap apa dan berapa yang diproduksi oleh para kontraktor dan pengusaha akan sulit dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, kolusi antara pengusaha dan penguasa lokal juga perlu diawasi. Jika lebih murah, pengusaha akan membayar penguasa lokal untuk dapat menghindari iuran sumber daya alam pemerintah. 5. Persentasi Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan Daerah. Dari waktu ke waktu akan ada pertanyaan mengapa persentasi pola bagi hasil yang ada adalah seperti sekarang ini. Apakah persentasi ini merupakan yang terbaik bagi masyarakat di daerah penghasil khususnya dan Indonesia pada umumnya? Pengalaman negara-negara lain perlu diperhatikan dan didiskusikan secara terbuka. 6. Transparansi penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam. Pemerintah daerah menerima bagi hasil ini setelah dana ini dikumpulkan di pemerintah pusat dan melibatkan beberapa instansi. Transparansi dari proses penarikan dana dan penyalurannya harus transparan. Tanpa menyelesaikan masalah-masalah ini, pada akhirnya, sumber daya alam daerah terkuras habis tanpa ada peningkatan kesejahteraan didaerah tersebut yang sesuai dengan nilai sumber daya alam yang terkuras. xvii

21 xviii

22 1. Pendahuluan Pelaksanaan Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 (UU No. 22 dan 25/1999) secara menyeluruh yang akan diterapkan dalam waktu dekat ini memberikan kewenangan, atau secara tidak langsung tanggungjawab, kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan mengatur pola pengembangan daerahnya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk mampu merencanakan pengembangan daerahnya dengan baik. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa tugas pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan daerah diawali dengan menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), yang merupakan penjabaran tahunan dari strategi global kebijakan pembangunan daerah jangka panjang (5 tahun). Tulisan ini, karenanya, berpendapat bahwa tugas paling utama (tahap pertama) pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan pada era desentralisasi dan otonomi daerah adalah menyusun RAPBD secara baik dan benar. Pada tahap selanjutnya, RAPBD ini perlu diterjemahkan lagi ke dalam program-program sektoral, seperti progam peningkatan pendidikan dasar, peningkatan kesehatan dasar dan sebagainya, serta program-program listas sektoral seperti program pengembangan wilayah terpadu, program penanggulangan kemiskinan, dan sebagainya. Tahapan lanjutan ini bersifat lebih teknis dan memerlukan data yang lebih rinci. Format RAPBD terdiri dari dua bagian besar yaitu (1) sisi Penerimaan dan (2) sisi Pengeluaran. Pada sisi penerimaan terdapat bagian Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Bagian ini mengestimasi penerimaan suatu daerah dari sumber daya alam melalui aturan bagi hasil yang diterapkan berdasarkan UU No. 25/1999. Di beberapa daerah, bagian ini akan relatif dominan besarnya dibandingkan dengan sumber penerimaan daerah lainnya. Di banyak daerah, baik untuk tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/kota, diperkirakan akan terjadi berbagai usaha untuk membesarkan penerimaan daerah di bagian ini semaksimal mungkin. Karenanya, mengetahui secara jelas aturan bagi hasil dan mampu memperkirakan dengan benar berapa penerimaan daerah dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam merupakan hal yang penting. Persoalannya saat ini adalah: (1) informasi mengenai aturan bagi hasil, di mana Bagi Hasil Sumber Daya Alam adalah salah satu komponennya, belum tersosialisasi dengan baik di banyak daerah, terutama sekali di tingkat kabupaten; (2) data-data detail yang 1

23 dibutuhkan untuk menghitung penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam seringkali tidak ada, susah didapat, atau kualitasnya amat rendah; (3) waktu yang ada bagi pemerintah daerah untuk menyelesaikan RAPBD-nya, terutama saat-saat ini, relatif amat singkat. Tulisan ini ditujukan kepada pemerintah daerah dan berbagai kalangan yang terkait dengan perencanaan pembangunan daerah. Tulisan ini bertujuan untuk membantu menjelaskan aturan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang akan diterapkan dalam waktu dekat dan berusaha mengembangkan beberapa metode untuk mengestimasi besarnya penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam untuk suatu daerah dengan data-data yang relatif mudah didapat. Tulisan ini juga menunjukkan berbagai kesulitan yang akan dihadapi daerah dalam mengestimasi penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Karena keterbatasan data dan waktu, dalam melakukan estimasi penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam, tulisan ini hanya melakukannya untuk tingkat propinsi. Namun demikian, penjelasan mengenai cara estimasi dilakukan sedemikian rupa sehingga relatif jelas jika cara estimasi ini akan diterapkan hingga tingkat kabupaten/kota. Secara umum, alur dari tulisan ini adalah sebagai berikut. Setelah bagian pendahuluan akan dijelaskan peranan penerimaan bagi hasil dalam pembiayaan pengeluaran daerah selama ini. Selanjutnya didiskusikan mengenai peraturan yang berkenaan dengan penerimaan bagi hasil secara umum. Kemudian, diuraikan secara khusus, aturan yang mengatur Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Pada bagian selanjutnya, tulisan ini menjelaskan beberapa metode untuk mengestimasi penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang berkembang saat ini. Pada bagian akhir dari tulisan ini disimpulkan beberapa hal-hal penting mengenai aturan Bagi Hasil Sumber Daya Alam dan berbagai persoalan menyangkut estimasi penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam. 2

24 2. Peranan Penerimaan Bagi Hasil Dalam Membiayai Pengeluaran Daerah Selama Ini Bagi Hasil Sumber Daya Alam adalah salah satu penerimaan daerah melalui mekanisme penerimaan bagi hasil. Adapun penerimaan bagi hasil adalah penerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah dalam bentuk persentase tertentu dari penerimaan pemerintah pusat yang sumbernya berasal dari daerah yang bersangkutan. Perlu diketahui bahwa mekanisme penerimaan pemerintah daerah terdiri dari tiga macam: (1) bagi hasil, (2) Pendapatan asli daerah (PAD) dan (3) bantuan pusat ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). PAD adalah pajak atau pungutan di daerah yang 100% hasilnya diterima oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Jika dibandingkan dengan PAD, Bagi Hasil terlihat kurang bebas dan kurang memberikan kepastian bagi daerah, karena persentasi bagi hasil dan prosedurnya ditentukan oleh pemerintah pusat. Dalam hal mengestimasi penerimaan, umumnya pemerintah daerah memiliki kemampuan yang lebih baik dalam hal mengestimasi PAD yang akan diterimanya dibandingkan dengan bagi hasil. Pada PAD, sumber dan aturannya penerimaannya 100% berada pada kontrol/pengawasan pemerintah daerah. Pada bagi hasil, kalau pun sudah jelas besarnya dana yang diberikan ke pusat oleh suatu daerah, alokasi yang dikembalikan ke daerah (share daerah) seringkali tidak jelas. Hal ini dapat terjadi karena: (1) mekanisme penyaluran yang kurang baik dan (2) Alokasi ke daerah tidak sepenuhnya didasarkan atas variabel potensi pajak bagi hasil. Misalnya pada pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Pajak ini dipungut berdasarkan banyaknya mobil, tetapi dialokasikan kembali ke daerah didasarkan atas panjang jalan. Adapun bantuan pusat ke daerah adalah penerimaan pusat yang dibagikan ke daerah berdasarkan aturan tertentu. Pada PAD dan bagi hasil, terdapat hubungan yang positif antara usaha melakukan pungutan (tax effort) dan produksi sumber daya alam di suatu daerah dengan penerimaan yang akan diterimanya. Semakin besar suatu daerah melakukan usaha pungutan atau usaha memproduksi sumber daya alam, semakin besar pendapatan yang akan diterimanya. Pada bantuan pusat ke daerah, hingga saat ini, tidak jelas apakah ada hubungan yang positif antara usaha suatu daerah dengan dana bantuan pusat ke daerah yang akan diterimanya. 3

25 Sebelum diterapkannya UU No. 25/1999 secara penuh, penerimaan bagi hasil amatlah terbatas, baik jenis maupun besarnya. Jenis bagi hasil sebelum UU No. 25/1999 antara lain: (1) Pajak Bumi dan Bangunan, (2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, (3) Iuran Hasil Hutan, (4) Iuran Hak Pengusahaan Hutan, dan (5) Iuran Tambang. Karenanya, umum diketahui bahwa peran bagi hasil dalam pembiayaan pengeluaran daerah selama ini relatif kecil. Bahkan peran bagi hasil ditambah dengan PAD terhadap pengeluaran daerah juga relatif kecil. Tabel 1 menunjukkan jumlah propinsi dengan bagi hasil plus PAD yang lebih besar dari rata-rata pengeluaran total propinsi per tahun (kurang lebih Rp. 283 milyar 1 ) dan jumlah propinsi dengan bagi hasil plus PAD lebih besar dari rata pengeluaran rutin tingkat propinsi per tahun (kurang lebih Rp. 134 milyar). Adapun nama-nama dari propinsi tersebut dapat dilihat di Tabel 2. Adapun untuk tingkat kabupaten/kota, datanya dapat dilihat di Tabel 3 dan 4. Perhatian, besarnya rata-rata pengeluaran total kabupaten/kota per tahun adalah Rp. 67 milyar, adapun rata-rata pengeluaran rutin kabupaten/kota per tahun adalah Rp. 46 milyar. Tabel 1. Perbandingan Bagi Hasil Plus PAD dengan Pengeluaran Total dan Pengeluaran Rutin Daerah Propinsi Jumlah Propinsi* Persentase PAD + Bagi Hasil Rata-rata Pengeluaran Total PAD + Bagi Hasil < Rata-rata Pengeluaran Total Total Propinsi PAD + Bagi Hasil Rata-rata Pengeluaran Rutin PAD + Bagi Hasil < Rata-rata Pengeluaran Rutin Total Propinsi * Data tahun 1998, tidak termasuk Timor-Timur 1 Pengeluaran Total dan Pengeluaran Rutin DKI Jakarta tidak dimasukkan dalam perhitungan rata-rata tahunan Pengeluaran Total dan Pengeluaran Rutin Propinsi. 4

PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA ALAM DAERAH

PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA ALAM DAERAH BAPPENAS PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA ALAM DAERAH Kebutuhan dan Permasalahannya Bekerjasama dengan : LPEM FEUI Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Lebih terperinci

Khoirunurrofik LPEM. Perhitungan Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Calculating Revenue Shares from Natural Resources)

Khoirunurrofik LPEM. Perhitungan Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Calculating Revenue Shares from Natural Resources) Khoirunurrofik LPEM Perhitungan Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Calculating Revenue Shares from Natural Resources) Regional University Consortium Conference: Regional Economic Development In A Decentralizing

Lebih terperinci

Otonomi Daerah Bidang Kehutanan

Otonomi Daerah Bidang Kehutanan Forests and Governance Programme No. 12/2007 Otonomi Daerah Bidang Kehutanan Implementasi dan Tantangan Kebijakan Perimbangan Keuangan Subarudi Haryatno Dwiprabowo Implementasi dan Tantangan Kebijakan

Lebih terperinci

Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman

Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman Kertas Kerja No. 06 Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman September 2004 Joint Secretariat: Jl. Gandaria Tengah VI No. 2 Kebayoran Baru Jakarta

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA DRAF NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR : 26/NKB.YK/2014 03/NKB/DPRD/2014 TANGGAL : 21 NOVEMBER 2014 TENTANG KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN

Lebih terperinci

Iklim Usaha di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU): Kajian Kondisi Perekonomian dan Regulasi Usaha

Iklim Usaha di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU): Kajian Kondisi Perekonomian dan Regulasi Usaha Menuju Kebijakan Promasyarakat Miskin melalui Penelitian Iklim Usaha di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU): Kajian Kondisi Perekonomian dan Regulasi Usaha Deswanto Marbun, Palmira Permata Bachtiar, & Sulton

Lebih terperinci

Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan

Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan Case Studies on Decentralization and Forests in Indonesia case study 11b Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan Sejarah, Realitas dan Tantangan Menuju Pemerintahan Otonomi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2010 TENTANC DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2010 TENTANC DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 79 TAHUN 2010 TENTANC BIAYA OPERAS1 YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUM1 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PERAN DANA BAGI HASIL (DBH) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH. Isti'anah Pemerhati Masalah Otonomi Daerah/Pegawai Depkeu ABSTRACT

OPTIMALISASI PERAN DANA BAGI HASIL (DBH) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH. Isti'anah Pemerhati Masalah Otonomi Daerah/Pegawai Depkeu ABSTRACT JURNAL INFORMASI, PERPAJAKAN, AKUNTANSI DAN KEUANGAN PUBLIK Vol. 3, No. 1, Januari 2008 Hal. 45-54 OPTIMALISASI PERAN DANA BAGI HASIL (DBH) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH Isti'anah Pemerhati Masalah Otonomi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Forests and Governance Programme. Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan. Jason M. Patlis

Forests and Governance Programme. Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan. Jason M. Patlis Forests and Governance Programme Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis Penulis, Jason M.

Lebih terperinci

Iklim Usaha di Provinsi NTT: Kasus Perdagangan Hasil Pertanian di Timor Barat

Iklim Usaha di Provinsi NTT: Kasus Perdagangan Hasil Pertanian di Timor Barat Laporan Penelitian Widjajanti I. Suharyo Nina Toyamah Adri Poesoro Bambang Sulaksono Syaikhu Usman Vita Febriany Iklim Usaha di Provinsi NTT: Kasus Perdagangan Hasil Pertanian di Timor Barat Maret 2007

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 40 TAHUN 1996 (40/1996) Tanggal : 17 JUNI 1996 (JAKARTA)

Lebih terperinci

Piagam Sumber Daya Alam. Edisi Kedua

Piagam Sumber Daya Alam. Edisi Kedua Piagam Sumber Daya Alam Edisi Kedua Piagam Sumber Daya Alam Edisi Kedua Rantai keputusan piagam sumber daya alam LANDASAN DOMESTIK UNTUK TATA KELOLA SUMBER DAYA Penemuan dan keputusan untuk mengekstraksi

Lebih terperinci

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota Pengantar K ebijakan perimbangan keuangan, sebagai bagian dari skema desentralisasi fiskal, memiliki paling kurang dua target

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR... 9 DAFTAR GAMBAR... 11 DAFTAR TABEL... 12 1. PENDAHULUAN... 14

DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR... 9 DAFTAR GAMBAR... 11 DAFTAR TABEL... 12 1. PENDAHULUAN... 14 1 P a g e 2 P a g e Daftar Isi DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR... 9 DAFTAR GAMBAR... 11 DAFTAR TABEL... 12 1. PENDAHULUAN... 14 1.1. Latar Belakang...14 1.2. Perumusan Masalah...16

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002 SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, pres-lambang01.gif (3256 bytes) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

PENGARUH TARIF BEA MASUK, KURS DAN VOLUME IMPOR TERHADAP PENERIMAAN BEA MASUK DI INDONESIA

PENGARUH TARIF BEA MASUK, KURS DAN VOLUME IMPOR TERHADAP PENERIMAAN BEA MASUK DI INDONESIA TESIS PENGARUH TARIF BEA MASUK, KURS DAN VOLUME IMPOR TERHADAP PENERIMAAN BEA MASUK DI INDONESIA I MADE ARYANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA MANFAAT PELARANGAN EKSPOR BAHAN MENTAH MINERBA DAN DAMPAKNYA TERHADAP SEKTOR INDUSTRI

ANALISIS BIAYA MANFAAT PELARANGAN EKSPOR BAHAN MENTAH MINERBA DAN DAMPAKNYA TERHADAP SEKTOR INDUSTRI REPUBLIK INDONESIA ANALISIS BIAYA MANFAAT PELARANGAN EKSPOR BAHAN MENTAH MINERBA DAN DAMPAKNYA TERHADAP SEKTOR INDUSTRI STUDI KASUS NIKEL & TEMBAGA BIRO PERENCANAAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 2012 KATA

Lebih terperinci

PANDUAN MASYARAKAT TENTANG SUBSIDI ENERGI DI INDONESIA PERKEMBANGAN TERAKHIR 2012

PANDUAN MASYARAKAT TENTANG SUBSIDI ENERGI DI INDONESIA PERKEMBANGAN TERAKHIR 2012 PANDUAN MASYARAKAT TENTANG SUBSIDI ENERGI DI INDONESIA PERKEMBANGAN TERAKHIR 2012 DISUSUN OLEH INTERNATIONAL INSTITUTE FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT S GLOBAL SUBSIDIES INITIATIVE DAN INSTITUTE FOR ESSENTIAL

Lebih terperinci

LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BATANG HARI. PEMERINTAH KABUPATEN BATANG HARI NERACA Per 31 Desember 2009 dan 2008

LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BATANG HARI. PEMERINTAH KABUPATEN BATANG HARI NERACA Per 31 Desember 2009 dan 2008 LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BATANG HARI 1. Neraca Komparatif PEMERINTAH KABUPATEN BATANG HARI NERACA Per 31 Desember 2009 dan 2008 URAIAN Reff 2009 2008 ASET 5.1.1 ASET LANCAR 5.1.1.a Kas di

Lebih terperinci

KOMITE STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN (KSAP)

KOMITE STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN (KSAP) KOMITE STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN (KSAP) Berdasarkan Pasal Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 00 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang menyatakan bahwa:. Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan

Lebih terperinci

Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia

Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia 0 Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia 1 The Asia Foundation Indonesia Jl. Adityawarman

Lebih terperinci

Konteks REDD+ di Indonesia. Pemicu, pelaku, dan lembaganya. Working Paper

Konteks REDD+ di Indonesia. Pemicu, pelaku, dan lembaganya. Working Paper Working Paper Konteks REDD+ di Indonesia Pemicu, pelaku, dan lembaganya Giorgio Budi Indrarto Prayekti Murharjanti Josi Khatarina Irvan Pulungan Feby Ivalerina Justitia Rahman Muhar Nala Prana Ida Aju

Lebih terperinci

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia Laporan Pengembangan Sektor Perdagangan Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN ( DALAM SATU NASKAH )

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN ( DALAM SATU NASKAH ) UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN ( DALAM SATU NASKAH ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara

Lebih terperinci