BAB I PENDAHULUAN. dihindari karena seiring dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dihindari karena seiring dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu tentu saja tidak dapat dihindari karena seiring dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Kemajuan peradaban dan budaya manusia di bidang IPTEK sudah mendunia dan menjdaikan planet bumi semakin kecil dan seolah-olah tak berbatas sehingga kejadian di salah satu tempat di bumi ini dengan cepat dan dalam waktu yang singkat bahkan bersamaan dapat diketahui di belahan bumi lainnya. Globalisasi di segala bidang berjalan ekstra cepat sehingga tidak mungkin satu negara mengisolasi diri secara politik,sosial budaya,ekonomi dan hukum dalam keterkaitan antar negara. Perkembangan masyarakat dan IPTEK senantiasa juga diikuti dengan perkembangan jenis-jenis kejahatan yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Dahulu ada semacam adagium yang meyatakan makin miskin suatu bangsa semakin tinggi tingkat kejahatan yang terjadi. Saat ini adagium ini hanya berlaku bagi kejahatan konvensional seperti perampokan, pencurian, penipuan, penggelapan dan lain-lain. 5 Pada awalnya, hanya kejahatan konvensional yang dianggap sebagai kejahatan, namun dalam perkembangannya, muncul jenis-jenis kejahatan baru yang kompleks seiring dengan perkembangan masyarakat. Menurut Soedjono 5 Dwidja Priyatno, 2009, Kebijakan LegilslasiTentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, CV.Utomo, Bandung, hlm. 1.

2 Dirdjosisworo, kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang cukup besar kerugian yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan Bank, kejahatan computer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan diajajakan lewat advertensi secara besar-besaran dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran. 6 Permasalahan dan persepsi masyarakat terhadap kejahatan masih berpola kepada kejahatan konvensional seperti pencurian dan pembunuhan. Hal ini karena kejahatan konvensional mudah diidentifikasi melalui korban yang muncul dari kejahatan konvensional tersebut. Demikian pula dengan pelaku kejahatan, pada awalnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana hanyalah orang (natural person). Permasalahan korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak lepas dari aspek hukum perdata. Dalam hukum perdata orang perseorangan bukanlah satu-satunya subyek hukum. Hal ini disebabkan masih ada subyek hukum lain yang memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan hukum sama seperti orang perseorangan. Pandangan seperti ini berbeda dengan KUHP yang hanya mengenal orang perseorangan sebagai 6 Ibid.

3 subyek hukum. Hal ini sejalan dengan asas universitas delinquere non potest yaitu badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. 7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan produk hukum Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi di wilayah Hindia Belanda. Subyek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang perorangan. Dengan kata lain, hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana dan hanya manusia yang dapat dituntut serta dibebani pertanggungjawaban pidana. KUHP tidak mengenal korporasi sebagai subyek hukum pidana. Hal ini didasarkan pada Pasal 59 KUHP, dimana apabila korporasi yang melakukan tindak pidana, maka pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus korporasi dalam hal pengurus korporasi melakukan tindak pidana dalam rangka mewakili atau dilakukan atas nama korporasi tersebut. Dalam perkembangannya, korporasi (juridical person) muncul sebagai subyek yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan, pelayanan dan kepastian hukum, serta mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi pada 7 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanngulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.21.

4 kepentingan nasional 8. Merupakan sebuah realita bahwa dewasa ini korporasi semakin memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya di bidang perekonomian. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sudah bergeser. Korporasi sudah dikenal dalam dunia bisnis sejak beberapa abad yang lalu. Pada awalnya, korporasi hanya merupakan suatu wadah kerjasama dari beberapa orang yang mempunyai modal, untuk mendapatkan keuntungan bersama, dan belum terlalu eksklusif seperti korporasi dewasa ini. Munculnya revolusi industri telah mendorong semakin berkembangnya korporasi sebagai badan hukum dan badan ekonomi. Peristiwa tersebut di atas tentu saja mendorong terjadinya perubahan di dalam masyarakat, dalam hal ini juga termasuk adanya perubahan dan perkembangan di dalam kejahatan atau tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud adalah munculnya atau lahirnya tindak pidana ekonomi sebagai dampak adanya perkembangan kegiatan ekonomi di dalam masyarakat. Dalam hal ini tindak pidana ekonomi biasanya disebut juga dengan kejahatan kerah putih (white collar crime), termasuk di dalamya adalah kejahatan di bidang perbankan, perlu diketahui bahwa kejahatan atau tindak pidana ekonomi secara garis besar adalah kejahatan yang mengandung motif-motif ekonomi dan lazimnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual dan mempunyai 8 Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Media Group, Jakarta, hlm. 12

5 posisi penting di dalam masyarakat atau pekerjaanya. Menurut Mardjono Reksodipuro yang dikutip Hermansyah, kejahatan ekonomi adalah setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang perekonomian dan bidang keuangan serta mempunyai sanksi pidana. Pendapat Edwin H. Sutherland yang dikutip oleh Hermansyah disebutkan bahwa kejahatan ekonomi merupakan white collar crime, yaitu suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dihormati dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya. 9 Secara garis besar kejahatan ekonomi/komersial tersebut dapat dibagi menjadi enam kategori, yaitu: Penyimpangan perbankan, yaitu penipuan uang muka, pemalsuan L/C, promes dan wesel, pemalsuan uang, penyimpangan dalam pengiriman uang dan lainlain. 2. Penyimpangan perdagangan, yaitu kepailitan, kejahatan perdagangan, perubahan asset perusahaan, dan pemalsuan kontrak. 3. Penyimpangan pembayaran perdagangan eceran, cek palsu, kartu kredit palsu, cek kosong. 4. Penyimpangan yang berkaitan dengan investasi, surat-surat berharga, saham dan obligasi palsu, manipulasi pasar. 5. Penyimpangan perusahaan. 6. Penyimpangan lainnya, seperti kejahatan komputer, kejahatan asuransi, dan penyimpangan pajak. Sebagaimana diketahui, bahwa tindak pidana perbankan merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana di bidang ekonomi. Tindak pidana di bidang perbankan dilakukan dengan menggunakan bank sebagai sarana dan prasaranya. 9 Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm Ibid.hlm.162

6 Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembagalembaga pemerintahan meyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Di Indonesia masalah yang terkait dengan bank diatur dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Termasuk dalam hal ini adalah Undang-Undang No.23 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, yang mana Bank Indonesia dalam hal ini sebagai Bank Sentral dan pada pokoknya memiliki tiga bidang tugas yaitu: 1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; 2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; 3. Mengatur dan mengawasi bank. Dunia perbankan yang merupakan sumbu tempat berputar sistem keuangan dari suatu lingkungan kehidupan masyarakat, dapat saja terjadi bank melakukan kegiatan-kegiatan yang menyimpang sehingga kepercayaan masayarakat menjadi berkurang, demikian juga di dunia usaha, serta dunia internasional terhadap kehidupan perbankan tersebut, dan memungkinkan juga negara dimana bank tersebut berada mengalami nasib yang sama. Permasalahan-permasalahan tersebut ditemui dalam bank itu sendiri secara intern maupun secara ekstern.

7 Pada tahun-tahun terahkir ini perbankan memang telah mengalami suatu ujian yang sangat berat terutama dalam profesionalisme kepengurusan bank. Adanya penipuan yang dilakukan oleh orang dalam perbankan mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Dikaitkan dengan Undang-Undang, siapakah yang akan bertanggungjawab jika terjadi permasalahan-permasalahan seperti itu, dikarenakan penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana perbankan sampai saat ini masih sulit untuk diterapkan. Walaupun Undang-Undang Perbankan sudah mengaturnya namun ternyata belum begitu sempurna cara penyelesaiannya, apabila diakaitkan dengan aspek pidananya. Berdasarkan hal tersebut di atas, secara garis besar pembagian mengenai tindak pidana perbankan yang terdapat di dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (UU Perbankan) terdapat tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam: 1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, diatur dalam Pasal Tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur dalam Pasal 47 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 47A. 3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank diatur dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2).

8 4. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a,b dan c, ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 dan Pasal 50A. Tindak pidana mengenai perizinan sebagaimana yang disebutkan di atas seperti pada pasal 46, maka perlu dijabarkan terlebih dahulu isi dari Pasal 46 UU Perbankan yang terdiri dari dua ayat yaitu: 1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/ atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa izin usaha dari Menteri sebagaiman dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,-(sepuluh milyar rupiah). 2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroaan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduaduanya. Pasal 46 dalam Undang-Undang Perbankan adalah satu-satunya yang mengenakan ancaman pidana terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau pimpinan bank. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 46 ayat (1) sering menimbulkan pertanyaan yaitu: Pertama, apakah yang dimaksud dengan menghimpun dana dari masyarakat. Kedua,apakah simpanan yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya berupa giro, tabungan, deposito dan sertifikat deposito atau juga meliputi bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Ketiga, apakah si pelaku harus menggunakan nama bank atau tidak. Perbuatan-perbuatan yang menyangkut lembaga perbankan tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi perorangan, masyarakat, lembaga perbankan itu sendiri dan pemerintah. Faktor-faktor yang

9 menjadi penyebab terjadinya tindak pidana perbankan tidak saja dikarenakan masih belum sempurnanya peraturan perundang-undangan perbankan maupun pidana yang ada, akan tetapi masih ada beberapa faktor lainnya seperti lemahnya peranan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang salah satu tugasnya adalah mengawasi dan membina industri perbankan merupakan pemicu terjadinya tindak pidana perbankan. Mengenai pertnggungjawaban pidana dalam ayat (2) tidak mengatur secara tegas bahwa korporasi dalam hal ini pihak Bank dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya, akan tetapi pertanggungjawaban pidana tersebut jatuh kepada pihak perorangan yang juga merupakan organ atau bagian dari korporasi tersebut. Tidak dapatnya badan hukum atau dalam hal ini korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan layaknya subyek hukum perorangan, maka tentu saja menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam upaya penegakan hukum pidana terutama dalam hal perbankan di Indonesia, karena jikalau hanya subyek hukum perorangan saja sedangkan korporasinya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban, maka bukan tidak mungkin kejahatan perbankan akan terus terjadi di kemudian hari. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian serta pembahasan terkait permasalahan tersebut dan akan disajikan dalam bentuk tesis dengan judul: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 10

10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka dapat dirumuskan masalah: 1. Apakah korporasi (Bank) dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam Tindak Pidana Perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan? 2. Bagaimana Ius Constituendum pertanggungjawaban korporasi dalam Tindak Pidana Perbankan? C. Tujuan Penelitian Dalam penelitian dan penulisan Tesis ini, penulis memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu: 1. Tujuan Subyektif Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data serta mengkaji data, sehingga dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik berupa Tesis, agar dapat memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar magister ilmu hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

11 2. Tujuan Obyektif Adapun tujuan obyektif dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan mengenai perkembangan hukum pidana Indonesia yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perbankan; 2) Untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan mengenai pandangan atau dasar pemikiran mengenai syarat-syarat bagi korporasi sebagai subyek hukum pidana agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana menurut Undang- Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi secara umum. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan dalam penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi, secara khusus yang melakukan tindak pidana perbankan. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat praktis, yaitu memperkaya pemikiran dan memberikan masukan bagi pemerintah yang berwenang yaitu Bank Indonesia, Lembaga Perbankan, para pihak yang akan melaksanakan Undang-Undang No.10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7

12 Tahun 1992 Tentang Perbankan yaitu, penyidik kepolisian, bahkan aparat penegak hukum lainnya, seperti jaksa dan hakim, serta bagi pemegang kewenangan legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang menentukan peraturan hukum berupa undang-undang, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Diharapkan pula penelitian ini dapat berguna bagi seluruh lapisan masyarakat secara luas termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat untuk bersama-sama mencegah dan menanggulangi kejahatan, khususnya kejahatan di bidang perbankan yang berupa penggelapan dana masyarakat yang dilakukan oleh pihak bank. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, baik terhadap tesis maupun karya ilmiah lainnya, maka ditemukan ada beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dengan objek, topik, maupun tema penelitian yang dilakukan oleh penulis. Namun, dalam penelitian yang akan ditulis oleh penulis tidak ditemukan penelitian yang sama persis dengan penelitian yang akan dilakukan dan dibahas oleh penulis. Adapun beberapa penulisan karya ilmiah yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan: 1. Tesis: Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanngulangan Tindak Pidana Di Bidang Perbankan. Oleh Ferizal, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Tahun Ferizal, 2001, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanngulangan Tindak Pidana Di Bidang Perbankan,Thesis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

13 Permasalahan yang diangkat adalah mengenai kebijakan legislatif dalam penanggulangan tindak pidana di bidang perbankan, mengenai kebijakan aplikatif hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana di bidang perbankan, mengenai prospek kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana di bidang perbankan di masa mendatang. Kesimpulan yang diperoleh adalah Kebijakan legislatif/tahap formulasi yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 merupakan kebijakan yang paling strategis, karena pada tahap ini dirumuskan garis-garis kebijaksanaan sistem pidana dan pemidanaan yang sekaligus sebgai landasan bagi tahap-tahap berikutnya yaitu tahap penerapan pidana oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelakasana pidana. Hal yang penting dari kebijaksanaan legislatif ini adalah sejauhamana posisi yang strategis dari kebijakan tersebut dapat mempengaruhi proses dan mekanisme penanggulangan kejahatan. Kebijakan aplikatif (penerapan) hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang perbankan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan satu kesatuan mekanisme untuk menanggulangi tindak pidana yang terjadi, diawalai tahap perumusan atau penetapan pidana oleh pembentuk undangundang (tahap kebijakan legislatif) dan diakhiri tahap pelakasanaan pidana (tahap eksekusi). Ketidakefisienan dan ketidakefektifan penerapan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, karena dalam praktek hanya sedikit sekali kasus tindak pidana di bidang perbankan yang dikenakan ketentuan undang-undang perbankan tersebut. Keadaan demikian disebabkan adanya undang-undang lain yang

14 seringkali diterapkan terhadap pelaku tindak di bidang perbankan yaitu KUHP dan Undang-Undang Korupsi. Dalam rangka mengantisipasi timbulnya tindak pidana di bidang perbankan di masa mendatang penggunaan hukum pidana masih dipandang sebagai sarana untuk menanggulangi tindak pidana, walaupun dalam penggunaannya perlu dilakukan secara selektif dan limitatif dengan memperhatikan kondisi subjektif pelaku tindak pidana, kondisi objektif perbuatan serta kebutuhan masyarakat itu sendiri. 2. Tesis Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Kejahatan Korporasi. Oleh Evan Elroy Situmorang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Tahun Permasalahan yang diangkat mengenai kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi dalam hukum positif Indonesia saat ini, kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi di masa yang akan datang. Kesimpulan yang diperoleh adalah Kebijakan formulasi mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korprorasi yang ada atau berlaku saat ini belum dapat mewujudkan pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut. Dengan kata lain, kebijakan formulasi yang ada saat ini belum mampu menjerat dan menjatuhkan sanksi pidana kepada korporasi yang melakukan kejahatan, terutama sanksi pidana yang berorientasi pada pemenuhan 12 Evan Elroy Situmorang, Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Kejahatan Korporasi,Thesis Fakultas Hukum Univeristas Diponegoro.

15 atau pemulihan hak-hak korban berupa pembayaran ganti kerugian setelah terjadinya kejahatan. Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korporasi di masa yang akan datang diharapkan lebih seragam dan konsisten dalam hal penentuan kapan suatu tindak pidana dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan korporasi, siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana dalam kejahatan korporasi, serta jenis-jenis sanksi apa yang sesuai untuk korporasi yang melakukan kejahatan, terutama dalam rangka memberikan pemenuhan dan pemulihan hak-hak korban atas kejahatan yang dilakukan korporasi, serta dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan korporasi itu sendiri. Berdasarkan hal-hal yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi secara umum pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana tertentu. Namun, penelitian tersebut tidak sama persis karena penelitian tersebut memiliki permasalahan yang berbeda dengan yang dikaji penulis berdasarkan Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Bank Indonesia. Penulis mengkaji Undang-Undang tersebut secara mendalam. Penulis juga meneliti mengenai pandangan-pandangan masa kini. Selain itu, penulis meneliti dan mengkaji mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan akibat dimasukkannya korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Penulis juga meneliti tentang adanya kemungkinan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perbankan.

16 Sehingga jelas bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh penulis diyakini keasliannya serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya oleh penulis.

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan Masyarakat dan sebagaian Masyarakat merasa dirugikan oleh pihak yang berbuat kejahatan tersebut,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472] BAB VIII KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 46 (1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang didasarkan atas hukum bukan didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen ke-3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat (memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi), sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat (memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi), sedangkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kehadiran korporasi dalam era globalisasi dan perekonomian bebas dewasa ini dapat diibaratkan seperti pedang bermata dua. Disatu sisi dapat bermanfaat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perputaran uang yang terjadi, hal itu akan semakin mendorong pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. perputaran uang yang terjadi, hal itu akan semakin mendorong pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman dan teknologi di dunia ini, tidak diragukan lagi telah membawa dampak yang sangat berarti terhadap perkembangan seluruh negara. Tidak terkecuali Indonesia.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaedah hukum yang berbentuk peraturan dibedakan menjadi peraturan atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif ialah yang memberikan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan semakin besar. Kebutuhan yang semakin besar ini tidak akan dapat

BAB I PENDAHULUAN. akan semakin besar. Kebutuhan yang semakin besar ini tidak akan dapat A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional suatu negara, diperlukan pembiayaan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Kebutuhan pembiayaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah perubahan fungsi yang dijalankan dalam masyarakat, yakni terjadinya spesialisasi melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790]

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790] UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790] 33. Ketentuan Pasal 46 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 46 ayat (1) menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM. Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan masalah serius yang dapat membahayakan stabilitas keamanan negara, masyarakat, serta merugikan keuangan negara. Di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dewasa ini begitu pesat. Ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting dalam kemajuan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usahausaha. yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usahausaha. yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat melaksanakan reformasi pembangunan. Dalam pelaksanaan pembangunannya, bangsa Indonesia membutuhkan suatu kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP O L E H PUTERI HIKMAWATI PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 Syapri Chan, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan E-mail : syapri.lawyer@gmail.com Abstrak Korporasi

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut :

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut : 1 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa konsep Korporasi sebagai subyek tindak pidana telah dirumuskan

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN DALAM BERBAGAI PERATURAN. A. Pengaturan dan Jenis-jenis Tindak Pidana Di Bidang Perbankan

BAB II TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN DALAM BERBAGAI PERATURAN. A. Pengaturan dan Jenis-jenis Tindak Pidana Di Bidang Perbankan BAB II TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN DALAM BERBAGAI PERATURAN A. Pengaturan dan Jenis-jenis Tindak Pidana Di Bidang Perbankan Semakin banyak kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank, semakin banyak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. korupsi telah membuat noda hitam di lembaran sejarah bangsa kita. Bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. korupsi telah membuat noda hitam di lembaran sejarah bangsa kita. Bagaimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tindak pidana yang telah menjadi bahaya laten bagi bangsa kita adalah korupsi. Korupsi yang terjadi dewasa ini memang sudah sangat membahayakan bagi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana halnya dengan negara-negara lain di dunia, negara Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan pencapaian tersebut harus

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Wahyu Beny Mukti Setiyawan, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Surakarta Hp : 0857-2546-0090, e-mail : dosenbeny@yahoo.co.id A. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Dalam sejarah pasar modal Indonesia, kegiatan jual beli saham dan

BAB I PENGANTAR. Dalam sejarah pasar modal Indonesia, kegiatan jual beli saham dan 1 BAB I PENGANTAR 1. 1. LATAR BELAKANG Dalam sejarah pasar modal Indonesia, kegiatan jual beli saham dan obligasi dimulai pada abad ke-19, jual beli efek telah berlangsung sejak 1880. Pada tanggal 14 Desember

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

Buku ini ditujukan kepada masyarakat luas dan akan menyajikan tipologi tindak pidana perbankan serta tips pencegahan terjadinya tindak pidana

Buku ini ditujukan kepada masyarakat luas dan akan menyajikan tipologi tindak pidana perbankan serta tips pencegahan terjadinya tindak pidana iii Buku ini ditujukan kepada masyarakat luas dan akan menyajikan tipologi tindak pidana perbankan serta tips pencegahan terjadinya tindak pidana perbankan. iv KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. 1 Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam berbagai hubungan bisnis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara berkembang di dunia telah melakukan pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Wahyu Beny Mukti Setiyawan, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Surakarta Hp : 0857-2546-0090, e-mail : dosenbeny@yahoo.co.id

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu hangat untuk diperbincangkan dari masa ke masa, hal ini disebabkan karakteristik dan formulasinya terus

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh :

PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh : PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh : Dr. Hassanain Haykal, SH.,M.Hum ABSTRAK Bank sebagai

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL [LN 1995/64, TLN 3608]

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL [LN 1995/64, TLN 3608] UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL [LN 1995/64, TLN 3608] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 103 (1) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa izin, persetujuan, atau pendaftaran

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 alinea ke- IV terkandung sejumlah tujuan negara yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia, diantaranya membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan masyarakat modern yang serba kompleks, semakin. dinamika itu dapat dilihat dan dirasakan antara lain dalam bidang ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan masyarakat modern yang serba kompleks, semakin. dinamika itu dapat dilihat dan dirasakan antara lain dalam bidang ilmu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan masyarakat modern yang serba kompleks, semakin berkembang dan dinamis seiring bergeraknya waktu. Perkembangan dan dinamika itu dapat dilihat dan dirasakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bank Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. Beberapa pengertian bank telah dikemukakan baik oleh para ahli maupun menurut ketentuan undang-undang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg-Acton) dalam suratnya kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara korupsi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang

BAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Profesi hukum termasuk didalamnya profesi Notaris, merupakan suatu profesi khusus yang sama dengan profesi luhur lainnya yakni profesi dalam bidang pelayanan kesehatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menjadi sarana dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah yaitu kebijakan

I. PENDAHULUAN. yang menjadi sarana dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah yaitu kebijakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu penunjang perekonomian di Indonesia adalah lembaga perbankan (bank) yang memiliki peran besar dalam menjalankan kebijaksanaan perekonomian. Untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita Negara Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri negara yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita Negara Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri negara yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita Negara Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri negara yaitu Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

1.4. Modul Mengenai Pengaturan Pemberantasan Pencucian Uang Di Indonesia

1.4. Modul Mengenai Pengaturan Pemberantasan Pencucian Uang Di Indonesia Modul E-Learning 1 PENGENALAN ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENDANAAN TERORISME Bagian Keempat. Pengaturan Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang di Indonesia Tujuan Modul bagian keempat yaitu Pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan tugas dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH [LN 2008/94, TLN 4867]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH [LN 2008/94, TLN 4867] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH [LN 2008/94, TLN 4867] BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 59 (1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan penghimpunan

Lebih terperinci

WHITE COLLOR CRIME SEBAGAI KEJAHATAN INDIVIDUAL YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM PIDANA DAN KEGIATAN PEREKONOMIAN

WHITE COLLOR CRIME SEBAGAI KEJAHATAN INDIVIDUAL YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM PIDANA DAN KEGIATAN PEREKONOMIAN WHITE COLLOR CRIME SEBAGAI KEJAHATAN INDIVIDUAL YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM PIDANA DAN KEGIATAN PEREKONOMIAN Oleh : H.MUHAMMAD BADRI.SH.MH. Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. munculnya Internethingga akhirnya tiba di suatu masa dimana penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. munculnya Internethingga akhirnya tiba di suatu masa dimana penggunaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini teknologi mengalami perkembangan diseluruh belahan dunia termasuk juga Indonesia. Salah satu perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya Internethingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi)

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi) ketatanegaraan. Hal ini tersirat dalam Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Lebih terperinci

Azas-Azas Perbankan. Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS, SH, MH

Azas-Azas Perbankan. Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS, SH, MH Azas-Azas Perbankan Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS, SH, MH Azas Perbankan bagi kegiatan Perbankan Terdiri dari: 1. Azas Demokrasi Ekonomi 2. Azas Prinsip Kehati-hatian 3. Azas Tujuan dan Manfaat 4. Azas Kerahasiaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai negara yang memiliki posisi strategis dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai negara yang memiliki posisi strategis dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara yang memiliki posisi strategis dalam kehidupan internasional, baik dari aspek geografis maupun potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan semata, hal ini berdasarkan penjelasan umum tentang sistem pemerintahan negara Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612]

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612] UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612] BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 102 Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa

Lebih terperinci

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN I. UMUM Upaya menciptakan Lembaga Jasa Keuangan

Lebih terperinci

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright 2002 BPHN UU 20/1997, PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK *9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Perseroan terbatas merupakan suatu badan hukum yang berbeda dengan negara sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

Lebih terperinci

TINDAK-TINDAK PIDANA PERBANKAN INDONESIA Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., FCBArb

TINDAK-TINDAK PIDANA PERBANKAN INDONESIA Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., FCBArb TINDAK-TINDAK PIDANA PERBANKAN INDONESIA Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., FCBArb 1. PENGERTIAN TINDAK PIDANA PERBANKAN Arti luas: TPP adalah perilaku (conduct), baik berupa melakukan sesuatu (commission)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720] Bagian Kedua Ketentuan Pidana Pasal 71 (1) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan Perdagangan

Lebih terperinci