BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu hangat untuk diperbincangkan dari masa ke masa, hal ini disebabkan karakteristik dan formulasinya terus mengalami perubahan seiring dengan pola perkembangan masyarakat dan kecanggihan teknologi, dahulu ketika masa nomaden maka manusia melakukan tindak pidana cukup dengan kekerasan fisik, setelah manusia hidup di zaman batu dan logam mulai dikenal tindak pidana dengan menggunakan alat dan memasuki era industrialisasi maka tindak pidana mulai beragam baik dilihat dari sudut pelaku dan jenis tindak pidana 1 Berbicara mengenai hukum pidana di Indonesia maka tentunya tidak lepas dari pembahasan mengenai hukum pidana secara formil dan hukum pidana secara materiil, penyelenggaraan peradilan pidana merupakan suatu mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum dan dalam hal ini adalah Polisi, Jaksa, Hakim dan dimana proses penegakan hukum tersebut dimulai dari penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan 1 Teguh Prasetyo, Abdul halim Barkatullah 2005, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, hlm. Pengantar 1

2 2 disidang pengadilan dengan melihat kaidah-kaidah hukum dan aturan-aturan hukum yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, sehingga pemidanaan bukanlah merupakan suatu upaya balas dendam melainkan suatu proses dalam mencari keadilan. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya, 2 ini disebut asas legalitas dalam hukum pidana. Dikatakan selanjutnya bahwa azas ini dikenal dengan adagium nullum delictum noella poene praevia sine lege poenali, secara singkat, nullum crimen sine lege yang berarti tidak ada tindak pidana tanpa undang-undang, dan nulla poene sine lege berarti tidak ada pidana tanpa undangundang Sementara itu, hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat, yakni pertama, sebagai sarana pengendali social, kedua, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi social, ketiga, sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu 3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan induk peraturan positif mengenai tindak pidana yang keberlakuannya disahkan melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. KUHP yang berlaku sekarang ini merupakan hukum pidana pokok yang berlaku, disampingnya masih banyak terdapat 2 Schaffmeister,D.(et al), Hukum Pidana, Diterjemahkan J.E. Sahetapy 2003, Liberty, Yogyakarta, Cet. Ke-2, hlm. 1 3 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm..34

3 3 peraturan-peraturan yang mengandung hukum pidana 4. Bila disimak dari sudut perkembangannya, maka penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erta dengan masalah kriminalisasi, yaitu proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana 5 Proses kriminalisasi tersebut diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan dimana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana yang siap diterapkan oleh hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi 6 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam mengahadapi masalah yang diatas, yang sering disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut 7 : 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas masyarakat 4 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (t.k. Balai Lektur Mahasiswa, t.t.) hlm. 8 5 Muladi, Demokratisasi, 2002, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta,, hlm Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hlm Ibid, 44-48

4 4 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) 4. Pendekatan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overblasting) Pada tahun 1960 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan penetapan melalui Perppu, sehingga beberapa ketentuan dalam KUHP tersebut kemudian mengalami beberapa perubahan dengan dikeluarkannya Perpu No. 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam KUHP. Ketentuan yang diubah dalam Perpu tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan yang terkait dengan Tindak Pidana Ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP. Ketentuan nilai barang dalam perkara Tindak Pidana Ringan dengan dikeluarkannya Perpu tersebut telah diubah menjadi Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) yang sebelumnya hanya bernilai Rp. 25,- (dua puluh lima rupiah). Hal ini didasarkan pada penyesuaian nilai barang yang mengalami kenaikan. Akan tetapi, pada selang waktu dikeluarkannya Perpu No. 16 Tahun 1960 sampai dengan akhir tahun 2011 pemerintah belum lagi melakukan penyesuaian nilai rupiah pada batasan Tindak Pidana Ringan dalam KUHP tersebut. Hal tersebut tentunya, berimplikasi pada tidak efektifnya pasalpasal yang mengatur Tindak Pidana Ringan dalam KUHP karena hampir tidak ada kasus-kasus yang terjadi memiliki objek perkara yang bernilai dua ratus lima puluh rupiah. Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) telah melakukan penyesuaian terhadap kriteria tindak pidana ringan atau tindak pidana biasa, lewat Peraturan

5 5 Mahkamah Agung Republik Indonesia No.2 Tahun 2012, tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Tindak pidana ringan membawa konsekuensi ancaman hukuman pidana maksimum yang lebih rendah, dan terhadap tersangka atau terdakwa tidak dapat dikenai penahanan, penggunaan acara pemeriksaan cepat, dan terhadap perkara-perkara tindak pidana ringan demikian tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi. Hal ini didasari bahwa dengan banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil, yang kerap kali mendapat sorotan media atas diadilinya pelaku dipengadilan, cukup mendapat perhatian masyarakat. Publik menilai bahwa sangatlah tidak adil jika perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman hukum 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya. Perkaraperkara tersebut juga telah membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun persepsi publik terhadap peradilan. Perkara pencurian ringan tidak tepat didakwa dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun. Perkara tersebut seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan (lichte misdrijven) dan seharusnya lebih tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara atau denda paling banyak Rp.250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Jika perkara pencurian ringan tersebut didakwa dengan pasal 364 KUHP, maka tentunya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

6 6 (KUHAP), para tersangka/terdakwa dalam perkara tersebut tidak dapat dikenakan penahanan (Pasal 21) serta acara pemeriksaan di pengadilan yang digunakan haruslah Acara Pemeriksaan Cepat yang cukup diperiksa oleh Hakim Tunggal sebagaimana diatur dalam pasal KUHAP. Mahkamah Agung Republik Indonesia paham mengapa Penuntut Umum (Kejaksaan) selama ini mendakwa para terdakwa dalam perkara tindak pidana dengan menggunakan Pasal 362 KUHP, oleh karena batasan pencuarian ringan yang diatur dalam Pasal 364 KUHP saat ini adalah barang atau uang yang nilainya dibawah Rp.250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat ini, sudah hampir tidak ada barang yang nilainya di bawah Rp.250,- tersebut. Bahwa sejak tahun 1960 seluruh nilai uang yang terdapat dalam KUHP belum pernah disesuaikan kembali. Hal ini berimplikasi pada digunakannya pasal pencurian biasa yang diatur dalam pasal 362 KUHP atas tindak pidana yang diatur dalam pasal 364 KUHP 8 Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2012 : Kata-kata dua ratus lima puluh rupiah dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp ,- (dua juta lima ratus ribu rupiah), 9 sementara Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2012, dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan dari penuntut umum, Ketua Pengadilan wajib memerhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara dan memperhatikan pasal 1 diatas 10, dan 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012, Tentang Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP 9 Ibid, pasal 1 10 Ibid, pasal 2.1

7 7 dalam pasal 2.2 Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012 menyatakan apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp ,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam pasal Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana 11. Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2012 mengatur: Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan pasal 3 diatas. 12. Mahkamah Agung menjelaskan, bahwa Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2012 tersebut diterbitkan semata demi tujuan pengefektian kembali pasal-pasal tindak pidana ringan seperti Pasal 364 KUHP, sehingga permasalahanpermasalahan yang terjadi dalam perkara-perkara yang saat ini menjadi perhatian masyarakat tersebut tidak terulang kembali dan tentunya besar harapan agar Pemerintah dan DPR perlu melakukan perubahan atas KUHP, khususnya terhadap seluruh nilai rupiah yang ada dalam KUHP. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2012 ini merupakan upaya terobosan mengingat lambatnya gerak Pemerintahan Republik Indonesia dan untuk itu Peraturan Mahkamah Agung ini guna menyesuaikan nilai jumlah uang yang menjadi batasan tindak pidana ringan, baik yang diatur dalam Pasal 364 KUHP maupun pasal-pasal lainnya, yakni Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 384 (penipuan 11 Ibid, pasal Ibid, pasal 4

8 8 ringan oleh penjual), Pasal 407 ayat (1) (perusakan ringan) dan Pasal 482 (penadahan ringan). Dikarenakan syarat penahanan terhadap tersangka ataupun terdakwa menurut KUHAP adalah mereka yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih sesuai Pasal 21 KUHAP maka bagi tindak pidana ringan yang memiliki ancaman hukuman maksimum kurang dari 5 (lima) tahun, terhadap tersangka ataupun terdakwa tindak pidana ringan tidaklah dapat dilakukan penahanan. Mahkamah Agung dalam penjelasan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012, mengakhiri dengan menerangkan bahwa selain itu untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi beban lembaga pemasyarakatan yang saat ini telah banyak yang melampaui kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan baru, sejauh mungkin para hakim mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang akan dijatuhkannya, dengan tetap mempertimbangkan beban ringannya perbuatan serta rasa keadilan masyarakat. Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya NOTA KESEPAKATAN BERSAMA antara Ketua MA RI, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-

9 9 07.HM Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 (untuk selanjutnya cukup disebut Nota Kesepakatan). Nota kesepakatan tersebut haruslah menjadi pegangan bagi para penegak hukum di Indonesia sebagai acuan menerapkan pidana ringan dan jumlah denda dalam penegakan hukum di Indonesia dengan mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012 tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah proses penanganan perkara tindak pidana ringan pasca terbitnya peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 tahun 2012? 2. Kendala-kendala yang akan terjadi dalam proses penanganan perkara tindak pidana ringan pasca terbitnya peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 tahun 2012?

10 10 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganilis tentang pelaksanaan ketentuan formil mengenai proses penanganan perkara tindak pidana ringan pasca terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 tahun b. Untuk mengetahui persepsi penegak hukum terhadap Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 tahun Tujuan Subjektif Untuk mendapatkan data dalam rangka menyusun penulisan hukum sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum Litigasi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Untuk melaksanakan dan mengamalkan salah satu isi dari Tri dharma Perguruan Tinggi yaitu riset atau Penelitian. Penulisan ini secara teoritis hasilnya akan dievalusasi dan diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya terutama dalam pengembangan ilmu hukum

11 11 2. Manfaat Praktis Untuk menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum secara pidana, khususnya terkait dengan proses penanganan perkara penanganan perkara tindak pidana ringan pasca terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 tahun 2012 E. Keaslian penelitian. Berdasarkan hasil penelitian kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, diketahui ada Penulisan Hukum yang terkait dengan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 02 TAHUN 2012 YANG DAPAT DIKATEGORIKAN SEBAGAI TINDAK PIDANA RINGAN antara lain adalah : Penulisan Hukum oleh Sentot Kunto Wibowo, SH., Sik., Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Hukum Litigasi yang berjudul Analisis Yuridis Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2012, Tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan & Penyesuaian Denda dalam KUHP 13 Penulisan hukum tersebut tidak secara khusus membahas tentang Persepsi Penegak Hukum terhadap Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 tahun 2012 yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, kesimpulan dari penulisan hukum tersebut adalah bahwa dengan dikeluarkannya Peraturan 13 Sentot Kunto Wibowo, Analisis Yuridis Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

12 12 Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012 tersebut maka para penegak hukum sudah sepantasnya menggunakan/menerapkan Peraturan Mahkamah Agung tersebut yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan, melakukan penuntutan dan mengadili perkara tindak pidana ringan. Terdapat perbedaan antara penulisan hukum diatas dengan penulisan hukum yang diajukan oleh penulis bahwa penulisan hukum yang diajukan oleh penulis adalah lebih kepada persepsi para penegak hukum dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012, dan dengan demikian Penulis berkesimpulan bahwa Penulisan Hukum yang Penulis ajukan terkait dengan Persepsi Penegak Hukum terhadap Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 tahun 2012 yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, telah dapat digunakan untuk memenuhi kaedah keaslian penelitian.