BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres Akulturatif Pengertian Stres Akulturatif Stres secara umum dimengerti sebagai suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 2009). Oliver dkk. (1999, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan bahwa stres adalah suatu peristiwa fisik atau psikologis apapun yang dipersepsikan sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional. Baum (1990, dalam Taylor dkk. 2009) mengatakan bahwa stres adalah pengalaman emosi negatif yang diiringi dengan perubahan fisiologis, biokimia, dan behavioral yang dirancang untuk menyesuaikan diri terhadap stresor dengan cara memanipulasi situasi atau mengubah stresor atau dengan mengakomodasi efeknya. Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Sutherland dan Cooper (1990, dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa stres didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan dalam memenuhi tuntutan tersebut. Herskovits dkk. (1939, dalam Berry dkk. 1999) mengatakan bahwa akulturasi adalah fenomena yang terjadi ketika kelompok- 15

2 kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam kontak langsung disertai perubahan terus-menerus, sejalan dengan pola-pola budaya asal dari kelompok itu atau dari kedua kelompok. Santrock (2002) memberi definisi mengenai akulturasi sebagai perubahan kebudayaan akibat dari kontak langsung dan terus-menerus antara dua kelompok budaya yang berbeda. Santrock (2002) mengatakan bahwa stres ialah respon individu terhadap keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa (disebut stressor ) yang mengancam individu dan mengurangi kemampuan individu dalam mengatasi segala bentuk stressor. Stressor tersebut dapat berasal dari berbagai sumber, salah satunya adalah faktor sosial budaya. Lebih lanjut Santrock (2002) mengatakan bahwa faktor-faktor sosial budaya di dalam stres di antaranya adalah stres akulturatif dan stres sosial ekonomi. Santrock (2002) mengatakan bahwa stres akulturatif ialah akibat negatif dari akulturasi. Huang & Gibbs (1989, dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa anggota-anggota kelompok minoritas etnis secara historis telah mengalami permusuhan, prasangka buruk, dan kurangnya dukungan yang efektif selama masa-masa krisis, yang menyumbang bagi timbulnya rasa alienasi, isolasi sosial, dan stres tinggi. Berry dkk. (1999) mengatakan bahwa kondisi saat individu mengalami tekanan akibat akulturasi dengan budaya asing disebut sebagai stres akulturatif. Konsep stres akulturatif mengacu pada satu macam stres yang stresornya diketahui bersumber dalam proses-proses akulturasi. Ada serangkaian perilaku stres khusus selama akulturasi, seperti penurunan status kesehatan mental terutama kecemasan, 16

3 depresi, perasaan marjinalitas dan alienasi, aras simtom psikosomatis meningkat, dan kebingungan identitas diri. Stres akulturatif didefinisikan oleh Wei et.al. (2007) sebagai reaksi stres dalam menanggapi peristiwa kehidupan yang berakar pada pengalaman akulturasi, kesulitan psikologis dalam beradaptasi dengan budaya baru, atau stresor psikososial akibat dari ketidakbiasan dengan hal dan norma-norma sosial yang baru. Sumber stres akulturatif sering meliputi tekanan akademik, kesulitan bahasa, perasaan rendah diri, kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan makanan baru atau nilainilai budaya, kurangnya dukungan, diskriminasi yang dirasakan, dan kerinduan (Sandhu & Asrabadi, 1994, dalam Wei dkk., 2007). Williams & Berry (1991, dalam Crockett et.all. 2007) mengatakan bahwa stres akulturatif terjadi ketika individu mengalami masalah yang timbul dari proses akulturasi. Hal ini dapat berasal dari nilai-nilai budaya yang tidak sama atau sejenis, kesulitan bahasa, dan diskriminasi. Lebih lanjut, Crockett et.all. (2007) mengatakan bahwa ketika ada tekanan untuk berasimilasi, kurangnya kompetensi antarbudaya, atau diskriminasi dianggap melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasi, hal ini akan mengarah pada persepsi subjektif dari stres sampai pada emosi negatif. Stres akulturatif telah dikaitkan dengan gejala depresi dan terkadang juga dikaitkan dengan gejala kecemasan yang lebih dalam. Berdasarkan uraian yang dikemukakan para tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa stres akulturatif adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis terhadap peristiwa yang dipersepsikan 17

4 sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional, yang bersumber dari adanya perbedaan budaya Teori Stres Akulturatif Para teoretikus sosiokultural telah memperingatkan kita tentang pentingnya memperhitungkan stresor dalam menjelaskan tingkah laku abnormal. Salah satu sumber stres utama adalah kebutuhan atau tuntutan untuk beradaptasi dengan kultur baru, hal ini terjadi dalam kelompok imigran atau kelompok penduduk asli yang hidup dalam kultur mayoritas kelompok pendatang. Istilah akulturasi (acculturation) menunjukkan pada suatu proses adaptasi terhadap kultur baru melalui perubahan sikap dan tingkah laku, yang harus dilakukan oleh kelompok imigran dan penduduk asli (Rogler dkk. 1991, dalam Nevid dkk. 2005). Ada dua teori umum tentang hubungan akulturasi dengan penyesuaian diri (Griffith, 1983, dalam Nevid dkk., 2005): a. Teori pertama disebut teori peleburan (melting pot theory), menyatakan bahwa akulturasi membantu orang menyesuaikan diri dengan kultur setempat. Dari sudut pandang ini, Hispanik-Amerika dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan mengganti bahasa Spanyolnya dengan bahasa Inggris dan mengambil atau memakai nilai-nilai dan adat istiadat kultur mayoritas orang Amerika. b. Teori yang ke dua, teori bikultural (bicultural theory), mengemukakan bahwa penyesuaian psikososial dilakukan dengan mengidentifikasi diri ke dalam kedua kultur, kultur tradisional tempat asal dengan kultur setempat. Dimaksudkan di sini, kemampuan adaptasi terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat 18

5 yang baru, dipadukan dengan tradisi kultural yang mendukung dan perasaan memiliki identitas etnik, akan menghasilkan penyesuaian yang baik. Dari sudut pandang teori bikultural, para imigran mempertahankan identitas etnik dan nilai-nilai tradisi mereka sambil mempelajari dan beradaptasi dengan bahasa dan adat istiadat kultur setempat. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua teori tentang stres akulturatif, yaitu teori peleburan (melting pot theory) dan teori bikultural (bicultural theory) Aspek-aspek Stres Akulturatif Berry dkk. (1999) mengatakan bahwa stres akulturatif merupakan suatu fenomena yang mungkin mendasari suatu reduksi dalam status kesehatan individu (aspek fisik, psikologis, dan sosial). Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al.., 2007) mengatakan bahwa aspek-aspek dari stres akulturatif yang menonjol pada mahasiswa dapat berhubungan dengan kurang mahirnya bahasa atau ketidakbiasaan dengan praktek-praktek budaya yang berlaku dan pengalaman sistem nilai yang bertentangan. Berbagai pengukuran terhadap stres akulturatif telah dilakukan sebelumnya, seperti Cornell Medical Index (Broadman dkk., 1952, dalam Berry dkk., 1999). Aspek stres akulturatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu keberfungsian somatis dan kehidupan psikologis. Penelitian Wei dkk. (2007) mengukur stres akulturatif menggunakan Acculturative Stress Scales for International Student (ASSIS) dari Sandhu & Asrabadi (1994). ASSIS merupakan alat ukur yang menilai stres akulturatif siswa internasional, terdiri dari 36 aitem 19

6 yang meliputi tujuh aspek atau faktor yaitu persepsi diskriminasi, kerinduan, menerima kebencian, takut, stres karena perubahan/ culture shock/ kekagetan budaya, rasa bersalah, dan kekhawatiran nonspesifik. Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al., 2007) melakukan penelitian tentang stres akulturatif dengan menggunakan empat domain yaitu : domain keluarga, sikap, sosial, dan domain lingkungan. Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa aspek dan domain stres akulturatif. Pada penelitian ini, pengukuran mengenai stres akulturatif mendasarkan pada skala Acculturative Stress Scales for International Student (ASSIS; dari Sandhu & Asrabadi, 1994), karena memiliki aspek atau domain yang lebih lengkap yaitu persepsi diskriminasi, kerinduan, menerima kebencian, takut, stres karena perubahan/ culture shock/ kekagetan budaya, rasa bersalah, dan kekhawatiran nonspesifik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Akulturatif Nevid dkk. (2005) merangkum berbagai pendapat tokoh dan mengatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi stres akulturatif sebagai berikut: a. Coping stress Pada umumnya coping stres terdiri dari coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) dan coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping). Pada coping yang berfokus pada emosi, individu berusaha segera mengurangi dampak stressor, dengan menolak adanya stressor atau menarik diri dari situasi. Coping yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan 20

7 stressor atau tidak juga membantu individu dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengatur stressor, sebaliknya, pada coping yang berfokus pada masalah, individu menilai stressor yang dihadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stressor atau memodifikasi reaksinya untuk meringankan efek dari stressor tersebut. b. Harapan akan self-efficacy Harapan akan self-efficacy berkenaan dengan harapan individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif (Bandura, 1982, 1986, dalam Nevid dkk. 2005). Individu mungkin dapat mengelola stres dengan lebih baik, termasuk stres karena penyakit, jika percaya diri dan yakin bahwa dirinya mampu mengatasi stres dan memiliki harapan yang tinggi. c. Ketahanan psikologis Ketahanan psikologis (psychological hardiness) atau sekumpulan trait individu yang dapat membantu dalam mengelola stres yang dialami. d. Optimisme Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang mempunyai nilai optimisme lebih tinggi melaporkan dapat lebih menekan gejala fisik seperti kelelahan, pusing, pegal-pegal, dan penglihatan yang kabur. Gejala pada subjek penelitian di awal penelitian diperhitungkan secara statistik sehingga dapat dikatakan 21

8 bahwa studi tersebut semata-mata menunjukkan bahwa individu yang sehat akan cenderung lebih optimis. e. Dukungan sosial Para peneliti percaya bahwa memiliki kontak sosial yang luas membantu melindungi sistem kekebalan tubuh terhadap stres. Berry & Kim (1988, dalam Berry dkk., 1999) menemukan faktor budaya dan psikologis yang menentukan hubungan akulturasi dan kesehatan mental. Faktor-faktor yang memperantarai hubungan antara akulturasi dan stres tersebut yaitu: a. Modus akulturasi: integrasi, asimilasi, separasi, dan marjinalisasi Modus akulturasi merupakan satu faktor penting: mereka yang merasa termarjinalisasi ( terpinggirkan ) cenderung mengalami stres lebih tinggi, mereka yang mengutamakan suatu tujuan separasi (pemisahan) juga cenderung stres. Sebaliknya, yang berupaya melakukan integrasi (mempererat) mengalami stres secara minimal, sementara asimilasi membawa ke derajat-derajat menengah. b. Fase akulturasi: kontak, konflik, krisis, adaptasi Dalam banyak kajian, ada upaya untuk mengaitkan gejalagejala stres akulturatif dengan suatu fase tertentu dari akulturasi. Mereka yang dalam kontak pertama dan telah mencapai sementara adaptasi yang stabil cenderung mengalami stres minimal, sebaliknya mereka yang mengalami konflik dan krisis akan memperlihatkan stres. c. Keberadaan masyarakat yang lebih luas: multikultural lawan asimilasionis 22

9 Keberadaan masyarakat majemuk secara budaya memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap perbedaan budaya, serta memungkinkan untuk memberikan dukungan terhadap proses akulturasi. Pada dasarnya masyarakat tersebut memiliki toleransi yang lebih besar atau penerimaan keberagaman budaya. Berbeda dengan masyarakat yang monokultural (tidak majemuk), menekankan kepada budaya asing sebagai pendatang untuk dapat menyesuaikan diri dengan budaya monokultural tersebut. Pada dasarnya masyarakat tersebut memberlakukan suatu paksaan atau kurang memiliki toleransi atau penerimaan terhadap keberagaman budaya. d. Prasangka dan diskriminasi Beberapa kelompok lebih diterima berdasarkan latar belakang etnisitas, ras atau keagamaan ketimbang yang lain. Mereka yang kurang diterima akan menghadapi hambatan (prasangka dan diskriminasi) yang akan membawa mereka ke marjinalisasi kelompok (kelompok yang terpinggirkan ) dan mungkin mengakibatkan stres lebih tinggi. e. Ciri-ciri kelompok yang berakulturasi: usia, status, dukungan sosial Status juga menjadi suatu faktor, bahkan ketika keberasalan orang berada dalam suatu masyarakat yang relative terstratifikasi. Contoh, status masuk seseorang ke suatu masyarakat baru sering lebih rendah dibandingkan status pergi dari masyarakat sendiri. Kehilangan status relatif ini mungkin mengakibatkan stres dan kesehatan mental memburuk. Faktor lain, mobilitas status seseorang dalam masyarakat yang lebih besar, apakah untuk mendapatkan 23

10 kembali status asal seseorang atau tetap bertahan di tengah kelompok lain. Sebagai tambahan, beberapa ciri khas status (seperti pendidikan dan pekerjaan) menyediakan orang sumber-sumber untuk berhadapan dengan masyarakat yang lebih luas dan ciri-ciri ini mungkin mengakibatkan kemampuan orang untuk berfungsi secara efektif dalam lingkungan baru. Usia dan kelompok jenis kelamin seesorang, boleh jadi memainkan peran. Misalnya orang yang relatif lebih tua dan kadang wanita, sering dicatat mengalami stres yang lebih tinggi sebagaimana mereka yang hidup tanpa pasangan perkawinan (karena pengalaman kehilangan atau karena memang tidak dimungkinkan). Ubahan paling komprehensif dalam literatur adalah ubahan dukungan sosial. Ubahan ini menunjuk pada kehadiran lembaga sosial dan budaya yang mampu memberi dukungan kepada individu yang berakulturasi. Tercakup disini ialah faktor seperti asosiasi etnik (nasional maupun lokal), ikatan-ikatan etnik daerah, keluarga somah, ketersediaan kelompok asal individu (melalui kunjungan, penghidupan kelompok, atau alienasi dari budaya) dan lembaga lebih formal sebagai agen dan klinik-klinik yang siap memberi dukungan. f. Ciri-ciri individu yang berakulturasi: penilaian, pengatasan, sikap, kontak Secara khusus, penilaian orang mengenai pengalaman akulturasi dan keterampilan pengatasannya dalam berhadapan dengan stresor dapat mempengaruhi tingkat stres akulturatif. 24

11 Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stres akulturatif meliputi coping stres, harapan akan self-efficacy, ketahanan psikologis (hardiness), optimisme, dukungan sosial, modus akulturasi (integrasi, asimilasi, separasi, dan marjinalisasi), fase akulturasi (kontak, konflik, krisis, adaptasi), keberadaan masyarakat yang lebih luas (multikultural lawan asimilasionis), prasangka dan diskriminasi, ciri-ciri kelompok yang berakulturasi (usia, status, dukungan sosial), ciri-ciri individu yang berakulturasi (penilaian, pengatasan, sikap, kontak). 2.2 Hardiness Pengertian Hardiness Konsep hardiness pertama kali dikemukakan oleh Kobasa, 1984, yaitu sebagai tipe kepribadian yang penting sekali dalam perlawanan terhadap masalah. Kobasa memulai dengan adanya perbedaan-perbedaan interpersonal dalam kontrol pribadi dan mengkombinasikan peubah ini dengan yang lain, agar dapat dihasilkan tipe kepribadian yang lebih komprehensif (Smet, 1994). Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei, 2012) mengemukakan bahwa hardiness menyediakan kerangka kerja yang berguna untuk memahami mengapa siswa lebih bersedia untuk terlibat dalam kursus akademis yang lebih menantang daripada yang lain. Teori hardiness berpendapat bahwa tiga proses penilaian kognitif (komitmen, tantangan, dan kontrol) berfungsi untuk penyaring efek buruk dari situasi kehidupan yang penuh tekanan. 25

12 Hardiness adalah suatu ciri kepribadian yang dapat mempertahankan respons individu terhadap stres. Individu yang memiliki hardiness mengasumsikan bahwa dirinya berada dalam kendali, sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam hidup, dan memperlakukan perubahan sebagai suatu tantangan (Ivancevich dkk. 2006). Nevid dkk. (2005) memberi definisi hardiness sebagai suatu kelompok trait penahan stres yang ditandai dengan adanya komitmen, tantangan, dan pengendalian. Hardjana (1994) memberi definisi hardiness atau ketangguhan pribadi merupakan keadaan diri orang yang membuat orang itu memiliki ketabahan dan daya tahan. Orang yang tangguh mampu menghadapi dan menerima kesukaran, kesulitan, masalah dengan tabah. Dia tidak mudah goyah, bimbang, takut dan kehilangan nyali. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hardiness adalah ciri kepribadian yang menunjukkan bahwa individu memiliki daya tahan yang ditandai dengan adanya komiten, tantangan, dan pengendalian Aspek-aspek Hardiness Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei, 2012) mengemukakan komponen hardiness yang terdiri dari: a. Komitmen, yaitu memahami aktivitas kehidupan seseorang sebagai sesuatu yang berharga untuk diri dan orang lain. b. Tantangan, yaitu memahami perubahan dari pada stabilitas sebagai bagian yang diharapkan dan normal dari kehidupan, serta melihat perubahan sebagai bermanfaat bagi pengembangan pribadi. 26

13 c. Kontrol, yaitu memahami diri sendiri sebagai memiliki kontrol pribadi atas peristiwa kehidupan yang penting. Ivancevich dkk. (2006) mengatakan bahwa orang yang memiliki hardiness ditunjukkan dengan adanya aspek sebagai berikut: a. Yakin bahwa dapat mengendalikan peristiwa yang daitemui. b. Sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam kehidupannya. c. Memperlakukan perubahan dalam kehidupan sebagai sebuah tantangan. Kobasa dkk. (1982, dalam Nevid dkk., 2005) mengatakan bahwa tiga aspek dari hardiness adalah: a. Komitmen yang tinggi. Individu yang memiliki hardiness ini yakin sekali pada apa yang dilakukannya dan melibatkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan dan tanggung jawabnya. Individu tersebut tidak pernah mencoba untuk menjauhkan diri dari situasi dan pekerjaan mereka. b. Tantangan yang tinggi. Individu yang memiliki hardiness percaya perubahan merupakan suatu hal yang normal, dirinya tidak terpaku pada kondisi stabil saja, tetapi tertantang untuk mengatasi atau melakukan perubahan. c. Pengendalian yang kuat terhadap hidup. Individu yang memiliki hardiness percaya dan bertindak dengan keyakinan bahwa dirinya yang menentukan reward dan hukuman (ganjaran positif dan negatif) yang diterima dalam hidup ini. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek hardiness, yaitu aspek pengendalian, keterlibatan, dan tantangan. Aspek ini dikemukakan oleh Kobasa, dkk., dan akan 27

14 menjadi dasar teori dalam penyusunan alat ukur hardiness pada penelitian ini karena Kobasa dkk., merupakan pencetus utama dari teori hardiness. 2.3 Dukungan Sosial Teman Pengertian Dukungan Sosial Teman Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang dapat dipercaya, dari interaksi itu individu akan menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintai dirinya (Smet, 1994). Cobb (1983, dalam Smet, 1994) menekankan masalah dukungan sosial ini melalui orientasi subjektifnya yang memerlihatkan bahwa dukungan sosial tersebut terdiri atas informasi yang menuntun seseorang untuk meyakini bahwa ternyata dirinya masih diurus dan disayangi. Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) mendeskripsikan dukungan sosial sebagai suatu kesenangan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan dari orang lain atau kelompok. Sarason dkk. (1994, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain (teman atau anggota keluarga). Buunk dkk. (1993, dalam Taylor dkk., 2009) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari pasangan atau partner, anggota keluarga, kawan, kontak sosial dan masyarakat, teman sekelompok, jemaah gereja atau masjid, dan teman kerja atau atasan di tempat kerja. Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) membedakan sumbersumber stres yaitu dalam diri individu, keluarga, komunitas, dan masyarakat. Baron & Byrne (2005) mengatakan bahwa teman-teman dan keluarga mungkin dapat membantu memecahkan masalah. 28

15 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial teman adalah hubungan atau transaksi interpersonal yang dapat dipercaya (berupa pemberian bantuan dalam bentuk informasi, instrumental, dukungan emosional, dan dukungan penghargaan) yang berarti bagi individu sehingga individu merasa diperhatikan oleh temannya Jenis-jenis Dukungan Sosial House (1990, dalam Smet, 1994) membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial yaitu: a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misal; umpan balik, penegasan). b. Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang-orang lain, seperti misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah penghargaan diri). c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, seperti kalau orang-orang memberikan pinjaman uang kepada orang itu atau menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stres. d. Dukungan informatif, mencakup memberi nasihat, petunjukpetunjuk, saran-saran atau umpan balik. Dukungan informatif akan lebih bermanfaat kalau terdapat kekurangan pengetahuan, dan ketrampilan, dan dalam hal yang amat tidak pasti tentang kekurangan pengetahuan dan keterampilan. 29

16 Menurut Buunk dkk. (1993 dalam Taylor dkk., 2009), dukungan sosial bisa diberikan melalui beberapa cara yang dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu: a. Dukungan emosional. Perhatian emosional yang diekspresikan melalui rasa suka, cinta atau empati. b. Dukungan instrumental, seperti penyediaan jasa atau barang selama masa stres. c. Dukungan informatif, seperti pemberian informasi tentang situasi yang menekan. d. Dukungan penghargaan, dukungan yang berupa persetujuan dari orang lain akan gagasan atau perilaku. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat jenis dukungan sosial, yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif. 2.4 Hubungan antara Hardiness dan Dukungan Sosial Teman dengan Stres Akulturatif Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah perlu melakukan adaptasi terhadap kondisi setempat di mana mahasiswa tersebut menimba ilmu, karena adanya perbedaan karakteristik sosial budaya. Proses adaptasi dengan keadaan masyarakat dan budaya setempat tidak selamanya berlangsung mulus (Hidajat dan Sodjakusumah, 2000). Kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian diri atau adaptasi dengan situasi dan tuntutan yang ada dapat menimbulkan tekanantekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan, dan bila dibiarkan tanpa penyelesaian akan mempengaruhi kesehatan mental (Siswanto, 2007). 30

17 Tekanan atau stres yang diakibatkan dari penyesuaian budaya bisa saja terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Santrock (2002 b ) bahwa stresor atau sumber stres dapat berasal dari berbagai sumber, salah satunya adalah faktor sosial budaya. Menurut Kim (1995, dalam Samovar dkk., 2010), ketika individu memasuki budaya baru, individu mengalami stres sebagai akibat dari hilangnya kemampuan untuk berfungsi secara normal. Individu tersebut menjadi stres ketika berhadapan dengan cara baru dan berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi stres dengan mengembangkan dan menggabungkan norma baru yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi secara normal, sehingga mulai beradaptasi dengan budaya baru. Melalui pengalaman yang berkelanjutan dari adaptasi stres, perspektif seseorang semakin luas, sehingga menghasilkan pertumbuhan pribadi. Huang & Gibbs (1993,dalam Santrock, 2002 b ) mengatakan bahwa anggota-anggota kelompok minoritas etnis secara historis telah mengalami permusuhan, prasangka buruk, dan kurangnya dukungan yang efektif selama masa-masa krisis, yang menyumbang bagi timbulnya rasa alienasi, isolasi sosial, dan stres tinggi. Tekanan atau stres yang diakibatkan dari penyesuaian budaya disebut juga sebagai stres akulturatif (Berry dkk., 1999). Stres akulturatif dapat ditekan jika individu memiliki hardiness dan mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cohen & Wills (1985, dalam Eschleman dkk., 2010), bahwa dukungan sosial sering dianggap sebagai sumber daya yang dapat melindungi salah satu dari efek stres. Hasil penelitian 31

18 Viswesvaran dkk. (1999, dalam Eschleman, dkk., 2010) menunjukkan bahwa dukungan sosial umumnya memiliki efek utama pada stres dan ketegangan. Ada beberapa alasan bahwa sifat hardiness akan berhubungan positif dengan dukungan sosial. Pertama, hardiness melibatkan komitmen dan keterlibatan yang mendalam dalam beberapa domain kehidupan, seperti keluarga, teman, pekerjaan, dan kegiatan sosial. Sangat mungkin bahwa keterlibatan dalam domain ini memungkinkan seseorang untuk mengembangkan jaringan hubungan sosial yang kaya yang dapat ditarik pada saat seseorang membutuhkan dukungan. Kemungkinan lain adalah bahwa individu yang tangguh umumnya lebih menarik secara sosial dan bahwa ini membuat mereka lebih mudah untuk memperoleh dukungan. Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa individu yang memiliki hardiness memungkinkan mendapat dukungan sosial dari temannya yang lebih besar. Adanya hardiness dan dukungan sosial tersebut dapat digunakan individu dalam menahan atau meminimalisir efek stres. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Eschleman dkk. (2010), bahwa hardiness dan komponen hardiness berhubungan positif dengan dukungan sosial. Selain mencari dukungan sumber daya, hubungan positif dapat terjadi karena dukungan diberikan kepada orang-orang yang berkomitmen dalam banyak domain kehidupan dan dengan demikian memiliki lingkaran sosial yang besar atau mungkin merupakan hasil dari individu yang tangguh (hardy) di mana secara sosial lebih menarik. Individu yang tangguh (hardy) juga cenderung memiliki strategi coping yang lebih proaktif daripada regresif. Artinya, rasa yang lebih besar dari kontrol dan komitmen 32

19 untuk lingkungan, cenderung mempengaruhi individu untuk mengatasi stres daripada terlibat dalam perilaku penarikan. 2.5 Hubungan antara Hardiness dengan Stres Akulturatif Masalah stres yang dialami mahasiswa sebenarnya dapat diminimalisir jika mahasiswa memiliki hardiness. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Kobasa dkk. (1979 dalam Nevid dkk., 2005) bahwa hardiness yang dimiliki ini yang kemudian menyebabkan individu tidak mudah merasakan stres. Nevid dkk. (2005) memberi definisi hardiness sebagai suatu kelompok trait penahan stres yang ditandai dengan adanya komitmen, tantangan, dan pengendalian. Berbeda dengan hasil penelitian Florian dkk. (1995, dalam Eschleman dkk. 2010), meskipun hardiness diyakini menjadi prediktor berharga beberapa kriteria penting, konseptualisasi hardiness masih diperdebatkan. Secara khusus, para peneliti telah menyarankan bahwa komponen tantangan dari hardiness dapat dijatuhkan dari konseptualisasi hardiness karena tidak berkontribusi pada prediksi hasil kesehatan. Pendapat Florian dkk. ini mengandung arti pula bahwa tidak selamanya hardiness dapat menahan efek stres. Maddi (1999, dalam Cole dkk., 2004) mengatakan bahwa hardiness memiliki tiga komponen yang saling berhubungan, dan diperkirakan akan mempengaruhi dua mekanisme dasar yang meningkatkan kesehatan dan kinerja seseorang ketika mengalami kondisi stres. Secara khusus, sikap tangguh diyakini mempengaruhi bagaimana individu mengalami dan mengatasi situasi kehidupan yang penuh stres. 33

20 Dalam persepsi dan evaluasi peristiwa kehidupan yang penuh stres, Bartone dkk. (1989, Rhonewalt & Zone, 1989 dalam Cole dkk., 2004) mengibaratkan individu yang memiliki karakter hardiness sebagai seorang yang optimis yang cenderung untuk melihat tantangan dalam sudut pandang yang positif. Orang yang memiliki karakter hardiness merasakan pengalaman kegiatan sebagai hal menarik dan menyenangkan (yaitu, komitmen), sebagai masalah pilihan pribadi (yaitu, kontrol), dan sebagai stimulus penting untuk belajar (misalnya, tantangan). Individu yang memiliki karakter hardiness yang rendah telah daitemukan menampilkan peningkatan tanda-tanda depresi serta kecemasan tinggi dan tekanan psikologis. Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei, 2012) mengemukakan bahwa hardiness menyediakan kerangka kerja yang berguna untuk memahami mengapa siswa lebih bersedia untuk terlibat dalam kursus akademis yang lebih menantang daripada yang lain. Teori hardiness berpendapat bahwa tiga proses penilaian kognitif (komitmen, tantangan, dan kontrol) berfungsi untuk penyaring efek buruk dari situasi kehidupan yang penuh stres. Berdasarkan uraian para tokoh di atas, dapat dikatakan bahwa mahasiswa yang memiliki hardiness ditandai dengan adanya komitmen, yaitu memiliki kesediaan untuk melibatkan diri dalam kegiatan yang dilaluinya. Komitmen tersebut membuat mahasiswa memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai kesulitan yang ada. Mahasiswa Papua yang memiliki komitmen membuat dirinya tidak mudah menyerah dan memiliki daya tahan dalam menghadapi tuntutan termasuk tuntutan dalam hal penyesuaian dengan lingkungan atau 34

21 budaya baru, dengan kata lain mahasiswa Papua dapat menekan stres akulturatif yang dialami. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang kurang memiliki komitmen, dirinya cenderung mudah menyerah karena kurang memiliki antusias dalam menghadapi kesulitan. Pada saat mengalami kesulitan penyesuaian dengan lingkungan yang baru, mahasiswa Papua dengan komitmen yang rendah enggan untuk terlibat lebih jauh dalam usaha adaptasinya. Mahasiswa yang kurang memiliki komitmen tersebut mudah rentan mengalami stres akulturatif saat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Mahasiswa Papua yang memiliki hardiness juga ditandai dengan adanya aspek tantangan, yaitu melihat kendala yang ada dalam hal penyesuaian diri sebagai sesuatu yang harus dipecahkan (merasa tertantang dan tidak mudah menyerah). Mahasiswa yang memiliki aspek tantangan bersedia mengerahkan energinya guna mengatasi kesulitan sehingga tidak mudah mengalami stres saat menyesuaikan diri. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang kurang tertantang dengan kesulitan akan mudah mengalami stres karena dirinya mudah merasa kewalahan dengan kendala yang dihadapi. Mahasiswa Papua yang memiliki hardiness juga ditandai dengan adanya aspek kontrol, yaitu merasa mampu mengendalikan dan mengatur diri, hidup, dan lingkungannya. Mahasiswa tersebut meyakini bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan suatu masalah termasuk dalam hal kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya, ditentukan oleh kemampuan diri. Kontrol tersebut mengakibatkan mahasiswa menjadi lebih bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami, sehingga mahasiswa Papua dapat mengelelola stres akulturatif atau 35

22 stres yang berkaitan dengan proses adaptasi dengan lingkungan barunya di Salatiga. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang kurang memiliki aspek kontrol, dirinya menganggap keberhasilannya dalam menyesuaikan diri lebih ditentukan oleh faktor di luar dirinya atau ditentukan oleh keburuntungan semata, sehingga merasa tidak memiliki kendali dalam mengatasi kesulitan tersebut. Perasaan tidak memiliki kendali inilah yang mengakibatkan mahasiswa Papua cenderung mudah menyerah dan pasrah terhadap keadaan, dan pada akhirnya lebih rentan mengalami stres dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya di Salatiga. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu termasuk mahasiswa dengan hardiness yang tinggi memiliki ketangguhan dalam menghadapi permasalahan hidup. Adanya hardiness ini mengakibatkan mahasiswa dapat menekan stres akulturatif ketika harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini berarti bahwa adanya hardiness maka stres akulturatif dapat ditekan. 2.6 Hubungan antara Dukungan Sosial Teman dengan Stres Akulturatif Dukungan sosial merupakan peubah lingkungan yang mempunyai hubungan yang positif dengan kesehatan. Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menekan, individu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi tidak hanya mengalami stres yang rendah, tetapi juga dapat mengatasi stres secara lebih berhasil bila dibandingkan dengan mereka yang kurang memperoleh dukungan sosial (Taylor 1999, dalam Pramudiani dkk. 2001). 36

23 Berbeda dengan pendapat Baron & Byrne (2005), meskipun seseorang yang menghadapi masalah seperti stres, sangat membutuhkan dukungan, upaya yang canggung untuk memberikan rasa nyaman justru dapat membuat situasi menjadi semakin buruk. Pendapat Baron dan Byrne di atas menunjukkan bahwa adanya dukungan sosial belum tentu dapat meminimalisir stres, atau bahkan dukungan sosial yang diberikan secara canggung justru dapat menimbulkan stres. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solber dkk. (1994, Alva dkk. 1996; Rodriguez dkk. 2003, dalam Crocke dkk. 2007). Ketiga penelitian tersebut menemukan hasil yaitu tidak daitemukan bukti bahwa dukungan sosial berhubungan dengan stres psikologis ataupun penyesuaian diri pada mahasiswa Latin. Dukungan sosial seperti perasaan memperoleh bantuan, perasaan dicintai, dihargai atau dinilai tinggi, dapat merupakan penahan (buffer) dari akibat-akibat stres yang merusak. Dukungan sosial yang tinggi mempercepat kesembuhan seseorang dari penyakit yang diderita, sehingga diasumsikan pula akan dapat mempercepat meningkatnya kualitas hidup yang sebelumnya menurun (Pramudiani dkk., 2001). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ross dkk. (1999 dalam Taylor dkk. 2009) yang mengatakan bahwa poin yang jelas dan penting di sini adalah hubungan sosial dapat membantu penyesuaian psikologis, memperkuat praktik hidup sehat, dan membantu pemulihan dari sakit hanya ketika hubungan itu bersifat suportif. Hasan (2008) mengatakan bahwa hubungan suportif tersebut adalah individu merasa memiliki seseorang yang memberi keyakinan dan tempat berbagi pikiran dan 37

24 perasaan, akan memiliki fungsi kekebalan yang lebih baik dari pada yang tidak memiliki. Dukungan sosial dapat menjadi penahan untuk melawan stres dengan memberikan pencegahan dari situasi yang menyebabkan stres ataupun memberikan solusi mengatasi stres. Selanjutnya menurut Mallinckrodt dan Leong (1992, dalam Koyama, 2005), banyaknya dukungan sosial akan mempengaruhi seseorang dalam mengatasi stres sehubungan dengan penyesuaian diri dalam lingkungan dengan kebudayaan yang berbeda. Penelitian ini menegaskan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan penyesuaian psikologis dengan memberikan ketahanan terhadap dampak dari hidup yang penuh stres. Hasil penelitian Rodriguez (2003, dalam Crockett dkk., 2007) menyebutkan bahwa dukungan sosial sangat penting bagi proses penyesuaian individu tersebut dengan budaya asing. Seperti orang tua, teman dapat memberikan dukungan emosi, instrumen dan informasi. Mereka (teman) selalu ada di dalam lingkungan kampus dan mempunyai informasi yang lebih relevan mengenai lingkungan sekitarnya daripada orang tua. Selanjutnya, pada penelitian ini juga ditemukan bahwa dukungan emosi dari teman berhubungan dengan penyesuaian sosial yang baik dan dukungan dari teman dapat mengurangi stres mahasiswa akibat interaksi mereka dengan budaya asing. 2.7 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Stres Akulturatif Salah satu sumber stres utama adalah kebutuhan atau tuntutan untuk beradaptasi dengan kultur baru. Slavin dan Rainer (1990, dalam 38

25 Crockett et.al., 2007) menemukan hubungan signifikan yang berbeda antara penyesuaian diri dan stres akulturatif pada wanita dan laki-laki Latin Meksiko di Amerika. Dalam suatu penelitian pada imigran Hispanik, terdapat hubungan yang kuat antara stres yang terjadi dalam upaya untuk adaptasi terhadap kultur dan lingkungan baru dengan kondisi distres psikologis. Imigran wanita menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan imigran pria (Salgado dkk,, 1990, dalam Nevid dkk., 2005). Uppaluri et.at (2001, dalam Il Livingston et.al, 2007) mengatakan bahwa wanita imigran Karibia yang datang ke Amerika lebih banyak menderita gejala depresi dan keluhan somatik ketika melakukan adaptasi dengan kultur yang baru dibandingkan dengan imigran laki-laki. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Caetano (1987, dalam Nevid dkk., 2005) ditemukan bahwa wanita Hispanik-Amerika yang tingkat akulturasinya tinggi menjadi peminum berat lebih besar dibandingkan wanita Hispanik-Amerika yang tingkat akulturasinya rendah. Dalam kultur Amerika latin, laki-laki cenderung minum alkohol lebih banyak daripada wanita, hal ini disebabkan oleh adanya larangan kultural berkaitan dengan jenis kelamin tentang pembatasan penggunaan alkohol sebagai minuman pada wanita. Ketidak-leluasaan ini melemah pada wanita Hispanik-Amerika yang mengadopsi nilainilai dan sikap orang Amerika. 39

26 2.8 Model Penelitian Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka penulis menyusun sebuah model atau kerangka berpikir sebagai berikut: Hardiness Dukungan Sosial Teman Stres Akulturatif Laki-laki Perempuan 2.9 Hipotesis Berdasarkan analisis teori yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disusun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu: 1. Ada pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman terhadap stres akulturatif pada mahasiswa Papua laki-laki di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. 2. Ada pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman dengan stres akulturatif pada mahasiswa Papua perempuan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. 3. Ada perbedaan stres akulturatif ditinjau dari jenis kelamin. 40

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kuantitatif, yaitu metode yang menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menyebutkan bahwa kondisi

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menyebutkan bahwa kondisi BAB II LANDASAN TEORI A. STRES 1. Definisi Stres Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menyebutkan bahwa kondisi fisik dan lingkungan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stress disebut stressor.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Efikasi Diri Akademik 1. Pengertian Efikasi Diri Akademik Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri merupakan perkiraan seseorang tentang kemampuannya untuk mengatur dan

Lebih terperinci

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress PSIKOLOGI UMUM 2 Stress & Coping Stress Pengertian Stress, Stressor & Coping Stress Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan kedokteran. Ia mendefinisikan stress

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Mengatasi Stress / Coping Stress Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Coping Stress Coping Proses untuk menata tuntutan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan sosial kepada anak terlantar dengan melaksanakan penyantunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang perilakunya diperoleh melalui

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang perilakunya diperoleh melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang perilakunya diperoleh melalui proses belajar. Apa yang dipelajari oleh manusia pada umumnya dipengaruhi oleh sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian diri ialah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhankebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi masalah kesehatan mental. Jika sudah menjadi masalah kesehatan mental, stres begitu mengganggu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia 2.1.1. Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian Kecemasan menghadapi kematian (Thanatophobia) mengacu pada rasa takut dan kekhawatiran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial Orang Tua Definisi dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu (Sarafino,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu dihadapkan pada pemikiran-pemikiran tentang seberapa besar pencapaian yang akan diraih selama

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO Astrid Oktaria Audra Siregar 15010113140084 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Di era modern masa kini, banyak ditemukannya permasalahan yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak sesuai dengan rencana. Segala permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Efikasi Pengambilan Keputusan Karir. dalam berbagai keadaan (Bandura,1997).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Efikasi Pengambilan Keputusan Karir. dalam berbagai keadaan (Bandura,1997). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Efikasi Diri Pengambilan Keputusan Karir 1. Pengertian Efikasi Pengambilan Keputusan Karir Bandura (1997) merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan konsep efikasi diri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Dukungan Sosial 2.1.1 Definisi Persepsi dukungan sosial adalah cara individu menafsirkan ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa

Lebih terperinci

juga orang baru dan pemula. Bagi mereka kondisi selama sebelum dan

juga orang baru dan pemula. Bagi mereka kondisi selama sebelum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa sebagai seorang akademisi memiliki beragam tuntutan dan permasalahan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Tuntutan tersebut dapat berupa permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi memiliki misi utama yaitu sebagai penyelengara pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, misi tersebut yang memicu Perguruan Tinggi

Lebih terperinci

Pengantar Psikologi Abnormal

Pengantar Psikologi Abnormal Pengantar Psikologi Abnormal NORMAL (SEHAT) sesuai atau tidak menyimpang dengan kategori umum ABNORMAL (TIDAK SEHAT) tidak sesuai dengan kategori umum. PATOLOGIS (SAKIT) sudut pandang medis; melihat keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Akulturasi. 1. Pengertian dan Konsep Akulturasi. tertentu dalam budaya baru (Diaz & Greiner, dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Akulturasi. 1. Pengertian dan Konsep Akulturasi. tertentu dalam budaya baru (Diaz & Greiner, dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Akulturasi 1. Pengertian dan Konsep Akulturasi Akulturasi dapat dideskripsikan sebagai suatu tingkat dimana seorang individu mengadopsi nilai, kepercayaan, budaya dan praktekpraktek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan atau anxietas adalah status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradapatasi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradapatasi dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Konsep Lansia Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradapatasi dengan stress lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu interaksi atau hubungan timbal

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu interaksi atau hubungan timbal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan dasar utama dalam mengembangkan sumber daya manusia. Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep koping 1.1. Pengertian mekanisme koping Koping adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, ancaman, luka, dan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres pada Wanita Karir (Guru) 1. Pengertian Istilah stres dalam psikologi menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan biaya pendidikan gratis bagi siswa berprestasi dan beasiswa

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan biaya pendidikan gratis bagi siswa berprestasi dan beasiswa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pemerataan pembangunan di Indonesia saat ini telah diwujudkan melalui program beasiswa yang ditawarkan oleh perusahaan maupun lembaga dengan memberikan biaya pendidikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi 1. Defenisi Motivasi Pintrich & Schunk (2002) mendefenisikan motivasi sebagai proses yang mengarahkan pada suatu tujuan, yang melibatkan adanya aktivitas dan berkelanjutan.

Lebih terperinci

juga kelebihan yang dimiliki

juga kelebihan yang dimiliki 47 1. Pengertian Optimisme Seligman (2005) menjelaskan bahwa optimisme adalah suatu keadaan yang selalu berpengharapan baik. Optimisme merupakan hasil berpikir seseorang dalam menghadapi suatu kejadian

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa kehidupan yang penting dalam rentang hidup manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

DIAN AMELIA F

DIAN AMELIA F CULTURE SHOCK DAN PERILAKU KOPING PADA MAHASISWA ASING SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : DIAN AMELIA F 100 030 033 Kepada FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling menarik untuk dipelajari, karena banyak sekali masalah yang dihadapi. Seiring dengan perkembangan jaman dan peradaban,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Dampak skizofrenia bagi keluarga sangatlah besar, ini menyebabkan seluruh keluarga ikut merasakan penderitaan tersebut. Jika keluarga tidak siap dengan hal ini,

Lebih terperinci

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari TINJAUAN PUSTAKA Burnout Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari seseorang yang bekerja atau melakukan sesuatu, dengan ciri-ciri mengalami kelelahan emosional, sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kurun waktu terdekat ini kemajuan disegala aspek kehidupan menuntut masyarakat untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia dalam kehidupannya bisa menghadapi masalah berupa tantangan, tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitar. Setiap tahap perkembangan dalam rentang kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung pula oleh sumber daya manusia yang berkualitas, baik dari segi mental, spritual maupun

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat mengganggu. Psikopatologinya melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, manusia dan pekerjaan merupakan dua sisi yang saling berkaitan dan tidak bisa dilepaskan; keduanya saling mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak 1. Pengertian Coping Stress Coping adalah usaha dari individu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dari lingkungannya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Peraturan Republik Indonesia No. 30 tahun 1990 mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Mahasiswa sebagai subjek yang menuntut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cinta adalah sebuah perasaan natural yang dirasakan oleh seseorang terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai, saling memiliki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan setiap anak di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak hanya anak normal saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya-upaya dalam rangka mendapatkan kebebasan itu. (Abdullah, 2007

BAB I PENDAHULUAN. upaya-upaya dalam rangka mendapatkan kebebasan itu. (Abdullah, 2007 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap fase kehidupan manusia pasti mengalami stres pada tiap fase menurut perkembangannya. Stres yang terjadi pada mahasiswa/i masuk dalam kategori stres

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai tenaga kerja merupakan salah satu aset yang menentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai tenaga kerja merupakan salah satu aset yang menentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai tenaga kerja merupakan salah satu aset yang menentukan hidup matinya indutri tersebut. Berbagai jenis perusahaan mulai dari perusahaan yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. cerminan dari peradaban manusia dan merupakan sesuatu yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. cerminan dari peradaban manusia dan merupakan sesuatu yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Kesenian merupakan salah satu unsur budaya universal yang menjadi cerminan dari peradaban manusia dan merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia sekolah mempunyai berbagai resiko yang lebih mengarah pada kecerdasan, moral, kawasan sosial dan emosional, fungsi kebahasaan dan adaptasi sosial.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menunjukkan hardiness dan sesuai dengan aspek-aspek yang ada pada hardiness.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menunjukkan hardiness dan sesuai dengan aspek-aspek yang ada pada hardiness. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Penelitian ini menggunakan landasan teori dari Suzanne C. Kobasa mengenai hardiness. Alasan digunakannya teori ini adalah berdasarkan pada fenomena yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim (MMI) Malang sebagai kampus. berbasis Islam menerapkan beberapa kebijakan yang ditujukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim (MMI) Malang sebagai kampus. berbasis Islam menerapkan beberapa kebijakan yang ditujukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim (MMI) Malang sebagai kampus berbasis Islam menerapkan beberapa kebijakan yang ditujukan untuk mencetak lulusan yang tidak saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa merupakan orang yang sedang dalam proses pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut maupun akademi. Mahasiswa adalah generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi bangsa Indonesia, pendidikan adalah hal yang sangat penting. Cita-cita untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi bangsa Indonesia, pendidikan adalah hal yang sangat penting. Cita-cita untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi bangsa Indonesia, pendidikan adalah hal yang sangat penting. Cita-cita untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terdidik bahkan telah tercetus

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN A. STRES. yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan

BAB II PEMBAHASAN A. STRES. yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan BAB II PEMBAHASAN A. STRES 1. Pengertian Stres Stres adalah bagian dari kehidupan manusia. Stres dapat menimbulkan penderitaan atau dapat pula menyertai kegembiraan. Stres adalah pengalaman subjektif yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. AKULTURASI 1. Defenisi Akulturasi Akulturasi berbeda dengan enkulturasi, dimana akulturasi merupakan suatu proses yang dijalani individu sebagai respon terhadap perubahan konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang, maka pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang, maka pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang, maka pendidikan dirasakan sangat penting dan menjadi fokus utama pemerintah dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh individu. Siapapun bisa terkena stres baik anak-anak, remaja, maupun

BAB I PENDAHULUAN. oleh individu. Siapapun bisa terkena stres baik anak-anak, remaja, maupun BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Stres dan ketidakpuasan merupakan aspek yang tidak dapat dihindari oleh individu. Siapapun bisa terkena stres baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Mahasiswa merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang dapat memberikan kepuasan dan tantangan, sebaliknya dapat pula

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang dapat memberikan kepuasan dan tantangan, sebaliknya dapat pula BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pekerjaan merupakan bagian yang memegang peranan penting bagi kehidupan manusia yang dapat memberikan kepuasan dan tantangan, sebaliknya dapat pula merupakan gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah Ujian Nasional, stres, stressor, coping stres dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Pengertian Kebahagiaan Menurut Seligman (2005) kebahagiaan hidup merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi kehidupan. Menurut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal (1) ayat 1,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi kehidupan. Menurut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal (1) ayat 1, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan elemen penting bagi kehidupan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal (1) ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Interaksi manusia dengan lingkungannya sering kali menimbulkan berbagai macam masalah mulai dari standar kebutuhan hidup yang terus meningkat, membuat manusia

Lebih terperinci

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian berdasakan analisis data yang telah dilakukan oleh penulis pada bab sebelumnya. Pada bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam perkembangan manusia, masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan dimana seorang individu mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : Tiara Noviani F 100 030 135 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

GAMBARAN COPING STRESS MAHASISWA BK DALAM MENGIKUTI PERKULIAHAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

GAMBARAN COPING STRESS MAHASISWA BK DALAM MENGIKUTI PERKULIAHAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 13 GAMBARAN COPING STRESS MAHASISWA BK DALAM MENGIKUTI PERKULIAHAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA Anies Andriyati Devi 1 Dra.Retty Filiani 2 Dra.Wirda Hanim, M.Psi 3 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga menimbulkan beberapa macam penyakit dari mulai penyakit dengan kategori ringan sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres 2.1.1 Definisi Stres dan Jenis Stres Menurut WHO (2003) stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Profesi perawat diharapkan dapat membantu mempertahankan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Stres Kerja

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Stres Kerja BAB II LANDASAN TEORI A. STRES KERJA 1. Definisi Stres Kerja Menurut Lazarus & Folkman (dalam Morgan, 1986) stres merupakan suatu keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelahiran anak merupakan dambaan setiap keluarga yang tidak ternilai harganya. Anak adalah anugerah yang diberikan Tuhan, yang harus dijaga, dirawat, dan diberi bekal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu hardiness dan burnout.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu hardiness dan burnout. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu hardiness dan burnout. Hardiness akan dibahas menggunaka teori dari Kobasa (2005), sedangkan burnout akan

Lebih terperinci

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Stres merupakan fenomena umum yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat beberapa tuntutan dan tekanan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa dengan bertambahnya usia, setiap wanita dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi dalam beberapa fase,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke

BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan manusia dari generasi ke generasi untuk menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress 1. Definisi Coping Stress Lazarus dan Folkman (Sugianto, 2012) yang mengartikan coping stress sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan

Lebih terperinci