BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 19 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hutan Kota yang ada di Kota Samarinda Menurut PP RI No hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Kota Samarinda memiliki luas ha, dan dari luasan tersebut yang teridentifikasi sebagai hutan kota berdasarkan keputusan Walikota Samarinda Nomor: 178/HK-KS/2005 tentang Penetapan Hutan Kota Dalam Wilayah Kota Samarinda bahwa total luas hutan kota di Kota Samarinda sebesar 732,777 ha. Lokasi dan luas hutan kota di Kota Samarinda disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Lokasi dan luas hutan kota di Kota Samarinda No Lokasi Luas (ha) 1 SMU 10 MELATI 5 2 Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) Tanah Pemkot 5 4 Hutan Kota Belakang Rumah Walikota 1,75 5 Asih Manuntung 0,25 6 Pesantren Hidayatullah 1 7 Tanah Pemkot di Makroman Tanah Pertanian Terpadu 20 9 Kas Desa Lempake 3,5 10 Fakultas Pertanian Unmul Pesantren Nabil Husein 9,75 12 Pesantren Syachona Cholil 0,25 13 Rumah Potong Hewan 2 14 Hotel Mesra 2,3 15 Jalan Pembangunan Voorvo 0,48 16 Lingkungan Balaikota 6,9 17 Lingkungan Lapangan Softball GOR Segiri 0,5 18 Perpustakaan Kota Samarinda 0,6 19 Ujung Jembatan Mahakam 1,5 20 PT. HARTATY PT. Gani Mulya 0, PT. Sumber Mas PT. Sumalindo 3,6 24 Taman Makam Pahlawan 1,3 25 PT. KIANI (Teluk Cinta di Selili) 6 Jumlah 732,777 Sumber: Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Samarinda (2010)

2 20 (a) (b) Gambar 2. Hutan Kota ( a) Lingkungan Balaikota, (b) Kebun Raya Unmul Hutan kota yang terdapat di Kota Samarinda tersebut sebagian besar adalah milik masyarakat dan swasta. Sekretaris Dinas Pertanian, Perkebunann dan Kehutanann Kota Samarinda mengatakan bahwa sembilan dari dua puluh lima lokasi hutan kota berada pada lokasi tanah milik Pemerintah Kota, diantaranya adalah lokasi tanah pemkot Samarinda Seberang, lingkungan Balaikota dan tanah pemkot Makroman. Kebun Raya Unmul Samarinda atau biasa disebut KRUS merupakan salah satu lokasi yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh Walikota Samarinda. KRUS berada pada Kelurahan Lempake Kecamatan Samarinda Utara dan memiliki luas sebesar 300 ha. Kawasan ini memiliki karakteristik hutan alam tropis seluas 238 ha dan arboretum hutan buatan seluas 62 ha yang meliputi hutan tanaman daun lebar, hutan tanamann konifer, kebun bunga, kebun buah, kebun palma dan kebun bambu (Anonim 1999, diacu dalam Oktavianingsih L & Oktaviana T 2009). 5.2 Kebutuhan Luas Hutan Kota Kebutuhan luas hutan kota berdasarkan fungsi sebagai penyerap karbondioksida (CO 2 ) a. Karbondioksida yang dihasilkan penduduk di Kota Samarinda Manusia sebagai makhluk hidup menghasilk kan karbondioksida melalui pernapasan. Menurut Guyton & Hall (1996), volume normal udara hisab dan hembus dari sekali napas sebesar ± 500 ml pada rata-rata dalam 1 jam sebanyak 39,6 g CO 2 orang dewasa. Jumlah CO 2 yang dihasilkan dari pernapasan manusia (Goth 2012).

3 21 Skenario 1 Tabel 4. Jumlah penduduk Kota Samarinda tahun No Jumlah Perkembangan (jiwa) Jumlah % , , , , , Sumber : BPS Kota Samarinda (2010) Rata-rata Perkembangan Per (%) 1,33 Berdasarkan data di atas maka diperoleh laju rata-rata pertumbuhan penduduk pertahun sebesar 1,33 %. Dengan laju pertumbuhan rata-rata ini, tanpa adanya perubahan nilai laju pertumbuhan penduduk maka dapat diduga jumlah penduduk Kota Samarinda sampai tahun Pada tahun 2012 jumlah penduduk Kota Samarinda adalah jiwa, sedangkan tahun 2050 adalah jiwa. Mengacu pada tabel 4, jumlah penduduk Kota Samarinda tahun 2009 adalah sebesar jiwa. Jika diketahui jumlah penduduk sebesar jiwa, maka dapat dihitung jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh penduduk Kota Samarinda yaitu: ( jiwa x 39,6) g/jam = g/jam. Dengan metode yang sama dapat diduga jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari penduduk Kota Samarinda sampai tahun 2050 seperti disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk Kota Samarinda tahun (skenario 1) Jumlah Penduduk Karbondioksida yang Dihasilkan (jiwa) , , , , , , , ,4

4 22 Skenario 2 Tabel 6. Jumlah penduduk Kota Samarinda tahun Perkembangan Jumlah No (jiwa) Jumlah % , , , , , , Sumber : BPS Kota Samarinda (2011) Rata-rata Perkembangan Per (%) 4,39 Berdasarkan data di atas maka diperoleh laju rata-rata pertumbuhan penduduk pertahun sebesar 4,39 %. Dengan laju pertumbuhan rata-rata ini, tanpa adanya perubahan nilai laju pertumbuhan penduduk maka dapat diduga jumlah penduduk Kota Samarinda sampai tahun Pada tahun 2012 jumlah penduduk Kota Samarinda adalah jiwa, sedangkan tahun 2050 adalah jiwa. Mengacu pada tabel 6, jumlah penduduk Kota Samarinda tahun 2010 adalah sebesar jiwa. Jika diketahui jumlah penduduk sebesar jiwa, maka dapat dihitung jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh penduduk Kota Samarinda yaitu: ( jiwa x 39,6) g/jam = g/jam. Dengan metode yang sama dapat diduga jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari penduduk Kota Samarinda sampai tahun 2050 seperti disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk Kota Samarinda tahun (skenario 2) Jumlah Penduduk Karbondioksida yang Dihasilkan (jiwa) , , , , , , , , ,4 Perhitungan kebutuhan luas hutan kota berdasarkan fungsi sebagai penyerap karbondioksida dilakukan 2 skenario, dimana skenario pertama

5 23 menggunakan data jumlah penduduk tahun 2004 sampai 2009 sedangkan skenario kedua menggunakan data jumlah penduduk tahun 2004 sampai Berdasarkan data jumlah penduduk yang diperoleh dari Bapan Pusat Statistik Samarinda, terlihat perkembangan jumlah penduduk tiap tahunnya berbeda-beda. Namun terjadi peningkatan tajam pada tahun 2010, menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat hal ini disebabkan banyaknya pendatang atau urbanisasi dari kota-kota besar ke Samarinda seperti Jawa Timur, Sulawesi dan Kalimantan Selatan. Faktor lain adalah kelahiran baru. Terjadi perbedaan yang sangat mencolok antara prediksi jumlah penduduk pada skenario 1 dan skenario 2. Jumlah penduduk Kota Samarinda pada tahun 2050 dengan menggunakan skenario 2 empat kali lipat lebih banyak dari jumlah penduduk menggunakan skenario 1. Hal ini karena laju pertumbuhan pada skenario 2 lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan pada skenario 1. Perbandingan jumlah penduduk dan jumlah karbondioksida yang dihasilkan antara skenario 1 dan skenario 2 dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar jumlah penduduk (jiwa) tahun Gambar 3. Grafik Jumlah Penduduk di Kota Samarinda Skenario 1 Skenario 2

6 24 emisi CO skenario 1 skenario tahun Gambar 4. Grafik Emisi CO 2 yang dihasilkan Penduduk di Kota Samarinda b. Karbondioksida yang dihasilkan dari proses pembakaran BBM (bensin, solar, dan minyak tanah) dan LPG Oksigen merupakan faktor penting dalam proses pembakaran. Hasil dari proses pembakaran itu akan menghasilkan salah satu unsur yaitu CO 2. Pembakaran BBM (bensin, solar, minyak tanah) dan LPG akan menghasilkan CO 2. Skenario 1 Berdasarkan data dari Pertamina Unit Pemasaran I Balikpapan, diketahui data tingkat pemakaian BBM dan LPG tahun di Kota Samarinda yaitu sebagai berikut : Tabel 8. Tingkat pemakaian BBM dan LPG di Kota Samarinda tahun Bensin Solar Minyak Tanah LPG (ton) , , , ,593 Sumber : Pertamina Unit Pemasaran Balikpapan (2011)

7 25 Berdasarkan data pada tabel 8, apabila dibagi dengan jumlah penduduk total pada tahun yang bersangkutan maka diperoleh laju kebutuhan rata-rata BBM dan LPG sebesar: Bensin : 0,215 kl/orang/tahun Solar : 0,097 kl/orang/tahun Minyak Tanah : 0,083 kl/orang/tahun LPG : 0,008 ton/orang/tahun Sesuai dengan peningkatan penduduk rata-rata sebesar 1,33 % tiap tahunnya, maka kebutuhan rata-rata BBM dan LPG ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat pemakaian BBM dan LPG sampai tahun Tabel 9. Tingkat pemakaian BBM dan LPG di Kota Samarinda tahun (skenario 1) Bensin Solar Minyak Tanah LPG (ton) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,432 Dari data di atas, dapat diketahui jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran BBM dan LPG seperti yang tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran BBM dan LPG di Kota Samarinda tahun (skenario 1) Bensin Solar Minyak Tanah LPG , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,58

8 26 Skenario 2 Berdasarkan data dari Pertamina Unit Pemasaran I Balikpapan, diketahui data tingkat pemakaian BBM dan LPG tahun di Kota Samarinda yaitu sebagai berikut : Tabel 11. Tingkat pemakaian BBM dan LPG di Kota Samarinda tahun Bensin Solar Minyak Tanah LPG (ton) , , , , ,8 Sumber : Pertamina Unit Pemasaran Balikpapan (2011) Berdasarkan data pada tabel 11, apabila dibagi dengan jumlah penduduk total pada tahun yang bersangkutan maka diperoleh laju kebutuhan rata-rata BBM dan LPG sebesar: Bensin : 0,211 kl/orang/tahun Solar : 0,093 kl/orang/tahun Minyak Tanah : 0,069 kl/orang/tahun LPG : 0,009 ton/orang/tahun Sesuai dengan peningkatan penduduk rata-rata sebesar 4,39 % tiap tahunnya, maka kebutuhan rata-rata BBM dan LPG ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat pemakaian BBM dan LPG sampai tahun Tabel 12. Tingkat pemakaian BBM dan LPG di Kota Samarinda tahun (skenario 2) Bensin Solar Minyak Tanah LPG (ton) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,641 Dari data di atas, dapat diketahui jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran BBM dan LPG seperti yang tertera pada Tabel 13.

9 27 Tabel 13. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran BBM dan LPG di Kota Samarinda tahun (skenario 2) Bensin Solar Minyak Tanah LPG , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Kebutuhan luas hutan kota berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No Pasal 8 ditetapkan bahwa luas hutan kota dalam suatu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 ha. Persentase luas hutan kota paling sedikit 10 % dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Dengan mengacu pada peraturan tersebut, jika diperlukan 10 % dari wilayah Kota Samarinda yang mana mempunyai luas ha maka hutan kota yang dibutuhkan ialah seluas ha. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Samarinda 2011 tentang luas baku dan persentase penggunaan tanah di Kota Samarinda terdapat lahan sawah, lahan pertanian bukan sawah dan lahan bukan pertanian. Lahan sawah seluas ha atau setara dengan 10,53 % dari luas Kota Samarinda. Lahan pertanian bukan sawah seluas ha atau setara dengan 37,91 % dari luas Kota Samarinda. Lahan pertanian bukan sawah ini terdiri dari tegal/kebun, ladang/huma, lahan yang sementara tidak diusahakan, dan lainnya (perkebunan, hutan rakyat, tambak, kolam/empang, dll). Lahan bukan pertanian terdiri dari rumah, bangunan dan halaman, hutan Negara, rawa-rawa yang tidak ditanami, dan lain-lain memiliki luas sebesar ha atau setara dengan 51,56 % dari luas Kota Samarinda. Rincian detail luas penggunaan lahan disajikan pada Tabel 14.

10 28 Tabel 14 Luas dan persentase penggunaan tanah Kota Samarinda tahun 2010 Luas Wiayah Persentase Uraian (ha) (%) 1. Lahan sawah (yang ditanami padi) a. Sawah irigasi b. Sawah non irigasi c. Sementara tidak diusahakan 2. Lahan pertanian bukan sawah a. Tegal/kebun b. Ladang/huma c. Lahan yg sementara tidak diusahakan d. Lainnya (perkebunan, hutan rakyat, tambak, kolam/empang, dll) 3. Lahan bukan pertanian (rumah, bangunan dan halaman, hutan Negara, rawarawa yang tidak ditanami) ,02 2,48 7,03 5,90 3,53 5,36 23, ,56 Jumlah ,00 Sumber : BPS Kota Samarinda (2011) Luas hutan kota di Kota Samarinda berdasarkan keputusan Walikota Samarinda saat ini adalah 732,777 ha atau hanya 1,02 % dari luas wilayah Kota Samarinda. Jika dibutuhkan luasan hutan kota sebesar ha, maka ada kekurangan sebesar 6.447,22 ha. Tentunya kekurangan luasan ini dapat diatasi dengan menambah luasan, karena luas kawasan tak terbangun di Kota Samarinda yang berupa lahan sawah dan lahan pertanian bukan sawah masih sangat luas yaitu sebesar ha. 5.3 Analisis Penentuan Luas Hutan Kota Berdasarkan Fungsi sebagai Penyerap Karbondioksida (CO 2 ) Berdasarkan data perkiraan jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari proses metabolisme manusia dan pembakaran BBM dan LPG, maka dengan menggunakan metode kemampuan hutan kota dalam menyerap karbondioksida diperoleh perhitungan kebutuhan luasan hutan kota pada tahun 2012 sampai tahun Berdasarkan Prabang (2009), karbondioksida dapat terserap sebesar g/jam/ha. Skenario 1 Luasan hutan kota yang dibutuhkan Kota Samarinda pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: , , , ,11 L L= ,18 ha

11 29 Pada tahun 2012 dibutuhkan luasan hutan kota sebesar ,18 ha atau 16,58 % dari luas wilayah Kota Samarinda. Untuk tahun-tahun berikutnya dengan menggunakan cara yang sama akan diperoleh luasan hutan kota seperti yang tertera pada Tabel 15. Tabel 15. Luas hutan kota yang dibutuhkan di Kota Samarinda tahun (skenario 1) Total emisi CO 2 yang dihasilkan Luas Hutan Kota Persentase Luas (ha) Hutan Kota (%) , ,18 16, , ,45 17, , , , , , , , ,13 22, , , , , ,67 27,39 Skenario 2 Luasan hutan kota yang dibutuhkan Kota Samarinda pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: , , , , ,88 L= L= ,11 ha Pada tahun 2012 dibutuhkan luasan hutan kota sebesar ,11 ha atau 19,94 % dari luas wilayah Kota Samarinda. Untuk tahun-tahun berikutnya dengan menggunakan cara yang sama akan diperoleh luasan hutan kota seperti yang tertera pada Tabel 16. Tabel 16. Luas hutan kota yang dibutuhkan di Kota Samarinda tahun (skenario 2) Total emisi CO 2 yang dihasilkan Luas Hutan Kota Persentase Luas (ha) Hutan Kota (%) , ,11 19, , ,82 22, , ,97 28, , ,48 34, , ,47 43, , ,78 53, , ,89 66, , ,74 82, , ,66 102,05

12 30 Dari hasil perhitungan skenario 1, total karbondioksida yang dihasilkan oleh penduduk, pembakaran BBM dan LPG pada tahun 2012 adalah ,63 g/jam dan pada tahun 2050 mencapai ,8 g/jam. Total karbondioksida yang dihasilkan berdasarkan skenario 2 pada tahun 2012 adalah ,1 g/jam dan pada tahun 2050 mencapai ,8 g/jam. Perbandingan total karbondioksida yang dihasilkan oleh penduduk, pembakaran BBM dan LPG antara skenario 1 dan skenario 2 dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan kemampuan hutan kota dalam menyerap karbondioksida, kebutuhan luas hutan kota menggunakan skenario 1 pada tahun 2012 sebesar ,18 ha dan pada tahun 2050 sebesar ,67 ha. Kebutuhan luas hutan kota menggunakan skenario 2 pada tahun 2012 sebesar ,11 ha dan pada tahun 2050 sebesar ,66 ha. Perbandingan kebutuhan luas hutan kota di Kota Samarinda antara skenario 1 dan skenario 2 dapat dilihat pada Gambar total emisi CO skenario 1 skenario tahun Gambar 5. Grafik Emisi CO 2 yg dihasilkan Penduduk, BBM & LPG

13 31 luas hutan kota (ha) tahun Gambar 6. Grafik Luas Hutan Kota di Kota Samarinda skenario 1 skenario 2 PP No.63 Th 2002 RTRWK Keberadaan karbondioksida di udara semakin tinggi karena semakin meningkatnya aktivitas di perkotaan seperti kendaraan bermotor, jumlah industri dan aktivitas lainnya dari penduduk kota. Peningkatan gas ini di udara bebas akan mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca yaitu terjadinya peningkatan suhu udara. Selain itu juga pencemaran udara oleh gas ini dengan kadar 3 % dapat menimbulkan keracunan pada tubuh bila terisap waktu bernapas dan menyebabkan sesak napas, serta kepala pusing. Bila kadarnya di udara mencapai 10 % akan mengakibatkan gangguan pada penglihatan, pendengaran, tremor dan akhirnya pingsan setelah karbondioksida berada 1 menit di udara (Supardi, 1994). Oleh karena itu, keberadaan tanaman di kawasan perkotaan merupakan hal yang sangat mutlak. Tanaman akan menyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis dan menghasilkan oksigen yang sangat diperlukan oleh makhluk hidup untuk pernapasan. Dengan demikian adanya hutan kota akan memberikan banyak manfaat terhadap wilayah perkotaan, dan agar manfaat yang diharapkan hutan kota dapat dirasakan secara maksimal tentunya harus diketahui luasan hutan kota di suatu wilayah perkotaan. Penentuan luasan hutan kota di suatu wilayah dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pendekatan berdasarkan isu penting dan berdasarkan luasan per kapita. Pendekatan berdasarkan isu penting dilakukan berdasar permasalahan sentral yang ada di suatu kota yaitu berdasarkan pemenuhan

14 32 kebutuhan akan air bersih, pemenuhan kebutuhan oksigen dan kemampuan hutan kota dalam menyerap dan menjerap polutan. Penentuan luasan hutan kota berdasarkan luasan per kapita dihitung berdasar jumlah penduduk. Penentuan luasan hutan kota di Kota Samarinda didasarkan pada kemampuan hutan kota dalam menyerap karbondioksida. Perhitungan penentuan luasan dilakukan dengan menggunakan 2 skenario. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan skenario 1, jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari penduduk, BBM (bensin, solar dan minyak tanah) dan LPG pada tahun 2012 adalah ,63 g/jam atau setara dengan ,18 ha hutan kota atau 16,58 % dari luas total wilayah Kota Samarinda. Pada tahun 2050 jumlah karbondioksida yang dihasilkan sebesar ,8 g/jam atau setara dengan ,67 ha hutan kota atau 27,39 % dari luas total wilayah Kota Samarinda. Perhitungan dengan menggunakan skenario 2, jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari penduduk, BBM (bensin, solar dan minyak tanah) dan LPG pada tahun 2012 adalah ,1 g/jam atau setara dengan ,11 ha hutan kota atau 19,94 % dari luas total wilayah Kota Samarinda. Pada tahun 2050 jumlah karbondioksida yang dihasilkan sebesar ,8 g/jam atau setara dengan ,66 ha hutan kota atau 102,05 % dari luas total wilayah Kota Samarinda. Dari hasil yang diperoleh, luas hutan kota yang dibutuhkan Kota Samarinda menggunakan skenario 2 jauh lebih besar dibandingkan menggunakan skenario 1. Hal ini terjadi karena, adanya lonjakan jumlah penduduk di Kota Samarinda pada tahun 2010 yang digunakan pada perhitungan skenario 2 sehingga menyebabkan emisi karbondioksida meningkat. Melihat situasi ini, maka pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam menentukan luas hutan kota di Kota Samarinda ialah dengan berdasarkan perhitungan skenario 2. Jumlah penduduk, tingkat pemakaian BBM dan LPG pada Kota Samarinda mengalami peningkatan tiap tahunnya, sehingga jumlah karbondioksida yang dihasilkan juga meningkat. Besarnya jumlah karbondioksida yang dihasilkan dalam setiap tahunnya sudah cukup memprihatinkan. Meningkatnya jumlah karbondioksida di udara sangat membahayakan karena mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup yang akan mengancam kesehatan manusia. Cara untuk menanggulangi permasalahan tersebut diantaranya adalah dengan

15 33 memaksimalkan keberadaan dan fungsi hutan kota dengan cara menambah luasan hutan kota sesuai dengan perhitungan yang dilakukan. Ditinjau dari luasan, luas hutan kota di Kota Samarinda berdasarkan keputusan Walikota Samarinda saat ini jauh dari mencukupi. Luas hutan kota yang ada saat ini adalah 732,777 ha atau hanya 1,02 % dari luas wilayah Kota Samarinda. Berdasarkan PP No. 63 tahun 2002 seharusnya Kota Samarinda menyediakan lahan sebesar ha untuk hutan kota, sedangkan berdasarkan perhitungan kemampuan hutan kota dalam menyerap karbondioksida menggunakan skenario 1, pada tahun 2012 dibutuhkan hutan kota seluas ,18 ha atau 16,58 % dari luas total wilayah Kota Samarinda. Pada tahun 2050 luas hutan kota yang dibutuhkan adalah sebesar ,67 ha atau 27,39 % dari luas total wilayah Kota Samarinda. Dengan menggunakan skenario 2 pada tahun 2012 dibutuhkan hutan kota seluas ,11 ha atau 19,94 % dari luas total wilayah Kota Samarinda. Pada tahun 2050 luas hutan kota yang dibutuhkan adalah sebesar ,66 ha atau 102,05 % dari luas total wilayah Kota Samarinda (perbandingan kebutuhan luas hutan kota di Kota Samarinda dapat dilihat pada Gambar 6). Untuk mendapatkan luasan hutan kota yang ideal sesuai dengan metode kemampuan hutan kota dalam menyerap karbondioksida, maka Kota Samarinda harus menambah luasan hutan kota yang ada. Hasil perhitungan kebutuhan luas hutan kota berdasarkan penyerapan karbondioksida berbeda jauh dengan perhitungan berdasarkan PP No. 63 tahun Perhitungan berdasarkan penyerapan karbondioksida lebih dapat memberikan manfaat hutan kota sebesar-besarnya bagi kota dibandingkan dengan perhitungan berdasarkan PP No. 63 tahun Hal ini karena, semakin tingginya populasi manusia menyebabkan semakin tingginya emisi karbondioksida yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup, sehingga luas hutan kota yang dibutuhkan untuk menyerap karbondioksida akan semakin luas. Luas hutan kota berdasarkan PP No. 63 tahun 2002 tidak cukup dalam hal menyerap emisi karbondioksida, sehingga ketetapan luasan tersebut perlu dikaji lagi. Kandungan emisi karbondioksida di Kota Samarinda yang tinggi, mengharuskan pemerintah memberi perhatian yang lebih terhadap lingkungan khususnya mengenai keberadaan hutan kota. Pemerintah Kota Samarinda dalam

16 34 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda telah mengalokasikan lahan untuk kawasan perlindungan yang tersebar di semua kecamatan. Rincian detail luas kawasan lindung tersebut disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Rencana proporsi luas kawasan lindung terhadap luas wilayah No Kecamatan Luas Wilayah (ha) Kawasan Lindung (ha) Persentase Kws.L. thd Luas Wilayah 1 Samarinda Ulu ,91 29,61 2 Palaran ,25 36,41 3 Samarinda Utara ,95 59,50 4 Samarinda Seberang ,12 19,02 5 Sungai Kunjang ,95 44,10 6 Samarinda Ilir ,96 13,92 Jumlah ,14 41,74 Sumber : BAPPEDA Kota Samarinda (2005) Lahan yang telah dialokasikan untuk kawasan perlindungan di Kota Samarinda yang dapat dijadikan hutan kota sebesar ,14 ha. Hal itu berarti, luasan tersebut sudah sangat mencukupi tidak hanya pada tahun 2012 tetapi sampai dengan tahun 2050 berdasarkan perhitungan skenario 1. Alokasi kawasan perlindungan tersebut juga telah mencukupi luasan hutan kota pada tahun 2012 berdasarkan perhitungan skenario 2, tetapi hanya sampai tahun Berdasarkan PP No tentang Hutan Kota pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah Negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Pada pasal 5 ayat 2 dikatakan penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Walikota atau Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Oleh karena itu, apabila pemerintah Kota Samarinda telah mengalokasikan lahan untuk hutan kota diharapkan dapat diperkuat dengan penunjukan dan penetapan statusnya sebagai hutan kota agar pengelolaan hutan kota dapat dilakukan dengan baik, sehingga fungsi hutan kota sebagai penyerap karbondioksida dapat maksimal. Agar kebutuhan luasan hutan kota untuk menyerap karbondioksida tidak terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun sedangkan luas lahan tetap, maka emisi karbondioksida perlu diminimalkan dengan jalan: mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, mengganti bahan bakar

17 35 fosil dengan biofuel, lebih banyak berjalan kaki untuk berpergian pada jarak yang relatif dekat dan naik sepeda untuk jarak 5 km sampai 10 km, serta menanam jenis-jenis pohon yang mempunyai daya serap karbondioksida yang tinggi dan menghasilkan oksigen. Dahlan (2008) menyatakan bahwa tanaman yang dapat menyerap paling banyak karbondioksida adalah Trembesi (Samanea saman), Cassia (Cassia sp.), Kenanga (Canangium odoratum), Pingku (Dysoxylum excelsum), dan Beringin (Ficus benyamina). Widyastama (1991) diacu dalam Dahlan (1992) menyatakan tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO 2 dan penghasil oksigen adalah Damar (Agathis alba), Daun Kupu-kupu (Bauhinia purpurea), Lamtoro gung (Leucaena leucocephala), Akasia (Acacia auriculiformis) dan Beringin (Ficus benjamina). Menurut Sugiharti (1998), Kaliandra (Calliandra sp.), Flamboyan (Delonix regia), dan Kembang merak (Caesalpinia pulcherrima) merupakan tanaman yang efektif dalam menyerap karbondioksida dan sekaligus tanaman tersebut relatif kurang terganggu oleh pencemaran udara. Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan bertambahnya pembangunan sehingga kawasan RTH akan berkurang, maka pembangunan pemukiman disarankan dibangun secara vertikal. Penggunaan lahan di perkotaan harus optimal, baik untuk lahan terbangun maupun untuk kawasan hutan kota. Kota Samarinda sebagai ibukota propinsi Kalimantan Timur telah mengalami perkembangan pesat yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup akibat meningkatnya kadar karbondioksida. Berdasarkan hasil yang diperoleh, pada tahun 2012 Kota Samarinda diharapkan dapat menambah luasan hutan kota sesuai dengan hasil perhitungan berdasarkan penyerapan karbondioksida. Luasan tersebut dapat menggunakan lahan yang telah dialokasikan sebagai kawasan lindung dalam RTRW Kota Samarinda, kemudian ditetapkan statusnya sebagai hutan kota. Hutan kota yang ada di Samarinda merupakan lahan yang telah ditetapkan oleh Walikota setempat sebagai hutan kota. Lokasi-lokasi hutan kota tersebut lebih banyak berada pada lahan milik masyarakat/perusahaan seperti Pesantren Nabil Husein, Pesantren Syachona Cholil, PT Hartaty, PT Gani Mulya dan PT Sumber Mas. Berdasarkan hasil pemantauan lapang, kualitas hutan kota yang ada

18 36 di Kota Samarinda mengalami penurunan, bahkan kuantitasnya juga menurun dibandingkan pada awal penetapan. Sebuah Mall atau pusat perbelanjaan yang berada di Jalan Bhayangkara (lingkungan Balaikota) sebelumnya merupakan lokasi hutan kota. Mengingat jumlah emisi CO 2 di Kota Samarinda yang terus meningkat, maka keberadaan hutan kota perlu ditingkatkan guna menyerap emisi CO 2. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Samarinda harus meningkatkan strategi agar hutan kota tidak berkurang bahkan bertambah. Masyarakat/perusahaan yang tetap menjalankan keberadaan dan fungsi hutan kota dengan baik sebaiknya diberi reward atau penghargaan agar memotivasi pihak masyarakat/perusahaan untuk tetap menjaga hutan kota. Hutan kota yang berada pada tanah milik masyarakat/perusahaan bisa saja beralih fungsi jika masa kesepakatan (MoU) sebagai hutan kota telah habis, hal itu karena tidak adanya sanksi hukum.

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Analisis Pengaruh Peningkatan Penjualan Kendaraan Bermotor terhadap Peningkatan Emisi CO 2 di udara Indonesia merupakan negara pengguna kendaraan bermotor terbesar ketiga

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DI KOTA SAMARINDA Studi Tentang Implementasi Kebijakan Hutan Kota di Kota Samarinda

PERBANDINGAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DI KOTA SAMARINDA Studi Tentang Implementasi Kebijakan Hutan Kota di Kota Samarinda ejournal Ilmu Pemerintahan, 2013, 1 (2): 415-429 ISSN 0000-0000, ejournal.ip.fisip.unmul Copyright 2013 PERBANDINGAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DI KOTA SAMARINDA Studi Tentang Implementasi Kebijakan Hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fotosintesis Menurut Dwijoseputro (1980), fotosintesis adalah proses pengubahan zatzat anorganik berupa H 2 O dan CO 2 oleh klorofil (zat hijau daun) menjadi zat-zat organik

Lebih terperinci

PENENTUAN LUASAN HUTAN KOTA BERDASARKAN PENYERAPAN KARBONDIOKSIDA (CO 2 ) DI KOTA SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR FENY DWI KASIH

PENENTUAN LUASAN HUTAN KOTA BERDASARKAN PENYERAPAN KARBONDIOKSIDA (CO 2 ) DI KOTA SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR FENY DWI KASIH PENENTUAN LUASAN HUTAN KOTA BERDASARKAN PENYERAPAN KARBONDIOKSIDA (CO 2 ) DI KOTA SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR FENY DWI KASIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

Studi Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Penyerap CO₂ Di Kota Tobelo Tahun Oleh : Ronald Kondo Lembang, M.Hut Steven Iwamony, S.Si

Studi Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Penyerap CO₂ Di Kota Tobelo Tahun Oleh : Ronald Kondo Lembang, M.Hut Steven Iwamony, S.Si Studi Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Penyerap CO₂ Di Kota Tobelo Tahun 2012 Oleh : Ronald Kondo Lembang, M.Hut Steven Iwamony, S.Si Latar Belakang Perkembangan suatu kota ditandai dengan pesatnya pembangunan

Lebih terperinci

Kampus USU Medan Staf Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Jl. Raya Parapat km 10,5 Sibaganding-Parapat

Kampus USU Medan Staf Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Jl. Raya Parapat km 10,5 Sibaganding-Parapat Prediksi Luasan Optimal Hutan Kota Sebagai Penyerap Gas Karbondioksida (CO 2) di Kota Medan 1 Predicting of Urban Forest Width as the Carbondioxide (CO 2) Absorber in Medan Suri Fadhilla 2, Siti Latifah

Lebih terperinci

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Emisi Karbondioksida (CO 2 ) yang Dikeluarkan Kendaraan Bermotor di Kota Bogor Tahun 2010 Emisi CO 2 dari kendaraan bermotor dapat diketahui dengan cara terlebih dahulu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Analisis Pengaruh Peningkatan Emisi CO 2 di Dunia terhadap Peningkatan Pencairan Es di Berbagai Benua Peningkatan Emisi CO 2 yang menyebabkan pemanasan global secara fakta

Lebih terperinci

PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI

PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI Mata Kuliah Biometrika Hutan PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI Disusun oleh: Kelompok 6 Sonya Dyah Kusuma D. E14090029 Yuri

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota di Kotamadya Jakarta Selatan Berdasarkan Peraturan Penentuan luas hutan kota mengacu kepada dua peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu menurut PP No 62 Tahun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Emisi CO 2 di kota Pematangsiantar 5.1.1 Emisi CO 2 yang berasal dari energi (bahan bakar fosil) Bahan bakar utama dewasa ini adalah bahan bakar fosil yaitu gas alam, minyak

Lebih terperinci

PENENTUAN LUAS HUTAN KOTA BERDASARKAN PENYERAPAN KARBONDIOKSIDA (CO 2 ) DI PASIR PENGARAIAN KABUPATEN ROKAN HULU PROPINSI RIAU HERMI APRIANI

PENENTUAN LUAS HUTAN KOTA BERDASARKAN PENYERAPAN KARBONDIOKSIDA (CO 2 ) DI PASIR PENGARAIAN KABUPATEN ROKAN HULU PROPINSI RIAU HERMI APRIANI PENENTUAN LUAS HUTAN KOTA BERDASARKAN PENYERAPAN KARBONDIOKSIDA (CO 2 ) DI PASIR PENGARAIAN KABUPATEN ROKAN HULU PROPINSI RIAU HERMI APRIANI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Analisis 4.1.1 Gambaran Umum Kota Bogor Kota Bogor terletak di antara 106 43 30 BT - 106 51 00 BT dan 30 30 LS 6 41 00 LS dengan jarak dari ibu kota 54 km. Dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB V SUMBER DAYA ALAM

BAB V SUMBER DAYA ALAM BAB V SUMBER DAYA ALAM A. Pertanian Kota Surakarta Sebagai salah satu kota besar di Jawa Tengah, mengalami pertumbuhan ekonomi dan penduduk karena migrasi yang cepat. Pertumbuhan ini mengakibatkan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang dikehendaki (Rohaini, 1990).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan dan pengembangan suatu kota berjalan sangat cepat, sehingga apabila proses ini tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan hidup dikhawatirkan akan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SARANA PENDUKUNG RAMAH LINGKUNGAN

PENGELOLAAN SARANA PENDUKUNG RAMAH LINGKUNGAN Komponen 4 PENGELOLAAN SARANA PENDUKUNG RAMAH LINGKUNGAN Bimbingan Teknis Adiwiyata 2014, Jakarta 25-27 Maret 2014 Linda Krisnawati & Stien J. Matakupan 1 Lader of Participation developed by Hart (1992)

Lebih terperinci

FUNGSI HUTAN KOTA DALAM MENGURANGI PENCEMARAN UDARA DI KOTA SAMARINDA

FUNGSI HUTAN KOTA DALAM MENGURANGI PENCEMARAN UDARA DI KOTA SAMARINDA JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor9 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja Copyright 2014 FUNGSI HUTAN KOTA DALAM MENGURANGI PENCEMARAN UDARA DI KOTA SAMARINDA Darul Dana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Pemukiman

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Pemukiman 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Pemukiman Menurut Simonds (2006), lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

Kata kunci: Upaya Pemerintah, Hukum lingkungan dan hutan kota ABSTRACT. Keywords: the Government's efforts, environmental law, and urban forests.

Kata kunci: Upaya Pemerintah, Hukum lingkungan dan hutan kota ABSTRACT. Keywords: the Government's efforts, environmental law, and urban forests. 49 Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 63 TAHUN 2002 Tentang Hutan Kota Di Samarinda. Helmi Fariska Rahma, S.H dan Nainuri Suhadi, S.H., M.Hum ABSTRAK Pencemaran dan kerusakan lingkungan bukan lagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Distribusi dan Kecukupan Luasan Hutan Kota sebagai Rosot Karbondioksida dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting sebab tingkat pertambahan penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jaringan jalan memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai prasarana untuk memindahkan/transportasi orang dan barang, dan merupakan urat nadi untuk mendorong

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut.

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut. PERKEMBANGAN PENDUDUK DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN A. PENYEBAB PERKEMBANGAN PENDUDUK Pernahkah kamu menghitung jumlah orang-orang yang ada di lingkunganmu? Populasi manusia yang menempati areal atau wilayah

Lebih terperinci

Muhimmatul Khoiroh Dosen Pembimbing: Alia Damayanti, S.T., M.T., Ph.D

Muhimmatul Khoiroh Dosen Pembimbing: Alia Damayanti, S.T., M.T., Ph.D PERENCANAAN VEGETASI PADA JALUR HIJAU JALAN SEBAGAI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK UNTUK MENYERAP EMISI KARBON MONOKSIDA (CO) DARI KENDARAAN BERMOTOR DI KECAMATAN SUKOLILO SURABAYA Muhimmatul Khoiroh 3310

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

: 1.1 PETA KOTA SAMARINDA

: 1.1 PETA KOTA SAMARINDA Kota Samarinda merupakan ibukota Propinsi Kalimatan Timur dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kertanegara. Luas wilayah Kota Samarinda adalah 718,00 km² dan terletak antara 117º03 00 Bujur Timur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat yang dihuni oleh masyarakat dimana mereka dapat bersosialisasi serta tempat melakukan aktifitas sehingga perlu dikembangkan untuk menunjang aktivitas

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut :

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut : BENTUK DAN FUNGSI HUTAN KOTA 1. Bentuk Hutan Kota Pembangunan hutan kota dan pengembangannya ditentukan berdasarkan pada objek yang dilindungi, hasil yang dicapai dan letak dari hutan kota tersebut. Berdasarkan

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan akan menyebabkan kualitas lingkungan menurun karena tingginya aktivitas manusia. Perkembangan kota seringkali diikuti

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan Penelitian estimasi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen di Kotamadya Jakarta Selatan. Tempat pengambilan data primer

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

ENDES N. DAHLAN. Diterima 10 Desember 2007/Disetujui 15 Mei 2008 ABSTRACT

ENDES N. DAHLAN. Diterima 10 Desember 2007/Disetujui 15 Mei 2008 ABSTRACT JUMLAH EMISI GAS CO 2 DAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN BERDAYA ROSOT SANGAT TINGGI: STUDI KASUS DI KOTA BOGOR (The Amount of CO 2 Gasses Emission and Selection of Plant Species with Height Carbon Sink Capability:

Lebih terperinci

Tugas Akhir. Pemodelan Spasial Beban Sumber Emisi Gas Rumah Kaca di Kecamatan Driyorejo. Dimas Fikry Syah Putra NRP

Tugas Akhir. Pemodelan Spasial Beban Sumber Emisi Gas Rumah Kaca di Kecamatan Driyorejo. Dimas Fikry Syah Putra NRP Tugas Akhir Pemodelan Spasial Beban Sumber Emisi Gas Rumah Kaca di Kecamatan Driyorejo Dimas Fikry Syah Putra NRP. 3310 100 111 Dosen Pembimbing: Prof. Ir. Joni Hermana, M.Sc.ES., Ph.D Program Sarjana

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat BAB I PENDAHULUAN 1.I Latar belakang Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Tetapi keberadaan jalur hijau jalan pada saat ini di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan mahluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Sungai adalah sumber daya alam yang bersifat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Penjelasan PP Nomor 63 Tahun 2002 Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang

Lebih terperinci

GREEN TRANSPORTATION

GREEN TRANSPORTATION GREEN TRANSPORTATION DIREKTORAT PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DIRJEN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Jakarta 2016 - 23 % emisi GRK dari fossil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 13. PendudukLatihan Soal 13.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 13. PendudukLatihan Soal 13.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 13. PendudukLatihan Soal 13.2 1. Perhatikan tabel berikut! Kota Jumlahpenduduk Luaswilayah (km 2 ) A 2500 50 B 3520 80 C 1250 120 D 4500 75 Berdasarkan tabel tersebut kota manakah

Lebih terperinci

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Ruhyat Hardansyah, Maria C.L. Hutapea Subbidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan daya Tampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses meningkatnya suhu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menciptakan wilayah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Denpasar Hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM bulan Oktober tahun 2009, Kota Denpasar mempunyai luas wilayah 12.891,6 ha. Berdasarkan

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan bagian yang sangat bernilai dan diperlukan saat ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun pada sisi

Lebih terperinci

STUDI PENINGKATAN PELAYANAN OPERASIONAL PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DI KOTA BANDA ACEH TUGAS AKHIR

STUDI PENINGKATAN PELAYANAN OPERASIONAL PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DI KOTA BANDA ACEH TUGAS AKHIR STUDI PENINGKATAN PELAYANAN OPERASIONAL PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DI KOTA BANDA ACEH TUGAS AKHIR Oleh: DINAR DWIRIANSYAH L2D 099 418 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri dan Klasifikasinya Industri merupakan suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk

Lebih terperinci

Daftar Tabel. Kualitas Air Rawa... I 28 Tabel SD-15. Kualitas Air Sumur... I 29

Daftar Tabel. Kualitas Air Rawa... I 28 Tabel SD-15. Kualitas Air Sumur... I 29 Daftar Tabel Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan... I - 1 Tabel SD-2. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

Daftar Tabel. halaman. Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan

Daftar Tabel. halaman. Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan Daftar Tabel Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan halaman Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan... I - 1 Tabel SD-2. Luas Kawasan Hutan Menurut

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas udara perkotaan di Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun dalam beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi kehidupan di dunia ini ( Arya, 2004: 27).

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi kehidupan di dunia ini ( Arya, 2004: 27). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan campuran beberapa gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitar. Udara juga adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar udara di banyak kota besar di dunia, termasuk Indonesia. Emisi gas buangan kendaraan bermotor memberikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 02 Tahun 2010 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN SAMBUTAN, KECAMATAN SAMARINDA KOTA, KECAMATAN SUNGAI PINANG,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobil merupakan suatu hal penting yang dianggap mampu membantu mempermudah hidup manusia. Untuk dapat dipergunakan sebagai mana fungsinya mobil menggunakan tenaga mesin

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 4. Kepadatan Populasi Hubungannya dengan LingkunganLatihan Soal 4.2

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 4. Kepadatan Populasi Hubungannya dengan LingkunganLatihan Soal 4.2 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 4. Kepadatan Populasi Hubungannya dengan LingkunganLatihan Soal 4.2 1. Peningkatan penduduk mengakibatkan pembukaan hutan meningkat seiring naiknya kebutuhan akan pemukiman, hal

Lebih terperinci

PREDIKSI JUMLAH KARBON YANG TIDAK TERSERAP OLEH PEPOHONAN AKIBAT PENEBANGAN HUTAN DAN EMISI KENDARAAN PADA RENCANA RUAS JALAN TIMIKA-ENAROTALI

PREDIKSI JUMLAH KARBON YANG TIDAK TERSERAP OLEH PEPOHONAN AKIBAT PENEBANGAN HUTAN DAN EMISI KENDARAAN PADA RENCANA RUAS JALAN TIMIKA-ENAROTALI PREDIKSI JUMLAH KARBON YANG TIDAK TERSERAP OLEH PEPOHONAN AKIBAT PENEBANGAN HUTAN DAN EMISI KENDARAAN PADA RENCANA RUAS JALAN TIMIKA-ENAROTALI Disusun Oleh Inti Pramitha Nolasari 3305.100.047 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aktivitas-aktivitas manusia telah mengubah

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aktivitas-aktivitas manusia telah mengubah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan manusia yang cepat mendorong manusia memanfaatkan alam secara berlebihan. Pemanfaatan tersebut baik sebagai pemukiman maupun usaha untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN DAERAH SAMPANG NOMOR : 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMPANG, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara akibat dari peningkatan penggunaan jumlah kendaraan bermotor yang mengeluarkan gas-gas berbahaya akan sangat mendukung terjadinya pencemaran udara dan

Lebih terperinci

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA DAFTAR TABEL Daftar Tabel... i BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. LAHAN DAN HUTAN Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan. l 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1.1 Kesimpulan Kesimpulan dari konsep ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo adalah : 1. Adanya kebutuhan masyarakat pada kawasan pusat kota Ponorogo akan ruang

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS POHON DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON TERSIMPAN PADA DUA JENIS VEGETASI DI KOTA BANDAR LAMPUNG

KEANEKARAGAMAN JENIS POHON DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON TERSIMPAN PADA DUA JENIS VEGETASI DI KOTA BANDAR LAMPUNG KEANEKARAGAMAN JENIS POHON DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON TERSIMPAN PADA DUA JENIS VEGETASI DI KOTA BANDAR LAMPUNG Aria Israini Putri 1, Marlina Kamelia 2, dan Rifda El Fiah 3 1,2 Tadris Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 SERI E NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KOTA Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, : a. bahwa

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Kota Bogor mempunyai luas wilayah km 2 atau 0.27 persen dari

V. GAMBARAN UMUM. Kota Bogor mempunyai luas wilayah km 2 atau 0.27 persen dari V. GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Geografis Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118 50 km 2 atau 0.27 persen dari luas propinsi Jawa barat. Secara geografis, Kota Bogor terletak diantara 106 derajat 43 30 BT-106

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi atau perangkutan adalah perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan, baik yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai kasus

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai kasus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kota Riau, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi t'r - PEMERINTAH KABUPATEN NGANJUK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 09 TAHUN 2OO5 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto WALIKOTA BOGOR KATA PENGANTAR Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan perlu didukung data dan informasi lingkungan hidup yang akurat, lengkap dan berkesinambungan. Informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Khusus Ibukota Jakarta dalam rentang tahun , dan tidak termasuk. Tabel 1.1 Pertumbuhan Panjang Jalan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Khusus Ibukota Jakarta dalam rentang tahun , dan tidak termasuk. Tabel 1.1 Pertumbuhan Panjang Jalan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran infrastruktur sangat penting dalam mewujudkan pemenuhan hak dasar rakyat seperti pangan, sandang, papan, rasa aman, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, infrastruktur

Lebih terperinci