ANALISIS STRUKTUR BIAYA DAN NILAI TAMBAH OLAHAN KEDELAI DI WILAYAH MALANG DWI JAYANTI NUR AINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS STRUKTUR BIAYA DAN NILAI TAMBAH OLAHAN KEDELAI DI WILAYAH MALANG DWI JAYANTI NUR AINI"

Transkripsi

1 ANALISIS STRUKTUR BIAYA DAN NILAI TAMBAH OLAHAN KEDELAI DI WILAYAH MALANG DWI JAYANTI NUR AINI DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Struktur Biaya dan Nilai Tambah Olahan Kedelai di Wilayah Malang adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2017 Dwi Jayanti Nur Aini NIM H

4

5 ABSTRAK DWI JAYANTI NUR AINI. Analisis Struktur Biaya dan Nilai Tambah Olahan Kedelai di Wilayah Malang. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI Usaha pengolahan kedelai yang berkembang di Wilayah Malang yaitu usaha tempe, tahu, dan keripik tempe. Pengolahan kedelai di Wilayah Malang dilakukan dengan berbagai skala usaha yang beragam. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur biaya dan nilai tambah dari usaha pengolahan tempe, tahu, dan keripik tempe yang memiliki kapasitas produksi yang berbeda. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak tiga unit usaha pada masing-masing pengolahan kedelai yang mewakili tiga skala. Analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami. Hasil penelitian menunjukkan semakin besar kapasitas produksi pada ketiga jenis usaha tersebut menghasilkan biaya rata-rata per output yang lebih rendah dan nilai R/C yang lebih tinggi. Analisis nilai tambah menunjukkan bahwa usaha yang memiliki kapasitas usaha terbesar memiliki nilai tambah tertinggi dan pengolahan kedelai menjadi tahu memiliki rasio nilai tambah yang paling tinggi. Kata kunci: metode Hayami, nilai tambah, olahan kedelai, struktur biaya ABSTRACT DWI JAYANTI NUR AINI. Cost Structure and Added Value Analysis of Soybean Processed in Malang Region. Supervised by ANNA FARIYANTI Soybean processing business that develops in the region Malang are tempe, tofu, and tempe crispy-chips. Soybean processing business in Malang conducted with various diverse business scale. The sampling method used in this research was purposive sampling with samples taken from three business units as respondents from each of the soybean processing that represents three scales. The aim of this study are to analyze the cost structure and value added of those different corporations in different capicity of productions. Analysis of the added value used Hayami method. The research result showed that more capacity of production in those three corporations can produce lower average cost value per output and highervalue of R/C. The analysis of value added showed that the greatest business capacity has the highest value added and soybeans processing into tofu has the highest ratio of value added. Keywords: value added, Hayami methode, soybean processed, cost structure

6

7 ANALISIS STRUKTUR BIAYA DAN NILAI TAMBAH OLAHAN KEDELAI DI WILAYAH MALANG DWI JAYANTI NUR AINI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

8

9

10

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini ialah Analisis Struktur Biaya dan Nilai Tambah Olahan kedelai di Wilayah Malang. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Anna Fariyanti MSi selaku dosen pembimbing skripsi, Bapak Dr Ir Harianto MS selaku dosen penguji utama, Bapak Feryanto W K SP MSi selaku dosen penguji Komisi Pendidikan, serta Tauziry Siddiq selaku pembahas seminar hasil penelitian. Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Afandi, Bapak Ali, dan Bapak Mulyono selaku pelaku usaha tempe, Bapak Mufidh, Bapak Untung, dan Bapak Safii selaku pelaku usaha tahu, serta Ibu Susiana, Ibu Hariati, dan Bapak Khasim selaku pelaku usaha keripik tempe yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, teman-teman Agribisnis 49, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2017 Dwi Jayanti Nur Aini

12

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 6 TINJAUAN PUSTAKA 6 Usaha Pengolahan Tempe, Tahu, dan Keripik Tempe 6 Struktur Biaya Usaha Pengolahan Produk Pertanian 7 Analisis Nilai Tambah Produk Pertanian 8 Pengaruh Skala Usaha Terhadap Nilai Tambah yang Diciptakan 10 KERANGKA PEMIKIRAN 11 Kerangka Pemikiran Teoritis 11 Hubungan Skala Usaha dengan Biaya Produksi 11 Kerangka Pemikiran Operasional 14 METODE PENELITIAN 15 Lokasi Penelitian 16 Metode Penentuan Sampel 16 Jenis dan Sumber Data 17 Metode Analisis dan Pengolahan Data 18 GAMBARAN UMUM USAHA PENGOLAHAN KEDELAI 21 Gambaran Umum Usaha Tempe, Tahu, dan Keripik Tempe 21 Pengadaan Bahan Baku dan Bahan Penolong 22 Karakteristik Tenaga Kerja 23 Peralatan Produksi 24 Proses Produksi 25 Hasil Output dan Pemasaran 29 HASIL DAN PEMBAHASAN 30

14 Analisis Struktur Biaya Usaha Tempe, Tahu dan Keripik Tempe 30 Penerimaan, keuntungan, dan Imbangan Penerimaan Biaya 38 Analisis Nilai Tambah 40 SIMPULAN DAN SARAN 53 Simpulan 53 Saran 54 DAFTAR PUSTAKA 54 LAMPIRAN 57

15 DAFTAR TABEL 1 Perkembangan jumlah usaha, tenaga kerja, dan nilai PDB UMKM dan usaha besar tahun Jumlah usaha, tenaga kerja, dan nilai PDB menurut sektor ekonomi UMKM tahun Perkembangan pasokan nasional dan impor kedelai tahun Daftar sampel unit pengolahan tempe, tahu, dan keripik tempe 16 5 Matriks jenis dan sumber data 17 6 Struktur biaya pada usaha pengolahan kedelai 19 7 Perhitungan nilai tambah menurut metode Hayami 20 8 Karakteristik umum usaha pengolahan tempe, tahu, dan keripik tempe 21 9 Input dan output usaha pengolahan kedelai Tenaga kerja dalam dan luar keluarga usaha pengolahan kedelai Hasil output usaha pengolahan kedelai Struktur biaya pada ketiga usaha tempe dalam satu tahun Struktur biaya pada ketiga usaha tahu dalam satu tahun Struktur biaya pada ketiga usaha keripik tempe dalam satu tahun Penerimaan, keuntungan, dan R/C rasio usaha pengolahan kedelai dalam satu tahun Sumbangan input lain pada ketiga usaha tempe dalam satu kali produksi Sumbangan input lain pada ketiga usaha tahu dalam satu kali produksi Sumbangan input lain pada ketiga usaha keripik tempe dalam satu kali produksi Perhitungan nilai tambah pada ketiga usaha tempe Perhitungan nilai tambah pada ketiga usaha tahu Perhitungan nilai tambah pada ketiga usaha keripik tempe Perbandingan hasil analisis nilai tambah rata-rata olahan tempe, tahu, dan keripik tempe per produksi 50 DAFTAR GAMBAR 1 Rata-rata biaya produksi jangka panjang (kurva amplop) 12 2 Kerangka pemikiran operasional 15 3 Proses pengolahan kedelai menjadi tempe 26 4 Proses pengolahan kedelai menjadi tahu 27 5 Proses pengolahan tempe menjadi keripik tempe 29 DAFTAR LAMPIRAN 1 Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tempe I 57 2 Biaya tenaga kerja pada usaha tempe I 57 3 Penerimaan usaha tempe I dalam satu tahun 58 4 Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tempe II 58 5 Biaya tenaga kerja pada usaha tempe II 58

16 6 Penerimaan usaha tempe II dalam satu tahun 59 7 Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tempe III 59 8 Penerimaan usaha tempe III dalam satu tahun 59 9 Biaya tenaga kerja pada usaha tempe III Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tahu IV Biaya tenaga kerja usaha tahu IV Penerimaan usaha tahu IV dalam satu tahun Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tahu V Biaya tenaga kerja usaha tahu V Penerimaan usaha tahu V dalam satu tahun Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tahu V Biaya tenaga kerja usaha tahu VI Penerimaan usaha tahu VI dalam satu tahun Penyusutan investasi dan peralatan usaha keripik tempe VII Biaya tenaga kerja pada usaha keripik tempe VII Penerimaan usaha keripik tempe VII dalam satu tahun Penyusutan investasi dan peralatan usaha keripik tempe VIII Biaya tenaga kerja pada usaha keripik tempe VIII Penerimaan usaha keripik tempe VIII dalam satu tahun Penyusutan investasi dan peralatan usaha keripik tempe IX Biaya tenaga kerja pada usaha keripik tempe IX Penerimaan usaha keripik tempe IX dalam satu tahun Dokumentasi 67

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian ditujukan untuk meningkatkan produksi hasil pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan industri dalam negeri, meningkatkan pendapatan petani, membuka lapangan pekerjaan, mengurangi angka kemiskinan, dan meningkatkan ekspor (Soekartawi 2001). Pembangunan pertanian dapat dikaitkan dengan sektor industri yaitu melalui pengembangan agroindustri produk hasil pertanian. Agroindustri merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan nilai tambah, menghasilkan produk yang dapat digunakan atau dimakan, serta menambah pendapatan dan keuntungan produsen. Pengembangan agroindustri dapat dilakukan melalui pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Usaha mikro, kecil, dan menengah memiliki peran strategis dalam perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM (2015), UMKM kurang lebih memberikan kontribusi sebesar 57 persen terhadap PDB Nasional. Keberadaan UMKM juga semakin penting jika dilihat dari jumlah usaha dan penyerapan tenaga kerja yang memiliki perkembangan positif setiap tahun (Tabel 1). Pada tahun 2013, sektor UMKM mampu menyerap tenaga kerja hingga juta orang dari juta jumlah unit usaha yang ada. Meskipun demikian, usaha besar memiliki produktivitas yang lebih baik dibandingkan UMKM. Hal tersebut dapat dilihat dari pangsa pasar yang relatif kecil yaitu hanya mencapai 0.01 persen, namun memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu mencapai 42 persen terhadap PDB. Oleh karena itu, UMKM memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi lebih terhadap PDB Nasional. Tabel 1 Perkembangan jumlah usaha, tenaga kerja, dan nilai PDB UMKM dan usaha besar tahun Jumlah Usaha Jumlah tenaga kerja PDB ADHK Tahun Indikator Jumlah (unit) Pangsa (%) Jumlah (orang) Pangsa (%) Jumlah (Rp Milyar) Pangsa (%) 2011 UMKM Usaha Besar UMKM Usaha Besar UMKM Usaha Besar Perkembangan UMKM (%) Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM (2015) Usaha mikro, kecil, dan menengah dapat diklasifikasikan menurut jenis kegiatan ekonomi. Salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan penting terhadap UMKM yaitu industri pengolahan. Pada tahun 2011, jumlah unit usaha sektor industri pengolahan cukup besar yaitu mencapai 3.84 juta unit atau sebesar

18 persen dari total keseluruhan jumlah UMKM. Selain itu, industri pengolahan menempati posisi ketiga dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumbangan terhadap PDB sektor ekonomi UMKM (Tabel 2). Tabel 2 Jumlah usaha, tenaga kerja, dan nilai PDB menurut sektor ekonomi UMKM tahun 2011 No Jumlah Tenaga Kerja PDB ADHK Sektor Ekonomi (unit) (orang) (Rp Milyar) 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 2 Perdagangan, Hotel, dan restoran Industri Pengolahan Jasa-jasa Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM (2015) UMKM pengolahan di Indonesia sangat beragam dan salah satu industri pengolahan yang telah berkembang di masyarakat yaitu agroindustri berbasis kedelai. Berkembangnya agroindustri kedelai dapat dilihat dari kebutuhan kedelai nasional untuk industri pengolahan yang cukup tinggi yaitu mencapai 98 persen dari total kebutuhan kedelai nasional (Kementerian Pertanian 2014). Meskipun demikian, kebutuhan kedelai nasional yang tinggi tersebut sebagian besar masih dipenuhi oleh impor yang mencapai 68 persen dan sisanya dari hasil produksi dalam negeri (Tabel 3). Tabel 3 Perkembangan pasokan nasional dan impor kedelai tahun Tahun Pasokan (supply) Impor Ton % Ton % Rata-rata Sumber: Badan Pusat Statistika (2015) Salah satu UMKM pengolahan kedelai yang telah berkembang di masyarakat yaitu usaha tempe dan tahu. Hal tersebut dikarenakan tempe dan tahu merupakan bahan pangan berprotein yang sudah lama menjadi lauk pauk utama masyarakat, sehingga seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan pangan berprotein dapat meningkatkan permintaan kedua produk tersebut. Berkembangnya agroindustri tempe dan tahu ini juga dapat dilihat dari banyaknya kebutuhan kedelai yang diserap oleh kedua industri ini. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2014), da ri total kebutuhan kedelai nasional yang mencapai ton sebesar 83.7 persen diserap oleh pengrajin tempe dan tahu, sedangkan sebesar 14.7 persen diserap industri kecap, tauco, dan lain-lain. UMKM tempe dan tahu memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan. Hal tersebut dikarenakan usaha tempe dan tahu mempunyai peran yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia, terutama ditinjau dari segi pemenuhan gizi masyarakat, penyerapan tenaga kerja, dan pemerataan kesempatan berusaha.

19 Keberadaan usaha tempe dan tahu pada umumnya padat karya dan didominasi industri rumah tangga. Dengan jumlah ribuan unit usaha tempe dan tahu yang beroperasi dapat memberikan kesempatan berusaha yang lebih luas untuk masyarakat (Amang et al. 1996). Selain itu, keberadaan kedua usaha ini secara potensial dapat mendorong berkembangnya usaha lain melalui diversifikasi produk, salah satunya produk turunan tempe yaitu keripik tempe yang telah dikenal masyarakat (Badan Standarisasi Nasional 2012). Para pelaku usaha pengolahan kedelai mulai dari usaha mikro hingga menengah banyak terdapat di Indonesia terutama di Pulau Jawa (Soetrisno 1996). Salah satu daerah di Jawa Timur yang mengembangkan industri pengolahan kedelai yaitu di Wilayah Malang. Industri pengolahan kedelai utama yang berkembang di Wilayah Malang yaitu industri tempe, tahu, serta keripik tempe dengan berbagai skala usaha yang didominasi oleh usaha mikro. Usaha pengolahan tahu lebih berkembang di wilayah Kabupaten Malang dibandingkan di daerah kota, hal tersebut dikarenakan di wilayah kota tidak terdapat lahan yang cukup untuk mengelola limbah pembuatan tahu. Berdasarkan data Primkopti Kota Malang (2013), jumlah pelaku usaha tempe yang menjadi anggota sebanyak 320 orang, pelaku usaha keripik tempe 62 orang, dan empat pelaku usaha tahu. Selain itu terdapat juga ratusan pelaku usaha olahan kedelai yang tidak terdaftar sebagai anggota Primkopti (Fristian 2014). Usaha pengolahan kedelai menjadi tempe, tahu, dan keripik tempe dapat memberikan manfaat yaitu menciptakan laba atau keuntungan bagi para pelaku usaha, serta menciptakan nilai tambah yang membuat nilai ekonomis dari kedelai semakin meningkat. Laba atau keuntungan usaha dapat dijadikan ukuran dalam menilai keberhasilan manajemen suatu usaha. Salah satu komponen yang dapat mempengaruhi perolehan laba yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usaha, sehingga informasi mengenai struktur biaya penting untuk keberlangsungan usaha pengolahan kedelai. Ketiga usaha pengolahan ini memanfaatkan bahan baku utama yang sama untuk menghasilkan output, namun setiap usaha memiliki proses pengolahan dan kapasitas produksi yang berbeda. Berdasarkan penelitian Harwanto (2014) dan Nurdiani (2015) mengenai nilai tambah olahan produk pertanian, perbedaan karakteristik usaha pengolahan dan skala usaha berdasarkan penggunaan bahan baku per produksi dapat menimbulkan perbedaan struktur biaya dan nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian yang menganalisis struktur biaya dan nilai tambah usaha olahan kedelai. Kajian ini diperlukan untuk memberikan informasi kepada pelaku usaha bagaimana struktur biaya dapat mempengaruhi keuntungan usaha serta nilai tambah yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan yang dilakukan, sehingga dari informasi tersebut akan bermanfaat dalam pengembangan usaha olahan kedelai. Perumusan Masalah Usaha pengolahan kedelai merupakan usaha yang telah ada di Wilayah Malang sejak lama, terutama usaha tahu dan tempe. Berkembangnya kedua usaha olahan kedelai ini dikarenakan peningkatan konsumsi tempe dan tahu seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Usaha olahan produk turunan dari tempe 3

20 4 atau tahu juga semakin dikenal masyarakat, salah satunya yaitu keripik tempe yang menjadi ikon khas kota Malang. Industri pengolahan kedelai yang berkembang di Malang yaitu industri tempe dan keripik tempe Sanan, serta industri tahu Gedog yang pada umumnya termasuk sebagai usaha informal dengan skala mikro hingga kecil. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang (2015), jumlah pelaku usaha tempe Sanan sebanyak 263 dan usaha keripik tempe Sanan sebanyak 46 unit usaha. Sedangkan pada industri tahu Gedog, jumlah usaha tahu mencapai 54 unit usaha. Setiap usaha pengolahan memiliki karakteristik usaha masing-masing, begitu pula dengan usaha pengolahan tempe, tahu, dan keripik tempe di Wilayah Malang. Usaha tempe dan tahu menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama, sedangkan usaha keripik tempe memanfaatkan tempe sebagai bahan baku utama. Proses produksi ketiga produk olahan ini berbeda, sehingga menyebabkan sumberdaya yang digunakan seperti penggunaan tenaga kerja, bahan baku pendukung, mesin, dan peralatan produksi juga berbeda. Proses produksi tempe memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan proses produksi tahu, namun untuk mengolah kedelai dalam jumlah yang sama membutuhkan tenaga kerja yang lebih sedikit dibanding usaha tahu. Selain itu, usaha pengolahan tahu membutuhkan biaya investasi dan peralatan produksi yang lebih besar dibandingkan usaha tempe. Sedangkan pada usaha keripik tempe, tenaga kerja yang dibutuhkan dan biaya yang dikeluarkan untuk bahan-bahan penolong lebih banyak dibandingkan usaha tempe dan tahu, sehingga modal yang dibutuhkan cukup besar. Menurut Purwantoro (1990) dalam Amang et al., usaha pengolahan tempe membutuhkan lebih banyak bahan baku kedelai dibanding usaha tahu sehingga peranan biaya bahan baku usaha tempe lebih besar dari usaha tahu. Bahan baku kedelai dalam usaha tempe Sanan dan tahu Gedog merupakan kedelai impor. Kendala yang sering dihadapi pelaku usaha tempe dan tahu terkait bahan baku yaitu harga kedelai impor yang cenderung fluktuatif mengikuti trend nilai tukar rupiah, sehingga dapat mempengaruhi biaya produksi dan keuntungan usaha. Sedangkan pada usaha keripik tempe kenaikan harga kedelai tidak terlalu berdampak besar terhadap biaya produksi, namun kenaikan harga bahan pendukung seperti minyak goreng lebih berdampak langsung pada biaya produksi. Usaha pengolahan kedelai pada kedua lokasi penelitian tersebut juga memiliki perbedaan kapasitas produksi berdasarkan penggunaan jumlah bahan baku yang diolah per produksi dikarenakan perbedaan penggunaan modal usaha setiap unit usaha. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pengolahan kedelai tersebut dilakukan dengan skala usaha yang beragam. Menurut Safitri (2015), usaha dengan skala usaha yang besar pada umumnya memiliki modal yang besar dan bersifat komersial, sementara usaha skala kecil umumnya memiliki modal kecil, teknologi tradisional, serta bersifat usaha sederhana. Meskipun demikian, penggunaan teknologi pada setiap skala usaha pengolahan kedelai di kedua lokasi penelitian tersebut relatif sama yaitu masih menggunakan peralatan dan mesin sederhana. Perbedaan karakteristik usaha dan kapasitas produksi pada usaha pengolahan tempe, tahu, dan keripik tempe dapat menimbulkan perbedaan struktur biaya produksi, sehingga dapat menimbulkan perbedaan keuntungan usaha yang didapat masing-masing unit pengolahan. Penelitian ini dilakukan pada

21 usaha pengolahan kedelai yang memiliki kapasitas produksi yang berbeda-beda yaitu pada usaha tempe Sanan dengan kapasitas produksi 50, 150, 350 kilogram kedelai per hari; usaha tahu Gedog dengan kapasitas produksi 60, 150, 300 kilogram kedelai per hari; serta usaha keripik tempe Sanan dengan kapasitas produksi 15.6, 46.56, dan kilogram tempe per hari. Oleh karena itu, dengan membandingkan ketiga usaha pengolahan kedelai tersebut berdasarkan skala usaha yang berbeda, nantinya dapat diketahui usaha pengolahan kedelai yang memiliki biaya rata-rata yang lebih efisien dan lebih menguntungkan. Proses pengolahan kedelai menjadi tempe dan tahu dapat meningkatkan nilai ekonomis kedelai karena terdapat perubahan bentuk dan terbentuknya harga baru. Sehingga pengolahan tempe menjadi keripik diduga akan memberikan nilai tambah yang lebih karena adanya proses pengolahan yang lebih lanjut. Besarnya nilai tambah yang diperoleh dari kegiatan pengolahan kedelai di kedua lokasi penelitian tersebut belum diketahui secara pasti karena sebagian besar usaha tersebut merupakan usaha informal. Selain itu, adanya perbedaan kapasitas produksi membuat nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan kedelai pada masing-masing usaha berbeda, untuk itu diperlukan analisis nilai tambah juga perlu dilakukan. Bedasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini yaitu: 1. Bagaimanakah struktur biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan usaha tempe, tahu, dan keripik tempe yang menjadi objek penelitian berdasarkan skala usaha? 2. Berapa nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan kedelai menjadi tempe, tahu, dan keripik tempe pada masing-masing usaha yang menjadi objek penelitian berdasarkan skala usaha? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis struktur biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan usaha tempe, tahu, dan keripik tempe pada masing-masing usaha yang menjadi objek penelitian berdasarkan skala usaha. 2. Menganalisis nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan kedelai menjadi tempe, tahu, dan keripik tempe pada masing-masing usaha yang menjadi objek penelitian berdasarkan perbedaan skala usaha Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat tidak hanya bagi penulis, tetapi juga bagi para pelaku usaha tempe, tahu, dan keripik tempe, serta para pembaca. Bagi penulis, diharapkan mampu mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis. Bagi para pelaku usaha, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan informasi dalam menentukan keputusan manajerial yang harus dijalankan serta keputusan pengembangan usaha yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah dan keuntungan usaha. Selain itu, penelitian ini 5

22 6 diharapkan dapat menjadi bahan acuan atau perbandingan penelitian selanjutnya terkait produk olahan kedelai serta meningkatkan wawasan mengenai usaha pengolahan kedelai. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini membatasi pada struktur biaya dan nilai tambah olahan kedelai pada tiga usaha tempe, tiga usaha tahu, dan tiga usaha keripik tempe yang berada di Wilayah Malang (Kota Malang dan Kabupaten Malang) yang memiliki perbedaan skala usaha. Pembagian skala usaha tempe ini berdasarkan jumlah kebutuhan bahan baku utama per produksi yang dilakukan setiap hari. Analisis struktur biaya dilakukan untuk periode produksi dalam satu tahun, sedangkan analisis nilai tambah yang dilakukan per satu kali produksi. Struktur biaya yang dikaji meliputi biaya tetap, biaya variabel, dan biaya rata-rata per output, sedangkan analisis nilai tambah dilakukan dengan menggunakan metode Hayami. TINJAUAN PUSTAKA Usaha Pengolahan Tempe, Tahu, dan Keripik Tempe Usaha pembuatan tempe dan tahu merupakan kegiatan usaha yang telah lama dikenal masyarakat Indonesia yang umumnya dilakukan secara sederhana dan tradisonal dengan cakupan skala industri rumah tangga dan tersebar di berbagai daerah (Amang et al. 1996). Selain itu, perubahan selera konsumsi masyarakat mendorong adanya berbagai macam inovasi produk olahan kedelai salah satunya yaitu keripik tempe yang telah banyak dikembangkan. Tempe merupakan produk olahan kacang kedelai yang proses pembuatanya dihasilkan dari proses fermentasi oleh kapang. Menurut Cahyadi (2007), proses fermentasi pada pembuatan tempe membuat kandungan gizinya lebih baik dibandingkan pada kacang kedelai tanpa proses fermentasi. Pembuatan tempe tidak sulit, namun membutuhkan tahapan serta waktu yang cukup lama untuk menghasilkan tempe siap jual yaitu sekitar tiga hari. Selain itu proses pembuatan tempe dapat menggunakan alat-alat yang sederhana, sehingga usaha pembuatan tempe banyak dilakukan dengan skala kecil atau rumah tangga. Namun demikian, saat ini sudah mulai berkembang usaha pembuatan tempe higienis yang menggunakan peralatan modern seperti yang diterapkan pada produksi tempe di Rumah Tempe Indonesia. Olahan kedelai lainya yang sering dikonsumsi masyarakat sebagai bahan pangan yaitu tahu. Dahana (2010) menyebutkan bahwa tahu merupakan isolate protein dari kedelai yang dipisahkan menggunakan bahan penggumpal yang sering disebut asam cuka. Sama seperti usaha tempe, usaha pengolahan tahu di masyarakat masih diusahakan dalam skala rumah tangga menggunakan teknologi dan peralatan sederhana. Namun demikian, Kurniasari (2010) menyebutkan bahwa usaha tahu membutuhkan modal lebih besar untuk investasi peralatan dan tempat pengolahan limbah dibandingkan usaha tempe.

23 Keripik tempe merupakan olahan makanan ringan yang berbahan dasar tempe. Jenis makanan ringan ini sangat digemari kebanyakan masyarakat di Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia menjadikan keripik tempe ini sebagai oleh-oleh atau buah tangan khas dari daerah tersebut, salah satunya Kota Malang. Proses pembuatan keripik tempe cukup sederhana namun biasanya membutuhkan cukup banyak tenaga kerja dalam proses produksinya. Karakteristik Industri keripik tempe di Kota Malang memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik ini dapat ditunjukkan dengan perbedaan kualitas produk, lokasi daerah pemasaran, promosi, serta harga jual produk. Usaha tempe, tahu, maupun keripik tempe termasuk kedalam industri pengolahan kedelai yang biasanya tergabung dalam satu kawasan, seperti sentra industri tempe dan keripik tempe Sanan, serta industri tahu Gedog yang berada di Wilayah Malang. Industri tempe yang bergabung ke dalam satu kawasan biasanya menerima harga kedelai yang tidak jauh berbeda, karena para pengrajin cenderung membeli di satu sumber yang sama. Krisdiana (2007) dalam Kurniasari (2010) menjelaskan bahwa pengrajin yang berada dalam satu kawasan industri cenderung membeli kedelai di satu pasar terdekat yang sama. Tempat pengrajin memperoleh kedelai akan mempengaruhi kualitas kedelai yang dibelinya, dengan satu tempat pembelian yang sama menyebabkan pengrajin dalam satu kawasan industri cenderung memakai kedelai yang sama kualitasnya. Salah satu faktor pendukung berhasilnya usaha rumah tangga pengolahan kedelai yaitu pemasaran hasil produk yang dilaksanakan dengan baik. Menurut Sarwono (2002), usaha tempe dan tahu pada skala rumah tangga memungkinkan terjadinya pemasaran secara langsung kepada konsumen disekitar lokasi usaha, seperti warga sekitar dan pedagang pengecer di pasar tradisional. Sedangkan untuk pemasaran keripik tempe, sebagian besar pelaku usaha memasarkan produknya melalui agen-agen penjualan dan outlet toko oleh-oleh utuk menigkatkan penjualanya (Yuriansyah 2012). Struktur Biaya Usaha Pengolahan Produk Pertanian Setiap usaha pengolahan memiliki struktur biaya tersendiri meskipun jenis usaha yang dilakukan sama. Besarnya biaya yang dikeluarkan dipengaruhi oleh jumlah penggunaan faktor-faktor produksi dalam proses produksi yang dilakukan. Pada beberapa penelitian mengenai struktur biaya sering dikaitkan dengan skala usaha. Skala usaha biasanya berkaitan dengan kapasitas usaha maupun penggunaan faktor-faktor produksi, seperti penggunaan input atau tenaga kerja yang dapat mempengaruhi besanya komponen biaya-biaya dalam suatu usaha. Secara teoritis, skala usaha dapat mempengaruhi efisiensi di dalam struktur biaya. Penelitian yang terkait dengan struktur biaya usaha pengolahan dilakukan oleh Agustiyanah (2015), Nurdiani (2015), dan Safitri (2015). Agustiyanah (2015) melakukan penelitian mengenai analisis struktur biaya dan nilai tambah manisan pala di Kabupaten Bogor, Nurdiani (2015) meneliti mengenai profitabilitas dan nilai tambah dari tiga usaha pengolahan minyak kelapa di Kabupaten Ciamis, serta Safitri (2015) melakukan penelitian mengenai struktur biaya dan pendapatan usaha tempe anggota maupun non anggota Primkopti Kota Bogor. Ketiga penelitian ini sama-sama mengaitkan adanya pengaruh skala usaha terhadap struktur biaya dan membagi skala usaha kedalam 7

24 8 tiga kelompok yaitu skala kecil, menengah, dan besar berdasarkan jumlah input utama yang digunakan per satu kali periode produksi. Hasil analisis mengenai struktur biaya pada ketiga penelitian tersebut menunjukkan komponen biaya terbesar pada struktur biaya usaha pengolahan terdapat pada biaya variabel yaitu pada usaha manisan pala mencapai kurang lebih 97 persen (Agustiyanah 2015), usaha minyak kelapa sebesar 95 persen (Nurdiani 2015), dan usaha pengolahan tempe yang mencapai persen (Safitri 2015). Komponen biaya variabel terbesar dalam struktur biaya ketiga usaha pengolahan tersebut pada tiap skala usaha adalah biaya bahan baku utama. Analisis struktur biaya untuk masing-masing skala usaha pada ketiga penelitian tersebut menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Penelitian Agustiyanah (2015) menunjukkan bahwa semakin meningkatnya skala usaha manisan pala akan mengakibatkan biaya produksi rata-rata akan semakin menurun, nilai R/C yang semakin meningkat. Selain itu, hasil perhitungan penerimaan dan keuntungan usaha manisan pala skala besar memiliki nilai yang lebih besar dibanding usaha skala kecil dan menengah. Berbeda dengan hasil penelitian Nurdiani (2015) dan Safitri (2015) yang menunjukkan tidak berlakunya prinsip pertambahan produksi menyebabkan biaya rata-rata produksi semakin rendah pada kedua penelitian ini. Penelitian Nurdiani (2015) menunjukkan usaha pengolahan minyak kelapa dengan kapasitas produksi paling tinggi memiliki biaya total rata-rata yang tertinggi dibanding dua usaha lainya yang kapasitas produksinya lebih rendah. Hal ini disebabkan penggunaan tenaga kerja yang lebih banyak dan alokasi biaya untuk kemasan sangat tinggi. Sedangkan pada penelitian Safitri (2015) usaha tempe skala menengah memiliki biaya total rata-rata per kilogram tempe yang paling rendah dan nilai rasio R/C per kilogram tempe tertinggi dibandingkan usaha skala kecil dan besar. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian Agustiyanah (2015) dan Nurdiani (2015) yaitu analisis struktur biaya yang dilakukan dalam periode satu tahun dan mengelompokkan biaya menjadi biaya tetap dan variabel. Sedangkan pada penelitian Safitri (2015), struktur biaya yang dianalisis dalam satuan per kilogram tempe yang dihasilkan dan dikelompokkan menjadi biaya tetap, biaya variabel, biaya tunai, serta tidak tunai. Selain itu, persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu terdapat pada analisis biaya ratarata per output dan rasio R/C dari setiap usaha pengolahan berdasarkan skala usaha untuk melihat efisiensi biaya, serta pada analisis penerimaan dan keuntungan. Oleh karena itu penelitian terdahulu digunakan sebagi referensi mengenai alat analisis yang digunakan pada saat penelitian dilakukan. Perbedaan penelitian ini dengan peneletian terdahulu yaitu terletak pada objek penelitian serta perbedaan dalam menentukan skala usaha objek yang diteliti. Analisis Nilai Tambah Produk Pertanian Pengolahan produk pertanian dapat meningkatkan nilai tambah komoditi sekaligus dapat memperkuat pengembangangan agroindustri hilir berbasis pertanian. Nilai tambah merupakan nilai yang tercipta dari adanya proses pengubahan input dengan berbagai perlakuan sehingga meningkatkan nilai output yang dihasilkan. Perlakuan tersebut meliputi pengubahan bentuk, waktu, dan tempat. Beberapa penelitian mengenai nilai tambah terhadap produk pertanian

25 telah dilakukan terutama untuk produk olahan kedelai yaitu penelitian yang dilakukan oleh Tunggadewi (2009) dan Sorga et al. (2014). Selain itu, penelitian mengenai nilai tambah produk pertanian lainya yaitu Firdaus (2014). Tunggadewi (2009) dan Sorga et al. (2014) melakukan penelitian mengenai nilai tambah pengolahan kedelai menjadi tahu dan tempe, Sorga et al. (2014) meneliti nilai tambah pengolahan kedelai menjadi tahu, tempe, serta susu kedelai, sedangkan Firdaus meneliti nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan pindang biasa dan pindang higienis pada usaha pemindangan ikan. Ketiga penelitian ini menggunakan metode Hayami sebagai alat analisis, namun dengan lokasi penelitian yang berbeda. Lokasi penelitian yang dilakukan Tunggadewi yaitu di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor, sedangkan Sorga di Kota Medan dan. penelitian Firdaus di Kabupaten Bogor. Penelitian yang dilakukan oleh Asheri (2014) menunjukkan bahwa perhitungan nilai tambah cokelat batangan dengan menggunakan metode Hayami dan Syahza memberikan hasil nilai tambah, keuntungan, imbalan tenaga kerja, dan nilai produk yang sama. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa metode Hayami merupakan metode yang paling tepat digunakan untuk menganalisis nilai tambah karena metode Hayami dapat menganalisis suatu komoditas pertanian secara jelas dan sistematis dibandingkan metode Syahza. Berdasarkan hasil perhitungan nilai tambah menggunakan metode Hayami, penelitian Tunggadewi (2009) dan Sorga et al. (2014) menunjukkan bahwa usaha pengolahan kedelai menjadi tahu memiliki nilai tambah yang lebih besar dibandingkan menjadi tempe dengan rasio nilai tambah untuk tempe dan tahu sebesar 43 dan 51 persen (Tunggadewi 2009), serta dan persen (Sorga et al. 2014). Selain itu, pada penelitian Sorga menunjukkan bahwa susu kedelai memiliki nilai tambah yang lebih besar dibandingkan usaha tahu. Besarnya nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan kedelai menjadi tempe dan tahu pada kedua penelitian tersebut berbeda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan lokasi penelitian dan karakteristik pada masing-masing usaha. Sedangkan hasil yang diperoleh dari penelitian Firdaus (2014) adalah nilai tambah pada pengolahan pindang higienis lebih besar dibandingkan pindang biasa dengan rasio nilai tambah masing-masing sebesar persen dan persen. Perbedaan nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan pindang tersebut dikarenakan perbedaan pengaruh teknologi yang digunakan. Perhitungan nilai tambah dengan metode Hayami juga akan memberikan informasi mengenai persentase distribusi marjin terhadap pendapatan tenaga kerja, sumbangan input lain, dan keuntungan. Ketiga Penelitian yang dilakukan Firdaus (2014), Sorga et al. (2014), dan Tunggadewi (2009) menunjukkan bahwa persentase distribusi margin untuk keuntungan perusahaan lebih besar dibanding distribusi margin untuk pendapatan tenaga kerja sehingga pengolahan tersebut merupakan kegiatan padat modal. Namun penelitian yang dilakukan oleh Harwanto (2014) pada pengolahan tepung tapioka skala kecil menunjukkan bahwa persentase distribusi margin untuk pendapatan tenaga kerja lebih besar dibanding distribusi margin untuk keuntungan perusahaan sehingga pengolahan tersebut merupakan kegiatan padat karya. 9

26 10 Pengaruh Skala Usaha Terhadap Nilai Tambah yang Diciptakan Skala usaha suatu unit pengolahan dapat mempengaruhi besarnya nilai tambah dan alokasi proporsi nilai tambah. Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan terkait pengaruh skala usaha terhadap nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan produk pertanian seperti Munawar (2010) dan Harwanto (2014). Kedua penelitian tersebut bertujuan untuk melihat besarnya nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan suatu komoditas untuk setiap skala unit usaha yang ada. Penelitian Munawar (2010) menganalisis nilai tambah dan pemasaran kayu sengon gergajian di Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, sedangkan penelitian Harwanto (2014) dilakukan pada industri pengolahan tepung tapioka di Kabupaten Bogor. Analisis nilai tambah yang digunakan oleh Munawar (2010) dan Harwanto (2014) yaitu menggunakan metode Hayami. Dasar perhitungan nilai tambah pada kdua usaha ini menggunakan per satuan output yang dihasilkan yaitu per meter kubik kayu gergajian untuk kayu sengon dan per kilogram tepung untuk usaha tepung tapioka. Selain itu peneliti membagi skala usaha ke dalam beberapa skala berdasarkan input atau sumberdaya yang digunakan. Munawar (2010) menggolongkan skala unit pengolahan berdasarkan banyaknya mesin utama gergajian yang digunakan ke dalam tiga skala usaha yaitu skala kecil, menengah, dan besar, sedangkan Harwanto (2014) menggolongkan skala unit usaha berdasarkan kapasitas produksi dan tenaga kerja ke dalam dua skala usaha yaitu skala kecil dan skala besar. Hasil penelitian Munawar (2010) dan Harwanto (2014) menunjukkan bahwa semakin besar skala unit pengolahan gergajian maka akan semakin meningkatkan nilai tambah. Nilai tambah yang dihasilkan dari usaha pengolahan kayu sengon skala kecil sebesar Rp per meter, skala menengah sebesar Rp per meter, dan skala besar Rp per meter. Sedangkan nilai tambah yang dihasilkan dari usaha pengolahan tepung tapioka kasar yaitu Rp273,60 per kilogram pada skala besar dan sebesar Rp206,74 per kilogram pada unit pengolahan skala kecil. Selain itu pada penelitian Harwanto (2014), tingkat keuntungan usaha tepung tapioka skala kecil lebih rendah dibandingkan unit pengolahan skala besar. Hal tersebut dikarenakan imbalan tenaga kerja pada unit pengolahan skala kecil lebih besar dibandingkan unit pengolahan skala besar. Nilai pada perhitungan nilai tambah (komponen koefisien tenaga kerja, harga output, harga input bahan baku, nilai produk, rasio tenaga kerja, dan imbalan tenaga kerja) tidak selalu berbanding lurus dengan skala usaha. Perbedaan nilai tersebut disebabkan oleh perbedaan besarnya nilai output dan nilai sumbangan input lain. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian terdahulu dalam unsur alat analisis yang digunakan, yaitu penelitian ini menggunakan metode Hayami untuk menganalisis nilai tambah dari sisi pengolahan, serta mengkaitkan perbedaan kapasitas produksi usaha dengan nilai tambah yang dihasilkan. Oleh karena itu penelitian terdahulu digunakan sebagi referensi mengenai alat analisis yang digunakan pada saat penelitian dilakukan. Sedangkan perbedaannya yaitu terletak pada objek penelitian yang diteliti yaitu usaha pengolahan kedelai menjadi tempe, tahu, dan keripik tempe dengan kapasitas produksi yang berbeda, sehingga selain meneliti nilai tambah pada setiap masing-masing skala usaha,

27 tetapi juga dilihat nilai tambah rata-rata ketiga jenis produk olahan kedelai tersebut. 11 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini dilandasi oleh teori-teori yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menyajikan hasil dari tujuan yang telah dirumuskan. Adapun teori yang digunakan adalah konsep biaya dan konsep nilai tambah yang dikemukakan oleh Hayami et al. (1987) mengenai nilai tambah yang diciptakan dari hasil kegiatan pengolahan input pada unit pengolahan. Konsep Biaya Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu (Mulyadi 2005). Biaya dalam pengertian ekonomi adalah semua biaya yang timbul atas penggunaan sumberdaya ekonomi dalam proses produksi (Pindyck dan Rudinfeld 2012). Sedangkan yang dimaksud biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan suatu perusahaan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang akan digunakan untuk menghasilkan sejumlah output (Amaliawati dan Murni 2012). Analisis biaya produksi dibagi menjadi analisis biaya jangka pendek dan analisis biaya jangka panjang. Analisis biaya jangka pendek dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Sedangkan analisis biaya jangka panjang, semua biaya adalah biaya variabel. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2012), biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tidak berubah seiring dengan berubahnya output dan hanya dapat dihilangkan dengan cara penutupan usaha, sedangkan biaya variabel (variabel cost) merupakan biaya yang berubah saat output yang dihasilkan berubah. Biaya tetap bisa mencakup pengeluaran atas pemeliharaan pabrik, asurasi, listrik, dan pajak. Biaya tetap tidak bervariasi dengan tingkat output dan biaya ini harus dibayar sekalipun output tidak dihasilkan sama sekali. Biaya variabel dapat mencakup pengeluaran atas upah, gaji, bahan baku, dan sumber daya lain yang digunakan dalam kegiatan produksi yang meningkat seiring dengan peningkatan output. Informasi mengenai biaya merupakan hal yang penting dalam suatu kegiatan usaha. Hal tersebut dikarenakan informasi biaya berfungsi untuk mengukur apakah suatu usaha tersebut menghasilkan laba atau tidak, terutama untuk kegiatan usaha yang bersifat profit oriented. Selain itu, dengan adanya informasi biaya pemilik faktor produksi juga dapat menganalisis seberapa besar pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan output. Hubungan Skala Usaha dengan Biaya Produksi Soekartawi (1995) mengklasifikasikan struktur biaya suatu usaha ke dalam biaya tetap dan dan biaya variabel. Menurut Amaliawati dan Murni (2012), struktur biaya dalam kegiatan produksi erat hubunganya dengan jangka waktu

28 12 dalam proses produksi, yaitu short run cost dan long run cost. Biaya produksi jangka pendek merupakan biaya yang dikeluarkan sebagian bersifat tetap (total cost) dan sebagian lagi dapat diubah (variable cost), sedangkan biaya jangka panjang merupakan biaya yang dikeluarkan bersifat variabel. Analisis biaya jangka panjang sangat penting untuk mengetahui apakah suatu perusahaan beroperasi pada skala usaha yang ekonomis (economies of scale) atau tidak ekonomis (diseconomies of scale). Hal ini karena skala usaha menunjukkan hubungan antara biaya produksi rata-rata dengan perubahan dalam ukuran usaha. Dengan demikian, bila perluasan usaha bertambah, tetap atau berkurang dapat pula mencerminkan bahwa perluasan usaha tersebut diikuti oleh biaya produksi rata-rata yang menurun, tetap atau bertambah. Dalam membuat keputusan jangka panjang, pengusaha harus mengetahui biaya produksi yang minimum pada berbagai tingkat produksi. Biaya minimum perusahaan dalam jangka panjang dapat diketahui dengan kurva biaya rata-rata jangka panjang. Kurva yang menunjukan titik-titik biaya rata-rata minimum pada berbagai tingkat produksi disebut kurva amplop (envelope curve). Kurva ini merupakan kurva biaya rata-rata jangka panjang atau long-run average cost (LAC) yang melingkupi semua kemungkinan kurva biaya rata-rata jangka pendek (STC). Gambar 1 Rata-rata biaya produksi jangka panjang (kurva amplop) Sumber: Pindyck dan Rubinfeld (2012) Keterangan : Q = jumlah keluaran (output) SMC = biaya marjinal jangka pendek (short marginal cost) SATC = total biaya variabel jangka pendek (short average total cost) MC = biya marjinal jangka panjang (marginal cost) LAC = total biaya variable jangka panjang (long-run average cost) Kurva biaya rata-rata jangka pendek atau Sort Run Average Total Cost (SATC) menunjukkan biaya rata-rata per satuan output yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam jangka pendek. Kurva biaya jangka panjang atau Long Run Average Cost (LAC) menunjukkan biaya rata-rata per satuan output yang dikeluarkan perusahaan dalam jangka panjang. Kondisi dari Q1 sampai Q2 merupakan kondisi dimana perusahaan berproduksi dengan biaya rata-rata per satuan output yang semakin menurun atau disebut juga kondisi decreasing cost. Sedangkan kondisi dari Q2 sampai Q3 merupakan kondisi dimana perusahaan

29 berproduksi dengan biaya rata-rata per satuan output yang semakin naik atau disebut juga kondisi increasing cost. Konsep Nilai Tambah Nilai tambah menurut Hayami et al. (1987) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena adanya input fungsional yang diberlakukan pada komoditas tersebut. Input fungsional tersebut berupa proses perubahan bentuk, pemindahan tempat, maupun penyimpanan. Semakin banyak perubahan yang diperlakukan terhadap komoditas tertentu maka makin besar nilai tambah yang diperoleh. Konsep nilai tambah menggunakan Metode Hayami memperhitungkan nilai-nilai variabel output, input, harga output, tenaga kerja, hari orang kerja, upah tenaga kerja, sumbangan input lain serta balas jasa dari masing-masing faktor produksi. Semua variabel digunakan untuk menghitung besarnya nilai tambah. Tiga komponen pendukung dalam perhitungan nilai tambah adalah faktor konversi yang menunjukkan banyaknya output yang dihasilkan dari satu satuan input, faktor koefisien tenaga kerja, menunjukkan banyaknya tenaga kerja yang diperlukan untuk mengolah satu-satuan input, dan nilai produk yang menunjukkan nilai output per satuan input. Menurut Soeharjo dalam Sorga et al. (2015), besarnya nilai tambah erat kaitannya dengan kualitas tenaga kerja yang berupa keahlian dan keterampilan, teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan, serta kualitas bahan baku. Kualitas tenaga kerja akan mempengaruhi besarnya imbalan bagi tenaga kerja dan kinerja produksi perusahaan dilihat dari keterampilan dan keahliannya. Besar kecilnya imbalan bagi tenaga kerja juga dilihat dari teknologi yang digunakan. Apabila teknologi yang digunakan adalah padat karya, maka proporsi tenaga kerja akan lebih besar daripada proporsi keuntungan bagi perusahaan. Sedangkan apabila teknologi yang digunakan padat modal, maka proporsi tenaga kerja menjadi semakin kecil daripada proporsi keuntungan perusahaan. Kualitas bahan baku juga mempengaruhi besarnya nilai tambah yang dilihat dari produk akhir yang dihasilkan. Produk dengan kualitas yang baik, harganya akan lebih tinggi dan akhirnya akan memperbesar nilai tambah yang diperoleh. Besarnya nilai tambah dalam proses pengolahan diperoleh dari pengurangan biaya bahan baku dan sumbangan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan yang merupakan hasil perkalian dari faktor konversi dan harga output per satuan input. Selain itu, nilai tambah dapat digunakan untuk melihat balas jasa bagi tenaga kerja dan keuntungan bagi pelaku usaha. Metode Hayami merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam penelitian untuk menganalisis nilai tambah. Analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami dapat diterapkan pada subsistem pengolahan. Analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami ini dapat menghasilkan beberapa informasi, antara lain berupa : 1. Perkiraan nilai tambah (rupiah) 2. Rasio nilai tambah terhadap nilai produk yang dihasilkan (persen), menunjukkan presentase nilai tambah dari produk 3. Balas jasa tenaga kerja (rupiah), menunjukkan upah yang diterima tenaga kerja langsung 4. Bagian tenaga kerja dari nilai tambah yang dihasilkan (persen), menunjukkan presentase imbalan tenaga kerja dari nilai tambah 13

30 14 5. Keuntungan pengolahan (rupiah), menunjukkan bagian yang diterima pemilik usaha karena menanggung risiko 6. Tingkat keuntungan pengolahan terhadap nilai input (persen), menunjukkan presentase keuntungan terhadap nilai tambah 7. Marjin pengolahan (rupiah), menunjukkan besarnya kontribusi terhadap faktor-faktor produksi selain bahan baku yamg digunakan dalam proses produksi. Metode yang sering dipakai dalam perhitungan nilai tambah yaitu metode Hayami. Adapun kelebihan dari metode Hayami menurut Sudiyono (2002) yaitu: (1) Dapat diketahui besarnya nilai tambah dan output; (2) Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, modal, sumbangan input lain, dan keuntungan; (3) Prinsip nilai tambah menurut Hayami dapat digunakan untuk subsistem lain selain pengolahan, seperti analisis nilai tambah pemasaran. Kerangka Pemikiran Operasional Salah satu usaha pengolahan yang telah berkembang di masyarakat yaitu agroindustri berbasis kedelai. Berkembangnya agroindustri pengolahan kedelai dapat dilihat dari kebutuhan kedelai untuk industri pengolahan yang cukup tinggi. Adanya upaya pengolahan kedelai dapat meningkatkan harga jual produk dan memberikan nilai tambah pada komoditas kedelai, yang nantinya akan memberikan kesempatan usaha bagi masyarakat dan keuntungan bagi pelaku usaha. Salah satu daerah di Jawa Timur yang mengembangkan industri pengolahan kedelai yaitu di Wilayah Malang. Usaha pengolahan kedelai yang banyak berkembang di masyarakat yaitu usaha pengolahan tempe dan tahu. Selain produk utama tempe dan tahu, produk turunan lainya yang juga berkembang dan menjadi ikon camilan Khas di Wilayah Malang yaitu keripik tempe. Usaha tempe, tahu, dan keripik tempe memiliki karakteristik usaha tersendiri karena masing-masing usaha memiliki proses pengolahan dan penggunaan faktor-faktor produksi yang berbeda. Selain itu, usaha pengolahan kedelai di wilayah Malang juga memiliki kapasitas produksi yang berbeda berdasarkan penggunaan jumlah bahan baku yang diolah per produksi. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pengolahan kedelai tersebut dilakukan dengan skala usaha yang beragam, sehingga penelitian ini juga dilakukan pada tiga usaha tempe, tiga usaha tahu, dan tiga usaha keripik tempe yang memiliki kapasitas produksi yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik usaha pengolahan dan skala usaha berdasarkan penggunaan bahan baku per produksi dapat menimbulkan perbedaan struktur biaya dan nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan tersebut. Analisis struktur biaya meliputi komponen total biaya yaitu biaya tetap dan biaya variabel, sehingga dengan mengidentifikasi komponen biaya tersebut akan diketahui biaya output rata-rata pada masing-masing usaha yang memiliki kapasitas produksi berbeda. Setelah mengidentifikasi komponen biaya, selanjutnya mengidentifikasi struktur penerimaan untuk mengetahui tingkat keuntungan dari usaha pengolahan kedelai. Selain itu, dilakukan analisis rasio R/C untuk melihat seberapa besar penerimaan yang diperoleh dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan serta untuk melihat efisiensi dari usaha pengolahan.

31 Analisis nilai tambah dapat menunjukkan seberapa besar nilai tambah dari pengolahan kedelai menjadi tempe, tahu, dan keripik tempe yang dihasilkan. Analisis nilai tambah pada penelitian ini menggunakan metode Hayami. Masingmasing usaha pengolahan kedelai akan dihitung komponen-komponen utamanya yaitu input yang digunakan, output yang dihasilkan, harga bahan baku, harga output yang dijual, biaya tenaga kerja, dan biaya sumbangan input lainya. Selain nilai tambah, informasi lain yang didapatkan yaitu rasio nilai tambah, imbalan dan bagian tenaga kerja, keuntungan, serta distribusi marjin untuk faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan keuntungan bagi perusahaan atau pelaku usaha itu sendiri. Berdasarkan hasil dari analisis struktur biaya dan nilai tambah pada ketiga usaha pengolahan kedelai yang memiliki perbedaan kapasitas produksi dapat diketahui kondisi masing-masing setiap usaha pengolahan dan dapat dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan. Secara ringkas kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar Berkembangnya industri pengolahan kedelai di masyarakat - Pengolahan kedelai dapat meningkatkan harga jual produk, memberikan nilai tambah pada komoditas kedelai, serta memberikan kesempatan usaha dan keuntungan bagi pelaku usaha Terdapat perbedaan karakteristik dan skala produksi usaha pengolahan kedelai di Wilayah Malang Usaha Tempe Usaha Tahu Usaha Keripik Tempe Input Produksi - Kedelai - Ragi - Bahan bakar - Bahan pengemas - Tenaga kerja Input Produksi - Kedelai - Air cuka - Bahan bakar - Bahan pengemas - Tenaga kerja Input Produksi - Tempe - Bahan penolong - Bahan bakar - Bahan pengemas - Tenaga kerja Output - Tempe - Limbah kedelai Output - Tahu - Limbah kedelai Output - Keripik tempe Pendapatan usaha - Biaya usaha - Penerimaan usaha Nilai Tambah - Rasio nilai tambah - Bagian tenaga kerja - Keuntungan pelaku usaha Implikasi Manajerial Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional

32 16 METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian mengenai struktur biaya dan nilai tambah olahan kedelai dilakukan pada tiga pelaku usaha tempe dan keripik tempe yang berlokasi di kampung Sanan, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, serta tiga pelaku usaha tahu yang berlokasi di Desa Gedog, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. Pemilihan lokasi dilakukan didasarkan pada pertimbangan bahwa Kampung Sanan merupakan daerah industri tempe dan keripik tempe di Kota Malang, serta Gedog merupakan daerah industri tahu di Kabupaten Malang yang memiliki beragam skala usaha berdasarkan kapasitas produksi. Kegiatan pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret hingga Mei Metode Penentuan Sampel Penelitian ini merupakan gambaran terhadap perbandingan struktur biaya dan nilai tambah dari usaha pengolahan kedelai menjadi tempe, tahu, dan keripik tempe pada tingkatan skala usaha yang berbeda berdasarkan kapasitas usaha. Penelitian ini menggunakan metode kasus yang dilakukan pada tiga unit usaha tempe, tiga unit usaha tahu, dan tiga usaha keripik tempe yang mewakili ketiga skala. Sedangkan untuk metode penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Teknik ini digunakan karena di lapangan tidak tersedia data jumlah penggunaan bahan baku setiap pelaku usaha. Unit usaha pengolahan tempe, tahu, dan keripik tempe yang menjadi sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Daftar sampel unit pengolahan tempe, tahu, dan keripik tempe No Usaha Nama Kapasitas Produksi Alamat Pemilik (bahan baku/hari) 1 Tempe Afandi Kp. Sanan, Kec. Belimbing 50 kg 2 Tempe Ali Kp. Sanan, Kec. Belimbing 150 kg 3 Tempe Mulyono Kp. Sanan, Kec. Belimbing 350 kg 4 Tahu Mufidh Ds. Gedog, Kec. Turen 60 kg 5 Tahu Untung Ds. Gedog, Kec. Turen 150 kg 6 Tahu Safii Ds. Gedog, Kec. Turen 300 kg 7 Keripik Tempe Susiana Kp. Sanan, Kec. Belimbing 15.6 kg 8 Keripik Tempe Hariati Kp. Sanan, Kec. Belimbing kg 9 Keripik Tempe Khasim Kp. Sanan, Kec. Belimbing kg Dasar penentuan skala usaha pada penelitian ini berdasarkan penelitian terdahulu (Kurniasari 2010) dan hasil wawancara dengan pihak PRIMKOPTI Bangkit Usaha. Berdasarkan penelitian Kurniasari (2010), usaha tempe dan tahu berdasarkan skala produksi oleh Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) terbagi menjadi tiga skala yaitu usaha kecil, menengah, dan besar. Usaha yang termasuk ke dalam skala kecil adalah usaha yang mengolah kurang dari 100 kg kedelai per hari, usaha skala menengah mengolah mulai dari 100 hingga kurang dari 200 kg kedelai per hari, dan usaha skala besar mengolah mulai dari 200 kg kedelai per hari. Sedangkan skala usaha keripik tempe berdasarkan hasil

33 wawancara dengan pihak PRIMKOPTI dimana usaha keripik tempe yang mengolah kurang dari 30 kg tempe per hari termasuk kedalam skala kecil, usaha skala menengah mengolah mulai dari 30 hingga kurang dari 60 kg tempe per hari, dan usaha skala besar mengolah mulai dari 60 kg tempe per hari. Jenis dan Sumber Data Data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber yang diteliti melalui wawancara, pengisian kuisioner, pengamatan langsung, maupun diskusi dengan pihak yang terkait dengan penelitian. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari jumlah input yang digunakan, jumlah output yang dihasilkan, jumlah tenaga kerja, upah tenaga kerja, harga input dan harga jual output, serta biaya-biaya lain yang dikeluarkan dalam aktivitas usaha pengolahan kedelai. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil riset atau penelitian terdahulu, dan informasi dari instansi terkait seperti data yang dimiliki oleh PRIMKOPTI Bangkit Usaha di Kota Malang, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UMKM, Dinas Koperasi dan UMKM Malang, Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Malang, dan Badan Pusat Statistik (BPS). Secara ringkas, jenis data dan sumber data dapat dilihat pada Tabel Jenis data Primer Sekunder Tabel 5 Matriks jenis dan sumber data Data Gambaran umum usaha pengolahan kedelai Jumlah output yang dihasilkan, jumlah input yang digunakan, harga bahan baku yang digunakan, jumlah sumbangan input lain Komponen penerimaan: harga jual dan volume penjualan Biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas usaha pengolahan kedelai Jumlah usaha, tenaga kerja, dan nilai PDB UMKM dan usaha besar tahun Perkembangan pasokan nasional dan impor kedelai tahun Jumlah pelaku usaha tempe dan keripik tempe di Kota Malang Jumlah pelaku usaha tahu di Kabupaten Malang Metode pengumpulan data wawancara dan observasi Wawancara Wawancara wawancara dan observasi Literature review Literature review Literature review Literature review Sumber data Pemilik usaha pengolahan kedelai (usaha tempe, tahu, dan keripik tempe) Pemilik usaha dan karyawan pengolahan kedelai (usaha tempe, tahu, dan keripik tempe) Pemilik usaha pengolahan kedelai (usaha tempe, tahu, dan keripik tempe) Pemilik usaha pengolahan kedelai (usaha tempe, tahu, dan keripik tempe) dan Operasional Kementerian Koperasi dan UMKM Badan Pusat Statistika Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang PRIMKOPTI Bangkit Usaha Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Malang

34 18 Metode Analisis dan Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan melalui pendekatan deskriptif untuk memperoleh gambaran yang mendalam mengenai obyek penelitian. Sedangkan analisis kuantitatif bertujuan untuk mengukur keseluruhan komponen nilai tambah dan biaya-biaya yang terdapat pada proses pengolahan kedelai menjadi tempe, tahu, dan keripik tempe. Pengukuran struktur biaya dilakukan dalam satuan rupiah, sedangkan nilai tambah dalam satuan kilogram. Output yang dihasilkan dari usaha tempe, tahu, maupun keripik tempe per satuan per cetakan atau kemasan, sehingga diperlukan konversi ke kilogram dengan mencari berat masing-masing output olahan kedelai menggunakan alat timbangan berat yang baku. Setelah mengetahui berat total output dari masing-masing usaha dapat dilakukan perhitungan biaya per kilogram output yag dihasilkan. Periode analisis nilai tambah yang digunakan adalah per siklus produksi yaitu satu hari. Sedangkan periode perhitungan struktur biaya yang digunakan adalah asumsi satu tahun, dimana hari efektif kerja untuk usaha tempe dan tahu 360 hari kerja dan usaha keripik tempe 300 hari kerja. Data yang digunakan adalah data pada saat wawancara pada tahun Analisis Struktur Biaya Segala sesuatu yang dikeluarkan dalam mendapatkan sumberdaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat dihitung dengan satuan nilai uang yang disebut dengan biaya. Biaya dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tidak tergantung pada jumlah output yang dihasilkan oleh suatu usaha, sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang jumlahnya ditentukan oleh banyaknya output yang di produksi. Metode perhitungan struktur biaya dapat dilihat pada Tabel 6. Perhitungan total biaya (TC) merupakan penjumlahan anatara biaya tetap (TFC) dengan biaya variabel (TVC). Soekartawi (1995) merumuskan biaya total (TC) sebagai berikut: TC = TFC + TVC Keterangan: TC = Total biaya usaha olahan kedelai (rupiah) TFC = Total biaya tetap usaha olahan kedelai (rupiah) TVC = Total biaya variabel usaha olahan kedelai (rupiah) Selain total biaya, biaya tetap, dan biaya variabel, masing- masing komponen biaya tersebut dapat ditentukan biaya rata-ratanya. Menurut Murni dan Amaliawati (2012), perhitungan total biaya rata-rata (average total cost) per output yang dihasilkan adalah penjumlahan biaya tetap rata-rata (AFC) dengan biaya variabel rata-rata (AVC). Penetuan biaya rata-rata (ATC) untuk melihat efisiensi biaya pada masing-masing usaha. Secara matematis perhitungan biaya rata-rata (ATC) dapat ditulis sebagai berikut: AFC = TFC Q TVC, AVC =, ATC = TC Q Q, ATC = AFC + AVC

35 19 Komponen biaya A. Biaya Tetap Penyusutan Pergantian peralatan Listrik Transportasi Komunikasi Pemeliharaan Pajak Total Biaya Tetap B. Biaya Variabel Bahan baku Bahan penolong Bahan pengemas Upah TK Bahan bakar Total Biaya Variabel Total Biaya Biaya rata-rata/ output (Rp/kg) Tabel 6 Struktur biaya pada usaha pengolahan kedelai Jumlah (Rp) Biaya Produksi Usaha Pengolahan Kedelai Usaha I Usaha II Usaha III % Jumlah (Rp) % Jumlah Total Total (Rp) Biaya Biaya % Total Biaya Rata- Rata (Rp) Salah satu komponen yang penting dalam perhitungan biaya tetap yaitu biaya penyusutan dari peralatan produksi. Biaya penyusutan dapat menggunakan beberapa metode dan dalam penelitian ini perhitungan penyusutan menggunakan metode garis lurus yaitu pembagian nilai awal setelah dikurangi nilai akhir oleh waktu pemakaian. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa nilai benda yang digunakan dalam usaha akan menyusut dalam besaran yang sama setiap tahunnya. Penyusutan = nilai perolehan aset - nilai sisa pada tahun terakhir umur ekonomis Selain itu, untuk melihat tingkat efisiensi pada kegiatan usaha pengolahan tempe, tahu, dan keripik tempe dilakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio). Menurut Soekartawi (1995), analisis rasio R/C merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu unit usaha dalam melakukan proses produksi mengalami kerugian, impas, ataupun untung. Rasio R/C merupakan perbandingan antara penerimaan yang diterima dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha. Kegiatan usaha dapat dikatakan layak apabila nilai rasio R/C lebih besar dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya. Menurut Soekartawi (1995), rasio R/C secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: R/C atas biaya total = TR / TC Keterangan: TR = Total revenue (Total Penerimaan) TC = Total Cost (Total Biaya)

36 20 Analisis Nilai Tambah Analisis nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan kedelai ditentukan dengan menggunakan metode Hayami. Metode Hayami merupakan metode yang sering digunakan dalam pengukuran nilai tambah dari kegiatan pengolahan suatu komoditas menjadi produk. Metode Hayami digunakan karena dapat digunakan dalam menganalisis nilai tambah pada sub sistem pengolahan atau produksi sekunder. Komponen dalam perhitungan nilai tambah terdiri dari output, input, harga, penerimaan, dan keuntungan. Prosedur analisis nilai tambah dapat dilihat pada Tabel 7. Faktor konversi pada Tabel 7 menunjukkan banyaknya produk olahan yang dihasilkan dari satu kilogram bahan baku. Koefisien tenaga kerja dalam tabel menunjukkan banyaknya tenaga kerja yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input. Nilai output pada tabel menunjukkan nilai produk yang dihasilkan dari satu satuan input yang digunakan. Nilai input lain mencakup nilai dari semua korbanan selain bahan baku dan tenaga kerja yang digunakan selama produksi berlangsung. Tabel 7 Perhitungan nilai tambah menurut metode Hayami No Variabel Nilai Output, Input dan Harga 1. Output (kg/produksi) (1) 2. Input (kg/produksi) (2) 3. Tenaga kerja langsung (jam/produksi) (3) 4. Faktor konversi (4) = (1) / (2) 5. Koefisien tenaga kerja (5) = (3) / (2) 6. Harga output (Rp/kg) (6) 7. Upah tenaga kerja langsung (7) (Rp/jam produksi) Penerimaan dan Keuntungan 8. Harga bahan baku (Rp/kg) (8) 9. Sumbangan input lain (Rp/kg) (9) 10. Nilai output (Rp/kg) (10) = (4) x (6) 11. a.nilai tambah (Rp/kg) (11a) = (10) (8) (9) b.rasio nilai tambah (%) (11b) = [(11a)/(10)] x 100% 12. a.pendapatan tenaga kerja langsung (Rp/kg) (12a) = (5) x (7) b.pangsa tenaga kerja (%) (12b) = [(12a)/ (11a)] x 100% 13. a.keuntungan (Rp/kg) (13a) = (11a) (12a) b.tingkat keuntungan (%) (13b) = [(13a) / (10)] x 100% Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi 14. Margin (Rp/kg) (14) = (10) (8) a.pendapatan tenaga kerja langsung (%) (14a) = [(12a) / (14)] x 100% b.sumbangan input lain (%) (14b) = [(9) / (14)] x 100% c.keuntungan pemilik perusahaan (%) (14c) = [(13a) / (14)] x 100% Sumber : Hayami Y, Kawagoe T, Morooka Y, dan Siregar M dalam Marimin dan Magfiroh (2010)

37 21 GAMBARAN UMUM USAHA PENGOLAHAN KEDELAI Usaha pengolahan tempe, tahu dan keripik tempe yang menjadi objek penelitian ini adalah sebanyak tiga unit untuk setiap usaha dengan kapasitas produksi yang berbeda. Lokasi usaha tempe dan keripik tempe tersebut terletak di Kampung Sanan, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Belimbing Kota Malang, sedangkan untuk usaha tahu berada di Desa Gedog, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. Gambaran umum usaha mulai dari karakteristik usaha, kapasitas produksi, tenaga kerja, penyediaan bahan baku, mesin dan peralatan, dan juga proses produksi. Gambaran Umum Usaha Tempe, Tahu, dan Keripik Tempe Gambaran umum yang ditampilkan adalah identitas pelaku usaha, status perizinan usaha dan tahun berdiri usaha. Karakteristik umum usaha tempe, tahu, dan keripik tempe yang menjadi objek penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik umum usaha pengolahan tempe, tahu, dan keripik tempe Usaha Pemilik Usaha Usia (tahun) Perizinan Tahun Berdiri I Afandi II Ali III Mulyono IV Mufidh V Untung VI Safii VII Susiana 50 PIRT 2010 VIII Hariati 44 PIRT, Halal 2000 IX Khasim 40 PIRT, Halal 2006 Unit usaha pengolahan kedelai yang menjadi objek penelitian merupakan usaha perseorangan dengan skala industri rumah tangga. Ketiga usaha tempe dan tahu merupakan usaha turun menurun dan merupakan usaha informal, sehingga output yang dihasilkanya tidak memiliki merk dagang. Sedangkan, usaha pengolahan keripik tempe merupakan usaha yang baru berkembang di Kota Malang sejak tahun 2000-an dan setiap usaha keripik tempe memiliki merk dagang masing-masing untuk diferensiasi produk di pasaran. Merk dagang ketiga usaha keripik tempe tersebut yaitu keripik tempe Bintang Lima untuk usaha VII, keripik tempe Andra untuk usaha VIII, dan keripik tempe Putra Ridho untuk usaha IX. Selain itu, usaha keripik tempe memerlukan perizinan usaha seperti pembuatan PIRT dan label Halal karena produk ini biasanya dipasarkan melalui outlet oleh-oleh. Kapasitas produksi berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki suatu usaha dalam hal peyediaan modal, bahan baku, dan faktor-faktor produksi lainnya. Pada setiap unit usaha dalam ketiga jenis usaha memiliki kapasitas produksi yang berbeda berdasarkan kemampuan dalam mengolah bahan baku dan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Perbedaan kemampuan dalam besaran input yang diolah tentunya akan mempengaruhi jumlah output yang dihasilkan. Kapasitas produksi rata-rata per hari pada usaha tempe, tahu, dan keripik tempe dapat dilihat pada

38 22 Tabel 9. Usaha tempe dan tahu yang menjadi objek penelitian ini berproduksi hampir setiap hari dan dalam satu bulan terdapat 30 hari kerja atau setara 360 hari kerja dalam satu tahun. Sedangkan dalam usaha olaha keripik berproduksi setiap hari senin sampai sabtu, dan dalam satu bulan terdapat 25 hari kerja atau 300 hari kerja dalam satu tahun. Pengadaan Bahan Baku dan Bahan Penolong Bahan baku yang digunakan dalam usaha tempe dan tahu yang menjadi objek penelitian adalah kedelai impor dari Amerika yang diperoleh dari Koperasi maupun unit dagang sekitar. Kedelai impor menjadi pilihan bahan baku untuk usaha tempe dan tahu dibandingkan kedelai lokal. Hal ini dikarenakan disamping ketersediaan kedelai impor yang lebih mencukupi, namun juga lebih tahan lama dan kualitasnya lebih bagus daripada kedelai lokal. Kedelai lokal ketersediaannya seringkali tidak mencukupi, menyusut, dan mudah membusuk serta tidak tahan lama. Harga kedelai impor tingkat konsumen cenderung mengalami fluktuasi karena mengikuti pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar, namun pergerakan harga kedelai pada bulan Maret 2016 relatif stabil dan cenderung menurun. Harga rata-rata kedelai di Wilayah Malang yang menjadi patokan dalam penelitian ini yaitu harga pada minggu pertama bulan Maret 2016 yaitu sebesar Rp6 500 per kilogram. Tabel 9 Input dan output usaha pengolahan kedelai Usaha Bahan Jumlah Jumlah Bahan penolong Output Baku (kg) (kg) I II Kedelai 150 Ragi, plastik pembungkus tempe III IV V Kedelai 150 Asam cuka, plastik pembungkus tahu VI VII 15.6 Tepung ketan, tepung beras, telur, 36 Keripik VIII Tempe bumbu, daun jeruk, minyak goreng, tempe IX plastik pembungkus Usaha tempe Sanan pada umumnya membeli bahan baku dan bahan pendukung lainya di PRIMKOPTI Bangkit Usaha ataupun unit dagang yang berada di Wilayah Sanan. Harga pada kedua pemasok tersebut relatif sama. Bahan baku kedelai biasanya dibeli dalam waktu tiga hari sekali, sehingga bahan baku mengalami proses penyimpanan terlebih dahulu. Sistem pembayaran bahan baku dilakukan secara tunai saat terjadinya transaksi pembelian. Bahan penolong lain yang sangat penting dalam proses pengolahan tempe yaitu ragi. Ragi dan bahan pengemas plastik biasanya juga tersedia di Koperasi dan Unit dagang sekitar. Usaha tahu Gedog biasanya membeli bahan baku dan bahan pendukung pada unit dagang sekitar. Harga bahan baku pada masing-masing pemasok tersebut relatif sama. Bahan penolong lain yang digunakan pada usaha pengolahan tahu adalah air dan cuka tahu. Air tersebut digunakan untuk proses pencucian, perendaman dan penggilingan kedelai, serta perebusan sari tahu, sedangkan air cuka berfungsi untuk memisahkan sari tahu dengan air saat proses pengendapan dan bahan penggumpalan sari tahu yang telah dicetak. Air cuka merupakan air

39 pisahan sari tahu hasil proses proses pengendapan sebelumnya, sehingga air cuka ini diperoleh dari hasil proses pengolahan kedelai. Bahan baku tempe untuk pengolahan keripik tempe Sanan didapat dari pengerajin tempe sekitar. Berkembangnya usaha pengolahan keripik tempe sebagai bentuk pemanfaatan output tempe yang banyak dihasilkan oleh pengrajin sekitar. Terdapat dua macam bentuk tempe yang dijadikan sebagai bahan baku keripik tempe yaitu berbentuk papan dan lonjor. Usaha keripik tempe XI mendapat pasokan tempe usaha III sebesar 12 papan dan 24 lonjor tempe per produksi dengan berat rata-rata masing-masing 3.64 kg dan 1.94 kg. Bahan baku untuk usaha keripik tempe VIII juga didapat dari usaha tempe III yaitu sebesar 24 lonjor tempe setiap produksi. Sedangkan bahan baku tempe usaha VII didapat dari usaha tempe II yaitu sebesar 8 lonjor tempe per produksi dengan berat rata-rata per lonjor tempe 1.95 kg. Harga satu lonjor tempe untuk ketiga usaha tersebut yaitu sebesar Rp dan satu papan tempe sebesar Rp Bahan lain yang digunakan dalam keripik tempe cukup banyak yaitu tepung beras, tepung tapioka, telur, minyak, bumbu-bumbu, serta bahan pengemas. Bahan penolong ini, kecuali bumbu juga tersedia pada PRIMKOPTI Bangkit Usaha dan unit dagang sekitar. Bahan penolong seperti telur, tepung, bahan pengemas biasanya dibeli dalam jumlah untuk kebutuhan selama tiga hari, sedangkan minyak dan gas LPG untuk kebutuhan per produksi. Harga bahan lain seperti telur, minyak, dan bumbu-bumbu relatif berfluktuatif mengikuti harga pasar. Harga yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penelitian ini merupakan harga saat dilakukanya wawancara pada minggu pertama dan kedua bulan Maret Karakteristik Tenaga Kerja Tenaga kerja pada ketiga usaha pengolahan kedelai belum terdapat struktur organisasi yang jelas, namun sudah terdapat spesialisasi pekerjaan masing-masing. Tenaga kerja yang digunakan pada setiap unit usaha dapat berasal dari tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga. Sistem pengupahan tenaga kerja langsung usaha tempe, tahu, dan keripik tempe tersebut bersifat harian dan sesuai jumlah bahan baku yang diolah. Sedangkan untuk tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan. Ketiga usaha tempe memiliki jumlah dan upah tenaga kerja yang berbeda. Pada usaha tempe I dan II, proses pengolahan kedelai dilakukan oleh pemilik usaha sendiri, sedangkan untuk proses pencucian kedelai dikerjakan oleh satu tenaga kerja wanita. Usaha III memperkerjakan dua tenaga kerja pria pengolah kedelai dan dua tenaga kerja pencuci wanita yang semuanya merupakan tenaga kerja luar keluarga dengan upah masing-masing dapat dilihat pada Tabel 10. Pada ketiga usaha tahu yang menjadi objek penelitian tersebut memiliki jumlah dan upah tenaga kerja yang berbeda. Pada usaha IV, proses pemasakan sari kedelai hingga menjadi tahu dilakukan oleh pemilik usaha sendiri, sedangkan untuk proses perendaman, pencucian, dan penggilingan kedelai dikerjakan oleh satu tenaga kerja wanita. Usaha V memperkerjakan dua tenaga kerja pria, satu orang tenaga kerja pencuci kedelai, dan satu tenaga kerja pengemas. Sedangkan, pada usaha VI terdapat tiga tenaga kerja pemasak, dua tenaga kerja pencuci dan penggiling, serta dua tenaga kerja pengemas wanita. 23

40 24 Tabel 10 Tenaga kerja dalam dan luar keluarga usaha pengolahan kedelai Usaha TKDK TKLK Jumlah Keterangan Jumlah Keterangan Upah (Rp/satuan) I 1 Pengolah kedelai 1 Pencuci kedelai 125/kg kedelai II 1 Pengolah kedelai 1 Pencuci kedelai 200/kg kedelai III 2 Pengolah kedelai 250/kg kedelai 2 Pencuci kedelai 120/kg kedelai IV 1 Pengolah kedelai 1 Penggiling kedelai 500/kg kedelai V 2 Pengolah kedelai 840/kg kedelai 1 Penggiling kedelai 400/kg kedelai 1 Pengemas tahu 250/pack VI 3 Pengolah kedelai 800/kg kedelai 2 Penggiling kedelai 400/ kg kedelai 2 Pengemas tahu 150/pack VII 2 Pengiris tempe 9 000/lonjor tempe 1 Penggoreng tempe 4 500/lonjor tempe 1 Pengemas keripik 200/pack VIII 2 Pengiris tempe 7 500/alir tempe 2 Penggoreng tempe 8 000/alir tempe 2 Pengemas keripik 150/pack IX 3 Pengiris tempe 7 000/alir tempe 1 Pembuat adonan 2 000/alir 3 Penggoreng tempe 8 000/alir 4 Pengemas keripik 125/pack k.original 150/pack k. rasa Keberadaan usaha keripik tempe Sanan membantu penyerapan tenaga kerja di wilayah tersebut. Setiap usaha keripik tempe biasanya memperkerjakan beberapa tenaga kerja tergantung kapasitas produksi masing-masing usaha. Usaha IX memperkerjakan cukup banyak tenaga kerja, yaitu tiga tenaga kerja pengiris tempe, satu tenaga kerja pembuat adonan, dan tiga tenaga kerja penggoreng, serta empat tenaga pengemas. Pada usaha VIII, tenaga kerja yang digunakan yaitu dua tenaga kerja pengiris tempe, dua tenaga kerja penggoreng, serta dua tenaga packing. Sedangkan, pada usaha VII terdapat empat orang tenaga kerja, yaitu dua tenaga pengiris tempe, satu tenaga penggoreng, dan satu tenaga kerja packing. Peralatan Produksi Peralatan produksi yang digunakan usaha tempe, tahu, dan keripik tempe yang menjadi objek penelitian masih tergolong sederhana dan tradisonal. Keterbatasan modal bagi pelaku industri rumah tangga, membuat investasi peralatan modern masih belum bisa dilakukan. Pada ketiga usaha tempe Sanan menggunakan peralatan yang masih sederhana yaitu berupa kompor dan tabung gas, mesin pembelah biji kedelai (penggiling), drum perebusan, keranjang peniris besar, rak kayu pencetakan, bak tempat pencucian, kayu pengaduk, tong tempat air, tandon air serta beberapa peralatan lain yang berguna dalam proses produksi. Pada umumnya, peralatan produksi tempe pada ketiga usaha relatif sama, namun terdapat perbedaan pada jenis dan kapasitas seperti dalam usaha II dan III untuk drum perebusan menggunakan drum steinless dengan kapasitas 200 kg kedelai, sedangkan usaha I menggunakan drum perebusan biasa dengan kapasitas 50 kg kedelai.

41 Peralatan produksi tahu pada ketiga usaha tahu yang menjadi objek penelitian juga masih tradisional. Peralatan seperti tungku, bak pengendapan, pemasakan, perendaman, dan bak air masih menggunakan bak semi permanen. Sedangkann untuk ketel atau jembatan besi yang mengalirkan tong air perebusan ke bak pemasakan juga masih sederhana. Peralatan lain yang digunakan dalam produksi tahu yaitu mesin penggiling kedelai, cetakan persegi yang terbuat dari kayu, kain penyaring (sifon), kain alas pencetakan (morin), ember, rak kayu, tempat tahu, tandon air dan lain-lain. Mesin penggiling pada usaha IV masih menggunakan diesel sebagai alat penggerak mesin, sedangkan untuk usaha VIII dan IX sudah menggunakan mesin dinamo. Pada usaha keripik tempe peralatan produksi yang digunakan cukup banyak yaitu pisau atau mesin pemotong tempe, kompor gas, tempat penggorengan, blender untuk mengahaluskan bumbu, timbangan, serok, spatula, ember adonan, pengaduk adonan, ember tempat air, keranjang bambu peniris, wadah penampung keripik, wadah tempat irisan tempe, meja packing, dan tandon air. Setiap usaha keripik tempe memiliki jumlah peralatan yang berbeda sesuai kapasitas produksi masing-masing Proses Produksi Proses produksi olahan kedelai tersebut dilakukan setiap hari pada masingmasing unit usaha. Proses produksi tempe, tahu, dan keripik tempe melalui tahapan produksi yang berbeda, namun setiap unit usaha pada ketiga jenis usaha tersebut melakukan tahapan produksi yang sama. Adapun proses produksi tempe, tahu, dan keripik tempe dapat diuraikan sebagai berikut: Produksi Tempe Proses pengolahan kedelai menjadi tempe yang siap jual membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 3-4 hari. Meskipun demikian, pada ketiga usaha tempe tetap melakukan proses produksi setiap hari untuk menjaga kontinyuitas ketersediaan produk tempe yang akan dijual. Proses produksi pembuatan tempe dimulai dari perebusan kedelai hingga tahap fermentasi dapat dilihat pada Gambar Perebusan I Perebusan pertama biasanya membutuhkan waktu 1-2 jam hingga terlihat biji kedelai mengapung ke permukaan air. Lamanya perebusan tergantung banyaknya jumlah bahan baku dan nyala api pada kompor. Perebusan pertama berfungsi untuk melunakan kulit luar kedelai, sehingga mudah terkelupas saat proses penggilingan (pemisahan kulit kedelai dengan biji). 2. Penggilingan kedelai Penggilingan kedelai dilakukan setelah perebusan. Kedelai ditiriskan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar air dan kemudian dilakukan penggilingan menggunakan mesin pemecah biji kedelai. Proses penggilingan ini berfungsi untuk memecah biji kedelai dan memisahkanya dari kulit luar kedelai. Sisa kulit kedelai hasil penggilingan dikumpulkan untuk dijual sebagai pakan ternak kepada peternak sapi sekitar. 25

42 26 Kedelai Perebusan I Penggilingan Pencucian I Pencetakan Peragian Penirisan Perebusan II Gambar 3 Proses pengolahan kedelai menjadi tempe 3. Pencucian I Kedelai yang sudah digiling kemudian dicuci menggunakan air bersih untuk menghilangkan kulit kulit yang masih bercampur dengan biji kedelai. Pencucian ini juga berfungsi untuk meyeleksi kotoran, kerikil, maupun kedelai yang rusak. 4. Perendaman Perendaman dilakukan selama kurang lebih jam agar kedelai mengembang dan mengeluarkan lendir yang terdapat pada biji kedelai. Lendir ini dapat mempengaruhi kualitas tempe, karena dapat membuat kedelai cepat busuk dan bau. 5. Pencucian II Setelah dilakukan perendaman, dilakukan pencucian kedua menggunakan air bersih agar kedelai bebas dari kulit kedelai, kotoran, dan lendir. 6. Perebusan II Perebusan kedua ini dilakukan lebih lama dari perebusan pertama yaitu kurang lebih selama empat jam hingga kedelai setengah matang atau warna dalam biji berwarna putih kekuningan. Air hasil perebusan kedua biasanya dikumpulkan untuk dijual kepada peternak sekitar bersama dengan limbah kulit kedelai hasil penggilingan. 7. Penirisan Penirisan kedelai menggunakan keranjang peniris besar dan penirisan dilakukan selama beberapa jam sampai kedelai setengah kering dan bila perlu kipas angin untuk meratakan pengeringan. 8. Peragian Peragian pada usaha tempe biasanya dilakukan pada sore hari. Hal ini dilakukan agar proses fermentasi kedelai hingga tempe matang sesuai dengan jadwal penjualan. Proses fermentasi disesuaikan dengan keadaan cuaca pada saat peragian, jika cuaca lebih panas maka peragian dilakukan saat sore menjelang malam, dan apabila cuaca lebih dingin peragian dilakukan lebih

43 cepat. Ragi dicampur dengan air dan kemudian disebarkan merata ke semua bagian kedelai yang berada di keranjang peniris. 9. Pencetakan Kedelai yang telah diberi ragi kemudian dicetak dalam rak kayu yang diberi alas dan penutup plastik yang dilubangi untuk tempe berbentuk papan, sedangkan untuk tempe berbentuk lonjoran (bulat panjang) dikemas dalam plastik yang sudah diberi lubang. Proses fermentasi kedelai hingga menjadi tempe ini membutuhkan waktu kurang lebih 1.5 hari. Kondisi ruangan pencetakan harus dalam keadaan dengan kelembapan sedang agar proses fermentasi berlangsung dengan baik. 10. Pemotongan tempe Setelah tempe matang dilakukan pemotongan untuk tempe berbentuk papan dengan ukuran yang dikehendaki masing-masing usaha. Produksi Tahu Terdapat beberapa tahapan untuk mengolah kedelai menjadi tahu di daerah penelitian ini yaitu perendaman kedelai, pencucian kedelai, kemudian penggilingan kedelai, pemasakan atau perebusan bubur kedelai, penyaringan, pengendapan dengan air cuka, pencetakan, dan yang terakhir yaitu pemotongan dan pengemasan. 27 Kedelai Pencucian Penggilingan Pemasakan Pemotongan Pencetakan Pengendapan Penyaringan Gambar 4 Proses pengolahan kedelai menjadi tahu 1. Perendaman Perendaman kedelai dilakukan selama 1-2 jam tergantung banyaknya jumlah input yang diolah. Perendaman ini berfungsi untuk melunakan biji kedelai sehingga mempermudah dalam proses penggilingan. 2. Pencucian Kedelai perlu dicuci menggunakan air bersih agar kulit luar terkelupas dan kebersihan kedelai terjaga sehingga tahu yang dihasilkan tidak cepat masam.

44 28 3. Penggilingan Penggilingan dilakukan untuk melumatkan kedelai menggunakan mesin penggiling bersamaan dengan penambahan air sampai menjadi bubur. 4. Pemasakan Bubur kedelai dimasak di dalam bak semen yang dialiri uap panas yang berasal dari ketel (jembatan besi) bertekanan tinggi. Pemasakan bubur ini sampai dua kali mendidih dan mengental kemudian siap untuk disaring. 5. Penyaringan Bubur kedelai yang telah mendidih diangkat dari bak pemasakan untuk disaring menggunkan kain sifon. Tujuannya adalah untuk memisahkan ampas kedelai dengan sari pati kedelai. Sisa hasil saringan yang berupa ampas kedelai ini dapat dijual sebagai pakan ternak atau diolah kembali menjadi oncom. 6. Pengendapan Hasil saringan sari kedelai ditampung dalam bak pengendapan, sedangkan ampas tahu dikumpulkan untuk dijual. Pada proses pengendapan sari pati kedelai tersebut ditambahkan air cuka (bahan koagulan) hasil air pengendapan pada proses produksi sebelumnya. Air cuka ini berfungsi sebagai penggumpal sari kedelai sehingga dapat memisahkan sari kedelai dengan air. 7. Pencetakan Pencetakan gumpalan sari kedelai dilakukan di cetakan kayu berbentuk persegi empat yang telah dilapisi kain morin untuk dicetak. Kemudian dilakukan pengepresan menggunakan batu pemberat diatas cetakan selama beberapa saat sampai tahu memadat. 8. Pemotongan dan pengemasan Tahu yang telah terbentuk yaitu memotong tahu sesuai ukuran yang diinginkan dan menempatkanya di tempat tahu yang telah berisi air agar tidak cepat masam. Produk tahu dapat di kemas dalam plastik untuk mempermudah proses pengangkutan. Usaha Keripik Tempe Proses produksi keripik tempe Sanan dilakukan setiap hari dan masih dilakukan secara tradisional menggunakan peralatan sederhana. Proses pembuatan keripik tempe pada ketiga usaha yang objek penelitian tidak jauh berbeda yaitu pengirisan tempe, pembuatan adonan dan bumbu, penggorengan keripik tempe, penirisan, dan yang terakhir yaitu pengemasan. 1. Pengirisan Pengirisan tempe secara tradisional menggunakan pisau diperlukan keterampilan agar hasil irisan tempe tipis (1-1.5 mm) dan tidak hancur. Selain itu, pengirisan tempe juga dapat menggunakan mesin pemotong tempe yang sudah mulai dikembangkan. 2. Pembuatan adonan dan bumbu Bahan baku penolong seperti tepung beras, tepung tapioka, telur, garam, penyedap rasa, dan bumbu-bumbu halus (kemiri, ketumbar, bawang putih, daun jeruk purut) dicampur dengan penambahan air secukupnya didalam suatu wadah. Pembuatan adonan disesuaikan dengan kebutuhan tempe yang akan diolah.

45 29 Pengirisan tempe Pembuatan adonan Penggorengan I Penggorengan II Keripik tempe Pengemasan Penirisan Gambar 5 Proses pengolahan tempe menjadi keripik tempe 3. Penggorengan keripik tempe Irisan tempe dicelupkan ke dalam adonan kemudian dimasukkan ke penggorengan. Proses penggorengan biasanya dilakukan menggunakan tiga tempat penggorengan yaitu dua penggorengan dengan api sedang untuk penggorengan setengah matang dan satu penggorengan dengan api besar untuk pematangan keripik. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pematangan keripik. Proses penggorengan dilakukan sampai keripik berwarna coklat keemasan kemudian diangkat untuk ditiriskan. 4. Penirisan Penirisan pertama menggunakan saringan besar sampai minyak pada keripik turun kebawah dan dingin. Kemudian keripik tempe di masukkan ke dalam wadah tertutup sebelum di packing. 5. Pengemasan Kemasan keripik yang digunakan yaitu plastik dengan ketebalan 0.7 mm agar kemasan tidak mudah sobek dan sebagai perekat ujung plastik digunakan lilin. Tenaga pengemas juga hsrus memiliki keterampilan dalam mengemas agar isi keripik tempe sesuai dengan ukuran dan berat yang telah ditentukan masingmasing usaha. Hasil Output dan Pemasaran Produk tempe, tahu, dan keripik tempe ini diproduksi setiap hari dan dijual ke beberapa tujuan pemasaran. Sedangkan untuk limbah kedelai pada usaha tempe dan ampas sari kedelai dijual kepada pemilik ternak sapi sekitar. Tempe dan tahu merupakan lauk pauk utama yang dikonsumsi masyarakat, sehingga pemasaran dua produk ini sering dilakukan di pasar tradisional atau dijual secara berkeliling. Sedangkan keripik tempe Sanan merupakan makanan ringan yang telah menjadi camilan khas Kota Malang, sehingga penjualanya lebih sering melaui toko dan outlet oleh-oleh. Apun hasil output dari usaha pengolahan kedelai yang menjadi objek penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.

46 30 Tabel 11 Hasil output usaha pengolahan kedelai Usaha Output Jumlah (unit) Ukuran (satuan) Harga (Rp/unit) I Tempe 24 papan 3 kg II Tempe 96 papan 1.7 kg lonjor 1.95 kg III Tempe 92 papan 3.64 kg lonjor kecil 1.94 kg lonjor sedang 2.25 kg IV Tahu 520 kotak 260 gram V Tahu 990 kotak 340 gram VI Tahu kotak 300 gram VII Keripik tempe : original 180 bungkus 200 gram VIII Keripik tempe : original 560 bungkus 130 gram rasa 280 bungkus 130 gram IX Keripik tempe : original 960 bungkus 110 gram rasa 900 bungkus 120 gram Industri rumah tangga tempe Sanan umumnya telah memiliki wilayah pemasaran masing-masing, begitu juga dengan ketiga industri pengolahan tahu. Usaha tempe II dan III setiap harinya memproduksi tempe dalam bentuk aliran (papan) dan lonjor (bulat panjang), sedangkan usaha I hanya memproduksi tempe dalam bentuk papan dan menjual produknya ke pasar sekitar. Usaha II menjual tempe aliran ke pasar dan sebagian tempe lonjor kepada pelaku usaha keripik tempe. Sedangkan usaha III menjual tempe aliran dan lonjor ke pasar dan pelanggan keripik tempe sekitar. Ketiga usaha tahu yang menjadi objek penelitian ini memproduksi tahu putih dengan bentuk segi empat. Usaha tahu V dan VI menjual produknya melalui pedagang di pasar sekitar, sedangkan produk usaha IV dijual langsung ke konsumen. Limbah kedelai hasil produksi tahu dan tempe dijual kepada peternak sapi sekitar dan pembayaran dilakukan setahun sekali sesuai kontrak yang disepakati. Produk keripik tempe pada ketiga usaha tersebut dijual secara grosiran ke toko atau outlet oleh-oleh di berbagai wilayah pemasaran. Usaha keripik V dan VI memproduksi dua jenis keripik tempe kemasan kecil dengan harga jual yang berbeda yaitu keripik tempe original dan aneka rasa. Sedangkan usaha IV hanya menjual keripik tempe original dengan kemasan sedang. Usaha IV dan V hanya mendistribusikan produknya ke berbagai toko di Wilayah Malang, sedangkan usaha VI telah menjual produk keripiknya ke berbagai daerah di luar Malang. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Struktur Biaya Usaha Tempe, Tahu dan Keripik Tempe Setiap kegiatan produksi memerlukan biaya, tidak terkecuali usaha pengolahan kedelai menjadi tempe dan tahu, serta produk sekundernya yaitu keripik tempe. Biaya-biaya yang dikeluarkan setiap usaha berbeda walaupun produk yang dihasilkan sama. Perhitungan korbanan biaya tersebut perlu

47 dianalisis untuk mengetahui bagaimana struktur biaya yang nantinya akan mempengaruhi keuntungan dari suatu usaha. Biaya-biaya yang dianalisis dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Perhitungan biaya dilakukan untuk satu tahun dengan hari kerja per bulan untuk usaha tempe dan tahu sebanyak 30 hari atau 360 hari dalam setahun, sedangkan untuk usaha keripik tempe dalam satu bulan terdapat 25 hari kerja atau 300 hari kerja dalam satu tahun. Berikut ini merupakan uraian struktur biaya pada ketiga usaha pengolahan kedelai yang menjadi objek penelitian. Usaha Tempe Komponen pada biaya tetap pada ketiga usaha pengolahan tempe di Kampung Sanan tersebut relatif sama yaitu biaya penyusutan investasi dan peralatan, pergantian peralatan, listrik dan air, transportasi, komunikasi, pemeliharaan dan pajak. Meskipun demikian, besarnya biaya pengeluaran pada tiap komponen tersebut berbeda karena perbedaan skala usaha berdasarkan kapasitas produksi masing-masing usaha. Berdasarkan Tabel 12, dapat dilihat bahwa total biaya tetap yang dikeluarkan oleh tiga pelaku usaha tempe dalam satu tahun. Tabel 12 Struktur biaya pada ketiga usaha tempe dalam satu tahun Komponen biaya Biaya Produksi Usaha Pengolahan Kedelai Usaha I (50 kg) Usaha II (150 kg) Usaha III (350 kg) Jumlah (Rp) % Total Biaya Jumlah (Rp) % Total Biaya Jumlah (Rp) % Total Biaya 31 Rata-Rata (Rp) A. Biaya Tetap Penyusutan Pergantian peralatan Listrik Transportasi Komunikasi Pemeliharaan Pajak Total Biaya Tetap B. Biaya Variabel Bahan baku Bahan penolong Bahan pengemas Upah TK Bahan bakar Total Biaya Variabel Total Biaya Biaya rata-rata/ output (Rp/kg) Komponen biaya tetap terbesar pada ketiga usaha pengolahan tempe terhadap biaya total adalah penyusutan. Ketiga usaha tempe memiliki komponen investasi dan peralatan yang relatif sama seperti bangunan, bak pencucian, dan kendaraan. Bangunan dalam pembahasan ini tidak diperhitungkan dikarenakan pada ketiga usaha ini menggunakan sebagian lahan dan bangunan rumah sebagai tempat produksi. Penyusutan peralatan dalam usaha tempe yaitu mesin penggiling, kompor, drum perebus, drum pencuci, tandon air, keranjang peniris, rak kayu pencetak, gerobak kayu, dan peralatan lainya yang digunakan dalam kegiatan produksi. Besarnya presentase biaya penyusutan pada setiap usaha adalah 1.75

48 32 persen pada usaha I, 0.72 persen pada usaha II, dan 0.41 persen pada usaha III. Rincian penyusutan investasi pada ketiga usaha tempe dapat dilihat pada Lampiran 1, 4, dan 7. Secara umum, usaha pengolahan tempe tersebut masih menggunakan peralatan sederhana dan tradisional, namun peralatan yang digunakan cukup banyak sehingga biaya yang diperhitungkan untuk penyusutan menjadi komponen biaya tetap terbesar. Biaya penyusutan terbesar diaolaksikan untuk kendaraan dan peralatan produksi seperti drum perebusan dan mesin penggiling. Meskipun pada dasarnya fungsi peralatan yang digunakan pada ketiga usaha tersebut relatif sama, namun jenis dan kapasitas peralatan yang menyebabkan biaya-biaya tersebut berbeda. Selain biaya penyusutan, di dalam komponen biaya tetap usaha pengolahan tempe juga memperhitungkan biaya pergantian peralatan yang umur ekonomisnya kurang dari satu tahun. Komponen biaya tetap yang memiliki presentase lebih tinggi selanjutnya yaitu biaya transportasi dan komunikasi. Biaya transportasi ini meliputi biaya angkut pembelian bahan baku dan biaya pemasaran produk. Pada ketiga usaha pengolahan tempe masing-masing menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi. Sedangkan biaya komunikasi meliputi biaya yang terkait dengan pemasaran tempe kepada konsumen. Berdasarkan presentase terhadap biaya total, biaya komunikasi untuk usaha I sebesar 0.72 persen, usaha II sebesar 0.33 persen, dan 0.16 persen untuk usaha III. Biaya untuk listrik dan air juga diperhitungkan sebagai biaya tetap tidak langsung. Biaya listrik untuk usaha tempe II dan III telah mencakup biaya air karena menggunakan air sumur, sedangkan biaya air pada usaha I terhitung diluar biaya listrik karena menggunakan air PDAM untuk proses produksinya. Berdasarkan data pada Tabel 12, dapat dilihat bahwa untuk biaya listrik dan air paling besar yaitu usaha III kemudian diikuti dengan usaha II dan usaha I. Komponen biaya tetap berikutnya yaitu biaya pemeliharaan yang dikeluarkan untuk perawatan peralatan produksi dan kendaraan operasional. Pada ketiga usaha tempe ini biaya yang dikeluarkan untuk peralatan produksi ini antara lain biaya service kompor, dinamo mesin penggiling, dan pompa air. Biaya pemeliharaan lainya yaitu kendaraan. Komponen biaya variabel yang dikeluarkan oleh usaha pengolahan tempe yaitu biaya pembelian bahan baku utama (kedelai) dan pendukung (ragi), upah tenaga kerja harian, bahan pengemas (plastik kemasan), dan bahan bakar. Total biaya variabel per tahun yang dikeluarkan ketiga usaha tempe dapat dilihat pada Tabel 12. Perbedaan total biaya variabel yang dikeluarkan setiap unit usaha tempe dipengaruhi oleh kapasitas produksi usaha. Presentase biaya variabel terbesar dari ketiga usaha tersebut yaitu untuk pembelian bahan baku kedelai dengan presentase masing-masing sebesar persen untuk usaha III, persen untuk usaha II, dan persen pada usaha I. Komponen biaya variabel terbesar selanjutnya pada ketiga usaha tempe ini adalah upah tenaga kerja. Biaya tenaga kerja pada tiga usaha tempe ini berbedabeda, tergantung jumlah upah yang diberikan dan banyaknya tenaga kerja. Sistem upah yang diterapkan yaitu sistem upah harian. Perhitungan upah pada usaha I dan II untuk tenaga kerja pengolah kedelai diperhitungkan karena dikerjakan sendiri oleh pemilik usaha. Sedangkan untuk usaha III upah tenaga kerja termasuk biaya

49 langsung karena upah yang diberikan dinilai berdasarkan banyaknya kedelai yang diolah. Bahan bakar yang digunakan dalam proses produksi tempe pada ketiga usaha tersebut yaitu gas LPG untuk proses perebusan kedelai. Usaha I menggunakan dua buah drum perebusan kecil dan membutuhkan dua kompor dalam proses perebusan. Sedangkan untuk usaha II menggunakan dua buah kompor dan memakai drum perebusan steinless yang kapasitasnya empat kali lipat dari drum biasa. Usaha III menggunakan dua buah drum steinless dan membutuhkan empat kompor dalam proses produksinya. Biaya variabel pada usaha tempe berikutnya yaitu bahan pengemas. Bahan pengemas tempe yang digunakan yaitu plastik. Bahan pengemas tempe pada awalnya menggunakan daun pisang, namun seiring dengan semakin meningkatnya harga daun pisang para pengerajin tempe menggunakan plastik sebagai bahan pembungkus tempe untuk menekan biaya produksi. Usaha I menggunakan plastik digunakan sebagai alas dan penutup pencetakan tempe, sedangkan usaha II dan III menggunakan dua macam plastik yaitu plastik untuk tempe berbentuk lonjor dan untuk alas tempe berbentuk papan. Alokasi biaya yang dikeluarkan masingmasing usaha untuk bahan pengemas yaitu sebesar 0.62 persen pada usaha I, 0.51 persen pada usaha II dan 0.59 persen pada usaha III. Bahan pendukung yang sangat penting dalam pengolahan tempe adalah ragi. Pemakaian ragi dalam proses peragian hanya membutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga biaya untuk bahan pendukung ini relatif kecil. Usaha I dan II menggunakan jenis ragi yang sama, sedangkan usaha III menggunakan jenis ragi yang berbeda. Perbedaan cara kerja kedua ragi ini terletak pada saat proses fermentasi. Penggunaan ragi harus disesuaikan dengan jumlah kedelai yang diolah, sehingga semakin banyak kedelai maka ragi yang diperlukan juga bertambah. Persentase komponen biaya terbesar terhadap total biaya pada ketiga usaha tempe adalah biaya variabel dengan rata-rata presentase sebesar persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha pengolahan tempe lebih besar mengeluarkan biaya variabel dibandingkan biaya tetap dalam kegiatan usahanya meskipun alokasi komponen biaya variabel pada tiap unit usaha tempe tersebut berbeda. Komponen biaya terbesar dari total biaya pada usaha tempe adalah biaya untuk pembelian bahan baku kedelai, sehingga pergerakkan harga kedelai dapat mempengaruhi pengeluaran usaha yang nantinya akan mempengaruhi keuntungan usaha. Biaya rata-rata per output dapat dilihat dengan membagi total biaya yang dikeluarkan masing-masing usaha dengan jumlah output yang dihasilkan. Produk tempe yang dihasilkan dalam bentuk papan atau lonjoran sehingga untuk mempermudah memperbandingkan biaya rata-rata per output maka hasil output tempe dikonversi ke dalam satuan kg. Jumlah output dalam satuan kilogram yang dihasilkan usaha III, usaha II, dan usaha I dalam satu tahun yaitu masing-masing sebesar kg, kg, dan kg tempe. Sehingga biaya rata-rata per kg tempe yang dikeluarkan masing-masing usaha yaitu Rp5 614 untuk usaha I, Rp5 078 untuk usaha II, dan Rp4 987 pada usaha III. Usaha Tahu Komponen biaya tetap terbesar pada ketiga usaha pengolahan tahu terhadap total biaya adalah penyusutan investasi dan peralatan. Investasi pada 33

50 34 usaha pengolahan tempe ini yaitu tungku, ketel, bak tempat memasak, bak pencucian, dan kendaraan. Bangunan dalam pembahasan ini tidak diperhitungkan dikarenakan pada ketiga usaha ini menggunakan sebagian lahan dan bangunan rumah sebagai tempat produksi. Sedangkan untuk penyusutan peralatan berupa mesin penggiling, drum perebusan, drum perendaman, tandon air, alat cetakan tahu, rak kayu dan peralatan lainya yang digunakan dalam kegiatan produksi. Tabel 13 Struktur biaya pada ketiga usaha tahu dalam satu tahun Komponen biaya Biaya Produksi Usaha Pengolahan Kedelai Usaha IV (60 kg) Usaha V (150 kg) Usaha VI (300 kg) Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Total Total Total Biaya Biaya Biaya Rata-rata (Rp) A. Biaya Tetap Penyusutan Pergantian peralatan Listrik dan air Transportasi Komunikasi Pemeliharaan Pajak Total Biaya Tetap B.Biaya Variabel Bahan baku Bahan pengemas Upah TK Bahan bakar Total Biaya Variabel Total Biaya Biaya rata-rata/ output (Rp/kg) Komponen biaya tetap terbesar selanjutnya dalam usaha tahu yaitu biaya transportasi. Usaha VI mengeluarkan biaya transportasi lebih besar karena menggunakan mobil pick up sebagai sarana transportasi, sedangkan dua usaha lainya menggunakan sepeda motor. Selain biaya transportasi, terdapat biaya lain yang terkait dengan pemasaran tahu yaitu biaya komunikasi. Presentase terhadap biaya total pada ketiga usaha tahu yaitu usaha IV sebesar 0.56 persen, usaha V sebesar 0.30 persen, dan usaha VI sebesar 0.16 persen. Biaya listrik pada ketiga usaha tahu tersebut telah mencakup biaya air karena menggunakan air sumur untuk proses produksinya. Biaya untuk listrik termasuk biaya yang cukup besar untuk usaha tahu VI dan V karena menggunakan mesin penggiling dengan penggerak dynamo, sedangkan pada usaha tahu IV masih menggunakan mesin penggiling diesel dengan bahan bakar solar. Komponen biaya tetap berikutnya yaitu biaya untuk pemeliharaan peralatan produksi antara lain biaya service ketel, dinamo mesin penggiling, dan kendaran. Pemeliharaan dilakukan beberapa waktu sekali tergantung keperluan. Peralatan produksi seperti mesin penggiling dan ketel digunakan setiap hari dalam kegiatan produksi, sehingga pemeliharaan perlu dilakukan untuk tetap menjaga fungsi peralatan dan mesin dengan baik. Biaya pemeliharaan lainya yaitu pemeliharaan kendaraan seperti perbaikan kerusakan dan pergantian oli mesin. Komponen biaya variabel usaha pengolahan tahu yaitu biaya pembelian bahan baku utama kedelai, upah tenaga kerja harian, bahan pengemas, dan bahan bakar. Berdasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa bahan baku kedelai memiliki presentase terbesar terhadap total biaya variabel pada ketiga usaha tersebut. Biaya

51 variabel terbesar selanjutnya pada ketiga usaha tahu yaitu upah tenaga kerja Sistem upah yang diterapkan yaitu sistem upah harian. Perhitungan upah tenaga kerja pada usaha IV diperhitungkan karena dikerjakan sendiri oleh tenaga kerja dalam keluarga, sedangkan usaha V dan VI upah tenaga kerja yang diberikan berdasarkan banyaknya kedelai yang diolah. Bahan bakar yang digunakan untuk pemasakan sari tahu pada ketiga usaha ini yaitu kayu dan limbah kelapa. Kayu dan limbah kelapa dipilih sebagai bahan bakar karena nyala api yang dihasilkan lebih panas dan tahan lama, sehingga kualitas tahu yang akan dihasilkan baik. Bahan bakar kayu ini biasanya dibeli beberapa waktu sekali dalam satuan per mobil pick up, sehingga biaya yang dikeluarkan masing-masing usaha untuk kayu bakar berbeda tergantung penggunaan dalam proses produksinya. Pengemasan tahu dilakukan agar mempermudah pengangkutan dan pemasaran produk. Usaha V dan VI menjual produknya melalui pedagang di pasar, sehingga produknya dikemas dalam plastik, sedangkan usaha IV menjual produknya langsung kepada konsumen tanpa dikemas terlebih dahulu. Selain biaya variabel-variabel tersebut, terdapat bahan pendukung lain yang sangat penting dalam usaha tahu ini yaitu asam cuka tahu. Asam cuka ini berfungsi sebagai bahan penggumpal sari kedelai saat proses pengendapan. Biaya asam cuka ini tidak diperhitungkan karena air cuka didapat dari air hasil pemisahan sari tahu proses pengendapan sebelumnya, sehingga tidak terdapat biaya pengeluaran untuk air cuka. Total biaya produksi ketiga usaha tahu dapat dilihat pada Tabel 13. Persentase komponen biaya terbesar terhadap total biaya pada ketiga usaha tahu adalah biaya variabel dengan rata-rata presentase sebesar persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha pengolahan tahu lebih besar mengeluarkan biaya variabel dibandingkan biaya tetap dalam kegiatan usahanya. Komponen biaya terkecil dari total biaya pada usaha tahu yaitu biaya untuk pajak dan pemeliharaan yang termasuk ke dalam komponen biaya tetap. Selain itu, dari Tabel 12 dapat dilihat biaya rata-rata per kilogram output yang dihasilkan. Jumlah output dalam satuan kilogram yang dihasilkan usaha VI, V, dan IV dalam satu tahun yaitu masing-masing sebesar kg, kg, dan kg tahu. Sehingga biaya rata-rata per kg tahu yang dikeluarkan masing-masing usaha yaitu Rp3 970 untuk usaha IV, Rp3 861 untuk usaha V, dan Rp3 766 pada usaha VI. Usaha Keripik Tempe Biaya tetap dari produk keripik tempe pada tiga usaha keripik tempe dapat dilihat pada Tabel 14 yang disajikan dalam satuan rupiah dan persentase terhadap total biaya tetap. Alokasi biaya tetap yang dikeluarkan tiga usaha tahu berbeda sesuai kebutuhan kapasitas produksi masing-masing usaha. Usaha IX memiliki kapasitas produksi paling besar sehingga total biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan dua usaha lainya. Presentase biaya tetap terbesar terhadap total biaya pada ketiga usaha keripik tempe terdapat pada biaya penyusutan peralatan dan investasi dengan peresentase sebesar 1.38 persen untuk usaha IX, 0.45 persen untuk usaha VIII, dan 1.07 persen untuk usaha VII. 35

52 36 Tabel 14 Struktur biaya pada ketiga usaha keripik tempe dalam satu tahun Komponen biaya Biaya Produksi Usaha Pengolahan Keripik Tempe Usaha VII (36 kg) Usaha VIII (109.2 kg) Usaha IX (213.6 kg) Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Total Total Total Biaya Biaya Biaya Rata-rata (Rp) A. Biaya Tetap Penyusutan Pergantian peralatan Listrik dan air Transportasi Komunikasi Pemeliharaan Pajak Total Biaya Tetap B. Biaya Variabel Bahan baku Bahan pendukung Bahan pengemas Upah TK Bahan bakar Total Biaya Variabel Total Biaya Biaya rata-rata/ output (Rp/kg) Komponen biaya penyusutan investasi dan peralatan pada tiga usaha keripik tempe ini relatif sama. Investasi pada usaha pengolahan keripik tempe yaitu berupa bangunan dan kendaraan, namun bangunan dalam pembahasan ini tidak diperhitungkan. Selain itu pada usaha keripik tempe ini juga terdapat biaya penyusutan peralatan seperti alat dapur, pisau, blender, meja packing, tandon air, drum air, dan peralatan lainya yang digunakan dalam kegiatan produksi. Rincian penyusutan investasi dan peralatan usaha pengolahan keripik tempe dapat dilihat pada Lampiran 19, 22, dan 25. Usaha keripik tempe yang memiliki biaya penyusutan per tahun terbesar yaitu pada usaha IX, kemudian diikuti usaha VIII, dan usaha VII. Biaya pergantian peralatan untuk keripik yang umur ekonomisnya kurang dari satu tahun juga diperhitungkan dalam komponen biaya tetap. Biaya transportasi dan komunikasi merupakan biaya tetap terbesar berikutnya berdasarkan presentase terhadap total biaya. Biaya transportasi ini meliputi biaya angkut pembelian bahan baku dan biaya pemasaran produk. Biaya transportasi usaha IX cukup beasr dibandingkan dua usaha lainya. Hal tersebut dikarenakan alat transportasi yang digunakan usaha IX yaitu mobil karena wilayah pemasaran produk keripik sudah sampai keluar Wilayah Malang. Komponen biaya tetap berikutnya yaitu biaya listrik dan biaya pemeliharaan. Biaya listrik untuk usaha VII dan VIII telah mencakup biaya air, sedangkan usaha IX menggunakan air PDAM untuk proses produksinya. ketiga Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan usaha keripik tempe antara lain biaya service kompor, blender, sanyo dan kendaran. Pemeliharaan dilakukan beberapa waktu sekali tergantung keperluan. Presentase biaya pemeliharaan terhadap total biaya yaitu 0.07 persen untuk usaha IX, 0.06 persen untuk usaha VIII, dan 0.16 persen untuk usaha VII. Komponen variabel untuk usaha keripik tempe yaitu bahan baku utama, bahan pendukung, bahan pengemas, upah tenaga kerja harian, serta gas LPG sebagai bahan bakar. Berdasarkan Tabel 14, bahan baku utama memiliki

53 presentase terbesar terhadap total biaya variabel pada ketiga usaha tersebut. Bahan baku utama ini berupa tempe, tepung beras, dan tepung tapioka. Biaya variabel terbesar selajutnya yaitu bahan pendukung. Komponen bahan pendukung untuk pembuatan keripik tempe seperti telur, minyak, bumbubumbu, dan bubuk perasa. Pengeluaran bahan penolong ini paling banyak dialokasikan pada minyak goreng. Hal ini dikarenakan penggorengan keripik tempe menggunakan dua penggorengan dengan minyak goreng yang berbeda tingkat kepanasanya dan minyak harus dalam keadaan penuh. Selain itu, harga minyak goreng relatif berfluktuatif sehingga kenaikan harga minyak goreng dapat mempengaruhi biaya produksi. Biaya tenaga kerja yang diperhitungkan dalam penelitian ini berdasarkan volume input dan output yang dihasilkan pada setiap proses produksinya. Semakin besar volume input dan outputnya maka akan mengeluarkan biaya tenaga kerja yang semakin besar. Tenaga kerja yang digunakan pada usaha keripik tempe ini rata-rata merupakan tenaga kerja luar keluarga dengan sistem upah harian. Usaha IX memperkerjakan cukup banyak tenaga kerja, yaitu sebelas tenaga kerja. Sedangkan pada usaha VIII dan VII tenaga kerja yang digunakan sebanyak enam dan empat orang. Bahan bakar yang digunakan dalam usaha pengolahan keripik tempe yaitu gas LPG untuk proses penggorengan. Pada proses penggorengan, setiap pekerja menggunakan tiga penggorengan dan rata-rata per hari untuk satu kompor menghabiskan satu tabung gas LPG. Setiap harinya, usaha VII membutuhkan tiga tabung gas LPG, usaha VIII membutuhkan enam tabung gas LPG dan usaha IX membutuhkan 12 tabung gas LPG. Biaya variabel lainya yang dikeluarkan usaha keripik tempe yaitu bahan pengemas. Alokasi untuk biaya pengemas ini cukup besar dikarenakan bahan pengemas yang digunakan yaitu plastik dan stiker logo produk yang banyak Alokasi biaya pengemas pada usaha VII, VIII, dan IX masing-masing sebesar persen, persen, dan persen. Persentase komponen biaya terbesar terhadap total biaya pada ketiga usaha keripik adalah biaya variabel dengan rata-rata presentase sebesar persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha pengolahan keripik tempe lebih besar mengeluarkan biaya variabel dibandingkan biaya tetap dalam kegiatan usahanya. Selain itu, dari Tabel 14 dapat dilihat biaya rata-rata per kilogram output yang dihasilkan. Output keripik tempe yang dihasilkan dihasilkan usaha VII, VIII, dan IX dalam satu tahun yaitu masing-masing sebesar kg, kg, dan kg keripik tempe. Berdasarkan biaya rata-rata per kilogram keripik tempe yang dihasilkan, usaha VII memiliki biaya rata-rata yang paling besar dan usaha IX memiliki biaya rata-rata. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kurniasari (2015) pada pengerajin tempe di Kota Bogor, hasil perhitungan komponen-komponen biaya dalam struktur biaya usaha pengolahan kedelai menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha maka semakin kecil biaya tetap yang harus dikeluarkan per kilogram tempe yang dihasilkan. Begitu juga dengan hasil penelitian pada ketiga usaha pengolahan kedelai ini. Hal tersebut dikarenakan biaya yang bersifat tetap tersebut dapat digunakan untuk memproduksi output yang lebih banyak tanpa perlu menambah peralatan yang digunakan. Selain itu semakin besar skala usaha juga tidak menambah biaya-biaya lain seperti pajak bangunan dan kendaraan. Berbeda halnya dengan biaya tetap, semakin besar kapasitas produksi usaha, maka biaya 37

54 38 variabel yang harus dikeluarkan cenderung semakin besar karena semakin banyak bahan baku, bahan penolong, listrik, dan tenaga kerja yang digunakan. Efisiensi dari biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan kedelai dapat dilihat dari biaya per kg output untuk masing-masing produk yang dihasilkan. Usaha pengolahan tempe memiliki biaya rata-rata per kg output yang paling rendah yaitu usaha III dan biaya rata-rata tertinggi pada usaha I. Begitu juga pada usaha tahu dan keripik tempe, usaha tahu VI dan usaha keripik IX yang memiliki kapasitas produksi lebih tinggi menghasilkan biaya rata -rata per kg output yang paling rendah, sedangkan usaha IV dan VII yang memiliki kapasitas usaha terendah memiliki biaya rata-rata tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitian ini meningkatnya kapasitas produksi suatu usaha akan mengakibatkan biaya rata-rata yang dikeluarkan semakin menurun. Jumlah produksi yang semakin tinggi pada skala usaha yang memiliki kapasitas produksi lebih besar akan menyebabkan kegiatan produksi lebih efisien karena adanya penghematan penggunaan biaya. Penerimaan, keuntungan, dan Imbangan Penerimaan Biaya Para pelaku usaha dapat mengetahui penerimaan dan keuntungan total secara ekonomi setelah menghitung total biaya yang dikeluarkan pada masingmasing usaha. Besarnya penerimaan total didapat dari perkalian antara jumlah output dengan harga output. Besarnya penerimaan total tersebut belum dikurangi dengan total biaya yang digunakan sehingga masih berupa penerimaan kotor. Total penerimaan dikurang dengan total biaya akan menghasilkan keuntungan bersih bagi setiap usaha. Perhitungan penerimaan, keuntungan, dan R/C rasio pada ketiga usaha pengolahan kedelai dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Penerimaan, keuntungan, dan R/C rasio usaha pengolahan kedelai dalam satu tahun Komponen Usaha Pengolahan Kedelai Usaha Tempe Usaha I Usaha II Usaha III Rata-Rata Penerimaan Usaha (Rp) Total Biaya Produksi (Rp) Keuntungan Usaha (Rp) Keuntungan per kg output (Rp) R/C rasio Usaha Tahu Usaha IV Usaha V Usaha VI Penerimaan Usaha (Rp) Total Biaya Produksi (Rp) Keuntungan Usaha (Rp) Keuntungan per kg output (Rp) R/C rasio Usaha Keipik Tempe Usaha VII Usaha VIII Usaha IX Penerimaan Usaha (Rp) Total Biaya Produksi (Rp) Keuntungan Usaha (Rp) Keuntungan per kg output (Rp) R/C rasio Total penerimaan usaha pengolahan tempe dan tahu adalah penjumlahan antara penerimaan produk dan limbah kedelai. Penerimaan utama usaha pengolahan tempe dan tahu didapat dari hasil perkalian jumlah satuan produk yang dihasilkan dengan harga jual yang ditentukan masing-masing usaha,

55 sedangkan untuk penerimaan sampingan didapat dari hasil penjualan limbah kedelai kepada peternak sekitar yang pembayaranya sesuai kontrak yang telah disepakati. Rincian jumlah penerimaan ketiga usaha tempe dapat dilihat pada Lampiran 3, 6, 8, dan penerimaan usaha tahu pada Lampiran 12, 15, dan 18. Produk tempe dan tahu ini diproduksi dan dipasarkan setiap hari sehingga penerimaan penjualan produk didapat langsung saat transaksi penjualan. Penerimaan limbah kedelai biasanya didapat satu tahun sekali dan pembayaranya sesuai dari banyaknya limbah kedelai yang disetor kepada para peternak. Penerimaan untuk usaha keripik tempe merupakan total penjumlahan dari penjualan produk yang dihasilkan. Berbeda dengan usaha tempe dan tahu yang berproduksi setiap hari, usaha keripik tempe Sanan pada umumnya berproduksi hanya enam hari dalam seminggu. Rincian jumlah penerimaan ketiga usaha keripik dapat dilihat pada Lampiran 21, 24, dan 27. Ketiga usaha keripik tempe menetapkan harga jual yang berbeda-beda. Selain itu perbedaan kapasitas produksi juga mempengaruhi penerimaan yang didapat oleh setiap unit usaha. Keuntungan total usaha pengolahan kedelai pada masing-masing skala usaha merupakan keuntungan bersih yang diterima oleh pengusaha unit pengolahan secara total. Keuntungan yang didapat dari ketiga usaha pengolahan kedelai dalam satu tahun dapat dilihat pada Tabel 15. Keuntungan usaha pengolahan kedelai yang memiliki kapasitas produksi yang lebih besar akan menghasilkan jumlah output yang lebih besar, sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi, yaitu usaha III pada usaha pengolahan tempe, usaha tahu VI pada usaha pengolahan tahu, dan usaha IX pada usaha pengolahan keripik tempe. Jika dilihat dari keuntungan per kilogram bahan baku kedelai, usaha pengolahan tahu memiliki keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan usaha tempe. Usaha tahu menghasilkan rata-rata keuntungan per kg kedelai sebesar Rp Rp dan usaha tempe sebesar Rp Keuntungan usaha keripik tempe cukup besar jika dibandingkan dengan usaha tahu dan tempe yaitu sebesar Rp per kg bahan baku tempe yang diolah. Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa keuntungan per output yang dihasilkan dari usaha tempe dan tahu semakin besar dengan meningkatnya kapasitas usaha. Perbedaan keuntungan per kilogram yang cukup besar antara usaha I dengan dua usaha lainya dikarenakan biaya rata-rata per output yang lebih tinggi. Usaha I memiliki kapasitas produksi paling rendah dibandingkan dua usaha lainya, namun biaya yang dialokasikan untuk investasi dan peralatan tidak jauh berbeda dengan dua usaha lainya yang memiliki kapasitas produksi lebih tinggi. Sedangkan pada usaha keripik tempe, usaha VIII yang memiliki kapasitas usaha sedang, memiliki keuntungan per kilogram output yang lebih rendah dibandingkan usaha VII yang memiliki kapasitas lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan harga output per kilogram pada usaha VIII lebih rendah dibandingkan dua usaha lainya, sehingga mempengaruhi penerimaan yang didapat usaha VIII. Penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga usaha pengolahan kedelai memiliki nilai rasio R/C terhadap total biaya lebih dari satu, sehingga dapat dikatakan usaha tersebut efisien dan menguntungkan untuk diusahakan. Dilihat dari nilai R/C baik usaha tempe, tahu, dan keripik tempe menunjukkan kecenderungan nilai R/C rasio tertinggi pada usaha yang memiliki kapasitas produksi tertinggi yaitu usaha tempe III, usaha tahu VI, dan usaha keripik IX. 39

56 40 Namun demikian, tidak semua usaha yang memiliki kapasitas produksi lebih tinggi akan menghasilkan nilai rasio R/C yang lebih besar, seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Safitri (2015) pada usaha tempe di Kelurahan Kedung Badak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha pada skala II (usaha yang mengolah kedelai kg per hari) memiliki nilai R/C lebih tinggi dibandingkan pada skala III (kedelai lebih dari 103 kg per hari). Hal tersebut dikarenakan pada usaha skala II harga jual rata-rata tempe lebih tinggi dan ratarata biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja lebih rendah karena menggunakan lebih banyak menggunakan dalam keluarga. Analisis Nilai Tambah Kegiatan pengolahan kedelai menjadi berbagai produk olahan merupakan kegiatan pengubahan bentuk sehingga menyebabkan adanya nilai tambah. Manfaat dari kegiatan pengolahan tersebut dapat dinikmati oleh pelaku usaha dan tenaga kerja. Besarnya nilai tambah dapat dihitung menggunakan metode nilai tambah. Analisis nilai tambah dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai tambah pengolahan bahan baku yang digunakan dan distribusi margin yang diperoleh dari pemanfaatan faktor-faktor produksi yang dilakukan dalam aktivitas pengolahan. Berikut ini adalah komponen utama dalam perhitungan nilai tambah tempe, tahu, dan keripik tempe: Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam pengolahan tempe dan tahu pada ketiga usaha yang menjadi objek penelitian yaitu kedelai impor. Kapasitas produksi masing-masing usaha berbeda sehingga kebutuhan bahan baku per hari setiap usaha juga berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 8. Harga rata-rata kedelai per kilogram pada minggu pertama bulan Maret di Wilayah Malang sebesar Rp Bahan baku utama dalam pengolahan keripik tempe yaitu tempe. Pada usaha pengolahan keripik tempe, bahan baku tempe didapat dari pengerajin tempe di wilayah tersebut. Usaha keripik tempe VII membeli bahan baku tempe kepada usaha II, sedangkan usaha keripik VIII dan IX mendapat bahan baku dari usaha III. Harga bahan baku tempe yang didapat setiap unit usaha berbeda tergantung ukuran dan bentuk tempe. Harga bahan baku tempe dapat dilihat pada Tabel 8. Output Hasil output untuk masing-masing usaha pengolahan kedelai berbeda-beda karena perbedaan jumlah bahan baku yang digunakan dalam setiap kegiatan produksinya. Meskipun demikian, dari segi kualitas, produk yang dihasilkan relatif sama karena persamaan proses perlakuan selama proses produksi pada masing-masing usaha. Berat per ukuran output setiap usaha berbeda, sehingga harga jual yang ditetapkan juga berbeda. Penetapan harga jual ketiga olahan kedelai tersebut berdasarkan pendekatan pasar. Hasil output dan harga jual produk ketiga usaha olahan kedelai berdasarkan skala usaha dapat dilihat pada Tabel 9. Usaha tempe III dalam satu kali produksi dapat menghasilkan kg tempe, usaha II sebesar kg, dan usaha I sebesar 72 kg. Sedangkan pada ketiga usaha tahu, hasil output per hari untuk masing-masing usaha yaitu kg

57 tahu untuk usaha IV, kg tahu pada usaha V, dan 675 kg tahu untuk usaha VI. Usaha VII dapat memproduksi rata-rata output sebesar 36 kg per produksi, usaha VIII sebesar kg, dan usaha IX sebesar kg keripik tempe per produksi. Usaha VIII dan IX memproduksi dua macam keripik tempe yaitu rasa dan original, sedangkan usaha keripik VII hanya memproduksi keripik tempe original. Tenaga Kerja Proses produksi pada usaha tempe, tahu dan keripik tempe tentu tidak terlepas dari komponen tenaga kerja. Tenaga kerja pada usaha tempe dan tahu yang dianalisis dalam nilai tambah ini adalah tenaga kerja langsung dan tenaga kerja dalam keluarga yang diperhitungkan, sedangkan pada usaha keripik tempe tenaga kerja yang dipekerjakan rata-rata merupakan tenaga kerja langsung. Jumlah tenaga kerja yang digunakan setiap unit usaha pada ketiga jenis usaha tersebut berbeda tergantung kapasitas produksi. Rincian jumlah tenaga kerja pada ketiga usaha pengolahan kedelai dapat dilihat pada Tabel 9. Sumbangan Input Lain Sumbangan input lain di dalam analisis nilai tambah ini merupakan pembagian total sumbangan input lain dengan jumlah bahan baku yang digunakan. Komponen dalam perhitungan sumbangan input lain pada usaha pengolahan tempe terdiri dari bahan penolong (ragi), bahan pengemas (plastik), bahan bakar (gas LPG dan kendaraan), biaya penyusutan peralatan, pergantian peralatan, pemeliharaan, serta biaya listrik dan air. Berdasarkan Tabel 16, dapat dilihat bahwa presentase terbesar terhadap sumbangan input lain usaha tempe yaitu bahan bakar gas karena proses perebusan kedelai yang memerlukan waktu lama. Tabel 16 Sumbangan input lain pada ketiga usaha tempe dalam satu kali produksi No Uraian Usaha I % Usaha II % Usaha III % 1 Bahan penolong : Ragi Bahan pengemas : Plastik kemasan Plastik Penutup Bahan bakar gas LPG (3 kg) Bahan bakar kendaraan Penyusutan peralatan Pergantian Peralatan Pemeliharaan Listrik dan air Air PDAM Total per produksi (Rp) Total per kg bahan baku (Rp/kg) Komponen dalam perhitungan sumbangan input lain pada usaha tahu terdiri dari bahan pengemas (plastik), bahan bakar (kayu bakar dan solar), bahan bakar untuk kendaraan, biaya penyusutan peralatan, pergantian peralatan, pemeliharaan, serta biaya listrik dan air. Berdasarkan Tabel 17, dapat dilihat bahwa besarnya sumbangan input lain per bahan baku kedelai pada masingmasing usaha tahu yaitu usaha IV sebesar Rp776, usaha V sebesar Rp696, dan usaha VI sebesar Rp

58 42 Tabel 17 Sumbangan input lain pada ketiga usaha tahu dalam satu kali produksi No Uraian Usaha IV % Usaha V % Usaha VI % 1 Bahan pengemas : Plastik kemasan Bahan Bakar Kayu bakar Bahan bakar kendaraan Penyusutan peralatan Pergantian Peralatan Pemeliharaan Listrik dan air Total per produksi (Rp) Total per kg bahan baku (Rp/kg) Komponen dalam perhitungan sumbangan input lain pada usaha keripik tempe terdiri dari bahan penolong (tepung beras, tapioka, telur, minyak dan bumbu), bahan pengemas, bahan bakar (gas LPG dan kendaraan), biaya penyusutan peralatan, pergantian peralatan, pemeliharaan, serta biaya listrik dan air. Berdasarkan Tabel 18, dapat dilihat bahwa presentase terbesar terhadap sumbangan input lain usaha tempe yaitu bahan penolong dengan presentase ratarata sebesar persen. Tabel 18 Sumbangan input lain pada ketiga usaha keripik tempe dalam satu kali produksi No Uraian 1 Bahan penolong : Tepung,minyak, telur, bumbu 2 Bahan pengemas : Plastik kemasan, stiker Usaha VII % Usaha VIII % Usaha IX logo, lilin 3 Bahan bakar gas LPG Bahan bakar kendaraan Penyusutan peralatan Pergantian Peralatan Pemeliharaan Listrik dan air Air PDAM Total per produksi (Rp) Total per kg bahan baku(rp/kg) Berdasarkan hasil dari Tabel 16, 17, dan 18 dapat dilihat bahwa besarnya sumbangan iput lain per bahan baku terbesar pada usaha dengan kapasitas produksi terbesar, sedangkan usaha dengan kapasitas produksi paling kecil memiliki sumbangan iput lain per bahan baku terkecil. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan semakin meningkatnya skala produksi usaha pengolahan tempe maupun keripik tempe, maka sumbangan input lain per kg bahan semakin menurun. Nilai tambah Tempe, Tahu dan Keripik Tempe Analisis nilai tambah yang dilakukan pada ketiga usaha tempe dan keripik tempe menunjukkan adanya perbedaan nilai tambah pada masing-masing usaha. Hasil perhitungan nilai tambah untuk satu kali produksi pada ketiga usaha pengolahan tempe dan keripik tempe dapat dilihat pada Tabel 19, 20, dan 21. %

59 Perhitungan nilai tambah ini menggunakan dasar per kilogram bahan baku yaitu kedelai untuk usaha tempe dan tahu, sedangkan bahan baku tempe untuk usaha keripik tempe. Satuan output ketiga produk ini dinyatakan dalam kilogram. Selain itu, perhitungan dalam analisis nilai tambah baik usaha tempe, tahu, maupun keripik tempe dilakukan untuk satu siklus produksi pada periode bulan Maret Perhitungan nilai tambah dalam satu siklus produksi dikarenakan produksi ketiga olahan kedelai ini hampir dilakukan setiap hari, sehingga hasil perhitungan untuk satu kali produksi akan lebih jelas memperlihatkan berapa besaran pertambahan nilai yang diperoleh dari proses pengolahan jika dibandingkan dengan mengakumulasikan dalam satu tahun. Usaha Tempe Perhitungan nilai faktor konversi didapat dari pembagian antara nilai output (tempe) yang dihasilkan dengan nilai input yang digunakan (kedelai). Nilai faktor konversi yang diperoleh untuk ketiga usaha tempe ini relatif tidak jauh berbeda. Hal tersebut dikarenakan proses produksi pada ketiga usaha relatif sama sehingga hasil output per satuan kilogram bahan baku relatif sama. Besarnya faktor konversi pada usaha tempe I dan III sebesar 1.44 yang artinya setiap kg kedelai yang digunakan dapat menghasilkan 1.44 kg tempe. Nilai faktor konversi untuk pengolahan tempe ini lebih dari satu karena bahan baku mengalami proses perebusan dan peragian yang membuat kedelai menjadi mengembang, sehingga berat kedelai yang telah menjadi tempe menjadi lebih berat. Koefisien tenaga kerja merupakan pembagian dari jumlah tenaga kerja dengan bahan baku yang digunakan dalam proses produksi pada masing-masing usaha pengolahan tempe. Koefisien tenaga kerja ketiga usaha tempe berbeda karena perbedaan jumlah tenaga kerja dan kapasitas produksi. Nilai koefisen tenaga kerja usaha I sebesar 1.19 yang artinya untuk mengolah satu kg kedelai menjadi tempe membutuhkan waktu 1.19 jam. Sedangkan koefisien tenaga kerja pada usaha II dan III masing-masing sebesar 0.42 dan Upah rata-rata tenaga kerja didapat dari hasil bagi total upah dengan jumlah jam kerja dalam satu kali produksi. Upah rata-rata tenaga kerja pada pada usaha I paling rendah dibandingkan dua usaha lainya. Perbedaan tersebut karena biaya tenaga kerja yang lebih rendah dan jam kerja tenaga kerja yang lebih ringan pada usaha I yang hanya menggunakan satu orang tenaga kerja dalam keluarga. Harga output yang dihasilkan di masing-masing usaha tempe berbeda. Hal tersebut dikarenakan perhitungan harga output didapat dari pembagian antara nilai penjualan dengan output akhir masing-masing usaha. Nilai penjualan didapat dari perkalian antara jumlah tempe yang diproduksi per satu kali produksi dengan harga jual output. Produk tempe yang dihasilkan ketiga usaha dalam bentuk per satuan papan atau lonjor, sehingga untuk menghitung harga output berat tempe dikonversikan kedalam kilogram. Harga output produk tempe ketiga usaha dapat dilihat pada Tabel 19. Perhitungan nilai output diperoleh dari hasil perkalian antara faktor konversi dengan harga output. Nilai output menunjukkan besarnya penerimaan kotor masing-masing usaha. Pada ketiga usaha tersebut memiliki nilai output yang tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan faktor konversi dan harga output memiliki selisih yang tidak jauh berbeda Usaha III memiliki nilai output tertinggi, 43

60 44 kemudian usaha I, dan usaha II. Nilai output usaha I lebih besar dikarenakan harga jual output yang lebih tinggi dibanding dua usaha lainya. Nilai tambah diperoleh dari hasil pengurangan nilai output dengan harga bahan baku utama dan sumbangan input lain. Nilai tambah tersebut merupakan nilai tambah kotor karena mengandung bagian untuk pendapatan tenaga kerja. Usaha tempe III menghasilkan nilai tambah terbesar dengan rasio nilai tambah sebesar persen, yang berarti persen dari nilai output tempe merupakan nilai tambahnya. Nilai tambah terbesar selanjutnya yaitu usaha II dengan rasio nilai tambah sebesar persen dan usaha I dengan rasio nilai tambah sebesar persen. Tabel 19 Perhitungan nilai tambah pada ketiga usaha tempe No Variabel Usaha I Usaha II Usaha III I Output, Input, dan Harga 1 Output yang dihasilkan (kg/produksi) Bahan baku yang digunakan (kg/produksi) Tenaga Kerja (jam/produksi) Faktor konversi Koefisien tenaga kerja Harga output (Rp/kg) Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam) II Pendapatan dan Keutungan 8 Harga bahan baku (Rp/kg) Sumbangan input lain (Rp/kg input) Nilai output (Rp/kg) a. Nilai tambah (Rp/kg) b. Rasio nilai tambah (%) a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) b. Bagian tenaga kerja (%) a. Keuntungan (Rp) b. Tingkat keuntungan (%) III Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi 14 Marjin (Rp/kg) a. Pendapatan tenaga kerja (%) b. Sumbangan input lain (%) c. Keuntungan permilik usaha (%) Tenaga kerja yang dipekerjakan di masing-masing usaha tempe mendapat imbalan dari setiap kilogram kedelai yang diolah. Imbalan tenaga kerja merupakan hasil perkalian antara koefisien tenaga kerja dengan upah tenaga kerja. Imbalan tenaga kerja yang paling tinggi terdapat pada usaha I dengan presentase rasio tenaga kerja yaitu persen, yang artinya dari nilai tambah yang dihasilkan terdapat persen imbalan tenaga kerja. Usaha II memiliki imbalan tenaga kerja paling rendah dengan rasio tenaga kerja sebesar persen. Hal

61 tersebut dikarenakan koefisien tenaga kerja yang kecil dibandingkan dua usaha lainya. Pengolahan kedelai menjadi tempe juga memberikan keuntungan bagi pengusaha. Nilai keuntungan didapat dari selisih antara nilai tambah dengan imbalan imbalan tenaga kerja, sehingga nilai keuntungan dapat dikatakan sebagai nilai tambah bersih. Tingkat keuntungan usaha I lebih rendah dibandingkan dua usaha lainya. Hal tersebut dikarenakan karena imbalan tenaga keja pada usaha I paling tinggi, sedangkan nilai tambah yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dua usaha tempe lainya. Kontribusi faktor-faktor produksi dapat dilihat pada Tabel 19, terdiri dari pendapatan untuk tenaga kerja, sumbangan input lain, dan tingkat keuntungan pemilik usaha. Marjin yang diperoleh dari hasil pengolahan kedelai menjadi tempe pada usaha I terdiri dari persen untuk tenaga kerja, persen untuk sumbangan input lain, dan persen untuk keuntungan pemilik usaha. Marjin yang diperoleh usaha II dari kegiatan pengolahan tempe terdiri dari persen untuk tenaga kerja, persen untuk sumbangan input lain, dan persen untuk keuntungan pemilik usaha. Pada usaha III, marjin yang diperoleh terdiri dari persen untuk tenaga kerja, 7.55 persen untuk sumbangan input lain, dan persen untuk pemilik usaha. Kecilnya marjin yang didistribusikan untuk tenaga kerja dibandingkan untuk keuntungan pada usaha II dan III menunjukkan bahwa kedua usaha tersebut merupakan kegiatan padat modal. Usaha Tahu Nilai faktor konversi yang diperoleh untuk ketiga usaha tahu relatif tidak jauh berbeda dikarenakan proses produksi dan perlakuan terhadap bahan baku kedelai pada ketiga usaha tahu relatif sama. Nilai faktor konversi untuk pengolahan tahu ini lebih dari satu karena bahan baku mengalami proses penggilingan dan pencampuran air saat proses pemasakan, sehingga berat tahu menjadi lebih berat karena kadar air yang cukup banyak. Hasil perhitungan pada Tabel 20, menunjukkan koefisen tenaga kerja untuk ketiga usaha pengolahan tahu. Nilai koefisien tenaga kerja paling rendah adalah usaha tahu VI sebesar 0.22 yang artinya setiap pengolahan satu kilogram kedelai dibutuhkan waktu 0.22 jam. Sedangkan usaha IV dan usaha V mempunyai nilai koefisien tenaga kerja sebesar 0.27 dan Upah rata-rata tenaga kerja pada ketiga usaha berbeda-beda sesuai tugas dan banyaknya bahan baku yang diolah. Upah rata-rata tenaga kerja pada pada usaha IV paling rendah dibandingkan dua usaha lainya. Hal tersebut dikarenakan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan lebih rendah. Nilai output menunjukkan besarnya penerimaan kotor setiap unit usaha. Nilai output berhubungan dengan faktor konversi dan harga output, sehingga usaha tahu VI memiliki nilai ouput tertinggi dikarenakan harga output yang paling tinggi dan faktor konversi yang lebih besar dibandingkan dua usaha lainya. Namun demikian, kapasitas produksi tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai output. Hal tersebut dikarenakan penetapan harga output setiap usaha yang berbeda serta faktor konversi dari ketiga usaha pengolahan tahu yang relatif sama. Usaha tahu VI menghasilkan nilai tambah terbesar dengan rasio nilai tambah sebesar persen, sedangkan usaha IV dan V memiliki rasio nilai tambah sebesar persen dan persen. Usaha VI menghasilkan nilai tambah 45

62 46 terbesar karena nilai output yang tinggi dan sumbangan input lain yang lebih kecil. Kapasitas produksi suatu usaha dapat berpengaruh terhadap sumbangan input lain per bahan baku, sehingga semakin besar skala usaha, nilai sumbangan input lain per bahan baku akan lebih kecil.. Tabel 20 Perhitungan nilai tambah pada ketiga usaha tahu No Variabel Usaha IV Usaha V Usaha VI I Output, Input, dan Harga 1 Output yang dihasilkan (kg/produksi) Bahan baku yang digunakan (kg/produksi) Tenaga Kerja (jam/produksi) Faktor konversi Koefisien tenaga kerja Harga output (Rp/kg) Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam) II Pendapatan dan Keutungan 8 Harga bahan baku (Rp/kg) Sumbangan input lain (Rp/kg input) Nilai output (Rp/kg) a. Nilai tambah (Rp/kg) b. Rasio nilai tambah (%) a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) b. Bagian tenaga kerja (%) a. Keuntungan (Rp) III b. Tingkat keuntungan (%) Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi 14 Marjin (Rp/kg) a. Pendapatan tenaga kerja (%) b. Sumbangan input lain (%) c. Keuntungan permilik usaha (%) Imbalan tenaga kerja pada usaha tahu yaitu pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dari setiap pengolahan satu kilogram kedelai sebagai bahan baku. Imbalan tenaga kerja yang paling tinggi terdapat pada usaha V dengan presentase rasio tenaga kerja sebesar persen. Hal ini dikarenakan Upah rata-rata tenaga kerja pada usaha V paling tinggi. Usaha IV dan VI memiliki imbalan tenaga kerja yang sama namun memiliki presentase rasio tenaga kerja yang berbeda yaitu persen dan persen. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan nilai tambah yang dihasilkan kedua usaha. Nilai keuntungan usaha menunjukkan bagian yang diterima pengusaha dari hasil pengolahan tahu. Keuntungan terbesar diterima usaha VI yaitu sebesar dengan tingat keuntungan sebesar persen dari nilai output. Tingkat keuntungan usaha VI lebih tinggi dibandingkan dua usaha lainya karena nilai output yang lebih tinggi dengan imbalan tenaga kerja yang lebih rendah.

63 Marjin yang diperoleh dari hasil pengolahan tahu pada usaha IV terdiri dari persen untuk tenaga kerja, persen untuk sumbangan input lain, dan persen untuk keuntungan pemilik usaha. Untuk usaha V, marjin yang diperoleh dari kegiatan pengolahan tempe yaitu sebesar Rp6 700 per kg, terdiri dari persen untuk tenaga kerja, persen untuk sumbangan input lain, dan persen untuk keuntungan pemilik usaha. Pada usaha VI diperoleh marjin sebesar Rp7 000 per kg, terdiri dari persen untuk tenaga kerja, 9.35 persen untuk sumbangan input lain, dan persen untuk pemilik usaha. Pada ketiga usaha tersebut menunjukkan bahwa usaha pengolahan tahu mengalokasikan marjin lebih besar ke keuntungan perusahaan dibandingkan tenaga kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha pengolahan tahu merupakan kegiatan usaha padat modal. Usaha Keripik Tempe Besarnya faktor konversi pada ketiga usaha keripik tempe berbeda-beda. Hal ini dikarenakan meskipun proses produksi yang sama, namun perlakuan terhadap bahan baku diantara ketiga usaha berbeda seperti jumlah penggunaan bahan baku tempe dan bahan baku pendukung, sehingga dapat mempengaruhi berat produk masing-masing usaha. Selain bahan baku utama tempe, penggunaan bahan baku pendukung membuat niali konversi output terhadap input keripik lebih dari satu. Nilai faktor konversi ketiga usaha tahu dapat dilihat pada Tabel 21. Koefisien tenaga kerja mencerminkan seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengolah bahan baku. Nilai koefisen tenaga kerja VII sebesar 0.96 yang artinya untuk mengolah satu kilogram tempe menjadi keripik tempe membutuhkan waktu 0.96 jam. Koefisien tenaga kerja pada usaha VIII dan IX masing-masing sebesar 0.90 dan Koefisien tenaga kerja pada usaha VIII lebih kecil dibanding dua usaha lainya karena adanya penghematan penggunaan tenaga kerja. Upah rata-rata tenaga kerja yang diberikan setiap usaha tahu berbeda. Upah rata-rata tenaga kerja pada pada usaha VII paling rendah dibandingkan dua usaha lainya yaitu sebesar Rp Nilai output usaha keripik IX memiliki nilai ouput tertinggi dikarenakan faktor konversi yang lebih besar dibandingkan dua usaha lainya. Penetapan harga output setiap usaha keripik tempe berbeda-beda dan faktor konversi dari ketiga keripik tempe tersebut juga relatif tidak jauh berbeda sehingga kapasitas produksi tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai output. Besarnya nilai tambah per kilogram tempe pada ketiga usaha pengolahan keripik tempe dapat dilihat pada Tabel 21. Nilai tambah pengolahan keripik tertinggi terdapat pada usaha IX dengan rasio nilai tambah sebesar persen yang menunjukkan bahwa dari nilai output keripik tempe yang dihasilkan terdapat persen nilai tambah yang didapat. Hal tersebut dikarenakan pada usaha IX memiliki nilai output tertinggi dan nilai sumbangan input lain yang lebih kecil dibandingkan dua usaha lainya. Imbalan tenaga kerja pada usaha keripik tempe ini yaitu pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dari setiap pengolahan satu kilogram tempe bahan baku yaitu tempe. Imbalan tenaga kerja paling tinggi terdapat pada usaha IX dengan rasio tenaga kerja sebesar persen, yang artinya untuk setiap Rp100 dari nilai tambah yang dihasilkan, sebesar Rp38.08 merupakan bagian untuk pendapatan 47

64 48 tenaga kerja. Imbalan tenaga kerja terkeci pada usaha VII namun memiliki rasio tenaga kerja terbesar yaitu persen. Tabel 21 Perhitungan nilai tambah pada ketiga usaha keripik tempe No Variabel Usaha VII Usaha VIII Usaha IX I Output, Input, dan Harga 1 Output yang dihasilkan (kg/produksi) Bahan baku yang digunakan (kg/produksi) Tenaga Kerja (jam/produksi) Faktor konversi Koefisien tenaga kerja Harga output (Rp/kg) Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam) II Pendapatan dan Keutungan 8 Harga bahan baku (Rp/kg) Sumbangan input lain (Rp/kg input) Nilai output (Rp/kg) a. Nilai tambah (Rp/kg) b. Rasio nilai tambah (%) a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) b. Bagian tenaga kerja (%) a. Keuntungan (Rp) III b. Tingkat keuntungan (%) Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi 14 Marjin (Rp/kg) a. Pendapatan tenaga kerja (%) b. Sumbangan input lain (%) c. Keuntungan permilik usaha (%) Keuntungan terbesar diterima usaha IX dengan tingat keuntungan sebesar persen dari nilai output. Keuntungan terbesar berikutnya yaitu pada usaha VIII dengan tingkat keuntungan sebesar persen dari nilai output. Keuntungan terkecil diterima usaha VII dengan tingkat keuntungan persen. Tingkat keuntungan usaha VII lebih rendah dari dua usaha lainya karena nilai tambah yang lebih rendah dan imbalan terhadap tenaga kerja yang lebih tinggi. Marjin yang diperoleh dari hasil pengolahan tempe menjadi keripik tempe pada usaha IX terdiri dari persen untuk tenaga kerja, persen untuk sumbangan input lain, dan persen untuk keuntungan pemilik usaha. Alokasi marjin yang diperoleh usaha VIII terdiri dari persen untuk tenaga kerja, persen untuk sumbangan input lain, dan persen untuk keuntungan pemilik usaha. Pada usaha VII alokasi marjin terdiri dari persen untuk tenaga kerja, persen untuk sumbangan input lain, dan persen untuk pemilik usaha. Marjin yang didistribusikan untuk sumbangan input lain lebih besar dibandingkan untuk pendapatan tenaga kerja dan keuntungan perusahaan

65 menunjukkan bahwa penggunaan sumbangan input lain memiliki kontribusi yang cukup besar dalam kegiatan usaha pengolahan keripik tempe. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Agustiyanah (2015) mengenai analisis struktur biaya dan nilai tambah usaha manisan pala di Kecamatan Dramaga, dengan menggunakan metode Hayami diperoleh kesimpulan bahwa keuntungan akan semakin meningkat dengan bertambahnya bahan baku yang diolah pada tiap skala usaha. Begitu juga pada penelitian yang dilakukan Harwanto (2014) mengenai nilai tambah pengolahan tapioka dan penelitian Nurdiani (2015) mengenai analisis nilai tambah usaha pengolahan minyak kelapa pada tiga unit usaha yang memiliki kapasitas produksi yang berbeda. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa usaha dengan kapasitas produksi yang lebih besar memiliki nilai tambah dan keuntungan per kilogram output yang lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan penggunaan tenaga kerja yang lebih hemat dan penggunaan input yang lebih efisien sehingga usaha pengolahan dengan kapasitas produksi yang lebih besar memiliki biaya per kilogram bahan baku yang lebih rendah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa usaha pengolahan kedelai yang memiliki kapasitas produksi lebih besar memiliki nilai tambah dan keuntungan yang lebih besar yaitu usaha III pada pengolahan tempe, usaha VI pada pengolahan tahu, dan usaha IX pada pengolahan keripik tempe. Namun nilai tambah dan keuntungan pada pengolahan kedelai lebih dipengaruhi oleh faktor konversi dan harga output pada masing-masing usaha. Kapasitas produksi lebih berpengaruh terhadap sumbangan input lain per bahan baku. Perbandingan nilai tambah Analisis nilai tambah yang dilakukan terhadap usaha tempe, tahu, dan keripik tempe menunjukkan adanya perebedaan nilai tambah diantara ketiga usaha tersebut. Rata-rata hasil output per produksi dan rata-rata penggunaan input pada usaha tempe, tahu, dan keripik tempe dapat dilihat pada Tabel 22. Nilai faktor konversi yang diperoleh pada ketiga usaha tersebut yaitu 1.43 untuk usaha tempe, 2.25 untuk usaha tahu, serta 2.33 untuk usaha keripik tempe. Nilai faktor konversi pengolahan kedelai menjadi tahu lebih besar dibandingkan tempe. Hal ini dikarenakan kadar air dalam tahu lebih banyak dibandingkan pada tempe, sehingga dalam pengolahan satu kilogram kedelai akan menghasilkan lebih banyak tahu dibandingkan tempe. Koefisien tenaga kerja didapat dari pembagian antara tenaga kerja dengan bahan baku yang digunakan dalam proses produksi. Nilai koefisen rata-rata tenaga kerja terbesar yaitu usaha keripik tempe sebesar Hal tersebut dikarenakan dalam proses pengolahan keripik tempe membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk mengolah satu kilogram bahan baku. Sedangkan nilai koefisien tenaga kerja tempe lebih besar dibandingkan tahu, karena dalam proses pengolahan kedelai menjadi tempe memerlukan waktu yang lebih lama. Upah yang diberikan untuk masing-masing tenaga kerja berbeda setiap unit usaha. Upah rata-rata tenaga kerja (per jam) yang paling besar yaitu usaha keripik tempe, kemudian usaha tahu, dan yang paling rendah yaitu pada usaha tempe. Harga rata-rata output tertinggi yaitu keripik tempe sebesar Rp per kg, kemudian harga tempe sebesar Rp7 003 per kg, dan harga tahu sebesar Rp5 884 per kg. Harga keripik tempe per kilogram jauh lebih besar dibandingkan 49

66 50 tempe dan tahu, karena sumbangan input lain yang diperlukan dalam pembuatan keripik tempe lebih besar, sehingga harga jual output juga lebih tinggi. Nilai sumbangan input lain dari setiap unit usaha berbeda tergantung penggunaan input. Nilai rata-rata sumbangan input lain pada usaha keripik tempe cukup besar dibandingkan usaha tempe dan tahu. Tabel 22 Perbandingan hasil analisis nilai tambah rata-rata olahan tempe, tahu, dan keripik tempe per produksi No Variabel Tempe Tahu Keripik Tempe I Output, Input, dan Harga 1 Output yang dihasilkan (kg/produksi) Bahan baku yang digunakan (kg/produksi) Tenaga Kerja (jam/produksi) Faktor konversi Koefisien tenaga kerja Harga output (Rp/kg) Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam) II Pendapatan dan Keutungan 8 Harga bahan baku (Rp/kg) Sumbangan input lain (Rp/kg input) Nilai output (Rp/kg) a. Nilai tambah (Rp/kg) b. Rasio nilai tambah (%) a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) b. Bagian tenaga kerja (%) a. Keuntungan (Rp) b. Tingkat keuntungan (%) III Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi 14 Marjin (Rp/kg) a. Pendapatan tenaga kerja (%) b. Sumbangan input lain (%) c. Keuntungan permilik usaha (%) Nilai output menunjukkan besarnya penerimaan kotor usaha. Produk keripik tempe mempunya nilai output rata-rata paling tinggi, kemudian produk tahu, dan tempe. Nilai output keripik tempe tinggi karena harga output dan faktor konversi yang lebih besar dibandingkan produk tahu dan tempe. Keripik tempe merupakan produk sekunder dari kedelai yang telah diolah menjadi tempe, sehingga terdapat proses pengolahan lebih lanjut dengan penambahan beberapa bahan lain yang menyebabkan harga output keripik tempe lebih tinggi. Hasil perbandingan nilai tambah rata-rata pada ketiga usaha pengolahan tersebut yaitu sebesar Rp3 060 pada usaha tempe, Rp6 024 pada usaha tahu, dan Rp pada usaha keripik tempe. Meskipun keripik tempe memiliki nilai tambah rata-rata paling besar, namun rasio nilai tambah yang dihasilkan paling kecil. Sedangkan, untuk usaha tahu memiliki rasio nilai tambah yang paling besar

67 yaitu sebesar persen. Rasio nilai tambah merupakan presentase nilai tambah terhadap nilai output. Imbalan tenaga kerja rata-rata paling besar yaitu pada usaha keripik tempe dengan presentase bagian tenaga kerja sebesar persen, sedangkan pada usaha tempe dan tahu sebesar persen, dan persen. Keuntungan ratarata per kilogram output terbesar didapat usaha keripik tempe dengan tingkat keuntungan persen, kemudian usaha tahu dengan tingkat keuntungan persen, dan usaha tempe dengan tingkat keuntungan persen dari nilai output. Kontribusi terhadap pemilik faktor produksi ketiga usaha pengolahan kedelai dapat dilihat pada Tabel 22. Marjin yang paling tinggi yaitu pada usaha pengolahan tempe menjadi keripik tempe, namun marjin tersebut didistribusikan paling besar untuk sumbangan input lain yang mencapai persen. Pada usaha tempe dan tahu, distribusi marjin untuk keuntungan pemilik usaha lebih besar dibandingkan untuk tenaga kerja, sehingga kedua usaha tersebut merupakan kegiatan usaha yang padat modal. Berdasarkan penelitian Tunggadewi (2009) pada usaha pengolahan tahu dan tempe di Kota Bogor menunjukkan bahwa nilai tambah dan keuntungan dari pengolahan kedelai impor menjadi tahu lebih besar dibandingkan tempe. Penelitian dari Khadijah (2014) di Kabupaten Cianjur juga menunjukkan bahwa nilai tambah pengolahan kedelai lokal untuk usaha tahu lebih besar dibandingkan usaha tempe, begitu juga dengan penelitian ini. Nilai tambah dan keuntungan usaha tahu lebih tinggi karena harga output per kilogram dan faktor konversi yang lebih tinggi dibandingkan tempe. Implikasi Manajerial Secara umum, hasil dari perhitungan struktur biaya berdasarkan skala usaha pada ketiga usaha olahan kedelai yaitu usaha yang memiliki kapasitas produksi tertinggi menghasilkan biaya rata-rata terendah, begitu juga sebaliknya dengan usaha yang memiliki kapasitas produksi terendah. Perbedaan biaya ratarata yang dihasilkan setiap unit usaha tentunya dapat mempengaruhi keuntungan usaha yang didapat. Hal tersebut dapat dilihat pada usaha tempe I dan usaha tahu IV yang memiliki kapasitas produksi terendah menghasilkan keuntungan usaha terendah. Meskipun demikian, tidak semua usaha yang memiliki biaya rata-rata yang lebih rendah menghasilkan keuntungan usaha yang lebih tinggi, seperti pada usaha keripik tempe VII yang menghasilkan keuntungan per kilogram output yang lebih besar daripada usaha VIII. Hal tersebut dikarenakan selain biaya produksi, keutungan juga dipengaruhi oleh harga jual output dan kuantitas output yang dihasilkan. Hasil penelitian pada usaha tempe menunjukkan bahwa usaha I mengahasilkan keuntungan per kilogram tempe lebih rendah sekitar Rp500 - Rp700 dari usaha II dan III. Hal tersebut dikarenakan biaya rata-rata per kilogram tempe usaha I yang tinggi. Usaha I memiliki kapasitas produksi paling rendah, namun biaya yang dialokasikan untuk biaya tetap tidak jauh berbeda dengan dua usaha lainya yang memiliki kapasitas produksi lebih tinggi. Oleh karena itu, usaha I dapat melakukan efisiensi biaya dengan cara meningkatkan kapasitas produksi agar biaya rata-rata per kilogram output yang dihasilkan lebih rendah, sehingga keuntungan usaha yang didapat akan lebih tinggi. Selain itu, dengan meningkatkan kapasitas produksi usaha I juga dapat melakukan efisiensi untuk 51

68 52 biaya tenaga kerja. Alokasi untuk biaya tenaga kerja pada usaha I tidak terlalu jauh berbeda dengan usaha II dikarenakan penggunaan jumlah tenaga kerja yang sama, namun dengan upah yag berbeda. Hasil analisis struktur biaya pada usaha keripik tempe terlihat bahwa usaha VIII yang memiliki kapasitas produksi sedang, menghasilkan keuntungan usaha yang lebih kecil dibandingkan usaha VII meskipun biaya rata-rata per kilogram output yang dihasilkan lebih kecil. Hal tersebut dikarenakan harga jual output usaha VIII yang lebih rendah dibandingkan dua usaha lainya, yaitu dengan selisih Rp700 - Rp1 000 per kilogram output. Oleh karena itu, untuk dapat meningkatkan keuntungan usaha VIII dapat melakukan efisiensi biaya atau memperbaiki harga jual output. Efisiensi biaya dapat dilakukan dengan cara menambah kapasitas produksi atau dengan menghemat pengeluaran pada komponen-komoponen biaya terutama biaya tenaga kerja untuk mengurangi biaya rata-rata per kilogram. Selain itu, usaha keripik dapat memperbaiki harga jual output dengan cara menambah saluran pemasaran yaitu menjual produk langsung kepada konsumen seperti yang dilakukan usaha VII. Berdasarkan hasil analisis nilai tambah pada ketiga usaha olahan kedelai, dapat dilihat bahwa usaha yang memiliki kapasitas produksi tertinggi menghasilkan nilai tambah yang tinggi, begitu juga sebaliknya dengan usaha yang memiliki kapasitas produksi terendah. Besarnya nilai tambah sangat dipengaruhi oleh besarnya nilai output dan sumbangan input lain. Nilai output dipengaruhi oleh faktor konversi dan harga jual output, sedangkan faktor konversi dari masing-masing usaha pada ketiga usaha olahan kedelai memiliki faktor koversi yang relatif sama, sehingga untuk meningkatkan nilai tambah usaha dapat dilakukan dengan memperbaiki harga ouput. Usaha yang memiliki kapasitas produksi lebih rendah biasanya menghasilkan sumbangan input lain per input produksi yang lebih besar, sehingga usaha I, IV, VII dapat meningkatkan nilai tambah dengan melakukan efisiensi terhadap komponen-komponen sumbangan input lain atau dengan meningkatkan kuantitas produksi agar sumbangan input lain menjadi lebih kecil. Usaha tempe menghasilkan nilai output yang lebih kecil dibandingkan usaha tahu, sehingga nilai tambah yang dihasilkan juga lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan jumlah output tempe yang dihasilkan dari satu kilogram kedelai lebih rendah dibandingkan menjadi produk tahu. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan dan nilai tambah tempe dapat dilakukan dengan cara meningkatkan nilai output. Langkah yang dapat dilakukan pelaku usaha yaitu meningkatkan harga jual produk dengan memperbaiki kualitas tempe seperti memperbaiki proses pengolahan dan pengemasan produk tempe yang lebih higienis, sehingga produk tempe dari industri Sanan tidak hanya dipasarkan pada pasar tradisional, tetapi juga dapat dipasarkan pada pasar modern dan outlet oleh-oleh di sekitar Wilayah Malang. Berdasarkan hasil perhitungan struktur biaya dan nilai tambah pada ketiga usaha olahan kedelai, usaha tahu memiliki kinerja usaha yang lebih baik dibanding usaha tempe dan keripik tempe. Hal tersebut dapat dilihat dari biaya output rata-rata yang lebih rendah dan nilai R/C rasio yang tinggi, serta menghasilkan rasio nilai tambah tertinggi dibandingkan dua usaha lainya. Namun demikian, pelaku usaha tahu perlu melakukan investasi peralatan produksi tahu yang lebih higienis agar dapat meningkatkan nilai output dan memperbaiki nilai

69 tambah yang dihasilkan. Selain itu, pelaku usaha tahu juga dapat mengembangkan produk turunan dari tahu putih, sehingga dapat menambah keuntungan dan nilai tambah usaha. Metode Hayami merupakan salah satu alat analisis nilai tambah yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat suatu kebijakan. Kebijakan tersebut dimaksudkan agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Usaha pengolahan keripik tempe merupakan usaha rumah tangga produktif yang perkembanganya cukup baik di Wilayah Malang, sehingga diperlukan suatu kebijakan yang membantu para pemilik faktor produksi untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari kegiatan usahanya. Berdasarkan hasil analisis perbandingan nilai tambah pada ketiga usaha olahan kedelai, usaha keripik tempe memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan karena memberikan nilai tambah yang lebih besar jika dibandingkan dengan usaha tempe dan tahu. Meskipun demikian, rasio nilai tambah terhadap nilai output yang dihasilkan relatif kecil yaitu hanya mencapai persen. Hal tersebut dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk sumbangan input lain dalam pengolahan tempe cukup besar, sehingga marjin yang di distribusikan untuk sumbangan input lain sangat besar yaitu mencapai persen, sedangkan marjin yang didistribusikan untuk tenaga kerja dan pemilik usaha hanya mencapai persen dan persen. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan agar marjin untuk pemilik usaha maupun tenaga kerja menjadi lebih maksimal. Langkah yang dapat dilakukan bagi para pelaku usaha yaitu dengan minimisasi biaya terhadap sumbangan input lain terutama bahan baku penolong, serta memperbaiki harga jual output. Selain itu, pemerintah setempat perlu melakukan pendampingan usaha serta memberikan bantuan (teknologi dan modal usaha) bagi industri rumah tangga tersebut. Pendampingan usaha dapat dilakukan dengan cara memberikan pelatihan bagi para pelaku usaha ataupun tenaga kerja terkait pemasaran, manajemen usaha, serta peningkatan kualitas produk. Hal tersebut tentunya akan membantu dalam peningkatan nilai output dan nilai tambah yang dihasilkan, sehingga dapat memaksimalkan kontribusi bagi pemilik usaha dan tenaga kerja. 53 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis struktut biaya, menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar ketiga usaha pengolahan kedelai adalah biaya bahan baku utama. Selain itu, semakin meningkatnya kapasitas produksi pada ketiga usaha pengolahan kedelai yang menjadi objek penelitian, mengakibatkan biaya produksi rata-rata yang semakin menurun serta nilai R/C yang cenderung semakin meningkat. Setiap usaha tempe, tahu, dan keripik tempe tersebut telah berada pada keadaan memperoleh laba dari usaha pengolahan yang dilakukan, karena penerimaan yang diperoleh lebih besar dari biaya produksi yang dikeluarkan. Usaha pengolahan kedelai menjadi tahu memiliki struktur biaya rata-rata yang lebih efisien dibandingkan usaha pengolahan tempe dan keripik tempe jika dilihat dari biaya rata-rata per output dan nilai R/C.

70 54 Berdasarkan hasil perhitungan nilai tambah rata-rata pada ketiga usaha pengolahan kedelai, menunjukkan bahwa usaha keripik tempe memiliki nilai tambah yang paling tinggi, namun rasio nilai tambah dan tingkat keuntungan yang paling tinggi pada usaha tahu. Selain itu, berdasarkan hasil analisis nilai tambah pada ketiga usaha berdasarkan kapasitas produksi yang berbeda menunjukkan bahwa usaha dengan kapasitas produksi paling tinggi memiliki nilai tambah yang paling besar. Saran 1. Berdasarkan hasil analisis struktur biaya dan analisis nilai tambah pada ketiga usaha pengolahan kedelai, semakin meningkatnya kapasitas produksi usaha biaya rata-rata per output yang dihasilkan semakin menurun dan dan nilai tambah semakin meningkat. Sehingga untuk memaksimalkan keuntungan usaha dan nilai tambah yang didapat pelaku usaha hendaknya melakukan efisiensi biaya untuk mengurangi biaya per kilogram output yang dikeluarkan dengan melakukan efisiensi input produksi. 2. Para pelaku usaha baik usaha tempe, tahu, maupun keripik tempe perlu meningkatkan usahanya dengan terus berinovasi dalam pengembangan produknya dengan tujuan meningkatkan penjualan dan harga jual output, sehingga akan diperoleh nilai tambah dan keuntungan yang lebih tinggi. 3. Pemerintah sebaiknya memberikan pelatihan bagi para pelaku usaha kecil olahan kedelai terkait pengambilan keputusan manajerial dalam menjalankan usaha. Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan pendampingan dan bantuan berupa teknologi dan modal untuk pegembangan usaha. DAFTAR PUSTAKA Agustiyanah N Analisis Struktur Biaya dan Nilai Tambah Usaha Manisan Pala di Desa Dramaga, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Amang B, Husein S, dan Anas R Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Amaliawati L, Murni A Ekonomi Mikro. Bandung (ID): PT Refika Aditama. Asheri P Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan (Chocolate Bar) di Pipiltin Cocoa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Produksi Kedelai Indonesia [Internet]. [diunduh 12 Desember 2015]. Tersedia pada: [BSN] Badan Standarisasi Nasional Tempe: Persembahan Indonesia untuk Dunia. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional. Cahyadi, W Kedelai: Khasiat dan Teknologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara

71 Firdaus, N Analisis Nilai Tambah Usaha Pemindangan Ikan (Studi Kasus di UD. Cindy Group, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fristian, S Analisis Karakteristik dan Identifikasi Kendala yang Dihadapi UMKM di Kota Malang (Studi Kasus pada Sentra Industri Tempe Sanan) [jurnal]. Malang (ID): Universitas Brawijaya Harwanto A Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hayami Y, Kawagoe T, Morooka Y, dan Siregar M Agricultural Marketing and Processing in Upland Java A Perspective From A Sunda Village. CGPRT Centre [Internet]. [diunduh 2016 Februari 14]. Tersedia pada: [KEMENKOP dan UKM] Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Narasi Statistik UMKM Jakarta (ID): Depkop [KEMENKOP dan UKM] Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia Narasi Statistik UMKM Jakarta (ID): Depkop. [KEMENTAN] Kementerian Pertanian Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Pangan Kedelai [Internet]. [diunduh 14 Desember 2015]. Tersedia pada: pusdatin.setjen.pertanian.go.id. Khadijah N Sistem Pemasaran dan Nilai Tambah Kedelai Di Desa Sukasirna Kecamatan Sukalutu Kabupaten Cianjur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [KUMKM] Koperasi dan UMKM Jawa Timur Jumlah UMKM dan Tenaga Kerja per Sektor se-jawa Timur [internet]. [diunduh 15 Juli 2016]. Tersedia pada: &bidang= Kurniasari E Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Jakarta Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mulyadi Akuntansi Biaya. Ed ke-5. Yogyakarta (ID): UPP AMP YKPN. Munawar A Analisis Nilai Tambah dan Pemasaran Kayu Sengon Gergajian (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurdiani D Profitabilitas Usaha Pengolahan dan Nilai Tambah Produk Minyak Kelapa (Studi Kasus: Tiga Usaha Usaha Pengolahan Minyak Kelapa di Kabupaten Ciamis) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pindyck S, Rubinfeld L Mikroekonomi. Ed ke-8. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Safitri K Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soekartawi Analisis Usahatani. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. 55

72 56 Soekartawi Pengantar Agroindustri. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada Soetrisno N Politik Pengembangan Tempe Nasional. Jakarta (ID): Yayasan Tempe Indonesia. Sorga S, Darus H, dan Ayu S Analisis Komparasi Nilai Tambah dalam Berbagai Produk Olahan Kedelai pada Industri Rumah Tangga di Kota Medan [jurnal]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Sudiyono A Pemasaran Pertanian. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang Press. [PRIMKOPTI] Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Daftar Rekapitulasi Data Anggota Primkopti di Kota Malang. Malang (ID): PRIMKOPTI. Tunggadewi A Analisis Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yuriansyah M Karakteristik Pengusaha Industri Keripik Tempe Berbasis Produk Unggulan di Kota Malang [skripsi]. Malang (ID): Universitas Negeri Malang.

73 57 LAMPIRAN Lampiran 1 Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tempe I No Uraian Jumlah (unit) Harga Total Harga Satuan (Rp) (Rp) Umur Ekonomis (tahun) Penyusutan per tahun (Rp) 1 Pisau Mesin pemecah kedelai Bak perendaman Tabung Gas 3 kg Kompor Tempat Perebusan Kayu pengaduk Keranjang peniris Rak kayu Bak tempat air Gayung Papan kayu pemberat Ember tempat kedelai Sepeda Motor Gerobak kayu Tandon air Total Lampiran 2 Biaya tenaga kerja pada usaha tempe I Waktu Kerja Jumlah TK Waktu Kerja Biaya TK Per No Kegiatan Produksi (jam) (orang) Total (jam) Produksi 1 Perebusan I Penggilingan Pencucian I Perendaman Pencucian II Perebusan II Penirisan Peragian Pencetakan Pemotongan Total Upah rata-rata tenaga kerja 1 174

74 58 Lampiran 3 Penerimaan usaha tempe I dalam satu tahun No Uraian Jumlah per produksi (unit) Jumlah per tahun (unit) Harga jual (Rp/unit) Penerimaan (Rp) 1 Tempe Papan Limbah kedelai Total Lampiran 4 Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tempe II No Uraian Jumlah (unit) Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp) Umur Ekonomis (tahun) Penyusutan per tahun (Rp) 1 Pisau Mesin pemecah kedelai Bak perendaman Tabung Gas 3 kg Kompor Tempat Perebusan Kayu pengaduk Keranjang peniris Rak kayu Bak tempat air Gayung Papan kayu pemberat Ember tempat kedelai Sepeda Motor Gerobak kayu Tandon air Lampiran 5 Biaya tenaga kerja pada usaha tempe II Total Waktu Kerja Jumlah TK Waktu Kerja Biaya TK Per No Kegiatan Produksi (jam) (orang) Total (jam) Produksi 1 Perebusan I Penggilingan Pencucian I Perendaman Pencucian II Perebusan II Penirisan Peragian Pencetakan Pemotongan Total Upah rata-rata tenaga kerja 1 903

75 Lampiran 6 Penerimaan usaha tempe II dalam satu tahun No Uraian Jumlah per produksi (unit) Jumlah per tahun (unit) Harga jual (Rp/unit) Penerimaan (Rp) 1 Tempe Papan Lonjor Limbah kedelai Total Lampiran 7 Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tempe III No 1 Pisau Uraian Jumlah (unit) Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp) Umur Ekonomis (tahun) 59 Penyusutan per tahun (Rp) Besar Kecil Kipas Angin Mesin pemecah kedelai 4 Bak perendaman Tabung Gas 3 kg Kompor Drum Perebusan Kayu pengaduk Keranjang peniris Rak kayu ukuran Bak tempat mencuci Gayung Papan kayu pemberat Ember kedelai dan air Sepeda Motor Gerobak kayu Sanyo+tandon air Lampiran 8 Penerimaan usaha tempe III dalam satu tahun No Uraian Jumlah per produksi (unit) Total Jumlah per tahun (unit) Harga jual (Rp/unit) Penerimaan (Rp) 1 Tempe Papan Lonjor kecil Lonjor sedang Limbah kedelai Total

76 60 Lampiran 9 Biaya tenaga kerja pada usaha tempe III Waktu Kerja Jumlah TK Waktu Kerja Biaya TK Per Kegiatan Produksi No (jam) (orang) Total (jam) Produksi 1 Perebusan I Penggilingan Pencucian I Perendaman Pencucian II Perebusan II Penirisan Peragian Pencetakan Pemotongan Total Upah rata-rata tenaga kerja Lampiran 10 Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tahu IV No 1 Uraian Jumlah (unit) Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp) Umur Ekonomis (tahun) Penyusutan per tahun (Rp) Mesin penggiling kedelai Bak perendaman Tungku Drum Perebusan Ketel Bak tempat memasak Rak kayu Bak tempat mencuci Gayung steinless Gayung plastik Cetakan tahu Kain cetakan (sifon) Kain penyaring (morin) Batu pemberat Ember tempat kedelai Ember tempat cuka Motor Timbangan Tempat tahu Tandon air Total

77 Lampiran 11 Biaya tenaga kerja usaha tahu IV No Kegiatan Produksi Waktu Kerja (jam) Jumlah TK (orang) 1 Perendaman Pencucian Penggilingan Pemasakan Pencetakan Pengemasan Waktu Kerja Total (jam) 61 Biaya TK Per Produksi Total Upah rata-rata tenaga kerja Lampiran 12 Penerimaan usaha tahu IV dalam satu tahun No Uraian Jumlah per Jumlah per Harga jual Penerimaan produksi (unit) tahun (unit) (Rp/unit) (Rp) 1 Tahu putih Limbah kedelai Total Lampiran 13 Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tahu V Harga Umur Penyusutan Jumlah Total No Uraian Satuan Ekonomis per tahun (unit) Harga (Rp) (Rp) (tahun) (Rp) 1 Mesin penggiling kedelai Bak perendaman Tungku Drum Perebusan Ketel Bak tempat memasak Rak kayu Bak tempat mencuci Gayung steinless Gayung plastik Cetakan tahu Kain cetakan (sifon) Kain penyaring (morin) Batu pemberat Ember kedelai dan air Ember tempat cuka Motor Timbangan Tempat tahu Tandon air Total

78 62 Lampiran 14 Biaya tenaga kerja usaha tahu V Kegiatan Waktu Kerja Jumlah TK Waktu Kerja Biaya TK Per No Produksi (jam) (orang) Total (jam) Produksi 1 Perendaman Pencucian Penggilingan Pemasakan Pencetakan Pengemasan Total Upah rata-rata tenaga kerja Lampiran 15 Penerimaan usaha tahu V dalam satu tahun No Uraian Jumlah per Jumlah per Harga jual Penerimaan produksi (unit) tahun (unit) (Rp) (Rp) 1 Tahu putih Limbah kedelai Total Lampiran 16 Penyusutan investasi dan peralatan pada usaha tahu V Harga Umur Penyusutan Jumlah Total No Uraian Satuan Ekonomis per tahun (unit) Harga (Rp) (Rp) (tahun) (Rp) 1 Mesin penggiling kedelai Bak perendaman Tungku Drum Perebusan Ketel Bak tempat memasak Rak kayu Bak tempat mencuci Gayung steinless Gayung plastik Cetakan tahu Kain cetakan (sifon) Kain penyaring (morin) Batu pemberat Ember tempat kedelai dan air 16 Ember tempat cuka Mobil pick up Timbangan Tempat tahu Tandon air Total

79 Lampiran 17 Biaya tenaga kerja usaha tahu VI Kegiatan Waktu Kerja Jumlah TK Waktu Kerja Biaya TK Per No Produksi (jam) (orang) Total (jam) Produksi 1 Perendaman Pencucian Penggilingan Pemasakan Pencetakan Pengemasan Total Upah rata-rata tenaga kerja Lampiran 18 Penerimaan usaha tahu VI dalam satu tahun No Uraian Jumlah per Jumlah per Harga jual Penerimaan produksi (unit) tahun (unit) (Rp/unit) (Rp) 1 Tahu putih Limbah kedelai Total Lampiran 19 Penyusutan investasi dan peralatan usaha keripik tempe VII No Uraian Jumlah (unit) Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp) Umur Ekonomis (tahun) Penyusutan per tahun (Rp) 1 Pisau Blender Timbangan Penggorengan Kompor Tabung Gas 3 kg Peralatan Dapur Serok besar Serok kecil Spatula Ember adonan Wadah keripik Wadah minyak Keranjang peniris Pengaduk adonan Ember air Wadah irisan tempe Meja packing Motor Tandon air Total

80 64 Lampiran 20 Biaya tenaga kerja pada usaha keripik tempe VII Waktu Kerja Jumlah TK Waktu Kerja Biaya TK Per Kegiatan Produksi No (jam) (orang) Total (jam) Produksi 1 Pengirisan Pembuatan adonan Penggorengan Penirisan Pengemasan Total Upah rata-rata tenaga kerja Lampiran 21 Penerimaan usaha keripik tempe VII dalam satu tahun No Uraian Jumlah per produksi (unit) Jumlah per tahun (unit) Harga jual (Rp/unit) Penerimaan (Rp) 1 Keripik tempe Original Total Lampiran 22 Penyusutan investasi dan peralatan usaha keripik tempe VIII Harga Umur Penyusutan Jumlah Total Harga No Uraian Satuan Ekonomis per tahun (unit) (Rp) (Rp) (tahun) (Rp) 1 Pisau Mesin Pemotong tempe Blender Timbangan Penggorengan Kompor Tabung Gas 3 kg Peralatan Dapur Serok besar Serok kecil Spatula Ember adonan Wadah keripik Penampung minyak Keranjang peniris Pengaduk adonan Ember tempat air Wadah irisan tempe Meja packing Motor Tandon air dan Sanyo Total

81 Lampiran 23 Biaya tenaga kerja pada usaha keripik tempe VIII Kegiatan Waktu Jumlah Tenaga Waktu Kerja Biaya Tenaga Kerja No Produksi Kerja (jam) Kerja (orang) Total (jam) Per Produksi 1 Pengirisan Pembuatan adonan 3 Penggorengan Penirisan Pengemasan Total Upah rata-rata tenaga kerja 7071 Lampiran 24 Penerimaan usaha keripik tempe VIII dalam satu tahun No Uraian Jumlah per produksi (unit) Jumlah per tahun (unit) Harga jual (Rp/unit) Penerimaan (Rp) 1 Keripik tempe Original Aneka rasa Total Lampiran 25 Penyusutan investasi dan peralatan usaha keripik tempe IX No 1 Pisau kecil Pisau besar 2 Blender 3 Timbangan Uraian 4 Penggorengan 5 Kompor 6 Tabung Gas 3 kg 7 Peralatan Dapur Serok Spatula Ember adonan Wadah keripik Penampung minyak Pengaduk adonan Ember tempat air Keranjang peniris 8 Wadah irisan tempe 9 Meja packing 10 Mobil 11 tandon air Jumlah (unit) Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp) Umur Ekonomis (tahun) Penyusutan per tahun (Rp) Total

82 66 Lampiran 26 Biaya tenaga kerja pada usaha keripik tempe IX Waktu Jumlah TK Waktu Kerja Biaya TK Per No Kegiatan Produksi Kerja (jam) (orang) Total (jam) Produksi 1 Pengirisan Pembuatan adonan 3 Penggorengan Penirisan Pengemasan Total Upah rata-rata tenaga kerja Lampiran 27 Penerimaan usaha keripik tempe IX dalam satu tahun No Uraian Jumlah per produksi (unit) Jumlah per tahun (unit) Harga jual (Rp/unit) Penerimaan (Rp) 1 Keripik tempe Original Aneka rasa Total

83 67 Lampiran 28 Dokumentasi Mesin pemecah kedelai Produk tempe lonjor Limbah ampas tahu Produk tahu putih Mesin pemotong tempe Produk keripik tempe

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Nilai Tambah Nilai tambah merupakan pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan 38 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan untuk memperoleh dan menganalisis data yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan.  [10 II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan komoditas kedelai, khususnya peranan kedelai sebagai sumber protein nabati bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kedelai juga ditinjau

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH. Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember

ANALISIS NILAI TAMBAH. Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember ANALISIS NILAI TAMBAH Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember http://adamjulian.web.unej.ac.id PRICE-CONSUMPTION CURVE AND DEMAND AGRIBISNIS Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya (Soehardjo,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Halaman JUDUL... i ABSTRAK... ii ABSTRACT... iii RINGKASAN... iv LEMBARAN PENGESAHAN... vii RIWAYAT HIDUP... viii KATA PENGANTAR... ix DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv

Lebih terperinci

Oleh : Iif Latifah 1, Yus Rusman 2, Tito Hardiyanto 3. Fakultas Pertanian Universitas Galuh 2. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Oleh : Iif Latifah 1, Yus Rusman 2, Tito Hardiyanto 3. Fakultas Pertanian Universitas Galuh 2. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran ANALISIS NILAI TAMBAH DAN RENTABILITAS AGROINDUSTRI TAHU BULAT (Studi Kasus Pada Perusahaan Tahu Bulat Asian di Desa Muktisari Kecamatan Cipaku Kabupaten Ciamis) Oleh : Iif Latifah 1, Yus Rusman 2, Tito

Lebih terperinci

KINERJA USAHA AGROINDUSTRI KELANTING DI DESA KARANG ANYAR KECAMATAN GEDONGTATAAN KABUPATEN PESAWARAN

KINERJA USAHA AGROINDUSTRI KELANTING DI DESA KARANG ANYAR KECAMATAN GEDONGTATAAN KABUPATEN PESAWARAN KINERJA USAHA AGROINDUSTRI KELANTING DI DESA KARANG ANYAR KECAMATAN GEDONGTATAAN KABUPATEN PESAWARAN (Business Performance of Kelanting Agroindustry in Karang Anyar Village, Gedongtataan District, Pesawaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang utama di negara-negara berkembang. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang dan masalah Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia menjadi sebuah negara industri yang tangguh dalam jangka panjang. Hal ini mendukung Peraturan

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI KECAP (Studi Kasus pada Pengusaha Kecap Cap Jago di Desa Cibenda Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran)

ANALISIS NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI KECAP (Studi Kasus pada Pengusaha Kecap Cap Jago di Desa Cibenda Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran) ANALISIS NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI KECAP (Studi Kasus pada Pengusaha Kecap Cap Jago di Desa Cibenda Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran) Oleh: 1 Nurul Fitry, 2 Dedi Herdiansah, 3 Tito Hardiyanto 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN HARGA KEDELAI TERHADAP KEUNTUNGAN DAN NILAI TAMBAH INDUSTRI TAHU DI DESA LEUWEUNG KOLOT KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR

PENGARUH PENINGKATAN HARGA KEDELAI TERHADAP KEUNTUNGAN DAN NILAI TAMBAH INDUSTRI TAHU DI DESA LEUWEUNG KOLOT KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR PENGARUH PENINGKATAN HARGA KEDELAI TERHADAP KEUNTUNGAN DAN NILAI TAMBAH INDUSTRI TAHU DI DESA LEUWEUNG KOLOT KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR VERANI RESTIA WIJAYA DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian harus dipandang dari dua pilar utama secara terintegrasi dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm agriculture/agribusiness)

Lebih terperinci

ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TEMPE (Suatu Kasus di Kelurahan Banjar Kecamatan Banjar Kota Banjar) Abstrak

ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TEMPE (Suatu Kasus di Kelurahan Banjar Kecamatan Banjar Kota Banjar) Abstrak ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TEMPE (Suatu Kasus di Kelurahan Banjar Kecamatan Banjar Kota Banjar) Oleh: Fanky Soehyono 1), Dini Rochdiani 2), Muhamad Nurdin Yusuf 3) 1) Mahasiswa Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam. secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam. secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional, hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive), dengan

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar merupakan pengertian yang digunakan untuk memperoleh

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar merupakan pengertian yang digunakan untuk memperoleh 22 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar Konsep dasar merupakan pengertian yang digunakan untuk memperoleh dan menganalisis data sehubungan dengan tujuan penelitian. Agroindustri gula aren dan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK)

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) 6.1. Analisis Nilai Tambah Jenis kayu gergajian yang digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan kayu pada industri penggergajian kayu di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perkembangan UMKM di Kabupaten Cirebon Berdasarkan. Kelompok Usaha Industri Jasa Perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perkembangan UMKM di Kabupaten Cirebon Berdasarkan. Kelompok Usaha Industri Jasa Perdagangan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan batas, sekaligus pintu gerbang yang berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam perekonomian Indonesia, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam perekonomian Indonesia, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perekonomian Indonesia, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok usaha yang memiliki jumlah paling besar. Selain itu kelompok ini terbukti tahan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini berisi teori-teori yang

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini berisi teori-teori yang III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini berisi teori-teori yang dipakai dalam penelitian ini. Teori-teori ini merupakan landasan untuk menjawab tujuan-tujuan

Lebih terperinci

Materi 4 Ekonomi Mikro

Materi 4 Ekonomi Mikro Materi 4 Ekonomi Mikro Teori Produksi Tujuan Pembelajaran : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami analisis ekonomi konsep biaya, biaya produksi jangka pendek dan panjang. Mahasiswa dapat memahami konsep

Lebih terperinci

DIVERSIFIKASI NILAI TAMBAH DAN DISTRIBUSI KEREPIK UBI KAYU DI KECAMATAN SARONGGI KABUPATEN SUMENEP

DIVERSIFIKASI NILAI TAMBAH DAN DISTRIBUSI KEREPIK UBI KAYU DI KECAMATAN SARONGGI KABUPATEN SUMENEP 1 DIVERSIFIKASI NILAI TAMBAH DAN DISTRIBUSI KEREPIK UBI KAYU DI KECAMATAN SARONGGI KABUPATEN SUMENEP Ribut Santosa (1) ; Awiyanto (2) ; Amir Hamzah (3) Alamat Penulis :(1,2,3) Program Studi Agribisnis

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TAHU DI KOTA PEKANBARU

ANALISIS EFISIENSI DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TAHU DI KOTA PEKANBARU ANALISIS EFISIENSI DAN NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI TAHU DI KOTA PEKANBARU Arif Budiman, Jum atri Yusri, Ermi Tety Agriculture faculty of Universitas Riau arifbudiman_agb08@yahoo.com (085278306914) ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PROFITABILITAS USAHA TEPUNG MOCAF PADA KELOMPOK TANI SETIA DI KABUPATEN BOGOR MEITRI AMALIA

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PROFITABILITAS USAHA TEPUNG MOCAF PADA KELOMPOK TANI SETIA DI KABUPATEN BOGOR MEITRI AMALIA ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PROFITABILITAS USAHA TEPUNG MOCAF PADA KELOMPOK TANI SETIA DI KABUPATEN BOGOR MEITRI AMALIA DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development, diartikan sebagai pembangunan yang tidak ada henti-hentinya dengan tingkat hidup generasi yang akan datang tidak

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN BOGOR ALTRI HARWANTO

ANALISIS NILAI TAMBAH PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN BOGOR ALTRI HARWANTO ANALISIS NILAI TAMBAH PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN BOGOR ALTRI HARWANTO DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 ABSTRAK ALTRI HARWANTO. Analisis Nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di subsektor perikanan mempunyai peranan yang penting bagi kelangsungan pembangunan secara keseluruhan,

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di subsektor perikanan mempunyai peranan yang penting bagi kelangsungan pembangunan secara keseluruhan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di subsektor perikanan mempunyai peranan yang penting bagi kelangsungan pembangunan secara keseluruhan, baik untuk meningkatkan gizi masyarakat maupun untuk

Lebih terperinci

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA TAHU PADA INDUSTRI TAHU AFIFAH DI KOTA PALU

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA TAHU PADA INDUSTRI TAHU AFIFAH DI KOTA PALU e-j. Agrotekbis 5 (2) : 238-242, April 2017 ISSN : 2338-3011 ANALISIS PROFITABILITAS USAHA TAHU PADA INDUSTRI TAHU AFIFAH DI KOTA PALU Profitability Analysis of Tofu Business in Tofu Afifah Industry Palu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian. Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal.

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal. 100 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian cukup besar saat Indonesia menghadapi tantangan krisis ekonomi yang berkepanjangan. UMKM dapat dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan sektor pertanian di dalam pembangunan nasional sangat penting karena sektor ini mampu menyerap sumber daya yang paling besar dan memanfaatkan sumber daya yang

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Kombinasi Produk Optimum Penentuan kombinasi produksi dilakukan untuk memperoleh lebih dari satu output dengan menggunakan satu input. Hal ini

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari kontribusi sektor

Lebih terperinci

ANALISIS PENPAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA INDUSTRI TAHU DANI DI KOTA PALU. Income and Worthiness Analysis of Industrial Enterprises Tofu Dani in Palu

ANALISIS PENPAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA INDUSTRI TAHU DANI DI KOTA PALU. Income and Worthiness Analysis of Industrial Enterprises Tofu Dani in Palu J. Agroland 22 (2) : 169-174, April 2015 ISSN : 0854 641X E-ISSN : 2407 7607 ANALISIS PENPAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA INDUSTRI TAHU DANI DI KOTA PALU Income and Worthiness Analysis of Industrial Enterprises

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI. Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A

ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI. Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A14104105 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian mempunyai peranan penting pada negara berkembang seperti di Indonesia. Kontribusi sektor pertanian ini sangat berpengaruh untuk pembangunan negara. Hal ini

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) Skripsi AHMAD MUNAWAR H 34066007 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Manajemen Usaha Ternak Saragih (1998) menyatakan susu merupakan produk asal ternak yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan yang ada didalamnya

Lebih terperinci

2014 IMPLEMENTASI D ATA ENVELOPMENT ANALYSIS (D EA) UNTUK MENGUKUR EFISIENSI INDUSTRI TAHU D I KABUPATEN SUMED ANG

2014 IMPLEMENTASI D ATA ENVELOPMENT ANALYSIS (D EA) UNTUK MENGUKUR EFISIENSI INDUSTRI TAHU D I KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Sumedang merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat yang tepat berada di tengah-tengah provinsi yang menghubungkan kota dan Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor industri merupakan komponen utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor industri mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia sangat penting untuk mengonsumsi protein yang berasal dari hewani maupun nabati. Protein dapat diperoleh dari susu, kedelai, ikan, kacang polong

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Letaknya yang secara geografis dilalui oleh garis khatulistiwa menjadikan Indonesia memiliki iklim tropis yang

Lebih terperinci

Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian maupun perikanan. mempunyai peranan yang sangat besar dalam meningkatka pertumbuhan ekonomi

Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian maupun perikanan. mempunyai peranan yang sangat besar dalam meningkatka pertumbuhan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian maupun perikanan mempunyai peranan yang sangat besar dalam meningkatka pertumbuhan ekonomi negara. Pengaruh agroindustri

Lebih terperinci

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA PENGOLAHAN KEDELAI PADA IRT TASIK GARUT DI KABUPATEN LEBONG

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA PENGOLAHAN KEDELAI PADA IRT TASIK GARUT DI KABUPATEN LEBONG ANALISIS PROFITABILITAS USAHA PENGOLAHAN KEDELAI PADA IRT TASIK GARUT DI KABUPATEN LEBONG (PROFITABILITY ANALISYS OF SOYBEANS PROSSESING IN HOUSEHOLD INDUSTRY OF TASIK GARUT IN LEBONG DISTRICT) Reswita

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA, PENDAPATAN DAN R/C AGROINDUSTRI TEMPE (Studi Kasus pada Perajin Tempe di Desa Pananjung Kecamatan Pangandaran Kabupaten Pangandaran)

ANALISIS BIAYA, PENDAPATAN DAN R/C AGROINDUSTRI TEMPE (Studi Kasus pada Perajin Tempe di Desa Pananjung Kecamatan Pangandaran Kabupaten Pangandaran) ANALISIS BIAYA, PENDAPATAN DAN R/C AGROINDUSTRI TEMPE (Studi Kasus pada Perajin Tempe di Desa Pananjung Kecamatan Pangandaran Kabupaten Pangandaran) Oleh: 1 Sunarti, 2 Dedi Herdiansah Sujaya, 3 Tito Hardiyanto

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian 36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam peningkatan perekonomian daerah, peningkatan pendapatan devisa nasional

BAB I PENDAHULUAN. dalam peningkatan perekonomian daerah, peningkatan pendapatan devisa nasional BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) telah banyak berkontribusi dalam peningkatan perekonomian daerah, peningkatan pendapatan devisa nasional dan penyerapan tenaga

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENDAHULUAN Latar Belakang. GaneÇ Swara Vol. 10 No.1 Maret 2016 IDA BGS. EKA ARTIKA, 2) IDA AYU KETUT MARINI

ABSTRAK. PENDAHULUAN Latar Belakang. GaneÇ Swara Vol. 10 No.1 Maret 2016 IDA BGS. EKA ARTIKA, 2) IDA AYU KETUT MARINI ANALISIS NILAI TAMBAH (VALUE ADDED) BUAH PISANG MENJADI KRIPIK PISANG DI KELURAHAN BABAKAN KOTA MATARAM (Studi Kasus Pada Industri Rumah Tangga Kripik Pisang Cakra ) 1) IDA BGS. EKA ARTIKA, 2) IDA AYU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. elastisitas, konsep return to scale, konsep efisiensi penggunaan faktor produksi

III. KERANGKA PEMIKIRAN. elastisitas, konsep return to scale, konsep efisiensi penggunaan faktor produksi III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu yang akan digunakan dalam penelitian. Teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi dikembangkannya sektor pertanian yang cukup besar dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional.

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Untuk mengetahui dampak kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku (input) dalam industri tempe, akan digunakan beberapa teori yang berkaitan dengan hal tersebut.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian dan sektor industri merupakan sektor yang penting bagi perekonomian Indonesia. Di Indonesia, sektor industri berkaitan erat dengan sektor pertanian terutama

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN NILAI TAMBAH PENGOLAHAN UBI KAYU MENJADI TEPUNG MOCAF DAN TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

ANALISIS PERBANDINGAN NILAI TAMBAH PENGOLAHAN UBI KAYU MENJADI TEPUNG MOCAF DAN TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ANALISIS PERBANDINGAN NILAI TAMBAH PENGOLAHAN UBI KAYU MENJADI TEPUNG MOCAF DAN TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI (Kasus : Desa Bajaronggi, Kec. Dolok Masihul dan Kec. Sei Rampah) Henni Febri

Lebih terperinci

Nilai Tambah Produk Olahan Ikan Salmon di PT Prasetya Agung Cahaya Utama, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan

Nilai Tambah Produk Olahan Ikan Salmon di PT Prasetya Agung Cahaya Utama, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan Nilai Tambah Produk Olahan Ikan Salmon di PT Prasetya Agung Cahaya Utama, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan I PUTU RIDIA PRAMANA, I MADE SUDARMA, NI WAYAN PUTU ARTINI Program Studi Agribisnis Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan teknologi pengolahan sagu Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan 36 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan

Lebih terperinci

No. Uraian Rata-rata/Produsen 1. Nilai Tambah Bruto (Rp) ,56 2. Jumlah Bahan Baku (Kg) 6.900,00 Nilai Tambah per Bahan Baku (Rp/Kg) 493,56

No. Uraian Rata-rata/Produsen 1. Nilai Tambah Bruto (Rp) ,56 2. Jumlah Bahan Baku (Kg) 6.900,00 Nilai Tambah per Bahan Baku (Rp/Kg) 493,56 No. Uraian Rata-rata/Produsen 1. Nilai Tambah Bruto (Rp) 3.405.545,56 2. Jumlah Bahan Baku (Kg) 6.900,00 Nilai Tambah per Bahan Baku (Rp/Kg) 493,56 Tabel 11. Rata-rata Nilai Tambah per Tenaga Kerja Industri

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH BUAH PISANG MENJADI KERIPIK PISANG PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA SOFIE DI KOTA PALU

ANALISIS NILAI TAMBAH BUAH PISANG MENJADI KERIPIK PISANG PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA SOFIE DI KOTA PALU e-j. Agrotekbis 2 (5) : 510-516, Oktober 2014 ISSN : 2338-3011 ANALISIS NILAI TAMBAH BUAH PISANG MENJADI KERIPIK PISANG PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA SOFIE DI KOTA PALU Added Value Analysis of Banana Fruit

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

PENDAPATAN DAN NILAI TAMBAH USAHA KOPI BUBUK ROBUSTA DI KABUPATEN LEBONG (STUDI KASUS PADA USAHA KOPI BUBUK CAP PADI)

PENDAPATAN DAN NILAI TAMBAH USAHA KOPI BUBUK ROBUSTA DI KABUPATEN LEBONG (STUDI KASUS PADA USAHA KOPI BUBUK CAP PADI) PENDAPATAN DAN NILAI TAMBAH USAHA KOPI BUBUK ROBUSTA DI KABUPATEN LEBONG (STUDI KASUS PADA USAHA KOPI BUBUK CAP PADI) Income and Value Added of Robusta Ground Coffee in North Lebong Subdistrict Lebong

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia. Arti strategis tersebut salah satunya terlihat dari banyaknya kedelai yang diolah menjadi berbagai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI MINYAK KAYU PUTIH DI KPHL TARAKAN

IDENTIFIKASI NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI MINYAK KAYU PUTIH DI KPHL TARAKAN IDENTIFIKASI NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI MINYAK KAYU PUTIH DI KPHL TARAKAN Mohammad Wahyu Agang Fakultas Pertanian, Universitas Borneo Tarakan Email: wahyoe_89@ymail.com ABSTRAK Agroindustri minyak kayu

Lebih terperinci

KAJIAN USAHA PENGOLAHAN HASIL SAYURAN PRODUKSI MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (MKRPL) KABUPATEN BOYOLALI

KAJIAN USAHA PENGOLAHAN HASIL SAYURAN PRODUKSI MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (MKRPL) KABUPATEN BOYOLALI KAJIAN USAHA PENGOLAHAN HASIL SAYURAN PRODUKSI MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (MKRPL) KABUPATEN BOYOLALI Qanytah dan Trie Reni Prastuti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek,

Lebih terperinci

PERFORMANSI NILAI TAMBAH KEDELAI MENJADI TAHU DI KABUPATEN SAMBAS

PERFORMANSI NILAI TAMBAH KEDELAI MENJADI TAHU DI KABUPATEN SAMBAS 99 Buana Sains Vol 12 No 1: 99-103, 2012 PERFORMANSI NILAI TAMBAH KEDELAI MENJADI TAHU DI KABUPATEN SAMBAS Muhsina, S. Masduki dan A A. Sa diyah PS. Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Tribhuwana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arus globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agroindustri adalah pengolahan hasil pertanian dan merupakan bagian dari enam subsistem agribisnis yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usaha tani,

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Analisis Pendapatan Usahatani Ubi Jalar ini dilakukan di Desa Gunung Malang yang berada di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan Teknologi Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu mengalami perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menurunkan angka pengangguran nasional. yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. dalam menurunkan angka pengangguran nasional. yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat. Peran UMKM terhadap perekonomian Indonesia adalah menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga sektor pertanian diharapkan menjadi basis pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 pasal 1 ayat 1, 2,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 pasal 1 ayat 1, 2, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 2.1.1 Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 pasal 1 ayat 1, 2, dan 3 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN KEGIATAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh : NURUL KAMILIA L2D

ARAHAN PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN KEGIATAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh : NURUL KAMILIA L2D ARAHAN PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN KEGIATAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR Oleh : NURUL KAMILIA L2D 098 455 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH & KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO 2003 ABSTRAK

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberdayaan Usaha Mikro (UM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Sumber daya alam tersebut merupakan faktor utama untuk tumbuh kembangnya sektor pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki peranan yang penting bagi pertumbuhan pembangunan

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki peranan yang penting bagi pertumbuhan pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian sebagai penyedia dan pemenuh kebutuhan pangan di Indonesia memiliki peranan yang penting bagi pertumbuhan pembangunan perekonomian nasional. Sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun yang sudah modern. Perkembangan jumlah UMKM periode

BAB I PENDAHULUAN. maupun yang sudah modern. Perkembangan jumlah UMKM periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi Indonesia digerakkan oleh semua komponen usaha, mulai dari usaha besar, usaha kecil dan menengah, maupun koperasi. Salah satu faktor yang mempercepat

Lebih terperinci

ANALISIS AGROINDUSTRI TEMPE (Studi Kasus Pada Seorang Perajin Tempe di Desa Sindanghayu Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis)

ANALISIS AGROINDUSTRI TEMPE (Studi Kasus Pada Seorang Perajin Tempe di Desa Sindanghayu Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis) ANALISIS AGROINDUSTRI TEMPE (Studi Kasus Pada Seorang Perajin Tempe di Desa Sindanghayu Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis) Oleh : 1 Desi Sulistianengsih, 2 Dini Rochdiani, 3 Mochammad Ramdan 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI KERIPIK TEMPE SKALA RUMAH TANGGA (Studi Kasus Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang)

ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI KERIPIK TEMPE SKALA RUMAH TANGGA (Studi Kasus Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang) ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI KERIPIK TEMPE SKALA RUMAH TANGGA (Studi Kasus Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang) Ulil Mar atissholikhah* Darsono** Eka Dewi Nurjayanti*** *Program Studi

Lebih terperinci

ANALISIS USAHA PADA INDUSTRI KERAJINAN ROTAN DI KECAMATAN GATAK KABUPATEN SUKOHARJO

ANALISIS USAHA PADA INDUSTRI KERAJINAN ROTAN DI KECAMATAN GATAK KABUPATEN SUKOHARJO ANALISIS USAHA PADA INDUSTRI KERAJINAN ROTAN DI KECAMATAN GATAK KABUPATEN SUKOHARJO Suryanto, Mohd. Harisudin, R. R. Aulia Qonita Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali di Indonesa. Peranan UMKM dalam perekonomian Indonesia diakui

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali di Indonesa. Peranan UMKM dalam perekonomian Indonesia diakui 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu bagian penting dalam membangun perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesa.

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH KERIPIK PISANG PADA INDUSTRI CAHAYA INDI DI DESA TANAMEA KECAMATAN BANAWA SELATAN KABUPATEN DONGGALA

ANALISIS NILAI TAMBAH KERIPIK PISANG PADA INDUSTRI CAHAYA INDI DI DESA TANAMEA KECAMATAN BANAWA SELATAN KABUPATEN DONGGALA J. Agroland 21 (2) : 115-121, Agustus 2014 ISSN : 0854-641X E-ISSN : 2407-7607 ANALISIS NILAI TAMBAH KERIPIK PISANG PADA INDUSTRI CAHAYA INDI DI DESA TANAMEA KECAMATAN BANAWA SELATAN KABUPATEN DONGGALA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh penduduk yang mayoritas tinggal di pedesaan dan bekerja pada sektor primer khususnya pertanian. Karakteristik Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN NILAI TAMBAH PRODUK AGRIBISNIS KEDELAI PADA USAHA ANEKA TAHU MAJU LESTARI DI KECAMATAN LANDASAN ULIN, KOTA BANJARBARU

KAJIAN NILAI TAMBAH PRODUK AGRIBISNIS KEDELAI PADA USAHA ANEKA TAHU MAJU LESTARI DI KECAMATAN LANDASAN ULIN, KOTA BANJARBARU KAJIAN NILAI TAMBAH PRODUK AGRIBISNIS KEDELAI PADA USAHA ANEKA TAHU MAJU LESTARI DI KECAMATAN LANDASAN ULIN, KOTA BANJARBARU STUDY ON ADDED VALUE OF SOYBEAN AGRIBUSINESS PRODUCT AT MAJU LESTARI TOFU INDUSTRY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Sesuai dengan amanat garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) bahwa prioritas pembangunan

Lebih terperinci

VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE

VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE Setiap kegiatan produksi tidak terlepas dari biaya, begitu pula kegiatan produksi tempe. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tempe meliputi biaya pembelian

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT I. Perumusan Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal membutuhkan sebuah pemahaman yang luas dimana pengelolaan SDA harus memperhatikan aspek

Lebih terperinci