TINJAUAN PUSTAKA. setelah dikupas dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. setelah dikupas dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas."

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. UMBI GARUT (Marantha arundinacea L.) 1. Botani Umbi Garut Tanaman ini termasuk dalam kingdom Plantae, subkingdom Tracheophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, subkelas Zingiberidae, ordo Zingiberales, famili Marantaceae, genus Marantha, dan spesies Marantha arundinacea L. (Anonim 2008). Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda pada tiap daerah. Di Jawa Tengah, umbi garut disebut dengan angkrik, arus, erus, dan garut, di Jawa Barat dikenal dengan nama patat dan sagu, dan di Madura dinamakan arut, larut, atau selarut. Penampakan umbi garut sebelum dan setelah dikupas dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas. Seperti halnya dengan tanaman-tanaman lain yang tergabung dalam ordo Zingiberales, bentuk dari tanaman garut adalah herba berumpun. Tingginya m, dengan perakaran dangkal, dan rhizoma menjurus ke arah dalam tanah. Rhizoma atau yang sering juga disebut umbi ini berwarna putih dan dibungkus dengann sisik yang saling tumpang tindih. Sisik inii berwarna putih atau coklat muda. Panjang rhizoma m, sedangkan diameter 2 5 cm (Lingga et al. 1989). Daerah asal tanaman garut adalah Amerika tropis, yang kemudian tersebar luas ke daerah tropis lainnya termasuk Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian m dpl dan tumbuh baik pada ketinggian m dpl pada tempat-tempat dengan tanah lembab yang terlindung dari sinar matahari langsung. Di Indonesia tanaman garut belum dibudidayakan 4

2 secara intensif, oleh karena itu perlu pemasyarakatan penggunaan bahan baku garut serta budidaya tanamannya. Tanaman garut dibudidayakan secara teratur di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan Lampung dan Sulawesi Tenggara baru sebagian kecil. Tanaman garut ini di DI. Yogyakarta, Jambi, Riau dan Jawa Barat sudah di tanam meskipun tidak teratur. Tanaman ini belum dibudidayakan secara teratur oleh para petani di daerah survei Sumatera Barat, Kalimantann Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Maluku. Tanaman ini terdapat pada ladang yang tidak diusahakan petani dipinggir- petani baru pinggir hutan. Usaha pemeliharaan tanaman garut oleh para meliputi menyiang, membumbun dan belum melakukan pemberantasan hama dan penyakit. Pemupukan hanya dilakukan para petani di Jawa Timur dan DI. Yogyakarta. Perbanyakan tanaman garut dilakukan dengan memotong sebagian kecil dari rimpang yang bertunas. Tanaman ini biasanyaa ditanam pada permulaan musimm hujan setelah tanah digemburkan terlebih dahulu. Umbi dapat dipanen pada umur bulan, bila daunnya mulai layu (Ditjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian 2008). Visualisasi dari tanaman garut dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Visualisasi tanaman garut (Marantha arundinacea L.) (Ditjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian 2008). 5

3 Villamajor dan Jurkema (1996) menyatakan bahwa garut mempunyai dua jenis kultivar yang penting, yaitu creole dan banana. Kedua jenis kultivar tersebut memiliki umbi yang berwarna putih meskipun mempunyai karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Kultivar creole memiliki umbi yang lebih panjang dan kurus dengan pertumbuhan menyebar dan masuk ke tanah lebih dalam. Kultivar banana mempunyai umbi yang lebih pendek dan gemuk, tumbuh dengan tandan terbuka pada permukaan tanah yang tidak lebih dalam, sehingga lebih mudah dipanen. Kultivar creole mempunyai daya tahan lebih lama, yaitu sekitar tujuh hari dibandingkan kultivar banana yang hanya tahan dua hari. Komposisi zat gizi masing-masing kultivar berbeda-beda. Kandungan zat gizi ini juga dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tempat tumbuhnya (Lingga et al. 1989). Komposisi umbi garut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia umbi garut kultivar creole dan banana dalam 100 gram bahan. Komposisi kimia Creole Banana Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Pati (%) (Kay 1987) 2. Pati Garut Pati adalah jenis polisakarida yang disimpan sebagai cadangan makanan tumbuh-tumbuhan yang terdapat dalam biji-bijian, batang, maupun umbiumbian. Pati garut merupakan salah satu produk turunan dari umbi garut. Pati garut diperoleh dari rimpang garut yang telah berumur 8-12 bulan (Widowati et al. 2002). a. Karakteristik Kimia Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri atas dua fraksi, yaitu fraksi amilosa dan fraksi amilopektin. Amilosa 6

4 merupakan α-glukan yang relatif lebih panjang dan linear, serta mengandung sekitar 99% ikatan α-(1,4)-d-glukosa. Amilosa memiliki bobot molekul kira-kira 1x10 5 1x10 6. Sedangkan amilopektin merupakan molekul yang lebih besar daripada amilosa dengan bobot molekul 1x10 7 1x10 9, struktur bercabang, tersusun atas sekitar 95% ikatan α-(1,4)-d-glukosa dan 5% α-(1,6)-d-glukosa. Perbedaan struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 3. (Tester et al. 2003). a. b. Gambar 3. Struktur (a) amilosa: α-(1 4)-glukan α-(1 6)-branching points. (Tester et al. 2003). dan (b) amilopektin: 7

5 Amilosa tersusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik membentuk homopolimer yang linear. Ikatan ini menghubungkan antara C1 pada glukosa yang satu dengan C4 pada glukosa yang lain dalam struktur piranosa. Molekul amilosa terdiri atas 200 sampai unit glukosa yang berbentuk heliks (Murano 2003). Panjang rantai polimer akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Rantai polimer dipengaruhi oleh sumber pati. Secara umum amilosa dari umbiumbian mempunyai berat molekul lebih besar dan rantai polimer amilosa yang lebih panjang dibandingkan dengan berat molekul dan panjang rantai polimer amilosa serealia (Fennema 1996). Menurut Villamajor dan Jurkema (1996) pati garut mengandung amilosa sebesar 20% dan mengandung kalium dalam jumlah yang cukup besar. Sementara dalam molekul amilopektin, di samping ikatan α-1,4- glikosidik yang membentuk homopolimer linear, juga terdapat ikatan α-1,6- glikosidik yang membentuk struktur percabangan. Amilopektin terdiri atas lebih dari 2 juta unit glukosa dan setiap unit glukosa membentuk struktur percabangan (Murano 2003). Secara umum kandungan amilopektin lebih besar dibandingkan amilosa yaitu sekitar 70-80%. Amilopektin, mengandung 4 5% glukosa yang menyusun percabangan, dengan jumlah glukosa antarcabang sekitar unit (Sajilata et al. 2006). Satin (2001) menyatakan bahwa jumlah amilopektin pada pati garut sebesar 79% dari total pati. Menurut Chilmijati (1999), kandungan amilosa pati garut sebesar 31.35% bk dan amilopektin sebesar 68.05% bk, sedangkan menurut Mariati (2001), yang menganalisis pati garut dari varietas lokal, menyatakan bahwa kandungan amilosa dan amilopektin pati garut masing-masing berkisar dan % bk. Kedua makromolekul ini sangat berperan terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional pati. Rantai bercabang dari amilopektin mempunyai sifat yang mudah didegradasi oleh enzimenzim pencernaan, sedangkan amilosa tidak mudah didegradasi oleh enzim (Ananta 2006). 8

6 Pati native merupakan unit semikristalin yang tersusun atas daerah kristalin dan amorphous. Bagian amorfous dapat lebih mudah mengalami hidrolisis asam dibandingkan bagian kristalin dalam granula pati (Vasanthan dan Bhatty 1998). Gambar 4 menyajikan skema perbedaan struktur granula pati (semikristalin). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah kristalin tersusun lebih rapat dibandingkan dengan bagian amorfous yang lebih renggang. Gambar 4. Skema perbedaan struktur dari granula pati. (Buléon et al. 1998). b. Karakteristik Fisik 1. Bentuk Granula Pati Pati dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk granula, yaitu tempat dimana amilosa dan amilopektin berada. Granula pati berbeda-beda ukuran dan bentuknya, tergantung sumber atau asal patinya. Bentuk dan ukuran pati ini dapat dibedakan satu sama lain secara mikroskopis. Granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang mampu merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap terang yang tampak sebagai warna biru-kuning. Sifat ini akan terlihat bila granula pati diamati di bawah mikroskop polarisasi. Sifat birefringence ini akan hilang apabila granula pati mengalami gelatinisasi (Murano 2003). Perbedaan ukuran diameter granula (~1 100 µm), bentuk (bulat, bersudut/lentikular, poligonal), tingkat penyebaran, asosiasi sebagai satuan 9

7 tunggal atau kumpulan granula, dan komposisi (kandungan α-glukan, lemak, air, protein, dan mineral) menentukan asal botaninya (Tester dan Karkalas 2002). Suriani (2008) menyatakan bahwa bentuk granula pati garut adalah bulat dan poligonal. Ukuran granula pati garut berkisar µm. Bentuk granula tersebut hampir sama dengan pati singkong, namun singkong memiliki pati dengan ukuran lebih kecil, yaitu berkisar 5 50 µm. Tabel 2 menyajikan karakteristik granula pati dari pelbagai sumber botani. Tabel 2. Karakteristik granula pati dari pelbagai sumber botani. Pati Tipe Bentuk Ukuran (µm) Barley Serealia Lentikular / Bola Jagung Serealia Bola / polihedral 2 30 Amylomaize Serealia Tidak beraturan 2 30 Jewawut Serealia Polihedral 4 12 Oat Serealia Polihedral 3 10 (tunggal) 80 (campuran) Sagu Serealia Oval Gandum Serealia Lentikular / Bulat Beras Serealia Polihedral 3 8 (tunggal) 150 (campuran) Gandum hitam Serealia Lentikular / Bola Sorghum Serealia Bola 5 20 Kacang tanah Polongpolongan Rentiform (tunggal) 5 10 Kentang Umbi Lentikular (bersudut) Tapioka Umbi Bola / lentikular 5 45 (bersudut) Garut Umbi Oval 5 70 (Tester dan Karkalas 2002). 2. Gelatinisasi Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringent granula pati akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu sehingga granula membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible) (Belitz dan Grosch 1999). Pati memiliki sifat tidak larut dalam air dingin. Namun bila suspensi pati dimasak perlahanlahan hingga mencapai suhu pemasakan, kelarutan pati meningkat yang 10

8 diikuti dengan meningkatnya kekentalan suspensi pati tersebut (Murano 2003). Gelatinisasi pati terjadi karena granula pati secara bertahap menyerap air ketika suspensinya dipanaskan yang menyebabkan volumenya meningkat secara perlahan-lahan. Suhu pada saat granula pati mulai menyerap air yang ditandai dengan mulai meningkatnya kekentalan disebut dengan suhu gelatinisasi (Murano 2003). Berdasarkan penelitian Suriani (2008), suhu gelatinisasi pati garut adalah 85.5 o C. Setelah mencapai suhu gelatinisasi, semakin tinggi suhu pemanasan, maka granula akan semakin besar menyerap air, hingga pada suhu tertentu granula pati tidak akan mampu lagi menyerap air. Pada kondisi dimana granula pati mencapai penyerapan air secara maksimum, suspensi pati akan mencapai kekentalan maksimum. Setiap jenis pati akan mencapai kekentalan maksimum pada nilai dan suhu yang berbeda-beda. Apabila pemanasan dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi, maka granula akan pecah (breakdown) dan kekentalan suspensi pati akan menurun tajam dengan meningkatnya suhu (Murano 2003). Proses gelatinisasi terjadi pada dasarnya melalui tiga fase antara lain: air secara perlahan-lahan dan bolak-balik masuk ke dalam granula pati, fase kedua ditandai dengan pengembangan granula dengan cepat sehingga kehilangan sifat birefringent, dan fase ketiga terjadi jika suhu terus naik, maka molekul amilosa terdifusi keluar granula (Cready 1970). Harper (1981) mengemukakan bahwa mekanisme gelatinisasi diawali dengan adanya pemberian air yang mengganggu kristanilitas amilosa dan mengganggu struktur heliksnya. Granula pati mengembang dan volumenya menjadi kalinya. Meyer (2003) menyatakan pula bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30% dari berat semula. Bila diberi air panas terus-menerus maka amilosa akan keluar dari granula. Jika proses gelatinisasi terus berlanjut maka granula akan pecah dan terbentuklah struktur gel koloidal. Pada keadaan tersebut granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi terbentuk suspensi. Pengembangan granula pati ini disebabkan oleh molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke 11

9 dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Dengan naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan oleh molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Ikatan hidrogen tersebut makin melemah dengan naiknya suhu suspensi. Di sisi lain, molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul air makin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi meningkat, air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa dan amilopektin sehingga menghasilkan ukuran granula makin besar (Meyer 2003). Pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifat sebelum gelatinisasi. Bahan yang dikeringkan tersebut mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar (Winarno 2008). 3. Retrogradasi Retrogradasi merupakan perubahan amilosa dari bentuk amorf ke bentuk kristalin. Retrogradasi terjadi apabila antara ikatan hidrogen dan gugus hidroksil molekul amilosa yang berdekatan saling berikatan dalam bentuk pasta. Retrogradasi terjadi ketika pati yang telah digelatinisasi didiamkan beberapa lama sehingga terjadi penurunan suhu (Wurzburg 1989). Setelah proses pemasakan, suspensi pati yang telah mengalami gelatinisasi (biasanya disebut dengan pasta) akan mengalami proses pembentukan gel ketika didinginkan. Pembentukan gel terjadi karena terbentuknya ikatan-ikatan hidrogen kembali antar molekul pati, khususnya amilosa. Semakin tinggi kandungan amilosa dari pati, semakin tinggi kemampuannya membentuk gel. Sedangkan pati yang mengandung 12

10 amilopektin yang tinggi umumnya memiliki kemampuan membentuk gel yang lemah dan lengket (Murano 2003). Jika gel pati didiamkan beberapa lama maka akan terjadi perluasan daerah kristal sehingga mengakibatkan pengkerutan struktur gel yang biasanya diikuti dengan keluarnya air dari gel. Pati tergelatinisasi yang kemudian mengalami penurunan suhu dapat mengkristal kembali, peristiwa ini disebut dengan retrogradasi (BeMiller dan Whistler 1996). Bila pati didinginkan energi kinetik tidak cukup tinggi untuk mencegah kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk berikatan satu sama lain. Dengan demikian terjadi semacam jaring-jaring yang membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno 2008). Retrogradasi mengakibatkan perubahan sifat gel pati diantaranya meningkatkan ketahanan pati terhadap hidrolisis enzim amilolitik, menurunkan kemampuan melewatkan cahaya (transmisi) dan kehilangan kemampuan untuk membentuk kompleks berwarna biru dengan iodin. Tingkat kecenderungan proses retrogradasi pasta pati dapat digambarkan dengan nilai viskositas setback pada hasil pengukuran menggunakan Brabender Amilograph. Semakin tinggi nilai setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Nilai setback yang tinggi menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadi retrogradasi. Menurut Suriani (2008), viskositas pati garut saat setback sebesar 202. Nilai ini lebih rendah dari viskositas setback tapioka sebesar 245 (Rahman 2007). Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan pati garut untuk mengalami retrogradasi lebih rendah daripada tapioka. Faktor yang mendukung terjadinya retrogradasi adalah temperatur yang rendah, derajat polimerisasi yang relatif rendah, konsentrasi amilosa yang tinggi, dan adanya ion-ion organik tertentu (Jane 2004). Antara molekul amilosa akan cenderung beragregasi membentuk ikatan yang sangat kuat pada suhu rendah karena energi kinetik yang kurang untuk mencegah pembentukan ikatan tersebut. Retrogradasi semakin mudah dengan semakin 13

11 tingginya konsentrasi amilosa dan rendahnya derajat polimerisasinya amilosa tersebut. B. MODIFIKASI PATI Pati tanpa perlakuan modifikasi telah banyak digunakan dalam proses pengolahan pangan namun terdapat keterbatasan dari segi sifat fisik dan kimia pati untuk diaplikasikan pada produk pangan tertentu. Untuk mendapatkan pati sesuai dengan karakteristik produk pangan dan meningatkan sifat fungsionalnya maka pati tersebut perlu dimodifikasi (Elliason 2004). Pati modifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu agar dihasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya, terutama sifat fisiko kimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya (Saguilan et al. 2005). Pati termodifikasi dapat berfungsi sebagai bahan pengisi, pengental, pengemulsi dan pemantap bagi makanan. Beberapa keunggulan pati modifikasi dibandingkan pati alami antara lain: pati modifikasi dapat memiliki sifat fungsional yang tidak dimiliki pada pati alami, pati modifikasi lebih luas penggunaannya dalam skala industri besar yang lebih baik daripada pati alami, pati modifikasi memiliki sifat yang lebih konsisten dibandingkan pati alami yang memudahkan pengontrolan dan pembuatan produk dengan kualitas bagus. Contoh penggunaan pati modifikasi dalam industri pangan adalah sebagai pengisi dalam pembuatan permen gum, bahan pengisi saus, sup, dan pie (Afrianti, 2004). 1. Modifikasi Pati Secara Kimia Teknik modifikasi pati secara kimia antara lain modifikasi sifat reologi dan modifikasi dengan stabilisasi. Modifikasi sifat reologi meliputi depolimerisasi dan ikatan silang. Proses depolimerisasi akan menurunkan viskositas sehingga dapat digunakan untuk tingkat total padatan yang tinggi. Depolimerisasi dapat dilakukan dengan cara dekstrinasi, konversi asam, dan oksidasi. Teknik ikatan silang akan membentuk jembatan antara molekul sehingga didapatkan jaringan molekul yang kaku. Cara ini akan mengubah sifat 14

12 reologi pati dan sifat resistennya terhadap asam. Modifikasi dengan stabilisasi dilakukan melalui reaksi esterifikasi dan eterifikasi. Modifikasi ini menghasilkan pati dengan tingkat retrogradasi yang lebih rendah dan stabilitas yang meningkat. Modifikasi pati dengan asam (lintnerisasi), yang digunakan pada penelitian ini, tergolong modifikasi pati secara kimia. Metode hidrolisis asam dilakukan dengan menggunakan asam kuat. Asam kuat akan menghidrolisis ikatan glikosida sehingga memperpendek rantai ikatan kimia pada pati dan berat molekul pati menjadi lebih rendah (Wurzburg 1989). Umumnya pati termodifikasi asam dibuat dengan mensuspensikan pati dalam larutan asam (kira-kira 36-40% padatan) dan memanaskannya pada suhu di bawah suhu gelatinisasi pati (umumnya o C) serta dilakukan pengadukan secara kontinu selama inkubasi (satu hingga beberapa jam waktu inkubasi). Ketika telah mencapai viskositas atau derajat konversi yang dikehendaki, asam dinetralkan lalu residu pati disaring atau disentrifugasi, dicuci, dan kemudian dikeringkan (Wurzburg 1989). Selama proses modifikasi asam, asam akan menghidrolisis ikatan glikosidik dan memperpendek panjang rantai pati. Wurzburg (1989) menunjukkan bahwa pada tahap awal proses modifikasi asam, jumlah amilosa atau fraksi linear meningkat, yang mengindikasikan bahwa asam turut menghidrolisis bagian amilopektin yang mudah dijangkau. Wurzburg (1989) menunjukkan pula bahwa selama modifikasi asam tidak terjadi pembengkakan granula pati dan pati tidak kehilangan sifat birefringence, yang membuktikan bahwa asam akan lebih cenderung menyerang bagian amorfous dibandingkan bagian kristalin. Bagian amorfous lebih banyak tersusun rantai amilopektin, sedangkan bagian kristalin lebih banyak tersusun rantai amilosa. Wurzburg (1989) menyimpulkan bahwa selama proses modifikasi asam terjadi dua tahap penyerangan: tahap awal terjadi penyerangan cepat pada bagian amorfous yang mengandung amilopektin, lalu dilanjutkan dengan penyerangan yang lebih lambat terhadap kedua fraksi (amilosa dan amilopektin) pada bagian yang lebih kristalin. Begitu pula menurut Franco et al. (2002) yang menyatakan bahwa 15

13 asam menghidrolisis lebih cepat bagian amorfous pada granula pati namun bagian yang lebih tersusun rapi (kristalin) lebih lambat untuk dihidrolisis. 2. Modifikasi Pati Secara Fisik Perlakuan modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor antara lain: suhu, tekanan, dan kadar air pada pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan. Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik antara lain: ekstruksi, praboiling, steamcooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrotermal treatment dan autoclaving. (Bao dan Bergman 2004; Sajilata et al. 2006). Sebagian besar metode modifikasi fisik yang telah disebutkan dapat meningkatkan kadar pati resisten (Sajilata et al. 2006). Metode steamingcooking dan praboiling umumnya diaplikasikan pada beras. Metode ekstruksi merupakan metode yang paling populer digunakan untuk memodifikasi karakteristik fungsional pati serealia. Prosesnya menggunakan temperatur tinggi, waktu yang singkat, dan gelatinisasi pati terjadi pada kandungan air rendah (Bao dan Bergman 2004). Metode hydrotermal-treatment terdiri dari annealing dan Heat Moisture Treatment (HMT). Prinsip metode hydrotermal-treatment menggunakan air dan panas untuk memodifikasi pati. Pada annealing, modifikasi dilakukan dengan menggunakan jumlah air yang banyak (lebih dari 40%) dan dipanaskan pada temperatur dibawah suhu gelatinisasi pati (Zondag 2003). Sedangkan HMT dilakukan dengan menggunakan jumlah kandungan air rendah (18, 21, 24, 27%) dan dipanaskan pada temperatur melebihi suhu gelatinisasi. Metode hydrotermal-treatment dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati yaitu meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (Adebowale et al. 2005). Perlakuan fisik lainnya adalah metode autoclaving-cooling. Menurut Sajilata et al. (2006) perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode 16

14 autoclaving-cooling dapat meningkatkan produksi pati resisten hingga 9%. Metode autoclaving-cooling dilakukan dengan mensuspensikan pati dengan rasio penambahan air 1 : 3.5 atau 1 : 5 (b/v). Kemudian dipanaskan menggunakan autoklaf pada suhu tinggi. Setelah diautoklaf, suspensi pati tersebut disimpan pada suhu rendah agar terjadi retrogradasi. Untuk meningkatkan kadar pati resisten, siklus tersebut dilakukan berulang. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclaving-cooling cycling treatment (Shin et al. 2002; Zabar et al. 2008). Proses autoclaving-cooling pati gandum menghasilkan 9% pati resisten atau meningkat 9 kali lipat dari pati gandum tanpa perlakuan pemasakan (Siljestrom dan Asp 1985 diacu dalam Sajilata et al. 2006). Pati gandum yang diotoklaf mengandung 6.2% pati resisten, meningkat menjadi 7.8% setelah mengalami 3 siklus autoclaving-cooling (Bjorck et al diacu dalam Sajilata et al. 2006). Pembentukan pati resisten pada pati biji barley sangat dipengaruhi dengan jumlah siklus autoclaving-cooling; peningkatan jumlah siklus dari 1 hingga 20 menghasilkan pati resisten dari 6% hingga 26% (Szczodrak dan Pomeranz 1991 diacu dalam Sajilata et al. 2006). C. SERAT PANGAN Berdasarkan definisi fisiologis, serat makanan didefinisikan sebagai komponen dalam tanaman yang tidak terdegradasi secara enzimatis menjadi sub-unit yang dapat diserap di lambung dan usus halus (Trowell et al. 1976; Ha et al diacu dalam Rimbawan dan Siagian 2004). Secara kolektif sejumlah polisakarida bukan pati pada bahan pangan nabati disebut polisakarida non pati (non starch polysaccharides atau NSP), yang merupakan komponen utama serat pangan (Bender 2003). Serat makanan merupakan bagian yang tidak dapat diserap oleh dinding usus halus dan tidak dapat masuk dalam sirkulasi darah. Serat akan dilewatkan menuju usus besar (kolon) dengan gerakan peristaltik usus. Serat makanan yang tersisa di dalam kolon tidak membahayakan organ usus, justru kehadirannya berpengaruh positif terhadap proses-proses di dalam saluran pencernaan dan metabolisme zat gizi, asalkan jumlahnya tidak berlebihan (Boeckner 1995; Sulistijani 2002). Serat dapat juga didefinisikan sebagai karbohidrat yang sukar dicerna oleh enzim non mikrobial 17

15 di dalam pencernaan. Serat terbagi ke dalam serat larut (soluble) maupun serat tidak larut (insoluble) (Meister 1998; Larsen 2003). Serat tersebut meliputi polisakarida, oligosakarida, lignin, dan bagian tanaman lainnya. Serat makanan tidak terdapat dalam makanan hewani seperti daging dan susu, tetapi hanya terdapat pada pangan nabati (Hermann 1996). Berdasarkan sifat kelarutannya dalam air, serat dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu serat larut (soluble dietary fiber / SDF) dan serat tidak larut (insoluble dietary fiber / IDF). SDF diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah tercampur dengan empat bagian etanol. IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas dan air dingin. Gabungan dari serat pangan yang larut air dan serat pangan yang tidak larut air disebut serat pangan total (total dietary fiber atau TDF). Serat yang tidak larut terdiri atas selulosa dan hemiselulosa yang berperan dalam pencegahan penyakit kanker usus besar, divertikulosis, konstipasi, dan hemorrhoid, sedangkan yang termasuk dalam serat larut adalah pektin, beta glukan, gum, dan musilase. Serat ini berperan dalam menurunkan kadar kolesterol dan glukosa serum serta mencegah penyakit hipertensi dan jantung (Astawan 1999). Selulosa merupakan polimer rantai lurus dari glukosa dengan ikatan β-(1-4) yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim α-amilase. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang tersusun dari xilosa, galaktosa, glukosa dan monosakarida lainnya yang terikat bersama-sama. Pektin merupakan polimer yang tersusun dari asam galakturonat dan monosakarida lain, banyak ditemukan pada dinding sel tanaman; gum adalah polimer dari galaktosa, asam glukuronat, dan monosakarida lain, ditemukan dalam eksudat dari batang tanaman; sedangkan musil adalah polimer dari galaktosa, mannosa dan monosakarida lain yang ditemukan dalam rumput laut (Wardlaw 1999). Komponen lain yang penting dari serat pangan yaitu lignin yang bukan termasuk karbohidrat tetapi merupakan polimer kompleks dari berbagai jenis alkohol aromatik (Bender 2003). Kelarutan serat pangan dipengaruhi oleh Water Holding Capacity (WHC) yang dimilikinya. Serat yang mempunyai WHC tinggi akan mudah larut, begitu pula sebaliknya. Dalam usus besar, 18

16 WHC yang tinggi memfasilitasi degradasi serat, dengan meningkatkan penetrasi mikroba ke dalam struktur serat (Schneeman dan Janet 1994). Efek fisiologis dari serat pangan bagi tubuh terutama adalah dalam saluran pencernaan, dimana komponen yang berbeda memberikan efek yang berlainan pula. Dalam mulut, serat menstimulasi aliran saliva dan meningkatkan volume makanan. Saat melewati lambung serat larut air dan komponen kental serat menunda pengosongan isi lambung. Dalam usus halus, serat membentuk larutan yang kental sehingga menghambat digesti dan absorbsi karbohidrat dan lemak, serta cenderung memperlambat absorbsi glukosa dan memperkecil kadar kolesterol plasma darah. Berlawanan halnya dengan serat pangan tidak larut, di dalam kolon komponen serat larut segera didegradasi oleh bakteri sehingga tidak mempengaruhi bobot feses dan tidak menimbulkan efek laksatif (Sardesai 2003). Serat pangan tidak larut dapat memperbesar volume feses dan mempercepat pengeliminasiannya sehingga mengurangi transit time dan resiko pembentukan kanker colorectal. American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat pangan bagi orang dewasa sekitar gram per hari. Sebuah studi menunjukkan bahwa konsumsi serat pangan lebih dari 25 gram per hari dapat menurunkan resiko terkena penyakit jantung 36 %, dan konsumsi 29 gram serat perhari dapat menurunkan resiko serangan jantung sebesar 41 % (Wardlaw 1999). D. PATI RESISTEN (RESISTANT STARCH) Pati resisten (resistant starch atau RS) adalah pati dan produk dari degradasi pati yang tidak diserap pada usus halus manusia sehat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1997 mengemukakan bahwa penemuan pati resisten merupakan salah satu pemikiran utama selama 20 tahun terakhir untuk mengetahui pentingnya karbohidrat terhadap fungsi kesehatan (Ananta 2006). Sebutan pati resisten awalnya dikemukakan oleh Englyst et al. (1982) diacu dalam Sajilata et al. (2006) untuk menjelaskan sejumlah kecil fraksi yang bersifat resisten terhadap perlakuan hidrolisis oleh enzim α-amilase lengkap dan pullulanase secara in vitro. EURESTA (1994) diacu dalam Akerberg et al. 19

17 (1997) mendefinisikan pati resisten sebagai bagian pati atau hasil degradasi pati yang dapat lolos dari pencernaan dan absorbsi dalam usus halus manusia dan dapat mencapai usus besar pada subjek yang sehat. RS dapat dikelompokkan menjadi empat tipe utama. Tipe pertama (RS tipe 1) terdiri atas pati yang secara fisik terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan, contohnya padi yang digiling kasar. Jumlah RS tipe 1 dipengaruhi oleh proses pengolahan dan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan penggilingan. Tipe kedua (RS tipe 2) terdiri atas granula pati yang secara alami sangat resisten terhadap enzim pencernaan, yaitu α-amilase, misalnya pada pisang mentah dan pati jagung tinggi amilosa. Tipe ketiga (RS tipe 3) terdiri atas pati teretrogradasi yang terbentuk saat bahan pangan yang mengandung pati dipanaskan dan didinginkan. Tipe keempat (RS tipe 4) terdiri atas pati yang dimodifikasi secara kimia, dimana modifikasi tersebut mempengaruhi aktivitas amilolitik dari enzim-enzim pencernaan (Leu et al. 2003). Contoh RS tipe 4 adalah pati yang dimodifikasi secara eterifikasi, esterifikasi, dan ikatan silang (cross link) (Bird et al. 2000). RS tipe 4 tahan terhadap enzim amilase pankreas pada saluran pencernaan. RS tipe 4 adalah pati resisten yang memiliki ikatan kimia baru selain α-(1-4) dan α-(1-6) akibat perlakuan kimia seperti dengan garam trimetafosfat yang membentuk jembatan ester fosfat di antara dua molekul pati (Sajilata et al. 2006). Dari semua jenis RS, RS tipe 3 adalah yang paling menarik karena RS tipe ini dapat mempertahankan karakteristik organoleptik suatu makanan ketika makanan tersebut ditambahkan RS tipe 3 (Lehmann et al. 2002). RS tipe ini juga disukai karena relatif tahan panas dibandingkan RS tipe lainnya sehingga RS tipe 3 dapat mempertahankan sifatnya selama proses pengolahan pangan. RS tipe 3 merupakan jenis pati resisten yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional berbasis RS. Kandungan RS tipe 3 dalam makanan alami umumnya rendah. Jumlah RS dapat meningkat saat makanan dipanggang atau dalam bentuk pasta dan produk sereal (Shamai et al. 2003). Seperti halnya serat pangan, pati resisten juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon, menghasilkan asam lemak rantai pendek (short 20

18 chain fatty acid atau SCFA). Profil SCFA yang diperoleh dari RS lebih banyak mengandung butirat dan lebih sedikit mengandung asetat dibandingkan serat pangan konvensional. Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, RS dikategorikan sebagai bagian dari serat pangan. Pati resisten mempunyai efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral (Sajilata et al. 2006). Penggantian 5.4% total karbohidrat dalam diet dengan pati resisten juga mengindikasikan peningkatan oksidasi lipida setelah makan sehingga dapat menurunkan akumulasi lemak dalam jangka panjang (Higgins et al. 2004). Produk pati resisten memiliki sifat fungsional sebagaimana serat pangan dan memiliki nilai penerimaan lebih tinggi dibandingkan dengan serat pangan konvensional. Pati resisten memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan ukuran partikel serat pangan konvensional, sehingga tidak mempengaruhi tekstur produk, kapasitas pengikatan air (water holding capacity) dari pati resisten juga lebih rendah sehingga dapat memperbaiki tekstur, penampakan dan mouth feel produk panggang yang dihasilkan (Sajilata et al. 2006). Bahan pangan sumber pati dan produk pangan yang dihasilkan berpotensi mengandung pati resisten. Pati resisten dapat bersumber secara alami dalam bahan pangan maupun terbentuk akibat proses pengolahan. Pati resisten tipe 1 dan 2 secara alami terdapat dalam bahan pangan dan kandungannya bervariasi tergantung bahan pangan tersebut. Pati resisten tipe 3 memiliki sifat yang menarik karena terbentuk akibat proses pengolahan pangan (fenomena retrogradasi). Hal-hal yang mempengaruhi kadar RS yang dihasilkan adalah (1) rasio amilosa : amilopektin pada pati, amilosa yang lebih tinggi dapat meningkatkan kadar RS, (2) rasio pati : air (b/v) dalam pembuatan RS, (3) proses pemanasan akan meningkatkan kadar RS yang dihasilkan, (4) banyaknya siklus pada proses modifikasi, dan (5) suhu autoclaving (Sajilata et al. 2006). Menurut Lehmann et al. (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan RS yaitu suhu pengolahan, konsentrasi pati, kondisi penyimpanan dan adanya lipid 21

19 atau substansi bermolekul rendah seperti gula. Diantara faktor tersebut, hal yang membedakan metode yang digunakan Shin et al. (2004) dengan yang dilakukan pada penelitian ini adalah rasio pati dan air. Shin et al. (2004) menggunakan jumlah air yang lebih sedikit. Rasio pati : air (b/v) sangat mempengaruhi proses ekspansi matriks pati dan gelatinisasi granula (Raja dan Shindu 2000). Proses modifikasi beberapa siklus memerlukan jumlah air yang berlebih. Jumlah air yang lebih sedikit kemungkinan kurang menggangu struktur heliks amilosa pada gelatinisasi siklus selanjutnya sehingga jumlah amilosa yang keluar dari granula tidak optimum (Sajilata et al. 2006). Hal ini berakibat jumlah amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin yang bereasosiasi pada saat retrogradasi lebih sedikit sehingga kadar pati resistenya pun menjadi lebih rendah. Pati resisten tipe 3 diproduksi dari pati native melalui beberapa tahap. Tahap pertama yaitu proses gelatinisasi yang dapat memecah granula pati melalui pemanasan pada suhu tinggi (autoclaving) dengan penambahan air berlebih. Tahap kedua yaitu retrogradasi yang melibatkan proses rekristalisasi amilosa secara perlahan dengan cara pendinginan. Kedua tahap tersebut dapat menghasilkan pati resisten tipe 3 (Zabar et al. 2008). Menurut Jacobasch et al. (2006), Novelose 330 merupakan salah satu produk pati resisten teretrogradsi (RS tipe 3) komersial yang berbahan baku pati jagung kaya amilosa terhidrolisis (retrograded hydrolysed high amylose corn straches). Novelose 330 mengandung 40.4% RS tipe 3. Novelose 330 terdiri atas fraksi berbobot molekul rendah dengan panjang rantai α-1,4-d-glukan antara satuan glukosa (glucose units) dan lebih banyak polimer berbobot molekul lebih tinggi. Produksi RS tipe 3 pada dasarnya melalui tiga tahapan proses: pemutusan cabang, gelatinisasi, dan retrogradasi pati native pada kondisikondisi yang dioptimalkan yaitu suhu penyimpanan dan konsentrasi pati. (Topping & Clifton, 2001 diacu dalam Jacobasch et al. 2006). 22

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.)

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) Umbi garut yang digunakan dalam penelitian ini berumur sekitar 10 bulan ketika dipanen. Kandungan pati maksimum adalah pada saat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumber utama karbohidrat, diantaranya adalah serealia (contoh gandum, jagung,

PENDAHULUAN. Sumber utama karbohidrat, diantaranya adalah serealia (contoh gandum, jagung, 18 PENDAHULUAN Latar Belakang Karbohidrat merupakan senyawa organik yang jumlahnya paling banyak dan bervariasi dibandingkan dengan senyawa organik lainnya yang terdapat di alam. Sumber utama karbohidrat,

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ungu Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar yang memiliki warna ungu pekat. Ubi jalar ungu menjadi sumber vitamin C dan betakaroten (provitamin A) yang

Lebih terperinci

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi POLISAKARIDA Shinta Rosalia Dewi Polisakarida : polimer hasil polimerisasi dari monosakarida yang berikatan glikosidik Ikatan glikosidik rantai lurus dan rantai bercabang Polisakarida terbagi 2 : Homopolisakarida

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Convolvulaceae. Ubi jalar termasuk tanaman tropis, tumbuh baik di daerah yang memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

MODIFIKASI PATI GARUT

MODIFIKASI PATI GARUT 1 SKRIPSI MODIFIKASI PATI GARUT (Marantha arundinacea) DENGAN PERLAKUAN SIKLUS PEMANASAN SUHU TINGGI-PENDINGINAN (AUTOCLAVING-COOLING CYCLING) UNTUK MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE III RATIH PRATIWI F24104028

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman.

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman. 26 TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta) Ubi kayu (Manihot esculenta) tumbuh dengan sangat baik di daerah-daerah dengan suhu antara 25 o C-29 o C dengan ketinggian daerah sekitar 1.500 m. dpl.

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT. Pendahuluan. Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126

KARBOHIDRAT. Pendahuluan. Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126 Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126 Program Studi : Pendidikan Tata Boga Pokok Bahasan : Karbohidrat Sub Pokok Bahasan : 1. Pengertian karbohidrat : hasil dari fotosintesis CO 2 dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang terus meningkat. Namun demikian peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga terjadi masalah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong

HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong Tahap pertama dalam penelitian ini adalah pembuatan pati singkong termodifikasi yaitu pembuatan pati singkong tergelatinisasi dan pembuatan pati singkong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan. Secara alami pati ditemukan dalam bentuk butiran-butiran yang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan. Secara alami pati ditemukan dalam bentuk butiran-butiran yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pati merupakan polimer glukosa yang banyak ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Secara alami pati ditemukan dalam bentuk butiran-butiran yang disebut granula. Granula

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

اغتنم خمسا قبل خمس شبابل قبل ھرمل وصحتل قبل سقمل وغناك قبل فقرك وحياتل قبل موتل وفراغل قبل شغلل

اغتنم خمسا قبل خمس شبابل قبل ھرمل وصحتل قبل سقمل وغناك قبل فقرك وحياتل قبل موتل وفراغل قبل شغلل 39 اغتنم خمسا قبل خمس شبابل قبل ھرمل وصحتل قبل سقمل وغناك قبل فقرك وحياتل قبل موتل وفراغل قبل شغلل Artinya : manfaatkan sebaik-baiknya lima kesempatan, sebelum (datang) yang lima, masa muda sebelum datang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun.

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang jumlah penderitanya mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Menurut data yang dikeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari 50% penduduk dunia tergantung pada beras sebagai sumber kalori utama. Di Indonesia, konsumsi dari kelompok padi-padian masih dominan baik di kota maupun di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaplek (Manihot esculenta Crantz) Gaplek (Manihot Esculenta Crantz) merupakan tanaman perdu. Gaplek berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat dewasa ini telah memandang pentingnya menjaga kesehatan sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang baik tetapi juga yang dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Serat Di Indonesia sayur cukup mudah diperoleh, petani pada umumnya menanam guna mencukupi kebutuhan keluarga. Pemerintah juga berusaha meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Serat 2.1.1 Definisi Serat Pangan Definisi fisiologis serat pangan adalah sisa sel tanaman setelah dihidrolisis enzim pencernaan manusia. Hal ini termasuk materi dinding sel

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp.

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp. BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp. Maizena Awal Akhir 2. Gelatinasi Pati Suspesni Sel Panas Sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula (Jane, 1995). Winarno (2002), menyatakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Anon (2005) menyatakan bahwa pisang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Anon (2005) menyatakan bahwa pisang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang Kepok Pisang adalah tanaman buah yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu jenis tanaman hias yang memiliki ciriciri daun yang memanjang menyerupai lidah dan memiliki duri dibagian pinggirnya. Lidah

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

B. TEKSTUR PRODUK FRIED SNACK

B. TEKSTUR PRODUK FRIED SNACK II. TINJAUAN PUSTAKA A. KACANG SALUT Kacang salut merupakan makanan ringan berupa kacang tanah yang dibalut dengan adonan tepung kemudian digoreng dengan suhu tertentu sampai kacang tanahnya matang dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

Gambar 1. Tanaman garut

Gambar 1. Tanaman garut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umbi Garut Tanaman garut (Marantha arundinacea L.) merupakan tanaman tropis yang termasuk jenis rumput-rumputan tegak dengan tinggi 60-80 cm. Batang sejati tanaman garut terdapat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan yaitu umbi garut kultivar creole berumur 10 bulan yang diperoleh dari kebun percobaan Balai Penelitian Biologi dan Genetika Cimanggu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati jagung Dalam proses modifikasi pati jagung HMT dilakukan pemilihan suhu dan waktu terbaik selama perlakuan

Lebih terperinci

SERAT MAKANAN OLEH : TENSISKA NIP :

SERAT MAKANAN OLEH : TENSISKA NIP : SERAT MAKANAN OLEH : TENSISKA NIP :132 086 635 JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2008 I. PENDAHULUAN Dua dasa warsa terakhir ini baru terungkap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jenang Jenang adalah salah satu makanan tradisional yang sudah banyak di berbagai daerah di Indonesia. Widodo (2014) menyebutkan macam-macam jenang, antara lain jenang procotaan,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang merupakan salah satu buah tropis yang paling banyak ditemukan dan dikonsumsi di Indonesia. Produksi pisang di Indonesia adalah yang tertinggi dibandingkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nangka merupakan salah satu buah tropis yang keberadaannya tidak mengenal musim. Di Indonesia, pohon nangka dapat tumbuh hampir di setiap daerah. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

PENENTUAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO DAN PENGUKURAN DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

PENENTUAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO DAN PENGUKURAN DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO Laporan Praktikum Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan PENENTUAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO DAN PENGUKURAN DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO Dosen: Dr. Ir. Endang Prangdimurti, Msi dan Ir. Sutrisno Koswara,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT. Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n

KARBOHIDRAT. Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n KARBOHIDRAT Dr. Ai Nurhayati, M.Si. Februari 2010 Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n Karbohidrat meliputi sebagian zat-zat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tropis lainnya. Alocasia adalah kerabat dekat dengan keluarga caladium dan

TINJAUAN PUSTAKA. tropis lainnya. Alocasia adalah kerabat dekat dengan keluarga caladium dan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sente (Alocasia macrorrhiza (L.) Schoot) Alocasia macrorrhiza merupakan jenis tanaman berbunga yang berasal dari hutan hujan Malaysia dan Queesland yang telah banyak dibudidayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Saat ini masyarakat mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. Saat ini masyarakat mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Saat ini masyarakat mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pokok alternatif selain beras. Mie merupakan produk pangan yang telah menjadi kebiasaan konsumsi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang merupakan buah-buahan dengan jenis yang banyak di Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok dan masih banyak lagi. Menurut Kementrian

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhui sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di pasar saat ini adalah berbentuk flake. Sereal dalam bentuk flake dianggap

BAB I PENDAHULUAN. di pasar saat ini adalah berbentuk flake. Sereal dalam bentuk flake dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan gaya hidup menuntut semua serba cepat dan praktis, tidak terkecuali makanan, sehingga permintaan akan sereal sarapan yang praktis dan bergizi semakin meningkat.

Lebih terperinci

Diagram Sifat-sifat Pati

Diagram Sifat-sifat Pati Diagram Sifat-sifat Pati X-ray Crystallography Mempelajari sifat kristalin pati X-ray pattern, obtained when a crystal is irradiated with X-rays. This pattern is distinctive to the crystal structure 3

Lebih terperinci

Engrid Juni Astuti. mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan

Engrid Juni Astuti. mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan SERAT PANGAN DALAM PRODUK PANGAN FUNGSIONAL Engrid Juni Astuti Abstrak Pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU Sagu (Metroxylon sp.) diduga berasal dari Maluku dan Papua. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian R. Mia Ersa Puspa Endah, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian R. Mia Ersa Puspa Endah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Energi dibutuhkan oleh manusia dalam melakukan aktiftasnya. Energi didapatkan dari makanan sehari-hari yang dikonsumsi. Sebagai sumber energi, lemak memberikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hasil pembuatan pati dari beberapa tanaman menghasilkan massa (g) yaitu ubi

Lebih terperinci

PATI ALAMI. Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman.

PATI ALAMI. Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. PATI ALAMI Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. Sebagian besar pati di simpan dalam akar,umbi,akar,biji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati 1 I. PENDAHULUAN Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati (lebih banyak mengandung amilopektin dibanding amilosa). Untuk keperluan yang lebih luas lagi seperti pembuatan biskuit,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan telah banyak dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

DISERTASI. Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor di Program Doktor Ilmu Pertanian

DISERTASI. Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor di Program Doktor Ilmu Pertanian KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONAL DAN IDENTIFIKASI NILAI INDEKS GLIKEMIK SERTA SIFAT HIPOGLIKEMIK BERAS ANALOG BERBASIS PATI SAGU (Metroxylon spp.) DAN TEPUNG KACANG MERAH (Phaseolus vulgaris) DISERTASI Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iles dan merupakan tanaman lokal Indonesia yang banyak tumbuh di hutan. Porang

BAB I PENDAHULUAN. iles dan merupakan tanaman lokal Indonesia yang banyak tumbuh di hutan. Porang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Porang (Amorphophallus oncophyllus) termasuk salah satu jenis tanaman iles iles dan merupakan tanaman lokal Indonesia yang banyak tumbuh di hutan. Porang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Analisa kadar air dilakukan untuk mengetahui pengaruh proporsi daging dada ayam dan pisang kepok putih terhadap kadar air patties ayam pisang. Kadar air ditentukan secara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

1 Kontrol (S0K) 50, , , ,285 93, , Inokulum (S1I) 21, , , , ,752 2.

1 Kontrol (S0K) 50, , , ,285 93, , Inokulum (S1I) 21, , , , ,752 2. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Asam Lemak Bebas Rantai Pendek 3.1.1. Profil Asam Lemak Rantai Pendek (Short-Chain Fatty Acid/SCFA) Tabel 2. Profil analisis kandungan asam lemak rantai pendek/short chain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Beras diperoleh dari butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (sekam), merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar butir beras

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori 4. PEMBAHASAN Sorbet merupakan frozen dessert yang tersusun atas sari buah segar, air,gula, bahan penstabil yang dapat ditambahkan pewarna dan asam (Marth & James, 2001). Pada umumnya, frozen dessert ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh tubuh. Kekurangan asupan kalsium di dalam tubuh dapat menyebabkan

I. PENDAHULUAN. oleh tubuh. Kekurangan asupan kalsium di dalam tubuh dapat menyebabkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Kekurangan asupan kalsium di dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan, terutama berhubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi

Lebih terperinci

KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN. Oleh : Astuti Setyowati

KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN. Oleh : Astuti Setyowati KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN Oleh : Astuti Setyowati KARBOHIDRAT Terdapat dalam : 1. Tumbuhan : monosakarida, oligo sakarida, pati, selulosa, gum 2. Hewan : glukosa, glikogen,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Singkong

TINJAUAN PUSTAKA Singkong 4 TINJAUAN PUSTAKA Singkong Tanaman singkong termasuk tanaman tropis yang berasal dari Brazil (Amerika Selatan). Singkong memiliki peranan penting sebagai makanan pokok ke-3 setelah padi dan jagung di

Lebih terperinci

PENGARUH KONSUMSI TEPUNG PRA MASAK PISANG TANDUK DAN PISANG RAJA NANGKA PADA SIFAT FISIK DAN KIMIA DIGESTA TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI

PENGARUH KONSUMSI TEPUNG PRA MASAK PISANG TANDUK DAN PISANG RAJA NANGKA PADA SIFAT FISIK DAN KIMIA DIGESTA TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI PENGARUH KONSUMSI TEPUNG PRA MASAK PISANG TANDUK DAN PISANG RAJA NANGKA PADA SIFAT FISIK DAN KIMIA DIGESTA TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. LIGNOSELULOSA Lignoselulosa merupakan bahan penyusun dinding sel tanaman yang komponen utamanya terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Demirbas, 2005). Selulosa adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit pada konsumen (Silalahi, 2006). Salah satu produk yang. makanan ringan, jajanan atau cemilan. Makanan ringan, jajanan atau

BAB I PENDAHULUAN. penyakit pada konsumen (Silalahi, 2006). Salah satu produk yang. makanan ringan, jajanan atau cemilan. Makanan ringan, jajanan atau BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan fungsional merupakan makanan produk segar ataupun makanan olahan yang tidak hanya memberikan rasa kenyang namun juga memberikan keuntungan bagi kesehatan serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

Kata kunci : rimpang garut, pati garut, umur panen, industri pangan

Kata kunci : rimpang garut, pati garut, umur panen, industri pangan Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi KARAKTERISASI FISIK DAN KIMIA RIMPANG DAN PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) PADA BERBAGAI UMUR PANEN (Physicochemical characterization of arrowroot rhizome

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Karena dengan memahami ciptaan-nya, keimanan kita akan senantiasa

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Karena dengan memahami ciptaan-nya, keimanan kita akan senantiasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Islam mengajarkan kita untuk merenungkan ciptaan Allah yang ada di bumi. Karena dengan memahami ciptaan-nya, keimanan kita akan senantiasa bertambah. Salah satu tanda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kentang tumbuk (mashed potato) adalah kentang yang dihaluskan dan diolah lebih lanjut untuk dihidangkan sebagai makanan pendamping. Di Italia mashed potato disajikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN PUFFING Menurut Sulaeman (1995), teknik puffing merupakan teknik pengolahan bahan pangan dimana bahan pangan tersebut mengalami pengembangan sebagai akibat pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut karena terjadi peningkatan jumlah industri makanan dan nonmakanan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di Indonesia banyak ditumbuhi pohon kelapa. Kelapa memberikan banyak hasil misalnya kopra yang

Lebih terperinci