Governmentality dan Pemberdayaan dalam Advokasi Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo
|
|
- Yuliani Salim
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: Governmentality dan Pemberdayaan dalam Advokasi Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo Penulis: Abdil Mughis Mudhoffir Sumber: MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 1, Januari 2011: Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI. MASYARAKAT Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Website: Untuk mengutip artikel ini: Mudhoffir, Abdil Mughis Governmentality dan Pemberdayaan dalam Advokasi Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo. MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 1, Januari 2011:
2 Governmentality dan Pemberdayaan dalam Advokasi Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo A b d i l M u g h i s M u d h o f f i r Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta abdil.mughis@yahoo.com Abstract This essay examines the social movement within the upturn of environmental problem in ecological disaster case in Sidoarjo. Bringing up the new social movement paradigm, environmental movement is a form of resistance that has never been classified as a Marxist class consciousness social movement. The author argues that Social movement could also be the result of the problem rising from environmental degradation as an effect of state industrialization. As a movement which is not based on determinism of certain class awareness, collaboration turns into important factor of civil society consolidation forces. However, NGO initiative in building alliance with grassroots habitually yields a new problem. The author proposes that NGO s endeavor to collaborate with the grassroots in the name of empowerment, potentially, could fall into a form of new subjection, coined by Foucault, as governmentality. Kata kunci: gerakan lingkungan, pemberdayaan, kolaborasi, resistensi, governmentality
3 50 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R PENDA HU LUA N Kajian politik ekologi di dunia ketiga umumnya berfokus pada pembahasan mengenai dampak marginalisasi akibat kapitalisme industri dan upaya kelompok marginal untuk melawan aliansi korporasi dan negara (Forsyth 2004: 422; Bryant 1997: 7). Kasus yang dihadirkan dalam tulisan ini memberikan bukti-bukti mengenai hal itu dan, seperti halnya Forsyth, bahwa gerakan aktivisme yang berkorelasi dengan produksi wacana tidak selalu dapat membantu kelompok rentan. Menurutnya, non-governmental organization (NGO) tidak akan dapat membebaskan atau membantu kelompok rentan jika mereka mereplikasi atau bahkan memaksakan bentuk hegemoni wacana baru (Forsyth 2004: 422). Relasi antara aktivis NGO lingkungan dengan kelompok rentan (grassroot) menjadi perhatian pokok dalam tulisan ini. Relasi aktoraktor itu melahirkan ironi, yakni apakah mereka berlaku sebagai aktor yang dapat membebaskan kelompok rentan atau justru berperan sebagai hegemon baru yang mensubjektivasikan korban untuk kepentingan tertentu. Posisi NGO dalam gerakan sosial seringkali juga ambigu, terutama dalam hal bagaimana mereka memosisikan diri terhadap kelompok dampingannya. NGO dapat berperan sebagai pendamping yang mengadvokasi masyarakat melawan aliansi negara dan korporasi. Di lain sisi, mereka dapat berperan sebagai kelompok yang menginisiasi kolaborasi dalam sebuah gerakan sosial. Upaya pendampingan oleh NGO mengandaikan pendefinisian kelompok tertentu sebagai vulnerable, powerless, dan minim sumber daya untuk bisa bernegosiasi secara setara dengan kelompok lain, yakni negara atau korporasi. Inisiatif para aktivis NGO ini dapat mengarah pada pembentukan aliansi masyarakat sipil, meskipun upaya awal yang mereka lakukan adalah pemberdayaan daripada kolaborasi itu sendiri. Upaya pemberdayaan dan kolaborasi sebenarnya memiliki arti yang berbeda. Ada perbedaan relasi antara kelompok marginal dengan NGO jika ditinjau dari aspek pemberdayaan dibandingkan dengan kolaborasi. Dalam pemberdayaan, upaya pendampingan oleh aktivis terhadap kelompok powerless adalah membuat mereka menjadi empowered dalam melakukan resistensi atau untuk bernegosiasi dengan aktor dominan. Upaya ini secara implisit mengandaikan bahwa posisi NGO sedikit lebih tinggi atau lebih powerful dibandingkan dengan kelompok dampingannya,
4 G o v e r n m e n t a l i t y d a n P E M B E R D A Y A A N 51 meskipun mereka juga termasuk kelompok yang powerless di hadapan negara dan korporasi. Berbeda jika NGO sejak awal melakukan upaya resistensi seperti halnya kelompok korban dalam suatu masalah lingkungan, yang jika mereka berkolaborasi dengan kepentingan yang sama, keberhasilan tujuan resistensi menjadi lebih mungkin. Kasus semburan lumpur di Sidoarjo melahirkan konf lik kepentingan antara aktor-aktor negara, korporasi, masyarakatkorban, dan aktivis NGO dalam upaya penyelesaian kasus tersebut. Pemulihan lingkungan atas kerusakan yang ditimbulkan oleh industri pertambangan tidak hanya menjadi kepentingan korban yang terkena dampak langsungnya saja, tetapi juga seluruh warganegara termasuk dalam hal ini NGO lingkungan. NGO dapat menuntut secara langsung kepada negara dan korporasi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari proyek pertambangan. Pada momen yang bersamaan kelompok rentan atau korban juga menuntut negara dan korporasi, tetapi tidak memberikan prioritas pada pemulihan lingkungan melainkan pemulihan dan rehabilitasi atas kehidupan sosial mereka. Kolaborasi menjadi mungkin jika kedua aktor ini dapat mengartikulasikan kepentingan yang sama. Upaya membentuk kolaborasi ini, baik melalui pemberdayaan atau murni berupa pembentukan aliansi gerakan, menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini. Pada bagian awal saya akan menggambarkan perbedaan antara gerakan sosial baru (GSB), seperti halnya gerakan lingkungan, dengan gerakan sosial yang berbasis kelas. Kolaborasi kelompok-kelompok kepentingan menjadi ciri utama gerakan ini, selain bahwa gerakan semacam ini lebih terfragmentasi berdasarkan isu yang diadvokasi. Bagian selanjutnya membahas upaya kolaborasi NGO dengan kelompok rentan yang atas nama pemberdayaan sangat berkaitan dengan konsep Foucault yang disebut sebagai governmentality. Argumen utama dalam artikel ini adalah bahwa pemberdayaan tidak selalu dapat memberdayakan bahkan membebaskan kelompok rentan, melainkan justru jatuh pada manufakturisasi subjek untuk kepentingan NGO.
5 52 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R Ger a k a n LINGK U NG A N SEBAG A I GER A K A N SOSI A L BA RU Gerakan lingkungan merupakan bentuk dari GSB karena tidak berdasarkan pada perjuangan kelas sosial proletar melawan kelas borjuis. Gerakan lingkungan muncul dari konflik lingkungan, bukan dari konflik kepentingan kelas. Kebaruan itu, menurut Meluci (1994: 105), dapat dilihat dari munculnya gerakan kolektif dalam menyikapi isu-isu tertentu, bukan muncul dari konflik kelas yang menyejarah. Dalam konteks Indonesia, gerakan lingkungan sebagai GSB muncul di tahun 1970-an sebagai transformasi dari bentuk gerakan agraria baru (Peluso dkk. 2008: 377). Sebelumnya, gerakan agraria dapat dibedakan dengan gerakan lingkungan. Gerakan agraria mengacu sebagai geraka petani dalam menghadapi tuan tanah dan merupakan perwujudan dari gerakan sosial yang berbasis kelas. Pada periode awal gerakan ini, organisasi serikat petani mendapat tekanan dari negara pada saat kemunculan kampanye antikomunis yang menandai naiknya Suharto. Kemunculan gerakan lingkungan menandai transformasi gerakan agraria yang, menurut Peluso dkk. (2008: 377) tidak dilakukan oleh petani pemilik lahan (farmer), melainkan oleh buruh tani penggarap sawah (peasant). Gerakan agraria kontemporer kini bertujuan menuntut perubahan kebijakan negara dan implementasi atas kebijakan itu (Webster 2004; Moyo and Yeros 2005 dalam Peluso, 2008: 380). Peluso dkk. (2008) berpendapat bahwa gerakan agraria dan gerakan lingkungan tidak lagi berada dalam domain dan diskursus yang terpisah, terutama sejak kemunculan gerakan lingkungan sebagai gerakan sosial baru. Konflik lingkungan dalam konteks penguasaan dan kontrol terhadap hutan serta kampanye anti-dam juga merupakan konflik agraria karena bersangkutan dengan isu pendakuan dan penggunaan lahan (Peluso dkk. 2008). Argumen ini, oleh Peluso dkk., digunakan untuk mematahkan tesis Christodolous (1990 dalam Peluso, 2008: 112) bahwa reformasi agraria merupakan hasil dari konflik agraria. Gerakan lingkungan di tahun 1980-an di Indonesia dideskripsikan sebagai gerakan keadilan lingkungan (Tsing 2005). Selama Orde Baru, di mana oposisi politik sangat dilarang, gerakan dan advokasi lingkungan menjadi arena yang paling memungkinkan bagi para aktivis untuk membantu kelompok grassroot (Peluso dkk 2008: 383).
6 G o v e r n m e n t a l i t y D A N P E M B E R D A Y A A N 53 Merujuk pada pandangan Peluso dkk. di atas, gerakan sosial dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo juga menjadi bagian dalam gerakan lingkungan. Gerakan para aktivis NGO dan kelompok rentan di Sidoarjo, baik terpisah maupun dalam koalisi, tidak hanya menuntut pemulihan lingkungan yang tercemar akibat kandungan lumpur dengan segala implikasinya, tetapi juga menuntut pendakuan dan hak warga atas tanah serta segala properti yang melekat padanya sampai pada tuntutan pemulihan kehidupan sosial normal mereka (livelihood). NGO dan Gerakan Lingkungan Hal penting yang membedakan antara gerakan lingkungan sebagai GSB dibandingkan dengan gerakan sosial berbasis kelas adalah munculnya aktor baru dalam gerakan ini, yakni organisasi masyarakat sipil. Kemunculan aktor ini juga menandai menguatnya gerakan masyarakat sipil dalam menghadapi represi serta kebijakan negara yang mengabaikan kepentingan warganya. Berkaitan dengan kemunculan aktor baru tersebut, yang juga menjadi ciri GSB (gerakan lingkungan) adalah adanya kolaborasi antara NGO dengan masyarakat lokal. Sebagaimana dikemukakan oleh Bryant dan Bailey (1997: 130), berkembangnya persoalan-persoalan lingkungan di dunia berkaitan dengan kemunculan aktor baru (NGO lingkungan) dalam konflik politik ekologi. Fokus gerakan NGO lingkungan di dunia ketiga, menurut mereka, adalah pada isu-isu developmentalisme, yakni mempromosikan keadilan sosial dan kesetaraan bagi kelompok rentan miskin. Namun, apa yang membedakan NGO lingkungan ini dengan NGO yang concern terhadap isu developmentalisme di dunia ketiga pada umumnya seperti Oxfam atau Grameen Bank adalah gerakan lingkungan dunia ketiga mempromosikan keadilan sosial dan kesetaraan dengan memberikan akses pada kelompok rentan atas sumber daya lingkungan (seperti air bersih, tambang, dan minyak), sementara NGO developmentalis memfokuskan pada pendidikan, kesehatan, dan famine relief (Bryant dan Bailey 1997: 130). Di Indonesia, gerakan lingkungan tidak melulu berfokus pada isu-isu mengenai degradasi lingkungan. Gerakan lingkungan di Indonesia, dan di Dunia Ketiga pada umumnya, juga concern terhadap isu-isu yang berkaitan dengan livelihood, yakni kemiskinan dan
7 54 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R ketidakadilan sosial. Kolaborasi NGO lingkungan dengan kelompok grassroot menunjukkan bahwa gerakan lingkungan oleh aktor NGO berkaitan pula dengan isu ketidakadilan sosial yang umum. Artikulasi dan Momen Kolaborasi Peran strategis NGO dalam gerakan lingkungan dan gerakan sosial pada umumnya tidak berarti bahwa ia akan bertindak sebagai aktor tunggal dalam melakukan resistensi terhadap kebijakan negara yang dianggap tidak populis. Gerakan NGO, terutama di Dunia Ketiga, senantiasa bersinggungan dengan aktor atau kelompok lain yang secara langsung terkait dengan isu yang diadvokasi. Hal ini juga menjadi penanda bahwa tujuan gerakan NGO lingkungan bukan sekedar menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga bertujuan membebaskan atau memberdayakan kelompok masyarakat yang bersinggungan langsung dengan kebijakan itu. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka melakukan kolaborasi dengan organisasi yang biasanya dibentuk oleh komunitas lokal. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah inisiatif untuk membentuk aliansi itu selalu datang dari NGO? Bagaimana kolaborasi dapat terbentuk? Pada momen apa kolaborasi dapat dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan merujuk konsep Hall tentang politik artikulasi. Menurut Hall (1996: 141), artikulasi adalah bentuk persinggungan atau perjumpaan yang dapat menyatukan elemen-elemen yang berbeda dalam suatu kondisi tertentu. Hubungan ini tidak bersifat absolut dan esensial. Menurutnya, yang mesti ditelisik adalah kondisi apa yang memungkinkan koneksi dan kolaborasi itu dapat dibuat. Dengan demikian, menurut Hall, teori artikulasi ini memuat dua hal, yakni (1) sebagai cara memahami bagaimana elemen ideologi hadir dalam kondisi tertentu bersamaan dengan hadirnya wacana tertentu, serta (2) sebagai cara untuk mempertanyakan bagaimana ideologi dan wacana itu diartikulasikan atau tidak diartikulasikan pada subjek politik tertentu. Kolaborasi atau unity dapat diumpamakan seperti kereta yang memiliki sambungan di setiap gerbongnya. Mereka terhubung satu sama lain melalui penghubung tertentu yang pada momen tertentu dapat pula tercerai. Tania Li (2000: 151; 2004: 339) menggunakan konsep ini untuk menjelaskan bagaimana kategori transnasional semacam indigenous
8 G o v e r n m e n t a l i t y D A N P E M B E R D A Y A A N 55 people dapat menggerakkan orang-orang di suatu tempat. Li mencoba melihat bagaimana dan siapa aktor yang memaknai dan menggunakan definisi kategori itu untuk membentuk aliansi indigenous people dan melakukan gerakan sosial. Konsep ini digunakan sebagai alat politik untuk mencapai kepentingan tertentu oleh kelompok tertentu (Dove, 2006: 191). Menurut Li (2004: 339), identifikasi diri kelompok tertentu sebagai indegenous bukan sesuatu yang alamiah, tetapi merupakan hasil konstruksi dari makna konsep yang ditemukan, diadopsi, dan bahkan dipaksakan. Hal ini berkaitan dengan konsep politik artikulasi Hall. Konsep indigenous people menjadi perdebatan di kalangan antropolog (lihat Dove dan Li), terutama berkaitan dengan munculnya gerakan hak masyarakat yang didefiniskan sebagai indegenous. Secara umum, terminologi ini berkonotasi dengan keaslian (nativeness) (Dove 2006: 191), seperti jika di Amerika Latin yang disebut sebagai indienous people adalah masyarakat suku Indian. Sementara definisi formal lainnya, menurut Dove, erat kaitannya dengan masyarakat dengan sejarah marginalisasi, self-identity, dan self-governance. Indonesia, seperti dikemukakan Li, tidak memiliki kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai indigenous people. Jika pengertian istilah ini mengacu pada defnisi umum yang berkaitan dengan nativeness, semua orang Indonesia adalah native. Hanya saja, yang memanfaatkan artikulasi konsep indigenous dalam gerakan sosial adalah masyarakat adat. Kelompok masyarakat adat inilah yang menjadi perhatian Li dalam melihat bagaimana gerakan indigenous people di Indonesia. Terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di antaranya juga berkaitan dengan gerakan indigenous (indigenous right movement) itu. Pada konteks ini, kolaborasi dan penjelasan konsep artikulasi Hall menjadi signifikan, yakni bagaimana definisi internasional indigenous people dapat digunakan untuk menggerakkan sekelompok orang dalam menuntut hak tertentu. Pembahasan konsep kolaborasi, menurut Dove, merupakan upaya para akademisi untuk melihat kecenderungan gerakan resistensi yang tidak melulu bersifat lokal, seperti dalam pandangan Scott (Dove: 2006). Menurut Dove, beberapa akademisi melihat Scott begitu optimis dalam menilai kemungkinan resistensi komunitas lokal. Sementara yang lain melihat Scott tidak terlalu optimis
9 56 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R karena komunitas lokal begitu saja melakukan perlawanan terhadap komunitas lain. Kol a bor a si DA L A M GER A K A N LINGK U NG A N di SIDOA RJO Menurut Dove (2006: 201), kajian para akademisi tentang kolaborasi umumnya memfokuskan analisanya pada kolaborasi antara indigenous communities dengan NGO. Tsing, misalnya, yang menurut Dove optimis dengan kolaborasi semacam itu dapat membuka kemungkinan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan lingkungan di suatu negara. Gerakan resistensi dalam bencana ekologi di Sidoarjo memberikan gambaran kompleks mengenai bagaimana bentuk gerakan itu, yang terutama berkaitan dengan kemajemukan aktor yang terlibat serta strategi exercising power yang kompleks. Sebagai gambaran awal, kasus ini menuai banyak perdebatan di kalangan ilmuwan dan masyarakat awam karena ketidakjelasan status penyebab terjadinya bencana ekologi itu yang pada akhirnya berimplikasi terhadap ketidakjelasan skema penyelesaiannya. Pada satu titik, pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan presiden yang menjadi acuan penyelesaian, berupa ganti rugi untuk korban dan skema penanggulangan lumpur secara umum. Skema ini tidak begitu saja dapat diterima oleh korban sebagai penyelesaian yang adil. Muncul perdebatan, negosiasi, dan konflik yang tidak hanya antara korban dengan pemerintah dan korporasi tetapi juga antarkorban. Definisi korban yang dikonstruksikan oleh pemerintah melalui aturan hukum itu, membuat pembedaan antara masyarakat sekitar yang dapat memperoleh hak ganti rugi dengan yang tidak. Belum lagi, kelompok masyarakat yang secara legal telah masuk dalam definisi korban tidak selamanya dapat menyatu sebagai aktor tunggal berhadapan dengan negara dan korporasi. Masyarakat terfragmentasi dalam berbagai kelompok berdasarkan tuntutan yang berbeda-beda, bahkan di antara mereka dapat pula saling berkonflik, dan pada lain kesempatan mereka dapat saling berkolaborasi. Namun, perhatian pokok tulisan ini bukan pada kolaborasi antar kelompok korban itu, melainkan pada kolaborasi kelompok korban tertentu atau yang disebut potensial korban dengan NGO dalam kerangka gerakan lingkungan.
10 G o v e r n m e n t a l i t y D A N P E M B E R D A Y A A N 57 Kolaborasi NGO -Korban Kasus bencana ekologi di Sidoarjo tidak hanya mengundang perhatian para aktivis lingkungan saja, tetapi juga para aktivis yang concern pada isu hak asasi manusia; terkait dengan hak atas pemukiman, pekerjaan, dan kehidupan yang layak. Pada awal pendampingan, kedua tipe NGO ini bergerak terpisah dengan tuntutan mereka masing-masing. Di lain hal, pemerintah telah memberikan acuan penyelesaian mencakup kedua isu tersebut. Namun, munculnya resistensi dari masyarakat serta hadirnya NGO, baik yang mendampingi korban maupun yang melakukan gerakan tersendiri, menandakan bahwa skema penyelesaian dari pemerintah dianggap tidak memadai. Pada momen ketika gerakan para aktivis, baik melalui upaya hukum msupun dengan melakukan pendampingan korban, tidak mampu mengubah praktik negara dan korporasi dalam memenuhi berbagai tuntutan dan gerakan itu, NGO-NGO mengadakan aliansi. Pertengahan Juli 2008 diselenggarakan sebuah pertemuan nasional di Jakarta yang dihadiri oleh lembaga sosial, NGO, individu, dan beberapa perwakilan korban lumpur Lapindo. Pertemuan tersebut menyepakati kerangka kerja bersama yang dirumuskan dalam beberapa poin, yaitu: menyebarkan informasi seluas-luasnya mengenai bencana ini secara utuh dan tidak dikooptasi oleh kepentingan pemerintah dan korporasi; melakukan tekanan kepada pemerintah dan perusahaan agar mereka lebih serius; memperkuat kelembagaan, jaringan, dan ketahanan ekonomi kelompok-kelompok korban sehingga meningkatkan posisi tawar mereka terhadap korporasi; memperluas dan memperkuat jaringan solidaritas dari lembaga dan individu terhadap bencana lumpur Lapindo; serta melakukan advokasi terhadap bencana ini ke dunia internasional. Hasil pertemuan itu berujung pada pembentukan sekretariat bersama yang mereka sebut sebagai Posko Bersama. Disebut sebagai Posko Bersama karena yang terlibat dalam kerangka kerja hasil pertemuan itu tidak hanya dari kalangan NGO, tetapi juga dari beberapa kelompok korban seperti Geppres (Gerakan Pendukung Perpres), Perwakilan Warga (PW) Perumtas (Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera), Kelompok Pengontrak Perumtas, Kelompok 9 Desa, dan Besuki Korban Lumpur (BKL). NGO- NGO yang terlibat antara lain Air Putih, Ciliwung Merdeka, Elsam,
11 58 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R GMLL, HRWG, ICEL, Imparsial, Interaksi, JATAM, JRK, Kontras, Kontras Surabaya, Lapis Budaya, LBH Masyarakat, LHKI, PKMI, SatuDunia, Tifa Foundation, UPC, Uplink, Walhi, Walhi Jatim, Yappika, dan beberapa aktivis individu non-ngo. Kolaborasi atau Kehendak untuk Memberdayakan Konsep pemberdayaan dalam tulisan Li berkaitan dengan peningkatan (improvement) taraf hidup masyarakat pedesaan dan pengentasan kemiskinan oleh World Bank melalui Kecamatan Development Project (KDP). Program pengembangan masyarakat oleh World Bank dijalankan melalui pemberian bantuan yang dikompetisikan kepada komunitas lokal masyarakat desa dalam suatu kecamatan. Inti dari program pengembangan ini adalah merestorasi kemampuan alamiah komunitas perdesaan untuk memberdayakan dirinya dalam kerangka social development. Menurut para ahli World Bank, otoritarianisme Suharto telah memperlemah bahkan meniadakan kemampuan itu sehingga perlu dilakukan restorasi melalui KDP. Dalam pandangan Li, tujuan program ini terlampau ambisius sebagai model perubahan sosial. Komunitas ini dalam kerangka program itu musti diberdayakan sehingga memiliki kemampuan membuat perencanaan proyek pengembangannya sendiri, hingga munculnya inisiatif melakukan perubahan politik dari bawah (Li 2005). Kesimpulannya, melalui pemberdayaan komunitas, World Bank membangun strategi pengaturan diri yang oleh Nikolas Rose disebut sebagai government through community dalam agenda developmenalisme neo-liberal (Li 2005). Seperti dalam bahasan Li, konsep pemberdayaan yang dipahami dalam tulisan ini berkaitan dengan upaya untuk mengubah kapasitas dan kemampuan masyarakat atau komunitas dari yang sebelumnya dipandang powerless menjadi empowered. Definisi powerless dan empowered sendiri bergantung pada kelompok atau aktor yang berkepentingan atas upaya pemberdayaan itu. World Bank, misalnya, mengaitkan kedua istilah itu dengan agenda social development. Sementara program pendampingan dan advokasi yang dijalankan oleh NGO biasanya berhubungan dengan agenda penguatan sumber daya dan kapasitas masyarakat dampingan dalam konteks resistensi dan gerakan sosial melawan dominasi negara dan korporasi. Penguatan
12 G o v e r n m e n t a l i t y D A N P E M B E R D A Y A A N 59 sumber daya itu, di antaranya dengan pembentukan kolaborasi kekuatan sipil; dan NGO dalam hal ini dapat berperan sebagai aktor yang mempromosikan apa yang disebut Simons (1995: 87 dalam Bryant 2002: 271) sebagai prinsip resistensi yang permanen (an ethic of permanent resistance) terhadap kontrol sosial negara. Momentum kolaborasi NGO dengan komunitas lokal dapat muncul dalam proses pendampingan yang dilakukan oleh aktivis. Tujuan kolaborasi dan pendampingan memang tidak bisa digeneralisasi. Namun, jika dikaitkan dengan peran NGO sebagai aktor yang, oleh para akademisi, diakui memberikan kontribusi penting dalam perubahan politik di berbagai belahan dunia dengan skala yang berbeda-beda (Bryant, 2002: 285), maka muncul persoalan yang salah satunya adalah pada ranah kolaborasi atau pendampingan. Bryant menilai, peran positif NGO muncul dari penilaian yang hanya berfokus pada capaian yang tampak saja: terpenuhinya proyek-proyek lapangan, adanya perubahan proses politik, atau adanya perubahan perilaku sosial. Padahal, menurut Bryant, jika melihat pada efekefek yang tidak nampak dari tindakan NGO dalam kaitannya dengan kontribusi terhadap perubahan sosial, akan terlihat adanya ambiguitas. Ambiguitas itu muncul bukan karena para aktivis dekat dengan kenyamanan-kenyamanan kelompok elit atau bahwa aktivitas NGO akan memperlemah gerakan anti-negara, melainkan karena peran pemberdayaan mereka berkaitan dengan mekanisme politik kontrol dan pengawasan yang disebut governmentality (Bryant, 2002: 285). Governmentality sebagai Bentuk Relasi Kekuasaan Ada perbedaan yang mencolok dalam memahami kekuasaan terutama dari pandangan yang masih belum bisa melepaskan pengaruh perspektif Marxian dan Weberian dengan pandangan Foucauldian. Beberapa akademisi yang mencoba memahami pandangan Foucault tentang kekuasaan pun rupanya tidak terlalu berhasil melepaskan diri dari kerangkeng pengaruh perspektif kekuasaan negatif Marxian. Tania Li, misalnya, memandang governmentality sebagai sejenis dengan hegemoni (teknologi untuk mengontrol populasi tanpa menggunakan kekerasan dan dominasi tetapi dengan memanipulasi konsensus) namun minus potensi resistensi atau anti
13 60 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R kekuasaan. Kita juga dapat melihat pada tulisan Amity Doolittle yang menggunakan konsep governmentality dalam menjelaskan relasi negara-masyarakat lokal dalam perebutan hak atas tanah sebagai cara negara mengontrol populasi dengan menciptakan mekanisme normalisasi dan pendisipinan, yang tentu saja bias dan tumpang tindih dengan konseps disciplinary power. Demikian pula dapat kita lihat pada tulisan Peluso dan Watts dalam Violent Environments yang memandang bahwa governmentality sebagai konsep relasi kekuasaan dalam medan pertarungan negara vis a vis masyarakat. Selanjutnya pengertian yang sama dapat kita lihat pada tulisan Paul Robbins dalam Political Ecology yang juga merujuk Bryant dalam memahami governmentality sebagai internalisasi cara-cara koersif yang dijalankan negara terhadap populasi dengan menciptakan self-enforcing coersion melalui pengendapan consent (Robbins 2004: 150). Penulis-penulis di atas memberikan pengertian yang kurang lebih sama atas konsep governmentality, yaitu penundukan yang dilakukan secara hegemonik sebagai mekanisme normalisasi relasi dominasi. Pemahaman demikian memiliki pengertian yang tumpang tindih dengan konsep disciplinary power yang memiliki asumsi teoritik berbeda dengan konsep governmentality. Untuk menjawab tantangan konseptual ini, kita dapat melihat pada karya Foucault Discipline and Punish (1975) yang menekankan pada penyelidikan mengenai rasionalisasi politik yang dijalankan negara dan tentang geneologi negara (geneology of the state) (1995: ). Di sisi lain, kita dapat melihat karya Foucault History of Sexuality Vol I (1978) yang menekankan pada penyelidikan mengenai geneologi subjek (geneology of the subject). Pada karya yang pertama Foucault berkepentingan menyelidiki bagaimana praktik kekuasaan yang dijalankan oleh negara menggunakan aparatus disiplin, sementara pada karya selanjutnya Foucault berkepentingan menyelidiki bagaimana pembentukan subjek dalam relasi kekuasaan. Yang pertama adalah usaha untuk menunjukkan bagaimana wujud teknologi kekuasaan, sementara yang belakangan menunjukkan bagaimana proses subjektifikasi terhadap individu dalam relasi sosial. Menurut Lemke (2001), dalam missing link di antara dua penyelidikan itu terletak problem government. Konsep governmentality digunakan oleh Foucault untuk menganalisis hubungan antara apa yang disebut sebagai teknologi diri (technology of the self) dengan teknologi dominasi (technology of domination),
14 G o v e r n m e n t a l i t y D A N P E M B E R D A Y A A N 61 dan pembentukan subjek (constitution of the subject) dengan formasi negara (formation of the state). Pandangan tersebut dapat membantu untuk menjelaskan perbedaan antara relasi kekuasaan dengan relasi dominasi. Hannigan (2006: 53-54) dalam Environmental Sociology, Second Edition, secara tegas juga menjelaskan perbedaan konseptual dalam konsep kekuasaan Foucault dengan konsep dominasi Marxian. Menurut Hannigan:... power may be everywhere but relationship of power are rarely asymmetrical and wholly democratic. Fouacult makes an important distinction between power and domination. The latter refers to asymmetrical relationships of power in which the subordinated party has a negligible chance of exercising his or her will. Whereas power relationships are often unstable and reversible, domination means that these relationships are less fluid and less negotiation. Dominasi adalah bentuk praktik kekuasaan yang berimplikasi melahirkan situasi di mana ranah pilihan tindakan subjek yang didominasi begitu terbatas. Sebaliknya praktik governmentality adalah bentuk kontrol atau pengendalian diri (self-government) yang membentuk dan menghasilkan terbukanya kemungkinan pilihan tindakan subjek. Konsep kekuasaan ini tidak mengeksklusi bentuk konsensual (hegemoni) atau pilihan penggunaan kekerasan. Penggunaan kekerasan dan model konsensual telah direformulasi menjadi elemen pengendalian antarsubjek dalam relasi sosial. Metodemetode koersi dan konsensus itu merupakan elemen atau instrumen daripada fondasi atau sumber relasi kekuasaan (Foucault 1982b: ). Menurut Lemke (2000: 4) governmentality merupakan konsep kekuasaan yang digunakan oleh Foucault untuk mempelajari kapasitas otonom individu dalam melakukan kontrol diri dan bagaimana hal itu berkaitan dengan kepentingan politik-ekonomi negara. Governmentality adalah konsep kekuasaan yang digunakan untuk menyelidiki bagaimana hubungan antara teknologi diri (power from below) dengan teknologi dominasi (power from above). I think that if one wants to analyze the genealogy of the subject in Western civilization, he has to take into account not only techniques of domination but also techniques of the self. Let s say: he has to take into account the interaction between those two
15 62 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R types of techniques techniques of domination and techniques of the self. He has to take into account the points where the technologies of domination of individuals over one another have recourse to processes by which the individual acts upon himself. And conversely, he has to take into account the points where the techniques of the self are integrated into structures of coercion and domination. The contact point, where the individuals are driven by others is tied to the way they conduct themselves, is what we can call, I think government. Governing people, in the broad meaning of the word, governing people is not a way to force people to do what the governor wants; it is always a versatile equilibrium, with complementarity and conflicts between techniques which assure coercion and processes through which the self is constructed or modified by himself (Foucault 1993: ). Dengan merujuk pada pemahaman tersebut, jika governmentality dipandang sebagai praktik kekuasaan yang potensial dalam diri subjek sehingga memiliki kapasitas kontrol diri, maka cara-cara kekerasan dan konsensual pun berlangsung, tetapi bukan dalam relasi dominasi melainkan dalam relasi sosial antar individu. Relasi kekuasaan (governmentality) juga menghadirkan situasi di mana individu merasa bebas. Individu tidak merasa terpaksa atau menganggap tidak ada alternatif tindakan selain yang telah ditentukan oleh kelompok dominan, melainkan secara potensial dalam diri subjek terdapat pengendalian atas praktik hidupnya sesuai dengan kontrol sosial yang dikehendaki oleh kepentingan politik-ekonomi negara. Relasi dominasi mengandaikan bahwa relasi antar-subjek tidak berlangsung secara sejajar atau seimbang. Relasi dominasi merupakan bentuk relasi kekuasaan yang asimetris di mana subjek yang didominasi memiliki keterbatasan ruang untuk bermanuver atau dalam menentukan pilihan suatu tindakan (Foucault 1982a). Relasi dominasi adalah bentuk dari relasi kekuasaan yang stabil, hirarkis, tetap, dan sulit untuk dipertahankan. Perbedaan antara kekuasaan dengan dominasi dapat pula diketahui dengan melihat bahwa ada model relasi kekuasaan lainnya, yakni relasi kekuasaan sebagai strategic games between liberties. Beroperasinya kekuasaan dalam model ini dapat dilihat dalam bentuk manipulasi ideologi, penyampaian argumentasi yang rasional, atau eksploitasi ekonomi, tetapi tidak berarti bahwa kekuasaan ini bertentangan
16 G o v e r n m e n t a l i t y D A N P E M B E R D A Y A A N 63 dengan kepentingan subjek yang lain dari relasi kekuasaan itu; dan pada konteks ini juga tidak signifikan untuk mengatakan bahwa menentukan tindakan orang lain (to determine the conduct of other) adalah buruk. Relasi kekuasaan dalam model ini dapat kita amati pada upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) atau upaya pemaksaan terhadap subjek tertentu agar memperoleh kebebasan dalam mengambil keputusan (Foucault 1982a). Model relasi kekuasaan lainnya adalah yang disebut Foucault sebagai governmentality. Model ini berada di antara strategic games dan dominasi. Governmentality hanya mungkin berlangsung di antara subjek yang memiliki kebebasan atau memiliki banyak kemungkinan pilihan tindakan. Governemntality disebut juga sebagai conduct of conduct, suatu relasi kekuasaan yang dibangun dengan mengandaikan adanya kebebasan tetapi sekaligus mengarahkan (Foucault 1982b). Menjalankan relasi kekuasan dalam model ini juga berarti sebagai mengatur, membentuk, dan mengkonstruksi pilihan tindakan tertentu dari tindakan yang lain. Dengan demikian, ada tiga level analisa kekuasaan, yakni yang dipahami sebagai relasi strategi, governmentality, dan dominasi (yang biasanya disebut sebagai kekuasaan). Sementara itu, Li dan beberapa penulis tersebut di atas menyamakan governmentality dengan hegemoni atau dominasi yang dinormalisasikan melalui consent, bukan sebagai teknik dalam relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan itu terdapat dalam setiap relasi sosial, karena itu kekuasaan tidak memusat dan tidak pula termiliki, tetapi tersebar: bukan karena merengkuh segalanya tetapi karena ia berasal dari manapun. Relasi dominasi mengandaikan bahwa subjek subordinat memiliki pilihan tindakan yang sangat terbatas, dan ia tidak memiliki pilihan lain selain yang dikehendaki kelompok dominan. Sedangkan relasi kekuasaan memberikan banyak kemungkinan pilihan tindakan. Conduct of conduct bukan bagaimana tindakan seseorang mempengaruhi tindakan orang lain, melainkan adanya suatu tindakan tertentu dapat menghadirkan berbagai kemungkinan pilihan tindakan, tetapi ia sendiri memilih tindakan yang sebenarnya dikehendaki oleh negara (Foucault 1982: ). Pemilihan tindakan itu bukan karena paksaan atau ketidaksadaran alam pikiran yang diarahkan oleh hegemoni dan menipulasi ideologi, melainkan secara potensial seorang individu menetukan pilihan tindakan yang sesungguhnya dikehendaki oleh negara. Dengan
17 6 4 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R demikian, governmentality sesungguhnya adalah gambaran tentang mekanisme kekuasaan dalam relasi kekuasaan yang berada dalam setiap relasi sosial, bukan sekedar relasi negara dengan masyarakat seperti dalam pandangan Marx atau Gramsci. Hanya saja, memang relasi kekuasaan yang tampaknya hanya berurusan dengan relasi antar subjek ternyata semakin dipengaruhi oleh negara. Maka pada relasi kekuasaan yang berlangsung dalam setiap relasi sosial sesungguhnya melekat di dalamnya pengaruh kepentingan-kepentingan negara. Menurut Foucault, relasi kekuasaan kini sudah semakin dipengaruhi dan terus-menerus berada di bawah kontrol negara. Itulah mengapa kemudian Foucault menyebut model relasi kekuasaan itu sebagai governmentality karena memang relasi kekuasaan semakin digovermentalisasikan (governmentalized). Pemberdayaan sebagai Governmentality Governmentality hanya mungkin berlangsung di antara subjek yang memiliki kebebasan atau memiliki banyak kemungkinan pilihan tindakan. Governemntality disebut juga sebagai conduct of conduct (Foucault 1982b). Menjalankan relasi kekuasan dalam model ini juga berarti sebagai mengatur, membentuk, dan mengkonstruksi ranah pilihan tindakan dari yang lain. Sementara itu, relasi kekuasaan yang bekerja memanfaatkan fungsi wacana sebagai rezim kebenaran, menggunakan aparatus disiplin dalam normalisasi praktik sosial subjek. Bentuk relasi dalam pendisiplinan tubuh individu ini merupakan relasi dominasi. Ada aktor dominan yang memproduksi wacana sebagai pengetahuan yang legitimate dalam menerangkan realitas yang kemudian diendapkan oleh individu yang ditundukkan agar bersikap seperti yang dikehendaki oleh aktor dominan itu. Tindakan individu yang demikian merupakan tindakan yang tepat dan disiplin. Kepentingan aktor dominan menjadi rasionalitas atas tubuh yang disiplin. Praktik pendisiplinan dijalankan sebagai aparatus kekuasaan terhadap target tubuh individu. Berbeda dengan disciplinary power, governmentality bekerja sebagai relasi kekuasaan dengan targetnya pada tubuh sosial. Jika dalam pendisiplinan berlangsung relasi dominasi, maka pada governmentality beroperasi relasi kekuasaan. Alasannya, target pada tubuh sosial tidak memungkinkan relasi dominasi dijalankan dalam mendisiplinkan
18 G o v e r n m e n t a l i t y D A N P E M B E R D A Y A A N 65 tubuh sosial. Seperti halnya dalam praktik pendisiplinan, penggunaan aparatus governmentality dalam mengontrol tubuh sosial juga memanfaatkan fungsi wacana dan produksi pengetahuan. Namun, bentuk pengetahuannya bukan dihasilkan melalui definisi ilmiah dan klaim kebenaran, melainkan pengetahuan tentang politik-ekonomi. Konsep tentang problematisasi atas realitas menjadi pintu masuk untuk menjalankan kekuasaan yang menggunakan aparatus governmentality. Problematisasi menghendaki produksi pengetahuan dalam definisi politik-ekonomi produsennya. Pada konteks ini, aktor dominan tidak lagi menggunakan klaim kebenaran dalam mendisiplinkan tubuh sosial, melainkan dengan menghadirkan pandangan bahwa realitas yang tengah dihadapi oleh masyarakat merupakan realitas yang bermasalah. Problematisasi realitas akan membuka peluang bagi aktor dominan untuk mengintervensi dalam mengkonstruksi realitas agar tidak lagi dipandang bermasalah. Populasi yang menjadi target dari beroperasinya kekuasaan ini akan memandang hal itu sebagai suatu cara yang tepat. Demikian pula, aktor dominan akan melihat bahwa praktik sosial dan cara pandang populasi yang demikian sebagai sesuatu yang tepat pula. Praktik sosial populasi yang demikian merupakan praktik yang disiplin dan tepat pada posisi yang diharapkan oleh aktor dominan. Konsep ini disebut Foucault sebagai right disposition of things. Uraian konseptual di atas akan mengantarkan tulisan ini dalam melihat governmentality pada proses pemberdayaan atau kolaborasi NGO dengan kelompok masyarakat di Sidoarjo. Secara sederhana, elemen-elemen governmentality sebagai form of social control adalah sebagai berikut: Governmentality merupakan bentuk exercising power dalam ranah relasi kekuasaan, bukan relasi dominasi; karena itu, baik governing actor maupun governed actor berdiri sejajar, tidak sebagai powerless atau powerful; Governmentality adalah conduct of conduct, mengatur dan mengarahkan tindakan subjek satu sama lain dalam ranah kebebasan dan kesetaraan; Governmentality juga mengenai right disposition of things, di mana things adalah manusia dalam relasinya dengan kesejahteraan, sumber daya, teritori, kebiasaan, cara berpikir dan bertindak (Foucault, 1991: 93 dalam Bryant);
19 66 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R Governmentality juga tentang problematisasi, yakni cara bagaimana aktor tertentu dapat mengintervensi pilihan tindakan aktor lainnya dengan mempersoalkan things atau relasi aktor tertentu dengan realitas yang ingin diintervensi oleh aktor lainnya. Governmentality dalam Kasus Lapindo Kasus pemberdayaan yang dilakukan oleh NGO terhadap masyarakat korban dalam penyelesaian persoalan lingkungan di Sidoarjo dapat memberikan gambaran tentang elemen-elemen governmentality itu. Hal ini sekaligus untuk menunjukkan dilema peran NGO dalam pemberdayaan. Di Sidoarjo, para aktivis yang mendampingi korban berpandangan bahwa ada dua persoalan berkaitan dengan penyelesaian kasus itu. Yang pertama adalah soal tuntutan warga mengenai penyelesaian ganti rugi yang telah diatur dalam Perpres No. 14 tahun Sementara persoalan lainnya berkaitan dengan kepentingan penyelesaian kasus secara luas tidak hanya soal ganti rugi dalam skema perpres, tetapi juga persoalan pemulihan lingkungan, hak masyarakat atas pemukiman, kesehatan, dan pencemaran Sungai Porong. Persoalan-persoalan besar ini menurut para aktivis seharusnya juga menjadi perhatian dan tanggung jawab pemerintah dan Lapindo, korporasi yang dituduh sebagai penyebab terjadinya bencana ekologi. Menurut mereka, pemerintah selama ini abai terhadap persoalan itu, sementara Lapindo hanya mau bertanggung jawab dalam batas aturan legal, itupun tidak semuanya dipenuhi. Sedangkan masyarakat, dalam pandangan aktivis, terjebak hanya berkepentingan mengurusi penyelesaian ganti rugi dalam skema perpres, yakni skema pemerintah mengenai penyelesaian kasus yang hanya memuat dampak sosial melalui pemberian ganti rugi atas musnahnya pemukiman dan tanah warga. Kepentingan para aktivis adalah menuntut penyelesaian total atas dampak sosial dan lingkungan yang menurut mereka seharusnya juga menjadi kepentingan warga. Namun, para aktivis juga mengakui bahwa tidak mudah persoalan besar itu menjadi bagian dari tuntutan warga. Kelompok korban sebenarnya juga membenarkan pandangan para aktivis bahwa ada persoalan lain selain ganti rugi, tetapi penyelesaian ganti rugi itu saja sudah banyak menyita energi korban. Artinya, sebagian besar masyarakat sebenarnya tidak
20 G o v e r n m e n t a l i t y D A N P E M B E R D A Y A A N 67 begitu berkepentingan dengan apa yang juga seharusnya menjadi kepentingan mereka dalam pandangan aktivis. Sementara instrumen yang paling mungkin menjadi jalan untuk mencapai kepentingan besar para aktivis itu adalah kekuatan massa dari sekelompok warga korban. Para aktivis mengandalkan masyarakat korban sebagai jalan dalam menantang negara dan korporasi. Kelompok masyarakat yang bisa dikonsolidasikan oleh para aktivis dalam melakukan gerakan bersama, meski tuntutannya terbatas dalam soal skema ganti rugi, adalah Geppres dan kelompok 9 Desa yang pada saat itu berkepentingan menuntut agar desanya masuk dalam peta areal terdampak menurut definisi perpres. Menurut para aktivis, kelompok 9 Desa adalah kelompok yang paling mungkin bisa membawa kepentingan besar mereka menjadi bagian dari isi tuntutan warga. Alasannya, tuntutan kelompok 9 Desa agar masuk dalam peta terdampak dan untuk memperoleh penyelesaian ganti rugi dari pemerintah atau Lapindo didasari atas persoalan pemukiman mereka yang sudah tidak layak huni. Munculnya bubble gas metan yang mudah terbakar dengan bau yang menyengat, amblesnya tanah yang menyebabkan keretakan pada dinding rumah secara vertikal maupun horizontal, serta tercemarnya air sumur warga di sembilan desa itu dapat menjadi dasar di mana persoalan lingkungan, hunian, dan kesehatan juga menjadi kepentingan warga yang lebih mendasar dari sekedar penyelesaian ganti rugi perpres. Melihat kondisi ini, pilihan sementara yang dapat dilakukan oleh para aktivis pada tahap awal adalah tetap mengawal tuntutan warga atas penyelesaian ganti rugi dalam model cash and carry, sebagaimana menjadi tuntutan kelompok Geppres. Oleh karena itu, para aktvis sangat menjaga hubungan dengan kelompok Geppres agar bisa selalu dikonsolidasikan, bahkan diatur dan dikendalikan. Menjaga relasi kolaborasi dengan Geppres akan memberi peluang bagi aktivis melakukan penyadaran dan intervensi bahwa apa yang dipandang sebagai persoalan bagi aktivis juga akan dipandang sebagai persoalan bagi Geppres, dan apa yang menjadi kepentingan para aktivis juga akan menjadi kepentingan kelompok Geppres. Meski demikian, para aktivis sebenarnya khawatir jika mereka hanya mengandalkan basis massa Geppres dalam melakukan perlawanan. Persoalannya, kalaupun pada saat itu yang bisa dilakukan adalah mengawal tuntutan kompensasi ganti rugi warga, jika tuntutan ini telah terpenuhi, tidak ada jaminan kolaborasi tetap dapat dilakukan.
21 68 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R Para aktivis juga menyadari sulitnya melakukan perlawanan tanpa basis massa dari korban. Dilema di atas membuat aktivis menempatkan kelompok warga 9 Desa sebagai basis massa potensial dalam menuntut pemulihan dan ganti rugi atas dampak sosial dan lingkungan yang lebih besar. Pada konteks ini media yang diproduksi oleh Posko Bersama menjadi penting. Baik melalui website, buletin, dan radio para aktivis menyusun berita dan membuat laporan tentang segala peristiwa yang berkaitan dengan Kasus Lapindo. Menurut para aktivis, penerbitan media ini bertujuan memberikan keseimbangan informasi atas pemberitaan media mainstream yang menurut mereka terlalu sering mendistorsi fakta kepada korban dan masyarakat luas atas berbagai persoalan yang muncul dari kasus Lapindo. Ada tiga jenis topik yang menjadi sorotan utama media yang diproduksi oleh aktivis. Pertama adalah persoalan penyelesaian ganti rugi warga. Jika sebagain besar isi berita dalam media mainstream atas topik ini memberikan kesan kepada pembacanya bahwa tidak ada masalah dalam proses penyelesaian ganti rugi warga, maka media yang diproduksi aktivis memberikan gambaran sebaliknya. Media milik aktivis sering menampilkan sosok individu warga yang jauh dari penyelesaian ganti rugi, terutama terkait pembayaran bertahap 20% ataupun 80%. Topik kedua mengenai pedebatan para ilmuwan dalam memandang penyebab semburan lumpur. Media milik aktivis tidak menampilkan kedua pandangan itu secara berimbang, tetapi berpihak pada pandangan yang melihat semburan lumpur berkaitan dengan eksplorasi Lapindo. Para aktivis menampilkan pandangan ini begitu menonjol selain karena mereka meyakini hal itu sebagai kebenaran, juga karena cara pemberitaan seperti itu merupakan bagian dari peran media yang memberikan informasi secara berimbang. Media mainstream, dalam pandangan aktivis, terlalu berpihak pada kepentingan Lapindo. Karena itulah hadirnya media milik aktivis justru menyajikan pandangan sebaliknya agar publik dapat mengonsumsi kedua sisi pandangan secara berimbang. Ilmuwan-ilmuwan yang memandang semburan berkorelasi positif dengan pengeboran menjadi rujukan utama media aktivis. Sementara ilmuwan dan sumber apapun yang mengatakan sebaliknya menjadi sasaran kritik media ini. Topik ketiga tentang dampak yang lebih luas akibat semburan lumpur, tidak hanya soal tenggelamnya pemukiman warga, tetapi
22 G o v e r n m e n t a l i t y D A N P E M B E R D A Y A A N 69 juga soal kerusakan dan pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan warga, hak warga atas pemukiman yang layak, pencemaran air sumur warga, pencemaran akibat pembuangan lumpur ke Sungai Porong yang juga berdampak pada kegiatan para petani, petambak, dan penambang pasir di sekitarnya. Topik ini disajikan misalnya dengan menampilkan sosok warga petani, petambak, dan penambang pasir yang mengalami kerugian akibat pembuangan lumpur ke Sungai Porong. Soal kesehatan dan pencemaran lingkungan juga menjadi perhatian penting yang disajikan media ini. Terlebih isu-isu ini merupakan bagian dari apa yang mereka sebut sebagai persoalan besar daripada sekadar urusan kompensasi ganti rugi. Ketiga topik itu dapat menggambarkan apa yang menjadi kepentingan aktivis, apa yang mereka perjuangkan, dan realitas macam apa yang hendak mereka konstruksi. Dengan memandang kelompok warga 9 Desa sebagai basis massa potensial dalam perjuangan aktivis, maka para aktivis berusaha mengawal apa yang menjadi kepentingan kelompok 9 Desa. Dengan itu pula, kepentingan aktivis untuk mengangkat isu-isu yang diabaikan oleh pemerintah juga dapat menjadi kepentingan kelompok 9 Desa. Mereka berusaha membuka ruang untuk bisa mengintervensi korban agar tuntutan warga tidak hanya soal ganti rugi menurut perpres atau upaya untuk masuk dalam peta area terdampak, tetapi juga mengangkat masalahmasalah lain yang lebih besar sebagai bagian dari persoalan warga. Usaha untuk mengintervensi perjuangan dan tuntutan warga agar apa yang menjadi kepentingan aktivis juga menjadi kepentingan korban dengan menampilkan isu-isu penting aktivis yang seharusnya juga menjadi persoalan warga merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai problematisasi. Melalui problematisasi para aktivis membentuk subjek korban yang produktif, yang bermanfaat untuk memperjuangkan kepentingan aktivis. Para aktivis memproduksi wacana tentang realitas yang bermasalah. Walhi misalnya, pada tahun 2008 telah melakukan penelitian mengenai kandungan zat berbahaya berupa PAH (Polyciclic Aromatic Hydrocarbon) di luar ambang batas yang bisa ditoleransi di lingkungan sekitar semburan. Sembilan desa merupakan daerah yang paling rawan udaranya tercemar kandungan zat itu dengan gradasi tingkat bahaya yang bebeda-beda. Temuan ini sering menjadi acuan warga sehingga mereka merasa berhak menuntut ganti rugi dan penyelesaian persoalan lingkungan dari pemerintah.
23 70 A b d i l M U G H I S M U D H O F F I R Dengan mempersoalkan realitas melalui problematisasi, para aktivis memperoleh justifikasi untuk melakukan intervensi yang efeknya menciptakan subjek korban yang berguna, dan bermanfaat bagi tercapainya kepentingan para aktivis. Dari kasus kolaborasi aktivis dengan Geppres, tujuan pendampingan aktivis bukan sekedar mengawal apa yang dipandang penting dan apa yang menjadi tuntutan korban. Lebih dari itu, para aktivis berusaha menghadirkan situasi di mana korban memikirkan dan memperjuangkan kepentingan aktivis. Pembentukan korban sebagai subjek yang berguna merupakan bentuk dari right disposition of things. Apa yang dipandang oleh aktivis dalam melakukan pengorganisasian, pendampingan, dan advokasi bukan semata-mata pemberdayaan (empowerment) terhadap korban, melainkan juga jalan bagi aktivis untuk mencapai kepentingannya dengan menjadikan korban sebagai governable subject. Buktinya, para aktivis tidak akan berhenti melakukan perjuangannya jika pendampingan mereka kepada korban telah menghasilkan keberhasilan tuntutan. Kepentingan para aktivis ini bukan pemberdayaan, dan tujuan mereka juga bukan melakukan pemberdayaan terhadap korban melainkan dengan memberdayakan korban, mereka memiliki justifikasi mencapai kepentingannya. Kepentingan aktivis adalah menciptakan tatanan sosial dan realitas berdasarkan apa yang dibayangkannya, yakni realitas sosial dan lingkungan yang memperoleh pemulihan total atas dampak semburan sebagai tanggung jawab pemerintah dan Lapindo. Cara yang digunakan oleh para aktivis dalam membentuk subjek korban yang dikehendaki tidak dengan memaksakan bentuk pilihan tertentu sebagai sesuatu yang harus ditempuh oleh korban. Masyarakat masih memiliki ruang kebebasan yang sangat luas dalam memilih apakah mereka akan mengikuti jalan para aktivis atau tidak. Media yang diproduksi oleh aktivis dalam hal ini memiliki peran yang penting dalam proses governmentality ini. Aktivis tidak memaksakan korban agar mereka menuntut apa yang menjadi kepentingan mereka. Mereka hanya memberikan gambaran apa yang menjadi kebutuhan dan tuntutan korban dan apa yang bisa menjadi alternatif kepentingan lainnya. Adanya kebebasan ini merupakan elemen dari governmentality. Korban memiliki pilihan antara menjadi governable subject dengan pilihan untuk lari darinya. Praktik-praktik advokasi dan pendampingan para aktivis atas nama pemberdayaan tidak hanya mengandung makna adanya kehendak
BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118
BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.
Lebih terperinciTeori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik
Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik Abdil Mughis Mudhoffir Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Email: abdil.mughis@yahoo Abstrak Kekuasaan kerap diperbincangkan dalam
Lebih terperinciUNIVERSITAS INDONESIA BEREBUT KEBENARAN: Governmentality Pada Kasus Lapindo TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
UNIVERSITAS INDONESIA BEREBUT KEBENARAN: Governmentality Pada Kasus Lapindo TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) dalam Ilmu Sosiologi Oleh: ABDIL MUGHIS
Lebih terperinciTEORI KEKUASAAN MICHEL FOUCAULT: TANTANGAN BAGI SOSIOLOGI POLITIK. Oleh: Umar Kamahi (Dosen UNDAMA Kupag)
TEORI KEKUASAAN MICHEL FOUCAULT: TANTANGAN BAGI SOSIOLOGI POLITIK Oleh: Umar Kamahi (Dosen UNDAMA Kupag) ABSTRAK Kekuasaan kerap diperbincangkan dalam wacana politik atau sosiologi politik. Dalam konteks
Lebih terperincimengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea
BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia
Lebih terperinciTATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto
TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Hendra Wijayanto PERTANYAAN Apa yang dimaksud government? Apa yang dimaksud governance? SEJARAH IDE GOVERNANCE Tahap 1 Transformasi government sepanjang
Lebih terperinciBAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dengan pemaparan dan analisa sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Latarbelakang lahirnya kontestasi multi
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran
Lebih terperinci8 KESIMPULAN DAN SARAN
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat
Lebih terperinciTeori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme
Studi Media Perspektif Media Krititis MIKOM Universitas Muhammadiyah Jakarta Aminah, M.Si Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri
Lebih terperinciUntuk mengutip artikel ini (ASA Style): Bagaskara, Adam Kerangkeng Besi di Era Demokratisasi Total. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 20(1):
Resensi Buku ISSN: 0852-8489 Kerangkeng Besi di Era Demokratisasi Total Penulis: Adam Bagaskara Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI Diterima: Desember 2015; Disetujui: Desember
Lebih terperinciBab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,
Lebih terperinciAKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI LSM: Perspektif Pemerintah Daerah
AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI LSM: Perspektif Pemerintah Daerah Oleh Kamalia Purbani Sumber: BUKU KRITIK & OTOKRITIK LSM: Membongkar Kejujuran Dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia (Hamid
Lebih terperinciKekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara
Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara Abdil Mughis Mudhoffir http://indoprogress.com/2016/12/kekerasan-sipil-dan-kekuasaan-negara/ 15 December 2016 IndoPROGRESS KEBERADAAN kelompok-kelompok sipil yang dapat
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kehadiran gerakan perempuan yang ada di Yogyakarta telah dimulai sejak rejim orde baru berkuasa. Dalam tesis ini didapatkan temuan bahwa perjalanan gerakan perempuan bukanlah
Lebih terperinciproses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.
BAB V KESIMPULAN Studi ini menyimpulkan bahwa politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe merupakan konstruksi sosial yang dapat dipahami melalui konteks struktur sosial yang lebih luas. Khususnya
Lebih terperinciMENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT
BRIEF NOTE AMERTA Social Consulting & Resourcing Jl. Pulo Asem Utara Raya A20 Rawamangun, Jakarta 132 13220 Email: amerta.association@gmail.com Fax: 62-21-4719005 MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pengembangan pemanfaatan sumberdaya energi non minyak saat ini sangat diperlukan, mengingat semakin tipisnya cadangan minyak bumi kita. Salah satu langkah yang ditempuh
Lebih terperinciBAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS
17 BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS Landasan teori pada penelitian ini menggunakan teori Ralf Dahendrof. Karena, teori Dahendrof berhubungan dengan fenomena sosial masyarakat salah satunya adalah teori
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya
Lebih terperinciBaca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman.
Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. 1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan deep ecology? 2. Bagaimana menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari? 3. Apa peran pemerintah dalam konsep
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan temuan dan analisa yang ada penelitian menyimpulkan bahwa PT. INCO mengimplementasikan praktek komunikasi berdasarkan strategi dialog yang berbasis
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas
BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa
Lebih terperinciEmbrio Sosiologi Militer di Indonesia
Pengantar Redaksi Embrio Sosiologi Militer di Indonesia GENEALOGI SOSIOLOGI MILITER Kalau diteliti lebih dalam, setiap sosiolog besar pasti pernah berbicara tentang institusi militer, tak terkecuali Marx,
Lebih terperinciPartisipasi kelompok marginal dan perempuan
Memastikan tersedianya kesempatan yang sama di antara berbagai kelompok masyarakat, termasuk antara laki-laki dan perempuan, adalah instrumen penting untuk mencapai tujuan pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan.
Lebih terperinciMETODOLOGI. Hutan untuk Masa Depan Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia
Hutan untuk Masa Depan 2 METODOLOGI Struktur Buku ini adalah sebuah upaya untuk menampilkan perspektif masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan. Buku ini bukanlah suatu studi ekstensif
Lebih terperinciyang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan
Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup
Lebih terperinciTeori Konflik I: Marxis dan Neo Marxis
Teori Konflik I: Marxis dan Neo Marxis K U L I A H KE- 5: A M I K A W A R D A N A, P H. D A. W A R D A N A @ U N Y. A C. I D T E O R I S O S I O L O G I K O N T E M P O R E R Materi: Fungsionalisme Versus
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam
BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini
Lebih terperinciBAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah
BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah Kabupaten Nagekeo dalam pembangunan saluran irigasi Mbay kiri dipicu oleh masalah ketidakadilan
Lebih terperinciSOSIOLOGI PENDIDIKAN
SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak separuh dekade yang lalu, terdapat suatu aktivitas baru pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak separuh dekade yang lalu, terdapat suatu aktivitas baru pada beberapa warung internet (warnet) di Yogyakarta. Beberapa warnet seolah beralih fungsi dari tempat
Lebih terperinciBAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik
Lebih terperinciBAB IX MANAJEMEN PERUBAHAN SISTEM PEMASYARAKATAN
BAB IX MANAJEMEN PERUBAHAN SISTEM PEMASYARAKATAN A. Alasan Perlunya Perubahan Sudah menjadi kecenderungan umum, bahwa hukum akan selalu terlambat dari perkembangan masyarakat. Demikian pula dengan kemampuan
Lebih terperinciImaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU
RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J
Lebih terperinciVI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV
VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Pada bagian ini diuraikan kesimpulan, implikasi dan rekomendasi berdasar hasil penelitian yang telah dilakukan. 6.1. Kesimpulan Berdasarkan temuan-temuan dan analisa
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini berangkat dari sikap afirmasi penulis terhadap kebutuhan akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua model pemikiran
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian
BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.
Lebih terperinciBAB V PENUTUP Pertama
BAB V PENUTUP Tesis ini adalah media sosial sebagai strategi gerakan dalam konteks demokrasi. Peneliti memandang media sosial dengan cara pandang teknorealis. Artinya, media sosial bagai pedang bermata
Lebih terperinciDefinisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.
Definisi Global Profesi Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan
Lebih terperinciProblem Pelaksanaan dan Penanganan
Problem Pelaksanaan dan Penanganan Pelanggaran Hak Atas Pangan Sri Palupi Institute t for Ecosoc Rights Disampaikan dalam acara Workshop Memperkuat Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek
Lebih terperinciSituasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim
BAB I PENDAHULUAN Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim global yang menuntut Indonesia harus mampu membangun sistem penyediaan pangannya secara mandiri. Sistem
Lebih terperinciBAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 10.1. Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan masyarakat akan informasi yang terjadi setiap harinya, sudah menjadi kebutuhan penting di setiap harinya. Media massa merupakan wadah bagi semua informasi
Lebih terperinciII. PENDEKATAN TEORITIS
II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama
Lebih terperinciTRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA. Arie Sujito
TRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA Arie Sujito Apa pelajaran berharga yang dibisa dipetik dari perubahan desa sejak UU No. 6/ 2014? Apa tantangan
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai
286 BAB VI PENUTUP A. Simpulan Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai lembaga yang mengalami proses interaksi sosial, baik secara pribadi maupun kolektif, tetap saja dipahami
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu Etnisitas adalah isu yang sangat rentan menjadi komoditi politik pada setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja dimobilisasi dan dimanipulasi
Lebih terperinciPENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian
PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian Penelitian tentang karakteristik organisasi petani dalam tesis ini sebelumnya telah didahului oleh penelitian untuk menentukan klasifikasi organisasi petani yang ada
Lebih terperinciKajian Tenurial. Ahmad Nashih Luthfi. Centre for Social Excellence Yogyakarta, 3 April 2016
Kajian Tenurial Ahmad Nashih Luthfi Centre for Social Excellence Yogyakarta, 3 April 2016 Tujuan Kajian Tenurial (diacu dari ToR) Transformasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang: Dasar-dasar
Lebih terperinciRio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.
Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang
Lebih terperinciREPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Penandatanganan MoU
Lebih terperinciMakalah. WORKSHOP Memperkuat Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya : Prospek dan Tantangan
Makalah WORKSHOP Memperkuat Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya : Prospek dan Tantangan Yogyakarta, 13-15 November 2007 Mengembangkan Tanggung Jawab Hak Asasi Manusia Perusahaan Transnasional
Lebih terperinciPerjuangan Front dan Perjuangan Demokratisasi Kampus
Perjuangan Front dan Perjuangan Demokratisasi Kampus Ditulis oleh Toni Triyanto Dalam setiap fase pergolakan politik di tanah air ini sebenarnya tidak lepas dari peran kaum pemuda dan Mahasiswa, sepanjang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di
Lebih terperinciAgenda dan Prioritas Pembangunan Jawa Timur
IV Agenda dan Prioritas Pembangunan Jawa Timur IV.1 Agenda Pembangunan Berdasarkan visi, misi, dan strategi pembangunan, serta permasalahan pembangunan yang telah diuraikan sebelumnya, maka disusun sembilan
Lebih terperinciPERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM
PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM Sebelum PD I studi Hubungan Internasional lebih banyak berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional Setelah PD I mulai ada
Lebih terperinciBAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.I Kesimpulan Hasil penelitian ini menjawab beberapa hal, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tesis ini,
BAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.I Kesimpulan Hasil penelitian ini menjawab beberapa hal, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tesis ini, yaitu: 1. Tahapan dan Bentuk Gerakan Lingkungan di
Lebih terperinci4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer
Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan
BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan
Lebih terperinciPolitik Global dalam Teori dan Praktik
Politik Global dalam Teori dan Praktik Oleh: Aleksius Jemadu Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan
Lebih terperinciBAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan
BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam
BAB V PENUTUP Jawaban atas pertanyaan mengapa ruang kuasa yang telah menciptakan LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam dirinya untuk menentukan kontur dan corak dari ruang
Lebih terperinciBULETIN ORGANISASI DAN APARATUR
BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil dan pembahasan kajian kritis tentang media sosial, pola komunikasi politik dan relasi kuasa dalam masyarakat kesukuan Flores dengan
Lebih terperinciOLEH: MUCHAMMAD ZAIDUN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA
OLEH: MUCHAMMAD ZAIDUN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA * POKOK PIKIRAN YANG DISAMPAIKAN DALAM SEMINAR PUBLIC INTEREST LAWYER NETWORK (PILNET) PADA TANGGAL 3 5 AGUSTUS 2010 YANG DISELENGGARAKAN OLEH
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai
Lebih terperinciSTRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1
STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1 Handoko Soetomo 2 Peran organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks dan tantangan
Lebih terperinciMENGIKAT TALI KOMUNITAS MEMUTUS RANTAI KEKERASANTERHADAPPEREMPUAN
MENGIKAT TALI KOMUNITAS MEMUTUS RANTAI KEKERASANTERHADAPPEREMPUAN Danang Arif Darmawan Yogyakarta: Media Wacana 2008, xvi + 1 06 halaman Direview oleh: Sari Seftiani Pada awalnya, buku ini merupakan sebuah
Lebih terperinciPROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN
PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN Oleh : Budi wardono Istiana Achmad nurul hadi Arfah elly BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pertarungan wacana politik Kasus Bank Century di media massa (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian menunjukkan berbagai temuan penelitian yang
Lebih terperinciBAB 3 METODE PENELITIAN
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Kualitatif Penelitian ini akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Mengacu pada pendapat Newman (2003:16), Pendekatan ini dipandang tepat karena
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan
Lebih terperinciKerangka Acuan Kompetisi Debat Hak Asasi Manusia Dalam Rangka Perayaan Hari HAM Internasional 3-6 Desember 2009
Kerangka Acuan Kompetisi Debat Hak Asasi Manusia Dalam Rangka Perayaan Hari HAM Internasional 3-6 Desember 2009 Latar Belakang Enam belas tahun ELSAM telah berjuang untuk pemajuan hak asasi manusia, dirasakan
Lebih terperinciRilis Pers Bersama. Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum
Rilis Pers Bersama Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fast food adalah sebuah istilah yang digunakan secara umum untuk menggambarkan konsep mengenai industri restoran layanan cepat saji. Pada awalnya, fast food yang berkembang
Lebih terperinciPartisipasi LSM..., Firsty Husbani, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia. Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Demos.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa setelah jatuhnya rejim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, Indonesia kemudian menjadi
Lebih terperinciBAB V. Kesimpulan. dari revolusi di kerdua Negara tersebut. Bahkan di Mesir media sosial
BAB V Kesimpulan Berdasarkan tulisan diatas, dapat diambil argumen bahwa Media memiliki peranan yang sangat penting dalam isu politik dan hubungan internasional. Di kawasan Mesir dan Suriah bisa dikatakan
Lebih terperinciWORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM
WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan Yogyakarta, 21-22 Juni 2010 MAKALAH Otda & Konflik Tata Ruang Publik Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM Otda & Konflik Tata Ruang Publik Wawan Mas udi JPP Fisipol
Lebih terperinciBAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN
BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat
BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus
Lebih terperinciBab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus
Bab 4 PENUTUP Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus liberalisasi, ruang-ruang publik di tanah air mulai menampakkan dirinya. Namun kuatnya arus liberalisasi tersebut, justeru
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan pendekatan top-down dan sentralistis, belum berhasil
Lebih terperinciPerbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon
Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan
Lebih terperinciRumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA
Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan 2016 2019 PUSKAMUDA Isu Strategis dalam Kerangka Strategi Kebijakan 1. Penyadaran Pemuda Nasionalisme Bina Mental Spiritual Pelestarian Budaya Partisipasi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Tasmanian Wilderness oleh Perdana Menteri Australia Tony Abbott. Tasmanian
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini mendiskusikan tentang politisasi kawasan konservasi Tasmanian Wilderness oleh Perdana Menteri Australia Tony Abbott. Tasmanian Wilderness merupakan salah
Lebih terperinciSTRATEGI KOMUNIKASI LINGKUNGAN DALAM MEMBANGUN KEPEDULIAN MASYARAKAT TERHADAP LINGKUNGAN
STRATEGI KOMUNIKASI LINGKUNGAN DALAM MEMBANGUN KEPEDULIAN MASYARAKAT TERHADAP LINGKUNGAN Uud Wahyudin Program Studi Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran uudwahyudin@yahoo.co.id
Lebih terperinciInternalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak
Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Dengan telah dimulainya ASEAN Community tahun 2015 merupakan sebuah perjalanan baru bagi organisasi ini. Keinginan untuk bisa mempererat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang dikenal sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) kini semakin diterima secara luas. Namun, sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada saat industri berkembang setelah terjadi revolusi industri, kebanyakan perusahaan masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari keuntungan
Lebih terperinciPOKOK BAHASAN IX GOOD GOVERNANCE
POKOK BAHASAN IX GOOD GOVERNANCE A. Definisi dan Pengertian Tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan konsep yang kini sangat populer di Indonesia. Pembicaraan tentang good governance tidak
Lebih terperinciKEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika.
KEWARGANEGARAAN Modul ke: GLOBALISASI DAN NASIONALISME Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Abstract : Menjelaskan pengertian globalisasi
Lebih terperinciBAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya
Lebih terperinciBAB II KERANGKA TEORI. Menurut David L Brown dan Kai A Schafft - The Rural People and
BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori Transformasi Sosial Menurut David L Brown dan Kai A Schafft - The Rural People and Communities (2011); seuntai relatif baru sosiologi berfokus pada berbagai aspek pedesaan
Lebih terperinciBAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan lapangan, terdapat beberapa persoalan mendasar yang secara teoritis maupun praksis dapat disimpulkan sebagai jawaban dari pertanyaan penelitian.
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. Hasil analisis yang penulis lakukan tehadap novel Namaku Hiroko karya N.H.
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Hasil analisis yang penulis lakukan tehadap novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini mengenai kepemilikan tubuh perempuan yang dikaji dengan menggunakan teori yang dikemukakan
Lebih terperinciMENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH
E. MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH Dalam kertas kerjanya yang berjudul Models of Public Sphere in Political Philosophy, Gürcan Koçan (2008:5-9)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Alasan rasional dan esensial yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di antaranya berdasarkan pada dua hal utama, yaitu 1) Opini masyarakat
Lebih terperinci