OPTIMALISASI LAHAN USAHATANI BERBASIS KAKAO UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KRUENG SEULIMUM PROPINSI ACEH HALIM AKBAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMALISASI LAHAN USAHATANI BERBASIS KAKAO UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KRUENG SEULIMUM PROPINSI ACEH HALIM AKBAR"

Transkripsi

1 OPTIMALISASI LAHAN USAHATANI BERBASIS KAKAO UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KRUENG SEULIMUM PROPINSI ACEH HALIM AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Optimalisasi Lahan Usahatani Berbasis Kakao Untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di DAS Krueng Seulimum Propinsi Aceh adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, Agustus 2013 Halim Akbar A

4 RINGKASAN HALIM AKBAR. Optimalisasi Lahan Usahatani Berbasis Kakao Untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di DAS Krueng Seulimum Propinsi Aceh. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO sebagai ketua, NAIK SINUKABAN, dan SITANALA ARSYAD sebagai anggota. Perubahan penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) saat ini cenderung meningkat karena aktivitas pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan ini berdampak negatif terhadap kondisi hidrologis DAS. Perubahan penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum menjadi lahan pertanian dan usahatani tanpa penerapan agroteknologi telah menyebabkan erosi yang tinggi dan produktivitas lahan yang rendah, ini ditunjukkan dengan rendahnya produksi kakao di bagian hulu, terjadinya sedimentasi dan fluktuasi debit yang tinggi di bagian hilir. Penelitian ini bertujuan : (1) mengkaji karakteristik lahan dan agroteknologi yang diterapkan untuk tanaman kakao di DAS Krueng Seulimum, (2) menganalisis laju erosi dan aliran permukaan pada lahan usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum, (3) menganalisis alokasi lahan optimal untuk usahatani berbasis kakao dan agroteknologi sehingga dapat menurunkan erosi dan meningkatkan pendapatan petani di DAS Krueng Seulimum, (4) merumuskan perencanaan usahatani berbasis kakao berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengukuran lapangan yang diawali dengan pembuatan peta satuan lahan (land unit). Peta satuan lahan digunakan sebagai unit dasar dalam analisis kelas kemampuan lahan, kesesuaian lahan, prediksi erosi dan Etol serta penentuan sampel petani responden untuk analisis usahatani. Pengumpulan data biofisik lahan (sifat-sifat tanah, karakteristik lahan, dan iklim) untuk analisis kelas kemampuan lahan, evaluasi kesesuaian lahan, prediksi erosi dan Etol. Pengumpulan data sosial ekonomi (karakteristik petani, luas lahan usahatani, sarana produksi, produksi tanaman, teknik budidaya, dan lainnya) dilakukan melalui survei lapangan dan wawancara dengan petani responden untuk analisis usahatani. Untuk mengetahui pengaruh teknologi konservasi tanah dan air terhadap aliran permukaan dan erosi, dilakukan percobaan petak erosi (plot erosi) di lapang. Analisis kriteria erosi dan pendapatan usahatani menggunakan optimalisasi usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan dengan program tujuan ganda (multiple goal programming). Analisis penentuan usaha tani berbasis kakao yang berkelanjutan dengan perangkat pengambilan keputusan (decision tool) menggunakan kriteria kesesuaian lahan, laju erosi dibawah erosi yang masih dapat ditoleransi, pendapatan harus di atas kebutuhan hidup layak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Krueng Seulimum terdiri atas 24 satuan lahan (SL). Lahan tergolong kelas III, IV dan VI dengan faktor penghambat utama adalah faktor lereng (l), erosi (e), erodibilitas tanah (KE) dan batuan dipermukaan tanah (b). Sebagian besar lahan usahatani kakao tergolong kedalam kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Secara umum penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum sesuai dengan kemampuan lahan dan kesesuaian lahan.

5 Hasil pengukuran aliran permukaan dan erosi pada petak percobaan menunjukkan bahwa tipe usahatani kakao+pinang mendapatkan aliran permukaan dan erosi terendah (AP = mm dan erosi = kg ha -1 ) dan dengan perlakuan pemberian mulsa jerami 18 kg petak -1 (5 ton ha -1 ) pada setiap perlakuan juga nyata memberikan pengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi pada tipe usahatani kakao+pinang+mulsa (AP = 7.29 mm dan erosi = kg ha -1 ). Perhitungan prediksi erosi pada beberapa penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum menunjukkan bahwa prediksi erosi terbesar terjadi pada penggunaan lahan semak belukar dan pertanian lahan kering. Nilai prediksi erosi pada penggunaan lahan semak belukar berkisar antara ton ha -1 thn -1, prediksi erosi pada penggunaan lahan pertanian lahan kering berkisar antara ton ha -1 thn -1, prediksi erosi pada penggunaan lahan padang penggembalaan berkisar antara 9.92 ton ha -1 thn ton ha -1 thn -1 prediksi erosi pada penggunaan lahan hutan sekunder berkisar antara ton ha -1 thn -1. Luas lahan garapan petani pada usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum berkisar 1.0-1,50 ha (45.45%), jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang, dan nilai KHL sebesar Rp ha -1 kk -1 thn -1. Usahatani berbasis kakao yang dilakukan oleh petani di DAS Krueng Seulimum pada luasan 1,0 hektar menunjukkan bahwa semua tipe usahatani (K, KP dan KPs) tidak berkelanjutan (sustainable) karena pendapatan < KHL, dilihat dari indikator erosi terlihat bahwa nilai erosi yang didapat masih diatas nilai ETol, yaitu ton ha -1 thn ton ha -1 thn -1. Usahatani berbasis kakao berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum dapat dicapai dengan penerapan agroteknologi pemupukan yaitu dengan pemberian pupuk lengkap pada lereng 7%, pembuatan teras gulud dengan tanaman penguat teras pada lereng 14% dan pembuatan teras gulud dengan tanaman penguat teras + pemberian mulsa 6 ton ha -1 thn -1 pada lereng 21% dapat menurunkan erosi menjadi lebih kecil dari erosi yang masih dapat ditoleransi dan memberikan pendapatan usahatani lebih besar dari kebutuhan hidup layak (KHL). Hasil analisis program tujuan ganda menunjukkan bahwa tipe usahatani berbasis kakao yang paling optimal diterapkan di DAS Krueng Seulimum adalah tipe usahatani Kakao + Pisang (KPs) pada lahan seluas 1.5 ha dengan menerapkan agroteknologi pemupukan, teras gulud dengan tanaman penguat teras ditambah dengan pemberian mulsa 6 ton ha -1 thn -1 dapat menekan erosi di bawah Etol yaitu ton ha -1 thn -1 dengan pendapatan optimum sebesar Rp kk ha -1 thn -1 jauh lebih besar dari KHL. Rencana pengembangan lahan pertanian berbasis kakao pada setiap satuan lahan dengan menggunakan decision tool didapat SL 5 dan 9 sesuai untuk dikembangkan tanaman kakao+pinang dengan penerapan agroteknologi pemupukan, SL 1, 3, 6, 7, 10 dan 11 sesuai untuk dikembangkan tanaman kakao+pinang dengan penerapan agroteknologi pemupukan ditambah dengan pembuatan teras gulud + tanaman penguat teras, SL 2, 12, 14, 15 dan 16 sesuai dikembangkan tanaman kakao+pisang dengan penerapan agroteknologi pemupukan ditambah dengan pembuatan teras gulud +tanaman penguat teras + dengan pemberian mulsa 6 ton ha -1 thn -1. Kata kunci : penggunaan lahan, kakao, erosi, pendapatan, agroteknologi

6 SUMMARY HALIM AKBAR. Land Optimization of Cocoa Based Farming for Agricultural Sustainable Development in Krueng Seulimum Watershed Aceh Province. Under direction of KUKUH MURTILAKSONO, NAIK SINUKABAN, and SITANALA ARSYAD Changes in land use in the watershed at present tend to increase due to the construction activity and population growth rate which have the quite high and those cause negative impacts on hydrological wathershed condition. Changes in land use in the Krueng Seulimum watershed to agriculture and farming without application of agro technology have led to high attrition and low land productivity, and those are shown by the low production of cocoa in the upstream, sedimentation and high fluctuation in the down-stream. This study aims firstly, to assess the characteristics of the land and agro-technology applied to the cocoa crop in the Krueng Seulimum watershed, secondly, to analyze the rate of erosion and surface run off on cocoa based farming land in the Krueng Seulimum watershed, thirdly, to analyze the optimal land allocation for cocoa and agrotechnology based farming to reduce erosion and increase the income of farmers in the Krueng Seulimum watershed, and finally, to formulate sustainable cocoa based farming in the Krueng Seulimum watershed. This study used the survey and field measurement methods that were started with mapping land units. Map of land units was used as the basic unit in analysis of land capability class, soil suitability, erosion prediction, Etol and determination of respondent farmer sample for farming analysis. Bio-physical land data collection such as soil properties, soil characteristics, and climate were used for analysing of land capability class, land suitability evaluation, prediction of erosion and Etol. Socio-economic data collection likes characteristics of farmers, farm land, means of production, crop production, cultivation techniques, and others, were conducted through field surveys and interviews with respondent farmers for farming analysis. To determine the effect of soil and water conservation technologies for runoff and erosion, it was conducted the erosion plot experiments in the field. Analysis of erosion criteria and farming income used the optimization of sustainable cocoa-based farming with a dual purpose program. Determination analysis of sustainable cocoa-based farm with making decision tools used the criteria of land suitability, erosion rates under tolerable erosion conditions, the income should be above the needs of decent living. The results showed that the Krueng Seulimum watershed consists of 24 units of land (SL). The land is classified as class III, IV and VI with the main limiting factors as follow: the slope factor (l), erosion (e), soil erodiblity (KE) and the rocks on the surface soil (b). Most of the cocoa farming lands belong to the quite suitable class (S2) and marginally suitable class (S3). In general, the use of land in Seulimum Krueng watershed is in accordance with the land capability and land suitability. Result of run off and erosion measurements on experimental plots showed that the type of cocoa + areca farming got the lowest runoff and erosion (AP = mm and erosion = kg ha -1 ) and straw mulching treatment 18 kg plot -1 (5 tons ha -1 ) in each treatment also had apparent influence to run off and erosion

7 on the type of cocoa + areca + mulch farming (AP = 7.29 mm and erosion = kg ha -1 ). Erosion prediction calculations on some land uses in the Krueng Seulimum watershed showed that the greatest prediction erosion occurred in the shrub land use and dry land farming. Erosion prediction value on shrub land use ranged from tons ha -1 year -1, erosion prediction on dry land use ranged from tons ha -1 year -1, erosion prediction on pasture land use ranged from 9.92 ton ha -1 year tons ha -1 year -1, prediction of erosion on secondary forest land use ranged between tons ha -1 year -1. Cocoa based farming conducted farmers in the Krueng Seulimum watershed ranges from ha (45.45 %), the average number of family member is 5 people, and the KHL value is Rp 28 million ha -1 kk -1 year -1. Cocoa-based farming conducted by farmers in the Krueng Seulimum watershed on area of 1.0 acres shows that all types of farming such as K, KP and KPS, are not sustainable because the income is less than KHL, and from erosion indicator, it shows that the erosion value obtained is still above Etol value, namely tons ha -1 year tons ha -1 year -1. Sustainable cocoa based farming in the Krueng Seulimum watershed can be achieved with the implementation of agro-fertilizing by giving complete fertilizer at 7 % slopes, gulud terracing with terrace booster crops on slope of 14 % and gulud terracing, terrace amplifier crops + mulching 6 tons ha -1 year -1 on slope of 21% can reduce erosion to become smaller than the tolerable erosion and provide income farming greater than the need for decent living (KHL). Dual purpose program analysis results indicated that the most optimal type of cocoa-based farming applied in the Krueng Seulimum watershed is the type of cocoa farming + banana (KPs) in an area of 1.5 ha by implementing agrofertilization, gulud terracing with amplifier plants plus mulching 6 tons ha -1 year -1. this type can suppress the erosion under Etol tons ha -1 year -1 dan increase optimum revenue of Rp kk ha -1 year -1, much larger than the KHL. Development plan of cocoa-based farming in each land unit by using a decision tool, it was obtainaed SL 5 and SL 9 which were suitable to develop cocoa + areca crops with the application of agro-fertilizing. SL 1, 3, 6, 7, 10 and 11 were suitable for developing cocoa + areca crops with the application of agrofertilizing with gulud terracing plus amplifier crops. SL 2, 12, 14, 15 and 16 are developed for cocoa +banana crops by applicating agro-fertilization with gulud terracing plus terrace amplifier crops + mulching 6 tons ha -1 year -1. Keywords: land use, cocoa, erosion, income, agro-technology

8 Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 OPTIMALISASI LAHAN USAHATANI BERBASIS KAKAO UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KRUENG SEULIMUM PROPINSI ACEH HALIM AKBAR Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

10 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Widiatmaka, DEA Dr. Ir. Latief M Rachman, M.Sc, MBA Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng Dr. Ir. Latief M Rachman, M.Sc, MBA

11

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Optimalisasi Lahan Usahatani Berbasis Kakao untuk Pembagunan Pertanian Berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum Propinsi Aceh. Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat terlaksana karena bantuan dari berbagai pihak baik secara moral maupun materi yang semuanya itu tidak mampu penulis balas.. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang sebesarbesarnya penulis sampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku ketua komisi pembimbing ; Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing dan Prof (Em) Dr. Ir. Sitanala Arsyad, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis sejak persiapan penelitian sampai pada penyelesaian disertasi. 2. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh program doktor di Program Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana IPB atas pelayanan serta fasilitas hingga penyelesaian studi. 3. Rektor Universitas Malikussaleh dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 5. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA dan Dr. Ir. Latief M Rachman, MSc MBA selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas masukan dalam penyempurnaan disertasi ini. 6. Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng dan Dr. Ir. Latief M Rachman, MSc MBA selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka dan saran dalam penyempurnaan disertasi ini. 7. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono MS, Prof. Dr. Ir. Abubakar A Karim, MS dan Prof. A. Hadi Arifin, MSi atas pemberian rekomendasi sehingga penulis dapat diterima sebagai mahasiswa program Doktor pada Program Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 8. Bupati Aceh Besar beserta staff atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian di lapangan. 9. Staf laboratorium Ilmu Tanah pada Institut Pertanian Bogor dan staf laboratorium jurusan ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. 10. Bapak kepala Desa Panca, Alue Rindang, Teladan dan Jawi beserta warganya atas segala bantuan, pelayanan dan fasilitas yang diberikan selama penelitian. 11. Kedua orang tua saya H. Abubakar Siddik (Alm) dan Hj. Halimah yang sangat penulis hormati dan yang telah memberikan do a, panutan dan segala fasilitas

13 kepada penulis dan kedua mertua H. Machmud ZA (Alm) dan Hj. Henny Djuned atas pengertian dan juga atas dukungan moral serta materi kepada penulis. 12. Istri tercinta Isra Maisarra A.Md atas izin, motivasi dan pengertian yang diberikan kepada penulis dan anak-anak tersayang Muhammad Alif Rachman dan Muhammad Fabyan Akbar atas pengertian, pengorbanan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi. 13. Teman-teman di Program Studi Pengelolaan DAS dan Program Studi lainnya atas apresiasi, do a dan motivasi kepada penulis selama mengikuti kuliah hingga menyelesaikan disertasi ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi bagi semua pihak yang berkepentingan. Bogor, Agustus 2013 Halim Akbar

14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN xv xvii xviii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Permasalahan 4 Kerangka Pemikiran 4 Tujuan Penelitian 6 Manfaat Penelitian 7 Kebaharuan (Novelty) 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Usahatani Kakao 8 Evaluasi Lahan 11 Erosi dan Faktor yang Mempengaruhinya 16 Dampak Usahatani Kakao Terhadap Erosi dan Aliran Permukaan 22 Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 23 Pengelolaan DAS 25 Program Tujuan Ganda 26 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian 29 Alat dan Bahan 30 Tahapan Penelitian dan Pengumpulan Data 30 Analisis Data 36 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis 44 Penggunaan Lahan 44 Iklim 44 Hidrologi 45 Tanah 46 Topografi 46 Penduduk 47 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan Di DAS Kr. Seulimum 48 Evaluasi Erosi, ETol dan Prediksi Erosi 54 Karakteristik Tipe Usahatani Berbasis Kakao Di DAS Kr Seulimum 59 Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Di DAS Kr Seulimum 63 Alternatif Pengembangan Usahatani Berbasis Kakao Berkelanjutan 66 Optimalisasi Usahatani Berbasis Kakao Berkelanjutan 71 Arahan dan Penerapan Usahatani Kakao Berkelanjutan 72

15 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 77 Saran 77 DAFTAR PUSTAKA 79 LAMPIRAN 85

16 DAFTAR TABEL 1 Luas areal tanaman kakao di propinsi Aceh 9 2 Kriteria kasifikasi kemampuan lahan 14 3 Jumlah erosi, C-organik dan hara terangkut aliran permukaan pada lahan pertanian tanaman pangan di beberapa lokasi di Jawa Barat 17 4 Jenis, sumber dan keguanaan data yang diperlukan untuk penelitian 33 5 Perlakuan tipe usahatani dan kelas lereng pada tiap petak erosi yang digunakan untuk pengukuran aliran permukaan dan erosi di lapangan 35 6 Penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum 44 7 Sebaran dan luasan setiap jenis tanah di DAS Kr. Seulimum 46 8 Keadaan topografi dan luas penyebarannya di DAS Kr. Seulimum 47 9 Sebaran jumlah penduduk dan jumlah KK di DAS Kr. Seulimum berdasarkan jenis kelamin Tahun Satuan lahan di DAS Kr. Seulimum Kelas kemampuan lahan (KKL) di DAS Kr. Seulimum Lokasi tanaman kakao pada berbagai kelas kesesuaian lahan di DAS Kr. Seulimum Lokasi tanaman pisang pada berbagai kelas kesesuaian lahan di DAS Kr. Seulimum Pengaruh tipe usahatani berbasis kakao terhadap aliran permukaan dan erosi Rekapitulasi prediksi erosi pada setiap satuan di DAS Krueng Seulimum PrediksiErosi pada setiap tipe usahatani campuran berbasis kakao di DAS Kr. Seulimum Luas tanaman kakao di DAS Kr. Seulimum Luasan beberapa tipe usahatani berbasis kakao di DAS Kr.Seulimum Deskripsi karakteristik setiap tipe usahatani berbasis kakao di DAS Kr. Seulimum Sebaran responden berdasarkan kepemilikan lahan Besaran tenaga yang dibutuhkan berdasarkan tipe usahatani berbasis kakao Biaya usahatani tiap tipe usahatani di DAS Kr. Seulimum Produksi usahatani di DAS Kr. Seulimum Penerimaan usahatani luasan 1.0 hektar di DAS Kr. Seulimum 65

17 25 Pendapatan usahatani luasan 1.0 hektar di DAS kr. Seulimum Pendapatan usahatani luasan 1.5 hektar di DAS Kr. Seulimum Pendapatan usahatani luasan 1.5 hektar setelah penerapan agrotek pemupukan di DAS Kr. Seulimum Pendapatan usahatani berbasis kakao di DAS Kr. Seulimum Erosi pada tipe usahatani berbasis kakao setelah penerapan agrotek di DAS Kr. Seulimum Perangkat pengambil keputusan (decision tool) di DAS Kr Seulimum Penggunaan lahan optimal berbasis kakao di DAS Kr Seulimum 76

18 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran perencanaan usahatani kakao berkelanjutan di DAS Kr. Seulimum 6 2 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan 13 3 Skematis klasifikasi kemampuan lahan 14 4 Lokasi penelitian DAS Kr. Seulimum, kabupaten Aceh Besar 29 5 Diagram alir tahapan penelitian 31 6 Plot pengamatan erosi dan aliran permukaan 34 7 Batasan nilai D, De dan Dmin 38 8 Sebaran curah hujan dan hari hujan setiap bulan di DAS Kr.Selimum berdasarkan data curah hujan Tahun Peta satuan lahan di DAS Kr. Seulimum Prediksi erosi pada berbagai tipe usahatani berbasis kakao dan kemiringan lereng di DAS Kr. Seulimum Sistem pertanian di DAS Kr. Seulimum Pembersihan areal tanaman kakao yang dilakukan petani di DAS Kr. Seulimum Prediksi Erosi dan pendapatan usahatani kondisi saat ini (sebelum penerapan agroteknologi) Erosi dan pendapatan usahatani dengan penerapan agroteknologi pemupukan pada lereng 7% di DAS Krueng Seulimum Erosi dan pendapatan usahatani dengan penerapan agroteknologi pemupukan, teras gulud+tanaman penguat teras pada lereng 14% di DAS Krueng Seulimum Erosi dan pendapatan usahatani dengan penerapan agroteknologi pemupukan, teras gulud+tanaman penguat teras+mulsa 6 ton/ha pada lereng 21% di DAS Krueng Seulimum Peta arahan sebaran tipe usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum 75

19 DAFTAR LAMPIRAN 1 Faktor-faktor penghambat dalam klasifikasi kemampuan lahan 85 2 Kriteria kesesuaian lahan tanaman kakao 88 3 Kriteria kesesuaian lahan tanaman pisang 89 4 Nilai faktor C dengan pertanaman tunggal 90 5 Nilai faktor tindakan konservasi tanah (P) dan pengelolaan tanaman (C) 91 6 Faktor kedalaman beberapa sub order tanah 92 7 Kedalaman tanah minimum untuk berbagai jenis tanaman 93 8 Data curah hujan selama 10 Tahun terakhir ( ) di kabupaten Aceh Besar 94 9 Data kelembaban udara selama 10 Tahun terakhir ( ) di kabupaten Aceh Besar Data temperatur udara rata-rata 10 Tahun terakhir ( ) di kabupaten Aceh Besar Data penyinaran matahari 10 Tahun terakhir ( ) di kabupaten Aceh Besar Peta penggunaan lahan di DAS Kr. Seulimum Peta jenis tanah di DAS Kr. Seulimum Peta lereng di DAS Kr. Seulimum Hasil Analisis Kimia Tanah Hasil Analisis Fisika Tanah Peta Kelas Kemampuan Lahan di DAS Kr. Seulimum Penilaian Kemampuan Lahan Di DAS Kr. Seulimum Peta kelas kesesuaian lahan tanaman kakao di DAS Kr. Seulimum Penilaian kesesuaian lahan tanaman kakao pada masing - masing satuan lahan di DAS Kr. Seulimum Peta kelas kesesuaian lahan tanaman pisang di DAS Kr. Seulimum Penilaian kesesuaian lahan tanaman Pisang pada masing - masing satuan lahan di DAS Kr. Seulimum Nilai ETol pada beberapa penggunaan lahan di DAS Kr.Selimum Biaya usahatani aktual pada masing-masing type usahatani di DAS Kr. Seulimum Kriteria penilaian sifat kimia tanah 118

20 26 Optimalisasi lahan usahatani berbasis kakao luasan 1.5 ha pada lereng 7% dengan agroteknologi pemupukan Optimalisasi lahan usahatani berbasis kakao luasan 1.5 ha pada lereng 14% dengan agroteknologi pemupukan dan teras gulud dengan tanaman penguat teras Optimalisasi lahan usahatani berbasis kakao luasan 1.5 ha pada lereng 21% dengan agroteknologi pemupukan, teras gulud dengan tanaman penguat teras ditambah mulsa 6 ton/ha/thn 121

21 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Intensitas perubahan penggunaan lahan di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) saat ini cenderung meningkat karena aktivitas pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan membawa pengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS, diantaranya meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, koefisien aliran permukaan, serta banjir dan kekeringan. Masalah ini semakin bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih fungsikan menjadi lahan usaha lain. Persepsi publik dan kebijakan umum tentang perlindungan DAS menginginkan adanya suatu kondisi (hutan) di daerah hulu dan mengasosiasikan setiap kejadian banjir dengan hilangnya tutupan hutan di bagian hulu. Selain itu, merubah kawasan hutan menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lainnya dianggap akan mengurangi kemampuan DAS dalam mempertahankan fungsi tersebut. Dampak lain terjadinya kehilangan hutan adalah dengan diberlakukannya rencana tata ruang yang diajukan oleh Kementerian, lembaga, gubernur dan bupati/walikota yang sarat usulan pelepasan kawasan hutan. Sementara itu kawasan berstatus hutan tetapi tidak lagi memiliki tegakan pohon juga cukup banyak, sehingga nantinya moratorium izin pembukaan kawasan gambut dan hutan primer tidak berguna. Hutan merupakan bentuk penggunaan lahan dengan berbagai pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Fungsi ekologis hutan sangat penting terutama untuk menjaga erosi serta mengatur tata air di daerah aliran sungai. Luas lahan hutan yang harus dipertahankan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) agar dapat menjamin kelestarian sumber air menjadi permasalahan yang cukup kompleks saat ini, mengingat berbagai kepentingan atas penggunaan lahan di DAS antar berbagai sektor serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dampak negatif alih guna lahan hutan menjadi penggunaan lahan lain telah banyak dibuktikan dan apabila kebutuhan lahan mendesak, maka konversi lahan hutan akan sangat sulit untuk dihindari. Menurut FWI/GFW (2001) laju kerusakan hutan dari tahun ketahun terus meningkat. Periode tahun , kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.7 juta hektar tahun -1 dan dalam periode tahun meningkat menjadi 3.8 juta hektar tahun -1 (Baplan Dephut 2003). Di Provinsi Aceh, kehilangan hutan yang terjadi sekarang ini sekitar hektar tahun -1 dari total kawasan hutan seluas 3.3 juta hektar akibat penebangan liar dan alih fungsi hutan (Walhi Aceh 2012). Kerusakan lingkungan di Indonesia juga telah menjadi keprihatinan banyak pihak, ini disebabkan oleh timbulnya bencana alam yang dirasakan saat ini seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan yang semakin meningkat. Rusaknya wilayah hulu DAS sebagai daerah tangkapan air diduga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam tersebut. Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurangnya

22 2 keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah, dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Data terbaru Kementerian Negara Lingkungan Hidup menjelaskan pengrusakan lingkungan di Indonesia terus menunjukkan dampaknya. Saat ini terdapat 60 DAS di seluruh Indonesia masuk kategori super prioritas (BPDAS Aceh 2009). Gambaran kerusakan DAS di Indonesia juga tercermin dari banyaknya jumlah DAS yang masuk dalam skala prioritas. Tahun 1984 terdapat 22 DAS super prioritas (surat keputusan bersama tiga menteri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, dan Menteri Pekerjaan Umum No: 19 Tahun No: 059/Kpts-II/ No: 124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, diacu dalam Arsyad 2006). Tahun 1999 terdapat 62 DAS Prioritas I, 232 DAS Prioritas II dan 178 DAS Prioritas III (Ditjen RRL 1999). Tahun 2004 jumlah DAS prioritas I meningkat menjadi 65 DAS (Ditjen SDA 2004). Dalam upaya untuk menyelamatkan DAS di Indonesia, Departemen Kehutanan telah menetapkan 108 DAS sebagai prioritas utama untuk ditangani dalam kurun waktu 5 tahun mendatang ( ), DAS Krueng Aceh merupakan satu dari 16 DAS yang berada di Sumatera yang masuk ke dalam kelompok DAS kritis di Indonesia dan menjadi prioritas utama dalam penanganannya (BPDAS Aceh 2009). Balai Pengelolaan DAS Aceh mengemukakan bahwa antara tahun banyak terjadi pengurangan luasan hutan di Aceh. Kerusakan terparah terjadi di DAS Krueng Aceh, pada tahun 1999 luas tutupan hutan DAS tersebut masih sekitar hektar sedangkan pada tahun 2008 luas tutupan lahan DAS tersebut hanya mencapai hektar, padahal fungsi ekologis kawasan itu sangat mendesak dan strategis (Walhi Aceh 2009). Aksi pengrusakan hutan yang terjadi juga telah mengancam keberlangsungan 47 DAS dan sub-das yang ada di Aceh. Salah satu contoh adalah kawasan Seulawah (daerah hulu DAS Krueng Aceh) dimana 40 persen kawasan hutan Seulawah yang letaknya sangat dekat dengan ibu kota provinsi Aceh juga telah dirambah, terlebih di kawasan hutan yang terpaut jauh di pedalaman dan agak sukar dipantau oleh petugas. FFI (2009) juga mengemukakan bahwa sekitar hektar hutan di Provinsi Aceh hingga tahun 2009 mengalami kerusakan yang cukup berat akibat pembalakan liar, sehingga propinsi Aceh disebut telah memecahkan rekor baru dalam hal pengrusakan hutan tercepat di dunia. Hingga kini pembalakan hutan masih terus berlangsung (termasuk di DAS Krueng Seulimum). Kondisi lingkungan hutan di Aceh juga diperparah dengan meningkatnya hot spot (titik api) dari 518 titik api menjadi titik api pada tahun Kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2001 sampai dengan 2006 telah menghanguskan areal seluas ha dari titik api (Walhi Aceh 2006). DAS Krueng Aceh mempunyai lima Sub DAS yaitu DAS Krueng Aceh Hilir, DAS Krueng Jreu, DAS Keumireu, DAS Krueng Inong dan DAS Krueng Seulimum. Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh yang berada pada tiga wilayah administrasi (Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie) merupakan sumber pemasok utama kebutuhan air bersih baik untuk sumber air minum, irigasi pertanian dan keperluan lain.

23 3 DAS Krueng Seulimum dengan luasan hektar telah mengalami alih fungsi hutan yang sangat luas. Tahun 1977 luas hutan di DAS Krueng Seulimum masih sekitar ha (70.86%), tahun 1987 menurun menjadi ha (48.75%) dan tahun 2002 luas hutan tinggal ha (39.56%) (Wahyuzar 2005). Sedangkan tahun 2011 luasan hutan di DAS Krueng Seulimum tinggal Ha (27.51%) (Baplan Dephut 2011). Perubahan hutan yang terjadi di DAS Krueng Seulimum berdampak pada kontribusi air yang akan disumbangkan pada DAS Krueng Aceh. Debit air pada DAS Krueng Aceh dalam dua tahun terakhir ini juga semakin berkurang disamping itu airnya juga kurang jernih (BPDAS Aceh 2009). Walhi Aceh (2009) menambahkan bahwa debit air DAS Krueng Aceh menyusut lebih dari 40 persen dibandingkan pada tahun 2000, sehingga beberapa desa di kawasan hilir Banda Aceh sudah mulai kesulitan untuk mendapatkan air selama setahun terakhir. Dampak langsung yang dapat dilihat adalah pada musim kemarau masyarakat yang tinggal di sekitar sungai ini tidak bisa lagi menggunakan air sungai untuk keperluan mandi, karena debit airnya yang sudah sangat sedikit, berlumut dan dapat menimbulkan iritasi serta gatal-gatal pada kulit. Masalah ketersediaan air bagi penduduk setempat menjadi persoalan yang serius setiap tahun (BPDAS Aceh 2009). Kerusakan lain di DAS Krueng Seulimum juga dipicu oleh maraknya aktivitas penambangan galian C (pasir, batu dan kerikil). Kegiatan tersebut sampai saat ini masih terus berlangsung yang mengakibatkan tingginya kecepatan arus sungai dan tingkat erosi pada tebing sungai. Akibat pembalakan liar, konversi hutan menjadi lahan pertanian, dan usahatani yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kemampuan lahan dan kesesuaian lahan serta penerapan agroteknologi telah menyebabkan kerusakan di DAS Krueng Seulimum. Hal ini terlihat dengan tingginya erosi\ dan rendahnya produktivitas lahan di bagian hulu yang ditunjukkan dengan rendahnya produksi kakao yaitu kg ha -1 (Disbunhut Aceh 2008). Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan penghasilan devisa. Saat ini komoditi kakao di Propinsi Aceh tersebar hampir di seluruh Provinsi (APED 2007). Secara keseluruhan luas areal tanaman kakao di Propinsi Aceh adalah ha, dimana 78% merupakan areal perkebunan rakyat (Disbunhut Aceh 2008). Dinas perkebunan dan kehutanan propinsi Aceh yang di dukung oleh dana dari ADB pada tahun 2007 telah mengembangkan lahan baru kakao di Aceh Besar seluas 500 ha (Program pembangunan perkebunan Aceh Besar), dan BRR melalui dinas terkait melakukan pengembangan lahan kakao seluas 100 ha. Ini semua sangat dibutuhkan upaya pengelolaan kakao yang berkelanjutan, mengingat produksi yang dihasilkan saat ini masih sangat rendah. Rendahnya produktivitas lahan di DAS Krueng Seulimum menyebabkan pendapatan petani di wilayah ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). Menurut BPS Aceh (2009), tingkat kemiskinan di propinsi Aceh menduduki peringkat ke lima dari 33 provinsi di Indonesia yaitu sebesar 19.48%, hasil sensus BPS 2007 juga menunjukkan bahwa penduduk miskin di DAS Krueng Seulimum sebesar 26.3% keluarga petani. Kondisi ini menunjukkan bahwa di DAS Krueng Seulimum telah berlangsung proses saling memiskinkan

24 4 antara lahan dan petani. Menurut Sinukaban (2001) proses saling memiskinkan harus diputuskan dengan penerapan sistem pertanian konservasi (SPK) yang bertujuan memperkecil erosi dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga nantinya akan meningkatkan pendapatan petani. Uraian di atas menunjukkan masih rendahnya pengetahuan petani, sehingga usahatani kakao yang dilakukan oleh petani di DAS Krueng Seulimum tidak berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya yaitu dengan memadukan teknik konservasi tanah dan air pada lahan pertanian berbasis kakao, sehingga petani di DAS Krueng Seulimum memiliki pengetahuan tentang usahatani pertanian yang berkelanjutan yaitu pendapatan yang layak bagi setiap petani, agroteknologi yang diterapkan tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya lahan (erosi), dan dapat diterima (acceptable) serta dikembangkan (replicable) oleh petani dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal yang dimiliki petani (Sinukaban 2005). Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah pokok yang harus diatasi di DAS Krueng Seulimum yaitu : 1. Telah terjadi kerusakan hutan akibat pembalakan liar (illegal logging) dan alih guna lahan sehingga terjadi aliran permukaan dan erosi yang tinggi dan mengakibatkan sedimentasi yang pada saat musim hujan mengakibatkan terjadinya banjir. 2. Usahatani kakao yang dilakukan saat ini kurang mempertimbangkan klas kemampuan dan kesesuaian lahan serta agroteknologi yang tepat sehingga memungkinkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang tinggi. 3. Pendapatan petani terutama yang berasal dari usahatani kakao masih rendah, karena produksi yang dihasilkan tanaman kakao yang belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). 4. Belum dilakukan penataan (alokasi) penggunaan lahan yang optimal untuk usahatani kakao. Kerangka Pemikiran Daerah aliran sungai (DAS) terdiri atas unsur - unsur yang saling berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang saling mempengaruhi dan sangat peka terhadap input-input yang terjadi didalamnya. Salah satu input yang mempengaruhi kondisi DAS adalah perubahan penggunaan lahan. Pasca terjadinya tsunami, penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum mengalami perubahan yang cukup pesat disamping perubahan lainnnya yaitu konversi hutan menjadi lahan usahatani kakao yang pengelolaannya masih secara konvensional sehingga menimbulkan erosi yang tinggi dan produksi yang diinginkan belum dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi petani. Pengelolaan DAS yang baik dan lestari adalah penggunaan sumberdaya alam secara rasional agar mendapatkan produksi yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dan mencegah terjadinya kerusakan lahan seminimal mungkin. Tujuan utama pengelolaan DAS adalah keberlanjutan (sustainable) dengan parameter yang dapat

25 5 diukur yaitu erosi harus lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi (ETol), agroteknologi yang diterapkan harus dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan (replicable) serta pendapatan yang didapat harus di atas standar hidup layak. Untuk itu diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan DAS secara cermat dan seksama dengan penerapan sistem pertanian konservasi. Sistem pertanian konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang dapat mengendalikan degradasi lahan (erosi ETol) dan meningkatkan pendapatan petani hingga dapat memenuhi standar kebutuhan hidup secara layak (KHL) dengan menggunakan agroteknologi yang memadai serta bersifat khas lokasi (site specific). Penerapan sistem pertanian konservasi merupakan langkah tepat untuk menjamin kelestarian usahatani lahan kering dalam suatu DAS. Untuk itu agar sumberdaya lahan dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan maka optimalisasi pola usahatani perlu didesain dan dirancang dengan tepat agar usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum dapat berkelanjutan. Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan penilaian kemampuan dan kesesuaian lahan pada tiap satuan lahan (SL) yang bertujuan untuk mengetahui produktivitas dari masing-masing satuan lahan bagi usahatani. Penggunaan lahan yang sesuai dan cocok dengan kemampuan lahan merupakan langkah awal menuju sistem budidaya tanaman yang baik. Bila kondisi tanahnya tidak sesuai untuk pertanian maka agroteknologi apapun yang digunakan tidak akan dapat mencegah erosi. Tingkat keberhasilan usahatani pada satu bidang lahan dengan penerapan agroteknologi dapat dilihat dari besarnya erosi yang terjadi, dimana erosi aktual yang terjadi harus lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi (E < ETol), untuk itu agar agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan dikembangkan oleh petani maka agroteknologi tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik biofisik (site specific), sehingga nantinya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Sinukaban 2004). Selanjutnya upaya untuk memadukan kepentingan konservasi tanah dan air dengan kepentingan pendapatan petani dari usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum maka perlu dilakukan optimalisasi pola usahatani yang dapat mengkompromikan berbagai aspek kepentingan (beberapa tujuan) tersebut. Metode optimalisasi yang dapat digunakan untuk mengakomodasi berbagai tujuan (kepentingan konservasi tanah dan air, dan kepentingan pendapatan petani) adalah dengan menggunakan model multiple goal programming (MGP) atau program tujuan ganda yang digunakan berdasarkan typical farm size. Metode ini dapat mengakomodasi berbagai tujuan atau kepentingan secara simultan (Nasendi dan Anwar 1985; Mulyono 1991). Fungsi tujuan dalam analisis optimalisasi dengan multiple goal programming adalah meminimumkan simpangan dari kendala tujuan yang ada (erosi dan pendapatan usahatani). Penentuan usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum dilakukan dengan perangkat pengambilan keputusan (decision tool) (kesesuaian lahan, agroteknologi, erosi < ETol dan pendapatan > KHL) pada skala DAS. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian telah diuraikan disajikan pada Gambar 1.

26 6 DAS Krueng Seulimum ( Ha) - Kerusakan lahan akibat alih guna lahan dan illegal logging - Belum dilakukan penilaian terhadap kemampuan dan kesesuaian lahan serta agroteknologi pada usahatani berbasis kakao - Belum dilakukan penataan (alokasi) penggunaan lahan yang optimal untuk usahatani kakao - Produksi kakao rendah Erosi dan AP Tinggi Pendapatan Rendah Usahatani Kakao tidak Berkelanjutan Pengukuran dan pendugaan Erosi Analisis Usahatani Tipe dan Alternatif Agroteknologi Usaha tani Kakao Analisis Pengambilan Keputusan (LINDO dan Decision Tool) Arahan Usahatani Berbasis Kakao Berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum Gambar 1 Kerangka pemikiran perencanaan usahatani kakao berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji karakteristik lahan dan agroteknologi yang diterapkan untuk tanaman kakao di DAS Krueng Seulimum 2. Menganalisis laju erosi dan aliran permukaan pada lahan usaha tani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum. 3. Menganalisis alokasi lahan optimal untuk usahatani berbasis kakao dan agroteknologi sehingga dapat menurunkan erosi dan meningkatkan pendapatan petani di DAS Krueng Seulimum. 4. Merumuskan perencanaan usahatani berbasis kakao berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum.

27 7 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar dan Propinsi Aceh dalam mengambil kebijakan untuk pengembangan usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. 2. Bagi petani di DAS Kreung Seulimum sebagai sumber informasi dalam usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan. 3. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam mendesain usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan dengan menggunakan analisis program tujuan ganda. Kebaruan Penelitian (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini adalah memberikan informasi: 1. Besarnya aliran permukaan dan erosi pada usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum. 2. Tipe usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. 3. Besarnya standar hidup layak keluarga petani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum

28 8 2 TINJAUAN PUSTAKA Usahatani Kakao Kakao (Theobroma cacao, L) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan bagi petani. Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis di Amerika Selatan. Di daerah asalnya, kakao merupakan tanaman kecil di bagian bawah hutan hujan tropis dan tumbuh terlindung pohon-pohon yang besar. Oleh karena itu dalam budidayanya tanaman kakao memerlukan naungan. Di Indonesia tanaman kakao mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tahun produksi kakao Indonesia hanya sekitar 1.0 Ton (peringkat ke 29 dunia), kemudian Tahun meningkat menjadi sekitar 16 Ton (peringkat 16 dunia) (AAK 2004). Tanaman kakao yang ditanam di perkebunan pada umumnya adalah kakao jenis Forastero (bulk cocoa atau kakao lindak), Criolo (fine cocoa atau kakao mulia), dan hibrida (hasil persilangan antara jenis Forastero dan Criolo). Pada perkebunan - perkebunan besar biasanya kakao yang dibudidayakan adalah jenis mulia (Siregar et al. 2007). Tahun 2000 luas kepemilikan perkebunan kakao lebih didominasi oleh perkebunan rakyat yaitu 86% dari total area perkebunan kakao di Indonesia, kemudian diikuti oleh perkebunan besar negara 7% dan perkebunan besar swasta 7% (AAK 2004). Perkembangan kakao di propinsi Aceh tidak terlepas dari berbagai masalah yang dijumpai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Beberapa masalah di sektor hulu antara lain produktivitas tanaman yang masih rendah. Permasalahan di sektor hilir mengenai rendahnya kualitas mutu biji terutama biji yang tidak difermentasi. Meskipun areal dan produksi kakao di NAD selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan, namun dari segi aspek produktivitas menurun 4,25 % per tahun (Disbunhut Aceh 2008). Di propinsi Aceh luas areal tanaman kakao dari tahun ke tahun terus meningkat, tahun 2004 jumlah areal tanam seluas ha sedangkan tahun 2008 luas areal tanaman kakao meningkat menjadi ha dan ini umumnya dilakukan oleh petani sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao di propinsi Aceh (Disbunhut 2008). Luas areal tanaman kakao di propinsi Aceh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel di atas terlihat bahwa perkembangan luas areal TBM terus mengalami peningkatan, ini menunjukkan bahwa minat petani terhadap pengembangan kakao di propinsi Aceh cukup besar yang juga didukung oleh kondisi dan prospek harga kakao di pasaran internasional yang cukup bagus. Saat ini di propinsi Aceh juga telah terbentuk Forum Pengembangan Kakao Aceh (FKA) yang berkelanjutan yang disepakati oleh Pemda Aceh dan beberapa NGO (APED, UNDP, GTZ) dengan upaya untuk promosi dan implementasi pengembangan kluster di Propinsi Aceh yang terfokus dan terarah (APED 2007)

29 9 Tabel 1 Luas tanaman kakao di propinsi Aceh Tahun Luas Areal (Ha) Jumlah TBM TM TR (Ha) Keterangan : TBM = Tanaman belum menghasil TM = Tanaman menghasilkan, TR = Tanaman rusak Sumber : Disbunhut Aceh (2008) Dilihat dari luas areal tanam yang terus meningkat, namun dari segi produktivitas masih sangat rendah yaitu kg ha -1 dan ini merupakan hasil panen terendah di pulau sumatera ( kg ha -1 ) (FKA 2010). Rendahnya produktivitas kakao di propinsi Aceh diakibatkan karena minimnya pengetahuan petani setempat akan budidaya tanaman kakao disamping akibat konflik yang berkepanjangan (lahan kakao yang diterlantarkan). Menurut FKA (2010), produksi kakao yang dicapai menunjukkan bahwa petani kakao di Aceh masih miskin, ini disebabkan karena produktivitas lahan yang rendah. Penyebabnya adalah rusaknya kebun, tidak terawat, hama penyakit lokal seperti monyet dan tupai serta hama penggerek buah kakao (PBK). Faktor lain yang mengakibatkan rendahnya produksi kakao di Aceh adalah bibit kakao yang digunakan tidak semuanya menggunakan bibit unggul. Akibatnya adalah harga jual yang rendah, karena kualitas yang kurang baik. Umumnya tanaman kakao di Aceh memiliki buah dan biji yang kecil, bahkan ada juga sebagian petani yang memanen muda buah kakao, karena kuatir dengan serangan hama. Secara umum petani kakao di Aceh hanya mampu menghasilkan biji kakao sebanyak kg ha -1 tahun -1 bila dibandingkan dengan sebuah kebun kakao yang baik dapat menghasilkan panen minimal 1.00 ton hektar -1 tahun -1 nya (FKA 2010), sedangkan produksi optimum adalah ton hektar -1 tahun -1 (AAK 2004) Untuk itu FKA mengemukakan, strategi yang akan didorong oleh pihaknya adalah mengefektifkan penggunaan bibit kakao bersertifikasi internasional, dan selain itu juga melakukan sertifikasi terhadap produksi kakao Aceh, hal ini sangat penting sehingga nantinya akan semakin meningkatkan kepercayaan internasional terhadap produksi kakao Aceh. Faktor lain yang harus di perhatikan dalam budidaya kakao adalah teknik pemangkasan, perlakuan ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan dan produksi kakao. Teknik pemangkasan terdiri atas : - Pemangkasan bentuk dilakukan pada tanaman yang belum menghasilkan. - Pemangkasan pemeliharaan dan produksi, cabang yang dipangkas adalah cabang sakit, cabang balik, cabang terlindung atau cabang yang melindungi, frekuensi 6-8 kali pertahun, tunas air dibuang 2-4 minggu sekali. - Pemangkasan pemendek tajuk, tujuannya membatasi tinggi tajuk tanaman maksimum m. dilakukan setahun sekali pada awal musim hujan.

30 10 - Pemangkasan tidak dibenarkan pada saat tanaman berbunga lebat atau ketika sebagian besar buah masih penti (Prawoto 1996). Kendala lain yang dihadapi oleh petani kakao di propinsi Aceh selama ini adalah : 1) penerapan teknologi budidaya secara benar masih sangat kurang. 2) produktivitas kakao di propinsi Aceh masih rendah, 3) kualitas kakao yang dihasilkan petani masih di bawah standar ekspor, 4) penanganan pascapanen kakao masih minim dan 5) pemasaran hasil kakao hanya di pasarkan keluar provinsi (propinsi Sumatera Utara) sehingga terjadi fluktuasi harga. Sebagai daerah tropis, Indonesia yang terletak antara 6 o LU 11 o LS merupakan daerah yang sesuai untuk tanaman kakao. Tanaman Kakao merupakan tanaman perkebunaan berprospek menjanjikan. Tetapi jika faktor tanah yang semakin keras dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro dan hormon alami, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor pemeliharaan lainnya tidak diperhatikan maka tingkat produksi dan kualitasnya akan rendah. Tanaman kakao akan tumbuh lebih baik bila mengikuti acuan kriteria kesesuaian lahannya (Djaenudin et al. 2003). Kakao dalam pertumbuhannya memerlukan curah hujan yang cukup dan terdistribusi merata, dengan jumah curah hujan mm tahun -1, bulan kering tidak lebih dari 3 bulan dan memerlukan suhu rata-rata antara o C dengan suhu optimum 25.5 o C. Keadaan tanah yang diinginkan oleh tanaman kakao adalah tanah yang bersolum > 150 cm, tekstur lempung liat berpasir dengan komposisi 30 40% liat, 50% pasir, dan 10 20% debu, struktur tanah yang remah dengan agregat yang mantap sehingga tanah mempunyai daya menahan air, aerasi dan drainase yang baik, reaksi tanah (ph) 6-7, dan kandungan bahan organik tidak kurang dari 3% (Siregar et al. 2007). Dilihat dari habitat aslinya tanaman kakao hidup pada hutan tropika basah, yaitu tumbuh di bawah naungan pohon-pohon tinggi. Habitat seperti ini masih dipertahankan dengan cara memberi tanaman penaung. Untuk itu walaupun telah diperoleh lahan yang sesuai, sebelum penanaman kakao tetap diperlukan persiapan naungan yang bertujuan untuk mengurangi pencahayaan penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak menyoroti tanaman kakao akan mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan tanaman relatif pendek. Tanpa persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit diharapkan keberhasilannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan juga bagi tanaman penaung adalah tumbuhnya menyemak tetapi tegak, perakarannya tidak dalam dan melebar agar tidak terjadi persaingan dengan tanaman kakao dan pembongkarannya mudah (PPKKI 2004). Tanaman pisang ( Musa sp) dapat ditanam sebagai tanaman penaung bagi tanaman kakao muda dengan jarak tanam 3x6 m untuk kakao yang jarak tanamnya 3x3 m. Dilihat dari aspek populasi, tanaman pisang tidak menampakkan pengaruh yang jelas terhadap pertumbuhan kakao muda, akan tetapi semakin tinggi populasi semakin besar pendapatannya. Manfaat lain dari tanaman pisang adalah limbah dari tanaman pisang dapat dipakai sebagai mulsa bagi tanaman kakao sebagai upaya efisiensi dalam siklus unsur hara dan bahan organik (Prawoto 1995). Tanaman pinang (Areca catechu) digunakan sebagai tanaman pelindung karena tanaman ini memiliki tajuk yang tinggi dan sistem perakarannya tidak

31 11 tumpang tindih dengan sistem perakaran kakao dan ini sering dilakukan di negara India (Lim 1978). Evaluasi Lahan Kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat dan langkanya lahan pertanian yang subur dan potensial, serta adanya persaingan dalam penggunaan lahan, maka sangat diperlukan penilaian lahan dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan. Beberapa indikator yang memprihatinkan hasil evaluasi kegiatan pertanian hingga saat ini, yaitu : (1) tingkat produktivitas lahan menurun, (2) konversi lahan pertanian semakin meningkat, (3) luas lahan kritis semakin meluas, (4) tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, (5) daya dukung lingkungan merosot, (6) tingkat pengangguran di pedesaan meningkat, (7) daya tukar petani berkurang, (8) penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani menurun, (9) kesenjangan antar kelompok masyarakat meningkat. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya mengatasi masalah tersebut. Langkah pertama dalam upaya tersebut adalah evaluasi lahan. Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumberdaya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities) dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan atau pertumbuhan tanaman. Berdasarkan tujuannya, evaluasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan (land capability classification) atau klasifikasi kesesuaian lahan (land suitability classification). Klasifikasi kemampuan lahan digunakan untuk penggunaan pertanian secara umum, sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan digunakan untuk penggunaan pertanian yang lebih khusus untuk jenis tanaman tertentu (crop specific) (Arsyad 2010). Klasifikasi Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan (Land capability clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad 2010). Sitorus (2004) juga mengemukakan klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu atau tindakan-tindakan pengelolaannya. Lahan dengan kemampuan yang tinggi diharapkan nantinya berpotensi yang tinggi dalam berbagai penggunaan. Sistem evaluasi kemampuan lahan mengelompokkan lahan ke dalam sejumlah kategori yang diurut menurut faktor penghambat permanen. Sistem ini dilakukan dengan cara menguji nilai-nilai dari sifat tanah dan lokasi melalui

32 12 proses penyaringan. Nilai yang pertama diuji terhadap kriteria untuk kelas lahan yang terbaik, dan jika tidak semua kriteria dapat dipenuhi, lahan tersebut secara otomatis jatuh ke dalam kelas yang lebih rendah hingga kelasnya ditemukan dan semua kriteria dipenuhi. Klasifikasi kemampuan lahan dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampun tanah, karena bila suatu penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya maka akan terjadi degradasi lahan. Demikian pula bila penggunaan lahan untuk pertanian tidak disertai dengan tindakan pengelolaan lahan yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan erosi pada lahan pertanian tersebut (Kahirun 2000). Sistem klasifikasi kemampuan lahan (land capability) yang dikembangkan oleh Hockensmith dan Steele (1943) ; Klingebiel dan Montgomery (1973) dalam Arsyad (2010) membagi lahan ke dalam sejumlah kategori menurut faktor penghambat terhadap pertumbuhan tanaman. Selanjutnya Dent dan Young (1981) mengemukakan bahwa klasifikasi kemampuan lahan merupakan proses pengelompokkan lahan ke dalam kelas-kelas tertentu, terutama didasarkan atas faktor-faktor pembatas permanen. Ada tiga kategori yang digunakan, yaitu kelas, sub kelas dan satuan kemampuan. Penggolongan ke dalam tiga katagori tersebut berdasarkan atas kemampuan lahannya untuk produksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Arsyad 2010). Pengelompokan lahan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat dari kekas I sampai dengan kelas VIII, dimana resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah semakin tinggi kelasnya (Hardjowigeno 2010). Tanah kelas I IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian (tanaman semusim dan tanaman tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buah-buahan, tanaman hias atau bungabungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010). Kelas Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat, dimana tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII. Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat semakin besar sehingga pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan tanah kelas V sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian dan bila diperuntukkan untuk usaha pertanian diperlukan biaya yang sangat tinggi dalam pengelolaannya. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan tanah disajikan pada Gambar 2.

33 13 Kelas Kemampuan Lahan I Cagar Alam Hutan Intensitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat Penggembalaan Garapan Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat Intensif Hambatan meningkat, kesesuaian dan pilihan penggunaan lahan berkurang II III IV V VI VII VIII Sub Kelas Gambar 2 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Klingebiel dan Montgomery 1973 dalam Arsyad 2010). Pengelompokkan di dalam sub kelas didasarkan atas jenis faktor penghambat atau ancaman kerusakan. Terdapat beberapa jenis faktor penghambat, yaitu ancaman erosi (e), keadaan drainase (w), (3) hambatan daerah perakaran (s) dan hambatan iklim (c). Satuan Kemampuan (Capability Unit) Pengelompokkan di dalam satuan kemampuan lahan memberi keterangan yang lebih spesifik dan terinci untuk setiap bidang lahan dari pada sub kelas (Arsyad 2010). Satuan kemampuan merupakan pengelompokan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaiannya bagi tanaman dan memerlukan pengelolaan yang sama. Lahan ini mempunyai sifat yang sama dalam hal (a) kemampuan memproduksi tanaman pertanian atau tanaman rumput untuk makanan ternak, (b) memerlukan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama di bawah vegetasi penutup yang sama, dan (c) untuk jenis tanaman yang sama akan memberi hasil kurang lebih sama (produksi rata-rata dengan sistem pengelolaan yang sama tidak akan berbeda lebih dari 25 %) (Suripin 2001). Secara ringkas kriteria klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan faktor penghambat dapat disusun dalam suatu matriks (Tabel 2) dan kriteria masingmasing faktor penghambat disajikan pada Lampiran 1.

34 14 Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan Faktor penghambat/ Kelas Kemampuan Lahan Pembatas 1) I II III IV V VI VII VIII 1. Lereng Permukaan A (l 0) B (l 1) C (l 2) D (l 3) A(l 0) E (l 4) F (l 5) G (l 6) 2. Kepekaan erosi KE 1,KE 2 KE 3 KE 4,KE 5 KE 6 (*) (*) (*) (*) 3. Tingkat erosi e 0 e 1 e 2 e 3 (**) e 4 e 5 (*) 4. Kedalaman tanah k 0 k 1 k 2 k 2 (*) k 3 (*) (*) 5. Tekstur lapisan Atas t 1,t 2, t 1,t 2, t 1,t 2, t 1,t 2, (*) t 1,t 2, t 1,t 2, t 5 t 3 t 3 t 3,t 4 t 3,t 4 t 3,t 4 t 3,t 4 6. Tekstur lap. bawah sda sda sda sda (*) sda sda t 5 7. Permeabilitas P 2,P 3 P 2,P 3 P 2,P 3 P 2,P 3 P 1 (*) (*) P 5 P 4 P 4 8. Drainase d 1 d 2 d 3 d 4 d 5 (**) (**) d 0 9. Kerikil/batuan b 0 b 0 b 1 b 2 b 3 (*) (*) b Ancaman banjir O 0 O 1 O 2 O 3 O 4 (**) (**) (*) 11.Garam/salinitas (***) g 0 g 1 g 2 (**) g 3 g 3 (*) (*) Catatan: (1) = kriteria masing-masing faktor penghambat disajikan pada Lampiran 1 (*) = dapat mempunyai sembarang sifat (**) = tidak berlaku (***) = umumnya terdapat di daerah beriklim kering Sumber : Arsyad ( 2010) Secara skematis klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut : Kelas I II III IV V VI VII VIII Sub Kelas e w s c Unit Vs 1 Vs 2 Vs 3 Vs 4 Gambar 3 Skematis klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi Kesesuaian Lahan Menurut FAO (1976) kerangka dari sistem Klasifikasi kesesuaian lahan dibagi atas 4 (empat) kategori, yaitu : Ordo : menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Kelas : menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan.

35 15 Sub kelas : menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas. Unit : menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang ber pengaruh dalam pengelolaan suatu sub kelas. Ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, sub-kelas untuk pemetaan tanah semi detail, dan unit untuk pemetaan tanah detail. Ordo juga digunakan dalam pemetaan tanah pada skala yang lebih besar. Kesesuaian Lahan pada Tingkat Ordo (Order) Pada tingkat ordo ditunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu : 1. Ordo S (sesuai). Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. 2. Ordo N (tidak sesuai). Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam berbatu-batu dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). Kesesuaian Lahan pada Tingkat Kelas Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis dibelakang symbol ordo, dimana nomor itu menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek jika makin tinggi nomornya (Hardjowigeno 2010). Banyaknya kelas dalam setiap ordo sebetulnya tidak terbatas, akan tetapi dianjurkan hanya memakai tiga sampai lima kelas dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N. Jumlah kelas tersebut harus didasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran. Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo S (sesuai) dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N (tidak sesuai), maka pembagian serta definisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut (FAO 1976) : 1. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. 2. Kelas S2: cukup sesuai (moderately) lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. 3. Kelas S3: sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan

36 16 yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkat masukan yang diperlukan. 4. Kelas N1: tidak sesuai pada saat itu (currently not suitable). Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 5. Kelas N2: tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable). Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Kesesuaian Lahan pada Tingkat Sub Kelas Sub kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub- kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas itu ditunjukkan dengan symbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Misalnya kelas S2 yang mempunyai pembatas kedalaman efektif (s) dapat menjadi sub-kelas S2s. Dalam satu sub kelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga symbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. Misalnya, dalam sub-kelas S2ts maka pembatas keadaan topografi (t) adalah pembatas yang paling dominan dan pembatas kedalaman efektif (s) adalah pembatas kedua atau tambahan (Hardjowigeno 2010) Kesesuaian Lahan pada Tingkat Unit Kesesuaian lahan pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-kelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas. Semua unit yang berada dalam satu sub-kelas mempunyai tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkat sub kelas. Unit yang satu berbeda dengan unit lainnya karena kemampuan produksi atau dalam aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan detail dari pembatas-batasnya. Diketahuinya pembatas secara detail, akan memudahkan penafsiran dalam mengelola rencana suatu usaha tani. Erosi dan Faktor yang Mempengaruhinya Erosi adalah peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat yang lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut kemudian diendapkan di tempat lain. Dalam konteks suatu DAS, erosi tanah merupakan masalah yang serius. Dampak dari erosi telah dikenal luas yakni : menurunnya produktivitas tanah, dan meningkatnya sedimentasi yang berakibat pendangkalan sungai dan saluran irigasi, berkurangnya secara tajam umur pemanfaatan waduk. Terjadinya erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran permukaan atau karena kekuatan angin. Sebagian besar daerah tropika basah

37 17 seperti Indonesia, erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir hujan dan aliran permukaan. Proses terjadinya erosi melalui beberapa tahap, yaitu pelepasan (detachment), pemindahan (transportation) dan pengendapan (deposition). Hujan yang jatuh di permukaan tanah akan menghancurkan partikel tanah dan memercikkan partikel tersebut ke atas kemudian berpindah ke tempat lain. Dampak yang ditimbulkan akibat berpindahnya partikel-partikel tanah tersebut yaitu akan terjadi penyumbatan pori-pori tanah sehingga akan mengurangi infiltrasi tanah karena telah terjadinya pemadatan tanah (surface crusting). Apabila hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka akan terjadi run off yang akan menghancurkan partikel tanah dan mengangkutnya dengan tenaga aliran run off. Jika kecepatan aliran menjadi lambat atau terhenti, partikel akan mengalami deposisi atau sedimentasi. Banyaknya air mengalir di permukaan tanah bergantung pada hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah. Erosi yang disebabkan oleh air hujan mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas (top soil), dimana tanah lapisan atas adalah tanah yang lebih subur dibandingkan dengan lapisan tanah dibawahnya (sub soil), dan pada tanah lapisan atas kandungan bahan organik dan unsur-unsur hara lebih tinggi. Kehilangan tanah lapisan atas akan mengakibatkan kehilangan bahan organik dan unsur-unsur hara tanah cukup besar bersama-sama dengan tanah yang tererosi, seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah erosi, C-organik dan hara terangkut aliran permukaan pada lahan pertanian tanaman pangan di beberapa lokasi di Jawa Barat (dalam Kurnia et al. 2005) Lokasi Erosi (ton ha -1 ) C-organik N P2O5 K2O kg ha Darmaga 1) Citayam 2) Jasinga 3) Pacet 4) Pangalengan 5) Keterangan : 1) Sinukaban (1990), 2) Suwardjo 1981, 3) Kurnia et al. (1997), 4) et al. (1997) dan 5) Banuwa (1994) Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi Proses terjadinya erosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah, dan tindakan manusia. Selanjutnya Baver (1980) mengklasifikasi faktor-faktor tersebut dalam suatu persamaan sebagai berikut : dimana : E = f ( I, R, V, T, M )... (1) I = iklim V = vegetasi M = manusia R = topografi T = tanah

38 18 Iklim Didaerah tropika faktor iklim yang terpenting yang menentukan besarnya tanah tererosi adalah hujan. Karakteristik hujan yang mempengaruhi erosi adalah intensitas hujan, lama hujan, total curah hujan energi kinetik hujan, ukuran butir, kecepatan dan bentuk jatuhnya hujan serta distribusi hujan (Kohnke, 1968 dalam Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993). Tanah Sifat sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi adalah faktor kepekaan tanah (erodibilitas tanah). Semakin besar nilai erodibilitas tanah suatu tanah makin peka tanah tersebut terhadap erosi. Erodibilitas tanah sangat tergantung pada dua karakteristik tanah yaitu stabilitas agregat tanah dan kapasitas infiltrasi. Stabilitas agregat tanah dipengaruhi oleh struktur tanah yang biasanya ditentukan oleh bahan organik tanah, persentase fraksi pasir, debu dan liat (Wiersum, 1979 dalam Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993). Selanjutnya Greenland (1965 dalam Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993) mengemukakan bahwa tanah dengan kandungan liat dan bahan organik yang tinggi mempunyai agregat yang stabil karena mempunyai ikatan yang kuat diantara koloid-koloidnya. Kriteria yang penting dalam menduga kepekaan tanah terhadap erosi adalah clay ratio yaitu perbandingan antara persentase pasir dan debu dengan persentase liat (Bouyoucos, 1935 dalam Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993) Topografi Kemiringan dan panjang lereng adalah dua faktor yang berpengaruh terhadap erosi. Kenaikan kecepatan aliran permukaan akibat kemiringan lereng menjadikan air tersebut sebagai pengangkut yang lebih baik, karena tetesan hujan akan mengakibatkan terlepasnya butir-butir tanah yang selanjutnya akan di hanyutkan oleh aliran permukaan. Pengaruh panjang lereng terhadap erosi sangat tergantung pada jenis tanah dan intensitas hujan. Umumnya kehilangan tanah meningkat dengan meningkatnya panjang lereng bila intensitas hujannya besar. Vegetasi Faktor vegetasi merupakan lapisan pelindung antara atmosfer dan tanah. Vegetasi akan mempengaruhi siklus hidrologi diantaranya volume air yang masuk ke sungai, kedalam tanah dan cadangan air bawah tanah. Vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau hutan yang lebat (Arsyad, 2010). Selanjutnya Arsyad (2010) mengemukakan pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dikelompokkan sebagai berikut : - Intersepsi hujan Intersepsi hujan oleh vegetasi akan mempengaruhi erosi, yaitu mengurangi jumlah air yang sampai ke tanah sehingga akan mengurangi aliran permukaan dan mengurangi kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh ke tanah. - Mengurangi kecepatan dan kekuatan perusakan aliran permukaan Tumbuhan yang merambat di atas permukaan tanah merupakan penghambat aliran permukaan. Pengaruh vegetasi terhadap pengurangan laju aliran

39 19 permukaan lebih besar dari pada pengaruhnya terhadap pengurangan jumlah aliran permukaan. - Pengaruh perakaran Perakaran tumbuhan akan membentuk agregat-agregat tanah yang dimulai dengan penghancuran bongkah-bongkah tanah oleh akar. Akar tumbuhan masuk ke dalam bongkah dan menimbulkan tempat-tempat lemah yang menyebabkan bongkah-bongkah terpisah menjadi butir-butir sekunder. Rumput, leguminosa dan tumbuhan semak memiliki pengaruh yang nyata dalam memperkuat ketahanan tanah terhadap erosi dan longsor sampai kedalaman m, sedangkan pepohonan memiliki pengaruh lebih dalam dan dapat meningkatkan kekuatan tanah sampai kedalaman 3 m atau lebih tergantung pada morfologi akar jenis pepohonan tersebut (Arsyad 2010). - Transpirasi Tanah dalam kapasitas lapang mengakibatkan hilangnya air dari tanah terutama melalui transpirasi. Transpirasi memperbesar kapasitas tanah untuk menyerap air hujan, sehingga nantinya akan mengurangi jumlah aliran permukaan - Kegiatan biologi tanah Kegiatan biologi tanah (bakteri, jamur, cendawan, insekta dan cacing tanah) akan memperbaiki porositas dan kemantapan agregat tanah. Pengaruh dari berbagai organisme tanah ini akan meningkatkan infiltrasi tanah, mengurangi aliran permukaan dan mengurangi erosi. Manusia Manusia merupakan faktor yang paling berpengaruh menyebabkan terjadinya erosi. Beberapa kegiatan manusia yang mengakibatkan terjadinya erosi adalah adanya aktivitas manusia dalam memanfaatkan tanah untuk berbagai kegunaan, diantaranya cara bercocok tanam yang salah atau pembuatan jalan yang ceroboh dapat mempercepat terjadinya erosi. Selanjutnya pemusnahan tanaman akibat penebangan dan kebakaran akan menyebabkan erosi semakin besar. Menurut Arsyad ( 2010) faktor erosi akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu pengelolaan lahan, untuk itu didalam perencanaan penggunaan lahan dan pengelolaannya faktor erosi harus dipertimbangkan. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan dalam perencanaan penggunaan lahan adalah model prediksi erosi. Persamaan untuk menghitung kehilangan tanah di lapangan telah dimulai sejak tahun 1936, dimana saat itu Cook yang mengembangkan tiga faktor yang tidak saling berkaitan, tetapi mempengaruhi erosi yaitu erodibilitas, erosivitas dan tanaman penutup tanah. Sementara itu Wischmeier dan Smith (1978) telah merangkum data dari ribuan plot dan DAS dengan mempertimbangkan persamaan kehilangan tanah karena hujan. Untuk itu mereka sepakat mengemukakan bentuk akhir persamaan kehilangan tanah dengan menggunakan persamaan USLE (universal soil loss equation) yang mengkombinasikan faktor-faktor utama penyebab erosi dan hubungan kuantitatifnya untuk memprediksi besarnya erosi lembar dan alur akibat air hujan dan aliran permukaan pada suatu daerah tertentu.

40 20 Model persamaan yang digunakan adalah : dimana : A = R x K x L x S x C x P... (2) A = besarnya erosi (ton ha -1 tahun -1 ) R = indeks erosivitas hujan K = faktor erodibilitas tanah L = faktor panjang lereng S = faktor kemiringan lereng C = faktor pengelolaan tanaman P = faktor tindakan konservasi Menurut Vadari et al. (2004) model erosi tanah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) model empiris, (2) model fisik dan (3) model konseptual. Model empiris didasarkan pada variabel-variabel penting yang didapat dari penelitian dan pengamatan selama terjadi proses erosi. Salah satu contoh model empiris adalah USLE (universal soil loss equation). Selanjutnya model fisik merupakan suatu model yang berhubungan dengan hukum kekekalan massa dan energi, dimana model ini juga dikenal sebagai model input-output dalam kondisi yang homogen, dan tidak berlaku bila kondisinya tidak homogen (Rose et al dalam Vadari et al. 2004). Sedangkan model konseptual merupakan suatu model yang dirancang untuk mengetahui proses internal dalam sistem dan mekanisme fisik yang selalu berkaitan dengan hukum fisika dalam bentuk sederhana. Umumnya model ini tidak linier, bervariasi dalam waktu dan parameternya mutlak diukur. Menurut Vadari et al. (2004), meskipun model ini mengabaikan aspek spasial dalam proses hujan dan aliran permukaan, tetapi kaitannya dengan proses yang tidak linier menyebabkan model ini layak untuk dipertimbangkan. Beberapa model erosi yang telah dikembangkan dimulai dengan USLE dan beberapa model empiris lainnya, diantaranya RUSLE (revised universal soil loss equation), MUSLE (modified universal soil loss equation) yang dikembangkan tetap berpatokan pada USLE (Vadari et al. 2004). Model fisik lain yang dikembangkan setelah generasi USLE adalah model GUEST (griffith university erosion system template) (Rose et al. 1997). Selanjutnya Sinukaban (1997) mengemukakan bahwa beberapa model erosi untuk DAS yang berkaitan dengan hidrologi dan juga berdasarkan pada konsep USLE adalah ANSWERS (areal nonpoint sources watershed environment response simulation) yang diperbaiki dengan model AGNPS (agricultural non-point source pollution model). Hasil prediksi erosi di atas akan dibandingkan dengan erosi yang dapat ditoleransikan (Tolerable Soil Loss) berdasarkan pendekatan (Hammer 1981 dalam Arsyad 2010) dalam jangka waktu yang lama untuk menentukan apakah tanah yang digunakan tersebut lestari atau tidak. Adapun persamaan yang digunakan Wood dan Dent (1983) untuk penentuan erosi yang dapat ditoleransikan (Tolerable Soil Loss) adalah : DE - Dmin ETol = + LPT... (3) UGT

41 21 dimana : ETol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm thn -1 ) DE = kedalaman ekivalen (equivalent depth) = De x fd De = kedalaman efektif tanah (mm) fd = faktor kedalaman tanah menurut Sub Ordo Tanah Dmin = kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk tanaman (mm) UGT = umur guna tanah (tahun) LPT = laju pembentukan tanah (disesuaikan dengan kondisi dilapangan) Persamaan di atas turut memperhitungkan ketebalan tanah minimum dan jangka waktu penggunaan tanah yang diinginkan (resource life), disamping menggunakan kedalaman tanah ekivalen dan umur guna tanah. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai sumber unsur hara bagi tanaman dan (2) sebagai matrik tempat akar tanaman berjangkar dan air tanah tersimpan serta tempat unsur hara dan air diberikan. Hilangnya fungsi pertama masih dapat diperbaiki dengan penambahan pupuk, sedangkan fungsi kedua tidak dengan mudah diperbaharui karena memerlukan waktu yang sangat lama untuk pembentukan tanah. Di Indonesia beberapa cara penetapan batas laju erosi yang dapat ditoleransikan yang umum digunakan adalah Thompson (1957 dalam Arsyad 2010), Wood dan Dent (1983) dan Hammer (1981). Metode Hammer (1981) dalam menetapkan ETol sangat praktis dan mudah, akan tetapi terdapat juga beberapa kelemahan, diantaranya : (1) metoda ini menggunakan pendekatan eksploitatif yaitu pengurasan lahan sampai batas LPT, hal ini akan mengakibatkan kerusakan lahan yang cepat dengan berbagai akibat ikutannya, (2) bila kedalaman ekivalen (DE) telah habis terkuras, maka ketebalan tanah akan mencapai Dmin yang mengakibatkan peubah penggunaan tanah untuk tanaman lain akan sulit dilakukan. Sebagai contoh bila Dmin tanaman yang diusahakan kecil (20 cm), dan apabila menggunakan tanaman yang memerlukan Dmin yang lebih tebal, maka memerlukan waktu yang lama agar Dmin nya kembali meningkat. Untuk itu pendekatan Hammer (1981) jelas tidak akan dapat mempertahankan pertanian yang berkelanjutan. Metoda Thompson (1957 dalam Arsyad 2010) menyarankan agar laju erosi yang dapat ditoleransikan didasarkan pada kedalaman solum tanah, permeabilitas tanah lapisan bawah dan kondisi substratum. Pendekatan ini akan mampu memelihara ketebalan tanah yang cukup mudah bagi suatu tanaman. Erosi yang dapat ditoleransikan bukan saja ditujukan untuk mempertahankan produktivitas tanah, tetapi juga bertujuan untuk mengendalikan laju pendangkalan waduk, ataupun untuk mengantisipasi pencemaran kualitas air sungai yang sering digunakan sebagai bahan baku air minum. Besaran erosi yang dapat ditoleransikan untuk keperluan kedua hal di atas lebih ketat dibandingkan untuk memperbaiki produktivitas tanah pertanian (Vadari et al. 2004). Selanjutnya Notohadiprawiro (1985) mengemukakan bahwa laju erosi yang terbolehkan merupakan laju erosi yang tidak melebihi laju pembentukan tanah dan tidak memboroskan cadangan kesuburan tanah. Laju pembentukan tanah tergantung pada faktor-faktor pembentuk tanah dan persepsi kita tentang tanah. Apabila kita menggunakan persepsi morfogenesis,

42 22 pembentukan tanah diukur berdasarkan kelengkapan ciri-ciri morfologi yang menjadi kriteria diagnostik suatu jenis tanah tertentu. Sedangkan menurut persepsi habitat laju pembentukan tanah dapat ditaksir atas (1) pembentukan horizon A berlangsung cepat (0.2-2 mm tahun -1 ) dan (2) cacing tanah dapat mencernakan tanah setara dengan mm tahun -1. Dampak Usahatani Kakao Terhadap Erosi dan Aliran Permukaan Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih gunakan menjadi lahan usaha lain. Lal (1986 dalam Banuwa 2008) melaporkan hubungan antara erosi dengan penebangan hutan, yaitu erosi dari suatu small catchment area di Guyana Perancis meningkat secara drastis setelah dilakukan penebangan hutan (deforestation). Hasil observasi yang dilakukan pada skala petak kecil juga menunjukkan bahwa penebangan vegetasi alami telah menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien run off kali, sementara itu erosi meningkat pula sampai lebih dari 10 kali lipat (Rose 1986). Permukaan tanah yang dibiarkan terbuka juga menyebabkan terjadinya fluktuasi suhu dan regim kelembaban tanah menjadi lebih besar. Hal ini menyebabkan terjadinya percepatan penurunan kadar bahan organik tanah (Lal 1994). Konservasi merupakan faktor yang penting dalam pertanian berwawasan lingkungan. Konservasi sumberdaya terbarukan berarti sumberdaya tersebut harus dapat difungsikan secara berkelanjutan (sustainable). Sekarang kita sudah mulai sadar tentang potensi teknologi, kerapuhan lingkungan dan kemampuan budi daya manusia untuk merusak lingkungan tersebut. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketersediaan sumberdaya adalah terbatas. Konservasi lahan pada dasarnya diarahkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hidrologis, menjaga kelestarian sumber air, meningkatkan sumber daya alam serta memperbaiki kualitas lingkungan hidup yang pada gilirannya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui usaha tani yang berkelanjutan. Pola tanam berbasis kakao adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Sedangkan pola tanam lain yang dapat digunakan adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (tanaman non-kayu) yang disebut dengan Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems). Hasil penelitian Sutono et al. (2004) menyebutkan bahwa besarnya erosi disebabkan oleh pola tanam yang tidak menguntungkan, dimana pada kebun campuran dengan penutupan lahan oleh pepohonan yang jarang dan permukaan tanah dibiarkan terbuka merupakan penyebab erosi yang cukup besar setiap tahunnya (30-36 ton ha -1 tahun -1 ), selanjutnya pada lahan tegalan tingkat erosi yang terjadi adalah (22-61 ton ha -1 tahun -1 ) hal ini juga disebabkan karena

43 23 pengelolaan lahan tegalan yang selalu digunakan untuk tanaman semusim menjadi penyebab tingginya erosi. Nurmi (2009) mendapatkan bahwa penanaman kakao yang disertai dengan peningkatan penutupan permukaan tanah oleh tajuk tanaman dan penanaman strip tanaman searah kountur dapat menghambat laju aliran permukaan dan erosi. Selanjutnya Monde (2008) juga menjelaskan bahwa erosi yang terjadi pada tanaman kakao monokultur yang berumur < 3 tahun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kakao yang berumur di atas 6 tahun, hal ini dikarenakan permukaan tanahnya yang relatif masih terbuka. Penerapan teknik konservasi tanah sangat diharapkan untuk dapat menekan laju erosi. Pilihan teknik konservasi tanah harus disesuaikan dengan keadaan setempat (bersifat spesifik lokasi), karena sesuai tidaknya pilihan teknik konservasi sangat ditentukan oleh faktor curah hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, lereng, dan vegetasi, diantaranya dengan penanaman tanaman penutup tanah, pembuatan rorak atau guludan searah kountur. Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan strategi pembangunan pertanian jangka panjang yang dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang menjadi daya dukung proses produksi pertanian sekaligus mempertahankan kapasitas produksi/daya dukung dari sumberdaya itu sendiri (Pakpahan et al. 1992). Selanjutnya US Society of Agronomy (1989), mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian jangka panjang yang meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya yang diperlukan untuk kegiatan pertanian. Pertanian menyediakan makanan pokok manusia dan kebutuhan serat dan secara ekonomi dapat meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan Reijntjes et al. (1999), menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. Konsep pertanian berkelanjutan merupakan konsep pertanian yang berlanjut baik untuk saat ini, saat yang akan datang dan selamanya yang mampu berproduksi dengan tetap mempertahankan basis sumberdaya. Di Indonesia, pembangunan berwawasan lingkungan merupakan implementasi dari konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani secara luas, melalui peningkatan produksi pertanian, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Salikin 2003). Pengertian yang lebih terbuka dikemukakan oleh Gips (1986 dalam Reijntjes et al. 1999) pertanian dapat dikatakan berkelanjutan jika mencakup halhal berikut: - Mampertahankan fungsi ekologis, artinya tidak merusak ekologi pertanian itu sendiri.

44 24 - Berlanjut secara ekonomis, artinya mampu memberikan nilai yang layak bagi pelaksana pertanian itu dan tidak ada pihak yang diekploitasi. Masing-masing pihak mendapatkan hak sesuai dengan partisipasinya. - Adil, berarti setiap pelaku pelaksanan pertanian mendapatkan hak-haknya tanpa dibatasi dan dibelunggu dan tidak melanggar hak yang lain. - Manusiawi artinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dimana harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi termasuk budaya yang telah ada. - Luwes yang berarti mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini, dengan demikian pertanian berkelanjutan tidak statis tetapi dinamis bisa mengakomodir keinginan konsumen maupun produsen. Agar produksi pertanian yang tinggi dapat dipertahankan secara terus menerus dan berkesinambungan maka nilai erosi harus lebih kecil dari Etol dan bila sebaliknya akan mengakibatkan produktivitas lahan menjadi menurun, sehingga produksi yang tinggi itu tidak dapat dipertahankan (pertanian tidak lestari). Secara operasional hal ini dapat diwujudkan dengan penerapan sistem pertanian konservasi (Conservation Farming System). Sistem pertanian konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air kedalam system pertanian yang telah ada. Tujuan utama SPK adalah untuk mewujudkan kondisi sebagai berikut (Sinukaban 2001) : - Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya. - Pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat merancang masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya. - Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan dapat diterima oleh petani, sehingga sistem pertanian tersebut dapat dan akan diteruskan oleh petani dengan kemampuannya sendiri secara terus menerus tanpa bantuan dari luar. - Komoditi pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku dipasar. - Laju erosi kecil (minimal), lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga produktivitas yang cukup tinggi dapat dipertahankan/ditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. - Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani umuk terus berusahatani. Sinukaban (2001) juga menambahkan untuk membangun suatu SPK harus dengan langkah-langkah sebagai berikut : - Inventarisasi keadaan biofisik daerah, seperti tanah (sifat fisik dan kimia), drainase, penggunaan lahan, topografi, iklim dan degradasi lahan. Data-data tersebut diperlukan untuk menentukan kelas kemampuan lahan/kesesuaian lahan untuk tanaman tertentu, agroteknologi yang diperlukan, teknik konservasi yang sesuai dan memadai serta tingkat kerusakan tanah yang sudah terjadi.

45 25 - Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani seperti jumlah keluarga, pendidikan, keadaan ekonomi, tujuan keluarga, kepemilikan lahan, pengetahuan tentang teknologi pertanian dan persepsi tentang erosi. - Inventarisasi pengaruh dari luar, seperti pasar/pemasaran hasil, harga-harga hasil pertanian, keadaan/jarak ketempat pemasaran, perangkat penyuluhan/ latihan dan organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan petani. Pengelolaan DAS Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dikelilingi dan dibatasi oleh topografi alami berupa punggung bukit atau pegunungan dimana air yang jatuh diatasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang pada akhirnya akan bermuara ke danau atau laut. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa DAS merupakan satu sistem sehingga ada keterkaitan antara bagian hulu dan hilir. DAS sebagai suatu kesatuan ekosistem penanganannya perlu terpadu dan secara utuh dari hulu sampai hilir antar sektor dan antar daerah administrasi dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan, sehingga untuk mendukung terselenggaranya kegiatan pengelolaan DAS perlu dilakukan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS yang bertujuan untuk memfasilitasi terselenggaranya pengelolaan DAS terpadu. Permasalahan dalam pengelolaan DAS saat ini menjadi perhatian semua pihak, dikarenakan pemanfaatan sumberdaya dalam DAS melebihi kamampuan daya dukungnya yang antara lain diakibatkan oleh pertambahan jumlah penduduk, perubahan taraf hidup (kesejahteraan), tatanan sosial, politik, hukum, dan lainlain. Permasalah ini semakin kompleks akibat bergulirnya isu lingkungan global serta otonomi daerah, permasalahan ego sektor dan kedaerahan yang dikarenakan banyak DAS yang mempunyai wilayah administratif lintas kabupaten/kota bahkan lintas provinsi. Kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan DAS mulai dari hulu hingga ke hilir, maka didalam pengelolaannya diharapkan kepada stakeholders untuk melakukan langkah-langkah strategis yang diharuskan mengacu pada kaidah satu DAS, satu rencana, dan satu pengelolaan (Hutabarat, 2008). Pengelolaan DAS pada prinsipnya merupakan suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah (Asdak 2002). Selanjutnya Sinukaban (1999) mengemukakan pengelolaan DAS merupakan upaya penggunaan sumberdaya alam di dalam DAS secara rasional agar didapat produksi maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dan menekan bahaya kerusakan (degradasi) seminimal mungkin, serta diperoleh water yield yang merata sepanjang tahun. Terdapat tiga aspek yang selalu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS, yaitu jumlah air (water yield), waktu penyediaan air (water regime) dan sedimen. Ketiga aspek tersebut dapat memberikan gambaran tentang kualitas sistem DAS. Beberapa hal yang mengharuskan pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu antara lain : 1) terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan (multi sektor) dalam pengelolaan sumberdaya dan pembinaan aktifitasnya, 2) melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai bidang kegiatan, 3)

46 26 batas DAS tidak selalu bertepatan (co-incided) dengan batas wilayah administrasi pemerintahan dan 4) interaksi daerah hulu sampai hilir yang dapat berdampak negatif maupun positif sehingga memerlukan koordinasi antar pihak. DAS dapat dikatakan baik apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : - Produktivitas yang tinggi secara lestari/terus menerus yang meliputi pertanian, perdagangan, kehutanan, rekreasi, serta. semua pengelolaan sumberdaya yang ada di dalamnya yang bisa menjamin kehidupan yang layak. - Hasil air yang baik, meliputi kuantitas, kualitas dan distribusinya. - Pendapatan masyarakat merata (equity), dimana semua orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendapatan yang layak. - Kelenturan (resilient) yang tinggi, dalam artian apabila dalam satu titik dalam DAS tersebut terjadi guncangan dapat ditopang oleh tempat yang lain. Sedangkan dari segi fisik suatu DAS dikatagorikan dalam kondisi baik bila memiliki ciri-ciri sebagai berikut : - Koefisien air larian (C), yang menunjukkan perbandingan antara besamya air larian terhadap besarnya curah hujan berfluktuasi secara normal, dalam artian nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan cenderung kurang lebih sama dari tahun ke tahun. - Nisbah debit maksimum (Qmax)/debit minimum (Qmin) relatif stabil dari tahun ke tahun. - Tidak banyak terjadi perubahan koefisien arah pada kurva kadar lumpur (Cs). Salah satu sistem pengelolaan lahan dalam rangka mewujudkan terciptanya kondisi DAS yang baik adalah penerapan sistem pertanian konservasi. Sistem Pertanian Konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan dapat menekan erosi, sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas waktu (sustainable). Prinsip keberlanjutan (sustainability) menjadi acuan dalam mengelola DAS, dimana fungsi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya dari sumberdaya-sumberdaya (resources) dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (balance). Program Tujuan Ganda Program tujuan ganda (multiple goal programming) pertama kali diperkenalkan oleh Charnes dan Cooper pada awal tahun 60-an. Program ini merupakan pengembangan dari linear programming. Perbedaan utama dari ke dua program tersebut terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Analisis program tujuan ganda bertujuan untuk meminimumkan jarak antara atau deviasi terhadap tujuan, target atau sasaran yang telah ditetapkan dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai sasaran, target atau tujuan yang memuaskan (Nasendi dan Anwar 1985 ; Mulyono 1991), sedangkan dalam linear programming tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi. Selanjutnya dalam memecahkan suatu persoalan dengan beberapa tujuan, maka program tujuan ganda dapat dengan mudah menganalisis beberapa skala

47 27 prioritas untuk kemudian memberikan pertimbangan yang rasional (Nasendi dan Anwar, 1985). Charles dan Simpson (2002), dalam papernya Goal Programming Applications in Multidisciplinary Design Optimization, mendapatkan bahwa goal programming sangat cocok digunakan untuk masalah-masalah multi tujuan karena melalui variabel deviasinya, goal programming secara otomatis menangkap informasi tentang pencapaian relatif dari tujuan-tujuan yang ada. Oleh karena itu, solusi optimal yang diberikan dapat dibatasi pada solusi feasibel yang mengabungkan ukuran-ukuran performansi yang diinginkan. Model program tujuan ganda terdiri atas model tanpa prioritas tujuan dan model dengan prioritas tujuan. Perumusan model program tujuan ganda tanpa prioritas dalam strukturnya adalah : Fungsi tujuan : z W dengan syarat ikatan : n i 1 a ij m i 1 X j d d W i d i i d i b i.. (4).... (5) untuk i = 1, 2,...,n (kendala tujuan) g X atau C. (6) kj j untuk k = 1, 2,...,p (kendala fungsional) dan j = 1, 2,...,n dan Xj, d i, d i 0 (7) d i. d i 0 (8) dimana : Xj = peubah keputusan (jenis penggunaan lahan) ke-j aij = koefisien teknologi Xj pada kendala sasaran ke-i gkj = koefisien teknologi Xj pada kendala real ke-k bi = sasaran/tujuan target ke-i Ck d, = jumlah sumberdaya k yang tersedia = deviasi yang kekurangan (-) dan kelebihan (+) terhadap tujuan ke-i i d i W = timbangan relatif dari d + W = timbangan relatif dari d - Selanjutnya model PTG dengan prioritas tujuan dapat pula dirumuskan dengan menambahkan faktor prioritas tujuan (Ps dan Py) dalam struktur model (persamaan) fungsi tujuan sebagai berikut : z q i 1 PW s k i, s di PW i i, y di.. (9) Beberapa penelitian yang menggunakan program tujuan ganda (PTG) telah banyak dilakukan, diantaranya Manik (1992) menggunakan PTG untuk melakukan optimalisasi penggunaan lahan di DAS Way Seputih, Lampung Tengah. Model yang disusun menggunakan luas lahan di hulu sebagai fungsi kendala ril, sedangkan kendala tujuan terdiri dari tingkat erosi, aliran permukaan,

48 ketersediaan tenaga kerja petani, serta pendapatan minimal per kapita petani. Selanjutnya Rauf (2004) yang mengkaji sistem agroforestri yang optimal di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser, dimana faktor kendala ril yang digunakan adalah luas lahan yang dimiliki petani, dengan tujuan untuk mengurangi laju erosi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani, memanfaatkan modal serta tenaga kerja yang dimiliki petani. Output yang didapat melalui analisis program tujuan ganda adalah alokasi luas lahan optimal untuk setiap jenis tanaman yang dijadikan komponen dalam sistem agroforestri. Penelitian yang sama dengan menggunakan program tujuan ganda (PTG) juga dilakukan oleh Ruslan (1989) di DAS Peusangan Propinsi Aceh yaitu penggunaan lahan berdasarkan kondisi fisik dan sosial ekonomi. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk memperoleh komposisi penggunaan lahan yang optimal, yang dapat menjamin kelestarian dan keseimbangan lingkungan, mengetahui dampak yang terjadi dari beberapa skenario kebijakan yang menghasilkan kemungkinan komposisi penggunaan lahan, baik bersifat fisik maupun sosial ekonomi. Untuk itu ditetapkan kendala sasaran berupa debit air sungai Peusangan, erosi tanah, dan pendapatan usahatani. 28

49 29 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di DAS Krueng Seulimum mulai bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Desember Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Aceh yang berjarak 65 km dari Kota Banda Aceh. Secara geografis lokasi penelitiaan berada pada 95 30' ' Bujur Timur dan 5 15'- 5 30' Lintang Utara (Gambar 4). DAS Krueng Seulimum meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Besar (Kecamatan Seulimum, dan Kecamatan Lembah Seulawah) dan Kabupaten Pidie (Kecamatan Padang Tiji). Gambar 4 Lokasi Penelitian DAS Krueng Seulimum Kabupaten Aceh Besar Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan DAS Krueng Seulimum merupakan salah satu sub DAS Krueng Aceh yang terdapat di kawasan hulu. Bagian hulu DAS Krueng Seulimum sebagian besar termasuk ke dalam kawasan hutan lindung, namun saat ini sebagian besar kawasan hutan tersebut telah mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian yang didominasi oleh kebun campuran disamping perambahan hutan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004.

50 30 Alat dan Bahan Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Geographycal Position System (GPS), software GIS, peta kerja, abney level, meteran, kompas, bor tanah, ring sample, kantong plastik, alat tulis kantor (ATK), peralatan laboratorium, kertas lebel, kamera digital, dan seperangkat komputer serta peralatan lain yang diperlukan untuk pengukuran erosi dan aliran permukaan yaitu petak erosi dan alat penakar hujan. Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis sampel tanah di laboratorium. Tahapan Penelitian dan Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survai, metode eksprimen (percobaan erosi petak kecil) dan aplikasi model Program Tujuan Ganda (PTG) yang meliputi beberapa tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis data dan tahap penyusunan perencanaan usahatani berbasis kakao berkelanjutan (Gambar 5). Tahap Persiapan Salah satu sarana yang sangat penting dalam tahap persiapan adalah melakukan pembuatan peta kerja yaitu dengan mengoverlaykan peta lereng, peta jenis tanah dan peta penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum sehingga diperoleh peta satuan lahan (SL). Peta ini digunakan sebagai dasar pengamatan di lapangan, menyusun perencanan pola usahatani berbasis kakao, dan penentuan letak petak erosi. Selanjutnya dilakukan penetapan lokasi pengamatan intensif di DAS Krueng Seulimum yang penggunaan lahannya dapat mewakili usahatani berbasis kakao. Pemilihan terhadap lahan usahatani berbasis kakao dilakukan atas pertimbangan bahwa hingga saat ini tanaman kakao merupakan salah satu komoditi unggulan di kabupaten Aceh Besar (Peta arahan pewilayahan komoditas Aceh Besar, 2002) disamping memiliki nilai ekonomi. Untuk itu penelitian dilakukan pada lahan usahatani berbasis kakao dalam rangka mewujudkan pertanian lahan kering berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. Selanjutnya adalah penyiapan kuisioner untuk mengumpulkan data dari sejumlah responden, diantaranya petani yang merupakan pengelola/pemilik lahan kakao pada setiap satuan lahan yang dipilih dan pejabat terkait. Responden untuk pejabat terkait ditunjuk secara sengaja (purposive), sedangkan responden untuk petani ditetapkan dengan cara stratifed random sampling. Tahap Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder yang meliputi data biofisik dan data sosial ekonomi (Tabel 4). Data sekunder berupa peta SRTM (deliniasi batas DAS), peta jenis tanah, peta topografi/lereng, peta penggunaan lahan dan peta kerja (peta satuan lahan) yang akan digunakan untuk penentuan lokasi pengambilan sampel tanah dan penetapan petak erosi.

51 31 Mulai Peta Jenis Tanah Peta Lereng Peta Penggunaan Lahan PETA SATUAN LAHAN DATA BIOFISIK Iklim, hidrologi, Lahan, Karakteristik Lahan dan Tipe penggunaan Lahan DATA SOSIAL EKONOMI Penduduk, Jumlah Keluarga, Pendapatan, jenis usahatani dan Luas Lahan, dan Input Agroteknologi yang digunakan Analisis Data Biofisik Analisis Data Sosek Alternatif Tipe Usahatani Kakao dan Agroteknologi Evaluasi kemampuan lahan dan kesesuaian lahan untuk tanaman kakao Alternatif Agroteknologi Evaluasi kondisi Sosial dan Ekonomi Analisis Usahatani Prediksi Erosi Petak Erosi Tidak Erosi < E Tol Pendapatan Standar KHL Tidak Ya Tipe dan Agroteknologi Usahatani Kakao Berkelanjutan Ya Analisis pengambilan keputusan dengan LINDO dan Decision Tool Arahan Usahatani Berbasis Kakao Berkelanjutan Di DAS Krueng Seulimum Gambar 5 Diagram alir tahapan penelitian

52 32 Data biofisik yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data vegetasi (penggunaan lahan) dan tipe usahatani berbasis kakao, data tanah (fisik dan kimia) dan data iklim (curah hujan, kelembaban relatif dan temperatur), yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik biofisik DAS Krueng Seulimum. Data tanah dan iklim juga akan digunakan untuk klasifikasi kemampuan lahan, klasifikasi kesesuaian lahan, analisis erosi, dan penentuan agroteknologi (Tabel 4). Data sosial ekonomi yang diperlukan antara lain data kependudukan, kepemilikan lahan, sarana produksi yang digunakan, tingkat pendapatan kepala keluarga, tenaga kerja yang digunakan dan data sosial ekonomi lainnya (Tabel 4). Data ini diperlukan untuk mengetahui dan mengevaluasi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di DAS Krueng Seulimum. Teknik Pengumpulan Data Prediksi Erosi. Erosi merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam perencanaan penggunaan lahan dan pengelolaannya. Untuk itu dalam perencanaan penggunaan lahan di gunakan model prediksi erosi. Universal Soil Loss Equation (USLE) merupakan model erosi yang dapat digunakan untuk memprediksi rata-rata erosi tanah dalam jangka waktu panjang dari suatu areal usaha tani dengan sistem pertanaman dan pengelolaan tertentu. Bentuk erosi yang dapat diprediksi adalah erosi lembar atau alur, akan tetapi tidak dapat digunakan untuk memprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai (Wischmeier dan Smith 1978). Model USLE disamping mudah dikelola karena relatif sederhana dan jumlah masukan atau parameter yang dibutuhkan relatif sedikit, juga berguna untuk menentukan kelayakan tindakan konservasi tanah dalam perencanaan lahan. Salah satu faktor yang harus disadari oleh pengguna model ini adalah berhubungan dengan skala penggunaan, dimana model ini berfungsi baik untuk skala plot (Tarigan dan Sinukaban 2001). Petak Pengukuran Aliran Permukaan dan Erosi. Aliran permukaan dan erosi pada berbagai tipe usahatani berbasis kakao diukur di lapangan menggunakan petak erosi. Petak erosi yang dibuat berukuran 6 x 6 m. Sekeliling petak erosi dibatasi dengan plastik, sebagian plastik (15 cm) ditanam secara vertikal ke dalam tanah. Bagian bawah lereng pada setiap petak dipasang bak penampung yang berfungsi untuk menampung aliran permukaan yang terjadi dan tanah yang tererosi. Tanah yang tererosi diukur setiap hari apabila hari sebelumnya terjadi hujan yang menimbulkan aliran permukaan dan erosi (Gambar 6). Tanah yang tererosi ditentukan dengan menganalisis sampel yang tertampung pada bak erosi dengan metode gravimetri. Sedangkan volume aliran permukaan dihitung dengan menakar air yang tertampung pada bagian bawah petak erosi. Selanjutnya tanah hasil erosi yang tertampung pada bak erosi diambil lalu dikeringkan dengan oven dan ditimbang berat kering tanah yang tererosi per satuan luas per satuan hari waktu kejadian hujan.

53 33 Tabel 4 Jenis, sumber dan kegunaan data yang diperlukan untuk penelitian No Jenis Data Sumber Data Kegunaan Data I Data Primer : A. Lahan 1. Jumlah tanah yang tererosi dan aliran permukaan dari berbagai tipe usahatani. 2. Sifat fisik tanah (berat volume, struktur, tekstur, warna tanah, kedalaman tanah, drainase dan permeabilitas, lereng dan bahaya erosi, bahaya banjir, dan batuan dipermukaan). 3. Sifat kimia tanah (C-organik, ph, KTK, kejenuhan basa, N-total, K-tersedia, dan P- tersedia) B. Petani dan Usahatani 1. Tipe usahatani, status dan luas lahan 2. Jumlah, jenis dan umur tanaman yang diusahakan Petak erosi (petak percobaan lapang) Satuan lahan di lapang dan analisis laboratorium Satuan lahan di lapang dan analisis laboratorium Mengetahui besarnya erosi pada setiap tipe UT dan memilih agroteknologi. Menentukan kelas kemampuan dan kesesuaian lahan serta erodibilitas tanah Menentukan kelas kemampuan dan kesesuaian lahan serta erodibilitas tanah Petani sampel Menentukan karakteristik sosial ekonomi, kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup layak, dan pendapatan usahatani Petani sampel idem 3. Jumlah anggota keluarga Petani sampel idem 4. Produksi tanaman Petani sampel idem 5. Pendapatan usahatani Petani sampel idem 6. Modal yang diperlukan dan Petani sampel idem yang dimiliki petani 7. Tenaga kerja digunakan Petani sampel idem 8. Input atau sarana produksi yang digunakan dalam usaha tani 9. Agroteknologi yang diterapkan II Data Sekunder : 1. Surface radar topograph model (SRTM) 2. Peta rupa bumi skala 1: lembar , 32, 33 dan Peta penggunaan lahan yang dapat diinterpretasi dari citra landsat ETM 7 tahun 2011 Petani sampel Lahan usahatani Badan Informasi Geospasial Badan Informasi Geospasial Badan planologi idem idem Deliniasi batas DAS Krueng Seulimum Kelas lereng, satuan lahan, kemampuan lahan, kesesuaian lahan, dll. Menentukan jenis penggunaan lahan. 4. Peta tanah skala 1: Puslittanak Menentukan jenis tanah 5. Curah hujan selama 10 tahun Stasiun BMG Indeks erosivitas hujan, dll terakhir Indrapuri

54 34 Tabel 4 Lanjutan No Jenis Data Sumber Data Kegunaan Data 6. Suhu udara dan kelembaban Stasiun BMG Kelas kesesuaian lahan udara di DAS Kr.Selimum Indrapuri 7. Data kependudukan BPS kabpaten A.Besar Karakteristik sosial ekonomi 8. Data pendukung lainnya Studi Pustaka Penunjang Plastik Tanaman Lubang pembuang Selang penghubung. Bak penampung Jerigen 20 l Gambar 6 Plot pengamatan erosi dan aliran permukaan Total aliran permukaan untuk setiap kejadian hujan dihitung dengan persamaan (Schwab et al. 1997) : Rp = Rg + (Rc x Lp). (10) Untuk menghitung aliran permukaan per satuan luas (ha) dapat digunakan persamaan sebagai berikut: RO = [ m 2 /luas petak (m 2 )] x Rp (ltr).. (11) dimana : Rp = aliran permukaan (ltr), Rg = volume yang masuk bak penampung (ltr), Rc = volume yang masuk ke jerigen (ltr), Lp = banyaknya lubang pembuang, RO = aliran permukaan (ltr ha -1 ). Total erosi dihitung dengan persamaan (Schwab et al. 1997) : Ep = Pt + Sg x [Vg + (Rc x Lp)].. (12) Erosi dalam satu hektar dihitung dengan persamaan : E=10000 (m 2 ) / luas petak (m 2 ) x Ep (g). (13)

55 35 dimana : Ep = erosi petak (gr petak -1 ), Sg = kadar erosi dalam sampel bak penampung (gr ltr -1 ), Vg = volume aliran permukaan yang masuk bak penampung (ltr) Rc = volume aliran permukaan yang masuk ke jerigen (ltr), Sc = kadar erosi dalam sampel jerigen (gr ltr -1 ), Lp = banyaknya lubang pembuang, E = erosi (gr ha -1 ). Petak erosi dibangun berdasarkan perlakuan dari beberapa penggunaan lahan berbasis kakao dan kemiringan lereng. Percobaan dirancang secara faktorial dalam rancangan acak kelompok lengkap dengan dua taraf (penggunaan lahan dan lereng) dan satu faktor acak. Sebagai perlakuan adalah (1) kakao monokultur (K), (2) kakao monokultur+mulsa (KM), (3) pertanaman campuran kakao dengan pinang (KP), (4) pertanaman campuran kakao dengan pinang+mulsa (KPM), (5) pertanaman campuran kakao dengan pisang (KPs), (6) pertanaman campuran kakao dengan pisang+mulsa (KPsM), (7) padang penggembalaan (PG) masingmasing pada 3 kelas kemiringan lereng (7%, 14% dan 21%) (Tabel 5). Tabel 5 Perlakuan tipe usahatani dan kelas lereng pada tiap petak erosi yang digunakan untuk pengukuran aliran permukaan dan erosi di lapangan Kode Petak Perlakuan Kemiringan Lereng K Erosi Kakao Monokultur 7 (%) KM Kakao Monokultur + Mulsa KP Kakao + Pinang KPM Kakao + Pinang +Mulsa KPs Kakao + Pisang KPsM Kakao + Pisang + Mulsa PG Padang Penggembalaan Tanah. Data tanah didapat dari pengamatan tanah di lapang dan analisis tanah di laboratorium yang mewakili setiap satuan lahan. Sampel tanah yang diambil terdiri atas sampel tanah utuh untuk analisis sifat fisik tanah dan sampel tanah tidak utuh untuk analisis sifat-sifat kimia (C-organik, ph, KTK dan KB) dan tekstur tanah. Tipe Usahatani Berbasis Kakao. Tipe usahatani berbasis kakao yang terdapat di DAS Krueng Seulimum diidentifikasi melalui survai pendahuluan berdasarkan peta satuan lahan yang telah ditentukan. Tipe usahatani berbasis kakao yang terpilih digunakan sebagai perlakuan dalam petak pengukuran aliran permukaan dan erosi di lapangan. Tipe usahatani campuran berbasis kakao yang ditetapkan di lapangan selain kakao monokultur adalah campuran kakao dengan pisang dan kakao dengan pinang. Sosial Ekonomi. Data sosial ekonomi yang didapat dengan melakukan wawancara beberapa responden dengan menggunakan kuesioner digunakan untuk memberi gambaran karakteristik tentang petani, analisis pendapatan petani, dan kelayakan usahatani.

56 36 Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis data biofisik dan sosial ekonomi. Analisis data biofisik (meliputi sifat fisik dan kimia tanah, karakteristik lahan dan iklim) untuk analisis kemampuan dan evaluasi lahan. Analisis data sosial ekonomi meliputi analisis pendapatan hidup layak, pendapatan dan kelayakan setiap tipe usahatani kakao. Hasil analisis data biofisik dan sosial ekonomi digunakan untuk optimalisasi lahan berdasarkan tipe usahatani berbasis kakao dengan menggunakan program tujuan ganda. Analisis Karakteristik Lahan. Karakteristik lahan dianalisis secara deskriptif meliputi data biofisik dan dilanjutkan dengan penilaian terhadap kelas kemampuan dan kesesuaian lahan. Penilaian kelas kemampuan lahan dilakukan dengan menggunakan Sistem Klasifikasi USDA yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1973 diacu dalam Arsyad 2010) yaitu dengan menilai setiap satuan lahan berdasarkan sifat-sifat fisik lingkungan dan jenis faktor penghambat (Lampiran 1). Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan atas dasar kerangka klasifikasi yang dikeluarkan oleh FAO (1976), yaitu dengan menilai atau membandingkan kualitas lahan pada setiap satuan lahan dengan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kakao, pisang dan pinang yang disusun oleh Djaenudin et al. (2003) (Lampiran 2 dan 3). Prediksi Erosi. Prediksi erosi pada sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang digunakan dalam suatu penggunaan lahan. Pengukuran erosi dilakukan pada setiap satuan lahan dan tipe usahatani dengan menggunakan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE) (Wischmeier dan Smith 1978). Data ini digunakan untuk merencanakan tipe usahatani berbasis kakao dan agroteknologi yang sesuai pada setiap satuan lahan di DAS Krueng Seulimum. Persamaan USLE yang digunakan untuk prediksi erosi adalah sebagai berikut : dimana : A = R K L S C P... (14) A = banyaknya tanah yang tererosi (ton ha -1 tahun -1 ) R = faktor indeks (erosivitas) hujan K = faktor erodibilitas tanah L = faktor panjang lereng S = faktor kecuraman lereng C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah Erosivitas hujan (R). Erosivitas hujan adalah jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi kinetik (E) dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit (I30) tahunan. Dikarenakan tidak adanya data hujan harian dari penakar otomatik, maka nilai erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan persamaan Lenvain (1975 dalam Asdak 1995) :

57 37 dimana : EI30 = 2,21 (CHm) 1,36... (15) EI30 = Intensitas hujan maksimum 30 menit (CHm) = Curah hujan bulanan sehingga besarnya faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai-nilai indeks erosi hujan bulanan dan dihitung dengan persamaan berikut : dimana : 12 R = Σ (EI30) i... (16) i=1 R = faktor erosivitas hujan Erodibilitas Tanah (K). Nilai erodibilitas tanah dihitung dengan menggunakan rumus Wischmeier dan Smith (1978) dan nilai K dapat dilihat pada Lampiran 1 : 100K = {1.292 (2.1 M 1.44 (10-4 )(12 a) (b 2) (c 3)}... (17) dimana : K = erodibilitas tanah M = kelas tekstur tanah (% pasir halus + % debu) (100 - % liat) a = % bahan organik b = kode struktur tanah (Lampiran 1) c = kode permeabilitas profil tanah (Lampiran 1) Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS). Faktor panjang lereng dan kemiringan lereng juga bisa dihitung secara langsung (digabung) dengan persamaan berikut : LS = X ( S S (18) dimana : X = panjang lereng (m) S = kemiringan lereng (%) Faktor Tanaman dan Pengelolaannya (C). Penentuan faktor C untuk berbagai jenis tanaman seperti pertanaman campuran, kakao, dan lain-lain didasarkan atas berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Lampiran 4). Faktor Tindakan Konservasi (P). Faktor tindakan konservasi juga ditentukan berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Lampiran 5). Erosi yang dapat ditoleransikan (ETol). Erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) dihitung berdasarkan persamaan Wood dan Dent (1983). Erosi yang dapat ditoleransi juga memperhitungkan kedalaman minimum tanah, laju pembentukan tanah, kedalaman ekivalen (equivalent depth) dan umur guna tanah (resources life) dengan persamaan sebagai berikut : ETol = DE D min LPT UGT... (19)

58 38 dimana : ETol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm thn -1 ) DE = kedalaman ekivalen (Arsyad 2010) (kedalaman efektif tanah (mm) x faktor kedalaman tanah menurut sub ordo tanah (Lampiran 6) Dmin = kedalaman tanah minimum (mm) (Lampiran 7) UGT = umur guna tanah LPT = laju pembentukan tanah Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah sampai suatu lapisan (horison) yang menghambat pertumbuhan akar tanaman. Kedalaman ekivalen adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi, produktivitasnya berkurang dengan 60% dari produktivitas tanah yang tidak tererosi (Hammer 1981 dalam Arsyad 2010). Nilai faktor kedalaman beberapa sub order tanah disajikan pada Lampian 6. Kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk beberapa jenis tanaman dan pola tanam disajikan pada Lampiran 7. Adapun hubungan antara kedalaman efektif tanah (D), kedalaman ekivalen (De) dan kedalaman minimum tanah yang sesuai (Dmin) disajikan pada Gambar 7. D DE Dmin Gambar 7 Batasan nilai D, De, dan Dmin (Hammer, 1981) Analisis Agroteknologi (Tindakan Konservasi). Pemilihan agroteknologi didahului dengan inventarisasi agroteknologi yang sudah ada di DAS Krueng Seulimum, selanjutnya di lakukan analisis agroteknologi untuk setiap tipe usahatani berbasis kakao berdasarkan nilai prediksi erosi. Agroteknologi terpilih dievaluasi berdasarkan perbandingan erosi hasil penerapan beberapa tipe usahatani berbasis kakao dengan nilai ETol. Pemilihan agroteknologi dilakukan berdasarkan simulasi dengan menggunakan model USLE (Weischmeier dan Smith 1978) dimana nilai faktor R, K, L, dan S diasumsikan konstan sehingga agroteknologi dapat ditentukan dengan simulasi terhadap nilai faktor C dan P saja. Kriteria yang digunakan untuk menetapkan nilai CP maksimum yang dijadikan alternatif agroteknologi adalah nilai CP yang mengakibatkan erosi lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi (ETol), yaitu : A Etol atau RKLSCP Etol... (20) Etol CP atau CP rek CP max... (21) RKLS

59 39 Analisis Pengukuran Erosi, Aliran Permukaan dan Penutupan Lahan. Hasil pengamatan erosi petak kecil dianalisis secara statistik menggunakan uji-f dengan model aditif linier sebagai berikut : dimana : Yjk = + αj + k + (α ) jk + jk... (22) Yjk = nilai pengamatan pada kelas/kemiringan lereng ke-j, dan pola usahatani ke-k = nilai tengah umum αj = pengaruh kelas/kemiringan lereng ke-j, (j = 1,2,3) k = pengaruh pola usahatani ke-k, (k = 1,2,3,4...10) (α )jk = pengaruh interaksi kelas/kemiringan lereng ke-j dan pola usahatani ke-k Є ch = pengaruh galat percobaan (curah hujan) yang mempengaruhi perlakuan ke-j dan ke-k Untuk melihat perbedaan pengaruh antar perlakuan dan mencari perlakuan terbaik, maka pengujian dilanjutkan dengan uji BNT atau DNMRT pada selang kepercayaan 95%). Analisis Karakteristik Tipe Usahatani Berbasis Kakao. Analisis terhadap karakteristik tipe usahatani berbasis kakao dilakukan disetiap tipe usahatani berbasis kakao, meliputi karakteristik petani, luas lahan yang diusahakan, teknik KTA, input yang digunakan dan produksi yang dihasilkan. Analisis Pendapatan Usahatani. Pendapatan usahatani diperoleh dengan melakukan analisis usahatani yaitu dengan menggunakan input berupa : 1) penerimaan usahatani, 2) biaya usahatani dan 3) pendapatan usahatani. Analisis usahatani dengan menggunakan ketiga variabel tersebut dikenal dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis) (Soekartawi 2002). Masing-masing variabel tersebut dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: a. Total penerimaan usahatani (TR), merupakan perkalian antara produksi tanaman ke-i (Yi) yang diperoleh dengan harga produksi tanaman ke-i (Pyi). Total penerimaan usahatani dapat dihitung dengan persamaan : dimana : TR = n TR = Y ip yi = ( Y1 Py 1 Y2Py 2... Yn Pyn)... (23) i 1 total penerimaan usahatani (Rp) Yi = produksi tanaman ke-i (kg ha -1 ) Pyi = harga produksi tanaman ke-i (Rp kg -1 ) b. Total biaya Usahatani (TC), merupakan nilai semua keluaran yang dipakai dalam usahatani selama proses produksi baik yang langsung maupun tidak langsung. Total biaya usahatani terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap meliputi pajak lahan, iuran kelompok, dan lain-lain. Biaya variabel meliputi biaya bibit, obat-obatan, tenaga kerja, pengangkutan, dan lain-lain. Total biaya usahatani dapat dihitung dengan persamaan :

60 40 TC = FC + VC... (24) n VC = XiPxi = ( X 1 Px 1 X 2Px 2... X npxn) i 1... (25) dimana : TC = total biaya usahatani (Rp ha -1 ) FC = biaya tetap (Rp ha -1 ) VC = biaya variabel (tidak tetap) (Rp ha -1 ) Xi = input usahatani ke-i Pxi = harga input usahatani ke-i (Rp) c. Pendapatan bersih usahatani, merupakan selisih antara penerimaan (TR) dan semua biaya (TC) yang dapat dirumuskan dalam persamaan berikut : π = TR TC... (26) dimana : π = pendapatan bersih usahatani (Rp ha -1 ) Standar Kebutuhan Fisik Minimum dan Hidup Layak. Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan berdasarkan kebutuhan equivalen beras per keluarga dan harga beras yang berlaku di suatu daerah. Sajogyo dan Sajogyo (1990) mengemukakan bahwa nilai ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di pedesaan berkisar antara kg orang -1 thn -1. Menurut (Sinukaban 2007b) perhitungan untuk kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup layak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut : 1. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) = kebutuhan eqivalen beras perkapita x 100% x jumlah anggota keluarga x harga beras 2. Kebutuhan Hidup Tambahan (KHT) = kebutuhan pendidikan dan sosial + kesehatan dan rekreasi + asuransi dan tabungan. - Kebutuhan untuk pendidikan dan kegiatan sosial = 50% KFM - Kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi = 50% KFM - Kebutuhan untuk asuransi dan tabungan = 50% KFM 3. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) = KFM + KHT = kebutuhan equivalen beras perkapita x 250% x jumlah anggota keluarga x harga beras Di lokasi penelitian, setiap rumah tangga terdiri dari 5 orang, dengan harga beras sebesar Rp kg -1 (harga saat penelitian di lokasi penelitian). Maka Kebutuhan Fisik Minimum sebesar 320 kg orang -1 tahun -1 x 100% x 5 orang KK -1 x Rp kg -1 = Rp KK -1 tahun -1. Kebutuhan hidup layak sebesar 320 kg orang -1 tahun -1 x 250% x 5 orang KK -1 x Rp kg -1 = Rp KK -1 tahun -1. Analisis Optimalisasi Lahan Usahatani Berbasis Kakao. Analisis optimalisasi pola usahatani berbasis kakao dengan program tujuan ganda bertujuan untuk mendapatkan pola usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan dan optimal di

61 41 DAS Krueng Seulimum. Model optimal pola usahatani berbasis kakao dirumuskan melalui program tujuan ganda dengan menggunakan alat bantu paket program komputer LINDO (Linear Interactive Discrete Optimizer) (Siswanto 1990). Model umum program tujuan ganda dalam pengambilan keputusan dapat dirumuskan sebagai berikut : Minimumkan fungsi tujuan: n Z = ( di - + di + )... (27) i=l Kendala ril/kendala sumberdaya: a11 X1 + a12x2 + a13x a1n Xn b1 a21 X1 + a22x2 + a23x a2n Xn b2 a31x1 + ak2x2 + ak3x akn Xn b3... (28) Kendala Tujuan : e11 X1 + e12x2 + e13x3 + d1 - - d1 + = t1 e21 X1 + e22x2 + e23x3 + d2 - - d2 + = t2 e31 X1 + e32x2 + e33x3 + dm - - dm + = tm Xj 0, j = 1,2,...,3; di - - di + 0, i = 1,2,..., 3... (29) dimana : Z = Fungsi tujuan di - = Kekurangan dari sasaran ke-i di + = Kelebihan dari sasaran ke-i Xj = Peubah keputusan ke-j aij = Koefisien Xj pada kendala riil ke-i bi = kendala riil/sumberdaya ke-i ti = Target ke-i eij = Koefisien Xj pada target ke-i. Model analisis program tujuan ganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Fungsi tujuan : Minimumkan Z = d1 - + d (30) Meminimumkan total deviasi dari pola usahatani berbasis kakao ke-i, fungsi kendala tujuan ke-k (1. Erosi : Tujuan meminimumkan d1 - ; 2. Pendapatan : Tujuan meminimumkan d2 + ) terhadap target yang ditetapkan (Target Erosi adalah E E dan Target Pendapatan adalah : P PKHL). : tol

62 42 Fungsi Pembatas/Fungsi Kendala : 1. Kendala ril/sumberdaya a. Rata-rata luas lahan yang dimiliki petani a11x1 +a12x2 + a13x3 + b1... (31) b. Tenaga kerja a21x1 +a22x2 + a23x3 + b2... (32) c. Modal usahatani a31x1 +a32x2 + a33x3 + b3... (33) 2. Kendala tujuan : a. Mengurangi jumlah erosi di lahan usahatani berbasis kakao ke-i e11 X1 + e12x2 + e13x3 + d1 - - d1 + = t1... (34) Target t1 : E Etol Tujuan : minimumkan d1 - b. Meningkatkan pendapatan petani dari lahan usahatani berbasis kakao ke-i p21 X1 + p22x2 + p23x3 + d2 - - d2 + = t2... (35) Target t2 : P PKHL Tujuan : meminimumkan d2 + dimana : X j = pola usahatani berbasis kakao ke-j aij = kebutuhan sumberdaya ke-i untuk usahatani berbasis kakao ke-j bi = ketersediaan sumberdaya ke-i ej = erosi yang dihasilkan oleh usahatani berbasis kakao ke-j pj = pendapatan yang dihasilkan oleh usahatani berbasis kakao ke-j t 1 = target erosi maksimum yang diizinkan oleh usahatani berbasis kakao t 2 = target pendapatan minimum yang ditentukan oleh usahatani berbasis kakao + - d 1 dan d 1 = deviasi positif dan negatif sasaran erosi E tol = erosi yang dapat ditoleransi P = pendapatan total dari lahan usahatani berbasis kakao P KHL = pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak + - d 2 dan d 2 = deviasi positif dan negatif sasaran pendapatan Z = fungsi tujuan Penetapan Model Analisis dengan menggunakan model optimalisasi ini bertujuan untuk mendapatkan pola usahatani berbasi kakao yang berkelanjutan baik dari aspek ekologi (Erosi < ETol) dan aspek sosial ekonomi (pendapatan usahatani > standar KHL) yang optimal. Untuk itu kendala sumberdaya yang dijadikan sebagai input adalah kendala sumberdaya lahan seluas 1.00 ha dan 1.50 ha, kendala sumberdaya tenaga kerja keluarga petani dengan batasan 270 HOK ha -1 thn -1 dan kendala modal usahatani dengan batasan Rp ha -1 thn -1 untuk luasan 1.00 ha atau Rp ha -1 thn -1 untuk luasan 1.50 ha. Kendala tujuan yang digunakan adalah indikator berkelanjutan yaitu besarnya erosi pada lahan usahatani tidak lebih dari ton ha -1 thn -1 (Etol) untuk lereng 7%, ton ha -1 thn -1 untuk lereng 14% dan ton ha -1 thn -1 untuk lereng 21% dengan

63 43 pendapatan usahatani dalam satu keluarga sekurang-kurangnya Rp KK -1 thn -1. Setelah diperoleh berbagai tipe usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan dengan penerapan agroteknologi, maka skenario optimalisasi dilakukan terhadap pola usahatani berbasis kakao tersebut pada lahan seluas 1.00 ha dan 1.50 ha pada kemiringan lereng 7%, 14% dan 21%. Analisis decision tool Analisis penentuan usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan dilakukan dengan perangkat pengambilan keputusan (decision tool) yang meliputi kesesuaian lahan, agroteknologi, erosi < Etol dan pendapatan usahatani > KHL pada skala DAS untuk setiap satuan lahan homogen.

64 44 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Penelitian dilakukan di Daerah aliran sungai (DAS) Krueng Seulimum dengan luasan ha dan merupakan sub das dari DAS Krueng Aceh. Secara geografis DAS Krueng Seulimum terletak antara 95 30' ' Bujur Timur dan 5 15'- 5 30' Lintang Utara dan secara administrasi pemerintahan DAS Krueng Seulimum meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Besar (Kecamatan Seulimum, dan Kecamatan Lembah Seulawah) dan Kabupaten Pidie (Kecamatan Padang Tiji). DAS Krueng Seulimum berjarak 65 km dari kota Banda Aceh (Gambar 4). Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum saat ini didominasi oleh penggunaan lahan untuk hutan sekunder seluas ha, kemudian diikuti oleh semak belukar seluas ha, pertanian lahan kering seluas ha, padang penggembalaan seluas ha, sawah seluas ha dan pemukiman seluas Secara rinci dari luas total DAS Krueng Seulimum ( ha), penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering yang banyak dijumpai adalah usahatani berbasis kakao tanpa tindakan konservasi tanah dan air (Tabel 6 dan Lampiran 12). Tabel 6 Penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum No Jenis Penggunaan Lahan Luas Ha % 1 Pemukiman Sawah Padang Penggembalaan Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Hutan Sekunder Jumlah Sumber : Badan Planologi (2011), Analisis lapangan (2012). Iklim Unsur iklim yang paling penting adalah curah hujan, suhu, kelembaban udara, kecapatan angin, penyinaran matahari dan tekanan udara. Berdasarkan data curah hujan selama 10 tahun terakhir ( ) dari pantauan stasiun Klimatologi Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar (2012) (Lampiran 8) dapat diketahui bahwa curah hujan rata-rata tahunan di lokasi penelitian adalah mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (51.94 mm) dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Nopember ( mm).

65 45 Tipe hujan di lokasi penelitian berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson termasuk kedalam iklim tipe C (daerah agak basah), dengan rata-rata bulan kering adalah 2.7 bulan dan rata-rata bulan basah adalah 6.7 bulan. Lampiran 9 juga menunjukkan bahwa rata-rata kelembaban relatif sebesar 69.9%, rata-rata temperatur sebesar 26,8 o C (Lampiran 10) dengan lama penyinaran matahari sebesar 53% (Lampiran 11). Gambar 8 Sebaran curah hujan dan hari hujan setiap bulan di DAS Krueng Seulimum berdasarkan data curah hujan Tahun Hidrologi DAS Krueng Seulimum terdiri atas beberapa sub das dengan aliran anak sungainya yang mengalir langsung ke dalam DAS Krueng Seulimum. Berdasarkan analisis sifat hidrologi permukaan, dapat diketahui jumlah sub DAS Krueng Seulimum yaitu sekitar 19 sub DAS. Dari jumlah tersebut, terdapat 4 sub DAS yang mempunyai hulu dan tangkapan air dari gunung Seulawah Agam di bagian Utara, yaitu sub DAS Alue Lambaro, Krueng Blangbia, Alue Neusah dan Alue Geumapet. Sedangkan sub DAS lainnya mempunyai daerah tangkapan air di perbukitan di bagian Timur Laut seperti sub DAS Alue Raya II dan Krueng Binet, perbukitan di bagian Timur dan Tenggara seperti sub DAS Krueng Paipoh dan dari perbukitan di bagian Selatan seperti sub DAS Krueng Aneu, Alue Ei dan Alue Matecage. Pola drainase sungai-sungai tersebut secara umum cenderung dendritik, yang menunjukkan bahwa batuan penyusun lahannya relatif homogen (batuan beku dan sedimen). Berdasarkan luas dari masing-masing sub-subdas di wilayah DAS Krueng Seulimum diketahui bahwa 42.5% daerah tangkapan airnya berada atau berasal dari gunung Seulawah Agam dan 23.1% dari perbukitan yang ada di bagian Selatan. Sedangkan yang berasal dari perbukitan di bagian Timur Laut adalah 15.7% dan dari perbukitan bagian Tenggara sekitar 12.5%. Hal ini berarti setiap usaha pemanfaatan atau pengelolaan lahan di sekitar Gunung Seulawah Agam

66 46 akan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kondisi sistem hidrologi DAS Krueng Seulimum dibandingkan dengan wilayah yang lain. Tanah Berdasarkan peta jenis tanah (Puslittanak 1990) tanah di lokasi penelitian termasuk kedalam ordo Inceptisol, dan pada tingkat klasifikasi yang lebih rendah (Great Group) terdiri atas jenis tanah Dystropepts, Eutrandepts, Eutropepts, dan Tropaquepts. Jenis tanah Dystropepts dengan luasan hektar (4.57%) terletak di bagian selatan dari DAS Krueng Seulimum, jenis tanah Eutrandepts dengan luasan hektar (18.67%) terletak di bagian Utara, jenis tanah Tropaquepts dengan luasan hektar (11.67 %) terletak di sepanjang pinggiran sungai utama dan jenis tanah Eutropepts dengan luasan hektar (65.09 %) terletak di bagian Timur dan Barat, Lebih jelasnya jenis tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7 dan Peta Lampiran 13. Tabel 7 Sebaran dan luasan setiap jenis tanah di DAS Krueng Seulimum No Jenis Tanah L U A S Ha (%) 1 Dystropepts Eutrandepts Eutropepts Tropaquepts Total Sumber : Puslitanak, Bogor (1990) Topografi Perbedaan dalam bentuk wilayah suatu daerah akan menyebabkan perbedaan dalam gerak air tanah bebas dan jenis-jenis vegetasi yang tumbuh di permukaan tanah tersebut. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang berbeda dalam proses pembentukan tanah. Berdasarkan peta rupa bumi dan topografi DAS Krueng Seulimum, lokasi penelitian dibagi menjadi kelas lereng landai (0-8%), bergelombang (8-15%), berbukit (15-25%) dan agak curam (25-40%) (Tabel 8 dan Lampiran 14), dari ke empat kelas lereng tersebut kelas lereng landai sangat dominan di lokasi penelitian.

67 47 Tabel 8 Keadaan topografi dan luas penyebarannya di DAS Krueng Seulimum Kemiringan No Kelas Lereng L U A S (%) Ha (%) 1 Datar Landai Bergelombang Curam Sangat Curam Jumlah Sumber : Peta Rupa Bumi (1977), Hasil Survei dan Analisis (2012) Penduduk Jumlah penduduk di DAS Krueng Seulimum saat ini terus mengalami peningkatan, mengingat pasca konflik yang terjadi di Aceh penduduk taransmigrasi yang sebelumnya eksodus dari tempat tinggalnya, sekarang telah kembali lagi mendiami tempat tinggalnya di samping pendatang baru lainnya. Data BPS 2010 menunjukkan bahwa penduduk di DAS Krueng Seulimum adalah jiwa, yang terdiri atas jiwa laki-laki dan jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga adalah KK (Tabel 9). Tabel 9 Sebaran jumlah penduduk dan jumlah KK di DAS Krueng Seulimum berdasarkan jenis kelamin, Tahun 2010 No 1 2 Seulimum Kecamatan Lembah Seulawah Jumlah Penduduk Jumlah Laki-Laki Wanita Jumlah KK Jumlah Sumber : BPS Kabupaten Aceh Besar (2011). Ditinjau dari aspek kesejahteraan keluarga, Kecamatan Lembah Seulawah memiliki keluarga pra sejahtera yang terbesar yaitu sebanyak 279 KK, Kecamatan Seulimum 267 KK, kemuadian Keluarga Sejahtera I di Kecamatan Lembah Seulawah sebanyak 327 KK, kecamatan Seulimum 206 KK, Keluarga Sejahtera II di Kecamatan Lembah Seulawah sebanyak 210 KK, kecamatan Seulimum 262 KK dan Keluarga Sejahtera III di Kecamatan Lembah Seulawah 457 KK, kecamatan Seulimum 219 KK.

68 48 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan di DAS Krueng Seulimum Satuan Lahan Pengamatan Intensif Penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum terdiri atas hutan yaitu seluas (27.87%), semak belukar seluas (23.22%), pertanian lahan kering seluas (21.79%) dan padang penggembalaan (savana) seluas (20.09%). Lahan di DAS Krueng Seulimum didominasi oleh jenis (grup) tanah Eutropepts ( ha atau 65.44%). Hasil tumpang tindih peta jenis tanah, peta lereng dan peta penggunaan lahan, DAS Krueng Seulimum dengan luasan hektar terdiri atas 24 satuan lahan (SL). Selanjutnya yang menjadi pengamatan intensif pada penelitian ini adalah pada satuan lahan 1-22 (Tabel 10 dan Gambar 9). Tabel 10 Satuan lahan di DAS Krueng Seulimum Satuan Lahan Kemiringan Lereng Jenis Tanah Penggunaan Lahan Luas (Ha) (%) 1 0-8% Eutrandepts Padang Penggembalaan % Eutrandepts Semak Belukar % Eutrandepts Pertanian Lahan Kering % Eutrandepts Hutan Sekunder % Eutropepts Padang Penggembalaan % Eutropepts Semak Belukar % Eutropepts Pertanian Lahan Kering % Eutropepts Hutan Sekunder % Tropaquepts Padang Penggembalaan % Tropaquepts Pertanian Lahan Kering % Eutrandepts Padang Penggembalaan % Eutrandepts Semak Belukar % Eutrandepts Hutan Sekunder % Eutropepts Padang Penggembalaan % Eutropepts Semak Belukar % Eutropepts Pertanian Lahan Kering % Eutropepts Hutan Sekunder % Dystropepts Hutan Sekunder % Eutrandepts Semak Belukar % Eutrandepts Hutan Sekunder % Eutropepts Hutan Sekunder % Dystropepts Hutan Sekunder % Eutropepts Pemukiman dan sawah Total Sumber : Data primer dari analisis data digital (2011 dan 2012)

69 49 Gambar 9 Peta satuan lahan di DAS Krueng Seulimum Berdasarkan karakteristik dari masing-masing satuan lahan (SL 1 - SL 22) dan kriteria penilaian sifat tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah (1983) (Lampiran 25), umumnya tanah di DAS Krueng Seulimum mempunyai tingkat kesuburan tanah sangat rendah hingga rendah sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan hara bagi tanaman. Karakteristik tersebut harus menjadi pertimbangan dalam pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. Untuk itu dalam pengembangan pertanian yang berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum tindakan agroteknologi perlu di rancang sedemikian rupa. Oleh karena itu sebelumnya harus dilakukan evaluasi lahan (kemampuan dan kesesuaian lahan). Hasil evaluasi lahan akan memberikan alternatif penggunaan lahan dan tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat digunakan secara lestari (Arsyad 2010). Kemampuan dan kesesuaian lahan juga merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan sistem pertanian konservasi (SPK). Kelas Kemampuan Lahan Hasil pengamatan lapang dan penilaian terhadap sampel tanah (analisis fisika dan kimia tanah) dari masing-masing satuan lahan (Lampiran 15 dan 16), selanjutnya dinilai dengan kriteria sistem klasifikasi kemampuan lahan (Klingebiel dan Montgomery 1973 diacu dalam Arsyad 2010), DAS Krueng Seulimum memiliki kelas kemampuan lahan kelas III, IV dan VI, dengan faktor penghambat untuk seluruh kelas kemampuan lahan adalah kepekaan tanah terhadap erosi (sedang - agak tinggi), lereng (bergelombang - agak curam), erosi (ringan - sedang) dan batuan di permukaan tanah (sedikit - sedang) (Tabel 11 Lampiran 17 dan 18).

70 50 Tabel 11 Kelas kemampuan lahan (KKL) di DAS Krueng Seulimum KKL Satuan Lahan L U A S Ha (%) III-KE4,e2 1, III-e2b1 2, III-KE4,e2,b III-e2 6, 7, 8, 9 10, 23, III-l2,e2,b1 11, III-l2,b III-l2,e III-l2,KE III-l2 16, IV-l3 18, IV-l3,b2 19, VI-l Jumlah Keterangan : Angka romawi menunjukkan kelas kemampuan lahan; KE = faktor penghambat erodibilitas tanah; e = faktor penghambat erosi; b = faktor penghambat kerikil/batuan di permukaan tanah ; I = faktor penghambat kemiringan lereng; angka latin menunjukkan level faktor penghambat. Sumber : Analisis data primer (2013). Tabel 11 menunjukkan bahwa lahan di DAS Krueng Seulimum didominasi oleh kelas kemampuan lahan III-e2 dengan faktor pembatas erosi seluas ha (54.18%) yang terdapat pada satuan lahan 6, 7, 8, 9,10, 23 dan 24. Faktor erosi merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya penurunan kesuburan tanah, mengganggu pertumbuhan tanaman dan menurunkan hasil panen. Mengendalikan erosi tanah berarti mengurangi pengaruh faktor-faktor erosi tersebut sehingga prosesnya dapat dihambat atau dikurangi. Meyer (1981) mengemukakan bahwa upaya pengendalian erosi atau konservasi tanah dapat berupa (1) meredam energi hujan, (2) meredam daya gerus aliran permukaan (3) mengurangi kuantitas aliran permukaan dan (4) memperlambat laju aliran permukaan serta (5) memperbaiki sifat-sifat tanah yang peka erosi. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan erosi pada satuan lahan 6, 7, 8, 9,10, 23 dan 24 adalah dengan pemilihan teknik konservasi tanah yang tepat, yang salah satunya adalah dengan pembuatan teras gulud mengingat pelaksanaannya sangatlah mudah dan sederhana. Pembuatan teras gulud juga dapat menekan erosi pada tahun-tahun berikutnya. Ini sesuai dengan hasil penelitian Gunasari (2005), dimana dengan penerapan teras gulud bisa terjadi pengurangan erosi di tahun kedua sebesar 70%. Cara lain untuk menekan erosi adalah dengan pemberian mulsa, karena peran mulsa disamping untuk melindungi tanah, mengurangi penguapan juga bisa menciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi aktivitas mikroorganisme. Efektifitas mulsa dalam mengendalikan erosi sangat tergantung pada jenis mulsa. Sisa tanaman yang baik untuk dijadikan mulsa adalah yang mengandung lignin tinggi, seperti jerami padi, sorgum dan batang jagung (Suwardjo 1981). Selanjutnya Lal (1976 dalam Sinukaban et al. 2007)

71 51 juga mengemukakan bahwa pemberian mulsa jerami sebanyak 4-5 ton ha -1 dapat menekan erosi menjadi sangat rendah pada lahan dengan kemiringan 15%. Lahan kelas III KE4,e2 dengan faktor pembatas kepekaan tanah (erodibilitas tanah) dan faktor erosi terdapat pada satuan lahan 1 dan 5 seluas ha (14.01%). Faktor erodibilitas tanah umumnya terjadi akibat faktor curah hujan. Negara tropis seperti Indonesia, kekuatan jatuh air hujan dan kemampuan aliran permukaan menggerus permukaan tanah adalah merupakan penghancur utama agregat tanah. Menurut Hudson (1978), selain sifat tanah, faktor pengelolaan/ perlakuan terhadap tanah juga sangat berpengaruh terhadap tingkat erodibilitas tanah. Wischmeier dan Mannering (1969) juga menambahkan bahwa tanah dengan kandungan debu tinggi adalah tanah yang paling mudah tererosi. Usaha yang perlu dilakukan pada faktor pembatas erodibilitas tanah adalah dengan pemberian bahan organik agar terjaga stabilitas agregat tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Vorone et al. (1981), erodibilitas tanah turun secara linier dengan kenaikan atau penambahan bahan organik dalam tanah. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tanah dengan kandungan bahan organik tinggi mempunyai erodibilitas yang tinggi (Asdak 2002). Lahan kelas III-l2,b1 dengan faktor pembatas lereng dan batuan dipermukaan terdapat pada satuan lahan 13 dengan luasan ha (1.65%). Satuan lahan ini apabila digunakan untuk budidaya pertanian maka diperlukan tindakan konservasi tanah seperti pembuatan teras gulud atau teras gulud bersaluran, penanaman yang dilakukan dalam strip dan penggunaan mulsa, sedangkan faktor pembatas batuan dipermukaan tanah tindakan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pengalihan penanaman ke tempat yang lain. Lahan kelas IV-l3 dengan faktor pembatas lereng 15-25% yang terdapat pada satuan lahan 18 dan 21 seluas ha (3.08%) bila digunakan untuk usaha pertanian diperlukan pengelolaan yang hati-hati mengingat tindakan konservasi yang akan diterapkan akan sedikit sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas VI-l4 dengan faktor pembatas lereng 25-40% yang terdapat pada satuan lahan 22 seluas ha (3.44%), mengingat tutupan lahannya adalah hutan, maka sesuai dengan kriteria dari klas kemampuan satuan lahan ini sebaiknya dihutankan saja. Secara keseluruhan lahan di DAS Krueng Seulimum dapat digunakan untuk tanaman pertanian, dimana kelas kemampuan lahan yang didapat termasuk dalam kelas III dan IV yang arahannya sesuai untuk pertanian. Kelas Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan merupakan suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu yang hasilnya akan memberikan informasi atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Sedangkan kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu dengan mencocokkan karakteristik lahan (sifat-sifat lahan dan lingkungannya) dengan kreiteria dari masing-masing tanaman. Karakteristik lahan yang digunakan dalam penentuan kelas kesesuaian lahan meliputi bentuk wilayah/lereng, drainase tanah, kedalaman tanah, tekstur tanah, ph tanah, KTK, salinitas, kandungan pirit, banjir/genangan dan singkapan batuan di permukaan tanah. Data iklim terdiri dari curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara diperoleh dari stasiun pengamat iklim. Hasilnya selanjutnya akan diuraikan pada setiap peta satuan lahan.

72 52 Kesesuaian Lahan Tanaman Kakao Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di DAS Krueng Seulimum menunjukkan bahwa lahan di DAS Krueng Seulimum terdiri dari kelas cukup sesuai (S2) dan kelas sesuai marjinal (S3), dengan faktor pembatas ketersediaan air (wa) yaitu lamanya bulan kering dan kelembaban relatif, retensi hara (nr) yaitu kejenuhan basa, C-organik dan media perakaran (rc) yaitu faktor kedalaman tanah sedangkan kelas tidak sesuai (N) dengan faktor pembatas bahaya erosi (lereng). Uraian lebih rinci kelas kesesuaian lahan tanaman kakao dapat dilihat pada Tabel 12, Lampiran 19 dan 20. Tabel 12 Lokasi tanaman kakao pada berbagai kelas kesesuaian lahan di DAS Krueng Seulimum Klas Kesesuaian Satuan Lahan L U A S Ha (%) S2wa,nr,eh 3, 4, 6, 7, 8, 10, 15, 16, 23, S2wa,eh S3rc,nr S3nr 2, 13, S3rc 1, 5, 11, S3eh 18, 19, 20, Keterangan : S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, wa = ketersediaan air, nr = retensi hara, rc = media perakaran, eh = bahaya erosi. Sumber : Analisis data primer (2013) Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa faktor pembatas retensi hara (nr) merupakan faktor pembatas yang paling dominan, untuk itu diperlukan usahausaha perbaikan agar kualitas lahan yang terdapat dilokasi penelitian dapat memberikan produksi dan pendapatan yang tinggi secara lestari. Adapun usaha perbaikan yang perlu dilakukan adalah dengan pemberian bahan organik, pengapuran, pemupukan, dan penerapan teknik konservasi tanah dan air. Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun akibat proses dekomposisi mineralisasi maka dianjurkan sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun, karena tanpa pemberian bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah. Faktor pembatas kejenuhan basa selalu dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan suatu tanah. Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerat untuk tanaman tergantung pada derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%, tingkat kesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80% dan tidak subur jika kejenuhan basa < 50 %. Hal ini didasarkan pada sifat tanah dengan kejenuhan basa 80% akan membebaskan kation basa dapat dipertukarkan lebih mudah dari tanah dengan kejenuhan basa 50%. Secara keseluruhan tanaman kakao sesuai untuk dikembangkan di lokasi penelitian, kecuali pada SL 22 yang termasuk kedalam kelas tidak sesuai (N) dengan faktor pembatas lereng. Satuan lahan 22 lebih disarankan untuk dihutankan, mengingat bila lahan tersebut tetap dipaksakan untuk pengembangan kakao akan

73 53 banyak membutuhkan biaya untuk tindakan konservasi tanah yang akan dilakukan. Kesesuaian Lahan Tanaman Pisang Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman pisang di DAS Krueng Seulimum menunjukkan bahwa lahan di DAS Krueng Seulimum terdiri dari kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N). Kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas retensi hara (kejenuhan basa dan c - organik) dan faktor pembatas bahaya erosi terdapat pada SL 2, 3, 4, 6, 8, 10 dan 12, untuk itu usaha perbaikan yang perlu di lakukan pada kelas cukup sesuai (S2) adalah dengan pemberian kapur dan pemupukan. Sedangkan kelas kesesuaian lahan sesuai marjinal (S3) dengan faktor pembatas media perakaran (kedalaman tanah), retensi hara (KB dan c-organik) dan faktor bahaya erosi. Berdasarkan faktor pembatas yang muncul pada masing-masing satuan lahan, terlihat bahwa lokasi penelitian sesuai untuk dikembangkan tanaman pisang, kecuali pada SL - 22 (lahan tidak sesuai) dengan faktor pembatas lereng (25-40%). Lebih jelasnya kesesuaian lahan tanaman pisang dapat dilihat pada Tabel 13, Lampiran 21 dan 22. Tabel 13 Lokasi tanaman pisang pada berbagai kelas kesesuaian lahan di DAS Krueng Seulimum Klas Kesesuaian Satuan Lahan L U A S Ha (%) S2nr,eh 2, 3, 4, 6, 8, 10, S3rc,nr 5, S3eh,nr 18, 19, S3nr 7, 13, 15, 16, 17, 23, S3rc 1, 11, S3eh Keterangan : S2 = cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, nr = retensi hara, rc = media perakaran, eh = bahaya erosi. Sumber : Analisis data primer (2013) Kesesuaian Lahan Tanaman Pinang Analisis kesesuaian lahan untuk tanaman pinang dikarenakan belum adanya kriteria kesesuaian lahan tanaman pinang, maka untuk menilai kesesuaian lahan tanaman pinang, dapat dibangun model kesesuaian yang dikembangkan dari korelasi karakteristik lahan (Krisnohadi, 2008). Karakteristik lahan yang ikut dinilai diantaranya faktor tanah dan iklim yang nantinya dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan/ produksi suatu tanaman di lapangan. Tingkat produksi nantinya dibagi menjadi sangat baik, baik, sedang dan buruk. Kelas S1 merupakan assosiasi antara kualitas lahan tanpa faktor pembatas dengan tingkat produksi sangat baik (> 80%) dari produksi maximum. Kelas S2 merupakan assosiasi antara kualitas lahan dengan faktor pembatas ringan dengan tingkat produksi baik (60-80%) dari produksi maksimum dan kelas S3 antara kualitas lahan dengan

74 54 faktor pembatas berat dengan tingkat produksi sedang (23-60%). Dilihat dari syarat tumbuhnya, tanaman pinang akan sangat baik tumbuh dan berproduksi optimal pada ketinggian m dpl dan lebih idealnya ditanam pada ketinggian dibawah 600 m di atas permukaan laut. Tanah yang baik untuk pengembangan pinang adalah tanah beraerasi baik dengan solum tanah yang dalam, ph tanah 4-8. Curah hujan yang dikehendaki tanaman pinang antara mm tahun -1 dan sangat sesuai pada daerah yang bertipe iklim sedang, suhu optimum antara 20º - 32ºC dan kelembaban udara antara %. Melihat syarat tumbuh yang diinginkan oleh tanaman pinang dan dicocokkan dengan keadaan di lokasi penelitian, maka tanaman pinang sangat sesuai untuk dikembangkan di lokasi penelitian. Evaluasi Erosi Evaluasi Erosi, ETol dan Prediksi Erosi Pengukuran terhadap aliran permukaan dan erosi dilakukan pada tipe usahatani berbasis kakao, yaitu kakao monokultur (K), tumpangsari kakao dengan pinang (KP) dan tumpangsari kakao dengan pisang (KPs) masing-masing pada lereng 7%, 14% dan 21% dan ditambah dengan perlakuan pemberian mulsa pada tiap tipe usahatani berbasis kakao dan padang penggembalaan (lereng 7%, 14% dan 21%). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai erosi yang terbesar terjadi pada penggunaan lahan padang penggembalaan ( kg ha -1 ) dan terendah pada penggunaan lahan KPM (141.8 kg ha -1 ). Selanjutnya dalam pembahasan nantinya hanya dilakukan pada tipe usahatani berbasis kakao saja. Hasil uji nilai tengah pengaruh tipe usahatani berbasis kakao terhadap aliran permukaan dan erosi disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Pengaruh tipe usahatani berbasis kakao terhadap aliran permukaan dan erosi Tipe Usahatani Aliran Permukaan Erosi (mm) (kg ha-1) PG a a*) K b b KPs bc bc KP bc bc KM bc bc KPsM 9.26 c bc KPM 7.29 c c Keterangan : PG = padang penggembalaan, K = kakao, KPs = kakao+pisang, KP = kakao + pinang, KM = kakao + mulsa, KPsM = kakao+pisang+mulsa, KPM = kakao+pinang+mulsa Angka-angka dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji BNT. Jumlah curah hujan selama satu tahun pengamatan = mm. *) pengukuran PG sering mengalami gangguan, dikarenakan lokasinya yang tidak terkontrol.

75 55 Hasil pengukuran terhadap aliran permukaan menunjukkan bahwa tipe usahatani kakao monokultur (K) nyata menyebabkan aliran permukaan tertinggi yang diikuti oleh tipe usahatani kakao dengan pisang (KPs) dan tipe usahatani kakao dengan pinang (KP). Pemberian mulsa jerami 18 kg petak -1 (5 ton ha -1 ) pada setiap perlakuan (K, KPs dan KP) juga nyata menurunkan aliran permukaan. Mulsa jerami sangat berperan untuk menekan pertumbuhan gulma, mempertahankan agregat tanah dari hantaman air hujan serta dapat mencegah penguapan air. Kohnke dan Bertrand (1959 dalam Sinukaban 2007) mengemukakan bahwa mulsa yang digunakan di atas permukaan tanah dapat mencegah kehilangan air melalui evaporasi, memperkecil proses dispersi, merangsang agregasi tanah, memperbaiki struktur tanah serta menekan aliran permukaan. Tabel 14 juga menunjukkan bahwa erosi nyata tertinggi disebabkan oleh tipe usahatani kakao monokultur (K) dan tipe usahatani berbasis kakao yang menyebabkan erosi nyata terendah adalah pada tipe usahatani campuran kakao dengan pinang. Namun dengan pemberian mulsa 18 kg petak -1 (5 ton ha -1 ) pada setiap tipe usahatani berbasis kakao (KM, KPsM dan KPM) nyata dapat menekan erosi dan ini terlihat pada tipe usahatani kakao monokultur + mulsa jerami (KM). Terdapat dua kegiatan utama dalam proses erosi yaitu proses pelepasan butir-butir tanah dan proses pengangkutan butir tanah yang telah terdispersi. Jadi semakin rapat tutupan pada tanah maka proses terdispersinya tanah oleh butiran hujan juga semakin kecil. Untuk itu hujan yang akan menjadi aliran permukaan terendah adalah pada tipe usahatani campuran, hal ini sangat relevan bila dilihat pada hasil yang tertera pada Tabel 14. Arsyad (2010) juga mengemukakan bahwa air hujan yang jatuh ke tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi dan jika intensitas hujan tersebut melebihi kapasitas infiltrasi tanah maka air akan mengalir di atas permukaan tanah. Aliran permukaan dapat terjadi setelah proses intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi, tambatan permukaan dan evapotranspirasi terpenuhi akan tetapi air hujan masih berlebih (Sinukaban 2004). Selanjutnya Arsyad (2010) juga menambahkan bahwa sifat aliran permukaan (jumlah, kecepatan, laju dan gejolak aliran permukaan) sangat mempengaruhi untuk menimbulkan erosi. Hasil pengamatan pada petak erosi juga menunjukkan bahwa aliran permukaan dan erosi sangat dipengaruhi oleh tingkat penutupan tajuk demikian pula dengan pemberian mulsa dimana aliran permukaan dan erosi dapat ditekan seminimal mungkin. Suwardjo (1981) juga mengemukakan bahwa pemberian mulsa sangat efektif dalam menekan aliran permukaan dan erosi pada kemiringan hingga 25%. Pemberian mulsa jerami sebanyak 4-5 ton hektar -1 dapat menekan erosi menjadi sangat rendah pada lereng 15% (Lal 1976). Manfaat lain dari mulsa adalah selain dapat menekan gulma sehingga tidak terjadinya kompetisi hara didalam tanah juga dapat menekan energi air hujan, sehingga tanah tetap stabil dan terhindar dari proses penghancuran. Faktor lain yang berpengaruh terhadap erosi tanah adalah faktor kemiringan lereng. Menurut Arsyad (2010) faktor lereng (kemiringan dan panjang lereng) adalah dua sifat topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Semakin miring lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik oleh tumbukan butir hujan juga semakin banyak. Hal ini juga terlihat bahwa hasil pengamatan petak erosi dilapangan menunjukkan bahwa pada lereng 21% erosi yang terjadi sangat besar bila dibandingkan pada lereng 7%.

76 56 Tabel 14 menunjukkan bahwa erosi yang terjadi dari hasil pengukuran langsung di lapangan hanya dapat menggambarkan perbedaan erosi antar tipe usahatani berbasis kakao, sedangkan erosi keseluruhan pada setiap penggunaan lahan diprediksi dengan model USLE. Erosi yang Dapat Ditoleransi Nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) di lokasi penelitian sangat bervariasi pada setiap satuan lahan. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan jenis tanah, kedalaman tanah, kedalaman minimum perakaran dari tiap tanaman dan berat volume tanah. Berdasarkan Lampiran 6, nilai faktor kedalaman tanah untuk sub order Tropept sebesar 1.00, Aquept sebesar 0.95 dan Andept sebesar Kedalaman tanah minimum tanaman kakao adalah 50 cm, hutan sebesar 75 cm, padang penggembalaan sebesar 15 cm dan semak belukar sebesar 30 cm (Lampiran 7). Bobot isi tanah bervariasi antara gr cm 3-1. Laju pembentukan tanah ditetapkan sebesar 1.00 mm thn -1 (Hardjowigeno, 2010). Umur Guna tanah ditetapkan sebesar 250 tahun (untuk pemakaian secara terus menerus dan intensif, Sinukaban, 1989). Maka berdasarkan persamaan Wood dan Dent (1983), besarnya erosi yang masih dapat ditoleransikan (Etol) di lokasi penelitian berkisar antara ton ha -1 thn -1 (Lampiran 23). Prediksi Erosi Prediksi erosi di DAS Krueng Seulimum dilakukan pada setiap satuan lahan (SL) dan tipe usahatani berbasis kakao (K, KPs dan KP) berdasarkan persamaan USLE (Universal of Soil Loss Equation). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai prediksi erosi terbesar terjadi pada penggunaan lahan semak belukar dan pertanian lahan kering. Nilai prediksi erosi pada penggunaan lahan semak belukar pada lahan dengan kemiringan lereng lebih besar dari 3% berkisar antara ton ha -1 thn -1. Nilai ini masih jauh berada diatas nilai erosi yang dapat ditoleransi (Etol) yaitu ton ha -1 thn -1. Penggunaan lahan semak belukar dengan kemiringan lahan 15-25% (SL 19) menunjukkan nilai prediksi erosi tertinggi yaitu tonha -1 thn -1, sedangkan nilai prediksi erosi terendah terdapat pada SL 6 (30.71 ton ha -1 thn -1 ) dan masih diatas nilai Etol (31.50 ton ha - 1 thn -1 ). Prediksi erosi pada penggunaan lahan pertanian lahan kering berkisar antara ton ha -1 thn -1, dimana dari 4 satuan lahan (SL 3, 7, 10 dan 16) hanya pada SL 7 dan 10 (lereng 0-3%) yang memiliki nilai prediksi erosi dibawah nilai ETol yaitu ton ha -1 thn -1 (Etol ton ha - 1 thn -1 ), sedangkan pada SL 3 (3-8%) dan SL 16 (8-15%) nilai prediksi erosi yang didapat berada di atas nilai ETol yaitu ton ha -1 thn -1 pada SL 3 (Etol ton ha -1 thn -1 ) dan ton ha -1 thn -1 pada SL 16 (Etol ton ha -1 thn -1 ). Nilai prediksi erosi yang didapat pada penggunaan lahan padang penggembalaan juga masih berada diatas nilai Etol dan hanya pada SL 9 dan 5 yang nilai prediksi erosinya berada dibawah nilai Etol yaitu 9.92 ton ha -1 thn ton ha -1 thn -1 (Etol ton ha -1 thn ton ha -1 thn -1 ). Penggunaan lahan hutan sekunder pada berbagai kemiringan lereng (0-8% sampai dengan 25-40%) menghasilkan nilai prediksi erosi yang jauh berada di bawah nilai ETol. Penggunaan lahan hutan sekunder pada SL 8 dan 5 dengan kemiringan lereng (3-8%) prediksi erosi yang terjadi sebesar ton ha -1 thn -1 (Etol ton ha -1 thn -1 ), SL 13 dan 17 pada kemiringan lereng 8-15% prediksi erosi yang terjadi sebesar

77 57 ton ha -1 thn -1 (Etol ton ha -1 thn -1 ) selanjutnya SL 21 dan 20 pada kemiringan lereng 15-25% prediksi erosi yang terjadi sebesar ton ha - 1 thn -1 (Etol ton ha -1 thn -1 ) sedangkan pada kemiringan lereng yang curam (25-40%) prediksi erosi yang terjadi sebesar 6.94 ton ha -1 thn -1 (Etol ton ha -1 thn -1 ). Lebih rinci rekapitulasi hasil perhitungan prediksi erosi disajikan pada Tabel 15 dan nilai ETol pada tiap SL pada Lampiran 23. Secara keseluruhan nilai prediksi erosi yang terjadi di DAS Krueng Seulimum adalah sebesar ton thn -1 dengan nilai rata-rata sebesar ton ha -1 thn -1. Berkaitan dengan judul penelitian optimalisasi lahan usahatani berbasis kakao, maka penggunaan lahan pertanian lahan kering ( SL 3, 7, 10 dan 16) dirinci menjadi pertanaman kakao monokultur (K), pertanaman kakao dengan pisang (KPs) dan pertanaman kakao dengan pinang (KP). Tabel 15 Rekapitulasi prediksi erosi pada setiap satuan lahan di DAS Krueng Seulimum SL Penggunaan Lahan Kemiringan Lereng Luas (Ha) Prediksi Erosi (ton/ha/thn) Erosi Total (ton/thn) 1 Padang Penggembalaan 0-8% Semak Belukar 0-8% Pertanian Lahan Kering 0-8% Hutan Sekunder 0-8% Padang Penggembalaan 0-3% Semak Belukar 0-3% Pertanian Lahan Kering 0-3% Hutan Sekunder 0-8% Padang Penggembalaan 0-3% Pertanian Lahan Kering 0-3% Padang Penggembalaan 8-15% Semak Belukar 8-15% Hutan Sekunder 8-15% Padang Penggembalaan 8-15% Semak Belukar 8-15% Pertanian Lahan Kering 8-15% Hutan Sekunder 8-15% Hutan Sekunder 15-25% Semak Belukar 15-25% Hutan Sekunder 15-25% Hutan Sekunder 15-25% Hutan Sekunder 25-40% Total Berdasarkan perbedaan tingkat kerapatan pertanaman campuran dan karakteristik tanaman penutup tanah, besarnya erosi ditentukan oleh nilai C (tingkat pengelolaan tanaman) dan nilai P (tindakan konservasi tanah). Nilai faktor C untuk pertanaman kakao sebesar 0.8 dan kebun campuran dengan

78 58 kerapatan tinggi memiliki nilai faktor C sebesar 0.1 sedangkan kebun campuran dengan kerapatan sedang memiliki nilai faktor C sebesar 0.3 (Lampiran 4). Selanjutnya dari acuan nilai faktor C tersebut ditentukan nilai faktor C untuk pertanaman campuran kakao dengan pisang sebesar dan nilai C untuk pertanaman kakao dengan pinang sebesar Tabel 16 dan Gambar 10 menunjukkan nilai prediksi erosi tanpa perlakuan tindakan konservasi tanah dan air (P = 1.0) pada berbagai tipe usahatani campuran berbasis kakao pada kemiringan lereng 7%, 14% dan 21%. Tabel 16 Prediksi erosi pada setiap tipe usahatani campuran berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum Lereng (%) Tipe Usahatani Nilai CP Erosi (ton ha -1 thn -1 ) Etol (ton ha -1 thn -1 ) 7 Kakao Monokultur (K) Kakao + Pisang (KPs) Kakao + Pinang (KP) Kakao Monokultur (K) Kakao + Pisang (KPs) Kakao + Pinang (KP) Kakao Monokultur (K) Kakao + Pisang (KPs) Kakao + Pinang (KP) Gambar 10 Prediksi erosi pada berbagai tipe usahatani berbasis kakao dan kemiringan lereng di DAS Krueng Seulimum

79 59 Karakteristik Tipe Usahatani Berbasis Kakao di DAS Krueng Seulimum Berdasarkan data Disbunhut Aceh (2008), luas areal tanaman kakao yang terdapat di DAS Krueng Seulimum adalah Ha, sedangkan data Disbun Aceh Besar (2011) dan hasil observasi lapangan didapat bahwa tanaman kakao yang dirawat secara intensif hanya seluas Ha (27%) yang menyebar di 5 (lima) desa, yaitu desa Panca, desa Teladan, desa Jawi, desa Alu Rindang dan desa Panca Kubu. Kurangnya perawatan tanaman kakao yang ada di DAS Krueng Seulimum adalah akibat konflik berkepanjangan yang terjadi di Aceh, yang mengakibatkan tanaman kakao yang telah ditanam dilokasi penelitian banyak yang mati. Lebih jelasnya luas tanaman kakao yang dirawat dengan intensif di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Luasan tanaman kakao di DAS Krueng Seulimum No Desa L U A S Ha (%) 1 Teladan Panca Jawi Panca Kubu Alue Rindang Jumlah Sumber : Hasil observasi lapangan (2012). Berdasarkan luasan tanaman kakao yang terdapat di DAS Krueng Seulimum (Tabel 17) terdapat 3 (tiga) tipe usahatani berbasis kakao yaitu : usahatani tanaman kakao monokultur (K), tanaman kakao yang ditumpang sari dengan tanaman pinang (KP) dan tanaman kakao yang ditumpang sari dengan tanaman pisang (KPs). Keseluruhan tipe usahatani berbasis kakao yang ada di DAS Krueng Seulimum merupakan usahatani yang dikelola oleh rakyat, yang umumnya ditanam secara monokultur (64.13%), selebihnya merupakan tumpang sari antara tanaman kakao dengan tanaman pinang (24.37%) dan tumpang sari tanaman kakao dengan tanaman pisang (11.50%) (Tabel 18). Tabel 18 Luasan beberapa tipe usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum Luas Lahan No Tipe Usahatani 1 Kakao Monokuktur 2 Kakao+Pinang 3 Kakao+Pisang Ha % Jumlah Sumber : Hasil observasi lapangan ( ) Sistem pertanian yang umumnya diterapkan oleh petani kakao di DAS Krueng Seulimum adalah pembukaan lahan diikuti penanaman tanaman pinang (Areca Catechu L), dan pisang (Musa sp.) kemudian dilanjutkan dengan

80 60 penanaman tanaman kakao (Gambar 11a). Sebelum tanaman kakao menutupi permukaan lahan, petani juga menanam tanaman pangan seperti cabai (Capsicum annuum), kacang panjang (Vigna unguiculata), mentimun (Cucumis sativus) dan jagung (Zea mays) yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seharihari (Gambar 11b). Tanaman ini ditanam secara bergilir dan sangat tergantung dari harga pasar. Deskripsi karakteristik tipe usahatani di DAS Krueng Seulimum secara rinci dapat dilihat pada Tabel 19. ( a ) ( b ) Gambar 11 Sistem pertanian di DAS Krueng Seulimum Kakao Monokultur Tipe kakao monokultur yang terdapat di DAS Krueng Seulimum adalah budidaya kakao yang ditanam dengan jarak tanam 3 x 3m (1100 batang ha -1 ). Bibit yang digunakan umumnya merupakan bibit bantuan yang didapat dari dinas perkebunan setempat dan bantuan dari LSM. Penutupan tanah pada usahatani kakao monokultur sebagian oleh rerumputan diantaranya rumput teki, rumput jarum, sebagian ditutupi oleh rumput-rumput pendek dan sebagian lagi oleh tanaman pangan seperti jagung, kacang panjang dan mentimun. Pengelolaan yang dilakukan selama ini tidak disertai dengan teknik konservasi tanah dan air (KTA), pemupukan hanya diberikan berupa pupuk kandang pada saat awal penanaman sedangkan pemupukan berikutnya baru diberikan bila kondisi keuangan petani memungkinkan. Pengendalian dan pemberantasan hama penyakit jarang dilakukan, sedangkan penyiangan biasanya dilakukan pada saat awal penanaman. Kondisi ini menyebabkan permukaan tanah lebih mudah terkikis pada saat turun hujan dan akan terangkut oleh aliran permukaan. Pengangkutan tanah sudah tentu diikuti oleh pengangkutan unsur hara tanah. Oleh karena itu penerapan teknik KTA sangat diperlukan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya erosi (Gambar 12).

81 61 Tabel 19 Deskripsi karakteristik tipe usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum Tipe Usahatani Kakao Monokultur Kakao + Pinang Kakao + Pisang Kondisi tutupan dipermukaan tanah ditutupi dengan serasah yang jarang, dan sebagian lagi ditutupi oleh rerumputan dan diselingi dengan penanaman tanaman pangan ditutupi dengan serasah yang jarang dan sebagian lagi ditutupi oleh rumput dan daun kakao yg gugur dan diselingi dengan tanaman pangan ditutupi sebagian dengan serasah yang jarang dan sebagian lagi ditutupi oleh rumput dan semak belukar Jarak Tanam Populasi Tanaman 3 x 3 m 1100 pk kakao 3 x 3 m dan 2 x 2 m 3 x 3 m dan 3 x 6 m 750 pk kakao, 1200 pk pinang 750 pk kakao, 500 pk pisang Pemupukan Hanya diberikan pada awal penanaman, pemupukan berikutnya diberikan bila kondisi keuangan memungkinkan Hanya diberikan pada awal penanaman, pemupukan berikutnya diberikan bila kondisi keuangan memungkinkan Hanya diberikan pada awal penanaman, pemupukan berikutnya diberikan bila kondisi keuangan memungkinkan Keterangan : HPT = Hama penyakit tanaman ; KTA = Konservasi tanah dan air Sumber : Hasil observasi lapangan ( ) Agroteknolgi Penyiangan Dilakukan pada awal penanaman Dilakukan pada awal penanaman Dilakukan pada awal penanaman Pemberantasan & Pengendalian HPT Seperlunya Seperlunya Seperlunya Teknik KTA Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada

82 62 Gambar 12 Pembersihan areal tanaman kakao yang dilakukan petani di DAS Krueng Seulimum Tumpangsari Kakao dengan Pinang Tanaman pinang yang terdapat di lokasi penelitian ditanam lebih awal sebelum dilakukan penanaman tanaman kakao. Tipe tumpang sari tanaman kakao dengan pinang terdiri atas 750 batang kakao (jarak tanam 3 x 3 m) dan 2500 batang tanaman pinang yang ditanam diantara tanaman kakao (jarak tanam 2 x 2m). Bibit pinang yang digunakan umumnya merupakan bibit yang didapat dari pembibitan buatan petani itu sendiri. Pengelolaan yang dilakukan pada tumpang sari tanaman kakao dengan pinang juga tidak disertai dengan teknik konservasi tanah dan air (KTA), pemupukan dengan pupuk kandang hanya diberikan pada saat awal penanaman. Pengendalian dan pemberantasan hama penyakit jarang dilakukan, penyiangan dilakukan hanya pada saat awal penanaman. Penyiangan dilakukan sampai kepermukaan tanah yang mengakibatkan tanah relatif terbuka. Penutupan tanah pada usahatani kakao dengan pinang sebagian oleh rumput pendek dan daun kakao yang gugur diatas permukaan tanah dan sebagian lagi ditutupi oleh tanaman pangan. Tumpangsari Kakao dengan Pisang Usahatani kakao dengan pisang yang dilakukan oleh petani di DAS Krueng Seulimum bukan karena fungsinya sebagai penaung yang baik, melainkan dengan pertimbangan tanaman pisang sangat mudah ditanam dengan sedikit resiko dan memberikan pendapatan yang tinggi. Tanaman pisang ditanam dengan jarak tanam 6 x 3 m (500 batang ha -1 ) dan ditanam lebih awal. Tanaman pisang yang terdapat di lokasi penelitian umumnya hanya dipakai sebagai penaung sementara (selama tajuk tanaman kakao masih terbuka). Tumpangsari kakao dengan pisang juga tidak dikelola secara intensif, pemupukan hanya diberikan pada saat awal penanaman (pupuk kandang). Pengendalian dan pemberantasan hama penyakit jarang dilakukan. Rumput dan tumbuhan semak belukar dibiarkan tumbuh

83 63 diantara tanaman kakao dengan pisang, penyiangan biasanya dilakukan pada saat mengambil hasil panen. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Di DAS Krueng Seulimum Hasil observasi lapangan dan wawancara, sebagian besar petani di lokasi penelitian masuk kedalam usia produktif yakni berusia tahun (82.3% responden) dengan tingkat pendidikan yang rendah, yaitu 45% lulusan Sekolah Dasar, 35.5% lulusan Sekolah Menengah Pertama, 2.1% lulusan Sekolah Menengah Tingkat Atas dan sisanya 17.4% tidak sekolah. Status kepemilikan lahan usahatani yang selama ini dijalankan oleh petani sebagian besar adalah milik sendiri yang didapat dari warisan orangtua, membeli dari petani yang tadinya membuka hutan dan hanya sebagian kecil petani yang menjalankan usahataninya dengan cara menumpang dan sewa pakai (3.8%). Luas lahan garapan petani tersebar pada skala < 0.5 ha, ha, ha dan > 2.00 ha. Lebih jelasnya luas kepemilikan lahan petani dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan kepemilikan lahan di DAS Krueng Seulimum No Kepemilikan Lahan Responden (Ha) Jumlah (%) 1 < > Sumber : Observasi lapangan (2012) Sistem pertanian berbasis kakao yang diterapkan oleh petani kakao di lokasi penelitian bersifat khas. Pada tanaman kakao dengan pinang, tanaman pinang sebagian besar hanya di tanaman pada daerah pinggir dari lokasi tanaman kakao (sebagai pembatas) dan ini juga tidak dilakukan perawatan secara intensif, dimana petani hanya menanam dan mengambil hasilnya pada saat panen tanpa melakukan pemupukan dan pola seperti ini sudah dilakukan bertahun-tahun. Tanaman kakao yang ditumpang sari dengan pisang hanya sebagian kecil saja yang melakukannya. Hasil observasi lapangan menunjukkan pada umumnya petani dilokasi penelitian enggan melakukannya karena mereka berasumsi tanaman pisang hanya bisa di panen 1-2 kali saja. Untuk itu ada beberapa petani yang melakukan tumpangsari tanaman kakao dengan tanaman lainnya seperti kemiri (sebagian kecil saja). Hasil pengamatan lapangan hampir seluruh petani yang melakukan penanaman, baik tanaman kakao monokultur, tanaman kakao dengan pisang dan tanaman kakao dengan pinang tidak melakukan perawatan yang intensif. Terkait dengan alokasi tenaga kerja (hasil wawancara), kepala keluarga yang betul-betul mencurahkan waktunya pada usahataninya sekitar 83%, sedangkan sisanya lebih kepada alokasi buruh tani, buruh non pertanian dan usaha sampingan (jualan). Istri kepala keluarga hanya meluangkan waktunya pada

84 64 usahatani sekitar 6%, buruh tani 0.8%, usaha non pertanian 1.3% dan selebihya kepada mengurus rumah tangga. Sedangkan anggota keluarga (anak) hanya sekitar 11% yang meluangkan waktunya pada usahatani sendiri dan sebagai buruh tani 5.8%. Besaran tenaga kerja (HOK) yang dibutuhkan pada masing-masing tipe usahatani juga berbeda-beda. Untuk tipe usahatani kakao monokultur besaran tenaga yang dibutuhkan adalah HOK ha -1 thn -1, tipe usahatani kakao dan pinang HOK ha -1 thn -1 dan tipe usahatani kakao dan pisang HOK ha -1 thn -1 (Tabel 21). Tabel 21 Besaran tenaga yang dibutuhkan pada tipe usahatani berbasis kakao (penanaman - panen) luasan 1.0 ha No Tipe Usahatani Tenaga Kerja (HOK ha -1 thn -1 ) 1 Kakao Monokultur (K) Kakao dan Pinang (KP) Kakao dan Pisang (KPs) Jumlah Sumber : Hasil observasi lapangan (2012) Petani kakao di DAS Krueng Seulimum dalam menjalankan usahataninya juga memerlukan biaya usahatani. Biaya tersebut berasal dari usahataninya sendiri dengan kisaran yang berbeda-beda pada setiap tipe usahataninya, yaitu antara Rp Rp (Tabel 22 dan Lampiran 24), sedangkan modal yang mereka miliki antara Rp Rp Tabel 22 Biaya usahatani tiap tipe usahatani berbasis kakao (penanaman - panen) luasan 1.0 ha No Tipe Usahatani Biaya Usahatani (Rp) 1 Kakao Monokultur Kakao dan Pinang Kakao dan Pisang Sumber : Hasil analisis (2012) Pendapatan Usahatani Berbasis Kakao Analisis terhadap pendapatan usahatani berbasis kakao pada masing-masing tipe usahatani meliputi analisis biaya, analisis penerimaan dan analisis pendapatan usahatani. Produksi aktual dari masing-masing tipe usahatani yang ada saat ini cukup rendah, hal ini dikarenakan petani setempat melakukan penanaman tanpa menerapkan agroteknologi (baik pemupukan maupun teknik konservasi tanah dan air). Petani dilokasi penelitian dalam penanamannya hanya sebagian kecil yang memberikan pupuk yaitu pada saat awal penanaman dan selanjutnya tidak lagi melakukan pemupukan sampai dengan pemanenan, sehingga produksi yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Produksi, penerimaan dan pendapatan setiap tipe usahatani yang ada dilokasi penelitian disajikan pada Tabel 23, 24 dan 25.

85 65 Tabel 23 Produksi usahatani berbasis kakao luasan 1.0 Ha di DAS Krueng Seulimum No Tipe usahatani Produksi (Kg ha -1 thn -1 ) Kakao Pinang Pisang 1 K K dan P K dan Ps Sumber : Hasil observasi lapangan (2012) Tabel 23 di atas menunjukkan bahwa produksi yang dihasilkan dari hasil usahatani berbasis kakao masih jauh dari yang diharapkan. Tanaman kakao yang ditanam pada lahan 1 hektar dengan jarak tanam (3x3m) hanya menghasilkan produksi sekitar kg hektar -1 dan bila dihitung jumlah penerimaan yang didapat petani setempat dengan kondisi harga saat ini yaitu kakao Rp kg -1. pinang Rp kg -1 dan pisang kg -1 maka hasil yang didapat masih jauh dari jumlah penerimaan yang diharapkan (Tabel 24). Tabel 24 Penerimaan usahatani berbasis kakao luasan 1.0 hektar di DAS Krueng Seulimum No Tipe Usahatani Penerimaan Usahatani (Rp ha -1 thn -1 ) Kakao Pinang Pisang Jumlah Penerimaan (Rp ha -1 thn -1 ) 1 K KP KPs Keterangan : harga kakao : Rp kg -1, pinang Rp kg -1 dan pisang Rp kg -1 Penerimaan yang didapat dari beberapa tipe usahatani di lokasi penelitian masih sangat rendah (Tabel 24), dan bila dihitung total pendapatan untuk luasan 1.0 hektar terlihat bahwa tipe usahatani kakao dengan pisang (KPs) yang menghasilkan pendapatan usahatani tertinggi yaitu sebesar Rp ha - 1 thn -1, usahatani kakao monokultur (Rp ha -1 thn -1 ) dan usahatani kakao dengan pinang (Rp ha -1 thn -1 ) (Tabel 25). Tabel 25 Pendapatan usahatani berbasis kakao luasan 1.0 hektar di DAS Krueng Seulimum Penerimaan Biaya Pendapatan Tipe No Usahatani Usahatani Usahatani/KK Usahatani (Rp ha -1 thn -1 ) (Rp ha -1 thn -1 ) (Rp ha -1 thn -1 ) 1 K KP KPs Tipe usahatani kakao dengan pisang mampu menghasilkan produksi yang tinggi dikarenakan jumlah tanaman lebih banyak dan bervariasi. Produksi yang dihasilkan secara keseluruhan pada luasan 1.0 ha masih jauh dari produksi yang diharapkan (Rp kk -1 thn -1 ). Jika dikaitkan dengan kebutuhan hidup

86 66 layak (KHL), pendapatan yang didapat dari ke tiga tipe usahatani tersebut belum bisa memenuhi KHL dan hanya tipe usahatani kakao dan pisang saja yang dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum (KFM). Dilihat dari kepemilikan lahan seluas 1.5 ha, maka hasil yang didapat untuk ketiga tipe usahatani berkisar dari Rp Rp ha -1 thn -1. Pendapatan tersebut juga masih belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak satu keluarga petani yaitu minimal sebesar Rp KK -1 thn -1, kecuali pada usahatani kakao dengan pisang yaitu Rp ha -1 thn -1, sedangkan usahatani kakao dan pinang hanya dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum (KFM) (Rp ha -1 thn -1 ) (Tabel 26). Untuk itu tipe usahatani berbasis kakao yang ada saat ini dilokasi penelitian perlu dilakukan penerapan agroteknologi. Tabel 26 Pendapatan usahatani berbasis kakao luasan 1.5 hektar di DAS Krueng Seulimum No Tipe Usahatani Penerimaan Usahatani (Rp ha -1 thn -1 ) Biaya Usahatani (Rp ha -1 thn -1 ) Pendapatan Usahatani/KK (Rp ha -1 thn -1 ) 1 K KP KPs Alternatif Pengembangan Usahatani Berbasis Kakao Berkelanjutan Hasil analisis terhadap pendapatan usahatani berbasis kakao yang dilakukan oleh petani di DAS Krueng Seulimum pada luasan 1.00 hektar menunjukkan bahwa semua tipe usahatani tidak berkelanjutan (sustainable), karena salah satu indikator yaitu pendapatan > KHL tidak terpenuhi. Pendapatan yang didapat dari usahatani berbasis kakao pada lahan seluas 1.00 hektar berkisar dari Rp Rp ha -1 thn -1 dan bila ditinjau dari indikator erosi, terlihat bahwa nilai erosi yang didapat masih diatas nilai ETol, yaitu ton ha -1 thn ton ha -1 thn -1. Untuk itu lahan dengan luasan 1.00 hektar tidak berkelanjutan (sustainable). Lahan dengan luasan 1.50 hektar bila dilihat dari indikator pendapatan hanya pada tipe usahatani KPs yang melebihi nilai KHL yaitu Rp , sedangkan pada tipe usahatani K dan KP nilai yang didapat masih dibawah KHL yaitu berkisar dari Rp Rp Dilihat dari tingkat ketercapaian terhadap indikator berkelanjutan, terlihat bahwa tipe usahatani kakao dengan pisang (KPs) yang menunjukkan tingkat ketercapaian paling dekat terhadap indikator keberlanjutan (Gambar 13). Berdasarkan uraian diatas, agar usahatani berbasis kakao di lokasi penelitian dapat berkelanjutan (sustainable) yaitu pendapatan > KHL dan erosi < ETol, maka perlu dilakukan penambahan atau perubahan agroteknologi.

87 67 Gambar 13 Prediksi erosi dan pendapatan usahatani kondisi saat ini (sebelum penerapan agroteknologi) di DAS Kr. Seulimum Agroteknologi yang dapat diterapkan di lokasi penelitian adalah dengan pemupukan dan tindakan konservasi tanah dan air. Agroteknologi pemupukan ditujukan agar terjadi peningkatan produksi dari produksi sebelumnya, sehingga pendapatan usahatani yang diinginkan dapat tercapai. Pemupukan merupakan salah satu upaya pemeliharaan tanaman dengan tujuan memperbaiki kesuburan tanah melalui penambahan unsur hara. Upaya agar tercapainya produktivitas yang tinggi sesuai potensi genetiknya, maka pemupukan merupakan faktor penentu utama khususnya pada keseimbangan dosis dan jenis pupuk yang digunakan dan bukan tingkat dosis yang tinggi (Thong dan Ng 1978). Agroteknologi pemupukan yang disarankan adalah dengan pemberian pupuk lengkap (Urea 200 gr pk -1, SP gr pk -1 dan KCl 100 gr pk -1 ) pada semua tipe usahatani K, KP dan KPs, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi dari 440 kg ha -1 menjadi 1.00 ton ha -1 pada tanaman kakao (Herdradjat 2008). Untuk itu perlu penambahan biaya pemupukan sebesar Rp (luasan 1.5 ha) pada biaya usahatani. Dengan penambahan pupuk pada semua tipe usahatani diharapkan tanaman pinang dapat dilakukan pemanenan paling sedikit dua kali dalam satu tahun dan untuk tanaman pisang diharapkan berat dari pada buah pisang dapat bertambah sehingga akan meningkatkan harga jual. Rendahnya produktivitas kakao disamping pemakaian pupuk yang masih sangat jauh dari standar pemupukan yang dianjurkan juga diakibatkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam bidang teknik budidaya dan pengolahan hasil. Perlakuan agroteknologi konservasi tanah dan air yang disarankan pada tipe usahatani KP dan KPs (khususnya pada lereng 14% dan 21%) adalah pembuatan teras gulud dan pemberian mulsa sehingga erosi yang dicapai bisa lebih kecil atau sama dengan ETol (Erosi < ETol).

88 68 Pendapatan usahatani yang didapat setelah dilakukan penambahan pupuk, ternyata pada tipe usahatani kakao monokultur masih tetap di bawah KHL yaitu Rp (lahan seluas 1.00 ha) dan Rp (lahan seluas 1.50 ha), untuk itu tipe usahatani kakao monokultur tetap tidak berkelanjutan. Sedangkan pada usahatani kakao dengan pinang (KP) dan usahatani kakao dengan pisang (KPs) pada luasan 1.00 hektar setelah dilakukan penambahan pemupukan, ternyata hanya pada usahatani kakao dengan pisang (KPs) yang dapat meningkatkan hasil diatas KHL yaitu Rp ha -1 thn -1 sedangkan pada usahatani kakao dengan pinang Rp ha -1 thn -1. Agroteknologi pemupukan yang dilakukan pada lahan seluas 1.50 hektar dapat meningkatkan pendapatan pada usahatani kakao dengan pinang (KP) sebesar Rp dan pada usahatani kakao dengan pisang (KPs) sebesar Rp (Tabel 27 dan Gambar 14). Tabel 27 Pendapatan usaha tani berbasis kakao luasan 1.5 hektar setelah penerapan agroteknologi pemupukan di DAS Kr Seulimum No Tipe usahatani Penerimaan Usahatani (Rp ha -1 thn -1 ) Biaya Usahatani (Rp ha -1 thn -1 ) Pendapatan Usahatani (Rp ha -1 thn -1 ) 1 K KP KPs Gambar 14 Erosi dan pendapatan usahatani dengan agroteknologi pemupukan pada lereng 7% di DAS Krueng Seulimum

89 69 Pendapatan yang didapat oleh petani pada usahatani berbasis kakao pada luasan 1.50 ha di DAS Krueng Seulimum secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Pendapatan usaha tani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum Tipe Usahatani Luas (Hektar) Jumlah KK Penghasilan (Rp KK -1 thn -1 ) K KP KPs Agroteknologi konservasi tanah dan air sangat diperlukan dalam usahatani berbasis kakao pada kemiringan lereng 14% dan 21% pada luasan lahan 1.50 hektar dengan tujuan agar dapat menurunkan laju erosi atau sama dengan ETol (Erosi < ETol). Adapun agroteknologi yang disarankan pada kemiringan lereng 14% adalah dengan pembuatan teras gulud + penanaman rumput penguat teras. Rachman et al. (1989) mengemukakan bahwa untuk pembuatan teras gulud pada kemiringan lahan 15% membutuhkan tenaga sebesar 52 HOK ha -1. Pembuatan teras gulud pada lereng 14% dapat menurunkan erosi dari ton ha -1 thn -1 menjadi ton ha -1 thn -1 (K), ton ha -1 thn -1 menjadi ton ha -1 thn -1 (KP) dan ton ha -1 thn -1 menjadi ton ha -1 thn -1 (KPs) (Tabel 29 dan Gambar 15). Tabel 29 Erosi pada tipe usahatani berbasis kakao setelah penerapan agroteknologi di DAS Krueng Seulimum Lereng Tipe Usahatani Nilai Erosi Etol (%) CP (ton ha-1thn-1) 7 Kakao Monokultur Kakao dan Pisang Kakao dan Pinang Kakao Monokultur Kakao dan Pisang Kakao dan Pinang Kakao Monokultur Kakao dan Pisang Kakao dan Pinang Agroteknologi dengan pembuatan teras gulud (P = 0.5) +penanaman rumput penguat teras ditambah dengan pemberian mulsa sebanyak 6 ton ha -1 thn -1 (P = 0.3) pada lereng 21% dapat menurunkan erosi dari ton ha -1 thn -1 menjadi ton ha -1 thn -1 (K), ton ha -1 thn -1 menjadi ton ha -1 thn -1 (KP) dan ton ha -1 thn -1 menjadi ton ha -1 thn -1 (KPs) (Tabel 29 dan Gambar 16).

90 70 Gambar 15 Erosi dan pendapatan usahatani berbasis kakao dengan agroteknologi pemupukan, teras gulud + penanaman tanaman penguat teras pada lereng 14% di DAS Krueng Seulimum Gambar 16 Erosi dan pendapatan usahatani dengan agroteknologi pemupukan, teras gulud + penanaman tanaman penguat teras + mulsa 6 ton ha -1 thn -1 pada lereng 21% di DAS Krueng Seulimum

91 71 Pembuatan teras gulud + penanaman rumput penguat teras secara teknis dapat dilakukan dilokasi penelitian. Tujuan dilakukan penanaman tanaman penguat teras agar pematang/guludan tidak mudah longsor oleh serpihan air hujan maupun oleh aliran permukaan. Jenis tanaman penguat teras yang digunakan sebaiknya jenis tanaman yang tahan pangkas. Pemangkasan dilakukan untuk pencegahan ketinggian tanaman yang dapat mengganggu tanaman pokok dan hasil pangkasan dapat menjadi biomassa untuk kesuburan tanah. Tanaman penguat teras yang biasa digunakan adalah jenis rumput Setaria spacelata karena tumbuhnya rendah, rapat, cepat menyebar dan memiliki perakaran serabut yang lebat sehingga dapat mengurangi aliran permukaan, penyaring partikel-partikel tanah yang terbawa aliran permukaan, dan mengurangi longsor. Kegunaan lain dari rumput Setaria spacelata yaitu sebagai penyedia bahan pakan bagi ternak, karena sangat disukai oleh ternak sapi dan kambing. Berbagai penelitian yang dilakukan Puslittanak menunjukkan strip rumput Setaria spacelata dapat menekan erosi dan aliran permukaan secara nyata (Ai Dariah et al. 1994). Selanjutnya pada kemiringan lereng 21% disarankan dengan pembuatan teras gulud ditambah dengan pemberian mulsa 6 ton ha -1 thn -1. Pemberian mulsa bertujuan untuk melindungi permukan tanah dari pukulan langsung butiran hujan sehingga dapat mengurangi terjadinya erosi percik (splash erosion), selain mengurangi laju dan volume limpasan permukaan (Suwardjo 1981). Abdurachman dan Sutono (2002) juga menambahkan bahwa peran mulsa dalam menekan laju erosi sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase penutupan tanah, tebal lapisan mulsa dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi. Lal (1978) juga menambahkan bahwa pemberian mulsa sisa tanaman sebanyak 4-6 ton ha -1 mampu meningkatkan laju infiltrasi, serta menurunkan kecepatan aliran permukaan dan erosi pada tingkat yang masih dapat diabaikan. Pendapat ini juga didukung oleh Kurnia et al. (1997) yang mengatakan mulsa jerami ditambah dengan mulsa dari sisa tanaman sangat efektif dalam mengurangi erosi serta mengurangi konsentrasi sedimen dan hara yang hilang akibat erosi. Mulsa yang diberikan sebaiknya berupa sisa tanaman yang tidak mudah terdekomposisi seperti jerami padi dan jagung dengan takaran yang disarankan adalah 6 ton ha -1. Berdasarkan berbagai skenario diatas, maka penerapan agroteknologi pemupukan dan teknik konservasi tanah dan air pada tipe usahatani kakao monokultur (K), usahatani kakao + pinang (KP) dan usahatani kakao + pisang (KPs) dapat mencapai indikator usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan. Optimalisasi Usahatani Berbasis Kakao Berkelanjutan Usahatani berkelanjutan didapat dengan melakukan analisis optimalisasi dengan menggunakan program tujuan ganda. Program ini bertujuan untuk mendapatkan pola usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan dan optimal di DAS Krueng Seulimum. Hasil optimalisasi didapat bahwa tipe usahatani kakao dengan pisang (KPs) merupakan tipe usahatani berkelanjutan yang paling optimal pada semua tingkatan lereng (7%, 14% dan 21%) pada luasan lahan 1.50 hektar. Pada lereng 7% kondisi optimal dicapai dengan penerapan agroteknologi pemupukan. Pada lereng 14% kondisi optimal dicapai dengan penerapan agroteknologi pemupukan dan agroteknologi konservasi tanah dan air yaitu dengan pembuatan teras gulud

92 72 dengan rumput penguat teras sedangkan pada lereng 21% kondisi optimal dicapai dengan penerapan agroteknologi pemupukan dan penerapan agroteknologi konservasi tanah dan air dengan pembuatan teras gulud dengan rumput penguat teras ditambah dengan pemberian mulsa sebanyak 6 ton ha -1 thn -1. Tipe usahatani kakao dengan pisang (KPs) pada lereng 14% menghasilkan erosi sebesar ton ha -1 thn -1 dan pada lereng 21% menghasilkan erosi sebesar ton ha -1 thn -1 dengan pendapatan tertinggi Rp Untuk itu berdasarkan hasil optimalisasi, tipe usahatani kakao dan pisang (KPs) dapat dijadikan pilihan utama untuk penerapan usahatani berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. Arahan dan Pengembangan Usahatani Berbasis Kakao Berkelanjutan Hasil analisis menunjukkan bahwa lahan di DAS Krueng Seulimum terdiri atas 3 kelas kemampuan lahan, yaitu kelas kemampuan lahan III, IV dan VI dengan faktor pembatas yang dominan adalah faktor lereng, erosi, erodibilitas tanah dan batuan dipermukaan tanah. Sedangkan hasil analisis kesesuaian lahan, lahan dilokasi penelitian termasuk kedalam kelas cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N). Untuk tanaman kakao pada kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) dengan faktor pembatas ketersediaan air (wa) kelembaban relatif, kejenuhan basa, C-organik dan media perakaran (rc) (kedalaman tanah) sedangkan kelas tidak sesuai (N) dengan faktor pembatas lereng. Tanaman pisang pada kelas cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas retensi hara (kejenuhan basa dan c-organik) dan faktor pembatas bahaya erosi, kelas sesuai marjinal (S3) dengan faktor pembatas media perakaran (kedalaman tanah), retensi hara (KB dan c-organik) dan faktor bahaya erosi dan pada kelas tidak sesuai (N) dengan faktor pembatas lereng. Usahatani berbasis kakao yang dijalani selama ini juga belum disertai dengan agroteknologi yang memadai. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan, rendahnya produktivitas suatu tanaman yang pada gilirannya berdampak terhadap pendapatan petani. Berdasarkan uraian di atas agar usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum dapat berkelanjutan, maka perlu dibuatkan suatu perangkat pengambil keputusan (decision tool) dengan penerapan agroteknologi yang dapat mencegah agar tidak terjadi kerusakan lahan, meningkatkan kesejahteraan petani dan diharapkan agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan diterapkan oleh petani setempat (Tabel 30). Kriteria yang digunakan dalam menentukan jenis lahan yang layak dikembangkan adalah : 1) erosi yang terjadi dari lahan tersebut lebih kecil atau sama dengan ETol, 2) pendapatan yang didapat harus lebih besar atau sama dengan kebutuhan hidup layak ( > Rp ). Penggunaan lahan untuk kakao yang memenuhi kedua kriteria tersebut dinyatakan layak dan direkomendasikan untuk dikembangkan di DAS Krueng Seulimum. Penggunaan lahan hutan (SL 4, 8, 13, 17, 18, 20, 21, 22), sawah (SL 23) dan pemukiman (SL 24) tidak dimasukkan dalam perangkat pengambil keputusan dikarenakan penggunaan lahannya sudah sesuai dengan peruntukannya dan tidak memungkinkan dikonversikan ke tanaman kakao.

93 73 Tabel 30 Perangkat pengambil keputusan (Decision Tool) di DAS Krueng Seulimum S L Luas (Ha) Kesesuaian Lahan Tanaman Kakao Penggunaan Lahan Saat ini Prediksi Erosi Existing (ton/ha/thn) Arahan Pengembangan Usahatani Berbasis Kakao Agroteknologi yang Disarankan Produksi Optimum setelah Agrotek (kg/ha/thn) Prediksi Erosi Setelah Agrotek (ton/ha/thn) Pendapatan (Rp/KK/thn) Rekomendasi ( 1 ) ( 2 ) ( 3 ) ( 4 ) ( 5 ) ( 6 ) ( 7 ) ( 8 ) ( 9 ) ( 10 ) ( 11 ) S2wa,nr,eh PLK (KP) Kakao+Pinang P + TG + TPT *) Layak dikembangkan S2wa,nr,eh SB Kakao+Pinang P + TG + TPT *) Layak dikembangkan S2wa,nr,eh PLK (K) Kakao+Pinang P + TG + TPT *) Layak dikembangkan S2wa,nr,eh PLK (K) Kakao+Pinang P + TG + TPT *) Layak dikembangkan S2wa,nr,eh SB Kakao+Pisang P + TG + TPT + M *) Layak dikembangkan S2wa,nr,eh PLK (KPs) Kakao+Pisang P + TB + TPT + M *) Layak dikembangkan S2wa,eh SB Kakao+Pisang P + TG + TPT + M *) Layak dikembangkan S3rc,nr PP 9.92 Kakao+Pinang P *) Layak dikembangkan S3nr SB Kakao+Pisang P + TG + TPT + M *) Layak dikembangkan S3rc PP Kakao+Pinang P + TG + TPT *) Layak dikembangkan S3rc PP Kakao+Pinang P *) Layak dikembangkan S3rc PP Kakao+Pinang P + TG + TPT *) Layak dikembangkan S3rc PP Kakao+Pisang P + TG + TPT + M *) Layak dikembangkan S3eh SB Kakao+Pisang P + TG + TPT + M Tidak layak dikembangkan Keterangan : PLK = Pertanian lahan kering ; SB = Semak belukar ; PP = Padang penggembalaan ; K = Kakao ; KP = Kakao+Pinang ; KPs = Kakao+Pisang ; P = Pemupukan ; TG = Teras Guludan; TB = Teras Bangku ; TPT = Tanaman penguat teras ; M = Mulsa (6 ton ha -1 ) *) Penggunaan lahan yang di arahkan/layak untuk pengembangan tipe usahatani berbasis kakao Penggunaan lahan hutan (SL 4, 8, 13, 17, 18, 20, 21, 22), sawah (SL 24) dan pemukiman (SL 23) tidak diarahkan penggunaannya untuk usahatani kakao SL 19 tidak direkomendasikan untuk usahatani berbasis kakao dikarenan nilai prediksi erosi di atas Etol (ETol = ton ha -1 thn -1 )

94 Hasil penilaian yang dilakukan dengan perangkat pengambil keputusan terhadap kesesuaian lahan, prediksi erosi dan pendapatan pada masing-masing satuan lahan terlihat bahwa SL 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 15 dan 16 layak untuk dikembangkan tanaman berbasis kakao (Gambar 17). Satuan lahan 5 dan 9 sesuai untuk dikembangkan tanaman kakao+pinang, nilai prediksi erosi 9.92 ton ha -1 thn ton ha -1 thn -1, pendapatan yang didapat adalah Rp KK -1 thn -1 dan agroteknologi yang disarankan adalah dengan pemupukan lengkap. Satuan lahan 1, 3, 6, 7, 10 dan 11 juga sesuai untuk dikembangkan tanaman kakao+pinang, nilai prediksi erosi berkisar antara ton ha -1 thn ton ha -1 thn -1, pendapatan yang didapat berkisar antara Rp KK -1 thn -1 - Rp KK -1 thn -1 dan agroteknologi yang disarankan adalah dengan pemupukan lengkap ditambah dengan pembuatan teras gulud dengan tanaman penguat teras. Satuan lahan 2, 12, 14 dan 15 sesuai dikembangkan tanaman kakao+pisang dengan nilai prediksi erosi berkisar antara 9.45 ton ha -1 thn ton ha -1 thn -1, pendapatan yang di dapat Rp KK -1 thn -1 - Rp KK -1 thn -1, dan agroteknologi yang disarankan adalah pemupukan lengkap ditambah dengan pembuatan teras gulud dengan tanaman penguat teras ditambah dengan pemberian mulsa 6 ton ha -1 thn -1. Satuan lahan 16 dengan kemiringan lereng 21% sesuai dikembangkan tanaman kakao+pisang dengan nilai prediksi erosi 7.03 ton ha -1 thn -1 dan pendapatan yang didapat Rp KK -1 thn -1, dan agroteknologi yang disarankan adalah pemupukan lengkap ditambah dengan pembuatan teras gulud dengan tanaman penguat teras ditambah dengan pemberian mulsa 6 ton ha -1 thn -1. Satuan lahan 19 (semak belukar) tidak diarahkan penggunaan lahannya untuk pengembangan kakao dikarenakan indikator berkelanjutan (erosi ton ha -1 thn -1 lebih besar dari ETol = ton ha -1 thn -1 ). Berdasarkan arahan penggunaan lahan di atas, maka dapat ditentukan penggunaan lahan optimal berbasis kakao yang berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum (Tabel 31). Hasil analisis penggunaan lahan optimal menunjukkan potensi produksi total kakao di DAS Krueng Seulimum adalah ton, dengan pendapatan total Rp M dan erosi terprediksi ton thn -1. Nilai prediksi erosi total yang didapat di DAS Krueng Seulimum setelah penerapan agroteknologi sangat jauh menurun dibandingkan dengan nilai prediksi erosi total sebelum dilakukan penerapan agroteknologi yaitu dari ton thn -1 menjadi ton thn -1. Berpengaruh atau tidaknya agroteknologi yang diterapkan sangat ditentukan oleh ketepatan teknik yang dipilih yaitu dengan mengacu pada beberapa aspek yaitu aspek biofisik, aspek sosial ekonomi dan budaya serta aspek kepemilikan lahan (Agus et al. 1998). Selanjutnya Arsyad (2010) juga mengemukakan bahwa pendekatan dan kebijaksanaan baru sangat diperlukan agar konservasi tanah yang disarankan dapat diterima dan diterapkan secara luas dengan biaya yang sesuai. 74

95 Gambar 17 Peta arahan sebaran tipe usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum 75

96 76 Tabel 31 Penggunaan lahan optimal berbasis kakao di DAS Kreung Seulimum SL Luas (ha) Penggunaan Lahan yang direkomendasikan Produksi Total (ton) Pendapatan Total (Milyar Rupiah) Erosi Terprediksi (Ton/thn) (1) (2) (3) (4) (5) (6) Kakao+Pinang Semak Belukar (KP) KP KP Semak Belukar (KPs) Kakao+Pisang Padang Penggembalaan (K) Semak Belukar (KPs) Padang Penggembalaan (K) Semak Belukar (KPs) Padang Penggembalaan (KP) Padang Penggembalaan (KP) Padang Penggembalaan (KPs) Semak Belukar Hutan Sekunder Hutan Sekunder Hutan Sekunder Hutan Sekunder Hutan Sekunder Hutan Sekunder Hutan Sekunder Hutan Sekunder Total

97 77 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. DAS Krueng Seulimum memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat rendah hingga rendah dengan kondisi fisik lahan yang didominasi oleh lahan kelas kemampuan IIIe2 (54.18%). Tipe usahatani berbasis kakao terdiri dari kakao monokultur (K), kakao dengan pinang (KP) dan kakao dengan pisang (KPs). Semua tipe usahatani berbasis kakao yang ada di DAS Krueng Seulimum tidak menerapkan agroteknologi. 2. Aliran permukaan dan erosi tertinggi terjadi pada usahatani kakao monokultur, diikuti usahatani kakao dengan pisang dan yang terendah terjadi pada usahatani kakao dengan pinang. Pemberian mulsa sebanyak 5 ton ha -1 pada semua perlakukan (KM, KPsM dan KPM) dapat menurunkan aliran permukaan dan erosi. 3. Usahatani berbasis kakao berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum dapat dicapai dengan penerapan agroteknologi pemupukan (Urea 200 gr pk -1, SP gr pk -1 dan KCl 100 gr pk -1 ) pada lereng 7% ; pemupukan (Urea 200 gr pk -1, SP gr pk -1 dan KCl 100 gr pk -1 ) + pembuatan teras gulud dengan tanaman penguat teras pada lereng 14% ; dan pemupukan (Urea 200 gr pk -1, SP gr pk -1 dan KCl 100 gr pk -1 ) + pembuatan teras gulud dengan tanaman penguat teras + pemberian mulsa 6 ton ha -1 thn -1 pada lereng 21% dapat mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) dan memberikan pendapatan usahatani lebih besar dari kebutuhan untuk hidup layak (KHL). 4. Usahatani kakao berkelanjutan yang paling optimal di DAS Krueng Seulimum adalah tipe usahatani KPs pada lahan seluas 1.50 ha dengan menerapkan agroteknologi pemupukan+pembuatan teras gulud+tanaman penguat teras yang ditambah dengan pemberian mulsa 6 ton ha -1 thn -1. Usahatani KPs dapat menekan erosi menjadi ton ha -1 thn -1 dengan pendapatan optimum sebesar Rp KK thn Rencana pengembangan lahan pertanian berbasis kakao pada setiap satuan lahan dengan menggunakan decision tool didapat SL 5 dan 9 sesuai untuk dikembangkan tanaman kakao+pinang dengan penerapan agroteknologi pemupukan, SL 1, 3, 6, 7, 10 dan 11 sesuai untuk dikembangkan tanaman kakao+pinang dengan penerapan agroteknologi pemupukan ditambah dengan pembuatan teras gulud + tanaman penguat teras, SL 2, 12, 14, 15 dan 16 sesuai dikembangkan tanaman kakao+pisang dengan penerapan agroteknologi pemupukan ditambah dengan pembuatan teras gulud + tanaman penguat teras + dengan pemberian mulsa 6 ton ha -1 thn -1.

98 78 Saran 1. Rekomendasi agroteknologi dalam perencanaan usahatani berkelanjutan, harus mempertimbangkan aspek biofisik, ekonomi dan sosial dengan indikator erosi yang didapat harus lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (Etol), pendapatan harus lebih besar dari pendapatan hidup layak (> KHL) dan agroteknologi yang rekomendasikan dapat diterima serta diterapkan oleh petani setempat. 2. Pemerintah kabupaten Aceh Besar dapat mengembangkan tipe usahatani tanaman kakao yang ditumpangsari dengan tanaman pisang untuk dijadikan alternatif pengembangan usahatani berkelanjutan khususnya di DAS Krueng Seulimum.

99 79 DAFTAR PUSTAKA [AAK] Aksi Agraris Kanisius Panduan Lengkap Budidaya Kakao : Penerbit Kanisius. Abdurachman A dan Sutono Teknologi Pengendalian Erosi Lahan Berlereng, hlm dalam Abdurachman, A. Mappaona dan Asril Saleh (Eds) Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Agus FA, Gintings NG, Kurnia U, Abdurachman A and Van der Poel P Soil erosion research in Indonesia. Past experince and future direction. In FWT. Penning de Vries, F. Agus and J Kerr (Eds) Soil Erosion at Multiple Scales : Principles and Methods for Assessing causes and Impacts. [APED]. Aceh Partnerships Economic Development Potensi Pengembangan Cluster Kakao di Propinsi Aceh. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Propinsi Aceh. Arsyad S Konservasi tanah dan air. Bogor : Serial Pustaka IPB Press. Asdak C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. [Baplan Dephut] Badan Planologi Departemen Kehutanan RI kampanye/hutan. [Baplan Dephut] Badan Planologi Departemen Kehutanan RI Citra landsat propinsi Aceh. [BPDAS Aceh] Balai Pengelolaan DAS Aceh Database dan informasi. Balai Pengelolaan DAS Propinsi Aceh. [BPS] Badan Pusat Statistik Aceh Besar Aceh Besar dalam Angka 2004/2005. [BPS] Badan Pusat Statistik Aceh Aceh dalam Angka Banuwa IS Pengembangan Alternatif Usahati Berbasis Kopi Untuk Pembangunan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan Di DAS Sekampung Hulu [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Baver LD Soil Physic. New York.John Wiley and Sons Inc. Charles D and Simpson T Goal Programming Application in Multidisciplinary Design. Dent D and Young, A Soil Survey and Land Evaluation. London. George Allen and Unwin. [Disbunhut Aceh] Dinas Perkebunan dan Kehutanan Propinsi Aceh Luas dan Produksi Komoditi Kakao Perkebunan Rakyat Propinsi Aceh Berdasarkan Kabupaten dan Kota.

100 80 [Disbun A.Besar] Dinas Perkebunan Kabupaten Aceh Besar Luas Tanaman Kakao di Kecamatan Seulimum dan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar. [Ditjen RRL] Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan Luas Lahan Kritis di Indonesia dan Statistik Dalam Angka. Ditjen RRL Departemen Kehutanan. Dephut. Jakarta. [Ditjen SDA] Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Departemen Pertanian Sebanyak 65 DAS dalam kondisi semakin kritis. Harian Kompas 20 Agustus 2004 : 15. Djaenudin D, Marwan H, Subagyo H, Mulyani A dan Suharta N Kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian. Versi 4. Bogor : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. [ESP] Environmental Services Program Kantor Regional Nanggroe aceh Darussalam, Banda Aceh. [FAO] Food and Agriculture Organization A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Development and Conservation Service Land and Water Development Division Food and Agriculture Organization of the United Nations. [FKA] Forum Kakao Aceh Petani Kakao di Aceh Masih Miskin. Harian Serambi Indonesia 9 Oktober 2010 : 6. [FKA] Forum Kakao Aceh Produksi Kakao Aceh 2012 sebanyak 27 ribu ton. Harian Waspada 9 Januari 2011 : 19 [FFI] Fauna dan Flora International Degradasi Hutan Aceh Ancam Proses Rekonstruksi. Harian Suara Pembaharuan 26 Januari 2009 : 15 [FWI/GFW] Forest Watch Indonesia-Global Forest Watch Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: ISBN : Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch. Hammer WI Soil conservation consultant report. Bogor : Centre for soil research. Hardiyatmo HC Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Hardjoamidjojo S dan Sukartaatmadja S Teknik Pengawetan Tanah dan Air. Fateta, IPB Bogor. Bogor. Hardjowigeno S Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo. Herdradjat N Kebijakan perlindungan perkebunan dalam gerakan peningkatan produktivitas dan mutu kakao nasional [internet]. [diacu 2008 Desember 26]. Tersedia dari deptan.go.id. Hudson N Soil Conservation. London. Bastford.

101 81 Hutabarat S Kebijakan Pengelolaan DAS Terpadu dalam KES Manik, L Sitompul, IS Banuwa, A Setiawan, SB Yuwono (Ed). Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Prosiding Lokakarya Forum DAS Provinsi Lampung, 13 Desember ISBN Bandar Lampung. Kahirun Kajian Karakteristik Hidrologi DAS Roraya Sulawesi Tenggara dan Perencanaan Penggunaan Lahan Usahatani. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Krisnohadi A Pembangunan Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Jambu Mete (Anacardium occidentale L) dan Optimasi Manajemen Spesifik Lokasi Usahatani Jambu Mete Di Kabupaten Dompu. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kurnia U, Sudirman dan Kusnadi H Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan Terdegradasi. Prosiding Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembaangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Lal R Soil Erosion by Wind and Water : Problem and Prospects. In Lal, (Ed). Soil Erosion Research Methods. Soil and Water Conservation Society. Florida. p 1-10 Lim DHK New Developments in Shade for Hybrid Cocoa in Sabah. International Conference on Cocoa and Coconut. Kuala Lumpur. Manik KES Analisis daya dukung lingkungan berdasarkkan optimasi penggunaan sumberdaya lahan di bagian hulu daerah aliran sungai Way Seputih, Lampung Tengah [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Meyer LD Modelling Conservation Practices, p In Soil Conservation : Problem and Prospects. Ed: RPC. Morgan. A Wiley Interscience Publication. Monde A Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri kakao di DAS Nopu, Sulawesi Tengah [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mulyono S Operations Research. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nasendi BD dan Anwar A Program Linear dan Variasinya. Jakarta: PT Gramedia. Nurmi H Keefektifan Tindakan Konservasi Tanah dan Air dengan Metode Vegetatif dalam Menekan Aliran Permukaan dan Erosi tanah pada Pertanaman kakao [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [PPKKI] Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Budidaya Kakao. Jember, Indonesia.

102 82 Pakpahan A, Syafaat N, Purwoto A dan Saliem HP Kelembagaan Lahan dan Konservasi Tanah dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Prawoto AA Tanaman Pisang sebagai Penaung Sementara Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember 11(2) Prawoto AA Pengaruh Pemangkasan bentuk tanaman kakao asal Stek Cabang Plagiotrop Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buah. Pelita Pekebunan. Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 12 (3) : Rauf A Kajian sistem dan optimasi penggunaan lahan agroforestry di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Reijntjes C, Haverkort B dan Water-Bayer Ann Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Jakarta: Kanisius Roose EJ Runoff and Erosion Before and After Clearing Depending on the Type of Crop in Western Africa. p In R. Lai, P.A. Sanchez, R.W. Cummings, JR (Ed.) Land Clearing and Development in The Tropics. A.A, Balkemal Roterdam/Boston Rose CW, Coughland KJ, Ciesiolka CAA and Fentie B Program GUEST (Griffith University Erosion System Template) In : A New Soil Conservation Methodology and Application to Cropping Systems in Tropical Steeplands. ACIAR Technical Reports, No 40, Canberra. p : Ruslan Pola Penggunaan Lahan Optimal Berdasarkan Lingkungan Fisik dan Sosial Ekonomi Daerah Aliran sungai Peusangan Aceh [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sajogyo dan Sajogyo P Sosiologi Pedesaan. Jilid 2. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press. Salikin KA Sistem Pertanian Berkelanjutan. Jakarta : Penerbit Kanisius. Schwab GO, Frevert RK, Etminster TW and Barnes KK Soil and Water Conservation Engineering. John Wiley & Sons. New York. Sinukaban N Konservasi tanah dan air di daerah transmigrasi. PT. Indeco Duta Utama International Development Consultants Berasosiasi dengan BCEOM. Sinukaban N Konservasi Tanah dan Air (Materi Kuliah), Institut pertanian Bogor, Bogor. Sinukaban N Penggunaan model WEPP untuk memprediksi erosi dalam Collate Information and Analyzed Assesment Effect on Land Use on Soil Erosion. Pusat Penelitian Hutan.

103 83 Sinukaban N Masalah dan konsepsi pengembangan daerah aliran sungai. Makalah pada seminar sehari tentang pengelolaan DAS terpadu di Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, 1 Nopember Sinukaban N Sistem Pertanian Konservasi Kunci Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Prosiding Kebijakan Konservasi Tanah dan Air dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah. MKTI-April 2001, Medan. Sinukaban N Pengelolaan DAS. Materi Kuliah Pengelolaan DAS. IPB. Bogor. Sinukaban N Implikasi Otonomi Daerah pada Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Makalah disampaikan pada Seminar dalam rangka Peringatan Satu Abad Lembaga Penelitian Tanah Indonesia pada Juni 2005 di Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu. Bogor. Sinukaban N, Murtilaksono K dan Sudarmo. 2007a. Pengaruh Penggunaan Mulsa dan Pengolahan Tanah terhadap Erosi, Aliran Permukaan dan Selektivitas Erosi pada Latosol Coklat Kemerahan Darmaga dalam Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan RI. Sinukaban N. 2007b. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari Dengan Pertanian Konservasi dalam Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Direktorat Jenderal RLPS Dept Kehutanan RI. Sinukaban N. 2007c. Conservation Farming Systems For Sustainable Development in Java, Indonesia. Di dalam : Soil and Water Conservatioan in Sustainable Development. Ed ke-1. Bogor: Direktorat Jenderal RLPS. Hlmn Siregar, Tumpal HS, Riyadi S dan Nuraeni L Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Coklat. Jakarta. Penerbit Penebar Swadaya. Siswanto Sistem Komputer Manajemen Lindo. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Sitorus SRP Evaluasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Tarsito, Bandung. Soekartawi Analisis usahatani. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Steel PGD and Torrie JH, Principles and Procedure of Statistics. New York: Mc. Graw-Hill Book Co. Inc. Sowardjo Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan air dalam Usahatani Tanaman semusim. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suripin Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi Yogyakarta, Yogyakarta. Sutono S, Tala ohu SH, Sopandi O dan Agus F Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan Di DAS Citarum. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor

104 84 Tarigan SD dan Sinukaban N Peran sawah sebagai filter sedimen, studi kasus di DAS Way Besai, Lampung. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei ASEAN Secretariat MAFF Japan Puslitbang Tanah dan Agroklimat, hlm : Thong K.C and Ng WL Growth and Nutrient Consumption of Monocorp Cocoa Plant in Island Malaysia Soil. Int. Cocoa Coconut Conf. Kuala Lumpur. 25p. US Society of Agronomy Agronomy News dalam Agriculture, Fertilizers and the Environment CABI. Norway. Vadari T, Subagyono K dan Sutrisno N Model Prediksi Erosi : Prinsip, Keunggulan dan Keterbatasan. Prosiding Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Vorone RP, Van ven JA and Paul EA Organic carbon dynamics and grass land soil. Model validation and simulation of the long term effects of cultivation and rainfall erosion. Canadian journal of soil science. (61) : [Walhi Aceh]. Wahana Lingkungan Aceh Degradasi Hutan Aceh Ancam Proses Rekonstruksi [Internet]. [diacu 2006 Jan 26] Tersedia dari : http :// kompas.com [Walhi Aceh]. Wahana Lingkungan Aceh Siapa Gunduli Hutan Aceh. [Internet]. [diacu 2009 No 22]. Tersedia dari : http :// serambiindonesia.com [Walhi Aceh]. Wahana Lingkungan Aceh Tiap Tahun Aceh Kehilangan hektar [Internet]. [diacu 2012 Jan 2]. Tersedia dari : http :// kompas.com Weischmeier WH and Smith DD Predicting Rainfall Erosion Losses. A guide to conservation planning. USDA-SED Agric. Handbook No Wahyuzar D Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Debit Puncak Di DAS Krueng Seulimum. Wischmeier WH and Mannering JV Relation of soil properties to its Erodibility. Soil Sci. Am. Proc. 33 : Wood SR and Dent FJ A land evaluation computer system methodology. AGOF/INS/78/006. Manual 5 versi 1. Ministry of Agriculture Govern of Indonesia in corporation with UNDP and FAO. [YLI]. Yayasan Leuser Indonesia Program Perlindungan Daerah Aliran Sungai Tahap I. Banda Aceh.

105 85 Lampiran 1 Faktor - faktor penghambat dalam klasifikasi kemampuan lahan Kecuraman lereng A (l0) = 0 sampai 3% (datar) B (l1) = 3 sampai 8% (landai atau berombak) C (l2) = 8 sampai 15% (agak miring atau bergelombang) D (l3) = 15 sampai 30% (miring atau berbukit) E (l4) = 30 sampai 45% (agak curam) F (l5) = 45 sampai 65% (curam) G (l6) = lebih dari 65% (sangat curam) Kepekaan erosi tanah (nilai K) KE1 = 0,00 sampai 0,10 (sangat rendah) KE2 = 0,11 sampai 0,20 (rendah) KE3 = 0,21 sampai 0,32 (sedang) KE4 = 0,33 sampai 0,43 (agak tinggi) KE5 = 0,44 sampai 0,55 (tinggi) KE6 = 0,56 sampai 0,64 (sangat tinggi) Kerusakan erosi yang telah terjadi e0 = tidak ada erosi e1 = ringan : kurang dari 25% lapisan atas hilang e2 = sedang : 25 sampai 75% lapisan atas hilang e3 = agak berat : lebih dari 75% lapisan atas sampai kurang dari 25% lapisan bawah hilang e4 = berat : lebih dari 25% lapisan bawah hilang = sangat berat : erosi parit e5 Kedalaman Tanah k0 = lebih dari 90 cm (dalam) k1 = 90 sampai 50 cm (sedang) k2 = 50 sampai 25 cm (dangkal) = kurang dari 25 cm (sangat dangkal) k3 Tekstur Tanah t1 : tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu dan liat. t2 : tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung berliat dan lempung berliat berdebu. t3 : tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur lempung, lempung berdebu dan debu. t4 : tanah bertekstur agak kasar, meliputi lempung berpasir, lempung berpasir halus dan lempung berpasir sangat halus. t5 : tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir.

106 86 Permeabilitas Drainase P1 = lambat : kurang 0,5 cm/jam P2 = agak lambat : 0,5 2,0 cm/jam P3 = sedang : 2,0 6,25 cm/jam P4 = agak cepat : 6,25 12,5 cm/jam P5 = cepat : lebih dari 12,5 cm/jam d0 d1 d2 d3 d4 d5 = berlebihan (excessively drained), air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang tahan oleh tanah sehingga tanaman akan segera mengalami kekurangan air. = baik : tanah mempunyai peredaran udara yang baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai ke bawah (150 cm) berwarna terang yang seragam dan tidak terdapat bercak-bercak berwarna terang yang seragam dan tidak terdapat bercak-bercak kuning, coklat atau kelabu. = agak baik : tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat atau kelabu pada lapisan atas bagian atas lapisan bawah ( sampai sekitar 60 cm dari permukaan tanah). = agak buruk : lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik; tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, kelabu atau coklat. Bercak-bercak terdapat pada seluruh lapisan bagian bawah (sekitar 40 cm dari permukaan tanah). = buruk : bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat dan kekuning. = sangat buruk : seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Faktor-faktor Khusus Kerikil b0 b1 b2 b3 = tidak ada atau sedikit : 0 sampai 15% volume tanah. = sedang : 15 sampai 50% volume tanah = banyak : 50% sampai 90% volume tanah. = sangat banyak : lebih dari 90% volume tanah. Batuan Kecil b0 = tidak ada atau sedikit : 0 sampai 15% volume tanah. b1 = sedang : 15 sampai 50% volume tanah; pengolahan tanah mulai agak sulit dan pertumbuhan tanaman agak terganggu. b2 = banyak : 50 sampai 90% volume tanah; pengolahan tanah sangat sulit dan pertumbuhan tanaman terganggu. b3 = sangat banyak : lebih dari 90% volume tanah; pengolahan tanah tidak mungkin dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu.

107 87 Batuan lepas b0 = tidak ada : kurang dari 0,01% luas areal. b1 = sedikit : 0,01% sampai 3% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dengan mesin agak terganggu tetapi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. b2 = sedang : 3% sampai 15% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah mulai agak sulit dan luas areal produktif berkurang. b3 = banyak : 15% sampai 90% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman menjadi sangat sulit. b4 = sangat banyak : lebih dari 90% permukaan tanah tertutup; tanah sama sekali tidak dapat digunakan untuk produksi pertanian. Batuan tersingkap (rock) b0 = tidak ada : kurang dari 2 % permukaan tanah tertutup. b1 = sedikit : 2% sampai 10% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman agak terganggu. b2 = sedang : 10% sampai 50% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman terganggu. b3 = banyak : 50% sampai 90% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman sangat terganggu. b4 = sangat banyak : lebih dari 90% permukaan tanah tertutup; tanah sama sekali tidak dapat digarap. Ancaman Banjir/Genangan O0 = tidak pernah : dalam periode satu tahun tanah tidak pernah tertutup banjir untuk waktu lebih dari 24 jam O1 = kadang-kadang : banjir yang menutupi tanah lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur dalam periode kurang dari satu bulan. O2 = selama waktu satu bulan dalam setahun tanah secara teratur tertutup banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam O3 = selama waktu 2 sampai 5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam. O4 = selama waktu 6 bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir secara teratur yang lamanya lebih dari 24 jam. Salinitas g0 = bebas = 0 sampai 0,15% garam larut ; 0 sampai 4 (EC x 10 3 ) mmhos cm -1 pada suhu 25 0 C g1 = terpengaruh sedikit = 0,15 sampai 0,3% garam larut; 4 sampai 8 (EC x 10 3 ) mmhos cm -1 pada suhu 25 0 C g2 = terpengaruh sedang = 0,35 sedang 0,65% garam larut; 8 sampai 15 (EC x 10 3 ) mmhos cm -1 pada suhu 25 0 C g3 = terpengaruh hebat = lebih dari 0,65% garam larut; lebih dari 15 (EC x 10 3 ) mmhos cm -1 pada suhu 25 0 C

108 88 Lampiran 2 Kriteria kesesuaian lahan tanaman kakao Kakao (Theobromae cacao L.) Persyaratan penggunaan/ Karakteristik Lahan Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N Temperatur (tc) Temperatur rerata ( 0 C) < > 35 Ketersediaan air (wa) Curah Hujan (mm) < > Lamanya masa kering (bln) > 4 Kelembaban (%) > < 30 Ketersediaan oksigen (oa) Drainase Media Perakaran (rc) Tekstur Baik, sedang Halus, agak halus, sedang Agak terhambat Terhambat, agak cepat - Agak kasar, sangat halus Sangat terhambat, cepat Kasar Bahan kasar (%) < > 55 Kedalaman Tanah (cm) > < 50 Gambut : Ketebalan (cm) < > 200 Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan < < 400 Kematangan Saprik + Saprik, Hemik, Fibrik hemik + fibrik + Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) > Kejenuhan basa (%) > < 20 ph H 2O 6,0 7,0 5,5 6,0 < 5,5 7,0 7,6 > 7,6 C-organik (%) > 1,5 0,8-1,5 < 0,8 Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) < 1,1 1,1 1,8 1,8-2,2 > 2,2 Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya Sulfidik (cm) Kedalaman sulfidik (cm) > < 60 Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) < > 30 Bahaya erosi Sangat rendah Rendah sedang Berat Sangat berat Bahaya Banjir (fh) Genangan F0 - F1 > F1 Penyiapan Lahan (lp) Batuan di Permukaan (%) < > 40 Sumber : Djaenudin et al. (2003)

109 89 Lampiran 3 Kriteria kesesuaian lahan tanaman pisang Pisang (Musa sp) Persyaratan penggunaan/ Kelas Kesesuaian Lahan Karakteristik Lahan S1 S2 S3 N Temperatur (tc) Temperatur rerata ( 0 C) > < 18 Ketinggian tempat dpl (m) < > Ketersediaan air (wa) Curah Hujan (mm) < > Lamanya masa kering (bln) > 6 Kelembaban (%) > > 30 Ketersediaan oksigen (oa) Drainase Media Perakaran (rc) Tekstur Baik, agak terhambat Agak cepat, sedang Terhambat Sangat terhambat, cepat Halus, agak - Agak kasar, Kasar halus, sedang sangat halus Bahan kasar (%) < > 55 Kedalaman Tanah (cm) > 75 > < 50 Gambut : Ketebalan (cm) < > 200 Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan < > 400 Kematangan Saprik + Saprik, Hemik, Fibrik hemik + fibrik + Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) > Kejenuhan basa (%) > < 35 ph H 2O 5,6 7,5 5,2 5,6 < 5,2 7,5 8,0 > 8,2 C-organik (%) > 1,5 0,8 1,5 < 0,8 Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) < > 6 Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) < > 12 Bahaya Sulfidik (cm) Kedalaman sulfidik (cm) > < 40 Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) < > 30 Bahaya erosi Sangat rendah Rendah sedang Berat Sangat berat Bahaya Banjir (fh) Genangan F0 F1 F2 >F2 Penyiapan Lahan (lp) Batuan di Permukaan (%) < > 40 Singkapan batuan (%) < > 25 Sumber : Djaenudin et al. (2003)

110 90 Lampiran 4 Nilai faktor C dengan pertanaman tunggal No Tipe penggunaan untuk pertanaman tunggal Nilai Faktor C 1 Tanah yang diberakan tapi diolah secara periodik 1.00* 2 Semak Belukar 0.30* 3 Sawah tadah hujan 0.05* 4 Tanaman tegalan (tidak terspesifikasi) 0.70* 5 Tanaman rumput Brachiaria : Tahun permulaan Tahun berikutnya 0.30* 0.02* 6 Ubi kayu 0.80* 7 Jagung 0.70* 8 Kacang-kacangan 0.60* 9 Kentang 0.40* 10 Kacang tanah 0.20* 11 Tebu 0.20* 12 Pisang 0.60* 13 Padang Penggembalaan 0.10* 14 Kopi dengan tanaman penutup tanah 0.20* 15 Cabe, jahe, dan lain-lain (rempah-rempah) 0.90* 16 Kebun campuran : Kerapatan tinggi Ubi kayu-kedele Kerapatan sedang 0.10* 0.20* 0.30* Kerapatan rendah (kacang tanah) 0.50* 17 Perladangan berpindah-pindah (shifting cultivation) 0.40* 18 Perkebunan (penutup tanah buruk) Karet Teh Kelapa sawit Kelapa 19 Hutan alam : Penuh dengan serasah Serasah sedikit 20 Hutan produksi : Tebang habis (clear cutting) Tebang pilih (selective cutting) 0.80* 0.50* 0.50* 0.80* 0.001* 0.005* 0.50* 0.20* 21 Belukar/rumput 0.30* 22 Ubi kayu + kedele 0.181* 23 Ubi kayu + kacang tanah 0.195* 24 Padi + sorgum 0.345* 25 Padi + kedele 0.417* 26 Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha 0.049* 27 Padi + mulsa jerami 4 ton/ha 0.096* 28 Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ha 0.128* 29 Kacang tanah + mulsa clotalaria 3 ton/ha 0.136* 30 Kacang tanah + mulsa kacang tunggak 0.259* 31 Kacang tanah + mulsa jerami 2 ton/ha 0.377* 32 Padi + mulsa clotalaria 3 ton/ha 0.387* 33 Padi tanam tumpang gilir + mulsa jerami 6 ton/ha 0.079* 34 Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman 0.347* Sumber : Pusat Penelitian Tanah ( ), diacu dalam Hardjowigeno (2007).

111 91 Lampiran 5 Nilai faktor tindakan konservasi tanah (P) dan pengelolaan tanaman (C) No Jenis Tanaman/Penggunaan Lahan Nilai Faktor CP Sumber 1 Mulsa penahan air : - serasah atau jerami 6 ton/ha/thn serasah atau jerami 3 ton/ha/thn serasah atau jerami 1 ton/ha/thn Teras bangku ditanami : - kacangtanah - kacang tanah jagung + mulsa jerami 4 ton/ha jagung Penanaman strip rumput : - bahia (3 thn) dalam sereh wangi bahia (2 thn) + padi gogo + ubi kayu, rotasi sorgum bahia (1 thn) dalam kedelai Penanaman clotalaria dalam : - kedelai padi gogo kacang tanah Penanaman strip kacang tanah dalam pertanaman jagung, sisa tanaman sebagai mulsa 6 Teras gulud - dengan rumput penguat padi gogo - jagung (rotasi) ubi kayu jagung - kacang tanah (rotasi), mulsa sisa tanaman kacang tanah - kedelai (rotasi) padi gogo jagung - kacang tunggak (rotasi), kapur 2 ton/ha Teras bangku ditanami : - jagung - ubikayu/kedelai (rotasi) kacang tanah - kacang tanah tanpa tanaman Penanaman strip clotalaria dalam : - kacang tanah - ubi kayu padi gogo - ubi kayu Penanaman strip rumput dalam padi gogo Sumber : 1. Wood dan Dent (1983) 2. Hammer (1981) 3. Abdurachman, S. Abujamil dan U. Kurnia (1984) 4. Pusat Penelitian Tanah ( )

112 92 Lampiran 6 Faktor kedalaman beberapa sub order tanah No Sub order Aqualf Udalf Ustalf Aquent Arent Fluvent Orthent Psamment Andept Vitrand Udand Aquept Tropept Udepts Alboll Aquoll Rendoll Udoll Ustoll Aquox Humox Orthox Ustox Aquod Ferrod Humod Orthod Aquult Humult Udult Ustult Udert ustert Harkat Kemerosotan Sifat Fisika dan Kimia Fisika Kimia Sedang Rendah Sedang Rendah Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Sedang Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Tinggi Rendah Rendah Sedang Tinggi Sedang Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Nilai Faktor Kedalaman Tanah Sumber : Hammer (1981), diacu dalam Sinukaban (1989) dan Hardjowigeno (2007).

113 93 Lampiran 7 Kedalaman tanah minimum untuk berbagai jenis tanaman No Jenis Tanaman Kedalaman minimum (cm) 1. Padi Sawah Padi gogo Jagung Sorghum Kedelai Kacang hijau Kacang tanah Ubi jalar Kentang Hui Tanah terbuka Pisang Jeruk Mangga Kelapa Sawit Kelapa Karet Kakao Kopi Cengkeh Teh Kapas Tebu Rumput ternak Jati Mahoni Agathis Altingia Albizia Leucaina Acasia Eucalyptus Gelam Pinus 50 Sumber : Wood dan Dent (1983), diacu dalam Hardjowigeno (2007).

114 94 Lampiran 8 Data curah hujan selama 10 Tahun terakhir ( ) di Kabupaten Aceh Besar Tahun Bulan (mm) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des Jumlah Hujan Jumlah Rata - rata Sumber : Stasiun BMKG Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar

115 95 Lampiran 9 Kelembaban udara selama 10 Tahun terakhir ( ) Di Kabupaten Aceh Besar No BULAN KELEMBABAN UDARA (%) TAHUN Ratarata Jumlah Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber : Stasiun BMKG Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar

116 96 Lampiran 10 Temperatur udara rata-rata ( o C) 10 Tahun terakhir ( ) Di Kabupaten Aceh Besar No Bulan T a h u n Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rata-rata Sumber : Stasiun BMKG Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar

117 97 Lampiran 11 Penyinaran matahari 10 Tahun terakhir ( ) Di Kabupaten Aceh Besar No BULAN PENYINARAN MATAHARI (%) TAHUN Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total Rata-rata Sumber : Stasiun BMKG Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar

118 Lampiran 12 Peta penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum 98

119 Lampiran 13 Peta jenis tanah di DAS Krueng Seulimum 99

120 Lampiran 14 Peta lereng di DAS Krueng Seulimum 100

121 101 Lampiran 15 Hasil analisis kimia tanah S L Penggunaan Lahan C-Orgk (%) ph N P K Na Ca Mg (%) H2O KCl (ppm) (me/100 gr) KTK Liat (me/100 gr) 1 Padang Penggembalaan Semak belukar Pertanian Lahan Kering Hutan Padang Penggembalaan Semak belukar Pertanian Lahan Kering Hutan Padang Penggembalaan Pertanian Lahan Kering Padang Penggembalaan Semak Belukar Hutan Padang Penggembalaan Semak belukar Pertanian Lahan Kering Hutan Hutan Semak Belukar Hutan Hutan Hutan KB (%)

122 102 Lampiran 16 Hasil analisis sifat fisik tanah F r a k s i Lereng Permeabilitas Bobot Isi SPL Penggunaan Lahan Pasir Pasir Debu Liat Tekstur (cm/jam) (gr/cm 3) Kemiringan (l) Panjang (x) Halus (%) (%) (%) (%) (%) (m) 1 Padang Penggembalaan G Semak belukar H Pertanian Lahan Kering H Hutan K Padang Penggembalaan H Semak belukar E Pertanian Lahan Kering K Hutan G Padang Penggembalaan E 2, Pertanian Lahan Kering G Padang Penggembalaan G Semak Belukar E Hutan K Padang Penggembalaan G Semak belukar K Pertanian Lahan Kering H Hutan C Hutan E Semak Belukar K Hutan K Hutan C Hutan G

123 Lampiran 17 Peta kelas kemampuan lahan di DAS Krueng Seulimum 103

124 104 Lampiran 18 Penilaian klas kemampuan lahan Di DAS Krueng Seulimum Faktor penghambat/ SL - 1 SL - 2 SL - 3 SL - 4 SL - 5 SL - 6 pembatas Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai 1 Lereng Permukaan (%) 3-8% B (l 1) 3-8% B (l 1) 3-8% B (l 1) 3-8% B (l 1) 0-3% A (l 0) 0-3% A (l 0) 2 Kepekaan erosi 0,35 KE4 0,32 KE 3 0,35 KE4 0,31 KE 3 0,39 KE4 0,32 KE 3 3 Tingkat erosi sedang e2 sedang e2 sedang e2 sedang e2 sedang e2 sedang e2 4 Kedalaman Tanah (cm) <90 k 1 >90 k 0 >90 k 0 >90 k 0 <90 k 1 >90 k 0 5 Tekstur Lapisan Atas sedang t 3 sedang t 3 sedang t 3 agk halus t 2 sedang t 3 agk halus t 2 6 Tekstur Lapisan Bawah sedang t 3 sedang t 3 sedang t 3 agk halus t 2 sedang t 3 agk halus t 2 7 Permeabilitas (cm/jam) 1,98 P 2 5,59 P 3 6,05 P 3 11,18 P 4 1,38 P 2 6,19 P 3 8. Drainase baik d 1 baik d 1 baik d 1 baik d 1 baik d 1 agk baik d 2 9 Kerikil/batuan < 15% bo < 3% b1 < 3% b1 < 3% b1 < 15% bo < 15% bo 10 Ancaman banjir tdk pernah 0o tdk pernah 0o tdk pernah Kelas kemampuan Lahan III-KE4,e2 III-e2, b1 III-KE4, e2, b1 III-e2, b1 III-KE4.e2 III-e2 0o tdk pernah 0o tdk pernah 0o tdk pernah 0o

125 105 Lampiran 18 Lanjutan Faktor penghambat/ SL - 7 SL - 8 SL - 9 SL - 10 SL - 11 SL - 12 pembatas Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai 1 Lereng Permukaan (%) 0-3% A (l 0) 3-8% B (l 1) 0-3% A (l 0) 0-3% A (l 0) 8-15% C (l2) 8-15% C (l2) 2 Kepekaan erosi 0,28 KE 3 0,31 KE 3 0,31 KE 3 0,32 KE 3 0,32 KE 3 0,29 KE 3 3 Tingkat erosi sedang e2 sedang e2 sedang e2 sedang e2 sedang e2 sedang e2 4 Kedalaman Tanah (cm) >90 k 0 >90 k 0 <90 k 1 >90 k 0 <90 k 1 >90 k 0 5 Tekstur Lapisan Atas agk agk agk t halus 2 sedang t 3 t halus 2 sedang t 3 sedang t 3 halus k 0 6 Tekstur Lapisan Bawah agk agk agk t halus 2 sedang t 3 t halus 2 sedang t 3 sedang t 3 halus k 0 7 Permeabilitas (cm/jam) 6,21 P 3 12,10 P 4 2,09 P 3 5,95 P 3 2,01 P 3 4,85 P 3 8. Drainase baik d 1 baik d 1 baik d 1 baik d 1 baik d 1 baik d 1 9 Kerikil/batuan < 15% bo < 15% bo < 15% bo < 15% bo < 3% b1 < 3% b1 10 Ancaman banjir tdk pernah 0o tdk pernah 0o tdk pernah 0o tdk pernah 0o tdk pernah 0o tdk pernah Kelas kemampuan Lahan III-e2 III-e2 III-e2 III-e2 III-l2, e2, b1 III-l2, e2, b1 0o

126 106 Lampiran 18 Lanjutan Faktor penghambat/ SL - 13 SL - 14 SL - 15 SL - 16 SL - 17 SL - 18 pembatas Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai 1 Lereng Permukaan (%) 8-15% C (l2) 8-15% C (l2) 8-15% C (l2) 8-15% C (l2) 8-15 % C (l2) 15-25% D (l3) 2 Kepekaan erosi 0,19 KE 2 0,32 KE 3 0,35 KE4 0,31 KE 3 0,26 KE 3 0,24 KE 3 3 Tingkat erosi ringan e 1 sedang e2 ringan e 1 ringan e 1 ringan e 1 ringan e 1 4 Kedalaman Tanah (cm) >90 k 0 <90 k 1 >90 k 0 >90 k 0 >90 k 0 >90 k 0 5 Tekstur Lapisan Atas agk halus t 2 sedang t 3 agk halus t 2 sedang t 3 halus t 1 agk halus k 0 6 Tekstur Lapisan Bawah agk halus t 2 sedang t 3 agk halus t 2 sedang t 3 halus t 1 agk halus k 0 7 Permeabilitas (cm/jam) 6,22 P 3 2,13 P 3 12,04 P 4 6,01 P 3 6,25 P 3 6,07 P 3 8. Drainase baik d 1 baik d 1 agk baik d 2 baik d 1 baik d 1 baik d 1 9 Kerikil/batuan < 3% b1 < 15% bo < 15% bo < 15% bo < 15% bo < 15% bo 10 Ancaman banjir tdk pernah 0o tdk pernah 0o tdk pernah Kelas kemampuan Lahan III-l2,b1 III-l2, e2 III-l2, KE4 III-l2 III-l2 IV-l3 0o tdk pernah 0o tdk pernah 0o tdk pernah 0o

127 107 Lampiran 18 Lanjutan Faktor penghambat/ SL - 19 SL - 20 SL - 21 SL - 22 SL - 23 SL - 24 pembatas Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai 1 Lereng Permukaan (%) 15-25% D (l3) 15-25% D (l3) 15-25% D (l3) 30-45% E (l4) 0-3 % A (l 0) 0-3 % A (l 0) 2 Kepekaan erosi 0,32 KE 3 0,26 KE 3 0,22 KE 3 0,30 KE 3 0,31 KE 3 0,29 KE 3 3 Tingkat erosi sedang e 2 ringan e 1 ringan e 1 ringan e 1 sedang e2 sedang e2 4 Kedalaman Tanah (cm) >90 k 0 >90 k 0 >90 k 0 >90 k 0 >90 k 0 >90 k 0 5 Tekstur Lapisan Atas agk halus t 2 agk halus t 2 halus t 1 sedang t 3 sedang t 3 agk halus t 2 6 Tekstur Lapisan Bawah agk halus t 2 agk halus t 2 halus t 1 sedang t 3 sedang t 3 agk halus t 2 7 Permeabilitas (cm/jam) 5,26 P 3 12,15 P 4 10,02 P 4 6,13 P 3 6,01 P 3 5,12 P 3 8. Drainase baik d 1 baik d 1 baik d 1 baik d 1 baik d 1 agk baik d 2 9 Kerikil/batuan < 5% b2 <4% b2 < 15% bo < 15% bo < 15% bo < 15% bo tdk tdk tdk tdk tdk tdk 10 Ancaman banjir 0o 0o 0o 0o 0o 0o pernah pernah pernah pernah pernah pernah Kelas kemampuan Lahan IV-l3, b2 IV-l3, b2 IV-l3 VI-l4 III-e2 III-e2

128 Lampiran 19 Peta kelas kesesuaian lahan tanaman kakao di DAS Krueng Seulimum 108

129 109 Lampiran 20 Penilaian kesesuaian lahan tanaman kakao di DAS Krueng Seulimum Karakteristik Lahan SL - 1 SL - 2 SL - 3 SL - 4 SL - 5 SL - 6 SL - 7 SL- 8 Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Temperatur (tc) Temperatur rerata( o C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Bulan Kering (bln) Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase baik baik baik baik baik baik baik baik Media perakaran (rc) Tekstur sedang sedang sedang agak halus sedang agak halus agak halus sedang Kedalaman tnh (cm) > 90 > 90 > > 90 > 90 > 90 Retensi hara (nr) KTK Kejenuhan Basa (%) ph H2O c-organik (%) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) 3-8% 3-8% 3-8% 3-8% 0-3% 0-3% 0-3% 3-8% Bahaya erosi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang rendah Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 Kelas S3rc S3nr S2wa,nr,eh S2wa,nr,eh S3rc S2wa,nr, eh S2wa,nr, eh S2wa,nr, eh

130 110 Lampiran 20 Lanjutan Karakteristik Lahan SL- 9 SL - 10 SL - 11 SL -12 SL - 13 SL - 14 SL - 15 SL - 16 Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Temperatur (tc) Temperatur rerata ( o C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Bulan Kering (bln) Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase baik baik baik baik baik baik baik baik Media perakaran (rc) Tekstur agk halus sedang sedang agk halus agk halus sedang agk halus sedang Kedalaman tnh (cm) > > 90 > > 90 > 90 Retensi hara (nr) KTK Kejenuhan Basa (%) ph H2O c-organik (%) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) 0-3% 0-3% 8-15% 8-15% 8-15% 8-15% 8-15% 8-15% Bahaya erosi sedang sedang sedang sedang rendah sedang rendah rendah Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 Kelas S3rc,nr S2wa,nr,eh S3rc S2wa,eh S3nr S3rc S2wa,nr,eh S2wa,nr,eh

131 111 Lampiran 20 Lanjutan Karakteristik Lahan SL - 17 SL - 18 SL - 19 SL - 20 SL - 21 SL - 22 SL - 23 SL - 24 Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Temperatur (tc) Temperatur rerata ( o C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Bulan Kering (bln) Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase baik baik baik baik baik baik baik sedang Media perakaran (rc) Tekstur halus agk halus agk halus agk halus halus sedang sedang agk halus Kedalaman tnh (cm) > 90 > 90 > 90 > 90 > 90 > 90 > 90 > 90 Retensi hara (nr) KTK Kejenuhan Basa (%) ph H2O c-organik (%) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) 8-15% 15-25% 15-25% 15-25% 15-25% 25-40% 0-3% 0-3% Bahaya erosi sgt rendah sgt rendah sedang sedang sgt rendah sgt rendah rendah rendah Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 < 5 Kelas S3nr S3eh S3eh S3eh S3eh Neh S2wa,nr, eh S2wa,nr, eh

132 Lampiran 21 Peta kelas kesesuaian lahan tanaman pisang di DAS Krueng Seulimum 112

ABSTRACT. Keywords: land degradation, tobacco, income, erosion, agro-technology, slit pit

ABSTRACT. Keywords: land degradation, tobacco, income, erosion, agro-technology, slit pit ABSTRACT JAKA SUYANA. The Development of Tobacco-Based Sustainable Dry Land Farming System at Progo Hulu Sub-Watershed (Temanggung Regency, Central Java Province). Under direction of NAIK SINUKABAN, BUNASOR

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN ALTERNATIF USAHATANI BERBASIS KOPI UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI DAS SEKAMPUNG HULU IRWAN SUKRI BANUWA

PENGEMBANGAN ALTERNATIF USAHATANI BERBASIS KOPI UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI DAS SEKAMPUNG HULU IRWAN SUKRI BANUWA PENGEMBANGAN ALTERNATIF USAHATANI BERBASIS KOPI UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI DAS SEKAMPUNG HULU IRWAN SUKRI BANUWA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

PREDIKSI EROSI PADA LAHAN PERTANIAN DI SUB DAS KRUENG SIMPO PROVINSI ACEH

PREDIKSI EROSI PADA LAHAN PERTANIAN DI SUB DAS KRUENG SIMPO PROVINSI ACEH PREDIKSI EROSI PADA LAHAN PERTANIAN DI SUB DAS KRUENG SIMPO PROVINSI ACEH (PREDICTION OF EROSION ON AGRICULTURAL LAND IN KRUENG SIMPO SUB WATERSHED ACEH PROVINCE) Rini Fitri ABSTRACT Erosion on agricultural

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

Jln. Kampus Unimal Cot Tgk Nie Reuleut, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor

Jln. Kampus Unimal Cot Tgk Nie Reuleut, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 22, No. 3, November 2015: 357-364 OPTIMALISASI LAHAN USAHATANI BERBASIS KAKAO UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KRUENG SEULIMUM PROVINSI ACEH (Land Optimization

Lebih terperinci

ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE.

ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE. ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE. Land resource damage caused by the land conversion and land use without

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 18 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2006 - Agustus 2006 di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Dodokan (34.814 ha) dengan plot pengambilan sampel difokuskan

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO Rini Fitri Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim ABSTRAK Lahan kering di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan dan air, mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam sistem DAS (Daerah Aliran Sungai)

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN digilib.uns.ac.id ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan penduduk yang cukup tinggi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan dan lahan pertanian semakin besar. Disamping itu, perkembangan

Lebih terperinci

Kata kunci : Kesesuaian lahan, Padi gogo, Lahan kering.

Kata kunci : Kesesuaian lahan, Padi gogo, Lahan kering. ABSTRAK EVALUASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN PADI GOGO PADA LAHAN KERING DI UATULARI, DISTRITO VIQUEQUE-TIMOR LESTE Pertambahan penduduk dengan pola konsumsi pangan masyarakat Timor Leste sangat tergantung

Lebih terperinci

Kajian Tingkat Bahaya Erosi pada Berbagai Jenis Penggunaan Lahan Hubungannya Dengan Pendapatan Petani Dikawasan di Sub Das Krueng Simpo

Kajian Tingkat Bahaya Erosi pada Berbagai Jenis Penggunaan Lahan Hubungannya Dengan Pendapatan Petani Dikawasan di Sub Das Krueng Simpo Jurnal S. Pertanian 1 (2) : 105-109 (2011) ISSN : 2088-0111 Kajian Tingkat Bahaya Erosi pada Berbagai Jenis Penggunaan Lahan Hubungannya Dengan Pendapatan Petani Dikawasan di Sub Das Krueng Simpo Erosio

Lebih terperinci

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PENDAHULLUAN. Latar Belakang PENDAHULLUAN Latar Belakang Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng. Hal ini sulit dihindari karena

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tambang batubara merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia baik sebagai sumber energi maupun sumber devisa negara. Deposit batubara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR GAMBAR... ABSTRAK... I. PENDAHULUAN 1.

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR GAMBAR... ABSTRAK... I. PENDAHULUAN 1. DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR GAMBAR... ABSTRAK... I. PENDAHULUAN II. 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sistem pertanian lahan kering adalah merupakan suatu bentuk bercocok tanam diatas lahan tanpa irigasi, yang kebutuhan air sangat bergantung pada curah hujan. Bentuk pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI MELON DI KABUPATEN NGAWI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI MELON DI KABUPATEN NGAWI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI MELON DI KABUPATEN NGAWI TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

Pendugaan Erosi Aktual Berdasarkan Metode USLE Melalui Pendekatan Vegetasi, Kemiringan Lereng dan Erodibilitas di Hulu Sub DAS Padang

Pendugaan Erosi Aktual Berdasarkan Metode USLE Melalui Pendekatan Vegetasi, Kemiringan Lereng dan Erodibilitas di Hulu Sub DAS Padang Pendugaan Erosi Aktual Berdasarkan Metode USLE Melalui Pendekatan Vegetasi, Kemiringan Lereng dan Erodibilitas di Hulu Sub DAS Padang Estimation of Actual Erosion by USLE Method Approach Vegetation, Slope

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS

ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) DI SUB DAS CIPAMINGKIS HULU, PROVINSI JAWA BARAT Oleh : Wilis Juharini F14103083 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

Evaluasi Kemampuan Lahan dan Teknik Konservasi Di DAS Krueng Seulimum Kabupaten Aceh Besar

Evaluasi Kemampuan Lahan dan Teknik Konservasi Di DAS Krueng Seulimum Kabupaten Aceh Besar Jurnal Agrium 12(1), Maret 2015. Hlm. 44-49 ISSN 1829-9288 Evaluasi Kemampuan Lahan dan Teknik Konservasi Di DAS Krueng Seulimum Kabupaten Aceh Besar Evaluation of Land Capability and Conservation Techniques

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN LANGKAT

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN LANGKAT IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN LANGKAT SKRIPSI OLEH : RAHMADI RABUN DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS)

PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS) Taufiq, dkk., Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit terhadap Keseimbangan Air Hutan 47 PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS) Mohammad Taufiq 1),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka pembangunan ekonomi jangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa globalisasi, persaingan antarbangsa semakin ketat. Hanya bangsa yang mampu mengembangkan daya sainglah yang bisa maju dan bertahan. Produksi yang tinggi harus

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN PANGAN (UBI KAYU) DI KEBUN PERCOBAAN USU KWALA BEKALA

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN PANGAN (UBI KAYU) DI KEBUN PERCOBAAN USU KWALA BEKALA KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN PANGAN (UBI KAYU) DI KEBUN PERCOBAAN USU KWALA BEKALA SKRIPSI Oleh: HOLONG MUNTE 060308042 DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN MANGGA GEDONG GINCU DI KECAMATAN PANYINGKIRAN KABUPATEN MAJALENGKA

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN MANGGA GEDONG GINCU DI KECAMATAN PANYINGKIRAN KABUPATEN MAJALENGKA 1 Antologi Geografi, Volume 3, Nomor 3, Desember 2015 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN MANGGA GEDONG GINCU DI KECAMATAN PANYINGKIRAN KABUPATEN MAJALENGKA Prayoga Reksawibawa, Darsihardjo

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS. Oleh ZURIANI

ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS. Oleh ZURIANI ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS Oleh ZURIANI 107039001 PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 Judul : Analisis Produksi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Iklim Daerah aliran sungai (DAS) Siulak di hulu DAS Merao mempunyai luas 4296.18 ha, secara geografis terletak antara 101 0 11 50-101 0 15 44 BT dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas batas topografi secara alami sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung pada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan

Lebih terperinci

Rd. Indah Nirtha NNPS. Program Studi Teknik Lingkungn Fakultas Teknis Universitas Lambung Mangkurat

Rd. Indah Nirtha NNPS. Program Studi Teknik Lingkungn Fakultas Teknis Universitas Lambung Mangkurat EnviroScienteae 10 (2014) 27-32 ISSN 1978-8096 STUDI TINGKAT BAHAYA EROSI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS AIR (TSS DAN TDS) DAS SEJORONG, KECAMATAN SEKONGKANG KABUPATEN SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sistem penggunaan lahan dalam daerah aliran sungai (DAS), berupa aneka pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) TANAH ANDEPTS PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN KACANG TANAH DI KEBUN PERCOBAAN KWALA BEKALA USU

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) TANAH ANDEPTS PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN KACANG TANAH DI KEBUN PERCOBAAN KWALA BEKALA USU KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) TANAH ANDEPTS PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN KACANG TANAH DI KEBUN PERCOBAAN KWALA BEKALA USU DELIMA LAILAN SARI NASUTION 060308013 DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PORI DAN PERMEABILITAS ULTISOL PADA BEBERAPA UMUR PERTANAMAN

DISTRIBUSI PORI DAN PERMEABILITAS ULTISOL PADA BEBERAPA UMUR PERTANAMAN DISTRIBUSI PORI DAN PERMEABILITAS ULTISOL PADA BEBERAPA UMUR PERTANAMAN Zurhalena dan Yulfita Farni 1 ABSTRACT Type of plant impact on soil pore distribution and permeability variously. The objectives

Lebih terperinci

PREDIKSI TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE USLE DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI DESA BALIAN KECAMATAN MESUJI RAYA KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR SKRIPSI

PREDIKSI TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE USLE DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI DESA BALIAN KECAMATAN MESUJI RAYA KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR SKRIPSI PREDIKSI TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE USLE DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI DESA BALIAN KECAMATAN MESUJI RAYA KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR SKRIPSI OLEH : MUHAMMAD MAULANA SIREGAR 120301112 ILMU TANAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang terletak di daerah tropis dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang terletak di daerah tropis dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang terletak di daerah tropis dengan lahan pertanian yang cukup besar, sebagaian besar penduduk Indonesia hidup pada hasil

Lebih terperinci

Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu

Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu Irwan Sukri Banuwa 1, Naik Sinukaban 2, Suria Darma Tarigan 2, dan Dudung Darusman 3 Makalah diterima 21 September 2007 / Disetujui 31 Januari 2008 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

: ROSMAWATI SITOMPUL / MANAJEMEN HUTAN

: ROSMAWATI SITOMPUL / MANAJEMEN HUTAN PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS SKRIPSI Oleh : ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian di Pulau Jawa dihadapkan pada masalah konversi lahan untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh karena itu, tantangan

Lebih terperinci

Tri Fitriani, Tamaluddin Syam & Kuswanta F. Hidayat

Tri Fitriani, Tamaluddin Syam & Kuswanta F. Hidayat J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 Fitriani et al.: Evaluasi Kuanlitatif dan Kuantitatif Pertanaman Jagung Vol. 4, No. 1: 93 98, Januari 2016 93 Evaluasi Kesesuaian Lahan Kualitatif dan Kuantitatif Pertanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan air (dependable flow) suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) relatif konstan, sebaliknya kebutuhan air bagi kepentingan manusia semakin meningkat, sehingga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN NILAI EKONOMI AIR AKIBAT PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN Studi Kasus Di DAS Cidanau Propinsi Banten

ANALISIS PERUBAHAN NILAI EKONOMI AIR AKIBAT PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN Studi Kasus Di DAS Cidanau Propinsi Banten TESIS ANALISIS PERUBAHAN NILAI EKONOMI AIR AKIBAT PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN Studi Kasus Di DAS Cidanau Propinsi Banten OLEH : IGNATIUS ADI NUGROHO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 Hak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) 1. Karakteristik Tanaman Ubi Jalar Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, dan terdiri dari 400 species. Ubi jalar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem,

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang pengembangannya sangat besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan bertopografi miring diperlukan kajian yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan pertanian antara lain adalah : (1) sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan beras di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan laju

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan beras di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan laju 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan beras di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk, namun hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan kuantitas dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN PADI SAWAH, PADI GOGO

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN PADI SAWAH, PADI GOGO EVALUASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN PADI SAWAH, PADI GOGO (Oryza sativa L.), DAN SORGUM (Shorgum bicolor) DI KECAMATAN SEI BAMBAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI Oleh : WASKITO 120301011/ILMU TANAH PROGRAM

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE SKRIPSI Oleh: MARDINA JUWITA OKTAFIA BUTAR BUTAR 080303038 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN TANAMAN KOPI (Coffea Sp.) DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN DAIRI SKRIPSI. Oleh:

PENDUGAAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN TANAMAN KOPI (Coffea Sp.) DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN DAIRI SKRIPSI. Oleh: PENDUGAAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN TANAMAN KOPI (Coffea Sp.) DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN DAIRI SKRIPSI Oleh: LEDI KISWANTO BARUS 080303050 AET - TNH PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI SKRIPSI Oleh: MEILAN ANGGELIA HUTASOIT 061201019/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tipe Pemanfaatan Lahan Salah satu tahapan sebelum melakukan proses evaluasi lahan adalah mendeskripsikan 11 atribut kunci Tipe Pemanfaatan Lahan (TPL). Secara rinci diuaraikan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan 47 PEMBAHASAN Pemangkasan merupakan salah satu teknik budidaya yang penting dilakukan dalam pemeliharaan tanaman kakao dengan cara membuang tunastunas liar seperti cabang-cabang yang tidak produktif, cabang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996).

I. PENDAHULUAN. mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi tanah (soil erosion) adalah proses penghanyutan tanah dan merupakan gejala alam yang wajar dan terus berlangsung selama ada aliran permukaan. Erosi semacam itu

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : AGNES HELEN R. PURBA 080303065 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi Pertumbuhan dan perkembangan sektor usaha perkebunan di Indonesia dimotori oleh usaha perkebunan rakyat, perkebunan besar milik pemerintah dan milik swasta. Di Kabupaten

Lebih terperinci

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS LAHAN DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI BERDASARKAN KELEMBAGAAN LAHAN DI DUKUH SRIBIT LOR DESA SRIBIT KECAMATAN DELANGGU KABUPATEN KLATEN Skripsi Untuk memenuhi

Lebih terperinci