TINJAUAN PUSTAKA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ABSES LEHER DALAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ABSES LEHER DALAM"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ABSES LEHER DALAM oleh : Tris Sudyartono BAGIAN I. K. THT- KL FK UNDIP / SMF IK THT- KL RS DR. KARIADI SEMARANG 1

2 PENDAHULUAN Abses leher dalam atau Deep Neck Abscess, terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat perluasan infeksi dari berbagai sumber, seperti dari gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Sumber infaksi yang paling sering berasal dari gigi dan tonsilofaring. Gejala dan tanda klinik yang ditemukan sesuai ruang potensial yang terlibat 1,2. Berdasarkan data dari RSU Taiwan periode 1997 sampai dengan 2002, bahwa sebanyak 185 pasien dewasa menderita abses leher dalam dengan keterlibatan ruang potensial yang terbanyak adalah ruang parafaring (38,4%) kemudian disusul pada ruang submandibula dan retrofaring. Sedangkan sebanyak 169 pasien anak-anak dengan abses leher dalam yang dirawat di RS Ohio periode tahun 1989 sampai 1999, dilaporkan paling banyak melibatkan ruang retrofaring atau parafaring (43%) 2,3. Sebanyak lebih dari 50 % pasien rawat inap di RSDK bagian THT selama periode tahun 2004 sampai dengan 2009, tercatat sebanyak 36 pasien dengan abses leher dalamn. Penderita dengan abses peritonsil sebanyak 17 orang, abses submandibula sebanyak 17 orang, abses parafaring 1 orang dan 1 orang menderita abses retrofaring dengan mengalami komplikasi sampai meninggal dunia. Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi rongga leher dalam adalah merupakan tantangan dan kesulitan tersendiri, mengingat kompleksifitas dan dalamnya lokasi dari regio ini. Infeksi ini meninggalkan suatu masalah kesehatan penting dengan resiko angka kejadian dan kematian yang signifikan karena dapat melibatkan saraf, pembuluh darah, tulang dan jaringan lunak lainnya serta ruang-ruang disekitarnya 3,4. Komplikasi yang berbahaya dan sulit untuk mengatasi adalah apabila telah terjadi sepsis. Banyaknya komplikasi di masa lalu telah berhasil diturunkan dengan temuan modern di bidang mikrobiologi dan hematologi, alat diasnostik yang canggih seperti CT, MRI dan efektivitas antibiotik yang luas dan perkembangan tatalaksana intensive modern serta teknik-tenik operasi yang lebih baik 2. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka tinjauan pustaka ini membahas pemahaman mengenai anatomi ruang-ruang leher dalam, tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan penunjang yang diperlukan sehingga dapat menegakkan diagnostik lebih tepat dan akurat serta penatalaksanaan yang lebih optimal. 2

3 ANATOMI FASIA DAN SPASIA Secara deskriptif leher dibagi menjadi tiga regio besar yang masing-masing dapat dibagi lagi menjadi beberapa subdivisi 4,5,6 : 1. Regio anterior terletak antara kedua m. Sternokleidomastoideus A. Ruang suprahioid terbagi menjadi daerah submental dan submaksila ( bersama-sama disebut daerah submandibula) B. Ruang infrahioid terbagi menjadi daerah superfisial, laringotrakea, tiroid, servikal, esofageal dan paravertebra 2. Regio lateral sebagian besar terletak di bawah m. Sternokleidomastoideus A. daerah karotis B. daerah supraclavikula 3. Regio posterior terletak di antara kedua m. Trapezeus Fasia pada leher terbagi atas dua fasia utama yaitu 4,5,6 : 1. Fasial servikal superficial Merupakan jaringan subkutan yang menyelubungi leher di bagian superfisial di bawah kulit. Terbentang dari kepala, leher, dada, bahu dan ketiak. Tersusun dari otot platisma, saraf-saraf kutaneus, pembuluh darah, kelenjar limfatik, dan lemak 2. Fasia servikal profunda, terbagi atas beberapa lapisan yaitu : Lapisan selubung (Superficial deep cervical fascia, investing Fascia ) Fasia ini membungkus m. Sternokleidomastoideus, m. Trapezeus, kelenjar parotis, kelenjar submandibula dan otot-otot pengunyah. Lapisan tengah (Middle deep cervical fascia, viseral fascia ) Lapisan ini dibagi menjadi dua yaitu otot dan visceral. Bagian otot akan menyelubungi otot-otot infrahioid ( sternohioid, sternotiroid, tirohioid, omohioid). Sedangkan bagian visceral akan menyelubungi m. Konstriktor faring dan esofagus untuk membentuk fasia bukofaringeal dan dinding depan ruang retrofaring. Lapisan ini juga menyelubungi laring, trakea dan kelenjar tiroid. Kedua lapisan ini akan membentuk carotid sheath/ selubung karotis. Lapisan dalam (Deep leyer of the deep cervical fascia, prevertebra fascia ) Lapisan ini dibagi menjadi dua yaitu prevertebral dan alaris. Fasia prevertebralis terletak tepat di depan korpus vertebra dari basis cranii sampai 3

4 dengan koksigeus dan sampai processus transversa di bagian lateral. Sedangkan fasia alaris terletak antara prevertebralis dan lapisan viseral dari lapisan tengah fasia servikalis profunda. Carotid Sheath, terbentuk oleh kombinasi dari ketiga lapisan luar, tengah dan dalam Gambar penampang sagital spasia leher dalam 2,5 Berdasarkan fasia-fasia leher, maka terbentuk spasia leher yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Spasia yang terletak di sepanjang leher Spasia retrofaring (retroviseral, retroesofageal, viseral posterior) Spasia bahaya Spasia prevertebra Spasia vaskular viseral 4

5 2. Spasia yang terbatas di atas os. Hioid Spasia parafaring ( pharyngomaxillary, lateral pharyngeal, peripharyngeal) Spasia submandibula dan submental Spasia parotis Spasia masticator Spasia peritonsil Spasia temporal 3. Spasia yang terbatas di bawah os. Hioid Spasia pretrakea Spasia suprasternal 1. Spasia Retrofaring Spasia ini terletak antara dinding posterior faring ( lapisan viseral dari fasia servikal profunda) dan fasia alaris. Spasia ini terbentang antara basis cranii sampai memasuki mediastinum setinggi bifurkasio trakea. Sebelah lateral berbatasan dengan carotid sheath. Spasia ini banyak mengandung kelenjar limfonodi ( nodus Rouviere ) serta menerima aliran limfe dari kavum nasi, sinus paranasal, nasofaring dan palatum molle. Sejumlah besar limfonodi didapatkan pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dan mengalami regresi setelah dewasa. Apabila terjadi infeksi pada fasia ini dapat mengalami penyebaran ke dinding posterior melalui fasia alaris, danger space dan fasia prevertebra. Penyebaran inferior ke mediastinum menyebabkan mediastinitis. Penyebaran ke lateral dapat menyebabkan perdarahan hebat jika meluas ke pembuluh darah besar leher. 2. Spasia Bahaya (Danger Space) Spasia ini terletak antara fasia alaris di anterior dan fasia prevertebralis di posterior. Spasia ini terbentang dari basis cranii sampai mediastinum bagian posterior dan diafragma. Daerah ini resisten terhadap penjalaran infeksi. Fasia alaris dan prevertebralis bersatu setinggi processus transversus membatasi spasia ini di sebelah lateral. 3. Spasia prevertebra 5

6 Terletak antara fasia prevertebra dan korpus vertebra dari basis kranii sampai os. Koksigeus. 4. Spasia Vaskuler Viseral Merupakan spasia yang terletak di dalam carotid sheath, yang di dalamnya terdapat arteri carotis, vena jugularis, nervus vagus dan saraf simpatis postganglioner. Meluas dari dasar tengkorak ke ruang servikal visera.tiga lapisan dari fasia servikalis profunda membungkus carotid sheath. Infeksi pada spasia parafaring dapat menyebar secara tidak langsung ke spasia ini, sehingga menyebabkan terjadi trombophlebitis vena jugularis dan terjadi ruptur arteri karotis. 5. Spasia Parafaring Merupakan ruang berbentuk piramidal terbalik. Terletak dari basis kranii sampai pada tepi atas cornu mayus os. hioid. Batas medial adalah fasia viseral dari lapisan tengah fasia servikalis profunda yang membungkus m.konstriktor faringeus. Batas lateral fasia servikalis profunda lapisan superfisialis yang menutup mandibula, m.pterigoid internal dan glandula parotis. Batas posterior dibentuk oleh fasia prevertebra. Batas anterior adalah fasia interpterigoid dan raphe pterigomandibula. Spasi ini dibagi menjadi dua bagian oleh processus styloid yaitu prestyloid yang berisi a. Maksilaris interna, lemak, n. Alveolaris inferior, n. Lingualis dan sebagian lobus parotis. Arti klinis posisi ini adalah apabila terjadi abses di bagian anterior akan terdapat pendorongan tonsil ke medial tanpa tanda-tanda radang di tonsil dan dapat terjadi trismus oleh karena peradangan pada m. Pterigoideus medialis. Sedangkan bagian posterior disebut poststyloid yang berisi carotid sheath, N IX, X, XI, XII, saraf simpatis dan limfonodi. Bila terjadi abses pada daerah ini maka akan menimbulkan iritasi pada selubungnya yang selanjutnya akan menyebabkan perdarahan masif, trombosis vena jugularis serta sepsis. Spasia ini ada hubungan dengan spasia retrofaring di posteromedial dan dengan spasia mascinator di lateral serat terlibat secara langsung pada penyebaran abses peritonsil. 6. Spasia Submandibularis Spasia ini dibatasi sebelah inferior oleh lapisan superfisial fasia servikalis profunda yang terbentang dari os. Hioid sampai mandibula. Sebelah lateral adalah 6

7 korpus mandibula dan superior adalah mukosa dasar mulut serta bagian posterior adalah spasia parafaring. Dibagi menjadi dua bagian oleh m.milohioid yaitu : a. Spasia sublingual, di sebelah superior. Berisi kelenjar sublingual, N XII, duktus Wharton b. Spasia submandibula, terbagi lagi oleh m. Digastrikus venter anterior menjadi dua bagian yaitu bagian tengah ( spasia submental) dan dua bagian lateral ( spasia submaksila) 7. Spasia Suprasternal Spasia ini terbentuk oleh lapisan superfisial fasia servikalis profunda dibagian depan leher dan melekat pada manubrium 8. Spasia Pretrakeal/ viseral anterior Spasia ini ditutupi oleh bagian viseral dari lapisan tengah fasia servikalis profunda. Terletak pada bagian anterior dari trakea mulai dari kartilago tiroid ke mediastinum superior setinggi vertebra thorakalis IV, dekat arkus aorta. Spasia ini berisi muskulus infrahioid ( strap muscle) 9. Spasia Peritonsil Spasia ini dibatasi tonsil di sebelah medial dan m. Konstriktor superior di sebelah lateral. Pilar anterior dan posterior tonsil juga membatasi spasia ini. Sehingga jika terjadi abses peritonsil merupakan kelanjutan infeksi dari tonsil. Penyebaran infeksi dari spasia ini dapat mengenai spasia parafaring. 10. Spasia Parotis Spasia ini dibungkus oleh lapisan superfisial fasia servikalis profunda namun fasia ini tidak membungkus sempurna sehingga spasia ini dapat berhubungan dengan spasia parafaring. Spasia parotis dilewati a. Karotis eksterna, v. Fasial posterior dan n. Fasialis. 11. Spasia Masticator Spasia masticator terdiri dari m. Maseter, pterigoid, korpus dan ramus mandibula, tendo temporalis, a. dan n. Alveolaris inferior. Spasia ini terletak di sebelah anterior dan lateral dari spasia parafaring dan sebelah inferior spasia temporal. 7

8 Spasia ini dikelilingi oleh os sphenoid, bagian posterior mandibula dan arkus zygomatikus. Infeksi di spasia ini dapat menyebar ke spasia parafaring, parotis dan temporal. 12. Spasia Temporal Spasia ini terletak di antara fasia temporalis di sebelah lateral dan periosteum tulang di sebelah medial. Muskulus temporalis membagi spasia ini menjadi dua bagian yaitu superfisial dan profunda. Spasia ini berisi arteri, vena dan nervus maksilaris interna Penampang axial spasia leher 5,6 8

9 ETIOLOGI Secara garis besar penyebab infeksi rongga leher dalam antara lain 3,4,5, : Infeksi tonsillar dan pharingeal, menyebabkan abses peritonsil, parafaring Infeksi gigi, operasi gigi dan mulut, menyebabkan abses submandibula, parafaring Infeksi atau obstruksi kelenjar saliva, menyebabkan abses submandibula parafaring Infeksi saluran nafas atas dan tonsil paling sering menyebabkan infeksi leher dalam pada anak-anak Trauma rongga mulut dan faring (termasuk luka tembak, tertusuk benda tajam seperti pinsil, duri dan lainnya), trauma oleh prosedur esofagoskopi atau bronkoskopi, menyebabkan abses retrofaring, parafaring Intravenous drug abuse Mastoiditis dgn perluasan ke petrosus dan Bezold abses, dapat menyebar ke ruang parafaring Dan sebanyak 20% tidak diketahui asal sumbernya Faktor resiko terjadinya infeksi leher dalam dapat terjadi pada pasien dengan kondisi immunosupresan seperti pada inveksi HIV, kemoterapi, obat immunosuperesif untuk transplantasi. Secara mikrobiologi kuman penyebab infeksi rongga leher dalam merupakan gabungan kuman anaerob dan aerob, dimana predominan berasal dari flora rongga mulut. Mungkin juga ditemukan kuman gram positif dan gram negatif dalam kultur. Golongan streptococcus, yang dominan adalah Streptococcus viridans, β-hemolytic streptococcal. Bakteri aerob yang lain seperti golongan staphylococcus, Kleibsella pneumonia, Haemophilus influenzae, Neissera, Pseudomonas, Dephtheroid. 5,7,8 Kebanyakan penyebab odontogenik disebabkan oleh bakteri anaero, seperti Fusobacterium nucleatum, Bacteroides melaninogenicus, Bacteroides oralis, Spirochaeta, Peptostreptococcus dan lain sebagainya. Secara klinis kecurigaan keterlibatan bakteri anaerob apabila terdapat adanya nanah yang berbau busuk dan adanya krepitasi. Peningkatan organisme penghasil b-laktamase menyebabkan pemilihan antibiotik yang lebih kompeten yang dapat menghancurkan b laktamase 5,7. Studi retrospektif pada pasien dengan abses leher dalam ditemukan kuman patogen 9

10 pada kultur yang paling banyak adalah Streptococcus viridans (39%), Staphylococcus epidermidis (22%) dan Staphylococcus aureus (22%). 7,9 Tabel bakteriologi abses leher dalam 5 PATOFISIOLOGI Infeksi rongga leher dalam dapat terjadi dari bermacam-macam penyebab. Apapun pencetusnya, perkembangan menjadi proses infeksi rongga leher terjadi dari satu dari beberapa jalur seperti 2,5,6 : Penyebaran infeksi dapat berasal dari rongga mulut, wajah, atau superfisial sampai dengan rongga leher dalam melalui jalur sistem limfatik Limfadenopati mungkin menyebabkan supurasi dan akhirnya menyebabkan terbentuknya fokal abses Infeksi dapat tersebar luas sepanjang rongga leher dalam melalui jalur hubungan atar rongga Infeksi langsung yang mungkin diakibatkan oleh trauma penetrasi. Melalui patofisiologi tersebut maka menimbulkan tanda dan gejala klinik dari terbentuknya abses rongga leher dalam yang disebabkan oleh : Efek massa jaringan inflamasi yang dikelilingi oleh struktur-struktur leher Keterlibatan secara langsung struktur disekitarnya dengan proses infeksi itu sendiri 10

11 Pola alur penyebaran infeksi melalui spasia-spasia leher dalam 5 Berdasarkan lokasi spasia maka abses leher dalam dapat berupa 4,5,6, : 1. Abses Peritonsil Abses peritonsil ( quinsy abscess ) merupakan abses akut di dalam jaringan peritonsil. Abses peritonsil merupakan kelanjutan dari infeksi tonsila palatina yang berlanjut menjadi selulitis di daerah tonsila meluas sampai palatum mole. Kemudian terbentuk abses diantara kapsul tonsil dengan dinding faring lateral. Pada penjelasan lain dikatakan abses peritonsil terbentuk dari kelompok kelenjar di fossa supratonsil yang terinfeksi. Kelenjar ini dikenal sebagai kelenjar Weber. Infeksi gigi dapat pula merupakan faktor predisposisi infeksi peritonsil. Biasanya lebih banyak terjadi pada dewasa, jarang terjadi pada anak-anak. Bakteri penyebab hampir sama dengan tonsilitis, yaitu bakteri aerob dan anaerob. Bakteri aerob seperti Streptococcus, M. Catarrhalis, H. influenzai, Staphylococcus, anaerob seperti : Bacteroides, Peptocci, Fusobacteria. Gejala klinik adalah odinofagia, demam, otalgia, disfagia, mulut berbau, pembengkakan leher dan nyeri, perubahan suara ( hot potato voice), badan lemah. Pemeriksaan klinik yang ditemukan adalah febris, takikardi, dehidrasi, trismus, drolling, limfadenitis servikal pada segitiga anterior leher, pembengkakan tonsil dan palatum mole unilateral, fluktuasi, eritema dan eksudat tonsil, pergeseran uvula ke medial,. Nyeri adalah faktor predominan pada abses peritonsil dan terjadi bersama dengan trismus dan odinofagia. Hal ini terjadi karena perluasan peradangan ke dalam otot-otot faring. Diketahui bahwa batas lateral adalah pharyngomaxillary space dan terjadi inflamasi otot pterigoideus medial. Odinofagia disebabkan oleh inflamasi otot konstriktor faring superior yang membentuk dinding lateral tonsil. Karena beratnya nyeri sehingga penderita takut untuk menelan, juga untuk menelan air liurnya sehingga menyebabkan drolling serta intake oral yang kurang sehingga penderita dalam kondisi dehidrasi dan lemah. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan leukositosis. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara lain X foto servikal lateral, CT Scan servikal dengan hasil adanya akumulasi cairan hipodens dan penyengatan pada tepinya. Ultrasonografi intraoral juga dapat dilakukan untuk mengetahui abses 11

12 peritonsil. Metode ini mempunnyai sensitifitas 95,2% dan spesifitas 78,5% serta lebih cepat dan efektif. Untuk mengetahui komplikasi ke paru-paru dapat dilakukan X foto Thorak. Aspirasi dengan jarum dapat dilakukan untuk mengetahui apakah telah terbentuk abses. 11 Komplikasi yang menyebabkan ancaman jiwa seperti obstruksi jalan nafas, ruptur spontan dengan pneumonitis aspirasi dan abses parafaring dengan trombosis vena jugularis interna. Bila telah terjadi perluasan infeksi melalui sinus cavernosus dengan trombosis retrograd vena jugularis pada leher dapat menembus dasar tengkorak, mengakibatkan trombus sinus kavernosus, radang selaput otak dan abses otak. Penatalaksanaan pada abses peritonsil antara lain aspirasi jarum, incisi dan drainase, antibiotik intravena dan tonsilektomi. Pertama yang perlu diperhatikan adalah jalan nafas. Indikasi rawat inap disesuaikan dengan kondisi umum pasien. Selama rawat inap perlu pengawasan balance cairan dan diet lunak atau cair TKTP. Kemudian diberikan antipiretik, analgetik dan antibiotik sesuai hasil kultur. Pemilihan antibiotik untuk abses peritonsil sangat bervariasi, dari penisilin hingga obat-abatan dengan aktivitas luas gram positif dan negatif serta kuman anaerob. Penggunaan antibiotik spektrum luas dimaksudkan karena terjadi resistensi bakteri, terutama ditemukannya organisme penghasil β laktamase. Pilihan antibiotik dapat digunakan golongan penicillin, atau jika alergi dapat diganti dengan eritromicin, selain itu juga dapat dipakai klindamicin. Sehingga seyogyanya pemilihan antibiotik yang lebih stabil terhadap penisilinase dan efektif terhadap kuman anaerob serta pemberiannya secara intravena. Bila masih didapatkan trismus, sebaiknya diberikan antibiotik dan analgetik terlebih dahulu kemudian dapat dilanjutkan dengan incisi dan drainase segera setelah trismus berkurang. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis tinggi dan obat simtomatik. 12

13 Tindakan aspirasi jarum dapat dilakukan sebagai diagnostik dan terapeutik. Hasil pus yang didapat kemudian dilakukan pemeriksaan kultur kuman dan sensitivitas bakteri. Setelah tes aspirasi menunjukan hasil yang positif maka dapat dilakukan insisi lebar untuuk drainase abses. Insisi dan drainase dapat dilakukan dengan anestesi lokal dengan topikal spray atau infiltrasi. Insisi menggunakan pisau tonsil no 12 atau 11 untuk mencegah penetrasi lebih dalam melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fosa tonsilaris atau titik paling menonjol ( punctum maksimum) atau pertengahan garis antara dasar uvula dan gigi mlar tiga atas. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut direntangkan. Pengisapan pus segera dilakukan untuk menampung pus yang keluar. Aspirasi jarum ini dilakukan dengan jarum no 18, spuit 10 ml, pada punctum maksimum atau beberapa titik yang berbeda, satu di sebelah lateral pole atas tonsil sebagai titik awal dan aspirasi tambahan di inferior titik awal. Tindakan ini dilakukan secara lokal yang sebelumnya diberikan anestesi lokal secara infiltrasi atau spray. Tindakan aspirasi jarum mempunyai beberapa keuntungan yaitu antara lain tanpa resiko aspirasi serta tekniknya lebih mudah pada pasien dengan trismus. Dari tindakan aspirasi jarum tiga tempat ataupun tindakan insisi tidak berbeda bermakna dalam tingkat keberhasilan penanganan abses peritonsil. 11 Tindakan aspirasi dan insisi-drainase pada abses peritonsil akan meredakan keluhan nyeri pasien. Jika telah terjadi penyebaran ke parafaring, maka diperlukan insisi eksternal. 5,6,11 Gambar posisi aspirasi jarum dan insisi drainase 2,11 Tonsilektomi bukan merupakan indikasi mutlak pada setiap abses peritonsil, namun dilakukan pada abses peritonsil yang berulang. Tonsilektomi a choud merupakan tonsilektomi yang dilakukan segera bersama-sama dengan drainase. Keuntungannya adalah memberikan penyembuhan yang lebih cepat, menjamin 13

14 drainase yang sempurna dan menyingkirkan kebutuhan akan tonsilektomi berencana yang dilakukan beberapa minggu kemudian, dimana saat itu telah terjadi fibrosis dan jaringan parut disamping pasien akan mengalami odinofagi yang kedua kali. Tonsilektomi ini memberikan resiko abses dapat pecah spontan selama intubasi dan dapat diikuti inhalasi pus serta resiko perdarahan yang lebih banyak. Sehingga prosedur ini lebih berbahaya daripada tonsilektomi interval. Tonsilektomi a tide merupakan prosedur tonsilektomi setelah 3-4 hari pasca drainase, metode ini sering dilakukan. Sedangkan tonsilektomi a froid dilakukan tonsilektomi 2-3 minggu setelah drainase. Setelah tanda dan gejala klinis mereda dan pasein dapat makan minum lewat oral, maka dapat dilanjutkan dengan rawat jalan dengan pemberian antibiotik peroral. 1,5,6 2. Abses Retrofaring Abses retrofaring adalah timbunan nanah pada ruang retrofaring. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, lebih sering terjadi anak-anak antar usia 3 bulan sampai 5 tahun karena masih ditemukan kelenjar limfe retrofaring sedangkan pada dewasa kelenjar ini sudah mengalami atrofi. Abses retrofaring pada anak biasanya merupakan komplikasi dari infeksi saluran nafas atas. Pada dewasa biasanya disebabkan oleh adanya trauma penetrasi benda asing misalnya duri ikan atau tindakan medis seperti anestesi lokal (jarum tidak steril), intubasi endotrakea dan tindakan endoskopi. Namun juga bisa merupakan komplikasi dari spondilitis TB serta dipengaruhi keadaan penurunan imunitas. Bakteri yang menyebabkan infeksi ini biasanya organisme aerob dan anaerob, yang paling sering adalah Streptococcus β hemolitikus grup A, penyebab lainnya bisa Staphylococcus aureus, Haemophylus parainfluensa. Anaerob seperti Bacteroides dan Veilonella. 9 Gejala klinik yang timbul antara lain demam, pada bayi didapatkan tidak mau minum ASI dan anak rewel, odinofagia, disfagia, pembengkakan leher dan nyeri, lemah dan dehidrasi karena intake yang kurang, riwayat ISPA atau trauma. Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi kurang baik, terdapat kekakuan leher, leher sedikit hiperekstensi disertai nyeri pada penekanan. Jika pembengkakan dinding posterior faring semakin besar dapat timbul perubahan suara, hipersalivasi, sendi leher menjadi kaku dan kesukaran bernafas, penderita akan lebih nyaman posisi berbaring 14

15 dengan leher ekstensi Keadaan diatas menjadi tanda kegawatan yang harus segera ditangani. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit dan irritable. Inspeksi tampak pergerakan leher yang terbatas dengan limfadenopati servikal. Pada pemeriksaan tenggorok terlihat dinding faring menonjol ( bombans) dan tampak berwarna merah, dengan palpasi akan didapatkan fluktuasi positif, didapatkan pembengkakan limfonodi leher servikal, bisa unilateral atau bilatral. Bila terjadi ruptur spontan dari abses tersebut akan terjadi sesak nafas berat oleh karena aspirasi pus yang dapat menimbulkan pneumonia aspirasi, abses paru dan sepsis. Pemeriksaan penunjang laboratorium, biasanya terdapat leukositosis. Pemeriksaan radiologi antara lain X foto servikal lateral, CT Scan, MRI. Pada x foto servikal lateral akan didapatkan gambaran pelebaran ruang retrofaring. Pembengkakan jaringan lunak pada regio prevertebra dengan penebalan lebih dari 7 mm pada servikal II dan lebih dari 14 mm pada servikal VI pada anak dan lebih dari 22mm pada dewasa. Sedangkan CT Scan membantu dalam menentukan lokasi abses dan keterlibatan struktur pembuluh darah leher dan struktur di sekitarnya, digunakan sebagai panduan dalam insisi drainase. MRI lebih akurat dalam menggambarkan jaringan lunak daripada CT Scan, namun perlunya pertimbangan biaya dalam pemeriksaan ini, dimana lebih mahal daripada CT Scan. Arteriografi dapat dilakukan apabila curiga penyebaran infeksi sampai ke pembuluh darah. 5 Komplikasi yang dapat terjadi antara lain : Pendesakan massa abses sehingga terjadi obstruksi jalan nafas Pecah spontan sehingga dapat terjadi aspirasi atau pneumonia 15

16 Ke lateral : carotid sheath menyebabkan komplikasi vaskuler, seperti trombosis vena juguler. Bila terjadi ruptur arteri carotis, ditandai dengan ekimosis daerah leher, diikuti keluarnya darah dari hidung, mulut dan telinga Ke posterior menyebabkan nyeri tulang servikal, osteomilitis, erosi ligamen yang dapat menyebabkan subluxasi dan trauma saraf. Ke inferior menyebabkan terjadi mediastinitis, perikarditis, perikardial tamponade, broncial erosi, abses mediastinum, pleuritis, pyopneumothorax, empyema. Mediastinitis merupakan komplikasi terbanyak menyebabkan kematian (50%) Sepsis Penatalaksanaan penderita dengan abses retrofaring adalah : Rawat inap. Monitoring ABC (airway, breathing, circulating) Pemberian antibiotik parenteral secara adekuat sesuai hasil kultur dan sensitivitas. Diberikan antibiotik secara empiris dengan spektrum luas. Pilihan antibiotik : klindamicin, eritromisin, cefazolin, gentamicin, oxaciclin. 9 McClay mengemukakan penanganan abses retrofaring pada anak yang tidak memungkinkan dilakukan terapi bedah, dapat diberikan terapi antibiotik intravena secara empirik (klindamisin dan cefuroxime), didapatkan rata-rata lama rawat jalan 5 hari dengan kisaran 2 8 hari dan perbaikan gejala klinis setelah 48 jam terapi. 9 Aspirasi abses sebagai penegakan diagnostik Intervensi bedah : insisi dan drainase intraoral. Insisi vertikal dilakukan pada titik dimana terdapat pembengkakan yang paling menonjol secara transoral atau eksternal pada posisi trendelenberg dan kepala ekstensi untuk mencegah terjadi aspirasi, selanjutnya insisi diperlebar dengan hemostat. Insisi bisa dilakukan di kamar tindakan dengan anestesi lokal, kepala menggantung ( hiperekstensi ) dengan laringoskopi mackintosch. Setelah insisi segera dilakukan penghisapan pus. Pada absese retrofaring yang kronik umumnya dilakukan insisi eksternal kemudian diberikan terapi spesifik dengan tuberkulostik. 16

17 Gambar insisi drainase abses intraoral 1 Pada abses yang mengalami penyebaran yang luas dapat dilakukan lewat pendekatan transoral dan external. Terutama pada abses di daerah parafaring, dibuat insisi di batas anterior m. Sternocleidomastoideus dengan menyingkirkan carotid sheath, sehingga dapat mengevakuasi pus Jika telah melibatkan mediastinum, maka perlu dilakukan insisi dan drainase terbuka, atau jika perlu dilakukan thoracotomy. Pengawasan post operasi sebaiknya di ICU untuk monitoring jalan nafas. Jika diperlukan intubasi maka pemasangan harus hati-hati, atau dengan fiberoptic. Jika terdapat obstruksi jalan nafas, dipersiapkan krikotiroidotomi atau trakeostomi. Pemberian diet pada awal post tindakan sebaiknya dilakukan parenteral kemudian bertahap menjadi peroral mulai dari diet cair sampai padat. 9,13,14 3. Abses Parafaring Abses parafaring dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari tonsil, faring, gigi, mastoid dan ruang potensial lainnya melalui pembuluh limfe, pembuluh darah dan perkontinuitatum. Infeksi dapat menyebar dari anterior ke posterior, dengan perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis v. Jugularis atau mediastinitis. Infeksi dari bagian posterior dapat meluas ke atas sepanjang pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial atau erosi a. Karotis interna. 10 Pada abses parafaring pada umumnya didapatkan spektrum kuman yang cukup luas yang sebagian besar merupakan campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman aerob meliputi kelompok gram positif yaitu Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus dan kuman gram negatif yaitu Kliebsella sp., E. coli, Haemophyllus dan 17

18 Pseudomonas aeruginosa. Kuman anaerob seperti Peptostreptococcus, Bacteroides, dan Fusobacter. 7 Gambaran klinik pada abses parafaring adalah demam, anoreksia, sakit kepala, otalgia, odinofagia, disfagia serta leher kaku. Terdapat trias tanda-tanda abses parafaring adalah (1) trismus, karena iritasi pada m. Pterigoideus medialis, (2) pembengkakan dan indurasi di belakang angulus mandibula atau di ujung bawah glandula parotis, (3) prolaps tonsil dan fosa tonsilaris karena terdesak ke medial. 5,6,10 Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. Pemeriksaan radiologi yang diperlukan adalah X foto servikal AP dan lateral, ditemukan pembengkakan jaringan lunak lateral servikal, atau cairan, terdapat udara dalan jaringan subkutan, deviasi trakea. Pemeriksaan X foto thorax untuk pementauan adanya komplikasi di paru-paru. Pemeriksaan CT Scan lebih akurat untuk menentukan lokasi, besarnya abses dan penyebaran ke struktur sekitarnya. 5 Gambar ct scan dengan kontras pada abses parafaring dengan lesi hipodens dan penyengatan di tepi. 2 Komplikasi abses parafaring antara lain dapat menyebar ke retrofaring yang akhirnya ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis, abses paru, komplikasi vaskular, aspirasi pneumonia. Komplikasi yang menyebabkan kematian adalah perdarahan dan septikkemia. Penatalaksanaan pada kasus abses parafaring pada umumnya dilakukan rawat inap untuk memperbaiki keadaan umum dan melakukan insisi intra oral melalui m. Konstriktor faring superior atau transfaringeal yang dilakukan bila pembengkakan jelas ke arah faring dan teraba fluktuasinya. Penderita tidur atau duduk, mulut dibuka dan insisi dibuat vertikal lebih kurang 2 cm pada dinding lateral faring ( tempat fluktuasi yang jelas ). Insisi metode Mosher perlu dilakukan sebagai cara kedua apabila didapatkan pembengkakan di belakang angulus mandibula dengan cara insisi dilakukan mulai lebih kurang 1,25 cm di belakang angulus mandibula kemudian irisan 18

19 dilanjutkan lebih kurang 4 cm sejajar tepi bawah mandibula, bila irisan dianggap kurang lebar untuk mengeluarkan pus, maka dibuat irisan kedua yang tegak lurus dengan irisan yang pertama sepanjang tepi anterior m. Sternokleidomastoideus. Bentuknya insisi T dilakukan dengan hati-hati karena berhadapan dengan pembuluh darah. Kemudian dipasang drain selama 5-7 hari sampai pus benar-benar bersih. Dengan irisan Mosher ini pus yang terletak pada spasium parafaring posterior dapat dikeluarkan. Selanjutnya diikuti dengan pemberian antibiotik intravena sesuai kultur. Menurut pedoman penggunaan antibiotik di RS dr Sutomo pada penderita dapat diberiakn penisillin G kristal atau geentamisin dikombinasi dengan metronidazol atau klindamisin. 15 Gambar. Insisi transversal dua sampai tiga jari di bawah garis mandibual dibuat anterior terhadap batas anterior m. Sternocleidomastoideus. Perluasan berbentuk huruf T seperti yang dijelaskan oleh Mosher, jikaa untuk mengidentifikasi arteri karotis Angina Ludwig Angina Ludwig/ angina ludovici adalah peradangan selulitis atau phlegmon pada ruang suprahioid dengan tanda khas pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. 1 Yang menjadi dasar pada infeksi dalam ruang sublingual adalah m. Milohioid yang keras dan kaku, sehingga resistensi terlemah yang berhubungan dengan edema adalah daerah superior dan posterior, dengan akibat penyumbatan jalan nafas. 10 Etiologi terbanyak biasanya berasal dari infeksi gigi, terutama M2 dan M3 rahang bawah. Hal ini disebabkan adanya hubungan antara akar gigi tersebut melampaui ke bagian bawah tempat insersi otot milohioid pada mandibula, yang langsung berbatasan dengan ruang submaksilaris. Abses pada akar gigi tersebut dapat menembus korteks lingualis yang relatif tipis di bawah garis insersi otot milohioid dan 19

20 menginfeksi ruang submaksilaris, kemudian dapat meluas ke ruang sublingualis. Bakteri yang terlibat adalah kombinasi bakteri aerob dan anaerob. 5,10 Dari anamnesis didapatkan odinofagi, trismus, drolling, hot potato voice, bengkak dan nyeri pada leher atas, biasanya didahului riwayat infeksi gigi rahang bawah atau riwayat penyabutan gigi dengan kebersihan gigi dan mulut yang kurang baik. Pemeriksaan fisik didapatkan demam, pembengkakan daerah submandibula seperti papan dan nyeri, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, dapat terjadi edema laring yang menyebabkan takipnea, dipsnea dan stridor yang merupakan tanda obstruksi jalan nafas, keadaan ini berjalan sangat progresif sehingga dapat menyebabkan kematian. Pada pseudo angina ludovici, dapat terjadi fluktuasi. 1 gambar CT Scan abses submandibula Komplikasi yang sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke spasia leher dalam ke ruang parafaring dan septikemia. Bakteri penyebab pada anak sering ditemukan streptococci, S.aureus dan kuman anaerob dalam kultur. Sedang pada orang dewasa tersering adalah aerobic streptoccal species dan nonstreptococcal anaerobic. Eikenella corrodens merupakan kuman pathogen deep neck infection pada penderita penyalah gunaan obat, dan sering resisten terhadap clindamycin dan metronidazol. Kuman gram negative lebih sering pada penderita diabetes, pengunaan immunosupresive, retradasi mental, dan pada pasien dengan usia tua. 16 Hasil sensitivitas antibiotik yang paling besar yaitu Amikasin, Cefipin, Cefotaksim dan Meropenem 100%, diikuti oleh cefpiron dan fosfomisin 80%, gentamisin dan khloramphenikol 60 %, Ciprofloksasin,Ampicillin dan Trimetropin 50%, Erytromisin, tetrasiklin 30%

21 Pengobatan deep neck infection biasanya diberikan antibiotik kombinasi terhadap kuman aerob dan anaerob. Atau penggunan obat yang memiliki spektrum yang luas. 16 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain x foto servikal APlateral, ct scan servikal, x foto panoramik untuk mengetahui fokal infeksi dari gigi. Gambar insisi drainase angina ludwig 1 Penatalaksanaan angina Ludwig memerlukan pengawasan jalan nafas sesering mungkin, adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas seperti dispnea, stridor harus segera dilakukan trakeostomi. Pemberian antibiotik secara agresif diperlukan sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas. Antibiotik yang dipilih merupakan spektrum luas dan juga mencangkup bakteri anaerob, diberikan intravena dengan dosis tinggi. Eksplorasi pada ruang submandibula dengan anestesi lokal atau umum pada penyakit yang berkembang menjadi abses atau tidak ada respon terhadap pengobatan konservatif. Insisi dilakukan dengan pendekatan eksternal melalui irisan pada daerah submandibula sampai menembus ruang submandibula, yaitu dilakukan di aris tengah secara horisontal setinggi os. Hioid (3-4 jari di bawah mandibula), kemudian dipasang drain. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os. Hioid sampai batas bawah dagu. Selama perawatan, penyebab fokal infeksi diatasi, sambil menunggu penyembuhan luka. Setelah dilakukan insisi ruangan abses dilakukan irigasi, debridemen dan dipasang drain agar tidak reakumulasi abses. Perawatan drain diganti lebih sering minimal dua kali sehari. 4,9,15 21

22 RINGKASAN Infeksi leher bagian dalam berkembang dalam ruang-ruang potensial leher. Pasien dengan infeksi rongga leher dalam mempunyai gejala yang penting seperti : odinofagia, demam, pembengkakan leher, lemah, dehidrasi, hipersalivasi, riwayat pengobatan gigi, infeksi saluran nafas atas, trauma rongga leher dan mulut, kesulitan bernafas, status immunosuppresan dan immunocompromised, pernah ada riwayat serangan, dan lamanya gejala Penegakan diagnosis abses leher dalam diperlukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, laboratorium dan aspirasi jarum untuk kultur dan sensitivitas kuman jika telah terbentuk abses. Laboratorium biasanya didapatkan leukositosis. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu X foto servikal AP-lateral, foto panoramik, X foto thorax untuk mengetahui komplikasi ke paru-paru, CT Scan dengan kontras, MRI, ultrasound, arteriography. Komplikasi yang dapat terjadi secara umum antara lain obstruksi jalan nafas, aspirasi dari ruptur spontan atau trauma pemasangan ET terhadap abses, komplikasi vaskular ( trombosis vena jugularis interna, erosi dan ruptur arteri karotis, gangguan neurologis, septik emboli,syok septik, osteomyelitis, komplikasi mediastinum dan paru Penatalaksanaan yang dilakukan adalah jalan nafas menjadi prioritas utama, jika terjadi kegawatan nafas maka dapat dilakukan intubasi endotrakeal, krikotirotomi atau trakeotomi. Kultur dan sensitivitas antibiotik dengan pesimen kultur dapat diperoleh dari aspirasi jarum pada lokasi abses, leher dan darah. Sebaiknya pasien dilakukan rawat inap untuk resusitasi volume dan metabolik. Pemberian antibiotik intravena sesuai hasil kultur atau secara empirik yang meliputi kuman aerob dan anaerob. Terapi bedah yang dilakukan antara lain aspirasi jarum dapat dilakukan sebagai diagnostik atau terapeutik. Insisi dan drainase dapat dilakukan jika kondisi jalan nafas stabil dengan pendekatan transservikal dan transoral dan didapatkan pus saat aspirasi jarum. 22

23 DAFTAR PUSTAKA 1. Soepardi E. A. dkk.abses Leher Dalam, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Edisi 5 FKUI : Ryan C. Cmejrek, MD. Presentation, diagnosis and management of deep neck abscess in infant. Dec [online] 3. Murray DA, MD. Deep neck infections. Mar [online] 4. Ballenger JJ. Leher, Orofaring dan Nasofaring, Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Alih Bahasa : staf ahli bagian THT RSCM-FKUI. Edisi 13. Jilid 2. Bimarupa Aksara. Jakarta 1997 : Bailey BJ. Infections of The Deep Spaces of The Neck. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3 th Edition. Philadelphia. Wolters Kluwer Company p Lee, K.J.MD. Otolaryngology and Head and Neck Surgery, Neck Space and Fascial Planes, ed.8th, United States of America. McGraw-Hill company p: Parhiscar A, Har-El G. Deep neck abscess: a retrospective review of 210 cases. Department of Otolaryngology. State Univercity of New York-Health Science Center at Broklyn USA Nov;110(11): Lalwani AK. Parapharyngeal Space Neoplasma and Deep Neck Spaces Infection. In : Lange Current Diagnosis and Tretment. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second Edition. New York. The McGraw-Hill Companies Mclay JE, MD, Murray AD, MD, Booth T, MD. Intravenous antibiotik therapy for deep neck abscesses defined by computed tomografy [online] Adams GL : Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring, Dalam : Adams L. R ; Hilger P. A. Edisi Boeis Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Terjemahan oleh Caroline Wijaya; EGC, Jakarta 1997, Shah UK. Tonsilitis and Peritonsillar Abscess, Goldsmith AJ, Talavera F, Allen CG, Meyers AD, editors (online). 23

24 12. Hibbert J. Tonsil and Adenoid Pediatric Otolaryngology. In: Scoot Brown s Otolaryngology: Kerr AG, 5 th ed London: Butterworth International editions; p Pratiwi Sutji. Komplikasi Tonsilitis Kronik dengan Abses Retrofaring. Vol 21.No3, Kumpulan Jurnal Edisi Juli-September, Evert EC, Echerverria J. Diseases of the pharyng and deep neck infection. In: Paparella MM, Shumrick DA eds, Otolaryngology. 2 nd ed. Philadelphia. WB Saunder Company : Suprodjo Dian, Surarso Bakti. Komplikasi fatal pada abses parafaring. Kumpulan naskah ilmiah kongres nasional XII PERHATI. Semarang Rahmawati Novina, Suyitno Slamet. Penanganan abses submandibula di SMFK THT RSUP dr. Kariadi Semarang tahun Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS PERHATI. Bandung

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Definisi Infeksi Leher Dalam Infeksi leher dalam merupakan infeksi leher pada ruang (potensial) diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai

Lebih terperinci

Simposium dan Workshop Emergensi di Bidang Telinga Hidung dan Tenggorok

Simposium dan Workshop Emergensi di Bidang Telinga Hidung dan Tenggorok Naskah Lengkap Simposium dan Workshop Emergensi di Bidang Telinga Hidung dan Tenggorok Pangeran Beach Hotel Padang 9 Februari 2013 Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

ABSES RETROFARING. Dr. Andrina Yunita Murni Rambe. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara

ABSES RETROFARING. Dr. Andrina Yunita Murni Rambe. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN ABSES RETROFARING Dr. Andrina Yunita Murni Rambe Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi normal tonsil palatina dan jaringan disekitarnya.(8)

Gambar 1. Anatomi normal tonsil palatina dan jaringan disekitarnya.(8) Abses Peritonsiler Beberapa tahun terakhir ini penegakan diagnosis dan penanganan pada infeksi leher dalam telah memberi tantangan kepada para ahli untuk melakukan penelitian lebih dalam. Rumitnya dan

Lebih terperinci

BAB 2 ABSES LEHER DALAM

BAB 2 ABSES LEHER DALAM BAB 1 PENDAHULUAN Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. 1 Abses leher dalam terbentuk

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi pada tonsil atau yang biasanya dikenal masyarakat amandel merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak- anak usia 5 sampai 11 tahun. Data rekam medis RSUD

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang melibatkan glandula saliva. Sebelum membahas mengenai kedua penyakit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang melibatkan glandula saliva. Sebelum membahas mengenai kedua penyakit BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Mukokel dan ranula merupakan dua contoh dari beberapa penyakit mulut yang melibatkan glandula saliva. Sebelum membahas mengenai kedua penyakit mulut tersebut, akan dibahas mengenai

Lebih terperinci

Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil. Diagnosis, Management and Complication of Peritonsil Abscess

Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil. Diagnosis, Management and Complication of Peritonsil Abscess Erna M. Marbun Tinjauan Pustaka Staf Pengajar Bagian THT Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi: Jl Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 Abstrak Abses peritonsil adalah

Lebih terperinci

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : VERA ANGRAINI

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : VERA ANGRAINI GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012-2014 Oleh : VERA ANGRAINI 120100290 FAKULTAS KEDOKTERAN UNUIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM

Lebih terperinci

PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY (SKILL LAB 4) PENANGANAN ABSES DAN PERIKORONITIS

PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY (SKILL LAB 4) PENANGANAN ABSES DAN PERIKORONITIS PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY (SKILL LAB 4) PENANGANAN ABSES DAN PERIKORONITIS JURUSAN KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN Purwokerto,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Leher Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda.

Lebih terperinci

PENILAIAN KETERAMPILAN KELAINAN PADA LEHER ( ANAMNESIS + PEMERIKSAAAN FISIK)

PENILAIAN KETERAMPILAN KELAINAN PADA LEHER ( ANAMNESIS + PEMERIKSAAAN FISIK) Nama Mahasiswa : Tanggal Pemeriksaan : PENILAIAN KETERAMPILAN KELAINAN PADA LEHER ( ANAMNESIS + PEMERIKSAAAN FISIK) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Aspek yang dinilai Membina sambung rasa, bersikap

Lebih terperinci

STASE ILMU THT LAPORAN KASUS ABSES LEHER DALAM

STASE ILMU THT LAPORAN KASUS ABSES LEHER DALAM STASE ILMU THT LAPORAN KASUS ABSES LEHER DALAM Nama : Shabrina Sasianti NIM : 2011730098 Pembimbing Rumah Sakit : Dr. Dian Nurul, Sp. THT : RSIJ Pondok Kopi PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya

Lebih terperinci

Tonsilitis. No. Documen : No. Revisi : Tgl. Terbit :

Tonsilitis. No. Documen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Pengertian Kode Penyakit SOP Peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil

Lebih terperinci

Anatomi dan fisiologi tenggorokan Anatomi Tenggorokan 8

Anatomi dan fisiologi tenggorokan Anatomi Tenggorokan 8 Anatomi dan fisiologi tenggorokan 2.3.1 Anatomi Tenggorokan 8 Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah

Lebih terperinci

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat melakukan gerakan meluncur dan rotasi pada saat mandibula berfungsi. Sendi ini dibentuk oleh kondilus mandibula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering kedelapan di seluruh dunia. Insiden penyakit ini memiliki variasi pada wilayah dan ras yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO 42 ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Ahli Madya Keperawatan ( Di Susun

Lebih terperinci

Sumber: dimodifikasi dari Wagner et al.

Sumber: dimodifikasi dari Wagner et al. Komplikasi Odontektomi Odontektomi tergolong minor surgery, namun tetap mengandung risiko. Komplikasi dapat timbul pada saat dan setelah pembedahan, akibat faktor iatrogenik. Odontektomi dengan tingkat

Lebih terperinci

FACIAL GUN SHOT WOUND IN CONFLICT AREA

FACIAL GUN SHOT WOUND IN CONFLICT AREA FACIAL GUN SHOT WOUND IN CONFLICT AREA PENDAHULUAN Penyebab tersering trauma wajah pada daerah konflik biasanya adalah luka tembak selain ledakan bom, yang ditandai dengan adanya penetrasi peluru pada

Lebih terperinci

RINCIAN KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS THT-KL. Dokter spesialis yang mengajukan : Lulusan : Tahun lulus:

RINCIAN KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS THT-KL. Dokter spesialis yang mengajukan : Lulusan : Tahun lulus: RINCIAN KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS THT-KL Dokter spesialis yang mengajukan : Lulusan : Tahun lulus: No Rincian kewenangan klinis kemampuan klinis 1 2 3 1 Benda asing di telinga 2 Perikondritis

Lebih terperinci

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL Kanker tonsil andalah indikasi keganasan pada tonsil. Penyakit tonsil dan adenoid merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi dalam masyarakat. Nyeri tenggorokan, infeksi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan seorang dokter gigi untuk mengenali anatomi normal rongga mulut, sehingga jika ditemukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Farokah, dkk Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Farokah, dkk Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tonsillitis atau yang lebih dikenal masyarakat dengan amandel sering diderita anakanak. Kejadian tersebut sering membuat ibu-ibu merasa khawatir, karena banyak berita

Lebih terperinci

FARINGITIS AKUT. Finny Fitry Yani Sub Bagian Respirologi Anak Bagian IKA RS M Djamil- FK Unand

FARINGITIS AKUT. Finny Fitry Yani Sub Bagian Respirologi Anak Bagian IKA RS M Djamil- FK Unand FARINGITIS AKUT Finny Fitry Yani Sub Bagian Respirologi Anak Bagian IKA RS M Djamil- FK Unand 1 PENDAHULUAN 2 1.DEFINISI Peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Jarang terjadi

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci

aureus, Stertococcus viridiansatau pneumococcus

aureus, Stertococcus viridiansatau pneumococcus Analisis Data No Data Etiologi Masalah 1. Data Subjektif : Gangguan sekresi saliva Nyeri Penghentian/Penurunan aliran Nyeri menelan pada rahang saliva bawah (kelenjar submandibula) Nyeri muncul saat mengunyah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Alhamdulillah, Puji Syukur penyusun panjatkan kehadiran ALLAH SWT atas terselesaikannya laporan kasus yang berjudul Abses Leher Dalam.

KATA PENGANTAR. Alhamdulillah, Puji Syukur penyusun panjatkan kehadiran ALLAH SWT atas terselesaikannya laporan kasus yang berjudul Abses Leher Dalam. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, Puji Syukur penyusun panjatkan kehadiran ALLAH SWT atas terselesaikannya laporan kasus yang berjudul Abses Leher Dalam. Laporan tutorial ini disusun

Lebih terperinci

Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam di Departemen THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012 Desember 2012

Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam di Departemen THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012 Desember 2012 Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam di Departemen THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012 Desember 2012 Mukhlis Imanto Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala

Lebih terperinci

SCLINICAL PATHWAY SMF THT RSU DAERAH Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN

SCLINICAL PATHWAY SMF THT RSU DAERAH Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN SCLINICAL PATHWAY SMF THT RSU DAERAH Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN (NAMA PENYAKIT) Nama Pasien : BB : No. RM : Jenis Kelamin : TB : Umur/Tanggal Lahir : Tgl. Masuk RS Jam : Diagnosa Masuk RS : Tonsilitis Kronis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Sekitar 53 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

Tahap-tahap penegakan diagnosis :

Tahap-tahap penegakan diagnosis : Tahap-tahap penegakan diagnosis : Pada dasarnya, penegakan diagnosis terbagi menjadi beberapa poin penting yang nantinya akan mengarahkan kita menuju suatu diagnosis yang tepat. Oleh karena itu, kita perlu

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN TONSILITIS - RUANG BAITUNNISA 1 RSI SULTAN AGUNG SEMARANG

LAPORAN PENDAHULUAN TONSILITIS - RUANG BAITUNNISA 1 RSI SULTAN AGUNG SEMARANG LAPORAN PENDAHULUAN TONSILITIS - RUANG BAITUNNISA 1 RSI SULTAN AGUNG SEMARANG Disusun Oleh : AHMAD IKHLASUL AMAL 092110004 STASE KEPERAWATAN ANAK PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

ANAMNESIS. dengan anamnesis yang benar.

ANAMNESIS. dengan anamnesis yang benar. PENDAHULUAN Gout sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu gutta (tetesan) karena dipercaya bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh luka yang jatuh tetes demi tetes ke dalam sendi. Kini, asam urat bisa

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Abses Submandibula dengan Penyulit Uremia dan Infark Miokardium Lama

Penatalaksanaan Abses Submandibula dengan Penyulit Uremia dan Infark Miokardium Lama Penatalaksanaan Abses Submandibula dengan Penyulit Uremia dan Infark Miokardium Lama Novialdi, Ade Asyari Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Abstrak Abses submandibula merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar BAB II Kepustakaan 2.1 Anatomi telinga luar Secara anatomi, telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi mengumpulkan dan menghantarkan gelombang bunyi

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Anak Preschool dengan ISPA A. Definisi Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan inflamasi kronis mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan masalah kesehatan global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan dan dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG Osteomielitis adalah inflamasi yang terjadi pada tulang dan sumsum tulang, infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi menjadi

Lebih terperinci

Abses dentogen subkutan

Abses dentogen subkutan Fonny Dahong: Abses dentogen subkutan 69 Abses dentogen subkutan Fonny Dahong Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia ABSTRACT Subcutaneous mandibular abscess

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelenjar saliva secara anatomi terdiri dari dua kelompok yaitu kelenjar mayor yang berpasang- pasangan dan kelenjar minor. Kelenjar mayor terletak di luar rongga mulut

Lebih terperinci

PROFIL ABSES SUBMANDIBULA DI BAGIAN BEDAH RS Prof. Dr. R. D. KANDO MANADO PERIODE JUNI 2009 SAMPAI JULI 2012

PROFIL ABSES SUBMANDIBULA DI BAGIAN BEDAH RS Prof. Dr. R. D. KANDO MANADO PERIODE JUNI 2009 SAMPAI JULI 2012 PROFIL ABSES SUBMANDIBULA DI BAGIAN BEDAH RS Prof. Dr. R. D. KANDO MANADO PERIODE JUNI 2009 SAMPAI JULI 2012 1 Inggrid Hesly 2 Nico Lumintang 2 Hilman Limpeleh 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Retrofaring pada Anak

Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Retrofaring pada Anak Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Retrofaring pada Anak Novialdi, Dolly Irfandy Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M.Djamil, Padang Abstrak Abses retrofaring adalah terkumpulnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 EMBRIOLOGI TONSIL Tonsil terbentuk dari lapisan endodermal pada minggu ketiga sampai dengan minggu kedelapan pada masa embriologi. Embrio manusia memiliki lima pasang kantong

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Foramen Mentale Foramen mentale adalah suatu saluran terbuka pada korpus mandibula. Melalui foramen mentale dapat keluar pembuluh darah dan saraf, yaitu arteri, vena

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informed consent 2.1.1 Definisi Informed consent Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan

Lebih terperinci

Actinomyces israelii

Actinomyces israelii Actinomyces israelii Apa yang terlintas di pikiranmu ketika melihat gambar ini????? Ngeri??jijik??penasaran?? Apapun apa yang ada dalam pikiranmu, dalam kesempatan ini akan dibahas tentang bakteri penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru, dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam dinding

Lebih terperinci

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU Penemuan PasienTB EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU 1 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis Penatalaksanaan TB meliputi: 1. Penemuan pasien (langkah pertama) 2. pengobatan yang dikelola menggunakan strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

Eva Nur Lizar, Hadjiman Yotosudarmo, dan Mukhlis Imanto Abses Parafaringeal, Submandibular dan Subtracheal dengan Komplikasi Fistula Faringokutan

Eva Nur Lizar, Hadjiman Yotosudarmo, dan Mukhlis Imanto Abses Parafaringeal, Submandibular dan Subtracheal dengan Komplikasi Fistula Faringokutan Abses Parafaringeal, Submandibular dan Subtracheal dengan Eva Nur Lizar 1, Hadjiman Yotosudarmo 2, Mukhlis Imanto 3 1 Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 2 Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Rumah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak didapatkan dan sering menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat tinggi. Pneumonia merupakan penyakit radang akut paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap tahunnya ± 40 juta

Lebih terperinci

KARSINOMA NASOFARING

KARSINOMA NASOFARING KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

PIODERMA. Dr. Sri Linuwih S Menaldi, Sp.KK(K) Dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM Jakarta

PIODERMA. Dr. Sri Linuwih S Menaldi, Sp.KK(K) Dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM Jakarta PIODERMA Dr. Sri Linuwih S Menaldi, Sp.KK(K) Dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM Jakarta DEFINISI Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS Nama Mata Kuliah/Bobot SKS Standar Kompetensi Kompetensi Dasar : Sistem Neuropsikiatri / 8 SKS : area kompetensi 5: landasan ilmiah kedokteran : menerapkan ilmu kedokteran

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

LAPORAN KASUS (CASE REPORT) LAPORAN KASUS (CASE REPORT) I. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Amelia : 15 Tahun : Perempuan : Siswa : Bumi Jawa Baru II. Anamnesa (alloanamnesa) Keluhan Utama : - Nyeri ketika Menelan

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID 2.1. Pengertian Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di Copenhagen sebagai suatu kelainan dentofasial yang disebabkan oleh obstruksi

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SENDI TEMPOROMANDIBULA. 2. Ligamen Sendi Temporomandibula. 3. Suplai Darah pada Sendi Temporomandibula

BAB 2 ANATOMI SENDI TEMPOROMANDIBULA. 2. Ligamen Sendi Temporomandibula. 3. Suplai Darah pada Sendi Temporomandibula BAB 2 ANATOMI SENDI TEMPOROMANDIBULA Sendi adalah hubungan antara dua tulang. Sendi temporomandibula merupakan artikulasi antara tulang temporal dan mandibula, dimana sendi TMJ didukung oleh 3 : 1. Prosesus

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di sub bagian Pulmologi, bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr Kariadi 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI TUBERKULOSIS DAN KEJADIANNYA Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Infeksi melalui traktus genital pasca persalinan suhu 38 C terjadi antara hari 2-10 post partum

Infeksi melalui traktus genital pasca persalinan suhu 38 C terjadi antara hari 2-10 post partum INFEKSI NIFAS PRINSIP DASAR Infeksi melalui traktus genital pasca persalinan suhu 38 C terjadi antara hari 2-10 post partum PREDISPOSISI - Malnutrisi - Anemia - Higiene jelek - Persalinan macet / bermasalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tonsil merupakan organ tubuh yang berfungsi mencegah masuknya antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang masuk akan dihancurkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di rumah sakit 3 x 24 jam. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN POST OP SELULITIS PEDIS

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN POST OP SELULITIS PEDIS LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN POST OP SELULITIS PEDIS Nama : Imam Chanafi NIM : 1311053 CI KLINIK CI INSTITUSI ( ) ( ) PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKes PATRIA HUSADA BLITAR

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Obstruksi usus atau illeus adalah gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi saluran cerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel yang tak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan lainnya, baik

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pneumonia Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi

Lebih terperinci

Ekspertise Efusi Pleura

Ekspertise Efusi Pleura Ekspertise Efusi Pleura Pembimbing : dr. Rachmat Mulyana Memet, Sp. Rad Oleh : Jayyidah Afifah 2010730055 Identitas : Tn. S/LK/70thn Marker : L Tanggal : 3 Desember 2013 Posisi : PA Jenis foto : Foto polos

Lebih terperinci

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas BAB II KLAS III MANDIBULA 2.1 Defenisi Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas dan gigi-gigi pada rahang bawah bertemu, pada waktu rahang atas dan rahang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu obat andalan untuk mengatasi masalah

Lebih terperinci

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa OSTEOMIELITIS Rachmanissa 1301-1208-0028 DEFINISI Osteomielitis adalah Infeksi pada tulang Page 2 KLASIFIKASI Hematogeous osteomyelitis (20%) bakteremia menyebar ke tulang - Akut - kronik Contigous osteomyelitis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator adalah suatu sistem alat bantu hidup yang dirancang untuk menggantikan atau menunjang fungsi pernapasan yang normal. Ventilator dapat juga berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Pharynx Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Pharynx terletak di belakang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior

Lebih terperinci