BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penilaian novel sebagai karya seni dan media sangat bergantung terhadap penerimaan audiens. Penerimaan audiens itu tidak hanya melahirkan pemaknaan yang terpaku dalam tataran kognitif. Audiens dapat melakukan tindakan membuat teks baru yang berkaitan dengan teks-teks yang dimaknainya dengan memanfaatkan media massa dan teknologi informasi. Berbagai bukti dari tindakan audiens itu antara lain: resensi dan review di surat kabar dan blog, postingan foto dan kutipan novel di media jejaring sosial, atau menerbitkan buku seperti kumpulan cerpen Perkara Mengirim Senja (Serambi Ilmu Semesta, 2012) yang berisi cerpen-cerpen hasil interpretasi bebas pembaca karya-karya Seno Gumira Ajidarma. Audiens dapat terpengaruh dan memberikan respon terhadap suatu karya, sebaliknya penulis juga dapat dipengaruhi audiens yang terpengaruh oleh karya mereka sendiri. Hubungan timbal balik ini terjadi antara Ayu Utami dan salah seorang pembacanya. Keputusan Ayu Utami untuk menikah telah menodai sikap politiknya untuk tidak menikah seperti yang ditulisnya dalam buku Si Parasit Lajang (Gagas Media 2003; KPG, 2013). Pada tahun 2011, ia akhirnya menikah secara agama dengan Erik Prasetya, pasangan hidupnya sejak tahun Tiga bulan setelah menikah, Ayu Utami bertemu seorang perempuan yang mengatakan sangat syok dengan keputusannya 1. Perempuan itu merasa ditinggalkan oleh seorang sahabat seperjalanan yang selama ini bersuara untuk dia. Ia seorang single-mother yang ditinggal pergi oleh laki-laki yang menghamilinya dan membesarkan anaknya sendiri dalam tekanan masyarakat yang berat. Buku-buku yang ditulis Ayu Utami dan pilihan hidupnya untuk tidak menikah ternyata 1 Kisah tentang perempuan tersebut terdapat dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang (Utami, 2013d: 2) dan wawancara Ayu Utami dengan Jakarta Post (21 Februari 2013). 1

2 membantu perempuan itu secara psikologis dalam mengatasi tekanan yang dihadapinya. Atas dasar itulah, Ayu Utami menulis novel otobiografi berjudul Pengakuan Eks Parasit Lajang yang selanjutnya akan disingkat sebagai Pengakuan. Pengakuan diterbitkan untuk pertama kali oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada tahun 2013 dan merupakan bagian terakhir dari trilogi Si Parasit Lajang dan Cerita Cinta Enrico (KPG, 2012). Ayu Utami menuliskan perjalanan hidupnya mulai dari masa kecil sampai dewasa, latar belakang keputusannya untuk tidak menikah, hingga akhirnya memutuskan menikah. Novel ini menjadi pertanggungjawaban Ayu Utami yang secara jujur mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan yang berkelindan dengan persoalan seksualitas dan spiritualitas seseorang. Pengakuan menjadi bukti bahwa sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari audiensnya. Ayu Utami mempersembahkan novel ini untuk ibunya dan perempuan tersebut. Novel sebagai media telah mengukuhkan fungsi media cetak dalam komunikasi massa. John Vivian (2008:41) menyebut buku sebagai media penyimpan kebudayaan manusia karena berisi gagasan dan ide-ide. Keadaan tersebut menurut Dennis McQuaill (2008:25) mengacu pada perkembangan media cetak dari berupa pamflet, buku yang berhubungan dengan politik dan agama, sampai menjadi surat kabar, tabloid, dan majalah. Dalam perkembangannya, novel (buku) tidak hanya menjadi media penyimpan budaya. Umar Junus (1981:141) menyatakan bahwa novel memberikan jawaban terhadap kegelisahan dan kesengsaraan yang dihadapi pembaca saat itu sehingga menjadi media yang komunikatif terhadap pembacanya. Terkait sebagai medium penyampai pesan, karya sastra terbuka untuk dikaji dalam bidang ilmu komunikasi. Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa karya sastra telah menjadi media yang memuat wacana tertentu, seperti cerpencerpen di majalah wanita yang dikonstruksi untuk memapankan stereotipisasi terhadap karakter perempuan dalam masyarakat (M. Bailey, 1969; B. Lugenbeel, 1975; H. Franzwa, 1974; B. Loughin, 1983; dan Kate Peirce, 1993, 1997); dan studi-studi teks yang menggunakan metode analisis wacana kritis dalam dongeng 2

3 sebagai media untuk mengonstruksi kecantikan, sifat/karakteristik, dan gender karakter perempuan (Meike Lusye Karolus, 2013), dan konstruksi dan representasi nilai feminisme dalam novel (Rohmadtika Dita, 2012 dan Tri Nustrisia Syam, 2013). Awalnya penelitian mengenai novel lebih didominasi terhadap studi teks padahal studi mengenai audiens juga penting dilakukan untuk menyelidiki makna yang diterima audiens. Salah satu penelitian mengenai pembaca novel dilakukan Janice Radway (1984) terhadap pembaca perempuan. Penelitian yang dibukukan dengan judul Reading The Romance (1984) ini menunjukkan aspek-aspek struktural dan ideologi genre romantis mempengaruhi pembaca perempuan untuk membentuk fantasi romantis di kehidupan nyata. Adapun penelitian Elizabeth Michael Melton (2010) terhadap audiens dari ketiga bentuk adaptasi novel, film, dan pertunjukan teater The Color Purple (1982) karya Alice Walker yang bertujuan mengetahui sampai sejauh mana ketiga bentuk adaptasi novel mempengaruhi kehidupan sosial audiens. Novel yang ditulis penulis perempuan kerap kali menjadi medium kritik dan perlawanan yang di satu sisi juga merupakan bagian dari budaya populer. Sebagai budaya populer, novel juga melibatkan audiens sebagai sasaran dari teks yang diproduksi. Menurut Graeme Burton (2012:12) audiens adalah mereka yang mengonsumsi produk-produk media. Dalam konteks ini, audiens memiliki andil dalam menentukan media yang dipilihnya. Pengakuan cukup mendapat respon positif dari pembaca novel Indonesia mengingat novel ini berisi kritikan terhadap nilai-nilai sosial, tema yang masih tergolong sensitif, serta penulisan yang mengusung genre baru. Novel ini telah mengalami cetakan ketiga 2 dan akan diterbitkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Conffesion of A. Peneliti tertarik untuk melihat relasi antara audiens dan teks yang dimaknainya, secara khusus pembacaan audiens terhadap teks yang bermuatan kritik terhadap nilai-nilai sosial dalam novel. Audiens dalam penelitian ini merujuk pada konsep audiens aktif dalam kajian budaya yaitu audiens sebagai pencipta makna. Menurut Chris Baker (2014:1) audiens aktif mengacu pada 2 Data diperoleh dari penerbit KPG via wawancara (14 Januari 2015, pukul WIB). 3

4 kemampuan pembaca atau pemirsa untuk menjadi pencipta makna secara aktif bukan hanya menjadi penerima pasif dari makna yang disampaikan teks. Teori resepsi audiens (audience reception theory) atau teori penerimaan audiens dipilih karena relevansinya dalam penelitian ini. Resepsi audiens dalam tradisi kajian budaya berada di garis batas antara ilmu sosial dan ilmu humaniora terutama menyangkut budaya populer. McQuail (1997:18) menyatakan studi dalam tradisi ini menekankan media sebagai alat untuk merefleksikan secara khusus konteks sosio-kultural dan proses pemberian makna terhadap produk budaya berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia. Tradisi ini menolak efek dan kekuatan teks atau pesan. Penelitian resepsi akan menunjukkan bahwa pesan dapat dibaca atau di-decode secara berbeda oleh berbagai kelompok karena perbedaan sosial dan kultural. Studi resepsi menitikberatkan pada peran pembaca dalam decoding teks media. Menurut McQuail (1997:19) analisis resepsi mampu memperlihatkan kekuatan audiens dalam melawan atau menolak teks yang dominan dan hegemonik yang ditawarkan media. Kekuatan audiens itu dapat mengarahkan mereka untuk membuat teks baru sebagai tandingan terhadap teks yang dibacanya. Keadaan ini juga memungkinkan bagi audiens novel saat ini yang tidak terbatas pada satu media saja tetapi juga bebas menggunakan media lain. McQuail (1997:1) menyatakan audiens dapat merujuk pembaca (readers), pendengar (listeners), atau penonton (viewers) terkait tipe dan konten media yang digunakannya. Tipe media pun bermacam-macam seperti film, musik, buku, majalah, televisi, radio, dan internet. Dalam studi-studi kajian budaya, analisis resepsi diaplikasikan dalam berbagai media, seperti situasi komedi (sitkom) yang memuat stereotip gender dan peran keluarga (Margaret. J. McCleland, 2007); audiens dan konten program siaran radio (Eyasu Negash Alemie, 2008); pengaruh foodstuff dalam film terhadap praktik sosial (Ece Simen Civelek, 2012); serta musik yang bermuatan kritik sosial seperti lagu-lagu Efek Rumah Kaca (Rifki Amelia Fadlina, 2012). Peneliti melihat obyek media dalam studi-studi resepsi didominasi pada tayangan di media massa terutama serial TV atau film, seperti pada penelitian 4

5 Evan Cooper (2003) mengenai resepsi audiens terhadap serial TV Will and Grace dan Laura.M.Carpenter (2009) mengenai pengaruh film-film populer terhadap praktik hidup audiens. Penelitian ini menawarkan kebaruan dengan mengaplikasikan analisis resepsi pada media novel otobiografi. Studi-studi resepsi terdahulu juga belum secara khusus memberi ruang bagi penciptaan teks baru oleh audiens. Oleh sebab itu, posisi penelitian ini tidak saja untuk mengetahui penerimaan (reception) audiens, tetapi juga produksi teks baru yang dilakukan audiens terhadap teks yang dimaknainya. Teks baru yang dihasilkan audiens dapat berbentuk formal (karya tulis) dan informal melalui media (blog). Penelitian ini mengangkat kehadiran novel otobiografi dan audiens yang membacanya. Secara umum, novel otobiografi (bildungsroman) adalah otobiografi yang bersifat fiktif sehingga membedakannya dengan novel-novel fiktif lainnya. Menurut Robert Stanton (2012:135) secara teknis, novel otobiografi berbeda dengan otobiografi karena sifatnya yang fiktif. Hal ini dikarenakan terdapat alur, konflik utama, dan penulis bebas memanipulasi fakta. Tokohtokohnya biasanya disamarkan, paling tidak namanya seperti penamaan tokoh A yang sebenarnya diambil dari nama Ayu Utami. Ada tiga argumentasi yang mendasari pemilihan karya Ayu Utami dan novel otobiografi Pengakuan dalam penelitian ini: (1) Novel Pengakuan merupakan respon Ayu Utami terhadap pembaca novelnya; (2) Ketokohan Ayu Utami yang kuat sebagai penulis perempuan yang konsisten terhadap isu-isu perempuan dan sosial-politik. Ia mendapat penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara 2008 karena karyanya dianggap memperluas batas cakrawala sastra Indonesia. Berkat novelnya Saman (KPG, 1998), Ayu Utami memenangkan lomba Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998 dan menerima penghargaan Prince Claus Award pada tahun Selain Saman, novelnya yang lain berjudul Bilangan Fu (KPG, 2008) mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award Sebelum dikenal sebagai penulis, Ayu Utami adalah seorang wartawan dan aktivis kebebasan pers di zaman Orde Baru yang ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI); (3) Novel otobiografi masih jarang dikaji baik dalam ilmu sastra maupun komunikasi. Selain novel Pengakuan, sebenarnya cukup banyak 5

6 penulis Indonesia yang menggunakan novel otobiografi sebagai media karyanya seperti Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyian Sunyi Seorang Bisu (Lentera, 1995) atau Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi (Bentang, 2005). Penulis perempuan seperti Nh.Dini dalam beberapa karyanya seperti La Barka (Pustaka Jaya, 1975) atau Istri Konsul (Pustaka Jaya, 1989) dan Fira Basuki dalam trilogi Jendela-Pintu-Atap (Grasindo, 2001) dan Rojak (Grasindo, 2004) juga memasukkan kehidupan pribadinya dalam novel. Hal yang membedakan Pengakuan dibandingkan karya-karya lainnya terutama yang ditulis penulis perempuan adalah klaim secara terbuka dari penulis (Ayu Utami) bahwa novel ini merupakan novel otobiografi dengan tema yang spesifik tentang seksualitas dan spiritualitas. Novel Pengakuan berkisah mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan. Sebagai novel yang ditulis perempuan, tidak mengherankan bila novel ini menunjukkan resistensi perempuan. Rahmat Sulhan Hardi (2014) membuktikan keberanian tokoh A melawan aturan-aturan dan mitos-mitos yang dianggapnya hanya merugikan dan menjauhkan perempuan sebagai manusia yang bebas. Salah satu perlawanannya itu ditunjukkan lewat tindakan melepaskan keperawanannya kepada lelaki yang bukan suaminya. Penelitian ini secara khusus akan meresepsi nilai-nilai sosial yang dipertanyakan kembali, terutama nilai-nilai yang dianggap merugikan perempuan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Ayu Utami dengan perspektif feminisme mendekonstruksi nilai-nilai tersebut dan menawarkan nilai-nilai alternatif yang umumnya berbeda dengan yang dianut masyarakat. Nilai-nilai tersebut secara khusus berhubungan dengan struktur pernikahan dan idealisasi keperawanan dalam masyarakat. Ayu Utami (2013d:225) mengkritik bahwa struktur pernikahan dan idealisasi keperawanan masih tidak adil, contohnya lembaga-lembaga yang ingin melakukan tes keperawanan sebagai syarat. Pernikahan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sistem sosial masyarakat, salah satunya karena mengatur reproduksi manusia. Ayu Utami menyoroti sistem pernikahan yang umumnya ada dalam masyarakat, antara lain: (1) Berbentuk hierarki yang menempatkan suami lebih tinggi dari istri (Utami, 6

7 2013d:182); (2) Relasi itu umumnya lahir dari proses obyektivikasi antara lakilaki dan perempuan yang menyebabkan ketidaksetaraan dan kebergantungan (Utami, 2013d:259); (3) Pernikahan sebagai keharusan sehingga apabila manusia tidak bergabung di dalamnya, maka ia akan dikucilkan (Utami, 2013d:181). Hal ini kemudian menjadi dasar dari problem label perawan tua dan bujang lapuk. Pengaruh budaya patriarki yang menempatkan laki-laki lebih utama daripada perempuan menyebabkan beban sosial itu lebih berat dialami perempuan daripada laki-laki. Ayu Utami melalui tokoh A melawan nilai-nilai tersebut dengan menawarkan nilai-nilai alternatif, antara lain: (1) Menolak nilai yang menempatkan laki-laki lebih utama daripada perempuan (Utami, 2013d:257); (2) Tokoh A melawan konsep keperawanan yang menempatkan perempuan harus perawan sebelum menikah. Nilai itu dianggap tidak adil karena jika seorang perempuan tidak perawan maka ia dianggap tidak berharga. Perlawanan itu dilakukan A dengan cara melepaskan keperawanannya dengan sadar di usia 20 tahun (Utami, 2013d:35); (3) A memutuskan untuk tidak menikah sebagai tanda solidaritas terhadap perempuan yang tidak menikah dan untuk membuktikan bahwa tidak ada yang salah apabila manusia memilih untuk tidak menikah (Utami, 2013d:2). Walaupun ia akhirnya menikah, A mengajukan alternatif bentuk hubungan yang disebut relasi yang memanusiakan (Utami, 2013:259). Relasi yang memanusiakan berdiri di atas cinta kasih sehingga dapat memperlakukan perempuan dan laki-laki sebagai manusia dengan segala kemanusiaannya tanpa adanya nilai-nilai yang dilekatkan. Penelitian terdahulu mengenai novel Pengakuan belum melibatkan audiens sehingga penelitian ini akan melengkapi penelitian tersebut dengan berdiri di atas argumen bahwa suatu teks tidak akan bermakna tanpa penerimaan dari pembacanya (audiens). Untuk mendapatkan intersubyektivitas dari hasil resepsi novel, maka audiens dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Teori feminist standpoint juga diperlukan sebagai pendekatan untuk melihat perbedaan resepsi karena perbedaan gender. 7

8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, terdapat dua rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana resepsi audiens terhadap isu perkawinan dan keperawanan dalam novel otobiografi Pengakuan karya Ayu Utami? 2) Bagaimana audiens memproduksi teks baru sebagai bentuk negosiasi terhadap novel otobiografi Pengakuan karya Ayu Utami? C. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) Untuk menjelaskan penerimaan audiens terhadap isu perkawinan dan keperawanan dalam novel otobiografi Pengakuan. 2) Untuk menjelaskan negosiasi yang terjadi antara teks yang diproduksi pembaca dengan teks yang diproduksi Ayu Utami dalam novel otobiografi Pengakuan. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis: 1) Manfaat teoritis, penelitian ini membuka peluang digunakannya teori resepsi audiens dengan objek yang berbeda yaitu novel otobiografi sebagai kajian fiksi yang masih jarang diteliti. Penelitian ini juga menambah penelitian dalam bidang Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai kajian audiens dan fiksi sebagai bagian dari karya komunikasi mengingat kajian ini masih belum banyak ditemui di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan referensi dan acuan bagi para peneliti yang tertarik dengan studi audiens, khususnya novel sebagai karya komunikasi. 2) Manfaat praktis, penelitian ini dapat membantu para pelajar dalam mempelajari mengenai penerimaan audiens. Dengan mengetahui lebih 8

9 banyak lagi mengenai varian penelitian seputar audiens, pelajar akan dengan mudah mengembangkan lagi penelitian lain seputar studi media dan audiens. E. Kerangka Pemikiran Kajian mengenai novel dan audiens juga beririsan dengan bidang ilmu sastra sehingga harus memiliki posisi yang jelas sesuai dengan obyek formal ilmu komunikasi yaitu proses komunikasi yang mengarah pada perubahan wawasan. Novel dalam kajian ilmu komunikasi tidak hanya didedah dalam tataran fenomena sosial dan isu yang terdapat dalam teks tetapi juga reaksi dan peran audiens dalam memberi makna pada karya tersebut. Untuk melakukan penelitian ini, maka penulis melakukan analisis dengan menggunakan teori-teori sebagai berikut: 1. Novel dalam Konteks Budaya dan Media Populer Dalam konteks budaya populer, memahami novel sebagai karya fiksi sama seperti memahami dikotomi musik klasik dan musik dangdut. Stanton (2012:4) menyebut persoalan fiksi serius dan fiksi populer telah menciptakan pelabelan bagi karya yang bagus dan tidak bagus meskipun keduanya menawarkan kenikmatan dan pembacaan dua kali agar dapat dipahami. Perbedaan karya sastra atau fiksi serius dengan fiksi populer terletak pada konten dan proses produksinya. Ida Rochani Adi (2011:30) menyebut karya sastra lebih mementingkan nilai atau unsur-unsur seni sementara fiksi populer lebih berorientasi pada pembaca. Hal itu menunjukkan bahwa fiksi yang laku dijual-lah yang menguntungkan dan menjadi tren bagi fiksi serupa. Sayangnya, fiksi populer yang didefenisikan oleh para ahli sastra terbatas pada penjualan novel tersebut. Pendapat itu disanggah John Fiske (2011) yang melihat teks populer termasuk novel tidak terbatas pada penjualan atau ketokohan, tetapi isi pesan dalam novel itu sendiri. Fiske (2011:119) melihat kebutuhan ekonomi industri hanya akan terpenuhi jika orang-orang memilih komoditas-komoditas yang ditawarkan sebagai sumber daya yang memadai dalam budaya populer. Dengan kata lain, kekuatan hegemonik dapat diterapkan apabila orang memilih teks-teks yang dapat 9

10 mewujudkan impian itu, melawan, menghindari, atau menimbulkan kehebohan. Semuanya didapatkan apabila terjadi kontradiksi yang diderivasi dari pembaca yang berorientasi penulis. Dalam konteks budaya populer, Roland Barthes (1975; Fiske, 2011: ) membagi dua karakteristik teks yang diseleksi masyarakat untuk dijadikan budaya populer yaitu teks yang berorientasi pada pembaca dan teks yang berorientasi pada penulis. Menurutnya, teks yang berorientasi pada pembaca cenderung menjadikan pembaca yang pada dasarnya pasif untuk menerima makna-makna yang sudah dibuat. Teks berorientasi pembaca biasanya ringan dan tidak membuat pembaca berpikir keras untuk memahaminya. Kemudahan orang dalam membaca teks yang berorientasi pada pembaca menjadikannya sebagai teks yang laku dijual. Di sisi lain, teks yang berorientasi pada penulis diartikan sebagai teks yang dapat menantang pembaca untuk membuat pemahaman ulang sehingga pembaca dilibatkan dalam pengonstruksian makna. Teks yang berorientasi penulis biasanya berat dan sulit diterima oleh pembaca sehingga sedikit menarik perhatian orang. Pertarungan antara teks berorientasi pembaca dan teks yang berorientasi penulis kemudian meninggalkan celah bagi munculnya teks populer. Konsep mengenai teks populer kemudian mengalami perluasan makna. Fiske (2011:145) melihat teks populer sebagai teks perjuangan antara dorongan ketertutupan (force of closure) dan dorongan akan keterbukaan (force of openness), antara pembacaan yang berorientasi pada pembaca, homogenitas makna yang disukai, dan heterogenitas pembacaan-pembacaannya. Dengan kata lain, teks populer adalah jembatan untuk memasuki teks yang berorientasi pada penulis yang dibangun di atas teks yang berorientasi pada pembaca. 2. Pendekatan Feminisme: Perempuan dan Novel Perspektif feminisme dalam melihat fiksi populer mula-mula tercermin dalam kritikan terhadap fiksi-fiksi bergenre romantis yang dianggap sebagai mekanisme yang mereproduksi budaya patriarki. Seperti yang dikatakan Joanne 10

11 Hollows (2010:88) melalui fiksi-lah perempuan disuapi dengan fantasi mengenai cinta sejati dan oleh pembacanya diterima begitu saja. Hollows (2010: 89) melihat kemajuan dari penelitian mengenai fiksi yang awalnya terfokus pada teks kemudian dilanjutkan kepada tataran pembaca. Menurutnya, perempuan yang meneliti bidang ini tidak hanya menyelidiki dan mengungkap berbagai makna yang kompleks dan kontradiksi yang termuat dalam fiksi, tetapi mereka juga melakukan penelitian terhadap pembaca untuk mengetahui apa makna membaca fiksi bagi mereka. Di Indonesia, gagasan feminisme mencolok di masa Orde Baru yang terpengaruh atas kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang kontradiktif: di satu sisi merekonstruksi citra perempuan berdasarkan tradisi lokal dan di satu sisi membuka peluang untuk membuka wawasan dunia perempuan. Menurut Ahyar Anwar (2009:161) keadaan itu membentuk novel-novel era Orde Baru yaitu antara tahun banyak menggambarkan bagaimana perempuan memandang laki-laki, perempuan dalam sistem dunia laki-laki, dan konsepsi perbedaan gender. Pada era Reformasi, penulis-penulis perempuan menjadikan momen perubahan iklim politik dan keterbukaan ruang sosial, politik, dan kebudayaan untuk menulis tema-tema seksualitas, keperawanan, selingkuh, orgasme, lesbianisme dan biseksualitas, kekerasan dan tubuh, serta radikalitas dan isu patriarki kontemporer (Anwar, 2009: ). Novel Pengakuan yang ditulis Ayu Utami adalah bukti novel bertipe otobiografi yang tetap menggunakan isu-isu perempuan sebagai tema utama dan ditambah dengan isu spiritualitas sebagai tema baru dalam novel yang ditulis perempuan pada masa Reformasi. 3. Pernikahan dalam Teori Aliansi (Alliance Theory) Dari sudut pandang antropologi, pernikahan merupakan salah satu dari pranata yang ada dalam masyarakat. Pranata merupakan sistem norma atau aturanaturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus (Koentjaraningrat, 2009:134). Pranata ada untuk memenuhi keperluan-keperluan hidup manusia sebagai warga masyarakat. Salah satu fungsi pranata adalah untuk memenuhi 11

12 keperluan kehidupan kekerabatan yang disebut kinship atau domestic institutions yang salah satu cara pemenuhannya melalui pernikahan. Salah satu teori dalam ilmu antropologi yang mengkaji mengenai sistem kekerabatan adalah teori aliansi (alliance theory atau general theory of exchange) yang dikemukakan oleh Claude Levi-Strauss dalam bukunya Elemetary Structures of Kinship (1949). Secara singkat, teori aliansi berusaha memahami pertanyaan mendasar tentang hubungan antara individu atau apa yang membentuk masyarakat. Perkawinan aliansi merujuk pada arah saling ketergantungan yang diperlukan dari berbagai keluarga dan garis keturunannya. Teori ini didasarkan pada larangan tabu incest yaitu setiap keluarga tidak dibolehkan untuk kawin dengan anggota keluarganya sendiri. Hal ini kemudian mendorong pernikahan dengan orang di luar keluarga sendiri. Levi-Strauss (1969:39) mengemukakan bahwa larangan melakukan tabu incest menunjukkan transisi dari kekerabatan secara alamiah menuju kekerabatan secara kultural untuk menjadi suatu aliansi. Kondisi ini melahirkan bentuk perkawinan yang bersifat eksogami. Konsep pernikahan yang didasarkan dari teori aliansi merupakan gambaran umum untuk melihat konsep pernikahan yang dimaknai dalam masyarakat. Menurut Levi-Strauss (1969:45) kekerabatan didasarkan pada persekutuan antara dua keluarga yang terbentuk ketika wanita dari satu kelompok kawin dengan laki-laki diluar kelompoknya. Model pertukaran perkawinan antar kelompok sosial ini merupakan dasar terbentuknya masyarakat. Dengan kata lain, perkawinan yang menciptakan hubungan kekeluargaan semata-mata terjadi untuk melahirkan solidaritas diantara berbagai kelompok dalam masyarakat Konsep Pertukaran Perempuan (Exchange of Women) dan Keperawanan Teori aliansi menurunkan konsep pertukaran perempuan (exchange of women) yang menunjukkan perempuan dalam masyarakat diperlakukan seperti properti yang diberikan kepada laki-laki lain untuk merekatkan aliansi. Carole Pateman (1988:111) yang senada dengan Levi-Strauss menyebutkan bahwa 12

13 pernikahan atau pertukaran perempuan secara terstruktur memberikan akses seksual yang merata kepada semua laki-laki. Pertukaran ini merupakan asal usul pertukaran yang membentuk kebudayaan atau peradaban. Dengan kata lain, perempuan menjadi pengikat dalam aliansi dengan tujuan menguatkan solidaritas kelompok yaitu saat perempuan dinikahkan maka suaminya akan menjadi saudara dari saudara laki-laki pihak perempuan dan kelompoknya atau universal brother in law yang akan memperkuat ikatan di antara mereka (Levi-Strauss, 1969:45). Menurut Pateman (1988:31) dalam sistem perkawinan untuk mengikat dua orang yang dipersekutukan harus ada yang dipertukarkan, misalnya laki-laki memberikan perlindungan dan dukungan finansial yang kemudian dibayar perempuan dengan ketaatan. Konsep pertukaran perempuan melihat perempuan sebagai pengikat dan karena itu perempuan memiliki nilai, salah satunya adalah keperawanan. Pateman (1988:111) melihat ketika kebudayaan itu tercipta, perempuan tidak sekedar berperan sebagai stimulus alamiah tetapi juga menjadi tanda dari nilai sosial. Nilai perawan pada perempuan inilah yang memberikan prestise bagi laki-laki yang mendapatkannya. Ada prestise yang diterima laki-laki jika ia mendapatkan gadis yang masih perawan. Dengan kata lain, perempuan tidak lebih dari alat tukar yang diterima laki-laki. Hampir sejalan dengan konsep pertukaran perempuan, para feminis eksistensialis juga memaknai keperawanan sebagai cara pandang patriarkal dalam melihat kemurnian dan kepemilikan perempuan. Simone Beauvoir (dalam Anwar, 2009: 215) menyebut keperawanan yang tidak dapat dikembalikan seperti sedia kala membuat laki-laki menjadikan perempuan sebagai obyek dan memilikinya secara total. Dengan kata lain, keperawanan bagi laki-laki juga dipandang sebagai penaklukan terhadap perempuan. Dalam sistem pernikahan, ada nilai yang dilekatkan pada keperawanan atau idealisasi yang dibebankan kepada perempuan yang terbatas pada selaput dara. Nawal El Saadawi (2011:46) melihat idealisasi selaput dara dalam budaya patriarki adalah selaput dara yang harus berdarah pada malam pertama sebagai tanda seorang perempuan masih perawan. Jika perempuan tersebut tidak perawan, maka laki-laki akan kehilangan prestisenya dan keluarga perempuan akan menjadi 13

14 malu. Hal inilah yang dikritik Ayu Utami (2013d:33) yang menyayangkan adanya peristiwa dalam masyarakat dimana seorang perempuan yang tidak perawan dicampakkan oleh suaminya. Ada ketidakadilan dalam tugas menjaga keperawanan yang dibebankan kepada perempuan sementara laki-laki tidak dituntut hal yang sama. Selain persoalan keperawanan, perempuan yang tidak segera bergabung dalam institusi pernikahan juga mendapat hukuman yaitu label perawan tua yang dilekatkan pada perempuan-perempuan yang secara sosial dianggap terlambat untuk menikah. Ayu Utami (2013d: 180) mengkritik masyarakat yang mengasosiasikan perempuan sebagai barang yang cepat layu. Tubuh perempuan memiliki waktu reproduksi yang lebih pendek daripada laki-laki. Keadaan ini oleh masyarakat yang patriarkal justru memberikan keleluasaan bagi laki-laki untuk memiliki waktu yang lebih panjang dalam pasar perjodohan dibandingkan perempuan. Dengan kata lain, Ayu Utami menunjukkan bahwa perempuan yang dikenai label perawan tua sebetulnya adalah korban dari sistem yang tidak adil. Dalam kenyataannya, mitos perawan tua adalah trauma kolektif bagi perempuan. Novel Pengakuan membongkar mitos tersebut melalui tindakan tokoh A yang memutuskan tidak perawan dan tidak menikah. 4. Audiens dalam Ilmu Komunikasi Konsep audiens (audience) atau khalayak memiliki sejarah panjang dalam proses komunikasi massa. Wilbur Scrahmm (1954; dikutip McQuail, 1997:1) menyebut audiens merupakan istilah yang familiar digunakan para ahli media sebagai istilah kolektif untuk merujuk receivers (penerima) dalam proses komunikasi massa. Secara sederhana, orang-orang yang menggunakan media massa disebut audiens. Menurut McQuail (1997:2) perubahan teknologi dan realita sosial mempengaruhi perubahan definisi dan karakteristik audiens sehingga istilah ini dapat diaplikasikan secara setara untuk merujuk pembaca novel di awal abad 18 maupun pelanggan satelit televisi di akhir abad 20. D.S. Kaufer dan K.M. Carley (1993; dikutip McQuail, 1997:2) menyebut kemunculan audiens media massa 14

15 diakibatkan kehadiran buku cetak (printed book) yang memungkinkan komunikasi efektif dalam perbedaan jarak dan waktu serta privasi dalam penggunaannya. Pada awal abad ke-18, istilah audiens sudah dilekatkan pada orang-orang yang membeli, membaca, dan mengoleksi buku-buku yang memberikan instruksi, huburan, dan pencerahan untuk kepentingan pribadi (McQuail, 1997:2). Secara khusus, istilah pembaca (readers) kemudian digunakan untuk merujuk orang atau kelompok yang melakukan aktivitas pembacaan dan pemaknaan melalui media cetak. Penentuan kriteria pembaca media cetak (sastra, surat kabar, majalah), pendengar radio, dan penonton (berita televisi, film, dan serial TV) juga tidak bisa dipisahkan dari tipe media yang dikonsumsi. Perbedaan antara pembaca novel (sastra) dan pembaca surat kabar terlihat pada tujuan konsumsi media tersebut. Sastra menjawab kegelisahan dan pertanyaan manusia tentang hidup sementara jurnalisme (mulai dari surat kabar sampai berita di televisi) memberikan informasi penting menyangkut kepentingan orang banyak. Karakteristik pembaca novel tidak bisa dilepaskan dari sifat media novel (buku) itu sendiri. Pertama, buku merupakan medium yang terformulasi dalam aksara. Hal ini membedakan buku (media cetak) dan televisi (media elektronik) atau film yang terformulasi dalam gambar visual. Pembaca menciptakan imajinasi ketika membaca novel sementara penonton telah dibatasi imajinasinya melalui gambar-gambar yang sudah ditentukan. Kedua, umumnya buku diakses secara individual artinya aktivitas pembacaan dilakukan oleh individu dan ketika individu mengakses buku maka ia terputus dengan dunia luar (asosial) agar dapat fokus dengan pesan yang tersampaikan dalam buku. Ruang pembaca menjadi sempit karena pembaca secara individu berhadapan dengan teks. Berbeda dengan pembaca, penonton secara umum mengakses media secara kolektif. Penempatan televisi di ruang keluarga dan pemutaran film di bioskop (theater) menyebabkan ruang penonton lebih luas karena diakses secara kolektif meskipun tidak menutup kemungkinan ada penonton yang mengakses secara individual. Keempat, kelahiran buku tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemunculan media cetak sebagai alat pengubah kekuasaan. Buku membuat pembaca bebas menginterpretasi teks 15

16 dan membandingkan dengan keadaan di sekitarnya. Kemunculan klub pembaca (readers club) atau penggemar dari seorang penulis (fandom) membuktikan kekuatan media buku. Deepak Nayyar (2007:81-82) lebih lanjut mengkategorikan perbedaan audiens berdasarkan tipe media. Audiens surat kabar, majalah, dan film dianggap kurang terlibat secara berkelanjutan, terdiferensiasi, dan berpotensi untuk terpengaruh pembicaraan atau mendapat rekomendasi dari orang lain. Penonton televisi umumnya tidak saling mengetahui satu sama lain dan tidak memiliki kesempatan untuk mempengaruhi representasi televisi dari suatu peristiwa. Pendengar radio berada dalam skala besar sehingga tidak bisa terdiferensiasi dan anonim seperti penonton televisi. Menurut Donna.J.Haraway (1991) perbedaan pembaca novel dan audiens media lain dipengaruhi cyborg (cybernetic organism) yaitu hibrida antara mekanik dan organisme yang menghasilkan ciptaan dalam realita sosial sebaik ciptaan dalam dunia fiksi. Haraway (1991:153) beragumentasi bahwa teks, kekuasaan, dan teknologi merupakan aspek-aspek pendukung yang membentuk cerita-cerita Barat sebagai asal dari peradaban, tetapi miniaturisasi yang disebabkan kemunculan teknologi telah mengubah pengalaman audiens menjadi mekanik. Miniaturisasi ini menjadi kekuasaan atau mengecilkan pengalaman bahkan fantasi audiens. Hal ini tampak dalam media film dan televisi yang membatasi ruang imajinasi penonton sementara sastra membebaskan pembaca untuk berimajinasi. Audiens dalam hubungan pengirim pesan (sender) dan penerima (receiver) dapat merujuk seseorang atau kelompok yang tidak hanya menjadi target (target), tetapi juga partisipan (participants) dan pengamat/penonton (spectators) (McQuail, 1997:40). Apalagi dengan dukungan teknologi komunikasi di era konvergensi saat ini, audiens dimungkinkan untuk melakukan aktivitas membaca sambil menggunakan media lain. McQuail (2008: ) kemudian memuat tipologi audiens yang dibedakan menjadi dua level yaitu makro dan mikro. Pada level makro, audiens dilihat sebagai kelompok atau publik dimana mereka berbagi setidaknya satu 16

17 karakteristik yang mengidentifikasikan sosial/budaya yaitu ruang bersama dan keanggotaan dari suatu komunitas lokal, seperti pembaca koran lokal atau kelompok pendengar dari radio komunitas. Pada level ini, media merupakan pihak yang merespon kebutuhan dari masyarakat baik secara nasional, lokal, maupun komunitas. Pada level mikro, audiens dilihat sebagai perangkat kepuasan (gratification set) di mana kata perangkat merujuk pada kumpulan individu yang tersebar tanpa ikatan bersama (McQuail, 2008:409). Di level mikro, audiens memiliki kemungkinan tidak saja mengonstruksi tetapi juga merekonstruksi berdasarkan kesukaan, kebutuhan, dan pilihan media yang dikonsumsi. Audiens novel yang berada pada level mikro merupakan audiens aktif dalam arti audiens yang melakukan decoding (menerima/mengonstruksi dan memproduksi teks) sebagai tindakan memaknai teks. Burton (2012:19) lebih jauh melihat bahwa persepsi audiens terhadap teks yang dibaca sangat dipengaruhi oleh pengalaman budaya, kelompok sosial terhadap preferensi, pembacaan, dan konten yang ditargetkan kepadanya. Namun, audiens level mikro tidak semata-mata sebagai audiens aktif karena dengan dukungan teknologi digital, mereka dapat menjadi audiens yang interaktif yaitu partisipan yang berinteraksi di dunia maya karena perkembangan teknologi digital. Menurut Henry Jenkins (2006:135) lingkungan media saat ini menghasilkan interaksi antara audiens dengan audiens, audiens dengan teks media, dan audiens dengan produser media sehingga memunculkan aktivitas encoding (membuat teks/pesan) seperti membuat resensi atau review novel di blog untuk mengkritik, merefleksikan teks, dan merekomendasikan pada orang lain. Adapun aktivitas di luar tindakan memaknai seperti berinteraksi dengan penulisnya di media jejaring sosial atau mendatangi diskusi buku Perkembangan Studi Audiens Studi mengenai audiens juga mengalami perkembangan mengikuti perubahan audiens dan media. Klaus Bruhn Jensen dan Karl Erik Rosengren (dalam McQuail, 1997:16) membedakan lima tradisi studi audiens yaitu studi efek 17

18 (effect), uses and gratifications, literary criticism, cultural studies, dan analisis resepsi (reception analysis). Tradisi tersebut kemudian disederhanakan menjadi tiga tradisi studi audiens yaitu structural tradition, behaviourist tradition, serta cultural tradition-reception analysis. Secara sederhana, structural tradition merupakan riset audiens yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan media massa dalam mengidentifikasi khalayaknya. Behaviourist tradition banyak mengkaji penggunaan dan efek media. Kajian mengenai efek media umumnya menganggap bahwa audiens bersifat pasif dan mudah terkena efek media yang sebagian besar dipersepsikan negatif sementara kajian penggunaan media lebih melihat audiens sebagai individu yang aktif dalam memilih media yang dibutuhkannya. Tradisi studi audiens yang termasuk baru adalah cultural tradition termasuk di dalamnya analisis resepsi. Cultural tradition berada dalam ranah ilmu sosial sekaligus humaniora dan banyak mengkaji budaya populer. Tradisi ini menekankan penggunaan media sebagai refleksi konteks sosial budaya tertentu dan sebagai proses pemberian makna terhadap produk budaya dan pengalaman sehari-hari. Analisis resepsi merupakan bagian dari studi budaya modern yang menekankan pada studi mendalam terhadap khalayak sebagai bagian dari interpretive communities. Konsep teoritik terpenting dari analisis resepsi adalah bahwa makna teks media tidak melekat pada teks media tersebut, tetapi diciptakan dalam interaksi antara khalayak dengan teks. Pertti Alasuutari (1999:3-7) membedakan tiga generasi dalam penelitian resepsi audiens. Generasi pertama adalah penelitian resepsi (reception research) yang salah satunya didominasi oleh pandangan Stuart Hall. Melalui pendekatan semiotik, Hall melihat komunikasi sebagai proses di mana suatu pesan dikirim dan diterima dengan efek tertentu. Semiotika tersebut dikenal konsep encoding dan decoding. Gagasan di-encode oleh pengirim pesan dan di-decode oleh penerima pesan. Pesan yang dikirim dan diterima tidak lagi serupa. Audiens yang berbeda dapat men-decode pesan secara berbeda pula. Generasi kedua menambahkan tradisi etnografi audiens (audience ethnography) seperti yang dilakukan oleh David Morley (1980) dalam studinya 18

19 mengenai pemirsa televisi dan Ien Ang (1985) dalam studinya mengenai audiens serial televisi Watching Dallas. Umumnya peneliti melakukan wawancara mendalam bahkan tinggal bersama dengan audiens untuk mengetahui bagaimana pemirsa televisi memaknai program yang disaksikannya. Generasi ketiga merupakan pandangan konstruksionis (constructionist view) yang lahir sebagai kritik terhadap makna etnografi dalam studi audiens yang dirasa tidak mendalam karena analisisnya didasarkan pada pengamatan sekilas. Menurut Radway (Alasuutari, 1999:6) selain melihat sirkulasi antara pembuat pesan, teks, dan audiens, kehidupan sehari-hari audiens juga menjadi objek kajian yang tidak boleh dilewatkan untuk menghubungkan dengan pemilihan media yang digunakan. Generasi ini lebih menitikberatkan pada media dan penggunaannya untuk memperoleh pemahaman mengenai kultur media serta peran media dalam kehidupan sehari-hari. Generasi ketiga berusaha memahami media dan pesan media secara lebih luas, tidak hanya pada proses encoding dan decoding Gender, Audiens, dan Feminist Standpoint Theory Isu pernikahan dan keperawanan yang diangkat dalam novel Pengakuan tidak hanya menjadi konsumsi bagi audiens perempuan tetapi juga audiens lakilaki. Seperti pendapat Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan (2010:69) pernikahan mengatur hubungan heteroseksual antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk kekerabatan, maka isu pernikahan tidak saja melibatkan perempuan tetapi juga laki-laki. Proses pemaknaan audiens terhadap sesuatu sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh gender mereka dalam masyarakat. Konsep gender mengacu pada definisi Mansour Fakih (2010:8) yaitu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Dalam memahami perbedaan pemaknaan teks maka peneliti menggunakan feminist standpoint theory yang merupakan anak teori dari standpoint theory untuk melihat pengaruh perbedaan gender terhadap pemaknaan teks. 19

20 Feminis standpoint theory adalah bentuk spesifikasi dari standpoint theory. Menurut Stephen.W.Littlejohn dan Karen.W.Foss (2009:396) konsep umum standpoint theory melihat bahwa standpoint/posisi muncul ketika seseorang mengenali dan mempertanyakan nilai-nilai kebudayaan dan hubungan kekuasaan yang menciptakan adanya posisi subordinat atau penindasan kelompok tertentu. Maka, mengikuti konsep umum standpoint theory, sesuai dengan pendefinisian Littlejohn dan Foss (2009:396) feminist standpoint theory merupakan suatu teori yang (1) mengidentifikasi nilai-nilai kebudayaan dan dinamika kekuasaan yang menyebabkan subordinasi perempuan serta (2) menyoroti pengetahuan yang dibentuk oleh aktivitas yang biasanya dilekatkan pada perempuan. Feminist Standpoint theory dikembangkan oleh Nancy C.M. Hartsock dari pemikiran G.W. Friedrich Hegel dan Karl Marx tentang relasi kekuasaan. Hegel mendiskusikan relasi budak-tuan sementara Marx mempunyai konsep tentang kelas dan kapitalisme. Menurut Angela Coburn dan Latria Harris, (2010:503) kedua konsep tersebut diterapkan Hartsock untuk melihat relasi antara perempuan dan laki-laki. Ada dua konsep dari teori ini yang digunakan yaitu standpoint dan situated knowledge. Konsep standpoint melihat posisi yang diberikan berdasarkan kedudukan sosial seseorang ternyata mempengaruhi interpretasinya, misalnya perempuan atau laki-laki yang lahir dalam lingkungan yang patrilinear tentu akan berbeda memaknai pernikahan dan keperawanan dengan laki-laki dan perempuan yang hidup dalam lingkungan yang matrilinear. Selanjutnya, konsep situated knowledge melihat pengetahuan seseorang dibangun di atas konteks dan lingkungannya. Pandangan ini mengingatkan apa yang kita tahu dan apa yang kita lakukan tidaklah didapatkan sejak lahir namun merupakan hasil dari pelajaran dan pengalaman yang kita alami. Dalam konteks ini, pengetahuan audiens yang berbeda gender bisa saja tidak dipengaruhi lingkungan lahiriahnya atau dapat berubah karena lingkungan barunya dan pengetahuan yang didapatnya, misalnya ia bergaul dengan kelompok aktivis, membaca buku-buku tentang feminisme, atau mengalami pengalaman traumatik yang membuatnya berpihak pada kaum yang tertindas. 20

21 4.3. Teori Resepsi Audiens Resepsi merujuk pada konsep rezeptionaesthetik yang diperkenalkan di tahun 1967 oleh Hans Robert Jausz dan Wolfgang Iser. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2010:203) Jausz dan Iser mencoba mengatasi dominasi penulis sebagai pemberi makna yang dipengaruhi latar belakang sejarah, sosial, tema, atau periode tertentu dengan memasukkan tanggapan para pembaca terhadap karya itu. Penelitian resepsi sastra dan resepsi media dalam kajian budaya memang hampir serupa tetapi sesungguhnya tidak persis sama. Teks media dan karya sastra memiliki makna yang polisemi (ambigu) dan bebas diinterpretasikan dengan berbagai cara. Menurut Junus (1985:1-2) ada tiga pendekatan untuk memahami teks, yaitu: (1) mencari makna yang sebenarnya dengan menggali teks itu sendiri; (2) makna hanya dapat ditemukan pada penulis yang membuat teks tersebut dengan cara menghubungkan teks dan penulis; dan (3) resepsi yaitu mencari makna pada pembaca. Pertemuan makna yang diperoleh dari teks, penulis dan pembaca menjadi perhatian utama dalam resepsi sastra, sebaliknya resepsi media melihat kekuatan audiens dalam menghadapi efek teks tersebut. Stanley.J.Baran dan Dennis.K.Davis (2012:257) menyebut resepsi media berfokus pada audiens yang membuat bermacam-macam makna tentang isi teks media sementara resepsi sastra mencari tahu makna yang sebenarnya meskipun tindakan itu akan menghilangkan makna polisemi dari karya sastra (Junus, 1985:1). Para ahli seperti Charles Morris-Klaus, Foulkes, dan M.H.Abrams membahas peran audiens dalam memaknai karya sastra dengan menggunakan pendekatan semiotik untuk menemukan hubungan tidak sejajar antara penulis dan pembaca. Morris-Klaus membedakan aspek pragmatik yaitu lingkup pengirim pesan (penulis) dan penerima pesan (pembaca/audiens) dengan aspek ekspresif. Foulkes menekankan pada aspek linguistik seperti sintaksis, semantik, dan pragmatik. Berbeda dengan Morris-Klaus dan Foulkes, Abrams memberikan sebuah kerangka yang lebih sederhana tetapi efektif dalam mengkaji karya sastra (A.Teeuw, 2013: 35-46). 21

22 M.H.Abrams (1971:6) dalam bukunya The Mirror and The Lamp menyebut empat elemen dalam sebuah karya seni. Pertama, work atau karya itu sendiri. Kedua, artist atau pencipta karya. Ketiga, nature/universe (semesta teks) yang terdiri dari segala tindakan, ide, perasaan, materi-materi dan peristiwa, atau hal-hal yang sangat sensitif yang mempengaruhi suatu karya. Keempat, audience (audiens) yaitu mereka yang mendengar, menonton, atau membaca karya seni tersebut. Abrams kemudian membuat kerangka yang memperlihatkan relasi antara artist-universe-work-audience. Universe Work Artist Audience Gambar 1.1. Relasi Teks (Sumber: Abrams, 1971:6) Kerangka yang dibuat Abrams telah berisi pendekatan-pendekatan kritis mengenai karya manusia. Pendekatan mimetic (mimesis) menjelaskan bahwa secara esensial sebuah karya adalah imitasi dari alam semesta, misalnya Ayu Utami mengkritik ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam Pengakuan. Pendekatan expressive (ekspresif) memandang bahwa penulis (artist) dalam membuat karya (work) tak bisa dilepaskan dari dunia yang diketahuinya (universe), seperti Ayu Utami yang merupakan orang Jawa memasukkan unsur kejawaan sebagai dunia yang diketahuinya dalam cerita. Pendekatan objective (objektif) melihat teks apa adanya, apa yang tercantum disana tanpa dipengaruhi penulis, audiens, atau alam semesta. Terakhir, pendekatan pragmatic (pragmatik) melihat audiens dalam memaknai karya dilatarbelakangi dengan dunia (universe) yang diketahuinya. Pendekatan pragmatik ini dekat dengan konsep resepsi. 22

23 Stuart Hall (1974) mengembangkan studi resepsi dengan memperkenalkan konsep encoding/decoding. Menakshi.G.Durham dan Douglas.M.Kellner (2006:509) menyebut Hall membahasakan resepsi sebagai konsumsi yaitu titik awal untuk merealisasikan pesan atau hasil akhir dari pemaknaan teks atau pesan media. John Storey (2008:11-12) melihat Hall mendemonstrasikan resepsi dalam proses sirkulasi makna pada tiga level yang berbeda, yakni level media atau encoding; level program sebagai diskursus makna; dan level decoding oleh audiens. Jika konsep ini dimasukkan pada lokus audiens aktif maka dalam analisis ini pembacaan dan pemilahan teks (encoding) tidak selalu sama diterima dan diambil (decoding) oleh audiens atau yang disebut asimetris. Dengan kata lain, teks mungkin saja menawarkan pesan atau wacana tertentu, namun audiens bebas memilih atau tidak menggunakan wacana tersebut. Gambar 1.2. Model encoding/decoding Stuart Hall (Hall, 2005:120) Penelitian ini menggabungkan dua model yang diambil dari konsep encoding/decoding Hall dan relasi teks Abrams. Model encoding/decoding Hall dan relasi teks Abrams tidak seluruhnya digunakan. Peneliti mengambil sebagian konsep-konsep dari kedua model tersebut yang disesuaikan dengan media novel dan permasalahan yang diteliti. Dalam menyusun model penelitian ini, peneliti memilih menggunakan bagian frameworks of knowledge-encoding-programme as meaningful discourse-decoding yang akan disederhanakan menjadi sirkulasi kerangka pengetahuan encoding - teks - decoding yang dirasa serupa dan cocok dengan konsep relasi Abrams, terutama untuk dikaitkan dengan bagian audiens 23

24 teks (work) dan semesta teks (universe). Bagian technical infrastructure yang di dalamnya termasuk penulis (authorship) juga sulit dihilangkan karena ada hubungan kuat antara penulis dengan novelnya. Audiens pun akan cenderung memilih novel karena faktor penulisnya meskipun tidak menutup kemungkinan ada audiens yang memilih novel secara acak atau karena rekomendasi orang lain. Bagian ini tidak menjadi fokus penelitian tetapi menjadi hal yang umum terjadi pada audiens, maka bagian technical infrastructure dimasukkan ke dalam bagian semesta teks (universe) dalam relasi Abrams. Adapun bagian yang tidak digunakan yaitu bagian relations of production karena kebutuhan penelitian yang tidak mencari hubungan distribusi atau ekonomi politik media. Hall (dikutip Liza Petrillo dan John Petrillo, 2010:372) kemudian mengelaborasi bagaimana decoding bekerja dalam media. Dalam proses resepsi, Hall menempatkan posisi audiens pada tiga posisi decoding sebagai berikut: 1. Dominant-hegemonic position, yaitu audiens menerima dan mereproduksi kode teks yang sama dengan produser pesan. Pada posisi ini audiens berpegang pada makna yang ditawarkan dalam media. 2. Negotiated position, yaitu audiens memaknai dan menerima secara luas sebagian kode teks tetapi kadang menentang atau mengubahnya sesuai dengan cara pandang, pengalaman, dan minat. Posisi ini menunjukkan adanya kontradiksi. 3. Oppositional position, yaitu ketika audiens mengembangkan interpretasi yang sama sekali berbeda dengan kode teks. Posisi ini terjadi ketika audiens berada dalam situasi sosial yang berlawanan dengan kode teks dominan sehingga membuat mereka menolak teks tersebut. Dalam posisi ini, audiens dapat mengajukan alternatif kode yang berbeda. Konsep penting dari analisis ini adalah makna yang dihasilkan dari hubungan audiens dengan novel adalah hasil interaksi audiens dengan adanya faktor kontekstual yang mempengaruhinya. Latar belakang audiens sangat mempengaruhi cara mereka membaca, memaknai, dan melakukan tindakan terhadap teks tersebut. Hal tersebut tampak dalam gambar berikut ini: 24

25 Kerangka Proses Encoding Audiens Teks Semesta Teks Pengetahuan Proses Decoding Gambar 1.3. Proses resepsi audiens (gabungan model encoding/decoding Stuart Hall dan relasi teks Abrams) Proses resepsi audiens dalam model di atas menggambarkan sirkulasi pemaknaan antara level encoding dan level decoding. Audiens terikat oleh kerangka pengetahuan yang terbentuk ketika melakukan decoding yang dipengaruhi pengalaman interaksinya dengan semesta teks (gender audiens, lingkungan sosial, buku-buku yang dibaca, kebiasaan bermedia, atau pengalaman pribadi). Selanjutnya, semesta teks mempengaruhi audiens dalam memaknai teks dan menggerakkan audiens untuk melakukan proses encoding terkait teks yang didecode mulai dari berupa ide, gagasan, dan wacana atau merangsang munculnya keinginan untuk memproduksi teks baru yang disebarkan melalui media massa atau media online. Interpretasi yang muncul atas pembacaan teks novel Pengakuan dan tindakan memproduksi teks baru berpotensi menempatkan audiens pada tiga posisi decoding yakni dominant-hegemonic position, negotiated position, dan opposititional position. Dengan memperhatikan teori-teori yang dibahas sebelumnya, maka model kerangka pemikiran dalam penelitian ini, adalah: Proses Encoding Audiens Kerangka Pengetahuan Pernikahan Novel Pengakuan Keperawanan Proses Decoding Semesta Teks Gambar 1.4. Model Kerangka Pemikiran 25

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Di negara-negara yang banyak mengalami pergulatan politik, novel menjadi salah satu media penyampai kritik. Di Indonesia, istilah jurnalisme dibungkam sastra melawan yang dilontarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terjadinya ketidakadilan gender kiranya dapat dipicu oleh masih kuatnya

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terjadinya ketidakadilan gender kiranya dapat dipicu oleh masih kuatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan tentang perempuan pada saat ini masih menjadi perbincangan yang aktual dan tidak ada habisnya. Permasalahan berkaitan dengan perempuan seperti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri

Lebih terperinci

POLIGAMI DALAM FILM (Analisis Resepsi Audience Terhadap Alasan Poligami Dalam Film Indonesia Tahun )

POLIGAMI DALAM FILM (Analisis Resepsi Audience Terhadap Alasan Poligami Dalam Film Indonesia Tahun ) POLIGAMI DALAM FILM (Analisis Resepsi Audience Terhadap Alasan Poligami Dalam Film Indonesia Tahun 2006-2009) NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Gelar S-1 Ilmu Komunikasi Oleh :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

POLIGAMI DALAM FILM (ANALISIS RESEPSI AUDIENS TERHADAP ALASAN POLIGAMI DALAM FILM INDONESIA TAHUN )

POLIGAMI DALAM FILM (ANALISIS RESEPSI AUDIENS TERHADAP ALASAN POLIGAMI DALAM FILM INDONESIA TAHUN ) Poligami Dalam Film 37 ABSTRAK POLIGAMI DALAM FILM (ANALISIS RESEPSI AUDIENS TERHADAP ALASAN POLIGAMI DALAM FILM INDONESIA TAHUN 2006-2009) Rahmalia Dhamayanti Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, media massa sudah menjadi kebutuhan penting bagi khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media massa adalah perpanjangan alat indra.

Lebih terperinci

dapat dilihat bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam

dapat dilihat bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang- Undang No 33 tahun 2009 dalam pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreatif penulis yang berisi potret kehidupan manusia yang dituangkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dinikmati,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada semua masyarakat (Chamamah-Soeratno dalam Jabrohim, 2003:9). Karya sastra merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud atau hasil dari daya imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan pengalaman pribadi atau dengan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setiap teks mengandung makna yang sengaja disisipkan oleh pembuat teks, termasuk teks dalam karya sastra. Meski sebagian besar karya sastra berfungsi sebagai media rekreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan menyangkut sifat-sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal, sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu sama lain, yakni sebagai media informasi, media pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut (Ratna, 2009, hlm.182-183) Polarisasi laki-laki berada lebih tinggi dari perempuan sudah terbentuk dengan sendirinya sejak awal. Anak laki-laki, lebihlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion,

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Media telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan kita tidak akan pernah terlepas dari media. Seiring dengan perkembangan peradaban

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pengalaman dan imajinasi

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pengalaman dan imajinasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil ekspresi isi jiwa pengarangnya. Melalui karyanya pengarang mencurahkan isi jiwanya ke dalam tulisan yang bermediumkan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat masih terkungkung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir di dalam pergaulan, percakapan, dan sering juga menjadi akar perselisihan.

Lebih terperinci

42, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 arah dan tujuan lembaga tersebut. Konsep bersistem ini biasa disebut dengan ideologi. Salah satu ideologi yang ser

42, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 arah dan tujuan lembaga tersebut. Konsep bersistem ini biasa disebut dengan ideologi. Salah satu ideologi yang ser RESPONS TOKOH PEREMPUAN TERHADAP IDEOLOGI PATRIARKI DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI: SUATU KAJIAN FEMINIS Sherly Yunityas ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan adanya respons tokoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Severin & Takard (2001:295) menyatakan bahwa media massa menjadi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Severin & Takard (2001:295) menyatakan bahwa media massa menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Informasi telah menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Severin & Takard (2001:295) menyatakan bahwa media massa menjadi konsumsi yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Komunikasi bukan hanya sebuah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Tipe Penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, yakni penelitian yang menggali makna-makna yang diartikulasikan dalam teks visual berupa film serial drama

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan wadah yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap berbagai masalah yang diamati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki karakteristiknya sendiri. Abrams (Teeuw, 1988: 50) dalam bukunya yang berjudul The Mirror

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perempuan menjadi salah satu objek pembahasan yang menarik di dalam karya sastra. Perempuan bahkan terkadang menjadi ikon nilai komersil penjualan karya sastra. Hal

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Simpulan Fokus kajian dalam penelitian ini adalah menemukan benang merah hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang selain dikenal sebagai negara maju dalam bidang industri di Asia, Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra prosa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidak hanya didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah.

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii ABSTRAKSI... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Masalah. 1 1.2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Media massa cetak dan elektronik merupakan salah satu unsur penting dalam proses komunikasi. Setiap media mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kekurangan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai karya sastra, novel muncul sebagai sebuah representasi atau pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setiap media, didalamnya mengandung sebuah pesan akan makna tertentu. Pesan tersebut digambarkan melalui isi dari media tersebut, bisa berupa lirik (lagu), alur cerita (film),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi massa merupakan suatu bentuk komunikasi dengan melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa seperti surat kabar, majalah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tengok saja majalah, koran, radio, acara televisi, sampai media online

BAB I PENDAHULUAN. Tengok saja majalah, koran, radio, acara televisi, sampai media online BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa di zaman ini telah menjadi bagian wajib dari kehidupan manusia. Sadar atau tidak, media massa telah menempati posisi penting untuk memuaskan kebutuhan manusia

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Menurut Harmon dalam buku yang ditulis oleh Moleong 22, paradigma

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Menurut Harmon dalam buku yang ditulis oleh Moleong 22, paradigma BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Menurut Harmon dalam buku yang ditulis oleh Moleong 22, paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan seseorang, antarmanusia, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan seseorang, antarmanusia, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX BAB 4 KESIMPULAN Berdasarkan teori yang sudah dipaparkan dalam bab dua dan analisis yang telah dilakukan dalam bab tiga, maka kesimpulan dari skripsi yang berjudul Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa peran perempuan pengarang dalam sejarah sastra Indonesia masih sukar untuk dipetakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wacana merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wacana merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wacana merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat umumnya memahami wacana sebagai perbincangan terkait topik tertentu.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini film dan kebudayaan telah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Film pada dasarnya dapat mewakili kehidupan sosial dan budaya masyarakat tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hati, sikap, perasaan pikiran, ide, gagasan maupun informasi kepada orang lain

BAB I PENDAHULUAN. hati, sikap, perasaan pikiran, ide, gagasan maupun informasi kepada orang lain 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi begitu sangat penting di dalam kehidupan manusia, tidak ada yang tidak memerlukan komunikasi, dimana seseorang akan dapat menyampaikan isi hati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi fisik yang lebih lemah dan dikenal lembut sering menjadi alasan untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dari lakilaki. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi bukan berarti perbedaan itu diperuntukkan untuk saling menindas, selain dari jenis kelamin, laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

INTISARI BAB I PENDAHULUAN

INTISARI BAB I PENDAHULUAN INTISARI Novel teenlit menjadi fenomena menarik dalam perkembangan dunia fiksi di Indonesia. Hal itu terbukti dengan semakin bertambahnya novel-novel teenlit yang beredar di pasaran. Tidak sedikit pula

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. Relevansi Dalam perkuliahan ini mahasiswa diharapkan sudah punya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi.

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan dalam televisi senantiasa hanya mempertentangkan antara wanita karir dan menjadi ibu-ibu rumah tangga. Dua posisi ini ada didalam lokasi yang berseberangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efektif dan efisien untuk berkomunikasi dengan konsumen sasaran.

BAB I PENDAHULUAN. efektif dan efisien untuk berkomunikasi dengan konsumen sasaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri periklanan belakangan ini menunjukan perubahan orientasi yang sangat signifikan dari sifatnya yang hanya sekedar menempatkan iklan berbayar di media massa menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dari berbagai sumber, agar manusia dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. informasi dari berbagai sumber, agar manusia dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan manusia akan informasi dewasa ini menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat dikesampingkan. Hal tersebut mendorong manusia untuk mencari informasi dari

Lebih terperinci

BAB V. Refleksi Hasil Penelitian

BAB V. Refleksi Hasil Penelitian BAB V Refleksi Hasil Penelitian 5.2.1 Implikasi Teoritis Implikasi teoritis yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu media menciptakan pesan yang disampaikan kepada khalayak dan khalayak memaknai pesan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui berbagai kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai lingkungan fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan mahkluk hidup yang tidak dapat hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan mahkluk hidup yang tidak dapat hidup tanpa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan mahkluk hidup yang tidak dapat hidup tanpa komunikasi. Hanya dengan komunikasi manusia dapat menyampaikan pesan dan maksud sebagai bagian dari tujuannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu media komunikasi massa yaitu televisi memiliki peran yang cukup besar dalam menyebarkan informasi dan memberikan hiburan kepada masyarakat. Sebagai media

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif

BAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Film merupakan bagian dari komunikasi massa yang sudah menjadi bagian dari kehidupan saat ini. Di akhir abad ke-19, film muncul sebagai hiburan publik. Kesuksesaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan kemajuan zaman. Masyrakat modern kini menjadikan informasi sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan kemajuan zaman. Masyrakat modern kini menjadikan informasi sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Masyrakat modern kini menjadikan informasi sebagai kebutuhan pokok,

Lebih terperinci

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parfum Casablanca merupakan produk perawatan tubuh yang berupa body spray. Melalui kegiatan promosi pada iklan di televisi, Casablanca ingin menyampaikan pesan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perlawanan budaya merupakan perjuangan hak yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah bentuk dari gambaran realita sosial yang digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan suatu objek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya mencakup struktur, pesan yang disampaikan, sudut pandang, dan nilai.

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya mencakup struktur, pesan yang disampaikan, sudut pandang, dan nilai. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Narasi memiliki unsur penting pada jurnalistik. Jurnalis tidak hanya sekadar menulis artikel tetapi harus memberikan cerita kepada pembaca yang di dalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa. Negara Indonesia di masa yang lampau sebelum. masa kemerdekaan media massa belum bisa dinikmati oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa. Negara Indonesia di masa yang lampau sebelum. masa kemerdekaan media massa belum bisa dinikmati oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Balakang Masalah Media massa sudah menjadi bagian hidup bagi semua orang. Tidak dikalangan masyarakat atas saja media massa bisa diakses, akan tetapi di berbagai kalangan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif pada sebuah karya seni yang tertulis atau tercetak (Wellek 1990: 3). Sastra merupakan karya imajinatif yang tercipta dari luapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Luxemburg (1989:6) mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan ekspresi kreatif untuk menuangkan ide, gagasan, ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut akan senantiasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jurnalisme online pada saat sekarang ini lebih banyak diminati oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jurnalisme online pada saat sekarang ini lebih banyak diminati oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jurnalisme online pada saat sekarang ini lebih banyak diminati oleh masyarakat dikarenakan pada era kemajuan teknologi, masyarakat lebih cenderung memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran

BAB I PENDAHULUAN. yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa dan sastra adalah cermin kebudayaan dan sebagai rekaman budaya yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran penting bahasa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra,

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebuah karya sastra itu diciptakan pengarang untuk dibaca, dinikmati, ataupun dimaknai. Dalam memaknai karya sastra, di samping diperlukan analisis unsur

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu media komunikasi massa, yang saat ini masih cukup diminati oleh masyarakat adalah media massa radio. Radio merupakan media komunikasi massa dua arah, yang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. mengambil posisi di ranah perbukuan Indonesia pasca-orde Baru. Praktik

BAB IV PENUTUP. mengambil posisi di ranah perbukuan Indonesia pasca-orde Baru. Praktik BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Generasi 90an merupakan karya yang membuat Marchella masuk dan mengambil posisi di ranah perbukuan Indonesia pasca-orde Baru. Praktik Marchella sebagai penulis, yakni meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Studi Terdahulu. Begitu juga dengan analisis terhadap karya Perempuan Berkalung Sorban.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Studi Terdahulu. Begitu juga dengan analisis terhadap karya Perempuan Berkalung Sorban. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Studi Terdahulu Penelitian mengenai resepsi sastra sudah banyak dilakukan sebelumnya. Begitu juga dengan analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Drama merupakan kisah utama yang memiliki konflik yang disusun untuk sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini drama bukan hanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia. berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, imajinasi, ide, keyakinan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia. berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, imajinasi, ide, keyakinan dalam BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, imajinasi, ide, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ibunya, dan sekaligus menjadi inti cerita dalam film dari Arab Saudi berjudul

BAB I PENDAHULUAN. ibunya, dan sekaligus menjadi inti cerita dalam film dari Arab Saudi berjudul BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Aku ingin membeli sepeda jadi aku bisa balapan dengan Abdullah... Kalimat di atas merupakan kalimat yang diungkapkan oleh Wadjda kepada ibunya, dan sekaligus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan yang terjadi di masyarakat ataupun kehidupan seseorang. Karya sastra merupakan hasil kreasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam masyarakat. Kehidupan sosial, kehidupan individu, hingga keadaan psikologi tokoh tergambar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis resepsi. Metode analisis resepsi menurut Street adalah

Lebih terperinci

Media massa berperon dalam menanamkan false consciousness,

Media massa berperon dalam menanamkan false consciousness, HEGEMONI PATRIARKI DI MEDIA MASSA ABSTRAK Media massa berperon dalam menanamkan false consciousness, atau kesadaran palsu yang oleh Gramsci disebut hegemoni, di mana terjadi pertarungan ideologi. Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang kian berkembang pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka ingin tahu apa yang terjadi di tengah-tengah dunia global. Program informasi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Nama : Anike Puspita Yunita NIM : D2C Judul : Persepsi Khalayak tentang Aksi Demonstrasi FPI di Surat Kabar Suara Merdeka

ABSTRAK. Nama : Anike Puspita Yunita NIM : D2C Judul : Persepsi Khalayak tentang Aksi Demonstrasi FPI di Surat Kabar Suara Merdeka ABSTRAK Nama : Anike Puspita Yunita NIM : D2C009002 Judul : Persepsi Khalayak tentang Aksi Demonstrasi FPI di Surat Kabar Suara Merdeka Pascareformasi, demonstrasi marak terjadi di berbagai daerah di tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul dan mengemuka. Barangkali, isu perempuan menjadi isu yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. muncul dan mengemuka. Barangkali, isu perempuan menjadi isu yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Semakin berkembangnya zaman, semakin beragam pula persoalan yang muncul dan mengemuka. Barangkali, isu perempuan menjadi isu yang tidak pernah habis dibahas.

Lebih terperinci