BAB III PEMBAHASAN. Algoritma Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode NN yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PEMBAHASAN. Algoritma Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode NN yang"

Transkripsi

1 BAB III PEMBAHASAN Algoritma Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode NN yang diperkenalkan oleh Professor Teuvo Kohonen pada tahun Self Organizing Map merupakan salah satu bentuk topologi dari Unsupervised Artificial Neural Network (Unsupervised ANN) dimana dalam proses pelatihannya tidak memerlukan pengawasan (target output). Self Organizing Map digunakan untuk mengelompokkan (clustering) data berdasarkan karakteristik atau fitur-fitur data. (Shieh & Liao, 2012). Dalam algoritma Self Organizing Map, data input berupa vektor yang terdiri dari n komponen (tuple) yang akan dikelompokkan dalam maksimum m buah kelompok (disebut vektor contoh). Output jaringan adalah kelompok yang paling dekat atau mirip dengan input yang diberikan. Ada beberapa ukuran kedekatan yang dapat dipakai. Ukuran yang sering dipakai adalah Eucledian distance yang paling minimum (Siang, 2009). Vektor bobot untuk sebuah unit cluster menggambarkan sebuah contoh dari pola input yang dikumpulkan dalam cluster. Selama proses Self Organizing Map, unit cluster yang mempunyai bobot dicocokkan dengan pola input yang terdekat dan dipilih sebagai pemenang (winner). Unit pemenang dan unit tetangganya, dalam hal ini adalah topologi dari unit cluster akan memperbaiki bobot mereka masing-masing (Kristanto, 2004). 31

2 A. Arsitektur dan Algoritma Pembelajaran Self Organizing Map Self Organizing Map atau SOM merupakan suatu algoritma pembelajaran yang baik dalam mengeksporasi data mining dan memiliki kemampuan cukup baik untuk pembentukan model cluster. Self Organizing Map merupakan algoritma yang melakukan pemetaan dari data yang ada di ruang vektor berdimensi tinggi ke ruang vector dua dimensi yang terletak pada lokasi yang berdekatan. Self Organizing Map terdiri dari dua lapisan (layer), yaitu lapisan input dan lapisan output. Setiap neuron dalam lapisan input terhubung dengan setiap neuron pada lapisan output. Setiap neuron pada lapisan output merepresentasikan kelas (cluster) dari input yang telah diberikan. Self Organizing Map merupakan generalisasi dari jaringan kompetitif, dan merupakan jaringan tanpa supervise (Siang, 2009). Self Organizing Map disusun oleh sebuah lapisan unit input yang dihubungkan seluruhnya ke lapisan unit output, yang kemudian unit-unit diatur di dalam topologi khusus seperti struktur jaringan (Jain & Martin, 1998). Secara umum arsitektur jaringan Self Organizing Map dapat dilihat pada gambar 3.1 Gambar 3.1 Arsitektur Self Organizing Map 32

3 dengan adalah vektor input dengan n dimensi dan adalah vektor output dengan m dimensi. Salah satu algoritma pembelajaran untuk Self Organizing Map adalah algoritma pembelajaran kompetitif dengan metode Kohonen (Kusumadewi, 2003). Pada algoritma pembelajaran Self Organizing Map, akumulasi sinyal yang didapat tidak perlu diaktivasi, karena fungsi aktivasi tidak memberikan pengaruh pada pemilihan winner neuron yang akan memperbarui bobotnya dan bobot tetangganya. Dengan demikian, pada proses pelatihan error tidak dihitung pada setiap iterasi pelatihan. Kriteria berhentinya proses pelatihan dalam Self Organizing Map akan menggunakan jumlah iterasi tertentu. Pada Gambar 3.2, jika neuron yang di tengah adalah winner neuron untuk suatu input vektor, maka neighbor neuron untuk winner neuron ini adalah mereka yang terletak di dalam lingkaran area, yang didefinisikan dengan Nc(t1), Nc(t2), dst. Nc(t1) adalah batas area pada iterasi ke-1, Nc(t2) adalah batas area pada iterasi ke-2, dan seterusnya. Neuron yang secara topografi terletak jauh dari winner neuron tidak diupdate. Gambar 3. 2 Ilustrasi Self Organizing Map 33

4 Secara ringkas algoritma Self Organizing Map digambarkan seperti tampak pada diagram alir pada Gambar 3.3. Gambar 3.3 Diagram Alir Self Organizing Map (SOM) Berikut adalah algoritma Self Organizing Map yang digunakan dalam pembentukan cluster berdasarkan Gambar 3.3: 1. Pada langkah awal, seluruh data dampak bencana tanah longsor dan faktor penyebab terjadinya tanah longor menurut provinsi dijadikan data input. Data input yang digunakan adalah data yang berbentuk matrik, dimana i adalah jumlah provinsi dan j adalah jumlah variabel. Selanjutnya, dilakukan proses clustering menggunakan metode Self Organizing Map. 2. Pada perhitungan menggunakan metode SOM, diawali dengan inisialisasi bobot secara random (acak). Dalam Matlab2011b digunakan sintaks net.iw{1,1} 3. Menetapkan nilai parameter epoch maksimum. 34

5 4. Untuk setiap data dilakukan perhitungan terhadap bobot menggunakan rumus Euclidean Distance. Kemudian dipilih nilai terkecil. 5. Data yang memiliki nilai terkecil dari langkah 4 digunakan untuk proses update bobot. Dalam menentukan bobot terbaru pada waktu t, maka diasumsikan obyek saat ini x(i) dan centroid yang terbentuk. Kemudian untuk menentukan centroid yang baru untuk waktu berikutnya t+1 (3.1) α adalah learning rate. Pada langkah selanjutnya nilai learning rate yang digunakan adalah learning_rate_new= dimana nilai b berada di antara 0 dengan 1. Pada akhir iterasi, nilai α akan menuju nilai learning rate minimum. 6. Melakukan pengecekan syarat berhenti, Iterasi akan berhenti apabila threshold terpenuhi, untuk mencapai nilai threshold terpenuhi. Adapun nilai treshold dikatakan terpenuhi apabila nilai parameter telah terpenuhi. 7. Selanjutnya dilakukan proses pengelompokkan atau clusterisasi, disini menggunakan rumus Euclidean. 8. Hasil akhir dari proses ini yaitu data ter-cluster 1. Membangun jaringan pada algoritma Self Organizing Map Dalam proses membangun suatu jaringan, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan menentukan input jaringan. Pada software Matlab, untuk membangun jaringan pada algoritma Self Organizing Map digunakan intruksi sebagai berikut : Net =selforgmap([a b]) Net=configure(net,NameofData) 35

6 dengan [a b] : ukuran matriks neuron yang akan dihasilkan pada output. Matriks ini nantinya akan digunakan untuk menklasifikasikan vektor input. NameofData : nama data yang digunakan ketika input Penentuan nilai a dan b akan mempengaruhi hasil output. Hal ini disebabkan karena jumlah cluster pada akhir proses pembelajaran algoritma self organizing map akan sama banyak dengan hasil perkalian a dan b. Sebagai contoh jika ditentukan nilai a adalah 2 dan nilai b adalah 3 maka jaringan akan menghasilkan output neuron sebanyak 6 neuron. Penentuan nilai a dan b juga akan mempengaruhi topologi neuron output. Sebagai contoh, pada model dengan hasil 6 neuron, maka terdapat 2 kemungkinan bentuk jaringan yang dapat dibangun, yaitu jaringan dengan nilai a adalah 1 dan b adalah 6, dan jaringan dengan nilai a adalah 2 dan b adalah 3. Kedua jaringan ini pada hasil output akan mengelompokkan objek ke dalam 6 neuron, meskipun demikian topologi yang dihasilkan oleh kedua model jaringan ini berbeda. karena topologi yang dihasilkan oleh kedua model jaringan ini berbeda maka hasil yang diperoleh dapat berbeda, meskipun tidak ada jaminan bahwa jaringan dengan penghubung tunggal antar neuron lebih baik atau lebih buruk bila dibandingkan dengan jaringan dengan penghubung jamak antar neuron. 36

7 2. Prosedur Pembentukan Cluster dengan Algoritma Self Organizing Map a. Deskripsi data Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Naryanto (2011), Dinata (2013) dan Insani (2016), penanggulangan bencana yang mencakup tiga tahap, yaitu pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana akan berjalan secara efisien jika diketahui informasi terkait tentang faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah longsor di Indonesia. Informasi terkait denga faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah longsor dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan jenis penanggulangan pra bencana dan pasca bencana. Oleh karena itu, pada penelitian ini faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah longsor akan digunakan sebagai variabel dengan 33 provinsi di Indonesia yang digunakan sebagai sampel. Hal ini disebabkan karena pengambilan data pada provinsi di Indonesia yang hanya mengambil pada tahun-tahun tertentu dengan yang didasarkan pada kelengkapan data dari sumber data. Variabel ditentukan dari hasil penelitian terdahulu terkait bencana tanah longsor dan berita acara yang dirilis oleh BNPB. Adapun variabel yang digunakan adalah : Tabel 3.1 Variabel Input dan Satuan yang Digunakan Kode Variabel Satuan Keterangan Persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor Persentase keluarga yang memiliki kendaraan bermotor Persen (%) Persen (%) Kendaraan bermotor yang dihitung mencakup mobil dan motor. Data diambil pada tahun 2014 Kendaraan bermotor yang dihitung mencakup mobil dan motor. Data diambil pada tahun

8 Kode Variabel Satuan Keterangan Lokasi kemiringan lahan curam Lokasi kemiringan lahan landai Lokasi kemiringan lahan sedang Persentase keluarga yang memilah sampah dan sebagian dimanfaatkan Persentase keluarga yang memilah sampah kemudian dibuang Persentase keluarga yang tidak memilah sampah Unit Unit Unit Persen (%) Persen (%) Persen (%) Lahan curam adalah lahan dengan kemiringan lebih dari 25 derajat yang diambil pada tahun Lokasi yang masuk dalam kategori ini memiliki kemiringan kurang dari 15 derajat. Data diambil pada tahun Lokasi yang masuk dalam kategori ini memiliki kemiringan antara 15 sampai 25 derajat. Data diambil pada tahun Jenis sampah yang dihitung adalah sampah organic maupun non organik. Keluarga yang masuk dalam kategori ini adalah keluarga yang secara rutin memilah dan memanfaatkan sampah. Data diambil pada tahun 2014 Jenis sampah yang dihitung adalah sampah organic maupun non organik. Keluarga yang masuk dalam kategori ini adalah keluarga yang secara rutin memilah sampah. Data diambil pada tahun Jenis sampah yang dihitung adalah sampah organik maupun non organik. Data diambil pada tahun

9 Kode Variabel Satuan Keterangan Frekuensi terjadinya gempa bumi Jumlah Kejadian Kejadian gempa bumi dihitung seluruhnya, baik tektonik maupun vulkanik. Frekuensi jumlah hujan mm Frekuensi yang dihitung adalah kerapatan curah hujan yang dihiung dengan satuan mm Frekuensi jumlah hari hujan Jumlah Hari Jumlah hari hujan yang dihitung adalah jumlah Frekuensi terjadi kebakaran hutan dan lahan Jumlah kejadian hari dimana hujan turun dengan mengabaikan volume curah hujan Jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang dihitung adalah kejadian bencana kebakaran yang terjadi karena fenomena alam ataupun karena kesalahan manusia dengan mengabaikan besar dampak yang ditimbulkan. Jumlah luas lahan sangat kritis Hektar (Ha) Lahan yang masuk dalam kategori sangat kritis adlah lahan yang sama sekali tidak dapat dikelola, bersifat gundul dan tingkat kesuburan sangat rendah Jumlah luas lahan kritis Hektar (Ha) Lahan yang masuk dalam kategori lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif mski telah dikelola, bersifat gundul dan tingkat kesuburan rendah. 39

10 Kode Variabel Satuan Keterangan Persentase keluarga dengan kepemilikian sumur resapan air Persen (%) Sumur resapan air yang dihitung adalah sumur resapan air yang berada di tanah warga dengan mengabaikan jumlah sumur resapan. Data Diambil pada tahun Persentase keluarga dengan Persen (%) Lubang resapan biopori yang dihitung adalah kepemilikian lubang resapan biopori lubang resapan yang berada di tanah warga dengan mengabaikan luas area lubang resapan Persentase keluarga dengan kepemilikan taman/ tanah berumput Frekuensi terjadinya bencana tanah longsor Persen (%) Jumlah kejadian air. Data Diambil pada tahun 2014 Taman/ tanah berumput yang dihitung adalah Taman/ tanah berumput yang berada di tanah warga dengan mengabaikan luas taman/ tanah berumput. Data Diambil pada tahun 2014 Jumlah kejadian dihitung baik keseluruhan, baik yang menimbulkan korban dan kerusakan maupun yang tidak Jumlah korban meninggal Jiwa Korban meninggal yang dihitung adalah yang terkena dampak bencana, tidak termasuk relawan. Jumlah korban hilang Jiwa Korban hilang dihitung adalah korban yang tidak ditemukan baik karena tertimbun atau terisolasi 40

11 Kode Variabel Satuan Keterangan Jumlah korban terluka Jiwa Korban terluka yang dihitung yaitu semua korban luka dampak bencana, baik ringan maupun berat, dan tidak termasuk relawan. Jumlah korban menderita Jiwa Korban menderita yang dihitung adalah yang menderita secara finansial dan psikologis. Jumlah korban mengungsi Jiwa Korban mengungsi yang dihitung adalah korban bencana yang meninggalkan lokasi bencana pada waktu pasca bencana. Jumlah rumah rusak berat Unit Rumah rusak berat adalah rumah yang ditemukan kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik stuktural maupun non-struktural, seperti dinding rubuh, lantai retak merekah, dan lain sebagainya. Jumlah rumah rusak sedang Unit Rumah rusak sedang adalah rumah ditemukan kerusakan pada sebagian komponen non struktural atau komponen struktural seperti, struktur atap, struktur lantai dan lain sebagainya. Jumlah rumah rusak ringan Unit Rumah rusak ringan adalah rumah yang ditemukan kerusakan terutama pada komponen non-struktural, seperti penutup atap, langitlangit, penutup lantai, dan dinding pengisi. 41

12 Kode Variabel Satuan Keterangan Jumlah fasilitas peribadatan yang rusak Jumlah fasilitas pendidikan yang rusak Unit Unit Fasilitas peribadatan mencakup masjid, gereja, vihara dan fasilitas peribadatan lainnya Fasilitas pendidikan meliputi sekolah, kampus, perpustakaan, dan fasilita pendidikan lainnya Jumlah fasilitas kesehatan yang rusak Unit Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, puskesmas, apotik dan fasilitas kesehatan Panjang jalan yang terkena dampak bencana KM lainnya. Panjang jalan yang dihitung adalah yang terkena dampak longsoran, dan yang terkena dampak tidak langsung (timbulnya retakan karena bencana). Adapun jalan yang diukur adalah jalan utama, seperti jalan penghubung antar desa. b. Normalisasi Data Sebelum dilakukan proses pembelajaran (training), data input harus dinormalisasi terlebih dahulu. Normalisasi adalah penskalaan terhadap nilai-nilai input sedemikian sehingga data-data input masuk dalam suatu range tertentu. Pada pembelajaran algoritma Self Organizing Map proses normalisasi perlu dilakukan agar rentang nilai pada masing-masing variabel tidak terpaut jauh. Proses normalisasi dapat dilakukan dengan metode Min-Max Normalization (Martiana, 2013). Pada metode ini, untuk memetakan suatu nilai pada variabel 42

13 dengan range nilai minimum dan nilai maksimum dari atribut tersebut ke range nilai yang baru, dilakukan perhitungan sebagai berikut (3.2) dengan : : nilai yang baru setelah dinormalisasi : nilai yang lama sebelum dinormalisasi : nilai maksimum dari variabel : nilai minimum dari variabel : nilai maksimum yang baru pada variabel : nilai minimum yang baru pada variabel Berikut akan digunakan persamaan 3.2 dengan memanfaatkan variabel persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor di Indonesia ( ). Berikut adalah data persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor: Tabel 3.2 Persentase Keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor Provinsi Persentase Provinsi Persentase Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah

14 Provinsi Persentase Provinsi Persentase Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur 8.68 Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung 9.51 Sulawesi Selatan Kepulauan Riau 9.53 Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali Dari tabel 3.2 diperoleh persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor dengan nilai minimum 8.68 persen dan nilai maksimum persen. Dengan menggunakan persamaan 3.2 data akan dinormalkan dengan nilai maksimum 1 dan nilai minimum 0. Maka untuk normalisasi data variabel pada Provinsi Aceh adalah sebagai berikut : 44

15 Sehingga diperoleh bahwa hasil normalisasi data variabel pada Provinsi Aceh adalah Hasil selanjutnya untuk normalisasi data pada variabel adalah sebagai berikut Tabel 3.3 Hasil Normalisasi Data Variabel Provinsi Persentase Provinsi Persentase Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur 0 Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua 1 Bali

16 Penentuan nilai maksimum dan minimum yang baru untuk variabel akan disamakan pada rentang 0 sampai dengan 1. Hasil selanjutnya untuk normalisasi seluruh variabel data input akan ditampilkan pada lampiran 2. c. Pembentukan Cluster Pembentukan cluser terbaik meliputi penentuan jumlah neuron output yang akan digunakan dalam mengklasifikasikan data input. Penentuan jumlah neuron ini menjadi penting karena pada output, data akan diklasifikasi menjadi clustercluster yang jumlahnya sama dengan jumlah neuron input. Tidak ada aturan pasti dalam menentukan jumlah neuron, maka dari itu penentuan jumlah neuron dilakukan dengan cara mengelompokkan data dengan pembentukan kelompok yang mungkin dilakukan pada data input. Setelah menentukan banyak neuron, melakukan pelatihan (training) pada jaringan yang telah dibangun dan dikonfigurasikan dengan data input. Hal ini dilakukan agar bobot awal yang sebelumnya ditentukan secara random (acak) akan diupdate bobotnya dengan dilakukan pelatihan (training) pada jaringan. Pelatihan jaringan pada algoritma Self Organizing Map akan berhenti apabila telah mencapai iterasi maksimum. Pada skripsi ini, iterasi maksimum ditentukan sebanyak 1000 iterasi untuk seluruh model yang akan dibentuk. Untuk pelatihan jaringan dengan 1000 iterasi pada software Matlab digunakan sintaks net.trainparam.epochs=1000; net=train(net,data) 46

17 Setelah pelatihan jaringan telah mencapai iterasi maksimum, maka dapat dimunculkan nilai dari bobot akhir. Kemudian langkah selanjutnya adalah menentukan jarak antara salah satu data input ke masing-masing neuron yang telah ditentukan. Masing-masing input dihitung jaraknya dengan neuron dengan menggunakan persamaan eucledian distance. Setelah diperoleh jarak antara input dengan masing-masing neuron, kemudian jarak antara data input dengan salah satu neuron dibandingkan dengan jarak antara data input dengan neuron lainnya yang masih dalam satu pelatihan (training). Pemilihan cluster terbaik dilakukan dengan menentukan nilai Davies Bouldin Index dari masing masing model, kemudian dibandingkan dengan nilai Davies Bouldin Index dari model yang lainnya. Dalam rangka penentuan jarak, diperlukan bobot akhir yang telah memenuhi treshold pelatihan (training). Pada Matlab2011b, digunakan sintaks net.wi{1,1} untuk memunculkan bobot akhir. Dalam penelitian ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai penentuan jarak dan penentuan nilai Davies Bouldin Index. Indeks ini menjadi penting nantinya karena meskipun tidak ada aturan dalam menentukan jumlah cluster, akan tetapi dengan menggunakan indeks ini maka akan ditentukan satu model pembentukan cluster terbaik dari proses algoritma Self Organizing Map. Pada algoritma Self Organizing Map, pembentukan cluster didasarkan pada pengukuran jarak dari data input menuju neuron yang ditentukan untuk meminimumkan jarak. Pengukuran jarak dilakukan pada seluruh data input dengan memanfaatkan nilai dari normalisasi data dan bobot akhir dari model 47

18 pembentukan cluster. Berikut ini akan digunakan persamaan 2.3 dengan memanfaatkan hasil normalisasi data pada lampiran 2. Berikut adalah data hasil normalisasi untuk Provinsi Aceh (lampiran 2) Tabel 3.4 Data Hasil Normalisasi untuk Provinsi Aceh Variabel Data Normalisasi Variabel Data Normalisasi Kemudian berikut adalah bobot akhir untuk model 2 cluster yang diperoleh dengan menggunakan sintaks net.iw{1,1} pada Matlab R2011b (lampiran 3): 48

19 Tabel 3.5 Bobot Akhir untuk Model 2 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Variabel Neuron 1 Neuron Berdasarkan data hasil normalisasi dan bobot akhir dari data input Provinsi Aceh, maka dapat ditentukan jarak antara neuron 1 dan neuron 2 dengan data input Provinsi Aceh. Dengan menggunakan Eulcedian Distance maka dapat ditentukan jarak inter-cluster data pada Provinsi Aceh ke masing-masing cluster. 49

20 Berdasarkan hasil perhitungan diatas, dapat ditentukan bahwa jarak data input Provinsi Aceh dengan neuron 1 adalah dan menuju neuron 2. Hasil selanjutnya untuk pengukuran jarak inter-cluster dengan model 2 cluster pada data Provinsi di Indonesia ditampilkan pada tabel 3.6 Tabel 3.6 Hasil Penentuan jarak inter-cluster untuk model 2 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Jarak inter-cluster Provinsi Neuron 1 Neuron2 Neuron 1 Neuron2 Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

21 dengan bentuk topologi bobot sebagai berikut Gambar Topologi Bobot Model 2 cluster Berdasarkan gambar 3.4, dapat terlihat bahwa neuron dan data input provinsi di Indonesia di representasikan ke dalam dua dimensi. Pada gambar 3.4, neuron ditampilkan dalam bentuk dot berwarna biru, sedangkan untuk data input provinsi di Indonesia ditampilkan dalam bentuk dot berwarna hijau. Adapun bobot penghubung antar neuron ditampilkan dalam bentuk garis berwarna merah. Berdasarkan tabel 3.6 diketahui jarak inter-cluster untuk masing masing neuron pada model pembentukan cluster dengan 2 cluster. Karena tujuan pembentukan cluster sendiri adalah untuk mengelompokkan unit-unit yang hampir sama pada suatu daerah tertentu dan memaksimumkan perbedaan antar cluster yang dibentuk. Sehingga unit-unit input akan dikelompokkan ke neuron yang paling dekat dengan unit input. Tabel 3.7 Hasil Pembentukan Model 2 Cluster Provinsi Eucledian Eucledian Cluster Provinsi distance distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur

22 Provinsi Eucledian Eucledian Cluster Provinsi distance distance Cluster Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali Tabel 3.7 menunjukkan model pembentukan cluster dengan 2 cluster. Pada cluster 1, terdapat 31 anggota dan untuk cluster 2 terdapat 2 anggota. Hasil selanjutnya untuk model pembentukan cluster ditampilkan pada lampiran 4. B. Penerapan Metode Davies Bouldin Index (DBI) dalam Menentukan Cluster Terbaik dari Proses Algoritma Self Organizing Map Davies Bouldin Index digunakan untuk validasi cluster, yaitu prosedur yang mengevaluasi hasil analisis cluster secara kuantitatif dan objektif sehingga dihasilkan kelompok optimum. Dalam skripsi ini, Davies Bouldin Index (DBI) akan digunakan untuk mendeteksi outlier pada masing-masing cluster yang terbentuk. Pengukuran ini bertujuan untuk memaksimalkan jarak inter-cluster antara satu cluster dengan cluster yang lain. 52

23 Berikut ini persamaan Davies Bouldin Index yang diperoleh dengan menggunakan hasil penghitungan jarak inter-cluster pada model pembentukan cluster dengan 2 cluster (lampiran 4). Maka diperoleh nilai pada model 2 cluster Sehingga dapat ditentukan nilai dan IDB Untuk hasil penentuan nilai Davies Bouldin Index selengkapnya akan ditampilkan pada lampiran 5. C. Analisis Pembentukan Cluster dengan metode Self Organizing Map Pemilihan model pembentukan cluster terbaik dilakukan dengan melihat hasil penghitungan nilai Davies Bouldin Index. Untuk menentukan model pembentukan 53

24 cluster terbaik, maka dibentuk beberapa model pembentukan cluster dengan jumlah cluster yang berbeda. Dalam penelitian ini, dibentuk 9 model pembentukan cluster yang dimulai dengan membentuk model 2 cluster hingga membentuk model 10 cluster menggunakan Matlab (lampiran 7). Berdasarkan hasil penghitungan nilai Davies Bouldin Index untuk masing masing model (lampiran 5), dapat dilihat bahwa dengan pembentukan model lebih dari 4 cluster, terdapat cluster yang hanya memiliki satu anggota saja. Hal ini mungkin terjadi apabila anggota input tersebut tidak sama dengan yang lainnya. Dengan kata lain, dalam pembentukan cluster, terdapat input yang memiliki karateristik khusus sehingga tidak dapat dikelompokkan dengan yang lainnya. Dalam penelitian lain, hal ini disebut dengan kasus khusus. Meski hanya memiliki satu anggota, kelompok tersebut tetap dihitung sebagai cluster. Akan tetapi pada perhitungan nilai Davies Bouldin Index nilai akan selalu bernilai nol jika salah satu dari atau menunjukkan cluster ke- atau cluster ke- yang hanya memiliki satu anggota. Berdasarkan nilai Davies Bouldin Index, diperoleh bahwa nilai Davies Bouldin Index untuk model 8 cluster memiliki nilai minimum dengan nilai sebesar hasil penentuan jarak inter-cluster dan pembentukan cluster untuk model 8 cluster ditampilkan pada tabel

25 Tabel 3.8 Penentuan Jarak Inter-Cluster dan Pembentukan Cluster untuk Model 9 Cluster Provinsi Eucledian Eucledian Cluster Provinsi distance distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah 1.17E-30 3 Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu 1.37E-30 4 Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur 2.09E-30 8 Papua Barat Banten Papua Bali Untuk penentuan kategori tingkat kerawanan bencana tanah longsor didasarkan pada mean dari faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari bencana tanah longor dari seluruh anggota cluster. Mean yang diperoleh kemudian digunakan sebagai dasar untuk menganalisis karakteristik dari suatu cluster secara umum. Maka untuk melihat karateristik dari masing-masing cluster dilakukan penghitungan dan analisis terhadap nilai mean dari faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari bencana tanah longor dari seluruh anggota cluster (lampiran 7). 55

26 1. Analisis Faktor dan Dampak Terjadinya tanah longsor pada masingmasing Cluster Analisis pada hasil pembentukan cluster akan difokuskan ke dua hal, yaitu faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari terjadinya bencana tanah longsor. Adapun variabel sampai dengan adalah variabel yang menunjukkan faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan variabel sampai dengan menunjukkan dampak dari terjadinya bencana tanah longsor. Analisis hasil pembentukan cluster adalah sebagai berikut a. Kepemilikan Kendaraan Bermotor Persentase Kepemilikan Kendaraan Bermotor Tidak Memiliki Kendaraan Bermotor Memiliki Kendaraan Bermotor Gambar 3. 5 Diagram Persentase Kepemilikan Kendaraan Bermotor Dalam kategori kepemilikan kendaraan bermotor, terdapat dua variabel input yang akan dianalisis, yaitu persentase keluarga yang memililiki kendaraan bermotor dan persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Secara umum, hampir seluruh cluster menunjukkan persentase keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih besar daripada persentase keluarga yang tidak 56

27 memiliki kendaraan bermotor dengan perbandingan yang berbeda-beda, hanya pada cluster 6 yang memiliki kondisi yang sedikit berbeda. Pada wilayah cluster 6, persentase rata-rata keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih kecil daripada persentase rata-rata keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. b. Kemiringan Lahan Kemiringan Lahan Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster Cluster 8 9 Curam Landai Sedang Gambar 3.6 Diagram Jumlah Lokasi Lahan Berkemiringan Curam, Landai dan Sedang Pada kategori kemiringan lahan, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu jumlah lokasi untuk lahan dengan kemiringan curam, landai dan sedang. Secara umum, hampir pada seluruh wilayah cluster didominasi oleh lahan dengan kemiringan curam, hanya pada cluster 6 jumlah lokasi lahan curam lebh sedikit daripada jumlah lahan landai. Tentu saja banyaknya lahan dengan kemiringan curam lebih berpotensi untuk menimbulkan bencana tanah longsor. Artinya lebih dari separuh provinsi di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk 57

28 menimbulkan bencana tanah longsor. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara umum, dari diagram diatas terlihat bahwa seluruh provinsi di Indonesia memiliki jumlah lahan dengan kemiringan sedang yang sangat sedikit. Dapat diambil informasi pula bahwa hampir seluruh cluster memiliki jumlah lokasi lahan curam yang lebih banyak dari pada lahan landai dan lahan sedang, hanya pada cluster 6 yang memiliki jumlah lokasi lahan curam yang lebih sedikit dari pada lahan landai. Adapun pada wilayah cluster 8 dan cluster 9 memiliki rata-rata jumlah lokasi lahan curam yang berbeda cukup signifikan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata jumlah lokasi lahan curam lebih dari 4000 lokasi. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi Jawa Timur dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Dari sembilan cluster yang terbentuk, cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik diantara cluster lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan. Jumlah lokasi lahan curam pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi, sedangkan bila membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka cluster 7 memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada wilayah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki karakteristik kemiringan lahan yang hampir sama. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah Provinsi DI Yogyakarta dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 7 adalah Provinsi Sumatera Barat. 58

29 Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa : 1) Cluster 8 dan cluster 9 adalah wilayah dengan jumlah lahan curam, lahan landai dan lahan sedang yang paling banyak bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya, namun yang paling signifikan perbedaanya adalah jumlah lokasi lahan curam yang dapat menjadi potensi terjadi bencana tanah longsor. 2) Cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik diantara cluster lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan. Jumlah lokasi lahan curam pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi, sedangkan bila membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka cluster 7 memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada wilayah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1. 3) Wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5 dan cluster 6 cenderung memiliki karakteristik kondisi kemiringan lahan yang hampir sama. c. Pemilahan Sampah Persentase Keluarga berdasarkan Pemilahan Sampah Sampah Dipilah dan Sebagian Dimanfaatkan Sampah Dipilah Kemudian Dibuang Sampah Tidak Dipilah Gambar 3.7 Diagram Persentase Keluarga berdasarkan Pemilahan Sampah 59

30 Pada kategori pemilahan sampah, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu persentase keluarga yang memilah sampah dan sebagian dimanfaatkan, persentase keluarga yang memilah sampah kemudian dibuang dan persentase keluarga yang tidak memilah sampah. Secara umum, dapat terlihat seperti yang tertera pada diagram, bahwa persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada seluruh cluster lebih banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik yang memilah kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang. Artinya kesadaran masyarakat akan pentingnya memilah sampah masih rendah. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat tidak terkelolanya sampah dengan baik dapat mengakibatkan masalah lingkungan yang beragam, salah satunya adalah tanah longsor. Apabila melihat dari persentase pemanfaatan sampah, maka hampir persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah di seluruh provinsi di Indonesia lebih rendah daripada persetase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah, hanya pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik karena persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah lebih tinggi daripada persentase keluarga yang membuang sampah setelah dipilah. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah Provinsi DI Yogyakarta, provinsi yang masuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi Jawa Timur dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 60

31 Kondisi yang sedikit berbeda juga ditemukan pada wilayah cluster 9. Pada wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan yang membuang sampah setelah dipilah hampir sama. Adapun provinsi yang masuk ke dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dari hasil analisis diatas maka dapat disimpulkan bahwa : 1) Persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada seluruh cluster lebih banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik yang memilah kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang. 2) Pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah lebih tinggi daripada persentase keluarga yang membuang sampah setelah dipilah. 3) Pada wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan yang membuang sampah setelah dipilah hampir sama. 4) Pada wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5, dan cluster 7 memiliki karakteristik wilayah yang hampir sama bila dilihat dari faktor pemilahan sampah. d. Bencana Gempa Bumi Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi Cluster 1Cluster 2Cluster 3Cluster 4Cluster 5Cluster 6Cluster 7Cluster 8Cluster 9 Gambar 3.8 Diargam Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi 61

32 Pada kategori bencana gempa bumi, terdapat satu variabel input yang dianalisis, yaitu frekuensi terjadinya bencana gempa bumi. Dari diagram diatas terlihat bahwa karakteristik wilayah pada cluster 7 adalah wilayah yang rawan terjadi bencana gempa bumi. Tercatat ada rata-rata 62 kasus terjadinya bencana gempa bumi. Hal ini tentu menjadi pertimbangan dalam penanganan pra bencana karena semakin tinggi frekuensi terjadi bencana tanah longsor maka tinggi pula potensi terjadinya bencana tanah longsor. Adapun wilayah yang memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor terendah adalah wilayah cluster 2 dan cluster 3 dengan jumlah kasus kejadian bencana gempa bumi kurang dari 5 kasus. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki potensi terjadi gempa bumi yang cukup tinggi dengan rata-rata lebih dari 10 kejadian. e. Curah Hujan Jumlah Curah Hujan Jumlah Curah Hujan Gambar 3.9 Diagram Jumlah Curah Hujan 62

33 250 Jumlah Hari Hujan Jumlah Hari Hujan 50 0 Gambar 3.10 Diagram Jumlah Hari Hujan Pada kategori curah hujan, terdapat 2 variabel yang dianalisis, yaitu jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan. Apabila melihat jumlah curah hujan pada diagram diatas terlihat bahwa karakteristik wilayah pada cluster 3, cluster 4 dan cluster 7 adalah wilayah yang memiliki jumlah hujan cukup tertinggi bila dibandingkan dengan jumlah curah hujan pada cluster lainnya dengan rata-rata jumlah curah hujan lebih dari 2500 mm yang beranggotakan Kalimantan Tengah pada cluster 3, Provinsi Bengkulu pada cluster 4 dan Provinsi Sumatera Barat pada cluster 7. Adapun wilayah yang memiliki jumlah curah hujan terendah adalah cluster 6 yang beranggotakan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki karakteristik curah hujan yang hampir sama dengan rata-rata curah hujan kurang dari 2000mm. 63

34 Apabila melihat dari jumlah hari hujan, maka cluster 4, cluster 7 dan cluster 8 memiliki jumlah hujan yang sangat banyak dengan rata-rata jumlah hari hujan lebih dari 200 hari. Provinsi-provinsi yang masuk ke dalam cluster-cluster ini adalah Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Jawa Timur. Adapun cluster yang memiliki jumlah hari hujan yang paling sedikit adalah cluster 6 yang beranggotakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan rata-rata 98 hari hujan. sedangkan pada wilayah cluster lainnya memiliki karakteristik jumlah hari hujan yang hampir sama dengan rata-rata jumlah hari hujan sekitar 180 hari. f. Bencana Kebakaran Frekuensi Terjadi Bencana Kebakaran Jumlah Kejadian Gambar 3.11 Jumlah Frekuensi Terjadinya Bencana Kebakaran Pada kategori bencana kebakaran, terdapat satu variabel input yang dianalisis, yaitu frekuansi terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan. Secara umum dapat dikatakan hampir seluruh wilayah di provinsi-provinsi di Indonesia memiliki potensi untuk terjadi bencana kebakaran, hanya pada cluster 1 saja, kasus 64

35 kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah provinsi DI Yogyakarta. Dari diagram diatas yang tersaji, terlihat bahwa wilayah yang masuk ke dalam cluster 2, cluster 3, cluster 7 dan cluster 8 memiliki jumlah kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya rata-rata kurang dari 15 kejadian. Dapat dikatakan juga bahwa provinsi-provinsi yang masuk ke dalam cluster 2, cluster 3, cluster 7 dan cluster 8 memiliki potensi terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Sedangkan wilayah cluster 4, cluster 5 dan cluster 6 memiliki potensi terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cenderung sama dengan rata-rata kurang dari 11 kejadian. g. Lahan Kritis 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Lahan Kritis Lahan Sangat Kritis Gambar 3.12 Diagram Keberadaan Lahan Kritis Pada kategori lahan kritis, terdapat dua variabel input yang dianalisis, yaitu luas lahan kritis dan luas lahan sangat kritis. Secara umum dapat dikatakan bahwa di seluruh wilayah provinsi di Indonesia didominasi oleh lahan kritis. Hal ini 65

36 terlihat dari lahan kritis pada masing-maisng cluster memiliki luas rata-rata yang lebih tinggi daripada luas rata-rata lahan sangat kritis, bahkan pada cluster 8 tidak memiliki lahan yang masuk dalam kategori lahan sangat kritis. Bila melihat luas lahan kritis maupun lahan sangat kritis pada masing masing wilayah cluster 3, cluster 4 dan cluster 6 menjadi wilayah yang memiliki kondisi lahan yang paling buruk dengan luas lahan kritis lebih dari 1000 hektar. Untuk cluster 2, cluster 5 dan cluster 7 memiliki kondisi lahan yang cukup buruk dengan rata-rata luas lahan kritis berkisar 500 hektar, sedangkan untuk cluster 1 dan cluster 9 memiliki kondisi lahan yang lebih baik dengan luas rata-rata lahan kritis tidak lebih dari 300 hektar. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 8 menjadi wilayah dengan kondisi lahan yang paling baik karena memiliki lahan kritis dengan luas tersempit, yaitu hanya 33 hektar. Bila membandingkan keberadaan lahan sangat kritis antar wilayah cluster, maka cluster 3 dan cluster 4 memiliki kondisi terburuk dengan luas lahan sangat kritis yang yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Kondisi lahan pada wilayah cluster 2 dan cluster 5 sedikit lebih baik dengan rata-rata luas lahan kritis berkisar pada angka 100 sampai 170 hektar, sedangkan pada wilayah cluster lainnya memiliki rata-rata luas lahan kritis tidak lebih dari 100 hektar. dari seluruh cluster yang terbentuk, bila keberadaan lahan sangat kritis maka cluster 1 dan cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik, bahkan pada wilayah cluster 8 tidak ditemukan lahan yang masuk ke dalam kategori lahan sangat kritis. Berdasarkan hasil analisis diatas, maka dapat disimpulkan bahwa : 66

37 1) Cluster 3 dan cluster 4, dan cluster 6 memiliki kondisi lahan yang sangat buruk dengan rata-rata luas lahan kritis mencapai lebih dari 1000 hektar. 2) Cluster 2, cluster 5 dan cluster 7 memiliki kondisi lahan cukup buruk dengan luas rata-rata lahan kritis dan lahan kritis sangat kritis berkisar 500 hektar. Meskipun demikian, kondisi lahan pada cluster 2 sedikit lebih buruk daripada cluster 5 dan cluster 7 dengan keberadaan lahan sangat kritis yang lebih luas. Sedangkan kondisi lahan pada cluster 5 dan cluster 7 relatif sama. 3) Cluster 1 dan cluster 9 memiliki kondisi lahan yang cukup baik dengan keberadaan lahan kritis tidak lebih dari 300 hektar dan luas lahan sangat kritis yang tidak lebih dari 40 hektar. Meski begitu, bila melihat pada luas lahan kritis dan luas lahan sangat kritis pada masing masing cluster, cluster 9 memiliki kondisi yang lebih buruk daripada wilayah cluster 1 karena baik luas lahan kritis maupun luas lahan sangat kritis pada wilayah cluster 9 lebih luas daripada luas lahan krits dan lahan sangat kritis pada wilayah cluster 1. 4) Cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik bila dibandingkan wilayah cluster lainnya karena wilayah ini memiliki luas lahan kritis tersempit dan tidak ditemukannya lahan yang masuk ke dalam kategori lahan sangat kritis. 67

38 h. Daerah Resapan Air Daerah Resapan Air Sumur Resapan Lubang Resapan Biopori Gambar 3.13 Diagram Persentase Keberadaan Daerah Resapan Air Taman/ Tanah Berumput Taman/ Tanah Berumput 10 0 Gambar 3.14 Diagram Persentase Keberadaan Taman/ Tanah Berumput Pada kategori daerah resapan air, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu luas daerah sumur resapan, luas daerah lubang resapan/ biopori, dan luas daerah taman/ tanah berumput. Secara umum, daerah resapan air diseluruh provinsi di Indonesia didomiasi oleh taman/ tanah berumput dengan persentase mencapai 90 persen dari luas daerah resapan air. Namun apabila dibandingkan 68

39 dengan rata-rata luas wilayah untuk masing-masing cluster, maka cluster 3 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik. Hal ini terlihat dari jumlah daerah resapan air masing masing cluster yang mencapai persen dan persen. Persentase ini lebih besar dari pada persentase daerah resapan air di wilayah lain yang bahkan tidak mencapai angka 30 persen. Bila melihat dari data persentase luas daerah resapan air, masyakarat di wilayah yang masuk ke dalam cluster 1 memiliki kesadaran akan penyediaan daerah resapan air yang cukup tinggi. Persentase rata-rata luas daerah sumur resapan air pada cluster 1 mencapai angka 7.3 persen, sedangkan untuk persentase rata-rata luas daerah lubang resapan/ biopori mencapai angka 2.81 persen. persentase ini lebih baik bila dibandingkan dengan persentase luas wilayah daerah resapan air di cluster lain yang bahkan tidak mencapai 1 persen untuk kategori sumur resapan dan lubang resapan air/biopori. Secara umum, penanganan pra bencana apabila melihat dari masalah ketersediaan daerah resapan air, maka untuk seluruh wilayah dapat difokuskan kepada peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya penyediaan daerah sumur resapan dan lubang resapan/ biopori. Sedangkan untuk penanganan ketersediaan daerah taman/ tanah berumput dapat difokuskan ke wilayah-wilayah yang masuk ke dalam cluster 1 yang memiliki persentase daerah taman/ tanah berumput yang kecil. 69

40 i. Bencana Tanah Longsor 1200 Frekuensi Terjadi Bencana Tanah Longsor Frekuensi Gambar 3.15 Frekuensti Terjadinya Bencana Tanah Longsor Pada kategori bencana tanah longsor terdapat 1 variabel input yang dianalisis, yaitu frekuensi terjadinya bencana tanah longsor. Dari data nilai mean faktorfaktor terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 7, cluster 8 dan cluster 9 menjadi wilayah yang paling berpotensi terjadi tanah longsor dengan rata-rata kejadian bencana tanah longsor mencapai lebih dari 100 kejadian. Bahkan frekuensi terjadi bencana tanah longsor pada wilayah cluster 9 mencapai 1113 peristiwa. Kemudian wilayah lain yang memiiki frekuensi terjadi bencana tanah longsor yang cukup signifikan adalah cluster 8 dengan 336 peristiwa dan wilayah cluster 7 dengan 172 peristiwa. Cluster 1 dan cluster 6 memiliki rata-rata jumlah peristiwa bencana tanah longsor yang cukup banyak dengan rata-rata kejadian bencana 70

41 tanah longsor mencapai lebih dari 50 peristiwa. Adapun cluster 2 dan cluster 5 memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor yang cukup rendah dengan ratarata 27 kejadian. Sedangkan pada cluster 4 frekuensi terjadi bencana tanah longsor rata-rata mencapai 17 kejadian. Dari seluruh cluster, yang terbentuk, cluster 3 adalah wilayah yang memiliki frekuensi terjadi tanah longsor yang terendah dengan rata-rata 4 kejadian. Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa : 1) Wilayah cluster 7, cluster 8 dan cluster 9 adalah wilayah dengan frekuensi kejadian bencana tanah longsor yang sangat tinggi dengan jumlah kejadian lebih dari 100 peristiwa. Adapun cluster 4 menjadi wilayah yang paling tinggi frekuensi terjadinya bencana tanah longsor dengan rata-rata 1113 peristiwa tanah longsor. 2) Wilayah cluster 1 dan cluster 6 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor sedang dengan rata-rata jumlah peristiwa bencana tanah longsor lebih dari 50 kejadian. Meskipun pada kenyataanya jumlah frekuensi terjadi bencana tanah longsor di wilayah cluster 1 dan cluster 6 cukup berbeda, namun pada proses pra bencana kedua cluster ini dapat dikategorikan pada karakteristik yang sama. 3) Wilayah cluster 2 dan cluster 8 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor yang rendah karena rata-rata jumlah kejadian rata-rata 27 kejadian. Sedangkan di bawah kedua cluster ini ada cluster 4 dengan 17 kejadian. 71

42 4) Wilayah cluster 6 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor terendah dengan rata-rata 13 peristiwa tanah longsor j. Korban Bencana 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% Mengungsi Menderita Terluka Hilang Meninggal 10% 0% Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster 8 Cluster 9 Gambar Diagram Jumlah Korban Akibat Bencana Tanah Longsor Pada kategori korban bencana tanah longsor, terdapat 5 variabel input yang dianalisis, yaitu jumlah korban mengungsi, korban menderita, korban terluka, korban hilang dan korban meninggal. Secara umum, dapat terlilhat bahwa potensi timbulnya korban hilang dan terluka akibat dari bencana tanah longsor sangat kecil. Hal ini dapat terlihat dari sedikitnya jumlah korban hilang dan terluka yang ditimbulkan dari bencana tanah longsor. Sebaliknya, potensi timbulnya korban mengungsi, korban menderita, dan korban meninggal cukup tinggi. Bila melihat jumlah korban pada masing masing-masing wilayah cluster, maka cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 6, dan cluster 8 didominasi oleh korban menderita, sedangkan pada wilayah cluster1, cluster 5, cluster 7 dan cluster 9 didominasi oleh korban mengungsi. 72

43 Bila melihat dari jumlah korban yang ditimbulkan maka cluster 5 menjadi wilayah yang terkena dampak korban jiwa yang paling besar dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Rata-rata setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan 89 korban jiwa, diikuti dengan cluster 8 dengan rata-rata 75 korban per kejadian bencana. Adapun pada cluster 6 dan cluster 7 jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor rata-rata berjumlah 50 korban jiwa, cluster 2 dan cluster 9 dengan rata-rata 33 korban jiwa, sedangkan pada cluster 1, cluster 3 jumlah korban yang jatuh rata-rata 24 korban jiwa. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 4 memiliki rata-rata jumlah korban jiwa yang paling sedikit dengan 15 korban jiwa di setiap kejadian bencana tanah longsor. Dari hasil analisis di atas maka disimpulkan bahwa : 1) Potensi timbulnya korban hilang dan terluka akibat dari bencana tanah longsor cukup kecil, sedangkan potensi timbulnya korban mengungsi, korban menderita, dan korban meninggal cukup tinggi. Adapun kondisi pada cluster 9 sedikit berbeda, karena pada wilayah ini potensi adanya korban terluka sama besar dengan potensi adanya korban meninggal. 2) Wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 6 dan cluster 8 didominasi oleh korban menderita 3) Wilayah cluster 1, cluster 5, cluster 7 dan cluster 9 didominasi oleh korban mengungsi. 4) Wilayah cluster 5 menjadi wilayah yang terkena dampak korban jiwa yang paling besar dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata 73

44 setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan korban sebanyak 89 korban jiwa, diikuti oleh wilayah cluster 8 dengan 75 korban jiwa. 5) Pada wilayah cluster 6 dan cluster 7 jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor rata-rata berjumlah 50 korban jiwa 6) Pada wilayah cluster 2 dan cluster 9 jumlah korban yang jatuh rata-rata 33 korban jiwa. 7) Wilayah cluster 4 memiliki rata-rata jumlah korban jiwa yang paling sedikit dengan 15 korban jiwa di setiap kejadian bencana tanah longsor k. Kerusakan Rumah 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% Rusak Ringan Rusak Sedang Rusak Berat 20% 10% 0% Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster 8 Cluster 9 Gambar 3.17 Diagram Jumlah Kerusakan Rumah Pada kategori kerusakan rumah, terdapat 3 variabel yang akan dianalisis, yaitu jumlah rumah rusak ringan, jumlah rumah rusak sedang dan jumlah rumah rusak berat. Secara umum, dampak kerusakan yang diberikan oleh bencana tanah 74

45 longsor pada rumah warga cukup besar. Hal ini terlihat dari 9 cluster yang terbentuk, hanya cluster 5 dan cluster 8 yang memiliki rumah rusak berat yang lebih sedikit dari pada jumlah rumah rusak ringan maupun rumah rusak sedang. Bila melihat jumlah korban pada masing-masing wilayah cluster, maka kerusakan rumah yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor didominasi oleh kerusakan berat dan kerusakan ringan, dengan jumlah rata-rata rumah rusak berat lebih banyak daripada jumlah rumah rusak ringan. Sehingga pada rencana pra bencana, potensi dampak kerusakan pada rumah perlu menjadi prioritas dalam penanganannya. Namun secara umum, jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada rumah warga cukup besar, dengan minimal ada 3 rumah warga yang rusak di setiap kejadian bencana tanah longsor. l. Fasilitas Umum 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Fasilitas Kesehatan Fasilitas Pendidikan Fasilitas Peribadatan Gambar 3.18 Diagram Jumlah Kerusakan Pada Fasilitas Umum 75

46 Pada kategori kerusakan pada fasilitas umum, terdapat 3 variabel yang dianalisis yaitu kerusakan pada fasilitas kesehatan, kerusakan pada fasilitas pendidikan dan kerusakan pada fasilitas peribadatan. Bila melihat dari jumlah kerusakan pada masing-masing fasilitas umum, potensi timbulnya kerusakan pada fasilitas umum, baik fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun peribadatan sangat kecil. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah fasilitas umum yang rusak akibat bencana tanah longsor. Dengan kata lain, tidak setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan kerusakan pada fasilitas umum. Namun meski begitu, kemungkinan timbulnya kerusakan pada fasilitas umum tetap ada, meski dengan potensi yang sangat kecil. m. Kerusakan Jalan Panjang Jalan (km) Panjang Jalan (km) Gambar 3.19 Diagram Panjang Jalan yang Terkena Dampak Tanah Longsor 76

47 Pada kategori kerusakan pada jalan, terdapat 1 variabel yang dianalisis yaitu kerusakan pada jalan. Secara umum, potensi adanya kerusakan pada jalan akibat dari bencana tanah longsor cukup tinggi. Bila melihat panjang jalan yang rusak akibat bencana tanah longsor pada masing-masing wilayah cluster, maka kerusakan pada jalan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada wilayah cluster 7 menjadi yang paling besar dengan panjang jalan yang rusak mencapai km. Pada wilayah cluster 8 dan cluster 9 dampak kerusakan pada jalan cukup besar dengan rata-rata hampir mencapai 111 km, sedangkan pada cluster 1 dan cluster 6 jumlah kerusakan pada jalan tergolong sedang dengan panjang rata-rata jalan yang rusak mencapai 72.6 km. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 2, cluster 3 dan cluster 4 memiliki panjang jalan rusak yang paling pendek dengan panjang jalan yang rusak bahkan tidak mencapai 4 km. Bila membandingkan frekuensi terjadi bencana tanah longsor dan panjang jalan yang rusak, maka cluster 5, cluster 6 dan cluster 7 menjadi wilayah dengan potensi kerusakan pada jalan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Namun meski begitu, kemungkinan timbulnya kerusakan pada jalan tetap ada. Hal ini perlu menjadi pertimbangan karena pada proses penanggulangan pasca bencana, akses jalan yang baik menjadi faktor penting dalam kelancaran penanggulangan bencana. 77

48 2. Analisis Cluster Berdasarkan Faktor dan Dampak Terjadinya Bencana Tanah Longsor di Indonesia Dari hasil analisis variabel input diatas maka dapat ditentukan karakter dari masing-masing wilayah cluster. Adapun analisis karakter cluster dari pembentukan model 8 cluster adalah sebagai berikut : a. Cluster 1 Cluster 1 memiliki satu anggota yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nilai Eucledian Distance sebesar Karena cluster 1 hanya memiliki satu anggota maka karakteristiknya akan sama dengan karakteristik wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling mempengaruhi terjadinya bencana tanah longsor adalah minimnya daerah tanah berumput. Hal ini diperparah dengan rendahnya kesadaran masyakarat akan pemilahan sampah. Meskipun begitu luas daerah sumur resapan dan lubang resapan pada wilayah cluster ini lebih tinggi daripada wilayah cluster lainnya. Untuk faktor yang masuk ke dalam kategori kepemilikan kendaraan bermotor, keberadaan lahan dengan kemiringan curam, luas lahan kritis masih berada dalam jumlah yang tidak begitu besar sehingga dampak yang diberikan tidak terlalu besar. Adapun potensi bencana gempa bumi dan kebakaran hutan dan lahan di wilayah cluster 1 sangat rendah. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor 78

49 Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 1 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup tinggi dengan rata-rata mencapai 74 kejadian. Meskipun demikian, rata-rata jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tanah cukup sedikit dengan 24 korban jiwa yang didominasi oleh korban mengungsi pada setiap kejadian bencana. Bencana tanah longsor juga tidak berdampak begitu besar pada fasilitas umum dan kerusakan jalan. Adapun kerusakan pada rumah warga cukup banyak dengan jumlah rata-rata rumah rusak mencapai 3 unit. b. Cluster 2 Dari hasil output Minitab, Cluster 2 memiliki 11 anggota. Anggota dari cluster 2 ditunjukkan pada tabel berikut. Provinsi Eucledian Distance Provinsi Eucledian Distance Riau DKI Jakarta Jambi Banten Sumatera Selatan Bali Lampung Kalimantan Selatan Kep, Bangka Belitung Kalimantan Timur Kepulauan Riau ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor 79

50 adalah kepemilikan kendaraan bermotor, tingginya frekuensi terjadinya kebakaran, minimnya daerah resapan air dan tingginya jumlah curah hujan. Adapun untuk faktor yang masuk ke dalam kategori keberadaan lahan dengan kemiringan curam, pengolahan sampah, keberadaan lahan kritis dan persentase daerah resapan air masih berada pada jumlah yang tidak begitu besar bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya sehingga dampak yang diberikan tidak begitu besar. Adapun potensi bencana gempa bumi di wilayah cluster 2 paling rendah bila dibandingkan dengan wilayah cluster lain. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 2 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup rendah. Meski begitu, jumlah rumah rusak yang diakibatkan oleh bencana tanah longsor cukup tinggi dengan rata-rata rumah rusak mencapai 6 unit. Adapun jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tanah cukup sedikit dengan rata-rata 28 korban jiwa per kejadian tanah longsor yang didominasi oleh korban menderita. Bencana tanah longsor juga tidak berdampak begitu besar pada fasilitas umum dan kerusakan jalan. c. Cluster 3 Cluster 3 memiliki satu anggota yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dengan nilai Eucledian Distance sebesar 9.7. Karena cluster 3 hanya memiliki 80

51 satu anggota maka karakteristiknya akan sama dengan karakteristik wilayah Provinsi Kalimantan Tengah 1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana alam tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor adalah curah hujan yang tinggi, potensi terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup tinggi, dan keberadaan lahan kritis. Adapun faktor yang masuk ke dalam kategori kepemilikan kendaraan bermotor, keberadaan lahan curam, daerah resapan air, pemilahan sampah serta ketersediaan daerah resapan air berada pada jumlah yang tidak begitu besar bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya sehingga tidak memberikan dampak yang begitu besar. Wilayah cluster ini juga memiliki tingkat pemilahan sampah yang sangat baik dengan lebih dari 20 persen warganya memilah sampah. Adapun wilayah cluster 3 memiliki frekuensi terjadi gempa bumi paling rendah bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 3 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang paling rendah dengan rata-rata 4 kejadian. Jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tanah cukup paling banyak dengan rata-rata 25 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban menderita. Bencana tanah longsor juga tidak memberikan dampak kerusakan pada akses jalan.meskipun demikian, bencana tanah longsor tidak berdampak begitu besar pada fasilitas umum dan rumah warga bila dibandingkan dengan wilayah cluster lain. 81

52 d. Cluster 4 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 9 cluster, cluster 4 memiliki 2 anggota. Anggota dari cluster 4 ditunjukkan pada tabel berikut Provinsi Eucledian Distance Bengkulu 1.37 Kalimantan Barat ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor pada wilayah cluster 4 adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan pemilahan sampah, tingginya curah hujan yang diperparah dengan jumlah hari hujan yang sangat banyak, dan keberadaan lahan kritis. Adapun untuk faktor kepemilikan kendaan bermotor, keberadaan lahan curam, frekeunsi terjadinya gempa bumi, dan frekuensi terjadi kebakaran memiliki jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Kondisi lain dari wilayah cluster 4 yang sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya adalah keberadaan daerah resapan air. Rata-rata keberadaan daerah resapan air berupa rumput mencapai 50 persen sedangkan untuk daerah resapa air berupa sumur resapan dan lubang biopori sangat rendah. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 4 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor 82

53 yang cukup rendah bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata 17 peristiwa bencana tanah longsor. Selain itu, bencana tanah longsor juga memberikan dampak kerusakan pada rumah warga dengan jumlah rata-rata rumah yang rusak mencapai 3 unit. Bencana tanah longsor juga menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak, yaitu rata-rata mencapai 15 korban jiwa yang didominasi oleh korban menderita. Selain itu, kerusakan pada fasilitas umum dan jalan yang disebabkan oleh bencana tanah longsor pada wilayah cluster 4 sangat kecil. e. Cluster 5 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 9 cluster, cluster 5 memiliki 13 anggota. Anggota dari cluster 5 ditunjukkan pada tabel berikut. Provinsi Eucledian Distance Provinsi Eucledian Distance Aceh Gorontalo Sumatera Utara Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Maluku Sulawesi Utara Maluku Utara Sulawesi Tengah Papua Barat Sulawesi Selatan Papua Sulawesi Tenggara

54 1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Dari hasil analisis data input faktor faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang memberikan pengaruh cukup besar akan terjadinya bencana tanah longsor adalah keberadaan lahan curam yang cukup banyak, rendahnya kesadaran masyarakat akan pemilahan sampah, banyaknya jumlah hari hujan, dan keberadaan lahan kritis. Adapun untuk faktor lain seperti kepemilikan kendaraan bermotor, frekuensi terjadi bencana gempa bumi, dan frekuensi terjadi bencana kebakaran berada pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Adapun kondisi wilayah cluster 5 yang sedikit berbeda bila dibandingkan dengan wilayah lainnya adalah keberadaan daerah resapan air. Pada wilayah cluster 5 hanya berupa tanah berumput, sedangkan untuk tanah resapan berupa sumur resapan dan lubang biopori cenderung sedikit. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 5 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup tinggi dengan rata-rata jumlah kejadian mencapai 42 peristiwa. Bencana tanah longsor juga menimbulkan jumlah korban jiwa yang cukup banyak dengan rata-rata 89 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban mengungsi. Selain menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak, bencana tanah longsor pada wilayah cluster 5 ini juga memberikan dampak kerusakan pada jalan yang sangat besar. Tercatat rata-rata 58 km jalan rusak akibat bencana tanah longsor, namun demikian bila dibandingkan dengan jumlah kejadian bencana 84

55 tanah longsor, wilayah ini mengalami kerusakan jalan sepanjang kurang lebih 2 km per kejadian bencana. Adapun kerusakan pada fasilitas umum cukup rendah dan kerusakan pada rumah warga yang cukup besar dengan rata-rata 8 unit rumah per peristiwa. f. Cluster 6 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 8 cluster, cluster 6 memiliki 1 anggota, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai Eucledian Distance sebesar ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Dari hasil analisis data input faktor faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang memberikan pengaruh cukup besar akan terjadinya bencana tanah longsor adalah keberadaan lahan curam yang cukup banyak, tingginya frekuensi terjadi bencana gempa bumi, dan luasnya lahan kritis. Adapun persentase warga yang memilah sampah, jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan, dan keberadaan daerah resapan air masih berada pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Wilayah cluster 6 juga memiliki kondisi yang sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Pada wilayah ini persentase kepemilikan kendaraan bermotor dan frekuensi terjadinya bencana kebakaran paling rendah apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor 85

56 Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 6 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup tinggi dengan rata-rata 57 peristiwa dengan rata-rata timbulnya korban jiwa sebanyak 48 orang yang didominasi oleh korban menderita. Selain itu, bencana tanah longsor juga memberikan dampak kerusakan cukup besar pada rumah warga. Rata-rata terdapat 7 unit rumah warga yang rusak akibat bencana tanah longsor. Bencana tanah longsor juga memberikan dampak kerusakan yang cukup besar pada akses jalan dengan rata-rata 1.3 km jalan rusak. Meskipun memberikan dampak kerusakan pada rumah warga dan jalan dengan jumlah yang cukup besar, namun bencana tanah longsor tidak memberikan dampak kerusakan yang cukup besar pada fasilitas umum. g. Cluster 7 Cluster 7 memiliki satu anggota yaitu Provinsi Sumatera Barat dengan nilai Eucledian Distance sebesar ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Dari hasil analisis data input faktor faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang memberikan pengaruh cukup besar akan terjadinya bencana tanah longsor adalah jumlah lahan curam yang sangat banyak, rendahnya persentase keluarga yang memilah sampah, tingginya frekuensi terjadi bencana gempa bumi, tingginya jumlah curah hujan yang diperparah dengan banyaknya jumlah hari hujan. Untuk faktor lain seperti kepemilikan kendaraan bermotor, frekuensi terjadi bencana kebakaran, keberadaan lahan kritis, dan daerah resapan air masih berada 86

57 pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 7 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup tinggi dengan rata-rata 172 peristiwa bencana tanah longsor dengan rata-rata jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor cukup tinggi mencapai 51 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban mengungsi. Selain korban jiwa, bencana tanah longsor juga menimbulkan kerusakan yang cukup besar pada rumah warga dan akses jalan. Rata-rata jumlah rumah yang rusak akibat bencana tanah longsor mencapai 4 unit rumah dan panjang jalan yang rusak mencapai 1.04 km per peristiwa. Adapun kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada fasilitas umum masih tergolong rendah. h. Cluster 8 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 8 cluster, cluster 8 memiliki 1 anggota, yaitu Provinsi Jawa Timur dengan nilai Eucledian Distance sebesar ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor adalah jumlah lokasi lahan curam yang sangat banyak, rendahnya persentase keluarga yang memilah sampah, tingginya frekuensi terjad bencana gempa bumi, 87

58 banyaknya jumlah hari hjan meski dengan intensitas sedang, dan tingginya frekuensi bencana kebakaran. Adapun faktor lainnya seperti kepemilikan kendaraan bermotor, keberadaan lahan kritis, dan keberadaan daerah resapan air masih berada pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 8 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang tinggi dengan rata-rata mencapai 336 kejadian dengan jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor cukup tinggi dengan rata-rata 75 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban menderita. Selain korban jiwa, bencana tanah longsor juga menimbulkan kerusakan pada rumah warga dan akses jalan. Rata-rata jumlah rumah yang rusak akibat bencana tanah longsor mencapai 5 unit rumah dan panjang jalan yang rusak mencapai 0.3 km per peristiwa. Adapun kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada fasilitas umum masih tergolong rendah. i. Cluster 9 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 9 cluster, cluster 9 memiliki 2 anggota. Anggota dari cluster 4 ditunjukkan pada tabel berikut Provinsi Eucledian Distance Jawa Barat Jawa Tengah

59 1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor adalah keberadaan lahan curam, tingginya frekuensi bencana gempa bumi, dan banyaknya jumlah hari hujan dengan intesitas sedang. Adapun faktor lainnya seperti kepemilikan kendaraan bermotor, persentase keluarga yang memilah sampah, frekuensi terjadi bencana kebakaran, keberadaan lahan kritis, dan persentase daerah resapan air. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 9 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor paling tinggi dengan rata-rata mencapai 1113 kejadian dengan jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor cukup tinggi dengan rata-rata 36 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban mengungsi. Selain korban jiwa, bencana tanah longsor juga menimbulkan kerusakan pada rumah warga dan akses jalan. Rata-rata jumlah rumah yang rusak akibat bencana tanah longsor mencapai 8 unit rumah dan panjang jalan yang rusak hanya mencapai rata-rata 0.1 km per peristiwa. Adapun jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada fasilitas umum masih tergolong rendah. Secara umum, hasil analisis dampak dan faktor terjadinya bencana tanah longsor dapat dinyatakan dalam tabel berikut 89

60 Tabel 3.9 Hasil Analisis Dampak dan Faktor Terjadinya Tanah Longsor pada Masing-Masing Cluster Frekuensi Dampak yang Faktor yang paling Cluster tanah Provinsi paling mempengaruhi longsor mempengaruhi 1 74 DI Yogyakarta Derah tanah berumput, tingkat pemilahan sampah, frekuensi tanah longsor tinggi Frekuesi tanah longsor 74 kejadian dengan 24korban jiwa dan 3 unit rumah rusak 2 28 Riau, Jambi, Lampung, Kep. Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta, Banten, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimatan Timur Kebakaran, daerah resapan air, curah hujan Frekuensi tanah longsor rendah, jumlah rumah rusak 6 unit, jumlah korban rata-rata 28 jiwa Kalimantan Tengah Bengkulu Curah hujan, kebakaran, lahan kritis Pemilahan sampah, curah hujan, jumlah hari hujan, lahan kritis Frekuensi tanah longsor 4 kejadian dengan 25 korban jiwa Frekuensi tanah longsor 17 kejadian, jumlah rumah rusak 3 unit, jumlah korban 15 jiwa 5 27 Aceh, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat Pemilahan sampah, jumlah hari hujan, keberadaan lahan kritis, daerah resapan biopori Frekuensi tanah longsor 42 kejadian dengan 89 korban jiwa, 8 unit rumah rusak dan 1.3 km jalan rusak 6 57 Nusa Tenggara Timur Lahan curam, gempa bumi, lahan kritis Frekuensi tanah longsor 57 peristiwa dengan 48 korban jiwa, 7 unit rumah rusak dan 1.37 km jalan rusak 90

61 Cluster Frekuensi tanah longsor Provinsi Faktor yang paling mempengaruhi Dampak yang paling mempengaruhi Sumatera Barat Lahan curam, pemilahan sampah, gempa bumi, curah hujan, jumlah hari hujan Frekuensi tanah longsor 172 kejadian dengan 51 korban jiwa, 4 rumah rusak dan 1.02km jalan rusak Jawa Timur Curah hujan, pemilahan sampah, gempa bumi, jumlah hari hujan, kebakaran Frekuensi tanah longsor 336 kejadian dengan 75 korban jiwa, 5 rumah rusak dan 0.3 km jalan rusak Jawa Barat, Jawa Tengah Lahan curam, gempa bumi, kebakaran lahan kritis, daerah resapan air Frekuensi tanah longsor 1113 kejadian dengan 36 korban jiwa, 8 rumah rusak dan 0.1km jalan rusak Adapun hasil pembentukan model 9 cluster dapat representasikan dalam bentuk peta seperti yang tersaji pada gambar Gambar 3.20 Peta Indonesia Berdasarkan Hasil Pembentukan model 9 Cluster 91

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D.

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. ANALISIS BENCANA DI INDONESIA BERDASARKAN DATA BNPB MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING DATA MINING MAHESA KURNIAWAN 54412387 Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. Bencana merupakan peristiwa yang dapat

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. survei yang dilakukan BPS pada 31 Oktober Langkah selanjutnya yang

BAB III PEMBAHASAN. survei yang dilakukan BPS pada 31 Oktober Langkah selanjutnya yang BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam skripsi ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari buku saku Ikhtisar Data Pendidikan Tahun 2016/2017. Data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Data

Lebih terperinci

Clustering Dampak Gempa Bumi di Indonesia Menggunakan Kohonen Self Organizing Maps

Clustering Dampak Gempa Bumi di Indonesia Menggunakan Kohonen Self Organizing Maps Prosiding SI MaNIs (Seminar Nasional Integrasi Matematika dan Nilai Islami) Vol.1, No.1, Juli 2017, Hal. 188-194 p-issn: 2580-4596; e-issn: 2580-460X Halaman 188 Clustering Dampak Gempa Bumi di Indonesia

Lebih terperinci

Lingkungan Implementasi Clustering Menggunakan SOM HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan Data Perkembangan Anak Validasi Cluster Menggunakan

Lingkungan Implementasi Clustering Menggunakan SOM HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan Data Perkembangan Anak Validasi Cluster Menggunakan sehingga dapat diproses dengan SOM. Pada tahap seleksi data, dipilih data perkembangan anak berdasarkan kategori dan rentang usianya. Kategori perkembangan tersebut merupakan perkembangan kognitif, motorik

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

PENGELOMPOKAN DAMPAK GEMPA BUMI DARI SEGI KERUSAKAN FASILITAS PADA PROVINSI YANG BERPOTENSI GEMPA DI INDONESIA MENGGUNAKAN K-MEANS-CLUSTERING

PENGELOMPOKAN DAMPAK GEMPA BUMI DARI SEGI KERUSAKAN FASILITAS PADA PROVINSI YANG BERPOTENSI GEMPA DI INDONESIA MENGGUNAKAN K-MEANS-CLUSTERING PENGELOMPOKAN DAMPAK GEMPA BUMI DARI SEGI KERUSAKAN FASILITAS PADA PROVINSI YANG BERPOTENSI GEMPA DI INDONESIA MENGGUNAKAN K-MEANS-CLUSTERING Hepita Artatia, RB Fajriya Hakim Program Studi Statistika Fakultas

Lebih terperinci

Training. Level Transformasi Wavelet. Banyak Fitur. Ukuran Dimensi. 0 40x x30 600

Training. Level Transformasi Wavelet. Banyak Fitur. Ukuran Dimensi. 0 40x x30 600 Citra asli Citra ya Inisialisasi: Topologi jaringan, Bobot awal, Lebar tetangga, Nilai laju awal pembelajaran Kriteria pemberhentian Training Error> -6 Epoch< 4 Alpha> HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METODE CLUSTER SOM IDB SEBAGAI ANALISA PENGELOMPOKAN PENERIMA BEASISWA

PEMANFAATAN METODE CLUSTER SOM IDB SEBAGAI ANALISA PENGELOMPOKAN PENERIMA BEASISWA IJCCS, Vol.x, No.x, July xxxx, pp. 1~5 ISSN: 1978-1520 11 PEMANFAATAN METODE CLUSTER SOM IDB SEBAGAI ANALISA PENGELOMPOKAN PENERIMA BEASISWA Lilia Rahmawati 1, Andharini Dwi Cahyani 2, Sigit Susanto Putro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia terletak di daerah rawan bencana. Berbagai jenis kejadian bencana telah terjadi di Indonesia, baik bencana alam, bencana karena kegagalan teknologi

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.39/07/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR

Lebih terperinci

PEMETAAN SEBARAN MUTU PENDIDIKAN DASAR MENGGUNAKAN METODE SELF ORGANIZING MAPS

PEMETAAN SEBARAN MUTU PENDIDIKAN DASAR MENGGUNAKAN METODE SELF ORGANIZING MAPS PEMETAAN SEBARAN MUTU PENDIDIKAN DASAR MENGGUNAKAN METODE SELF ORGANIZING MAPS Ahmad Mulla Ali Basthoh 1, Surya Sumpeno 2, dan I Ketut Eddy Purnama 3 Jurusan Teknik Elektro FTI, ITS, Surabaya Kampus ITS

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/9/13/Th. XIX, 1 ember 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,331 Pada 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

2.1 Definisi Operasional Indikator Pemerataan Pendidikan

2.1 Definisi Operasional Indikator Pemerataan Pendidikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Operasional Indikator Pemerataan Pendidikan Pendidikan di Indonesia diselenggarakan sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang ditetapkan dalam UU No. 20 tahun 2003

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011 TABEL 1 GAMBARAN UMUM No. Provinsi Lembaga Pengelola Pengunjung Judul Buku 1 DKI Jakarta 75 83 7.119 17.178 2 Jawa Barat 1.157 1.281 72.477 160.544 3 Banten 96 88 7.039 14.925 4 Jawa Tengah 927 438 28.529

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Jaringan Syaraf Tiruan Artificial Neural Network atau Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah salah satu cabang dari Artificial Intelligence. JST merupakan suatu sistem pemrosesan

Lebih terperinci

PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI INDONESIA TUGAS AKHIR SKRIPSI

PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI INDONESIA TUGAS AKHIR SKRIPSI PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI INDONESIA TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara. LAMPIRAN I ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5 Zona 6 Koefisien = 5 Koefisien = 4 Koefisien = 3 Koefisien = 2 Koefisien = 1 Koefisien = 0,5 DKI Jakarta Jawa Barat Kalimantan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dengan membentuk cluster yang diperoleh dari hasil penerapan algoritma

BAB II KAJIAN TEORI. dengan membentuk cluster yang diperoleh dari hasil penerapan algoritma BAB II KAJIAN TEORI Penelitian ini membahas tentang pemetaan wilayah provinsi di Indonesia dengan membentuk cluster yang diperoleh dari hasil penerapan algoritma pembelajaran Self Organizing Map, dimana

Lebih terperinci

LEARNING VECTOR QUANTIZATION UNTUK PREDIKSI PRODUKSI KELAPA SAWIT PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA I PULAU TIGA

LEARNING VECTOR QUANTIZATION UNTUK PREDIKSI PRODUKSI KELAPA SAWIT PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA I PULAU TIGA LEARNING VECTOR QUANTIZATION UNTUK PREDIKSI PRODUKSI KELAPA SAWIT PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA I PULAU TIGA 1,2,3 Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Universitas Sumatera Utara e-mail: edgar.audela.bb@students.usu.ac.id,

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN No.39/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,335 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi Tabel., dan Padi Per No. Padi.552.078.387.80 370.966 33.549 4,84 4,86 2 Sumatera Utara 3.48.782 3.374.838 826.09 807.302 4,39 4,80 3 Sumatera Barat.875.88.893.598 422.582 423.402 44,37 44,72 4 Riau 454.86

Lebih terperinci

Proses Pengelompompokan Saraf Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST) dengan Algoritme Self-Organizing Maps (SOM)

Proses Pengelompompokan Saraf Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST) dengan Algoritme Self-Organizing Maps (SOM) Prosiding Statistika ISSN: 2460-6456 Proses Pengelompompokan Saraf Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST) dengan Algoritme Self-Organizing Maps (SOM) 1 Tantri Lestari, 2 Abdul Kudus, 2 Sutawanir Darwis

Lebih terperinci

PENGELOMPOKAN PROVINSI DI INDONESIA BERDASARKAN PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT KUALITAS FISIK AIR MINUM DENGAN MENGGUNAKAN K-MEANS CLUSTER

PENGELOMPOKAN PROVINSI DI INDONESIA BERDASARKAN PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT KUALITAS FISIK AIR MINUM DENGAN MENGGUNAKAN K-MEANS CLUSTER PENGELOMPOKAN PROVINSI DI INDONESIA BERDASARKAN PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT KUALITAS FISIK AIR MINUM DENGAN MENGGUNAKAN K-MEANS CLUSTER Artanti Indrasetianingsih Dosen Program Studi Statistika, FMIPA

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Indikasi adanya ledakan penduduk di Indonesia yang ditunjukkan beberapa indikator demografi menjadikan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018 - 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018 MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh No.1368, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Hasil Pemetaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG HASIL PEMETAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PENDUDUK 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Propinsi (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

PERTUMBUHAN PENDUDUK 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Propinsi (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) PERTUMBUHAN PENDUDUK 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis Guineensis) merupakan salah satu komoditas ekspor perkebunan terbesar di Indonesia. Indonesia mempunyai struktur tanah serta curah hujan yang

Lebih terperinci

2

2 2 3 c. Pejabat Eselon III kebawah (dalam rupiah) NO. PROVINSI SATUAN HALFDAY FULLDAY FULLBOARD (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. ACEH

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Curah hujan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap perubahan cuaca yang semakin memburuk. Curah hujan merupakan total air hujan yang terjatuh pada permukaan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014 BADAN PUSAT STATISTIK No. 52/07/Th. XVII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 28,28 JUTA ORANG Pada Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha)

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Kawasan Hutan Total No Penutupan Lahan Hutan Tetap APL HPK Jumlah KSA-KPA HL HPT HP Jumlah Jumlah

Lebih terperinci

Desa Hijau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Desa Hijau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Desa Hijau Untuk Indonesia Hijau dan Sehat Direktorat Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 21 Anatomi Ayam Pengetahuan tentang anatomi ayam sangat diperlukan dan penting dalam pencegahan dan penanganan penyakit Hal ini karena pengetahuan tersebut dipakai sebagai dasar

Lebih terperinci

BAB 3 Metodologi 3.1 Kerangka Berpikir

BAB 3 Metodologi 3.1 Kerangka Berpikir BAB 3 Metodologi 3.1 Kerangka Berpikir Kerusakan bangunan akibat gempa bumi menjadi salah satu penyebab dominan jatuhnya korban jiwa. Dibutuhkan suatu upaya untuk meminimalisasikan kerusakan bangunan akibat

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Data Yang Digunakan Dalam melakukan penelitian ini, penulis membutuhkan data input dalam proses jaringan saraf tiruan backpropagation. Data tersebut akan digunakan sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Biplot Kanonik dan Analisis Procrustes dengan Mathematica Biplot biasa dengan sistem perintah telah terintegrasi ke dalam beberapa program paket statistika seperti SAS,

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 No. 41/07/36/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 GINI RATIO PROVINSI BANTEN MARET 2017 MENURUN Pada 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten yang diukur

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XVII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 28,55 JUTA ORANG Pada bulan September 2013, jumlah

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUK DAUN MENGGUNAKAN METODE KOHONEN ABSTRAK

KLASIFIKASI BENTUK DAUN MENGGUNAKAN METODE KOHONEN ABSTRAK KLASIFIKASI BENTUK DAUN MENGGUNAKAN METODE KOHONEN Safwandi. ST., M.Kom 1, Yenni Maulida, S.T ABSTRAK Penelitian ini menjelaskan tentang suatu metode klasifikasi bentuk daun berdasarkan input berupa bentuk

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011 No. 07/01/31/Th. XV, 2 Januari 2013 INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) DKI Jakarta Tahun 2011 A. Penjelasan Umum

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG BIAYA PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI BAGI BUPATI DAN WAKIL BUPATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO,

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 10,64 PERSEN No. 66/07/Th. XX, 17 Juli 2017 Pada bulan Maret 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode. 1 010022 Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode. 1 010022 Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154 ALOKASI ANGGARAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN YANG DILIMPAHKAN KEPADA GUBERNUR (Alokasi Anggaran Dekonsentrasi Per Menurut Program dan Kegiatan) (ribuan rupiah) 1 010022 : DKI Jakarta 484,909,154

Lebih terperinci

APLIKASI PENGENALAN POLA DAUN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF LEARNING VECTOR QUANTIFICATION UNTUK PENENTUAN TANAMAN OBAT

APLIKASI PENGENALAN POLA DAUN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF LEARNING VECTOR QUANTIFICATION UNTUK PENENTUAN TANAMAN OBAT APLIKASI PENGENALAN POLA DAUN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF LEARNING VECTOR QUANTIFICATION UNTUK PENENTUAN TANAMAN OBAT Fradika Indrawan Jurusan Teknik Informatika, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta Jl.

Lebih terperinci

Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013)

Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013) Lampiran Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013) Berikut ini beberapa contoh perhitungan dari variabel riskesdas yang menyajikan Sampling errors estimation

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.46/07/52/Th.I, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,371 Pada

Lebih terperinci

JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN PERIODE 1 JANUARI S.D 31 OKTOBER 2015

JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN PERIODE 1 JANUARI S.D 31 OKTOBER 2015 JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN NO PROVINSI LAKI-LAKI PEREMPUAN Total 1 ACEH 197 435 632 2 SUMATERA UTARA 1,257 8,378 9,635 3 SUMATERA BARAT 116 476 592

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK 2.1 KONSEP DASAR Pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang dijadikan acuan untuk menyelesaikan penelitian. Berikut ini teori yang akan digunakan penulis

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. No.1562, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016 BADAN PUSAT STATISTIK. 29/03/Th. XIX, 15 Maret 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016 RUPIAH TERAPRESIASI 3,06 PERSEN TERHADAP DOLAR AMERIKA Rupiah terapresiasi 3,06 persen

Lebih terperinci

SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON

SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON Jurnal Informatika Mulawarman Vol. 7 No. 3 Edisi September 2012 105 SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON Anindita Septiarini Program Studi Ilmu Komputer FMIPA,

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH TRAVELING SALESMAN PROBLEM DENGAN JARINGAN SARAF SELF ORGANIZING

PENYELESAIAN MASALAH TRAVELING SALESMAN PROBLEM DENGAN JARINGAN SARAF SELF ORGANIZING Media Informatika, Vol. 6, No. 1, Juni 2008, 39-55 ISSN: 0854-4743 PENYELESAIAN MASALAH TRAVELING SALESMAN PROBLEM DENGAN JARINGAN SARAF SELF ORGANIZING Sukma Puspitorini Program Studi Teknik Informatika

Lebih terperinci

PANDUAN. Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2

PANDUAN. Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2 PANDUAN Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2 Bagian Pengelolaan Barang Milik Negara Sekretariat Direktorat Jenderal Cipta Karya DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN AKREDITASI NASIONAL ( BAN PAUD DAN PNF ) NOMOR: 024/BAN PAUD DAN PNF/AK/2017

KEPUTUSAN BADAN AKREDITASI NASIONAL ( BAN PAUD DAN PNF ) NOMOR: 024/BAN PAUD DAN PNF/AK/2017 KEPUTUSAN BADAN AKREDITASI NASIONAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN PENDIDIKAN NONFORMAL ( BAN PAUD DAN PNF ) NOMOR: 024/BAN PAUD DAN PNF/AK/2017 TENTANG ALOKASI KUOTA AKREDITASI BAP PAUD DAN PNF TAHUN 2018

Lebih terperinci

KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG

KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG DATA SASARAN PROGRAM KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SEKRETARIS

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL SIG PENENTUAN KAWASAN RAWAN LONGSOR SEBAGAI MASUKAN RENCANA TATA RUANG Studi Kasus; Kabupaten Tegal TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN MODEL SIG PENENTUAN KAWASAN RAWAN LONGSOR SEBAGAI MASUKAN RENCANA TATA RUANG Studi Kasus; Kabupaten Tegal TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN MODEL SIG PENENTUAN KAWASAN RAWAN LONGSOR SEBAGAI MASUKAN RENCANA TATA RUANG Studi Kasus; Kabupaten Tegal TUGAS AKHIR Oleh: JOKO SUSILO L2D 004 326 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAN PROFIL PENDERITA DIABETES

BAB II DESKRIPSI DAN PROFIL PENDERITA DIABETES BAB II DESKRIPSI DAN PROFIL PENDERITA DIABETES 2.1 Deskripsi Diabetes Diabetes adalah penyakit yang disebabkan oleh pola makan/nutrisi, kebiasaan tidak sehat, kurang aktifitas fisik, dan stress. Penderita

Lebih terperinci

APLIKASI PENGGUNAAN METODE KOHONEN PADA ANALISIS CLUSTER (Studi Kasus: Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah Dalam Menghadapi Asean Community 2015)

APLIKASI PENGGUNAAN METODE KOHONEN PADA ANALISIS CLUSTER (Studi Kasus: Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah Dalam Menghadapi Asean Community 2015) APLIKASI PENGGUNAAN METODE KOHONEN PADA ANALISIS CLUSTER (Studi Kasus: Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah Dalam Menghadapi Asean Community 015) Rezzy Eko Caraka 1 (1) Statistics Center Undip, Jurusan Statistika,

Lebih terperinci

Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Bintang Menurut Provinsi,

Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Bintang Menurut Provinsi, yang Tersedia pada Menurut, 2000-2015 2015 yang Tersedia pada ACEH 17 1278 2137 SUMATERA UTARA 111 9988 15448 SUMATERA BARAT 60 3611 5924 RIAU 55 4912 7481 JAMBI 29 1973 2727 SUMATERA SELATAN 61 4506 6443

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK No. 35/07/91 Th. XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,390 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan setiap individu. Pangan merupakan sumber energi untuk memulai segala aktivitas. Menurut Undang-Undang No.18 Tahun

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital Citra digital adalah citra yang bersifat diskrit yang dapat diolah oleh computer. Citra ini dapat dihasilkan melalui kamera digital dan scanner ataupun citra yang

Lebih terperinci

PENERAPAN DATAMINING PADA POPULASI DAGING AYAM RAS PEDAGING DI INDONESIA BERDASARKAN PROVINSI MENGGUNAKAN K-MEANS CLUSTERING

PENERAPAN DATAMINING PADA POPULASI DAGING AYAM RAS PEDAGING DI INDONESIA BERDASARKAN PROVINSI MENGGUNAKAN K-MEANS CLUSTERING PENERAPAN DATAMINING PADA POPULASI DAGING AYAM RAS PEDAGING DI INDONESIA BERDASARKAN PROVINSI MENGGUNAKAN K-MEANS CLUSTERING Mhd Gading Sadewo 1, Agus Perdana Windarto 2, Dedy Hartama 3 1 Mahasiswa Sistem

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013 No., 05/01/81/Th. XV, 2 Januari 2014 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan) di Maluku

Lebih terperinci

Λ = DATA DAN METODE. Persamaan Indeks XB dinyatakan sebagai berikut. XB(c) = ( ) ( )

Λ = DATA DAN METODE. Persamaan Indeks XB dinyatakan sebagai berikut. XB(c) = ( ) ( ) Indeks XB (Xie Beni) Penggerombolan Fuzzy C-means memerlukan indeks validitas untuk mengetahui banyak gerombol optimum yang terbentuk. Indeks validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks

Lebih terperinci

P E N D A H U L U A N Latar Belakang

P E N D A H U L U A N Latar Belakang KLASIFIKASI KEKERAPAN KUNJUNGAN LOKASI BERBASIS LOCATION BASED SERVICE (LBS) MENGGUNAKAN SELF-ORGANIZING MAP (SOM) Oleh : Dhanang Fitra Riaji (NRP : 2208205737) PROGRAM MAGISTER JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 MENCAPAI 29,89 JUTA ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

BKN. Kantor Regional. XIII. XIV. Pembentukan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

BKN. Kantor Regional. XIII. XIV. Pembentukan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA No.1058, 2014 BKN. Kantor Regional. XIII. XIV. Pembentukan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR 20 TAHUN 20142014 TENTANG PEMBENTUKAN KANTOR REGIONAL XIII DAN KANTOR REGIONAL XIV

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN DANA DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

Tabel 1.1: Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Air Minum Bukan Leding menurut Provinsi untuk Wilayah Pedesaan. Perdesaan

Tabel 1.1: Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Air Minum Bukan Leding menurut Provinsi untuk Wilayah Pedesaan. Perdesaan BAB 1 PENDAHULUAN Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup. Pelestarian sumberdaya air secara kualitatif dan kuantitatif kurang mendapat perhatian. Secara kualitatif

Lebih terperinci

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 21/03/12/Th. XVIII, 2 Maret 2015 TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Syaraf Biologi Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki kemampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung yang disebut

Lebih terperinci

FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH 1 Diah Safitri, 2 Rita Rahmawati, 3 Onny Kartika Hitasari 1,2,3 Departemen Statistika FSM Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 14, terdiri dari tahap identifikasi masalah, pengumpulan dan praproses data, pemodelan

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 132 /PMK.02/2010 TENTANG INDEKS DALAM RANGKA PENGHITUNGAN PENETAPAN TARIF PELAYANAN PNBP PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 34/05/64/Th.XIX, 2 Mei 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) KALIMANTAN TIMUR*) MENURUT SUB SEKTOR BULAN APRIL 2016 Nilai Tukar Petani Provinsi Kalimantan Timur

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN No.12/02/Th.XI, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,392 Pada ember 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 454, 2016 ANRI. Dana. Dekonsentrasi. TA 2016. Pelaksanaan. PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. FRBFNN, Arsitektur FRBFNN, aplikasi FRBFNN untuk meramalkan kebutuhan

BAB III PEMBAHASAN. FRBFNN, Arsitektur FRBFNN, aplikasi FRBFNN untuk meramalkan kebutuhan BAB III PEMBAHASAN Pada bab ini berisi mengenai FRBFNN, prosedur pembentukan model FRBFNN, Arsitektur FRBFNN, aplikasi FRBFNN untuk meramalkan kebutuhan listrik di D.I Yogyakarta. A. Radial Basis Function

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.366, 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan. Organisasi. Tata Kerja. Perubahan. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bencana banjir berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 1815 2013 yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

FUZZY-NEURO LEARNING VECTOR QUANTIZATION (FNLVQ)

FUZZY-NEURO LEARNING VECTOR QUANTIZATION (FNLVQ) BAB 2 FUZZY-NEURO LEARNING VECTOR QUANTIZATION (FNLVQ) Bab ini akan menjelaskan algoritma pembelajaran FNLVQ konvensional yang dipelajari dari berbagai sumber referensi. Pada bab ini dijelaskan pula eksperimen

Lebih terperinci

DATA MENCERDASKAN BANGSA

DATA MENCERDASKAN BANGSA Visi BPS Pelopor Data Statistik Terpercaya untuk Semua Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 237,6 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun DATA MENCERDASKAN

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Forecasting Forecasting (peramalan) adalah seni dan ilmu untuk memperkirakan kejadian di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan data historis dan memproyeksikannya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penanggulangan Krisis, Dr. Rustam S. Pakaya, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penanggulangan Krisis, Dr. Rustam S. Pakaya, MPH NIP KATA PENGANTAR Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, buku Buku Profil Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana Tahun 2008 ini dapat diselesaikan sebagaimana yang telah direncanakan. Buku ini menggambarkan

Lebih terperinci

Analisis Pengelompokan dengan Metode K-Rataan

Analisis Pengelompokan dengan Metode K-Rataan 511 Analisis Pengelompokan dengan Metode K-Rataan Titin Agustin Nengsih Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Abstrak Analisis pengelompokkan adalah salah satu metode eksplorasi data untuk

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Profil Kemiskinan Provinsi Bengkulu September 2017 No. 06/01/17/Th. XII, 2 Januari 2018 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI BENGKULU Profil Kemiskinan Provinsi Bengkulu September 2017 Persentase Penduduk Miskin

Lebih terperinci