PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI INDONESIA TUGAS AKHIR SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI INDONESIA TUGAS AKHIR SKRIPSI"

Transkripsi

1 PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI INDONESIA TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains Oleh : Muhammad Faishal Afif PROGRAM STUDI MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017 i

2 PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR DI INDONESIA Oleh: Muhammad Faishal Afif NIM ABSTRAK Metode Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode Neural Network sebagai salah satu bentuk topologi dari Unsupervised Neural Network dimana dalam proses pembelajarannya tidak memerlukan target output. Model SOM akan digunakan untuk pembentukan cluster dari wilayah provinsi di Indonesia berdasarkan tingkat kerawanan terjadi bencana tanah longsor. Cluster pada penelitian ini akan beranggotakan satu wilayah provinsi atau lebih yang memiliki suatu karakteristik tertentu berdasarkan variabel input. Untuk mendapatkan model pembentukan cluster terbaik dari proses pembelajaran algoritma Self Organizing Map maka setiap cluster perlu divalidasi menggunakan nilai Davies Bouldin Index. Prosedur pembentukan cluster dengan menggunakan algortima pembelajaran Self Organizing Map adalah dengan menentukan data input faktorfaktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak terjadinya bencana tanah longsor, mengisialisasi bobot, menentukan banyaknya iterasi maksimum, menghitung jarak inter-cluster dengan eucledian distance, menentukan update bobot, dan membentuk cluster berdasarkan nilai dari eucledian distance antara neuron dengan data input. Prosedur validasi model cluster adalah dengan menentukan variance dari masing-masing cluster, menentukan jarak antar cluster, dan menentukan nilai validasi Davies Bouldin Index. Suatu model cluster yang terbaik dari suatu proses pembelajaran adalah model cluster yang memiliki nilai Davies Bouldin Index terkecil. Pembentukan model cluster terbaik dari proses pembelajaran algoritma Self Organizing Map memberikan model terbaik dengan 33 neuron input dan 9 neuron output. Dengan demikian proses pembelajaran algoritma Self Organizing Map membentuk 9 cluster dengan karakteristik yang berbeda-beda pada masingmasing cluster. Kata kunci: Self Organizing Map; Unsupervised Artificial Neural Network; Davies Bouldin Index; Tanah Longsor ii

3 LEMBAR PERSETUJUAN Tugas Akhir Skripsi dengan Judul PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR DI INDONESIA Disusun Oleh: Muhammad Faishal Afif Telah disetujui dan disahkan oleh dosen pembimbing untuk diajukan kepada Dewan Penguji Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Mengetahui, Ketua Program Studi Yogyakarta, 13 April 2017 Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Agus Maman Abadi, M.Si NIP Retno Subekti, M.Sc NIP iii

4 HALAMAN PENGESAHAN Tugas Akhir Skripsi PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR DI INDONESIA Disusun oleh: Muhammad Faishal Afif NIM : Telah diujikan di depan Tim Penguji Tugas Akhir Skripsi Program Studi Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Pada tanggal 13 April 2017 TIM PENGUJI Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal Retno Subekti, M.Sc NIP Nikenasih Binatari, M. Si NIP Eminugroho R.S, M. Sc NIP Rosita Kusumawati, M.Sc NIP Ketua Penguji Sekretaris Penguji Penguji Utama Penguji Pendamping Yogyakarta, 2017 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Dekan, Dr. Hartono NIP iv

5 SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini saya: Nama : Muhammad Faishal Afif NIM : Program Studi : Matematika Jurusan Fakultas Judul TAS : Pendidikan Matematika : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam : Penerapan Algoritma Self Organizing Map dalam Memetakan Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor di Indonesia menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata cara penulisan karya ilmiah yang telah lazim. Apabila ternyata terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dan saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Yogyakarta, 13 April 2017 Yang Menyatakan Muhammad Faishal Afif NIM v

6 MOTTO Pass another way and you ll find something new vi

7 DAFTAR ISI ABSTRAK... ii LEMBAR PERSETUJUAN... iii HALAMAN PENGESAHAN... iv MOTTO... vi PERSEMBAHAN... vii KATA PENGANTAR... xi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan masalah... 7 C. Tujuan penelitian... 7 D. Manfaat... 8 BAB II KAJIAN TEORI... 9 A. Tanah longsor... 9 B. Artificial Neural Network (ANN) vii

8 1. Arsitektur Jaringan Fungsi Aktivasi Algoritma pembelajaran Fungsi Transfer C. Clustering D. Eucledian Distance E. Davies Bouldin Index BAB III PEMBAHASAN A. Arsitektur dan Algoritma Pembelajaran Self Organizing Map Membangun jaringan pada algoritma Self Organizing Map Prosedur Pembentukan Cluster dengan Algoritma Self Organizing Map 37 B. Penerapan Metode Davies Bouldin Index (DBI) dalam Menentukan Cluster Terbaik dari Proses Algoritma Self Organizing Map C. Analisis Pembentukan Cluster dengan metode Self Organizing Map Analisis Faktor dan Dampak Terjadinya tanah longsor pada masingmasing Cluster Analisis Cluster Berdasarkan Faktor dan Dampak Terjadinya Bencana Tanah Longsor di Indonesia viii

9 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA Lampiran 1 Data Faktor Terjadinya Bencana Alam Tanah Longsor dan Dampak Terjadinya Bencana Tanah Longsor di Indonesia Lampiran 2 Hasil Normalisasi Data Input Lampiran 3 Bobot Akhir untuk Masing Masing Pembentukan Model Cluster Lampiran 4 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster dan Pembentukan Cluster Lampiran 5 Hasil Pembentukan Cluster dengan Jumlah Anggota Masing-Masing Cluster Lampiran 6 Nilai Mean dari Faktor-Faktor Terjadinya Bencana Tanah Longsor dan Dampak dari Bencana Tanah Longor dari Seluruh Anggota Cluster Lampiran 7 Pembentukan jaringan dan penentuan bobot akhir dengan Matlab. 144 ix

10 PERSEMBAHAN Pada lembar persembahan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima asih kepada pihak-pihak yang selalu memberikan dukungan pada penulis dalam penyusunan skripsi ini, adapun yang dimaksud adalah sebagai berikut : Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Ibu Ratna Haryani dan Bapak Tardi Widodo selaku orang tua penulis dan seluruh keluarga besar penulis terutama kakek dan nenek tercinta, almarhum aki Paidi dan nini Muntamah yang selalu memberi dukungan berupa materi dan do a kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaian tugas akhir skripsi ini. 2. Teman-teman Matematika E 2013 selaku teman seperjuangan dalam menempuh pendidikan tertinggi yang senantiasa saling menyemangati dan bersaing dalam kebaikan. 3. Teman-teman Alumni Pesantren Ibnul Qoyyim angkatan 13 Mangestu yang memberi dukungan dan semangat serta bantuan kepada penulis 4. Semua pihak yang telah mendukung dalam penyelesaian tugas akhir skripsi skripsi ini x

11 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan HidayatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Skripsi yang berjudul Penerapan Algoritma Self Organizing Map dalam Memetakan Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor di Indonesia disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan guna meraih gelar Sarjana Sains pada Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari kendala, namun adanya bimbingan, saran, dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga kendala tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Hartono, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kelancaran pelayanan dalam urusan akademik. 2. Bapak Dr. Ali Mahmudi, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kelancaran pelayanan dalam urusan akademik. 3. Bapak Dr. Agus Maman Abadi, selaku Ketua Program Studi Matematika Universitas Negeri Yogyakarta dan Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis selama menyusun skripsi ini. xi

12 4. Ibu Retno Subekti, M.Sc, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam menyusun skripsi. 5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ilmu dan nasehat kepada penulis. 6. Seluruh pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan dan motivasi kepada penulis. Penulis menyadari adanya ketidaktelitian, kekurangan dan kesalahan dalam penulisan tugas akhir skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga penulisan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak yang terkait. Yogyakarta, 13 April 2017 Penulis Muhammad Faishal Afif xii

13 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Variabel Input dan Satuan yang Digunakan Tabel 3.2 Persentase Keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor Tabel 3.3 Hasil Normalisasi Data Variabel Tabel 3.4 Data Hasil Normalisasi untuk Provinsi Aceh Tabel 3.5 Bobot Akhir untuk Model 2 Cluster Tabel 3.6 Hasil Penentuan jarak inter-cluster untuk model 2 Cluster Tabel 3.7 Hasil Pembentukan Model 2 Cluster Tabel 3.8 Penentuan Jarak Inter-Cluster dan Pembentukan Cluster untuk Model 8 Cluster xiii

14 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Arsitektur Jaringan Syaraf dengan Layer Tunggal Gambar 2.2 Arsitektur Jaringan Syaraf dengan Layer Jamak Gambar 2.3 Arsitektur Jaringan Syaraf dengan Lapisan Kompetitif Gambar 2. 4 Jaringan Syaraf Tiruan Feedforward Gambar 2.5 Jaringan Syaraf Tiruan Recurrent Gambar 2..6 Fungsi Aktivasi: Undak Biner (Hard Limit) Gambar 2.7 Fungsi Aktivasi Treshold Gambar 3.1 Arsitektur Self Organizing Map Gambar 3. 2 Ilustrasi Self Organizing Map Gambar 3. 3 Diagram Alir Self Organizing Map (SOM) Gambar Topologi Bobot Model 2 cluster Gambar 3. 5 Diagram Persentase Kepemilikan Kendaraan Bermotor Gambar 3. 6 Diagram Jumlah Lokasi Lahan Berkemiringan Curam, Landai dan Sedang Gambar 3. 7 Diagram Persentase Keluarga berdasarkan Pemilahan Sampah Gambar 3. 8 Diargam Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi Gambar 3. 9 Diagram Jumlah Curah Hujan Gambar Diagram Jumlah Hari Hujan Gambar 3.11 Jumlah Frekuensi Terjadinya Bencana Kebakaran Gambar 3.12 Diagram Keberadaan Lahan Kritis Gambar 3.13 Diagram Persentase Keberadaan Daerah Resapan Air Gambar 3.14 Diagram Persentase Keberadaan Taman/ Tanah Berumput Gambar 3.15 Frekuensti Terjadinya Bencana Tanah Longsor xiv

15 Gambar Diagram Jumlah Korban Akibat Bencana Tanah Longsor Gambar Diagram Jumlah Kerusakan Rumah Gambar Diagram Jumlah Kerusakan Pada Fasilitas Umum Gambar 3.19 Diagram Panjang Jalan yang Terkena Dampak Tanah Longsor Gambar 3.20 Peta Indonesia Berdasarkan Hasil Pembentukan model 9 Cluster 91 xv

16 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Data Faktor Terjadinya Bencana Alam Tanah Longsor dan Dampak Terjadinya Bencana Tanah Longsor di Indonesia Lampiran 2 Hasil Normalisasi Data Input Lampiran 3 Bobot Akhir untuk Masing Masing Pembentukan Model Cluster Lampiran 4 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster dan Pembentukan Cluster Lampiran 5 Hasil Pembentukan Cluster dengan Jumlah Anggota Masing-Masing Cluster Lampiran 6 Nilai Mean dari Faktor-Faktor Terjadinya Bencana Tanah Longsor dan Dampak dari Bencana Tanah Longor dari Seluruh Anggota Cluster Lampiran 7 Pembentukan jaringan dan penentuan bobot akhir dengan Matlab. 144 xvi

17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia terletak di daerah rawan bencana. Berbagai jenis kejadian bencana telah terjadi di Indonesia, baik bencana alam, bencana karena kegagalan teknologi maupun bencana karena ulah manusia. Bencana alam merupakan bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi alamiah alam semesta. Ada empat faktor utama penyebab perubahan kondisi alamiah alam semesta, yaitu angin, tanah, air, dan api. Perubahan kondisi dari keempat faktor ini dapat menyebabkan berbagai macam bencana, seperti angin topan, badai, erosi, longsor, banjir, kebakaran dan letusan gunung berapi. Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR) menempatkan Negara Indonesia dalam kategori negara dengan risiko terjadinya bencana alam terbesar. Dalam peta rawan bencana internasional, bencana alam di Indonesia menempati posisi tertinggi untuk bahaya tsunami, tanah longsor dan erupsi gunung berapi (BNPB, 2012). Tingginya kerawanan Negara Indonesia terhadap bencana dikarenakan posisi geografis Indonesia yang berada di ujung pergerakan 3 lempeng dunia, yaitu Eurasia, Indo Australia dan Pasifik. Hal ini diperparah dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dilalui jalur cincin gunung api dunia (Sukandarrumidi,2010). 1

18 Bencana alam di Indonesia mengakibatkan kerugian yang sangat besar, baik dari segi materi maupun jumlah korban. Hingga bulan Juni 2016 jumlah bencana alam yang terjadi di indonesia mencapai angka 1092 kejadian dengan jumlah korban jiwa dan jumlah kerusakan pemukiman unit. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat mengingat kondisi alam saat ini yang tidak stabil (DIBI,2016). Seringnya terjadi bencana alam menimbulkan korban jiwa dan meningkatkan masalah di berbagai lini, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Sehingga perlu dilakukan berbagai upaya penanggulangan bencana. Dalam upaya penanggulangan bencana, ada tiga siklus kegiatan yang harus dilakukan yaitu pra bencana, saat bencana dan pasca bencana, kegiatan ini guna mencegah, mengurangi, menghindari, dan memulihkan diri dari dampak bencana (Depkes, 2007; UU No. 24 Tahun 2007). Tahapan penanggulangan bencana dapat digunakan adalah pendekatan Siklus Penanganan Bencana (Disaster Management Cycle), yang dimulai dari waktu sebelum terjadinya bencana berupa kegiatan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Pada saat terjadi bencana berupa kegiatan tanggap darurat dan selanjutnya pada saat setelah terjadi bencana berupa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi (Depkes RI, 2007). Dari ketiga tahapan penanggulangan bencana diatas, realita yang terjadi adalah kurangnya perhatian terhadapan kegiatan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Hal ini diperkuat dengan masih 2

19 tingginya jumlah korban bencana tanah longsor. Sebagaimana data yang diliris oleh BNPB, jumlah korban jiwa dari bencana tanah longsor tertinggi diantara jumlah korban jiwa dari bencana alam lain, seperti banjir dan gempa bumi. Dari Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI), bencana tanah longsor menjadi bencana alam ketiga yang sering terjadi di Indonesia, di bawah bencana alam banjir dan puting beliung. Catatan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 466 kabupaten yang ada di Indonesia, 218 kabupaten diantaranya memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor lebih dari 10 kejadian. Kabupaten yang memiliki frekuensi terjadinya bencana tanah longsor yang paling tinggi adalah Kabupaten Bandung dengan 204 kejadian. BNPB juga merilis bahwa bencana tanah longsor menjadi bencana alam yang paling sering terjadi di indonesia, sampai bulan juni 2016 tercatat ada kurang lebih kejadian bencana tanah longsor di indonesia, baik yang memakan korban maupun tidak. Pemerintah Indonesia selama ini telah berusaha keras untuk mengatasi masalah-masalah dan bencana tanah longsor yang terjadi. Pengendalian bencana ini dilakukan dengan berbagai teknik dan pengukuran tertentu yang melibatkan teknologi, material, pengoptimalan maupun pembatasan terhadap parameter ukuran. Namun sayangnya, pada umumnya pendekatan penyelesaian masalah bencana masih diberikan secara global. Artinya dari satu wilayah dengan wilayah yang lain diberikan pendekatan penyelesaian yang sama atau bersifat repetitive. Faktanya, setiap daerah atau wilayah 3

20 mempunyai karakteristik berbeda-beda satu sama lain seperti letak geografis, potensi dan keadaan alam, serta penduduknya yang berbeda-beda baik dari segi pendidikan, penghasilan dan tingkah laku. Jika masing-masing karakteristik wilayah tersebut diketahui, maka hal ini akan mempermudah penyelesaian serta penanggulangan masalah bencana yang cocok untuk wilayah tersebut. Berdasarkan pada uraian permasalahan diatas maka perlu adanya pengelompokkan wilayah kabupaten-kabupaten di Indonesia berdasarkan kesamaan karakteristik wilayah, dengan tujuan akhirnya yaitu menghasilkan suatu peta pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor seluruh wilayah provinsi di Indonesia yang harapannya dapat menjadi suatu masukan bagi pemerintah dan pihak terkait untuk menanggulangi bencana tanah longsor dengan lebih efisien. Penelitian terhadap penanggulangan bencana dengan memetakan wilayah berdasarkan potensi terjadi tanah longsor berdasarkan faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor terus dilakukan dengan berbagai metode. Beberapa penelitian terdahulu tentang memetakan daerah rawan bencana tanah longsor yang telah dilakukan, diantaranya adalah Dinata (2013) dengan penelitian tentang pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor di Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng dengan mengaplikasikan metode overlay dan menggunakan 3 variabel input yaitu curah hujan, penggunaan lahan dan kemiringan lereng yang menghasilkan peta daerah rawan bencana tanah longsor di Kecamatan Sukasada. Adapun teknik overlay merupakan 4

21 teknik menumpuk peta sehingga muncul daerah daerah dengan warna tertentu dengan kondisi tertentu. Cahyadi, Fakhri, Gani dan Huuriyah (2016), memetakan gerakan tanah di Kecamatan Majalenka, Jawa Barat dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang menghasilkan tabel analisa resiko. Naryanto (2011), memetakan daerah bencana tanah longsor di Kabupaten Karanganyar dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan penerapan metode overlay. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barakbah dan Santosa (2012) tentang analisa model Hierarchal clustering oleh menunjukkan bahwa metode pembentukan cluster memiliki beberapa kelebihan, yaitu dapat digunakan untuk mengolah informasi dengan jumlah yang sangat besar, dapat digunakan untuk mengelompokkan objek dengan karakteristik yang sangat mirip ke dalam suatu cluster dan memisahkan objek yang berbeda ke dalam cluster yang berbeda pula. Ada banyak algoritma dalam pembentukan cluster, diantaranya adalah algoritma K-means yang digunakan oleh Ong (2013) dalam menentukan strategi marketing President University yang menghasilkan 3 cluster, algoritma Fuzzy C-Means yang digunakan oleh Setiawan (2010) dalam memetakan potensi tanaman kedelai di Jawa Tengah ke dalam cluster berdasarkan potensi penghasil kedelai, algoritma Self Organizing Map yang digunakan oleh Hariri dan Pamungkas (2016) dalam pengelompokkan abstrak dengan hasil 3 buah cluster berdasarkan pengelompokkan abstark dengan pemilihan cluster terbaik menggunakan nilai Sum Square Error terakhir, dan algoritma GDSBScan, Clarans dan Cure 5

22 yang digunakan oleh Mukhlas dan Setiyono (2005) dalam pembentukan Spatial Cluster dengan hasil cluster output dari algoritma Clarans lebih baik daripada algoritma GDSBScan dan Cure. Pada proses penerapan algoritma pembelajaran Self Organizing Map, perlu dilakukan validasi cluster untuk menentukan apakah suatu model cluster tersebut baik sehinggga dapat digunakan sebagai kesimpulan. Dalam melakukan proses validasi cluster terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu metode nilai Davies Bouldin Index dan purity sebagaimana yang digunakan dalam penelitian Wahono dan Widiarina (2015) untuk validasi hasil cluster dari proses pembelajaran algoritma K-means. Penelitian lain yang menggunakan metode validasi cluster adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewanti (2013) yang menggunakan nilai Dunn Index, Hubert s Statistic dan koefisien Silhoutte dalam proses validasi hasil pembentukan cluster dari proses pembelajaran algoritma K-means. Dalam pembuatan jaringan, penentuan update bobot dan penentuan hasil output cukup sulit dilakukan apabila menggunakan proses manual, sehingga dalam pengolahan data akan digunakan software untuk membantu proses pembelajaran algoritma. Terdapat beberapa jenis software yang dapat digunakan dalam pembentukan cluster, yaitu software WEKA yang dapat digunakan untuk membantu proses pembentukan cluster dengan menggunakan algoritma K-means (Dewanti, 2013), software Viscovery SOMine yang dapat digunakan untuk membantu proses pembentukan cluster dengan menggunakan algoritma Self Organizing Map (Insani, 2016). 6

23 Pada penelitian yang dilakukan oleh Cahyani, Putro dan Rahmawati (tahun) telah digunakan metode clustering dengan menggunakan algoritma Self Organizing Map yang selanjutnya divalidasi dengan nilai Davies Bouldin Index untuk analisa pengelompokkan penerimaan beasiswa. Namun pada penelitian ini pembelajaran algoritma Self Organizing Map dilakukan dengan perhitungan manual, sehingga dalam proses pembelajaran memakan waktu yang cukup lama. Berdasarkan paparan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Penerapan Algoritma Self Organizing Map dalam Memetakan Daerah Rawan Bencana Alam Tanah Longsor di Indonesia yang harapannya dapat memanfaatkan algoritma Self Organizing Map dan Davies Bouldin Index dengan menggunakan software Matlab sehingga proses pembelajaran dapat memakan waktu yang lebih singkat. B. Rumusan masalah 1. Bagaimana penerapan algoritma Self Organizing Map dalam pembentukan cluster provinsi di Indonesia berdasarkan karateristik wilayah dan tingkat kerawanan bencana alam tanah longsor? 2. Bagaimana penerapan Davies Bouldin Index dalam proses pemilihan cluster provinsi di Indonesia yang terbaik pada algoritma Self Organizing Map? C. Tujuan penelitian 1. Menerapkan algoritma Self Organizing Map dalam pembentukan cluster provinsi di Indonesia berdasarkan karateristik wilayah dan tingkat kerawanan bencana alam tanah longsor. 7

24 2. Menerapkan Davies Bouldin Index dalam proses pemilihan cluster provinsi di Indonesia yang terbaik pada algoritma Self Organizing Map. D. Manfaat 1. Menambah wawasan para pembaca umum tentang algoritma Self Organizing Map untuk membentuk cluster. 2. Menambah wawasan para pembaca umum tentang metode validasi cluster dengan menggunakan nilai Davies Bouldin Index untuk menentukan cluster terbaik dari proses pembentukan cluster dalam algoritma pembelajaran Self Organizing Map. 3. Menambah referensi bagi mahasisa dalam penggunaan model-model pembentukan cluster. 8

25 BAB II KAJIAN TEORI Penelitian ini membahas tentang pemetaan wilayah provinsi di Indonesia dengan membentuk cluster yang diperoleh dari hasil penerapan algoritma pembelajaran Self Organizing Map, dimana hasil output cluster dari proses algoritma pembelajaran Self Organizing Map tersebut divalidasi menggunakan nilai Davies Bouldin Index yang kemudian nilai tersebut akan digunakan dalam proses pemilihan model cluster terbaik. Sebelum melakukan proses pembentukan cluster ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu : A. Tanah longsor 1. Definisi Tanah Longsor Tanah longsor secara umum adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Secara geologi tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah (Nandi, 2007: 6). Ada 6 jenis tanah longsor (BNPB, 2011), yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi jika gaya pendorong lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruh oleh kekuatan batuan dan 9

26 kepadatan tanah, sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. Gejala umum tanah longsor ditandai dengan munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, munculnya mata air baru secara tiba-tiba dan tebing yang rapuh serta kerikil yang mulai berjatuhan. Faktor penyebab lainnya adalah sebagai berikut (Nandi, 2007: 6-13): a. Hujan Pengaruh curah hujan dalam menghasilkan longsor adalah suatu yang jelas, meskipun sangat sulit untuk menjelas secara tepat (Blong dan Dunkerley,1976). Kesulitan ini muncul karena curah hujan hanya mempengaruhi stabilitas lereng secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap kondisi pori-pori udara di dalam material lereng. Kemudian Caine (1980) menggunakan istilah pengaruh pemicu curah hujan terhadap tanah longsor atau aliran debris. Karateristik curah hujan yang memicu tanah longsor atau aliran debris telah digunakan untuk membangun hubungan atara curah hujan dan tanah longsor/aliran debris di berbagai belahan dunia. Parameter curah hujan paling sering diselidiki dalam kaitannya dengan inisiasi longsor meliputi curah hujan kumulatif, curah hujan terdahulu, dan durasi curah hujan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menentukan sistem peringatan pada berbagai tipe bencana. Sistem peringatan ini petama kali dikembangkan oleh USGS di San Frasisco (Keefer et al.,1987;wilson & Wieczorek,1995). Sistem peringatan ini didasarkan pada perkiraan kuantitatif curah hujan dari kantor pelayanan cuaca nasiona dalam sebuah sistem jaringan alat pengukur hujan real- 10

27 time lebih dari 40 buah secara terus-menerus dan ambang batas curah hujan yang menginisiasi tanah longsor (Cannon & Ellen,1985). Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena pada bulan tersebut intensitas curah hujan meningkat. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu yang singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat meimbulkan longsor karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila terdapat pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi untuk mengikat tanah. b. Lereng terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180 o apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsornya mendatar. c. Tanah yang kurang padat dan tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dari sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini 11

28 memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. d. Batuan yang kurang kuat Batuan endapan gunung api dan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir dan lepung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah apabila mengalami proses pelapukan dan umunya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. e. Jenis tata lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adlaah karena akar pohonnnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama. f. Getaran Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kedaraan. Akibat yang ditimbukan adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak. g. Susut muka air danau atau bendungan Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang. Dengan sudut kemiringan waduk, mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan. 12

29 h. Adanya beban tambahan Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah terjadi penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah. i. Pengikisan/ Erosi Pengikisan banyak terjadi di air sungai yang mengarah ke tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal. j. Adanya material timbunan pada tebing Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terdapatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang diikuti dengan retakan tanah. k. Longsoran lama Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadinya pengendapan material gunung api pada lereng yang releatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri: adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tnahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, dijumpai longsor kecil terutama pada tebing lembah, dijumpai longsoran lama, dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil, longsoran ini cukup luas. 13

30 1) Adanya bidang diskontunuitas (bidang tidak sinambung) Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri : bidang pelapisan batuan, bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar, bidang kontak antara batuan yang retak dengan batuan yang kuat, bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatankan air, dan bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat. Bidang-bidang tersebut merupakan bidang bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor. 2) Penggundulan hutan Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang. 3) Daerah pembuangan sampah Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor ditambah dengan guyuran hujan, seperti yang terjadi di TPAS Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini menyebabkan sekitar 120 orang lebih meninggal. 2. Bencana Tanah Longsor di Indonesia Bencana tanah longsor telah banyak terjadi di Indonesia. Di daerah-daerah tertentu, frekuensi terjadinya bencana tanah longsor dari tahun ke tahun semakin meningkat. Bahkan, di tingkat nasional, jumlah kejadian dan korban yang ditimbulkan cenderung meningkat. Kondisi iklim indonesia yang berupa tropis basah dan letak geografis Indonesia yang berada di jalur gunung api yang sering menimbulkan gempa bumi, 14

31 sehingga menyebabkan potensi tanah longsor menjadi tinggi. Hal ini ditunjang dengan adanya degradasi perubahan tataguna lahan akhir-akhir ini, menyebabkan bencana tanah longsor yang semakin meningkat. Selama ini dalam pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah serta perencanaan pembangunan daerah jarang yang memperhatikan adanya faktor ancaman longsor. Konsekuensinya adalah dampak yang terjadi akan terus berjatuhan apabila tidak dilakukan tindakan nyata mengurangi risiko bencana tanah longsor. Salah satu kasus bencana longsor besar yang pernah terjadi di Indonesia adalah peristiwa bencana tanah longsor yang terjadi di Karanganyar, yaitu pada tanggal 26 Desember Bencana tanah longsor tersebut terjadi di 14 kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang menelan korban jiwa 62 meninggal. B. Neural Network (NN) Model untuk menjelaskan hubungan non linear telah berkembang pesat hingga kini. Salah satu model tersebut adalah Neural Network (NN). Model NN adalah model yang didesain untuk memodelkan bentuk arsitektur syaraf pada otak manusia. Telah banyak dilakukan penelitian dengan menggunakan model NN. Hal ini didorong oleh adanya kemungkinan untuk menggunakan NN sebagai instrumen untuk menyelesaikan berbagai permasalahan aplikasi seperti pattern recognition, signal processing, processing control dan peramalan. NN terdiri dari elemen sederhana yang beroperasi secara paralel dan terinspirasi oleh sistem saraf biologis. Seperti di alam, fungsi jaringan ditentukan terutama oleh hubungan antar elemen, dalam NN elemen ini disebut neuron. Umumnya NN disesusaikan, atau dilatih, sehingga masukan tertentu mengarah ke target output tertentu. NN berawal 15

32 dari memodelkan otak manusia dengan cara berbeda dari computer digital konvensional. Neuron merupakan bagian penting dalam terbentuknya suatu jaringan syaraf. Neuron sendiri terdiri dari tiga bagian, yatu fungsi penjumlahan (summing function), fungsi aktivasi (activation function), dan keluaran (output). Informasi (input) akan dikirm ke neuron dengan bobot tertentu. Input ini akan diproses oleh suatu fungsi yang akan menjumlahkan nilai bobot yang ada. Hasil penjumlahan kemudian akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang (treshold) tertentu melalui fungsi aktivasi setiap neuron. Apabila input tersebut melewati suatu nilai ambang tertentu, maka neuron tersebut akan diaktifkan. Namun apabila input tersebut tidak melewati nilai ambang batas tertentu, maka neuron tidak akan diaktifkan. Apabila neuron tersebut diaktifkan, maka neuron tersebut akan mengirimkan output melalui bobot-bobot outputnya ke semua neuron yang berhubungan dengannya. Sehingga dapat disimpukan bahwa neuron terdiri dari 3 elemen pembentuk yaitu: 1) Himpunan unit-unit yang dihubungkan dengan jalur koneksi. Jalur-jalur tersebut memiliki bobot yang berbeda-beda. Bobot yang bernilai positif akan memperkuat sinyal yang dibawa. Jumlah, struktur, pola hubungan antar unitunit tersebut akan menentukan arsitektur jaringan. 2) Suatu unit penjumlahan yang akan menjumlahkan masukan-masukan sinyal yang sudah dikalikan dengan bobotnya. 16

33 3) Fungsi aktivasi yang akan menentukan apakah sinyal dari input neuron akan diteurskan ke neuron lain atau tidak. Umumnya, jika menggunakan Neural Network, hubungan input dan output harus diketahui secara pasti dan jika hubungan tersebut telah diketahui maka dapat dibuat suatu model. Proses pembelajaran (learning) NN dimulai dengan memasukkan informasi yang sebelumnya telah diketahui hasil kebenarannya. Pemasukan informasi ini dilakukan melalui unit-unit input. Bobot-bobot antar koneksi dalam suatu arsitektur diberi nilai awal dan kemudian NN dijalankan. Bagi jaringan sendiri, bobot-bobot ini digunakan untuk pembelajaran dan mengingat suatu informasi yang telah ada. Pengaturan bobot dilakukan secara terus menerus dan dengan menggunakan kriteria tertentu sampai diperoleh hasil yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Lapisan lapisan penyusun NN dibagi menjadi 3 yaitu (Siang, 2005: 24): 1) Lapisan input (Input Layer) Node-node di dalam lapisan input disebut neuron-neuron input. Neuronneuron input menerima input dari luar, input yang diberikan merupakan penggambaran suatu permasalahan. 2) Lapisan tersembunyi (Hidden Layer) Node di dalam lapisan tersembunyi disebut neuron tersembunyi. Ouput dari lapisan ini tidak dapat diamati secara langsung. 3) Lapisan output (Output Layer) Node-node di dalam lapisan output disebut neuron-neuron output. Output dari lapisan ini merupakan hasil dari NN terhadap suatu permasalahan. 17

34 1. Arsitektur Jaringan Model-model NN ditentukan oleh arsitektur jaringan serta algoritma pelatihan. Arsitektur biasanya menjelaskan arah perjalanan sinyal atau data di dalam jaringan, sedangkan algoritma belajar menjelaskan bagaimana bobot koneksi harus diubah agar pasangan input-output yang diinginkan dapat tercapai. Perubahan bobot koneksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada jenis algoritma pelatihan yang digunakan. Dengan mengatur besarnya nilai bobot ini diharapkan bahwa kinerja jaringan dalam mempelajari berbagai macam pola yang dinyatakan oleh setiap pasangan input-output akan meningkat. Beberapa arsitektur jaringan yang sering dipakai dalam NN antara lain (Fausett, 1994: 12-15) : a. Jaringan Layar Tunggal (Single-Layer Network) Jaringan layar tunggal (single-layer network) adalah jaringan yang menghubungkan langsung neuron pada input layer degan neuron pada output layer dengan bobot yang berbeda-beda. Gambar 2.1 adalah contoh jaringan syaraf dengan lapisan tunggal. Gambar 2.1 Arsitektur Jaringan Syaraf dengan Layer Tunggal 18

35 Pada gambar 2.1, terlihat bahwa jaringan tersebut lapisan input memiliki p neuron yang ditunjukkan oleh notasi sampai dengan. Sedangkan pada lapisan output memiliki p neuron yang ditunjukkan oleh notasi sampai dengan. Setiap neuron pada lapisan input dan lapisan output dihubungkan oleh bobot yang bersesuaian (w). b. Jaringan Lapisan Jamak (Multi-Layer Network) Jaringan lapisan jamak (multi-layer network) adalah jaringan yang lebih kompleks yang terdiri dari input layer, beberapa hidden layer dan output layer. Gambar 2.2 merupakan contoh arsitektur jaringan dengan banyak lapisan (Multilayer Net). Gambar 2.2 Arsitektur Jaringan Syaraf dengan Layer Jamak Pada gambar 2.2, terdapat lapisan input dengan banyak j neuron input. Lapisan tersembunyi ada satu dengan banyaknya neuron tersembunyi. Dan lapisan output dengan banyaknya neuron. Bobot-bobot yang menghubungkan neuron input ke-j menuju neuron ke-k pada lapisan tersembunyi disimbolkan dengan sedangkan 19

36 adalah bobot-bobot dari neuron ke-k pada lapisan tersembunyi yang menuju pada lapisan output ke-l. c. Jaringan Syaraf dengan Lapisan Kompetitif Bentuk arsitektur jaringan syaraf dengan lapisan kompetitif memiliki bentuk yang berbeda karena antar neuron pada jaringan ini dapat saling dihubungkan. Jaringan ini memetakan pola input secara tepat. Namun, apabila terlalu banyak membuat NN hanya mampu mengingat set data yang diberikan pada saat proses pelatihan saja. Sedangkan apabila diberikan data input yang baru maka jaringan tidak mampu mengeluarkan input yang benar. Pada jaringan ini sekumpulan neuron akan bersaing untuk dapat menjadi neuron aktif. Umumnya hubungan antara neuron pada lapisan kompetitif tidak diperlihatkan pada diagram arsitektur. Gambar 3 merupakan salah satu contoh arsitektur jaringan syaraf dengan lapisan kompetitif dengan koneksi dari lapisan tersebut memilki bobot. Gambar 2.3 Arsitektur Jaringan Syaraf dengan Lapisan Kompetitif Setiap jaringan memuat banyak jalur koneksi yang menghubungkan neuron dalam tiap layer. Penghubung ini memiliki bobot (weight) yang memfasilitasi 20

37 pertukaran informasi antar neuron ( ). Metode ini digunakan untuk menentukan bobot koneksi tersebut dinamakan algoritma pelatihan (training). Setiap neuron mempunyai tingkat aktivasi yang merupakan fungsi dari input yang masuk padanya. Aktivasi yang dikirim suatu neuron ke neuron yang lain berupa sinyal dan hanya dapat dikirim sekali dalam satu waktu, meskipun sinyal tersebut disebarkan pada beberapa neuron yang lain. Berdasarkan dari pola koneksi, Neural Network dapat dibagi ke dalam dua kategori: a. Struktur feedforward Sebuah jaringan yang sederhana mempunyai struktur feedforward dimana signal bergerak dari input kemudian melewati hidden layer dan akhirnya mencapai unit output (mempunyai struktur perilaku yang stabil). Tipe jaringan feedforward mempunyai sel syaraf yang tersusun dari beberapa lapisan. Lapisan input bukan merupakan sel syaraf. Lapisan ini hanya memberi pelayanan dengan mengenalkan suatu nilai dari suatu variabel. Hidden layer dan lapisan output sel syaraf terhubung satu sama lain dengan lapisan sebelumnya. Kemungkinan yang timbul adalah adanya hubungan dengan beberapa unit dari lapisan sebelumya atau terhubung semuanya. 21

38 Gambar 2.4 Jaringan Syaraf Tiruan Feedforward Yang termasuk dalam struktur feedforward antara lain single layer perceptron, multilayer perceptron, radial basis function network, higher order network, dan polynomial learning networks. b. Struktur recurrent (feedback) Suatu jaringan recurrent adalah jaringan yang mempunyai koneksi kembali dari output ke input (dari satu layer ke layer yang lain) seperti pada gambar 2.5, hal ini menimbulkan ketidakstabilan dan dinamika yang sangat kompleks pada jaringan tersebut. 22

39 Gambar 2.5 Jaringan Syaraf Tiruan Recurrent Dengan feedback pada struktur recurrent dapat mempercepat proses iterasi. Adanya proses iterasi yang lebih cepat akan membuat update parameter dan kecepatan konvergensi menjadi lebih cepat. 2. Fungsi Aktivasi Fungsi aktivasi mendefinisikan nilai output dari suatu neuron dalam level aktivasi tertentu berdasarkan nilai output pengombinasi linear. Jika

40 maka fungsi aktivasinya adalah ( ) (2.2) dengan net adalah kombinasi linear, menunjukkan vektor input ke-i, menunjukkan bobot-bobot dari vektor input ke-i menuju output ke-j, dan n menunjukkan dimensi vektor input Ada beberapa macam fungsi aktivasi yang digunakan pada jaringan syaraf tiruan, antara lain : a. Fungsi Undak Biner Jaringan dengan lapisan tunggal sering menggunakan fungsi undak (step function) untuk mengonversikan input dari suatu variabel yang bernilai kontinu ke suatu output biner, yaitu 0 atau 1 (Gambar 2.6). Fungsi undak biner (Hard Limit) dirumuskan sebagai berikut { Gambar 2.6 Fungsi Aktivasi: Undak Biner (Hard Limit) 24

41 b. Fungsi Treshold Fungsi treshold merupakan fungsi undak biner yang menggunakan nilai ambang. Fungsi treshold dengan nilai ambang dirumuskan sebagai : { Gambar 2.7 Fungsi Aktivasi Treshold 3. Algoritma pembelajaran Pembelajaran dalam NN didefinisikan sebagai suatu proses dimana parameter-parameter bebas NN diadaptasi melalui suatu proses perangsangan berkelanjutan oleh lingkungan dimana jaringan berada. Proses pembelajaran merupakan bagian penting dari konsep NN. Proses pembelajaran bertujuan untuk melakukan pengaturan terhadap bobot yang ada pada NN, sehingga diperoleh bobot akhir yang tepat sesuai dengan pola data yang dilatih (Sri Kusumadewi & Sri Hartati, 2010:84). Pada proses pembelajaran akan terjadi perbaikan bobot-bobot berdasarkan algoritma tertentu. Nilai bobot akan naik jika informasi yang diberikan ke suatu neuron mampu tersampaikan ke neuron yang lain. Sebaliknya, nilai bobot akan berkurang jika informasi yang diberikan ke neuron tidak tersampaikan ke neuron yang lainnya. Terdapat 2 metode pembelajaran NN, yaitu (Fausett, 1994: 15): 25

42 i. Pembelajaran Terawasi (Supervised Learning) Metode pembelajaran pada NN disebut terawasi jika output yang telah diketahui sebelumnya. Tujuan pembelajaran terawasi adalah untuk mempredksi satu atau lebih variabel target dari satu atau lebih variabel input. Pada proses pembelajaran, satu pola input akan diberikan ke stau neuron pada lapisan input. Selanjutnya pola akan dirambatkan sepanjang NN hingga sampai ke neuron output. Lapisan ouput akan membangkitkan pola output yang akan dicocokkan dengan pola output targetnya. Error muncul apabila terdapat perbedaan antara pola output hasil pembelajaran dengan pola target sehingga diperlukan pembelajaran lagi. ii. Pembelajaran Tak Terawasi (Unsupervised Learning) Pembelajaran tak terawasi tidak memerlukan target output dan jaringan dapat melakukan training sendiri untuk mengestrak fitur dari variabel independen. Pada metode ini, tidak dapat ditentukan hasil outputnya. Selama proses pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range tertentu sesai dengan nilai input yang diberikan. Tujuan pembelajaran ini adalah untuk mengelompokkan unit-unit yang hampir sama ke suatu area tertentu. 4. Fungsi Transfer Karakter dari neural network tergantung atas bobot dan fungsi transfer yang mempunyai ciri tertentu untuk setiap unit. Fungsi ini terdiri dari 3 kategori yaitu : a. Untuk linear units, aktivitas output adalah sebanding dengan jumlah bobot output. 26

43 b. Untuk threshold units, output diatur satu dari dua tingkatan tergantung dari apakah jumlah input adalah lebih besar atau lebih kecil dari nilai ambang. c. Untuk sigmoid units, output terus menerus berubah-ubah tetapi tidak berbentuk linear. Unit ini mengandung kesamaan yang lebih besar dari sel saraf sebenarnya dibandingkan dengan linear dan threshold unit, namun ketiganya harus dipertimbangkan dengan perkiraan kasar. Fungsi transfer dibutuhkan untuk membuat neural network melakukan beberapa kerja khusus. Maka dari itu perlu dipilih bagaimana unit-unit dihubungkan antara satu dengan yang lain dan mengatur bobot dari hubungan tersebut secara cepat. Hubungan tersebut menentukan apakah mungkin suatu unit mempengaruhi unit yang lain. Bobot menentukan kekuatan dari pengaruh tersebut. Dapat dilakukan pembelajaran terhadap 3 lapisan pada neural network untuk melakukan kerja khusus dengan menggunakan prosedur dibawah ini : 1. Memperkenalkan neural network dengan contoh pembelajaran yang terdiri dari sebuah pola dari aktifitas untuk unit-unit input bersama dengan pola yang diharapkan dari aktifitas untuk unit-unit output. 2. Menentukan seberapa dekat output sebenarnya dari neural network sesuai dengan output yang diharapkan. 3. Mengubah bobot-bobot setiap hubungan agar neural network menghasilkan suatu perkiraan yang lebih baik dari output yang diharapkan. C. Clustering Clustering merupakan salah satu metode dalam data mining yaitu teknik pengelompokkan data, pengamatan atau memperhatikan dan membentuk kelas 27

44 obyek yang memiliki kemiripan. Clustering tidak mempunyai target output. Pada metode ini tidak dapat ditentukan hasil output selama proses pembelajaran. Selama proses pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range tertentu tergantung pada nilai input yang diberikan. Tujuan pembelajaran ini adalah mengelompokkan unit-unit yang hampir sama dalam suatu area tertentu. clustering berbeda dengan klasifikasi, dalam hal tidak ada variabel target untuk clustering. Clustering tidak mengklasifikasikan, meramalkan, atau memprediksi nilai dari sebuah variabel target dan digunakan ketika kita tidak mengetahui bagaimana data harus dikelompokkan (Susanto&Suryani, 2010). D. Eucledian Distance Eucledian Distance dianggap sebagai distance matrix yang mengadopsi prinsip Phytagoras. Hal ini dikarenakan pola perhitungannya yang menggunakan aturan pangkat dan akar kuadrat. Eucledian akan memberikan hasil jarak yang relatif kecil (Davies & Bouldin, 1979:224). Jarak antara nilai random atau bobot dan data dihitung dengan menggunakan rumus persamaan 2.3 berikut : (2.3) dimana adalah jarak Eucledian dari input vektor ke-i dengan neuron ke-j, adalah bobot penghubung input vektor ke-j dengan neuron ke-j (bobot akhir), adalah input vector ke-, dan n adalah jumlah dimensi vektor input. 28

45 E. Davies Bouldin Index Davies Bouldin Indeks merupakan salah satu metode validasi cluster untuk evaluasi kuantitatif dari hasil clustering. Pengukuran ini bertujuan meminimumkan jarak inter-cluster dan memaksimumkan jarak intra-cluster (Saitta&Smith, 2007). Dalam penelitian ini Davies Bouldin Indeks akan digunakan untuk mendeteksi outlier pada masing-masing cluster yang terbentuk. 1) Variance dari cluster (2.4) 2) Jarak antar cluster (2.5) 3) Menentukan jarak inter-cluster maksimum (2.6) 4) Validasi Davies Bouldin (2.7) dengan : variansi dari data dalam satu cluster N : banyaknya data dalam satu cluster : data ke- dalam satu cluster : centroid dari cluster ke-i yang dinyatakan dengan ratarata cluster 29

46 : variance dari cluster-i : rata-rata jarak dalam satu cluster : jarak intra-cluster antara cluster-i dengan cluster-j : jarak intra-cluster maksimum DB : nilai Davies Bouldin Index 30

47 BAB III PEMBAHASAN Algoritma Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode NN yang diperkenalkan oleh Professor Teuvo Kohonen pada tahun Self Organizing Map merupakan salah satu bentuk topologi dari Unsupervised Artificial Neural Network (Unsupervised ANN) dimana dalam proses pelatihannya tidak memerlukan pengawasan (target output). Self Organizing Map digunakan untuk mengelompokkan (clustering) data berdasarkan karakteristik atau fitur-fitur data. (Shieh & Liao, 2012). Dalam algoritma Self Organizing Map, data input berupa vektor yang terdiri dari n komponen (tuple) yang akan dikelompokkan dalam maksimum m buah kelompok (disebut vektor contoh). Output jaringan adalah kelompok yang paling dekat atau mirip dengan input yang diberikan. Ada beberapa ukuran kedekatan yang dapat dipakai. Ukuran yang sering dipakai adalah Eucledian distance yang paling minimum (Siang, 2009). Vektor bobot untuk sebuah unit cluster menggambarkan sebuah contoh dari pola input yang dikumpulkan dalam cluster. Selama proses Self Organizing Map, unit cluster yang mempunyai bobot dicocokkan dengan pola input yang terdekat dan dipilih sebagai pemenang (winner). Unit pemenang dan unit tetangganya, dalam hal ini adalah topologi dari unit cluster akan memperbaiki bobot mereka masing-masing (Kristanto, 2004). 31

48 A. Arsitektur dan Algoritma Pembelajaran Self Organizing Map Self Organizing Map atau SOM merupakan suatu algoritma pembelajaran yang baik dalam mengeksporasi data mining dan memiliki kemampuan cukup baik untuk pembentukan model cluster. Self Organizing Map merupakan algoritma yang melakukan pemetaan dari data yang ada di ruang vektor berdimensi tinggi ke ruang vector dua dimensi yang terletak pada lokasi yang berdekatan. Self Organizing Map terdiri dari dua lapisan (layer), yaitu lapisan input dan lapisan output. Setiap neuron dalam lapisan input terhubung dengan setiap neuron pada lapisan output. Setiap neuron pada lapisan output merepresentasikan kelas (cluster) dari input yang telah diberikan. Self Organizing Map merupakan generalisasi dari jaringan kompetitif, dan merupakan jaringan tanpa supervise (Siang, 2009). Self Organizing Map disusun oleh sebuah lapisan unit input yang dihubungkan seluruhnya ke lapisan unit output, yang kemudian unit-unit diatur di dalam topologi khusus seperti struktur jaringan (Jain & Martin, 1998). Secara umum arsitektur jaringan Self Organizing Map dapat dilihat pada gambar 3.1 Gambar 3.1 Arsitektur Self Organizing Map 32

49 dengan adalah vektor input dengan n dimensi dan adalah vektor output dengan m dimensi. Salah satu algoritma pembelajaran untuk Self Organizing Map adalah algoritma pembelajaran kompetitif dengan metode Kohonen (Kusumadewi, 2003). Pada algoritma pembelajaran Self Organizing Map, akumulasi sinyal yang didapat tidak perlu diaktivasi, karena fungsi aktivasi tidak memberikan pengaruh pada pemilihan winner neuron yang akan memperbarui bobotnya dan bobot tetangganya. Dengan demikian, pada proses pelatihan error tidak dihitung pada setiap iterasi pelatihan. Kriteria berhentinya proses pelatihan dalam Self Organizing Map akan menggunakan jumlah iterasi tertentu. Pada Gambar 3.2, jika neuron yang di tengah adalah winner neuron untuk suatu input vektor, maka neighbor neuron untuk winner neuron ini adalah mereka yang terletak di dalam lingkaran area, yang didefinisikan dengan Nc(t1), Nc(t2), dst. Nc(t1) adalah batas area pada iterasi ke-1, Nc(t2) adalah batas area pada iterasi ke-2, dan seterusnya. Neuron yang secara topografi terletak jauh dari winner neuron tidak diupdate. Gambar 3. 2 Ilustrasi Self Organizing Map 33

50 Secara ringkas algoritma Self Organizing Map digambarkan seperti tampak pada diagram alir pada Gambar 3.3. Gambar 3.3 Diagram Alir Self Organizing Map (SOM) Berikut adalah algoritma Self Organizing Map yang digunakan dalam pembentukan cluster berdasarkan Gambar 3.3: 1. Pada langkah awal, seluruh data dampak bencana tanah longsor dan faktor penyebab terjadinya tanah longor menurut provinsi dijadikan data input. Data input yang digunakan adalah data yang berbentuk matrik, dimana i adalah jumlah provinsi dan j adalah jumlah variabel. Selanjutnya, dilakukan proses clustering menggunakan metode Self Organizing Map. 2. Pada perhitungan menggunakan metode SOM, diawali dengan inisialisasi bobot secara random (acak). Dalam Matlab2011b digunakan sintaks net.iw{1,1} 3. Menetapkan nilai parameter epoch maksimum. 34

51 4. Untuk setiap data dilakukan perhitungan terhadap bobot menggunakan rumus Euclidean Distance. Kemudian dipilih nilai terkecil. 5. Data yang memiliki nilai terkecil dari langkah 4 digunakan untuk proses update bobot. Dalam menentukan bobot terbaru pada waktu t, maka diasumsikan obyek saat ini x(i) dan centroid yang terbentuk. Kemudian untuk menentukan centroid yang baru untuk waktu berikutnya t+1 (3.1) α adalah learning rate. Pada langkah selanjutnya nilai learning rate yang digunakan adalah learning_rate_new= dimana nilai b berada di antara 0 dengan 1. Pada akhir iterasi, nilai α akan menuju nilai learning rate minimum. 6. Melakukan pengecekan syarat berhenti, Iterasi akan berhenti apabila threshold terpenuhi, untuk mencapai nilai threshold terpenuhi. Adapun nilai treshold dikatakan terpenuhi apabila nilai parameter telah terpenuhi. 7. Selanjutnya dilakukan proses pengelompokkan atau clusterisasi, disini menggunakan rumus Euclidean. 8. Hasil akhir dari proses ini yaitu data ter-cluster 1. Membangun jaringan pada algoritma Self Organizing Map Dalam proses membangun suatu jaringan, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan menentukan input jaringan. Pada software Matlab, untuk membangun jaringan pada algoritma Self Organizing Map digunakan intruksi sebagai berikut : Net =selforgmap([a b]) Net=configure(net,NameofData) 35

52 dengan [a b] : ukuran matriks neuron yang akan dihasilkan pada output. Matriks ini nantinya akan digunakan untuk menklasifikasikan vektor input. NameofData : nama data yang digunakan ketika input Penentuan nilai a dan b akan mempengaruhi hasil output. Hal ini disebabkan karena jumlah cluster pada akhir proses pembelajaran algoritma self organizing map akan sama banyak dengan hasil perkalian a dan b. Sebagai contoh jika ditentukan nilai a adalah 2 dan nilai b adalah 3 maka jaringan akan menghasilkan output neuron sebanyak 6 neuron. Penentuan nilai a dan b juga akan mempengaruhi topologi neuron output. Sebagai contoh, pada model dengan hasil 6 neuron, maka terdapat 2 kemungkinan bentuk jaringan yang dapat dibangun, yaitu jaringan dengan nilai a adalah 1 dan b adalah 6, dan jaringan dengan nilai a adalah 2 dan b adalah 3. Kedua jaringan ini pada hasil output akan mengelompokkan objek ke dalam 6 neuron, meskipun demikian topologi yang dihasilkan oleh kedua model jaringan ini berbeda. karena topologi yang dihasilkan oleh kedua model jaringan ini berbeda maka hasil yang diperoleh dapat berbeda, meskipun tidak ada jaminan bahwa jaringan dengan penghubung tunggal antar neuron lebih baik atau lebih buruk bila dibandingkan dengan jaringan dengan penghubung jamak antar neuron. 36

53 2. Prosedur Pembentukan Cluster dengan Algoritma Self Organizing Map a. Deskripsi data Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Naryanto (2011), Dinata (2013) dan Insani (2016), penanggulangan bencana yang mencakup tiga tahap, yaitu pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana akan berjalan secara efisien jika diketahui informasi terkait tentang faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah longsor di Indonesia. Informasi terkait denga faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah longsor dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan jenis penanggulangan pra bencana dan pasca bencana. Oleh karena itu, pada penelitian ini faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah longsor akan digunakan sebagai variabel dengan 33 provinsi di Indonesia yang digunakan sebagai sampel. Hal ini disebabkan karena pengambilan data pada provinsi di Indonesia yang hanya mengambil pada tahun-tahun tertentu dengan yang didasarkan pada kelengkapan data dari sumber data. Variabel ditentukan dari hasil penelitian terdahulu terkait bencana tanah longsor dan berita acara yang dirilis oleh BNPB. Adapun variabel yang digunakan adalah : Tabel 3.1 Variabel Input dan Satuan yang Digunakan Kode Variabel Satuan Keterangan Persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor Persentase keluarga yang memiliki kendaraan bermotor Persen (%) Persen (%) Kendaraan bermotor yang dihitung mencakup mobil dan motor. Data diambil pada tahun 2014 Kendaraan bermotor yang dihitung mencakup mobil dan motor. Data diambil pada tahun

54 Kode Variabel Satuan Keterangan Lokasi kemiringan lahan curam Lokasi kemiringan lahan landai Lokasi kemiringan lahan sedang Persentase keluarga yang memilah sampah dan sebagian dimanfaatkan Persentase keluarga yang memilah sampah kemudian dibuang Persentase keluarga yang tidak memilah sampah Unit Unit Unit Persen (%) Persen (%) Persen (%) Lahan curam adalah lahan dengan kemiringan lebih dari 25 derajat yang diambil pada tahun Lokasi yang masuk dalam kategori ini memiliki kemiringan kurang dari 15 derajat. Data diambil pada tahun Lokasi yang masuk dalam kategori ini memiliki kemiringan antara 15 sampai 25 derajat. Data diambil pada tahun Jenis sampah yang dihitung adalah sampah organic maupun non organik. Keluarga yang masuk dalam kategori ini adalah keluarga yang secara rutin memilah dan memanfaatkan sampah. Data diambil pada tahun 2014 Jenis sampah yang dihitung adalah sampah organic maupun non organik. Keluarga yang masuk dalam kategori ini adalah keluarga yang secara rutin memilah sampah. Data diambil pada tahun Jenis sampah yang dihitung adalah sampah organik maupun non organik. Data diambil pada tahun

55 Kode Variabel Satuan Keterangan Frekuensi terjadinya gempa bumi Jumlah Kejadian Kejadian gempa bumi dihitung seluruhnya, baik tektonik maupun vulkanik. Frekuensi jumlah hujan mm Frekuensi yang dihitung adalah kerapatan curah hujan yang dihiung dengan satuan mm Frekuensi jumlah hari hujan Jumlah Hari Jumlah hari hujan yang dihitung adalah jumlah Frekuensi terjadi kebakaran hutan dan lahan Jumlah kejadian hari dimana hujan turun dengan mengabaikan volume curah hujan Jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang dihitung adalah kejadian bencana kebakaran yang terjadi karena fenomena alam ataupun karena kesalahan manusia dengan mengabaikan besar dampak yang ditimbulkan. Jumlah luas lahan sangat kritis Hektar (Ha) Lahan yang masuk dalam kategori sangat kritis adlah lahan yang sama sekali tidak dapat dikelola, bersifat gundul dan tingkat kesuburan sangat rendah Jumlah luas lahan kritis Hektar (Ha) Lahan yang masuk dalam kategori lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif mski telah dikelola, bersifat gundul dan tingkat kesuburan rendah. 39

56 Kode Variabel Satuan Keterangan Persentase keluarga dengan kepemilikian sumur resapan air Persen (%) Sumur resapan air yang dihitung adalah sumur resapan air yang berada di tanah warga dengan mengabaikan jumlah sumur resapan. Data Diambil pada tahun Persentase keluarga dengan Persen (%) Lubang resapan biopori yang dihitung adalah kepemilikian lubang resapan biopori lubang resapan yang berada di tanah warga dengan mengabaikan luas area lubang resapan Persentase keluarga dengan kepemilikan taman/ tanah berumput Frekuensi terjadinya bencana tanah longsor Persen (%) Jumlah kejadian air. Data Diambil pada tahun 2014 Taman/ tanah berumput yang dihitung adalah Taman/ tanah berumput yang berada di tanah warga dengan mengabaikan luas taman/ tanah berumput. Data Diambil pada tahun 2014 Jumlah kejadian dihitung baik keseluruhan, baik yang menimbulkan korban dan kerusakan maupun yang tidak Jumlah korban meninggal Jiwa Korban meninggal yang dihitung adalah yang terkena dampak bencana, tidak termasuk relawan. Jumlah korban hilang Jiwa Korban hilang dihitung adalah korban yang tidak ditemukan baik karena tertimbun atau terisolasi 40

57 Kode Variabel Satuan Keterangan Jumlah korban terluka Jiwa Korban terluka yang dihitung yaitu semua korban luka dampak bencana, baik ringan maupun berat, dan tidak termasuk relawan. Jumlah korban menderita Jiwa Korban menderita yang dihitung adalah yang menderita secara finansial dan psikologis. Jumlah korban mengungsi Jiwa Korban mengungsi yang dihitung adalah korban bencana yang meninggalkan lokasi bencana pada waktu pasca bencana. Jumlah rumah rusak berat Unit Rumah rusak berat adalah rumah yang ditemukan kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik stuktural maupun non-struktural, seperti dinding rubuh, lantai retak merekah, dan lain sebagainya. Jumlah rumah rusak sedang Unit Rumah rusak sedang adalah rumah ditemukan kerusakan pada sebagian komponen non struktural atau komponen struktural seperti, struktur atap, struktur lantai dan lain sebagainya. Jumlah rumah rusak ringan Unit Rumah rusak ringan adalah rumah yang ditemukan kerusakan terutama pada komponen non-struktural, seperti penutup atap, langitlangit, penutup lantai, dan dinding pengisi. 41

58 Kode Variabel Satuan Keterangan Jumlah fasilitas peribadatan yang rusak Jumlah fasilitas pendidikan yang rusak Unit Unit Fasilitas peribadatan mencakup masjid, gereja, vihara dan fasilitas peribadatan lainnya Fasilitas pendidikan meliputi sekolah, kampus, perpustakaan, dan fasilita pendidikan lainnya Jumlah fasilitas kesehatan yang rusak Unit Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, puskesmas, apotik dan fasilitas kesehatan Panjang jalan yang terkena dampak bencana KM lainnya. Panjang jalan yang dihitung adalah yang terkena dampak longsoran, dan yang terkena dampak tidak langsung (timbulnya retakan karena bencana). Adapun jalan yang diukur adalah jalan utama, seperti jalan penghubung antar desa. b. Normalisasi Data Sebelum dilakukan proses pembelajaran (training), data input harus dinormalisasi terlebih dahulu. Normalisasi adalah penskalaan terhadap nilai-nilai input sedemikian sehingga data-data input masuk dalam suatu range tertentu. Pada pembelajaran algoritma Self Organizing Map proses normalisasi perlu dilakukan agar rentang nilai pada masing-masing variabel tidak terpaut jauh. Proses normalisasi dapat dilakukan dengan metode Min-Max Normalization (Martiana, 2013). Pada metode ini, untuk memetakan suatu nilai pada variabel 42

59 dengan range nilai minimum dan nilai maksimum dari atribut tersebut ke range nilai yang baru, dilakukan perhitungan sebagai berikut (3.2) dengan : : nilai yang baru setelah dinormalisasi : nilai yang lama sebelum dinormalisasi : nilai maksimum dari variabel : nilai minimum dari variabel : nilai maksimum yang baru pada variabel : nilai minimum yang baru pada variabel Berikut akan digunakan persamaan 3.2 dengan memanfaatkan variabel persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor di Indonesia ( ). Berikut adalah data persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor: Tabel 3.2 Persentase Keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor Provinsi Persentase Provinsi Persentase Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah

60 Provinsi Persentase Provinsi Persentase Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur 8.68 Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung 9.51 Sulawesi Selatan Kepulauan Riau 9.53 Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali Dari tabel 3.2 diperoleh persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor dengan nilai minimum 8.68 persen dan nilai maksimum persen. Dengan menggunakan persamaan 3.2 data akan dinormalkan dengan nilai maksimum 1 dan nilai minimum 0. Maka untuk normalisasi data variabel pada Provinsi Aceh adalah sebagai berikut : 44

61 Sehingga diperoleh bahwa hasil normalisasi data variabel pada Provinsi Aceh adalah Hasil selanjutnya untuk normalisasi data pada variabel adalah sebagai berikut Tabel 3.3 Hasil Normalisasi Data Variabel Provinsi Persentase Provinsi Persentase Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur 0 Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua 1 Bali

62 Penentuan nilai maksimum dan minimum yang baru untuk variabel akan disamakan pada rentang 0 sampai dengan 1. Hasil selanjutnya untuk normalisasi seluruh variabel data input akan ditampilkan pada lampiran 2. c. Pembentukan Cluster Pembentukan cluser terbaik meliputi penentuan jumlah neuron output yang akan digunakan dalam mengklasifikasikan data input. Penentuan jumlah neuron ini menjadi penting karena pada output, data akan diklasifikasi menjadi clustercluster yang jumlahnya sama dengan jumlah neuron input. Tidak ada aturan pasti dalam menentukan jumlah neuron, maka dari itu penentuan jumlah neuron dilakukan dengan cara mengelompokkan data dengan pembentukan kelompok yang mungkin dilakukan pada data input. Setelah menentukan banyak neuron, melakukan pelatihan (training) pada jaringan yang telah dibangun dan dikonfigurasikan dengan data input. Hal ini dilakukan agar bobot awal yang sebelumnya ditentukan secara random (acak) akan diupdate bobotnya dengan dilakukan pelatihan (training) pada jaringan. Pelatihan jaringan pada algoritma Self Organizing Map akan berhenti apabila telah mencapai iterasi maksimum. Pada skripsi ini, iterasi maksimum ditentukan sebanyak 1000 iterasi untuk seluruh model yang akan dibentuk. Untuk pelatihan jaringan dengan 1000 iterasi pada software Matlab digunakan sintaks net.trainparam.epochs=1000; net=train(net,data) 46

63 Setelah pelatihan jaringan telah mencapai iterasi maksimum, maka dapat dimunculkan nilai dari bobot akhir. Kemudian langkah selanjutnya adalah menentukan jarak antara salah satu data input ke masing-masing neuron yang telah ditentukan. Masing-masing input dihitung jaraknya dengan neuron dengan menggunakan persamaan eucledian distance. Setelah diperoleh jarak antara input dengan masing-masing neuron, kemudian jarak antara data input dengan salah satu neuron dibandingkan dengan jarak antara data input dengan neuron lainnya yang masih dalam satu pelatihan (training). Pemilihan cluster terbaik dilakukan dengan menentukan nilai Davies Bouldin Index dari masing masing model, kemudian dibandingkan dengan nilai Davies Bouldin Index dari model yang lainnya. Dalam rangka penentuan jarak, diperlukan bobot akhir yang telah memenuhi treshold pelatihan (training). Pada Matlab2011b, digunakan sintaks net.wi{1,1} untuk memunculkan bobot akhir. Dalam penelitian ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai penentuan jarak dan penentuan nilai Davies Bouldin Index. Indeks ini menjadi penting nantinya karena meskipun tidak ada aturan dalam menentukan jumlah cluster, akan tetapi dengan menggunakan indeks ini maka akan ditentukan satu model pembentukan cluster terbaik dari proses algoritma Self Organizing Map. Pada algoritma Self Organizing Map, pembentukan cluster didasarkan pada pengukuran jarak dari data input menuju neuron yang ditentukan untuk meminimumkan jarak. Pengukuran jarak dilakukan pada seluruh data input dengan memanfaatkan nilai dari normalisasi data dan bobot akhir dari model 47

64 pembentukan cluster. Berikut ini akan digunakan persamaan 2.3 dengan memanfaatkan hasil normalisasi data pada lampiran 2. Berikut adalah data hasil normalisasi untuk Provinsi Aceh (lampiran 2) Tabel 3.4 Data Hasil Normalisasi untuk Provinsi Aceh Variabel Data Normalisasi Variabel Data Normalisasi Kemudian berikut adalah bobot akhir untuk model 2 cluster yang diperoleh dengan menggunakan sintaks net.iw{1,1} pada Matlab R2011b (lampiran 3): 48

65 Tabel 3.5 Bobot Akhir untuk Model 2 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Variabel Neuron 1 Neuron Berdasarkan data hasil normalisasi dan bobot akhir dari data input Provinsi Aceh, maka dapat ditentukan jarak antara neuron 1 dan neuron 2 dengan data input Provinsi Aceh. Dengan menggunakan Eulcedian Distance maka dapat ditentukan jarak inter-cluster data pada Provinsi Aceh ke masing-masing cluster. 49

66 Berdasarkan hasil perhitungan diatas, dapat ditentukan bahwa jarak data input Provinsi Aceh dengan neuron 1 adalah dan menuju neuron 2. Hasil selanjutnya untuk pengukuran jarak inter-cluster dengan model 2 cluster pada data Provinsi di Indonesia ditampilkan pada tabel 3.6 Tabel 3.6 Hasil Penentuan jarak inter-cluster untuk model 2 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Jarak inter-cluster Provinsi Neuron 1 Neuron2 Neuron 1 Neuron2 Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

67 dengan bentuk topologi bobot sebagai berikut Gambar Topologi Bobot Model 2 cluster Berdasarkan gambar 3.4, dapat terlihat bahwa neuron dan data input provinsi di Indonesia di representasikan ke dalam dua dimensi. Pada gambar 3.4, neuron ditampilkan dalam bentuk dot berwarna biru, sedangkan untuk data input provinsi di Indonesia ditampilkan dalam bentuk dot berwarna hijau. Adapun bobot penghubung antar neuron ditampilkan dalam bentuk garis berwarna merah. Berdasarkan tabel 3.6 diketahui jarak inter-cluster untuk masing masing neuron pada model pembentukan cluster dengan 2 cluster. Karena tujuan pembentukan cluster sendiri adalah untuk mengelompokkan unit-unit yang hampir sama pada suatu daerah tertentu dan memaksimumkan perbedaan antar cluster yang dibentuk. Sehingga unit-unit input akan dikelompokkan ke neuron yang paling dekat dengan unit input. Tabel 3.7 Hasil Pembentukan Model 2 Cluster Provinsi Eucledian Eucledian Cluster Provinsi distance distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur

68 Provinsi Eucledian Eucledian Cluster Provinsi distance distance Cluster Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali Tabel 3.7 menunjukkan model pembentukan cluster dengan 2 cluster. Pada cluster 1, terdapat 31 anggota dan untuk cluster 2 terdapat 2 anggota. Hasil selanjutnya untuk model pembentukan cluster ditampilkan pada lampiran 4. B. Penerapan Metode Davies Bouldin Index (DBI) dalam Menentukan Cluster Terbaik dari Proses Algoritma Self Organizing Map Davies Bouldin Index digunakan untuk validasi cluster, yaitu prosedur yang mengevaluasi hasil analisis cluster secara kuantitatif dan objektif sehingga dihasilkan kelompok optimum. Dalam skripsi ini, Davies Bouldin Index (DBI) akan digunakan untuk mendeteksi outlier pada masing-masing cluster yang terbentuk. Pengukuran ini bertujuan untuk memaksimalkan jarak inter-cluster antara satu cluster dengan cluster yang lain. 52

69 Berikut ini persamaan Davies Bouldin Index yang diperoleh dengan menggunakan hasil penghitungan jarak inter-cluster pada model pembentukan cluster dengan 2 cluster (lampiran 4). Maka diperoleh nilai pada model 2 cluster Sehingga dapat ditentukan nilai dan IDB Untuk hasil penentuan nilai Davies Bouldin Index selengkapnya akan ditampilkan pada lampiran 5. C. Analisis Pembentukan Cluster dengan metode Self Organizing Map Pemilihan model pembentukan cluster terbaik dilakukan dengan melihat hasil penghitungan nilai Davies Bouldin Index. Untuk menentukan model pembentukan 53

70 cluster terbaik, maka dibentuk beberapa model pembentukan cluster dengan jumlah cluster yang berbeda. Dalam penelitian ini, dibentuk 9 model pembentukan cluster yang dimulai dengan membentuk model 2 cluster hingga membentuk model 10 cluster menggunakan Matlab (lampiran 7). Berdasarkan hasil penghitungan nilai Davies Bouldin Index untuk masing masing model (lampiran 5), dapat dilihat bahwa dengan pembentukan model lebih dari 4 cluster, terdapat cluster yang hanya memiliki satu anggota saja. Hal ini mungkin terjadi apabila anggota input tersebut tidak sama dengan yang lainnya. Dengan kata lain, dalam pembentukan cluster, terdapat input yang memiliki karateristik khusus sehingga tidak dapat dikelompokkan dengan yang lainnya. Dalam penelitian lain, hal ini disebut dengan kasus khusus. Meski hanya memiliki satu anggota, kelompok tersebut tetap dihitung sebagai cluster. Akan tetapi pada perhitungan nilai Davies Bouldin Index nilai akan selalu bernilai nol jika salah satu dari atau menunjukkan cluster ke- atau cluster ke- yang hanya memiliki satu anggota. Berdasarkan nilai Davies Bouldin Index, diperoleh bahwa nilai Davies Bouldin Index untuk model 8 cluster memiliki nilai minimum dengan nilai sebesar hasil penentuan jarak inter-cluster dan pembentukan cluster untuk model 8 cluster ditampilkan pada tabel

71 Tabel 3.8 Penentuan Jarak Inter-Cluster dan Pembentukan Cluster untuk Model 9 Cluster Provinsi Eucledian Eucledian Cluster Provinsi distance distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah 1.17E-30 3 Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu 1.37E-30 4 Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur 2.09E-30 8 Papua Barat Banten Papua Bali Untuk penentuan kategori tingkat kerawanan bencana tanah longsor didasarkan pada mean dari faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari bencana tanah longor dari seluruh anggota cluster. Mean yang diperoleh kemudian digunakan sebagai dasar untuk menganalisis karakteristik dari suatu cluster secara umum. Maka untuk melihat karateristik dari masing-masing cluster dilakukan penghitungan dan analisis terhadap nilai mean dari faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari bencana tanah longor dari seluruh anggota cluster (lampiran 7). 55

72 1. Analisis Faktor dan Dampak Terjadinya tanah longsor pada masingmasing Cluster Analisis pada hasil pembentukan cluster akan difokuskan ke dua hal, yaitu faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari terjadinya bencana tanah longsor. Adapun variabel sampai dengan adalah variabel yang menunjukkan faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan variabel sampai dengan menunjukkan dampak dari terjadinya bencana tanah longsor. Analisis hasil pembentukan cluster adalah sebagai berikut a. Kepemilikan Kendaraan Bermotor Persentase Kepemilikan Kendaraan Bermotor Tidak Memiliki Kendaraan Bermotor Memiliki Kendaraan Bermotor Gambar 3. 5 Diagram Persentase Kepemilikan Kendaraan Bermotor Dalam kategori kepemilikan kendaraan bermotor, terdapat dua variabel input yang akan dianalisis, yaitu persentase keluarga yang memililiki kendaraan bermotor dan persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Secara umum, hampir seluruh cluster menunjukkan persentase keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih besar daripada persentase keluarga yang tidak 56

73 memiliki kendaraan bermotor dengan perbandingan yang berbeda-beda, hanya pada cluster 6 yang memiliki kondisi yang sedikit berbeda. Pada wilayah cluster 6, persentase rata-rata keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih kecil daripada persentase rata-rata keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. b. Kemiringan Lahan Kemiringan Lahan Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster Cluster 8 9 Curam Landai Sedang Gambar 3.6 Diagram Jumlah Lokasi Lahan Berkemiringan Curam, Landai dan Sedang Pada kategori kemiringan lahan, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu jumlah lokasi untuk lahan dengan kemiringan curam, landai dan sedang. Secara umum, hampir pada seluruh wilayah cluster didominasi oleh lahan dengan kemiringan curam, hanya pada cluster 6 jumlah lokasi lahan curam lebh sedikit daripada jumlah lahan landai. Tentu saja banyaknya lahan dengan kemiringan curam lebih berpotensi untuk menimbulkan bencana tanah longsor. Artinya lebih dari separuh provinsi di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk 57

74 menimbulkan bencana tanah longsor. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara umum, dari diagram diatas terlihat bahwa seluruh provinsi di Indonesia memiliki jumlah lahan dengan kemiringan sedang yang sangat sedikit. Dapat diambil informasi pula bahwa hampir seluruh cluster memiliki jumlah lokasi lahan curam yang lebih banyak dari pada lahan landai dan lahan sedang, hanya pada cluster 6 yang memiliki jumlah lokasi lahan curam yang lebih sedikit dari pada lahan landai. Adapun pada wilayah cluster 8 dan cluster 9 memiliki rata-rata jumlah lokasi lahan curam yang berbeda cukup signifikan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata jumlah lokasi lahan curam lebih dari 4000 lokasi. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi Jawa Timur dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Dari sembilan cluster yang terbentuk, cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik diantara cluster lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan. Jumlah lokasi lahan curam pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi, sedangkan bila membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka cluster 7 memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada wilayah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki karakteristik kemiringan lahan yang hampir sama. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah Provinsi DI Yogyakarta dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 7 adalah Provinsi Sumatera Barat. 58

75 Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa : 1) Cluster 8 dan cluster 9 adalah wilayah dengan jumlah lahan curam, lahan landai dan lahan sedang yang paling banyak bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya, namun yang paling signifikan perbedaanya adalah jumlah lokasi lahan curam yang dapat menjadi potensi terjadi bencana tanah longsor. 2) Cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik diantara cluster lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan. Jumlah lokasi lahan curam pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi, sedangkan bila membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka cluster 7 memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada wilayah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1. 3) Wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5 dan cluster 6 cenderung memiliki karakteristik kondisi kemiringan lahan yang hampir sama. c. Pemilahan Sampah Persentase Keluarga berdasarkan Pemilahan Sampah Sampah Dipilah dan Sebagian Dimanfaatkan Sampah Dipilah Kemudian Dibuang Sampah Tidak Dipilah Gambar 3.7 Diagram Persentase Keluarga berdasarkan Pemilahan Sampah 59

76 Pada kategori pemilahan sampah, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu persentase keluarga yang memilah sampah dan sebagian dimanfaatkan, persentase keluarga yang memilah sampah kemudian dibuang dan persentase keluarga yang tidak memilah sampah. Secara umum, dapat terlihat seperti yang tertera pada diagram, bahwa persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada seluruh cluster lebih banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik yang memilah kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang. Artinya kesadaran masyarakat akan pentingnya memilah sampah masih rendah. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat tidak terkelolanya sampah dengan baik dapat mengakibatkan masalah lingkungan yang beragam, salah satunya adalah tanah longsor. Apabila melihat dari persentase pemanfaatan sampah, maka hampir persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah di seluruh provinsi di Indonesia lebih rendah daripada persetase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah, hanya pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik karena persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah lebih tinggi daripada persentase keluarga yang membuang sampah setelah dipilah. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah Provinsi DI Yogyakarta, provinsi yang masuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi Jawa Timur dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 60

77 Kondisi yang sedikit berbeda juga ditemukan pada wilayah cluster 9. Pada wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan yang membuang sampah setelah dipilah hampir sama. Adapun provinsi yang masuk ke dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dari hasil analisis diatas maka dapat disimpulkan bahwa : 1) Persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada seluruh cluster lebih banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik yang memilah kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang. 2) Pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah lebih tinggi daripada persentase keluarga yang membuang sampah setelah dipilah. 3) Pada wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan yang membuang sampah setelah dipilah hampir sama. 4) Pada wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5, dan cluster 7 memiliki karakteristik wilayah yang hampir sama bila dilihat dari faktor pemilahan sampah. d. Bencana Gempa Bumi Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi Cluster 1Cluster 2Cluster 3Cluster 4Cluster 5Cluster 6Cluster 7Cluster 8Cluster 9 Gambar 3.8 Diargam Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi 61

78 Pada kategori bencana gempa bumi, terdapat satu variabel input yang dianalisis, yaitu frekuensi terjadinya bencana gempa bumi. Dari diagram diatas terlihat bahwa karakteristik wilayah pada cluster 7 adalah wilayah yang rawan terjadi bencana gempa bumi. Tercatat ada rata-rata 62 kasus terjadinya bencana gempa bumi. Hal ini tentu menjadi pertimbangan dalam penanganan pra bencana karena semakin tinggi frekuensi terjadi bencana tanah longsor maka tinggi pula potensi terjadinya bencana tanah longsor. Adapun wilayah yang memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor terendah adalah wilayah cluster 2 dan cluster 3 dengan jumlah kasus kejadian bencana gempa bumi kurang dari 5 kasus. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki potensi terjadi gempa bumi yang cukup tinggi dengan rata-rata lebih dari 10 kejadian. e. Curah Hujan Jumlah Curah Hujan Jumlah Curah Hujan Gambar 3.9 Diagram Jumlah Curah Hujan 62

79 250 Jumlah Hari Hujan Jumlah Hari Hujan 50 0 Gambar 3.10 Diagram Jumlah Hari Hujan Pada kategori curah hujan, terdapat 2 variabel yang dianalisis, yaitu jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan. Apabila melihat jumlah curah hujan pada diagram diatas terlihat bahwa karakteristik wilayah pada cluster 3, cluster 4 dan cluster 7 adalah wilayah yang memiliki jumlah hujan cukup tertinggi bila dibandingkan dengan jumlah curah hujan pada cluster lainnya dengan rata-rata jumlah curah hujan lebih dari 2500 mm yang beranggotakan Kalimantan Tengah pada cluster 3, Provinsi Bengkulu pada cluster 4 dan Provinsi Sumatera Barat pada cluster 7. Adapun wilayah yang memiliki jumlah curah hujan terendah adalah cluster 6 yang beranggotakan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki karakteristik curah hujan yang hampir sama dengan rata-rata curah hujan kurang dari 2000mm. 63

80 Apabila melihat dari jumlah hari hujan, maka cluster 4, cluster 7 dan cluster 8 memiliki jumlah hujan yang sangat banyak dengan rata-rata jumlah hari hujan lebih dari 200 hari. Provinsi-provinsi yang masuk ke dalam cluster-cluster ini adalah Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Jawa Timur. Adapun cluster yang memiliki jumlah hari hujan yang paling sedikit adalah cluster 6 yang beranggotakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan rata-rata 98 hari hujan. sedangkan pada wilayah cluster lainnya memiliki karakteristik jumlah hari hujan yang hampir sama dengan rata-rata jumlah hari hujan sekitar 180 hari. f. Bencana Kebakaran Frekuensi Terjadi Bencana Kebakaran Jumlah Kejadian Gambar 3.11 Jumlah Frekuensi Terjadinya Bencana Kebakaran Pada kategori bencana kebakaran, terdapat satu variabel input yang dianalisis, yaitu frekuansi terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan. Secara umum dapat dikatakan hampir seluruh wilayah di provinsi-provinsi di Indonesia memiliki potensi untuk terjadi bencana kebakaran, hanya pada cluster 1 saja, kasus 64

81 kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah provinsi DI Yogyakarta. Dari diagram diatas yang tersaji, terlihat bahwa wilayah yang masuk ke dalam cluster 2, cluster 3, cluster 7 dan cluster 8 memiliki jumlah kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya rata-rata kurang dari 15 kejadian. Dapat dikatakan juga bahwa provinsi-provinsi yang masuk ke dalam cluster 2, cluster 3, cluster 7 dan cluster 8 memiliki potensi terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Sedangkan wilayah cluster 4, cluster 5 dan cluster 6 memiliki potensi terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cenderung sama dengan rata-rata kurang dari 11 kejadian. g. Lahan Kritis 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Lahan Kritis Lahan Sangat Kritis Gambar 3.12 Diagram Keberadaan Lahan Kritis Pada kategori lahan kritis, terdapat dua variabel input yang dianalisis, yaitu luas lahan kritis dan luas lahan sangat kritis. Secara umum dapat dikatakan bahwa di seluruh wilayah provinsi di Indonesia didominasi oleh lahan kritis. Hal ini 65

82 terlihat dari lahan kritis pada masing-maisng cluster memiliki luas rata-rata yang lebih tinggi daripada luas rata-rata lahan sangat kritis, bahkan pada cluster 8 tidak memiliki lahan yang masuk dalam kategori lahan sangat kritis. Bila melihat luas lahan kritis maupun lahan sangat kritis pada masing masing wilayah cluster 3, cluster 4 dan cluster 6 menjadi wilayah yang memiliki kondisi lahan yang paling buruk dengan luas lahan kritis lebih dari 1000 hektar. Untuk cluster 2, cluster 5 dan cluster 7 memiliki kondisi lahan yang cukup buruk dengan rata-rata luas lahan kritis berkisar 500 hektar, sedangkan untuk cluster 1 dan cluster 9 memiliki kondisi lahan yang lebih baik dengan luas rata-rata lahan kritis tidak lebih dari 300 hektar. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 8 menjadi wilayah dengan kondisi lahan yang paling baik karena memiliki lahan kritis dengan luas tersempit, yaitu hanya 33 hektar. Bila membandingkan keberadaan lahan sangat kritis antar wilayah cluster, maka cluster 3 dan cluster 4 memiliki kondisi terburuk dengan luas lahan sangat kritis yang yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Kondisi lahan pada wilayah cluster 2 dan cluster 5 sedikit lebih baik dengan rata-rata luas lahan kritis berkisar pada angka 100 sampai 170 hektar, sedangkan pada wilayah cluster lainnya memiliki rata-rata luas lahan kritis tidak lebih dari 100 hektar. dari seluruh cluster yang terbentuk, bila keberadaan lahan sangat kritis maka cluster 1 dan cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik, bahkan pada wilayah cluster 8 tidak ditemukan lahan yang masuk ke dalam kategori lahan sangat kritis. Berdasarkan hasil analisis diatas, maka dapat disimpulkan bahwa : 66

83 1) Cluster 3 dan cluster 4, dan cluster 6 memiliki kondisi lahan yang sangat buruk dengan rata-rata luas lahan kritis mencapai lebih dari 1000 hektar. 2) Cluster 2, cluster 5 dan cluster 7 memiliki kondisi lahan cukup buruk dengan luas rata-rata lahan kritis dan lahan kritis sangat kritis berkisar 500 hektar. Meskipun demikian, kondisi lahan pada cluster 2 sedikit lebih buruk daripada cluster 5 dan cluster 7 dengan keberadaan lahan sangat kritis yang lebih luas. Sedangkan kondisi lahan pada cluster 5 dan cluster 7 relatif sama. 3) Cluster 1 dan cluster 9 memiliki kondisi lahan yang cukup baik dengan keberadaan lahan kritis tidak lebih dari 300 hektar dan luas lahan sangat kritis yang tidak lebih dari 40 hektar. Meski begitu, bila melihat pada luas lahan kritis dan luas lahan sangat kritis pada masing masing cluster, cluster 9 memiliki kondisi yang lebih buruk daripada wilayah cluster 1 karena baik luas lahan kritis maupun luas lahan sangat kritis pada wilayah cluster 9 lebih luas daripada luas lahan krits dan lahan sangat kritis pada wilayah cluster 1. 4) Cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik bila dibandingkan wilayah cluster lainnya karena wilayah ini memiliki luas lahan kritis tersempit dan tidak ditemukannya lahan yang masuk ke dalam kategori lahan sangat kritis. 67

84 h. Daerah Resapan Air Daerah Resapan Air Sumur Resapan Lubang Resapan Biopori Gambar 3.13 Diagram Persentase Keberadaan Daerah Resapan Air Taman/ Tanah Berumput Taman/ Tanah Berumput 10 0 Gambar 3.14 Diagram Persentase Keberadaan Taman/ Tanah Berumput Pada kategori daerah resapan air, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu luas daerah sumur resapan, luas daerah lubang resapan/ biopori, dan luas daerah taman/ tanah berumput. Secara umum, daerah resapan air diseluruh provinsi di Indonesia didomiasi oleh taman/ tanah berumput dengan persentase mencapai 90 persen dari luas daerah resapan air. Namun apabila dibandingkan 68

85 dengan rata-rata luas wilayah untuk masing-masing cluster, maka cluster 3 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik. Hal ini terlihat dari jumlah daerah resapan air masing masing cluster yang mencapai persen dan persen. Persentase ini lebih besar dari pada persentase daerah resapan air di wilayah lain yang bahkan tidak mencapai angka 30 persen. Bila melihat dari data persentase luas daerah resapan air, masyakarat di wilayah yang masuk ke dalam cluster 1 memiliki kesadaran akan penyediaan daerah resapan air yang cukup tinggi. Persentase rata-rata luas daerah sumur resapan air pada cluster 1 mencapai angka 7.3 persen, sedangkan untuk persentase rata-rata luas daerah lubang resapan/ biopori mencapai angka 2.81 persen. persentase ini lebih baik bila dibandingkan dengan persentase luas wilayah daerah resapan air di cluster lain yang bahkan tidak mencapai 1 persen untuk kategori sumur resapan dan lubang resapan air/biopori. Secara umum, penanganan pra bencana apabila melihat dari masalah ketersediaan daerah resapan air, maka untuk seluruh wilayah dapat difokuskan kepada peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya penyediaan daerah sumur resapan dan lubang resapan/ biopori. Sedangkan untuk penanganan ketersediaan daerah taman/ tanah berumput dapat difokuskan ke wilayah-wilayah yang masuk ke dalam cluster 1 yang memiliki persentase daerah taman/ tanah berumput yang kecil. 69

86 i. Bencana Tanah Longsor 1200 Frekuensi Terjadi Bencana Tanah Longsor Frekuensi Gambar 3.15 Frekuensti Terjadinya Bencana Tanah Longsor Pada kategori bencana tanah longsor terdapat 1 variabel input yang dianalisis, yaitu frekuensi terjadinya bencana tanah longsor. Dari data nilai mean faktorfaktor terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 7, cluster 8 dan cluster 9 menjadi wilayah yang paling berpotensi terjadi tanah longsor dengan rata-rata kejadian bencana tanah longsor mencapai lebih dari 100 kejadian. Bahkan frekuensi terjadi bencana tanah longsor pada wilayah cluster 9 mencapai 1113 peristiwa. Kemudian wilayah lain yang memiiki frekuensi terjadi bencana tanah longsor yang cukup signifikan adalah cluster 8 dengan 336 peristiwa dan wilayah cluster 7 dengan 172 peristiwa. Cluster 1 dan cluster 6 memiliki rata-rata jumlah peristiwa bencana tanah longsor yang cukup banyak dengan rata-rata kejadian bencana 70

87 tanah longsor mencapai lebih dari 50 peristiwa. Adapun cluster 2 dan cluster 5 memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor yang cukup rendah dengan ratarata 27 kejadian. Sedangkan pada cluster 4 frekuensi terjadi bencana tanah longsor rata-rata mencapai 17 kejadian. Dari seluruh cluster, yang terbentuk, cluster 3 adalah wilayah yang memiliki frekuensi terjadi tanah longsor yang terendah dengan rata-rata 4 kejadian. Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa : 1) Wilayah cluster 7, cluster 8 dan cluster 9 adalah wilayah dengan frekuensi kejadian bencana tanah longsor yang sangat tinggi dengan jumlah kejadian lebih dari 100 peristiwa. Adapun cluster 4 menjadi wilayah yang paling tinggi frekuensi terjadinya bencana tanah longsor dengan rata-rata 1113 peristiwa tanah longsor. 2) Wilayah cluster 1 dan cluster 6 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor sedang dengan rata-rata jumlah peristiwa bencana tanah longsor lebih dari 50 kejadian. Meskipun pada kenyataanya jumlah frekuensi terjadi bencana tanah longsor di wilayah cluster 1 dan cluster 6 cukup berbeda, namun pada proses pra bencana kedua cluster ini dapat dikategorikan pada karakteristik yang sama. 3) Wilayah cluster 2 dan cluster 8 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor yang rendah karena rata-rata jumlah kejadian rata-rata 27 kejadian. Sedangkan di bawah kedua cluster ini ada cluster 4 dengan 17 kejadian. 71

88 4) Wilayah cluster 6 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor terendah dengan rata-rata 13 peristiwa tanah longsor j. Korban Bencana 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% Mengungsi Menderita Terluka Hilang Meninggal 10% 0% Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster 8 Cluster 9 Gambar Diagram Jumlah Korban Akibat Bencana Tanah Longsor Pada kategori korban bencana tanah longsor, terdapat 5 variabel input yang dianalisis, yaitu jumlah korban mengungsi, korban menderita, korban terluka, korban hilang dan korban meninggal. Secara umum, dapat terlilhat bahwa potensi timbulnya korban hilang dan terluka akibat dari bencana tanah longsor sangat kecil. Hal ini dapat terlihat dari sedikitnya jumlah korban hilang dan terluka yang ditimbulkan dari bencana tanah longsor. Sebaliknya, potensi timbulnya korban mengungsi, korban menderita, dan korban meninggal cukup tinggi. Bila melihat jumlah korban pada masing masing-masing wilayah cluster, maka cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 6, dan cluster 8 didominasi oleh korban menderita, sedangkan pada wilayah cluster1, cluster 5, cluster 7 dan cluster 9 didominasi oleh korban mengungsi. 72

89 Bila melihat dari jumlah korban yang ditimbulkan maka cluster 5 menjadi wilayah yang terkena dampak korban jiwa yang paling besar dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Rata-rata setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan 89 korban jiwa, diikuti dengan cluster 8 dengan rata-rata 75 korban per kejadian bencana. Adapun pada cluster 6 dan cluster 7 jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor rata-rata berjumlah 50 korban jiwa, cluster 2 dan cluster 9 dengan rata-rata 33 korban jiwa, sedangkan pada cluster 1, cluster 3 jumlah korban yang jatuh rata-rata 24 korban jiwa. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 4 memiliki rata-rata jumlah korban jiwa yang paling sedikit dengan 15 korban jiwa di setiap kejadian bencana tanah longsor. Dari hasil analisis di atas maka disimpulkan bahwa : 1) Potensi timbulnya korban hilang dan terluka akibat dari bencana tanah longsor cukup kecil, sedangkan potensi timbulnya korban mengungsi, korban menderita, dan korban meninggal cukup tinggi. Adapun kondisi pada cluster 9 sedikit berbeda, karena pada wilayah ini potensi adanya korban terluka sama besar dengan potensi adanya korban meninggal. 2) Wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 6 dan cluster 8 didominasi oleh korban menderita 3) Wilayah cluster 1, cluster 5, cluster 7 dan cluster 9 didominasi oleh korban mengungsi. 4) Wilayah cluster 5 menjadi wilayah yang terkena dampak korban jiwa yang paling besar dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata 73

90 setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan korban sebanyak 89 korban jiwa, diikuti oleh wilayah cluster 8 dengan 75 korban jiwa. 5) Pada wilayah cluster 6 dan cluster 7 jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor rata-rata berjumlah 50 korban jiwa 6) Pada wilayah cluster 2 dan cluster 9 jumlah korban yang jatuh rata-rata 33 korban jiwa. 7) Wilayah cluster 4 memiliki rata-rata jumlah korban jiwa yang paling sedikit dengan 15 korban jiwa di setiap kejadian bencana tanah longsor k. Kerusakan Rumah 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% Rusak Ringan Rusak Sedang Rusak Berat 20% 10% 0% Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster 8 Cluster 9 Gambar 3.17 Diagram Jumlah Kerusakan Rumah Pada kategori kerusakan rumah, terdapat 3 variabel yang akan dianalisis, yaitu jumlah rumah rusak ringan, jumlah rumah rusak sedang dan jumlah rumah rusak berat. Secara umum, dampak kerusakan yang diberikan oleh bencana tanah 74

91 longsor pada rumah warga cukup besar. Hal ini terlihat dari 9 cluster yang terbentuk, hanya cluster 5 dan cluster 8 yang memiliki rumah rusak berat yang lebih sedikit dari pada jumlah rumah rusak ringan maupun rumah rusak sedang. Bila melihat jumlah korban pada masing-masing wilayah cluster, maka kerusakan rumah yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor didominasi oleh kerusakan berat dan kerusakan ringan, dengan jumlah rata-rata rumah rusak berat lebih banyak daripada jumlah rumah rusak ringan. Sehingga pada rencana pra bencana, potensi dampak kerusakan pada rumah perlu menjadi prioritas dalam penanganannya. Namun secara umum, jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada rumah warga cukup besar, dengan minimal ada 3 rumah warga yang rusak di setiap kejadian bencana tanah longsor. l. Fasilitas Umum 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Fasilitas Kesehatan Fasilitas Pendidikan Fasilitas Peribadatan Gambar 3.18 Diagram Jumlah Kerusakan Pada Fasilitas Umum 75

92 Pada kategori kerusakan pada fasilitas umum, terdapat 3 variabel yang dianalisis yaitu kerusakan pada fasilitas kesehatan, kerusakan pada fasilitas pendidikan dan kerusakan pada fasilitas peribadatan. Bila melihat dari jumlah kerusakan pada masing-masing fasilitas umum, potensi timbulnya kerusakan pada fasilitas umum, baik fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun peribadatan sangat kecil. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah fasilitas umum yang rusak akibat bencana tanah longsor. Dengan kata lain, tidak setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan kerusakan pada fasilitas umum. Namun meski begitu, kemungkinan timbulnya kerusakan pada fasilitas umum tetap ada, meski dengan potensi yang sangat kecil. m. Kerusakan Jalan Panjang Jalan (km) Panjang Jalan (km) Gambar 3.19 Diagram Panjang Jalan yang Terkena Dampak Tanah Longsor 76

93 Pada kategori kerusakan pada jalan, terdapat 1 variabel yang dianalisis yaitu kerusakan pada jalan. Secara umum, potensi adanya kerusakan pada jalan akibat dari bencana tanah longsor cukup tinggi. Bila melihat panjang jalan yang rusak akibat bencana tanah longsor pada masing-masing wilayah cluster, maka kerusakan pada jalan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada wilayah cluster 7 menjadi yang paling besar dengan panjang jalan yang rusak mencapai km. Pada wilayah cluster 8 dan cluster 9 dampak kerusakan pada jalan cukup besar dengan rata-rata hampir mencapai 111 km, sedangkan pada cluster 1 dan cluster 6 jumlah kerusakan pada jalan tergolong sedang dengan panjang rata-rata jalan yang rusak mencapai 72.6 km. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 2, cluster 3 dan cluster 4 memiliki panjang jalan rusak yang paling pendek dengan panjang jalan yang rusak bahkan tidak mencapai 4 km. Bila membandingkan frekuensi terjadi bencana tanah longsor dan panjang jalan yang rusak, maka cluster 5, cluster 6 dan cluster 7 menjadi wilayah dengan potensi kerusakan pada jalan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Namun meski begitu, kemungkinan timbulnya kerusakan pada jalan tetap ada. Hal ini perlu menjadi pertimbangan karena pada proses penanggulangan pasca bencana, akses jalan yang baik menjadi faktor penting dalam kelancaran penanggulangan bencana. 77

94 2. Analisis Cluster Berdasarkan Faktor dan Dampak Terjadinya Bencana Tanah Longsor di Indonesia Dari hasil analisis variabel input diatas maka dapat ditentukan karakter dari masing-masing wilayah cluster. Adapun analisis karakter cluster dari pembentukan model 8 cluster adalah sebagai berikut : a. Cluster 1 Cluster 1 memiliki satu anggota yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nilai Eucledian Distance sebesar Karena cluster 1 hanya memiliki satu anggota maka karakteristiknya akan sama dengan karakteristik wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling mempengaruhi terjadinya bencana tanah longsor adalah minimnya daerah tanah berumput. Hal ini diperparah dengan rendahnya kesadaran masyakarat akan pemilahan sampah. Meskipun begitu luas daerah sumur resapan dan lubang resapan pada wilayah cluster ini lebih tinggi daripada wilayah cluster lainnya. Untuk faktor yang masuk ke dalam kategori kepemilikan kendaraan bermotor, keberadaan lahan dengan kemiringan curam, luas lahan kritis masih berada dalam jumlah yang tidak begitu besar sehingga dampak yang diberikan tidak terlalu besar. Adapun potensi bencana gempa bumi dan kebakaran hutan dan lahan di wilayah cluster 1 sangat rendah. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor 78

95 Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 1 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup tinggi dengan rata-rata mencapai 74 kejadian. Meskipun demikian, rata-rata jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tanah cukup sedikit dengan 24 korban jiwa yang didominasi oleh korban mengungsi pada setiap kejadian bencana. Bencana tanah longsor juga tidak berdampak begitu besar pada fasilitas umum dan kerusakan jalan. Adapun kerusakan pada rumah warga cukup banyak dengan jumlah rata-rata rumah rusak mencapai 3 unit. b. Cluster 2 Dari hasil output Minitab, Cluster 2 memiliki 11 anggota. Anggota dari cluster 2 ditunjukkan pada tabel berikut. Provinsi Eucledian Distance Provinsi Eucledian Distance Riau DKI Jakarta Jambi Banten Sumatera Selatan Bali Lampung Kalimantan Selatan Kep, Bangka Belitung Kalimantan Timur Kepulauan Riau ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor 79

96 adalah kepemilikan kendaraan bermotor, tingginya frekuensi terjadinya kebakaran, minimnya daerah resapan air dan tingginya jumlah curah hujan. Adapun untuk faktor yang masuk ke dalam kategori keberadaan lahan dengan kemiringan curam, pengolahan sampah, keberadaan lahan kritis dan persentase daerah resapan air masih berada pada jumlah yang tidak begitu besar bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya sehingga dampak yang diberikan tidak begitu besar. Adapun potensi bencana gempa bumi di wilayah cluster 2 paling rendah bila dibandingkan dengan wilayah cluster lain. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 2 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup rendah. Meski begitu, jumlah rumah rusak yang diakibatkan oleh bencana tanah longsor cukup tinggi dengan rata-rata rumah rusak mencapai 6 unit. Adapun jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tanah cukup sedikit dengan rata-rata 28 korban jiwa per kejadian tanah longsor yang didominasi oleh korban menderita. Bencana tanah longsor juga tidak berdampak begitu besar pada fasilitas umum dan kerusakan jalan. c. Cluster 3 Cluster 3 memiliki satu anggota yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dengan nilai Eucledian Distance sebesar 9.7. Karena cluster 3 hanya memiliki 80

97 satu anggota maka karakteristiknya akan sama dengan karakteristik wilayah Provinsi Kalimantan Tengah 1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana alam tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor adalah curah hujan yang tinggi, potensi terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup tinggi, dan keberadaan lahan kritis. Adapun faktor yang masuk ke dalam kategori kepemilikan kendaraan bermotor, keberadaan lahan curam, daerah resapan air, pemilahan sampah serta ketersediaan daerah resapan air berada pada jumlah yang tidak begitu besar bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya sehingga tidak memberikan dampak yang begitu besar. Wilayah cluster ini juga memiliki tingkat pemilahan sampah yang sangat baik dengan lebih dari 20 persen warganya memilah sampah. Adapun wilayah cluster 3 memiliki frekuensi terjadi gempa bumi paling rendah bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 3 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang paling rendah dengan rata-rata 4 kejadian. Jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tanah cukup paling banyak dengan rata-rata 25 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban menderita. Bencana tanah longsor juga tidak memberikan dampak kerusakan pada akses jalan.meskipun demikian, bencana tanah longsor tidak berdampak begitu besar pada fasilitas umum dan rumah warga bila dibandingkan dengan wilayah cluster lain. 81

98 d. Cluster 4 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 9 cluster, cluster 4 memiliki 2 anggota. Anggota dari cluster 4 ditunjukkan pada tabel berikut Provinsi Eucledian Distance Bengkulu 1.37 Kalimantan Barat ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor pada wilayah cluster 4 adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan pemilahan sampah, tingginya curah hujan yang diperparah dengan jumlah hari hujan yang sangat banyak, dan keberadaan lahan kritis. Adapun untuk faktor kepemilikan kendaan bermotor, keberadaan lahan curam, frekeunsi terjadinya gempa bumi, dan frekuensi terjadi kebakaran memiliki jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Kondisi lain dari wilayah cluster 4 yang sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya adalah keberadaan daerah resapan air. Rata-rata keberadaan daerah resapan air berupa rumput mencapai 50 persen sedangkan untuk daerah resapa air berupa sumur resapan dan lubang biopori sangat rendah. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 4 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor 82

99 yang cukup rendah bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata 17 peristiwa bencana tanah longsor. Selain itu, bencana tanah longsor juga memberikan dampak kerusakan pada rumah warga dengan jumlah rata-rata rumah yang rusak mencapai 3 unit. Bencana tanah longsor juga menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak, yaitu rata-rata mencapai 15 korban jiwa yang didominasi oleh korban menderita. Selain itu, kerusakan pada fasilitas umum dan jalan yang disebabkan oleh bencana tanah longsor pada wilayah cluster 4 sangat kecil. e. Cluster 5 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 9 cluster, cluster 5 memiliki 13 anggota. Anggota dari cluster 5 ditunjukkan pada tabel berikut. Provinsi Eucledian Distance Provinsi Eucledian Distance Aceh Gorontalo Sumatera Utara Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Maluku Sulawesi Utara Maluku Utara Sulawesi Tengah Papua Barat Sulawesi Selatan Papua Sulawesi Tenggara

100 1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Dari hasil analisis data input faktor faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang memberikan pengaruh cukup besar akan terjadinya bencana tanah longsor adalah keberadaan lahan curam yang cukup banyak, rendahnya kesadaran masyarakat akan pemilahan sampah, banyaknya jumlah hari hujan, dan keberadaan lahan kritis. Adapun untuk faktor lain seperti kepemilikan kendaraan bermotor, frekuensi terjadi bencana gempa bumi, dan frekuensi terjadi bencana kebakaran berada pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Adapun kondisi wilayah cluster 5 yang sedikit berbeda bila dibandingkan dengan wilayah lainnya adalah keberadaan daerah resapan air. Pada wilayah cluster 5 hanya berupa tanah berumput, sedangkan untuk tanah resapan berupa sumur resapan dan lubang biopori cenderung sedikit. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 5 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup tinggi dengan rata-rata jumlah kejadian mencapai 42 peristiwa. Bencana tanah longsor juga menimbulkan jumlah korban jiwa yang cukup banyak dengan rata-rata 89 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban mengungsi. Selain menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak, bencana tanah longsor pada wilayah cluster 5 ini juga memberikan dampak kerusakan pada jalan yang sangat besar. Tercatat rata-rata 58 km jalan rusak akibat bencana tanah longsor, namun demikian bila dibandingkan dengan jumlah kejadian bencana 84

101 tanah longsor, wilayah ini mengalami kerusakan jalan sepanjang kurang lebih 2 km per kejadian bencana. Adapun kerusakan pada fasilitas umum cukup rendah dan kerusakan pada rumah warga yang cukup besar dengan rata-rata 8 unit rumah per peristiwa. f. Cluster 6 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 8 cluster, cluster 6 memiliki 1 anggota, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai Eucledian Distance sebesar ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Dari hasil analisis data input faktor faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang memberikan pengaruh cukup besar akan terjadinya bencana tanah longsor adalah keberadaan lahan curam yang cukup banyak, tingginya frekuensi terjadi bencana gempa bumi, dan luasnya lahan kritis. Adapun persentase warga yang memilah sampah, jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan, dan keberadaan daerah resapan air masih berada pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Wilayah cluster 6 juga memiliki kondisi yang sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Pada wilayah ini persentase kepemilikan kendaraan bermotor dan frekuensi terjadinya bencana kebakaran paling rendah apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor 85

102 Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 6 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup tinggi dengan rata-rata 57 peristiwa dengan rata-rata timbulnya korban jiwa sebanyak 48 orang yang didominasi oleh korban menderita. Selain itu, bencana tanah longsor juga memberikan dampak kerusakan cukup besar pada rumah warga. Rata-rata terdapat 7 unit rumah warga yang rusak akibat bencana tanah longsor. Bencana tanah longsor juga memberikan dampak kerusakan yang cukup besar pada akses jalan dengan rata-rata 1.3 km jalan rusak. Meskipun memberikan dampak kerusakan pada rumah warga dan jalan dengan jumlah yang cukup besar, namun bencana tanah longsor tidak memberikan dampak kerusakan yang cukup besar pada fasilitas umum. g. Cluster 7 Cluster 7 memiliki satu anggota yaitu Provinsi Sumatera Barat dengan nilai Eucledian Distance sebesar ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Dari hasil analisis data input faktor faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang memberikan pengaruh cukup besar akan terjadinya bencana tanah longsor adalah jumlah lahan curam yang sangat banyak, rendahnya persentase keluarga yang memilah sampah, tingginya frekuensi terjadi bencana gempa bumi, tingginya jumlah curah hujan yang diperparah dengan banyaknya jumlah hari hujan. Untuk faktor lain seperti kepemilikan kendaraan bermotor, frekuensi terjadi bencana kebakaran, keberadaan lahan kritis, dan daerah resapan air masih berada 86

103 pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 7 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang cukup tinggi dengan rata-rata 172 peristiwa bencana tanah longsor dengan rata-rata jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor cukup tinggi mencapai 51 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban mengungsi. Selain korban jiwa, bencana tanah longsor juga menimbulkan kerusakan yang cukup besar pada rumah warga dan akses jalan. Rata-rata jumlah rumah yang rusak akibat bencana tanah longsor mencapai 4 unit rumah dan panjang jalan yang rusak mencapai 1.04 km per peristiwa. Adapun kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada fasilitas umum masih tergolong rendah. h. Cluster 8 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 8 cluster, cluster 8 memiliki 1 anggota, yaitu Provinsi Jawa Timur dengan nilai Eucledian Distance sebesar ) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor adalah jumlah lokasi lahan curam yang sangat banyak, rendahnya persentase keluarga yang memilah sampah, tingginya frekuensi terjad bencana gempa bumi, 87

104 banyaknya jumlah hari hjan meski dengan intensitas sedang, dan tingginya frekuensi bencana kebakaran. Adapun faktor lainnya seperti kepemilikan kendaraan bermotor, keberadaan lahan kritis, dan keberadaan daerah resapan air masih berada pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 8 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang tinggi dengan rata-rata mencapai 336 kejadian dengan jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor cukup tinggi dengan rata-rata 75 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban menderita. Selain korban jiwa, bencana tanah longsor juga menimbulkan kerusakan pada rumah warga dan akses jalan. Rata-rata jumlah rumah yang rusak akibat bencana tanah longsor mencapai 5 unit rumah dan panjang jalan yang rusak mencapai 0.3 km per peristiwa. Adapun kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada fasilitas umum masih tergolong rendah. i. Cluster 9 Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 9 cluster, cluster 9 memiliki 2 anggota. Anggota dari cluster 4 ditunjukkan pada tabel berikut Provinsi Eucledian Distance Jawa Barat Jawa Tengah

105 1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor adalah keberadaan lahan curam, tingginya frekuensi bencana gempa bumi, dan banyaknya jumlah hari hujan dengan intesitas sedang. Adapun faktor lainnya seperti kepemilikan kendaraan bermotor, persentase keluarga yang memilah sampah, frekuensi terjadi bencana kebakaran, keberadaan lahan kritis, dan persentase daerah resapan air. 2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 9 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor paling tinggi dengan rata-rata mencapai 1113 kejadian dengan jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor cukup tinggi dengan rata-rata 36 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban mengungsi. Selain korban jiwa, bencana tanah longsor juga menimbulkan kerusakan pada rumah warga dan akses jalan. Rata-rata jumlah rumah yang rusak akibat bencana tanah longsor mencapai 8 unit rumah dan panjang jalan yang rusak hanya mencapai rata-rata 0.1 km per peristiwa. Adapun jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada fasilitas umum masih tergolong rendah. Secara umum, hasil analisis dampak dan faktor terjadinya bencana tanah longsor dapat dinyatakan dalam tabel berikut 89

106 Tabel 3.9 Hasil Analisis Dampak dan Faktor Terjadinya Tanah Longsor pada Masing-Masing Cluster Frekuensi Dampak yang Faktor yang paling Cluster tanah Provinsi paling mempengaruhi longsor mempengaruhi 1 74 DI Yogyakarta Derah tanah berumput, tingkat pemilahan sampah, frekuensi tanah longsor tinggi Frekuesi tanah longsor 74 kejadian dengan 24korban jiwa dan 3 unit rumah rusak 2 28 Riau, Jambi, Lampung, Kep. Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta, Banten, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimatan Timur Kebakaran, daerah resapan air, curah hujan Frekuensi tanah longsor rendah, jumlah rumah rusak 6 unit, jumlah korban rata-rata 28 jiwa Kalimantan Tengah Bengkulu Curah hujan, kebakaran, lahan kritis Pemilahan sampah, curah hujan, jumlah hari hujan, lahan kritis Frekuensi tanah longsor 4 kejadian dengan 25 korban jiwa Frekuensi tanah longsor 17 kejadian, jumlah rumah rusak 3 unit, jumlah korban 15 jiwa 5 27 Aceh, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat Pemilahan sampah, jumlah hari hujan, keberadaan lahan kritis, daerah resapan biopori Frekuensi tanah longsor 42 kejadian dengan 89 korban jiwa, 8 unit rumah rusak dan 1.3 km jalan rusak 6 57 Nusa Tenggara Timur Lahan curam, gempa bumi, lahan kritis Frekuensi tanah longsor 57 peristiwa dengan 48 korban jiwa, 7 unit rumah rusak dan 1.37 km jalan rusak 90

107 Cluster Frekuensi tanah longsor Provinsi Faktor yang paling mempengaruhi Dampak yang paling mempengaruhi Sumatera Barat Lahan curam, pemilahan sampah, gempa bumi, curah hujan, jumlah hari hujan Frekuensi tanah longsor 172 kejadian dengan 51 korban jiwa, 4 rumah rusak dan 1.02km jalan rusak Jawa Timur Curah hujan, pemilahan sampah, gempa bumi, jumlah hari hujan, kebakaran Frekuensi tanah longsor 336 kejadian dengan 75 korban jiwa, 5 rumah rusak dan 0.3 km jalan rusak Jawa Barat, Jawa Tengah Lahan curam, gempa bumi, kebakaran lahan kritis, daerah resapan air Frekuensi tanah longsor 1113 kejadian dengan 36 korban jiwa, 8 rumah rusak dan 0.1km jalan rusak Adapun hasil pembentukan model 9 cluster dapat representasikan dalam bentuk peta seperti yang tersaji pada gambar Gambar 3.20 Peta Indonesia Berdasarkan Hasil Pembentukan model 9 Cluster 91

108 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Tahapan pembentukan cluster dengan menerapkan algoritma Self Organizing Map antara lain menentukan variabel input, menginsialisasi bobot dari data input, menghitung jarak antar neuron dengan data input menggunakan rumus eucledian distance, menentukan update bobot hingga bobot konvergen. Apabila bobot telah mencapai konvergen maka memulai proses pembentukan cluster dengan memanfaatkan kembali rumus eucledian distance untuk menentukan jarak antara neuron dengan masingmasing data input. Adapun rumus eucledian distance adalah sebagai berikut 2. Dari hasil pembentukan cluster dengan menerapkan algoritma Self Organizing Map maka akan ditentukan penentuan nilai Davies Bouldin Index untuk menentukan model cluster terbaik dari penerapan algoritma Self Organizing Map. Dengan membandingkan nilai Davies Bouldin Index pada masing-masing cluster maka diperoleh model pembentukan cluster dengan 9 neuron menjadi model yang paling baik. Rincian pembentukan 92

109 cluster beserta anggota pada masing masing cluster disajikan pada tabel di bawah ini. Cluster Provinsi Cluster Provinsi 1 DI Yogyakarta Sulawesi Utara 2 Riau Jambi Lampung Kep, Bangka Belitung 5 Kepulauan Riau DKI Jakarta Banten Bali Kalimantan Selatan Kalimantan Timur 6 Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Nusa Tenggara Timur 3 Kalimantan Tengah 7 Sumatera Barat 4 Bengkulu 8 Jawa Timur 5 Aceh Sumatera Utara 9 Jawa Barat Jawa Tengah Nusa Tenggara Barat Adapun rumus penentuan nilai Davies Bouldin Index adalah sebagai berikut 93

110 B. Saran Dari hasil penerapan algoritma Self Organizing Map dalam pembentukan cluster dan penentuan nilai Davies Bouldin Index dalam menentukan pembentukan cluster terbaik dalam proses Self Organizing Map penulis menyarakan penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan menambah variable yang lebih spesifik, menggunakan algoritma dan software yang berbeda. Algoritma selain Self Organizing Map yang dapat digunakan untuk membentuk cluster yaitu algoritma GDBScan, algoritma Clarans atau Algortima Cure. Sedangkan software selain Matlab yang dapat digunakan untuk membantu perhitungan dalam proses pembentukan cluster antara lain octave, program R, atau Viscovery SOMine. Penggunaan algoritma yang berbeda memungkinkan peneliti untuk menemukan pembentukan cluster yang berbeda yang mungkin lebih baik, yaitu pembentukan cluster yang menunjukkan perbedaan yang sangat jelas pada masing-masing cluster. Hasil analisis dari pembentukan model 9 cluster dapat menjadi masukan bagi pemeritah dalam menyusun prorgam penanggulangan bencana dengan memprioritaskan penanggulangan pada faktor terjadinya bencana tanah longsor yang memiliki pengaruh paling besar dengan mempertimbangkan jumlah korban dan kerusakan yang diberikan pada setiap peristiwa tanah longsor. 94

111 DAFTAR PUSTAKA Aleotti, P. (2004). A Warning System of Rainfall-Induced Shallow Failure. Engineering Geology, Vol. 73, Alfina, T., Santosa, B., & Barakbah, A. (2012). Analisa Perbandingan Metode Hierachical Clustering, K-Means, dan Gabungan Keduanya dalam Cluster Data (Studi Kasus: Problem Kerja Praktek Jurusan Teknik Industri ITS). Ali, K. (2005). Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Banuwa, I. S. (2013). EROSI. Jakarta: Prenadamedia Group. Badan Nasional Penanggulangan Bencana Data Kebencanaan (diakses melalui diakses pada tanggal 10 Februari 2017) Blong, R., & Dungkerley, D. (1976). Landslides in the Razorback area, New South Wales, Australia. Georgr.Ann, Vol. 58A, Brady, H. B. (1969). Ilmu Tanah. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Brand, E., Premchitt, J., & Phillipson, H. (1984). Relationship Between rainfall and lanslides in Hong Kong. Proc. of the IV International Symposium on Landslides Toronto, Vol , Budhi, G., Liliana, & Harryanto, S. (2006). Cluster Analysis untuk Memprediksi Talenta Pemain Basket Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Self Organizing Map (SOM). Cahyadi, H., Huuriyah, Q., Fakhri, M., Jaya, J., & Gani, R. (2016). Analisis Risiko Gerakan Tanah di Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. 95

112 Cancelli, A., & Nova, R. (1985). Landslides in soil debris cover triggered by rainstrom in Valtellina (Central Alps, Italy). Proc. Of the IV International Conferenceon Landslides, Vol. 1, Cannon, S., & Ellen, S. (1985). Rainfall condition for abundant derbisabalanches, San Francisco Bay region, California. California Geology, Vol. 38, No. 12, Ceriani, M., Lauzi, S., & Padovan, N. (1992). Rainfall and landslides in the Alpine area of Lombardia Region, central Alps, Italy. Proceedings, Interpraevent Int. Symp, Bern, Vol. 2, Cheadle, C., Vawter, M. P., Freed, W. J., & Becker, K. G. (2003). Analysis of Microarray Data using Z Score Transformation. The Journal of Molecular Diagnostics, CJ, V., TWJ, V., & R., S. (2003). Landslide Hazard And Risk Zonation Why is it So Difficult? Bull. Eng Geol. Coburn, A. (1994). Mitigasi Bencana Alam Edisi 2. UNDP. Cotecchia, V. (1978). Systematic reconnaisance mapping and registration of slope movement. Bulletin of the International Association of Engineering Geology, Vil. 17, Crosta, G. (1998). Regionalization of rainfall threshold: an aid to landslide hazard evaluation. Environmental Geology, Vol. 35, Crosta, G., & Frattini, P. (2001). Rainfall thresholds for triggering soil slips and debris flow, Proc. of EGS 2nd Plinius Conference Mediterranean Stroms, Siena,

113 Dahal, R., & Hasegawa, S. (2008). Representative rainfall threshols for lanslides in the Nepal Himalaya. Geomorphology, Vol. 100, Davies, D., & Bouldin, D. (1979). A Cluster Separation Measure. IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence, 224. Dayal, U., Chaudhuri, S., & Narasayya, V. (2011). An Overview of Bussiness Intelligence Technology. Communication of The ACM, Dinata, I., Treman, I., & Suratha, I. (2013). Pemetaan Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Du, K., & Swamy, M. (2006). Neural Network in a Softcomputing Framework. London: Springer. Dubes and Jain, A. (1988). Algorithm for Clustering Data. New Jersey: Prentice Hall. Fausset, L. (1994). Fundamental of Artificial Neural Network (Arsitechtures, Algoritms, and Application). New Jersey: Prentice-Hall. Freeman, J. A. (1992). Neural Network Algorithm, Aplication, and Programming Techniques. New York: Addison Westley Publishing. Guzzetti, F., Cardinali, M., Reichenbach, P., Cipolla, F., Sebastiani, C., Galli, M., et al. (2004). Landslides triggered by the 23 November 2000 rainfall event in the Imperia Province, Wsternd Liguria, Italy. Engineering Geology, Vol. 73, Hanafiah, K. A. (2007). Dasar- Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Divisi buku perguruan tinggi PT. Raja Grafindo Persada. 97

114 Hariri, F., & Pamungkas, D. (2016). Self Organizing Map-Neural Network untuk Pengelompokkan Abstrak. Hartati, S. K. (2010). Neuro-Fuzzy: Integrasi Sistem Fuzzy & Jaringan Syaraf. Yogyakarta: Graha Ilmu. Haykin, S. (1999). Neural Network: A Comprehensive Foundation. New Jersey: Prentice-Hall. Kim, S., Hong, W., & Kim, Y. (1991). Prediction of rainfall triggered landslides in Korea. In: Landslides (Bell, D.H. Ed.), Rotterdam: A.A, Balkema, Vol. 2, Kristanto, A. (2004). Jaringan Syaraf Tiruan (Konsep Dasar, Algoritma, dan Aplikasi). Yogyakarta: Gaya Media. Kurniawan, D. (2010). Pemanfaatan Jaringan Sensor Nirkabel dengan Sensor Percepatan H48C sebagai Sistem Akuisisi Data dan Sistem Peringatan Dini Bencana Tanah Longsor. Jurnal Penanggulangan Bencana, Kusumadewi, S. (2003). Artificial Intelligence. Yogyakarta: Graha Ilmu. Li, T., & Wang, S. (1992). Landslide hazards and their mitigation in China. Beijing: Science Press. Martiana, E. (2013). Data Preprocessing. Moeloeng, L. J. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nandi. (2007). Longsor. Bandung: FPIPS-UPI. 98

115 Naryanto, H. (2011). Analisis Kondisi Bawah Permukaan dan Risiko Bencana Tanah Longsor untuk Arahan Penataan Kawasan di Desa Tengklik Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Naryanto, H. (2011). Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Penanggulangan bencana Volume 2 Nomor 11, Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentntang Penanggulangan Bencana. Jakarta. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M. S. (2013). Erosi. Jakarta: Prenadamedia Group. Setiyono, B., & Mukhlas, I. (2005). Kajian Algoritma GDSBScan. Clarans dan Cure untuk Spatial Clustering. Shieh, S., & Liao, I. (2012). A New Approach for Data Clsutering and Visualization Using Self-Organizing Map. International Journal of Expert System with Application, 39. Siang, J. (2009). Jaringan Syaraf Tiruan dan Pemogramannya Menggunakan Matlab (Ed.II). Yogyakarta: Andi Offset. Su, M. (2003). A New Index of Cluster Validity. Dipetik Maret 2, 2017, dari Suharsaputra, U. (2012). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan. Bandung: Refika Aditama. Sukandarrumidi. (2010). Bencana Alam dan Bencana Anthropogene. Yogyakarta: Kanisius. 99

116 Tan, P.-N., Steinbach, M., & Kumar, V. (2006). Introduction to Data Mining. New York: Addison Wesley Publishing. Utomo, W. H. (1994). Erosi dan Konservasi Tanah. Malang: IKIP Malang. Yin, P. D. (2005). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 100

117 Tidak Memiliki Memiliki Curam Landai Sedang Sampah Dipilah Dan Sebagian Dimanfaatkan Sampah Dipilah Kemudian Dibuang Sampah Tidak Dipilah Frekuensi Lampiran 1 Data Faktor Terjadinya Bencana Alam Tanah Longsor dan Dampak Terjadinya Bencana Tanah Longsor di Indonesia Kepemilikan Kendaran Bermotor Kemiringan Lahan Pengolahan Sampah Bencana Gempa Bumi Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

118 Jumlah Curah Hujan (Mm) Jumlah Hari Hujan Frekuensi Luas Lahan Sangat Kritis Luas Lahan Kritis Data Curah Hujan Bencana Kebakaran Lahan Kritis Daerah Resapan Air Provinsi Sumur Resapan Lubang Resapan Biopori Taman/ Tanah Berumput Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

119 Provinsi Bencana tanah longsor Korban Jumlah Kejadian Meninggal Hilang Terluka Menderita Mengung si Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

120 Kerusakan rumah Kerusakan Fasilitas Umum Kerusakan Jalan Provinsi Rusak Berat Rusak Sedang Rusak Ringan Fasilitas Peribadatan Fasilitas Pendidikan Fasilitas Kesehatan Panjang Jalan Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

121 Tidak Memiliki Memiliki Curam Landai Sedang Sampah Dipilah Dan Sebagian Di manfaatkan Sampah Dipilah Kemudian Dibuang Sampah Tidak Dipilah Frekuensi Lampiran 2 Hasil Normalisasi Data Input Kepemilikan Kendaraan Bermotor Kemiringan Lahan Pengolahan Sampah Bencana Gempa Bumi Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

122 Jumlah Curah Hujan (Mm) Jumlah Hari Hujan Frekuensi Luas Lahan Sangat Kritis Luas Lahan Kritis Provinsi Data Curah Hujan Bencana kebakaran Lahan Kritis Sumur Resapan Daerah Resapan Air Lubang Resapa n Biopori Taman/ Tanah Berumput Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

123 Provinsi Bencana tanah longsor Korban Jumlah Kejadian Meninggal Hilang Terluka Menderita Mengungsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

124 Provinsi Rusak Berat Kerusakan rumah Rusak Sedang Rusak Ringan Fasilitas Peribadatan Kerusakan Fasilitas Umum Fasilitas Pendidikan Fasilitas Kesehatan Kerusakan Jalan Panjang Jalan Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

125 Lampiran 3 Bobot Akhir untuk Masing Masing Pembentukan Model Cluster Bobot Akhir untuk Model 2 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Variabel Neuron 1 Neuron

126 Bobot Akhir untuk Model 3 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Variabel Neuron 1 Neuron 2 Neuron

127 Bobot Akhir untuk Model 4 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron

128 Bobot Akhir untuk Model 5 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron E

129 Bobot Akhir untuk Model 6 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron 5 Neuron

130 Bobot Akhir untuk Model 7 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron 5 Neuron 6 Neuron

131 Bobot Akhir untuk Model 8 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron 5 Neuron 6 Neuron 7 Neuron

132 Bobot Akhir untuk Model 9 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron

133 Variabel Neuron 6 Neuron 7 Neuron 8 Neuron

134 Bobot akhir untuk model 10 Cluster Variabel Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron

135 Variabel Neuron 6 Neuron 7 Neuron 8 Neuron 9 Neuron

136 Lampiran 4 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster dan Pembentukan Cluster Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster untuk Model 2 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 1 Neuron 2 Neuron 1 Neuron 2 Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

137 Hasil Pembentukan Cluster untuk Model 2 Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

138 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster untuk Model 3 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Kalimantan Selatan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku D.I. Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

139 Hasil Pembentukan Model 3 Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

140 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster untuk Model 4 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

141 Hasil Pembentukan Model 4 Cluster Provinsi Eucledian Eucledian Cluster Provinsi distance distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

142 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster untuk Model 5 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron 5 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

143 Hasil Pembentukan Model 5 Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

144 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster untuk Model 6 Cluster Jarak inter-cluster Provinsi Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron 5 Neuron 6 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

145 Hasil Pembentukan Model 6 Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

146 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster untuk Model 7 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron 5 Neuron 6 Neuron 7 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

147 Hasil Pembentukan Model 7 Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

148 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster untuk Model 8 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron 5 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

149 Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 6 Neuron 7 Neuron 8 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah 1.17E Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

150 Hasil Pembentukan Model 8 Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

151 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster untuk Model 9 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron 5 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

152 Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 6 Neuron 7 Neuron 8 Neuron 9 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

153 Hasil Pembentukan Model 9 Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Provinsi Eucledian distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur 2.09E-30 8 Papua Barat Banten Papua Bali

154 Hasil Penentuan Jarak Inter-Cluster untuk Model 10 Cluster Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 1 Neuron 2 Neuron 3 Neuron 4 Neuron 5 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

155 Provinsi Jarak inter-cluster Neuron 6 Neuron 7 Neuron 8 Neuron 9 Neuron 10 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

156 Hasil Pembentukan Model 10 Cluster Provinsi Eucledian Eucledian Cluster Provinsi distance distance Cluster Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Timur Bengkulu Sulawesi Utara Lampung Sulawesi Tengah Kep, Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Gorontalo Jawa Barat Sulawesi Barat Jawa Tengah Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Jawa Timur Papua Barat Banten Papua Bali

157 Lampiran 5 Hasil Pembentukan Cluster dengan Jumlah Anggota Masing-Masing Cluster Cluster Set Nilai Davies Bouldin Index Cluster yang dihasilkan Jumlah Anggota Cluster Cluster 1: 31 Cluster 2: 2 Cluster 1: 19 Cluster 2: 2 Cluster 3: 12 Cluster 1: 15 Cluster 2: 2 Cluster 3: 1 Cluster 4: 15 Cluster 1: 12 Cluster 2: 3 Cluster 3: 15 Cluster 4: 1 Cluster 5: 2 Cluster 1: 4 Cluster 2: 12 Cluster 3: 1 Cluster 4: 2 Cluster 5: 1 Cluster 6: 13 Cluster 1: 3 Cluster 2: 14 Cluster 3: 1 Cluster 4: 11 Cluster 5: 1 Cluster 6: 1 Cluster 7: 2 Cluster 1: 3 Cluster 2: 12 Cluster 3: 1 Cluster 4: 2 Cluster 5: 3 Cluster 6: 1 Cluster 7: 10 Cluster 8: 1 141

158 Cluster Set Nilai Davies Bouldin Index Cluster yang dihasilkan Jumlah Anggota Cluster Cluster 1: 1 Cluster 2: 11 Cluster 3: 1 Cluster 4: 2 Cluster 5: 13 Cluster 6: 1 Cluster 7: 1 Cluster 8: 1 Cluster 9: 2 Cluster 1: 2 Cluster 2: 1 Cluster 3: 3 Cluster 4: 11 Cluster 5: 1 Cluster 6: 2 Cluster 7: 6 Cluster 8: 1 Cluster 9: 5 Cluster 10:1 142

159 Lampiran 6 Nilai Mean dari Faktor-Faktor Terjadinya Bencana Tanah Longsor dan Dampak dari Bencana Tanah Longor dari Seluruh Anggota Cluster 9 Variabel Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster 8 Cluster

160 Lampiran 7 Pembentukan jaringan dan penentuan bobot akhir dengan Matlab Pembentukan jaringan dengan 2 neuron dan 1 bobot pengubung >> net=selforgmap([1 2]) net = Neural Network name: 'Self-Organizing Map' efficiency:.cachedelayedinputs,.flattentime,.memoryreduction userdata: (your custom info) dimensions: numinputs: 1 numlayers: 1 numoutputs: 1 numinputdelays: 0 numlayerdelays: 0 numfeedbackdelays: 0 numweightelements: 0 sampletime: 1 connections: biasconnect: false inputconnect: true layerconnect: false outputconnect: true subobjects: inputs: {1x1 cell array of 1 input} layers: {1x1 cell array of 1 layer} outputs: {1x1 cell array of 1 output} biases: {1x1 cell array of 0 biases} inputweights: {1x1 cell array of 1 weight} layerweights: {1x1 cell array of 0 weights} functions: adaptfcn: 'adaptwb' adaptparam: (none) derivfcn: 'defaultderiv' dividefcn: (none) divideparam: (none) dividemode: 'sample' initfcn: 'initlay' performfcn: (none) performparam: (none) plotfcns: {'plotsomtop', plotsomnc, plotsomnd, plotsomplanes, plotsomhits, plotsompos} plotparams: {1x6 cell array of 6 params} trainfcn: 'trainbu' trainparam:.showwindow,.showcommandline,.show,.epochs,.time weight and bias values: 144

161 methods: IW: {1x1 cell} containing 1 input weight matrix LW: {1x1 cell} containing 0 layer weight matrices b: {1x1 cell} containing 0 bias vectors adapt: Learn while in continuous use configure: Configure inputs & outputs gensim: Generate Simulink model init: Initialize weights & biases perform: Calculate performance sim: Evaluate network outputs given inputs train: Train network with examples view: View diagram unconfigure: Unconfigure inputs & outputs evaluate: outputs = net(inputs) 145

162 Mengonfigurasi jaringan yang terbentuk dengan data input (data2) >> net=configure(net,data2) net = Neural Network name: 'Self-Organizing Map' efficiency:.cachedelayedinputs,.flattentime,.memoryreduction userdata: (your custom info) dimensions: numinputs: 1 numlayers: 1 numoutputs: 1 numinputdelays: 0 numlayerdelays: 0 numfeedbackdelays: 0 numweightelements: 60 sampletime: 1 connections: biasconnect: false inputconnect: true layerconnect: false outputconnect: true subobjects: inputs: {1x1 cell array of 1 input} layers: {1x1 cell array of 1 layer} outputs: {1x1 cell array of 1 output} biases: {1x1 cell array of 0 biases} inputweights: {1x1 cell array of 1 weight} layerweights: {1x1 cell array of 0 weights} functions: 146

163 adaptfcn: 'adaptwb' adaptparam: (none) derivfcn: 'defaultderiv' dividefcn: (none) divideparam: (none) dividemode: 'sample' initfcn: 'initlay' performfcn: (none) performparam: (none) plotfcns: {'plotsomtop', plotsomnc, plotsomnd, plotsomplanes, plotsomhits, plotsompos} plotparams: {1x6 cell array of 6 params} trainfcn: 'trainbu' trainparam:.showwindow,.showcommandline,.show,.epochs,.time weight and bias values: IW: {1x1 cell} containing 1 input weight matrix LW: {1x1 cell} containing 0 layer weight matrices b: {1x1 cell} containing 0 bias vectors methods: adapt: Learn while in continuous use configure: Configure inputs & outputs gensim: Generate Simulink model init: Initialize weights & biases perform: Calculate performance sim: Evaluate network outputs given inputs train: Train network with examples view: View diagram unconfigure: Unconfigure inputs & outputs evaluate: outputs = net(inputs) 147

164 Melatih jaringan hingga maksimum epochs (1000) net = Neural Network name: 'Self-Organizing Map' efficiency:.cachedelayedinputs,.flattentime,.memoryreduction userdata: (your custom info) dimensions: numinputs: 1 numlayers: 1 numoutputs: 1 numinputdelays: 0 numlayerdelays: 0 numfeedbackdelays: 0 numweightelements: 60 sampletime: 1 connections: biasconnect: false inputconnect: true layerconnect: false outputconnect: true subobjects: inputs: {1x1 cell array of 1 input} layers: {1x1 cell array of 1 layer} outputs: {1x1 cell array of 1 output} biases: {1x1 cell array of 0 biases} inputweights: {1x1 cell array of 1 weight} layerweights: {1x1 cell array of 0 weights} functions: adaptfcn: 'adaptwb' adaptparam: (none) 148

165 derivfcn: 'defaultderiv' dividefcn: (none) divideparam: (none) dividemode: 'sample' initfcn: 'initlay' performfcn: (none) performparam: (none) plotfcns: {'plotsomtop', plotsomnc, plotsomnd, plotsomplanes, plotsomhits, plotsompos} plotparams: {1x6 cell array of 6 params} trainfcn: 'trainbu' trainparam:.showwindow,.showcommandline,.show,.epochs,.time weight and bias values: IW: {1x1 cell} containing 1 input weight matrix LW: {1x1 cell} containing 0 layer weight matrices b: {1x1 cell} containing 0 bias vectors methods: adapt: Learn while in continuous use configure: Configure inputs & outputs gensim: Generate Simulink model init: Initialize weights & biases perform: Calculate performance sim: Evaluate network outputs given inputs train: Train network with examples view: View diagram unconfigure: Unconfigure inputs & outputs evaluate: outputs = net(inputs) 149

166 150

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia terletak di daerah rawan bencana. Berbagai jenis kejadian bencana telah terjadi di Indonesia, baik bencana alam, bencana karena kegagalan teknologi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dengan membentuk cluster yang diperoleh dari hasil penerapan algoritma

BAB II KAJIAN TEORI. dengan membentuk cluster yang diperoleh dari hasil penerapan algoritma BAB II KAJIAN TEORI Penelitian ini membahas tentang pemetaan wilayah provinsi di Indonesia dengan membentuk cluster yang diperoleh dari hasil penerapan algoritma pembelajaran Self Organizing Map, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Algoritma Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode NN yang

BAB III PEMBAHASAN. Algoritma Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode NN yang BAB III PEMBAHASAN Algoritma Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode NN yang diperkenalkan oleh Professor Teuvo Kohonen pada tahun 1982. Self Organizing Map merupakan salah satu bentuk topologi

Lebih terperinci

Bencana Benc Longsor AY 11

Bencana Benc Longsor AY 11 Bencana Longsor AY 11 Definisi TANAH LONGSOR; merupakan salah lh satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lerengyang menyebabkanbergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali daerah yang,mengalami longsoran tanah yang tersebar di daerah-daerah pegunngan di Indonesia. Gerakan tanah atau biasa di sebut tanah longsor

Lebih terperinci

Pengenalan Gerakan Tanah

Pengenalan Gerakan Tanah Pengenalan Gerakan Tanah PENDAHULUAN Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelongsoran Tanah Kelongsoran tanah merupakan salah satu yang paling sering terjadi pada bidang geoteknik akibat meningkatnya tegangan geser suatu massa tanah atau menurunnya

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.6. Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan atau neural network merupakan suatu sistem informasi yang mempunyai cara kerja dan karakteristik menyerupai jaringan syaraf pada

Lebih terperinci

FUZZY ELMAN RECURRENT NEURAL NETWORK DALAM PERAMALAN HARGA MINYAK MENTAH DI INDONESIA DENGAN OPTIMASI ALGORITMA GENETIKA TUGAS AKHIR SKRIPSI

FUZZY ELMAN RECURRENT NEURAL NETWORK DALAM PERAMALAN HARGA MINYAK MENTAH DI INDONESIA DENGAN OPTIMASI ALGORITMA GENETIKA TUGAS AKHIR SKRIPSI FUZZY ELMAN RECURRENT NEURAL NETWORK DALAM PERAMALAN HARGA MINYAK MENTAH DI INDONESIA DENGAN OPTIMASI ALGORITMA GENETIKA TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

KLASIFIKASI CITRA PARU MENGGUNAKAN MODEL SELF-ORGANIZING MAPS RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORKS (SOM-RBFNN) SKRIPSI

KLASIFIKASI CITRA PARU MENGGUNAKAN MODEL SELF-ORGANIZING MAPS RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORKS (SOM-RBFNN) SKRIPSI KLASIFIKASI CITRA PARU MENGGUNAKAN MODEL SELF-ORGANIZING MAPS RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORKS (SOM-RBFNN) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK)

BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) Kompetensi : 1. Mahasiswa memahami konsep Jaringan Syaraf Tiruan Sub Kompetensi : 1. Dapat mengetahui sejarah JST 2. Dapat mengetahui macam-macam

Lebih terperinci

Jaringan syaraf dengan lapisan tunggal

Jaringan syaraf dengan lapisan tunggal Jaringan syaraf adalah merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia yang mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia. Syaraf manusia Jaringan syaraf dengan lapisan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses

BAB 2 LANDASAN TEORI. fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses 8 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Neuro Fuzzy Neuro-fuzzy sebenarnya merupakan penggabungan dari dua studi utama yaitu fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Suara. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu speech recognition dan speaker recognition. Speech recognition adalah proses yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

OPTIMASI FUZZY BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK DENGAN ALGORITMA GENETIKA UNTUK MEMPREDIKSI NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA

OPTIMASI FUZZY BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK DENGAN ALGORITMA GENETIKA UNTUK MEMPREDIKSI NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA OPTIMASI FUZZY BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK DENGAN ALGORITMA GENETIKA UNTUK MEMPREDIKSI NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung.

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung. DEFINISI Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung. Rangers, 1975 : Proses yang terjadi dibawah pengaruh gravitasi tanpa adanya media transportasi / merupakan bagian dari turunnya

Lebih terperinci

Architecture Net, Simple Neural Net

Architecture Net, Simple Neural Net Architecture Net, Simple Neural Net 1 Materi 1. Model Neuron JST 2. Arsitektur JST 3. Jenis Arsitektur JST 4. MsCulloh Pitts 5. Jaringan Hebb 2 Model Neuron JST X1 W1 z n wi xi; i1 y H ( z) Y1 X2 Y2 W2

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

MODEL FUZZY RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORK UNTUK PERAMALAN KEBUTUHAN LISTRIK DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

MODEL FUZZY RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORK UNTUK PERAMALAN KEBUTUHAN LISTRIK DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MODEL FUZZY RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORK UNTUK PERAMALAN KEBUTUHAN LISTRIK DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

Jaringan Syaraf Tiruan. Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum

Jaringan Syaraf Tiruan. Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum Jaringan Syaraf Tiruan Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum Susilo Nugroho Drajad Maknawi M0105047 M0105068 M01040 Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Jaringan Syaraf Tiruan Artificial Neural Network atau Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah salah satu cabang dari Artificial Intelligence. JST merupakan suatu sistem pemrosesan

Lebih terperinci

JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM

JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM INTRODUCTION Jaringan Saraf Tiruan atau JST adalah merupakan salah satu representasi tiruan dari otak manusia yang selalu

Lebih terperinci

Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan Syaraf Tiruan Pendahuluan Otak Manusia Sejarah Komponen Jaringan Syaraf Arisitektur Jaringan Fungsi Aktivasi Proses Pembelajaran Pembelajaran Terawasi Jaringan Kohonen Referensi Sri Kusumadewi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Forecasting Forecasting (peramalan) adalah seni dan ilmu untuk memperkirakan kejadian di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan data historis dan memproyeksikannya

Lebih terperinci

BAB II NEURAL NETWORK (NN)

BAB II NEURAL NETWORK (NN) BAB II NEURAL NETWORK (NN) 2.1 Neural Network (NN) Secara umum Neural Network (NN) adalah jaringan dari sekelompok unit pemroses kecil yang dimodelkan berdasarkan jaringan syaraf manusia. NN ini merupakan

Lebih terperinci

2.1 Definisi Operasional Indikator Pemerataan Pendidikan

2.1 Definisi Operasional Indikator Pemerataan Pendidikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Operasional Indikator Pemerataan Pendidikan Pendidikan di Indonesia diselenggarakan sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang ditetapkan dalam UU No. 20 tahun 2003

Lebih terperinci

Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6

Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6 Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6 Sari Indah Anatta Setiawan SofTech, Tangerang, Indonesia cu.softech@gmail.com Diterima 30 November 2011 Disetujui 14 Desember 2011

Lebih terperinci

DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN.5 2. MENGENAL LEBIH DEKAT MENGENAI BENCANA.8 5W 1H BENCANA.10 MENGENAL POTENSI BENCANA INDONESIA.39 KLASIFIKASI BENCANA.

DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN.5 2. MENGENAL LEBIH DEKAT MENGENAI BENCANA.8 5W 1H BENCANA.10 MENGENAL POTENSI BENCANA INDONESIA.39 KLASIFIKASI BENCANA. DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN...5 2. MENGENAL LEBIH DEKAT MENGENAI BENCANA...8 5W 1H BENCANA...10 MENGENAL POTENSI BENCANA INDONESIA...11 SEJARAH BENCANA INDONESIA...14 LAYAKNYA AVATAR (BENCANA POTENSIAL INDONESIA)...18

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI Oleh Nama : Januar Wiguna Nim : 0700717655 PROGRAM GANDA TEKNIK INFORMATIKA DAN MATEMATIKA

Lebih terperinci

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN MULTI LAYER PERCEPTRON PADA APLIKASI PRAKIRAAN CUACA

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN MULTI LAYER PERCEPTRON PADA APLIKASI PRAKIRAAN CUACA Aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan Multilayer Perceptron (Joni Riadi dan Nurmahaludin) APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN MULTI LAYER PERCEPTRON PADA APLIKASI PRAKIRAAN CUACA Joni Riadi (1) dan Nurmahaludin

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

ESTIMASI POSISI AKHIR DEPOSISI PARTIKEL DENGAN ALGORITMA JARINGAN SYARAF TIRUAN TESIS

ESTIMASI POSISI AKHIR DEPOSISI PARTIKEL DENGAN ALGORITMA JARINGAN SYARAF TIRUAN TESIS ESTIMASI POSISI AKHIR DEPOSISI PARTIKEL DENGAN ALGORITMA JARINGAN SYARAF TIRUAN TESIS oleh Indriastutie Setia Hariwardanie NIM 091820101013 JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK 2.1 KONSEP DASAR Pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang dijadikan acuan untuk menyelesaikan penelitian. Berikut ini teori yang akan digunakan penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 21 Anatomi Ayam Pengetahuan tentang anatomi ayam sangat diperlukan dan penting dalam pencegahan dan penanganan penyakit Hal ini karena pengetahuan tersebut dipakai sebagai dasar

Lebih terperinci

BAB VIII JARINGAN SYARAF TIRUAN

BAB VIII JARINGAN SYARAF TIRUAN BAB VIII JARINGAN SYARAF TIRUAN A. OTAK MANUSIA Otak manusia berisi berjuta-juta sel syaraf yang bertugas untuk memproses informasi. Tiaptiap sel bekerja seperti suatu prosesor sederhana. Masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Longsor 2.1.1 Definisi Tanah Longsor Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan bahwa tanah longsor bisa disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan

Lebih terperinci

Disusun oleh: Aziza Ratna Kumala

Disusun oleh: Aziza Ratna Kumala PERBANDINGAN K-MEANS DAN FUZZY C-MEANS CLUSTERING PADA MODEL RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORK (RBFNN) UNTUK KLASIFIKASI STADIUM KANKER PAYUDARA SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dielaskan mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini, sehingga dapat diadikan sebagai landasan berpikir dan akan mempermudah dalam hal pembahasan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN MULTI LAYER FEEDFORWARD DENGAN ALGORITMA BACKPROPAGATION SEBAGAI ESTIMASI NILAI KURS JUAL SGD-IDR

IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN MULTI LAYER FEEDFORWARD DENGAN ALGORITMA BACKPROPAGATION SEBAGAI ESTIMASI NILAI KURS JUAL SGD-IDR Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Multimedia 205 STMIK AMIKOM Yogyakarta, 6-8 Februari 205 IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN MULTI LAYER FEEDFORWARD DENGAN ALGORITMA BACKPROPAGATION SEBAGAI ESTIMASI

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Pasifik. Pada daerah di sekitar batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat proses geologi yang siklus kejadiannya mulai dari sekala beberapa tahun hingga beberapa

Lebih terperinci

KLASIFIKASI KANKER SERVIKS MENGGUNAKAN MODEL BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK DAN PREPROCESSING CITRA DENGAN OPERASI SPASIAL

KLASIFIKASI KANKER SERVIKS MENGGUNAKAN MODEL BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK DAN PREPROCESSING CITRA DENGAN OPERASI SPASIAL KLASIFIKASI KANKER SERVIKS MENGGUNAKAN MODEL BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK DAN PREPROCESSING CITRA DENGAN OPERASI SPASIAL SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

PENGIDENTIFIKASIAN DAERAH SESAR MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI DI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI. Oleh:

PENGIDENTIFIKASIAN DAERAH SESAR MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI DI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI. Oleh: PENGIDENTIFIKASIAN DAERAH SESAR MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI DI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh: Firdha Kusuma Ayu Anggraeni NIM 091810201001 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur di dalam otak sebagai pengendali utama tubuh manusia. Otak manusia

BAB I PENDAHULUAN. diatur di dalam otak sebagai pengendali utama tubuh manusia. Otak manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia telah diciptakaan oleh Tuhan dalam bentuk kesempurnaan. Salah satu ciptaan yang menakjubkan adalah otak manusia dimana semua kecerdasaan diatur di dalam otak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. batuan, bahan rombakan, tanah, atau campuran material tersebut yang bergerak ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. batuan, bahan rombakan, tanah, atau campuran material tersebut yang bergerak ke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau campuran material tersebut yang bergerak ke bawah atau keluar lereng.

Lebih terperinci

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006 LANDSLIDE OCCURRENCE, 4 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA 6 Maret 4, Tinggi Moncong, Gowa, Sulawesi Selatan juta m debris, orang meninggal, rumah rusak, Ha lahan pertanian rusak

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA MODEL NEURAL NETWORK DAN MODEL DUANE UNTUK EVALUASI KETEPATAN PREDIKSI WAKTU KERUSAKAN SUATU KOMPONEN

PERBANDINGAN ANTARA MODEL NEURAL NETWORK DAN MODEL DUANE UNTUK EVALUASI KETEPATAN PREDIKSI WAKTU KERUSAKAN SUATU KOMPONEN Feng PERBANDINGAN ANTARA MODEL NEURAL NETWORK DAN MODEL DUANE UNTUK... 211 PERBANDINGAN ANTARA MODEL NEURAL NETWORK DAN MODEL DUANE UNTUK EVALUASI KETEPATAN PREDIKSI WAKTU KERUSAKAN SUATU KOMPONEN Tan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul. Lembar Pengesahan Pembimbing. Lembar Pengesahan Penguji. Halaman Persembahan. Halaman Motto. Kata Pengantar.

DAFTAR ISI. Halaman Judul. Lembar Pengesahan Pembimbing. Lembar Pengesahan Penguji. Halaman Persembahan. Halaman Motto. Kata Pengantar. DAFTAR ISI Halaman Judul i Lembar Pengesahan Pembimbing ii Lembar Pengesahan Penguji iii Halaman Persembahan iv Halaman Motto v Kata Pengantar vi Abstraksi viii Daftar Isi ix Daftar Gambar xii Daftar Tabel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

T 11 Aplikasi Model Backpropagation Neural Network Untuk Perkiraan Produksi Tebu Pada PT. Perkebunan Nusantara IX

T 11 Aplikasi Model Backpropagation Neural Network Untuk Perkiraan Produksi Tebu Pada PT. Perkebunan Nusantara IX T 11 Aplikasi Model Backpropagation Neural Network Untuk Perkiraan Produksi Tebu Pada PT. Perkebunan Nusantara IX Oleh: Intan Widya Kusuma Program Studi Matematika, FMIPA Universitas Negeri yogyakarta

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Jaringan Syaraf Biologi Jaringan Syaraf Tiruan merupakan suatu representasi buatan dari otak manusia yang dibuat agar dapat mensimulasikan apa yang dipejalari melalui proses pembelajaran

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA Disampaikan pada Workshop Mitigasi dan Penanganan Gerakan Tanah di Indonesia 24 Januari 2008 oleh: Gatot M Soedradjat PUSAT VULKANOLOGI DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI Jln.

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT RACHMAN SOBARNA Penyelidik Bumi Madya pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Perusahaan dalam era globalisasi pada saat ini, banyak tumbuh dan berkembang, baik dalam bidang perdagangan, jasa maupun industri manufaktur. Perusahaan

Lebih terperinci

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Rahmawati Husein Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah Workshop Fiqih Kebencanaan Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, UMY,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

Kuliah ke 5 BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] 5.1. Pengertian dan Istilah

Kuliah ke 5 BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] 5.1. Pengertian dan Istilah Kuliah ke 5 PERENCANAAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 410-2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] 5.1. Pengertian dan Istilah Bencana longsor adalah bencana

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya gravitasi. Tanah longsor sangat rawan terjadi di kawasan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Syaraf Biologi Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki kemampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang xix 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar (yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik) dan terletak di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

ANALISIS PENYEBARAN PENYAKIT DIARE SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB KEMATIAN PADA BALITA MENGGUNAKAN MODEL MATEMATIKA SIS

ANALISIS PENYEBARAN PENYAKIT DIARE SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB KEMATIAN PADA BALITA MENGGUNAKAN MODEL MATEMATIKA SIS ANALISIS PENYEBARAN PENYAKIT DIARE SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB KEMATIAN PADA BALITA MENGGUNAKAN MODEL MATEMATIKA SIS (SUSCEPTIBLE-INFECTED-SUSCEPTIBLE) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari BNPB atau Badan Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7 1. Usaha mengurangi resiko bencana, baik pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengenalan Pola Pengenalan pola adalah suatu ilmu untuk mengklasifikasikan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif fitur (ciri) atau sifat utama dari suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim

Lebih terperinci

Perbaikan Metode Prakiraan Cuaca Bandara Abdulrahman Saleh dengan Algoritma Neural Network Backpropagation

Perbaikan Metode Prakiraan Cuaca Bandara Abdulrahman Saleh dengan Algoritma Neural Network Backpropagation 65 Perbaikan Metode Prakiraan Cuaca Bandara Abdulrahman Saleh dengan Algoritma Neural Network Backpropagation Risty Jayanti Yuniar, Didik Rahadi S. dan Onny Setyawati Abstrak - Kecepatan angin dan curah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Di Indonesia, kejadian longsor merupakan bencana alam yang sering terjadi. Beberapa contoh kejadian yang terpublikasi adalah longsor di daerah Ciregol, Kabupaten

Lebih terperinci

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TEKNIK PERAMALAN - A

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TEKNIK PERAMALAN - A ARTIFICIAL NEURAL NETWORK CAHYA YUNITA 5213100001 ALVISHA FARRASITA 5213100057 NOVIANTIANDINI 5213100075 TEKNIK PERAMALAN - A MATERI Neural Network Neural Network atau dalam bahasa Indonesia disebut Jaringan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling

TINJAUAN PUSTAKA. Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling TINJAUAN PUSTAKA Pengenalan Gerakan Tanah Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Curah hujan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap perubahan cuaca yang semakin memburuk. Curah hujan merupakan total air hujan yang terjatuh pada permukaan

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN : Prediksi Tinggi Signifikan Gelombang Laut Di Sebagian Wilayah Perairan Indonesia Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Metode Propagasi Balik Abraham Isahk Bekalani, Yudha Arman, Muhammad Ishak Jumarang Program

Lebih terperinci

Estimasi Suhu Udara Bulanan Kota Pontianak Berdasarkan Metode Jaringan Syaraf Tiruan

Estimasi Suhu Udara Bulanan Kota Pontianak Berdasarkan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Estimasi Suhu Udara Bulanan Kota Pontianak Berdasarkan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Andi Ihwan 1), Yudha Arman 1) dan Iis Solehati 1) 1) Prodi Fisika FMIPA UNTAN Abstrak Fluktuasi suhu udara berdasarkan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015)

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasific. Pada

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON

SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON Jurnal Informatika Mulawarman Vol. 7 No. 3 Edisi September 2012 105 SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON Anindita Septiarini Program Studi Ilmu Komputer FMIPA,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Pola Pengenalan pola (pattern recognition) adalah suatu ilmu untuk mengklasifikasikan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif fitur atau sifat

Lebih terperinci

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN SUMATERA UTARA DENGAN METODE BACK PROPAGATION (STUDI KASUS : BMKG MEDAN)

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN SUMATERA UTARA DENGAN METODE BACK PROPAGATION (STUDI KASUS : BMKG MEDAN) JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN SUMATERA UTARA DENGAN METODE BACK PROPAGATION (STUDI KASUS : BMKG MEDAN) Marihot TP. Manalu Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika, STMIK Budidarma

Lebih terperinci

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil tahun 2006/2007

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil tahun 2006/2007 UNIVERSITAS BINA NUSANTARA Jurusan Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil tahun 2006/2007 Peramalan Harga Indeks Saham Hang Seng dengan Menggunakan Jaringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG merupakan wilayah dengan karateristik geologi dan geografis yang cukup beragam mulai dari kawasan pantai hingga pegunungan/dataran tinggi. Adanya perbedaan karateristik ini menyebabkan

Lebih terperinci

PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK Yudhi Andrian 1, Erlinda Ningsih 2 1 Dosen Teknik Informatika, STMIK Potensi Utama 2 Mahasiswa Sistem Informasi, STMIK

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hujan merupakan salah satu unsur iklim yang berpengaruh pada suatu daerah aliran sungai (DAS). Pengaruh langsung yang dapat diketahui yaitu potensi sumber daya air. Besar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Barcode Salah satu obyek pengenalan pola yang bisa dipelajari dan akhirnya dapat dikenali yaitu PIN barcode. PIN barcode yang merupakan kode batang yang berfungsi sebagai personal

Lebih terperinci

KLASIFIKASI STADIUM KANKER PAYUDARA MENGGUNAKAN MODEL FUZZY NEURAL NETWORK

KLASIFIKASI STADIUM KANKER PAYUDARA MENGGUNAKAN MODEL FUZZY NEURAL NETWORK KLASIFIKASI STADIUM KANKER PAYUDARA MENGGUNAKAN MODEL FUZZY NEURAL NETWORK SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Sebagai Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

Metode Jaringan Saraf Tiruan Propagasi Balik Untuk Estimasi Curah Hujan Bulanan di Ketapang Kalimantan Barat

Metode Jaringan Saraf Tiruan Propagasi Balik Untuk Estimasi Curah Hujan Bulanan di Ketapang Kalimantan Barat Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 Metode Jaringan Saraf Tiruan Propagasi Balik Untuk Estimasi Curah Hujan Bulanan di Ketapang Kalimantan Barat Andi Ihwan Prodi Fisika FMIPA Untan, Pontianak

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014 \ 1 A. TATANAN TEKTONIK INDONESIA MITIGASI BENCANA GEOLOGI Secara geologi, Indonesia diapit oleh dua lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang subduksinya dapat

Lebih terperinci

OPTIMASI BIAYA PRODUKSI PADA HOME INDUSTRY SUSU KEDELAI MENGGUNAKAN PENDEKATAN PENGALI LAGRANGE DAN PEMROGRAMAN KUADRATIK TUGAS AKHIR SKRIPSI

OPTIMASI BIAYA PRODUKSI PADA HOME INDUSTRY SUSU KEDELAI MENGGUNAKAN PENDEKATAN PENGALI LAGRANGE DAN PEMROGRAMAN KUADRATIK TUGAS AKHIR SKRIPSI OPTIMASI BIAYA PRODUKSI PADA HOME INDUSTRY SUSU KEDELAI MENGGUNAKAN PENDEKATAN PENGALI LAGRANGE DAN PEMROGRAMAN KUADRATIK TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci