STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NATUNA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NATUNA"

Transkripsi

1 Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta Indonesia STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NATUNA (2004)

2 STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NATUNA (2004) Disusun oleh CRITC- Jakarta 2005

3 STUDY BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NATUNA TAHUN 2004 KOORDINATOR TIM PENELITIAN : GIYANTO, S.SI, M.SC. PENANGGUNG JAWAB PENELITIAN : SISTIM INFORMASI GEOGRAFIS : DRS. WINARDI, M.SC. KUALITAS PERAIRAN : - DRS. EDI KUSMANTO - DRS. SALMIN MANGROVE : DRS. SOEROYO KARANG & MEGA BENTHOS : DRA. ANNA MANUPUTTY, M.SI IKAN KARANG : DRA. SASANTI R. SUHARTI, M.SC. DOKUMENTASI : R. SUTIYADI, A.MD. ANALISA DATA : GIYANTO, S.SI, M.SC.

4 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR TABEL vii DAFTAR LAMPIRAN ix RINGKASAN EKSEKUTIF A. Pendahuluan xi B. Hasil dan Pembahasan. xiii C. Kesimpulan dan Saran.. ix BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang 1 B. Tujuan Penelitian. 2 C. Ruang Lingkup Penelitian... 2 BAB II. METODE PENELITIAN... 4 A. Lokasi Penelitian. 4 B. Waktu Penelitian. 12 C. Pelaksana Penelitian 12 D. Metode Penarikan Sampel dan Analisa Data Sistem Informasi Geografis Kualitas Perairan Mangrove Karang Mega Benthos Ikan Karang 19 CRITC-COREMAP Jakarta ii

5 Halaman BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 A. Sistem Informasi Geografis Geometri Citra Kondisi Geografis Hasil Klasifikasi Citra B. Kualitas Perairan Temperatur Salinitas Densitas Arus Derajat keasaman (ph) Kandungan oksigen terlarut (O 2 ) Fosfat Nitrat (NO 3 ) Nitrit (NO 2 ) Silikat (SiO 3 ).. 44 C. Mangrove 45 D. Karang. 48 E. Mega Benthos. 56 F. Ikan Karang.. 60 BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 70 A. Kesimpulan. 70 B. Saran 72 DAFTAR PUSTAKA.. 73 CRITC-COREMAP Jakarta iii

6 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Natuna... 5 Halaman Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Posisi stasiun penelitian untuk temperatur, salinitas dan densitas air laut serta lintasan untuk pengukuran parameter kecepatan dan arah arus air laut di perairan Natuna 7 Posisi stasiun penelitian untuk parameter derajat keasaman (ph), oksigen terlarut (O 2 ), kadar fosfat (PO 4 ), nitrat (NO 3 ), nitrit (NO 2 ), dan silikat (SiO 3 ) di perairan Natuna 8 Posisi stasiun penelitian mangrove di perairan Natuna. 9 Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan Natuna. 10 Posisi stasiun penelitian untuk karang, mega benthos dan ikan karang pada stasiun transek permanen di perairan Natuna.. 11 Distribusi mangrove dan terumbu karang di Natuna. 27 Variasi temperatur pada stasiun penelitian di perairan Natuna Gambar 9. Variasi salinitas permukaan pada stasiun penelitian di perairan Natuna.. 30 Gambar 10. Variasi densitas permukaan pada stasiun penelitian di perairan Natuna.. 31 Gambar 11. Pola arus di perairan Teluk Sedanau Barat, Natuna. 33 Gambar 12. Pola arus di sekeliling P. Tiga dan sekitarnya, Natuna 34 CRITC-COREMAP Jakarta iv

7 Halaman Gambar 13. Pola arus di selat antara P. Tiga dan Sedanau Barat Gambar 14. Pola arus di sekeliling P. Laut Perairan Natuna.. 36 Gambar 15. Kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun di perairan Natuna dengan metode RRI.. 50 Gambar 16. Rerata persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat di Natuna. 51 Gambar 17. Histogram persentase tutupan untuk masingmasing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna yang dilakukan dengan metode LIT.. 52 Gambar 18. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna yang dilakukan dengan metode LIT 53 Gambar 19. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Natuna berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu.. 55 Gambar 20. MDS untuk stasiun transek permanen di Natuna berdasarkan berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu 56 Gambar 21. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang pada masing-masing stasiun transek permanen di Natuna Gambar 22. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Natuna berdasarkan jumlah individu mega benthos 59 Gambar 23. MDS untuk stasiun transek permanen di Natuna berdasarkan berdasarkan jumlah individu mega benthos 60 Gambar 24. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun RRI di Natuna. 62 CRITC-COREMAP Jakarta v

8 Halaman Gambar 25. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator pada masing-masing stasiun transek permanen di Natuna 66 Gambar 26. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator pada masing-masing stasiun transek permanen di Natuna 68 Gambar 27. MDS untuk stasiun transek permanen di Natuna berdasarkan jumlah individu ikan karang yang telah ditransformasikan ke bentuk akar pangkat dua CRITC-COREMAP Jakarta vi

9 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Luas mangrove dan terumbu karang di lokasi penelitian di Natuna Daftar nilai penting (%) anak pohon mangrove di Natuna 47 Daftar nilai penting (%) pohon mangrove di Natuna 47 Gambaran mengenai struktur mangrove yang termasuk di Natuna 48 Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H ) yang dihitung menggunakan ln (=log e), Indeks kemerataan Pielou (J ) dan persentase tutupan (%LC) untuk karang batu di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna dengan metode LIT. 54 Nilai indeks kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu pada stasiun transek permanen di Natuna. 55 Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah individu mega benthos di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna Tabel 8. Sebelas jenis ikan karang di Natuna yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar berdasarkan jumlah stasiun RRI yang diamati dan dijumpai ikan karang (n=35 stasiun). 61 CRITC-COREMAP Jakarta vii

10 Halaman Tabel 10. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku yang dijumpai pada lokasi transek permanen di Natuna 64 Tabel 11. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H ) yang dihitung menggunakan ln (=log e) dan Indeks kemerataan Pielou (J ) untuk ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna dengan metode LIT 67 Tabel 12. Nilai indeks kemiripan Bray-Curtis pada stasiun transek permanen di Natuna untuk data kelimpahan ikan karang (data ditransformasikan ke akar pangkat dua).. 67 CRITC-COREMAP Jakarta viii

11 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.a. Lampiran 1.b. Posisi stasiun penelitian untuk temperatur, salinitas dan densitas air laut serta lintasan untuk pengukuran parameter kecepatan dan arah arus air laut di perairan Natuna.... Posisi stasiun penelitian untuk parameter derajat keasaman (ph), oksigen terlarut (O 2 ), kadar fosfat (PO 4 ), nitrat (NO 3 ), nitrit (NO 2 ), dan silikat (SiO 3 ) di perairan Natuna Lampiran 1.c. Lampiran 1.d. Lampiran 1.e. Lampiran 2.a. Posisi stasiun penelitian mangrove di perairan Natuna.. 77 Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan Natuna Posisi stasiun penelitian untuk karang, mega benthos dan ikan karang pada stasiun transek permanen di perairan Natuna Hasil pengukuran temperatur, salinitas, dan densitas massa air laut permukaan di perairan Natuna.. 80 Lampiran 2.b. Hasil pengukuran temperatur, salinitas, dan densitas massa air laut untuk seluruh kolom air, mulai dari permukaan hingga dekat dasar, untuk perairan Natuna. 80 Lampiran 3.a. Hasil dan analisa zat hara di perairan Natuna.. 81 Lampiran 3.b. Kadar rata - rata zat hara di perairan Natuna.. 82 CRITC-COREMAP Jakarta ix

12 Halaman Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Jenis-jenis mangrove yang didapatkan di Natuna.. 83 Jenis karang batu yang diperoleh di perairan Natuna berdasarkan hasil LIT dan koleksi bebas 84 Persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun RRI di perairan Natuna.. 91 Persentase tutupan biota dan substrat dengan metode LIT pada masing-masing stasiun transek permanen di perairan Natuna.. 93 Lampiran 8. Beberapa mega benthos yang diamati dengan metode Reef Check Benthos (yang dimodifikasi) pada masing-masing stasiun transek permanen di perairan Natuna.. 94 Lampiran 9. Kelimpahan jenis ikan (jumlah individu/transek) yang dijumpai pada masingmasing stasiun transek permanen di Natuna yang diperoleh dengan metode UVC.. 95 CRITC-COREMAP Jakarta x

13 RINGKASAN EKSEKUTIF A. PENDAHULUAN COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kabupaten Natuna, yang secara administratif masuk ke dalam Propinsi Riau. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya. Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi baru tersebut sehingga bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang sebagai data pembanding, CRITC-COREMAP Jakarta xi

14 dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP. Kegiatan penelitian di lapangan dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VII. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kegiatan penelitian ini dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan Kepulauan Riau (meliputi Kepulauan Tambelan dan P. Mapor) serta Batam. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada Oktober- Nopember Kegiatan penelitian lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI, beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswi dari Riau (Universitas Riau) juga turut serta dalam survey ini untuk melengkapi Tugas akhirnya. Lokasi penelitian yang dilakukan di wilayah studi ini tidak mencakup keseluruhan wilayah administratif Kabupaten Natuna, namun hanya terbatas pada sebagian lokasi yang terpilih untuk kegitan COREMAP Fase II yang mencakup wilayah Kecamatan Bunguran Barat, yang berada di perairan di bagian barat daya P. Natuna. Selain P. Natuna itu sendiri, terdapat pula pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti P. Sedanau, P. Genting, P. Kumbik, P. Sabangmawang dan P. Tiga Dalam penelitian ini, sebelum penarikan sampel dilakukan, terlebih dahulu ditentukan peta sebaran terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih secara acak titik-titik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel CRITC-COREMAP Jakarta xii

15 yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut. B. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan di bagian barat daya P. Natuna dan sekitarnya yang meliputi juga beberapa pulau-pulau kecil seperti P. Sedanau, P. Genting, P. Kumbik, P. Sabangmawang dan P. Tiga (yang selanjutnya, untuk mempermudah penulisan, hanya disebut Natuna saja) adalah sebagai berikut: Luasan hutan mangrove di lokasi penelitian di Natuna adalah 17,3619 km 2. Luasan terumbu karang yang meliputi fringing reef, patch reef dan shoal di lokasi penelitian di Natuna adalah 420,4646 km 2. Kisaran temperatur pada perairan di lokasi penelitian di Natuna pada bagian permukaan berkisar antara 29,44 C dan 30,54 C dengan rerata 29,79 C. Sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 29,25 C dan 30,54 C dengan rerata 29,63 C. Kisaran salinitas pada perairan di lokasi penelitian di Natuna pada bagian permukaan berkisar antara 21,53 PSU hingga 33,44 PSU dengan rerata 31,61 PSU. Sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 21,53 PSU hingga 33,45 PSU dengan rerata 32,77 PSU. Densitas air laut pada perairan di lokasi penelitian di Natuna pada bagian permukaan berkisar antara 1011,71 kg/m ,60 kg/m 3 dengan rerata 1020,41 kg/m 3. Sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga CRITC-COREMAP Jakarta xiii

16 dekat dasar mempunyai kisaran antara 1011,71 kg/m ,70 kg/m 3 dengan rerata 1020,18 kg/m 3. Kecepatan arus maksimum di Teluk Sedanau Barat 699 mm/detik. Di selat antara Natuna Besar dan P. Sededap menuju ke tenggara dengan kecepatan antara 1000 mm/detik hingga 1500 mm/detik. Di selatan selat ini pula di temukan pusaran air yang deras. Kecepatan massa air yang lebih dari 1000 mm/detik ditemukan pula di barat dan barat daya P. Sededap. Daerah ini berbahaya, disamping arusnya deras, topografi dasar perairannya sangat terjal. Sedangkan untuk perairan sekeliling P. Laut kecepatan arus relatif lemah kecuali di sisi barat laut, kecepatannya mencapai 980 mm/detik. Mengacu pada nilai derajat keasaman (ph) yang direkomendasikan KLH, perairan di lokasi penelitian di Natuna masih tergolong baik, dimana phnya masih diatas 8. Pada daerah gambut/humus ph di permukaan lebih rendah dibandingkan dengan di dasar, sedangkan pada daerah terumbu karang ph nya homogen. Nilai ph pada daerah gambut/humus pada permukaan perairan lebih bersifat asam (lebih rendah) dibandingkan dengan di daerah terumbu karang, sedangkan pada bagian dasarnya bersifat homogen. Berdasarkan kriteria yang dianjurkan KLH dimana nilai baku mutu air laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut memiliki kadar oksigen terlarut > 5 ppm (3,5 ml/l) (Anonimous, 2004), maka secara umum dapat dikatakan bahwa perairan di lokasi penelitian yang dilakukan di Natuna, dinilai dari kadar oksigen terlarutnya, kondisinya kurang baik terutama pada daerah lahan gambut/humus, sedang pada daerah terumbu karang sedikit lebih baik kondisinya. Pada daerah gambut/humus maupun daerah terumbu karang, kandungan oksigen di permukaan CRITC-COREMAP Jakarta xiv

17 relatif homogen dengan bagian dasar perairan. Pada bagian permukaan, kandungan oksigen daerah terumbu karang lebih kaya dibandingkan daerah gambut/humus, tetapi pada bagian dasarnya kandungan oksigen pada kedua daerah tersebut tak berbeda. Dengan berpedoman pada baku mutu air laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut, kadar fosfat yang dianjurkan KLH yaitu < 0,015 ppm (4,9 µg A/L) (Anonimous, 2004), maka pada lokasi penelitian di Natuna, kadar fosfat pada umumnya masih berada pada nilai ambang batas yang dianjurkan, kecuali pada permukaan perairan di daerah lahan gambut/humus. Pada daerah gambut/humus maupun daerah terumbu karang, kadar fosfat pada bagian permukaan perairan lebih tinggi dibandingkan pada bagian dasarnya. Kadar fosfat pada daerah gambut/humus lebih tinggi dibandingkan pada daerah terumbu karang baik pada bagian permukaan maupun dasar perairan. Tingginya kadar fosfat di bagian permukaan ini diperkirakan merupakan sumbangan dari daratan. Mengacu baku mutu yang dikeluarkan KLH, untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut nilai ambang batas untuk nitrat = 0,008 ppm (26,27 µg A/L) (Anonimous, 2004), maka kadar nitrat pada semua perairan di Natuna yang diteliti, kondisinya masih baik dan masih jauh dari nilai ambang batas yang ditetapkan. Kadar nitrat di daerah gambut/humus lebih tinggi kadarnya pada bagian permukaan perairan dibandingkan dengan bagian dasarnya, tetapi sebaliknya di daerah terumbu karang, pada bagian permukaan kadar nitratnya lebih rendah dibandingkan bagian dasarnya. Baik pada bagian permukaan maupun dasar perairan, kadar nitrat pada daerah gambut/humus lebih tinggi dibandingkan dengan daerah terumbu karang. CRITC-COREMAP Jakarta xv

18 Berdasarkan hasil yang diperoleh dari semua stasiun yang diteliti di Natuna, kadar nitritnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar nitrat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perairannya masih dalam kondisi baik. Pada daerah gambut/humus kadar nitrit dipermukaan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dasarnya, sedangkan pada daerah terumbu karang sebaliknya dimana kadar nitrit di permukaan lebih rendah dibandingkan dengan bagian dasarnya. Pada daerah gambut/humus kadar nitritnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah terumbu karang, baik pada bagian permukaan maupun dasar perairan. Kadar rerata silikat di bagian dasar lebih tinggi dibandingkan dengan bagian permukaannya, baik untuk daerah gambut/humus maupun daerah terumbu karang. Kenyataan ini membuktikan bahwa sumber utama silikat di perairan ini berasal dari sedimentasi dari dasar perairan. Kandungan silikat yang tinggi terkonsentrasi di daerah gambut/humus dibandingkan dengan di daerah terumbu karang. KLH tidak menetapkan nilai ambang batas kadar silikat untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut. Secara keseluruhan di daerah Kepulauan Natuna didapatkan 17 jenis mangrove yang termasuk dalam 14 marga; 10 suku. Hasil pencuplikan data transek untuk kategori anak pohon (diameter batang 2-10 cm) didapatkan 8 jenis yang didominasi jenis Rhizophora mucronata dengan nilai penting 99,07 %. Kepadatan anak pohon mencapai 2467 batang/ha dengan rerata ketinggian 5,30 m dan basal area mencapai 6,16 m 2 /ha. Untuk kategori pohon (diameter batang >10 cm) didapatkan 7 jenis yang didominasi oleh Rhizophora mucronata dengan Nilai Penting 92,11 %. Kepadatan pohon mencapai 200 batang/ha dengan CRITC-COREMAP Jakarta xvi

19 ketinggian rata-rata mencapai 12,78 m dengan basal area 2,25 m 2 /ha. Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 177 jenis karang batu yang termasuk dalam 18 suku. Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 35 stasiun dijumpai persentase tutupan karang hidup antara 0,00% - 88,89%, dengan rerata persentase tutupan karang hidup 32,86 %, sehingga kondisi terumbu karangnya bisa dikategorikan cukup. Pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 8 stasiun transek permanen menunjukkan bahwa tak satu pun stasiun yang terumbu karangnya masuk dalam kategori sangat baik dan kurang. Hanya ada 1 stasiun dikategorikan baik, sedangkan sisanya yaitu 7 stasiun dikategorikan cukup. Pada stasiun transek permanen 06, karang batu yang dijumpai di stasiun tersebut selain kurang beragam, juga adanya jenis yang mendominasi, yaitu Porites cylindrica dan Porites rus. Berdasarkan jumlah kehadiran karang batu di masingmasing stasiun transek permanen, terlihat bahwa hanya stasiun 03 dan 07 yang mengelompok dalam satu kelompok dengan tingkat kemiripan > 50 %. Dari hasil Reef check tersebut, selama pengamatan tak diperoleh satu pun Acanthaster planci, yang merupakan hewan pemakan polip karang. Selain itu juga tak dijumpai Lobster, Dupella, Pencil sea urchin, Trochus niloticus dan juga Holothurian yang berukuran < 20 cm. Sedangkan Karang jamur (CMR=Coral Mushrom) dijumpai dalam jumlah yang berlimpah yaitu individu/ha. Bulu babi (Diadema setosum) dijumpai dengan kelimpahan sebesar CRITC-COREMAP Jakarta xvii

20 4089 individu/ha. Sedangkan Kima (Giant clam) dijumpai dalam jumlah sedang, dimana untuk yang berukuran besar (panjang >20 cm) kelimpahannya sebesar 348 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 1625 individu/ha. Selama pengamatan dilakukan, tripang (holothurian) yang berukuran besar (diameter >20) dijumpai dengan kelimpahan 188 individu/ha. Dari 35 stasiun yang dilakukan pengamatan ikan karang dengan metode RRI, ikan karang jenis Amblyglyphidodon curacao merupakan jenis yang paling sering dijumpai. Jenis ini dijumpai di 23 stasiun RRI, atau frekuensi relatif kehadirannya 65,71%. Underwater Fish Visual Census (UVC) yang dilakukan di 8 Stasiun transek permanen di Natuna menjumpai sebanyak 171 jenis ikan karang yang termasuk dalam 26 suku, dengan nilai kelimpahan ikan karang sebesar individu per hektarnya. Jenis Pomacentrus alexanderae merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya, yaitu sebesar 2529 individu/ha-nya. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari UVC di lokasi transek permanen di Natuna seperti ikan kakap (termasuk kedalam suku Lutjanidae) yaitu 268 individu/ha, ikan kerapu (termasuk dalam suku Serranidae) 164 individu/ha, ikan ekor kuning (termasuk dalam suku Caesionidae) yaitu 1936 individu/ha. Kelimpahan di lokasi transek permanen di Natuna untuk ikan kepe-kepe (Butterfly fish; suku Chaetodontidae), yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan 611 individu/ha. Selama penelitian berlangsung, ikan Napoleon (Cheilinus CRITC-COREMAP Jakarta xviii

21 undulatus) hanya dijumpai 1 individu dari 8 stasiun transek permanen. Jumlah individu untuk setiap jenis ikan karang yang dijumpai di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna dengan menggunakan metode UVC menunjukkan bahwa kelimpahan kelompok ikan major, ikan target, dan ikan indikator berturut-turut adalah individu/ha, 5096 individu/ha dan 486 individu/ha, sehingga perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 30:10:1. Ini berarti bahwa untuk setiap 41 individu ikan yang dijumpai di perairan Natuna, kemungkinan komposisinya terdiri dari 30 individu ikan major, 10 individu ikan target dan 1 individu ikan indikator. Berdasarkan jumlah individu dari masing-masing jenis ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen, terlihat bahwa Stasiun 01, 02 dan 03 mengelompok dalam satu kelompok, serta stasiun 05 dan 06 dalam kelompok yang lain dengan nilai kemiripan >50%. C. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Karakteritik massa air di perairan Natuna sangat dipengaruhi oleh pemanasan matahari disamping oleh pengaruh massa air dari daratan. Pola arus yang berkembang di perairan Natuna tergantung pada pola umum dan sistem arus yang berkembang di Laut Natuna dan Laut Cina Selatan kemudian dibelokkan oleh CRITC-COREMAP Jakarta xix

22 masing-masing pulau sesuai dengan kondisi topografi dan lokasi perairannya. Ditinjau dari kadar zat hara, kondisi perairan Natuna yang diteliti masih dikategorikan baik untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut, terutama pada daerah terumbu karang. Sedang untuk daerah gambut/humus, kondisi perairannya kurang begitu baik. Kadar Silikat yang lebih tinggi di bagian dasar perairan membuktikan bahwa kadar silikat dari semua daerah yang diteliti sumber utamanya berasal dari sedimentasi di bagian dasar perairan. Di lokasi penelitian di Natuna didapatkan 17 jenis mangrove yang termasuk dalam 14 marga, 10 suku. Untuk anak pohon didominasi Rhizophora mucronata dengan kepadatan mencapai 2467 batang/ha, rerata ketinggian 5,30 m dan basal area 6,16 m 2 /ha. Untuk pohon didominasi Rhizophora mucronata dengan kepadatan pohon mencapai 200 batang/ha, rerata ketinggian 12,78 m dan basal area mencapai 2,25 m 2 /ha. Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas, di Natuna berhasil dijumpai 177 jenis karang batu yang termasuk dalam 18 suku. Ditinjau dari persentase tutupan karang hidupnya, secara umum terumbu karang di perairan Natuna dapat dikategorikan cukup dimana persentase tutupan karang hidupnya hanya sebesar 32,86 % saja. Pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 8 stasiun transek permanen menunjukkan bahwa tak satu pun stasiun yang terumbu karangnya masuk dalam kategori sangat baik dan kurang. Hanya ada 1 stasiun dikategorikan baik, sedangkan sisanya yaitu 7 stasiun dikategorikan cukup. CRITC-COREMAP Jakarta xx

23 Walaupun secara umum kadar zat hara di daerah terumbu karang perairan sekitar Natuna masih dapat dikategorikan baik sesuai yang dianjurkan KLH untuk biota laut, tapi tanda-tanda adanya pencemaran di perairan ini bisa terlihat dari tingginya kelimpahan beberapa megabenthos yang umum dijumpai pada daerah yang tercemar perairannya. Underwater Fish Visual Census (UVC) yang dilakukan di 8 Stasiun transek permanen di Natuna menjumpai sebanyak 171 jenis ikan karang yang termasuk dalam 26 suku, dengan nilai kelimpahan ikan karang sebesar individu per hektarnya. Jenis Pomacentrus alexanderae merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya, yaitu sebesar 2529 individu/ha-nya. Kelimpahan ikan karang yang memiliki nilai ekonomis penting relatif rendah di perairan ini. Dari pengalaman dan hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian di lapangan maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini mungkin tidak seluruhnya benar untuk menggambarkan kondisi perairan Kepulauan Natuna secara keseluruhan mengingat penelitian kali ini difokuskan hanya pada beberapa kawasan yang berada di Kepulauan Natuna. Walaupun secara umum kualitas perairan di lokasi penelitian yang berada di daerah terumbu karang ini dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya, tapi keadaan seperti ini perlu dipertahankan bahkan jika mungkin, lebih ditingkatkan lagi daya dukungnya, untuk kehidupan terumbu karang dan biota lainnya. Pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan CRITC-COREMAP Jakarta xxi

24 harus dicegah sedini mungkin, sehingga kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga dan lestari. Untuk daerah gambut/humus, kondisi lingkungan sekitarnya perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik agar kondisi perairannya menjadi lebih baik. Dengan meningkatnya kegiatan di darat di wilayah Natuna, pasti akan membawa pengaruh terhadap ekosistem di perairan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penelitian kembali di daerah ini sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi sehingga hasilnya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, data hasil pemantauan tersebut juga bisa dipakai sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP. CRITC-COREMAP Jakarta xxii

25 BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kabupaten Natuna, yang secara administratif masuk ke dalam Propinsi Riau. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya. Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi baru tersebut sehingga bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang sebagai data pembanding, CRITC-COREMAP Jakarta 1

26 dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP. B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari studi baseline ekologi ini adalah sebagai berikut: Mendapatkan data dasar ekologi di Kabupaten Natuna, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Membuat transek permanen di beberapa tempat di Kabupaten Natuna agar dapat dipantau di masa mendatang. C. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup studi baseline ekologi ini meliputi empat tahapan yaitu: 1. Tahap persiapan, meliputi kegiatan administrasi, koordinasi dengan tim penelitian baik yang berada di Jakarta maupun di daerah setempat, pengadaan dan mobilitas peralatan penelitian serta perancangan penelitian untuk memperlancar pelaksanaan survey di lapangan. Selain itu, dalam tahapan ini juga dilakukan persiapan penyediaan peta dasar untuk lokasi penelitian yang akan dilakukan. 2. Tahap pengumpulan data, yang dilakukan langsung di lapangan yang meliputi data tentang kualitas perairan baik fisika maupun kimia perairan, terumbu karang, ikan karang dan mangrove. CRITC-COREMAP Jakarta 2

27 3. Tahap analisa data, yang meliputi verifikasi data lapangan dan pengolahan data sehingga data lapangan bisa disajikan dengan lebih informatif. 4. Tahap pelaporan, yang meliputi pembuatan laporan sementara dan laporan akhir. CRITC-COREMAP Jakarta 3

28 BAB II. METODE PENELITIAN A. LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian yang dilakukan di wilayah studi ini tidak mencakup keseluruhan wilayah administratif Kabupaten Natuna, namun hanya terbatas pada sebagian lokasi yang terpilih untuk kegitan COREMAP Fase II yang mencakup wilayah Kecamatan Bunguran Barat, yang berada di perairan di bagian barat daya P. Natuna. Selain P. Natuna itu sendiri, terdapat pula pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti P. Sedanau, P. Genting, P. Kumbik, P. Sabangmawang dan P. Tiga (Gambar 1). Dalam penelitian ini, sebelum dilakukan penarikan sampel, pertama-tama ditentukan terlebih dahulu peta sebaran terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih secara acak titik-titik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut. Tetapi ada kalanya titik-titik stasiun yang telah ditentukan tersebut tidak seluruhnya dapat terambil dikarenakan banyak faktor diantaranya kondisi cuaca yang kurang baik (ombak besar). CRITC-COREMAP Jakarta 4

29 Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 5

30 Untuk parameter temperatur, salinitas dan densitas air laut dilakukan di 27 stasiun (Gambar 2; Lampiran 1.a). Sedangkan untuk parameter kecepatan dan arah arus air laut berhasil dikumpulkan 4 lintasan (Gambar 2). Untuk parameter derajat keasaman (ph), oksigen terlarut (O 2 ), kadar fosfat (PO 4 ), nitrat (NO 3 ), nitrit (NO 2 ), dan silikat (SiO 3 ) dilakukan di 26 stasiun penelitian dari 38 stasiun yang direncanakan, karena alasan cuaca (ombak besar) yang kurang mendukung untuk pengambilan sampel. Satu stasiun yaitu Stasiun 0, yang semula tidak direncanakan ditambahkan sebagai stasiun penelitian (Gambar 3 ; Lampiran 1.b.). Dari pengamatan di lapangan, perairan di Kepulauan Natuna dapat dikelompokkan dalam 2 katagori ekosistem yang dominan, yaitu perairan yang didominasi oleh ekosistem gambut/humus dan perairan yang didominasi oleh terubu karang. Perairan yang didominasi oleh gambut/humus mencakup daerah di stasiun 15, 18, 19, 21 dan 22; sedangkan selebihnya didominasi oleh terumbu karang. Untuk mangrove, transek dilakukan di 3 stasiun yang seperti terlihat dalam Gambar 4 ; Lampiran 1.c. Untuk kelompok karang dan ikan karang, pengamatan dilakukan di 35 stasiun dengan menggunakan metode RRI (Rapid Reef Resources Inventory) (Gambar 5 ; Lampiran 1.d.). Sedangkan untuk proses pemantauan kondisi kesehatan karang di masa sekarang dan yang akan datang, dipilih 8 stasiun sebagai titik-titik transek permanen (permanent transect) untuk karang, mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan terumbu karang, serta ikan karang (Gambar 6 ; Lampiran 1.e.). CRITC-COREMAP Jakarta 6

31 Gambar 2. Posisi stasiun penelitian untuk temperatur, salinitas dan densitas air laut serta lintasan untuk pengukuran parameter kecepatan dan arah arus air laut di perairan Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 7

32 Gambar 3. Posisi stasiun penelitian untuk parameter derajat keasaman (ph), oksigen terlarut (O 2 ), kadar fosfat (PO 4 ), nitrat (NO 3 ), nitrit (NO 2 ), dan silikat (SiO 3 ) di perairan Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 8

33 Gambar 4. Posisi stasiun penelitian mangrove di perairan Natuna CRITC-COREMAP Jakarta 9

34 Gambar 5. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 10

35 Gambar 6. Posisi stasiun penelitian untuk karang, mega benthos dan ikan karang pada stasiun transek permanen di perairan Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 11

36 B. WAKTU PENELITIAN Berhubung kegiatan penelitian di lapangan dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VII. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kegiatan penelitian ini dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan Kepulauan Riau (meliputi Kepulauan Tambelan dan P. Mapor) serta Batam. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada Oktober-Nopember C. PELAKSANA PENELITIAN Kegiatan penelitian lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI, beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswa dari Riau (Universitas Riau) juga turut serta dalam survey ini untuk melengkapi Tugas akhirnya. D. METODE PENARIKAN SAMPEL DAN ANALISA DATA Penelitian Ecological Baseline Study ini melibatkan beberapa kelompok penelitian dan dibantu oleh personil untuk dokumentasi. Metode penarikan sampel dan analisa data yang digunakan oleh masing-masing kelompok penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sistem Informasi Geografis Untuk keperluan pembuatan peta dasar sebaran ekosistem perairan dangkal, data citra penginderaan jauh CRITC-COREMAP Jakarta 12

37 (inderaja) digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (selanjutnya disebut Landsat ETM+) pada kanal sinar tampak dan kanal inframerah dekat (band 1,2,3,4 dan 5). Saluran ETM+ 7 tidak digunakan dalam studi ini karena studinya lebih ke mintakat perairan bukan mintakat daratan. Sedangkan saluran infra-merah dekat ETM+ 4 dan 5 tetap dipakai karena band 4 masih berguna untuk perairan dangkal dan band 5 berguna untuk pembedaan mintakat mangrove. Citra yang digunakan adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada saluran multispectral (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) adalah 30 m x 30 m persegi. Adapun citra yang digunakan dalam studi ini citra perekaman dengan path-row Sebelum kerja lapang dilakukan, di laboratorium terlebih dulu disusun peta tentatif. Pengolahan citra untuk penyusunan peta tentatif dilakukan dengan perangkat lunak Extension Image Analysis 1.1 pada ArcView 3.2. Prosedur untuk pengolahan citra sampai mendapatkan peta tentatif daerah studi meliputi beberapa langkah berikut ini.: Langkah pertama, citra dibebaskan atau setidaknya dikurangi terhadap pengaruh noise yang ada. Koreksi untuk mengurangi noise ini dilakukan dengan teknik smoothing menggunakan filter low-pass. Langkah kedua, memblok atau membuang daerah tutupan awan. Ini dilakukan dengan pertama-tama memilih areal contoh (training area) tutupan awan dan kemudian secara otomatis komputer diminta untuk memilih seluruh daerah tutupan awan pada cakupan citra. Setelah terpilih kemudian dikonversikan menjadi format shape file. CRITC-COREMAP Jakarta 13

38 Konversi ini diperlukan agar didapatkan data berbasis vektor (data citra berbasis raster) beserta topologinya yaitu tabel berisi atribut yang sangat berguna untuk analisis selanjutnya. Dari tabel itu kemudian dilakukan pemilihan daerah yang bukan awan dan selanjutnya disimpan dalam bentuk shape file. Daerah bukan awan inilah yang akan digunakan untuk analisis lanjutan. Langkah ketiga yaitu memisahkan mintakat darat dan mintakat laut. Pada citra yang telah bebas dari tutupan awan dilakukan digitasi batas pulau dengan cara digitasi langsung pada layar komputer (on the screen digitizing). Agar diperoleh hasil digitasi dengan ketelitian memadahi, digitasi dilakukan pada skala tampilan citra 1: Digitasi batas pulau ini dilakukan pada citra komposit warna semu kombinasi band 4, 2,1. Kombinasi ini dipilih karena dapat memberikan kontras wilayah darat dan laut yang paling baik. Agar kontrasnya maksimum, penyusunan komposit citra mengunakan data yang telah dipertajam dengan perentangan kontras non-linier model gamma. Setelah batas pulau diselesaikan, dengan cara yang sama pada mintakat laut didigitasi batas terluar dari mintakat terumbu. Komposit citra yang digunakan adalah kombinasi band 3,2,1 dengan model perentangan kontras yang sama. Sedangkan untuk digitasi batas sebaran mangrove, digunakan kombinasi citra lain yaitu kombinasi band 5,4,3. Dengan kombinasi ini disertai teknik perentangan kontras model gamma, mintakat pesisir yang ditumbuhi mangrove akan sangat mudah dibedakan dengan mintakat yang bervegetasi lain. Hasil interpretasi berupa peta sebaran mangrove dan terumbu karang yang bersifat tentatif. Berdasarkan peta tentatif tersebut kemudian secara acak dipilih titik-titik lokasi sampel serta ditentukan CRITC-COREMAP Jakarta 14

39 posisinya. Titik-titik sampel itu di lapangan dikunjungi dengan dipandu oleh alat penentu posisi secara global atau GPS. Selain sampel model titik-titik ini digunakan pula sampel model garis transek dari pantai kearah tubir yang juga dipilih secara acak. GPS yang dipergunakan saat kerja lapang adalah merk Garmin tipe 12CX dengan ketelitian posisi absolut sekitar lebih kecil atau sama dengan 15 meter. Dari data yang terkumpul kemudian di laboratorium dilakukan interpretasi dan digitasi ulang agar diperoleh batas yang lebih akurat. Hasilnya berupa peta sebaran terumbu karang dan mangrove. 2. Kualitas Perairan Untuk kualitas perairan yang terdiri dari beberapa parameter fisika dan kimia oseanografi yaitu : a. Parameter fisika (1). Temperatur, salinitas dan massa jenis (densitas) air laut diukur dengan menggunakan alat CTD (Conductive Temperature Depth), (2). Kecepatan dan arah arus air laut diukur menggunakan alat ADCP (Accoustic Dopler Current Profiler), b. Parameter kimia Untuk stasiun yang mencapai kedalaman > 5 m, sampel air laut diambil dari permukaan dan dasar, sedangkan untuk daerah 5 m sampel diambil pada bagian permukaannya saja. (1). Untuk Oksigen terlarut, sampel disimpan dalam botol gelas oksigen dan ditambahkan larutan MnCl 2 dan NaOH-KI, selanjutnya dilaboratorium CRITC-COREMAP Jakarta 15

40 dianalisis dengan cara titrasi Iodometri dengan metode Winkler. (2). Derajat keasaman (ph) langsung diukur dilapangan dengan menggunakan alat ph meter. (3). Untuk nutrien PO 4, NO 3, NO 2 dan SiO 3, sampel disimpan dalam botol plastik polietilen, dilaboratorium sampel air laut disaring dengan milipour 0,45 µ, selanjutnya dianalisis dengan cara spektrofotometri berdasarkan metode dari US. Hydrography Office, Mangrove Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis mangrove dilakukan penelitian di lapangan baik transek maupun koleksi bebas, untuk transek dilakukan dengan membuat garis tegak lurus pantai yang masing-masing transek dibuat plot-plot atau petak-petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengambilan data pohon (diameter batang > 10 cm), ukuran 5 m x 5 m untuk pengambilan data anak pohon (diameter batang 2-10 cm). Dari data tersebut diatas dapat diperoleh nilai kerapatan nisbi (KN), dominasi nisbi (DN), frekuensi nisbi (FN) dan nilai penting (NP) yang merupakan penjumlahan dari 3 kriteria tersebut, seperti yang dikemukakan Cox (1967). Jumlah individu suatu jenis KN = x 100% Jumlah individu untuk semua jenis Nilai frekuensi suatu jenis FN = x 100% Jumlah nilai-nilai frekuensi untuk semua jenis CRITC-COREMAP Jakarta 16

41 Jumlah titik pengambilan contoh jenis terdapat Frekuensi = x 100% Jumlah semua titik pengambilan contoh Jumlah luas bidang dasar untuk jenis DN = x 100% Jumlah luas bidang dasar untuk semua jenis NP = KN + FN + DN 4. Karang Untuk mengetahui secara umum kondisi terumbu karang seperti persentase tutupan biota dan substrat di terumbu karang pada setiap stasiun penelitian digunakan metode Rapid Reef Resources Inventory (RRI) (Long et al., 2004). Dengan metode ini, di setiap titik pengamatan yang telah ditentukan sebelumnya, seorang pengamat berenang selama sekitar 5 menit dan mengamati biota dan substrat yang ada di sekitarnya. Kemudian pengamat memperkirakan persentase tutupan dari masing-masing biota dan substrat yang dilihatnya selama kurun waktu tersebut dan mencatatnya ke kertas tahan air yang dibawanya. Pada beberapa stasiun penelitian dipasang transek permanen di kedalaman antara 3-5 m yang diharapkan bisa dipantau di masa mendatang. Pada lokasi transek permanen, data diambil dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) mengikuti English et al., (1997), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang sebanyak 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangannya yaitu seorang penyelam meletakkan pita berukuran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. Kemudian LIT ditentukan pada garis transek 0-10 m, m dan CRITC-COREMAP Jakarta 17

42 m. Semua biota dan substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian hingga centimeter. Dari data hasil LIT tersebut bisa dihitung nilai persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat yang berada di bawah garis transek. Selain itu juga bisa diketahui jenis-jenis karang batu dan ukuran panjangnya, sehingga bisa dihitung nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H ) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou s evenness index = J ) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis karang batu pada masing-masing stasiun transek permanen yang diperoleh dengan metode LIT. Rumus untuk nilai H dan J adalah : k H' = -Σ p i ln p i i=1 dimana p i = n i /N n i = frekuensi kehadiran jenis i N = frekuensi kehadiran semua jenis J' = (H'/H' max ) dimana H' max = ln S S = jumlah jenis Selain itu, beberapa analisa lanjutan dilakukan dengan bantuan program statistik seperti analisa pengelompokan (Cluster analysis) (Warwick and Clarke, 2001) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001). CRITC-COREMAP Jakarta 18

43 5. Mega Benthos Untuk mengetahui kelimpahan beberapa mega benthos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan bisa dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang, dilakukan metode Reef Check pada semua stasiun transek permanen. Semua biota tersebut yang berada 1 m di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 m tadi dihitung jumlahnya, sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (2 x 70) = 140 m 2. Analisa lanjutan seperti analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001) dilakukan terhadap data kelimpahan individu dari beberapa mega benthos yang dijumpai. 6. Ikan Karang Seperti halnya terumbu karang, metode RRI juga diterapkan pada penelitian ini untuk mengetahui secara umum jenis-jenis ikan yang dijumpai pada setiap titik pengamatan. Sedangkan pada setiap titik transek permanen, metode yang digunakan yaitu metode Underwater Fish Visual Census (UVC), dimana ikan-ikan yang dijumpai pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek sepanjang 70 m dicatat jenis dan jumlahnya. Sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (5m x 70m) = 350 m 2. Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Matsuda, et al. (1984), Kuiter (1992) dan Lieske dan Myers (1994). Sama seperti halnya pada karang, nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H ) CRITC-COREMAP Jakarta 19

44 (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou s evenness index = J ) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen dari hasil UVC. Selain itu juga dihitung kelimpahan jenis ikan karang dalam satuan unit individu/ha. Dari data kelimpahan tiap jenis ikan karang yang dijumpai dimasing-masing stasiun transek permanen dilakukan analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001). Spesies ikan yang didata dikelompokkan ke dalam 3 kelompok utama (ENGLISH, et al., (1997), yaitu : a. Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae (ikan pakol); b. Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe); c. Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5 25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta CRITC-COREMAP Jakarta 20

45 cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, diwakili oleh famili Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu), dan Blenniidae (ikan peniru). CRITC-COREMAP Jakarta 21

46 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Peta akhir hasil analisis dideskripsi dan dibahas berdasarkan data hasil pengamatan lapangan yang telah dikumpulkan. Selain itu dibahas pula geometri citra dan keterbatasan yang ada dalam pemrosesan citra sehingga tersusun peta akhir. 1. Geometri Citra Data mentah citra (raw data) sudah dalam kondisi terkoreksi geometri karena produk data Landsat 7 ETM+ yang dipasarkan merupakan data level 1G. Pada level ini data sudah terkoreksi geometri dengan datum WGS 84 menggunakan sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Berdasarkan keterangan yang tertera pada dokumen produk data Landsat 7, data yang direkam satelit mempunyai tingkat kesalahan posisi kurang dari 50 meter. Ketelitian ini dapat dinaikkan lagi dengan aplikasi koreksi geometri menggunakan ground control points (GCP) lokal sampai mencapai kurang dari 15 meter kesalahannya. Untuk studi kali ini, walaupun rencananya akan diaplikasikan koreksi geometri citra ke koordinat lokal dengan GCP lokal, hal ini tidak jadi dilaksanakan. Ini didasari suatu kenyataan bahwa dari sekitar 48 titik ground check di lapangan yang tersebar pada terumbu dekat pantai, terumbu tengah dan tubir, ternyata kesemuanya dapat diplot dengan baik pada peta dasar. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kesalahan posisi karena kesalahan geometri peta hasil interpretasi kurang dari 1 piksel citra (kurang dari 30 CRITC-COREMAP Jakarta 22

47 meter). Untuk itu koreksi geometri dengan koordinat lokal sudah tidak diperlukan lagi karena seluruh posisi hasil pengukuran di lapangan dapat diplotkan ke peta dasar dengan baik. 2. Kondisi Geografis Daerah Studi Kondisi geografis daerah kajian dideskripsi berdasarkan interpretasi citra komposit warna semu secara visual yang telah dicek-silangkan dengan kondisi geografis hasil pengamatan di lapangan. Pembahasannya dilengkapi pula menggunakan data sekunder yang tersedia di instansi terkait seperti: BPS maupun BAPPEDA Kabupaten. Pulau Natuna dan beberapa pulau kecil di sekitarnya secara administratif dibagi menjadi dua kecamatan yaitu: Kecamatan Bunguran Barat dan Kecamatan Bunguran Timur. Kecamatan Bunguran Timur berpusat di Ranai dan terdiri dari 13 pulau dimana hanya satu pulau yang dihuni yaitu P. Natuna. Sedangkan Kecamatan Bunguran Barat dengan pusat pemerintahan di P. Sedanau. Kecamatan ini mencakup 42 pulau-pulau kecil dimana 13 di antaranya dihuni. Berdasarkan data sekunder yang ada, wilayah P. Natuna dan sekitarnya merupakan wilayah dengan curah hujan tahunan yang tinggi yaitu sekitar 2367 mm per tahun. Biasanya hujan tertinggi terjadi pada bulan Nopember dan terendah pada bulan Maret. Suhu harian dalam satu tahun mempunyai rentang antara 23 o C - 32 o C. Kondisi curah hujan dan rerata suhu yang demikian itu menjadikan wilayah tersebut dapat diklasifikasikan sebagai wilayah dengan iklim sangat basah. Untuk studi kali ini walaupun semestinya hanya memfokuskan pada Desa Ranai dan Sabangmawang yang menjadi lokasi COREMAP Fase II ini, namun interpretasi CRITC-COREMAP Jakarta 23

48 citra yang dilakukan mencakup seluruh wilayah Pulau Natuna dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Pulau-pulau tersebut antara lain: P. Salor, P. Sedanau, P. Kumbik, P. Sededap, P. Sabangmawang, P. Kemudi, P. Genting, P. Seduai, P. Seluan, P. Panjang, serta P. Semapi dan P. Senua. Namun demikian, dalam kegiatan survei lapangan oleh karena keterbatasan waktu hanya difokuskan pada sebagian wilayah saja. Adapun wilayah yang disurvei yaitu: pesisir barat P. Natuna bagian selatan, P. Salor, P. Sedanau, P. Kumbik, P. Sededap, dan P. Genting. Wilayah tersebut secara administratif termasuk kedalam Desa Sedanau Barat, Desa Sedanau Timur, Desa Pulau Tiga, dan Desa Sabangmawang. Desa Sabangmawang yang merupakan lokasi COREMAP Fase II ini meliputi P. Sabangmawang sendiri ditambah P. Sededap serta P. Genting. Sedangkan Desa Ranai walaupun merupakan lokasi COREMAP tetapi tidak disurvei dengan alasan keterbatasan waktu, seperti telah disebutkan di depan. Berdasarkan gambaran dari citra yang tersedia dan hasil pengamatan lapangan, kedalam perairan di wilayah yang disurvei mengalir sebuah sungai besar dan beberapa sungai kecil. Sungai yang besar mengalir kedalam teluk sempit yang ada di depan P. Sedanau. Sungai tersebut adalah S. Binjai dan diperkirakan membawa muatan sedimen yang cukup untuk mempengaruhi kondisi perairan di situ. Sedimen yang dialirkan ke laut tersebut terbukti membuat pesisir di dalam teluk ditumbuhi mangrove. Oleh karenanya pantai di sekitar teluk yang ada di Desa Sedanau Timur ini dapat diklasifikasikan sebagai pantai mangrove. Pantai yang lain dalam wilayah yang disurvei umumnya merupakan pantai pasir putih (pasir koral) terutama pada pesisir pulau-pulau kecil. Menurut genesanya, pantai yang CRITC-COREMAP Jakarta 24

49 ada umumnya berasal dari bentukan asal marin atau asal alluvial. Secara umum wilayah studi merupakan dataran dengan beberapa perbukitan dengan lereng kurang dari 60 persen. Sedangkan pulau-pulau kecil yang ada sebagian besar merupakan dataran. Batuan dasar yang ditemukan selama kerja lapang adalah: batu pasir, kuarsa, andesit, basalt, dan pada daerah pantai agak terjal ditemukan pula skis serta shale. Khusus untuk P. Sedanau sendiri ditemukan batuan lempung, kuarsa dan pasir. Sedangkan pada P. Sabangmawang ditemukan batu pasir dan shale. Penemuan ini hanya mencakup wilayah yang sangat kecil di daerah pesisir sehingga sangat mungkin dan pasti bahwa jika disurvei ke bagian darat akan ditemukan jenis batuan yang lainnya. Kondisi lereng, jenis batuan yang ada serta iklim yang sangat basah mempengaruhi proses pembentukan tanah di daerah kajian. Tanah yang berkembang di sana dan dijumpai pada wilayah pesisir saat kerja lapang umumnya merupakan tanah yang sudah berkembang baik dengan ketebalan cukup. Secara umum dapat diklasifikasikan sebagai tanah latosol. Pada bagian tertentu dapat dikenali lebih detil sebagai tanah jenis podsolik abu-abu gelap sampai coklat gelap. 3. Hasil Klasifikasi Citra Telah disebutkan di depan bahwa citra yang ada diinterpretasi dan diklasifikasikan kedalam mangrove, darat serta terumbu karang. Terumbu karang sendiri diklaskan sebagai terumbu tepi (fringing reef), terumbu gosong (patch reef) dan shoal. Kesulitan yang dihadapi saat delineasi batas-batas antar klas tersebut adalah adanya tutupan awan pada citra. Hal ini diatasi dengan jalan CRITC-COREMAP Jakarta 25

50 mendigitasi garis batas berdasarkan perkiraan karena tidak ada cara lain. Dengan demikian ketelitian delineasi batas ini keakuratannya sangat dibatasi oleh persentase tutupan awan. Karena tutupan awan pada citra yang digunakan dalam interpretasi adalah sekitar 10 persen maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan digitasi karena tutupan awan ini sekitar 10 persen juga. Berdasarkan hasil cek lapangan pada 48 titik yang dikunjungi di laut dan 22 titik di darat, diketahui bahwa dari ke 60 titik tersebut ada 8 titik yang kebetulan semuanya di darat tidak sesuai dengan keadaan lapangan. Artinya ada sekitar 12,5 % kesalahan interpretasi. Apabila dicermati lebih lanjut ternyata ke 8 titik yang salah interpretasi tersebut ada di bawah daerah tutupan awan atau bayangan awan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesalahan yang ada kemungkinan besar karena tutupan awan. Konsekuensinya dalah data apapun yang diturunkan berdasarkan peta hasil interpretasi ini, misal data luas terumbu, akan mempunyai tingkat kesalahan sekitar 12,5 persen. Berdasarkan hasil interpretasi citra yang telah dicek ke lapangan kemudian disusun peta akhir tentang sebaran terumbu karang di P. Natuna dan sekitarnya. Dari hasil yang ada diketahui bahwa secara umum pulau utama dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dikelilingi oleh terumbu karang. Jika diklaskan menurut ketiga macam jenis terumbu yang ada, terumbu tepi dan shoal merupakan jenis yang sebarannya lebih banyak. Pada bagian tertentu lebar terumbu tepi dapat mencapai lebih dari 300 m dari pantai. Pada bagian teluk dimana S. Binjai mengalir, ditemukan mangrove yang cukup tebal. Ketebalannya pada tempat tertentu dapat mencapai sekitar 500 meteran. Hasil perhitungan luas mangrove dan terumbu karang di daerah CRITC-COREMAP Jakarta 26

51 studi (Gambar 7) disajikan pada Tabel 1. Penghitungannya dibuat kedalam dua macam cakupan yaitu: khusus yang mencakup wilayah yang disurvei saja dan yang mencakup seluruh wilayah P. Natuna dan pulau-pulau di sekitarnya. Tabel 1. Luas mangrove dan terumbu karang di lokasi penelitian di Natuna Jenis Tutupan Wilayah yang disurvei* (km 2 ) Wilayah P. Natuna dan sekitarnya (km 2 ) Mangrove 17, ,0665 Terumbu karang 420, ,0299 Terumbu karang tepi (Fringing reef) 197, ,0583 Terumbu karang gosong (Patch reef) 22, ,4577 Terumbu karang shoal (Shoal) 201, ,5139 Catatan: * dalam peta (Gambar 2) dibatasi dengan garis warna merah muda. Gambar 7. Distribusi mangrove dan terumbu karang di Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 27

52 B. KUALITAS PERAIRAN Hasil penelitian mengenai kualitas perairan yang meliputi parameter fisika dan kimia adalah sebagai berikut : 1. Temperatur Variasi temperatur permukaan yang terekam selama penelitian berlangsung mempunyai kisaran antara 29,44 C dan 30,54 C dengan rerata 29,79 C, (Lampiran 2.a.). Sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 29,25 C dan 30,54 C dengan rerata 29,63 C (Lampiran 2.b.). Perbedaan temperatur permukaan untuk setiap lokasi sangat bervariasi tergantung pada lokasi dan pengaruh daratan yang berkembang serta profil kedalaman perairan berperan dalam mempengaruhi temperatur. Temperatur rendah di perairan ini ditemukan hampir di seluruh stasiun di P. Tiga kecuali di bagian barat, di selatan dan utara P. Laut, dan selat antara P. Tiga dan Sedanau barat. Temperatur sedang ditemukan di mulut teluk dan selatan P. Natuna, sedang temperature tinggi ditemukan di sisi barat P. Tiga, sisi timur P. Laut dan di luar mulut teluk (Gambar 8). CRITC-COREMAP Jakarta 28

53 Gambar 8. Variasi temperatur pada stasiun penelitian di perairan Natuna. 2. Salinitas Selama penelitian berlangsung, salinitas air laut pada bagian permukaan relatif rendah dengan kisaran 21,53 PSU hingga 33,44 PSU dengan rerata salinitas 31,61 PSU (Lampiran 2.a.) sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 21,53 PSU hingga 33,45 PSU dengan rerata salinitas 32,77 PSU (Lampiran 2.b.). Fenomena ini menunjukkan bahwa pengaruh massa air dari daratan sangat dominan. Salinitas permukaan terendah ditemukan di selatan P. Laut sedangkan disisi sebelah timur pulau ini ditemukan salinitas 25,50 hingga 29,47 PSU. Untuk perairan Natuna dan sekitarnya salinitas permukaan yang terekam pada umumnya antara 29,47 hingga 33,45 PSU (Gambar 9). CRITC-COREMAP Jakarta 29

54 Gambar 9. Variasi salinitas permukaan pada stasiun penelitian di perairan Natuna. 3. Densitas Densitas air laut pada bagian permukaan berkisar antara 1011,71 kg/m ,60 kg/m 3 dengan rerata 1020,41 kg/m 3 (Lampiran 2.a.) sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 1011,71 kg/m ,70 kg/m 3 dengan rerata 1020,18 kg/m 3 (Lampiran 2.b.). Distribusi densitas permukaan untuk seluruh daerah penelitian pada umumnya antara 1017,63 kg/m 3 hingga 1021,00 kg/m 3 kecuali pantai sebelah tenggara P. Laut, (Gambar 10). CRITC-COREMAP Jakarta 30

55 Gambar 10. Variasi densitas permukaan pada stasiun penelitian di perairan Natuna. 4. Arus Pola arus yang berkembang di perairan Natuna yang terekam oleh peralatan ADCP selama penelitian yang dilakukan saat surut minimum (berdasarkan peramalan pasang surut Dinas Hidro Oseanografi Angkatan Laut untuk daerah Penagi dan Pemangkat) menunjukkan bahwa topografi perairan sangat berperanan disamping pasang surut yang merupakan gaya penggerak massa air di perairan ini. Hasil perekamannya disajikan dalam Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13 dan Gambar 14. Pada Gambar 11 disajikan pola arus di sepanjang aloran (Channel) yang menuju dan keluar dari teluk. Pada Gambar terlihat bahwa massa air masuk ke teluk melalui aloran sebelah utara dan keluar melalui aloran sebelah CRITC-COREMAP Jakarta 31

56 selatan. Keluar dan masuknya massa air dari dan ke teluk berlaku sistem sirkulasi yang menjamin kesetimbangan massa air, begitupun untuk teluk di perairan Natuna bagian selatan ini. Walaupun dalam kondisi surut minimum, massa air masih ada yang menuju ke dalam teluk, sedangkan diluar mulut teluk, di perairan yang lebih dalam di bagian utaranya massa air menuju ke selatan. Kecepatan massa air yang terekam maksimum 699 mm/detik. Untuk perairan di P. Tiga dan sekitarnya menunjukkan bahwa fungsi selat antara pulau-pulau tersebut sebagai alur untuk mendistribusikan massa air dari dan ke dalam perairan. Massa air menuju ke tenggara di sepanjang pesisir selatan Natuna kemudian ke timur laut mengikuti kontur kedalaman dan bentuk pulau (Gambar 12). Massa air di selat antara Natuna Besar dan P. Sededap menuju ke tenggara dengan kecepatan antara 1000 mm/detik hingga 1500 mm/detik. Di selatan selat ini pula di temukan pusaran air yang deras. Kecepatan massa air yang lebih dari 1000 mm/detik ditemukan pula di barat dan barat daya P. sededap. Daerah ini berbahaya, disamping arusnya deras, topografi dasar perairannya sangat terjal. Kondisi arus untuk selat antara P. Tiga dan Sedanau barat (Gambar 13) menunjukkan bahwa massa air menuju kedalam teluk melalui sisi sebelah selatan sedangkan pada sisi utara selat masih dipengaruhi oleh pola umum daerah ini. Sedangkan untuk perairan sekeliling P. Laut menunjukkan bahwa arus yang terekam relatif lemah kecuali di sisi barat laut, kecepatannya mencapi 980 mm/detik (Gambar 14). CRITC-COREMAP Jakarta 32

57 Gambar 11. Pola arus di perairan Teluk Sedanau Barat, Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 33

58 Gambar 12. Pola arus di sekeliling P. Tiga dan sekitarnya, Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 34

59 Gambar 13. Pola arus di selat antara P. Tiga dan Sedanau Barat. CRITC-COREMAP Jakarta 35

60 Gambar 14. Pola arus di sekeliling P. Laut Perairan Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 36

61 4. Derajat keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kualitas perairan. Suatu perairan laut yang baik biasanya bersifat basa dengan ph>7 sebagaimana yang direkomendasikan KLH (Anonimous, 2004). Hasil pengukuran derajat keasaman (ph) yang dilakukan di stasiun penelitian di Natuna bisa dilihat pada Lampiran 3.a. Pada daerah terumbu karang di Kepulauan Natuna, derajat keasaman (ph) perairan ini menunjukkan indikasi yang baik untuk perairan dengan nilai kisaran 8<pH<9. Di daerah terumbu karang, nilai ph pada permukaan perairan relatif sama dengan bagian dasarnya, karena tingkat perbedaannya tidak signifikan yaitu hanya 1,09% terhadap ph di dasar perairan. Kondisi yang demikian dapat diterangkan dari komposisi kimia utama ekosistem terumbu karang yang kaya dengan senyawa karbonat, terutama dalam bentuk senyawa kalsium carbonat (CaCO 3 ). Senyawa karbonat ini terbentuk sebagai hasil pernapasan (respirasi) mahluk hidup diperairan yang menghasilkan karbon dioksida (CO 2 ), yang selanjutnya teroksidasi menjadi senyawa karbonat. Senyawa karbonat ini bersifat basa, sehingga tingkatan ph >8. Untuk daerah gambut/humus, perbedaan nilai rerata ph pada bagian permukaan dengan dasar perairan menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan tingkat perbedaan mencapai 6,24% terhadap ph di dasar, dimana ph di permukaan lebih rendah dibandingkan dengan di dasar. Dengan membandingkan daerah gambut/humus dengan daerah terumbu karang, pada daerah permukaan terdapat perbedaan yang signifikan (>3%) dengan tingkat CRITC-COREMAP Jakarta 37

62 perbedaan mencapai 6,83% terhadap ph yang tertinggi, yaitu ph pada daerah terumbu karang. Sedangkan pada bagian dasar tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan tingkat perbedaan hanya 1,71%. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pada daerah gambut/humus dipermukaan lebih bersifat asam dibandingkan terhadap daerah terumbu karang, sedangkan pada bagian dasarnya bersifat homogen (Lampiran 3.b.). Dengan demikian, mengacu pada nilai ph yang direkomendasikan KLH (Anonimous, 2004), maka perairan di Natuna masih tergolong baik. 5. Kandungan oksigen terlarut (O 2 ) Kandungan oksigen terlarut (O 2 ) dalam perairan turut menentukan kualitas perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) makhluk hidup dan proses oksidasi dalam perairan. Sebagai contoh ikan yang hidup dalam perairan yang kekurangan oksigen akan terganggu fungsi insangnya dan dapat menyebabkan insang ikan itu berlendir (anoxia) dan mati. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai oksidator senyawa senyawa kimia di perairan. Sumbangan oksigen terbesar berasal dari adsorpsi udara bebas, sementara dari fitoplankton dan tumbuhan hijau lain yang berklorofil menyumbang oksigen sebagai produk fotosintesis. Faktor yang bisa mempengaruhi kemampuan suatu perairan untuk mengadsorpsi oksigen adalah salinitas, suhu, kekeruhan air, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut (Raymont, 1963). Faktor kedalaman juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut (Tijssen, 1990). Dalam kondisi normal, semakin dalam perairan itu maka semakin menurun kadar oksigennya. KLH telah merekomendasikan baku mutu air laut untuk CRITC-COREMAP Jakarta 38

63 kepentingan wisata bahari dan biota laut, kadar oksigen terlarutnya > 5 ppm (3,5 ml/l) (Anonimous, 2004). Hasil pengukuran kadar oksigen yang dilakukan di seluruh stasiun di Natuna bisa dilihat pada Lampiran 3.a. dan Lampiran 3.b. Dari penelitian di Kepulauan Natuna, kadar oksigen pada daerah gambut/humus berkisar antara 3,00 3,52 ml/l. Kondisi perairan seperti ini kurang baik untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut. Hal yang menarik di daerah gambut/humus ini yaitu adanya kecenderungan kadar oksigen yang relatif lebih tinggi pada lapisan yang lebih dalam dibandingkan lapisan permukaannya. Keadaan ini dapat diterangkan dengan melihat kondisi fisik di perairan tersebut. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa air yang ada dipermukaan daerah gambut/humus berwarna coklat merah dan tidak berubah meskipun telah dilakukan proses pengendapan dan penyaringan, sementara di bagian dasar airnya bening. Warna pada bagian permukaan ini lebih kuat diduga karena pigmen tumbuhan sumbangan dari daratan. Pigmen tumbuhan inilah yang berdisosiasi dan mengisi rongga rongga molekul air (H 2 O) sehingga mengurangi kemampuan mulekul oksigen untuk teradsorpsi oleh molekul air. Pada daerah terumbu karang di Kepulauan Natuna, kadar oksigennya berkisar antara 3,31 4,53 ml/l. Kisaran ini lebih baik dibandingkan dengan daerah gambut/humus disekitarnya yaitu antara 3-3,52 ml/l. Pada daerah gambut/humus maupun di daerah terumbu karang, walaupun pada umumnya bagian permukaan perairan lebih kaya kandungan oksigennya dibandingkan dengan bagian dasarnya, tetapi perbedaannya tidak signifikan (<3%) sehingga dapat dikatakan bahwa CRITC-COREMAP Jakarta 39

64 kadar oksigennya homogen antara permukaan dan dasar perairan. Dengan membandingkan nilai rerata kandungan oksigen antara daerah gambut/humus dengan daerah terumbu karang di kepulauan Natuna terhadap kandungan oksigen yang tertinggi diantara keduanya, menunjukkan perbedaan yang signifikan baik pada bagian permukaan (tingkat perbedaan mencapai 16,84%) maupun pada bagian dasar (dengan tingkat perbedaan 16,85%). Dari hasil perhitungan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada daerah terumbu karang, kandungan oksigen terlarut di bagian permukaan lebih kaya dibandingkan daerah gambut/humus, sementara pada bagian dasarnya homogen. Berdasarkan kriteria yang dianjurkan KLH dimana nilai baku mutu air laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut memiliki kadar oksigen terlarut > 5 ppm (3,5 ml/l) (Anonimous, 2004), maka secara umum dapat dikatakan bahwa perairan di lokasi penelitian yang dilakukan di Natuna dinilai dari kandungan oksigen terlarutnya, kondisinya kurang baik terutama pada daerah lahan gambut/humus, sedang pada daerah terumbu karang sedikit lebih baik kondisinya. 6. Fosfat Fosfat merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan oleh mahluk hidup yang ada diperairan. Sumbangan fosfat terbesar berasal dari sedimentasi yang ada di dasar perairan. Oleh karena itu, semakin dalam perairan, semakin besar kandungan fosfatnya. Kekecualian bisa terjadi, dimana kadar fosfat dipermukaan lebih tinggi dibandingkan kolom air yang lebih dalam bila di perairan tersebut banyak mendapatkan pengaruh dari darat berupa sumbangan CRITC-COREMAP Jakarta 40

65 limbah penduduk. Limbah penduduk yang banyak menyumbang kadar fosfat diantaranya detergen. Hasil pengukuran kadar fosfat yang dilakukan di seluruh stasiun di Natuna bisa dilihat pada Lampiran 3.a. dan Lampiran 3.b. Pada daerah terumbu karang di Kepulauan Natuna, kadar fosfatnya berkisar antara 0,18-10,18 µg A/L, sedangkan daerah gambut/humus disekitarnya yaitu antara 0,75-9,78 µg A/L. Dari penelitian yang dilakukan di Kepulauan Natuna, kadar fosfat di bagian permukaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dasarnya, baik untuk daerah gambut/humus maupun daerah terumbu karang. Pada daerah gambut/humus perbedaan rerata kadar fosfat antara permukaan dengan dasarnya sangat signifikan, mencapai 79,96% yang dihitung terhadap kadar fosfat yang tertinggi diantara keduanya yaitu kadar fosfat di bagian permukaan. Sedangkan pada daerah terumbu karang perbedaan mencapai 50,56%. Kenyataan ini terjadi karena sehari sebelum dilakukan pengambilan sampel, sore harinya turun hujan yang cukup lebat. Diduga karena pengaruh hujan, terlihat jelas pengaruh daratan yang menyumbang tingginya kadar fosfat dipermukaan. Pada daerah gambut/humus serta stasiun stasiun lain pada daerah mangrove, kandungan fosfatnya jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain yang didominasi terumbu karang. Dengan membandingkan rerata kadar fosfat antara daerah gambut/humus dengan daerah terumbu karang yang dihitung terhadap kadar fosfat yang tertinggi diantara keduanya, kadar fosfat pada bagian permukaan di daerah gambut/humus lebih tinggi dibandingkan di daerah terumbu karang dengan perbedaan mencapai 50,86%, tetapi sebaliknya kadar fosfat pada bagian dasar di daerah terumbu karang lebih tinggi dibandingkan di daerah CRITC-COREMAP Jakarta 41

66 gambut/humus dengan perbedaan 17,53%. Dari perhitungan ini terlihat bahwa pada bagian permukaan di daerah gambut/humus lebih kaya kandungan fosfatnya, tetapi sebaliknya pada bagian dasarnya daerah terumbu karang yang lebih kaya kandungan fosfatnya. KLH telah merekomendasikan baku mutu air laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut nilainya tidak melebihi 0,015 ppm (4,9 µg A/L) (Anonimous, 2004). Dengan berpedoman pada baku mutu air laut ini maka untuk stasiun-stasiun penelitian yang dilakukan di Kepulauan Natuna, kadar fosfat pada umumnya masih berada pada nilai ambang batas yang dianjurkan, kecuali pada permukaan perairan di daerah gambut/humus. 7. Nitrat (NO 3 ) Nitrat sebagai mana halnya fosfat merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan oleh mahluk hidup yang ada dalam perairan. Fungsinya turut membantu pembentukan asam amino sebagai komponen dasar protein. Sumbangan terbesar nitrat berasal dari sedimentasi di dasar perairan. Hasil pengukuran kadar nitrat yang dilakukan di seluruh stasiun di Natuna bisa dilihat pada Lampiran 3.a. dan Lampiran 3.b. Di daerah Kepulauan Natuna pada daerah gambut/humus, kadar nitrat berkisar antara 0,81 1,06 µg A/L, sementara pada daerah terumbu karang berkisar antara 0,09 0,96 µg A/L. Dengan membandingkan bagian permukaan dengan dasarnya, rerata kadar nitrat di daerah gambut/humus pada bagian permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dasarnya. Perbedaannya cukup signifikan yaitu mencapai 7,41% (dihitung berdasarkan kadar nitrat tertinggi diantara kedua bagian tersebut). Sebaliknya, untuk daerah terumbu karang, rerata kadar nitrat di bagian permukaan lebih CRITC-COREMAP Jakarta 42

67 rendah dibandingkan dengan bagian dasarnya dengan perbedaan yang signifikan yaitu mencapai 6,13%. Dengan membandingkan rerata kadar nitrat pada bagian permukaan antara daerah gambut/humus dengan daerah terumbu karang yang dihitung terhadap kadar nitrat yang tertinggi diantara keduanya, perbedaannya signifikan dengan tingkat perbedaan 20,88%, dimana pada daerah gambut/humus kadar nitratnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah terumbu karang. Hal yang sama juga terjadi pada bagian dasar perairan dimana perbedaannya mencapai 8,97%. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada daerah gambut/humus kadar nitratnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah terumbu karang, baik pada bagian permukaan maupun dasar perairan. Mengacu pada baku mutu yang dikeluarkan KLH untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut yang nilainya tidak boleh melebihi 0,008 ppm (26,27 µg A/L) (Anonimous, 2004) maka kadar nitrat pada semua perairan di Natuna yang diteliti kondisinya masih baik dan masih jauh dari nilai ambang batas yang ditetapkan. 8. Nitrit (NO 2 ) Nitrit merupakan senyawa kimia yang sangat reaktif karena struktur molekulnya tidak stabil. Karena reaktifnya, nitrit akan cepat bereaksi dengan logam berat misalnya membentuk senyawa garam nitrat yang larut dalam air. Nitrit termasuk parameter yang dapat dijadikan indikator kualitas perairan. Suatu perairan yang baik, kadar nitritnya harus lebih kecil dari kadar nitrat. Semakin kecil kadar nitrit, semakin baik kualitas perairannya. Hasil pengukuran kadar nitrit yang dilakukan di seluruh stasiun di Natuna bisa dilihat pada Lampiran 3.a. dan Lampiran 3.b. Dari penelitian di Kepulauan Natuna, di CRITC-COREMAP Jakarta 43

68 daerah yang didominasi gambut/humus, kadar nitritnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang didominasi terumbu karang. Kadar nitrit di daerah gambut/humus berkisar antara 0,10 0,35 µg A/L, sedang di daerah terumbu karang berkisar antara 0,04 0,24 µg A/L. Dengan membandingkan rerata kadar nitrit antara bagian permukaan dengan bagian dasarnya terhadap kadar nitrit yang tertinggi diantara keduanya, pada daerah gambut/humus rerata kadar nitrit dipermukaan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dasarnya. Perbedaannya sangat signifikan dengan tingkat perbedaan mencapai 42,48%. Hal sebaliknya terjadi pada daerah terumbu karang dimana kadar nitrit dipermukaan lebih rendah dibandingkan dengan bagian dasarnya dengan perbedaan sebesar 17,58%. Perbedaan kadar nitrit yang sangat signifikan terjadi antara daerah gambut/humus dengan terumbu karang. Pada bagian permukaan tingkat perbedaannya mencapai 66,57% sedangkan pada bagian dasar perbedaannya mencapai 29,49%, dihitung terhadap kadar nitrit yang tertinggi diantara dua daerah tersebut pada masing-masing kedalaman (dasar dan permukaan). Dari perhitungan ini terlihat bahwa pada daerah gambut/humus memiliki kadar nitrit yang lebih tinggi dibandingkan daerah terumbu karang, baik di permukaan maupun dasar perairan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari semua stasiun yang diteliti di Natuna, kadar nitritnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar nitrat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perairannya masih dalam kondisi baik. 9. Silikat (SiO 3 ) Silikat merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kesuburan perairan, karena silikat dibutuhkan untuk perkembangan hidup fitoplankton dilaut, seperti jenis CRITC-COREMAP Jakarta 44

69 silicoflagellata dan beberapa jenis diatom membutuhkan silikat untuk pembentukan kerangka dinding selnya. Kadar silikat di estuarin, selain dari perairan itu sendiri juga bisa berasal dari daratan seperti proses erosi dan hujan (Nybakken, 1988). KLH tidak menetapkan nilai ambang batas kadar silikat untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut. Hasil pengukuran kadar silikat yang dilakukan di seluruh stasiun di Natuna bisa dilihat pada Lampiran 3.a. dan Lampiran 3.b. Di Kepulauan Natuna, pada perairan yang didominasi gambut/humus kadar silikatnya berkisar antara 8,58 30,78 µg A/L, sedangkan di daerah terumbu karang berkisar antara 1,87 16,48 µg A/L. Jika membandingkan kedua daerah ini, ternyata kadar silikat yang tinggi terkonsentrasi di daerah gambut/humus dengan perbedaan 30,91% untuk bagian permukaan dan 38,31% untuk bagian dasarnya, dihitung terhadap kadar silikat di daerah gambut/humus pada masing-masing kedalaman. Dengan membandingkan rerata kadar silikat antara permukaan dengan dasarnya terhadap kadar silikat yang tertinggi diantara kedua bagian tersebut, di daerah gambut/humus kadar silikat pada bagian dasar lebih tinggi dibandingkan dengan bagian permukaan dengan perbedaan yang signifikan sebesar 69,93%. Hal yang sama terjadi pada daerah terumbu karang dengan tingkat perbedaan 66,32%. Kenyataan ini membuktikan bahwa sumber utama silikat di perairan ini berasal dari sedimentasi dari dasar perairan. C. MANGROVE Hasil pencuplikan data baik koleksi bebas maupun transek di masing-masing lokasi digambarkan sebagai berikut: CRITC-COREMAP Jakarta 45

70 a. P. Sabang Mawang Kondisi mangrove tipis di bagian depan dan banyak dijumpai Rhizophora stylosa dengan ketinggian 4 5 m. Bagian belakang tipis, ada jenis yang dominan akan tetapi banyak dijumpai beberapa jenis seperti yang terlihat pada Lampiran 4. Tebal mangrove sekitar 30 m dan didapatkan 12 jenis. b. P. Natuna (dekat Pertamina) Daerah ini merupakan teluk dengan kondisi mangrove yang tipis (tebal 5 10 m), tidak ada zonasi mangrove, habitat berupa koral mati berpasir sehingga kondisi mangrove dengan ketinggian kurang dari 10 m dan hanya didapatkan 7 jenis (Lampiran 4). c. P. Natuna (Muara S. Seputon) Seputon merupakan sungai kecil yang berjarak sekitar 2 km dari muara. Di kiri kanan sungai terdapat mangrove yang mempunyai ketebalan m dan didominasi Rhizophora mucronata dengan ketinggian 4 8 m. Di bagian belakang didapatkan jenis lain, diantaranya Rhizophora apiculata, Lumnitzera littorea, Excoecaria agallocha, Bruguiera gymnorrhiza, dan jenis lainnya (Lampiran 4). Secara keseluruhan di daerah Kepulauan Natuna didapatkan 17 jenis mangrove yang termasuk dalam 14 marga; 10 suku (Lampiran 4). Dari pencuplikan data anak pohon (diameter 2-10 cm) didapatkan 8 jenis yang didominasi jenis Rhizophora mucronata (NP. 99,07%) (Tabel 2), sedang codominan diduduki oleh Rhizophora stylosa (NP. 89,50%). Jenis Rhizophora mucronata banyak ditemukan di daerah muara sungai terutama di sungai Seputon ke arah utara yang merupakan teluk di daerah Cemaga. Kondisi perairan di daerah teluk ini berwarna kehitam-hitaman atau keruh. Hal ini CRITC-COREMAP Jakarta 46

71 mungkin disebabkan pengaruh aliran sungai yang berasal dari daratan. Untuk jenis pohon (diameter >10 cm) di dapatkan 7 jenis yang didominasi oleh Rhizophora mucronata (NP. 92,11 %), sedang Bruguiera gymnorrhiza merupakan codominan dengan nilai penting 67,29 % dan 4 jenis lainnya mempunyai nilai penting kurang dari 50 % (Tabel 3). Kepadatan anak pohon rata-rata mencapai 2467 batang per hektar dengan ketinggian rata-rata 5,30 meter dan basal area mencapai 6,16 m 2 per hektar (Tabel 4). Sedangkan kepadatan pohon mencapai 200 batang per hektar dengan ketinggian rata-rata mencapai 12,78 meter dengan basal area 2,25 m 2 per hektar (Tabel 4). Tabel 2. Daftar nilai penting (%) anak pohon mangrove di Natuna. No. Jenis anak pohon Nilai Penting (%) 1. Rhizophora mucronata 99,07 2. Rhizophora stylosa 89,50 3. Excoecaria agallocha 26,38 4. Aegiceras corniculatum 25,98 5. Rhizophora apiculata 18,29 6. Ceriops tagal 15,94 7. Lumnitzera littorea 13,53 8. Xylocarpus granatum 11,31 Tabel 3. Daftar nilai penting (%) pohon mangrove di Natuna. No. Jenis pohon Nilai Penting (%) 1. Rhizophora mucronata 92,11 2. Bruguiera gymnorrhiza 67,29 3. Xylocarpus granatum 32,30 4. Lumnitzera littorea 28,83 5. Rhizophora stylosa 28,33 6. Excoecaria agallocha 25,82 7. Heritiera littoralis 25,82 CRITC-COREMAP Jakarta 47

72 Tabel 4. Gambaran mengenai struktur mangrove yang termasuk di Natuna. ATRIBUT VEGETASI Banyak jenis 17 Basal area (m 2 /Ha) Pohon 2,25 Anak pohon 6,16 Kepadatan (batang/ha) Pohon 200 Anak pohon 2467 Rerata tinggi (m) Pohon 12,78 Anak pohon 5,30 Rerata diameter (cm) Pohon 12,75 Anak pohon 5,64 Pohon Dominan Rhizophora mucronata (92,11 %) Codoominan Rhizophora stylosa (67,29 %) Anak pohon Dominan Rhizophora mucronata (99,07 %) Codominan Rhizophora stylosa (86,50 %) D. KARANG Lokasi yang menjadi penelitian berada di bagian barat daya P. Natuna. Beberapa pulau kecil seperti P. Selaut, P. Sedanau, dan Pulau-pulau Tiga termasuk juga dalam area penelitian ini. Vegetasi darat ke arah pantai umumnya ditumbuhi oleh pohon kelapa, pohon cengkeh ataupun CRITC-COREMAP Jakarta 48

73 mangrove. Pada beberapa tempat, pantainya berpasir dengan areal tapak yang tidak begitu luas, sedang pada beberapa tempat lagi terdiri dari dataran tinggi yang berupa batuan cadas ataupun vulkanik yang langsung terjal ke arah laut. Rataan terumbu umumnya agak lebar, pada beberapa tempat ada lebarnya ada yang mencapai sekitar 500 m. Perairan relatif jernih dengan dasar berupa pasir maupun pecahan karang. Alga Sargassum sering dijumpai pada daerah rataan terumbu. Karang dari marga Acropora dan jenis Porites lutea terlihat lebih dominan dibandingkan karang dari marga lain. Beberapa jenis karang lunak juga ditemukan di perairan ini. Lereng terumbu landai hingga agak curam dimana sudut kemiringannya berkisar antara 25 o -70 o. Karang umumnya tumbuh pada kedalaman kurang dari 10 m. Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 177 jenis karang batu yang termasuk dalam 18 suku (Lampiran 5). Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 35 stasiun dijumpai persentase tutupan karang hidup antara 0,00% - 88,89% (Lampiran 6), dengan rerata persentase tutupan karang hidup 32,86 %. Pada Stasiun NTNR18, tidak dijumpai sama sekali karang hidup, dimana pasir (S) mendominasi daerah ini dengan persentase tutupan hingga 80,00 %, sedangkan sisanya terdiri atas Karang mati yang ditumbuhi alga (DCA) dan pecahan karang (Rubble=R). Dari 35 stasiun RRI tersebut, 1 stasiun dikategorikan sangat baik (tutupan karang hidup 75% -100%), 8 stasiun dikategorikan baik (tutupan karang hidup 50% -74%), 12 stasiun dalam kondisi cukup (tutupan karang hidup 25% - 49%), dan 15 stasiun dalam kondisi kurang (tutupan karang hidup <25 %) (Gambar 15). CRITC-COREMAP Jakarta 49

74 Gambar 15. Kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun di perairan Natuna dengan metode RRI. CRITC-COREMAP Jakarta 50

75 Rerata persentase tutupan dari seluruh stasiun RRI di Natuna untuk masing-masing kategori biota dan substrat (yaitu Acropora, Non Acropora, karang mati (dead scleractinia), karang mati yang ditumbuhi alga (dead scleractinia with algae), karang lunak (soft coral), sponge, fleshy seaweed, biota lain (other biota), pecahan karang (rubble), pasir (sand) dan lumpur (silt) ditampilkan seperti pada Gambar 16. Natuna (Metode RRI) Acropora (AC) Non Acropora (NA) Karang mati (DC) Karang mati dgn alga (DCA) Karang lunak (SC) Sponge (SP) Fleshy Seaweed (FS) Biota lain (OT) Pecahan karang (R) Pasir (S) Lumpur (SI) Batuan (RK) Gambar 16. Rerata persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat di Natuna. Dari pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 8 stasiun transek permanen menunjukkan bahwa tak satu pun stasiun yang terumbu karangnya masuk dalam kategori sangat baik dan kurang. Hanya ada 1 stasiun dikategorikan baik, sedangkan sisanya yaitu 7 stasiun dikategorikan cukup. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek CRITC-COREMAP Jakarta 51

76 permanen yang dilakukan dengan metode LIT ditampilkan pada Lampiran 7, Gambar 17 dan Gambar 18. Natuna (Metode LIT) 100% 75% 50% 25% 0% Batuan (RK) Lumpur (SI) Pasir (S) Pecahan karang (R) Biota lain (OT) Fleshy Seaweed (FS) Sponge (SP) Karang lunak (SC) Karang mati dgn alga (DCA) Karang mati (DC) Non Acropora (NA) Acropora (AC) Gambar 17. Histogram persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna yang dilakukan dengan metode LIT. Dari hasil LIT yang dilakukan di 8 stasiun transek permanen, pada stasiun 06 diperoleh nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon yang terendah, diikuti pula dengan nilai indeks kemerataan Pielou yang juga terendah dibandingkan dengan stasiun penelitian lainnya (Tabel 5). Ini menunjukkan bahwa karang batu yang dijumpai di stasiun tersebut selain kurang beragam, juga adanya jenis yang mendominasi, yaitu Porites cylindrica dan Porites rus. CRITC-COREMAP Jakarta 52

77 Gambar 18. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna yang dilakukan dengan metode LIT. CRITC-COREMAP Jakarta 53

78 Tabel 5. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H ) yang dihitung menggunakan ln (=log e), Indeks kemerataan Pielou (J ) dan persentase tutupan (%LC) untuk karang batu di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna dengan metode LIT. Stasiun S N H J %LC Nilai kemiripan Bray-Curtis (Bray-Curtis Similarity) yang dihitung berdasarkan jumlah kehadiran (number of occurrence) dari masing-masing jenis karang batu di setiap stasiun transek permanen ditampilkan pada Tabel 6. Kemudian dengan menggunakan metode rerata kelompok (group average), dilakukan analisa pengelompokan (cluster analysis) dengan bantuan program PRIMER diperoleh dendrogram seperti pada Gambar 19. Dengan memilih tingkat kemiripan 50 %, terlihat bahwa hanya stasiun 03 dan 07 saja yang mengelompok dalam satu kelompok. Analisa MDS (Multi Dimensial Scaling) dengan nilai Stress=0,05 juga menunjukkan bahwa kedua stasiun tersebut mengelompok (Gambar 20). CRITC-COREMAP Jakarta 54

79 Tabel 6. Nilai indeks kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu pada stasiun transek permanen di Natuna. STASIUN , ,50 37, ,42 24,53 18, ,91 40,00 25,69 38, ,47 27,42 8,70 21,88 15, ,04 40,31 50,35 18,05 29,51 9, ,59 44,14 33,96 24,16 26,09 44,31 31, Similarity Gambar 19. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Natuna berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu. CRITC-COREMAP Jakarta 55

80 Stress: Gambar 20. MDS untuk stasiun transek permanen di Natuna berdasarkan berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu. E. MEGA BENTHOS Seperti yang diuraikan dalam metode penarikan sampel dan analisa data, metode Reef check (yang dimodifikasi) yang dilakukan pada stasiun transek permanen dalam penelitian ini hanya mencatat beberapa jenis mega benthos yang bernilai ekonomis penting ataupun yang bisa dijadikan indikator dalam menilai kondisi kesehatan terumbu karang. Hasil reef check selengkapnya di masing-masing stasiun transek permanen bisa dilihat pada Gambar 21 dan Lampiran 8. Beberapa jenis mungkin tidak dijumpai pada saat pengamatan berlangsung karena luas pengamatan yang dibatasi (luasan bidang pengamatan = 140 m 2 /transek), sehingga tidak menutup kemungkinan akan dijumpai pada lokasi di luar transek. CRITC-COREMAP Jakarta 56

81 Gambar 21. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang pada masingmasing stasiun transek permanen di Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 57

82 Dari hasil Reef check tersebut, selama pengamatan tak diperoleh satu pun Acanthaster planci, yang merupakan hewan pemakan polip karang. Selain itu juga tak dijumpai Lobster, Dupella, Pencil sea urchin, Trochus niloticus dan juga Holothurian yang berukuran < 20 cm. Sedangkan Karang jamur (CMR=Coral Mushrom) dijumpai dalam jumlah yang berlimpah yaitu individu/ha. Tingginya kelimpahan CMR terutama dijumpai pada stasiun 07, 08, dan juga stasiun 01, 02 serta 03. Bulu babi (Diadema setosum) dijumpai dengan kelimpahan sebesar 4089 individu/ha. Sedangkan Kima (Giant clam) dijumpai dalam jumlah sedang, dimana untuk yang berukuran besar (panjang >20 cm) kelimpahannya sebesar 348 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 1625 individu/ha. Selama pengamatan dilakukan, tripang (holothurian) yang berukuran besar (diameter >20) dijumpai dengan kelimpahan 188 individu/ha. Hasil analisa cluster dan MDS berdasarkan kelimpahan mega benthos yang diamati dengan menggunakan program PRIMER dimana pengukurannya memakai nilai kemiripan Bray-Curtis (Bray-Curtis Similarity) (Tabel 7) dengan metode rerata kelompok (group average) diperoleh hasil seperti pada Gambar 22 dan Gambar 23. Dari Gambar 22 tersebut terlihat bahwa stasiun 01, 02, 03, 07 dan 08 saling mengelompok dalam satu kelompok dengan nilai kemiripan lebih dari 50 %. Selanjutnya Stasiun 04 dan 06 mengelompok dengan kemiripan 49,18% sedangkan terpisah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Analisa MDS (Multi Dimensial Scaling) dengan nilai Stress=0,01 yang ditampilkan pada Gambar 23 juga menunjukkan bahwa kedua stasiun tersebut mengelompok. CRITC-COREMAP Jakarta 58

83 Tabel 7. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah individu mega benthos di masing-masing stasiun transek permanen di Natuna. STASIUN , ,13 87, ,92 6,88 7, ,87 14,08 31,39 7, ,88 15,95 21,57 49,18 21, ,56 59,29 66,98 4,16 25,09 10, ,86 83,53 77,34 5,64 10,37 12,83 69,32 - Gambar 22. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Natuna berdasarkan jumlah individu mega benthos. CRITC-COREMAP Jakarta 59

84 Gambar 23. MDS untuk stasiun transek permanen di Natuna berdasarkan berdasarkan jumlah individu mega benthos. F. IKAN KARANG Dari 35 stasiun yang dilakukan pengamatan ikan karang dengan metode RRI, ikan karang jenis Amblyglyphidodon curacao merupakan jenis yang paling sering dijumpai. Jenis ini dijumpai di 23 stasiun RRI, atau frekuensi relatif kehadirannya 65,71%. Kemudian diikuti oleh jenis Pomacentrus moluccensis dan Thalassoma lunare dengan frekuensi relatif kehadiran yang sama yaitu 54,29 %. Jenis Lutjanus decussatus, yang merupakan salah satu ikan target yang dikonsumsi, menempati urutan selanjutnya dengan frekuensi relatif kehadiran 51,43 %. Sebelas jenis ikan karang yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar (berdasarkan jumlah stasiun RRI yang diamati dan dijumpai ikan karang) bisa dilihat pada Tabel 8. CRITC-COREMAP Jakarta 60

85 Tabel 8. Sebelas jenis ikan karang di Natuna yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar berdasarkan jumlah stasiun RRI yang diamati dan dijumpai ikan karang (n=35 stasiun). No. Jenis Frekuensi relatif kehadiran (%) 1. Amblyglyphidodon curacao 65,71 2. Pomacentrus moluccensis 54,29 3. Thalassoma lunare 54,29 4. Lutjanus decussatus 51,43 5. Labroides dimidiatus 48,57 6. Gomphosus varius 45,71 7. Scarus ghoban 45,71 8. Chromis viridis 42,86 9. Chaetodon octofasciatus 40, Cheilinus fasciatus 40, Hemigymnus melapterus 40,00 Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun RRI ditampilkan pada Gambar 24. Underwater Fish Visual Census (UVC) yang dilakukan di 8 Stasiun transek permanen di Natuna menjumpai sebanyak 171 jenis ikan karang yang termasuk dalam 26 suku, dengan nilai kelimpahan ikan karang sebesar individu per hektarnya (Lampiran 9). Jenis Pomacentrus alexanderae merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya, yaitu sebesar 2529 individu/ha-nya, kemudian diikuti oleh Amblyglyphidodon curacao (2125 individu/ha) dan Chromis ternatensis (1332 individu/ha). Ketiga jenis ikan diatas merupakan kelompok ikan mayor, yang bukan merupakan ikan konsumsi. Caesio caerulaurea yang merupakan ikan target yang biasa dijadikan ikan konsumsi, berada pada urutan keempat dengan kelimpahan 1321 individu/ha. Sepuluh besar jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi ditampilkan dalam Tabel 9. CRITC-COREMAP Jakarta 61

86 Gambar 24. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun RRI di Natuna. CRITC-COREMAP Jakarta 62

STUDI BASELINE EKOLOGI

STUDI BASELINE EKOLOGI Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN KEPULAUAN RIAU (2004) LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM

STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM (2004) STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM (2004) Disusun oleh CRITC- Jakarta

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NIAS

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NIAS Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NIAS (2004) LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI

Lebih terperinci

LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI

LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN TAPANULI TENGAH (2004) LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI (2004) LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian ini diawali dengan persiapan yang mencakup penentuan aspek yang akan diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran berbagai informasi yang terkait

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Pulau Tiga Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau. Lokasi ini sengaja dipilih dengan pertimbangan

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI

STUDI BASELINE EKOLOGI Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN SELAYAR (2006) STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN SELAYAR (2006)

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN NATUNA (BUNGURAN BARAT) TAHUN 2010 Koordinator Tim Penelitian Anna Manuputty Disusun Oleh:

Lebih terperinci

Keterangan sampul depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan sampul depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan sampul depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG (P. WAIGEO SELATAN) KABUPATEN RAJAAMPAT Tahun 2009 Koordinator Tim Penelitian Anna E.W.

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KOTA BATAM (PULAU ABANG) TAHUN 2010 Koordinator Penelitian : Anna E.W. Manuputty Disusun oleh :

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2008 di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 8). Kepulauan Seribu merupakan gugus pulau-pulau yang terletak

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KOTA BATAM TAHUN 2008 Koordinator Penelitian : ANNA MANUPUTTY Disusun oleh : GIYANTO JOHAN PICASOUW

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis STUDI BASELINE EKOLOGI PULAU KARAS, BATAM TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

Sampul Depan Disain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Disain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Disain Cover : Siti Balkis MONITORING TERUMBU KARANG KABUPATEN MENTAWAI (SAMUKOP, BOSUA DAN SIKAKAP) TAHUN 2011 Koordinator Tim Penelitian Anna E.W. Manuputty Disusun oleh: Suyarso Hendrik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan di wilayah perairan Pulau Bira Besar TNKpS. Pulau Bira Besar terbagi menjadi 2 Zona, yaitu Zona Inti III pada bagian utara dan Zona

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN TAPANULI TENGAH (Hajoran) TAHUN Koordinator Penelitian : Anna Manuputty Disusun oleh :

Lebih terperinci

Sampul Depan. Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan. Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN SELAYAR TAHUN 2010 Koordinatoor Tim Penelitian Anna E.W. Manuputty Disusun oleh : Hendrik A.W. Cappenberg Jemmy Souhoka

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air 7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air Berdasarkan uraian pada Bab 4 tentang kajian perbandingan antara metode Transek Sabuk (BT = Belt transect), Transek

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis

Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis MONITORING Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG (P. BATANGPELE) KABUPATEN RAJAAMPAT Tahun 2009 Koordinator penelitian Anna

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis STUDI BASELINE EKOLOGI LOKASI NATUNA TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II LIPI TIM STUDI BASELINE EKOLOGI NATUNA KOORDINATOR

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis STUDI BASELINE EKOLOGI PULAU BINTAN KABUPATEN KEPULAUAN RIAU TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI BASELINE

Lebih terperinci

Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis

Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN NIAS (LAHEWA DAN TUHAEMBERUA) TAHUN 2010 Koordinator Tim Penelitian : Anna

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI Muhammad Yunan Fahmi 1, Andik Dwi Muttaqin 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu: BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2012. Penelitian ini dilakukan di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek,

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Anna E.W. Manuputty Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Anna E.W. Manuputty Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Anna E.W. Manuputty Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KOTA BATAM, PULAU KARAS TAHUN 2010 Koordinator Penelitian : Anna Manuputty Disusun oleh : Rikoh

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG Oleh : Amrullah Saleh, S.Si I. PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN NIAS TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II LIPI TIM STUDI MONITORING EKOLOGI

Lebih terperinci

III. METODE KERJA. A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan

III. METODE KERJA. A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan 20 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2013. Lokasi penelitian berada di Teluk Hurun dan Pulau Tegal, Lampung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian. 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Bahodopi, Teluk Tolo Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2007 dan Juni 2008. Stasiun

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI

STUDI BASELINE EKOLOGI STUDI BASELINE EKOLOGI PERAIRAN MAUMERE KAB. SIKKA (2006) Disusun oleh COREMAP-LIPI Jakarta STUDI BASELINE EKOLOGI PERAIRAN MAUMERE KAB. SIKKA TAHUN 2006 DISUSUN OLEH : ANNA E.W. MANUPUTTY WINARDI FREDY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR

6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR 6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR 6.1 Pendahuluan Tahapan selanjutnya dari penggunaan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) adalah menemukan

Lebih terperinci

KABUPATEN BUTON - SULAWESI TENGGARA CRITC COREMAP LIPI

KABUPATEN BUTON - SULAWESI TENGGARA CRITC COREMAP LIPI STUDI BASELINE EKOLOGI 2006 KABUPATEN BUTON - SULAWESI TENGGARA CRITC COREMAP LIPI 1 STUDY BASELINE EKOLOGI KABUPATEN BUTON SULAWESI TENGGARA TAHUN 2006 DISUSUN OLEH: NURUL DHEWANI SASANTI R.SUHARTI IMAN

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012. BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012. B.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November 2014 di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. B. Alat dan Bahan 1. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN MENTAWAI TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI MONITORING

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 29 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Pasi, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NIAS TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI (2006) KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP) Disusun oleh COREMAP-LIPI Jakarta

STUDI BASELINE EKOLOGI (2006) KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP) Disusun oleh COREMAP-LIPI Jakarta STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP) (2006) Disusun oleh COREMAP-LIPI Jakarta STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP) TAHUN 2006 DISUSUN OLEH : ANNA E.W.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUN JAWA ANALISA VEGETASI MANGROVE DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA, JAWA TENGAH

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUN JAWA ANALISA VEGETASI MANGROVE DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA, JAWA TENGAH PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUN JAWA ANALISA VEGETASI MANGROVE DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA, JAWA TENGAH OLEH : ARIF MAA RUF AL AYYUB 26020115130151 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN NIAS SELATAN TAHUN 2007 DISUSUN OLEH : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI MONITORING

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. 25 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. Tempat penelitian berlokasi di Sungai Way Sekampung, Metro Kibang,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di perairan pantai Pulau Tujuh Seram Utara Barat Kabupaten Maluku Tengah dengan tiga stasiun sampling yang ditempatkan sejajar

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Daerah Kecamatan Pulau Tiga merupakan salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Natuna yang secara geografis berada pada posisi 3 o 34 30 3 o 39

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang proses interpretasi salah satu citra NOAA untuk mengetahui informasi

Lebih terperinci

MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN KESEHATAN EKOSISTEM TERKAIT DI KABUPATEN BINTAN, 2014

MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN KESEHATAN EKOSISTEM TERKAIT DI KABUPATEN BINTAN, 2014 MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN KESEHATAN EKOSISTEM TERKAIT DI KABUPATEN BINTAN, 2014 Disusun oleh : Suharsono Susetiono Anna E.W. Manuputty Hendrik A.W. Cappenberg Suyarso Agus Budiyanto Johan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta. Waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 11

Lebih terperinci