LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI"

Transkripsi

1 Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta Indonesia LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN TAPANULI TENGAH (2004)

2 LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN TAPANULI TENGAH (2004) Disusun oleh CRITC- Jakarta 2004

3 STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN TAPANULI TENGAH, SUMATERA UTARA TAHUN 2004 KOORDINATOR TIM PENELITIAN : GIYANTO, S.SI, M.SC. PENANGGUNG JAWAB PENELITIAN : SISTIM INFORMASI GEOGRAFI : DRS. WINARDI, M.SC. KUALITAS PERAIRAN : - DRS. EDI KUSMANTO - DRS. EDWARD KERE, M.SI. MANGROVE : DRS. SOEROYO KARANG & MEGA BENTHOS : DRA. ANNA MANUPUTTY, M.SI IKAN KARANG : DRA. SASANTI R. SUHARTI, M.SC. DOKUMENTASI : R. SUTIYADI, A.MD. ANALISA DATA : GIYANTO, S.SI, M.SC.

4 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR TABEL x DAFTAR LAMPIRAN xiii RINGKASAN EKSEKUTIF xv A. PENDAHULUAN. xv B. HASIL DAN PEMBAHASAN. xviii C. SARAN xxiv BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG 1 B. TUJUAN PENELITIAN. 3 C. RUANG LINGKUP PENELITIAN... 4 BAB II. METODE PENELITIAN... 5 A. LOKASI PENELITIAN B. WAKTU PENELITIAN 19 C. PELAKSANA PENELITIAN. 19 D. METODE PENARIKAN SAMPEL DAN ANALISA DATA Sistem Informasi Geografi Kualitas Perairan Mangrove Karang Mega Benthos Ikan Karang 27 CRITC-COREMAP Jakarta i

5 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 A. SISTEM INFORMASI GEOGRAFI Geometri Citra Interpretasi Citra 31 B. KUALITAS PERAIRAN Temperatur Salinitas Arus Fosfat Nitrit Nitrat Oksigen Terlarut Derajat Keasaman (ph) Kecerahan Warna Bau Sampah/Benda Padat Terapung (BPT) Zat Padat Tersuspensi (TSS) 51 C. MANGROVE D. KARANG 58 E. MEGA BENTHOS. 73 F. IKAN KARANG. 80 G. PEMBAHASAN UMUM 94 BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 96 A. KESIMPULAN 96 B. SARAN 99 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. 107 CRITC-COREMAP Jakarta ii

6 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara Gambar 2.a. Gambar 2.b. Gambar 2.c. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5.a. Posisi stasiun penelitian untuk parameter temperatur dan salinitas air laut di perairan sekitar pelabuhan Sibolga. 8 Posisi stasiun penelitian untuk parameter temperatur dan salinitas air laut di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan. 9 Posisi stasiun penelitian untuk parameter temperatur dan salinitas air laut di perairan P. Mansalar Posisi stasiun penelitian untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, ph, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi di perairan Teluk Tapian Nauli dan sekitarnya 11 Posisi stasiun penelitian mangrove di Kabupaten Tapanuli Tengah.. 12 Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan sekitar Pelabuhan Sibolga. 13 Gambar 5.b. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan CRITC-COREMAP Jakarta iii

7 Halaman Gambar 5.c. Gambar 6.a. Gambar 6.b. Gambar 6.c. Gambar 7.a. Gambar 7.b. Gambar 7.c. Gambar 8. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan P. Mansalar Posisi stasiun penelitian untuk untuk karang, mega benthos dan ikan karang untuk transek permanen di perairan sekitar Pelabuhan Sibolga Posisi stasiun penelitian untuk untuk karang, mega benthos dan ikan karang untuk transek permanen di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan 17 Posisi stasiun penelitian untuk untuk karang, mega benthos dan ikan karang untuk transek permanen di perairan P. Mansalar 18 Profil temperatur dan salinitas di perairan pelabuhan Sibolga dan sekitarnya.. 35 Profil temperatur dan salinitas di perairan desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan 35 Profil temperatur dan salinitas di perairan P. Mansalar 36 Vektor arus antara P. Mansalar hingga Pelabuhan Sibolga (Lintasan I) dan dari Teluk Tapian Nauli bagian selatan hingga P. Mansalar (Lintasan II) 38 CRITC-COREMAP Jakarta iv

8 Halaman Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Kadar Fosfat (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah. 40 Kadar Nitrit (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah 41 Kadar Nitrat (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah 43 Kadar Oksigen terlarut (ppm) di masingmasing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Tapanuli Tengah. 44 Nilai Derajat keasaman (ph) di masingmasing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Tapanuli Tengah. 46 Nilai TSS (ppm) di masing-masing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Tapanuli Tengah 52 Rerata persentase tutupan dari seluruh stasiun RRI (n=51 stasiun) di Tapanuli Tengah untuk masing-masing kategori biota dan substrat Gambar 16.a. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masingmasing stasiun RRI di perairan sekitar Pelabuhan Sibolga.. 61 CRITC-COREMAP Jakarta v

9 Halaman Gambar 16.b. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masingmasing stasiun RRI di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan 62 Gambar 16.c. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masingmasing stasiun RRI di perairan P. Mansalar 63 Gambar 17. Histogram persentase tutupan kategori biota dan substrat di masing-masing stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah dengan metode LIT 64 Gambar 18.a. Peta persentase tutupan untuk masingmasing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di perairan sekitar Sibolga dengan metode LIT. 65 Gambar 18.b. Peta persentase tutupan untuk masingmasing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk tapian Nauli bagian selatan, dengan metode LIT. 66 Gambar 18.c. Peta persentase tutupan untuk masingmasing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di perairan P. Mansalar dengan metode LIT 67 Gambar 19. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah kehadiran jenis karang batu.. 71 CRITC-COREMAP Jakarta vi

10 Halaman Gambar 20. Gambar 21. MDS untuk stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah kehadiran jenis karang batu 71 Analisa regresi antara nilai H dan persentase tutupan karang hidup. 72 Gambar 22.a. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang di masing-masing stasiun transek permanen di perairan sekitar Pelabuhan Sibolga 75 Gambar 22.b. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang di masing-masing stasiun transek permanen di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan Gambar 22.c. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang di masing-masing stasiun transek permanen di perairan P. Mansalar.. 77 Gambar 23. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah individu mega benthos Gambar 24. MDS untuk stasiun transek permanen di Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah individu mega benthos CRITC-COREMAP Jakarta vii

11 Halaman Gambar 25.a. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di sekitar perairan Sibolga dengan metode RRI.. 82 Gambar 25.b. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di sekitar perairan desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan dengan metode RRI 83 Gambar 25.c. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di perairan P. Mansalar dengan metode RRI 84 Gambar 26.a. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun transek permanen di perairan sekitar Sibolga 87 Gambar 26.b. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun transek permanen di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan. 88 Gambar 26.c. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing- masing stasiun transek permanen di perairan P. Mansalar. 89 Gambar 27. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah individu ikan karang yang telah ditransformasikan ke bentuk akar pangkat dua. 93 CRITC-COREMAP Jakarta viii

12 Halaman Gambar 28. MDS untuk stasiun transek permanen di Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah individu ikan karang yang telah ditransformasikan ke bentuk akar pangkat dua. 93 CRITC-COREMAP Jakarta ix

13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Luas mangrove dan terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah.. 33 Hasil pengukuran temperatur pada seluruh stasiun penelitian di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah. 34 Hasil pengukuran salinitas pada seluruh stasiun penelitian di perairan di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah.. 37 Jenis mangrove yang dijumpai (tanda +) di Kabupaten Tapanuli Tengah.. 54 Daftar Nilai Penting ( % ) jenis pohon mangrove di Kabupaten Tapanuli Tengah.. 54 Daftar kerapatan nisbi (KN), frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) jenis pohon di Kabupaten Tapanuli Tengah. 55 Gambaran mengenai struktur mangrove di Kabupaten Tapanuli Tengah.. 55 Daftar Nilai Penting ( % ) jenis anak pohon di Kabupaten Tapanuli Tengah Daftar kerapatan nisbi (KN), frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) jenis anak pohon di Kabupaten Tapanuli Tengah. 57 CRITC-COREMAP Jakarta x

14 Halaman Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H ) yang dihitung menggunakan ln (=log e), dan Indeks kemerataan Pielou (J ) untuk karang batu di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode LIT. 68 Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu pada stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah. 70 Analisa variansi hubungan antara nilai H dan persentase tutupan karang hidup 72 Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah individu mega benthos pada stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah Dua belas jenis ikan karang yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar (berdasarkan jumlah stasiun yang diamati).. 81 Sepuluh besar jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi Kelimpahan ikan karang untuk masingmasing suku yang dijumpai di lokasi transek permanen. 86 Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H ) yang dihitung menggunakan ln (=log e), dan Indeks kemerataan Pielou (J ) untuk ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah dengan metode UVC.. 90 CRITC-COREMAP Jakarta xi

15 Halaman Tabel 18. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah individu ikan karang pada stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah CRITC-COREMAP Jakarta xii

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Posisi stasiun penelitian untuk parameter temperatur dan salinitas air laut di Kabupaten Tapanuli Tengah 107 Posisi stasiun penelitian untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, ph, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah Lampiran 3. Posisi stasiun penelitian untuk mangrove. 110 Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Posisi stasiun penelitian karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah. 111 Posisi stasiun transek permanen untuk karang, mega benthos dan ikan karang di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah Jenis karang batu yang diperoleh di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah Persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun RRI di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah 118 Persentase tutupan biota dan substrat dengan metode LIT di 6 stasiun transek permanent di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah 122 CRITC-COREMAP Jakarta xiii

17 Halaman Lampiran 9. Kelimpahan beberapa mega benthos yang diamati dengan metode Reef Check (yang dimodifikasi) pada masing-masing stasiun transek permanent di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah 123 Lampiran 10. Kelimpahan jenis ikan (jumlah individu/transek) yang dijumpai di masing-masing stasiun transek permanen yang diperoleh dengan metode UVC di perairan Kabupaten tapanuli Tengah 124 CRITC-COREMAP Jakarta xiv

18 RINGKASAN EKSEKUTIF A. PENDAHULUAN COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapanuli Tengah) yang secara administratif masuk ke dalam Propinsi Sumatera Utara. Sebagian wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah berada di daratan P. Sumatera, sedangkan sebagian lainnya merupakan pulau-pulau yaitu P. Mansalar yang merupakan pulau yang terbesar di kabupaten ini, dan pulau-pulau kecil yang pada umumnya tak berpenghuni. Daerah kajian pada penelitian ini adalah wilayah pesisir teluk di depan kota Sibolga (Teluk Tapian Nauli) beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya. Walaupun P. Mansalar tidak termasuk lokasi COREMAP, namun penelitian juga dilakukan disana. Kabupaten Tapanuli Tengah termasuk dalam satuan geomorfologi besar P. Sumatera yaitu bagian Tengah- Barat. Bagian ini merupakan perbukitan bergelombang dan membentuk deretan gunung api Bukit Barisan. Topografi perbukitan bergelombang ini disusun oleh batuan vulkanik berupa batuan breksi, lava, batuan piroklastik bersifat CRITC-COREMAP Jakarta xv

19 agak padu sampai padu, berumur Tersier hingga Kuarter. Kondisi litologi yang demikian menyebabkan tanah berkembang baik. Air tanahpun cukup baik dan melimpah di sini. Secara spesifik daerah kajian sebagian besar termasuk pada lahan bentukan asal fluvial dan lahan perbukitan. Perbukitan umumnya ditumbuhi tumbuhan hutan dan jarang yang diusahakan karena lerengnya yang terjal. Sedangkan pada bagian yang agak datar dan datar, dijadikan tempat hunian penduduk selain juga diusahakan sebagai lahan pertanian. Khususnya P. Mansalar, hampir seluruh pulau ditutupi hutan primer. Ada sebagaian lahan telah dibuka dan ditanami tanaman perkebunan seperti kelapa. Iklim di Tapanuli Tengah masih merupakan iklim hujan tropis. Curah hujan rerata tahunan umumnya di atas 2500mm. Sedangkan kisaran suhu udara antara o C. Tanah yang baik, curah hujan yang cukup serta suhu udara yang cukup kondusif inilah yang menjadikan daerah ini cukup subur dan cocok untuk tanaman perkebunan. Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi, agar kondisinya bisa dipantau di masa mendatang. CRITC-COREMAP Jakarta xvi

20 Adanya data dasar dan data hasil pemantauan memiliki arti penting sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP. Kegiatan penelitian di lapangan dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kegiatan penelitian ini dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Nias. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada bulan Mei-Juni Kegiatan lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, dan beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswa dari Jakarta (Universitas Indonesia) diikutkan dalam penelitian ini. Hal ini penting artinya bagi mahasiswa tersebut untuk dapat melengkapi Kegiatan Praktek Lapangannya. Dalam penelitian ini, sebelum penarikan sampel dilakukan, terlebih dahulu ditentukan peta sebaran terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih secara acak titiktitik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup CRITC-COREMAP Jakarta xvii

21 mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut. B. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari data yang diperoleh di lapangan, kemudian dilakukan analisa data. Hasil dan pembahasannya adalah sebagai berikut: Luasan hutan mangrove di Kabupaten Tapanuli Tengah yang meliputi daerah sekitar pelabuhan Sibolga, sekitar desa Sitardas (Teluk Tapian Nauli bagian selatan) dan P. Mansalar yaitu 7,9902 km 2. Luasan terumbu karang yang meliputi fringing reef, patch reef dan shoal di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah yang meliputi daerah sekitar pelabuhan Sibolga, sekitar desa Sitardas (Teluk Tapian Nauli bagian selatan) dan P. Mansalar yaitu 25,3572 km 2. Temperatur di perairan sekitar Sibolga antara 29,4038 C dan 30,3487 C dengan rerata 30,0322 C, di perairan sekitar desa Sitardas yang berada di Selatan Teluk Tapian Nauli antara 28,1521 C dan 29,7296 C dengan rerata 29,3733 C, sedangkan di perairan P. Mansalar antara 29,2074 C dan 29,9513 C dengan rerata 29,6634 C. Salinitas di perairan sekitar Sibolga berkisar antara 32,1851 PSU hingga 33,6430 PSU, di perairan desa Sitardas antara 31,7693 PSU hingga 33,3517 PSU dan CRITC-COREMAP Jakarta xviii

22 di perairan P. Mansalar antara 32,4277 PSU hingga 33,8446 PSU. Pada lintasan antara P. Mansalar hingga Pelabuhan Sibolga (Lintasan I) dan dari Teluk Tapian Nauli bagian selatan hingga P. Mansalar (Lintasan II) menunjukkan bahwa pengaruh pasang surut tidak dominan di perairan ini. Arah arus menuju selatan baik dalam kondisi pasang bergerak surut maupun pada saat menuju pasang. Pada lintasan II, kecepatan arus yang terekam mencapai 75 cm/detik, sedangkan pada Lintasan I kecepatan arusnya relatif lebih lemah. Kadar fosfat (selain di St.12 yang lokasinya berada di pelabuhan laut Sibolga dengan kadar fosfat = 71,65μg.at/l), secara rata-rata masih berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) yang diberikan Kantor MNLH (NAB= 4,9 μg.at/l ) yaitu 1,42 μg.at/l. Kadar nitrit (N-NO2) secara rata-rata nilainya sebesar 2,62 μg.at/l, tanpa mengikut sertakan St.12 yang lokasinya berada di pelabuhan laut Sibolga dengan kadar nitrit = 12,39μg.at/l. Kantor MNLH (2004) tidak mencantumkan nitrit sebagai salah satu parameter kualitas air. Kadar nitrat (NO 3 -N) di perairan Tapanuli Tengah ini relatif tinggi terutama di St.12 yang lokasinya berada di pelabuhan laut Sibolga. Tanpa mengikut sertakan St.12, reratanya sebesar 4,99 μg.at/l. NAB untuk nitrat yang diberikan Kantor MNLH (1988) untuk biota dan wisata bahari yaitu 0,008 ppm atau 26,27 μg.at/l. CRITC-COREMAP Jakarta xix

23 Kadar oksigen terlarut di perairan Tapanuli Tengah pada umumnya masih dalam kategori normal yaitu antara 4,52-6,88 ppm dengan rerata 6,28 ppm. NAB kadar oksigen terlarut untuk biota laut dan pariwisata adalah > 5 ppm (Kantor MNLH, 2004). Pada St.12, kadar oksigennya berada di bawah NAB. Nilai hasil pengukuran ph di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah masih tergolong baik yaitu berkisar antara 7,6.-8,1 dengan rerata 7,99. Kantor MNLH (2004) menetapkan NAB ph antara 7-8,5 untuk biota dan wisata bahari. Pada lereng terumbu dengan kedalaman antara 5 m 15 m, masih terlihat dasar perairan (Tampak Dasar). Hasil pengukuran warna air laut di seluruh stasiun di perairan Tapanuli Tengah menunjukkan bahwa warna air masih alami yakni berkisar antara hijau muda sampai biru tua. Warna hijau muda umumnya dijumpai pada lokasi yang relatif dekat dengan pantai (lebih kurang 25 m), sedangkan biru tua relatif agak jauh dari pantai ( m). Hasil pengukuran bau yang dilakukan secara organoleptik menunjukkan bahwa air laut yang berbau hanya dijumpai di sekitar pelabuhan laut Sibolga. Sampah atau benda padat terapung ditemukan dalam jumlah yang sedikit dan pada umumnya dalam bentuk bahan organik yang terdiri dari serasah tumbuhan seperti kelapa, mangrove, semak belukar, dan juga kertas, plastik dan kayu. CRITC-COREMAP Jakarta xx

24 Kadar TSS (zat padat tersuspensi) berkisar antara 3,39-28,25 ppm dengan rerata 7,05 ppm. Terutama pada stasiun-stasiun yang berada di pelabuhan laut Sibolga (St.12, St.13 dan St.14), kadar TSS cukup tinggi yaitu > 14 ppm. NAB TSS untuk koral dan wisata bahari sebesar 20 ppm (Kantor MNLH, 2004), sedangkan untuk budidaya perikanan <80 ppm (Kantor MNLH, 1988). Dijumpai 20 jenis mangrove yang termasuk dalam 10 suku dari hasil transek dan koleksi bebas. Untuk kategori pohon (diameter >10 cm) maupun anak pohon (diameter 2-10 cm), jenis Rhizophora mucronata mendominasi. Kepadatan pohon mencapai 288 batang per hektar dengan rerata ketinggian 14,74 meter dan rerata diameter batang 16,30 cm. Kepadatan anak pohon mencapai 2995 batang per hektar dengan rerata ketinggian 5,35 m dan rerata diameter batang 4,54 cm. Di daerah aliran sungai Jago-jago di P. Sumatera didapatkan Nypa fruticans yang mendominasi hampir sepanjang aliran sungai. Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 140 jenis karang batu yang termasuk dalam 16 suku. Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 51 stasiun dijumpai persentase tutupan CRITC-COREMAP Jakarta xxi

25 karang hidup antara 0,00%-79,70%, dengan rerata persentase tutupan karang hidup 26,98%. Pada stasiun TPTR03 dan TPTR08, pada saat pengamatan dilakukan, tidak dijumpai karang hidup sama sekali. Persentase tutupan karang hidup di perairan desa Sitardas yang berada di Teluk Tapian Nauli bagian selatan merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 52,02% (n=16 stasiun). Persentase tutupan karang hidup di P. Mansalar sebesar 18,79 % (n= 25 stasiun), sedangkan di Sibolga dan sekitarnya sebesar 7,42 % (n= 10 stasiun). Pada stasiun-stasiun yang berada di sekitar Sibolga (01, 02 dan 03) memiliki keanekaragaman jenis karang batu yang rendah dan jenis Porites lutea terlihat lebih mendominasi. Kelimpahan Acanthaster planci, ditemukan dalam jumlah yang sedikit, yaitu hanya 16 individu/ha. Karang jamur (CMR=Coral Mushrom) dijumpai dalam jumlah yang berlimpah yaitu individu/ha. Bulu babi (Diadema setosum) dijumpai dalam jumlah banyak yaitu 6692 individu/ha. Sedangkan Kima (Giant clam) dijumpai dalam jumlah yang tidak banyak, dimana untuk yang berukuran besar (panjang >20 cm) kelimpahannya sebesar 170 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 66 individu/ha. Demikian pula halnya dengan tripang (holothurian) dimana yang berukuran besar (diameter >20) kelimpahannya hanya sebesar 11 individu/ha, CRITC-COREMAP Jakarta xxii

26 sedangkan yang berukuran kecil tidak dijumpai sama sekali selama pengamatan dilakukan. Jenis ikan karang Lutjanus decussatus merupakan jenis yang paling sering dijumpai selama pengamatan RRI, dimana jenis ini berhasil dijumpai di 29 stasiun dari 51 stasiun RRI (Frekuensi relatif kehadiran berdasarkan jumlah stasiun yang diamati= 56,86%). Underwater Fish Visual Census (UVC) yang dilakukan di 9 Stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 179 jenis ikan karang yang termasuk dalam 31 suku, dengan nilai kelimpahan ikan karang sebesar individu per hektarnya. Jenis Neopomacentrus cyanomos merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya, yaitu sebesar 4571 individu/ha-nya Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari UVC di lokasi transek permanen seperti ikan kakap (suku Lutjanidae) yaitu 813 individu/ha, ikan kerapu (suku Serranidae) 165 individu/ha, ikan ekor kuning (suku Caesionidae) yaitu 936 individu/ha. Selama penelitian berlangsung, ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) tidak dijumpai. Ikan kepe-kepe (Butterfly fish; suku Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan 330 individu/ha. Perbandingan kelimpahan kelompok ikan major, ikan target dan ikan indikator berturut-turut adalah individu/ha, 3637 individu/ha dan 330 individu/ha, CRITC-COREMAP Jakarta xxiii

27 sehingga perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 61:11:1. Ini berarti bahwa untuk setiap 73 ikan yang dijumpai di perairan Tapanuli Tengah, kemungkinan komposisinya terdiri dari 61 individu ikan major, 11 individu ikan target dan 1 individu ikan indicator. Pelabuhan laut Sibolga yang ramai oleh segala macam aktivitasnya terlihat memiliki peranan penting terhadap menurunnya kualitas perairan disekitarnya. Stasiunstasiun yang berada di sekitar pelabuhan Sibolga (01, 02 dan 03) tampak berbeda dengan stasiun-stasiun lainnya, baik itu dilihat dari jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu, jumlah individu mega benthos (yang memiliki nilai ekonomi penting ataupun sebagai indikator kesehatan terumbu karang), maupun dari jumlah individu ikan karang yang dijumpai. Secara umum kualitas perairannya dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya. C. SARAN Dari pengalaman dan hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian di lapangan maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: Kesimpulan yang diambil mungkin saja tidak seluruhnya benar untuk menggambarkan kondisi Kabupaten Tapanuli Tengah secara keseluruhan CRITC-COREMAP Jakarta xxiv

28 mengingat jumlah stasiun penelitian, terutama untuk stasiun transek permanen sangatlah terbatas (13 stasiun). Hal ini dikarenakan waktu penelitian yang sangat terbatas. Untuk itu sebaiknya jumlah stasiun bisa ditambahkan pada penelitian selanjutnya. Secara umum, kualitas perairan di lokasi yang diteliti, dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya. Keadaan seperti ini perlu dipertahankan bahkan jika mungkin, lebih ditingkatkan lagi daya dukungnya, untuk kehidupan terumbu karang dan biota lainnya. Pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan harus dicegah sedini mungkin, sehingga kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga dan lestari. Dengan meningkatnya kegiatan di darat di sekitar Kabupaten Tapanuli Tengah, pasti akan membawa pengaruh terhadap ekosistem di perairan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penelitian kembali di daerah ini sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi sehingga hasilnya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, data hasil pemantauan tersebut juga bisa dipakai sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP. CRITC-COREMAP Jakarta xxv

29 BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapanuli Tengah) yang secara administratif masuk ke dalam Propinsi Sumatera Utara. Sebagian wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah berada di daratan P. Sumatera, sedangkan sebagian lainnya merupakan pulau-pulau yaitu P. Mansalar yang merupakan pulau yang terbesar di kabupaten ini, dan pulau-pulau kecil yang pada umumnya tak berpenghuni. Daerah kajian pada penelitian ini adalah wilayah pesisir di Teluk Sibolga atau Teluk Tapanuli, yang biasa disebut juga dengan Teluk Tapian Nauli oleh masyarakat sekitarnya, beserta P. Mansalar dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Walaupun P. Mansalar tidak termasuk lokasi COREMAP, namun penelitian juga dilakukan di sana sebagai data pembanding. Kabupaten Tapanuli Tengah termasuk dalam satuan geomorfologi besar P. Sumatera yaitu bagian Tengah- Barat. Bagian ini merupakan perbukitan bergelombang dan membentuk deretan gunung api Bukit Barisan. Topografi CRITC-COREMAP Jakarta 1

30 perbukitan bergelombang ini disusun oleh batuan vulkanik berupa batuan breksi, lava, batuan piroklastik bersifat agak padu sampai padu, berumur Tersier hingga Kuarter. Kondisi litologi yang demikian menyebabkan tanah berkembang baik. Air tanahpun cukup baik dan melimpah di sini. Secara spesifik daerah kajian sebagian besar termasuk pada lahan bentukan asal fluvial dan lahan perbukitan. Perbukitan umumnya ditumbuhi tumbuhan hutan dan jarang yang diusahakan karena lerengnya yang terjal. Sedangkan pada bagian yang agak datar dan datar, dijadikan tempat hunian penduduk selain juga diusahakan sebagai lahan pertanian. Khususnya P. Mansalar, hampir seluruh pulau ditutupi hutan primer. Ada sebagaian lahan telah dibuka dan ditanami tanaman perkebunan seperti kelapa. Iklim di Tapanuli Tengah masih merupakan iklim hujan tropis. Curah hujan rerata tahunan umumnya di atas 2500mm. Sedangkan kisaran suhu udara antara o C. Tanah yang baik, curah hujan yang cukup serta suhu udara yang cukup kondusif inilah yang menjadikan daerah ini cukup subur dan cocok untuk tanaman perkebunan. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan CRITC-COREMAP Jakarta 2

31 tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya. Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi baru tersebut sehingga bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang sebagai data pembanding, dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP. B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari studi baseline ekologi ini adalah sebagai berikut: Mendapatkan data dasar ekologi di Kabupaten Tapanuli Tengah, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Membuat transek permanen di beberapa tempat di Kabupaten Tapanuli Tengah agar dapat dipantau di masa mendatang. CRITC-COREMAP Jakarta 3

32 C. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup studi baseline ekologi ini meliputi empat tahapan yaitu: 1. Tahap persiapan, meliputi kegiatan administrasi, koordinasi dengan tim penelitian baik yang berada di Jakarta maupun di daerah setempat, pengadaan dan mobilitas peralatan penelitian serta perancangan penelitian untuk memperlancar pelaksanaan survey di lapangan. Selain itu, dalam tahapan ini juga dilakukan persiapan penyediaan peta dasar untuk lokasi penelitian yang akan dilakukan. 2. Tahap pengumpulan data, yang dilakukan langsung di lapangan yang meliputi data tentang kualitas perairan baik fisika maupun kimia perairan, terumbu karang, ikan karang dan mangrove. 3. Tahap analisa data, yang meliputi verifikasi data lapangan dan pengolahan data sehingga data lapangan bisa disajikan dengan lebih informatif. 4. Tahap pelaporan, yang meliputi pembuatan laporan sementara dan laporan akhir. CRITC-COREMAP Jakarta 4

33 BAB II. METODE PENELITIAN A. LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian dilakukan di P. Mansalar dan di daerah pesisir Teluk Sibolga (Teluk Tapanuli), atau masyarakat sekitar menyebutnya dengan Teluk Tapian Nauli, yang berada di depan kota Sibolga beserta pulaupulau kecil di sekitarnya (Gambar 1). Dalam penelitian ini, sebelum penarikan sampel dilakukan, terlebih dahulu ditentukan peta sebaran terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih secara acak titiktitik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut. CRITC-COREMAP Jakarta 5

34 Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. CRITC-COREMAP Jakarta 6

35 Untuk parameter temperatur dan salinitas air laut dilakukan di 53 stasiun dimana 6 stasiun terdapat di perairan Pelabuhan Sibolga (Gambar 2.a. dan Lampiran 1), 26 stasiun di perairan Teluk Tapian Nauli (Gambar 2.b. dan Lampiran 1) dan 21 stasiun di perairan P. Mansalar (Gambar 2.c. dan Lampiran 1). Untuk parameter kecepatan dan arah arus air laut dilakukan di sepanjang lintasan antara P. Mansalar hingga Pelabuhan Sibolga (Lintasan I) dan dari Teluk Tapian Nauli bagian selatan hingga P. Mansalar (Lintasan II). Untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, ph, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi dilakukan di 22 stasiun penelitian (Gambar 3 dan Lampiran 2). Untuk mangrove, transek dilakukan di 4 stasiun, dimana 1 stasiun berada di daratan Sumatera dan 3 stasiun berada di P. Mansalar dan (Gambar 4 dan Lampiran 3). Untuk kelompok karang dan ikan karang, pengamatan dilakukan di 51 stasiun dengan menggunakan metode RRI (Rapid Reef Resources Inventory) (Gambar 5.a., Gambar 5.b. dan Lampiran 4). Untuk proses pemantauan kondisi kesehatan karang di masa sekarang dan yang akan datang, dipilih 13 stasiun sebagai titik-titik transek permanen (permanent transect) untuk karang, mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan terumbu karang, serta ikan karang (Gambar 6.a., Gambar 6.b. dan Lampiran 5). CRITC-COREMAP Jakarta 7

36 Gambar 2.a. Posisi stasiun penelitian untuk parameter temperatur dan salinitas air laut di perairan sekitar pelabuhan Sibolga. CRITC-COREMAP Jakarta 8

37 Gambar 2.b. Posisi stasiun penelitian untuk parameter temperatur dan salinitas air laut di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan. CRITC-COREMAP Jakarta 9

38 Gambar 2.c. Posisi stasiun penelitian untuk parameter temperatur dan salinitas air laut di perairan P. Mansalar. CRITC-COREMAP Jakarta 10

39 Gambar 3. Posisi stasiun penelitian untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, ph, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi di perairan Teluk Tapian Nauli dan sekitarnya. CRITC-COREMAP Jakarta 11

40 Gambar 4. Posisi stasiun penelitian mangrove di Kabupaten Tapanuli Tengah. CRITC-COREMAP Jakarta 12

41 Gambar 5.a. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan sekitar Pelabuhan Sibolga. CRITC-COREMAP Jakarta 13

42 Gambar 5.b. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan. CRITC-COREMAP Jakarta 14

43 Gambar 5.c. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan P. Mansalar. CRITC-COREMAP Jakarta 15

44 Gambar 6.a. Posisi stasiun penelitian untuk untuk karang, mega benthos dan ikan karang untuk transek permanen di perairan sekitar Pelabuhan Sibolga. CRITC-COREMAP Jakarta 16

45 Gambar 6.b. Posisi stasiun penelitian untuk untuk karang, mega benthos dan ikan karang untuk transek permanen di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan. CRITC-COREMAP Jakarta 17

46 Gambar 6.c. Posisi stasiun penelitian untuk untuk karang, mega benthos dan ikan karang untuk transek permanen di perairan P. Mansalar. CRITC-COREMAP Jakarta 18

47 B. WAKTU PENELITIAN Kegiatan penelitian di lapangan dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kegiatan penelitian ini dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Nias. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada bulan Mei-Juni C. PELAKSANA PENELITIAN Kegiatan penelitian di lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswa dari Jakarta (Universitas Indonesia) juga turut serta dalam survey ini untuk melengkapi Kegiatan Praktek Lapangannya. D. METODE PENARIKAN SAMPEL DAN ANALISA DATA Penelitian Ecological Baseline Study ini melibatkan beberapa kelompok penelitian dan dibantu oleh personil untuk dokumentasi. Metode penarikan sampel dan analisa data yang digunakan oleh masing-masing kelompok penelitian tersebut adalah sebagai berikut: CRITC-COREMAP Jakarta 19

48 1. Sistem Informasi Geografi Untuk keperluan pembuatan peta dasar ekosistem perairan dangkal, hasil interpretasi citra penginderaan jauh (indraja) digunakan sebagai data dasar. Data citra indraja yang dipakai dalam studi ini adalah citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (selanjutnya disebut Landsat ETM+) pada kanal sinar tampak dan kanal infra-merah dekat (band 1,2,3,4 dan 5). Saluran ETM+ 7 tidak digunakan dalam studi ini karena studinya lebih ke mintakat perairan bukan mintakat daratan. Sedangkan saluran infra-merah dekat ETM+ 4 dan 5 tetap dipakai karena band 4 masih berguna untuk perairan dangkal dan band 5 berguna untuk pembedaan mintakat mangrove. Citra yang digunakan adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada saluran multi-spectral (band 1,2,3,4,5 dan 7) adalah 30 m x 30 m persegi. Adapun citra yang digunakan dalam studi ini seluruhnya ada 2 scenes yaitu: path-row dan (merekam P. Mansalar dan Teluk Tapian Nauli atau Teluk Sibolga). Sebelum kerja lapang dilakukan, di laboratorium terlebih dulu disusun peta tentatif. Pengolahan citra untuk penyusunan peta dilakukan dengan perangkat lunak Extension Image Analysis 1.1 pada ArcView 3.2 version. CRITC-COREMAP Jakarta 20

49 Prosedur untuk pengolahan citra sampai mendapatkan peta tentatif daerah studi meliputi beberapa langkah berikut ini: Langkah pertama, citra dibebaskan atau setidaknya dikurangi terhadap pengaruh noise yang ada. Koreksi untuk mengurangi noise ini dilakukan dengan teknik smoothing menggunakan filter low-pass. Langkah kedua, yaitu memblok atau membuang daerah tutupan awan. Ini dilakukan dengan pertamatama memilih areal contoh (training area) tutupan awan dan kemudian secara otomatis komputer diminta untuk memilih seluruh daerah tutupan awan pada cakupan citra. Setelah terpilih kemudian dikonversikan menjadi format shape file. Konversi ini diperlukan agar didapatkan data berbasis vektor (data citra berbasis raster) beserta topologinya yaitu tabel berisi atribut yang sangat berguna untuk analisis selanjutnya. Dari tabel itu kemudian dilakukan pemilihan daerah yang bukan awan dan selanjutnya disimpan dalam bentuk shape file. Daerah bukan awan inilah yang akan digunakan untuk analisis lanjutan. Langkah ketiga, yaitu memisahkan mintakat darat dan mintakat laut. Pada citra yang telah bebas dari tutupan awan dilakukan digitasi batas pulau dengan cara digitasi langsung pada layar komputer (on the screen digitizing). Agar diperoleh hasil digitasi dengan ketelitian memadai, digitasi dilakukan pada skala tampilan citra 1 : Digitasi batas pulau ini dilakukan pada citra komposit warna semu kombinasi CRITC-COREMAP Jakarta 21

50 band 4, 2,1. Kombinasi ini dipilih karena dapat memberikan kontras wilayah darat dan laut yang paling baik. Agar kontrasnya maksimum, penyusunan komposit citra mengunakan data yang telah dipertajam dengan perentangan kontras non-linier model gamma. Setelah batas pulau diselesaikan, dengan cara yang sama pada mintakat laut didigitasi batas terluar dari mintakat terumbu. Komposit citra yang digunakan adalah kombinasi band 3,2,1 dengan model perentangan kontras yang sama. Sedangkan untuk digitasi batas sebaran mangrove, digunakan kombinasi citra lain yaitu kombinasi band 5,4,3. Dengan kombinasi ini disertai teknik perentangan kontras model gamma, mintakat pesisir yang ditumbuhi mangrove akan sangat mudah dibedakan dengan mintakat yang bervegetasi lain. Hasil interpretasi berupa peta sebaran mangrove dan terumbu karang yang bersifat tentatif. Berdasarkan peta tentatif tersebut kemudian secara acak dipilih titik-titik lokasi sampel serta ditentukan posisinya. Titik-titik sampel itu di lapangan dikunjungi dengan dipandu oleh alat penentu posisi secara global atau GPS. Selain sampel model titik-titik ini digunakan pula sampel model garis transek dari pantai kearah tubir yang juga dipilih secara acak. GPS yang dipergunakan saat kerja lapang adalah merk Garmin tipe 12CX dengan ketelitian posisi absolut sekitar 15 meter. Dari data yang terkumpul kemudian di laboratorium dilakukan interpretasi dan digitasi ulang agar diperoleh batas yang lebih akurat. CRITC-COREMAP Jakarta 22

51 2. Kualitas Perairan Untuk kualitas perairan yang terdiri dari beberapa parameter fisika dan kimia osenaografi yaitu : a. Temperatur dan salinitas air laut diukur dengan menggunakan alat CTD (Conductive Temperature Depth) SBE-16. b. Kecepatan dan arah arus air laut diukur menggunakan alat ADCP (Accoustic Dopler Current Profiler) tipe 75 KHz. c. Fosfat, nitrit dan nitrat dengan spektrofotometer secara colorimetri (Stricland and Parson, 1968), d. Oksigen terlarut dengan titrasi (Winkler) secara titrimetri (Stricland and Parson, 1968), e. ph dengan ph meter portable (elektometrik), f. Kecerahan, warna, lapisan minyak, benda padat terapung secara visual, g. Bau secara organoleptik, h. Zat padat tersuspensi secara gravimetri (Alaert and Santika, 1995). 3. Mangrove Pengambilan data dilakukan baik secara koleksi bebas maupun dengan transek. Untuk transek digunakan metode kuadrat (Cox, 1967), yaitu dengan menggunakan transek yang tegak lurus dengan garis pantai. Setiap transek dibuat petak-petak yang berukuran 10 x 10 meter untuk pohon (diameter >10 CRITC-COREMAP Jakarta 23

52 cm) secara berurutan mulai dari garis pantai sampai batas darat. Pada petak ini dihitung jenis, jumlah individu masing-masing jenis, diukur diameter, tinggi pohon. Untuk belta (diameter 2 cm sampai 10 cm) dibuat petak yang berukuran 5m x 5m meter yang terletak pada plot yang berukuran 10m x 10m dan juga dilakukan perhitungan seperti pada petak untuk pohon. Dari data tersebut diatas dapat diperoleh nilai kerapatan nisbi (KN), dominasi nisbi (DN), frekuensi nisbi (FN) dan nilai penting (NP) yang merupakan penjumlahan dari 3 kriteria tersebut. Jumlah individu suatu jenis KN = x 100% Jumlah individu untuk semua jenis Nilai frekuensi suatu jenis FN = x 100% Jumlah nilai-nilai frekuensi untuk semua jenis Jumlah titik pengambilan contoh jenis terdapat Frekuensi = x 100% Jumlah semua titik pengambilan contoh Jumlah luas bidang dasar untuk jenis DN = x 100% Jumlah luas bidang dasar untuk semua jenis NP = KN + FN + DN 3. Karang Untuk mengetahui secara umum kondisi terumbu karang seperti persentase tutupan biota dan substrat di terumbu karang pada setiap stasiun penelitian digunakan metode Rapid Reef Resources Inventory CRITC-COREMAP Jakarta 24

53 (RRI) (Long et al., 2004). Dengan metode ini, di setiap titik pengamatan yang telah ditentukan sebelumnya, seorang pengamat berenang selama sekitar 5 menit dan mengamati biota dan substrat yang ada di sekitarnya. Kemudian pengamat memperkirakan persentase tutupan dari masing-masing biota dan substrat yang dilihatnya selama kurun waktu tersebut dan mencatatnya ke kertas tahan air yang dibawanya. Pada beberapa stasiun penelitian dipasang transek permanen di kedalaman antara 3-5 m yang diharapkan bisa dipantau di masa mendatang. Pada lokasi transek permanen, data diambil dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) mengikuti English et al., (1997), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang sebanyak 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangannya yaitu seorang penyelam meletakkan pita berukuran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. Kemudian LIT ditentukan pada garis transek 0-10 m, m dan m. Semua biota dan substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian hingga centimeter. Dari data hasil LIT tersebut bisa dihitung nilai persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat yang berada di bawah garis transek. Selain itu juga bisa diketahui jenis-jenis karang batu dan ukuran panjangnya, sehingga bisa dihitung nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = CRITC-COREMAP Jakarta 25

54 H ) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou s evenness index = J ) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis karang batu pada masing-masing stasiun transek permanen yang diperoleh dengan metode LIT. Rumus untuk nilai H dan J adalah : k H' = -Σ p i ln p i i=1 dimana p i = n i /N n i = frekuensi kehadiran jenis i N = frekuensi kehadiran semua jenis J' = (H'/H' max ) dimana H' max = ln S S = jumlah jenis Selain itu, beberapa analisa lanjutan dilakukan dengan bantuan program statistik seperti analisa regresi (Supranto, 1991; Neter et al. 1996), analisa korelasi (Supranto, 1991; Neter et al. 1996), analisa pengelompokan (Cluster analysis) (Warwick and Clarke, 2001) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001). 4. Mega Benthos Untuk mengetahui kelimpahan beberapa mega benthos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan bisa dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang, dilakukan metode Reef Check (yang CRITC-COREMAP Jakarta 26

55 dimodifikasi) pada semua stasiun transek permanen. Semua biota tersebut yang berada 1 m di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 m tadi dihitung jumlahnya, sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (2 x 70) = 140 m 2. Analisa lanjutan seperti analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001) dilakukan terhadap data kelimpahan individu dari beberapa mega benthos yang dijumpai. 5. Ikan Karang Seperti halnya terumbu karang, metode RRI juga diterapkan pada penelitian ini untuk mengetahui secara umum jenis-jenis ikan yang dijumpai pada setiap titik pengamatan. Sedangkan pada setiap titik transek permanen, metode yang digunakan yaitu metode Underwater Fish Visual Census (UVC), dimana ikan-ikan yang dijumpai pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek sepanjang 70 m dicatat jenis dan jumlahnya. Sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (5 x 70 ) = 350 m 2. Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Masuda (1984), Kuiter (1992) dan Lieske dan Myers (1994). Khusus untuk ikan kerapu (grouper) digunakan acuan dari Randall and Heemstra (1991) dan FAO Species Catalogue Heemstra dan Randall (1993). CRITC-COREMAP Jakarta 27

56 Sama seperti halnya pada karang, nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H ) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou s evenness index = J ) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen dari hasil UVC. Selain itu juga dihitung kelimpahan jenis ikan karang dalam satuan unit individu/ha. Dari data kelimpahan tiap jenis ikan karang yang dijumpai dimasing-masing stasiun transek permanen dilakukan analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001). Spesies ikan yang didata dikelompokkan ke dalam 3 kelompok utama (ENGLISH, et al., 1997), yaitu : a. Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae (ikan pakol); b. Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. CRITC-COREMAP Jakarta 28

57 Ikan-ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe); c. Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5 25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikanikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, diwakili oleh famili Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu), dan Blenniidae (ikan peniru). CRITC-COREMAP Jakarta 29

58 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SISTEM INFORMASI GEOGRAFI Peta akhir hasil analisis dideskripsi dan dibahas berdasarkan data hasil pengamatan lapangan yang telah dikumpulkan. Selain itu dibahas pula geometri citra dan keterbatasan yang ada dalam pemrosesan citra sehingga tersusun peta akhir. 1. Geometri Citra Data mentah citra (raw data) sudah dalam kondisi terkoreksi geometri karena produk data Landsat 7 ETM+ yang dipasarkan merupakan data level 1G. Pada level ini data sudah terkoreksi geometri dengan datum WGS 84 menggunakan sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Berdasarkan keterangan yang tertera pada dokumen produk data Landsat 7, data yang direkam satelit memiliki tingkat kesalahan posisi kurang dari 50 meter. Ketelitian ini dapat dinaikkan lagi dengan aplikasi koreksi geometri menggunakan ground control points (GCP) lokal sampai mencapai kurang dari 15 meter kesalahannya. Untuk studi kali ini, walaupun rencananya akan diaplikasikan koreksi geometri citra ke koordinat lokal dengan GCP lokal, hal ini tidak jadi dilaksanakan. Ini didasari suatu kenyataan bahwa dari semua titik ground check di lapangan yang tersebar pada terumbu dekat pantai, terumbu tengah dan tubir, ternyata kesemuanya CRITC-COREMAP Jakarta 30

59 dapat diplot dengan baik pada peta dasar. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kesalahan posisi karena kesalahan geometri peta hasil interpretasi kurang dari 1 piksel citra (kurang dari 30 meter). Untuk itu koreksi geometri dengan koordinat lokal sudah tidak diperlukan lagi karena seluruh posisi hasil pengukuran di lapangan akan dapat diplotkan ke peta dasar dengan presisi tinggi. 2. Interpretasi Citra Sebelum proses klasifikasi, batas-batas pulau dan juga batas tubir terumbu didigitasi. Pada prakteknya pendigitasian ini menemui kendala ketika harus mendigit daerah yang tertutup awan. Satu-satunya jalan adalah dengan mendigit secara menduga-duga. Konsekuensinya, hasil digitasi merupakan batas yang tidak akurat. Hal inilah yang menjadi kendala dan sekaligus merupakan keterbatasan metode ini. Namun demikian oleh karena kondisi citra yang tertutup awan ini tidak begitu banyak dijumpai maka dapatlah dimaklumi. Keterbatasan lain dengan klasifikasi dengan citra ini adalah keterbatasan kemampuan energi elektromagnetik dalam hal penetrasinya pada perairan. Oleh karena itu untuk keperluan interpretasi obyek bawah air seperti kali ini hanya menggunakan band 1, 2, 3, dan 4 sebagai masukan dalam proses penyusunan komposit citra. Ini didasari beberapa referensi yang mengatakan bahwa band-band itulah yang mampu menembus kedalam air. Pada perairan agak jernih CRITC-COREMAP Jakarta 31

60 sampai jernih (seperti di daerah studi) band 4 dapat menembus sampai kedalaman 0,5 meter. Band 3 dapat menembus sampai kedalaman sekitar 5 meter. Band 2 lebih dalam lagi yaitu mencapai 15 meter, dan band 1 dapat mencapai 25 meter bahkan bisa diatas 30 meteran. Ini berarti bahwa obyek, apapun itu, yang berada di kedalaman lebih dari 25 m sangat sulit diidentifikasi. Pada studi ini telah disebutkan bahwa untuk peta tentatif obyek bawah air di perairan dangkal diklasifikasi menjadi 3 klas yaitu fringing reef, patch reef, dan shoal. Setelah dilakukan pengecekan lapangan di seluruh titik sampel, ternyata hanya dijumpai kurang dari 10 % yang kurang tepat delineasinya (salah interpretasi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketelitian interpretasi lebih dari 90%. Beberapa lokasi sampel yang salah tersebut kemudian dilakukan delineasi ulang berdasarkan data dari lapangan. Hasilnya kemudian disajikan menjadi peta sebaran terumbu karang dan mangrove. Berdasarkan peta hasil akhir ini kemudian dihitung luas mangrove dan terumbu karang. Hasilnya disajikan pada Tabel 1. Dari citra satelit dapat diinterpretasi bahwa mangrove (dan juga nipah) hidup subur di pantai yang menjadi muara sungai. Di pantai yang tidak bermangrove umumnya berkembang terumbu karang. Sebarannya cukup tipis di dalam teluk dan cukup tebal di pulau-pulau kecil yang ada dalam teluk. Untuk P. Mansalar, terumbu karang tepi berkembang CRITC-COREMAP Jakarta 32

61 mengelilingi pulau dengan aebaran agak tipis di utara dan semakin menebal ke arah selatan. Tabel 1. Luas mangrove dan terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah. Jenis Tutupan Pelabuhan Sibolga dan sekitarnya Luas (km 2 ) Desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli dan sekitarnya P. Mansalar Luas seluruhnya (km 2 ) Mangrove 0,4514 2,9776 4,5612 7,9902 Terumbu karang Fringing reef 1,2127 3, , ,6657 Patch reef 0, ,4568 Shoal 0,2173 0,3845 3,6329 4,2347 B. KUALITAS PERAIRAN Penelitian mengenai kualitas perairan meliputi parameter fisika dan kimia. 1. Temperatur Kondisi temperatur di perairan sekitar pelabuhan Sibolga relatif tinggi dibandingkan perairan yang lebih terbuka di sebelah baratnya seperti di P. Mansalar (Tabel 2). Kisaran temperatur di perairan sekitar Sibolga ini antara C dan C dengan rerata 30,0322 C, di perairan sekitar desa Sitardas yang berada di Selatan Teluk Tapian Nauli antara 28,1521 C dan 29,7296 C dengan rerata 29,3733 C, sedangkan di CRITC-COREMAP Jakarta 33

62 perairan P. Mansalar antara 29,2074 C dan 29,9513 C dengan rerata 29,6634 C. Dari ketiga lokasi yang berada di Kabupaten Tapanuli Tengah tersebut, temperatur air laut yang terendah dijumpai di perairan Desa Sitardas, yaitu 28,1521 C. Profil temperatur di masing-masing stasiun pengamatan di tampilkan pada Gambar 7.a. untuk perairan pelabuhan Sibolga, Gambar 7.b. untuk perairan di desa Sitardas yang berada di selatan Teluk Tapian Nauli, dan Gambar 7.c. untuk perairan di P. Mansalar. Untuk lokasi Pelabuhan Sibolga, stasiun-stasiun yang berada di daratan Sumatera (St.1, St.2, St.3 dan St.4) memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan St.5 dan St.6 yang berada di pulau kecil dekat daratan Sumatera. Tabel 2. Hasil pengukuran temperatur pada seluruh stasiun penelitian di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah. Lokasi Desa Statistik Pelabuhan Sitardas, Sibolga dan Teluk Tapian P. Mansalar sekitarnya Nauli bagian selatan Jumlah data Minimum 29, , ,2074 Maksimum 30, , ,9513 Kisaran 0,9449 1,5775 0,7439 Rerata 30, , ,6634 Standar deviasi 0,2203 0,3256 0,1676 CRITC-COREMAP Jakarta 34

63 Gambar 7.a. Profil temperatur dan salinitas di perairan pelabuhan Sibolga dan sekitarnya. Gambar 7.b. Profil temperatur dan salinitas di perairan desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan. CRITC-COREMAP Jakarta 35

64 Gambar 7.c. Profil temperatur dan salinitas di perairan P. Mansalar. 2. Salinitas Salinitas air laut yang terekam di stasiun-stasiun penelitian di perairan sekitar Sibolga berkisar antara 32,1851 PSU hingga 33,6430 PSU, di perairan desa Sitardas antara 31,7693 PSU hingga 33,3517 PSU dan di perairan P. Mansalar antara 32,4277 PSU hingga 33,8446 PSU (Tabel 3). Profil salinitas di masingmasing stasiun pengamatan di tampilkan pada Gambar 7.a. untuk perairan pelabuhan Sibolga, Gambar 7.b. untuk perairan di desa Sitardas yang berada di Teluk Tapian Nauli, dan Gambar 7.c. untuk perairan di P. Mansalar. Diperairan P. Mansalar terdapat air terjun yang langsung bermuara ke laut dimana pengaruhnya sangat terasa terhadap massa air laut dari permukaan hingga CRITC-COREMAP Jakarta 36

65 kedalaman 2 m. Hal ini terlihat pada St.5 P. Mansalar dimana salinitas di permukaannya sebesar 34,55 PSU dan menurun hingga 33,2 PSU pada kedalaman 2 m (Gambar 7.c.). Tabel 3. Hasil pengukuran salinitas pada seluruh stasiun penelitian di perairan di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah. Lokasi Desa Statistik Sitardas, Pelabuhan Teluk Tapian Sibolga Nauli bagian P. Mansalar selatan Jumlah data Minimum 32, , ,4277 Maksimum 33, , ,8446 Kisaran 1,4579 1,5824 1,4169 Rerata 33, , ,3818 Standar deviasi 0,2887 0,3320 0, Arus Pada lintasan ADCP antara P. Mansalar hingga Pelabuhan Sibolga (Lintasan I) dan dari Teluk Tapian Nauli bagian selatan hingga P. Mansalar (Lintasan II) menunjukkan bahwa pengaruh pasang surut tidak dominan di perairan ini (Gambar 8). Arah arus menuju selatan (Gambar 8) baik dalam kondisi pasang bergerak surut maupun pada saat menuju pasang. Pada lintasan II, kecepatan arus yang terekam mencapai 75 cm/detik, sedangkan pada Lintasan I kecepatan arusnya relatif lebih lemah. CRITC-COREMAP Jakarta 37

66 Gambar 8. Vektor arus antara P. Mansalar hingga Pelabuhan Sibolga (Lintasan I) dan dari Teluk Tapian Nauli bagian selatan hingga P. Mansalar (Lintasan II). CRITC-COREMAP Jakarta 38

67 4. Fosfat Fosfat dalam air alam terdapat sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat, dan fosfat organis. Senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat dalam sel organisme dalam air. Fosfat merupakan salah satu nutrisi bagi organisme perairan. Hasil pengukuran kadar fosfat di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah antara 1,34-71,65 μg.at/l (Gambar 9). Pada St.12 yang terletak di dekat pelabuhan laut Sibolga, kadar fosfatnya sangat tinggi sekali dibandingkan dengan stasiun-satasiun lainnya yaitu sebesar 71,65μg.at/l. Dengan mengabaikan kadar fosfat pada St. 12 ini, rerata kadar fosfat di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar 1,42 μg.at/l. Kadar fosfat di perairan laut yang normal, yaitu antara 0,01-1,68 μg.at/l (Sutamihardja, 1987), dan antara 0,01-4 μg.at/l (Brotowidjoyo et al., 1995), Menurut Ilahude & Liasaputra (1980) kadar fosfat di lapisan permukaan di perairan yang tersubur di dunia mendekati 0,60 μg.at/l, sedangkan menurut Liaw (1969) kadar fosfat di perairan yang cukup subur berkisar antara 0,07-1,61 μg.at/l. Kantor MNLH (2004) memberikan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk fosfat sebesar ppm atau 4,9 μg.at/l untuk biota dan wisata bahari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum kadar fosfat di perairan Tapanuli Tengah ini masih tergolong normal (kecuali di St.12 yang berada dekat Pelabuhan Sibolga), dan masih baik untuk pertumbuhan karang. Sebagai pembanding dapat dilihat CRITC-COREMAP Jakarta 39

68 kadar fosfat di perairan ekosistem terumbu karang Eri (Teluk Ambon) dan Raha yang kondisi karangnya termasuk kategori sangat baik berkisar antara 0,70-1,88 μg.at/l (Wenno et al., 1983, Sutarna, 1987) dan antara 0,13-1,79 μg.at./l (Edward, 2004). Fosfat (ug.at/l) Stasiun Gambar 9. Kadar Fosfat (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah. 5. Nitrit Nitrit merupakan senyawa nitrogen yang dijumpai dalam jumlah yang kecil di perairan yang masih alami. Senyawa ini kurang stabil tergantung pada kadar oksigen terlarut yang terdapat dalam air. Menurut Winarno (1986) nitrit merupakan salah satu indikator adanya pencemaran oleh senyawa organis. Nitrit juga bersifat racun karena dapat bereaksi dengan haemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen, di samping itu nitrit juga dapat membentuk nitrosamin pada air buangan tertentu dan CRITC-COREMAP Jakarta 40

69 dapat menimbulkan kanker (Alaert & Santika, 1984). Kantor MNLH (1988) menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk nitrit adalah nihil (tidak diperkenankan) untuk budidaya perikanan, taman laut konservasi dan pariwisata dan rekreasi. Kantor MNLH (2004) tidak mencantumkan nitrit sebagai salah satu parameter kualitas air. Berdasarkan hasil pengukuran kadar nitrit di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah, diperoleh kadar nitrit yang sangat bervariasi yaitu antara 1,21-12,39 ug.at/l (Gambar 10). Seperti halnya fosfat, di St. 12 yang berada di pelabuhan Sibolga, memiliki kadar nitrit yang sangat tinggi dibandingkan dengan di stasiunstasiun lainnya yaitu sebesar 12,39 ug.at/l. Dengan mengabaikan kadar nitrit pada St. 12 ini, rerata kadar nitrit di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar 2,62 μg.at/l. 14 Kadar Nitrit (ug.at/l) Stasiun Gambar 10. Kadar Nitrit (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah. CRITC-COREMAP Jakarta 41

70 6. Nitrat Nitrat adalah bentuk senyawa nitrogen yang stabil. Nitrat merupakan salah satu unsur penting untuk sintesa protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, seperti halnya fosfat, nitrat dalam kadar yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang secara tidak terbatas, sehingga air kekurangan oksigen terlarut. Hasil pengukuran kadar nitrat (NO 3 -N) di perairan Tapanuli Tengah berkisar antara 1,15-40,04 μg.at/l, dimana pada St. 12 yang berada di pelabuhan Sibolga memiliki kadar nitrat yang sangat tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu sebesar 40,04 μg.at/l (Gambar 11). Dengan mengabaikan kadar nitrat pada St. 12 ini, rerata kadar nitrat di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar 4,99 μg.at/l. Kadar nitrat di perairan ini tergolong relatif tinggi. Kadar nitrat di perairan laut yang normal berkisar antara 0,01 0,50 μg.at/l (Brotowidjoyo et al., 1995). Departemen Pertanian menetapkan kadar nitrat yang diperkenankan untuk tujuan budidaya perikanan antara lain untuk ikan kakap dan kerapu berkisar antara 0,9-3,2 μg.at/l (Anonim, 1985). Seperti halnya fosfat, variasi kadar nitrat juga erat kaitannya dengan kepadatan fitoplankton. Kantor MNLH (1988) memberikan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk nitrat adalah 0,008 ppm atau 26,27 μg.at/l untuk biota dan wisata bahari. Walaupun kadar nitrat di perairan ini tergolong tinggi, namun masih relatif baik untuk karang CRITC-COREMAP Jakarta 42

71 disebabkan karena nitrat (seperti halnya fosfat) merupakan nutrisi bagi organisme perairan. Sebagai pembanding dapat dilihat kadar nitrat di perairan ekosistem terumbu karang di Eri (Teluk Ambon) dan Raha yang kondisi karangnya termasuk kategori sangat baik berkisar antara 0,22-5,10 μg.at/l (Wenno et al., 1983., Sutarna, 1987) dan antara 0,20-2,66 μg.at/l (Edward, 2004). Kadar Nitrat (ug.at/l) Stasiun Gambar 11. Kadar Nitrat (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah. 7. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan parameter mutu air yang penting bagi kehidupan biota perairan. Kadar senyawa organis yang tinggi di suatu perairan akan menghabiskan banyak oksigen untuk penguraiannya. Perubahan kadar oksigen yang drastis dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan. Hasil pengukuran kadar oksigen terlarut di Perairan Tapanuli CRITC-COREMAP Jakarta 43

72 Tengah berkisar antara 4,52-6,88 ppm dengan rerata 6,28 ppm (Gambar 12). 8 Kadar Oksigen terlarut (ppm) Stasiun Gambar 12. Kadar Oksigen terlarut (ppm) di masingmasing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Tapanuli Tengah. Kadar oksigen di perairan ini masih sesuai dengan kadar oksigen terlarut di lapisan permukaan pada perairan laut yang normal umumnya. Menurut Sutamihardja (1987) kadar oksigen di permukaan laut yang normal berkisar antara 5,7 8,5 ppm. Nilai Ambang Batas (NAB) kadar oksigen terlarut untuk biota laut dan pariwisata adalah > 5 ppm (Kantor MNLH, 2004). Untuk koral, Kantor MNKLH (2004) tidak memberikan NAB. Hal ini mungkin disebabkan karena umumnya koral berada di perairan dangkal, di mana proses fotosintesis dan difusi oksigen dari atmosfir masih dapat berlangsung dengan baik. Kadar oksigen terlarut di dalam massa air biasanya nilainya berkisar antara 6-14 ppm (4,28-10 ml/l) (Connel et al., CRITC-COREMAP Jakarta 44

73 1995). Kandungan oksigen terlarut sebesar 5 ppm dengan suhu air berkisar antara o C pada umumnya relatif masih baik untuk kehidupan ikan. Bahkan bila dalam perairan tidak terdapat senyawa-senyawa yang bersifat toksik (tidak tercemar) kandungan oksigen sebesar 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan organisme perairan (Riva i et al., 1982). Menurut Sutamihardja (1987), kadar oksigen di perairan laut yang tercemar ringan di lapisan permukaan adalah 5 ppm, dengan demikian dilihat dari kadar oksigen terlarutnya dapat dikatakan bahwa perairan ini relatif belum tercemar oleh senyawasenyawa organis. Kadar oksigen hasil pengamatan ini juga masih baik untuk terumbu karang. Kadar oksigen terlarut pada ekosistem terumbu karang Eri (Teluk Ambon) yang kondisi karangnya termasuk kategori sangat baik berkisar antara 3,10-5,67 ml/l (Wenno et al., 1983., Sutarna, 1987), di perairan Ihamahu Saparua berkisar antara 3,8-4,2 ml/l (Sutarna, 1988), dan perairan Raha berkisar antara 3,68 4,53 ml/l (5,05 6,34 ppm)(edward, 2004). Menurut Dai (1991) kadar oksigen di Teluk Nanwan (Taiwan) dimana terumbu karang tumbuh dan berkembang dengan baik berkisar antara ppm ( ml/l). Dengan demikian kadar oksigen di perairan ini termasuk kategori baik. 8. Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman air penting untuk menentukan nilai daya guna dari air tersebut baik untuk berbagai CRITC-COREMAP Jakarta 45

74 kepentingan. ph adalah ukuran tingkat keasaman dari air atau besarnya konsentrasi ion H dalam air dan merupakan gambaran keseimbangan antara asam (H + ) dan basa (OH - ) dalam air. Nilai ph sangat mempengaruhi daya produktivitas suatu perairan. Nilai hasil pengukuran ph di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah berkisar antara 7,6.-8,1 dengan rerata 7,99 (Gambar 13). 8.4 ph Stasiun Gambar 13. Nilai Derajat keasaman (ph) di masingmasing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Tapanuli Tengah. Variasi ph ini umumnya disebabkan oleh prosesproses kimia dan biologis yang dapat menghasilkan senyawa-senyawa kimia baik yang bersifat asam maupun alkalis. Selain itu adanya masukan-masukan limbah yang bersifat asam atau alkalis dari daratan dapat pula menjadi penyebab variasi ph. Nilai ph yang diperoleh di perairan ini relatif masih sesuai dengan ph yang dijumpai di perairan laut yang normal. Nilai ph di perairan laut yang normal berkisar antara 8,0-8,5 CRITC-COREMAP Jakarta 46

75 (Salim, 1986) dan antara 7,0-8,5 (Odum, 1971). Untuk perairan Indonesia ph air laut permukaan berkisar antara 6,0-8,5 (Romimohtarto, 1988). Nilai ph ini masih baik untuk berbagai kepentingan. EPA (1973) menetapkan kisaran ph untuk perikanan antara 6,5-8,5. Kantor MNLH (2004) menetapkan Nilai Ambang Batas ph 7-8,5 ± 0,2 satuan ph untuk biota dan wisata bahari, sedangkan untuk koral Kantor MNLH tidak memberikan NAB. Hal ini menunjukkan bahwa ph tidak memberikan dampak negatif terhadap koral. ph yang mendekati netral dan tidak menyebabkan iritasi pada mata dan kulit, merupakan ph yang diinginkan untuk pariwisata (mandi, selam dan renang) (EPA, 1973). Derajat keasaman (ph) di perairan Raha yang kondisi karangnya relatif masih baik berkisar antara 7,4-8,2. Dengan demikian dilihat dari nilai ph nya, kualitas perairan ini termasuk kategori baik. 9. Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran sejauh mana penetrasi cahaya matahari dapat masuk ke perairan. Dari seluruh stasiun di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah, dimana penarikan sampel dilakukan di daerah lereng terumbu dengan kedalaman antara 5 m 15 m, masih terlihat dasar perairan (Tampak Dasar). Kecerahan air laut umumnya dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan terjadi turbulensi dan membawa lumpurlumpur yang berasal dari darat melalui aliran-aliran sungai ke perairan laut, sehingga perairan laut menjadi CRITC-COREMAP Jakarta 47

76 keruh. Menurut Sutarna (1987), keadaan seperti ini merupakan salah satu penyebab rusaknya terumbu karang di perairan laut akibat tertutup lumpur atau sedimen. Kantor MNLH (1988) menetapkan NAB kecerahan adalah > 3 m untuk perikanan, > 5 m untuk koral dan > 6 m untuk pariwisata (KMNLH, 2004). Sebagai pembanding dapat dilihat kecerahan air laut di Pulau Banda dan sekitarnya di mana kondisi karangnya relative masih baik berkisar anatara m dan di perairan Raha antara tampak dasar (TD)-8,5 m. Dengan demikian berdasarkan kecerahannya, kualitas perairan ini termasuk kategori baik. Kecerahan berbanding terbalik dengan kekeruhan, makin cerah suatu perairan makin rendah tingkat kekeruhannya. Kekeruhan air adalah suatu ekspresi sifat optik air yang berkaitan dengan pembiasan dan penyerapan cahaya oleh bahan-bahan yang tersuspensi dalam air, sehingga transmisi cahaya tidak berada dalam garis lurus. Oleh karena itu kekeruhan, warna, dan kecerahan air merupakan fenomena-fenomena kualitas air yang saling berkaitan (NTAC, 1968). Welch (1952), Ruttner (1963), Boyd (1979, Alabaster & Lioyd (1980) menyatakan bahwa kekeruhan air terutama disebabkan oleh bahanbahan yang tersuspensi dan koloid dalam air. Bahanbahan tersebut dapat berupa plankton, jasad-jasad renik, bahan organik halus dan partikel-partikel tanah. Perairan dengan kekeruhan tinggi, akan menghalangi penetrasi cahaya dari udara ke permukaan air, sehingga proses fotosintesis berlangsung tidak sempurna, dan akibatnya produktivitas primer perairan rendah. CRITC-COREMAP Jakarta 48

77 10. Warna Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan organik tersuspensi yang berwarna, ekstrak senyawa organik dan tumbuhtumbuhan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh air limbah baik limbah perkotaan atau domestik maupun industri. Umumnya warna air adalah warna yang disebabkan oleh zat-zat terlarut dan zat tersuspensi. Hasil pengukuran warna air laut di seluruh stasiun di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah menunjukkan bahwa warna air masih alami yakni berkisar antara hijau muda sampai biru tua. Warna hijau muda umumnya dijumpai pada lokasi yang relatif dekat dengan pantai (lebih kurang 25 m), sedangkan biru tua relatif agak jauh dari pantai (50m -100 m). Nilai ini masih sesuai dengan NAB yang ditetapkan oleh Baku Mutu Air Laut (1988) untuk kepentingan perikanan yakni sebesar < 50 Pt.Co. Baku Mutu Air laut (KMNLH, 2004) tidak memasukan warna air sebagai salah satu parameter fisika. Dengan demikian berdasarkan warna air, kualitas perairan ini masih termasuk kategori baik. 11. Bau Bau umumnya disebabkan oleh dekomposisi limbah organik secara anaerob. Penguraian senyawa organis secara anearob oleh bakteri menghasilkan gas beracun dan berbau seperti ammonia, hidrogen sulfida, dan metana. Hasil pengukuran bau yang dilakukan CRITC-COREMAP Jakarta 49

78 secara organoleptik di 22 stasiun di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah menunjukkan bahwa air laut yang berbau hanya dijumpai di 3 stasiun, yaitu St.12, St.13 dan St.14 yang semuanya berada di dekat pelabuhan Sibolga. Bau ini berasal dari gas-gas yang dihasilkan dari dekomposisi senyawa organik. Hasil ini masih sesuai dengan NAB yang ditetapkan oleh Baku Mutu Air Laut (KMNLH, 2004) untuk biota yaitu bau alami (diperbolehkan) kecuali di ketiga stasiun tadi (St.12, St.13 dan St.14) yang baunya sangat kuat dan tidak alami. Untuk wisata bahari KMNLH menetapkan NAB bau adalah tidak bau (TB), sedangkan untuk koral KMNLH tidak menetapkan NAB. Dengan demikian berdasarkan baunya, kualitas air laut di perairan ini termasuk kategori baik untuk Biota. 12. Sampah/Benda Padat Terapung (BPT) Sampah/Benda terapung umumnya berasal dari aktivitas manusia baik di darat maupun di perairan laut sendiri. Benda terapung dapat berupa botol plastik, plastik pembungkus, kaleng, karet/sandal, tanaman/kelapa. Hasil pengamatan benda padat terapung yang dilakukan di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah diperoleh bahwa sekitar 73 % stasiun (16 stasiun dari 22 stasiun pengamatan) diperoleh sampah/benda terapung, yang berupa serasah tumbuhan seperti kelapa, mangrove, semak belukar, dan juga kertas, plastik dan kayu, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak. CRITC-COREMAP Jakarta 50

79 NAB untuk sampah yang ditetapkan Baku Mutu Air Laut (KMNLH, 2004) untuk biota dan wisata bahari adalah nihil, sedangkan untuk koral Kantor MNLH tersebut tidak memberikan NAB. Dengan demikian dilihat dari hasil pengamatan benda padat terapung, kualitas perairan ini termasuk kategori sedang, mengingat sampah/benda padat terapung merupakan serasah tumbuhan yang berupa daun, ranting hanya sedikit yang berupa plastik, kaleng, kayu, dan kertas. 13. Zat Padat Tersuspensi (TSS) Padatan tersuspensi adalah zat padat atau partikel yang mempunyai diameter 1 μm yang dapat menyebabkan kekeruhan pada air, tidak larut dan tidak dapat mengendap langsung. Biasanya berupa partikelpartikel anorganik, organik, maupun campuran keduanya. Partikel-partikel tersebut berasal dari runoff, aliran sungai, buangan industri dan rumah tangga. Zat padat tersuspensi ini merupakan pencemar umum yang hampir dijumpai di semua perairan alam. Bahkan di perairan yang relatif bersih dan belum tercemar juga dijumpai zat padat tersusupensi dalam bentuk liat, debu dan pasir. Kadar TSS di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah sangat bervariasi yaitu berkisar antara ppm dengan rerata 7.05 ppm. Kadar TSS pada St.12, St.13 dan St.14 yang berada di sekitar pelabuhan Sibolga memiliki kadar TSS yang lebih tinggi yaitu sebesar 28,25; 18,14; dan 14,75 ppm. Hasil pengukuran kadar TSS di masing-masing stasiun pengamatan di sajikan pada Gambar 14. CRITC-COREMAP Jakarta 51

80 30 25 TSS (ppm) Stasiun Gambar 14. Nilai TSS (ppm) di masing-masing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Tapanuli Tengah. Dari hasil tersebut terlihat bahwa kadar TSS di perairan ini relatif rendah dan belum menimbulkan pengaruh terhadap terumbu karang. Sebagai pembanding, kadar TSS di perairan Raha yang kondisi karangnya relatif masih baik berkisar antara ppm. Kantor MNLH (2004) menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk padatan tersuspensi sebesar 20 ppm untuk kepentingan koral dan wisata bahari, sedangkan Kantor MNLH (1988) memberikan NAB untuk budidaya perikanan < 80 ppm. Menurut Sulastri & Bajoeri (1995) kandungan TSS > 25 mg/l dapat menurunkan produksi biota perairan. Dengan demikian berdasarkan kadar zat padat tersuspensi, secara umum kualitas perairan ini termasuk kategori baik. CRITC-COREMAP Jakarta 52

81 C. MANGROVE Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah mencakup pantai P. Sumatera dan beberapa pulau di depannya termasuk Pulau Mansalar. Di pantai P. Sumatera yang masuk dalam kabupaten Tapanuli Tengah, kondisi mangrove hampir menyerupai kondisi mangrove di pulaupulau kecil lainnya itu. Tapi di daerah aliran sungai Jago-jago kondisi mangrovenya berbeda dengan pulaupulau lainnya dimana di sepanjang sungainya ditumbuhi jenis Nypa fruticans yang dibarengi dengan asosiasi jenis lain seperti Xylocarpus granatum, Cerbera odollam, Sonneratia alba dan lainnya (Tabel 4). Selain itu juga ditemukan Sonneratia caseolaris yang tidak ditemukan di pulau lainnya. Jenis ini umumnya ditemukan di aliran sungai yang kondisi salinitas airnya rendah. Hasil koleksi bebas dan pencuplikan data yang di lakukan sebanyak 3 transek di P. Mansalar dan 1 transek di Sibolga berhasil dijumpai 20 jenis mangrove yang termasuk dalam 10 suku (Tabel 4). Dari pencuplikan data pohon (diameter > 10 cm), didapatkan 5 jenis mangrove (Tabel 5) yang didominasi oleh Rhizophora mucronata dengan nilai penting 170,96 % dan Rhizophora apiculata yang merupakan codominan dengan nilai penting 66,49 % (Tabel 5 dan Tabel 6). Jenis tersebut ditemukan di P. Mansalar yang merupakan teluk dengan ketebalan mangrove meter. Tumbuhan yang berbentuk pohon ini terletak sekitar 100 meter dari pantai ke arah dalam. Walaupun kerapatannya CRITC-COREMAP Jakarta 53

82 jarang tetapi kepadatannya mencapai 288 batang per hektar dengan ketinggian rata-rata mencapai 14,74 meter dan diameter batang rata-rata 16,30 cm (Tabel 7). Tabel 4. Jenis mangrove yang dijumpai (tanda +) di Kabupaten Tapanuli Tengah. No. S u k u No. J e n i s P. Mansalar Lokasi Teluk Tapian Nauli 1. Acanthaceae Acanthus illicifolius + 2. Apocynaceae Cerbera odollam + 3. Combretaceae 3. Lumnitzera littorea L. racemosa + 4. Goodeniaceae 5. Scaevola taccada 5. Lythraceae 6. Phempis acidula + 7. Thespesia populnea Malvaceae 8. Xylocarpus granatum X. moluccensis + 7. Palmae 10. Nypa fruticans Oncosperma filamentosa Polypodiaceae 12. Acrostichum aureum Rhizophoraceae 13. Bruguiera gymnorrhiza Ceriops decandra C. tagal Rhizophora apiculata R. mucronata R. stylosa Combretaceae 19. Sonneratia alba S. caseolaris + Tabel 5. Daftar Nilai Penting ( % ) jenis pohon mangrove di Kabupaten Tapanuli Tengah. No. Jenis Nilai Penting 1. Rhizophora apiculata 66,49 2. R. mucronata 170,96 3. Lumnitzera racemosa 29,17 4. Xylocarpus granatum 16,69 5. Sonneratia alba 16,69 CRITC-COREMAP Jakarta 54

83 Tabel 6. Daftar kerapatan nisbi (KN), frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) jenis pohon di Kabupaten Tapanuli Tengah. No. Jenis KN (%) FN (%) DN (%) NP (%) 1. Rhizophora mucronata 60,86 42,87 67,23 170,96 2. R. apiculata 21,74 28,57 16,18 66,49 3. Lumnitzera racemosa 8,70 14,28 6,19 29,17 4. Xylocarpus granatum 4,35 7,14 5,20 16,69 5. Sonneratia alba 4,35 7,14 5,20 16,69 Tabel 7. Gambaran mengenai struktur mangrove di Kabupaten Tapanuli Tengah. Atribut vegetasi Struktur Keterangan Pohon : Dominan Codominan Anak pohon : Dominan Codominan Kepadatan : Pohon (batang/ha) Anak pohon (batang/ha) Rata-rata tinggi (m): Pohon Anak pohon Rm (NP: 170,96 %) Ra (NP: 66,49 %) Rm (NP: 103,40 %) Ra (NP: 95,23 %) ,74 5,35 Banyaknya jenis 19 Rata 2 diameter (cm): Pohon Anak pohon 16,30 4,54 NP = Nilai Penting Rm = Rhizophora mucronata Ra = Rhizophora apiculata CRITC-COREMAP Jakarta 55

84 Untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm) di Pulau Mansalar di dominasi jenis Rhizophora mucronata dengan nilai penting 128,97 % sedang codominan diduduki jenis Rhizophora apiculata dengan nilai penting 104,86 %. Ke empat jenis lainnya mempunyai nilai penting kurang dari 50 % (Tabel 8). Di pantai P. Sumatera sendiri mangrove yang berupa anak pohon di dominasi jenis Rhizophora stylosa dengan nilai penting 148,67 % dan Rhizophora apiculata dengan nilai penting 73,04 % (Tabel 8). Secara keseluruhan untuk Kabupaten Tapanuli Tengah jenis yang mempunyai kriteria anak pohon di dominasi Rhizophora mucronata (NP. 103,46 %) dan Rhizophora apiculata sebagai codominan dengan nilai penting 95,23 % (Tabel 9). Ke tiga jenis lain yaitu Lumnitzera racemosa, Xylocarpus granatum dan Ceriops tagal mempunyai nilai penting kurang dari 50 %. Kepadatan anak pohon mencapai 2995 batang per hektar yang mempunyai rata-rata ketinggian 5,35 m dengan diameter rata-rata mencapai 4,54 cm. Dibandingkan dengan hasil yang diperoleh di Nias dan Mentawai yang posisinya sama-sama terletak di bagian barat P. Sumatera, kepadatan kategori pohon mangrove di Tapanuli Tengah (288 batang/ha) lebih sedikit dibandingkan di Mentawai (473 batang/ha) tetapi masih lebih banyak dibandingkan di Nias (160 batang/ha). Sedangkan untuk kategori anak pohon, kepadatan di Tapanuli Tengah (2995 batang/ha) CRITC-COREMAP Jakarta 56

85 merupakan yang tertinggi dibandingkan di Mentawai (2905 batang/ha) dan Nias (2696 batang/ha). Tabel 8. Daftar Nilai Penting ( % ) jenis anak pohon di Kabupaten Tapanuli Tengah. No. Jenis P. Mansalar Pantai Sibolga 1. Rhizophora apiculata 104,86 73,04 2. R. mucronata 128,97 42,00 3. R. stylosa 34,14 148,67 4. Ceriops tagal 10,08 18,72 5. Lumnitzera racemosa 10,08 17,37 6. Xylocarpus granatum 11,37 - Tabel 9. Daftar kerapatan nisbi (KN), frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) jenis anak pohon di Kabupaten Tapanuli Tengah. No. Jenis KN (%) FN (%) DN (%) NP (%) 1. Rhizophora mucronata 33,33 29,63 40,50 103,46 2. R. apiculata 30,86 33,33 31,04 95,23 3. R. stylosa 29,64 18,52 21,52 69,68 4. Lumnitzera racemosa 2,47 7,41 2,36 12,24 5. Ceriops tagal 2,47 7,41 1,66 11,54 6. Xylocarpus granatum 1,23 3,70 2,92 7,85 CRITC-COREMAP Jakarta 57

86 D. KARANG Hampir semua lokasi penelitian di Tapanuli Tengah memiliki pantai yang sempit, terdiri dari pasir putih yang diselingi bongkahan batu cadas (batu gunung). Ke arah darat ditumbuhi oleh tumbuhan pantai yang terdiri dari semak belukar, pandan laut, mangrove ataupun pohon kelapa. Pada beberapa lokasi, tak jauh dari pantai, berupa dataran tinggi yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang berukuran besar. Rataan terumbu landai dengan pertumbuhan karang yang jarang dan mengelompok (patches). Dasar perairan berupa pasir dan pecahan karang, yang dibeberapa tempat juga ditumbuhi oleh lamun dari jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Karang dari marga Fungia, Acropora dan karang dengan bentuk pertumbuhan masif dan submasif seperti Porites dan Pocillopora umum dijumpai hingga kedalaman 7 m. Biota lain seperti teripang (Holothuria sp.) dan moluska (Tridacna squamosa) serta Gorgonian sedikit sekali dijumpai. Bulu babi (Diadema stosum) terlihat hidup secara berkelompok diantara karang. Pada kedalaman lebih dari 7 m karang sudah sangat jarang dijumpai, dimana pasir yang bercampur Lumpur terlihat lebih mendominasi. Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 140 jenis karang batu yang termasuk dalam 16 suku (Lampiran 6). Dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan CRITC-LIPI pada saat survey yang sama di perairan Mentawai (yang meliputi P. Sipora bagian utara CRITC-COREMAP Jakarta 58

87 dan P. Siberut bagian selatan) dan P. Nias bagian utara, jumlah jenis karang batu yang dijumpai di perairan Tapanuli Tengah ini lebih banyak sedikit dibandingkan dengan di P. Nias bagian utara (136 jenis karang batu yang termasuk dalam 18 suku), tetapi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan di Mentawai (166 jenis dalam 19 suku). Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 51 stasiun dijumpai persentase tutupan karang hidup antara 0,00%-79,70%, dengan rerata persentase tutupan karang hidup 26,98%. Pada stasiun TPTR03 dan TPTR08, pada saat pengamatan dilakukan, tidak dijumpai karang hidup sama sekali. Secara umum, berdasarkan hasil RRI yang dilakukan di tiga lokasi berbeda di Tapanuli Tengah terlihat bahwa persentase tutupan karang hidup di perairan desa Sitardas yang berada di Teluk Tapian Nauli bagian selatan merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 52,02% (n=16 stasiun). Persentase tutupan karang hidup di P. Mansalar sebesar 18,79 % (n= 25 stasiun), sedangkan di Sibolga dan sekitarnya sebesar 7,42 % (n= 10 stasiun). Rerata persentase tutupan dari seluruh stasiun RRI untuk masing-masing kategori biota dan substrat yaitu Karang hidup (terdiri dari Acropora, Non Acropora), karang mati (dead scleractinia), karang mati yang ditumbuhi alga (dead scleractinia with algae), karang lunak (soft coral), sponge, fleshy seaweed, biota lain (other biota), pecahan karang (rubble), pasir (sand) dan lumpur (silt) ditampilkan seperti pada Gambar 15. CRITC-COREMAP Jakarta 59

88 Acropora Non Acropora Dead Coral Dead Coral with Algae Soft Coral Sponge Fleshy seaweed Other Biota Rubble Sand Silt Rock Gambar 15. Rerata persentase tutupan dari seluruh stasiun RRI (n=51 stasiun) di Tapanuli Tengah untuk masing-masing kategori biota dan substrat. Dari 51 stasiun RRI yang dilakukan di Kabupaten Tapanuli Tengah, hanya 2 stasiun dikategorikan sangat baik (persentase tutupan karang hidup 75% -100%). Sedangkan 8 stasiun dikategorikan baik (persentase tutupan karang hidup 50% -74%), 10 stasiun dalam kondisi cukup (persentase tutupan karang hidup 25% - 49%), dan 31 stasiun dalam kondisi kurang (persentase tutupan karang hidup <25 %). Peta kondisi terumbu karang berdasarkan dari persentase tutupan karang hidupnya di masing-masing stasiun RRI ditampilkan pada Gambar 16.a., Gambar 16.b. dan Gambar 16.c. Sedangkan hasil lengkap persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat di masing-masing stasiun RRI dapat dilihat pada Lampiran 7. CRITC-COREMAP Jakarta 60

89 Gambar 16.a. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun RRI di perairan sekitar Pelabuhan Sibolga. CRITC-COREMAP Jakarta 61

90 Gambar 16.b. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masingmasing stasiun RRI di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan. CRITC-COREMAP Jakarta 62

91 Gambar 16.c. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun RRI di perairan P. Mansalar. CRITC-COREMAP Jakarta 63

92 Pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 13 stasiun transek permanen menunjukkan bahwa terumbu karang yang masuk dalam kategori baik sebanyak 6 stasiun, kategori cukup sebanyak 5 stasiun, dan kategori kurang sebanyak 2 stasiun. Hasil lengkap persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya disajikan dalam Gambar 17 dan Lampiran 8. Sedangkan peta persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen yang dilakukan dengan metode LIT ditampilkan pada Gambar 18.a., Gambar 18.b., dan Gambar 18.c. 100% Rock 80% Silt Sand Rubble 60% Other Biota Fleshy Seaweed 40% Sponge Soft Coral Dead Coral wih algae 20% Dead Coral Non Acropora 0% Acropora Gambar 17. Histogram persentase tutupan kategori biota dan substrat di masing-masing stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah dengan metode LIT. CRITC-COREMAP Jakarta 64

93 Gambar 18.a. Peta persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya di masingmasing stasiun transek permanen di perairan sekitar Sibolga dengan metode LIT. CRITC-COREMAP Jakarta 65

94 Gambar 18.b. Peta persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk tapian Nauli bagian selatan, dengan metode LIT. CRITC-COREMAP Jakarta 66

95 Gambar 18.c. Peta persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya di masingmasing stasiun transek permanen di perairan P. Mansalar dengan metode LIT. CRITC-COREMAP Jakarta 67

96 Diantara 13 stasiun transek permanen, pada stasiunstasiun yang berada di sekitar Sibolga (01, 02 dan 03) memiliki nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon yang lebih rendah (Tabel 10) dibandingkan dengan di stasiun lainnya. Hal yang sama juga dijumpai pada nilai indeks kemerataan Pielounya (Tabel 10), dimana nilainya lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga stasiun tersebut keanekaragaman jenis karang batunya sangat rendah dan ada jenis yang terlihat lebih dominan dibandingkan jenis lainnya. Dari data lapangan menunjukkan bahwa jenis Porites lutea terlihat lebih mendominasi perairan sekitar Sibolga ini. Tabel 10. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H ) yang dihitung menggunakan ln (=log e), dan Indeks kemerataan Pielou (J ) untuk karang batu di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode LIT. Stasiun S N H J ,073 0, ,360 0, ,209 0, ,517 0, ,951 0, ,050 0, ,592 0, ,333 0, ,609 0, ,929 0, ,197 0, ,524 0, ,939 0,856 CRITC-COREMAP Jakarta 68

97 Nilai kemiripan Bray-Curtis (Bray-Curtis Similarity) yang dihitung berdasarkan jumlah kehadiran (number of occurrence) dari masing-masing jenis karang batu di setiap stasiun transek permanen ditampilkan pada Tabel 11. Kemudian dengan menggunakan metode rerata kelompok (group average), dilakukan analisa pengelompokan (cluster analysis) dengan bantuan program PRIMER diperoleh dendrogram seperti pada Gambar 19. Dengan tingkat kemiripan 50 %, terlihat bahwa hanya stasiun 01 dan 03, serta 10 dan 13 yang mengelompok dalam satu kelompok. Sedangkan Stasiun 09 terlihat paling berbeda dengan stasiun-stasiun lainnya. Hasil analisa MDS (Multi Dimensial Scaling) dengan nilai Stress=0,12 memperkuat pengelompokkan yang terjadi dari hasil analisis pengelompokan seperti yang diuraikan diatas (Gambar 20). Pada kedua stasiun 01 dan 03, Porites lutea tampak umum dijumpai. CRITC-COREMAP Jakarta 69

98 Tabel 11. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu pada stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah. Stasiun , ,000 39, ,987 25,899 24, ,168 26,000 25,225 36, ,598 14,815 13,445 21,469 24, ,103 14,599 16,216 30,097 25,150 27, ,500 21,505 13,462 29,630 27,642 38,168 27, ,897 14,706 7,595 16,058 10,204 15,094 7,407 21, ,896 27,826 25,397 22,826 19,310 19,608 25,275 18,841 12, ,298 21,053 24,528 20,732 12,800 15,038 28,395 18,644 4,301 48, ,622 17,391 7,767 16,149 3,279 20,000 27,673 15,652 4,444 32,117 34, ,388 36,522 28,571 29,348 23,448 19,608 25,275 26,087 10,619 60,000 44,286 24,818 - CRITC-COREMAP Jakarta 70

99 Similarity 13 Gambar 19. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah kehadiran jenis karang batu. 12 Stress: Gambar 20. MDS untuk stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah kehadiran jenis karang batu. CRITC-COREMAP Jakarta 71

100 Analisa variansi untuk menyelidiki hubungan antara nilai indeks keanekaragaman Shanon (H ) dan persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun transek permanen menunjukkan adanya hubungan antara kedua variabel tersebut (p>0,01) (Tabel 12). Analisa regresi antara keduanya menunjukkan hubungan linear positif dengan dengan koefisien korelasi (r)=0,5221 (Gambar 21). Tabel 12. Analisa variansi hubungan antara nilai H dan persentase tutupan karang hidup. Sumber variasi DF SS MS F p Regressi Sesatan Total H' = 0,0157*(% tutupan karang hidup) + 2,1848 r 2 = 0,2725 ; r = 0, H' Tutupan karang hidup (%) Gambar 21. Analisa regresi antara nilai H dan persentase tutupan karang hidup. CRITC-COREMAP Jakarta 72

101 E. MEGA BENTHOS Seperti yang diuraikan dalam metode penarikan sampel dan analisa data, metode Reef check (yang dimodifikasi) yang dilakukan pada lokasi transek permanen dalam penelitian ini mencatat hanya beberapa dari jenis mega benthos yang bernilai ekonomis penting ataupun yang bisa dijadikan indikator dalam menilai kondisi kesehatan terumbu karang. Hasil reef check selengkapnya di masing-masing stasiun transek permanen bisa dilihat pada Gambar 22.a., Gambar 22.b., Gambar 22.c., dan Lampiran 9. Beberapa biota mungkin tidak dijumpai pada saat pengamatan berlangsung karena luas pengamatan yang dibatasi (luasan bidang pengamatan = 140 m 2 /transek), sehingga tidak menutup kemungkinan akan dijumpai pada lokasi di luar transek. Dari hasil Reef check tersebut diperoleh bahwa kelimpahan Acanthaster planci, yang merupakan hewan pemakan polip karang ditemukan dalam jumlah sedikit, yaitu hanya 16 individu/ha. Karang jamur (CMR=Coral Mushrom) dijumpai dalam jumlah yang berlimpah yaitu individu/ha. Tingginya kelimpahan CMR terutama dijumpai pada Stasiun 07 yang lokasinya berada di wilayah desa Sitardas dan dekat dengan hutan mangrove serta muara sungai. Bulu babi (Diadema setosum) dijumpai dalam jumlah yang banyak yaitu 6692 individu/ha. Seperti halnya CRITC-COREMAP Jakarta 73

102 pada CMR, pada Stasiun 07 kelimpahan bulu babi juga lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya. Sedangkan Kima (Giant clam) dijumpai dalam jumlah yang tidak banyak, dimana untuk yang berukuran besar (panjang >20 cm) kelimpahannya sebesar 170 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 66 individu/ha. Demikian pula halnya dengan tripang (holothurian) dimana yang berukuran besar (diameter >20) kelimpahannya hanya sebesar 11 individu/ha, sedangkan yang berukuran kecil tidak dijumpai sama sekali selama pengamatan dilakukan. Hasil analisa cluster dan MDS berdasarkan kelimpahan mega benthos yang diamati dengan menggunakan program PRIMER dimana pengukurannya memakai nilai kemiripan Bray-Curtis (Bray-Curtis Similarity) (Tabel 13) dengan metode rerata kelompok (group average) diperoleh hasil seperti pada Gambar 23 dan Gambar 24. Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa stasiun 04, 08, 11, 12 dan 13 mengelompok dalam satu kelompok. Pada kelompok ini, jumlah individu biota CMR dan Diadema setosum-nya berlimpah pada setiap transeknya. Pada Stasiun 07, biota CMR dan Diadema setosum juga dijumpai melimpah, tetapi jumlahnya jauh melebihi stasiun-stasiun lainnya sehingga tidak mengelompok dalam kelompok tadi. Sedangkan pengelompokan Stasiun 03 dan 09 disebabkan karena jumlah individu CMR dan Diadema setosum-nya yang tidak begitu banyak dibanding dengan stasiun-stasiun yang disebutkan tadi. Selain itu, pada kedua stasiun ini komposisi Diadema setosumnya terlihat lebih banyak dibandingkan dengan CMR. CRITC-COREMAP Jakarta 74

103 Gambar 22.a. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang di masing-masing stasiun transek permanen di perairan sekitar Pelabuhan Sibolga. CRITC-COREMAP Jakarta 75

104 Gambar 22.b. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang di masing-masing stasiun transek permanen di perairan sekitar desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan. CRITC-COREMAP Jakarta 76

105 Gambar 22.c. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang di masing-masing stasiun transek permanen di perairan P. Mansalar. CRITC-COREMAP Jakarta 77

106 Tabel 13. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah individu mega benthos pada stasiun transek permanen di Tapanuli Tengah. Stasiun , ,513 24, ,828 4,051 26, ,647 36,364 30,556 5, ,692 2,756 2,867 54,791 1, ,363 0,952 6,701 37,379 1,304 45, ,885 2,812 18,740 81,224 4,174 51,838 49, ,471 28,571 83,019 20,690 41,935 3,650 5,230 15, ,260 6,838 40,845 73,409 9,167 26,722 23,802 57,433 32, ,327 6,867 15,548 70,588 10,042 56,000 22,866 56,489 17,582 49, ,050 4,145 26,606 86,013 5,612 66,287 36,860 76,677 21,127 60,596 71, ,736 7,048 41,877 68,647 11,159 44,228 22,093 54,872 35,206 66,517 81,532 69,347 - CRITC-COREMAP Jakarta 78

107 Similarity Gambar 23. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah individu mega benthos. Stress: Gambar 24. MDS untuk stasiun transek permanen di Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah individu mega benthos. CRITC-COREMAP Jakarta 79

108 F. IKAN KARANG Dari hasil RRI yang dilakukan untuk ikan karang, jenis Lutjanus decussatus merupakan jenis yang paling sering dijumpai selama pengamatan, dimana jenis ini berhasil dijumpai di 29 stasiun dari 51 stasiun RRI (Frekuensi relatif kehadiran berdasarkan jumlah stasiun yang diamati = 56,86%). Kemudian diikuti oleh Pomacentrus moluccensis dengan frekuensi relatif kehadiran 54,90%. Sedangkan jenis-jenis ikan karang lainnya dijumpai kurang dari separuh stasiun RRI yang diamati. Dua belas jenis ikan karang yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar (berdasarkan jumlah stasiun yang diamati) bisa dilihat pada Tabel 14. Dari seluruh stasiun RRI yang diamati, Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun RRI ditampilkan pada Gambar 25.a., Gambar 25.b. dan Gambar 25.c. Underwater Fish Visual Census (UVC) yang dilakukan di 9 Stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 179 jenis ikan karang yang termasuk dalam 31 suku, dengan nilai kelimpahan ikan karang sebesar individu per hektarnya. Jenis Neopomacentrus cyanomos merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya, yaitu sebesar 4571 individu/ha-nya, kemudian diikuti oleh Neopomacentrus azysron (2934 individu/ha) dan Archamia fucata (1495 individu/ha). Sepuluh besar jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi ditampilkan dalam Tabel 15. CRITC-COREMAP Jakarta 80

109 Tabel 14. Dua belas jenis ikan karang yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar (berdasarkan jumlah stasiun yang diamati). No. Jenis Frekuensi relatif kehadiran (%) 1. Lutjanus decussatus 56,86 2. Pomacentrus moluccensis 54,90 3. Pomacentrus bankanensis 49,02 4. Zanclus cornutus 49,02 5. Cheilinus fasciatus 41,18 6. Scarus dimidiatus 41,18 7. Scolopsis ciliatus 41,18 8. Scolopsis margaritifer 39,22 9. Chaetodon baronessa 35, Chaetodontoplus mesoleucus 35, Scarus bleekeri 35, Thalassoma lunare 35,29 Tabel 15. Sepuluh besar jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi. No. Jenis Kelimpahan (jml individu/ha) 1. Neopomacentrus cyanomos Neopomacentrus azysron Archamia fucata Pomacentrus moluccensis Apogon compressus Amblyglyphidodon leucogaster Chromis viridis Pempheris vanicolensis Apogon quenquelineata Pomacentrus bankanensis 490 CRITC-COREMAP Jakarta 81

110 Gambar 25.a. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di sekitar perairan Sibolga dengan metode RRI. CRITC-COREMAP Jakarta 82

111 Gambar 25.b. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di sekitar perairan desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli bagian selatan dengan metode RRI. CRITC-COREMAP Jakarta 83

112 Gambar 25.c. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di perairan P. Mansalar dengan metode RRI. CRITC-COREMAP Jakarta 84

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NIAS

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NIAS Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NIAS (2004) LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI (2004) LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI

STUDI BASELINE EKOLOGI Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN KEPULAUAN RIAU (2004) LAPORAN COREMAP STUDI BASELINE

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NATUNA

STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NATUNA Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NATUNA (2004) STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NATUNA (2004) Disusun

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM

STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM (2004) STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM (2004) Disusun oleh CRITC- Jakarta

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian ini diawali dengan persiapan yang mencakup penentuan aspek yang akan diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran berbagai informasi yang terkait

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Pulau Tiga Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau. Lokasi ini sengaja dipilih dengan pertimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN TAPANULI TENGAH (Hajoran) TAHUN Koordinator Penelitian : Anna Manuputty Disusun oleh :

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI

STUDI BASELINE EKOLOGI Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN SELAYAR (2006) STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN SELAYAR (2006)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan di wilayah perairan Pulau Bira Besar TNKpS. Pulau Bira Besar terbagi menjadi 2 Zona, yaitu Zona Inti III pada bagian utara dan Zona

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2008 di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 8). Kepulauan Seribu merupakan gugus pulau-pulau yang terletak

Lebih terperinci

Sampul Depan Disain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Disain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Disain Cover : Siti Balkis MONITORING TERUMBU KARANG KABUPATEN MENTAWAI (SAMUKOP, BOSUA DAN SIKAKAP) TAHUN 2011 Koordinator Tim Penelitian Anna E.W. Manuputty Disusun oleh: Suyarso Hendrik

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis STUDI BASELINE EKOLOGI PULAU KARAS, BATAM TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KOTA BATAM TAHUN 2008 Koordinator Penelitian : ANNA MANUPUTTY Disusun oleh : GIYANTO JOHAN PICASOUW

Lebih terperinci

Keterangan sampul depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan sampul depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan sampul depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG (P. WAIGEO SELATAN) KABUPATEN RAJAAMPAT Tahun 2009 Koordinator Tim Penelitian Anna E.W.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

Sampul Depan. Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan. Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN SELAYAR TAHUN 2010 Koordinatoor Tim Penelitian Anna E.W. Manuputty Disusun oleh : Hendrik A.W. Cappenberg Jemmy Souhoka

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KOTA BATAM (PULAU ABANG) TAHUN 2010 Koordinator Penelitian : Anna E.W. Manuputty Disusun oleh :

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN NATUNA (BUNGURAN BARAT) TAHUN 2010 Koordinator Tim Penelitian Anna Manuputty Disusun Oleh:

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air 7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air Berdasarkan uraian pada Bab 4 tentang kajian perbandingan antara metode Transek Sabuk (BT = Belt transect), Transek

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN NIAS TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI (2006) KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP) Disusun oleh COREMAP-LIPI Jakarta

STUDI BASELINE EKOLOGI (2006) KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP) Disusun oleh COREMAP-LIPI Jakarta STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP) (2006) Disusun oleh COREMAP-LIPI Jakarta STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP) TAHUN 2006 DISUSUN OLEH : ANNA E.W.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis STUDI BASELINE EKOLOGI PULAU BINTAN KABUPATEN KEPULAUAN RIAU TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI BASELINE

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG Oleh : Amrullah Saleh, S.Si I. PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu: BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2012. Penelitian ini dilakukan di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian. 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Bahodopi, Teluk Tolo Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2007 dan Juni 2008. Stasiun

Lebih terperinci

6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR

6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR 6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR 6.1 Pendahuluan Tahapan selanjutnya dari penggunaan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) adalah menemukan

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ M. IRSYAD DIRAQ P. 3509100033 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 5 3 '15 " 5 3 '00 " 5 2 '45 " 5 2 '30 " BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

STUDI BASELINE EKOLOGI

STUDI BASELINE EKOLOGI STUDI BASELINE EKOLOGI PERAIRAN MAUMERE KAB. SIKKA (2006) Disusun oleh COREMAP-LIPI Jakarta STUDI BASELINE EKOLOGI PERAIRAN MAUMERE KAB. SIKKA TAHUN 2006 DISUSUN OLEH : ANNA E.W. MANUPUTTY WINARDI FREDY

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI Muhammad Yunan Fahmi 1, Andik Dwi Muttaqin 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis

Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis MONITORING Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG (P. BATANGPELE) KABUPATEN RAJAAMPAT Tahun 2009 Koordinator penelitian Anna

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

Sampul Depan Sumber Foto : Anna E.W. Manuputty Desain Cover : Siti Balkis

Sampul Depan Sumber Foto : Anna E.W. Manuputty Desain Cover : Siti Balkis Sampul Depan Sumber Foto : Anna E.W. Manuputty Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KOTA BATAM, PULAU KARAS TAHUN 2010 Koordinator Penelitian : Anna Manuputty Disusun oleh : Rikoh

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

KABUPATEN BUTON - SULAWESI TENGGARA CRITC COREMAP LIPI

KABUPATEN BUTON - SULAWESI TENGGARA CRITC COREMAP LIPI STUDI BASELINE EKOLOGI 2006 KABUPATEN BUTON - SULAWESI TENGGARA CRITC COREMAP LIPI 1 STUDY BASELINE EKOLOGI KABUPATEN BUTON SULAWESI TENGGARA TAHUN 2006 DISUSUN OLEH: NURUL DHEWANI SASANTI R.SUHARTI IMAN

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN MENTAWAI TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI MONITORING

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 29 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Pasi, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis

Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis Keterangan sampul depan : Sumber foto : Agus Budiyanto Desain cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN NIAS (LAHEWA DAN TUHAEMBERUA) TAHUN 2010 Koordinator Tim Penelitian : Anna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di perairan pantai Pulau Tujuh Seram Utara Barat Kabupaten Maluku Tengah dengan tiga stasiun sampling yang ditempatkan sejajar

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2013. Lokasi Penelitian adalah Teluk Banten, Banten.Teluk Banten terletak sekitar 175

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN NIAS TAHUN 2007 Disusun oleh : TIM CRITC COREMAP II LIPI TIM STUDI MONITORING EKOLOGI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November 2014 di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. B. Alat dan Bahan 1. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis

Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG KABUPATEN NIAS SELATAN TAHUN 2007 DISUSUN OLEH : TIM CRITC COREMAP II - LIPI TIM STUDI MONITORING

Lebih terperinci

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc Oleh Satria Yudha Asmara Perdana 1105 100 047 Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Bawean memiliki atraksi pariwisata pantai yang cukup menawan, dan sumber

Lebih terperinci