Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b)."

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri dari sulfur dioksida (SO 2 ), gas hidrogen sulfida (H 2 S), nitrogen dioksida (NO 2 ), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau Particulate Matter). Gas-gas dan materi vulkanik yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi terbawa angin hingga mencemari Kota Yogyakarta. Jarak antara puncak Gunung Merapi dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 km. Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara di Kota Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik memberikan dampak yang buruk bagi mahluk hidup. Salah satu dampak buruk dari gas dan materi vulkanik Merapi yaitu terjadinya perubahan warna daun pada pepohonan di sekitar Kota Yogyakarta. Selain itu, debu vulkanik dapat mengotori permukaan daun pada pepohonan. Pohon yang paling banyak ditanam di kota ini adalah angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.), sehingga ditentukanlah pohon angsana dan beringin pada Kota Yogyakarta (Lokasi 1) sebagai pohon yang relatif tercemar dan pada Kota Solo (Lokasi 2) sebagai pohon kontrol (Gambar 16 dan Gambar 17). (a) Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). (b)

2 31 (a) Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). (b) 5.1 Kualitas Udara Data kualitas udara antara Kota Yogyakarta dan Solo dilakukan perbandingan baik setelah maupun sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi. Data kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup di kedua lokasi. Berdasarkan data kualitas udara setelah letusan Gunung Merapi, Balai Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa parameter TSP (debu) dan NO₂ konsentrasinya lebih tinggi dibanding SO₂. Hasil perbandingan parameter kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi tahun 2010 Hasil Yogyakarta Solo Nilai Parameter Sebelum Setelah Sebelum Setelah Baku Letusan Letusan Letusan Letusan Mutu Merapi Merapi Merapi Merapi SO₂ (µg/nm³) 535,60 51,2 9,28 15, NO₂ (µg/nm³) 57,59 533,6 24,808 81, TSP(debu) (µg/nm³) * * 230 Keterangan : * = Nilai TSP (debu) < 10 µg/nm³ Sumber : BLH Yogyakarta (2010) dan BLH Solo (2010) Data kualitas udara Kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Lampiran 5). Hal tersebut dikarenakan, data hasil pemantauan kualitas udara merupakan lokasi terdekat dengan lokasi

3 32 pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik <10µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM 10. Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri dari TSP (debu) dan NO₂. Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan Gunung Merapi terukur 172 µg/nm³ (Lampiran 6 15), sedangkan kadar debu setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µg/nm³. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar NO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 533,6 µg/nm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µg/nm³. Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 900 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami penurunan dibandingkan kadar SO₂ sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini mengeluarkan gas SO₂ secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung Merapi, kadar gas SO₂ yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh karena itu, kadar SO₂ pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi lebih rendah dibanding sebelum letusan.

4 33 Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah letusan gunung Merapi, terukur <10 µg/nm³ (Lampiran 16 23). Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/nm³ Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi Jawa Tengah. Menurut BLH Kota Solo (2010), kadar debu di Kota Solo dari tahun ke tahun selalu rendah sehingga nilai debu tidak dicantumkan dalam laporan. Selain itu, kualitas udara Kota Solo tidak dipengaruhi oleh letusan Gunung Merapi. Kualitas udara pada Tabel 1 menunjukkan bahwa polutan debu yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto (2004) menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi (pembersihan) debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi (pembersihan) dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi berkisar 5,384 Km/jam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi kecepatan angin meningkat hingga 18 Km/jam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan angin meningkat (Scorer 1968). Debu letusan Gunung Merapi ini mengakibatkan suhu udara di Kota Yogyakarta menjadi meningkat. Suhu udara sebelum terjadi letusan yaitu 26,7ºC dan setelah terjadi letusan pada tahun 2010 yaitu 27,3 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kondisi Kota Yogyakarta menjadi lebih panas akibat kadar pencemaran debu vulkanik yang berterbangan di udara.

5 34 Sastrawijaya (2000) menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum letusan merapi adalah berkisar 28,6 C dan setelah letusan merapi adalah berkisar 29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi. Tingginya konsentrasi NO₂ dan debu di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun (Bell & Treshow 2002). Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Riikonen et al. 2010). Mudd dan Kozlowzki (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandung SiO 2 yang bersifat tajam (Sinuaji 2011). 5.2 Stuktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Hasil pengamatan sayatan paradermal daun angsana baik pada Kota Yogyakarta maupun Solo, hubungan antara stomata dan sel epidermis dapat diklasifikasikan bahwa tipe susunan stomata angsana yaitu tipe stomata anomositik atau ranunculaceous. Tipe stomata anomositik atau ranunculaceous adalah tipe stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial.

6 35 Tanaman angsana memiliki trikoma tidak berkelenjar dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat (Gambar 18). Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Tidak Berkelenjar Gambar 18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm). Hasil pengamatan sayatan paradermal tanaman angsana tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon anatomi daun. Pengamatan sayatan paradermal angsana dijumpai beberapa parameter yang menunjukkan berbeda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo. Parameter pengamatan yang berbeda nyata tersebut terdiri dari kerapatan stomata, indeks stomata, dan panjang stomata (Tabel 2). Stomata pada jenis tanaman ini dijumpai hanya pada bagian abaksial (bawah) daun. Tanaman angsana memiliki jenis trikoma tidak berkelenjar yang menyerupai rambut-rambut kasar.

7 36 Tabel 2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2 Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Kerapatan stomata abaksial (jumlah/mm²) 133,33 190,26 0,001 BN Indeks stomata 7,76 10,51 0,002 BN Panjang stomata (µm) 26,65 24,15 0,003 BN Lebar stomata (µm) 18,17 18,43 0,603 TBN Kerapatan trikoma tidak berkelenjar (jumlah/mm²) 6,00 6,26 0,883 TBN Panjang trikoma tidak berkelenjar (µm) 140,56 148,33 0,591 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Kerapatan stomata pada tanaman angsana di Kota Yogyakarta yang terpolusi bahan polutan Gunung Merapi (133,33 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan stomata pada tanaman kontrol atau tanaman di Kota Solo (190,26 jumlah/mm²) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,001 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpapar polusi udara, secara anatomi memberikan respon dengan cara mengurangi jumlah stomata. Menurut Dickinson (2000), stomata yang berfungsi sebagai tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Frekuensi stomata diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensivitas tanaman dan ketahanan daun. Kerapatan stomata ini juga diikuti dengan indeks stomata yang rendah juga. Indeks stomata pada Kota Yogyakarta (7,76) lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo (10,51) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,002. Pada Kota Yogyakarta, kerapatan stomata yang rendah diikuti dengan ukuran panjang stomata yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh Willmer (1983) yang menyatakan bahwa semakin kecil ukuran stomata maka jumlah frekuensi stomata akan meningkat. Ukuran panjang stomata daun angsana pada Kota Yogyakarta (26,65 µm) lebih tinggi dibandingkan ukuran panjang stomata di Kota Solo atau kontrol (24,14 µm) dan berbeda nyata secara uji-t dengan nilai signifikasi 0,003. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini merupakan indikasi adaptasi tanaman terhadap pencemar udara. Menurut Muud dan Kozlowski (1975), tanaman yang tumbuh di lingkungan terpolusi cenderung akan mempertahankan dirinya dengan meningkatkan ukuran stomata. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini

8 37 sangat membantu dalam penyerapan CO₂ untuk fotosintesis. Selain itu, karakteristik stomata yang meliputi ukuran, kerapatan, dan indeks stomata banyak digunakan sebagai bioindikator dan biomonitoring udara (Balasooriya et al. 2008). Kerapatan dan indeks stomata yang menurun serta ukuran panjang stomata yang meningkat pada jenis daun angsana di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat polusi gas dan materi vulkanik. Selain itu, menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran stomata diduga merupakan modifikasi tanaman angsana untuk mengoptimumkan penangkapan gas CO₂ yang digunakan untuk proses fotosintesis. Respon struktur anatomi yang meliputi menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran panjang stomata juga terjadi pada Nicotiana tabacum karena adanya cekaman lingkungan dari gas polutan yang dilaporkan oleh Pedroso & Alves (2008). Hasil yang berbeda disampaikan oleh Gostin (2009), salah satu respon Trifolium montanum dan Trifolium repens terhadap cekaman gas polutan adalah dengan meningkatkan kerapatan dan indeks stomata. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap polutan udara, baik gas maupun partikel. Tanaman angsana memiliki trikoma dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat. Trikoma pada tanaman ini merupakan trikoma tidak berkelenjar. Kerapatan trikoma daun angsana pada Kota Yogyakarta (6,00 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan trikoma di Kota Solo (6,26 jumlah/mm²) namun tidak berbeda nyata secara uji-t. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpolusi gas dan materi vulkanik secara anatomi tidak mempengaruhi kerapatan trikoma. Kondisi perilaku ini tidak lazim karena pada umumnya daun yang memiliki trikoma apabila tercemar gas polutan akan meningkatkan jumlah trikoma tersebut guna mempertahankan dirinya (Azmat et al. 2009). Esau (1977) menjelaskan bahwa peran dari trikoma pada tanaman adalah jelas, yaitu pada beberapa tanaman trikoma dapat mencegah kehilangan air. Selain itu, fungsi trikoma tidak berkelenjar diantarnya adalah mencegah kehilangan air, pertahanan fisik terhadap serangga, dan sebagai biomonitoring lingkungan (Azmat et al 2009).

9 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal Daun angsana bertipe dorsiventral atau bifasial. Dorsiventral atau bifasial adalah daun yang memiliki jaringan palisade di satu sisi daun dan jaringan bunga karang di sisi lainnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini hanya memiliki satu lapis saja, baik tanaman angsana di Kota Yogyakarta maupun di Kota Solo. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun angsana, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Tebal daun angsana pada Kota Yogyakarta lebih besar dibandingkan tebal daun pada Kota Solo yang dapat dilihat pada Gambar 19. Tebalnya daun pada Kota Yogyakarta dipengaruhi peningkatan tebal jaringan palisade. Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 4 = Epidermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 5 = Palisade 3 = Epidermis Adaksial 6 = Bunga Karang Gambar 19 Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm). Hasil pengamatan sayatan transversal daun tanaman angsana yang menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo, yaitu tebal jaringan palisade adaksial. Tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal kutikula adaksial dan abaksial tidak menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo yang disajikan pada Tabel 3.

10 39 Tabel 3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Tebal daun (µm) 168,40 140,69 0,078 TBN Tebal epidermis adaksial (µm) 19,65 19,93 0,931 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 13,13 12,15 0,422 TBN Tebal palisade (µm) 43,40 33,47 0,02 BN Tebal bunga karang (µm) 79,03 86,18 0,727 TBN Tebal kutikula adaksial (µm) 2,39 1,78 0,168 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 1,92 1,06 0,091 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Pada tanaman angsana dijumpai perbedaan ketebalan pada jaringan palisade. Ketebalan jaringan palisade adaksial pada Kota Yogyakarta (43,40 µm) lebih tinggi dibandingkan Kota Solo (33,47 µm) dan berbeda nyata secara uji-t. Tebal jaringan palisade yang meningkat pada Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon pertumbuhan angsana dengan beradaptasi terhadap gas dan materi vulkanik di sekitar tanaman. Hal yang serupa dilaporkan oleh Dickison (2000), yang menyatakan bahwa gas polutan kendaraan bermotor dapat menyebabkan pertambahan tebal daun dengan bertambahnya tebal jaringan palisade. Selain itu, Ribas et al. (2005) juga melaporkan bahwa pada tanaman Oleo europea juga mengalami peningkatan ketebalan palisade akibat polutan gas ozon. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Maulana (2004) yang menyatakan bahwa tebal palisade pada tanaman Canarium commune pada keadaan terpolusi gas kendaraan bermotor lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Reaksi tanaman terhadap polusi udara akan memodifikasi jaringannya dengan meningkatkan ketebalan palisade (Radoukova 2009). Tingkat perubahan bentuk pada jaringan palisade akan sangat berpengaruh terhadap proses fisiologi tanaman, terutama pada proses fotosintesis. Menurut Fahn (1991) dan Jahan dan Iqbal (1992), menjelaskan bahwa jaringan palisade terdapat kloroplas yang berfungsi untuk fotosintesis. Selain menurunkan kerapatan dan indeks stomata akibat gas dan materi vulkanik, tanaman angsana juga merespon dengan meningkatkan ketebalan jaringan palisade. Kerapatan stomata dan indeks stomata di Kota Yogyakarta relatif lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo. Namun, di sisi lain tanaman memodifikasi dirinya dengan penebalan jaringan palisade yang berfungsi untuk

11 40 meningkatkan efisiensi fotosintesis. Adanya modifikasi jaringan palisade pada tanaman angsana menunjukkan bahwa tanaman ini dapat beradaptasi secara baik terhadap lingkungan yang tercemar oleh polutan gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Menurut Bell dan Treshow (2002), tanaman yang biasa hidup dan tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran polutan gas dan partikel yang tinggi mampu beradaptasi dengan menebalkan jaringan palisade. Jaringan palisade yang meningkat ini mempengaruhi proses pertumbuhan pada tanaman. Hal ini didukung dengan penelitian pada tanaman Lolium pereme yang cenderung tumbuh lebih baik di lokasi yang terpolusi oleh polutan gas dibandingkan dengan lokasi yang tidak terpolusi (Mansfield 1976). Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lokasi yang terpolusi gas dan partikel. Hal ini sesuai dengan penelitian Roziaty (2009) yang melaporkan bahwa Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi (toleran) terhadap polutan gas dan partikel. Selain itu, polutan seperti partikel dapat menghambat pertumbuhan pada suatu tanaman, tetapi tanaman angsana memiliki mekanisme adaptasi dan pertahanan dengan memodifikasi dirinya agar dapat terus bertahan hidup. Hal ini berkaitan bahwa, tanaman angsana banyak ditemukan di sekitar Kota Yogyakarta yang setiap empat tahun sekali terpapar bahan polutan gas dan materi vulkanik erupsi Gunung Merapi. 5.3 Stuktur Anatomi Daun Beringin (Ficus benjamina Linn.) Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin dijumpai stomata bertipe parasitik atau rubiaceous. Tipe stomata parasitik atau rubiaceous adalah stomata dimana sel penjaganya bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga, membentuk sumbu yang sejajar dengan sumbu sel penjaganya (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial, sedangkan pada sisi atas daun atau adaksial tidak dijumpai stomata (Gambar 20). Selain itu, hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak

12 41 terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Kelenjar Gambar 20 Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm). Keterangan: 1 = Trikoma Kelenjar Gambar 21 Hasil sayatan paradermal abaksial daun beringin: trikoma kelenjar di di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

13 42 Hasil pengamatan sayatan paradermal abaksial daun beringin pada kedua lokasi ditemukannya trikoma kelenjar unisel (Gambar 21). Trikoma kelenjar berfungsi untuk mencegah kekeringan pada tanaman, untuk sekresi berbagai bahan seperti larutan garam, nektar, terpentin, dan polisakarida (Fahn 1991). Menurut Cutter (1978), trikoma kelenjar adalah sel sekretori yang dapat mengeluarkan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat berperan sebagai agen penolak serangga. Parameter pengamatan sediaan sayatan paradermal pada jenis tanaman beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo tidak berbeda nyata untuk semua parameter pengamatan yang (Tabel 4). Tabel 4 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Kerapatan stomata abaksial (jumlah/mm²) 215,79 239,82 0,688 TBN Indeks stomata 4,66 4,77 0,903 TBN Panjang stomata (µm) 30,95 29,48 0,754 TBN Lebar stomata (µm) 28,07 26,88 0,801 TBN Kerapatan trikoma kelenjar (jumlah/mm²) 14,00 24,58 0,163 TBN Diameter trikoma kelenjar (µm) 6,42 7,11 0,274 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Parameter kerapatan stomata pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun tanaman beringin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Namun, nilai kerapatan stomata cenderung menurun. Menurunnya kerapatan stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Tanaman akan memodifikasi dirinya apabila mendapat cekaman dari lingkungan yang terdapat gas dan materi vulkanik. Menurut Gostin (2009), tanaman yang mengurangi jumlah stomata akibat cekaman polusi udara merupakan salah satu respon untuk mengurangi masuknya gas polutan. Ukuran stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta dan Solo terlihat berbeda, namun hasil uji-t pada panjang maupun lebar stomata tidak menunjukkan beda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman beringin cenderung di Kota Yogyakarta yang terpapar gas dan materi vulkanik memiliki ukuran panjang dan lebar stomata yang lebih besar dibandingkan Kota Solo (Gambar 20). Daun

14 43 dengan stomata yang ukurannya lebih besar memiliki kemampuan menyerap polutan gas lebih banyak dibandingkan daun dengan stomata yang berukuran lebih kecil (Lambers et al. 2000). Namun modifikasi tersebut memungkinkan tanaman lebih optimum untuk menyerap gas CO₂ yang akan digunakan dalam proses fotosintesis. Hal yang senada juga disampaikan oleh Jahan dan Iqbal (1992), salah satu respon tanaman Ficus bengalensis terhadap polusi gas dan partikel adalah dengan meningkatkan ukuran stomata, baik panjang maupun lebar stomata Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal Struktur anatomi daun tanaman beringin bertipe isolateral atau isobilateral (Gambar 22). Isolateral atau isobilateral adalah daun yang memiliki jaringan palisade terdapat di kedua sisi daunnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini terdiri dari satu hingga dua lapisan. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan struktur anatomi daun akibat gas dan materi vulkanik dan semua parameter pengamatan tidak berbeda nyata secara statistik dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa gas dan materi vulkanik Gunung Merapi tidak memberikan pengaruh terhadap struktur anatomi daun tanaman beringin (Tabel 5) Tabel 5 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Tebal daun (µm) 269,44 253,06 0,701 TBN Tebal epidermis adaksial (µm) 8,61 8,26 0,803 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 7,15 6,67 0,523 TBN Tebal palisade adaksial (µm) 47,08 44,03 0,646 TBN Tebal palisade abaksial (µm) 18,61 17,99 0,668 TBN Tebal bunga karang (µm) 137,57 105,21 0,267 TBN Tebal kutikula adaksial (µm) 4,11 3,56 0,572 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 3,97 3,64 0,736 TBN Tebal hipodermis adaksial (µm) 49,72 45,76 0,748 TBN Tebal hipodermis abaksial (µm) 10,83 10,76 0,748 TBN Keterangan: TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Namun jika dilihat dari hasil data, terdapat kecenderungan untuk semua parameter menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada Kota Yogyakarta dibandingkan Kota Solo. Daun yang lebih tebal di Kota Yogyakarta juga diikuti dengan dengan meningkatnya ketebalan palisade dan bunga karang. Jaringan

15 44 palisade dan bunga karang yang menebal di Kota Yogyakarta ini terkait dengan jumlah kloroplas yang terkandung di kedua jaringan tersebut. Hal ini berkaitan dengan proses fotosintesis untuk menangkap sinar matahari (Jahan & Iqbal 1992). Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 6 = Hipodermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 7 = Palisade Adaksial 3 = Epidermis Adaksial 8 = Palisade Abaksial 4 = Epidermis Abaksial 9 = Bunga Karang 5 = Hipodermis Adaksial Gambar 22 Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm). Berdasarkan hasil pengamatan anatomi daun pada sayatan transversal, tanaman beringin tidak memberikan respon terhadap polusi gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman beringin tahan terhadap cekaman polusi udara akibat erupsi Gunung Merapi, karena setiap empat tahun sekali di Kota Yogyakarta terpolusi gas dan partikel yang dapat masuk dan menutup permukaan daun pada tanaman. Penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Nurmal (2000) yang melaporkan bahwa tanaman beringin sangat tahan terhadap pengaruh polutan gas dan debu. Daya tahan suatu tanaman menurut Gultom (1996) dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam tanaman itu dan kondisi lingkungannya.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan Lingkungan Hidup masing-masing kota (Lampiran 5 8). Kemudian dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kandungan Klorofil dan Udara Ambien Berdasarkan Tabel 1, terdapat kecenderungan peningkatan kandungan klorofil seiring dengan jauhnya stasiun dari pabrik. Semakin jauh lokasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982, menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi,

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR Media Konservasi Vol. X, No. 2 Desember 2005 : 71 76 RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR [Growth and

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi, serta meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor dan jasa angkutan umum sebagai sarana transportasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa daerah di Jawa Timur yang mengalami perkembangan yang pesat dari sektor industri salah satunya di Kecamatan Ngoro. Jumlah perusahaan industri pengolahan di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer 21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI

STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI (Swietenia mahagoni Jacq.) ANTARA DAERAH KEDUNGHALANG KOTA BOGOR DENGAN DAERAH CIAPUS KABUPATEN BOGOR Wahyu Hening Kartiko, Ismanto, Sri Wiedarti

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokan tanaman Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap sampel daun untuk mengetahui ukuran stomata/mulut daun, dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 ditunjukkan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI

IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan dan Udara Lingkungan hidup adalah semua benda yang hidup dan tak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah bagian

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI Oleh: Ayu Agustini Juhari 1210702007 Tanggal Praktikum : 16 April 2012 Tanggal Pengumpulan : 23 April 2012

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara).

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman penghasil kayu berkualitas tinggi dari familli Fabaceae, kayunya tergolong keras dan berat, tinggi mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang ekstrim yang disertai peningkatan temperatur dunia yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara semakin hari semakin memprihatinkan. Terutama dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut Ismiyati dkk (2014), kendaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kualitas udara merupakan komponen lingkungan yang sangat penting, karena akan berpengaruh langsung terhadap kesehatan masyarakat terutama pada pernafasan. Polutan di

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 Tentang : Indeks Standar Pencemar Udara

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 Tentang : Indeks Standar Pencemar Udara Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 Tentang : Indeks Standar Pencemar Udara Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menimbang : 1. bahwa pencemaran udara dapat menimbulkan gangguan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia karena merupakan salah satu jenis sayuran buah

Lebih terperinci

B A P E D A L Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

B A P E D A L Badan Pengendalian Dampak Lingkungan KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP- 107/KABAPEDAL/11/1997 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA INFORMASI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA B A P E D A L Badan

Lebih terperinci

Peta Konsep. Kata Kunci. fotosintesis. klorofil autothrof. 126 IPA SMP/MTs Kelas VIII. Proses fotosintesis. Reaksi terang. Reaksi gelap.

Peta Konsep. Kata Kunci. fotosintesis. klorofil autothrof. 126 IPA SMP/MTs Kelas VIII. Proses fotosintesis. Reaksi terang. Reaksi gelap. Peta Konsep Proses fotosintesis Reaksi terang Reaksi gelap Fotosintesis Faktor-faktor yang memengaruhi fotosintesis Air (H 2 O Karbondioksida (CO 2 Cahaya matahari Suhu Oksigen (O 2 Kata Kunci fotosintesis

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.3 1. Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... A. Air cahaya CO 2 O 2 Kunci Jawaban : D Bahan-bahan yang

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1 1. Makhluk hidup yang dapat berfotosintesis adalah makhluk hidup... Autotrof Heterotrof Parasit Saprofit Kunci Jawaban : A Makhluk hidup autotrof

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa.

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa. 6 3 lintas, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu: 1. Apabila koefisien korelasi antara peubah hampir sama dengan koefisien lintas (nilai pengaruh langsung) maka korelasi tersebut menjelaskan hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pencemaran udara adalah proses masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke udara oleh aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan berubahnya tatanan udara sehingga

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN 9. ORGAN DAUN

POKOK BAHASAN 9. ORGAN DAUN POKOK BAHASAN 9. ORGAN DAUN Daun merupakan organ yang berfungsi sebagai pusat fotosintesis. Secara morfologi bentuk, ukuran serta struktur daun sangat bervariasi. Daun dapat berbentuk tunggal atau majemuk.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif PEMBAHASAN UMUM Dalam studi ini salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel Pb yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat BAB I PENDAHULUAN 1.I Latar belakang Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Tetapi keberadaan jalur hijau jalan pada saat ini di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Oleh : Andika Wijaya Kusuma 3307100081 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar udara di banyak kota besar di dunia, termasuk Indonesia. Emisi gas buangan kendaraan bermotor memberikan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP- 45/MENLH/10/1997 TENTANG INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA LINGKUNGAN HIDUP

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP- 45/MENLH/10/1997 TENTANG INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP- 45/MENLH/10/1997 TENTANG INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA LINGKUNGAN HIDUP Kementerian Lingkungan Hidup 2002 65 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR ANATOMI DAUN

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR ANATOMI DAUN Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Biologi Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta 2017 PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR ANATOMI DAUN

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan bagian yang sangat bernilai dan diperlukan saat ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun pada sisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber utama

Lebih terperinci

Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis.

Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis. DAUN 1 Daun Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis. Fgs daun utk fotosintesis : pembuatan KH dr CO2 & H2O Fgs lain : penyimpanan makanan & air Tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 153 TAHUN 2002

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 153 TAHUN 2002 GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 153 TAHUN 2002 TENTANG BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GUBERNUR DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan peradaban kota, kebutuhan akan sarana dan prasarana semakin meningkat, seperti perkembangan pusat-pusat industri dan meningkatnya volume

Lebih terperinci

Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis.

Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis. DAUN 1 Daun Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis. Fgs daun utk fotosintesis : pembuatan KH dr CO2 & H2O Fgs lain : penyimpanan makanan & air Tiga

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha di bidang kesehatan seperti di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha di bidang kesehatan seperti di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yaitu terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi

Lebih terperinci

STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA i STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GITA OKTARINA EKA PUTRI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. 1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandung merupakan kota dengan aktivitas masyarakat yang tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung dikunjungi banyak masyarakat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. PJP I telah mencapai sukses besar, yaitu mengantar Indonesia dari suatu negara

I. PENDAHULUAN. PJP I telah mencapai sukses besar, yaitu mengantar Indonesia dari suatu negara 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang bekerja pada sektor pertanian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan senyawa campuran gas yang terdapat pada permukaan bumi. Udara bumi yang kering mengandung nitrogen, oksigen, uap air dan gas-gas lain. Udara ambien,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri seharusnya memiliki kualitas sesuai standar yang ditentukan. Dalam proses pembuatannya tentu diperlukan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2010 Tanggal : 26 Maret 2010 I. PENDAHULUAN PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Dalam Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri telah

BAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri telah BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan industri saat ini menjadi sektor yang tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap detik selama hidupnya akan membutuhkan udara. Secara ratarata manusia tidak dapat mempertahankan hidup tanpa udara lebih dari tiga menit. Udara tersebut

Lebih terperinci

MORFOMETRIK STOMATA TUMBUHAN TREMBESI (Samanea saman Jacq.) DI SEKITAR PT. SEMEN PADANG. Yurike Yolanda, Lince Meriko, Elza Safitri

MORFOMETRIK STOMATA TUMBUHAN TREMBESI (Samanea saman Jacq.) DI SEKITAR PT. SEMEN PADANG. Yurike Yolanda, Lince Meriko, Elza Safitri MORFOMETRIK STOMATA TUMBUHAN TREMBESI (Samanea saman Jacq.) DI SEKITAR PT. SEMEN PADANG Yurike Yolanda, Lince Meriko, Elza Safitri Program Studi Pendidikan Biologi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi setiap saat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi setiap saat, kapan saja dan dimana saja. Beberapa bencana yang telah terjadi di dunia pada tahun 2005 antara

Lebih terperinci

BAGAN DUDUK DAUN DAN ANATOMI DAUN MONOKOTIL DAN DIKOTIL DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2 ACICE (H ) HASTUTI (H411122) ANDI SITTI RAHMA (H411122)

BAGAN DUDUK DAUN DAN ANATOMI DAUN MONOKOTIL DAN DIKOTIL DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2 ACICE (H ) HASTUTI (H411122) ANDI SITTI RAHMA (H411122) STRUKTUR PERKEMBANGAN TUMBUHAN BAGAN DUDUK DAUN DAN ANATOMI DAUN MONOKOTIL DAN DIKOTIL DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2 ACICE (H41112012) HASTUTI (H411122) ANDI SITTI RAHMA (H411122) ABDI KHALIK DJ (H41112252)

Lebih terperinci

PRAKTIKUM VI I. ALAT DAN BAHAN II. CARA KERJA

PRAKTIKUM VI I. ALAT DAN BAHAN II. CARA KERJA PRAKTIKUM VI Topik : Epidermis dan Derivatnya Tujuan : Untuk mengamati bentuk-bentuk epidermis, trikoma dan stoma Hari/Tanggal : Kamis, 16 April 2011 Tempat : Laboratorium Biologi PMIPA FKIP UNLAM Banjarmasin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sempurna. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu karbon

BAB I PENDAHULUAN. sempurna. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu karbon 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang cukup besar. Di sisi lain dengan makin meningkatnya jumlah kendaraan dan pemakaian bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi saat ini menjadi masalah yang sangat penting karena dapat mengindikasikan kemajuan suatu daerah. Transportasi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan

Lebih terperinci

ORGAN DAN SISTEM ORGAN PADA TUMBUHAN

ORGAN DAN SISTEM ORGAN PADA TUMBUHAN ORGAN DAN SISTEM ORGAN PADA TUMBUHAN AKAR Mengokohkan tegaknya tumbuhan Menyerap air dan garam mineral serta mengalirkannya ke batang dan daun Menyimpan cadangan makanan Susunan anatomis akar dikotil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tinggi Tanaman Berdasarkan analisis sidik ragam lampiran 3a menunjukan bahwa perlakuan varietas berbeda nyata pada seluruh pengamatan tinggi tanaman yakni dari 1, 2,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ). 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Ambient Udara dapat di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu udara ambient dan udara emisi. Udara ambient adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir

Lebih terperinci

ANATOMI JARINGAN DAUN DAN PERTUMBUHAN TANAMAN Celosia cristata, Catharanthus roseus, DAN Gomphrena globosa PADA LINGKUNGAN UDARA TERCEMAR

ANATOMI JARINGAN DAUN DAN PERTUMBUHAN TANAMAN Celosia cristata, Catharanthus roseus, DAN Gomphrena globosa PADA LINGKUNGAN UDARA TERCEMAR ANATOMI JARINGAN DAUN DAN PERTUMBUHAN TANAMAN Celosia cristata, Catharanthus roseus, DAN Gomphrena globosa PADA LINGKUNGAN UDARA TERCEMAR ASTRI NUR ANDINI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu mengenai pencemaran lingkungan terutama udara masih hangat diperbincangkan oleh masyrakat dan komunitas pecinta lingkungan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1 Lokasi, jenis industri dan limbah yang mungkin dihasilkan

PENDAHULUAN. Tabel 1 Lokasi, jenis industri dan limbah yang mungkin dihasilkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Batam sebagai salah satu daerah industri yang cukup strategis, membuat keberadaan industri berkembang cukup pesat. Perkembangan industri ini di dominasi oleh industri berat

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek

5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek 5. PEMBAHASAN Pembahasan mengenai pengaruh waktu pemberian Giberelin (GA 3 ) terhadap induksi pembungaan dan pertumbuhan tanaman leek (Allium ampeloprasum L.) meliputi umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 30 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pencemaran Udara yang Terjadi di Lokasi Penelitian 5.1.1 Potensi pencemaran yang terjadi di lokasi penelitian Kualitas udara dapat diketahui dengan membandingkan hasil

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain-lain. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. lain-lain. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri,

Lebih terperinci

Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara

Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara STANDARDS Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995 tentang: Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak KepKaBaPedal No 205/1996 tentang: Pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

Deskripsi Anatomi Tanaman Katuk dan Patah Tulang

Deskripsi Anatomi Tanaman Katuk dan Patah Tulang Deskripsi Anatomi Tanaman Katuk dan Patah Tulang Anatomi Batang Patah Tulang Pengamatan anatomi secara mikroskopis pada tanaman patah tulang dilakukan untuk melihat susunan sel penyusun organ tanaman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa. udara kita hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja.

BAB I PENDAHULUAN. maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa. udara kita hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen hidup yang sangat penting untuk manusia maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa hari, tanpa minum manusia

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN 3. JARINGAN DEWASA

POKOK BAHASAN 3. JARINGAN DEWASA POKOK BAHASAN 3. JARINGAN DEWASA 3.1 Pendahuluan Sel-sel yang menyusun jaringan dewasa merupakan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel meristem. Set-sel meristem setelah membelah mengalami pendewasaan yaitu

Lebih terperinci

Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara. Eko Hartini

Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara. Eko Hartini Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara Eko Hartini STANDARDS Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995 tentang: Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak KepKaBaPedal No 205/1996 tentang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Wilayah Penelitian Kota Gorontalo merupakan Ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT DAN PENGAMATAN STRUKTUR TUMBUHAN. DisusunOleh: Tribuana Maharani Muria XI MIPA 3 / 23 SMA NEGERI 2 WONOSARI

LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT DAN PENGAMATAN STRUKTUR TUMBUHAN. DisusunOleh: Tribuana Maharani Muria XI MIPA 3 / 23 SMA NEGERI 2 WONOSARI LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT DAN PENGAMATAN STRUKTUR TUMBUHAN DisusunOleh: Tribuana Maharani Muria XI MIPA 3 / 23 SMA NEGERI 2 WONOSARI Jl. Ki AgengGiring 3 Telp / Fax (0274) 391158 Wonosari Gunungkidul

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi segenap

Lebih terperinci