Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).
|
|
- Benny Hardja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri dari sulfur dioksida (SO 2 ), gas hidrogen sulfida (H 2 S), nitrogen dioksida (NO 2 ), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau Particulate Matter). Gas-gas dan materi vulkanik yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi terbawa angin hingga mencemari Kota Yogyakarta. Jarak antara puncak Gunung Merapi dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 km. Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara di Kota Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik memberikan dampak yang buruk bagi mahluk hidup. Salah satu dampak buruk dari gas dan materi vulkanik Merapi yaitu terjadinya perubahan warna daun pada pepohonan di sekitar Kota Yogyakarta. Selain itu, debu vulkanik dapat mengotori permukaan daun pada pepohonan. Pohon yang paling banyak ditanam di kota ini adalah angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.), sehingga ditentukanlah pohon angsana dan beringin pada Kota Yogyakarta (Lokasi 1) sebagai pohon yang relatif tercemar dan pada Kota Solo (Lokasi 2) sebagai pohon kontrol (Gambar 16 dan Gambar 17). (a) Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). (b)
2 31 (a) Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). (b) 5.1 Kualitas Udara Data kualitas udara antara Kota Yogyakarta dan Solo dilakukan perbandingan baik setelah maupun sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi. Data kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup di kedua lokasi. Berdasarkan data kualitas udara setelah letusan Gunung Merapi, Balai Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa parameter TSP (debu) dan NO₂ konsentrasinya lebih tinggi dibanding SO₂. Hasil perbandingan parameter kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi tahun 2010 Hasil Yogyakarta Solo Nilai Parameter Sebelum Setelah Sebelum Setelah Baku Letusan Letusan Letusan Letusan Mutu Merapi Merapi Merapi Merapi SO₂ (µg/nm³) 535,60 51,2 9,28 15, NO₂ (µg/nm³) 57,59 533,6 24,808 81, TSP(debu) (µg/nm³) * * 230 Keterangan : * = Nilai TSP (debu) < 10 µg/nm³ Sumber : BLH Yogyakarta (2010) dan BLH Solo (2010) Data kualitas udara Kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Lampiran 5). Hal tersebut dikarenakan, data hasil pemantauan kualitas udara merupakan lokasi terdekat dengan lokasi
3 32 pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik <10µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM 10. Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri dari TSP (debu) dan NO₂. Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan Gunung Merapi terukur 172 µg/nm³ (Lampiran 6 15), sedangkan kadar debu setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µg/nm³. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar NO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 533,6 µg/nm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µg/nm³. Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 900 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami penurunan dibandingkan kadar SO₂ sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini mengeluarkan gas SO₂ secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung Merapi, kadar gas SO₂ yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh karena itu, kadar SO₂ pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi lebih rendah dibanding sebelum letusan.
4 33 Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah letusan gunung Merapi, terukur <10 µg/nm³ (Lampiran 16 23). Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/nm³ Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi Jawa Tengah. Menurut BLH Kota Solo (2010), kadar debu di Kota Solo dari tahun ke tahun selalu rendah sehingga nilai debu tidak dicantumkan dalam laporan. Selain itu, kualitas udara Kota Solo tidak dipengaruhi oleh letusan Gunung Merapi. Kualitas udara pada Tabel 1 menunjukkan bahwa polutan debu yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto (2004) menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi (pembersihan) debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi (pembersihan) dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi berkisar 5,384 Km/jam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi kecepatan angin meningkat hingga 18 Km/jam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan angin meningkat (Scorer 1968). Debu letusan Gunung Merapi ini mengakibatkan suhu udara di Kota Yogyakarta menjadi meningkat. Suhu udara sebelum terjadi letusan yaitu 26,7ºC dan setelah terjadi letusan pada tahun 2010 yaitu 27,3 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kondisi Kota Yogyakarta menjadi lebih panas akibat kadar pencemaran debu vulkanik yang berterbangan di udara.
5 34 Sastrawijaya (2000) menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum letusan merapi adalah berkisar 28,6 C dan setelah letusan merapi adalah berkisar 29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi. Tingginya konsentrasi NO₂ dan debu di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun (Bell & Treshow 2002). Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Riikonen et al. 2010). Mudd dan Kozlowzki (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandung SiO 2 yang bersifat tajam (Sinuaji 2011). 5.2 Stuktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Hasil pengamatan sayatan paradermal daun angsana baik pada Kota Yogyakarta maupun Solo, hubungan antara stomata dan sel epidermis dapat diklasifikasikan bahwa tipe susunan stomata angsana yaitu tipe stomata anomositik atau ranunculaceous. Tipe stomata anomositik atau ranunculaceous adalah tipe stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial.
6 35 Tanaman angsana memiliki trikoma tidak berkelenjar dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat (Gambar 18). Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Tidak Berkelenjar Gambar 18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm). Hasil pengamatan sayatan paradermal tanaman angsana tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon anatomi daun. Pengamatan sayatan paradermal angsana dijumpai beberapa parameter yang menunjukkan berbeda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo. Parameter pengamatan yang berbeda nyata tersebut terdiri dari kerapatan stomata, indeks stomata, dan panjang stomata (Tabel 2). Stomata pada jenis tanaman ini dijumpai hanya pada bagian abaksial (bawah) daun. Tanaman angsana memiliki jenis trikoma tidak berkelenjar yang menyerupai rambut-rambut kasar.
7 36 Tabel 2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2 Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Kerapatan stomata abaksial (jumlah/mm²) 133,33 190,26 0,001 BN Indeks stomata 7,76 10,51 0,002 BN Panjang stomata (µm) 26,65 24,15 0,003 BN Lebar stomata (µm) 18,17 18,43 0,603 TBN Kerapatan trikoma tidak berkelenjar (jumlah/mm²) 6,00 6,26 0,883 TBN Panjang trikoma tidak berkelenjar (µm) 140,56 148,33 0,591 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Kerapatan stomata pada tanaman angsana di Kota Yogyakarta yang terpolusi bahan polutan Gunung Merapi (133,33 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan stomata pada tanaman kontrol atau tanaman di Kota Solo (190,26 jumlah/mm²) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,001 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpapar polusi udara, secara anatomi memberikan respon dengan cara mengurangi jumlah stomata. Menurut Dickinson (2000), stomata yang berfungsi sebagai tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Frekuensi stomata diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensivitas tanaman dan ketahanan daun. Kerapatan stomata ini juga diikuti dengan indeks stomata yang rendah juga. Indeks stomata pada Kota Yogyakarta (7,76) lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo (10,51) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,002. Pada Kota Yogyakarta, kerapatan stomata yang rendah diikuti dengan ukuran panjang stomata yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh Willmer (1983) yang menyatakan bahwa semakin kecil ukuran stomata maka jumlah frekuensi stomata akan meningkat. Ukuran panjang stomata daun angsana pada Kota Yogyakarta (26,65 µm) lebih tinggi dibandingkan ukuran panjang stomata di Kota Solo atau kontrol (24,14 µm) dan berbeda nyata secara uji-t dengan nilai signifikasi 0,003. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini merupakan indikasi adaptasi tanaman terhadap pencemar udara. Menurut Muud dan Kozlowski (1975), tanaman yang tumbuh di lingkungan terpolusi cenderung akan mempertahankan dirinya dengan meningkatkan ukuran stomata. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini
8 37 sangat membantu dalam penyerapan CO₂ untuk fotosintesis. Selain itu, karakteristik stomata yang meliputi ukuran, kerapatan, dan indeks stomata banyak digunakan sebagai bioindikator dan biomonitoring udara (Balasooriya et al. 2008). Kerapatan dan indeks stomata yang menurun serta ukuran panjang stomata yang meningkat pada jenis daun angsana di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat polusi gas dan materi vulkanik. Selain itu, menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran stomata diduga merupakan modifikasi tanaman angsana untuk mengoptimumkan penangkapan gas CO₂ yang digunakan untuk proses fotosintesis. Respon struktur anatomi yang meliputi menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran panjang stomata juga terjadi pada Nicotiana tabacum karena adanya cekaman lingkungan dari gas polutan yang dilaporkan oleh Pedroso & Alves (2008). Hasil yang berbeda disampaikan oleh Gostin (2009), salah satu respon Trifolium montanum dan Trifolium repens terhadap cekaman gas polutan adalah dengan meningkatkan kerapatan dan indeks stomata. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap polutan udara, baik gas maupun partikel. Tanaman angsana memiliki trikoma dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat. Trikoma pada tanaman ini merupakan trikoma tidak berkelenjar. Kerapatan trikoma daun angsana pada Kota Yogyakarta (6,00 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan trikoma di Kota Solo (6,26 jumlah/mm²) namun tidak berbeda nyata secara uji-t. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpolusi gas dan materi vulkanik secara anatomi tidak mempengaruhi kerapatan trikoma. Kondisi perilaku ini tidak lazim karena pada umumnya daun yang memiliki trikoma apabila tercemar gas polutan akan meningkatkan jumlah trikoma tersebut guna mempertahankan dirinya (Azmat et al. 2009). Esau (1977) menjelaskan bahwa peran dari trikoma pada tanaman adalah jelas, yaitu pada beberapa tanaman trikoma dapat mencegah kehilangan air. Selain itu, fungsi trikoma tidak berkelenjar diantarnya adalah mencegah kehilangan air, pertahanan fisik terhadap serangga, dan sebagai biomonitoring lingkungan (Azmat et al 2009).
9 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal Daun angsana bertipe dorsiventral atau bifasial. Dorsiventral atau bifasial adalah daun yang memiliki jaringan palisade di satu sisi daun dan jaringan bunga karang di sisi lainnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini hanya memiliki satu lapis saja, baik tanaman angsana di Kota Yogyakarta maupun di Kota Solo. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun angsana, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Tebal daun angsana pada Kota Yogyakarta lebih besar dibandingkan tebal daun pada Kota Solo yang dapat dilihat pada Gambar 19. Tebalnya daun pada Kota Yogyakarta dipengaruhi peningkatan tebal jaringan palisade. Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 4 = Epidermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 5 = Palisade 3 = Epidermis Adaksial 6 = Bunga Karang Gambar 19 Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm). Hasil pengamatan sayatan transversal daun tanaman angsana yang menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo, yaitu tebal jaringan palisade adaksial. Tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal kutikula adaksial dan abaksial tidak menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo yang disajikan pada Tabel 3.
10 39 Tabel 3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Tebal daun (µm) 168,40 140,69 0,078 TBN Tebal epidermis adaksial (µm) 19,65 19,93 0,931 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 13,13 12,15 0,422 TBN Tebal palisade (µm) 43,40 33,47 0,02 BN Tebal bunga karang (µm) 79,03 86,18 0,727 TBN Tebal kutikula adaksial (µm) 2,39 1,78 0,168 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 1,92 1,06 0,091 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Pada tanaman angsana dijumpai perbedaan ketebalan pada jaringan palisade. Ketebalan jaringan palisade adaksial pada Kota Yogyakarta (43,40 µm) lebih tinggi dibandingkan Kota Solo (33,47 µm) dan berbeda nyata secara uji-t. Tebal jaringan palisade yang meningkat pada Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon pertumbuhan angsana dengan beradaptasi terhadap gas dan materi vulkanik di sekitar tanaman. Hal yang serupa dilaporkan oleh Dickison (2000), yang menyatakan bahwa gas polutan kendaraan bermotor dapat menyebabkan pertambahan tebal daun dengan bertambahnya tebal jaringan palisade. Selain itu, Ribas et al. (2005) juga melaporkan bahwa pada tanaman Oleo europea juga mengalami peningkatan ketebalan palisade akibat polutan gas ozon. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Maulana (2004) yang menyatakan bahwa tebal palisade pada tanaman Canarium commune pada keadaan terpolusi gas kendaraan bermotor lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Reaksi tanaman terhadap polusi udara akan memodifikasi jaringannya dengan meningkatkan ketebalan palisade (Radoukova 2009). Tingkat perubahan bentuk pada jaringan palisade akan sangat berpengaruh terhadap proses fisiologi tanaman, terutama pada proses fotosintesis. Menurut Fahn (1991) dan Jahan dan Iqbal (1992), menjelaskan bahwa jaringan palisade terdapat kloroplas yang berfungsi untuk fotosintesis. Selain menurunkan kerapatan dan indeks stomata akibat gas dan materi vulkanik, tanaman angsana juga merespon dengan meningkatkan ketebalan jaringan palisade. Kerapatan stomata dan indeks stomata di Kota Yogyakarta relatif lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo. Namun, di sisi lain tanaman memodifikasi dirinya dengan penebalan jaringan palisade yang berfungsi untuk
11 40 meningkatkan efisiensi fotosintesis. Adanya modifikasi jaringan palisade pada tanaman angsana menunjukkan bahwa tanaman ini dapat beradaptasi secara baik terhadap lingkungan yang tercemar oleh polutan gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Menurut Bell dan Treshow (2002), tanaman yang biasa hidup dan tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran polutan gas dan partikel yang tinggi mampu beradaptasi dengan menebalkan jaringan palisade. Jaringan palisade yang meningkat ini mempengaruhi proses pertumbuhan pada tanaman. Hal ini didukung dengan penelitian pada tanaman Lolium pereme yang cenderung tumbuh lebih baik di lokasi yang terpolusi oleh polutan gas dibandingkan dengan lokasi yang tidak terpolusi (Mansfield 1976). Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lokasi yang terpolusi gas dan partikel. Hal ini sesuai dengan penelitian Roziaty (2009) yang melaporkan bahwa Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi (toleran) terhadap polutan gas dan partikel. Selain itu, polutan seperti partikel dapat menghambat pertumbuhan pada suatu tanaman, tetapi tanaman angsana memiliki mekanisme adaptasi dan pertahanan dengan memodifikasi dirinya agar dapat terus bertahan hidup. Hal ini berkaitan bahwa, tanaman angsana banyak ditemukan di sekitar Kota Yogyakarta yang setiap empat tahun sekali terpapar bahan polutan gas dan materi vulkanik erupsi Gunung Merapi. 5.3 Stuktur Anatomi Daun Beringin (Ficus benjamina Linn.) Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin dijumpai stomata bertipe parasitik atau rubiaceous. Tipe stomata parasitik atau rubiaceous adalah stomata dimana sel penjaganya bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga, membentuk sumbu yang sejajar dengan sumbu sel penjaganya (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial, sedangkan pada sisi atas daun atau adaksial tidak dijumpai stomata (Gambar 20). Selain itu, hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak
12 41 terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Kelenjar Gambar 20 Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm). Keterangan: 1 = Trikoma Kelenjar Gambar 21 Hasil sayatan paradermal abaksial daun beringin: trikoma kelenjar di di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).
13 42 Hasil pengamatan sayatan paradermal abaksial daun beringin pada kedua lokasi ditemukannya trikoma kelenjar unisel (Gambar 21). Trikoma kelenjar berfungsi untuk mencegah kekeringan pada tanaman, untuk sekresi berbagai bahan seperti larutan garam, nektar, terpentin, dan polisakarida (Fahn 1991). Menurut Cutter (1978), trikoma kelenjar adalah sel sekretori yang dapat mengeluarkan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat berperan sebagai agen penolak serangga. Parameter pengamatan sediaan sayatan paradermal pada jenis tanaman beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo tidak berbeda nyata untuk semua parameter pengamatan yang (Tabel 4). Tabel 4 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Kerapatan stomata abaksial (jumlah/mm²) 215,79 239,82 0,688 TBN Indeks stomata 4,66 4,77 0,903 TBN Panjang stomata (µm) 30,95 29,48 0,754 TBN Lebar stomata (µm) 28,07 26,88 0,801 TBN Kerapatan trikoma kelenjar (jumlah/mm²) 14,00 24,58 0,163 TBN Diameter trikoma kelenjar (µm) 6,42 7,11 0,274 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Parameter kerapatan stomata pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun tanaman beringin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Namun, nilai kerapatan stomata cenderung menurun. Menurunnya kerapatan stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Tanaman akan memodifikasi dirinya apabila mendapat cekaman dari lingkungan yang terdapat gas dan materi vulkanik. Menurut Gostin (2009), tanaman yang mengurangi jumlah stomata akibat cekaman polusi udara merupakan salah satu respon untuk mengurangi masuknya gas polutan. Ukuran stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta dan Solo terlihat berbeda, namun hasil uji-t pada panjang maupun lebar stomata tidak menunjukkan beda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman beringin cenderung di Kota Yogyakarta yang terpapar gas dan materi vulkanik memiliki ukuran panjang dan lebar stomata yang lebih besar dibandingkan Kota Solo (Gambar 20). Daun
14 43 dengan stomata yang ukurannya lebih besar memiliki kemampuan menyerap polutan gas lebih banyak dibandingkan daun dengan stomata yang berukuran lebih kecil (Lambers et al. 2000). Namun modifikasi tersebut memungkinkan tanaman lebih optimum untuk menyerap gas CO₂ yang akan digunakan dalam proses fotosintesis. Hal yang senada juga disampaikan oleh Jahan dan Iqbal (1992), salah satu respon tanaman Ficus bengalensis terhadap polusi gas dan partikel adalah dengan meningkatkan ukuran stomata, baik panjang maupun lebar stomata Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal Struktur anatomi daun tanaman beringin bertipe isolateral atau isobilateral (Gambar 22). Isolateral atau isobilateral adalah daun yang memiliki jaringan palisade terdapat di kedua sisi daunnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini terdiri dari satu hingga dua lapisan. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan struktur anatomi daun akibat gas dan materi vulkanik dan semua parameter pengamatan tidak berbeda nyata secara statistik dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa gas dan materi vulkanik Gunung Merapi tidak memberikan pengaruh terhadap struktur anatomi daun tanaman beringin (Tabel 5) Tabel 5 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Tebal daun (µm) 269,44 253,06 0,701 TBN Tebal epidermis adaksial (µm) 8,61 8,26 0,803 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 7,15 6,67 0,523 TBN Tebal palisade adaksial (µm) 47,08 44,03 0,646 TBN Tebal palisade abaksial (µm) 18,61 17,99 0,668 TBN Tebal bunga karang (µm) 137,57 105,21 0,267 TBN Tebal kutikula adaksial (µm) 4,11 3,56 0,572 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 3,97 3,64 0,736 TBN Tebal hipodermis adaksial (µm) 49,72 45,76 0,748 TBN Tebal hipodermis abaksial (µm) 10,83 10,76 0,748 TBN Keterangan: TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Namun jika dilihat dari hasil data, terdapat kecenderungan untuk semua parameter menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada Kota Yogyakarta dibandingkan Kota Solo. Daun yang lebih tebal di Kota Yogyakarta juga diikuti dengan dengan meningkatnya ketebalan palisade dan bunga karang. Jaringan
15 44 palisade dan bunga karang yang menebal di Kota Yogyakarta ini terkait dengan jumlah kloroplas yang terkandung di kedua jaringan tersebut. Hal ini berkaitan dengan proses fotosintesis untuk menangkap sinar matahari (Jahan & Iqbal 1992). Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 6 = Hipodermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 7 = Palisade Adaksial 3 = Epidermis Adaksial 8 = Palisade Abaksial 4 = Epidermis Abaksial 9 = Bunga Karang 5 = Hipodermis Adaksial Gambar 22 Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm). Berdasarkan hasil pengamatan anatomi daun pada sayatan transversal, tanaman beringin tidak memberikan respon terhadap polusi gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman beringin tahan terhadap cekaman polusi udara akibat erupsi Gunung Merapi, karena setiap empat tahun sekali di Kota Yogyakarta terpolusi gas dan partikel yang dapat masuk dan menutup permukaan daun pada tanaman. Penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Nurmal (2000) yang melaporkan bahwa tanaman beringin sangat tahan terhadap pengaruh polutan gas dan debu. Daya tahan suatu tanaman menurut Gultom (1996) dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam tanaman itu dan kondisi lingkungannya.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan Lingkungan Hidup masing-masing kota (Lampiran 5 8). Kemudian dilakukan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kandungan Klorofil dan Udara Ambien Berdasarkan Tabel 1, terdapat kecenderungan peningkatan kandungan klorofil seiring dengan jauhnya stasiun dari pabrik. Semakin jauh lokasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982, menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi,
Lebih terperinciRESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR
Media Konservasi Vol. X, No. 2 Desember 2005 : 71 76 RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR [Growth and
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...
DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi, serta meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor dan jasa angkutan umum sebagai sarana transportasi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa daerah di Jawa Timur yang mengalami perkembangan yang pesat dari sektor industri salah satunya di Kecamatan Ngoro. Jumlah perusahaan industri pengolahan di
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer
21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
Lebih terperinciSTUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI
STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI (Swietenia mahagoni Jacq.) ANTARA DAERAH KEDUNGHALANG KOTA BOGOR DENGAN DAERAH CIAPUS KABUPATEN BOGOR Wahyu Hening Kartiko, Ismanto, Sri Wiedarti
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman
29 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokan tanaman Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap sampel daun untuk mengetahui ukuran stomata/mulut daun, dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 ditunjukkan
Lebih terperinciIDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI
IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan dan Udara Lingkungan hidup adalah semua benda yang hidup dan tak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah bagian
Lebih terperinciLAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI Oleh: Ayu Agustini Juhari 1210702007 Tanggal Praktikum : 16 April 2012 Tanggal Pengumpulan : 23 April 2012
Lebih terperinciSMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...
SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman penghasil kayu berkualitas tinggi dari familli Fabaceae, kayunya tergolong keras dan berat, tinggi mencapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang ekstrim yang disertai peningkatan temperatur dunia yang mengakibatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara semakin hari semakin memprihatinkan. Terutama dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut Ismiyati dkk (2014), kendaraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kualitas udara merupakan komponen lingkungan yang sangat penting, karena akan berpengaruh langsung terhadap kesehatan masyarakat terutama pada pernafasan. Polutan di
Lebih terperinciKeputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 Tentang : Indeks Standar Pencemar Udara
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 Tentang : Indeks Standar Pencemar Udara Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menimbang : 1. bahwa pencemaran udara dapat menimbulkan gangguan terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia karena merupakan salah satu jenis sayuran buah
Lebih terperinciB A P E D A L Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP- 107/KABAPEDAL/11/1997 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA INFORMASI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA B A P E D A L Badan
Lebih terperinciPeta Konsep. Kata Kunci. fotosintesis. klorofil autothrof. 126 IPA SMP/MTs Kelas VIII. Proses fotosintesis. Reaksi terang. Reaksi gelap.
Peta Konsep Proses fotosintesis Reaksi terang Reaksi gelap Fotosintesis Faktor-faktor yang memengaruhi fotosintesis Air (H 2 O Karbondioksida (CO 2 Cahaya matahari Suhu Oksigen (O 2 Kata Kunci fotosintesis
Lebih terperinciSMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali...
SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.3 1. Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... A. Air cahaya CO 2 O 2 Kunci Jawaban : D Bahan-bahan yang
Lebih terperinciSMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit
SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1 1. Makhluk hidup yang dapat berfotosintesis adalah makhluk hidup... Autotrof Heterotrof Parasit Saprofit Kunci Jawaban : A Makhluk hidup autotrof
Lebih terperinciHASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa.
6 3 lintas, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu: 1. Apabila koefisien korelasi antara peubah hampir sama dengan koefisien lintas (nilai pengaruh langsung) maka korelasi tersebut menjelaskan hubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pencemaran udara adalah proses masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke udara oleh aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan berubahnya tatanan udara sehingga
Lebih terperinciPOKOK BAHASAN 9. ORGAN DAUN
POKOK BAHASAN 9. ORGAN DAUN Daun merupakan organ yang berfungsi sebagai pusat fotosintesis. Secara morfologi bentuk, ukuran serta struktur daun sangat bervariasi. Daun dapat berbentuk tunggal atau majemuk.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung
Lebih terperincike tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif
PEMBAHASAN UMUM Dalam studi ini salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel Pb yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.I Latar belakang Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Tetapi keberadaan jalur hijau jalan pada saat ini di Indonesia
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya
Lebih terperinciDengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA
Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Oleh : Andika Wijaya Kusuma 3307100081 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar udara di banyak kota besar di dunia, termasuk Indonesia. Emisi gas buangan kendaraan bermotor memberikan
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP- 45/MENLH/10/1997 TENTANG INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA LINGKUNGAN HIDUP
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP- 45/MENLH/10/1997 TENTANG INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA LINGKUNGAN HIDUP Kementerian Lingkungan Hidup 2002 65 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Lebih terperinciDENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA
DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN
Lebih terperinciPENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR ANATOMI DAUN
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Biologi Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta 2017 PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR ANATOMI DAUN
Lebih terperinciSUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO
SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas
Lebih terperinciDAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,
Lebih terperinci4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011
4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan bagian yang sangat bernilai dan diperlukan saat ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun pada sisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber utama
Lebih terperinciMayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis.
DAUN 1 Daun Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis. Fgs daun utk fotosintesis : pembuatan KH dr CO2 & H2O Fgs lain : penyimpanan makanan & air Tiga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan
Lebih terperinciGUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 153 TAHUN 2002
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 153 TAHUN 2002 TENTANG BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GUBERNUR DAERAH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan peradaban kota, kebutuhan akan sarana dan prasarana semakin meningkat, seperti perkembangan pusat-pusat industri dan meningkatnya volume
Lebih terperinciMayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis.
DAUN 1 Daun Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis. Fgs daun utk fotosintesis : pembuatan KH dr CO2 & H2O Fgs lain : penyimpanan makanan & air Tiga
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya
1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam usaha di bidang kesehatan seperti di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yaitu terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi
Lebih terperinciSTRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
i STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GITA OKTARINA EKA PUTRI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN
Lebih terperinciPENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.
1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandung merupakan kota dengan aktivitas masyarakat yang tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung dikunjungi banyak masyarakat
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. PJP I telah mencapai sukses besar, yaitu mengantar Indonesia dari suatu negara
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang bekerja pada sektor pertanian.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan senyawa campuran gas yang terdapat pada permukaan bumi. Udara bumi yang kering mengandung nitrogen, oksigen, uap air dan gas-gas lain. Udara ambien,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri seharusnya memiliki kualitas sesuai standar yang ditentukan. Dalam proses pembuatannya tentu diperlukan
Lebih terperinciPEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2010 Tanggal : 26 Maret 2010 I. PENDAHULUAN PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Dalam Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri telah
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan industri saat ini menjadi sektor yang tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap detik selama hidupnya akan membutuhkan udara. Secara ratarata manusia tidak dapat mempertahankan hidup tanpa udara lebih dari tiga menit. Udara tersebut
Lebih terperinciMORFOMETRIK STOMATA TUMBUHAN TREMBESI (Samanea saman Jacq.) DI SEKITAR PT. SEMEN PADANG. Yurike Yolanda, Lince Meriko, Elza Safitri
MORFOMETRIK STOMATA TUMBUHAN TREMBESI (Samanea saman Jacq.) DI SEKITAR PT. SEMEN PADANG Yurike Yolanda, Lince Meriko, Elza Safitri Program Studi Pendidikan Biologi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi setiap saat,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi setiap saat, kapan saja dan dimana saja. Beberapa bencana yang telah terjadi di dunia pada tahun 2005 antara
Lebih terperinciBAGAN DUDUK DAUN DAN ANATOMI DAUN MONOKOTIL DAN DIKOTIL DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2 ACICE (H ) HASTUTI (H411122) ANDI SITTI RAHMA (H411122)
STRUKTUR PERKEMBANGAN TUMBUHAN BAGAN DUDUK DAUN DAN ANATOMI DAUN MONOKOTIL DAN DIKOTIL DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2 ACICE (H41112012) HASTUTI (H411122) ANDI SITTI RAHMA (H411122) ABDI KHALIK DJ (H41112252)
Lebih terperinciPRAKTIKUM VI I. ALAT DAN BAHAN II. CARA KERJA
PRAKTIKUM VI Topik : Epidermis dan Derivatnya Tujuan : Untuk mengamati bentuk-bentuk epidermis, trikoma dan stoma Hari/Tanggal : Kamis, 16 April 2011 Tempat : Laboratorium Biologi PMIPA FKIP UNLAM Banjarmasin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sempurna. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu karbon
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang cukup besar. Di sisi lain dengan makin meningkatnya jumlah kendaraan dan pemakaian bahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi saat ini menjadi masalah yang sangat penting karena dapat mengindikasikan kemajuan suatu daerah. Transportasi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan
Lebih terperinciORGAN DAN SISTEM ORGAN PADA TUMBUHAN
ORGAN DAN SISTEM ORGAN PADA TUMBUHAN AKAR Mengokohkan tegaknya tumbuhan Menyerap air dan garam mineral serta mengalirkannya ke batang dan daun Menyimpan cadangan makanan Susunan anatomis akar dikotil
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tinggi Tanaman Berdasarkan analisis sidik ragam lampiran 3a menunjukan bahwa perlakuan varietas berbeda nyata pada seluruh pengamatan tinggi tanaman yakni dari 1, 2,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ).
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Ambient Udara dapat di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu udara ambient dan udara emisi. Udara ambient adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir
Lebih terperinciANATOMI JARINGAN DAUN DAN PERTUMBUHAN TANAMAN Celosia cristata, Catharanthus roseus, DAN Gomphrena globosa PADA LINGKUNGAN UDARA TERCEMAR
ANATOMI JARINGAN DAUN DAN PERTUMBUHAN TANAMAN Celosia cristata, Catharanthus roseus, DAN Gomphrena globosa PADA LINGKUNGAN UDARA TERCEMAR ASTRI NUR ANDINI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu mengenai pencemaran lingkungan terutama udara masih hangat diperbincangkan oleh masyrakat dan komunitas pecinta lingkungan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Tabel 1 Lokasi, jenis industri dan limbah yang mungkin dihasilkan
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Batam sebagai salah satu daerah industri yang cukup strategis, membuat keberadaan industri berkembang cukup pesat. Perkembangan industri ini di dominasi oleh industri berat
Lebih terperinci5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek
5. PEMBAHASAN Pembahasan mengenai pengaruh waktu pemberian Giberelin (GA 3 ) terhadap induksi pembungaan dan pertumbuhan tanaman leek (Allium ampeloprasum L.) meliputi umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
30 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pencemaran Udara yang Terjadi di Lokasi Penelitian 5.1.1 Potensi pencemaran yang terjadi di lokasi penelitian Kualitas udara dapat diketahui dengan membandingkan hasil
Lebih terperinciTIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH
EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lain-lain. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri,
Lebih terperinciPemantauan dan Analisis Kualitas Udara
Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara STANDARDS Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995 tentang: Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak KepKaBaPedal No 205/1996 tentang: Pengendalian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang
Lebih terperinciDeskripsi Anatomi Tanaman Katuk dan Patah Tulang
Deskripsi Anatomi Tanaman Katuk dan Patah Tulang Anatomi Batang Patah Tulang Pengamatan anatomi secara mikroskopis pada tanaman patah tulang dilakukan untuk melihat susunan sel penyusun organ tanaman.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa. udara kita hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen hidup yang sangat penting untuk manusia maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa hari, tanpa minum manusia
Lebih terperinciSTUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA
STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang
Lebih terperinciPOKOK BAHASAN 3. JARINGAN DEWASA
POKOK BAHASAN 3. JARINGAN DEWASA 3.1 Pendahuluan Sel-sel yang menyusun jaringan dewasa merupakan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel meristem. Set-sel meristem setelah membelah mengalami pendewasaan yaitu
Lebih terperinciPemantauan dan Analisis Kualitas Udara. Eko Hartini
Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara Eko Hartini STANDARDS Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995 tentang: Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak KepKaBaPedal No 205/1996 tentang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara
37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Wilayah Penelitian Kota Gorontalo merupakan Ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65
Lebih terperinciLAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT DAN PENGAMATAN STRUKTUR TUMBUHAN. DisusunOleh: Tribuana Maharani Muria XI MIPA 3 / 23 SMA NEGERI 2 WONOSARI
LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT DAN PENGAMATAN STRUKTUR TUMBUHAN DisusunOleh: Tribuana Maharani Muria XI MIPA 3 / 23 SMA NEGERI 2 WONOSARI Jl. Ki AgengGiring 3 Telp / Fax (0274) 391158 Wonosari Gunungkidul
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi segenap
Lebih terperinci