BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan Lingkungan Hidup masing-masing kota (Lampiran 5 8). Kemudian dilakukan perbandingan terhadap beberapa parameter kualitas udara SO 2, NO 2, dan TSP pada tahun 2010, dengan pertimbangan bahwa peristiwa meletusnya Gunung Merapi terjadi pada tahun tersebut. Hasil perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Kota Solo dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Solo sebelum dan sesudah Letusan Gunung Merapi tahun 2010 Lokasi Parameter Yogyakarta Solo Sebelum Sesudah BML 1 Sebelum Sesudah BML 2 SO 2 (µg/nm 3 ) 535,60 53, ,28 15, NO 2 (µg/nm 3 ) 57,59 533, ,80 81, TSP(µg/Nm 3 ) * - * 230 Keterangan : * kurang dari 10µg/Nm 3 Sumber : BLH Solo dan BLH Yogyakarta (2010) Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan yang dilakukan oleh Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota. Data kualitas udara kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Tabel 4). Hal ini dikarenakan, lokasi tersebut merupakan lokasi terdekat dengan daerah pengambilan sampel daun. Berdasarkan data rata-rata kandungan udara yang diperoleh, dapat diketahui bahwa konsentrasi SO 2, NO 2 dan TSP Kota Yogyakarta sebelum dan sesudah bencana Gunung Merapi meletus lebih tinggi jika dibandingkan Kota Solo. Dari tiga parameter yang dibandingkan, di Kota Yogyakarta, TSP dan NO 2 adalah parameter udara yang mengalami peningkatan pasca letusan Gunung Merapi. Peningkatan yang terjadi cukup jauh melebihi baku mutu lingkungan. Sedangkan SO 2 konsentrasinya menurun. Penurunan konsentrasi SO 2 dikarenakan gas SO 2 sudah lebih dulu dikeluarkan pada saat erupsi-erupsi kecil dari Gunung Merapi.

2 32 Sehingga pada saat Gunung Merapi meletus, kandungan SO 2 sudah jauh berkurang. Hal ini yang mengakibatkan rendahnya kadar SO 2 pada data pengukuran pasca letusan Gunung Merapi. Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur DIY No. 153 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien DIY. Sedangkan kota Solo menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambien Provinsi Jawa Tengah. Data kualitas udara Kota Solo menunjukan adanya peningkatan konsentrasi bahan pencemar sesudah bencana meletusnya Gunung Merapi yang tidak terlalu tinggi. Seluruh data bahan pencemar yang dibandingkan berada dibawah baku mutu lingkungan. Pemantauan terhadap parameter TSP Kota Solo dalam beberapa tahun terakhir menunjukan hasil yang sangat kecil (<10 µg) sehingga parameter tersebut termasuk dalam parameter kualitas udara yang tidak terdeteksi. Kedua lokasi penelitian memiliki kebijakan menggunakan baku mutu lingkungan yang nilainya lebih ketat jika dibandingkan baku mutu lingkungan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang memiliki batas kandungan SO µg/nm 3, NO µg/nm 3, dan TSP 230 µg/m 3. Hal ini diperbolehkan sesuai PP No 41 Tahun 1999 pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa baku mutu udara ambien daerah yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara di daerah yang bersangkutan ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambient nasional. Peristiwa meletusnya Gunung Merapi memberikan dampak yang terlihat nyata pada kandungan bahan pencemar di udara terutama TSP. Hal ini terlihat dari data hasil pemantauan kualitas udara yang secara khusus dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta pada tanggal 5 November Laporan hasil uji udara ambien Kota Yogyakarta pasca meletusnya gunung Merapi dapat dilihat pada Tabel 4.

3 33 Tabel 4 Laporan hasil uji udara ambient bulan November 2010 Lokasi Parameter CO SO x NO x PM 2,5 PM 10 BML = 35 ppm BML = ppm BML = ppm BML = 65 µg/nm 3 BML = 150 µg/nm Keterangan : 1. Perempatan jalan Magelang 2. Jalan Urip Sumoharjo 3. Perempatan Tugu 4. Perempatan Wirobrajan 5. Terminal Giwangan Data yang diambil di daerah-daerah perbatasan Kota Yogyakarta yaitu Perempatan Jalan Magelang (1), Jalan Urip Sumoharjo (2), Perempatan Tugu (3), Perempatan Wirobrajan (4), dan Terminal Giwangan (5) menunjukan perubahan yang cukup signifikan terutama untuk parameter TSP. Lokasi 1, 2 dan 3 merupakan lokasi yang lebih dekat dengan Gunung Merapi sehingga kandungan debu vulkanik dalam udara lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi 4 dan 5 yang letaknya lebih jauh. Secara alamiah partikel debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Debu vulkanik yang keluar dari letusan gunung berapi biasanya memiliki ukuran diameter aerodinamik <10 µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM 10. Namun Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Kandungan PM 2.5 di udara mencapai angka tertinggi 224 µg/nm 3 terpantau di daerah Jalan Urip Sumoharjo sedangkan konsentrasi PM 10 tertinggi terpantau di daerah Perempatan Tugu dengan nilai 418 µg/nm 3. Angka ini sangat jauh melebihi baku mutu udara yang ditetapkan berdasarkan Kep. Gub.DIY No 153 tahun 2002 yaitu 65 µg/m 3 untuk PM 2.5 dan 150 µg/nm 3 untuk PM 10. Hasil pemantauan yang dilakukan di lima lokasi perbatasan kota Yogyakarta menujukan bahwa kandungan TSP pada daerah tersebut jauh melebihi ambang batas baku mutu udara ambien, kecuali Terminal Giwangan yang masih di bawah baku mutu udara (13 µg/nm 3 untuk PM 2.5 dan 35 µgn/m 3 untuk PM 10 ). Kandungan bahan pencemar yang lain seperti CO dan SO 2 secara keseluruhan

4 34 masih dalam batas toleransi baku mutu lingkungan, sedangkan NO 2 pada daerah jalan Urip Sumoharjo sedikit di atas batas BML. Tingginya konsentrasi TSP dan bahan pencemar lain seperti SO 2 dan NO 2 di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk kota Yogyakarta. Menurut WHO (1996) dalam Pudjiastuti (2002) pertikel debu dengan ukuran 0,1 µm sampai 10 µm berbahaya bagi kesehatan dan dapat merusak lingkungan. Perubahan yang terjadi disebabkan karena gas dan materi polutan yang masuk melalui stomata dapat mengakibatkan terganggunya proses metabolisme di dalam tanaman (Riikonen et al. 2010). Secara spesifik polusi udara berpengaruh terhadap fungsi tanaman, seperti debu udara dapat menutupi mulut daun sehingga membatasi proses fotosintesis. Kristanto (2004) menjelaskan bahwa debu berpengaruh terhadap tanaman karena debu jika bergabung dengan uap air atau air hujan akan membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun dan tidak dapat dibilas oleh air hujan kecuali dengan menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari ke permukaan daun dan menghambat pertukaran CO 2 ke atmosfer. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu. Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandungsilika (SiO 2 ) yang bersifat tajam. Selain itu, sifat debu yang mampu menyerap bahan pencemar yang berupa gas seperti SO 2 dan NO 2 dapat mengakibatkan bahan-bahan pencemar tersebut bertahan lebih lama dalam daun bila terserap (Sinuhaji 2011). Sedangkan gas SO 2 dan NO 2 dapat menyebabkan kerusakan pada bagian sel penjaga dan sel epidermis dalam konsentrasi tertentu. Respon masing-masing tanaman terhadap tingginya konsentrasi bahan pencemar berbeda pada masing-masing tanaman. Jahar and Iqbal (1992) menyebutkan bahwa tiap jenis tanaman memiliki sifat dan karakteristik tersendiri dalam merespon pencemar udara. Perbedaan tersebut tergantung dari jenis tanaman dan susunan genetiknya. USDA Forest Service (1989) menjelaskan bahwa faktor lain seperti pertumbuhan pohon dan jarak terhadap sumber polusi,

5 35 konsentrasi bahan pencemar, serta lamanya terpolusi juga turut berperan. Sebagian besar tanaman tidak tahan terhadap gas-gas pencemar yang berada di atmosfer berapapun konsentrasinya, namun beberapa jenis tanaman dapat tahan terhadap gas pencemar yang ada ( Fitter dan Hay 1981). 5.2 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Akasia Stomata tanaman akasia dapat ditemukan pada sisi atas (adaksial) dan bawah (abaksial) daunnya, sehingga berdasarkan letak stomatanya daun akasia masuk dalam tipe amfistomatik. Jika dilihat tipe susunan stomatanya, daun akasia termasuk tipe parasitic atau rubiaceous dimana setiap sel penjaga bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga, sumbu membujurnya sejajar dengan sumbu sel penjaga dan apertur (Fahn 1991). Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia daerah tercemar dengan tanaman kontrol Parameter Nilai Nilai ratarata lokasi rata-rata Nilai Hasil lokasi signifikansi uji Yogyakarta Solo a. Sisi atas daun (Adaksial) Panjang stomata (µm) 20,85 21,57 0,406 TBN Lebar stomata (µm) 13,91 13,75 0,778 TBN Kerapatan stomata (jumlah /mm 2 ) 491,53 471,68 0,130 TBN Indeks stomata 12,02 11,05 0,029 BN Kerusakan sel epidermis (jumlah /mm 2 ) 0,13 4,80 0,001 BN Abnormalitas stomata (jumlah /mm 2 ) 0 2,06 0,011 BN b. Sisi bawah daun (Abaksial) Panjang stomata (µm) 20,87 21,50 0,397 TBN Lebar stomata (µm) 13,80 13,95 0,807 TBN Kerapatan stomata (jumlah /mm 2 ) 499,45 471,11 0,192 TBN Indeks stomata 12,25 11,48 0,205 TBN Kerusakan Sel Epidermis (jumlah /mm 2 ) 0,66 4,59 0,008 BN Abnormalitas stomata (jumlah /mm 2 ) 0,06 1,86 0,011 BN Keterangan : TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% Hasil pada Tabel 5 menunjukan bahwa beberapa parameter anatomi sayatan paradermal daun tanaman akasia menunjukan perbedaan nyata setelah dilakukan uji-t dengan menggunakan software SPSS. Parameter anatomi daun yang

6 36 menunjukan hasil berbeda nyata adalah indeks stomata sisi adaksial daun serta jumlah kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata pada kedua sisi daun akasia. Secara statistik ukuran kerapatan stomata pada kedua sisi daun menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata namun terdapat kecenderungan kerapatan stomata menjadi lebih rendah. Daun akasia pada daerah yang tercemar memiliki kerapatan stomata adaksial (471,68/mm 2 ) dan abaksial (471,11/mm 2 ) yang lebih rendah jika dibandingkan dengan daun akasia yang terdapat pada daerah kontrol (491,53/mm 2 dan 499,45/mm 2 ). Maulana (2004) melaporkan bahwa tanaman akan mengurangi jumlah stomatanya sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi bahan pencemar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pedroso dan Alves (2008) yang melaporkan bahwa peningkatan bahan pencemar terutama O 3 menyebabkan penurunan kerapatan stomata pada daun Nicotania tobacum L. Indeks stomata akasia sayatan adaksial adalah parameter anatomi yang menunjukan hasil berbeda nyata. Indeks stomata tanaman di lokasi tercemar lebih rendah jika dibanding dengan lokasi kontrol. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Riikonen et al. (2010) yang melaporkan bahwa indeks stomata spesies Betula papyrifera meningkat setelah terjadi peningkatan bahan pencemar berupa gas. Penelitian Gostin (2009) terhadap beberapa spesies Fabaceae dan Verma et al. (2009) pada spesies Ipomea pes-trigridis L menunjukkan hasil indeks stomata yang meningkat akibat adanya peningkatan bahan pencemar. Hasil uji-t terhadap parameter pengamatan menunjukkan hasil yang signifikan (BN) pada sisi adaksial daun akasia lebih banyak dibandingkan sisi abaksialnya. Riikonen et al. (2010) menyatakan bahwa kontak antara daun dengan udara (bahan pencemar) paling besar kemungkinnya terjadi pada sisi adaksial. Abnormalitas stomata dan kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia adaksial dan abaksial dapat diamati dengan mudah. Perbedaan pada kedua lokasi ini terlihat nyata, dimana daun akasia pada daerah tercemar memilki kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata yang cukup banyak. Kozlowzki dan Mudd (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya dapat menyebabkan perubahan jaringan seperti

7 37 plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Fitter dan Hay (1981) menjelaskan bahwa beberapa tempat utama dalam tanaman yang dapat dipengaruhi oleh pencemar gas antara lain pada stomata dan kloroplas. Abnormalitas stomata ditandai dengan ukuran yang jauh berbeda dari ukuran stomata normal. Ukuran stomata menjadi lebih besar atau lebih kecil dengan perbedaan ukuran yang cukup jauh (terlihat berbeda dari stomata lainnya). Sisi paling luar stomata biasanya akan berwarna lebih tebal dibandingkan dengan stomata yang lain. Abnormalitas sel stomata ini dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Abnormalitas sel stomata pada sayatan paradermal daun akasia. Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel epidermis pada daun akasia. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang yang mengakibatkan sel epidermis terbelah menjadi lebih banyak dan kecil-kecil. Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia.

8 38 Abnormalitas stomata dan kerusakan sel epidermis ini cukup banyak ditemukan pada daun akasia yang berada pada daerah tercemar sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi bahan pencemar yang cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena bahan pencemar seperti SO 2, NO 2 dan TSP yang terakumulasi di dalam daun. Hal ini sesuai dengan penjelasan Black dan Black (1979) bahwa SO 2 pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada sel penjaga dan sel epidermis daun. Perbedaan sayatan paradermal sisi adaksial dan sisi abaksial daun akasia pada daerah tercemar dengan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 4. Kerusakan sel epidermis banyak dijumpai pada sayatan adaksial dan abaksial daun akasia yang berasal dari daerah yang tercemar ( Gambar 4B dan 4D) Gambar 4 Sayatan adaksial daun Akasia kontrol (A), sayatan adaksial daun Akasia tercemar (B), sayatan abaksial daun Akasia kontrol (C) dan sayatan abaksial Akasia tercemar (D).

9 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Akasia Jaringan palisade daun akasia dapat ditemukan pada sisi adaksial dan abaksial. Oleh karena itu, berdasarkan letak jaringan palisadenya, daun akasia bersifat isolateral atau isobilateral. Jaringan palisade daun akasia sisi adaksial dan abaksial merupakan palisade yang tersusun atas dua lapis Hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia daerah tercemar dengan tanaman kontrol Nilai ratarata lokasi rata lokasi Nilai rata- Nilai Hasil Parameter signifikansi uji Solo Yogyakarta Tebal daun (µm) 206,25 211,51 0,781 TBN Tebal jaringan epidermis atas (µm) 10,27 10,42 0,793 TBN Tebal jaringan epidermis bawah (µm) 9,86 9,58 0,760 TBN Tebal jaringan palisade atas (µm) 41,67 43,40 0,725 TBN Tebal jaringan palisade bawah (µm) 39,58 43,30 0,442 TBN Tebal jaringan bunga karang (µm) 101,25 102,36 0,924 TBN Tebal kutikula atas (µm) 1,29 4,39 0,001 BN Tebal kutikula bawah (µm) 1,23 4,06 0,002 BN Keterangan : TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% Berdasarkan hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia, hasil berbeda nyata (BN) hanya dijumpai pada parameter tebal lapisan kutikula. Secara statistik, tebal lapisan kutikula adaksial dan abaksial daun pada kedua lokasi menunjukan perbedaan yang nyata dengan nilai signifikansi 0,001 dan 0,002. Daun akasia yang diambil dari Yogyakarta memiliki lapisan kutikula sisi adaksial dan abaksial yang lebih tebal (4,39 µm dan 4,056 µm) dibandingkan dengan daun akasia yang berasal dari Solo (1,29 µm dan 1,23 µm). Kutikula yang terletak di sebelah luar lapisan epidermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan paling luar yang hanya terdiri dari lapisan kutin (kutikula sejati) dan lapisan dalam (lapisan kutikular) yang mengandung kutin serta bahan dinding sel lainnya. Lapisan paling luar dari daun ini difungsikan untuk menjaga kelembaban daun sebab lapisan kutikula dapat mengontrol transpirasi atau

10 40 penguapan sehingga meminimalkan kehilangan air. Selain menjaga kelembaban, kutikula juga berfungsi menjadi pertahanan awal terhadap masuknya benda asing termasuk bahan pencemar dari udara ke dalam daun (Fahn 1991). Hal ini terjadi pada daun akasia di Yogyakarta, daun akasia melakukan adaptasi terhadap tingginya konsentrasi bahan pencemar akibat debu vulkanik terutama TSP yang keluar pada saat Merapi meletus dengan meningkatkan ketebalan lapisan kutikulanya. Kutikula merupakan pertahanan pertama daun terhadap bahan-bahan pencemar yang masuk melalui daun karena letaknya yang berada di atas lapisan epidermis. Modifikasi pada tebal kutikula merupakan respon untuk mengurangi transpirasi dan reaksi tanaman terhadap masuknya bahan pencemar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Weryszko et al (2005) yang melaporkan bahwa pengaruh bahan pencemar udara dapat meningkatkan tebal kutikula pada Glycine max sebagai bentuk pertahanannya. Jaringan palisade daun tercemar cenderung menjadi lebih tipis dibandingkan kontrolnya (Gambar 5). Hal ini juga merupakan respon tanaman akasia. Namun secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan bahan pencemar pasca letusan Gunung Merapi dalam jangka waktu tertentu ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap parameter-parameter anatomi daun sayatan transversal kecuali pada tebal jaringan kutikula. Jaringan bunga karang dan palisade daun akasia juga tidak mengalami kerusakan. Hasil ini berbeda dengan pernyataan Ormond (1987) dalam Santosa (2004) yang mejelaskan bahwa kadar bahan pencemar seperti HF, SO dan debu yang tinggi dapat menyebabkan rusaknya jaringan bunga karang dan palisade. Hal ini didukung oleh Treshow (1970) yang menyatakan bahwa gas SO 2 dengan konsentrasi tertentu yang masuk dalam daun dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan bunga karang, lapisan epidermis, dan palisade. Treshow (1970) juga menjelaskan bahwa partikel padat yang terjerap maupun terserap khususnya yang bersifat tajam (abrasif) juga mampu mengakibatkan luka melalui gesekan dengan permukaan yang lain dan akan menjadi media yang baik bagi organisme patogen untuk menginfeksi daun. Debu vulkanik sangat sulit larut dalam air, sangat kasar dan agak korosif serta mengandung listrik apabila basah. Secara mikroskopik, debu vulkanik terlihat mengandung SiO 2 atau pasir kuarsa yang biasa digunakan untuk membuat

11 41 gelas dan tampak berujung runcing sehingga dapat melukai jaringan-jaringan di dalam daun (Sinuhaji 2011). Sayatan transversal daun akasia di lokasi tercemar dengan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 5. Keterangan : 1. Tebal daun 3. Epidermis bawah 5. Palisade bawah 2. Epidermis atas 4. Palisade atas 6. Bunga karang Gambar 5 Sayatan transversal daun akasia kontrol (A) dan tercemar (B). Gambar 6 Tebal kutikula atas daun kontrol (A1) dan daun tercemar (B1), tebal kutikula bawah daun kontrol (C1) dan daun tercemar (D2). 5.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Mahoni Berdasarkan letak stomatanya, tanaman mahoni masuk dalam tipe hipostomatik karena stomata hanya dijumpai pada sisi abaksial daun (Gambar 9). Fahn (1991) menjelaskan bahwa pada daun yang pertulangannya menjala,

12 42 stomatanya akan menyebar tidak teratur seperti pada mahoni. Jika dilihat berdasarkan tipe susunan stomatanya, daun mahoni termasuk dalam tipe anisositik atau stomata dengan sel penjaga yang dikelilingi oleh tiga sel tetangga yang ukurannya tidak sama (Fahn 1991). Gambar 7 Sisi adaksial daun mahoni tanpa stomata (A) dan sisi abaksial mahoni dengan stomata (B). Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun mahoni tanaman kontrol dengan mahoni daerah tercemar TSP dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan paradermal sisi abaksial daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol Nilai ratarata lokasi rata lokasi Hasil uji Nilai rata- Nilai Parameter signifikansi Solo Yogyakarta Panjang stomata (µm) 18,07 16,60 0,077 TBN Lebar stomata (µm) 13,19 12,03 0,088 TBN Kerapatan stomata (jumlah/mm 2 ) 660,24 597,05 0,207 TBN Indeks stomata 18,52 18,18 0,589 TBN Kerusakan sel epidermis (jumlah/mm 2 ) 0 0,33 0,152 TBN Abnormalitas stomata( jumlah/mm 2 ) 0,13 3,93 0,021 BN Keterangan : TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% Parameter anatomi daun sayatan paradermal yang diuji menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antara tanaman di daerah tercemar dengan kontrolnya kecuali jumlah abnormalitas stomata. Ukuran lebar stomata tanaman mahoni tercemar cenderung menjadi lebih kecil (13,19 µm) dibandingkan tanaman kontrolnya (13,67 µm). Diikuti dengan panjang stomata yang juga mengalami

13 43 penurunan dari 18,07 µm menjadi 16,60 µm. Namun hasil uji-t pada sayatan transversal daun mahoni menunjukan hasil yang tidak signifikan (TBN). Kozlowski dan Mudd (1975) menjelaskan bahwa tanaman yang tumbuh pada lingkungan yang terpolusi akan cenderung mempertahankan diri dengan meningkatkan ukuran stomatanya. Jumlah stomata daun mahoni tercemar juga cenderung menurun, hal ini terlihat dari kerapatan stomata tanaman tercemar (597,05/mm 2 ) yang lebih rendah jika dibandingkan kerapatan stomata tanaman kontrol (660,2/mm 2 ). Jumlah stomata yang menjadi lebih sedikit dan ukuran lebar stomata yang menjadi lebih kecil merupakan salah satu respon tanaman mahoni untuk mengurangi jumlah bahan pencemar yang masuk ke dalam daun baik yang berupa gas maupun partikel debu meskipun secara statistik hasil yang ditunjukan adalah tidak berbeda nyata. Penelitian yang dilaporkan oleh Maulana (2004) menyatakan bahwa tanaman yang berada pada kondisi bahan pencemar yang lebih tinggi akan memberikan respon dengan mengurangi jumlah stomata. Dickinson (2000) menjelaskan bahwa stomata merupakan tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Struktur stomata, frekuensi, dan distribusinya telah diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensitivitas tanaman dan ketahanan daun terhadap masuknya bahan pencemar. Parameter lain yang diuji adalah adanya kerusakan jaringan epidermis dan abnormalitas stomata pada daun mahoni yang tercemar. Hasil uji-t menujukkan hanya abnormalitas stomata yang menunjukan hasil berbeda nyata (BN) dengan nilai signifikansi Kondisi mikroskopik tanaman kontrol cenderung rapi dan jarang terlihat adanya kerusakan bahkan tidak ada, berbeda dengan tanaman mahoni tercemar yang banyak terdapat kerusakan. Abnormalitas sel stomata ditandai dengan ukuran yang cenderung jauh lebih besaratau bahkan lebih kecil dan terlihat berbeda dari stomata yang normal. Sisi sekeliling stomata biasanya akan berwarna lebih tebal. Stern (1962) dalam Suratin (1991) menjelaskan bahwa debu dapat mempengaruhi bagian daun yang berbeda tergantung pada umur daun tersebut, namun pada irisan paradermal daerah yang paling sering rusak adalah daerah stomata dan sekitarnya sehingga dapat menghambat absorbsi CO 2 dari udara. Abnormalitas stomata yang cukup banyak

14 44 dapat ditemukan pada daun mahoni pada lokasi tercemar. Sayatan paradermal daun mahoni pada kedua lokasi dan abnormalitas stomata dapat dilihat pada Gambar 8. Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel epidermis pada daun mahoni. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang atau pusaran yang mengakibatkan sel epidermis menjadi terbelah menjadi banyak, kecil-kecil dan seolah mengumpul. Treshow (1970) menjelaskan bahwa polusi udara terutama yang mengandung SO dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan epidermis atas dan bawah. Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun mahoni dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 8 Abnormalitas stomata pada sayatan paradermal daun mahoni kontrol (A) dan daerah tercemar (B). Gambar 9 Kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun mahoni. 5.5 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Mahoni Berdasarkan keberadaan jaringan palisadenya, daun mahoni bersifat dorsiventral karena jaringan palisadenya berada di sisi atas daun (adaksial) dan bunga karang di sisi yang lain. Jaringan palisade pada daun akasia tercemar dan

15 45 kontrol tersusun atas satu lapis sel. Pengamatan sayatan transversal daun mahoni dilakukan terhadap tujuh parameter yaitu tebal daun, tebal jaringan epidermis atas dan bawah, jaringan palisade atas, jaringan bunga karang serta lapisan kutikula atas dan bawah (Gambar 10 dan 11). Hasil uji-t dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol Parameter Nilai Nilai ratarata lokasi rata-rata Nilai lokasi signifikansi Yogyakarta Solo Hasil uji Tebal daun (µm) 182,64 104,58 0,005 BN Tebal jaringan epidermis atas (µm) 12,92 10,97 0,066 TBN Tebal jaringan epidermis bawah (µm) 9,31 7,03 0,123 TBN Tebal jaringan palisade atas (µm) 64,03 34,30 0,039 BN Tebal jaringan bunga karang (µm) 91,80 52,08 0,001 BN Tebal kutikula atas (µm) 2,67 2,15 0,213 TBN Tebal kutikula bawah (µm) 2,54 1,60 0,008 BN Keterangan : TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% Keterangan : 1. Tebal daun 2. Epidermis atas 3. Epidermis bawah 4. Palisade atas 5. Bunga karang Gambar 10. Sayatan transversal daun mahoni kontrol (A) dan tercemar (B).

16 46 Gambar 11 Tebal kutikula atas daun kontrol (A1) dan daun tercemar (B1), tebal kutikula bawah daun kontrol (C1) dan daun tercemar (D). Hasil analisis terhadap tujuh parameter sayatan trasversal daun yang diuji memberikan hasil bahwa tebal jaringan epidermis atas dan bawah serta tebal lapisan kutikula atas menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antara tanaman pada daerah tercemar dengan kontrolnya. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi bahan pencemar gas dan materi vulkanik pasca letusan Gunung Merapi tidak memberikan dampak yang nyata pada ketiga parameter tersebut. Hasil berbeda nyata ditunjukkan oleh parameter tebal daun, jaringan palisade, bunga karang dan lapisan kutikula yang menjadi lebih tipis. Hal ini didukung oleh Pedroso dan Alves (2008) yang melaporkan bahwa tebal daun pada beberapa tumbuhan family Solanaceae yang terpapar ozon menjadi lebih tipis. Tebal kutikula abaksial daun mahoni tercemar yang menjadi lebih tipis (1,6 µm) jika dibandingkan tanaman kontrolnya (2,54 µm) dipengaruhi oleh kondisi iklim. Fahn (1991) menjelaskan bahwa tebal kutikula tidak sama pada setiap tumbuhan, dan umumnya akan menjadi lebih tebal pada tumbuhan yang hidup pada daerah yang kering. Kota Solo memilki kodisi iklim yang lebih kering dengan suhu rata-rata 28,6ºC (Badan Pusat Statistik Solo 2010) jika dibandingkan kota Yogyakarta yang memiliki suhu rata-rata 26,66ºC (Badan Pusat Statistik

17 47 Yogyakarta 2010) sehingga tanaman mahoni yang berasal dari kota Solo (kontrol) memiliki lapisan kutikula yang lebih tebal. Konsentrasi bahan pencemar yang meningkat memberikan pengaruh pada tebal jaringan palisade dan bunga karang menjadi lebih tipis. Perubahan tebal jaringan yang terjadi cukup signifikan, dari 64,03 µm (Solo) menjadi 34,30 µm (Yogyakarta) untuk jaringan palisade dan 91,80 µm (Solo) menjadi 52,08 µm (Yogyakarta) untuk jaringan bunga karang. Hal ini merupakan respon tanaman mahoni terhadap perubahan kondisi lingkungan dan bahan pencemar. Meskipun ukuran jaringan palisade dan bunga karang menjadi lebih tipis, namun kerusakan jaringan tidak ditemukan pada sayatan transversal daun mahoni kontrol maupun tercemar. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Treshow (1985) yang menjelaskan bahwa SO 2 dalam konsentrasi rendah sudah mampu menyebabkan kerusakan pada jaringan daun seperti epidermis, palisade dan bunga karang. Selain itu, SO 2 dalam jaringan daun juga dapat menyebabkan kloroplas pecah kemudian klorofil menyebar dalam sitoplasma dan selanjutnya protoplasma menyusut dan berkerut Kerusakan akibat bahan pencemar NO 2 tidak ditemukan pada sayatan transversal daun mahoni kontrol dan tercemar. Namun Stoker dan Seager (1972) menjelaskan bahwa NO 2 pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat menyebabkan gejala nekrosis dan kerusakan tenunan jaringan. NO 2 yang terserap akan bereaksi dengan air dalam daun membentuk campuran sthoikiometrik dan asam nitrat serta asam nitrit. Hal ini dapat menyebabkan gas-gas yang terbentuk mencapai air dalam jaringan parenkim dan menimbulkan keasaman. Apabila keasaman melebihi ambang batas pada jaringan maka akan menimbulkan kerusakan. Mulamula kerusakan terjadi pada jaringan bunga karang dan lapisan epidermis bawah, kemudian palisade dan lapisan epidermis atas. Meskipun kerusakan akibat NO 2 tidak ditemukan, namun adanya gas NO 2 tetap memberikan pengaruh terhadap ketebalan jaringan palisade dan bunga karang yang menjadi lebih tipis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suratin (1991) yang melaporkan bahwa tebal jaringan palisade dan bunga karang Bauhinia purpurea menjadi lebih tipis setelah terpapar bahan pencemar gas kendaraan bermotor.

Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).

Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR Media Konservasi Vol. X, No. 2 Desember 2005 : 71 76 RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR [Growth and

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer 21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan dan Udara Lingkungan hidup adalah semua benda yang hidup dan tak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kandungan Klorofil dan Udara Ambien Berdasarkan Tabel 1, terdapat kecenderungan peningkatan kandungan klorofil seiring dengan jauhnya stasiun dari pabrik. Semakin jauh lokasi

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA i STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GITA OKTARINA EKA PUTRI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokan tanaman Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap sampel daun untuk mengetahui ukuran stomata/mulut daun, dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 ditunjukkan

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI

STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI (Swietenia mahagoni Jacq.) ANTARA DAERAH KEDUNGHALANG KOTA BOGOR DENGAN DAERAH CIAPUS KABUPATEN BOGOR Wahyu Hening Kartiko, Ismanto, Sri Wiedarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI Oleh: Ayu Agustini Juhari 1210702007 Tanggal Praktikum : 16 April 2012 Tanggal Pengumpulan : 23 April 2012

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa daerah di Jawa Timur yang mengalami perkembangan yang pesat dari sektor industri salah satunya di Kecamatan Ngoro. Jumlah perusahaan industri pengolahan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman penghasil kayu berkualitas tinggi dari familli Fabaceae, kayunya tergolong keras dan berat, tinggi mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang ekstrim yang disertai peningkatan temperatur dunia yang mengakibatkan

Lebih terperinci

B A P E D A L Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

B A P E D A L Badan Pengendalian Dampak Lingkungan KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP- 107/KABAPEDAL/11/1997 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA INFORMASI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA B A P E D A L Badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982, menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber utama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa.

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa. 6 3 lintas, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu: 1. Apabila koefisien korelasi antara peubah hampir sama dengan koefisien lintas (nilai pengaruh langsung) maka korelasi tersebut menjelaskan hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar udara di banyak kota besar di dunia, termasuk Indonesia. Emisi gas buangan kendaraan bermotor memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1 1. Makhluk hidup yang dapat berfotosintesis adalah makhluk hidup... Autotrof Heterotrof Parasit Saprofit Kunci Jawaban : A Makhluk hidup autotrof

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri seharusnya memiliki kualitas sesuai standar yang ditentukan. Dalam proses pembuatannya tentu diperlukan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap detik selama hidupnya akan membutuhkan udara. Secara ratarata manusia tidak dapat mempertahankan hidup tanpa udara lebih dari tiga menit. Udara tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota yang menjadi hunian dan tempat mencari kehidupan sehari-hari harus bisa

BAB I PENDAHULUAN. kota yang menjadi hunian dan tempat mencari kehidupan sehari-hari harus bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin bertambahnya aktivitas manusia di perkotaan membawa dampak semakin sulitnya pemenuhan tuntutan masyarakat kota akan kesejahteraan, ketentraman, ketertiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang bersih adalah kebutuhan dasar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Namun, polusi udara masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan di seluruh dunia.

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.3 1. Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... A. Air cahaya CO 2 O 2 Kunci Jawaban : D Bahan-bahan yang

Lebih terperinci

Udara ambien Bagian 4: Cara uji kadar timbal (Pb) dengan metoda dekstruksi basah menggunakan spektrofotometer serapan atom

Udara ambien Bagian 4: Cara uji kadar timbal (Pb) dengan metoda dekstruksi basah menggunakan spektrofotometer serapan atom Standar Nasional Indonesia Udara ambien Bagian 4: Cara uji kadar timbal (Pb) dengan metoda dekstruksi basah menggunakan spektrofotometer serapan atom ICS 13.040.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi, serta meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor dan jasa angkutan umum sebagai sarana transportasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan peradaban kota, kebutuhan akan sarana dan prasarana semakin meningkat, seperti perkembangan pusat-pusat industri dan meningkatnya volume

Lebih terperinci

ORGAN DAN SISTEM ORGAN PADA TUMBUHAN

ORGAN DAN SISTEM ORGAN PADA TUMBUHAN ORGAN DAN SISTEM ORGAN PADA TUMBUHAN AKAR Mengokohkan tegaknya tumbuhan Menyerap air dan garam mineral serta mengalirkannya ke batang dan daun Menyimpan cadangan makanan Susunan anatomis akar dikotil

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pencemaran udara adalah proses masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke udara oleh aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan berubahnya tatanan udara sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan lingkungan dapat memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak penyakit dapat dimulai,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel ORGANISASI KEHIDUPAN Sel Sel adalah unit terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sangat kecil untuk melihat harus dibantu dengan mikroskop. Kata sel berasal dari bahasa latin cellulae, yang berarti bilik kecil.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian

Lebih terperinci

Perbedaan Transpirasi dengan. Evaporasi

Perbedaan Transpirasi dengan. Evaporasi TRANSPIRASI Definisi Proses hilangnya air dalam bentuk uap air dari jaringan hidup tanaman yang terletak di atas permukaan tanah melewati stomata, lubang kutikula, dan lentisel 80% air yang ditranspirasikan

Lebih terperinci

Peta Konsep. Kata Kunci. fotosintesis. klorofil autothrof. 126 IPA SMP/MTs Kelas VIII. Proses fotosintesis. Reaksi terang. Reaksi gelap.

Peta Konsep. Kata Kunci. fotosintesis. klorofil autothrof. 126 IPA SMP/MTs Kelas VIII. Proses fotosintesis. Reaksi terang. Reaksi gelap. Peta Konsep Proses fotosintesis Reaksi terang Reaksi gelap Fotosintesis Faktor-faktor yang memengaruhi fotosintesis Air (H 2 O Karbondioksida (CO 2 Cahaya matahari Suhu Oksigen (O 2 Kata Kunci fotosintesis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandung merupakan kota dengan aktivitas masyarakat yang tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung dikunjungi banyak masyarakat

Lebih terperinci

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C)

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C) Pengaruh Kadar Gas Co 2 Pada Fotosintesis Tumbuhan yang mempunyai klorofil dapat mengalami proses fotosintesis yaitu proses pengubahan energi sinar matahari menjadi energi kimia dengan terbentuknya senyawa

Lebih terperinci

Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 Tentang : Perhitungan Dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara

Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 Tentang : Perhitungan Dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 Tentang : Perhitungan Dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk 2.191.140 jiwa pada tahun 2014 (BPS Provinsi Sumut,

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2011 Tanggal : 14 September 2011 STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kualifikasi : Penanggung Jawab Pengendalian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Wilayah Penelitian Kota Gorontalo merupakan Ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian,

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan salah satu unsur atau zat yang sangat penting setelah air. Seluruh makhluk hidup membutuhkan udara sebagai oksigen demi kelangsungan hidupnya di muka

Lebih terperinci

Deskripsi Anatomi Tanaman Katuk dan Patah Tulang

Deskripsi Anatomi Tanaman Katuk dan Patah Tulang Deskripsi Anatomi Tanaman Katuk dan Patah Tulang Anatomi Batang Patah Tulang Pengamatan anatomi secara mikroskopis pada tanaman patah tulang dilakukan untuk melihat susunan sel penyusun organ tanaman.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gas seperti sulfur dioksida vulkanik, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gas seperti sulfur dioksida vulkanik, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida selalu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali. Beberapa gas

Lebih terperinci

Praktikum Fisiologi Tumbuhan

Praktikum Fisiologi Tumbuhan Praktikum Fisiologi Tumbuhan Pengaruh Luas Daun Terhadap Kecepatan Absorpsi Air Tanggal Praktikum : 29 Maret 2012 Tanggal Pengumpulan : 5 April 2012 Nama : Melin Amalia NIM : 1210702036 Semester : IV Kelas

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek

5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek 5. PEMBAHASAN Pembahasan mengenai pengaruh waktu pemberian Giberelin (GA 3 ) terhadap induksi pembungaan dan pertumbuhan tanaman leek (Allium ampeloprasum L.) meliputi umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah

Lebih terperinci

Bismillahirrahmaanirrahiim...

Bismillahirrahmaanirrahiim... Bismillahirrahmaanirrahiim... Assalamualaikum wr wb... LOADING PLEASE WAIT TRANSPIRASI Definisi Proses hilangnya air dalam bentuk uap air dari jaringan hidup tanaman yang terletak di atas permukaan tanah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penyusunan Buah Dalam Kemasan Terhadap Perubahan Suhu Penelitian ini menggunakan dua pola penyusunan buah tomat, yaitu pola susunan acak dan pola susunan teratur. Pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. 1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat BAB I PENDAHULUAN 1.I Latar belakang Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Tetapi keberadaan jalur hijau jalan pada saat ini di Indonesia

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. PJP I telah mencapai sukses besar, yaitu mengantar Indonesia dari suatu negara

I. PENDAHULUAN. PJP I telah mencapai sukses besar, yaitu mengantar Indonesia dari suatu negara 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang bekerja pada sektor pertanian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut

Lebih terperinci

PENYERAPAN UNSUR HARA OLEH AKAR DAN DAUN

PENYERAPAN UNSUR HARA OLEH AKAR DAN DAUN PENYERAPAN UNSUR HARA OLEH AKAR DAN DAUN Unsur hara yang diperuntukkan untuk tanaman terdiri atas 3 kategori. Tersedia dari udara itu sendiri, antara lain karbon, karbondioksida, oksigen. Ketersediaan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN. Stomata

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN. Stomata LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN Stomata DISUSUN OLEH : Irwin Septian F05110003 Kelompok VII PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilepaskan bebas ke atmosfir akan bercampur dengan udara segar. Dalam gas

I. PENDAHULUAN. dilepaskan bebas ke atmosfir akan bercampur dengan udara segar. Dalam gas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sarana transportasi saat ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat yang melakukan aktivitas perjalanan di luar rumah. Kebutuhan sarana transportasi tersebut memacu laju pertambahan

Lebih terperinci

Penilaian Kualitas Udara, dan Indeks Kualitas Udara Perkotaan

Penilaian Kualitas Udara, dan Indeks Kualitas Udara Perkotaan Penilaian Kualitas Udara, dan Indeks Kualitas Udara Perkotaan Kuliah Minggu V Laboratorium Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim (LPUPI) Jurusan Teknik Lingkungan FTSP ITS Host of Urban Problems Problem

Lebih terperinci

Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Oleh : Andika Wijaya Kusuma 3307100081 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN. Hubungan Antara Jumlah Stomata Dengan Kecepatan Transpirasi. Nama : Bani Nugraha.

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN. Hubungan Antara Jumlah Stomata Dengan Kecepatan Transpirasi. Nama : Bani Nugraha. LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN Hubungan Antara Jumlah Stomata Dengan Kecepatan Transpirasi Nama : Bani Nugraha Nim : 1210702008 Tanggal Praktikum : 16 April 2012 Tanggal Pengumpulan : 23 April 2012

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. beberapa Kecamatan yaitu Kecamatan Kota Tengah, Kecamatan Kota Utara dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. beberapa Kecamatan yaitu Kecamatan Kota Tengah, Kecamatan Kota Utara dan 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pengamatan stomata dalam penelitian ini dilakukan pada 9 varietas tumbuhan puring yang terdapat di Kota Gorontalo. Varietas puring ini

Lebih terperinci

PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR. Laporan Praktikum Mikroteknik. OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031

PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR. Laporan Praktikum Mikroteknik. OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031 PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR Laporan Praktikum Mikroteknik Nama NIM Kelompok Asisten OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031 : II (dua) : Ana Fatmasari PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Suripin 2004). Erosi merupakan tiga proses

Lebih terperinci

DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Secara umumm planlet anggrek Dendrobium lasianthera tumbuh dengan baik dalam green house, walaupun terdapat planlet yang terserang hama kutu putih Pseudococcus spp pada

Lebih terperinci

Keanekaragaman Organisme Kehidupan

Keanekaragaman Organisme Kehidupan Keanekaragaman Organisme Kehidupan Salah satu ciri makhluk hidup adalah tubuhnya tersusun atas sel. Sel merupakan satuan atau unit terkecil dari makhluk hidup, seperti pencernaan makanan, bernafas, ekskresi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BOTANI ANATOMI AKAR BATANG DAN DAUN

LAPORAN PRAKTIKUM BOTANI ANATOMI AKAR BATANG DAN DAUN LAPORAN PRAKTIKUM BOTANI ANATOMI AKAR BATANG DAN DAUN Di susun oleh ; SYAYID NURROFIK 1404020003 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2015 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH

BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH Proses Pembentukan Tanah. Tanah merupakan lapisan paling atas pada permukaan bumi. Manusia, hewan, dan tumbuhan memerlukan tanah untuk tempat hidup. Tumbuh-tumbuhan tidak

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN. Jaringan pada Daun Monokotil dan Dikotil

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN. Jaringan pada Daun Monokotil dan Dikotil LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN Jaringan pada Daun Monokotil dan Dikotil DISUSUN OLEH : Irwin Septian F05110003 Kelompok VII PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA FAKULTAS

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4. LIMBAH Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.B3 PENGERTIAN Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/1999 Jo.PP 85/1999

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar Air Kulit Manggis Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang menentukan mutu dari suatu produk hortikultura. Buah manggis merupakan salah satu buah yang mempunyai

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2010 Tanggal : 26 Maret 2010 I. PENDAHULUAN PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Dalam Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi kehidupan di dunia ini ( Arya, 2004: 27).

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi kehidupan di dunia ini ( Arya, 2004: 27). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan campuran beberapa gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitar. Udara juga adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2007 Tentang Pencemaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2007 Tentang Pencemaran 2.1.Pengertian Pencemaran Udara BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2007 Tentang Pencemaran Lingkungan, pencemaran udara diartikan sebagai pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas

Lebih terperinci

Kegiatan Belajar 4 Jaringan Daun dan Sifat Totipotensi Tumbuhan

Kegiatan Belajar 4 Jaringan Daun dan Sifat Totipotensi Tumbuhan Kegiatan Belajar 4 Jaringan Daun dan Sifat Totipotensi Tumbuhan Dikembangkan oleh: Wiwit Febriani Dr. Hadi Suwono, M.Si Dra. Sunarmi, M.Pd Jurusan Biologi FMIPA UNIVERSITAS NEGERI MALANG April 2013 Modul

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gandaria adalah tanaman buah-buahan dari sub kelas Dycotiledoneae dan famili Anacardiaceae. Di Indonesia gandaria memiliki daerah penyebaran yang sempit,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bulan, mulai bulan Januari sampai dengan bulan April 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. bulan, mulai bulan Januari sampai dengan bulan April 2012. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biosistematika dan Laboratorium Histologi Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Lebih terperinci