IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3 RINGKASAN CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI. Identifikasi Struktur Anatomi Daun Angsana dan Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi. Dibimbing oleh: SITI BADRIYAH RUSHAYATI dan DORLY Letusan Gunung Merapi terjadi pada hari Selasa tanggal 26 Oktober Letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi yang terdiri dari sulfur dioksida (SO 2 ), gas hidrogen sulfida (H 2 S), nitrogen dioksida (NO 2 ), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau Particulate Matter). Bahan-bahan pencemar udara, khususnya gas dan materi vulkanik Merapi, dapat menyebabkan kerusakan dan perubahan pada struktur anatomi dari tanaman yang ada di sekitarnya (Wilson et al. 2007). Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai pengaruh gas dan materi vulkanik pada struktur anatomi tanaman perkotaan di Kota Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh gas dan materi vulkanik pasca erupsi Gunung Merapi terhadap struktur anatomi daun pada dua jenis tanaman perkotaan yaitu angsana dan beringin. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai masukan dalam mempertimbangkan pemilihan jenis tanaman perkotaan untuk membuat kondisi lingkungan lebih baik pasca erupsi Gunung Merapi di Kota Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi relatif tercemar) dan di Kota Solo (lokasi kontrol) serta pembuatan sediaan mikroskopis anatomi daun dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni - Agustus Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari hasil pengamatan terhadap anatomi daun sayatan paradermal dan transversal masing-masing daun pada kedua kota. Data sekunder berupa data kualitas udara lokasi penelitian yang didapatkan dari Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota. Analisis data menggunakan uji t-student untuk menguji pembandingan antara tanaman di daerah yang relatif tercemar dengan daerah kurang tercemar. Hasil pengamatan sayatan paradermal dan transversal pada daun angsana tidak menunjukkan adanya kerusakan, namun daun menunjukkan respon terhadap gas dan materi vulkanik dengan menurunkan kerapatan dan indeks stomata, serta meningkatkan ukuran panjang stomata dan ketebalan jaringan palisade. Hasil pengamatan sediaan sayatan paradermal dan transversal pada daun beringin juga tidak menunjukkan adanya kerusakan dan semua parameter pengamatan tidak menunjukkan respon secara statistik. Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap struktur anatomi daun dapat disimpulkan bahwa tanaman angsana dan beringin tahan terhadap gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Sehingga tanaman angsana dan beringin merupakan tanaman yang baik untuk ditanam di Kota Yogyakarta. Kata kunci : gas vulkanik, materi vulkanik, angsana, beringin, struktur anatomi.

4 SUMMARY CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI. Identification of Leaf Anatomical Structure of Burmese rosewood and Banyan Influenced by Gas and Volcanic Material Post-Eruption of Mount Merapi. Supervised by SITI BADRIYAH RUSHAYATI and DORLY Mount Merapi eruption occurred on Tuesday October 26, The eruption discharged various types of gases and materials consisted of sulfur dioxide (SO 2 ), hydrogen sulfide (H 2 S), nitrogen dioxide (NO 2 ), and dust particles (Total Suspended Particulates or Particulate Matter). Air pollutant particularly Merapi, gas and volcanic material can cause damage to the anatomical structure of plants around them (Wilson et al. 2007). Therefore research on the influence of gas and volcanic material on anatomical structure of urban plants in Yogyakarta city is nedeed. The aim of the research was to identify the influence of gas and volcanic material on leafs anatomical structure in two species of urban plants, namely Burmese rosewood and Banyan. This research was expected to provide consideration as input in the selection of urban vegetation to improve environmental conditions after the eruption of the Mount Merapi in Yogyakarta city. The research was carried out in Yogyakarta as a relatively polluted area, and Solo as the location of less polluted area or control, and microscopic leaf anatomical preparations were carried out in the Laboratory of Plant Anatomy, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University. The research was conducted from June until August Types of data and information collected in this study consists of primary and secondary data. Primary data was taken from the results of observation on the leaf anatomical paradermal and transversal section each leaf in two cities. Secondary data on air quality data was obtained from The Environmental Bureau of each city. Data were analysed using t-student test to test the difference between plants in the relatively polluted area with the less polluted area. Observation results of leaf anatomical paradermal and transversal section of Burmese rosewood were undamaged, but which showed influence by gas and volcanic material were the decline of density and index stomata, the raise length stomatal, and the thicken of palisade tissues. Observation result of leaf anatomical paradermal and transversal section of Banyan were also undamagade and all the parameters were not significant statistically. The research had showed that Burmese rosewood and Banyan could cope up with pollutants from Mount Merapi eruption. Therefore, both species were appropriate to be planted in the Yogyakarta city. Keywords: volcanic gas, volcanic material, burmese rosewood, banyan, anatomical structure

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Struktur Anatomi Daun Angsana dan Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2012 Choirunnisa Wihda Desyanti NIM E

6 Judul Skripsi Nama NIM : Identifikasi Struktur Anatomi Daun Angsana dan Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi : Choirunnisa Wihda Desyanti : E Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si Dr. Ir. Dorly, M.Si NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP Tanggal Lulus :

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB dengan judul Identifikasi Struktur Anantomi Daun Angsana dan Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi. Letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan, salah satunya adalah berubahnya kualitas lingkungan akibat pencemaran di udara. Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara hingga menempel pada daun-daun di pepohonan sekitar Kota Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik ini dapat masuk dan menempel pada daun, serta menghambat proses fotosintesis, sehingga dapat terjadi kerusakan dan perubahan jaringan di dalam daun. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengetahui kerusakan dan perubahan jaringan di dalam daun adalah melakukan penelitian untuk mengidentifikasi struktur anatomi daun. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan kualitas vegetasi dan udara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Namun demikian penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Dorly, M.Si. yang telah membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini. Bogor, Februari 2012 Penulis

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, 24 Desember 1989 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Drs. Abdul Kholik dan Kanti Hardiati. Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri 4 Wanaherang Bogor lulus pada tahun Tahun 2004 penulis lulus dari SMP Puspanegara Bogor. Kemudian pendidikan penulis dilanjutkan ke SMA Negeri 3 Bogor dan lulus tahun Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan memilih program mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE), Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam kegiatan Kelompok Pemerhati Burung (KPB) Perenjak di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) sebagai sekretaris periode Semasa kuliah penulis telah mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cagar Alam (CA) Gunung Burangrang Purwakarta dan CA Cikiong Karawang, Jawa Barat pada tahun Penulis juga telah mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi pada tahun Pada tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Kegiatan lapang yang pernah diikuti penulis adalah Eksplorasi Flora Fauna Indonesia RAFFLESIA HIMAKOVA di CA Rawa Danau Kabupaten Serang Provinsi Banten dan CA Gunung Burangrang Kabupaten Purwakarta Provinsi Jawa Barat, dan Studi Konservasi Lingkungan SURILI HIMAKOVA di Taman Nasional Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Kehutanan IPB, maka penulis menyusun skripsi dengan judul Identifikasi Stuktur Anatomi Daun Beringin dan Angsana Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi di bawah bimbingan Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Dorly, M.Si.

9 UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillah. Segala puji penulis panjatkan bagi Allah SWT yang telah memberikan anugerah berupa kesehatan dan kesempatan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa yang akan penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Drs. Abdul Kholik dan Ibu Kanti Hardiati tersayang yang telah mencurahkan kasih sayang, doa yang tulus, dukungan moril dan materil serta adikku Sabila Syifa yang selalu memberikan motivasi. 2. Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Dorly, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si. yang berkenan menjadi moderator dalam seminar hasil penelitian. 4. Ibu Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si. selaku ketua sidang dan ibu Istie Sekartining Rahayu, S.Hut, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Divisi-divisi Pemerintahan Kota (PEMKOT) Yogyakarta dan Solo, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta dan Solo, serta Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta atas izin penggunaan data. 6. Kepala dan seluruh staff Tata Usaha DKSHE IPB atas bantuan demi kelancaran proses penyusunan skripsi ini. 7. Teman-teman di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia yaitu Ari Firmansyah, Fajarwening, Dian Paramitha, dan Maulana Adhi P. yang telah membantu penulis dan akan selalu dikenang. 8. Teman-teman di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB, yaitu Rita, Henny, Nisful, Adhi, Bu Tini, Bu Ani, Pak Naryo dan Pak Edi yang telah membantu penulis selama penelitian.

10 9. Singgih Mukti Wibowo, Fachrunnisa, Maya, Laras, Lili, Keluarga Pondok Jamilah (Rani, Seruni, Indri, Mia, Kak Aisyah dan Mba Arum), Keluarga Villa Cempaka (Belinda, Angga, Anabela, Icha, Nindi, Iie, Gita, dan Adam) atas dukungan dan semangat yang diberikan. Semoga kita dapat meraih segala cita dalam kebersamaan. 10. Para sahabat di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB angkatan 44 KOAK, Brigitta, Resi, Diena, Dinar, Meli, Fela, Reza, Chaca, dan Anin, atas kekeluargaannya dan segala kebersamaan dalam mengejar studi. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga amal kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dan pahala oleh Allah SWT, amin.

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Manfaat... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Jenis Polutan Udara Erupsi Gunung Merapi Sulfur Oksida (SO x ) Nitrogen Dioksida (NO x ) Partikel (Debu) Pengaruh Polutan Udara terhadap Tanaman Struktur Anatomi Daun Deskripsi Jenis Pohon Sampel Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) Beringin (Ficus benjamina Linn.) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Jenis Data Data Primer Data Sekunder Metode Pengambilan Data Penentuan Letak Pohon Pengambilan Sampel Daun... 14

12 x Pembuatan Sediaan Mikroskopis Pengamatan Sediaan Mikroskopis Analisis Data BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Kota Yogyakarta Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta Letak Geografis dan Batas Administratif Topografi Iklim Kependudukan Kota Surakarta (Solo) Sejarah dan Perkembangan Kota Surakarta Letak Geografis dan Batas Administratif Topografi Iklim Kependudukan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Udara Struktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal Struktur Anatomi Daun Beringin (Ficus benjamina Linn.) Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 51

13 DAFTAR TABEL No. Halaman 1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian pada sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi tahun Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo... 43

14 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Posisi sampel daun yang diambil pada ranting (a) dan cabang (b) Fiksasi daun dalam alkohol 70% pada wadah (a) dan sampel daun dalam tabung film yang telah berlabel (b) Perendaman daun di dalam larutan HNO₃ 50% Penyayatan epidermis daun dengan silet Hasil sayatan paradermal Infiltrasi parafin murni Oven ABC Labo Corporation KP-30AT Penanaman dalam blok parafin (a) dan pengaturan posisi sampel (b) Perendaman blok di dalam larutan Gifford Penempelan blok pada holder (a) & mikrotom putar Yamato RV-240 (b) Pemanasan pita parafin pada hot-plate Pemberian media perekat entellan Preparat yang siap dimasukkan ke oven (a) dan Oven Memmert (b) Wilayah administratif Kota Yogyakarta Peta wilayah administratif Kota Surakarta Pohon angsana di Kota Yogyakarta dan di Kota Solo Pohon beringin di Kota Yogyakarta dan di Kota Solo Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm) Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm) Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm) Hasil sayatan paradermal abaksial daun beringin: trikoma kelenjar di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm) Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm)... 44

15 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Komposisi seri larutan Johansen Komposisi larutan Gifford Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan paradermal dengan metode wholemount (Sass 1951) Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan transversal dengan metode parafin (Johansen 1940) Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 25 Mei Juli Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 25 Mei Juli Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 1 Juni Juli Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 5 Juni Juli Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 8 Juni Juli Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 12 Juni Juli Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 19 Juni Juli Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 22 Juni Juli Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 Juni Juli Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni Juli

16 xiv 16 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo pada tanggal 27 April Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo pada tanggal 28 April Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo pada tanggal 4 Mei Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo pada tanggal 11 Mei Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo pada tanggal 12 Mei Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo pada tanggal 11 Oktober Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo pada tanggal 11 Oktober Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo pada tanggal 14 Oktober

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung berapi merupakan suatu gunung yang dapat secara tiba-tiba mengeluarkan lava dan materi-materi vulkanik lainnya. Banyaknya gunung berapi yang masih aktif merupakan potensi munculnya bencana gempa bumi, awan panas, lahar, banjir, dan letusan gunung berapi. Salah satu gunung berapi yang masih aktif adalah Gunung Merapi yang terletak di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Yogyakarta (DIY), Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten Provinsi Jawa Tengah, dengan ketinggian meter di atas permukaan laut (Marsono 2004). Letusan Gunung Merapi yang terjadi pada hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010 pukul Waktu Indonesia Barat. Aktivitas erupsi Merapi semakin meningkat, yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa vulkanik dan mengeluarkan gas-gas vulkanik (BPPTK Yogyakarta 2010). Gunung Merapi meletus akibat magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi atau karena gerakan lempeng bumi, tumpukan tekanan dan panas cairan magma. Letusannya membawa abu dan batu yang menyembur dengan keras, sedangkan lavanya bisa membanjiri daerah sekitarnya. Akibat letusan tersebut bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar pada wilayah radius ribuan kilometer dan bahkan bisa mempengaruhi putaran iklim di bumi ini. Gas dan materi vulkanik letusan Gunung Merapi menurut P2PL (2010), bahwa mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri dari sulfur dioksida (SO 2 ), gas hidrogen sulfida (H 2 S), nitrogen dioksida (NO 2 ), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau Particulate Matter). Banyaknya gas-gas vulkanik dan debu yang ada di udara menyebabkan kesehatan lingkungan menurun. Gas dan materi vulkanik yang dikeluarkan akibat letusan Gunung Merapi memiliki dampak yang buruk bagi makhluk hidup, antara lain kerusakan tanaman mulai dari layu hingga mati, terganggunya kesehatan manusia, pencemaran udara dan air, kerusakan rumah, kecelakaan lalu lintas, serta

18 2 korban jiwa (Suriadikarta et al. 2010). Gas dan materi vulkanik letusan Gunung Merapi adalah gas dan material letusan yang sangat halus, karena hembusan angin dampaknya bisa dirasakan ratusan kilometer jauhnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi penurunan kualitas udara diperlukannya pohon-pohon untuk menyaring dan menetralkan udara yang tercemar. Dahlan (2004) mengemukakan, kemampuan daun tanaman dalam menyerap dan menjerap berbagai gas pencemar udara bervariasi menurut daya kelarutan polutan, kelembaban lingkungan, intensitas cahaya matahari, kedudukan daun dan laju penyerapan. Dalam kondisi yang tercemar, bahan-bahan pencemar akan diserap dan dijerap pada daun-daun tanaman. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhannya sehingga tanaman dapat mati atau rusak. Bahan-bahan pencemar udara seperti gas dan materi vulkanik Merapi dapat menyebabkan kerusakan dan perubahan pada struktur anatomi dari tanaman yang ada di sekitarnya (Wilson et al. 2007). Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai pengaruh gas dan materi vulkanik pada tanaman perkotaan di Kota Yogyakarta. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh gas dan materi vulkanik pasca erupsi Gunung Merapi terhadap struktur anatomi daun pada dua jenis tanaman perkotaan, yaitu angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.). 1.3 Manfaat Penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai masukan dalam mempertimbangkan pemilihan jenis tanaman perkotaan untuk membuat kondisi lingkungan lebih baik pasca erupsi Gunung Merapi di Kota Yogyakarta.

19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982, menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatananan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat yang menyebabkan lingkungan kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Sastrawijaya (1991), pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia, dan jumlah organisme. Pencemaran yang terjadi pada suatu lingkungan dapat berupa pencemaran udara, air, dan tanah. Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi (Kristanto 2004). Di dalam udara terdapat oksigen (O 2 ) untuk bernafas, karbon dioksida (CO 2 ) untuk proses fotosintesis oleh klorofil daun dan ozon (O 3 ) untuk menahan sinar ultra violet. Keadaan udara yang terdapat bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan atau komposisi udara dari keadaan normalnya disebut dengan pencemaran udara (Wardhana 2004). Soemarno (1999), mengemukakan bahwa pencemaran udara merupakan masuknya zat pencemar (gas beracun dan aerosol) ke dalam atmosfer sehingga melampaui batas ambangnya dan menganggu kehidupan, hewan, dan tumbuhan. Menurut sumber pencemarnya, pencemaran udara ada dua macam yaitu alami dan non-alami. Pencemaran udara alami adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara, diakibatkan oleh proses-proses alam seperti asap kebakaran hutan, debu gunung berapi, pancaran garam laut, debu meteorit dan sebagainya. Sedangkan pencemaran non-alami adalah masuknya zat pencemar oleh aktifitas manusia, yang pada umumnya tanpa disadari dan merupakan produk sampingan, berupa gas-gas beracun, asap, partikel-partikel halus, senyawa oksida, senyawa belerang, senyawa kimia, panas, dan buangan nuklir.

20 4 Soedomo (2001), mengatakan bahwa perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran udara akibat masuknya zat pencemar dalam bentuk gas-gas dan partikel aerosol ke dalam udara. Sumber pancaran zat pencemar ke dalam udara, terdapat tiga macam sumber pencemar yaitu: 1. Sumber titik kontinyu, pada umumnya oleh pabrik-pabrik tunggal atau ganda yang memancarkan zat pencemar ke dalam udara melalui cerobong pembuangan. 2. Sumber garis, zat pencemar yang dipancarkan oleh kendaraan bermotor baik mobil maupun motor. 3. Sumber bidang atau area, merupakan sumber pencemaran kompleks yang dipancarkan dari suatu daerah seperti kawasan industri, perkotaan, dan sebagainya. Jenis-jenis bahan pencemar udara berdasarkan ciri-ciri fisiknya, dibagi menjadi tiga jenis, antara lain (Soedomo 2001): 1. Partikel merupakan jenis bahan pencemar udara dalam bentuk lain sebagai proses lanjutan dalam atmosfir atau udara dalam bentuk debu, aerosol, dan timah hitam. 2. Gas pada umumnya merupakan produk sampingan industri kimia dasar yang masuk ke udara dalam bentuk CO x, NO x, SO x, H 2 S, dan Hidrokarbon. 3. Energi merupakan hasil dari kegiatan-kegiatan pembangunan fisik terutama yang berskala besar, pada umumnya akan menimbulkan kenaikan suhu udara dan kebisingan. Pencemar udara berdasarkan asal dan kelanjutan perkembangannya di udara, menurut Kristanto (2004) dapat dibedakan menjadi : 1. Pencemar udara primer yaitu semua pencemar di udara yang ada dalam bentuk yang hampir tidak berubah, sama seperti pada saat dibebaskan dari sumbernya sebagai hasil dari suatu proses tertentu. Ada lima kelompok pencemar udara pimer, yaitu karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO x ), hidrokarbon (HC), sulfur oksida (SO x ), dan partikel. 2. Pencemar sekunder adalah semua pencemar di udara yang sudah berubah karena reaksi tertentu antara dua atau lebih kontaminan atau polutan. Umumnya polutan sekunder tersebut merupakan hasil antara polutan primer

21 5 dengan polutan lain yang ada di udara. Jenis-jenis pencemar yang bersifat sekunder yaitu ozon yang berada di troposfer dan partikel-partikel logam. Wardhana (2004), mengatakan bahwa komponen pencemar udara yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara yaitu karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO x ), belerang oksida (SO x ), hidro karbon (HC), dan partikel (debu), dan lain-lain. Menurut Sutarno et al. (2003), efek pencemaran udara terhadap kehidupan, termasuk kesehatan manusia, produktivitas dan properti merupakan kekhawatiran besar bagi penduduk bumi. Pencemaran udara dapat menganggu sistem pernapasan, emfisema, asma, dan penyakit pernapasan lain. Bagi tumbuhan, paparan terhadap pencemaran udara dapat menurunkan daya resistensi terhadap penyakit dan predator. 2.2 Jenis Polutan Udara Erupsi Gunung Merapi Sulfur Oksida (SO x ) Sulfur oksida merupakan pencemar paling umum, terutama di timbulkan akibat pembakaran bahan bakar fosil, yang mengandung sulfur tinggi dalam bentuk sulfur organik dan anorgarnik. Pembakaran bahan bakar fosil akan menghasilkan kira-kira 30 bagian sulfur dioksida untuk setiap bagian sulfur trioksida. Sulfur oksida biasanya terdiri atas sulfur dioksida, sulfur trioksida, asam sulfit dan sulfat. Sulfur dioksida merupakan bagian yang paling dominan, sehingga oksida-oksida sulfur biasanya diukur sebagai sulfur dioksida (Soedomo 2001). Wardhana (2004), menjelaskan bahwa SO x atau biasa dikenal dengan gas belerang oksida terdiri atas gas SO 2 dan gas SO 3 yang keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO 2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar, sedangkan gas SO 3 bersifat sangat reaktif, mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara untuk membentuk asam sulfat (H 2 SO 4 ). Asam sulfat ini sangat reaktif, mudah bereaksi dengan benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses pengkaratan (korosi) dan proses kimiawi lainnya. Konsentrasi gas SO 3 di udara akan mulai terdeteksi oleh penciuman ketika konsentrasinya berkisar antara 0,3 1 ppm. Gas buangan hasil pembakaran pada umumnya mengandung gas SO 2 lebih banyak dari pada gas SO 3, jadi dalam hal

22 6 ini yang dominan adalah gas SO 2. Namun demikian gas tersebut akan bereaksi dengan oksigen yang ada di udara dan kemudian membentuk gas SO Nitrogen Dioksida (NO x ) Nitrogen oksida sering disebut dengan NO x karena oksida nitrogen mempunyai dua macam bentuk yang sifatnya berbeda, yaitu gas NO 2 dan gas NO. sifat gas NO 2 adalah berwarna dan berbau, sedangkan gas NO tidak berwarna dan tidak berbau. Warna gas NO 2 adalah merah kecoklatan dan berbau tajam menyengat hidung. Pencemaran gas NO x di udara terutama berasal dari gas buangan hasil pembakaran yang keluar dari generator pembangkit listrik stationer atau mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar gas alam (Wardhana 2004). Soedomo (2001), menyatakan bahwa senyawa NO (nitric oxide) diemisikan dalam jumlah yang cukup besar ke atmosfer NO x biasanya di gunakan sebagai satuan komposit oksida-oksida nitrogen di lingkungan. NO x diemisikan dari pembuangan pembakaran (kombusi) pada temperatur tinggi, sebagai hasil dari reaksi nitrogen dengan oksigen. Dengan adanya hidrokarbon, pada siang hari akibat adanya radiasi fotonultra violet, senyawa ini akan membentuk ozon fotokimia (photochemical smog) Partikel Debu Wardhana (2004) menjelaskan bahwa, partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Sumber pencemaran partikel dapat berasal dari peristiwa alami dan dapat juga berasal dari aktivitas manusia dalam rangka mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Contoh pencemaran partikel yang berasal dari alam menurut (Wardhana 2004) adalah sebagai berikut : a. Debu tanah atau pasir halus yang terbang terbawa angin kencang. b. Abu dan bahan-bahan vulkanik yang terlempar ke udara akibat letusan gunung berapi. c. Semburan uap air panas di sekitar daerah sumber panas bumi di daerah pegunungan.

23 7 Dampak pencemaran debu terhadap lingkungan terutama terhadap kesehatan manusia, tata kehidupan, pertumbuhan tanaman, dan perkembangan satwa yang berada dalam jangkauan paparan pencemar. Pudjiastuti (2002), menyatakan bahwa partikel debu akan berada berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan. 2.3 Pengaruh Polutan Udara terhadap Tanaman Azmat et al. (2009) mengemukakan bahwa, setiap tanaman memiliki respon yang spesifik terhadap kekeringan, salinitas, logam berat, dan polusi udara. Respon tanaman terhadap SO₂ bervariasi. Kerusakan tanaman oleh SO₂ dipengaruhi dua faktor, yaitu konsentrasi SO₂ dan waktu kontak (Fauqani 2011). Kerusakan yang parah diduga terjadi karena tanaman kontak langsung pada SO₂ dengan konsentrasi yang tinggi, sehingga muncul beberapa gejala seperti sebagian daun memucat, kering hingga mati. Tanaman yang kontak dengan SO₂ dalam waktu lama, akan mengakibatkan daun tanaman menguning. Pengaruh SO 2 dalam jaringan daun dapat menyebabkan kloroplas pecah, kemudian klorofil menyebar dalam sitoplasma dan selanjutnya protoplasma menyusut dan akhirnya berkerut (Treshow & Anderson 1991). Dahlan (2004) menjelaskan bahwa, jika gas oksida nitrogen atau NO x terhirup bersama udara akan diserap oleh paru-paru dan masuk ke dalam saluran darah akan menurunkan kemampuan hemoglobin dalam mengikat dan membawa oksigen. Gas NO x dapat mengakibatkan daun tanaman mengalami nekrosis dalam bentuk bercak kecil sampai besar, sedangkan gas NO dapat mengganggu proses fotosintesis. Kedua gas ini sangat berbahaya bagi manusia. Gas NO 2 empat kali lebih berbahaya dibandingkan dengan gas NO. Konsentrasi gas NO 2 bersifat mematikan pada konsentrasi 100 ppm hampir pada semua hewan ternak. Kristanto (2004) menjelaskan bahwa, debu berpengaruh terhadap tanaman terutama jika bergabung dengan uap air atau air hujan (gerimis) karena akan membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun yang tidak dapat dibilas oleh air hujan kecuali dengan menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan menganggu

24 8 berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman yang akan mengakibatkan pertumbuhannya terganggu. Debu yang terserap oleh daun adalah debu yang masuk ke dalam celah stomata daun yang terperangkap dan terserap masuk ke dalam jaringan pagar dan bunga karang penyusun mesofil daun (Lambers et al. 2000). Treshow dan Anderson (1991) menjelaskan bahwa debu yang masuk ke dalam daun lewat celah stomata, akan menyebabkan kerusakan sel. Selain terganggunya proses fotosintesis, masuknya debu ke dalam stomata dapat menghambat proses transpirasi atau penguapan (Treshow & Anderson 1991). 2.4 Struktur Anatomi Daun Anatomi merupakan salah satu pendekatan untuk membantu pemecahan masalah taksonomi yang secara morfologi sulit dipisahkan. Adapun pendekatan yang umum digunakan diantaranya bentuk dan kerapatan stomata, trikoma, bentuk sel epidermis, jumlah lapisan palisade, dan ketebalan daun (Sunarti et al. 2008). Tjitrosoepomo (1996), menjelaskan bahwa daun merupakan suatu bagian tumbuhan yang penting dan pada umumnya tiap tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun. Bentuk daun yang tipis melebar dengan posisi daun pada batang yang menghadap ke atas selaras dan berperan penting bagi tumbuh-tumbuhan yaitu sebagai alat untuk pengambilan zat-zat makanan berupa gas CO 2 (reabsorpsi), pengolahan zat-zat makanan (asimilasi), penguapan air (transpirasi), dan pernafasan (respirasi). Fungsi daun yang utama adalah mengolah karbon dioksida dan air dengan bantuan cahaya matahari, menghasilkan karbohidrat dan oksigen melalui suatu proses yang dikenal dengan fotosintesis. Selain itu, daun memiliki fungsi penyehatan lingkungan, yaitu sebagai penjerap (adsorpsi) dan penyerap (absorpsi) gas beracun, aerosol, dan partikel padat (Lakitan 2000). Anatomi daun terdiri atas jaringan dermal (epidermis atas dan epidermis bawah), jaringan pembuluh, dan jaringan dasar (palisade dan bunga karang). Sistem jaringan dermal berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari lingkungan luar dan berperan dalam pengaturan pertukaran gas pada daun. Jaringan epidermis merupakan lapisan terluar dari daun (Mulyani 2006).

25 9 Epidermis merupakan jaringan pelindung yang terdapat di kedua permukaan daun dengan dilengkapi lapisan dan kutikula (Ahmad & Musa 2003). Struktur daun yang pipih memberikan perbedaan pada jaringan epidermis yaitu pemukaan atas daun disebut permukaan adaksial sedangkan permukaan bawah daun disebut permukaan abaksial. Sutrian (1992), menyatakan bahwa epidermis biasanya tersusun dari satu lapisan sel saja dan pada irisan permukaan sel-selnya tampak berbentuk macammacam. Letak dari sel-sel epidermis sedemikian rapat sehingga di antara selselnya tidak terdapat ruangan-ruangan antar sel. Pada jaringan epidermis ini terdapat zat kutin dan lapisan kutikula pada lapisan luar dinding sel. Sulistyaningsih et al. (1996), menyatakan bahwa kutikula merupakan senyawa lemak yang terdapat dipermukaan luar dinding sel epidermis. Senyawa lemak ini bersifat kedap air sehingga mengurangi laju transpirasi. Stomata adalah lubang-lubang yang terdapat pada epidermis yang masingmasing dibatasi oleh dua sel penutup (Sutrian 1992). Stomata bisa ditemukan di kedua sisi daun (tipe amfistomatik), hanya ditemukan pada sisi atas daun atau adaksial (tipe epistomatik) dan hanya ditemukan pada sisi bawah daun atau abaksial (tipe hipostomatik). Trikoma merupakan rambut-rambut yang tumbuh dari sel-sel epidermis. Trikoma berfungsi sebagai proteksi terhadap serangga dan sekresi (Sutrian 1992). Trikoma dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu trikoma tanpa kelenjar dan trikoma dengan kelenjar (Fahn 1991). Trikoma tanpa kelenjar terdapat rambut yang uniseluler sederhana, rambut skuamiform yang berbentuk sisik, rambut multiseluler yang berbentuk bintang (stelata), dan rambut kasar yang di pangkalnya terdiri atas sedikitnya dua atau lebih deretan sel yang berdampingan. Sedangkan pada trikoma berkelenjar, terlibat dalam sekresi berbagai bahan, contohnya larutan garam, larutan gula, terpentin dan gom (polisakarida). Trikoma yang mengeluarkan sekresi itu sering disebut kelenjar. Sistem jaringan dasar atau disebut mesofil terdiri atas jaringan parenkim yang terdapat di sebelah dalam epidermis (Mulyani 2006). Mesofil mengalami diferensiasi membentuk jaringan fotosintetik yang berisi kloroplas. Pada kebanyakan tumbuhan terdapat dua tipe parenkim dalam mesofil, yaitu jaringan

26 10 palisade dan jaringan bunga karang. Palisade terdapat di bawah epidermis unilateral (selapis) atau multilateral (berlapis banyak). Sering kali terdapat hipodermis di antara epidermis dan jaringan palisade. Sel palisade tersusun atas satu lapisan atau lebih. Jaringan palisade biasanya terdapat pada permukaan adaksial daun. Daun yang mempunyai jaringan palisade pada kedua sisinya (adaksial dan abaksial) disebut isolateral atau isobilateral. Apabila hanya terdapat pada satu sisi, dan sisi lain terdapat jaringan spons disebut dorsiventral atau bifasial. 2.5 Deskripsi Jenis Pohon Sampel Pohon mempunyai segudang manfaat bagi alam (Dahlan 2004). Salah satu manfaatnya adalah kemampuan dalam menyerap gas berbahaya seperti karbon dioksida (CO₂) dan karbon monoksida (CO) yang dapat menjadi salah satu sebab terjadinya global warming serta kerusakan jaringan syaraf tertentu khususnya bagi manusia dan hewan yang menghirupnya baik secara langsung maupun tak langsung. Selain itu gas oksigen (O₂) hasil sintesis tanaman, dapat digunakan oleh makluk hidup sebagai salah satu sumber energi Angsana (Pterocarpus indicus Willd) Klasifikasi tanaman angsana menurut Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2002) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rosales Famili : Fabaceae Genus : Pterocarpus Species : Pterocarpus indicus Willd. Jenis ini mempunyai beberapa nama seperti Nara (Filipina); Angsana (Malaysia, Indonesia); dan Sena (Sumatera, Maluku). Jenis ini merupakan jenis asli Asia Tenggara yang menghasilkan banyak biji dan paling mudah

27 11 dikembangbiakan dengan biji maupun stek batang (Fakuara & Soekotjo 1986). Menurut Heyne (1987), tumbuhan ini merupakan raksasa hutan dengan tinggi meter dan kedalaman akar 1 ½ - 2 meter. Tumbuhan ini sering ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Diameter batang tanaman ini bisa mencapai 2 meter, biasanya bentuk batangnya kurang menarik, pendek, terpuntir, beralur dalam, dan berbanir. Daun majemuk dengan 5 11 anak daun, berbulu, duduk bergantian. Bunga berkelamin ganda, kuning cerah dan harum (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002). Angsana merupakan tumbuhan yang besar dengan bunga-bunga yang harum. Tumbuhan ini banyak ditanam di kebun-kebun dan di jalan-jalan (Kloppenburg 1988). Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2002), menyatakan bahwa semua jenis Pterocarpus menghasilkan kayu bernilai tinggi dengan ciri kayu agak keras, digunakan untuk mebel halus, lantai, dan lemari Beringin (Ficus benjamina Linn.) Klasifikasi tumbuhan beringin menurut Heyne (1987) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Urticales Famili : Moraceae Genus : Ficus Species : Ficus benjamina Linn. Nama lain dari tanaman beringin menurut Fauzi (2008), yaitu caringin (Sunda); waringin (Jawa, Sumatera); chinese bayan (China); Banyan Tree (Inggris). Pohon beringin banyak ditemukan di tepi jalan, pinggiran kota atau tumbuh di tepi jurang. Pohon ini berukuran besar dengan tinggi meter, berakar tunggang dan memiliki batang yang tegak dengan percabangan simpodial, bulat, permukaan kasar, dan cokelat kehitaman, pada batang keluar akar gantung (akar udara). Dalimartha (2005) menyebutkan bahwa beringin memiliki daun

28 12 tunggal, panjang 3-6 cm, lebar 2-4 cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau. Sastrapraja dan Afriastini (1984), mengatakan bahwa buah ara muncul di rantingranting, tunggal atau berpasangan. Penyebaran pohon ini di daerah-daerah beriklim tropis (Almahy et al. 2003). Heyne (1987) mengemukakan bahwa, tumbuhan ini sering ditanam di alunalun dan halaman serta sangat dinilai tinggi oleh penduduk. Dari segi teknis, pohon ini bernilai rendah sama seperti jenis-jenis Ficus lainnya. Kayu tumbuhan ini baik untuk kayu bakar kalau dicampur dengan jenis kayu lain, tetapi untuk menghormati tumbuhan kayu ini hanya digunakan dalam keadaan darurat sebagai kayu bakar. Tumbuhan ini juga berkhasiat obat-obatan, yaitu pada bagian akar udara dan daun (Fauzi 2008). Akar udara pohon ini bermanfaat untuk mengatasi pilek, demam, radang amandel, dan rematik. Daunnya bermanfaat untuk mengatasi malaria, radang usus akut, disentri, dan influenza.

29 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo (lokasi 2) sebagai lokasi kurang tercemar atau kontrol. Pembuatan sediaan mikroskopis anatomi daun dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain silet, tabung film, kamera digital, alat tulis, kaca preparat, kaca penutup, mikroskop Olympus CH12, mikrotom Yamato RV-240, kamera mikroskop Olympus, dan oven parafin. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel daun (angsana dan beringin), akuades, etanol, entellan, safranin, HNO₃ 50%, fastgreen, parafin, gliserin, klorox, xilol, larutan FAA (formadehida 37% : asam asetat glasial : alkohol 70% = 5:5:90), seri larutan Johansen (Lampiran 1) dan larutan Gifford (Lampiran 2). 3.3 Jenis Data Jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan pengambilan sampel di lapangan serta pengamatan struktur anatomi daun. Data sekunder dikumpulkan sebagai data penunjang Data Primer Data primer yang diukur dan diamati dalam penelitian ini, yaitu: a. Anatomi daun berupa sayatan paradermal, yang meliputi bentuk, ukuran, kerapatan, dan indeks stomata, serta ukuran dan kerapatan trikoma. b. Anatomi daun berupa sayatan transversal, yang meliputi tebal daun, tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal jaringan epidermis adaksial dan

30 14 abaksial, tebal jaringan palisade adaksial dan abaksial, tebal jaringan bunga karang, serta tebal jaringan hipodermis adaksial dan abaksial Data Sekunder Data yang menunjang dalam penelitian ini berupa data kualitas udara, suhu dan kelembapan udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta, serta data kualitas udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung Merapi di Kota Solo. 3.4 Metode Pengambilan Data Penentuan Jenis Pohon Penentuan jenis pohon sampel dilakukan setelah pengamatan langsung pada kedua lokasi penelitian. Jenis-jenis pohon yang dijadikan sampel adalah jenis pohon yang paling banyak di kedua lokasi penelitian yaitu pohon beringin dan angsana. Posisi pohon yang diambil di Kota Yogyakarta yaitu di alun-alun utara, alun-alun selatan, Jalan Faridan M. Noto, Jalan Gejayan, Kelurahan Muja-muju, Jalan Kusumanegara, dan Jalan Timoho. Posisi pohon yang diambil di Kota Solo yaitu di Balai Kota Surakarta, Jalan Ronggowarsito, Asrama Assalam, dan Kecamatan Lawean Pengambilan Sampel Daun Daun diambil secara acak, untuk sayatan paradermal digunakan daun yang diambil di posisi ke 6 dari pucuk ranting pohon pada 3 cabang yang berbeda dari 5 ulangan pohon dan untuk sayatan transversal digunakan daun yang diambil di posisi ke 5 dari pucuk ranting pohon pada 3 cabang yang berbeda dari 3 ulangan pohon (Gambar 1). Daun-daun tersebut dimasukkan ke dalam tabung film yang sudah diisi alkohol 70% dan diberi label (Gambar 2).

31 15 (a) (b) Keterangan : P = Posisi daun keenam untuk sayatan paradermal T = Posisi daun kelima untuk sayatan transversal C1 = Posisi daun yang diambil pada cabang pertama C2 = Posisi daun yang diambil pada cabang kedua C3 = Posisi daun yang diambil pada cabang ketiga Gambar 1 Posisi sampel daun yang diambil pada ranting (a) dan cabang (b). (a) (b) Gambar 2 Fiksasi daun dalam alkohol 70% pada wadah (a) dan sampel daun dalam tabung film yang telah berlabel (b).

32 Pembuatan Sediaan Mikroskopis Sampel daun yang telah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB. Pengamatan dilakukan terhadap sayatan paradermal dan transversal daun. 1. Sayatan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan perwarnaan safranin 1% mengikuti metode Wholemount (Sass 1951) (Lampiran 3) yaitu: a. Daun Difiksasi dalam alkohol 70% b. Larutan fiksatif dibuang lalu diganti dengan akuades. c. Daun dilunakkan dengan merendamnya di dalam larutan HNO 3 50% selama 1-4 hari (Gambar 3), sebelum dibuat sayatan paradermal, daun dicuci terlebih dahulu dengan akuades. Gambar 3 Perendaman daun di dalam larutan HNO₃ 50%. d. Jaringan epidermis permukaan atas dan bawah daun disayat dengan pinset. Kemudian jaringan palisade yang terbawa dikerik sampai bersih dengan pisau silet sehingga diperoleh lapisan epidermis yang tipis (Gambar 4).

33 17 Gambar 4 Penyayatan epidermis daun dengan silet. e. Sayatan epidermis daun diwarnai dengan pewarna tunggal yaitu safranin 1% (aquosa) selama 3-5 menit, diberi media gliserin 10% dan ditutup dengan gelas penutup (Gambar 5). Gambar 5 Hasil sayatan paradermal. 2. Sayatan transversal digunakan metode parafin (Johansen 1940) (Lampiran 4). Adapun tahapan pembuatan preparat daun adalah: a. Fiksasi : bahan difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA yang terdiri dari formaldehid, asam asetat glasial dan alkohol 70% dengan perbandingan 5:5:90. b. Pencucian : larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan alkohol 50% sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing selama 1 jam.

34 18 c. Dehidrasi dan penjernihan : dilakukan secara bertahap dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VII, adapun komposisi masingmasing larutan seri Johansen (Lampiran 1) d. Infiltrasi : wadah berisi material dan campuran TBA, minyak parafin serta parafin beku disimpan pada suhu kamar selama 1-4 jam (tutup dibuka) (Gambar 6); lalu dimasukkan ke dalam oven (58 ºC) selama 12 jam (tutup dibuka). Keesokan harinya dilakukan 3 kali penggantian parafin setiap 6 jam dalam oven dengan suhu 58 ºC (Gambar 7). Gambar 6 Infiltrasi parafin murni. Gambar 7 Oven ABC Labo Corporation KP-30AT. e. Penanaman (blok) : satu jam sebelum penanaman material, dilakukan penggantian parafin dengan parafin cair murni dan disimpan dalam oven

35 19 pada suhu 58 ºC. Selanjutnya material siap ditanam dalam blok parafin (Gambar 8). (a) (b) Gambar 8 Penanaman dalam blok parafin (a) dan pengaturan posisi sampel (b). f. Pelunakkan jaringan : blok yang berisi material dilunakkan dengan merendam dalam larutan Giffort (Lampiran 2) selama satu minggu (Gambar 9) Gambar 9 Perendaman blok di dalam larutan Gifford. g. Penyayatan : blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan disayat dengan mikrotom putar Yamato RV-240 setebal 9 µm (Gambar 10).

36 20 (a) (b) Gambar 10 Penempelan blok pada holder (a) dan mikrotom putar Yamato RV- 240 (b). h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi gelas albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita parafin dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 40 ºC selama 24 jam (Gambar 11). Gambar 11 Pemanasan pita parafin pada hot-plate. i. Pewarnaan : dilakukan pewarnaan ganda yang terdiri dari safranin 2% dalam air dan fast-green 0,5% dalam etanol 95%. j. Penutupan : bahan diberi media entellan lalu ditutup dengan gelas penutup (Gambar 12).

37 21 Gambar 12 Pemberian media perekat entellan. k. Pengeringan : preparat di masukkan ke dalam oven Memmert dengan suhu 41ºC agar media entellan cepat kering (Gambar 13). (a) (b) Gambar 13 Preparat yang siap dimasukkan ke oven (a) dan Oven Memmert (b) Pengamatan Sediaan Mikroskopis Parameter anatomi daun yang diamati diantaranya : a. Pada sediaan sayatan paradermal adalah ukuran, bentuk, dan jumlah stomata, jumlah sel epidermis, serta ukuran, bentuk dan jumlah trikoma (kelenjar atau tidak berkelenjar). Semua pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop Olympus CH12. Pengamatan jumlah, bentuk dan

38 22 ukuran stomata, jumlah sel epidermis, serta ukuran trikoma kelenjar dilakukan pada perbesaran 40 x 10. Jumlah trikoma kelenjar, serta jumlah dan ukuran trikoma tidak berkelenjar diamati pada perbesaran 10 x 10. Pengamatan jumlah stomata dan sel epidermis diamati pada lima bidang pandang yang berbeda dengan lima ulangan, sedangkan pengamatan trikoma kelenjar atau tidak berkelenjar dilakukan pada tiga bidang pandang yang berbeda dengan lima ulangan. Jumlah stomata dan sel epidermis digunakan untuk mendapatkan indeks stomata (Willmer 1983). Kerapatan stomata dan trikoma didapatkan dengan perbandingan jumlah stomata atau trikoma dengan luas bidang pandang (Willmer 1983). Penentuan indeks dan kerapatan stomata dengan rumus sebagai berikut: IS = Σ stomata x 100 Σ stomata + Σ sel epidermis KS*) = Σ stomata mm² Luas bidang pandang Luas bidang pandang = πr₀² Keterangan : IS = Indeks Stomata KS = Kerapatan Stomata r₀ = Jari-jari bidang pandang pada mikroskop *) Rumus yang sama digunakan untuk menentukan kerapatan trikoma b. Parameter anatomi daun yang diamati pada sayatan transversal adalah tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial. Pengamatan menggunakan mikroskop Olympus CH12 dengan perbesaran 100 x 10 untuk parameter tebal kutikula adaksial dan abaksial, serta perbesaran 40 x 10 untuk parameter tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial. Pengamatan dilakukan pada empat bidang pandang yang berbeda dengan tiga ulangan tanaman.

39 Analisis Data Data dianalisis dengan uji t-student menggunakan Statistic Product and Service Solution (SPSS) 16.0 untuk menguji pembandingan antara tanaman di lokasi yang relatif tercemar dengan lokasi kurang tercemar. Parameter anatomi yang yang dibandingkan meliputi kerapatan stomata, indeks stomata, ukuran stomata, tebal daun, tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial. Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau jika nilai t-hit > t- tabel, maka terdapat perbedaan yang nyata. Asumsi : H 0 H 1 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Hasil analisis statistik data yang dianalisis didapatkan dengan menggunakan nilai signifikansi. Signifikansi < 0,05 = Berbeda Nyata (Tolak H 0, terima H 1 ) Signifikansi 0,05 = Tidak Berbeda Nyata (Tolak H 1, terima H 0 )

40 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kota Yogyakarta Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Secara historis, Kota Yogyakarta berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Keraton yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun pada tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Pendirian kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua Kerajaan (Surakarta Yogyakarta) pada tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti. Pada awal perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar selatan-utara. Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari alun-alun utara, Jalan Malioboro hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad ke 20 pola permukiman penduduk dan stuktur kota tampak semakin memusat dan padat. Kota Yogyakarta dikenal memiliki karakter khas yang mewarnai kehidupan masyarakatnya Letak Geografis dan Batas Administratif Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota disamping empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Berdasarkan BPS Yogyakarta (2011), Kota Yogyakarta terletak pada 7º º Lintang Selatan dan 110º º Bujur Timur pada ketinggian rata-rata 114 m dpl. Sebagai ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta menjadi sentra kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya.

41 25 Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 14), yaitu: a. Utara : Kabupaten Sleman b. Timur : Kabupaten Bantul dan Sleman c. Selatan : Kabupaten Bantul d. Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman. Gambar 14 Wilayah administratif Kota Yogyakarta (Regional Geographic of Indonesia 2011). Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah paling kecil dibanding daerah tingkat II lainnya di Provinsi Daerah Yogyakarta, yaitu 3250 Ha (32,5 km 2 ) atau 1,02% luas wilayah propinsi. Secara administratif pemerintahan, wilayah Kota Yogyakarta terdiri dari 14 wilayah kecamatan dan 45 kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Umbulharjo kemudian diikuti oleh Kecamatan Gondokusumo dan Kota Gede. Wilayah Kota Yogyakarta terbagi dalam lima bagian kota dengan pembagian sebagai berikut :

42 26 1. Wilayah I, terletak pada ketinggian ± 91 m 177 m diatas permukaan laut (dpl) rata-rata. Yang termasuk dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Jetis, Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Ngampilan, Kecamatan Keraton, dan Kecamatan Gondomanan. 2. Wilayah II, terletak pada ketinggian ± 97 m 114 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Tegalrejo dan sebagian Kecamatan Wirobrajan. 3. Wilayah III, terletak pada ketinggian ± 102 m 103 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Gondokusumo, Kecamatan Danurejan, Kecamatan Pakualaman, dan sebagian kecil Kecamatan Umbulharjo. 4. Wilayah IV, terletak pada ketinggian ± 75 m 102 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Mergangsan, Kecamatan Umbulharjo, dan Kecamatan Kota Gede. 5. Wilayah V, terletak pada ketinggian ± 83 m 102 m dpl. Kecamatan yang termasuk kedalam wilayah ini adalah Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Mantrijeron, sebagian Kecamatan Gondomanan, dan sebagian Kecamatan Mergangsan Topografi Badan Pusat Statistik Yogyakarta (2011) menjelaskan bahwa, secara umum Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relatif sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang lebih 1657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara m. Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia volcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.

43 Iklim Tipe iklim Kota Yogyakarta berdasarkan klasifikasi oleh Koppen, termasuk tipe iklim Am dan Aw, dimana artinya merupakan daerah yang beriklim hujan tropik dengan suhu bulan tertinggi > 18 ºC (Handoko 1994). Curah hujan rata-rata 2,01 mm/tahun atau dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 ºC dan kelembaban rata-rata 75%. Angin pada umumnya bertiup angin munson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220º bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90º - 140º dengan rata-rata kecepatan 9,5 29,7 km/jam Kependudukan Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun cukup tinggi. BPS Kota Yogyakarta (2011) menjelaskan bahwa, pada akhir tahun 2009 tercatat jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata jiwa/km Kota Surakarta (Solo) Sejarah dan Perkembangan Kota Surakarta Kota Surakarta atau Solo tidak lebih dari sebuah desa terpencil yang tenang, 10 km di sebelah timur Kartasura, ibukota kerajaan Mataram. Pakubuwana II yang menjadi Raja Mataram mendukung Cina melawan Belanda, kemudian Pakubuwana II mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya. Pada tanggal 18 Februari 1745 dianggap sebagai hari kelahiran kota resmi. Pada tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintahan Kota Surakarta. Secara de facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Dengan berbagai pertimbangan faktor-faktor historis sebelumya, tanggal 16 Juni 1946 ditetapkan sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.

44 Letak Geografis dan Batas Administratif Gambar 15 Peta wilayah administratif Kota Surakarta (Bappeda Kota Solo 2009). Kota Surakarta yang juga sangat dikenal sebagai Kota Solo, merupakan sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng Pegunungan Lawu dan Pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 meter di atas permukaan air laut. Kota Surakarta terletak diantara 110⁰ ⁰ 45` 35 Bujur Timur dan 7⁰ 36 7⁰ 56 Lintang Selatan (BPS Surakarta 2010). Kota Surakarta dibelah dan dialiri oleh 3 (tiga) buah sungai besar yaitu Sungai Bengawan Solo, Kali Jenes dan Kali Pepe. Sungai Bengawan Solo pada jaman dahulu sangat terkenal dengan keelokan panorama serta lalu lintas perdagangannya. Luas wilayah Kota Surakarta mencapai 44,04 km² yang terbagi menjadi lima kecamatan dan 51 kelurahan. Lima kecamatan yang terdapat di Kota Surakarta yaitu Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjasari. Sebagian besar lahan dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 61,68%. Sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar antara 20% dari luas lahan yang ada.

45 29 Batas wilayah Kota Surakarta adalah (Gambar 15): Batas wilayah sebelah utara : Kabupaten Boyolali Batas wilayah sebelah timur : Kabupaten Karanganyar Batas wilayah sebelah barat : Kabupaten Sukoharjo Batas wilayah sebelah selatan : Kabupaten Sukoharjo Topografi Topografi wilayah Kota Surakarta secara umum keadaannya datar, hanya bagian utara dan timur agak bergelombang dengan ketinggian kurang lebih 92 meter di atas permukaan air laut. Sebagian jenis tanah adalah tanah liat berpasir termasuk regosol kelabu dan alluvial, di wilayah bagian utara tanah liat grumosol serta wilayah bagian timur laut tanah litosol mediteran (BPS Surakarta 2010) Iklim Badan Pusat Statistik Surakarta (2010), menjelaskan bahwa suhu udara ratarata di Kota Surakarta berkisar antara 24,9 C sampai dengan 28,6 C. Sedangkan kelembaban udara berkisar antara 66% sampai dengan 86%. Hari hujan terbanyak jatuh pada bulan Januari dengan jumlah hari hujan sebanyak 25. Sedangkan curah hujan terbanyak sebesar 735 mm jatuh pada bulan Oktober. Sementara itu ratarata curah hujan saat hari hujan terbesar jatuh pada bulan November sebesar 33,1 mm per hari hujan Kependudukan Penduduk Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 89,38 yang artinya bahwa pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat sebanyak 89 peduduk laki-laki (BPS Surakarta 2010). Tingkat kepadatan penduduk Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai jiwa/km². Tahun 2008 Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Serengan yang mencapai angka jiwa/km².

46 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri dari sulfur dioksida (SO 2 ), gas hidrogen sulfida (H 2 S), nitrogen dioksida (NO 2 ), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau Particulate Matter). Gas-gas dan materi vulkanik yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi terbawa angin hingga mencemari Kota Yogyakarta. Jarak antara puncak Gunung Merapi dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 km. Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara di Kota Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik memberikan dampak yang buruk bagi mahluk hidup. Salah satu dampak buruk dari gas dan materi vulkanik Merapi yaitu terjadinya perubahan warna daun pada pepohonan di sekitar Kota Yogyakarta. Selain itu, debu vulkanik dapat mengotori permukaan daun pada pepohonan. Pohon yang paling banyak ditanam di kota ini adalah angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.), sehingga ditentukanlah pohon angsana dan beringin pada Kota Yogyakarta (Lokasi 1) sebagai pohon yang relatif tercemar dan pada Kota Solo (Lokasi 2) sebagai pohon kontrol (Gambar 16 dan Gambar 17). (a) Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). (b)

47 31 (a) Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). (b) 5.1 Kualitas Udara Data kualitas udara antara Kota Yogyakarta dan Solo dilakukan perbandingan baik setelah maupun sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi. Data kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup di kedua lokasi. Berdasarkan data kualitas udara setelah letusan Gunung Merapi, Balai Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa parameter TSP (debu) dan NO₂ konsentrasinya lebih tinggi dibanding SO₂. Hasil perbandingan parameter kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi tahun 2010 Hasil Yogyakarta Solo Nilai Parameter Sebelum Setelah Sebelum Setelah Baku Letusan Letusan Letusan Letusan Mutu Merapi Merapi Merapi Merapi SO₂ (µg/nm³) 535,60 51,2 9,28 15, NO₂ (µg/nm³) 57,59 533,6 24,808 81, TSP(debu) (µg/nm³) * * 230 Keterangan : * = Nilai TSP (debu) < 10 µg/nm³ Sumber : BLH Yogyakarta (2010) dan BLH Solo (2010) Data kualitas udara Kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Lampiran 5). Hal tersebut dikarenakan, data hasil pemantauan kualitas udara merupakan lokasi terdekat dengan lokasi

48 32 pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik <10µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM 10. Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri dari TSP (debu) dan NO₂. Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan Gunung Merapi terukur 172 µg/nm³ (Lampiran 6 15), sedangkan kadar debu setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µg/nm³. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar NO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 533,6 µg/nm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µg/nm³. Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 900 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami penurunan dibandingkan kadar SO₂ sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini mengeluarkan gas SO₂ secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung Merapi, kadar gas SO₂ yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh karena itu, kadar SO₂ pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi lebih rendah dibanding sebelum letusan.

49 33 Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah letusan gunung Merapi, terukur <10 µg/nm³ (Lampiran 16 23). Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/nm³ Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi Jawa Tengah. Menurut BLH Kota Solo (2010), kadar debu di Kota Solo dari tahun ke tahun selalu rendah sehingga nilai debu tidak dicantumkan dalam laporan. Selain itu, kualitas udara Kota Solo tidak dipengaruhi oleh letusan Gunung Merapi. Kualitas udara pada Tabel 1 menunjukkan bahwa polutan debu yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto (2004) menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi (pembersihan) debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi (pembersihan) dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi berkisar 5,384 Km/jam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi kecepatan angin meningkat hingga 18 Km/jam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan angin meningkat (Scorer 1968). Debu letusan Gunung Merapi ini mengakibatkan suhu udara di Kota Yogyakarta menjadi meningkat. Suhu udara sebelum terjadi letusan yaitu 26,7ºC dan setelah terjadi letusan pada tahun 2010 yaitu 27,3 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kondisi Kota Yogyakarta menjadi lebih panas akibat kadar pencemaran debu vulkanik yang berterbangan di udara.

50 34 Sastrawijaya (2000) menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum letusan merapi adalah berkisar 28,6 C dan setelah letusan merapi adalah berkisar 29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi. Tingginya konsentrasi NO₂ dan debu di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun (Bell & Treshow 2002). Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Riikonen et al. 2010). Mudd dan Kozlowzki (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandung SiO 2 yang bersifat tajam (Sinuaji 2011). 5.2 Stuktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Hasil pengamatan sayatan paradermal daun angsana baik pada Kota Yogyakarta maupun Solo, hubungan antara stomata dan sel epidermis dapat diklasifikasikan bahwa tipe susunan stomata angsana yaitu tipe stomata anomositik atau ranunculaceous. Tipe stomata anomositik atau ranunculaceous adalah tipe stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial.

51 35 Tanaman angsana memiliki trikoma tidak berkelenjar dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat (Gambar 18). Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Tidak Berkelenjar Gambar 18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm). Hasil pengamatan sayatan paradermal tanaman angsana tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon anatomi daun. Pengamatan sayatan paradermal angsana dijumpai beberapa parameter yang menunjukkan berbeda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo. Parameter pengamatan yang berbeda nyata tersebut terdiri dari kerapatan stomata, indeks stomata, dan panjang stomata (Tabel 2). Stomata pada jenis tanaman ini dijumpai hanya pada bagian abaksial (bawah) daun. Tanaman angsana memiliki jenis trikoma tidak berkelenjar yang menyerupai rambut-rambut kasar.

52 36 Tabel 2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2 Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Kerapatan stomata abaksial (jumlah/mm²) 133,33 190,26 0,001 BN Indeks stomata 7,76 10,51 0,002 BN Panjang stomata (µm) 26,65 24,15 0,003 BN Lebar stomata (µm) 18,17 18,43 0,603 TBN Kerapatan trikoma tidak berkelenjar (jumlah/mm²) 6,00 6,26 0,883 TBN Panjang trikoma tidak berkelenjar (µm) 140,56 148,33 0,591 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Kerapatan stomata pada tanaman angsana di Kota Yogyakarta yang terpolusi bahan polutan Gunung Merapi (133,33 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan stomata pada tanaman kontrol atau tanaman di Kota Solo (190,26 jumlah/mm²) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,001 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpapar polusi udara, secara anatomi memberikan respon dengan cara mengurangi jumlah stomata. Menurut Dickinson (2000), stomata yang berfungsi sebagai tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Frekuensi stomata diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensivitas tanaman dan ketahanan daun. Kerapatan stomata ini juga diikuti dengan indeks stomata yang rendah juga. Indeks stomata pada Kota Yogyakarta (7,76) lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo (10,51) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,002. Pada Kota Yogyakarta, kerapatan stomata yang rendah diikuti dengan ukuran panjang stomata yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh Willmer (1983) yang menyatakan bahwa semakin kecil ukuran stomata maka jumlah frekuensi stomata akan meningkat. Ukuran panjang stomata daun angsana pada Kota Yogyakarta (26,65 µm) lebih tinggi dibandingkan ukuran panjang stomata di Kota Solo atau kontrol (24,14 µm) dan berbeda nyata secara uji-t dengan nilai signifikasi 0,003. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini merupakan indikasi adaptasi tanaman terhadap pencemar udara. Menurut Muud dan Kozlowski (1975), tanaman yang tumbuh di lingkungan terpolusi cenderung akan mempertahankan dirinya dengan meningkatkan ukuran stomata. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini

53 37 sangat membantu dalam penyerapan CO₂ untuk fotosintesis. Selain itu, karakteristik stomata yang meliputi ukuran, kerapatan, dan indeks stomata banyak digunakan sebagai bioindikator dan biomonitoring udara (Balasooriya et al. 2008). Kerapatan dan indeks stomata yang menurun serta ukuran panjang stomata yang meningkat pada jenis daun angsana di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat polusi gas dan materi vulkanik. Selain itu, menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran stomata diduga merupakan modifikasi tanaman angsana untuk mengoptimumkan penangkapan gas CO₂ yang digunakan untuk proses fotosintesis. Respon struktur anatomi yang meliputi menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran panjang stomata juga terjadi pada Nicotiana tabacum karena adanya cekaman lingkungan dari gas polutan yang dilaporkan oleh Pedroso & Alves (2008). Hasil yang berbeda disampaikan oleh Gostin (2009), salah satu respon Trifolium montanum dan Trifolium repens terhadap cekaman gas polutan adalah dengan meningkatkan kerapatan dan indeks stomata. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap polutan udara, baik gas maupun partikel. Tanaman angsana memiliki trikoma dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat. Trikoma pada tanaman ini merupakan trikoma tidak berkelenjar. Kerapatan trikoma daun angsana pada Kota Yogyakarta (6,00 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan trikoma di Kota Solo (6,26 jumlah/mm²) namun tidak berbeda nyata secara uji-t. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpolusi gas dan materi vulkanik secara anatomi tidak mempengaruhi kerapatan trikoma. Kondisi perilaku ini tidak lazim karena pada umumnya daun yang memiliki trikoma apabila tercemar gas polutan akan meningkatkan jumlah trikoma tersebut guna mempertahankan dirinya (Azmat et al. 2009). Esau (1977) menjelaskan bahwa peran dari trikoma pada tanaman adalah jelas, yaitu pada beberapa tanaman trikoma dapat mencegah kehilangan air. Selain itu, fungsi trikoma tidak berkelenjar diantarnya adalah mencegah kehilangan air, pertahanan fisik terhadap serangga, dan sebagai biomonitoring lingkungan (Azmat et al 2009).

54 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal Daun angsana bertipe dorsiventral atau bifasial. Dorsiventral atau bifasial adalah daun yang memiliki jaringan palisade di satu sisi daun dan jaringan bunga karang di sisi lainnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini hanya memiliki satu lapis saja, baik tanaman angsana di Kota Yogyakarta maupun di Kota Solo. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun angsana, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Tebal daun angsana pada Kota Yogyakarta lebih besar dibandingkan tebal daun pada Kota Solo yang dapat dilihat pada Gambar 19. Tebalnya daun pada Kota Yogyakarta dipengaruhi peningkatan tebal jaringan palisade. Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 4 = Epidermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 5 = Palisade 3 = Epidermis Adaksial 6 = Bunga Karang Gambar 19 Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm). Hasil pengamatan sayatan transversal daun tanaman angsana yang menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo, yaitu tebal jaringan palisade adaksial. Tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal kutikula adaksial dan abaksial tidak menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo yang disajikan pada Tabel 3.

55 39 Tabel 3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Tebal daun (µm) 168,40 140,69 0,078 TBN Tebal epidermis adaksial (µm) 19,65 19,93 0,931 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 13,13 12,15 0,422 TBN Tebal palisade (µm) 43,40 33,47 0,02 BN Tebal bunga karang (µm) 79,03 86,18 0,727 TBN Tebal kutikula adaksial (µm) 2,39 1,78 0,168 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 1,92 1,06 0,091 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Pada tanaman angsana dijumpai perbedaan ketebalan pada jaringan palisade. Ketebalan jaringan palisade adaksial pada Kota Yogyakarta (43,40 µm) lebih tinggi dibandingkan Kota Solo (33,47 µm) dan berbeda nyata secara uji-t. Tebal jaringan palisade yang meningkat pada Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon pertumbuhan angsana dengan beradaptasi terhadap gas dan materi vulkanik di sekitar tanaman. Hal yang serupa dilaporkan oleh Dickison (2000), yang menyatakan bahwa gas polutan kendaraan bermotor dapat menyebabkan pertambahan tebal daun dengan bertambahnya tebal jaringan palisade. Selain itu, Ribas et al. (2005) juga melaporkan bahwa pada tanaman Oleo europea juga mengalami peningkatan ketebalan palisade akibat polutan gas ozon. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Maulana (2004) yang menyatakan bahwa tebal palisade pada tanaman Canarium commune pada keadaan terpolusi gas kendaraan bermotor lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Reaksi tanaman terhadap polusi udara akan memodifikasi jaringannya dengan meningkatkan ketebalan palisade (Radoukova 2009). Tingkat perubahan bentuk pada jaringan palisade akan sangat berpengaruh terhadap proses fisiologi tanaman, terutama pada proses fotosintesis. Menurut Fahn (1991) dan Jahan dan Iqbal (1992), menjelaskan bahwa jaringan palisade terdapat kloroplas yang berfungsi untuk fotosintesis. Selain menurunkan kerapatan dan indeks stomata akibat gas dan materi vulkanik, tanaman angsana juga merespon dengan meningkatkan ketebalan jaringan palisade. Kerapatan stomata dan indeks stomata di Kota Yogyakarta relatif lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo. Namun, di sisi lain tanaman memodifikasi dirinya dengan penebalan jaringan palisade yang berfungsi untuk

56 40 meningkatkan efisiensi fotosintesis. Adanya modifikasi jaringan palisade pada tanaman angsana menunjukkan bahwa tanaman ini dapat beradaptasi secara baik terhadap lingkungan yang tercemar oleh polutan gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Menurut Bell dan Treshow (2002), tanaman yang biasa hidup dan tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran polutan gas dan partikel yang tinggi mampu beradaptasi dengan menebalkan jaringan palisade. Jaringan palisade yang meningkat ini mempengaruhi proses pertumbuhan pada tanaman. Hal ini didukung dengan penelitian pada tanaman Lolium pereme yang cenderung tumbuh lebih baik di lokasi yang terpolusi oleh polutan gas dibandingkan dengan lokasi yang tidak terpolusi (Mansfield 1976). Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lokasi yang terpolusi gas dan partikel. Hal ini sesuai dengan penelitian Roziaty (2009) yang melaporkan bahwa Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi (toleran) terhadap polutan gas dan partikel. Selain itu, polutan seperti partikel dapat menghambat pertumbuhan pada suatu tanaman, tetapi tanaman angsana memiliki mekanisme adaptasi dan pertahanan dengan memodifikasi dirinya agar dapat terus bertahan hidup. Hal ini berkaitan bahwa, tanaman angsana banyak ditemukan di sekitar Kota Yogyakarta yang setiap empat tahun sekali terpapar bahan polutan gas dan materi vulkanik erupsi Gunung Merapi. 5.3 Stuktur Anatomi Daun Beringin (Ficus benjamina Linn.) Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin dijumpai stomata bertipe parasitik atau rubiaceous. Tipe stomata parasitik atau rubiaceous adalah stomata dimana sel penjaganya bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga, membentuk sumbu yang sejajar dengan sumbu sel penjaganya (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial, sedangkan pada sisi atas daun atau adaksial tidak dijumpai stomata (Gambar 20). Selain itu, hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak

57 41 terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Kelenjar Gambar 20 Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm). Keterangan: 1 = Trikoma Kelenjar Gambar 21 Hasil sayatan paradermal abaksial daun beringin: trikoma kelenjar di di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

58 42 Hasil pengamatan sayatan paradermal abaksial daun beringin pada kedua lokasi ditemukannya trikoma kelenjar unisel (Gambar 21). Trikoma kelenjar berfungsi untuk mencegah kekeringan pada tanaman, untuk sekresi berbagai bahan seperti larutan garam, nektar, terpentin, dan polisakarida (Fahn 1991). Menurut Cutter (1978), trikoma kelenjar adalah sel sekretori yang dapat mengeluarkan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat berperan sebagai agen penolak serangga. Parameter pengamatan sediaan sayatan paradermal pada jenis tanaman beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo tidak berbeda nyata untuk semua parameter pengamatan yang (Tabel 4). Tabel 4 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Kerapatan stomata abaksial (jumlah/mm²) 215,79 239,82 0,688 TBN Indeks stomata 4,66 4,77 0,903 TBN Panjang stomata (µm) 30,95 29,48 0,754 TBN Lebar stomata (µm) 28,07 26,88 0,801 TBN Kerapatan trikoma kelenjar (jumlah/mm²) 14,00 24,58 0,163 TBN Diameter trikoma kelenjar (µm) 6,42 7,11 0,274 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Parameter kerapatan stomata pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun tanaman beringin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Namun, nilai kerapatan stomata cenderung menurun. Menurunnya kerapatan stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Tanaman akan memodifikasi dirinya apabila mendapat cekaman dari lingkungan yang terdapat gas dan materi vulkanik. Menurut Gostin (2009), tanaman yang mengurangi jumlah stomata akibat cekaman polusi udara merupakan salah satu respon untuk mengurangi masuknya gas polutan. Ukuran stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta dan Solo terlihat berbeda, namun hasil uji-t pada panjang maupun lebar stomata tidak menunjukkan beda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman beringin cenderung di Kota Yogyakarta yang terpapar gas dan materi vulkanik memiliki ukuran panjang dan lebar stomata yang lebih besar dibandingkan Kota Solo (Gambar 20). Daun

59 43 dengan stomata yang ukurannya lebih besar memiliki kemampuan menyerap polutan gas lebih banyak dibandingkan daun dengan stomata yang berukuran lebih kecil (Lambers et al. 2000). Namun modifikasi tersebut memungkinkan tanaman lebih optimum untuk menyerap gas CO₂ yang akan digunakan dalam proses fotosintesis. Hal yang senada juga disampaikan oleh Jahan dan Iqbal (1992), salah satu respon tanaman Ficus bengalensis terhadap polusi gas dan partikel adalah dengan meningkatkan ukuran stomata, baik panjang maupun lebar stomata Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal Struktur anatomi daun tanaman beringin bertipe isolateral atau isobilateral (Gambar 22). Isolateral atau isobilateral adalah daun yang memiliki jaringan palisade terdapat di kedua sisi daunnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini terdiri dari satu hingga dua lapisan. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan struktur anatomi daun akibat gas dan materi vulkanik dan semua parameter pengamatan tidak berbeda nyata secara statistik dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa gas dan materi vulkanik Gunung Merapi tidak memberikan pengaruh terhadap struktur anatomi daun tanaman beringin (Tabel 5) Tabel 5 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Tebal daun (µm) 269,44 253,06 0,701 TBN Tebal epidermis adaksial (µm) 8,61 8,26 0,803 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 7,15 6,67 0,523 TBN Tebal palisade adaksial (µm) 47,08 44,03 0,646 TBN Tebal palisade abaksial (µm) 18,61 17,99 0,668 TBN Tebal bunga karang (µm) 137,57 105,21 0,267 TBN Tebal kutikula adaksial (µm) 4,11 3,56 0,572 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 3,97 3,64 0,736 TBN Tebal hipodermis adaksial (µm) 49,72 45,76 0,748 TBN Tebal hipodermis abaksial (µm) 10,83 10,76 0,748 TBN Keterangan: TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Namun jika dilihat dari hasil data, terdapat kecenderungan untuk semua parameter menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada Kota Yogyakarta dibandingkan Kota Solo. Daun yang lebih tebal di Kota Yogyakarta juga diikuti dengan dengan meningkatnya ketebalan palisade dan bunga karang. Jaringan

60 44 palisade dan bunga karang yang menebal di Kota Yogyakarta ini terkait dengan jumlah kloroplas yang terkandung di kedua jaringan tersebut. Hal ini berkaitan dengan proses fotosintesis untuk menangkap sinar matahari (Jahan & Iqbal 1992). Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 6 = Hipodermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 7 = Palisade Adaksial 3 = Epidermis Adaksial 8 = Palisade Abaksial 4 = Epidermis Abaksial 9 = Bunga Karang 5 = Hipodermis Adaksial Gambar 22 Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm). Berdasarkan hasil pengamatan anatomi daun pada sayatan transversal, tanaman beringin tidak memberikan respon terhadap polusi gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman beringin tahan terhadap cekaman polusi udara akibat erupsi Gunung Merapi, karena setiap empat tahun sekali di Kota Yogyakarta terpolusi gas dan partikel yang dapat masuk dan menutup permukaan daun pada tanaman. Penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Nurmal (2000) yang melaporkan bahwa tanaman beringin sangat tahan terhadap pengaruh polutan gas dan debu. Daya tahan suatu tanaman menurut Gultom (1996) dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam tanaman itu dan kondisi lingkungannya.

61 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa daun tanaman angsana (Pterocarpus indicus Willd.) tidak mengalami kerusakan, namun menunjukkan respon terhadap gas dan materi vulkanik dengan menurunkan kerapatan dan indeks stomata, meningkatkan ukuran panjang stomata, dan ketebalan jaringan palisade. Pada daun tanaman beringin (Ficus benjamina Linn.) juga tidak mengalami kerusakan, namun semua parameter pengamatan tidak menunjukkan respon terhadap gas dan materi. Tanaman angsana dan beringin merupakan tanaman yang baik untuk ditanam di Kota Yogyakarta yang terpolusi gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. 6.2 Saran Pohon angsana dan beringin dapat dijadikan rekomendasi untuk tanaman hutan kota dalam rangka perbaikan kualitas udara pasca erupsi letusan Gunung Merapi.

62 DAFTAR PUSTAKA Ahmad J, Musa N Anatomi berkas pengangkut batang. Eugenia 9(4): Almahy HA, Rahmani M, Sukari MA, Ali AM The chemical constituents of Ficus benjamina Linn. and their biological activities. Pertanika J. Sci. & Tech.l 11(1): Azmat R, Haider S, Nasreen H, Aziz F, Riaz M A viable alternative mechanism in adapting the plants to heavy metal environment. Pak. J. Bot 41(6): [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta Peta Administrasi Kota Surakarta. Surakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta [BPS] Badan Pusat Statistik Surakarta Surakarta Dalam Angka Surakarta: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Yogyakarta Kota Yogyakarta Dalam Angka Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta. [BLH] Balai Lingkungan Hidup Kota Surakarta Hasil Pengujian Udara Ambien. Surakarta: Balai Lingkungan Hidup Kota Surakarta [BLH] Balai Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Laporan Hasil Uji Udara Ambien. Yogyakarta. Balai Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta [BPPTK] Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta Kronologis Letusan Gunung Merapi. Yogyakarta: Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta. Balasooriya BLWK, Samson R, Mbikwa F, Vitharana UWA, Boeckx P Biomonitoring of urban habitat quality by anatomical and chemical leaf characteristics. Environ and Experimen Botany 65(2): Bell JNB, Treshow M Air Pollution and Plant Life. 2 nd Ed. England: John Wiley and Sons, LTD. Cutter EG Plant Anatomy Part I Cell and Tissues. London: Edward Arnold (Publisher), Ltd. Dahlan EN Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota. Bogor: IPB Press. Dalimartha S Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1. Jakarta: Trubus Agriwidya.

63 47 Dickinson WO Integrative Plant Anatomy. Tokyo: Academic Press. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan Informasi Singkat Benih Pterocarpus indicus Willd. Jakarta: Kementrian Kehutanan. Esau K Anatomy of Seed Plants. Canada: John Wiley and Sons, Inc. Fahn A Anatomi Tumbuhan. Soediarto A, Koesoemaningrat RMT, Natasapura M, Akmal H, penerjemah; Tjitrosomo SS, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Anatomy. Fakuara Y, Soekotjo W Penentuan Jumlah Transpirasi Pada Berbagai Jenis Pohon yang Tumbuh Di Perkotaan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Fauqani A Respon Pertumbuhan dan Anatomi Jaringan Daun Cyperus kyllingia, Eleusine indica, dan Rottboellia exaltata pada Perbedaan Tingkat Pencemaran Udara [skripsi]. Bogor: Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Fauzi DA Panduan Lengkap Manfaat Tanaman Obat. Jakarta: Edsa Mahkota. Gostin I Air pollution effects on the leaf structure of some Fabaceae species. Not. Bot. Hort. Agrobot. Cluj 37(2): Gultom JT Pengaruh Salinitas Air dan Pencemaran Udara yang Diemisikan Oleh Asap Kendaraan Bermotor terhadap Beberapa Jenis Anakan Tanaman Perkotaan [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Handoko Klimatologi Dasar. Bogor: Pustaka Jaya. Heyne K Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Waha Jaya Badan Litbang Kehutanan. Jahan S, Iqbal MZ Morphological, anatomical, physiological features of plant species and environmental factors facilitative for dust capturing efficiency. Jour. of Islam. Academy of Sci. 5(1): Johansen DA Plant Microtechnique. New York and London: McGraw-Hill Book Company Inc. Kloppenburg J Petunjuk Lengkap Mengenai Tanam-tamanan Di Indonesia dan Khasiatnya Sebagai Obat-obatan Tradisionil. Yogyakarta: ANDI. Kristanto P Ekologi Industri. Yogyakarta: ANDI. Lakitan B Dasar dasar Fisiologi Tumbuhan. Ed ke-1. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

64 48 Lambers H, Chapin FS, Pons TL Plant Physyiological Ecology. New York: Springer. Mansfield TA Effects of Air Pollutants on Plants. London: Cambridge University Press. Marsono D Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: BIGRAF Publishing. Maulana RY Identifikasi Respon Anatomi Daun dan Pertumbuhan Kenari, Akasia dan Kayu Manis Terhadap Emisi Gas Kendaraan Bermotor [skripsi]. Bogor: Departeman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Mudd JB, Kozlowski TT Responses of Plants to Air Pollution. New York: Academic Press, Inc, Ltd. Mulyani S Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius. Nurmal L. Pengaruh Pencemaran yang Diemisikan Oleh Kendaraan Bermotor Terhadap Ketahanan Tanaman Perkotaan [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pedroso ANV, Alves ES Comparative leaf anatomy of Nicotiana tabacum L. (Solanaceae) cultivars sensitive and tolerant to ozone. Acta Bot. Bras. 22(1): [P2PL] Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Letusan Gunung Merapi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan. Pudjiastuti W Debu Sebagai Bahan Pencemar yang Membahayakan Kesehatan Kerja. Jakarta: Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Radoukova T Anatomical mutability of the leaf epidermis in two species of Franxinus L. in a region with autotransport pollution. Biotechnol & Biotechnol. 23(25): Regional Geographic of Indonesia Profil kota Yogyakarta. [17 Januari 2011] Ribas A, Penuelas J, Elvira S, Gimeno BS Ozone exposure induces the activation of leaf senescence-related processes and morphological and growth changes in seedlings of Mediterranean tree species. Environ. Poll. 134: Riikonen J, Percy KE, Kivimaenpaa M, Kubiske ME, Nelson ND, Vapaavuori E. Karnosky DF Leaf size and surface charateristics of Betula papyrifera exposed to elevated CO₂ and O₂. Environ. Poll. 158:

65 49 Roziaty E Kandungan Klorofil, Struktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan Kualitas Udara Ambein di Sekitar Kawasan Industri Pupuk PT. Pusri di Palembang [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sass JE Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa Sate College Press. Sastrapraja S, Afriastini JJ Kerabat Beringin. Bogor: Lembaga Biologi Nasional LIPI. Sastrawijaya AT Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Scorer R Air Pollution. Oxford: Pergamon Press LTD. Sinuhaji NF Analisis Logam Berat dan Unsur Hara Debu Vulkanik Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatra Utara [Skripsi]. Medan. Departemen Fisiska Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatra Utara Soedomo M Pencemaran Udara. Bandung: ITB Bandung. Soemarno SH Meteorologi Pencemaran Udara. Bandung: Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB. Sulistyaningsih YC, Dorly, Akmal Studi anatomi daun Saccharum spp. sebagai induk dalam pemuliaan tebu. Hayati 1(2): Sunarti S, Rugayah, Tihurua EF Studi anatomi daun jenis-jenis Averrhoa di Indonesia untuk mempertegas status taksonominya. Berita Biologi 9(3): Suriadikarta DA, Abas A, Sutono, Erfandi D, Santoso E, Kasno A Identifikasi Sifat Kimia Abu Volkan, Tanah dan Air Di Lokasi Dampak Letusan Gunung Merapi. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Sutarno, Pranoto, Dewi WS, Iskamto B Indikator kualitas udara di jawa tengah ditinjau dari komponen biologi. Environmental 3(2): 1-9 Sutrian Y Pengantar Anatomi Tumbuh-tumbuhan. Jakarta: Rineka Cipta. Tjitrosoepomo G Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Treshow M, Anderson FK Plant Stress from Air Pollution. New York: John Willey and Sons. Wardhana WA Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: ANDI Willmer CM Stomata. New York: Longman Inc.

66 Wilson T, Kaye G, Stewart C, Cole J Impacts of the 2006 eruption of Merapi Volcano Indonesia, on Agriculture and Infrastructure. New Zealand: Gns Science Report, Natural Hazards Research Centre, University of Canterbury. 50

67 LAMPIRAN

68 52 Lampiran 1 Komposisi seri larutan Johansen Komposisi Seri larutan Johansen I II III IV V VI VII Air 50% 30% 15% Etanol 95 % 40% 50% 50% 45% Etanol 100% % - - Tertier butil alkohol 10% 20% 35% 55% 75% 100% 50% Minyak parafin % Lampiran 2 Komposisi larutan Gifford Komposisi Volume (ml) Asam asetat glacial 20 Alkohol 60% 80 Gliserin 5

69 53 Lampiran 3 Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan paradermal dengan metode wholemount (Sass 1951) Fiksasi (dalam alkohol 70%) Pencucian dengan akuades Pelunakkan (dalam larutan HNO₃ 50%) Penyayatan Penjernihan dengan bayclean Pewarnaan safranin 1% Penutupan media gliserin 30% Pemberian label

70 54 Lampiran 4 Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan transversal dengan metode parafin (Johansen 1940) Fiksasi dalam larutan FAA( Formaldehid Asetit Acid) Komposisi FAA= (Formalidehid : Asam Asetat : Alkohol 70%) = (5:5:90) Pencucian Dehidrasi dan penjernihan (larutan seri Johansen I VII) Infiltrasi parafin Penanaman (blok) Pelunakkan (dalam larutan Gifford) Penyayatan dengan mikroton putar 10µm Perekatan dengan albumin gliserin Pewarnaan dengan Safranin (2% dalam air) dan Fastgreen 0,5% dalam alcohol 95% Penutupan dengan media entelan Pemberian label

71 Lampiran 5 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta 55

72 56 Lampiran 6 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 25 Mei Juli 2010

73 57 Lampiran 7 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 25 Mei Juli 2010

74 58 Lampiran 8 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 1 Juni Juli 2010

75 59 Lampiran 9 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 5 Juni Juli 2010

76 60 Lampiran 10 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 8 Juni Juli 2010

77 61 Lampiran 11 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 12 Juni Juli 2010

78 62 Lampiran 12 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 19 Juni Juli 2010

79 63 Lampiran 13 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 22 Juni Juli 2010

80 64 Lampiran 14 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 Juni Juli 2010

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982, menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer 21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu

Lebih terperinci

Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).

Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR Media Konservasi Vol. X, No. 2 Desember 2005 : 71 76 RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR [Growth and

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gas seperti sulfur dioksida vulkanik, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gas seperti sulfur dioksida vulkanik, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida selalu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali. Beberapa gas

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi dan Deskripsi Lokasi 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daun jambu air (Syzygium aqueum). Kemikalia yang digunakan yaitu larutan alkohol 96%, ethanol,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan Lingkungan Hidup masing-masing kota (Lampiran 5 8). Kemudian dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Alat dan bahan tercantum dalam Lampiran 1. 2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Struktur dan Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA Pengelolaan lingkungan diperlukan agar lingkungan dapat terus menyediakan kondisi dan sumber daya yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Lingkungan abiotis terdiri dari atmosfer,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi Alat dan Bahan Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu sampel daun jambu semarang Buah Pink, Hijau Bulat, Unsoed, Merah Lebar', Kaget Merah, Camplong Putih, Irung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kandungan Klorofil dan Udara Ambien Berdasarkan Tabel 1, terdapat kecenderungan peningkatan kandungan klorofil seiring dengan jauhnya stasiun dari pabrik. Semakin jauh lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi dan Deskripsi Lokasi 1. Bahan Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah daun 10 kultivar kacang tanah ( kultivar Bima, Hypoma1, Hypoma2, Kancil, Kelinci, Talam,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan Bahan yang digunakan antara lain daun salak [Salacca zalacca (Gaertn.) Voss] kultivar Kedung Paruk,

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. 1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau

Lebih terperinci

Peta Konsep. Kata Kunci. fotosintesis. klorofil autothrof. 126 IPA SMP/MTs Kelas VIII. Proses fotosintesis. Reaksi terang. Reaksi gelap.

Peta Konsep. Kata Kunci. fotosintesis. klorofil autothrof. 126 IPA SMP/MTs Kelas VIII. Proses fotosintesis. Reaksi terang. Reaksi gelap. Peta Konsep Proses fotosintesis Reaksi terang Reaksi gelap Fotosintesis Faktor-faktor yang memengaruhi fotosintesis Air (H 2 O Karbondioksida (CO 2 Cahaya matahari Suhu Oksigen (O 2 Kata Kunci fotosintesis

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR STOMATA PADA DAUN BEBERAPA TUMBUHAN HIDROFIT SEBAGAI MATERI BAHAN AJAR MATA KULIAH ANATOMI TUMBUHAN

ANALISIS STRUKTUR STOMATA PADA DAUN BEBERAPA TUMBUHAN HIDROFIT SEBAGAI MATERI BAHAN AJAR MATA KULIAH ANATOMI TUMBUHAN ANALISIS STRUKTUR STOMATA PADA DAUN BEBERAPA TUMBUHAN HIDROFIT SEBAGAI MATERI BAHAN AJAR MATA KULIAH ANATOMI TUMBUHAN Wina Dyah Puspita Sari dan Herkules Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Medan

Lebih terperinci

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel ORGANISASI KEHIDUPAN Sel Sel adalah unit terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sangat kecil untuk melihat harus dibantu dengan mikroskop. Kata sel berasal dari bahasa latin cellulae, yang berarti bilik kecil.

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa.

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa. 6 3 lintas, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu: 1. Apabila koefisien korelasi antara peubah hampir sama dengan koefisien lintas (nilai pengaruh langsung) maka korelasi tersebut menjelaskan hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN. Stomata

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN. Stomata LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN Stomata DISUSUN OLEH : Irwin Septian F05110003 Kelompok VII PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

Oleh: ANA KUSUMAWATI

Oleh: ANA KUSUMAWATI Oleh: ANA KUSUMAWATI PETA KONSEP Pencemaran lingkungan Pencemaran air Pencemaran tanah Pencemaran udara Pencemaran suara Polutannya Dampaknya Peran manusia Manusia mempunyai peranan dalam pembentukan dan

Lebih terperinci

PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR. Laporan Praktikum Mikroteknik. OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031

PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR. Laporan Praktikum Mikroteknik. OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031 PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR Laporan Praktikum Mikroteknik Nama NIM Kelompok Asisten OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031 : II (dua) : Ana Fatmasari PROGRAM

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10 SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10 1. Akhir-akhir ini suhu bumi semakin panas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena efek rumah kaca. Faktor yang mengakibatkan semakin

Lebih terperinci

Sediaan Mikroskopis untuk Pengamatan dengan Mikroskop Elektron Transmisi (TEM). Pengukuran Parameter Fotosintesis . Pengamatan Anatomi Daun HASIL

Sediaan Mikroskopis untuk Pengamatan dengan Mikroskop Elektron Transmisi (TEM). Pengukuran Parameter Fotosintesis . Pengamatan Anatomi Daun HASIL dan dihitung status air medianya (Lampiran 1). Pengukuran kadar air relatif dilakukan dengan mengambil 1 potongan melingkar dari daun yang telah berkembang penuh (daun ke-3 dari atas) dengan diameter 1

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA

4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA 4.DAUR BIOGEOKIMIA 4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA Dalam lingkungan, unsur-unsur kimia termasuk juga unsur protoplasma yang penting akan beredar di biosfer mengikuti jalur tertentu yaitu dari lingkungan

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat dimana terjadi perubahan cuaca dan iklim lingkungan yang mempengaruhi suhu bumi dan berbagai pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

/.skisi-kisi INSTRUMEN SOAL PRETEST POSTTEST Lingkunganku Tercemar Bahan Kimia Dalam Rumah Tangga. Indikator Soal Soal No soal

/.skisi-kisi INSTRUMEN SOAL PRETEST POSTTEST Lingkunganku Tercemar Bahan Kimia Dalam Rumah Tangga. Indikator Soal Soal No soal /.skisi-kisi INSTRUMEN SOAL PRETEST POSTTEST Lingkunganku Tercemar Bahan Kimia Dalam Rumah Tangga Mata Pelajaran : IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) Standar Kompetensi : 1.7. Memahami saling ketergantungan dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian ini objek yang diteliti diberi perlakuan dan adanya kontrol sebagai pembanding. B.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bulan, mulai bulan Januari sampai dengan bulan April 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. bulan, mulai bulan Januari sampai dengan bulan April 2012. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biosistematika dan Laboratorium Histologi Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN. Jaringan pada Daun Monokotil dan Dikotil

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN. Jaringan pada Daun Monokotil dan Dikotil LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI TUMBUHAN Jaringan pada Daun Monokotil dan Dikotil DISUSUN OLEH : Irwin Septian F05110003 Kelompok VII PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7 32 31 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit)

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) A. Pilihlah satu jawaban yang paling benar dengan memberi silang pada salah satu huruf di lembar jawab! 1. Di Indonesia, pengaturan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.3 1. Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... A. Air cahaya CO 2 O 2 Kunci Jawaban : D Bahan-bahan yang

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9. lithosfer. hidrosfer. atmosfer. biosfer

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9. lithosfer. hidrosfer. atmosfer. biosfer SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9 1. Berdasarkan susunan kimianya komposisi permukaan bumi dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu lithosfer, hidrosfer, atmosfer, dan biosfer.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ). 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Ambient Udara dapat di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu udara ambient dan udara emisi. Udara ambient adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir

Lebih terperinci

STRUKTURISASI MATERI

STRUKTURISASI MATERI STRUKTURISASI MATERI KOMPETENSI DASAR 3.9 Menganalisis gejala pemanasan global dan dampaknya bagi kehidupan dan lingkungan 4.8 Menyajikan ide/gagasan pemecahan masalah gejala pemanasan global dan dampaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara).

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan dan Udara Lingkungan hidup adalah semua benda yang hidup dan tak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah bagian

Lebih terperinci

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan.

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan. 1. Sejarah Perkembangan Timbulnya Pencemaran Kemajuan industri dan teknologi dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sudah terbukti bahwa industri dan teknologi yang maju identik

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.1

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.1 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.1 1. Cara mengurangi pencemaran lingkungan akibat rumah tangga adalah... Membakar sampah plastik dan kertas satu minggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat BAB I PENDAHULUAN 1.I Latar belakang Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Tetapi keberadaan jalur hijau jalan pada saat ini di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandung merupakan kota dengan aktivitas masyarakat yang tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung dikunjungi banyak masyarakat

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1 1. Makhluk hidup yang dapat berfotosintesis adalah makhluk hidup... Autotrof Heterotrof Parasit Saprofit Kunci Jawaban : A Makhluk hidup autotrof

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman penghasil kayu berkualitas tinggi dari familli Fabaceae, kayunya tergolong keras dan berat, tinggi mencapai

Lebih terperinci

Kunci Jawaban. Evaluasi Bab 2 A. Pilihan Ganda 2. d 8. a 4. a 10. c

Kunci Jawaban. Evaluasi Bab 2 A. Pilihan Ganda 2. d 8. a 4. a 10. c Kunci Jawaban BAB 1 Ayo Berlatih 1.1 2. Hewan berkembang biak dengan cara beranak dan bertelur. Contoh hewan yang beranak kucing, sapi, dan kelinci. Hewan yang berkembang biak dengan cara bertelur adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa daerah di Jawa Timur yang mengalami perkembangan yang pesat dari sektor industri salah satunya di Kecamatan Ngoro. Jumlah perusahaan industri pengolahan di

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI Oleh: Ayu Agustini Juhari 1210702007 Tanggal Praktikum : 16 April 2012 Tanggal Pengumpulan : 23 April 2012

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2009 sampai bulan Juli 2010

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2009 sampai bulan Juli 2010 BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2009 sampai bulan Juli 2010 di laboratorium Struktur Tumbuhan Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT DAN PENGAMATAN STRUKTUR TUMBUHAN. DisusunOleh: Tribuana Maharani Muria XI MIPA 3 / 23 SMA NEGERI 2 WONOSARI

LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT DAN PENGAMATAN STRUKTUR TUMBUHAN. DisusunOleh: Tribuana Maharani Muria XI MIPA 3 / 23 SMA NEGERI 2 WONOSARI LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT DAN PENGAMATAN STRUKTUR TUMBUHAN DisusunOleh: Tribuana Maharani Muria XI MIPA 3 / 23 SMA NEGERI 2 WONOSARI Jl. Ki AgengGiring 3 Telp / Fax (0274) 391158 Wonosari Gunungkidul

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis dan Syarat Tumbuh Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN 1. Pencemaran Udara Pencemaran lingkungan kadang-kadang tampak jelas oleh kita ketika kita melihat timbunan sampah di pasar-pasar, pendangkalan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah 3 TINJAUAN PUSTAKA Pemadatan Tanah Hillel (1998) menyatakan bahwa tanah yang padat memiliki ruang pori yang rendah sehingga menghambat aerasi, penetrasi akar, dan drainase. Menurut Maryamah (2010) pemadatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini disebakan karena gas CO dapat mengikat

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini disebakan karena gas CO dapat mengikat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gas-gas pencemar dari gas buang kendaraan bermotor seperti gas CO dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini disebakan karena gas CO dapat mengikat hemoglobin darah

Lebih terperinci

MAKALAH AGEN PENYAKIT NITROGEN DIOKSIDA. Oleh : Tutut Adi Dwi Cahyani Gresi Amarita Rahma

MAKALAH AGEN PENYAKIT NITROGEN DIOKSIDA. Oleh : Tutut Adi Dwi Cahyani Gresi Amarita Rahma MAKALAH AGEN PENYAKIT NITROGEN DIOKSIDA Oleh : Tutut Adi Dwi Cahyani 25010113140382 Gresi Amarita Rahma 25010113140400 Indana Aziza Putri 25010113130406 Aprilia Putri Kartikaningsih 25010113130415 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan, BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan, temuan penelitian, dan pembahasannya. Hasil penelitian yang diperoleh disajikan dalam

Lebih terperinci

Wiwi Widia Astuti (E1A012060) :Pengetahuan Lingkungan ABSTRAK

Wiwi Widia Astuti (E1A012060) :Pengetahuan Lingkungan ABSTRAK Nama NIM Tugas :Wiwi Widia Astuti :E1A012060 :Pengetahuan Lingkungan ABSTRAK Dalam beberapa tahun terakhir, isu pemanasan global semakin sering dibicarakan baik dalam skala kecil sampai tingkat internasional.

Lebih terperinci

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Ozon (O 3 ) mempunyai fungsi melindungi bumi dari radiasi sinar Ultraviolet Ozon sekarang ini

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan. Materi # T a u f i q u r R a c h m a n

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan. Materi # T a u f i q u r R a c h m a n Materi #4 Bahasan 2 Penipisan Ozon (Ozone Depletion). Pemanasan global dan Perubahan Iklim Global. Hujan Asam. Penyebaran Kehidupan (Biological Magnification). Dampak manusia pada Air, Udara, dan Perikanan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Hujan asam merupakan salah satu indikator terjadinya pencemaran udara. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang masuk

Lebih terperinci

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C)

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C) Pengaruh Kadar Gas Co 2 Pada Fotosintesis Tumbuhan yang mempunyai klorofil dapat mengalami proses fotosintesis yaitu proses pengubahan energi sinar matahari menjadi energi kimia dengan terbentuknya senyawa

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Bahasan 2 Penipisan Ozon (Ozone Depletion). Pemanasan global dan Perubahan Iklim Global. Hujan Asam. Penyebaran Kehidupan (Biological Magnification). Dampak manusia pada Air, Udara, dan Perikanan.

Lebih terperinci

Elaeis Noviani R *, Kiki Ramayana L. Tobing, Ita Tetriana A, Titik Istirokhatun. Abstrak. 1. Pendahuluan. 2. Dasar Teori Karbon Monoksida (CO)

Elaeis Noviani R *, Kiki Ramayana L. Tobing, Ita Tetriana A, Titik Istirokhatun. Abstrak. 1. Pendahuluan. 2. Dasar Teori Karbon Monoksida (CO) PENGARUH JUMLAH KENDARAAN DAN FAKTOR METEOROLOGIS (SUHU, KECEPATAN ANGIN) TERHADAP PENINGKATAN KONSENTRASI GAS PENCEMAR CO, NO₂, DAN SO₂ PADA PERSIMPANGAN JALAN KOTA SEMARANG (STUDI KASUS JALAN KARANGREJO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jambu Biji Merah Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu psidium yang berarti delima, guajava

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut

Lebih terperinci

TINGKAT ORGANISASI KEHIDUPAN

TINGKAT ORGANISASI KEHIDUPAN TINGKAT ORGANISASI KEHIDUPAN Dengan mempelajari materi urutan tingkat organisasi kehidupan dan pengertiannya, maka kita akan semakin mengerti manfaat biologi yang kita pelajari sebelumnya. Kita juga akan

Lebih terperinci

EVALUASI BAB IX EFEK RUMAH KACA DAN PEMANASAN GLOBAL : MUHAMMAD FIRDAUS F KELAS : 11 IPA 3

EVALUASI BAB IX EFEK RUMAH KACA DAN PEMANASAN GLOBAL : MUHAMMAD FIRDAUS F KELAS : 11 IPA 3 EVALUASI BAB IX EFEK RUMAH KACA DAN PEMANASAN GLOBAL NAMA : MUHAMMAD FIRDAUS F KELAS : 11 IPA 3 1. Pada proses terjadinya efek rumah kaca, gas CO2 menyebabkan. A. Berkurangnya gas O2 B. Bertambahnya gas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian,

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan salah satu unsur atau zat yang sangat penting setelah air. Seluruh makhluk hidup membutuhkan udara sebagai oksigen demi kelangsungan hidupnya di muka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1 Lokasi, jenis industri dan limbah yang mungkin dihasilkan

PENDAHULUAN. Tabel 1 Lokasi, jenis industri dan limbah yang mungkin dihasilkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Batam sebagai salah satu daerah industri yang cukup strategis, membuat keberadaan industri berkembang cukup pesat. Perkembangan industri ini di dominasi oleh industri berat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pencemaran udara adalah proses masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke udara oleh aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan berubahnya tatanan udara sehingga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme dalam tubuh makhluk hidup tidak mungkin dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 EKOSISTEM Topik Bahasan: Aliran energi dan siklus materi Struktur trofik (trophic level) Rantai makanan dan

Lebih terperinci