STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA"

Transkripsi

1 i STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GITA OKTARINA EKA PUTRI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 ii STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GITA OKTARINA EKA PUTRI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3 iii RINGKASAN GITA OKTARINA EKA PUTRI. Struktur Anatomi Daun Akasia dan Mahoni Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Letusan Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibawah Bimbingan: SITI BADRIYAH RUSHAYATI dan DORLY Peningkatan konsentrasi bahan pencemar di Kota Yogyakarta akibat bencana letusan Gunung Merapi memberikan banyak pengaruh terhadap lingkungan termasuk vegetasi yang ada. Masuknya bahan pencemar dengan konsentrasi yang tinggi melalui stomata daun dapat merusak struktur anatomi daun sehingga fungsinya sebagai penyerap polutan menjadi tidak maksimal. Oleh karena itu perlu diketahui jenis tanaman yang cukup resisten terhadap tingginya konsentrasi bahan pencemar terutama gas dan materi vulkanik sebagai tanaman yang direkomendasikan untuk hutan kota di Kota Yogyakarta. Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengidentifikasi pengaruh gas dan materi vulkanik tersebut terhadap struktur anatomi daun akasia dan mahoni serta membandingkan tingkat kerusakan mikroskopisnya. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Yogyakarta, Kota Solo, dan Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni sampai September Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari hasil pengamatan terhadap anatomi daun sayatan paradermal dan transversal masingmasing tanaman pada kedua kota. Data sekunder berupa data kualitas udara lokasi penelitian yang didapatkan dari Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa telah terjadi perubahan struktur anatomi daun kedua jenis tanaman sebagai respon terhadap perubahan konsentrasi bahan pencemar yang terserap. Tanaman Akasia memberikan respon berupa indeks stomata adaksial yang menurun, jumlah kerusakan sel epidermis serta abnormalitas stomata sisi adaksial dan abaksial yang menjadi lebih banyak, dan jaringan kutikula yang menjadi lebih tebal. Tanaman mahoni memberikan respon berupa abnormalitas stomata sisi abaksial yang menjadi lebih banyak, tebal daun, jaringan palisade, bunga karang dan kutikula bawah yang menjadi lebih tipis. Jumlah kerusakan sel yang teramati pada daun akasia lebih banyak jika dibandingkan daun mahoni, sehingga dapat dikatakan daun mahoni lebih tahan terhadap peningkatan konsentrasi bahan pencemar yang terjadi dalam jangka waktu tertentu dan dapat dijadikan rekomendasi tanaman Hutan Kota guna memperbaiki kualitas lingkungan Kota Yogyakarta pasca letusan Gunung Merapi. Kata kunci: anatomi daun, debu vulkanik Merapi, akasia, mahoni

4 iv SUMMARY GITA OKTARINA EKA PUTRI. Leaves Anatomical Structure of Acacia and Mahogany Affected by Volcanic Gas and Material Post-Eruption of Merapi Mountain, Daerah Istimewa Yogyakarta. Supervised by: SITI BADRIYAH RUSHAYATI and DORLY Increased of pollutant in Yogyakarta City caused by the eruption of Merapi Mountain has given many effects to environment, including vegetation. Penetration of high concentration of pollutant through leaf stomata could destruct leaf anatomical structure that made its function as pollutant absorber decreased. Thus there was a requirement to identify the plant species was resistant to high concentration pollutant, mainly volcanic gas and material that could be recommended as plant for urban forest in Yogyakarta City. The objective of this research was to identify the effect of volcanic dust to leaf anatomical structure of acacia and mahagony, and to compare their microscopic damages. This research was carried out in Yogyakarta, Solo and Plant Anatomy Laboratory, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University from June to September Data and information collected in the research was including primary and secondary data. Primary data was collected from observation of leaf anatomical structure on paradermal and transversal section af sample leaves from each plant species taken from both cities. Secondary data included air quality data of both cities that obtained from Environmental Bureau of each city. The observation showed that there were anatomical structure changes of leaves sample from both plants species take from Yogyakarta. The changes was assumed as responses of leaves toword the increased consentration of pollutant. Acacia responses were lower of adaxsial stomatal index, higher epidermic cell damage, higher abnormality of adaxsial and abaxsial stomata, and thicker cuticle tissue. Mahogany responses were higher abnormality of abaxsial stomata, and thinner leaf, palisade tissue, sponge tissue and lower side cuticle. Total of observed damage cells on acacia leaves were higher than those found in mahogany leaves. Thus it can be said that mahogany was more resistant to the increase of pollutant concentration occurred in particular period, and could be recommended for urban forest plant to improve environmental quality of Yogyakarta City after the eruption of Merapi Mountain. Keywords: leaf anatomical structure, volcanic dust of Merapi, acacia, mahogany

5 v PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Anatomi Daun Akasia dan Mahoni Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Letusan Gunung Merapi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Febuari 2012 Gita Oktarina Eka Putri NIM E

6 vi z Judul Skripsi Nama NIM : Struktur Anatomi Daun Akasia dan Mahoni Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Letusan Gunung Merapi Daerah Istimewa Yogyakarta : Gita Oktarina Eka Putri : E Menyetujui: Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M. Si Dr. Ir. Dorly, M. Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP Tanggal Lulus :

7 i KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat, rahmat dan ridho-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Struktur Anatomi Daun Akasia dan Mahoni Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Letusan Gunung Merapi Peningkatan konsentrasi bahan pencemar akan memberikan dampak yang sangat luas terhadap makhluk hidup yang ada termasuk tumbuhan. Peningkatan konsentrasi bahan pencemar dapat diakibatkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah bencana alam. Bencana meletusnya Gunung Merapi pada bulan Oktober dan November 2010 di Yogyakarta menyebabkan adanya peningkatan kandungan bahan pencemar terutama gas dan materi vulkanik yang cukup signifikan. Masuknya bahan-bahan pencemar seperti SO 2, NO 2 dan debu dalam bentuk Total Suspended Particulate (TSP) dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan tanaman terutama daun. Pada penelitian yang dilakukan, penulis ingin mengetahui pegaruh peningkatan konsentrasi bahan pencemar gas dan materi vulkanik terhadap struktur anatomi daun tanaman Akasia dan Mahoni sebagai tanaman yang direkomendasikan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk penghijauan dan perbaikan kualitas udara. Dari perubahan struktur anatomi daun ini akan dapat diketahui tingkat resistensi masing-masing tanaman terhadap peningkatan konsentrasi bahan pencemar yang ada. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki. Namun demikian, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Bogor, Febuari 2012 Penulis

8 ii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 14 Oktober Penulis merupakan anak ke satu dari dua bersaudara, pasangan Bapak Sugiyano dan Ibu Kristati Retnaningsih. Riwayat pendidikan formal yang telah dilalui penulis adalah pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 03 Brengkok tahun , sekolah menengah pertama di SMP Negeri 02 Purwareja Klampok pada tahun dan sekolah menengah pertama di SMA Negeri 01 Bawang pada tahun Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Selama kegiatan perkuliahan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, penulis aktif mengikuti kegiatan Kelompok Pemerhati Flora (KPF) dan menjadi Ketua Bidang Kewirausahaan dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) periode Pada tahun 2009, penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Gunung Burangrang Cikeong dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun Penulis termasuk mahasiswa penerima beasiswa Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) pada tahun 2009 dengan judul artikel Kajian Etnofitomedika Suku Dayak Kaburai Sebagai Upaya Konservasi di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kalimantan Barat dan Tengah. Pada tahun 2011, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Struktur Anatomi Daun Akasia dan Mahoni Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Letusan Gunung Merapi dibawah bimbingan Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M. Si dan Dr. Ir. Dorly, M. Si.

9 iii UCAPAN TERIMAKASIH Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya bagi seluruh ciptaan-nya. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqamah sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M. Si dan Dr. Ir. Dorly, M. Si. Selaku dosen pembimbing atas kesediaan memberikan ilmu, bimbingan, arahan, dan motivasi selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Pietter dan Bapak Suyono Kurniawan dari Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta dan Solo atas bantuan data dan dukungan yang diberikan. 3. Pemerintah kota Yogyakarta dan Solo atas kesediannya memberikan izin sebagai lokasi penelitian. 4. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi DIY atas bantuan data yang diberikan. 5. Keluarga besar Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi atas bantuan dan fasilitas yang diberikan. 6. Ayahanda Sugiyano dan Ibunda Kristati Retnaningsih, Orang tua yang terus memberikan dorongan dan semangat hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini. 7. Adikku tersayang Aditya Dwi Agung Prabowo atas dukungan dan semangat yang diberikan. 8. Nisfulaila dan Heny serta rekan-rekan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan atas bantuan dan bimbingan selama berada di Laboratorium. 9. Seluruh Dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas ilmu-ilmu yang diberikan. 10. Arif Afriyadi atas bantannya selama survey tempat dan pengambilan data. 11. Angga Prayana, S.Hut dan Belinda Dwi Yunanti, S.Hut atas bantuan yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.

10 iv 12. Keluarga besar Villa Cempaka yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyusunan laporan skripsi. 13. Keluarga besar KSHE 44 atas dukungan, masukan dan saran yang diberikan. 14. Semua pihak yang telah membantu dari awal hingga selesainya tugas akhir ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas bantuan dan dukungannya selama pembuatan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri.

11 v DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Manfaat... 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Lingkungan dan Udara Pencemaran Pencemaran Udara Sumber Pencemaran Udara Bahan Pencemar Udara Pengaruh Pencemaran Udara Struktur Anatomi Daun Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Respon Tanaman Akasia Mahoni BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Alat dan Bahan Jenis Data Data Primer Data Sekunder Metode Pengambilan Data Penentuan Plot Pengamatan Penentuan Jenis Pohon Pengambilan Sampel Daun... 23

12 vi Pembuatan Sediaan Mikroskopis Analisis Data BAB IV. KONDISI UMUM 4.1 Kota Yogyakarta Letak Geografis dan Administrasi Topografi Geologi Hidrologi Iklim Kota Solo (Surakarta) Letak Geografis dan Administrasi Topografi Geologi Hidrologi Iklim BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian Pengamatan Sediaan Mikroskopis Sayatan Paradermal Daun Akasia Pengamatan Sediaan Mikroskopis Sayatan Transversal Daun Akasia Pengamatan Sediaan Mikroskopis Sayatan Paradermal Daun Mahoni Pengamatan Sediaan Mikroskopis Sayatan Transversal Daun Mahoni BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 54

13 vii DAFTAR TABEL No Halaman 1. Toksisitas Relatif Polutan Udara Komponen Partikel dan Bentuknya yang Umum Terdapat di Udara 8 3. Perbandingan Parameter Kualitas Udara Kota Yogyakarta dan Solo Sebelum dan Sesudah Letusan Gunung Merapi Laporan Hasil Uji Udara Ambien Bulan November Hasil Uji SPSS Terhadap Parameter Anatomi Sayatan Paradermal Daun Akasia Daerah Tercemar Dengan Tanaman Kontrol Hasil Uji SPSS Terhadap Parameter Anatomi Sayatan Transversal Daun Akasia Daerah Tercemar Dengan Tanaman Kontrol Hasil Uji SPSS Terhadap Parameter Anatomi Sayatan Paradermal Daun Mahoni Daerah Tercemar Dengan Tanaman Kontrol Hasil Uji SPSS Terhadap Parameter Anatomi Sayatan Transversal Daun Mahoni Daerah Tercemar Dengan Tanaman Kontrol... 45

14 viii DAFTAR GAMBAR No Halaman 1. Hubungan Antara Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Respon Tanaman Terhadap Pencemaran Udara Abnormalitas Sel Stomata Pada Sayatan Paradermal Daun Akasia Kerusakan Sel Epidermis Pada Sayatan Paradermal Daun Akasia Sayatan Adaksial Daun Akasia Kontrol, Sayatan Adaksial Daun Akasia Tercemar, Sayatan Abaksial Daun Akasia Kontrol Dan Sayatan Abaksial Daun Akasia Tercemar Sayatan transversal daun akasia kontrol dan tercemar Tebal Kutikula Atas Daun Kontrol dan Daun Tercemar, Tebal Kutikula Bawah Daun Kontrol dan Tercemar Sisi Adaksial Daun Mahoni Tanpa Stomata Dan Sisi Abaksial Mahoni Dengan Stomata Kerusakan Sel Epidermis Pada Sayatan Paradermal Daun Mahoni Sayatan Paradermal Daun Mahoni Kontrol Dan Daerah Tercemar Sayatan Trasversal Daun Mahoni Kontrol Dan Tercemar Tebal Kutikula Atas Daun Kontrol Dan Daun Tercemar, Tebal Kutikula Bawah Daun Kontrol Dan Daun Tercemar... 46

15 ix DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Lokasi Penelitian (Yogyakarta) Lokasi Penelitian (Solo) Komposisi Seri Larutan Johansen Komposisi Larutan Gifford Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Yogyakarta Sebelum Letusan Gunung Merapi Tahun Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Yogyakarta Sesudah Letusan Gunung Merapi Tahun Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Solo Sebelum Letusan Gunung Merapi Tahun Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Solo Sesudah Letusan Gunung Merapi Tahun

16 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan bagian dari lingkungan yang bersifat dinamis atau dapat berubah-ubah setiap saat (Irwan 1992). Perubahan yang terjadi pada kandungan udara dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Pencemaran udara oleh zat-zat berbahaya seperti NO 2, SO 2, debu dan lain-lain dapat merusak lingkungan bahkan mengganggu kesehatan manusia (Cauhan 2010). Masuknya zat pencemar ke dalam udara dapat terjadi secara alamiah misalnya melalui asap kebakaran hutan, debu meteorit, pancaran garam dari air laut dan gunung berapi (Santosa 2004). Namun selain terjadi secara alami, pencemaran dapat pula terjadi karena faktor manusia dan kegiatan manusia yang menjadi penyumbang zat pencemar terbesar adalah kegiatan industri, pembuangan sampah dan kegiatan rumah tangga (Soedomo 2001). Zat-zat pencemar tersebut hanya dapat direduksi oleh tumbuhan hijau, sebab tumbuhan hijau memiliki kemampuan untuk menyerap dan menjerap zat-zat berbahaya sehingga dapat mengurangi dampak dari pencemaran udara (Dahlan 1989). Dalam bukunya yang lain Dahlan (2004) juga menjelaskan bahwa vegetasi memiliki hubungan langsung dalam menurunkan konsentrasi partikel debu di udara. Bahan pencemar seperti partikel debu yang terjerap adalah partikel yang menempel di permukaan daun secara sementara, sedangkan partikel debu yang terserap adalah partikel yang masuk sampai ke dalam jaringan daun dan akan mengganggu proses metabolisme tanaman jika konsentrasinya terlalu tinggi. Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian meter di atas permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7 325' Lintang Selatan dan ' Bujur Timur. Secara administratif terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyalali dan Kabupaten Klaten (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2010). Letusan Gunung Merapi di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010 dan 3 November 2010 mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup serius dan memberikan kerugian-kerugian yang tidak sedikit baik

17 2 secara materiil maupun non materiil. Beberapa contoh dampak yang ditimbulkan oleh bencana letusan Gunung Merapi adalah adanya kerusakan lingkungan dan berakibat matinya beberapa jenis tumbuhan dan hewan yang berada di sekitar kawasan karena pengaruh gas dan materi vulkanik yang keluar. Letusan Gunung Merapi mengeluarkan gas dan materi yang mengandung uap air (H 2 O), SO 2, NO 2, H 2 S, dan debu vulkanik dalam bentuk Total Suspended Particulate (TSP) dan lain-lain (BLH Yogyakarta 2010). BPPTK Yogyakarta (2010) menjelaskan bahwa aktivitas erupsi Gunung Merapi masih tinggi, hal ini dibuktikan dengan tingginya frekuensi gempa vulkanik yang mengeluarkan gas-gas dan debu. Bahan pencemar seperti SO 2, NO 2, CO dan lain-lain termasuk debu vulkanik dapat menyebakan kerusakan pada kondisi fisik dan struktur anatomi tumbuhan (Wilson et al, 2007). Irawati (1991) dan Dahlan (1992) menjelaskan bahwa akasia dan mahoni adalah contoh jenis pohon yang berfungsi sebagai penyerap partikel debu dan bahan pencemar lain yang cukup efektif. Hal ini berarti akasia dan mahoni dapat direkomendasikan sebagai pohon yang akan ditanam sebagai usaha pemulihan keadaan udara kota Yogyakarta. Polutan yang terserap tumbuhan akan mempengaruhi struktur anatomi daun sedangkan polutan yang terjerap dapat mengganggu proses pertukaran gas CO 2 dan menghambat laju transpirasi karena polutan menutupi stomata. Dengan melihat pengaruh dari polutan terhadap struktur anatomi daun diharapkan dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran udara dan dapat terlihat tingkat keefektifannya dalam menetralkan kandungan bahan pencemar dalam udara (Rushayati dan Maulana 2005). Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh gas dan materi vulkanik terhadap tumbuhan hijau, terutama yang akan di jadikan tanaman hutan kota perlu dilakukan.

18 3 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah : 1. Mengidentifikasi pengaruh gas dan materi vulkanik terhadap struktur anatomi daun akasia (Accacia auriculiformes A. Cunn ex Benth) dan mahoni (Swietenia macrophylla King). 2. Membandingkan tingkat kerusakan mikroskopis daun yang ditimbulkan gas dan materi vulkanik Gunung Merapi pada kedua jenis tanaman di lokasi yang berbeda. 1.3 Manfaat Penelitian ini bermanfaat memberikan masukan dalam mempertimbangkan jenis pohon yang dapat ditanam untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak karena pengaruh gas dan materi vulkanik yang sangat tinggi menjadi lebih baik.

19 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan dan Udara Lingkungan hidup adalah semua benda yang hidup dan tak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah bagian dari lingkungan hidup. Antara manusia dan lingkungan hidupnya terdapat hubungan timbal balik. Perubahan lingkungan hidup akan menyebabkan perubahan perilaku manusia (Sastrawijaya 1991). Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk uap H 2 O dan Karbondioksida (CO 2 ). Jumlah uap air yang terdapat di udara bervariasi tergantung dari cuaca dan suhu (Kristanto 2002). Udara di alam tidak pernah dijumpai dalam keadaan bersih tanpa polutan sama sekali. Beberapa gas seperti sulfur dioksida (SO 2 ) dan hidrogen sulfida (H 2 S) dan karbon monoksida (CO) selalu dibebaskan ke udara sebagai produk sampingan dari proses alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan dan sebagainya. Selain itu partikel-partikel padat atau cair berukuran kecil dapat tersebar di udara oleh angin, letusan vulkanik, atau gangguan alam lainnya. Selain disebabkan oleh polutan alami, pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh aktivitas manusia misalnya transportasi, pembakaran minyak proses industri dan lain-lain (Fardiaz 1992) 2.2 Pencemaran Berdasarkan Keputusan Mentri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.02/MENKLH/1988, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya.

20 5 Pencemaran lingkungan, menurut UU Republik Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat yang menyebabkan lingkungan kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya Pencemaran Udara Menurut Henry (1974) yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah hadirnya satu atau beberapa kontaminan di dalam udara atmosfer di luar debu, busa, gas, kabut, bau-bauan, asap maupun lama berlangsungnya di udara tersebut hingga dapat menimbulkan gangguan-gangguan terhadap kehidupan manusia, tumbuhan atau hewan maupun benda tau tanpa alasan yang jelas sudah dapat mempengaruhi kelestarian kehidupan organisme maupun benda. Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1998 yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya Sumber Pencemaran Udara Sumber pencemaran udara dapat merupakan kegiatan yang bersifat alami (natural) dan kegiatan manusia (kegiatan antropogenik). Contoh sumber alami adalah akibat letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dekomposisi biotik, debu, spora, tumbuhan dan lain sebagainya. Pencemaran udara yang disebabkan oleh aktivitas manusia biasanya memiliki frekuensi yang lebih besar jika dibandingkan dengan pencemaran udara yang diakibatkan oleh alam. Untuk kategori pencemaran udara yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dapat berasal dari kegiatan transportasi, industri dan persampahan baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran rumah tangga (Soedomo 1999).

21 6 Kristanto (2002) menjelaskan bahwa berdasarkan asal dan kelanjutan perkembangan di udara, pencemar udara dibedakan menjadi : 1) Pencemar Udara Primer Pencemar udara primer yaitu pencemar di udara yang ada dalam bentuk yang hampir tidak berubah, sama seperti pada saat dibebaskan dari sumbernya sebagai hasil dari proses tertentu. Pencemar udara primer banyak berasal dari kegiatan manusia seperti kegiatan industri (cerobong asap industri) dan juga dari sektor transportasi (mobil, bus, sepeda motor, dan lain-lain). Dari seluruh pencemar primer yang ada, pencemar utama berasal dari sektor transportasi yang memberikan andil sebesar 60% dari pencemaran udara total. Pencemaran udara primer dapat digolongkan menjadi lima kelompok dengan tingkat toksisitas yang berbeda (Tabel 1), yaitu : 1) Karbon monoksida (CO) 2) Nitrogen oksida (NOx) 3) Hidrokarbon 4) Sulfur oksida (SOx) 5) Partikel Tabel 1 Toksisitas relatif polutan udara Level Toleransi Polutan Toksisitas Relatif Ppm µg/m 3 CO HC Sox Nox Partikel ) Pencemar Udara Sekunder Pencemar udara sekunder adalah semua pencemar udara yang sudah berubah karena reaksi tertentu antara dua atau lebih kontaminan/polutan. Umumnya polutan sekunder tersebut merupakan hasil antara polutan primer dengan polutan lain yang ada di udara. Contoh reaksi yang menimbulkan polutan sekunder adalah reaksi fotokimia dan reaksi oksida katalis.

22 7 Jenis pencemaran udara dilihat dari ciri-ciri fisik dan bahan pencemar dapat berupa : a. Partikel : merupakan benda-benda padat atau cair yang dimensinya sedemikian kecilnya sehingga memungkinkan melayang di udara. Bentukbentuk khusus dari partikel dalam hubungan : 1) Mist (kabut) merupakan partikel cair yang berada dalam udara karena kondensasi uap air atau otomatisasi cairan ke tingkat dispersi. Otomatisasi ini terjadi pada penyemprotan, pembuihan dan lain-lain. 2) Fog (kabut yang padat tebal), sama dengan mist, tetapi masih dapat dilihat dengan mata telanjang sekalipun tanpa bantuan alat bantu penglihatan (Visual aid) 3) Smoke (asap) merupakan partikel karbon (padat) yang terjadi dari pembakaran tidak sempurna sumber-sumber pembakaran yang menggunakan bahan bakar hidrokarbon, dengan ukuran partikel <5 mikron. 4) Debu (dust) merupakan partikel padat yang terjadi karena proses mekanis (pemecahan dan reduksi) terhadap masa padat, dimana partikel tersebut masih dipengaruhi oleh gravitasi. 5) Fume adalah partikel padat yang terjadi karena kondensasi dari penguapan logam-logam cair yang kemudian disertai secara langsung oleh suatu oksidasi si udara. Biasanya terjadi pada pabrik-pabrik pengecoran dan peleburan logam. b. Gas dan uap yang dibedakan menjadi : 1) Yang larut dalam air (misalnya oksigen larut dalam air) 2) Yang tidak larut dalam air, dibedakan lagi menjadi : i. Tidak larut, tetapi bereaksi dengan salah satu komponen dalam air itu ii. Kelarutan rendah bereaksinya dengan salah satu komponen dalam air secara lambat misalnya benzena. c. Energi (suhu dan kebisingan) Bahan Pencemaran Udara a. Bahan Pencemar Partikel

23 8 Sifat fisik partikel yang penting adalah ukurannya yang berkisar antara diameter 0,00002 mikron sampai sekitar 5000 mikron. Pada kisaran tersebut partikel dalam bentuk tersuspensi di udara dapat bertahan beberapa detik sampai beberapa bulan. Umur partikel tersebut dipengaruhi oleh kecepatan pengendapan yang ditentukan dari ukuran dan densitas partikel serta aliran (turbulensi udara) (Fardiaz 1992). Berbagai jenis polutan partikel dan bentuknya yang terdapat di udara ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2 Komponen partikel dan bentuknya yang umum terdapat di udara Komponen Bentuk Karbon C Besi FE 2 O 3 Magnesium Kalsium MgO CaO Aluminium Al 2 O 3 Sulfur SO 2 Titanium TiO 2 Karbonat CO 3 Silikon SiO 2 Fosfor P 2 O 5 Kalium Natrium K 2 O Na 2 O Lain-lain Berbagai proses alam mengakibatkan penyebaran partikel di atmosfer, misalnya letusan vulkanik dan hembusan debu serta tanah oleh angin. Aktivitas manusia juga berperan dalam penyebaran partikel, misalnya dalam bentuk partikel-partikel debu dan asbes serta bahan bangunan, abu terbang dari proses peleburan baja, dan asap dari proses pembakaran tidak sempurna, terutama dari batu batu arang. Sumber partikel yang utama adalah dari pembakaran bahan bakar yang berasal dari sumbernya diikuti oleh proses-proses industri (Fardiaz 1992). b. Sulfur Oksida (SO x )

24 9 Pencemaran udara oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas yang tidak berwarna, yaitu Sulfur dioksida (SO 2 ) dan Sulfur trioksida (SO 3 ). Keduanya disebut sebagai SO x. Sulfur diolasida mempunyai bau yang tajam dan tidak terbakar udara, sedangkan Sulfur trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif. Pembakaran bahan-bahan yang mengandung sulfur akan menghasilkan kedua bentuk sulfur dioksida, tetapi jumlah reaktif masingmasing tidak dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang tersedia. Meskipun udara tersedia dalam jumlah cukup, SO 2 selalu terbentuk dalam jumlah besar. Jumlah SO 3 yang terbentuk dipengaruhi oleh kondisi reaksi,terutama suhu dan bervariasi dari 1 sampai 10% dari total SO x. Mekanisme pembentukan SOx dapat dituliskan dalam dua tahap sebagai berikut : S + O 2 SO 2 2SO 2 + O 2 2SO 3 Hanya sepertiga dari jumlah sulfur yang terdapat di atmosfer merupakan hasil dari aktivitas manusia dan kebanyakan dalam bentuk SO 2. Sebanyak dua pertiga dari jumlah sulfur di atmosfer berasal dari sumber-sumber alam seperti vulkano, dan terdapat dalam bentuk H 2 S dan oksida. Transportasi bukan merupakan sumber utama polutan SO x tetapi pebakaran bahan bakar pada sumbernya merupakan sumber utama polutan SO x (Fardiaz 1992). c. Bahan Pencemar CO Karbon monoksida (CO) adalah suatu komponen tidak berwarna, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu di bawah -192ºC (Pohan 2002). Komponen ini mempunyai berat sebesar 96,5% dari berat air dan tidak larut di dalam air. Karbon monoksida yang terdapat di alam terbentuk dari salah satu proses sebagai berikut : 1) Pembakaran tidak lengkap terhadap karbon atau komponen yang mengandung karbon. 2) Reaksi antara karbon dioksida dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi. 3) Pada suhu tinggi, karbondioksida terurai menjadi karbon monoksida dan oksigen (Fardiaz 1992).

25 10 Berbagai proses geofisika dan biologis diketahui dapat memproduksi CO. Proses-proses tersebut misalnya aktivitas vulkanik, emisi gas alami, pancaran listrik dan kilat, pertumbuhan benih dan sumber lainnya. Tetapi kontribusi CO ke atmosfer yang disebabkan proses-proses tersebut relatif kecil. Pembebasan CO ke atmosfer sebagai aktivitas manusia lebih nyata, misalnya dari transportasi, pembakaran minyak, gas, arang atau kayu, proses-proses industri seperti idustri besi, petroleum, kertas dan kayu, pembuangan limbah padat, dan sumber-sumber lain termasuk kebakaran hutan. Transportasi menghasilkan CO paling banyak diantara sumber CO yang lainnya, terutama dari kendaraan-kendaraan yang menggunakan bensin sebagai bahan bakar. Sumber CO yang kedua adalah pembakaran hasil-hasil pertanian seperti sampah, sisa kayu di hutan dan sisa tanaman di perkebunan. Proses pembakaran tersebut sengaja dilakukan untuk berbagai tujuan misalnya mengontrol hama termasuk insekta dan mikroorganisme, mengurangi volume sampah dan bahan buangan, dan menghasilkan serta memperbaiki mutu tanah (Fardiaz 1992). d. Bahan Pencemar NO Nitrogen Oksida (NO x ) merupakan pencemar. Sekitar 10% pencemar udara setiap tahun adalah nitrogen oksida. Ada delapan kemungkinan hasil reaksi bila nitrogen bereaksi dengan oksigen. Yang jumlahnya cukup banyak hanyalah tiga, yakni: N 2 O, NO 2, dan NO. Yang termasuk dalam pencemaran udara adalah NO dan N 2 O, NO 2 merupakan gas beracun, berwarna coklat merah, berbau seperti asam nitrat (Sastrawijaya 1991). Pembentukan NO dan NO 2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi selanjutnya antara NO dengan lebih banyak oksigen membentuk NO 2. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut (Fardiaz 1992). N 2 + O 2 2NO 2NO + O 2 2NO 2 Seperti halnya CO, emisi nitrogen oksida dipengaruhi oleh kepadatan penduduk karena sumber utama NO x yang diproduksi manusia adalah dari

26 11 pembakaran, dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan, produksi energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NO x yang dibuat manusia berasal dari pembakaran arang, minyak, gas alam dan bensin Pengaruh Pencemaran Udara Kandungan bahan pencemar SO 2, NO 2, dan O 3 yang rendah tidak akan menyebabkan luka pada kloroplas, namun dapat menyebabkan perobekan sistem membran tylakoid yang terdapat dalam kloroplas (Wellburn et al dalam Fitter dan Hay 1981). Polusi yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat adanya perubahan jaringan, seperti plasmolisis, granulasi atau kekacauan kandungan sel, hancurnya sel atau matinya sel dan pigmentasi atau perubahan warna sel menjadi coklat gelap (Kozlowski dan Mudd 1975). Kozlowski dan Mudd (1975) membagi gejala kerusakan sebagai berikut: (1) gejala tersembunyi (hidden), (2) gejala tak tampak (invisible), (3) gejala fisiologis (physiological). Adanya kriteria kerusakan yang tak tampak adalah : (1) menyebabkan gangguan pada kehidupan tumbuhan dan akhirnya berakibat pada pertumbuhan, (2) gangguan tersebut tidak tampak jelas dengan mata telanjang, (3) kerusakan ini terjadi dimana tumbuhan mengalami perubahan dengan tidak adanya tanda yang terlihat. Menurut Fakuara (1986) pencemar debu di udara dapat menutupi mulut daun dan hal ini akan membatasi proses transpirasi. Sedangkan bahan kimia yang berupa gas, sebagai contoh SO akan masuk melalui mulut daun kemudian mempengaruhi komposisi cairan sel dan sel akan menjadi rusak dan mati. Ormond (1978) dalam Santosa (2004) menjelaskan bahwa pada tumbuhan berdaun lebar, baik SO maupun HF menyebabkan rusaknya sel-sel bunga karang, diikuti oleh stomata permukaan bawah yang berhubungan dengan epidermis kemudian diikuti oleh perusakan kloroplas dan merusak jaringan palisade. Jaringan-jaringan vaskular akan menjadi rusak kemudian. Suratin (1991) melaporkan bahwa kerusakan daun paling banyak terjadi pada bagian mesofil. Menurutnya terdapat kecenderungan antara kerusakan daun tersebut dengan jumlah kendaraan karena melepaskan SO x, NO dan partikel. Daun menjadi bagian yang paling menderita, hal ini terjadi karena sebagian besar bahan pencemar udara

27 12 mempengaruhi tanaman melalui daun, yaitu masuk melalui stomata dengan proses difusi molekuler terutama bahan pencemar yang berupa gas. a. Pengaruh Partikel Pengaruh partikel terhadap tanaman terutama adalah dalam bentuk debu, dimana debu tersebut jika bergabung dengan uap air atau air hujan gerimis akan membentuk kerak yang tebal di permukaan daun dan tidak dapat tercuci dengan air hujan kecuali dengan mengggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu proses fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari dan mencegah pertukaran CO 2 dengan atmosfer. Akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Bahaya lain yang ditimbulkan dari pengumpulan partikel pada tanaman adalah kemungkinan bahwa partikel tersebut mengandung komponen kimia yang berbahaya bagi hewan yang memakan tanaman tersebut ( Kovacs 1992). Beberapa jenis tanaman menunjukan secara langsung kerusakan fisik akibat adanya partikel. Hal ini termasuk menutupi stomata dan mempengaruhi laju transpirasi. Partikel dari lingkungan juga dilaporkan dapat menyebabkan kenaikan suhu pada daun. Hal ini akan berpengaruh pada fungsi metabolisme. Misalnya penurunan fotosintesis pada hasil dari reaksi gelap atau penurunan fungsi metabolisme yang menyebabkan kerusakan struktur atau efek dan keracunan (Bell dan Treshow 2002). Fitter and Hay (1981) menjelaskan bahwa tanaman yang dihadapkan secara kronis terhadap konsentrasi polutan rendah dapat menyebabkan terjadinya klorosis daun yang bersifat progresif dan kadang-kadang sukar dikenal sebagai suatu gejala polusi udara. Sebaliknya, konsentrasi yang tinggi umumnya menyebabkan perlukaan yang nampak karena kematian, menjadi kering dan akhirnya mengalami kematian. Ukuran lubang stomata pada umumnya antara 8-10 µm. Ukuran partikel debu sangat penting dalam mempengaruhi stomata. Partikel debu yang mempunyai diameter sama dengan stomata akan tersangkut selama pembukaan stomata. Partikel debu yang lebih kecil akan melewati dan masuk melalui jaringan daun, sementara yang lebih besar tidak akan masuk. Partikel debu dalam bentuk Total Suspenden Particulate (TSP) memiliki ukuran >10 µm sehingga akan terjerap oleh daun, sedangkan PM 10 dan PM 2,5 yang memiliki diameter aerodiamik

28 13 10 µm dan 2,5 µm akan tersangkut dan terserap ke dalam daun (Agus dan Budi 2003). Stomata pada daun umumnya dijumpai pada permukaan abaksial (sisi bawah daun). Pengendapan partikel di permukaan daun tidak menunjukan dampak terhadap kerusakan stomata (Farmer 2002). b. Pengaruh SO 2 Kerusakan tanaman oleh SO 2 dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsentrasi dan waktu kontak. Kerusakan tiba-tiba (akut) terjadi jika terjadi kontak dengan SO 2 pada konsentrasi tinggi dalam waktu sebentar, dengan gejala beberapa bagian daun kering dan mati, dan biasanya warna daun menjadi pucat. Kontak SO 2 pada konsentrasi rendah dalam waktu lama menyebabkan kerusakan kronis, yang ditandai dengan menguningnya warna daun karena terhambatnya mekanisme pembentukan klorofil (Fardiaz 1992). Treshow (1970) melaporkan bahwa daun buncis yang difumigasi dengan SO menunjukan kerusakan anatomi daun. Mula-mula yang mengalami kerusakan adalah jaringan bunga karang yang berada di sekitar stomata dan lapisan epidermis bawah tempat stomata berada, kemudian palisade dan lapisan epidermis atas. Kerusakan akut pada tanaman disebabkan kemampuan tanaman untuk mengubah SO 2 yang diabsorbsi menjadi H 2 SO 4, kemudian menjadi sulfat. Garamgaram tersebut terkumpul pada ujung atau tepi daun. Sulfat yang terbentuk pada daun berkumpul dengan sulfat yang diabsorbsi melalui akar, dan jika akumulasi cukup tinggi maka akan terjadi gejala kronis yang disertai dengan gugurnya daun. Tanaman bervariasi antar spesies dalam sensitivitasnya terhadap kerusakan SO 2. Meskipun dalam satu spesies terjadi perbedaan sensitivitas yang disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti suhu, air tanah, konsentrasi nutrien dan sebagainya. SO 2 mungkin juga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman tanpa menyebabkan kerusakan yang terlihat oleh mata. Uap asam sulfat yang merupakan bentuk lain polusi SO 2 juga dapat menyebabkan kerusakan tanaman. Bintik-bintik pada daun dapat terjadi jika droplet asam kontak dengan daun yang telah basah karena embun. Pengaruh SO 2 dalam jaringan daun dapat

29 14 menyebabkan kloroplas pecah, kemudian klorofil menyebar dalam sitoplasma dan selanjutnya protoplasma menyusut dan akhirnya berkerut (Treshow 1985). Hardiani et al. (1987) menyebutkan bahwa tumbuhan tingkat tinggi pada umumnya mempunyai pori-pori yang disebut stomata atau mulut daun yang terutama terdapat di permukaan daun sebelah bawah. Stomata merupakan tempat terjadinya reaksi pertukaran gas dan jalan masuk utama dari zat pencemar udara. Pada siang hari dengan adanya cahaya, CO 2, dan kelembaban udara tertentu, stomata akan terbuka. Jika terdapat gas pencemar seperti SO 2 maka gas tersebut dapat masuk dengan mudah ke dalam tanaman. Gas SO 2 dapat menyebabkan stomata membuka atau menutup. Keadaan tersebut sangat ditentukan oleh spesies dan umur tanaman, konsentrasi gas serta lingkungan di sekitarnya. Respon stomata terhadap zat pencemar mempunyai peranan penting dalam menentukan besarnya pengaruh zat pencemar terhadap kehidupan tanaman. Menurut Black dan Black (1979), sel penjaga stomata lebih toleran terhadap SO 2 daripada sel lainnya karena sel penjaga mempunyai lapisan proteksi luar alami yang lebih baik. Sel lainnya rusak meskipun dalam konsentrasi yang tidak begitu tinggi dan menyebabkan penurunan tekanan turgor dan menghasilkan pembukaan stomata. Dalam konsentrasi tinggi, sel penjaga dan sel epidermis juga mengalami kerusakan. Jalan utama SO 2 untuk masuk ke dalam daun adalah melalui stomata. Efek SO 2 terhadap stomata banyak sekali tetapi secara umum terlihat bahwa dalam jangka pendek tercemari SO 2 terutama pada konsentrasi <0,05 ppm (<134 µg/m 3 ) sering menyebabkan pembukaan stomata lebih lebar. Sementara dalam jangka lama dengan konsentrasi lebih tinggi meyebabkan bagian stomata tertutup (Legge dan Kruppa 2002). c. Pengaruh CO Beberapa penelitian menunjukan bahwa pemberian CO selama 1 sampai 3 minggu pada konsentrasi sampai 100 ppm tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tanaman-tanaman tingkat tinggi. Akan tetapi kemampuan untuk fiksasi nitrogen oleh bakteri bebas akan terhambat dengan pemberian CO selama 35 jam pada konsentrasi 2000 ppm. Demikian pula kemampuan untuk fiksasi nitrogen

30 15 oleh bakteri yang terdapat pada akar tanaman akan mengalami hambatan dengan pemberian CO sebesar 100 ppm selama satu bulan. Karena konsentrasi CO di udara jarang mencapai 100 ppm, meskipun dalam waktu sebentar, maka pengaruh CO terhadap tumbuhan biasanya tidak terlihat secara nyata (Fardiaz 1992). d. Pengaruh NO 2 Adanya NO 2 di atmosfer akan menyebabkan kerusakan tanaman, tetapi sulit ditentukan apakah kerusakan tersebut disebabkan langsung oleh NO x atau karena polutan sekunder yang diproduksi dalam siklus fotolitik NO 2. Beberapa polutan sekunder diketahui dapat menyebabkan kerusakan tanaman yang cukup berat. Percobaan dengan cara fungidasi tanaman-tanaman dengan NO 2 menunjukkan terjadinya bintik-bintik pada daun jika digunakan konsentrasi 1,00 ppm, sedangkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3,5 ppm atau lebih) terjadi nekrosis atau kerusakan tenunan daun (Stoker dan Seager 1972). Gas NO 2 dan NO x yang terserap bereaksi dengan air dalam daun membentuk campuran sthoikiometrik dan asam nitrat serta asam nitrit. Hal yang terjadi adalah gas-gas tersebut mencapai sumber air dalam jaringan parenkima yang menimbulkan keasaman dan apabila keasaman melebihi ambang batas pada jaringan maka akan menimbulkan kerusakan. Natori dan Totsuka (1984) menemukan peningkatan pembukaan stomata tanaman Eionymus japonica selama pemberian pencemar NO 2 sebesar 0,1 ppm sebagian besar tanaman tidak menunjukkan respon apapun. Pembukaan stomata dapat dilihat pada konsentrasi NO 2 sekitar 1,00 ppm. Campuran dengan SO 2 dapat menurunkan pembukaan pada beberapa spesies tanaman. NO 2 dapat diabsorbsi oleh daun. NO 2 di atmosfir menyediakan sumber N di daerah yang kekurangan Nitrogen (Kovacs 1992). 2.3 Struktur Anatomi Daun Secara histologis daun tersusun atas tiga tipe sistem jaringan : epidermis, mesofil, dan jaringan pembuluh. Jaringan epidermis daun dari beberapa tanaman beraneka ragam dalam jumlah lapisan, tebal, struktur, susunan stomata,

31 16 penampakan dan susunan trikoma dan adanya sel yang khusus. Dalam struktur daun yang pipih, perbedaan jaringan epidermis dibuat antara dua permukaan daun. Permukaan daun yang menghadap ke atas dikenal dengan epidermis atas (sisi adaksial) dan permukaan yang lain dikenal dengan epidermis bawah (sisi adaksial). Stomata berasal dari kata Yunani : stoma yang mempunyai arti lubang atau porus. Menurut Kartasapoetra (1991) stomata adalah porus atau lubang-lubang yang terdapat pada epidermis yang masing-masing dibatasi oleh dua buah sel penutup. Tjitrosomo et al. (1985) mendefinisikan stoma sebagai lubang-lubang berbentuk lensa pada epidermis yang bersambungan dengan ruang antar sel. Stomata bisa ditemukan di kedua sisi daun (daun amfistomatik) atau hanya di satu sisi yakni di sebelah atas atau adaksial (daun epistomatik) atau di sebelah bawah atau sisi abaksial (daun hipostomatik). Pada daun lebar yang terdapat di kelompok dikotil, letak stomata tersebar. Sel penutup pada stomata dapat berada di tempat yang sama tingginya, lebih tinggi, atau lebih rendah dari epidermis (Hidayat 1995). Kerapatan stomata dalam satu unit area permukaan daun sangat bervariasi. Hal ini ditimbulkan oleh perbedaan lingkungan tempat tumbuh dan faktor genetis yang sangat mempengaruhi morfogenesis stomata. Kerapatan dan jumlah stomata dalam helaian daun yang sama dapat bervariasi (Wilmer 1983). Jaringan mesofil terdiri dari jaringan internal parenkim. Mesofil selalu mengalami pembelahan untuk membentuk jaringan fotosintetik dan mengandung kloroplas. Dalam sebagian besar tanaman, dua tipe parenkim dapat dibedakan dalam mesofil yaitu parenkim palisade dan parenkim bunga karang. Sel parenkim palisade dapat tersusun dari satu atau lebih lapisan dan ukurannya (panjang) dapat berbeda-beda. Jaringan palisade biasanya terdapat pada bagian permukaan atas daun, akan tetapi ada juga yang hanya ditemukan di bagian bawah, misalnya pada tanaman Tymalaeae. Dalam beberapa tanaman tertentu, palisade terdapat pada kedua bagian permukaan daun dengan jaringan bunga karang yang terdapat di bagian ke dua palisade tersebut. Daun dengan jaringan palisade di satu sisi dan di sisi lainnya dijumpai jaringan bunga karang disebut tipe daun dorsiventral atau

32 17 bifasial. Sedangkan daun yang jaringan palisadenya berada di kedua sisi disebut tipe daun isolateral atau isobilateral. Jaringan palisade menjadi demikian terspesialisasinya sehingga efisiensi fotosintesisnya menjadi meningkat. Mesofil yang jelas-jelas dapat dipisahkan ke dalam parenkim palisade dan parenkim bunga karang mempunyai kloroplas dalam sel-sel palisadenya. Karena bentuk dan tatanan sel-sel palisade itu maka kloroplas dapat disusun sedemikian hingga memanfaatkan cahaya secara maksimum. Bila diberi cahaya kloroplas membentuk lapisan tunggal di tepi dinding sel-sel palisade (Fahn 1991). Sel-sel parenkim bunga karang bentuknya beragam, dapat menyerupai selsel palisade atau diameternya sama, atau pula memanjang sejajar dengan arah permukaan daun. Akan tetapi, ciri khas parenkim bunga karang adalah cupingcuping yang menghubungkan sel-sel di sebelahnya. 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Tanaman Faktor genetik dan lingkungan bertanggung jawab pada ketahanan tanaman terhadap daya dukung lingkungannya. Oleh karena itu untuk mengerti sepenuhnya pengaruh pencemaran udara terhadap tanaman sukar ditentukan karena banyak faktor lain yang mempengaruhinya (Stern 1977). Respon tanaman terhadap zat-zat pencemar udara secara spesifik dapat diketahui dengan pemahaman mengenai faktor-faktor yang saling berinteraksi. Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi respon tanaman terhadap pencemaran udara dapat dilihat pada Gambar 1. Timbulnya kerusakan pada daun pada tingkat tertentu akibat pencemaran dipengaruhi oleh beberapa kategori yang saling berhubungan, antara lain : umur tanaman, kelembaban daun, konsentrasi pencemar, lama (waktu) terjadinya pencemaran, jumlah senyawa kimia dari beberapa pencemar yang masuk ke dalam daun melalui difusi, karakteristik lapisan kutikula, tingkat kedewasaan daun, lebar dan jumlah stomata, ketebalan dinding sel, pergerakan pencemar dalam daun, faktor fisiologi yang mempengaruhi sensitivitas sel dan faktor lingkungan seperti kelembaban udara, suhu dan intensitas cahaya (Dickison 2000).

33 18 Komposisi zat-zat Pencemar Faktor iklim Faktor edafis Faktor biotik Konsentrasi zat-zat pencemar Dosis Tanaman Penerima Mekanisme Interaksi Lamanya Pencemaran Faktor Genetik Tingkat Pertumbuhan Tanaman Kerusakan Tampak Akut Kronis Tidak Tampak Gambar 1 Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi respon tanaman terhadap pencemaran udara (Stern 1977). 2.5 Akasia (Accacia auriculiformes A. Cunn ex Benth) Akasia merupakan tumbuhan yang sering digunakan sebagai tanaman peneduh yang ditanam di sepanjang kanan kiri jalan serta sering digunakan sebagai tanaman dalam penghijauan. Begitu pula di Yogyakarta, Akasia merupakan tanaman yang ditanam, guna memperbaiki kondisi udara kota Yogyakarta pasca meletusnya Gunung Merapi. Akasia termasuk fast growing spesies atau jenis yang dapat tumbuh dengan cukup cepat. Usia tebangnya sekitar 15 tahun dan mampu mencapai tinggi 15 m 30 m. jenis tanaman ini mampu tumbuh dengan mudah, bahkan pada tanah yang miskin hara sekalipun sepanjang tempat tersebut berada pada ketinggian minimal 300 mdpl dengan curah hujan mm/thn.

34 19 Klasifikasi tanaman akasia (Heyne 1987) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Acacia Spesies : Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. 2.6 Mahoni (Swietenia macrophylla King) Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai m dan diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik, sedangkan kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi cokelat tua, beralur dan mengelupas setelah tua. Mahoni baru berbunga setelah berumur 7 tahun, mahkota bunganya silindris, kuning kecoklatan, benang sari melekat pada mahkota, kepala sari putih, kuning kecoklatan. Buahnya buah kotak, bulat telur, berlekuk lima, warnanya cokelat. Biji pipih, warnanya hitam atau cokelat. Mahoni dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan tempat-tempat lain yang dekat dengan pantai, atau ditanam di tepi jalan sebagai pohon pelindung. Mahoni berasal dari Hindia Barat, sehingga tanaman ini dapat tumbuh subur bila tumbuh di pasir payau dekat dengan pantai. Pohon mahoni bisa mengurangi polusi udara sekitar 47% - 69% sehingga disebut sebagai pohon pelindung sekaligus filter udara dan daerah tangkapan air. Daun-daunnya bertugas menyerap polutanpolutan di sekitarnya. Sebaliknya, dedaunan itu akan melepaskan oksigen (O2) yang membuat udara di sekitarnya menjadi segar. Ketika hujan turun, tanah dan akar-akar pepohonan itu akan mengikat air yang jatuh, sehingga menjadi cadangan air.

35 20 Klasifikasi tanaman mahoni (Heyne 1987) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae Ordo : Sapindales Famili : Meliaceae Genus : Swietenia Spesies : Swietenia macrophylla King.

36 21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu terpengaruh debu vulkanik di Kota Solo (kontrol). Pembuatan sediaan mikroskopis anatomi daun dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Agustus Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau silet, tabung film, kertas label, termometer air raksa, mikrotom, counter, parafin strectcher, hot plate, mikroskop biasa, mikroskop foto, oven, gelas ukur, kamera digital, dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah alkohol 70%, akuades, asam asetat glacial, etanol, entellan, fast-green, clorox, formaldehid, gliserin, parafin oil, parafin, sampel daun (akasia dan mahoni), safranin, tertier butyl alcohol (TBA) dan xilol. 3.3 Jenis Data Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengambilan sampel di lapangan dan pengamatan struktur anatomi daun. Data sekunder yang diambil adalah data kandungan udara Yogyakarta dan Solo dari Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota Data Primer Data primer yang diukur dan diamati dalam penelitian ini adalah : a. Anatomi daun berupa sayatan paradermal, yang meliputi ukuran stomata (panjang dan lebar), kerapatan stomata, indeks stomata, kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata.

37 22 rumus: Kerapatan stomata dan indeks stomata dihitung dengan menggunakan Kerapatan stomata = Indeks stomata = Jumla h Stomata Satuan luas bidang pandang Stomata Stomata + Sel epidermis x 100 b. Anatomi daun berupa sayatan transversal, yang meliputi tebal daun, jaringan epidermis, jaringan palisade, jaringan bunga karang dan kutikula Data Sekunder Data sekunder penelitian ini berupa data kualitas udara Kota Yogyakarta dan Solo serta kondisi lingkungan yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup (BLH) dan Biro Pusat Statistik (BPS) masing-masing kota. 3.4 Metode Pengambilan Data Penentuan Plot Pengamatan Plot pengamatan diambil di dua kota yaitu Kota Yogyakarta sebagai daerah yang tercemar debu vulkanik dan daerah Sukoharjo (Solo) sebagai daerah kontrol. Lokasi pengambilan sampel pohon masing-masing jenis pada kedua kota dilakukan secara acak. Sampel daun tercemar diambil di jalan Cendana Selatan Mandalakrida, Jalan Cendana Depan Mandala Krida, Jalan Gondosuli, Jalan Bimasakti, Jalan Jendral Soedirman dan Pertigaan Munggur (Lampiran 1). Sampel daun kontrol diambil di Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jendral Soedirman, dan Jalan Jendral Ahmad Yani (Lampiran 2) Penentuan Jenis Pohon Penentuan jenis pohon dilakukan setelah melakukan pengamatan terhadap lokasi penelitian. Jenis pohon yang diambil berdasarkan jenis-jenis yang banyak ditanam dalam rangka pemulihan kondisi udara Kota Yogyakarta dan berdasarkan pada tingkat ketebalan daun yaitu sedang dan tipis. Jenis pohon yang dipilih adalah akasia dan mahoni.

38 Pengambilan Sampel Daun Sampel daun yang digunakan untuk pengamatan irisan paradermal diambil dari 5 ulangan pohon pada posisi daun ke 6 dari pucuk pada 3 arah percabangan yang berbeda. Kemudian untuk kebutuhan irisan transversal, daun yang diambil adalah daun ke 5 dari pucuk pada 3 percabangan yang berbeda dengan 3 ulangan pohon. Masing-masing daun kemudian dimasukan ke dalam tabung film yang sudah diisi alkohol 70% dan diberi label Pembuatan Sediaan Mikroskopis Sampel daun yang telah diambil kemudian diamati di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Pengamatan dilakukan terhadap irisan paradermal dan irisan transversal daun. 1. Irisan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan pewarnaan safranin 1% mengikuti metode Wholemount (Sass 1951) yaitu : a. Daun difiksasi dalam alkohol 70% b. Larutan fiksatif dibuang dan diganti dengan akuades c. Daun dilunakan dengan merendamnya di dalam larutan HNO 3 50% selama 2 hari, kemudian daun dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali. d. Jaringan epidermis permukaan atas dan bawah daun akasia disayat dengan menggunakan silet. Untuk jenis tanaman mahoni hanya dilakukan penyayatan lapisan bawah daun saja. Sebab setelah pengamatan pendahuluan diketahui bahwa pada daun mahoni, stomata hanya dijumpai pada permukaan abaksial. e. Untuk menghilangkan klorofil dari mesofil yang terikut, sayatan epidermis direndam dalam larutan kloroks (bayclean) selama beberapa menit dan dicuci dengan akuades. f. Irisan epidermis daun diwarnai dengan pewarna tunggal yaitu safranin 1% (aquosa) selama 1-3 menit, diletakan pada gelas objek yang telah diberi media gliserin 30% dan ditutup dengan gelas penutup kemudian diamati dibawah mikroskop.

39 24 Parameter anatomi daun yang diamati pada irisan paradermal adalah ukuran panjang, lebar, kerapatan dan indeks stomata serta kerusakan sel episermis dan abnormalitas stomata. Penghitungan kerapatan dan indeks stomata serta pengukuran stomata dilakukan pada 5 bidang pandang dengan perbesaran 10 x Irisan transversal menggunakan metode parafin (Johansen 1940). Adapun tahapan pembuatan preparat daun adalah sebagai berikut : a. Fiksasi : bahan difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA yang terdiri dari formaldehid, asam asetat glacial dan alkohol 70% dengan perbandingan 5:5:90. b. Pencucian : larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan etanol 50% sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing 1 jam. c. Dehidarasi dan penjernihan: dilakukan secara bertahap dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VII (Lampiran 3). d. Infiltrasi : wadah berisi material dan campuran TBA, minyak parafin serta parafin beku disimpan pada suku kamar selama 1 sampai 4 jam (tutup dibuka), lalu dimasukan dalam oven (58 0 C) selama 12 jam (tutup dibuka). Keesokan harinya dilakukan 3 kali penggantian parafin setiap 6 jam dalam oven pada suhu 58 0 C. e. Penanaman (blok) : satu jam sebelum penanaman material, dilakukan penggantian parafin dengan parafin cair murni dan disimpan dalam oven pada suhu 58 0 C. Selanjutnya material ditanam dalam blok parafin. f. Pelunakan jaringan : blok yang berisi material dilunakan dengan merendam dalam larutan Gifford (Lampiran 4 ) selama dua minggu. g. Penyayatan : blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan disayat dengan mikrotom putar setebal 10 µm. h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas objek yang telah diolesi gelas albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita parafin dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 40 0 C selama 24 jam. i. Pewarnaan : dilakukan pewarnaan ganda yang terdiri dari sarafin 2% dalam akuades dan fast-green 0,5% dalam etanol 95%.

40 25 j. Penutupan : bahan diberi media entellan lalu ditutup dengan gelas penutup, diberi label dan dimasukan ke dalam oven 50 0 C selama 24 jam. k. Pengamatan di bawah mikroskop. Parameter anatomi daun yang diamati pada irisan transversal adalah tebal daun, tebal kutikula, tebal jaringan epidermis, tebal jaringan palisade, dan tebal jaringan bunga karang. Pengukuran setiap parameter irisan transversal dilakukan pada 4 bidang pandang di bawah mikroskop. 3.5 Analisis Data Analisis data menggunakan uji t-student dengan menggunakan software Statistic Product and Service Solution (SPSS) 17.0 untuk menguji perbandingan anatomi daun antara tanaman daerah yang tercemar debu vulkanik Gunung Merapi dengan daerah kotrol atau daerah yang relatif tidak tercemar. Parameter anatomi yang dibandingkan meliputi kerapatan stomata, indeks stomata, ukuran stomata, kerusakan sel epidermis, abnormalitas stomata, tebal daun, tebal jaringan kutikula, tebal jaringan epidermis, tebal jaringan palisade, dan jaringan bunga karang. Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95% dengan asumsi: H 0 H 1 :Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter yang diamati. Hasil analisis statistik data yang dianalisis didapatkan dengan menggunakan nilai signifikansi. Signifikansi < 0,05 = Berbeda Nyata (Tolak H 0, terima H 1 ) Signifikansi > 0,05 = Tidak Berbeda Nyata (Tolak H 1, terima H 0 )

41 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta Letak Geografis dan Administrasi Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30' - 8º 15' lintang selatan dan 110º 04' - 110º 52' Bujur Timur. Sebagai identitas daerah, Provinsi D.I.Y. menetapkan identitas flora adalah pohon kepel (Stelechocarpus burahol) dan faunanya perkutut (Geopelia striata). Iklim di Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk tipe C (Smith dan Ferguson) yaitu rata-rata curah hujan milimeter pertahun dengan 99 hari hujan. Suhu rata-rata 26,7º C dan kelembaban rata-rata 83,4 %. Luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3.185,80 km², kurang lebih hanya 0,17% dari seluruh wilayah Indonesia. Lebih dari separuh luas wilayahnya merupakan tanah kering, yang penggunaannya dapat dibedakan atas lahan sawah, lahan kering dan hutan. Jenis tanahnya dapat dibedakan atas regosol, latosol, dan alluvial. Provinsi ini mempunyai elevasi yang bervariasi mulai dari vulkano, pegunungan, dataran rendah, dan pesisir. Kawasan hutan DIY berdasarkan SK. 171/Kpts-II/ 2000 tentang Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut: 1. Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam Darat : 910,34 Ha. 2. Hutan Lindung : 2.067,90 Ha. 3. Hutan Produksi Tetap : ,28 Ha. Daerah Istimewa Yogyakarta luas wilayahnya hampir 50 % masuk ke wilayah Kabupaten Gunung Kidul dengan luas 1.485,35 Km², dengan kondisi fisik di sebelah selatan merupakan kawasan pegunungan kapur yang merupakan rangkaian dari Pegunungan Seribu dengan kondisi tanah yang tandus dan rawan kekeringan pada musim kemarau. Sedangkan kawasan utara Kabupaten Sleman khususnya lereng Merapi adalah hulu Sungai Krasak, Boyong, Bedog dan Kuning yang umumnya merupakan sungai-sungai rawan banjir lahar dingin. Kemudian di kawasan Pegunungan Menoreh di Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah rawan

42 27 bencana tanah longsor. Secara administratif Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas satu kota (Yogyakarta) dan empat kabupaten (Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul) Topografi Secara umum, Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relative sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang lebih 1657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara m Geologi Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia volcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan Hidrologi Terdapat 3 sungai yang melintasi Kota Yogyakarta, yaitu Sungai Gajah Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Gede di bagian tengah dan Sungai Winongo di bagian barat kota. Ketiga sungai ini merupakan drainase utama kota Yogyakarta. Wilayah Kota Yogyakarta merupakan bagian dari daratan kaki fluvio vulkanik merapi yang mempunyai air tanah dan permukaan cukup melimpah dengan kedalaman air tanah antara 0,5 m 20 m. Semakin ke hilir permukaan air tanah semakin dangkal dan tercemar. Pencemaran air kebanyakn disebabkan oleh praktek-paraktek sanitasi yang buruk, baik pada lingkungan pemukiman maupun non pemukiman.potensi sumber daya air yang menonjol berasal dari curah hujan dan air tanah.

43 Iklim Berdasarkan klasifikasi oleh Koppen, wilayah Kota Yogyakarta termasuk tipe iklim Am dan Aw, dimana artinya merupakan daerah yang beriklim hujan tropic dengan suhu bulan tertinggi > 18 ºC (Handoko 1994). Curah hujan rata-rata 2,012 mm/tahun dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 ºC dan kelembapan rata-rata 75%. Angin pada umumnya bertiup angin munson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220º bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90º - 140º dengan rata-rata kecepatan 9,5 29,7 km/jam. 4.2 Kota Solo (Surakarta) Kota Surakarta adalah Kota terbesar kedua setelah Kota Semarang di Provinsi Jawa Tengah. Kota Surakarta terletak disebelah barat sungai Bengawan Solo. Pertumbuhan Kota Surakarta berkembang kedua arah, yaitu perkembangannya terjadi ke arah utara dan ke arah barat. Perkembangan ke arah utara terjadi karena arah tersebut masih banyak lahan kosong dan resiko untuk banjir relatif kecil dibandingkan dengan arah selatan. Kota Surakarta memiliki sejarah yang panjang serta memiliki tradisi yang khas, dan sudah lama menjadi pusat peradaban kebudayaan di Jawa. Kota ini didirikan pada tahun 1745, ketika Sultan Pakubuwono II memindahkan ibukota dari Kartosura ke Desa Sala di tepi Bengawan Solo, yang kelak namanya berubah menjadi Kota Surakarta. Pada tahun 1795 kota ini dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, akibat terdapat dua istana menyebabkan adanya fokus kembar di Kota Surakarta hingga saat ini Letak Geografis dan Administrasi Secara Geografis Kota Surakarta terletak diantara ' 15" '35" Bujur Timur dan 7º 36' - 7º 56' Lintang Selatan. Kota Surakarta terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang ini lebih dikenal dengan Kota Solo. Lokasi kota ini berada di dataran rendah yakni ± 92 m di atas permukaan laut yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Di sebelah selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian

44 29 dari Daerah Aliran Sungai Solo. Batas administrasi Kota Surakarta adalah sebagai berikut : a. Sebelah utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar. b. Sebelah Timur : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar c. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukoharjo d. Sebelah Barat : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Luas Kota Surakarta yaitu 4404,06 hektar yang terdiri dari lima kecamatan dan 51 kelurahan Topografi Kota Surakarta terletak pada ketinggian rata-rata 92 m dari permukaan laut. Topografinya relatif dasar dengan kemiringan 0-3%. Daerah terendah di daerah timur dengan ketinggian 85 m dari permukaan laut, memiliki kemiringan rata-rata 0,3%. Kota Surakarta dilalui oleh beberapa sungai yang merupakan anak Sungai Bengawan Solo. Dengan kondisi topografi yang demikian, maka sering terjadi genangan banjir akibat meluapnya sungai-sungai tersebut, terutama di daerah yang berada di sepanjang aliran sungai Geologi Kondisi geologi Kota Surakarta sebagian besar terdiri dari tanah liat berpasir (regosol kelabu) dengan nilai permeabilitas k bervariasi yang relatif dapat membantu penyerapan (percolation drainage) selama belum jenuh air (tergantung kondisi muka air tanah). Dibeberapa tempat pada elevasi tinggi terdapat tanah padas dan di wilayah tengah serta bagian timur berbatasan dengan Sungai Bengawan Solo ( daerah Keraton dan Kedunglumbu) merupakan endapan lumpur relatif padat bekas rawa pada zaman dahulu. Daya dukung tanah (bearing capacity) pada dataran Kota Surakarta antara 0,50-1,75 Kg/cm 2, Rata-rata 0,80 Kg/cm Hidrologi Kondisi hidrologi di wilayah Kota Surakarta mencakup air permukaan yang berupa sungai dan air tanah (dangkal dan dalam). Di wilayah perencanaan Kota Surakarta, terdapat beberapa sungai yang merupakan bagian dari sistem drainase Kota Surakarta, yaitu :

45 30 a. Bengawan Solo Terletak di perbatasan timur Kota Surakarta, yang menjadi muara semua sungai yang ada di Kota Surakarta, kondisi air mengalir sepanjang tahun. b. Kali Anyar Terletak di bagian tengah Kota Surakarta dari arah barat menuju ke timur yang bermuara di Bengawan Solo. Kondisi air Kali Anyar mengalir sepanjang tahun, namun pada Kali Anyar Hilir pada musim kemarau tidak ada aliran air karena dari Kali Anyar hulu dialirkan menuju Kali Pepe sebagai glontoran. c. Kali Pepe Kali Pepe terletak di bagian tengah Kota Surakarta dan merupakan anak Kali Anyar yang berfungsi sebagai jaringan drainase dan pengglontor yang bermuara di Bengawan Solo. d. Kali Palemwulung Kali Pelemwulung terletak di perbatasan selatan Kota Surakarta dari arah barat mengalir ke arah timur dan bermuara di Bengawan Solo. e. Kali Jenes Kali Jenes terletak di bagian Selatan Kota Surakarta yang merupakan anak sungai Kali Pelemwulung yang mengalir menuju muara Kali Pepe. Sedangkan kondisi air tanah dangkal, memiliki kedalaman relatif dangkal, yaitu antara 5-10 m di Kota Surakarta bagian selatan dan 10-20m di Kota Surakarta bagian utara. Sebagian wilayah, masyarakat masih menggunakan air tanah dangkal tersebut untuk kebutuhan air bersih. Sedangkan air tanah dalam (> 100m) dimanfaatkan oleh PDAM untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, serta sebagian oleh perusahaan swasta (industri) untuk memenuhi kebutuhan proses produksinya Iklim Suhu udara rata-rata di Kota Surakarta pada tahun 2010 berkisar antara 24,9ºC sampai dengan 28,6 ºC. Suhu terendah terjadi pada bulan Juni sedangkan yang tertinggi pada bulan September. Kelembaban udara relatif berkisar antara 64% (bulan September) sampai dengan 85% (bulan Februari).

46 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan Lingkungan Hidup masing-masing kota (Lampiran 5 8). Kemudian dilakukan perbandingan terhadap beberapa parameter kualitas udara SO 2, NO 2, dan TSP pada tahun 2010, dengan pertimbangan bahwa peristiwa meletusnya Gunung Merapi terjadi pada tahun tersebut. Hasil perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Kota Solo dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Solo sebelum dan sesudah Letusan Gunung Merapi tahun 2010 Lokasi Parameter Yogyakarta Solo Sebelum Sesudah BML 1 Sebelum Sesudah BML 2 SO 2 (µg/nm 3 ) 535,60 53, ,28 15, NO 2 (µg/nm 3 ) 57,59 533, ,80 81, TSP(µg/Nm 3 ) * - * 230 Keterangan : * kurang dari 10µg/Nm 3 Sumber : BLH Solo dan BLH Yogyakarta (2010) Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan yang dilakukan oleh Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota. Data kualitas udara kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Tabel 4). Hal ini dikarenakan, lokasi tersebut merupakan lokasi terdekat dengan daerah pengambilan sampel daun. Berdasarkan data rata-rata kandungan udara yang diperoleh, dapat diketahui bahwa konsentrasi SO 2, NO 2 dan TSP Kota Yogyakarta sebelum dan sesudah bencana Gunung Merapi meletus lebih tinggi jika dibandingkan Kota Solo. Dari tiga parameter yang dibandingkan, di Kota Yogyakarta, TSP dan NO 2 adalah parameter udara yang mengalami peningkatan pasca letusan Gunung Merapi. Peningkatan yang terjadi cukup jauh melebihi baku mutu lingkungan. Sedangkan SO 2 konsentrasinya menurun. Penurunan konsentrasi SO 2 dikarenakan gas SO 2 sudah lebih dulu dikeluarkan pada saat erupsi-erupsi kecil dari Gunung Merapi.

47 32 Sehingga pada saat Gunung Merapi meletus, kandungan SO 2 sudah jauh berkurang. Hal ini yang mengakibatkan rendahnya kadar SO 2 pada data pengukuran pasca letusan Gunung Merapi. Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur DIY No. 153 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien DIY. Sedangkan kota Solo menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambien Provinsi Jawa Tengah. Data kualitas udara Kota Solo menunjukan adanya peningkatan konsentrasi bahan pencemar sesudah bencana meletusnya Gunung Merapi yang tidak terlalu tinggi. Seluruh data bahan pencemar yang dibandingkan berada dibawah baku mutu lingkungan. Pemantauan terhadap parameter TSP Kota Solo dalam beberapa tahun terakhir menunjukan hasil yang sangat kecil (<10 µg) sehingga parameter tersebut termasuk dalam parameter kualitas udara yang tidak terdeteksi. Kedua lokasi penelitian memiliki kebijakan menggunakan baku mutu lingkungan yang nilainya lebih ketat jika dibandingkan baku mutu lingkungan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang memiliki batas kandungan SO µg/nm 3, NO µg/nm 3, dan TSP 230 µg/m 3. Hal ini diperbolehkan sesuai PP No 41 Tahun 1999 pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa baku mutu udara ambien daerah yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara di daerah yang bersangkutan ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambient nasional. Peristiwa meletusnya Gunung Merapi memberikan dampak yang terlihat nyata pada kandungan bahan pencemar di udara terutama TSP. Hal ini terlihat dari data hasil pemantauan kualitas udara yang secara khusus dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta pada tanggal 5 November Laporan hasil uji udara ambien Kota Yogyakarta pasca meletusnya gunung Merapi dapat dilihat pada Tabel 4.

48 33 Tabel 4 Laporan hasil uji udara ambient bulan November 2010 Lokasi Parameter CO SO x NO x PM 2,5 PM 10 BML = 35 ppm BML = ppm BML = ppm BML = 65 µg/nm 3 BML = 150 µg/nm Keterangan : 1. Perempatan jalan Magelang 2. Jalan Urip Sumoharjo 3. Perempatan Tugu 4. Perempatan Wirobrajan 5. Terminal Giwangan Data yang diambil di daerah-daerah perbatasan Kota Yogyakarta yaitu Perempatan Jalan Magelang (1), Jalan Urip Sumoharjo (2), Perempatan Tugu (3), Perempatan Wirobrajan (4), dan Terminal Giwangan (5) menunjukan perubahan yang cukup signifikan terutama untuk parameter TSP. Lokasi 1, 2 dan 3 merupakan lokasi yang lebih dekat dengan Gunung Merapi sehingga kandungan debu vulkanik dalam udara lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi 4 dan 5 yang letaknya lebih jauh. Secara alamiah partikel debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Debu vulkanik yang keluar dari letusan gunung berapi biasanya memiliki ukuran diameter aerodinamik <10 µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM 10. Namun Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Kandungan PM 2.5 di udara mencapai angka tertinggi 224 µg/nm 3 terpantau di daerah Jalan Urip Sumoharjo sedangkan konsentrasi PM 10 tertinggi terpantau di daerah Perempatan Tugu dengan nilai 418 µg/nm 3. Angka ini sangat jauh melebihi baku mutu udara yang ditetapkan berdasarkan Kep. Gub.DIY No 153 tahun 2002 yaitu 65 µg/m 3 untuk PM 2.5 dan 150 µg/nm 3 untuk PM 10. Hasil pemantauan yang dilakukan di lima lokasi perbatasan kota Yogyakarta menujukan bahwa kandungan TSP pada daerah tersebut jauh melebihi ambang batas baku mutu udara ambien, kecuali Terminal Giwangan yang masih di bawah baku mutu udara (13 µg/nm 3 untuk PM 2.5 dan 35 µgn/m 3 untuk PM 10 ). Kandungan bahan pencemar yang lain seperti CO dan SO 2 secara keseluruhan

49 34 masih dalam batas toleransi baku mutu lingkungan, sedangkan NO 2 pada daerah jalan Urip Sumoharjo sedikit di atas batas BML. Tingginya konsentrasi TSP dan bahan pencemar lain seperti SO 2 dan NO 2 di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk kota Yogyakarta. Menurut WHO (1996) dalam Pudjiastuti (2002) pertikel debu dengan ukuran 0,1 µm sampai 10 µm berbahaya bagi kesehatan dan dapat merusak lingkungan. Perubahan yang terjadi disebabkan karena gas dan materi polutan yang masuk melalui stomata dapat mengakibatkan terganggunya proses metabolisme di dalam tanaman (Riikonen et al. 2010). Secara spesifik polusi udara berpengaruh terhadap fungsi tanaman, seperti debu udara dapat menutupi mulut daun sehingga membatasi proses fotosintesis. Kristanto (2004) menjelaskan bahwa debu berpengaruh terhadap tanaman karena debu jika bergabung dengan uap air atau air hujan akan membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun dan tidak dapat dibilas oleh air hujan kecuali dengan menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari ke permukaan daun dan menghambat pertukaran CO 2 ke atmosfer. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu. Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandungsilika (SiO 2 ) yang bersifat tajam. Selain itu, sifat debu yang mampu menyerap bahan pencemar yang berupa gas seperti SO 2 dan NO 2 dapat mengakibatkan bahan-bahan pencemar tersebut bertahan lebih lama dalam daun bila terserap (Sinuhaji 2011). Sedangkan gas SO 2 dan NO 2 dapat menyebabkan kerusakan pada bagian sel penjaga dan sel epidermis dalam konsentrasi tertentu. Respon masing-masing tanaman terhadap tingginya konsentrasi bahan pencemar berbeda pada masing-masing tanaman. Jahar and Iqbal (1992) menyebutkan bahwa tiap jenis tanaman memiliki sifat dan karakteristik tersendiri dalam merespon pencemar udara. Perbedaan tersebut tergantung dari jenis tanaman dan susunan genetiknya. USDA Forest Service (1989) menjelaskan bahwa faktor lain seperti pertumbuhan pohon dan jarak terhadap sumber polusi,

50 35 konsentrasi bahan pencemar, serta lamanya terpolusi juga turut berperan. Sebagian besar tanaman tidak tahan terhadap gas-gas pencemar yang berada di atmosfer berapapun konsentrasinya, namun beberapa jenis tanaman dapat tahan terhadap gas pencemar yang ada ( Fitter dan Hay 1981). 5.2 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Akasia Stomata tanaman akasia dapat ditemukan pada sisi atas (adaksial) dan bawah (abaksial) daunnya, sehingga berdasarkan letak stomatanya daun akasia masuk dalam tipe amfistomatik. Jika dilihat tipe susunan stomatanya, daun akasia termasuk tipe parasitic atau rubiaceous dimana setiap sel penjaga bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga, sumbu membujurnya sejajar dengan sumbu sel penjaga dan apertur (Fahn 1991). Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia daerah tercemar dengan tanaman kontrol Parameter Nilai Nilai ratarata lokasi rata-rata Nilai Hasil lokasi signifikansi uji Yogyakarta Solo a. Sisi atas daun (Adaksial) Panjang stomata (µm) 20,85 21,57 0,406 TBN Lebar stomata (µm) 13,91 13,75 0,778 TBN Kerapatan stomata (jumlah /mm 2 ) 491,53 471,68 0,130 TBN Indeks stomata 12,02 11,05 0,029 BN Kerusakan sel epidermis (jumlah /mm 2 ) 0,13 4,80 0,001 BN Abnormalitas stomata (jumlah /mm 2 ) 0 2,06 0,011 BN b. Sisi bawah daun (Abaksial) Panjang stomata (µm) 20,87 21,50 0,397 TBN Lebar stomata (µm) 13,80 13,95 0,807 TBN Kerapatan stomata (jumlah /mm 2 ) 499,45 471,11 0,192 TBN Indeks stomata 12,25 11,48 0,205 TBN Kerusakan Sel Epidermis (jumlah /mm 2 ) 0,66 4,59 0,008 BN Abnormalitas stomata (jumlah /mm 2 ) 0,06 1,86 0,011 BN Keterangan : TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% Hasil pada Tabel 5 menunjukan bahwa beberapa parameter anatomi sayatan paradermal daun tanaman akasia menunjukan perbedaan nyata setelah dilakukan uji-t dengan menggunakan software SPSS. Parameter anatomi daun yang

51 36 menunjukan hasil berbeda nyata adalah indeks stomata sisi adaksial daun serta jumlah kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata pada kedua sisi daun akasia. Secara statistik ukuran kerapatan stomata pada kedua sisi daun menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata namun terdapat kecenderungan kerapatan stomata menjadi lebih rendah. Daun akasia pada daerah yang tercemar memiliki kerapatan stomata adaksial (471,68/mm 2 ) dan abaksial (471,11/mm 2 ) yang lebih rendah jika dibandingkan dengan daun akasia yang terdapat pada daerah kontrol (491,53/mm 2 dan 499,45/mm 2 ). Maulana (2004) melaporkan bahwa tanaman akan mengurangi jumlah stomatanya sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi bahan pencemar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pedroso dan Alves (2008) yang melaporkan bahwa peningkatan bahan pencemar terutama O 3 menyebabkan penurunan kerapatan stomata pada daun Nicotania tobacum L. Indeks stomata akasia sayatan adaksial adalah parameter anatomi yang menunjukan hasil berbeda nyata. Indeks stomata tanaman di lokasi tercemar lebih rendah jika dibanding dengan lokasi kontrol. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Riikonen et al. (2010) yang melaporkan bahwa indeks stomata spesies Betula papyrifera meningkat setelah terjadi peningkatan bahan pencemar berupa gas. Penelitian Gostin (2009) terhadap beberapa spesies Fabaceae dan Verma et al. (2009) pada spesies Ipomea pes-trigridis L menunjukkan hasil indeks stomata yang meningkat akibat adanya peningkatan bahan pencemar. Hasil uji-t terhadap parameter pengamatan menunjukkan hasil yang signifikan (BN) pada sisi adaksial daun akasia lebih banyak dibandingkan sisi abaksialnya. Riikonen et al. (2010) menyatakan bahwa kontak antara daun dengan udara (bahan pencemar) paling besar kemungkinnya terjadi pada sisi adaksial. Abnormalitas stomata dan kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia adaksial dan abaksial dapat diamati dengan mudah. Perbedaan pada kedua lokasi ini terlihat nyata, dimana daun akasia pada daerah tercemar memilki kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata yang cukup banyak. Kozlowzki dan Mudd (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya dapat menyebabkan perubahan jaringan seperti

52 37 plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Fitter dan Hay (1981) menjelaskan bahwa beberapa tempat utama dalam tanaman yang dapat dipengaruhi oleh pencemar gas antara lain pada stomata dan kloroplas. Abnormalitas stomata ditandai dengan ukuran yang jauh berbeda dari ukuran stomata normal. Ukuran stomata menjadi lebih besar atau lebih kecil dengan perbedaan ukuran yang cukup jauh (terlihat berbeda dari stomata lainnya). Sisi paling luar stomata biasanya akan berwarna lebih tebal dibandingkan dengan stomata yang lain. Abnormalitas sel stomata ini dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Abnormalitas sel stomata pada sayatan paradermal daun akasia. Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel epidermis pada daun akasia. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang yang mengakibatkan sel epidermis terbelah menjadi lebih banyak dan kecil-kecil. Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia.

53 38 Abnormalitas stomata dan kerusakan sel epidermis ini cukup banyak ditemukan pada daun akasia yang berada pada daerah tercemar sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi bahan pencemar yang cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena bahan pencemar seperti SO 2, NO 2 dan TSP yang terakumulasi di dalam daun. Hal ini sesuai dengan penjelasan Black dan Black (1979) bahwa SO 2 pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada sel penjaga dan sel epidermis daun. Perbedaan sayatan paradermal sisi adaksial dan sisi abaksial daun akasia pada daerah tercemar dengan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 4. Kerusakan sel epidermis banyak dijumpai pada sayatan adaksial dan abaksial daun akasia yang berasal dari daerah yang tercemar ( Gambar 4B dan 4D) Gambar 4 Sayatan adaksial daun Akasia kontrol (A), sayatan adaksial daun Akasia tercemar (B), sayatan abaksial daun Akasia kontrol (C) dan sayatan abaksial Akasia tercemar (D).

54 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Akasia Jaringan palisade daun akasia dapat ditemukan pada sisi adaksial dan abaksial. Oleh karena itu, berdasarkan letak jaringan palisadenya, daun akasia bersifat isolateral atau isobilateral. Jaringan palisade daun akasia sisi adaksial dan abaksial merupakan palisade yang tersusun atas dua lapis Hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia daerah tercemar dengan tanaman kontrol Nilai ratarata lokasi rata lokasi Nilai rata- Nilai Hasil Parameter signifikansi uji Solo Yogyakarta Tebal daun (µm) 206,25 211,51 0,781 TBN Tebal jaringan epidermis atas (µm) 10,27 10,42 0,793 TBN Tebal jaringan epidermis bawah (µm) 9,86 9,58 0,760 TBN Tebal jaringan palisade atas (µm) 41,67 43,40 0,725 TBN Tebal jaringan palisade bawah (µm) 39,58 43,30 0,442 TBN Tebal jaringan bunga karang (µm) 101,25 102,36 0,924 TBN Tebal kutikula atas (µm) 1,29 4,39 0,001 BN Tebal kutikula bawah (µm) 1,23 4,06 0,002 BN Keterangan : TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% Berdasarkan hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia, hasil berbeda nyata (BN) hanya dijumpai pada parameter tebal lapisan kutikula. Secara statistik, tebal lapisan kutikula adaksial dan abaksial daun pada kedua lokasi menunjukan perbedaan yang nyata dengan nilai signifikansi 0,001 dan 0,002. Daun akasia yang diambil dari Yogyakarta memiliki lapisan kutikula sisi adaksial dan abaksial yang lebih tebal (4,39 µm dan 4,056 µm) dibandingkan dengan daun akasia yang berasal dari Solo (1,29 µm dan 1,23 µm). Kutikula yang terletak di sebelah luar lapisan epidermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan paling luar yang hanya terdiri dari lapisan kutin (kutikula sejati) dan lapisan dalam (lapisan kutikular) yang mengandung kutin serta bahan dinding sel lainnya. Lapisan paling luar dari daun ini difungsikan untuk menjaga kelembaban daun sebab lapisan kutikula dapat mengontrol transpirasi atau

55 40 penguapan sehingga meminimalkan kehilangan air. Selain menjaga kelembaban, kutikula juga berfungsi menjadi pertahanan awal terhadap masuknya benda asing termasuk bahan pencemar dari udara ke dalam daun (Fahn 1991). Hal ini terjadi pada daun akasia di Yogyakarta, daun akasia melakukan adaptasi terhadap tingginya konsentrasi bahan pencemar akibat debu vulkanik terutama TSP yang keluar pada saat Merapi meletus dengan meningkatkan ketebalan lapisan kutikulanya. Kutikula merupakan pertahanan pertama daun terhadap bahan-bahan pencemar yang masuk melalui daun karena letaknya yang berada di atas lapisan epidermis. Modifikasi pada tebal kutikula merupakan respon untuk mengurangi transpirasi dan reaksi tanaman terhadap masuknya bahan pencemar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Weryszko et al (2005) yang melaporkan bahwa pengaruh bahan pencemar udara dapat meningkatkan tebal kutikula pada Glycine max sebagai bentuk pertahanannya. Jaringan palisade daun tercemar cenderung menjadi lebih tipis dibandingkan kontrolnya (Gambar 5). Hal ini juga merupakan respon tanaman akasia. Namun secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan bahan pencemar pasca letusan Gunung Merapi dalam jangka waktu tertentu ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap parameter-parameter anatomi daun sayatan transversal kecuali pada tebal jaringan kutikula. Jaringan bunga karang dan palisade daun akasia juga tidak mengalami kerusakan. Hasil ini berbeda dengan pernyataan Ormond (1987) dalam Santosa (2004) yang mejelaskan bahwa kadar bahan pencemar seperti HF, SO dan debu yang tinggi dapat menyebabkan rusaknya jaringan bunga karang dan palisade. Hal ini didukung oleh Treshow (1970) yang menyatakan bahwa gas SO 2 dengan konsentrasi tertentu yang masuk dalam daun dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan bunga karang, lapisan epidermis, dan palisade. Treshow (1970) juga menjelaskan bahwa partikel padat yang terjerap maupun terserap khususnya yang bersifat tajam (abrasif) juga mampu mengakibatkan luka melalui gesekan dengan permukaan yang lain dan akan menjadi media yang baik bagi organisme patogen untuk menginfeksi daun. Debu vulkanik sangat sulit larut dalam air, sangat kasar dan agak korosif serta mengandung listrik apabila basah. Secara mikroskopik, debu vulkanik terlihat mengandung SiO 2 atau pasir kuarsa yang biasa digunakan untuk membuat

56 41 gelas dan tampak berujung runcing sehingga dapat melukai jaringan-jaringan di dalam daun (Sinuhaji 2011). Sayatan transversal daun akasia di lokasi tercemar dengan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 5. Keterangan : 1. Tebal daun 3. Epidermis bawah 5. Palisade bawah 2. Epidermis atas 4. Palisade atas 6. Bunga karang Gambar 5 Sayatan transversal daun akasia kontrol (A) dan tercemar (B). Gambar 6 Tebal kutikula atas daun kontrol (A1) dan daun tercemar (B1), tebal kutikula bawah daun kontrol (C1) dan daun tercemar (D2). 5.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Mahoni Berdasarkan letak stomatanya, tanaman mahoni masuk dalam tipe hipostomatik karena stomata hanya dijumpai pada sisi abaksial daun (Gambar 9). Fahn (1991) menjelaskan bahwa pada daun yang pertulangannya menjala,

57 42 stomatanya akan menyebar tidak teratur seperti pada mahoni. Jika dilihat berdasarkan tipe susunan stomatanya, daun mahoni termasuk dalam tipe anisositik atau stomata dengan sel penjaga yang dikelilingi oleh tiga sel tetangga yang ukurannya tidak sama (Fahn 1991). Gambar 7 Sisi adaksial daun mahoni tanpa stomata (A) dan sisi abaksial mahoni dengan stomata (B). Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun mahoni tanaman kontrol dengan mahoni daerah tercemar TSP dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan paradermal sisi abaksial daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol Nilai ratarata lokasi rata lokasi Hasil uji Nilai rata- Nilai Parameter signifikansi Solo Yogyakarta Panjang stomata (µm) 18,07 16,60 0,077 TBN Lebar stomata (µm) 13,19 12,03 0,088 TBN Kerapatan stomata (jumlah/mm 2 ) 660,24 597,05 0,207 TBN Indeks stomata 18,52 18,18 0,589 TBN Kerusakan sel epidermis (jumlah/mm 2 ) 0 0,33 0,152 TBN Abnormalitas stomata( jumlah/mm 2 ) 0,13 3,93 0,021 BN Keterangan : TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% Parameter anatomi daun sayatan paradermal yang diuji menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antara tanaman di daerah tercemar dengan kontrolnya kecuali jumlah abnormalitas stomata. Ukuran lebar stomata tanaman mahoni tercemar cenderung menjadi lebih kecil (13,19 µm) dibandingkan tanaman kontrolnya (13,67 µm). Diikuti dengan panjang stomata yang juga mengalami

58 43 penurunan dari 18,07 µm menjadi 16,60 µm. Namun hasil uji-t pada sayatan transversal daun mahoni menunjukan hasil yang tidak signifikan (TBN). Kozlowski dan Mudd (1975) menjelaskan bahwa tanaman yang tumbuh pada lingkungan yang terpolusi akan cenderung mempertahankan diri dengan meningkatkan ukuran stomatanya. Jumlah stomata daun mahoni tercemar juga cenderung menurun, hal ini terlihat dari kerapatan stomata tanaman tercemar (597,05/mm 2 ) yang lebih rendah jika dibandingkan kerapatan stomata tanaman kontrol (660,2/mm 2 ). Jumlah stomata yang menjadi lebih sedikit dan ukuran lebar stomata yang menjadi lebih kecil merupakan salah satu respon tanaman mahoni untuk mengurangi jumlah bahan pencemar yang masuk ke dalam daun baik yang berupa gas maupun partikel debu meskipun secara statistik hasil yang ditunjukan adalah tidak berbeda nyata. Penelitian yang dilaporkan oleh Maulana (2004) menyatakan bahwa tanaman yang berada pada kondisi bahan pencemar yang lebih tinggi akan memberikan respon dengan mengurangi jumlah stomata. Dickinson (2000) menjelaskan bahwa stomata merupakan tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Struktur stomata, frekuensi, dan distribusinya telah diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensitivitas tanaman dan ketahanan daun terhadap masuknya bahan pencemar. Parameter lain yang diuji adalah adanya kerusakan jaringan epidermis dan abnormalitas stomata pada daun mahoni yang tercemar. Hasil uji-t menujukkan hanya abnormalitas stomata yang menunjukan hasil berbeda nyata (BN) dengan nilai signifikansi Kondisi mikroskopik tanaman kontrol cenderung rapi dan jarang terlihat adanya kerusakan bahkan tidak ada, berbeda dengan tanaman mahoni tercemar yang banyak terdapat kerusakan. Abnormalitas sel stomata ditandai dengan ukuran yang cenderung jauh lebih besaratau bahkan lebih kecil dan terlihat berbeda dari stomata yang normal. Sisi sekeliling stomata biasanya akan berwarna lebih tebal. Stern (1962) dalam Suratin (1991) menjelaskan bahwa debu dapat mempengaruhi bagian daun yang berbeda tergantung pada umur daun tersebut, namun pada irisan paradermal daerah yang paling sering rusak adalah daerah stomata dan sekitarnya sehingga dapat menghambat absorbsi CO 2 dari udara. Abnormalitas stomata yang cukup banyak

59 44 dapat ditemukan pada daun mahoni pada lokasi tercemar. Sayatan paradermal daun mahoni pada kedua lokasi dan abnormalitas stomata dapat dilihat pada Gambar 8. Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel epidermis pada daun mahoni. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang atau pusaran yang mengakibatkan sel epidermis menjadi terbelah menjadi banyak, kecil-kecil dan seolah mengumpul. Treshow (1970) menjelaskan bahwa polusi udara terutama yang mengandung SO dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan epidermis atas dan bawah. Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun mahoni dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 8 Abnormalitas stomata pada sayatan paradermal daun mahoni kontrol (A) dan daerah tercemar (B). Gambar 9 Kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun mahoni. 5.5 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Mahoni Berdasarkan keberadaan jaringan palisadenya, daun mahoni bersifat dorsiventral karena jaringan palisadenya berada di sisi atas daun (adaksial) dan bunga karang di sisi yang lain. Jaringan palisade pada daun akasia tercemar dan

60 45 kontrol tersusun atas satu lapis sel. Pengamatan sayatan transversal daun mahoni dilakukan terhadap tujuh parameter yaitu tebal daun, tebal jaringan epidermis atas dan bawah, jaringan palisade atas, jaringan bunga karang serta lapisan kutikula atas dan bawah (Gambar 10 dan 11). Hasil uji-t dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol Parameter Nilai Nilai ratarata lokasi rata-rata Nilai lokasi signifikansi Yogyakarta Solo Hasil uji Tebal daun (µm) 182,64 104,58 0,005 BN Tebal jaringan epidermis atas (µm) 12,92 10,97 0,066 TBN Tebal jaringan epidermis bawah (µm) 9,31 7,03 0,123 TBN Tebal jaringan palisade atas (µm) 64,03 34,30 0,039 BN Tebal jaringan bunga karang (µm) 91,80 52,08 0,001 BN Tebal kutikula atas (µm) 2,67 2,15 0,213 TBN Tebal kutikula bawah (µm) 2,54 1,60 0,008 BN Keterangan : TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% Keterangan : 1. Tebal daun 2. Epidermis atas 3. Epidermis bawah 4. Palisade atas 5. Bunga karang Gambar 10. Sayatan transversal daun mahoni kontrol (A) dan tercemar (B).

61 46 Gambar 11 Tebal kutikula atas daun kontrol (A1) dan daun tercemar (B1), tebal kutikula bawah daun kontrol (C1) dan daun tercemar (D). Hasil analisis terhadap tujuh parameter sayatan trasversal daun yang diuji memberikan hasil bahwa tebal jaringan epidermis atas dan bawah serta tebal lapisan kutikula atas menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antara tanaman pada daerah tercemar dengan kontrolnya. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi bahan pencemar gas dan materi vulkanik pasca letusan Gunung Merapi tidak memberikan dampak yang nyata pada ketiga parameter tersebut. Hasil berbeda nyata ditunjukkan oleh parameter tebal daun, jaringan palisade, bunga karang dan lapisan kutikula yang menjadi lebih tipis. Hal ini didukung oleh Pedroso dan Alves (2008) yang melaporkan bahwa tebal daun pada beberapa tumbuhan family Solanaceae yang terpapar ozon menjadi lebih tipis. Tebal kutikula abaksial daun mahoni tercemar yang menjadi lebih tipis (1,6 µm) jika dibandingkan tanaman kontrolnya (2,54 µm) dipengaruhi oleh kondisi iklim. Fahn (1991) menjelaskan bahwa tebal kutikula tidak sama pada setiap tumbuhan, dan umumnya akan menjadi lebih tebal pada tumbuhan yang hidup pada daerah yang kering. Kota Solo memilki kodisi iklim yang lebih kering dengan suhu rata-rata 28,6ºC (Badan Pusat Statistik Solo 2010) jika dibandingkan kota Yogyakarta yang memiliki suhu rata-rata 26,66ºC (Badan Pusat Statistik

62 47 Yogyakarta 2010) sehingga tanaman mahoni yang berasal dari kota Solo (kontrol) memiliki lapisan kutikula yang lebih tebal. Konsentrasi bahan pencemar yang meningkat memberikan pengaruh pada tebal jaringan palisade dan bunga karang menjadi lebih tipis. Perubahan tebal jaringan yang terjadi cukup signifikan, dari 64,03 µm (Solo) menjadi 34,30 µm (Yogyakarta) untuk jaringan palisade dan 91,80 µm (Solo) menjadi 52,08 µm (Yogyakarta) untuk jaringan bunga karang. Hal ini merupakan respon tanaman mahoni terhadap perubahan kondisi lingkungan dan bahan pencemar. Meskipun ukuran jaringan palisade dan bunga karang menjadi lebih tipis, namun kerusakan jaringan tidak ditemukan pada sayatan transversal daun mahoni kontrol maupun tercemar. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Treshow (1985) yang menjelaskan bahwa SO 2 dalam konsentrasi rendah sudah mampu menyebabkan kerusakan pada jaringan daun seperti epidermis, palisade dan bunga karang. Selain itu, SO 2 dalam jaringan daun juga dapat menyebabkan kloroplas pecah kemudian klorofil menyebar dalam sitoplasma dan selanjutnya protoplasma menyusut dan berkerut Kerusakan akibat bahan pencemar NO 2 tidak ditemukan pada sayatan transversal daun mahoni kontrol dan tercemar. Namun Stoker dan Seager (1972) menjelaskan bahwa NO 2 pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat menyebabkan gejala nekrosis dan kerusakan tenunan jaringan. NO 2 yang terserap akan bereaksi dengan air dalam daun membentuk campuran sthoikiometrik dan asam nitrat serta asam nitrit. Hal ini dapat menyebabkan gas-gas yang terbentuk mencapai air dalam jaringan parenkim dan menimbulkan keasaman. Apabila keasaman melebihi ambang batas pada jaringan maka akan menimbulkan kerusakan. Mulamula kerusakan terjadi pada jaringan bunga karang dan lapisan epidermis bawah, kemudian palisade dan lapisan epidermis atas. Meskipun kerusakan akibat NO 2 tidak ditemukan, namun adanya gas NO 2 tetap memberikan pengaruh terhadap ketebalan jaringan palisade dan bunga karang yang menjadi lebih tipis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suratin (1991) yang melaporkan bahwa tebal jaringan palisade dan bunga karang Bauhinia purpurea menjadi lebih tipis setelah terpapar bahan pencemar gas kendaraan bermotor.

63 48 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Peningkatan konsentrasi bahan pencemar udara berupa gas dan materi vulkanik pasca letusan Gunung Merapi memberikan pengaruh yang berbeda pada pohon akasia dan mahoni. Pohon akasia di lokasi tercemar (Yogyakarta) memberikan respon berupa perubahan nilai indeks stomata adaksial yang menjadi lebih rendah, jumlah kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata adaksial dan abaksial yang menjadi semakin tinggi serta lapisan kutikula yang menjadi lebih tebal dibandingkan lokasi kontrol (Solo). Pohon mahoni di lokasi tercemar (Yogyakarta) memberikan respon berupa jumlah abnormalitas stomata yang menjadi lebih tinggi, ukuran tebal daun, jaringan palisade, bunga karang, dan kutikula bawah yang menjadi semakin tipis dibandingkan lokasi kontrol (Solo). 2. Jumlah kerusakan sel pada daun akasia lebih tinggi dibandingkan daun mahoni, sehingga dapat dikatakan pohon mahoni lebih tahan terhadap masuknya bahan pencemar gas dan materi vulkanik dalam waktu tertentu. 6.2 Saran 1. Pohon mahoni dapat dijadikan rekomendasi untuk tanaman hutan kota dalam rangka perbaikan kualitas udara pasca letusan Gunung Merapi. 2. Perlu dilakukannya penelitian mengenai pengaruh pencemar udara tertentu yang lebih spesifik terhadap tanaman. 3. Perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan tanaman dalam menyerap dan menjerap pencemar udara.

64 49 DAFTAR PUSTAKA Agus GS, Budi HH Pengukuran Partikel Udara Ambien (TSP, PM10, dan PM2,5) di sekitar calon lokasi PLTN Semenanjung Lemahbang. Bogor : Pusat Tekhnologi Limbah Radioaktif-BATAN. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta Peta Administrasi Kota Surakarta. Surakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta. [BLH] Balai Lingkungan Hidup Laporan Hasil Uji Laboratotium Kualitas Udara Ambien. Yogyakarta: Balai Lingkungan Hidup. [BLH] Balai Lingkungan Hidup Laporan Hasil Uji Kualitas Udara Ambien. Solo: Balai Lingkungan Hidup. [BPPTK] Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta Kronologis Letusan Gunung Merapi. Yogyakarta: Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta. Bell JNB, Treshow M Air Pollution. Chichester : John Wiley & Sons, Ltd. Black CR, Black VJ The effects of low concentrations of sulfur dioxide on stomatal conductance and epidermal cell survival in field bean (Vicia faba L.). J. Exp. Bot, 30 : Chauhan A Tree as bio-indicator of automobile pollution in deradun city: a case study. New York Science Journal 3 : 88. Dahlan EN Studi Kemampuan Tanaman Dalam Menjerap dan Menyerap Timbal Emisi Dari Kendaraan Bermotor [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Dahlan EN Hutan Kota Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Jakarta: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Dahlan EN Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota. Bogor: IPB Press. Dickison WO Integrative Plant Anatomy. Tokyo: Academic Press. Fakuara YM Hutan Kota, Peranan dan Permasalahnnya. Bogor: Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanina Bogor.

65 50 Fahn A Plant Anatomy. Ed ke-2. Oxford: Pergamon Press. Fahn A Anatomi Tumbuhan. Soediarto A, Koesoemaningrat T, Natasapura M, Akmal H, Penerjemah; Tjitrosomo SS, editor. Yogyakarta: UGM Press. Terjemahan dari: Plant Anatomy. Fardiaz S Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius. Farmer A Effect of Particulates. Di dalam: Bell JNB, Treshow M, Editor. Air Pollution and Plant Life. Ed ke-2. Baffins Lane, UK : John Willey & Sons Ltd. Fitter AH, Hay RKM Fisiologi Lingkungan Tanaman. Andani S, Penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mana University Press. Gostin IN Air pollution effects on the leaf structure of some Fabaceae species. Not.Bot.Hort.Agrobot.Cluj 37: Hardiani H, Bratasida L, Sutopo ES Pengaruh Gas SO 2 Terhadap Kehidupan Tanaman. Berita Selulosa 23: Hidayat EB Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung: ITB Bandung. Henry CP Air Pollution. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha Ltd. Hesiaki T Kandugan Debu Semen Yang Terjerap dan terserap pada beberapa jenis tanaman (Studi kasus di PT semen Baturaja, Oku Sumatra Selatan) [Skripsi]. Bogor: Depertemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Heyne K Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I IV. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan RI. Irawati R Studi Pemilihan Sepuluh Jenis Tanaman Untuk Pengembangan Hutan Perkotaan di Kawasan Pabrik Semen [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Irwan ZD Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara. Jahar S, Iqbal MZ Morphological and anatomical studies of leaves of different plants affacted by motor vehicles exhaust. Enviromental Sciences 5: Johansen DA Plant Microtechnique. New York: McGraw-Hill Book Company Inc.

66 51 Kartasapoetra AG Pengantar Anatomi Tumbuh-tumbuhan. Jakarta: Rineksa Cipta. Kovacs M Biological Indicator in Environment Protection. New York: Ellis Horwood Ltd. Kozlowski TT, Mudd JB Responses of plants to Air Pollution. New York: Academic Press. Kristanto P Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Kristanto P Ekologi Industri. Surabaya: Andi Offset. Legge AH, Kruppa SV Effect of Sulphur Dioxide. Di dalam L Bell JNB, Threshow M, editor. Air Pollution and Plant Life. Baffins Lane, UK: John Willey & Sons Ltd. Maulana RY Identifikasi Respon Anatomi Daun dan Pertumbuhan Kenari, Akasia dan Kayu Manis Terhadap Emisi Gas Kendaraan Bermotor [Skripsi]. Bogor: Departeman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Natori and Totsuka Effect of NO, NO 2 and CO 2 on net photosynthesis, dark respiration and transpiration of pot plants. New Phytologist 103: Pedroso ANV, Alves ES Comparative leaf anatomy of Nicotiana tabacum L. (Solanaceae) cultivars sensitive and tolerant to azone. Acta Botanica Brasilica 1: [Pemkot] Pemerintah Kota Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 153 Tahun 2002 Tentang Baku Mutu Udara Ambien DIY. Yogyakarta: Pemkot. [Pemkot] Pemerintah Kota Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2001 Tentang Baku Mutu Udara Ambien Provinsi Jawa Tengah. Solo: Pemkot. Pohan IRN Pencemaran Udara dan Hujan Asam. [Skripsi]. Sumatra Utara: Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara. Presiden Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Jakarta: Pemerintah RI.

67 52 Pudjiastuti W Debu Sebagai Bahan Pencemar Yang Membahayakan Kesehatan Kerja. Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI. [15 November 2011]. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Gunung Merapi Yogyakarta. Yogyakarta: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Regional Geographic of Indonesia Profil Kota Yogyakarta. [Rabu, 11 Januari 2012]. Riikonen J, Percy KE, Kivimenpaa M, Kubiske ME, Nelson ND, Vapaavouri E, Karnosky DF Leaf size and surface characteristic of Betula papyrifera exposed to Elevated CO 2 and O 3. Enviromental Pollution 158 : Rinawati D Pengaruh Pencemaran Udara di Jalan Pramuka Jakarta Terhadap Kondisi Fisik dan Struktur Anatomi Daun Dari Anakan Beberapa Jenis Pohon [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Rushayati SB, Maulana RY Respon pertumbuhan serta struktur anatomi daun kenari (Canarium commune L) dan akasia (Acacia mangium Wild) Toward vehicle Emition. Media Konservasi 10: Santosa HI Struktur Anatomi Daun Akasia (Acacia mangium willd) dan Sengon (Paraserienthes falcatarina (L) Nielsen) Akibat Pencemaran Udara Di Jalan Tol Jagorawi Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sass JE Botanical Microtechnique. Ames, Iowa: The Iowa State College Press. Sastrawijaya AT Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineksa Cipta. Sinuhaji NF Analisis Logam Berat dan Unsur Hara Debu Vulkanik Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatra Utara [Skripsi]. Medan: Departemen Fisiska Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatra Utara Soedomo M Kumpulan Karya Ilmiah Tentang Pencemaran Udara. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Soedomo M Pencemaran Udara. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

68 53 Stern AC Air Pollution : The Effects of Air Pollution. Michigan: Academic Press. Stoker HS, Seager SL Environmental Chemistry : Air and Water Pollution. Scott Foresman. Suratin A Studi Kerusakan Anatomi Daun Bauhinia purpurea L. Sebagai Tanaman Tepi Jalan Kota Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tjitrosomo G Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gajdah Mada University Press. Treshow M Enviroment and Plant Response. New York: McGraw-Hill. Treshow M Air pollution by photochemical oxidants. Enviromental Conservation 12: 290. USDA Forest Service Management of The National Grassland. Ames: Iowa State University. Verma RB, Mahmooduzzafar TO, Sidiqi, Iqbal M Foliar response of Ipomea pes-tigridis L to coal-smoke pollution. Turkish Journal of Botany 30: Wilson T, Kaye G, Stewart C, Cole J Impacts of The 2006 Eruption of Merapi Volcano Indonesia, on Agriculture and Infrastructure. New Zealand: Gns Science Report, Natural Hazards Research Centre, University of Canterbury. Weryszko CE and Hwil M Lead induced histological and ultrastructural changes in the leaves of soybean (Glycine max (L) Merr). Soil Science and Plant Nutrition 51: Wilmer CM Stomata. London: Lonman Inc. Zubyar M Struktur Anatomi Daun Lima Jenis Tanaman di Jalan Bungur Kampus IPB Dramaga Bogor dan Jalan Otto Iskadar Dinata Kotamadya Bogor.[Skripsi].Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

69 LAMPIRAN 54

70 55 Lampiran 1 Lokasi Penelitian (Yogyakarta) Sumber : Sumber Regional Geograpic of Indonesia 2011

71 56 Lampiran 2 Lokasi Penelitian (Solo) Sumber : Sumber : Bappeda Kota Solo 2009

72 57 Lampiran 3 Komposisi seri larutan Johansen Komposisi Larutan Larutan Johansen I II III IV V VI VII Air 50% 30% 15% Etanol 95% 40% 50% 50% 45% Etanol 100% % - - Tertier Butyl Alcohol (TBA) 10% 20% 35% 55% 75% 100% 50% Minyak parafin %

73 58 Lampiran 4 Komposisi larutan Gifford Larutan Asam Asetat Glasial Alkohol 60% Gliserin Komposisi 20 ml 80 ml 5 ml

74 Lampiran 5 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Yogyakarta Sebelum Letusan Gunung Merapi Tahun

75 Lampiran 5 Lanjutan 60

76 Lampiran 5 Lanjutan 61

77 Lampiran 5 Lanjutan 62

78 Lampiran 5 Lanjutan 63

79 64 Lampiran 6 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Yogyakarta Sesudah Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 Lokasi Parameter CO SOx NOx PM 2,5 PM 10 BML = 35ppm BML = ppm BML = ppm BML = 65 µg/m 3 BML = 150 µg/m

80 65 Lampiran 7 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Solo Sebelum Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 No. Parameter Satuan Hasil Pengujian Baku Mutu NO 2 µg/nm 3 15, SO 2 µg/nm 3 6, O 3 µg/nm 3 23, No. Parameter Satuan Hasil Pengujian Baku Mutu NO 2 µg/nm 3 15, SO 2 µg/nm 3 6, O 3 µg/nm 3 3,

81 66 Lampiran 7 Lanjutan No. Parameter Satuan Hasil Pengujian Baku Mutu NO 2 µg/nm 3 16, SO 2 µg/nm 3 6, O 3 µg/nm 3 10,11 200

82 67 Lampiran 8 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Solo Sesudah Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 Waktu Oksigen (%) Nitric Oxide (ppm) Nitrogen Dioxide (ppm) Sulfur Dioxide (ppm) H2S (ppm) Carbon Monoxide (ppm) Temperature ,8 0 0,04 0 0,4 2,4 33, ,8 0 0,01 0 0,4 2,2 33, ,8 0 0,01 0 0,4 2,7 33,7

83 Lampiran 8 Lanjutan 68

84 Lampiran 8 Lanjutan 69

85 70 Lampiran 8 Lanjutan Waktu Oksigen (%) Nitric Oxide (ppm) Nitrogen Dioxide (ppm) Sulfur Dioxide (ppm) H2S (ppm) Carbon Monoxide (ppm) Temperature , ,7 15, , ,7 15,5 37, , ,9 37, , ,6 12,5 37, , ,5 14,2 36, , ,5 12,3 36, , ,4 13,3 35, , , , ,5 11,1 36, , ,6 2,2 37, , ,6 2,6 37,2 Waktu Oksigen (%) Nitric Oxide (ppm) Nitrogen Dioxide (ppm) Sulfur Dioxide (ppm) H2S (ppm) Carbon Monoxide (ppm) Temperature ,9 0 0,04 0,2 0,3 36, ,02 0,1 0,1 19,2 38, ,9 0 0,03 0,2 0 21,5 37, ,9 0 0,04 0,2 0 20,5 37, ,9 0 0,02 0,3 0,2 29, ,9 0 0,04 0,2 0, , ,9 0 0,03 0,3 0,1 26,2 36, ,9 0 0,03 0,2 0,1 24,8 35, ,9 0 0,04 0,2 0, , ,8 0 0,04 0,2 0,2 23,7 35, ,9 0 0,05 0,2 0,1 20,1 35,1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan dan Udara Lingkungan hidup adalah semua benda yang hidup dan tak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah bagian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan Lingkungan Hidup masing-masing kota (Lampiran 5 8). Kemudian dilakukan

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. 1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR Media Konservasi Vol. X, No. 2 Desember 2005 : 71 76 RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR [Growth and

Lebih terperinci

Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).

Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gas seperti sulfur dioksida vulkanik, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gas seperti sulfur dioksida vulkanik, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida selalu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali. Beberapa gas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd PENCEMARAN LINGKUNGAN Purwanti Widhy H, M.Pd Pengertian pencemaran lingkungan Proses terjadinya pencemaran lingkungan Jenis-jenis pencemaran lingkungan PENGERTIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Berdasarkan UU Pokok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kandungan Klorofil dan Udara Ambien Berdasarkan Tabel 1, terdapat kecenderungan peningkatan kandungan klorofil seiring dengan jauhnya stasiun dari pabrik. Semakin jauh lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982, menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi,

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme dalam tubuh makhluk hidup tidak mungkin dapat

Lebih terperinci

MAKALAH AGEN PENYAKIT NITROGEN DIOKSIDA. Oleh : Tutut Adi Dwi Cahyani Gresi Amarita Rahma

MAKALAH AGEN PENYAKIT NITROGEN DIOKSIDA. Oleh : Tutut Adi Dwi Cahyani Gresi Amarita Rahma MAKALAH AGEN PENYAKIT NITROGEN DIOKSIDA Oleh : Tutut Adi Dwi Cahyani 25010113140382 Gresi Amarita Rahma 25010113140400 Indana Aziza Putri 25010113130406 Aprilia Putri Kartikaningsih 25010113130415 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer 21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas pemikiran yang matang (Dwi Siswoyo. 2007: 28). dengan berubahnya kurikulum dari tahun pelajaran ke tahun pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas pemikiran yang matang (Dwi Siswoyo. 2007: 28). dengan berubahnya kurikulum dari tahun pelajaran ke tahun pelajaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Driyarkara menyatakan pendidikan adalah fenomena yang fundamental atau azasi dalam kehidupan manusia. Kita dapat mengatakan bahwa dimana ada kehidupan manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandung merupakan kota dengan aktivitas masyarakat yang tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung dikunjungi banyak masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi IV.1 Umum Kota Bandung yang merupakan ibukota propinsi Jawa Barat terletak pada 107 o 36 Bujur Timur dan 6 o 55 Lintang Selatan. Secara topografis terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pencemaran udara adalah proses masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke udara oleh aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan berubahnya tatanan udara sehingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jambu Biji Merah Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu psidium yang berarti delima, guajava

Lebih terperinci

Oleh: ANA KUSUMAWATI

Oleh: ANA KUSUMAWATI Oleh: ANA KUSUMAWATI PETA KONSEP Pencemaran lingkungan Pencemaran air Pencemaran tanah Pencemaran udara Pencemaran suara Polutannya Dampaknya Peran manusia Manusia mempunyai peranan dalam pembentukan dan

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.3 1. Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... A. Air cahaya CO 2 O 2 Kunci Jawaban : D Bahan-bahan yang

Lebih terperinci

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan.

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan. 1. Sejarah Perkembangan Timbulnya Pencemaran Kemajuan industri dan teknologi dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sudah terbukti bahwa industri dan teknologi yang maju identik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara semakin hari semakin memprihatinkan. Terutama dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut Ismiyati dkk (2014), kendaraan

Lebih terperinci

4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA

4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA 4.DAUR BIOGEOKIMIA 4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA Dalam lingkungan, unsur-unsur kimia termasuk juga unsur protoplasma yang penting akan beredar di biosfer mengikuti jalur tertentu yaitu dari lingkungan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon TINJAUAN PUSTAKA Jabon (Anthocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.1

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.1 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.1 1. Cara mengurangi pencemaran lingkungan akibat rumah tangga adalah... Membakar sampah plastik dan kertas satu minggu

Lebih terperinci

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN 1. Pencemaran Udara Pencemaran lingkungan kadang-kadang tampak jelas oleh kita ketika kita melihat timbunan sampah di pasar-pasar, pendangkalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR. Laporan Praktikum Mikroteknik. OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031

PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR. Laporan Praktikum Mikroteknik. OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031 PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR Laporan Praktikum Mikroteknik Nama NIM Kelompok Asisten OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031 : II (dua) : Ana Fatmasari PROGRAM

Lebih terperinci

SELEKSI MASUK UNIVERSITAS INDONESIA (SIMAK-UI) Mata Pelajaran : IPA TERPADU Tanggal : 01 Maret 2009 Kode Soal : 914 PENCEMARAN UDARA Secara umum, terdapat 2 sumber pencermaran udara, yaitu pencemaran akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ). 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Ambient Udara dapat di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu udara ambient dan udara emisi. Udara ambient adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang berada di bumi merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaannya akan tidak terbatas selama udara mengandung unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara

Lebih terperinci

Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Oleh : Andika Wijaya Kusuma 3307100081 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat BAB I PENDAHULUAN 1.I Latar belakang Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Tetapi keberadaan jalur hijau jalan pada saat ini di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa daerah di Jawa Timur yang mengalami perkembangan yang pesat dari sektor industri salah satunya di Kecamatan Ngoro. Jumlah perusahaan industri pengolahan di

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI

STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI (Swietenia mahagoni Jacq.) ANTARA DAERAH KEDUNGHALANG KOTA BOGOR DENGAN DAERAH CIAPUS KABUPATEN BOGOR Wahyu Hening Kartiko, Ismanto, Sri Wiedarti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Bawang Merah Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI Oleh: Ayu Agustini Juhari 1210702007 Tanggal Praktikum : 16 April 2012 Tanggal Pengumpulan : 23 April 2012

Lebih terperinci

DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Hujan asam merupakan salah satu indikator terjadinya pencemaran udara. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang masuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu mengenai pencemaran lingkungan terutama udara masih hangat diperbincangkan oleh masyrakat dan komunitas pecinta lingkungan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA Pengelolaan lingkungan diperlukan agar lingkungan dapat terus menyediakan kondisi dan sumber daya yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Lingkungan abiotis terdiri dari atmosfer,

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu

kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Beiakang Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara

Lebih terperinci

Pengertian Siklus Sulfur

Pengertian Siklus Sulfur PENGERTIAN SIKLUS SULFUR DAN PROSES TERJADINYA SIKLUS SULFUR Pengertian Siklus Sulfur Sulfur merupakan perubahan sulfur dari hidrogen sulfida menjadi sulfur diokasida lalu menjadi sulfat dan kembali menjadi

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokan tanaman Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap sampel daun untuk mengetahui ukuran stomata/mulut daun, dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman penghasil kayu berkualitas tinggi dari familli Fabaceae, kayunya tergolong keras dan berat, tinggi mencapai

Lebih terperinci

MIKORIZA pada Swietenia macrophylla KELOMPOK 5

MIKORIZA pada Swietenia macrophylla KELOMPOK 5 MIKORIZA pada Swietenia macrophylla KELOMPOK 5 Nama Kelompok Rizky Ratna Sari Rika Dhietya Putri Ahmad Marzuki Fiki Rahmah Fadlilah Eka Novi Octavianti Bidayatul Afifah Yasir Arafat . Swietenia macrophylla

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1 1. Makhluk hidup yang dapat berfotosintesis adalah makhluk hidup... Autotrof Heterotrof Parasit Saprofit Kunci Jawaban : A Makhluk hidup autotrof

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara yang cukup banyak. Sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alternatif sebagai pemanfaatan

Lebih terperinci

1. Pengertian Perubahan Materi

1. Pengertian Perubahan Materi 1. Pengertian Perubahan Materi Pada kehidupan sehari-hari kamu selalu melihat peristiwa perubahan materi, baik secara alami maupun dengan disengaja. Peristiwa perubahan materi secara alami, misalnya peristiwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat dimana terjadi perubahan cuaca dan iklim lingkungan yang mempengaruhi suhu bumi dan berbagai pengaruh

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan. Materi # T a u f i q u r R a c h m a n

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan. Materi # T a u f i q u r R a c h m a n Materi #4 Bahasan 2 Penipisan Ozon (Ozone Depletion). Pemanasan global dan Perubahan Iklim Global. Hujan Asam. Penyebaran Kehidupan (Biological Magnification). Dampak manusia pada Air, Udara, dan Perikanan.

Lebih terperinci

berbagai cara. Pencemaran udara terutama datang dari kendaraan bermotor, industri,

berbagai cara. Pencemaran udara terutama datang dari kendaraan bermotor, industri, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah campuran gas yang merupakan lapisan tipis yang meliputi bumi dan merupakan gas yang tidak kelihatan, tidak berasa dan tidak berbau. Pencemaran udara datang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Bahasan 2 Penipisan Ozon (Ozone Depletion). Pemanasan global dan Perubahan Iklim Global. Hujan Asam. Penyebaran Kehidupan (Biological Magnification). Dampak manusia pada Air, Udara, dan Perikanan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gas nitrogen dan oksigen serta gas lain dalam jumlah yang sangat sedikit. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. gas nitrogen dan oksigen serta gas lain dalam jumlah yang sangat sedikit. Diantara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan sumber daya yang penting dalam kehidupan, dengan demikian kualitasnya harus dijaga. Udara yang kita hirup, sekitar 99% terdiri dari gas nitrogen dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim.

TINJAUAN PUSTAKA. antara cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim. 19 TINJAUAN PUSTAKA Botani tanaman Bawang merah merupakan tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi antara 15-50 cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim. Perakarannya berupa akar serabut yang tidak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saninten (Castanopsis argentea Blume A.DC) Sifat Botani Pohon saninten memiliki tinggi hingga 35 40 m, kulit batang pohon berwarna hitam, kasar dan pecah-pecah dengan permukaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi, serta meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor dan jasa angkutan umum sebagai sarana transportasi,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 2 lokasi penelitian yang digunakan yaitu Harapan dan Inalahi yang terbagi menjadi 4 plot pengamatan terdapat 4 jenis tanaman

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA)

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) RAHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman TINJAUAN PUSTAKA Mikroorganisme Endofit Endofit merupakan asosiasi antara mikroorganisme dengan jaringan tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman inang bervariasi mulai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

Company LOGO ILMU TANAH. Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc

Company LOGO ILMU TANAH. Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Company LOGO ILMU TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Topik: Konsepsi Tanah Isi: 13 23 3 4 Pendahuluan Pengertian Tanah Susunan Tanah Fungsi Tanah 1. PENDAHULUAN Gambar 1 Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstan meningkat sebesar 5,64 % (BPS, 2012). Perkembangan pada suatu wilayah

BAB I PENDAHULUAN. konstan meningkat sebesar 5,64 % (BPS, 2012). Perkembangan pada suatu wilayah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan salah satu daerah tujuan wisata, budaya, dan pendidikan. Hal ini menjadikan perkembangan kota ini menjadi pesat, salah satunya ditunjukkan dengan

Lebih terperinci