BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN"

Transkripsi

1 BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan hampir semua hal yang menyangkut tingkah laku manusia ditentukan oleh budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa antara manusia dan budaya tidak dapat dipisahkan. Dalam berbudaya itu manusia tidak sendiri tetapi bersama-sama dengan orang lain, tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan begitu pula tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Kebudayaan merupakan seluruh hasil kreativitas manusia yang sangat kompleks. A. Kebudayaan Secara etimologis istilah kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta budddhayah merupakan bentuk jamak dari kata budhi (akal) artinya bahwa kebudayaan berarti hasil karya akal budi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 1 Menurut E.B. Tylorkebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota komunitas. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganic, karena kebudayaan yang berturun temurun 1 Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya.(Salatiga: Widya Sari Press, 2005), 10 11

2 dari generasi ke generasi tetap hidup meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan karena kematian dan kelahiran. 2 Sementara itu, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan adalah budi daya manusia dalam hidup bermasyarakat. 3 Dalam Kebudayaan terdapat unsur-unsur kebudayaan seperti yang dikatakan oleh Tri Widiarto dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropologi Budaya 4 dalam hal ini memiliki setiap unsur memiliki hubungan satu dengan yang lain. Di situ dijelaskan tiga unsur : 1) Cipta, yakni kemampuan akal pikiran yang menimbulkan pengetahuan dan teknologi. Manusia selalu memiliki kenginginan untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan kehidupan. Dengan akal, pikiran dan nalar (ratio) manusia selalu mencari, menyelidiki dan menemukan sesuatu yang baru, serta mampu menciptakan karya-karya besar; 2) Rasa, dengan panca inderanya menusia mengembangkan rasa keindahan atau seketika dan melahirkan karya-karya kesenian; 3) Karsa atau kehendak, dengan ini manusia selalu menghendaki untuk menyempurnakan hidupnya, merindukan kemuliaan hidup, mencari kesusilaan, budi pekerti luhur dan selalu mencari perlindungan dari sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. 2 Di kutip oleh Soerjono Soekanto dalam Sosiologi Suatu Pengantar,. (Jakarta PT. Raja Gravindo persada, cet 23, 1996), Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya. (Salatiga: Wisdya Sari Press, 2005), 12 4 Ibid., 12 12

3 B. Mayarakat Istilah masyarakat berasal dari kata musyarak yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society yang artinya sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas. 5 Dengan mendasarkan pada pandangan Comte yang melihat masyarakat sebagai suatu keseluruan organik yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling bergantung maka Durkheim memfokuskan pada solidaritas dan integrasi masyarakat sebagai permasalahan substansial karyanya. Tentunya hal ini sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh kondisi pada masa itu, saat terjadinya revolusi khususnya di Perancis yang menimbulkan perubahan tatanan sosial dan munculnya efek-efek negatif industrialisasi terhadap masyarakat. Pada masa itu pemikiran-pemikiran tentang hubungan antara individu dengan masyarakat masih menjadi bahan pemikiran. Namun Durkheim memiliki perspektif yang berbeda dengan pemikir-pemikir lain seperti Hobbes dan Spencer. Para pemikir sebelumnya melihat bahwa masyarakat dibentuk oleh individuindividu yang kemudian dengan berbagai alasan tertentu membentuk jalinan masyarakat. Durkheim memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan 5 Indah F, Pengertian Dan Defenisis Masyarakat Menurut Para Ahli. Cara pedia. carapedia.com/pengertian_definisi_masyarakat_menurut_para_ahli_info488.html. Di akses tanggal 4 agustus

4 pandangan ini.ia melihat bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Masyarakat juga memiliki sejumlah aturan yang membuat kita bergantung padanya. Hal-hal itu adalah fakta sosial yang ada dalam masyarakat seperti hukum-hukkum, norma-norma, nilai-nilai, dan sanksi-sanksi yang diterima apabila anggota masyarakat tidak menjalankan hukum-hukum atau norma-norma yang ada. 6 Dasar pemikiran Durkheim ini dijelaskan dengan apa yang dia sebut dengan fakta sosial. Fakta sosial adalah perbuatan-perbuatan yang ada diluar individu secara terpisah, umum, dan memaksa karena fakta itu tidak dapat terlepas dari individuindividu secara bersama-sama serta memaksakan individu berbuat sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Sesungguhnya individu-individu memiliki hasrat sendirisendiri namun lingkungan sosialnya mempengaruhi sehingga hasrat individu tidak muncul. Proses ini sepenuhnya terjadi melalui sosialisasi yang memungkinkan proses pemaksaan itu terjadi tanpa disadari. Jadi fakta sosial tidak menyatu dengan individu-individu secara utuh tetapi juga tidak bisa lepas dari individuindividu tersebut. Inti dari fakta sosial ini yaitu adanya tindakan yang dilakukan disebabkkan karena adanya pola dalam hubungan sosial itu sendiri. Sehingga Menurut Emile Durkheim, fakta sosial tidak dapat direduksi menjadi fakta individu, karena ia memiliki eksistensi yang independen ditengah-tengah masyarakat. Fakta sosial sesungguhnya suatu kumpulan dari fakta-fakta individu akan tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu realitas yang riil. Masyarakat merupakan realitas sui generis.durkheim menyebut fakta sosial dengan sui 6 Bernard Raho SVD. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. (Jakarta: OBOR, cet ), 42 14

5 generis, yang berarti unik, artinya bahwa masyarakat memiliki karakteristiknya sendiri yang tidak bisa dijumpai dalam realitas lain dalam alam semesta atau tidak dapat dijumpai dalam bentuk yang sama. 7 Dengan demikian fakta sosial akan berlaku umum bagi masyarakat dan bukan mencerminkan satu keinginan individu. Lebih lanjut Durkheim menjelaskan tentang fakta sosial sebagai kesadaran kolektif dan gambaran kolektif. Gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota kelompok. Sedangkan kesadaran kolektif merupakan semua gagasan yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat dan menjadi tujuan-tujuan dan maksud-maksud kolektif sebagai bentuk consensus normative yang mencakup kepercayaankepercayaan keagamaan. 8 Masyarakat secara paling sederhana dipandang oleh Durkheim sebagai kesatuan intregral dari fakta-fakta sosial itu. Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri atau dapat juga disebut dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Masyarakat memiliki kesadaran kolektif yang 7 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 38 8 Daniel Pals, Seven Theories Of Religion(Terj.). (Jogjakarta: IRCiSoD, Edisi baru Cet ),

6 membuahkan nilai-nilai dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang ideal bagi individu. Durkheim pun menjadikan fakta solidaritas sosial sebagai unsur dasar dalam masyarakat. Masyarakat adalah suatu kekuatan yang lebih besar daripada kita. Ia melampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menindas kecendrungan egois kita, dan memenuhi kita dengan energi. Masyarakat, menurut Durkheim, melaksanakan kekuatan-kekuatan tersebut melalui representasirepresentasi. Misalnya didalam Tuhan, Durkheim melihat hanya masyarakat yang diubah rupanya dan diungkapkan secara simbolis. Oleh karena itu masyarakat adalah sumber dari yang sakral. Menurut Durkheim definisi kesadaran kolektif adalah seluruh kepercayaan bersama orang banyak dalam masyarakat yang akan menimbulkan sebuah sistem yang tetap dan memiliki kehidupan sendiri bersifat umum. Durkheim memandang kesadaran kolektif tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan melalui kepercayaan dan sistem bersama. Durkheim menilai bahwa kesadaran kolektif tidak dapat telepas dari fakta sosial dan Durkheim pun tidak memungkiri kalau kesadaran kolektif dapat terwujud melalui kesadaran-kesadaran individu. Sementara itu, adanya representatif kolektif dikarena, kesadaran kolektif memiliki sesuatu yang luas dan tidak memiliki bentuk yang tetap dan hanya bisa dipelajari dengan melalui fakta sosial material, maka Durkeim pun memilih sesuatu yang lebih spesifik dalam karya-karyanya. Contoh dari representatif kolektif adalah simbol agama, mitos serta cerita-cerita populer. Semua itu adalah cara-cara masyarakat merefleksikan dirinya dan 16

7 mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan pengakuan kolektif. Representasi kolektif tidak dapat ditimbulkan oleh kesadaran-kesadran individu, karena reperesentatif kolektif berhubungan langsung dengan simbol material. C. Agama Menurut Emile Durkheim Kata agama merupakan kata atau istilah yang menjadi sangat penting di dalam kehidupan manusia. Agama diperlukan oleh manusia baik perorangan maupun kelompok dari generasi ke generasi. 9 Seringkali pengertian agama itu dipahami secara abstrak dan tidak riil karena merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang misterius. Pengertian agama seperti ini merupakan pengertian umum, dimana agama sebagai sesuatu yang berhubungan dengan yang misterius dan tidak bisa dipahami manusia karena keterbatasan intelektual. Emile Durkheim dalam penelitian terhadap kehidupan kepercayaan masyarakat Aboriginyang ada di pedalaman Australia, melihat bahwa pemahaman ide-ide tentang agama sebagai suatu yang misteri tidak didapat dalam masyarakat primitif, karena bagi mereka ide-ide tersebut adalah sesuatu yang bersifat sederhana, tidak rumit dan bukanlah suatu yang irasional. Ide-ide yang dianggap misteri tersebut justru merupakan cara terbaik untuk mengetahui dan memahami apa yang ada disekitar. 10 Dengan demikian dapat disimpulkan secara 9 K. Sukardi, Agama-Agama Yang Berkembang Di Dunia Dan Pemeluknya. (Bandung: Angkasa Bandung, 1993), Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003),

8 keseluruhan bahwa masyarakat adalah sosok yang membentuk agama itu sendiri, dimana setiap individu yang memilki kebiasan yang sama akan disatukan melalui kepercayaan dan ritus. Masyarakat merupakan sesuatu yang mengikat setiap individu dalam aturan yang kemudian menjadikan masyarakat sebagai Tuhan yang juga harus disembah dan dihormati oleh setiap individu sebagaimana setiap individu menghormati prinsip-prinsip totem. Menurut Durkheim, ide yang muncul dalam benak manusia tentang hal yang misterius akan melahirkan konsep tentang yang supernatural. Namun pemahaman tentang ide yang supernatural tidak hanya didapat melalui fenomenafenomena alam yang terlihat tidak natural. Menurutnya, ide mengenai yang misteruis merupakan ide yang diciptakan atau diolah oleh manusia itu sendiri sebagaimana yang misterius mempengaruhi manusia. Sesuatu yang supernatural seringkali dipahami oleh masyarakat umum sebagai sesuatu yang agung atau sebagai Tuhan, tetapi Durkheim sendiri lebih suka menggunakan istilah sesuatu yang spiritual (spiritual being). Sesuatu yang spiritual itu mesti dipahami sebagai subjek yang berkesadaran yang memiliki kemampuan melebihi manusia. Sebab Durkheim sendiri mengatakan bahwa satu-satunya hal yang dapat menghubungkan kita dengan yang spiritual itu hanyalah apa yang dilekatkan manusia padanya. Sesuatu yang spiritual tadi adalah sesuatu yang berkesadaran dan kita dapat mempengaruhinya sebagaimana kita dapat mempengaruhi kesadaran secara umum dengan menggunkan sarana-sarana psikologi, dengan berusaha meyakinkan dan membangkitkan kata-kata (matra dan doa) atau dengan sesaji dan kurban-kurban. Dan karena objek agama mengatur hubungan-hubungan 18

9 kita dengan sesuatu yang khas ini, maka agama hanya bisa ada jika doa, kurban, ritus-ritus tolak bala dan sejenisnya. 11 Lebih lanjut, Durkheim melihat bahwa agama juga tidak bisa dipisahkan dari ide tentang komunitas agama karena komunitas agama membentuk satu komunitas moral yang memiliki keyakinan yang sama dan yang terdiri dari para pengikut, baik orang awam, pemimpin agama atau pemuka agama. 12 Lebih jelasnya Durkheim mendefenisikan agama sebagai kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral yakni hal-hal yang terpisah dan dilarang yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut komunitas agama. Untuk menunjukan bahwa ide agama tidak dapat dipisahkan dari ide gereja, mau tidak mau agama harus dikonsepsikan sebagai hal yang benar-benar kolektif. 13 Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciousness (kesadaran kolektif) sekalipun selalu ada perwujudaanperwujudan lainnya.ia menyatakan bahwa Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat) dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia. 11 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), DhavamonyMariasusai. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: Kanisius), Emil durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.) (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 80 19

10 Sehingga ia berkesimpulan bahwa agama merupakan lambang kolektif atau collective representation daripada masyarakat dalam bentuknya yang ideal. Dalam hal ini Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu kepercayaan dan ritus atau upacara-upacara.keyakinan adalah pikiran dan ritus adalah tindakan. 14 Pandangan inipula yang nampak dalam pemikiran Durkheim bahwa agama berasal dari masyarakat itu sendiri.masyarakatlah yang secara kolektif mengkonstruksikan hal-hal yang mereka anggap suci (sakral) dan yang mereka anggap duniawiah. Anggapannya tersebut didukung dari hasil penelitian yang ia lakukan terhadap masyarakat Aborijin di pedalaman Australia. Masyarakat tersebut secara kolektif menganggap bahwa sebuah benda yang dinamakan Totem itu sebagai benda yang suci dan diangap sebagai Tuhan sehingga mereka tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang berlaku karena mereka merasa diawasi oleh Totem tersebut. Totem yang mereka anggap suci tersebut tidak lain adalah sebuah simbol belaka yaitu simbol dari Tuhan yang mereka konstruksikan sendiri. Durkheim mengatakan ada dua hal paling pokok dalam agama, yaitu apa yang disebut sebagai kepercayaan dan apa yang disebut sebagai ritus atau upacara-upacara, dan kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Kepercayaan agama merupakan kepercayaan kepada hal-hal yang dianggap sakral, sehingga 14 Hotman M. Siahaan. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi.(Jakarta: Penerbit Erlangga. 1986),

11 orang bertingkah laku tertentu terhadap hal-hal yang dilakukan dalam hubungannya dengan hal-hal tersebut. Agama dianggap sebagai sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif diantara masyarakat yang diwujudkan melalui upacara-upacara atau ritus-ritusnya. Upacara-upacara keagamann tersebut dianggap dapat memperkuat kesadaran kolektif diantara para pemeluknya dan setelah selesai melakukan upacara keagamann tersebut, kesadaran kolektif itu dibawa dalam kehidupannya seharihari dan lama kelamaan akan luntur dan akan diperkuat lagi dengan mengikuti upacara keagamaan lagi. Dalam defenisi Durkeim tentang agama jelas menunjukan bahwa perhatian agama adalah tentang hal-hal yang sakral.dan disebutkan komunitas agama karena agama merupakan suatu komunitas yang melibatkan kepentingankepentingan besar dan kesejahteraan seluruh kelompok umat.defenisi ini juga mengingatkan bahwa yang profan itu tidak selalu jahat atau buruk, melainkan menunjukan ruang lingkup yang lebih kecil dan pribadi. Bertolak dari pemikiran Durkheim mengenai agama, maka dapat dilihat bahwa agama memiliki hubungan dengan komunitasnya. Agama tidak lain daripada kekuatan kolektif masyarakat yang berada di atas individu-individu. Kekuatan ini sungguh ada dan kekuatan-kekuatan itu adalah masyarakat.meskipun demikian agama bukan hanya merupakan sistem kepercayaan atau konsep-konsep, melainkan juga sistem tindakan karena agama melibatkan ritus-ritus. Dengan demikian hubungan agama dengan masyarakatnya nampak di dalam ritual. 21

12 D. Ritual Emile Durkehim dalam bukunya yang berjudul The Elemetary Forms The Religius Life menjelaskan bahwa ritual merupakan aturan tentang perilaku yang menentukan bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral. 15 Tingkah laku manusia dan sistem upacara dalam kehidupan seharihari dapat saja mempengaruhi perkembangan keyakinan dan ajaran, karena apa yang telah dilakukan berulang-ulang dan terus menerus dan itu akan menyebabkan manusia yang melaksanakannya sebagai sesuatu yang memang sebaliknya demikian. Dalam kehidupan keagamaan terdapat simbol-simbol sakral.simbol sakral tersebut membawa manusia pada pelaksanaan ritus, karena di dalam ritus itulah tingkah laku manusia dijadikan sakral. Melalui ritus-ritus tertentu yang didalamnya terdapat suasana hati dan motivasi yang apabila dipertemukan akan membentuk kesadaran spiritual dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritualdilakukan untuk mempersatukan individu dalam kegiatan bersama dan satu tujuan bersama dengan memperkuat kepercayaan, perasaan dan komitmen moral terhadap kehidupan kelompok. Durkheim menghubungkan ritus dengan kesadaran kolektif, bahwa kesadaran kolektif itu merupakan kebutuhan asasi dalam diri setiap manusia 15 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), 72 22

13 sehingga perlu diaktifkan kembali dengan upacara-uparaca religius yang dianggap sakral. Perlu dikemukakan bahwa, sistem ritual keagamaan biasanya relatif tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya bisa berubah. Kalau diamati dalam pelaksanaanya, ternyata biasanya melibatkan banyak warga masyarakat yang menganut agama yang sama, sehingga mereka bersama-sama mempunyai fungsi sosial yang sama pula yaitu untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk agama itu dituntut untuk menjalankan kewajiban mereka melakukan upacara agamanya dengan sungguh-sungguh, namun demikian ada saja anggota yang melakukan tuntutan itu dengan tidak serius. Ritual memang tidak dapat dilepas pisahkan dari agama.agama merupakan lambang representasi kolektif dalam bentuknya yang ideal. Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciousness tersebut semakin lemah kembali. Jadi ritual-ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif di antara masyarakat, atau dengan kata lain ritual agama merupakan perintah atau tuntunanbagi manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhannya. 23

14 Dari sini, terjawab sudah arti penting ritual-ritual keagamaan dari agamaagama yang pada saat ini masih ada. Mereka dapat memberikan arti penting suatu masyarakat dalam diri kita sekaligus memberikan kepada kita perasaan yang transenden, yang tidak terjamah, yang tidak tercapai dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat individual. Ini juga menjelaskan mengapa pemuka-pemuka agama dan kalangan-kalangan beragama yang taat sangatlah dijunjung tinggi oleh masyarakat. Karena mereka sudah mengorbankan diri mereka untuk kepentingan masyarakat. Ia menjadi contoh bagi masyarakat untuk meninggalkan Yang Profan karena Yang sakral berada di kepentingan masyarakat. Pandangan mengenai ritus juga dikemukakan oleh Mircea Eliade.Eliade mendefenisikan ritus sebagai sarana bagi manusia religius untuk bisa beralih dari waktu profan ke waktu kudus (sakral) yang transenden terhadap kondisi manusia, dimana manusia meniru tindakan kudus yang mengatasi kondisi manusiawinya dengan keluar dari waktu kronologis dan masuk ke dalam waktu awal mula yang kudus yang menjadi pusat dunia. 16 Pada dasarnya dalam makna religiusnya ritual merupakan gambaran prototype yang suci, model-model teladan, arketipe primordial; sebagaimana dikatakan ritual merupakan pergulatan tingkah laku dan tindakan makhluk ilahi atau leluhur mistis. 17 Pendefenisian yang senada juga dikemukakan oleh J. Goody dalam fenomenologi Agama mendefenisikan ritual sebagai suatu kategori adat perilaku yang dibakukan, dimana hubungan antara 16 Hary Susanto, Mitos : Menurut Pemikiran Mircea Eliade. (Jogjakarta: Kanisius, 1987), Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995),

15 sarana-sarana dengan tujuan yang bersifat intrinsik, dengan kata lainsifatnya entah rasional atau nonrasional. 18 Dalam pendefenisian yang berbeda, Susana Langer dalam Dhavamony mengemukakan bahwa ritual merupakan ungkapan dari yang lebih bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbolsimbol yang diobjekan. Simbol-simbol tersebut mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari pada pemuja mengikuti modelnya masing-masing. 19 Melalui pengobjekan terhadap simbol-simbol tersebut terdapat kepentingan untuk melanjutkan eksistensi individu dan kolektifitas dalam keagamaan. Berbicara mengenai eksistensi ritus dalam realitas keagamaan suatu masyarakat, Geertz mengemukakan bahwa dalam ritus, tingkahlaku yang dikeramatkan, kepercayaan bahwa konsep-konsep religius dibenarkan dan kepercayaan bahwa tujuan-tujuan religius terbukti agak berhasil. Di dalam semacam bentuk seremonial tertentulah-sekalipun bentuk itu hampir tidak lebih daripada resitasi sebuah mitos, konsultasi sebuah ramalan, atau dekorasi sebuah makam, suasana-suasana sebuah hati atau motivasi-motivasi yang timbul oleh simbol-simbol sakral dalam diri manusia dan konsep-konsep umum tentang tata 18 Ibid., Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995),

16 eksistensi yang di rumuskan simbol-simbol itu bagi manusia bertemu dan saling memperkuat satu sama lain. 20 Bertolak dari pemikiran tokoh-tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa; 1), ritus merupakan sarana bagi manusia untuk berkomunikasi dengan hakekat yang tertinggi dalam penggunaan simbol-simbol. 2), ritus mengikat klanklan menjadi satu. 3), ritus dalam pelaksanaannya secara kolektif memperbaharui rasa solidaritas pada mereka. Tetapi ketika anggota-anggota klan terpisah, rasa solidaritas mulai menurun dan sewaktu-waktu harus dirangsang lagi dengan berkumpul dan mengulangi upacara dimana kelompok tersebut saling memperkuat. Selain itu, ritual dapat dibedakan menjadi empat macam; Pertama, tindakan magi. tindakan magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis. Kedua, tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini. ketiga, ritual konstituti yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas. Keempat, ritual faktatif yang meningkatkan kekuatan atau pemurnian dan perlindungan, juga meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. 21 Sejalan dengan itu Van Gennep melihat bahwa ritual ini juga di perlukan untuk menetapkan 20 Clifford Geertz, The Interpretation Of Cultures (Terj.). (Jogjakarta: Kanisius, 1992), Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995)

17 keseimbangan baru di dalamhubungan-hubungan yang berubah atau dengan istilahnya yaitu memperoleh penyatuan kembali. 22 Ritual juga memiliki suatu lingkaran dan kalender tersendiri. 23 Lingkaran ritual (ritual circle) mengandung didalamnya tindakan manusia, kemudian bagaimana tindakana itu mengarah dan menunjuk kepada makhluk-makhluk ilahi yang disembah atau yang menjadi alasan dan dasar dari suatu perbuatan ritual. Lingkaran itu adalah lingkaran kosmis yang secara langsung membawa manusia (pelaku ritual) masuk dalam suatu pola hubungan kosmis dengan dunia transenden dimana makhluk ilahi itu berada. 24 Tindakan ritus selalu melibatkan partisipasi manusia baik sebagai individu maupun komunitas. Adapun tujuan dari ritual-ritual (upacara-upacara) itu, adalah : tujuan penerimaan, perlindungan, pemurnian, pemulihan, kesuburan (produktifitas), penjaminan, melestarikan kehendak leluhur (penghormatan), mengontrol pelikau komunitas menurut situasi kehidupan sosial, yang semuanya diarahkan kepada transformasi keadaan dalam manusia atau alam. Kadang-kadang tujuannya untuk menjamin perubahan amat cepat dan menyeluruh pada keadaan akhir yang diinginkan oleh pelaku upacara. Kadangkala juga targetnya adalah suatu aspek hakikat bukan manusia; kadang manusiawi, individu; atau juga suatu kelompok. Perubahan yang dimaksud kadang merupakan suatu perubahan kecil, suatu 22 Ibid., Lorrieane V. Aragon, Fields Of The Lord: Animism, Christian Ministiries, And State Develompment In Indonesia. (Honolulu: Hawai University Press, 2002), Bnd. Dhavamony.,175 27

18 koreksi yang akan memulihkan keseimbangan dan status qou, melestarikan gerakan sistema dalam ikatan-ikatana; kadang menyangkut suatu sistem yang rasikal, tercapainya level keseimbangan baru, atau bahkan kualitas baru dalam organisasi. 25 Secara global ritus dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu : ritual (upacara-upacara) yang bersifat musiman dan bukan musiman. Ritual-ritual musiman terjadi pada acara-acara yang sudah ditentukan, dan kesempatan untuk melaksanakannya selalu merupakan peristiwa dalam siklus lingkaran alam-siang dan malam gerhana, letak planet-planet dan bintang-bintang. Sedangkan ritualritual bukan musiman, dilaksanakan pada saat-saat kritis, mengikuti kalender lingkaran hidup. Sebagaimana dipaparkan Tiev, bahwa ritual-ritual musiaman hampir selalu bercorak komunal dan menyelesaikan secara teratur kebutuhankebutuhan yang berulang dari masyarakat sosial, sementara ritual-ritual (upacaraupacara) bukan musiman mungkin atau bisa jadi tidak bercorak komunal. 26 Pemahaman mengenai ritus sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa ritus sangat penting untuk mempertahankan solidaritas dan hubungan masyarakat. Dengan demikian menurut Durkheim, melalui ritus-ritus atau upacara-upacara tersebut masyarakat memperkuat dan memperbaharui sentimen-sentimen keagamaan mereka serta perasaan ketergantungan mereka pada kekuatan moral dan spiritual yang bersifat eksternal yang sebetulnya tidak 25 Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995) Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995),

19 lain dari masyarakt itu sendiri. 27 Ritus-ritus atau upacara-upacara seperti itu akan menciptakan suasana kegembiraan serta berusaha meyakinkan setiap anggota masyarakat akan pentingnya kelompok dan masyarakat lewat nasihat-nasihat keagamaan. Namun, sering kali ritus juga dilakukan untuk memperoleh sesuatu atau menghindari terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. E. Yang sakral dan Yang Profan Menurut Emile Durkheim dasar dari kepercayaan terhadap agama bukanlah terletak pada kepercayaan terhadap hal-hal yang supernatural seperti Tuhan, karena pada banyak agama tidak ditemukan kepercayaan terhadap Tuhan. Dasar dari agama bukanlah kepercayaan terhadap kekuatan supernatural (pembedaan atas apa yang natural dan supernatural), melainkan konsep yang sakral. Pada masyarakat beragama, terdapat dua konsep yang terpisah, yaitu yang sakral dan yang profan. Hal-hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi profan ia tidak tersentuh dan terjamah dan dihormati. Sementara, yang profan adalahkehidupan sehari-hari yang bersifat biasa saja. 28 Dalam penjelasan Durkheim mengenai agama, ia menjelaskan bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. 27 Bernard Raho SVD. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. (Jakarta: OBOR, cet ), Daniel Pals, Seven Theories Of Religion(Terj.). (Jogjakarta: IRCiSoD, Edisi baru Cet ),

20 Perilaku-perilaku tersebut kemudian disatukan kedalam komunitas masyarakat.yang sakral memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian yang sakral menurut Durkheim berada dalam masyarakat. Sementara yang profan tidak memiliki pengaruh yang kuat, dan hanya merefleksikan kehidupan setiap hari yang dilakukan oleh individu-individu. Untuk menjelaskan yang sakral, Durkheim menganalisis agama totemisme yang dianut oleh suku Aborijin bangsa penduduk asli Australia. Dalam totemisme, kelompok manusia itu mengasosiasikan dirinya dengan salah satu binatang atau tumbuhan sebagai totem. Mereka menganggap semua simbol totem itu sakral, sehingga tidak boleh disentuh atau dimakan. Dari pandangan seperti itulah muncul pandangan mengenai yang sakral dan profan. 29 Berhubungan dengan hal-hal yang dianggap sakral dan profan, maka ide tentang pembagian dunia menjadi dua ranah tersebut pada akhirnya akan melahirkan antagonitas. Manusia menciptakan dua hal ini dengancara menciptakan larangan-larangan agar keduanya tidak saling bersentuhan. Berkaitan erat dengan yang sakral atau suci, maka keadaaan tertentu yang tidak suci dianggap dapat mencemarkan yang suci tersebut. Oleh karena itu untuk 29 Daniel Pals.,

21 menghindari kemungkinan timbulnya pencemaran suatu yang profan terhadap yang sakral, maka manusia memagari keduanya dengan larangan atau tabu-tabu. 30 Untuk menjauhi sentuhan antara keduanya, maka hal-hal yang sakral di isolasikan oleh larangan-larangan, sedangkan hal-hal yang profan adalah tempat larangan itu diterapkan. Untuk mengatur hubungan dengan hal-hal yang sakral, maka manusia menggunakan ritus sebagai sebuah aturan atau tindakan. Hal-hal yang sakral akan menjadi pusat organisasi yang dikelilingi oleh kepercayaan, larangan-larangan, dan tata cara ritus-ritus yang dilakukan oleh masyarakat. 31 Bagi Durkheim yang sakral berada dalam masyarakat, sementara yang profan ada dalam konteks individu. Ia mengemukan konsepiniatas dasar penelitiannya mengenai masyarakat dengan agama totemisme; agama yang dianggap sebagai agama paling tua yang pernah ada dalam sejarah manusia. Pada agama totemisme, simbol-simbol hewan dan tumbuhan dipuja sebagai sesuatu yang dihormati. Simbol hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan tertentu merupakan lambang dari klan-klan tertentu pada suku-suku. Hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan itu suci dan tidak boleh dibunuh, tidak boleh dilukai atau bahkan didekati kecuali dalam perayaan-perayaan tertentu. Kesucian totem adalah mutlak dalam masyarakat itu. Kesuciannya dapat dirasakan oleh tiap-tiap individu, terutama dalam perayaan dan ritual-ritual keagamaan. Pada ritual-ritual dan perayaan-perayaan itu, totem-totem menyusup dan mengatur kesadaran diri 30 Elizabeth K Nottingham, Religion And Society (Terj.). (Jakarta: Rajawali, cet-1, 1985), Emil Durkheim., 71 31

22 manusia. Saat pemujaan berlangsung dimana tarian-tarian, lagu-lagu, manteramantera dan perasaan tenteram dan tenang merasuk ke dalam tiap individu, maka detik itu juga individu kehilangan pribadinya dan masuk ke dalam kerumunan masa yang sakral. Sebuah perasaan melayang-layang yang tidak biasa, yang tidak bisa diungkapkan, tetapi nyata dan bersifat transendental. 32 Menurut Durkheim pemujaan sebagai bagian dari fenomena religius dapat dilihat dari dua sisi, yaitu pemujaan negatif dan pemujaan positif. Pemujaan negatif sangat erat hubungannya dengan larangan-larangan atau tabu, karena ia yang akan menentukan jenis-jenis larangan religius tersebut. Larangan religius termuat dalam ide tentang hal yang sakral dan dia muncul dari respek yang di tuntut oleh objek-objek yang sakral. 33 Ia selanjutnya memperlihatkan bahwa kepercayaan terhadap roh-roh dan dewa-dewi berasal dari kepercayaan akan roh nenek moyang yang sebetulnya merupakan jiwa-jiwa dari nenek moyang. Karena itu, jiwa-jiwa dari nenek moyang tersebut sebetulnya merupakan prinsip-prinsip sosial yang diekspresikan pada individu-individu tertentu.sementara itu, laranganlarangan atau tabu berasal dari rasa hormat terhadap objek-objek yang sakral. Sehingga tujuan dari larangan-larangan atau tabu tersebut adalah untuk mempertahankan rasa hormat tersebut. 34 Dengan demikian dari hal-hal tersebut muncul larangan-larangan dan penyangkalan diri yang di dalamnya juga 32 Ibid., Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003), Raho Bernard SVD. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. (Jakarta: OBOR, cet ), 46 32

23 mengandung pengertian bahwa keteraturan sosial menjadi mungkin apabila individu-individu dalam tingkatan tertentu menyangkal dirinya dan meninggalkan kepentingan-kepentingan dirinya. Fungsi dari larangan religius dalam pemahaman Durkheim adalah untuk memisahkan antara yang sakral dan profan.larangan-larangan tersebut mengusahakan agar keduanya tidak melakukan kontak. Kontak yang dimaksud di sini, misalnya dengan tatapan atau memandang terhadap yang sakral dan suara atau bahasa-bahasa yang digunakan ketika melakukan upacara tidak boleh sampai ke telinga orang-orang yang profan, perlengkapan-perlengkapan untuk ritus juga menjadi suatu yang sacral dan terpisah dari profan. Lebih jauh lagi, tindakan dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari dilarang dilakukan selama kehidupan religius berjalan. 35 Jadi pemujaan negatif dalam hal ini merupkan sesuatu yang terbatas pada sistem larangan dan bersifat menghalangi aktivitas profan. Pemujaan negatif merupakan sarana yang diciptakan oleh masyarakat untuk menandakan dan memisahkan sesuatu yang sakral dan profan, sehingga setiap individu dengan sendirinya mampu membedakan kedua dunia tersebut.dengan adanya pemisahan antara yang sakral dan profan maka setiap individu dapat menjalankan kehidupan religius mereka.pemujaan negatif juga merupakan langkah untuk tiba pada pemujaan positif seperti yang diistilahkan 35 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod, 2003),

24 oleh Durkheim. 36 Dengan demikian maka setiap individu yang terikat dalam satu keyakinan akan memahami sesuatu sebagai yang sakral ketika ada suatu larangan yang mendorong setiap individu untuk patuh dan tunduk terhadapnya. Implikasi dari keyakinan terhadap totem itu selanjutnya mampu menjelaskan bagaimana masyarakat membangun sistem-sistem kepercayaan tertentu melalui metode asosiasi hubungan-hubungan antar konsep yang berpusat pada Yang sakral. Termasuk didalamnya adalah sistem kepercayaan terhadap roh atau jiwa (yang menjadi dasar dari banyak agama). Roh yang ada dalam diri seseorang merupakan representasi ketergantungan mereka terhadap masyarakat. Roh bertugas untuk memberitahukan kepada individu untuk mematuhi kewajibankewajiban moral terhadap masyarakat. Roh yang menjadi representasi masyarakat dalam diri individu merupakan yang sakral sementara badan yang bertugas memenuhi kebutuhan individu saja adalah yang profan. Selanjutnya hubungan asosiatif dikembangkan lebih lanjut mengenai konsep roh yang bersifat abadi. Dari sinilah penyembahan terhadap Dewa-Dewi dan Tuhan berasal. Rohroh yang mampu mengatur alam pada akhirnya dituntut oleh masyarakat sebagai representasi kepribadian tertentu, yang superior, yang disebut Dewa dan Tuhan. 37 Kepercayaan terhadap totem-totem yang pada akhirnya menjadi Dewa dan Tuhan itu bukanlah hal yang paling penting dalam agama menurut Durkheim. 36 Seno P Harbangan. Antara Yang Saktal dan Yang Profane: Suatu Analisi Sosiologi- Antropologis Tentang Upacara Rambu Solo Dikalangan Masyarakat Toraja (Tesis Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristes Satya Wacan ), Daniel Pals.,

25 Yang paling penting, adalah perasaan sakral yang dihasilkan dari ritual-ritual keagamaan. Pemujaan-pemujaan yang ada dalam ritual-ritual atau perayaanperayaan dalam setiap agama bertujuan bukan untuk totem atau Dewa, melainkan untuk menjaga individu-individu agar tidak melupakan arti penting klan dan memberikan perasan bahwa yang sakral adalah sesuatu yang berbeda dan memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Yang Profan. 38 Dengan demikianmenurut Durkeim,yang sakral beradadalam masyarakat artinya bahwa ikatan paling mendasar yang mempersatukan masyarakat itulah yang disebut sakral. Menurut Mircea Eliade yang sakral adalah sesuatu yang supernatural, luar biasa, amat penting, dan tidak mudah dilupakan. Sementara,yang profan adalah sesuatu yang biasa, bersifat keseharian, hal-hal yang dilakukan sehari-hari secara teratur dan acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting. Yang sakral bersifat abadi, mengandung substansi, dan nyata. Di dalam yang sakral mengandung kesempurnaan dan keteraturan, yang di dalamnya bersemayam roh, nenek moyang, tempat tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara yang profan bersifat mudah hilang, terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu berbuat salah, manusia selalu berubah, dan mengalami kekacauan. 39 Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia profan. Manifestasi dari yang 38 Ibid., Ibid.,

26 sakral ini disebut Eliade sebagai Hierofani. 40 Eliade memperkenalkan konsep hierofani sebagai sebuah konsep di mana yang sakral memanifestasikan dirinya pada diri manusia, pengalaman dari orde realitas lain yang merasuki pengalaman manusia. Ia juga memaparkan ide tentang ruang yang sakral, yang mengambarkan bagaimana satu-satunya ruang yang nyata adalah ruang sakral, yang dikelilingi oleh satu medan tanpa bentuk. Ruang sakral menjadi arah bagi ruang yang lainnya. Ia mendapatkan bahwa manusia mendiami sebuah dunia tengah, antara dunia-luar yang kacau dan dunia-dalam yang sakral, yang diperbaharui lagi oleh praktik dan ritual sakral. Dengan menyucikan satu tempat dalam dunia profan, kosmologi direkapitulasi dan yang sakral menjadi mungkin diakses. Ini menjadi pusat dari dunia primitif. Ritual mengambil tempat dalam ruang sakral ini, dan menjadi satu-satunya cara partisipasi dalam kosmos yang sakral ketika berupaya menghidupkan dan menyegarkan kembali dunia profan. Selanjutnya, Eliade mengaitkan waktu sakral dengan mitologi. Ketika waktu profan adalah linear, waktu sakral kembali pada permulaan manakala segalanya nampak lebih nyata daripada keadaannya sekarang. Lagi-lagi ritual memainkan peran penting. Waktu digerakkan kembali dengan menjadikannya baru kembali sementara ritual-ritual mengikat kembali para penganut kepada keaslian kosmos yang sakral. Dalam buku The sacred and the profane, Eliade mengatakan dengan hadirnya yang sakral, maka setiap benda yang dipakai dapat menjadi sesuatu yang 40 Hierofani berasal dari bahasa yunani, yaitu hieros dan phainein yang berarti penampakan yang sakral 36

27 lain, walaupun benda-benda tersebut tetap nampak seperti benda-benda biasa dan berada di alamnya. Sementara dalam pandangan profan, sebuah batu yang dianggap sakral kelihatannya tidak lebih dari batu biasa, tidak istimewah. Tetapi bagi mereka yang melihat kehadiran yang sakral didalamnya, maka dengan seketika batu akan berubah menjadi suatu kenyataan yang supernatural. 41 Demikian juga halnya dengan tindakan religius, dimana setiap tindakan religius bisa hanya oleh karena fakta sederhana maka tindakan itu bersifat religius.dengan diberi status makna simbolis maka tindakan itu menunjuk kepada makhluk atau nilai-nilai yang supernatural.yang sakral bisa disamakan dengan kekuatan atau suatu realitas. 42 Tetapi bisa terjadi pada waktu yang tertentu sesuatu yang mejadi sarana sakral itu pada waktu yang lain tidak lagi menjadi symbolsimbol sakral dan tempatnya diganti dengan objek yang lain, sekalipun yang sakral sendiri tetap dan tidak pernah berubah. Karena yang sakral itu ialah yang ilahi, abadi dan tidak pernah mati. Yang sakral merupakan suatu realitas yang bukan dari dunia, sehingga sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan yang profan. 43 Bagi Eliade, otoritas yang sakral mengatur semua kehidupan. Misalnya dalam pembangunan perkampungan baru.masyarakat arkhais tidak dengan 41 Seno P Harbangan. Antara Yang Saktal dan Yang Profane: Suatu Analisis Sosiologi- Antropologis Tentang Upacara Rambu Solo Dikalangan Masyarakat Toraja (Tesis Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristes Satya Wacan ), Mircea Eliade, The Sacred And The Profane: The Nature Of Religion. (London: A Harvest/HBJ Book, 1959), Ibid.,

28 sembarangan memilih tempat.satu perkampungan haruslah didirikan pada tempat yang memiliki Hierofani.Sehingga rencana tersebut dapat diwujudkan apabila di tempat yang dipilih tersebut pernah dikunjungi oleh yang sakral, baik itu dalam bentuk dewa atau arwah nenek moyang.dengan demikian suatu ruang atau tempat menjadi sakral karena peristiwa Hierofani. Lebih lanjut Eliade mengatakan bahwa di dalam masyarakat arkhais, realitas yang paling utama adalah yang sakral. Dalam melakukan hal-hal yang sifatnya mendasar, seperti menetukan waktu dan tempat menetap, mereka akan selalu menyerahkan pilihannya kepada yang sakral. 44 Keinginan manusia untuk selalu dekat dengan yang sakral itulah menyebabkan Eliade, menyebutkan manusia seperti itu sebagai manusia religius. Eliade juga mengatakan bahwa manusia nonreligius sebetulnya juga berasal dari manusia religius. Ia merupakan karya manusia religius dan dibentuk mulai dari sejak para leluhur yang merupakan hasil proses desakralisasi. Manusia profan merupakan hasil dari desakralisai eksistensi manusia. 45 Dari sini terlihat sebenarnya perbedaan konsep yang sakral antara Durkheim dan Eliade. Sementara Durkheim selalu mengunakan pendekatan sosial kemasyarakatan yang non-supernatural dalam menentukan apa yang sakral itu, Eliade berpendapat sebaliknya. Baginya, kekuatan supernatural adalah inti dari yang sakral itu. Pemikiran Eliade ini bukanlah bersumber sepenuhnya dari pemikiran Durkheim meski menggunakan istilah-istilah yang sama, melainkan 44 Daniel Pals., Seno P Harbangan., 44 38

29 bersumber dari seorang teolog yang pernah menjadi pembimbingnya, yaitu Rudolf Otto yang mengartikan perjumpaan dengan yang sakral (The Holy) sebagai mysterium (hal yang misterius). Baik itu mysterium fascinosum (misterius yang mengagumkan) atau mysterium tremendum (misterius yang menakutkan), keduanya merupakan perjumpaan dengan yang sakral. 46 Perjumpaan yang sakral ini memberikan perasaan yang nyata, agung, tinggi, dan menakjubkan. Perasaan ini tidak sama dengan perasaan-perasaan lainnya yang bersifat duniawi. Pengalaman tentang yang sakral terjadi apabila orang menjumpai sesuatu yang benar-benar luar biasa dan dasyat, terpikat oleh suatu yang sama sekali lain, sesuatu yang misterius, menawan, berkuasa dan indah, sesuatu yang menakutkan tetapi sekaligus menawan. Ketika manusia mengalami pengalaman yang sakral itu, manusia selalu menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa.dalam pengalaman yang mengesankan dan menggetarkan ini, terletak emosional dari semua manusia yang kita sebut agama.perhatian agama adalah terhadap yang supernatural, yang jelas dan sederhana yang berpusat pada yang sakral. Dengan demikian agama menurut Eliade (lebih dekat dengan Tylor dan Frazer) pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan pada wilayah dari wujud yang supernatural. 47 Kesakralan adalah keseluruhan realitas yang dahsyat dan abadi, sehingga manusia ingin berada dekat dengan kekuatan itu. Eliade mengatakan bahwa dalam perjumpaan dengan yang sakral, seseorang merasa disentuh oleh sesuatu yang nir- 46 Daniel Pals., Ibid.,

30 duniawi. 48 Segala konsep-konsep yang berada dalam ruang lingkup perjumpaan dengan yang nir-duniawi dapat dikatakan sebagai yang sakral, dan ini tidak berarti harus selalu dengan Tuhan yang bersifat personal. Dengan kepercayaan terhadap kekuatan yang agung dan nir-duniawi yang nyata itu,adalah mudah menjelaskan bagaimana kepercayaan yang begitu kuatnya pada akhirnya membentuk sistemsistem tertentu. Yang sakral mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia. Sehingga bagi Eliade yang sakral itu adalah sesuatu yang memiliki kekuatan supernatural, yang tertinggi, ada pada diri sendiri dan bukan produk masyarakat. Pandangan di atas tentu tidak terlepas dari pandangan terhadap leluhur. Fenomena kepercayaan terhadap roh leluhur merupakan gelaja umum yang ditemukan pada kalangan masyarakat primitif dan juga ada pada berbagai kelas masyarakat dan tingkat pendidikan. Peran leluhur sanngat penting dalm mempengaruhi mereka yang masih hidup, misalnya supaya leluhur itu tidak marah dan mendatangkan malapetaka maka setiap ketentuan harus di ikuti. Kepercayaan terhadap leluhur biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan sesuatu bentuk komunikasi yang baik. Oleh karena itu pemahaman masyarakat yang mengakui bahwa kedudukan leluhur dalam upacara adat merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting dalam menangkal kejahatan dan menjamin kesejahteraan.dengan demikian masyarakat mengalami secara langsung impresi-impresi keagamaan yang menghubungkan mereka dengan leluhur. Dalam pengalaman itu, leluhur diyakini memiliki kuasa tertentu dan 48 Ibid.,

31 fungsi menjaga dan memelihara komunitas masyarakat itu dan bahkan mereka merasakan bahwa leluhur itu begitu dekat. Berkaitan dengan penyembahan terhadap para lelulur, Dhavamony 49 melihat ada dua bentuk kepercayaan dan praktek yang berkenan dengan para leluhur yakni berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas dan orang-orang yang sudah meninggal dianggap sebagai makhluk-makhluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Sementara itu Paul Radin menggunakan istilah antropologis untuk menjelaskan pemujaan terhadap para leluhur adalah penyamaan leluhur, baik secara langsung ataupun tidak langsung, atau dari orang-orang yang menggantikan kedudukan leluhur dengan roh dan dewa, serta pemindahan kepada mereka khususnya tindakan dan sikap religius yang biasanya diasosiasikan dengan pemujaan roh dan dewa. 50 Sedangkan menurut Richard, leluhur lebih superior dari manusia yang hidup, akan tetapi kedudukan mereka tidak sederajat dengan Allah, peran mereka adalah sebagai perantara yakni menolong Allah menyampaikan kehendak manusia sekaligus menolong manusia menyampaikan masalah-masalah kepada Allah. 51 Sementara itu Durkheim dalam teorinya tentang pemujaan dengan mendasarkan pada kehidupan atau dunia yang sakral karena pemujaan itu sendiri tidak akan lepas dari segala sesuatu yang dianggap sakral. 49 Davamnony., Paul radin dalam MariasuasiDhavamony. Fenomenologi Agama. (Jogjakarta: kanisius, 1995), Suh Sung Min, Injil Dan Penyembahan Nenek Moyang. (Jogyakarta:Media Pressindo 2001), 24 41

32 Hal ini juga terlihat dalam konteks kehidupan masyarakat Mepa yang mengandaikan bahwa walaupun leluhur itu sudah meninggal namun, jiwanya masih tetap hidup. Oleh karena itu maka leluhur patut diberi penghormatan. Leluhur diyakni oleh masyarakat adat desa Mepa sebagai sosok yang dapat menjaga dan melindungi mereka ketika mereka melakukan upacara-upacar adat. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa pola karakteristik masyarakat adat merupakan cerminan menarik untuk dipelajari. Durkheim dan Eliade dalam penelitiannya memberikan gambaran hampir sama dengan masyarakat adat desa Mepa. 42

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS BAB II KAJIAN TEORITIS Pada BAB ini akan menjelaskan mengenai pengenalan totem yang dipakai berdasarkan pemahaman dari Emile Durkheim dan Mircea Eliade. Pemahaman mereka mengenai totem beserta dengan fungsinya,

Lebih terperinci

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS 21 BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS A. Profan dan Sakral 1. Pengertian Profan dan Sakral Profan adalah sesuatu yang biasa, yang bersifat umum dan dianggap tidak penting. Sedangakan sakral adalah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH 4.1.Ritual Masyarakat Trunyan Dalam kehidupan suatu masyarakat yang berbudaya menghadirkan suatu tradisi-tradisi

Lebih terperinci

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut.

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut. BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT Bab ini merupakan pembahasan atas kerangka teoritis yang dapat menjadi referensi berpikir dalam melihat masalah penelitian yang dilakukan sekaligus menjadi

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS BAB II PENDEKATAN TEORITIS Beberapa teori akan dibahas dalam Bab ini sebagai bagian yang diangkat dari beberapa literatur yang mengulas pemahaman masyarakat tentang kebudayaan dan pendapat para ahli atau

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu Dari hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan dalam Bab III sebagai Pendekatan Lapangan, diketahui bahwa orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya.

BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya. BAB V ANALISIS A. Sakral dan Profan Pengertian sakral yaitu hal yang lebih dirasakan dari pada yang dilukiskan. Misalnya suatu benda mengandung nilai sakral atau nilai profan, dalam masyarakat terdapat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Permasalahan I.1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki pengalaman dalam kehidupannya yang dihasilkan melalui perjumpaan dengan berbagai peristiwa. Perjumpaan tersebut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS A. PENDAHULUAN Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan analisa yang berkaitan antara Bab II dan Bab III dengan menjawab 1 tujuan

Lebih terperinci

Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM:

Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM: Eksistensi Sunda Wiwitan (Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku Baduy di Jakarta) Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM: 071014025 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN 2.1 Pengertian Ritual Ritual adalah tehnik (cara metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama,

Lebih terperinci

RELIGI. Oleh : Firdaus

RELIGI. Oleh : Firdaus RELIGI Oleh : Firdaus Pertemuan ini akan Membahas : 1. Konsep Religi 2. Komponen sistem Religi 3. Teori Berorintasi Keyakinan Pertanyaan untuk Diskusi Awal: 1. Apa Konsep Religi 2. Apa Komponen Sistem

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM

BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM A. Agama dalam Pendekatan Sosiologi Agama merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Secara garis besar studi agama dalam kajian antropologi dapat dikategorikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu suku bangsa mempunyai berbagai macam kebudayaan, tiap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu suku bangsa mempunyai berbagai macam kebudayaan, tiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam suatu suku bangsa mempunyai berbagai macam kebudayaan, tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL RITUAL KEMATIAN DAN PENGUBURAN JENAZAH. keagamaan dan ritual adalah berkenaan dengan ritus; dan hal ihwal ritus.

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL RITUAL KEMATIAN DAN PENGUBURAN JENAZAH. keagamaan dan ritual adalah berkenaan dengan ritus; dan hal ihwal ritus. BAB II KERANGKA KONSEPTUAL RITUAL KEMATIAN DAN PENGUBURAN JENAZAH 2.1. Ritual Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Ritual adalah tata cara dalam upacara keagamaan dan ritual adalah berkenaan dengan ritus;

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano Menurut Hertz, kematian selalu dipandang sebagai suatu proses peralihan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Kebudayaan berasal dari kata sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak

BAB II KAJIAN TEORI. Kebudayaan berasal dari kata sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Kebudayaan Kebudayaan berasal dari kata sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budhi atau akal. Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang

Lebih terperinci

Ota Rabu Malam. Musik Ritual. Disusun oleh Hanefi

Ota Rabu Malam. Musik Ritual. Disusun oleh Hanefi Ota Rabu Malam Musik Ritual Disusun oleh Hanefi MUSIK RITUAL Disusun oleh Hanefi Sistem Kepercayaan Pendekatan Sosiologis Tokoh: Emile Durkheim (1858-19170 Bentuk agama yang paling elementer dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sebelum agama-agama besar (dunia), seperti Agama Islam, katolik, Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, ternyata di Indonesia telah terdapat agama suku atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia senantiasa mengalami suatu perubahan-perubahan pada kehidupan. tak terbatas (Muhammad Basrowi dan Soenyono, 2004: 193).

TINJAUAN PUSTAKA. manusia senantiasa mengalami suatu perubahan-perubahan pada kehidupan. tak terbatas (Muhammad Basrowi dan Soenyono, 2004: 193). 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Perubahan Perubahan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti, hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam hal ini perubahan didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara

Lebih terperinci

BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN. A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa

BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN. A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa Berdasarkan hasil penelitian pada bab III, diketahui bahwa agama Kristen masuk di desa Mepa sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, masyarakat adalah pencipta sekaligus pendukung kebudayaan. Dengan demikian tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai alam dan mengolahnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan

Lebih terperinci

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya, karena itu manusia tidak dapat lepas dari budaya yang dianutnya. Suatu budaya memiliki nilai

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku bangsa Sabu atau yang biasa disapa Do Hawu (orang Sabu), adalah sekelompok masyarakat yang meyakini diri mereka berasal dari satu leluhur bernama Kika Ga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberagaman suku bangsa di Indonesia telah melahirkan ragamnya adat - istiadat dan kepercayaan pada setiap suku bangsa. Tentunya dengan adanya adatistiadat tersebut,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kajian Teori 1. Definisi Kebudayaan Dalam buku Tri Widiarto (Koentjaraningrat) mendefinisikan etimologi istilah kebudayan atau budaya berasal dari kata

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA 4.1. Pengantar Masyarakat Yalahatan secara administratif merupakan masyarakat dusun di bawah pemerintahan Negeri Tamilouw

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Kebudayaan Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan BAB IV ANALISA DATA Ritual Jumat Agung merupakan ritual yang dilaksanakan pada hari Jumat dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan mempunyai tujuan untuk memperingati hari

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH 41 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH Kerangka Berpikir Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah

Lebih terperinci

BAB IV SAKRAL DAN PROFAN DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT NUFIT HAROA (TUUN EN FIT) TENTANG TABOB

BAB IV SAKRAL DAN PROFAN DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT NUFIT HAROA (TUUN EN FIT) TENTANG TABOB BAB IV SAKRAL DAN PROFAN DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT NUFIT HAROA (TUUN EN FIT) TENTANG TABOB 4.1 Pemisahan Antara Sakral dan Profan Dalam Kehidupan Masyarakat Nufit Haroa (Tuun En Fit) Menurut Durkheim

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV. BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP 4.1. PENDAHULUAN Bertolak dari uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang terdapat dalam Bab I, yang dilanjutkan dengan pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM Melihat kondisi solidaritas dan berdasarkan observasi, serta wawancara dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu yang tidak bisa terungkap secara kasat mata. Untuk mengungkapkan sesuatu kadang tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. [Type text] BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang lampau. Tari

Lebih terperinci

FAKTA SOSIAL DAN STRUKTUR KEPERCAYAAN DALAM PANDANGAN EMILLE DURKHEIM. masyarakat Atoni tentang kuasa dan kepercayaan. Untuk mengenal fakta sosial dan

FAKTA SOSIAL DAN STRUKTUR KEPERCAYAAN DALAM PANDANGAN EMILLE DURKHEIM. masyarakat Atoni tentang kuasa dan kepercayaan. Untuk mengenal fakta sosial dan BAB II FAKTA SOSIAL DAN STRUKTUR KEPERCAYAAN DALAM PANDANGAN EMILLE DURKHEIM Pengkeramatan batu Naetapan adalah satu fakta sosial yang menonjol dalam masyarakat desa Tunua. Naetapan dianggap sebagai tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. Kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan

Lebih terperinci

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA 1. Pendekatan Sosiologi Terhadap Agama. Beberapa cara melihat agama; menurut Soedjito (1977) ada empat cara, yaitu: memahami atau melihat sejarah perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma kebiasaan, kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pepatah Jawa dinyatakan bahwa budaya iku dadi kaca benggalaning

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pepatah Jawa dinyatakan bahwa budaya iku dadi kaca benggalaning BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pepatah Jawa dinyatakan bahwa budaya iku dadi kaca benggalaning bangsa (kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban suatu bangsa). Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Bagi ahli antropologi, religi merupakan satu fenomena budaya. Ia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Bagi ahli antropologi, religi merupakan satu fenomena budaya. Ia merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Bagi ahli antropologi, religi merupakan satu fenomena budaya. Ia merupakan satu ekspresi mengenai apa yang sekelompok manusia pahami, hayati, dan yakini baik

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan bagian yang melingkupi kehidupan manusia. Kebudayaan yang diiringi dengan kemampuan berpikir secara metaforik atau perubahan berpikir dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan daerah lain menunjukan ciri khas dari daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. dengan daerah lain menunjukan ciri khas dari daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki keragaman etnis dan budaya. Keragaman budaya tersebut menjadi kekayaan bangsa Indonesia dan perlu dikembangkan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

Model-model dari mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda tersebut menggambarkan bahwa di dalam mitos terdapat suatu keteraturan tentang

Model-model dari mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda tersebut menggambarkan bahwa di dalam mitos terdapat suatu keteraturan tentang BAB V KESIMPULAN Permasalahan pertama yang berusaha diungkap melalui penelitian ini adalah membuktikan dan sekaligus mempertegas pernyataan Levi-Strauss, yang mengatakan bahwa mitos asal usul orang Sasak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Fenomena kebudayaan dan agama selalu hadir di tengah kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Apalagi bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan suku yang dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksiinteraksi keagamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini BAB V KESIMPULAN Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini yang dimaksud adalah Nufit Haroa yaitu Tuun En Fit yang terdiri dari tujuh ohoi) yang berada di wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Setiap manusia hidup dalam suatu lingkaran sosial budaya tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Setiap manusia hidup dalam suatu lingkaran sosial budaya tertentu. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Setiap manusia hidup dalam suatu lingkaran sosial budaya tertentu. Dimana dalam lingkungan sosial budaya itu senantiasa memberlakukan nilai-nilai sosial budaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya yang menghubungkan dan mengikat anggota masyarakat satu dengan yang lain. Tradisitradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan generasi mudah kita terjebak dalam koptasi budaya luar. Salah kapra dalam memanfaatkan teknologi membuat generasi

Lebih terperinci

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO Oleh: Wahyu Duhito Sari program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa Wahyu_duhito@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore.

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dananjaya (dalam Purwadi 2009:1) menyatakan bahwa kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan Perkawinan Masyarakat Aimoli Masyarakat di kampung Aimoli meyakini bahwa mereka adalah satu keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri

Lebih terperinci

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tabut di Bengkulu semula merupakan ritual yang sakral penuh dengan religius-magis yaitu merupakan suatu perayaan tradisional yang diperingati pada tanggal 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu dapat dikenali dari keanekaragaman budaya, adat, suku, ras, bahasa, maupun agama. Kemajemukan budaya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG EKSISTENSI PROYEK Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan 1 BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh bagaimana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI Setelah penulis memaparkan hasil penelitian dan analisis hasil penelitian, maka skripsi yang penulis beri judul Pewarisan Nilai Adat Pikukuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sungguh telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baik

BAB I PENDAHULUAN. Sungguh telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Dalam Al Quran dalam Surat At Tin Allah berfirman: Sungguh telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

SAKRALITAS ALAM PERSPEKTIF MIRCEA ELIADE DAN RELEVANSINYA BAGI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP SKRIPSI OLEH FRANSISKUS MAXIMILIANUS TAE

SAKRALITAS ALAM PERSPEKTIF MIRCEA ELIADE DAN RELEVANSINYA BAGI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP SKRIPSI OLEH FRANSISKUS MAXIMILIANUS TAE SAKRALITAS ALAM PERSPEKTIF MIRCEA ELIADE DAN RELEVANSINYA BAGI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu fenomena yang menarik pada zaman modern di Indonesia adalah pemahaman dan implementasi tentang nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat kita yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam proses penyebarluasan firman Tuhan, pekabaran Injil selalu berlangsung dalam konteks adat-istiadat dan budaya tertentu, seperti halnya Gereja gereja di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA

Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA Perkembangan Jiwa Agama Pada Usia Dewasa Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA PENDAHULUAN Psikologi Agama pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) disajikan untuk membantu mahasiswa memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan sesuai dengan dinamika peradaban yang terjadi. Misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan sesuai dengan dinamika peradaban yang terjadi. Misalnya, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan dan masyarakat akan selalu berkembang dan akan mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN 2.1 Uraina Tentang Seni Kata seni berasal dari kata "SANI" yang kurang lebih artinya "Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa". Menurut kajian ilmu di eropa

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Papua terkenal dengan pulau yang memiliki banyak suku, baik suku asli Papua maupun suku-suku yang datang dan hidup di Papua. Beberapa suku-suku asli Papua

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) 1, mendapat pengaruh yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) 1, mendapat pengaruh yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) 1, mendapat pengaruh yang cukup besar dari kebudayaan yang dimiliki oleh warga jemaatnya. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan baik secara jasmani maupun rohani dimana kita lahir secara turun-temurun, membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG Manusia memiliki dua sisi dalam kehidupannya, yaitu sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian Agama Agama dapat diartikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Mahakuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian

Lebih terperinci