BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN. A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN. A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa"

Transkripsi

1 BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa Berdasarkan hasil penelitian pada bab III, diketahui bahwa agama Kristen masuk di desa Mepa sekitar tahun Hal ini membuktikan bahwa pada saat agama Kristen belum masuk ke desa Mepa, masyarakat Mepa masih berpegang teguh pada adat istiadat atau agama asli atau kepercayaan asli. Pada saat itu masyarakat masih mempercayai dan menyembah tete nene moyangatau leluhur yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat pada saat itu diatur oleh sejumlah aturan-aturan yang disebut sebagai adat. Adat tersebut dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat, karena bentuk dan nilai-nilai yang dianggap sakral dan berguna bagi masyarakat setempat. Seperti yang dikemukakan oleh E.B. Tylor adat atau kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat isti-adat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota komunitas. Di dalam adat juga terdapat aturan-aturan yang telah digariskan serta diturunkan oleh leluhur, demikian juga yang terjadi dalam kehidupan masyarakat desa Mepa. Salah satu adat istiadat yang menonjol atau yang sangat disakralkan dalam adat Mepa adalah Esmaket. Kehidupan masyarakat Mepa juga tidak terlepas dari berbagai aktifitas yang terbagi dalam dua ranah yaitu aktifitas dalam ranah profan dan ranah sakral. 72

2 Nilai-nilai dalam Esmaket merupakan nilai-nilai yang mengatur kehidupan masyarakat Mepa dalam dua ranah tersebut. Dalam Esmaket terdapat banyak bentuk dan nilai-nilai yang dianggap sakral. Bentuk-bentuk dan nilai-nilai ini tercermin dalam perilaku yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat baik dalam bentuk adat istiadat, kepercayaan maupun sosial kemasyarakatan. Nilainilai Esmaket tersebut masih tetap utuh dan bertahan bahkan telah menjadi darah daging dalam diri setiap individu. Namun seiring dengan perkembangan zaman, tidak jarang orang menganggap Esmaketsebagai penyembahan berhala karena mereka percaya akan keberadaan roh-roh leluhur. Menurut informasi yang didapat dilapangan, apa yang seringkali orang lain pahami tersebut merupakan pemahaman yang salah, karena bagi masyarakat Mepa sendiri, tete nene moyang atau leluhur bukanlah berhala melainkan mereka adalah yang memiliki kuasa yang tertinggi yang mampu menjaga dan melindungi kehidupan manusia. Esmaketsebagai budaya dan kepercayaan masyarakat setempat mengajarkan nilai-nilai yang sampai saat ini tertanam dalam sikap, tindakan bahkan cara berpikir setiap individu. Oleh karena itu, tidak heran apabila nilainilai yang dipercaya masih tetap dijaga dan dipelihara serta dilakukan sampai saat ini. Dikatakan pula bahwa Esmaketmerupakan ritual adat yang penting karena didalamnya terdapat nilai, norma dan lain sebagainya yang benar-benar hidup dan terlembagakan dalam adat sehingga terus berperan sebagai pembentuk maupun turut membentuk perilaku masyarakat.karena itu, masyarakat Mepa maupun masyarakat Buru Selatan secara umum juga melihat Esmaketsebagai sebuah ritual 73

3 yang dipandang sebagai upaya untuk melestarikan dan menjaga budaya orang Buru sendiri. Kebudayaan masyarakat Buru merupakan kebudayaan yang berakar di dalam agama, sehingga bisa dikatakan nilai-nilai Esmakettetap ada dan tertanam dalam diri setiap individu. Hal ini didukung oleh fakta bahwa sebelum masuknya agama Kristen di Buru Selatan, masyarakat Buru Selatan sudah memiliki kepercayaan dan agama sendiri yang disebut agama asli atau kepercayaa asli (agama suku) dibanding dengan agama atau kepercayaan resmi 1 karena ia merupakan warisan tete nene moyangatau leluhur yang menumbuhkan rasa tanggung jawab dan penghormatan yang tinggi dari setiap individu. Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam dua ranah yaitu ranah sakral dan ranah profan. Dengan demikian nampak bahwa ritual Esmaketmerupakan bentuk usaha masyarakat untuk mengatur hubungan antara Manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama bahkan manusia dengan alam. Ritual ini dilakukan masyarakat Mepa pada dasarnya tertuju pada hal-hal yang sakral. Dalam pemahaman Durkheim hal yang dikategorikan sakral diistilahkan dengan sesuatu yang spiritual dimana ia tidak hanya terbatas pada sosok pribadi tertentu melainkan mencakup juga apa yang terdapat di alam semesta. Oleh karena itu satu-satunya hal yang dapat menghubungkan manusia dengan yang spiritual itu hanyalah apa yang dilekatkan manusia padanya. Sesuatu yang spiritual tadi adalah sesuatu yang berkesadaran dan kita dapat mempengaruhinya 1 Agama atau kepercayaan resmi yang disahkan oleh negara 74

4 sebagaimana kita dapat mempengaruhi kesadaran secara umum dengan menggunkan sarana-sarana psikologi,berusaha meyakinkan dan membangkitkannya dengan kata-kata dan simbol-simbol yang digunakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang sakral diciptakan melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat kedalam simbol-simbol yang mengikat para individu pada kelompok.durkheim menyebutkan bahwa ikatan moral itu menjadi ikatan kognitif karena kategori-kategori untuk pemahaman, seperti klasifikasi, waktu, ruang, dan penyebab, juga berasal dari ritual-ritual. Ritual Esmaketsebagai bentuk usaha masyarakat untuk mengekspresikan rasa kagum dan hormat terhadap leluhur tentu saja melibatkan masyarakat secara umum dalam pelaksanaannya.bukan hanya itu saja melainkan dari pelaksanaan Esmaketdan pemahaman masyarakat tentang hal tersebut Pada Bab sebelumnya,dianalisis maka ada nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan dapat berguna bagi masyarakat Mepa. Sistem nilai tersebut dipegang teguh oleh masyarakat dan dijadikan pedoman untuk bertingkah laku.nilai-nilai itu diajarkan dan diwariskan pada generasi muda melalui proses belajar dari media yang dekat dengannya agar selanjutnya dikembangkan dan dilestarikan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam tradisi Esmaketberkembang nilai-nilai yang hidup dan berkembang dimasyarakat yang digunakan sebagai pedoman untuk kehidupan masyarakat setempat. Nilai-nilai tersebut antara lain : a. Nilai kekeluargaan dan kekerabatan 75

5 Kekeluargaan dan kekerabatan ini merupakan salah satu ciri khas dari pelaksanaan Esmaket, karena nilai ini tercermin solidaritas diantara masyarakat.hal ini beralasan karena dalam pelaksanaan ritual adat Esmaket tidak terlepas dari bantuan keluarga, matarumah maupun masyarakat. Sebelum melakukan Esmaket, umumnya diadakan suatu tradisi oleh masyarakat Mepa yaitu kumpul keluarga 2, dimana kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan keluarga maupun masyarakat untuk saling membantu dan menunjang proses acara tersebut. Usaha tolong menolong ini dapat berupa uang maupun bahan yang siap pakai, hal ini mencerminkan bahwa masyarakat mempunyai kesadaran bersama sebagai suatu komunitas sehingga hubungan kekeluargaan ini terus terbina. Selain itu dengan adanya rasa solidaritas yang tinggi sebagai bagian dari masyarakat desa Mepa menuntut adanya tanggung jawab setiap individu untuk terlibat di dalam pelaksanaan upacara tersebut. Sebagai bagian dari masyarakat setempat pelaksanaan ritual ini merupakan cara untuk mengekspresikan rasa kekeluargaan dan wujud tanggung jawab moral sebagai masyarakat Mepa. b. Nilai persekutuan dan relasi antar masyarakat Dalam pelaksanaan Esmaket.Ditampilkan nilai persekutuan dan relasi untuk saling mengasihi.relasi tersebut bukan hanya pada pelaksanaan adat Esmaket, tetapi terus berlanjut dalam kehidupan setiap hari, karena dalam pelaksanaan tersebut, semua orang disatukan dalam 2 Tradisi ini berlaku pada seluruh masyarakat Buru Selatan, ketika masyarakat hendak melakukan salah satu pelaksanaan adat. 76

6 ikatan kekeluargaan dan memiliki tanggung jawab bersama untuk membina hubungan tersebut.akan tetapi, dalam realitas kehidupan masyarakat, nilai ini tidak diterapkan dengan baik, karena itu ada masyarakat yang hidup dalam perselisihan dam pertentangan yang tidak mencerminkan persekutuan dan relasi untuk saling mengasihi. c. Saling berbagi berkat Sikap hidup saling berbagi berkat dalam kehidupan masyarakat Mepa semakin berkembang.hidup saling berbagi berkat tidak hanya dalam bentuk material saja, tetapi juga berada daya atau tenaga dan pemikiran dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Kehidupan yang saling berbagi berkat, masih sangat kuat bertumbuh dalam masyarakat.hingga saat ini bagi masyarakat Mepa kesusahan seseorang merupakan kesusahan bersama dan kebahagian seseorang merupakan kebahagian bersama pula, dan hal ini harus dilestarikan pada setiap generasi. d. Makna hidup gotong royong Semua pekerjaan dalam adat Esmaket dilaksanakan dalam bentuk gotong royong seperti : masak bersama, membuat rumah pelantikan, semua orang perempuan saling membantu untuk mempersiapkan semua jenis makanan Cara hidup gotong royong seperti ini telah membudaya dalam hidup anak-anak negeri sehingga dalam segala bentuk pekerjaan baik dalam keluarga, masyarakat maupun gereja masih mempergunakan cara 77

7 gotong royong. Hal ini merupakan suatu kebiasan yang baik dalam kehidupan masyarakat desa Mepa. Selain nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan Esmaket, ada juga makna adat Esmaket bagi kehidupan mereka, yaitu : e. Sikap saling Menghargai dan menghormati Penghormatan yang tinggi dan keyakinan yang kuat akan adanya keberadaan leluhur yang telah memberikan tradisi bagi mereka tetapi juga leluhur sebagai yang diberi kewenangan untuk menjaga, memberi ketenangan, ketentraman serta kedamaian di desa yang ditempati. Tidak hanya itu leluhur merupakan orang yang dijadikan tempat untuk memohon berkat dan pertolongan. Menghargai juga merupakan satu sikap menghormatiatau mengindahkan orang lain, Sikap saling menghargai dalam kehidupan masyarakat, biasanya lebih terlihat dalam tinggkah laku seharihari.contohnya yang muda menghargai dan menghormati yang tua. Saling menghormati merupakan sikap yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dangan harkat dan martabat yang sama. Dalam kaitan dengan pelaksanaan ritual Esmaket, sikap saling menghargai ini sangat dibutuhkan, karena di dalam masyarakat perbedaan itu pasti ada baik perbedaan usia, agama maupun kedudukan sosial. Maka untuk kelancaran pelaksanaan Esmaketmasyarakat harus mempunyai kesadaran untuk berbagi rasa dan bersatu menciptakan suasana yang harmonis dengan meninggalkan adanya perbedaan diantara mereka. 78

8 f. Sikap tanggung jawab Lancarnya pelaksanaan upacara Esmaket memerlukan kerjasama yang baik antar warga masyarakat.masing-masing warga mempunyai tanggung jawab.tanpa adanya tanggung jawab suatu kegiatan tidak pernah mencapai tujuan yang baik. Nilai tanggung jawab mempengaruhi kehidupan masyarakat karena bertanggung jawab menjadi dasar untuk bertingkahlaku dalam masyarakat, baik sebagai individu maupun komunitas. Nilai-nilai Esmaketini tidak datang atau hadir secara mendadak, tetapi melalui proses yang panjang. Dalam realitas kehidupana masyarakat Mepa, nilainilai Esmakettersebut sebagai suatu keyakinan yang teraktualisasi dalam sistem budaya yang berperan untuk mengatur pergaulan hidup, noram-norma sosial, adat istiadat, kebudayaan dan lainnya. Semua yang berkaitan dengan nilai Esmaketyang berperan dalam kehidupan masyarakat Mepa muncul berdasarkan pengalaman hidup yang dijalani secara bersama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya suatu beban psikis yang dirasakan oleh setiap individu yang kemudian mendorongnya untuk terlibat dalam pelaksanaan Esmaket. Beban psikis tersebut muncul ketika mereka meyakini adanya kuasa tertinggi yang menguasai kehidupan mereka. Terdapat pula larangan-larangan yang harus dipatuhi seseorang yang dipilih tersebut bahkan juga oleh masyarakat desa Mepa berhubungan dengan Esmaket. Larangan-larangan tersebut juga disampaikan dalam rangka membangun hubungan yang baik dengan sesuatu yang sakral. Jika larangan tersebut dilanggar, 79

9 maka mereka meyakini bahwa tete nene moyangatau leluhur sebagai orang yang sakral akan marah dan mendatangkan hukuman bagi manusia yang melanggarnya. Jadi larangan itu merupakan suatu upaya yang diciptakan oleh masyarakat, agar setiap individu secara bersama-sama dapat masuk dalam kehidupan ranah sakral dengan terlibat langsung dalam satu upacara. Pada saat individu terlibat dalam upacara atau ritual, maka larangan yang dipatuhi akan mengikat setiap individu dalam satu keyakinan yang sama yaitu bahwa hal-hal yang sakral harus diisolasi dari hal yang profan. Kehidupan diranah sakral akan membawa setiap individu melupakan kesibukan mereka didunia profan dan untuk beberapa saat berkumpul guna mengekspresikan rasa hormat dan kekaguman mereka terhadap hal-hal yang sakral tersebut. Ketika mereka berkumpul dan ada dalam kebersamaa yang erat, maka ada kekuatan religius dirasakan setiap indivudu dan mempengaruhi psikis mereka, seperti yang dikatakan oleh Durkheim bahwa kekuatan religious tersebut tidak lain melupakan kekuatan yang dibanding secara kolektif. Kekuatan kolektif inilah yang menciptakan ide mengenai hal yang sakral dan mengusahakan agar yang sakral tetap bertahan melalui pemujaan dan tidak tercemar oleh hal-hal yang profan dengan cara membuat atau menciptakan larangan. Jadi segala sesuatu dapat dikatakan sakral apabila ada suatu larangan yang berhubungan erat dengan yang sakral tersebut, guna menjauhkan yang sakral dari yang profan. Dengan adanya kekuatan moral yang tidak lain adalah kekuatan kolektif itu sendiri, maka muncul respek yang besar dalam diri individu yaitu penghormatan terhadap yang sakral dan masyarakat. Penghormatan terhadap hal- 80

10 hal yang bersifat sakral dan penghormatan terhadap masyarakatmerupakan suatu bentuk kekuatan moral yang tidak yang tidak lain adalah kekuatan kolektif yang disalurkan ke dalam diri setiap individu. Pemahaman seperti ini semakin dipertegas ketika secara umum narasumber yang adalah masyarakat desa Mepa berpendapat bahwa ketelibatan mereka dalam ritual Esmaketdikarenakan dua hal, yaitu penghormatan dan keyakinan yang kuat akan keberadaan leluhur yang menjaga kehidupan manusia. Kedua rasa penghormatan terhadap masyarakat yang melaksanan ritual Esmaket. Masyarakat adalah suatu kekuatan yang lebih besar daripada kita. Iamelampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menindas tendensi-tendensi egois kita,dan memenuhi kita dengan energi. Bagi Durkheim, Masyarakat melaksanakan kekuatan-kekuatan tersebut melalui representasi-representasi.sehingga dapat dikatakan Tuhan tidak lebih dari sekedar hasil pengejewantahan wujud Tuhan dan simbolisasinya. 3 Oleh karena itu masyarakat adalah sumber dari yang sakral.dengan demikian dapat dilihat bahwa Hubungan antara yang spiritual atau yang sakral dalam masyarakat sangat erat kaitannya. Bagi Durkheim semua yang berhubungan dengan masyarakat masuk ranah sakral Ketika masyarakat Mepa telah melakukan pemujaan negatif seperti dalam istilah Durkheim, maka setiap individu akan dihentarkan untuk masuk dalam ranah kehidupan sakral. Objek-objek tertentu seperti siri pinang yang diletakan 2012), Daniel Pals, Seven Theories Of Religion (Terj.). (Jogjakarta: IRCiSoD, Edisi baru Cet-2 81

11 dalam baskom merupakan objek yang memperoleh kekuatan kesakralannya, dikarenakan adanya kepercayaan dari setiap individu, oleh karena untuk tetap dipertahankan agar ia tetap memiliki kekuatan sakral. Bertititolak dari pandangan tersebut maka ritual Esmaketwajib dilakukan oleh masyarakat Mepa setiap ada pelantikan adat, Sebab ritus Esmaketini berhubungan dengan masyarakat sehingga dalam ritus Esmaketatau upacara pengangkatan seorang pemimpin masyarakat Mepa disakralkan.samahalnya dalam pemahaman Durkehim, memang ritus atau upacara dilakukan secara periodik bukan hanya dalam rangka mewujudkan aksi nyata dari kepercayaan mereka melainkan untuk tetap menghidupkan dan mempertahankan kepercayaan tersebut,karena itu segala sesuatu yang dianggap sakral tidak akan hilang kesakralannya. Melihat kembali pemahaman Durkheim teorinya pada Bab II mengenai pembagian kehidupan manusia menjadi dua ranah yaitu yang sakral dan profan, maka kita dapat melihat bagaimana pengertian mengenai sesuatu yang sakral menurut Durkehim dan sesuatu yang sakral menurut masyarakat Mepa. Bagi Durkheim yang sakral berada dalam masyarakat sementara yang profan berada dalam konteks individu.hal-hal yang sakral itu selalu identik dengan dewi-dewi, roh-roh, ritus-ritus, batu-batu, kau-kayu, mata air, pohon, dan sebagainya.bagi masyarakat Mepa nilai yang sakral disini terletak pada ritual Esmaket dan juga benda-benda atau simbol-simbol yang digunakan upacara atau ritus Esmaket.Dengan demikian terdapat kesamaan Pemahaman terhadap yang sakral 82

12 menurut masyarakat Mepa dan Durkheim mengenai hal-hal yang sakral dan profan. Dalam ritus Esmaket, Benda-benda atau simbol-simbol yang digunakan dalam ritus Esmaket juga memiliki nilai yang sakral dan yang profan. Yang sakral nampak dalam gagasan bahwa bahwa ada kekuatan yang mendiami bendabenda atau simbol-simbol tersebut yang disakralkan, oleh karena itu benda atau simbol yang disakralkan tersebut akan mendapat perhatian atau bahkan mendapat pemujaan secara khusus. Selain itu, masyarakat Mepa menganggap bahwa apa yang dianggap sakral ini berhubungan dengan bukan hanya simbol-simbol atau benda-benda yang digunakan dalam ritual Esmaket melainkan juga perkataan maupun tindakan dianggap sakral. Dengan demikian semua yang berhubungan dengan masyarakat dianggap sakral. Sementara itu, simbol atau benda yang digunakan dalam ritus Esmaket juga memiliki nilai profan.bagi masyarakat Mepa hal-hal yang dianggap profan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan adanya penggunaan benda atau simbol dalam ranah sakral juga digunakan dalam ranah profan, meskipun benda atau simbol tersebut di rawat dengan baik bukan berarti memiliki nilai sakral, melainkan masyarakat Mepa tetap menganggap hal tersebut sebagai hal yang profan, pemeliharaan serta penggunaan benda atau simbol tersebut tidak berarti menaikan nilai dari ranah profan ke ranah sakral. B. Kedudukan Leluhur Kehidupan Masyarakat Desa Mepa Dalam ritual upacara adat biasanya disebut juga para leluhur seperti yang sudah disebutkan pada Bab-bab sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa dalam 83

13 kepercayaan masyarakat Mepa terhadap leluhur, mereka menjalankan dan mematuhi segala bentuk adat serta aturan-aturannya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, sebab hal tersebut merupakan tradisi yang diwarikan dari tete nene moyangatau leluhur masyarakat Mepa. Masyarakat Mepa dipercaya memiliki kemapuan kuatan-kekuatan spiritual yang oleh karenannya mereka selalu tunduk dan menghormati leluhur mereka. Kekuatan spiritual yang berasal dari tete nene moyangatau leluhur masyarakat Buru yang tidak dapat dipelajari. Kekuatan tersebut akan menurun secara otomatis kepada keturunannya. Segala kemampuan spiritual maupun kekuatan lain yang dimiliki oleh mereka semuanya berasal dari tete nene moyangatau leluhur saat itu yakni Opolastalah. Apabila kemampuan yang sudah diberikan tidak digunakan dengan baik atau untuk hal-hal yang negatif, hal itu akan menjadi tanggung jawab pribadinya dalam melaksanakannya. 4 Berdasarkan data dan teori yang dipakai dalam penelitian, maka leluhur merupakan orang yang dianggap sakral, oleh karena itu, apapun yang berhubungan dengan leluhur atau yang diamanatkan oleh leluhur tidak akan pernah diabaikan oleh masyarakat desa Mepa. Hal inipula nampak dalam pandangan Eliade dalam melihat yang sakral sebagai sesuatu yang supernatural, luar biasa, amat penting, dan tidak mudah dilupakan.di dalam Yang Sakral mengandung kesempurnaan dan keteraturan, yang di dalamnya bersemayam roh, 4 Hal ini pernah terjadi pada salah satu pejabat pemerintah di desa mepa. Ia mengalami kelalaian dalam menjalankan tugasnya. Menurut masyarakat ia di tegur oleh Opolahtasah dan tete nene moyang 84

14 nenek moyang, tempat tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara,Yang Profan adalah sesuatu yang biasa, bersifat keseharian, hal-hal yang dilakukan sehari-hari secara teratur dan acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting, bersifat mudah hilang, terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu berbuat salah, manusia selalu berubah, dan mengalami kekacauan. Berbicara mengenai kedudukan tete nene moyangatau leluhur dalam kehidupan masyarakat, hal yang tidak lepas pisah ialah kepercayaan masyarakat kepada tete nene moyangyang mereka jumpai dalam kehidupan mereka, yang memberikan sesuatu yang benar-benar luar biasa dasyat dan agung. Seperti yang diungkapkan oleh bapak A. Solissa, 5 bahwa hidup masyarakat Mepa bahkan Buru Selatan secara umum tidak bisa dilepas-pisahkan keberadaannya dengan leluhur mereka. Masyarakat Buru Selatan memiliki pandangan bahwa kehidupan mereka menyatu dengan tete nene moyangatau leluhur sebagai suatu persekutuan. Melalui adat, penyatuan itu terjadi sebagai sebuah persekutuan. Sehingga penyatuan ini mengarah kepada pemeliharaan adat yang telah dibentuk oleh para leluhur. Dalam pendekatan ini, leluhur mendapat tempat yang penting dalam nilai kepercayaan, bahkan para leluhur ini disembah dan dipuja sebagai bentuk penghayatan. Olehnya dengan memelihara adat, masyarakat akan mendapat berkat, dan sebaliknya yang melanggarnya akan mendapat kutukan, melalui bencana atau penyakit, dan sebagainya. Masyarakat Mepa percaya bahwa, kehidupan yang mereka jalani sekarang ini tidak luput dari pemeliharaan dan pengawasan juga tete nene 5 Hasil wawancara dengan Bapak A. Solissa, tanggal 18 November

15 moyangatau leluhur. Tete nene moyangatau leluhur diyakini sebagai orang yang sudah mati raga, tetapi roh mereka tidak akan mati. Roh tete nene moyangberada bersama anak cucu di dalam desa Mepa dan akan membantu jika anak-anak cucu menghadapi kesakitan, melindungi dari bahaya yang mengancam keselamatan negeri. Pemujaan dan penghormatan terhadap roh tete nene moyang atau roh para leluhur sebagaimana yang dilakukan oleh suku Arunta, samahalnya dengan yang dilakukan oleh masyarakat Mepa. Alasannya, tete nene moyang atau leluhur telah memberikan atau warisan yang mampu mengatur kehidupan bersama sebagai suatu komunitas masyarakat adat. Tete nene moyangatau leluhur dalam pandangan masyarakat BuruSelatan tidak saja dilihat sebagai bagian dari persekutuan hidup dalam kosmologi, namun lebih jauh telah membentuk sistem kepercayaan masyarakat. Pemujaan terhadap leluhur adalah fakta yang tidak bisa dilepaspisahkan dalam kehidupan masyarakat Buru. Karena itu, sistem adat dirancang untuk memastikan dan mengikat manusia bahwa pengaruhnya negatif atau positif. Masyarakat desa Mepa memiliki keyakinan akan adanya hal-hal yang memberikan arti bagi kehidupan mereka. Dalam alam pemikiran mereka bahwa leluhur dapat mengabulkan permohonan mereka sehingga perlakuan terhadap leluhur mendapat posisi yang tinggi. Selain memohon kepada Tuhan Allah (Opolahtalah ) juga leluhur disebutkan. Oleh karena itu leluhur dianggap sakral oleh masyarakat desa Mepa. Sama seperti yang dikatakan oleh Eliade bahwa yang sakral itu bukan hanya merujuk pada Tuhan yang personal melainkan ide 86

16 mengenai yang sakral tersebut sangant luas. Yang sakral tersebut bisa berarti kekuatan-kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur, serta jiwa-jiwa abadi. Kepercayaan dan rasa hormat kepada leluhur sebagai yang menempati posisi tertinggi dari hal-hal yang dianggap sakral. Melalui perjumpaan kepercayaan dan rasa hormat kepada leluhur, sehingga masyarakat Mepa dalam keseharian hidupnya, tidak terlepas dari apa yang dianggap pantas untuk dilakukan dan menempatkan hal-hal yang sakral sebagai sumber moral. Tampak jelas bahwa yang sakral diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia profan. Masyarakat mengatakan bahwa tete nene moyang atau leluhur masyarakatmepabahkan masyarakat Buru Selatan secara keseluruhan memiliki peranan yaitu dapat melindungi bahkan juga dapat menghukum anak cucunya. Gambaran di atas sebetulnya memperlihatkan bahwa konsep leluhur pada Mepa adalah suatu konsep yang berusaha membina dan menjaga hubungan secara terus menerus dan teratur antara manusia yang masih hidup, para leluhur dan lingkungan hidupnya.terpeliharanya tete nene moyang akan berdampak langsung pada terpeliharanya lingkungan alam maupun sosialnya. Dalam hubungan ini Cooley mangatakan bahwa masyarakat Maluku merupakan persekutuan yang terdiri dari orang-orang hidup dan juga orang mati. Dikatakan demikian karena melalui adat, orang-orang yang masih hidup dan arwah para leluhur dipersatukan. Penyatuan ini didasarkan pada kepentingan menjaga adat. Para leluhur adalah orang-orang yang telah menciptakan adat dan manusia yang masih hidup sekarang 87

17 adalah pelaksana adat. Mereka yang memenuhi tuntutan adat akan berhasil, sedangkan yang tidak peduli akan tertimpa kesulitan. 6 Kuatnya ikatan hubungan masyarakat Mepa yang masih hidup dengan leluhur mereka dengan serta merta menimbulkan sistem kepercayaan yang sebetulnya bertumpuh pada kenyataan kosmologi yang dimaksud. Oleh karenanya dalam mengerti masyarakat Mepa maupun Maluku secara umum, kita tidak bisa melepaskannya dari bentukan budaya. Dalam totalitas kebudayaan yang terus berkembang itu, sistem kepercayaan juga dimengerti sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin atau akal budi manusia, disamping ritual adat istiadat Melihat kembali pandangan Mircea Eliade dalam teorinya pada bab sebelumnya, ia melihat realitas perjumpaan yang sakral ini memberikan perasaan yang nyata, agung, tinggi, dan menakjubkan. Perasaan ini tidak sama dengan perasaan-perasaan lainnya yang bersifat duniawi. Pengalaman tentang yang sakral terjadi apabila orang menjumpai sesuatu yang benar-benar luar biasa dan dasyat, terpikat oleh suatu yang sama sekali lain, sesuatu yang misterius, menawan, berkuasa dan indah, sesuatu yang menakutkan tetapi sekaligus menawan. Ketika manusia mengalami pengalaman yang sakral itu, manusia selalu menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Dalam pengalaman yang mengesankan dan menggetarkan ini, terletak emosional dari semua manusia yang kita sebut agama. perhatian agama adalah terhadap yang supernatural, yang jelas dan sederhana yang berpusat pada yang sakral. 6 F. L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987),

18 Dengan demikian dalam interaksi kehidupan masyarakat Mepa maupun masyarakat Buru Selatan pada umunya, mereka selalu mengedepankan perasaan damai. Prinsip mereka adalah selama berbuat baik, mereka pasti akan mendapat yang baik atau tidak terjadi apa-apa. Kalau semuanya itu dilakukan dengan baik pasti kehidupan selalu damai. Sebaliknya kalau kita melanggar aturan yang sudah ada atau melanggar itu semua maka kehidupan kita akan sengsara. 7 Dengan bertititolak dari pandangan Eliade yang melihat yang sakral sebagai sesuatu yang tertinggi dalam hal ini Tuhan atau dewa-dewi (dunia roh), maka dalam pelaksanaan ritus Esmaket, yang ditempatkan sebagai Yang Sakral itu ialah Tuhan Allah dan leluhur. C. Analisis nilai Sosio-Teologis dan makna kepemimpinan dalam Ritus Esmaket padamasyarakat Mepa Dalam pandangan masyarakat Mepa ritual Esmaket yang dilakukan mampu mengikat kehidupan keluarga maupun kehidupan masyarakat. Apabila Esmaket yang sudah dilakukan tersebut ditepati baik sebagai individu, keompok maupun masyarakat, maka akan ada keberhasilan bersama baik dalam keluarga maupun keberhasilan dalam masyarakat dan negeri akan tercipta suasana yang nyaman. Seperti dalam pemahaman Durkehim yang menghubungkan ritus dengan kesadaran kolektif bahwa kesadaran kolektif itu merupakan kebutuhan asasi dalam diri setiap manusia sehingga perlu diaktifkan kembali dengan upacarauparaca religious yang dianggap sakral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritual Esmaket dilakukan untuk mempersatukan individu dalam kegiatan bersama 7 Wawancara dengan bapak J. Lesnussa, tanggal 20 November

19 dan satu tujuan bersama dengan memperkuat kepercayaan, perasaan dan komitmen moral terhadap kehidupan kelompok. Tampak jelas bahwa lingkungan sosial telah membentuk mata rantai yang sangat penting dalam siklus kehidupan mereka sebagai orang satu asal yang menyatuh untuk saling menjaga, melindungi yang satu terhadap yang lain dan telah berlangsung ratusan tahun. Kekuatan moral yang dimiliki oleh manusia mendorong setiap individu untuk meyakini, dan menghormati baik kepada hal yang sakral tetapi juga kepada masyarakat. Hal ini menuntut adanya keterlibatan setiap individu dalam setiap kegiatan yang dibentuk dan dilakukan oleh masyarakat dalam hubungan dengan yang sakral tersebut. Keterlibatan mereka dalam ritus Esmaketmerupakan bagian dari ekspresi atas penyertaan leluhur dan penghormatan terhadap adat masyarakat Mepa. Berdasarkan pendapat dari beberapa informasi, dapat disimpulkan bahwa Esmaketberfungsi sebagai sebuah Ritual dalam masyarkat. Menurut saya Esmaketberfungsi sebagai ritual. Esmaketmerupakan bagian dari ritus pelantikan adat pada masyarakat Mepa maupun Buru Selatan secara umum. Ritus Esmaketsecara tidak langsung mengajak setiap individu yang memiliki keyakinan yang sama untuk berkomunikasi dengan hal-hal yang dianggap sakral. 1. Nilai Sosiologis Keterlibatan masyarakat secara umum dalam ritus Esmaketjuga menekankan fungsi sosiologis. Nilai sosiologis ritus Esmaketberkaitan erat dengan adat atau kebudayaan sebagai hasil bentukan masyarakat Mepa maupun 90

20 Buru Selatan. Oleh karena itu setiap individu memiliki tanggung jawab untuk tetap melaksanakan guna mempertahankan adat atau kebudayaan yang sudah dan berlangsung selama bertahun-tahun. Ritus Esmaketyang diciptakan oleh masyarakat dan menjadi bagian dari budaya, tidak diciptakan begitu saja tanpa memiliki tujuan dan makna tertentu dalam kehidupan masyarakat Mepa. Secara umum ritus Esmaketdipahami sebagai sebagai ritus yang mengekspresikan adanya hubungan kekelurgaan, kekerabatan bahkan persekutan yang terjalin erat dalam masyarakat Mepa sebagai satu komunitas dan sebagai salah satu cara melestarikan adat-istiadat masyarakat Mepa. Pemahaman ini kemudian menjadi pemahaman yang tertanam dalam diri setiap individu dan mendorong mereka untuk ikut terlibat dalam pelaksaan ritus Esmaket tersebut. Ketika setiap individu memiliki pemahaman yang sama terhadap ritus Esmaket, maka mereka didorong oleh suatu perasaan atau emosi yang sama, maka mereka akan melibatkan diri dalam ritus Esmaket dan disitulah mereka diikatkan oleh suatu kebersamaan sebagai bagian dari masyarakat Mepa tanpa melihat perbedaan status sosial. Di sinilah terlihat bentuk kekerabatan yang erat di antara individu yang satu dengan yang lainnya dimana melalui ritus Esmaket mereka boleh mengekspresikan kekerabatan dan kebersamaan serta penghargaan terhadap ritus Esmaket sebagai kebudayaan masyarakat desa Mepa. Melalui pemahaman yang sama terhadap ritus Esmaketdan melalui kesatuan perasaan sebagai bagian dari masyarakat Mepa, maka keterlibatan setiap individu dalam ritus Esmakettidak membedakan status sosial. Keterlibatan tersebut didorong oleh kekuatan moral yang mempengaruhi psikis setiap individu. 91

21 Kekuatan moral tidak lain adalah kekuatan kolektif yang menuntut setiap individu untuk tunduk di bawah kekuatan tersebut. Secara emosional, masyarakat yang ikut dalam pelaksanaan ritus Esmaketsaling terlibat dalam suasana kekeluargaan. Ketika setiap individu berkumpul dalam satu upacara dan telibat dalam ritus Esmaketmaka secara emosi mereka akan diikat dengan perasaan yang sama dan akan menciptakan hubungan yang erat antar setiap individu. Hal ini di sebabkan karena ritus Esmakettidak hanya menciptakan suatu kebersamaan tetapi juga adanya harmonisasi dimana setiap individu mengesampingkan berbagai macam permasalahan yang pernah terjadi antar individu demi terciptanya kebersamaan dan kelancaran pelaksanaan ritus Esmaket. Dengan demikian secara sosiologi ritus Esmaketmemiliki nilai kekerabatan atau sebagai alat pemersatu dari masyarakat desa Mepa itu sendiri. Hal yang samapula diungkapkan oleh Emile Durkheim dalam teorinya mengenai agama. Ia memaparkan bahwa agama merupakan representasi masyarakat yang bersifat kolektif. Dasar pemikiran Durkheim ini dijelaskan dengan apa yang dia sebut dengan fakta sosial. Fakta sosial merupakan gejala yang berada di luar individu dan memiliki kekuatan memaksa individu untuk tunduk di bawahnya, artinya bahwa fakta sosial akan berlaku umum bagi masyarakat dan bukan mencerminkan satu keinginan individu. Dengan demikian ritus Esmaket yang merupakan bagian dari ritual adat mampu mempererat hubungan persekutuan tetapi juga mampu melahirkan solidaritas yang kuat diantara sesamanya, sehingga dengan adanya kepercayaan dan emosi yang sama, setiap orang akan berkumpul dan hubungan antar mereka 92

22 semakin dipererat. Solidaritas dapat dipikirkan sebagai suatu persekutuan yang berbeda-beda untuk saling membantu. 8 Pendapat ini dimaksudkan bahwa sikap solidaritas yang dibangun mencerminkan suatu persekutuan, karena melibatkan komponen orang banyak atau masyarakat untuk saling membantu.sikap masyarakat ini merupakan bagian dari fungsi mereka sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu ritus Esmaket dapat berfungsi sosiologis, inilah hal yang juga dipaparkan oleh Durkheim dalam teorinya mengenai agama. 2. Nilai Teologis Ritus Esmakettidak hanya di lihat dari pandangan sosiologis tetapi juga dari pandangan teologis yang membantu penulis dalam memahami pandangan jemaat tentang adat ini. Esmaketsebagai bagian dalam proses ritual pelantikan adat tentunya memiliki ketertarikan atau hubungan yang erat dengan tujuan dari pelaksanaan Esmaket. Esmaketmerupakan suatu wujud tindakan nyata dari keyakinan masyarakat Mepa terhadap keberadaan leluhur. Oleh karena itu setiap proses dalam pelaksanaan Esmaketdipercayaai sebagai proses yang membantu masyarakat untuk berhubungan dengan leluhur. Sebagai bagian dari proses ritual adat maka Esmaketmemiliki nilaiteologis karena Esmaketjuga berhubungan dengan keyakinan masyarakat terhadap hal-hal yang sakral atau leluhur. Nilai teologis dari Esmaketharus dilihat pada fungsinya dalam ritual. Ketika Esmaketberfungsi sebagai ritual, maka ia bertujuan membangun 8 Sobrino Jhon, Teologi Solidaritas. (Jakarta: PT. Kanisius, 1989), 15 93

23 komunikasi dengan hal-hal yang dianggap sakral oleh masyarakat Mepa. Esmaketmampu membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan bahkan juga leluhur. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan dan juga leluhur, maka melalui ritual Esmaketmereka membangun kepercayaan bahwa Tuhan dan leluhur yang penuh kuasa akan mendengarkan permohonan telah disampaikan oleh mereka. Melalui ritus tersebut masyarakat membangun kepercayaan bahwa leluhur akan mendengar dan menjawab permohonan mereka. Kepercayaan terhadap leluhur bukan hanya dalam bentuk ritual, tetapi juga dalam bentuk pandangan hidup, dalam arti bahwa ketika masyarakat menjalani kehidupannya di ranah sakral dengan baik yaitu melaksanakan amanat dan mematuhi berbagai peraturan yang sudah diberikan, maka mereka meyakini bahwa Tuhan dan leluhur akan menjaga, memberi ketentraman dan kebaikan, dalam kehidupan mereka di ranah profan. Tampak jelas bahwa didalam pelaksanaan Esmaket, ada unsur keagamaan (agama Kristen), karena selain masyarakat melakukan tradisi, mereka juga mengucap syukur kepada Tuhan atas anugerah berkat yang diberikan kepada invidu, keluarga bahkan komunitas. Bentuk syukur ini dilakukan dalam bentuk doa dan juga makan bersama, sehingga ada nilai religius yang ditampilkan dalam pelaksanaan ritus Esmaketyaitu disatu sisi, merupakan rasa ungkapan syukur kepada Tuhan dan di sisi lain ada peran leluhur tetapi juga peran dari Tuhan. Hal ini dipertegaskan lagi sebab jauh sebelum masuknya agama Kristen di Buru Selatan masyarakat Mepa bahkan masyarakat Buru secara umum telah memiliki sistem kepercayaan (apa yang disebut sebagai agama). Bahkan untuk memberikan 94

24 nama kepada kekuatan tertinggi yang mengendalikan hidup mereka pun, terungkap dalam ungkapan-ungkapan yang bertolak dari identitas budaya yakni Opolahtalah. Setelah masuknya agama Kristen maka terjadilah proses transformasi agama suku yaitu posisi leluhur tertinggi (Opolahtalah ) diganti dengan Tuhan Allah orang kristen, sementara leluhur-leluhur dibawah Tuhan Allah orang Kristen. Dengan demikian Tuhan Allah dalam perspektif orang Kristen, mempunyai posisi sebagai kuasa atau kekuatan tertinggi pertama dan tete nene moyang mempunyai posisi sebagai kuasa atau kekuatan tertinggi kedua. Ini bukan berarti tete nene moyang merupakan perantara antara manusia dan Tuhan, sebab keberadaan keduanya adalah mutlak dan tidak dapat dihilangkan. Secara sosiologis maupun teologis, keduanya memilki keterkaitan yang erat. Secara sosiologis, masyarakat Mepa menjalani kehidupan sosialnya dalam dua identitas, yakni sebagai jemaat dan sebagai anak negeri. Sedangkan secara teologi, mereka hidup dalam dialektika ideologis-teologis anatar injil dan adat tanpa mengeliminasi salah satunya. Makna ritus Esmaketyang diungkapkan oleh masyarakat Mepa adalah suatu budaya yang diwariskan oleh para leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat desa Mepa, karena ritus ini merupakan ritus yang sakral, yang didalamnya mengandung sumpah atau janji dan nilai-nilai teologis yang harus dijalankan baik oleh invidu maupun komunitas masyarakat sebagai bagian dari 95

25 masyarakat desa Mepa dan merupakan ikatan antara Tuhan dan manusia tetapi juga ikatan dengan para leluhur. Sikap mengandalkan adat saja akan dianggap berdosa; sementara dari sisi ada percaya kepada Tuhan dan meninggalkan tete nene moyangakan dianggap sebagai tidak tahu adat atau tidak menghormati orang tatua. Masing-masing mengandung konsekuensi yang berat, karena keduanya diterima sebagai bagian integral dari dinamika kehidupan berjemaat.ketaatan masyarakat terhadap adat Esmaketmerupakan sikap beradab. Apa yang dilakukan masyarakat dalam ritus Esmaketmerupakan sikap saling menghargai apa yang telah menjadi tradisi, karena adat itu muncul dari perbuatan yang bersama diulang. Perbuatan yang diulang tersebut karena pertamakalinya menjalankan perbuatan tersebut mereka menemukan bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna dan mereka menghendaki hal tersebut kembali. Terkadang sebagian orang mengklaim bahwa pelaksanaan ritus Esmaket bertentangan dengan kehidupan masyarakat, mengingat bahwa masyarakat Mepa telah beralih 100% memeluk agama Kristen. Jika demikian, maka pada awalnya, para penginjil yang menyebarkan agama (injil) menilai bahwa Esmaket bertentangan dengan kekristenan, maka harus ditinggalkan, namun sampai sekarang ini ritus tersebut tetap dihargai dan dilaksanakan meskipun masyarakat sudah beralih memeluk agama Kristen. Kita tahu bahwa setiap agama berasal dan dibungkus oleh budaya tertentu, termasuk kekristenan. Tentunya ketika diwartakan, kekristenan mau tidak mau harus bertemu dengan agama suku atau kepercayaan asli. Agar kekristenan dapat diterima dengan baik, maka ia juga 96

26 harus memperhatikan konteks dimana ia hadir. Itu berarti, budaya, kosmologi, agama asli (kepercayaan asli) setempat, stuktur sosial masyarakatnya yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja. Karenanya dibutuhkan suatu upaya konstekstualisasi. Inilah yang merupakan tugas dan tanggung jawab gereja terhadap masyarakat Mepa yang melaksanakan ritus Esmakettersebut. Gereja sebagai bagian dari masyarakat Mepa memiliki tugas dan tanggung jawab dalam memahami dan memaknai ritus Esmaketitu sendiri. Dalam hal ini bahwa gereja menerima ritus Esmaketini untuk tetap dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat Mepa sebagai masyarakat adat yang adalah warga jemaat sendiri. Gereja juga ikut serta dalam pelaksanaan ritus Esmaket. Karena bagi gereja budaya itu dianggap baik dan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia salah satunya adalah budaya dapat mengatur kehidupan manusia menurut norma atau aturan yang berlaku, sehingga hal ini akan membimbing seseorang kearah yang lebih baik. Bagi gereja ritus Esmaketmempunyai manfaat yang besar karena mampu membina masyarakat untuk taat dan patuh terhadap perintah yang diberikan melalui ritus Esmaket. Masyarakat mampu bertanggung jawab terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan Allah dalam hidupnya. Selain itu juga, masyarakat Mepa selalu menjunjung tinggi dan menghargai akan roh para leluhur sebagai pendahulu mereka dengan warisan yang sudah tinggalkan kepada anak cucu dalam bentuk adat. Yang penting lagi ialah dalam kehidupan masyarakat 97

27 sampai sekarang ini mereka tetap menjadi masyarakat yang setia pada Tuhan sebagai sang pencipta dan sang pemberi kehidupan. Hal ini menandakan bahwa baik sebagai warga gereja maupun warga masyarakat, mereka tetap percayadan taat kepada perintah Allah selaku warga gereja sekaligus selaku warga masyarakat dalam menghargai dan menghormati warisan atau peninggalan para leluhur bagi kehidupan generasi sekarang ini. Sikap yang dibangun oleh masyarakat desa Mepa merupakan sikap teologis karena ketika mereka melakukan ritus Esmaket, mereka tidak hanya melakukan kewajiban mereka sebagai komunitas adat tetapi juga telah belajar menghargai apa yang diajarkan oleh kekristenan. Sikap teologis masyarakat adalah sikap yang dibangun untuk menempatkan ritus Esmaketdalam terang injil. Peran leluhur dalam karya yang diwariskan, menghendaki masyarakat adat hidup dalam kedamaian dengan moral yang baik. Untuk itu secara religius, sikap teologis masyarakat ini tidak bertentangan dengan kekristenan karena apa yan dikehendaki oleh para leluhur lewat pelaksanaan ritus Esmaketsejalan dengan apa yang diajaran juga dalam kekristenan sehingga kedua hal ini daling mengisi dan membangun moralitas masyarakat. Apa yang diajarkan oleh kekristenan sejalan dengan apa yang diajarkan oleh ritus Esmaketsehingga hal-hal yang saling mengasihi dalam kekristenan dapat menggambarkan nilai-nilai positif tersebut dalam masyarakat sebagai pembentuk moralitas ke arah yang lebih baik. 3. Makna Kepemimpinan 98

28 Sejarah munculnya kepemimpinan sudah ada sejak jaman dahulu kala. Kerjasama dan saling melindungi telah muncul bersama-sama dengan peradaban manusia. Kerjasama tersebut muncul pada tata kehidupan sosial masyarakat dalam rangka untuk mempertahankan kehidupan masyarakat yang ada. Berangkat dari kebutuhan bersama tersebut, terjadi kerjasama antar manusia dan mulai unsurunsur kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan bagian yang penting dalam sepanjang sejarah manusia.kehadiran seorang pemimpin selalu dibutuhkan pada setiap kelompok dan masyarakat. Pengaruh pemimpin akan mempunyai dampak yang luar biasa bagi kelompok masyarakat yang dipimpinnya. 9 Dalam kaitan denga Esmaket, masyarakat Mepa memahami bahwa Esmaketmerupakan bagian dari adat dan adat adalah bagian dari kebudayaan yang sudah tercipta dan sudah ada sejak jaman dahulu, sehingga Esmaketsebagai adat masyarakat Mepa yang sudah di buat harus ditepati. Esmaketmerupakan bagian dari adat yang sudah ada sejak jaman dahulu sehingga bagi masyarakat, Esmaketadalah hal yang disakralkan dan tidak boleh diucapkan sembarangan sebab jika terjadi pengingkaran maka ada konsekuensi yang harus diterima. Oleh karena itu, Esmaketyang menyangkut kepemimpinan seseorang harus ditepati, sebab hal ini sudah ada sejak para leluhur. Masyarakat Mepa yakin bahwa apa yang telah dibuat, diatur bahkan ditetapkan oleh para leluhur, mampu mengontrol persekutuan hidup mereka dengan baik secara individu maupun kelompok (sosial) 9 Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana), 13 99

29 Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, memotivasi dan mengkoordinasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya; faktor berasal dari diri kita sendiri, pandangan kita terhadap manusia, keadaan kelompok dan situasi waktu kepemimpinan kita dilaksanakan. 10 Oleh karena itu sebagai pemimpin kita perlu mengerti diri sendiri, terutama yang berhubungan dengan peranan kita sebagai pemimpin, orang yang kita pimpin, masing-masing dan sebagai kelompok serta situasi dimana kepemimpinan kita berlangsung. Pemimpin adalah orang yang menuntun, membina dan memberi teladan serta membimbing suatu organisasi baik dalam suka maupun duka.sehingga tujuan utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang dipimpin.seorang pemimpin sejati justru memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan orang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam kelompoknya.keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari kemampuannya untuk membangun orang-orang disekitarnya, karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam orgnisasi tersebut. Sebuah organisasi mempunyai banyak anggota dengan kualitas pemimpin, maka organisasi tersebut akan berkembang dan menjadi kuat. Pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya. Kasih itu diwujud nayatkan dalam bentuk kepedulian akan 10 Charles J. Keating, Kepemimpinan: Teori Dan Pengembangannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),

30 kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar setiap kebutuhan, impian dan harapan dari warga masyarakat, dapat mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya melebihi orang lain atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat.sebab seorang pemimpin sejati selalu dalam tenang, penuh pengendalian diri dan tidak mudah emosi.pemimpin tidaklah cukup hanya mempunyai pengalaman dan kemampuan intelektual yang baik, namun perlu juga kecakapan atau kecerdasan emosi dan spiritual. Pemimpin tanpa kecerdasan emosi dan spiritual akan menjadi pemimpin yang mudah goyah, tidak tahan uji dan mudah jatuh. Oleh karena itu kelengkapan spiritual dan kecerdasan emosi akan membantu keberhasilan pemimpin terutama dalam membangun relasi dengan sesama. Hal ini dapat dikatakan bahwa seseorang yang mengguganakan kecerdasan emosi dan spiritual memiliki kecenderungan untuk menggunakan pola kepemimpinan transformatif. Pola kepemimpinan transformatif 11 merupakan pola kepemimpinan yang diteladankan Yesus yakni seorang pemimpin yang mampu menjadi teladan bagi pengikutnya bukan hanya perkataa saja tetapi juga dengan perbuatannya.kepemimpinan yang diteladankan oleh yesus adalah kepemimpinan yang memiliki motivasi yang insporatioan, melalui visi yang diterima dari Allah 11 Friedman dan Lagbert yang dikutip oleh Retnowati Wiranto, menjelsakan bahwa pola kepemimpinan transformative merujuk pada seorang pemimpin yang mampu mengerakan para pengikutnya melalui idealized, influence, inspiration, intellectual stimulation dan individualized. Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana),

31 sendiri. Pemimpin transformatif mampu mendorong pengikutnya untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitas, mampu menghadapi masalah besar dan serumit apapun dengan cara yang bijaksana dan agamais. Pemimpin transformatif selalu berupaya untuk memberi peluang bagi pengikutnya untuk mengembangkan dirinya. Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk mengembangkan dirinya.allah telah memilih manusia untuk menjadi alatnya dan berkenan terus memelihara dan menyertainya. 12 Dalam Perjanjian Baru yang menjadi dasar dari kepemimpinan adalah keteladanan yesus dalam kehambanya, bahwa karakter pemimpin seorang kristen sangat penting dan kepribadian seorang pemimpin sangat menentukan pelaksanaan tugasnya, karena kepribadian itu selalu mendapat perhatian untuk diikuti maupun diteladani. Dalam konteks kepemimpinan Kristen, mensyaratkan nilai-nilai kasih dan pelayanan sebagai pokok penting bagi setiap pemimpin, maka dibutuhkanlah sikap seperti kerendahan hati, kesediaan untuk melayani dengan tulus serta dapat mempengaruhi orang lain dengan keunikannya sendiri sebagai pribadi yang telah ditebus dan dibaraui oleh kristus. 13 Dengan demikian secara teologis pemimpin Kristen merupakan alat dalam tangan Tuhan. 12 Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana), Retnowati Wiranto..,

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma kebiasaan, kelembagaan

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano Menurut Hertz, kematian selalu dipandang sebagai suatu proses peralihan

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV. BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP 4.1. PENDAHULUAN Bertolak dari uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang terdapat dalam Bab I, yang dilanjutkan dengan pembahasan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu Dari hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan dalam Bab III sebagai Pendekatan Lapangan, diketahui bahwa orang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI Dalam bab ini berisi tentang analisa penulis terhadap hasil penelitian pada bab III dengan dibantu oleh teori-teori yang ada pada bab II. Analisa yang dilakukan akan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS BAB II KAJIAN TEORITIS Pada BAB ini akan menjelaskan mengenai pengenalan totem yang dipakai berdasarkan pemahaman dari Emile Durkheim dan Mircea Eliade. Pemahaman mereka mengenai totem beserta dengan fungsinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, masyarakat adalah pencipta sekaligus pendukung kebudayaan. Dengan demikian tidak

Lebih terperinci

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya, karena itu manusia tidak dapat lepas dari budaya yang dianutnya. Suatu budaya memiliki nilai

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB IV. Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan. 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan

BAB IV. Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan. 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan BAB IV Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan Jika kita kembali melihat kehidupan jemaat GKJW Magetan tentang kebudayaan slametan mau tidak mau gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara

Lebih terperinci

25. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SD

25. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SD 25. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SD KELAS: I 1. menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya 1.1 menerima dan mensyukuri dirinya sebagai ciptaan 1.2 menerima dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam proses penyebarluasan firman Tuhan, pekabaran Injil selalu berlangsung dalam konteks adat-istiadat dan budaya tertentu, seperti halnya Gereja gereja di

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 234 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Perkawinan merupakan rentetan daur kehidupan manusia sejak zaman leluhur. Setiap insan pada waktunya merasa terpanggil untuk membentuk satu kehidupan baru, hidup

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan dan Refleksi Upacara slametan sebagai salah satu tradisi yang dilaksanakan jemaat GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus sebagai juruslamat

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan

BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS A. Kaus Nono dalam Perkawinan Meto Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu dapat dikenali dari keanekaragaman budaya, adat, suku, ras, bahasa, maupun agama. Kemajemukan budaya menjadi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan BAB IV ANALISA DATA Ritual Jumat Agung merupakan ritual yang dilaksanakan pada hari Jumat dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan mempunyai tujuan untuk memperingati hari

Lebih terperinci

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. perempuan atau pun jenis kelamin, semuanya pasti akan mengalaminya. Tidak hanya

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. perempuan atau pun jenis kelamin, semuanya pasti akan mengalaminya. Tidak hanya BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS Kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Siapa saja bisa mengalami hal itu, baik tua atau pun muda, miskin atau pun kaya, baik perempuan atau

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E)

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) 10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi Bersyukur kepada sang pencipta tentang apa yang telah di anugerahkan kepada seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini BAB V KESIMPULAN Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini yang dimaksud adalah Nufit Haroa yaitu Tuun En Fit yang terdiri dari tujuh ohoi) yang berada di wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

Alat Musik Dalam Adat dan Gereja. (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T E S I S

Alat Musik Dalam Adat dan Gereja. (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T E S I S Alat Musik Dalam Adat dan Gereja (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T E S I S Diajukan Kepada Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

GEREJA KRISTEN NAZARENE PASAL-PASAL TENTANG IMAN

GEREJA KRISTEN NAZARENE PASAL-PASAL TENTANG IMAN GEREJA KRISTEN NAZARENE PASAL-PASAL TENTANG IMAN I Allah Tritunggal Kami percaya kepada satu Allah yang tidak terbatas, yang keberadaan-nya kekal, Pencipta dan Penopang alam semesta yang berdaulat; bahwa

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang BAB IV TINJAUAN KRITIS Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya kita dapat melihat bahwa manusia selalu menyatu dengan kebudayaannya dan budaya itu pun menyatu dalam diri manusia. Karena itu budaya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD) 11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai keragaman, baik itu agama, sosial, ekonomi dan budaya. Jika diruntut maka banyak sekali keragaman yang

Lebih terperinci

Iman Kristen dan Kebudayaan

Iman Kristen dan Kebudayaan Iman Kristen dan Kebudayaan Oleh: Ricky A.A Dumbela 682014088 Menuha Calvin 672014159 Hani Sandi Aji 562014054 Candrayani Sugiono 672014001 Yohana Dimara 672012186 Rodi 672014221 Yonas Sagita Adi C 682014046

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksiinteraksi keagamaan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Agama dan Masyarakat Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta sehingga

Lebih terperinci

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) 01 OKTOBER 2017 emaat GIDEON Kelapadua Depok l. Komjen Pol M. asin Kelapadua, Pasirgunung Selatan Ksatrian Amji Atak (Komp. BRIMOB POLRI) Kelapadua- h

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelegensi atau akademiknya saja, tapi juga ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan Perkawinan Masyarakat Aimoli Masyarakat di kampung Aimoli meyakini bahwa mereka adalah satu keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan Bab IV terdahulu, maka peneliti rumuskan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan Bab IV terdahulu, maka peneliti rumuskan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil pembahasan Bab IV terdahulu, maka peneliti rumuskan kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. KESIMPULAN 1. Kesimpulan umum Budaya tolak bala masih tetap dipertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehidupan dan kematian merupakan dua hal yang harus dihadapi oleh setiap manusia termasuk orang Toraja, karena ini merupakan hukum kehidupan menurut adat Toraja. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai alam dan mengolahnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan

Lebih terperinci

PELAYANAN ANAK. PELAYANAN ANAK Sesi 1: Menjangkau Anak-anak

PELAYANAN ANAK. PELAYANAN ANAK Sesi 1: Menjangkau Anak-anak PELAYANAN ANAK Sesi 1: Menjangkau Anak-anak PENDAHULUAN Allah tertarik pada anak-anak. Haruskah gereja berusaha untuk menjangkau anak-anak? Apakah Allah menyuruh kita bertanggung jawab terhadap anak-anak?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan budaya. Hal ini menyebabkan daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki kebudayaan

Lebih terperinci

BAB IV MEWARISKAN IMAN DENGAN TELADAN SUATU REFLEKSI TEOLOGIS TERHADAP TRADISI PIRING NAZAR

BAB IV MEWARISKAN IMAN DENGAN TELADAN SUATU REFLEKSI TEOLOGIS TERHADAP TRADISI PIRING NAZAR BAB IV MEWARISKAN IMAN DENGAN TELADAN SUATU REFLEKSI TEOLOGIS TERHADAP TRADISI PIRING NAZAR Keluarga adalah salah satu konteks atau setting Pendidikan Agama Kristen yang perlu diperhatikan dengan baik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua. BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Kematian bagi masyarakat Tionghoa (yang tetap berpegang pada tradisi) masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka

Lebih terperinci

Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T E S I S

Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T E S I S Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T E S I S Diajukan Kepada Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG Manusia memiliki dua sisi dalam kehidupannya, yaitu sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Debus, berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang menampilkan peragaan kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan segala bentuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Tradisi Piring Nazar sebagai sebuah kenyataan sosio-religius dapat dijadikan sebagai

BAB V PENUTUP. 1. Tradisi Piring Nazar sebagai sebuah kenyataan sosio-religius dapat dijadikan sebagai BAB V PENUTUP Dari penjelasan serta pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab yang terakhir ini akan dipaparkan kesimpulan yang berisi temuan-temuan mengenai Piring Nazar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan di Indonesia pluralitas agama merupakan realitas hidup yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Di negeri ini semua orang memiliki kebebasan

Lebih terperinci

BUTIR BUTIR PANCASILA YANG TERBARU BESERTA CONTOH PENGAMALAN

BUTIR BUTIR PANCASILA YANG TERBARU BESERTA CONTOH PENGAMALAN BUTIR BUTIR PANCASILA YANG TERBARU BESERTA CONTOH PENGAMALAN Butir butir Pancasila yang dahulu ada 36 butir sekarang diubah menjadi 45 butir pancasila. Dan sekarang ini masyarakat banyak yang belum tahu

Lebih terperinci

KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA

KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA STIKOM DINAMIKA BANGSA MUKADIMAH Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Dinamika Bangsa didirikan untuk ikut berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

RENUNGAN KITAB 1Tesalonika Oleh: Pdt. Yabes Order

RENUNGAN KITAB 1Tesalonika Oleh: Pdt. Yabes Order RENUNGAN KITAB 1Tesalonika Oleh: Pdt. Yabes Order Bacaan Alkitab hari ini: 1Tesalonika 1 HARI 1 MENJADI TELADAN Mengingat waktu pelayanan Rasul Paulus di Tesalonika amat singkat, mungkin kita heran saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya yang menghubungkan dan mengikat anggota masyarakat satu dengan yang lain. Tradisitradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan semakin berkembangnya cara berfikir masyarakat pada masa sekarang ini. Ternyata tak jarang juga dapat menyebabkan berubahnya pola pikir masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Saparan di Kaliwungu Kendal BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Analisis Pelaksanaan Tradisi Saparan di Kaliwungu Kabupaten Kendal Pelaksanaan tradisi Saparan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku bangsa Sabu atau yang biasa disapa Do Hawu (orang Sabu), adalah sekelompok masyarakat yang meyakini diri mereka berasal dari satu leluhur bernama Kika Ga

Lebih terperinci

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu?

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu? Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan 21-23 Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu? Orang-orang yang percaya kepada Kristus terpecah-belah menjadi ratusan gereja. Merek agama Kristen sama

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Setelah penulis mengkaji nilai keadilan yang diterapkan dalam kehidupan

BAB V PENUTUP. Setelah penulis mengkaji nilai keadilan yang diterapkan dalam kehidupan BAB V PENUTUP Setelah penulis mengkaji nilai keadilan yang diterapkan dalam kehidupan keluarga di Jemaat GPIB Immanuel Semarang, maka penulis membuat suatu kesimpulan berdasarkan pembahasan-pembahasan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas

Lebih terperinci

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan 11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pepatah Jawa dinyatakan bahwa budaya iku dadi kaca benggalaning

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pepatah Jawa dinyatakan bahwa budaya iku dadi kaca benggalaning BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pepatah Jawa dinyatakan bahwa budaya iku dadi kaca benggalaning bangsa (kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban suatu bangsa). Hal ini

Lebih terperinci

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL 1. Bentuk dan Fungsi Lembaga Sosial Pada dasarnya, fungsi lembaga sosial dalam masyarakat beraneka macam berdasarkan jenis-jenis lembaganya. Oleh karena itu, kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya yang berada di daerah-daerah di dalamnya. Kebudayaan itu sendiri mencakup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Sulawesi Utara adalah salah satu provinsi yang dikenal dengan banyaknya tradisi, ritual dan adat istiadat, yang membentuk identitas dari Minahasa. Salah

Lebih terperinci

BAB IV SOSIAL NEGERI HARIA DAN SIRI SORI ISLAM PASCA KONFLIK DI MALUKU. Louleha adalah sebuah hubungan kekerabatan. Louleha merupakan sebuah

BAB IV SOSIAL NEGERI HARIA DAN SIRI SORI ISLAM PASCA KONFLIK DI MALUKU. Louleha adalah sebuah hubungan kekerabatan. Louleha merupakan sebuah BAB IV REVITALISASI PERAN LOULEHA DALAM PROSES REINTEGRASI SOSIAL NEGERI HARIA DAN SIRI SORI ISLAM PASCA KONFLIK DI MALUKU Louleha adalah sebuah hubungan kekerabatan. Louleha merupakan sebuah produk budaya.

Lebih terperinci

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

Lebih terperinci

BAB IV CAWAN DAN SLOKI DALAM PERJAMUAN KUDUS. istilah orang Jawa wong jowo iku nggoning semu artinya orang Jawa itu peka

BAB IV CAWAN DAN SLOKI DALAM PERJAMUAN KUDUS. istilah orang Jawa wong jowo iku nggoning semu artinya orang Jawa itu peka BAB IV CAWAN DAN SLOKI DALAM PERJAMUAN KUDUS Dalam bagian ini akan mengemukakan pengaruh perubahan penggunaan cawan menjadi sloki dalam Perjamuan Kudus dalam kehidupan jemaat masa modern dengan melihat

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan, yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan serta adat istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan

Lebih terperinci

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PERTEMUAN KE 8 OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA Pancasila Material ; Filsafat hidup bangsa, Jiwa bangsa, Kepribadian bangsa, Sarana tujuan hidup bangsa, Pandangan

Lebih terperinci

PENDADARAN. HOSANA : berilah kiranya keselamatan! PERJAMUAN KUDUS PASKAH. Minggu, 5 April 2015 GEREJA KRISTEN JAWA JOGLO

PENDADARAN. HOSANA : berilah kiranya keselamatan! PERJAMUAN KUDUS PASKAH. Minggu, 5 April 2015 GEREJA KRISTEN JAWA JOGLO PENDADARAN PERJAMUAN KUDUS PASKAH Minggu, 5 April 2015 HOSANA : berilah kiranya keselamatan! GEREJA KRISTEN JAWA JOGLO Kompleks Taman Alfa Indah Blok A No. 9 Joglo Jakarta Barat I. PENDAHULUAN Jemaat yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. Berdasarkan uraian pada Bab Latar Belakang dan Landasan Teori, maka masalah yang

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. Berdasarkan uraian pada Bab Latar Belakang dan Landasan Teori, maka masalah yang BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN Berdasarkan uraian pada Bab Latar Belakang dan Landasan Teori, maka masalah yang diteliti ini bersifat variabel tunggal yakni hukuman rotan (Suatu Analisa Sosiologi Terhadap

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1 Subdit PEBT PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL Dra. Dewi Indrawati MA 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan kekayaan dan keragaman budaya serta

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Papua terkenal dengan pulau yang memiliki banyak suku, baik suku asli Papua maupun suku-suku yang datang dan hidup di Papua. Beberapa suku-suku asli Papua

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas

Lebih terperinci

PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL

PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL Lenda Dabora Sagala STT Simpson Ungaran Abstrak Menghadapi perubahan sosial, Pendidikan Agama Kristen berperan dengan meresponi perubahan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan

Lebih terperinci

6. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Dasar (SD)

6. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Dasar (SD) 6. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang Masalah. Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang Masalah. Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Masalah Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada karena ada masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud kebudayaan adalah

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA 4.1. Pengantar Masyarakat Yalahatan secara administratif merupakan masyarakat dusun di bawah pemerintahan Negeri Tamilouw

Lebih terperinci

Rahasia Nikah & Rahasia Ibadah (Bagian I)

Rahasia Nikah & Rahasia Ibadah (Bagian I) Rahasia Nikah & Rahasia Ibadah (Bagian I) Setelah Allah selesai menciptakan langit, bumi dan segala isinya maka pada hari ke 6 Allah menciptakan manusia supaya berkuasa atas segala ciptaannya (Kejadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gereja hidup di tengah masyarakat. Gereja kita kenal sebagai persekutuan orangorang percaya kepada anugerah keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DALAM KELUARGA NELAYAN DI DESA PECAKARAN KEC.WONOKERTO KAB. PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DALAM KELUARGA NELAYAN DI DESA PECAKARAN KEC.WONOKERTO KAB. PEKALONGAN BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DALAM KELUARGA NELAYAN DI DESA PECAKARAN KEC.WONOKERTO KAB. PEKALONGAN A. Analisis Tujuan Pendidikan Akhlak Anak dalam Keluarga Nelayan di Desa Pecakaran Kec. Wonokerto.

Lebih terperinci

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #12 oleh Chris McCann

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #12 oleh Chris McCann Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #12 oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pembahasan Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini adalah pembahasan #12 tentang Wahyu, pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Proses pendidikan diselenggarakan dalam rangka mengembangkan pengetahuan, potensi, akal dan perkembangan diri manuisa, baik itu melalui jalur pendidikan formal,

Lebih terperinci

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus BAGIAN IV TINJAUAN KRITIS ATAS UPAYA PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN BAGI REMAJA YANG BERAGAMA KRISTEN DAN NON KRISTEN DIPANTI ASUHAN YAKOBUS YANG SESUAI DENGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL. 4.1 Pendidikan

Lebih terperinci