METODE PENGATURAN HASIL HUTAN TANAMAN EUCALYPTUS BERDASARKAN OPTIMASI TEGAKAN PERSEDIAAN NYATA DAN EROSI TANAH D A R W O

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "METODE PENGATURAN HASIL HUTAN TANAMAN EUCALYPTUS BERDASARKAN OPTIMASI TEGAKAN PERSEDIAAN NYATA DAN EROSI TANAH D A R W O"

Transkripsi

1 METODE PENGATURAN HASIL HUTAN TANAMAN EUCALYPTUS BERDASARKAN OPTIMASI TEGAKAN PERSEDIAAN NYATA DAN EROSI TANAH D A R W O SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Metode Pengaturan Hasil Hutan Tanaman Eucalyptus Berdasarkan Optimasi Tegakan Persediaan Nyata dan Erosi Tanah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2012 D a r w o

3 ABSTRACT DARWO. Yield Regulation Method for Eucalypt Plantation Forest Based On Optimization of Growing Stock and Soil Erosion. Supervised by ENDANG SUHENDANG, I NENGAH SURATI JAYA, HERRY PURNOMO, and PRATIWI. The grouping of site quality and controlling of soil erosion in eucalypt plantation forest is very important to be considered in the yield regulation method establishment. The objective of this research is to establish the yield regulation method that can provide the same yield every year with soil erosion constraint that does not exceed determined threshold. To achieve this objective the following stages are required: preparation of site quality class, determination of erosion hazard level and determination of residual stand density so that soil erosion can be tolerated. Data were collected from permanent sample plots and observations in the field. Stand characteristics, soil runoff and erosion were analyzed using regression, clustering site quality and soil erosion hazard level. The research results showed that yield regulation method based on optimization between growing stock and soil erosion control may giving both the optimal sustainable annual wood production and soil erosion control, so that land productivity can be maintained continuously. With this yield regulation method, the site quality is getting better, cutting cycle is getting shorter. Group of site index (Bonita) I and II has a maximum volume increment at the age of 8 years, while the bonita III and IV have a maximum volume increment at the age of 7 years. Soil erosion will increase with the increase of sloping terrain. While increasing stand age will decrease soil erosion. The maximum limit of tolerable soil erosion was at the slope of 33%. Slopes of 34-45%, 46-58%, and more than 58%, require crown cover of 21%, 38%, and 53% respectively which are equivalent to residual stand density of 288 trees/ha, 530 trees/ha, and 735 trees/ha respectively. The study found that the optimum cutting cycle in the eucalypt plantation forest is 7 years. The yield regulation method based on modified Von Mantel formula is AY is annual yield based on modified Von Mantel formula, AY is annual yield based on Von Mantel formula, AG is actual growing stock, R is cutting cycle, and FkD is Darwo correction Factor for soil erosion constraint. Keywords: Yield regulation method, eucalypt, site quality, increment,soil erosion

4 RINGKASAN DARWO. Metode Pengaturan Hasil Hutan Tanaman Eucalyptus Berdasarkan Optimasi Tegakan Persediaan Nyata dan Erosi Tanah. Dibawah bimbingan ENDANG SUHENDANG, I NENGAH SURATI JAYA, HERRY PURNOMO, dan PRATIWI. Hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi guna memenuhi kebutuhan bahan baku indutri dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya. Suatu hamparan lahan di areal hutan tanaman secara spasial bisa beragam kualitas tempat tumbuh dan erosi tanah yang terjadi. Beragamnya kualitas tempat tumbuh dapat menimbulkan produksi kayu yang berbeda. Perbedaan tingkat erosi tanah yang terjadi dalam satu hamparan lahan akibat adanya variasi kondisi topografi. Lahan miring jika diolah secara terus-menerus tanpa melakukan teknik konservasi tanah, maka tanah akan tererosi sehingga produktivitas lahan akan menurun. Pengelompokan kualitas tempat tumbuh dan pengendalian erosi tanah di hutan tanaman menjadi penting untuk diketahui. Untuk itu, perlu dilakukan pengaturan hasil dengan memperhatikan kedua faktor tersebut. Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun rumusan metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus yang dapat memberikan panenan hasil yang sama setiap tahun dengan kendala tingkat erosi tanah yang tidak melebihi ambang batas yang ditentukan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tahapan: (1) menyusun kelas kualitas tempat tumbuh kawasan hutan tanaman eucalyptus berdasarkan indeks tempat tumbuh, (2) menentukan tingkat bahaya erosi di kawasan hutan tanaman eucalyptus berdasarkan Permenhut Nomor P.32/Menhut-II/2009, dan (3) menentukan kerapatan tegakan tinggal per hektar agar pada kemiringan lahan tertentu erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi. Penelitian dilakukan di kawasan hutan tanaman eucalyptus PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) Sektor Aek Nauli, dan menurut wilayah administrasi termasuk ke dalam Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak antara LU dan BT. Jenis eucalyptus yang diteliti adalah Eucalyptus urograndis. E. urograndis merupakan jenis hibrid hasil persilangan dari Eucalyptus urophylla S.T. Blake dan Eucalyptus grandis W.Hill ex Maid. E. urograndis diperuntukan sebagai bahan baku industri pulp. Jenis tanah di lokasi penelitian adalah sebagian besar Tropudults (Latosol) dan sisanya jenis Dystropepts (Latosol Coklat). Penelitian memperhatikan tiga aspek yaitu (a) pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus, (b) kualitas tempat tumbuh, dan (c) tingkat bahaya erosi yang terjadi di areal hutan tanaman eucalyptus. Untuk bahan penyusunan pertumbuhan dan hasil tegakan serta kualitas tempat tumbuh menggunakan data dari Petak Contoh Permanen (Permanent Sample Plot = PSP) dengan luas PSP 0,02 ha dalam bentuk lingkaran berjari-jari 11,28 m. Data parameter pertumbuhan tegakan yang dikumpulkan dari PSP yaitu peninggi, diameter, tinggi, luas bidang dasar, dan volume tegakan. Pengamatan erosi tanah dilakukan dengan menggunakan metode Petak Percobaan Lapangan untuk setiap kejadian hujan. Petak percobaan berukuran 22 x 4 m dipasang di areal tanah kosong, tegakan kelas umur 1, 2, 3, 4 dan 5 pada kemiringan lahan 9%, 15%, dan 25%. Analisis data menggunakan regresi, selanjutnya dilakukan pendugaan pertumbuhan dan hasil tegakan, penutupan tajuk, aliran permukaan dan erosi tanah setiap kejadian hujan, pengelompokan kualitas tempat tumbuh, penentuan tingkat bahaya erosi tanah dan penentuan kerapatan tegakan tinggal yang diperlukan pada kemiringan lahan tertentu agar erosi tanah yang terjadi masih dapat ditolensi (kurang dari 60 ton/ha/tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pengaturan hasil berdasarkan optimasi antara tegakan persediaan nyata dan erosi tanah dapat menghasilkan

5 produksi kayu tahunan secara berkelanjutan dan dapat mengendalikan erosi tanah sehingga produktivitas lahan dapat dipertahankan secara terus-menerus. Tingkat produktivitas lahan hutan tanaman eucalyptus di PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli beragam. Ada empat kelas kualitas tempat ditumbuh yaitu bonita I seluas 656,23 ha (13%); bonita II seluas 1.888,51 ha (36%); bonita III seluas 1.924,88 ha (37%); bonita IV seluas 706,04 ha (14%). Semakin baik kualitas tempat tumbuh, semakin pendek daur tebang. Bonita I dan II, riap volume maksimum pada umur 8 tahun, sedangkan bonita III dan IV riap volume maksimum pada umur 7 tahun. Bonita I, II, III, dan IV menghasilkan riap tahunan rata-rata berturut-turut adalah 20,95 m 3 /ha/tahun; 32,40 m 3 /ha/tahun; 37,48 m 3 /ha/tahun; dan 40,86 m 3 /ha/tahun. Rata-rata volume tegakan pada akhir daur untuk bonita I, II, III, dan IV masingmasing adalah 171,77 m 3 /ha; 265,67 m 3 /ha; 266,09 m 3 /ha; dan 290,10 m 3 /ha. Erosi akan meningkat dengan kondisi lahan semakin miring, namun semakin bertambah umur tegakan erosi semakin menurun. Titik rawan tingkat bahaya erosi tanah di kawasan hutan tanaman eucalyptus adalah pada lahan kosong. Pengelolaan hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli pada jenis tanah Latosol sampai batas kemiringan lahan kurang dari 34%, aman dari bahaya erosi tanah. Supaya erosi tanah dapat ditoleransi (erosi tanah kurang dari 60 ton/ha/tahun berdasarkan Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009 pada kedalam solum lebih dari 90 cm), maka pada kemiringan lahan 34 45%; 46 58%; dan 59 75% diperlukan penutupan tajuk berturut-turut adalah 21%; 38%; dan 53%. Jika ditebang pada umur 8 tahun, maka pada kemiringan lahan 34 45%, 46 58%, dan 59 75% diperlukan kerapatan tegakan tinggal berturut-turut adalah 279 phon/ha, 515 pohon/ha, dan 713 pohon/ha. Daur tebang 7 tahun dengan kemiringan lahan 34 45%, 46 58%, dan 59 75% diperlukan kerapatan tegakan tinggal berturutturut adalah 288 phon/ha, 530 pohon/ha, dan 735 pohon/ha. Daur tebang 6 tahun dengan kemiringan lahan 34 45%, 46 58%, dan 59 75% diperlukan kerapatan tegakan tinggal berturut-turut adalah 300 pohon/ha, 553 pohon/ha, dan 766 pohon/ha. Daur tebang 5 tahun dengan kemiringan lahan 34 45%, 46 58%, dan 59 75% diperlukan kerapatan tegakan tinggal berturut-turut adalah 319 phon/ha, 588 pohon/ha, dan 815 pohon/ha. Pada bonita yang sama dengan semakin pendek daur tebang, maka membutuhkan kerapatan tegakan tinggal yang semakin tinggi akibatnya volume kayu yang dipanen semakin berkurang. Daur optimum eucalyptus untuk kelas perusahaan pulp berdasarkan tegakan persediaan nyata dan erosi tanah adalah 7 tahun. Formula metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus berdasarkan optimasi antara tegakan persediaan nyata dan erosi tanah adalah:, dimana lpt = luas penutupan tajuk tegakan tinggal pada umur daur (setelah ditebang) (m 2 ), Lpt = luas penutupan tajuk tegakan pada umur daur (sebelum ditebang) (m 2 ), l i = luas lahan untuk kelompok kemiringan lahan ke-i (ha), (fp) i = faktor koreksi volume kayu yang dapat dipanen pada kelompok kemiringan lahan ke-i (nilai fp: 0 fp 1), n = banyaknya kelompok kemiringan lahan, AY = volume hasil kayu tebangan tahunan berdasarkan Formula Von Mantel yang telah dimodifikasi (m 3 /tahun), AY = volume hasil kayu tebangan tahunan berdasarkan Formula Von Mantel (m 3 /tahun), AG = tegakan persediaan nyata (m 3 ), R = daur tebang (tahun), FkD (Faktor koreksi Darwo untuk kendala erosi tanah), yaitu nilai rata-rata tertimbang faktor koreksi tegakan dalam seluruh areal unit pengelolaan hutan dengan pembobot luas areal untuk setiap kelompok kemiringan lahan yang terdapat dalam unit pengelolaan hutan tersebut (nilai FkD: 0 FkD 1). Kata kunci : Pengaturan hasil, eucalyptus, kualitas tempat tumbuh, riap, dan erosi

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.

7 METODE PENGATURAN HASIL HUTAN TANAMAN EUCALYPTUS BERDASARKAN OPTIMASI TEGAKAN PERSEDIAAN NYATA DAN EROSI TANAH D A R W O Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Penguji luar komisi pada ujian tertutup: 1. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.ScF.Trop 2. Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si Penguji luar komisi pada ujian terbuka: 1. Dr. Ir. Putera Parthama, M.Sc 2. Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop.

9 Judul : Metode Pengaturan Hasil Hutan Tanaman Eucalyptus Berdasarkan Optimasi Tegakan Persediaan Nyata dan Erosi Tanah Nama : D a r w o Nomor Pokok : E Program Mayor : Ilmu Pengelolaan Hutan Disetujui Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang,M.S. Prof.Dr.Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr. Ketua Anggota Dr.Ir. Herry Purnomo, M.Comp. Anggota Prof.(Ris.) Dr.Ir. Pratiwi, M.Sc. Anggota Ketua Program Studi Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Diketahui: Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr Tanggal Ujian: 31 Juli 2012 Tanggal lulus:

10 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi yang berjudul Metode Pengaturan Hasil Hutan Tanaman Eucalyptus Berdasarkan Optimasi Tegakan Persediaan Nyata dan Erosi Tanah telah dilaksanakan antara bulan Februari 2010 sampai dengan Maret Dengan selesainya penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS; Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya M.Agr; Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp.; dan Prof.(Ris.) Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, perhatian, dorongan, saran, dan masukan. 2. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.ScF.Trop; Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si; Dr. Ir. Putera Parthama, M.Sc; dan Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop. sebagai penguji luar komisi atas kesediaan untuk menguji dan memberikan saran serta masukan. 3. Pimpinan PT Toba Pulp Lestari beserta staf, Laboratorium Fisik Penginderaan Jauh Fahutan IPB dan para pihak yang telah membantu dalam proses penelitian. 4. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan beasiswa. 5. Kepada orang tua (Alm), istri, anak tercinta dan pihak-pihak lain atas segala dukungan dan doa dalam penyelesaian penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2012 D a r w o

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 26 Maret 1965 sebagai anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Carnya Hadisiswanto (Alm) dan Tarkiyah (Alm). Penulis menikah dengan Ir. Indah Sakti Siddik pada tahun 1996 dan kami dianugerahi seorang putra Muhammad Rafi Aulia dan dua putri, yaitu Hana Salsabila dan Maitsa Fadilah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun Pada tahun 2000 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana IPB dan selesai pada tahun Kesempatan melanjutkan ke jenjang program doktor di Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pasca Sarjana IPB pada tahun 2007 atas beasiswa dari Kementerian Kehutanan. Penulis bekerja sejak tahun 1992 sampai 2007 sebagai Peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, mulai tahun 2007 sampai sekarang penulis bertugas sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Penelelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, di Bogor.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN v vi ix PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis... 5 Kerangka Pemikiran Penelitian Manfaat Penelitian... 6 Kebaruan (Novelty) Hasil Penelitian yang Diharapkan TINJAUAN PUSTAKA... 9 Pembangunan Hutan Tanaman... 9 Karakteristik Tanaman Eucalyptus 9 Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Kualitas Tempat Tumbuh (Site Quality) Erosi Tanah Konservasi Tanah dan Air Pengaturan Hasil Hutan Kayu Sistem Informasi Geografis (SIG) Pemodelan Sistem dan Simulasi METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Analisis Spasial Kajian Kelestarian Hasil Analisis Sistem HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan... 87

13 SIMPULAN DAN SARAN. 97 Simpulan. 97 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.. 107

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil-hasil penelitian tentang pengaturan hasil Erosi permukaan di hutan tropis dan sistem pohon-tanaman pangan Kelas tingkat bahaya erosi menurut Permenhut Nomor P.32/Menhut- II/ Pengelompoken data PSP di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli... 5 Pengelompokan data plot aliran permukaan dan erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli... 6 Persamaan hubungan peninggi, diameter, tinggi dan volume tegakan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli... 7 Peninggi tegakan eucalyptus di setiap bonita di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 8 Model pendugaan diameter, tinggi dan volume tegakan untuk setiap bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli.. 9 Daur, riap tahunan rata-rata, dan volume tegakan untuk setiap kelas bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Persamaan hubungan aliran permukaan dengan curah hujan dan persen kemiringan lahan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Karakteristik lahan dan kondisi tegakan eucalyptus di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli Pendugaan aliran permukaan, erosi tanah, dan penutupan tajuk di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli.. 13 Etat luas dan etat volume tanpa mempertimbangkan faktor erosi tanah pada daur 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli.. 14 Etat luas dan etat volume dengan mempertimbangkan faktor erosi tanah pada daur 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli

15 15. Nilai faktor koreksi volume kayu eucalyptus yang dapat ditebang pada berbagai daur tebang 16. Hasil analisis biaya pembangunan hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli 17. Hasil analisis biaya pembangunan hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Ilustrasi pengaturan hasil formula Von Mantel Peta lokasi penelitian di hutan tanaman eucalyptus PT TPLSektor Aek Nauli Plot pengamatan aliran permukaan dan erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Tahapan analisis spasial lahan yang aman dari bahaya erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli.. 6. Kurva peninggi tegakan eucalyptus untuk setiap bonita di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli Kurva pertumbuhan total diameter (A), tinggi (B), dan volume tegakan eucalyptus (C) di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli 8. Kurva aliran permukaan (A) dan erosi tanah (B) pada kemiringan lahan 9%, 15%, dan 25% di lahan hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Kurva penutupan tajuk hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli Peta bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. 12. Hubungan keterkaitan antar sub model dalam pengaturan hasil di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Sub model pertumbuhan tegakan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Sub model pengaturan hasil di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Sub model penutupan tajuk tegakan eucalyptus di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli

17 16. Sub model erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Volume tegakan yang bisa dipanen pada (1) daur 5 tahun; (2) daur 6 tahun, (3) daur 7 tahun, dan (4) daur 8 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Erosi yang terjadi pada kemiringan lahan 34-45% (1); 46-58% (2); di atas 58% (3); persen penutupan tajuk (4); dan ambang batas toleransi erosi (60 ton/ha/tahun) (5) di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Titik BEP usaha pembangunan hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli. 20. Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 5 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 6 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 7 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 7 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 25. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 26. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 27. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli

18 28. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli 33. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli 34. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli 35. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli 36. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli 38. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli 39. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data karakteristik tegakan eucalyptus di PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli Data aliran permukaan dan erosi di lahan kosong Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur I 4. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur II Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur III. 6. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur IV. 7. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur V Persamaan penduga erosi tanah pada berbagai kemiringan lahan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. 9. Foto kondisi lahan dan tegakan eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli Hasil analisis regresi peninggi, diameter, tinggi, dan volume tegakan dengan umur tegakan Hasil analisis regresi pada bonita I Hasil analisis regresi pada bonita II Hasil analisis regresi pada bonita III Hasil analisis regresi pada bonitaiv Hasil analisis regresi hubungan aliran permukaan dan erosi dengan curah hujan dan kemiringan lahan Kuantifikasi model 155

20 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi guna memenuhi kebutuhan bahan baku indutri dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (Dephut 1999). Pembangunan hutan tanaman di Indonesia dimaksudkan untuk dapat meningkatkan produktivitas lahan hutan dengan berlandaskan kepada prinsip kelestarian hasil. Untuk mencapai kelestarian hasil diperlukan kondisi hutan normal yaitu hutan yang dibentuk oleh tegakantegakan yang pertumbuhannya normal yang memenuhi syarat-syarat konsep ideal susunan umur tegakan, besarnya volume tegakan persediaan, sebaran ukuran pohon-pohon dalam tegakan dan riap tegakan (Helms 1998). Kelestarian hasil menyatakan bentuk prinsip yang dipegang dalam pengelolaan tegakan hutan yang bersifat dapat memberikan hasil secara lestari, sedangkan hutan normal menyatakan bentuk wujud hutan yang menjadi syarat agar daripadanya dapat diperoleh hasil secara lestari (Suhendang 1999). Untuk mencapai kelestarian hasil diperlukan rencana pengelolaan jangka panjang, dimana pengaturan hasil merupakan komponen utamanya. Pengaturan hasil merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengontrol hasil hutan dan produk lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan termasuk kapan, dimana, dan bagaimana hasil seharusnya dapat dipanen (FAO 1998). Prinsip dasar dalam pengaturan hasil adalah mengatur panenan kayu yang sama setiap tahun secara terus-menerus dalam jangka panjang (Roise et al. 2000). Kelestarian hasil tegakan akan dicapai apabila pertumbuhan dan panen berlangsung secara seimbang. Kelestarian hasil dipakai sebagai prinsip dasar dalam pemanenan dan sangat bergantung pada sistem pengaturan hasil yang digunakan. Pada saat ini, metode pengaturan hasil dalam hutan tanaman dirumuskan hanya berdasarkan pada aspek produksi, sedangkan dampak yang terjadi seperti erosi tanah belum diperhatikan dalam metode pengaturan hasil. Pembangunan hutan tanaman tidak hanya memfokuskan keberlanjutan fungsi produksi, namun perlu juga memperhatikan keberlanjutan fungsi lindung. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa pengelolaan hutan harus dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan

21 2 aneka fungsi hutan dan ekosistem termasuk fungsi produksi dan lindung untuk mencapai manfaat yang seimbang dan lestari. Untuk dapat mewujudkan prospek pengelolaan hutan tanaman yang baik, maka metode pengaturan hasil yang perlu diterapkan, yaitu (1) bagaimana mengatur hasil hutan tanaman berdasarkan tingkat produktivitas lahan, dan (2) bagaimana melindungi lahan hutan tanaman agar dampak erosi tanah yang terjadi dapat diminimalisir. Keberlanjutan panenan menunjukkan jumlah volume kayu yang ditebang sama, baik kuantitas maupun kualitas secara terus-menerus dalam periode jangka panjang. Adanya keragaman kualitas tempat tumbuh mengakibatkan produksi tegakan suatu jenis tertentu di lokasi yang satu dengan lokasi lainnya tidak selalu sama (Jayaraman & Rugmini 2008). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelompokkan kualitas tempat tumbuh agar setiap tahun luas tebangan dan volume kayunya sama. Pengaturan hasil dengan mengatur luas tebangan yang sesuai dengan produktivitas lahan berarti mengelola vegetasi dalam suatu bentang alam yang terkait dengan tingkat produktivitas tegakan (Krebs 1994). Pemanenan yang melebihi kapasitas pertumbuhan tegakan setempat akan menyebabkan tidak tercapainya asas kelestarian, dan sebaliknya apabila intensitas pemanenan terlampau rendah berarti pemanfaatan hutan tanaman tidak optimal. Seperti terjadi di hutan tanaman jati di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu, KPH Randublatung dan KPH Blora tidak mencapai prospek pengelolaan yang baik karena penebangan lebih besar dari volume kayu yang ditentukan setiap tahunnnya (Kuncahyo 2006). Panenan harus diatur sedemikian rupa sehingga tetap tidak melampui kapasitas sumberdaya hutannya (Seydack 1995). Kehadiran vegetasi pada suatu areal mampu mengendalikan bahaya erosi tanah. Vegetasi mampu mengendalikan laju aliran permukaan sehingga dapat mengurangi bahaya erosi tanah (Sukirno 1995). Tingkat penurunan erosi tanah tergantung pada komposisi jenis dan tipe penutupannya (Arrijani et al. 2006; Arsyad 2006; Asdak 2007). Pada lahan hutan dengan kemiringan antara 8,75 16,5% hampir tidak menimbulkan erosi tanah, sedangkan pada lahan yang tidak ditumbuhi tanaman erosinya hampir mencapai 45 ton/ha/tahun (Bennet 1995). Pada hutan tanaman Acacia mangium selama tiga tahun pertama setelah tanam telah menimbulkan aliran permukaan yang tinggi sehingga menimbulkan erosi

22 3 tanah yang tinggi, hal ini diakibatkan tajuk tanaman belum menutupi (Pratiwi 2007). Berkurangnya penutupan lahan oleh vegetasi terutama di lahan-lahan miring mengakibatkan laju aliran permukaan dan erosi tanah meningkat (Ispriyanto et al. 2001). Berkurangnya tutupan tajuk dan kondisi lereng yang miring akan meningkatkan potensi perusakan tanah oleh jatuhnya air hujan (Hamilton dan King 1997; Sukresno et al. 2002). Peningkatan erosi tanah dalam jangka panjang akan mengakibatkan menurunnya kesuburan tanah. Penurunan kesuburan tanah akan menyebabkan penurunan produktifitas sumberdaya lahan (Ispriyanto et al. 2001). Pengaturan hasil hutan menjadi sangat penting, karena hampir semua ekses yang ditimbulkan dalam kelola hutan produksi bersumber dari adanya pemanenan kayu. Hal ini perlu dilakukan suatu pengkajian yang mendalam menyangkut metode pengaturan hasil di hutan tanaman untuk mendapatkan produksi yang lestari dengan mempertimbangkan kualitas tempat tumbuh dan dampak erosi tanah yang terjadi. Untuk itu, penelitian perlu dilakukan di areal yang tingkat topografinya yang beragam. Salah satu lokasi yang dipilih adalah hutan tanaman eucalyptus di Provinsi Sumatera Utara yang dikembangkan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) untuk kelas perusahaan kayu serat (pulp) yang berada di daerah dataran tinggi. Jenis eucalyptus yang diteliti adalah Eucalyptus urograndis. E. urograndis merupakan jenis hasil persilangan antara Eucalyptus urophylla S.T. Blake dengan Eucalyptus grandis W.Hill ex Maid. Jenis eucalyptus ini cocok dikembangkan di daerah tropis (Harwood 1998; Leksono 2010) yang dipanen pada umur 6-7 tahun (Harmoko 2004; Quilho et al. 2006), dan layak untuk digunakan sebagai bahan baku pulp pada umur 4 5 tahun (Sihite 2008). Rumusan Masalah Untuk mewujudkan pengelolaan hutan tanaman eucalyptus secara berkelanjutan, maka produktivitas harus dipertahankan bahkan ditingkatkan dari periode tebang yang satu ke periode tebang berikutnya (Nambiar 2004). Kelestarian produksi dari hutan tanaman sangat ditentukan oleh keeratan hubungan antara peubah yang saling mempengaruhi produktivitas lahan hutan, yaitu kualitas tempat tumbuh, pertumbuhan dan hasil tegakan, dan dampak erosi tanah yang terjadi (Nambiar & Brown 1997).

23 4 Kualitas tempat tumbuh di hutan tanamam eucalyptus perlu diketahui guna mengindentifikasi produktivitas tegakan baik pada saat sekarang maupun yang akan datang. Kualitas tempat tumbuh biasanya dinyatakan dengan kelas kualitas tempat tumbuh (bonita) yang dapat digunakan sebagai dasar pendelenasian kawasan hutan ke dalam unit-unit pengelolaan yang homogen (Davis et al. 2001). Penyusunan pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus harus didukung tersedianya data/informasi potensi tegakan yang dihadapi saat ini, dan kemampuan memproyeksikan potensi masing-masing tegakan di setiap kelas kualitas tempat tumbuh pada saat menjelang tebangan. Data potensi tegakan saat ini dapat diketahui dengan kegiatan inventarisasi hutan, sedangkan proyeksi struktur tegakan menjelang tebangan dapat dijabarkan dengan bantuan model pertumbuhan dan hasil tegakan. Atas dasar permasalahan di atas, maka masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Sejauhmanakah kualitas tempat tumbuh kawasan hutan tanaman eucalyptus? 2. Bagaimanakah tingkat bahaya erosi yang terjadi di kawasan hutan tanaman eucalyptus? 3. Berapakah kerapatan tinggal per hektar pada kemiringan lahan tertentu agar erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi? 4. Dengan memperhatikan permasalahan 1, 2 dan 3, maka bagaimanakah rumusan metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus yang dapat memberikan panenan hasil yang sama setiap tahun dengan kendala tingkat erosi tanah yang tidak melebihi ambang batas yang ditentukan? Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun rumusan metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus yang dapat memberikan panenan hasil yang sama setiap tahun berdasarkan tegakan persediaan nyata dengan kendala tingkat erosi tanah yang tidak melebihi ambang batas yang ditentukan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tahapan: 1. Menyusun kelas kualitas tempat tumbuh kawasan hutan tanaman eucalyptus berdasarkan indeks tempat tumbuh.

24 5 2. Menentukan tingkat bahaya erosi di kawasan hutan tanaman eucalyptus berdasarkan Permenhut No. P.32/Menhut-II/ Menentukan kerapatan tegakan tinggal per hektar agar pada kemiringan lahan tertentu erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi. Hipotesis Untuk menjawab permasalahan penelitian seperti yang telah diuraikan di atas dapat diajukan tiga hipotesis sebagai berikut: 1. Kelas kualitas tempat tumbuh dapat mempengaruhi produksi tegakan eucalyptus. 2. Kondisi lahan, curah hujan dan kelas umur tegakan eucalyptus akan mempengaruhi tingkat bahaya erosi tanah. 3. Erosi tanah pada tingkat kemiringan lahan tertentu akan menentukan kerapatan tegakan tinggal per hektar. Kerangka Pemikiran Penelitian Beragamnya kualitas tempat tumbuh telah menghasilkan produksi kayu yang berbeda (Devis et al. 2001), dan kondisi topografi yang beragam dapat menimbulkan erosi yang berbeda (Arsyad 2006). Pengelompokan kualitas tempat tumbuh merupakan salah satu cara untuk mengatur luas dan hasil tebangan yang sama setiap tahun. Pengendalian erosi tanah sampai batas yang ditoleransi dapat mempertahan tingkat produktivitas lahan secara berkelanjutan. Dengan demikian, pengelompokan kualitas tempat tumbuh dan pengendalian bahaya erosi tanah merupakan suatu metode pengaturan hasil yang perlu dikaji di lahan hutan tanaman (Gambar 1).

25 6 Peninggi Umur tegakan Volume tegakan Curah Hujan Kondisi lahan Kemiringan lahan Model indeks tempat tumbuh Model pertumbuhan dan hasil tegakan Model erosi di berbagai kondisi lahan Kelas kualitas tempat tumbuh Tingkat produktivitas tegakan Erosi di berbagai kondisi & kemiringan lahan Jumlah pohon per hektar yang tidak ditebang Analisis pengaturan Tidak Penutupan tajuk Ya Metode pengaturan hasil berdasarkan optimasi antara tegakan persediaan nyata dan erosi tanah Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, kepada berbagai pihak dengan rincian sebagai berikut: a. Bagi para pengambil kebijakan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Penelitian ini akan menyajikan informasi dan pembelajaran dari studi kasus untuk mendukung pengelolaan hutan tanaman. b. Bagi kelompok akademisi. Penelitian ini akan memberikan sumbangan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam analisis pengaturan hasil, khususnya untuk diterapkan pada upaya pengembangan hutan tanaman. c. Bagi pelaku pengelola hutan tanaman. Hasil penelitian akan memberikan informasi dan pembelajaran dari studi kasus, tentang hambatan yang dihadapi

26 7 dan solusinya dalam rangka merumuskan metode pengaturan hasil di kawasan hutan tanaman. Kebaruan (Novelty) Hasil Penelitian yang Diharapkan Penelitian yang telah dilakukan dalam pengaturan hasil pada saat ini masih terfokus pada aspek produksi hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Perum Perhutani (1974), Dephut (1989), Suhendang (1993), Seydack (1995), Wahyono (1995), Krisnawati (2001), Baroto (2001), Kuncahyo (2006), van Gardingen et al. (2006) (Tabel 1). Namun dampak lingkungan seperti erosi tanah belum ditelaah dalam metode pengaturan hasil di hutan tanaman. Oleh karena itu, rancangan kebaruan (novelty) hasil penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah rumusan tentang metode pengaturan hasil berdasarkan optimasi antara tegakan persediaan nyata dan erosi tanah. Sebagai gambaran mengenai keaslian rumusan masalah penelitian yang telah dilakukan ini, dapat dilihat dari masalah-masalah yang telah diteliti dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil-hasil penelitian tentang pengaturan hasil No. Kategori Sumber 1. Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume Perum Perhutani (1974) 2. Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume Dephut (1989) 3. Pengaturann hasil berdasarkan jumlah pohon Suhendang (1993) 4. Pengaturan hasil berdasarkan volume dan riap Wahjono (1995) 5. Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume Seydack (1995) 7. Pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon Krisnawati (2001) 8. Pengaturan hasil berdasarkan luas dengan volume, dan volume dengan riap Baroto (2001) 9. Pengaturan hasil berdasarkan tegakan Kuncahyo (2006) persediaan, riap tegakan dan gangguan hutan 10. Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume van Gardingen et al. (2006) Dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa metode pengaturan hasil yang telah dilakukan berdasarkan: (a) luas dan volume, (b) jumlah pohon, (c) volume dan riap, dan (d) tegakan persediaan, riap tegakan dan gangguan hutan.

27 8

28 9 TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Hutan Tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Indonesia telah mengupayakan pembangunan HTI dalam rangka merehabilitasi kawasan hutan yang tidak/kurang produktif atau mengalami degradasi, agar mampu menghasilkan produk kayu untuk memenuhi bahan baku industri kehutanan (Kustiawan 2006). Program HTI diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tegakan, kualitas tempat tumbuh tetap terjaga, dan terpenuhinya pasokan bahan baku bagi kepentingan industri serta penyerapan lapangan usaha (Dephut 1999). Pada tahun 1990-an telah dibangun HTI secara besar-besaran dengan berlandaskan kepada PP No. 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Tujuan pembangunan HTI yaitu: 1. Meningkatkan produktivitas, potensi dan kualitas kawasan hutan produksi yang tidak produktif. 2. Memenuhi kebutuhan bahan baku industri. 3. Menunjang pengembangan industri hasil hutan guna meningkatkan nilai tambah dan devisa. 4. Memperbaiki mutu lingkungan hidup. 5. Memperluas kesempatan kerja dan kesempatan usaha. Berdasarkan PP No. 6 Tahun 1999 bahwa tujuan pembangunan hutan tanaman adalah untuk memperbaiki potensi hutan yang terlanjur rusak dan untuk memenuhi bahan baku industri, sehingga membangun HTI sama dengan merehabilitasi kawasan hutan produksi yang kritis dan tidak produktif.

29 10 Karakteristik Tanaman Eucalyptus Eucalyptus termasuk famili Myrtaceae yang tumbuh tersebar mulai dari Australia, Selandia Baru, Papua New Guinea, Filipina, Kepulauan Pasifik Selatan, dan Indonesia bagian Timur (Kepulauan Timor dan sekitarnya, Irian Jaya, Pulau Seram, dan Sulawesi). Pada umumnya pohon eucalyptus berbatang bulat, lurus tidak berbanir dan sedikit cabang, berbentuk semak sampai berbentuk pohon. Daun eucalyptus pada umumnya berbentuk lanset sampai bulat telur, bagian ujung agak berkait, panjang daun cm, lebar 1,5-5 cm. Pada pohon yang masih muda kedudukan daun berhadapan, sedangkan pada pohon yang sudah tua kedudukan daun agak bersilang. Bunga eucalyptus mengumpul atau berbongkol dan bertangkai. Buah berbentuk bulat seperti lonceng dengan ukuran 6-16 mm, berwarna hijau kekuningan, berisi banyak biji (Sutisna et al. 1998). Pada umumnya jenis-jenis Eucalyptus spp. berukuran besar dengan tajuk pohon jarang dan bebas cabang tinggi sekali. E. urophylla merupakan jenis cepat tumbuh. Jenis E. urophylla yang unggul diameter pohonnya bisa mencapai 120 cm dengan tinggi 35 m, sedangkan jenis E. grandis mempunyai keistimewaan dapat mencapat tinggi pohon m dan diameter pohon 1-2 m dengan bebas cabang yang sangat tinggi mencapai tiga perempat dari tinggi total (Dirjen RRL 1998). E. grandis merupakan jenis eucalyptus yang sangat cepat dalam pertumbuhannya terutama pohon dapat mencapai tinggi di atas 75 m dengan warna kulit batang putih kehijauan yang halus (Eldridge et al. 1993). Tanaman eucalyptus dapat tumbuh mulai dari dataran rendah (di tepi pantai) sampai pada ketinggian m dpl. Tanaman ini menyukai daerah tropis, curah hujan antara mm/tahun, suhu antara 22-32,5 o C dan dapat hidup pada berbagai jenis tanah. Persyaratan tumbuh, baik keadaan tanah maupun lingkungan berbeda-beda tergantung jenisnya, jenis E. urophylla merupakan jenis yang tumbuh alami di bagian Timur Indonesia yaitu di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Gunung Mutis Soe. Jenis ini menyukai kawasan yang beriklim kering dengan type hujan C, D dan E dari Schimdt dan Ferguson, tumbuh tersebar pada ketinggian m dpl dan masih di jumpai di daerah tertentu pada ketinggian sampai m dpl dengan curah hujan mm/tahun. Tumbuh baik pada tanah alluvial dan sarang, tanah berdrainase baik

30 11 dan bersifat toleran terhadap tanah padat dan asam, tanah miskin zat mineral dan kandungan air kurang serta relatif tahan terhadap api. Musim bunga jenis ini berlangsung antara bulan Januari hingga Maret, buah masak yang siap dipanen biasanya pada bulan Juni hingga September, dan pembuahan terjadi setiap tahun secara periodik (Yulianti & Kurniawati 2003). Jenis E. grandis menghendaki iklim C dan D, ketinggian tempat sekitar m dpl, curah hujan tahunan rata-rata mm dengan temperatur maksimum sekitar C. Tumbuh baik pada lahan datar atau dengan kemiringan yang tidak curam, serta tumbuh pada tanah alluvial di tempat-tempat dekat air tetapi tidak tergenang air dan mengandung lempung. Musim berbunga dan berbuah jenis ini antara bulan Januari sampai Agustus (Boland et al. 1989). E. urograndis (E. urophylla x E. grandis) merupakan hasil persilangan antara E. urophylla dan E. grandis, sehingga E. urograndis diharapkan dapat tumbuh pada tempat tumbuh kedua tetuanya. Di Indonesia E. urograndis diusahakan dalam skala luas oleh PT Toba Plup yang berada di Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Di Brazil tanaman E. urograndis tumbuh baik pada tanah jenis Ultisol dan Oxisol yang bersolum dalam dan memiliki kapasitas menyimpan air sedang, pada curah hujan rata-rata mm per tahun. E. urograndis dapat tumbuh baik pada ketinggian tempat antara m dpl dan suhu rata-rata 25 C, suhu maksimum 29 C dan suhu minimum sekitar 20 C (Gonçalves et al. 1997). Jenis eucalyptus menyukai cahaya dan selalu hijau sepanjang tahun. Pada waktu muda pertumbuhan diameter dan tingginya termasuk cepat (Napitupulu 1995). Menurut Mackensen (2000), eucalyptus membutuhkan tapak dengan tanah yang dalam dan pasokan air yang cukup serta membutuhkan perawatan yang intensif, terutama dalam hal pengendalian tanaman pengganggu. Menurut Eldridge et al. (1993), jenis Eucalyptus spp. banyak memerlukan cahaya namun kurang memberikan naungan. Perkembangan akar tunggang ke arah vertikal sangat cepat dan dapat mencapai kedalaman 4 meter dan perkembangan perakaran lateral juga intensif sehingga eucalyptus harus ditanam pada tanah dengan solum yang cukup tebal.

31 12 Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Informasi pertumbuhan dan hasil tegakan dalam bentuk ukuran kuantitatif merupakan informasi sangat penting untuk keberhasilan pengelolaan hutan, karena informasi tersebut merupakan dasar penyusunan rencana pengelolaan yang merupakan titik tolak tingkat perolehan hasil dan pencapaian asas kelestarian. Pemanenan yang melebihi kapasitas pertumbuhan tegakan akan menyebabkan tidak tercapainya asas kelestarian, tetapi sebaliknya apabila intensitas pemanenan terlampau rendah berarti pemanfaatan sumberdaya hutan tidak optimal dan mengurangi pendapatan usaha. Pertumbuhan dan hasil tegakan berkaitan erat satu sama lain karena hasil suatu tegakan merupakan akumulasi riap dari tegakan yang bersangkutan selama periode tumbuhnya atau sampai waktu tertentu (Spurr 1952). Pertumbuhan tegakan merupakan tulang punggung ilmu pengelolaan hutan yang bertujuan menghasilkan kayu (Simon 2007). Pertumbuhan/Riap menyatakan pertambahan atau perubahan dimensi/kuantitas pohon atau tegakan dalam periode waktu tertentu, sedangkan hasil adalah dimensi akhir tegakan atau total produksi yang diperoleh pada akhir periode waktu tertentu atau saat pemanenan (Vanclay 1994). Bahkan bisa menyatakan pertambahan luas bidang dasar, diameter atau tinggi pohon dalam periode tertentu (Simon 2007). Prodan (1968) mendefinisikan pertumbuhan sebagai suatu sistem organik di dalam waktu tertentu yang diukur menurut satuan panjang, berat, isi dan luas. Dalam ukuran kuantitatif, pada umumnya informasi pertumbuhan dan hasil tegakan dirangkum dalam bentuk model pertumbuhan atau model hasil yang merupakan hubungan parameter tegakan dengan umur. Vanclay (1994) menerangkan bahwa model pertumbuhan dan model hasil dapat digunakan: 1. Untuk menilai produktivitas hutan. 2. Untuk memprediksi hasil kayu (volume kayu) pada masa yang akan datang. 3. Untuk menguji beberapa pilihan teknik silvikultur dan pemanenan. 4. Untuk menentukan pemanenan secara lestari. 5. Untuk memperoleh informasi dampak pengelolaan hutan dan pemanenan terhadap nilai hutan lainnya.

32 13 Model pertumbuhan dan hasil adalah alat penting untuk mengevaluasi karakteristik hutan (Vanclay 1994; Soares et al 1995). Sementara banyak model telah dikembangkan untuk mensimulasikan pertumbuhan dan hasil hutan, hanya beberapa model telah dikembangkan dan diterapkan untuk mendukung rencana pengelolaan hutan (van Gardingen et al. 2006). Oleh karena itu, model pertumbuhan dan hasil harus disusun di setiap unit pengelolaan hutan tanaman. Didasari pernyataan bahwa pertumbuhan adalah perubahan dimensi tegakan dalam periode waktu tertentu. Apabila periode waktu dibuat 1 tahun, maka pertumbuhan adalah riap tahun berjalan (Current Annual Increment - CAI). CAI merupakan turunan (differential) pertama dari model hasil. Riap tahunan rata-rata (Mean Annual Increment MAI) merupakan bentuk informasi sederhana dari gambaran pertumbuhan tegakan. Dengan melihat MAI secara mudah dapat dibayangkan perkembangan tegakan yang bersangkutan. Sebagai contoh suatu tegakan pada umur 8 tahun mempunyai MAI sebesar 25 m 3 /ha/tahun, maka dengan cepat diperhitungkan bahwa volume tegakan pada umur 8 tahun adalah 200 m 3 /ha. Riap diameter dan tinggi pohon merupakan komponen yang penting dalam menentukan riap volume. Riap volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan (jumlah) pohon yang menyusun tegakan tersebut, jenis, dan kesuburan tanah. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari kecepatan tumbuh diameter, yang setiap jenis mempunyai laju yang berbeda-beda (Simon 2007). Kondisi pertumbuhan tersebut dikenal dengan model sigmoid (mengikuti bentuk S terhadap waktu), yaitu pada awal pertumbuhan meningkat perlahan, kemudian cepat, selanjutnya lambat sampai konstan dan akhirnya berhenti pada umur tanaman tua (Prodan 1968). Penentuan CAI dan MAI sangat penting dalam penentuan daur volume maksimum yaitu titik perpotongan antara kurva CAI dengan kurva MAI dimana tegakan mencapai riap volume maksimum. Oleh karena itu, umur tersebut ditetapkan sebagai daur volume maksimum (Simon 2010). Pohon sebagai komponen penyusun ekosistem tidak dapat terlepas dari komponen ekosistem lainnya. Komponen ekosistem tersebut saling berpengaruh dan terkait satu sama lain secara simultan dan akan mempengaruhi pertumbuhan

33 14 pohon. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon/tegakan dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu faktor genetik, faktor lingkungan, dan tindakan silvikultur. Faktor-faktor lingkungan yang berhubungan dengan pertumbuhan pohon dapat dipilah menjadi kerapatan tegakan, kondisi iklim dan kondisi tanah (Bruce & Schumacher 1950; Kramer & Kozlowski 1960). Produktivitas yang tinggi dari jenis cepat tumbuh merupakan daya tarik bagi pengusaha untuk berinvestasi pada hutan tanaman. Hutan alam pada umumnya mempunyai riap yang rendah sebesar 1-2 m 3 /ha/tahun (Nambiar & Brown 1997), sedangkan riap di hutan tanaman antara m 3 /ha/tahun dan bahkan dapat mencapai 50 m 3 /ha/tahun untuk jenis-jenis tertentu (Evans 1992). Riap jenis-jenis eucalyptus sangat beragam tergantung faktor lingkungan dan managemen yang diterapkan. Di Brazil, MAI eucalyptus dengan daur tebang 8-10 tahun dapat mencapai m 3 /ha/tahun, di Kongo dengan daur tebang 7 tahun mencapai 30 m 3 /ha/tahun, di Rwanda pada daur tebang 8 tahun menghasilkan 8,5 m 3 /ha/tahun, di Afrika Selatan dengan daur tebang 8-10 tahun mencapai m 3 /ha/tahun, dan di Burundi pada daur tebang 8 tahun hanya mencapai antara 1 2 m 3 /ha/tahun (FAO 1993; Nambiar & Brown 1997). E. urograndis telah dikembangkan secara luas dalam skala operasional di Afrika Selatan dan Kongo. Produktivitas E. urograndis sangat tinggi dan memiliki riap tahunan rata-rata sebesar 70 m 3 /ha/tahun (Campinhos 1993). Sedangkan di Brazil E. urograndis menghasilkan MAI dengan kisaran m3/ha/tahun (Gonçalves et al. 1997). Produktivitas E. urograndis sangat ditentukan oleh jenis tanah dan besarnya curah hujan tahunan. Di Brazil, MAI E. urograndis sebesar 30 m 3 /ha/tahun dengan curah hujan kurang dari mm/tahun, curah hujan antara mm/tahun sekitar m 3 /ha/tahun. Sedangkan pada areal yang mempunyai curah hujan lebih dari mm/tahun MAI mencapai m 3 /ha/tahun (Fisher & Binkley 2000).

34 15 Kualitas Tempat Tumbuh (Site Quality) Dalam konteks pengelolaan hutan produksi, kualitas tapak (kualitas tempat tumbuh) dipandang sebagai potensi produksi dari suatu tapak bagi jenis tertentu. Potensi produksi tersebut merupakan resultanse dari interaksi antara jenis yang bersangkutan dengan berbagai faktor meliputi kondisi tanah (sifat fisik, komposisi kimia, kandungan hara, dan mikroorganisme tanah), dan kondisi iklim (temperatur, jumlah dan distribusi hujan sepanjang tahun, dan kelembaban udara), serta karakteristik topografi (Bruce & Schumacher 1950; Husch et al. 2003). Penentuan kualitas tempat tumbuh sangat terkait dengan banyaknya kayu yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan. Produktivitas kayu dari suatu lahan hutan dan kualitas tempat tumbuh didefinisikan oleh Davis et al. (2001) sebagai jumlah volume maksimum yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan dalam daur tertentu, sehingga dapat dijelaskan seberapa baik suatu lahan dan berapa banyak kayu yang dapat dihasilkan dari pertumbuhannya. Kualitas tempat tumbuh merupakan nilai petunjuk (indeks) yang berhubungan dengan produktivitas kayu. Hasil ini semakin menegaskan hubungan yang erat antara kualitas tempat tumbuh dengan produktivitas kayu yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan. Semakin baik kualitas tempat tumbuh, maka produktivitas kayu yang dihasilkan juga akan semakin besar. Indeks tempat tumbuh (site index) merupakan pendekatan yang paling umum digunakan untuk menaksir kualitas tempat tumbuh pada pengelolaan hutan. Site index didefinisikan sebagai tinggi pohon maksimum pada umur tertentu sebagai dasar penentuannya (Davis et al. 2001). Metode ini menduga kualitas tempat tumbuh secara tidak langsung dengan menggunakan paremeter umur dan peninggi. Dalam pengelolaan tegakan jati, kelas kualitas tempat tumbuh disebut juga dengan bonita. Menurut Davis et al. (2001) pendekatan kelas kualitas tempat tumbuh ini lebih baik daripada metode pendugaan yang menggunakan pendekatan karakterisitik tanah maupun komposisi tumbuhan bawah, karena tinggi pohon merupakan parameter yang paling praktis, bersifat konsisten dan indikator yang berguna untuk menduga produktivitas kayu dari suatu tempat tumbuh (tapak). Hal ini dikarenakan pertumbuhan peninggi pada pohon-pohon dominan dalam strata tajuk atas peka terhadap perbedaan kualitas tempat tumbuh, mempunyai

35 16 hubungan yang kuat dengan pertumbuhan volume, dan mempunyai hubungan yang lemah dengan kepadatan serta komposisi jenis. Indeks tempat tumbuh menunjukkan rata-rata tinggi dari pohon dominan pada berbagai variasi umur yang dibuat untuk spesies tertentu pada suatu daerah (Davis et al. 2001). Setiap spesies memiliki kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda pada berbagai macam kondisi tempat tumbuh, oleh karena itu grafik bonita hanya berlaku untuk spesies tertentu pada tempat tumbuh tertentu pula. Kurva site index dibuat berdasarkan sebaran data pertumbuhan dalam bentuk peninggi pada setiap umur. Bentuk kurva pertumbuhan dapat mengikuti model anomorphic maupun polymorphic. Kurva anomorphic dikembangkan dengan mencocokan rata-rata peninggi dengan umur panduan (akhir daur) yang didasarkan pada data dan menyusun rangkaian dari kurva tertinggi atau terendah dengan bentuk kurva yang seragam sesuai dengan kurva panduan (Davis et al. 2001). Asumsi yang dibangun pada bentuk kurva anomorphic adalah koefisien variasi dari peninggi tegakan yang digunakan untuk menentukan kurva panduan adalah konstan. Kurva ini memiliki keterbatasan yaitu secara rinci dari hasil analisis batang, pohon yang tumbuh pada tempat yang berbeda tidak semuanya menunjukkan bentuk kurva pertumbuhan meninggi yang sama (Davis et al. 2001). Kurva anomorphic lebih banyak digunakan dalam pembuatan site index tegakan dengan variabel terikatnya berupa peninggi dan sebagai variabel bebasnya adalah umur tegakan, sehingga bentuk persamaan yang dihasilkan sederhana, mudah dan memiliki bentuk pertumbuhan yang mendekati dengan pertumbuhan tegakan yang sebenarnya (Onyekwelu 2005). Erosi Tanah Erosi tanah adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain, baik disebabkan oleh pergerakan air, angin, dan es. Di daerah tropis seperti Indonesia, erosi terutama disebabkan oleh air hutan. Menurut Arsyad (2006), erosi terjadi akibat interaksi kerja antara faktor iklim, topografi, vegetasi dan manusia. Pratiwi (2007) menyatakan bahwa erosi sangat ditentukan antara lain oleh kelerengan, jenis tanah, dan jenis/umur tanaman. Semakin tinggi kelerengan, semakin tinggi erosi tanah. Jenis-jenis tanah yang peka terhadap erosi akan mempercepat sedimentasi. Lebih lanjut Pratiwi dan

36 17 Mindawati (2005) menyatakan bahwa pada hutan tanaman Acacia mangium erosi akan menurun dengan bertambahnya umur tegakan. Hal ini terjadi juga di hutan tanaman E. pellita dengan semakin tua umur tegakan, tingkat erosi semakin menurun (umur tegakan 2 tahun erosi yang terjadi 6,55 ton/ha/tahun, umur 3 tahun besarnya erosi 6,07 ton/ha/tahun, dan umur 4 tahun erosinya menjadi 4,39 ton/ha/tahun) (Wibowo et. al. 2010). Semakin bertambah umur tegakan, maka akan terjadi peningkatan jumlah serasah sehingga akan menahan laju aliran permukaan dan akibatnya akan terjadi penurunan erosi tanah. Faktor tanah yang mempengaruhi erosi dan sedimentasi yang terjadi adalah luas jenis tanah yang peka terhadap erosi, luas lahan kritis atau daerah erosi dan luas tanah berkedalaman rendah. Sedangkan kondisi sifat tanah yang baik yaitu kondisi solum yang dalam, porositas tanah yang tingi, dan permeabilitas yang tinggi akan menyebabkan besarnya nilai infiltrasi sehingga aliran permukaan menjadi kecil (Ispriyanto et al. 2001). Tabel 2. Erosi permukaan di hutan tropis dan sistem pohon tanaman pangan No. Penggunaan lahan Erosi (ton/ha/tahun) Minimum Median Maksimum 1 Hutan alam 0,03 0,30 6,20 2 Ladang berpindah, periode bera 0,05 0,20 7,40 3 Perkebunan 0,02 0,60 6,20 4 Kebun pohon-pohonan multi strata 0,01 0,10 0,20 5 Tanaman pohon-pohonan dengan 0,10 0,80 5,60 tanaman penutup tanah/mulsa 6 Ladang berpindah, periode 0,40 2,80 70,00 penanaman 7 Tumpang sari pertanian dengan 0,60 5,20 17,40 hutan tanaman yang masih muda 8 Tanaman pohon-pohonan, disiangi 1,20 48,00 183,00 bersih 9 Hutan tanaman, serasah dibersihkan atau dibakar 5,90 53,00 105,00 Sumber: Bruijnzeel (1988) dalam Purwanto dan Ruijter (2004) Kecilnya aliran permukaan yang terjadi menyebabkan kecilnya erosi yang terjadi karena aliran permukaan merupakan media yang sangat penting sebagai pembawa masa tanah yang tererosi (Arsyad 2006; Asdak 2007). Besarnya erosi yang terjadi

37 18 pada kemiringan 20% di Pegunungan APO Mindanau dengan berbagai penutup tanah dapat dilihat pada pada Tabel 2. Menurut Asdak (2007), proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan: pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation). Erosi permukaan (tanah) disebabkan oleh air hujan dan juga dapat terjadi karena tenaga angin dan salju. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi Menurut Asdak (2007), erosi merupakan akibat dari interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, dan manusia. Pada daerah yang beriklim basah menurut Arsyad (2006), faktor iklim yang paling mempengaruhi erosi dan aliran permukaan adalah hujan. Jumlah intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan tanah akibat erosi. Menurut Arsyad (2006), faktor topografi yang berpengaruh terhadap erosi adalah kemiringan dan panjang lereng. Unsur lain yang berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman, dan arah lereng. Sedangkan pengaruh vegetasi terhadap erosi yaitu a) intersepsi hujan oleh tajuk, 2) kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, 3) akar tanaman dan kegiatan-kegiatan biologis yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan stabilitas struktur dan porositas tanah, 4) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Pengaruh vegetasi terhadap erosi terutama ditentukan oleh derajat penutupan lahan dari vegetasi. Faktor pengelolaan tanaman merupakan nisbah besarnya erosi dari tanah yang ditanami tanaman dengan pengelolaan (manajemen) tertentu terhadap erosi dari suatu lahan yang tidak ditanami. Efektivitas pengendalian erosi oleh vegetasi ditentukan tinggi dan luas penutupan tajuk, kerapatan vegetasi, dan kerapatan perakaran. Menurut Ispriyanto et al. (2001) bahwa erosi yang terjadi kecil jika sifat-sifat tanahnya yang baik yaitu solum tanah yang dalam, porositas tanah yang tinggi, dan nilai permeabilitas yang tinggi. Curah hujan yang jatuh sebagian besar akan diinfiltrasikan ke dalam tanah menjadi air bawah tanah dan mengalir sebagai aliran dasar (Arsyad 2006; Asdak 2007). Hasil pemantauan Pratiwi (2000) pada lahan kemiri umur 3 bulan selama enam bulan di musim hujan telah terjadi erosi tanah sebesar 18,57 ton/ha. Sukresno et. al. (2002)

38 19 menyatakan bahwa erosi tanah cenderung rendah pada lahan hutan produksi pinus yang tidak terbakar. Sifat-sifat fisik tanah yang berpengaruh erosi adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik, kerapatan tanah, dan kandungan air. Erodibilitas tanah merupakan nilai yang menunjukkan kepekaan tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah oleh adanya energi kinetik air hujan. Sedangkan menurut Arsyad (2006), sifat-sifat yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah. Peranan manusia merupakan faktor utama dalam proses erosi dimana peranan tersebut dapat positif atau negatif. Manusia berperan positif apabila tindakan manusia yang dilakukan dapat mengurangi besarnya kehilangan tanah. Faktor tindakan konservasi tanah yang dilakukan oleh manusia merupakan nisbah besarnya erosi dari lahan dengan tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi dari suatu lahan yang tanpa dilakukan tindakan konservasi. Tingkat bahaya erosi Tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan. Penentuan tingkat bahaya erosi menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasarnya. Semakin dangkal solum tanahnya berarti semakin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar. Kelas tingkat bahaya erosi disajikan selengkapnya pada Tabel 3.

39 20 Tabel 3. Kelas tingkat bahaya erosi menurut Permenhut Nomor P.32/Menhut- II/2009 Kelas Erosi Solum Tanah I II III IV V Erosi (ton/ha/tahun) < >480 Dalam (> 90 cm) SR 0 R I S II B III SB IV Sedang (60 90 cm) R I S II B III SB IV SB IV Dangkal (30 60 cm) S II B III SB IV SB IV SB IV Sangat dangkal (<30 cm) B III SB IV SB IV SB IV SB IV Keterangan: 0 (SR) = Sangat Ringan I (R) = Ringan II (S) = Sedang III (B) = Berat IV (SB) = Sangat Berat Konservasi Tanah dan Air Pembangunan HTI termasuk upaya teknik konservasi tanah dan air yang dilakukan secara vegetatif. Konservasi tanah dan air secara vegetatif dilakukan melalui pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan (Sinukaban 2003; Arsyad 2006). Teknologi vegetatif (penghutanan) sering dipilih karena selain dapat menurunkan erosi dan sedimentasi di sungai-sungai juga memiliki nilai ekonomi (tanaman produktif) serta dapat memulihkan tata air suatu DAS (Hamilton & King 1997). Pemangkasan selektif terhadap kelebatan pohon sebesar 40% tidak menimbulkan erosi yang berarti, namun penebangan hutan dimana pohon-pohonnya ditarik keluar akan menimbulkan erosi tanah (Hamilton & King 1997). Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat: 1. Memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, 2. Penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi,

40 21 3. Dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi. Efek penutup tanah dapat dibedakan menjadi lima kategori Foth (1995): 1. Intersepsi terhadap curah hujan. 2. Mengurangi kecepatan aliran permukaan (run off). 3. Perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah. 4. Mempengaruhi aktifitas mikroorganisme yang berakibat pada meningkatkan porositas tanah. 5. Transpirasi tanaman akan berpengaruh pada lengas tanah pada hari berikutnya. Usaha konservasi tanah pada hakekatnya mengendalikan energi akibat tetesan hujan maupun limpasan permukaan dalam proses terjadinya erosi tanah (Sukirno 1995). Prinsip pengendalian energi ini dengan usaha: 1. Melindungi tanah dari prediksi pukulan air hujan (erosi percik), dengan tanaman penutup tanah. 2. Mengurangi kecepatan energi kinetik tetesan air hujan, dengan tanaman pelindung, atau pelindung lainnya. 3. Mengurangi energi kinetik limpasan permukaan Pengaturan Hasil Hutan Kayu Pengaturan hasil merupakan suatu proses atau strategi untuk mewujudkan kelestarian hasil yang diterjemahkan ke dalam praktek manajemen dalam bentuk perencanaan, monitoring dan kontrol. Dalam konteks lebih operasional, pengaturan hasil adalah penentuan porsi hutan (dalam luas areal ataupun volume kayu) yang dipungut setiap tahun atau periode tertentu yang menjamin kelestarian produksi/pengusahaan dan kelestarian hutan (Parthama 2002). Secara umum pengaturan hasil hutan bertujuan untuk mencapai kelestarian hasil yaitu diperolehnya hasil hutan secara terus-menerus dengan jumlah yang relatif sama atau lebih besar setiap tahunnya (Simon 2010). Menurut Seydack (1995), untuk mencapai kelestarian suatu sistem pengaturan hasil harus menetapkan intensitas pemanenan, interval waktu pemanenan, dan besarnya pemanenan. Sedangkan menurut Osmaton (1968), pengaturan hasil hutan bertujuan untuk memperoleh hasil akhir yang berasaskan kelestarian. Ada beberapa alasan pengaturan hasil

41 22 dalam jumlah, mutu, tempat, dan waktu. Pengaturan hasil diterapkan karena berbagai alasannya antara lain: 1. Penyediaan bagi konsumen, penebangan harus dilaksanakan agar tersedia jenis, ukuran, mutu, dan jumlah kayu sesuai permintaan pasar. 2. Pemeliharaan growing stock untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat mungkin. 3. Penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan tujuan pengelolaan. 4. Penebangan perlindungan, terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya. Pengaturan hasil pada hutan tanaman akan mudah dilaksanakan apabila keadaan hutannya mendekati kondisi hutan normal. Hutan normal merupakan suatu hutan yang tegakannya mempunyai susunan kelas umur yang merata, mulai dari umur 1 tahun sampai umur daur, masing-masing kelas umur tegakan mempunyai luas atau potensi pertumbuhan yang sama, sehingga tebangan tahunan selalu menghasilkan kayu dalam jumlah maksimal dan sama besar volumenya (Simon 2010). Salah satu faktor manajemen untuk menciptakan hutan normal adalah penentuan etatnya, yaitu menentukan besar/jumlah maksimum penebangan akhir yang diijinkan dari suatu kelas perusahaan. Meyer et al. (1961), menyebutkan bahwa pengaturan tebangan merupakan tujuan penting manajemen hutan. Ada tiga permasalahan pengaturan tebangan yaitu penentuan jatah tebang, distribusi jatah tebang ke dalam blok dan kompartemen, serta penentuan waktu tebang pada masing-masing blok dan kompartemen. Menurut Chapman (1950), pengaturan hasil didasarkan pada beberapa hal yaitu distribusi kelas umur dan total volume tegakan aktual, penetapan jatah tebang tahunan untuk memperoleh hasil lestari, riap tahunan nyata atau kematian penting terutama untuk mengetahui peningkatan atau penurunan volume tegakan sebelum ditebang, serta riap tahunan rata-rata mengindikasikan kemungkinan rata-rata untuk hasil lestari. Menurut Osmaston (1968), beberapa hal yang dibutuhkan dan harus dicakup dalam pengaturan hasil, yaitu adanya penghitungan jumlah hasil yang akan diperoleh, bagaimana hasil tersebut dapat dibagi dalam hasil akhir dan

42 23 penyusunan suatu rencana penebangan yang dibatasi oleh kepadatan tegakan yang akan ditebang. Dalam sistem kelestarian hutan ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam mengatur hasil penebangan untuk mendapatkan kelestarian hutan atau hutan normal, yaitu metode pengaturan berdasarkan luas, metode berdasarkan volume, metode berdasarkan volume dan riap, dan metode berdasarkan luas dan volume (Davis & Johnson 1987; Meyer et al. 1961; Osmaston 1968; Simon 2010). 1. Metode berdasarkan luas Metode pengaturan hasil berdasarkan luas masih sangat sederhana dan dipakai untuk pengelolaan hutan tingkat awal. Untuk mengatur tebangan yang berkesinambungan, kawasan hutan dibagi ke dalam petak-petak sebanyak tahun rotasi yang telah ditetapkan dan penebangan dilakukan tiap tahun. Bila dalam setiap tahun luas petak yang ditebang sama, maka hasil tahunan akan sama bila tingkat produktifitas tiap petak juga sama. Fluktuasi hasil tahunan akan dipengaruhi oleh komposisi jenis, kesuburan tanah dan kerapatan tegakan. Pengaturan hasil berdasarkan luas dikontrol dengan cara: a. Pengendalian berdasarkan prinsip silvikultur. Jumlah pohon yang akan ditebang setiap tahun dikontrol dengan kaidah-kaidah silvikultur, atau aturanaturan yang biasa dipakai dalam penebangan, misalnya jenis komersial dan ukuran diameter yang sudah laku dijual. b. Pengendalian dengan rotasi dan penyebaran kelas umur. Metode pengaturan hasil hutan tidak lagi hanya dikontrol oleh kaidah-kaidah silvikultur saja, melainkan bergeser ke arah kontrol oleh rotasi dan sebaran kelas umur. Perkembangan ini terjadi karena areal bekas tebangan dari metode berdasarkan luas telah berubah menjadi hutan-hutan muda yang seumur sehingga dapat dikelompokkan ke dalam kelas-kelas umur. Secara sederhana hubungan antara rotasi dengan luas kawasan dapat digunakan untuk menaksir volume tebangan tahunan dalam satuan luas. 2. Metode berdasarkan volume Hasil kayu dari suatu kawasan hutan tidak sama setiap tahunnya, karena adanya variasi bonita tempat tumbuh dan kerapatan tegakan. Padahal harapannya

43 24 terbentuk hutan normal dengan volume kayu yang sama setiap tahunnya. Dua metode pengaturan hasil yang tergolong pada metode berdasarkan volume adalah metode Hundeshagen dan metode Von Mantel. a. Metode Hundeshagen. Untuk mengatur tebangan tahunan dan menuju ke susunan hutan normal dibuat asumsi bahwa hasil tebangan tahunan harus menyatakan proporsi yang sama terhadap volume tegakan persediaan nyata, karena hasil normal juga dinyatakan dalam tegakan persediaan normal. Perhitungan etat tebangan tahunan dirumuskan sebagai berikut: AY/AG = HN/NG AY = AG x (HN/NG) Dimana : AY = hasil tebangan tahunan nyata (etat tebangan tahunan nyata) HN = hasil tebangan tahunan normal (etat tebangan tahunan normal) HN/NG dapat dinyatakan dalam persen untuk jenis pohon dan daur tertentu, sehingga untuk menentukan hasil tebangan tahunan nyata (AY), cukup dengan menghitung tegakan persediaan nyata (AG), tanpa menghitung riapnya. Metode ini diperlukan apabila tersedia tabel tegakan normal dari jenis yang dikaji. b. Metode Von Mantel. Metode Von Mantel merupakan pengembangan dari metode Hundeshagen, yaitu menyederhanakan rumus Hundeshagen. Hasil tebangan tahunan normal (HN) dalam rumus Hundeshagen, dinyatakan dalam riap normal (IN) dalam Von Mantel, sehingga rumus berubah menjadi : AY = AG x HN/NG = AG x IN/NG Dimana AY = hasil kayu tahunan (m 3 /tahun), HN = hasil tebangan normal menurut tabel (m 3 /ha), AG = persediaan tegakan aktual (m 3 ), NG = persediaan tegakan normal (m 3 /ha), dan IN = riap tegakan normal (m 3 /ha/tahun). Dalam konsepsi hutan normal pada tegakan seumur, untuk luasan tertentu, setiap tahun akan menghasilkan riap yang sama, sehingga dalam satu siklus daur akan menghasilkan total riap sebesar volume tegakan normal (NG, normal growing stock). Dengan dasar konsepsi panen = riap, maka hasil panen tahunan cukup diperoleh dari penaksiran volume tegakan pada akhir daur. Semua tegakan yang ada akan ditebang kalau tegakan tersebut telah mencapai umur daur. Jadi rumus Hundeshagen dapat disubsitusi dan menjadi rumus Von Mantel sebagai berikut :

44 25 AY = (AG x 2 NG)/(NG x R) = (2AG)/R AY = (2 AG)/R = AG/(0,5 R) m3/ha Umur th) Gambar 2. Ilustrasi pengaturan hasil formula Von Mantel Untuk menghitung etat tebangan tahunan cukup mengukur tegakan persediaan nyata (actual growing stock), kemudian dibagi dengan setengah daur (Gambar 2). 3. Metode berdasarkan luas dan volume Kondisi nyata di lapangan terdapat keragaman kualitas tempat tumbuh, penerapan etat luas akan berakibat terjadinya fluktuasi produksi dari tahun ke tahun, sedangkan penerapan etat volume mengandung konsekuensi terjadinya fluktuasi luas tebangan dari tahun ke tahun. Produksi yang naik-turun dan luas tebangan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun merupakan hal yang dipandang tidak baik dalam pengelolaan hutan tanaman (Harbagung 2010). Dengan adanya kelemahan dari metode etat luas dan metode etat volume, maka perlu dicari metode yang memadukan kepentingan kemerataan luas tebangan dan kemerataan produksi dari tahun ke tahun. Metode pengaturan hasil berdasarkan etat luas disertai usaha minimalisasi fluktuasi produksi. Stabilisasi produksi tahunan didekati dengan pengelompokan petak tebangan (compartement) sedemikian rupa sehingga setiap tahun menebang compartement dengan tebaran kelas kualitas tempat tumbuh yang sama. Sistem Informasi Geografis (SIG) Menurut Prahasta (2007) SIG merupakan gabungan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi dan geografis. Dengan demikian SIG merupakan suatu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya fisik dan logika yang

45 26 berkenaan dengan obyek-obyek yang terdapat di permukaan bumi. Lebih lanjut Prahasta (2007) menekankan bahwa SIG adalah sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan dan keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya. Menampilkan kenampakan permukaan bumi beserta informasi atributnya adalah sesuatu hal yang sulit pada zaman dahulu, tetapi dengan perkembangan SIG yang berbasis komputer maka hal itu dapat diatasi. Kemampuan SIG untuk dapat menampilkan informasi dari permukaan bumi yang kompleks beserta informasinya melalui pengolahan pada basis data yang ada di SIG. SIG adalah sekumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang dirancang untuk secara efisien merekam, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis dan mendisplai/menyajikan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis (ESRI 1995). Scholten & Stillwell (1990) menyatakan bahwa SIG adalah teknologi mendesain untuk mencapai suatu tujuan. Berbagai macam produk SIG digunakan untuk manajemen dan manipulasi data spasial dan non spasial untuk menghasilkan suatu sistem baru. SIG adalah seperangkat alat untuk mengumpulkan, menyajikan, mentransformasi dan menggambarkan data spasial dari permukaan bumi (Scholten & Stillwell 1990). Tujuan SIG terdiri dari tiga hal yaitu: (1) menyajikan, memanajemen dan mengintegrasikan banyak data spasial, (2) memberikan analisis jalan keluar dari hal yang khusus dari data komponen geografi, (3) mengorganisasikan dan mengelola dari banyak data kuantitatif agar menjadi informasi yang mudah dibaca oleh semua orang. SIG merupakan sistem kompleks yang terintregasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. SIG terdiri dari 4 komponen (Prahasta 2007) yaitu: 1. Perangkat keras. Pada saat ini tersedia berbagai perangkat keras mulai dari PC desktop, workstations, hingga multiuser host yang digunakan banyak orang. PC tersebut mempunyai kemampuan yang tinggi dengan ruang penyimpanan (harddisk) yang besar dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar.

46 27 Perangkat keras yang digunakan biasanya adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter dan scanner. 2. Perangkat lunak (software). SIG terdiri dari sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Software ada yang berbasis vektor dan ada pula yang berbasis raster. Software GIS yang berbasis vektor diantaranya adalah Arc/Info, MapInfo, Autocad Map, MGE dan lainnya. Sedangkan yang berbasis raster adalah : ILWIS, Idrisi, GRASS, ERDAS dan lainnya. 3. Data dan informasi geografi. SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara mengimpornya dari perangkat lunak SIG lainnya maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasial dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard. 4. Manajemen. Suatu sistem yaitu SIG akan berhasil jika dikelola dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang atau sumberdaya manusia yang mempunyai keahlian yang tepat pada semua tingkatan. Puntodewo et al. (2003) menyatakan bahwa komponen utama SIG meliputi perangkat keras, perangkat lunak, data dan sumberdaya manusia. Penggunaan SIG secara umum di negara berkembang dan khususnya sektor kehutanan masih belum optimal. Seperti diketahui bahwa kendala utama inventarisasi dan monitoring adalah keterbatasan dalam pengambilan data, karena luasnya kawasan hutan, aksesibilitas, waktu dan keterbatasan sumber daya manusia. SIG dan penginderaan jauh dapat menjangkau area yang luas dengan dukungan frekuensi yang cukup tinggi. SIG merupakan alat yang sangat berguna dalam kegiatan kehutanan terutama dalam hal pengorganisasian data, basis data global, dan kemampuan analisa spasial untuk pemodelan. Pemodelan Sistem dan Simulasi Purnomo (2005) menyatakan bahwa pemodelan sistem berawal dari bagaimana mencoba memahami dunia nyata ini dan menuangkannya menjadi sebuah model dengan beragam metode yang ada. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari dunia nyata, yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan

47 28 tujuan yang diinginkan (Purnomo 2005). Menurut Grant et al. (1997) model merupakan deskripsi formal dari elemen pokok dalam suatu permasalahan. Deskripsi formal tersebut dapat bersifat fisik, matematis ataupun verbal. Dalam kenyataan di dunia nyata, suatu subsistem tertentu selalu terjadi perubahanperubahan sesuai dengan dinamika internal, yang masing-masing dipengaruhi oleh interaksi satu dengan yang lain. Adanya perubahan dalam suatu subsistem, akan menyebabkan terjadinya perubahan dalam subsistem yang lainnya (Simon 1993). Tahapan pembentukan dan penggunaan sebuah model sistem (Grant et al. 1997; Purnomo 2005) meliputi: 1. Identifikasi isu, tujuan dan batasan. Identifikasi isu atau masalah sangat penting dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Ini penting dilakukan karena kesalahan melakukan identifikasi isu berakibat kesalahan melihat permasalahan secara tepat. Setelah isu ditentukan, berikutnya menentukan tujuan pemodelan itu sendiri. Tujuan pemodelan harus dinyatakan secara eksplisit, sebagaimana isu yang diangkat. Selanjutnya menentukan batasan terhadap pemodelan yang dilakukan. Batasan berarti kejelasan apa yang termasuk dan tidak termasuk dalam pemodelan. Batasan dapat berupa batas daerah atau ruang, batas waktu, atau dapat juga batas isu. 2. Pembentukan model konseptual. Bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model yang akan dibuat. Ini dimulai dengan mengidentifikasi semua komponen yang terlihat atau dimasukkan dalam pemodelan. Komponen-komponen tersebut jika sangat banyak dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori. Komponen-komponen tersebut kemudian dicari inter relasinya satu sama lain dengan menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab-akibat, diagram stok dan aliran atau diagram sekuens (sequence diagram). 3. Spesifikasi model yaitu merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen model jika perlu. Ini bertujuan membentuk model kuantitatif dari konsep model yang telah ditetapkan dengan memberikan nilai kuantitatif terhadap variabel dan menterjemahkan hubungan antar variabel dan komponen penyusun model sistem tersebut ke dalam persamaan matematika sehingga dapat dioperasikan oleh program simulasi.

48 29 4. Evaluasi model yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika ada dan perlu. Ini bertujuan untuk mengetahui keterandalan model untuk mendeskripsikan keadaan sebenarnya. 5. Penggunaan model. Model yang telah dibentuk digunakan untuk mencapai tujuan pembentukannya dengan membuat skenario-skenario, mengevaluasi ragam skenario untuk pengembangan perencanaan ke depan. Simulasi adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulankesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penalaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya (Eriyatno 1999). Sedangkan menurut Muhammadi & Soesilo (2001), simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut serta membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi dilakukan melalui tahap-tahap penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan kemudian validasi hasil simulasi. Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru atau menggambarkan secara bertahap sistem yang dipelajari. Model simulasi terbentuk dari suatu susunan operasi matematik dan logika yang bersama-sama mewakili struktur dan perilaku perubahan keadaan dari ruang lingkup sistem (Grant et al. 1997). Model-model simulasi termasuk dinamis yang menggambarkan hubungan yang bervariasi oleh waktu. Model simulasi digunakan apabila tingkat kedetilan yang tepat yang dibutuhkan oleh suatu model terlalu kompleks. Sedangkan menurut Levin et al. (1989), simulasi merupakan prosedur kuantitatif yang menggambarkan suatu proses dengan mengembangkan modelnya dan menerapkan serangkaian uji coba terencana untuk memprediksikan tingkah laku proses sepanjang waktu.

49 30

50 31 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai Februari 2010 sampai dengan Maret Lokasi penelitian di Kawasan Hutan Tanaman PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) Sektor Aek Nauli, dan menurut wilayah administrasi termasuk ke dalam Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak antara LU dan BT dan berada pada ketinggian m di atas permukaan laut. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Peta lokasi penelitian di hutan tanaman eucalyptus PT TPLSektor Aek Nauli. Jenis tanah di lokasi penelitian adalah sebagian besar Tropudults (Latosol) dan sisanya jenis Dystropepts (Latosol Coklat). Jenis batuan Tapanuli, Peusangan, Sihapas, Vulkan Tersier, dan Toba. Sektor Aek Nauli beriklim A (sangat basah) menurut klasifikasi (Schmidt & Fergusson 1951), dengan curah hujan rata-rata 238 mm bulan tertinggi Oktober dan bulan terendah Agustus. Sungai/anak sungai yang terdapat di areal kerja adalah Bah Parlianan, Bah Mabar, Bah Boluk, Bah Haposuk (TPL 2010).

51 32 Kawasan hutan tanaman di Sektor Aek Nauli seluas ha yang terdiri atas; (1) tanaman pokok (Eucalyptus spp seluas ha), (2) areal konservasi seluas ha, (3) tanaman Pinus merkusii seluas 584 ha, tanaman kehidupan (tanaman serbaguna) seluas ha, sarana-prasarana seluas 508 ha, dan areal enklave seluas 125 ha (TPL 2010). Areal kerja hutan tanamannya dibagi menjadi beberapa blok dan dari blok dibagi menjadi beberapa petak (compartement). Pembangunan hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli dimulai tahun Dari tahun 1992 sampai dengan 2001 menggunakan bibit secara generatif dan vegetatif. Namun tahun 2002 penggunaan bibit secara generatif tidak dikembangkan lagi dan seterusnya menggunakan bibit vegetatif berupa klon hasil penelitian sendiri oleh pihak penelitian dan pengembangan PT TPL. Tegakan hutan dalam penelitian ini adalah Eucalyptus urograndis yang merupakan hasil persilangan dari jenis E. urophylla S.T. Blake x E. grandis W.Hill ex Maid dan termasuk jenis cepat tumbuh yang digunakan sebagai bahan baku industri pulp. Pengumpulan Data Kegiatan penelitian yang dilakukan memperhatikan tiga aspek yaitu (a) pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus, (b) indeks kualitas tempat tumbuh, dan (c) tingkat bahaya erosi yang terjadi di areal hutan tanaman eucalyptus. Pertumbuhan dan hasil tegakan Data diperoleh dari Petak Contoh Permanen (Permanent Sample Plot = PSP) sebagai obyek penelitian dengan luas PSP 0,02 ha dalam bentuk lingkaran yang berjari-jari 11,28 m. Data parameter pertumbuhan tegakan yang dikumpulkan dari PSP yaitu peninggi, diameter, tinggi, luas bidang dasar, dan volume tegakan. Peninggi adalah nilai rata-rata tinggi sejumlah pohon berdiameter terbesar atau pohon-pohon dominan dan ko-dominan yang letaknya tersebar merata di suatu areal, dan istilah peninggi di Indonesia dimaknai sebagai rata-rata tinggi dari pohon-pohon tertinggi yang letaknya tersebar merata dalam 1 hektar areal, maka pada masing-masing PSP dipilih pohon tertinggi sebagai pohon peninggi (Harbagung 2009). Diameter adalah nilai rata-rata diameter setinggi dada sejumlah pohon dalam PSP. Tinggi adalah nilai rata-rata tinggi total

52 33 sejumlah pohon dalam PSP. Volume tegakan adalah nilai sejumlah volume pohon yang ada dalam PSP yang dinyatakan dalam m 3 /ha. Besaran masing-masing parameter tersebut ditentukan menurut (Avery & Burkhart 2002; Husch et al. 2003). Selanjutnya data dipilah secara acak menjadi 2 bagian, yaitu 263 PSP digunakan untuk bahan penyusunan model dan 80 PSP digunakan untuk validasi model (Lampiran 1). Eucalyptus ditanam dengan jarak tanam 2 x 3 m. Diskripsi sebaran umur tegakan hutan tanaman eucalyptus yang dijadikan bahan penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pengelompokan data PSP di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Kelas umur Data untuk penyusunan model Data untuk validasi model I 107 data 49 data II 6 data 2 data III 122 data 26 data IV 4 data - V 18 data 3 data VI 6 data - Indeks tempat tumbuh Data yang diperlukan dalam menyusun indeks tempat tumbuh meliputi peninggi dan umur indeks. Umur indeks merupakan umur yang akan digunakan sebagai penentu indeks tempat tumbuh tegakan. Hutan tanaman eucalyptus di PT TPL ditebang pada umur daur. Berdasarkan hal tersebut, maka umur indeksnya ditetapkan umur daur tebang. Aliran permukaan dan erosi tanah Pengamatan aliran permukaan dan erosi tanah dilakukan dengan menggunakan metode Petak Percobaan Lapangan untuk mengukur aliran permukaan dan erosi tanah setiap kejadian hujan (Arsyad 2006). Petak ukur berukuran 22 x 4 m 2 dipasang pada masing-masing keadaan penutupan lahan. Keadaan masing-masing plot penelitian yaitu di areal tanah kosong, tegakan kelas umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun yang dibuat pada kelerengan 9%, 15%, dan

53 34 25%. Jumlah plot seluruhnya ada 18 plot. Besarnya aliran permukaan dan erosi yang terjadi di dalam plot diukur dengan menempatkan dua drum penampung aliran permukaan dan sedimen di bagian hilir plot (Gambar 4). Drum I dilubangi (10 lubang) dan satu lubang dihubungkan ke drum II. 4 m 22 m I II Gambar 4. Plot pengamatan aliran permukaan dan erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Selanjutnya, jumlah aliran permukaan dan tanah tererosi dari plot diukur dari jumlah aliran permukaan dan sedimen yang tertampung oleh kedua drum tersebut. Jumlah sedimen diukur dengan cara mengambil contoh air dari kedua drum tersebut. Contoh air disaring dan sedimen tersaring dikeringkan dalam oven dengan suhu (105º ± 2º)C sampai berat tetap selama ± 24 jam. Jumlah sedimen yang mengindikasikan jumlah erosi yang terjadi dan volume air dari aliran permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:.. (1)

54 (2) dimana : E = tanah tererosi (ton/ha) R = aliran permukaan per hektar (m 3 /ha) C d1 = konsentrasi muatan sedimen pada drum I (kg/m 3 ) C d2 = konsentrasi muatan sedimen pada drum II (kg/m 3 ) V d1 = volume air drum I (m 3 ) V d2 = volume air drum II (m 3 ) A = luas plot (ha) Kemudian data aliran permukaan dan erosi tanah dipilah secara acak menjadi dua bagian, yaitu dua per tiga data digunakan untuk bahan penyusunan model dan sepertiga data digunakan untuk validasi model (Lampiran 2, 3, 4, 5, dan 6). Pengelompokan data plot aliran permukaan dan erosi tanah dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengelompokan data plot aliran permukaan dan erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Kondisi lahan Data untuk penyusunan model Data untuk validasi model Tanah kosong 183 data 92 data Kelas umur I 178 data 88 data Kelas umur II 179 data 88 data Kelas umur III 183 data 90 data Kelas umur IV 183 data 90 data Kelas umur V* 126 data 60 data Keterangan: * = Data berkurang karena 4 bulan sebelum berakhirnya pengamatan tegakan sudah ditebang Data sekunder Pengumpulan data sekunder yang diperlukan adalah peta digital areal kerja hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli, peta kontur, peta administrasi, peta tanah, data curah hujan dan data lainnya yang relevan.

55 36 Pertumbuhan dan hasil tegakan Pengolahan dan Analisis Data Volume dan luas bidang dasar tegakan tiap PSP diperoleh dengan rumus (3), sedangkan volume dan luas bidang dasar tegakan per hektar diperoleh dengan rumus (2): Y n i 1 y i Y... (3) Y /ha =... (4) Luas plot di mana : Y = volume. luas bidang dasar tegakan. Y/ ha = volume, luas bidang dasar tegakan per hektar n = jumlah pohon dalam PSP y i = volume, luas bidang dasar pohon ke-i Model pertumbuhan dan hasil tegakan digambarkan oleh model matematis yaitu hubungan fungsional antara umur tegakan dengan dimensi tegakan. Modelnya disusun dalam bentuk persamaan eksponensial (Alder 1980): ln H = a + b A -1.. (5) ln D = a + b A -1.. (6) ln V = a + b A -1.. (7) dimana: H = tinggi tegakan (m), D = diameter setinggi dada (cm), V = volume tegakan (m 3 /ha), A = umur tegakan (tahun), a dan b konstanta. Riap tahun berjalan (CAI = current annual increment) dan riap rata-rata tahunan (MAI = mean annual increment) diameter, tinggi, dan volume tegakan dihitung dengan rumus : CAI = (Y t Y (t-1) ) : ( t)... (8) MAI = Y / t... (9) di mana : Y t = diameter, tinggi, dan volume tegakan tahun ke-t = diameter, tinggi, dan volume tegakan tahun ke-(t-1) Y t-1

56 37 t = umur tegakan t = selisih umur tegakan Riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, MAI) merupakan dimensi tegakan pada umur A i dibagi umur A i. Dan riap rata-rata berjalan (Current Annual Increment, CAI) yaitu dimensi tegakan pada umur A i dikurangi dimensi tegakan pada umur A i+1 per satuan waktu. Titik potong antara grafik MAI dan CAI merupakan umur dimana tegakan mencapai riap volume maksimum yang selanjutnya ditetapkan sebagai daur volume maksimum (Prodan 1968; Simon 2010). Indeks tempat tumbuh Model indeks tempat tumbuh (site index) disusun berdasarkan hubungan matematis antara peninggi, umur tegakan dan umur indeks dalam bentuk model sigmoid yang ditransformasikan ke bentuk logaritmik Model persamaan yang digunakan (Avery & Burkhart 1994) adalah: log Oh = a + ba (10) dimana : Oh = peninggi (m), dan A = umur tegakan (tahun). Jika umur tegakan (A) setara dengan umur indeks (A 1 ), maka peninggi (Oh) setara dengan indeks tempat tumbuh (S), yakni: -1 log S = a + ba 1 atau a = log S - ba (11) Disubstitusikan persamaan 11 ke persamaan 10 akan menghasilkan: log Oh = log S - ba ba -1 sehingga S diperoleh dengan rumus: log S = log Oh - b(a -1 A -1 1 ) (12) Nilai-nilai indeks tempat tumbuh yang telah diperoleh, kemudian ditentukan nilai rata-rata indeks tempat tumbuh, standar deviasi, nilai minimum dan maksimumnya. Selanjutnya nilai-nilai tersebut digunakan untuk menentukan kelas kualitas tempat tumbuh dengan interval antar kelas kualitas tempat tumbuh sebesar nilai standar deviasi dari nilai indeks tempat tumbuh di lokasi penelitian.

57 38 Model persamaan penduga diameter, tinggi dan volume tegakan di setiap kelas kualitas tempat tumbuh Untuk mendugaan diameter, tinggi dan volume tegakan di setiap kelas kualitas tempat tumbuh, maka ditentukan dengan membuat hubungan antara peubah tak bebas (diameter, tinggi, dan volume tegakan) dengan peubah bebas (umur dan kerapatan bidang dasar tegakan). Model persamaannya disusun dalam bentuk regresi linear berganda: ln D = a 0 + a 1 (A -1 ) + a 2 ln (BA)... (13) ln H = b 0 + b 1 (A -1 ) + b 2 ln (BA)... (14) ln V = c 0 + c 1 (A -1 ) + c 2 ln (BA)... (15) dimana: D = diameter tegakan (cm); V = volume tegakan (m 3 /ha); A = umur tegakan; BA = kerapatan bidang dasar (m 2 /ha); a 1, a 2, b 1, b 2, c 1, c 2 = koefisien regresi; a 0, b 0, c 0 = intersep. Model persamaan penduga aliran permukaan dan erosi tanah Model penduga aliran permukaan dan erosi tanah di setiap kondisi lahan dengan membuat hubungan antara aliran permukaan atau erosi tanah sebagai peubah tak bebas dengan curah hujan dan kemiringan lahan sebagai peubah bebas. Hubungan tersebut menggunakan regresi ganda dengan model sebagai berikut: R = d 0 + d 1 CH + d 2 Slope... (16) E = e 0 + e 1 CH + e 2 Slope... (17) di mana: R = aliran permukaan di kondisi lahan tertentu pada kejadian hujan tertentu (m 3 /ha/hari) E = erosi tanah di kondisi lahan tertentuk pada kejadian hujan tertentu (kg/ha/hari), d 0 e 0 = intersep d 1, d 2, e 1, e 2 = koefisien regresi CH = curah hujan pada kejadian hujan tertentu (mm/hari) Slope = kemiringan lahan (%)

58 39 Dari persamaan yang diperoleh, selanjutnya digunakan untuk menduga erosi selama setahun sesuai dengan tingkat curah hujan dan kondisi kemiringan lahan tertentu. Model persamaan penduga penutupan tajuk Model penduga penutupan tajuk dengan membuat hubungan antara persen penutupan tajuk (%) dengan umur tegakan (tahun). Model persamaan sebagai berikut:.... (18) dimana: PT = penutupan tajuk (%), f 1 = koefisien regresi, f o = intersep, dan e = 2,7183. Pengujian model persamaan Model yang telah disusun dilakukan analisis ragam, analisis determinasi, dan validasi model (Matjik & Sumertajaya 2002; Supranto 2005; Kutner et al. 2005). Validasi model dilakukan dengan menggunakan data contoh yang tidak digunakan dalam penyusunan model yang dibuat. Uji validasi model meliputi: (a) akar rata-rata kuadrat sisaan (Root Mean Square Error RMSE), (b) persen akar rata-rata kuadrat sisaan (Root Mean Square Percent Error RMSPE), dan (c) uji Khi-kuadrat (Khi-square test). Suatu model dari hasil analisis regresi dikatakan baik, apabila nilai koefisien regresi signifikan, memiliki koefisen determinasi tinggi, dan memiliki keandalan dalam hal keakuratan (sisaan yang rendah), yaitu model yang mampu memberikan nilai estimasi yang akurat (nilai dugaan mendekati nilai aktual sehingga sisaan mendekati nol). Penetapan daur optimum Penetapan daur optimum ditentukan melalui tahapan sebagai berikut: a. Penentuan batas kemiringan lahan yang erosinya masih dapat ditoleransi berdasarkan Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009. Dan untuk kemiringan lahan yang erosinya tidak dapat ditoleransi, maka ditentukan jumlah pohon yang tidak boleh ditebang sesuai dengan tingkat penutupan tajuk yang aman dari bahaya erosi:

59 40 (19) dimana: JP = jumlah pohon yang tidak ditebang (pohon/ha), lpt = luas penutupan tajuk tegakan tinggal pada umur daur (setelah ditebang) (m 2 /ha), Lpt = luas penutupan tajuk pada umur daur (sebelum ditebang) (m 2 /ha), dan jumlah pohon yang ditanam per hektar (1.667 pohon/ha). b. Daur optimum ditetapkan berdasarkan waktu terjadinya perpotongan antara kurva CAI dan MAI dengan kondisi lahan dimana erosinya masih dapat ditoleransi. Analisis Break Event Point Break Event Point (BEP) menyatakan volume penjualan kayu dimana total penghasilan tepat sama besarnya dengan total biaya. Untuk menetapkan BEP, rumus matematika sebagai berikut: Total biaya tetap pembangunan hutan tanaman per hektar BEP (m 3 /ha) = Harga jual kayu per m 3 Biaya variable pemanenan per m 3 Analisis Spasial Dalam analisis spasial petak tebangan akan dibagi menjadi beberapa tahap pengerjaan yaitu: 1. Input data. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan kajian yang dilakukan. Data yang dikumpulkan berupa peta digital yaitu peta kerja hutan tanaman PT. TPL, peta kelas lereng, peta tanah, peta administrasi. 2. Manajemen data. Pada tahap ini dilakukan dijitasi, update dan edit peta. 3. Manipulasi dan analisis data. Curah hujan dan kemiringan lahan digunakan untuk menentukan besarnya erosi tanah yang terjadi, sedangkan hasil perhitungan erosi tanah yang terjadi bersama-sama data kedalaman solum digunakan untuk menentukan kelas bahaya erosi. Data indeks tempat tumbuh digunakan untuk menentukan kelas kualitas tempat tumbuh. Kemudian kelas kualitas tempat timbuh dan kelas bahaya erosi dilakukan analisis spasial.

60 41 4. Output data. Output data berupa luas keterbukaan lahan tebangan dalam satu hamparan yang aman dari bahaya erosi. Tahapan proses analisis spasial untuk penentuan luas tebangan yang aman dari bahaya erosi tanah dapat dilihat pada Gambar 5. Kedalaman solum Model erosi tanah Peta lereng Model indeks tempat tumbuh Peta Kerja HTI Kelas bahaya erosi Kelas kualitas tempat tumbuh Overlay Lahan aman dari bahaya erosi tanah Gambar 5. Tahapan analisis spasial lahan yang aman dari bahaya erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Kajian Kelestarian Hasil Data yang diperlukan untuk menentukan besarnya etat tebangan sebagai berikut: 1. Luas areal produktif. 2. Luas setiap bonita. 3. Rata-rata volume tegakan pada akhir daur di setiap bonita. Prospek kelastarian dikaji atas dasar metode pengaturan hasil berdasarkan bonita, volume tegakan, dan faktor erosi tanah. Lb i El i =... (20) R n Ev = (El i x Vb i )... (21) i=1

61 42 Dimana: El i = etat luas pada bonita ke-i (ha/tahun), Lb i = luas efektif pada bonita ke-i (ha), Ev = etat volume pada masing-masing bonita (m 3 /tahun), Vb i = proyeksi potensi tegakan pada akhir daur di setiap bonita ke-i (m 3 /ha), R n = daur (tahun), = banyaknya bonita. Analisis Sistem Model simulasi pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus diguna untuk melihat pengaruhnya terhadap kelestarian hutan yang dapat meminumkan bahaya erosi tanah yang terjadi. Proses penyusunan model simulasi meliputi formula model konseptual, spesifikasi model kuantitatif, evaluasi model, dan penggunaan model (Grant et al. 1997; Purnomo 2005). Formula model konseptual Formula model konseptual bertujuan untuk menentukan konsep dan tujuan model sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan pada keadaan nyata di alam dengan segala sistem yang terkait antara yang satu dengan yang lain serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Fakta yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan memperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan pemodelan simulasi. Formula model konseptual meliputi: 1. Penentuan tujuan model. Tujuan model ini adalah menentukan volume tegakan per hektar yang dapat dipanen di tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli dengan memperhatikan faktor erosi tanah. Model yang disusun digunakan untuk mensimulasikan berbagai skenario daur. Batasan model sistem simulasi pengaturan hasil yang telah dibangun meliputi empat sub model, yaitu: (a) sub model pertumbuhan tegakan, (b) sub model

62 43 erosi tanah, sub model penutupan tajuk dan (d) sub model pengaturan hasil. Sub model tersebut memiliki batasan dan variabel-variabel sebagai berikut: a. Pertumbuhan tegakan merupakan perkembangan volume tegakan eucalyptus sesuai dengan umur tegakan di PT TPL Sektor Aek Nauli. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan adalah umur tegakan dan bonita.. b. Luas areal berhutan adalah luas areal yang dialokasikan untuk memproduksi kayu eucalyptus di Sektor Aek Nauli pada masing-masing kelas kualitas tempat tumbuh. Faktor yang mempengaruhi luas areal berhutan adalah luas areal pada tingkat kemiringan tertentu, dan luas tebangan di masing-masing kelas kualitas tempat tumbuh. c. Erosi tanah adalah besarnya erosi tanah yang terjadi di setiap kelas kemiringan lahan. Faktor yang mempengaruhi tingkat erosi tanah adalah kelas kemiringan lahan, curah hujan, dan umur tegakan. d. Pengaturan hasil menggambarkan besarnya etat luas dan etat volume yang ada di areal hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli berdasarkan potensi tegakan yang bisa ditebang pada kemiringan lahan tertentu di setiap kelas kualitas tempat tumbuh. e. Daur merupakan umur tanaman eucalyptus pada saat ditebang. f. Penutupan tajuk adalah persen penutupan tajuk di setiap umur tegakan eucalyptus. Komponen-komponen sistem dikategorikan ke dalam variabel-variabel sebagai berikut: a. Driving variable, merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi variabel lain tetapi tidak dipengauhi oleh variabel lain. b. Auxilary variable, merupakan variabel pembantu yang dibangkitkan dari perhitungan nilai yang merupakan laju perubahan variabel lain. c. Konstanta, merupakan nilai yang konstan dan menggambarkan karakteristik sistem. 2. Spesifikasi model kuantitatif. Spesifikasi model kuantitatif meliputi memilih struktur kuantitatif umum model, memilih unit waktu dasar untuk simulasi, mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model, menduga parameter

63 44 dari persamaan model, memasukkan persamaan ke dalam program simulasi, menjalankan simulasi acuan, dan menetapkan persamaan model. 3. Evaluasi model. Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan relasi-relasi yang menyusun model dan melakukan validasi model yaitu membandingkan nilai dugaan dari model yang telah dibuat dengan data yang tidak digunakan dalam penyusunan model. 4. Penggunaan model. Tujuan tahapan ini, yaitu untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model dan untuk menjawab tujuan penelitian.

64 45 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dalam tentang pengaturan hasil di hutan tanaman eucaluptus ini telah dikaji aspek pertumbuhan dan hasil tegakan, indeks kualitas tempat tumbuh dan tingkat erosi tanah yang terjadi. Untuk mengetahui besaran nilai ketiga aspek tersebut telah disusun model persamaan regresi untuk menduga peninggi, diameter, tinggi, volume tegakan, indeks tempat tumbuh, aliran permukaan, erosi tanah, dan penutupan tajuk. Hasil pendugaan parameter untuk persamaan dalam regresi tersebut selanjutnya digunakan dalam menetapkan daur tebang, pengkelasan tempat tumbuh, penentuan batas bahaya erosi, pengaturan jumlah pohon yang harus ditinggalkan, mengkaji metode pengaturan hasil hutan dengan memperhatikan faktor erosi tanah yang terjadi. Model persamaan regresi penduga peninggi, diameter, tinggi dan volume tegakan Hasil analisis regresi hubungan peninggi, diameter, tinggi total, dan volume tegakan eucalyptus di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. No. Persamaan hubungan peninggi, diameter, tinggi dan volume tegakan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Model persamaan Simpangan baku R 2 R 2 -adj RMSE (m) RMSPE (%) Khi-kuadrat Hitung Tabel 1. log Oh = 1,4809 0,6944 A -1 0,0420 0,971 0,971 0,24 3,21 10,929 tn 101,88 2. ln D = 3,0191 1,6133 A -1 0,1127 0,962 0,962 0,26 2,64 7,387 tn 101,88 3. ln H = 3,2252 1,6838 A -1 0,1298 0,954 0,954 0,26 0,26 8,760 tn 101,88 4. ln V = 6,4649 7,5683 A -1 0,6366 0,946 0,946 0,72 8,95 84,874 tn 101,88 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada tingkat nyata 5% Oh = peninggi (m), D = diameter setinggi dada (cm), H = tinggi (m), V= volume tegakan (m 3 /ha), dan A = umur tegakan (tahun). Hasil analisis ragam diperoleh nilai F hitung > F tabel (p-value = 0) dan hasil uji-t diperoleh nilai t hitung untuk koefisien regresi > t tabel (p-value = 0) (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa umur tegakan berpengaruh sangat nyata terhadap peninggi, diameter, tinggi, dan volume tegakan dengan peluang nyata (p-value =

65 46 0). Simpangan baku dari model yang telah disusun termasuk kecil dan nilai koefisen determinasi (R 2 ) relatif tinggi (di atas 94%). Rata-rata kesalahan penduga model (RSME) untuk peninggi sebesar 0,24 m, diameter sebesar 0,26 cm, tinggi total sebesar 0,26 m, dan volume tegakan sebesar 0,72 m 3 /ha. Prosentase rata-rata kesalahan penduga model (RMSPE) untuk menduga peninggi, diameter, tinggi total, dan volume tegakan masing-masing adalah 3,21%; 2,64%; 0,26%; dan 8,95% dari nilai sebenarnya. Hasil uji X 2 (Khikuadrat) menunjukkan bahwa antara hasil pendugaan dengan hasil sebenarnya tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, model persamaan yang dibuat pada Tabel 6 relatif baik untuk digunakan dalam menduga peninggi, diameter, tinggi, dan volume tegakan. Model indeks tempat tumbuh Hubungan antara peninggi dengan umur tegakan, maka model indeks tempat tumbuhnya adalah log S = log Oh (A ), dimana Oh = peninggi (m), A = umur tegakan (tahun), dan 8 = umur indeks delapan tahun. Hasil analisis diperoleh rata-rata nilai indeks tempat tumbuh pada tegakan eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli sebesar 25 m dengan standar deviasi 3 m. Dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai-nilai indeks tempat tumbuh setiap plot contoh sehingga sebaran nilai indeks tempat tumbuh yang ada di areal hutan tanaman eucalyptus PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli dapat diketahui. Bonita Untuk menentukan bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli, terlebih dahulu menetapkan batas nilai indeks tempat tumbuh. Batas nilai indeks tempat tumbuh ditentukan berdasarkan nilai rata-rata indeks tempat tumbuh dan standar deviasi sehingga batas nilai indeks tempat tumbuh tersebut adalah 22 m; 25 m; dan 28 m. Selanjutnya dengan memasukkan setiap batas nilai indeks tempat tumbuh (S) dan umur tegakan ke dalam persamaan log Oh = log S + 0,69441(8-1 A -1 ), maka akan diperoleh nilai peninggi setiap umur tegakan. Dengan demikian, bonita dibuat menjadi empat kelas, yaitu kelas I, II, III, dan IV (Tabel 7 dan Gambar 6).

66 Tabel 7. Umur (Tahun) Peninggi tegakan eucalyptus di setiap bonita di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli Peninggi (m) Bonita I Bonita II Bonita III Bonita IV 1 < 5,4 5,4 6,2 6,3 6,9 > 6,9 2 < 12,1 12,1 13,7 13,8 15,4 > 15,4 3 < 15,8 15,8 17,9 18,0 20,1 > 20,1 4 < 18,0 18,0 20,5 20,6 22,9 > 22,9 5 < 19,5 19,5 22,2 22,3 24,8 > 24,8 6 < 20,6 20,6 23,4 23,5 26,2 > 26,2 7 < 21,4 21,4 24,3 24,4 27,2 > 27,2 8 < 22,0 22,0 25,0 25,1 28,0 > 28,0 47 Gambar 6. Kurva peninggi tegakan eucalyptus untuk setiap bonita di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. Bonita di setiap kelas sebagai berikut: a. Bonita I, nilai indeks tempat tumbuh kurang dari 22 m (rendah) b. Bonita II, nilai indeks tempat tumbuh antara m (sedang) c. Bonita III, nilai indeks tempat tumbuh antara m (tinggi) d. Bonita IV, nilai indeks tempat tumbuh lebih dari 28 m (sangat tinggi)

67 48 Pendugaan diameter, tinggi, dan volume tegakan di setiap bonita Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hubungan diameter, tinggi, dan volume tegakan dengan umur tegakan dan kerapatan bidang dasar untuk masingmasing bonita terjadi hubungan yang sangat nyata (p -value = 0) (Lampiran 10, 11, 12, dan 13). Namun antara peubah bebas umur tegakan dan kerapatan tegakan terjadi korelasi yang kuat (terjadi mulikolinearisasi). Setelah dianalisis regresi bertatar (regression stepwaise) untuk menduga diameter, tinggi, dan volume tegakan cukup digunakan satu peubah bebas yaitu umur tegakan. Tabel 8 menunjukkan bahwa hubungan diameter, tinggi, dan volume tegakan dengan umur tegakan terjadi korelasi yang nyata. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) dan koefisien determinasi yang disesuaikan (R 2 adj) antara 96 98%. Tabel 8. No. Model pendugaan diameter, tinggi dan volume tegakan untuk setiap bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Model persamaan 1. Bonita I a. ln D = 2,9448 1,6967 A -1 b. ln H = 3,0463 1,6975 A -1 c. ln V = 6,1336 8,0972 A -1 Simpangan baku 0,095 0, R 2 R 2 -adj RMSE cm 0.90 m 6.48 m 3 /ha RMSPE (%) Khi-kuadrat Hitung Tabel 1.87 tn 0.93 tn 0.43 tn Bonita II a. ln D = 3,0949 1,6530 A -1 0,099 0,973 0,973 0,46 cm 1,76 6,70 tn 34,76 b. ln H = 3,1847 1,6998 A -1 0,089 0,979 0,979 0,47 m 1,27 2,50 tn 34,76 c. ln V = 6,5730 8,1242 A -1 0,492 0,972 0,972 3,48 m 3 /ha 5,30 34,06 tn 34,76 3. Bonita III a. ln D = 3,0314 1,0115 A -1 0,087 0,975 0,975 1,32 cm 4,26 24,66 tn 29,81 b. ln H = 3,2550 1,6227 A -1 0,081 0,980 0,980 1,22 m 4,01 28,98 tn 29,81 c. ln V = 6,5658 6,9719 A -1 0,494 0,961 0,960 4,85 m 3 /ha 5,65 24,03 tn 29,81 4. Bonita IV a. ln D = 3,0675 1,5534 A -1 b. ln H = 3,4022 1,7445 A -1 c. ln V = 6,5971 6,5809 A -1 0,098 0,105 0,300 0,969 0,972 0,984 0,968 0,971 0,983 0,97 cm 0,63 m 5,66 m 3 /ha 2,79 1,90 7,09 1,32 tn 0,62 tn 8,54 tn Keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada tingkat nyata 5% D = diameter setinggi dada, H = tinggi total, V= volume tegakan, dan A = umur tegakan 8,57 8,57 8,57 Hasil uji validasi model pendugaan diameter, tinggi, dan volume tegakan untuk semua bonita diperoleh masing-masing nilai RMSE antara 0,46 1,14 cm; 0,47 1,22 m; dan 3,48 6,48 m 3 /ha. Persentase kesalahan prediksi model (RMSPE) untuk diameter, tinggi, dan volume tegakan masing-masing sebesar 1,76 4,26%, 1,27 4,01%; dan 2,07 7,09% dari nilai sebenarnya. Hasil uji X 2

68 49 (Khi-kuadrat) menunjukkan bahwa antara hasil pendugaan dengan data sebenarnya tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, model persamaan yang dibuat pada Tabel 8 relatif baik untuk digunakan dalam menduga diameter, tinggi, dan volume tegakan di setiap bonita. Model pertumbuhan dan hasil tegakan Gambar 7 memperlihatkan pertumbuhan dan hasil rata-rata diameter, tinggi total dan volume tegakan eucalyptus. Riap volume maksimum sebesar 31,13 m 3 /ha/tahun terjadi pada umur 8,1 tahun, riap diameter maksimum 4,4 cm/tahun pada saat berumur 2,3 tahun dan pada umur 2,4 tahun tercapai riap tinggi maksimum 5,2 m/tahun. Dengan demikian, daur volume maksimum tegakan eucalyptus terjadi pada umur 8,1 tahun, sehingga daurnya ditetapkan 8 tahun. A B C Gambar 7. Kurva pertumbuhan total diameter (A), tinggi (B), dan volume tegakan eucalyptus (C) di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli.

69 50 Pada daur 8 tahun diperoleh rata-rata: 1. Diameter sebesar 16,7 cm dengan MAI 2,1 cm/tahun, dan CAI 0,5 cm/tahun. 2. Tinggi sebesar 20,4 m dengan MAI 2,5 m/tahun, dan CAI 0,6 m/tahun. 3. Volume tegakan sebesar 249,34 m 3 /ha dengan MAI 31,17 m 3 /ha/tahun, dan CAI 31,52 m 3 /ha/tahun. Hasil analisis menunjukkan terjadi perbedaan daur volume maksimum di setiap bonita, yaitu bonita I dan II daur volume maksimum terjadi pada umur 8,2 tahun, sedangkan bonita III dan IV terjadi pada umur 7,1 tahun. Tabel 9. Bonita Daur, riap tahunan rata-rata,, riap tahun berjalan dan volume tegakan untuk setiap bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Daur MAI (m 3 /ha/tahun) CAI (m 3 /ha/tahun) Volume (m 3 /ha) Daur volume maksimum I 8,2 tahun 20,95 20,95 171,77 II 8,2 tahun 32,40 32,40 265,67 III 7,1 tahun 37,48 37,48 266,09 IV 7,1 tahun 40,86 40,86 290,10 Daur tebang I 5 tahun 18,26 30,40 91,30 II 5 tahun 28,18 47,04 140,92 III 5 tahun 35,23 51,85 176,16 IV 5 tahun 39,31 55,11 196,55 Daur tebang I 6 tahun 19,93 28,29 119,59 II 6 tahun 30,79 43,83 184,74 III 6 tahun 37,48 46,09 222,25 IV 6 tahun 40,79 48,21 244,76 Daur tebang I 7 tahun 20,72 25,43 145,02 II 7 tahun 32,02 39,43 224,17 III 7 tahun 37,48 40,13 262,39 IV 7 tahun 40,90 41,52 286,28 Daur tebang I 8 tahun 20,95 22,56 167,58 II 8 tahun 32,40 34,00 259,17 III 8 tahun 37,15 34,79 297,17 IV 8 tahun 40,25 35,70 321,98

70 51 Begitu juga setiap bonita menghasilkan riap tahunan rata-rata antara 20,95 dan 40,86 m 3 /ha/tahun dan rata-rata volume tegakan berkisar antara 171,77 dan 290,10 m 3 /ha (Tabel 9). Jika dilakukan penebangan pada umur yang berbeda akan dihasilkan sebagai berikut: 1. Daur tebang 5 tahun diperoleh riap tahunan rata-rata antara 18,26 39,31 m 3 /ha/tahun dan rata-rata volume tegakan antara 91,50 196,55 m 3 /ha. 2. Daur tebang 6 tahun diperoleh riap tahunan rata-rata antara 19,93 40,79 m 3 /ha/tahun dan rata-rata volume tegakan antara 119,59 244,76 m 3 /ha. 3. Daur tebang 7 tahun diperoleh riap tahunan rata-rata antara 20,72 40,90 m 3 /ha/tahun dan rata-rata volume tegakan berkisar 145,02 286,28 m 3 /ha. 4. Daur tebang 8 tahun diperoleh riap tahunan rata-rata antara 20,95 40,25 m 3 /ha/tahun dan rata-rata volume tegakan antara 167,58 321,98 m 3 /ha. Model persamaan regresi penduga aliran permukaan dan erosi Hasil analisis sidik ragam menunjukkan semua model yang telah disusun diperoleh peluang nyata sebesar nol yang berarti bahwa secara simultan peubah bebas curah hujan dan persen kemiringan lahan berpengaruh sangat nyata terhadap aliran permukaan dan erosi (Lampiran 14). Tabel 10 menunjukkan bahwa hubungan aliran permukaan dan erosi dengan curah hujan dan persen kemiringan lahan di setiap kelas umur tegakan eucalyptus terjadi korelasi yang nyata. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) antara 63 88% dan koefisien determinasi yang disesuaikan (R 2 adj) antara 62 88%. Hasil uji validasi model penduga aliran permukaan diperoleh rata-rata kesalahan penduga model (RMSE) untuk R 0, R 1, R 2, R 3, R 4, dan R 5 masingmasing adalah 4,57 m 3 /ha; 2,72 m 3 /ha; 1,90 m 3 /ha; 1,62 m 3 /ha; 3,75 m 3 /ha; dan 0,67 m 3 /ha dengan persentase kesalahan prediksinya (RMSPE) masing-masing sebesar 10%; 11%; 7%; 6%; 19% dan 4% dari nilai aktual aliran permukaan. Hasil uji validasi model pendugaan erosi diperoleh RMSE untuk E 0, E 1, E 2, E 3, E 4, dan E 5 masing-masing adalah 148,72 kg/ha; 68,35 kg/ha; 26,31 kg/ha; 14,93 kg/ha; 3,75 kg/ha; dan 3,93 kg/ha dengan persentase kesalahan prediksinya masing-masing sebesar 26%; 39%; 36%; 39%; 19% dan 10% dari nilai

71 52 sebenarnya. Hasil uji X 2 (Khi-kuadrat) menunjukkan bahwa antara hasil pendugaan dengan data sebenarnya tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, semua model persamaan pada Tabel 10 yang telah disusun relatif baik untuk digunakan. Tabel 10. Persamaan hubungan aliran permukaan dengan curah hujan dan persen kemiringan lahan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli No. Model persamaan Simpangan baku R 2 R 2 -adj RMSE RMSPE (%) Khi-kuadrat Hitung Tabel 1. R 0 = -0, ,3126 CH + 0,2114 Slope 5,14 0,651 0,647 4,57 10,35 14,79 tn 70,88 2. R 1 = 1, ,2306 CH + 0,0964 Slope 3,88 0,626 0,622 2,72 10,64 12,16 tn 67,37 3. R 2 = -0, ,2293 CH + 0,1417 Slope 3,54 0,680 0,676 1,90 7,06 11,73 tn 67,37 4. R 3 = -1, ,1530 CH + 0,1779 Slope 2,26 0,701 0,697 1,62 6,10 10,85 tn 69,13 5. R 4 = 0, ,0476 CH + 0,0261 Slope 3,83 0,645 0,641 3,75 18,67 14,99 tn 69,13 6. R 5 = -0, ,0314 CH + 0,0511 Slope 0,59 0,665 0,659 0,67 3,76 4,48 tn 43,19 7. E 0 = - 117,66 + 9,8708 CH + 5,1619 Slope 81,40 0,879 0, ,72 25,92 17,99 tn 70,88 8. E 1 = - 48,50 + 5,4591 CH + 2,0557 Slope 53,43 0,831 0,829 68,35 38,52 8,41 tn 67,37 9. E 2 = - 47, ,7504 CH + 1,7373 Slope 39,91 0,875 0,873 26,31 36,43 23,98 tn 67, E 3 = - 51, ,8381 CH + 2,3396 Slope 32,70 0,782 0,779 14,93 38,62 12,53 tn 69, E 4 = - 1, ,3211 CH + 0,1144 Slope 3,83 0,761 0,759 3,75 18,67 14,99 tn 69, E 5 = - 1, ,2131 CH + 0,0982 Slope 2,14 0,849 0,846 3,93 10,23 11,64 tn 43,19 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada tingkat nyata 5%. R 0 = aliran permukaan pada lahan kosong, R 1 = aliran permukaan dibawah tegakan kelas umur I, R 2 = aliran permukaan dibawah tegakan kelas umur II, R 3 = aliran permukaan dibawah tegakan kelas umur III, R 4 = aliran permukaan dibawah tegakan kelas umur IV, R 5 = aliran permukaan dibawah tegakan kelas umur V, E 0 = tanah tererosi pada lahan kosong, E 1 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur I, E 2 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur II, E 3 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur III, E 4 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur IV, dan E 5 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur V, CH = curah hujan, Slope = kemiringan lahan Kondisi tegakan, aliran permukaan, erosi tanah dan penutupan tajuk Kondisi fisik lahan dengan bulk density berkisar antara 1,13 dan 1,26 g/cm 3 ; porositas antara 52,45 dan 57,48%; permeabilitas antara 9,16 dan 22,62 cm/jam; dan tebal top soil antara 16,7 dan 24,7 cm. Rata-rata tinggi total untuk kelas umur 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun berturut-turut adalah 2,1 m; 3,5 m; 12,8 m; 19,6 m; dan 22,5 m dengan rata-rata diameter pohon setinggi dada masing-masing adalah 1,5 cm; 3,3 cm; 10,9 cm; 14,0 cm; dan 16,1 cm. Luas penutupan tajuk pohon ratarata untuk masing-masing kelas umur 1 sampai dengan 5 tahun berturut-turut

72 adalah 2,51 m 2 ; 3,97 m 2 ; 6,19 m 2 ; 6,07 m 2 ; dan 6,92 m 2. Permeabilitas termasuk sedang sampai cepat. Tabel 11. Karakteristik lahan dan kondisi tegakan eucalyptus di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli Lahan Kelas Kelas Kelas Kelas Kelas Parameter kosong umur 1 umur 2 umur 3 umur 4 umur 5 1. Bulk density tanah (g/cm 3 ) 1,23 1,20 1,13 1,16 1,16 1,16 2. Porositas (%) 53,71 52,45 52,48 54,84 56,23 57,48 3. Permeabilitas (cm/jam) 9,21 12,46 14,73 15,60 19,16 22,62 4. Tebal top soil (cm) 16,7 18,7 15,6 16,9 25,7 24,7 5. Diameter pohon (cm) - 1,5 3,3 10,9 14,0 16,1 6. Tinggi total pohon (m) - 2,1 3,5 12,8 19,6 22,5 7. Jarak tanam (m 2 ) - 2 x 3 2 x 3 2 x 3 2 x 3 2 x 3 8. Curah Hujan (mm/tahun) Model penduga aliran permukaan, erosi tanah dan penutupan tajuk tegakan eucalyptus dapat dilihat pada Tabel 12. Kecenderungan aliran permukaan dan erosi tanah semakin mengecil dengan bertambahnya umur tanaman, namun kondisi lahan semakin miring, maka aliran permukaan dan erosi tanah semakin meningkat. Tabel 12. Pendugaan aliran permukaan, erosi tanah, dan penutupan tajuk di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli No. Model persamaan Simpangan baku R 2 1. R 9 = 2101,28 e -0,347A 218,28 0, R 15 = 2528,10 e -0,325A 223,85 0, R 25 = 3233,17 e -0,298A 335,99 0, E 9 = 17,11e -0,491A 2,20 0, E 15 = 27,74e -0,503A 1,78 0, E 25 = 45,48e -0,508A 1,94 0, PT = 133,63(1-e -0,340A ) 5,56 0,985 Keterangan: R 9 = aliran permukaan pada kemiringan lahan 9%, R 15 = aliran permukaan pada kemiringan lahan 15%, R 25 = aliran permukaan pada kemiringan lahan 25%, E 9 = erosi pada kemiringan lahan 9%, E 15 = erosi pada kemiringan lahan 15%, E 25 = erosi pada kemiringan lahan 25%, PT = persen penutupan tajuk, A = umur tegakan, dan e = 2,

73 54 Semakin bertambah umur tegakan, semakin meningkat penutupan tajuknya. Grafik aliran permukaan, erosi tanah dan penutupan tajuk dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9. (A) (B) Gambar 8. Kurva aliran permukaan (A) dan erosi tanah (B) pada kemiringan lahan 9%, 15%,dan 25% di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Gambar 9. Kurva penutupan tajuk hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli. Pengaturan hasil Analisis metode pengaturan hasil ini adalah metode pengaturan hasil berdasarkan optimasi persediaan tegakan nyata dan erosi tanah. Persediaan tegakan nyata dikelompokkan berdasarkan bonita. Dari hasil analisis spasial di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli diperoleh luas areal efektif seluas 5175,66 ha yang terdiri atas Bonita I, II, III, dan IV masing-masing adalah

74 656,23 ha; 1.88,51 ha; 1.924,88 ha; dan 706,04 ha. Peta bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli dapat dilihat pada Gambar Gambar 10. Peta bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Dari total luas 5.175,66 ha, sebagian besar areal hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli aman dari bahaya erosi, yaitu 5.165,14 ha (99,80%) lahan berada di areal dengan erosi masih dapat ditoleransi (kurang dari 60 ton/ha/tahun) sampai batas kemiringan lahan kurang dari 34%, kemiringan lahan 34 45% seluas 8,45 ha (0,16%) berada pada tingkat erosi antara ton ha/tahun; kemiringan lahan 46 58% seluas 0,45 ha terjadi erosi tanah antara ton/ha/tahun (Gambar 11).

75 56 Gambar 11. Tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Etat luas ditentukan berdasarkan pada total areal produktif dibagi dengan daur tebang. Daur tebang yang diskenariokan adalah 8 tahun, 7 tahun, 6 tahun, dan 5 tahun. Besarnya etat luas di Bonita I pada daur 8 tahun, 7 tahun, 6 tahun, dan 5 tahun masing-masing adalah 82,03 ha; 93,75 ha; 109,37 ha; 131,25 ha; dan 131,25 ha. Etat luas di Bonita II pada daur 8 tahun, 7 tahun, 6 tahun, dan 5 tahun masing-masing adalah 236,06 ha; 269,79 ha; 314,75 ha; dan 377,70 ha. Etat luas di Bonita III pada daur 8 tahun, 7 tahun, 6 tahun, dan 5 tahun masing-masing adalah 240,61 ha; 274,98 ha; 320,81 ha; dan 384,98 ha. Etat luas di Bonita IV pada daur 8 tahun, 7 tahun, 6 tahun, dan 5 tahun masing-masing adalah 88,26 ha; 100,86 ha; 117,67 ha; dan 141,21 ha. Simulasi model Model yang dibuat dalam penyusunan model pengaturan hasil ini terdiri dari empat sub model: 1. Sub model tegakan hutan 2. Sub model Penutupan tajuk 3. Sub model erosi tanah

76 57 4. Sub model pengaturan hasil dengan erosi Pertumbuhan tegakan Pengaturan hasil - - Erosi tanah Penutupan tajuk Gambar 12. Hubungan keterkaitan antar sub model dalam pengaturan hasil di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Gambar 12 menunjukkan hubungan antara sub model yang satu dengan sub model lainnya saling mepengaruhi. Sub model pertumbuhan tegakan mempengaruhi sub model erosi tanah dan pengaturan hasil. Kelas bonita semakin tinggi, maka pertumbuhan tegakan semakin meningkat sehingga dapat meningkatkan volume tebangan (etat volume) pada pengaturan hasil. Semakin meningkat pertumbuhan tegakan, maka erosi tanah semakin menurun. Pertumbuhan tegakan meningkat menunjukkan bertambahnya dimensi tegakan (diameter dan tinggi tegakan) sehingga akan menurunkan erosi tanah yang terjadi. Sub model erosi tanah mempengaruhi sub model pertumbuhan tegakan, sub model penutupan tajuk, dan pengaturan hasil. Semakin meningkat erosi tanah, maka tingkat kesuburan tanah berkurang yang mengakibatkan pertumbuhan tegakan menurun. Erosi tanah meningkat, maka penutupan tajuk semakin menurun, hal ini ditunjukkan dengan semakin muda tanaman akan menghasilkan penutupan tajuk yang semakin berkurang. Untuk itu, agar erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi (kurang dari 60 ton/ha/tahun pada kedalaman solum di atas 90 cm), maka areal pada kemiringan lahan di atas 33% perlu pengaturan jumlah pohon yang harus ditinggalkan. Kemiringan lahan 34-45%; 46-58%; dan di atas 58-75% perlu penutupan tajuk masing-masing sebesar 21%; 38% dan 53%. Dengan demikian, semakin meningkat erosi tanah yang terjadi diperlukan penutupan tajuk semakin besar. Dengan meningkatnya tingkat kemiringan lahan telah menimbulkan erosi tanah yang semakin besar sehingga memerlukan kerapatan tegakan tinggal per hektar yang semakin banyak (jumlah pohon yang bisa ditebang berkurang).

77 58 Adanya pengurangan jumlah pohon yang bisa ditebang, maka volume tegakan per hektar pada akhir daur semakin berkurang, sehingga etat volume berkurang. Sub model pengaturan hasil mempengaruhi sub model pertumbuhan tegakan, sub model erosi tanah, dan sub model penutupan tajuk. Dalam sub model pengaturan hasil dikendalikan oleh variabel daur tebang. Daur tebang semakin panjang, maka akan menurunkan erosi tanah yang terjadi di setiap bonita, sedangkan terhadap sub model penutupan tajuk yaitu semakin panjang daur tebang akan meningkatkan persen penutupan tajuk dan begitu juga semakin panjang daur tebang akan meningkatkan volume tegakan di akhir daur di setiap bonita. Sub model penutupan tajuk telah mempengaruhi erosi tanah. Semakin tinggi penutupan tajuk, maka erosi tanah yang terjadi semakin menurun. Keempat sub model akan dipresentasikan model konseptualnya, yaitu: 1. Sub model pertumbuhan tegakan. Sub model pertumbuhan tegakan digunakan untuk menggambarkan tingkat pertumbuhan tegakan eucalyptus di setiap bonita. Sub model ini terdapat variabel pertumbuhan tegakan di setiap bonita dan pertumbuhan tegakan setelah mengalami pengurangan jumlah pohon yang harus ditinggalkan agar erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi. Sub model pertumbuhan tegakan ini memberikan gambaran mengenai tingkat pertumbuhan tegakan di setiap bonita dan pertumbuhan tegakan yang dapat dipanen di akhir daur. Sub model tegakan hutan ini disajikan pada Gambar 13. Gambar 13. Sub model pertumbuhan tegakan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli.

78 59 2. Sub model pengaturan hasil. Sub model ini berguna untuk menggambarkan besarnya volume tegakan per hektar yang bisa ditebang di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli sesuai dengan bonita. Dalam sub model pengaturan hasil penentuan volume tegakan per hektar yang dapat ditebang pada akhir daur di setiap bonita telah mempertimbangkan aspek erosi tanah sesuai dengan tingkat kemiringan lahan yang telah ditentukan. Sub model pengaturan hasil dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Sub model pengaturan hasil di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. 3. Sub model penutupan tajuk. Sub model penutupan tajuk menggambarkan persen penutupan tajuk dari tegakan eucalyptus sesuai dengan umur tegakan. Adanya erosi tanah yang terjadi dapat dikendalikan dengan kehadiran vegetasi. Besarnya persen penutupan tajuk yang diperlukan agar erosi tanah dapat ditoleransi pada kemiringan lahan tertentu maka dinyatakan dalam ambang batas penutupan tajuk. Nilai ambang batas penutupan tajuk dapat mempengaruhi faktor penutupan tajuk sesuai dengan tingkat kemiringan lahan dan daur tebang yang ditetapkan sehingga akan mempengaruhi kerapatan tegakan tinggal yang diperlukan di setiap kemiringan lahan dan bonita yang telah ditentukan. Sub model penutupan tajuk dapat dilihat pada Gambar 15.

79 60 Gambar 15. Sub model penutupan tajuk tegakan eucalyptus di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 4. Sub model erosi tanah. Sub model erosi tanah menggambarkan sejauhmana tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi di berbagai kemiringan lahan. Erosi tanah yang terjadi dipengaruhi oleh daur tebang, penutupan tajuk, pertumbuhan tegakan di setiap bonita, dan kemiringan lahan. Sub model erosi tanah disajikan pada Gambar 16. Gambar 16. Sub model erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli.

80 61 Spesifikasi model kuantitatif Dalam model kuantitatif yang dibuat dalam pengaturan hasil berdasarkan waktu. Satuan dasar yang digunakan dalam model simulasi ini berupa tahun dan bentuk fungsional dari persamaan model dapat dilihat pada Lampiran 15. Penggunaan model Dalam penggunaan model akan dilakukan skenario perubahan daur tebang untuk melihat besarnya volume tegakan pada berbagai daur berdasarkan dengan mempertimbangkan erosi tanah yang terjadi. Hasil analisis selama daur 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun terhadap volume tegakan yang dapat ditebang per hektar dapat dilihat pada Gambar 17. Sedangkan etat luas dan etat volume disajikan pada Tabel 13. Gambar 17. Volume tegakan yang bisa dipanen pada (1) daur 5 tahun; (2) daur 6 tahun, (3) daur 7 tahun, dan (4) daur 8 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli.

81 62 Tabel 13. Etat luas dan etat volume tanpa mempertimbangkan faktor erosi tanah pada pada daur 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Daur (Tahun) Bonita Etat luas pada berbagai bonita dan kemiringan lahan (ha/tahun) Etat volume pada berbagai bonita dan kemiringan lahan (m 3 /tahun) < 34% 34-5% 46-58% 59-75% Jumlah < 34% 34-45% 46-58% 59-75% Jumlah 5 I 130,52 0,71 0,02 0,00 131, ,29 65,01 1,46 0, ,76 II 377,37 0,25 0,08 0,00 377, ,26 34,95 11,56 0, ,77 III 384,36 0,54 0,08 0,00 384, ,15 95,13 14,09 0, ,37 IV 140,78 0,19 0,15 0,09 141, ,70 37,34 28,70 17, ,43 Jumlah 1.033,03 1,69 0,32 0,09 1,035, ,41 232,42 55,81 17, ,33 6 I 108,77 0,59 0,01 0,00 109, ,21 70,96 1,59 0, ,76 II 314,48 0,21 0,07 0,00 314, ,42 38,18 12,62 0, ,22 III 320,30 0,45 0,07 0,00 320, ,93 100,01 14,82 0, ,76 IV 117,32 0,16 0,12 0,08 117, ,84 38,75 29,78 18, ,73 Jumlah 860,86 1,41 0,27 0,08 862, ,40 247,90 58,81 18, ,47 7 I 93,23 0,51 0,01 0,00 93, ,80 73,75 1,66 0, ,21 II 269,55 0,18 0,06 0,00 269, ,34 39,71 13,13 0, ,18 III 274,54 0,39 0,06 0,00 274, ,55 101,21 14,99 0, ,75 IV 100,56 0,14 0,10 0,06 100, ,91 38,85 29,85 18, ,02 Jumlah 737,88 1,21 0,23 0,06 739, ,60 253,52 59,64 18, ,17 8 I 81,57 0,45 0,01 0,00 82, ,13 74,57 1,68 0, ,38 II 235,86 0,16 0,05 0,00 236, ,19 40,17 13,28 0, ,64 III 240,22 0,34 0,05 0,00 240, ,92 100,29 14,86 0, ,07 IV 87,99 0,12 0,09 0,06 88, ,62 38,24 29,38 18, ,34 Jumlah 645,64 1,06 0,20 0,06 646, ,86 253,27 59,20 18, ,44 Dengan semakin pendek daur tebang, maka etat luas semakin tinggi, akan tetapi etat volume cenderung menurun. Untuk itu, penurunan daur tebang telah menurunkan produksi kayu setiap tahunnya. Hasil pengelompokkan kualitas tempat tumbuh diperoleh etat volume yang maksimum tercapai pada daur 7 tahun. Dari Tabel 14 bahwa dengan mempertimbangkan faktor erosi tanah, maka etat volume mengalami penurunan, namun tingkat penurunan yang terjadi relatif kecil karena dari hasil analisis spasial diperoleh hasil sebagian besar lahan berada pada kemiringan kurang dari 34% yaitu seluas 5.165,14 ha (99,80%), sedangkan sisanya pada kemiringan lahan 34-45% sebesar 8,45 ha (0,16%); kemiringan lahan 46-58% sebesar 0,45 ha (0,01%); dan di atas 58% tidak ada.

82 Tabel 14. Etat luas dan etat volume dengan mempertimbangkan faktor erosi tanah pada pada daur 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Daur (Tahun) Bonita Etat luas Etat volume < 34% 34-45% 46-58% >58% Jumlah < 34% 34-45% 46-58% >58% Jumlah 5 I 130,52 0,71 0,02 0,00 131, ,29 49,51 0,79 0, ,59 II 377,37 0,25 0,08 0,00 377, ,26 26,12 6,18 0, ,56 III 384,36 0,54 0,08 0,00 384, ,15 70,80 7,45 0, ,40 IV 140,78 0,19 0,15 0,09 141, ,70 27,92 15,34 6, ,24 Jumlah 1.033,03 1,69 0,32 0,09 1,035, ,41 174,35 29,76 6, ,80 6 I 108,77 0,59 0,01 0,00 109, ,21 55,50 0,95 0, ,66 II 314,48 0,21 0,07 0,00 314, ,42 29,12 7,10 0, ,63 III 320,30 0,45 0,07 0,00 320, ,93 75,96 8,25 0, ,14 IV 117,32 0,16 0,12 0,08 117, ,84 29,55 16,75 7, ,36 Jumlah 860,86 1,41 0,27 0,08 862, ,40 190,13 33,05 7, ,80 7 I 93,23 0,51 0,01 0,00 93, ,80 59,13 1,05 0, ,98 II 269,55 0,18 0,06 0,00 269, ,34 22,30 7,92 0, ,56 III 274,54 0,39 0,06 0,00 274, ,55 79,31 9,03 0, ,89 IV 100,56 0,14 0,10 0,06 100, ,91 30,48 18,01 8, ,68 Jumlah 737,88 1,21 0,23 0,06 739, ,60 191,21 36,01 8, ,11 8 I 81,57 0,45 0,01 0,00 82, ,13 60,80 1,10 0, ,04 II 235,86 0,16 0,05 0,00 236, ,19 32,13 8,37 0, ,69 III 240,22 0,34 0,05 0,00 240, ,92 80,28 9,39 0, ,59 IV 87,99 0,12 0,09 0,06 88, ,62 30,58 18,52 8, ,57 Jumlah 645,64 1,06 0,20 0,06 646, ,86 203,80 37,39 8, ,89 63 Erosi tanah cenderung meningkat dengan semakin tinggi kemiringan lahannya, namun menurun dengan semakin bertambah umur tegakan. Erosi tanah yang terjadi pada kemiringan lahan 34-45%; 46-58%; dan di atas 58% serta toleransi erosi, dan penutupan tajuk disajikan pada Gambar 18.

83 64 Gambar 18. Erosi yang terjadi pada kemiringan lahan 34-45% (1); 46-58% (2); di atas 58% (3); persen penutupan tajuk (4); dan ambang batas toleransi erosi (60 ton/ha/tahun) (5) di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Produktivitas tegakan dengan mempertimbangkan faktor erosi tanah Hasil analisis tingkat produktivitas tegakan dengan mempertimbangkan faktor erosi tanah diperlukan faktor koreksi dalam metode pengaturan hasilnya, sehingga metode pengaturan hasil Von Mantel perlu dikoreksi. Tahapan untuk menentukan faktor koreksi tersebut sebagai berikut: 1. Tentukan nilai faktor koreksi volume kayu yang dapat dipanen untuk setiap tegakan (petak): dimana: lpt = luas penutupan tajuk tegakan tinggal pada umur daur (setelah ditebang) (m 2 ), Lpt =luas penutupan tajuk tegakan pada umur daur (sebelum ditebang) (m 2 ), fp = nilai faktor koreksi volume tegakan eucalyptus yang dapat ditebang pada suatu tegakan (petak) dengan kemiringan lahan tertentu, untuk jenis tanah Latosol, dan erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi berdasarkan Permenhut P.32/Menhut- II/2009 (60 ton/ha/ tahun) untuk kedalaman solum lebih dari 90 cm. Nilai fp: 0 fp 1.

84 2. Cari nilai faktor koreksi volume kayu yang dapat dipanen untuk seluruh areal 65 hutan: sedangkan l i (fp) i = luas lahan untuk kelompok kemiringan lahan ke-i (ha), = faktor koreksi volume kayu yang dapat dipanen pada kelompok kemiringan lahan ke-i, n = banyaknya kelompok kemiringan lahan, Nilai FkD: 0 FkD Tentukan besarnya volume kayu tahunan yang dapat dihasilkan dari satu kesatuan pengelolaan hutan (AY ) dengan formula sebagai berikut: AY = volume hasil kayu tebangan tahunan berdasarkan Formula Von Mantel yang telah dimodifikasi (m 3 /tahun), AY = volume hasil kayu tebangan tahunan berdasarkan Formula Von Mantel (m 3 /tahun), AG = tegakan persediaan nyata (m 3 ), R = daur tebang (tahun), FkD = Faktor koreksi Darwo untuk kendala erosi tanah, yaitu nilai rata-rata tertimbang faktor koreksi tegakan dalam seluruh areal unit pengelolaan hutan dengan pembobot luas areal untuk setiap kelompok kemiringan lahan yang terdapat dalam unit pengelolaan hutan tersebut. Ada 3 daerah kemiringan lahan yang perlu diperhatikan, yaitu (a) batas kemiringan lahan yang dapat diterapkan sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), (b) batas kemiringan lahan yang masih dapat dilakukan penebangan tetapi tidak dapat dilakukan dengan cara tebang habis (pada areal dengan kategori ini perlu diterapkan tebang jalur atau tebang pilih), dan (c) batas kemiringan lahan yang secara ekonomis tidak layak untuk dilakukan penebangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada daur tebang 5, 6, 7, dan 8 tahun terjadi perbedaan nilai faktor koreksi pada saat kondisi bisnis hutan tanaman eucalyptus mencapai titik Break Event Point (Tabel 15). Pendugaan besarnya erosi tanah pada berbagai tingkat kemiringan lahan disajikan pada Lampiran 8.

85 66 Tabel 15. Nilai faktor koreksi volume kayu eucalyptus yang dapat ditebang pada berbagai daur tebang fp=1, pada fp Daur BEP fp=0 pada lereng Nilai fp BEP Pada lereng lereng 5 tahun 33% (18º) 0,52 75% (37º) 450% (77º) 6 tahun 33% (18º) 0,43 95% (44º) 775% (83º) 7 tahun 33% (18º) 0,40 110% (48º) 1.275% (86º) 8 tahun 33% (18º) 0,34 145% (55º) 2.150% (87º) Keterangan: fp = faktor koreksi volume kayu yang dapat ditebang; dan fp BEP = faktor koreksi volume kayu yang dapat ditebang pada kondisi Break Event Point Untuk menentukan BEP terlebih dahulu menetapkan: 1. Biaya pemanenan di hutan tanaman meliputi (Dulsalam 2010); a. Penebangan dengan gergaji rantai (chainsaw) Rp 1.344/m 3. b. Penyaradan dengan wheel skidder (traktor berban karet) Rp /m 3. c. Pengangkutan kayu dengan truk semi gandeng berkapasitas 40 ton Rp /m 3. d. Bongkar kayu secara mekanis dengan traktor Rp /m 3. e. Total biaya pemanenan kayu di hutan tanaman adalah Rp /m Standard biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri menurut Permenhut Nomor P.26/Menhut-II/2009 adalah Rp per hektar. 3. Harga kayu Rp /m 3. Hasil analisis biaya pembangunan hutan tanaman eucalyptus disajikan pada Tabel 15 dan analisis pendapatannya pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil analisis biaya pembangunan hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Bonita Biaya Pembangunan HTI (Rp/ha) Biaya pemanenan (Rp/m 3 ) Volume (m 3 /ha) Daur 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun Total biaya (Rp/ha) Volume (m 3 /ha) Total biaya (Rp/ha) Volume (m 3 /ha) Total biaya (Rp/ha) Volume (m 3 /ha) Total biaya (Rp/ha) I 16,662,034 63, ,485, ,289, ,911, ,350,286 II 16,662,034 63, ,649, ,444, ,959, ,191,897 III 16,662,034 63, ,897, ,837, ,397, ,615,537 IV 16,662,034 63, ,197, ,272, ,920, ,197,918

86 67 Tabel 17. Hasil analisis biaya pembangunan hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli Bonita Harga kayu (Rp/m3) Volume (m 3 /ha) Daur 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun Pendapatan (Rp/ha) Volume (m 3 /ha) Pendapatan (Rp/ha) Volume (m 3 /ha) Pendapatan (Rp/ha) Volume (m 3 /ha) Pendapatan (Rp/ha) I 450, ,085, ,815, ,259, ,411,000 II 450, ,414, ,133, ,876, ,626,500 III 450, ,272, ,012, ,075, ,726,500 IV 450, ,447, ,142, ,826, ,891,000 Hasil analisis menunjukkan bahwa titik BEP dapat terjadi pada volume kayu sebesar 94,55 m 3 /ha (Gambar 19). Gambar 19. Titik BEP usaha pembangunan hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli. Gambar 20 menunjukkan bahwa pada daur 5 tahun, tebang habis dapat dilakukan pada kemiringan lahan sampai 33%, kemiringan lahan antara 34-75% sistem penebangan dilakukan dengan tebang jalur atau tebang pilih, dan kemiringan lahan di atas 75% (37º) tidak layak diusahakan. Break Event Point (BEP) terjadi pada saat volume kayu yang dipanen sebesar 94,55 m 3 /ha (setara

87 68 dengan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 866 pohon/ha). Nilai fp Break Event Point (fp BEP ) = 0,52 yaitu terjadi pada kemiringan lahan 75% (37º). 75% Gambar 20. Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 5 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Gambar 21 menunjukkan bahwa pada daur 6 tahun, tebang habis dapat dilakukan pada kemiringan lahan sampai 33%, kemiringan lahan antara 34-95% sistem penebangan dilakukan dengan tebang jalur atau tebang pilih, dan kemiringan lahan di atas 95% (44º) tidak layak diusahakan. Break Event Point (BEP) terjadi pada saat volume kayu yang dipanen sebesar 94,55 m 3 /ha (setara dengan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 717 pohon/ha). Pada kondisi BEP nilai fp = 0,43 yaitu terjadi pada kemiringan lahan 95% (44º).

88 69 Gambar 21. Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 6 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Gambar 22 menunjukkan bahwa pada daur 7 tahun, tebang habis dapat dilakukan pada kemiringan lahan sampai 33%, kemiringan lahan antara % sistem penebangan dilakukan dengan tebang jalur atau tebang pilih, dan kemiringan lahan di atas 110% (48º) tidak layak diusahakan. Break Event Point (BEP) terjadi pada volume kayu yang dipanen sebesar 94,55 m 3 /ha (setara dengan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 627 pohon/ha). Nilai fp pada kondisi BEP adalah 0,40 yang terjadi pada kemiringan lahan 110% (48º).

89 70 Gambar 22. Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 7 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Gambar 23 menunjukkan bahwa pada daur 8 tahun, tebang habis dapat dilakukan pada kemiringan lahan sampai 33%, kemiringan lahan antara % sistem penebangan dilakukan dengan tebang jalur atau tebang pilih, dan kemiringan lahan di atas 145% (55º) tidak layak diusahakan. Break Event Point (BEP) terjadi pada volume kayu yang dipanen sebesar 94,55 m 3 /ha (setara dengan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 567 pohon/ha). Nilai fp pada kondisi BEP adalah 0,34 yang terjadi pada kemiringan lahan 145% (55º).

90 71 Gambar 23. Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 8 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Dari Gambar 20, 21, 22, dan 23 dapat disimpulkan bahwa fp merupakan nilai faktor koreksi volume tegakan eucalyptus yang dapat ditebang pada kemiringan lahan tertentu, untuk jenis tanah Latosol, dan erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi berdasarkan Permenhut Nomor: P. 32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungan (RTkRHL-DAS). Nilai fp antara 0 dan 1 (0 fp 1). Nilai fp = 0 jika kondisi lahan pada kemiringan tertentu memerlukan luas penutupan tajuk pada umur daur. Nilai fp = 1 apabila kondisi lahan sampai batas kemiringan tertentu, erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi. Nilai fp Break Event Point (fp BEP ) jika kondisi lahan pada kemiringan tertentu memerlukan luas penutupan tajuk tegakan tinggal pada umur daur, dimana jumlah

91 72 pohon yang dapat ditebang akan menghasilkan pendapatan yang sama dengan biaya produksinya. Tingkat produktivitas tegakan pada daur tebang 8 tahun dengan memperhatikan faktor erosi tanah di setiap bonita sebagai berikut: 1. Bonita I pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 279 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 82% (136,64 m 3 /ha), MAI 20,95 m 3 /ha/tahun, dan CAI 22,56 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 515 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 66% (110,48 m 3 /ha), MAI 13,81 m 3 /ha/tahun, dan CAI 14,87 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 713 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 53% (88,53 m 3 /ha), MAI 11,07 m 3 /ha/tahun, dan CAI 11,92 m 3 /ha/tahun (Gambar 24). Kemiringan lahan kurang dari34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 24. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli.

92 73 2. Bonita II pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 279 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 80% (207,28 m 3 /ha), MAI 25,91 m 3 /ha/tahun, dan CAI 27,99 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 515 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 63% (163,39 m 3 /ha), MAI 20,42 m 3 /ha/tahun, dan CAI 22,06 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 713 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 49% (126,57 m 3 /ha), MAI 15,82 m 3 /ha/tahun, dan CAI 17,09 m 3 /ha/tahun (Gambar 25). Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 25. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 3. Bonita III pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 279 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 80% (237,88 m 3 /ha), MAI 29,73 m 3 /ha/tahun, dan CAI 27,85 m 3 /ha/tahun. Kemiringan

93 74 lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 515 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 63% (187,72 m 3 /ha), MAI 23,47 m 3 /ha/tahun, dan CAI 21,97 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 713 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 49% (145,64 m 3 /ha), MAI 18,20 m 3 /ha/tahun, dan CAI 17,05 m 3 /ha/tahun (Gambar 26). Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 26. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 4. Bonita IV pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 279 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 80% (257,52 m 3 /ha), MAI 32,19 m 3 /ha/tahun, dan CAI 28,55 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 515 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 63% (202,99 m 3 /ha), MAI 25,37 m 3 /ha/tahun, dan CAI 22,51 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 713 pohon/ha sehingga volume

94 tegakan menjadi 49% (157,24 m 3 /ha), MAI 19,66 m 3 /ha/tahun, dan CAI 17,49 m 3 /ha/tahun (Gambar 27). 75 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% (Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 27. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. Tingkat produktivitas tegakan pada daur tebang 7 tahun dengan memperhatikan faktor erosi tanah di setiap bonita dan nilai tingkat produktivitas tegakannya sebagai berikut: 1. Bonita I pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 288 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 81% (116,64 m 3 /ha), MAI 16,61 m 3 /ha/tahun, dan CAI 20,39 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 530 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 64% (92,10 m 3 /ha), MAI 13,16 m 3 /ha/tahun, dan CAI 16,15 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 735 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 49%

95 76 (71,64m 3 /ha), MAI 10,23 m 3 /ha/tahun, dan CAI 12,56 m 3 /ha/tahun (Gambar 28). Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 28. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 2. Bonita II pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 288 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 78% (175,86 m 3 /ha), MAI 25,12 m 3 /ha/tahun, dan CAI 30,93 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 530 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 60% (135,26 m 3 /ha), MAI 19,32 m 3 /ha/tahun, dan CAI 23,79 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 735 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 45% (100,87 m 3 /ha), MAI 14,41 m 3 /ha/tahun, dan CAI 17,74 m 3 /ha/tahun (Gambar 29).

96 77 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 29. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli 3. Bonita III pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 288 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 78% (205,63 m 3 /ha), MAI 29,38 m 3 /ha/tahun, dan CAI 31,45 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 530 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 60% (157,94 m 3 /ha), MAI 22,56 m 3 /ha/tahun, dan CAI 24,16 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 735 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 45% (117,54 m 3 /ha), MAI 16,79 m 3 /ha/tahun, dan CAI 17,98 m 3 /ha/tahun (Gambar 30).

97 78 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 30. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 4. Bonita IV pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 288 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 79% (224,58 m 3 /ha), MAI 32,08 m 3 /ha/tahun, dan CAI 52,57 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 530 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 61% (172,74 m 3 /ha), MAI 24,68 m 3 /ha/tahun, dan CAI 25,05 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 735 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 46% (128,82 m 3 /ha), MAI 18,40 m 3 /ha/tahun, dan CAI 10,68 m 3 /ha/tahun (Gambar 31).

98 79 Kemiringan lahan kuarng 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 31. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. Tingkat produktivitas tegakan pada daur tebang 6 tahun dengan mempertimbangkan faktor erosi tanah di setiap bonita sebagai berikut: 1. Bonita I pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 300 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 78% (93,54 m 3 /ha), MAI 15,59 m 3 /ha/tahun, dan CAI 22,13 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 553 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 68% (71,58 m 3 /ha), MAI 11,93 m 3 /ha/tahun, dan CAI 16,93 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 766 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 44% (53,09 m 3 /ha), MAI 8,85 m 3 /ha/tahun, dan CAI 12,56 m 3 /ha/tahun (Gambar 32).

99 80 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 32. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 2. Bonita II pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 300 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 76% (140,88 m 3 /ha), MAI 23,48 m 3 /ha/tahun, dan CAI 33,42 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 553 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 56% (103,89 m 3 /ha), MAI 20,62 m 3 /ha/tahun, dan CAI 27,11 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 766 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 39% (72,75 m 3 /ha), MAI 12,12 m 3 /ha/tahun, dan CAI 17,26 m 3 /ha/tahun (Gambar 33).

100 81 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 33. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 3. Bonita III pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 300 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 76% (168,80 m 3 /ha), MAI 28,13 m 3 /ha/tahun, dan CAI 35,00 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 553 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 56% (123,72 m 3 /ha), MAI 20,62 m 3 /ha/tahun, dan CAI 25,66 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 766 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 39% (85,77 m 3 /ha), MAI 14,29 m 3 /ha/tahun, dan CAI 17,79 m 3 /ha/tahun (Gambar 34).

101 82 (A) (A) (B) (B) Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 50-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 34. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 4. Bonita IV pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 300 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 78% (186,65 m 3 /ha), MAI 31,11 m 3 /ha/tahun, dan CAI 36,76 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 553 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 59% (137,64 m 3 /ha), MAI 22,94 m 3 /ha/tahun, dan CAI 27,11 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 766 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 44% (96,38 m 3 /ha), MAI 16,06 m 3 /ha/tahun, dan CAI 18,98 m 3 /ha/tahun (Gambar 35).

102 83 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 35. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. Tingkat produktivitas tegakan pada daur tebang 5 tahun dengan mempertimbangkan erosi tanah di setiap bonita sebagai berikut: 1. Bonita I pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 319 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 75% (69,53 m 3 /ha), MAI 13,71 m 3 /ha/tahun, dan CAI 22,82 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 588 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 54% (49,33 m 3 /ha), MAI 9,89 m 3 /ha/tahun, dan CAI 16,42 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 815 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 36% (33,12 m 3 /ha), MAI 6,62 m 3 /ha/tahun, dan CAI 11,03 m 3 /ha/tahun (Gambar 36).

103 84 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 56-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 36. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk kelas bonita I pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 2. Bonita II pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 319 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 75% (105,34 m 3 /ha), MAI 21,07 m 3 /ha/tahun, dan CAI 35,17 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 588 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 53% (75,34 m 3 /ha), MAI 15,07 m 3 /ha/tahun, dan CAI 25,15 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 815 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 36% (50,03 m 3 /ha), MAI 10,01 m 3 /ha/tahun, dan CAI 16,70 m 3 /ha/tahun (Gambar 37).

104 85 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan kahan 34-45% Kemiringan lahan 56-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 37. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 3. Bonita III pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 319 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 74% (131,11 m 3 /ha), MAI 26,22 m 3 /ha/tahun, dan CAI 38,59 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 588 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 53% (93,12 m 3 /ha), MAI 18,62 m 3 /ha/tahun, dan CAI 27,41 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 815 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 35% (61,06 m 3 /ha), MAI 12,21 m 3 /ha/tahun, dan CAI 17,97 m 3 /ha/tahun (Gambar 38).

105 86 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan kurang dari 34-45% Kemiringan lahan kurang dari 46-58% Kemiringan lahan 50-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 38. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. 4. Bonita IV pada kemiringan lahan 34 45% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 319 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 76% (146,93 m 3 /ha), MAI 29,39 m 3 /ha/tahun, dan CAI 41,20 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 46 58% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 588 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 57% (105,09 m 3 /ha), MAI 21,02 m 3 /ha/tahun, dan CAI 29,47 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan 59 75% diperlukan jumlah pohon yang ditinggalkan 815 pohon/ha sehingga volume tegakan menjadi 40% (69,78 m 3 /ha), MAI 13,96 m 3 /ha/tahun, dan CAI 19,56 m 3 /ha/tahun (Gambar 39).

106 87 Kemiringan lahan kurang dari 34% Kemiringan lahan 34-45% Kemiringan lahan 46-58% Kemiringan lahan 59-75% Keterangan: V1 = volume tegakan awal (m3/ha), V2 = volume tegakan yang bisa ditebang (m3/ha), MAI = riap tahunan rata-rata (m3/ha/th), CAI = riap tahun berjalan (m3/ha/th), Erosi (ton/ha/th), dan TBE = tingkat bahaya erosi (ton/ha/th) Gambar 39. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli. Pembahasan Pengelolaan hutan tanaman lestari pada dasarnya adalah serangkaian strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan yang menjamin aspek kelestarian fungsi-fungsi produksi, ekologi dan sosial. Aspek kelestarian produksi terpenuhi apabila hutan yang dikelola memberikan keuntungan ekonomi secara langsung dan berkesinambungan. Aspek ekologi terpenuhi apabila ada perhatian terhadap keseimbangan ekosistem secara utuh, dan aspek kelestarian sosial terpenuhi apabila selain membangun dan mengelola fisik hutan juga melibatkan masyarakat sekitar hutan sebagai bagian dalam pengelolaannya (LEI 2003). Metode pengaturan hasil berdasarkan optimasi antara persediaan tegakan nyata dan erosi tanah telah memenuhi dua aspek kelestarian yang disyaratkan dalam pengelolaan hutan tanaman lestari yaitu aspek kelestarian produksi dan aspek kelestarian ekologi. Untuk menganalisis metode pengaturan hasil ini, terlebih dahulu akan menelaah aspek produktivitas tegakan, tingkat produktivitas lahan, tingkat bahaya erosi yang terjadi, dan menganalisis metode pengaturan

107 88 hasil hutan dengan mempertimbangkan produktivitas tegakan, produktivitas lahan, dan dampak erosi yang terjadi. Tingkat produktivitas tegakan ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan. Produktivitas lahan dtunjukkan dengan hasil analisis indeks tempat tumbuh dan pengelompokkan kualitas tempat tumbuh. Tingkat bahaya erosi yang terjadi di berbagai kondisi lahan digunakan dalam rangka mengatur pengendalian bahaya erosi tanah agar berada pada kondisi erosi tanah yang masih dapat ditoleransi. Untuk menduga besaran nilai parameternya telah disusun model hubungan regresi antara peubah bebas dengan peubah tak bebas. Pertumbuhan dan hasil tegakan Hasil uji hubungan antara peninggi, diameter, tinggi, dan volume tegakan dengan umur tegakan membentuk model sigmoid (mengikuti bentuk S terhadap waktu). Hasil analisis diperoleh koefisien determinasi dan koefisien korelasi yang tinggi, nilai RMSE dan RMSPE yang kecil, dan hasil uji X 2 (Khi-kuadrat) tidak berbeda nyata. Dengan demikian, model persamaan pada Tabel 6 sebagai model yang sahih (valid). Oleh karena itu, penggunaan persamaan tersebut untuk menduga peninggi, diameter, tinggi, dan volume tegakan eucalyptus di PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli dalam praktek inventarisasi hutan mengandung resiko kesalahan dugaan yang kecil. Laju pertumbuhan diameter eucalyptus rata-rata meningkat cukup cepat sampai umur kurang dari 2 tahun, kemudian laju pertumbuhan diameter menurun secara tajam sampai tahun keempat. Laju pertumbuhan tinggi rata-rata meningkat pesat sampai berumur 2 tahun, lalu menurun tajam sampai umur 5 tahun. Laju pertumbuhan volume tegakan rata-rata meningkat dengan pesat pada umur 3 8 tahun, dan selanjutnya sampai tahun kesepuluh laju pertumbuhan volume tegakan menurun drastis. Laju pertumbuhan tegakan dari lokasi yang satu dengan lokasi lainnya tidak sama, hal ini karena tingkat pertumbuhan tegakan dipengaruhi oleh komponen penyusun ekosistem. Komponen ekosistem tersebut saling berpengaruh dan terkait satu sama lain secara simultan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan yaitu faktor genetik, lingkungan, dan tindakan silvikultur (Kramer & Kozlowski 1960).

108 89 Dari hasil analisis ditetapkan umur indeks untuk tegakan eucalyptus di hutan tanaman PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli adalah 8 tahun. Umur 8 tahun merupakan daur volume maksimum tegakan eucalyptus di hutan tanaman PT Toba Plup Lestari. Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa penetapan umur indeks berdasarkan daur volume maksimum yaitu umur tegakan dimana hasil kayu tahunan mencapai volume yang tertinggi. Umur ini ditunjukkan oleh perpotongan antara kurva riap tahun berjalan (CAI) dengan kurva riap tahunan rata-rata (MAI) (Simon 2010). Pada daur 8 tahun diperoleh rata-rata volume tegakan 249,34 m 3 /ha dengan MAI 31,17 m 3 /ha/tahun, dan CAI 31,52 m 3 /ha/tahun dengan rata-rata diameter 17,1 cm dan rata-rata tinggi pohon 20,9 m. Hasil penelitian di Brazil Eucalyptus urograndis pada daur 8 10 tahun dengan curah hujan kurang dari mm/tahun diperoleh MAI 30 m 3 /ha/tahun, curah hujan antara mm/tahun antara m 3 /ha/tahun, sedangkan pada areal yang mempunyai curah hujan lebih dari mm/tahun MAI mencapai m 3 /ha/tahun (Fisher & Binkley 2000). Sedangkan di Afrika Selatan dan Kongo sangat tinggi dengan MAI sebesar 70 m 3 /ha/tahun. Untuk jenis Eucalyptus sp. di Brazil pada daur tebang 8 10 tahun diperoleh MAI m 3 /ha/tahun, di Kongo daur tebang 7 tahun dihasilkan MAI 30 m 3 /ha/tahun, di Rwanda daur tebang 8 tahun didapat MAI 8,5 m 3 /ha/tahun, di Afrika Selatan daur tebang 8 10 tahun telah menghasilkan MAI antara m 3 /ha/tahun (FAO 1993; Nambiar & Brown 1997). Kualitas tempat tumbuh Indeks tempat tumbuh (site index) merupakan pendekatan yang paling umum digunakan untuk menaksir kualitas tempat tumbuh pada pengelolaan hutan. Indeks tempat tumbuh didefinisikan sebagai tinggi pohon maksimum pada umur tertentu sebagai dasar penentuannya (Davis et al. 2001). Metode ini menduga kualitas tempat tumbuh secara tidak langsung dengan menggunakan paremeter umur dan peninggi. Menurut Davis et al. (2001) pendekatan kelas kualitas tempat tumbuh ini lebih baik daripada metode pendugaan yang menggunakan pendekatan karakterisitik tanah maupun komposisi tumbuhan bawah, karena tinggi pohon merupakan parameter yang paling praktis, bersifat konsisten dan indikator yang berguna untuk menduga produktivitas kayu dari suatu tempat tumbuh (tapak).

109 90 Hal ini dikarenakan pertumbuhan peninggi pada pohon-pohon dominan dalam strata tajuk atas peka terhadap perbedaan kualitas tempat tumbuh, mempunyai hubungan yang kuat dengan pertumbuhan volume, dan mempunyai hubungan yang lemah dengan kepadatan serta komposisi jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keberagaman nilai indeks tempat tumbuh di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli. Keragaman nilai indeks tempat tumbuh tersebut menyebabkan potensi tegakan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Faktor yang mempengaruhi keragaman nilai indeks tempat tumbuh adalah adanya perbedaan pertumbuhan peninggi tegakan eucalyptus. Perbedaan pertumbuhan peninggi tegakan eucalyptus di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli dipengaruhi oleh kualitas tempat tumbuh, sedangkan faktor lainnya diperlakukan yang sama. Seperti jenis yang ditanam menggunakan jenis yang sama yaitu E. urograndis (persilangan antara E. urophylla dan E. grandis), dan perlakuan silvikultur (penyiapan lahan, jarak tanam, pemupukan, dan pemeliharaan) dilakukan sama. Teknik silvikultur dapat diterapkan terhadap tanah dan pengelolaan tegakan untuk meningkatkan ketersediaan air dan unsur hara selama pertumbuhan. Pada hutan tanaman cepat tumbuh, penerapan pengelolaan tegakan dengan teknik silvikultur intensif dapat menaikkan dan mempertahankan produktivitas. Pada umumnya pengelolaan intensif dilakukan pada fase persiapan bibit, persiapan lahan dan fase pemeliharaan tegakan berupa pemberian input hara atau pemupukan (Nambiar 1996). Dari hasil pengelompokkan kualitas tempat tumbuh di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli terdapat empat kelas kualitas tempat tumbuh yaitu Bonita I, II, III, dan IV. Bonita semakin tinggi menunjukkan kualitas tempat tumbuh semakin baik yang berarti potensi tegakan yang dihasilkan semakin tinggi. Jika dihubungkan antara kondisi bonita dengan daur tebang ternyata semakin tinggi bonita menunjukkan daur volume maksimum semakin pendek. Bonita I dan II daur volume maksimum terjadi pada umur 8,2 tahun, sedangkan pada bonita III dan IV terjadi pada umur 7,1 tahun. Daur optimal terjadi juga di hutan tanaman Acacia mangium pada berbagai kerapatan tegakan (jarak tanam) dan kualitas tempat tumbuh bahwa umur rotasi yang optimal untuk produksi kayu

110 91 pulp adalah sekitar 7 8 tahun, kecuali tempat tumbuh yang berkualitas buruk (indeks tempat tumbuh 11 m) dan jarak tanam yang lebar (4 4 m) dimana daur optimalnya terjadi pada umur 9 tahun (Krisnawati et al. 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa target riap tahunan rata-rata 40 m 3 /ha/tahun dapat dicapai pada daur 6-8 tahun dan hanya ada di bonita IV, sedangkan di bonita I, II, dan III masih dibawah 40 m 3 /ha/tahun. Pada daur tebang 8 tahun antar bonita menunjukkan riap tahunan rata-rata dan volume tegakan relatif berbeda. Oleh karena itu, pengelompokan kualitas tempat tumbuh perlu dibuat di hutan tanaman eucalyptus tersebut karena pengelompokkan kualitas tempat tumbuh merupakan perangkat yang diperlukan dalam perencanaan pengelolaan hutan tanaman sebagai upaya pengaturan hasil hutan tanaman yang memperhatikan tingkat produktivitas lahan. Aliran permukaan dan erosi tanah Upaya lain untuk mempertahankan produktivitas lahan adalah mengendalikan erosi tanah yang terjadi. Hasil analisis menunjukkan bahwa peubah bebas (curah hujan dan persen kemiringan lahan) secara signifikan mempengaruhi aliran permukaan dan erosi tanah. Dengan menggunakan model regresi berganda tersebut, input curah hujan dan persen kemiringan lahan dapat mengestimasi besarnya aliran permukaan dan erosi tanah di setiap kondisi lahan hutan tanaman eucalyptus. Kondisi tutupan lahan yang berbeda menunjukkan jumlah aliran permukaan dan tanah tererosi berbeda. Besaran aliran permukaan dan erosi tanah di setiap kondisi tutupan lahan di kawasan hutan tanaman eucalyptus ada kecenderungan aliran permukaan dan erosi tanah yang terjadi semakin meningkat dengan semakin meningkatnya kemiringan lahan. Namun dengan semakin bertambah umur tegakan menunjukkan aliran permukaan dan erosi tanah semakin menurun, hal ini karena adanya peningkatan penutupan lahan. Dalam pembangunan hutan tanaman eucalyptus yang dapat menimbulkan terjadinya aliran permukaan dan erosi tanah diantaranya adalah kegiatan penebangan, penyaradan, pemeliharaan (pembersihan gulma/tumbuhan bawah). Aktivitas penyaradan eucalyptus dengan menggunakan skidder berkapasitas tinggi telah menimbulkan tanah ada yang tersingkap dan sebagian tanah menjadi padat.

111 92 Hal tersebut menimbulkan porositas tanah menjadi rendah sehingga akan menimbulkan daya infiltrasi tanah berkurang dan akibatnya aliran permukaan dan erosi tanah menjadi tinggi. Pada saat penyiapan lahan dilakukan pembabatan gulma 2 bulan sebelum tanam, dan 1½ bulan sebelum tanam dilakukan penyemprotan gulma dengan herbisida serta ½ bulan berikutnya disemprot herbisida kembali hingga lahan bersih dari tumbuhan bawah. Selanjutnya, pada tanaman umur 1 sampai dengan 2 tahun dilakukan kegiatan pemeliharaan dengan cara penyemprotan gulma yang dimulai umur tanaman 2 bulan, 3 bulan, 5 bulan, 8 bulan, 12 bulan, 17 bulan, dan 22 bulan setelah tanam. Kondisi lahan di kelas umur 1 sampai 2 tahun tersebut selalu bersih dari tumbuhan bawah, dan kondisi penutupan tajuk tanamannya masih rendah. Akibatnya aliran permukaan dan erosi tanah menjadi besar. Dengan demikian, pada lahan kosong (bekas tebangan), kelas umur 1 dan 2 tahun tersebut telah terjadi aliran permukaan dan erosi tanah lebih tinggi daripada lahan di bawah tegakan kelas umur 3, 4 dan 5 tahun. Adanya peningkatan penutupan tajuk dan tumbuhnya tumbuhan bawah di kelas umur 3 tahun ke atas, maka mampu menurunkan aliran permukaan dan erosi tanah. Hal ini mendukung hasil penelitian Pratiwi & Mindawati (2005) yang menyatakan bahwa pada hutan tanaman Acacia mangium erosi akan menurun dengan bertambahnya umur tegakan. Di hutan tanaman E. pellita dengan semakin tua umur tegakan, tingkat erosi semakin menurun (Wibowo et. al. 2010). Semakin bertambah umur tegakan, maka akan terjadi peningkatan jumlah serasahnya sehingga akan menahan laju aliran permukaan akibatnya akan terjadi penurunan erosi tanah (Arsyad 2006; Asdak 2007; Pratiwi & Mindawati 2005). Selama tiga tahun pertama setelah tanam A. mangium telah menimbulkan aliran permukaan dan erosi tanah yang tinggi, hal ini diakibatkan tajuk tanaman belum menutupi (Pratiwi 2007). Berkurangnya penutupan lahan oleh vegetasi terutama di lahanlahan miring mengakibatkan laju aliran permukaan dan erosi tanah meningkat (Ispriyanto et al. 2001). Berkurangnya tutupan tajuk dan kondisi lereng yang miring akan meningkatkan potensi perusakan tanah oleh jatuhnya air hujan (Sukresno et al. 2002). Kondisi humus dan serasah di permukaan tanah berhubungan erat dengan kemampuan mengurangi energi kinetik pukul air hujan ke permukaan tanah dan

112 93 dapat meningkatkan daya infiltrasi aliran permukaan tanah. Sisa tanaman sebagai mulsa dari vegetasi sangat berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Mulsa atau serasah dapat memperkecil terjadinya erosi percikan di permukaan tanah yang disebabkan oleh air hujan, mempertinggi agregasi tanah dan memperbaiki struktur tanah serta mempertahankan kapasitas memegang air cukup tinggi untuk menekan besarnya jumlah aliran permukaan dan erosi (Arsyad 2006). Sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah tekstur tanah, bentuk dan kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi, permeabilitas tanah, kandungan bahan organik, kapasitas lapang, tebal horison dan kadar air. Tanah yang banyak mengandung bahan organik akan memperbesar nilai infiltrasi (Arsyad 2006; Asdak 2007). Dalamnya solum tanah, dengan porositas tanah yang tinggi serta nilai permeabilitas yang tinggi akan meningkatkan nilai infiltrasi sehingga aliran permukaan dan erosi tanah menurun (Ispriyanto et al. 2001). Pengendalian bahaya erosi Penelitian ini menunjukkan bahwa titik rawan bahaya erosi tanah yang terjadi yaitu di lahan kosong. Untuk itu diperlukan pengaturan penebangan pohon agar erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi. Pada kemiringan lahan kurang dari 34%, maka dapat dilakukan penebangan pohon secara tebang habis karena erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi (laju erosi kurang dari 60 ton/ha/tahun berdasarkan Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009 pada kedalam solum lebih dari 90 cm), namun pada kemiringan lahan di atas 33% telah menimbulkan laju erosi tanah yang semakin meningkat. Jika daur tebang 8 tahun, maka pada lahan kosong dengan kemiringan lahan 34-45%, 46-58, dan di atas 58% diperlukan penutupan tajuk masing-masing sebesar 21%, 38%, dan 53% yang setara dengan jumlah pohon yang harus tidak boleh ditebang sebanyak 279 phon/ha, 515 pohon/ha, dan 713 pohon/ha. Daur tebang 7 tahun dengan kemiringan lahan 34-45%, 46-58, dan di atas 58% diperlukan jumlah pohon yang harus disisakan sebanyak 288 phon/ha, 530 pohon/ha, dan 735 pohon/ha. Daur tebang 6 tahun dengan kemiringan lahan 34-45%, 46-58, dan di atas 58% diperlukan jumlah pohon yang harus disisakan sebanyak 300 phon/ha, 553 pohon/ha, dan 766 pohon/ha. Daur tebang 5 tahun dengan kemiringan lahan 34-45%, 46-58, dan di atas 58% diperlukan jumlah pohon yang harus disisakan

113 94 sebanyak 319 phon/ha, 588 pohon/ha, dan 815 pohon/ha. Daur tebang semakin pendek dan lereng semakin miring, maka jumlah pohon yang harus ditinggalkan semakin banyak sehingga produksi volume kayu per hektar semakin menurun. Akibatnya volume kayu yang dipanen pada daur 8 tahun dengan kemiringan lahan 34 45%; 46 58%; dan 59 75% masing-masing berkurang antara 18-20%; 34-37%; dan 41-51%. Pada daur 7 tahun dengan 34 45%; 46 58%; dan 59 75% masing-masing volume kayu yang ditebang berkurang antara 19-22%; 36-40%; dan 51-55%. Pada daur 6 tahun dengan 34 45%; 46 58%; dan 59 75% masingmasing volume kayu yang ditebang berkurang antara 22-24%; 40-44%; dan 56-61%. Pada daur 5 tahun dengan 34 45%; 46 58%; dan 59 75% masing-masing volume kayu yang ditebang berkurang antara 24-26%; 43-47%; dan 60-65%. Pengaturan hasil hutan Pengaturan hasil yang selama ini diterapkan di hutan tanaman hanya mempertimbangkan aspek, sedangkan aspek lindung belum diperhatikan. Untuk itu, metode pengaturan hasil dengan mempertimbangkan faktor erosi tanah yang terjadi merupakan upaya melindungi lahan dari bahaya erosi tanah yang terjadi agar produktivitas lahan dapat dipertahankan secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Pengendalian erosi tanah dengan cara meninggalkan pohon per hektar merupakan upaya konservasi tanah dan air dalam pengelolaan hutan tanaman. Metode pengaturan hasil menurut Von Mantel mengasumsikan bahwa kondisi lahan sama. Padahal kenyataan di lapangan kondisi lahan beragam, salah satu kondisi lahan tersebut tingkat kemiringan lahan. Kemiringan lahan telah menimbulkan tingkat erosi tanah yang berbeda akibatnya volume kayu yang bisa dipanen juga berbeda. Kemiringan lahan semakin miring, maka jumlah pohon yang harus ditinggalkan semakin banyak sehingga produksi kayu per hektar yang bisa dipanen semakin berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan tanaman eucalyptus dapat diusahakan dengan sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) di areal dengan kemiringan lahan sampai dengan 33%, pada kemiringan lahan di atas 33% sampai dengan kemiringan lahan mencapai titik BEP tidak dapat diterapkan tebang habis, dan kemiringan lahan di atas titik BEP harus dijadikan kawasan lindung. Kemiringan lahan untuk mencapai titik BEP pada

114 95 daur tebang ternyata berbeda. Semakin panjang daur tebang, maka semakin meningkat kemiringan lahan yang bisa diusahakan karena semakin bertambah umur tegakan telah meningkatkan penutupan tajuk sehingga tegakan tinggal tersebut dapat mengendalikan erosi tanah di lahan yang lebih miring. Oleh karena itu, metode pengaturan hasil menurut Von Matel perlu memasukkan faktor koreksi. Hasil penelitian ini telah diperoleh faktor koreksi fp merupakan nilai faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen pada kemiringan lahan tertentu. Besaran nilai fp antara nol dan satu. Ada 3 nilai fp yang perlu diperhatikan yaitu fp = 0, fp = 1, dan nilai fp pada titik BEP (fp BEP ). Nilai fp sama dengan nol, hal ini terjadi di kondisi lahan pada kemiringan tertentu memerlukan luas penutupan tajuk pada umur daur. Nilai fp sama dengan satu apabila kondisi lahan sampai batas kemiringan 33% aman dari bahaya erosi tanah. Nilai fp Break Event Point (fp BEP ) jika kondisi lahan pada kemiringan tertentu memerlukan luas penutupan tajuk tegakan tinggal pada umur daur, dimana jumlah pohon yang dapat ditebang akan menghasilkan pendapatan yang sama dengan biaya produksinya. Dengan demikian, usaha hutan tanaman eucalyptus akan ekonomis apabila nilai fp lebih besar dari nilai fp Break Event Point (fp BEP ), sedangkan areal yang mempunyai nilai fp kurang dari fp BEP sebaiknya dijadikan kawasan lindung. Pada daur 5, 6, 7, dan 8 tahun akan ekonomis apabila dilakukan di lahan dengan kemiringan berturut-turut adalah 75% (37º); 95% (44º); 110% (48º); dan 145% (55º). Nilai fp pada daur 5, 6, 7, dan 8 tahun berturut-turut adalah 0,52; 0,43; 0,40; dan 0,34. Semakin pendek daur tebang, maka batas kemiringan lahan yang layak diusahakan semakin berkurang. Dengan demikian, memperpendek daur tebang akan mengurangi luas lahan yang diusahakan. Etat luas akan meningkat dengan semakin pendek daur tebangnya, namun etat volume cenderung menurun dengan semakin pendek daur tebang. Hasil analisis dengan mempertimbangkan faktor kualitas tempat tumbuh dan tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi, maka pada daur 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun berturut-turut adalah ,80 m 3 /tahun; ,80 m 3 /tahun; ,11 m 3 /tahun; dan ,69 m 3 /tahun. Dari daur 5 tahun sampai 7 tahun menunjukkan etat volume meningkat dan setelah daur 8 tahun etat volume

115 96 menurun. Oleh karena itu, pengaturan hasil dengan mempertimbangkan faktor kualitas tempat tumbuh dan erosi tanah dapat juga menentukan daur optimum hutan tanaman eucalyptus. Daur volume optimum tersebut tercapai pada umur 7 tahun. Mindawati et al. (2010) menyatakan bahwa Eucalyptus urograndis di lokasi yang sama pada umur 6 tahun baru tercapai keseimbangan antara ketersediaan unsur hara dalam tanah dengan hara yang keluar sehingga daur tebang ditetapkan 6 tahun. PT TPL pada saat ini telah menetapkan daur tebang 5 tahun. Berdasarkan pertimbangan aspek neraca hara maupun ketersediaan tegakan nyata dan faktor erosi tanah, maka daur 5 tahun tidak tepat karena ditinjau dari neraca hara masih terjadi defisit unsur hara, dan berdasarkan produktivitas tegakan belum maksimum. Meskipun dari segi teknis tanaman eucalyptus merupakan jenis yang cocok dikembangkan di daerah tropis (Harwood 1998; Leksono 2010) yang dapat dipanen pada umur 6-7 tahun (Harmoko 2004; Quilho et al. 2006), dan layak untuk digunakan sebagai bahan baku pulp pada umur 4 5 tahun (Sihite 2008). Diameter tegakan telah memenuhi syarat untuk bahan baku pulp (Iskandar 2004), syarat diameter untuk pabrik pulp minimal 8 cm. PT TPL telah menetapkan batas minimal diameter cabang dan batang pohon untuk bahan baku serpih (chip) sebesar 5 cm. Dengan demikian, formula metode pengaturan hasil ini telah menerapkan prinsip pengelolaan hutan tanaman secara lestari karena dapat memproduksi kayu secara berkelanjutan dan dapat mempertahankan produktivitas lahan dalam jangka panjang secara terus-menerus melalui pengendalian erosi tanah. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dalam rangka mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem termasuk fungsi produksi dan lindung untuk mencapai manfaat yang seimbang dan lestari. Pengelolaan hutan lestari merupakan proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu yang tegas, dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa terjadi pengurangan nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang dan tanpa terjadi dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik (ITTO 1998 dalam Suhendang et al. 2005).

116 97 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Metode Pengaturan Hasil Berdasarkan Optimasi antara Tegakan Persediaan Nyata dengan Erosi Tanah pada Hutan Tanaman Eucalyptus (Formula Von Mantel yang Dimodifikasi), secara metematis dapat dirumuskan sebagai berikut: dan sedangkan, dimana lpt = luas penutupan tajuk tegakan tinggal pada umur daur (setelah ditebang) (m 2 ), luas penutupan tajuk tegakan pada umur daur (sebelum ditebang) (m 2 ), l i = luas lahan untuk kelompok kemiringan lahan ke-i (ha), (fp) i = faktor koreksi volume kayu yang dapat dipanen pada kelompok kemiringan lahan ke-i (nilai fp: 0 fp 1), n = banyaknya kelompok kemiringan lahan, AY = volume hasil kayu tebangan tahunan berdasarkan Formula Von Mantel yang telah dimodifikasi (m 3 /tahun), AY = volume hasil kayu tebangan tahunan berdasarkan Formula Von Mantel (m 3 /tahun), AG = tegakan persediaan nyata (m 3 ), R = daur tebang (tahun), FkD (Faktor koreksi Darwo untuk kendala erosi tanah), yaitu nilai rata-rata tertimbang faktor koreksi tegakan dalam seluruh areal unit pengelolaan hutan dengan pembobot luas areal untuk setiap kelompok kemiringan lahan yang terdapat dalam unit pengelolaan hutan tersebut (nilai FkD: 0 FkD 1). 2. Metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus berdasarkan optimasi tegakan persediaan nyata dan erosi tanah dapat menghasilkan produksi tebangan tahunan secara berkelanjutan dan dapat mengendalikan erosi tanah yang terjadi sehingga produktivitas lahan dapat dipertahankan secara terusmenerus. 3. Tingkat produktivitas lahan di hutan tanaman eucalyptus TPL Sektor Aek Nauli beragam. Ada empat kelas kualitas tempat ditumbuh yaitu Bonita I seluas 656,23 ha (13%); Bonita II seluas 1.888,51 ha (36%); Bonita III seluas 1.924,88 ha (37%); Bonita IV seluas 706,04 ha (14%). 4. Semakin baik kualitas tempat tumbuh, maka daur tebang semakin pendek. Pada Bonita I dan II, riap volume maksimum tercapai pada umur 8 tahun, sedangkan Bonita III dan IV riap volume masikimum tercapai pada umur 7 tahun.

117 98 5. Erosi tanah akan meningkat dengan kondisi lahan semakin miring, namun semakin bertambah umur tegakan menunjukkan erosi tanah semakin menurun. Pengelolaan hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli pada jenis tanah Latosol sampai batas batas kemiringan lahan 33% dapat diusahakan dengan sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Pada kemiringan lahan di atas 33% dapat diusahakan dengan sistem silvikultur bukan THPB (perlu pengaturan jumlah tegakan tinggal sesuai dengan tingkat kemiringan lahannya). 6. Pada daur tebang 7 tahun agar erosi tanah dapat ditoleransi (kurang dari 60 ton/ha/tahun), maka pada lereng 34 45%; 46 58%; dan 59 75% diperlukan penutupan tajuk masing-masing sebesar 21%; 38%; dan 53%. Jika kerapatan tegakan pohon/ha, maka tingkat penutupan tajuk 21%, 38%; dan 53% setara dengan kerapatan tegakan tinggal masing-masing sebesar 288 pohon/ha; 530 pohon/ha; dan 735 pohon/ha. 7. Daur optimum eucalyptus untuk kelas perusahaan pulp berdasarkan tegakan persediaan nyata dan erosi tanah adalah 7 tahun. Saran 1. Persamaan matematika untuk metode pengaturan hasil Von Mantel yang telah dimodifikasi ini dengan mempertimbangkan faktor tegakan persediaan nyata dan erosi tanah seperti yang diperoleh dari hasil penelitian ini perlu dikoreksi kembali untuk setiap jenis tanaman dan keadaan tempat tumbuh yang berbedabeda. 2. Menurut hasil penelitian ini, pada tegakan hutan di lokasi penelitian dengan kemiringan lahan > 33% masih dimungkinkan untuk dilakukan penebangan sepanjang ditinggalkan sejumlah pohon dengan kerapatan minimal tertentu yang tidak mengakibatkan laju erosi tanah melebihi laju erosi tanah maksimal yang dapat ditoleransi (60 ton/ha/tahun). Sungguhpun demikian, hasil penelitian ini masih memerlukan pengujian lebih lanjut dengan membuat kisaran kemiringan lahan yang diteliti lebih tinggi dari kisaran yang terdapat dalam penelitian ini. Sebelum hasil penelitian lebih lanjut yang bersifat konsisten dapat diperoleh, maka ketentuan mengenai batasan kemiringan lahan maksimal 25% untuk tegakan hutan yang boleh dilakukan tebang habis tetap harus dipatuhi sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 70/Kpts- II/1995 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri.

118 99 DAFTAR PUSTAKA Alder D Forest Volume Estimation and Yield Prediction. Vol. 2. Yield Prediction. FAO. Rome. Arrijani, Setiadi D, Gujharja E, Qayim I Korelasi model arsitektur pohon dengan laju aliran batang, curahan tajuk, infiltrasi, aliran permukaan dan erosi: studi kasus tentang peranan vegetasi dalam konservasi tanah dan air pada sub DAS Cianjur Cisokan Citarumtengah. FPSIPB, 29: Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Asdak C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Avery TE, Burkhart HE Forest Measurements, McGraw-Hill, New York. Baroto JABK Penggunaan teknik kriteria ganda dalam pemilihan metode pengaturan hasil pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan (Studi kasus pada tiga kesatuan pemangkuan hutan Perum Perhutani). [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Tidak diterbitkan. Belsley DA, Kuh E, Welsch RE Regression Diagnostics: Identifying Influential Data and Sources of Collinearity. Wiley-Interscience. Hoboken. Bennet HH Soil Concervation. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York. Boland DJ, Brooker MIH, Chippendale GM, Hall N, Hyland BPM, Johnston RD, Kleinig DA, Turner JD Forest Trees of Australia. Over 200 of Australia s Most Important Native Trees Described & Illustrated. Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization- CSIRO. Australia. Bruce D, Schumacher FX Forest Mensuration. Mc. Graw Hill Book Co. Inc. New-York. Campinhos EN A Brazilian example of a large scale forestry plantation in tropical region: Aracruz. In: J Davinson (ed.). Proceedings of The Regional Symposium on Recent Advances in Mass Clonal Multiplication of Forest Trees for Plantation Programmes. FAO, Los Banos, Philipines: Chapman SB Forest Management. The Hildreth Press, Publisher, Bristol, Conn. Davis LS, Johnson KN Forest Management. 3 th Edition. McGraw-Hill Book Co. New York.

119 100 Davis LS, Bettinger PS, Howard TE Forest Management: to sustain ecological, economic, and social values. 4 th Edition. McGraw-Hill Book Co. New York. [Dephut] Departemen Kehutanan Pedoman Teknis Penanaman Jenis-jenis Kayu Komersil. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Jakarta Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 564/Kpts/II/1989 tentang Pedoman Teknik Silvikultur TPTI. Departemen Kehutanan. Jakarta. [Dirjen RRL] Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Penilaian dan Pengukuran Hasil Rehabilitasi Hutan Bantuan OECF di Sumatera Selatan. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Draper NR, Smith H Applied Regression Analysis. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc., Sydney. Dulsalam Keteknikan dan Pemanenan Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Eldridge K, Davidson J, Harwood C, Wyk GV Eucalypt Domestication and Breeding. Clarendon Press. Oxford. Eriyatno Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor. ESRI Understanding GIS. The ARC/INFO Method (Version 7 for Unix and Open VSM TM ). John Wiley & Sons. New York. Evans J Plantation Forestry in The Tropis.2 nd ed. Clarendom Press, Oxford. FAO Forest Resource Assesssment Tropical Countries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome Guidelines for The Management of Tropical Forests. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Fisher RF, Binkley D Ecology and Management of Forest Soil. John Willey & Sons, Inc. Foth HD Dasar-dasar Ilmu Tanah (Terjemahan dari buku: Fundamentals of Soil Science). Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta.

120 101 Gonçalves JLM, Barros NF, Nambiar EKS, Novais RF Soil and stand management for short rotation plantations. In: Nambiar EKS and Brown AG (eds). Management of Soil Nutrient and Water in Tropical Plantation Forest. ACIAR. Australia. Grant WE, Pedersen EK, Marin SL Ecology and Natural Resource Management: systems analysis and simulation. John Wiley & Sons. Inc. Toronto Canada. Hamilton LS, King PN Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, penerjemah: Suryanata K, Tjitrosoepomo (editor). Terjemahan dari: Tropical Forested Watersheds. Harbagung Teknik dan Perangkat Pangaturan Hasil: sintesa hasil penelitian kuantifikasi pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Harmoko AD Inventarisasi hasil-hasil penelitian tentang pertumbuhan pohon dan pengaturan hasil hutan di Indonesia [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan. Tidak diterbitkan. Harwood CE Eucalyptus pellita An Annotated Bibliography. CSIRO Publishing, Victoria, Australia. Helms JA (Editor) The Dictionory of Forestry. The Society of American Foresters and CABI Publishing, Bethesda and Wallington. Husch B, Beers TW, Kershaw JA Forest Mensuration. Fourth edition. New Jersey: John Wiley & Sons. Iskandar U Kebijakan pembangunan hutan tanaman industri. Di dalam: Hardiyanto EB dan Arisman H Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. PT. Musi Hutan Persada. Hal.: Ispriyanto, Arifjaya NM, Hendrayanto Aliran permukaan dan erosi di areal tumpangsari tanaman Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 7 (1): Jayaraman K, Rugmini P Optimazing management of even-aged teak stands using growth simulation model: a case study in Kerala. Journal of Tropical Forest Science 20 (1): [Kepmenhut] Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 70/Kpts-II/1995 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri. Departemen Kehutanan. Jakarta.

121 102 Kramer PJ, Kozlowski TT Physiology of Trees. Mc Graw-Hill Book Co., New York Toronto London. Krebs CJ Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Addision-Wesley Educational Publishers, USA. Krisnawati H Pengaturan hasil hutan tidak seumur dengan pendekatan dinamika struktur tegakan (Studi kasus hutan alam bekas tebangan. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Tidak diterbitkan. Krisnawati H, Kallio M, Kanninen M Acacia mangium Willd. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. Center for International Forestry Research. Bogor. Kuncahyo B Model simulasi pengaturan hasil lestari yang berbasis kebutuhan masyarakat desa hutan [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. Tidak diterbitkan. Kustiawan D Implementasi kebijakan pembangunan hutan tanaman industri. Di dalam: Seminar Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Pengembangan Industri Pulp di Indonesia. Hotel Le Meridien Jakarta, 28 Juni Kutner MH, Nachtsheim CJ, Neter J, Li W Applied Linier Statistical Models. McGraw-Hill Irwin. Boston. [LEI] Lembaga Ekolabel Indonesia Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari. Lembaga Ekolabel Indonesia. Bogor. Leksono B Efisiensi seleksi awal pada kebun benih semai Eucalyptus pellita. Jurnal Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Vol. 7 (1): Levin RI, Recknagel AB, Stevenson DD, Bartoo RA Forest Management. The Ronald Press Company. New York. Mackensen J Kajian Suplai Hara Lestari pada Hutan Tanaman Cepat Tumbuh, Implikasi Ekologi dan Ekonomi di Kalimantan Timur. Badan kerjasama teknis Jerman-Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Jerman. Marwa J Model dinamika pengaturan hasil hutan tidak seumur dan kontribusinya terhadap ekonomi daerah (Studi kasus IUPHHK PT Bina Balantak Utama, Kabupaten Sarmi, Papua) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. Tidak diterbitkan. Mattjik AA, Sumertajaya M Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab, Jilid 1. IPB Press. Bogor.

122 103 Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Bartoo RA Forest Management. The Ronald Press Company. New York. Mindawati N Pengelolaan hutan tanaman penghasil kayu pulp. Di dalam: Rencana penelitian integratif (RPI) tahun anggaran : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Hal.: Mindawati N, Indrawan A, Mansur I, Rusdiana O Kajian pertumbuhan tegakan Eucalyptus urograndis di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 7(1): Montgomery DC, Peck AE, Vining GG Introduction to Linear Regression Analysis. Wiley. New York. Muhammadi EA, Soesilo B Analisis Sistem Dinamis, Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Nambiar EKS Sustained productivity of forest is a continuing challenge to soil science. Soil Science Society of America Journal Science and technology for sustainable development of plantation forest. Australian Forestry 66: Nambiar EKS, Brown AG Toward sustained productivity of tropical plantations: Science and Practice. In: Nambiar EKS, Brown. (eds). Management of Soil, Nutrients and Water in Tropical Plantation Forest ACIAR, CSIRO and CIFOR: Onyekwelu JC Site index curves for site quality assessment of Nauclea diderrichii monoculture plantations in Omo Forest Reserve, Nigeria. Journal of Tropical Forest Science 17 (4): Osmaston FC The Management of Forest. George Allen and Unwin, Ltd. London. Parthama P Pengaturan hasil hutan alam produksi. Di dalam: Diskusi Penentuan AAC Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan. Jakarta, 21 Februari Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan DFID-FRP (The University of Edinburgh). Hal.: 6 9. [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Departemen Kehutanan. Jakarta. [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta.

123 104 [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Permenhut [Peraturan Menteri Kehutanan] Nomor: P. 32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungan (RTkRHL-DAS). Kementerian Kehutanan. Jakarta. Perum Perhutani Surat keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/KPTS/DJ/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati. PHT 19 Seri Produksi 11 Tahun Perum Perhutani. Jakarta. Prahasta E Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografi, Penerbit Informatika. Bandung. Pratiwi Pemanfaatan organik sisa tumbuhan untuk mengurangi aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara di lahan marginal Muara Dua, Lampung. Buletin Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. No. 624: Laju aliran permukaan dan erosi di beberapa hutan tanaman dan beberapa alternatif upaya perbaikannya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 4 (3): Pratiwi, Mindawati Laju aliran permukaan, tingkat erosi dan kehilangan unsur hara pada berbagai umur tegakan Acacia mangium Willd. di Riau. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 2 (3): Prodan M Forest Biometrics. Perganon. Oxford-London. Pudjiharta A Aspek hidrologi dari eucalyptus. Buletin Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 2 (1): Puntodewo A, Dewi S, Tarigan J Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. CIFOR. Bogor. Purnomo H Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwanto E, Ruijter J Hubungan antara hutan dan fungsi Daerah Aliran Sungai. Di dalam: Agus, Noordwijk F, Rahayu S. Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding Lokakarya, Singkarak Februari Hal.:

124 105 Quilhó T, Miranda I, Pereira H Within-tree variation in wood fibre biometry and basic density of the urograndis eucalypt hybrid (Eucalyptus grandis x E. urophylla). Journal IAWA, Vol. 27 (3): Roise JP, Cubbage FW, Abt RC, Siry JP Regulation of timber for sustainable management of industrial forest plantations theory and ptactice. In: Gadow KV, Pukkala T, Tome M. Sustainable Forest Management. Kluwer Academic Publishers. AA Dordrecht, Netherland. P Schmidt FH, Ferguson JHA Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinee. Verhandelingen No. 42. Kementrian Perhubungan, Jawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Seydack AHW An unconventional approach to timber yield regulation for multi aged species forest I: fundamental consideration. Forest Ecology and Management. Vol. 77: Sholten JH, Stillwell HJ Geographic Information System and Regional Planning. Kluwer Academic Publisher. Netherland. Sihite O Hubungan umur pohon Eucalyptus sp dengan kandungan pentosan bahan baku pulp pada PT Toba Pulp Lestari [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sekolah Pascasarjana. Tidak diterbitkan. Simon H Hutan Jati dan Kemakmuran Problema dan Strategi Pemecahannya. Bigraf Publishing. Yogyakarta Metode Inventore Hutan. Pustaka Belajar. Yogyakarta Perencanaan Pembangunan Sumberdaya Hutan. Jilid I.A. Celeban Timur. Yogyakarta. Sinukaban N Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soares P, Tome M, Skovsgaard JP, Vanclay JK Evaluating a growth-model for forest management using continuous forest inventory data. Forest Ecology and Management 71: Spurr SH Forest Inventory. The Ronald Press CO, New York. Suhendang E Alternatif metode pengaturan hasil pada areal bekas tebangan tidak seumur. Makalah disampaikan dalam seri diskusi ilmiah kehutanan dalam rangka dies natalis IPB ke-30 dan HAPKA IX Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor, 4 September 1993.

125 106 Suhendang E Pembentukan hutan normal tidak seumur sebagai strategi pembenahan Hutan Alam Produksi menuju pengelolaan hutan lestari di Indonesia: sebuah analisis konseptual dalam ilmu manajemen hutan. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhendang E, Jaya INS, Hadjib A Ilmu Perencanaan Hutan. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Bagian Perencanaan Hutan. Bogor. Sukirno Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Program Studi Teknik Pertanian Program. Yogyakarta. Sukresno, Murtiono U, Supangat AB Evaluasi dampak kebakaran hutan terhadap limpasan dan erosi tanah pada areal hutan produksi Pinus merkusii di BKPH Pujon, Malang, Jawa Timur. Buletin Pengelolaan DAS, Surakarta. Vol. 8 (1): Supranto J Ekonometri: buku satu. Ghalia Indonesia. Bogor. Sutisna U, Kalima T, Purnadjaja Pedoman pengenalan pohon hutan di Indonesia. Di dalam: Soetjipto NW, Soekotjo. Yayasan PROSEA Bogor dan Pusat Diklat Pegawai & Sumber Daya Manusia Kehutanan. Bogor. [TPL] Toba Pulp Lestari Rencana Kerja Tahunan HPHTI PT Toba Pulp Lestari tahun PT Toba Pulp Lestari. Porsea. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kehutanan. Jakarta. Departemen van Gardingen PR, Valle D, Thompson I Evaluation of yield regulation options for primary forest in Tapajo s National Forest, Brazil. Forest Ecology and Management 231: Vanclay JK Modelling Forest Growth and Yield (application to mixed tropical forest). CAB International, Wallingford, UK. Wahjono Dj Pengaturan hasil ganda suatu pendekatan penataan hutan tanaman pinus: Studi kasus di KPH Lawu Perum Perhutani unit II Jogjakarta. [Tesis]. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada, Program Pascasarjana. Tidak diterbitkan. Wibowo A, Lisnawati Y, Zuraida, Rostiwati T, Sukresno, Supangat AB, Apriani Y, Kunarso A, Adriyani S, Handayani W, Kurniadi R Potensi degradasi dan manfaat lingkungan akibat pembangunan hutan tanaman. Di dalam: sintesa hasil penelitian pengelolaan lingkungan hutan tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Yulianti, Kurniawati PP Ampupu (Eucalyptus urophylla S.T. Blake). Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor.

126 LAMPIRAN 107

127 108 Lampiran 1. No. Sector Compt. Luas (ha) Data karakteristik tegakan eucalyptus di PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli Jarak tanam Umur (Tahun) BA (m 2 /ha) DBH (cm) Tinggi (m) Peninggi (m) Volume (m 3 /ha) Site index (m) 1 AEN D x 3 m II 2 AEN A x 3 m III 3 AEN B x 3 m II 4 AEN B x 3 m III 5 AEN B x 3 m II 6 AEN A x 3 m III 7 AEN A x 3 m III 8 AEN A x 3 m III 9 AEN A x 3 m III 10 AEN A x 3 m III 11 AEN B x 3 m III 12 AEN B x 3 m II 13 AEN B x 3 m II 14 AEN A x 3 m III 15 AEN A x 3 m II 16 AEN D x 3 m II 17 AEN A x 3 m III 18 AEN A x 3 m I 19 AEN B x 3 m III 20 AEN A x 3 m III 21 AEN A x 3 m III 22 AEN A x 3 m III 23 AEN E x 3 m I 24 AEN B x 3 m III 25 AEN B x 3 m II 26 AEN D x 3 m III 27 AEN D x 3 m III 28 AEN A x 3 m III 29 AEN A x 3 m II 30 AEN A x 3 m II 32 AEN C x 3 m IV 33 AEN B x 3 m III 34 AEN B x 3 m III 35 AEN B x 3 m II 36 AEN B x 3 m II 37 AEN B x 3 m III 38 AEN E x 3 m II 39 AEN ZD x 3 m I 40 AEN E x 3 m III 41 AEN A x 3 m II 43 AEN B x 3 m IV Bonita

128 Lampiran 1 (Lanjutan) No. Sector Compt. Luas (ha) Jarak tanam Umur (Tahun) BA (m 2 /ha) DBH (cm) Tinggi (m) Peninggi (m) Volume (m 3 /ha) Site index (m) 44 AEN E x 3 m I 45 AEN F x 3 m II 46 AEN C x 3 m III 47 AEN C x 3 m III 48 AEN ZC x 3 m II 49 AEN ZC x 3 m IV 50 AEN F x 3 m III 51 AEN F x 3 m IV 52 AEN A x 3 m II 53 AEN F x 3 m I 54 AEN ZC x 3 m I 55 AEN B x 3 m III 56 AEN D x 3 m III 59 AEN F x 3 m I 60 AEN C x 3 m II 61 AEN ZC x 3 m II 62 AEN B x 3 m III 63 AEN D x 3 m III 64 AEN B x 3 m II 65 AEN A x 3 m III 66 AEN C x 3 m II 67 AEN B x 3 m II 68 AEN ZB x 3 m II 69 AEN D x 3 m II 70 AEN F x 3 m II 71 AEN D x 3 m II 72 AEN A x 3 m II 73 AEN A x 3 m III 74 AEN F x 3 m II 75 AEN D x 3 m II 76 AEN F x 3 m II 77 AEN E x 3 m III 78 AEN A x 3 m III 79 AEN B x 3 m III 81 AEN A x 3 m II 82 AEN A x 3 m I 83 AEN D x 3 m II 84 AEN F x 3 m II 86 AEN B x 3 m III 87 AEN A x 3 m III 88 AEN B x 3 m III 89 AEN B x 3 m II 90 AEN B x 3 m III 109 Bonita

129 110 Lampiran 1 (Lanjutan) No. Sector Compt. Luas (ha) Jarak tanam Umur (Tahun) BA (m 2 /ha) DBH (cm) Tinggi (m) Peninggi (m) Volume (m 3 /ha) Site index (m) 91 AEN B x 3 m IV 94 AEN D x 3 m III 95 AEN A x 3 m III 96 AEN D x 3 m III 97 AEN A x 3 m III 98 AEN A x 3 m IV 99 AEN A x 3 m III 100 AEN B x 3 m III 101 AEN A x 3 m III 103 AEN A x 3 m III 104 AEN B x 3 m II 105 AEN B x 3 m II 106 AEN C x 3 m III 107 AEN B x 3 m II 108 AEN A x 3 m IV 109 AEN D x 3 m II 110 AEN B x 3 m III 111 AEN C x 3 m IV 112 AEN A x 3 m III 113 AEN A x 3 m III 114 AEN A x 3 m II 115 AEN A x 3 m II 116 AEN ZA x 3 m II 117 AEN A x 3 m III 118 AEN B x 3 m I 119 AEN B x 3 m IV 120 AEN F x 3 m III 121 AEN ZA x 3 m II 122 AEN F x 3 m II 123 AEN C x 3 m IV 124 AEN D x 3 m II 125 AEN A x 3 m I 126 AEN A x 3 m I 127 AEN B x 3 m IV 128 AEN B x 3 m III 129 AEN C x 3 m IV 130 AEN A x 3 m II 131 AEN B x 3 m II 132 AEN B x 3 m II 133 AEN B x 3 m III 134 AEN A x 3 m II 135 AEN B x 3 m III Bonita

130 Lampiran 1 (Lanjutan) No. Sector Compt. Luas (ha) Jarak tanam Umur (Tahun) BA (m2/ha) DBH (cm) Tinggi (m) Peninggi (m) Volume (m3/ha) Site index (m) 136 AEN A x 3 m III 137 AEN B x 3 m III 138 AEN A x 3 m III 139 AEN D x 3 m III 140 AEN B x 3 m II 141 AEN A x 3 m II 142 AEN A x 3 m II 143 AEN A x 3 m III 144 AEN A x 3 m II 145 AEN D x 3 m II 146 AEN D x 3 m I 147 AEN A x 3 m III 148 AEN D x 3 m II 149 AEN F x 3 m IV 150 AEN E x 3 m II 151 AEN B x 3 m III 152 AEN E x 3 m IV 153 AEN F x 3 m II 154 AEN F x 3 m IV 155 AEN A x 3 m IV 156 AEN D x 3 m IV 157 AEN C x 3 m IV 158 AEN C x 3 m IV 159 AEN B x 3 m II 160 AEN F x 3 m III 161 AEN D x 3 m III 162 AEN A x 3 m II 163 AEN A x 3 m III 164 AEN B x 3 m III 165 AEN E x 3 m III 166 AEN F x 3 m III 167 AEN B x 3 m II 168 AEN B x 3 m III 169 AEN B x 3 m II 170 AEN B x 3 m IV 171 AEN ZB x 3 m III 172 AEN ZB x 3 m II 173 AEN B x 3 m II 174 AEN B x 3 m III 175 AEN B x 3 m II 176 AEN ZB x 3 m III 111 Bonita

131 112 Lampiran 1 (Lanjutan) No. Sector Compt. Luas (ha) Jarak tanam Umur (Tahun) BA (m 2 /ha) DBH (cm) Tinggi (m) Peninggi (m) Volume (m 3 /ha) Site index (m) 177 AEN D x 3 m II 178 AEN C x 3 m II 179 AEN B x 3 m II 180 AEN A x 3 m II 181 AEN A x 3 m I 182 AEN A x 3 m II 183 AEN B x 3 m I 184 AEN B x 3 m III 185 AEN D x 3 m III 186 AEN B x 3 m IV 187 AEN B x 3 m I 188 AEN B x 3 m I 189 AEN B x 3 m II 190 AEN D x 3 m II 191 AEN B x 3 m II 192 AEN B x 3 m II 193 AEN B x 3 m III 194 AEN F x 3 m II 195 AEN F x 3 m II 196 AEN F x 3 m II 197 AEN F x 3 m III 198 AEN ZC x 3 m III 199 AEN ZC x 3 m IV 200 AEN F x 3 m IV 201 AEN F x 3 m III 202 AEN B x 3 m II 203 AEN F x 3 m III 204 AEN D x 3 m I 205 AEN F x 3 m III 206 AEN F x 3 m III 207 AEN ZC x 3 m III 208 AEN F x 3 m II 209 AEN F x 3 m IV 210 AEN F x 3 m IV 211 AEN ZC x 3 m II 212 AEN ZC x 3 m III 213 AEN F x 3 m III 214 AEN F x 3 m II 215 AEN ZC x 3 m I 216 AEN F x 3 m I 218 AEN C x 3 m II 220 AEN B x 3 m II 221 AEN C x 3 m II 222 AEN F x 3 m III Bonita

132 Lampiran 1 (Lanjutan) No. Sector Compt. Luas (ha) Jarak tanam Umur (Tahun) BA (m 2 /ha) DBH (cm) Tinggi (m) Peninggi (m) Volume (m 3 /ha) Site index (m) 223 AEN C x 3 m II 224 AEN D x 3 m II 225 AEN C x 3 m III 226 AEN B x 3 m II 227 AEN A x 3 m I 228 AEN D x 3 m II 229 AEN F x 3 m II 230 AEN F x 3 m I 231 AEN B x 3 m II 232 AEN F x 3 m I 233 AEN B x 3 m IV 234 AEN B x 3 m II 235 AEN A x 3 m II 237 AEN C x 3 m I 238 AEN D x 3 m II 239 AEN D x 3 m III 240 AEN D x 3 m II 241 AEN D x 3 m II 242 AEN A x 3 m III 243 AEN B x 3 m II 244 AEN A x 3 m III 245 AEN A x 3 m III 246 AEN B x 3 m III 247 AEN B x 3 m II 248 AEN B x 3 m III 249 AEN C x 3 m III 250 AEN B x 3 m III 251 AEN A x 3 m I 252 AEN C x 3 m III 253 AEN C x 3 m II 254 AEN ZH x 3 m I 255 AEN A x 3 m I 256 AEN ZH x 3 m I 257 AEN A x 3 m I 258 AEN F x 3 m III 259 AEN A x 3 m III 260 AEN A x 3 m II 261 AEN ZC x 3 m II 262 AEN E x 3 m I 263 AEN A x 3 m III 264 AEN A x 3 m II 265 AEN D x 3 m II 113 Bonita

133 114 Lampiran 1 (Lanjutan) No. Sector Compt. Luas (ha) Jarak tanam Umur (Tahun) BA (m2/ha) DBH (cm) Tinggi (m) Peninggi (m) Volume (m3/ha) Site index (m) 267 AEN D x 3 m II 268 AEN C x 3 m III 269 AEN B x 3 m II 270 AEN B x 3 m III 271 AEN F x 3 m II 272 AEN B x 3 m III 273 AEN E x 3 m II 274 AEN F x 3 m III 275 AEN B x 3 m III 276 AEN D x 3 m II Bonita

134 115 Lampiran 2. Data aliran permukaan dan erosi di lahan kosong Data penyusun model No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m 3 /ha) (mm) (%) (kg/ha) (m 3 /ha)

135 116 Lampiran 2 (lanjutan) No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

136 117 Lampiran 2 (lanjutan) Data validasi No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m 3 /ha) (mm) (%) (kg/ha) (m 3 /ha)

137 118 Lampiran 3. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur I Data penyusun model No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m 3 /ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

138 119 Lampiran 3 (Lanjutan) No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

139 120 Lampiran 3 (Lanjutan) Data validasi No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

140 Lampiran 4. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur II Data penyusun model 121 No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

141 122 Lampiran 4 (Lanjutan) No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

142 123 Lampiran 4 (Lanjutan) Data validasi No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

143 124 Lampiran 5. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur III Data penyusun model No. Tgl Bulan CH Tahun Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

144 125 Lampiran 5 (Lanjutan) No. Tgl Bulan CH Tahun Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

145 126 Lampiran 5 (Lanjutan) Data validasi No. Tgl Bulan CH Tahun Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

146 Lampiran 6. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur IV Data penyusun model No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off 127 (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

147 128 Lampiran 6 (Lanjutan) No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

148 Lampiran 6 (Lanjutan) Data validasi No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off 129 (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

149 130 Lampiran 7. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur V Data penyusun model No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

150 131 Lampiran 7 (Lanjutan) No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off No. Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) Data validasi Nomor Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off Nomor Tgl Bulan Tahun CH Slope Erosi Run off (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha) (mm) (%) (kg/ha) (m3/ha)

151 132 Lampiran 8. Persamaan penduga erosi tanah pada berbagai kemiringan lahan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli 1. Pendugaan erosi (ton/ha/tahun) dengan umur tegakan (tahun) pada lereng 33% (18º) Exponential Fit: E=ae^(bx) Coefficient Data: a = 59,6712 b = -0,5104 Standard Error: 6,2368 Correlation Coefficient: 0, Pendugaan erosi (ton/ha/tahun) dengan umur tegakan (tahun) pada lereng 45% (24º) Exponential Fit: E=ae^(bx) Coefficient Data: a = 81,0599 b = -0,5174 Standard Error: 9,5008 Correlation Coefficient: 0, Pendugaan erosi (ton/ha/tahun) dengan umur tegakan (tahun) pada lereng 58% (30º) Exponential Fit: E=ae^(bx) Coefficient Data: a = 104,4731 b = -0,5313 Standard Error: 12,2972 Correlation Coefficient: 0, Pendugaan erosi (ton/ha/tahun) dengan umur tegakan (tahun) pada lereng 75% (37º) Exponential Fit: E=ae^(bx) Coefficient Data: a = 135,0707 b = -0,5416 Standard Error: Correlation Coefficient: Pendugaan erosi (ton/ha/tahun) dengan umur tegakan (tahun) pada lereng 450% (77 º) Exponential Fit: E=ae^(bx) Coefficient Data: a = 800,1088 b = -0,5185 Standard Error: 134,1387 Correlation Coefficient:

152 133 Lampiran 8. (Lanjutan) 6. Pendugaan erosi (ton/ha/tahun) dengan umur tegakan (tahun) pada lereng 775% (83 º) Exponential Fit: E=ae^(bx) Coefficient Data: a = 1377,5261 b = -0,5192 Standard Error: 233,7367 Correlation Coefficient: Pendugaan erosi (ton/ha/tahun) dengan umur tegakan (tahun) pada lereng 1275% (86 º) Exponential Fit: E=ae^(bx) Coefficient Data: a = 2265,0588 b = -0,5190 Standard Error: 387,2809 Correlation Coefficient: 0, Pendugaan erosi (ton/ha/tahun) dengan umur tegakan (tahun) pada lereng 2150% (87º) Exponential Fit: y=ae^(bx) Coefficient Data: a = 3818,4032 b = -0,5190 Standard Error: 655,9635 Correlation Coefficient:

153 134 Lampiran 9. Foto kondisi lahan dan tegakan eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli Areal bekas penebangan Tanaman umur 1 bulan Kelas Umur I Kelas Umur II Kelas Umur III Kelas Umur IV Kelas Umur V

154 135 Lampiran 10. Hasil analisis regresi peninggi, diameter, tinggi, dan volume tegakan dengan umur tegakan 1. Regression Analysis: log Oh versus 1/A The regression equation is log Oh = 1,4809-0,6944 1/A Predictor Coef SE Coef T P Constant 1, , ,67 0,000 1/A -0, , ,18 0,000 S = 0,04202 R-Sq = 97,1% R-Sq(adj)= 97,1% PRESS = 0, Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 15,660 15, ,86 0,000 Residual Error 261 0,461 0,002 Total , Regression Analysis: ln D versus 1/A The regression equation is ln D = 3,0191-1,6133 1/A Predictor Coef SE Coef T P Constant 3, , ,61 0,000 1/A -1, , ,61 0,000 S = 0,1127 R-Sq = 96,2% R-Sq(adj) = 96,2% PRESS = 3,36721 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 84,522 84, ,30 0,000 Residual Error 261 3,312 0,013 Total , Regression Analysis: ln H versus 1/A The regression equation is ln H = 3,2252-1,6838 1/A Predictor Coef SE Coef T P Constant 3, , ,14 0,000 1/A -1, , ,92 0,000 S = 0,1298 R-Sq = 95,4% R-Sq(adj) = 95,4% PRESS = 4,46937 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 92,071 92, ,59 0,000 Residual Error 261 4,398 0,017 Total , Regression Analysis: ln V versus 1/A The regression equation is ln V = 6,4649-7,5683 1/A Predictor Coef SE Coef T P Constant 6, , ,49 0,000 1/A -7,5683 0, ,75 0,000 S = 0,6366 R-Sq = 94,6% R-Sq(adj) = 94,6% PRESS = 107,640

155 136 Lampiran 9. (Lanjutan) Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,2 1860,2 4589,94 0,000 Residual Error ,8 0,4 Total ,9

156 137 Lampiran 11. Hasil analisis regresi pada bonita I di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli 1. Regression Analysis: ln D versus 1/A; ln BA The regression equation is ln D = 2,06-0,844 1/A + 0,283 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2,0594 0, ,16 0,000 1/A -0,8439 0,1794-4,70 0,000 27,2 ln BA 0, , ,84 0,000 27,2 S = 0,07284 R-Sq = 98,8% R-Sq(adj) = 98,7% PRESS = 0, Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 13,0202 6, ,90 0,000 Residual Error 31 0,1645 0,0053 Total 33 13,1847 Correlations: ln D; 1/A; ln BA ln D 1/A 1/A -0,989 0,000 ln BA 0,989-0,981 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Stepwise Regression: ln D versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln D on 2 predictors, with N = 34 Step 1 2 Constant 2,945 2,059 ln BA 0,283 T-Value 4,840 P-Value 0,000 1/A 1,697-0,84 T-Value -37,79-4,70 P-Value 0,000 0,000 S 0,0950 0,0728 R-Sq 97,80 98,75 R-Sq(adj) 97,70 98,67 PRESS 0, , Regression Analysis: ln H versus 1/A; ln BA The regression equation is ln H = 2,56-1,23 1/A + 0,155 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2,5605 0, ,21 0,000 1/A -1,2296 0,2222-5,53 0,000 27,2 ln BA 0, , ,15 0,040 27,2 S = 0,09022 R-Sq = 98,1% R-Sq(adj) = 98,0% PRESS = 0,310811

157 138 Lampiran 11. (Lanjutan) Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 12,9448 6, ,22 0,000 Residual Error 31 0,2523 0,0081 Total 33 13,1971 Correlations: ln H; 1/A; ln BA ln H 1/A 1/A -0,989 0,000 ln BA 0,981-0,981 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Stepwise Regression: ln H versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln H on 2 predictors, with N = 34 Step 1 2 Constant 3,046 2,560 1/A -1,698-1,230 T-Value -37,75-5,53 P-Value 0,000 0,000 ln BA 0,155 T-Value 2,15 P-Value 0,040 S 0,0952 0,0902 R-Sq 97,80 98,09 R-Sq(adj) 97,74 97,96 PRESS 0, , Regression Analysis: ln V versus 1/A; ln BA The regression equation is ln V = 4,37-6,40 1/A + 0,563 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 4,3719 0,9249 4,73 0,000 1/A -6,4002 0,8996-7,11 0,000 27,2 ln BA 0,5634 0,2931 1,92 0,064 27,2 S = 0,3652 R-Sq = 98,6% R-Sq(adj) = 98,5% PRESS = 5,00527 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 294,18 147, ,57 0,000 Residual Error 31 4,14 0,13 Total ,31 Correlations: ln V; 1/A; ln BA ln V 1/A 1/A -0,992 0,000 ln BA 0,982-0,981 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value

158 139 Lampiran 11. (Lanjutan) Stepwise Regression: ln V versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln V on 2 predictors, with N = 34 Step 1 Constant 6,134 1/A -8,10 T-Value -45,06 P-Value 0,000 S 0,380 R-Sq 98,45 R-Sq(adj) 98,40 PRESS 5,22797

159 140 Lampiran 12. Hasil analisis regresi pada bonita II di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli 1. Regression Analysis: ln D versus 1/A; ln BA The regression equation is ln D = 2,0629-0,8045 1/A + 0,2883 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2, , ,40 0,000 1/A -0, , ,81 0,000 15,8 ln BA 0, , ,87 0,000 15,8 S = 0,05994 R-Sq = 99,0% R-Sq(adj) = 99,0% PRESS = 0, Correlations: ln D; 1/A; ln BA ln D 1/A 1/A -0,986 0,000 ln BA 0,986-0,968 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Stepwise Regression: ln D versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln D on 2 predictors, with N = 97 Step 1 2 Constant 3,0195 2,063 ln BA 0,2883 T-Value 12,87 P-Value 0,000 1/A 1,6531-0,805 T-Value -58,30-11,81 P-Value 0,000 0,000 S 0,0991 0,0599 R-Sq 97,30 99,02 R-Sq(adj) 97,30 98,99 PRESS 0, , Regression Analysis: ln H versus 1/A; ln BA The regression equation is ln H = 2,3443-0,9444 1/A + 0,2533 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2, , ,32 0,000 1/A -0, , ,83 0,000 15,8 ln BA 0, , ,09 0,000 15,8 S = 0,05603 R-Sq = 99,2% R-Sq(adj) = 99,2% PRESS = 0, Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 35,326 17, ,92 0,000 Residual Error 94 0,295 0,003 Total 96 35,621

160 141 Lampiran 12. (Lanjutan) Correlations: ln H; 1/A; ln BA ln H 1/A 1/A -0,989 0,000 ln BA 0,986-0,968 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Stepwise Regression: ln H versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln H on 2 predictors, with N = 97 Step 1 2 Constant 3,1847 2,344 1/A -1,6998-0,944 T-Value -66,280-14,83 P-Value 0,000 0,000 ln BA 0,253 T-Value 12,09 P-Value 0,000 S 0,0891 0,0560 R-Sq 97,88 99,17 R-Sq(adj) 97,86 99,15 PRESS 0,7888 0, Regression Analysis: ln V versus 1/A; ln BA The regression equation is ln V = 2,7805-4,7602 1/A + 1,1429 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2,7805 0,4792 5,80 0,000 1/A -4,7602 0, ,97 0,000 15,8 ln BA 1,1429 0,1426 8,01 0,000 15,8 S = 0,3816 R-Sq = 98,3% R-Sq(adj) = 98,3% PRESS = 14,7101 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 815,25 407, ,66 0,000 Residual Error 94 13,69 0,15 Total ,93 Correlations: ln V; 1/A; ln BA ln V 1/A 1/A -0,986 0,000 ln BA 0,981-0,968 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value

161 142 Lampiran 12. (Lanjutan) Stepwise Regression: ln V versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln V on 2 predictors, with N = 97 Step 1 2 Constant 6,573 2,780 1/A -8,12-4,76 T-Value -57,65-10,97 P-Value 0,000 0,000 ln BA 1,14 T-Value 8,01 P-Value 0,000 S 0,492 0,382 R-Sq 97,22 98,35 R-Sq(adj) 97,19 98,31 PRESS 24, ,7101

162 Lampiran 13. Hasil analisis regresi pada bonita III di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli 1. Regression Analysis: ln D versus 1/A; ln BA The regression equation is ln D = 2,1216-0,8285 1/A + 0,2790 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2, , ,56 0,000 1/A -0, , ,25 0,000 15,2 ln BA 0, , ,80 0,000 15,2 S = 0,05649 R-Sq = 98,9% R-Sq(adj) = 98,9% PRESS = 0, Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 29,987 14, ,10 0,000 Residual Error 100 0,319 0,003 Total ,307 Correlations: ln D; 1/A; ln BA ln D 1/A 1/A -0,987 0,000 ln BA 0,985-0,967 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Stepwise Regression: ln D versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln D on 2 predictors, with N = 103 Step 1 2 Constant 3,0314 2,122 1/A -1,0115-0,828 T-Value -62,52-13,25 P-Value 0,000 0,000 ln BA 0,279 T-Value 11,80 P-Value 0,000 S 0,0869 0,0565 R-Sq 97,48 98,95 R-Sq(adj) 97,46 98,93 PRESS 0, , Regression Analysis: ln H versus 1/A; ln BA The regression equation is ln H = 2,4333-0,9716 1/A + 0,2548 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2, , ,54 0,000 1/A -0, , ,49 0,000 15,2 ln BA 0, , ,43 0,000 15,2 S = 0,05325 R-Sq = 99,2% R-Sq(adj) = 99,1% PRESS = 0,

163 144 Lampiran 13. (Lanjutan) Regression Analysis: ln H versus 1/A; ln BA Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 33,108 16, ,61 0,000 Residual Error 100 0,284 0,003 Total ,392 Correlations: ln H; 1/A; ln BA ln H 1/A 1/A -0,990 0,000 ln BA 0,984-0,967 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Stepwise Regression: ln H versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln H on 2 predictors, with N = 103 Step 1 2 Constant 3,255 2,433 1/A -1,623-0,972 T-Value -71,10-16,49 P-Value 0,000 0,000 ln BA 0,255 T-Value 11,43 P-Value 0,000 S 0,0805 0,0533 R-Sq 98,04 99,15 R-Sq(adj) 98,02 99,13 PRESS 0, , Regression Analysis: ln V versus 1/A; ln BA The regression equation is ln V = 1,2365-2,9071 1/A + 1,5905 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 1,2365 0,4361 2,84 0,006 1/A -2,9071 0,3542-8,21 0,000 15,2 ln BA 1,5905 0, ,87 0,000 15,2 S = 0,3200 R-Sq = 98,4% R-Sq(adj) = 98,3% PRESS = 11,0762 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 618,78 309, ,62 0,000 Residual Error ,24 0,10 Total ,02

164 145 Lampiran 13. (Lanjutan) Correlations: ln V; 1/A; ln BA ln V 1/A 1/A -0,980 0,000 ln BA 0,980-0,967 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Stepwise Regression: ln V versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln V on 2 predictors, with N = 103 Step 1 2 Constant 6,5658 1,237 ln BA 1,590 T-Value 11,870 P-Value 0,000 1/A 6,972-2,91 T-Value -49,73-8,21 P-Value 0,000 0,000 S 0,494 0,320 R-Sq 96,10 98,37 R-Sq(adj) 96,00 98,34 PRESS 25, ,0762

165 146 Lampiran 14. Hasil analisis regresi pada bonita IV 1. Regression Analysis: ln D versus 1/A; ln BA The regression equation is ln D = 1,7946-0,5291 1/A + 0,3632 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 1,7946 0,1838 9,76 0,000 1/A -0,5291 0,1503-3,52 0,002 21,3 ln BA 0, , ,98 0,000 21,3 S = 0,05690 R-Sq = 99,0% R-Sq(adj) = 98,9% PRESS = 0, Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 7,5314 3, ,04 0,000 Residual Error 23 0,0745 0,0032 Total 25 7,6058 Correlations: ln D; 1/A; ln BA ln D 1/A 1/A -0,985 0,000 ln BA 0,985-0,976 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Stepwise Regression: ln D versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln D on 2 predictors, with N = 26 Step 1 2 Constant 3,0675 1,795 ln BA 0,363 T-Value 6,98 P-Value 0,000 1/A 1,553-0,53 T-Value -27,61-3,52 P-Value 0,000 0,002 S 0,0984 0,0569 R-Sq 96,90 99,02 R-Sq(adj) 96,80 98,94 PRESS 0, , Regression Analysis: ln H versus 1/A; ln BA The regression equation is ln H = 2,4017-0,9394 1/A + 0,2855 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2,4017 0,2748 8,74 0,000 1/A -0,9394 0,2248-4,18 0,000 21,3 ln BA 0, , ,67 0,001 21,3 S = 0,08507 R-Sq = 98,3% R-Sq(adj) = 98,1% PRESS = 0, Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 9,3970 4, ,23 0,000 Residual Error 23 0,1665 0,0072 Total 25 9,5634

166 147 Lampiran 14. (Lanjutan) Correlations: ln H; 1/A; ln BA ln H 1/A 1/A -0,986 0,000 ln BA 0,985-0,976 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Stepwise Regression: ln H versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln H on 2 predictors, with N = 26 Step 1 2 Constant 3,402 2,402 1/A -1,745-0,939 T-Value -29,08-4,18 P-Value 0,000 0,000 ln BA 0,286 T-Value 3,67 P-Value 0,001 S 0,105 0,0851 R-Sq 97,24 98,26 R-Sq(adj) 97,13 98,11 PRESS 0, , Regression Analysis: ln V versus 1/A; ln BA The regression equation is ln V = 2,8709-3,5826 1/A + 1,0633 ln BA Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2,8709 0,6068 4,73 0,000 1/A -3,5826 0,4964-7,22 0,000 21,3 ln BA 1,0633 0,1718 6,19 0,000 21,3 S = 0,1879 R-Sq = 99,4% R-Sq(adj) = 99,3% PRESS = 1,06943 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 133,690 66, ,86 0,000 Residual Error 23 0,812 0,035 Total ,502 Correlations: ln V; 1/A; ln BA ln V 1/A 1/A -0,992 0,000 ln BA 0,990-0,976 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value

167 148 Lampiran 14. (Lanjutan) Stepwise Regression: ln V versus 1/A; ln BA Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is ln V on 2 predictors, with N = 26 Step 1 2 Constant 6,597 2,871 1/A -6,58-3,58 T-Value -38,32-7,22 P-Value 0,000 0,000 ln BA 1,06 T-Value 6,19 P-Value 0,000 S 0,300 0,188 R-Sq 98,39 99,40 R-Sq(adj) 98,32 99,34 PRESS 2, ,06943

168 149 Lampiran 15. Hasil analisis regresi hubungan aliran permukaan dan erosi dengan curah hujan dan kemiringan lahan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli 1. Regression Analysis: E 4 versus CH; Slope The regression equation is E 4 = - 1, ,3211 CH + 0,1144 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -1,9313 0,7937-2,43 0,016 CH 0, , ,81 0,000 1,0 Slope 0, , ,67 0,008 1,0 S = 3,829 R-Sq = 76,1% R-Sq(adj) = 75,9% PRESS = 2769,61 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,4 4208,2 287,07 0,000 Residual Error ,6 14,7 Total ,0 Correlations: E 4 ; CH; Slope E 4 CH 0,867 0,000 CH Slope 0,097-0,000 0,191 1,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value 2. Regression Analysis: R 4 versus CH; Slope The regression equation is R 4 = 0, ,0476 CH + 0,0261 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0,1900 0,1571 1,21 0,228 CH 0, , ,82 0,000 1,0 Slope 0, , ,07 0,002 1,0 S = 0,7579 R-Sq = 64,5% R-Sq(adj) = 64,1% PRESS = 107,990 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 187,750 93, ,43 0,000 Residual Error ,395 0,574 Total ,145 Correlations: R 4 ; CH; Slope R 4 CH 0,791 0,000 CH Slope 0,137-0,000 0,065 1,000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value

169 150 Lampiran 15. (Lanjutan) 3. Regression Analysis: E 1 versus CH; Slope The regression equation is E 1 = - 48,50 + 5,4591 CH + 2,0557 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -48,50 11,10-4,37 0,000 CH 5,4591 0, ,97 0,000 1,0 Slope 2,0557 0,6119 3,36 0,001 1,0 S = 53,43 R-Sq = 83,1% R-Sq(adj) = 82,9% PRESS = Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,16 0,000 Residual Error Total Correlations: E 1 ; CH; Slope E 1 CH 0,906 0,000 CH Slope 0,143 0,042 0,058 0,575 Cell Contents: Pearson correlation P-Value 4. Regression Analysis: R 1 versus CH; Slope The regression equation is R 1 = 1, ,2306 CH + 0,0964 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 1,0748 0,8056 1,33 0,184 CH 0, , ,86 0,000 1,0 Slope 0, , ,17 0,031 1,0 S = 3,878 R-Sq = 62,6% R-Sq(adj) = 62,2% PRESS = 2814,25 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,2 2200,6 146,36 0,000 Residual Error ,1 15,0 Total ,3 Correlations: R 1 ; CH; Slope R 1 CH 0,785 0,000 CH Slope 0,133 0,042 0,076 0,575 Cell Contents: Pearson correlation P-Value

170 151 Lampiran 15. (Lanjutan) 5. Regression Analysis: E 0 versus CH; Slope The regression equation is E 0 = - 117,66 + 9,8708 CH + 5,1619 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -117,66 16,71-7,04 0,000 CH 9,8708 0, ,19 0,000 1,0 Slope 5,1619 0,9204 5,61 0,000 1,0 S = 81,40 R-Sq = 87,9% R-Sq(adj) = 87,8% PRESS = Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,54 0,000 Residual Error Total Correlations: E 0 ; CH; Slope Erosi-B1 CH 0,926 0,000 CH Slope 0,215 0,076 0,003 0,309 Cell Contents: Pearson correlation P-Value 6. Regression Analysis: R 0 versus CH; Slope The regression equation is R 0 = - 0, ,3126 CH + 0,2114 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -0,263 1,055-0,25 0,804 CH 0, , ,65 0,000 1,0 Slope 0, , ,64 0,000 1,0 S = 5,140 R-Sq = 65,1% R-Sq(adj) = 64,7% PRESS = 4936,26 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,2 4441,6 168,12 0,000 Residual Error ,4 26,4 Total ,6 Correlations: Run off-b16; CH; Slope Run off- CH 0,791 0,000 CH Slope 0,219 0,076 0,003 0,309 Cell Contents: Pearson correlation P-Value

171 152 Lampiran 15. (Lanjutan) 7. Regression Analysis: E 3 versus CH; Slope The regression equation is E 3 = - 51, ,8381 CH + 2,3396 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -51,015 6,818-7,48 0,000 CH 2,8381 0, ,21 0,000 1,0 Slope 2,3396 0,3705 6,31 0,000 1,0 S = 32,70 R-Sq = 78,2% R-Sq(adj) = 77,9% PRESS = Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,24 0,000 Residual Error Total Correlations: E 3 ; CH; Slope E 3 CH 0,856 0,000 CH Slope 0,266 0,055 0,000 0,463 Cell Contents: Pearson correlation P-Value 8. Regression Analysis: R 3 versus CH; Slope The regression equation is R 3 = - 1, ,1530 CH + 0,1779 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -1,7078 0,4708-3,63 0,000 CH 0, , ,90 0,000 1,0 Slope 0, , ,95 0,000 1,0 S = 2,258 R-Sq = 70,1% R-Sq(adj) = 69,7% PRESS = 957,410 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,9 1074,0 210,60 0,000 Residual Error ,9 5,1 Total ,8 Correlations: R 3 ; CH; Slope R 3 CH 0,788 0,000 CH Slope 0,326 0,055 0,000 0,463 Cell Contents: Pearson correlation P-Value

172 153 Lampiran 15. (Lanjutan) 9. Regression Analysis: E 2 versus CH; Slope The regression equation is E 2 = - 47, ,7504 CH + 1,7373 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -47,622 8,354-5,70 0,000 CH 4,7504 0, ,62 0,000 1,0 Slope 1,7373 0,4580 3,79 0,000 1,0 S = 39,91 R-Sq = 87,5% R-Sq(adj) = 87,3% PRESS = Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,31 0,000 Residual Error Total Correlations: E 2 ; CH; Slope E 2 CH 0,930 0,000 CH Slope 0,146 0,048 0,051 0,522 Cell Contents: Pearson correlation P-Value 10. Regression Analysis: R 2 versus CH; Slope The regression equation is R 2 = - 0, ,2293 CH + 0,1417 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -0,4017 0,7416-0,54 0,589 CH 0, , ,83 0,000 1,0 Slope 0, , ,49 0,001 1,0 S = 3,542 R-Sq = 68,0% R-Sq(adj) = 67,6% PRESS = 2288,89 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,8 2345,9 186,95 0,000 Residual Error ,4 12,5 Total ,3 Correlations: R 2 ; CH; Slope R 2 CH 0,811 0,000 CH Slope 0,187 0,048 0,012 0,522 Cell Contents: Pearson correlation P-Value

173 154 Lampiran 15. (Lanjutan) 11. Regression Analysis: E 5 versus CH; Slope The regression equation is E 5 = - 1, ,2131 CH + 0,0982 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -1,1580 0,5436-2,13 0,035 CH 0, , ,71 0,000 1,0 Slope 0, , ,31 0,001 1,0 S = 2,135 R-Sq = 84,9% R-Sq(adj) = 84,6% PRESS = 599,470 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,0 1575,0 345,45 0,000 Residual Error ,8 4,6 Total ,8 Correlations: E 5 ; CH; Slope E 5 CH 0,914 0,000 CH Slope 0,192 0,083 0,032 0,355 Cell Contents: Pearson correlation P-Value 12. Regression Analysis: R 5 versus CH; Slope The regression equation is R 5 = - 0, ,0314 CH + 0,0511 Slope Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -0,1063 0,1499-0,71 0,480 CH 0, , ,75 0,000 1,0 Slope 0, , ,23 0,000 1,0 S = 0,5889 R-Sq = 66,5% R-Sq(adj) = 65,9% PRESS = 45,0806 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 84,594 42, ,95 0,000 Residual Error ,661 0,347 Total ,254 Correlations: R 5 ; CH; Slope R 5 CH 0,748 0,000 CH Slope 0,387 0,083 0,000 0,355 Cell Contents: Pearson correlation P-Value

174 155 Lampiran 16. Kuantifikasi model EROSI TANAH EROSI[L0_34] = IF TIME<=Daur AND Penutupan_Tajuk <= 135 THEN *(EXP(1)^( *TIME)) ELSE 0 EROSI[L34_45] = IF TIME<=Daur AND Penutupan_Tajuk <= 135 THEN *(EXP(1)^( *TIME)) ELSE 0 EROSI[L46_58] = IF TIME<=Daur AND Penutupan_Tajuk <= 135 THEN *(EXP(1)^( *TIME)) ELSE 0 EROSI[L58_up] = IF TIME<=Daur AND Penutupan_Tajuk <= 135 THEN *(EXP(1)^(-0.538*TIME)) ELSE 0 ErosiMiring[E0_34] = EROSI[L0_34]*L_lereng[L_0_34] ErosiMiring[E34_45] = EROSI[L34_45]*L_lereng[L_34_45] ErosiMiring[E46_58] = EROSI[L46_58]*L_lereng[L_46_58] ErosiMiring[E58_up] = EROSI[L58_up]*L_lereng[L_58_UP] Erosi_B1[L_0_34] = IF Pertumb_Bonita_1 THEN ErosiMiring[E0_34] ELSE 0 Erosi_B1[L_34_45] = IF Pertumb_Bonita_1 THEN ErosiMiring[E34_45] ELSE 0 Erosi_B1[L_46_58] = IF Pertumb_Bonita_1 THEN ErosiMiring[E46_58] ELSE 0 Erosi_B1[L_58_UP] = IF Pertumb_Bonita_1 THEN ErosiMiring[E58_up] ELSE 0 Erosi_B2[L_0_34] = IF Pertumb_Bonita_2 THEN ErosiMiring[E0_34] ELSE 0 Erosi_B2[L_34_45] = IF Pertumb_Bonita_2 THEN ErosiMiring[E34_45] ELSE 0 Erosi_B2[L_46_58] = IF Pertumb_Bonita_2 THEN ErosiMiring[E46_58] ELSE 0 Erosi_B2[L_58_UP] = IF Pertumb_Bonita_2 THEN ErosiMiring[E58_up] ELSE 0 Erosi_B3[L_0_34] = IF Pertumb_Bonita_3 THEN ErosiMiring[E0_34] ELSE 0 Erosi_B3[L_34_45] = IF Pertumb_Bonita_3 THEN ErosiMiring[E34_45] ELSE 0 Erosi_B3[L_46_58] = IF Pertumb_Bonita_3 THEN ErosiMiring[E46_58] ELSE 0 Erosi_B3[L_58_UP] = IF Pertumb_Bonita_3 THEN ErosiMiring[E58_up] ELSE 0 Erosi_B4[L_0_34] = IF Pertumb_Bonita_4 THEN ErosiMiring[E0_34] ELSE 0 Erosi_B4[L_34_45] = IF Pertumb_Bonita_4 THEN ErosiMiring[E34_45] ELSE 0 Erosi_B4[L_46_58] = IF Pertumb_Bonita_4 THEN ErosiMiring[E46_58] ELSE 0 Erosi_B4[L_58_UP] = IF Pertumb_Bonita_4 THEN ErosiMiring[E58_up] ELSE 0 Luas_lahan = 1 L_lereng[L_0_34] = Luas_lahan*Proporsi_lereng[L_0_34] L_lereng[L_34_45] = Luas_lahan*Proporsi_lereng[L_34_45] L_lereng[L_46_58] = Luas_lahan*Proporsi_lereng[L_46_58] L_lereng[L_58_UP] = Luas_lahan*Proporsi_lereng[L_58_UP] Proporsi_lereng[L_0_34] = 1 Proporsi_lereng[L_34_45] = 1 Proporsi_lereng[L_46_58] = 1 Proporsi_lereng[L_58_UP] = 1 ToleransiErosi = 60

175 156 Lampiran 16. (Lanjutan) PENGATURAN HASIL Daur = 5 Vol_B1 panen[vold_5,l_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_5,l_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_5,l_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_5,l_58_up] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_6,l_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_6,l_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_6,l_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_6,l_58_up] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_7,l_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_7,l_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_7,l_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_7,l_58_up] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_8,l_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_8,l_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_8,l_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B1 panen[vold_8,l_58_up] = IF TIME=Daur AND Pertmb_B1 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_5,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_5,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_5,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_5,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_6,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0

176 157 Lampiran 16. (Lanjutan) Vol_B2_panen[VolD_6,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_6,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_6,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_7,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_7,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_7,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_7,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_8,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_8,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_8,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B2_panen[VolD_8,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B2 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_5,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_5,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_5,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_5,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_6,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_6,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_6,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_6,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_7,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_7,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_7,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_7,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0

177 158 Lampiran 16. (Lanjutan) Vol_B3_panen[VolD_8,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_8,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_8,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B3_panen[VolD_8,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B3 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_5,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_5,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_5,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_5,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_6,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_6,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_6,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_6,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_7,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_7,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_7,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_7,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_8,L_0_34] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_0_34] AND EROSI[L0_34] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_8,L_34_45] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_34_45] AND EROSI[L34_45] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_8,L_46_58] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_46_58] AND EROSI[L46_58] THEN ELSE 0 Vol_B4_panen[VolD_8,L_58_UP] = IF TIME=Daur AND Pertumb_B4 Netto[L_58_UP] AND EROSI[L58_up] THEN ELSE 0

178 159 Lampiran 16. (Lanjutan) PENUTUPAN TAJUK Ambang_batas P_Tajuk[Sisa34_45] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L34_45]THEN 0.21 ELSE 0 Ambang_batas P_Tajuk[Sisa46_58] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L46_58]THEN 0.38 ELSE 0 Ambang_batas P_Tajuk[Sisa58_up] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L58_up]THEN 0.53 ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_5,Sisa34_45] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa34_45]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_5] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_5,Sisa46_58] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa46_58]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_5] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_5,Sisa58_up] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa58_up]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_5] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_6,Sisa34_45] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa34_45]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_6] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_6,Sisa46_58] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa46_58]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_6] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_6,Sisa58_up] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa58_up]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_6] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_7,Sisa34_45] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa34_45]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_7] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_7,Sisa46_58] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa46_58]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_7] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_7,Sisa58_up] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa58_up]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_7] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_8,Sisa34_45] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa34_45]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_8] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_8,Sisa46_58] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa46_58]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_8] ELSE 0 Faktor_P_Tajuk[D_8,Sisa58_up] = IF TIME<=Daur THEN Ambang_batas P_Tajuk[Sisa58_up]/P_Tajuk_Akhir_Daur[D_8] ELSE 0 Kerapatan_tegakan = 1667 Kerapatan teg_tinggal[d_5,sisa34_45] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_5,Sisa34_45]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_5,sisa46_58] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_5,Sisa46_58]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_5,sisa58_up] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_5,Sisa58_up]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_6,sisa34_45] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_6,Sisa34_45]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_6,sisa46_58] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_6,Sisa46_58]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_6,sisa58_up] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_6,Sisa58_up]*Kerapatan_tegakan ELSE 0

179 160 Lampiran 16. (Lanjutan) Kerapatan teg_tinggal[d_7,sisa34_45] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_7,Sisa34_45]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_7,sisa46_58] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_7,Sisa46_58]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_7,sisa58_up] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_7,Sisa58_up]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_8,sisa34_45] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_8,Sisa34_45]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_8,sisa46_58] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_8,Sisa46_58]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Kerapatan teg_tinggal[d_8,sisa58_up] = IF TIME<=Daur THEN Faktor_P_Tajuk[D_8,Sisa58_up]*Kerapatan_tegakan ELSE 0 Penutupan_Tajuk = IF TIME<=Daur THEN (133.36*(1-EXP( *TIME))) ELSE 0 P_Tajuk_Akhir_Daur[D_5] = IF TIME<=Daur THEN 1.09 ELSE 0 P_Tajuk_Akhir_Daur[D_6] = IF TIME<=Daur THEN 1.16 ELSE 0 P_Tajuk_Akhir_Daur[D_7] = IF TIME<=Daur THEN 1.21 ELSE 0 P_Tajuk_Akhir_Daur[D_8] = IF TIME<=Daur THEN 1.25 ELSE 0 PERTUMBUHAN TEGAKAN PerGB2 = IF TIME>=1 THEN exp(1)^(6.573-(8.1242/time)) ELSE 0 PerGB3 = IF TIME>=1 THEN exp(1)^( (6.9719/time)) ELSE 0 PersGB1 = IF TIME>=1 THEN exp(1)^( (8.0972)/time) ELSE 0 PersGB4 = IF TIME>=1 THEN exp(1)^( (6.5809/time)) ELSE 0 Pertmb_B1 Netto[L_0_34] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L0_34] THEN Pertumb_Bonita_1 ELSE 0 Pertmb_B1 Netto[L_34_45] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L34_45] THEN Pertumb_Bonita_1*0.82 ELSE 0 Pertmb_B1 Netto[L_46_58] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L46_58] THEN Pertumb_Bonita_1*0.66 ELSE 0 Pertmb_B1 Netto[L_58_UP] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L58_up] THEN Pertumb_Bonita_1*0.53 ELSE 0 Pertumb_B2 Netto[L_0_34] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L0_34] THEN Pertumb_Bonita_2 ELSE 0 Pertumb_B2 Netto[L_34_45] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L34_45] THEN Pertumb_Bonita_2*0.8 ELSE 0 Pertumb_B2 Netto[L_46_58] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L46_58] THEN Pertumb_Bonita_2*0.63 ELSE 0 Pertumb_B2 Netto[L_58_UP] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L58_up] THEN Pertumb_Bonita_2*0.49 ELSE 0 Pertumb_B3 Netto[L_0_34] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L0_34] THEN Pertumb_Bonita_3 ELSE 0 Pertumb_B3 Netto[L_34_45] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L34_45] THEN Pertumb_Bonita_3*0.8 ELSE 0

180 161 Lampiran 16. (Lanjutan) Pertumb_B3 Netto[L_46_58] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L46_58] THEN Pertumb_Bonita_3*0.63 ELSE 0 Pertumb_B3 Netto[L_58_UP] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L58_up] THEN Pertumb_Bonita_3*0.49 ELSE 0 Pertumb_B4 Netto[L_0_34] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L0_34] THEN Pertumb_Bonita_4 ELSE 0 Pertumb_B4 Netto[L_34_45] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L0_34] THEN Pertumb_Bonita_4*0.8 ELSE 0 Pertumb_B4 Netto[L_46_58] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L46_58] THEN Pertumb_Bonita_4*0.63 ELSE 0 Pertumb_B4 Netto[L_58_UP] = IF TIME<=Daur AND EROSI[L58_up] THEN Pertumb_Bonita_4*0.49 ELSE 0 Pertumb_Bonita_1 = PersGB1 Pertumb_Bonita_2 = PerGB2 Pertumb_Bonita_3 = PerGB3 Pertumb_Bonita_4 = PersGB4 Pertumb_tegakan[B_1] = Pertumb_Bonita_1 Pertumb_tegakan[B_2] = Pertumb_Bonita_2 Pertumb_tegakan[B_3] = Pertumb_Bonita_3 Pertumb_tegakan[B_4] = Pertumb_Bonita_4

181 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi guna memenuhi kebutuhan bahan baku indutri dengan menerapkan silvikultur sesuai tapaknya dan diharapkan dapat terwujudnya kelestarian hasil (Dephut 1999). Untuk mencapai kelestarian hasil diperlukan kondisi hutan normal yaitu hutan yang dibentuk oleh tegakan-tegakan yang pertumbuhannya normal yang memenuhi syarat-syarat konsep ideal susunan umur tegakan, besarnya volume tegakan persediaan, sebaran ukuran pohon-pohon dalam tegakan dan riap tegakan (Helms 1998). Kelestarian hasil menyatakan bentuk prinsip yang dipegang dalam pengelolaan hutan yang dapat memberikan hasil secara lestari, sedangkan hutan normal menyatakan bentuk wujud hutan yang menjadi syarat agar daripadanya dapat diperoleh hasil secara lestari (Suhendang 1999). Untuk mencapai kelestarian hasil diperlukan rencana pengelolaan jangka panjang, dimana pengaturan hasil merupakan komponen utamanya. Pengaturan hasil merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengontrol hasil hutan dan produk lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan termasuk kapan, dimana, dan bagaimana hasil seharusnya dapat dipanen (FAO 1998). Prinsip dasar dalam pengaturan hasil yaitu mengatur panenan kayu yang sama setiap tahun secara terus-menerus dalam jangka panjang (Roise et al. 2000). Kelestarian hasil akan dicapai apabila pertumbuhan dan panen berlangsung secara seimbang. Pengaturan hasil memberikan pengaruh terhadap kelestarian sumberdaya hutan dan dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap perlindungan tata air dan perlindungan tanah dari bahaya erosi (Marwa 2010). Pada saat ini, metode pengaturan hasil dalam hutan tanaman hanya terfokus pada aspek produksi, sedangkan dampak yang terjadi seperti erosi tanah belum diperhatikan dalam metode pengaturan hasil. Pembangunan hutan tanaman tidak hanya memfokuskan keberlanjutan fungsi produksi, namun perlu juga memperhatikan keberlanjutan fungsi lindung. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang No 41 tahun 1999 dalam rangka mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem termasuk fungsi produksi dan lindung untuk mencapai manfaat yang seimbang dan lestari. Adanya keragaman kualitas tempat tumbuh mengakibatkan produksi tegakan suatu jenis tertentu di lokasi yang satu dengan lokasi lainnya tidak selalu sama (Jayaraman & Rugmini 2008). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelompokkan kualitas tempat tumbuh agar setiap tahun luas tebangan dan volume kayunya sama. Pengaturan hasil dengan mengatur luas tebangan yang sesuai dengan produktivitas lahan berarti mengelola vegetasi dalam suatu bentang alam yang terkait dengan tingkat produktivitas tegakan (Krebs 1994). Pemanenan yang melebihi kapasitas pertumbuhan tegakan setempat akan menyebabkan tidak tercapainya asas kelestarian, dan sebaliknya apabila intensitas pemanenan terlampau rendah berarti pemanfaatan hutan tanaman tidak optimal. Seperti terjadi di hutan tanaman jati di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu, KPH Randublatung dan KPH Blora tidak mencapai prospek pengelolaan yang baik karena penebangan lebih besar dari volume kayu yang ditentukan setiap

182 2 tahunnnya (Kuncahyo 2006). Panenan harus diatur sedemikian rupa sehingga tetap tidak melampui kapasitas sumberdaya hutannya (Seydack 1995). Kehadiran vegetasi pada suatu areal mampu mengendalikan bahaya erosi tanah. Vegetasi mampu mengendalikan laju aliran permukaan sehingga dapat mengurangi bahaya erosi tanah (Sukirno1995). Tingkat penurunan erosi tanah tergantung pada komposisi jenis dan tipe penutupannya (Arrijani 2006; Arsyad 2006; Asdak 2007). Pada lahan hutan dengan kemiringan antara 8,75 16,5% hampir tidak menimbulkan erosi tanah, sedangkan pada lahan yang tidak ditumbuhi tanaman erosinya mencapai 45 ton/ha/tahun (Bennet 1995). Pada hutan tanaman Acacia mangium selama tiga tahun pertama setelah tanam telah menimbulkan aliran permukaan dan erosi tanah yang tinggi (Pratiwi 2007). Berkurangnya penutupan lahan oleh vegetasi terutama di lahan miring mengakibatkan laju aliran permukaan dan erosi tanah meningkat (Ispriyanto et al. 2001). Berkurangnya tutupan tajuk dan kondisi lereng yang miring akan meningkatkan potensi perusakan tanah oleh jatuhnya air hujan (Hamilton & King 1997; Sukresno et al. 2002). Peningkatan erosi tanah dalam jangka panjang akan mengakibatkan menurunnya kesuburan tanah. Penurunan kesuburan tanah akan menyebabkan penurunan produktifitas sumberdaya lahan (Ispriyanto et al. 2001). Pengaturan hasil hutan menjadi sangat penting, karena hampir semua ekses yang ditimbulkan dalam kelola hutan produksi bersumber dari adanya keterbukaan lahan akibat pemanenan kayu. Hal ini perlu dilakukan suatu pengkajian yang mendalam menyangkut metode pengaturan hasil di hutan tanaman untuk mendapatkan produksi yang lestari dengan mempertimbangkan kualitas tempat tumbuh dan dampak erosi tanah yang terjadi. Untuk itu, penelitian perlu dilakukan di areal yang tingkat topografinya yang beragam. Salah satu lokasi yang dipilih adalah hutan tanaman eucalyptus di Provinsi Sumatera Utara yang dikembangkan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) di dataran tinggi. Eucalyptus cocok dikembangkan di daerah tropis (Harwood 1998; Leksono 2010) yang dipanen pada umur 6-7 tahun (Harmoko 2004; Quilho et al. 2006), dan layak untuk digunakan sebagai bahan baku pulp pada umur 4 5 tahun (Sihite 2008). Rumusan Masalah Untuk mewujudkan pengelolaan hutan tanaman eucalyptus secara berkelanjutan, maka produktivitas harus dipertahankan bahkan ditingkatkan dari periode tebang yang satu ke periode tebang berikutnya (Nambiar 2004). Kelestarian produksi dari hutan tanaman sangat ditentukan oleh keeratan korelasi antar peubah yang saling mempengaruhi antara kualitas tempat tumbuh, pertumbuhan dan hasil tegakan, dan dampak erosi tanah yang terjadi (Nambiar & Brown 1997). Kualitas tempat tumbuh di hutan tanamam eucalyptus perlu diketahui guna mengindentifikasi produktivitas tegakan sebagai dasar pendelenasian kawasan hutan ke dalam unit-unit pengelolaan yang homogen (Davis et al. 2001). Dan pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus harus didukung tersedianya data/informasi potensi tegakan yang dihadapi saat ini, dan kemampuan memproyeksikan potensi masing-masing tegakan di setiap kelas kualitas tempat tumbuh pada saat menjelang tebangan. Masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

183 3 1. Sejauhmana kualitas tempat tumbuh kawasan hutan tanaman eucalyptus? 2. Bagaimana tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi di kawasan hutan tanaman eucalyptus? 3. Berapa luas keterbukaan lahan tebangan dalam satu hamparan yang aman dari bahaya erosi tanah? 4. Dengan memperhatikan permasalahan 1, 2 dan 3, maka bagaimana merumuskan metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus yang mampu memberikan panenan hasil yang sama setiap tahun dengan kendala tingkat bahaya erosi tanah dari keputusan kelestarian hutan tidak melebihi ambang batas yang ditentukan? Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus yang mampu memberikan panenan hasil yang sama setiap tahun dengan kendala tingkat erosi tanah dari keputusan kelestarian hutan tidak melebihi ambang batas yang ditentukan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tahapan: 1. Penyusunan kelas kualitas tempat tumbuh di kawasan hutan tanaman eucalyptus. 2. Penentuan tingkat bahaya erosi tanah di kawasan hutan tanaman eucalyptus. 3. Penentuan luas keterbukaan lahan tebangan dalam satu hamparan yang aman dari bahaya erosi tanah. Hipotesis Dari permasalahan penelitian di atas dapat dirumuskan beberapa hipotesis sebagai berikut: 1. Kelas kualitas tempat tumbuh dapat mempengaruhi produksi tegakan eucalyptus. 2. Kondisi lahan dan kelas umur tegakan eucalyptus akan mempengaruhi tingkat bahaya erosi tanah. 3. Tingkat bahaya erosi tanah akan menentukan luas keterbukaan lahan tebangan dalam satu hamparan. Kerangka Pikir Beragamnya kualitas tempat tumbuh telah menghasilkan produksi kayu yang berbeda (Devis et al. 2001), dan kondisi topografi yang beragam dapat menimbulkan erosi yang berbeda (Arsyad 2006). Pengelompokan kualitas tempat tumbuh merupakan salah satu cara untuk mengatur luas dan hasil tebangan yang sama setiap tahun, Dan pengendalian erosi tanah di bawah ambang batas yang ditentukan dapat menentukan luas keterbukaan lahan dalam satu hamparan (Gambar 1).

184 4 Mulai Analisis matematik Analisis Spasial Persamaan alometrik indeks tempat tumbuh di hutan tanaman eucalyptus Persamaan alometrik pertumbuhan dan hasil tegakan eucayptus Persamaan alometrik erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus Kondisi lahan di hutan tanaman eucalyptus Kelas kualitas tempat tumbuh di hutan tanaman eucalyptus Tingkat produksi tegakan eucalyptus Tingkat bahaya erosi di hutan tanaman eucalyptus Analisis pengaturan hasil Tidak Ya Metode pengaturan hasil dengan memperhatikan tingkat bahaya erosi tanah Selesai Gambar 1. Kerangka pikir penelitian Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, kepada: a. Para pengambil kebijakan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Penelitian ini akan menyajikan informasi dan pembelajaran dari studi kasus untuk mendukung pengelolaan hutan tanaman. b. Kaum akademisi. Penelitian ini akan memberikan sumbangan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam analisis pengaturan hasil, khususnya untuk diterapkan pada upaya pengembangan hutan tanaman. c. Pelaku pengelola hutan tanaman. Hasil penelitian akan memberikan informasi dan pembelajaran dari studi kasus, tentang hambatan yang dihadapi dan solusinya dalam rangka merumuskan metode pengaturan hasil di kawasan hutan tanaman. Kebaruan (Novelty) Penelitian Penelitian yang telah dilakukan dalam pengaturan hasil pada saat ini masih terfokus pada aspek produksi hal ini seperti yang telah dilakukan Perum Perhutani (1974), Dephut (1989), Suhendang (1993), Seydack (1995), Wahyono (1995), Krisnawati (2001), Baroto (2001), Kuncahyo (2006), van Gardingen et al. (2006) (Tabel 1).

185 5 Tabel 1. Hasil-hasil penelitian tentang pengaturan hasil No. Kategori Sumber 1 Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume Perum Perhutani (1974) 2 Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume Dephut (1989) 3 Pengaturann hasil berdasarkan jumlah pohon Suhendang (1993) 4 Pengaturan hasil berdasarkan volume dan riap Wahyono (1995) 5 Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume Seydack (1995) 7 Pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon Krisnawati (2001) 8 Pengaturan hasil berdasarkan luas dengan volume, dan volume dengan riap Baroto (2001) 9 Pengaturan hasil berdasarkan tegakan Kuncahyo (2006) persediaan, riap tegakan dan gangguan hutan 10 Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume van Gardingen et al. (2006) Sedangkan dampak lingkungan seperti erosi tanah belum ditelaah dalam metode pengaturan hasil di hutan tanaman. Oleh karena itu, kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah metode pengaturan hasil berdasarkan pengelompokan kualitas tempat tumbuh dan penentuan besarnya luas keterbukaan lahan tebangan dalam satu hamparan yang aman dari bahaya erosi tanah. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Desember Lokasi penelitian di Kawasan Hutan Tanaman PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) Sektor Aek Nauli, dan menurut wilayah administrasi termasuk ke dalam Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Gambar 2). Gambar 2. Peta lokasi penelitian di Sektor Aek Nauli, PT. Toba Pulp Lestari

186 6 Secara geografis terletak antara LU dan BT dan berada pada ketinggian m di atas permukaan laut. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Kawasan hutan tanaman di Sektor Aek Nauli seluas ha yang terdiri atas; tanaman pokok (eucalyptus seluas ha), areal konservasi seluas ha, tanaman Pinus merkusii seluas 584 ha, tanaman kehidupan (tanaman serbaguna) seluas ha, sarana-prasarana seluas 508 ha, dan areal enklave seluas 125 ha (TPL 2008). Areal kerja hutan tanamannya dibagi menjadi beberapa blok dan dari blok dibagi menjadi beberapa petak (compartement). Pengumpulan Data Kegiatan penelitian yang akan dilakukan ini memperhatikan tiga aspek yaitu (a) pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus, (b) indeks kualitas tempat tumbuh, dan (c) tingkat bahaya erosi yang terjadi di areal hutan tanaman eucalyptus. Pertumbuhan dan hasil tegakan Data akan diambil dari hasil pengukuran Petak Ukur Permanen (PUP) di PT TPL. Karakteristik tegakan yang diperoleh adalah umur tegakan, jumlah pohon, diameter tegakan, tinggi tegakan, dan volume tegakan. Indeks tempat tumbuh Data yang diperlukan dalam menyusun indeks tempat tumbuh meliputi peninggi dan umur indeks. Peninggi menunjukkan pohon-pohon dominan dan kodominan yang terletak menyebar merata dalam petak ukur. Peninggi untuk setiap petak ukur adalah nilai rata-rata dari seluruh pohon peninggi dalam setiap petak ukur tersebut. Sedangkan umur indeks merupakan umur yang akan digunakan sebagai penentu indeks tempat tumbuh tegakan. Erosi tanah Pengamatan erosi tanah dilakukan dengan menggunakan metode Petak Percobaan Lapangan untuk mengukur erosi tanah setiap kejadian hujan (Arsyad 2006). Petak ukur berukuran 22 x 4 m 2 dipasang pada masing-masing keadaan penutupan lahan. Keadaan masing-masing plot penelitian yaitu di areal tanah kosong, tegakan kelas umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun yang dibuat pada kemiringan lahan 9%, 15%, dan 25%. Pengukuran erosi tanah dilakukan dengan cara mengukur endapan tanah (sedimen) di dalam drum (drum I dan drum II) (Gambar 3). Pengamatan dilakukan setiap kejadian hujan selama 12 bulan. Sedimen dimasukan ke dalam kantong plastik, selanjutnya disaring dengan kertas saring dan dioven pada suhu (103 ± 2) C selama 24 jam, untuk mengetahui berat kering tanur. Total sedimen per plot yaitu berat sedimen kering tanur dari drum I ditambah sepuluh kali berat sedimen kering tanur dari drum II, dengan rumus sebagai berikut: M plot = M I + 10 M II Dimana: M plot = berat tanah kering tanur yang tererosi setiap kejadian hujan per plot (kg/plot) M I = berat tanah kering tanur yang tererosi setiap kejadian hujan dari drum I (kg)

187 7 M II = berat tanah kering tanur yang tererosi setiap kejadian hujan dari drum II (kg) Sedangkan untuk menentukan berat tanah kering tanur yang terbawa erosi setiap hektar adalah: M plot x M per ha = (kg/ha) 88 m 2 Dimana: M per ha = berat tanah kering tanur yang tererosi setiap kejadian hujan per hektar (kg/ha) = berat tanah kering tanur yang tererosi setiap kejadian hujan per plot (kg) M plot 4 m 22 m I Gambar 3. Plot pengamatan erosi tanah Data sekunder Pengumpulan data sekunder yang diperlukan adalah peta digital areal kerja hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli, peta kontur, peta administrasi, peta tanah, dan data lainnya yang relevan. Pengolahan dan Analisis Data Pertumbuhan dan hasil tegakan Volume, luas bidang dasar tegakan dan jumlah pohon total per petak ukur diperoleh dengan rumus (1), sedangkan volume, luas bidang dasar tegakan dan jumlah pohon per hektar diperoleh dengan rumus (2): Y n y i i 1 II... (1)

188 8 Y Y /ha =... (2) Luas plot di mana : Y = volume, luas bidang dasar tegakan, jumlah pohon total. Y/ ha = volume, luas bidang dasar tegakan, jumlah pohon per hektar n = jumlah pohon dalam petak ukur y i = volume, luas bidang dasar pohon ke-i Model pertumbuhan dan hasil tegakan disusun dalam persamaan (Alder 1980), yaitu (a). ln H = a + b A -1 ; (b). ln D = a + b A -1 ; dan (c). ln V = a + b A -1, dimana: H = tinggi tegakan (m), D = diameter tegakan (cm), V = volume tegakan (m 3 /ha), A = umur tegakan (tahun), a dan b konstanta. Riap tahun berjalan (CAI = current annual increment) dan riap rata-rata tahunan (MAI = mean annual increment) diameter, tinggi, dan volume tegakan dihitung dengan rumus : CAI = (Y t+1 - Y t ) / ( t)... (3) MAI = Y / t.... (4) di mana : Y t = diameter, tinggi, dan volume tegakan tahun ke-t Y t+1 = diameter, tinggi, dan volume tegakan tahun ke-(t+1) t t = umur tegakan = selisih umur tegakan Titik potong antara grafik MAI dan CAI merupakan umur dimana tegakan mencapai riap volume maksimum yang selanjutnya ditetapkan sebagai daur volume maksimum (Simon 2007). Selanjutnya dilakukan validasi model dengan menggunakan data contoh yang tidak digunakan dalam penyusunan model-model yang dibuat. Validasi model ditentukan dari nilai-nilai simpangan agregasi, simpangan rata-rata, RMSE (Root Mean Square Error), bias dan uji Khi-kuadrat (Spurr 1952; Mattjik & Sumertajaya 2002). Indeks tempat tumbuh Model indeks tempat tumbuh tegakan dibentuk berdasarkan hubungan matematis antara peninggi (Oh) dan umur tegakan (A). Model persamaan yang digunakan (Avery & Burkhart 1994) adalah: log Oh = a + ba (5) dimana : Oh = peninggi (m), dan A = umur tegakan (tahun). Jika umur tegakan (A) setara dengan umur indeks (A 1 ), maka peninggi (Oh) setara dengan indeks tempat tumbuh (S), yakni: log S = a + ba (6) Disubstitusikan persamaan 6 ke persamaan 5 akan menghasilkan: log S = log Oh - b(a -1 A 1-1 ) (7) Erosi Tanah Hubungan erosi tanah dengan curah hujan dan kemiringan lahan menggunakan regresi ganda dengan model persamaan: y = b 0 + b 1 x 1 + b 2 x 2... (8) di mana:

189 9 y = jumlah erosi pada setiap kejadian hujan (kg/ha/hari) b 0 = konstanta b 1, b 2 = koefisien regresi x 1 = curah hujan (mm/hari) x 2 = kemiringan lahan (%) Analisis Spasial Penentuan luas keterbukaan lahan tebangan dalam satu hamparan akan dibagi menjadi beberapa tahap pengerjaan yaitu: 1. Input data. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan kajian yang dilakukan. Data yang dikumpulkan berupa peta digital yaitu peta kerja hutan tanaman PT. TPL, peta kelas lereng, peta tanah, peta administrasi. 2. Manajemen data. Pada tahap ini dilakukan dijitasi, update dan edit peta. 3. Manipulasi dan analisis data. Pada tahap ini dilakukan penentuan kelas dari masing-masing variabel dan dilakukan analisis spasial. Pemodelan untuk tingkat bahaya erosi menggunakan persamaan regresi (8). 4. Output data. Output data berupa luas keterbukaan lahan tebangan dalam satu hamparan yang aman dari bahaya erosi. Tahapan proses analisis spasialnya dapat dilihat pada Gambar 5. Peta lereng Pendugaan erosi tanah Peta Kerja hutan tanaman PT TPL Tingkat bahaya erosi tanah Overlay Besarnya luas terbukaan lahan tebangan dalam satu hamparan yang aman dari bahaya erosi tanah Gambar 5. Tahapan analisis spasial penentuan luas keterbukaan lahan tebangan dalam satu hamparan yang aman dari bahaya erosi tanah Kajian Kelestarian Hasil Data yang diperlukan untuk menentukan besarnya etat tebangan sebagai berikut: 1. Luas areal produktif masing-masing kelas umur. 2. Luas kelas kualitas tempat tumbuh masing-masing kelas umur. 3. Rata-rata volume tegakan pada masing-masing kelas umur di setiap kelas kualitas tempat tumbuh. Prospek kelastarian dikaji atas dasar metode pengaturan hasil sebagai berikut:

190 10 1. Metode berdasarkan luas Luas areal produktif Etat luas = (ha/tahun)... (9) Daur Volume = Etat luas x volume kayu per ha pada lahan yang akan ditebang (m3/tahun) 2. Formula Von Mantel 2AG AY =... (10) R di mana: AY = hasil tahunan (m 3 /tahun), AG = tegakan persediaan nyata (m 3 ), dan R = daur (tahun). 3. Metode berdasarkan kelas kualitas tempat tumbuh dan volume tegakan Lb i El i =... (11) R n Ev = (El i x Vb i )... (12) i=1 Dimana: El i = etat luas pada kelas kualitas tempat tumbuh ke-i (ha/tahun), Lb i = luas efektif pada kelas kualitas tempat tumbuh ke-i (ha), Ev = etat volume pada masing-masing kelas kualitas tempat tumbuh (m 3 /tahun), Vb i = proyeksi potensi tegakan saat umur daur pada kelas kualitas tempat tumbuh ke-i (m 3 /ha), n = banyaknya kelas kualitas tempat tumbuh. Analisis Sistem Model sistem simulai pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus diguna untuk melihat pengaruhnya terhadap kelestarian hutan yang dapat meminumkan bahaya erosi tanah yang terjadi. Proses penyusunan model simulasi meliputi formula model konseptual, spesifikasi model kuantitatif, evaluasi model, dan penggunaan model (Grant et al. 1997; Purnomo 2005). Formula model konseptual Formula model konseptual meliputi penentuan tujuan model, pembatasan model, kategori komponen-komponen dalam sistem, pengidentifikasian hubungan antar komponen dalam sistem, menyatakan komponen dan hubungan dalam model, menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model. Tujuan penyusunan model pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus adalah menentukan besarnya etat volume dan etat luas di hutan tanaman PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli yang memperhatikan peubah kelas kualitas tempat tumbuh dan tingkat bahaya erosi tanah. Batasan model sistem simulasi pengaturan hasil berdasarkan kelestarian hutan dan meminimumkan tingkat bahaya erosi tanah akan dibangun dalam empat sub model yaitu (a) tegakan hutan, (b) luas areal berhutan, (c) erosi tanah, dan (d) pengaturan hasil. Batasan dari sub model dan variabel-variabel sebagai berikut:

191 11 a. Tegakan hutan, merupakan jumlah pohon eucalyptus yang berada di areal produktif HTI PT TPL Sektor Aek Nauli. Faktor yang mempengaruhi jumlah pohon adalah jumlah pohon yang ditanam, jumlah pohon mati (mortality), jumlah pohon ditebang. b. Luas areal berhutan adalah luas areal yang dialokasikan untuk memproduksi kayu eucalyptus di Sektor Aek Nauli pada masing-masing kelas kualitas tempat tumbuh. Faktor yang mempengaruhi luas areal berhutan adalah luas tebangan di masing-masing kelas kualitas tempat tumbuh. c. Erosi tanah adalah tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi di setiap kelas umur tegakan. Faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya erosi tanah adalah kelas curah hujan, kemiringan lahan, kelas umur tegakan, dan luas keterbukaan lahan dalam satu hamparan. d. Pengaturan hasil menggambarkan besarnya etat tebang tahunan yang dapat dilaksanakan di areal hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli berdasarkan potensi tegakan di setiap kelas kualitas tempat tumbuh. Penentuan etat volume didasarkan pada perbandingan antara volume standing stock dan daur. Volume standing stock merupakan penjumlahan volume pohon di setiap kelas umur. e. Daur merupakan umur tanaman eucalyptus pada saat ditebang. Keterkaitan keempat sub model akan saling mempengaruhi (Gambar 5). Hubungan keterkaitan antar sub model sebagai berikut: a. Sub model tegakan hutan akan mempengaruhi sub model pengaturan hasil dan erosi tanah. Potensi tegakan hutan dalam hal ini jumlah pohon yang ada akan mempengaruhi besarnya jumlah pohon yang ditebang setiap tahun. Besarnya jumlah pohon yang ditebang setiap tahun yang dihasilkan berdasarkan sub model pengaturan hasil. Sedangkan pengaruh terhadap sub model erosi tanah adalah beragamnya umur tegakan hutan akan mempengaruhi tingkat bahaya erosi tanah. b. Sub model pengaturan hasil akan mempengaruhi sub model tegakan hutan, sub model luas areal berhutan dan sub model erosi tanah. Banyaknya jumlah pohon yang ditebang setiap tahun akan mempengaruhi persediaan jumlah pohon yang ada pada tegakan hutan, dan akan mempengaruhi luas areal berhutan yang ditebang di setiap kelas kualitas tempat tumbuh. Sedangkan pengaruhnya terhadap tingkat bahaya erosi tanah akibat dari besarnya luas keterbukaan lahan dalam satu hamparan. c. Sub model erosi tanah akan mempengaruhi sub model tegakan hutan, dan sub model pengaturan hasil. Tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi akan mempengaruhi potensi tegakan hutan, dan akan menentukan besarnya luas keterbukaan lahan dalam satu hamparan. Pengaturan hasil Erosi tanah Luas areal berhutan Tegakan hutan Gambar 5. Hubungan keterkaitan antar sub model

192 12 Spesifikasi model kuantitatif Spesifikasi model kuantitatif meliputi memilih struktur kuantitatif umum model, memilih unit waktu dasar untuk simulasi, mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model, menduga parameter dari persamaan model, memasukkan persamaan ke dalam program simulasi, menjalankan simulasi acuan, dan menetapkan persamaan model. Evaluasi model Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan relasi-relasi yang menyusun model dan melakukan validasi model yaitu membandingkan nilai dugaan dari model yang telah dibuat dengan data yang tidak digunakan dalam penyusunan model. Dan analisis sensitivitas bertujuan untuk menentukan tingkat respon atau sensitivitas perilaku model yang dibangun apabila dilakukan perubahan komponen-komponen utama penyusun model. Penggunaan model Model yang telah dibentuk digunakan untuk mencapai tujuan pembentukannya dengan menyusun skenario. DAFTAR PUSTAKA Alder D Forest volume estimation and yield prediction. Vol. 2. Yield Prediction. FAO. Rome. Arrijani Korelasi model arsitektur pohon dengan laju aliran batang, curahan tajuk, infiltrasi, aliran permukaan dan erosi [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. Asdak C Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Arsyad S Konservasi tanah dan air. IPB Press. Bogor. Avery T E, Burkhart HE Forest measurements, McGraw-Hill, New York. 408 pp. Boroto JABK Penggunaan teknik kriteria ganda dalam pemilihan metode pengaturan hasil pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan (Studi kasus pada tiga kesatuan pemangkuan hutan Perum Perhutani). [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE Forest management: to sustain ecological, economic, and social values. 4 th edition. McGraw-Hill Book Co. New York. [Dephut] Departemen Kehutanan Keputusan Menteri Kehutanan no. 564/Kpts/II/1989 tentang pedoman teknik silvikultur TPTI. Departemen Kehutanan. Jakarta Pedoman teknis penanaman jenis-jenis kayu komersil. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Jakarta. FAO Guidelines for the management of tropical forests. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Grant WE, Pedersen EK, Marin SL Ecology and natural resource management: Systems analysis and simulation. John Wiley & Sons. Inc. Toronto Canada.

193 13 Hamilton LS, King PN Daerah Aliran Sungai hutan tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Penerjemah: Suryanata K, Tjitroisoepomo (editor), terjemahan dari: Tropical forested watersheds. Colorodo. Harmoko AD Inventarisasi hasil-hasil penelitian tentang pertumbuhan pohon dan pengaturan hasil hutan di Indonesia [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan. Harwood CE Eucalyptus pellita an annotated bibliography. CSIRO Publishing, Victoria, Australia. 70 p. Helms JA (Editor) The dictionory of forestry. The Society of American Foresters and CABI Publishing, Bethesda and Wallington. Ispriyanto, Arifjaya NM, Hendrayanto Aliran permukaan dan erosi di areal tumpangsari tanaman Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 7 (1): Jayaraman K, Rugmini P Optimazing management of even-aged teak stands using growth simulation model: A case study in Kerala. Journal of Tropical Forest Science 20 (1): Krebs CJ Ecology the experimental analysis of distribution and abundance. Addision-Wesley Educational Publishers, USA. Krisnawati H Pengaturan hasil hutan tidak seumur dengan pendekatan dinamika struktur tegakan (Studi kasus hutan alam bekas tebangan. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Kuncahyo B Model simulasi pengaturan hasil lestari yang berbasis kebutuhan masyarakat desa hutan [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. Leksono B Efisiensi seleksi awal pada kebun benih semai Eucalyptus pellita. Jurnal Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Vol. 7 (1): Marwa J Model dinamika pengaturan hasil hutan tidak seumur dan kontribusinya terhadap ekonomi daerah (Studi kasus IUPHHK PT Bina Balantak Utama, Kabupaten Sarmi, Papua) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. Mattjik AA, Sumertajaya M Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab, Jilid 1. IPB Press. Bogor. Nambiar EKS Science and technology for sustainable development of plantation forest. Australian Forestry 66: Nambiar EKS, Brown AG Toward sustained productivity of tropical plantations: Science and Practice. In: Nambiar EKS, Brown. (eds). Management of soil, nutrients and water in tropical plantation forest ACIAR, CSIRO and CIFOR: Perum Perhutani Surat keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/KPTS/DJ/1974 tentang peraturan inventarisasi hutan jati dan peraturan penyusunan rencana pengaturan kelestarian hutan, khusus kelas perusahaan tebang habis jati. PHT 19 seri produksi 11 tahun Perum Perhutani. Jakarta. Pratiwi Laju aliran permukaan dan erosi di beberapa hutan tanaman dan beberapa alternatif upaya perbaikannya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 4 (3):

194 14 Purnomo H Teori sistem kompleks, pemodelan dan simulasi untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Quilhó T, Miranda I, Pereira H Within-tree variation in wood fibre biometry and basic density of the urograndis eucalypt hybrid (Eucalyptus grandis x E. urophylla). Journal IAWA, Vol. 27 (3): Roise JP, Cubbage FW, Abt RC, Siry JP Regulation of timber for sustainable management of industrial Forest plantations theory and ptactice. In: Gadow KV, Pukkala T, Tome M. Sustainable forest management. Kluwer Academic Publishers. AA Dordrecht, Netherland. P Seydack AHW An unconventional approach to timber yield regulation for multi aged species forest I: Fundamental consideration. Forest Ecology and Management. Vol. 77: Sihite O Hubungan umur pohon Eucalyptus sp dengan kandungan pentosan bahan baku pulp pada PT Toba Pulp Lestari [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sekolah Pascasarjana. Simon Metode inventore hutan. Pustaka Belajar. Yogyakarta. Spurr SH Forest inventory. The Ronald Press C0, New York. Suhendang E Alternatif metode pengaturan hasil pada areal bekas tebangan tidak seumur. Makalah disampaikan dalam seri diskusi ilmiah kehutanan dalam rangka dies natalis IPB ke-30 dan HAPKA IX Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor, 4 September Pembentukan hutan normal tidak seumur sebagai strategi pembenahan Hutan Alam Produksi menuju pengelolaan hutan lestari di Indonesia: Sebuah analisis konseptual dalam ilmu manajemen hutan. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sukirno Hand out teknik konservasi tanah. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Program Studi Teknik Pertanian Program. Yogyakarta. Sukresno, Murtiono U, Supangat AB Evaluasi dampak kebakaran hutan terhadap limpasan dan erosi tanah pada areal hutan produksi Pinus merkusii di BKPH Pujon, Malang, Jawa Timur. Buletin Pengelolaan DAS, Surakarta. Vol. 8 (1): TPL [Toba Pulp Lestari] Rencana kerja tahunan HPHTI PT Toba Pulp Lestari tahun PT Toba Pulp Lestari. Porsea. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Vanclay JK Modelling forest growth and yield (application to mixed tropical forest). CAB International, Wallingford, UK. van Gardingen PR, Valle D, Thompson I Evaluation of yield regulation options for primary forest in Tapajo s National Forest, Brazil. Journal of Forest Ecology and Management 231: Wahyono Dj Pengaturan hasil ganda suatu pendekatan penataan hutan tanaman pinus: Studi kasus di KPH Lawu Perum Perhutani unit II Jogjakarta. [Tesis]. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada, Program Pascasarjana.

195 15 KOLOKIUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR NAMA : DARWO NOMOR POKOK : E MAYOR : ILMU PENGELOLAAN HUTAN JUDUL PENELITIAN : METODE PENGATURAN HASIL HUTAN TANAMAN EUCALYPTUS BERDASARKAN OPTIMASI PERSEDIAAN TEGAKAN NYATA DAN EROSI TANAH KOMISI PEMBIMBING : 1. Prof.Dr.Ir. ENDANG SUHENDANG, MS 2. Prof.Dr.Ir. I NENGAH SURATI JAYA, M.Agr. 3. Dr.Ir. HERRY PURNOMO, M.Comp. 4. Prof.Ris.Dr.Ir. PRATIWI, M.Sc. KELOMPOK ILMU : TUMBUHAN HARI/TANGGAL : SELASA, 3 APRIL 2012 WAKTU : WIB TEMPAT : RUANG FORESTA

196 PENETAPAN DAUR TEBANG EUCALYPTUS HIBRID BERDASARKAN OPTIMASI ANTARA PERTUMBUHAN DAN HASIL TEGAKAN DENGAN EROSI TANAH 1 (Determination of Cutting Cycle for Eucalypt Hybrid Based on Optimization of Stand Growth and Yield with Soil Erosion) Oleh/By: Darwo 2, Endang Suhendang 3, I Nengah Surati Jaya 3, Herry Purnomo 3, Pratiwi 4 ABSTRACT Stand productivity and soil erosion in forest landscape were spatials varied. Then determination of cutting cycle based on the stand productivity and the soil erosion hazard be considered. The research objectives were to determine (i) the steepest slope providing tolerable erosion hazard, (ii) the minimum crown closure the tolerable erosion hazard, (iii) the stand growth and yield for each soil condition, and (iv) the optimum cutting cycle of eucalypt hybrid based upon the stand productivity and erosion factor. Data were collected from 343 permanent sample plots. Plot shave were circular having radius of m. The erosion plots were distributed on bare land, eucalypt plantation at 1, 2, 3, 4 and 5 age class at reprecenting slopes of 9%, 15%, and 25% with the plot size of 22 x 4 m. Data were analyzed using regression. This study found that the maximum tolerable limit of slope erosion was 33%. The slopes above 34% has led the intolerable erosion. Slopes of 34 to 45%, 46 to 58%, and 59 to 75% required crown cover percentage respectively 21%, 38%, and 53% equal to stand density were respectively 279 trees/ha, 515 trees/ha, and 713 trees/ha. Reduction the stand density per hectare had lowered the stands volume increment. The stand volume at the end of cycle on the slopes 34 to 45%, 46 to 58%, and 59 to 75%, respectively reduced by 19%, 34%, and 48%. Thus, the optimum rotation based on the consideration of the growth and yield of eucalypt hybrid with the soil erosion is 8 years old. Keywords: Cycle, hybrid eucalypt, increment, slope, and erosion 1) Bagian dari disertasi yang disampaikan pada seminar hasil penelitian Sekolah Pascasarjana IPB 2) Mahasiswa Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana IPB 3) Komisi Pembimbing dan Staf Pengajar Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana IPB 4) Komisi Pembimbing dan staf Peneliti Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, Badan Litbang Kehutanan I. PENDAHULUAN Daur merupakan jangka waktu antara waktu penanaman hutan sampai hutan tersebut layak tebang. Konsep daur dipakai untuk pengelolaan hutan seumur seperti pada program hutan tanaman (Dephut 1992). Lamanya waktu tersebut tergantung pada sifat pertumbuhan jenis yang diusahakan, tujuan pengelolaan dan pertimbangan ekonomi (Simon 2010). Dari segi pasar, daur ditentukan oleh hasil tegakan, tipe tegakan dan jenis tanaman sehingga tempat tumbuh akan mempengaruhi daur dan produktivitas tegakan (Suhendang 2002). Produktivitas tegakan merupakan resultanse dari interaksi antara jenis yang bersangkutan dengan berbagai faktor meliputi kondisi tanah, iklim dan karakteristik topografi (Husch et al. 2003). Produktivitas tegakan dalam satu hamparan lahan bisa beragam. Hal ini akibat adanya tingkat kesuburan tanah yang beragam. Pada daerah datar tingkat kesuburannya relatif lebih baik daripada lahan miring. Hal ini terjadi karena lahan miring jika diolah 1

197 secara terus-menerus tanpa melakukan teknik konservasi tanah, maka tanah akan tererosi sehingga produktivitas lahan akan menurun (Ispriyanto et al. 2001). Selain itu, aktivitas penebangan, penyaradan, dan pemeliharaan dapat meningkatkan erosi tanah. Kegiatan penebangan dengan penyaradan menggunakan alat berat dapat menimbulkan pemadatan tanah dan pengupasan top soil sehingga pada saat hujan akan menimbulkan tingkat erosi yang semakin besar (Muhdi 2008; Rusmin 2011). Kegiatan pemeliharaan secara intensif dengan mematikan tumbuhan bawah menggunakan herbisida dapat menimbulkan erosi tanah meningkat. Namun demikian, kehadiran vegetasi mampu mengendalikan laju aliran permukaan sehingga dapat mengurangi bahaya erosi tanah (Sukirno 1995). Tingkat penurunan erosi tanah tergantung pada komposisi jenis dan tipe penutupannya (Arsyad 2006). Oleh karena itu, upaya mempertahankan produktivitas lahan menjadi penting sehingga penetapan daur tebang perlu mempertimbangkan tingkat produktivitas tegakan dan erosi. Penelitian perlu dilakukan di areal yang tingkat topografinya yang beragam. Lokasi yang dipilih adalah hutan tanaman eucalyptus hibrid di Provinsi Sumatera Utara yang dikembangkan oleh PT Toba Pulp Lestari untuk kelas perusahaan kayu pulp. Eucalyptus hibrid merupakan hasil persilangan antara Eucalyptus urophylla dengan Eucalyptus grandis yang dikenal sebagai Eucalyptus urograndis. Dan jenis ini cocok dikembangkan di daerah tropis (Harwood 1998; Leksono 2010). Tujuan penelitian yaitu (i) menentukan batas maksimum kemiringan lahan yang aman dari bahaya erosi tanah, (ii) menentukan batas minimum penutupan tajuk yang aman dari bahaya erosi tanah, (iii) menentukan tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan di setiap kondisi lahan, dan (iv) menetapkan daur tebang optimum eucalyptus hibrid berdasarkan faktor produktivitas tegakan dan erosi. II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai Oktober 2010 sampai dengan Desember Lokasi penelitian di Kawasan Hutan Tanaman PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) Sektor Aek Nauli, dan menurut wilayah administrasi termasuk ke dalam Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak antara LU dan BT dan berada pada ketinggian m di atas permukaan laut. B. Bahan Penelitian Untuk bahan penyusunan pertumbuhan dan hasil tegakan telah menggunakan data dari Petak Contoh Permanen ( Permanent Sample Plot = PSP) dengan luas PSP 0,02 ha dalam bentuk lingkaran berjari-jari 11,28 m. Data dipilah secara acak menjadi 2 bagian, yaitu 263 PSP digunakan untuk bahan penyusunan model dan 80 PSP digunakan untuk validasi model. Jarak tanam eucalyptus tersebut adalah 2 x 3 m. Sedangkan pengamatan erosi tanah dilakukan dengan menggunakan metode Petak Percobaan Lapangan untuk setiap kejadian hujan (Arsyad 2006). Petak percobaan berukuran 22 x 4 m dipasang di areal tanah kosong, tegakan kelas umur 1, 2, 3, 4 dan 5 pada kemiringan lahan 9%, 15%, dan 25%. C. Metode 1. Pengumpulan data Parameter pertumbuhan tegakan yang dikumpulkan dari PSP yaitu peninggi, diameter, tinggi total, dan volume tegakan. Peninggi adalah nilai rata-rata tinggi sejumlah pohon berdiameter terbesar atau pohon-pohon dominan dan ko-dominan yang 2

198 letaknya tersebar merata dalam 1 hektar areal (Harbagung 2009). Diameter adalah nilai rata-rata diameter setinggi dada sejumlah pohon dalam PSP. Tinggi adalah nilai rata-rata tinggi total sejumlah pohon dalam PSP. Volume tegakan adalah nilai sejumlah volume pohon yang ada dalam PSP yang dinyatakan dalam m 3 /ha. Besaran masing-masing parameter tersebut ditentukan menurut (Avery & Burkhart 2002; Husch et al. 2003). Erosi yang terjadi di dalam plot diukur dengan menempatkan dua drum penampung aliran permukaan dan tanah tererosi di bagian hilir plot. Drum I dilubangi (10 lubang) dan satu lubang dihubungkan ke drum II. Tanah tererosi dari plot diukur dari aliran permukaan dan sedimen yang tertampung oleh kedua drum tersebut. Jumlah sedimen diukur dengan cara mengambil contoh air dari kedua drum tersebut. Contoh air disaring dan sedimen tersaring dikeringkan dalam oven dengan suhu (103± 2) 0 C selama 24 jam yang selanjutnya ditimbang sampai beratnya konstan. Jumlah sedimen yang mengindikasikan jumlah erosi yang terjadi dihitung: Dimana; E = tanah tererosi (ton/ha), C d1 = konsentrasi muatan sedimen pada drum I (kg/m 3 ), C d2 = konsentrasi muatan sedimen pada drum II (kg/m 3 ), V d1 = volume air drum I (m 3 ), V d2 = volume air drum II (m 3 ), A = luas plot (ha), dan 10-3 = angka konversi satuan kg menjadi ton. Kemudian data pada masing-masing kondisi penutupan tajuk dipilah secara acak menjadi 2 bagian, yaitu 2/3 data digunakan untuk bahan penyusunan model dan 1/3 data digunakan untuk validasi model. 2. Penyusunan model persamaan Model persamaan yang disusun meliputi: a. Model pertumbuhan dan hasil tegakan menurut Alder (1980) yaitu membuat hubungan antara volume tegakan dengan umur tegakan. Model persamaan: ln V = a 0 + a 1 A -1. Dimana, V = volume tegakan (m 3 /ha), A = umur tegakan (tahun), a 1 = koefisien regresi; dan a 0 = intersep. Selanjutnya ditentukan riap tahunan rata-rata (Mean Annual Increment MAI) dan riap tahun berjalan (Current Annual Increment CAI) (Pordan 1968). b. Model penduga erosi tanah di setiap kondisi lahan dengan membuat hubungan antara erosi tanah sebagai peubah tak bebas dengan curah hujan dan kemiringan lahan sebagai peubah bebas. Model persamaan: E = b 0 + b 1 CH + b 2 Slope. Dimana, E = tanah tererosi di setiap kejadian hujan tertentu (kg/ha/hari); CH = curah hujan pada kejadian hujan tertentu (mm/hari); Slope = persen kemiringan lahan; b 1, b 2 = koefisien regresi; dan b 0 = intersep. Selanjutnya menduga erosi selama setahun sesuai dengan tingkat curah hujan dan kondisi kemiringan lahan tertentu. c. Model penduga penutupan tajuk dengan membuat hubungan antara persen penutupan tajuk (%) dengan umur tegakan (tahun). Model persamaan: y = c o (1-e -c1x ), dimana y = penutupan tajuk (%), c 1 = koefisien regresi, c o = intersep, dan e = 2, Pengujian model persamaan Model yang telah disusun dilakukan analisis ragam, analisis determinasi, dan validasi model (Supranto 2005). Uji validasi model meliputi: (a) akar rata-rata kuadrat sisaan (Root Mean Square Error RMSE), (b) persen akar rata-rata kuadrat sisaan (Root Mean Square Percent Error RMSPE), dan (c) uji Khi-kuadrat (Khi-square test). 3

199 3. Penetapan daur tebang Penetapan daur tebang melalui tahapan sebagai berikut: a. Penentuan batas kemiringan lahan yang erosinya masih dapat ditoleransi berdasarkan Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009. Dan untuk kemiringan lahan yang erosinya tidak dapat ditoleransi, maka ditentukan jumlah pohon yang tidak boleh ditebang sesuai dengan tingkat penutupan tajuk yang aman dari bahaya erosi: Dimana; JP = jumlah pohon yang tidak ditebang (pohon/ha), PTt = penutupan tajuk pada umur t tahun (%), PT8 = penutupan tajuk pada umur 8 tahun (%), dan 1667 = jumlah pohon per hektar (jarak tanam 2 x 3 m). b. Daur tebang ditetapkan berdasarkan waktu terjadinya perpotangan antara kurva CAI dan MAI dengan kondisi lahan dimana erosinya masih dapat ditoleransi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Model persamaan regresi Hasil analisis regresi hubungan volume tegakan eucalyptus hibrid dan erosi tanah pada berbagai kondisi lahan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Model penduga volume tegakan dan erosi tanah pada berbagai kondisi lahan di hutan tanaman eucalyptus hibrid No. Model persamaan Simpangan baku 4 R 2 R 2 -adj RMSE RMSPE (%) Khi-kuadrat Hitung Tabel 1 ln V = A -1 0,64 0,946 0,946 0,72 8,95 84,874 tn 101,88 2 E 0 = - 117,66 + 9,8708 CH + 5,1619 Slope 81,40 0,879 0, ,72 25,92 17,99 tn 70,88 3 E 1 = - 48,50 + 5,4591 CH + 2,0557 Slope 53,43 0,831 0,829 68,35 38,52 8,41 tn 67,37 4 E 2 = - 47, ,7504 CH + 1,7373 Slope 39,91 0,875 0,873 26,31 36,43 23,98 tn 67,37 5 E 3 = - 51, ,8381 CH + 2,3396 Slope 32,70 0,782 0,779 14,93 38,62 12,53 tn 69,13 6 E 4 = - 1, ,3211 CH + 0,1144 Slope 3,83 0,761 0,759 3,75 18,67 14,99 tn 69,13 7 E 5 = - 1, ,2131 CH + 0,0982 Slope 2,14 0,849 0,846 3,93 10,23 11,64 tn 43,19 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada tingkat nyata 5%. V = volume tegakan (m3/ha), E 0 = tanah tererosi pada lahan kosong (kg/ha/hari), E 1 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur 1 tahun (kg/ha/hari), E 2 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur 2 tahun (kg/ha/hari), E 3 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur 3 tahun (kg/ha/hari), E 4 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur 4 tahun (kg/ha/hari), E 5 = tanah tererosi dibawah tegakan kelas umur 5 tahun (kg/ha/hari), A = umur tegakan (tahun), CH = curah hujan (mm/hari), Slope = kemiringan lahan (%) Hasil analisis ragam dengan menggunakan tingkat nyata 5% menunjukkan nilai F hitung > F tabel (p-value = 0) dan hasil uji-t diperoleh nilai t hitung untuk koefisien regresi > t tabel (pvalue = 0). Hal ini menunjukkan bahwa umur tegakan berpengaruh sangat nyata terhadap volume tegakan, dan begitu juga curah hujan dan kemiringan lahan secara simultan berpengaruh sangat nyata terhadap erosi tanah di setiap kondisi lahan. Nilai koefisen determinasi yang disesuaikan (R 2 -adj) antara 76-95%). Rata-rata kesalahan penduga model (RMSE) untuk menduga volume tegakan adalah 0,72 m 3 /ha, sedangkan untuk penduga E 0, E 1, E 2, E 3, E 4, dan E 5 masing-masing adalah 148,72 kg/ha; 68,35 kg/ha; 26,31 kg/ha; 14,93 kg/ha; 3,75 kg/ha; dan 3,93 kg/ha. Persentase kesalahan prediksi volume tegakan sebesar 8,95% dari nilai sebenarnya, sedangkan untuk penduga E 0, E 1, E 2, E 3, E 4, dan E 5 masing-masing sebesar 26%; 39%; 36%; 39%; 19% dan 10% dari nilai sebenarnya. Dan hasil uji X 2 (Khi-kuadrat) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata

200 pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, semua model persamaan tersebut bisa digunakan untuk menduga volume tegakan dan erosi tanah tersebut. 2. Kondisi fisik lahan dan tegakan Dari Tabel 2, kondisi fisik lahan dengan bulk density berkisar antara 1,13 1,26 g/cm 3, porositas antara 52,45 57,48%, permeabilitas antara 9,16 22,62 cm/jam, dan tebal top soil antara 16,7 24,7 cm. Rata-rata tinggi total untuk kelas umur 1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah 2,1 m, 3,5 m, 12,8 m, 19,6 m, dan 22,5 m dengan rata-rata diameter pohon setinggi dada masing-masing adalah 1,5 cm, 3,3 cm, 10,9 cm, 14,0 cm, dan 16,1 cm. Penutupan tajuk pada kelas umur 1, 2, 3, 4, dan 5 masing-masing adalah 39,97%; 63,14%; 88,60%; 96,63%; dan 110,02%. Tabel 2. Karakteristik lahan dan kondisi tegakan eucalyptus hibrid Parameter Lahan kosong Kelas umur 1 Kelas umur 2 Kelas umur 3 Kelas umur 4 Kelas umur 5 1. Bulk density tanah (g/cm 3 ) 1,23 1,20 1,13 1,26 1,16 1,26 2. Porositas (%) 53,71 54,84 57,48 52,45 56,23 52,45 3. Permeabilitas (cm/jam) 9,21 12,46 14,73 15,60 19,16 22,62 4. Tebal top soil (cm) 16,7 18,7 15,6 16,9 25,7 24,7 5. Diameter pohon (cm) - 1,5 3,3 10,9 14,0 16,1 6. Tinggi total pohon (m) - 2,1 3,5 12,8 19,6 22,5 7. Jarak tanah (m 2 ) - 2 x 3 2 x 3 2 x 3 2 x 3 2 x 3 8. Curah Hujan (mm/tahun) Erosi, luas penutupan tajuk, pertumbuhan dan hasil tegakan Model penduga penutupan tajuk tegakan eucalyptus hibrid adalah y = 133,36*(1-e - 0,3404X ) dengan koefisien determinasi (R 2 ) = 98,5%, dimana y = penutupan tajuk (%), x = umur tegakan (tahun), dan e = 2,7183. Grafik penutupan tajuknya dapat dilihat pada Gambar 1. Semakin bertambah umur tegakan menunjukkan persen penutupan tajuk semakin meningkat. Gambar 1. Kurva penutupan tajuk tegakan eucalyptus hibrid 5

201 (A) (B) Keterangan: V1 = volume tegakan awal, V2 = volume tegakan yang bisa ditebang, TBE = tingkat bahaya erosi, MAI = riap tahunan rata-rata, dan CAI = riap tahun berjalan Gambar 2. Kurva pertumbuhan dan hasil tegakan serta erosi tanah yang terjadi pada (A) kemiringan lahan kurang dari 34% dan (B) kemiringan lahan 34 45% di hutan tanaman eucalyptus hybrid Riap volume optimum sebesar 31,13 m 3 /ha/tahun terjadi pada umur 8,1 tahun. Dengan demikian, daur volume optimum tegakan eucalyptus hibrid terjadi pada umur 8,1 tahun, sehingga daurnya ditetapkan 8 tahun. Pada daur 8 tahun diperoleh rata-rata volume tegakan 249,34 m 3 /ha dengan MAI 31,17 m 3 /ha/tahun, dan CAI 31,52 m 3 /ha/tahun. Kemiringan lahan kurang dari 34%, erosi tanah yang terjadi di lahan kosong masih kurang dari 60,00 ton/ha/tahun. Namun pada kemiringan lahan 34 45% erosi tanah yang terjadi antara ton/ha/tahun sehingga diperlukan persen penutupan tajuk 21% yang setara dengan kerapatan tegakan 279 pohon/ha. Dan pada akhir daur (8 tahun) volume tegakan menjadi 81% (202,65 m 3 /ha), MAI sebesar 25,33 m 3 /ha/tahun dan CAI sebesar 25,62 m 3 /ha/tahun (Gambar 2). (A) (B) Keterangan: V1 = volume tegakan awal, V2 = volume tegakan yang bisa ditebang, TBE = tingkat bahaya erosi, MAI = riap tahunan rata-rata, dan CAI = riap tahun berjalan Gambar 3. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan serta laju erosi tanah yang terjadi pada (A) kemiringan antara 46-58% dan (B) kemiringan lahan 59 75% di hutan tanaman eucalyptus hibrid Pada kemiringan lahan 46-58%, erosi tanah yang terjadi di lahan kosong antara ton/ha/tahun. Agar bahaya erosi yang terjadi masih dapat ditoleransi (kurang dari 6

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi guna memenuhi kebutuhan bahan baku indutri dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan upaya strategis dalam mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu domestik di Indonesia. Tujuan pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Eldridge et al. (1993), taksonomi tanaman Eucalyptus adalah. : Plantae (Tumbuhan) : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Eldridge et al. (1993), taksonomi tanaman Eucalyptus adalah. : Plantae (Tumbuhan) : Spermatophyta (Menghasilkan biji) TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Eucalyptus urograndis Menurut Eldridge et al. (1993), taksonomi tanaman Eucalyptus adalah sebagai berikut: Kerajaan Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Keluarga Marga Jenis : Plantae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Hutan Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Hutan Tanaman 9 TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Hutan Tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan

Lebih terperinci

Darwo, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya, Herry Purnomo, Pratiwi

Darwo, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya, Herry Purnomo, Pratiwi KUANTIFIKASI KUALITAS TEMPAT TUMBUH DAN PRODUKTIVITAS TEGAKAN UNTUK HUTAN TANAMAN EUKALIPTUS DI KABUPATEN SIMALUNGUN, SUMATERA UTARA (The Quantification of Site Quality and Stands Productivity for Eucalypt

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan hasil paduserasi TGHK - RTRWP pada tahun 1999, luas kawasan hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha (Purnama, 2003), dimana diperkirakan hutan alam yang terdegradasi,

Lebih terperinci

KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA

KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. F) merupakan salah satu jenis penghasil kayu pertukangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi untuk berbagai macam keperluan pertukangan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 ANALISIS FINANSIAL DAN DAUR VOLUME MAKSIMUM TEGAKAN EUKALIPTUS Eucalyptus hybrid (IND-47) HUTAN TANAMAN INDUSTRI PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk., SEKTOR AEK NAULI SKRISI M IQBAL R NASUTION 091201016 / Manajemen

Lebih terperinci

PENYUSUNAN TABEL VOLUME POHON Eucalyptus grandis DI HUTAN TANAMAN PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR

PENYUSUNAN TABEL VOLUME POHON Eucalyptus grandis DI HUTAN TANAMAN PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR PENYUSUNAN TABEL VOLUME POHON Eucalyptus grandis DI HUTAN TANAMAN PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR SKRIPSI OLEH TETTY HRU PARDEDE 031201029 / MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT.

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. i PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. WIRAKARYA SAKTI GIANDI NAROFALAH SIREGAR E 14104050 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah hujan sekitar 2000-4000

Lebih terperinci

MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU

MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Asti Istiqomah, SP EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0) PENGERTIAN DAUR DAUR: Jangka waktu yang diperlukan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Jati (Tectona grandis L.f) Menurut Sumarna (2002), klasifikasi tanaman jati digolongkan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001)

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pandangan terhadap kelestarian hutan telah mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001) menggambarkan ada empat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 63 HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman Hibrid Eucalyptus urograndis Model PertumbuhanTegakan Hibrid E. urograndis Rotasi 1 dan 2 Pertumbuhan diartikan sebagai pertambahan dimensi

Lebih terperinci

STUDI PENYUSUNAN MODEL PENGATURAN HASIL HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH

STUDI PENYUSUNAN MODEL PENGATURAN HASIL HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH STUDI PENYUSUNAN MODEL PENGATURAN HASIL HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH Oleh Fajar Munandar E.14102901 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berlangsung sejak era sebelum memasuki era kemerdekaan. Berbagai kebijakan

TINJAUAN PUSTAKA. berlangsung sejak era sebelum memasuki era kemerdekaan. Berbagai kebijakan TINJAUAN PUSTAKA Hutan Tanaman Industri (HTI) Sejarah pembangunan hutan di Indonesia, khususnya hutan tanaman telah berlangsung sejak era sebelum memasuki era kemerdekaan. Berbagai kebijakan ditetapkan

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Pinus 2.1.1. Habitat dan Penyebaran Pinus di Indonesia Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat 1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data PENDAHULUAN Hutan produksi merupakan suatu kawasan hutan tetap yang ditetapkan pemerintah untuk mengemban fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pengelolaan hutan produksi tidak semata hanya untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan hutan tanaman

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA PUTRI KOMALASARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF TEGAKAN JATI (Tectona grandis L.f.) Pudy Syawaluddin E

EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF TEGAKAN JATI (Tectona grandis L.f.) Pudy Syawaluddin E EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF TEGAKAN JATI (Tectona grandis L.f.) (Kasus di Kesatuan Pemangkuan Hutan Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur) Pudy Syawaluddin E14101052 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kelestarian Hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian

Lebih terperinci

TINJAUAN KONSEPTUAL MODEL PERTUMBUHAN DAN HASIL TEGAKAN HUTAN SITI LATIFAH. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN KONSEPTUAL MODEL PERTUMBUHAN DAN HASIL TEGAKAN HUTAN SITI LATIFAH. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara TINJAUAN KONSEPTUAL MODEL PERTUMBUHAN DAN HASIL TEGAKAN HUTAN SITI LATIFAH Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Pengertian beberapa istilah penting a. Pertumbuhan dan Hasil tegakan

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungan. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

PENDUGAAN CADANGAN KARBON TEGAKAN EUKALIPTUS PADA UMUR dan JENIS BERBEDA STUDI DI AREAL HUTAN TANAMAN INDUSTRI PT.TOBA PULP LESTARI SEKTOR AEK NAULI

PENDUGAAN CADANGAN KARBON TEGAKAN EUKALIPTUS PADA UMUR dan JENIS BERBEDA STUDI DI AREAL HUTAN TANAMAN INDUSTRI PT.TOBA PULP LESTARI SEKTOR AEK NAULI PENDUGAAN CADANGAN KARBON TEGAKAN EUKALIPTUS PADA UMUR dan JENIS BERBEDA STUDI DI AREAL HUTAN TANAMAN INDUSTRI PT.TOBA PULP LESTARI SEKTOR AEK NAULI SKRIPSI OLEH : Condrat Benni Facius Hutabarat 061202031

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 SIDIK CEPAT PEMILIHAN JENIS POHON HUTAN RAKYAT BAGI PETANI PRODUKTIFITAS TANAMAN SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUHNYA, BANYAK PETANI YANG

Lebih terperinci

POTENSI KARBON TERSIMPAN DAN PENYERAPAN KARBON DIOKSIDA HUTAN TANAMAN Eucalyptus sp. TESIS. Oleh KURNIAWANSYAH EFFENDI /PSL

POTENSI KARBON TERSIMPAN DAN PENYERAPAN KARBON DIOKSIDA HUTAN TANAMAN Eucalyptus sp. TESIS. Oleh KURNIAWANSYAH EFFENDI /PSL POTENSI KARBON TERSIMPAN DAN PENYERAPAN KARBON DIOKSIDA HUTAN TANAMAN Eucalyptus sp. TESIS Oleh KURNIAWANSYAH EFFENDI 107004006/PSL SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 POTENSI KARBON

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK SKRIPSI Tandana Sakono Bintang 071201036/Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Lebih terperinci

Rohman* Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Abstract. Pendahuluan

Rohman* Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Abstract. Pendahuluan Casualty Per Cent dalam Perhitungan Etat Hutan Tanaman Jati Perum Perhutani Casualty Per Cent on AAC Determination of Teak Forest Plantation in Perum Perhutani Abstract Rohman* Jurusan Manajemen Hutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk memperoleh

Lebih terperinci

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN SILVIKULTUR Metode Permudaan Metode permudaan merupakan suatu prosedur dimana suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium 14 TINJAUAN PUSTAKA Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta ; Sub Divisi : Angiospermae ; Class : Monocotylodenae ;

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : AGNES HELEN R. PURBA 080303065 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kenampakan Secara Spasial Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah umum mengenai penanaman hutan pinus, yang dikelola oleh PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun 1967 1974. Menyadari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dan lurus, produksi biji tinggi dan mudah bertunas serta memiliki 12 potensi

TINJAUAN PUSTAKA. dan lurus, produksi biji tinggi dan mudah bertunas serta memiliki 12 potensi TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Eucalyptus grandis pelita Taksonomi Eucalyptus adalah sebagai berikut ( Eldridge dkk, 1993) : Kerajaan Divisi Kelas Ordo Suku Marga Jenis : Spermathophyta : Angispermae : Dikotyledon

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu jenis kayu keras tropis yang paling berharga di pasar

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu jenis kayu keras tropis yang paling berharga di pasar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati (Tectona grandis L.f) tumbuh secara alami di seluruh Asia Tenggara dan merupakan salah satu jenis kayu keras tropis yang paling berharga di pasar internasional.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

Lampiran 4. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat

Lampiran 4. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat Lampiran 1. Kadar Air Kayu Sebelum Proses Pengawetan Kayu Berat Awal (gram) BKT (gram) Kadar Air (%) 1 185,8 165,2 12,46 2 187,2 166,8 12,23 3 173,4 152,3 13,85 Kadar Air Rata-rata 12,85 Lampiran 2. Kerapatan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU

PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU Oleh: Hengki Siahaan* dan Agus Sumadi* * Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang ABSTRAK Pengembangan kayu bawang

Lebih terperinci

KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S.

KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S. KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Luas daratan Indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan,

Lebih terperinci

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI ( Tectona grandis Linn. f) PADA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA AHSAN MAULANA DEPARTEMEN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kering tidak lebih dari 6 bulan (Harwood et al., 1997). E. pellita memiliki

BAB I PENDAHULUAN. kering tidak lebih dari 6 bulan (Harwood et al., 1997). E. pellita memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Eucalyptus pellita F. Muell (E. pellita) merupakan spesies cepat tumbuh yang mampu beradaptasi dengan lingkungan tropis yang lembab dengan musim kering tidak lebih

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE

MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE (Studi Kasus di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo) URIP AZHARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 PEMETAAN POTENSI SIMPANAN KARBON HUTAN TANAMAN INDUSTRI TEGAKAN Eucalyptus spp. (Studi Kasus di Hutan Tanaman Industri PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk., Sektor Aek Nauli) S K R I P S I Titis Dian Pratama 081201022/Manajemen

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK 11/1/13 MAKALAH SEMINAR/EKSPOSE HASIL PENELITIAN TAHUN 13 BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA SAMARINDA KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK Oleh: Asef

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE SKRIPSI Oleh: MARDINA JUWITA OKTAFIA BUTAR BUTAR 080303038 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta sumberdaya manusia.das

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani merupakan sebuah badan usaha yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola hutan tanaman yang ada di Pulau Jawa dan Madura dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

Paket KUANTITATIF PERTUMBUHAN

Paket KUANTITATIF PERTUMBUHAN Paket KUANTITATIF PERTUMBUHAN Jenis Bambang Lanang Studi Pertumbuhan dan Hasil (Growth and Yield) Pembangunan Database Growth and Yield Kuantifikasi Kualitas Tempat Tumbuh Jenis Kayu bawang Studi Pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sistem penggunaan lahan dalam daerah aliran sungai (DAS), berupa aneka pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian

Lebih terperinci

E U C A L Y P T U S A.

E U C A L Y P T U S A. E U C A L Y P T U S A. Umum Sub jenis Eucalyptus spp, merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KUALITAS TEMPAT TUMBUH ANTARA DAUR PERTAMA DENGAN DAUR KEDUA PADA HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd BASUKI WASIS

PERBANDINGAN KUALITAS TEMPAT TUMBUH ANTARA DAUR PERTAMA DENGAN DAUR KEDUA PADA HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd BASUKI WASIS PERBANDINGAN KUALITAS TEMPAT TUMBUH ANTARA DAUR PERTAMA DENGAN DAUR KEDUA PADA HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd (Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan) BASUKI WASIS SEKOLAH

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA

LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci