PETROGENESIS DAN PROSES PELAPUKAN BATUAN PENYUSUN CANDI IJO, KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PETROGENESIS DAN PROSES PELAPUKAN BATUAN PENYUSUN CANDI IJO, KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA"

Transkripsi

1 PETROGENESIS DAN PROSES PELAPUKAN BATUAN PENYUSUN CANDI IJO, KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Bella Amanda 1* I Wayan Warmada 1 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM. Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta. * warmada@gmail.com SARI Candi Ijo merupakan situs prasejarah peninggalan budaya Hindu. Candi Ijo terletak di Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Candi merupakan bangunan bersejarah yang berada di tempat terbuka, sehingga sangat lazim jika candi mengalami kerusakan. Salah satu faktor perusak bangunan candi yaitu pelapukan. Pada Candi Ijo belum terdapat penelitian mengenai pelapukan yang terjadi di Candi Ijo. Untuk itu, karya ilmiah ini membahas tentang petrogenesis dan pelapukan di Candi Ijo. Pembahasan petrogenesis berguna untuk mengetahui jenis batuan beserta asal mulanya, sehingga bisa diperkirakan mineral apa saja yang mengalami pelapukan. Pembahasan pelapukan mengenai seberapa besar tingkat lapuknya dan penyebab pelapukannya. Penelitian ilmiah ini menggunakan metode petrografi dan geokimia berupa ICP-MS dan XRD clay. Hasil pembahasan didapatkan bahwa batuan penyusun Candi Ijo mempunyai dua jenis, yaitu andesit basaltik dan vitric tuf. Andesit basaltic memiliki tekstur porfiritik dan mempunyai struktur vesicular. Batuan tersebut mempunyai afinitas magma kalk-alkali. Seting tektonik batuan ini berada pada batas konvergen yang merupakan produk magmatisme dari gunung api busur kepulauan. Pada sampel andesit basaltik, tingkat pelapukan batuan sebesar %, pori batuan sebesar %, dan nilai CIW sebesar 45,7-49,6 %. Hasil pelapukan yaitu berupa mineral sekunder halloysite yang berasal dari plagioklas andesin. Penyebab pelapukan adalah reaksi kimia berjenis pelarutan. Untuk sampel vitric tuf, berasal dari magma yang berupa dasit dan andesit. Magma tersebut merupakan produk magmatisme dari gunung api busur kepulauan dengan keadaan tektonik konvergen dan mempunyai sifat magma kalk alkali. Pada sampel tuf, mineral sekunder yang dihasilkan adalah smektit, dengan proses pelapukan secara hidrolisis yang dihasilkan dari mineral plagioklas andesin. Tingkat pelapukan batuan sebesar %, pori batuan sebesar 6-10 %, dan nilai CIW sebesar 57,3-62 %. Kedua batuan penyusun Candi Ijo mengalami pelapukan yang disebabkan oleh air hujan. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa pori batuan akan semakin besar seiring dengan melapuknya batuan. Kata Kunci: Candi, Candi Ijo, Petrogenesis, Pelapukan, Basalt Andesit, Vitric Tuf I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Candi merupakan aset wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya. Untuk daerah DIY sendiri, kebanyakan candi merupakan peninggalan kerajaan Hindu. Berdasarkan kementrian pendidikan dan kebudayaan Indonesia, dilihat dari wujud arsitekturnya, candi adalah sebuah bangunan 663 yang biasanya dibangun dengan mempergunakan material yang cukup kuat seperti batu andesit, batu padas, batu bata, batu kapur, dan lainnya. Candi Ijo terletak di Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten DIY. Candi Ijo dibangun di atas Bukit Ijo dengan ketinggian 357,4 m di atas permukaan laut. Berdasarkan jenis arca yang ditemukan, Candi Ijo merupakan candi Hindu dan dibangun pada

2 II. zaman Megalitikum atau zaman kebudayaan batu ( sebelum masehi) karena mempunyai struktur bangunan punden berundak. Berdasar Hartono, 2008, penyusun candi utama pada Candi Ijo merupakan batuan yang kuat yang berbeda dari batuan sekitarnya. Terdapat dua jenis batuan penyusun Candi Ijo, yaitu batuan beku dan batuan vulkaniklastik. Meskipun penyusun utama dari Candi Ijo merupakan batuan yang kuat, akan tetapi pelapukan batuan tetap terjadi pada penyusun Candi Ijo, dan pelapukan yang sangat intensif terjadi pada penyusun Candi Ijo yang berupa batuan vulkaniklastik. Pelapukan pada situs pra sejarah merupakan suatu masalah yang umum terjadi di Indonesia. Pengaruh iklim merupakan hal yang paling berperan dalam pelapukan batuan. Perlunya kajian khusus tentang karakteristik batuan Candi Ijo sangat penting dilakukan untuk memahami kemungkinan penyebab terjadinya proses pelapukan pada batuan Candi Ijo. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat tiga tahapan penelitian, yaitu: II.1 Tahap Pra Lapangan Tahap pra lapangan meliputi tahapan studi pustaka atau pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari buku teks, jurnal, paper, dan informasi dari arkeolog Candi Ijo. Pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan kondisi geologi daerah pemetaan dan informasi-informasi lain yang berhubungan dengan daerah pemetaan juga diperlukan untuk menunjang pemetaan geologi. Dari hasil tersebut, maka bisa dilakukan pengambilan hipotesis awal dari studi pustaka yang telah dilakukan. II.2 Tahap Lapangan Pada tahap ini, pengambilan sampel dilakukan. Sampel yang diambil berupa batuan candi yang telah rusak yang berada di atas tanah, bukan pada dinding candinya. Pengambilan sampel ditemani oleh seorang arkeolog Candi Ijo, sehingga dapat dipastikan bahwa batuan yang diambil merupakan batuan asli candi Ijo. Sampel yang diambil yaitu batuan penyusun Candi Ijo yang masih segar, lapuk sedang dan lapuk tinggi. Pengambilan tiga sampel yang berbeda bertujuan untuk mengamati kandungan yang berbeda dan tingkat pelapukan pada tiap sampel batuan. Pada tahap lapangan juga dilakukan pemetaan geologi daerah sekitar. Pemetaan geologi bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi sekitar candi, sehingga dapat diketahui sejarah geologi dari terbentuknya batuan candi yang berkomposisi vulkaniklastik. II.3 Tahap Pasca Lapangan Tahap ini meliputi pemrosesan, tabulasi, penafsiran dari data yang diperoleh di lapangan, dan kesimpulan akhir dari penelitian, serta penyusunan laporan penelitian. Pada tahap ini, data yang dianalisa berupa batuan penyusun candi dan hasil pemetaan geologi. Analisa petrogenesis dari batuan candi menggunakan metode seperti dibawah ini : II.3.1 Analisa Petrografis Pengamatan sayatan tipis menggunakan mikroskop bertujuan untuk mengetahui tekstur batuan, struktur batuan, dan komposisi mineral batuan. Selain itu, pada pengamatan petrografis juga dapat dilihat tingkat pelapukan dari batuan penyusun candi dengan cara menghitung persentase kehadiran mineral sekunder yang ada pada sekitar pori batuan di setiap sayatan batuan. II.3.2 Analisa ICP-MS Analisa ICP-MS (Inductively Coupled Plasma-Mass Spectometry) merupakan analisa yang digunakan untuk mendeteksi dan menganalisa kandungan unsur jejak dan unsur ultra-jejak. Pada ICP-MS, dapat mendeteksi adanya kandungan logam dan beberapa non logam. Kandungan unsur jejak pada tiap sampel batuan dapat dijadikan interpretasi dari pembentukan batuan beku. II.3.3 Analisa XRD Analisa pendukung selanjutnya adalah analisa XRD. XRD (X-Ray Difraction) merupakan analisa untuk mengetahui 664

3 III. kandungan mineral. XRD digunakan untuk sampel yang telah lapuk.. Metode XRD menghasilkan data persentase dari kandungan mineral, bukan data yang kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN III.1 Pemetaan Geologi Pemetaan geologi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi batuan di sekitar Candi Ijo. Pemetaan ini hanya mempunyai dimensi 1,5 km 1,5 km dengan skala 1: (Lihat Gambar 1). Dari hasil pemetaan didapatkan empat satuan, yaitu satuan batupasir-batulanau, satuan batupasir kerikilan, satuan batupasir lapili, dan endapan lanau pasiran. Arah perlapisan batuan pada daerah penelitian didominasi oleh arah barat daya, dengan besar dip batuan 4-8. Batuan yang menjadi batuan dasar di dalam Candi Ijo berupa batuan berfragmen kasar seperti yang ada pada STA bukit Ijo. Batuan tersebut tidak jauh berbeda dengan sampel vulkaniklastik penyusun Candi Ijo. Sampel vulkaniklastik Candi Ijo juga mempunyai fragmen ukuran kerikil (ash- lapili), sehingga dapat diperkirakan bahwa penyusun Candi Ijo dengan tipe batuan vulkaniklastik diambil dari batuan di bukit Ijo itu sendiri. III.2 Petrogenesis Batuan Beku Candi Ijo Berdasarkan dari sayatan petrografis sampel batuan beku, kemudian dilakukan pengeplotan pada segitiga Streickeisen (1978) yang memiliki komponen kuarsa, plagioklas, dan ortoklas, didapatkan hasil bahwa keempat sampel tersebut merupakan batuan beku jenis andesit basaltic (Lihat Gambar 2). Analisis yang dilakukan selanjutnya yaitu analisis terhadap komposisi kimia setiap sampel batuan beku. Data geokimia yang dipakai yaitu hasil dari analisa ICP-MS. Pada tabel 1, terlihat keempat sampel tersebut mempunyai kandungan oksida SiO 2 sekitar %, maka keempat sampel tersebut tergolong pada batuan beku intermediet. Untuk mengetahui jenis sampel tersebut, maka perlu dilakukan pengeplotan data geokimia pada 665 diagram total alkali silika (TAS). Pada pengeplotan data geokimia diagram TAS, didapatkan hasil bahwa keempat sampel tersebut merupakan batuan beku dengan jenis andesit basaltic (Lihat Gambar 3), hal ini sesuai dengan hasil klasifikasi Streickeisen. Untuk membuktikan bahwa batuan beku pada Candi Ijo belum mengalami perubahan unsur oksida utama secara kontras, sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam pengeplotan, maka dilakukan pengeplotan lain menggunakan unsur jejak dari batuan tersebut. Hasil pengeplotan menunjukkan bahwa diagram tersebut memiliki hasil yang sama dengan diagram TAS, yaitu basalt andesit. Batuan belum mengalami pelapukan yang sangat dominan sehingga tidak menyebabkan berubahnya unsur oksida utama secara kontras (Lihat Gambar 4). Setelah diketahui jenis dari batuannya, pembahasan petrogenensa selanjutnya yaitu mengenai magma dan setting tektoniknya. Pada jenis magma yang berdasarkan afinitas, dilakukan pengeplotan pada diagram AFM. Dari diagram tersebut dihasilkan bahwa andesit basaltik Candi Ijo berada pada jenis magma dengan afinitas kalk-alkali (medium K) (Lihat Gambar 5). Setelah didapatkan hasil magma induk dari sampel basaltik andesit, kemudian dilakukan pengeplotan seting tektonik yang menyebabkan magma tersebut terbentuk. Pengeplotan dilakukan pada diagram Zr, Nb, dan Y dari Meschede (1986). Hasil membuktikan bahwa keempat sampel tersebut berada pada zona C, dimana Zona C merupakan zona lempeng kalk-alkali dan basalt busur kepulauan (Lihat Gambar 6). Jadi, magma pembentuk basalt andesit Candi Ijo berasal dari lempeng basalt busur kepulauan dan mempunyai afinitas magma basalt kalk-alkali. Jadi penyusun Candi Ijo yang berupa batuan beku mempunyai jenis batuan berupa andesit basaltik, mempunyai magma yang berafinitas kalk-alkali, dan merupakan hasil magmatisme dari gunungapi busur kepulauan.

4 III.3 Petrogenesis Batuan Vulkaniklastik Candi Ijo Seperti yang telah dibahas pada petrogenesis batuan beku Candi Ijo, hal pertama yang perlu dilakukan adalah penentuan jenis dari batuan, yaitu berdasar data petrografi dan geokimia. Untuk batuan vulkaniklastik, mempunyai klasifikasi penentuan jenis piroklastik berdasarkan diagram Fisher (1966). Untuk klasifikasi lebih detail pada jenis tufnya, juga dilakukan pengeplotan pada diagram Pettijohn (1977). Dari hasil pengeplotan kedua diagram di atas, dapat dilihat bahwa batuan vulkaniklastik pada Candi Ijo mempunyai jenis batuan vitric tuf, karena didominasi oleh material gelasan (Lihat Gambar 7). Setelah dilakukan pengeplotan berdasar dari data petrografi, dilanjutkan pula pengeplotan pada diagram berdasar dari kandungan kimianya. Hasil dari pengeplotan data geokimia berupa magma asal dari batuannya. Dari data geokimia diperoleh hasil kandungan SiO 2 sekitar %, yang berarti bahwa magma batuan tersebut bersifat intermediet. Untuk pengeplotannya, juga digunakan diagram TAS dan diagram dari unsur jejak (Lihat Gambar 8). Hasil dari diagram TAS dan diagram unsur jejak di atas menunjukkan bahwa magma intermediet dari batuan vulkaniklastik tersebut adalah dasit (VS & VLS) dan andesit (VLT). Dasit merupakan batuan beku intermediet dengan tekstur porfiritik, dan mempunyai komposisi yang hampir sama dengan andesit, namun terdapat kuarsa di dalamnya. Perbedaan kedua sumber magma tersebut bisa dikarenakan berasal dari dua gunung api yang berbeda, bisa juga terjadi karena adanya perubahan jenis magma akibat partial melting, atau mungkin sampel tersebut (VLT) bukan berasal dari bukit Ijo. Namun hal tersebut tidak berada dalam cakupan pembahasan karya ilmiah ini, sehingga tidak dijabarkan secara lebih detail. Setelah diketahui jenis batuan dan jenis magmanya, dilakukan pengeplotan pada diagram setting tektoniknya (Lihat Gambar 9). 666 Magma yang terbentuk yaitu berupa magma dari hasil gunungapi busur kepulauan, dikarenakan lokasi sampel berada pada setting tektonik konvergen di Indonesia bagian selatan. III.4 Pelapukan Batuan Candi Ijo Pembahasan mengenai pelapukan batuan penyusun Candi Ijo yaitu tentang proses pelapukannya dan tingkat pelapukannya. III.5 Proses pelapukan Untuk daerah di sekitar Candi Ijo, faktor pelapukan yang paling berperan yaitu faktor iklim dan cuaca. Dari data curah hujan regional pada kawasan Prambanan Sleman, dapat digolongkan bahwa daerah tersebut memiliki iklim tropis agak basah dengan jumlah curah hujan berada pada nilai 2804,6 mm/tahun (Hendrayana, 2010). Andesit yang menyusun Candi Ijo mempunyai tekstur porfiritik dengan struktur vesikular atau berongga. Pelapukan menyerang pada daerah di sekitar rongga batuan, sehingga menyebabkan masa dasar andesit berubah menjadi mineral sekunder. Kristal fenokris pada andesit juga telah mengalami perusakan akibat proses pelapukan, mineral terlihat memiliki perubahan warna pada bagian tepi-tepinya, namun mineral asal masih teramati. Mineral sekunder hasil pelapukan tidaklah bisa teramati dengan baik oleh mikroskop sayatan tipis. Untuk itu diperlukan data geokimia berupa XRD untuk mengetahui hasil mineral lapuknya. Metode XRD yang dipakai adalah XRD clay AD EG. Metode XRD clay lebih efektif dalam penentuan mineral lempung pada batuan. Dari hasil analisis XRD, ketiga sampel andesit tersebut memiliki mineral sekunder yaitu halloysite, namun untuk andesit merah lapuk sedang (AnMLS) terdapat mineral orthopiroksen berjenis hipersten. Hipersten ini merupakan orthopiroksen yang mengandung Fe (FeSiO 3), sehingga kemungkinan warna kemerahan pada sampel AnMLS berasal dari Fe yang telah teroksidasi. Diketahui bahwa sampel andesit merah mempunyai kandungan Ba yang lebih besar dibandingkan dengan

5 sampel yang lainnya. Kandungan Ba yang meningkat dikarenakan batuan telah mengalami pelapukan. Ba tersebut bereaksi terhadap oksigen, sehingga bisa melapukkan batuan dan batuan mengalami perubahan warna. Halloysite (Al 2Si 2O 5(OH) 4) yang terbentuk merupakan mineral sekunder yang berasal dari pelapukan mineral primer yang diperkirakan berupa plagioklas bertipe andesin (2CaAl 2Si 2O 8). Halloysite tersebut terbentuk akibat proses pelarutan dari andesine. Selanjutnya adalah mineral sekunder yang dijumpai pada tuf Candi Ijo, yaitu smektit [NaAl 2(Si 4O 10)(OH) 2 H 2O]. Smektit merupakan mineral lempung hasil pelapukan dari mineral plagioklas. Plagioklas tersebut diperkirakan adalah plagioklas dengan tipe andesine (NaAlSi 3O 8), yang dijumpai pada sayatan tipis. Proses dari pelapukan tersebut yaitu mineral plagioklas mengalami pelapukan dengan jenis hidrolisis. III.6 Tingkat pelapukan Untuk perhitungan tingkat pelapukan, terdapat dua metode, yaitu point counting dan perhitungan CIW (Chemical Index Weathering). Pelapukan pada batuan akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu dan intensitas faktor pelapukannya. Untuk batuan berpori seperti andesit sangatlah rentan terhadap proses pelapukan pada area sekitar pori. Pada keempat sampel andesit yang telah diambil dari Candi Ijo, terlihat perbedaan persentase pori pada batuan tersebut. Pori andesit Candi Ijo bisa dibilang cukup besar, yaitu bekisar antara %, dengan besar 667 lubang yaitu berkisar antara 1-3mm. Sedangkan pori pada batuan vulkaniklastik Candi Ijo tidaklah berkembang dengan baik, karena sifat batuannya yang bertekstur masif. Akan tetapi, tingkat pelapukan yang terjadi sangatlah intens, dikarenakan mineral yang menyusun batuan tersebut tidaklah resisten. Pori batuan bada vulkaniklastik tersebut mempunyai persentase sekitar 5-10 %, dengan besar pori yaitu sekitar <0,5-2 mm (Lihat Tabel 3). Perhitungan tingkat pelapukan selanjutnya selain dari point counting adalah dari perhitungan oksida utama dengan metode CIW. Tujuannya adalah untuh mengetahui seberapa besar tingkat pelapukan berdasarkan persentase hilangnya unsur oksida utama. Metode CIW yang dikembangkan oleh Harnois (1988) merupakan metode sederhana yang cocok untuk menghitung tingkat pelapukan pada batuan. Metode tersebut menggunakan unsur oksida utama yang berupa Al, Ca, dan Na. Hal tersebut dikarenakan unsur mayor yang berupa Mg, Na, Ca merupakan unsur yang mudah terlarutkan, dan Al merupakan unsur yang tetap ada dalam kandungan residu dan tidak bersifat mudah bergerak (immobile). Berikut adalah rumus dari metode CIW : CIW = [Al 2O 3 / (Al 2O3 + CaO + Na 2O)] 100 %. Untuk perhitungan indek pelapukan pada metode CIW di atas, data yang dipergunakan yaitu nilai proporsi molekul dari setiap oksida utama pada batuan. Nilai molekul unsur didapatkan dengan cara persentase berat oksida utama dibagi dengan berat molekul dari setiap oksida utama. Berikut adalah data oksida utama yang digunakan dalam perhitungan CIW (Lihat Tabel 4). Setelah diketahui nilai molekul setiap unsur oksida pada tiap sampel, maka dilakukan perhitungan nilai CIW dari sampel andesit maupun vulkaniklastik dengan persamaan rumus dari CIW di atas. Dan dihasilkan nilai

6 IV. perhitungan CIW sampel Candi Ijo (Lihat Tabel 5). Nilai CIW di atas akan dibandingkan dengan nilai CIW normal (CIWn) batuan segarnya. Pada andesit segar, mempunyai nilai CIW sebesar 45 % (Wijayanti, 2012), dan CIW dasit normal mempunyai nilai 48,5 %. Klasifikasi pelapukan dari data CIW hanya berdasar dari rasio dengan CIWn (chemical index weathering normal), jika rasionya lebih dari 1, maka sudah tergolong lapuk. Dari hasil rasio CIW/CIWn, semua sampel mempunyai rasio lebih dari 1, dimana bisa dikatakan bahwa keseluruhan batuan telah mengalami pelapukan. Namun tingkat pelapukan batuan berbeda-beda. Sesuai sampel batuan yang telah di ambil berdasar tingkat pelapukannya, pada data rasio CIW juga terlihat bahwa sampel tersebut mempunyai tingkatan pelapukan yang berbeda, dan tingkat pelapukan paling tinggi merupakan sampel andesit lapuk tinggi (AnLT) dan vulkaniklastik lapuk tinggi (VLT). KESIMPULAN 1. Daerah penelitian, yaitu pada Candi Ijo, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, berada di atas batuan vulkaniklastik dari satuan tuf-lapili. Batuan yang menjadi batuan dasar di dalam Candi Ijo berupa batuan berfragmen kasar (lapili) yang didominasi oleh gelas vulkanik. 2. Terdapat dua jenis litologi penyusun Candi Ijo, yaitu andesit basaltic dan vitric tuf. - Andesit basaltik Candi Ijo mempunyai afinitas magma kalk-alkali atau berada pada tingkat alkali medium-k. Seting tektonik batuan ini berada pada batas konvergen yang merupakan produk magmatisme dari gunung api busur kepulauan - Vitric tuf berasal dari batuan dasar di dalam Candi Ijo. Tuf tersebut mempunyai magma pembentuk berupa dasit dan andesit. Magma batuan ini merupakan produk magmatisme dari gunung api busur kepulauan dengan keadaan tektonik konvergen dan mempunyai sifat magma kalk alkali. 3. Batuan penyusun Candi Ijo mengalami pelapukan yang diakibatkan oleh curah hujan. Semakin lapuk batuan, maka pori batuan semakin besar. - Pada basalt andesit, mineral sekunder yang dihasilkan adalah halloysite. Mineral tersebut terjadi akibat proses pelarutan dari mineral andesin. Tingkat pelapukan batuan sebesar %, pori batuan sebesar %, dan nilai rasio CIW/CIWn sebesar 1,01-1,10. Pada vitric tuf, mineral sekunder yang dihasilkan adalah smektit, dengan proses pelapukan secara hidrolisis dari mineral andesin. Tingkat pelapukan batuan sebesar %, pori batuan sebesar 8-13 %, dan nilai rasio CIW/CIWn sebesar 1,18-1,37. DAFTAR PUSTAKA Bemmelen, R.W.V., 1949, The Geology of Indonesia, Netherland : The Hague. Best, M.G., 2003, Igneous and Metamorphic Petrology, Australia: Balckwell Science Ltd. Budiharjo, U., 2008, Sleman Wisata Seribu Candi: The Mystical Temple Tours of Sleman, Sleman: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sleman. Cahyandaru, N., 2010, Kajian Penanganan Dampak Erupsi Merapi di Candi Borobudur, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. 668

7 Chen, Pei-Yuan, 1977, Tabble of Key Lines in X-Ray Powder Diffraction Patterns of Minerals in Clays and Associated Rocks, Departemen of Natural Resources, Geological Survey Occasional Paper 21, Bloomington, Indiana. Cox, K.G., Bell, JD., and Pankhurst, RJ., 1993, The Interpretation of Igneous Rocks, British: Springer- Science+Business Media, B,V. Harnois, 1988, The ICW Index: A New Chemical Index of Weathering, Amsterdam: Eisevier Science Publisher B.V. Hartono, T., 2008, Selayang Pandang Candi - Candi di Yogyakarta, Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Hendrayana, H., 2013, Cekungan Airtanah Yogyakarta - Sleman: Potensi, Pemanfaatan dan Pengelolaannya, Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi, FT UGM. Kerr, P.F., 1959, Optical Mineralogy, 3ed, New York: Mc Graw-Hill Book Company. Loughnan, F.C., 1969, Chemical Weathering of Silicate Minerals, New York: Elsevier. Nockolds, S.R., Knox, R.W.O., and Chinner, G.A., 1978, Petrology for Student, London: Cambridge University Press. Pipkin, B.W., Trent, D.D., Hazlett, R., Geology and The Environment fourth edition, US: Thomson Brooks/cole. Rahardjo, W., Husein, S., Setiawan, P.K.D., dan Novian, M.I., 2007, Stratigrafi Formasi Semilir Bagian Atas di Dusun Boyo, Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, DIY: Pertimbangan untuk Penamaan Anggota Buyutan, Jurusan Teknik Geologi FT UGM. Rapp, G., 2009, Archaeomineralogy second edition, Berlin : Springer. Rollinson, H.G., 1995, Using Geochemical Data : Evaluation, Presentation, Interpretation, UK: Longman Group Soetoto, 2001, Bahan Ajar Kuliah Geologi Dasar, Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Surono, 2009, Litostatigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Pusat Survei Geologi. Tukidi, 2010, Karakter Curah Hujan di Indonesia, Jurnal Geografi: Volume 7 No. 2 Juli William, H., Turner, F.J., and Gilbert, C.M., 1982, Petrography, an Introduction to the Study of Rocks in Thin Section second edition, New York: W. H. Freeman and Company. Wijayati, E., 2012, Skripsi: Petrogenesis dan Proses Pelapukan Batuan Penyusun Candi Borobudur serta Batuan di Sekitar Candi Borobudur Berdasarkan Analisa Petrografi dan Geokimia, UGM: Teknik Geologi. Wilson, M., 1998, Igneous Petrogenesis, Netherlands: Springer 669

8 TABEL 670

9 671

10 GAMBAR Gambar 1. Peta Geologi Daerah Candi Ijo. 672

11 Gambar 2. Pengeplotan pada segitiga Streickeisen (1978) yang memiliki komponen kuarsa, plagioklas, dan ortoklas, didapatkan hasil bahwa keempat sampel tersebut merupakan batuan beku jenis andesit basaltik. Gambar 3. Pengeplotan Data Geokimia pada Diagram Total Alkali Silika (TAS). 673

12 Gambar 4. Hasil pengeplotan menunjukkan bahwa diagram di atas memiliki hasil yang sama dengan diagram TAS, yaitu basalt andesit. Gambar 6. Pengeplotan pada diagram AFM. Dari diagram tersebut dihasilkan bahwa andesitbasaltik Candi Ijo berada pada jenis magma dengan afinitas kalk-alkali (medium K). 674

13 Gambar 6. Pengeplotan seting tektonik yang menyebabkan magma tersebut terbentuk. Pengeplotan dilakukan pada diagram Zr, Nb, dan Y dari Meschede (1986). Hasil membuktikan bahwa keempat sampel tersebut berada pada zona C, dimana Zona C merupakan zona lempeng kalkalkali dan basalt busur kepulauan. Gambar 7. Penentuan jenis batuan vulkaniklastik Candi Ijo menggunakan diagram Fisher (1966). Hasil menunjukkan bahwa terdapat Lapilli-tuf dan Tuf. Adapun tipe tuf adalah Vitric Tuf. 675

14 Gambar 8. Pengeplotan pada diagram berdasar dari kandungan kimianya. Hasil dari pengeplotan data geokimia berupa magma asal dari batuannya. Dari data geokimia diperoleh hasil kandungan SiO 2 sekitar %, yang berarti bahwa magma batuan tersebut bersifat intermediet. Gambar 9. Pengeplotan pada diagram setting tektonik. Hasil menunjukkan bahwa Tuf Candi Ijo terbentuk pada zona C atau di lempeng kalk-alkali basalt busur kepulauan (Meschede, 1986). 676

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013 PENGARUH KOMPETENSI BATUAN TERHADAP KERAPATAN KEKAR TEKTONIK YANG TERBENTUK PADA FORMASI SEMILIR DI DAERAH PIYUNGAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Abstrak Budi SANTOSO 1*, Yan Restu FRESKI 1 dan Salahuddin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA vi DAFTAR ISI JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xv SARI... xvi ABSTRACT... xvii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1.

Lebih terperinci

PETROGENESIS DAN PROSES PELAPUKAN BATUAN PENYUSUN CANDI PRAMBANAN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI DAN GEOKIMIA

PETROGENESIS DAN PROSES PELAPUKAN BATUAN PENYUSUN CANDI PRAMBANAN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI DAN GEOKIMIA PETROGENESIS DAN PROSES PELAPUKAN BATUAN PENYUSUN CANDI PRAMBANAN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI DAN GEOKIMIA I Wayan Warmada *, Titi Hapsari Jurusan Teknik geologi, Fakultas Teknik, Universitas gadjah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode peninjauan U-Pb SHRIMP. Smyth dkk., (2005) menyatakan dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode peninjauan U-Pb SHRIMP. Smyth dkk., (2005) menyatakan dari BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Semilir merupakan salah satu formasi penyusun daerah Pegunungan Selatan Pulau Jawa bagian timur. Dalam distribusinya, Formasi Semilir ini tersebar dari bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pulau Jawa dianggap sebagai contoh yang dapat menggambarkan lingkungan busur kepulauan (island arc) dengan baik. Magmatisme yang terjadi dihasilkan dari aktivitas

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

BAB II METODOLOGI PENELITIAN DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Halaman Persembahan... Kata Pengantar... Sari...... Daftar Isi...... Daftar Gambar... Daftar Tabel...... Daftar Lampiran...... i ii iii iv vi vii x xiv

Lebih terperinci

MINERALOGI DAN GEOKIMIA INTRUSI DI TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM, SUMATRA SELATAN, INDONESIA

MINERALOGI DAN GEOKIMIA INTRUSI DI TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM, SUMATRA SELATAN, INDONESIA MINERALOGI DAN GEOKIMIA INTRUSI DI TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM, SUMATRA SELATAN, INDONESIA Elsa D. Utami Retnadi D. Raharja Ferian Anggara * Agung Harijoko Geological Engineering Department, Faculty of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah administrasi di Kabupaten Temanggung, Kabupaten dan Kota Magelang. Secara morfologi CAT ini dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi.

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah tingkat ketebalan tanah yang tinggi dengan kekuatan antar material yang rendah. Salah satu pembentuk

Lebih terperinci

PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Muhammad Dandy *, Wawan Budianta, Nugroho Imam Setiawan Teknik Geologi UGM Jl. Grafika No.2 Kampus

Lebih terperinci

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 6-7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 6-7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA PENGARUH KARAKTERISTIK LITOLOGI TERHADAP LAJU INFILTRASI, STUDI KASUS DAERAH NGALANG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN GEDANGSARI, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Ading Tri Yangga * Wawan Budianta

Lebih terperinci

INTERPRETASI HASIL ANALISIS GEOKIMIA BATUAN GUNUNGAPI RUANG, SULAWESI UTARA

INTERPRETASI HASIL ANALISIS GEOKIMIA BATUAN GUNUNGAPI RUANG, SULAWESI UTARA INTERPRETASI HASIL ANALISIS GEOKIMIA BATUAN GUNUNGAPI RUANG, SULAWESI UTARA Oktory PRAMBADA Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi Sari Gunungapi Ruang (+714 m dpl) yang merupakan gunungapi strato

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Temanggung bagian timur. Cekungan airtanah ini berada di Kabupaten Magelang

BAB I PENDAHULUAN. Temanggung bagian timur. Cekungan airtanah ini berada di Kabupaten Magelang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Penelitian geokimia airtanah merupakan salah satu penelitian yang penting untuk dilakukan, karena dari penelitian ini dapat diketahui kualitas airtanah.

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA I: PETROGRAFI BATUAN BEKU Asisten Acara: 1. 2. 3. 4. Nama Praktikan

Lebih terperinci

COURSE DESIGN. Semester : 4

COURSE DESIGN. Semester : 4 COURSE DESIGN Nama Matakuliah : PETROGRAFI Kode/SKS TKG 242/ 3 sks Semester : 4 Deskripsi Singkat Matakuliah : Matakuliah petrografi adalah cabang dari ilmu petrologi yang mempelajari mengenai deskripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Schieferdecker (1959) maar adalah suatu cekungan yang umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km, dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbukitan Gendol (Gambar 1.1) merupakan kelompok perbukitan terisolir berada pada lereng sebelah baratdaya Gunungapi Merapi. Genesis Perbukitan Gendol menjadi hal

Lebih terperinci

PEMBAHASAN TEKNIK KOLEKSI, PREPARASI DAN ANALISIS LABORATORIUM

PEMBAHASAN TEKNIK KOLEKSI, PREPARASI DAN ANALISIS LABORATORIUM PEMBAHASAN TEKNIK KOLEKSI, PREPARASI DAN ANALISIS LABORATORIUM Oleh: Hill. Gendoet Hartono Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta E-mail: hilghartono@yahoo.co.id Disampaikan pada : FGD Pusat Survei Geologi,

Lebih terperinci

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan bagian dari lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

MINERAL OPTIK DAN PETROGRAFI IGNEOUS PETROGRAFI

MINERAL OPTIK DAN PETROGRAFI IGNEOUS PETROGRAFI MINERAL OPTIK DAN PETROGRAFI IGNEOUS PETROGRAFI Disusun oleh: REHAN 101101012 ILARIO MUDA 101101001 ISIDORO J.I.S.SINAI 101101041 DEDY INDRA DARMAWAN 101101056 M. RASYID 101101000 BATUAN BEKU Batuan beku

Lebih terperinci

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Barat. 18 3. Breksi Tuf Breksi tuf secara megaskopis (Foto 2.9a dan Foto 2.9b) berwarna abu-abu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum gunung api pasifik (ring of fire) yang diakibatkan oleh zona subduksi aktif yang memanjang dari

Lebih terperinci

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan dimana bagian dari lautan lebih besar daripada bagian daratan. Akan tetapi karena daratan adalah bagian dari kulit bumi yang dapat kita amati langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia khususnya Pulau Jawa memiliki banyak gunung api karena

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia khususnya Pulau Jawa memiliki banyak gunung api karena BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Penelitian Indonesia khususnya Pulau Jawa memiliki banyak gunung api karena berada pada wilayah tektonik aktif yang dikenal dengan zona subduksi. Gunung api yang terbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Oktober 2014

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Oktober 2014 P1O-04 STUDI KARAKTERISTIK PETROLOGI, GEOKIMIA DAN SIFAT KETEKNIKAN ANDESIT FORMASI ARJOSARI DI DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN PACITAN, KABUPATEN PACITAN, PROVINSI JAWA TIMUR Siti Laili Nailul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia berada dalam wilayah rangkaian gunungapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, sampai Sulawesi. Beragam jenis batuan gunungapi yang dihasilkan

Lebih terperinci

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat ) Gambar 3.12 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang, dibeberapa tempat terdapat sisipan dengan tuf kasar (lokasi dlk-12 di kaki G Pagerkandang). Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit

Lebih terperinci

Potensi Tanah Mengembang Wilayah Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

Potensi Tanah Mengembang Wilayah Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Potensi Tanah Mengembang Wilayah Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Farach Abdurachman RONNY 1, Zufialdi ZAKARIA 2, dan Raden Irvan SOPHIAN 3 1 Laboratorium Geologi Teknik dan Geoteknik, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Formasi Wonosari-Punung secara umum tersusun oleh batugamping. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa batugamping, batugamping

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

PETROGENESA LAVA GUNUNG RINJANI SEBELUM PEMBENTUKAN KALDERA

PETROGENESA LAVA GUNUNG RINJANI SEBELUM PEMBENTUKAN KALDERA PETROGENESA LAVA GUNUNG RINJANI SEBELUM PEMBENTUKAN KALDERA Beta Kurniawahidayati 1 *, Mega F. Rosana 1, Heryadi Rachmat 2 1. Universitas Padjadjaran, Fakultas Teknik Geologi 2. Museum Geologi Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pulau Jawa merupakan busur gunungapi memanjang barat-timur yang dihasilkan dari pertemuan lempeng Eurasia dan Hindia-Australia. Kondisi geologi Pulau Jawa ditunjukkan

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Studi Karakteristik Batuan Beku dan Evolusi Magma di Daerah Ruwai, Pegunungan Schwaner, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah I.2 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer

BAB I PENDAHULUAN. tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Petrogenesis merupakan bagian dari ilmu petrologi yang menjelaskan tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer terbentuknya batuan hingga

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Skema produksi panas bumi dan lokasi pengambilan sampel kerak silika

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Skema produksi panas bumi dan lokasi pengambilan sampel kerak silika BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya panas bumi. Potensi panas bumi yang dimiliki Indonesia mencapai 40% dari total potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

PERAN PERBUKITAN BOKO DALAM PEMBANGUNAN CANDI-CANDI DI DATARAN PRAMBANAN DAN SEKITARNYA, SUATU TINJAUAN GEOLOGIS. Oleh :

PERAN PERBUKITAN BOKO DALAM PEMBANGUNAN CANDI-CANDI DI DATARAN PRAMBANAN DAN SEKITARNYA, SUATU TINJAUAN GEOLOGIS. Oleh : PERAN PERBUKITAN BOKO DALAM PEMBANGUNAN CANDI-CANDI DI DATARAN PRAMBANAN DAN SEKITARNYA, SUATU TINJAUAN GEOLOGIS Oleh : Sugeng Widada Salatun Said Hendaryono 1 POKOK BAHASAN : PENDAHULUAN GEOLOGI PERBUKITAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang lalui oleh 3 lempeng benua dan samudra yang masih aktif sampai saat ini. Pergerakan ketiga lempeng tersebut mengakibatkan

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

KIMIA AIR TANAH DI CEKUNGAN AIR TANAH MAGELANG-TEMANGGUNG BAGIAN BARAT, KABUPATEN TEMANGGUNG DAN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH

KIMIA AIR TANAH DI CEKUNGAN AIR TANAH MAGELANG-TEMANGGUNG BAGIAN BARAT, KABUPATEN TEMANGGUNG DAN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH KIMIA AIR TANAH DI CEKUNGAN AIR TANAH MAGELANGTEMANGGUNG BAGIAN BARAT, KABUPATEN TEMANGGUNG DAN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH Syera Afita Ratna *, Doni Prakasa Eka Putra, I Wayan Warmada Penulis Departemen

Lebih terperinci

STUDI HUBUNGAN TINGKAT ALTERASI TERHADAP POTENSI LONGSORAN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI DAN X-RAY DIFRACTION

STUDI HUBUNGAN TINGKAT ALTERASI TERHADAP POTENSI LONGSORAN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI DAN X-RAY DIFRACTION STUDI HUBUNGAN TINGKAT ALTERASI TERHADAP POTENSI LONGSORAN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI DAN X-RAY DIFRACTION SEPANJANG JALAN ARJOSARI-TEGALOMBO, KABUPATEN PACITAN, PROVINSI JAWA TIMUR Trifatama Rahmalia

Lebih terperinci

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR HALAMAN PERSEMBAHAN SARI

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR HALAMAN PERSEMBAHAN SARI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv SARI... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL & GRAFIK... xii BAB I PENDAHULUAN... 1

Lebih terperinci

TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN

TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN BAB III TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN 3.1 Tambang Zeolit di Desa Cikancra Tasikmalaya Indonesia berada dalam wilayah rangkaian gunung api mulai dari Sumatera, Jawa, Nusatenggara, Maluku sampai Sulawesi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Kecamatan Gedangsari merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan ini memiliki luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitan Granit secara umum terbagi menjadi dua tipe, yaitu tipe I dan Tipe S. Granit tipe I atau Igneous menunjukan granit yang terbentuk akibat dari proses peleburan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Regional Pulau Lombok terbentuk oleh suatu depresi yang memanjang (longitudinal depresion), yang sebagian besar sudah terisi dan tertutupi oleh suatu seri gunungapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas bumi terbesar (p otensi cadangan dan potensi diketahui), dimana paling tidak terdapat 62 lapangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi parameter-parameter seperti komposisi batuan asal, iklim, tatanan

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi parameter-parameter seperti komposisi batuan asal, iklim, tatanan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Interaksi parameter-parameter seperti komposisi batuan asal, iklim, tatanan tektonik dan relief dapat mempengaruhi komposisi batuan sedimen selama proses transportasi

Lebih terperinci

BAB I: PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I: PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I: PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pulau Bangka memiliki batuan granitik yang melampar luas dengan beberapa variasi sifat (Cobbing et al., 1992). Granit di Pulau Bangka merupakan bagian

Lebih terperinci

OKSIDA GRANIT DIORIT GABRO PERIDOTIT SiO2 72,08 51,86 48,36

OKSIDA GRANIT DIORIT GABRO PERIDOTIT SiO2 72,08 51,86 48,36 PENGERTIAN BATUAN BEKU Batuan beku atau sering disebut igneous rocks adalah batuan yang terbentuk dari satu atau beberapa mineral dan terbentuk akibat pembekuan dari magma. Berdasarkan teksturnya batuan

Lebih terperinci

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Akhmad Hariyono POLHUT Penyelia Balai Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagian besar bertopogarafi kars dari Semenanjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran masuk

BAB I PENDAHULUAN. Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran masuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lokasi penelitian adalah Ranu Segaran, terletak di sebelah timur Gunung Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan penduduk yang pesat, kebutuhan manusia akan airtanah juga semakin besar. Sedangkan pada daerah-daerah tertentu dengan penduduk yang padat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di Kecamatan Salaman mencapai 68.656 jiwa dengan kepadatan penduduk 997 jiwa/km 2. Jumlah

Lebih terperinci

ASOSIASI BATUAN BEKU TERHADAP LEMPENG TEKTONIK

ASOSIASI BATUAN BEKU TERHADAP LEMPENG TEKTONIK ASOSIASI BATUAN BEKU TERHADAP LEMPENG TEKTONIK Batuan beku adalah batuan yang berasal dari pendinginan magma. Pendinginan tersebut dapat terjadi baik secara Ekstrusif dan Intrusif. Batuan beku yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian geologi karena pada daerah ini banyak terdapat singkapan batuan yang terdiri atas berbagai

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI Berdasarkan pembagian fisiografi Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) dan Pardiyanto (1979) (gambar 2.1), daerah penelitian termasuk ke dalam

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN PROSES PELAPUKAN PADA BATUAN PENYUSUN CANDI ABANG, KECAMATAN BERBAH, KABUPATEN SLEMAN, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

KARAKTERISTIK DAN PROSES PELAPUKAN PADA BATUAN PENYUSUN CANDI ABANG, KECAMATAN BERBAH, KABUPATEN SLEMAN, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KARAKTERISTIK DAN PROSES PELAPUKAN PADA BATUAN PENYUSUN CANDI ABANG, KECAMATAN BERBAH, KABUPATEN SLEMAN, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ABSTRAK Habib Nur Hidayat S. 1 Galih Wahyu Sangaji 1 Kukuh Gema

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permintaan bahan bangunan. Hal tersebut mengakibatkan semakin banyak pula

BAB I PENDAHULUAN. permintaan bahan bangunan. Hal tersebut mengakibatkan semakin banyak pula BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Perkembangan pembangunan di Indonesia yang sangat pesat terutama di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat yang meliputi konstruksi infrastruktur,

Lebih terperinci

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH Rikzan Norma Saputra *, Moch. Indra Novian, Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Air merupakan kebutuhan utama setiap makhluk hidup, terutama air tanah. Kebutuhan manusia yang besar terhadap air tanah mendorong penelitian

Lebih terperinci

MODUL III DIFERENSIASI DAN ASIMILASI MAGMA

MODUL III DIFERENSIASI DAN ASIMILASI MAGMA MODUL III DIFERENSIASI DAN ASIMILASI MAGMA Sasaran Pembelajaran Mampu menjelaskan pengertian dan proses terjadinya diferensiasi dan asimilasi magma, serta hubungannya dengan pembentukan mineral-mineral

Lebih terperinci

Disusun Oleh: Alva. Kurniawann

Disusun Oleh: Alva. Kurniawann LAPORAN PENYELIDIKAN SEMENTARA POTENSI EMAS DI HEGARMANAH, KECAMATAN GEGERBITUNG, KABUPATEN SUKABUMI Disusun Oleh: Alva Kurniawann RESEARCH AND DEVELOPMENT OF GEOSCIENCE AND ENVIRONMENTAL MATTER (RED-GEM)

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun tidak. Hal ini dapat dilihat dari morfologi Pulau Jawa yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. maupun tidak. Hal ini dapat dilihat dari morfologi Pulau Jawa yang sebagian besar BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan bagian dari busur magmatik yang ada di ndonesia. Oleh karena itu sepanjang Pulau Jawa terdapat gunung berapi baik yang aktif maupun tidak. Hal ini

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika aktivitas magmatik di zona subduksi menghasilkan gunung api bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). Meskipun hanya mewakili

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode tidak langsung

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Daerah Sumatera merupakan salah satu daerah yang memiliki tatanan geologi sangat kompleks, baik dari segi sedimentologi, vulkanologi, tektonik dan potensi sumber daya

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL II.1 Tektonik Regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan Sunda. Sistem busur kepulauan ini merupakan

Lebih terperinci

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada. DESKRIPSI BATUAN Deskripsi batuan yang lengkap biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Deskripsi material batuan (atau batuan secara utuh); 2. Deskripsi diskontinuitas; dan 3. Deskripsi massa batuan.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara

BAB V PEMBAHASAN. Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara BAB V PEMBAHASAN Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara horizontal dan vertikal akibat intrusi basalt maka perlu dikorelasikan antara hasil analisis kimia, tekstur (ukuran

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Bemmelen, R.W., van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. I-A, Gov. Printed

DAFTAR PUSTAKA. Bemmelen, R.W., van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. I-A, Gov. Printed DAFTAR PUSTAKA Bemmelen, R.W., van, 949, The Geology of Indonesia, Vol. I-A, Gov. Printed Office, The Hague, 7 p. Duda, W. H, 976, Cement Data Book, ed- Mc. Donald dan Evans, London, 60 hal. Dunham, R.J.,

Lebih terperinci

Klasifikasi Normatif Batuan Beku dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Menggunakan Software K-Ware Magma

Klasifikasi Normatif Batuan Beku dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Menggunakan Software K-Ware Magma JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 6 NOMOR 2 AGUSTUS 2010 Klasifikasi Normatif Batuan Beku dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Menggunakan Software K-Ware Magma Jahidin Program Studi Fisika FMIPA Universitas

Lebih terperinci

V.2.4. Kesetimbangan Ion BAB VI. PEMBAHASAN VI.1. Jenis Fluida dan Posisi Manifestasi pada Sistem Panas Bumi VI.2.

V.2.4. Kesetimbangan Ion BAB VI. PEMBAHASAN VI.1. Jenis Fluida dan Posisi Manifestasi pada Sistem Panas Bumi VI.2. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN.... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR. iv SARI... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL xiv BAB I. PENDAHULUAN. 1 I.1.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KEKAR TIANG PADA INTRUSI MIKROGABRO DI DAERAH WATU GAJAH, KECAMATAN GEDANG SARI, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI D.I.

KARAKTERISTIK KEKAR TIANG PADA INTRUSI MIKROGABRO DI DAERAH WATU GAJAH, KECAMATAN GEDANG SARI, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI D.I. KARAKTERISTIK KEKAR TIANG PADA INTRUSI MIKROGABRO DI DAERAH WATU GAJAH, KECAMATAN GEDANG SARI, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI D.I. YOGYAKARTA Evi Kurniawati * Salahuddin Husein Nugroho Imam Setiawan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

PETROLOGI DAN PETROGRAFI SATUAN BREKSI VULKANIK DAN SATUAN TUF KASAR PADA FORMASI JAMPANG, DAERAH CIMANGGU DAN SEKITARNYA, JAWA BARAT

PETROLOGI DAN PETROGRAFI SATUAN BREKSI VULKANIK DAN SATUAN TUF KASAR PADA FORMASI JAMPANG, DAERAH CIMANGGU DAN SEKITARNYA, JAWA BARAT PETROLOGI DAN PETROGRAFI SATUAN BREKSI VULKANIK DAN SATUAN TUF KASAR PADA FORMASI JAMPANG, DAERAH CIMANGGU DAN SEKITARNYA, JAWA BARAT Puteri Rasdita M. Verdiana, Yuyun Yuniardi, Andi Agus Nur Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupun sudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan, namun kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Merapi adalah salah satu gunung api yang sangat aktif di Indonesia yang terletak di daerah berpenduduk padat di Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro BAB III DATA LOKASI 3.1 Data Makro 3.1.1 Data Kawasan wilayah Kabupaten Sleman yaitu : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karakteristik dari suatu endapan mineral dipengaruhi oleh kondisi pembentukannya yang berhubungan dengan sumber panas, aktivitas hidrotermal, karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batuan dan kondisi pembentukannya (Ehlers dan Blatt, 1982). Pada studi petrologi

BAB I PENDAHULUAN. batuan dan kondisi pembentukannya (Ehlers dan Blatt, 1982). Pada studi petrologi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Petrologi merupakan suatu cabang ilmu geologi yang mempelajari tentang batuan dan kondisi pembentukannya (Ehlers dan Blatt, 1982). Pada studi petrologi batuan beku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta yang disusun oleh Novianto dkk. (1997), desa ini berada pada Satuan Geomorfologi Perbukitan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci