PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 6-7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 6-7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA"

Transkripsi

1 PENGARUH KARAKTERISTIK LITOLOGI TERHADAP LAJU INFILTRASI, STUDI KASUS DAERAH NGALANG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN GEDANGSARI, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Ading Tri Yangga * Wawan Budianta Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika 2 Kampus UGM, Yogyakarta, Tel *Corresponding author : ading_triyangga@gmail.com SARI Daerah penelitian berlokasi di daerah Ngalang dan sekitarnya, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik litologi dari litologi yang ada pada daerah penelitian terhadap laju infiltrasi. Sebelum melakukan pengukuran laju infiltrasi dan pengambilan sampel, terlebih dahulu dilakukan penentuan titik titik lokasi pengukuran yang memiliki profil tanah yang cukup ideal. Selanjutnya dilakukan pengukuran laju infiltrasi pada horizon A dengan menggunakan infiltrometer. Kemudian dilakukan pengambilan juga sampel tanah untuk uji laboratorium yang meliputi uji kandungan mineralogi dengan analisis XRD, uji granulometri, uji porositas, uji permeabilitas serta uji kandungan bahan organik tanah. Hasil penelitian menunjukkan daerah penelitian memiliki 4 jenis litologi yaitu breksi andesit, batugamping packestone, batupasir, dan batupasir karbonatan. Dari keempat litologi tersebut, nilai laju infiltrasi rata rata terbesar dimiliki oleh litologi tanah lapukan breksi andesit, kemudian diikuti oleh litologi tanah lapukan batugamping packestone, lapukan batupasir dan selanjutnya adalah tanah lapukan batupasir karbonatan. Setiap jenis litologi mempunyai karakteristik litologi yang mempengaruhi nilai laju infiltrasi. Setelah dilakukan analisis laboratorium, karakteristik litologi yang mempengaruhi laju infiltrasi yaitu ukuran butir, porositas-permeabilitas, dan, sedangkan kandungan C organik tidak memberikan pengaruh karena nilai yang relatif sama (di bawah 2%). I. PENDAHULUAN Tanah hasil pelapukan batuan induk yang belum tertransportasi yang disebut sebagai tanah in situ, memiliki karakteristik litologi yang berbeda-beda tergantung dari jenis batuan induknya. Karakteristik tersebut meliputi ukuran butir, porositas dan permeabilitas, kandungan, dan kandungan C organik. Karakteristik litologi tersebut mempunyai pengaruh terhadap nilai laju infiltrasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik litologi dari jenis jenis litologi yang ada pada daerah penelitian terhadap laju infiltrasi. Daerah penelitian berlokasi di daerah Ngalang dan sekitarnya, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, 346 Daerah Istimewa Yogyakarta dan memiliki empat jenis litologi yang mewakili dari formasi Pegunungan Selatan, dari yang tertua yaitu Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo dan formasi termuda yaitu Formasi Wonosari. Tingginya tingkat intensitas pelapukan pada daerah penelitian dan relief yang tidak terlalu curam membuat tanah pada daerah penelitian cukup tebal. Kondisi tersebut membuat penelitian cocok untuk dilakukan penelitian ini. Kondisi litologi akan mencerminkan tanah permukaan pada zona tak jenuh (unsaturated zone) yang sangat berpengaruh pada pergerakan air dalam profil tanah. Tinggi rendahnya pergerakan air yang melalui profil tanah ini bergantung pada sifat fisik tanah yang dimiliki (Triatmodjo, 2010).

2 II. KONDISI GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian menurut Surono dkk, 1992, menyatakan bahwa daerah penelitian tersusun oleh beberapa yaitu Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo dan Formasi Wonosari. Formasi Nglanggran dicirikan oleh penyusun utama yaitu berupa breksi dengan penyusun material vulkanik. Bagian yang terkasar dari breksi hampir seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit dan juga bom andesit. Secara utama, Formasi Sambipitu tersusun atas litologi batupasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Pada bagian bawah, batupasirnyamasih menunjukkan sifat vulkanik dan semakin ke atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan. Formasi Oyo tersusun atas litologi dari batugamping dan batunapal. Bagian terbawah dari Formasi Oyo Wonosari terdiri dari batugamping berlapis dengan teksturbergradasi normal. Pada Formasi Wonosari, tersusun oleh batugamping terumbu yang berupa batugamping rudstone, framestone, dan floatstone. III. SAMPEL DAN METODE PENELITIAN Sebelum melakukan pengukuran laju infiltrasi dan pengambilan sampel, terlebih dahulu dilakukan penentuan titik titik lokasi pengukuran yang memiliki profil tanah yang cukup ideal, seperti terlihat pada gambar 2 dan 3. Setiap satuan litologi dapat diwakilkan minimal 3 titik pengukuran, terlihat pada gambar 1. Selanjutnya dilakukan pengukuran laju infiltrasi pada horizon A dengan menggunakan infiltrometer. Infiltrometer yang digunakan adalah tipe Turf-Tec, yang didesain secara khusus untuk memberikan pembacaan infiltrasi secara langsung di tempat. Metode ini dapat dilakukan dengan cara menempatkan / meletakkan infiltrometer di tanah yang akan diukur dan mengisi air pada cinchin sebanyak dua hingga tiga kali, yang memungkinkan air berinfiltrasi ke dalam tanah. Titik pengukuran laju infiltrasi diusahakan tidak terganggu oleh akar-akar 347 IV. pohon karena akan mempengaruhi hasilnya. Dari hasil pengukuran tersebut kemudian dicatat hasilnya dan juga didokumentasikan dengan kamera. Kemudian dilakukan pengambilan sampel tanah untuk uji laboratorium yang meliputi uji kandungan mineralogi dengan analisis XRD, uji granulometri, uji porositas, uji permeabilitas serta uji kandungan bahan organik tanah. DATA DAN ANALISIS Kondisi litologi daerah penelitian tersusun atas empat satuan geologi yang mewakili beberapa formasi Pegunungan Selatan, yaitu Satuan Breksi Andesit (Formasi Nglanggran), Satuan Batupasir (Formasi Sambipitu), Satuan Batupasir Karbonatan (Formasi Oyo), dan Satuan Batugamping Packestone (Formasi Wonosari), terlihat pada gambar 1. Penelitian kali ini pengambilan data dilakukan sebanyak 13 titik pengamatan yang terbagi merata pada setiap satuan litologi (gambar 1). Setelah melakukan pengamatan litologi dan pengukuran laju infiltrasi di 13 titik lokasi pengamatan dengan masing masing titik lokasi dilakukan sebanyak tiga kali pengukuran laju infiltrasi, maka didapatkan nilai laju infiltrasi rata rata. Hasil pengamatan dan pengukuran laju infiltrasi tersebut dapat dirangkum ke dalam tabel 1. Hasil uji granulometri yang ditunjukkan pada tabel 1 dan dapat dilihat bahwa hampir seluruh sampel yang diambil merupakan jenis tanah pasir (> 90% pasir), kecuali pada STA 11 dan STA 13 yang memiliki jenis tanah pasir lempungan/ loamy sand. Tanah pasir mempunyai laju infiltrasi yang lebih besar daripada tanah pasir bertanah liat. Hal ini disebabkan oleh kapasitas infiltrasi pada fraksi pasir lebih besar dibandingkan dengan kapasitas infiltrasi pada fraksi lanau/ lempung. Hal ini juga didukung oleh dari data laju infiltrasi yang diukur saat di lapangan. STA 11 memiliki batuan induk batugamping packestone dan memiliki nilai laju infiltrasi rata rata terkecil yaitu sebesar 4,67 inchi/jam, dibandingkan dengan dua pengukuran lainnya dengan batuan induk yang sama yaitu STA 7 dan STA 8 yang

3 masing masing memiliki nilai laju infiltrasi rata rata sebesar 16,98 inchi/ jam dan 20,36 inchi/ jam. Begitu juga pada STA 13 dengan litologi batuan induk batupasir karbonatan yang memiliki nilai laju infiltrasi rata rata terkecil dibandingkan dengan dua titik pengukuran lainnya dalam batuan induk yang sama. Nilai laju infiltrasi rata rata STA 13 sebesar 6,27 inchi/ jam, sedangkan dua titik pengukuran lainnya memiliki nilai laju infiltrasi rata rata sebesar 8,00 inchi/ jam (STA 9) dan 8,53 inchi/ jam (STA 10). Dari dua kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis tanah berpengaruh dalam laju infiltrasi, yaitu jenis tanah pasir memiliki nilai laju infiltrasi lebih besar daripada jenis tanah pasir lempungan. Uji XRD menunjukkan pada STA 4 menunjukkan jenis kaolin. STA 11 menunjukkan mineral lempung jenis kaolin dan smektit, juga terdapat kristobalit yang masih merupakan mineral primer. STA 12 menunjukkan jenis kaolin dan ilit, dan pada STA 13 menunjukan jenis smektit dan juga terdapat kristobalit. Jenis yang terdapat pada keempat sampel hampir seluruhnya terdapat jenis kaolin. Selain kaolin, kehadiran jenis lainnya hanya jenis ilit dan smektit. Kehadiran jenis kaolin dan smektit ilit, diyakini memberikan pengaruh terhadap laju infiltrasi terkait karena karakteristiknya. Uji porositas dan permeabilitas menunjukkan jenis litologi tanah lapukan batupasir, STA 4 memiliki nilai porositas dan permeabilitas terbesar yaitu 53,42% dan 20,09 x 10-6 cm/ detik.sementara itu, STA 1 memiliki nilai porositas dan permeabilitas terkecil yaitu 47,03% dan 4,518 x 10-6 cm/ detik. Pada jenis litologi tanah lapukan breksi andesit, STA 5 memiliki nilai porositas dan permeabilitas tertinggi yaitu masing masing 51,12% dan 9,756 x 10-6 cm/ detik. Pada STA 12 memiliki nilai porositas dan permeabilitas terendah yaitu masing masing 47,65% dan 0,9392 x 10-6 cm/ detik. Permeabilitas STA 12 sangat kecil apabila dibandingkan dengan dua STA lainnya yaitu 9,756 x 10-6 cm/ detik dan 8,859 x 10-6 cm/ detik. Pada jenislitologi 348 tanah lapukanbatugamping, nilai porositas terkecil sebesar 53,65% yaitu pada STA 7 dan nilai porositas terbesar sebesar 60,89% yaitu pada STA 11. Sedangkan untuk nilai permeabilitas, nilai terendah dimiliki pada STA 11 yaitu dengan nilai 11,28 x 10-6 cm/ detik dan nilai terbesar dimiliki pada STA 8 yaitu dengan nilai 20,00 x 10-6 cm/ detik. Pada jenislitologi tanah lapukan batupasir karbonatan, nilai porositas terendah dimiliki pada STA 10 yaitu 54,28% dan porositas terbesar dimiliki pada STA 9 dengan nilai 58,43%. Kemudian untuk nilai permeabilitasnya, nilai terkecil terdapat pada STA 13 yaitu dengan nilai 11,84 x 10-6 cm/ detik sedangkan nilai terbesar pada STA 10 yaitu 18,61 x 10-6 cm/ detik. Uji kandungan organik ditunjukkan pada Tabel III.7 dan dapat dilihat nilai persentase kandungan C organik berkisar di ± 1%. Nilai terbesar yaitu 2,20% yaitu pada STA 2 dan nilai terendah yaitu 0,81% pada STA 13. Nilai kisaran di atas termasuk golongan rendah kandungan C organik yaitu di bawah 2%. V. DISKUSI Hasil analisis laboratorium yang telah dilakukan yaitu analisis karakteristik litologi terhadap keempat jenis litologi, yaitu ukuran butir/jenis tanah, porositas dan permeabilitas, kandungan (uji XRD), dan kandungan C organik dimana hasil dari uji kandungan C organik tidak menunjukkan perbedaan signifikan atau relatif sama (di bawah 2%). Nilai yang tidak bervariatif tersebut menyebabkan tidak dapat diketahuinya seberapa banyak atau seberapa besar pengaruhnya terhadap laju infiltrasi. Kandungan C organik berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Kandungan C organik yang tinggi pada suatu tanah menyebabkan tanah tersebut subur. Tanah yang subur memiliki laju infiltrasi yang lebih besar daripada tanah yang tidak subur. Pada daerah penelitian, keadaan tanah sangat kering dan tidak subur. Hal tersebut terbukti dengan kandungan C organiknya yaitu di bawah 2%. Menurut BPTP Yogyakarta, nilai tersebut merupakan nilai yang sangat rendah. Persentase kandungan C organik yang sangat rendah dan

4 hampir sama seluruhnya tersebut, kemungkinan disebabkan oleh faktor iklim pada daerah penelitian.pada daerah penelitian, intensitas pelapukan yang terjadi tinggi, dan juga pada titik titik lokasi pengamatan merupakan lahan terbuka yang tidak tersentuh oleh manusia. Karakteristik litologi berikutnya yaitu porositas dan permeabilitas, hasil analisis laboratorium menunjukkan nilai yang berbeda beda pada tiap stasiun pengamatan pada masing masing jenis litologi. Sehingga karakteristik litologi ini mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap laju infiltrasi dan juga merupakan karakteristik litologi yang paling jelas diamati pengaruhnya. Dilihat dari keempat jenis litologi pada daerah penelitian, karakteristik litologi porositas dan permeabilitas, khususnya permeabilitas, mempunyai hubungan berbanding lurus terhadap nilai laju infiltrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari grafik grafik perbandingan antara permeabilitas dengan laju infiltrasi. Karakteristik litologi ukuran butir merupakan karakteristik litologi kedua yang mempunyai pengaruh dalam penentuan laju infiltrasi. Karakteristik litologi ukuran butir yang berujung penentuan jenis tanah dengan menggunakan klasifikasi USDA, juga menunjukkan klasifikasi yang hampir sama pada setiap stasiun pengamatan. Dari 13 STA yang ada pada daerah penelitian, 11 STA memiliki jenis tanah pasir (klasifikasi USDA). Namun terdapat dua stasiun pengamatan yang menunjukkan klasifikasi yang berbeda dari 11 stasiun pengamatan lainnya. Hal ini mendukung teori yang menunjukkan memberikan pengaruh terhadap laju infiltrasi.jenis tanah pasir lempungan mempunyai kapasitas infiltrasi lebih kecil daripada jenis tanah pasir sehingga jenis tanah pasir mempunyai laju infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan jenis tanah pasir lempungan. Hal ini telah dibuktikan pada jenis litologi tanah lapukan batugamping packestone dan litologi tanah lapukan batupasir karbonatan. Pada kedua jenis litologi tersebut, hadir jenis tanah pasir lempungan (loamy sand) (klasifikasi USDA). Pada stasiun pengamatan dengan jenis tanah loamy sand, nilai laju infiltrasi selalu yang terkecil pada jenis litologi tersebut. Kehadiran jenis tanah loamy sand keduanya ditemukan pada jenis litologi yang mengandung unsur karbonat, yaitu pada tanah lapukan batugamping packestone dan batupasir karbonatan. Kemungkinan lempung (loam) yang hadir lebih banyak tersebut disebabkan karena lapukan karbonat tersebut. Jadi kemungkinan besar, tanah lapukan dari batuan induk yang bersifat karbonatan/ gampingan, mempunyai laju infiltrasi yang relatif kecil. Hasil pengamatan XRD, jenis yang terdapat pada daerah penelitianyaitu kaolin, smektit, dan ilit. Kehadiran ketiga jenis mineral lempung tersebutkemungkinan besar disebabkan oleh intensitas pelapukannya. Smektit dan ilit terbentuk pada intensitas pelapukan yang rendah. Sedangkan kaolin terbentuk pada intensitas pelapukan yang lebih tinggi. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan untuk terbentuknya kaolin dan ilit atau kaolin dan smektit terdapat pada satu jenis litologi. Mineral lempung mempunyai pengaruh terhadap nilai porositas dan permeabilitas terkait dengan karakteristik nya yang berujung memberikan pengaruh terhadap laju infiltrasi. Pada STA 12 yaitu jenis litologi tanah lapukan breksi andesit, nilai permeabilitasnya sangat kecil dibandingkan dengan permeabilitas kedua belas STA lainnya, bahkan merupakan nilai permeabilitas terkecil pada daerah penelitian, yaitu 0,9392 x 10-6 cm/detik. Pengamatan XRD yang dilakukan pada STA 12 menunjukkan jenis yang terdapat yaitu kaolin dan ilit. Kehadiran jenis tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya nilai permeabilitas pada STA 12. Hal ini disebabkan karena pertama sifat adsorpsi air dan ekspansi dari ilit yang menyebabkan penyumbatan pori pori (pengurangan permeabilitas ini sebagian besar bersifat reversibel, dan kedua adalah pergerakan fisik kaolin yang menutupi pori pori (pengurangan permeabilitas ini sebagian besar bersifat tidak reversibel) (Morris dan Shepperd, 1982). Kedua hal tersebut tentunya 349

5 VI. juga mempengaruhi nilai porositas dan permeabilitas semua stasiun pengamatan, meskipun tidak diketahui seberapa besar pengaruhnya terhadap masing masing stasiun pengamatan tersebut. Hasil pembahasan ini ditunjukkan dalam tabel 1. KESIMPULAN Daerah penelitian memiliki 4 jenis litologi yaitu breksi andesit, batugamping packestone, batupasir, dan batupasir karbonatan. Dari keempat litologi tersebut, yang memiliki nilai laju infiltrasi rata rata terbesar ialah litologi tanah lapukan breksi andesit dengan nilai 14,54 inchi/jam. Kemudian diikuti oleh litologi tanah lapukan batugamping packestone dengan nilai laju infiltrasi rata rata 14,00 inchi/jam; litologi tanah lapukan batupasir dengan nilai 8,71 inchi/jam; dan nilai laju infiltrasi rata rata terkecil dimiliki oleh litologi tanah lapukan batupasir karbonatan dengan nilai 7,6 inchi/jam. Setiap jenis litologi mempunyai karakteristik litologi yang mempengaruhi nilai laju infiltrasi. Karakteristik litologi tersebut ialah ukuran butir/jenis tanah, permeabilitas dan porositas, jenis, dan kandungan bahan C organik. Setelah dilakukan analisis laboratorium dan pembahasan, karakteristik litologi yang mempengaruhi laju infiltrasi yaitu ukuran butir, porositas-permeabilitas, dan mineral lempung, sedangkan kandungan C organik tidak memberikan pengaruh karena nilai yang relatif sama (di bawah 2%). DAFTAR PUSTAKA Asdak, C, 1995, Hidrologi dan Pengolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press., Yogyakarta Foth, H.D, 1990, Fundamentals of Soil Science 8 th Edition, John Wiley & Sons Inc., New York. Maro ah, S, 2011, Kajian Laju Infiltrasi dan Permeabilitas Tanah pada Beberapa Model Tanaman, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, (tidak dipublikasikan) Morris, K. A. dan C. M. Shepperd The Role of Clay Minerals in Influencing Porosity and Permeability Characteristics in the Bridport Sands of Wytch Farm, Dorset. London: Exploration Department, Gas Council (Exploration) Ltd. Surono, Toha, B., Sudarno, 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta Giritontro, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi, Bandung Triatmodjo, B, Hidrologi Terapan, Beta Offset, Yogyakarta Van Bemmelen, R.W, 1949, The Geology of Indonesia Vol 1A, Government Printing Office, The Hauge 350

6 Tabel 1. Rangkuman Hasil Pengujian Laboratorium STA Litologi Jenis tanah Breksi Andesit Breksi Andesit Breksi Andesit Batugamping Packestone Batugamping Packestone Batugamping Packestone Porositas (%) Permeabilitas (10-6 cm/det) Pasir 51,12 9,756 Pasir 48,47 8,859 Pasir 47,65 0,939 Pasir 55,40 20,00 Pasir 53,65 19,89 Pasir lempungan 60,89 11,28 Mineral lempung Ilit* Ilit* Ilit Smektit* Smektit* Smektit % C organik Laju infiltrasi rata-rata (inchi/jam) 1,05 21,58 1,42 15,36 1,3 6,67 1,3 20,36 1,15 16,98 1,35 4,67 4 Batupasir Pasir 53,42 20,09 Kaolin 0,89 9,87 6 Batupasir Pasir 51,92 9,213 Kaolin* 1,35 6,27 2 Batupasir Pasir 47,25 6,495 Kaolin* 2,2 5,73 1 Batupasir Pasir 47,03 4,518 Kaolin* 1,62 4, Batupasir karbonatan Batupasir karbonatan Batupasir karbonatan Pasir 54,28 18,61 Smektit* 1,42 8,53 Pasir 58,43 14,02 Smektit* 1,34 8 Pasir lempungan 57,19 11,84 Smektit 0,81 6,27 Faktor yang berpengaruh terhadap laju infiltrasi *diasumsikan sama 351

7 Gambar 1. Peta geologi daerah penelitian 352

8 Gambar 2. Foto dan sketsa STA 1 Gambar 3. Foto dan sketsa STA 4 353

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan terinfiltrasi masuk ke dalam tanah. Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah sangat ditentukan oleh kecepatan infiltrasi.

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Formasi Wonosari-Punung secara umum tersusun oleh batugamping. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa batugamping, batugamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini dilakukan di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih karena secara geologi lokasi ini sangat menarik. Pada lokasi ini banyak dijumpainya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II DASAR TEORI

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II DASAR TEORI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv SARI... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. I Putu Krishna Wijaya 11/324702/PTK/07739 BAB I PENDAHULUAN

Bab I. Pendahuluan. I Putu Krishna Wijaya 11/324702/PTK/07739 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu wilayah di Indonesia yang sering mengalami bencana gerakan tanah adalah Provinsi Jawa Barat. Dari data survei yang dilakukan pada tahun 2005 hingga

Lebih terperinci

PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Muhammad Dandy *, Wawan Budianta, Nugroho Imam Setiawan Teknik Geologi UGM Jl. Grafika No.2 Kampus

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Kesarjanaan Strata Satu,

Lebih terperinci

KIMIA AIR TANAH DI CEKUNGAN AIR TANAH MAGELANG-TEMANGGUNG BAGIAN BARAT, KABUPATEN TEMANGGUNG DAN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH

KIMIA AIR TANAH DI CEKUNGAN AIR TANAH MAGELANG-TEMANGGUNG BAGIAN BARAT, KABUPATEN TEMANGGUNG DAN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH KIMIA AIR TANAH DI CEKUNGAN AIR TANAH MAGELANGTEMANGGUNG BAGIAN BARAT, KABUPATEN TEMANGGUNG DAN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH Syera Afita Ratna *, Doni Prakasa Eka Putra, I Wayan Warmada Penulis Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupun sudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan, namun kondisi

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB KARAKTERISTIK TANAH Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB Pendahuluan Geosfer atau bumi yang padat adalah bagian atau tempat dimana manusia hidup dan mendapatkan makanan,, mineral-mineral

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI 4. 1 Pengambilan dan Pengolahan Data Pengukuran laju infiltrasi di daerah penelitian menggunakan alat berupa infiltrometer single ring. Hasil pengujian

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

UJI LABORATORIUM RESAPAN BERPORI SEBAGAI PENANGGULANGAN BANJIR DAERAH GENANGAN KOTA MAKASSAR

UJI LABORATORIUM RESAPAN BERPORI SEBAGAI PENANGGULANGAN BANJIR DAERAH GENANGAN KOTA MAKASSAR UJI LABORATORIUM RESAPAN BERPORI SEBAGAI PENANGGULANGAN BANJIR DAERAH GENANGAN KOTA MAKASSAR Johannes Patanduk, Achmad Bakri Muhiddin, Ezra Hartarto Pongtuluran Abstrak Hampir seluruh negara di dunia mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deep water channel merupakan salah satu fasies di lingkungan laut dalam dengan karakteristik dari endapannya yang cenderung didominasi oleh sedimen berukuran kasar

Lebih terperinci

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR...ix DAFTAR TABEL...xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH P.A. Pameco *, D.H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH

GAMBARAN UMUM WILAYAH 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Batas Administrasi dan Luas Wilayah Kabupaten Sumba Tengah merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibentuk berdasarkan UU no.

Lebih terperinci

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta Dian Novita Sari, M.Sc Abstrak Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode gravity di daerah Dlingo, Kabupaten Bantul,

Lebih terperinci

I Dewa Gede Jaya Negara*, Anid Supriyadi*, Salehudin*

I Dewa Gede Jaya Negara*, Anid Supriyadi*, Salehudin* 144 Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 Vol. 3, No. 2 : 144-155, September 2016 ANALISIS KEMAMPUAN PERESAPAN LIMPASAN AIR HUJAN PADA MODEL EMBUNG LAHAN DIAGONAL (ELD) TERHADAP GRADASI LAPISAN TANAH DI LAHAN

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lokasi, altitude, koordinat geografis dan formasi geologi titik pengambilan sampel bahan induk tuf volkan Altitude

Lampiran 1 Lokasi, altitude, koordinat geografis dan formasi geologi titik pengambilan sampel bahan induk tuf volkan Altitude LAMPIRAN 30 31 Kode Tuf Volkan TV-1a TV-1b TV-1c Lampiran 1 Lokasi, altitude, koordinat geografis dan formasi geologi titik pengambilan sampel bahan induk tuf volkan Altitude Koordinat Lokasi Formasi Geologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Dalam pengertian yang lebih sempit, desain penelitian

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN Kegiatan : Praktikum Kuliah lapangan ( PLK) Jurusan Pendidikan Geografi UPI untuk sub kegiatan : Pengamatan singkapan batuan Tujuan : agar mahasiswa mengenali

Lebih terperinci

STUDI GEOLOGI TEKNIK RENCANA BENDUNG KARANG KECAMATAN PATUK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL

STUDI GEOLOGI TEKNIK RENCANA BENDUNG KARANG KECAMATAN PATUK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1, No. 2, Juli 2008 STUDI GEOLOGI TEKNIK RENCANA BENDUNG KARANG KECAMATAN PATUK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Puji Pratiknyo Jurusan Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta SARI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Pertambangan, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta 2

Jurusan Teknik Pertambangan, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta   2 Estimasi Kekuatan Batugamping Dengan Menggunakan Schmidt Hammer Tipe L Pada Daerah Prospek Tambang Kuari Batugamping Di Gunung Sudo Kabupaten Gunung Kidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta R. Andy Erwin

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan bagian dari lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

STUDI POTENSI GERAKANTANAH DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI PROPINSI JAWA TENGAH

STUDI POTENSI GERAKANTANAH DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI PROPINSI JAWA TENGAH STUDI POTENSI GERAKANTANAH DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI PROPINSI JAWA TENGAH I Putu Putrawiyanta 1, Miftahussalam 2, Dwi Indah Purnamawati 3 1,2,3 Teknik

Lebih terperinci

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli Lokasi pengamatan singkapan atupasir sisipan batulempung karbonan adalah pada lokasi GD-4 ( Foto 3.21) di daerah Gandasoli. Singkapan ini tersingkap pada salah satu sisi sungai. Kondisi singkapan segar.

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

POTENSI ENDAPAN EMAS SEKUNDER DAERAH MALINAU, KALIMANTAN TIMUR

POTENSI ENDAPAN EMAS SEKUNDER DAERAH MALINAU, KALIMANTAN TIMUR POTENSI ENDAPAN EMAS SEKUNDER DAERAH MALINAU, KALIMANTAN TIMUR Adi Hardiyono Laboratorium Petrologi dan Mineralogi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ABSTRACT The purpose study to recognize

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci

Laporan. Praktikum Dasar Ilmu Tanah. Tekstur. Cynthia Diesta Firly Hari Selasa, WIB Assisten : Himawan

Laporan. Praktikum Dasar Ilmu Tanah. Tekstur. Cynthia Diesta Firly Hari Selasa, WIB Assisten : Himawan Laporan Praktikum Dasar Ilmu Tanah Tekstur Cynthia Diesta Firly 105040201111051 Hari Selasa,11.00 12.40 WIB Assisten : Himawan UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN PROGAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI 2010

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

Raden Ario Wicaksono/

Raden Ario Wicaksono/ Foto 3.15 Fragmen Koral Pada Satuan Breksi-Batupasir. Lokasi selanjutnya perselingan breksi-batupasir adalah lokasi Bp-20 terdapat pada Sungai Ci Manuk dibagian utara dari muara antara Sungai Ci Cacaban

Lebih terperinci

PENENTUAN TAHANAN JENIS BATUAN ANDESIT MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER (STUDI KASUS DESA POLOSIRI)

PENENTUAN TAHANAN JENIS BATUAN ANDESIT MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER (STUDI KASUS DESA POLOSIRI) Jurnal Fisika Vol. 3 No. 2, Nopember 2013 117 PENENTUAN TAHANAN JENIS BATUAN ANDESIT MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER (STUDI KASUS DESA POLOSIRI) Munaji*, Syaiful Imam, Ismi Lutfinur

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR...... iv SARI...... v DAFTAR ISI...... vi DAFTAR GAMBAR...... x DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Akhmad Hariyono POLHUT Penyelia Balai Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagian besar bertopogarafi kars dari Semenanjung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

// - Nikol X - Nikol 1mm

// - Nikol X - Nikol 1mm S S A B B C Foto 3.14 Satuan breksi vulkanik dengan sisipan batupasir-batulempung. Breksi polimik ( B), Monomik (A) dan litologi batupasir-batulempung (bawah,c) Pengambilan sampel untuk sisipan batupasir

Lebih terperinci

ANALISIS TAFONOMI MOLUSKA PADA FORMASI DAMAR DI KALI SIWUNGU TEMBALANG SEMARANG

ANALISIS TAFONOMI MOLUSKA PADA FORMASI DAMAR DI KALI SIWUNGU TEMBALANG SEMARANG ANALISIS TAFONOMI MOLUSKA PADA FORMASI DAMAR DI KALI SIWUNGU TEMBALANG SEMARANG ABSTRAK Anis Kurniasih, ST., MT. 1, Ikhwannur Adha, ST. 2 1 Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang,

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

BAB II METODOLOGI PENELITIAN DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Halaman Persembahan... Kata Pengantar... Sari...... Daftar Isi...... Daftar Gambar... Daftar Tabel...... Daftar Lampiran...... i ii iii iv vi vii x xiv

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Parameter Infiltrasi Metode Horton Tabel hasil pengukuran laju infiltrasi double ring infiltrometer pada masingmasing lokasi dapat dilihat pada Lampiran A. Grafik

Lebih terperinci

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan dimana bagian dari lautan lebih besar daripada bagian daratan. Akan tetapi karena daratan adalah bagian dari kulit bumi yang dapat kita amati langsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitain berada di pulau Jawa bagian barat terletak di sebelah Utara ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS BATUAN TERHADAP AIR LARIAN (RUN OFF) BERDASARKAN UJI LAJU INFILTRASI DI KOTA SEMARANG BAGIAN SELATAN, JAWA TENGAH

PENGARUH JENIS BATUAN TERHADAP AIR LARIAN (RUN OFF) BERDASARKAN UJI LAJU INFILTRASI DI KOTA SEMARANG BAGIAN SELATAN, JAWA TENGAH PENGARUH JENIS BATUAN TERHADAP AIR LARIAN (RUN OFF) BERDASARKAN UJI LAJU INFILTRASI DI KOTA SEMARANG BAGIAN SELATAN, JAWA TENGAH Y.Sunarya Wibawa 1, Sudaryanto 1, dan Robert M. Delinom 1 1 Pusat Penelitian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013 PENGARUH KOMPETENSI BATUAN TERHADAP KERAPATAN KEKAR TEKTONIK YANG TERBENTUK PADA FORMASI SEMILIR DI DAERAH PIYUNGAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Abstrak Budi SANTOSO 1*, Yan Restu FRESKI 1 dan Salahuddin

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT RACHMAN SOBARNA Penyelidik Bumi Madya pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kajian Pendahuluan Berdasarkan pada peta geohidrologi diketahui siklus air pada daerah penelitian berada pada discharge area ditunjukkan oleh warna kuning pada peta,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Besar jenis tanah suatu massa (unit massa) tanah yang seharusnya dinyatakan gr/cm 3. Volume

I. PENDAHULUAN. Besar jenis tanah suatu massa (unit massa) tanah yang seharusnya dinyatakan gr/cm 3. Volume I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Besar jenis tanah suatu massa (unit massa) tanah yang seharusnya dinyatakan gr/cm 3. Volume tanah ini termasuk butiran padat dan pori-pori tanah diantara partikel tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari tanah tidak terlepas dari pandangan, sentuhan dan perhatian kita. Kita melihatnya, menginjaknya, menggunakannya dan memperhatikannya. Kita

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Air merupakan kebutuhan utama setiap makhluk hidup, terutama air tanah. Kebutuhan manusia yang besar terhadap air tanah mendorong penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar belakang penelitian ini secara umum adalah pengintegrasian ilmu dan keterampilan dalam bidang geologi yang didapatkan selama menjadi mahasiswa dan sebagai syarat

Lebih terperinci

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Suganda #2 # Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jalan Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infiltrasi Menurut Munaljid dkk. (2015) infiltrasi adalah proses masuknya air dari atas (surface) kedalam tanah. Gerak air di dalam tanah melalui pori pori tanah dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

PENENTUAN BULK DENSITY ABSTRAK

PENENTUAN BULK DENSITY ABSTRAK PENENTUAN BULK DENSITY Fauziah Mas ud Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRAK Bulk density merupakan berat suatu massa tanah per satuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan, meliputi proses-proses yang bekerja terhadap batuan induk dan perubahanperubahan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemodelan tahanan jenis dilakukan dengan cara mencatat nilai kuat arus yang diinjeksikan dan perubahan beda potensial yang terukur dengan menggunakan konfigurasi wenner. Pengukuran

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA INTERPRETASI PERGERAKAN SESAR OPAK PASCA GEMPA YOGYAKARTA 2006 MELALUI PENDEKATAN STUDI GEOMORFOLOGI TEKTONIK PADA DAERAH WONOLELO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN PLERET, KABUPATEN BANTUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB II. METODELOGI PENELITIAN

BAB II. METODELOGI PENELITIAN DAFTAR ISI Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... ii Sari... iii Kata Pengantar... iv Halaman Persembahan... vi Daftar Isi... vii Daftar Tabel... xi Daftar Gambar... xii Daftar Foto... xiii Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terhadap barang ini pun kian meningkat seiring bertambahnya jumlah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terhadap barang ini pun kian meningkat seiring bertambahnya jumlah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air memegang peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan kebutuhan terhadap barang ini pun kian meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk di suatu

Lebih terperinci