V. HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Suryadi Hartanto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 32 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis DEM Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) dilakukan dari dua data yang berbeda yaitu dari Peta Rupa Bumi (topografi) dan data SRTM. Hal ini perlu dilakukan karena terdapat dua metode yang berbeda untuk menghasilkan informasi ketinggian atau garis kontur. Peta topografi dihasilkan dari proses fotogrametri sedangkan data SRTM melalui proses interferometri, sehingga merupakan dua data yang menarik untuk diperbandingkan. Proses pembuatan DEM dari peta topografi, dimulai dengan proses interpolasi ketinggian dengan metode IDW (Inverse Distance Weighting). Berdasarkan hasil interpolasi tersebut dan dibandingkan diperoleh adanya suatu perbedaan elevasi permukaan bumi antara DEM dari data topografi dan SRTM. Gambar 7a dan 7b memperlihatkan perbedaan tersebut antara DEM IDW dan DEM SRTM. Gambar 7c menunjukkan beberapa perbedaan nilai elevasi. Warna merah menujukkan nilai elevasi SRTM lebih besar daripada nilai elevasi peta topografi, sedangkan warna hijau menujukkan nilai elevasi dari peta topografi lebih besar daripada nilai elevasi dari SRTM. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa persebaran perbedaan elevasi tersebut banyak terdapat pada wilayah-wilayah yang memiliki relief atau terrain berbukit sampai bergunung, namun sebaliknya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada wilayah-wilayah yang memiliki relief relatif datar (warna abu-abu) Menurut Gorokhovickh dan Voustonik (2006), ketelitian mutlak vertikal data SRTM berhubungan langsung dengan karakteristik terrain, dimana nilai galat vertikal yang lebih besar sering muncul pada wilayah-wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang curam dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang lebih kecil atau landai. Hal ini erat kaitannya dengan terjadinya proses pemendekan permukaan (foreshortening) atau perebahan (layover) lereng-lereng curam pada permukaan bumi di citra SRTM, namun hal ini tidak terjadi pada lereng-lereng yang landai. Sifat-sifat data SRTM seperti ini perlu diperhatikan oleh pengguna, terutama untuk membuat pemodelan longsor.
2 33 Dalam penelitian ini DEM dari topografi dianggap paling baik karena tidak terdapat proses-proses foreshortening dan layover dan dipilih untuk pemodelan longsor. (a) (b) (c) Gambar 7. Hasil penggabungan DEM (a) DEM IDW (b) DEM SRTM (c) gabungan kedua DEM warna merah nilai SRTM > IDW, warna hijau nilai IDW > SRTM 5.2. Aplikasi DEM untuk Pemodelan Longsor pada DAS Ciliwung Hulu Berdasarkan hasil pencarian informasi dan observasi lapangan ditemukan setidaknya 15 titik longsor di daerah penelitian yang berada di sekitar pemukiman dan jalan raya (Gambar 8). Sebagian besar daerah yang mengalami longsor terletak di Desa-desa Citeko, Pensiunan, Hegarsari, Kampung Baru, dan Naringgul yang berlokasi di wilayah Kecamatan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Pada penelitian ini dilakukan juga penentuan lokasi-lokasi yang tidak mengalami longsor secara acak yang digunakan sebagai pembanding terhadap daerah-daerah yang mengalami longsor. Jumlah titik yang diperlukan 15 titik berlokasi di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan kecamatan Sukaraja, Megamendung, Ciawi dan Cianjur. Lokasi-lokasi tidak longsor tersebut (Gambar 9) selanjutnya dianalisis dalam DEM untuk diperbandingkan nilai-nilai parameternya dengan yang berada pada titik-titik terjadinya longsor.
3 Gambar 8. Lokasi titik-titik longsor dan tidak longsor 34
4 35 a. Desa Kampung Baru b. Kecamatan Cisarua c. Kecamatan Tugu Utara d. Desa Citeko e. Desa Kampung Baru f. Desa Naringgul Gambar 9. Contoh titik-titik longsor di daerah penelitian Berdasarkan keperluan analisis, selanjutnya diambil beberapa parameter morfometri untuk longsor dari DEM, meliputi aspek lereng, kemiringan lereng, serta ketinggian tempat (elevasi), sedangkan untuk parameter-parameter lain diambilkan dari data sekunder, yaitu curah hujan, jenis tanah, bahan induk, relief,
5 36 dan indeks vegetasi. Tabel Lampiran 4 memaparkan nilai dari 8 parameter pada 30 titik-titik wilayah longsor dan tidak longsor di DAS Ciliwung Hulu Kemiringan Lereng Kemiringan lereng yang dibuat dari hasil analisis DEM pada daerah penelitian ditunjukkan dengan 5 warna berbeda yang menunjukkan perbedaan kelas lereng. Klasifikasi kemiringan lereng dalam penelitian ini merujuk pada data kemiringan lereng penyebab longsor dari Savitri (2007). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian didominasi oleh kemiringan 0% - 8% (warna pink), dan 8% - 15% (warna orange), sedangkan kemiringan yang lain relatif kecil (Tabel 4). Tabel 4. Kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu. Nilai Kemiringan Lereng Kelas kemiringan Warna Luas Ha % 0 8 % Datar Pink % Landai Orange % Agak curam Kuning % Curam Biru > 45 % Terjal Hijau Total Daerah penelitian kemiringan lereng tertinggi (> 45% atau warna hijau) berada di kawasan puncak Gunung Gede Pangrango, sedangkan wilayah yang mempunyai kemiringan terendah (0% - 8 % atau warna pink) tersebar di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Sukaraja. Secara teoritis wilayahwilayah yang memiliki kemiringan lereng yang tinggi umumnya merupakan wilayah-wilayah yang rentan longsor. Apabila kemiringan lereng semakin tinggi maka peluang pergeseran tanah dan material yang ada di dalamnya juga meningkat (Lee dan Talib, 2005). Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan bahwa daerah-daerah yang mengalami longsoran berada pada wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang besar 8% 15 % (landai), 15% - 30% (agak curam) dan sebagian kecil pada kemiringan 30% - 45% (curam). Titik-titik longsor tersebut berada pada daerah permukiman di dekat jalan raya. Sebaliknya wilayah yang tidak pernah mengalami kejadian longsor mempunyai kemiringan
6 37 lereng yang lebih rendah sebesar 0% - 8% (landai) dan berada jauh dari permukiman dan jalan raya (Gambar 10) Aspek Lereng Aspek lereng merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi pergerakan tanah, karena arah menghadapnya lereng berkaitan dengan proses pelapukan melalui sinar matahari. Berdasarkan hasil analisis DEM diperoleh 7 jenis aspek lereng, yaitu: N, NE, E, S, SW, W, dan NW (Gambar 11). Pada gambar tersebut tampak bahwa aspek lereng di daerah penelitian meliputi arah barat (W) (biru tua), barat laut (NW) (pink), utara (N) (orange), selatan (S) (ungu muda), barat daya (SW) (biru muda), timur laut (NE) (orange muda), dan timur (E) (kuning). Dengan demikian aspek lereng yang dominan di daerah penelitian adalah N, NW, dan W (Tabel 5). Tabel 5. Aspek Lereng di DAS Ciliwung Hulu Aspek Lereng Keterangan LUAS warna Ha % Utara Orange Timur laut Orange muda Barat laut Pink Selatan ungu Tenggara Biru muda Timur Kuning Barat Biru tua Total Arah lereng banyak berkaitan dengan faktor iklim, antara lain sinar matahari, kelembapan, dan curah hujan. Menurut Fernandez et al. (2008) potensi longsor berhubungan langsung dengan variabel kelembapan tanah dan cuacanya. Aspek lereng juga mempengaruhi jenis vegetasi, iklim mikro pada permukaan lereng, dan pelapukan batuan (Kumar et al, 2010). Sinar matahari yang menyinari permukaan bumi memiliki penyinaran paling lama dan panas pada siang sampai sore hari, yaitu ketika matahari banyak menyinari sisi bagian barat dan timur bumi, sehingga daerah tersebut secara tidak langsung memiliki proses pelapukan batuan yang lebih cepat dibandingkan dengan sisi-sisi yang lain. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan (Gambar 11), daerah-daerah penelitian yang banyak mengalami kejadian longsor terletak pada lereng-lereng yang menghadap ke arah timur laut (NE) atau orange muda, utara (N) atau orange,
7 38 dan barat laut (NW) atau pink. Daerah-daerah yang tidak mengalami longsor berada pada lereng-lereng yang mengarah ke arah barat (W) atau biru tua, dan barat daya (SW) atau biru muda (Gambar 11) Elevasi Elevasi atau ketinggian tempat pada umumnya dianggap sebagai faktor penentu longsor yang tidak langsung (Fernandez et al. 2008) karena elevasi berkaitan dengan curah hujan, temperatur, dan jenis vegetasi. Pada Gambar 12 berikut dipaparkan 5 kelas ketinggian dengan interval sebesar 300 meter di wilayah penelitian. Perubahan penggunaan lahan, kemampuan tanah sebagai daerah tangkapan air, dan kenaikan intensitas curah hujan semakin beragam setiap perubahan ketinggian sebesar 300 meter dari permukaan laut (mdpl) (Indra et al. 2006). Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa elevasi yang dominant daerah penelitian adalah pada ketinggian (seluas ha), meter (seluas ha), dan meter (seluas ha) sedangkan elevasi yang lebih tinggi semakin kecil (Tabel 6). Tabel 6. Kelas elevasi di DAS Ciliwung Hulu Ketinggian (meter) LUAS Ha % , , , , ,0 Total Menurut Peralvarez et al. (2008) pada ketinggian 300 hingga meter umumnya terjadi perubahan yang signifikan pada faktor iklim, terutama curah hujan dan temperatur udara. Hal tersebut menginikasikan bahwa daerah yang memiliki ketinggian > 300 mdpl seharusnya mempunyai pelapukan batuan yang lebih besar daripada daerah bawahnya karena memiliki curah hujan lebih besar. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan didapatkan bahwa wilayah penelitian yang mengalami kejadian longsor memiliki kisaran ketinggian antara 500 hingga 800 mdpl, sedangkan wilayah yang tidak mengalami longsor, pada umumnya memiliki ketinggian yang lebih rendah yaitu antara 200 hingga 500 mdpl.
8 39 Berdasarkan hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor di daerah penelitian umumnya banyak terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ketinggian > 500 mdpl Curah Hujan Data curah hujan diambil dari koleksi data antara tahun dari 5 stasiun hujan yang berbeda, yaitu stasiun meteorologi Citeko, Ciawi, Gunung Mas, Dramaga, Megamendung, dan Empang. Kelima stasiun hujan tersebut diambil rataan dari bulan terbasah untuk mengetahui perkiraan nilai curah hujan puncak di daerah penelitian, karena peristiwa longsor sering terjadi pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Pengukuran curah hujan, dilakukan dengan metode bulan terbasah yaitu mengambil rata-rata curah hujan bulan terbasah dari tahun 2004 hingga Sebenarnya ada beberapa metode lain untuk menggambarkan persebaran curah hujan di suatu wilayah, seperti isohiet atau poligon thiessen. Menurut ESDM (2009) isohiet merupakan hasil pemrosesan variabilitas nilai curah hujan secara rataan (generalisasi), sehingga isohiet sangat baik digunakan untuk wilayah-wilayah yang mempunyai topografi datar. Adapun poligon thiessen tidak berasumsi titik yang berdekatan lebih mirip nilainya dari titik yang berjauhan (ESDM, 2009). Uraian diatas terlihat bahwa metode tersebut kurang sesuai untuk tujuan penelitian ini, karena kondisi topografi daerah penelitian sangat variatif, dari datar hingga pegunungan dan stasiun hujan tersebar tidak merata dan berjauhan. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini digunakan metode nilai curah hujan puncak pada bulan terbasah. Gambar 13 berikut merepresentasikan data bulan terbasah setiap tahun, yang kemudian didapatkan parameter bulan terbasah untuk diinterpolasi.
9 Gambar 10. Peta kemiringan lereng daerah penelitian 40
10 Gambar 11. Peta aspek lereng daerah penelitian 41
11 Gambar 12. Peta ketinggian tempat (elevasi) daerah penelitian 42
12 43 curah hujan 2004 a. curah hujan januari april februari juli bulan terbasah januari april februari juli curah hujan 2005 b. curah hujan maret januari februari desember bulan terbasah maret januari februari desember curah hujan 2006 c. curah hujan desember bulan terbasah januari desember januari curah hujan 2007 d. curah hujan februari desember januari bulan terbasah februari desember januari curah hujan 2008 e. curah hujan maret februari november bulan terbasah maret november
13 44 Gambar 13. Grafik curah hujan bulan terbasah tahun (a) 2004, (b) 2005, (c)2006 (d) 2007, (e) 2008 Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui ada empat bulan terbasah yang dominan (ungu), yaitu bulan-bulan Desember, Januari, November, dan Februari. Berdasarkan bulan-bulan tersebut dipilih bulan Januari sebagai parameter bulan terbasah untuk pemodelan longsor karena mempunyai nilai curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain (sebagai puncak musim hujan). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian mempunyai nilai curah hujan yang bervariasi, dari 613,88 hingga 779,99 mm/tahun. Wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 746,77 hingga 779,99 mm/tahun, sedangkan wilayah yang tidak mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 713,54 hingga 746,77 mm/tahun (Tabel 7). Hasil interpolasi curah hujan pada bulan Januari disajikan pada Gambar 14. Tabel 7. Nilai curah hujan puncak di DAS Ciliwung Hulu Nilai Curah Hujan Keterangan Luas mm/tahun warna Ha % Kuning Hijau Pink Biru Abu-abu Total Indeks Vegetasi (NDVI dan EVI) Menurut Rau et al. (2006) Normal Difference Vegetation Index (NDVI), Enhanced Vegetation Index (EVI), dan Leaft Area Index (LAI) merupakan indeks yang biasa digunakan untuk menganalisis vegetasi penutup dan bisa juga digunakan sebagai parameter untuk memprediksi longsor. Menurut Vohora dan Donoghue (2004), Nilai NDVI dapat diperoleh dengan menggunakan model transformasi matematika yang didesain untuk mengakses kontribusi tumbuhan hijau pada kanal multispektral data penginderaan jauh. Nilai NDVI berkisar antara -1 dan 1, dimana nilai > 0 menerangkan banyaknya vegetasi dan ditunjukkan oleh rona yang lebih terang, sebaliknya untuk wilayah yang kurang vegetasi mempunyai warna cenderung gelap dan hitam.
14 45 Tanah mempunyai nilai mendekati nol dan tubuh air mempunyai nilai kurang dari nol. Menurut Rau et al. (2006) indeks yang tinggi menunjukkan lebih banyak vegetasi hijau jika dibandingkan dengan indeks yang rendah. Adapun EVI digunakan untuk mengkoreksi nilai NDVI melalui pengurangan efek dari faktorfaktor lingkungan seperti atmosfer, tanah, dan efek topografi yang dapat menyebabkan perubahan variasi cahaya terhadap citra yang akan dikoreksi. Walaupun EVI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan NDVI, tetapi EVI sangat peka terhadap kondisi lingkungan yang mudah berubah dibandingkan dengan NDVI (Matsushita et al. 2007). Berikut ini disajikan hasil indeks vegetasi dari citra ALOS AVNIR-2 (Gambar 15a dan b) yang memperlihatkan bahwa wilayah yang mengalami kejadian longsor mempunyai penutupan vegetasi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari keterangan rona yang lebih terang (dari putih hingga abu-abu) dengan kisaran indeks vegetasi sebesar 0,25 hingga 0,67. Wilayah bervegetasi tinggi tersebut berupa hutan dan kebun campuran meliputi Kecamatan Tugu Utara, Kecamatan Cibereum dan Kecamatan Cisarua. Tingginya nilai NDVI pada wilayah tersebut dikarenakan adanya peristiwa fotosintesis dari vegetasi yang cukup besar sehingga sinyal NIR (Near Inframerah Red) yang terlihat pada citra lebih banyak atau memiliki rona terang. Wilayah yang tidak mengalami kejadian longsor mempunyai penutupan vegetasi yang lebih rendah (rona abu-abu sampai hitam) dengan kisaran indeks vegetasi sebesar 0,08 hingga 0,45. Penggunaan lahan yang dominan didaerah tersebut adalah sawah meliputi di Kecamatan Megamendung, Kecamatan Sukaraja, dan Kecamatan Ciawi. Peristiwa fotosintesis didaerah tersebut yang tidak terlalu besar menyebabkan gelombang NIR yang diterima sedikit sehingga menimbulkan rona lebih gelap.
15 Gambar 14. Peta interpolasi curah hujan bulan Januari dari tahun
16 Gambar 15.a. Hasil analisis EVI dari citra ALOS AVNIR-2 47
17 Gambar 15.b. Hasil analisis NDVI dari citra ALOS AVNIR-2 48
18 Jenis Tanah, Relief dan Bahan Induk Data tanah, relief, dan bahan induk yang digunakan berasal dari Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu skala 1: (Puslitanak, 1992). Persebaran jenis tanah di daerah penelitian disajikan pada Gambar 16, meliputi jenis tanah andisol, entisol, inseptisol dan ultisol. Wilayah yang banyak mengalami longsor di daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah inseptisol dan entisol yang tergolong subur, sedangkan untuk wilayah tidak longsor banyak didominasi oleh jenis tanah inseptisol dan ultisol. Entisol merupakan tanah yang belum berkembang memiliki solum yang tipis sekitar 18 cm, pada umumya terbentuk akibat adanya pengendapan secara terus menerus (Harjowigeno, 1985). Adanya pengendapan dan pencucian yang intensif mengakibatkan tanah menjadi jenuh sehingga menyebabkan terjadinya aliran permukaan (run off), dan memungkinkan terjadinya longsor. Pada wilayah penelitian, entisol terletak pada lahan-lahan dengan kemiringan yang cukup besar yaitu antara 30 % 45%, dengan relief bergunung sehingga sangat wajar jika tanah-tanah ini menjadi rentan longsor. Inseptisol memiliki sifat yang menyerupai seperti bahan induknya dan mengalami penimbunan liat, pengendapan Fe dan Al, pada umumnya memiliki solum yang dalam anatara 125 cm hingga lebih dari 200 cm (Hardjowigeno, 1985). Inseptisol pada daerah penelitian berada pada kemiringan 0 % 30 % dengan intensitas curah hujan tinggi ( mm/thn). Persebaran inseptisol pada umumnya berada pada relief yang berombak sampai bergelombang (Gambar 18). Di daerah penelitian, inseptisol banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai wilayah permukiman dan lahan pertanian karena mempunyai kemampuan produktifitas yang tinggi (Hardjowigeno, 1985). Besarnya aktivitas manusia di atas tanah ini (terutama pemotongan lereng) memungkinkan tanah ini menjadi rentan longsor. Berdasarkan hasil observasi lapangan pada jenis tanah inseptisol terdapat titik-titik yang mengalami longsor maupun yang tidak mengalami longsor. Pada daerah yang mengalami longsor memiliki kemiringan 8% - 45%, curah hujan sebesar mm/tahun, relief bergunung, dan penggunaan lahan
19 50 dominan berupa permukiman, sedangkan daerah yang tidak mengalami longsor berada pada kemiringan lebih rendah (0% - 8%), curah hujan mm/tahun, relief bergelombang, dan penggunaan lahan dominan berupa sawah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor pada jenis tanah yang sama ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh kemiringan, relief, dan penggunaan lahan di atasnya.. Gambar 16. Peta jenis tanah daerah penelitian
20 Gambar 17. Peta jenis bahan induk daerah penelitian 51
21 Gambar 18. Peta relief daerah penelitian 52
22 Analisis Diskriminan Linier (LDA) Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran parameter-parameter yang digunakan pada titik-titik longsor seperti telah diuraikan di atas, selanjutnya ditentukan uji statistik diskriminan linear untuk mengetahui pengaruh berbagai peubah terhadap proses longsor. Uji statistik ini dilakukan dengan menggunakan program Tanagra 1.4. Uji ini, dipilih 2 peubah, yaitu peubah tujuan (respon) dan peubah bebas (penjelas). Peubah tujuan (respon) terdiri dari atribut longsor dan tidak longsor (Tabel 8). Peubah bebasnya (penjelas) merupakan parameter yang memiliki nilai nominal agar diketahui nilai yang berpengaruh pada setiap parameter. Peubah bebas terdiri dari aspek lereng, kemiringan lereng, ketinggian tempat, curah hujan, dan indeks vegetasi (NDVI dan EVI) (Tabel 8). Tabel 8 berikut memperlihatkan setiap peubah penjelas yang dimasukan ke dalam diskriminan linier dan menghasilkan peubah penjelas yang berpengaruh dan peubah penjelas yang tidak berpengaruh terhadap respon. Peubah-peubah yang berpengaruh atau tidak terhadap longsor dapat dilihat dari nilai P-value yang dihasilkan, apabila nilai P-value kurang dari 5% maka menujukkan adanya pengaruh nyata terhadap respon, sebaliknya jika P-value lebih dari 5% maka tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Berdasarkan hasil analisis LDA (Tabel 8) terlihat bahwa peubah-peubah penjelas yang tidak berpengaruh terhadap peubah respon (P-value > 5%) adalah kemiringan lereng, aspek lereng, dan indeks vegetasi, sedangkan peubah-peubah penjelas yang berpengaruh terhadap respon (P-value < 5 %) adalah ketinggian (elevasi) dan curah hujan.
23 54 Tabel 8. Hasil pengolahan parameter longsor dengan tanagra 1.4 Atribute Clasification Function Statistical Evaluation Longsor Tidak Wilks.L Partial F (1,23) P-value Ketinggian 0,084 0,067 0,410 0,813 5,281 0, Kemiringan -0,224-0,158 0,342 0,975 0,576 0, Aspek 0,013 0,001 0,388 0,858 3,776 0, Curah Hujan 0,759 0,651 0,501 0,665 11,540 0, NDVI 21,324 9,470 0,376 0,886 2,939 0, EVI -5,374-0,405 0,376 0,886 2,939 0, Constant -35,699-39,029 Curah hujan mempunyai nilai P-value sebesar 0, (Tabel 9), artinya curah hujan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pemodelan DEM untuk memprediksi bahaya longsor pada selang kepercayaan 5%. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung lama/terus menerus akan dapat menyebabkan tanah menjadi jenuh sehingga menimbulkan aliran permukaan bahkan dapat memicu terjadinya longsor apabila berada pada lereng yang curam (> 45%). Ketinggian tempat (elevasi) mempunyai nilai P-value sebesar 0,000305, artinya memberikan pengaruh nyata terhadap proses longsor pada selang kepercayaan 5%. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan, bahwa wilayah-wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki ketinggian tempat yang besar, yaitu antara 500 hingga 800 meter sedangkan untuk wilayah tidak mengalami longsor mempunyai elevasi antara 200 hingga 500 meter. Hal ini cukup wajar disebabkan semakin tinggi suatu permukaan bumi maka akan berpotensi untuk mempunyai lereng-lereng yang curam dan curah hujan yang tinggi. Daerah-daerah yang memiliki ketinggian yang besar adalah daerah yang bergunung dan biasanya mempunyai curah hujan yang tinggi berkat terjadinya hujan orografis. Kemiringan lereng memiliki P-value sebesar 0,078765, artinya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap longsor pada selang kepercayaan 5%. Keadaan di lapangan membuktikan bahwa longsor banyak terjadi pada kemiringan lereng-lereng yang besar, karena kondisi ini banyak berpengaruh terhadap jatuh/bergeraknya batuan dan tanah ke daerah yang lebih rendah. Adanya
24 55 kemiringan lereng yang besar menyebabkan kemiringan lereng merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian longsor, namun demikian dalam penelitian ini hasil analisis LDA menujukkan sebaliknya bahwa nilai P-value dari kemiringan lereng memperlihatkan sifat yang tidak berpengaruh nyata. Kontradiksi ini mungkin dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat akurasi kelas lereng yang direpresentasikan pada peta. Akurasi ini berkaitan dengan interval ketinggian yang ditentukan dalam penelitian ini yang masih cukup besar (12,5 meter) sesuai dengan skala peta topografi yang digunakan (Skala 1:25.000). Titiktitik longsor yang ada di lapangan (Gambar 9) kebanyakan mempunyai beda tinggi lereng (antara titik tertinggi dengan terendah) kurang dari 12,5 meter. Aspek lereng memiliki P-value sebesar 0, artinya, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pemodelan bahaya longsor, pada selang kepercayaan 5% sehingga secara langsung aspek lereng merupakan faktor yang tidak mempengaruhi pergerakan tanah. Menurut Peralvarez et al. (2008) aspek lereng sebenarnya secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses longsor karena arah lereng lebih banyak membantu dalam hal pelapukan batuan akibat adanya sinar matahari. Kontradiksi yang dihasilkan dalam penelitian ini agak sulit diterangkan, namun mungkin dapat berkaitan dengan akurasi kemiringan lereng. Chang dan Tsai (1991) juga menjelaskan bahwa aspek error parameter ini lebih besar pada topografi yang curam. Indeks Vegetasi memiliki nilai P-value sebesar 0, untuk (NDVI) dan P-value sebesar 0, (EVI), sehingga kedua indeks vegetasi ini juga tidak berpengaruh nyata tehadap pemodelan DEM untuk longsor pada selang kepercayaan 5%. Hal ini disebabkan vegetasi dapat berfungsi ganda, yaitu dapat sebagai pelindung terjadinya longsor akibat adanya akar-akar vegetasi yang memperkuat kestabilan lereng, atau pada kondisi tertentu vegetasi malah dapat berfungsi sebagai pemberat (beban) dari lereng, sehingga dapat menyebabkan pemicu terjadinya longsor. Untuk daerah penelitian, daerah-daerah yang terkena longsoran memiliki jumlah indeks vegetasi lebih besar (0,2 0,6) jika dibandingkan dengan daerah tidak terkena longsor (0,1-0,4).
III. BAHAN DAN METODE
23 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2010 dan mengambil lokasi di wilayah DAS Ciliwung Hulu, Bogor. Pengolahan data dan analisis
Lebih terperinciPEMANFAATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) DAN CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)
1 PEMANFAATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) DAN CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu) Oleh : ANISSA REZAINY A14061785 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN
Lebih terperinciAPLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2
APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan
Lebih terperinciBAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Intepretasi Variabel BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Langkah paling awal dalam penelitian ini adalah penentuan lokasi penelitian. Lokasi penelitian ini ditentukan dengan membuat peta daerah aliran
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model
15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu
Lebih terperinciGambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.
25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE
11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis
Lebih terperinciGambar 9. Peta Batas Administrasi
IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada
Lebih terperinciIII. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan
Lebih terperinciBAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59
Lebih terperinciIV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi
IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga
Lebih terperinciGambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.
Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga
Lebih terperinciBAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN
BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih
Lebih terperinciIV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10
Lebih terperinciKARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi
III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumber daya yang paling banyak dimanfaatkan oleh manusia. Tanah menjadi media utama manusia mendapatkan pangan, sandang, papan, tambang, dan
Lebih terperinciKARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di
IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)
Lebih terperinciKONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Inventarisasi Tahap inventarisasi merupakan tahap yang dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang mendukung dan dibutuhkan pada perencanaan jalur hijau jalan ini. Berdasarkan
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi
Lebih terperinciTanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala
Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang
Lebih terperinciBAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2009 dan selesai pada
Lebih terperinciBAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI
BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi
9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari
Lebih terperinciKonsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo
DATA DEM DALAM ANALISIS MORFOMETRI (Aryadi Nurfalaq, S.Si., M.T) 3.1 Morfometri Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan, sebagai aspek pendukung morfografi dan morfogenetik, sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Longsorlahan merupakan perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau mineral campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng
Lebih terperinciBAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang
BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai pengumpulan dan pengolahan data. Dalam tahap persiapan disusun hal hal yang harus dilakukan dengan tujuan
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari
Lebih terperinciPETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi
Lebih terperinciKEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Daerah penelitian terletak pada 15 7 55.5 BT - 15 8 2.4 dan 5 17 1.6 LS - 5 17 27.6 LS. Secara administratif lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Desa
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat
4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural
Lebih terperinciII. PEMBENTUKAN TANAH
Company LOGO II. PEMBENTUKAN TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Isi A. Konsep pembentukan tanah B. Faktor pembentuk tanah C. Proses pembentukan tanah D. Perkembangan lapisan
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU
75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam
Lebih terperinciPENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah
PENDAHULUAN 1.1 Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI 13-7124-2005 Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara,
Lebih terperinciBAB II KONDISI UMUM LOKASI
6 BAB II KONDISI UMUM LOKASI 2.1 GAMBARAN UMUM Lokasi wilayah studi terletak di wilayah Semarang Barat antara 06 57 18-07 00 54 Lintang Selatan dan 110 20 42-110 23 06 Bujur Timur. Wilayah kajian merupakan
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik
24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan
Lebih terperinciBAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT
BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi ekstraksi ketinggian permukaan tanah dari data DEM, penggabungan Peta Aliran
Lebih terperinciKEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA
31 KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA Administrasi Secara administratif pemerintahan Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan dengan ibukota kabupaten terletak di Kecamatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78
Identifikasi Daerah Rawan Tanah Longsor Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis) Dr. Ir. M. Taufik, Akbar Kurniawan, Alfi Rohmah Putri Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dan saling menumbuk.
Lebih terperinciKONDISI UMUM 4.1 Aspek Fisik Wilayah Administrasi
IV KONDISI UMUM 4.1 Aspek Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung secara geografis terletak pada 6º 05 51-6º 46 12 Lintang Selatan (LS) dan 106º 47 09-107º 0 0 Bujur Timur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun bertambah dengan pesat sedangkan lahan sebagai sumber daya keberadaannya relatif tetap. Pemaanfaatan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29
Lebih terperinci1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN
1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE
13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Kabupaten
Lebih terperinciV. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG
57 V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 5.1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan manusia untuk kehidupannya dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian.
Lebih terperinciTANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd
TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara
Lebih terperinciKONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
39 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Deli Serdang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara dan secara geografis Kabupaten ini terletak pada 2º 57-3º
Lebih terperinciGeologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /
BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Soemarto (1999) infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak pasti), melalui permukaan dan secara vertikal. Setelah beberapa waktu kemudian,
Lebih terperinciANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh. Catur Pangestu W
ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh Catur Pangestu W 1013034035 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2015 ABSTRACT ANALISIS
Lebih terperinciBAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI
BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1. Kondisi Geografis Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27 persen dari luas Propinsi Jawa Barat. Secara administrasi, Kota Bogor terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di Indonesia adalah
Lebih terperinciBab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan
Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan IV.1 Bagan Alir Metodologi Penelitian Bagan alir metodologi penelitian seperti yang terlihat pada Gambar IV.1. Bagan Alir Metodologi Penelitian menjelaskan tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,
Lebih terperinciKONDISI UMUM WILAYAH STUDI
16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49
Lebih terperinciAnalisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Mar, 2013) ISSN: 2301-9271 Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Umum Embung merupakan bangunan air yang selama pelaksanaan perencanaan diperlukan berbagai bidang ilmu guna saling mendukung demi kesempurnaan hasil perencanaan. Bidang
Lebih terperinci2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi
Lebih terperinciPEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk
V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis 5.1.1 Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang
Lebih terperinciKEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG
1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG Gunungpati merupakan daerah berbukit di sisi utara Gunung Ungaran dengan kemiringan dan panjang yang bervariasi. Sungai utama yang melintas dan mengalir melalui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim
Lebih terperinciIndeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung
Lebih terperinciIII. METEDOLOGI PENELITIAN
III. METEDOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2011, berlokasi di DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Wilayah penelitian meliputi
Lebih terperinciPENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG
Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN
Lebih terperinciKONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode telah terjadi 850
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode 2011-2015 telah terjadi 850 kejadian bencana tanah longsor di Indonesia (BNPB, 2015).
Lebih terperinciGambar 7. Lokasi Penelitian
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam esensial, yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan air, maka bumi menjadi planet dalam tata surya yang memiliki
Lebih terperinciKARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis
IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten
Lebih terperinciIII.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu)
III.BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di DAS Ciliwung Hulu yang secara geografi terletak pada 6 o 38 01 LS 6 o 41 51 LS dan 106 o 50 11 BT 106 o 58 10 BT. Penelitian
Lebih terperinciPenelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E
PEMODELAN ARAHAN FUNGSI KAWASAN LAHAN UNTUK EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OPAK HULU Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi
Lebih terperinciix
DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288
Lebih terperinciGambar 2. Peta Batas DAS Cimadur
11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh
Lebih terperinci1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus ditanggulangi. Fenomena alam ini menjadi penyebab utama terbentuknya lahan kritis, terutama jika didukung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menginterpretasi bentuklahan, terutama berkaitan dengan proses-proses yang membentuk dan memodifikasi bentuklahan tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama semakin meningkat. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia. Dengan kata lain
Lebih terperinciTUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA
TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN
Lebih terperinci