STUDI POLIMORFISME PROTEIN DARAH DAN KARAKTERISTIK GENETIK EKSTERNAL AYAM ARAB PERIODE PRODUKSI SKRIPSI DESI ARYANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI POLIMORFISME PROTEIN DARAH DAN KARAKTERISTIK GENETIK EKSTERNAL AYAM ARAB PERIODE PRODUKSI SKRIPSI DESI ARYANTI"

Transkripsi

1 STUDI POLIMORFISME PROTEIN DARAH DAN KARAKTERISTIK GENETIK EKSTERNAL AYAM ARAB PERIODE PRODUKSI SKRIPSI DESI ARYANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 RINGKASAN Desi Aryanti. D Studi Polimorfisme Protein Darah dan Karakteristik Genetik Eksternal Ayam Arab Periode Produksi. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Sri Darwati, M.Si. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu Hidayati Soesanto, M.S. Secara genetis ayam Arab tergolong galur ayam buras yang unggul karena memiliki kemampuan produksi telur yang tinggi. Selain itu, ayam Arab juga mempunyai potensi untuk disilangkan guna perbaikan bibit ayam buras asli Indonesia sehingga didapatkan jenis ayam baru yang memiliki produksi telur yang tinggi dan daging yang disukai masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui polimorfisme genetik pada ayam Arab melalui analisis protein darah. Selanjutnya, polimorfisme protein darah ini akan dikaitkan dengan produksi telur ayam Arab yang dipelihara pada suhu lingkungan kandang berbeda. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melengkapi data karakteristik genetik eksternal seperti warna bulu, pola warna bulu, warna shank, dan bentuk jengger pada ayam Arab yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian ini dilaksanakan di Darmaga, Bogor. Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu ayam Arab betina dewasa (umur 34 minggu) sebanyak 134 ekor yang diamati karakteristik genetik eksternalnya, kemudian dari sejumlah ayam tersebut dipilih 30 ekor untuk dipelihara dan dicatat produksi telurnya selama 20 hari. Ayam Arab tersebut dikelompokkan berdasarkan jarak antar tulang pubis, yaitu jarak tulang pubis lebar, sedang, dan sempit. Pada akhir periode pencatatan produksi telur, masing-masing sampel darah ayam diambil untuk dilakukan analisis protein darah dengan metode elektroforesis. Hasil analisis protein darah menunjukkan lokus transferin dan albumin bersifat polimorfik. Pada lokus transferin ditemukan 3 alel yang membentuk 3 alternatif genotipe (Tf AA, Tf AB dan Tf AC ), sedangkan pada albumin ditemukan 3 alel yang membentuk 4 alternatif genotipe (Alb AA, Alb AB, Alb BB dan Alb BC ). Frekuensi alel tertinggi pada lokus transferin yaitu alel Tf A (0,57), sedangkan pada lokus albumin yaitu alel Alb B (0,58). Alel A, B, dan C pada lokus transferin secara genetik berpengaruh meningkatkan produksi telur ayam Arab dengan nilai efek gen secara berurutan masing-masing sebesar 7,0975 (alel B), 5,9575 (alel C) dan 1,8732 (alel A). Begitu pula alel A (2,1635) dan B (0,0209) pada lokus albumin, sedangkan alel C (-2,3355) berpengaruh menurunkan produksi telur. Hasil uji-t untuk mengetahui pengaruh produksi telur ayam Arab yang dipelihara pada suhu kandang yang berbeda dan pengelompokan berdasarkan jarak tulang pubis yang berbeda menunjukkan bahwa rataan produksi telur ayam Arab yang dipelihara pada kandang suhu panas (± 30 o C) justru lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang dipelihara pada kandang suhu lingkungan (± 25 o C). Pengelompokan ayam Arab berdasarkan jarak tulang pubis yang berbeda menunjukkan tidak adanya pengaruh jarak tulang pubis, baik untuk jarak pubis besar, sedang dan kecil terhadap produksi telur ayam Arab yang dipelihara pada kandang suhu lingkungan (P > 0,05). Namun, ayam Arab yang dipelihara pada kandang suhu i

3 panas menunjukkan adanya perbedaan produksi telur antara ayam dengan jarak tulang pubis besar yang dibandingkan dengan ayam dengan jarak tulang pubis kecil (P < 0,05) serta ayam dengan jarak tulang pubis sedang yang dibandingkan dengan ayam dengan jarak tulang pubis kecil (P < 0,05), tetapi tidak ada perbedaan produksi telur antara ayam dengan jarak tulang pubis besar bila dibandingkan dengan ayam dengan jarak tulang pubis sedang (P > 0,05). Hasil pengamatan karakteristik genetik eksternal menunjukkan bahwa frekuensi gen pengontrol tertinggi pada ayam Arab adalah warna bulu berwarna (ii), pola bulu liar (e_ + ), kerlip bulu emas (ss), corak bulu lurik (BB), warna shank hitam (idid), dan bentuk jengger tunggal (pp). Berdasarkan nilai heterozigositasnya ayam Arab memiliki warna bulu, pola bulu, corak bulu dan bentuk jengger yang seragam (h=0,0000), sedangkan kerlip bulu dan warna shank pada ayam Arab masih bervariasi yang ditunjukkan dengan nilai heterozigositas harapan (h) masing-masing 0,3127 dan 0,0856. Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu ayam Arab memiliki protein plasma albumin dan transferin yang bersifat polimorfik (beragam), tetapi sifat karakteristik genetik eksternalnya bersifat seragam. Selain itu, diketahui bahwa polimorfisme protein plasma darah ayam Arab memiliki hubungan dengan produksi telur sehingga produksi telur ayam Arab dapat dideteksi melalui polimorfisme darahnya. Kata-kata kunci: Ayam Arab, protein darah, produksi telur, karakteristik genetik eksternal ii

4 ABSTRACT Study of Blood Protein Polymorphism and External Genetic Characteristics of Arab Chickens on Laying Period Aryanti, D., S. Darwati, and H.S. Iman Rahayu The aim of this research was to know genetic variance of Arab chickens through blood protein polymorphism analysis by using electrophoresis method. Two loci were analysed, i.e. Transferin (Tf) and Albumin (Alb). Then, this research can be used to study the effect of transferin and albumin loci to egg production characteristic of Arab chickens. In additional, the observation of external genetic characteristic also can used to identify the genetic variation of Arab chickens. A number of 134 Arab chickens were used for the observation of external genetic characteristic, then 30 laying of Arab chicken selected to record the egg production until period of 20 days. The birds were divided into 2 groups based on the cage temperature treatment, i.e. environment temperature (±25 o C) and hot temperature (±30 o C). It s done to determine the influence of the environment, especially different cage temperature on egg productivity of Arab chicken. Furthermore, blood protein polymorphism analysed by electrophoresis method, and blood sample taken from each chickens. The result of blood protein polymorphism analysis showed that in transferin locus were identified 3 aleles forming 3 genotipes (Tf AA, Tf AB and Tf AC ) and in albumin were identified 3 aleles forming 4 genotipes (Alb AA, Alb AB, Alb BB and Alb BC ). In transferin, A (0,57) gene frequency was highest than B (0,05) and C (0,38) gene frequency, in albumin B (0,58) gene frequency was highest than A (0,07) and C (0,35) gene frequency. Respectively, Arab chickens with AB genotype on all loci locus had higher (P < 0,05) egg production than other heterozygote genotype. It s causes B gene (7,0975) in transferin and A gene (2,1635) in albumin had highest value of gene effects than other. Albumin had the heterosigosity value more higher than transferin, it is 0,54 and 0,53. The result of observation external genetic characteristic showed that the highest controlling genes external characteristic of Arab chickens are coloured (ii), wild type pattern (e_ + ), golden feature (ss), barred (B_), black shank coloured (idid), and single comb (pp). According to the rate of heterosigosity value, Arab chickens was homogenous with it s value was 6,64%. The conclusion of the research are Arab chickens had uniform characteristic of genetic external, but had variance in blood protein. The blood protein polymorphism of Arab chicken can use to detect egg production. Keywords: Arab chickens, blood protein, egg production, external genetic characteristic iii

5 STUDI POLIMORFISME PROTEIN DARAH DAN KARAKTERISTIK GENETIK EKSTERNAL AYAM ARAB PERIODE PRODUKSI DESI ARYANTI D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 iv

6 Judul Nama NIM : Studi Polimorfisme Protein Darah dan Karakteristik Genetik Eksternal Ayam Arab Periode Produksi : Desi Aryanti : D Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, Ir. Sri Darwati, M.Si. NIP Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu H. S., M.S. NIP Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc. NIP Tanggal Ujian: 25 Mei 2011 Tanggal Lulus: v

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1990 di Ciamis, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Mamat, S.P dan Ibu Lilis Kartika. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri 67 Pagaralam dan diselesaikan pada tahun Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Pagaralam. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Pagaralam pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Produksi dan Teknologi Peternakan (HIMAPROTER) sebagai staf Infokom periode dan sebagai Badan Pengawas periode Penulis juga aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Keluarga Mahasiswa Bumi Sriwijaya (OMDA IKAMUSI) di IPB sebagai staf divisi pendidikan periode vi

8 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-nya lah penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian dan penulisan skripsi dengan judul Studi Polimorfisme Protein Darah dan Karakteristik Genetik Eksternal Ayam Arab Periode Produksi. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2010 sampai dengan 28 Februari 2011 di Bogor. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penyusunan skripsi ini merupakan wujud peran aktif dan kontribusi dalam dunia peternakan. Penelitian ini dimulai dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan untuk mengidentifikasi karakteristik genetik eksternal ayam Arab betina periode produksi dengan menggunakan ayam Arab sebanyak 134 ekor. Selanjutnya, ayam dipilih sebanyak 30 ekor dan dikelompokkan berdasarkan ukuran pubisnya untuk dilakukan pemeliharaan dan pencatatan produksi telur selama 20 hari. Pengambilan sampel darah untuk analisis polimorfisme protein darah ayam Arab dilakukan setelah data produksi telur diperoleh atau di akhir masa pemeliharaan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data dasar untuk mengetahui polimorfisme protein plasma darah ayam Arab dan kaitannya terhadap produksi telur serta untuk melengkapi data karakteristik genetik eksternal ayam Arab yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga bermanfaat untuk upaya pelestarian dan pengembangan ayam Arab. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, oleh sebab itu kritik dan saran akan sangat membantu demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT meridhoi karya ini. Amien. Bogor, Mei 2011 Penulis vii

9 DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan TINJAUAN PUSTAKA... 3 Ayam Arab... 3 Karakteristik Genetik Eksternal... 4 Warna Bulu... 6 Pola Warna Bulu Primer... 6 Pola Bulu Sekunder (Corak Bulu)... 7 Kerlip Bulu... 7 Warna Shank... 7 Bentuk Jengger... 8 Protein Darah... 8 Polimorfisme Protein Darah... 9 Polimorfisme Protein Plasma Transferin Polimorfisme Protein Plasma Albumin Elektroforesis MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Materi Metode Pencatatan Produksi Telur Pengambilan Sampel Darah Teknik Elektroforesis Pembuatan Campuran Larutan untuk Elektroforesis Pembuatan Gel Elektroforesis 16 i iii iv v vi vii viii x xi xii viii

10 Penetesan Sampel dan Running 17 Teknik Pewarnaan dan Pencucian 17 Analisis Hasil Elektroforesis 17 Pengamatan Karakteristik Genetik Eksternal Penentuan Warna Bulu Penentuan Pola Warna Bulu Penentuan Corak Warna Bulu Penentuan Kerlip Warna Bulu Penentuan Warna Shank Penentuan Bentuk Jengger Analisis Data Analisis Deskriptif Frekuensi Alel Protein Plasma Darah Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Autosomal Frekuensi Gen Dominan Terkait Kromosom Kelamin Frekuensi Alel Ganda Efek Gen Uji Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) Heterozigositas Uji-t HASIL DAN PEMBAHASAN Protein Darah Protein Plasma Transferin (Tf) Protein Plasma Albumin (Alb) Produksi Telur Karakteristik Genetik Eksternal Warna, Pola, Kerlip, dan Corak Bulu Warna Shank Bentuk Jengger Frekuensi Gen Pengontrol Karakteristik Genetik Eksternal 39 Heterozigositas KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

11 Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Sifat Kualitatif Ayam Arab Kandungan Nutrien Pakan ayam Arab Jarak antar Tulang Pubis Berdasarkan Umur Karakteristik Genetik Eksternal Ayam Frekuensi Genotipe, Heterozigositas, dan Uji Keseimbangan Hardy- Weinberg Lokus Transferin pada Ayam Arab Produksi Telur Berdasarkan Genotipe Lokus Transferin dan Albumin serta Efek Gen terhadap Produksi Telur Frekuensi Genotipe, Heterozigositas, dan Uji Keseimbangan Hardy- Weinberg Lokus Albumin pada Ayam Arab Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman Produksi Telur Ayam Arab Persentase Fenotipe Warna, Pola, Kerlip, dan Corak Bulu pada Ayam Arab Persentase Fenotipe Warna Shank pada Ayam Arab Persentase Fenotipe Bentuk Jengger pada Ayam Arab Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Karakteristik Eksternal pada Ayam Arab Heterozigositas Harapan per Individu (h) dan Rata-rata Heterozigositas per Individu ( ) Ayam Arab x

12 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Ayam Arab Betina dan Jantan Susunan Pola Pita Protein Plasma Darah Ayam Kedu Pola Pita Protein Hasil Analisis Plasma Darah Ayam Arab Pola Pita Protein Transferin Ayam Arab Pola Pita Protein Albumin Ayam Arab Proses Pembentukan Kerabang Telur Warna, Pola, Kerlip, dan Corak Bulu Ayam Arab Warna Shank pada Ayam Arab Bentuk Jengger Tunggal pada Ayam Arab xi

13 Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Jarak Tulang Pubis, Sifat Kualitatif, Produksi Telur dan Protein Darah Ayam Arab Perhitungan Produksi Telur Ayam Arab Perhitungan Frekuensi Genotipe Perhitungan Point of Origin (O) dan Genotypic Value Perhitungan Frekuensi Alel Perhitungan Nilai Tengah Genotipe (m) dan Nilai Tengah Nyata (M) Perhitungan Nilai Efek Gen Uji Keseimbangan Hardy-Weinberg Perhitungan Heterozigositas Protein Darah Uji-t Pengaruh Jarak Tulang Pubis terhadap Produksi Telur pada Ayam Arab yang Dipelihara pada Kandang Suhu Nyaman Uji-t Pengaruh Jarak Tulang Pubis terhadap Produksi Telur pada Ayam Arab yang Dipelihara pada Kandang Suhu Panas Uji-t Pengaruh Jarak Tulang Pubis terhadap Produksi Telur pada Ayam Arab yang Dipelihara pada Kandang Suhu Lingkungan dibandingkan dengan Kandang Suhu Panas Jumlah Ayam Arab berdasarkan Krakteristik Genetik Eksternal. 14. Perhitungan Persentase Fenotipe Karakteristik Genetik Eksternal pada Ayam Arab Perhitungan Frekuensi Gen Karakteristik Genetik Eksternal pada Ayam Arab Perhitungan Heterozigositas (h) Karakteristik Genetik Eksternal pada Ayam Arab Perhitungan Simpangan Baku (SE(h)) Karakteristik Genetik Eksternal pada Ayam Arab Perhitungan Rata-rata Heterozigositas ( dan Simpangan Baku Rata-rata Heterozigositas (SE ( xii

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Ayam Arab merupakan ayam tipe petelur unggul karena memiliki kemampuan bertelur yang cukup tinggi. Ayam Arab memiliki ciri-ciri antara lain bersifat lincah, agak liar, tidak mengeram, daya seksual pada jantan tinggi, kemampuan memproduksi telur yang tinggi, dan berpostur tubuh ramping. Keunggulan yang dimiliki ayam Arab menyebabkan ayam tersebut sering disilangkan dengan ayam jenis lain guna memperoleh bibit ternak unggul khususnya dalam produksi telur. Namun, perkawinan alami yang tidak terkontrol dapat menyebabkan keragaman genetik yang tinggi pada suatu populasi sehingga dapat menyebabkan menurunnya produktivitas ayam Arab tersebut. Keragaman genetik yang sering disebut juga dengan polimorfisme genetik merupakan salah satu klasifikasi sifat kualitatif dalam arti luas. Keragaman genetik suatu ternak dapat diketahui pada tingkat gen (genotipe) maupun penampakan luar (fenotipe). Penentuan keragaman genetik pada tingkatan gen salah satunya dapat dilakukan menggunakan fraksi-fraksi protein darah melalui polimorfisme proteinnya dengan metode elektroforesis, yaitu suatu cara analisis kimiawi yang didasarkan pada pergerakan molekul-molekul protein bermuatan di dalam medan listrik. Pola protein yang berbeda-beda pada hasil elektroforesis menunjukkan variasi fenotipe yang mewakili genotipe individu dan akan menghasilkan perbedaan distribusi frekuensi gen pada suatu populasi. Karakteristik genetik eksternal pada ayam dapat dilakukan melalui pengamatan fenotipe meliputi warna bulu, kerlip bulu, warna shank, dan bentuk jengger serta produksi telur. Identifikasi melalui karakteristik genetik eksternal lebih mudah dilakukan dibandingkan cara elektroforesis. Polimorfisme darah diatur secara genetis oleh pasangan alel, sedangkan keragaman genetik dapat dilihat dari karakter alel dari lokus tertentu yang merupakan ekspresi dari gen tertentu. Polimorfisme protein darah khususnya pada ternak ayam dapat dilihat dari protein albumin dan transferin yang berkaitan terhadap produksi telur. Beberapa penelitian menemukan tiga alel yang berbeda dari hasil identifikasi lokus pada masing-masing protein darah tersebut, yaitu alel A, B, dan C sehingga akan ditemukan beberapa macam genotipe yang dapat digunakan untuk seleksi ayam yang mempunyai produktivitas telur tertinggi. 1

15 Produksi telur ayam selain ditentukan dari segi genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan yang kurang mendukung akan mengakibatkan produksi telur menurun meskipun mempunyai genetik yang baik. Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap produksi telur adalah suhu lingkungan pada tempat pemeliharaan. Suhu lingkungan yang nyaman akan meningkatkan produksi telur karena sifat genetik akan muncul secara optimal bila diberikan lingkungan yang optimal pula, sedangkan suhu yang terlalu tinggi akan menurunkan produksi telur karena ayam mengalami stres panas. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui polimorfisme genetik pada ayam Arab melalui analisis protein darah. Selanjutnya, polimorfisme protein darah ini dikaitkan dengan produksi telur ayam Arab pada suhu lingkungan kandang yang berbeda. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melengkapi data karakteristik genetik eksternal seperti warna bulu, pola warna bulu, warna shank, dan bentuk jengger pada ayam Arab yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. 2

16 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab Berbagai alasan muncul berkaitan dengan asal-usul penamaan ayam Arab. Beberapa sumber mengatakan bahwa asal mula disebut ayam Arab karena awalnya dibawa dari kepulangan ibadah haji dari tanah Arab. Sumber lain menyebutkan penamaan ayam Arab dikarenakan pejantan ayam Arab memiliki libido (keinginan kawin) yang tinggi dan ayam betinanya memiliki bulu dari kepala sampai leher membentuk jilbab apabila dilihat dari jauh. Ayam ini bukan merupakan ayam asli Indonesia melainkan berasal dari Belgia (Natalia et al., 2005). Ayam Arab yang banyak ditemukan di Indonesia merupakan hasil persilangan dengan berbagai jenis ayam, baik ayam lokal maupun ayam ras (Nataamijaya et al., 2003). Ayam Arab lebih tahan penyakit dan tahan perubahan iklim (Yusdja et al., 2005), sehingga berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia dan juga dapat disilangkan dengan ayam lokal lain untuk memperoleh produksi telur yang lebih tinggi dengan kualitas daging yang lebih baik (Sulandari et al., 2007). Ayam Arab ada dua jenis, yaitu ayam Arab silver (brakel kriel-silver) dan ayam Arab golden (brakel kriel-gold). Dalam perkembangannya di masyarakat ayam Arab silver lebih banyak dikenal dan dibudidayakan dibandingkan ayam Arab golden. Kedua jenis ayam Arab ini dibedakan pada warna bulunya sesuai dengan namanya. Ayam Arab silver mempunyai warna bulu dari kepala hingga leher putih keperakan dan warna bulu totol hitam putih/ lurik hitam putih. Ayam Arab golden memiliki ciri khas warna bulu pada kepala sampai leher merah keemasan dan warna bulu badan totol merah keemasan (Natalia et al., 2005). Ayam Arab merupakan salah satu jenis ayam petelur unggul yang mulai banyak dikembangkan di Indonesia karena memiliki penampilan yang lebih menarik dibandingkan dengan ayam buras biasa, produktivitas telurnya tinggi hampir menyerupai produktivitas ayam petelur ras dan memiliki karakteristik telur yang menyerupai ayam Kampung (Natalia et al., 2005). Ayam Arab merupakan ayam petelur unggul yang digolongkan ke dalam ayam tipe ringan dengan bobot badan umur 52 minggu mencapai 2.035,60 ±115,7 g pada jantan dan 1.324,70 ±106,47 g pada betina (Nataamijaya et al., 2003). Produksi telur ayam Arab yang tinggi yaitu butir/tahun dengan bobot telur g dan hampir tidak memiliki sifat 3

17 mengeram sehingga waktu bertelur menjadi lebih panjang (Natalia et al., 2005; Sulandari et al., 2007). Telur ayam Arab berwarna putih karena memiliki gen dominan yang berasal dari ayam ras impor, walaupun di Indonesia telah mengalami perkawinan silang dengan ayam lokal. Bobot telur ayam Arab yaitu 34,24±1,38 g per butir dengan umur pertama bertelur yaitu 168,52±3,20 hari dan produksi telur per periode 6 bulan yaitu 51,41±4,61%. Natalia et al. (2005) menyataan bahwa ayam Arab memiliki daging yang tipis dan kulit yang berwarna hitam sehingga daging ayam Arab kurang disukai konsumen, disamping bobot afkirnya tergolong rendah yaitu hanya mencapai 1,1-1,2 kg. Gambar 1. Ayam Arab Betina (kiri) dan Jantan (kanan) Nataamijaya et al. (2003) menyatakan ayam Arab memiliki sifat kualitatif antara lain memiliki jengger bentuk tunggal tegak bergerigi (Serrated Single Comb) dan berwarna merah dengan ukuran jengger pada betina jauh lebih kecil daripada jantan, pial berwarna merah, memiliki warna bulu lebih homogen dengan warna dasar hitam dihiasi warna putih di daerah kepala, leher, dada, punggung dan sayap, serta berwarna putih pada paruh, kulit, dan sisik kaki. Ayam Arab memiliki tingkah laku diantaranya sangat mudah ketakutan, mempunyai sifat liar, dan mudah terkejut. Karakteristik Genetik Eksternal Karakteristik genetik eksternal disebut juga sifat dari suatu individu ternak yang tampak dari luar atau dengan kata lain yaitu fenotipe. Hal tersebut sesuai dengan Hardjosubroto (1999) yang menyatakan bahwa penampilan suatu individu 4

18 yang nampak dari luar disebut fenotipe. Warwick et al. (1990) mendefinisikan sifat fenotipe sebagai suatu penampakan luar atau sifat-sifat lain dari suatu individu yang dapat diamati atau dapat diukur. Selanjutnya, Hardjosubroto (1999) menjelaskan bahwa fenotipe ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Fenotipe individu dapat dibedakan atas yang bersifat kualitatif dan yang bersifat kuantitatif. Sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat dibedakan dan dikelompokkan secara tegas, misalnya warna bulu, bentuk jengger, ada tidaknya tanduk atau sebagainya. Sifat ini dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan sedikit atau tidak sama sekali dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sifat kuantitatif adalah sifat yang dapat diukur, misalnya produksi susu, produksi telur, pertambahan berat badan harian, dan sebagainya. Sifat ini dikendalikan oleh banyak pasang gen dan juga banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Ayam Arab memiliki fenotipe yang seragam, yaitu pada jantan bentuk jengger tunggal, tegak, dan berukuran relatif besar dibandingkan ayam lain serta berwarna terang, jengger betina bersifat sama dengan jantan hanya ukurannya agak lebih kecil (Nataamijaya, 2000). Sifat kualitatif ayam Arab disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat Kualitatif Ayam Arab Sifat Kualitatif Jantan Betina Warna Badan (Bulu) bintik putih/bintik merah bintik putih/bintik merah Warna Kulit hitam hitam Bentuk Jengger tunggal dan tegak, berukuran relatif lebih besar dibanding jenis ayam lain tunggal berukuran kecil dibanding jantan tapi relatif lebih besar dibanding jenis betina lain dan ada yang rebah Warna Jengger merah muda terang merah pucat Warna Kaki hitam hitam Warna Kerabang Telur - bervariasi, yaitu putih, putih kekuningan, dan cokelat Sumber: Natalia et al. (2005) 5

19 Warna Bulu Warna bulu ayam dipengaruhi oleh adanya pigmen melanin (Crawford, 1990). Pigmen melanin terbagi menjadi dua tipe, yaitu eumelanin yang membentuk warna hitam dan biru pada bulu, dan feomelanin yang membentuk warna merahcokelat, salmon, dan kuning tua (Searle, 1968; Brumbaugh, 1968). Kerja pigmen melanin ini diatur oleh gen I (inhibitor) sebagai gen penghambat produksi melanin dan gen i sebagai gen pemicu produksi melanin sehingga ada dua sifat utama pada sifat warna bulu ayam, yaitu sifat berwarna dan sifat tidak berwarna. Warna bulu putih pada ayam yang membawa gen I (inhibitor) adakalanya resesif terhadap warna bulu lain. Begitu pun warna bulu pada ayam yang membawa gen i (gen pembawa sifat warna) tidak selalu hitam tergantung ukuran dan pengaturan granula pigmen. Sifat inhibitor merupakan sifat dominan tidak lengkap pada heterozigot (Ii) yang ditunjukkan oleh adanya spot dan garis hitam pada bagian bulu ayam saat masih muda dan bulu akan sebagian ataupun sepenuhnya hitam pada ayam dewasa (Hutt, 1949). Pola Warna Bulu Primer Distribusi melanin pada bulu primer akan menimbulkan pola bulu yang disebut pola warna bulu primer. Pola warna ini dipengaruhi oleh faktor pendistribusian dan penghambatan distribusi eumelanin. Warna hitam solid dengan simbol E diekspresikan pada penampilan bulu hitam di seluruh bagian bulu dan biasa terlihat pada permukaan bulu yang dibatasi pada leher, bulu besar sayap, dan ekor (Hutt, 1949). Faktor pendistribusi eumelanin pada lokus E terdiri dari tiga alel, yaitu E (hitam polos), e + (tipe liar), dan e (columbian) yang setelah diteliti kemudian terdiri dari delapan alel, yaitu Extended black (E)> Birchen (E R )> Dominant wheaten (e Wh )> wild type (e + ) >Brown (e b )> Speckled (e s )> Butterrcup (e bc )> Recessive wheaten (e y ) (Crawford, 1990). Smyth (1976) menyatakan kerja alel dari lokus E ini bisa pula dibatasi oleh beberapa alel yang bersifat membatasi distribusi eumelanin pada bulu primer, yaitu alel Db (dark brown), Co (columbian), dan Mh (mahagony). Kerja ketiga alel ini akan berpengaruh bila berinteraksi dengan lokus E pada bagian punggung, sayap, kaki, dan bulu ekor. 6

20 Pola Bulu Sekunder (Corak Bulu) Distribusi melanin pada bulu sekunder akan menimbulkan pola bulu yang disebut pola bulu sekunder atau istilah lainnya adalah corak bulu. Corak bulu pada ayam ada dua jenis corak, yaitu lurik/burik (barred) dilambangkan dengan gen B dan tidak lurik (non barred) dilambangkan b. Gen pola bulu barred (B) bersifat dominan tidak lengkap dan penampilannya bervariasi yang disebabkan oleh faktor jenis kelamin dan pertumbuhan bulu. Ayam betina gen terkaitnya bersifat hemizigot, sedangkan pada jantan bisa bersifat homozigot atau heterozigot. Kerja gen B ini adalah menghambat deposisi melanin dan akan menimbulkan palang-palang putih pada warna dasar hitam sehingga bulu terlihat hitam bergaris-garis putih (Hutt, 1949). Kerlip Bulu Warna kerlip pada lapisan bulu utama dinamakan kerlip bulu yang terdiri dari kerlip perak (Silver dan dilambangkan dengan gen S) dan emas (dilambangkan dengan gen s). Kerlip bulu ditemukan pada ayam yang berbulu hitam polos sampai yang putih sekalipun, namun kurang terlihat pada ayam yang memiliki gen autosomal merah atau yang memiliki bulu dengan kombinasi warna yang keragamannya sangat kompleks. Gen pembawa sifat kerlip bulu terdapat pada kromosom kelamin (Hutt, 1949). Gen S (silver) dan s (emas) terletak di kromosom sex dan alel ini berguna pada persilangan komersial untuk mengidentifikasi jenis kelamin anak ayam yang baru ditetaskas (Crawford, 1990). Warna Shank Karakteristik warna shank kuning (Co) atau putih (I) disebabkan oleh kurangnya kandungan melanin pada jaringan kulit luar (epidermis); kandungan melanin pada lapisan kulit luar dikontrol oleh gen resesif yang ditandai dengan warna shank hitam (Hutt, 1949). Deposisi melanin pada lapisan dermis kulit cakar ayam menyebabkan dua warna, yaitu warna cakar kuning/putih (gen Id) dan warna cakar hitam (gen id). Dunn (1925) menyatakan bahwa kerja gen Id adalah menghambat deposisi melanin di lapisan dermis kulit sehingga kulit kekurangan melanin dan berwarna kuning atau putih, sedangkan gen yang membawa sifat deposisi melanin pada lapisan dermis adalah gen resesif id yang bisa dalam kondisi homozigot atau hemizigot. 7

21 Selanjutnya diterangkan bahwa gen dominan Id tidak bersifat dominan penuh, hal ini terlihat jelas pada individu heterozigot yang ternyata memiliki bintik-bintik melanin cukup banyak pada permukaan kulit sehingga warna cakar terlihat bukan hitam, tapi abu-abu. Bentuk Jengger Bentuk jengger menurut Hutt (1949) terbagi dalam 4 bagian yaitu bentuk ros, kapri, tunggal, dan walnut (kemiri). Selanjutnya Hutt (1949) menjelaskan bahwa sifat gen dominan tidak penuh dibawa oleh dua gen R (Ros) dan P (pea/kapri). Kedua gen ini akan muncul ekspresinya jika gen lainnya dalam keadaan resesif homozigot, misalnya R-pp akan berfenotipe jengger berbentuk ros dan rrp- berekspresi jengger bentuk kapri. Apabila dominan R berada bersama-sama dengan dominan P, maka akan menyebabkan jengger berbentuk walnut (Hardjosubroto, 1999). Bentuk jengger walnut memiliki empat kemungkinan genotipe, yaitu PPRR, PpRR, PPRr atau PpRr (Crawford, 1990). Hutt (1949) menyatakan sifat jengger tunggal akan muncul dalam bentuk homozigot resesif rrpp. Selanjutnya dijelaskan oleh Hutt (1949) bahwa bentuk jengger mampu menjelaskan bobot badan yang dimiliki oleh ayam tersebut, karena menurutnya besar jengger sangat berkorelasi positif terhadap bobot hidup ayam, nilai korelasinya mencapai 0,85 sampai 0,96. Protein Darah Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian, yaitu plasma darah dan sel darah. Darah tersusun atas cairan plasma, garam-garam, bahan kimia lainnya, eritrosit (sel darah merah), dan leukosit (sel darah putih). Plasma darah terdiri atas protein (albumin, globulin dan fibrinogen), lemak dalam bentuk kolesterol, fosfolpid, lemak netral, asam lemak, dan mineral anorganik terutama kalsium, potasium dan iodium. Berat darah pada unggas adalah 8% dari berat tubuh anak ayam umur 1-2 minggu dan 6% dari berat tubuh ayam dewasa (Yuwanta, 2008). Frandson (1992) menyatakan bahwa plasma darah terdiri dari air sebanyak 92% dan zat-zat lain sebanyak 8%. Zat-zat lain itu 90% berupa protein dan 0,9% berupa bahan anorganik, sedangkan sisanya adalah bahan organik yang bukan protein. 8

22 Protein adalah polimer panjang yang tersusun atas asam-asam amino yang terikat secara kovalen oleh ikatan-ikatan peptida (Stansfield dan Elrod, 2002). Kadar protein plasma pada unggas berkisar antara mg/ml. Protein plasma pada hewan vertebrata tingkat tinggi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fibrinogen, globulin, dan albumin. Fibrinogen bertanggung jawab dalam proses pembentukan darah. Globulin bertanggung jawab dalam berbagai fungsi, terutama yang berkaitan dengan reaksi kekebalan (imun) dan transfer molekul tertentu seperti hormon, vitamin, dan zat besi. Sementara albumin bertanggung jawab mempertahankan volume plasma (Isnaeni, 2010). Protein darah dihasilkan melalui proses transkripsi DNA (asam dioksiribonukleat) dan translasi RNA (asam ribonukleat). Susunan asam amino dan jumlah protein dalam darah sangat ditentukan oleh gen-gen yang mengkodenya (Stansfield dan Elrod, 2002). Penentuan fraksi-fraksi protein darah dapat digunakan untuk menentukan karakteristik genetik ternak tersebut melalui polimorfisme proteinnya (Warwick et al., 1990). Polimorfisme Protein Darah Polimorfisme merupakan variasi genetik yang terjadi pada tingkat DNA dan protein, serta seringkali terekspresikan dalam bentuk fenotipe-fenotipe yang berbeda pada suatu populasi. Polimorfisme dapat muncul pada tiga tingkatan antara lain pada tingkat kromosom, gen, dan pada restriksi fragmen DNA yang polimorfik (Stansfield dan Elrod, 2002). Harris (1994) menyatakan bahwa jika suatu populasi yang anggota-anggotanya memiliki dua atau lebih fenotipe protein yang dikode oleh dua alel atau lebih pada suatu lokus gen tertentu, maka hal tersebut dikenal dengan istilah polimorfisme. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suatu lokus disebut polimorfik apabila frekuensi alel tidak lebih besar dari 0,99. Polimorfisme merupakan hasil utama dari aksi gen yang sangat bermanfaat dalam penelitian biologi dasar, terutama untuk menentukan asal usul ternak, menyusun hubungan filogenetis antar spesies dan bangsa atau kelompok-kelompok dalam spesies. Secara umum diantara jenis protein darah yang sudah diketahui bersifat polimorfik adalah globulin (transferin), albumin, enzim-enzim darah dan hemoglobin (Warwick et al., 1990). Hasil penelitian Wulandari (2008) mengenai analisis elektroforesis protein plasma darah ayam Kedu dengan menggunakan gel poliakrilamid menunjukkan 4 lokus yang bersifat polimorfik diantaranya adalah pre- 9

23 albumin (Palb), albumin (Alb), tansferin (Tf), dan post-transferin (Ptf). Pada ayam Kampung ditemukan empat macam lokus protein yang polimorfik yaitu hemoglobin, albumin, post-albumin, dan transferin (Johari, 1999). Polimorfisme Protein Plasma Transferin Transferin memiliki kisaran berat molekul sebesar Dalton (Da). Hasil penelitian Johari et al. (2008) pada ayam Kedu menunjukkan bahwa lokus transferin (Tf) dikontrol oleh dua alel, yaitu Tf B dan Tf C. Pita yang bergerak lebih cepat ke arah kutub positif dinamakan alel B, sedangkan pita yang bergerak lebih lambat dinamakan alel C. Kedua alel tersebut dapat membentuk karakter heterozigot BC. Ismoyowati (2008) melaporkan hasil identifikasi fenotipe atau genotipe lokus transferin pada itik Tegal diperoleh tiga alel atau gen yang kombinasinya membentuk empat macam genotipe yaitu, Tf AA, Tf AB, Tf BB dan Tf BC dengan masing-masing frekuensi gen Tf A adalah 0,25676, frekuensi gen Tf B adalah 0,64865 dan frekuensi gen Tf C adalah 0, Genotipe homosigot Tf AA memiliki potensi produksi telur paling tinggi dibanding dengan genotipe lainnya (104 butir). Genotipe heterosigot Tf AB dengan alel atau gen Tf A dominan terhadap alel atau gen Tf B, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan menurunnya potensi produksi telur (87 butir). Genotipe homosigot Tf BB memiliki potensi produksi telur paling rendah (84 butir). Genotipe heterosigot Tf BC dengan alel atau gen Tf C dominan terhadap alel Tf B, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan potensi produksi telur yang lebih tinggi dibanding genotipe Tf BB (94butir). Polimorfisme Protein Plasma Albumin Albumin memiliki berat molekul sebesar Dalton (Da). Pita albumin terlihat jelas karena albumin memiliki bentuk pita yang sangat tebal jika dibandingkan dengan pita-pita lain. Polimorfisme protein darah ayam Kedu diperoleh 2 alel yaitu B dan C dengan nilai frekuensi gen masing-masing yaitu 0,525 dan 0,475 (Johari et al., 2008). Identifikasi lokus albumin pada itik Tegal diperoleh tiga alel atau gen yang kombinasinya membentuk lima macam genotipe, yaitu Alb AA, Alb AB, Alb AC, Alb BB dan Alb BC dengan frekuensi gen atau alel A yaitu 0,20186, frekuensi gen atau alel B sebesar 0,47205 dan frekuensi gen atau alel C sebesar 0, Genotipe homosigot Alb AA memiliki potensi telur paling tinggi (97 butir). Genotipe heterosigot Alb AB 10

24 dengan alel atau gen Alb B dominan terhadap alel Alb A, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan menurunnya potensi produksi telur (85,50 butir). Genotipe heterosigot Alb AC (88 butir) dengan alel atau gen Alb C dominan terhadap alel Alb A, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan potensi produksi telur yang lebih rendah dibanding genotipe Alb AA. Genotipe homosigot Alb BB memiliki potensi produksi telur paling rendah (80,50 butir). Genotipe heterosigot Alb BC (96 butir) dengan alel atau gen Alb C dominan terhadap alel Alb B, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan potensi produksi telur yang lebih tinggi dibanding genotipe Alb BB (Ismoyowati, 2008). Elektroforesis Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul selular berdasarkan atas ukurannya dengan menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini dapat digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya DNA yang bermuatan negatif. Jika molekul yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium, misalnya gel agarose, kemudian dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif. Kecepatan gerak molekul tersebut tergantung pada nisbah (rasio) muatan terhadap massanya, serta tergantung pula pada bentuk molekulnya (Yuwono, 2005). Yuwono (2005) menyatakan bahwa teknik elektroforesis dapat digunakan untuk analisis DNA, RNA maupun protein. Secara umum, teknik elektroforesis protein kadang-kadang disebut analisis allozyme (Feldhamer et al., 1999). Elektroforesis protein pada dasarnya dilakukan dengan prinsip serupa seperti yang digunakan dalam elektroforesis DNA, namun gel yang digunakan adalah gel poliakrilamid. Protein yang dielektroforesis dapat dianalisis dengan pengecatan menggunakan Coomassie blue. Senyawa ini biasanya ditambahkan bersama-sama dengan sampel. Pengecatan protein dapat juga dilakukan dengan larutan perak nitrat yang lebih sensitif dibanding dengan Coomassie blue (Yuwono, 2005). Teknik elektroforesis merupakan suatu teknik yang relatif sederhana dan cepat, dan dengan demikian banyak genotipe dapat diidentifikasi dengan hanya bekerja satu hari di laboratorium. Elektroforesis tidak hanya digunakan untuk 11

25 mendeteksi variasi gen dari suatu individu tetapi dapat juga digunakan untuk menduga variasi genetik dalam suatu populasi. Selain itu, hasil elektroforesis terhadap protein dapat digunakan untuk memperkirakan hubungan dalam filogeni (Feldhamer et al., 1999). 12

26 MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai bulan Februari Pengamatan karakteristik eksternal, pencatatan produksi telur, dan pengambilan sampel darah dilakukan di Laboratorium Lapang Ternak Unggas Blok B. Analisis protein darah dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu ayam Arab betina dewasa (umur 34 minggu) sebanyak 134 ekor yang diamati karakteristik genetik eksternalnya, kemudian dari sejumlah ayam tersebut dipilih 30 ekor untuk dipelihara dan dicatat produksi telurnya selama 20 hari. Sampel darah untuk analisis elektroforesis diambil dari 30 ayam Arab tersebut dan pengambilan sampel darah dilakukan pada akhir periode pencatatan produksi telur. Pada akhir periode pencatatan produksi telur, masing-masing ayam diambil sampel darahnya untuk dilakukan analisis protein darah dengan metode elektroforesis. Materi yang digunakan selama pemeliharaan ayam Arab yaitu pakan, vaksin, vitamin dan air minum. Pakan yang digunakan yaitu pakan komplit ayam petelur dewasa umur 19 minggu produksi 65% dengan merk dagang Gold Coin 105-M. Kandungan nutrien pakan disajikan pada Tabel 2. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis elektroforesis protein darah terdiri dari alkohol 70%, natrium ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA) sebagai anti koagulan, akrilamid, bisakrilamid, gliserin, Destilation Water (DW), tris, HCl, amonium peroksodisulfat (APS), TEMED, glisin, bromphenol blue, methanol, asam asetat, dan Coomasie brilliant blue. Peralatan yang digunakan untuk pemeliharaan selama pencatatan produksi telur terdiri dari individual cage berukuran 30x20x25 cm, tempat pakan, tempat minum, termometer dan alat kebersihan. Peralatan yang dibutuhkan dalam persiapan sampel darah adalah alat suntik 2,5 ml, tabung eppendorf 2,5 ml, termos es, kapas dan lemari pendingin. Alat yang digunakan untuk analisis pola protein darah terdiri dari tabung eppendorf, magnetic stirrer, centrifuge 5415 R, mikropipet, tip, gelas 13

27 ukur, beker glass, timbangan analitik, cawan petri, spatula, nampan plastik, oven, inkubator, seperangkat alat elektroforesis yang terdiri dari cetakan gel, bak, voltage/current regulator Kayagaki model PS-300 dan voltage regulator model EC Peralatan yang digunakan untuk pengamatan sifat karakteristik genetik eksternal adalah lembar data, alat tulis, dan kamera digital. Tabel 2. Kandungan Nutrien Pakan Ayam Arab Nutrien Persentase (%) Kadar Air Maks. 13 Protein Kasar Serat Kasar Maks 6 Lemak Min. 3 Abu Maks. 14 Phosfor 0,6-1,0 Kalsium 3,0-4,2 Sumber :PT. Gold Coin Indonesia Keterangan: Pakan tersebut dibuat tahun 2010 dari bahan-bahan: jagung kuning, bungkil kacang kedelai, bungkil kacang tanah, tepung ikan, tepung daging, dedak padi, pollard, vitamin, trace mineral, dan antioxidant. Metode Pencatatan Produksi Telur Sebelum penelitian dimulai, ayam Arab dipilih dan dikelompokkan berdasarkan ukuran pubis, yaitu ukuran jarak antar tulang pubis lebar (3 4 jari atau 3,46-4,33 cm), jarak antar tulang pubis sedang (2 2,5 jari atau 2,30-2,86 cm), dan jarak antar tulang pubis sempit (1 1,5 jari atau 1,07-1,50 cm). Semakin lebar jarak antar tulang pubis, diasumsikan semakin tinggi produksi telurnya. Penentuan jarak antar tulang pubis ini mengacu pada Arbor Acres (2006) yang dapat dilihat pada Tabel 3. Selain itu, dilakukan persiapan kandang dan peralatan terlebih dahulu serta pemberian obat anti stres terhadap masing-masing ayam Arab yang dipelihara. Perlakuan suhu kandang yang diberikan selama pemeliharaan, yaitu kandang suhu lingkungan sekitar ± 25 o C (21-29 o C) dan kandang suhu panas sekitar 30 o C (24-32 o C). Ayam Arab dipelihara pada individual cage untuk mempermudah pencatatan produksi telur yang dilakukan selama 20 hari. Pemberian pakan dan air minum ad libitum serta pencatatan produksi telur dilakukan setiap pagi dan sore. 14

28 Tabel 3. Jarak antar Tulang Pubis Berdasarkan Umur Umur Jarak Tulang Pubis 12 minggu (84 hari) Tertutup 21 hari sebelum telur pertama 1,5 jari 10 hari sebelum telur pertama 2 2,5 jari Pada saat mulai bertelur 3 jari Sumber : Arbor Acres (2006) Pengambilan Sampel Darah Sampel darah diambil dari 30 ekor ayam Arab yang telah dicatat produksi telurnya selama 20 hari. Sampel darah ayam diambil dengan menggunakan spuit pada vena bagian sayap ayam sekitar 2 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 2,5 ml yang telah diisi EDTA sebagai anti koagulan dan disimpan pada termos es. Plasma darah dipisah dari sel darah merah dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 5 menit pada suhu 20 o C. Plasma darah yang telah terpisah dari sel darah merah diambil menggunakan pipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang baru dan disimpan pada suhu 4 o C sampai dilakukan analisis. Teknik Elektroforesis Teknik elektroforesis vertikal dengan gel poliakrilamid digunakan untuk penentuan protein plasma darah Albumin (Alb) dan Transferin (Tf). Teknik ini dilakukan berdasarkan metode yang disarankan oleh Ogita dan Markert (1979). Bahan yang dipersiapkan terdiri atas bahan larutan gel pemisah dan larutan gel penggertak. Komposisi bahan untuk larutan gel pemisah dan larutan gel penggertak berdasarkan petunjuk Gahne et al. (1977). Pembuatan Campuran Larutan untuk Elektroforesis Bahan Gel Pemisah (I): Bahan IA: akrilamid 39 g, bis 1 g, gliserin 20 ml, ditambah H 2 O sampai 100 ml. Bahan IB: tris 9,15 g, HCl 1N 3 ml, ditambah H 2 O sampai 100 ml. Bahan IC: ammonium peroksodisulfat 0,2 g, ditambah H 2 O sampai 100 ml. Bahan ID: temed 0,4 ml ditambah H 2 O sampai 100 ml. 15

29 Bahan Gel Penggertak (II): Bahan IIA: akrilamide 38 g, bis 2 g, gliserin 20 ml, ditambah H 2 O sampai 100 ml. Bahan IIB: tris 1,5 g, HCl 1N 1 ml, ditambah H 2 O sampai 100 ml. Bahan IIC: amonium peroksodisulfat 0,4 g, ditambah H 2 O sampai 100 ml. Bahan IID: temed 0,2 ml ditambah H 2 O sampai 100 ml. Bahan Penyangga Elektrode (IIIA): Tris 1,5 g, glisin 7,2 g, ditambah H 2 O sampai 100 ml. Bahan Indikator Contoh (IVA): Tris HCl 0,5 M penyangga ph 6,8 25 ml dilarutkan dalam 40 ml gliserin, bromphenol blue 0,01% 20 ml dan H 2 O 15 ml. Bahan Pewarna: Untuk penentuan protein Transferin dan Albumin pada plasma darah digunakan Coomasie briliant blue 1,25 g, metanol 255 ml, asam asetat 50 ml, ditambah H 2 O 225 ml. Bahan Pencuci: H 2 O 800 ml, methanol 150 ml dan asam asetat 50 ml. Pembuatan Gel Elektroforesis Gel elektroforesis terdiri dari dua larutan, yaitu larutan gel pemisah dan penggertak. Larutan gel pemisah untuk analisis plasma darah dibuat 5% akrilamid dengan mencampurkan larutan IA, IB (HCl 1N), IC, ID, dan H 2 O masing-masing sebanyak 2,5; 5; 5; 2,5; dan 5 ml. Larutan gel pemisah tersebut dimasukkan ke dalam cetakan gel yang terdiri dari dua lempengan kaca dengan spacer dan penjepit. Larutan dimasukkan dengan pipet sampai ketinggian tertentu untuk menyisakan ruang gel penggertak, kemudian ditambahkan isobutanol diatasnya untuk meratakan permukaan dan larutan ditunggu hingga menjadi gel. Larutan gel penggertak untuk analisa plasma darah merupakan larutan dengan persentase gel 3% yang dibuat dengan cara mencampurkan larutan IIA, IIB (HCl 1 N), IIC, IID, dan H 2 O masingmasing sebanyak 0,75; 2,5; 2,5; 1,25; dan 3 ml, kemudian dimasukkan ke dalam cetakan gel setelah gel pemisah terbentuk sampai ujung bagian atas kaca yang 16

30 membentuk lengkungan dan dimasukkan sisir sebagai pencetak tempat sampel sebelum gel membeku. Penetesan Sampel dan Running Alat elektroforesis disiapkan, slab dipasang pada bak yang telah diberi larutan penyangga elektrode, kemudian cetakan sisir dibuka setelah larutan penyangga elektrode diisi pada bak bagian atas. Sampel darah yang sudah siap dibiarkan mencair terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampel dalam gel dengan menggunakan pipet Hamilton yang sebelumnya dicampur dengan larutan indikator contoh. Sampel plasma darah sebanyak 0,6 μl menggunakan larutan indikator sebanyak 0,6 μl. Alat elektroforesis tersebut dihubungkan dengan Voltage/Current regulator dengan arus ma (constant current), tegangan 100 volt selama satu jam. Teknik Pewarnaan dan Pencucian Setelah running selesai, slab dibuka untuk memisahkan gel dari lempeng kaca, kemudian gel diberi pewarna Coomasie brilliant blue pada baki plastik, dibiarkan selama 15 menit. Proses yang terakhir dilakukan adalah pencucian gel. Gel yang telah diwarnai diberi larutan pencuci sambil digoyang-goyang dan larutan pencuci diganti beberapa kali sampai jernih dan terlihat pita-pita protein plasma darah. Analisis Hasil Elektroforesis Analisis pola pita lokus protein transferin dan albumin ayam Arab diilustrasikan seperti Gambar 2 mengacu pada penelitian sebelumnya mengenai keragaman genetik ayam Kedu yang dilakukan oleh Wulandari (2008). (+) Alb Tf (-) Alb AA AA AA AA AA AA AB AB AB AB AB AB AB Tf CC CC BC BC CC CC CC BC BC BC BC BC AC Gambar 2. Susunan Pola Pita Protein Plasma Darah Ayam Kedu (Wulandari, 2008) 17

31 Pengamatan Karakteristik Genetik Eksternal Pengamatan karakteristik genetik eksternal menggunakan ayam Arab umur 34 minggu sebanyak 134 ekor. Pengamatan ini meliputi sifat-sifat kualitatif fenotipe yaitu warna bulu, pola warna bulu, corak bulu, kerlip bulu, warna shank, dan bentuk jengger. Lokus dan tipe gen yang mengendalikan karakteristik genetik eksternal pada ayam disajikan pada Tabel 4. Hasil pengamatan kemudian dicatat dalam tabel pengamatan yang kemudian dilanjutkan dengan analisis data. Tabel 4. Karakteristik Genetik Eksternal Ayam Ekspresi Lokus Genotipe (Fenotipe) Warna Bulu I-i I-(Putih) ii(berwarna) Pola warna bulu E-e + -e E-(Hitam) e + -(liar) ee (Pola columbian) Kerlip Corak Bulu Warna Cakar Bentuk Jengger Sumber :Nishida et al. (1980) S-s (Terkait seks) B-b (Terkait seks) Id-id (Terkait seks) P-p S-(Perak) ss(emas) S-(Perak) s-(emas) B-(Bar) bb(non-bar) B-(Bar) bb(non-bar) Id-(Kuning/putih) idid(hitam/abu-abu) Id(Kuning/Putih) id (Hitam/abu-abu) Pp (Tunggal) P (Pea) Penentuan Warna Bulu (Crawford, 1990) Warna bulu pada ayam dibedakan menjadi warna putih dan warna selain putih (berwarna). Penentuan warna bulu putih bila seluruh permukaan bulu pada 18

32 ayam berwarna putih, sedangkan berwarna apabila ditemukan warna pada permukaan bulu di sekujur tubuh ayam. Penentuan Pola Warna Bulu (Crawford, 1990) Pola warna bulu dibedakan menjadi pola warna hitam, tipe liar dan kolumbian. Penentuan pola warna hitam adalah apabila pada seluruh permukaan bulu pada ayam berwarna hitam polos, pola warna tipe liar pada jantan apabila ditemukan sebaran warna hitam pada bagian dada dan warna selain hitam pada leher, punggung dan sayap, sedangkan pada betina apabila tubuh terdiri dari campuran warna coklat dan hitam, bagian dada berwarna coklat muda, dan pola warna kolumbian apabila terdapat warna kuning keemasan pada bulu bagian leher, sayap, dan ekor. Penentuan Corak Warna Bulu (Hardjosubroto, 1999) Corak warna bulu dibedakan atas lurik dan polos. Penentuan warna lurik yaitu apabila ditemukan warna bercak-bercak hitam dengan batas-batasnya tegas dan teratur, sedangkan corak warna bulu polos apabila ditemukan hanya satu warna dalam satu bulu. Penentuan Kerlip Warna Bulu (Hutt, 1949) Kerlip warna bulu dibedakan menjadi kerlip warna silver dan gold. Kerlip warna bulu silver terdapat pada ayam yang memiliki warna bulu putih, lurik, kolumbian, bercak abu-abu. Kerlip warna bulu gold terdapat pada ayam yang memiliki warna bulu kekuning-kuningan, merah, hitam, putih, lurik emas, bercak coklat, kombinasi hitam-merah. Penentuan Warna Shank (Oluyemi dan Roberts, 1979) Warna shank pada ayam dibedakan menjadi warna kuning/putih dan hitam/ abu-abu. Warna shank kuning akibat adanya pigmen lipokrom, sedangkan warna shank hitam disebabkan adanya pigmen melanin. Penentuan Bentuk Jengger (Crawford, 1990) Bentuk jengger dibedakan menjadi bentuk jengger single dan pea. Penentuan bentuk jengger single apabila ditemukan bentuk jengger berpilah satu atau tunggal pada ayam yang memanjang di bagian kepala, sedangkan bentuk jengger pea apabila ditemukan bentuk jengger berpilah tiga yang membujur dari depan ke belakang dan pilah bagian tengah umumnya lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. 19

33 Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis deskriptif ditujukan untuk menghitung rataan produksi telur ayam Arab pada kandang yang diberi perlakuan suhu berbeda. Analisis ini dilakukan dengan menghitung nilai rataan ( ), simpangan baku (Sb) dan koefisien keragaman (KK) dengan prosedur statistik sebagai berikut (Stansfield dan Elrod, 2002) : = Sb = KK(%) = (100%) Keterangan : = rataan Sb = simpangan baku x i = ukuran ke i peubah ke x n = jumlah populasi KK = koefisien keragaman Analisis deskriptif digunakan pula untuk menghitung frekuensi fenotipe suatu sifat kualitatif yang diamati. Perhitungan frekuensi fenotipe dilakukan dengan menghitung jumlah masing-masing ayam yang mempunyai sifat kualitatif tertentu dibagi dengan jumlah populasi ayam yang diamati dikalikan 100%. Perhitungan dilakukan menggunakan formula (Minkema, 1993) sebagai berikut: Frekuensi fenotipe sifat A = x 100% Keterangan: A= salah satu sifat kualitatif yang diamati N= total populasi yang diamati Frekuensi Alel Protein Plasma Darah Frekuensi alel atau gen dihitung setelah dilakukan interprestasi atau penentuan alel dari masing-masing lokus pada protein plasma ayam Arab hasil analisis elektroforesis. Frekuensi alel dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Nei dan Kumar, 2000): 20

34 Keterangan: frekuensi alel ke i = jumlah sampel yang bergenotipe ii = jumlah sampel yang bergenotipe ij N = jumlah populasi sampel Perhitungan frekuensi alel atau gen juga digunakan terhadap sifat karakteristik genetik eksternal yang meliputi perhitungan frekuensi gen dominan dan resesif autosomal, perhitungan frekuensi gen dominan terkait kromosom kelamin, dan perhitungan frekuensi alel ganda. Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Autosomal Frekuensi gen dominan autosomal (warna bulu dan bentuk jengger) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Nishida et al., 1980): q = 1 - ; p= 1 q Keterangan: q = frekuensi gen dominan R = jumlah ayam yang menunjukkan sifat resesif N = jumlah seluruh ayam p = frekuensi gen resesif autosomal Frekuensi Gen Dominan Terkait Kromosom Kelamin Frekuensi gen dominan terkait kelamin (corak bulu, kerlip bulu, dan warna shank) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Nishida et al., 1980): q = q + q ; p = 1 q Keterangan: q = frekuensi gen dominan pada kelompok jantan N = jumlah total individu jantan q = frekuensi gen dominan pada kelompok betina 21

35 p = frekuensi gen resesif terkait kelamin q = Keterangan: R = jumlah individu betina dengan ekspresi resesif N = jumlah total individu betina Frekuensi Alel Ganda Frekuensi gen alel ganda (pola warna bulu) dihitung menggunakan rumus Standfield dan Elrod (2002) sebagai berikut : r = q = - r p = 1 - q r Keterangan: p = frekuensi gen E q = frekuensi gen e + r = frekuensi gen e Efek Gen Pengaruh masing-masing gen terhadap sifat produksi telur ayam Arab dihitung menurut petunjuk Pirchner (1983) sebagai berikut: Keterangan: = efek gen alel i = efek gen alel j p = frekuensi gen i q = frekuensi gen j = genotypic value 22

36 Uji Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) Uji keseimbangan Hardy-Weinberg bertujuan untuk mengetahui apakan suatu populasi berada dalam keseimbangan. Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) dilakukan dengan pengujian Chi-Kuadrat terhadap masing-masing lokus pada protein plasma darah ayam Arab. Uji Chi-kuadrat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Nei dan Kumar, 2000): X 2 = Keterangan: = Chi-Kuadrat O = nilai pengamatan E = nilai harapan Heterozigositas Heterozigositas digunakan untuk menentukan keragaman alel (gen) pada protein plasma darah ayam Arab. Heterozigositas digunakan pula untuk mengetahui keragaman genetik ayam Arab berdasarkan karakteristik genetik eksternalnya. Nilai heterozigositas dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Nei dan Kumar, 2000): h = 1 Keterangan: h = nilai heterozigositas = frekuensi alel ke-i q = jumlah alel Rata-rata heterozigositas (H) adalah rata-rata nilai h terhadap jumlah seluruh lokus atau: H = Keterangan: h = heterozigositas per individu H = rata-rata heterozigositas per individu 23

37 m = jumlah alel = frekuensi gen ke-i Analisis dengan Uji-t Uji-t digunakan untuk mengetahui perbedaan rataan produksi telur ayam Arab dengan perlakuan suhu kandang yang berbeda. Uji-t menurut Walpole (1995) sebagai berikut : t = keterangan : t = nilai t hitung = rataan sampel kelompok 1 = rataan sampel kelompok 2 Sp = simpangan baku n 1 = jumlah sampel kelompok 1 n 2 = jumlah sampel kelompok 2 24

38 HASIL DAN PEMBAHASAN Protein Darah Hasil analisis elektroforesis protein plasma darah ayam Arab dengan menggunakan gel poliakrilamid menunjukkan 2 lokus protein yang polimorfik diantaranya adalah transferin (Tf) dan albumin (Alb). Penentuan alel dari masingmasing lokus tersebut dilakukan dengan cara melihat pita-pita protein yang muncul atau sering disebut band (pita) pada gel poliakrilamid. Pola pita protein hasil analisis plasma darah pada ayam Arab dapat dilihat pada Gambar 3. Tf Alb Gambar 3. Pola Pita Protein Hasil Analisis Plasma Darah Ayam Arab Protein Plasma Transferin (Tf) Hasil identifikasi genotipe lokus transferin pada ayam Arab diperoleh tiga alel atau gen yang kombinasinya dapat membentuk enam macam genotipe, yaitu Tf AA, Tf AB, Tf BB, Tf AC, Tf BC, dan Tf CC. Namun, pada penelitian ini hanya ditemukan tiga macam genotipe, yaitu Tf AA, Tf AB, dan Tf AC, sedangkan tiga genotipe lainnya tidak ditemukan pada lokus transferin ayam Arab. Pita yang bergerak lebih cepat ke arah anoda dinamakan alel A, sedangkan pita yang bergerak paling lambat dinamakan alel C. Alel B berada diantara alel A dan C. Pola pita protein plasma transferin dapat dilihat pada Gambar 4. Sebaran genotipe protein plasma transferin pada ayam Arab dengan urutan terbanyak adalah Tf AC, Tf AA dan Tf AB dengan frekuensi masing-masing 0,77; 0,13; dan 0,10 (Tabel 5). Frekuensi gen tertinggi terdapat pada alel Tf A (0,57) dan frekuensi alel terendah yaitu alel Tf B (0,05). Berdasarkan nilai frekuensi gen tersebut maka lokus transferin pada ayam Arab bersifat polimorfik. Hal ini sesuai dengan Harris (1994) yang menyatakan bahwa lokus disebut polimorfik apabila frekuensi 25

39 alel terbanyak tidak lebih dari 0,99. Frekuensi masing-masing alel disajikan pada Tabel 5. (+) (-) AC AC AA AC AB AC AC AC AC AC Gambar 4. Pola Protein Transferin Ayam Arab Heterozigositas diperoleh dari hasil perhitungan frekuensi gen pada masingmasing lokus. Tabel 5 menunjukkan bahwa heterozigositas lokus transferin ayam Arab sebesar 0,53. Sartika et al. (1997) menyatakan bahwa keragaman genetik suatu populasi ditentukan oleh lokus-lokus yang mempunyai nilai heterozigositas yang tinggi. Javanmard et al. (2005) menambahkan bahwa suatu populasi dikatakan memiliki keragaman gen yang rendah apabila memiliki nilai heterozigositas kurang dari 0,5. Berdasarkan nilai heterozigositas (H = 0,53) yang diperoleh dapat diketahui bahwa lokus transferin pada ayam Arab memiliki keragaman yang cukup tinggi, sehingga masih memungkinkan untuk dilakukannya seleksi pada populasi tesebut. Tabel 5. Frekuensi Genotipe, Heterozigositas, dan Uji Keseimbangan Hardy- Weinberg Lokus Transferin pada Ayam Arab Lokus Protein Transferin Genotipe AA AB AC Jumlah (ekor) Frekuensi Genotipe 0,13 0,1 0,77 Jumlah ,53 Keterangan: H (Heterozigositas); * = berbeda nyata (P < 0,05) H Chi-Kuadrat 0,53 11,07 17,61* 26

40 Hasil uji keseimbangan Hardy-Weinberg (Tabel 5) menunjukkan tidak adanya keseimbangan genotipe lokus transferin (Tf) pada populasi ayam Arab ( ). Hal ini diduga karena ayam Arab telah mengalami seleksi secara bertahap dan dilakukannya perkawinan silang untuk meningkatkan produksi telurnya. Warwick et al. (1990) menyatakan bahwa berdasarkan hukum Hardy- Weinberg, dalam populasi yang besar jika tidak terjadi seleksi, migrasi atau mutasi, dan perkawinan terjadi secara acak, maka frekuensi gen dan genotipik akan tetap sama dari generasi ke generasi (Tabel 6 menunjukkan bahwa ayam Arab dengan genotipe homozigot Tf AA memiliki potensi produksi telur paling rendah (2 butir/ekor/20 hari). Genotipe heterosigot Tf AB yang merupakan kombinasi dari alel atau gen Tf A dengan alel atau gen Tf B memiliki produksi telur yang lebih tinggi dibandingkan genotipe Tf AA, yaitu sebanyak 13 butir/ekor/20 hari. Genotipe heterosigot Tf AC (12 butir/ekor/20 hari) yang merupakan kombinasi alel atau gen Tf A dengan alel atau gen Tf C memiliki produksi telur yang lebih rendah dibandingkan ayam dengan genotipe Tf AB, namun masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi telur ayam dengan genotipe Tf AA (Tf AB > Tf AC > Tf AA ). Pirchner (1983) menyatakan bahwa kombinasi gen yang berpengaruh pada sifat kuantitatif bersifat penambahan (aditif). Hasil perhitungan efek gen pada lokus transferin diketahui bahwa gen A (α1), B (α2), dan C (α3) secara genetis berpengaruh terhadap peningkatan produksi telur ayam Arab, namun pengaruh atau efek gen B lebih tinggi dibandingkan dengan gen A dan C. Berdasarkan hasil produksi telur yang ditunjukkan pada Tabel 6 diketahui bahwa adanya alel atau gen Tf B dalam keadaan heterosigot dapat meningkatkan potensi produksi telur ayam Arab, karena alel Tf B (7,0975) memiliki nilai efek gen yang lebih tinggi dibandingkan Tf A (1,8732) dan Tf C (5,9575). Berdasarkan nilai efek gen tersebut juga dapat diduga bahwa jika ditemukan ayam dengan genotipe homosigot Tf BB, maka ayam tersebut diduga akan memiliki potensi produksi telur yang paling tinggi diantara yang lainnya. Namun, pada penelitian ini ayam dengan genotipe Tf BB tidak ditemukan, sehingga produksi telurnya tidak diketahui. Tingginya nilai produksi telur ayam Arab dengan genotipe heterosigot Tf AB dibandingkan dengan produksi telur ayam yang memiliki genotipe homosigot Tf AA juga diduga karena adanya interaksi gen yang bersifat over dominan, sehingga dalam 27

41 keadaan heterosigot produksi telur ayam Arab lebih tinggi daripada ayam dengan genotipe homosigot. Pirchner (1983) menyatakan sifat kuantitatif dipengaruhi oleh banyak gen (poligenik), interaksi gen satu dengan yang lainnya ada yang bersifat over dominan sehingga pemunculannya menekan pengaruh gen yang lain. Tabel 6. Produksi Telur Berdasarkan Genotipe Lokus Transferin dan Albumin serta Efek Gen Terhadap Produksi Telur Lokus Protein Transferin Albumin Produksi telur (butir/ekor/20 hari) AA AB AC BB BC CC 2 (n=4) 13 (n=3) 12 (n=23) (n=1) 14 (n=2) - 14 (n=6) 10 (n=21) Point of origint (O) 1 12 Nilai tengah genotipe (m) 5,7741 0,0134 Nilai tengah nyata (M) 6, ,0134 Frekuensi alel atau gen A B C Efek gen α 1 (A) α 2 (B) α 3(C) 0,57 0,05 0,38 1,8732 7,0975 5,9575-0,07 0,58 0,35 2,1635 0,0209-2,3355 Protein Plasma Albumin (Alb) Identifikasi lokus albumin diperoleh tiga alel atau gen yang kombinasinya dapat membentuk enam macam genotipe, yaitu Alb AA, Alb AB, Alb BB, Alb BC, Alb AC, dan Alb CC. Namun, pada penelitian ini hanya ditemukan empat genotipe lokus albumin pada ayam Arab, yaitu Alb AA, Alb AB, Alb BB, dan Alb BC. Sama halnya 28

42 dengan lokus transferin, pada albumin pita yang bergerak lebih cepat ke arah anoda dinamakan alel A, sedangkan yang lebih lambat dinamakan alel C. Alel B berada diantara alel A dan C. Wulandari (2008) menyatakan bahwa lokus albumin sangat mudah dikenali karena memiliki ketebalan yang lebih besar dibandingkan lokus yang lain. Pola pita protein albumin disajikan pada Gambar 5. (+) (-) BC BC AA AB AB AC AC BC AB BB Gambar 5. Pola Pita Protein Albumin pada Ayam Arab Genotipe Alb BC merupakan genotipe yang paling banyak ditemukan pada protein plasma albumin ayam Arab dengan frekuensi 0,7, kemudian genotipe Alb BB, Alb AB dan Alb AA dengan frekuensi masing-masing 0,2; 0,07 dan 0,03 (Tabel 7). Lokus albumin bersifat polimorfik dengan frekuensi alel tertinggi yaitu alel Alb B (0,58) dan frekuensi alel terendah yaitu alel Alb A (0,07). Hasil perhitungan frekuensi gen pada lokus albumin dapat dilihat pada Tabel 6. Lokus albumin memiliki nilai heterozigositas sedikit lebih tinggi dibandingkan transferin, yaitu sebesar 0,54. Berdasarkan nilai heterozigositas yang diperoleh dapat diketahui bahwa lokus albumin pada ayam Arab juga memiliki keragaman yang cukup tinggi, sehingga masih memungkinkan untuk dilakukan seleksi pada populasi tesebut. Hasil yang sama seperti yang diperoleh pada lokus transferin untuk uji keseimbangan Hardy-Weinberg yang menunjukkan bahwa tidak adanya keseimbangan genotipe lokus albumin (Alb) pada populasi ayam Arab ( ). Penyebab ketidakseimbangan ini karena ayam Arab telah mengalami seleksi secara bertahap dan dilakukannya perkawinan silang untuk 29

43 meningkatkan produksi telurnya. Hasil perhitungan frekuensi genotipe, heterozigositas, dan uji keseimbangan Hardy-Weinberg disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Frekuensi Genotipe, Heterozigositas, dan Uji Keseimbangan Hardy- Weinberg Lokus Albumin pada Ayam Arab Lokus Protein Albumin Genotipe AA AB BB BC Jumlah (ekor) Frekuensi Genotipe 0,03 0,07 0,2 0,7 Jumlah ,54 Keterangan: H (Heterozigositas); * = berbeda nyata (P < 0,05) H Chi-Kuadrat 0,54 11,07 18,22* Tabel 6 menunjukkan genotipe homosigot Alb AA (10 butir/ekor/20 hari) memiliki potensi produksi telur lebih rendah dibandingkan genotipe homosigot Alb BB (14 butir/ekor/20 hari). Genotipe heterosigot Alb AB (14 butir/ekor/20 hari) yang merupakan kombinasi dari alel atau gen Alb A dengan alel atau gen Alb B memiliki produksi telur yang lebih tinggi dibandingkan genotipe Alb AA, tetapi sama dengan produksi telur genotipe Alb BB. Genotipe heterosigot Alb BC yang merupakan kombinasi dari alel atau gen Alb B dengan alel atau gen Alb C memiliki produksi telur yang sama dengan ayam bergenotipe Alb AA, tetapi lebih tinggi bila dibandingkan dengan ayam yang bergenotipe Alb BB. Hasil perhitungan efek atau pengaruh gen pada lokus albumin diperoleh gen A (α1) dan B (α2) berpengaruh terhadap peningkatan produksi telur, sedangkan gen C (α3) merupakan gen yang berpengaruh secara genetik menurunkan produksi telur. Alel atau gen A memiliki pengaruh paling besar dalam meningkatkan produksi telur dengan nilai efek gen 2,1635 (Tabel 6). Oleh karena itu, dalam keadaan heterosigot alel Alb A berpengaruh meningkatkan potensi produksi telur meskipun dalam keadaan homosigot dengan genotipe Alb AA produksi telurnya rendah. Berdasarkan hasil perhitungan produksi telurnya, ayam dengan genotipe heterosigot Alb BC memiliki produksi telur yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam genotipe homosigot Alb BB. Meskipun keduanya mengandung gen B yang berpengaruh meningkatkan produksi telur, namun ayam dengan genotipe Alb BC juga mengandung gen C yang 30

44 berpengaruh menurunkan produksi telur, sehingga produksi telurnya lebih rendah dibanding ayam dengan genotipe Alb BB. Hasil berbeda yang diperoleh Ismoyowati (2008) yang menemukan 2 gen yang berpengaruh meningkatkan produksi telur Itik Tegal, yaitu gen A dan gen C yang masing-masing pengaruhnya sebesar 3,4658 dan 0,0815. Produksi Telur Kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses-proses di dalam tubuh ternak. Apabila proses tersebut terganggu, ternak akan stres sehingga mempengaruhi pertumbuhan atau produksi. Daerah tropis seperti Indonesia, kondisi lingkungan yang mempengaruhi ternak adalah temperatur dan kelembaban udara tinggi. Temperatur siang hari mencapai o C. Temperatur lingkungan ideal pada ayam sekitar 21 o C. Di atas temperatur tersebut, ternak menjadi panas dan nafsu makan turun sehingga konsumsi pakanpun akan menurun. Dampak selanjutnya, pertumbuhan dan produksi telur juga akan menurun (Suprijatna et al., 2005). Bell dan Weaver (2002) menyatakan bahwa zona thermoneutral pada unggas, yaitu pada kisaran suhu o C. Tabel 8 menunjukkan bahwa rataan produksi telur ayam Arab yang dipelihara pada kandang suhu panas lebih tinggi dibanding rataan produksi telur ayam Arab yang dipelihara pada kandang suhu lingkungan, kecuali untuk kelompok ayam dengan jarak tulang pubis sempit. Hal ini bertentangan dengan Nataamijaya et al. (1990) yang mengemukakan bahwa produksi telur ayam buras yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi (23-31 o C) adalah 25% lebih rendah dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu lingkungan rendah (19-25 o C). Rendahnya rataan produksi telur ayam Arab yang dipelihara pada kandang suhu lingkungan ini disebabkan oleh banyaknya ayam yang mengeram, yaitu sekitar 13,33% dari 16,66% total ayam yang mengeram atau ditemukan 4 ekor ayam Arab yang mengeram pada kandang yang diberi perlakuan suhu lingkungan, sedangkan pada kandang yang diberi perlakuan suhu panas hanya ditemukan 1 ekor ayam yang mengeram. Tingkah laku mengeram inilah yang menurunkan produksi telur ayam Arab yang dipelihara pada kandang suhu lingkungan, sehingga perlu dilakukan seleksi terhadap ayam yang memiliki sifat mengeram. Sartika et al. (2002) yang menyeleksi sifat mengeram ayam 31

45 Kampung berhasil meningkatkan produksi telur dari 29,53% menjadi 48,89% pada generasi ketiga selama 6 bulan masa produksi. Tabel 8. Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman Produksi Telur Ayam Arab Produksi Telur (butir/ekor/20 hari) Jarak Tulang Pubis Suhu Lingkungan (± 25 o C) Suhu Panas (± 30 o C) Jarak Pubis Lebar 13,63 ± 4,37 KK=32,06% n= 8 13,75 ± 1,50 ax KK=10,91% n=4 Jarak Pubis Sedang 8,67 ± 7,74 KK=89,27% n=6 14,33 ± 0,57 ax KK=4,03% n=3 Jarak Pubis Sempit 9,83 ± 6,68 a KK=67,96% n=6 2,00 ± 2,00 by KK=100% n=3 Keterangan : a,b = superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P < 0,05) x,y = superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P < 0,05) Hasil penelitian juga menemukan beberapa telur yang dihasilkan ayam Arab yang dipelihara pada kandang suhu panas memiliki kualitas yang rendah dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh ayam yang dipelihara pada kandang suhu lingkungan, yaitu kerabang tipis dan mudah pecah. Hasil penelitian menemukan 0,93% dari total telur (323 butir) memiliki kerabang tipis dan mudah pecah. Suprijatna et al. (2005) mengemukakan bahwa kerabang telur yang lengkap disusun dari seluruhnya kalsit (CaCO 3 ) dengan sedikit penimbunan sodium, potasium, dan magnesium. Kalsium karbonat kerabang dibentuk ketika ion kalsium dicukupi lewat aliran darah, sedangkan ion karbonat dipenuhi dari darah dan kelenjar kerabang. Kurangnya pasokan ion kalsium dan karbonat dari darah akan menyebabkan deposit CaCO 3 tidak maksimum, sehingga kualitas kerabang telur menurun. Selanjutnya Amrullah (2004) menambahkan bahwa sumber kalsium untuk kerabang berasal dari makanan dan tulang-tulang tertentu. Secara normal sebagian kalsium untuk pembentukan telur berasal langsung dari pakan. Temperatur yang tinggi akan mengurangi konsumsi ransum dan akibatnya masukan zat-zat gizi ke dalam tubuh ayam termasuk kalsium menjadi tidak optimum, sehingga pasokan kalsium untuk 32

46 pembentukan kerabang juga berkurang. Hal itulah yang menyebabkan rendahnya kualitas telur yang dihasilkan oleh ayam yang dipelihara pada kandang suhu panas. Ayam yang sedang bertelur membutuhkan kalsium yang lebih banyak karena akan digunakan untuk pembentukan kerabang telur. Kebutuhan kalsium untuk ayam petelur umur minggu yaitu sebanyak 3,25% atau 3800 mg/hari (Amrullah, 2004). Oleh karena itu, kecukupan kalsium menjadi salah satu faktor yang menentukan baik buruknya kualitas kerabang telur ayam. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya kualitas telur ayam Arab yang dipelihara pada suhu panas yaitu adanya aktivitas panting yang dilakukan ayam untuk mengontrol pelepasan panas. Pada temperatur lingkungan panas ayam akan melakukan panting untuk mengurangi panas yang berlebihan, sehingga CO 2 banyak yang dilepaskan dari tubuh dan akibatnya CO 2 dalam tubuh berkurang. Card dan Nesheim (1972) menyatakan bahwa formasi terbentuknya kerabang telur yaitu karena adanya ketersediaan ion kalsium dan ion karbonat di dalam cairan uterus yang akan membentuk kalsium karbonat. Ion karbonat terbentuk karena adanya CO 2 dalam darah hasil metabolisme dari sel yang terdapat pada uterus yang bercampur dengan H 2 O, kemudian keduanya dirombak oleh enzim carbonic anhydrase (dihasilkan pada sel mukosa uterus) menjadi ion bikarbonat yang akhirnya menjadi ion karbonat setelah ion hidrogen terlepas. Oleh karena itu, ketika ayam betina melakukan aktivitas panting karena udara yang panas, terjadi peningkatan penguapan air melalui saluran pernafasan. Hal ini menyebabkan berkurangnya CO 2 dan ion bikarbonat dalam darah yang akhirnya mengakibatkan telur yang dihasilkan memiliki kerabang yang tipis. Proses pembentukan kerabang telur disajikan pada Gambar 6. Hasil uji-t terhadap produksi telur ayam Arab yang dikelompokkan berdasarkan jarak tulang pubis yang berbeda dan dipelihara pada kandang suhu lingkungan diperoleh nilai P > 0,05, artinya perbedaan jarak tulang pubis tidak berpengaruh terhadap produksi telur ayam Arab. Pada kandang suhu panas diketahui bahwa kelompok ayam dengan jarak tulang pubis lebar menunjukkan nilai berbeda nyata (P < 0,05) dengan kelompok ayam dengan jarak tulang pubis sempit dalam hal produksi telur. Begitu pula kelompok ayam dengan jarak tulang pubis sedang yang memiliki nilai yang berbeda nyata (P < 0,05) bila dibandingkan dengan kelompok ayam dengan jarak tulang pubis sempit. Namun, kelompok ayam dengan jarak tulang 33

47 pubis lebar tidak memiliki perbedaan produksi telur dengan kelompok ayam dengan jarak tulang pubis sedang (P > 0,05). Gambar 6. Proses Pembentukan Kerabang Telur (Sumber: Card dan Nesheim, 1972) Hasil uji-t yang membandingkan kelompok ayam yang dipelihara pada kondisi suhu yang berbeda (lingkungan dan panas) untuk masing-masing kelompok ayam dengan jarak tulang pubis berbeda (lebar, sedang, dan sempit) diketahui bahwa hanya antara kelompok ayam dengan jarak tulang pubis sempit yang memiliki perbedaan produksi telur. Jadi, tidak ada perbedaan produksi telur untuk ayam yang memiliki jarak tulang pubis lebar maupun sedang yang dipelihara pada kandang suhu lingkungan dan kandang suhu panas. Hasil uji-t ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismoyowati et al. (2006) yang menyatakan bahwa lebar pubis dengan produksi telur berkorelasi sangat nyata (P < 0,01) yaitu sebesar 0,693 atau sumbangan karakteristik lebar pubis terhadap produksi telur sebesar 48,012%. Perbedaan hasil yang diperoleh dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu jumlah ayam (n) yang digunakan dalam penelitian ini lebih sedikit. Selain itu, pada saat pengukuran jarak tulang pubis, pengukuran hanya dilakukan dengan tangan (tidak menggunakan alat) sehingga keakuratannya kurang. 34

48 Karakteristik Genetik Eksternal Pengamatan terhadap karakteristik genetik eksternal ayam Arab terdiri atas pola warna bulu, kerlip bulu, corak bulu, warna shank, dan bentuk jengger berdasarkan gen yang mengontrolnya. Data pengamatan karakteristik genetik eksternal ayam Arab yang diperoleh pada penelitian ini ditujukan untuk melengkapi data yang telah diperoleh oleh peneliti sebelumnya. Warna, Pola, Kerlip, dan Corak Bulu Warna bulu putih tidak ditemukan pada ayam Arab. Hasil tersebut sesuai dengan Saputra (2010) yang menyatakan bahwa ayam Arab memiliki fenotipe 100% berwarna. Hal tersebut menunjukkan bahwa ayam Arab memiliki warna bulu yang seragam. Nataamijaya et al. (2003) menyatakan bahwa ayam Arab yang merupakan ayam petelur memiliki warna bulu homogen dengan warna dasar hitam dihiasi warna putih di daerah kepala, leher, dada, punggung, dan sayap. Selanjutnya, Natalia et al. (2005) menyatakan bahwa ayam Arab silver mempunyai warna bulu dari kepala hingga leher putih keperakan sedangkan ayam Arab golden memiliki warna merah keemasan. Warna, pola, kerlip, dan corak bulu pada ayam Arab disajikan pada Gambar 7. (a) (b) Keterangan : (a) berwarna, pola liar, kerlip perak, corak lurik (b) berwarna, pola liar, kerlip emas, corak lurik Gambar 7. Warna, Pola, Kerlip, dan Corak Bulu Ayam Arab Ayam Arab memiliki persentase pola bulu liar sebesar 100% dan tidak ditemukan ayam dengan pola bulu hitam maupun kolumbian. Hasil penelitian 35

49 Saputra (2010) juga menunjukkan hasil bahwa pola bulu liar merupakan pola bulu yang paling banyak ditemukan pada ayam Arab dengan persentase sebesar 75,65%. Tipe liar adalah apabila pada betina ditemukan bulu pada tubuh terdiri dari campuran warna coklat dan hitam, bagian dada berwarna coklat muda, sedangkan pada jantan ditemukan sebaran warna hitam pada bagian dada, warna selain hitam pada leher, punggung, dan sayap (Crawford, 1990). Persentase fenotipe untuk kerlip bulu pada ayam Arab adalah emas sebesar 80,60% dan perak 19,40%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Saputra (2010) yang menyatakan bahwa persentase fenotipe kerlip bulu tertinggi pada ayam Arab adalah kerlip bulu emas sebesar 62,61%. Natalia et al. (2005) menyatakan bahwa ayam Arab ada dua jenis, yaitu ayam Arab silver (brakel krielsilver) dan ayam Arab golden (brakel kriel golden). Kedua jenis ayam ini dibedakan pada warna bulunya sesuai dengan namanya, yaitu ayam Arab silver dan ayam Arab golden. Persentase fenotipe warna, pola, kerlip, dan corak bulu pada ayam Arab disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Persentase Fenotipe Warna, Pola, Kerlip, dan Corak Bulu pada Ayam Arab Ekspresi Lokus Genotipe (Fenotipe) Jumlah ayam (ekor) Persentase Fenotipe (%) Warna Bulu I_i I_ (Putih) ii (Berwarna) Pola Bulu E_e + _e E_ (Hitam) e + (Liar) ee (Kolumbian) Kerlip Bulu S_s S_ (Perak) Ss (Emas) ,40 80,60 Corak Bulu B_b B_ (Lurik) Bb (Polos) Persentase fenotipe untuk corak bulu menunjukkan bahwa ayam Arab memiliki corak lurik sebesar 100%. Hasil ini sesuai dengan pengamatan yang dilakukan Saputra (2010) yang menyatakan bahwa corak bulu lurik pada ayam Arab 36

50 lebih besar (77,39%) daripada corak polos (22,61%). Natalia et al. (2005) menyatakan bahwa ayam Arab silver memiliki corak bulu badan totol hitam putih/ lurik hitam sedangkan pada ayam Arab golden yaitu totol merah keemasan. Warna Shank Warna shank pada ayam dibedakan menjadi warna kuning/putih dan hitam/abu-abu. Warna shank pada ayam Arab dapat dilihat pada Gambar 8. Keterangan: (a) warna shank putih/kuning (b) warna shank hitam/abu-abu Gambar 8. Warna Shank pada Ayam Arab Persentase fenotipe warna shank pada ayam Arab menunjukkan bahwa warna shank hitam lebih besar dibandingkan dengan warna putih, yaitu masing-masing sebesar 95,52% dan 4,48%. Persentase warna shank ini menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh Saputra (2010) yang menunjukkan bahwa shank warna hitam pada ayam Arab sebesar 93,91%, dan warna shank putih sebesar 6,09%. Tingginya persentase warna shank hitam disebabkan oleh adanya pigmen melanin pada epidermis. Persentase Fenotipe warna shank pada ayam Arab disajikan pada Tabel 10. (a) Oluyemi dan Roberts (1979) menyatakan bahwa warna shank kuning disebabkan adanya pigmen lipokrom dan tidak adanya pigmen melanin, sedangkan warna shank hitam disebabkan adanya pigmen melanin. Ketika pigmen melanin ada (b) 37

51 di dalam dermis dan pigmen lipokrom ada di dalam epidermis maka akan menyebabkan warna shank kehijau-hijauan. Namun, ketika kedua pigmen tersebut tidak ada maka shank akan berwarna putih. Tabel 10. Persentase Fenotipe Warna Shank pada Ayam Arab Ekspresi Lokus Genotipe Jumlah ayam (Fenotipe) (ekor) Warna Shank Id_id Id_ (Putih) 6 idid (Hitam) 128 Persentase Fenotipe (%) 4,48 95,52 Bentuk Jengger Bentuk jengger dibedakan menjadi bentuk jengger single dan pea. Bentuk jengger pada ayam Arab dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Bentuk Jengger Tunggal pada Ayam Arab Fenotipe bentuk jengger menunjukkan hasil 100% ayam Arab memiliki bentuk tunggal. Pengamatan yang dilakukan oleh Saputra (2010) menemukan bahwa persentase terbesar bentuk jengger yaitu bentuk tunggal sebanyak 62,61%, namun ditemukan pula bentuk kapri sebesar 37,39%. Nataamijaya et al. (2003) menyatakan bahwa ayam Arab memiliki jengger berbentuk tunggal tegak bergerigi (Serrated Single Comb), biasanya berwarna merah dan umumnya ukuran jengger ayam betina lebih kecil daripada jantan. Hutt (1949) menjelaskan bahwa bentuk jengger tunggal disebabkan oleh adanya pengaruh gen rr. Persentase fenotipe bentuk jengger pada ayam Arab disajikan pada Tabel

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab Berbagai alasan muncul berkaitan dengan asal-usul penamaan ayam Arab. Beberapa sumber mengatakan bahwa asal mula disebut ayam Arab karena awalnya dibawa dari kepulangan ibadah

Lebih terperinci

20,0 ml, dan H 2 O sampai 100ml. : Tris 9,15 gram; HCl 3ml, dan H 2 O sampai 100ml. : ammonium persulfat dan 0,2 gram H 2 O sampai 100ml.

20,0 ml, dan H 2 O sampai 100ml. : Tris 9,15 gram; HCl 3ml, dan H 2 O sampai 100ml. : ammonium persulfat dan 0,2 gram H 2 O sampai 100ml. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Contoh darah diambil dari koleksi contoh yang tersedia di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Ternak Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Arab

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Arab TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab Asal Usul Beberapa ayam lokal petelur unggul Eropa, antara lain Bresse di Prancis, Hamburg di Jerman, Mesian di Belanda, dan Braekels di Belgia. Ayam Braekels adalah jenis ayam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Lokal Ayam lokal di Indonesia telah lama dikembangkan oleh masyarakat Indonesia dan biasanya sering disebut dengan ayam buras. Ayam buras di Indonesia memiliki perkembangan

Lebih terperinci

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb III. KARAKTERISTIK AYAM KUB-1 A. Sifat Kualitatif Ayam KUB-1 1. Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb Sifat-sifat kualitatif ayam KUB-1 sama dengan ayam Kampung pada umumnya yaitu mempunyai warna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Ayam

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Ayam TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ayam Klasifikasi bangsa ayam menurut Myers (2001) yaitu kingdom Animalia (hewan); filum Chordata (hewan bertulang belakang); kelas Aves (burung); ordo Galliformes; famili Phasianidae;

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Ciamis, Jawa Barat Kabupaten Ciamis merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki luasan sekitar 244.479 Ha. Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak

Lebih terperinci

STUDI POLIMORFISME PROTEIN HEMOGLOBIN DARAH AYAM ARAB PERIODE PRODUKSI PADA SUHU KANDANG BERBEDA SKRIPSI GINA CITRA DEWI

STUDI POLIMORFISME PROTEIN HEMOGLOBIN DARAH AYAM ARAB PERIODE PRODUKSI PADA SUHU KANDANG BERBEDA SKRIPSI GINA CITRA DEWI STUDI POLIMORFISME PROTEIN HEMOGLOBIN DARAH AYAM ARAB PERIODE PRODUKSI PADA SUHU KANDANG BERBEDA SKRIPSI GINA CITRA DEWI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba.

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ternak unggas merupakan ternak yang sangat populer di Indonesia sebagai sumber daging. Selain cita rasanya yang disukai, ternak unggas harganya relatif lebih murah dibandingkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian produksi telur ayam Arab dilaksanakan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (Blok B), sedangkan penelitian kualitas internal

Lebih terperinci

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN WAFIATININGSIH 1, IMAM SULISTYONO 1, dan RATNA AYU SAPTATI 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

Lebih terperinci

KERAGAMAN DAN JARAK GENETIK KUDA BERDASARKAN ANALISIS ELEKTROFORESIS POLIMORFISME PROTEIN DARAH

KERAGAMAN DAN JARAK GENETIK KUDA BERDASARKAN ANALISIS ELEKTROFORESIS POLIMORFISME PROTEIN DARAH 45 KERAGAMAN DAN JARAK GENETIK KUDA BERDASARKAN ANALISIS ELEKTROFORESIS POLIMORFISME PROTEIN DARAH Pendahuluan Pemanfaatan teknologi molekuler berdasarkan penanda immunogenetik dan biokimia, pada saat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Lokal Ayam Kampung

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Lokal Ayam Kampung TINJAUAN PUSTAKA Ayam Lokal Ayam di dunia berasal dari daerah Selatan India, pegunungan Himalaya, Assam, Burma, Ceylon dan beberapa daerah di pulau Sumatra dan Jawa. Ditemukan empat spesies ayam liar yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengararuh pemberian ransum dengan suplementasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengararuh pemberian ransum dengan suplementasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Percobaan Penelitian tentang pengararuh pemberian ransum dengan suplementasi tepung ceker ayam terhadap kadar kolesterol dan Asam lemak pada kuning telur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya genetik

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya genetik 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya genetik ternak tinggi, namun sumber daya genetik tersebut belum dimanfaatkan dengan optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

PERFORMANS AYAM MERAWANG BETINA DEWASA BERDASARKAN KARAKTER KUALITATIF DAN UKURAN- UKURAN TUBUH SEBAGAI BIBIT

PERFORMANS AYAM MERAWANG BETINA DEWASA BERDASARKAN KARAKTER KUALITATIF DAN UKURAN- UKURAN TUBUH SEBAGAI BIBIT PERFORMANS AYAM MERAWANG BETINA DEWASA BERDASARKAN KARAKTER KUALITATIF DAN UKURAN- UKURAN TUBUH SEBAGAI BIBIT HASNELLY Z. dan RAFIDA ARMAYANTI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF AYAM KAMPUNG DI KECAMATAN LASALIMU KABUPATEN BUTON

STUDI KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF AYAM KAMPUNG DI KECAMATAN LASALIMU KABUPATEN BUTON STUDI KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF AYAM KAMPUNG DI KECAMATAN LASALIMU KABUPATEN BUTON Amlia 1, Muh. Amrullah Pagala 2, dan Rahim Aka 2 1 Alumnus Fakultas Peternakan UHO 2 Dosen Fakultas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012. Pemeliharaan burung merpati dilakukan di Sinar Sari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Pengamatan profil darah

Lebih terperinci

STUDI FREKUENSI SIFAT KUALITATIF AYAM KAMPUNG DI DESA MENAMING KECAMATAN RAMBAH KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

STUDI FREKUENSI SIFAT KUALITATIF AYAM KAMPUNG DI DESA MENAMING KECAMATAN RAMBAH KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU STUDI FREKUENSI SIFAT KUALITATIF AYAM KAMPUNG DI DESA MENAMING KECAMATAN RAMBAH KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU (The Study of Native Chicken Qualitative Frequency in Menaming Village Rambah Subdistrict

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Fapet Farm dan analisis proksimat bahan pakan dan pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di Desa Kedu Temanggung dan pada bulan April 2016 di kandang unggas Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki banyak potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan maupun tumbuhan dapat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GE ETIK EKSTER AL AYAM ARAB, PELU G DA KAMPU G SKRIPSI JAKA SAPUTRA PROGRAM STUDI TEK OLOGI PRODUKSI TER AK FAKULTAS PETER AKA

KARAKTERISTIK GE ETIK EKSTER AL AYAM ARAB, PELU G DA KAMPU G SKRIPSI JAKA SAPUTRA PROGRAM STUDI TEK OLOGI PRODUKSI TER AK FAKULTAS PETER AKA KARAKTERISTIK GE ETIK EKSTER AL AYAM ARAB, PELU G DA KAMPU G SKRIPSI JAKA SAPUTRA PROGRAM STUDI TEK OLOGI PRODUKSI TER AK FAKULTAS PETER AKA I STITUT PERTA IA BOGOR 2010 i KARAKTERISTIK GE ETIK EKSTER

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Percobaan Penelitian tentang peran pemberian metionin dan linoleat pada tepung kaki ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. cara diburu di hutan-hutan pedalaman. Puyuh liar biasanya hidup di semak-semak

PENDAHULUAN. cara diburu di hutan-hutan pedalaman. Puyuh liar biasanya hidup di semak-semak 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh adalah salah satu jenis burung yang hidup secara liar dan keberadaannya di alam bebas dan terbuka. Burung ini biasanya ditemukan dengan cara diburu di hutan-hutan

Lebih terperinci

KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF ITIK LOKAL DI USAHA PEMBIBITAN ER DI KOTO BARU PAYOBASUNG KECAMATAN PAYAKUMBUH TIMUR KOTA PAYAKUMBUH SKRIPSI

KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF ITIK LOKAL DI USAHA PEMBIBITAN ER DI KOTO BARU PAYOBASUNG KECAMATAN PAYAKUMBUH TIMUR KOTA PAYAKUMBUH SKRIPSI KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF ITIK LOKAL DI USAHA PEMBIBITAN ER DI KOTO BARU PAYOBASUNG KECAMATAN PAYAKUMBUH TIMUR KOTA PAYAKUMBUH SKRIPSI Oleh: CHARLLY CHARMINI ARSIH 0910611005 Diajukan Sebagai Salah Satu

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK MELALUI POLIMORFISME PROTEIN DARAH AYAM KEDU JENGGER MERAH DAN JENGGER HITAM DI SATUAN KERJA NON RUMINANSIA TEMANGGUNG SKRIPSI

KERAGAMAN GENETIK MELALUI POLIMORFISME PROTEIN DARAH AYAM KEDU JENGGER MERAH DAN JENGGER HITAM DI SATUAN KERJA NON RUMINANSIA TEMANGGUNG SKRIPSI i KERAGAMAN GENETIK MELALUI POLIMORFISME PROTEIN DARAH AYAM KEDU JENGGER MERAH DAN JENGGER HITAM DI SATUAN KERJA NON RUMINANSIA TEMANGGUNG SKRIPSI Oleh : BAGUS PRADITYA SN PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Telur Tetas Itik Rambon Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor dengan jumlah itik betina 42 ekor dan itik jantan 6 ekor. Sex ratio

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung Jaya Farm, Desa Varia Agung, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

KERAGAMAN PROTEIN DARAH SEBAGAI PARAMETER BIOGENETIK PADA SAPI JAWA [Blood Protein Variability as Biogenetic Parameter of Java Cattle]

KERAGAMAN PROTEIN DARAH SEBAGAI PARAMETER BIOGENETIK PADA SAPI JAWA [Blood Protein Variability as Biogenetic Parameter of Java Cattle] KERAGAMAN PROTEIN DARAH SEBAGAI PARAMETER BIOGENETIK PADA SAPI JAWA [Blood Protein Variability as Biogenetic Parameter of Java Cattle] S. Johari, E. Kurnianto, Sutopo, dan S. Aminah Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Alel Protein Darah Hasil penelitian terhadap protein plasma darah didapatkan hasil elektroforesis pita protein muncul ada lima lokus, yaitu Albumin (Alb), Post albumin (Pa),

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF AYAM KETAWA DI KOTA KENDARI

SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF AYAM KETAWA DI KOTA KENDARI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF AYAM KETAWA DI KOTA KENDARI Lusri Andrianto 1, La Ode Baa 2, Muh.Rusdin 2 1) Alumnus Fakultas Peternakan UHO 2) Staf Pengajar Fakultas Peternakan UHO * e-mail : mrusdin74@yahoo.com

Lebih terperinci

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG HASNELLY Z., RINALDI dan SUWARDIH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung Jl. Mentok Km 4 Pangkal Pinang 33134 ABSTRAK

Lebih terperinci

PEWARISAN POLA WARNA MUKA PADA DOMBA GARUT DI PETERNAKAN TERNAK DOMBA SEHAT (TDS) KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR. SKRIPSI Ardhana Surya Saputra

PEWARISAN POLA WARNA MUKA PADA DOMBA GARUT DI PETERNAKAN TERNAK DOMBA SEHAT (TDS) KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR. SKRIPSI Ardhana Surya Saputra PEWARISAN POLA WARNA MUKA PADA DOMBA GARUT DI PETERNAKAN TERNAK DOMBA SEHAT (TDS) KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR SKRIPSI Ardhana Surya Saputra PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B dan analisis plasma di Laboratorium Nutrisi Ternak Kerja dan Olahraga Unit

Lebih terperinci

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A.

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. 1. Pokok Bahasan : Jenis dan tipe ayam komersial A.2. Pertemuan minggu ke : 6 (2 jam) B. Sub Pokok Bahasan: 1. Ayam tipe petelur 2. Ayam tipe pedaging 3. Ayam tipe dwiguna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ransum dengan suplementasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ransum dengan suplementasi 35 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Percobaan Penelitian tentang pengaruh pemberian ransum dengan suplementasi tepung kaki ayam broiler terhadap ketebalan kerabang, kadar protein dalam

Lebih terperinci

POLIMORFISME PROTEIN DARAH AYAM KEDU [Blood Protein Polymorphism of Kedu Chicken]

POLIMORFISME PROTEIN DARAH AYAM KEDU [Blood Protein Polymorphism of Kedu Chicken] POLIMORFISME PROTEIN DARAH AYAM KEDU [Blood Protein Polymorphism of Kedu Chicken] S. Johari, Sutopo, E. Kurnianto dan E. Hasviara Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Kampus drh. Soejono Koesoemowardojo-Tembalang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING S. SOPIYANA, A.R. SETIOKO, dan M.E. YUSNANDAR Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kedu Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam Kedu berasal dari Desa Karesidenan Kedu Temanggung Jawa Tengah. Ayam Kedu memiliki kelebihan daya

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK MORFOLOGIS DAN GENETIK KERBAU BENUANG DI BENGKULU

STUDI KARAKTERISTIK MORFOLOGIS DAN GENETIK KERBAU BENUANG DI BENGKULU STUDI KARAKTERISTIK MORFOLOGIS DAN GENETIK KERBAU BENUANG DI BENGKULU AZMI 1), GUNAWAN 1) dan EDWARD SUHARNAS 3) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu 2) Universitas Bengkulu ABSTRAK Kerbau

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan Gathot (Ketela

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan Gathot (Ketela 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan Gathot (Ketela Terfermentasi) dalam Ransum terhadap Kadar Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamat Piruvat

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa),

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa), 1 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Sejarah Perkembangan Itik Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa), golongan terdahulunya merupakan itik liar bernama Mallard (Anas plathytynchos)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik 21 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik Rambon Jantan dan 20 ekor Itik Cihateup Betina, 4 ekor

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh I. TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh Coturnix coturnix japonica merupakan jenis puyuh yang populer dan banyak diternakkan di Indonesia. Puyuh jenis ini memiliki ciri kepala, punggung dan sayap berwarna coklat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Burung Puyuh Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa burung liar yang mengalami proses domestikasi. Ciri khas yang membedakan burung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Itik Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Itik Lokal TINJAUAN PUSTAKA Itik Lokal Itik adalah jenis unggas air yang tergolong dalam ordo Anseriformes, family Anatidae, genus Anas dan termasuk spesies Anas javanica.proses domestikasi membentuk beberapa variasi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Diponegoro, Semarang. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Mei hingga

BAB III MATERI DAN METODE. Diponegoro, Semarang. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Mei hingga 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang komposisi kimiawi tubuh sapi Madura jantan yang diberi level pemberian pakan berbeda dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan salah satu jenis ternak unggas yang dikembangkan sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur maupun daging. Sejak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Ayam kampung merupakan turunan panjang dari proses sejarah perkembangan genetik perunggasan di tanah air. Ayam kampung diindikasikan dari hasil domestikasi ayam hutan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. Pemeliharaan dan penyembelihan ternak dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas,

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Ternak Penelitian Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang berumur 2 minggu. Puyuh diberi 5 perlakuan dan 5 ulangan dengan

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Peternakan Ayam Buras Agribisnis adalah kegiatan manusia yang memanfaatkan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Agribisnis, dengan perkataan lain, adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keragaman Protein Plasma Darah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keragaman Protein Plasma Darah HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Protein Plasma Darah Hasil analisis plasma darah dari lokus Alb, PAlb, Tf, PTf-1, dan PTf-2 yang dilakukan pada itik lokal petelur Pegagan, Alabio, dan Mojosari divisualisasikan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF AYAM WALIK DI SUMEDANG DAN BOGOR SKRIPSI

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF AYAM WALIK DI SUMEDANG DAN BOGOR SKRIPSI KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF AYAM WALIK DI SUMEDANG DAN BOGOR SKRIPSI RESTYMAYA TIRAMA TARIGAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengujian kualitas fisik telur dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas kimia telur dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o o 17 bujur

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o o 17 bujur IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o 04-108 o 17 bujur timur dan 6 o 36-6 o 48 lintang selatan memiliki luas wilayah 174,22

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Hutan dan Ayam Kampung Asal usul ayam Klasifikasi dan tingkah laku ayam hutan merah

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Hutan dan Ayam Kampung Asal usul ayam Klasifikasi dan tingkah laku ayam hutan merah TINJAUAN PUSTAKA Ayam Hutan dan Ayam Kampung Asal usul ayam Ayam yang ada sekarang ini berasal dari empat jenis ayam liar yaitu ayam hutan merah (Gallus gallus), ayam Srilangka (Gallus lafayetti), ayam

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Objek Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Itik Rambon dan Cihateup yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi

Lebih terperinci

Polimorfisme Protein Darah Ayam Kedu Jengger Merah dan Jengger Hitam di Satuan Kerja Non Ruminansia Temanggung

Polimorfisme Protein Darah Ayam Kedu Jengger Merah dan Jengger Hitam di Satuan Kerja Non Ruminansia Temanggung Jurnal Ilmu dan Teknologi Jurnal Ilmu Peternakan dan Teknologi Indonesia Peternakan Volume Indonesia 2 (1): 159-165; Juni 2016 ISSN: 2460-6669 Polimorfisme Protein Darah Ayam Kedu Jengger Merah dan Jengger

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara 11 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara yang diberi ransum dengan tambahan urea yang berbeda ini telah dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober sampai

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan ternak yang keberadaannya cukup penting dalam dunia peternakan, karena kemampuannya untuk menghasilkan daging sebagai protein hewani bagi masyarakat. Populasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April s/d Mei Bertempat di

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April s/d Mei Bertempat di 50 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April s/d Mei 2011. Bertempat di peternakan unggas Desa Pajaran Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Analisis kolesterol

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan di Farm dan Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi, pada tanggal 28 September sampai tanggal 28 November 2016.

Lebih terperinci

STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI

STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI VINDHA YULI CANDRAWATI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Puyuh petelur Jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan penyedia telur

PENDAHULUAN. Puyuh petelur Jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan penyedia telur I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh petelur Jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan penyedia telur puyuh utama di Indonesia. Dalam satu tahun puyuh ini mampu menghasilkan 250 sampai 300 butir

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kapang Rhizopus oryzae

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kapang Rhizopus oryzae 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kapang Rhizopus oryzae dan Chrysonilia crassa dalam Ransum terhadap Profil Darah Merah Ayam Broiler yang Dipelihara Pada Kondisi

Lebih terperinci

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan adalah 60 ekor itik Cihateup betina fase grower

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan adalah 60 ekor itik Cihateup betina fase grower 22 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Ternak yang digunakan adalah 60 ekor itik Cihateup betina fase grower berumur 4 bulan yang memliki simpangan baku bobot badannya

Lebih terperinci

KERAGAMAN PROTEIN PLASMA DARAH KAMBING JAWARANDU DI KABUPATEN PEMALANG (Blood Plasm Protein Variability of Jawarandu Goat in Pemalang, Central Java)

KERAGAMAN PROTEIN PLASMA DARAH KAMBING JAWARANDU DI KABUPATEN PEMALANG (Blood Plasm Protein Variability of Jawarandu Goat in Pemalang, Central Java) Animal Agriculture Journal, Vol. 2. No. 1, 2013, p 136 142 Online at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj KERAGAMAN PROTEIN PLASMA DARAH KAMBING JAWARANDU DI KABUPATEN PEMALANG (Blood Plasm Protein

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pelaksanaan penelitian mulai bulan Februari 2012 sampai dengan bulan April 2012. Pembuatan pakan dilaksanakan di CV. Indofeed. Analisis Laboratorium dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kreatinin Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin.keratin sebagai besar dijumpai di otot rangka, tempat zat terlibat dalam penyimpanan energy sebagai keratin fosfat.dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA

KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA Genetika merupakan salah satu bidang ilmu biologi yang mempelajari tentang pewarisan sifat atau karakter dari orang tua kepada anaknya. Ilmu genetika modern meliputi beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Profil Ayam Kedu dan Status Nutrisi Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di Kabupaten Temanggung. Ayam Kedu merupakan ayam lokal Indonesia yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Pemulian Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, sedangkan analisis

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Nopember 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetik Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi bagi kesehatan. Salah satu

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah ayam petelur strain Lohman yang berumur 20 bulan. Ternak sebanyak 100 ekor dipelihara

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE. Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika,

III. MATERI DAN METODE. Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika, III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci