FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO"

Transkripsi

1 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi) Disusun Oleh: Farah Shafira FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H/ 2011 M

2 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI DAN REHABILITASI BNN LIDO Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi) Oleh : FARAH SHAFIRA NIM : Di Bawah Bimbingan : Pembimbing I Pembimbing II Gazi, M.Si NIP Nia Tresniasari, M.Si NIP FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433H/ 2011M ii

3 LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Desember 2011 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pogram Strata I (SI) pada Fakultas Psikologi. Jakarta, 6 Desember 2011 Sidang Munaqasyah Dekan/ Ketua Pembantu Dekan/ Sekretaris Jahja Umar, Ph.D NIP Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP Anggota S. Evangeline. I. Suaidy, M. Si., Psi NIP Gazi, M.Si NIP Nia Tresniasari, M.Si NIP iii

4 PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Farah Shafira NIM : Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth pada Recovering Addict di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi BNN Lido adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalama penyususnan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya. Jakarta, 28 November 2011 Farah Shafira NIM : iv

5 Motto: Man jadda wa jadda What doesn t kill you makes you stronger -Friedrich Nietzsche Khairunas anfa uhum linnas v

6 Karya sederhana ini saya persembahkan untuk orang-orang yang memberikan saya banyak inspirasi dalam hidup Ibu, Bapak (alm), Bang Thobby, Bang Alfan terkasih Serta para recovering addict yang terus berjuang untuk recovery-nya vi

7 ABSTRAK A) Fakultas Psikologi B) November 2011 C) Farah Shafira D) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth pada Recovering Addict di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido E) XV halaman F) Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa jauh pengaruh dari setiap faktor yang dianalisis (variabel independen) terhadap posttraumatic growth (variabel dependen) pada recovering addict di UPT T&R BNN. Variabel dependen yang diangkat dalam penelitian ini antara lain waypower (harapan), willpower (harapan), coping religius positif (coping religius), coping religius negatif (coping religius), informational support (social support), emotional support (social support), affectionate support (social support), positive social support (social support), tangible support (social support), usia dan fase rehabilitasi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan angket, wawancara dan observasi dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah recovering addict atau pengguna NAPZA yang menjalani pemulihan pada fase primary dan re-entry serta staff adiksi di UPT T&R BNN yang berjumlah 153 orang. Instrumen pengumpulan data menggunakan skala likert dan uji validitas aitem menggunakan LISREL 8,7. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji regresi berganda pada taraf signifikansi 0,05 dengan menggunakan SPSS 17. Hasil penelitian disimpulkan bahwa hanya variabel willpower dan informational support yang memberikan pengaruh yang signifkan terhadap posttraumatic growth. Sedangkan berdasarkan besarnya sumbangan yang diberikan, terdapat tiga variabel memberikan sumbangan yang signifikan yaitu willpower memberikan sumbangan sebesar 10,3%, waypower sebesar 28,8% dan informational support sebesar 6,9%. Hasil penelitian tambahan yang dilihat berdasarkan pengaruh dari variabel besar, didapatkan harapan dan social support berpengaruh secara signifikan terhadap PTG dengan sumbangan sebesar 37,3% dan 4,7% sedangkan coping religius tidak berpengaruh secara signifikan dengan sumbangan sebesar 0,4%. Hasil penelitian tambahan selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok dengan tingkat PTG yang tinggi didapatkan faktor yang berpengaruh adalah informational support, sedangkan untuk kelompok dengan tingkat PTG rendah faktor yang berpengaruh adalah willpower. Hal yang perlu diperhatikan pada penelitian selanjutnya adalah meneliti sampel penelitian yang dalam hal ini adalah recovering addict yang sudah tidak menjalani rehabilitasi (program aftercare) dan memiliki jangka waktu bersih dari penggunaan vii

8 NAPZA yang lebih lama. Selain itu dengan menambahkan variabel demografis lain seperti lama penggunaan NAPZA dan jumlah rehabilitasi yang pernah diikuti sehingga PTG dan dinamika faktor yang mempengaruhinya dapat lebih terlihat secara komprehensif. (G) Bahan bacaan: 38 bacaan (15 buku; 11 jurnal; 1 disertasi; 4 tesis; 1 skripsi; 2 artikel/ internet; 1 penelitian) viii

9 KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahiim Syukur Alhamdullilah peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala berkat, kekuasaan dan kasih sayang-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman. Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Jahja Umar, Ph. D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya. 2. Gazi, M.Si (Pembimbing I) dan Nia Tresniasari, M.Si (Pembimbing II) yang telah memberikan arahan, bimbingan serta insight-insight sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mendapatkan banyak masukan dari beliau-beliau tersebut, serta terimakasih banyak atas wawasan yang telah diberikan. 3. Rena Latifa, M. Psi. Psi., Pembimbing akademik. 4. S. Evangeline Imelda Suaidy, M.Si, Psi yang telah banyak memberikan waktu untuk bertukar pikiran, wawasan baru tentang dunia adiksi dan bantuan selama proses skripsi berjalan. 5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan. 6. Kedua orang tua saya tercinta, almarhum Bapak yang dengan ketegasan di balik kelembutan hati Beliau telah memberikan saya banyak makna dalam hidup, arsitek kasih sayang yang jarang bicara, namun selalu mampu mengubah hal-hal sederhana mempesona. Ibu yang selalu memberikan ketenangan di kala hati ini gundah dan inspirasi bagi saya untuk menjadi orang tua kelak. Terima kasih atas dukungan yang telah Bapak (alm) dan Ibu berikan untuk Arah, semoga Allah memberikan izin-nya agar Arah dapat menjadi seperti do a yang Bapak dan Ibu panjatkan pada-nya. 7. Abang-abangku terkasih, Bang Thobby dan Bang Alfan yang menjadi sosok pengganti Bapak di hati ini. Terima kasih telah menjadi pelindung bagi adikmu yang cerewet ini dan ini adalah jawaban untuk pertanyaan yang selalu ditanyakan (alhamdulillah akhirnya skripsi ini selesai juga). 8. Keluarga besar M. Tabrani (alm) dan Abdullah Shaleh (alm) terima kasih atas doa serta dukungan yang diberikan pada penulis. 9. Tim psikologi BNN, Bapak M. Fierza Mucharom Nasution, M.Si, Psi, CHt, Psi, Mba Dewi, Mba Fika, Mba Nita, Mba Widi dan terkhusus Mas Rizal yang telah banyak membantu saat penulis melakukan pengambilan data di BNN Lido. Tanpa izin dan bantuan dari Anda semua saya tidak mungkin dapat menyelesaikan penelitian ini. 10. Bro Aldi selaku program manager primary house, Bro Chicco selaku program manager re-entry house, dan Sist Wipi selaku program manager female unit, terima ix

10 kasih atas waktu dan bantuannya. Tanpa bantuan dari Anda saya tidak akan dapat menyelesaikan penelitian ini. Terkhusus Bro Dian selaku program manager entry unit, yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pengambilan data. 11. Para responden saya, residen di primary hope, primary green, primary female, reentry male dan female serta staff adiksi, terima kasih atas waktu yang telah diberikan. Anda semua benar-benar memberikan saya inspirasi dan membuka mata saya dari sudut pandang yang 180 derajat berbeda. 12. Sahabat-sahabatku tersayang Ayas, Anya, Efi, Winda, Uty, Rara, Nuran dan Lala, terima kasih atas semua manis pahit persahabatan selama ±4 tahun ini, semoga Allah mengizinkan kita untuk selalu bersahabat selamanya. Terkhusus untuk dua sahabat seperjuangan trio BNN Ayas dan Anya, banyak jatuh bangun yang kita alami bersama. Semoga Allah mempercayakan kita untuk dapat mencapai impian kita ya, aamiin. 13. Sister-sister BNN, Ayas, Anya, Soraya, Kiki, Mba Imas, Anne, Nung dan Afit dimana kita telah melewati banyak waktu susah dan senang bersama serta banyak belajar dari pengalaman 3 minggu kita, kangen menginap bersama kalian di T Teman-teman kelas C atas kekompakan dan pemahamannya satu sama lain serta teman-teman seperjuangan skripsi yang selalu sabar menanti bersama. 15. Mister Adiyo yang telah banyak membantu saat kerumitan LISREL dan SPSS melanda penulis. Semoga cita-cita Mister Adiyo menjadi ahli psikometri yang handal dapat tercapai ya. 16. Teteh Nining yang memberikan banyak pencerahan pada detik-detik menegangkan dan sharing mengenai harapan. Semoga Allah selalu memberikan kasih sayangnya pada teteh ya. 17. Staff bagian Akademik, Umum, dan Keuangan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 18. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, karena dukungan moral serta pengertian mereka penulis bisa menyelesaikan laporan ini. Hanya asa dan doa yang penulis panjatkan semoga pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini mendapatkan balasan yag berlipat ganda dari Allah SWT, aamiin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca. Jakarta, November 2011 Penulis x

11 DAFTAR ISI Halaman Judul... i Halaman Persetujuan... ii Halaman Pengesahan... iii Lembar Pernyataan... iv Motto... v Persembahan... vi Abstrak... vii Kata Pengantar... ix Daftar Isi... xi Daftar Bagan... xiv Daftar Tabel... xv BAB I Pendahuluan Latar Belakang Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan Masalah Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Sistematika Penelitian BAB II Kajian Pustaka Posttraumatic Growth (PTG) Pengertian Aspek Posttraumatic Growth Proses Terjadinya Posttraumatic Growth Pengertian Recovering addict Recovering addict Adiksi (Addiction) Pemulihan (Recovery) Posttraumatic Growth pada Recovering addict Model PTG pada Recovering addict Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth Harapan Pengertian Komponen dalam Harapan Skema Willpower dan Waypower Terkait dengan Teori Harapan Variasi Harapan berdasarkan Kombinasi Willpower dan Waypower Coping Religius Pengertian Pendekatan Coping Religius Aspek Coping Religius xi

12 2.4 Dukungan Sosial (Social Support) Pengertian Efek Dukungan Sosial Sumber-sumber Dukungan Sosial Kerangka Berpikir Hipotesis Penelitian Hipotesis Mayor Hipotesis Minor BAB III Metode Peneltian Pendekatan Penelitian Partisipan Teknik Pengambilan Sampel Variabel dan Definisi Variabel Variabel Penelitian Definisi Konseptual Definisi Operasional Pengumpulan data Instrumen Pengumpulan Data Pengujian Validitas Konstruk Uji Validitas Konstruk Uji Validitas Konstruk Posttraumatic Growth Uji Validitas Konstruk Harapan Uji Validitas Konstruk Coping Religius Uji Validitas Konstruk Social Support Prosedur Pengumpulan Data Metode Analisis Data BAB IV Hasil Penelitian Analisis Deskriptif Gambaran Umum Recovering addict Berdasarkan Fase Rehabilitasi Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic Growth Uji Hipotesis Penelitian Analisis Regresi Variabel Penelitian Pengujian Sumbangan Masing-masing Independen Variabel BAB V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Kesimpulan Diskusi Saran Saran Metodologis Saran Praktis xii

13 Daftar Pustaka Lampiran xiii

14 DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Proses Terjadinya PTG Bagan 2.2 Proses Terjadinya Ketergantungan (Adiksi) NAPZA Bagan 2.3 Model PTG Recovering Addict Bagan 2.4 Visualisasi Willpower Bagan 2.5 Visualisasi Waypower Bagan 2.6 Visualisasi Waypower Terkait dengan Rintangan/ Hambatan Bagan 2.7 Skema Willpower dan Waypower Bagan 2.8 Kerangka Berpikir Bagan 3.1 Analisis Faktor Konfirmatorik Posttraumatic Growth (Appreciation of Life xiv

15 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Blueprint Skala PTG Tabel 3.2 Blueprint Skala Harapan Tabel 3.3 Blueprint Skala Coping Religius Tabel 3.4 Blueprint Skala Social Support Tabel 3.5 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Appreciation of Life) Tabel 3.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Aitem PTG (Appreciation of Life) Tabel 3.7 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Relating to Others) Tabel 3.8 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Personal Strength) Tabel 3.9 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (New Possibilities) Tabel 3.10 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Spiritual Change) Tabel 3.11 Muatan Faktor Aitem Waypower Tabel 3.12 Muatan Faktor Aitem Willpower Tabel 3.13 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Positif Tabel 3.14 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Negatif Tabel 3.15 Muatan Faktor Aitem Informational Support tabel 3.16 Muatan Faktor Aitem Emotional Support Tabel 3.17 Muatan Faktor Aitem Affectionate Support Tabel 3.18 Muatan Faktor Aitem Positive Social Interaction Tabel 3.19 Muatan Faktor Aitem Tangible Support Tabel 4.1 Gambaran Recovering addict Berdasarkan Fase Rehabilitasi Tabel 4.2 Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic Growth Tabel 4.3 R Square Tabel 4.4 Anova Tabel 4.5 Koefisien Regresi Tabel 4.6 Sumbangan Masing-masing Variabel Independen Tabel 4.7 Rangkuman Hasil Penelitian Tabel 5.1 Hasil Analisis Regresi Berdasarkan Variabel Besar xv

16 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian stressful atau juga dapat diartikan sebagai kejadian traumatik dapat menyebabkan tekanan psikologis dan biasanya juga akan memunculkan respon negatif pada seseorang. Haidt (2006) menyebutkan bahwa depresi, kecemasan, penyakit jantung dan PTSD merupakan beberapa contoh keadaan yang diakibatkan stress dan trauma (dalam Hanson, 2010). Kesedihan, rasa bersalah, kemarahan dan rasa sensitif juga merupakan respon lain yang biasanya terjadi pada orang yang mengalami masalah dalam kehidupannya (Tedeschi & Calhoun, 2004). Namun, keadaan stressful tidak selalu memberikan efek negatif pada seseorang. Saat ini, fokus utama penelitian mulai bergeser dari melihat aspek negatif pada sebuah kejadian traumatik menjadi lebih melihat pada aspek positif dari kejadian traumatik tersebut. Lapangan penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan antara gangguan traumatik dan kebermaknaan hidup yang juga disertai dengan frekuensi perubahan positif pada seseorang (Schmidt, 2008). Menurut Kaplan (1964) dan Frankl (1963), perubahan psikologis yang positif dapat terjadi dalam keadaan yang stressful (dalam Linley & Joseph, 2004). Perubahan positif ini dikenal dengan istilah Posttraumatic Growth (PTG) (Tedeshi & Calhoun, 2004). Seseorang yang melakukan perjuangan dalam menghadapi kejadian traumatik yang dengan jelas memberikan efek negatif pada 1

17 2 kondisi psikologisnya ternyata juga dapat memberikan kebermaknaan pada dirinya. Data menyebutkan bahwa orang yang mengalami kejadian traumatik melaporkan setidaknya beberapa perubahan positif setelah mereka menghadapi kejadian traumatik tersebut meskipun mengalami penderitaan yang berat (Calhoun & Tedeschi, 2004). PTG dapat membuat seseorang lebih merasa memiliki kehidupan yang berarti. Namun PTG tidak sama dengan sekedar merasa bebas, bahagia atau memiliki perasaan yang baik. PTG juga membuat seseorang merasakan kehidupan dengan level kedekatan secara personal, interpersonal dan spiritual yang lebih dalam (Linley & Joseph, 2004). PTG terjadi pada orang-orang yang mengalami kejadian traumatik, misalnya pada orang yang mengalami kebakaran dan kehilangan tempat tinggal, perceraian, keterbatasan fisik, kekerasan seksual, bencana alam, perang, kehilangan orang yang dicintai, atau diagnosis penyakit kronis (Linley & Joseph, 2004). Penelitian yang dilakukan Calhoun dkk (2000) pada orang tua yang ditinggalkan anaknya ditemukan bahwa setelah sang anak meninggal, sang ibu merasa bahwa hubungan dengan orang lain merupakan hal yang penting dan ia lebih menghargai ayah dari anak tersebut (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004). Affleck dkk (1985) (dalam Hanson, 2010) melaporkan bahwa ibu dengan anak yang sakit memiliki pertumbuhan emosional (emotional growth), hubungan dengan anggota keluarga yang lebih dekat dan memiliki perspektif hidup yang lebih baik. Selanjutnya masih di dalam Hanson (2010) Affleck dkk menemukan bahwa perubahan positif juga terjadi pada penderita serangan jantung antara lain

18 3 memiliki self insight yang lebih baik dan juga perubahan positif pada nilai serta prioritas dalam hidupnya. Selain itu, PTG juga terjadi pada recovering addict atau pecandu yang menjalani pemulihan. Penggunaan NAPZA dan masalah adiksinya merupakan salah satu pengalaman atau kejadian yang bersifat traumatik atau stressful dan sangat mempengaruhi kehidupan orang yang mengalaminya. Hewit (2002; 2007) menyatakan bahwa adiksi dapat dilihat sebagai sebuah trauma dan dapat memberikan efek positif ataupun negatif. Trauma ini dapat secara langsung berhubungan dengan pengalaman adiksi yang tidak dapat terkontrol atau secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diakibatkan penggunaan NAPZA lain seperti peningkatan resiko akan tindakan kekerasan, masalah kesehatan mental dan masalah lain yang berhubungan dengan kejadian yang stressful (Hewit, 2007). Christo & Morris (2004) menyatakan bahwa secara umum, studi menunjukkan bahwa pengguna NAPZA memiliki dua kali lebih banyak pengalaman hidup yang traumatik dibandingkan populasi lainnya. Sepertiga sampai setengahnya mungkin berpotensi terdiagnosa PTSD (Schumm dkk, 2004), terlebih lagi di antara para perempuan (Najavits dkk, 1998) (dalam Hewit, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hewit (2007) pada recovering addict, ditemukan bahwa mereka memiliki perasaan bermakna serta memiliki tujuan dan arah hidup yang lebih kuat setelah mereka berhenti menggunakan NAPZA. Pengalaman yang dialami recovering addict membuat mereka memutuskan untuk tidak mengulangi kembali pengalamannya tersebut

19 4 dan memahami apa yang sebenarnya terjadi. Proses refleksi dan re-evaluasi ini membawa mereka pada perubahan ke arah positif. Seorang recovering addict menyatakan bahwa adiksi menyebabkan dirinya mengevaluasi kembali kehidupannya serta kepercayaannya akan kehidupan dan dirinya. Hal ini juga diperkuat oleh salah satu recovering addict di UPT T&R BNN Lido yang peneliti wawancarai saat pengambilan data yang menyatakan bahwa setelah berhenti menggunakan NAPZA ia menjadi lebih mengenal siapa dirinya dan melakukan evaluasi terhadap kesalahan yang telah ia lakukan, misalnya kesalahan yang dilakukan terhadap keluarganya dan kemudian melakukan perbaikan dalam kehidupannya. Namun, PTG tidak terjadi begitu saja setelah seseorang mengalami kejadian yang stressful. Kemampuan seseorang untuk mengubah dirinya menjadi positif berkaitan dengan bagaimana cara dirinya menghadapi suatu pengalaman yang terjadi. Dibutuhkan beberapa faktor baik faktor internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan PTG seseorang. Ho dkk (2010) menemukan bahwa harapan dan optimisme memiliki korelasi positif dengan PTG dimana harapan memberikan sumbangan sebesar 16% pada varians PTG. Selain itu berdasarkan analisis regresi yang dilakukan, waypower memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG. Selain itu Prati dan Pietrantoni (2009) menemukan bahwa coping religius dan penilaian positif (positive reappraisal) memiliki korelasi positif yang tinggi dengan PTG. Thombre dkk, (2010) juga menemukan bahwa dimensi coping religius positif dan negatif antara lain penggunaan benevolent religious

20 5 reappraisal (positif coping) yang tinggi dan penggunaan punishing reappraisal (negatif coping) yang rendah melaporkan nilai yang tinggi pada PTG. Thombre dkk juga menjelaskan bahwa penggunaan coping religius positif akan menghasilkan nilai PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan coping religius negatif. Menurut Pargament dkk (2005) coping religius dapat memberikan arti pada kejadian negatif, berperan sebagai pengontrol diri dalam situasi yang sulit, menyediakan kenyamanan saat seseorang menghadapi suatu masalah, memberikan keintiman, dan membantu orang dalam membentuk sebuah tranformasi kehidupan. Selanjutnya faktor lain seperti social support, coping dengan mencari dukungan sosial (seeking social support coping), dan spiritualitas memiliki tingkat korelasi yang sedang yang kemudian diikuti oleh acceptance coping yang memiliki korelasi terendah dengan PTG (Prati & Pietrantoni, 2009). Menurut Schaefer dan Moos, dukungan sosial dapat mempengaruhi PTG dengan cara mempengaruhi tingkah laku coping seseorang dan membantu seseorang dalam keberhasilannya beradaptasi dengan krisis kehidupan (Prati & Pietrantoni, 2009). Orford (1992) menyatakan bahwa social support bekerja dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh tekanan-tekanan atau stres yang dialami individu (dalam Yurliani, 2007). Sejumlah studi menunjukkan bahwa dukungan sosial selama dan setelah kejadian traumatik dapat mengurangi tingkat depresi, kecemasan dan gangguan fisik serta gangguan mental lainnya (Wilson & Boden, 2007). Hal ini juga diperkuat oleh recovering addict yang peneliti wawancara saat melakukan

21 6 pengambilan data di UPT T&R BNN Lido, yang menyatakan bahwa dukungan yang mereka dapatkan baik dari keluarga ataupun komunitas mereka di program Therapeutic Community (TC) dapat membantu dalam menghadapi kesulitan yang dialami selama proses rehabilitasi. Selain itu melalui sharing yang mereka lakukan saat berada di TC juga dapat membantu dalam mengenal dirinya lebih dalam dan memiliki hubungan yang lebih dekat satu sama lain. Kemudian penelitian mengenai faktor PTG lainnya menunjukkan adanya hubungan positif antara cognitive process dan PTG. Partisipan yang mencoba untuk memahami, menyelesaikan dan membuat keadaan menjadi masuk akal segera setelah kejadian traumatik terjadi menunjukkan tingkat PTG yang tinggi (Calhoun dkk, 2000). Selain itu pengekspresian emosi yang dirasakan kepada orang lain (emotional processing) juga mempengaruhi PTG pada pasien kanker. Didapatkan bahwa semakin sering seseorang mengekspresikan perasaannya pada orang lain mengenai kejadian traumatik yang dialami maka semakin tinggi skor PTGI yang didapatkan (Manne dkk, 2004). Helgeson (2006) melaporkan bahwa banyak faktor lain yang mempengaruhi PTG diantaranya yaitu faktor demografis (usia, jenis kelamin, status ekonomi), karakteristik stressor, self-esteem, positive affect, negative affect, intrusive-avoidant thoughts, global distress dan life satisfaction (dalam Prati & Petrantoni, 2009). Manne dkk (2004) menyatakan bahwa pasien kanker dengan usia yang lebih muda memiliki tingkat PTG yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan usia yang lebih tua. Selain itu McMillen (dalam Hewit, 2007) menyatakan bahwa recovering addict pada fase awal rehabilitasi memiliki tingkat

22 7 PTG yang rendah, yang kemudian juga dijelaskan pada penelitian yang dilakukan Hewit (2002; 2007) yang didapatkan bahwa recovering addict pada 3 tahun pasca recovery memiliki PTG yang lebih tinggi. Berdasarkan fenomena yang diuraikan di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti masalah mengenai Posttraumatic Growth (PTG) ini karena masih sedikitnya penelitian mengenai fenomena ini di Indonesia terutama pada recovering addict. Selain itu kebanyakan penelitian sebelumnya lebih melihat efek negatif dari sebuah kejadian traumatik. Padahal kejadian traumatik tidak selalu memberikan efek negatif pada orang yang mengalaminya. Hanya penelitian yang dilakukan baru-baru ini yang mulai mengevaluasi aspek positif dari trauma dan menggunakan instrumen dalam mengevaluasi perkembangan personal seseorang (personal growth) (Park, Cohen, & Murch, 1997; Tedeschi & Calhoun, 1996 dalam Znoj, 2005). Kemudian beberapa data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi PTG di atas juga masih dibuktikan secara terpisah, masih belum ada yang menyatukan faktor PTG yaitu harapan (willpower, waypower), coping religius (coping religius positif, coping religius negatif), social support (informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support), usia dan fase rehabilitasi untuk kemudian dapat dilihat faktor mana yang berpengaruh dan berkontribusi paling besar dengan perkembangan PTG pada recovering addict. Alasan peneliti mengangkat faktor-faktor tersebut dikarenakan kecocokan fenomena yang ada pada recovering addict khususnya di tempat rehabilitasi yang

23 8 akan peneliti jadikan subjek penelitian yang didasarkan pada observasi dan wawancara yang peneliti lakukan selama proses pengambilan data. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian mengenai FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan Masalah Dari beberapa identifikasi masalah yang dijelaskan di atas, maka agar penelitian tidak meluas, peneliti membatasi masalah sebagai berikut: 1. Posttraumatic Growth (PTG) Tedeschi & Calhoun (2004) Posttraumatic Growth (PTG) yang dimaksud adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi. Perubahan dalam hal ini terdiri dari 5 aspek, antara lain: a. Appreciation of life adalah perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang yang kemudian berpengaruh terhadap penghargaan dirinya terhadap hidup. b. Relating to others adalah perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, lebih intim dan lebih berarti.

24 9 c. Personal strength adalah perubahan yang berupa peningkatkan kekuatan personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya. d. New possibilities adalah identifikasi individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola kehidupan yang baru dan berbeda. e. Spritual Change adalah perkembangan pada aspek spirtualitas dan halhal yang bersifat eksistensial. 2. Harapan (Hope) Snyder (1994) mendefinisikan harapan (hope) sebagai kemampuan untuk merencanakan suatu cara atau jalur menuju tujuan yang diharapkan meskipun menjumpai hambatan (waypower) dan motivasi untuk mencapai tujuan tersebut (willpower). 3. Coping Religius Pargament dkk (2005) menyatakan bahwa coping religius adalah metode coping yang menggunakan pendekatan agama dalam memahami dan berdamai dengan kejadian hidup yang kritis. Pargament dkk (dalam Raiya, 2008) membagi coping religius terdiri dari 2 dimensi, antara lain: a. Coping Religius Positif Yaitu coping religius yang menggambarkan sebuah hubungan yang kuat dengan Tuhan, kepercayaan bahwa sebuah makna yang lebih besar akan ditemukan dan rasa akan keterhubungan secara spiritualitas.

25 10 b. Coping religius negatif Yaitu coping religius yang menggambarkan ekspresi hubungan yang kurang kuat dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan tentang dunia, perjuangan untuk mencari dan melestarikan makna kehidupan yang secara general lebih bersifat maladaptif. 4. Dukungan Sosial (Social Support) Sherbourne & Stewart (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan yang diberikan oleh seseorang yang dilihat dari 5 aspek, yaitu: a. Informational support, yaitu dukungan yang berupa nasihat, informasi, bimbingan dan saran. b. Emotional Support, yaitu dukungan berupa ekspresi efek yang positif, empati dan ekspresi perasaan yang dapat memberikan ketenangan hati. c. Affectionate support, yaitu dukungan yang berupa ekspresi cinta dan kasih sayang. d. Positive social interaction, yaitu dukungan yang berupa ketersediaan orang lain untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. e. Tangible support, yaitu dukungan yang berupa pemberian bantuan material atau bantuan yang ditunjukkan dengan perilaku. 5. Usia Usia yang dimaksud adalah usia kronologis atau usia sejak lahir yang mengacu pada teori Binet (Santrock, 2002).

26 11 6. Fase Rehabilitasi Fase rehabilitasi yaitu tahapan program rehabilitasi sosial dimana dalam hal ini peneliti menggolongkannya pada tahapan primary green, primary hope, re-entry serta staff adiksi. Recovering addict yang dimaksud adalah individu yang menjalani proses pemulihan dan berhenti sama sekali dari penggunaan NAPZA (abstinensia) yang berada di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Sukabumi yang berada pada fase primary green, primary hope, re-entry serta staff adiksi Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, usia dan fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 2. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari waypower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 3. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari willpower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict?

27 12 4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari coping religius positif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 5. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari coping religius negatif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 6. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 7. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari emotional support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 8. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari affectionate support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 9. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari positive social interaction terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 10. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari tangible support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 11. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari usia terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 12. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict?

28 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, usia dan fase rehabilitasi pada recovering addict. 2. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari waypower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 3. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari willpower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 4. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius positif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 5. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius negatif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 6. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 7. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari emotional support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 8. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari affectionate support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

29 14 9. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari positive social interaction terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 10. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari tangible support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 11. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari usia terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 12. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis: 1. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan posttraumatic growth khususnya pada recovering addict. 2. Menambah dan memperluas khazanah dalam keilmuan psikologi klinis khususnya dalam aspek pasca-traumatik. Manfaat Praktis: Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sebuah masukan bagi panti rehabilitasi ataupun orang-orang yang berada di sekitar recovering addict, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan posttraumatic growth pada recovering addict sehingga dapat berguna bagi program pemulihan yang dijalankan oleh para recovering addict seumur hidupnya.

30 Sistematika Penelitian BAB I Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth pada recovering addict, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian. BAB II Kajian Pustaka, menguraikan sejumlah konsep yang berkaitan dengan posttraumatic growth yang terdiri dari pengertian, aspek PTG, proses terjadinya PTG, PTG pada recovering addict, model PTG pada recovering addict serta faktor yang mempengaruhinya. Selain itu juga dijelaskan konsep mengenai pengetian harapan dan komponen dalam harapan, pengertian coping religius, pendekatan coping religius dan aspek-aspek coping religius, pengertian dukungan sosial, efek dukungan sosial dan sumber-sumber dukungan sosial. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan mengenai kerangka berpikir, hipotesis mayor dan hipotesis minor dari penelitian. BAB III Metodologi Penelitian, Bab ini berisi penguraian mengenai, pendekatan penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel dan definisi variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, prosedur pengumpulan data dan metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini. BAB IV Hasil Penelitian, menguraikan mengenai pengolahan data-data yang telah terkumpul dari penelitian yang dilakukan. Data yang terkumpul antara lain meliputi gambaran umum subjek penelitian dan uji hipotesis dari faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth pada recovering addict.

31 16 BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran, pada bagian kesimpulan berisi jawaban terhadap permasalahan penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Pada bagian diskusi, akan dibahas hasil penelitian. Selain itu, juga akan diberikan pembahasan mengapa suatu hipotesis penelitian ditolak atau diterima, serta keterbatasanketerbatasan penelitian. Bagian saran berisi saran-saran metodologis untuk keperluan penelitian selanjutnya serta saran-saran praktis sesuai dengan permasalahan dan hasil peneliti.

32 17 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Posttraumatic Growth (PTG) Pengertian Menurut Tedeschi & Calhoun: Posttraumatic Growth (PTG) is the experience of positive change that occurs as a result of the struggle with highly challenging life crises (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004). PTG adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi. Setelah beberapa dekade orang-orang melihat reaksi negatif yang dihasilkan dari sebuah kejadian traumatik, Tedeschi dan Calhoun (dalam Schmidt, 2008) membuka sebuah area penelitian baru yang melihat reaksi positif yang dihasilkan dari suatu kejadian traumatik yang kemudian dikenal dengan istilah Posttraumatic Growth (PTG). Konstruk ini menuju pada perubahan besar yang terjadi pada persepsi seseorang tentang kehidupannya setelah orang tersebut berjuang menghadapi krisis yang terjadi. Individu ini tidak hanya sekedar kembali pada keadaannya sebelumnya, tetapi menggunakan trauma sebagai sebuah kesempatan untuk perkembangan diri selanjutnya (Zoellner & Maercker, dalam Schmidt, 2008). 17

33 18 PTG memiliki dua pengertian penting. Pertama, Tedeschi & Calhoun menyatakan bahwa PTG dapat terjadi saat seseorang mengalami kejadian yang sangat tidak diinginkan atau tidak menyenangkan. Tingkat stress yang rendah dan proses perkembangan yang normal tidak berhubungan dengan timbulnya PTG. Kedua, perubahan positif hanya akan terjadi setelah seseorang melakukan perjuangan. Perjuangan ini merujuk pada penerimaan masa lalu dan masa depannya dalam kehidupan yang terjadi segera setelah mengalami trauma yang berat (Bellizzi & Blank dan Tedeschi & Calhoun, dalam Schmidt, 2008). Istilah PTG lebih menangkap inti dari suatu fenomena yang terjadi dibandingkan istilah lain, karena: (1) PTG terjadi secara khusus pada beberapa kejadian yang stressful dibandingkan pada kejadian dengan level stress yang rendah, (2) PTG disertai dengan transformasi perubahan kehidupan, (3) PTG merupakan hasil dari pengalaman traumatik bukan suatu bentuk mekanisme coping dalam menghadapi pengalaman traumatik, dan (4) PTG merupakan perkembangan atau kemajuan dari kehidupan seseorang (Linley & Joseph, 2004). Istilah lain yang terkait dengan fenomena PTG antara lain stern conversion, positive psychological changes, perceived benefits atau construing benefits, stress related-growth, discovery of meaning, positive emotions, flourishing dan thriving (Linley & Joseph, 2004). PTG digambarkan sebagai pengalaman individu yang berkembang setelah mengalami kejadian traumatik, setidaknya pada beberapa area. Individu tersebut tidak hanya survive tetapi juga memiliki perubahan dari keadaan sebelumnya yang

34 19 menurutnya. PTG tidak hanya kembali pada keadaan semula (normal), tetapi juga merupakan sebuah perbaikan kehidupan yang pada beberapa orang terjadi dengan sangat luar biasa (Tedeschi & Calhoun, 2004). PTG bukan merupakan hasil langsung yang terjadi setelah pengalaman traumatik. PTG merupakan perjuangan individu dalam menghadapi realita baru setelah mengalami kejadian traumatik. Calhoun & Tedeschi (1998) menggunakan istilah gempa bumi (earthquake) untuk menjelaskan PTG. Kejadian psikologis yang mengguncang dapat menyiksa atau mengurangi pemahaman seseorang dalam memahami sesuatu, mengambil keputusan dan perasaan berarti. Kejadian yang mengguncang dapat membuat seseorang menganggap bahwa kejadian tersebut merupakan suatu tantangan yang berat, melakukan penyangkalan, atau mungkin kehilangan kemampuan untuk memahami apa yang terjadi, penyebab dan alasan kejadian tersebut terjadi, dan dugaan abstrak seperti apa tujuan dari kehidupan manusia (Tedeschi & Calhoun, 2004). Setelah mengalami kejadian yang mengguncang seseorang akan membangun kembali proses kognitifnya. Hal ini dapat diibaratkan dengan membangun kembali bangunan fisik yang telah hancur setelah terjadi gempa bumi. Struktur fisik dirancang agar seseroang dapat lebih bertahan atau melawan kejadian traumatik di masa depan, yang merupakan hasil pelajaran dari gempa bumi sebelumnya mengenai apa yang dapat bertahan dari guncangan dan apa yang tidak. Ini merupakan hasil dari sebuah kejadian yang dapat menimbulkan PTG (Tedeschi & Calhoun, 2004).

35 Aspek Posttraumatic Growth Calhoun & Tedeschi (1996) (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004) menyebutkan perubahan dalam diri seseorang pasca kejadian traumatik yang juga merupakan elemen PTG antara lain: 1. Appreciation for life (Pernghargaan terhadap hidup) Merupakan perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang. Perubahan yang mendasar adalah perubahan mengenai prioritas hidup seseorang yang juga dapat meningkatkan penghargaan kepada hal-hal yang dimilikinya misalnya menghargai kehidupannya. Perubahan prioritas tersebut misalnya menjadikan hal yang kecil menjadi sesuatu yang penting dan berharga misalnya senyuman anak atau waktu yang dihabiskan untuk bermain bersama anak. Even the smallest joys in life took on a special meaning. 2. Relating to others (Hubungan dengan orang lain) Merupakan perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, lebih intim dan lebih berarti. Seseorang mungkin akan memperbaiki hubungan dengan keluarga atau temannya. Misalnya pada orang tua yang kehilangan anaknya menyatakan bahwa ia lebih empati terhadap siapapun yang sedang sakit dan siapapun yang sedang mengalami kesedihan. 3. Personal strength (Kekuatan dalam diri) Merupakan perubahan yang berupa peningkatkan kekuatan personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya. Misalnya pada orang tua yang kehilangan anaknya menyatakan, Saya dapat mengatur semuanya

36 21 dengan lebih baik. Hal-hal yang menjadi sesuatu masalah yang besar sekarang menjadi masalah yang tidak begitu besar bagi saya. 4. New possibilities (Kemungkinan-kemungkinan baru) Merupakan identifikasi individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola kehidupan yang baru dan berbeda. Sebagai contoh misalnya seseorang yang mengalami kehilangan orang tersayangnya karena suatu penyakit mempengaruhi dirinya untuk berjuang menghadapi kesedihan dan menjadikan dirinya seorang suster. Dengan menjadi seorang suster ia dapat mencoba memberikan kepedulian dan rasa nyaman pada orang lain yang mengalami penderitaan dan kehilangan. Beberapa orang memperlihatkan ketertarikan yang baru, aktivitas baru dan mungkin memulai pola kehidupan baru yang signifikan. 5. Spritual Development (Perkembangan spiritual) Merupakan perubahan berupa perkembangan pada aspek spirtualitas dan halhal yang bersifat eksistensial. Individual yang tidak religius atau tidak memiliki agama juga dapat mengalami PTG. Mereka dapat mengalami pertempuran yang hebat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendasar atau pertempuran tersebut mungkin dijadikan sebagai pengalaman PTG. Selain itu Calhoun & Tedeschi (1999) (dalam Taku dkk, 2008) juga membagi PTG ke dalam 3 aspek antara lain: 1. Perubahan dalam persepsi diri (changes in perception of self), antara lain meliputi memiliki kekuatan dalam diri yang lebih besar, resiliensi atau

37 22 kepercayaan terhadap diri sendiri, terbuka dalam mengembangkan kesempatan baru. 2. Perubahan dalam hubungan interpersonal (changes in interpersonal relationship), antara lain meliputi peningkatan rasa altruis atau memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dalam suatu hubungan dengan orang lain. 3. Perubahan dalam filosofi hidup (changes in philiosphy of life), antara lain memiliki apresiasi yang lebih besar setiap harinya dan perubahan dalam hal spritualitas atau religiusitas (kepercayaan keagamaan).

38 Proses Terjadinya Posttraumatic Growth PERSON PRETRAUMA SEISMIC EVENT CHALLENGES MANAGEMENT OF EMOTIONAL DISTRESS FUNDAMENTAL SCHEMAS BELIEFS & GOALS LIFE NARRATIVE RUMINATION MOSLTY AUTOMATIC & INTRUSIVE SELF DISCLOSURE WRITING, TALKING, PRAYING RUMINATION OF EMOTIONAL DISTRESS MANAGEMENT OF AUTOMATIC RUMINATION DISENGAGEMENT FROM GOALS RUMINATION MORE DELIBERATE SCHEMA CHANGE NARRATIVE DEVELOMPMENT SOCIAL SUPPORT MODELS FOR SCHEMAS, COPING, POSTTRAUMATIC GROWTH ENDURING DISTRESS POSTTRAUMATIC GROWTH (5 DOMAINS) WISDOM Bagan 2.1 Proses Terjadinya PTG Pada skema di atas, dapat digambarkan beberapa karakteristik individu dan gaya seseorang dalam mengatur emosinya dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami pengalaman PTG. Selanjutnya, tingkat self-disclosure seseorang tentang keterbukaannya akan emosi dan perspektif mereka akan krisis yang dihadapi, mungkin juga memegang peranan dalam terjadinya PTG pada

39 24 seseorang. Kemudian juga dapat digambarkan bagaimana cognitive process dalam menghadapi kejadian traumatik, seperti proses pemikiran berulang atau perenungan (ruminative thoughts) juga berhubungan dengan munculnya PTG. Hal ini dapat diargumentasikan bahwa proses kognitif seseorang dalam keadaan krisis memainkan peranan yang penting dalam proses PTG. Terakhir, PTG dapat secara signifikan berhubungan dengan kebijaksanaan dan narasi kehidupan individu (the individual s life narrative) (Tedeschi & Calhoun, 2004). a. Karakteristik personal atau individu Tingkatan trauma yang dialami oleh seseorang tentunya akan sangat mempengaruhi perkembangan PTG. Namun, karakteristik personal seseorang dalam menghadapi trauma tersebut juga dapat mempengaruhi proses PTG. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Costa & Mc Crae (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004) keterbukaan seseorang terhadap pengalaman dan kepribadian ekstrovert berhubungan dengan perkembangan PTG. Orang dengan karaktersitik ini mungkin lebih memperhatikan emosi positif pada dirinya meskipun dalam keadaaan yang sulit, yang kemudian dapat membantunya untuk memahami informasi mengenai pengalaman yang ia alami dengan lebih efektif dan menciptakan perubahan positif dalam dirinya (PTG). Selain itu karaktersitik lain seperti optimisme juga mempengaruhi perkembangan PTG seseorang. Orang yang optimis dapat lebih mudah memperhatikan hal mana yang penting baginya dan terlepas dari keadaan yang tidak terkontrol atau masalah yang tidak terselesaikan. Ini merupakan hal yang penting bagi proses kognitif yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatik (Tedeschi & Calhoun, 2004).

40 25 b. Mengelola emosi berbahaya atau negatif (Managing distressing emotion) Saat seseorang mengalami krisis dalam hidupnya, ia harus mampu mengelola emosinya yang berbahaya yang mungkin dapat melemahkan dirinya. Karena dengan mengelola emosi yang berbahaya seseorang dapat menciptakan skema perubahan dalam dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian dapat membentuk PTG. Pada tahapan awal trauma, proses kognitif atau berpikir seseorang biasanya lebih bersifat otomatis dan banyak terdapat pikiran serta gambaran yang merusak. Selain itu juga timbul perenungan (rumination) yang negatif dan merusak. Namun pada akhirnya apabila proses ini efektif, maka seseorang akan terlepas dari tujuan dan asumsi sebelumnya yang kemudian membawanya untuk berpikir bahwa cara lama yang ia jalani dalam hidup tidak lagi tepat untuk mengubah suatu keadaan (Tedeschi & Calhoun, 2004). Namun proses ini terjadi berbeda-beda pada seseorang, karena masih ditemukan rasa ketidakpercayaan akan pengalaman yang dialami pada beberapa orang yang bertahan hidup dari kejadian traumatik. Stress yang dialami menjaga proses kognitif untuk tetap aktif. Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah dengan segera maka dapat diindikasikan bahwa ia telah menerima keadaan saat ini dan dapat membantunya dalam mengelola kejadian traumatik (Tedeschi & Calhoun, 2004). c. Dukungan dan keterbukaan (Support and disclosure) Dukungan dari orang lain dapat membantu perkembangan PTG, yaitu dengan memberikan kesempatan pada orang yang mengalami trauma (trauma

41 26 survivors) untuk menceritakan perubahan yang terjadi dalam hidupnya dan juga dengan memberikan perspektif yang dapat membantunya untuk perubahan yang positif. Bercerita tentang trauma dan usaha untuk bertahan hidup juga dapat membantu trauma survivor untuk mengeluarkan sisi emosionalnya mengenai kejadian yang dialami. Selain itu melalui cerita, trauma survivor dapat menciptakan keintiman dan merasa lebih diterima oleh orang lain (Tedeschi & Calhoun, 2004). d. Proses kognitif dan perkembangan (Cognitive processing and growth) Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan menentukan apakah seseorang akan terus berjuang atau menyerah juga membantu perkembangan PTG. Orang dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat mengurangi ketidaksesuaian suatu keadaan dan memberikan fungsi yang optimal dari coping yang digunakan, sedangkan orang dengan kepercayaan diri yang rendah akan menyerah. Apabila seseorang mengalami perubahan, ia akan melepaskan tujuan atau asumsi awalnya yang kemudian pada keadaan yang sama mencoba membentuk skema, tujuan dan makna baru dalam hidupnya (Tedeschi & Calhoun, 2004). e. Perenungan atau proses kognitif (Rumination or cognitive processing) Asumsi seseorang mengenai dunia atau skema yang telah hancur harus direkonstruksi ulang agar berguna bagi tingkah laku dan pilihan yang akan diambil. Pembangunan kembali skema tersebut untuk lebih bertahan dapat menuntun orang yang mengalami pengalaman traumatik untuk berpikir ulang

42 27 mengenai keadaan yang ia alami. Menurut Martin & Tesser (dalam Linley & Joseph, 2004) bentuk proses kognitif ini memiliki karakterisasi antara lain masuk akal (making sense), menyelesaikan masalah (problem solving), mengenang (reminiscence), dan antisipasi (anticipation). Pemikiran ulang atau perenungan (rumination) ini merupakan suatu hal yang penting dalam keadaan krisis yang berguna untuk menyadari tujuan hidupnya yang belum tercapai, memastikan bahwa skemanya tidak lagi secara akurat merefleksikan keadaan saat itu, dan memastikan bahwa kepercayaannya tidak lagi tepat. Beberapa tujuan hidup yang tidak lagi dapat dicapai dan beberapa asumsinya yang tidak dapat menerima realita baru pasca kejadian traumatik, memungkinkan seseorang memulai untuk membentuk formula tujuan baru dan memperbaiki asumsinya tentang dunia agar dapat mengakui perubahan keadaan kehidupannya (Linley & Joseph, 2004). f. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (Wisdom and life narrative) Asumsi kita adalah pengalaman PTG seseorang merupakan sebuah proses perubahan yang di dalamnya terdapat pengaruh kebijaksanaan seseorang dalam memandang kehidupan, dan juga perkembangan pola pikirnya dalam memikirkan kehidupan. Ketangguhan seseorang dalam menghadapi kejadian traumatik dapat membentuk PTG dan bersifat memperbaiki cerita kehidupannya (misalnya sebelum dan sesudah perang, sebelum dan sesudah mengalami kekerasan kriminal). Berdasarkan skema di atas, perkembangan cerita kehidupan seseorang dan PTG dapat bersifat saling mempengaruhi (Tedeschi & Calhoun, 2004).

43 Pengertian Recovering Addict Recovering Addict Adiksi (Addiction) MacAndrew (1998) menyatakan bahwa addiction atau adiksi berasal dari bahasa Latin addictus, yang berarti memberikan perintah, sebab pengekangan atau pengendalian (dalam Hewit, 2007). Selanjutnya masih dalam Hewit, APA (1994) memberikan pula definisi addiction sebagai perilaku berlebih dimana individu memiliki kontrol yang merusak dengan konsekuensi yang berbahaya. BNN (2009) menyatakan bahwa adiksi adalah suatu penyakit bio-psiko-sosial, artinya melibatkan faktor biologis, psikologis dan sosial. Gejala-gejala yang diberikan adiksi khas serta bersifat kronik (lama) dan progresif (makin memburuk jika tidak ditolong). Gejala utamanya antara lain: 1. Rasa rindu dan keinginan kuat untuk memakai sehingga bersifat kompulsif terhadap narkoba atau pengubah suasana hati lain 2. Hilangnya kendali diri terhadap pemakaiannya 3. Tetap memakai walaupun mengetahui akibat buruknya 4. Menyangkal adanya masalah (BNN, 2009). Adiksi bukan terjadi akibat kelemahan moral, walaupun ada hubungannya dengan masalah moral atau kurangnya kemauan dan walaupun ia harus memutuskan untuk berhenti memakai agar pulih. Namun kemauan saja tidak cukup untuk memulihkannya dari kecanduan. Adiksi mempengaruhi keadaan jasmani, perilaku dan kehidupan sosialnya. Pengaruh tersebut harus dilihat

44 29 sebagai bagian dari penyakit. Penyakit adiksi berlangsung kronis. Namun, penyakit itu dapat dihentikan asalkan pecandu mau berhenti memakai narkoba dan semua jenis pengubah suasana hati lain. Karena adiksi adalah suatu penyakit, maka sekali seseorang menjadi kecanduan terhadap narkoba, ia tidak akan pernah dapat kembali pada pemakaian kembali tanpa resiko menjadi ketergantungan sehingga ia harus menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia total) (BNN, 2009). Proses terjadinya ketergantungan (adiksi) NAPZA: Pemakaian Penyalahgunaan T E M B O Ketergantungan K Bagan 2.2 Proses Terjadinya Ketergantungan (Adiksi) NAPZA Proses seseorang menjadi ketergantungan dapat digambarkan seperti seorang yang menembus tembok. Pada tahap pemakaian ia masih dapat menghentikannya. Jika telah terjadi ketergantungan, ia sulit kembali ke pemakaian sosial, berapa pun ia berusaha, kecuali jika menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia) (BNN, 2009) Pemulihan (Recovery) Pengertian recovery atau pemulihan dalam konteks 12 step model of addiction adalah kondisi berhenti sepenuhnya (abstinensia) dari perubahan mood yang diakibatkan oleh zat (termasuk rokok, kafein dan beberapa obat lainnya).

45 30 Selain itu Granfield & Cloud (1999) mendefinisikan recovery sebagai penghentian perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan atau penggunaan yang merusak dari penyalahgunaan zat. Selanjutnya recovery dapat berarti bersih dari adiksi, pantang dari penggunaan obat-obatan, atau pengampunan dari tahapan ketergantungan obat-obatan. Teori tentang recovery juga menjelaskan bahwa recovery adalah sebuah proses untuk mencapai dan memelihara kondisi berhenti sepenuhnya dari penggunaan obat-obatan yang tidak berhubungan dengan treatment tertentu (Wesson dkk, 1986). Pemulihan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap, untuk mempelajari keterampilan baru dan tugas-tugas yang mempersiapkannya menghadapi tantangan hidup bebas tanpa narkoba. Jika gagal, ia beresiko untuk relaps (kambuh). Pemulihan dimulai dengan berhenti menggunakan narkoba (abstinensia). Akan tetapi, tidak cukup hanya berhenti memakai, gaya hidup juga harus berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi keadaan tubuh, jiwa dan rohaninya, mengubah gaya hidupnya dengan hidup sehat dan memuaskan. Proses ini disebut pemulihan seluruh pribadinya. Hal yang harus dipulihkan dari para pecandu antara lain fisik, psikologis, sosial, rohani, okupasional (pekerjaan) dan pendidikan (BNN, 2009). Pemulihan memiliki arti sebagai berikut: a. Menghentikan sama sekali pemakaian narkoba (abstinensia), b. Memisahkan diri dari orang lain, tempat dan benda yang dapat mendorong pemakaian narkoba kembali, c. Membangun jaringan sosial yang mendukung proses pemulihannya,

46 31 d. Memulihkan hubungan dengan sesamanya, terutama keluarga, e. Mengubah perilaku adiktif dengan menyadari dan mengakui perasaanperasaan negatif yang dihayati dan pikiran-pikiran yang tidak rasional, f. Belajar cara mengelola perasaan secara bertanggung jawab tanpa narkoba, g. Belajar cara mengubah pola pikir adiktif yang menciptakan perasaan yang menyakitkan dan perilaku merusak diri, h. Mengenal dan mengubah keyakinan keliru dan salah tentang diri sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya (BNN, 2009). Dikatakan recovery atau pemulihan karena seseorang yang mengalami gangguan dari penggunaan obat-obatan tidak akan kembali sepenuhnya pada kondisi normal seperti sebelum ia mengalami gangguan (Maddux & Desmond, 1986). Jadi yang dimaksud dengan recovering addict adalah individu yang menjalani proses pemulihan dan berhenti sama sekali dari penggunaan NAPZA (abstinensia) Posttraumatic Growth pada Recovering addict Penelitian mengenai posttraumatic growth pada recovering addict masih sedikit dilakukan. Hanya dua studi yang dilakukan mengenai PTG pada recovering addict. Penelitian pertama dilakukan oleh McMillen dkk (2001) dengan pendekatan kualitatif pada 65 orang sampel pada panti rehabilitasi di Amerika Serikat. Karena sampel yang diambil masih berada pada tahap yang terlalu dini dalam rehabilitasi, hasil yang didapat mengenai keuntungan yang didapatkan

47 32 setelah mereka mengalami masalah adiksi dan keuntungan dari proses treatment yang diberikan masih belum jelas (dalam Hewit, 2007). Kemudian penelitian kedua dilakukan oleh Hewit (2002; 2007) pada 65 sampel pengguna alkohol yang pada proses pemulihan di Inggris. Studi ini dilakukan pada jangka waktu 3 tahun setelah pemulihan sehingga efek PTG lebih terlihat. Pada studi ini ditemukan bahwa PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) berhubungan terbalik dengan waktu pasca adiksi atau ketergantungan. Kemudian efek dari PTSD dan PTG hidup berdampingan. Terdapat hal-hal signifikan yang berkaitan dengan individu dengan latar belakang penyalahguna NAPZA dalam studi mengenai PTG, misalnya studi yang dilakukan Dunbar dkk (1998) yang menemukan bahwa salah satu hal yang berpengaruh pada PTG recovering addict adalah HIV/AIDS (dalam Hewit, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hewit (2007), perubahan perspektif dan bagaimana pandangan pada identitas diri yang terjadi pada recovering addict antara lain dimulai dengan perasaan sebagai seorang pecandu, kemudian berubah menjadi perasaan sebagai seorang pecandu yang tidak menggunakan NAPZA, selanjutnya menjadi perasaan sebagai seorang mantan pecandu dan kemudian berada pada tingkat dimana mereka tidak memikirkan dirinya pada keadaan adiksi lagi. I think there is a stage where you ve been off heroin or methadone and you still feel like the same person I don t actually feel like a junkie any more I

48 33 work with somebody in the near vicinity who is a drug user and even though I have been where he is, I feel very different to him Model PTG pada Recovering addict GROWTH POSITIVE LOOPS DELIBERATE NESS RECOVERY GROWTH CAPITAL INDIVIDUATION ADDICTION Bagan 2.3 Model PTG Recovering Addict Hewit (2007) menjelaskan bahwa proses di atas secara keseluruhan menggambarkan sebuah proses individuation, yaitu proses realisasi diri atau proses menjadi diri sendiri yang bersifat unik pada setiap orangnya, yang juga merupakan usaha untuk hidup dengan bermakna. Proses individuasi ini juga meliputi pembelajaran seseorang mengenai kesulitan dalam masalah adiksinya. Konstruk individuation dan growth mirip tetapi sebenarnya tidak sama. Growth merupakan perubahan positif pada beberapa aspek kehidupan yang diikuti dengan kebahagiaan serta kepuasan, kemudian individuasi merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari growth (Hewit, 2007).

49 34 PTG pada recovering addict dipengaruhi oleh growth capital yaitu sumber internal dan eksternal yang dapat mendukung perkembangan positif pada seseorang yang kemudian juga mempengaruhi proses recovery seseorang. Selain itu kunci recovery, growth, growth capital dan semua proses individuasi adalah deliberateness yaitu usaha aktif dan sadar untuk meningkatkan perkembangan pada dirinya, antara lain kesadaran diri, menentukan tujuan, bertanggung jawab dan mengambil keputusan (Hewit, 2007). Kemudian pengalaman yang positif (positive loops) memberikan pengaruh terhadap usaha yang dilakukan (deliberateness) dan kekuatan internal serta eksternal (growth capital) pada recovering addict. Pengalaman dan juga pilihan positif yang pernah dilakukan akan memberikan kesempatan recovering addict untuk meningkatkan kemungkinan pengambilan keputusan, pengalaman serta perkembangan yang positif selanjutnya (Hewit, 2007)....once you start realising that you can do things, then you entertain the possibility of doing more, and you also get to be a bit of a success junkie... the good feelings that you get about yourself having been able to achieve something, you just want more! Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth Ada beberapa faktor yang mempengaruhi PTG, antara lain: a. Harapan (Hope) Ho dkk (2010) menemukan bahwa harapan memiliki korelasi positif dengan PTG. Harapan dapat menjadi sebuah coping positif saat menghadapi situasi

50 35 stressful dan memegang peranan dalam perkembangan PTG. Harapan berbeda dengan optimis, harapan tidak hanya sekedar sebuah ekspektansi bahwa tujuannya dapat dicapai, namun juga kapasitas seseorang untuk membayangkan cara dalam mencapai tujuan tersebut. Pada penderita fibromyalgia dengan skor harapan yang tinggi menunjukkan penerimaan yang lebih tinggi pada rasa sakitnya yang kronis dan membuatnya lebih menerima dirinya serta menjadi individu yang lebih kuat (Tedeschi dkk, 1998). b. Dukungan sosial (social support) Seperti yang telah dijelaskan pada skema pembentukan PTG, Tedeschi & Calhoun (2004) menyebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung perkembangan PTG seseorang. Dukungan sosial mungkin mempelopori perkembangan PTG dengan mempengaruhi perilaku coping seseorang dan membantu keberhasilan seseorang dalam menghadapi krisis (Tedeschi dkk, 1998). Calhoun & Tedeshi menjelaskan bahwa usaha seseorang untuk mengatasi dan beradaptasi dengan trauma akan terjadi dengan bantuan lingkungan sosial dan selanjutnya menurut Lepore dkk kesempatan untuk mendiskusikan pengalaman traumatiknya yang mungkin dapat membantu memahami situasi tersebut dan menciptakan PTG (dalam Digens, 2003). Sudah banyak penelitian yang meneliti tentang hubungan antara social support dengan PTG, antara lain seperti yang dijelaskan dalam Digens (2003) yaitu, penelitian Cordova dkk (2001) dimana terdapat hubungan yang signifikan antara social support dengan PTG pada penderita kanker payudara dan penelitian Park dkk (1996) tentang kepuasan akan social support dengan PTG.

51 36 c. Coping religius Agama memiliki peranan sebagai coping seseorang dalam menghadapi kejadian stressful, antara lain sebagai coping yang digunakan bagi seseorang yang kehilangan anak, pasangan atau teman dekat (Profitt dkk, 2007). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan Thombre dkk (2010) menunjukkan bahwa penggunaan coping religius positif akan menghasilkan PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan coping religius negatif. Dari keempat dimensi positif dan negatif coping religius menunjukkan bahwa penggunaan benevolent religious reappraisal (positif coping) yang tinggi dan penggunaan punishing reappraisal (negatif coping) yang rendah melaporkan nilai yang tinggi pada PTG. d. Optimisme Beberapa penelitian menunjukkan bahwa optimisme memiliki korelasi yang positif dengan PTG. Optimisme memberikan pengaruh pada orang-orang yang mengalami kejadian traumatik, sebagai contoh dengan menampilkan kemampuan beradaptasi pada stressor medis diantaranya pada pasien yang melakukan operasi jantung, kelahiran anak, keguguran, dan orang dengan HIV positif (Tedeschi dkk, 1998). Individu yang optimis lebih mendapatkan keuntungan atau perubahan ketika mengalami traumatik dibandingkan individu yang pesimis, karena individu yang optimis memiliki pandangan positif akan masa depannya. Selain itu optimisme tidak berkaitan dengan strategi coping yang kaku, optimisme berkaitan dengan strategi coping dalam menghadapi stress dalam hidup. Kemudian optimisme juga dapat menjadi sebuah prediktor pada

52 37 kemampuan seseorang dalam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kejadian traumatik (Prati & Pietrantoni, 2009). e. Agama dan Spiritualitas Shaw dkk (2005) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara agama atau spiritualitas dengan trauma, dimana agama dan spiritualitas dapat membantu seseorang menghadapi traumanya dan dapat membantu meningkatkan perkembangan PTG. Shaw dkk juga menyatakan bahwa aspek intrinsik dari agama dan spiritualitas memiliki hubungan dengan PTG, dimana aspek intrinsik tersebut menciptakan makna, tujuan dan keseimbangan dalam hidup (dalam Hewit, 2007). Digens (2003) menyatakan bahwa kepercayaan agama dan spiritualitas dapat mempengaruhi PTG, khususnya pada area spiritual change (perubahan spriritual). f. Usia dan Jenis Kelamin Usia seseorang mempengaruhi bagaimana perkembangan PTG pada dirinya. Diggens (2003) menjelaskan bahwa beberapa studi menunjukkan seseorang dengan usia yang lebih muda memiliki PTG yang lebih besar dibandingkan yang lebih tua. Hal ini mungkin terjadi karena orang dengan usia yang lebih muda lebih fleksibel dan terbuka terhadap perubahan dalam hidupnya. Namun ada beberapa penelitian juga yang tidak menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan PTG. Selanjutnya masih dalam Diggens (2003) juga dijelaskan bahwa wanita memiliki perkembangan PTG yang lebih baik dibandingkan pria. Namun juga ada beberapa penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan PTG. Hal ini

53 38 mungkin dipengaruhi oleh jenis kejadian traumatik yang dialami atau karakteristik yang berbeda dalam sebuah populasi (Diggens, 2003). g. Time Since Event Interval atau jarak waktu antara kejadian traumatik dengan keadaan saat ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi PTG. Namun interval waktu sampai seseorang mengalami PTG terjadi berbeda-beda pada setiap orang. Pada beberapa kejadian mungkin PTG dapat terjadi segera setelah kejadian stressful muncul, namun pada beberapa kejadian tidak. Hal ini mungkin disebabkan juga oleh jenis kejadian traumatik ataupun karakteristik individu yang mengalaminya (Tedeschi dkk, 1998). Misalnya pada penelitian yang dilakukan secara longitudinal oleh Manne dkk (2004) pada pasien kanker payudara dan pasangannya ditemukan bahwa perubahan psikologis terjadi pada mereka setelah pasien didiagnosa menderita kanker, kemudian PTG meningkat pada keduanya setelah 1,5 tahun pasca diagnosa. Pada beberapa literatur empirik, sebagian besar frekuensi yang dibutuhkan untuk mengukur PTG adalah satu tahun setelah kejadian traumatik terjadi. Helgeson dkk (2006) menemukan bahwa PTG memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat depresi yang rendah dan memiliki perubahan yang lebih besar ketika sebuah trauma terjadi lebih dari satu tahun yang lalu (dalam Hanson, 2010). h. Karakteristik dari Kejadian Traumatik Apabila jenis kejadian traumatik yang terjadi berbeda, maka akan berbeda pula perkembangan PTG yang terjadi. Petrie dkk (1999) menjelaskan misalnya perbedaan yang terjadi antara studi pada orang yang menderita penyakit jantung

54 39 dengan wanita yang menderita kanker payudara (dalam Diggens, 2003). Selanjutnya Park serta Tedeschi & Calhoun menyebutkan bahwa orang yang mengalami pengalaman traumatik yang berat atau masalah yang lebih berat dalam hidup akan mengalami kemungkinan perkembangan PTG yang lebih baik (dalam Diggens, 2003). i. Faktor Lain Dalam studi Manne dkk (2004) pada pasien kanker payudara dan pasangannya, positive reappraisal, emotional processing, emotional expression, dan cognitve processing memiliki hubungan dengan PTG. Calhoun dkk (2000) mengemukakan bahwa cognitive process dan agama memiliki korelasi yang positif dengan PTG. Faktor lain yang juga memberikan pengaruh pada PTG antara lain positive reappraisal coping, acceptance coping dan pencarian dukungan sosial (seeking social support) (Prati & Pietrantoni, 2009), status ekonomi, selfesteem, positive affect, negative affect, intrusive-avoidant thoughts, global distress dan life satisfaction yang juga memberikan sumbangsih pengaruh kepada perkembangan PTG seseorang (Helgeson, dalam Prati & Petrantoni, 2009), dan self disclosure (Tedeschi & Calhoun, 2004). 2.2 Harapan (Hope) Pengertian Snyder & Lopez (2007) mendefinisikan harapan (hope) sebagai pikiran seseorang yang menuju pada tujuan secara langsung dengan menggunakan waypower atau

55 40 pathways thinking (cara dalam mencapai keinginan) dan willpower atau agency thinking (motivasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan). Hanya tujuan dengan nilai yang sesuai dengan individu yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai harapan. Tujuan tersebut mungkin berkaitan dengan hal-hal yang mengarah dengan tujuan yang diinginkan atau halhal yang mengarah pada penghentian kejadian yang tidak diinginkan. Orang yang memiliki harapan yang tinggi memiliki emosi positif dan semangat yang bersumber dari sejarah kesuksesan yang pernah dicapai, sedangkan orang yang memiliki harapan yang rendah memiliki emosi negatif dan emosi yang datar yang bersumber dari sejarah kegagalan yang terjadi dan tidak dapat menemukan cara alternatif lain (Snyder, 2007). Snyder (1994) harapan (hope) adalah : the sum of the mental willpower dan waypower that you have for your goals. Menurut Snyder (1994), bagaimana seseorang berpikir dan menginterpretasikan lingkungan eksternalnya merupakan kunci untuk memahami harapan. Harapan memiliki 3 komponen utama, yaitu goal, waypower, dan willpower Komponen dalam Harapan (Hope) Menurut Snyder (1994) komponen harapan antara lain: 1. Tujuan (goal) Tujuan merupakan suatu objek, pengalaman atau hasil yang dibayangkan dan didambakan oleh seseorang dalam benaknya. Konsep harapan menjadi

56 41 sesuatu yang relevan terkait dengan tujuan yang penting dan serius dalam hidup seseorang. Snyder menjelaskan bahwa ketika peluang untuk mencapai tujuan yang didambakan sama sekali tidak ada (0%) atau peluangnya sangat pasti dapat dicapai (100%) maka konsep harapan tidak relevan. Penyebabnya adalah hasilnya sudah dapat ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, konsep harapan relevan pada tujuan yang terletak diantara sesuatu yang pasti akan tercapai dan sesuatu yang pasti tidak akan pernah tercapai (Snyder, 1994). Tujuan dapat berjangka pendek (dapat dicapai dalam waktu yang singkat) atau berjangka panjang (dicapai dalam waktu yang panjang) (Snyder, 2007). Tujuan harus bersifat dapat dicapai, tetapi juga dapat terdiri dari beberapa tingkat ketidakpastian (Snyder, 2005). 2. Willpower Snyder (1994) menyatakan bahwa willpower merupakan kekuatan pendorong dalam berpikir dengan penuh harapan (hopeful thinking). Willpower adalah the sense of mental energy that over time helps to propel person toward goal. Agency thinking atau willpower merupakan kapasitas seseorang (motivasi) untuk menggunakan sebuah cara dalam mencapai keinginan yang diharapkan. Agency thinking merefleksikan tentang pemikiran untuk memulai sebuah cara atau jalan yang ingin diambil dan melanjutkan jalan yang diambil tersebut. Agency thinking sangat penting dalam pencapaian suatu tujuan, tetapi lebih memiliki pengaruh saat seseorang menghadapi rintangan atau hambatan (Snyder, 2005).

57 42 Berikut ini merupakan visualisasi dari konsep willpower menurut snyder: A B Bagan 2.4 Visualisasi Willpower Dalam visualisasi diatas, willpower (tanda panah) menggerakan seseorang dari poin A yang menggambarkan keadaan saat ini menuju ke pencapaian tujuan yang digambarkan dengan poin B. Willpower berisikan keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan untuk membantu menggerakkan seseorang untuk maju ke arah pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu. Willpower memunculkan persepsi seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam kehidupan (Snyder, 1994). Willpower dapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat memahami dan mempresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Tujuan yang samar tidak mencetuskan dorongan secara mental untuk maju. Oleh karena itu, ketika seseorang dapat mengklarifikasi tujuannya maka ia cenderung dapat mengisi dirinya dengan pemikiran yang aktif dan memberdayakan diri menuju pencapaian tujuan. Willpower juga memunculkan keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan (Snyder, 1994). Orang yang memiliki kapasitas agency thinking yang baik akan memiliki pernyataan atau perkataan pada dirinya sendiri seperti Saya akan tetap berusaha

58 43 dan mereka akan menghasilkan serta menggunakan perkataan yang bersifat motivasional ketika menghadapi rintangan atau hambatan (Snyder, 2007). Kemampuan seseorang untuk menciptakan willpower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan yang mengaktifasikan benak dan tubuh kita untuk mengejar tujuan. Penting untuk digarisbawahi bahwa willpower tidak diperoleh ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan mudah dimana tujuan dapat dicapai tanpa adanya rintangan. Seseorang yang memiliki willpower adalah seseorang yang telah mampu mengatasi kesulitan-kesulitan sebelumnya dalam hidup (Snyder, 1994). 3. Waypower Snyder (1994) mengemukakan definisi waypower sebagai berikut: a mental capacity we can call on to find one more effective ways to reach our goal. Waypower merefleksikan rencana atau peta jalur secara mental yang menunjuk pada pemikiran yang penuh harapan (hopeful thinking). Waypower adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, 1994). Pathways thinking atau waypower berkaitan dengan kapasitas seseorang dalam menggunakan jalan atau cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Snyder, 2005). Waypower berhubungan dengan bagaimana seseorang mencari cara alternatif ketika sebuah cara tidak dapat digunakan seperti memiliki self-talk

59 44 positif tentang bagaimana ia menemukan cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya (Snyder, 2007). Berikut ini adalah visualisasi konsep waypower menurut Snyder (1994): A B Bagan 2.5 Visualisasi Waypower Dalam visualisasi diatas, waypower menunjukan suatu rute (tanda panah) yang harus dijalani dan dilalui seseorang (dari poin A) menuju tujuan (poin B). Secara khusus, kemampuan waypower seseorang dapat ditetapkan dalam beberapa tujuan yang berbeda satu sama lain. Secara umum, seseorang tampak lebih mudah untuk merencanakan secara efektif ketika tujuan yang hendak dicapai dapat didefinisikan atau dioperasionalkan dengan baik. Sama seperti willpower, waypower lebih sering terjadi terkait dengan tujuan yang lebih penting. Tujuan yang lebih penting bagi seseorang cenderung memunculkan perencanaan yang kaya. Hal ini terjadi karena seseorang dalam perkembangannya cenderung menghabiskan banyak waktu untuk berpikir tentang bagaimana meraih tujuan yang lebih penting dan cenderung mempraktekkan perencanaan terkait dengan tujuan yang lebih penting tersebut (Snyder, 1994). Kemampuan seseorang untuk menciptakan waypower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Persepsi seseorang akan kemampuannya

60 45 mengembangkan cara atau jalan menuju tujuannya kemungkinan diperkaya oleh pengalaman sebelumnya. Pengalaman keberhasilan sebelumnya yang dimaksud adalah dalam hal mengembangkan suatu cara atau jalur baru menuju tujuan pada saat adanya hambatan dalam menjalankan cara yang biasanya dipakai menuju tujuan tersebut (Snyder, 1994). Dalam hal ini. waypower termasuk bersifat fleksibel untuk menemukan suatu alternatif jalur menuju pencapaian tujuan yang didambakan. Jika anda tidak melakukannya dengan suatu cara tertentu, lakukanlah dengan cara yang berbeda (Snyder, 1994) A STOP B Bagan 2.6 Visualisasi Waypower Terkait dengan Rintangan/ Hambatan Dalam visualisasi diatas tampak adanya jalur lurus dari poin A (kedaaan saaat ini) menuju poin B (tujuan yang didambakan) melalui jalur yang biasanya digunakan. Namun kemudian di antaranya terdapat hambatan (kotak stop). Seseorang dengan kemampuan waypower yang tinggi secara mental mampu merencanakan jalur lainnya menuju tujuan yang didambakan tersebut (panah melengkung). Keyakinan bahwa terdapat beberapa jalan atau jalur yang dapat dilalui menuju pencapaian tujuan dimiliki oleh seseorang dengan kemampuan

61 46 waypower yang tinggi. Dalam hal ini, seseorang mengubah blueprint yang dimilikinya dan menyesuaikannya dengan tujuan yang didambakan dan rintangan yang harus dihadapinya. Tidak semua orang dapat mempersepsikan bahwa dirinya mampu membuat suatu rencana baru melainkan kebanyakan orang cenderung merasa terhambat dan kehabisan cara ketika mengalami hambatan dalam usaha pencapaian tujuan (Snyder, 1994) Skema Willpower dan Waypower Terkait dengan Teori Emotions Waypower Waypower Willpower Outcome value Willpower Goal behavior (tercapai atau tidak tercapai) Emotions Learning History Pre-event Event Sequence Bagan 2.7 Skema Willpower dan Waypower (Snyder, 2005) Variasi Harapan Berdasarkan Kombinasi Willpower dan Waypower Menurut Snyder (1994), seseorang yang memiliki personal sense of willpower sebaliknya juga memiliki pemikiran terkait waypower menuju pecapaian tujuan yang didambakan. Namun seringkali hal ini tidak terjadi. Penelitian menujukkan bahwa seseorang dengan kemampuan berpikir willpower tidak selalu memiliki pemikiran terkait waypower. Seseorang yang tidak memiliki keduanya, willpower

62 47 dan waypower, tidak dapat dikatakan bahwa harapannya tinggi. Terdapat empat jenis variasi tentang kombinasi willpower dan waypower (Snyder, 1994), yaitu: 1. Willpower rendah dan waypower rendah. Seseorang dapat dikatakan memiliki tingkat harapan yang rendah. Menurut Snyder (1994), seseorang dengan kombinasi pertama ini rentan mengalami depresi karena selalu berpikir bahwa dirinya tidak mampu meraih tujuan yang didambakannya. Hal ini semakin memburuk ketika seseorang tidak mampu mendefinisikan atau mengoptimalkan tujuannya. 2. Willpower tinggi dan waypower rendah. Seseorang tampak memiliki energi yang cukup untuk mencapai tujuan yang diharapkan namun tidak berpikir bahwa dirinya menuju tujuan yang didambakan. Menurut Snyder (1994) dalam beberapa keadaan, ketidakmampuan seseorang dalam berpikir tentang cara untuk mencapai suatu tujuan (willpower) cenderung mengakibatkan frustasi atau kemarahan yang diasosiasikan dengan kinerjanya yang buruk. Selain itu, ketika waypower yang rendah terus dirasakan dalam jangka waktu yang lama maka seseorang cenderung akan mengalami kehilangan waypower. 3. Willpower rendah dan waypower tinggi, dalam benaknya memiliki berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan tentang bagaimana caranya meraih tujuan namun cenderung memiliki keyakinan yang rendah akan kemampuannya dalam menggunakan berbagai kemungkinan yang ada (Snyder, 1994). 4. Willpower tinggi dan waypower tinggi, merupakan profil diri seseorang dengan tingkat harapan yang tinggi. Seseorang cenderung memiliki mental

63 48 yang sangat memadai dan memiliki ide tentang cara meraih tujuan yang juga sangat memadai (Snyder, 1994). 2.3 Coping Religius Pengertian Coping religius terdiri dari dua kata yaitu coping dan religius. Lazarus & Folkman menyatakan definisi dari coping adalah perubahan usaha kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengelola permintaan eksternal dan internal yang dinilai sebagai sebuah beban yang bersumber pada seseorang (dalam Rice, 2000). Menurut Folkman & Moskowitz (2004) dan Taylor & Stanton (2007) coping dapat didefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan keadaan yang dinilai menekan baik secara internal maupun eksternal (dalam Taylor, 2009). Coping memilliki beberapa karakteristik penting. Pertama, hubungan antara coping dan kejadian yang penuh stress merupakan proses yang dinamis. Coping bukanlah hanya tindakan seseorang pada satu waktu tetapi lebih merupakan seperangkat respon dimana lingkungan dan individu saling berinteraksi satu sama lain. Kedua, definisi coping memiliki arti yang luas. Coping merupakan segala tindakan dan reaksi yang didapatkan dari situasi yang menekan. Berdasarkan pengertian ini, reaksi emosi, termasuk marah dan depresi menjadi bagian dari proses coping selama tindakan tersebut merupakan reaksi dalam menghadapi kejadian stressful (Taylor, 2009).

64 49 Pargament menyatakan bahwa agama merupakan hal yang kompleks dan bersifat personal, tidak ada satu definisi yang dengan lengkap menjelaskan dengan tepat. Namun karena dibutuhkan definisi operasional yang dibutuhkan dalam pengukuran dalam penelitian Pargament memberikan definisi agama adalah search for significance inways related to the sacred (pencarian makna atau arti dengan cara yang berhubungan dengan kesakralan (dalam Raiya, 2008). Pargament dkk (2005) menyatakan bahwa coping religius adalah metode coping yang menggunakan pendekatan agama dalam memahami dan berdamai dengan kejadian hidup yang kritis. Agama dapat berguna dalam penggunaan coping karena dua alasan. Alasan pertama menurut Laubmeier, Zakowski, & Blair (2004), agama menyediakan sistem kepercayaan (belief system) dan cara berpikir tentang kejadian yang stressful dengan mempelajari tekanan tersebut dan memungkinkan seseorang mencari arti dari kejadian traumatik yang mereka hadapi. Sedangkan alasan kedua menurut George dkk (2002), agama dapat menyediakan dukungan sosial dari organisasi keagamaan yaitu dengan cara berbagi mengenai kepercayaan mereka (dalam Taylor, 2009) Pendekatan Coping Religius Paragment dkk (dalam Pargament dkk, 2005) menjabarkan ada tiga pendekatan coping religius dalam proses penyelesaian masalah, yaitu:

65 50 a. Deffering, yaitu pendekatan yang dilakukan dimana individu menyerahkan tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pada Tuhan. b. Self directing, yaitu pendekatan yang dilakukan dimana individu merasa Tuhan memberikannya kekuatan atau kemampuan padanya sebagai sumber baginya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. c. Collaborative, yaitu pendekatan yang dilakukan dimana individu merasa Tuhan dapat menjadi pasangannya untuk berbagi tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut Pargament dkk (2005) coping religius memiliki 5 fungsi utama, antara lain: 1. Sebagai pencarian makna dari sebuah kejadian 2. Sebagai pencarian kekuasaan dan kontrol sebuah kejadian 3. Sebagai pencarian kenyamanan dan kedekatan dengan Tuhan 4. Sebagai pencarian keintiman dengan orang lain dan kedekatan dengan Tuhan 5. Sebagai pencarian pencapaian transformasi kehidupan. Agama merupakan bagian dari proses pemahaman dan penerimaan seseorang pada kejadian yang krisis dalam kehidupannya. Agama berfungsi di dalam sebuah coping antara lain dilihat dari penggunaan siapa (misalnya Tuhan), apa (misalnya berdoa, membaca kitab suci, ritual), kapan (misalnya stressor yang akut, stressor yang kronis), dimana (misalnya pada sebuah komunitas atau personal) dan kenapa (misalnya untuk mencari makna) dalam sebuah coping (Pargament dkk, 2005).

66 Aspek Coping Religius Pargament dkk (2000) (dalam Raiya, 2008) mengidentifikasi dua pola dalam coping religius, antara lain: a. Coping religius positif Yaitu coping religius yang menggambarkan sebuah hubungan yang kuat dengan Tuhan, kepercayaan bahwa sebuah makna yang lebih besar akan ditemukan dan rasa akan keterhubungan secara spiritualitas (dalam Raiya, 2008). Coping ini cenderung lebih bermanfaat untuk orang yang mengalami kejadian hidup yang menekan. Ano & Vasconcelles (2005) (dalam Pargament dkk, 2005) menemukan bahwa coping religius positif berhubungan dengan positive outcomes seperti stress-related growth, pertumbuhan spiritual dan kepuasan hidup yang lebih besar. Selain itu coping religius positif ini juga berhubungan secara negatif dengan negative outcomes seperti depresi, kecemasan, hopelessness dan rasa bersalah. b. Coping religius negatif Yaitu coping religius yang menggambarkan ekspresi hubungan yang kurang kuat dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan tentang dunia, perjuangan untuk mencari dan melestarikan makna kehidupan yang secara general lebih bersifat maladaptif (dalam Raiya, 2008). Ano & Vasconcelles (2005) menemukan bahwa coping religius negatif berhubungan positif dengan negative outcomes seperti depresi, kecemasan, sifat tidak berperasaan (callousness), PTSD dan permasalahan dengan spiritualitas pada sampel

67 52 orang-orang yang mengalami kejadian negatif. Selain itu coping religius negatif juga memiliki akibat yang berbahaya pada fungsi fisik (dalam Pargament dkk, 2005). Kemudian Tarakeshwar & Pargament (dalam Raiya, 2008) menemukan coping religius positif berhubungan dengan outcome religius yang lebih tinggi (misalnya perubahan kedekatan dengan Tuhan dan peningkatan spiritual), sedangkan coping religius negatif memiliki hubungan yang lebih besar pada afek depresif dan outcome religius yang rendah. 2.4 Dukungan Sosial (Social Support) Pengertian Dukungan sosial banyak diartikan dalam beberapa pengertian. Taylor (2009) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi yang diberikan oleh orang dengan memberikan kasih sayang dan kepedulian, dan merupakan bagian dari komunikasi dan bersifat mutualisme. Dukungan ini bisa didapatkan dari orang tua, pasangan, teman dan komunitas. Selanjutnya Sherbourne & Stewart (1991) mendefinisikan dukungan sosial dengan melihat fungsi dari beberapa aspek dukungan sosial yang berbeda (emotional support, informational support, tangible support, affectionate support dan positive social interaction) tanpa melihat darimana sumber dukungan sosial tersebut berasal. Sarason dkk (2001) mengartikan dukungan sosial dengan membagi dukungan menjadi dukungan informasi, dukungan nyata dan dukungan emosi (dalam Diggens, 2003). Gentry & Kobasa, Watson dkk, Wills & Fegan (dalam Sarafino, 1996) mendefinisikan social support sebagai pemberian rasa nyaman,

68 53 peduli, penghargaan atau membantu seseorang menerimanya dari orang atau kelompok lain. Taylor (2009) menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari beberapa jenis, antara lain: 1. Tangible assistance atau dukungan nyata. Dukungan yang berbentuk material seperti pelayanan, bantuan finansial atau berupa barang-barang. 2. Informational support atau dukungan informasi. Dukungan yang berbentuk informasi yang dapat membantu individu lebih memahami kejadian menekan atau stressful yang dihadapi dan dapat menentukan sumber permasalahan dan strategi coping yang akan dilakukan. 3. Emotional support atau dukungan emosional. Dukungan yang diberikan dengan menenangkan seseorang bahwa mereka adalah orang yang berharga yang patut untuk dipedulikan. 4. Invisible support atau dukungan yang tidak terlihat. Dukungan yang diberikan seseorang yang terkadang tidak disadari oleh orang yang mendapatkan dukungan yang secara tidak sadar bermanfaat bagi orang kesehatan fisik dan mental orang tersebut. Sherbourne & Stewart (1991) mengklasifikasikan dukungan sosial antara lain: 1. Informational support, yaitu dukungan yang berupa nasihat, informasi, bimbingan dan saran.

69 54 2. Emotional Support, yaitu dukungan berupa ekspresi afek yang positif, rasa empati dan ekspresi perasaan yang dapat memberikan ketenangan hati. 3. Affectionate support, yaitu dukungan yang berupa ekspresi cinta dan kasih sayang. 4. Positive social interaction, yaitu dukungan yang berupa ketersediaan orang lain untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. 5. Tangible support, yaitu dukungan yang berupa pemberian bantuan material atau bantuan yang ditunjukkan dengan perilaku Efek Dukungan Sosial Ada dua model efek dukungan sosial yang dinyatakan Gottlieb (1983), yaitu: 1. Efek langsung (direct effect) Merupakan dukungan yang diberikan secara langsung dan tidak terkait dengan keadaan stress sebagai peningkatan kesejahteraan dan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang. 2. Efek pelindung (buffering effect) Efek pelindung menggambarkan adanya peranan penting pada dukungan sosial dalam memelihara keadaan psikologis seseorang dalam keadaan mengalami tekanan. Karenanya, model ini melihat sumber daya dalam hubungan sosial yang menimbulkan pengaruh positif sebagai pelindung terhadap efek negatif dari stress.

70 Sumber-sumber Dukungan Sosial Sumber dukungan sosial menurut Gottlieb (1983) berasal dari hubungan profesional dan non profesional atau significant others. Adapun yang dimaksud dengan hubungan yang bersumber pada non profesional misalnya pasangan seperti pacar, suami atau istri, anggota keluarga, teman dan sebagainya. Sedangkan hubungan profesional misalnya hubungan dengan psikolog, psikiater, dokter dan sebagainya. Yang dimaksud dengan hubungan non profesional sebagai hubungan yang menempati bagian terbesar dari kahidupan seseorang dan menjadi sumber dukungan sosial yang paling potensial. Ini karena hubungan non profesional mudah didapat, memiliki nilai dan norma yang sesuai dengan penerimaan dukungan mengenai apa dan bagaimana sebenarnya dukungan sosial diberikan. Dengan demikian dua dukungan sosial yang diungkapkan oleh Gottlieb memiliki perbedaan karakteristik tetapi keduanya menandakan adanya hubungan penerima dan pemberi (Gotlieb, 1983). Sedangkan menurut Rock & Dooley, ada dua sumber dukungan sosial yaitu sumber artifisial dan sumber natural. Dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga, teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini bersifat nonformal. Sementara itu yang dimaksud dengan dukungan sosial artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam

71 56 kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial (Kuntjoro, 2002). Kuntjoro (2002) menyatakan sumber dukungan sosial natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-buat sehingga mudah diperoleh dan bersifat spontan, memiliki kesesuaian dengan norma yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan, berakar dari hubungan yang telah lama, memiliki keragaman dalam penyampaian dukungan sosial, mulai dari pemberian barang-barang nyata hingga sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam dan dukungan sosial yang natural itu juga terbebas dari beban dan label psikologis. 2.5 Kerangka Berpikir Setiap manusia pasti pernah mengalami kejadian-kejadian yang bersifat traumatik yang kemudian mengubah kehidupannya. Kejadian traumatik ini dapat memberikan perubahan baik perubahan yang bersifat negatif ataupun positif. Salah satu contoh kejadian traumatik terjadi pada recovering addict atau pecandu yang menjalani pemulihan. Hewit (2002; 2007) menyatakan bahwa adiksi dapat dilihat sebagai sebuah trauma dan dapat memberikan efek positif dan negatif sebagai hasil dari pengalaman yang dihadapi. Trauma ini dapat secara langsung berhubungan dengan pengalaman adiksi yang tidak dapat terkontrol atau secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diakibatkan penggunaan NAPZA lain seperti peningkatan resiko akan tindakan kekerasan, masalah kesehatan mental dan masalah lain yang berhubungan dengan pengalaman yang menekan (stressful) (Hewit, 2007).

72 57 Pengalaman yang dapat memberikan perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi ini disebut dengan Posttraumatic Growth (PTG). Data menyebutkan bahwa orang yang mengalami kejadian traumatik melaporkan beberapa perubahan positif setelah mereka menghadapi kejadian traumatik meskipun berat atau kerasnya penderitaan mungkin seimbang dengan pengalaman akan perubahan positif yang mungkin terjadi (Calhoun & Tedeschi, 2004). Perubahan positif yang terjadi pasca kejadian traumatik atau Posttraumatic Growth ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ho dkk (2010) harapan (hope) menjadi indikator penting pada PTG pasien kanker rongga mulut. Orang yang memiliki harapan yang tinggi akan memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki keyakinan untuk menghadapi kesulitan yang dihadapi. Mereka fokus pada keberhasilan bukan pada kegagalan yang telah mereka lakukan. Orang dengan harapan tinggi memiliki willpower (komitmen seseorang untuk mencapai tujuan) dan waypower (bagaimana seseorang menemukan cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya) yang baik. Seseorang cenderung memiliki mental yang sangat memadai dan memiliki ide tentang cara meraih tujuan yang juga sangat memadai (Snyder, 1994). Hal ini tentu dapat meningkatkan PTG pada pengguna NAPZA dimana pengguna NAPZA dapat menghadapi kondisi stressful dan memiliki keyakinan untuk melewatinya. Coping religius juga membantu pengguna NAPZA dalam meningkatkan PTG. Dengan menggunakan agama sebagai pendekatan coping akan masalah yang dihadapi, individu juga mampu mengembangkan perubahan positif dalam

73 58 dirinya. Bentuk coping seperti coping religius positif yaitu dengan memberikan penilaian yang baik dan memiliki hubungan spiritual dengan Tuhan juga akan mempengaruhi perkembangan PTG pada seseorang dengan arah pengaruh yang positif. Begitu pula pada coping religius negatif yaitu dengan merasa bahwa kejadian yang ia hadapi adalah hukuman dari Tuhan juga ikut serta mempengaruhi perkembangan PTG dengan arah pengaruh yang negatif. Coping religius memberikan sejumlah tujuan dalam kehidupan dan krisis seperti memberikan arti pada kejadian yang negatif, berperan sebagai kontrol diri dalam situasi yang sulit, memberikan kenyamanan saat seseorang menghadapi suatu masalah, memberikan kedekatan dengan Tuhan dan membantu orang dalam membentuk sebuah tranformasi kehidupan (Pargament dkk, 2005). Selain itu dukungan yang didapatkan dari lingkungan juga dapat membantu meningkatkan PTG seseorang. Social support dapat mempengaruhi PTG dengan mempengaruhi coping tingkah laku seseorang dan membantu seseorang dalam keberhasilannya beradaptasi dengan krisis kehidupan (Prati & Pietrantoni, 2009). Social support juga dibutuhkan oleh recovering addcit antara lain mendapatkan dukungan baik berupa dukungan material ataupun non-material antara lain seperti dukungan informasi (informational support), dukungan emosi (emotional support), dukungan kasih sayang (affectionate support), interaksi sosial yang positif (positive social interaction) dan dukungan nyata (tangible support) sehingga mereka merasa bahwa mereka tidak sendiri dan merasa lebih termotivasi untuk melakukan sebuah perubahan yang positif.

74 59 Selanjutnya faktor demografis seperti umur dan fase rehabilitasi juga mempengaruhi perkembangan PTG. Studi yang dilakukan pada penderita kanker payudara menunjukkan bahwa semakin muda usia seseorang saat mengalami kejadian traumatik maka semakin tinggi tingkat PTG-nya. Selain itu McMillen (dalam Hewit, 2007) menyatakan bahwa recovering addict pada fase awal rehabilitasi memiliki tingkat PTG yang rendah, yang kemudian juga dijelaskan pada penelitian yang dilakukan Hewit (2002; 2007) yang didapatkan bahwa recovering addict pada 3 tahun pasca recovery memiliki PTG yang lebih tinggi. Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti faktor manakah yang paling berpengaruh dalam perkembangan PTG pada recovering addict di UPT T&R BNN Lido.

75 60 Harapan (Hope) Waypower Willpower Coping Religius Coping Religius Positif Coping Religius Negatif Informational Support Emotional Support Posttraumatic Growth (PTG) Social Support Affectionate Support Positive Social Interaction Tangible Support Usia Fase Rehabilitasi Bagan 2.8 Kerangka Berpikir

76 Hipotesis Penelitian Hipotesis Mayor Adanya pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, usia dan fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict Hipotesis Minor 1. Adanya pengaruh yang signifikan dari waypower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 2. Adanya pengaruh yang signifikan dari willpower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 3. Adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius positif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 4. Adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius negatif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 5. Adanya pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 6. Adanya pengaruh yang signifikan dari emotional support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 7. Adanya pengaruh yang signifikan dari affectionate support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

77 62 8. Adanya pengaruh yang signifikan dari positive social interaction terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 9. Adanya pengaruh yang signifikan dari tangible support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 10. Adanya pengaruh yang signifikan dari usia terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 11. Adanya pengaruh yang signifikan dari fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. Tetapi, pada penelitian ini hipotesis yang diuji adalah hipotesis nihil (H 0 ), yaitu Tidak ada pengaruh yang signifikan dari faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth pada recovering addict.

78 63 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dimana penelitian ini mengkuantifikasikan skor harapan (hope), coping religius dan dukungan sosial dengan skor posttraumatic growth (PTG). 3.2 Partisipan Subjek penelitian ini adalah recovering addict yang menjalani rehabilitasi di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Sukabumi yang berada pada tahap primary sebanyak 76 orang, primary hope sebanyak 40 orang, re-entry sebanyak 24 orang serta staff adiksi sebanyak 13 orang. Adapun keterangan dari fase rehabilitasi sebagai berikut: 1. Fase primary (male dan female) merupakan tahapan program rehabilitasi sosial dimana recovering addict berhenti dari penggunaan NAPZA sekitar 1 sampai 6 bulan. 2. Fase primary hope (male) merupakan fase yang sama dengan primary green. Namun perbedaannya recovering addict pada program di fase ini merupakan recovering addict yang sudah pernah menjalani program rehabilitasi sebelumnya (lebih dari satu kali). 63

79 64 3. Fase re-entry merupakan tahapan program rehabilitasi sosial selanjutnya dimana recovering addict sudah berhenti dari penggunaan NAPZA dalam jangka waktu di atas 6 bulan sampai 1 tahun. 4. Staff adiksi merupakan recovering addict yang sudah selesai menjalani program rehabilitasi dimana jangka waktu berhenti dari penggunan NAPZA dalam jangka waktu di atas 1 tahun Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan secara purpossive sampling, dimana sampel yang diambil adalah sampel yang memiliki ciri-ciri spesifik yang peneliti tentukan. Teknik ini tergolong dalam non-probability sampling yang berarti tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi subjek penelitian. 3.3 Variabel dan Definisi Variabel Variabel Penelitian Pada penelitian ini terdapat satu dependen variabel dan 11 variabel independen. Variabel tersebut antara lain: a. Y: Posttraumatic growth (PTG) b. X: X 1 : Waypower X 2 : Willpower X 3 : Coping Religius Positif

80 65 X 4 : Coping Religius Negatif X 5 : Informational Support X 6 : Emotional Support X 7 : Affectionate Support X 8 : Positive Social Interaction X 9 : Tangible Support X 10 : Usia X 11 : Fase Rehabilitasi Definisi Konseptual 1. Posttraumatic growth (PTG) adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi (Tedeschi & Calhoun, 2004). 2. Waypower (harapan) adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, 1994). 3. Willpower (harapan) adalah keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan untuk membantu menggerakkan seseorang untuk maju ke arah pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu (Snyder, 1994). 4. Berdasarkan definisi Pargament, coping religius positif (coping religius) adalah coping religius yang menggambarkan sebuah hubungan yang kuat dengan Tuhan, kepercayaan bahwa sebuah makna yang lebih besar akan

81 66 ditemukan dan rasa akan keterhubungan secara spiritualitas (dalam Raiya, 2008). 5. Berdasarkan definisi Pargament, coping religius negatif (coping religius) adalah coping religius yang menggambarkan ekspresi hubungan yang kurang kuat dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan tentang dunia, perjuangan untuk mencari dan melestarikan makna kehidupan yang secara general lebih bersifat maladaptif (dalam Raiya, 2008). 6. Informational support (social support) adalah dukungan yang berupa nasihat, informasi, bimbingan dan saran (Sherbourne & Stewart, 1991). 7. Emotional Support (social support) adalah dukungan berupa ekspresi efek yang positif, empati dan ekspresi perasaan yang dapat memberikan ketenangan hati (Sherbourne & Stewart, 1991). 8. Affectionate support (social support) adalah dukungan yang berupa ekspresi cinta dan kasih sayang (Sherbourne & Stewart, 1991). 9. Positive social interaction (social support) adalah dukungan yang berupa ketersediaan orang lain untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan (Sherbourne & Stewart, 1991). 10. Tangible support (social support) adalah dukungan yang berupa pemberian bantuan material atau bantuan yang ditunjukkan dengan perilaku (Sherbourne & Stewart, 1991). 11. Usia Usia yang dimaksud adalah usia kronologis atau usia sejak lahir yang mengacu pada teori Binet (Santrock, 2002).

82 Fase Rehabilitasi Fase rehabilitasi yaitu tahapan program rehabilitasi sosial dimana dalam hal ini peneliti menggolongkannya pada tahapan primary green, primary hope, re-entry serta staff adiksi Definisi Operasional 1. Posttraumatic growth (PTG) Skor yang diperoleh responden penelitian melalui respon individu terhadap skala PTG yang disusun berdasarkan adaptasi dari Posttraumatic growth Inventory (PTGI) yang disusun oleh Tedeschi & Calhoun yang meliputi 5 aspek yaitu appreciation of life, relating to others, personal strength, new possibilities dan spiritual change. 2. Harapan (Hope) Skor yang diperoleh individu atau responden penelitian melalui respon individu terhadap skala optimisme yang disusun berdasarkan adaptasi dari The Hope Scale yang disusun oleh Snyder (1994) yang meliputi 2 aspek yaitu waypower dan willpower. 3. Coping religius Skor yang diperoleh individu atau responden penelitian melalui respon individu terhadap skala coping religius yang disusun berdasarkan adaptasi dari sub skala Psychological Measure of Islamic Religiousness (PMIR) yaitu Islamic Positive Religious Coping & Identification, and Punishing Allah Reappraisal

83 68 yang disusun oleh Raiya (2008) yang menggunakan dasar teori dari Pargament antara lain meliputi aspek coping religius positif dan coping religius negatif. 4. Dukungan Sosial Skor yang diperoleh individu atau responden penelitian melalui respon individu terhadap dukungan sosial yang disusun berdasarkan adaptasi dari sub skala Medical Outcomes Study (MOS) Social Support Survey yang disusun oleh Sherbourne & Stewart (1991) yang meliputi aspek informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, dan tangible support. 3.4 Pengumpulan Data Instrumen Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala yang disebarkan kepada para responden. Skala tersebut antara lain: a. Isian Biodata Partisipan Angket ini berisi pertanyaan mengenai biodata partisipan, seperti inisial nama, usia partisipan dan status fase pemulihan. b. Skala Posttraumatic growth Untuk mengukur PTG peneliti mengadaptasi alat ukur PTGI (Posttraumatic growth Inventory) dimana alat ukur ini mengukur perubahan positif seseorang dalam merespon keadaan stressful yang dihadapinya. PTGI terdiri dari 21 aitem yang mencakup lima aspek. Namun peneliti menambahkan 1 buah

84 69 aitem pada aspek spiritual change yaitu pada aitem nomor 15, sehingga jumlah aitem pada skala ini adalah 22 aitem. Aitem menggunakan skala Likert dengan 4 poin pilihan mulai dari Sangat Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Berikut blueprint dari skala PTG: Tabel 3.1 Blueprint Skala PTG Variabel Aspek Favorable No Item Unfavorable Jumlah Posttraumatic growth Appreciation of life 1, 6, 11, 16-4 Relating to others 2, 7, 12, 17, 20, 22-6 Personal strength 3, 8, 13, 18-4 New possibilities 4, 9, 14*, 19, 21-5 Spiritual change 5, 10, 15-3 Keterangan: (*) aitem yang tidak valid c. Skala Harapan (Hope) Untuk mengukur harapan (hope) peneliti mengadaptasi alat ukur The Hope Scale dimana alat ukur ini mengukur willpower (willpower) dan waypower (waypower) yang dimiliki oleh seseorang. The Hope Scale ini terdiri dari 8 aitem, namun setelah diadaptasi peneliti menambahkan 2 buah aitem pada aspek willpower dan waypower yaitu pada aitem nomor 9 dan 10, sehingga jumlah aitem pada skala ini adalah 10 aitem. Aitem menggunakan skala

85 70 Likert dengan 4 poin pilihan mulai dari Sangat Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Berikut blueprint dari skala harapan (hope): Table 3.2 Blueprint Skala Harapan (Hope) Variabel Aspek Favorable No Item Unfavorable Jumlah Harapan (Hope) Waypower 2*, 4, 6, 8, 10-5 Willpower 1, 3, 5, 7, 9-5 Keterangan: (*) aitem yang tidak valid d. Skala Coping Religius Untuk mengukur coping religius peneliti mengadaptasi alat ukur Psychological Measure of Islamic Religiousness (PMIR). Pada skala ini mewakilkan coping religius positif dan coping religius negatif. Skala ini terdiri dari 12 aitem (7 aitem untuk coping religius positif dan 5 aitem untuk coping religius negatif). Namun setelah diadaptasi peneliti tidak menggunakan salah satu aitem pada aspek coping religius positif, sehingga jumlah aitem yang digunakan adalah 11 aitem. Aitem menggunakan skala Likert dengan 4 poin pilihan mulai dari Sangat Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Berikut blueprint dari skala coping religius:

86 71 Tabel 3.3 Blueprint Skala Coping Religius Variabel Aspek Favorable No Item Unfavorable Jumlah Coping Religius Coping Religius Positif 1, 3, 5, 7, 9, 11-6 Coping Religius Negatif 2, 4*, 6, 8, 10-5 Keterangan: (*) aitem yang tidak valid e. Skala Social Support Untuk mengukur social support peneliti mengadapatasi alat ukur Medical Outcomes Study (MOS) Social Support Survey digunakan untuk mengukur dukungan sosial yang didapatkan seseorang. Skala ini terdiri dari 19 aitem yang mewakilkan informational support (4 aitem), emotinal support (4 aitem),, affectionate support (4 aitem), positive social interaction (4 aitem) dan tangible support (4 aitem). Aitem ini menggunakan skala Likert dengan 4 poin pilihan, mulai dari Sangat Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Berikut ini blueprint dari skala social support:

87 72 Tabel 3.4 Blueprint Skala Social Support Variabel Aspek Favorable No Item Unfavorable Jumlah Social Support Informational Support 2, 7, 12, 17-4 Emotional Support 1, 6, 11, 16-4 Affectionate Support 4, 9, 14, 19-4 Positive Social Interaction 5, 10, 15, 20-4 Tangible Support 3, 8, 13, Pengujian Validitas Konstruk Pada instrumen 1) Posttraumatic growth, 2) Coping religius, 3) Harapan (hope), dan 4) Dukungan Sosial, peneliti melakukan uji validitas konstruk instrumen tersebut. Oleh karena itu, digunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis) untuk pengujian validitas instrumen tersebut. Adapun logika dari CFA menurut Umar (2010) adalah: 1. Melihat signifikan tidaknya aitem tersebut mengukur faktornya dengan melihat nilai t bagi koefisian muatan faktor aitem. Perbandingannya adalah jika t > 1.96 maka aitem tersebut signifikan dan begitu pula sebaliknya. Adapun aitem tersebut signifikan maka aitem tidak akan di drop dan sebaliknya.

88 73 2. Melihat koefisien muatan faktor dari aitem. Jika aitem tersebut sudah di skoring dengan favorable (pada skala Likert 1 4), maka nilai koefisien muatan faktor pada aitem harus bermuatan positif, dan sebaliknya. Apabila aitem tersebut favorable, namun koefisien muatan faktor aitem bernilai negatif maka aitem tersebut di drop dan sebaliknya. 3. Terakhir, apabila kesalahan pengukuran aitem terlalu banyak berkorelasi, maka aitem tersebut akan di drop. Sebab, aitem yang demikian selain mengukur apa yang hendak diukur, ia juga mengukur hal lain. Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan bantuan software LISREL Uji Validitas Konstruk Uji Validitas Konstruk Posttraumatic growth 1. Appreciation of Life Peneliti mengujji apakah 5 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala posttraumatic growth (appreciation of life) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 12,64, df = 2, P-value = 0,00180, RMSEA = 0,187. Setelah dilakukan modifikasi pada model ini, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar di bawah ini:

89 74 Bagan 3.1 Analisis Faktor Konfirmatorik Posttraumatic growth (Appreciation of Life) Dari gambar 3.1, nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (appreciation of life). Kemudian melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari aitem. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

90 75 Tabel 3.5 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic growth (Appreciation of Life) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 1 0,84 0,09 9,41 V 6 0,68 0,09 7,88 V 11 0,95 0,10 9,61 V 16 0,61 0,09 7,08 V Pada tabel di atas, didapatkan seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya melihat apakah faktor dari aitem ada yang bermuatan negatif atau tidak. Berdasarkan tabel 3.5, pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Artinya dapat disimpulkan bahwa aitem-aitem tersebut bersifat multidimensional pada dirinya masing-masing, dan tidak hanya mengukur apa yang seharusnya diukur. Korelasi kesalahan pengukuran aitem ditampilkan pada tabel di bawah ini:

91 76 Tabel 3.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Aitem PTG (Appreciation of Life) V 1 7 V Tanda V menunjukkan korelasi kesalahan pengukuran aitem Pada tabel di atas dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran aitem. Aitem yang baik adalah kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain, seperti aitem 3 dan 9. Sedangkan aitem yang tidak bagus yaitu 1, 5, dan 7 karena terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Artinya, jika aitem yang kesalahan pengukurannya berkorelasi dengan kesalahan pengukuran lainnya, maka aitem tersebut selain mengukur apa yang hendak diukur, ia juga mengukur hal lain. Namun, aitem 1, 5 dan 7 tetap tidak akan di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini bobot nilainya akan diikutsertakan dalam analisis perhitungan skor faktor. Langkah terakhir yaitu aitem-aitem PTG (appreciation of life) yang tidak di drop dihitung faktor skornya. Faktor skor ini dihitung untuk menghindari

92 77 estimasi bias dari kesalahan pengukuran. Jadi perhitungan faktor skor ini tidak menjumlahkan aitem-aitem variabel pada umumnya. Setelah didapatkan faktor skor nilai inilah yang akan dianalisis dalam uji hipotesis korelasi dan regresi. Perlu dicatat, bahwa hal yang sama juga berlaku untuk variabel-variabel lain pada penelitian ini. 2. Relating to Others Peneliti mengujji apakah 6 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala posttraumatic growth (relating to others) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 29,82, df = 9, P-value = 0,00047, RMSEA = 0,123. Setelah dilakukan modifikasi pada model ini, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 5,35, df = 7, P-Value = 0,61761, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (relating to others). Selanjutnya peneliti melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

93 78 Tabel 3.7 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Relating to Others) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 2 0,47 0,08 5,67 V 7 0,79 0,07 10,63 V 12 0,55 0,08 6,66 V 17 0,82 0,07 11,28 V 20 0,63 0,08 7,96 V 22 0,67 0,08 8,65 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Pada tabel di atas dapat dilihat seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya berdasarkan tabel 3,7, pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Korelasi kesalahan pengukuran aitem didapatkan pada beberapa aitem, yaitu nomor 2, 7 dan 12. Namun aitem ini tidak di drop karena hanya terdapat satu korelasi kesalahan pengukuran. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 3. Personal Strength Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala posttraumatic growth (personal strength) yang digunakan. Dari

94 79 hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 29,82, df = 9, P-value = 0,00047, RMSEA = 0,123. Setelah dilakukan modifikasi pada model ini, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0,40, df = 1, P-Value = 0,52926, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (personal strength). Kemudian peneliti melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.8 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Personal Strength) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 3 0,66 0,09 7,00 V 8 0,85 0,11 7,96 V 13 0,47 0,09 5,37 V 18 0,74 0,11 6,79 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Pada tabel 3.8 dapat dilihat seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya pada

95 80 kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini, didapatkan bahwa korelasi kesalahan aitem pada faktor ini hampir keseluruhan tidak berkorelasi satu sama lain, hanya aitem nomor 8 yang berkorelasi dengan aitem nomor 18. Namun aitem ini tidak di drop karena hanya terdapat satu korelasi kesalahan pengukuran. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 4. New Possibilities Pada uji validitas awal aitem skala Posttraumatic growth (new possibilities), peneliti mengujji 5 aitem yang ada dan didapatkan nilai T serta koefisien muatan faktor seluruh aitem negatif, yang artinya aitem-aitem tersebut tidak signifikan. Kemudian peneliti mencoba men-drop aitem dengan nilai T terendah (aitem nomor 14) dan menganalisinya kembali menggunakan CFA. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 9,92, df = 2, P-value = 0,00700, RMSEA = 0,161. Setelah dilakukan modifikasi pada model ini, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi- Square = 0,06, df = 1, P-Value = 0,80676, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (new possibilities). Kemudian peneliti melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di

96 81 drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.9 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic growth (New Possibilities) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 4 0,46 0,10 4,42 V 9 0,44 0,10 4,33 V 19 0,89 0,16 5,47 V 21 0,87 0,16 5,36 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Pada tabel 3.9 dapat dilihat seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini, didapatkan bahwa korelasi kesalahan aitem pada faktor ini hampir keseluruhan tidak berkorelasi satu sama lain, hanya aitem nomor 9 yang berkorelasi dengan aitem nomor 19. Namun aitem ini tidak di drop karena hanya terdapat satu korelasi kesalahan pengukuran. Dengan demikian pada faktor ini aitem yang didrop adalah aitem nomor Spiritual Change Peneliti mengujji apakah 3 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala posttraumatic growth (spiritual change) yang digunakan. Dari

97 82 hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor fit, dengan Chi-Square = 0,00, df = 0, P-value = 1,00000, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (spiritual change). Kemudian peneliti melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.10 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic growth (Spiritual Change) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 5 0,55 0,09 6,36 V 10 0,88 0,09 9,33 V 15 0,68 0,09 7,62 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Pada tabel di atas dapat dilihat seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini, tidak didapatkan korelasi kesalahan antar aitem. Dengan demikian tidak ada aitem yang di drop pada faktor ini.

98 Uji Validitas Konstruk Harapan (Hope) 1. Waypower Peneliti mengujji apakah 5 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala harapan (waypower) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 97,00, df = 5, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,348. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya diperoleh model fit dengan Chi-Square = 5,56, df = 2, P-value = 0,06217, RMSEA = 0,108. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu waypower. Langkah selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya aitem tersebut signifikan dan sebaliknya.bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

99 84 Tabel 3.11 Muatan Faktor Aitem Waypower No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 2 0,37 0,08 4,46 V 4 0,66 0,07 8,81 V 6 0,91 0,07 13,86 V 8 0,88 0,07 13,18 V 10 0,72 0,07 9,94 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.12 dapat kita lihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Hanya satu aitem yang bersifat unidimensional yaitu aitem nomor 6. Aitem yang tidak bagus adalah aitem 2 dan akan di drop. Karena kesalahan pengukuran aitem tersebut terlalu banyak berkorelasi dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Aitem 4, 8, dan 10 bersifat multidimensional, namun tetap tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian hanya aitem 4, 6, 8 dan 10 yang bobot nilainya akan diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor.

100 85 2. Willpower Peneliti mengujji apakah 5 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala harapan (willpower) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor fit, dengan Chi-Square = 2,48, df = 5, P-value = 0,77941, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P- value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu willpower. Langkah selanjutnya dengan melihat apakan signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari aitem. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.12 Muatan Faktor Aitem Willpower No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 1 0,67 0,08 8,55 V 3 0,65 0,08 8,16 V 5 0,55 0,08 6,76 V 7 0,77 0,08 10,29 V 9 0,76 0,08 10,12 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan

101 86 Pada tabel 3.11, didapatkan seluruh aitem memiliki nilai (t > 1,96) yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya berdasarkan tabel tersebut pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada faktor ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini tidak terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Artinya dapat disimpulkan bahwa aitem-aitem tersebut bersifat unidimensional. Item yang baik adalah kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Dengan demikian tidak ada aitem yang di drop pada faktor ini Uji Validitas Konstruk Coping Religius 1. Coping Religius Positif Peneliti mengujji apakah 6 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala coping religius (coping religius positif) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 41,32, df = 9, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,154. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 14,06, df = 7, P-value = 0,05011, RMSEA = 0,081. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu coping religius positif.

102 87 Tahap selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.13 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Positif No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 1 0,65 0,08 8,25 V 3 0,76 0,08 9,98 V 5 0,54 0,08 6,49 V 7 0,77 0,08 10,27 V 9 0,67 0,08 8,50 V 11 0,59 0,08 7,28 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.13 dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Aitem nomor 5, 9 dan 11 bersifat multidimensional namun tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian seluruh aitem diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor.

103 88 2. Coping Religius Negatif Peneliti mengujji apakah 5 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala coping religius (coping religius negatif) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 45,13, df = 5, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,230. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 3,63, df = 3, P-value = 0,30441, RMSEA = 0,037. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu coping religius negatif. Selanjutnya dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

104 89 Tabel 3.14 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Negatif No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 2 0,69 0,08 8,97 V 4 0,01 0,09 0,07 X 6 0,77 0,08 10,01 V 8 0,19 0,09 2,19 V 10 0,86 0,08 11,44 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa aitem nomor 4 tidak signifikan (t < 1,96), sedangkan aitem lainnya signifikan (t > 1,96) artinya pada aitem nomor 4 akan di drop dan tidak diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. Sedangkan pada kolom koefisien tidak ada koefisien yang bermuatan negatif. Dengan demikian pada tahapan ini hanya aitem nomor 4 yang di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Aitem nomor 2, 4, 6, dan 8 bersifat multidimensional namun tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian pada faktor ini hanya aitem nomer 4 yang di drop dan diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor.

105 Uji Validitas Konstruk Social Support 1. Informational Support Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (informational support) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 13,35, df = 2, P-value = 0,00126, RMSEA = 0,193. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0,03, df = 1, P-value = 0,86940, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (informational support). Tahapan selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

106 91 Tabel 3.15 Muatan Faktor Aitem Informational Support No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 2 0,67 0,07 8,96 V 7 0,76 0,07 10,51 V 12 0,99 0,07 15,32 V 17 0,74 0,07 10,15 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Hampir seluruh aitem bersifat unidimensional, namun hanya aitem nomor 2 dan 7 yang saling berkorelasi. Namun aitem-aitem ini tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian pada faktor ini seluruh aitem diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. 2. Emotional Support Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (emotional support) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 10,46, df = 2, P-value = 0,00536, RMSEA = 0,167. Namun, setelah

107 92 dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0,05, df = 1, P-value = 0,82935, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (emotional support). Langkah selanjutnya dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.16 Muatan Faktor Aitem Emotional Support No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 1 0,84 0,07 11,41 V 6 0,84 0,07 11,42 V 11 0,62 0,08 7,87 V 16 0,66 0,08 8,54 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.15 dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop.

108 93 Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Hampir seluruh aitem bersifat unidimensional, namun hanya aitem nomor 11 dan 16 yang saling berkorelasi. Namun aitem-aitem ini tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian pada faktor ini seluruh aitem diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. 3. Affectionate Support Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (affectionate support) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor fit, dengan Chi- Square = 0,31, df = 2, P-value = 0,85729, RMSEA = 0,000. Kemudian nilai Chi- Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (affectionate support). Tahapan selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

109 94 Tabel 3.17 Muatan Faktor Aitem Affectionate Support No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 4 0,58 0,08 6,88 V 9 0,66 0,08 8,07 V 14 0,67 0,08 8,15 V 19 0,80 0,08 10,01 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.18 dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini tidak terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Seluruh aitem bersifat unidimensional, yang artinya aitem-aitem tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. 4. Positive Social Interaction Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (positive social interaction) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor fit, dengan Chi-Square = 5,48, df = 2, P-value = 0,06473, RMSEA = 0,107, Kemudian nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model

110 95 dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (positive social interaction). Langkah selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.18 Muatan Faktor Aitem Positive Social Interaction No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 5 0,58 0,08 7,16 V 10 0,80 0,07 10,75 V 15 0,78 0,08 10,36 V 20 0,74 0,08 9,66 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini tidak terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Seluruh aitem bersifat unidimensional, yang artinya aitem-aitem tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor.

111 96 5. Tangible Support Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (tangible support) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi- Square = 13,35, df = 2, P-value = 0,00126, RMSEA = 0,193. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0,09, df = 1, P-value = 0,76213, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (tangible support). Tahapan selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.19 Muatan Faktor Aitem Tangible Support No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 3 0,50 0,09 5,81 V 8 0,76 0,09 8,38 V 13 0,73 0,10 7,60 V 18 0,69 0,10 7,20 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan

112 97 Berdasarkan tabel 3.17 dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Hampir seluruh aitem bersifat unidimensional, namun hanya aitem nomor 13 dan 18 yang saling berkorelasi. Namun aitem-aitem ini tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian pada faktor ini seluruh aitem diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. 3.7 Prosedur Pengumpulan Data Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, antara lain: 1. Peneliti menerjemahkan aitem-aitem alat ukur Posttraumatic growth (PTG), harapan, coping religius dan dukungan sosial dari bahasa aslinya yaitu, bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia serta menyesuaikan bahasa yang digunakan dengan kondisi subjek di UPT T&R BNN. 2. Menambahkan data-data demografis yang dibutuhkan dan menyusun format dari alat ukur, seperti pengaturan tampilan huruf dan halaman kuesioner, penelitian pengantar dan petunjuk pengisian. 3. Mendiskusikan aitem-aitem dengan dua orang dosen untuk mengecek ketepatan hasil adaptasi pada aitem-aitem skala PTG, harapan, coping religius dan dukungan sosial.

113 98 4. Membuat surat izin penelitian kepada pihak Fakultas Psikologi dan mengantarkannya kepada pihak UPT T&R BNN. 5. Setelah peneliti mendapatkan izin dari pihak UPT T&R BNN untuk melakukan penelitian, peneliti menyebarkan skala dengan bantuan pihak UPT T&R BNN dan menyesuaikan waktu pembagian skala dengan waktu yang ada agar tidak mengganggu program yang terdapat di UPT T&R BNN. Penelitian dilakukan pada tanggal September Metode Analisis Data Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat pengaruh yang signifikan faktor-faktor yang mempengaruhi Posttraumatic growth pada recovering addict, maka peneliti mengolah data yang didapatkan dengan menggunakan teknik statistik Multiple Regression Analysis (analisis regresi berganda). Teknik analisis regresi berganda ini digunakan agar dapat menjawab hipotesis nihil yang terdapat pada BAB 2. Dengan dependent variabel yaitu porttraumatic growth, dan independent variabel harapan, coping religius, social support dan fase, maka persamaan regresinya adalah sebagai berikut: Y = a + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 + b 4 X 4 + b 5 X 5 + b 6 X 6 + b 7 X 7 + b 8 X 8 + b 9 X 9 + b 10 X 10 + b 11 X 11 Dimana : Y a b : Posttraumatic growth : Konstan intersepsi : Koefisien regresi untuk masing-masing IV

114 99 X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 X 10 X 11 : Harapan (Waypower) : Harapan (Willpower) : Coping Religius Positif : Coping Religius Negatif : Informational Support : Emotional Support : Affectionate Support : Positive Social Interaction : Tangible Support : Usia : Fase Rehabilitasi Dalam analisis regresi berganda ini dapat diperoleh beberapa informasi, yaitu : 1. R 2 yang menunjukkan besarnya sumbangan atau kontribusi dari seluruh independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV) 2. Uji hipotesis mengenai signifikansi dampak atau pengaruh seluruh IV terhadap DV. 3. Uji hipotesis mengenai signifikan atau tidaknya masing-masing koefisien regresi. Koefisien yang signifikan menunjukkan pengaruh yang signifikan dari independent variable (IV) yang bersangkutan. 4. R 2 change yang menunjukkan besarnya sumbangan atau kontribusi dari setiap IV pada DV. 5. Uji hipotesis mengenai signifikan atau tidaknya masing-masing sumbangan atau kontribusi setiap IV yang diberikan pada DV.

115 100 BAB IV HASIL PENELITIAN Pada bab empat ini, peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi dua bagian yaitu, analisis deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian. 4.1 Analisis Deskriptif Gambaran Umum Recovering Addict berdasarkan Fase Rehabilitasi Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 153 recovering addict yang terdiri dari residen primary, residen re-entry serta staff adiksi yang tercatat di dalam UPT T&R BNN. Berikut ini penjelasan gambaran subjek berdasarkan fase rehabilitasi: Tabel 4.1 Gambaran Recovering Addict berdasarkan Fase Rehabilitasi Fase Jumlah Persentase Primary Green 76 49,67% Primary Hope 40 26,14% Re-Entry 24 15,69% Staff Adiksi (Mayor) 13 8,5% Total % 100

116 Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic growth Berikut ini penjelasan gambaran subjek berdasarkan tingkat posttraumatic growth secara keseluruhan dan juga pada setiap fase rehabilitasi: Tabel 4.2 Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic growth Tingkat Posttraumatic growth Jumlah Persentase Tinggi 74 48,37% Rendah 79 51,63% TOTAL % Perubahan positif atau pottraumatic growth pada recovering addict didapatkan masih lebih banyak berada pada tingkat rendah. Yang berarti bahwa recovering addict pada UPT T&R BNN masih belum banyak mengalami perubahan positif pasca berhenti dari penggunaan NAPZA, namun terdapat 48,37% dari keseluruhan jumlah sampel sudah mengalami perubahan positif pasca berhenti menggunakan NAPZA. Namun, posttraumatic growth merupakan sebuah proses, sehingga recovering addict masih memiliki waktu dalam mengembangkan PTG yang dimiliki.

117 Uji Hipotesis Penelitian Analisis Regresi Variabel Penelitian Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis penelitian dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunalan software SPSS 17. Seperti yang sudah disebutkan pada bab 3, dalam regresi ada 5 hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R 2 untuk mengetahui berapa persen (%) sumbangan atau kontribusi seluruh IV terhadap DV, kedua melihat signifikansi dampak atau pengaruh seluruh IV terhadap DV, ketiga melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing IV, keempat melihat besaran R 2 change untuk mengetahui berapa persen (%) sumbangan atau kontribusi dari masing-masing IV dan terakhir melihat apakah sumbangan dari masing-masing IV berpengaruh signifikan terhadap DV. Langkah pertama peneliti menganalisis seberapa besar sumbangan yang diberikan oleh seluruh IV terhadap DV. Tabel R square dapat dilihat sebagai berikut:

118 103 Tabel 4.3 R square Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 0,711 a 0,506 0,467 0, a. Predictors: (Constant), Fase Rehabilitasi, Waypower, Usia, CRNegatif, TangSupp, CRPositif, EmSupp, AffSupp, Willpower, PosSocInt, InfSupp Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa perolehan R square sebesar 0,506 atau 50,6%. Artinya 50,6% variasi dari PTG dapat dijelaskan oleh variasi dari seluruh IV sedangkan 49,4% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Langkah selanjutnya yaitu menganalisis dampak atau pengaruh dari seluruh variabel independen terhadap posttraumatic growth. Adapun hasil uji F dapat dilihat sebagai berikut:

119 104 Tabel 4.4 Anova ANOVA b Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 70, ,382 13,107 0,000 a Residual 68, ,487 Total 138, a. Predictors: (Constant), Fase Rehabilitasi, Waypower, Usia, CRNegatif, TangSupp, CRPositif, EmSupp, AffSupp, Willpower, PosSocInt, InfSupp b. Dependent Variable: PTG Berdasarkan tabel di atas di dapatkan signifikansinya adalah 0,000 (sig < 0,05), maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh variabel independen terhadap postrraumatic growth ditolak. Artinya ada pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius negatif, coping religius positif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, fase rehabilitasi dan usia terhadap posttraumatic growth. Langkah selanjutnya adalah melihat koefisien regresi tiap variabel independen. Cara melihatnya adalah dengan melihat pada kolom yang paling kanan. Jika nilai sig < 0,05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa variabel besar tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap posttraumatic growth. Adapun penyajiannya ditampilkan pada tabel berikut:

120 105 Tabel 4.5 Koefisien Regresi Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta T Sig. 1 (Constant) 0,185,0301 0,614 0,541 Waypower 0,162 0,087 0,153 1,873 0,063 Willpower 0,345 0,093 0,310 3,711 0,000 Coping Religius Negatif -0,131 0,068-0,122-1,930 0,056 Coping Religius Positif 0,140 0,076 0,130 1,847 0,067 Informational Support 0,397 0,107 0,381 3,718 0,000 Emotional Support -0,133 0,119-0,124-1,118 0,265 Affectionate Support -0,084 0,101-0,073-0,825 0,411 Positive Social Interaction 0,187 0,099 0,172 1,900 0,059 Tangible Support -0,070 0,084-0,063-0,835 0,405 Usia -0,008 0,010-0,048-0,765 0,445 Fase Rehabilitasi 0,022 0,063 0,023 0,353 0,725 a. Dependent Variable: PTG Berdasarkan koefisien regresi pada tabel di atas, dapat disampaikan bahwa persamaan pada posttraumatic growth adalah: Posttraumatic growth = 0, ,162Waypower + 0,345Willpower* 0,131Coping Religius Negatif + 0,140Coping Religius Positif + 0,397Informational Support* 0,133Emotional Support 0,084Affectionate Support +

121 106 0,187Positive Social Interaction 0,070Tangible Support 0,008Usia + 0,022Fase Rehabilitasi Keterangan: (*) = signifikan Dari persamaan di atas hanya ada dua koefisien regresi yang signifikan, yaitu willpower dan informational support sedangkan sisa variabel lainnya tidak signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh masing-masing IV adalah sebagai berikut: 1. Variabel waypower (harapan): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,162 dengan signifikansi 0,063 (sig > 0,05), yang berarti bahwa variabel waypower (harapan) secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi waypower maka semakin tinggi posttraumatic growth, dan dalam hal ini waypower tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 2. Variabel harapan willpower (harapan): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,345 dengan signifikansi 0,000 (sig < 0,05), yang berarti bahwa variabel willpower (harapan) secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan signifikan. Jadi, semakin tinggi willpower maka semakin tinggi posttraumatic growth, dan dalam hal ini willpower berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 3. Variabel coping religius negatif: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar - 0,131 dengan signifikansi 0,056 (sig > 0,05), yang berarti bahwa variabel

122 107 coping religius negatif secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi coping religius negatif maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini coping religius negatif tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 4. Variabel coping religius positif: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,140 dengan signifikansi 0,067 (sig > 0,05), yang berarti bahwa variabel coping religius positif secara positif mempengaruhi posttraumatic growth namun tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi coping religius positif maka semakin tinggi posttraumatic growth, namun dalam hal ini coping religius positif tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 5. Variabel informational support (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,397 dengan signifikansi 0,000 (sig < 0,05), yang berarti bahwa informational support (social support) secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan signifikan. Jadi, semakin tinggi informational support maka semakin tinggi posttraumatic growth, dan informational support berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 6. Variabel emotional support (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,133 dengan signifikansi 0,265 (sig > 0,05), yang berarti bahwa emotional support (social support) secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi emotional support maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini

123 108 emotional support tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 7. Variabel affectionate support (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,084 dengan signifikansi 0,411 (sig > 0,05), yang berarti bahwa affectionate support (social support) secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi affectionate support maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini affectoinate support tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 8. Variabel positive social interaction (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,187 dengan signifikansi 0,059 (sig > 0,05), yang berarti bahwa positive social interaction (social support) secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi positive social interaction maka semakin tinggi posttraumatic growth, namun dalam hal ini positive social interaction tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 9. Variabel tangible support (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,070 dengan signifikansi 0,405 (sig > 0,05), yang berarti bahwa tangible support (social support) secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi tangible support maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini tangible support tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth.

124 Variabel usia: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,008 dengan signifikansi 0,445 (sig > 0,05), yang berarti bahwa usia secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi usia maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini usia tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 11. Variabel fase rehabilitasi: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,022 dengan signifikansi 0,725 (sig > 0,05), yang berarti bahwa fase rehabilitasi secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi fase rehabilitasi maka semakin tinggi posttraumatic growth, namun dalam hal ini fase rehabilitasi tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. Pada tabel 4.5 koefisien regresi variabel independen di atas, dapat diketahui IV mana yang memiliki pengaruh lebih besar. Menurut Umar (2010) untuk melihat perbandingan besar kecilnya pengaruh antara tiap IV terhadap DV dapat diketahui dengan dua cara, yaitu dengan melihat signifikansinya dan standardized coefficients (beta). Dari dua IV yang berpengaruh signifikan terhadap DV diketahui perbandingan atau urutan IV yang memiliki pengaruh terbesar adalah sebagai berikut: 1. Informational support dengan beta = 0, Willpower dengan beta = 0,310

125 Pengujian Sumbangan Masing-masing Variabel Independen Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui bagaimana sumbangan atau kontribusi dari masing-masing variabel besar dan variabel independen terhadap posttraumatic growth. Penjelasan tabel 4.6 pada kolom pertama merupakan penambahan varians DV dari tiap variabel besar ataupun IV yang dianalisis satu per satu, kolom kedua merupakan nilai murni varians DV dari tiap variabel besar ataupun IV yang dimasukkan secara satu per satu, kolom ketiga adalah nilai F dari variabel besar ataupun IV yang bersangkutan, kolom DF adalah derajat bebas bagi variabel besar ataupun IV yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan denumerator. Kemudian pada kolom terakhir merupakan penjelasan signifikansi sumbangan dari setiap variabel besar ataupun IV. Besarnya sumbangan masing-masing variabel besar pada posttraumatic growth yang dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut:

126 111 Tabel 4.6 Sumbangan Masing-masing Variabel Independen Model Summary Change Statistics Model R Square R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change 1 0,288 0,288 60, , ,391 0,103 25, , ,405 0,014 3, , ,417 0,012 3, , ,486 0,069 19, , ,488 0,002 0, , ,497 0,010 2, , ,501 0,004 1, , ,503 0,002 0, , ,505 0,002 0, , ,506 0,000 0, ,725 Keterangan: X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 : Waypower (Harapan) : Willpower (Harapan) : Coping Religius Negatif : Coping Religius Positif : Informational Support (Social Support) : Emotional Support (Social Support) : Affectionate Support (Social Support) : Positive Social Interaction (Social Support)

127 112 X 9 X 10 X 11 : Tangible Support (Social Support) : Usia : Fase Rehabilitasi Dari tabel 4.6 dapat disampaikan informasi sebagai berikut: 1. Variabel waypower (harapan) memberikan sumbangan sebesar 28,8 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,000 (sig < 0,05), F = 60,996, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel harapan willpower (harapan) memberikan sumbangan sebesar 10,3 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,000 (sig < 0,05), F = 25,334, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel coping religius negatif memberikan sumbangan sebesar 1,4 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,060 (sig > 0,05), F = 3,592, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel coping religius positif memberikan sumbangan sebesar 1,2 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,082 (sig > 0,05), F = 3,066, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel informational support (social support) memberikan sumbangan sebesar 6,9 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut

128 113 signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,000 ( sig < 0,05), F = 19,624, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel emotional support (social support) memberikan sumbangan sebesar 0,2 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,447 (sig > 0,05), F = 0,582, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel affectionate support (social support) memberikan sumbangan sebesar 1 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,096 (sig > 0,05) dengan F = 2,767, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel positive social interaction (social support) memberikan sumbangan sebesar 0,4 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,312 (sig < 0,05) dengan F = 1,032, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel tangible support (social support) memberikan sumbangan sebesar 0,2 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,404 (sig > 0,05) dengan F = 0,700, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel usia memberikan sumbangan sebesar 0,2 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,475 (sig > 0,05) dengan F = 0,512, df 1 = 1 dan df 2 = 142

129 Variabel fase rehabilitasi memberikan sumbangan sebesar 0 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,725 (sig > 0,05) dengan F = 0,125, df 1 = 1 dan df 2 = 141 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 IV, yaitu waypower (harapan), willpower (harapan), dan informational support (social support) yang sumbangannya signifikan terhadap posttraumatic growth. Dari ketiga IV tersebut dapat dilihat mana yang paling besar memberikan sumbangan terhadap DV. Menurut Umar (2010) hal tersebut dapat diketahui dengan melihat nilai R 2 change-nya, jika semakin besar maka semakin banyak sumbangan yang diberikan terhadap DV. Dari tabel 4.6 di atas, dapat diketahui urutan IV yang memberikan sumbangan terbesar hingga terkecil adalah: 1. Waypower (harapan) dengan R 2 change = 0, Willpower (harapan) dengan R 2 change = 0, Informational support (social support) dengan R 2 change = 0,069

130 115 Dengan demikian hasil dari penelitian ini peneliti rangkum pada tabel berikut: Tabel 4.7 Rangkuman Hasil Penelitian Variabel Pengaruh Arah Besarnya Pengaruh Sumbangan Sumbangan Waypower Tidak Signifikan + 28,8% Signifikan Willpower Signifikan + 10,3% Signifikan Coping Religius Negatif Coping Religius Positif Informational Support Emotional Support Affectionate Support Positive Social Interaction Tangible Support Usia Fase Rehabilitasi Tidak Tidak 1,4% Signifikan Signifikan Tidak Tidak + 1,2% Signifikan Signifikan Signifikan + 6,9% Signifikan Tidak Tidak 0,2% Signifikan Signifikan Tidak Tidak 1% Signifkan Signifikan Tidak Tidak + 0,4% Signifikan Signifikan Tidak Tidak 0,2% signifikan Signifikan Tidak Tidak 0,2% Signifikan Signifikan Tidak Tidak + 0% Signifkan Signifikan

131 116 BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab 5 peneliti akan memaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Bab ini terdiri dari tiga bagian, yaitu kesimpulan, diskusi, dan saran. 5.1 Kesimpulan Setelah dilakukan penelitian dan didapatkan hasil-hasil yang kemudian analisis oleh peneliti, didapatkan kesimpulan yang juga merupakan jawaban dari permasalahan penelitian. Peneliti akan memaparkannya pada penjelasan berikut ini. Berdasarkan hasil analisis data penelitian maka kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah: Ada pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, information support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, usia dan fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict (H 0 ditolak). Berdasarkan proporsi varians seluruhnya, seluruh IV memberikan sumbangan 50,6% dalam varians posttraumatic growth. Selanjutnya pada penelitian ini hanya terdapat dua variabel independen yang memberikan pengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth yaitu willpower (harapan) dan informational support (social support). Dengan demikian hanya ada dua hipotesis minor yang diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan dari willpower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict dan ada 116

132 117 pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. Kemudian jika dilihat berdasarkan sumbangan dari masing-masing variabel, ternyata terdapat tiga variabel yang signifikan sumbangannya. Variabelvariabel tersebut antara lain waypower (harapan) dengan sumbangan 28,8%, willpower (harapan) dengan sumbangan 10,3% dan informational support (social support) dengan sumbangan 6,9%. 5.2 Diskusi Berdasarkan hasil yang didapatkan, variabel waypower atau kapasitas mental yang digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan tidak memiliki pengaruh yang signifkan terhadap PTG. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Ho dkk (2010) dimana waypower memiliki pengaruh yang signifikan pada perkembangan PTG. Kemudian Tedeschi dkk (1998) menyatakan bahwa waypower memiliki hubungan yang kuat dengan PTG. Ketidaksesuaian penelitian yang dilakukan Ho dkk dengan penelitian saat ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan karakteristik sampel penelitian, dimana Ho dkk menggunakan sampel penderita kanker sedangkan pada penelitian ini menggunakan sampel recovering addict. Menurut Snyder (1994) kemampuan seseorang untuk menciptakan waypower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun Christo & Morris (2004) menemukan bahwa pengguna NAPZA memiliki

133 118 dua kali lebih banyak pengalaman hidup yang traumatik dibandingkan populasi lainnya (dalam Hewit, 2007). Selain itu recovering addict juga mengalami kegagalan-kegagalan di masa lalu, baik kegagalan untuk mempertahankan keadaan clean-nya ataupun kegagalan yang lainnya. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa pengalaman traumatik recovering addict yang dua kali lebih banyak dibandingkan dengan populasi lainnya dan kegagalan yang dialaminya di masa lalu tentu akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menciptakan waypower. Hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut adalah apakah UPT T&R BNN sebagai tempat rehabilitasi sudah mampu memunculkan keberhasilan yang pernah dilakukan oleh recovering addict di tengah pengalaman masa lalu mereka yang traumatik, yang kemudian berguna bagi kemampuan untuk menciptakan waypower yang dimilikinya. Sehingga saat mereka mengalami kejadian traumatik yang dalam hal ini adalah penggunaan NAPZA atau masalah lain yang berkaitan dengan proses recovery, recovering addict memiliki kemampuan yang optimal untuk mencari strategi atau cara untuk mencapai tujuan yang diingikan dimana hal tersebut akan berpengaruh positif pada perkembangan PTG-nya. Selanjutnya berdasarkan hasil yang didapatkan, waypower memang tidak memberikan pengaruh yang signifikan, namun memberikan sumbangan yang signifikan yaitu sebesar 28,8% dan merupakan sumbangan yang paling besar di antara variabel lainnya. Menurut analisa peneliti perbedaan ini disebabkan karena ketika recovering addict hanya memiliki strategi atau cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan (waypower), hal tersebut tidak cukup memberikan pengaruh yang

134 119 signifikan untuk menghasilkan perubahan positif pasca berhenti menggunakan NAPZA (PTG). Namun ketika strategi untuk mencapai tujuan ini (waypower) dibantu dengan kehadiran variabel lainnya seperti willpower (komimen untuk mencapai tujuan), coping religius (coping religius positif dan negatif) dan social support (informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction dan tangible support), waypower menjadi variabel yang berpengaruh terhadap perkembangan PTG, dan bahkan memberikan sumbangan paling besar pada perkembangan PTG. Berdasarkan penjabaran ini maka dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan penggunaan faktor lain untuk membantu optimalnya waypower pada recovering addict di UPT T&R BNN yang berguna bagi perubahan positif pasca berhenti menggunakan NAPZA. Pembahasan selanjutnya yaitu pada variabel willpower dimana pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa willpower memberikan pengaruh signifikan pada PTG. Terdapat ketidaksesuaian dari hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dimana Ho dkk (2010) mendapatkan bahwa willpower tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PTG. Ketidaksesuaian ini menurut peneliti kemungkinan dikarenakan perbedaan karakteristik sampel sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian pembahasan waypower. Selain itu kemungkinan keadaan recovering addict pada UPT T&R BNN yaitu memiliki komitmen untuk mencapai tujuan (willpower) yang lebih besar namun belum memiliki cara atau strategi untuk mencapai tujuan tersebut (waypower) yang optimal.

135 120 Walaupun memang terdapat ketidaksesuaian dari hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, willpower tetap dibutuhkan dalam perkembangan PTG. Saat seseorang mengalami kejadian traumatik dalam hidupnya, seseorang akan menciptakan tujuan baru dan memperbaiki asumsinya tentang dunia agar dapat mengakui perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, yang kemudian berguna bagi perkembangan PTG (Linley & Joseph, 2004). Pada saat inilah dibutuhkan willpower atau komitmen recovering addict yang dapat menggerakkan mereka untuk mencapai tujuan baru pasca kejadian traumatik yang dialaminya. Willpower memunculkan persepsi seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan dalam mencapai tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam kehidupan (Snyder, 1994). Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa ketika recovering addict memiliki willpower yang tinggi maka ia akan memiliki komitmen yang kuat untuk mencapai tujuannya yang kemudian dapat meningkatkan PTG yang dimiliki. Selanjutnya peneliti melakukan analisis regresi tambahan pada variabel besar dari variabel yang digunakan pada penelitian ini yaitu harapan, coping religius dan social support yang berguna sebagai data tambahan. Berdasarkan analisis regresi pada variabel besar, didapatkan hasil sebagai berikut:

136 121 Tabel 5.1 Hasil Analisis Regresi Berdasarkan Variabel Besar Variabel Harapan (hope) Coping Religius Social Support Arah Tingkat Signifikansi Pengaruh Sumbangan Pengaruh Pengaruh Sumbangan Signifikan ,3 % Signifikan Tidak Tidak + 3 0,4% Signifikan Signifikan Signifikan + 2 4,7% Signifikan Berdasarkan tabel di atas didapatkan bahwa harapan (hope) secara general memberikan pengaruh yang signifikan dengan arah pengaruh positif (variabel besar yang paling berpengaruh) dan sumbangan yang signifikan sebesar 37,3 % pada PTG yang juga merupakan sumbangan terbesar di antara variabel besar lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ho dkk (2010) yang mendapatkan bahwa harapan memiliki korelasi yang baik dengan PTG. Secara garis besar keadaan harapan (hope) pada recovering addict di UPT T&R BNN sesuai dengan kombinasi harapan yang kedua yaitu individu dengan willpower tinggi namun memiliki waypower yang rendah. Dimana mereka memiliki komitmen atau motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan namun tidak memiliki cukup cara untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini tentu merupakan keadaan yang kurang ideal, dimana menurut Snyder (1994) dalam beberapa keadaan ketidakmampuan seseorang dalam berpikir tentang cara untuk mencapai tujuan (waypower) akan menyebabkan seseorang cenderung mengalami kehilangan waypower.

137 122 Pada variabel selanjutnya yaitu coping religius negatif dan coping religius positif terdapat ketidaksesuaian hasil penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya. Kedua variabel ini tidak memberikan pengaruh ataupun sumbangan yang signifikan pada PTG. Begitu juga pada analisis regresi tambahan berdasarkan variabel besar yang telah dijelaskan pada tabel 5.1, dimana tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari coping religius secara general terhadap PTG. Padahal pada penelitian yang dilakukan oleh Prati & Pietrantoni (2010) didapatkan bahwa coping religius merupakan prediktor PTG yang baik. Hasil lain juga didapatkan dari Tedeschi dkk (dalam Pargament dkk, 2006) yang menemukan bahwa coping religius negatif berkorelasi tinggi dengan PTG. Selain itu pada penelitian Profit dkk (2007) yang dilakukan pada pendeta ditemukan terdapat hubungan yang kuat pada kedua jenis coping dengan perkembangan PTG, dimana coping religius negatif memiliki hubungan yang lebih kuat dibandingkan coping religius positif. Begitu pula pada penelitian yang dilakukan Thombre dkk (2010) pada caregiver, dimana coping religius berhubungan secara signifikan dengan PTG. Coping religius positif akan menghasilkan nilai PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan coping religius negatif. Ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan oleh perbedaan karakteristik sampel penelitian. Menurut Kendler (dalam Hawari, 2002) para penyalahguna NAZA telah kehilangan basic spiritual needs dan untuk mengisi kebutuhan yang hilang itu digantikan dengan mengkonsumsi NAZA. Sedangkan menurut Pargament (dalam Prati &

138 123 Pietrantoni, 2009) disebutkan bahwa pengukuran coping religius pada seseorang seharusnya dengan melihat bagaimana ia menggunakan agama untuk memahami dan menerima stressor yang ada. Berdasarkan hal ini, kemungkinan recovering addict pada UPT T&R BNN belum berhasil menemukan kembali sepenuhnya basic spiritual needs yang mereka miliki yaitu agama. Sehingga mereka lebih banyak menggunakan coping jenis lainnya dimana agama bukanlah hal utama yang dijadikan coping dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Ada faktor lain yang berkaitan dengan penggunaan jenis coping lain yang memiliki pengaruh lebih besar pada PTG recovering addict. Selanjutnya, berdasarkan kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini, dari 5 jenis social support yang diteliti hanya terdapat satu jenis social support yang memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG yaitu informational support atau dukungan sosial berupa informasi dan merupakan faktor yang memberikan pengaruh paling besar terhadap PTG pada recovering addict di antara faktor lainnya. Selain itu juga didapatkan pengaruh yang positif, yang artinya semakin tinggi informational support yang dimiliki oleh recovering addict maka semakin tinggi pula PTG yang mereka miliki. Menurut Taylor (2009) dukungan berupa informasi dapat membantu individu lebih memahami kejadian menekan atau stressful yang dihadapi dan dapat menentukan sumber permasalahan dan strategi coping yang akan dilakukan. Dukungan informasi seperti pemberian informasi, saran ataupun feedback

139 124 memang sudah didapatkan dengan optimal oleh recovering addict di UPT T&R BNN. Hal ini didapatkan melalui program yang dijalani oleh mereka setiap harinya, dimana recovering addict saling memberikan saran ataupun feedback bagi recovering addict lainnya yang membutuhkan. Jenis social support lain seperti emotional support, affectionate support, positive social interaction dan tangible support tidak memberikan pengaruh dan sumbangan yang signifikan pada PTG. Memang tidak ada penelitian yang secara khusus meneliti tentang jenis social support berdasarkan dimensi yang dijelaskan oleh Sherbourne & Stewart (1991) dengan PTG. Hal ini juga menjadi saran dari penelitian Prati & Pietrantoni (2009) dimana untuk penelitan selanjutnya dilakukan penelitian social support berdasarkan jenis dukungannya yang dikaitkan dengan PTG. Namun penelitian terpisah yang dilakukan Abraido-Lanza (1998) (dalam Diggens, 2003) pada penderita penyakit arthritis, lupus dan penyakit kronis lain dan pada survivor kecelakaan kapal laut oleh Joseph dkk ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara emotional support dengan PTG. Selanjutnya Park dkk (1993) (dalam Diggens, 2003) menemukan bahwa kepuasan akan emotional support memiliki hubungan yang signifikan dengan PTG. Ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan oleh perbedaan situasi sampel. Dimana pada recovering addict, lingkungan komunitasnya adalah orang-orang dengan karakterstik yang sama yaitu sama-sama bermasalah. Iswardani (2011) menyatakan bahwa 30-60% residen primary green dan primary hope (yang merupakan 75, 81% sampel pada

140 125 penelitian ini) memiliki masalah pada fungsi psikologis (self-esteem, depresi, kecemasan, keyakinan pengambilan keputusan), dan fungsi sosial (masalah masa kanak-kanak, permusuhan, pengambilan resiko, konformitas sosial). Sehingga dukungan emosi yang berupa dukungan ekspresi afek yang positif tidak didapatkan secara optimal oleh recovering addict di UPT T&R BNN. Berbeda dengan penderita penyakit lupus misalnya, dimana mereka banyak mendapatkan dukungan dari orang-orang yang netral dan memiliki sudut pandang yang berbeda. Mungkin pengaruh dukungan sosial akan berbeda jika penelitian ini dilakukan pada recovering addict yang tidak berada di rehabilitasi, dimana mereka bisa mendapatkan dukungan dengan lebih optimal dari orangorang dengan karakterstik yang berbeda dengan dirinya misalnya dari keluarga. Selanjutnya berdasarkan analisis regresi tambahan berdasarkan variabel besar social support yang dijelaskan pada tabel 5.1, didapatkan pengaruh yang signifikan antara social support secara general dengan PTG. dengan sumbangan yang juga signifikan sebesar 4,7%. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana terdapat pengaruh positif yang signifikan dari social support secara general pada PTG (Prati & Pietrantoni, 2009). Penelitian sebelumnya yang dilakukan Cadell dkk pada caregiver HIV/AIDS, didapatkan adanya peningkatan PTG ketika social support yang dimiliki juga meningkat, yang juga terjadi pada anak-anak korban bencana badai topan (Cryder, Kilmer, Tedeschi & Calhoun, dalam Wilson & Boden, 2008) dan anak-anak serta remaja korban bencana topan katrina (Schexnaildre, 2007). Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan oleh Tedeschi dkk (1998) bahwa social support memegang sebuah peranan dalam

141 126 perkembangan PTG. Melalui interaksi sosial seseorang dapat mengalami perubahan dalam hal hubungan dengan orang lain seperti memiliki hubungan yang lebih kuat dan dekat atau perubahan tentang bagaimana ia memandang arti dari hubungan itu sendiri (Diggens, 2003). Perubahan-perubahan tersebut merupakan bagian dari PTG. Pada variabel selanjutnya yaitu usia didapatkan hasil bahwa usia tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada PTG. Jadi tidak ada perbedaan tingkat PTG yang signifikan antara recovering addict dengan usia yang lebih muda dan dengan usia yang lebih tua. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ho dkk (2010) pada pasien kanker dimana umur tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG. Walaupun pada penelitian Manne dkk (2004) didapatkan bahwa usia yang lebih muda memiliki tingkat PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Usia menjadi faktor yang tidak memberikan pengaruh signifikan pada PTG recovering addict kemungkinan dikarenakan kecanduan merupakan penyakit seumur hidup, maka pemulihan atau recovery yang dijalani oleh recovering addict juga merupakan proses seumur hidup (BNN, 2009). Maka dari itu tidak ada perbedaan tekanan yang dialami oleh recovering addict dengan usia lebih muda ataupun lebih tua dalam hal bersih dari penggunaan NAPZA. Dimana recovering addict harus menahan craving atau sugesti untuk menggunakan kembali NAPZA agar tidak mengalami kekambuhan atau relapse yang mengancam sepanjang hidupnya.

142 127 Selanjutnya pada variabel fase rehabilitasi, didapatkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan pada PTG. Ini artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat PTG pada fase primary green, primary hope, re-entry ataupun staff adiksi. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan McMillen (2001) (dalam Hewit, 2007) yang menyatakan bahwa recovering addict pada fase awal rehabilitasi memiliki tingkat PTG yang lebih rendah dibandingkan pada tingkat yang lebih tinggi. Kemudian penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Manne dkk (2004) yang menyatakan bahwa semakin lama jarak waktu setelah seseorang didiagnosis penyakit kanker (dalam hal ini sama dengan fase rehabilitasi) maka semakin tinggi tingkat PTG. Ketidaksesuaian ini mungkin disebabkan oleh jarak waktu bersih dari penggunaan NAPZA recovering addict (fase rehabilitasi) pada penelelitian ini yang tidak berbeda jauh. Sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara PTG recovering addict pada fase awal dengan fase selanjutnya. Selain itu sebagai data tambahan lainnya peneliti membagi sampel yang diteliti menjadi dua kelompok yang dilihat berdasarkan tingkat PTG. Tujuan dari pembagian kelompok ini adalah untuk melihat faktor apakah yang paling berpengaruh pada kedua kelompok tersebut yaitu kelompok dengan PTG tinggi dan kelompok dengan PTG rendah. Berdasarkan analisis regresi pada kelompok dengan tingkat PTG tinggi dan rendah didapatkan hasil sebagai berikut: a. Kelompok dengan PTG tinggi: faktor yang memberikan pengaruh terbesar adalah informational support (hanya faktor informational support yang signifikan)

143 128 b. Kelompok dengan PTG rendah: faktor yang memberikan pengaruh terbesar adalah willpower (hanya faktor willpower yang signifikan) Berdasarkan hasil dari analisis regresi di atas, didapatkan hasil yang menarik. Walaupun pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi PTG adalah informational support, namun hasil dari faktor yang paling mempengaruhi berdasarkan kelompok tingkat PTG ini menunjukkan bahwa wilpower-lah yang memberikan pengaruh terbesar pada PTG recovering addict. Hal ini dapat diartikan bahwa diperlukan pengoptimalan willpower yang dimiliki oleh recovering addict terlebih dahulu untuk menghasilkan perkembangan PTG optimal pada tahapan awal pasca pengalaman traumatik. Dimana pada tahapan awal pasca mengalami kejadian traumatik dibutuhkan keteguhan hati, komitmen dan motivasi recovering addict yang dapat menggerakkannya untuk mencapai tujuan baru pasca kejadian traumatik yang dialaminya yang kemudian berguna bagi perkembangan PTG-nya. Menurut Snyder (1994) willpower dapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat memahami dan mempresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Maka dari itu penting bagi recovering addict untuk memahami dan mempresentasikan tujuannya secara jelas, misalnya untuk tetap bersih dari penggunaan NAPZA (abstinens) sehingga mereka memiliki komitmen yang lebih kuat untuk mencapainya dan kemudian berguna bagi perkembangan PTG-nya. Selain itu willpower juga berkaitan dengan keberhasilannya dalam menghadapi suatu masalah pada pengalaman sebelumnya. Recovering addict

144 129 memiliki rasa percaya diri yang rendah, kurang yakin pada kemampuan sendiri, pesimis dan mudah putus asa (BNN, 2009). Maka dari itu, recovering addict perlu diberikan penguatan dengan mengingatkannya kembali dengan keberhasilankeberhasilan yang pernah mereka lakukan, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan motivasi dan rasa percaya dirinya dalam mencapai tujuan yang mereka inginkan. Selanjutnya pada kelompok tinggi, PTG dipengaruhi oleh faktor informational support. Salah satu karakteristik dari recovering addict adalah tidak mampu mengatasi masalah (BNN, 2009). Maka dari itu, setelah recovering addict memiliki komitmen untuk mencapai tujuannya dengan baik, maka kemudian diperlukan dukungan berupa informasi, saran ataupun feedback yang kemudian dapat berguna untuk membantu menentukan sumber permasalahan dan strategi coping yang akan dilakukan. Karena kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping juga dapat membantu perkembangan PTG (Tedeschi & Calhoun, 2004). 5.3 Saran Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang didapatkan, peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu peneliti membagi saran menjadi 2, yaitu saran metodologis dan sara praktis. Saran ini dapat dijadikan pertimbangan bagi penelitian lain yang akan meneliti dependen variabel yang sama.

145 Saran Metodologis 1. Pada penelitian ini peneliti tidak mendapatkan gambaran mengenai jumlah rehabilitasi yang pernah diikuti dan lama pemakaian recovering addict di UPT T&R BNN. Maka alangkah baiknya jika beberapa variabel demografis tambahan dimasukkan, antara lain seperti lama pemakaian NAPZA dan jumlah rehabilitasi yang pernah diikuti. Karena tentu akan berbeda dinamika PTG yang dimiliki antara recovering addict yang menjalani rehabilitasi untuk pertama kali dengan yang sudah menjalani rehabilitasi lebih dari satu kali. Begitu pula tentu akan berbeda dinamika recovering addict dengan jangka waktu penggunaan NAPZA yang bertahun-tahun dengan yang baru beberapa bulan. 2. Berdasarkan yang telah dipaparkan pada bagian diskusi, ada beberapa faktor yang menjadi terbatas perkembangannya dikarenakan situasi sampel yang berada di rehabilitasi misalnya adalah social support. Selain itu juga telah dijelaskan bahwa fase rehabilitasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG yang mungkin disebabkan jangka waktu bersih dari NAPZA dari setiap fase tidak berbeda jauh. Maka dari itu peneliti merasa bahwa alangkah baiknya jika sampel penelitian yang diteliti adalah recovering addict yang sudah tidak menjalani rehabilitasi (program aftercare) dan memiliki jangka waktu bersih dari penggunaan NAPZA yang lebih lama. Sehingga dinamika dari faktor yang mempengaruhi PTG dapat lebih terlihat.

146 Berdasarkan yang telah dipaparkan pada bagian diskusi, pada penelitian ini coping religius tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG yang mungkin disebabkan recovering addict belum menemukan kembali sepenuhnya basic spiritual needs yang dimiliki. Sehingga mereka tidak menjadikan agama sebagai alat yang digunakan sebagai coping. Maka apabila peneliti selanjutnya hendak meneliti tentang coping disarankan untuk menggunakan variabel strategi coping, sehingga peneliti selanjutnya dapat melihat coping yang digunakan secara komprehensif (tidak hanya coping religius). Selain itu juga dapat melihat strategi coping apa yang paling berpengaruh dalam PTG pada recovering addict. 4. Pada penelitian ini peneliti tidak dapat melihat PTG dengan lebih spesifik (PTG berdasarkan aspeknya). Maka akan bertambah baik jika dimensi dari DV yaitu PTG dijadikan variabel penelitian, sehingga PTG diteliti tidak hanya sebagai variabel besar tetapi juga dengan meneliti dimensinya. Dengan ini maka dapat lebih terlihat faktor apa yang mempengaruhi perubahan pada setiap dimensi PTG yang kemudian dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang dinamika pada dimensi PTG Saran Praktis 1. Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini didapatkan bahwa dukungan informasi dan willpower merupakan faktor yang memberikan pengaruh terbesar pada PTG. Namun berdasarkan analisa faktor dari kelompok dengan PTG tinggi dan rendah didapatkan bahwa willpower merupakan fakor yang

147 132 memberikan pengaruh pada kelompok dengan PTG yang rendah. Maka berdasarkan hasil ini alangkah baiknya jika keluarga, kerabat, teman ataupun pengelola panti rehabilitasi untuk memperhatikan willpower atau komitmen untuk mencapai tujuan yang diinginkan recovering addict terlebih dahulu pada awal pasca kejadian traumatik, baru kemudian mengoptimalkan dukungan informasi pada recovering addict. 2. Berdasaran hasil penelitian ini didapatkan bahwa dari dimensi social support hanya dukungan informasi yang memberikan pengaruh pada PTG, namun alangkah baiknya jika keluarga, kerabat ataupun orang sekitar selalu memberikan dukungan sosial baik materil maupun non materil kepada recovering addict. Karena hal tersebut akan membuat recovering addict merasa dihargai dan lebih mampu mengembangkan perubahan positif dalam hidupnya. 3. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan waypower tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG. Walaupun waypower tidak memberikan pengaruh yang signifikan, namun keberadaan willpower juga sangat berkaitan dengan waypower yang tentunya sangat berguna bagi perubahan positif para recovering addict. Karena menurut Snyder (1994) dalam beberapa keadaan, ketidakmampuan seseorang dalam berpikir tentang cara untuk mencapai tujuan (waypower) dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan seseorang mengalami kehilangan waypower. Maka dari itu alangkah baiknya jika pengelola panti rehabilitasi melakukan pengembangan lebih lanjut pada program yang dapat meningkatkan waypower. Misalnya program yang

148 133 memunculkan keberhasilan-keberhasilan masa lalu recovering addict dalam menghadapi suatu masalah, sehingga dapat membantu perkembangan waypower yang dimilikinya. 4. Berdasarkan hasil penelitian ini yang telah dipaparkan pada bagian diskusi didapatkan bahwa coping religius baik positif, negatif ataupun secara general tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG yang mungkin disebabkan karena recovering addict belum berhasil menemukan kembali basic spiritual needs yang dimilikinya. Maka alangkah baiknya jika pengelola panti rehabilitasi, keluarga, ataupun kerabat membantu recovering addict melakukan peningkatan basic spiritual needs yang dalam hal ini adalah kerohanian (agama). Karena tidak dapat dipungkiri agama dapat menjadi sumber dukungan dan mekanisme coping yang baik bagi perkembangan PTG. Bantuan yang mungkin dapat dilakukan pengelola panti rehabilitasi misalnya adalah dengan mengoptimalkan lebih lanjut programprogram yang berkaitan dengan religiusitas pada recovering addict.

149 134 DAFTAR PUSTAKA Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia. (2009). Pencegahan penyalahgunaan narkoba sejak usia dini. Jakarta: (h. 37, 97, , ). Calhoun, L.G., Cann, A., Tedeschi, R.G., & McMillan, J. (2000). A correlational test of relationship between posttraumatic growth, religion, and cognitive processing. Journal of Traumatic Stress, 13 vol 3 (h. 521, 525). Calhoun, L.G., & Tedeschi, R.G. (2004). The foundations of posttraumatic growth: new consideration. Journal of Psychological Inquiry, 15, (h. 93) Iswardani, Tri. (2011). Gambaran psikososial dan motivasi residen BNN. Jakarta. Diggens, Justine. (2003). Social support and posttraumatic growth following diagnosis with breast cancer. Tesis. Australia: University of Melbourne ( h. 7, 8-9, 11, 12-13) Gottlieb, B.H. (1983). Social support strategies. Beverly Hills, CA : Sage Publication, Inc (h. 35, 46, 137) Hanson, Katie. (2010). Posttraumatic growth. Diambil tanggal 25 November Hawari, Dadang. (2002). Dimensi religi dalam praktek psikiatri dan psikologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI (h. 127). Hewit, Anthony. J. (2007). After the fire: posttraumatic growth in recovery from addictions. Tesis. Inggris: University of Bath (h. 16, 23-24, 82-84, 152, 154, 60, 247, ). Ho, S., Rajandram, R.K., Chan, N., Samman, N., McGrath, C., Zwahlen, R.A. (2010). The roles of hope and optimism on posttraumatic growth in oral cavity cancer patients. Journal of Oral Oncology, 47 (2011), 123. Kuntjoro, Z.R. (2002). Dukungan sosial pada lansia. Diambil tanggal 20 Juli 2011 dari Linley, P.A., & Joseph, S. (2004). Positive psychology in practice. New Jersey: Hoboken. (h. 405, 406) Maddux, J.F., & Desmond, D.P. (1986). Relapse and recovery in substance abuse careers. Dalam Tims, F.M., & Leukefeld, C.G., Research analysis and utilization system: relapse and recovery in drug abuse. Maryland: NIDA Research Monograph Series. (h. 60) 134

150 135 Manne, S., Ostroff, J., Winkel, G., Goldstein, L., Fox, K., & Grana, G. (2004). Posttraumatic growth after breast cancer: patient, pertner, and couple perspectives. Journal of Psychosomatic Medicine, 66, (h. 442, 446, 449). Pargament, Ano & Wachholtz. (2005). The religious dimension of coping: advances in theory, research, and practice. Dalam Paloutzian, R.F., & Park, C.L. (2005). Handbook of the Psychology Religion and Spirituality. New York: Guilford Press (h. 481, 482, 484). Pargament, K.I., Desai, K.M., & McConnel, K.M. (2006). Spirituality and posttraumatic growth. Dalam Calhoun, L.G., & Tedeschi, R.G. (2006). Handbook of posttraumatic growth: research and practice. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates (h. 127). Prati, G., & Pietrantoni, L. (2009). Optimism, social support, and coping strategies as factors contributing to posttraumatic growth: a meta-analysis. Journal of Loss and Trauma, 14, , June 2007 (h. 365, 367, 371, , 376). Profit, D., Cann, A., Calhoun, L.G., & Tedeschi, R.G. (2007). Judeo-christian clergy and personal crisis. Journal of Religion and Health, Vol. 46, No. 2 (h. 220). Raiya, H.A.A. (2008). Psychological measure of islamic religiousness: evidence for relevance, reliability and validity. Disertasi. Ohio: Bowling Green State University (h. 3, 13). Rice, V.H. (2000). Handbook of stress, coping and health: implication for nursing research, theory and practice. California: Sage Publication (h. 11). Santrock, J.W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup jilid I. Jakarta: Erlangga (h. 320). Sarafino, E.P. (2006). Health psychology: biopsychosocial interactions. New york: John Willey & Sons, Inc (h. 87). Schmidt, A., & Ehmcke. (2008). The relation between posttraumatic growth and resilience in the south african context. Tesis. Johannesburg: University of the Witwatersrand. (h. 9, 11) Schexnaildre, M.A. (2007). Predicting posstraumatic growth: coping, social support and posttraumatic stress in children and adolescents after hurricane katrina. Tesis. Louisiana: Louisiana State University. Sherbourne, C.D., & Stewart, A.L. (1991). The mos social support survey. Journal of Social, Science, Medical. Vol. 32, No. 6, pp (h. 705).

151 136 Snyder, C.R. (1994). The psychology of hope: you can get from there from here. New York: The Free Press (h. 5-12, 31-34). Snyder, C.R., & Lopez, S.J. (2005). Handbook of positive psychology. New York: Oxford University Press Inc (258, 259). Snyder, C.R., & Lopez, S.J. (2007). Positive psychology: the scientific & practical exploration of human strength. California: Sage Publications. Taku, Cann, Tedeschi & Calhoun. (2008). The factor structure of the posttraumatic growth inventory: a comparison five models using confirmatory factor analysis. Journal of Traumatic Stress. Vol 21, No. 2, April 2008, pp (h. 158). Taylor, S.E. (2009). Health psychology. New York: McGraw Hill (h. 174, 180, ). Tedeschi, R.G., Park, C.L., & Calhoun, L.G. (1998). Posttraumatic growth: positive changes in the aftermath of crisis. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc (h. 37, 68, 72, 110). Tedeschi, R.G., & Calhoun, L.G. (2004). Posttraumatic growth: conceptual foundations and empirical evidence. Journal of Psychological Inquiry, 15, (h. 1, 2, 5-9, 12) Thombre, A., Sherman, A.C., & Simonton, S. (2010). Religious coping and posttraumatic growth among family caregivers of cancer patients in india. Journal of Psychosocial Oncology, 28, (h. 181, 183) Umar, Jahja. (2010). Personal Communication. Wesson, D.R., Havassy, B.E., & Smith, D.E. (1986). Theories of relapse and recovery and their implications for drug abuse treatment. Dalam Tims, F.M., & Leukefeld, C.G., Research analysis and utilization system: relapse and recovery in drug abuse. Maryland: NIDA Research Monograph Series (h. 14). Wilson, J.T., & Boden, J.M. (2007). The effects of personality, social support and religiosity on posttraumatic growth. The Australasian Journal of Disaster and Trauma Studies, Vol Yurliani, Rahma Gambaran social support pecandu narkoba. Skripsi: Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (h. 4). Znoj, Hansjörg. (2005). Bereavement and posttraumatic growth. Dalam Calhoun, L.G., & Tedeschi, R.G. (2006). Handbook of posttraumatic growth: research and practice. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates (h. 176).

152 LAMPIRAN 1: Kuesioner UPT Terapi dan Rehabilirasi Badan Narkotika Nasional September, 2011

153 FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Assalamu alaikum Wr. Wb Saya adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang melakukan penelitian untuk memenuhi tugas akhir. Oleh karena itu, saya mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi responden dalam penelitian ini dan mengisi kuesioner sesuai dengan keadaan pada diri Saudara. Dalam kuesioner ini tidak ada jawaban yang benar ataupun salah. Adapun informasi dan data Saudara akan sangat bermanfaat bagi penelitian saya dan akan dijamin kerahasiaannya. Atas perhatian dan bantuan Saudara saya ucapkan banyak terima kasih. Wassalamu alaikum Wr. Wb Hormat Saya, Farah Shafira DATA DIRI (Wajib Diisi) Nama (Inisial) : Fase : a). Primary ( a. Younger / b. Middle / c. Older ) b). Re-Entry ( a. Fase Orientasi / b. Fase A / c. Fase B / d. Fase C ) c). OJT / Mayor Usia : Jenis Kelamin : L / P Lama berhenti menggunakan NAPZA :

154 PETUNJUK Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang paling sesuai dengan keadaan Saudara saat ini sesuai dengan pilihan jawaban yang Saudara berikan, yaitu: SS S : Sangat Setuju : Setuju TS : Tidak Setuju STS : Sangat Tidak Setuju Contoh: No Pernyataan SS S TS STS 1. Saya orang yang bersemangat X No Pernyataan 1.1 SS S TS STS Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya dapat lebih menentukan mana hal yang penting dan tidak penting bagi kehidupan saya. Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya lebih percaya bahwa orang lain dapat membantu saya ketika mengalami kesulitan. Saya memiliki kepercayaan diri yang lebih besar setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. Saya mengembangkan minat baru setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya memiliki pemahaman spiritual yang lebih baik dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Saya memiliki pemahaman tentang nilai kehidupan yang lebih baik setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. Saya memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dengan orang lain setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya lebih mampu mengatasi kesulitan yang saya hadapi setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya menyusun pola hidup yang baru. Saya memiliki kepercayaan agama yang lebih kuat dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Saya dapat lebih menghargai hidup setiap harinya setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. 12. Saya lebih bisa mengekspresikan emosi dibandingkan saat masih

155 menggunakan NAPZA. No Pernyataan 1.2 SS S TS STS Saya dapat lebih menerima jalan yang telah ditakdirkan setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya mampu melakukan hal-hal yang lebih baik dalam kehidupan dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Saya memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya lebih memahami indahnya kehidupan setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya lebih memiliki rasa empati pada orang lain dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Saya merasa memiliki diri yang lebih kuat dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya memiliki kesempatankesempatan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Saya berusaha menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya memiliki keinginan yang lebih besar untuk mengubah hal-hal yang seharusnya saya ubah. Saya lebih menerima kebutuhan akan orang lain setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. No Pernyataan 2 SS S TS STS 1. Saya yakin akan berhasil dalam menjalani proses pemulihan Saya dapat memikirkan cara-cara untuk mendapatkan hal-hal penting bagi hidup. Saya terus menerus berusaha dengan semangat untuk mencapai tujuan yang saya inginkan. Saya dapat memikirkan cara-cara untuk keluar dari permasalahan yang rumit. 5. Pengalaman masa lalu membuat saya siap menghadapi masa depan. 6. Banyak jalan keluar yang tersedia pada setiap kesulitan.

156 7. Saya mampu menentukan suatu tujuan bagi kehidupan saya. 8. Walaupun orang lain mengecilkan hati saya, saya dapat menemukan cara untuk menyelesaikan kesulitan yang saya hadapi. 9. Saya yakin dapat membuat perubahan positif dalam hidup. 10. Saya dapat mengandalkan kemampuan saya untuk mengatasi kesulitan dalam pemulihan. No Pernyataan 3 SS S TS STS 1. Ketika menghadapi kesulitan, saya mendekatkan diri kepada Tuhan Ketika menghadapi kesulitan, saya memikirkan apa yang telah saya lakukan sehingga Tuhan menghukum saya. Ketika menghadapi kesulitan, saya menganggap hal tersebut adalah ujian dari Tuhan untuk memperdalam iman saya. Ketika menghadapi kesulitan, saya mencoba menyelesaikan masalah sendiri tanpa meminta pertolongan pada Tuhan. Ketika menghadapi kesulitan, saya berharap Tuhan akan memberikan anugerah dan kasih sayang kepada saya. Ketika menghadapi kesulitan, saya merasa Tuhan memberikan hukuman atas kurangnya ketaatan saya. Ketika menghadapi kesulitan, saya membaca Kitab Suci untuk mendapatkan ketenangan. Ketika menghadapi kesulitan, saya merasa bahwa Tuhan tidak menjawab permohonan saya. 9. Ketika menghadapi kesulitan, saya meminta ampunan Tuhan Ketika menghadapi kesulitan, saya percaya bahwa Tuhan menghukum saya atas perbuatan buruk yang telah saya lakukan. Ketika menghadapi kesulitan, saya berusaha semampu saya dan berpasrah pada Tuhan. No Pernyataan 4.1 SS S TS STS 1. Saya memiliki seseorang yang dapat menjadi pendengar saat membutuhkan teman untuk berbicara. 2. Saya memiliki seseorang yang memberikan informasi yang dapat membantu memahami situasi yang saya hadapi.

157 3. Saya memiliki seseorang yang menemani saya ketika mengalami kesulitan tidur. 4. Saya memiliki seseorang yang menunjukkan perhatian kepada saya. 5. Saya memiliki seseorang yang menemani saya menghabiskan waktu bersama. 6. Saya memiliki seseorang sebagai tempat bercerita tentang diri saya dan kesulitan yang saya hadapi. 7. Saya memiliki seseorang yang memberikan masihat untuk kesulitan yang saya hadapi. 8. Saya memiliki seseorang yang mengantarkan saya ke dokter saat saya membutuhkannya. 9. Saya memiliki seseorang yang mencintai saya dan membuat saya merasa dibutuhkan. 10. Saya memiliki seseorang yang dapat dijadikan teman untuk bertukar cerita hal-hal yang lucu. No Pernyataan 4.2 SS S TS STS Saya memiliki seseorang yang dapat menjadi tempat berbagi ketakutan dan kecemasan yang saya hadapi. Saya memiliki seseorang yang memberikan nasihat yang saya butuhkan. Saya memiliki seseorang yang menyiapkan makanan untuk saya ketika sakit. Saya memiliki seseorang yang mengasihi saya ketika menghadapi kesulitan. Saya memiliki seseorang yang dapat menemani saya melakukan halhal yang menyenangkan. Saya memiliki seseorang yang dapat memahami kesulitan yang saya hadapi. Saya memiliki seseorang yang dapat memberikan saran dalam menangani kesulitan yang saya hadapi. Saya memiliki seseorang yang dapat membantu pekerjaan saya ketika sakit. 19. Saya memiliki seseorang yang memberikan kasih sayang kepada saya. 20. Saya memiliki seseorang yang dapat membuat saya tertawa.

158

159 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi) Disusun Oleh: Farah Shafira FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H/ 2011 M

160 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI DAN REHABILITASI BNN LIDO Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi) Oleh : FARAH SHAFIRA NIM : Di Bawah Bimbingan : Pembimbing I Pembimbing II Gazi, M.Si NIP Nia Tresniasari, M.Si NIP FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433H/ 2011M ii

161 LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Desember 2011 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pogram Strata I (SI) pada Fakultas Psikologi. Jakarta, 6 Desember 2011 Sidang Munaqasyah Dekan/ Ketua Pembantu Dekan/ Sekretaris Jahja Umar, Ph.D NIP Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP Anggota S. Evangeline. I. Suaidy, M. Si., Psi NIP Gazi, M.Si NIP Nia Tresniasari, M.Si NIP iii

162 PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Farah Shafira NIM : Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth pada Recovering Addict di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi BNN Lido adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalama penyususnan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya. Jakarta, 28 November 2011 Farah Shafira NIM : iv

163 Motto: Man jadda wa jadda What doesn t kill you makes you stronger -Friedrich Nietzsche Khairunas anfa uhum linnas v

164 Karya sederhana ini saya persembahkan untuk orang-orang yang memberikan saya banyak inspirasi dalam hidup Ibu, Bapak (alm), Bang Thobby, Bang Alfan terkasih Serta para recovering addict yang terus berjuang untuk recovery-nya vi

165 ABSTRAK A) Fakultas Psikologi B) November 2011 C) Farah Shafira D) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth pada Recovering Addict di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido E) XV halaman F) Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa jauh pengaruh dari setiap faktor yang dianalisis (variabel independen) terhadap posttraumatic growth (variabel dependen) pada recovering addict di UPT T&R BNN. Variabel dependen yang diangkat dalam penelitian ini antara lain waypower (harapan), willpower (harapan), coping religius positif (coping religius), coping religius negatif (coping religius), informational support (social support), emotional support (social support), affectionate support (social support), positive social support (social support), tangible support (social support), usia dan fase rehabilitasi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan angket, wawancara dan observasi dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah recovering addict atau pengguna NAPZA yang menjalani pemulihan pada fase primary dan re-entry serta staff adiksi di UPT T&R BNN yang berjumlah 153 orang. Instrumen pengumpulan data menggunakan skala likert dan uji validitas aitem menggunakan LISREL 8,7. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji regresi berganda pada taraf signifikansi 0,05 dengan menggunakan SPSS 17. Hasil penelitian disimpulkan bahwa hanya variabel willpower dan informational support yang memberikan pengaruh yang signifkan terhadap posttraumatic growth. Sedangkan berdasarkan besarnya sumbangan yang diberikan, terdapat tiga variabel memberikan sumbangan yang signifikan yaitu willpower memberikan sumbangan sebesar 10,3%, waypower sebesar 28,8% dan informational support sebesar 6,9%. Hasil penelitian tambahan yang dilihat berdasarkan pengaruh dari variabel besar, didapatkan harapan dan social support berpengaruh secara signifikan terhadap PTG dengan sumbangan sebesar 37,3% dan 4,7% sedangkan coping religius tidak berpengaruh secara signifikan dengan sumbangan sebesar 0,4%. Hasil penelitian tambahan selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok dengan tingkat PTG yang tinggi didapatkan faktor yang berpengaruh adalah informational support, sedangkan untuk kelompok dengan tingkat PTG rendah faktor yang berpengaruh adalah willpower. Hal yang perlu diperhatikan pada penelitian selanjutnya adalah meneliti sampel penelitian yang dalam hal ini adalah recovering addict yang sudah tidak menjalani rehabilitasi (program aftercare) dan memiliki jangka waktu bersih dari penggunaan vii

166 NAPZA yang lebih lama. Selain itu dengan menambahkan variabel demografis lain seperti lama penggunaan NAPZA dan jumlah rehabilitasi yang pernah diikuti sehingga PTG dan dinamika faktor yang mempengaruhinya dapat lebih terlihat secara komprehensif. (G) Bahan bacaan: 38 bacaan (15 buku; 11 jurnal; 1 disertasi; 4 tesis; 1 skripsi; 2 artikel/ internet; 1 penelitian) viii

167 KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahiim Syukur Alhamdullilah peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala berkat, kekuasaan dan kasih sayang-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman. Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Jahja Umar, Ph. D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya. 2. Gazi, M.Si (Pembimbing I) dan Nia Tresniasari, M.Si (Pembimbing II) yang telah memberikan arahan, bimbingan serta insight-insight sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mendapatkan banyak masukan dari beliau-beliau tersebut, serta terimakasih banyak atas wawasan yang telah diberikan. 3. Rena Latifa, M. Psi. Psi., Pembimbing akademik. 4. S. Evangeline Imelda Suaidy, M.Si, Psi yang telah banyak memberikan waktu untuk bertukar pikiran, wawasan baru tentang dunia adiksi dan bantuan selama proses skripsi berjalan. 5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan. 6. Kedua orang tua saya tercinta, almarhum Bapak yang dengan ketegasan di balik kelembutan hati Beliau telah memberikan saya banyak makna dalam hidup, arsitek kasih sayang yang jarang bicara, namun selalu mampu mengubah hal-hal sederhana mempesona. Ibu yang selalu memberikan ketenangan di kala hati ini gundah dan inspirasi bagi saya untuk menjadi orang tua kelak. Terima kasih atas dukungan yang telah Bapak (alm) dan Ibu berikan untuk Arah, semoga Allah memberikan izin-nya agar Arah dapat menjadi seperti do a yang Bapak dan Ibu panjatkan pada-nya. 7. Abang-abangku terkasih, Bang Thobby dan Bang Alfan yang menjadi sosok pengganti Bapak di hati ini. Terima kasih telah menjadi pelindung bagi adikmu yang cerewet ini dan ini adalah jawaban untuk pertanyaan yang selalu ditanyakan (alhamdulillah akhirnya skripsi ini selesai juga). 8. Keluarga besar M. Tabrani (alm) dan Abdullah Shaleh (alm) terima kasih atas doa serta dukungan yang diberikan pada penulis. 9. Tim psikologi BNN, Bapak M. Fierza Mucharom Nasution, M.Si, Psi, CHt, Psi, Mba Dewi, Mba Fika, Mba Nita, Mba Widi dan terkhusus Mas Rizal yang telah banyak membantu saat penulis melakukan pengambilan data di BNN Lido. Tanpa izin dan bantuan dari Anda semua saya tidak mungkin dapat menyelesaikan penelitian ini. 10. Bro Aldi selaku program manager primary house, Bro Chicco selaku program manager re-entry house, dan Sist Wipi selaku program manager female unit, terima ix

168 kasih atas waktu dan bantuannya. Tanpa bantuan dari Anda saya tidak akan dapat menyelesaikan penelitian ini. Terkhusus Bro Dian selaku program manager entry unit, yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pengambilan data. 11. Para responden saya, residen di primary hope, primary green, primary female, reentry male dan female serta staff adiksi, terima kasih atas waktu yang telah diberikan. Anda semua benar-benar memberikan saya inspirasi dan membuka mata saya dari sudut pandang yang 180 derajat berbeda. 12. Sahabat-sahabatku tersayang Ayas, Anya, Efi, Winda, Uty, Rara, Nuran dan Lala, terima kasih atas semua manis pahit persahabatan selama ±4 tahun ini, semoga Allah mengizinkan kita untuk selalu bersahabat selamanya. Terkhusus untuk dua sahabat seperjuangan trio BNN Ayas dan Anya, banyak jatuh bangun yang kita alami bersama. Semoga Allah mempercayakan kita untuk dapat mencapai impian kita ya, aamiin. 13. Sister-sister BNN, Ayas, Anya, Soraya, Kiki, Mba Imas, Anne, Nung dan Afit dimana kita telah melewati banyak waktu susah dan senang bersama serta banyak belajar dari pengalaman 3 minggu kita, kangen menginap bersama kalian di T Teman-teman kelas C atas kekompakan dan pemahamannya satu sama lain serta teman-teman seperjuangan skripsi yang selalu sabar menanti bersama. 15. Mister Adiyo yang telah banyak membantu saat kerumitan LISREL dan SPSS melanda penulis. Semoga cita-cita Mister Adiyo menjadi ahli psikometri yang handal dapat tercapai ya. 16. Teteh Nining yang memberikan banyak pencerahan pada detik-detik menegangkan dan sharing mengenai harapan. Semoga Allah selalu memberikan kasih sayangnya pada teteh ya. 17. Staff bagian Akademik, Umum, dan Keuangan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 18. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, karena dukungan moral serta pengertian mereka penulis bisa menyelesaikan laporan ini. Hanya asa dan doa yang penulis panjatkan semoga pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini mendapatkan balasan yag berlipat ganda dari Allah SWT, aamiin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca. Jakarta, November 2011 Penulis x

169 DAFTAR ISI Halaman Judul... i Halaman Persetujuan... ii Halaman Pengesahan... iii Lembar Pernyataan... iv Motto... v Persembahan... vi Abstrak... vii Kata Pengantar... ix Daftar Isi... xi Daftar Bagan... xiv Daftar Tabel... xv BAB I Pendahuluan Latar Belakang Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan Masalah Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Sistematika Penelitian BAB II Kajian Pustaka Posttraumatic Growth (PTG) Pengertian Aspek Posttraumatic Growth Proses Terjadinya Posttraumatic Growth Pengertian Recovering addict Recovering addict Adiksi (Addiction) Pemulihan (Recovery) Posttraumatic Growth pada Recovering addict Model PTG pada Recovering addict Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth Harapan Pengertian Komponen dalam Harapan Skema Willpower dan Waypower Terkait dengan Teori Harapan Variasi Harapan berdasarkan Kombinasi Willpower dan Waypower Coping Religius Pengertian Pendekatan Coping Religius Aspek Coping Religius xi

170 2.4 Dukungan Sosial (Social Support) Pengertian Efek Dukungan Sosial Sumber-sumber Dukungan Sosial Kerangka Berpikir Hipotesis Penelitian Hipotesis Mayor Hipotesis Minor BAB III Metode Peneltian Pendekatan Penelitian Partisipan Teknik Pengambilan Sampel Variabel dan Definisi Variabel Variabel Penelitian Definisi Konseptual Definisi Operasional Pengumpulan data Instrumen Pengumpulan Data Pengujian Validitas Konstruk Uji Validitas Konstruk Uji Validitas Konstruk Posttraumatic Growth Uji Validitas Konstruk Harapan Uji Validitas Konstruk Coping Religius Uji Validitas Konstruk Social Support Prosedur Pengumpulan Data Metode Analisis Data BAB IV Hasil Penelitian Analisis Deskriptif Gambaran Umum Recovering addict Berdasarkan Fase Rehabilitasi Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic Growth Uji Hipotesis Penelitian Analisis Regresi Variabel Penelitian Pengujian Sumbangan Masing-masing Independen Variabel BAB V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Kesimpulan Diskusi Saran Saran Metodologis Saran Praktis xii

171 Daftar Pustaka Lampiran xiii

172 DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Proses Terjadinya PTG Bagan 2.2 Proses Terjadinya Ketergantungan (Adiksi) NAPZA Bagan 2.3 Model PTG Recovering Addict Bagan 2.4 Visualisasi Willpower Bagan 2.5 Visualisasi Waypower Bagan 2.6 Visualisasi Waypower Terkait dengan Rintangan/ Hambatan Bagan 2.7 Skema Willpower dan Waypower Bagan 2.8 Kerangka Berpikir Bagan 3.1 Analisis Faktor Konfirmatorik Posttraumatic Growth (Appreciation of Life xiv

173 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Blueprint Skala PTG Tabel 3.2 Blueprint Skala Harapan Tabel 3.3 Blueprint Skala Coping Religius Tabel 3.4 Blueprint Skala Social Support Tabel 3.5 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Appreciation of Life) Tabel 3.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Aitem PTG (Appreciation of Life) Tabel 3.7 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Relating to Others) Tabel 3.8 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Personal Strength) Tabel 3.9 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (New Possibilities) Tabel 3.10 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Spiritual Change) Tabel 3.11 Muatan Faktor Aitem Waypower Tabel 3.12 Muatan Faktor Aitem Willpower Tabel 3.13 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Positif Tabel 3.14 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Negatif Tabel 3.15 Muatan Faktor Aitem Informational Support tabel 3.16 Muatan Faktor Aitem Emotional Support Tabel 3.17 Muatan Faktor Aitem Affectionate Support Tabel 3.18 Muatan Faktor Aitem Positive Social Interaction Tabel 3.19 Muatan Faktor Aitem Tangible Support Tabel 4.1 Gambaran Recovering addict Berdasarkan Fase Rehabilitasi Tabel 4.2 Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic Growth Tabel 4.3 R Square Tabel 4.4 Anova Tabel 4.5 Koefisien Regresi Tabel 4.6 Sumbangan Masing-masing Variabel Independen Tabel 4.7 Rangkuman Hasil Penelitian Tabel 5.1 Hasil Analisis Regresi Berdasarkan Variabel Besar xv

174 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian stressful atau juga dapat diartikan sebagai kejadian traumatik dapat menyebabkan tekanan psikologis dan biasanya juga akan memunculkan respon negatif pada seseorang. Haidt (2006) menyebutkan bahwa depresi, kecemasan, penyakit jantung dan PTSD merupakan beberapa contoh keadaan yang diakibatkan stress dan trauma (dalam Hanson, 2010). Kesedihan, rasa bersalah, kemarahan dan rasa sensitif juga merupakan respon lain yang biasanya terjadi pada orang yang mengalami masalah dalam kehidupannya (Tedeschi & Calhoun, 2004). Namun, keadaan stressful tidak selalu memberikan efek negatif pada seseorang. Saat ini, fokus utama penelitian mulai bergeser dari melihat aspek negatif pada sebuah kejadian traumatik menjadi lebih melihat pada aspek positif dari kejadian traumatik tersebut. Lapangan penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan antara gangguan traumatik dan kebermaknaan hidup yang juga disertai dengan frekuensi perubahan positif pada seseorang (Schmidt, 2008). Menurut Kaplan (1964) dan Frankl (1963), perubahan psikologis yang positif dapat terjadi dalam keadaan yang stressful (dalam Linley & Joseph, 2004). Perubahan positif ini dikenal dengan istilah Posttraumatic Growth (PTG) (Tedeshi & Calhoun, 2004). Seseorang yang melakukan perjuangan dalam menghadapi kejadian traumatik yang dengan jelas memberikan efek negatif pada 1

175 2 kondisi psikologisnya ternyata juga dapat memberikan kebermaknaan pada dirinya. Data menyebutkan bahwa orang yang mengalami kejadian traumatik melaporkan setidaknya beberapa perubahan positif setelah mereka menghadapi kejadian traumatik tersebut meskipun mengalami penderitaan yang berat (Calhoun & Tedeschi, 2004). PTG dapat membuat seseorang lebih merasa memiliki kehidupan yang berarti. Namun PTG tidak sama dengan sekedar merasa bebas, bahagia atau memiliki perasaan yang baik. PTG juga membuat seseorang merasakan kehidupan dengan level kedekatan secara personal, interpersonal dan spiritual yang lebih dalam (Linley & Joseph, 2004). PTG terjadi pada orang-orang yang mengalami kejadian traumatik, misalnya pada orang yang mengalami kebakaran dan kehilangan tempat tinggal, perceraian, keterbatasan fisik, kekerasan seksual, bencana alam, perang, kehilangan orang yang dicintai, atau diagnosis penyakit kronis (Linley & Joseph, 2004). Penelitian yang dilakukan Calhoun dkk (2000) pada orang tua yang ditinggalkan anaknya ditemukan bahwa setelah sang anak meninggal, sang ibu merasa bahwa hubungan dengan orang lain merupakan hal yang penting dan ia lebih menghargai ayah dari anak tersebut (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004). Affleck dkk (1985) (dalam Hanson, 2010) melaporkan bahwa ibu dengan anak yang sakit memiliki pertumbuhan emosional (emotional growth), hubungan dengan anggota keluarga yang lebih dekat dan memiliki perspektif hidup yang lebih baik. Selanjutnya masih di dalam Hanson (2010) Affleck dkk menemukan bahwa perubahan positif juga terjadi pada penderita serangan jantung antara lain

176 3 memiliki self insight yang lebih baik dan juga perubahan positif pada nilai serta prioritas dalam hidupnya. Selain itu, PTG juga terjadi pada recovering addict atau pecandu yang menjalani pemulihan. Penggunaan NAPZA dan masalah adiksinya merupakan salah satu pengalaman atau kejadian yang bersifat traumatik atau stressful dan sangat mempengaruhi kehidupan orang yang mengalaminya. Hewit (2002; 2007) menyatakan bahwa adiksi dapat dilihat sebagai sebuah trauma dan dapat memberikan efek positif ataupun negatif. Trauma ini dapat secara langsung berhubungan dengan pengalaman adiksi yang tidak dapat terkontrol atau secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diakibatkan penggunaan NAPZA lain seperti peningkatan resiko akan tindakan kekerasan, masalah kesehatan mental dan masalah lain yang berhubungan dengan kejadian yang stressful (Hewit, 2007). Christo & Morris (2004) menyatakan bahwa secara umum, studi menunjukkan bahwa pengguna NAPZA memiliki dua kali lebih banyak pengalaman hidup yang traumatik dibandingkan populasi lainnya. Sepertiga sampai setengahnya mungkin berpotensi terdiagnosa PTSD (Schumm dkk, 2004), terlebih lagi di antara para perempuan (Najavits dkk, 1998) (dalam Hewit, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hewit (2007) pada recovering addict, ditemukan bahwa mereka memiliki perasaan bermakna serta memiliki tujuan dan arah hidup yang lebih kuat setelah mereka berhenti menggunakan NAPZA. Pengalaman yang dialami recovering addict membuat mereka memutuskan untuk tidak mengulangi kembali pengalamannya tersebut

177 4 dan memahami apa yang sebenarnya terjadi. Proses refleksi dan re-evaluasi ini membawa mereka pada perubahan ke arah positif. Seorang recovering addict menyatakan bahwa adiksi menyebabkan dirinya mengevaluasi kembali kehidupannya serta kepercayaannya akan kehidupan dan dirinya. Hal ini juga diperkuat oleh salah satu recovering addict di UPT T&R BNN Lido yang peneliti wawancarai saat pengambilan data yang menyatakan bahwa setelah berhenti menggunakan NAPZA ia menjadi lebih mengenal siapa dirinya dan melakukan evaluasi terhadap kesalahan yang telah ia lakukan, misalnya kesalahan yang dilakukan terhadap keluarganya dan kemudian melakukan perbaikan dalam kehidupannya. Namun, PTG tidak terjadi begitu saja setelah seseorang mengalami kejadian yang stressful. Kemampuan seseorang untuk mengubah dirinya menjadi positif berkaitan dengan bagaimana cara dirinya menghadapi suatu pengalaman yang terjadi. Dibutuhkan beberapa faktor baik faktor internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan PTG seseorang. Ho dkk (2010) menemukan bahwa harapan dan optimisme memiliki korelasi positif dengan PTG dimana harapan memberikan sumbangan sebesar 16% pada varians PTG. Selain itu berdasarkan analisis regresi yang dilakukan, waypower memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG. Selain itu Prati dan Pietrantoni (2009) menemukan bahwa coping religius dan penilaian positif (positive reappraisal) memiliki korelasi positif yang tinggi dengan PTG. Thombre dkk, (2010) juga menemukan bahwa dimensi coping religius positif dan negatif antara lain penggunaan benevolent religious

178 5 reappraisal (positif coping) yang tinggi dan penggunaan punishing reappraisal (negatif coping) yang rendah melaporkan nilai yang tinggi pada PTG. Thombre dkk juga menjelaskan bahwa penggunaan coping religius positif akan menghasilkan nilai PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan coping religius negatif. Menurut Pargament dkk (2005) coping religius dapat memberikan arti pada kejadian negatif, berperan sebagai pengontrol diri dalam situasi yang sulit, menyediakan kenyamanan saat seseorang menghadapi suatu masalah, memberikan keintiman, dan membantu orang dalam membentuk sebuah tranformasi kehidupan. Selanjutnya faktor lain seperti social support, coping dengan mencari dukungan sosial (seeking social support coping), dan spiritualitas memiliki tingkat korelasi yang sedang yang kemudian diikuti oleh acceptance coping yang memiliki korelasi terendah dengan PTG (Prati & Pietrantoni, 2009). Menurut Schaefer dan Moos, dukungan sosial dapat mempengaruhi PTG dengan cara mempengaruhi tingkah laku coping seseorang dan membantu seseorang dalam keberhasilannya beradaptasi dengan krisis kehidupan (Prati & Pietrantoni, 2009). Orford (1992) menyatakan bahwa social support bekerja dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh tekanan-tekanan atau stres yang dialami individu (dalam Yurliani, 2007). Sejumlah studi menunjukkan bahwa dukungan sosial selama dan setelah kejadian traumatik dapat mengurangi tingkat depresi, kecemasan dan gangguan fisik serta gangguan mental lainnya (Wilson & Boden, 2007). Hal ini juga diperkuat oleh recovering addict yang peneliti wawancara saat melakukan

179 6 pengambilan data di UPT T&R BNN Lido, yang menyatakan bahwa dukungan yang mereka dapatkan baik dari keluarga ataupun komunitas mereka di program Therapeutic Community (TC) dapat membantu dalam menghadapi kesulitan yang dialami selama proses rehabilitasi. Selain itu melalui sharing yang mereka lakukan saat berada di TC juga dapat membantu dalam mengenal dirinya lebih dalam dan memiliki hubungan yang lebih dekat satu sama lain. Kemudian penelitian mengenai faktor PTG lainnya menunjukkan adanya hubungan positif antara cognitive process dan PTG. Partisipan yang mencoba untuk memahami, menyelesaikan dan membuat keadaan menjadi masuk akal segera setelah kejadian traumatik terjadi menunjukkan tingkat PTG yang tinggi (Calhoun dkk, 2000). Selain itu pengekspresian emosi yang dirasakan kepada orang lain (emotional processing) juga mempengaruhi PTG pada pasien kanker. Didapatkan bahwa semakin sering seseorang mengekspresikan perasaannya pada orang lain mengenai kejadian traumatik yang dialami maka semakin tinggi skor PTGI yang didapatkan (Manne dkk, 2004). Helgeson (2006) melaporkan bahwa banyak faktor lain yang mempengaruhi PTG diantaranya yaitu faktor demografis (usia, jenis kelamin, status ekonomi), karakteristik stressor, self-esteem, positive affect, negative affect, intrusive-avoidant thoughts, global distress dan life satisfaction (dalam Prati & Petrantoni, 2009). Manne dkk (2004) menyatakan bahwa pasien kanker dengan usia yang lebih muda memiliki tingkat PTG yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan usia yang lebih tua. Selain itu McMillen (dalam Hewit, 2007) menyatakan bahwa recovering addict pada fase awal rehabilitasi memiliki tingkat

180 7 PTG yang rendah, yang kemudian juga dijelaskan pada penelitian yang dilakukan Hewit (2002; 2007) yang didapatkan bahwa recovering addict pada 3 tahun pasca recovery memiliki PTG yang lebih tinggi. Berdasarkan fenomena yang diuraikan di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti masalah mengenai Posttraumatic Growth (PTG) ini karena masih sedikitnya penelitian mengenai fenomena ini di Indonesia terutama pada recovering addict. Selain itu kebanyakan penelitian sebelumnya lebih melihat efek negatif dari sebuah kejadian traumatik. Padahal kejadian traumatik tidak selalu memberikan efek negatif pada orang yang mengalaminya. Hanya penelitian yang dilakukan baru-baru ini yang mulai mengevaluasi aspek positif dari trauma dan menggunakan instrumen dalam mengevaluasi perkembangan personal seseorang (personal growth) (Park, Cohen, & Murch, 1997; Tedeschi & Calhoun, 1996 dalam Znoj, 2005). Kemudian beberapa data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi PTG di atas juga masih dibuktikan secara terpisah, masih belum ada yang menyatukan faktor PTG yaitu harapan (willpower, waypower), coping religius (coping religius positif, coping religius negatif), social support (informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support), usia dan fase rehabilitasi untuk kemudian dapat dilihat faktor mana yang berpengaruh dan berkontribusi paling besar dengan perkembangan PTG pada recovering addict. Alasan peneliti mengangkat faktor-faktor tersebut dikarenakan kecocokan fenomena yang ada pada recovering addict khususnya di tempat rehabilitasi yang

181 8 akan peneliti jadikan subjek penelitian yang didasarkan pada observasi dan wawancara yang peneliti lakukan selama proses pengambilan data. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian mengenai FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan Masalah Dari beberapa identifikasi masalah yang dijelaskan di atas, maka agar penelitian tidak meluas, peneliti membatasi masalah sebagai berikut: 1. Posttraumatic Growth (PTG) Tedeschi & Calhoun (2004) Posttraumatic Growth (PTG) yang dimaksud adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi. Perubahan dalam hal ini terdiri dari 5 aspek, antara lain: a. Appreciation of life adalah perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang yang kemudian berpengaruh terhadap penghargaan dirinya terhadap hidup. b. Relating to others adalah perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, lebih intim dan lebih berarti.

182 9 c. Personal strength adalah perubahan yang berupa peningkatkan kekuatan personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya. d. New possibilities adalah identifikasi individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola kehidupan yang baru dan berbeda. e. Spritual Change adalah perkembangan pada aspek spirtualitas dan halhal yang bersifat eksistensial. 2. Harapan (Hope) Snyder (1994) mendefinisikan harapan (hope) sebagai kemampuan untuk merencanakan suatu cara atau jalur menuju tujuan yang diharapkan meskipun menjumpai hambatan (waypower) dan motivasi untuk mencapai tujuan tersebut (willpower). 3. Coping Religius Pargament dkk (2005) menyatakan bahwa coping religius adalah metode coping yang menggunakan pendekatan agama dalam memahami dan berdamai dengan kejadian hidup yang kritis. Pargament dkk (dalam Raiya, 2008) membagi coping religius terdiri dari 2 dimensi, antara lain: a. Coping Religius Positif Yaitu coping religius yang menggambarkan sebuah hubungan yang kuat dengan Tuhan, kepercayaan bahwa sebuah makna yang lebih besar akan ditemukan dan rasa akan keterhubungan secara spiritualitas.

183 10 b. Coping religius negatif Yaitu coping religius yang menggambarkan ekspresi hubungan yang kurang kuat dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan tentang dunia, perjuangan untuk mencari dan melestarikan makna kehidupan yang secara general lebih bersifat maladaptif. 4. Dukungan Sosial (Social Support) Sherbourne & Stewart (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan yang diberikan oleh seseorang yang dilihat dari 5 aspek, yaitu: a. Informational support, yaitu dukungan yang berupa nasihat, informasi, bimbingan dan saran. b. Emotional Support, yaitu dukungan berupa ekspresi efek yang positif, empati dan ekspresi perasaan yang dapat memberikan ketenangan hati. c. Affectionate support, yaitu dukungan yang berupa ekspresi cinta dan kasih sayang. d. Positive social interaction, yaitu dukungan yang berupa ketersediaan orang lain untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. e. Tangible support, yaitu dukungan yang berupa pemberian bantuan material atau bantuan yang ditunjukkan dengan perilaku. 5. Usia Usia yang dimaksud adalah usia kronologis atau usia sejak lahir yang mengacu pada teori Binet (Santrock, 2002).

184 11 6. Fase Rehabilitasi Fase rehabilitasi yaitu tahapan program rehabilitasi sosial dimana dalam hal ini peneliti menggolongkannya pada tahapan primary green, primary hope, re-entry serta staff adiksi. Recovering addict yang dimaksud adalah individu yang menjalani proses pemulihan dan berhenti sama sekali dari penggunaan NAPZA (abstinensia) yang berada di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Sukabumi yang berada pada fase primary green, primary hope, re-entry serta staff adiksi Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, usia dan fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 2. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari waypower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 3. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari willpower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict?

185 12 4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari coping religius positif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 5. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari coping religius negatif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 6. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 7. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari emotional support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 8. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari affectionate support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 9. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari positive social interaction terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 10. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari tangible support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 11. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari usia terhadap posttraumatic growth pada recovering addict? 12. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict?

186 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, usia dan fase rehabilitasi pada recovering addict. 2. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari waypower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 3. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari willpower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 4. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius positif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 5. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius negatif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 6. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 7. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari emotional support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 8. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari affectionate support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

187 14 9. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari positive social interaction terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 10. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari tangible support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 11. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari usia terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 12. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis: 1. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan posttraumatic growth khususnya pada recovering addict. 2. Menambah dan memperluas khazanah dalam keilmuan psikologi klinis khususnya dalam aspek pasca-traumatik. Manfaat Praktis: Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sebuah masukan bagi panti rehabilitasi ataupun orang-orang yang berada di sekitar recovering addict, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan posttraumatic growth pada recovering addict sehingga dapat berguna bagi program pemulihan yang dijalankan oleh para recovering addict seumur hidupnya.

188 Sistematika Penelitian BAB I Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth pada recovering addict, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian. BAB II Kajian Pustaka, menguraikan sejumlah konsep yang berkaitan dengan posttraumatic growth yang terdiri dari pengertian, aspek PTG, proses terjadinya PTG, PTG pada recovering addict, model PTG pada recovering addict serta faktor yang mempengaruhinya. Selain itu juga dijelaskan konsep mengenai pengetian harapan dan komponen dalam harapan, pengertian coping religius, pendekatan coping religius dan aspek-aspek coping religius, pengertian dukungan sosial, efek dukungan sosial dan sumber-sumber dukungan sosial. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan mengenai kerangka berpikir, hipotesis mayor dan hipotesis minor dari penelitian. BAB III Metodologi Penelitian, Bab ini berisi penguraian mengenai, pendekatan penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel dan definisi variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, prosedur pengumpulan data dan metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini. BAB IV Hasil Penelitian, menguraikan mengenai pengolahan data-data yang telah terkumpul dari penelitian yang dilakukan. Data yang terkumpul antara lain meliputi gambaran umum subjek penelitian dan uji hipotesis dari faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth pada recovering addict.

189 16 BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran, pada bagian kesimpulan berisi jawaban terhadap permasalahan penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Pada bagian diskusi, akan dibahas hasil penelitian. Selain itu, juga akan diberikan pembahasan mengapa suatu hipotesis penelitian ditolak atau diterima, serta keterbatasanketerbatasan penelitian. Bagian saran berisi saran-saran metodologis untuk keperluan penelitian selanjutnya serta saran-saran praktis sesuai dengan permasalahan dan hasil peneliti.

190 17 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Posttraumatic Growth (PTG) Pengertian Menurut Tedeschi & Calhoun: Posttraumatic Growth (PTG) is the experience of positive change that occurs as a result of the struggle with highly challenging life crises (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004). PTG adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi. Setelah beberapa dekade orang-orang melihat reaksi negatif yang dihasilkan dari sebuah kejadian traumatik, Tedeschi dan Calhoun (dalam Schmidt, 2008) membuka sebuah area penelitian baru yang melihat reaksi positif yang dihasilkan dari suatu kejadian traumatik yang kemudian dikenal dengan istilah Posttraumatic Growth (PTG). Konstruk ini menuju pada perubahan besar yang terjadi pada persepsi seseorang tentang kehidupannya setelah orang tersebut berjuang menghadapi krisis yang terjadi. Individu ini tidak hanya sekedar kembali pada keadaannya sebelumnya, tetapi menggunakan trauma sebagai sebuah kesempatan untuk perkembangan diri selanjutnya (Zoellner & Maercker, dalam Schmidt, 2008). 17

191 18 PTG memiliki dua pengertian penting. Pertama, Tedeschi & Calhoun menyatakan bahwa PTG dapat terjadi saat seseorang mengalami kejadian yang sangat tidak diinginkan atau tidak menyenangkan. Tingkat stress yang rendah dan proses perkembangan yang normal tidak berhubungan dengan timbulnya PTG. Kedua, perubahan positif hanya akan terjadi setelah seseorang melakukan perjuangan. Perjuangan ini merujuk pada penerimaan masa lalu dan masa depannya dalam kehidupan yang terjadi segera setelah mengalami trauma yang berat (Bellizzi & Blank dan Tedeschi & Calhoun, dalam Schmidt, 2008). Istilah PTG lebih menangkap inti dari suatu fenomena yang terjadi dibandingkan istilah lain, karena: (1) PTG terjadi secara khusus pada beberapa kejadian yang stressful dibandingkan pada kejadian dengan level stress yang rendah, (2) PTG disertai dengan transformasi perubahan kehidupan, (3) PTG merupakan hasil dari pengalaman traumatik bukan suatu bentuk mekanisme coping dalam menghadapi pengalaman traumatik, dan (4) PTG merupakan perkembangan atau kemajuan dari kehidupan seseorang (Linley & Joseph, 2004). Istilah lain yang terkait dengan fenomena PTG antara lain stern conversion, positive psychological changes, perceived benefits atau construing benefits, stress related-growth, discovery of meaning, positive emotions, flourishing dan thriving (Linley & Joseph, 2004). PTG digambarkan sebagai pengalaman individu yang berkembang setelah mengalami kejadian traumatik, setidaknya pada beberapa area. Individu tersebut tidak hanya survive tetapi juga memiliki perubahan dari keadaan sebelumnya yang

192 19 menurutnya. PTG tidak hanya kembali pada keadaan semula (normal), tetapi juga merupakan sebuah perbaikan kehidupan yang pada beberapa orang terjadi dengan sangat luar biasa (Tedeschi & Calhoun, 2004). PTG bukan merupakan hasil langsung yang terjadi setelah pengalaman traumatik. PTG merupakan perjuangan individu dalam menghadapi realita baru setelah mengalami kejadian traumatik. Calhoun & Tedeschi (1998) menggunakan istilah gempa bumi (earthquake) untuk menjelaskan PTG. Kejadian psikologis yang mengguncang dapat menyiksa atau mengurangi pemahaman seseorang dalam memahami sesuatu, mengambil keputusan dan perasaan berarti. Kejadian yang mengguncang dapat membuat seseorang menganggap bahwa kejadian tersebut merupakan suatu tantangan yang berat, melakukan penyangkalan, atau mungkin kehilangan kemampuan untuk memahami apa yang terjadi, penyebab dan alasan kejadian tersebut terjadi, dan dugaan abstrak seperti apa tujuan dari kehidupan manusia (Tedeschi & Calhoun, 2004). Setelah mengalami kejadian yang mengguncang seseorang akan membangun kembali proses kognitifnya. Hal ini dapat diibaratkan dengan membangun kembali bangunan fisik yang telah hancur setelah terjadi gempa bumi. Struktur fisik dirancang agar seseroang dapat lebih bertahan atau melawan kejadian traumatik di masa depan, yang merupakan hasil pelajaran dari gempa bumi sebelumnya mengenai apa yang dapat bertahan dari guncangan dan apa yang tidak. Ini merupakan hasil dari sebuah kejadian yang dapat menimbulkan PTG (Tedeschi & Calhoun, 2004).

193 Aspek Posttraumatic Growth Calhoun & Tedeschi (1996) (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004) menyebutkan perubahan dalam diri seseorang pasca kejadian traumatik yang juga merupakan elemen PTG antara lain: 1. Appreciation for life (Pernghargaan terhadap hidup) Merupakan perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang. Perubahan yang mendasar adalah perubahan mengenai prioritas hidup seseorang yang juga dapat meningkatkan penghargaan kepada hal-hal yang dimilikinya misalnya menghargai kehidupannya. Perubahan prioritas tersebut misalnya menjadikan hal yang kecil menjadi sesuatu yang penting dan berharga misalnya senyuman anak atau waktu yang dihabiskan untuk bermain bersama anak. Even the smallest joys in life took on a special meaning. 2. Relating to others (Hubungan dengan orang lain) Merupakan perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, lebih intim dan lebih berarti. Seseorang mungkin akan memperbaiki hubungan dengan keluarga atau temannya. Misalnya pada orang tua yang kehilangan anaknya menyatakan bahwa ia lebih empati terhadap siapapun yang sedang sakit dan siapapun yang sedang mengalami kesedihan. 3. Personal strength (Kekuatan dalam diri) Merupakan perubahan yang berupa peningkatkan kekuatan personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya. Misalnya pada orang tua yang kehilangan anaknya menyatakan, Saya dapat mengatur semuanya

194 21 dengan lebih baik. Hal-hal yang menjadi sesuatu masalah yang besar sekarang menjadi masalah yang tidak begitu besar bagi saya. 4. New possibilities (Kemungkinan-kemungkinan baru) Merupakan identifikasi individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola kehidupan yang baru dan berbeda. Sebagai contoh misalnya seseorang yang mengalami kehilangan orang tersayangnya karena suatu penyakit mempengaruhi dirinya untuk berjuang menghadapi kesedihan dan menjadikan dirinya seorang suster. Dengan menjadi seorang suster ia dapat mencoba memberikan kepedulian dan rasa nyaman pada orang lain yang mengalami penderitaan dan kehilangan. Beberapa orang memperlihatkan ketertarikan yang baru, aktivitas baru dan mungkin memulai pola kehidupan baru yang signifikan. 5. Spritual Development (Perkembangan spiritual) Merupakan perubahan berupa perkembangan pada aspek spirtualitas dan halhal yang bersifat eksistensial. Individual yang tidak religius atau tidak memiliki agama juga dapat mengalami PTG. Mereka dapat mengalami pertempuran yang hebat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendasar atau pertempuran tersebut mungkin dijadikan sebagai pengalaman PTG. Selain itu Calhoun & Tedeschi (1999) (dalam Taku dkk, 2008) juga membagi PTG ke dalam 3 aspek antara lain: 1. Perubahan dalam persepsi diri (changes in perception of self), antara lain meliputi memiliki kekuatan dalam diri yang lebih besar, resiliensi atau

195 22 kepercayaan terhadap diri sendiri, terbuka dalam mengembangkan kesempatan baru. 2. Perubahan dalam hubungan interpersonal (changes in interpersonal relationship), antara lain meliputi peningkatan rasa altruis atau memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dalam suatu hubungan dengan orang lain. 3. Perubahan dalam filosofi hidup (changes in philiosphy of life), antara lain memiliki apresiasi yang lebih besar setiap harinya dan perubahan dalam hal spritualitas atau religiusitas (kepercayaan keagamaan).

196 Proses Terjadinya Posttraumatic Growth PERSON PRETRAUMA SEISMIC EVENT CHALLENGES MANAGEMENT OF EMOTIONAL DISTRESS FUNDAMENTAL SCHEMAS BELIEFS & GOALS LIFE NARRATIVE RUMINATION MOSLTY AUTOMATIC & INTRUSIVE SELF DISCLOSURE WRITING, TALKING, PRAYING RUMINATION OF EMOTIONAL DISTRESS MANAGEMENT OF AUTOMATIC RUMINATION DISENGAGEMENT FROM GOALS RUMINATION MORE DELIBERATE SCHEMA CHANGE NARRATIVE DEVELOMPMENT SOCIAL SUPPORT MODELS FOR SCHEMAS, COPING, POSTTRAUMATIC GROWTH ENDURING DISTRESS POSTTRAUMATIC GROWTH (5 DOMAINS) WISDOM Bagan 2.1 Proses Terjadinya PTG Pada skema di atas, dapat digambarkan beberapa karakteristik individu dan gaya seseorang dalam mengatur emosinya dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami pengalaman PTG. Selanjutnya, tingkat self-disclosure seseorang tentang keterbukaannya akan emosi dan perspektif mereka akan krisis yang dihadapi, mungkin juga memegang peranan dalam terjadinya PTG pada

197 24 seseorang. Kemudian juga dapat digambarkan bagaimana cognitive process dalam menghadapi kejadian traumatik, seperti proses pemikiran berulang atau perenungan (ruminative thoughts) juga berhubungan dengan munculnya PTG. Hal ini dapat diargumentasikan bahwa proses kognitif seseorang dalam keadaan krisis memainkan peranan yang penting dalam proses PTG. Terakhir, PTG dapat secara signifikan berhubungan dengan kebijaksanaan dan narasi kehidupan individu (the individual s life narrative) (Tedeschi & Calhoun, 2004). a. Karakteristik personal atau individu Tingkatan trauma yang dialami oleh seseorang tentunya akan sangat mempengaruhi perkembangan PTG. Namun, karakteristik personal seseorang dalam menghadapi trauma tersebut juga dapat mempengaruhi proses PTG. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Costa & Mc Crae (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004) keterbukaan seseorang terhadap pengalaman dan kepribadian ekstrovert berhubungan dengan perkembangan PTG. Orang dengan karaktersitik ini mungkin lebih memperhatikan emosi positif pada dirinya meskipun dalam keadaaan yang sulit, yang kemudian dapat membantunya untuk memahami informasi mengenai pengalaman yang ia alami dengan lebih efektif dan menciptakan perubahan positif dalam dirinya (PTG). Selain itu karaktersitik lain seperti optimisme juga mempengaruhi perkembangan PTG seseorang. Orang yang optimis dapat lebih mudah memperhatikan hal mana yang penting baginya dan terlepas dari keadaan yang tidak terkontrol atau masalah yang tidak terselesaikan. Ini merupakan hal yang penting bagi proses kognitif yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatik (Tedeschi & Calhoun, 2004).

198 25 b. Mengelola emosi berbahaya atau negatif (Managing distressing emotion) Saat seseorang mengalami krisis dalam hidupnya, ia harus mampu mengelola emosinya yang berbahaya yang mungkin dapat melemahkan dirinya. Karena dengan mengelola emosi yang berbahaya seseorang dapat menciptakan skema perubahan dalam dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian dapat membentuk PTG. Pada tahapan awal trauma, proses kognitif atau berpikir seseorang biasanya lebih bersifat otomatis dan banyak terdapat pikiran serta gambaran yang merusak. Selain itu juga timbul perenungan (rumination) yang negatif dan merusak. Namun pada akhirnya apabila proses ini efektif, maka seseorang akan terlepas dari tujuan dan asumsi sebelumnya yang kemudian membawanya untuk berpikir bahwa cara lama yang ia jalani dalam hidup tidak lagi tepat untuk mengubah suatu keadaan (Tedeschi & Calhoun, 2004). Namun proses ini terjadi berbeda-beda pada seseorang, karena masih ditemukan rasa ketidakpercayaan akan pengalaman yang dialami pada beberapa orang yang bertahan hidup dari kejadian traumatik. Stress yang dialami menjaga proses kognitif untuk tetap aktif. Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah dengan segera maka dapat diindikasikan bahwa ia telah menerima keadaan saat ini dan dapat membantunya dalam mengelola kejadian traumatik (Tedeschi & Calhoun, 2004). c. Dukungan dan keterbukaan (Support and disclosure) Dukungan dari orang lain dapat membantu perkembangan PTG, yaitu dengan memberikan kesempatan pada orang yang mengalami trauma (trauma

199 26 survivors) untuk menceritakan perubahan yang terjadi dalam hidupnya dan juga dengan memberikan perspektif yang dapat membantunya untuk perubahan yang positif. Bercerita tentang trauma dan usaha untuk bertahan hidup juga dapat membantu trauma survivor untuk mengeluarkan sisi emosionalnya mengenai kejadian yang dialami. Selain itu melalui cerita, trauma survivor dapat menciptakan keintiman dan merasa lebih diterima oleh orang lain (Tedeschi & Calhoun, 2004). d. Proses kognitif dan perkembangan (Cognitive processing and growth) Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan menentukan apakah seseorang akan terus berjuang atau menyerah juga membantu perkembangan PTG. Orang dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat mengurangi ketidaksesuaian suatu keadaan dan memberikan fungsi yang optimal dari coping yang digunakan, sedangkan orang dengan kepercayaan diri yang rendah akan menyerah. Apabila seseorang mengalami perubahan, ia akan melepaskan tujuan atau asumsi awalnya yang kemudian pada keadaan yang sama mencoba membentuk skema, tujuan dan makna baru dalam hidupnya (Tedeschi & Calhoun, 2004). e. Perenungan atau proses kognitif (Rumination or cognitive processing) Asumsi seseorang mengenai dunia atau skema yang telah hancur harus direkonstruksi ulang agar berguna bagi tingkah laku dan pilihan yang akan diambil. Pembangunan kembali skema tersebut untuk lebih bertahan dapat menuntun orang yang mengalami pengalaman traumatik untuk berpikir ulang

200 27 mengenai keadaan yang ia alami. Menurut Martin & Tesser (dalam Linley & Joseph, 2004) bentuk proses kognitif ini memiliki karakterisasi antara lain masuk akal (making sense), menyelesaikan masalah (problem solving), mengenang (reminiscence), dan antisipasi (anticipation). Pemikiran ulang atau perenungan (rumination) ini merupakan suatu hal yang penting dalam keadaan krisis yang berguna untuk menyadari tujuan hidupnya yang belum tercapai, memastikan bahwa skemanya tidak lagi secara akurat merefleksikan keadaan saat itu, dan memastikan bahwa kepercayaannya tidak lagi tepat. Beberapa tujuan hidup yang tidak lagi dapat dicapai dan beberapa asumsinya yang tidak dapat menerima realita baru pasca kejadian traumatik, memungkinkan seseorang memulai untuk membentuk formula tujuan baru dan memperbaiki asumsinya tentang dunia agar dapat mengakui perubahan keadaan kehidupannya (Linley & Joseph, 2004). f. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (Wisdom and life narrative) Asumsi kita adalah pengalaman PTG seseorang merupakan sebuah proses perubahan yang di dalamnya terdapat pengaruh kebijaksanaan seseorang dalam memandang kehidupan, dan juga perkembangan pola pikirnya dalam memikirkan kehidupan. Ketangguhan seseorang dalam menghadapi kejadian traumatik dapat membentuk PTG dan bersifat memperbaiki cerita kehidupannya (misalnya sebelum dan sesudah perang, sebelum dan sesudah mengalami kekerasan kriminal). Berdasarkan skema di atas, perkembangan cerita kehidupan seseorang dan PTG dapat bersifat saling mempengaruhi (Tedeschi & Calhoun, 2004).

201 Pengertian Recovering Addict Recovering Addict Adiksi (Addiction) MacAndrew (1998) menyatakan bahwa addiction atau adiksi berasal dari bahasa Latin addictus, yang berarti memberikan perintah, sebab pengekangan atau pengendalian (dalam Hewit, 2007). Selanjutnya masih dalam Hewit, APA (1994) memberikan pula definisi addiction sebagai perilaku berlebih dimana individu memiliki kontrol yang merusak dengan konsekuensi yang berbahaya. BNN (2009) menyatakan bahwa adiksi adalah suatu penyakit bio-psiko-sosial, artinya melibatkan faktor biologis, psikologis dan sosial. Gejala-gejala yang diberikan adiksi khas serta bersifat kronik (lama) dan progresif (makin memburuk jika tidak ditolong). Gejala utamanya antara lain: 1. Rasa rindu dan keinginan kuat untuk memakai sehingga bersifat kompulsif terhadap narkoba atau pengubah suasana hati lain 2. Hilangnya kendali diri terhadap pemakaiannya 3. Tetap memakai walaupun mengetahui akibat buruknya 4. Menyangkal adanya masalah (BNN, 2009). Adiksi bukan terjadi akibat kelemahan moral, walaupun ada hubungannya dengan masalah moral atau kurangnya kemauan dan walaupun ia harus memutuskan untuk berhenti memakai agar pulih. Namun kemauan saja tidak cukup untuk memulihkannya dari kecanduan. Adiksi mempengaruhi keadaan jasmani, perilaku dan kehidupan sosialnya. Pengaruh tersebut harus dilihat

202 29 sebagai bagian dari penyakit. Penyakit adiksi berlangsung kronis. Namun, penyakit itu dapat dihentikan asalkan pecandu mau berhenti memakai narkoba dan semua jenis pengubah suasana hati lain. Karena adiksi adalah suatu penyakit, maka sekali seseorang menjadi kecanduan terhadap narkoba, ia tidak akan pernah dapat kembali pada pemakaian kembali tanpa resiko menjadi ketergantungan sehingga ia harus menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia total) (BNN, 2009). Proses terjadinya ketergantungan (adiksi) NAPZA: Pemakaian Penyalahgunaan T E M B O Ketergantungan K Bagan 2.2 Proses Terjadinya Ketergantungan (Adiksi) NAPZA Proses seseorang menjadi ketergantungan dapat digambarkan seperti seorang yang menembus tembok. Pada tahap pemakaian ia masih dapat menghentikannya. Jika telah terjadi ketergantungan, ia sulit kembali ke pemakaian sosial, berapa pun ia berusaha, kecuali jika menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia) (BNN, 2009) Pemulihan (Recovery) Pengertian recovery atau pemulihan dalam konteks 12 step model of addiction adalah kondisi berhenti sepenuhnya (abstinensia) dari perubahan mood yang diakibatkan oleh zat (termasuk rokok, kafein dan beberapa obat lainnya).

203 30 Selain itu Granfield & Cloud (1999) mendefinisikan recovery sebagai penghentian perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan atau penggunaan yang merusak dari penyalahgunaan zat. Selanjutnya recovery dapat berarti bersih dari adiksi, pantang dari penggunaan obat-obatan, atau pengampunan dari tahapan ketergantungan obat-obatan. Teori tentang recovery juga menjelaskan bahwa recovery adalah sebuah proses untuk mencapai dan memelihara kondisi berhenti sepenuhnya dari penggunaan obat-obatan yang tidak berhubungan dengan treatment tertentu (Wesson dkk, 1986). Pemulihan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap, untuk mempelajari keterampilan baru dan tugas-tugas yang mempersiapkannya menghadapi tantangan hidup bebas tanpa narkoba. Jika gagal, ia beresiko untuk relaps (kambuh). Pemulihan dimulai dengan berhenti menggunakan narkoba (abstinensia). Akan tetapi, tidak cukup hanya berhenti memakai, gaya hidup juga harus berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi keadaan tubuh, jiwa dan rohaninya, mengubah gaya hidupnya dengan hidup sehat dan memuaskan. Proses ini disebut pemulihan seluruh pribadinya. Hal yang harus dipulihkan dari para pecandu antara lain fisik, psikologis, sosial, rohani, okupasional (pekerjaan) dan pendidikan (BNN, 2009). Pemulihan memiliki arti sebagai berikut: a. Menghentikan sama sekali pemakaian narkoba (abstinensia), b. Memisahkan diri dari orang lain, tempat dan benda yang dapat mendorong pemakaian narkoba kembali, c. Membangun jaringan sosial yang mendukung proses pemulihannya,

204 31 d. Memulihkan hubungan dengan sesamanya, terutama keluarga, e. Mengubah perilaku adiktif dengan menyadari dan mengakui perasaanperasaan negatif yang dihayati dan pikiran-pikiran yang tidak rasional, f. Belajar cara mengelola perasaan secara bertanggung jawab tanpa narkoba, g. Belajar cara mengubah pola pikir adiktif yang menciptakan perasaan yang menyakitkan dan perilaku merusak diri, h. Mengenal dan mengubah keyakinan keliru dan salah tentang diri sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya (BNN, 2009). Dikatakan recovery atau pemulihan karena seseorang yang mengalami gangguan dari penggunaan obat-obatan tidak akan kembali sepenuhnya pada kondisi normal seperti sebelum ia mengalami gangguan (Maddux & Desmond, 1986). Jadi yang dimaksud dengan recovering addict adalah individu yang menjalani proses pemulihan dan berhenti sama sekali dari penggunaan NAPZA (abstinensia) Posttraumatic Growth pada Recovering addict Penelitian mengenai posttraumatic growth pada recovering addict masih sedikit dilakukan. Hanya dua studi yang dilakukan mengenai PTG pada recovering addict. Penelitian pertama dilakukan oleh McMillen dkk (2001) dengan pendekatan kualitatif pada 65 orang sampel pada panti rehabilitasi di Amerika Serikat. Karena sampel yang diambil masih berada pada tahap yang terlalu dini dalam rehabilitasi, hasil yang didapat mengenai keuntungan yang didapatkan

205 32 setelah mereka mengalami masalah adiksi dan keuntungan dari proses treatment yang diberikan masih belum jelas (dalam Hewit, 2007). Kemudian penelitian kedua dilakukan oleh Hewit (2002; 2007) pada 65 sampel pengguna alkohol yang pada proses pemulihan di Inggris. Studi ini dilakukan pada jangka waktu 3 tahun setelah pemulihan sehingga efek PTG lebih terlihat. Pada studi ini ditemukan bahwa PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) berhubungan terbalik dengan waktu pasca adiksi atau ketergantungan. Kemudian efek dari PTSD dan PTG hidup berdampingan. Terdapat hal-hal signifikan yang berkaitan dengan individu dengan latar belakang penyalahguna NAPZA dalam studi mengenai PTG, misalnya studi yang dilakukan Dunbar dkk (1998) yang menemukan bahwa salah satu hal yang berpengaruh pada PTG recovering addict adalah HIV/AIDS (dalam Hewit, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hewit (2007), perubahan perspektif dan bagaimana pandangan pada identitas diri yang terjadi pada recovering addict antara lain dimulai dengan perasaan sebagai seorang pecandu, kemudian berubah menjadi perasaan sebagai seorang pecandu yang tidak menggunakan NAPZA, selanjutnya menjadi perasaan sebagai seorang mantan pecandu dan kemudian berada pada tingkat dimana mereka tidak memikirkan dirinya pada keadaan adiksi lagi. I think there is a stage where you ve been off heroin or methadone and you still feel like the same person I don t actually feel like a junkie any more I

206 33 work with somebody in the near vicinity who is a drug user and even though I have been where he is, I feel very different to him Model PTG pada Recovering addict GROWTH POSITIVE LOOPS DELIBERATE NESS RECOVERY GROWTH CAPITAL INDIVIDUATION ADDICTION Bagan 2.3 Model PTG Recovering Addict Hewit (2007) menjelaskan bahwa proses di atas secara keseluruhan menggambarkan sebuah proses individuation, yaitu proses realisasi diri atau proses menjadi diri sendiri yang bersifat unik pada setiap orangnya, yang juga merupakan usaha untuk hidup dengan bermakna. Proses individuasi ini juga meliputi pembelajaran seseorang mengenai kesulitan dalam masalah adiksinya. Konstruk individuation dan growth mirip tetapi sebenarnya tidak sama. Growth merupakan perubahan positif pada beberapa aspek kehidupan yang diikuti dengan kebahagiaan serta kepuasan, kemudian individuasi merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari growth (Hewit, 2007).

207 34 PTG pada recovering addict dipengaruhi oleh growth capital yaitu sumber internal dan eksternal yang dapat mendukung perkembangan positif pada seseorang yang kemudian juga mempengaruhi proses recovery seseorang. Selain itu kunci recovery, growth, growth capital dan semua proses individuasi adalah deliberateness yaitu usaha aktif dan sadar untuk meningkatkan perkembangan pada dirinya, antara lain kesadaran diri, menentukan tujuan, bertanggung jawab dan mengambil keputusan (Hewit, 2007). Kemudian pengalaman yang positif (positive loops) memberikan pengaruh terhadap usaha yang dilakukan (deliberateness) dan kekuatan internal serta eksternal (growth capital) pada recovering addict. Pengalaman dan juga pilihan positif yang pernah dilakukan akan memberikan kesempatan recovering addict untuk meningkatkan kemungkinan pengambilan keputusan, pengalaman serta perkembangan yang positif selanjutnya (Hewit, 2007)....once you start realising that you can do things, then you entertain the possibility of doing more, and you also get to be a bit of a success junkie... the good feelings that you get about yourself having been able to achieve something, you just want more! Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth Ada beberapa faktor yang mempengaruhi PTG, antara lain: a. Harapan (Hope) Ho dkk (2010) menemukan bahwa harapan memiliki korelasi positif dengan PTG. Harapan dapat menjadi sebuah coping positif saat menghadapi situasi

208 35 stressful dan memegang peranan dalam perkembangan PTG. Harapan berbeda dengan optimis, harapan tidak hanya sekedar sebuah ekspektansi bahwa tujuannya dapat dicapai, namun juga kapasitas seseorang untuk membayangkan cara dalam mencapai tujuan tersebut. Pada penderita fibromyalgia dengan skor harapan yang tinggi menunjukkan penerimaan yang lebih tinggi pada rasa sakitnya yang kronis dan membuatnya lebih menerima dirinya serta menjadi individu yang lebih kuat (Tedeschi dkk, 1998). b. Dukungan sosial (social support) Seperti yang telah dijelaskan pada skema pembentukan PTG, Tedeschi & Calhoun (2004) menyebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung perkembangan PTG seseorang. Dukungan sosial mungkin mempelopori perkembangan PTG dengan mempengaruhi perilaku coping seseorang dan membantu keberhasilan seseorang dalam menghadapi krisis (Tedeschi dkk, 1998). Calhoun & Tedeshi menjelaskan bahwa usaha seseorang untuk mengatasi dan beradaptasi dengan trauma akan terjadi dengan bantuan lingkungan sosial dan selanjutnya menurut Lepore dkk kesempatan untuk mendiskusikan pengalaman traumatiknya yang mungkin dapat membantu memahami situasi tersebut dan menciptakan PTG (dalam Digens, 2003). Sudah banyak penelitian yang meneliti tentang hubungan antara social support dengan PTG, antara lain seperti yang dijelaskan dalam Digens (2003) yaitu, penelitian Cordova dkk (2001) dimana terdapat hubungan yang signifikan antara social support dengan PTG pada penderita kanker payudara dan penelitian Park dkk (1996) tentang kepuasan akan social support dengan PTG.

209 36 c. Coping religius Agama memiliki peranan sebagai coping seseorang dalam menghadapi kejadian stressful, antara lain sebagai coping yang digunakan bagi seseorang yang kehilangan anak, pasangan atau teman dekat (Profitt dkk, 2007). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan Thombre dkk (2010) menunjukkan bahwa penggunaan coping religius positif akan menghasilkan PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan coping religius negatif. Dari keempat dimensi positif dan negatif coping religius menunjukkan bahwa penggunaan benevolent religious reappraisal (positif coping) yang tinggi dan penggunaan punishing reappraisal (negatif coping) yang rendah melaporkan nilai yang tinggi pada PTG. d. Optimisme Beberapa penelitian menunjukkan bahwa optimisme memiliki korelasi yang positif dengan PTG. Optimisme memberikan pengaruh pada orang-orang yang mengalami kejadian traumatik, sebagai contoh dengan menampilkan kemampuan beradaptasi pada stressor medis diantaranya pada pasien yang melakukan operasi jantung, kelahiran anak, keguguran, dan orang dengan HIV positif (Tedeschi dkk, 1998). Individu yang optimis lebih mendapatkan keuntungan atau perubahan ketika mengalami traumatik dibandingkan individu yang pesimis, karena individu yang optimis memiliki pandangan positif akan masa depannya. Selain itu optimisme tidak berkaitan dengan strategi coping yang kaku, optimisme berkaitan dengan strategi coping dalam menghadapi stress dalam hidup. Kemudian optimisme juga dapat menjadi sebuah prediktor pada

210 37 kemampuan seseorang dalam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kejadian traumatik (Prati & Pietrantoni, 2009). e. Agama dan Spiritualitas Shaw dkk (2005) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara agama atau spiritualitas dengan trauma, dimana agama dan spiritualitas dapat membantu seseorang menghadapi traumanya dan dapat membantu meningkatkan perkembangan PTG. Shaw dkk juga menyatakan bahwa aspek intrinsik dari agama dan spiritualitas memiliki hubungan dengan PTG, dimana aspek intrinsik tersebut menciptakan makna, tujuan dan keseimbangan dalam hidup (dalam Hewit, 2007). Digens (2003) menyatakan bahwa kepercayaan agama dan spiritualitas dapat mempengaruhi PTG, khususnya pada area spiritual change (perubahan spriritual). f. Usia dan Jenis Kelamin Usia seseorang mempengaruhi bagaimana perkembangan PTG pada dirinya. Diggens (2003) menjelaskan bahwa beberapa studi menunjukkan seseorang dengan usia yang lebih muda memiliki PTG yang lebih besar dibandingkan yang lebih tua. Hal ini mungkin terjadi karena orang dengan usia yang lebih muda lebih fleksibel dan terbuka terhadap perubahan dalam hidupnya. Namun ada beberapa penelitian juga yang tidak menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan PTG. Selanjutnya masih dalam Diggens (2003) juga dijelaskan bahwa wanita memiliki perkembangan PTG yang lebih baik dibandingkan pria. Namun juga ada beberapa penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan PTG. Hal ini

211 38 mungkin dipengaruhi oleh jenis kejadian traumatik yang dialami atau karakteristik yang berbeda dalam sebuah populasi (Diggens, 2003). g. Time Since Event Interval atau jarak waktu antara kejadian traumatik dengan keadaan saat ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi PTG. Namun interval waktu sampai seseorang mengalami PTG terjadi berbeda-beda pada setiap orang. Pada beberapa kejadian mungkin PTG dapat terjadi segera setelah kejadian stressful muncul, namun pada beberapa kejadian tidak. Hal ini mungkin disebabkan juga oleh jenis kejadian traumatik ataupun karakteristik individu yang mengalaminya (Tedeschi dkk, 1998). Misalnya pada penelitian yang dilakukan secara longitudinal oleh Manne dkk (2004) pada pasien kanker payudara dan pasangannya ditemukan bahwa perubahan psikologis terjadi pada mereka setelah pasien didiagnosa menderita kanker, kemudian PTG meningkat pada keduanya setelah 1,5 tahun pasca diagnosa. Pada beberapa literatur empirik, sebagian besar frekuensi yang dibutuhkan untuk mengukur PTG adalah satu tahun setelah kejadian traumatik terjadi. Helgeson dkk (2006) menemukan bahwa PTG memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat depresi yang rendah dan memiliki perubahan yang lebih besar ketika sebuah trauma terjadi lebih dari satu tahun yang lalu (dalam Hanson, 2010). h. Karakteristik dari Kejadian Traumatik Apabila jenis kejadian traumatik yang terjadi berbeda, maka akan berbeda pula perkembangan PTG yang terjadi. Petrie dkk (1999) menjelaskan misalnya perbedaan yang terjadi antara studi pada orang yang menderita penyakit jantung

212 39 dengan wanita yang menderita kanker payudara (dalam Diggens, 2003). Selanjutnya Park serta Tedeschi & Calhoun menyebutkan bahwa orang yang mengalami pengalaman traumatik yang berat atau masalah yang lebih berat dalam hidup akan mengalami kemungkinan perkembangan PTG yang lebih baik (dalam Diggens, 2003). i. Faktor Lain Dalam studi Manne dkk (2004) pada pasien kanker payudara dan pasangannya, positive reappraisal, emotional processing, emotional expression, dan cognitve processing memiliki hubungan dengan PTG. Calhoun dkk (2000) mengemukakan bahwa cognitive process dan agama memiliki korelasi yang positif dengan PTG. Faktor lain yang juga memberikan pengaruh pada PTG antara lain positive reappraisal coping, acceptance coping dan pencarian dukungan sosial (seeking social support) (Prati & Pietrantoni, 2009), status ekonomi, selfesteem, positive affect, negative affect, intrusive-avoidant thoughts, global distress dan life satisfaction yang juga memberikan sumbangsih pengaruh kepada perkembangan PTG seseorang (Helgeson, dalam Prati & Petrantoni, 2009), dan self disclosure (Tedeschi & Calhoun, 2004). 2.2 Harapan (Hope) Pengertian Snyder & Lopez (2007) mendefinisikan harapan (hope) sebagai pikiran seseorang yang menuju pada tujuan secara langsung dengan menggunakan waypower atau

213 40 pathways thinking (cara dalam mencapai keinginan) dan willpower atau agency thinking (motivasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan). Hanya tujuan dengan nilai yang sesuai dengan individu yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai harapan. Tujuan tersebut mungkin berkaitan dengan hal-hal yang mengarah dengan tujuan yang diinginkan atau halhal yang mengarah pada penghentian kejadian yang tidak diinginkan. Orang yang memiliki harapan yang tinggi memiliki emosi positif dan semangat yang bersumber dari sejarah kesuksesan yang pernah dicapai, sedangkan orang yang memiliki harapan yang rendah memiliki emosi negatif dan emosi yang datar yang bersumber dari sejarah kegagalan yang terjadi dan tidak dapat menemukan cara alternatif lain (Snyder, 2007). Snyder (1994) harapan (hope) adalah : the sum of the mental willpower dan waypower that you have for your goals. Menurut Snyder (1994), bagaimana seseorang berpikir dan menginterpretasikan lingkungan eksternalnya merupakan kunci untuk memahami harapan. Harapan memiliki 3 komponen utama, yaitu goal, waypower, dan willpower Komponen dalam Harapan (Hope) Menurut Snyder (1994) komponen harapan antara lain: 1. Tujuan (goal) Tujuan merupakan suatu objek, pengalaman atau hasil yang dibayangkan dan didambakan oleh seseorang dalam benaknya. Konsep harapan menjadi

214 41 sesuatu yang relevan terkait dengan tujuan yang penting dan serius dalam hidup seseorang. Snyder menjelaskan bahwa ketika peluang untuk mencapai tujuan yang didambakan sama sekali tidak ada (0%) atau peluangnya sangat pasti dapat dicapai (100%) maka konsep harapan tidak relevan. Penyebabnya adalah hasilnya sudah dapat ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, konsep harapan relevan pada tujuan yang terletak diantara sesuatu yang pasti akan tercapai dan sesuatu yang pasti tidak akan pernah tercapai (Snyder, 1994). Tujuan dapat berjangka pendek (dapat dicapai dalam waktu yang singkat) atau berjangka panjang (dicapai dalam waktu yang panjang) (Snyder, 2007). Tujuan harus bersifat dapat dicapai, tetapi juga dapat terdiri dari beberapa tingkat ketidakpastian (Snyder, 2005). 2. Willpower Snyder (1994) menyatakan bahwa willpower merupakan kekuatan pendorong dalam berpikir dengan penuh harapan (hopeful thinking). Willpower adalah the sense of mental energy that over time helps to propel person toward goal. Agency thinking atau willpower merupakan kapasitas seseorang (motivasi) untuk menggunakan sebuah cara dalam mencapai keinginan yang diharapkan. Agency thinking merefleksikan tentang pemikiran untuk memulai sebuah cara atau jalan yang ingin diambil dan melanjutkan jalan yang diambil tersebut. Agency thinking sangat penting dalam pencapaian suatu tujuan, tetapi lebih memiliki pengaruh saat seseorang menghadapi rintangan atau hambatan (Snyder, 2005).

215 42 Berikut ini merupakan visualisasi dari konsep willpower menurut snyder: A B Bagan 2.4 Visualisasi Willpower Dalam visualisasi diatas, willpower (tanda panah) menggerakan seseorang dari poin A yang menggambarkan keadaan saat ini menuju ke pencapaian tujuan yang digambarkan dengan poin B. Willpower berisikan keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan untuk membantu menggerakkan seseorang untuk maju ke arah pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu. Willpower memunculkan persepsi seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam kehidupan (Snyder, 1994). Willpower dapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat memahami dan mempresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Tujuan yang samar tidak mencetuskan dorongan secara mental untuk maju. Oleh karena itu, ketika seseorang dapat mengklarifikasi tujuannya maka ia cenderung dapat mengisi dirinya dengan pemikiran yang aktif dan memberdayakan diri menuju pencapaian tujuan. Willpower juga memunculkan keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan (Snyder, 1994). Orang yang memiliki kapasitas agency thinking yang baik akan memiliki pernyataan atau perkataan pada dirinya sendiri seperti Saya akan tetap berusaha

216 43 dan mereka akan menghasilkan serta menggunakan perkataan yang bersifat motivasional ketika menghadapi rintangan atau hambatan (Snyder, 2007). Kemampuan seseorang untuk menciptakan willpower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan yang mengaktifasikan benak dan tubuh kita untuk mengejar tujuan. Penting untuk digarisbawahi bahwa willpower tidak diperoleh ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan mudah dimana tujuan dapat dicapai tanpa adanya rintangan. Seseorang yang memiliki willpower adalah seseorang yang telah mampu mengatasi kesulitan-kesulitan sebelumnya dalam hidup (Snyder, 1994). 3. Waypower Snyder (1994) mengemukakan definisi waypower sebagai berikut: a mental capacity we can call on to find one more effective ways to reach our goal. Waypower merefleksikan rencana atau peta jalur secara mental yang menunjuk pada pemikiran yang penuh harapan (hopeful thinking). Waypower adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, 1994). Pathways thinking atau waypower berkaitan dengan kapasitas seseorang dalam menggunakan jalan atau cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Snyder, 2005). Waypower berhubungan dengan bagaimana seseorang mencari cara alternatif ketika sebuah cara tidak dapat digunakan seperti memiliki self-talk

217 44 positif tentang bagaimana ia menemukan cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya (Snyder, 2007). Berikut ini adalah visualisasi konsep waypower menurut Snyder (1994): A B Bagan 2.5 Visualisasi Waypower Dalam visualisasi diatas, waypower menunjukan suatu rute (tanda panah) yang harus dijalani dan dilalui seseorang (dari poin A) menuju tujuan (poin B). Secara khusus, kemampuan waypower seseorang dapat ditetapkan dalam beberapa tujuan yang berbeda satu sama lain. Secara umum, seseorang tampak lebih mudah untuk merencanakan secara efektif ketika tujuan yang hendak dicapai dapat didefinisikan atau dioperasionalkan dengan baik. Sama seperti willpower, waypower lebih sering terjadi terkait dengan tujuan yang lebih penting. Tujuan yang lebih penting bagi seseorang cenderung memunculkan perencanaan yang kaya. Hal ini terjadi karena seseorang dalam perkembangannya cenderung menghabiskan banyak waktu untuk berpikir tentang bagaimana meraih tujuan yang lebih penting dan cenderung mempraktekkan perencanaan terkait dengan tujuan yang lebih penting tersebut (Snyder, 1994). Kemampuan seseorang untuk menciptakan waypower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Persepsi seseorang akan kemampuannya

218 45 mengembangkan cara atau jalan menuju tujuannya kemungkinan diperkaya oleh pengalaman sebelumnya. Pengalaman keberhasilan sebelumnya yang dimaksud adalah dalam hal mengembangkan suatu cara atau jalur baru menuju tujuan pada saat adanya hambatan dalam menjalankan cara yang biasanya dipakai menuju tujuan tersebut (Snyder, 1994). Dalam hal ini. waypower termasuk bersifat fleksibel untuk menemukan suatu alternatif jalur menuju pencapaian tujuan yang didambakan. Jika anda tidak melakukannya dengan suatu cara tertentu, lakukanlah dengan cara yang berbeda (Snyder, 1994) A STOP B Bagan 2.6 Visualisasi Waypower Terkait dengan Rintangan/ Hambatan Dalam visualisasi diatas tampak adanya jalur lurus dari poin A (kedaaan saaat ini) menuju poin B (tujuan yang didambakan) melalui jalur yang biasanya digunakan. Namun kemudian di antaranya terdapat hambatan (kotak stop). Seseorang dengan kemampuan waypower yang tinggi secara mental mampu merencanakan jalur lainnya menuju tujuan yang didambakan tersebut (panah melengkung). Keyakinan bahwa terdapat beberapa jalan atau jalur yang dapat dilalui menuju pencapaian tujuan dimiliki oleh seseorang dengan kemampuan

219 46 waypower yang tinggi. Dalam hal ini, seseorang mengubah blueprint yang dimilikinya dan menyesuaikannya dengan tujuan yang didambakan dan rintangan yang harus dihadapinya. Tidak semua orang dapat mempersepsikan bahwa dirinya mampu membuat suatu rencana baru melainkan kebanyakan orang cenderung merasa terhambat dan kehabisan cara ketika mengalami hambatan dalam usaha pencapaian tujuan (Snyder, 1994) Skema Willpower dan Waypower Terkait dengan Teori Emotions Waypower Waypower Willpower Outcome value Willpower Goal behavior (tercapai atau tidak tercapai) Emotions Learning History Pre-event Event Sequence Bagan 2.7 Skema Willpower dan Waypower (Snyder, 2005) Variasi Harapan Berdasarkan Kombinasi Willpower dan Waypower Menurut Snyder (1994), seseorang yang memiliki personal sense of willpower sebaliknya juga memiliki pemikiran terkait waypower menuju pecapaian tujuan yang didambakan. Namun seringkali hal ini tidak terjadi. Penelitian menujukkan bahwa seseorang dengan kemampuan berpikir willpower tidak selalu memiliki pemikiran terkait waypower. Seseorang yang tidak memiliki keduanya, willpower

220 47 dan waypower, tidak dapat dikatakan bahwa harapannya tinggi. Terdapat empat jenis variasi tentang kombinasi willpower dan waypower (Snyder, 1994), yaitu: 1. Willpower rendah dan waypower rendah. Seseorang dapat dikatakan memiliki tingkat harapan yang rendah. Menurut Snyder (1994), seseorang dengan kombinasi pertama ini rentan mengalami depresi karena selalu berpikir bahwa dirinya tidak mampu meraih tujuan yang didambakannya. Hal ini semakin memburuk ketika seseorang tidak mampu mendefinisikan atau mengoptimalkan tujuannya. 2. Willpower tinggi dan waypower rendah. Seseorang tampak memiliki energi yang cukup untuk mencapai tujuan yang diharapkan namun tidak berpikir bahwa dirinya menuju tujuan yang didambakan. Menurut Snyder (1994) dalam beberapa keadaan, ketidakmampuan seseorang dalam berpikir tentang cara untuk mencapai suatu tujuan (willpower) cenderung mengakibatkan frustasi atau kemarahan yang diasosiasikan dengan kinerjanya yang buruk. Selain itu, ketika waypower yang rendah terus dirasakan dalam jangka waktu yang lama maka seseorang cenderung akan mengalami kehilangan waypower. 3. Willpower rendah dan waypower tinggi, dalam benaknya memiliki berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan tentang bagaimana caranya meraih tujuan namun cenderung memiliki keyakinan yang rendah akan kemampuannya dalam menggunakan berbagai kemungkinan yang ada (Snyder, 1994). 4. Willpower tinggi dan waypower tinggi, merupakan profil diri seseorang dengan tingkat harapan yang tinggi. Seseorang cenderung memiliki mental

221 48 yang sangat memadai dan memiliki ide tentang cara meraih tujuan yang juga sangat memadai (Snyder, 1994). 2.3 Coping Religius Pengertian Coping religius terdiri dari dua kata yaitu coping dan religius. Lazarus & Folkman menyatakan definisi dari coping adalah perubahan usaha kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengelola permintaan eksternal dan internal yang dinilai sebagai sebuah beban yang bersumber pada seseorang (dalam Rice, 2000). Menurut Folkman & Moskowitz (2004) dan Taylor & Stanton (2007) coping dapat didefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan keadaan yang dinilai menekan baik secara internal maupun eksternal (dalam Taylor, 2009). Coping memilliki beberapa karakteristik penting. Pertama, hubungan antara coping dan kejadian yang penuh stress merupakan proses yang dinamis. Coping bukanlah hanya tindakan seseorang pada satu waktu tetapi lebih merupakan seperangkat respon dimana lingkungan dan individu saling berinteraksi satu sama lain. Kedua, definisi coping memiliki arti yang luas. Coping merupakan segala tindakan dan reaksi yang didapatkan dari situasi yang menekan. Berdasarkan pengertian ini, reaksi emosi, termasuk marah dan depresi menjadi bagian dari proses coping selama tindakan tersebut merupakan reaksi dalam menghadapi kejadian stressful (Taylor, 2009).

222 49 Pargament menyatakan bahwa agama merupakan hal yang kompleks dan bersifat personal, tidak ada satu definisi yang dengan lengkap menjelaskan dengan tepat. Namun karena dibutuhkan definisi operasional yang dibutuhkan dalam pengukuran dalam penelitian Pargament memberikan definisi agama adalah search for significance inways related to the sacred (pencarian makna atau arti dengan cara yang berhubungan dengan kesakralan (dalam Raiya, 2008). Pargament dkk (2005) menyatakan bahwa coping religius adalah metode coping yang menggunakan pendekatan agama dalam memahami dan berdamai dengan kejadian hidup yang kritis. Agama dapat berguna dalam penggunaan coping karena dua alasan. Alasan pertama menurut Laubmeier, Zakowski, & Blair (2004), agama menyediakan sistem kepercayaan (belief system) dan cara berpikir tentang kejadian yang stressful dengan mempelajari tekanan tersebut dan memungkinkan seseorang mencari arti dari kejadian traumatik yang mereka hadapi. Sedangkan alasan kedua menurut George dkk (2002), agama dapat menyediakan dukungan sosial dari organisasi keagamaan yaitu dengan cara berbagi mengenai kepercayaan mereka (dalam Taylor, 2009) Pendekatan Coping Religius Paragment dkk (dalam Pargament dkk, 2005) menjabarkan ada tiga pendekatan coping religius dalam proses penyelesaian masalah, yaitu:

223 50 a. Deffering, yaitu pendekatan yang dilakukan dimana individu menyerahkan tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pada Tuhan. b. Self directing, yaitu pendekatan yang dilakukan dimana individu merasa Tuhan memberikannya kekuatan atau kemampuan padanya sebagai sumber baginya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. c. Collaborative, yaitu pendekatan yang dilakukan dimana individu merasa Tuhan dapat menjadi pasangannya untuk berbagi tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut Pargament dkk (2005) coping religius memiliki 5 fungsi utama, antara lain: 1. Sebagai pencarian makna dari sebuah kejadian 2. Sebagai pencarian kekuasaan dan kontrol sebuah kejadian 3. Sebagai pencarian kenyamanan dan kedekatan dengan Tuhan 4. Sebagai pencarian keintiman dengan orang lain dan kedekatan dengan Tuhan 5. Sebagai pencarian pencapaian transformasi kehidupan. Agama merupakan bagian dari proses pemahaman dan penerimaan seseorang pada kejadian yang krisis dalam kehidupannya. Agama berfungsi di dalam sebuah coping antara lain dilihat dari penggunaan siapa (misalnya Tuhan), apa (misalnya berdoa, membaca kitab suci, ritual), kapan (misalnya stressor yang akut, stressor yang kronis), dimana (misalnya pada sebuah komunitas atau personal) dan kenapa (misalnya untuk mencari makna) dalam sebuah coping (Pargament dkk, 2005).

224 Aspek Coping Religius Pargament dkk (2000) (dalam Raiya, 2008) mengidentifikasi dua pola dalam coping religius, antara lain: a. Coping religius positif Yaitu coping religius yang menggambarkan sebuah hubungan yang kuat dengan Tuhan, kepercayaan bahwa sebuah makna yang lebih besar akan ditemukan dan rasa akan keterhubungan secara spiritualitas (dalam Raiya, 2008). Coping ini cenderung lebih bermanfaat untuk orang yang mengalami kejadian hidup yang menekan. Ano & Vasconcelles (2005) (dalam Pargament dkk, 2005) menemukan bahwa coping religius positif berhubungan dengan positive outcomes seperti stress-related growth, pertumbuhan spiritual dan kepuasan hidup yang lebih besar. Selain itu coping religius positif ini juga berhubungan secara negatif dengan negative outcomes seperti depresi, kecemasan, hopelessness dan rasa bersalah. b. Coping religius negatif Yaitu coping religius yang menggambarkan ekspresi hubungan yang kurang kuat dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan tentang dunia, perjuangan untuk mencari dan melestarikan makna kehidupan yang secara general lebih bersifat maladaptif (dalam Raiya, 2008). Ano & Vasconcelles (2005) menemukan bahwa coping religius negatif berhubungan positif dengan negative outcomes seperti depresi, kecemasan, sifat tidak berperasaan (callousness), PTSD dan permasalahan dengan spiritualitas pada sampel

225 52 orang-orang yang mengalami kejadian negatif. Selain itu coping religius negatif juga memiliki akibat yang berbahaya pada fungsi fisik (dalam Pargament dkk, 2005). Kemudian Tarakeshwar & Pargament (dalam Raiya, 2008) menemukan coping religius positif berhubungan dengan outcome religius yang lebih tinggi (misalnya perubahan kedekatan dengan Tuhan dan peningkatan spiritual), sedangkan coping religius negatif memiliki hubungan yang lebih besar pada afek depresif dan outcome religius yang rendah. 2.4 Dukungan Sosial (Social Support) Pengertian Dukungan sosial banyak diartikan dalam beberapa pengertian. Taylor (2009) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi yang diberikan oleh orang dengan memberikan kasih sayang dan kepedulian, dan merupakan bagian dari komunikasi dan bersifat mutualisme. Dukungan ini bisa didapatkan dari orang tua, pasangan, teman dan komunitas. Selanjutnya Sherbourne & Stewart (1991) mendefinisikan dukungan sosial dengan melihat fungsi dari beberapa aspek dukungan sosial yang berbeda (emotional support, informational support, tangible support, affectionate support dan positive social interaction) tanpa melihat darimana sumber dukungan sosial tersebut berasal. Sarason dkk (2001) mengartikan dukungan sosial dengan membagi dukungan menjadi dukungan informasi, dukungan nyata dan dukungan emosi (dalam Diggens, 2003). Gentry & Kobasa, Watson dkk, Wills & Fegan (dalam Sarafino, 1996) mendefinisikan social support sebagai pemberian rasa nyaman,

226 53 peduli, penghargaan atau membantu seseorang menerimanya dari orang atau kelompok lain. Taylor (2009) menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari beberapa jenis, antara lain: 1. Tangible assistance atau dukungan nyata. Dukungan yang berbentuk material seperti pelayanan, bantuan finansial atau berupa barang-barang. 2. Informational support atau dukungan informasi. Dukungan yang berbentuk informasi yang dapat membantu individu lebih memahami kejadian menekan atau stressful yang dihadapi dan dapat menentukan sumber permasalahan dan strategi coping yang akan dilakukan. 3. Emotional support atau dukungan emosional. Dukungan yang diberikan dengan menenangkan seseorang bahwa mereka adalah orang yang berharga yang patut untuk dipedulikan. 4. Invisible support atau dukungan yang tidak terlihat. Dukungan yang diberikan seseorang yang terkadang tidak disadari oleh orang yang mendapatkan dukungan yang secara tidak sadar bermanfaat bagi orang kesehatan fisik dan mental orang tersebut. Sherbourne & Stewart (1991) mengklasifikasikan dukungan sosial antara lain: 1. Informational support, yaitu dukungan yang berupa nasihat, informasi, bimbingan dan saran.

227 54 2. Emotional Support, yaitu dukungan berupa ekspresi afek yang positif, rasa empati dan ekspresi perasaan yang dapat memberikan ketenangan hati. 3. Affectionate support, yaitu dukungan yang berupa ekspresi cinta dan kasih sayang. 4. Positive social interaction, yaitu dukungan yang berupa ketersediaan orang lain untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. 5. Tangible support, yaitu dukungan yang berupa pemberian bantuan material atau bantuan yang ditunjukkan dengan perilaku Efek Dukungan Sosial Ada dua model efek dukungan sosial yang dinyatakan Gottlieb (1983), yaitu: 1. Efek langsung (direct effect) Merupakan dukungan yang diberikan secara langsung dan tidak terkait dengan keadaan stress sebagai peningkatan kesejahteraan dan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang. 2. Efek pelindung (buffering effect) Efek pelindung menggambarkan adanya peranan penting pada dukungan sosial dalam memelihara keadaan psikologis seseorang dalam keadaan mengalami tekanan. Karenanya, model ini melihat sumber daya dalam hubungan sosial yang menimbulkan pengaruh positif sebagai pelindung terhadap efek negatif dari stress.

228 Sumber-sumber Dukungan Sosial Sumber dukungan sosial menurut Gottlieb (1983) berasal dari hubungan profesional dan non profesional atau significant others. Adapun yang dimaksud dengan hubungan yang bersumber pada non profesional misalnya pasangan seperti pacar, suami atau istri, anggota keluarga, teman dan sebagainya. Sedangkan hubungan profesional misalnya hubungan dengan psikolog, psikiater, dokter dan sebagainya. Yang dimaksud dengan hubungan non profesional sebagai hubungan yang menempati bagian terbesar dari kahidupan seseorang dan menjadi sumber dukungan sosial yang paling potensial. Ini karena hubungan non profesional mudah didapat, memiliki nilai dan norma yang sesuai dengan penerimaan dukungan mengenai apa dan bagaimana sebenarnya dukungan sosial diberikan. Dengan demikian dua dukungan sosial yang diungkapkan oleh Gottlieb memiliki perbedaan karakteristik tetapi keduanya menandakan adanya hubungan penerima dan pemberi (Gotlieb, 1983). Sedangkan menurut Rock & Dooley, ada dua sumber dukungan sosial yaitu sumber artifisial dan sumber natural. Dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga, teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini bersifat nonformal. Sementara itu yang dimaksud dengan dukungan sosial artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam

229 56 kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial (Kuntjoro, 2002). Kuntjoro (2002) menyatakan sumber dukungan sosial natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-buat sehingga mudah diperoleh dan bersifat spontan, memiliki kesesuaian dengan norma yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan, berakar dari hubungan yang telah lama, memiliki keragaman dalam penyampaian dukungan sosial, mulai dari pemberian barang-barang nyata hingga sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam dan dukungan sosial yang natural itu juga terbebas dari beban dan label psikologis. 2.5 Kerangka Berpikir Setiap manusia pasti pernah mengalami kejadian-kejadian yang bersifat traumatik yang kemudian mengubah kehidupannya. Kejadian traumatik ini dapat memberikan perubahan baik perubahan yang bersifat negatif ataupun positif. Salah satu contoh kejadian traumatik terjadi pada recovering addict atau pecandu yang menjalani pemulihan. Hewit (2002; 2007) menyatakan bahwa adiksi dapat dilihat sebagai sebuah trauma dan dapat memberikan efek positif dan negatif sebagai hasil dari pengalaman yang dihadapi. Trauma ini dapat secara langsung berhubungan dengan pengalaman adiksi yang tidak dapat terkontrol atau secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diakibatkan penggunaan NAPZA lain seperti peningkatan resiko akan tindakan kekerasan, masalah kesehatan mental dan masalah lain yang berhubungan dengan pengalaman yang menekan (stressful) (Hewit, 2007).

230 57 Pengalaman yang dapat memberikan perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi ini disebut dengan Posttraumatic Growth (PTG). Data menyebutkan bahwa orang yang mengalami kejadian traumatik melaporkan beberapa perubahan positif setelah mereka menghadapi kejadian traumatik meskipun berat atau kerasnya penderitaan mungkin seimbang dengan pengalaman akan perubahan positif yang mungkin terjadi (Calhoun & Tedeschi, 2004). Perubahan positif yang terjadi pasca kejadian traumatik atau Posttraumatic Growth ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ho dkk (2010) harapan (hope) menjadi indikator penting pada PTG pasien kanker rongga mulut. Orang yang memiliki harapan yang tinggi akan memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki keyakinan untuk menghadapi kesulitan yang dihadapi. Mereka fokus pada keberhasilan bukan pada kegagalan yang telah mereka lakukan. Orang dengan harapan tinggi memiliki willpower (komitmen seseorang untuk mencapai tujuan) dan waypower (bagaimana seseorang menemukan cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya) yang baik. Seseorang cenderung memiliki mental yang sangat memadai dan memiliki ide tentang cara meraih tujuan yang juga sangat memadai (Snyder, 1994). Hal ini tentu dapat meningkatkan PTG pada pengguna NAPZA dimana pengguna NAPZA dapat menghadapi kondisi stressful dan memiliki keyakinan untuk melewatinya. Coping religius juga membantu pengguna NAPZA dalam meningkatkan PTG. Dengan menggunakan agama sebagai pendekatan coping akan masalah yang dihadapi, individu juga mampu mengembangkan perubahan positif dalam

231 58 dirinya. Bentuk coping seperti coping religius positif yaitu dengan memberikan penilaian yang baik dan memiliki hubungan spiritual dengan Tuhan juga akan mempengaruhi perkembangan PTG pada seseorang dengan arah pengaruh yang positif. Begitu pula pada coping religius negatif yaitu dengan merasa bahwa kejadian yang ia hadapi adalah hukuman dari Tuhan juga ikut serta mempengaruhi perkembangan PTG dengan arah pengaruh yang negatif. Coping religius memberikan sejumlah tujuan dalam kehidupan dan krisis seperti memberikan arti pada kejadian yang negatif, berperan sebagai kontrol diri dalam situasi yang sulit, memberikan kenyamanan saat seseorang menghadapi suatu masalah, memberikan kedekatan dengan Tuhan dan membantu orang dalam membentuk sebuah tranformasi kehidupan (Pargament dkk, 2005). Selain itu dukungan yang didapatkan dari lingkungan juga dapat membantu meningkatkan PTG seseorang. Social support dapat mempengaruhi PTG dengan mempengaruhi coping tingkah laku seseorang dan membantu seseorang dalam keberhasilannya beradaptasi dengan krisis kehidupan (Prati & Pietrantoni, 2009). Social support juga dibutuhkan oleh recovering addcit antara lain mendapatkan dukungan baik berupa dukungan material ataupun non-material antara lain seperti dukungan informasi (informational support), dukungan emosi (emotional support), dukungan kasih sayang (affectionate support), interaksi sosial yang positif (positive social interaction) dan dukungan nyata (tangible support) sehingga mereka merasa bahwa mereka tidak sendiri dan merasa lebih termotivasi untuk melakukan sebuah perubahan yang positif.

232 59 Selanjutnya faktor demografis seperti umur dan fase rehabilitasi juga mempengaruhi perkembangan PTG. Studi yang dilakukan pada penderita kanker payudara menunjukkan bahwa semakin muda usia seseorang saat mengalami kejadian traumatik maka semakin tinggi tingkat PTG-nya. Selain itu McMillen (dalam Hewit, 2007) menyatakan bahwa recovering addict pada fase awal rehabilitasi memiliki tingkat PTG yang rendah, yang kemudian juga dijelaskan pada penelitian yang dilakukan Hewit (2002; 2007) yang didapatkan bahwa recovering addict pada 3 tahun pasca recovery memiliki PTG yang lebih tinggi. Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti faktor manakah yang paling berpengaruh dalam perkembangan PTG pada recovering addict di UPT T&R BNN Lido.

233 60 Harapan (Hope) Waypower Willpower Coping Religius Coping Religius Positif Coping Religius Negatif Informational Support Emotional Support Posttraumatic Growth (PTG) Social Support Affectionate Support Positive Social Interaction Tangible Support Usia Fase Rehabilitasi Bagan 2.8 Kerangka Berpikir

234 Hipotesis Penelitian Hipotesis Mayor Adanya pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, usia dan fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict Hipotesis Minor 1. Adanya pengaruh yang signifikan dari waypower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 2. Adanya pengaruh yang signifikan dari willpower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 3. Adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius positif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 4. Adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius negatif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 5. Adanya pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 6. Adanya pengaruh yang signifikan dari emotional support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 7. Adanya pengaruh yang signifikan dari affectionate support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

235 62 8. Adanya pengaruh yang signifikan dari positive social interaction terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 9. Adanya pengaruh yang signifikan dari tangible support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 10. Adanya pengaruh yang signifikan dari usia terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. 11. Adanya pengaruh yang signifikan dari fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. Tetapi, pada penelitian ini hipotesis yang diuji adalah hipotesis nihil (H 0 ), yaitu Tidak ada pengaruh yang signifikan dari faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth pada recovering addict.

236 63 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dimana penelitian ini mengkuantifikasikan skor harapan (hope), coping religius dan dukungan sosial dengan skor posttraumatic growth (PTG). 3.2 Partisipan Subjek penelitian ini adalah recovering addict yang menjalani rehabilitasi di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Sukabumi yang berada pada tahap primary sebanyak 76 orang, primary hope sebanyak 40 orang, re-entry sebanyak 24 orang serta staff adiksi sebanyak 13 orang. Adapun keterangan dari fase rehabilitasi sebagai berikut: 1. Fase primary (male dan female) merupakan tahapan program rehabilitasi sosial dimana recovering addict berhenti dari penggunaan NAPZA sekitar 1 sampai 6 bulan. 2. Fase primary hope (male) merupakan fase yang sama dengan primary green. Namun perbedaannya recovering addict pada program di fase ini merupakan recovering addict yang sudah pernah menjalani program rehabilitasi sebelumnya (lebih dari satu kali). 63

237 64 3. Fase re-entry merupakan tahapan program rehabilitasi sosial selanjutnya dimana recovering addict sudah berhenti dari penggunaan NAPZA dalam jangka waktu di atas 6 bulan sampai 1 tahun. 4. Staff adiksi merupakan recovering addict yang sudah selesai menjalani program rehabilitasi dimana jangka waktu berhenti dari penggunan NAPZA dalam jangka waktu di atas 1 tahun Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan secara purpossive sampling, dimana sampel yang diambil adalah sampel yang memiliki ciri-ciri spesifik yang peneliti tentukan. Teknik ini tergolong dalam non-probability sampling yang berarti tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi subjek penelitian. 3.3 Variabel dan Definisi Variabel Variabel Penelitian Pada penelitian ini terdapat satu dependen variabel dan 11 variabel independen. Variabel tersebut antara lain: a. Y: Posttraumatic growth (PTG) b. X: X 1 : Waypower X 2 : Willpower X 3 : Coping Religius Positif

238 65 X 4 : Coping Religius Negatif X 5 : Informational Support X 6 : Emotional Support X 7 : Affectionate Support X 8 : Positive Social Interaction X 9 : Tangible Support X 10 : Usia X 11 : Fase Rehabilitasi Definisi Konseptual 1. Posttraumatic growth (PTG) adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi (Tedeschi & Calhoun, 2004). 2. Waypower (harapan) adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, 1994). 3. Willpower (harapan) adalah keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan untuk membantu menggerakkan seseorang untuk maju ke arah pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu (Snyder, 1994). 4. Berdasarkan definisi Pargament, coping religius positif (coping religius) adalah coping religius yang menggambarkan sebuah hubungan yang kuat dengan Tuhan, kepercayaan bahwa sebuah makna yang lebih besar akan

239 66 ditemukan dan rasa akan keterhubungan secara spiritualitas (dalam Raiya, 2008). 5. Berdasarkan definisi Pargament, coping religius negatif (coping religius) adalah coping religius yang menggambarkan ekspresi hubungan yang kurang kuat dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan tentang dunia, perjuangan untuk mencari dan melestarikan makna kehidupan yang secara general lebih bersifat maladaptif (dalam Raiya, 2008). 6. Informational support (social support) adalah dukungan yang berupa nasihat, informasi, bimbingan dan saran (Sherbourne & Stewart, 1991). 7. Emotional Support (social support) adalah dukungan berupa ekspresi efek yang positif, empati dan ekspresi perasaan yang dapat memberikan ketenangan hati (Sherbourne & Stewart, 1991). 8. Affectionate support (social support) adalah dukungan yang berupa ekspresi cinta dan kasih sayang (Sherbourne & Stewart, 1991). 9. Positive social interaction (social support) adalah dukungan yang berupa ketersediaan orang lain untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan (Sherbourne & Stewart, 1991). 10. Tangible support (social support) adalah dukungan yang berupa pemberian bantuan material atau bantuan yang ditunjukkan dengan perilaku (Sherbourne & Stewart, 1991). 11. Usia Usia yang dimaksud adalah usia kronologis atau usia sejak lahir yang mengacu pada teori Binet (Santrock, 2002).

240 Fase Rehabilitasi Fase rehabilitasi yaitu tahapan program rehabilitasi sosial dimana dalam hal ini peneliti menggolongkannya pada tahapan primary green, primary hope, re-entry serta staff adiksi Definisi Operasional 1. Posttraumatic growth (PTG) Skor yang diperoleh responden penelitian melalui respon individu terhadap skala PTG yang disusun berdasarkan adaptasi dari Posttraumatic growth Inventory (PTGI) yang disusun oleh Tedeschi & Calhoun yang meliputi 5 aspek yaitu appreciation of life, relating to others, personal strength, new possibilities dan spiritual change. 2. Harapan (Hope) Skor yang diperoleh individu atau responden penelitian melalui respon individu terhadap skala optimisme yang disusun berdasarkan adaptasi dari The Hope Scale yang disusun oleh Snyder (1994) yang meliputi 2 aspek yaitu waypower dan willpower. 3. Coping religius Skor yang diperoleh individu atau responden penelitian melalui respon individu terhadap skala coping religius yang disusun berdasarkan adaptasi dari sub skala Psychological Measure of Islamic Religiousness (PMIR) yaitu Islamic Positive Religious Coping & Identification, and Punishing Allah Reappraisal

241 68 yang disusun oleh Raiya (2008) yang menggunakan dasar teori dari Pargament antara lain meliputi aspek coping religius positif dan coping religius negatif. 4. Dukungan Sosial Skor yang diperoleh individu atau responden penelitian melalui respon individu terhadap dukungan sosial yang disusun berdasarkan adaptasi dari sub skala Medical Outcomes Study (MOS) Social Support Survey yang disusun oleh Sherbourne & Stewart (1991) yang meliputi aspek informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, dan tangible support. 3.4 Pengumpulan Data Instrumen Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala yang disebarkan kepada para responden. Skala tersebut antara lain: a. Isian Biodata Partisipan Angket ini berisi pertanyaan mengenai biodata partisipan, seperti inisial nama, usia partisipan dan status fase pemulihan. b. Skala Posttraumatic growth Untuk mengukur PTG peneliti mengadaptasi alat ukur PTGI (Posttraumatic growth Inventory) dimana alat ukur ini mengukur perubahan positif seseorang dalam merespon keadaan stressful yang dihadapinya. PTGI terdiri dari 21 aitem yang mencakup lima aspek. Namun peneliti menambahkan 1 buah

242 69 aitem pada aspek spiritual change yaitu pada aitem nomor 15, sehingga jumlah aitem pada skala ini adalah 22 aitem. Aitem menggunakan skala Likert dengan 4 poin pilihan mulai dari Sangat Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Berikut blueprint dari skala PTG: Tabel 3.1 Blueprint Skala PTG Variabel Aspek Favorable No Item Unfavorable Jumlah Posttraumatic growth Appreciation of life 1, 6, 11, 16-4 Relating to others 2, 7, 12, 17, 20, 22-6 Personal strength 3, 8, 13, 18-4 New possibilities 4, 9, 14*, 19, 21-5 Spiritual change 5, 10, 15-3 Keterangan: (*) aitem yang tidak valid c. Skala Harapan (Hope) Untuk mengukur harapan (hope) peneliti mengadaptasi alat ukur The Hope Scale dimana alat ukur ini mengukur willpower (willpower) dan waypower (waypower) yang dimiliki oleh seseorang. The Hope Scale ini terdiri dari 8 aitem, namun setelah diadaptasi peneliti menambahkan 2 buah aitem pada aspek willpower dan waypower yaitu pada aitem nomor 9 dan 10, sehingga jumlah aitem pada skala ini adalah 10 aitem. Aitem menggunakan skala

243 70 Likert dengan 4 poin pilihan mulai dari Sangat Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Berikut blueprint dari skala harapan (hope): Table 3.2 Blueprint Skala Harapan (Hope) Variabel Aspek Favorable No Item Unfavorable Jumlah Harapan (Hope) Waypower 2*, 4, 6, 8, 10-5 Willpower 1, 3, 5, 7, 9-5 Keterangan: (*) aitem yang tidak valid d. Skala Coping Religius Untuk mengukur coping religius peneliti mengadaptasi alat ukur Psychological Measure of Islamic Religiousness (PMIR). Pada skala ini mewakilkan coping religius positif dan coping religius negatif. Skala ini terdiri dari 12 aitem (7 aitem untuk coping religius positif dan 5 aitem untuk coping religius negatif). Namun setelah diadaptasi peneliti tidak menggunakan salah satu aitem pada aspek coping religius positif, sehingga jumlah aitem yang digunakan adalah 11 aitem. Aitem menggunakan skala Likert dengan 4 poin pilihan mulai dari Sangat Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Berikut blueprint dari skala coping religius:

244 71 Tabel 3.3 Blueprint Skala Coping Religius Variabel Aspek Favorable No Item Unfavorable Jumlah Coping Religius Coping Religius Positif 1, 3, 5, 7, 9, 11-6 Coping Religius Negatif 2, 4*, 6, 8, 10-5 Keterangan: (*) aitem yang tidak valid e. Skala Social Support Untuk mengukur social support peneliti mengadapatasi alat ukur Medical Outcomes Study (MOS) Social Support Survey digunakan untuk mengukur dukungan sosial yang didapatkan seseorang. Skala ini terdiri dari 19 aitem yang mewakilkan informational support (4 aitem), emotinal support (4 aitem),, affectionate support (4 aitem), positive social interaction (4 aitem) dan tangible support (4 aitem). Aitem ini menggunakan skala Likert dengan 4 poin pilihan, mulai dari Sangat Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Berikut ini blueprint dari skala social support:

245 72 Tabel 3.4 Blueprint Skala Social Support Variabel Aspek Favorable No Item Unfavorable Jumlah Social Support Informational Support 2, 7, 12, 17-4 Emotional Support 1, 6, 11, 16-4 Affectionate Support 4, 9, 14, 19-4 Positive Social Interaction 5, 10, 15, 20-4 Tangible Support 3, 8, 13, Pengujian Validitas Konstruk Pada instrumen 1) Posttraumatic growth, 2) Coping religius, 3) Harapan (hope), dan 4) Dukungan Sosial, peneliti melakukan uji validitas konstruk instrumen tersebut. Oleh karena itu, digunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis) untuk pengujian validitas instrumen tersebut. Adapun logika dari CFA menurut Umar (2010) adalah: 1. Melihat signifikan tidaknya aitem tersebut mengukur faktornya dengan melihat nilai t bagi koefisian muatan faktor aitem. Perbandingannya adalah jika t > 1.96 maka aitem tersebut signifikan dan begitu pula sebaliknya. Adapun aitem tersebut signifikan maka aitem tidak akan di drop dan sebaliknya.

246 73 2. Melihat koefisien muatan faktor dari aitem. Jika aitem tersebut sudah di skoring dengan favorable (pada skala Likert 1 4), maka nilai koefisien muatan faktor pada aitem harus bermuatan positif, dan sebaliknya. Apabila aitem tersebut favorable, namun koefisien muatan faktor aitem bernilai negatif maka aitem tersebut di drop dan sebaliknya. 3. Terakhir, apabila kesalahan pengukuran aitem terlalu banyak berkorelasi, maka aitem tersebut akan di drop. Sebab, aitem yang demikian selain mengukur apa yang hendak diukur, ia juga mengukur hal lain. Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan bantuan software LISREL Uji Validitas Konstruk Uji Validitas Konstruk Posttraumatic growth 1. Appreciation of Life Peneliti mengujji apakah 5 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala posttraumatic growth (appreciation of life) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 12,64, df = 2, P-value = 0,00180, RMSEA = 0,187. Setelah dilakukan modifikasi pada model ini, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar di bawah ini:

247 74 Bagan 3.1 Analisis Faktor Konfirmatorik Posttraumatic growth (Appreciation of Life) Dari gambar 3.1, nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (appreciation of life). Kemudian melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari aitem. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

248 75 Tabel 3.5 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic growth (Appreciation of Life) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 1 0,84 0,09 9,41 V 6 0,68 0,09 7,88 V 11 0,95 0,10 9,61 V 16 0,61 0,09 7,08 V Pada tabel di atas, didapatkan seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya melihat apakah faktor dari aitem ada yang bermuatan negatif atau tidak. Berdasarkan tabel 3.5, pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Artinya dapat disimpulkan bahwa aitem-aitem tersebut bersifat multidimensional pada dirinya masing-masing, dan tidak hanya mengukur apa yang seharusnya diukur. Korelasi kesalahan pengukuran aitem ditampilkan pada tabel di bawah ini:

249 76 Tabel 3.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Aitem PTG (Appreciation of Life) V 1 7 V Tanda V menunjukkan korelasi kesalahan pengukuran aitem Pada tabel di atas dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran aitem. Aitem yang baik adalah kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain, seperti aitem 3 dan 9. Sedangkan aitem yang tidak bagus yaitu 1, 5, dan 7 karena terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Artinya, jika aitem yang kesalahan pengukurannya berkorelasi dengan kesalahan pengukuran lainnya, maka aitem tersebut selain mengukur apa yang hendak diukur, ia juga mengukur hal lain. Namun, aitem 1, 5 dan 7 tetap tidak akan di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini bobot nilainya akan diikutsertakan dalam analisis perhitungan skor faktor. Langkah terakhir yaitu aitem-aitem PTG (appreciation of life) yang tidak di drop dihitung faktor skornya. Faktor skor ini dihitung untuk menghindari

250 77 estimasi bias dari kesalahan pengukuran. Jadi perhitungan faktor skor ini tidak menjumlahkan aitem-aitem variabel pada umumnya. Setelah didapatkan faktor skor nilai inilah yang akan dianalisis dalam uji hipotesis korelasi dan regresi. Perlu dicatat, bahwa hal yang sama juga berlaku untuk variabel-variabel lain pada penelitian ini. 2. Relating to Others Peneliti mengujji apakah 6 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala posttraumatic growth (relating to others) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 29,82, df = 9, P-value = 0,00047, RMSEA = 0,123. Setelah dilakukan modifikasi pada model ini, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 5,35, df = 7, P-Value = 0,61761, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (relating to others). Selanjutnya peneliti melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

251 78 Tabel 3.7 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Relating to Others) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 2 0,47 0,08 5,67 V 7 0,79 0,07 10,63 V 12 0,55 0,08 6,66 V 17 0,82 0,07 11,28 V 20 0,63 0,08 7,96 V 22 0,67 0,08 8,65 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Pada tabel di atas dapat dilihat seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya berdasarkan tabel 3,7, pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Korelasi kesalahan pengukuran aitem didapatkan pada beberapa aitem, yaitu nomor 2, 7 dan 12. Namun aitem ini tidak di drop karena hanya terdapat satu korelasi kesalahan pengukuran. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 3. Personal Strength Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala posttraumatic growth (personal strength) yang digunakan. Dari

252 79 hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 29,82, df = 9, P-value = 0,00047, RMSEA = 0,123. Setelah dilakukan modifikasi pada model ini, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0,40, df = 1, P-Value = 0,52926, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (personal strength). Kemudian peneliti melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.8 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Personal Strength) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 3 0,66 0,09 7,00 V 8 0,85 0,11 7,96 V 13 0,47 0,09 5,37 V 18 0,74 0,11 6,79 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Pada tabel 3.8 dapat dilihat seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya pada

253 80 kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini, didapatkan bahwa korelasi kesalahan aitem pada faktor ini hampir keseluruhan tidak berkorelasi satu sama lain, hanya aitem nomor 8 yang berkorelasi dengan aitem nomor 18. Namun aitem ini tidak di drop karena hanya terdapat satu korelasi kesalahan pengukuran. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini akan dianalisis dalam perhitungan skor faktor. 4. New Possibilities Pada uji validitas awal aitem skala Posttraumatic growth (new possibilities), peneliti mengujji 5 aitem yang ada dan didapatkan nilai T serta koefisien muatan faktor seluruh aitem negatif, yang artinya aitem-aitem tersebut tidak signifikan. Kemudian peneliti mencoba men-drop aitem dengan nilai T terendah (aitem nomor 14) dan menganalisinya kembali menggunakan CFA. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 9,92, df = 2, P-value = 0,00700, RMSEA = 0,161. Setelah dilakukan modifikasi pada model ini, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi- Square = 0,06, df = 1, P-Value = 0,80676, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (new possibilities). Kemudian peneliti melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di

254 81 drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.9 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic growth (New Possibilities) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 4 0,46 0,10 4,42 V 9 0,44 0,10 4,33 V 19 0,89 0,16 5,47 V 21 0,87 0,16 5,36 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Pada tabel 3.9 dapat dilihat seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini, didapatkan bahwa korelasi kesalahan aitem pada faktor ini hampir keseluruhan tidak berkorelasi satu sama lain, hanya aitem nomor 9 yang berkorelasi dengan aitem nomor 19. Namun aitem ini tidak di drop karena hanya terdapat satu korelasi kesalahan pengukuran. Dengan demikian pada faktor ini aitem yang didrop adalah aitem nomor Spiritual Change Peneliti mengujji apakah 3 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala posttraumatic growth (spiritual change) yang digunakan. Dari

255 82 hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor fit, dengan Chi-Square = 0,00, df = 0, P-value = 1,00000, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu PTG (spiritual change). Kemudian peneliti melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.10 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic growth (Spiritual Change) No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 5 0,55 0,09 6,36 V 10 0,88 0,09 9,33 V 15 0,68 0,09 7,62 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Pada tabel di atas dapat dilihat seluruh aitem memiliki nilai t > 1,96 yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada tahapan ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini, tidak didapatkan korelasi kesalahan antar aitem. Dengan demikian tidak ada aitem yang di drop pada faktor ini.

256 Uji Validitas Konstruk Harapan (Hope) 1. Waypower Peneliti mengujji apakah 5 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala harapan (waypower) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 97,00, df = 5, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,348. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya diperoleh model fit dengan Chi-Square = 5,56, df = 2, P-value = 0,06217, RMSEA = 0,108. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu waypower. Langkah selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya aitem tersebut signifikan dan sebaliknya.bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

257 84 Tabel 3.11 Muatan Faktor Aitem Waypower No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 2 0,37 0,08 4,46 V 4 0,66 0,07 8,81 V 6 0,91 0,07 13,86 V 8 0,88 0,07 13,18 V 10 0,72 0,07 9,94 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.12 dapat kita lihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Hanya satu aitem yang bersifat unidimensional yaitu aitem nomor 6. Aitem yang tidak bagus adalah aitem 2 dan akan di drop. Karena kesalahan pengukuran aitem tersebut terlalu banyak berkorelasi dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Aitem 4, 8, dan 10 bersifat multidimensional, namun tetap tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian hanya aitem 4, 6, 8 dan 10 yang bobot nilainya akan diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor.

258 85 2. Willpower Peneliti mengujji apakah 5 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala harapan (willpower) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor fit, dengan Chi-Square = 2,48, df = 5, P-value = 0,77941, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P- value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu willpower. Langkah selanjutnya dengan melihat apakan signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari aitem. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.12 Muatan Faktor Aitem Willpower No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 1 0,67 0,08 8,55 V 3 0,65 0,08 8,16 V 5 0,55 0,08 6,76 V 7 0,77 0,08 10,29 V 9 0,76 0,08 10,12 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan

259 86 Pada tabel 3.11, didapatkan seluruh aitem memiliki nilai (t > 1,96) yang artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Selanjutnya berdasarkan tabel tersebut pada kolom koefisien tidak terdapat aitem yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian pada faktor ini tidak ada aitem yang di drop. Pada model pengukuran ini tidak terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Artinya dapat disimpulkan bahwa aitem-aitem tersebut bersifat unidimensional. Item yang baik adalah kesalahan pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Dengan demikian tidak ada aitem yang di drop pada faktor ini Uji Validitas Konstruk Coping Religius 1. Coping Religius Positif Peneliti mengujji apakah 6 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala coping religius (coping religius positif) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 41,32, df = 9, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,154. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 14,06, df = 7, P-value = 0,05011, RMSEA = 0,081. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu coping religius positif.

260 87 Tahap selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.13 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Positif No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 1 0,65 0,08 8,25 V 3 0,76 0,08 9,98 V 5 0,54 0,08 6,49 V 7 0,77 0,08 10,27 V 9 0,67 0,08 8,50 V 11 0,59 0,08 7,28 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.13 dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Aitem nomor 5, 9 dan 11 bersifat multidimensional namun tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian seluruh aitem diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor.

261 88 2. Coping Religius Negatif Peneliti mengujji apakah 5 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala coping religius (coping religius negatif) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 45,13, df = 5, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,230. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 3,63, df = 3, P-value = 0,30441, RMSEA = 0,037. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu coping religius negatif. Selanjutnya dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

262 89 Tabel 3.14 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Negatif No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 2 0,69 0,08 8,97 V 4 0,01 0,09 0,07 X 6 0,77 0,08 10,01 V 8 0,19 0,09 2,19 V 10 0,86 0,08 11,44 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa aitem nomor 4 tidak signifikan (t < 1,96), sedangkan aitem lainnya signifikan (t > 1,96) artinya pada aitem nomor 4 akan di drop dan tidak diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. Sedangkan pada kolom koefisien tidak ada koefisien yang bermuatan negatif. Dengan demikian pada tahapan ini hanya aitem nomor 4 yang di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Aitem nomor 2, 4, 6, dan 8 bersifat multidimensional namun tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian pada faktor ini hanya aitem nomer 4 yang di drop dan diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor.

263 Uji Validitas Konstruk Social Support 1. Informational Support Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (informational support) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 13,35, df = 2, P-value = 0,00126, RMSEA = 0,193. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0,03, df = 1, P-value = 0,86940, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (informational support). Tahapan selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

264 91 Tabel 3.15 Muatan Faktor Aitem Informational Support No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 2 0,67 0,07 8,96 V 7 0,76 0,07 10,51 V 12 0,99 0,07 15,32 V 17 0,74 0,07 10,15 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Hampir seluruh aitem bersifat unidimensional, namun hanya aitem nomor 2 dan 7 yang saling berkorelasi. Namun aitem-aitem ini tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian pada faktor ini seluruh aitem diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. 2. Emotional Support Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (emotional support) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square = 10,46, df = 2, P-value = 0,00536, RMSEA = 0,167. Namun, setelah

265 92 dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0,05, df = 1, P-value = 0,82935, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (emotional support). Langkah selanjutnya dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.16 Muatan Faktor Aitem Emotional Support No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 1 0,84 0,07 11,41 V 6 0,84 0,07 11,42 V 11 0,62 0,08 7,87 V 16 0,66 0,08 8,54 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.15 dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop.

266 93 Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Hampir seluruh aitem bersifat unidimensional, namun hanya aitem nomor 11 dan 16 yang saling berkorelasi. Namun aitem-aitem ini tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian pada faktor ini seluruh aitem diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. 3. Affectionate Support Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (affectionate support) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor fit, dengan Chi- Square = 0,31, df = 2, P-value = 0,85729, RMSEA = 0,000. Kemudian nilai Chi- Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (affectionate support). Tahapan selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:

267 94 Tabel 3.17 Muatan Faktor Aitem Affectionate Support No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 4 0,58 0,08 6,88 V 9 0,66 0,08 8,07 V 14 0,67 0,08 8,15 V 19 0,80 0,08 10,01 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.18 dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini tidak terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Seluruh aitem bersifat unidimensional, yang artinya aitem-aitem tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. 4. Positive Social Interaction Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (positive social interaction) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor fit, dengan Chi-Square = 5,48, df = 2, P-value = 0,06473, RMSEA = 0,107, Kemudian nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model

268 95 dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (positive social interaction). Langkah selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.18 Muatan Faktor Aitem Positive Social Interaction No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 5 0,58 0,08 7,16 V 10 0,80 0,07 10,75 V 15 0,78 0,08 10,36 V 20 0,74 0,08 9,66 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini tidak terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Seluruh aitem bersifat unidimensional, yang artinya aitem-aitem tersebut hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian seluruh aitem pada faktor ini diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor.

269 96 5. Tangible Support Peneliti mengujji apakah 4 aitem yang ada bersifat unidimensional dengan mengukur skala social support (tangible support) yang digunakan. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan, didapatkan model satu faktor tidak fit, dengan Chi- Square = 13,35, df = 2, P-value = 0,00126, RMSEA = 0,193. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa aitem dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0,09, df = 1, P-value = 0,76213, RMSEA = 0,000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh aitem mengukur satu faktor saja yaitu social support (tangible support). Tahapan selanjutnya adalah dengan melihat apakah signifikan aitem tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Sekaligus menentukan apakah aitem tersebut perlu di drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut: Tabel 3.19 Muatan Faktor Aitem Tangible Support No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan 3 0,50 0,09 5,81 V 8 0,76 0,09 8,38 V 13 0,73 0,10 7,60 V 18 0,69 0,10 7,20 V Keterangan: tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan

270 97 Berdasarkan tabel 3.17 dapat dilihat bahwa seluruh aitem signifikan (t > 1,96) dan seluruh koefisien bermuatan positif. Artinya koefisien muatan faktor aitem-aitem tersebut signifikan. Dengan demikian pada tahapan ini aitem-aitem tersebut tidak akan di drop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran aitem yang saling berkorelasi. Hampir seluruh aitem bersifat unidimensional, namun hanya aitem nomor 13 dan 18 yang saling berkorelasi. Namun aitem-aitem ini tidak di drop karena kesalahan pengukuran aitem hanya berkorelasi satu dengan kesalahan pengukuran aitem lainnya. Dengan demikian pada faktor ini seluruh aitem diikutsertakan dalam perhitungan skor faktor. 3.7 Prosedur Pengumpulan Data Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, antara lain: 1. Peneliti menerjemahkan aitem-aitem alat ukur Posttraumatic growth (PTG), harapan, coping religius dan dukungan sosial dari bahasa aslinya yaitu, bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia serta menyesuaikan bahasa yang digunakan dengan kondisi subjek di UPT T&R BNN. 2. Menambahkan data-data demografis yang dibutuhkan dan menyusun format dari alat ukur, seperti pengaturan tampilan huruf dan halaman kuesioner, penelitian pengantar dan petunjuk pengisian. 3. Mendiskusikan aitem-aitem dengan dua orang dosen untuk mengecek ketepatan hasil adaptasi pada aitem-aitem skala PTG, harapan, coping religius dan dukungan sosial.

271 98 4. Membuat surat izin penelitian kepada pihak Fakultas Psikologi dan mengantarkannya kepada pihak UPT T&R BNN. 5. Setelah peneliti mendapatkan izin dari pihak UPT T&R BNN untuk melakukan penelitian, peneliti menyebarkan skala dengan bantuan pihak UPT T&R BNN dan menyesuaikan waktu pembagian skala dengan waktu yang ada agar tidak mengganggu program yang terdapat di UPT T&R BNN. Penelitian dilakukan pada tanggal September Metode Analisis Data Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat pengaruh yang signifikan faktor-faktor yang mempengaruhi Posttraumatic growth pada recovering addict, maka peneliti mengolah data yang didapatkan dengan menggunakan teknik statistik Multiple Regression Analysis (analisis regresi berganda). Teknik analisis regresi berganda ini digunakan agar dapat menjawab hipotesis nihil yang terdapat pada BAB 2. Dengan dependent variabel yaitu porttraumatic growth, dan independent variabel harapan, coping religius, social support dan fase, maka persamaan regresinya adalah sebagai berikut: Y = a + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 + b 4 X 4 + b 5 X 5 + b 6 X 6 + b 7 X 7 + b 8 X 8 + b 9 X 9 + b 10 X 10 + b 11 X 11 Dimana : Y a b : Posttraumatic growth : Konstan intersepsi : Koefisien regresi untuk masing-masing IV

272 99 X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 X 10 X 11 : Harapan (Waypower) : Harapan (Willpower) : Coping Religius Positif : Coping Religius Negatif : Informational Support : Emotional Support : Affectionate Support : Positive Social Interaction : Tangible Support : Usia : Fase Rehabilitasi Dalam analisis regresi berganda ini dapat diperoleh beberapa informasi, yaitu : 1. R 2 yang menunjukkan besarnya sumbangan atau kontribusi dari seluruh independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV) 2. Uji hipotesis mengenai signifikansi dampak atau pengaruh seluruh IV terhadap DV. 3. Uji hipotesis mengenai signifikan atau tidaknya masing-masing koefisien regresi. Koefisien yang signifikan menunjukkan pengaruh yang signifikan dari independent variable (IV) yang bersangkutan. 4. R 2 change yang menunjukkan besarnya sumbangan atau kontribusi dari setiap IV pada DV. 5. Uji hipotesis mengenai signifikan atau tidaknya masing-masing sumbangan atau kontribusi setiap IV yang diberikan pada DV.

273 100 BAB IV HASIL PENELITIAN Pada bab empat ini, peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi dua bagian yaitu, analisis deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian. 4.1 Analisis Deskriptif Gambaran Umum Recovering Addict berdasarkan Fase Rehabilitasi Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 153 recovering addict yang terdiri dari residen primary, residen re-entry serta staff adiksi yang tercatat di dalam UPT T&R BNN. Berikut ini penjelasan gambaran subjek berdasarkan fase rehabilitasi: Tabel 4.1 Gambaran Recovering Addict berdasarkan Fase Rehabilitasi Fase Jumlah Persentase Primary Green 76 49,67% Primary Hope 40 26,14% Re-Entry 24 15,69% Staff Adiksi (Mayor) 13 8,5% Total % 100

274 Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic growth Berikut ini penjelasan gambaran subjek berdasarkan tingkat posttraumatic growth secara keseluruhan dan juga pada setiap fase rehabilitasi: Tabel 4.2 Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic growth Tingkat Posttraumatic growth Jumlah Persentase Tinggi 74 48,37% Rendah 79 51,63% TOTAL % Perubahan positif atau pottraumatic growth pada recovering addict didapatkan masih lebih banyak berada pada tingkat rendah. Yang berarti bahwa recovering addict pada UPT T&R BNN masih belum banyak mengalami perubahan positif pasca berhenti dari penggunaan NAPZA, namun terdapat 48,37% dari keseluruhan jumlah sampel sudah mengalami perubahan positif pasca berhenti menggunakan NAPZA. Namun, posttraumatic growth merupakan sebuah proses, sehingga recovering addict masih memiliki waktu dalam mengembangkan PTG yang dimiliki.

275 Uji Hipotesis Penelitian Analisis Regresi Variabel Penelitian Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis penelitian dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunalan software SPSS 17. Seperti yang sudah disebutkan pada bab 3, dalam regresi ada 5 hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R 2 untuk mengetahui berapa persen (%) sumbangan atau kontribusi seluruh IV terhadap DV, kedua melihat signifikansi dampak atau pengaruh seluruh IV terhadap DV, ketiga melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing IV, keempat melihat besaran R 2 change untuk mengetahui berapa persen (%) sumbangan atau kontribusi dari masing-masing IV dan terakhir melihat apakah sumbangan dari masing-masing IV berpengaruh signifikan terhadap DV. Langkah pertama peneliti menganalisis seberapa besar sumbangan yang diberikan oleh seluruh IV terhadap DV. Tabel R square dapat dilihat sebagai berikut:

276 103 Tabel 4.3 R square Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 0,711 a 0,506 0,467 0, a. Predictors: (Constant), Fase Rehabilitasi, Waypower, Usia, CRNegatif, TangSupp, CRPositif, EmSupp, AffSupp, Willpower, PosSocInt, InfSupp Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa perolehan R square sebesar 0,506 atau 50,6%. Artinya 50,6% variasi dari PTG dapat dijelaskan oleh variasi dari seluruh IV sedangkan 49,4% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Langkah selanjutnya yaitu menganalisis dampak atau pengaruh dari seluruh variabel independen terhadap posttraumatic growth. Adapun hasil uji F dapat dilihat sebagai berikut:

277 104 Tabel 4.4 Anova ANOVA b Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 70, ,382 13,107 0,000 a Residual 68, ,487 Total 138, a. Predictors: (Constant), Fase Rehabilitasi, Waypower, Usia, CRNegatif, TangSupp, CRPositif, EmSupp, AffSupp, Willpower, PosSocInt, InfSupp b. Dependent Variable: PTG Berdasarkan tabel di atas di dapatkan signifikansinya adalah 0,000 (sig < 0,05), maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh variabel independen terhadap postrraumatic growth ditolak. Artinya ada pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius negatif, coping religius positif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, fase rehabilitasi dan usia terhadap posttraumatic growth. Langkah selanjutnya adalah melihat koefisien regresi tiap variabel independen. Cara melihatnya adalah dengan melihat pada kolom yang paling kanan. Jika nilai sig < 0,05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa variabel besar tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap posttraumatic growth. Adapun penyajiannya ditampilkan pada tabel berikut:

278 105 Tabel 4.5 Koefisien Regresi Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta T Sig. 1 (Constant) 0,185,0301 0,614 0,541 Waypower 0,162 0,087 0,153 1,873 0,063 Willpower 0,345 0,093 0,310 3,711 0,000 Coping Religius Negatif -0,131 0,068-0,122-1,930 0,056 Coping Religius Positif 0,140 0,076 0,130 1,847 0,067 Informational Support 0,397 0,107 0,381 3,718 0,000 Emotional Support -0,133 0,119-0,124-1,118 0,265 Affectionate Support -0,084 0,101-0,073-0,825 0,411 Positive Social Interaction 0,187 0,099 0,172 1,900 0,059 Tangible Support -0,070 0,084-0,063-0,835 0,405 Usia -0,008 0,010-0,048-0,765 0,445 Fase Rehabilitasi 0,022 0,063 0,023 0,353 0,725 a. Dependent Variable: PTG Berdasarkan koefisien regresi pada tabel di atas, dapat disampaikan bahwa persamaan pada posttraumatic growth adalah: Posttraumatic growth = 0, ,162Waypower + 0,345Willpower* 0,131Coping Religius Negatif + 0,140Coping Religius Positif + 0,397Informational Support* 0,133Emotional Support 0,084Affectionate Support +

279 106 0,187Positive Social Interaction 0,070Tangible Support 0,008Usia + 0,022Fase Rehabilitasi Keterangan: (*) = signifikan Dari persamaan di atas hanya ada dua koefisien regresi yang signifikan, yaitu willpower dan informational support sedangkan sisa variabel lainnya tidak signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh masing-masing IV adalah sebagai berikut: 1. Variabel waypower (harapan): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,162 dengan signifikansi 0,063 (sig > 0,05), yang berarti bahwa variabel waypower (harapan) secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi waypower maka semakin tinggi posttraumatic growth, dan dalam hal ini waypower tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 2. Variabel harapan willpower (harapan): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,345 dengan signifikansi 0,000 (sig < 0,05), yang berarti bahwa variabel willpower (harapan) secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan signifikan. Jadi, semakin tinggi willpower maka semakin tinggi posttraumatic growth, dan dalam hal ini willpower berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 3. Variabel coping religius negatif: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar - 0,131 dengan signifikansi 0,056 (sig > 0,05), yang berarti bahwa variabel

280 107 coping religius negatif secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi coping religius negatif maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini coping religius negatif tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 4. Variabel coping religius positif: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,140 dengan signifikansi 0,067 (sig > 0,05), yang berarti bahwa variabel coping religius positif secara positif mempengaruhi posttraumatic growth namun tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi coping religius positif maka semakin tinggi posttraumatic growth, namun dalam hal ini coping religius positif tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 5. Variabel informational support (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,397 dengan signifikansi 0,000 (sig < 0,05), yang berarti bahwa informational support (social support) secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan signifikan. Jadi, semakin tinggi informational support maka semakin tinggi posttraumatic growth, dan informational support berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 6. Variabel emotional support (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,133 dengan signifikansi 0,265 (sig > 0,05), yang berarti bahwa emotional support (social support) secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi emotional support maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini

281 108 emotional support tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 7. Variabel affectionate support (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,084 dengan signifikansi 0,411 (sig > 0,05), yang berarti bahwa affectionate support (social support) secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi affectionate support maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini affectoinate support tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 8. Variabel positive social interaction (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,187 dengan signifikansi 0,059 (sig > 0,05), yang berarti bahwa positive social interaction (social support) secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi positive social interaction maka semakin tinggi posttraumatic growth, namun dalam hal ini positive social interaction tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 9. Variabel tangible support (social support): diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,070 dengan signifikansi 0,405 (sig > 0,05), yang berarti bahwa tangible support (social support) secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi tangible support maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini tangible support tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth.

282 Variabel usia: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,008 dengan signifikansi 0,445 (sig > 0,05), yang berarti bahwa usia secara negatif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi usia maka semakin rendah posttraumatic growth, namun dalam hal ini usia tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. 11. Variabel fase rehabilitasi: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,022 dengan signifikansi 0,725 (sig > 0,05), yang berarti bahwa fase rehabilitasi secara positif mempengaruhi posttraumatic growth dan tidak signifikan. Jadi, semakin tinggi fase rehabilitasi maka semakin tinggi posttraumatic growth, namun dalam hal ini fase rehabilitasi tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. Pada tabel 4.5 koefisien regresi variabel independen di atas, dapat diketahui IV mana yang memiliki pengaruh lebih besar. Menurut Umar (2010) untuk melihat perbandingan besar kecilnya pengaruh antara tiap IV terhadap DV dapat diketahui dengan dua cara, yaitu dengan melihat signifikansinya dan standardized coefficients (beta). Dari dua IV yang berpengaruh signifikan terhadap DV diketahui perbandingan atau urutan IV yang memiliki pengaruh terbesar adalah sebagai berikut: 1. Informational support dengan beta = 0, Willpower dengan beta = 0,310

283 Pengujian Sumbangan Masing-masing Variabel Independen Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui bagaimana sumbangan atau kontribusi dari masing-masing variabel besar dan variabel independen terhadap posttraumatic growth. Penjelasan tabel 4.6 pada kolom pertama merupakan penambahan varians DV dari tiap variabel besar ataupun IV yang dianalisis satu per satu, kolom kedua merupakan nilai murni varians DV dari tiap variabel besar ataupun IV yang dimasukkan secara satu per satu, kolom ketiga adalah nilai F dari variabel besar ataupun IV yang bersangkutan, kolom DF adalah derajat bebas bagi variabel besar ataupun IV yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan denumerator. Kemudian pada kolom terakhir merupakan penjelasan signifikansi sumbangan dari setiap variabel besar ataupun IV. Besarnya sumbangan masing-masing variabel besar pada posttraumatic growth yang dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut:

284 111 Tabel 4.6 Sumbangan Masing-masing Variabel Independen Model Summary Change Statistics Model R Square R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change 1 0,288 0,288 60, , ,391 0,103 25, , ,405 0,014 3, , ,417 0,012 3, , ,486 0,069 19, , ,488 0,002 0, , ,497 0,010 2, , ,501 0,004 1, , ,503 0,002 0, , ,505 0,002 0, , ,506 0,000 0, ,725 Keterangan: X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 : Waypower (Harapan) : Willpower (Harapan) : Coping Religius Negatif : Coping Religius Positif : Informational Support (Social Support) : Emotional Support (Social Support) : Affectionate Support (Social Support) : Positive Social Interaction (Social Support)

285 112 X 9 X 10 X 11 : Tangible Support (Social Support) : Usia : Fase Rehabilitasi Dari tabel 4.6 dapat disampaikan informasi sebagai berikut: 1. Variabel waypower (harapan) memberikan sumbangan sebesar 28,8 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,000 (sig < 0,05), F = 60,996, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel harapan willpower (harapan) memberikan sumbangan sebesar 10,3 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,000 (sig < 0,05), F = 25,334, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel coping religius negatif memberikan sumbangan sebesar 1,4 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,060 (sig > 0,05), F = 3,592, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel coping religius positif memberikan sumbangan sebesar 1,2 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,082 (sig > 0,05), F = 3,066, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel informational support (social support) memberikan sumbangan sebesar 6,9 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut

286 113 signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,000 ( sig < 0,05), F = 19,624, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel emotional support (social support) memberikan sumbangan sebesar 0,2 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,447 (sig > 0,05), F = 0,582, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel affectionate support (social support) memberikan sumbangan sebesar 1 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,096 (sig > 0,05) dengan F = 2,767, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel positive social interaction (social support) memberikan sumbangan sebesar 0,4 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,312 (sig < 0,05) dengan F = 1,032, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel tangible support (social support) memberikan sumbangan sebesar 0,2 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,404 (sig > 0,05) dengan F = 0,700, df 1 = 1 dan df 2 = Variabel usia memberikan sumbangan sebesar 0,2 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,475 (sig > 0,05) dengan F = 0,512, df 1 = 1 dan df 2 = 142

287 Variabel fase rehabilitasi memberikan sumbangan sebesar 0 % dalam varians posttraumatic growth. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan signifikansi 0,725 (sig > 0,05) dengan F = 0,125, df 1 = 1 dan df 2 = 141 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 IV, yaitu waypower (harapan), willpower (harapan), dan informational support (social support) yang sumbangannya signifikan terhadap posttraumatic growth. Dari ketiga IV tersebut dapat dilihat mana yang paling besar memberikan sumbangan terhadap DV. Menurut Umar (2010) hal tersebut dapat diketahui dengan melihat nilai R 2 change-nya, jika semakin besar maka semakin banyak sumbangan yang diberikan terhadap DV. Dari tabel 4.6 di atas, dapat diketahui urutan IV yang memberikan sumbangan terbesar hingga terkecil adalah: 1. Waypower (harapan) dengan R 2 change = 0, Willpower (harapan) dengan R 2 change = 0, Informational support (social support) dengan R 2 change = 0,069

288 115 Dengan demikian hasil dari penelitian ini peneliti rangkum pada tabel berikut: Tabel 4.7 Rangkuman Hasil Penelitian Variabel Pengaruh Arah Besarnya Pengaruh Sumbangan Sumbangan Waypower Tidak Signifikan + 28,8% Signifikan Willpower Signifikan + 10,3% Signifikan Coping Religius Negatif Coping Religius Positif Informational Support Emotional Support Affectionate Support Positive Social Interaction Tangible Support Usia Fase Rehabilitasi Tidak Tidak 1,4% Signifikan Signifikan Tidak Tidak + 1,2% Signifikan Signifikan Signifikan + 6,9% Signifikan Tidak Tidak 0,2% Signifikan Signifikan Tidak Tidak 1% Signifkan Signifikan Tidak Tidak + 0,4% Signifikan Signifikan Tidak Tidak 0,2% signifikan Signifikan Tidak Tidak 0,2% Signifikan Signifikan Tidak Tidak + 0% Signifkan Signifikan

289 116 BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab 5 peneliti akan memaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Bab ini terdiri dari tiga bagian, yaitu kesimpulan, diskusi, dan saran. 5.1 Kesimpulan Setelah dilakukan penelitian dan didapatkan hasil-hasil yang kemudian analisis oleh peneliti, didapatkan kesimpulan yang juga merupakan jawaban dari permasalahan penelitian. Peneliti akan memaparkannya pada penjelasan berikut ini. Berdasarkan hasil analisis data penelitian maka kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah: Ada pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, information support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support, usia dan fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict (H 0 ditolak). Berdasarkan proporsi varians seluruhnya, seluruh IV memberikan sumbangan 50,6% dalam varians posttraumatic growth. Selanjutnya pada penelitian ini hanya terdapat dua variabel independen yang memberikan pengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth yaitu willpower (harapan) dan informational support (social support). Dengan demikian hanya ada dua hipotesis minor yang diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan dari willpower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict dan ada 116

290 117 pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict. Kemudian jika dilihat berdasarkan sumbangan dari masing-masing variabel, ternyata terdapat tiga variabel yang signifikan sumbangannya. Variabelvariabel tersebut antara lain waypower (harapan) dengan sumbangan 28,8%, willpower (harapan) dengan sumbangan 10,3% dan informational support (social support) dengan sumbangan 6,9%. 5.2 Diskusi Berdasarkan hasil yang didapatkan, variabel waypower atau kapasitas mental yang digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan tidak memiliki pengaruh yang signifkan terhadap PTG. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Ho dkk (2010) dimana waypower memiliki pengaruh yang signifikan pada perkembangan PTG. Kemudian Tedeschi dkk (1998) menyatakan bahwa waypower memiliki hubungan yang kuat dengan PTG. Ketidaksesuaian penelitian yang dilakukan Ho dkk dengan penelitian saat ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan karakteristik sampel penelitian, dimana Ho dkk menggunakan sampel penderita kanker sedangkan pada penelitian ini menggunakan sampel recovering addict. Menurut Snyder (1994) kemampuan seseorang untuk menciptakan waypower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun Christo & Morris (2004) menemukan bahwa pengguna NAPZA memiliki

291 118 dua kali lebih banyak pengalaman hidup yang traumatik dibandingkan populasi lainnya (dalam Hewit, 2007). Selain itu recovering addict juga mengalami kegagalan-kegagalan di masa lalu, baik kegagalan untuk mempertahankan keadaan clean-nya ataupun kegagalan yang lainnya. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa pengalaman traumatik recovering addict yang dua kali lebih banyak dibandingkan dengan populasi lainnya dan kegagalan yang dialaminya di masa lalu tentu akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menciptakan waypower. Hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut adalah apakah UPT T&R BNN sebagai tempat rehabilitasi sudah mampu memunculkan keberhasilan yang pernah dilakukan oleh recovering addict di tengah pengalaman masa lalu mereka yang traumatik, yang kemudian berguna bagi kemampuan untuk menciptakan waypower yang dimilikinya. Sehingga saat mereka mengalami kejadian traumatik yang dalam hal ini adalah penggunaan NAPZA atau masalah lain yang berkaitan dengan proses recovery, recovering addict memiliki kemampuan yang optimal untuk mencari strategi atau cara untuk mencapai tujuan yang diingikan dimana hal tersebut akan berpengaruh positif pada perkembangan PTG-nya. Selanjutnya berdasarkan hasil yang didapatkan, waypower memang tidak memberikan pengaruh yang signifikan, namun memberikan sumbangan yang signifikan yaitu sebesar 28,8% dan merupakan sumbangan yang paling besar di antara variabel lainnya. Menurut analisa peneliti perbedaan ini disebabkan karena ketika recovering addict hanya memiliki strategi atau cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan (waypower), hal tersebut tidak cukup memberikan pengaruh yang

292 119 signifikan untuk menghasilkan perubahan positif pasca berhenti menggunakan NAPZA (PTG). Namun ketika strategi untuk mencapai tujuan ini (waypower) dibantu dengan kehadiran variabel lainnya seperti willpower (komimen untuk mencapai tujuan), coping religius (coping religius positif dan negatif) dan social support (informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction dan tangible support), waypower menjadi variabel yang berpengaruh terhadap perkembangan PTG, dan bahkan memberikan sumbangan paling besar pada perkembangan PTG. Berdasarkan penjabaran ini maka dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan penggunaan faktor lain untuk membantu optimalnya waypower pada recovering addict di UPT T&R BNN yang berguna bagi perubahan positif pasca berhenti menggunakan NAPZA. Pembahasan selanjutnya yaitu pada variabel willpower dimana pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa willpower memberikan pengaruh signifikan pada PTG. Terdapat ketidaksesuaian dari hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dimana Ho dkk (2010) mendapatkan bahwa willpower tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PTG. Ketidaksesuaian ini menurut peneliti kemungkinan dikarenakan perbedaan karakteristik sampel sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian pembahasan waypower. Selain itu kemungkinan keadaan recovering addict pada UPT T&R BNN yaitu memiliki komitmen untuk mencapai tujuan (willpower) yang lebih besar namun belum memiliki cara atau strategi untuk mencapai tujuan tersebut (waypower) yang optimal.

293 120 Walaupun memang terdapat ketidaksesuaian dari hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, willpower tetap dibutuhkan dalam perkembangan PTG. Saat seseorang mengalami kejadian traumatik dalam hidupnya, seseorang akan menciptakan tujuan baru dan memperbaiki asumsinya tentang dunia agar dapat mengakui perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, yang kemudian berguna bagi perkembangan PTG (Linley & Joseph, 2004). Pada saat inilah dibutuhkan willpower atau komitmen recovering addict yang dapat menggerakkan mereka untuk mencapai tujuan baru pasca kejadian traumatik yang dialaminya. Willpower memunculkan persepsi seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan dalam mencapai tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam kehidupan (Snyder, 1994). Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa ketika recovering addict memiliki willpower yang tinggi maka ia akan memiliki komitmen yang kuat untuk mencapai tujuannya yang kemudian dapat meningkatkan PTG yang dimiliki. Selanjutnya peneliti melakukan analisis regresi tambahan pada variabel besar dari variabel yang digunakan pada penelitian ini yaitu harapan, coping religius dan social support yang berguna sebagai data tambahan. Berdasarkan analisis regresi pada variabel besar, didapatkan hasil sebagai berikut:

294 121 Tabel 5.1 Hasil Analisis Regresi Berdasarkan Variabel Besar Variabel Harapan (hope) Coping Religius Social Support Arah Tingkat Signifikansi Pengaruh Sumbangan Pengaruh Pengaruh Sumbangan Signifikan ,3 % Signifikan Tidak Tidak + 3 0,4% Signifikan Signifikan Signifikan + 2 4,7% Signifikan Berdasarkan tabel di atas didapatkan bahwa harapan (hope) secara general memberikan pengaruh yang signifikan dengan arah pengaruh positif (variabel besar yang paling berpengaruh) dan sumbangan yang signifikan sebesar 37,3 % pada PTG yang juga merupakan sumbangan terbesar di antara variabel besar lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ho dkk (2010) yang mendapatkan bahwa harapan memiliki korelasi yang baik dengan PTG. Secara garis besar keadaan harapan (hope) pada recovering addict di UPT T&R BNN sesuai dengan kombinasi harapan yang kedua yaitu individu dengan willpower tinggi namun memiliki waypower yang rendah. Dimana mereka memiliki komitmen atau motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan namun tidak memiliki cukup cara untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini tentu merupakan keadaan yang kurang ideal, dimana menurut Snyder (1994) dalam beberapa keadaan ketidakmampuan seseorang dalam berpikir tentang cara untuk mencapai tujuan (waypower) akan menyebabkan seseorang cenderung mengalami kehilangan waypower.

295 122 Pada variabel selanjutnya yaitu coping religius negatif dan coping religius positif terdapat ketidaksesuaian hasil penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya. Kedua variabel ini tidak memberikan pengaruh ataupun sumbangan yang signifikan pada PTG. Begitu juga pada analisis regresi tambahan berdasarkan variabel besar yang telah dijelaskan pada tabel 5.1, dimana tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari coping religius secara general terhadap PTG. Padahal pada penelitian yang dilakukan oleh Prati & Pietrantoni (2010) didapatkan bahwa coping religius merupakan prediktor PTG yang baik. Hasil lain juga didapatkan dari Tedeschi dkk (dalam Pargament dkk, 2006) yang menemukan bahwa coping religius negatif berkorelasi tinggi dengan PTG. Selain itu pada penelitian Profit dkk (2007) yang dilakukan pada pendeta ditemukan terdapat hubungan yang kuat pada kedua jenis coping dengan perkembangan PTG, dimana coping religius negatif memiliki hubungan yang lebih kuat dibandingkan coping religius positif. Begitu pula pada penelitian yang dilakukan Thombre dkk (2010) pada caregiver, dimana coping religius berhubungan secara signifikan dengan PTG. Coping religius positif akan menghasilkan nilai PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan coping religius negatif. Ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan oleh perbedaan karakteristik sampel penelitian. Menurut Kendler (dalam Hawari, 2002) para penyalahguna NAZA telah kehilangan basic spiritual needs dan untuk mengisi kebutuhan yang hilang itu digantikan dengan mengkonsumsi NAZA. Sedangkan menurut Pargament (dalam Prati &

296 123 Pietrantoni, 2009) disebutkan bahwa pengukuran coping religius pada seseorang seharusnya dengan melihat bagaimana ia menggunakan agama untuk memahami dan menerima stressor yang ada. Berdasarkan hal ini, kemungkinan recovering addict pada UPT T&R BNN belum berhasil menemukan kembali sepenuhnya basic spiritual needs yang mereka miliki yaitu agama. Sehingga mereka lebih banyak menggunakan coping jenis lainnya dimana agama bukanlah hal utama yang dijadikan coping dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Ada faktor lain yang berkaitan dengan penggunaan jenis coping lain yang memiliki pengaruh lebih besar pada PTG recovering addict. Selanjutnya, berdasarkan kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini, dari 5 jenis social support yang diteliti hanya terdapat satu jenis social support yang memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG yaitu informational support atau dukungan sosial berupa informasi dan merupakan faktor yang memberikan pengaruh paling besar terhadap PTG pada recovering addict di antara faktor lainnya. Selain itu juga didapatkan pengaruh yang positif, yang artinya semakin tinggi informational support yang dimiliki oleh recovering addict maka semakin tinggi pula PTG yang mereka miliki. Menurut Taylor (2009) dukungan berupa informasi dapat membantu individu lebih memahami kejadian menekan atau stressful yang dihadapi dan dapat menentukan sumber permasalahan dan strategi coping yang akan dilakukan. Dukungan informasi seperti pemberian informasi, saran ataupun feedback

297 124 memang sudah didapatkan dengan optimal oleh recovering addict di UPT T&R BNN. Hal ini didapatkan melalui program yang dijalani oleh mereka setiap harinya, dimana recovering addict saling memberikan saran ataupun feedback bagi recovering addict lainnya yang membutuhkan. Jenis social support lain seperti emotional support, affectionate support, positive social interaction dan tangible support tidak memberikan pengaruh dan sumbangan yang signifikan pada PTG. Memang tidak ada penelitian yang secara khusus meneliti tentang jenis social support berdasarkan dimensi yang dijelaskan oleh Sherbourne & Stewart (1991) dengan PTG. Hal ini juga menjadi saran dari penelitian Prati & Pietrantoni (2009) dimana untuk penelitan selanjutnya dilakukan penelitian social support berdasarkan jenis dukungannya yang dikaitkan dengan PTG. Namun penelitian terpisah yang dilakukan Abraido-Lanza (1998) (dalam Diggens, 2003) pada penderita penyakit arthritis, lupus dan penyakit kronis lain dan pada survivor kecelakaan kapal laut oleh Joseph dkk ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara emotional support dengan PTG. Selanjutnya Park dkk (1993) (dalam Diggens, 2003) menemukan bahwa kepuasan akan emotional support memiliki hubungan yang signifikan dengan PTG. Ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan oleh perbedaan situasi sampel. Dimana pada recovering addict, lingkungan komunitasnya adalah orang-orang dengan karakterstik yang sama yaitu sama-sama bermasalah. Iswardani (2011) menyatakan bahwa 30-60% residen primary green dan primary hope (yang merupakan 75, 81% sampel pada

298 125 penelitian ini) memiliki masalah pada fungsi psikologis (self-esteem, depresi, kecemasan, keyakinan pengambilan keputusan), dan fungsi sosial (masalah masa kanak-kanak, permusuhan, pengambilan resiko, konformitas sosial). Sehingga dukungan emosi yang berupa dukungan ekspresi afek yang positif tidak didapatkan secara optimal oleh recovering addict di UPT T&R BNN. Berbeda dengan penderita penyakit lupus misalnya, dimana mereka banyak mendapatkan dukungan dari orang-orang yang netral dan memiliki sudut pandang yang berbeda. Mungkin pengaruh dukungan sosial akan berbeda jika penelitian ini dilakukan pada recovering addict yang tidak berada di rehabilitasi, dimana mereka bisa mendapatkan dukungan dengan lebih optimal dari orangorang dengan karakterstik yang berbeda dengan dirinya misalnya dari keluarga. Selanjutnya berdasarkan analisis regresi tambahan berdasarkan variabel besar social support yang dijelaskan pada tabel 5.1, didapatkan pengaruh yang signifikan antara social support secara general dengan PTG. dengan sumbangan yang juga signifikan sebesar 4,7%. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana terdapat pengaruh positif yang signifikan dari social support secara general pada PTG (Prati & Pietrantoni, 2009). Penelitian sebelumnya yang dilakukan Cadell dkk pada caregiver HIV/AIDS, didapatkan adanya peningkatan PTG ketika social support yang dimiliki juga meningkat, yang juga terjadi pada anak-anak korban bencana badai topan (Cryder, Kilmer, Tedeschi & Calhoun, dalam Wilson & Boden, 2008) dan anak-anak serta remaja korban bencana topan katrina (Schexnaildre, 2007). Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan oleh Tedeschi dkk (1998) bahwa social support memegang sebuah peranan dalam

299 126 perkembangan PTG. Melalui interaksi sosial seseorang dapat mengalami perubahan dalam hal hubungan dengan orang lain seperti memiliki hubungan yang lebih kuat dan dekat atau perubahan tentang bagaimana ia memandang arti dari hubungan itu sendiri (Diggens, 2003). Perubahan-perubahan tersebut merupakan bagian dari PTG. Pada variabel selanjutnya yaitu usia didapatkan hasil bahwa usia tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada PTG. Jadi tidak ada perbedaan tingkat PTG yang signifikan antara recovering addict dengan usia yang lebih muda dan dengan usia yang lebih tua. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ho dkk (2010) pada pasien kanker dimana umur tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG. Walaupun pada penelitian Manne dkk (2004) didapatkan bahwa usia yang lebih muda memiliki tingkat PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Usia menjadi faktor yang tidak memberikan pengaruh signifikan pada PTG recovering addict kemungkinan dikarenakan kecanduan merupakan penyakit seumur hidup, maka pemulihan atau recovery yang dijalani oleh recovering addict juga merupakan proses seumur hidup (BNN, 2009). Maka dari itu tidak ada perbedaan tekanan yang dialami oleh recovering addict dengan usia lebih muda ataupun lebih tua dalam hal bersih dari penggunaan NAPZA. Dimana recovering addict harus menahan craving atau sugesti untuk menggunakan kembali NAPZA agar tidak mengalami kekambuhan atau relapse yang mengancam sepanjang hidupnya.

300 127 Selanjutnya pada variabel fase rehabilitasi, didapatkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan pada PTG. Ini artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat PTG pada fase primary green, primary hope, re-entry ataupun staff adiksi. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan McMillen (2001) (dalam Hewit, 2007) yang menyatakan bahwa recovering addict pada fase awal rehabilitasi memiliki tingkat PTG yang lebih rendah dibandingkan pada tingkat yang lebih tinggi. Kemudian penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Manne dkk (2004) yang menyatakan bahwa semakin lama jarak waktu setelah seseorang didiagnosis penyakit kanker (dalam hal ini sama dengan fase rehabilitasi) maka semakin tinggi tingkat PTG. Ketidaksesuaian ini mungkin disebabkan oleh jarak waktu bersih dari penggunaan NAPZA recovering addict (fase rehabilitasi) pada penelelitian ini yang tidak berbeda jauh. Sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara PTG recovering addict pada fase awal dengan fase selanjutnya. Selain itu sebagai data tambahan lainnya peneliti membagi sampel yang diteliti menjadi dua kelompok yang dilihat berdasarkan tingkat PTG. Tujuan dari pembagian kelompok ini adalah untuk melihat faktor apakah yang paling berpengaruh pada kedua kelompok tersebut yaitu kelompok dengan PTG tinggi dan kelompok dengan PTG rendah. Berdasarkan analisis regresi pada kelompok dengan tingkat PTG tinggi dan rendah didapatkan hasil sebagai berikut: a. Kelompok dengan PTG tinggi: faktor yang memberikan pengaruh terbesar adalah informational support (hanya faktor informational support yang signifikan)

301 128 b. Kelompok dengan PTG rendah: faktor yang memberikan pengaruh terbesar adalah willpower (hanya faktor willpower yang signifikan) Berdasarkan hasil dari analisis regresi di atas, didapatkan hasil yang menarik. Walaupun pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi PTG adalah informational support, namun hasil dari faktor yang paling mempengaruhi berdasarkan kelompok tingkat PTG ini menunjukkan bahwa wilpower-lah yang memberikan pengaruh terbesar pada PTG recovering addict. Hal ini dapat diartikan bahwa diperlukan pengoptimalan willpower yang dimiliki oleh recovering addict terlebih dahulu untuk menghasilkan perkembangan PTG optimal pada tahapan awal pasca pengalaman traumatik. Dimana pada tahapan awal pasca mengalami kejadian traumatik dibutuhkan keteguhan hati, komitmen dan motivasi recovering addict yang dapat menggerakkannya untuk mencapai tujuan baru pasca kejadian traumatik yang dialaminya yang kemudian berguna bagi perkembangan PTG-nya. Menurut Snyder (1994) willpower dapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat memahami dan mempresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Maka dari itu penting bagi recovering addict untuk memahami dan mempresentasikan tujuannya secara jelas, misalnya untuk tetap bersih dari penggunaan NAPZA (abstinens) sehingga mereka memiliki komitmen yang lebih kuat untuk mencapainya dan kemudian berguna bagi perkembangan PTG-nya. Selain itu willpower juga berkaitan dengan keberhasilannya dalam menghadapi suatu masalah pada pengalaman sebelumnya. Recovering addict

302 129 memiliki rasa percaya diri yang rendah, kurang yakin pada kemampuan sendiri, pesimis dan mudah putus asa (BNN, 2009). Maka dari itu, recovering addict perlu diberikan penguatan dengan mengingatkannya kembali dengan keberhasilankeberhasilan yang pernah mereka lakukan, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan motivasi dan rasa percaya dirinya dalam mencapai tujuan yang mereka inginkan. Selanjutnya pada kelompok tinggi, PTG dipengaruhi oleh faktor informational support. Salah satu karakteristik dari recovering addict adalah tidak mampu mengatasi masalah (BNN, 2009). Maka dari itu, setelah recovering addict memiliki komitmen untuk mencapai tujuannya dengan baik, maka kemudian diperlukan dukungan berupa informasi, saran ataupun feedback yang kemudian dapat berguna untuk membantu menentukan sumber permasalahan dan strategi coping yang akan dilakukan. Karena kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping juga dapat membantu perkembangan PTG (Tedeschi & Calhoun, 2004). 5.3 Saran Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang didapatkan, peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu peneliti membagi saran menjadi 2, yaitu saran metodologis dan sara praktis. Saran ini dapat dijadikan pertimbangan bagi penelitian lain yang akan meneliti dependen variabel yang sama.

303 Saran Metodologis 1. Pada penelitian ini peneliti tidak mendapatkan gambaran mengenai jumlah rehabilitasi yang pernah diikuti dan lama pemakaian recovering addict di UPT T&R BNN. Maka alangkah baiknya jika beberapa variabel demografis tambahan dimasukkan, antara lain seperti lama pemakaian NAPZA dan jumlah rehabilitasi yang pernah diikuti. Karena tentu akan berbeda dinamika PTG yang dimiliki antara recovering addict yang menjalani rehabilitasi untuk pertama kali dengan yang sudah menjalani rehabilitasi lebih dari satu kali. Begitu pula tentu akan berbeda dinamika recovering addict dengan jangka waktu penggunaan NAPZA yang bertahun-tahun dengan yang baru beberapa bulan. 2. Berdasarkan yang telah dipaparkan pada bagian diskusi, ada beberapa faktor yang menjadi terbatas perkembangannya dikarenakan situasi sampel yang berada di rehabilitasi misalnya adalah social support. Selain itu juga telah dijelaskan bahwa fase rehabilitasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG yang mungkin disebabkan jangka waktu bersih dari NAPZA dari setiap fase tidak berbeda jauh. Maka dari itu peneliti merasa bahwa alangkah baiknya jika sampel penelitian yang diteliti adalah recovering addict yang sudah tidak menjalani rehabilitasi (program aftercare) dan memiliki jangka waktu bersih dari penggunaan NAPZA yang lebih lama. Sehingga dinamika dari faktor yang mempengaruhi PTG dapat lebih terlihat.

304 Berdasarkan yang telah dipaparkan pada bagian diskusi, pada penelitian ini coping religius tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG yang mungkin disebabkan recovering addict belum menemukan kembali sepenuhnya basic spiritual needs yang dimiliki. Sehingga mereka tidak menjadikan agama sebagai alat yang digunakan sebagai coping. Maka apabila peneliti selanjutnya hendak meneliti tentang coping disarankan untuk menggunakan variabel strategi coping, sehingga peneliti selanjutnya dapat melihat coping yang digunakan secara komprehensif (tidak hanya coping religius). Selain itu juga dapat melihat strategi coping apa yang paling berpengaruh dalam PTG pada recovering addict. 4. Pada penelitian ini peneliti tidak dapat melihat PTG dengan lebih spesifik (PTG berdasarkan aspeknya). Maka akan bertambah baik jika dimensi dari DV yaitu PTG dijadikan variabel penelitian, sehingga PTG diteliti tidak hanya sebagai variabel besar tetapi juga dengan meneliti dimensinya. Dengan ini maka dapat lebih terlihat faktor apa yang mempengaruhi perubahan pada setiap dimensi PTG yang kemudian dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang dinamika pada dimensi PTG Saran Praktis 1. Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini didapatkan bahwa dukungan informasi dan willpower merupakan faktor yang memberikan pengaruh terbesar pada PTG. Namun berdasarkan analisa faktor dari kelompok dengan PTG tinggi dan rendah didapatkan bahwa willpower merupakan fakor yang

305 132 memberikan pengaruh pada kelompok dengan PTG yang rendah. Maka berdasarkan hasil ini alangkah baiknya jika keluarga, kerabat, teman ataupun pengelola panti rehabilitasi untuk memperhatikan willpower atau komitmen untuk mencapai tujuan yang diinginkan recovering addict terlebih dahulu pada awal pasca kejadian traumatik, baru kemudian mengoptimalkan dukungan informasi pada recovering addict. 2. Berdasaran hasil penelitian ini didapatkan bahwa dari dimensi social support hanya dukungan informasi yang memberikan pengaruh pada PTG, namun alangkah baiknya jika keluarga, kerabat ataupun orang sekitar selalu memberikan dukungan sosial baik materil maupun non materil kepada recovering addict. Karena hal tersebut akan membuat recovering addict merasa dihargai dan lebih mampu mengembangkan perubahan positif dalam hidupnya. 3. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan waypower tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG. Walaupun waypower tidak memberikan pengaruh yang signifikan, namun keberadaan willpower juga sangat berkaitan dengan waypower yang tentunya sangat berguna bagi perubahan positif para recovering addict. Karena menurut Snyder (1994) dalam beberapa keadaan, ketidakmampuan seseorang dalam berpikir tentang cara untuk mencapai tujuan (waypower) dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan seseorang mengalami kehilangan waypower. Maka dari itu alangkah baiknya jika pengelola panti rehabilitasi melakukan pengembangan lebih lanjut pada program yang dapat meningkatkan waypower. Misalnya program yang

306 133 memunculkan keberhasilan-keberhasilan masa lalu recovering addict dalam menghadapi suatu masalah, sehingga dapat membantu perkembangan waypower yang dimilikinya. 4. Berdasarkan hasil penelitian ini yang telah dipaparkan pada bagian diskusi didapatkan bahwa coping religius baik positif, negatif ataupun secara general tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG yang mungkin disebabkan karena recovering addict belum berhasil menemukan kembali basic spiritual needs yang dimilikinya. Maka alangkah baiknya jika pengelola panti rehabilitasi, keluarga, ataupun kerabat membantu recovering addict melakukan peningkatan basic spiritual needs yang dalam hal ini adalah kerohanian (agama). Karena tidak dapat dipungkiri agama dapat menjadi sumber dukungan dan mekanisme coping yang baik bagi perkembangan PTG. Bantuan yang mungkin dapat dilakukan pengelola panti rehabilitasi misalnya adalah dengan mengoptimalkan lebih lanjut programprogram yang berkaitan dengan religiusitas pada recovering addict.

307 134 DAFTAR PUSTAKA Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia. (2009). Pencegahan penyalahgunaan narkoba sejak usia dini. Jakarta: (h. 37, 97, , ). Calhoun, L.G., Cann, A., Tedeschi, R.G., & McMillan, J. (2000). A correlational test of relationship between posttraumatic growth, religion, and cognitive processing. Journal of Traumatic Stress, 13 vol 3 (h. 521, 525). Calhoun, L.G., & Tedeschi, R.G. (2004). The foundations of posttraumatic growth: new consideration. Journal of Psychological Inquiry, 15, (h. 93) Iswardani, Tri. (2011). Gambaran psikososial dan motivasi residen BNN. Jakarta. Diggens, Justine. (2003). Social support and posttraumatic growth following diagnosis with breast cancer. Tesis. Australia: University of Melbourne ( h. 7, 8-9, 11, 12-13) Gottlieb, B.H. (1983). Social support strategies. Beverly Hills, CA : Sage Publication, Inc (h. 35, 46, 137) Hanson, Katie. (2010). Posttraumatic growth. Diambil tanggal 25 November Hawari, Dadang. (2002). Dimensi religi dalam praktek psikiatri dan psikologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI (h. 127). Hewit, Anthony. J. (2007). After the fire: posttraumatic growth in recovery from addictions. Tesis. Inggris: University of Bath (h. 16, 23-24, 82-84, 152, 154, 60, 247, ). Ho, S., Rajandram, R.K., Chan, N., Samman, N., McGrath, C., Zwahlen, R.A. (2010). The roles of hope and optimism on posttraumatic growth in oral cavity cancer patients. Journal of Oral Oncology, 47 (2011), 123. Kuntjoro, Z.R. (2002). Dukungan sosial pada lansia. Diambil tanggal 20 Juli 2011 dari Linley, P.A., & Joseph, S. (2004). Positive psychology in practice. New Jersey: Hoboken. (h. 405, 406) Maddux, J.F., & Desmond, D.P. (1986). Relapse and recovery in substance abuse careers. Dalam Tims, F.M., & Leukefeld, C.G., Research analysis and utilization system: relapse and recovery in drug abuse. Maryland: NIDA Research Monograph Series. (h. 60) 134

308 135 Manne, S., Ostroff, J., Winkel, G., Goldstein, L., Fox, K., & Grana, G. (2004). Posttraumatic growth after breast cancer: patient, pertner, and couple perspectives. Journal of Psychosomatic Medicine, 66, (h. 442, 446, 449). Pargament, Ano & Wachholtz. (2005). The religious dimension of coping: advances in theory, research, and practice. Dalam Paloutzian, R.F., & Park, C.L. (2005). Handbook of the Psychology Religion and Spirituality. New York: Guilford Press (h. 481, 482, 484). Pargament, K.I., Desai, K.M., & McConnel, K.M. (2006). Spirituality and posttraumatic growth. Dalam Calhoun, L.G., & Tedeschi, R.G. (2006). Handbook of posttraumatic growth: research and practice. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates (h. 127). Prati, G., & Pietrantoni, L. (2009). Optimism, social support, and coping strategies as factors contributing to posttraumatic growth: a meta-analysis. Journal of Loss and Trauma, 14, , June 2007 (h. 365, 367, 371, , 376). Profit, D., Cann, A., Calhoun, L.G., & Tedeschi, R.G. (2007). Judeo-christian clergy and personal crisis. Journal of Religion and Health, Vol. 46, No. 2 (h. 220). Raiya, H.A.A. (2008). Psychological measure of islamic religiousness: evidence for relevance, reliability and validity. Disertasi. Ohio: Bowling Green State University (h. 3, 13). Rice, V.H. (2000). Handbook of stress, coping and health: implication for nursing research, theory and practice. California: Sage Publication (h. 11). Santrock, J.W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup jilid I. Jakarta: Erlangga (h. 320). Sarafino, E.P. (2006). Health psychology: biopsychosocial interactions. New york: John Willey & Sons, Inc (h. 87). Schmidt, A., & Ehmcke. (2008). The relation between posttraumatic growth and resilience in the south african context. Tesis. Johannesburg: University of the Witwatersrand. (h. 9, 11) Schexnaildre, M.A. (2007). Predicting posstraumatic growth: coping, social support and posttraumatic stress in children and adolescents after hurricane katrina. Tesis. Louisiana: Louisiana State University. Sherbourne, C.D., & Stewart, A.L. (1991). The mos social support survey. Journal of Social, Science, Medical. Vol. 32, No. 6, pp (h. 705).

309 136 Snyder, C.R. (1994). The psychology of hope: you can get from there from here. New York: The Free Press (h. 5-12, 31-34). Snyder, C.R., & Lopez, S.J. (2005). Handbook of positive psychology. New York: Oxford University Press Inc (258, 259). Snyder, C.R., & Lopez, S.J. (2007). Positive psychology: the scientific & practical exploration of human strength. California: Sage Publications. Taku, Cann, Tedeschi & Calhoun. (2008). The factor structure of the posttraumatic growth inventory: a comparison five models using confirmatory factor analysis. Journal of Traumatic Stress. Vol 21, No. 2, April 2008, pp (h. 158). Taylor, S.E. (2009). Health psychology. New York: McGraw Hill (h. 174, 180, ). Tedeschi, R.G., Park, C.L., & Calhoun, L.G. (1998). Posttraumatic growth: positive changes in the aftermath of crisis. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc (h. 37, 68, 72, 110). Tedeschi, R.G., & Calhoun, L.G. (2004). Posttraumatic growth: conceptual foundations and empirical evidence. Journal of Psychological Inquiry, 15, (h. 1, 2, 5-9, 12) Thombre, A., Sherman, A.C., & Simonton, S. (2010). Religious coping and posttraumatic growth among family caregivers of cancer patients in india. Journal of Psychosocial Oncology, 28, (h. 181, 183) Umar, Jahja. (2010). Personal Communication. Wesson, D.R., Havassy, B.E., & Smith, D.E. (1986). Theories of relapse and recovery and their implications for drug abuse treatment. Dalam Tims, F.M., & Leukefeld, C.G., Research analysis and utilization system: relapse and recovery in drug abuse. Maryland: NIDA Research Monograph Series (h. 14). Wilson, J.T., & Boden, J.M. (2007). The effects of personality, social support and religiosity on posttraumatic growth. The Australasian Journal of Disaster and Trauma Studies, Vol Yurliani, Rahma Gambaran social support pecandu narkoba. Skripsi: Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (h. 4). Znoj, Hansjörg. (2005). Bereavement and posttraumatic growth. Dalam Calhoun, L.G., & Tedeschi, R.G. (2006). Handbook of posttraumatic growth: research and practice. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates (h. 176).

310 LAMPIRAN 1: Kuesioner UPT Terapi dan Rehabilirasi Badan Narkotika Nasional September, 2011

311 FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Assalamu alaikum Wr. Wb Saya adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang melakukan penelitian untuk memenuhi tugas akhir. Oleh karena itu, saya mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi responden dalam penelitian ini dan mengisi kuesioner sesuai dengan keadaan pada diri Saudara. Dalam kuesioner ini tidak ada jawaban yang benar ataupun salah. Adapun informasi dan data Saudara akan sangat bermanfaat bagi penelitian saya dan akan dijamin kerahasiaannya. Atas perhatian dan bantuan Saudara saya ucapkan banyak terima kasih. Wassalamu alaikum Wr. Wb Hormat Saya, Farah Shafira DATA DIRI (Wajib Diisi) Nama (Inisial) : Fase : a). Primary ( a. Younger / b. Middle / c. Older ) b). Re-Entry ( a. Fase Orientasi / b. Fase A / c. Fase B / d. Fase C ) c). OJT / Mayor Usia : Jenis Kelamin : L / P Lama berhenti menggunakan NAPZA :

312 PETUNJUK Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang paling sesuai dengan keadaan Saudara saat ini sesuai dengan pilihan jawaban yang Saudara berikan, yaitu: SS S : Sangat Setuju : Setuju TS : Tidak Setuju STS : Sangat Tidak Setuju Contoh: No Pernyataan SS S TS STS 1. Saya orang yang bersemangat X No Pernyataan 1.1 SS S TS STS Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya dapat lebih menentukan mana hal yang penting dan tidak penting bagi kehidupan saya. Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya lebih percaya bahwa orang lain dapat membantu saya ketika mengalami kesulitan. Saya memiliki kepercayaan diri yang lebih besar setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. Saya mengembangkan minat baru setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya memiliki pemahaman spiritual yang lebih baik dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Saya memiliki pemahaman tentang nilai kehidupan yang lebih baik setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. Saya memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dengan orang lain setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya lebih mampu mengatasi kesulitan yang saya hadapi setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya menyusun pola hidup yang baru. Saya memiliki kepercayaan agama yang lebih kuat dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Saya dapat lebih menghargai hidup setiap harinya setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. 12. Saya lebih bisa mengekspresikan emosi dibandingkan saat masih

313 menggunakan NAPZA. No Pernyataan 1.2 SS S TS STS Saya dapat lebih menerima jalan yang telah ditakdirkan setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya mampu melakukan hal-hal yang lebih baik dalam kehidupan dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Saya memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya lebih memahami indahnya kehidupan setelah berhenti menggunakan NAPZA. Saya lebih memiliki rasa empati pada orang lain dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Saya merasa memiliki diri yang lebih kuat dibandingkan saat masih menggunakan NAPZA. Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya memiliki kesempatankesempatan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Saya berusaha menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. Setelah berhenti menggunakan NAPZA, saya memiliki keinginan yang lebih besar untuk mengubah hal-hal yang seharusnya saya ubah. Saya lebih menerima kebutuhan akan orang lain setelah tidak lagi menggunakan NAPZA. No Pernyataan 2 SS S TS STS 1. Saya yakin akan berhasil dalam menjalani proses pemulihan Saya dapat memikirkan cara-cara untuk mendapatkan hal-hal penting bagi hidup. Saya terus menerus berusaha dengan semangat untuk mencapai tujuan yang saya inginkan. Saya dapat memikirkan cara-cara untuk keluar dari permasalahan yang rumit. 5. Pengalaman masa lalu membuat saya siap menghadapi masa depan. 6. Banyak jalan keluar yang tersedia pada setiap kesulitan.

314 7. Saya mampu menentukan suatu tujuan bagi kehidupan saya. 8. Walaupun orang lain mengecilkan hati saya, saya dapat menemukan cara untuk menyelesaikan kesulitan yang saya hadapi. 9. Saya yakin dapat membuat perubahan positif dalam hidup. 10. Saya dapat mengandalkan kemampuan saya untuk mengatasi kesulitan dalam pemulihan. No Pernyataan 3 SS S TS STS 1. Ketika menghadapi kesulitan, saya mendekatkan diri kepada Tuhan Ketika menghadapi kesulitan, saya memikirkan apa yang telah saya lakukan sehingga Tuhan menghukum saya. Ketika menghadapi kesulitan, saya menganggap hal tersebut adalah ujian dari Tuhan untuk memperdalam iman saya. Ketika menghadapi kesulitan, saya mencoba menyelesaikan masalah sendiri tanpa meminta pertolongan pada Tuhan. Ketika menghadapi kesulitan, saya berharap Tuhan akan memberikan anugerah dan kasih sayang kepada saya. Ketika menghadapi kesulitan, saya merasa Tuhan memberikan hukuman atas kurangnya ketaatan saya. Ketika menghadapi kesulitan, saya membaca Kitab Suci untuk mendapatkan ketenangan. Ketika menghadapi kesulitan, saya merasa bahwa Tuhan tidak menjawab permohonan saya. 9. Ketika menghadapi kesulitan, saya meminta ampunan Tuhan Ketika menghadapi kesulitan, saya percaya bahwa Tuhan menghukum saya atas perbuatan buruk yang telah saya lakukan. Ketika menghadapi kesulitan, saya berusaha semampu saya dan berpasrah pada Tuhan. No Pernyataan 4.1 SS S TS STS 1. Saya memiliki seseorang yang dapat menjadi pendengar saat membutuhkan teman untuk berbicara. 2. Saya memiliki seseorang yang memberikan informasi yang dapat membantu memahami situasi yang saya hadapi.

315 3. Saya memiliki seseorang yang menemani saya ketika mengalami kesulitan tidur. 4. Saya memiliki seseorang yang menunjukkan perhatian kepada saya. 5. Saya memiliki seseorang yang menemani saya menghabiskan waktu bersama. 6. Saya memiliki seseorang sebagai tempat bercerita tentang diri saya dan kesulitan yang saya hadapi. 7. Saya memiliki seseorang yang memberikan masihat untuk kesulitan yang saya hadapi. 8. Saya memiliki seseorang yang mengantarkan saya ke dokter saat saya membutuhkannya. 9. Saya memiliki seseorang yang mencintai saya dan membuat saya merasa dibutuhkan. 10. Saya memiliki seseorang yang dapat dijadikan teman untuk bertukar cerita hal-hal yang lucu. No Pernyataan 4.2 SS S TS STS Saya memiliki seseorang yang dapat menjadi tempat berbagi ketakutan dan kecemasan yang saya hadapi. Saya memiliki seseorang yang memberikan nasihat yang saya butuhkan. Saya memiliki seseorang yang menyiapkan makanan untuk saya ketika sakit. Saya memiliki seseorang yang mengasihi saya ketika menghadapi kesulitan. Saya memiliki seseorang yang dapat menemani saya melakukan halhal yang menyenangkan. Saya memiliki seseorang yang dapat memahami kesulitan yang saya hadapi. Saya memiliki seseorang yang dapat memberikan saran dalam menangani kesulitan yang saya hadapi. Saya memiliki seseorang yang dapat membantu pekerjaan saya ketika sakit. 19. Saya memiliki seseorang yang memberikan kasih sayang kepada saya. 20. Saya memiliki seseorang yang dapat membuat saya tertawa.

316

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Posttraumatic Growth (PTG) 2.1.1 Pengertian Posttraumatic Growth is the experience of positive change that occurs as a result of the strunggle with highly challenging life cries

Lebih terperinci

Hubungan Antara Persepsi Tentang Foto Profil Pada Facebook Dengan Normal Narsisme Remaja

Hubungan Antara Persepsi Tentang Foto Profil Pada Facebook Dengan Normal Narsisme Remaja Hubungan Antara Persepsi Tentang Foto Profil Pada Facebook Dengan Normal Narsisme Remaja Disusun Oleh: NOVITA BARSELIA P. (106070002277) Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV di Indonesia telah berkembang dari sejumlah kasus kecil HIV dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko tinggi yang memiliki angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia. Menurut Hawari (dalam Mahledi

Lebih terperinci

Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Intensi Membeli Air Minum Dalam Kemasan Merek Aqua Pada Mahasiswa FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Intensi Membeli Air Minum Dalam Kemasan Merek Aqua Pada Mahasiswa FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Intensi Membeli Air Minum Dalam Kemasan Merek Aqua Pada Mahasiswa FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Di Susun Oleh: NYA SORAYA RIZKINA (106070002284) Skripsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit kanker merupakan penyakit dengan jumlah kematian tertinggi kedua setelah penyakit jantung di dunia (Kementrian kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA PERANTAU SKRIPSI. Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA PERANTAU SKRIPSI. Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA PERANTAU SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan Oleh : FIRDA

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menglami peristiwa traumatis. Post traumatic Growth bukan hanya. dengan orang lain dan falsafah hidup.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menglami peristiwa traumatis. Post traumatic Growth bukan hanya. dengan orang lain dan falsafah hidup. 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Post Traumatic Growth 1. Pengertian Post Traumatic Growth Post-traumtic Growth menurut Tedeschi dan Calhon (2006) adalah suatu perubahan positif seorang menuju level yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam perkembangan hidup manusia selalu di mulai dari berbagai tahapan, yang di mulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Posttraumatic Growth 1. Pengertian Posttraumatic Growth Posttraumatic Growth (PTG) telah dimasukkan sebagai kontruksi di cabang psikologi positif (Buxton, 2011). Psikologi positif

Lebih terperinci

PENGARUH INDEPENDENSI, KECAKAPAN PROFESIONAL, OBYEKTIVITAS, KOMPETENSI, DAN PENGALAMAN KERJA TERHADAP KUALITAS HASIL AUDIT

PENGARUH INDEPENDENSI, KECAKAPAN PROFESIONAL, OBYEKTIVITAS, KOMPETENSI, DAN PENGALAMAN KERJA TERHADAP KUALITAS HASIL AUDIT PENGARUH INDEPENDENSI, KECAKAPAN PROFESIONAL, OBYEKTIVITAS, KOMPETENSI, DAN PENGALAMAN KERJA TERHADAP KUALITAS HASIL AUDIT (Studi Empiris di Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kabupaten Wonogiri

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSI MEMBELI PRODUK SABUN MUKA PADA PRIA SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSI MEMBELI PRODUK SABUN MUKA PADA PRIA SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSI MEMBELI PRODUK SABUN MUKA PADA PRIA SKRIPSI Oleh : Muhammad Arief Budiman NIM : 109070000067 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Lebih terperinci

POSTTRAUMATIC GROWTH (PTG) PADA PENDERITA HIV/AIDS TERTULAR OLEH PASANGAN

POSTTRAUMATIC GROWTH (PTG) PADA PENDERITA HIV/AIDS TERTULAR OLEH PASANGAN POSTTRAUMATIC GROWTH (PTG) PADA PENDERITA HIV/AIDS TERTULAR OLEH PASANGAN SKRIPSI Sebagai Bagian dari Persyaratan untuk Memperoleh Gelar S-1 Psikologi Oleh : FITRIANI RISMASARI 1307010076 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Guna Memenuhi Sebagian Prasyarat Mencapai Derajat Sarjana S-1. Oleh : Heronita Permatasari A

SKRIPSI. Disusun Guna Memenuhi Sebagian Prasyarat Mencapai Derajat Sarjana S-1. Oleh : Heronita Permatasari A HUBUNGAN PERHATIAN ORANG TUA DENGAN PERKEMBANGAN NILAI-NILAI AGAMA DAN MORAL ANAK KELOMPOK B DI 5 PAUD DI WILAYAH DESA WONOREJO - GONDANGREJO - KARANGANYAR TAHUN 2013 SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

GAMBARAN ISI PERENUNGAN SURVIVOR KANKER PAYUDARA YANG MENGALAMI POSTTRAUMATIC GROWTH DI BUDAYA JAWA

GAMBARAN ISI PERENUNGAN SURVIVOR KANKER PAYUDARA YANG MENGALAMI POSTTRAUMATIC GROWTH DI BUDAYA JAWA GAMBARAN ISI PERENUNGAN SURVIVOR KANKER PAYUDARA YANG MENGALAMI POSTTRAUMATIC GROWTH DI BUDAYA JAWA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Sarjana (S1) Pada Program Studi

Lebih terperinci

KAITAN ANTARA POLA ASUH PERMISIF DENGAN PERILAKU ASERTIF SKRIPSI. Diajukan kepada Fakultas Psikologi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaraan Memperoleh

KAITAN ANTARA POLA ASUH PERMISIF DENGAN PERILAKU ASERTIF SKRIPSI. Diajukan kepada Fakultas Psikologi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaraan Memperoleh KAITAN ANTARA POLA ASUH PERMISIF DENGAN PERILAKU ASERTIF SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaraan Memperoleh Gelar Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh : DINA

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KECEMASAN PADA IBU YANG HAMIL PERTAMA

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KECEMASAN PADA IBU YANG HAMIL PERTAMA HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KECEMASAN PADA IBU YANG HAMIL PERTAMA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagaian Prasyarat Mencapai Derajat S-1 Program Studi Psikologis Disusun Oleh MARIANA INDRASTUTI F.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi PENGARUH KEPERCAYAAN DIRI DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP TINGKAT PEMAHAMAN KOMPUTER AKUNTANSI PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI SEMESTER VIII UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN AJARAN

Lebih terperinci

PERAN KOMUNIKASI ORANGTUA ANAK, KECERDASAN EMOSI, KECERDASAN SPIRITUAL, TERHADAP PERILAKU BULLYING. Tesis

PERAN KOMUNIKASI ORANGTUA ANAK, KECERDASAN EMOSI, KECERDASAN SPIRITUAL, TERHADAP PERILAKU BULLYING. Tesis PERAN KOMUNIKASI ORANGTUA ANAK, KECERDASAN EMOSI, KECERDASAN SPIRITUAL, TERHADAP PERILAKU BULLYING Tesis Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Pasca Sarjana S-2 Disusun oleh

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH ADVERTISING

ANALISIS PENGARUH ADVERTISING ANALISIS PENGARUH ADVERTISING, SALES PROMOTION, PUBLIC RELATION, PERSONAL SELLING, DAN DIRECT MARKETING TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN SEPEDA MOTOR HONDA MATIK DI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KECEMASAN SAAT BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KECEMASAN SAAT BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KECEMASAN SAAT BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhui

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SELF COMPASSION

HUBUNGAN ANTARA SELF COMPASSION HUBUNGAN ANTARA SELF COMPASSION DAN REGULASI EMOSI DENGAN STRES PADA PASIEN KANKER PAYUDARA PASCA OPERASI YANG SEDANG MENJALANI KEMOTERAPI DI RSU. DADI KELUARGA PURWOKERTO SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disabilitas fisik. Individu yang memiliki disabilitas fisik sudah sewajarnya memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. disabilitas fisik. Individu yang memiliki disabilitas fisik sudah sewajarnya memiliki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sudah tentu manusia tidak dapat terlepas dari stres. Hal tersebut pasti terjadi tanpa pengecualian, termasuk pada individu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN KERJA DENGAN KUALITAS PELAYANAN PADA KARYAWAN BAGIAN TATA USAHA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN KERJA DENGAN KUALITAS PELAYANAN PADA KARYAWAN BAGIAN TATA USAHA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN KERJA DENGAN KUALITAS PELAYANAN PADA KARYAWAN BAGIAN TATA USAHA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL PADA SUAMI DI FASE DEWASA AWAL DENGAN DEWASA MADYA DI DESA KEDONDONG KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS

PERBEDAAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL PADA SUAMI DI FASE DEWASA AWAL DENGAN DEWASA MADYA DI DESA KEDONDONG KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS PERBEDAAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL PADA SUAMI DI FASE DEWASA AWAL DENGAN DEWASA MADYA DI DESA KEDONDONG KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PELAYANAN, FASILITAS, DAN KEPERCAYAAN TEHADAP KEPUASAN NASABAH PD. BPR BANK JEPARA ARTHA SKRIPSI

ANALISIS PENGARUH PELAYANAN, FASILITAS, DAN KEPERCAYAAN TEHADAP KEPUASAN NASABAH PD. BPR BANK JEPARA ARTHA SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PELAYANAN, FASILITAS, DAN KEPERCAYAAN TEHADAP KEPUASAN NASABAH PD. BPR BANK JEPARA ARTHA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (SI) pada Program

Lebih terperinci

PENGARUH MOTIVASI DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN ( Studi Kasus pada PT. Centrepark Citra Corpora Area Solo Grand Mall ) SKRIPSI

PENGARUH MOTIVASI DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN ( Studi Kasus pada PT. Centrepark Citra Corpora Area Solo Grand Mall ) SKRIPSI PENGARUH MOTIVASI DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN ( Studi Kasus pada PT. Centrepark Citra Corpora Area Solo Grand Mall ) SKRIPSI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SISWI ANGGOTA PRAMUKA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SISWI ANGGOTA PRAMUKA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SISWI ANGGOTA PRAMUKA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Derajat Sarjana

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PENGUATAN TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 1 PAKUSARI TAHUN AJARAN 2012/2013 SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN PENGUATAN TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 1 PAKUSARI TAHUN AJARAN 2012/2013 SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN PENGUATAN TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 1 PAKUSARI TAHUN AJARAN 2012/2013 SKRIPSI Oleh: Elok Dwi Pertiwi 060210391186 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI JURUSAN

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh Tri Zahrotul Jannah NIM

SKRIPSI. Oleh Tri Zahrotul Jannah NIM HUBUNGAN PERSEPSI SISWA TENTANG KOMUNIKASI INTERPERSONAL GURU - SISWA DENGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI SOKANEGARA II PURWOKERTO SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA IKLIM ORGANISASI DENGAN KEADILAN ORGANISASI PADA KARYAWAN DI PDAM TIRTA WIJAYA KABUPATEN CILACAP

HUBUNGAN ANTARA IKLIM ORGANISASI DENGAN KEADILAN ORGANISASI PADA KARYAWAN DI PDAM TIRTA WIJAYA KABUPATEN CILACAP HUBUNGAN ANTARA IKLIM ORGANISASI DENGAN KEADILAN ORGANISASI PADA KARYAWAN DI PDAM TIRTA WIJAYA KABUPATEN CILACAP SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Bidang Psikologi

Lebih terperinci

PENGARUH RETAILING MIX TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMBELIAN PADA MINIMARKET INDOMARET MEJOBO KUDUS

PENGARUH RETAILING MIX TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMBELIAN PADA MINIMARKET INDOMARET MEJOBO KUDUS PENGARUH RETAILING MIX TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMBELIAN PADA MINIMARKET INDOMARET MEJOBO KUDUS Diajukan oleh : MUHAMMAD RIZA PAHLAWI NIM. 2008-11-132 PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGARUH OPTIMISME TERHADAP HARDINESS PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO

PENGARUH OPTIMISME TERHADAP HARDINESS PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO PENGARUH OPTIMISME TERHADAP HARDINESS PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: Ratna Dewi Sartika NIM

SKRIPSI. Oleh: Ratna Dewi Sartika NIM PENGARUH VARIASI PRODUK DAN PELAYANAN YANG DITAWARKAN TERHADAP KEPUASAN KONSUMEN PADA KOPERASI PEGAWAI REPUPLIK INDONESIA (KP-RI ) GANESHA KECAMATAN KLAKAH KABUPATEN LUMAJANG TAHUN 2013 SKRIPSI Oleh: Ratna

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Ilmu Pendidikan Biologi. Oleh: MELLA PRATIWI NIM.

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Ilmu Pendidikan Biologi. Oleh: MELLA PRATIWI NIM. PENGARUH KEAKTIFAN SISWA PESERTA EKSTRAKURIKULER PALANG MERAH REMAJA (PMR) TERHADAP HASIL BELAJAR BIOLOGI KELAS XI IPA DI SMA N 1 KALIWUNGU TAHUN AJARAN 2015/2016 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

PENGARUH MEMBACA TERHADAP PERBENDAHARAAN KATA DAN TINGKAH LAKU SISWA KELAS IV SD N 01 SELO KECAMATAN TAWANGHARJO KABUPATEN GROBOGAN TAHUN AJARAN

PENGARUH MEMBACA TERHADAP PERBENDAHARAAN KATA DAN TINGKAH LAKU SISWA KELAS IV SD N 01 SELO KECAMATAN TAWANGHARJO KABUPATEN GROBOGAN TAHUN AJARAN PENGARUH MEMBACA TERHADAP PERBENDAHARAAN KATA DAN TINGKAH LAKU SISWA KELAS IV SD N 01 SELO KECAMATAN TAWANGHARJO KABUPATEN GROBOGAN TAHUN AJARAN 2010/ 2011 Penelitian Untuk Skripsi S-1 Pendidikan Guru

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MANTAN PECANDU UNTUK KEMBALI MENYALAHGUNAKAN NARKOBA (RELAPS) TESIS NAMA: NURMIATI HUSIN NPM :

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MANTAN PECANDU UNTUK KEMBALI MENYALAHGUNAKAN NARKOBA (RELAPS) TESIS NAMA: NURMIATI HUSIN NPM : UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MANTAN PECANDU UNTUK KEMBALI MENYALAHGUNAKAN NARKOBA (RELAPS) TESIS NAMA: NURMIATI HUSIN NPM : 0606154295 PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN

Lebih terperinci

PENGARUH BIMBINGAN PENYULUHAN AGAMA ISLAM TERHADAP RASA PERCAYA DIRI ANAK DI PANTI ASUHAN AL HIKMAH WONOSARI NGALIYAN SEMARANG

PENGARUH BIMBINGAN PENYULUHAN AGAMA ISLAM TERHADAP RASA PERCAYA DIRI ANAK DI PANTI ASUHAN AL HIKMAH WONOSARI NGALIYAN SEMARANG 1 PENGARUH BIMBINGAN PENYULUHAN AGAMA ISLAM TERHADAP RASA PERCAYA DIRI ANAK DI PANTI ASUHAN AL HIKMAH WONOSARI NGALIYAN SEMARANG SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Sosial

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MURIA KUDUS TAHUN 2013

PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MURIA KUDUS TAHUN 2013 1 PENGARUH KOMPENSASI FINANSIAL, KEMAMPUAN KERJA, FASILITAS KERJA, DAN KOMUNIKASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN KANTOR KECAMATAN KLAMBU KABUPATEN GROBOGAN Skripsi ini diajukan sebagai salah satu

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna. Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1. Program Studi Pendidikan Akuntansi.

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna. Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1. Program Studi Pendidikan Akuntansi. PENGARUH PRESTASI BELAJAR KEWIRAUSAHAAN DAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA TERHADAP MOTIVASI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA FKIP AKUNTANSI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA ANGKATAN 2009/2010 SKRIPSI Diajukan

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MURIA KUDUS UMI NUR CHOLIFAH. Diajukan Oleh : NIM:

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MURIA KUDUS UMI NUR CHOLIFAH. Diajukan Oleh : NIM: PENGARUH STRES KULIAH, MOTIVASI, KECERDASAN EMOSIONAL, DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI AKUNTANSI UNIVERSITAS MURIA KUDUS Diajukan Oleh : UMI NUR CHOLIFAH

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SELF-COMPASSION DENGAN REGULASI EMOSI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA KABUPATEN PURBALINGGA

HUBUNGAN ANTARA SELF-COMPASSION DENGAN REGULASI EMOSI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA KABUPATEN PURBALINGGA HUBUNGAN ANTARA SELF-COMPASSION DENGAN REGULASI EMOSI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA KABUPATEN PURBALINGGA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam

Lebih terperinci

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH POROGO

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH POROGO PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, PENERAPAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI MANAJEMEN DAERAH (SIMDA) KEUANGAN DAN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KUALITAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH (STUDI PADA SATUAN

Lebih terperinci

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat Untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Strata Satu (S1) pada Fakultas Ekonomi Universitas Muria Kudus

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat Untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Strata Satu (S1) pada Fakultas Ekonomi Universitas Muria Kudus KAJIAN EMPIRIS ATAS PERILAKU BELAJAR, EFIKASI DIRI, KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL DALAM MEMPENGARUHI STRES KULIAH MAHASISWA AKUNTANSI DI UNIVERSITAS MURIA KUDUS Skripsi ini diajukan sebagai

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi.

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi. PENGARUH KEBIASAAN BELAJAR DAN KEHARMONISAN KELUARGA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 WEDI KLATEN TAHUN AJARAN 2010/2011 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

TESIS. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika. Oleh

TESIS. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika. Oleh PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE BIDAK (BANTUAN INDIVIDUAL DALAM KELOMPOK) TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENGALAMAN SPIRITUAL DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DENGAN KONTROL DIRI PADA NARAPIDANA LAPAS KLAS II A KOTA PEKANBARU SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PENGALAMAN SPIRITUAL DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DENGAN KONTROL DIRI PADA NARAPIDANA LAPAS KLAS II A KOTA PEKANBARU SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGALAMAN SPIRITUAL DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DENGAN KONTROL DIRI PADA NARAPIDANA LAPAS KLAS II A KOTA PEKANBARU SKRIPSI Disusun guna memnuhi sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar

Lebih terperinci

ZAMRONI A

ZAMRONI A PENGARUH LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL MAHASISWA DAN INTENSITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM KAMPUS TERHADAP PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA JURUSAN PPKn TAHUN ANGKATAN 2005/2006 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP LOYALITAS ANGGOTA PRIMKOP DHARMA PUTRA JEMBER SKRIPSI. Oleh Dwi Widia Ningsih NIM

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP LOYALITAS ANGGOTA PRIMKOP DHARMA PUTRA JEMBER SKRIPSI. Oleh Dwi Widia Ningsih NIM PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP LOYALITAS ANGGOTA PRIMKOP DHARMA PUTRA JEMBER SKRIPSI Oleh Dwi Widia Ningsih NIM 080210391038 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi.

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI DITINJAU DARI PENGGUNAAN MEDIA BELAJAR DAN TANGGUNG JAWAB SISWA KELAS XI IPS DI SMA MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN KEPUASAN KERJA PADA GURU HONORER

HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN KEPUASAN KERJA PADA GURU HONORER HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN KEPUASAN KERJA PADA GURU HONORER SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan Oleh

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN PERAWAT DENGAN CITRA RUMAH SAKIT DI RSUP DR SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN SKRIPSI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN PERAWAT DENGAN CITRA RUMAH SAKIT DI RSUP DR SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN SKRIPSI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN PERAWAT DENGAN CITRA RUMAH SAKIT DI RSUP DR SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Menempuh

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh Rose Mareta

SKRIPSI. Oleh Rose Mareta PENGARUH PENGGUNAAN INTERNET SEBAGAI MEDIA BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA (Studi Kasus Pada Mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN ASERTIVITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTRI YANG TINGGAL DENGAN MERTUA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN ASERTIVITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTRI YANG TINGGAL DENGAN MERTUA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN ASERTIVITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTRI YANG TINGGAL DENGAN MERTUA Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan

Lebih terperinci

KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF SISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN: TINJAUAN PSIKOLOGI INDIGENOUS

KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF SISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN: TINJAUAN PSIKOLOGI INDIGENOUS KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF SISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN: TINJAUAN PSIKOLOGI INDIGENOUS SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

PENGARUH POLA ASUH DAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI KEDAWUNG 2

PENGARUH POLA ASUH DAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI KEDAWUNG 2 PENGARUH POLA ASUH DAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI KEDAWUNG 2 TAHUN PELAJARAN 2010/2011 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR SOSIAL DAN FAKTOR PSIKOLOGI TERHADAP KEPUTUSAN CALON SISWA MEMILIH SEKOLAH DI SMA NEGERI 2 JEMBER TAHUN PELAJARAN 2013/2014

PENGARUH FAKTOR SOSIAL DAN FAKTOR PSIKOLOGI TERHADAP KEPUTUSAN CALON SISWA MEMILIH SEKOLAH DI SMA NEGERI 2 JEMBER TAHUN PELAJARAN 2013/2014 PENGARUH FAKTOR SOSIAL DAN FAKTOR PSIKOLOGI TERHADAP KEPUTUSAN CALON SISWA MEMILIH SEKOLAH DI SMA NEGERI 2 JEMBER TAHUN PELAJARAN 2013/2014 SKRIPSI Oleh: ARIE DWI NURCAHYANI NIM 090210301039 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENGARUH RELIGIUSITAS DAN SELF-EFFICACY TERHADAP STRES PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UIN SUSKA RIAU SKRIPSI

PENGARUH RELIGIUSITAS DAN SELF-EFFICACY TERHADAP STRES PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UIN SUSKA RIAU SKRIPSI PENGARUH RELIGIUSITAS DAN SELF-EFFICACY TERHADAP STRES PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UIN SUSKA RIAU SKRIPSI OLEH: IKHLAUS RUHAMAL 11061103048 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM

Lebih terperinci

HUBUNGAN ORIENTASI RELIGIUS DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SUSKA RIAU SKRIPSI

HUBUNGAN ORIENTASI RELIGIUS DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SUSKA RIAU SKRIPSI HUBUNGAN ORIENTASI RELIGIUS DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SUSKA RIAU SKRIPSI OLEH: IMELDA SUCIANA NIM: 10861003011 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPETENSI GURU DAN PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU SMP NEGERI 2 JUWIRING TAHUN PELAJARAN 2010/2011

PENGARUH KOMPETENSI GURU DAN PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU SMP NEGERI 2 JUWIRING TAHUN PELAJARAN 2010/2011 PENGARUH KOMPETENSI GURU DAN PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU SMP NEGERI 2 JUWIRING TAHUN PELAJARAN 2010/2011 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai

Lebih terperinci

PERSEPSI SISWA TERHADAP PEMANFAATAN FASILITAS PERPUSTAKAAN SEKOLAH DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SMP NEGERI 3 PAKEM

PERSEPSI SISWA TERHADAP PEMANFAATAN FASILITAS PERPUSTAKAAN SEKOLAH DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SMP NEGERI 3 PAKEM PERSEPSI SISWA TERHADAP PEMANFAATAN FASILITAS PERPUSTAKAAN SEKOLAH DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SMP NEGERI 3 PAKEM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi

Lebih terperinci

PENGARUH MOTIVASI, KOMITMEN ORGANISASI DAN DESENTRALISASI TERHADAP HUBUNGAN ANTARA PENGANGGARAN PARTISIPATIF DENGAN KINERJA MANAJERIAL

PENGARUH MOTIVASI, KOMITMEN ORGANISASI DAN DESENTRALISASI TERHADAP HUBUNGAN ANTARA PENGANGGARAN PARTISIPATIF DENGAN KINERJA MANAJERIAL PENGARUH MOTIVASI, KOMITMEN ORGANISASI DAN DESENTRALISASI TERHADAP HUBUNGAN ANTARA PENGANGGARAN PARTISIPATIF DENGAN KINERJA MANAJERIAL Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP SEMANGAT KERJA PADA KARYAWAN BAGIAN KANTOR PT KERETA API INDONESIA DAERAH OPERASI (DAOP) 5 PURWOKERTO SKRIPSI

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP SEMANGAT KERJA PADA KARYAWAN BAGIAN KANTOR PT KERETA API INDONESIA DAERAH OPERASI (DAOP) 5 PURWOKERTO SKRIPSI PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP SEMANGAT KERJA PADA KARYAWAN BAGIAN KANTOR PT KERETA API INDONESIA DAERAH OPERASI (DAOP) 5 PURWOKERTO SKRIPSI Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERKEMBANGAN MORAL PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA (UMS)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERKEMBANGAN MORAL PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA (UMS) HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERKEMBANGAN MORAL PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA (UMS) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

PENGARUH KETERCOBAAN, KESESUAIAN, PERSEPSI KEMUDAHAN PEMAKAIAN, PERSEPSI MANFAAT TERHADAP ADOPSI INOVASI YASINTA KUSUMA WARDHANI ABSTRAKSI

PENGARUH KETERCOBAAN, KESESUAIAN, PERSEPSI KEMUDAHAN PEMAKAIAN, PERSEPSI MANFAAT TERHADAP ADOPSI INOVASI YASINTA KUSUMA WARDHANI ABSTRAKSI PENGARUH KETERCOBAAN, KESESUAIAN, PERSEPSI KEMUDAHAN PEMAKAIAN, PERSEPSI MANFAAT TERHADAP ADOPSI INOVASI (Studi Pada Pengrajin Tenun di Gamplong, Sumber Rahayu, Moyudan, Sleman) YASINTA KUSUMA WARDHANI

Lebih terperinci

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK ROK DENGAN REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK JAZ

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK ROK DENGAN REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK JAZ PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK ROK DENGAN REMAJA YANG MENYUKAI MUSIK JAZ S K R I P S I Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi OLEH : FINANDA SARAH SIREGAR 031301028 FAKULTAS

Lebih terperinci

REGULASI EMOSI PASCA PUTUS CINTA PADA REMAJA TAHAP AKHIR

REGULASI EMOSI PASCA PUTUS CINTA PADA REMAJA TAHAP AKHIR REGULASI EMOSI PASCA PUTUS CINTA PADA REMAJA TAHAP AKHIR SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: PURWATMOKO PANDAMING TYAS F 100 060 138 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENERIMAAN DIRI PADA PASANGAN INFERTILITAS DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SKRIPSI OLEH: MUHAMAD HARIADI

PERBEDAAN PENERIMAAN DIRI PADA PASANGAN INFERTILITAS DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SKRIPSI OLEH: MUHAMAD HARIADI PERBEDAAN PENERIMAAN DIRI PADA PASANGAN INFERTILITAS DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SKRIPSI OLEH: MUHAMAD HARIADI 10861002944 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU PEKANBARU

Lebih terperinci

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PEMAHAMAN AKUNTANSI MAHASISWA PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

Lebih terperinci

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF THE POWER OF TWO

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF THE POWER OF TWO PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF THE POWER OF TWO UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS DI KELAS V SDN GAYAM 05 BONDOWOSO TAHUN AJARAN 2011/2012 SKRIPSI Oleh Susiyati

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PELAYANAN, FASILITAS, HARGA SERTA PHYSICAL EVIDENCE TERHADAP KEPUASAN PASIEN DALAM MELAKUKAN PENGOBATAN DI RSI SULTAN AGUNG SEMARANG

ANALISIS PENGARUH PELAYANAN, FASILITAS, HARGA SERTA PHYSICAL EVIDENCE TERHADAP KEPUASAN PASIEN DALAM MELAKUKAN PENGOBATAN DI RSI SULTAN AGUNG SEMARANG ANALISIS PENGARUH PELAYANAN, FASILITAS, HARGA SERTA PHYSICAL EVIDENCE TERHADAP KEPUASAN PASIEN DALAM MELAKUKAN PENGOBATAN DI RSI SULTAN AGUNG SEMARANG SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING WANITA YANG MENJADI ISTRI KEDUA DALAM PERNIKAHAN POLIGAMI SKRIPSI. Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING WANITA YANG MENJADI ISTRI KEDUA DALAM PERNIKAHAN POLIGAMI SKRIPSI. Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan PSYCHOLOGICAL WELL-BEING WANITA YANG MENJADI ISTRI KEDUA DALAM PERNIKAHAN POLIGAMI SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Oleh : MARTIANI F.100

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seluruh subjek mengalami stres. Reaksi stres yang muncul pada subjek penelitian antara lain berupa reaksi

Lebih terperinci

PENGARUH MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA GURU PAI SMA NEGERI SE-KOTA SEMARANG

PENGARUH MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA GURU PAI SMA NEGERI SE-KOTA SEMARANG PENGARUH MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA GURU PAI SMA NEGERI SE-KOTA SEMARANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Tarbiyah Oleh:

Lebih terperinci

KONSEP DIRI REMAJA DARI KELUARGA BROKEN HOME SKRIPSI. Oleh : Chiktia Irma Oktaviani

KONSEP DIRI REMAJA DARI KELUARGA BROKEN HOME SKRIPSI. Oleh : Chiktia Irma Oktaviani KONSEP DIRI REMAJA DARI KELUARGA BROKEN HOME SKRIPSI Oleh : Chiktia Irma Oktaviani 10410143 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2014 HALAMAN PERSETUJUAN KONSEP

Lebih terperinci

HUSNUZZHAN (BERPIKIR POSITIF) DAN PERILAKU ASERTIF PADA MAHASISWA UIN SUSKA RIAU SKRIPSI OLEH: PAHRIAH SAPARINI

HUSNUZZHAN (BERPIKIR POSITIF) DAN PERILAKU ASERTIF PADA MAHASISWA UIN SUSKA RIAU SKRIPSI OLEH: PAHRIAH SAPARINI HUSNUZZHAN (BERPIKIR POSITIF) DAN PERILAKU ASERTIF PADA MAHASISWA UIN SUSKA RIAU SKRIPSI OLEH: PAHRIAH SAPARINI 10961007183 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIMRIAU PEKANBARU

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Akuntansi. Diajukan Oleh :

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Akuntansi. Diajukan Oleh : PENGARUH MOTIVASI BELAJAR DAN PROFESIONALISME GURU TERHADAP PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI PADA SISWA KELAS XI SMK BATIK 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2013/2014 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

KENAKALAN REMAJA DITINJAU DARI KONSEP DIRI DAN JENIS KELAMIN SKRIPSI

KENAKALAN REMAJA DITINJAU DARI KONSEP DIRI DAN JENIS KELAMIN SKRIPSI KENAKALAN REMAJA DITINJAU DARI KONSEP DIRI DAN JENIS KELAMIN SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh. Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh. Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi PERSEPSI SISWA TENTANG PELAJARAN AKUNTANSI DAN RASA PERCAYA DIRI TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1 KARTASURA TAHUN AJARAN 2010/2011 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

DESY NUR ROHMAWATI A

DESY NUR ROHMAWATI A PENGARUH FREKUENSI BELAJAR DAN KEMANDIRIAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR KELAS VSD NEGERI 01 POTRONAYAN TAHUN PELAJARAN 2014/2015 SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

PENGARUH KEPRIBADIAN TERHADAP KINERJA PADA PERAWAT RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

PENGARUH KEPRIBADIAN TERHADAP KINERJA PADA PERAWAT RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO PENGARUH KEPRIBADIAN TERHADAP KINERJA PADA PERAWAT RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO (Studi Big Five Model sebagai Anteseden Variabel Kinerja) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam

Lebih terperinci

ANALISIS LINGKUNGAN PERGAULAN DAN GAYA BELAJAR SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1 TERAS BOYOLALI TAHUN AJARAN

ANALISIS LINGKUNGAN PERGAULAN DAN GAYA BELAJAR SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1 TERAS BOYOLALI TAHUN AJARAN ANALISIS LINGKUNGAN PERGAULAN DAN GAYA BELAJAR SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1 TERAS BOYOLALI TAHUN AJARAN 2011/2012 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : Yovanti Armella Putri

SKRIPSI. Oleh : Yovanti Armella Putri KUALITAS SOAL ULANGAN HARIAN YANG DIKEMBANGKAN OLEH GURU PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) DAN TINGKAT KETERCAPAIAN TUJUAN PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS VII DI SMP NEGERI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh : Yovanti

Lebih terperinci

PENGARUH NILAI RATA-RATA UJIAN NASIONAL DAN UJIAN SEKOLAH TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FKIP UMS ANGKATAN 2010

PENGARUH NILAI RATA-RATA UJIAN NASIONAL DAN UJIAN SEKOLAH TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FKIP UMS ANGKATAN 2010 PENGARUH NILAI RATA-RATA UJIAN NASIONAL DAN UJIAN SEKOLAH TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FKIP UMS ANGKATAN 2010 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR- FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA UKM DI KECAMATAN PONOROGO

PENGARUH FAKTOR- FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA UKM DI KECAMATAN PONOROGO PENGARUH FAKTOR- FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA UKM DI KECAMATAN PONOROGO Diajukan sebagai syarat untuk diujikan guna memperoleh Gelar Sarjana Program Starta Satu (S-1) Program Studi Akuntansi

Lebih terperinci

PENGARUH PROMOSI, PELAYANAN DAN PROFIT SHARING TERHADAP KEPUTUSAN NON MUSLIM MENJADI NASABAH DI BANK BTN KCPS CONDONGCATUR SLEMAN

PENGARUH PROMOSI, PELAYANAN DAN PROFIT SHARING TERHADAP KEPUTUSAN NON MUSLIM MENJADI NASABAH DI BANK BTN KCPS CONDONGCATUR SLEMAN PENGARUH PROMOSI, PELAYANAN DAN PROFIT SHARING TERHADAP KEPUTUSAN NON MUSLIM MENJADI NASABAH DI BANK BTN KCPS CONDONGCATUR SLEMAN Skripsi Disusun Untuk Memenuhi Tugasdan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG PROFESIONALISME GURU DAN MEDIA PEMBELAJARAN GURU TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI KELAS VII DI SMP NEGERI I CEPOGO BOYOLALI 2010/2011 SKRIPSI

Lebih terperinci

PENGARUH MOTIVASI, PERILAKU PEMIMPIN, DAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIER TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA DPPKAD KABUPATEN KARANGANYAR

PENGARUH MOTIVASI, PERILAKU PEMIMPIN, DAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIER TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA DPPKAD KABUPATEN KARANGANYAR PENGARUH MOTIVASI, PERILAKU PEMIMPIN, DAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIER TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA DPPKAD KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

LITERASI KESEHATAN MENTAL PADA TENAGA KESEHATAN

LITERASI KESEHATAN MENTAL PADA TENAGA KESEHATAN LITERASI KESEHATAN MENTAL PADA TENAGA KESEHATAN Tesis Minat Utama Bidang Psikologi Klinis Diajukan Oleh : Kartika Anis Afifah, S.Psi T 100 120 010 PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL MODERATING

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL MODERATING PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL MODERATING ( Studi kasus Pada Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur) SKRIPSI Diajukan

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN SISTEM ADMINISTRASI PERPAJAKAN MODERN DAN SENSUS PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

PENGARUH PENERAPAN SISTEM ADMINISTRASI PERPAJAKAN MODERN DAN SENSUS PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGARUH PENERAPAN SISTEM ADMINISTRASI PERPAJAKAN MODERN DAN SENSUS PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI (Survey Terhadap Kantor Pelayanan Pajak Pratama Boyolali) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN MAKRO TERHADAP KINERJA INDUSTRI BATIK DI KECAMATAN WIRADESA KABUPATEN PEKALONGAN

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN MAKRO TERHADAP KINERJA INDUSTRI BATIK DI KECAMATAN WIRADESA KABUPATEN PEKALONGAN PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN MAKRO TERHADAP KINERJA INDUSTRI BATIK DI KECAMATAN WIRADESA KABUPATEN PEKALONGAN THE INFLUENCE OF MACRO ENVIRONMENTAL FACTORS TO THE PERFORMANCE OF BATIK INDUSTRY IN SUBDISTRICT

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN PSIKOSOSIAL KERJA DENGAN STRES KERJA PADA GURU SMP MUHAMADIYAH SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN PSIKOSOSIAL KERJA DENGAN STRES KERJA PADA GURU SMP MUHAMADIYAH SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN PSIKOSOSIAL KERJA DENGAN STRES KERJA PADA GURU SMP MUHAMADIYAH SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam mencapai derajat

Lebih terperinci

PENGARUH INSENTIF, KEDISIPLINAN, DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI KSP KARYA NIAGA GAJAH DEMAK

PENGARUH INSENTIF, KEDISIPLINAN, DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI KSP KARYA NIAGA GAJAH DEMAK 1 PENGARUH INSENTIF, KEDISIPLINAN, DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI KSP KARYA NIAGA GAJAH DEMAK Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Strata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai metode penelitian yang terdiri dari subjek penelitian, metode dan desain penelitian. Selain itu, akan dijelaskan pula mengenai definisi

Lebih terperinci

PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN MENGAJAR DI SMA MUHAMMADIYAH 2 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011

PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN MENGAJAR DI SMA MUHAMMADIYAH 2 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011 PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN MENGAJAR DI SMA MUHAMMADIYAH 2 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011 SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat

Lebih terperinci

DINAMIKA COPING STRES PADA PETUGAS PENJANGKAU PENGGUNA NAPZA SUNTIK SKRIPSI NINGSIH PUSPITA SARI ALIMUDDIN

DINAMIKA COPING STRES PADA PETUGAS PENJANGKAU PENGGUNA NAPZA SUNTIK SKRIPSI NINGSIH PUSPITA SARI ALIMUDDIN DINAMIKA COPING STRES PADA PETUGAS PENJANGKAU PENGGUNA NAPZA SUNTIK SKRIPSI NINGSIH PUSPITA SARI ALIMUDDIN 08.40.0190 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2013 i DINAMIKA COPING

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH HARGA, FASILITAS, PELAYANAN, DAN LOKASI TERHADAP KEPUASAN KONSUMEN PENGGUNA JASA INTERNET

ANALISIS PENGARUH HARGA, FASILITAS, PELAYANAN, DAN LOKASI TERHADAP KEPUASAN KONSUMEN PENGGUNA JASA INTERNET ANALISIS PENGARUH HARGA, FASILITAS, PELAYANAN, DAN LOKASI TERHADAP KEPUASAN KONSUMEN PENGGUNA JASA INTERNET (Studi Kasus: Warung Internet Inbox Jepara) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk

Lebih terperinci