HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI) KOTA DEPOK DIKI SEPTERIAN SYAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI) KOTA DEPOK DIKI SEPTERIAN SYAH"

Transkripsi

1 HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI) KOTA DEPOK DIKI SEPTERIAN SYAH DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRACT DIKI SEPTERIAN SYAH. The Relationship between Urban Green Space and Temperature Humidity Index of Depok City. Supervised by SOBRI EFFENDY and TEGUH PRAYOGO. Urban green space is an elongated area /point and /or clustered, the use of which is more open, a place to grow plants, whether grown naturally or are deliberately planted. Urban green space has a great benefit to the environment of the city, including the benefits of climatological, ecological, aesthetic, and tourism. Depok City is a strategic area for the capital city of Jakarta because of Depok has a function as a buffer zone in southern Jakarta. This study attemps to estimate values of air temperatures using Landsat data, functional relationship between air temperature and urban green space, and also relationship between urban green space and temperature humidity index in Depok City. Air temperature are derived from Landsat data using energy balance method, while urban green space are classified by using unsupervised method. Estimation air temperature of Depok City in 2001, 2002, 2004, 2005, and 2006 are 24.5 o C, 25.5 o C, 26 o C, 26 o C, and 30 o C, while urban green space are 63%, 57%, 55%, 55%, and 42%. Functional relationship between air temperature and urban green space for the study area best represented by a non-linier equation. Temperature humidity index values of depok city in 2001, 2002, 2004, 2005, and 2006 are 25. o C, 25 o C, 26 o C, 26 o C, and 27 o C. Keyword: air temperature, Depok City, Landsat, temperature humidity index, urban green space.

3 ABSTRAK DIKI SEPTERIAN SYAH. Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Temperature Humidity Index (THI) Kota Depok. Dibimbing oleh Sobri Effendy dan Teguh Prayogo. Ruang terbuka hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH mempunyai manfaat besar bagi lingkungan hidup kota, diantaranya manfaat klimatologis, ekologis, estetis, dan wisata. Kota Depok merupakan daerah yang strategis bagi Ibukota Jakarta karena Kota Depok mempunyai fungsi sebagai daerah penyangga Jakarta pada bagian selatan Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai suhu udara Kota Depok dari data Landsat, mengetahui hubungan antara Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan suhu udara Kota Depok, serta untuk mengetahui hubungan antara RTH dengan Temperature Humidity index (THI) Kota Depok. Suhu udara diekstrak dari data Landsat dengan metode neraca energi. RTH diduga melalui metode klasifikasi tidak terbimbing. Hasil dugaan suhu udara Kota Depok tahun 2001, 2002, 2004, 2005, dan 2006 adalah 24.5 o C, 25.5 o C, 26 o C, 26 o C, dan 30 o C, sementara itu luas RTH sebesar 63%, 57%, 55%, 55%, and 42%. Hubungan antara RTH dan suhu udara adalah non-linier. Nilai THI Kota Depok tahun 2001, 2002, 2004, 2005, dan 2006 adalah 25. o C, 25 o C, 26 o C, 26 o C, dan 27 o C. Kata kunci: Kota Depok, Landsat, Ruang Terbuka Hijau (RTH), suhu udara, Temperature Humidity Index (THI).

4 HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI) KOTA DEPOK DIKI SEPTERIAN SYAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 Judul Skripsi : Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Temperature Humidity Index (THI) Kota Depok Nama : Diki Septerian Syah NIM : G Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si NIP : Teguh Prayogo, S.T, M.Si NIP : Mengetahui: Ketua Departemen, Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP : Tanggal Lulus :

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 i Kata Pengantar Alhamdulillah, atas limpahan kasih sayang Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kenyamanan kota, dengan judul Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Temperature Humidity Index Kota Depok. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si dan Bapak Teguh Prayogo, S.T, M.Si selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Depok yang telah memberikan data, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, yang telah memberikan tempat untuk mengolah data. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada ayah, ibu, kakak, adik, rekan-rekan laboratorium meteorologi dan pencemaran atmosfer, serta rekan-rekan senior resident asrama TPB IPB, atas segala bantuan, doa, dan motivasinya. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, April 2011 Diki Septerian Syah

8 ii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 September 1988 dari ayah Chairil Syah dan Ibu Meitty Darwanti. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Depok dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih mayor Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan minor Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dibeberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya adalah Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, serta Senior Resident asrama Tingkat Persiapan Bersama IPB. Penulis juga pernah menjadi asisten Pendidikan Agama Islam.

9 iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i RIWAYAT HIDUP... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Ruang Terbuka Hijau (RTH) Temperature Humidity Index (THI) Hubungan RTH dengan Suhu Udara Hubungan RTH dengan THI Penginderaan Jauh METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Pendugaan Suhu Permukaan Penentuan Neraca Energi Pendugaan Suhu Udara Pendugaan RTH Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu udara Penghitungan THI HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah kajian Pendugaan Nilai Suhu Permukaan dari citra Landsat Penentuan Radiasi Netto Pendugaan Nilai Suhu Udara dari citra Landsat Pendugaan Nilai RTH dari Landsat Penentuan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penghitungan Nilai THI SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Lampiran 1 Sebaran suhu udara Kota Depok Lampiran 2 Klasifikasi Lahan Kota Depok... 18

10 iv DAFTAR TABEL Tabel 1 Selang kenyamanan beberapa negara... 2 Tabel 2 Suhu permukaan rata-rata ( o C)... 7 Tabel 3 Nilai Ts rata-rata ( o C), albedo, dan Rn... 7 Tabel 4 Perbandingan Ta dugaan dengan Ta observasi ( o C)... 8 Tabel 5. Ta setelah disesuaikan dengan hasil observasi ( o C)... 8 Tabel 6. Hasil klasifikasi lahan Kota Depok (Ha)... 9 Tabel 7 Nilai R 2, (R 2 adj), dan S persamaan RTH dan suhu udara tahun 2001, 2002, 2004, 2005, dan Tabel 8 Hubungan RTH dengan suhu udara Kota Depok Tabel 9 Nilai Ta, RH, dan THI Kota Depok... 11

11 v DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Wilayah kajian dan stasiun pengamatan... 3 Gambar 2 Penentuan hubungan RTH dengan THI... 4 Gambar 3 Wilayah kajian... 6 Gambar 4 Klasfikasi dengan kanal Gambar 5 Klasfikasi dengan kanal Gambar 6 Dinamika tutupan lahan Kota Depok... 9 Gambar 7 Penutupan lahan Kota Depok hasil pengolahan citra Landsat Gambar 8 Persamaan antara RTH dan suhu udara Gambar 9 Perbandingan antara RTH dan luas daerah yang memiliki suhu udara 27 o C Gambar 10 Sebaran suhu udara Kota Depok... 12

12 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, ruang terbuka hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH mempunyai manfaat besar bagi lingkungan hidup kota, diantaranya manfaat klimatologis, ekologis, estetis, dan wisata (Grey dan Denneke 1986 dalam Kumar 2002). Kota Depok merupakan daerah yang strategis bagi Ibukota Jakarta karena Kota Depok mempunyai fungsi sebagai daerah penyangga Jakarta pada bagian selatan. Ruang terbuka hijau Kota Depok berkurang 9.1% selama periode Dalam periode yang sama, peningkatan terjadi pada ruang terbangun (RTB) sebesar 13.6% (Kumar 2002). Pengurangan RTH pada wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (JABOTABEK) berdampak pada peningkatan suhu udara (Effendy 2007). Pengurangan RTH di Kota Depok diduga juga akan menyebabkan peningkatan suhu udara. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk membuktikan dugaan tersebut. Peningkatan suhu udara di daerah perkotaan akan berdampak terhadap kenyamanan manusia. Temperature Humidity Index (THI) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengkaji tingkat kenyamanan suatu daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Adhayani (2005) untuk kasus Kota Cibinong menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan RTH dengan maksud untuk perluasan pemukiman perkotaan berkontribusi terhadap peningkatan suhu udara sehingga menyebabkan ketidaknyamanan terjadi. Hal tersebut diduga juga akan terjadi di Kota Depok. Penelitian ini menggunakan data penginderaan jauh karena Kota Depok belum memiliki stasiun cuaca. Selain itu, penginderaan jauh memiliki kelebihan dalam hal penyediaan data spasial rapat dengan akurasi baik serta cakupan wilayah yang luas sehingga keterbatasan jumlah stasiun cuaca dapat ditutupi dengan data penginderaan jauh. Keunggulan lainnya adalah tersedianya multi kanal, dalam sekali pengambilan data dapat dikeluarkan beberapa parameter secara bersamaan. 1.2 Tujuan 1. Menduga suhu udara Kota Depok dengan menggunakan citra Landsat. 2. Mengetahui hubungan RTH dengan suhu udara Kota Depok. 3. Mengetahui hubungan RTH dengan THI Kota Depok. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (Instruksi Menteri Dalam Negeri tahun 1988). Berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2007, kawasan perkotaan harus memiliki RTH minimal 30%. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjaga keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat maupun sistem ekologis lainnya, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Effendy 2007). Undang-undang No. 26 tahun 2007 membagi RTH berdasarkan beberapa kategori: berdasarkan bobot kealamiannya RTH dibagi menjadi RTH alami (habitat liar, kawasan lindung) dan RTH binaan (lapangan olahraga, pertamanan, pemakaman), berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya RTH dibagi menjadi RTH kawasan dan RTH jalur, berdasarkan kawasan fungsional RTH dibagi menjadi: RTH perdagangan, RTH perindustrian, RTH pemukiman, RTH pertamanan, dan RTH kawasan khusus, berdasarkan status kepemilikannya RTH dibagi menjadi RTH publik (dikelola oleh pemerintah) dan RTH publik. Berdasarkan komponen penyusunnya, RTH dapat dikelompokkan ke dalam enam bentuk: hutan kota, taman kota, jalur hijau kota, kebun, pekarangan, serta sempadan sungai (Nazaruddin 1994 dan Irwan 1997 dalam Kumar 2002). 2.2 Temperature Humidity Index (THI) Metode ini sering digunakan dalam menyatakan tingkat kenyamanan suatu daerah. Umumnya orang dari daerah tropis merasa nyaman pada nilai o C dan sudah merasa tidak nyaman pada THI di atas 27 o C. Kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh kondisi lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia. Kondisi nyaman apabila

13 2 sebagian energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif dan upaya pengaturan suhu tubuh berada pada level minimal. Mulyana (2003) mengaplikasikan metode THI untuk mengkaji aspek kenyamanan terhadap perkembangan Kota Bandung. Tabel 1 Selang kenyamanan beberapa negara Negara Indonesia Malaysia India Eropa England Selang Kenyamanan THI ( o C) (sumber: Ayoade 1983) Pustaka Mom 1947 Webb 1952 Malhotra 1955 McFlane 1958 Bedford Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penelitian yang dilakukan oleh Effendy (2007) menunjukkan bahwa hubungan RTH dengan suhu udara wilayah JABOTABEK periode adalah non-linier kubik. Peningkatan suhu udara terjadi saat RTH berkurang, dan sebaliknya penurunan suhu udara terjadi saat RTH bertambah. Penelitian tersebut juga menyatakan laju kenaikkan suhu udara lebih tajam dibandingkan laju penurunannya, hal ini menunjukkan bahwa resiko pengurangan RTH terhadap peningkatan suhu udara lebih besar dibandingkan upaya penurunan suhu udara dengan penambahan RTH. Peneltian tentang hubungan RTH dengan suhu udara juga dilakukan oleh Tursilowati (2007) pada Kota Surabaya. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa pengurangan RTH menyebabkan kenaikan suhu udara pada periode Hubungan RTH dengan THI Penelititan tentang hubungan penggunaan lahan terhadap suhu udara yang dilakukan oleh Adhayani (2005) pada Kota Cibinong menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan RTH menjadi pemukiman akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan suhu udara sebesar 1.5 o C. Meskipun hasil penelitian tersebut menggolongkan Kota Cibinong kedalam kategori nyaman, tetapi jika ruang terbangun diperluas maka akan meningkatkan suhu udara yang pada akhirnya juga akan menyebabkan ketidaknyamanan terjadi. Penelitian yang sejenis juga dilakukan di Kota Surabaya. Luas daerah Kota Surabaya yang memiliki THI lebih dari 26 o C mengalami peningkatan dari Ha pada tahun 1994 menjadi pada tahun Hal tersebut disebabkan oleh pengurangan RTH sebesar 9.2% pada periode yang sama (Tursilowati 2007). 2.5 Penginderaan Jauh Prinsip dasar penginderaan jauh adalah menangkap energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh suatu permukaan yang dipilah-pilah oleh sensor panjang gelombang. Suhu permukaan diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi adalah sensor inframerah termal. Permukaan bumi dengan suhu sebesar 300.K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9.7.µm yang merupakan kisaran radiasi inframerah. Oleh karena itu, penginderaan jauh termal banyak dilakukan pada spekturm antara 8-14 µm (Sutanto 1999 dalam Effendy 2007). Aplikasi penginderaan jauh juga dapat digunakan untuk menduga suhu udara melalui model neraca energi seperti yang dilakukan oleh Maharani et al (2005), sedangkan untuk deteksi RTH menggunakan teknik penginderaan jauh dilakukan oleh Suwargana dan Susanto pada tahun Pemanfaatan citra penginderaan jauh satelit paling banyak digunakan di Indonesia adalah Landsat (Eros 1995 dalam Effendy 2007). Hal ini disebabkan oleh citra Landsat yang memiliki cakupan data yang luas (185 x 185 km), dapat dipakai untuk kajian regional, memberikan informasi permukaan setiap 16 hari dengan resolusi 30 x 30 km, serta memiliki multi kanal (termasuk kanal inframerah termal) sehingga dapat menghasilkan luaran beberapa parameter permukaan untuk sekali pengambilan data. Citra Landsat ETM+ 7 memiliki delapan kanal. Masing-masing kanal dibedakan berdasarkan sensor panjang gelombangnya. Kanal 1, 2, dan 3 merupakan kanal dengan sensor panjang gelombang cahaya tampak. Kanal 4, 5, 6, dan 7 merupakan kanal dengan sensor panjang gelombang inframerah dekat, inframerah tengah, inframerah, dan inframerah jauh. Kanal 8 merupakan kanal dengan sensor panjang gelombang cahaya tampak (hanya hijau dan merah) dan inframerah dekat. Kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 memiliki resolusi spasial 30 x 30 m, kanal 6 memiliki resolusi spasial 60 x 60 m, sedangkan kanal 8 memiliki resolusi spasial 15 x 15 m.

14 3 III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Wilayah yang dikaji adalah Kota Depok, Propinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama semester ganjil tahun ajaran Pengolahan data dilakukan di Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta dan juga di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor. Gambar 1 Wilayah kajian (Kota Depok) dan stasiun pengamatan (titik Kuning). 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ER Mapper, Arc View, Minitab, dan beberapa perangkat lunak penunjang lainnya. Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Citra Landsat path/row 122/64 akuisisi 15 Juli 2001, 3 Agustus 2002, 21 Juni 2004, 2 Juli 2005, dan 1 Oktober Data 2001 dipilih karena melanjutkan penelitian Kumar (2002) dan Agrissantika (2007) yang mencapai tahun 2000, tahun 2006 dipilih karena data tahun tersebut merupakan data terakhir terbaik yang bisa diolah nilai kanal termal inframerahnya dari citra Landsat. Data 2002, 2004, dan 2005 sebagai data urutan untuk pendugaan nilai suhu udara dengan RTH, sedangkan data tahun 2003 tidak digunakan karena mengalami kerusakan berupa gap pada citra. (sumber: USGS) b. Peta spasial administrasi Kota Depok skala 1: Digunakan untuk pemotongan wilayah kajian. (sumber: Bappeda Kota Depok). c. Foto udara tahun 2009 dan peta rencana pemanfaatan ruang Kota Depok tahun Digunakan sebagai acuan dalam melakukan klasifikasi penutupan lahan. (sumber: Bappeda Kota Depok). d. Data suhu udara dan kelembapan relatif (RH) hasil pengamatan langsung Stasiun Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan pada tanggal yang sama dengan akuisisi Landsat. Data Suhu Udara digunakan sebagai pembanding data suhu udara dugaan dari citra Landsat, sedangkan data RH digunakan sebagai masukan dalam perhitungan THI. Stasiun Iklim Pondok Betung, Tangerang Selatan terletak pada 6 o lintang selatan dan 106 o Bujur Timur, stasiun tersebut dipilih karena beberapa hal: jarak yang dekat dengan wilayah kajian (± 25 km dari pusat Kota Depok), ketinggian yang tidak jauh berbeda dengan wilayah kajian (22.6 mdpl), dan kerapatan wilayah yang tidak jauh berbeda dengan wilayah kajian. Titik putih pada Gambar 1 menunjukkan wilayah stasiun pengamatan. (sumber: Stasiun Iklim Pondok Betung, Tangerang Selatan) 3.3 Metode Penelitian Untuk mempermudah memahami langkah-langkah penelitian maka pada setiap tahapan secara umum disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar Pendugaan Suhu Permukaan Pendugaan suhu permukaan dari citra Landsat menggunakan kanal enam pada kisaran panjang gelombang µm hingga µm, meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

15 4 (a) Konversi Digital Number (DN) ke Nilai Spectral Radiance Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai spectral radiance dari nilai DN (USGS 2003): L λ = L maxλ L minλ QCAL max QCAL min QCAL QCAL min + L minλ...(1) Keterangan: L λ = Spectral radiance pada kanal ke-i (Wm -2 sr -1 µm -1 ) QCAL = Nilai digital number kanal ke-i = Nilai minimum spectral radiance L minλ L maxλ kanal ke-i = Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-i QCAL min = Minimum pixel value QCAL max = Maksimum pixel value (255) Kanal 2, 4, 5 tidak RTH Citra Landsat Koreksi Citra Cropping Kanal 1,2,3 Neraca Energi Penentuan Bentuk ya Persamaan Terpilih Penghitungan THI Ta Dugaan Ta Tervalidasi Peta Administ rasi Kanal 6 Gambar 2 Penentuan hubungan RTH dengan THI. (b) Konversi Nilai Spectral Radiance (L λ ) ke Brightness Temperature (T B ) Persamaan menggunakan konstanta kalibrasi: K1= Wm -2 sr -1 µm -1 dan K2= K (USGS 2003): Ts tidak Ta Obser vasi T B = K 2 ln K 1 L λ +1...(2) (c) Konversi Brightness Temperature (T B ) ke Suhu Permukaan (T S ) Persamaan yang digunakan merupakan persamaan yang ditentukan oleh Weng (2001): T T s = B...(3) 1+ λt B lnε Keterangan: T s = Suhu permukaan (K) λ = 11.5 µm (Nilai tengah panjang gelombang kanal 6) = hc/σ (besarnya = x 10-2 m K) h = Konstanta Planck (6.26 x J sec) c = Kecepatan cahaya (2.998 x 10 8 m s -1 ) σ = Konstanta Stefan-Boltzman (1.38 x J K -1 ) ε = Emisifitas objek, untuk badan air= 0.98, RTH= 0.95, non-rth= 0.92 (Weng 2001) T B = Suhu kecerahan (brightness temperature) Penentuan Neraca Energi Penentuan neraca energi meliputi tahap-tahap sebagai berikut: (a) Radiasi Netto dan Albedo Radiasi netto (Rn) merupakan selisih antara gelombang pendek matahari dan gelombang panjang yang datang ke permukaan bumi dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang keluar. Berikut persamaannya: R n = R s in R s out + R l in - R l out...(4) Keterangan: Rn = Radiasi netto (W m -2 ) R s in R s out R l in R l out = Radiasi gelombang pendek yang datang (W m -2 ) ekstrasi Landsat = Radiasi gelombang pendek yang keluar (W m -2 ) = Radiasi gelombang panjang yang datang (W m -2 ) = Radiasi gelombang panjang yang keluar (W m -2 ) Energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan dapat diduga dari sensor satelit yang menerima kisaran panjang gelombang pendek. Pada citra Landsat, kisaran panjang gelombang pendek diterima oleh kanal 1, 2 dan 3. Persamaan yang digunakan mengikuti Persamaan 1 dengan QCAL, L min dan L max untuk kanal 1, 2 dan 3. Albedo merupakan perbandingan radiasi gelombang pendek yang dipantulkan

16 5 dengan radiasi gelombang pendek yang datang pada permukaan. Dirumuskan sebagai berikut: α = R sout R s in...(5) Pendugaan albedo dari citra Landsat dalam USGS (2003), dapat ditentukan menggunaan persamaan: α = π.l λ.d 2 ESUN λ.cosθ...(6) Keterangan: d = Jarak astronomi bumi matahari ESUN λ = Rata-rata nilai solar spectral irradiance pada kanal tertentu L λ = Spectral radiance Cosθ = Zenith matahari ( θ nilai dari sun elevation pada metadata) Setelah nilai albedo dan jumlah energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan diketahui, besarnya radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan dapat dirumuskan sebagai berikut: R s in = R sout α...(7) Satuan untuk total energi radiasi gelombang pendek masih dinyatakan dalam satuan Wm -2 sr -1 µm -1. Hal ini menyatakan laju perpindahan energi (W) yang terekam oleh sensor per m -2 luas permukaan untuk satu steradian (sudut tiga dimensi dari sebuah titik di permukaan bumi ke sensor satelit) per unit panjang gelombang dalam satu kali pengukuran. Langkah selanjutnya mengkonversi Wm -2 sr -1 µm -1 menjadi satuan energi W.m -2 agar dapat dilakukan perhitungan dengan parameter lainnya. Persamaan yang digunakan untuk mengembalikan nilai menjadi radiasi yang tidak tergantung pada sifat lengkung permukaan bumi: E = πd 2...(8) Keterangan: E = Energi (W m -2 µm -1 ) π = 3.14 d = Jarak bumi matahari dalam satuan astronomi Unsur panjang gelombang (µm -1 ) dapat dihilangkan dengan cara mengalikan dengan nilai tengah panjang gelombang dari masingmasing kanal. Radiasi gelombang panjang yang keluar (R l out) dapat diturunkan dari persamaan Stefan-Boltzman, dimana ε = emisivitas, T s merupakan suhu permukaan objek (K) dan σ = Tetapan Stefan-Boltzman (5.67x10-8 Wm -2 K -4 ): R l out = εσt s 4...(9) Radiasi gelombang panjang yang datang (R l in) merupakan emisi dari atmosfer. Persamaan yang digunakan adalah (Stull 1995): R l in = 98.5 R l out...(10) Nilai 98.5 adalah konstanta dengan satuan W m -2. (b) Fluks Panas Tanah (G) Fluks panas tanah adalah sejumlah energi radiasi surya yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Secara umum, FAO (1998) menghitung nilai G pada saat siang hari sebesar 0.1Rn. (c) Fluks Panas Udara (H) Fluks panas udara adalah sejumlah energi radiasi netto yang digunakan untuk memanaskan udara dan dikenal sebagai panas udara terasa. Fluks H dihitung berdasarkan persamaan neraca energi permukaan R n =H+G+λE dan persamaan bowen ratio β = H, (nilai β berbeda-beda untuk setiap λe tutupan lahan: air = 0.1, rumput = 0.5, wilayah kering = 5), sehingga diperoleh: H = β R n G...(11) 1+β Pendugaan Suhu Udara Suhu udara dapat diduga dari fluks panas terasa (Monteith dan Unsworth 1990): H = ρ air C p T s T a r ah...(12) Berdasarkan Persamaan 12, persamaan untuk menentukan suhu udara dapat ditentukan sebagai berikut: T a = T s H r ah...(13) ρ air C p Keterangan: H = Fluks pemanasan udara (W m -2 ) ρ air = Kerapatan udara lembab (1.27 kg m -3 ) C p = Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg -1 K -1 ) = Suhu permukaan (K) T s T a = Suhu udara (K) r ah = Tahanan aerodinamik (s m -1 ) Rosenberg (1974): r ah =31.9 x u u adalah kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 m untuk ruang terbangun= 1.79 ms -1 dan RTH= 1.41 ms Pendugaan RTH Nilai RTH didapat dari hasil klasifikasi citra menggunakan kanal 2, 4, dan 5 dengan metode isoclass unsupervised.

17 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton, yang dapat dinyatakan secara matematis sebagai: q = ha(t o -T 1 )...(14) Berdasarkan Persamaan 14, nilai perubahan suhu udara dapat dituliskan: T = q...(15) ha Keterangan: q = Laju transfer panas per detik (W) A = Luas area (m 2 ) h = Koefisiesn transfer panas secara konveksi (W m -2 K -1 ) ΔT = Perubahan suhu udara (K) Penghitungan THI Nilai THI dapat ditentukan dari nilai suhu udara dan kelembapan relatif (RH) dengan persamaan Nieuwolt (1975): THI = 0.8 T a + RH T a...(16) 500 Keterangan: THI = Temperature Humidity Index ( o C) Ta = Suhu udara ( o C) RH = Kelembapan relatif (%) Kelembapan udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di dalam udara. Umumnya kelembapan udara dinyatakan sebagai kelembapan relatif, nilai kelembapan relatif di dapat dari hasil pengamatan langsung Stasiun Iklim Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian Gambar 3 Wilayah kajian. Kota Depok terletak pada 6 o o lintang selatan sampai 106 o o Secara geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah JABOTABEK. Kota Depok memiliki luas sebesar km 2. Ketinggian Kota Depok berkisar antara m di atas permukaan laut dengan kemiringan kurang dari 15%. Kota Depok memiliki enam kecamatan, yaitu: Sukamajaya, Pancoran mas, Beji, sawangan, cimanggis, dan Limo. Kecamatan Sukmajaya, Beji, dan Pancoran mas berada di pusat Kota depok. Kecamatan Sawangan berada di bagian barat, Kecamatan Cimanggis berada di bagian timur sedangkan Kecamatan Limo berada di bagian utara. Kota Depok setidaknya memiliki sepuluh anak sungai, beberapa situ dan danau. Kota Depok juga memiliki potensi kawasan lindung berupa sempadan sungai, sempadan danau, kawasan konservasi, serta hutan. Hutan yang ada di Kota Depok adalah hutan raya Pancoran Mas yang luasnya sekitar 6 Ha dan hutan Universitas Indonesia (UI), yang luasnya kurang lebih 107 Ha. RTH yang berbentuk jalur banyak dikembangkan di Kota Depok, baik pada jalan negara, jalan propinsi, maupun jalan kotamadya. Pengembangan RTH jalur dikembangkan di sempadan jalan (kanan-kiri

18 7 bahu jalan) dan bagian tengah jalan. Meski begitu, RTH Kota Depok mengalami penurunan dari Ha (88%) pada tahun 1992 menjadi Ha (65%) pada tahun 2000 (Agrissantika 2007). Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2000 sebanyak jiwa dan pada tahun 2005 sebanyak (situs pemerintahan Kota Depok). Tingginya jumlah dan pertumbuhan penduduk ini mengakibatkan beberapa konsekuensi penting, di antaranya: (1) dibutuhkannya lahan untuk keperluan pembangunan rumah, lokasi aktivitas, fasilitas umum dan RTH kota, (2) akan memacu perubahan penggunaan lahan yang tadinya RTH menjadi ruang terbangun. Kota Depok termasuk wilayah beriklim tropis dengan kisaran suhu udara o C, curah hujan antara mm hingga mm per.tahun, serta kelembapan relatif antara 60-90%. 4.2 Pendugaan Nilai Suhu Permukaan dari Citra Landsat Nilai suhu permukaan (Ts) yang didapat merupakan hasil ekstraksi menggunakan kanal 61 dan 62 Landsat. Data tahun 2003 tidak digunakan karena mengalami kerusakan berupa garis-garis hitam (gap) pada citra. Gap merupakan data kosong yang disebabkan oleh rusaknya Scan Line Corrector (SLC) pada satelit Landsat. Awalnya, nilai suhu permukaan tahun 2005 sangat rendah, hal ini terjadi karena pada citra tahun tersebut hanya 1 kanal 6 yang berfungsi sedangkan pada citra tahun lainnya kanal 61 dan 62 berfungsi baik. Oleh karena itu, dilakukan pendugaan nilai kanal 62 untuk tahun 2005 tersebut. Setelah mendapatkan nilai dugaan untuk kanal 62, nilai tersebut kemudian digunakan bersama dengan kanal 61 untuk perhitungan selanjutnya. Jenis penutupan lahan mempengaruhi besar kecilnya suhu permukaan. Hal tersebut dikarenakan setiap penutupan lahan memiliki panas jenis yang berbeda pula. Jika diasumsikan nilai penambahan panas sama, tanah yang memiliki panas jenis 800 J kg -1 K -1 akan lebih cepat naik suhunya dibandingkan dengan air yang memiliki panas jenis J.kg -1.K -1. Tabel 2 menunjukkan adanya peningkatan suhu permukaan Kota Depok dari tahun Peningkatan suhu permukaan pada periode tersebut mengindikasikan adanya perubahan penggunaan lahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun di Kota Depok. Tabel 2 Suhu permukaan rata-rata ( o C) Tahun Suhu Permukaan Penentuan Radiasi Netto Radiasi netto (Rn) merupakan selisih antara gelombang pendek matahari dan gelombang panjang yang datang ke permukaan bumi dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang keluar. Nilai radiasi gelombang pendek didapatkan dari ekstraksi citra Landsat kanal 1, 2, dan 3 dengan sebelumnya menentukan nilai albedo. Nilai radiasi gelombang panjang yang keluar didapat dari pengolahan citra Landsat menggunakan kanal 6 dengan terlebih dahulu menduga nilai suhu permukaan. Nilai radiasi netto dipengaruhi oleh nilai suhu permukaan dan albedo. Semakin besar nilai albedo dan suhu permukaan maka nilai radiasi nettonya semakin kecil karena radiasi yang dipantulkan oleh permukaan semakin besar, contohnya daerah pemukiman dan lahan terbuka. Sebaliknya, semakin kecil nilai suhu permukaan dan albedo maka nilai radiasi netto semakin besar. Daerah yang memiliki radiasi netto besar adalah yang memiliki naungan yang besar, seperti hutan. Tabel 3 Nilai Ts rata-rata ( o C), albedo, dan Rn Tahun Ts Albedo Rn (W m -2 ) Nilai albedo berbeda-beda berdasarkan jenis penutupan lahannya. Nilai albedo untuk air berkisar , lahan terbangun , lahan pertanian , dan hutan (Oke 1998 dalam Sinaga 2009). Secara umum, nilai albedo permukaan non vegetasi lebih tinggi daripada permukaan vegetasi. Hal tersebut disebabkan oleh permukaan non vegetasi lebih banyak memantulkan radiasi gelombang pendek dibandingkan dengan permukaan bervegetasi.

19 8 4.4 Pendugaan Nilai Suhu Udara Suhu udara (Ta) yang diekstrak dari citra Landsat merupakan gambaran rata-rata suhu udara Kota Depok yang terekam pada saat pukul WIB. Suhu udara dugaan pada 15 Juli 2001, 3 Agustus 2002, 21 Juni 2004, 2 Juli 2005, dan 1 Oktober 2006 adalah sebesar 24.5 o C, 25.5 o C, 26 o C, 26 o C, dan 30. o C. Data suhu udara hasil pengamatan dipilih dari Stasiun Iklim Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan, hal ini berdasarkan jarak, ketinggian, dan kerapatan wilayah yang tidak jauh berbeda dengan wilayah kajian. Stasiun Iklim Pondok Betung terletak di Kota Tangerang Selatan yang berjarak sekitar 25 km dari pusat Kota Depok, dengan ketinggian sekitar 22.6 mdpl. Terdapat beberapa stasiun iklim disekitar wilayah kajian, seperti Stasiun Iklim Halim Perdana Kusuma yang berada di timur Kota Depok (wilayah Jakarta Timur), Stasiun Iklim Cibinong, dan Stasiun Iklim Darmaga, Bogor yang berada di selatan Kota Depok. Data dari stasiun Halim Perdana Kusuma tidak dipilih karena selain datanya tidak lengkap. Stasiun Iklim Cibinong tidak dipilih karena data yang tersedia hanya sampai tahun 1995 (karena stasiun iklim cibinong hanya beroperasi sampai dengan tahun 1995), sedangkan data dari Stasiun Iklim Darmaga Bogor tidak dipilih karena ketinggian yang jauh berbeda dengan Kota Depok (ketinggian Kota Depok antara mdpl sedangkan stasiun Darmaga Bogor 250 mdpl). Suhu udara hasil pengamatan merupakan gambaran suhu udara rata-rata Kota Tangerang Selatan pada satu hari. Suhu udara hasil pengamatan tahun 2001, 2002, 2004, dan 2005 lebih tinggi daripada suhu udara hasil dugaan pada periode yang sama sedangkan hasil pengamatan langsung suhu udara pada tahun 2006 lebih rendah daripada suhu dugaannya. Ketidaksesuaian tersebut dimungkinkan karena adanya pengaruh pada saat pengambilan citra. Sebagai contoh, adanya awan menyebabkan pendugaan suhu udara menjadi lebih rendah, sedangkan adanya bahan bangunan seperti asbes dan seng berdampak pada pendugaan suhu udara yang lebih tinggi. Nilai suhu udara tahun 2006 baik dugaan dan hasil pengamatan langsung lebih tinggi daripada tahun lainnya (Tabel 4). Hal ini indikasi adanya perubahan lahan dari RTH menjadi lahan terbangun yang cukup besar, selain itu pada tahun tersebut merupakan tahun kemarau kering sehingga suhu yang tercatat lebih tinggi dari tahun lainnya. Tabel 4 Perbandingan Ta dugaan dengan Ta observasi ( o C) Tahun Ta Dugaan Ta Observasi Karena ada perbedaan antara suhu udara hasil olahan dan pengamatan langsung, maka nilai suhu udara yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya adalah nilai tengah dari suhu udara dugaan dengan suhu udara pengamatan langsung. Tabel 5 Ta setelah disesuaikan dengan hasil observasi ( o C) Tahun Ta Terjadi peningkatan suhu udara selama periode di Kota Depok (Tabel 5). Hal ini sesuai dengan beberapa kajian mengenai hubungan peningkatan suhu udara dengan perubahan penggunaan lahan di wilayah lainnya. Wilayah JABOTABEK mengalami peningkatan suhu udara selama periode , dari 30.7 o C menjadi 32.4 o C (Effendy 2007). Di Kota Cibinong, peningkatan suhu udara sebesar 1.5 o C selama periode (Adhayani 2005). Peningkatan suhu udara akibat perubahan penggunaan lahan juga terjadi pada Kota Bandung, Semarang dan Surabaya selama periode (Tursilowati 2008). 4.5 Pendugaan Nilai RTH dari Landsat Hasil klasifikasi dibagi ke dalam tiga kelas: badan air, RTH, dan bukan RTH. Badan air meliputi: danau, kolam, situ, dan sungai. RTH meliputi: hutan, jalur hijau, ladang, lapangan golf, sawah, sempadan sungai, pekarangan, dan perkebunan. Kelompok bukan RTH meliputi: pemukiman, pertokoan, perusahaan, industri, dan lahan terbangun lainnya. Sebelum diklasifikasikan menjadi tiga kelas, penutupan lahan Kota Depok di bagi menjadi 16 kelas terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar perbedaan setiap tutupan lahan dapat dikenali dengan baik oleh metode isoclass unsupervised. Setelah itu, dilakukan

20 9 pengecekan dan pengelompokkan kelas tutupan lahan. Kelas yang memiliki kemiripan warna dijadikan dalam satu kelas yang sama hingga akhirnya didapatkan tiga klasifikasi penutupan lahan Kota Depok. Proses klasifikasi menggunakan metode isoclass unsupervised tidak begitu baik digunakan jika tidak mengetahui daerah yang dikaji. Untuk itu, digunakan alat bantu peta pemanfaatan ruang dan juga foto udara wilayah kajian dalam melakukan klasifikasi. Tabel 6 Hasil klasifikasi lahan Kota Depok (Ha) Tahun Badan Air RTH Bukan RTH RTH (%) Badan Air RTH Non RTH Tahun Gambar 4 Klasfikasi dengan kanal 245. Gambar 5 Klasfikasi dengan kanal 345. Klasifikasi penutupan lahan menggunakan gabungan kanal 245, hal ini berdasarkan panjang gelombang yang dimiliki kanal-kanal tersebut yang dapat menduga dan membedakan obyek dengan baik. Selain itu, gabungan kanal 245 lebih baik daripada gabungan kanal 345 dalam membedakan objek pada citra. Gabungan kanal 345 tidak dapat membedakan vegetasi rendah (sawah, lapangan golf,) dengan ruang terbangun, sehingga lapangan golf dan sawah yang ada di Kota Depok terbaca sebagai lahan terbangun. Warna kuning pada Gambar 4 menunjukkan lapangan golf terbaca sebagai lahan terbangun pada gabungan kanal 345 (Gambar 5). Gambar 6 Dinamika tutupan lahan Kota Depok. Luas Kota Depok berdasarkan peta administrasi yang digunakan adalah sebesar Ha. Berdasarkan penolahan citra Landsat, luasan RTH Kota Depok pada periode cenderung mengalami penurunan (Gambar 6). Begitu pula pada tahun luasan RTH Kota Depok mengalami pengurangan dari 88% menjadi 65% (Agrissantika 2007). Sementara itu, Bappeda Kota Depok menyatakan bahwa pada tahun 2007 luasan RTH Kota Depok sebesar 50% dari luas wilayah Kota Depok yang besarnya Ha. Perbedaan luas RTH tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan sumber data dan metode klasifikasi yang digunakan. Pengurangan luas RTH pada periode di Kota Depok diiringi dengan penambahan luas ruang terbangun. Hasil pengolahan citra Landsat menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ruang terbangun dari 33.5% pada tahun 2001 menjadi 55% pada tahun Kecenderungan yang sama juga terjadi pada periode , luas ruang terbangun Kota Depok meningkat dari 33% menjadi 47% (Kumar 2002). Kecenderungan pengurangan RTH dan penambahan ruang terbangun ini disebabkan oleh kebutuhan penduduk akan tempat untuk ditinggali dan juga berbagai fasilitas umum lainnya. Secara umum, laju pertumbuhan penduduk Kota Depok sebesar 6.75% setiap tahun. Pertumbuhan penduduk akhirnya berdampak pada beralih fungsinya kawasan RTH. Distribusi penggunaan lahan untuk

21 10 pemukiman menggeser kebun, tegalan, ladang, sawah, dan situ yang ada. peubah yang ditentukan (Y). Nilai R 2 pada model kuadratik menunjukkan perubahan 99.7% suhu udara dapat dijelaskan oleh perubahan RTH. Tabel 7 Nilai R 2, (R 2 adj), dan S persamaan RTH dan suhu udara tahun 2001, 2002, 2004, 2005, dan 2006 R 2 R 2 (adj) S Linier Kuadratik (a) (b) Gambar 7 Penutupan lahan Kota Depok hasil pengolahan citra Landsat. Perubahan penggunaan lahan dari RTH menjadi lahan terbangun tidak hanya terjadi di pusat Kota Depok, tetapi terjadi juga di bagian barat dan utara. Bagian barat merupakan Kecamatan sawangan, sedangkan bagian utara merupakan kecamatan Limo. Berdasarkan peta rencana pemanfaatan ruang Kota Depok tahun Kecamatan Sukmajaya, Beji, Pancoran mas, dan Cimanggis merupakan pemukiman dengan kepadatan penduduk sedang hingga tinggi. 4.6 Penentuan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Hasil analisis bentuk hubungan antara RTH dengan suhu udara pada tahun 2001, 2002, 2004, 2005, dan 2006 didapatkan persamaan berbentuk non-linier kuadratik. Bentuk tersebut dipilih berdasarkan pola sebaran data dan pada nilai koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj) tertinggi serta nilai standar deviasi model (S) terendah. Nilai R 2 menunjukkan kebaikan model, semakin tinggi nilai R 2 semakin baik model menggambarkan hubungan antara X dan Y. RTH merupakan peubah yang menentukan (X), sedangkan suhu udara adalah Suhu Udara (oc) 70 Gambar 8 Persamaan antara RTH dan suhu udara. Nilai RTH (%) yang digunakan dalam persamaan pada Gambar 8 adalah nilai dari seluruh wilayah hasil pengolahan citra Landsat. Persamaan regresi yang didapat adalah Y = X X 2. Persamaan hanya berlaku untuk nilai RTH antara 0-80%. Pada saat nilai RTH % nilai suhu udara justru meningkat. Selain karena keterbatasan data masukkan, hal ini disebabkan juga oleh nilai RTH hasil pengolahan yang hanya berkisar antara 40-70%. Nilai suhu udara pada saat RTH 80% adalah 26.8 o C, nilai ini besarnya sama dengan nilai suhu udara rata-rata wilayah Indonesia dengan ketinggian 0 m di atas permukaan laut. Tabel 8 Hubungan RTH dengan suhu udara Kota Depok RTH (%) RTH % 50 Suhu Udara ( o C)

22 11 Pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara terjadi (Tabel 8). peningkatan suhu udara yang terjadi akibat pengurangan RTH bahkan lebih tajam dibandingkan dengan penurunan suhu udara yang terjadi karena penambahan RTH. Sebagai contoh, jika RTH yang ada sebesar 40% ditambah 30% hingga mencapai 70%, suhu udara hanya turun 0.5 o C sedangkan pengurangan RTH sebesar 10% menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 3.9 o C. Hal tersebut menjadi masukkan yang penting bagi pemerintah Kota Depok agar mempertahankan RTH yang ada. Secara ilmiah hubungan antara RTH dan suhu udara dapat dijelaskan oleh Persamaan 15. Pada saat nilai laju transfer panas (q) diasumsikan tetap dan luasan (A) RTH berkurang maka nilai ΔT menjadi besar hal ini berarti suhu akhir lebih besar daripada suhu awal. Sebaliknya, saat terjadi penambahan RTH, nilai ΔT menjadi lebih kecil, suhu akhir lebih kecil dari nilai awal. Proses penutupan lahan urban dengan vegetasi baru tidak setara dengan penutupan RTH yang sudah ada. Proses pertumbuhan vegetasi memerlukan waktu beberapa tahun untuk mencapai fase dewasa hingga cukup menaungi permukaan lahan. Hal inilah yang menjadi penyebab laju penurunan suhu udara yang lebih lambat dibandingkan dengan laju peningkatan suhu udara akibat pengurangan RTH. Sementara itu, pada saat terjadi pengurangan RTH, permukaan lahan menjadi terbuka dari naungan dalam waktu yang relatif singkat, akibatnya laju transfer panas ke udara di atasnya juga menjadi lebih cepat. 4.7 Penentuan Hubungan RTH dengan THI Kota Depok Nilai THI didapatkan melalui Persamaan 16. Nilai Ta yang didapatkan dari hasil dugaan yang telah disesuaikan dengan hasil pengamatan langsung menjadi nilai masukan pada persamaan tersebut. Nilai RH didapat dari hasil pengamatan langsung Stasiun Iklim Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan. Tabel 9 Nilai Ta, RH, dan THI Kota Depok Tahun Ta ( o C) RH (%) THI ( o C) Batas nyaman THI di Indonesia adalah o C (Mom 1947 dalam Effendy 2007). Berdasarkan hal tersebut, Kota Depok sebelum tahun 2006 tergolong dalam kategori kota yang nyaman, tetapi karena terjadi peningkatan suhu udara akibat pengurangan RTH dan penambahan ruang terbangun, nilai THI Kota Depok tahun 2006 meningkat sehingga Kota Depok berada di titik kritis kenyamanan. Sebelum tahun 2006 dengan luas RTH yang ada, Kota Depok dapat mempertahankan nilai THI pada batas nyaman. Hal ini diharapkan juga tetap dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Walaupun pertumbuhan penduduk tidak dapat dihindari, pembangunan ruang terbangun untuk memenuhi kebutuhan pemukiman tetap dapat disiasati. Salah satunya adalah dengan pembangunan ruang terbangun secara vertikal. Sehingga RTH yang sudah ada tidak berkurang dan akhirnya nilai THI Kota Depok dapat dipertahankan dalam batas nyaman. 63 RTH (%) Luasan Ta >= 27 oc (%) 98,9 3, , Gambar 9 Perbandingan antara RTH dan luas daerah yang memiliki suhu udara 27 o C. Daerah di Kota Depok yang memiliki suhu udara 27 o C juga bertambah akibat pengurangan RTH (Gambar 9). Nilai digunakan karena pada nilai THI diatas 27 o C umumnya orang di wilayah tropis sudah merasa tidak nyaman. Daerah yang memiliki suhu 27 o C menyebar dari pusat kota ke seluruh wilayah. Hal ini disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan RTH yang menjadi lahan terbangun. Selain itu, hal ini disebabkan oleh topografi Kota Depok yang relatif datar. Secara spasial, sebaran luas daerah yang memiliki suhu udara < 27 o C dan 27 o C disajikan pada Gambar

23 12 (a) penelitian ini dan penelitian Effendy (2007) pada wilayah JABOTABEK, setiap pengurangan RTH lebih beresiko meningkatkan suhu udara dibandingkan dengan penambahan RTH dalam menurunkan suhu udara. Dengan kata lain, upaya mempertahankan dan meningkatkan pengelolaan RTH yang sudah ada memberikan hasil yang lebih baik dalam mempertahankan nilai suhu udara pada kisaran rata-rata yang nyaman bagi sebuah kota. V. SIMPULAN DAN SARAN (b) Gambar 10 Sebaran suhu udara Kota Depok. Perubahan mencolok terjadi antara tahun 2001 dan Luas Kota Depok yang memiliki suhu udara 27 o C pada tahun 2006 mencapai 98.9% akibat pengurangan RTH sebesar 21%. Perubahan yang mencolok ini juga terjadi pada Kota Surabaya dan Semarang. Pada periode luas daerah di Kota Surabaya yang memiliki suhu udara 27 o C mencapai 100% akibat pengurangan RTH sebesar 9.2% (Tursilowati 2007), sedangkan pada Kota Semarang luas daerah yang memiliki suhu 27 o C mencapai 92.9% akibat pengurangan RTH sebesar 7.7% pada periode yang sama (Tursilowati 2008). Berdasarkan pengolahan citra Landsat tahun 2006, luas RTH di Kota Depok masih sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007, yaitu sebesar 42%. Meski begitu, sangat dimungkinkan luasan RTH di Kota Depok pada tahun-tahun berikutnya akan mengalami penurunan akibat alih fungsi lahan dari RTH menjadi lahan terbangun. Hal ini dikuatkan dengan beberapa kajian tentang tata guna lahan Kota Depok dari tahun (Agrissantika 2007 dan Kumar 2002) yang menunjukkan adanya penurunan luas RTH akibat penambahan ruang terbangun pada periode tersebut. Pemerintah Kota Depok diharapkan lebih berhati-hati dalam setiap pengambilan keputusan tentang pengalih fungsian lahan RTH menjadi lahan terbangun. Berdasarkan 5.1 Simpulan Suhu udara hasil dugaan dari data Landsat Kota Depok tahun 2001, 2002, 2004, 2005, dan 2006 sebesar 24.5 o C, 25.5 o C, 26 o C, 26 o C, dan 30 o C. Persamaan hubungan antara RTH dengan suhu udara adalah non-linier kuadratik. Pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara, sebaliknya penambahan RTH menurunkan suhu udara. Nilai THI Kota Depok meningkat karena peningkatan suhu udara yang disebabkan oleh pengurangan RTH. 5.2 Saran Penelitian ini menggunakan data Landsat tahun Hal ini disebabkan oleh keterbatasan citra Landsat yang mengalami kerusakan (slc-off) pada tahun Oleh karena itu, disarankan menggunakan citra dari satelit yang berbeda jika ingin melanjutkan penelitian ini. Penggunaan metode isoclass unsupervised memiliki kelemahan dalam mengklasifikasikan lahan yang ada. Agar hasil klasifikasi lebih akurat, disarankan untuk menggunakan metode supervised classification pada penelitian yang sejenis.

24 13 V. DAFTAR PUSTAKA Adhayani NL Hubungan penggunaan lahan terhadap suhu udara sebagai indikator kenyamanan Kota Cibinong. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Agrissantika TE, Rustiadi, dan DPT Baskoro Model dinamika spasial ruang terbangun dan ruang terbuka hijau (studi kasus kawasan JABODETABEK). Makalah dalam Seminar Menuju JABODETABEK berkelanjutan. IPB ICC. Bogor. Ayoade JO Introduction to Climatology for The Tropics. John Wiley and Sons. Newyork. Effendy S Keterkaitan ruang terbuka hijau dengan urban heat island wilayah JABOTABEK. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. FAO Crop evaporation-guidelines for computing crop water requirements. FAO irrigation and drainage paper 56. FAO-Food and Agricultural Organization of the United Nations. Rome. Khomarudin MR Pendugaan evapotranspirasi skala regional menggunakan data satelit penginderaan jauh. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kumar K Penataan ruang sebagai dasar pengelolaan lingkungan (pengkajian ruang terbuka hijau Kota Depok). [tesis]. Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Maharani LP Identifikasi neraca energi untuk deskripsi potensi kekeringan dengan data Landsat tm (studi kasus Kota Semarang dan sekitarnya). Di dalam: Seminar Pertemuan Ilmiah MAPIN; Surabaya September Monteith JL. and Unsworth M.H Principle of Enviromental Physics. 2 nd. Edward Arnold. London. Mulyana Aplikasi iklim terhadap perkembangan urban, metropulitan Bandung. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim-LAPAN. Bandung Nieuwolt S Tropical Climatology, an Introduction to The Climate Low Latitude. John Willey and Sons. New York. Rosenberg NJ Microclimate: The Biological Enviroment. John Willey and Sons. New York. Stull RB Meteorology Today for Scientist and Engineers, a Technical Companion Book. West Publishing Company Co. USA. Suwargana N Deteksi ruang terbuka hijau menggunakan teknik penginderaan jauh (studi kasus DKI JAKARTA). Di dalam: Seminar Pertemuan Ilmiah MAPIN, Surabaya September Tursilowati L Use of remote sensing and gis to compute thi as human comfort indicator related with land use-land cover change in surabaya ( ). Di dalam: The 73rd International Symposium on Sustainable Humanosphere Hlm Tursilowati L Urban heat island dan kontribusinya pada perubahan iklim dan hubungannya dengan perubahan lahan. Di dalam: Seminar Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global: Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi. Hlm USGS Landsat 7 Science Data Users Handbook. nasa.gov/handbook/handbook_htmls/ch apter11/chapter11.htm(22.januari2011) Weng Q A Remote sensing-gis evaluation of urban expansion and its impact on surface temperature in the zhujiang delta. Int. J. Remote Sensing, (10):

25 LAMPIRAN 14

26 15 Lampiran 1 Sebaran suhu udara Kota Depok Sumber: Pengolahan citra Landsat 15 Juli 2001 Dipetakan oleh: Diki Septerian Syah Sumber: Pengolahan citra Landsat 3 Agustus 2002 Dipetakan oleh: Diki Septerian Syah

27 16 Sumber: Pengolahan citra Landsat 21 Juni 2004 Dipetakan oleh: Diki Septerian Syah Sumber: Pengolahan citra Landsat 2 Juli 2005 Dipetakan oleh: Diki Septerian Syah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian  3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan 5 Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan Penutup Lahan Albedo (Unitless) Min Max Mean Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur 0.051 0.065 0.053 Karet

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN Media Konservasi Vol. 17, No. 3 Desember 2012 : 143 148 HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN (Correlation between Leaf Area Index with Micro Climate and Temperature

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI) KAWASAN KAMPUS IPB DRAMAGA NURUL FAHMI

DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI) KAWASAN KAMPUS IPB DRAMAGA NURUL FAHMI DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI) KAWASAN KAMPUS IPB DRAMAGA NURUL FAHMI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 6 memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id) 6 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian Jakarta terletak pada lintang 106 o 22 42 BT s.d. 106 o 58 18 BT dan 5 o 10 12 LS s.d. 6 o 23 54 LS. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) ANDIKA PRAWANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan. FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL Erwin Hermawan Abstrak Secara umum, UHI mengacu pada peningkatan suhu udara,

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan bagian 1 : Pendekatan perhitungan Suhu udara, Damping depth dan Diffusivitas thermal Oleh : Pendahuluan Ruang terbuka hijau

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi dan Perubahan Penutupan Analisis yang dilakukan pada penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tipe penutupan lahan yang mendominasi serta lokasi lahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

DAMPAK PENGURANGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) PERKOTAAN TERHADAP PENINGKATAN SUHU UDARA DENGAN METODE PENGINDERAAN JAUH

DAMPAK PENGURANGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) PERKOTAAN TERHADAP PENINGKATAN SUHU UDARA DENGAN METODE PENGINDERAAN JAUH DAMPAK PENGURANGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) PERKOTAAN TERHADAP PENINGKATAN SUHU UDARA DENGAN METODE PENGINDERAAN JAUH J.Agromet 23 (2): 169-181, 2009 (Impact Reducing Urban Green Space towards Increasing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

Tabel 3 Aliran energi dan massa III METODOLOGI. Variabel neraca energi. Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 )

Tabel 3 Aliran energi dan massa III METODOLOGI. Variabel neraca energi. Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 ) Tabel 3 Aliran energi dan massa Variabel neraca energi Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 ) Rumput (MJm -2 hari -1 ) Rn 11.28±2.74 10.21±2.53 LE 8.41± 6.50 4.21±2.48 LE/Rn 74.56 41.23 H 2.85±6.16 6.00 2.69

Lebih terperinci

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. Pada tanggal 18 Desember 1999, NASA (National Aeronautica and Space Administration) meluncurkan Earth Observing System (EOS) Terra satellite untuk mengamati,

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1.PANCARAN RADIASI SURYA Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI

HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum 12/2/211 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kota Palembang Muis Fajar E3462536 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetimbangan radiasi pada vegetasi hutan adalah ρ + τ + α = 1, di mana α adalah proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DI KABUPATEN BANDUNG

PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DI KABUPATEN BANDUNG PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DI KABUPATEN BANDUNG Green Open Space Development Based on Distribution of Surface Temperature in Bandung Regency Siti Badriyah Rushayati,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU

APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU Muhammad Ikhwan 1, Hadinoto 1 1 Staf pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. Gambaran Umum Kota Depok

KEADAAN UMUM. Gambaran Umum Kota Depok KEADAAN UMUM Gambaran Umum Kota Depok Kota Depok pada mulanya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bogor, mengingat perkembangannya yang relatif pesat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau adalah area memanjang baik berupa jalur maupun mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, sebagai tempat tumbuhnya vegetasi-vegetasi,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI iii MOTTO iv DEDIKASI v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI viii DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xiv DAFTAR

Lebih terperinci

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun 2000-2016 di Kota Tangerang Selatan Aisyah Desinah 1, Mangapul P. Tambunan 2, Supriatna 3 1 Departemen Geografi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh sistem satelit merupakan salah satu alat yang bermanfaat untuk mengukur struktur dan evolusi dari obyek ataupun fenomena yang ada di permukaan bumi.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Unsur-unsur Iklim 1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran - 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Puncak Atmosfer ( 100 km ) Tekanan Udara

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN Letak Geografis dan Luas Wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di timur propinsi Banten dengan titik kordinat 106 38-106 47 Bujur Timur dan 06 13 30 06 22 30 Lintang

Lebih terperinci

ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY

ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan

Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan Lalu Muhamad Jaelani, Fajar Setiawan, Hendro Wibowo, Apip Lalu Muhamad Jaelani, Ph.D

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 ANALISIS DISTRIBUSI TEMPERATUR PERMUKAAN TANAH WILAYAH POTENSI PANAS BUMI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DI GUNUNG LAMONGAN,

Lebih terperinci

KETERKAITAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN URBAN HEAT ISLAND WILAYAH JABOTABEK SOBRI EFFENDY

KETERKAITAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN URBAN HEAT ISLAND WILAYAH JABOTABEK SOBRI EFFENDY KETERKAITAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN URBAN HEAT ISLAND WILAYAH JABOTABEK SOBRI EFFENDY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 KETERKAITAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN URBAN HEAT ISLAND

Lebih terperinci

INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (36-42)

INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (36-42) INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (36-42) ANALISIS TINGKAT KENYAMANAN THERMAL WEBB DI RUMAH TINGGAL T-45 PADA MUSIM KEMARAU Studi Kasus: Rumah Tinggal di Komplek HKSN Permai Banjarmasin M. Tharziansyah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota merupakan tempat

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air tanaman adalah banyaknya air yang dibutuhkan tanaman untuk membentuk jaringan tanaman, diuapkan, perkolasi dan pengolahan tanah. Kebutuhan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA MODUL PHOTOVOLTAIC UNTUK MENINGKATKAN DAYA KELUARAN

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA MODUL PHOTOVOLTAIC UNTUK MENINGKATKAN DAYA KELUARAN Studi Eksperimental Pengaruh Sudut Kemiringan... (Nabilah dkk.) STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA MODUL PHOTOVOLTAIC UNTUK MENINGKATKAN DAYA KELUARAN Inas Nabilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I Hidrometeorologi Pertemuan ke I Pengertian Pengertian HIDROMETEOROLOGI Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara unsur unsur meteorologi dengan siklus hidrologi, tekanannya pada hubungan timbal balik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya PEMBAHASAN 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya Pemetaan Geomorfologi,NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah Pemetaan Geomorfologi

Lebih terperinci

KAITAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN KENYAMANAN TERMAL PERKOTAAN THE RELATIONSHIP OF GREEN OPEN SPACE WITH HUMAN COMFORT IN URBAN AREAS

KAITAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN KENYAMANAN TERMAL PERKOTAAN THE RELATIONSHIP OF GREEN OPEN SPACE WITH HUMAN COMFORT IN URBAN AREAS Available online at: http://journal.ipb.ac.id/index.php/agromet J. Agromet 28 (1): 23-32, 2014 ISSN: 0126-3633 KAITAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN KENYAMANAN TERMAL PERKOTAAN THE RELATIONSHIP OF GREEN OPEN

Lebih terperinci