ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY"

Transkripsi

1 ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 211

2 RINGKASAN GEMA NUSANTARA. Analisis Peningkatan Suhu Permukaan Akibat Konversi lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat ETM + (Studi Kasus : Jakarta). Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY dan LARAS TURSILOWATI. Perkembangan dan pemekaran wilayah Jakarta telah memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Pembangunan telah merubah lansekap kota itu sendiri. Banyak ruang terbuka hijau yang telah dijadikan sarana dan prasarana publik. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan perkembangan pembangunan, menyebabkan perubahan di segala bidang, salah satunya adalah perubahan penutup dan penggunaan lahan. Perkembangan dan pemekaran wilayah Jakarta dapat mengakibatkan perubahan unsur-unsur iklim, terutama di pusat kota, akan berbeda dengan wilayah di sekitarnya. Tujuan penelitian ini menganalisis peningkatan suhu permukaan yang diakibatkan oleh konversi lahan. Daerah pengamatan penelitian ini adalah DKI Jakarta pada periode pengamatan tahun 2 dan 26. Kanal citra landsat yang digunakan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan adalah kanal 5, 4, dan 2 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 3 m x 3 m, sedangkan kanal landsat yang digunakan untuk melihat peningkatan suhu permukaannya menggunakan kanal 61 dan 62 yang memiliki resolusi 6 m x 6 m. Hasil analisis menunjukan adanya perubahan lahan yang cenderung menaikan suhu permukaan antara lain urban, lahan terbuka yang semakin luas. Peningkatan luas area tertinggi pada tutupan lahan pemukiman atau urban sekitar 15 % dari tahun 2-26, sebaliknya penutup lahan yang bisa meredam suhu seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Air (RTA) justru berkurang, RTH mengalami penurunan luas mencapai (21.1%). Seiring dengan perubahan tutupan lahan yang cukup tinggi, mengakibatkan peningkatan suhu permukaan cukup signifikan. Perubahan suhu permukaan ini secara visual dapat dilihat dari perbedaan antara tahun 2 dan 26. Pada tahun 2 penyebaran suhu permukaan masih merata sekitar (2-32) C. Suhu permukaan dengan interval (32-35) C hanya terlihat di beberapa daerah di Jakarta Utara dan sedikit di daerah Jakarta Timur. Tetapi pada tahun 26 terjadi peningkatan suhu permukaan sekitar (24-38) C, dan tampak terlihat perbedaan jelas penyebaran suhu dengan interval (32-35) C distribusinya hampir merata di seluruh Kota Jakarta dan suhu permukaan dengan interval (36-39) C hanya tersebar di beberapa pusat kota. Kata Kunci : peningkatan suhu permukaan, penutupan lahan, tata guna lahan, RTA, RTH

3 ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Departemen Geofisika Dan Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 211

4 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tugas akhir yang dilaksanakan sejak bulan April 21 ini adalah konversi lahan, dengan judul Analisis Peningkatan Suhu Permukaan Akibat Konversi Lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat ETM + (Studi Kasus : Jakarta). Sholawat serta salam terpanjatkan kepada Nabi Muhammad S.A.W yang telah memberikan tuntunan menuju jalan kebaikan. Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu serta mendukung dalam penulisan skripsi ini, antara lain : 1. Ayah dan ibu tercinta, atas kasih sayang serta pengorbanannya yang terus tercurahkan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini. Adik adikku tersayang (Sharazzani dan Nurulliza) yang selalu memberikan semangat serta memberikan motivasi kepada penulis. Serta seluruh keluarga yang telah berjasa kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si selaku pembimbing pertama, yang selalu dengan teliti serta sabar dalam memberikan bimbingan, saran, dan masukan-masukan lainnya yang menunjang untuk terselesaikannya tugas akhir ini. 3. Ibu Dra. Laras Tursilowati, M.Si selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan saran serta bimbingannya kepada penulis. 4. Seluruh Staff Pengajar Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 5. Seluruh Staff TU Departemen Geofisika dan Meteorologi atas segala bantuannya. 6. Sahabatku Rendy Kurnia dan Raidinal yang telah banyak memberikan dukungan moril, serta Hilda, Diki, Lastri, Cristina, Gilang, Desi dan Diana yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. 7. Teman-teman GFM 43 yang senantiasa memberikan kenangan yang paling berkesan dan paling bahagia. 8. Seluruh civitas GFM atas dukungannya, serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis berharap, semoga karya tulis ini bisa memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan semua pihak yang membaca. Penulis juga mengharapkan adanya kritik dan saran untuk membuat karya ilmiah ini lebih sempurna. Bogor, Maret 211 Gema Nusantara

5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 23Mei 1989, dengan nama lengkap Gema Nusantara Bakry sebagai putra pertama dari tiga bersaudara, dari ayah Umar.S.Bakry dan ibu Siti Aisyah Purnamasari. Pendidikan formal yang dilalui penulis pada tahun 2 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Teluk Pucung Jaya Bekasi, pendidikan menengah pertama diselesaikan tahun 23 di SMP Mutiara 17 Agustus, pada tahun 26 lulus dari MA Negeri 1 Bekasi. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan melalui program mayor-minor pada tahun 27. Penulis memilih Program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

6 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Suhu Permukaan Konversi Lahan Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Air Citra Satelit Landsat... 4 BAB III METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Pengolahan Awal Data Satelit Pengolahan Suhu Permukaan... 6 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis Daerah Kajian Identifikasi Jenis Lahan Urban Lahan Terbuka Sawah Ruang Terbuka Air Ruang Terbuka Hijau Identifikasi Sebaran Suhu Permukaan Hubungan Konversi lahan dengan suhu permukaan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 17

7 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Emisivitas Penutup Lahan Tabel 2. Data Pembangunan dan Populasi Jakarta Tahun 198 dan Tabel 3. Perubahan Tutupan Lahan Seluruh DKI Jakarta Dengan Menggunakan Citra Landsat Tahun 1989 dan Tabel 4. Perubahan Tutupan Lahan Seluruh DKI Jakarta Dengan Menggunakan Citra Landsat Tahun 1983 dan Tabel 5. Perubahan Lahan Jakarta Tabel 6. Perubahan Suhu Permukaan Penutup Lahan tahun 2 dan

8 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Alih Guna Lahan Gambar 2. Ruang Terbangun Gambar 3. Jalur Hijau Gambar 4. Banjir Kanal Timur Gambar 5. Diagram Alir Penelitian Gambar 6. Citra Klasifikasi Lahan Tahun Gambar 7. Citra Klasifikasi Lahan Tahun Gambar 8. Klasifikasi Lahan Jakarta Gambar 9. Persentasi Luas Area Klasifikasi Lahan Tahun Gambar 1. Persentasi Luas Area Klasifikasi Lahan Tahun Gambar 11. Peta Sebaran Suhu Permukaan Tahun Gambar 12. Peta Sebaran Suhu Permukaan Tahun

9 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah perkotaan saat ini menjadi problem yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek ekologis. Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau (taman, jalur hijau, dan lahan pertanian) dan ruang terbuka air (permukaan danau, sungai maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan air). Perkembangan kota membutuhkan ruang sebagai tempat hidup penduduk dengan aktivitasnya. Pertambahan jumlah penduduk kota berarti juga peningkatan kebutuhan ruang, karena ruang tidak dapat bertambah maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan yang cenderung menurunkan proporsi-proporsi lahan yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau. Perkembangan dan pemekaran wilayah di Jakarta saat ini telah memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Pembangunan saat ini telah merubah lansekap kota itu sendiri. Banyak ruang terbuka hijau yang telah dijadikan sarana dan prasarana publik. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan perkembangan pembangunan menyebabkan perubahan di segala bidang, salah satunya adalah perubahan penutup dan penggunaan lahan. Perubahan penutup dan penggunaan lahan dapat merubah reflektansi radiasi surya permukaan bumi dan menyebabkan pendinginan atau pemanasan lokal (Handayani 27). Tingginya tingkat pembangunan di daerah perkotaan, seringkali mengabaikan unsur-unsur alami seperti vegetasi. Padahal dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa vegetasi memiliki manfaat dan nilai untuk mempertahankan tingkat kenyamanan udara. Pada umumnya komunitas vegetasi bertujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup dan kenyamanan kota (Waryono 1991). Dalam hal ini, sangat penting untuk mempertimbangkan kebutuhan ruang hijau di perkotaan. Pembangunan fisik kota itu sendiri mempengaruhi ketersediaan ruang untuk vegetasi dan distribusinya. Hasil analisis yang dilakukan dalam beberapa penelitian mengungkapkan adanya dampak dari ruang hijau perkotaan pada iklim mikro, kualitas udara, penyimpanan karbon dan juga memperkaya keanekaragaman hayati (Susanti 29). Telah diakui pula bahwa terdapat keuntungan sosial ekonomi yang dapat diperoleh dari ruang hijau perkotaan dan kontribusinya pada perbaikan kesehatan manusia (Susanti 29). Dengan demikian diperlukan adanya pembangunan wilayah terencana untuk menjaga dan memperbaiki kualitas udara di kota Jakarta. Serta melakukan pembenahan tata ruang perkotaan dengan menentukan kawasan-kawasan untuk tiap pengguna lahan. Salah satu cara untuk menciptakan lahan hijau di perkotaan adalah melalui penghijauan, makin banyak permukaan lahan hijau dan ruang terbuka air akan memperkecil kontras sifat termalnya. Pembangunan fisik kota mengakibatkan perubahan drastis pada sifat permukaan dan perilaku atmosfernya. Bila laju fisik tersebut cukup pesat maka kemungkinan pertumbuhan tanaman hijau akan tertekan, ketiadaan penutupan vegetasi menyebabkan ketiadaan transpirasi dan ini merupakan penyebab utama penambahan bahang di kota. Kerapatan vegetasi dan suhu permukaan merupakan informasi penting yang dibutuhkan kaitannya dengan isu pemanasan global. Informasi spasial ini dapat dihasilkan dengan memanfaatkan citra satelit sumberdaya, khususnya citra Landsat. Kemampuannya perlu dikaji agar tidak memberikan informasi yang tidak representatif, apalagi kalau suatu daerah kajian memiliki jenis penggunaan lahan yang heterogen. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan klasifikasi lahan kota Jakarta tahun 2 dan tahun 26, serta mengidentifikasi peningkatan suhu permukaannya. Analisis yang digunakan yaitu analisis spasial dengan melakukan perbandingan antara informasi spasial penggunaan lahan dengan data sebaran kelas kerapatan vegetasi dan kelas suhu permukaan. Hasil penelitian menunjukkan dapat mempresentasikan kerapatan vegetasi dengan baik untuk berbagai macam jenis penggunaan lahan. Di sisi lain pendeteksian suhu permukaan menggunakan band termal pada citra Landsat harus memperhatikan aspek penggunaan lahannya, untuk menghindari kesalahan interpretasi. 1.2 Tujuan Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

10 Mengidentifikasi luas ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka air (RTA). Mengidentifikasi perubahan distribusi dan persentasi RTH dan RTA dalam kurun waktu 6 tahun. Menganalisis hubungan konversi lahan dengan peningkatan suhu permukaan. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan suhu bagian terluar dari suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya akan meningkat. Hal ini juga akan meningkatkan fluks energi (radiasi gelombang panjang) yang keluar dari permukaan benda tersebut. Suhu permukaan bukanlah suhu udara, keduanya memiliki nilai aktual yang bervariasi menurut ruang dan waktu. Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat), terutama pada siang hari, karena suhu permukaan benda lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara (Mannstein 1987 dalam Kalfuadi 29). Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya belum tentu sama. Hal ini tergantung pada sifat fisik obyek pada permukaan tersebut. Sifat fisis obyek tersebut diantaranya : emisivitas, konduktivitas termal dan kapasitas panas jenis. Suatu obyek permukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah sedangkan konduktivitasnya termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaan meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada suatu obyek yang memiliki emisivitas dan kapasitas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas termalnya rendah akan menyebabkan lebih rendahnya suhu permukaan. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Lillesand and Kiefer 1998 dalam Kalfuadi 29). Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit termal. Dalam remote sensing dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan ratarata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi lahan sebagaimana mestinya, yang biasanya berawal dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka air menjadi daerah pemukiman atau sebagai sarana dan prasarana publik tanpa mengindahkan dampak ekologis yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan di suatu wilayah: Menurut Dowall (1978), Durand & Lasserve (1983) dalam Faizal (1998), ada dua faktor yang mempengaruhi proses konversi, yaitu faktor eksternal dan faktor interal. Faktor eksternal meliputi : (1) tingkat urbanisasi secara umum, (2) kondisi perekonomian, (3) kebijakan dan programprogram pembangunan kota. Sedangkan faktor internal meliput : (1) lokasi dan potensi lahan, (2) pola pemilikan tanah, (3) motivasi pemiliknya. Sementara Suryadini (1994) dalam Ramadhan (25) menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya perubahan pemanfaatan RTH adalah : (1) terbatasnya lahan yang hendak dibangun pada daerah yang mengalami perubahan, (2) kebutuhan pemenuhan fasilitas yang ingin dibangun untuk melayani penduduk, (3) kurangnya pengawasan dari pemerintah terhadap perubahan RTH, (4) tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat kebutuhan akan RTH, (5) konsekuensi dari lokasi yang strategis secara ekonomis dan produktif yang dapat meningkatkan nilai lahan. Konversi lahan dibagi kedalam dua jenis, yaitu: konversi lahan dari ruang terbuka hijau (jalur hijau, taman kota, dan lahan pertanian) dan ruang terbuka air (permukaan danau, sungai maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai daerah tangkapan air) menjadi daerah permukiman dan daerah terbangun lainnya.

11 Gambar 1 Alih guna lahan Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka air (RTA). (Dwiyanto 29). Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain tamantaman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dsb (Dwiyanto 29). Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu, RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. (Anonymouse 23). Dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi. Gambar 2 Ruang Terbangun Tata ruang kota secara fisik dapat dipisahkan menjadi ruang terbangun dan ruang terbuka. Berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988 tentang penataan ruang terbuka hijau wilayah perkotaan, ruang terbuka hijau adalah wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area atau kawasan memanjang atau jalur dimana dalam penutupannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara alamiah

12 maupun budidaya tanaman, seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Terdapat tujuh bentuk RTH berdasarkan tujuan penggunaanya, yaitu : 1. Ruang terbuka hijau yang berlokasi dikarenakan adanya tujuan konservasi. 2. Ruang terbuka hijau bertujuan untuk keindahan kota. 3. Ruang terbuka hijau karena adanya tuntutan fungsi kegiatan tertentu, misalnya RTH rekreasi dan RTH pusat kegiatan olahraga. 4. Ruang terbuka hijau bertujuan untuk pengaturan lalu lintas kota. 5. Ruang terbuka hijau sebagai sarana olahraga dari suatu perumahan. 6. Ruang terbuka hijau untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang. 7. Ruang terbuka hijau untuk halaman rumah. Jadi ruang terbuka hijau (RTH) merupakan ruang yang tidak terbangun, dengan perbandingan unsur tanaman yang lebih luas, dan memiliki fungsi utama untuk perlindungan kawasan sekitarnya. Bagian lain dari RTH, akan memberikan hasil terhadap kebutuhan kenyamanan, kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam (Zulkarnain 26 dalam Ligar 28). Sebagai sarana edukasi dan sosial Untuk mempertinggi kualitas ruang kehidupan lingkungan Ruang Terbuka Air Ruang terbuka air atau air permukaan merupakan daerah tangkapan air yang meliputi : sungai, danau, rawa atau arealareal yang dikhususkan sebagai daerah tangkapan air. Air permukaan secara alami dapat tergantikan dengan presipitasi dan secara alami menghilang akibat aliran menuju lautan, penguapan, dan penyerapan menuju ke bawah permukaan. Meski satusatunya sumber alami bagi perairan permukaan hanya presipitasi dalam area tangkapan air, total kuantitas air dalam sistem dalam suatu waktu bergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut termasuk kapasitas danau, rawa, dan reservoir buatan, permeabilitas tanah di bawah reservoir, karakteristik aliran pada area tangkapan air, ketepatan waktu presipitasi dan rata-rata evaporasi setempat. Semua faktor tersebut juga mempengaruhi besarnya air yang menghilang dari aliran permukaan. Aktivitas manusia memiliki dampak yang besar dan terkadang menghancurkan faktor-faktor tersebut. Gambar 4 Banjir Kanal Timur Gambar 3 Jalur Hijau Selain itu, Ruang terbuka hijau memiliki peran antara lain : Sebagai penyaring udara kotor Sebagai alat pengukur iklim Sebagai tempat hidup satwa Sebagai penunjang keindahan 2.3. Citra Satelit Landsat Penginderaan jauh (inderaja) secara umum didefinisikan sebagai cara untuk memperoleh informasi dari obyek tanpa mengadakan kontak fisik dengan obyek tersebut, sedangkan secara khusus adalah usaha untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik baik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek. Menurut fungsinya satelit inderaja dibedakan menjadi satelit sumber dan satelit lingkungan-cuaca. Satelit yang termasuk sumber alam diantaranya adalah SPOT dan LANDSAT, sedangkan satelit lingkungan dan cuaca adalah METEOR dan COSMOS (USSER), TIROS- N dan NOAA-N (USA) (Handayani 27)

13 Satelit landsat merupakan satelit yang digunakan untuk memantau sumberdaya yang ada di bumi. Satelit ini merupakan hasil kerjasama antara National Aeronautics and Space Administration (NASA) dengan Departemen of Interior United State pada pertengahan tahun 196-an. Landsat sebelumnya bernama Earth Resources Technology Satelite (ERTS-1) yang diluncurkan ada tanggal 23 Juli 1972 dengan tujuan memberikan gambaran menyeluruh tentang permukaan bumi. Satelit landsat pertama kali ditemukan pada bulan juli Satelit landsat -1, satelit landsat -2 dan landsat -3 termasuk kedalam satelit bumi generasi pertama. Satelit bumi generasi kedua, yaitu landsat -4 dan landsat -5, yang merupakan satelit semioperasional atau satelit untuk pengembangan dan penelitian. Pada bulan Oktober 1993 dan April 1999 diluncurkan satelit bumi generasi ketiga, yaitu landsat -6 dan landsat -7. Landsat -7 dilengkapi dengan sensor Enhanced Thematic Mapper plus (ETM + ) yang dapat mencitrakan keseluruhan bumi dalam petak 18 kilometer setiap 16 hari dengan tingkat ketelitian 3 meter (USGS 23 dalam Ligar 28). Satelit landsat -7 diluncurkan dari Vanderburg Air Force Base pada tanggal 15 April 1999 dengan wahana Delta II. Satelit mengorbit pada ketinggian 75 km dan memetakan bumi dengan siklus 16 hari sekali. Komunikasi melalui S-band digunakan untuk mengendalikan satelit dan X-band digunakan untuk data downlink. Meskipun orbit satelit Landsat 7 melewati tempat yang sama setiap 16 hari pada waktu yang sama, perubahan variasi matahari dapat menyebabkan perubahan variasi iluminasi sehingga mempengaruhi citra yang diperoleh. Perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan musiman posisi utara-selatan matahari relatif terhadap bumi (Handayani 27). III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian berlangsung dari bulan April 21 sampai dengan bulan September 21 di Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Udara, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data diantaranya : 1. Perangkat lunak Er Mapper untuk pengolahan data citra satelit Landsat 2. Perangkat lunak Arc View GIS 3.3 with full extention 3. Perangkat lunak Ms. Word Perangkat lunak Ms. Excel Seperangkat computer dan printer 6. Bahan-bahan yang digunakan antara lain : 1. Data citra Landsat ETM + Jakarta, path/row 122/64 (sumber : BTIC- BIOTROP dan LAPAN) 2. Data penggunaan dan penutupan lahan wilayah Jakarta 3. Peta dasar wilayah Jakarta 3.3. Metode Penelitian Pengolahan awal data cita satelit Langkah pertama yang digunakan adalah menentukan daerah studi penelitian, pemrosesan awal citra satelit dilakukan sebelum melakukan analisis, yaitu untuk mendapatkan informasi yang diinginkan dari data citra. Beberapa tahapan yang dilakukan pada pemrosesan citra satelit yaitu : Koreksi geometrik Koreksi ini bertujuan untuk memperbaiki titik kordinat yang sebenarnya, data yang digunakan adalah citra landsat ETM + tahun 2 dengan citra yang sudah terkoreksi yaitu citra ETM + tahun 26. Pengambilan wilayah kajian Pengambilan wilayah kajian bertujuan untuk efisiensi besarnya citra satelit yang akan diolah. Dengan metode sub-sampling image data citra Landsat ETM + path/row 122/64 dicrop dengan data vektor wilayah kota Jakarta. Cropping dilakukan setelah koreksi geometrik sehingga mempersempit wilayah yang akan dikaji. Pemulihan citra (Image Restoration) Pada saat pengambilan citra oleh satelit, citra yang diambil akan mengalami perubahan karena adanya distorsi radiometrik dan geometrik sehingga perlu dilakukan koreksi terhadap kesalahankesalahan dalam pemulihan citra.

14 Penajaman Citra (Image Enhachement) Penajaman citra dilakukan agar suatu obyek pada citra akan terlihat lebih tajam atau kontras. Hal ini memudahkan interpretasi secara visual untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa teknik penajaman citra yang akan dilakukan, antara lain : 1. Penajaman kontras 2. Pembuatan warna semu 3. Pelapisan (filtering) Klasifikasi penutupan lahan Pada penelitian ini, proses klasifikasi penutupan lahan menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing dengan menggunakan kanal 5, 4 dan 2. Teknik ini lebih banyak menggunakan algoritma yang mengkaji sejumlah besar piksel dan membaginya ke sejumlah kelas berdasarkan pengelompokkan nilai DN (Digital Number) pada citra. Metode ini sangat bermanfaat dan efisien dalam menyajikan ruang yang relatif homogen untuk mendapatkan lima tipe penutupan lahan, yaitu : RTH, lahan terbuka, sawah, rawa/tambak, pemukiman dan badan air Pengolahan suhu permukaan Pada penelitian ini, proses pengolahan suhu permukaan menggunakan band 61 dan 62 yang kemudian di gabung menjadi band 6 dengan menggunakan software ER MAPPER. Setelah itu langkah selanjutnya adalah mengcrop daerah Jakarta dengan acuan vector Jakarta. Setelah itu melakukan perhitungan nilai spectral radiance dari nilai DN dalam landsat 7 dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: L α = L max -L min x (Qcal - Qcal min ) Qcal max - Q cal min + L min (1) Dimana : L α = Spectral radiance pada kanal ke i (Wm-2 sr-1 μm-1) QCAL = Nilai digital number kanal ke i L MIN = Nilai minimum spectral radiance kanal ke i L MAX = Nilai maksimum spectral radiance kanal ke i QCAL MIN = Minimum pixel value QCAL MAX = Maksimum pixel value (255) Untuk menghitung nilai suhu permukaan pada data satelit Landsat sebelumnya harus diketahui dulu nilai suhu kecerahan dengan persamaan sebagai berikut(usgs22): K 2 Tb = ln K L α... (2) Dengan K 1 = Wm -2 sr -1 µm -1 dan K 2 = K untuk landsat ETM sedangkan untuk landsat TM, K 1 = 67,76 Wm -2 sr -1 µm -1 dan K 2 = K. Sedangkan persamaan adalah sebagai berikut : Ts Koreksi = +( λt s )Lnε α.(3) Dimana : Ts = Suhu permukaan yang terkoreksi (K) λ = Panjang gelombang dari radiasi yang di pancarkan sebesar 11.5 µm (Markham dan Barker 1985 dalam Prawanto 21) α = hc/k (1.438 x 1-2 mk) h = Konstanta Planck s (6.26 x 1-3 ) c = Kecepatan cahaya (2.998 x 1 8 m.scc -1 ) K = Konstanta Stefan Boltzman (1.38 x 1-23 JK -1 ) ε = Emisivitas Obyek Dalam perhitungan ini menggunakan nilai emisivitas (ε) yang berbeda pada tiaptiap lahannya tergantung dengan jenis penutupan lahannya dalam penelitiap ini terdapat 6 jenis penutupan lahan yaitu : tambak/rawa, badan air, lahan terbuka, RTH, sawah dan pemukiman/urban. Tabel 1 emisivitas penutup lahan Penutup lahan emisivitas Water.98 Sand.94 Green grass.97 Granite.89 (sumber : Nilai emisivitas untuk lahan non vegetasi yaitu sekitar.96 dan untuk lahan vegetasi sekitar.97. Sedangkan nilai emisivitas untuk air sekitar.98 (Artis dan Carnahan 1982 dalam Prawanto 21). T s

15 DATA SATELIT LANDSAT ETM + Cropping wilayah kajian (daerah vektor Jakarta Pemulihan citra Penajaman citra Band 5,4,2 Band 6 Spectral Radiance (Lα) Spectral Radiance (Lα) Tutupan Lahan Suhu Permukaan Distribusi Ruang Terbuka Persentasi RT (ruang terbuka) Ts (perbandingan suhu permukaan) Gambar 5 Diagram alir penelitian

16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta sebagai wilayah yang strategis sebagai pintu masuk menuju wilayah pelayanannya. Di samping itu, posisinya pada pantai utara menghubungkan Kota Jakarta, dengan kota-kota besar lainnya yang berada di jalur utara menjadikan daya tarik wilayah sehingga terjadi urbanisasi menuju Kota Jakarta (BAPPEDA Kota Jakarta 26). Secara geografis Kota Jakarta terletak diantara pada 6 1.5' Lintang Selatan, ' Bujur Timur dengan luas wilayah 66.1 hektar. Tabel 2 Data pembangunan dan populasi Jakarta tahun 198 dan 2. Keterangan Luas Ruang Terbuka (Ha) Luas Ruang Terbangun (Ha) Populasi (sumber : BAPPEDA Jakarta) Luas ruang terbuka (non terbangun) pada tahun 198 yakni hektar dan luas ruang terbangun hektar, dengan jumlah populasi jiwa. Pada tahun 2 mengalami penurunan luas ruang terbuka (non terbangun) menjadi hektar dan luas wilayah terbangun meningkat menjadi hektar, dengan jumlah populasi meningkat secara signifikan menjadi jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan akan lahan cukup tinggi dalam kurun waktu 2 tahun. (BAPPEDA Kota Jakarta 26). Tingginya jumlah penduduk dan pertumbuhan di Jakarta mengakibatkan beberapa konsekuensi penting, di antaranya : masyarakat membutuhkan lahan untuk pembangunan rumah, aktivitas publik, sarana dan prasarana publik, pembangunan ini memacu perubahan penggunaan lahan, khususnya dari lahan yang tadinya berfungsi sebagai RTH dan RTA menjadi ruang tertutup bangunan (urban). Pengaruh tata guna lahan dan tutupan lahan terhadap fenomena Urban Heat island di Jakarta, memperlihatkan bahwa tata guna lahan dan tutupan lahan dapat mempengaruhi perubahan unsur-unsur iklim, khususnya suhu permukaan sehingga dapat menyebabkan peningkatan suhu permukaan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hal ini, dikenal dengan fenomena Urban Heat Island (UHI) (Tursilowati 21). Penelitian ini menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing dan tutupan lahan terbagi kedalam 5 kelas, yaitu : Badan Air, Pemukiman, Industri, Vegetasi dan Awan. Berdasarkan penelitian ini diketahui luas Kota Jakarta Ha pada tahun 1989 dan 22. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 22. Land cover Area Badan air Vegetasi Pemukiman Industri Awan (sumber : Tursilowati 21) Berdasarkan penelitian Nana Suwargana dan Susanto (25), tentang deteksi RTH dengan menggunakan tekhnik penginderaan jauh, memperlihatkan distribusi sebaran RTH dan urban dari tahun Dengan pengurangan luas tertinggi adalah RTH mencapai Ha (-159%) dan penambahan lahan tertinggi adalah urban mencapai Ha (172.7%). Tabel 4 Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1983 dan 22. Land cover Area Urban RTH Badan air Lahan terbuka Rawa/tambak Sawah (sumber : Nana.S dan Susanto 25). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tahun 2-26 memperlihatkan peningkatan pembangunan di Jakarta sangat pesat. Sehingga kondisi RTH dan RTA tahun 26 kurang dari 1 %. Jadi pertambahan lahan tertinggi pada rentang waktu adalah pemukiman atau urban dengan perubahan sekitar Ha. Sedangkan penurunan lahan tertinggi pada rentang waktu yang sama adalah RTH dengan penurunan sebesar Ha.

17 4.2. Identifikasi Jenis Lahan Klasifikasi citra Landsat tahun 2 diperlihatkan Gambar 6, dan tahun 26 diperlihatkan Gambar 7. Total luas area yang diperoleh dari pengolahan data citra Landsat Ha. Pada tahun 2 wilayah utara Kota Jakarta sebagian besar wilayahnya adalah pemukiman/urban yang berwarna merah, sedangkan ruang terbuka hijau yang diwakili warna hijau hanya sedikit. Pada tahun 26 terjadi perubahan lahan yang cukup signifikan pada daerah ini, di sekitar tepi pantai utara terjadi beberapa pergeseran lahan, dari RTH menjadi pemukiman dan sebagian lagi tergenang oleh air karena pergeseran garis pantai. Hal ini, dikarenakan pembangunan wilayah pemukiman di daerah ini cukup tinggi sehingga banyak daerah yang sebelumnya ruang terbuka hijau di alih fungsikan. Gambar 6 Citra klasifikasi lahan tahun Urban (pemukiman) Pemukiman atau urban yang merupakan pemadatan dan pemekaran wilayah semakin berkembang ke wilayah Jakarta Timur, Barat dan Selatan, distribusinya dapat dilihat pada Gambar 7, terutama yang berbatasan dengan Jakarta Timur (Bekasi), Jakarta Selatan (Bogor) dan Jakarta Barat (Tangerang). Pada lahan pemukiman mengalami pertambahan luas yang cukup tinggi dari Ha (58.12%) menjadi Ha (74.3%) dari total lahan Jakarta. Hal ini dikarenakan peningkatan jumlah penduduk dari luar daerah karena krisis ekonomi dan pembangunan-pembangunan infrastruktur (pemukiman, perkantoran, industri dan pelebaran jalan) oleh pemerintah kota sehingga kebutuhan akan lahan meningkat pesat dari tahun ke tahunnya. Pembangunan Kota Jakarta yang sangat pesat tanpa pengaturan yang baik akan dampak lingkungan, dapat menyebabkan semakin buruknya kondisi lingkungan di Jakarta.

18 Gambar 7 Citra klasifikasi lahan tahun Lahan terbuka (open land) Lahan terbuka merupakan lahan kosong yang tidak dimanfaatkan oleh pemerintah, sebarannya sedikit terlihat di Jakarta Timur dan Selatan. Pada lahan terbuka mengalami peningkatan dari Ha pada menjadi Ha (Tabel 3). Peningkatan ini di karenakan pengalihan lahan dari RTH Sawah Penggunaan lahan sawah secara umum dapat berfungsi sebagai RTH meskipun intensitasnya sangat tergantung pada komoditas pertanian yang ditanam. Tanaman tahunan memiliki fungsi RTH efektif sepanjang tahun, sedangkan fungsi RTH tanaman semusim tidak selalu efektif sepanjang tahun. Pada wilayah Jakarta Utara dan Timur kondisinya semakin berkurang, namun pada wilayah Jakarta Barat terjadi penambahan wilayah sawah dikarenakan terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi sawah. Luas sawah di Jakarta saat ini hanya sekitar 1.1 % dari total klasifikasi tutupan lahan di Jakarta. Luas sawah mengalami penurunan dari Ha menjadi Ha. Hal ini dikarenakan sawah-sawah di Jakarta telah dijadikan pengembangan infrastruktur di ibukota, misalnya : pelebaran jalan, pembangunan jembatan layang dan pusat industri. Tabel 5 Perubahan Lahan Jakarta Jenis Lahan Luas Lahan 2 Luas Lahan 26 Perub. Lahan (26-2) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) Rawa/Tambak Badan Air Lahan Terbuka RTH Urban Sawah Awan

19 Luas Area (Ha) Rawa badan air Lahan terbuka RTH Urban Sawah Awan Gambar 8 Klasifikasi lahan di Jakarta Ruang Terbuka Air Ruang terbuka air atau air permukaan adalah merupakan daerah tangkapan air yang meliputi : sungai, danau, rawa atau areal-areal yang dikhususkan sebagai daerah tangkapan air. RTA dalam klasifikasi ini dikategorikan ke dalam klasifikasi tutupan lahan badan air yang merupakan sebagai penyangga air namun pada Gambar 7 kondisinya semakin kritis diakibatkan bahwa banyak daerah bantaran sungai yang dijadikan pemukiman. Kondisi ini mengakibatkan lingkungan sudah tercemar terutama dalam persediaan air bersih. Luas sungai dan danau terjadi penambahan luas dari Ha menjadi Ha (Tabel 3). Hal ini dikarenakan pembangunan banjir kanal timur tahun 26 yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi banjir. Rawa merupakan tempat penampungan air dari bahaya banjir, serta tambak merupakan tempat budidaya ikan dan udang di wilayah pesisir pantai, pada gambar 6 dan 7 terlihat di utara kota Jakarta yang berwarna biru tua. Luas rawa mengalami penurunan sekitar.39% dari luas sekitar 115 Ha menjadi Ha (Tabel 3). Hal ini dikarenakan sebagian luas rawa di Jakarta Utara mengalami perubahan menjadi pemukiman. Distribusi RTA pada tahun 26 sebagian besar tersebar di wilayah Jakarta Utara dan Timur Ruang Terbuka Hijau RTH merupakan ruang terbuka hijau yang ditumbuhi oleh vegetasi yang dapat berguna sebagai daerah resapan air atau dapat juga sebagai paru-paru kota, keberadaan RTH dalam perkotaan sangat vital dalam lingkungan perkotaan yang memiliki tingkat polusi udara yang tinggi. Dari Hasil analisis diketahui sebaran RTH di Jakarta pada Gambar 6, distribusinya masih tersebar luas di beberapa wilayah, terutama di Jakarta Timur, Barat dan Selatan. Apabila dibandingkan dengan Gambar 7 yang sudah berkurang, warna hijau bekas RTH telah berubah menjadi warna merah, yang artinya bahwa RTH telah berkurang dan mengalami alih fungsi menjadi wilayah pemukiman atau urban, terutama di daerah Jakarta Pusat dan Utara. Lahan RTH mengalami penurunan luas yang cukup tinggi dari Ha pada tahun 2, berkurang menjadi Ha atau mengalami penurunan luas 14 1 Ha. Ketersedian RTH yang cenderung turun dari tahun ke tahun yang seharusnya mendapat perhatian yang serius bagi pemerintah kota, distribusi RTH saat ini hanya tersebar sekitar 1 % di sekitar Jakarta Timur diikuti oleh Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Pada tahun 26 ketersediaan RTH di Kota Jakarta hanya kurang dari 1 %, luas kondisi RTH tersebut cukup mengkhawatirkan dari tingkat kebutuhan

20 RTH minimal berdasarkan ketentuan Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang penataan ruang terbuka hijau perkotaan, sebesar 4 % dari luas wilayah kota. Kondisi keberadaan RTH di Jakarta tahun 26 berada di bawah ketentuan. Berkurangnya klasifikasi lahan dari RTHdanRTA disebabkan besarnya peningkatan jumlah penduduk dari daerahdaerah lain ke Jakarta, baik untuk keperluan perdagangan, perindustrian, pemukiman, pelebaran jalan dan pusat bisnis menyebabkan kebutuhan akan lahan yang tinggi dari tahun ke tahun. Karena luas wilayah tidak bertambah dan terbatasnya wilayah untuk beraktivitas, maka terjadilah alih fungsi lahan untuk dijadikan ruang aktifitas untuk publik. 58% 1% 2% 3% 7% 2% Rawa/Tambak Badan Air Lahan Terbuka 27% RTH Urban Sawah Awan Gambar 9 Persentasi luas area klasifikasi tahun 2 % 1% 74% 1% 6% 12% 6% Rawa/Tambak Badan Air Lahan Terbuka RTH Urban Sawah Awan Gambar 1 Persentasi luas area klasifikasi lahan tahun Identifikasi sebaran suhu permukaan Suhu Permukaan adalah suhu terluar dari objek, untuk lahan terbuka suhu permukaannya berada di lapisan luar permukaan tanah, namun untuk vegetasi suhu permukaannya berada di kanopi vegetasi, dan untuk badan air suhu permukaannya berada di permukaan air. Ketika permukaan menyerap radiasi, suhu permukaan yang dihasilkan akan bervariasi bergantung pada karakteristik fisik objek. Umumnya emisivitas rendah, kapasitas panas kecil dan konduktivitas termal yang lebih tinggi akan meningkatkan suhu permukaan. Parameter ini juga mengatur jumlah aliran panas dari permukaan ke udara (Kalthoff et al26 dalam Tursilowati 21). Hasil citra sebaran suhu permukaan yang diperoleh dari citra landsat tahun 2 diperlihatkan pada Gambar 11 sedangkan sebaran suhu permukaan tahun 26 pada Gambar 12. Sebaran suhu permukaan ini terbagi menjadi 6 selang, yaitu selang (12-15) C yang diwakili oleh warna kuning muda, selang (16-19) C diwakili oleh warna kuning, selang (2-23) C diwakili oleh warna oranye, selang (24-27) C diwakili oleh warna merah muda, selang (28-31) C diwakili oleh warna merah, selang (32-35) C yang diwakili warna merah agak tua dan yang terakhir selang (36-39) C yang diwakili warna merah tua. Seiring dengan perubahan tutupan lahan yang cukup tinggi, mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang terjadi di Jakarta cukup signifikan. Perubahan suhu permukaan ini secara visual terlihat dari perbedaan antara gambar 11 dan gambar 12. Pada gambar 11 penyebaran suhu permukaan masih merata sekitar (2-32) C. suhu permukaan dengan interval (32-35) C hanya terlihat di beberapa daerah di Jakarta Utara dan sedikit di daerah Jakarta Timur. Pada gambar 12 terjadi peningkatan suhu permukaan menjadi sekitar (24-38) C, dan tampak jelas perbedaan penyebaran suhu dengan interval (32-35) C distribusinya hampir merata di seluruh kota Jakarta dan suhu permukaan dengan interval (36-39) C hanya tersebar di beberapa pusat kota. Hal ini dikarenakan pengembangan perkotaan semakin cepat dari tahun ke tahun mengubah wilayah yang dulunya lahan bervegetasi dan berair menjadi aktivitas publik. Adanya lahan bervegetasi dapat mengikat kandungan CO 2 yang dihasilkan dari sarana transportasi yang dapat menyebabkan peningkatan suhu lokal. Pada suhu permukaan dengan interval antara (28-31) C pada gambar 11 distribusinya tersebar di wilayah Jakarta Utara, Pusat, selatan dan timur dengan tutupan lahan berupa pemukiman atau urban, namun pada

21 gambar 12 terjadi pergeseran suhu permukaan dengan interval (28-31) C menjadi (32-35) C pada tutupan lahan yang sama. Sedangkan suhu permukaan dengan interval rendah (2-23) C pada gambar 11 masih tersebar di beberapa wilayah Jakarta Utara, Barat, Timur dan Selatan yang memiliki tutupan lahan berupa RTH, sungai, sawah dan rawa. Tetapi pada gambar 12terjadi kenaikan suhu permukaan pada tutupan lahan yang sama terjadi kenaikan suhu permukaan antara (24-27) C, hal ini, dikarenakan berkurangnya lahan bervegetasi maupun lahan berair yang dapat mempengaruhi suhu permukaan di sekitarnya. Gambar 11 Peta sebaran suhu permukaan tahun 2 Gambar 12 Peta sebaran suhu permukaan tahun 26

22 Tabel 6 Suhu Permukaan Penutupan Lahan Tahun 2 dan 26 Penutupan lahan 2 26 ( C) ( C) Rawa / Tambak Badan Air Lahan Terbuka Urban RTH Sawah Dari hasil pengolahan suhu permukaaan tahun 2 dan 26, masing-masing tutupan lahannya terjadi peningkatan suhu permukaan dari tahun 2 sampai 26. Peningkatan suhu yang paling tinggi adalah urban sekitar 31 C pada tahun 2 dan pada tahun 26 meningkat menjadi 36 C, terutama yang berada di pusat kota. Hal ini, yang dikenal dengan fenomena pulau panas perkotaan, dimana suhu di tengah kota lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya. Peningkatan suhu permukaan masing-masing tutupan lahan, dikarenakan perubahan penutup dan penggunaan lahan. Perubahan penutup dan penggunaan lahan dapat merubah reflektansi radiasi surya permukaan bumi dan menyebabkan pendinginan atau pemanasan lokal. 4.4 Hubungan konversi lahan dengan peningkatan suhu permukaan. Perubahan tata guna dan penutupan lahan di Jakarta karena pengaruh konversi lahan dengan peningkatan suhu permukaan memiliki suatu hubungan. Perubahan penutupan lahan telah berkembang sangat cepat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk akibat urbanisasi yang tinggi. Tingkat urbanisasi yang tinggi mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi pula namun sedikit terjadi pengurangan penduduk dari angka kematian atau perpindahan penduduk dari Kota Jakarta ke wilayah satelit lainnya, misalnya : Bekasi dan Tangerang. karena input dan output tidak seimbang, maka terjadi penumpukan penduduk. Jumlah penduduk yang meningkat maka permintaan akan ruang untuk aktifitas cukup tinggi. karena terbatasnya lahan yang ada menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang tinggi, yaitu dari lahan yang bervegetasi dan berair menjadi pemukiman padat penduduk dan industri-industri. Pengalihan fungsi lahan ini mengakibatkan peningkatan suhu permukaan di Jakarta. Semakin banyak lahan bervegetasi dan berair yang beralih menjadi pemukiman dan industri maka semakin besar kemungkinan kenaikan suhu permukaan di sekitarnya. Perubahan lahan pemukiman di Jakarta mencapai 15% dari tahun Sebaliknya penutup lahan yang bisa meredam suhu seperti lahan bervegetasi (RTH), sawah dan tubuh air justru berkurang. Dari pengamatan, lahan terbuka hijau selalu mengalami penurunan dan kondisinya hanya 6% pada tahun 26 dari total luas area Jakarta. Seiring dengan perubahan tata guna dan tutupan lahan ini maka ada perubahan suhu permukaan yang terjadi, pada tahun 2 suhu permukaan sekitar (2-32) C sedangkan pada tahun 26 terjadi peningkatan suhu permukaan menjadi (24-38) C. Dari data ini dapat di analisis bahwa laju perkembangan kota Jakarta sangat cepat. Hubungan perubahan penutupan lahan terhadap suhu permukaan dapat diformulasikan sebagai berikut : Q=mC T.....(4) Dimana Q adalah jumlah energi yang diterima atau dilepaskan dari suatu material ( C), m adalah massa dari material (kg), C adalah kapasitas panas (J/kg), dan T adalah selisih suhu ( C). kapasitas panas dapat di formulasikan sebagai berikut: C=ρ.c.. (5) c adalah kapasitas panas jenis (j/kg), dan ρ adalah massa jenis (kg.m 3 ). Dari persamaan 4 dapat dikatakan bahwa jika setiap permukaan menerima energi radiasi matahari yang sama tetapi dengan kapasitas panas yang berbeda, maka suhu yang di hasilkan juga berbeda. Jika suatu benda berkapasitas panas besar maka suhu yang dihasilkan rendah, sebaliknya jika suatu benda berkapasitas panas kecil maka suhu yang dihasilkan tinggi.

23 Material yang berkapasitas panas besar maka akan menurunkan suhu, seperti lahan bervegetasi dan lahan berair. Adanya lahan bervegetasi dan berair dapat membuat daerah di sekitarnya menjadi sejuk dan nyaman. Sebaliknya material yang berkapasitas panas kecil maka akan meningkatkan suhu permukaan di sekitarnya, seperti pemukiman dan industri. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pada wilayah pengamatan di Jakarta terlihat adanya perubahan akan lahan dari tahun 2-26 cukup tinggi. Perubahan ini cenderung meningkatkan suhu permukaan di sekitarnya. Tutupan lahan yang mengakibatkan kenaikan suhu permukaan adalah lahan pemukiman, lahan terbuka dan penurunan luas ruang terbuka hijau dan air. Peningkatan luas area tertinggi pada tutupan lahan pemukiman atau urban sekitar 15 % dari tahun 2-26, sebaliknya tutupan lahan yang dapat mempengaruhi kondisi sekitarnya, seperti lahan terbuka hijau dan lahan berair terjadi penurunan luas area. Penurunan luas area tertinggi terjadi pada tutupan lahan terbuka hijau (RTH) sekitar 21 % dari tahun Luas RTH mengalami penurunan luas yang cukup tinggi dari Ha pada tahun 2, berkurang menjadi Ha atau mengalami penurunan luas 14 1 Ha. Sedangkan luas RTA yang terbagi kedalam dua klasifikasi sungai, danau dan rawa. Luas sungai dan danau terjadi penambahan luas dari Ha menjadi Ha, dan rawa mengalami penurunan sekitar luas sekitar 115 Ha menjadi Ha. Distribusi RTH pada tahun 26 hanya tersebar di Jakarta Timur dan Selatan dan sedikit di Jakarta Barat. Sedangkan distribusi RTA sebagian besar tersebar di Jakarta Utara, Timur dan Selatan. Seiring dengan perubahan tutupan lahan yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang terjadi di Jakarta cukup signifikan. Perubahan suhu permukaan ini secara visual dapat dilihat dari perbedaan antara tahun 2 dan 26. Pada tahun 2 penyebaran suhu permukaan masih merata sekitar (2-32) C. suhu permukaan dengan interval (32-35) C hanya terlihat di beberapa daerah di Jakarta Utara dan sedikit di daerah Jakarta Timur. Tetapi pada tahun 26 terjadi peningkatan suhu permukaan sekitar (24-38) C, dan tampak terlihat perbedaan jelas penyebaran suhu dengan interval (32-35) C distribusinya hampir merata di seluruh Kota Jakarta dan suhu permukaan dengan interval (36-39) C hanya tersebar di beberapa pusat kota. 5.2 Saran Untuk meningkatkan hasil penelitian ini,maka masih diperlukan : Metode tambahan dalam melakukan klasifikasi lahan dan perhitungan suhu permukaan, yaitu dengan metode klasifikasi terbimbing agar data yang diperoleh lebih valid. Menggunakan data citra Landsat yang tidak tertutupi oleh awan, agar hasil yang diperoleh menjadi lebih teliti dan akurat. DAFTAR PUSTAKA BAPPEDA Kota Jakarta. 26. Laporan Antara Penyusuan Rencana Tata Ruang Terbuka Hijau (RTRH) Kota Jakarta. Dwiyanto A.29. Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau di Permukiman Kota. from eprints.- undip.ac.id/147/ (Diakses 9 September 21). Faizal A Hubungan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Pertumbuhan Penduduk dan jarak terhadap Pusat Kegiatan Utama (Kasus Kabupaten Sleman ). Tesis. Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hadi S. 26. Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan. Departemen Kehutanan. Bogor. HandayaniN. 27. Identifikasi Perubahan Kapasitas Panas Kawasan Perkotaan Dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM + (studi kasus : Kodya Bogor). Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor. Kalfuadi Y. 29. Analisis Temperature Heat Index (THI) Dalam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id) 6 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian Jakarta terletak pada lintang 106 o 22 42 BT s.d. 106 o 58 18 BT dan 5 o 10 12 LS s.d. 6 o 23 54 LS. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227

Lebih terperinci

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 6 memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian  3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan 5 Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan Penutup Lahan Albedo (Unitless) Min Max Mean Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur 0.051 0.065 0.053 Karet

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetimbangan radiasi pada vegetasi hutan adalah ρ + τ + α = 1, di mana α adalah proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun,

Lebih terperinci

HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI

HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir, kegiatan urbanisasi semakin meningkat, tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan berdampak dengan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU

APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU Muhammad Ikhwan 1, Hadinoto 1 1 Staf pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan. FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL Erwin Hermawan Abstrak Secara umum, UHI mengacu pada peningkatan suhu udara,

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum 12/2/211 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kota Palembang Muis Fajar E3462536 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi dan Perubahan Penutupan Analisis yang dilakukan pada penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tipe penutupan lahan yang mendominasi serta lokasi lahan

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN ARSITEKTUR LANSEKAP KOTA KEDIRI STUDI KASUS: PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU JALUR JALAN UTAMA KOTA

PENGEMBANGAN ARSITEKTUR LANSEKAP KOTA KEDIRI STUDI KASUS: PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU JALUR JALAN UTAMA KOTA PENGEMBANGAN ARSITEKTUR LANSEKAP KOTA KEDIRI STUDI KASUS: PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU JALUR JALAN UTAMA KOTA Suryo Tri Harjanto 1), Sigmawan Tri Pamungkas 2), Bambang Joko Wiji Utomo 3) 1),3 ) Teknik

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kota adalah pusat pertumbuhan yang ditandai dengan perkembangan jumlah penduduk (baik karena proses alami maupun migrasi), serta pesatnya pembangunan sarana dan

Lebih terperinci

ANALISIS TEMPERATURE HEAT INDEX (THI) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN RUANG TERBUKA HIJAU (Studi Kasus : Kabupaten Bungo - Propinsi Jambi) YUSUF KALFUADI

ANALISIS TEMPERATURE HEAT INDEX (THI) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN RUANG TERBUKA HIJAU (Studi Kasus : Kabupaten Bungo - Propinsi Jambi) YUSUF KALFUADI ANALISIS TEMPERATURE HEAT INDEX (THI) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN RUANG TERBUKA HIJAU (Studi Kasus : Kabupaten Bungo - Propinsi Jambi) YUSUF KALFUADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) ANDIKA PRAWANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. Pada tanggal 18 Desember 1999, NASA (National Aeronautica and Space Administration) meluncurkan Earth Observing System (EOS) Terra satellite untuk mengamati,

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

Studi Peran & Efektifitas RTH Publik di Kota Karanganyar Isnaeny Adhi Nurmasari I BAB I PENDAHULUAN

Studi Peran & Efektifitas RTH Publik di Kota Karanganyar Isnaeny Adhi Nurmasari I BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terbitnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang seiring dengan makin menguatnya keprihatinan global terhadap isu pemanasan global dan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia memiliki luas lahan keseluruhan mencapai 661,52 berdampak kepada pertumbuhan permukiman. Menurut data statistik Indonesia

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Sri Sutarni Arifin 1 Intisari Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN Media Konservasi Vol. 17, No. 3 Desember 2012 : 143 148 HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN (Correlation between Leaf Area Index with Micro Climate and Temperature

Lebih terperinci

Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau ( RTH )di permukiman Kota

Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau ( RTH )di permukiman Kota Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau ( RTH )di permukiman Kota Wacana ini merupakan hasil diskusi dengan Ir. Sukawi, MT yang dituangkan menjadi sebuah paper. Pendahuluan Masalah perkotaan pada saat

Lebih terperinci

LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU

LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU Disusun oleh : 1. Muhammad Hitori (105040200111056) 2. Astrid Prajamukti Saputra (105040201111075)

Lebih terperinci

SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING. IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG

SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING.  IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/scaffolding IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG Mashuri Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR Cesaria Wahyu Lukita, 1, *), Joni Hermana 2) dan Rachmat Boedisantoso 3) 1) Environmental Engineering, FTSP Institut Teknologi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU Cecep Kusmana Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG

SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG FANITA CAHYANING ARIE Jurusan Teknik Planologi, Institut Teknologi Nasional Malang Email : fnita3pantimena@gmail.com

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Kecamatan di DAS Sunter.

Gambar 6. Peta Kecamatan di DAS Sunter. 8 Gambar 5. Peta Tutupan lahan DAS Sunter (BPDAS Ciliwung-Cisadane 4.6.2 Kecamatan di DAS Sunter Daerah Aliran Sungai (DAS) Sunter memiliki beberapa kecamatan seperti yang terlihat pada gambar 6. Kecamatan

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci