PROLEMATIKA HUKUM DALAM MENTRANSFORMASI KONFLIK DEMI MEMBANGUN PERDAMAIAN DI INDONESIA Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum. 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROLEMATIKA HUKUM DALAM MENTRANSFORMASI KONFLIK DEMI MEMBANGUN PERDAMAIAN DI INDONESIA Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum. 1"

Transkripsi

1 PROLEMATIKA HUKUM DALAM MENTRANSFORMASI KONFLIK DEMI MEMBANGUN PERDAMAIAN DI INDONESIA Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum. 1 Abstrak Karakter Pluralisme bangsa Indonesia membutuhkan suatu hukum responsive yang membuka ruang public yang mampu menjaga harkat manusia dan keleluasaan dialog lintas kultur. Pluralisme memerlukan suatu format hukum yang demokratis yang mensyaratkan penghargaan atas pluralisme itu sendiri. Tugas hukum dalam membangun perdamaian menjadikan hukum memiliki suatu mekanisme pengintegrasi bagi transformasi konflik. Dalam konstelasi ini, maka hukum diharap menjawab kebutuhan social masyarakat untuk mengelola harmonisasi dalam kehidupan yang penuh pluralitas. Hukum itu sendiri perlu dibangun dengan kultur perdamaian yang tidak mengandalkan kekuasaan represif sebagai manipulator sentralistis kehidupan sosial, namun dengan mengedepankan pandangan anthroposentris masyarakat Indonesia yang plural, dan mengangkat harkat martabat manusia atau memanusiakan manusia. Dengan demikian, hukum merupakan eksemplar artikulasi cita perdamaian dalam sistemnya. Kata kunci : hukum, transformasi konflik, perdamaian. PENDAHULUAN Kajian terhadap hukum, konflik dan resolusi konflik yang berurgensi pada pembangunan perdamaian dalam konteks pluralisme bangsa Indonesia menyuarakan beberapa dimensi. Pertama apakah hukum memiliki peran penting dalam konflik? Baik sebagai pemicu atau bahkan menjadi penabuh gendering konflik ataupun hukum memposisikan diri sebagai entitas penyelesai konflik, bagaimana karakter hukum yang menimbulkan segrerasi yang berseberangan dengan perdamaian itu? Kedua bagaimanakah karakter hukum yang berpihak pada perdamaian dan bukannya menjadi sumber konflik? Tulisan ini akan mengkaji bahwa hukum yang merupakan suatu entitas buatan manusia sesungguhnya merupakan suatu social constructed reality, yang bermakna artfisial dan dikonstruksikan oleh pelbagai system yang ada. Potret buram konflik di Indonesia yang dilingkupi oleh hukum yang ada, merupakan sebuah symbol bahwa hakekat interaksi antara hukum, konflik, dan perdamaian itu sebenarnya 1 Penulis adalah dosen Fakultas Hukum UKSW, aktif di Satya Wacana Peace Center sebagai ketua. 1

2 merupakan suatu persoalan structural dalam kehidupan bermasyarakat dan memiliki keterkaitan dengan pembentukan dan pemeliharaan kekuasaan. Hukum memiliki hakekat suatu kekuasaan birokrasi negara yang memiliki dimensi tujuan kepentingan publik. Manakala hukum disejajarkan dengan fenomena konflik yang berakar pada pembedaan Budaya, Suku, Agama, Ras, dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia ini, maka di situlah ada suatu gejala adanya kegagalan birokrasi negara tersebut, baik pada aras legislative, eksekutive, maupun judicative dalam mengawal kepentingan public. HUKUM DAN KONFLIK Pemaknaan Hukum bukanlah hanya semata dimaksudkan sebagai perundang-undangan belaka. Sistem hukum meliputi tiga komponen yakni substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Bekerjanya hukum bukan hanya secara rules and logic, tetapi juga meliputi social structure and behavior dari individu atau birokrasi yang terlibat. Oleh karena itu, bahasa hukum di sini dimaknai tidak hanya dalam taraf kebijakan atau formulasi kebijakan public, namun juga pada taraf implementasinya hukum yang didasari kultur hukum. Melalui kultur hukum yang inilah, maka hukum akan terus menerus dikerjakan oleh keseluruhan konteks sosial Bekerjanya hukum dalam masyarakat mencerminkan masyarakat tersebut. Ada suatu korelasi antara fenomena masyarakat yang kompleks dan majemuk dengan hukum yang harus mewadahi aspirasi dalam cerminan masyarakat tersebut. Law is a mirror of society, which functions to maintain social order Law maintains social order by establishing and enforcing the rules of social intercourse... 2 Dengan demikian, hukum yang baik adalah hukum yang mampu menjawab kebutuhan social masyarakatnya, yang tidak mengalienasikan masyarakat habitus hukumnya dengan mempedomani tertib social dan pencapaian kesejahteraan bersama. Pada kondisi sekarang ini di Indoensia, negara yang mengejawantah dalam birokrasi pemerintahan, ternyata tumbuh menjadi mesin kekuasaan yang regulative. Bentuk kekuasaan 2 Brian Z.Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society,(London : Oxford University Press, 2006), p Mirror Thesis dari Tamanaha mengungkapkan bahwa hukum selalu berakar pada a peculir from social life. Namun, dalam konteks hukum negara, hukum justru bisa mengekslusifksn diri dan teralienasi dari kebutuhan masyarakatnya. 2

3 birokratis negara merasuk dalam budaya masyarakat sedemikian rupa, sehingga tidak ada satu kegiatan kemasyarakatan yang bebas dari ppengaruh birokrasi hukum. Hukum menjadi penentu keabsahan bentuk dan pola hidup social masyarakat. Namun demikian, perlu dikaji lebih dalam, apakah dengan demikian hukum itu memang netral sebagaimana klaim dari aliran pemikiran legalistik? Pandangan Thomas Hobbes yang merupakan pandangan paham positivisme tentang negara hukum formal menghendaki agar negara menunjukkan kekuatan tanpa tanding dengan peran kekuasaan negara yang absolut. Bagi Hobbes, peran negara harus absolut agar mampu menciptakan ketentraman, kebebasan, dan rasa takut di kalangan warga negara. Negara melalui hukumnya dianggap sebagai pengendali yang objektif. 3 Pemikiran legalistic memandang sistem hukum positif bisa memberikan harapan untuk mengatur berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bisa mencapai ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Namun, perspektif positivism legalistic yang memandang bahwa sifat hukum positif (hukum yang berlaku sekarang ini) adalah netral dan liberal, justru berbeda dengan realitas hukum modern yang semakin terasing dari realitasrealitas sosial. Konflik muncul dimana-mana sebagai buah dari pertentangan antara kepentingankepentingan. Hukum di Indoensia sekarang ini belum mampu menjawab persoalan krusial tentang kebebasan beragama dan beribadah, pengakuan hak minoritas, dan demokratisasi dalam hukum. Manakala hukum memiliki sikap diskriminatif, maka dalam konteks ini, muncul moral hazard hukum yang memunculkan dimensi law as a tool of conflict, dan law as a tool of social engineering for raising conflict. Hukum akan menjadi sektarian yang memicu konflik, manakala : 1. Hukum dalam hal ini agen social termasuk pemerintah justru mengakomodasi privilese kelompok etnis ataupun kelompok tertentu yang dominan dalam masyarakat. Sedangkan hukum memposisikan kelompok lain sebagai sub ordinasinya. Hukum di sini berarti sebagai suatu sistem social politik tidak mampu menjamin keseimbangan kekuasaan antar kelompok. Kekuasaan meliputi pula kekuasaan ekonomi, akses kepada keadilan, politik, kesamaan budaya, dll yang menunjuk pada pemenuhan hak social, politik dan budaya yang sama dan 3 Frans Magnis suseno, Kuasa dan Moral, Gramedia,Jakarta, 1995,

4 sederajat. Hukum di sini memiliki karakter diskriminatif. Birokrasi pengendali hukum melalui kebijakannya tidak mampu mewujudkan kesamaan dalam pengendalian dominasi kelompok tertentu dalam suatu penguasaan ataupun pengelolaan sumber-sumber daya. Dalam hal ini, kurangnya keterjaminan akses kelompok sub ordinat dalam pemenuhan hak-haknya akibat hukum mengalami distorsi oleh karena conflict of interest. 2. Hukum dalam masyarakat pluralis memaksakan suatu politik monoralis. Hukum yang sebenarnya merupakan suatu dimensi politik, bisa jadi akan memaksakan suatu standardisasi yang melukai warna pluralis itu sendiri dan memaksakan suatu penyelesaian yang uniform dan mengabaikan toleransi. Dalam hal ini hukum bertindak sebagai hakim yang menolak suatu eksistensi kelompok dan memberikan label sebagai kelomok yang menyalahi pola-pola dari system social yang lebih besar. Dalam hal ini cenderung mengabakan nilai nilai dan kearifan kelompok local dan menggantikannya dengan mempersempit ruang deliberative kelompok untuk berkembang. Stigma berbahaya diberikan pada kelompok berbeda ini untuk membedakannya dengan kelas kelompok yang lain. Interpretasi atas pemaknaan definisi dalam suatu hubungan social termasuk nilai-nilai menjadi tersentralistis pemaknaannya oleh hukum. Resistensi kelompok tertentu dari hukum yang digariskan dianggap sebagai suatu pembangkangan terhadap hukum. Campur tangan pemerintah sedemikian besar dan bersifat represif. Kebijakan sentralis menimbulkan suatu warna politik hukum represif yang menolak adanya suatu perbedaan pendapat. Kohesi social yang sebenarnya memiliki warna pluralis bergeser seturut bentukan hukum sentralis yang ditetapkan dari atas (top down). Akibatnya, kelompok subordinasi akan tidak memiliki legitimasi yang sahih yang seharusnya memiliki akses yang sama di muka hukum. Negara tampil sebagai manipulator kehidupan sosial, Karakter dan aktivitas negara yang tergambar dalam hukum secara substantial ditentukan oleh hubungan-hubungan kekuasan antar kelompok dalam masyarakat. Dalam hal ini lingkungan kehidupan sosial tunduk pada kepentingan-kepentingan penguasa. Ketegangan dalam hukum birokratis adalah dilema antara tatanan hukum sebagai alat untuk memenuhi kepentingan kepentingan penguasa dan kebutuhan rakyat. Di satu sisi dianggap bahwa Hukum publik bertindak sebagai alat negara 4

5 untuk memanipulasi relasi-relasi sosial. Hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara. 3.Hukum tidak mampu mentransformasi konflik menjadi sebuah transformasi social berkedamaian. Masyarakat Indonesia yang pluralis, memiliki kerentanan untuk mengalami konflik apabila hukum yang mewadahinya bersifat tertutup. Potensi benturan kepentingankepentingan akan dikelola oleh hukum dalam suatu kebijakan publik. Apabila kebijakan hukum baik pada aras formulasi hukum, maupun law enforcement menutup diri pada suatu dialog yang membuka komunikasi bagi ruang interpretasi, maka kerentanan untuk berprasangka akan kekuasaan dominan dalam pengelolaan konflik akan lebih mengemuka. Dalam situasi demikian hukum bahkan bisa menjadi pentransformasi konflik untuk memperkeruh konflik itu sendiri. Misalnya dalam penanganan konflik, hukum bertindak diskriminatif dalam penegakannya. Perilaku tebang pilih dalam menentukan aktor-aktor yang memicu konflik, sikap ketertutupan dalam membuka akses keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat konflik akan merugikan pengelolaan konflik itu sendiri. Perubahan eskalasi konflik menjadi besar mengindikasikan bahwa ada kekurangan pengelolaan potensi konflik, menjadi harmoni perdamaian. Kenetralan Hukum melalui kinerja aparat hukumnya, termasuk dalam formula kebijakan yang ditempuh akan selalu mengalami referendum. Dialektis dalam hukum menjadi tertutup, manakala sentralitas kebenaran hanya dimiliki oleh lembaga hukum tanpa keterbukaan terhadap emansipasi maupun kontrol publik terhadap tugas-tugasnya. Dalam pengelolaan konflik di Indonesia, maka persoalan krusial yang ada adalah membuka sepenuhnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik, dengan memanfaatkan kearfian lokal. Program program rekonsiliasi ataupun pembangunan perdamaian yang justru mengalienasikan masyarakat akan mengalami keterbuntuan, dan menjadikan tidak efektifnya hukum untuk mentransformasi konflik. Hal menarik yang perlu direnungkan dalam konteks ini adalah apakah instrument hukum di Indonesia sudah mampu mengakomodasi fungsi untuk melayani kebutuhan akan transformasi konflik menjadi perdamaian? Dalam konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, hukum menjadi tumpuan harapan untuk memecah isu pemicu konflik, mereduksi eskalasi 5

6 konflik, dan membawa penegakan hukum pada situasi yang kondusif untuk membuka ruang perdamaian. Hukum yang kurang responsive dalam menanggapi potensi konflik, menandakan bahwa instrument hukum belum akomodatif untuk mentransformasi konflik menjadi perdamaian.. Adanya pembiaran oleh aparat penegak hukum, tindakan represif oleh aparat penegak hukum yang menekan warga yang justru bukan pihak yang berkonflik bahkan memicu konflik baru. Konflik yang bermuara pada persoalan penolakan akan eksistensi keberagamaan /kemajemukan merupakan suatu konflik yang menodai nilai-nilai pluralism. Hal ini berbeda dengan persoalan hukum biasa yang terjadi dalam masyarakat misalnya penganiayaan biasa. Apabila potensi konflik ini tidak terbaca dalam suatu penegakan hukum, maka tentu akan menjadi suatu keterlambatan pengelolaan konflik. Pemaknaan konflik dengan mengkaitkan pada hak asasi manusia akan menjadikan pengelolaan konflik lebih membuka diri pada peran serta masyarakat. Hukum yang berkarakter represif dengan semata mengandalkan pada suatu pendekatan keamanan, akan bersifat kontraprodutif dalam suatu pengelolaan konflik dan mentransformasi konflik menuju perdamaian. HUKUM BERBASIS PERDAMAIAN Hukum bukanlah mesin atau robot yang tidak memiliki hati nurani. Sistem hukum memiliki apa yang disebut dengan budaya hukum, yang dimaknai sebagai ide-ide/nilai yang mendasari substnasi hukum dan mendasari bagaimana struktur hukum melalui lembaga hukum yang ada itu bekerja dan berupaya mewujudkan tujuan hukum. Budaya hukum atau kultur hukum adalah jiwa atau roh hukum yang menjadi spirit hukum terbentuk. Peletakan budaya hukum akan menjadi pondasi yang memberi warna hukum tersebut. Hukum yang dimaknai semata pekerjaan teknis juridis seperti robot merupakan pengingkaran eksistensi hukum, sehingga mereduksi hukum sedemikian rupa menjadi suatu anomali dalam konteks keutuhan dengan kehidupan manusia. 4 Hukum diharapkan mampu mengelola dan mentransformasi konflik menjadi suatu kegiatan yang fungsional untuk 4 Satjipto Raha rdjo, Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Op.cit, hal

7 pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat yang lebih adil dan damai. Untuk itu, dalam posisi ini hukum diharapkan menjadi suatu symbol adanya dinamisasi akomodatif terhadap keberbedaan atau keberagaman untuk menjalin sutau sinergi yang bermakna bagi perdamaian. Hukum diharapkan menjadi katalisator yang fungsional sebagai penyeimbang yang menggagas nilai keadilan dan perdamaian. Hukum mengakomodasi ruang public yang mengarah pada pembauran toleran dalam suatu komunikasi bertanggung jawab. Ruang public yang dibuka hukum akan menjadi pengikat suatu pembentukan kohesi social akan solidaritas baru yang lintas kultur dan paham. Dalam konteks ini, pengakuan akan keberagaman oleh hukum akan menjadikan hukum sebagai factor pengintegrasi yang bukan sentralistis, tetapi bermakna responsive akan potensi kebaikan antar atau lintas keberagaman tersebut. Hukum akan menjadi suatu lembaga yang memungkinkan terciptanya suatu ruang public yang melangsungkan suatu komunikasi budaya yang tertata berdasarkan penghormatan akan eksistensi satu sama lain. Apabila direfleksikan dari kajian teoretik, dapat dikemukakan teori Chaos dar Samphord menyatakan bahwa teori hukum dapat juga muncul dari apa yang disebut dengan teori keos dalam hukum. Teori hukum dibangun dari sesuatu keadaan masyarakat yang disebut sebagai Melle. Realitas masyarakat selalu berada dalam situasi keos yang tidak dapat dprediksi dan tidak sistematis, karena adanya kekuatan-kekuatan yang berbenturan didalamnya. Hukum hadir sebenarnya dalam konteks masyarakat yang tdak beraturan ini, sehingga basis sosial hukum penuh dengan hubungan asimetris. 5 Pendapat Sampford di atas menggambarkan konsep pemkiran hukum yang mencoba mengkaitkan hukum dari aspek sosial yang menjadi habitatnya yang tidaklah sebenarnya berrati selalu seragam dan terbingkai dalam absulitisme negara. Konsep pemikiran hukum memiliki kandungan pluralitas, transformasi, mutasi, diversitas, multiplisitas yang tidak nampak dalam pemikiran positivistik pada era hukum modern.. 5. Dalam Steven Vago, Law and Society, fift.ed, Prentice Hall, New Jersey, 1997, P. 50 Baca dalam Donald Black, The Behavior of Law, Academic Press, London, 1976, p , a, dan lihat pula Charles Sampford, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell Inc, New York, 1989, p.151. Law is unsystematic etc, Sampford dikenal sebagai pencetus the legal melee dalam kandungan social melee, see p 160,

8 Parsons berpendapat bahwa fungsi utama suatu sistem hukum bersifat integratif. Artinya untuk mengurangi unsur konflik potensiil yang ada dalam masyarakat, dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Hanya dengan jalan mentaati suatu sistem aturan sajalah sistem interaksi sosial itu akan dapat berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka ataupun terselubung dalam keadaan kronis. 6 Pada kenyataannya hukum tidak berada dalam ruang hampa, dalam arti konsepsi hukum yang dilihat dari aspek pembuatan dan bekerjanya hukum sering berada dalam situsasi conflct of interest karena bekerjanya dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Dengan kata lain hukum berada dalam suatu sistem sosial dan bukan variabel tersendiri, melainkan bekerjanya terpengaruhi pada landasan tertib sosial yang lebih luas. Dalam studi kritis terhadap perundang-undangan dan bekerjanya hukum dapat dikaji sejauhmana pembuatan perundang-undangan dan bekerjanya justru dapat menghalang-halangi tercapainya perdamaian. Pendekatan rechtsdogmatic yang berkutat pada rasionalitas empiris, keseragaman, dan memisahkan hukum dalam kajian moral sebagaimana karakter hukum modern, dirasa tidak mampu menjawab korelasi hukum dalam membangun perdamaian.. Tumbuhnya kecenderungan kekuatan kemasyarakatan yang dikendalikan oleh hegemoni kkeuasaan negara melalui hukum akan mengendalikan warna pluralitas kehidupan mastarakat menjadi warn a tafsir tunggal oleh penguasa melalui hukum. Hukum yang sebenarnya menjadi tumpuan masyarakat untuk menjadi pondasi perdamaian ternyata dalam realitasnya bisa menjadi pemicu dari retaknya perdamaian. Manakala hukum menjadi pemicu sektarianisme dan diskriminatif, maka hal ini tentu akan mengoyak perdamaian yang sebenarnya menjadi cita dasar hukum itu sendiri. Hukum teralienasi dengan kebutuhan hukum masyarakat untuk hidup berdamai dan berdampingan. Dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno bahwa ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan agar hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, sehingga mendukung perdamaian termasuk hakikat hukum itu sendiri. Hal ini akan muncul kembali dalam pertentangan antara teori Hukum Kodrat dan Positivisme Hukum. Namun ketegangan itu 6 Edwin M.Schur, Law and Society : A Sociological View, New York, Random House, 1968, p

9 tidak perlu menggagalkan cita-cita hukum. Hukum memang harus pasti., kepastian adalah dasar hukum, tanpa kepastian keadilan tidak dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan. 7 9 Demikian pula, menurut Scholten, hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan. 8. Dalam kondisi masyarakat yang masih mengagungkan kekuasaan, maka bekerjanya aparat penegak hukum menjadi terpengaruh pada karakteristik ini. Pelaksanaan hukum dalam masyarakat misalnya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan politik kecil atau bahkan sama sekali tidak biasanya lebih aman dijalankannya daripada pelaksanaan yang ditujukan kepada orang-orang yang memilki kekuasaan politik besar, sebab dalam kondisi terakhir ini pelaksanaan itu akan berbalik menimbulkan tekanan kepada badan-badan pelaksana hukum itu sendiri. Oleh karena itu jelaslah bahwa paradigma positivistik yang dianut birokrasi penegak hukum, menyebabkan hukum hanya dijalankan secara kaku dan tertutup, tanpa melihat keberfungsiannya bagi masyarakat. Sebagaimana teori pada hukum otonom, 9 merupakan suatu tertib hukum yang mendukung model peraturan (model of rules). Fokus pada peraturan juga menyebabkan penegak hukum dalam menerapkan ukuran bagi akuntabilitas, membatasi campur tangan pihak luar dalam menjalankan fungsi pengawasan publik, seperti pembentukan peraturan perundang-undangan yang jauh dari keadilan substansial. Birokrasi penegak hukum memiliki sikap yang cenderung menutup diri terhadap masukan atau pengawasan publik dan membentengi diri atau birokrasi dengan jargon netralitas dan prosedural. Pada terminologi inilah dibituhkan 7 Frans Magnis Suseno, 1991, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hal Teori hukum kodrat menuntut hukum positif hanya diakui sah apabila sesuai dengan tuntutan dasar martabat manusia, dan tidak bertentangan dengan norma dasar moral terutama keadilan. Mengutip dari Radbruch nilai-nilai dasar dari hukum adalah keadilan, kegunaan, dan kepastian, dengan kesahan berlaku secara filsafati, sosiologis, dan yuridis. Dalam kehidupannya ketiga nilai dasar hukum tersebut, sering memunculkan ketegangan satu sama lain. Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hal Paul Scholten, 2005, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief Sidharta, Bandung: Alumni, hal Philip Nonet, Philippe Selznick, 2003, Law and Society In Transition :Toward Responsive Law, terj. Hukum Responif : Pilihan Di Masa Transisi, Jakarta: Perkumpulan untuk Reformasi Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis HuMa, 2003, hal.44,61.

10 suatu hukum yang mengisyaratkan tuntutan akan adanya moralitas dan norma-norma etis, bukan norma persaingan kekuatan dimana kekuasaan memegang peranan dan menggilas yang lemah dan minoritas..hukum yang berbudaya hukum perdamaian. Hukum yang berparadigma perdamaian setidaknya akan memiliki karakter : 1. Dianutnya pandangan antroposentris tentang hukum. Pandangan ini merupakan suatu segi pandangan tentang hukum dan pemerintah dimana manusia-manusia secara konkret hidup di tengah-tengahnya, sebagai konsumen paling utama dari hukum. Cara konkret manusia diperlakukan akan menentukan nilai hukum. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari manusia seutuhnya. Hukum menjamin nilai sosial, cita-cita, dan kebebasan yang membuat hidup sangat berarti bagi manusia seutuhnya. Dalam wacana postmodernism akan menampilkan bahwa hukum akan ditampilkan dalam kemasan yang penuh turbulensi. Pemenuhan nilai nilai sosial akan digugatkan pada hukum. Proyeksi critical legal studies menginginkan suatu hukum yang lebih humanis dan resposif. Tabir yang akan diungkap menuju pada suatu perubahan tafsir hukum yang lebih diarahkan pada emansipasi dalam hukum. 10 Dalam kajian hermeneutic menurut Gadamer 11, dapat digambarkan adanya suatu fondasi humanistic, dalam memberikan tafsiran optik ilmu hukum sebagai ilmu humaniora. Gadamer katakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma yang dipublikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat. Dalam mengimplementasikan Ilmu Hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan. 2. Interpretasi hukum yang berkedamaian adalah Interpretasi dengan kepekaan mengenai paradigma humanisme selaras dengan Geisteswissenschaften, yang berarti merupakan cara 10 Bonaventura de Sausa Santos 1995, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in The Paradigmatic Transition, London ;Routledge, P.8-9 The collapse of emancipation into regulation. 11 Gadamer, dalam B.Arief Sidharta, 2008, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008, hal

11 mengetahui dan cara mengada untuk bagaimana menjadi manusia (the man to be). Konsep kepekaan berarti mengandaikan adanya yang lain. Hukum menggali dan menginterpretasi makna hukum yang adil substansial untuk rakyat tersebut. Pertimbangan institusi hukum dalam memberikan keputusan-keputusannya tidak boleh dipandang dari sudut keuntungan apa yang diperoleh bagi institusi hukum tersebuti. Lembaga hukum lebih mementingkan wibawa dari birokrasi hukum itu sendiri, dibandingkan sikap keterbukaan dan dialog dengan masyarakat dalam menterjemahkan keadilan dalam pengambilan kebijakan. Pemaknaan hukum yang berparadigma perdamaian berarti juga wujud kejujuran sistem hukum yang juga mengakomodir hak-hak pencari keadilan, dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan substantif seiring dengan wajah pluralisme bangsa Indonesia yang menginginkan damai dan sejahtera.. Penutup Hukum pada hakekatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.. Namun, peraturan dan prosedur rasional birokratis, sentralistis dalam ciri hukum modern yang tidak selaras dengan watak manusia, akan bisa mendehumanisasi manusia melalui justifikasi hukum, dan menjauh dari tujuan hukum yang berbasis perdamaian. Tujuan hukum untuk mewujudkan perdamaian dapat dirumuskan sebagai pengabdian untuk pengayoman manusia yang mengakomodasi suatu nilai-nilai humanis yang membuka ruang solidaritas akan kemajemukan dan mampu mentransformasi konflik menjadi transformasi untuk pencapaian perdamaian. DAFTAR PUSTAKA - Black, Donald, The Behavior of Law, Academic Press, London, M.Schur, Edwin, Law and Society : A Sociological View, New York, Random House, 1968, - Magnis Suseno, Frans, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,

12 , Kuasa dan Moral, Gramedia,Jakarta. - M.Friedman, Lawrence, The Legal System, A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, Nonet, Philippe dan Selznick, Philip, Law and Society In Transition, London : Harper and Row, ,, Law and Society In Transition :Toward Responsive Law, terj. Hukum Responif : Pilihan Di Masa Transisi, Jakarta: Perkumpulan untuk Reformasi Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis HuMa, Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, Sampford, Charles, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell Inc, New York, Santos, Bonaventura de Sausa, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in The Paradigmatic Transition, London : Routledge., Scholten, Paul, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief Sidharta, Bandung : Alumni, Sidharta, B.Arief; Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober Tamanaha, Brian Z A General Jurisprudence of Law and Society,(London : Oxford University Press, Unger, Roberto Mangabeira, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Bandung : Nusa media, Vago, Steven, Law and Society, fift.ed, Prentice Hall, New Jersey,

13 13

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam. masyarakat

Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam. masyarakat MAKALAH TEORI HUKUM/KELAS A REGULE Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam masyarakat DISUSUN OLEH: MARIA MARGARETTA SITOMPUL,SH 117005012/HK PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN. Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum 1

REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN. Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum 1 1 REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum 1 Abstrak Refleksi terhadap hukum modern yang artificial, bersumber pada tafsiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan, kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi

Lebih terperinci

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Penyelenggaraan otonomi daerah yang kurang dapat dipahami dalam hal pembagian kewenangan antara urusan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada Bab IV, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aktor Penyelenggara Pengadaan Tanah

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM POKOK BAHASAN (1) Dosen: Prof. Dr. Guntur Hamzah, SH., MH.

POLITIK HUKUM POKOK BAHASAN (1) Dosen: Prof. Dr. Guntur Hamzah, SH., MH. POLITIK HUKUM Dosen: Prof. Dr. Guntur Hamzah, SH., MH. http://mguntur.webs.com POKOK BAHASAN (1) TINJAUAN UMUM POLITIK HUKUM: A. LATAR BELAKANG POLITIK HUKUM B. KEDUDUKAN MATA KULIAH POLITIK HUKUM C. RUANG

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan organisasi politik namun sepanjang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kerukunan umat beragama merupakan dambaan setiap umat, manusia. Sebagian besar umat beragama di dunia, ingin hidup rukun, damai dan tenteram dalam menjalankan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Modul ke: PANCASILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Fakultas 10FEB Melisa Arisanty. S.I.Kom, M.Si Program Studi MANAJEMEN PANCASILA SEBAGAI ETIKA BERNEGARA Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Sistem

Lebih terperinci

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at Latar Belakang dan Tujuan Otonomi Khusus Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era reformasi. Sebelumnya, hanya

Lebih terperinci

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN LATIHAN 5

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN LATIHAN 5 1 TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN LATIHAN 5 DISUSUN OLEH NAMA NIM PRODI : : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM 2014 2 Tugas Pendidikan Kewarganegaraan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, BAB IV KESIMPULAN Masyarakat yang plural atau majemuk merupakan masyarakat yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai suatu negara multikultural merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang menganut

Lebih terperinci

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SPIRIT KONSTITUSI Pasal 36A UUD 1945 menyatakan

Lebih terperinci

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum.

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. POLITIK HUKUM BAB I TENTANG PERSPEKTIF POLITIK HUKUM OLEH: Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. Politik Hukum Secara filosofis, berbicara hukum, berarti berbicara tentang pengaturan keadilan, serta memastikan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi 219 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi Islam di Indonesia dapat disimpulkan sebagai

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT 1 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Yang saya hormati: Tanggal, 19 Juni 2008 Pukul 08.30 W IB

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Pustaka Pelajar, 2001, hlm Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen Di Indonesia, dalam Dinamika

BAB IV ANALISIS. Pustaka Pelajar, 2001, hlm Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen Di Indonesia, dalam Dinamika 44 BAB IV ANALISIS A. Kualitas Tingkat Toleransi Pada Masyarakat Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten Toleransi antar umat beragama, khususnya di Indonesia bertujuan untuk menumbuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Pengertian penegakan hukum. Mengenai pengertian dari penegakan hukum menunjuk pada batasan pengertian dari para sarjana. Identifikasi

Lebih terperinci

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA KANTOR UTUSAN KHUSUS PRESIDEN UNTUK DIALOG DAN KERJA SAMA ANTAR AGAMA DAN PERADABAN KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA HASIL MUSYAWARAH BESAR PEMUKA AGAMA UNTUK KERUKUNAN BANGSA Jakarta 8-10 Februari 2018

Lebih terperinci

industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat

industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat PENDIDIKAN MULTIKULTURAL a. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya dari aspek jiwa, manusia memiliki cipta rasa dan karsa sehingga dalam tingkah laku dapat membedakan benar atau salah, baik atau buruk, menerima atau menolak

Lebih terperinci

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati I Proses pendidikan ada sebuah tujuan yang mulia, yaitu penanaman nilai yang dilakukan oleh pendidik terhadap

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

MENGAWAL KONSTITUSI DALAM MENJAMIN KEHIDUPAN BERAGAMA Oleh: Arfan Faiz Muhlizi *

MENGAWAL KONSTITUSI DALAM MENJAMIN KEHIDUPAN BERAGAMA Oleh: Arfan Faiz Muhlizi * MENGAWAL KONSTITUSI DALAM MENJAMIN KEHIDUPAN BERAGAMA Oleh: Arfan Faiz Muhlizi * Indonesia adalah negara dengan modal kebhinekaan yang bisa menjadi potensi luar biasa jika dikelola dengan benar. Tetapi

Lebih terperinci

Sociological Paradigms and Organizational Analysis

Sociological Paradigms and Organizational Analysis 1 Sociological Paradigms and Organizational Analysis Elements of the Sociology of Corporate Life Gibson Burrell and Gareth Morgan Heinemann, London, 1979, ch. 1-3. Keywords: nature of social science, nature

Lebih terperinci

Materi Kuliah RULE OF LAW

Materi Kuliah RULE OF LAW 70 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Materi Kuliah RULE OF LAW Modul 9 Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/08124446335 70 71 1. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah proses pembelajaran mahasiswa diharapkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN.

RINGKASAN PUTUSAN. RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 tanggal 19 Juli 2010 atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat modern yang demokratis.

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULA DA SARA

BAB V KESIMPULA DA SARA 152 BAB V KESIMPULA DA SARA 5.1 Kesimpulan Bertitik tolak dari uraian dalam bab III dan IV yang merupakan analisa terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU No. 10 tahun 2008 dan

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

9/8/2012 SISTEM SOSIAL & HUKUM

9/8/2012  SISTEM SOSIAL & HUKUM 1 SISTEM SOSIAL politik sosial ekonomi hukum agama budaya pendidikan 2 HUKUM DAN SISTEM SOSIAL Teori sibenertika Talcott Parson : sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga tidak memicu terjadinya konflik sosial didalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga tidak memicu terjadinya konflik sosial didalam masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara multikultural yang masyarakatnya memiliki beragam suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Keberagaman tersebut dapat memunculkan sikap

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Sebuah Harapan dan Kenyataan. Rif ah Roihanah

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Sebuah Harapan dan Kenyataan. Rif ah Roihanah PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Sebuah Harapan dan Kenyataan Rif ah Roihanah Abstrak: Permasalahan penegakan hukum menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan terutama karena terdapat ketimpangan antara

Lebih terperinci

HUKUM SEBAGAI MEKANISME PENGINTEGRASI

HUKUM SEBAGAI MEKANISME PENGINTEGRASI HUKUM SEBAGAI MEKANISME PENGINTEGRASI Oleh: Syamsulbahri Salihima A. Pendahuluan Manusia selain makhluk biologis juga ia sebagai makhluk sosial, olehnya itu manusia selalu didorong untuk melakukan hubungan-hubungan

Lebih terperinci

Kesimpulan. Bab Sembilan

Kesimpulan. Bab Sembilan Bab Sembilan Kesimpulan Rote adalah pulau kecil yang memiliki luas 1.281,10 Km 2 dengan kondisi keterbatasan ruang dan sumberdaya. Sumberdayasumberdaya ini tersedia secara terbatas sehingga menjadi rebutan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

Oleh: DUSKI SAMAD. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol

Oleh: DUSKI SAMAD. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Oleh: DUSKI SAMAD Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak yang sudah berjalan proses saat ini adalah sarana demokrasi untuk melahirkan pemimpin

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kewenangan penuh untuk menggelola segala hal yang menyangkut tentang tata kelola

BAB V PENUTUP. kewenangan penuh untuk menggelola segala hal yang menyangkut tentang tata kelola BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dengan berlakunya UU Desa No 6 Tahun 2014, pemerintahan desa diberi kewenangan penuh untuk menggelola segala hal yang menyangkut tentang tata kelola pemerintahan desa. Pengakuan

Lebih terperinci

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA Diah Uswatun Nurhayati Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, suku, ras, agama, kebudayaan ataupun peradaban. Pemicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategis dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep

Lebih terperinci

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses penyusunan kebijakan publik pada saat ini cenderung mengalami pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih merupakan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian, perkawinan, perceraian, pengesahan anak dan pengakuan anak.

BAB I PENDAHULUAN. kematian, perkawinan, perceraian, pengesahan anak dan pengakuan anak. BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan salah satu instansi pemerintah yang bertugas melayani masyarakat dalam hal pencatatan kelahiran, kematian, perkawinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga. Hal ini berarti bahwa di dalam negara Republik

Lebih terperinci

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara Disusun oleh: NAMA : HARI ANGGARA NIM : 11.12.5805 KELOMPOK STUDI JURUSAN DOSEN : H (HAK ASASI) : PANCASILA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

Modul ke: Masyarakat Madani. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi.

Modul ke: Masyarakat Madani. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi. Modul ke: Masyarakat Madani Fakultas Rusmulyadi, M.Si. Program Studi www.mercubuana.ac.id Pengertian Masyarakat Madani Masyarakat madani berasal dari bahasa Inggris, civil society. Kata civil society sebenarnya

Lebih terperinci

MASYARAKAT MADANI. Hatiningrum, SH.M Si. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi Manajemen

MASYARAKAT MADANI. Hatiningrum, SH.M Si. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi Manajemen MASYARAKAT MADANI Modul ke: 13 Fakultas Udjiani EKONOMI DAN BISNIS 1. Pengertian dan Latar Belakang 2. Sejarah Masyarakat Madani 3. Karakteristik dan Ciri-ciri Masyarakat Madani 4. Institusi Penegak Masyarakat

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK 1

PENEGAKAN HUKUM DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK 1 --------- MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PENEGAKAN HUKUM DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK 1 Oleh: Moh. Mahfud MD 2 Hukum dan Pemerintahan dalam Kehidupan Bernegara Di era modern, negara sebagai

Lebih terperinci

BAB X PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA

BAB X PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA BAB X PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA A. Pancasila Paradigma Pembangunan 1. Pengertian Paradigma Istilah paradigma menurut kamus Bahasa Indonesia, yaitu (1) daftar

Lebih terperinci

BAB I. Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus telah menyatakan diri sebagai negara berdasarkan atas hukum.

BAB I. Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus telah menyatakan diri sebagai negara berdasarkan atas hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatakan diri sebagai negara berdasarkan atas hukum. Pernyataan ini dengan jelas terlihat

Lebih terperinci

PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA

PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA Disusun oleh: Nama Mahasiswa : Regina Sheilla Andinia Nomor Mahasiswa : 118114058 PRODI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan terpaan kapitalisme global dalam sistem dunia, hukum liberal juga semakin mendominasi kehidupan hukum dalam percaturan global. Negara-negara developmentalis,

Lebih terperinci

Modul ke: MASYARAKAT MADANI. Mengetahui masyarakat madani serta karakteristiknya. Fakultas FAKULTAS KURNIAWATI, SHI, MH.

Modul ke: MASYARAKAT MADANI. Mengetahui masyarakat madani serta karakteristiknya. Fakultas FAKULTAS KURNIAWATI, SHI, MH. Modul ke: 11 RINA Fakultas FAKULTAS MASYARAKAT MADANI Mengetahui masyarakat madani serta karakteristiknya KURNIAWATI, SHI, MH Program Studi Pengertian Masyarakat madani adalah suatu masyarakat atau institusi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena akan berusaha mengungkap atau mendeskripsikan proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan

Lebih terperinci

Disusun oleh : Tedi Sudrajat, S.H. M.H. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Tahun 2011

Disusun oleh : Tedi Sudrajat, S.H. M.H. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Tahun 2011 Disusun oleh : Tedi Sudrajat, S.H. M.H. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Tahun 2011 1 Keberadaan Sosiologi Hukum Dalam Konteks Ilmu Hukum Kecenderungan Ilmu hukum dititik beratkan pada sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng 10 BAB II Landasan Teori 2.1. Uraian Teori Teori adalah suatu butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin

Lebih terperinci

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, 2.4 Uraian Materi 2.4.1 Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila berarti konsepsi dasar tentang kehidupan yang

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan BAB 5 Penutup 5.1 Kesimpulan Hidup bersama membutuhkan membutuhkan modus operandi agar setiap individu di dalamnya dapat berdampingan meskipun memiliki identitas dan kepentingan berbeda. Perbedaan tidak

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN IX GOOD GOVERNANCE

POKOK BAHASAN IX GOOD GOVERNANCE POKOK BAHASAN IX GOOD GOVERNANCE A. Definisi dan Pengertian Tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan konsep yang kini sangat populer di Indonesia. Pembicaraan tentang good governance tidak

Lebih terperinci

PENGARAHAN UMUM GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA RAPAT PEMBINAAN APARAT POLISI PAMONG PRAJA SE- KALIMANTAN BARAT TAHUN

PENGARAHAN UMUM GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA RAPAT PEMBINAAN APARAT POLISI PAMONG PRAJA SE- KALIMANTAN BARAT TAHUN 1 PENGARAHAN UMUM GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA RAPAT PEMBINAAN APARAT POLISI PAMONG PRAJA SE- KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari : Senin Tanggal : 13 Maret 2008 Pukul : 09.30 WIB Tempat : Balai Petitih

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini.

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini. BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya kejadian persetubuhan antara ayah dengan anak kandungnya ditengah-tengah masyarakat dianggap tidak lazim oleh mereka. Keretakan dalam hubungan rumah tangga sering

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. dan berkembang di Kota Singkawang merupakan suatu fakta sosiologis yang tak

BAB VII KESIMPULAN. dan berkembang di Kota Singkawang merupakan suatu fakta sosiologis yang tak 302 BAB VII KESIMPULAN 7.1. Kesimpulan Kemajemukan (pluralitas) etnis, bahasa, budaya dan agama yang tumbuh dan berkembang di Kota Singkawang merupakan suatu fakta sosiologis yang tak terbantahkan dalam

Lebih terperinci

A. Pengertian Pancasila

A. Pengertian Pancasila PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI A. Pengertian Pancasila Istilah nilai dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan. Di samping itu juga untuk menunjuk kata kerja yang

Lebih terperinci

KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY 1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO. Oleh : Any Rizky Setya P.

KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY 1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO. Oleh : Any Rizky Setya P. KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY 1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO Oleh : Any Rizky Setya P. Latar Belakang Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia yang

Lebih terperinci

Menguatkan Nasionalisme Baru Generasi Muda yang Berkarakter (dalam Upaya Mengembangkan Model Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Kampus)

Menguatkan Nasionalisme Baru Generasi Muda yang Berkarakter (dalam Upaya Mengembangkan Model Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Kampus) Seminar 129 Nasional Abdul Hukum Rasyid Saliman Universitas dan Negeri Rio Armanda Semarang Agustian Volume 3 Nomor 1 Tahun 2017, 129-134 Fakultas Hukum, Faculty of Law Menguatkan Nasionalisme Baru Generasi

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA

TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA Nama : AGUNG NOLIANDHI PUTRA NIM : 11.11.5170 Kelompok : E Jurusan : 11 S1 TI 08 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 ABSTRAK Konflik adalah sesuatu yang hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham demokrasi, sehinggga semua kewenangan adalah dimiliki oleh rakyat. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki naluri untuk hidup dengan orang lain,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA Oleh : DENY KURNIAWAN NIM 11.11.5172 DOSEN : ABIDARIN ROSIDI, DR, M.MA. KELOMPOK E PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menemukan beberapa jawaban atas persoalan yang ditulis dalam rumusan masalah. Jawaban tersebut dapat disimpulkan dalam kalimat-kalimat sebagai

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA Disusun Oleh: Nama : Heruadhi Cahyono Nim : 11.02.7917 Dosen : Drs. Khalis Purwanto, MM STIMIK AMIKOM

Lebih terperinci

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Apakah Sistem Demokrasi Pancasila Itu? Tatkala konsep

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG KETENTRAMAN, KETERTIBAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PELAYANAN PUBLIK DALAM REFORMASI Oleh : Mislan, S.Sos. ( Staf Pengadilan Tinggi Agama Pontianak )

PELAYANAN PUBLIK DALAM REFORMASI Oleh : Mislan, S.Sos. ( Staf Pengadilan Tinggi Agama Pontianak ) PELAYANAN PUBLIK DALAM REFORMASI Oleh : Mislan, S.Sos. ( Staf Pengadilan Tinggi Agama Pontianak ) A. Pelayanan Publik Perbaikan kualitas pelayanan pemerintah untuk publik senantiasa menjadi tuntutan. Proses

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG KETENTRAMAN, KETERTIBAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI

Lebih terperinci

SILANG-SELISIH ANTARA HUKUM DAN MASYARAKATNYA. Herlambang P. Wiratraman 2016

SILANG-SELISIH ANTARA HUKUM DAN MASYARAKATNYA. Herlambang P. Wiratraman 2016 SILANG-SELISIH ANTARA HUKUM DAN MASYARAKATNYA Herlambang P. Wiratraman 2016 Bahan perkuliahan Philippe Nonet dan Philip Selznick (1978) Law And Society in Transition: Toward Responsive Law. New York: Harper

Lebih terperinci

BUKU KODE ETIK DOSEN

BUKU KODE ETIK DOSEN Kode Dokumen Nama Dokumen Edisi Disahkan Tanggal Disimpan di- KED-AAYKPN Buku Kode Etik 01-Tanpa Revisi 31 Agustus 2010 UPM-AAYKPN Dosen BUKU KODE ETIK DOSEN AKADEMI AKUNTANSI YKPN YOGYAKARTA Disusun Oleh

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL TEORI ETIKA PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara lain: perilaku moral (moral behavior), perilaku tidak bermoral (immoral behavior), perilaku di luar kesadaran

Lebih terperinci

Manusia dan Hukum 1 Sebuah Pengantar Kajian Filsafat tentang Hukum

Manusia dan Hukum 1 Sebuah Pengantar Kajian Filsafat tentang Hukum Manusia dan Hukum 1 Sebuah Pengantar Kajian Filsafat tentang Hukum ÉÄx{ Joeni Arianto Kurniawan 2 Pendahuluan: Mengapa Perlu Hukum? (Telaah Hakekat Hukum) Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak

Lebih terperinci

PENGERTIAN DEMOKRASI Demokrasi berasal dari kata Yunani demos dan kratos. Demos artinya rakyat. kata kratos berarti pemerintahan.

PENGERTIAN DEMOKRASI Demokrasi berasal dari kata Yunani demos dan kratos. Demos artinya rakyat. kata kratos berarti pemerintahan. PENGERTIAN DEMOKRASI Demokrasi berasal dari kata Yunani demos dan kratos. Demos artinya rakyat. kata kratos berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan rakyat,yaitu pemerintahan yang rakyatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan apabila ada interaksi sosial yang positif, diantara setiap etnik tersebut dengan syarat kesatuan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI MITRA DAN PENGAWAS KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA. Oleh : Hendi Budiaman, S.H., M.H.

EFEKTIFITAS BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI MITRA DAN PENGAWAS KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA. Oleh : Hendi Budiaman, S.H., M.H. EFEKTIFITAS BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI MITRA DAN PENGAWAS KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA Oleh : Hendi Budiaman, S.H., M.H. Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB XII. Aktualisasi Pancasila dalam Lingkungan Perguruan Tinggi

BAB XII. Aktualisasi Pancasila dalam Lingkungan Perguruan Tinggi BAB XII Aktualisasi Pancasila dalam Lingkungan Perguruan Tinggi 1. Pemahaman Aktualisasi Aktualisasi adalah sesuatu mengaktualkan. Dalam masalah ini adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila itu benar-benar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatkan peranan publik ataupun pembangunan, dapat dikembangkan melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita yang kompleks namun

Lebih terperinci