REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN. Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN. Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum 1"

Transkripsi

1 1 REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum 1 Abstrak Refleksi terhadap hukum modern yang artificial, bersumber pada tafsiran bahwa hukum modern mereduksi kenyataan social. Hukum aspiratif memberikan pertimbangan terbuka terhadap hokum. Hukum berbasis pada perpaduan antara legalitas dan moralitas dalam keadilan substansial, dan membebaskan cara berpikir positivistis legisme menuju hukum yang sesuai dengan habitus tuntutan sosial masyarakat. Hukum berparadigma kerakyatan memiliki karakter yang menuntut tidak adanya kesenjangan antara hukum dan nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat, termasuk acces to justice sebagaimana ide hukum responsive, critical legal studies, hukum progresif. Interpretasi juridis tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan kemasyarakatan, oleh karenanya paradigma kerakyatan menjadi penting. PENDAHULUAN Pada kenyataannya hukum tidak berada dalam ruang hampa, dalam arti konsepsi hukum yang dilihat dari aspek pembuatan dan bekerjanya hukum sering berada dalam situsasi conflct of interest karena bekerjanya dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Dengan kata lain hukum berada dalam suatu sistem sosial dan bukan variabel tersendiri, melainkan bekerjanya terpengaruhi pada landasan tertib sosial yang lebih luas. Dalam studi kritis terhadap perundang-undangan dan bekerjanya hukum dapat dikaji sejauhmana pembuatan perundang-undangan dan bekerjanya justru dapat menghalang-halangi tercapainya masyarakat adil dan makmur. Pendekatan rechtsdogmatic yang berkutat pada rasionalitas empiris, keseragaman, dan memisahkan hukum dalam kajian moral sebagaimana 1 Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

2 2 karakter hukum modern, senyatanya. dirasa tidak mampu menjawab korelasi hukum dan pembangunan Pandangan positivisme ini menjadikan keluaran keadilan yang dituju adalah keadilan prosedural, sebagaimana acuan pada model hukum otonom dari Nonet dan Selznick yang sangat menekankan pada formalitas demi integritas institusi. 2 Pemahaman hukum secara komprehensif, menuntut pada saat pembentukan undangundang bahkan penegakan hukum itu sendiri terlebih dahulu mengadakan suatu refleksi terhadap interaksi hukum pada akar-akar sosial, politik, budaya, ekonomi, dan bukan hanya dari sistem hukum serta peraturan-peraturannya sebagai kajian closed system. Hal ini berhubungan dengan kenyataan-kenyataan masyarakat, yang harus mampu dijabarkan dalam hukum ketika menjadi suatu sumber-sumber formal yang mengadobsi sumber hukum material. Oleh karena itu, perspektif resmi yang dipakai oleh lembaga hukum yang berperan dalam pembentukan dan penegakan hukum, akan selalu mendapatkan evaluasi dalam kemampuannya menjawab kebutuhan masyarakat. Selaras dengan pendapat Blau and Meyer bahwa birokrasi mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur masyarakat 3 Aparat kontrol sosial memiliki monopoli kekuasaan atau otoritas untuk berhadapan dengan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat pencari keadilan acapkali diposisikan sebagai pihak yang menduduki ketakberdayaan masyarakat.karakter paradigma civil (civilian paradigm) masih kurang menjadi bagian dari akuntabilitas penegakan hukum. 2 Dalam hukum otonom dari Nonet dan Selznick, prosedur adalah jantung hukum, keteraturan dan keadilan (fairness) dan bukannya keadilan substantif meupakan tujuan utama tertib hukum. Pada cara hukum otonom seperti birokrasi modern, mendorong suatu pandangan yang bersifat sempit mengenai kewajiban aparat, dan lembaga hukum menafsirkan kekuasaannya secara sempit menjauhkan diri dari isu isu kebijakan, bersembunyi dibalik netralitas dan menghindari inisiatif. Philippe Nonet, dan Philip Selznick, Law and Society In Transition, Harper and Row, London, Peter M.Blau and Marshall W.Meyer, terj.gary R.Jusuf, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, UI Press, Jakarta, 1987, hal. 5.

3 3 Tuntutan akan Paradigma Kerakyatan Dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno bahwa ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan agar hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, termasuk hakikat hukum itu sendiri. Hal ini akan muncul kembali dalam pertentangan antara teori Hukum Kodrat dan Positivisme Hukum. Namun ketegangan itu tidak perlu menggagalkan cita-cita hukum. Hukum memang harus pasti., kepastian adalah dasar hukum, tanpa kepastian keadilan tidak dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan. 4 Demikian pula, menurut Scholten, hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan. 5. Dalam kondisi masyarakat yang masih mengagungkan kekuasaan, maka bekerjanya aparat penegak hukum menjadi terpengaruh pada karakteristik ini. Pelaksanaan hukum dalam masyarakat misalnya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan politik kecil atau bahkan sama sekali tidak biasanya lebih aman dijalankannya daripada pelaksanaan yang ditujukan kepada orang-orang yang memilki kekuasaan politik besar, sebab dalam kondisi terakhir ini pelaksanaan itu akan berbalik menimbulkan tekanan kepada badan-badan pelaksana hukum itu sendiri. Cerminan penyimpangan tujuan dari birokrasi yang diterima dalam proses resiprositas dengan masyarakat merupakan respon birokrasi atau individu di dalamnya dalam menghadapi kemampatan formalitas prosedur organisasi yang kaku dan upaya penegak hukum untuk menigkatkan dan menarik keuntungan dari masyarakat serta menekan hambatanhambatannya. 4 Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal Teori hukum kodrat menuntut hukum positif hanya diakui sah apabila sesuai dengan tuntutan dasar martabat manusia, dan tidak bertentangan dengan norma dasar moral terutama keadilan. Kelamahan hukum kodrat bahwa paham kodrat tidak dapat dipastikan secara objektif, dan bahwa bagaimanapun tidak dapat menarik kesimpulan normatif dari suatu kodrat.faktual dianulir dengan paham bahwa norma-norma, atau hukum, moral tidak lagi dipahami sebagai hukum kodrat melainkan menurut paham etika pada umunya. lihat Ibid, hal. 95, Kebutuhan hukum dalam masyarakat dirasakan untuk menciptakan keadilan, dan peraturan-peraturan yang ada serta penerapannya menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain. Mengutip dari Radbruch nilai-nilai dasar dari hukum adalah keadilan, kegunaan, dan kepastian, dengan kesahan berlaku secara filsafati, sosiologis, dan yuridis. Dalam kehidupannya ketiga nilai dasar hukum tersebut, sering memunculkan ketegangan satu sama lain. Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2005, hal. 18.

4 4 Kecenderungan penegakan hukum meringankan golongan masyarakat yang berkekuasaan dan menekan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan menjadi stigma masyarakat terhadap bekerjanya penegak hukum yang bersifat berat sebelah atau diskriminatif. Mengkaji mengenai tuntutan akan paradigm kerakyatan dalam berhukum, maka hal ini sangat terkait dengan akses keadilan/acces to justice dari masyarakat untuk diakomodasi oleh lembaga dan pranata hukum Dalam tulisan ini, tidak hanya dibatasi pada akses keadilan dalam sistem peradilan pidana, namun secara umum akses keadilan atau acces to justice dari masyarakat terhadap birokrasi penegak hukum baik pidana, perdata, bahkan birokrasi eksekutif.. Sikap secretive dan self devence dari birokrasi/lembaga hukum masih dialami publik untuk mengakses keadilan. Adapun sikap yang tertutup dari birokrasi ini tercermin dari sikap yang tidak berkooperatif, tidak mengemukakan secara jelas/clearly defined scope of responsibility. The resistance phenomena masih muncul manakala penegak hukum memandang bahwa komplain dari masyarakat mengenai tugas Penegak hukum merupakan intervensi terhadap birokrasi penegak hukum. Oleh karena itu terjadilah mistrustful of the attempt to orchestrate change from outside. Kemampuan dan kemauan penegak hukum untuk merespon komplain juga menjadi kunci penting. Institusi penegak hukum masih extremely formalistic, dan masih berpedoman pada keadilan prosedur semata. Dalam kenyatannya wajah hukum dimasyarakat ditandai oleh tuduhan yaitu diskriminatif, arogan, sewenang-wenang, tertutup dalam pengkonstruksian pengambilan keputusan, tertutup terhadap aspek pengawasan publik, tidak profesional, tidak mempedomani ketentuan normatif yang menjunjung hak asasi, serta hanya memberikan informasi prosedural. Oleh karena itu,wajah hukum di mata masyarakat dalam era demokrasi ini tidalah memiliki wajah manusia / human face, melainkan menjadi sekedar mesin atau robot. Penggalian akan pemaknaan paradigma kerakyatan, adalah manakala terkukuhkan adanya acces to justice dari para pencari keadilan yang notabene memiliki ketidakberdayaan. Paradigma ini berarti berseberangan dengan Positivisme yuridis dari karakter hukum modern yang sangat artifisial buatan dari para yuris profesional, dan bukannya tertib yang nature dari

5 5 hukum. Melalui learning from the bottom up view s of law, acces to justice dari kebutuhan hukum dari masyarakat pencari keadilan dapat mendukung akuntabilitas hukum. Adrian Bedner mengutip UNDP : acces to justice is the ability of the people to seek and obtain a remedy through formal or informal institutions of justice, and in conformity with human rights standards. Acces to justice exists if : people, notably poor and isadvantage, suffering from injustices, have the ability, to make their grievances be listened to, by state or non state institutions, leading to redress of those injustice, on the basis of rules or principle of state law, religious law or customary law, in accordance with the rule of law. 6 Dalam acces to justice membutuhkan accessibility maupun intelligibility, sehingga acces to justice membutuhkan suatu open justification, 7 pada taraf proses dari justifikasi. Informasi yang disampaikan juga harus memiliki akses keadilan to achieve better substantive outcomes 8. Oleh karena itu, paradigma kerakyatan memberikan adanya suatu partisipasi publik, pengawasan publik yang mengegaliterkan suatu kekuasaan, supaya lebih dirasa populis dan humanis. Hal ini berarti memberikan suatu ruang publik untuk memperjuangkan hak-hak subatansial mereka. Publik isu yang dilontarkan masyarakat berkaitan dengan akuntabilitas penegakan hukum memiliki tipikal untuk mengekaplorasikan problem hukum dan membuat rekomendasi untuk perubahan kebijakan dan prosedur. Nilai dari pengawasan yang dilakukan melalui pandangan publik ini dalam kapasitas untuk mengawal investigasi publik. Aspek laporan masyarakat ini menyediakan valuable information mengenai pentingnya perubahan kebijakan birokrasional. Sebenarnya penegsk hukum dan masyarakat melalui LSM maupun media dapat melakukan share the common goal of serving the public. Persoalan akan terpolarisasi dalam dua kutub yaitu antara keterikatan dengan formalitas dan kewajiban mengemban moral code atau formality di satu pihak dan acces to justice untuk 6 Adriaan Bedner, Jacqueline Vel, Rolax, An analytical Frame work for Empirical Research on Acces To Justice, material on Tailorr Made Training Program, Tailor Made Training Program : Training on Socio Legal Studies in Promoting and Protecting Indigenous Rights : A Harmonization Between Modern Law and Customary Law In Indonesia., March-April 2010, Leiden University, Netherland. p Fred D.Agostino, Free Public Reason, Making it up as we go, New York : Oxford University Press, New York, 1996,p Stepphanos Bibas, Transparency and Participation In Criminal Procedural, New York : New York University Law reviews, New York, Vol.86, 2006, p.140.

6 6 menunjukkan equity, accountability di lain pihak. Menilik dari kesalahan positivisme sebagaimana karakter hukum modern, menurut Scholten adalah bahwa positivisme sebagai material hanya melihat undang-undang,peraturanperaturan dan melupakan bahwa di belakang bahan-bahan positif terdapat hukum sebagai bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan. 9 Oleh karena itu jelaslah bahwa paradigma positivistik yang dianut birokrasi penegak hukum, menyebabkan hukum hanya dijalankan secara kaku dan tertutup, tanpa melihat keberfungsiannya bagi masyarakat. Sebagaimana teori pada hukum otonom, 10 merupakan suatu tertib hukum yang mendukung model peraturan (model of rules). Fokus pada peraturan juga menyebabkan penegak hukum dalam menerapkan ukuran bagi akuntabilitas, membatasi campur tangan pihak luar dalam menjalankan fungsi pengawasan publik, seperti pembentukan peraturan perundang-undangan yang jauh dari keadilan substansial, resistensi Penegak hukum terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat maupun pemerhati hukum lainnya. Sehingga birokrasi penegak hukum memiliki sikap yang cenderung menutup diri terhadap masukan atau pengawasan publik dan membentengi diri atau birokrasi dengan jargon netralitas dan prosedural. Hukum Berparadigma Kerakyatan Peraturan hukum itu memuat keinginan dan cita-cita para pembuatnya mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh warga negara dan apa yang dituntut hukum dari warga negara. Dalam kajian ini berarti bah wa dalam substansi pembuatan perundang-undanngan diharapkan melindungi kepentingan hukum masyarakat dan memuat nilai-nilai moral yang diharapkan dalam masyarakat tersebut. Penulis berpendapat bahwa kehidupan hukum sudah selayaknya merupakan suatu ekspresi nilai-nilai yang dihayati oeh anggota masyarakat untuk lebih menggambarkan suatu social nature dari hukum. Sebagai contoh misalnya, dari sisi korban, jalur peradilan pidana lebih dirasa memberatkan dan kurang memuaskan rasa keadilan baik secara psikis maupun materiil Oleh 9 Paul Scholten, Op.cit, hal Philip Nonet, Philippe Selznick, Op.,cit, hal. 44, 61.

7 7 karena itu, perlu digali dan dikembangkan upaya-upaya hukum adat yang mampu menyelesaikan sengketa-sengketa melalui prosedur perdamaian (conciliation procedures). Demikian pula dalam suatu upaya penyelesaian atau pengelolaan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Dalam contoh yang lain, misalnya dalam suatu kebijakan pemerintah untuk penaggulangan kemiskinan, maka memahami kebutuhan yang riil dalam masyarakat akan menjadikan kebijakan tersebut tepat dan mengena bagi masyarakat. Menyelami kebutuhan social masyarakat akan membawa suatu kebijakan hukum menjadi kebijakan yang tidak kehilangan korelasi atau kontak dengan kehidupan social yang sesungguhnya dalam masyarakat. Edmond Cahn menganjurkan bahwa dalam rangka memberikan perlindungan bagi pihak-pihak yang harus dilindungi hukum yang disebut dengan konsumen hukum dalam hal ini masyarakat luas, maka pandangan antroposentris tentang hukum sangat diperlukan. Pandangan ini merupakan suatu segi pandangan tentang hukum dan pemerintah dimana manusia-manusia secara konkret hidup di tengah-tengahnya, sebagai konsumen-konsumen paling utama dari hukum dan pemerintahan. Cara konkret manusia diperlakukan akan menentukan nilai hukum. Dalam perspektif konsumen ini, memiliki cara bekerja sebagaimana dikemukakan oleh Cohn yakni : 1. Perihal target dan peristiwa yang berkaitan dengan dampak hukum. Arti penting dari setiap prinsip, aturan atau konsep diteliti dengan mengobservasi target manusiawi yang terkena dampaknya. Metode ini mengungkapkan bahwa rasa ketidakadilan membawa pengaruh vital bagi cara bekerjanya hukum. 2. Perihal konkretisasi manusia. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari manusia seutuhnya, dan miliknya yang menjadi tempat bergantungnya Hukum menjamin nilai sosial, cita-cita, dan kebebasan yang membuat hidup sangat berarti bagi manusia seutuhnya. 3. Perihal proporsi relatif beratnya hal-hal. Meskipun responsif kepada kepentingan efisiensi internal dan keuntungan, hukum memberikan arti yang jauh lebih besar kepada kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh rakyat pada umumnya. 4. Perihal perhatian terhadap kasus-kasus tertentu. Tradisi bagi ahi hukum memakai perspektif resmi untuk membenarkan sistem hukum dalam pengertian rata-rata,

8 8 statistik secara keseluruhan, dan cara bertingkah laku secara keseluruhan. Dalam kenyataannya mengecilkan arti suatu minat terhadap hasil dari kasus-kasus tertentu sebagai tidak ilmiah, tidak seperti ahli hukum. Sistem mereka bukanlah suatu sistem apabila sifatnya tidak impersonal dan tidak acuh tak acuh. 11 Teori yang lain yang membidik pentingnya paradigm kerakyatan dalam berhukum adalah konsep hukum responsif dari Nonet dan Selznick sebagai jawaban atas kritik bahwa seringkali hukum tercerai berai dari kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri. 12 Untuk lebih mengkaji hukum responsif, perlu diperbandingkan tipe hukum dalam masyarakat seperti yang dikemukakan oleh arsiteknya, Philippe Nonet dan Philip Selznick, yaitu repressive law, autonomus law, dan responsive law dalam bukunya Law and Society in Transition. 13 Hukum represif seringkali dipakai sebagai dalih untuk menjamin ketertiban, dengan kekuasaannya negara dapat menafsirkan arti tata tertib sesuai dengan kebutuhan dan perspektif mereka sendiri. Tujuan legitimasi dalam hukum ini adalah demi kepentingan negara sendiri. Hukum dipakai sebagai alat kekuasaan represif. Reaksi dari hukum represif adalah timbulnya hukum otonom yang menekankan legitimasi, dengan tujuan legitimasi adalah keadilan prosedural. Hukum dipakai sebagai suatu pranata yang mampu menetralisir represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri. Hukum dilepaskan dari realitas sosial. Model kekuasaan berdasar hukum ini adalah lebih menganjurkan tunduk kepada otoritas dari pada kritik atas otoritas. Dalam perkembangannya timbul kritik terhadap hukum otonom dalam bentuk kritik terhadap kekakuan legislatif yang asing terhadap kehidupan umum dalam masyarakat. Hukum 11 Edmond Cahn, Hukum Dalam Perspektif Konsumen, dalam AAG Peters,; Koesriani. Siswosoebroto, Hukum dan perkembangan Sosial Buku III. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 144, Hukum dalam perspektif ini diperhadapkan pada perspektif resmi yang dikatakan sebagai cara memandang problem kemasyarakatan oleh kepentingan dominan pemegang kekuasaan. 12 Ibid, hal Philippe Nonet, Philip Zelnick, Op.cit, p 18. Dikemukakan bahwa repressive law, autonomous, and responsive law are not distinc types of law but in some sense, stages of evolution in the relation of law to the political and social order.

9 9 responsif menekankan pada kompetensi dengan tujuan legitimasi adalah memberi keadilan substantif sebagai jaminan bagi perlakuan adil. 14 Apabila disejajarkan, maka hukum modern lekat dengan paradigma legalisme liberal (liberal legalism) yang menempatkan tujuan keadilan dicapai melalui prosedur dan memiliki karakter pandangan resiko rendah tentang hukum dan ketertiban dalam frame hukum otonom. Dalam perspektif Hukum Responsif sebagaimana disampaikan oleh Nonet dan Selznick bahwa dalam hukum perlu responsivitas dengan menjadi sistem yang terbuka, mendorong partisipasi. Namun demikian, Nonet dan Selznick juga mengungkapkan adanya kelemahan dari suatu partisipasi publik yakni dengan konsep hukum resiko tinggi dan resiko rendah yang muncul karena ketegangan antara dua pendekatan yaitu kebebasan dan kontrol sosial. Pandangan resiko rendah tentang hukum dan ketertiban, menekankan betapa besar sumbangan stabilitas hukum terhadap suatu masyarakat yang bebas. Hukum dilihat sebagai resep vital untuk tertib sosial, dan penghormatan yang tinggi kepada otoritas. Perubahan hukum akan datang melalui proses politik, bukan dari pelaksanaan kebebasan yang ada pada agen-agen hukum yang merespon tuntutan-tuntutan yang bersifat partisan. Pada pandangan risiko tinggi tentang hukum dan ketertiban dikemukakan bahwa hukum dinilai sebagai sumber kritik dan sebagai instrumen untuk perubahan, terbuka terhadap rekonstruksi dalam konteks bagaimana pihak pihak yang diperintah memaknai hak mereka dan meninjau kembali komitmen moral mereka. Untuk menjadi responsif, sistem perlu terbuka terhadap dalam banyak hal dan mendorong partisipasi. Terhadap kedua resiko hukum tersebut dikemukakan kelemahannya oleh Nonet dan Selznick. Pada pandangan risiko rendah tentang hukum, karena relatif tidak responsif, bisa mendorong penolakan kepada hukum dan mendatangkan krisis dan kekacauan dengan ditutupnya saluran untuk menyatakan keberatan, partisipasi dan perubahan. Pada perspektif 14 Ibid, p.16,18,42,43, 64-71,73,93. Dalam hukum responsif, respon institusional yang ada menggambarkan model perkembangan birokrasi yang memiliki tipe Post Birokratik. Ciri organisasi ini memiliki tujuan berorientasikan misi, fleksibel, peraturan diarahkan pada subordinat terhadap tujuan, dan penolakan terhadap keterikatan pada peraturan, pembuatan keputusan bersifat partisipatif, berpusat pada masalah, ada asumsi mengenai lingkungan dengan tuntutan dan kesempatan berubahubah. 14

10 10 risiko tinggi, bisa mengundang lebih banyak kesulitan daripada apa yang diperjuangkan, bisa memunculkan kelemahan dan kebimbangan ketika berhadapan dengan tekanan, dan terlalu banyak memberi kepada minoritas aktivis. 15 Dari sudut hukum responsif, dilibatkannya konstituen baru menambah energi untuk kinerja institusi-institusi hukum. Perluasan partisipasi hukum dari masyarakat pencari keadilan, juga berarti mengambangkan nilai demokratik dari tatanan hukum, dan juga mampu memberi kontribusi kepada kompentensi institusi-institusi hukum. Hal menarik dalam rumusan di atas merupakan suatu nilai keadilan substantif yang diperjuangkan dalam penegakan hukum, yang didekati tidak hanya dalam ranah positivistik namun dalam pemikiran inwoord looking dari rasa keadilan masyarakat, yang berarti menjadi inti dari paradigma kerakyatan dalam berhukum. Rasa keadilan masyarakat adalah suatu keadilan yang tentu dalam wajah keadilan substansial dan bukan pragmatis yang sebenarnya memiliki muatan kepentingan latent yang justru melukai keadilan itu sendiri. Memang, sisi positif dari tuntutan publik akan hukum yang berparadigma kerakyatan memiliki sisi negatif, namun terkait dengan sumber daya yang menjadikan hukum yang terbuka menjadi beresiko tinggi, maka kekhawatiran bahwa opini publik yang dibawa dalam tuntutan tersebut mungkin atau bisa saja sebenarnya memiliki kepentingan latent dari sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan hukum. Inilah yang berarti hukum diposisikan sebagai sesuatu yang dinamis menterjemahkan apa hukum yang berkeadilan substansial demi keberpihakan pada rakyat tersebut. Dalam mana terjadi suatu selektivitas kebijakan pula, dan keterelatifan dari suatu legitimasi publik yang harus diseleksi pula dan ini juga berada dalam suatu lapangan penafsiran hukum. Critical Legal Studies yang dianut dalam wacana postmodernism akan menampilkan bahwa hukum akan ditampilkan dalam kemasan yang penuh turbulensi. Melalui karakter critical legal studies, pemenuhan nilai nilai sosial akan digugatkan pada hukum. Proyeksi critical legal studies menginginkan suatu hukum yang lebih humanis dan resposif. Tabir yang akan diungkap menuju pada suatu perubahan tafsir hukum yang lebih diarahkan pada emansipasi dalam 15 Ibid, hal 4-6.

11 11 hukum. Bonaventura De Sausa Santos 16 mengungkapkan suatu gagasan baru yang mendobrak gagasan lama yang bersifat individual, liberal, kapitalistik. Unger menyatakan dalam teori hukum kritisnya bahwa tatanan hukum sebagai sistem formalitas menghadapi dua masalah besar yang mendominasi hukum modern. Pertama adalah perjuangan untuk keluar dari dilema kesewenang-wenangan dan formalisme membabi buta, keadilan yang zalim, yang kedua adalah upaya untuk menciptakan perdamaian antara legalitas dan moralitas dengan menolak ekstrem-ekstrem individualisme dan kolektivisme serta menyediakan ruang yang lebih lapang di dalam hukum bagi nilai-nilai solidaritas. 17 Dalam kajian hermeneutic menurut Gadamer 18, dapat digambarkan adanya suatu fondasi humanistic, dalam memberikan tafsiran optik ilmu hukum sebagai ilmu humaniora. Gadamer katakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma yang dipublikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat. Dalam mengimplementasikan Ilmu Hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan. Diskrepancy antara pemegang otoritas hukum dan pencari keadilan, menandakan bahwa kepekaaan birokrasi hukum untuk memaknai public face of justice masih lemah, sehingga wajar apabila masyarakat kurang mempercayai bekerjanya hukum. Judicial corruption menandakan ketidakpekaan lembaga hukum untuk lebih berkeadilan. Dialektis menjadi tertutup, manakala sentralitas kebenaran hanya dimiliki oleh lembaga hukum tanpa keterbukaan terhadap emansipasi maupun kontrol publik terhadap tugas-tugasnya.. Masyarakat pencari keadilan juga selayaknya mengacu pada cita hukum bersama yakni nilai keadilan substansial. 16 Bonaventura de Sausa Santos Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in The Paradigmatic Transition, Routledge, London, 1995, P.8-9 The collapse of emancipation into regulation 17 Roberto Mangabeira Unger, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Nusa media, Bandung, 2007, hal Gadamer dalam Arief B.Sidharta; Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008., hal.122.

12 12 Pertimbangan institusi hukum dalam memberikan keputusan-keputusannya ternyata dipandang dari sudut keuntungan apa yang diperoleh bagi institusi hukum tersebuti. Lembaga hukum lebih mementingkan wibawa dari birokrasi hukum itu sendiri, dibandingkan sikap keterbukaan dan dialog dengan masyarakat dalam menterjemahkan keadilan dalam pengambilan kebijakan. Pada sisi masyarakat, kepentingan yang diperjuangkan pada satu sisi, hendaknya juga perlu melihat pertimbangan lain. Hak asasi manusia yang dibawa, diperhadapkan juga pada hak asasi masyarakat, dan hak-hak lainnya dalam jagad ketertiban. Untuk itu pertimbangan moral yang mencakup keadilan substansial akan menjadi pertimbangan yang harus dielaborasi dari sisi masyarakat. Pencapaian akuntabilitas hukum yang berpihak pada masyarakat selama ini ternyata masih samar dan belum optimal, karena nilai kejujuran terutama yang diharapkan masyarakat belum sepenuhnya dilakukan. Pemaknaan hukum yang berparadigma kerakyatan berarti juga wujud kejujuran sistem hukum yang juga mengakomodir hak-hak pencari keadilan, dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan substantif, dan diharapkan masyarakat. Birokrasi hukum memiliki nilai demokrasi dan keterbukaan dengan membuka dialog dan emansipasi masyarakat. Pada sisi lain, Selektivitas atas pengambilan keputusan hukum merupakan selera yang diakui bersama baik masyarakat pencari keadilan maupun sistem hukum itu sendiri guna keadilan substansial. Pemikiran tersebut di atas, ini selaras dengan pemaparan Satjipto Rahardjo dalam hukum progresif yang menolak pandangan bahwa hukum merupakan institusi yang otonom, secluded, isolated dan isoteric. Dikemukakan Satjipto pula : Hukum menciptakan suatu dunia baru di luar dunia realitas garapan ilmu kealaman. Maka sebuah dunia artifisial berjalan berdampingan dengan dunia realitas. Perjalanan

13 13 keduanya saling bersilangan. Apa yang dikerjakan oleh hukum itu menusuk dan mengiris ke dalam daging realitas, baik sosial, organisme maupun kehidupan lingkungan. 19 Berdasar kajian teoretik di atas, jelaslah tekanan sosial dari masyarakat pencari keadilan merupakan sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi kewibawaan hukum modern itu sendiri. Untuk itu tujuan keadilan substansial harus menjadi panduan, dan bukannya keadilan prosedural. Tujuan ini, menjadi pedoman untuk mengurangi kekakuan, secretif, oportunisme, positivistik dan mekanistik birokrasi ataupun sistem hukum yang ada, di samping juga mengurangi resiko terjadinya kegagalan dalam penegakan hukum yang terarah pada nilai-nilai keadilan. Inilah juga maksud dari paradigma kerakyatan dalam berhukum. Penutup Hukum pada hakekatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Hukum mewujudkan diri sebagai proses proses sosial pengaturan atau pengkaidahan cara berperilaku. Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan, kedamaian serta keadilan yang dapat dirumuskan sebagai pengabdian untuk pengayoman manusia. Perlunya suatu pendobrakan terhadap pembelajaran hukum yang selama ini lebih berorientasikan kepada paradigma liberal positivistik dalam hukum modern, sehingga hanya mengandalkan rasio /nalar sebagai pembenar. Dimensi di luar rasionalitas yang mengembangkan kecerdasan di luar kecerdasan rasionalitas merupakan suatu angin segar yang akan membawa peru bahan pada cara berhukum untuk lebih mendekatkan hukum pada habitusnya yakni rakyat demi keadilan substansial dengan hukum yang berparadigma kerakyatan. Peraturan dan prosedur rasional birokratis dalam ciri hukum modern yang tidak selaras dengan watak manusia, dan bisa mendehumanisasi manusia melalui justifikasi hukum. Untuk membangun hukum yang mampu menjawab kenyataan sosial adalah hukum yang mampu belajar 19 Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Malang : Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hal.17.

14 14 dari kenyataan sosial itu, melalui cara pandang paradigma keraktaran yang bertolak bahwa habitus hukum adalah rakyat, dengan tetap bertujuan pada keadilan substansial. DAFTAR PUSTAKA Bedner, Adriaan, Vel, Rolax, Jacqueline, An analytical Frame work for Empirical Research on Acces To Justice, material on Tailorr Made Training Program, Tailor Made Training Program : Training on Socio Legal Studies in Promoting and Protecting Indigenous Rights : A Harmonization Between Modern Law and Customary Law In Indonesia., March-April 2010, Leiden University, Netherland. Bibas, Stephanos, 2006, Transparency and Participation In Criminal Procedural,: University Law reviews, New York Vol.86. D.Agostino, Fred, Free Public Reason, Making it up as we go, New York :Oxford University Press, New York, Magnis Suseno, Frans, :Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, M.Blau Peter and.meyer, Marshall W, terj.gary R.Jusuf,,Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: UI Press,Jakarta, Nonet, Philippe dan Selznick, Philip, Law and Society In Transition, London : Harper and Row, London, Peters, AAG; Siswosoebroto, Koesriani., Hukum dan perkembangan Sosial Buku III. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, , Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Malang : Bayumedia Publishing, Malang, Santos, Bonaventura de Sausa, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in The Paradigmatic Transition, London : Routledge.,London, Scholten, Paul, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief Sidharta, Bandung : Alumni, Bandung, 2005.

15 15 Sidharta, B.Arief; 2008, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober Unger, Roberto Mangabeira, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Bandung : Nusa media, Bandung, 2007.

PROLEMATIKA HUKUM DALAM MENTRANSFORMASI KONFLIK DEMI MEMBANGUN PERDAMAIAN DI INDONESIA Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum. 1

PROLEMATIKA HUKUM DALAM MENTRANSFORMASI KONFLIK DEMI MEMBANGUN PERDAMAIAN DI INDONESIA Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum. 1 PROLEMATIKA HUKUM DALAM MENTRANSFORMASI KONFLIK DEMI MEMBANGUN PERDAMAIAN DI INDONESIA Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum. 1 Abstrak Karakter Pluralisme bangsa Indonesia membutuhkan suatu hukum responsive

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Modul ke: PANCASILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Fakultas 10FEB Melisa Arisanty. S.I.Kom, M.Si Program Studi MANAJEMEN PANCASILA SEBAGAI ETIKA BERNEGARA Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Sistem

Lebih terperinci

Access to justice exists if: People, notably poor and vulnerable, Suffering from injustices Have the ability

Access to justice exists if: People, notably poor and vulnerable, Suffering from injustices Have the ability AKSES KEADILAN HUKUM & KEADILAN SOSIAL BAGI PEREMPUAN Sulistyowati Irianto Disampaikan pada acara WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan, yang diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan NCHR

Lebih terperinci

9/8/2012 SISTEM SOSIAL & HUKUM

9/8/2012  SISTEM SOSIAL & HUKUM 1 SISTEM SOSIAL politik sosial ekonomi hukum agama budaya pendidikan 2 HUKUM DAN SISTEM SOSIAL Teori sibenertika Talcott Parson : sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial

Lebih terperinci

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Penyelenggaraan otonomi daerah yang kurang dapat dipahami dalam hal pembagian kewenangan antara urusan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan terpaan kapitalisme global dalam sistem dunia, hukum liberal juga semakin mendominasi kehidupan hukum dalam percaturan global. Negara-negara developmentalis,

Lebih terperinci

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM: JOHN RAWL

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM: JOHN RAWL KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM: JOHN RAWL SERI FILSAFAT ILMU - Bagaimana hukum memandang keadilan Oleh : Abdul Fickar Hadjar Untuk dapat melihat bagaimana hukum memandang keadilan, maka kita tidak dapat

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1)

MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1) MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1) A. SOSIOLOGI HUKUM 1. Pemahaman Dasar Sosiologi Hukum Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 5 2010 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. A. Gunawan Setiarja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Penerbit Kanisus, Yogyakarta, 2001.

DAFTAR PUSTAKA. A. Gunawan Setiarja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Penerbit Kanisus, Yogyakarta, 2001. DAFTAR PUSTAKA A. Buku A. Gunawan Setiarja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Penerbit Kanisus, Yogyakarta, 2001. A. Mukthie Fadjar, Teori Hukum Kontemporer (Edisi Revisi),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya dari aspek jiwa, manusia memiliki cipta rasa dan karsa sehingga dalam tingkah laku dapat membedakan benar atau salah, baik atau buruk, menerima atau menolak

Lebih terperinci

PELAYANAN PUBLIK DALAM REFORMASI Oleh : Mislan, S.Sos. ( Staf Pengadilan Tinggi Agama Pontianak )

PELAYANAN PUBLIK DALAM REFORMASI Oleh : Mislan, S.Sos. ( Staf Pengadilan Tinggi Agama Pontianak ) PELAYANAN PUBLIK DALAM REFORMASI Oleh : Mislan, S.Sos. ( Staf Pengadilan Tinggi Agama Pontianak ) A. Pelayanan Publik Perbaikan kualitas pelayanan pemerintah untuk publik senantiasa menjadi tuntutan. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan mengambil keputusan dengan cepat dan akurat. Kemampuan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan mengambil keputusan dengan cepat dan akurat. Kemampuan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi, yang ditandai antara lain dengan adanya percepatan arus informasi menuntut adanya sumber daya manusia yang mampu menganalisa informasi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tata kelola yang baik (good governance) adalah suatu sistem manajemen pemerintah yang dapat merespon aspirasi masyarakat sekaligus meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Pengertian penegakan hukum. Mengenai pengertian dari penegakan hukum menunjuk pada batasan pengertian dari para sarjana. Identifikasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada Bab IV, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aktor Penyelenggara Pengadaan Tanah

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA Disusun Oleh: Nama : Heruadhi Cahyono Nim : 11.02.7917 Dosen : Drs. Khalis Purwanto, MM STIMIK AMIKOM

Lebih terperinci

Materi Kuliah RULE OF LAW

Materi Kuliah RULE OF LAW 70 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Materi Kuliah RULE OF LAW Modul 9 Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/08124446335 70 71 1. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah proses pembelajaran mahasiswa diharapkan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law (Eropa Continental) yang diwarisi selama ratusan tahun akibat penjajahan Belanda. Salah satu karakteristik

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN. Modul ke: GOOD GOVERNANCE. Fakultas FEB. Syahlan A. Sume. Program Studi MANAJEMEN.

KEWARGANEGARAAN. Modul ke: GOOD GOVERNANCE. Fakultas FEB. Syahlan A. Sume. Program Studi MANAJEMEN. KEWARGANEGARAAN Modul ke: GOOD GOVERNANCE by Fakultas FEB Syahlan A. Sume Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id Pokok Bahasan : 1. Pengertian, Konsep dan Karakteristik Good Governance. 2. Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi hasil penelitian yang telah disajikan pada Bab IV, dapat ditarik kesimpulan dan rekomendasi penelitian sebagai berikut: A. Kesimpulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap sistem hukum menunjukan empat unsur dasar, yaitu : pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh :

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh : 41 FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN Oleh : Gusti Ayu Ratih Damayanti, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram Abstract In principle, there were two forms of

Lebih terperinci

SILANG-SELISIH ANTARA HUKUM DAN MASYARAKATNYA. Herlambang P. Wiratraman 2016

SILANG-SELISIH ANTARA HUKUM DAN MASYARAKATNYA. Herlambang P. Wiratraman 2016 SILANG-SELISIH ANTARA HUKUM DAN MASYARAKATNYA Herlambang P. Wiratraman 2016 Bahan perkuliahan Philippe Nonet dan Philip Selznick (1978) Law And Society in Transition: Toward Responsive Law. New York: Harper

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Makna Persepsi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persepsi pada hakekatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu, menurut Young persepsi merupakan aktivitas pengindera, mengintegrsikan,

Lebih terperinci

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULA DA SARA

BAB V KESIMPULA DA SARA 152 BAB V KESIMPULA DA SARA 5.1 Kesimpulan Bertitik tolak dari uraian dalam bab III dan IV yang merupakan analisa terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU No. 10 tahun 2008 dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA NORMA HUKUM DENGAN ASAS HUKUM

HUBUNGAN ANTARA NORMA HUKUM DENGAN ASAS HUKUM 1 HUBUNGAN ANTARA NORMA HUKUM DENGAN ASAS HUKUM Dedy Triyanto Ari Rahmad I Gusti Ngurah Wairocana Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Abstrak Hubungan antara norma hukum dengan

Lebih terperinci

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum.

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. POLITIK HUKUM BAB I TENTANG PERSPEKTIF POLITIK HUKUM OLEH: Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. Politik Hukum Secara filosofis, berbicara hukum, berarti berbicara tentang pengaturan keadilan, serta memastikan

Lebih terperinci

BAB X PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA

BAB X PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA BAB X PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA A. Pancasila Paradigma Pembangunan 1. Pengertian Paradigma Istilah paradigma menurut kamus Bahasa Indonesia, yaitu (1) daftar

Lebih terperinci

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional. Definisi Global Profesi Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan

Lebih terperinci

KODE ETIK GURU INDONESIA

KODE ETIK GURU INDONESIA KODE ETIK GURU INDONESIA MUKADIMAH Guru Indonesia tampil secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL TEORI ETIKA PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara lain: perilaku moral (moral behavior), perilaku tidak bermoral (immoral behavior), perilaku di luar kesadaran

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1. Teori II.1.1. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah bentuk kepedulian perusahaan terhadap

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PRAGMATISME Dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Sebuah Harapan dan Kenyataan. Rif ah Roihanah

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Sebuah Harapan dan Kenyataan. Rif ah Roihanah PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Sebuah Harapan dan Kenyataan Rif ah Roihanah Abstrak: Permasalahan penegakan hukum menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan terutama karena terdapat ketimpangan antara

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Development is not a static concept. It is continuously changing. Atau bisa

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Modul ke: 14 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Good Governance : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat http://www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

Mengetahui bentuk pemerintahan yang baik RINA KURNIAWATI, SHI, MH

Mengetahui bentuk pemerintahan yang baik RINA KURNIAWATI, SHI, MH Modul ke: GOOD GOVERNANCE Mengetahui bentuk pemerintahan yang baik Fakultas FAKULTAS www.mercubuana.ac.id RINA KURNIAWATI, SHI, MH Program Studi Pengertian Istilah good governance lahir sejak berakhirnya

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI

BAB IV VISI DAN MISI BAB IV VISI DAN MISI A. DASAR FILOSOFIS Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah memerlukan satu filosofi pembangunan yang memiliki cakrawala yang luas dan mampu menjadi pedoman bagi daerah untuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini,

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini, BAB V PENUTUP Pada bab V penulis menyimpulkan keseluruhan pembahasan dalam skripsi. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan penulis ajukan dalam pembatasan masalah. Disamping itu penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL,DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM

HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL,DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL,DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM I. LATAR BELAKANG Undang-Undang Dasar 1945 mengatur Kekuasaan Kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

Lebih terperinci

ASAS LEGALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM MENUJU TERWUJUDNYA KEADILAN SUBSTANTIF

ASAS LEGALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM MENUJU TERWUJUDNYA KEADILAN SUBSTANTIF Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016, Halaman 252-258 p-issn : 2086-2695, e-issn : 2527-4716 ASAS LEGALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM MENUJU TERWUJUDNYA KEADILAN SUBSTANTIF Sunarto Fakultas

Lebih terperinci

Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam. masyarakat

Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam. masyarakat MAKALAH TEORI HUKUM/KELAS A REGULE Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam masyarakat DISUSUN OLEH: MARIA MARGARETTA SITOMPUL,SH 117005012/HK PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.

13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. KOMPETENSI INTI 13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. (PKn) Pengertian Mata PelajaranPendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan UU Nomor

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA Oleh : DENY KURNIAWAN NIM 11.11.5172 DOSEN : ABIDARIN ROSIDI, DR, M.MA. KELOMPOK E PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

Lebih terperinci

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang

Lebih terperinci

Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 3 Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 Pengembangan Masyarakat (Community Development) berkembang sebagai kritik terhadap pendekatan kesejahteraan (welfare approach) atau pendekatan

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

Lebih terperinci

KODE ETIK GURU INDONESIA PEMBUKAAN

KODE ETIK GURU INDONESIA PEMBUKAAN KODE ETIK GURU INDONESIA PEMBUKAAN Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa guru Indonesia menyadari bahwa jabatan guru adalah suatu profesi yang terhormat dan mulia. Guru mengabdikan diri dan berbakti untuk

Lebih terperinci

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh ACTIO POPULARIS (CITIZEN LAWSUIT ) DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA Efa Laela Fakhriah I. Pendahuluan Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan secara tegas bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum. Maka

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

KULIAH KE-10. Dimensi Etika. Marlan Hutahaean

KULIAH KE-10. Dimensi Etika. Marlan Hutahaean KULIAH KE-10 Dimensi Etika 1 AGENDA I. Pendahuluan II. Batasan/Definisi III. Kompetisi Kepentingan IV. Moral/Etika dalam Pelayanan Publik V. Penerapan Etika dalam Pelayanan Publik VI. Upaya Memiliki Administrator

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KONSEP GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA

IMPLEMENTASI KONSEP GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA IMPLEMENTASI KONSEP GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA Oleh: Henry Arianto Dosen FH - UIEU henry_arianto_77@yahoo.com ABSTRAK Good governance dapat dikatakan bermula dari adanya rasa ketakutan sebagian masyarakat

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak mempunyai permasalahan atau berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial sesuai dengan apa yang termuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN.

RINGKASAN PUTUSAN. RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 tanggal 19 Juli 2010 atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji perkembangan

BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji perkembangan 517 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji perkembangan penerapan prinsip partisipatif dan keadilan sosial dalam peraturan perundangundangan dan dalam pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup berkembang di kalangan masyarakat. Konsumen minuman keras tidak hanya orang dewasa melainkan juga

Lebih terperinci

RANCAANPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

RANCAANPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH NO.1 2010 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 1 2010 SERI. E RANCAANPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

BERSATU MENGATASI KRISIS BANGKIT MEMBANGUN BANGSA

BERSATU MENGATASI KRISIS BANGKIT MEMBANGUN BANGSA BERSATU MENGATASI KRISIS BANGKIT MEMBANGUN BANGSA Oleh : PROF. DR. 1 TERIMA KASIH ATAS UNDANGAN UNTUK MENGIKUTI TEMU NASIONAL ORMAS KARYA KEKARYAAN GAGASAN TENTANG UPAYA MENGATASI KRISIS DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN 2011-2015 5.1. Visi Paradigma pembangunan moderen yang dipandang paling efektif dan dikembangkan di banyak kawasan untuk merebut peluang dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Peranan Metodologi Dalam Penelitian / Kajian Hukum

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Peranan Metodologi Dalam Penelitian / Kajian Hukum 50 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Peranan Metodologi Dalam Penelitian / Kajian Hukum Cara kerja keilmuan salah satunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris: method, Latin: methodus, Yunani: methodos-meta

Lebih terperinci

LRC. Oleh : Harun Azwari (Peneliti LRC) Latar Belakang

LRC. Oleh : Harun Azwari (Peneliti LRC) Latar Belakang Oleh : Harun Azwari (Peneliti ) Latar Belakang Ilmu hukum adalah ilmu yang mandiri atau otonom, keberadaannya betul-betul independen lepas sama sekali dari anasir-anasir di luar dirinya. Ungkapan tersebut

Lebih terperinci

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Antonio Pradjasto Tanpa hak asasi berbagai lembaga demokrasi kehilangan substansi. Demokrasi menjadi sekedar prosedural. Jika kita melihat dengan sudut

Lebih terperinci

ILMU HUKUM DIPANDANG DARI ASPEK PENGEMBANGAN PARADIGMA ILMU

ILMU HUKUM DIPANDANG DARI ASPEK PENGEMBANGAN PARADIGMA ILMU ILMU HUKUM DIPANDANG DARI ASPEK PENGEMBANGAN PARADIGMA ILMU Adityo Putro Prakoso Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim adityo.dityo@gmail.com A. PENDAHULUAN Hukum adalah sarana guna menciptakan ketertiban,

Lebih terperinci

ILMU DAN FILSAFAT SOSIAL

ILMU DAN FILSAFAT SOSIAL FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA Modul ke: 10Fakultas Dr. PSIKOLOGI ILMU DAN FILSAFAT SOSIAL H. SyahrialSyarbaini, MA. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id . Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Beberapa

Lebih terperinci

Oleh: Sulaiman ABSTRACT

Oleh: Sulaiman ABSTRACT HUKUM RESPONSIF: HUKUM SEBAGAI INSTITUSI SOSIAL MELAYANI KEBUTUHAN SOSIAL DALAM MASA TRANSISI (Responsive Law: Law as a Social Institutions to Service of Social Need in Transition) Oleh: Sulaiman ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan negara dengan perantaraan pemerintah harus berdasarkan hukum. 1 Penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa

1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa 1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih sempurna, senantiasa memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjungnya

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan pengertian nilai dengan nilai social. 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI MODUL PERKULIAHAN ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI FILSAFAT, ETIKA, DAN KOMUNIKASI Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh FIKOM Broadcasting Sofia Aunul Abstract Dalam istilah filsafat, etika

Lebih terperinci

2.2 Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara...7

2.2 Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara...7 DAFTAR ISI COVER DAFTAR ISI...1 BAB 1 PENDAHULUAN...2 1.1 Latar Belakang Masalah...2 1.2 Rumusan Masalah...2 1.3 Tujuan Penulisan...3 BAB 2 PEMBAHASAN...4 2.1 Pancasila Sebagai Ideologi Nasional Bangsa...4

Lebih terperinci

TAFSIR INDEPENDENSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

TAFSIR INDEPENDENSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM TAFSIR INDEPENDENSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM A. PEDAHULUAN Menurut fitrah kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang- Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK. A. Sejarah Kelahiran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

BAB III TINJAUAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK. A. Sejarah Kelahiran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik BAB III TINJAUAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK A. Sejarah Kelahiran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Sejak dianutnya konsepsi welfare state, yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUGAS KULIAH PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUGAS KULIAH PANCASILA BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai bangsa Indonesia, kita tentu mengetahui dasar negara kita. Dan di dalam Pancasila ini terkandung banyak nilai di mana dari keseluruhan nilai tersebut terkandung

Lebih terperinci

Disusun oleh : Tedi Sudrajat, S.H. M.H. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Tahun 2011

Disusun oleh : Tedi Sudrajat, S.H. M.H. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Tahun 2011 Disusun oleh : Tedi Sudrajat, S.H. M.H. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Tahun 2011 1 Keberadaan Sosiologi Hukum Dalam Konteks Ilmu Hukum Kecenderungan Ilmu hukum dititik beratkan pada sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

KODE ETIK DOSEN AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE 2012 KEPUTUSAN DIREKTUR AKADEMI KEPERAWATAN TENTANG KODE ETIK DOSEN AKPER HKBP BALIGE MUKADIMAH

KODE ETIK DOSEN AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE 2012 KEPUTUSAN DIREKTUR AKADEMI KEPERAWATAN TENTANG KODE ETIK DOSEN AKPER HKBP BALIGE MUKADIMAH KODE ETIK DOSEN KEPUTUSAN DIREKTUR AKADEMI KEPERAWATAN TENTANG KODE ETIK DOSEN AKPER HKBP BALIGE MUKADIMAH AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE 2012 Akademi Keperawatan (AKPER) HKBP Balige adalah perguruan

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Penandatanganan MoU

Lebih terperinci

Dr. Samodra Wibawa. Diklatpim Tingkat IV Angkatan XXIX Pusdiklat Kemendagri Regional Yogyakarta 14 Mei 2011

Dr. Samodra Wibawa. Diklatpim Tingkat IV Angkatan XXIX Pusdiklat Kemendagri Regional Yogyakarta 14 Mei 2011 Diklatpim Tingkat IV Angkatan XXIX Pusdiklat Kemendagri Regional Yogyakarta 14 Mei 2011 Dr. Samodra Wibawa Email: samodra03@yahoo.com Hp. 081328 001383 Negara Pengurus, pemerintah Eksekutif/ DPR Birokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan. tujuan dri pembangunan itu sendiri. Dalam dunia usaha yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan. tujuan dri pembangunan itu sendiri. Dalam dunia usaha yang selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang yang dilandasi akan kesadaran tentang pentingnya dinamika pertumbuhan ekonomi yang akan meningkat, dimana pertrumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan.

dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan. dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan. 3. Afrika Selatan Di Afrika Selatan, proses pembuatan konstitusi perlu waktu 3 tahun dan rakyat

Lebih terperinci

Majalah Ilmiah DIAN ILMU Vol. 13 No. 1 Oktober

Majalah Ilmiah DIAN ILMU Vol. 13 No. 1 Oktober PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA BPD DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DESA (Suatu studi kasus di desa Nogosari Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember) Oleh : Kaskojo Adi Tujuan umum negara

Lebih terperinci