Brucellosis adalah penyakit hewan nenular yang disebabkan. oleh bakteri genus Brucella dan pada ternak

Transkripsi

1 Brucellosis adalah penyakit hewan nenular yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella dan pada ternak sapi penyebab utamanya adalah Rrrccelia abortcc.~;. Penyakit ini tidak hanya menyerang ternak (sapi, domba, kanbing dan babi), tetapi dapat juga menyerang manusia. (Enright, 1990). Brucellosis meninbulkan kerugian eko- nomi yang cukup besar. Perkiraan Direktorat Bina Kese- hatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan kerugian tadi mencapai 10 nilyar rupiah pertahun. Kerugian ter- sebut akibat penurunan angka kelahiran karena keguguran (abortus), penurunan produksi susu karena penyakit ini nenyerang kelenj ar susu. gangguan reproduksi ( inf ert i- litas dan sterilitas) karena menyerang saluran dan organ reproduksi, penurunan prestasi kerja akibat nyeri pada persendian lutut, penurunan nilai jual susu dan nilai jual sapi reaktor (Anonymous, 1981a). Brucellosis pada sapi di Indonesia telah menyebar luas ke seluruh wilayah, setidaknya di 25 propinsi (Setiawan, 1991). Pola penyebarannya tampak seperti mengikuti pola penyebaran bibit eapi potong dari daerah sumbsr bibit yang sudah tertular ke daerah atau pulau lain yang masih bebas atau belum tertular (Hanidjojo, 1984; Ketaren, 1982; Partodihardjo et al., 1979;

2 2 Soeroso dan Taufani, 1972; Witono, Sudana dan Suhendra, 1982). Diagnosis Brucellosis pada sapi antara lain berda- sarkan pengenalan tanda-tanda klinik, pemeriksaan bak- teriologik dan pemeriksaan serologik (Fensterbank, 1987). Tanda-tanda klinik Brucellosis pada sapi betina yang paling umum ditemukan adalah abortus, terutama pada kebuntingan tua dan kadang-kadang diikuti dengan infertilitas dan sterilitas. Tanda-tanda klinik yang lain pada sapi adalah pembengkakan atau radang persendian (arthritis) dan pada sapi jantan terjadi radang testis (orchitis). Abortus biasanya terjadi sekali dan itupun jarang teramati, selanjutnya penyakit berjalan subkli- nik dan kronik (Renner and McMahon, 1985; Meyer, 1984). Pemeriksaan bakteriologik untuk mengisolasi kuman penyebabnya jarang berhasil, karena kuman tumbuh dan berkembang di dalam sel ( intraseluler f akultatif ) ter- utama di dalam sel makrofag dan jarang ditemukan atau beredar dalam darah. Kemampuan tumbuh dan berkembang di dalam sel makrofag adalah karena kunan H. at3ortc.t~ mampu mencegah fusi fagosom lisosom atau tahan terhadap aktivitas enzim lisosom makrofag normal, sehingga tidak terjadi bakteriolisis (Enright. 1990). Untuk isolasi diperlukan bahan pemeriksaan (spesimen), antara lain

3 plasenta foetalis, kotiledon, foetus serta isinya. cairan atau lendir uterus dan vagina, linf oglandula. air susu dan darah (Das et dl., 1987; Katsiaounis ct a2., 1988). Untuk pertumbuhan kuman diperlukan media kompleks Cmengandung beberapa asan amino, thiamin, kotinamid dan ion magnesium), mengandung beberapa jenis antibiotik (Polimiksin B, Basitrasin, Sikloheksamid., Asam Nalidiksik, Nistatin dan Vankomisin) serta dieram- kan pada suhu 3 7 O ~ selama lebih kurang tiga hari 3 ni- dalam suasana 5-10% C02 (Corbel, 1989; Alton et al., 1988). Untuk keberhasilan isolasi kuman dapat juga dengan nyuntikkan suspensi spesimen pada hewan percobaan mot dengan dosis m l secara intra muskuler. me- mar- Dewasa ini isolasi dan identifikasi kuman H- abor- tus di Indonesia belun sampai pada penentuan biotipe. Hal ini menarik untuk diketahui antara lain guna mene- mukan jawaban tentang (1) H - abortcts biotipe apa yang menginfeksi ternak sap2 di Indonesia dan bagaimana pe- nyebarannya, (2) apabila biotipenya telah diketahui apakah sama atau berbeda dengan biotipe yang ada di ne- gara asalnya (apabila sapi tersangka Brucellosis yang ada di Indonesia berasal dari impor) dan (3) apabila sapi tersangka Brucellosis sebelumnya telah divaksinasi dengan vaksin Brucella aktif (galur 19) apakah ha1 ter- sebut akibat terinfeksi oleh kuman yang dipakai pembua- tan vaksin tadi (kemungkinan terjadi infeksi nenetap).

4 4 Pemeriksaan serologik secara konvensional CRBT. SAT dan CFT) nemiliki beberapa kelenahan. Dengan RBT tidak jarang terjadi reaksi silanp dengan antibodi dari beberapa jenis bakteri lain (Yersinia. Bordetella, Sal- monella dan Pasteurella) sehingga terjadi reaksi posi- tif palsu. Dengan SAT juga dapat terjadi reaksi posi- tif dan negatif palsu. Positif palsu dapat terjadi ka- rena antigen menetap paeca vaksinasi pada sapi dewasa. Negatif palsu dapat terjadi karena aktivitas IgG1 seba- gai respon terhadap infeksi nerupakan aglutinator yang kurang baik dan menutupi aktif itas IgH (Sutherland, 1880) dan karena fenonana prozone, yaitu konsentrasi antibodi yang tinggi melapisi partikel antigen sehingga mencegah aglutinasi {Tizard, 1882). Untuk nengatasi pernasalahan dalam pemeriksaan serologik secara konven- sional antara lain perlu dikembangkan eetode serodiag- nostik yang lebih tepat dan akurat lagi seperti dengan ELISA (Vizcaino and Alvarez, 1887; Trap and Gaumont, 1984). Keterangan mengenai beberapa sifat patogenitas H- abortus isolat lapang belum banyak diketahui. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut, kiranya dapat diperoleh infornasi antara lain (I) nasa inkubasi, (2) dosis infeksi 50%. (3) penyebaran (invasi) dan Iokasi kunan pada jaringan atau organ (organ predileksi) dan (4)

5 5 hubungan antara titer antibodi dengan isolasi kuman (Sterba, 1984; Hornitzky and Searson. 1988). Pengendalian Brucellosis sapi di lapangan lebih di titikberatkan pada penekanan kasus agar penyakit tidak neluas dengan menggunakan vaksin Bruce lla. Sedangkan pengobatan dengan antibiotik pada individu maupun kelompok jarang memberikan hasil yang baik <Blood and' Radostits. 1989; Renner and McMahon, 1985). Ada dua jenis vaksin Brucella, yaitu vaksin (galur 1s) dan vaksin inaktif (galur 45/20 dalam aktif adju- van). Penggunaan vaksin ini di lapangan tidak jarang mengundang permasalahan. Dengan vaksin aktif antara lain ( 1) dapat menimbulkan antigen menetap terutama bila diberikan pada sapi yang sudah dewasa sehingga nengganggu penafsiran hasil diagnosis serologik dan (2) kemungkinan dapat terjadi abortus bila diberikan pada sapi bunting. Dengan vaksin inaktif antara lain C I) karena dalan bentuk adjuvan dapat menimbulkan pengaruh topikal berupa oedena dan kebengkakan. (2) d ibutuhkan dosis besar (pemberian harus diulang) dan (3) kekebalan yang ditimbulkan relatif tidak berlangsung lama kurang lebih selama satu tahun. Dari segi penggunaan vaksin Brucella, menarik se- kali untuk mengetahui bagainana respon hewan percobaan marnot terhadap kedua jenis vaksin tersebut dalam mengatasi infeksi R. abortus isolat lapang.

6 Atas dasar pernasalahan-pernasalahan tersebut di atas naka perlu kiranya diteliti beberapa sifat biolo- 6 gik 13. ~3batrt5 isolat lapang. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) nengetahui biot ipe B- athcrt~cs isolat lapang yang menginfeksi di beberapa daerah di Indonesia. (2) mengetahui sapi bebe- rapa sifat patogenitasnya pada hewan percobaan martmot dan (3) mengetahui respon marmot terhadap vaksin Brucella yang kemudian ditantang dengan H. ~~.iburtcl.~ isolat lapang. Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah (1) biotipe B- abart~ts isolat lapang terdiri dari beberapa macam dan yang dominan adalah biotipe 1, (2) berdasarkan tingkat virulensinya kebanyakan isolat lapang tergolong galur virulen dan (3) respon marmot terhadap vaksin Brucella yang kemudian ditantang dengan - abortus isolat lapang lebih baik terhadap vaksin aktif dapipada vaksin inaktif. Kegunaan praktis hasil penelitian ini adalah (1) sebagai dasar untuk studi epidemiologi Brucellosis sapi, terutama penetaan dan penyebaran penyakit, <2) nengembangkan metode diagnosis yang lebih tepat terutama dengan netode bakteriologik dan serologik dan ( 3) mengembangkan netode penanggulangan terutama pengebalan dengan vaksin.