FASCIOLOSIS PADA KERBAU YANG DIPELIHARA PADA LAHAN RAWA DI PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FASCIOLOSIS PADA KERBAU YANG DIPELIHARA PADA LAHAN RAWA DI PROPINSI KALIMANTAN SELATAN"

Transkripsi

1 Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999 FASCIOLOSIS PADA KERBAU YANG DIPELIHARA PADA LAHAN RAWA DI PROPINSI KALIMANTAN SELATAN SUHARDoNo l, S.E ESTUNINGSIH~, SRI WIDJAJANTI', L. NATALIA1, Clan J.S. KALIANDA2 BBalai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor BPPH Wilayah V, Bartyarbaru, Kalimantan Selatan ABSTRAK Sebaran infeksi cacing hati (fasciolosis) yang disebabkan oleh Fasciola gigantica pada ternak pemakan rumput erat kaitannya dengan sistim usaha peternakan dan keberadaan habitat siput Lymnaea rubiginosa yang berperan sebagai induk semang antara cacing hati. Larva infektif cacing hati disebabkan oleh siput ini dan luas sebaran penyakit juga ditentukan oleh sebaran siput. Sistim usaha pertanian yang menggunakan limbah kandang segar sebagai pupuk tanaman padi memungkinkan daur hidup parasit ini berlangsung cepat karena siput tersebut senang tinggal di lahan padi irigasi. Dengan mengetalmi waktu kejadian infeksi dan sumber-sumber infeksi maka pola pengendalian fasciolosis dapat diformulasikan. Penetapan waktu infeksi dan prevalensi penyakit dapat dilakukan melalui beberapa cara. Misalnya melalui pemeriksaan siput L. rubiginosa terhadap adanya larva cacing hati, menemukan larva infektif (metaserkaria) dalam rumput, menemukan cacing dalam hati ternak yang dipotong, dan menermikan telur cacing dalam feses. Penelitian ini bertujuan disamping untuk mengkonfirmasi tingkat prevalensi fasciolosis pada kerbau yang dipelihara pada lahan rawa, juga untuk menetapkan waktu terjadinya infeksi cacing hati pada ternak tersebut. Untuk konfirmasi prevalensi penyakit dilakukan pemeriksaan feses kerbau terhadap adanya telur cacing hati dan pemeriksaan hati pada kerbau yang dipotong di RPH setempat. Sedang untuk penetapan waktu infeksi (incidence of infection) dilakukan kegiatan berupa : membentuk kelompok-kelompok hewan pelacak (tracer) dan pemeriksaan hati pada kerbau yang dipotong di RPH setempat terhadap adanya cacing hati muda. Pengambilan dan pemeriksaan sampel-sampel tersebut dilakukan setiap 8 minggu selama dua talum. Laporan ini merupakan kegiatan tahun pertama penelitian. Hasil penelitian terhadap tingkat prevalensi fasciolosis selama 4 kali pengarnbilan sampel menunjukkan bahwa kejadian penyakit antara 2,3-13,5%. Sedang untuk penetapan waktu infeksi dengan menggunakan tracer belum didapatkan hasil, namun berdasarkan pemeriksaan hati pada kerbau yang dipotong di RPH setempat menunjukkan bahwa selama penelitian berlangsung antara Nopember 1998 s/d Maret 1999, tidak ditemukan cacing hati muda. Ini berarti tidak terjadi terjadi infeksi bani selama periode tersebut.. Kesimpulan sementara adalah bahwa kejadian fasciolosis pada kerbau tidak setinggi dari laporan terdahulu dan waktu terjadinya infeksi bukan pada musim pengllujan (pada saat rawa pasang). Kata kunci : Fasciola gigantica, prevalensi, waktu infeksi, kerbau, Kalimantan Selatan PENDAHULUAN Kejadian fasciolosis di negara kita tersebar Was diantara ternak ruminansia (KRANEVELD, 1924 ; EDNEY dan MUCHLIS, 1962 ; SUHARDONO et al., 1988) dan kenigian ekonomi yang ditimbulkannya diperkirakan tidak kurang dari Rp. 513 miliar setiap talttmnya (DIR. KESWAN, 1991). hasil survai terpadu antara Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah V, Sub Balai Penelitian Veteriner dan Dinas Peternakan Dt. 11 Kabupaten Hulu Sungai Utara (ANON., 1991) 571

2 Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999 menemukan bahwa kejadian fasciolosis olch F. gigantica mencapai 77 % pada kerbau Kalang yang dipelihara di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Lebih lanjut dilaporkan bahwa antara bulan Agustus 1990 dan Juni 1991 penjualan kerbau karena sakit jumlahnya meningkat. Menurut ILYAS dan LEKSMONO (1995) salah satu penyakit parasiter yang sering menyerang ternak kerbau di Indonesia adalah fasciolosis. (TARMUDJI, 1998) melaporkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik, kerbau-kerbau di Kalimantan Selatan banyak yang menderita fasciolosis Dinamika kejadian fasciolosis pada ternak sapi di daerah pertanian dengan sistim irigasi intensif telah diteliti oleh SUHARDONO (1998) bahwa fasciolosis berhubungan langsung dengan pola penanaman padi. Dalam penelitiannya telah dibuktikan bahwa kotoran kandang yang masih segar dan dipakai sebagai pupuk tanaman, pengairan tanaman padi yang menciptakan habitat untuk siput Lymnaea rubiginosa (induk semang antara cacing hati di Indonesia), dan pemanfaatan jerami basah sebagai sumber pakan merupakan faktor-faktor pendukung kelestarian infeksi cacing hati pada sapi yang dipelihara di daerah tersebut. Pemanfaatan lahan berrawa-rawa untuk usaha peternakan kerbau, seperti beberapa desa di Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan menunjukkan populasi yang tinggi. Namun demikian dilaporkan bahwa kejadian fasciolosis pada kerbau ini juga cukup tinggi mencapai 77% (ANON., 1991). Pola penyedaran clan waktu kejadian fasciolosis pada ternak potong yang dipelihara pada lahan pertanian dengan sistim irigasi intensif telah diketahui. Demikian juga pola-pola penanggulangan penyakit ini sudah difornuilasikan (SUHARDONO et al., 1998). Namun untuk ternak yang dipelihara di daerah berawa-rawa baik sebaran penyakit maupun waktu terjadinya infeksi cacing hati belum diungkapkan. Ada keterkaitan secara langsung antara penularan infeksi cacing hati dengan habitat di mana ternak dipelihara. Habitat di mana terjadi penularan infeksi cacing hati adalah habitat yang juga cocok untuk tumbuh clan berkembangnya siput air L. rubiginosa yang berperan sebagai induk semang antara cacing hati F. gigantica. Perbedaan antara kedua habitat, yaitu daerah yang masih alami (misal daerah rawa/pasang surut) dengan daerah dengan sistem irigasi terkendali (persawahan) akan mempengaruhi dinamika populasi siput tersebut. Hal ini akan mempengaruhi pola infeksi cacing hati pada ternak yang dipelihara di kedua daerah tersebut. Tatalaksana usaha peternakan (terutama penyediaan pakan hijauan untuk ternak dan pemanfaatan limbah kandang) di daerah rawa juga berbeda dengan yang ada di lahan pertanian intensif. Hal ini diduga akan menampilkan pola kejadian fasciolosis pada ternak yang berbeda pula. Sehingga praktek manajemen peternakan maupun pertanian yang dapat dipakai untuk mengendalikan fasciolosis di daerah pertanian intensif tidak dapat diadopsi begitu saja untuk pengenadalian fasciolosis pada ternak yang dipelihara di daerah lahan rawa dan/atau pasang surut. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian penyebab penjualan kerbau yang meningkat karena terna yang dijual menderita sakit berkaitan dengan kejadian fasciolosis atau ada penyebab lain. Juga akan diungkapkan waktu terjadinya infeksi fasciola pada kerbau yang dipelihara di daerah rawa, sehingga program pengendalian penyakit dapat diformulasikan lebih baik lagi. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di lapangan di Desa Tampakang clan Bararawa, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, menggunakan kerbau milik 572

3 SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1999 peternak. Kerbau dipelihara secara ekstensif di lahan rawa, pada siang hari kerbau dilepas untuk mendapatkan hijauan dengan jarak jelajah hingga 4 km dari kandang (kalang) dan pada sore harinya masuk ke kalang untuk istirahat. Selain itu dilakukan pemeriksaan hati untuk menemukan cacing hati F. gigantica pada kerbau yang dipotong di rumah potong hewan terdekat (di Amuntai). 1. Studi kejadian fasciolosis (Fasciola gigantica) pada kerbau Untuk kegiatan ini dilakukan pengambilan spesimen feses kerbau baik dari kalang maupun langsung dari ternaknya untuk diperiksa adanya telur cacing had. Feses diproses dengan cara sedimentasi menurut BORAY dan PEARSON (1960) yang telah dimodifikasi pada jenis pelarut, saringan, dan waktu pengendapannya. Juga dilakukan pemeriksaan hati terhadap adanya cacing hati. Spesimen hati diambil dari kerbau-kerbau yang dipotong di RPH (rumah potong hewan) setempat yang berasal dari lokasi penelitian di Kecamatan Danau Panggang. 2. Studi Penetapan insiden infeksi oleh cacing hati Fasciola gigantica pada kerbau Sejaun ini belum ada laporan lain tentang cara pengungkapan pola kejadian infeksi cleh cacing hati pada ternak dengan menggunakan metoda konvensional, misalnya dengan penemuan telur cacing dalam tinja, penemuan cacing dalam hati ternak yang dipotong di RPH (ROBERTS dan SUHARDONO, 1996). Dalam penelitian inipun masih akan mengginakan metode-metode tersebut untuk mengungkapkan pola kejadian infeksi cacing hati pada ternak kerbau yang dipelihara di daerah rawa/pasang surut. Untuk mengetahui waktu terjadinya infeksi cacing hati pada kerbau dilakukan dua kegiatan, yaitu menggunakan hewan pelacak dan pemeriksaan hati terhadap adanya cacing hati muda pada kerbau yang dipotong di RPH. a. Hewan pelacak: Sejumlah kerbau milik petani diberi obat cacing triclabendazole (flukisida yang dapat membunuh semua umur cacing) dua kali dosis yang direkomendasikan. Pengobatan ini untuk meyakinkan bahwa kerbau-kerbau tersebut bebas dari infeksi cacing hati. Semua hewan pelacak diidentifikasi dengan cara memberi nomor tattoo dan mencatat namanya. Kerbau-kerbau pelacak ini dibiarkan berbaur dengan kerbau lainnya dan diharapkan suatu saat akan mendapatkan infeksi lagi. Dengan pertimbangan bahwa periode prepaten infeksi cacing hati pada kerbau paling pendek 22 minggu clan terpanjang 32 minggu. Untuk itu kerbau-kerbau pelacak ini dipantau dengan diperiksa sampel fesesnya untuk ditemukan telur cacing hatinya setiap 6-8 minggu sekali selama paling sedikit 6 bulan pengamatan. Setiap tahapan pelepasan hewan pelacak (6-8 minggu sekali) sebanyak 15 ekor kerbau diberi obat cacing tersebut. Penelitian ini direncanakan berjalan minimal 18 bulan. Dengan demikian akan didapatkan 7-9 dtik waktu yang tersebar pada kurun waktu setahun yang menggambarkan ada/tidak ada infeksi cacing hati pada kerbau pelacak tersebut. b. Pemeriksaan cacing hati muda dalam hati kerbau yang dipotong di RPH setempat Sejumlah 2-5 spesimen hati (2-3 kg/spesimen) yang diketahui mengalami kelainan yang diduga infeksi cacing hati diproses dan diperiksạ terhadap adanya cacing muda. Saluran empedu dibelah dengan gunting, kemudian spesimen hati ini dipotong 2-3 cm memanjang dan ditekan tekan agar cacing keluar dari hati. Kemudian dihancurkan dengan meremas-remasnya hingga tidak ada cacing/bagian cacing yang tertinggal dalam jaringan hati. Setelah dicuci bersih, hancuran hati ini sedikit demi sedikit diperiksa di bawah mikroskop stereo untuk menemukan cacing muda. Semua cacing muda (yaitu cacing yang belum berisi telur pada uterusnya) diukur panjangnya. Ukuran panjang cacing muda itu akan menggambarkan umur cacing (HAMMOND da.n SEWELL, 1975). Selanjutnya dapat diperkirakan kapan ternak tersebut mendapatkan infeksi. 57 3

4 SeminarNosional Peternakan dan Veteriner Mencari penyebab peningkatan penjualan kerbau akibat sakit Untuk mengungkap peningatan penjualan kerbau akibat sakit, kegiatan yang dilakukan adalah melakukan pencatatan jumlah hewan yang sakit, potong paksa karena sakit, atau dijual karena dicurigai sakit. Juga dilakukan pemeriksaan hewan yang mati, atau hewan yang dipotong paksa. Disamping itu, melakukan pencatatan tindakan-tindakan para peternak didalam merawat ternaknya yang sakiddiduga sakit. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat penelitian ini berlangsung keadaan air di rawa sedang pasang naik (Nopember 1998 s/d Maret 1999). Selama penelitian berlangsung telah empat kali dilakukan pengambilan sampel feses clan hati. Selama pengamatan di lapangan ditemukan satu kasus kematian kerbau dan satu kasus potong paksa. Pengambilan spesimen feses, clan setting hewan pelacak relatif tidak mengalami kesulitan yang serius karena pada pagi clan sore hari kerbau-kerbau ada di kalang sedang siang harinya ada di rawa untuk menimput. Kendala yang dihadapi adalah ada beberapa ekor kerbau yang tidak pulang tertinggal di rawa. Jarak jelajah kerbau ini dalam mencari rumput hingga 4 km. Akibatnya pada kerbau yang tidak kembali ke kalang tidak dapat dipantau (diambil sampel feses lagi). Kendala lain bahwa angka kesakitan kerbau yang relatif tinggi dan berakhir dengan kematian/potong paksa serta masalah ini belum dapat diatasi walau sudah diberikan beberapa macam obat a.l. : vitamin, antibiotik, atau samorin (obat anti surra). Sebagai akibat keadaan seperti ini yang sudah berlangsung lama, setiap mereka yang datang diminta untuk mengatasi masalah tersebut. Kerbau-kerbau di daerah ini juga sudah dilakukan vaksinasi terhadap penyakit SE (Ngorok). 1. Hasil pengamatan kejadian fasciolosis (Fasciola gigantica) pada kerbau Berdasarkan pemeriksaan sampel feses kerbau terhadap adanya telur cacing hati dan pemeriksaan hati terhadap adanya cacing F. gigantica tidak menunjukkan tingkat kejadian infeksi fasciolosis yang tinggi, berkisar antara 2,32% s/d 14,51%. Hasil pemeriksaan 297 sampel feses baik berasal dari kalang maupun dari kerbau pelacak menunjukkan angka kumulatif prevalensi 8,75% selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Pada pengambilan sampel pertama Nopember 1998 ditemukan prevalensi sebesar 13,51%, sedang pada kunjungan-kunjungan berikutnya (Desember 1998, Pebnrari 1999, clan Maret 1999) bertunit-turut adalah 2,32%; 6,6%; clan 14,51%. Temuan ini (tertinggi 14,51%) bila dibandingkan oleh laporan hasil survai terpadu tahun (ANON., 1991) yang mencatat kejadian fasciolosis mencapai 77% ternyata jauh lebih rendah. Perbedaan angka prevalensi ini terjadi karena beberapa kemungkinan, antara lain : cara pengambilan sampel feses yang berbeda dan waktu (bulan) pengambilan feses yang tidak sama. Hasil survai terdahulu yang dilakukan antara bulan Juni - Agustus, sedang penelitian yang sekarang antara bulan Nopember-Maret. Cara pengambilan sampel feses dari survai terdahulu sebagian sampel diperoleh dari kerbau-kerbau dalam perjalanan untuk dijual dan hanya sebagian kecil dari kalang. Pengambilan sampel ini kurang mencerminkan keadaan infeksi cacing hati di lapangan. Sedang pada penelitian ini sampel feses diambil secara acak di kalang (kisaran jumlah kerbau perkalang antara ekor) clan paling sedikit ditetapkan tujuh kalang untuk diambil spesimen fesesnya. Namun, penelitian ini belum selesai (belum mencerminan kedua musim kemarau clan pcnghujan). 574

5 SeminarNasional Peternakon dan Peteriner 1999 Hasil pemeriksaan hati (potong) terhadap adanya cacing hati juga tidak memperlihatkan kasus fasciolosis yang tinggi pada kerbau, hanya dua dari 9 hati yang diperiksa positif cacing hati. Pada penelitian ini pemeriksaan hati lebih ditekankan pada penemuan cacing hati muda, bukan untuk penetapan prevalensi fasciolosis sehingga sampel hati yang diambil sudah dipilih (tidak dilakukan secara acak) hanya terhadap hati yang dicurigai ada infeksi cacing hati (misalnya menunjukkan adanya kelainan hati). Namun demikian masih terlihat bahwa prevalensi tidak terlalu tinggi (22,2%). 2. Hasil penetapan insiden infeksi oleh cacing hati Fasciola gigantica pada kerbau Selama penelitian berlangsung (Nopember 1998 s/d Maret 1999) sudah dilepas empat kelompok kerbau pelacak. Dalam Tabel 1 terlihat jumlah kerbau pelactlc pada setiap tahapan pelepasan hewan pelacak tersebut. Masing-masing adalah 12, 4, 20, dan 15 ekor. Pada awal penelitian direncanakan, setting hewan pelacak dilakukan di dna kecamatan, namun karena alasan transportasi maka hanya ditetapkan di satu kecamatan saja. Hal ini tidak akan mengurangi nilai penelitian ini karena baik habitat mauptin tatalaksana pemeliharaan kerbau rawa ini boleh dikatakan identik di setiap desa di rawa di kecamatan-kecamatan tersebut. Mengingat periode prepaten F. gigantica pada kerbau berkisar antara minggtt (yaitu waktu larva cacing hati masuk hingga parasit ini mengeluarkan telur), clan penetapan waktu infeksi ini berdasarkan penemuan telur cacing hati pada hewan pelacak, maka pada setiap kelompok hewan pelacak harus diamati paling sedikit selama 6 bulan sejak dilepas sebagai hewan pelacak. Sehingga kelompok hewan pelacak yang dilepas pada bulan Nopember 1998 barn akan diketahui hasilnya paling cepat 22 minggu kemudian (sekitar bulan Mei 1999). Dengan demikian penggunaan hewan pelacak untuk mendappkan waktu terjadinya infeksi belum memberikan hasil clan barn ada hasilnya paling cepat bulan Mei Tabel 1. No Hasil pemeriksaan feses terhadap adanya telur cacing hati Fasciola gigantica n (%+ve) Nop.1998 Des Feb Mar Prevalensi 74 (l3,51)* 86 (2,32) 75(6,6) 62 (l4,51) 2 Pelacak 12 (l6,67) 4 (0) 20(5,0) 15 (26,67) Iieterangan : *jumlah hewan yang diamati (persentase sampel positif telur cacing) Cam lain untuk penetapan waktu infeksi adalah dengan menemukan cacing hati muda pada hati kerbau yang dipotong di RPH setempat. Namun kelemahan dari teknik ini tidak dapat diketahui secara pasti dari mana ternak mendapatkan infeksi, kecuali ada data pendukung berupa asal usul ternak yang dipotong tersebut. Ukuran cacing muda dapat dipakai sebagai penduga umur cacing (SCTHARIONO, 1997), sehingga waktu terjadinya infeksi dapat diketahui berdasarkan (secara tidak langsung) ukuran panjang cacing muda tersebut. Cara ini tidak akurat tetapi hasilnya dapat diperoleh dengan cepat. Pada penelitian ini telah dilakukan 4 kali pengampilan sampel hati dengan jumlah 9 potong hati dua diantarannya ditemtkan cacing dewasa dalam hatinya. Tidak ditemukan cacing hati muda pada kesentbilan satnpel hati yang diperiksa. Ini berarti selama minimal 20 minggti terakhir tidak terjadi infeksi bani pada kerbau sampel tersebut.

6 Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Hasil penelitian penyebab penyakit lain yang mempengaruhi penjualan kerbau akibat sakit Selama penelitian ini betjalan telah dilakukan studi retrospektif ternak yang mati dan dipotong paksa antara bulan Agustus 1998 s/d Februari Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabe12. Selama penelitian dilaksanakan ditemukan dua kasus kematian kerbau (satu mati di dekat kalang dan satu lagi dipotong paksa karena sakit). Kedua kerbau ini memperlihatkan gejala yang yang sama. Pada hari-hari sebelum kematian kelainan-kelainan yang dapat dilihat adalah tidak mau makan, tetap tinggal di kalang atau turan dari kalang sebentar dan naik lagi. Boleh dikatakan kerbau ini tidak melakukan mastikasi. Tidak ada tanda-tanda perubahan suhu tubuh, sewaktu berak, fesenya bercampur darah segar. Sebentar sebelum kematian kerbau duduk dan tidak ada tanda-tanda kesakitan. Hasil pemeriksaan bedah bangkai ditemukan perdarahan bawah kulit, enteritis berat, limpa normal, hati kehitaman disertai adanya luka hati pada taraf ringan, dan paruparu normal. Dari kedua kerbau yang diperiksa ditemukan cacing hati di dalam saluran empedu. Hasil pemeriksaan laboratorium yang berupa sampel hati di BPPH Banjar Baru dan Balitvet adalah sebagai berikut : pada pemeriksaan histopatologi ditemukan infeksi bakteri yang berat, namun tidak dapat ditetapkan jenis bakterinya ; sedang dari uji pewarnaan (dengan FAT) dan biakan ditemukan bakteri Clostridium, identifikasi lebih lanjut ditemukan dua jenis Clostridium yaitu C:. novyi dan C. septicum. Bakteri yang pertanta diyakini sebagai penyebab kematian kerbau tersebut. Di sini perlu diketahui bahwa berdasarkan catatan yang diperoleh dari lapangan menunjukkan bahwa kematian kerbau tidak terjadi dalam satuan waktu yang pendek, tidak di satu kelompok ternak melakukan tersebar dengan pola sebaran yang tidak jelas/tidak merata. Gambaran ini menunjukkan bahwa kematian kerbau tidak disebabkan olelt kuman yang infeksius dan mudah menyebar, seperti SE, atau anthraks. Menunit para peternak, sudah sekitar setahun tidak ada penisahaan pengawetan kayu yang menjalankan usalianya di daeralt itu. Juga bukan karena bahan kimia yang dipakai untuk pengawetan kayu atau untuk meracun ikan karena pada waktu penelitian berlangsting tidak ada perusahaan pengawetan kayu yang beroperasi, demikian juga tidak ada yang menabur racun ikan karena waktu itu kondisi air sedang dalam. Biasanya penebaran racun ikan terjadi pada saat air sudah surut (musim kemarau). Tabel 2. Jumlah kerbau yang dipotong paksa dan mati dalam periode Agustus 1998 s/d Febniari 1999 di desa Bararawa, Keeamatan Danau Panggang, Kab. Dt.ll Hulu Sungai Utara No Bulan Kerbau Potong paksa Mati Jumlah 1 Agustus September Oktober Nopetnber Desember Januari Febmari Jumlah Dari beberapa literatur (BAGADI, 1974 ; JAMIESON et al., 1948) telah dilaporkan korelasi antara kejadian fasciolosis pada ternak dengan kematian ternak akibat clostridiosis seperti black 576

7 Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999 disease. Berdasarkan hasil analisis di atas, untuk sementara (penelitian masih berlanjut) disimpulkan bahwa kematian kerbau di daerah rawa Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten DGI Hulu Sungai Utara terutatna disebabkan oleh penyakit bakterial clostridiosis, C. novyi. Sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan penjualan kerbau karena sakit ada kaitannya dengan clostridiosis di daerah ini. KESIMPULAN DAN SARAN Prevalensi fasciolosis pada kerbau terbukti tidak setinggi dari laporan terdahulu. Waktu terjadinya itrfeksi cacing hati pada kerbau berdasarkan penemuan cacing hati muda tidak teljadi pada musim penghujan (saat air rawa pasang naik), namun belum dapat dilaporkan dari pengamatan berdasarkan penggunaan hewan pelacak. Peningkatan penjualan kerbau karena sakit berkaitan dengan kejadian clostridiosis pada kerbau didaerah ini. Disarankan agar penetapan waktu infeksi baik dengan petneriksaan hati dan penggunaan kerbau pelacak agar dilanjutkan untuk niemperoleh gambaran yang lengkap (musim kemarau dan penghujan) sehingga pola infeksi cacing liati akan tergambarkan lebih baik lagi, serta formulasi pengendalian penyakit ini dapat dibuat dengan lebih baik. Juga perlu dibuktikan bahwa dengan vaksinasi kerbau dengani vaksin clostridiurn akan menurunkan kematian ternak di daerah itu. DAFTAR PUSTAKA ANoNYMous Penelitian Penyakit pada kerbau rawa di kecamatan Danau Panggang, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Penelitian bersama antara sub Balitvet Banjarbani, BPPH wilayah V dan Dinas Peternakan DO kabupaten Hulu Sungai Utara. BAGADI, H.O Infectious necrotic hepatitis (black disease) of sheep. Veterinary Bulletin 44: BoRAY, J.C. and I.G. PEARSON The antlnelmintic efficiency of tetrachlorodifluoroethane in sheep infested with Fasciola hepatica. Aust. Vet. J. 36 : DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN Data Ekonomi Akibat Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. EDNEY, J.M. and A. Muclu.ts Fascioliasis in indonesian Livestock. Veterinariae 2 :49. HAMMOND, J.M. and A. MucHLIS Fascioliasis in Indonesia livestock. Veterinariae. 2 :49. ILYAS, A.Z. dan C.S. LEKSMONO Pedoman pengembangan dan perbaikan ternak kerbau di Indonesia. Dirjen Peternakan bekeijasama dengan FAO. JAMIESON, S., J.J. THoMhSON, and J.G. BROTHERSTON Studie s in black disease. 1. The occurrence of die disease in sheep in North of Scotland. Veterinary Record 60 : KRANEVELD, F.C Bijdrage tot de therapie der distomatosis in Nederlandsch-hidie. Nederlandsch-Indie Bladen von Diereneskunde 36 : ROBERTS, J.A. and SUHARDoNo Approaches to the control of fasciolosis in niminants. Int. J. Parasitology. 26 : SUHARDONO. 1997b. Fasciolosis dan penanggulangamiya. Injovet. Edisi 45. April SUHARDONO, SRI WIDJAJANTI, dan S. PARTOUTOMo Strategi penanggulangan fasciolosis oleh fasciola gigantica secara terpadu pada ternak yang dipelilnara di lahan pertanian dengan sistim irigasi intensif. Pros. Seminar Nasional Petennakan dan Veteriner. Bogor, Nopember Balai Penelitian 577

8 Seminar Nasional Peternakan dan Yeteriner 1999 Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jilid 1. hal SUHARDONO, S. WIDJAJANTI, and S. PARTouTomo Freshwater snails of medical and veterinary importance in Indonesia. Paper presented for the ASIAN-PLANTI Technical Meeting on Snails and Slugs of Economic hnportance. June in Bangkok, Thailand. TARMIJDJI Status penyakit kerbau rawa di kalimantan Selatan suatu tinjauan patologik. Pros. Seminar Hasil-hasil Penelitian veteriner, Bogor Pebruari Balai Penelitian Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hal

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG Seminar Nasionai Peternakan dan Veleriner 2000 DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG SUHARDONO, Z. KOSASIH, dan SuDRAIAT Balai

Lebih terperinci

BEBERAPA MASALAH KESEHATAN TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA DI LAHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN

BEBERAPA MASALAH KESEHATAN TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA DI LAHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN BEBERAPA MASALAH KESEHATAN TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA DI LAHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN SUHARDONO Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia ABSTRAK Populasi

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar sapi potong dipelihara oleh peternak hanya sebagai sambilan. Tatalaksana pemeliharaan sapi pada umumnya belum baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 6. No. 4. Th. 21 FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE S. WIDJAJANTI, S.E. ESTUNINGSIH dan SUHARYANTA

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO, MASTUR dan RINA SINTAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ABSTRAK Kerbau bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2 SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1998 PEMBIBITAN ITIK ALABIO DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH (HST) KALIMANTAN SELATAN ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2 1 Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN BIDANG STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS DAN AGROTEKNOLOGI PROGRAM STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS PRODUKSI TERNAK KOMPETENSI KEAHLIAN

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG LAHAN RAWA SEBAGAI KAWASAN SENTRA PENGEMBANGAN KERBAU KALANG DI KALIMANTAN SELATAN

DAYA DUKUNG LAHAN RAWA SEBAGAI KAWASAN SENTRA PENGEMBANGAN KERBAU KALANG DI KALIMANTAN SELATAN Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007 DAYA DUKUNG LAHAN RAWA SEBAGAI KAWASAN SENTRA PENGEMBANGAN KERBAU KALANG DI KALIMANTAN SELATAN SURYANA 1 dan EKO HANDIWIRAWAN 2 1 Balai Pengkajian

Lebih terperinci

INOVASI TEKNOLOGI DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT TERNAK KERBAU

INOVASI TEKNOLOGI DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT TERNAK KERBAU INOVASI TEKNOLOGI DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT TERNAK KERBAU SRI MUHARSINI, LILY NATALIA, SUHARDONO dan DARMINTO Balai Besar Penelitian Veteriner Jl. RE Martadinata 30, Bogor 16114 E-mail : balitvet@indo.net.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI HIJAUAN PAKAN TERNAK DI DESA MARENU, TAPANULI SELATAN

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI HIJAUAN PAKAN TERNAK DI DESA MARENU, TAPANULI SELATAN TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI HIJAUAN PAKAN TERNAK DI DESA MARENU, TAPANULI SELATAN RIJANTO HUTASOIT Loka Penelitan Kambing Potong, P.O. Box 1 Galang, Medan RINGKASAN Untuk pengujian terhadap tingkat adopsi

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Petelur Ayam petelur dikenal oleh sebagian masyarakat dengan nama ayam negeri yang mempunyai kemampuan bertelur jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan ayam ayam

Lebih terperinci

DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG

DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000 DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG Kate kunck Populasi, produktivitas, kerbau R.H. MAToNDANG dan A.R. SiPEGAR

Lebih terperinci

MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS

MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS OLEH: DWI LESTARI NINGRUM, S.Pt Perkembangan ayam buras (bukan ras) atau lebih dikenal dengan sebutan ayam kampung di Indonesia berkembang pesat dan telah banyak

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR DAN PANJANG CACAHAN RUMPUT RAJA TERHADAPEFISIENSI BAGIANYANGTERMAI{AN DOMBA DEWASA

PENGARUH UMUR DAN PANJANG CACAHAN RUMPUT RAJA TERHADAPEFISIENSI BAGIANYANGTERMAI{AN DOMBA DEWASA PENGARUH UMUR DAN PANJANG CACAHAN RUMPUT RAJA TERHADAPEFISIENSI BAGIANYANGTERMAI{AN DOMBA DEWASA Bambang Kushartono, Nani Iriani clan Gunawan Balai Penelitian Ternak, Po Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Keterbatasan

Lebih terperinci

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG Liver Fluke Infestation Level of Bali Cattle in Sukoharjo Sub-District Pringsewu Regency Lampung

Lebih terperinci

ANALISIS PENGGUNAAN TENAGA KERJA RUMAH TANGGA PADA PEMELIHARAAN DOMBA DI KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG

ANALISIS PENGGUNAAN TENAGA KERJA RUMAH TANGGA PADA PEMELIHARAAN DOMBA DI KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG ANALISIS PENGGUNAAN TENAGA KERJA RUMAH TANGGA PADA PEMELIHARAAN DOMBA DI KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG ANALYSIS OF USE FAMILY LABOR CULTIVATION OF SHEEP LIVESTOCK IN THE SUBDISTRICT BUAHDUA DISTRICT

Lebih terperinci

PENGAMBILANMETASERI{ARIAFASCIOLA IGANTICA PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSADI SURADE SUKABUMI JAWA BARAT

PENGAMBILANMETASERI{ARIAFASCIOLA IGANTICA PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSADI SURADE SUKABUMI JAWA BARAT PENGAMBILANMETASERI{ARIAFASCIOLA IGANTICA PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSADI SURADE SUKABUMI JAWA BARAT Suharyanta Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor RINGKASAN Pengambilan metaserkaria

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

POTENSI, PERAN DAN PERMASALAHAN BETERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI, PERAN DAN PERMASALAHAN BETERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI, PERAN DAN PERMASALAHAN BETERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI, M. SABRAN dan A. HAMDAN BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Ternak kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan hijauan unggul yang digunakan sebagai pakan ternak. Produksi rumput gajah (Pannisetum purpureum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi

Lebih terperinci

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu : PROJECT DIGEST NAMA CLUSTER : Ternak Sapi JUDUL KEGIATAN : DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI pembibitan menghasilkan sapi bakalan super (bobot lahir > 12 kg DI LOKASI PRIMA TANI KABUPATEN TTU PENANGGUNG JAWAB

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK PENYAKIT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DI KALIMANTAN SELATAN

TINJAUAN ASPEK PENYAKIT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DI KALIMANTAN SELATAN TINJAUAN ASPEK PENYAKIT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DI KALIMANTAN SELATAN SURYANA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jalan P. Batur Barat No. 4

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak unggas penghasil telur, daging dan sebagai binatang kesayangan dibedakan menjadi unggas darat dan unggas air. Dari berbagai macam jenis unggas air yang ada di Indonesia,

Lebih terperinci

KERAGAAN USAHA TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

KERAGAAN USAHA TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN KERAGAAN USAHA TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN¹, E.S. ROHAENI¹ dan BESS TIESNAMURTI² ¹Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian, Banjarmasin Jl. Pangeran M. Noor Sempaja

Lebih terperinci

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL ZAENAL KOSASIH Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 RINGKASAN Parasit cacing

Lebih terperinci

PENDAHULUAN mencapai ekor, tahun 2015 bertambah menjadi ekor

PENDAHULUAN mencapai ekor, tahun 2015 bertambah menjadi ekor I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi domba di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 2014 mencapai 16.091.838 ekor, tahun 2015 bertambah menjadi 17.024.685 ekor (Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 6. Kondisi Kandang Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 6. Kondisi Kandang Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Laboratorium Lapang Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor merupakan laboratorium lapang yang terdiri dari empat buah bangunan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI Pita Sudrajad, Muryanto, dan A.C. Kusumasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah E-mail: pitosudrajad@gmail.com Abstrak Telah

Lebih terperinci

Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba

Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba JITV Vol. 9 No. 3 Th. 24 Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba S. WIDJAJANTI 1, S.E. ESTUNINGSIH 1, SUBANDRIYO 2, D. PIEDRAFITA 3 dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP

KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP INTENSIF SEMI INENSIF EKSTENSIF SAPI Karbohidrat yg mudah larut Hemiselulosa Selulosa Pati Volatile Vatti Acids Karbohidrat By pass

Lebih terperinci

Tennr Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 Skala usaha penggemukan berkisar antara 5-10 ekor dengan lama penggemukan 7-10 bulan. Pakan yan

Tennr Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 Skala usaha penggemukan berkisar antara 5-10 ekor dengan lama penggemukan 7-10 bulan. Pakan yan PERBAIKAN MANAJEMEN PAKAN DALAM PENGGEMUKAN DOMBA DI TINGKAT PETANI HAM BUDIMAN Pusal Penelitian dan Pengeinbangan Peternakan RINGKASAN Usaha penggernukan domba dengan perhaikan penambahan pakan konsentrat

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman IV. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan HPT Jenis, produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: Iklim Tanah Spesies Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Balai Benih Ikan Inovatif ( BBII ) merupakan unit pelaksanaan teknis daerah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Balai Benih Ikan Inovatif ( BBII ) merupakan unit pelaksanaan teknis daerah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi PKL Balai Benih Ikan Inovatif ( BBII ) merupakan unit pelaksanaan teknis daerah tingkat Provinsi yang mempunyai fungsi menyebar luaskan teknologi perbenihan

Lebih terperinci

FASCIOLA GIGANTICA DENGAN TREMATODA LAIN PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA

FASCIOLA GIGANTICA DENGAN TREMATODA LAIN PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA TERNAK : KONTROL BIOLOGI FASCIOLA GIGANTICA DENGAN TREMATODA LAIN PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA SUHARDONO Balai Penelitian Veteriner Jalan R. E. Martadinata 30, P.O.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

WARTAZOA Vol. 16 No. 4 Th be responsible for this phenomena. Growing forages as the source of animal feed may be an option to improve the curren

WARTAZOA Vol. 16 No. 4 Th be responsible for this phenomena. Growing forages as the source of animal feed may be an option to improve the curren KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN : PERMASALAHAN, PENYAKIT DAN USAHA PENGENDALIAN LILY NATALIA, SUHARDONO dan ADIN PRIADI Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R. E. Martadinata No 30, Bogor 16114 ABSTRAK

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT A. MUZANI dan MASHUR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, PO Box 1017, Mataram ABSTRAK Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang strategis karena selain hasil daging dan bantuan tenaganya, ternyata ada

BAB I PENDAHULUAN. yang strategis karena selain hasil daging dan bantuan tenaganya, ternyata ada 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kerbau merupakan ternak yang dipelihara di pedesaan untuk pengolahan lahan pertanian dan dimanfaatkan sebagai sumber penghasil daging, susu, kulit dan pupuk. Di Sumatera

Lebih terperinci

JURNAL INFO ISSN : PENDAMPINGAN PROGAM PENGUATAN PAKAN INDUK SAPI POTONG DI KABUPATEN BLORA

JURNAL INFO ISSN : PENDAMPINGAN PROGAM PENGUATAN PAKAN INDUK SAPI POTONG DI KABUPATEN BLORA PENDAMPINGAN PROGAM PENGUATAN PAKAN INDUK SAPI POTONG DI KABUPATEN BLORA R. S. Ardiansyah, N. I. Varianti, P. D. O. Kurniaji, N. Musyaffa, M. Y. E. Santoso Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH LIMBAH JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN ABSTRAK

ANALISIS NILAI TAMBAH LIMBAH JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN ABSTRAK ANALISIS NILAI TAMBAH LIMBAH JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN Sunanto dan Nasrullah Assesment Institution an Agricultural Technology South Sulawesi, Livestock research center ABSTRAK

Lebih terperinci

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK ASAL KOTORAN SAPI Hasil sampingan pemeliharaan ternak sapi atau sering juga disebut sebagai kotoran sapi tersusun dari feses,

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK ASAL KOTORAN SAPI Hasil sampingan pemeliharaan ternak sapi atau sering juga disebut sebagai kotoran sapi tersusun dari feses, POTENSI DAN PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK ASAL KOTORAN SAM Entang Suganda Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor, 16002 PENDAHULUAN Ketersediaan unsur hara dalam tanah sangat penting artinya bagi usaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI, A. HAMDAN, R. QOMARIAH dan A. SUBHAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru,

Lebih terperinci

Lampiran I. Bagan Penelitian Menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) Vol. Volll. Vol! Villi. V,ll. Villi. Vdll V.I. Keterangan : Vi V2V3V4V5

Lampiran I. Bagan Penelitian Menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) Vol. Volll. Vol! Villi. V,ll. Villi. Vdll V.I. Keterangan : Vi V2V3V4V5 33 Lampiran I. Bagan Penelitian Menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) Vol Vol! Volll Villi V21 V2III V4 V4III V2II V,ll Villi V.I V31I Vdll Keterangan : Vi V2V3V4V5 = Perlakuan berbagai bahan dasar pembuatan

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: PUJI ANITASARI J

Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: PUJI ANITASARI J HUBUNGAN ANTARA KONDISI SANITASI KANDANG TERNAK DENGAN KEJADIAN DIARE PADA PETERNAK SAPI PERAH DI DESA SINGOSARI KECAMATAN MOJOSONGO KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2008 Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan

Lebih terperinci

Prevalensi Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp) Pada Sapi Potong di Rumah Potong Pegirian Surabaya Tahun 2014

Prevalensi Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp) Pada Sapi Potong di Rumah Potong Pegirian Surabaya Tahun 2014 Artikel Ilmiah Prevalensi Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp) Pada Sapi Potong di Rumah Potong Pegirian Surabaya Tahun 2014 Marek Yohana Kurniabudhi., drh., M. Vet (12696-ET) UNIVERSITAS WIJAYA

Lebih terperinci

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA AgroinovasI SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA Ternak ruminansia seperti kambing, domba, sapi, kerbau dan rusa dan lain-lain mempunyai keistimewaan dibanding ternak non ruminansia yaitu

Lebih terperinci

Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor

Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor KASKADO DI KALIMANTAN SELATAN Ng. Ginting Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor PENDAHULUAN Bubberman clan Kraneveld melaporkan adanya kaskado di Minahasa (Sulawesi) clan di Lampung (Sumatera) pada sapi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA ITIK ALABIO DENGAN SISTEM LANTING DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

ANALISIS KELAYAKAN USAHA ITIK ALABIO DENGAN SISTEM LANTING DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH ANALISIS KELAYAKAN USAHA ITIK ALABIO DENGAN SISTEM LANTING DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH (Feasibility Analysis of Alabio Duck Farm with Lanting System at Hulu Sungai Tengah) ENI SITI ROHAENI Balai Pengkajian

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny TEKNIK PENANAMAN RUMPUT RAJA (KING GRASS) BERDASARKAN PRINSIP PENANAMAN TEBU Bambang Kushartono Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Prospek rumput raja sebagai komoditas

Lebih terperinci

Temu Teknis Fungsional non PenellU 2000 merupakan bahan yang umumnya dipergunakan sebagai bahan pembuatan pupuk organic, dan sering dipergunakan dalam

Temu Teknis Fungsional non PenellU 2000 merupakan bahan yang umumnya dipergunakan sebagai bahan pembuatan pupuk organic, dan sering dipergunakan dalam Temu Teknis Fungsional non Penelui 2000 KULIT SINGKONG SEBAGAI PUPUK ALTERNATIF TANAMAN RUMPUT UNGGUL Suryana Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16001. RINGKASAN Suatu kajian pemanfaatan kulit

Lebih terperinci

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir, rata-rata

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : Desvionita Nasrul BP

SKRIPSI. Oleh : Desvionita Nasrul BP TINGKAT ADOPSI INOVASI PENGOLAHAN LIMBAH KAKAO DALAM PAKAN TERNAK SAPI POTONG ( Studi Kasus Pada Kelompok Tani Karya Abadi Sungai Buluh, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman ) SKRIPSI Oleh

Lebih terperinci

STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN

STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN H. MASNGUT IMAM S. Praktisi Bidang Peternakan dan Pertanian, Blitar, Jawa Timur PENDAHULUAN Pembangunan pertanian berbasis sektor peternakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari tujuan dan upaya pemerintah dalam memberikan arah pembangunan ke depan bagi bangsa Indonesia.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 1, Januari 2005, Halaman 43-48 http://bioscientiae.tripod.com KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT UU. Lendhanie Program Studi Ternak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR PENENTU TEKNIS DALAM POLA PENGEMBANGAN MANAJEMEN AYAM BURRS DI DESA BUNGA RAYA, RIAU

KAJIAN FAKTOR PENENTU TEKNIS DALAM POLA PENGEMBANGAN MANAJEMEN AYAM BURRS DI DESA BUNGA RAYA, RIAU Seminar Nasionat Peternakan dan Veteriner 2000 KAJIAN FAKTOR PENENTU TEKNIS DALAM POLA PENGEMBANGAN MANAJEMEN AYAM BURRS DI DESA BUNGA RAYA, RIAU TATI HERAwATI dan S. HARYONO Peneliti Balitnakyang bertugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

Seminar Nosional Peternakan dan lieteriner 199- TATIT S., E. WrNA, B. TANGENIAYA dall I. W. MATHIUS

Seminar Nosional Peternakan dan lieteriner 199- TATIT S., E. WrNA, B. TANGENIAYA dall I. W. MATHIUS Seminar Nosional Peternakan dan lieteriner 199- KEMAMPUAN PENINGKATAN BERAT BADAN SAPY PEDET JANTAN FH SAMPAI DENGAN UMUR SAPIH DI TANJUNGSARI - KABUPATEN SUMEDANG TATIT S., E. WrNA, B. TANGENIAYA dall

Lebih terperinci

ANALISIS POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DAN SEMI INTENSIF

ANALISIS POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DAN SEMI INTENSIF Seminar Nasional Peternakan Jan Veleriner 2000 ANALISIS POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DAN SEMI INTENSIF MATIMUS SARIUBANG dan SURYA NATAL TAHBit4G lnstalasi Penelitian

Lebih terperinci

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil serta Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satu ternak penghasil daging yang sifatnya jinak dan kuat tetapi produktivitasnya

PENDAHULUAN. satu ternak penghasil daging yang sifatnya jinak dan kuat tetapi produktivitasnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang beberapa puluh tahun terakhir populasinya menurun dan tergantikan oleh sapi. Kerbau merupakan salah satu ternak penghasil

Lebih terperinci

PENCAMPURAN MEDIA DENGAN INSEKTISIDA UNTUK PENCEGAHAN HAMA Xyleborus morstatii Hag. PADA BIBIT ULIN ( Eusideroxylon zwageri T et.

PENCAMPURAN MEDIA DENGAN INSEKTISIDA UNTUK PENCEGAHAN HAMA Xyleborus morstatii Hag. PADA BIBIT ULIN ( Eusideroxylon zwageri T et. PENCAMPURAN MEDIA DENGAN INSEKTISIDA UNTUK PENCEGAHAN HAMA Xyleborus morstatii Hag. PADA BIBIT ULIN ( Eusideroxylon zwageri T et. B) DI PERSEMAIAN Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Kendala

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber Daya Ternak Sapi dan Kerbau Sebanyak empat puluh responden yang diwawancarai berasal dari empat kecamatan di Kabupaten Sumbawa yaitu : Kecamatan Moyo Hilir, Lenangguar, Labuan

Lebih terperinci

pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur

pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur Latar Belakang 1. Kebutuhan konsumsi daging cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung PREVALENSI NEMATODA GASTROINTESTINAL AT SAPI BALI IN SENTRA PEMBIBITAN DESA SOBANGAN, MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

KOKSIVET SUPRA '95 Vaksin Koksidiosis Poliphalent Iradiasi Aktif

KOKSIVET SUPRA '95 Vaksin Koksidiosis Poliphalent Iradiasi Aktif KOKSIVET SUPRA '95 Vaksin Koksidiosis Poliphalent Iradiasi Aktif PENDAHULUAN Bertepatan dengan ulang tahun ke 50 Kemerdekaan Indonesia, atau Tahun Indonesia Emas 1995, satu lagi karya monumental bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di Indonesia, merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PE DI PERKEBUNAN RAKYAT PROPINSI LAMPUNG

PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PE DI PERKEBUNAN RAKYAT PROPINSI LAMPUNG PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PE DI PERKEBUNAN RAKYAT PROPINSI LAMPUNG SITI AMINAH, DAN ZULQOYAH LAYLA Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Pengenalan pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian bangsa Indonesia dan sektor peternak juga menjadi salah satu sektor yang menunjang

Lebih terperinci

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH Pita Sudrajad*, Muryanto, Mastur dan Subiharta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI BUSTAMI dan ENDANG SUSILAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi ABSTRAK Ternak kerbau mempunyai nilai sejarah kebudayaan masyarakat Jambi. Pada

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN UPAYA PENANGGULANGAN SKABIES PADA KAMBING DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN BOGOR

PREVALENSI DAN UPAYA PENANGGULANGAN SKABIES PADA KAMBING DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN BOGOR PREVALENSI DAN UPAYA PENANGGULANGAN SKABIES PADA KAMBING DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN BOGOR Kata kunci : Kudis, kambing, ivermectin TOLIBIN ISKANDAR danjoses MANLJRUNG Balai Penelitiatt Veteriner

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

Beberapa penyakit yang sering menyerang ternak kambing dan dapat diobati secara tradisional diantaranya adalah sebagai berikut:

Beberapa penyakit yang sering menyerang ternak kambing dan dapat diobati secara tradisional diantaranya adalah sebagai berikut: PENDAHULUAN Alternatif pengobatan tradisional pada ternak merupakan suatu solusi yang tentunya sangat bermanfaat bagi peternak kecil.disamping mudah didapatkan disekitar kita serta biayanya relatif murah,

Lebih terperinci