FASCIOLA GIGANTICA DENGAN TREMATODA LAIN PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FASCIOLA GIGANTICA DENGAN TREMATODA LAIN PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA"

Transkripsi

1 PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA TERNAK : KONTROL BIOLOGI FASCIOLA GIGANTICA DENGAN TREMATODA LAIN PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA SUHARDONO Balai Penelitian Veteriner Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor PENDAHULUAN Masalah fasciolosis pada ternak ruminansia di Indonesia cenderung ticlak berubah dari waktu ke waktu. Tingkat kejadian fasciolosis berkisar antara % (ANONIMOUS, 1992), dapat mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 513 milyar setiap tahunnya (ANONIMOUS, 1991) sehingga perlu penanganan yang serius mengingat pada umumnya ternak yang terserang tersebar di pedesaan. Pada negara-negara yang sudah maju walau masih ditemukan kasus fasciolosis namun masalahnya sudah dapat ditangani, baik dengan cara-cara pencegahan terhadap terjadinya infeksi maupun pengobatan pada ternak. Sedang di negara-negara yang sedang berkembang, seperti halnya Indonesia, masih banyak kendala yang dihadapi. Kemampuan ekonomi peternak, sistem usaha peternakan, pengetahuan tentang penyakit berkaitan dengan sistem usaha lainnya (misalnya pertanian), serta program pemerintah di dalam menangani penyakit clan ketersediaan/harga obat yang masih belum memadai merupakan contoh kendala yang memungkinkan kejadian fasciolosis pads ternak tidak berubah sejak penyakit ini ditemukan. Pengendalian fasciolosis pada ternak dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya program pengobatan dipadukan dengan pencegahan terhadap terjadinya penyakit berdasarkan data epidemiologi parasit. Pengobatan fasciolosis pada ternak di daerah yang mempunyai empat musim, pemberian obat cacing biasa diberikan paling kurang dua kali setahun (ANONIMOUS, 1977 ; FAWCETT,1990; REID clan ARMOUR, 1978) clan dipadukan dengan program-program pencegahan. Sedang untuk daerah tropis program pengobatan masih beragam. Seperti di Thailand misalnya, pengobatan dilakukan setelah populasi siput L. rubiginosa di lapangan menonjukkan angka terrendah (SRIKITJAKARN, 1986) clan dilakukan sekali lagi pada saat populasi siput tertinggi. Di Filipina (TONGSON, 1978) pernah membuat program nasional untuk pengobatan fasciolosis berclasarkan atas periode prepaten cacing hati, yakni 3 bulan, sehingga pemberian obat cacing diberikan sampai empat kali setahun. BORAY (1991) memperkirakan pemberian obat cacing hati pada ternak di wilayah Asia Tenggara dapat dilakukan dua kali setahun pada setiap akhir musim kemarau clan penghujan. Pencegahan fasciolosis dimaksudkan untuk menghinclarkan / mengurangi kemungkinan ternak menclapatkan infeksi atau menghindari bersatunya telur cacing dengan siput. Pencegahan ini dapat dilakukan misainya dengan cara memisahkan ternak dari lahan yang cocok untuk hidupnya siput, membunuh/menurunkan populasi siput clan kontrol biologi (ANONIMOUS, 1977 ; BORAY, 1991 ; OVER, 1982 ; WILSON et al., 1982 ; WRIGHT, 1968). Pengendalian fasciolosis dengan cara pengobatan clan dipadukan dengan perbaikan tata-laksana sistem usaha peternakan telah disampaikan oleh SUHARDONO et al. pada Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 1997 di Ciawi, Bogor. Pada kesempatan ini penulis bermaksud menguraikan pengendalian fasciolosis melalui kontrol biologi. PENGERTIAN KONTROL BIOLOGI Kontrol biologi merupakan cara pengendalian penyakit dengan menggunakan makhluk hidup lain dimana agen tersebut dapat berperan sebagai predator, parasit/patogen, kompetitor atau pengubah habitat (STURROCK, 1995 ; WRIGHT, 1968). Untuk fasciolosis, kontrol biologi dapat ditargetkan pada siput yang berperan sebagai incluk semang antara cacing hati (Lymnaea spp.) atau ditujukan pada larva cacing hati yang masih berada di dalam siput tersebut. MURTISARI clan EVANS (1982) melaporkan bahwa itik yang clipelihara dengan cara digembalakan mengkonsumsi siput sebanyak 17% dari total pakan yang ada di dalam temboloknya. Hal 15

2 SUHARDoNo : Pengendalian infeksi Cacing Hati pada Ternak : Kontrol Biologi Fasciola gigantica dengan Trematoda Lain pada Siput Lymnaea Rubiginosa yang senada juga dilaporkan oleh BORAY (1991) bahwa sehubungan dengan banyaknya itik yang digembalakan di sawah-sawah di Indonesia, dicluga dapat menurunkan populasi siput. Laporan dari Zambia (LOCKE, 1969) clan Inggris (HANCOCK, 1969) menduga bahwa dengan menggembalakan sejumlah angsa (geese) atau itik selama beberapa minggu di pastur sebelum sapi digembalakan clapat menghabiskan siput di tempat itu. SRI WIDJAJANTI (1990) melaporkan hasil penelitian laboratoriumnya bahwa seekor ikan mas (Cyprinus carpio) mampu memangsa paling seclikit 10 siput L. rubiginosa setiap hari, seclang ikan gurami (0sphromenus gouraini) clan ikan sepat (Trichogaster sp.) potensinya sebagai pemangsa siput lebih rendah daripada ikan mas. Contoh-contoh di atas merupakan kontrol biologi dimana unggas clan ikan berperan sebagai predator langsung dalam menurunkan populasi siput. Kontrol biologi dengan Cara antagonis dari dua atau lebih larvae trematoda di dalam siput sempat menclapat perhatian yang serius di Malaysia baik oleh peneliti dari dalam maupun luar negeri, seperti yang dilaporkan oleh LIE et al. (1968), Kwo et al. (1970) clan Lim clan HEYNEMAN (1972). Konsepnya sendiri didasarkan pads beberapa pengamatan bahwa beberapa spesies cacing trematoda menggunakan siput yang sama sebagai incluk semang antara (BASCH, 1966), akan tetapi jarang sekali ditemukan satu siput melepaskan lebih dari satu tipe serkariae (LIE et al., 1966). BASCH et al. (1970) di dalam mencari penjelasan terhadap fenomena tersebut mengemukakan suatu teori bahwa larvae trematoda secara langsung atau tidak langsung berantagonis dengan larvae trematoda lainnya clan sebagai akibatnya adalah lenyapnya parasit yang lemah (subordinate). Mereka menemukan bahwa Echinostoma audyi (sekarang spesies ini menurut KANEV (1994) identik dengan E. revolutum bersifat antagonis dominan terhadap larva F. gigantica (Kwo et al., 1970 ; LIE et al., 1971). Di Indonesia sifat dominan dari larva E. revolutum terhadap F. gigantica di dalam siput L. rubiginosa juga dilaporkan oleh ESTUNINGSIH (1991). Bentuk dewasa cacing E. revolutum biasa ditemukan di dalam saluran pencernaan itik clan ayam buras Lebih lanjut ESTUNINGSIH melaporkan dari hasil penelitian laboratoriumnya bahwa infeksi L. rubiginosa dengan E. revolutum mengakibatkan sterilitas dari siput yang terinfeksi, sehingga siput tersebut menurun atau bahkan berhenti memproduksi telur. Penemuan ini senada dengan pengamatan yang dilakukan oleh SLUITERS (1981) clan COMES (1982) bahwa terjadi gangguan fungsi reproduksi dari siput yang terinfeksi oleh larva trematoda. Beberapa gambaran ini lebih lanjut memperkuat dugaan tentang kemampuan dari E. revolutum sebagai agen untuk pengendalian secara biologi larva cacing F. gigantica dalam siput L. rubiginosa. Namun untuk memastikan dugaan ini perlu dilakukan uji di lapangan. Sehubungan dengan hal ini, maka penulis melakukan uji lapang pada tahun 1995 (SUHARDONO, 1997). Sebelum melaksanakan uji lapang tersebut di atas, penulis telah melakukan penelitian biologi siput L. rubiginosa clan infeksi larvae trematoda pada siput di daerah yang sama. BIOLOGI SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN INFEKSI OLEH TREMATODA LAIN Di Indonesia telah dilaporkan tentang dinamika populasi siput L. rubiginosa di beberapa habitat (SRI WIDJAJANTI, 1989 ; VAN BENTHEM JUTTING, 1956 ; SUHARDONO, 1997). Habitat yang paling cocok untuk siput tersebut adalah sawah irigasi yang ditanami padi. Habitat ini memberikan fasilitas maksimum bagi siput L. rubiginosa, antara lain : air yang selalu ada, mengalir dengan lamban, dangkal, teduh dari sinar matahari clan banyak biota lain yang hidup di situasi seperti ini. Pengamatan penulis menunjukkan bahwa populasi siput, akan naik dengan cepat pada saat padi tumbuh clan bertahan tetap tinggi hingga panen padi berakhir. Pengeringan sawah sekitar seminggu sebelum padi dipanen ticlak membunuh siput. Namun populasi siput akan cepat berkurang segera setelah panen padi selesai clan lahan clibiarkan 'bero' atau ditanami palawija. Sehingga selama musim penghujan boleh clikatakan populasi siput akan tetap tinggi. Pada musim kemarau populasi siput relatif rendah clan habitat yang cocok pada musim kemarau ini antara lain : selokan/sungai yang aliran airnya sangat pelan, daerah sekitar sumber mata air clan kolam. Dari penelitian yang dilakukan di propinsi Jawa Tengah, DIY clan Jawa Barat cliketahui bahwa angka prevalensi kejadian infeksi oleh larva F. gigantica pada siput L. rubiginosa sangat rendah (0,07 %) clan oleh trematoda lain sebesar 22 % dari 9000 lebih siput yang 1 6

3 WARTAZOA Vol. 7 No. 1 Th diperiksa (SUHARDONO et al., 1989). Hasil pengamatan penulis tentang kejadian infeksi oleh larva cacing trematoda pada siput tersebut menunjukkan tingkat prevalensi yang tidak sama di setiap habitat siput yang diambil contohnya. SUHARDONO (1997) berhasil mengidentifikasi daerah/habitat siput L. rubiginosa dengan tingkat infeksi oleh larva cacing trematoda yang berbeda-beda (Gambar 1). Dari Gambar 1 tersebut terlihat bahwa kejadian infeksi tertinggi oleh F. gigantica pada siput ditemukan pada habitat sawah/kolam yang letaknya bersebelahan dengan kandang sapi, habitat yang jaraknya < 200 meter dari pemukiman tingkat kejadiannya lebih renclah clan boleh dikatakan tidak ditemukan siput terinfeksi oleh F. gigantica pada habitat yang jaraknya > 200 meter dari pemukiman. Demikian juga infeksi oleh larvae trematoda lain pada siput yang sama tingkat kejadiannya mirip dengan hal di atas. Secara umum clapat dikatakan bahwa semakin dekat dengan pemukiman penclucluk maka tingkat infeksi larva cacing trematoda pada siput semakin tinggi. Dengan teridentifika- sinya habitat-habitat siput dengan tingkat kejadian infeksi oleh F. gigantica yang berbeda satu sama lain, maka secara teoritis kontrol biologi dengan cara antagonisme antar larva trematoda dalam siput dapat diterapkan pada salah satu habitat dengan prevalensi fasciolosis tertinggi yakni sawah/kolam yang bersebelahan dengan kandang sapi. Habitat semacam itu tidak seclikit ditemukan di pedesaan dimana populasi ternak cukup tinggi. Diperkirakan dengan menurunkan prevalensi infeksi oleh larva cacing hati pada siput di lokasi-lokasi seperti tersebut di atas clapat menurunkan tingkat pencemaran pada hijauan, yang lebih lanjut akan menurunkan kemungkinan bagi ternak untuk mendapatkan infeksi. Untuk menguji dugaan ini maka dilakukan penelitian lapangan, dimana pada sekelompok kandang sapi yang letaknya 'berdekatan' dengan sawah/kolam juga dibuat kandang itik sedemikian sehingga kotoran itik jatuh clan 'menyatu' dengan feses sapi clan akhirnya feses tersebut masuk ke dalam petak sawah tanaman padi yang sama. Uji lapang ini dilakukan pada tahun 1995 di Kecamatan Surade, Sukabumi. Prevalensi (%) 10 Kandang-Sawah Sawah <200 m SawA >200 m Habitat siput Selokan Kolam Gambar 1. Angka prevalensi infeksi larva Fasciola gigantica pada siput Lymnaea rubiginosa dari berbagai habitat 1 7

4 SuHARDoNo : Pengendafian lnfeksi Cacing Had pada Temak : Kontrol Biologi Fasciola gigantica dengan Trematoda Lain pada Siput Lymnaea Rubiginosa UJI LAPANG KONTROL BIOLOGI Dua puluh enam petak sawah yang ditanami padi, berumur antara 2-6 minggu, bersebelahan dengan kandang sapi dipakai untuk penelitian. Empat belas petak sebagai kontrol clan 11 petak lainnya sebagai perlakuan. Pada kelompok perlakuan dibuat kandang itik sedemikian rupa sehingga feses itik tersebut dapat masuk/bercampur dengan feses sapi di petak sawah tersebut. Sebanyak 10 ekor itik dibandangkan setiap malam selama penelitian berlangsung, sebelum percobaan dimulai telah diperiksa bahwa 70% dari itik-itik tersebut terinfeksi oleh cacing trematoda ; selama percobaan berlangsung juga telah diperiksa bahwa antara telur cacing trematoda pada itik ditemukan dalam feses/kandang/malam. Sedang telur cacing hati yang ada pada feses sapi sekitar butir/kandang/malam. Selama padi tumbuh hingga panen, feses yang berasal dari kedua jenis ternak tersebut masuk ke sawah. Telur-telur cacing trematoda tersebut akan menetas clan menemukan siput di sawah tersebut. Tabel 1. Tingkat prevalensi infeksi oleh larvae trematoda pada siput Lymnaea rubiginosa pada kedua kelompok petak sawah tanaman padi Larvae Trematoda Tingkat prevalensi (%) Kontrol Perlakuan F. gigantica 1,75 0,18 Echinostoma 11,2 46,73 Furcocercous 0,19 4,93 Negatif 86,86 48,16 10,179* 5,641* = Jumlah siput L. rubiginosa diperiksa Sumber : SUHARDONO, 1997 Selama penelitian berlangsung ada beberapa ekor itik yang mati/hilang, sehingga rata-rata akhir dari itik yang ada di masing-masing kelompok perlakuan tinggal 8 ekor, terrenclah 5 ekor clan tertinggi 10 ekor. Waktu sekitar padi dipanen, siput L. rubiginosa pada petak sawah diambil semua baik di kelompok kontrol maupun perlakuan. Hasil pemeriksaan siput L. rubiginosa terhadap adanya infeksi larvae cacing trematoda disajikan dalam Tabel 1. Dari Tabel 1 tersebut terlihat bahwa tingkat infeksi oleh larva F. gigantica pada siput yang diambil dari petakpetak perlakuan (0,18 %) 10 kali lebih renclah (P<0,00) dibandingkan pada kelompok kontrol (1,75 %). Sebaliknya, tingkat infeksi pada siput oleh larvae trematoda lain (Echinostoma clan Furcocercous) pada kelompok perlakuan lebih tinggi (46,73%) dibanding pada kelompok kontrol (11,2 %) (P<0,01). Terjadi penurunan (P<0,05) jumlah siput yang ticlak terinfeksi oleh larvae cacing trematoda pada kelompok perlakuan (48,16 %) dibandingkan pada kelompok kontrol (86,86 %). Penjelasan dari penurunan kejadian infeksi oleh larva F. gigantica pada siput L. rubiginosa adalah sebagai berikut : Pengandangan itik yang secara alami terinfeksi oleh cacing trematoda memungkinkan masuknya feses itik clan sapi secara bersamaan ke sawah tanaman padi dimana banyak ditemukan siput di sini. Selanjutnya terjadi kompetisi antara larva yang menetas dari telur-telur cacing trematoda yang berasal dari itik clan dari sapi didalam menggunakan siput L. rubiginosa sebagai incluk semang antara. Dari Tabel 1 di atas terlihat jelas bahwa derajad infeksi larvae trematoda lain (Echinostoma clan Furcocercous) dalam siput meningkat. Kenaikan tingkat infeksi ini dapat terjadi karena sifat dominan dari larvae cacing tersebut, namun mungkin juga clibarengi dengan kecepatan pertumbuhan larva yang lebih tinggi (khususnya larva Furcocercous) bila dibandingkan dengan pertumbuhan larva F. gigantica. Dengan demikian, hasil penelitian laboratorium yang dilakukan oleh ESTUNINGSIH (1991) tentang antagonisme antar larvae trematoda pada siput terbukti pada penelitian ini. Namun berclasarkan jumlah populasi siput yang ada di petak sawah dimana penelitian dilakukan, pengaruh sterilisasi dari siput yang terinfeksi oleh E. revolutum (ESTUNINGSIH, 1991 ; SLUITERS et al., 1980 ; SLUITERS, 1981) ticlak terlihat dalam penelitian ini (P>0,05). Hal ini erat sekali dengan sifat biologi dari siput yang mempunyai kemampuan berreproduksi sangat besar, jumlah siput yang terinfeksi oleh larvae cacing trematoda kurang dari setengahnya sedangkan sisanya bebas dari infeksi, sehingga secara keseluruhan populasi siput yang ada di petak sawah tempat penelitian ticlak terlihat adanya perbeclaan populasi. Dengan demikian pemanfaatan parasit trematoda pada unggas sebagai agen biologik untuk pengendalian fasciolosis hanya clitekankan pada daerah-daerah dimana terjadi derajad infeksi yang tinggi oleh larva F. gigantica pada siput L. rubiginosa, misalnya pada sawah tanaman padi 1 8

5 WARTAZOA Vol. 7 No. 1 Th atau kolam yang bersebelahan dengan kandang sapi/ kerbau. Kontrol biologi yang ditawarkan ini bukan untuk menurunkan populasi siput L. rubiginosa melainkan menekan derajad infeksi oleh larva F. gigantica pada siput tersebut. APLIKASI KONTROL BIOLOGI Kontrol biologi terhadap fasciolosis dapat diterapkan di daerah dimana penanaman padi dilakukan baik secara intensif maupun semi intensif, ternak khususnya sapi dan kerbau berperan utama sebagai sumber tenaga kerja untuk mengolah sawah, dan unggas (khususnya unggas air) dipelihara secara ekstensif. Lingkungan seperti tersebut di atas banyak tersebar di pedesaan. Apabila unggas air (misalnya itik) tidak/ jarang dipelihara di suatu daerah yang diduga merupakan daerah endemik fasciolosis, maka itik dapat diintroduksi di daerah tersebut dengan tata laksana pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif atau semi intensif. Sehingga introduksi itik tersebut berperan ganda, yaitu membantu mengendalikan kasus fasciolosis pada ternak dan menambah sumber pendapatan bagi peternak. Kontrol biologi terhadap fasciolosis ini dapat tercapai dengan mengandangkan itik sekitar 5-10 ekor, yang merupakan jumlah yang dapat dipelihara oleh petani hampir tanpa memberikan pakan tambahan kecuali sisa-sisa dapur dan makanan yang diperoleh pada saat dilepas. Ada sedikit perubahan yang harus dilakukan dari tatalaksana sistem pengandangan itik yang sebelumnya, yakni dengan memindahkan kandang itik ke tempat yang bersebelahan dengan kandang sapi. Cara lainya yaitu dengan mengumpulkan feses itik kemudian dicampurkan dengan feses sapi yang akan dipakai sebagai pupuk tanaman padi. KESIMPULAN Dengan diidentifikasinya daerah-daerah sumber siput L. rubiginosa dengan tingkat prevalensi yang tinggi oleh larva casing hati maka kontrol biologi dengan cara antagonisme antar parasit dapat diaplikasikan di lapangan. Memahami sifat biologi dan daur hidup cacing hati F. gigantica dan kejadian infeksi secara alami pada itik oleh cacing trematoda lain kemudian dikaitkan dengan tatalaksana baik dalam cara bercocok tanam padi maupun cara beter- nak sapi di daerah lahan dengan sistem irigasi intensif maka peternak sapi sebaiknya juga memelihara itik dengan menempatkan kandang bersebelahan satu sama lain sedemikian sehingga feses dari kedua jenis ternak tersebut mudah bercampur. Cara beternak ini akan memberikan keuntungan bahwa fasciolosis pada sapi dapat ditekan melalui penurunan pencemaran hijauan oleh metaserkaria cacing hati, disamping itu ada keuntungan tambahan dari pemeliharaan itik itu sendiri baik berupa penghasilan maupun protein. Mekanisme kontrol biologi ini terjadi dengan oercampurnya feses sapi dan itik masuk ke sawah tanaman padi memungkinkan terjadinya kompetisi antara larva trematoda yang menetas dari telur yang ada pada feses didalam menggunakan siput L. rubiginosa sebagai induk semang antara. Kontrol biologi ini dapat diterapkan di daerah pedesaan dimana kedua jenis ternak ini sudah sejak lama ada di daerah seperti itu. Jumlah itik yang hanya berkisar antara 5-10 ekor untuk setiap keluarga pemilik sapi/kerbau tidak akan banyak mengganggu kerja tambahan bagi keluarga tersebut namun sebaliknya lebih memperkecil ternak dari kemungkinan mendapatkan infeksi cacing hati. DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS Fascioliasis in Australia. Bulletin of International Office of Epizootic87 : ANONIMOUS Data ekonomi akibat penyakit hewan Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. ANONIMOUS Dwi windu P41 (Beberapa masalah parasitosis pada hewan di Indonesia). Buku peringatan 16 tahun P41 (13 Januari Januari 1992). P41, Jakarta. BASCH, P. F The life cycle of Trichobilharzia brevis, n.sp., an avian schistosome from Malaya. Zeitschrift fur Parasitenkunde27 : BASCH, P. F., LIE, K. J. and HEYNEMAN, D Experimental double and triple infections of snails with larval trematodes. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 1 : BORAY, J. C Current status of the control of trematode infections in livestock in developing countries. Working paper for expert consultation on helminth infections of livestock in developing countries. FAO Rome pp

6 SUHARDONO Pengendalian Infeksi Cacing Hati pada Ternak : Kontrol Biologi Fasciola gigantica dengan Trematoda Lain pada Siput Lymnaea Rubiginosa COMBES, C Trematodes : antagonism between species and sterilizing effects on snails in biological control. Parasitology84 : ESTUNINGSIH, S. E Studies on trematodes infecting Lymnaea rubiginosa in West Java. M.Sc thesis, Tropical Veterinary Sciences and Agriculture, James Cook University, Townsville, Australia. FAWCETT, A. R A study of a restricted programme of strategic dosing against Fasciola hepatica with triclabendazole. The Veterinary Record Nov. : HANCOCK, R. C. G Controllin g liver-fluke. The Veterinary Record 84 : 228. KANEV, I Life-cycle, delimination and redescription of Echinostoma revolutum (Froelich, 1802) (Trematoda : Echinostomatidae). Systematic Parasitology 28 : Kwo, E. H., LIE, K. J. and Ow-Yang, C. K Predation of sporocysts of Fasciola gigantica by rediae of Echinostoma audyi. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 1 :429. LIE, K. J., BASCH, P. F. and Umathevy, T Studies on echinostomatidae (trematoda) in Malaya. XII. Antagonism between two species of echinostome trematodes in the same lymnaeid snail. The Journal of Parasitology 52 : LIE, K. J., BASCH, P. F., HEYNEMANN, D., BECK, A. J. and AUDY, J. R Implications for trematode control of interspecific larval antagonism within snail hosts. Transaction of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene 62 : LIE, K. J., Kwo, E. H. and OW-YANG, C. K Further trial to control Schistosoma spindale by trematode antagonism. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 2: LIM, H. K. and HEYNEMAN, D Intramolluscan inter-trematode antagonism : a review of factors influencing the host parasite system and its possible role in biological control. Advances in Parasitology 10: LOCKE, R. D Controlling liver-fluke. The Veterinary Record Mar :260. MURTISARI, T. and EVANS, A. J The importance of aquatic snails in the diet of fully herded ducks. Research Report 1982, Balai Penelitian Ternak Ciawi pp OVER, H. J Ecological basis of parasite control : Trematodes with special reference to fascioliasis. Veterinary Parasitology 11 : REID, J. F. S. and ARMOUR, J An economic appraisal of helminth parasites in sheep. The Veterinary Records 102:4-7. SLUITERS, J. F., BRUSAARD-WUST, C. M. and MEULEMAN, E. A The relationship between miracidial dose, production of cercariae, and reproductive activity of the host in the combination Trichobilharzia ocellata and Lymnaea stagnalis. Zeitschrift for Parasitenkunde 63: SLUITERS, J. F Development of Trichobilharzia ocellata in Lymnaea stagnalis and the effect of infection on the reproductive system of the host. Zeitschrift fur Parasitenkunde64 : SRIKITJAKARN, L Strategic treatment of Fasciola gigantica in the North-East of Thailand. Proceedings of the 5th International Conference on Livestock Production and Disease in the Tropics. Edited by M R Jaenudin, M Mahyuddin and J E Huhn, pp SRI WIDJAJANTI Studies on the biology of Lymnaea rubiginosa. M.Sc. Thesis, Tropical Veterinary Sciences and Agriculture, James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia. SRI WIDJAJANTI Ikan air tawar sebagai predator siput Lymnaea Rubiginosa. Seminar Parasitologi Nasional VI dan Konggres P41 V di Pandaan, Pasuruan, Juni STURROCK, R. F Current concept on snail control. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz Rio de Janeiro 90: SUHARDONO Epidemiology and control of fasciolosis by Fasciola gigantica in ongole cattle in West Java. Ph.D. thesis. Jame s Cook University of North Queensland, Australia. SUHARDONO, BACHRI, S. and WAHYUNING, K.S Usaha pengendalian fascioliasis secara biologis. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 11 : 6. TONGSON, M. S A national fascioliasis control program for the Philippines (A professorial lecture). The annual convention of the Veterinary Practitioners Association of the Philippines, June. pp VAN BENTHEM JUTTING, W. S. S Systemati c studies on the non-marine mollusca of the Indo- Australian archipelago. V. Critical revision of the Javanese fresh water gastropods. Treubia 23 :

7 WARTAZOA Vol. 7 No. 1 Th WILSON, R. A., SMITH, G. and THOMAS, M. R Fascioliasis. In : The population dynamic of infectious diseases : Theory and applications pp (Edited by R M Anderrson) Chapman and Hall, London, New York. WRIGHT, C. A Some views on biological control of trematode diseases. Transaction of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene 62 :

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

STUDI TENTANG PENGGUNAAN LARVA CACING ECHINOSTOMA REVOLUTUM SEBAGAI AGEN KONTROL BIOLOGIS CACING FASCIOLA GIGANTICA

STUDI TENTANG PENGGUNAAN LARVA CACING ECHINOSTOMA REVOLUTUM SEBAGAI AGEN KONTROL BIOLOGIS CACING FASCIOLA GIGANTICA STUDI TENTANG PENGGUNAAN LARVA CACING ECHINOSTOMA REVOLUTUM SEBAGAI AGEN KONTROL BIOLOGIS CACING FASCIOLA GIGANTICA SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O.

Lebih terperinci

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG Seminar Nasionai Peternakan dan Veleriner 2000 DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG SUHARDONO, Z. KOSASIH, dan SuDRAIAT Balai

Lebih terperinci

PENGAMBILANMETASERI{ARIAFASCIOLA IGANTICA PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSADI SURADE SUKABUMI JAWA BARAT

PENGAMBILANMETASERI{ARIAFASCIOLA IGANTICA PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSADI SURADE SUKABUMI JAWA BARAT PENGAMBILANMETASERI{ARIAFASCIOLA IGANTICA PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSADI SURADE SUKABUMI JAWA BARAT Suharyanta Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor RINGKASAN Pengambilan metaserkaria

Lebih terperinci

Prevalensi Larva Fasciola Gigantica pada Beberapa Jenis Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi

Prevalensi Larva Fasciola Gigantica pada Beberapa Jenis Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi e-jipbiol Vol. 2 : 8-12, Desember 2013 ISSN : 2338-1795 Prevalensi Larva Fasciola Gigantica pada Beberapa Jenis Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi Prevalence of Larval Kabupaten Sigi

Lebih terperinci

S. WIDJAJANTI. Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor Indonesia. (Diterima dewan redaksi 24 November 1997)

S. WIDJAJANTI. Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor Indonesia. (Diterima dewan redaksi 24 November 1997) ESTIMASI POPULASI SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN SIPUT AIR TAWAR LAINNYA DI SAWAH DAN KOLAM DI BOGOR, JAWA BARAT S. WIDJAJANTI Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114.

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

INTEGRASI TERNAK ITIK DENGAN SISTEM USAHATANI BERBASIS PADI DI KABUPATEN SIDRAP SULAWESI SELATAN

INTEGRASI TERNAK ITIK DENGAN SISTEM USAHATANI BERBASIS PADI DI KABUPATEN SIDRAP SULAWESI SELATAN INTEGRASI TERNAK ITIK DENGAN SISTEM USAHATANI BERBASIS PADI DI KABUPATEN SIDRAP SULAWESI SELATAN (Duck-Rice Integration in Farming System in Sidrap Regency, South Sulawesi) UMAR ABDUH, ANDI ELLA dan A.

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar sapi potong dipelihara oleh peternak hanya sebagai sambilan. Tatalaksana pemeliharaan sapi pada umumnya belum baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah

Lebih terperinci

HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA I Wayan Mathius Balai Penelitian Ternak, Bogor PENDAHULUAN Penyediaan pakan yang berkesinambungan dalam artian jumlah yang cukup clan kualitas yang baik

Lebih terperinci

FASCIOLOSIS PADA KERBAU YANG DIPELIHARA PADA LAHAN RAWA DI PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

FASCIOLOSIS PADA KERBAU YANG DIPELIHARA PADA LAHAN RAWA DI PROPINSI KALIMANTAN SELATAN Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999 FASCIOLOSIS PADA KERBAU YANG DIPELIHARA PADA LAHAN RAWA DI PROPINSI KALIMANTAN SELATAN SUHARDoNo l, S.E ESTUNINGSIH~, SRI WIDJAJANTI', L. NATALIA1, Clan J.S.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

Prevalensi Larva Echinostomatidae pada Berbagai Jenis Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi

Prevalensi Larva Echinostomatidae pada Berbagai Jenis Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi ejipbiol Vol. 2: 16, Desember 2013 ISSN : 23381795 Prevalensi Larva pada Berbagai Jenis Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi Prevalence of Larval in Different Types of Freshwater Gastropoda

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG Liver Fluke Infestation Level of Bali Cattle in Sukoharjo Sub-District Pringsewu Regency Lampung

Lebih terperinci

PENGARUH KEADAAN KERING DI DALAM AKUARIUM TERHADAP KETAHANAN HIDUP DAN REPRODUKSI SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA

PENGARUH KEADAAN KERING DI DALAM AKUARIUM TERHADAP KETAHANAN HIDUP DAN REPRODUKSI SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA PENGARUH KEADAAN KERING DI DALAM AKUARIUM TERHADAP KETAHANAN HIDUP DAN REPRODUKSI SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA S. WIDJAJANTI Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 5, Bogor 64, Indonesia

Lebih terperinci

TRIYANTINI. Balai Penelitian Temak PO Box 221, Ciawi-Bogor 16002

TRIYANTINI. Balai Penelitian Temak PO Box 221, Ciawi-Bogor 16002 PENGOLAHAN DENDENG ITIK SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN TRIYANTINI Balai Penelitian Temak PO Box 221, Ciawi-Bogor 16002 PENDAHULUAN Ternak itik cukup populer di Indonesia, banyak clibudidayakan di daerah

Lebih terperinci

Pengaruh iradiasi ultraviolet (254 nm) terhadap pelemahan kemampuan menginfeksi mirasidium Fasciola gigantica

Pengaruh iradiasi ultraviolet (254 nm) terhadap pelemahan kemampuan menginfeksi mirasidium Fasciola gigantica Pengaruh iradiasi ultraviolet (254 nm) terhadap pelemahan kemampuan menginfeksi mirasidium Fasciola gigantica Abstract Edy Riwidiharso dan Billalodin Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Diterima

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI MELALUI PENGENDALIAN PENYAKIT PARASIT DI SEKITAR SENTRA PEMBIBITAN SAPI BALI DI DESA SOBANGAN ABSTRAK

UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI MELALUI PENGENDALIAN PENYAKIT PARASIT DI SEKITAR SENTRA PEMBIBITAN SAPI BALI DI DESA SOBANGAN ABSTRAK JURNAL UDAYANA MENGABDI, VOLUME 15 NOMOR 1, JANUARI 2016 UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI MELALUI PENGENDALIAN PENYAKIT PARASIT DI SEKITAR SENTRA PEMBIBITAN SAPI BALI DI DESA SOBANGAN I.A.P.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalannya waktu. Hal ini merupakan pertanda baik khususnya untuk

BAB I PENDAHULUAN. berjalannya waktu. Hal ini merupakan pertanda baik khususnya untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesadaran masyarakat akan konsumsi ikan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini merupakan pertanda baik khususnya untuk masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 6. No. 4. Th. 21 FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE S. WIDJAJANTI, S.E. ESTUNINGSIH dan SUHARYANTA

Lebih terperinci

Prevalensi Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp) Pada Sapi Potong di Rumah Potong Pegirian Surabaya Tahun 2014

Prevalensi Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp) Pada Sapi Potong di Rumah Potong Pegirian Surabaya Tahun 2014 Artikel Ilmiah Prevalensi Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp) Pada Sapi Potong di Rumah Potong Pegirian Surabaya Tahun 2014 Marek Yohana Kurniabudhi., drh., M. Vet (12696-ET) UNIVERSITAS WIJAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam kehidupan masyarakat, sebab dapat menghasilkan berbagai macam kebutuhan hidup manusia. Pembangunan peternakan

Lebih terperinci

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION i PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN 2012 Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION 090100116 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR DAN PANJANG CACAHAN RUMPUT RAJA TERHADAPEFISIENSI BAGIANYANGTERMAI{AN DOMBA DEWASA

PENGARUH UMUR DAN PANJANG CACAHAN RUMPUT RAJA TERHADAPEFISIENSI BAGIANYANGTERMAI{AN DOMBA DEWASA PENGARUH UMUR DAN PANJANG CACAHAN RUMPUT RAJA TERHADAPEFISIENSI BAGIANYANGTERMAI{AN DOMBA DEWASA Bambang Kushartono, Nani Iriani clan Gunawan Balai Penelitian Ternak, Po Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Keterbatasan

Lebih terperinci

Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba

Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba JITV Vol. 9 No. 3 Th. 24 Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba S. WIDJAJANTI 1, S.E. ESTUNINGSIH 1, SUBANDRIYO 2, D. PIEDRAFITA 3 dan

Lebih terperinci

DAYA SAING SIPUT THIARA SCABRA DAN PHYSA DOOM TERHADAP SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DI LABORATORIUM

DAYA SAING SIPUT THIARA SCABRA DAN PHYSA DOOM TERHADAP SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DI LABORATORIUM DAYA SAING SIPUT THIARA SCABRA DAN PHYSA DOOM TERHADAP SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DI LABORATORIUM SARwrrRI ENDAH ESTuNINGSIH Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan meningkatnya kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Salah satu produk hasil peternakan yang paling disukai

Lebih terperinci

TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR

TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR ISSN : 0853-1943 TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR Susceptibility of Bovine and Bubalis spp on Fasciola gigantica in Lhoong Sub-District

Lebih terperinci

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO (Breeding Program of Ma Ducks in Bptu Pelaihari: Selection of Alabio Parent Stocks) A.R. SETIOKO

Lebih terperinci

Temu Teknis Fungsionol non Penelh 000 dengan dosis yang tinggi pula yaitu 40 ton pupuk kandang, 900 kg urea, 450 kg TSP dan 450 kg KCL per ha/ tahun.

Temu Teknis Fungsionol non Penelh 000 dengan dosis yang tinggi pula yaitu 40 ton pupuk kandang, 900 kg urea, 450 kg TSP dan 450 kg KCL per ha/ tahun. Temu Teknis Fungsional non Peneliti 000 PENGARUH PERBEDAAN PENGGUNAAN PUPUK TERHADAP PRODUKSI RUMPUT RAJA (Pennisetum purpurephoides) DI LAPANGAN PERCOBAAN CIAWI M. Anwar dam Bambang Kushartono Balai Peneliuian

Lebih terperinci

RINGKASAN PENDAHULUAN

RINGKASAN PENDAHULUAN POTENSI SUSU KAMBING SEBAGAI OBAT DAN SUMBER PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN GIZI PETANI ATMIYATI Balai Penelitian Terak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Pengembangan budidaya ternak kambing sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan makanan pada saat masa penggantian dari makanan kuning telur ke

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan makanan pada saat masa penggantian dari makanan kuning telur ke 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN Budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. Hal ini terjadi karena tingginya tingkat kematian dari larva

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN

STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN H. MASNGUT IMAM S. Praktisi Bidang Peternakan dan Pertanian, Blitar, Jawa Timur PENDAHULUAN Pembangunan pertanian berbasis sektor peternakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi

Lebih terperinci

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL ZAENAL KOSASIH Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 RINGKASAN Parasit cacing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan mengakibatkan kebutuhan permintaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satu ternak penghasil daging yang sifatnya jinak dan kuat tetapi produktivitasnya

PENDAHULUAN. satu ternak penghasil daging yang sifatnya jinak dan kuat tetapi produktivitasnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang beberapa puluh tahun terakhir populasinya menurun dan tergantikan oleh sapi. Kerbau merupakan salah satu ternak penghasil

Lebih terperinci

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu : PROJECT DIGEST NAMA CLUSTER : Ternak Sapi JUDUL KEGIATAN : DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI pembibitan menghasilkan sapi bakalan super (bobot lahir > 12 kg DI LOKASI PRIMA TANI KABUPATEN TTU PENANGGUNG JAWAB

Lebih terperinci

TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG Infestation Rate of The Digestive Fluke on Bali Cattle in Sub-district Pringsewu District

Lebih terperinci

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA 825 Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap... (Moch. Nurdin) PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA Mochamad

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung PREVALENSI NEMATODA GASTROINTESTINAL AT SAPI BALI IN SENTRA PEMBIBITAN DESA SOBANGAN, MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

Prevalensi Penyakit Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) dan Sapi Simental di Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan

Prevalensi Penyakit Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) dan Sapi Simental di Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan Veterinaria Medika Vol 7, No. 1, Pebruari 2014 Prevalensi Penyakit Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) dan Sapi Simental di Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan Prevalence of

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi perikanan cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi Jawa Barat pada tahun 2010 terhadap

Lebih terperinci

STRATEGI PENANGGULANGAN PENYAKIT CACINGPADA TERNAK DOMBAMELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF DI KABUPATENPURWAKARTA

STRATEGI PENANGGULANGAN PENYAKIT CACINGPADA TERNAK DOMBAMELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF DI KABUPATENPURWAKARTA STRATEGI PENANGGULANGAN PENYAKIT CACINGPADA TERNAK DOMBAMELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF DI KABUPATENPURWAKARTA Siti Aminah Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Infestasi cacing dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

Persentase positif

Persentase positif ISSN : 1411-8327 Kecacingan Trematoda pada Badak Jawa dan Banteng Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon PREVALENCE OF TREMATODES IN JAVAN RHINOCROS AND BANTENG AT UJUNG KULON NATIONAL PARK Risa Tiuria 1,

Lebih terperinci

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Novese Tantri 1, Tri Rima Setyawati 1, Siti Khotimah 1 1 Program Studi

Lebih terperinci

BEBERAPA MASALAH KESEHATAN TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA DI LAHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN

BEBERAPA MASALAH KESEHATAN TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA DI LAHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN BEBERAPA MASALAH KESEHATAN TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA DI LAHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN SUHARDONO Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia ABSTRAK Populasi

Lebih terperinci

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI Pita Sudrajad, Muryanto, dan A.C. Kusumasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah E-mail: pitosudrajad@gmail.com Abstrak Telah

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dari Afrika. Tahun 1969, ikan nila pertama kali didatangkan dari Taiwan ke Balai

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dari Afrika. Tahun 1969, ikan nila pertama kali didatangkan dari Taiwan ke Balai II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pembesaran ikan nila Ikan nila merupakan salah satu komoditi penting perikanan budidaya air tawar di Indonesia. Ikan ini bukan asli perairan Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan hijauan unggul yang digunakan sebagai pakan ternak. Produksi rumput gajah (Pannisetum purpureum

Lebih terperinci

Johanis A. Jermias; Vinni D. Tome dan Tri A. Y. Foenay. ABSTRAK

Johanis A. Jermias; Vinni D. Tome dan Tri A. Y. Foenay.    ABSTRAK PEMANFAATAN GULMA SEMAK BUNGA PUTIH (Chromolaena odorata) SEBAGAI BAHAN PEMBUAT PUPUK ORGANIK BOKHASI DALAM RANGKA MENGATASI PENYEMPITAN PADANG PEMGGEMBALAAN DAN MENCIPTAKAN PERTANIAN TERPADU BERBASIS

Lebih terperinci

Lokakarya Fungsional Non Peneiti 1997 Sistem Perkandangan 1. Dari umur sehari sampai dengan umur 2 mingggu digunakan kandang triplek + kawat ukuran 1

Lokakarya Fungsional Non Peneiti 1997 Sistem Perkandangan 1. Dari umur sehari sampai dengan umur 2 mingggu digunakan kandang triplek + kawat ukuran 1 ANALISA USAHA PENGGEMUKAN AYAM BURAS DENGAN SISTEM PEMELIHARAAN SECARA INTENSIF Erwanto Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 Bahan PENDAHULUAN Ayam buras merupakan ayam lokal yang banyak

Lebih terperinci

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MH. Togatorop dan Wayan Sudana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor ABSTRAK Suatu pengkajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan menyebabkan sumber air bersih berkurang, khususnya di daerah perkotaan. Saat ini air bersih menjadi barang yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam 9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan sampai saat ini sudah semakin berkembang dan telah mencapai kemajuan yang cukup pesat. Sebenarnya, perkembangan kearah komersial

Lebih terperinci

KELULUSAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN CACING LUR Nereis sp. (POLYCHAETA, NEREIDAE) YANG DIPELIHARA PADA SUBSTRAT DAN PADAT PENEBARAN BERBEDA 1

KELULUSAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN CACING LUR Nereis sp. (POLYCHAETA, NEREIDAE) YANG DIPELIHARA PADA SUBSTRAT DAN PADAT PENEBARAN BERBEDA 1 Yuwono et al, 2000 KELULUSAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN CACING LUR Nereis sp. (POLYCHAETA, NEREIDAE) YANG DIPELIHARA PADA SUBSTRAT DAN PADAT PENEBARAN BERBEDA 1 Edy Yuwono, Asrul Sahri, Bambang Haryadi, Sugiharto

Lebih terperinci

Kepadatan dan Frekuensi Kehadiran Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi

Kepadatan dan Frekuensi Kehadiran Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi e-jipbiol Vol. 1: 57-64, Juni 2013 ISSN : 2338-1795 Kepadatan dan Frekuensi Kehadiran Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi Density and Presence Frequency of Gastropoda Freshwater in

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

I. P E N D A H U L U A N

I. P E N D A H U L U A N I. P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Ikan Gurami (Ospheronemus gouramy Lac) merupakan plasma nutfah ikan asli perairan Indonesia yang sudah menyebar ke wilayah Asia Tenggara (Badan Standarisasi

Lebih terperinci

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING Seminar Nasional Hasil Penelitian, 2016 KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING Aju Tjatur Nugroho Krisnaningsih, Mardhiyah Hayati Universitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bahan pakan sumber protein merupakan material yang sangat penting. dalam penyusunan ransum, khususnya ternak unggas. Saat ini bahan pakan

PENDAHULUAN. Bahan pakan sumber protein merupakan material yang sangat penting. dalam penyusunan ransum, khususnya ternak unggas. Saat ini bahan pakan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan pakan sumber protein merupakan material yang sangat penting dalam penyusunan ransum, khususnya ternak unggas. Saat ini bahan pakan sumber protein masih bergantung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak unggas penghasil telur, daging dan sebagai binatang kesayangan dibedakan menjadi unggas darat dan unggas air. Dari berbagai macam jenis unggas air yang ada di Indonesia,

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal.  [20 Pebruari 2009] I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dengan kondisi daratan yang subur dan iklim yang menguntungkan. Pertanian menjadi sumber mata pencaharian sebagian penduduk dan berkontribusi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis jenis hewan ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia lainnya.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING S. SOPIYANA, A.R. SETIOKO, dan M.E. YUSNANDAR Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221

Lebih terperinci

1) Staf Pengajar pada Prog. Studi. Budidaya Perairan, Fakultas

1) Staf Pengajar pada Prog. Studi. Budidaya Perairan, Fakultas Media Litbang Sulteng 2 (2) : 126 130, Desember 2009 1) Staf Pengajar pada Prog. Studi. Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu ISSN : 1979-5971 PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan

Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan PangandaranBeach http://www.pangandaranbeach.com Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan Bebek Peking adalah bebek pedaging dengan pertumbuhan sangat cepat. Karena itu usaha budidaya ternak bebek peking

Lebih terperinci

MODEL USAHA ITIK LOKAL DI D.I. YOGYAKARTA UNTUK PENUNJANG PENDAPATAN PETERNAK ABSTRAK

MODEL USAHA ITIK LOKAL DI D.I. YOGYAKARTA UNTUK PENUNJANG PENDAPATAN PETERNAK ABSTRAK Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000 MODEL USAHA ITIK LOKAL DI D.I. YOGYAKARTA UNTUK PENUNJANG PENDAPATAN PETERNAK E. JuAwNi dan SumANTo Balai Penelitian Terak P.O. Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

Lokakarya Fungsional Non Pentliti 1999 BAHAN DAN CARA KERJA Bahan Sumber informasi yang ditelaah dalam kaitan keperdulian litkayasa kepada perpustakaa

Lokakarya Fungsional Non Pentliti 1999 BAHAN DAN CARA KERJA Bahan Sumber informasi yang ditelaah dalam kaitan keperdulian litkayasa kepada perpustakaa KEBUTUHAN BAHAN PUSTAKA BAGI PARA TEKNISI LITKAYASA SEBAGAI PERTIMBANGAN PENGEMBANGAN KOLEKSI PERPUSTAKAAN TETTY SARTIKA Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Bogor 16151 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian bangsa Indonesia dan sektor peternak juga menjadi salah satu sektor yang menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ikan mas tergolong dalam jenis ikan air tawar. Ikan mas terkadang juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ikan mas tergolong dalam jenis ikan air tawar. Ikan mas terkadang juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ikan mas tergolong dalam jenis ikan air tawar. Ikan mas terkadang juga dapat ditemukan pada perairan payau atau muara sungai. Ikan mas tergolong jenis omnivora

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

KIAT PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BURAS

KIAT PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BURAS Temu Teknis Fungsional Non Peneliti 2001 KIAT PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BURAS BAMBANG KUSHARTONO Balai Penelitian Ternak, PO BOX221, Bogor 16002 RINGKASAN Ayam buras merupakan salah satu sumber protein

Lebih terperinci

TEKNIK PEMELIHARAAN DOMBA FISTULA

TEKNIK PEMELIHARAAN DOMBA FISTULA Fenni leknis Fungsionul Aon Penelln 2011= TEKNIK PEMELIHARAAN DOMBA FISTULA ROKHMAIN Balm Penelitian Ternak. PO. BOX 221 Bogor 16002 RINGKASAN I ernak bertistula pada umumm_ a tidak dapat hertahan hidup

Lebih terperinci

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n T E N T A N G P E R M A K U L T U R S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n A PA ITU P ERMAKULTUR? - MODUL 1 DESA P ERMAKULTUR Desa yang dirancang dengan Permakultur mencakup...

Lebih terperinci

DAFTAR ISI ... i... ii iii... iv... vi... vii ... ix... x

DAFTAR ISI ... i... ii iii... iv... vi... vii ... ix... x DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... i ABSTRAK... ii ABSTRACT iii UCAPAN TERIMAKASIH... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI

ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI (Oriza sativa L) DAN TERNAK ITIK PETELUR (Studi Kasus di Kelompok Mukti Tani Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Kabupaten Tasikmalaya) Oleh: Ai Indah Perwati, Dedi

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP

KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP INTENSIF SEMI INENSIF EKSTENSIF SAPI Karbohidrat yg mudah larut Hemiselulosa Selulosa Pati Volatile Vatti Acids Karbohidrat By pass

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman IV. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan HPT Jenis, produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: Iklim Tanah Spesies Pengelolaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. begitu ekonomi riil Indonesia belum benar-benar pulih, kemudian terjadi lagi

PENDAHULUAN. begitu ekonomi riil Indonesia belum benar-benar pulih, kemudian terjadi lagi PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang mengalami keterpurukan ekonomi sejak tahun 1997, setelah itu Indonesia mulai bangkit dari keterpurukan itu, namun begitu ekonomi riil Indonesia belum

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan:" Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan PURWOKERTO

bio.unsoed.ac.id HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan: Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan PURWOKERTO HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan:" Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan Alternatif Untuk Peningkatan Produksi lkan Lele Dumbo " Bagi Petani ikan Desa Pingit, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu

Lebih terperinci

Freshwater snail as intermediate host of trematode in Kalumpang Dalam and Sungai Papuyu Village, Babirik Subdistrict, Hulu Sungai Utara District

Freshwater snail as intermediate host of trematode in Kalumpang Dalam and Sungai Papuyu Village, Babirik Subdistrict, Hulu Sungai Utara District Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 5, No. 2, Desember 214 Hal : 55 - Penulis : 1. Annida 2. Paisal Korespondensi : Balai Litbang P2B2

Lebih terperinci