RE-DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR IVAN YUSFI NOOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RE-DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR IVAN YUSFI NOOR"

Transkripsi

1 RE-DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR IVAN YUSFI NOOR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 ii

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* iii Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Re-desain Konservasi Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Berbasis Perubahan Sebaran di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Ivan Yusfi Noor NIM E

4 iv RINGKASAN IVAN YUSFI NOOR. Re-desain Konservasi Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Berbasis Perubahan Sebaran di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, AGUS PRIYONO KARTONO dan DANIELLE KREB. Penelitian intensif bio-ekologi pesut mahakam (Orcaella brevirostris Gray, 1866) selama mengungkapkan bahwa di Sungai Mahakam terdapat 2 daerah utama sebaran (habitat inti/core area) populasi pesut mahakam yakni Muara Pahu Penyinggahan dan Pela Muara Kaman. Sejak tahun 2007 terlihat hal yang tidak biasa dalam sebaran pesut mahakam. Habitat inti Muara Pahu Penyinggahan yang sebelumnya diketahui mendukung sebagian besar populasi pesut mahakam, kelihatannya mulai ditinggalkan. Perubahan sebaran terdeteksi kembali di tahun 2010 pada saat monitoring populasi dilakukan. Kegiatan tersebut tidak menemukan pesut mahakam di habitat inti Muara Pahu Penyinggahan. Pesut mahakam lebih banyak berkumpul di daerah Muara Muntai hingga habitat inti Pela Muara Kaman. Penelitian disertasi ini dimaksudkan untuk mengungkap fenomena perubahan sebaran pesut mahakam dan melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Adaptasi tersebut akan berwujud penyempurnaan terhadap desain konservasi pesut mahakam. Pengungkapan fenomena perubahan tersebut mencakup hal-hal pokok seperti dinamika populasi, habitat dan lingkungan sosial-politik (kebijakan). Hal-hal pokok tersebut akan menjadi tujuan penelitian ini. Dengan demikian, rumusan dari tujuan penelitian disertasi ini adalah: 1) memprediksi kemampuan populasi pesut mahakam untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu 100 tahun ke depan; 2) menganalisis karakteristik habitat pesut mahakam; 3) menguji efektivitas koordinasi dan konsistensi kebijakan pelestarian pesut mahakam; dan 4) menyempurnakan desain konservasi pesut mahakam dengan mengakomodasi situasi terkini dari populasi, habitat pesut mahakam dan lingkungan sosial-politik yang mendukung upaya konservasinya. Studi atas populasi pesut mahakam pada tahun 2012 mengungkapkan bahwa jumlah individu pesut mahakam adalah sebanyak 92 ekor, jumlah kelahiran 5 ekor dan jumlah kematian 6 ekor. Hasil penelitian ini juga menegaskan dan memperkuat bahwa perubahan sebaran pesut telah terjadi di S. Mahakam. Pesut mahakam sudah tidak menggunakan lagi habitat inti Muara Pahu-Penyinggahan. Sekarang, pesut terkonsentrasi di habitat inti Pela-Muara Kaman. Perubahan sebaran mengindikasikan bahwa penyusutan habitat pesut mahakam telah terjadi lagi di S. Mahakam. Di tengah situasi seperti itu analisis kelangsungan hidup populasi pesut mahakam dilakukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa peluang hidup populasi pesut mahakam sampai seratus tahun ke depan kurang menggembirakan karena jumlah individunya akan terus berkurang. Satu-satunya skenario yang harus ditempuh agar populasi pesut mahakam dapat lestari seratus tahun ke depan adalah dengan cara mengurangi tingkat kematian pesut sampai angka dua individu per tahun. Itupun dengan syarat bahwa tidak ada lagi penyusutan habitat yang bisa menurunkan daya dukung dan tingkat kelahiran tetap sebesar lima individu per tahun.

5 v Jaringan kerja koordinasi untuk konservasi pesut mahakam yang mencakup 16 organisasi belum berjalan secara baik. Terdapat banyak kekosongan koordinasi di sebagian jaringan, yakni yang berkaitan dengan organisasi/aktor yang termasuk kelompok (faksi) yang bekerja di wilayah Kabupaten Kutai Barat. Kekosongan koordinasi ini terjadi bertepatan dengan mulai berlangsungnya proses pindahnya pesut dari kawasan perlindungan pesut dan habitatnya di Muara Pahu hingga berakhir sebagai fenomena perubahan sebaran pesut mahakam. Tidak ada proses koordinasi untuk merespon dan mengantisipasi proses berkurangnya pesut di Muara Pahu, oleh sebab itu kelemahan koordinasi ini memiliki kontribusi yang nyata dalam fenomena perubahan sebaran pesut mahakam. Jaringan kerja konservasi pesut mahakam secara struktur terbagi tiga bagian. Bagian-bagian ini terbentuk berdasarkan wilayah yurisdiksi (wilayah kewenangan) sehingga koordinasi terkotak-kotak dalam wilayah tersebut. Tidak ada koordinasi antara kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat untuk konservasi pesut. Secara struktural dapat dikatakan bahwa banyak potensi hubungan antar aktor/organisasi dalam jaringan koordinasi pesut mahakam yang belum terwujud. Inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang terkait konservasi pesut mahakam masih terus berlangsung. Kebijakan-kebijakan (peraturan atau keputusan) terkait konservasi pesut tidak diimplementasikan dengan sungguhsungguh. Kurangnya komunikasi/koordinasi dan alokasi sumberdaya, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa kebijakan tidak dilaksanakan secara konsisten. Inkonsistensi tersebut disebabkan kurangnya dari orang-orang di organisasi/lembaga yang terlibat dalam konservasi pesut mahakam. Penelitian ini juga mengungkap adanya inkoherensi antara strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam (SRAK Pesut) dengan rencana pembangunan (RPJM) dari kedua kabupaten yang memiliki pesut di wilayahnya ini. Inkoherensi muncul karena ada dua pendekatan atau orientasi yang berbeda. Pembangunan daerah tidak berorientasi/fokus kepada konservasi tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi. Inkonsistensi implementasi kebijakan terkait konservasi pesut mahakam adalah faktor yang berkontribusi besar terhadap munculnya permasalahanpermasalahan dalam konservasi pesut mahakam. Keduanya berakar pada kurangnya komitmen dari pihak-pihak yang bertanggungjawab atas implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Oleh sebab itu, desain konservasi pesut mahakam harus mencakup strategi atau rencana untuk menumbuhkan komitmen dari orangorang yang terlibat dalam implementasi kebijakan-kebijakan tersebut di atas. Penelitian ini, mengungkapkan bahwa re-desain konservasi pesut mahakam perlu dilakukan. Re-desain tersebut berupa: 1) penambahan kawasan perlindungan pesut di Muara Muntasi dan sekitarnya, 2) pembentukan dewan yang berfungsi memfasilitasi/memediasi kepentingan dan mengelola pengaruh setiap aktor/stakeholder yang terlibat dalam konservasi pesut, 3) pemanfaatan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus untuk konservasi pesut, 4) penegakan hukum dan membangun komitmen untuk secara konsisten melaksanakan kebijakan Kata kunci: pesut mahakam, peluang hidup populasi, perubahan sebaran, penguatan koordinasi, re-desain konservasi

6 vi SUMMARY IVAN YUSFI NOOR. Re-design of Mahakam Irrawaddy Dolphin (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Conservation Based on Distributional Changes in Mahakam River, East Kalimantan. Supervised by SAMBAS BASUNI, AGUS PRIYONO KARTONO dan DANIELLE KREB. The intensive bio-ecological research on the Mahakam dolphins (Orcaella brevirostris Gray,1866) from 1997 to 2004 revealed that there were two core habitats/core areas with high dolphin densities in the Mahakam River i.e. the MuaraPahu-Penyinggahan area and Pela-Muara Kaman area. Since 2007, there have been unusual occurrences within the distribution of the Mahakam dolphins. The core habitat of Muara Pahu-Penyinggahan, which was previously known to support a large population of Mahakam dolphins has apparently been left. The changes in distribution were also detected in 2010 when the population monitoring was conducted and no individuals were found in the Muara Pahu- Penyinggahan core habitat. The Mahakam dolphins are now more concentrated in the area of Muara Muntai and in their other core habitat, Pela-Muara Kaman. This research aimed to reveal whether the changes in distribution were persistent and to respond to this phenomenon by improving the conservation design. To predict the persistency of these changes population dynamics, habitat and socio-political environmentv(policies) were studied and formed the research goal.. Thus, the research objectives of this dissertation are as follows: 1) predicting the survival of the Mahakam dolphin population for a period of100 years, 2) analyzing the characteristics of the Mahakam dolphin habitats; 3) evaluating the effectiveness of coordination and consistency of the Mahakam dolphin conservation policies; and 4) perfecting the design of dolphin conservation to accommodate the current situation of the population, the Mahakam dolphin habitat and socio-political environment that support the conservation efforts. The research on the population of Mahakam dolphins in 2012 revealed that the individual number of Mahakam dolphins, the number of births, and the number deaths were as many as 92 individuals, 5 individuals, and6 individuals, respectively. This research also demonstrated that changes in the distribution of dolphins had occurred inmahakam River. The Mahakam dolphins do no longer live in their core habitat of PenyinggahanMuaraPahu. Currently, the dolphin habitat is concentrated in the core habitat of Pela-Muara Kaman. The changes in the distribution indicate that further shrinkage in the habitat of Mahakam dolphins has occurred Mahakam River. As a result of this, an analysis on the survival of the Mahakam dolphin population was conducted. The results of the analysis predict that the life chances of the Mahakam dolphin population in the next one hundred years are less encouraging as the number of individuals will continue to diminish. The only scenario that predicts a stable dolphin population in one hundred years is when the mortality rate of dolphins is reduced to two individuals per year with the conditions that there is no further shrinkage of habitat, which will result in the reduction of its carrying capacity, and the birth rate is maintained at five individuals per year.

7 vii Networks for coordination for dolphin conservation, which includes 16 organizations have not been effective. There has been a lack of coordination in most networks especially related to organizations/actors included in groups (factions) that work in WestKutai Regency. The lack of coordination started from the time when the dolphins moved away from their conservation area and habitat in Muara Pahu. There has been no coordination process to respond to and anticipate the reduced dolphin occurrence in Muara Pahu; Therefore, this lack of coordination has a significant contribution to the phenomenon of changes in the distribution of Mahakam dolphins. The conservation network of Mahakam dolphins is structurally divided into three parts. These sections are formed by the jurisdiction that has caused some fragments in the coordination in the region. There has been no coordination between Kutai Kartanegara and West Kutai for dolphin conservation. Structurally, it can be said that there many potential relationships between actors/organizations inside the Mahakam dolphin coordination networkt have not been materialized. Inconsistencies in the implementation of policies related to dolphin conservation have continued; moreover, policies (regulations or decisions) related to dolphin conservation have not fully been legalized yet besides the area demarcation and thus not yet implemented. Also, there are lacks of communication/coordination and allocation of resources, and the weak law enforcement shows that the policies are not enforced consistently (such as bufferzones). The inconsistencies are due to a lack of attitudes of the people in the organizations/institutions involved in the conservation of Mahakam dolphins. The research also revealed that there is incoherence between Strategies and Action Plan for Conservation of the Mahakam dolphins (SRAK Pesut) and the development plan (RPJM) of the two regencies where the dolphins live. Incoherence arises because there are two different approaches or orientations, and the regional development is not orientated toward conservation but rather toward the 'economic growth'. Inconsistencies in policy implementations related to dolphin conservation have been the major contributing factor to the emergence of problems in dolphin conservation. Both are rooted in lacks of attitudes of the parties responsible for the implementation of these policies. Therefore, the design must include the Mahakam dolphin conservation strategies or plans to change the attitudes of the people involved in the implementation of the policies mentioned above. The research based on changes in the distribution of Mahakam dolphins revealed that the redesign of dolphin conservation must be implemented in order to secure the future survival of the Mahakam dolphin population. The redesign plan should include: 1) the enlargement of protected areas of dolphin habitats in Muara Muntai and its surrounding areas; 2) the building of 'council' which serves to facilitate/mediate interests and manage the influence each actor/stakeholder involved in dolphin conservation; 3) the using of block grants and special fund allocations (DAU and DAK) for dolphin conservation; and 4) the law enforcement and building commitment to consistently implement policies. Keywords: Mahakam dolphins, probality of survival, changes in distribution, strengthening of coordination, redesign of conservation

8 viii Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 ix RE-DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR IVAN YUSFI NOOR Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1. PENDAHULUAN BOGOR 2013

10 x Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Rinekso Soekmadi, M.ForSc Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Novianto Bambang W, MSi Dr Ir Burhanuddin Masy ud, MS

11 xi

12 xii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah konservasi pesut mahakam, dengan judul Re-desain Konservasi Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Berbasis Perubahan Sebaran di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Danielle Kreb, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberi bimbingan, saran dan semangat untuk penyelesaian disertasi ini. 2. Papa (alm), Mama, Isteri (Herlina Puspa Dewi) dan Anak-ku (M. Primadevan Pascaharchana Noor), Bapak dan Ibu mertua serta seluruh keluarga (adik-adik dan kakak-adik ipar), atas segala bantuan, dukungan, doa dan kasih sayangnya. 3. Kementerian Kehutanan sebagai institusi tempat penulis bekerja yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan S3. 4. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang telah memberikan bantuan dana stimulus penelitian melalui Program Beasiswa Kaltim Cemerlang. 5. Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI) yang telah memfasilitasi kedua kegiatan survei untuk penghitungan populasi pesut mahakam serta memberikan akses terhadap database-nya. 6. PT. Gunung Bayan Pratama Coal dan Sdr. Ting Ham yang telah membantu sebagian pendanaan penelitian ini. 7. Institut Pertanian Bogor sebagai lembaga penelitian yang memfasilitasi proses pembelajaran dan penelitian penulis. 8. Laboratorium Air Pusrehut/PPHT Universitas Mulawarman yang telah membantu pengukuran dan analisis kualitas air. 9. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimanan Timur beserta jajarannya yang telah memberikan fasilitasi guna kelancaran penelitian di lapangan. 10. Semua responden yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk wawancara dan diskusi dalam rangka pengisian kuesioner penelitian. 11. Teman-teman seperjuangan: Abdul Muin, U. Mamat Rahmat, Mufti Sudibyo, Kissinger, Edi Sulistyo dan Sri Harteti 12. Sdr. Sofwan dan Reni Sri Mulyaningsih yang telah banyak membantu penulis. 13. Sdr. Acok, Udin dan Idi atas kesabaran dan bantuannya mengantar penulis menjelajahi S. Mahakam dengan ces/perahu-nya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2013 Ivan Yusfi Noor

13 xiii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Pertanyaan Penelitian (Research Questions) 2 Tujuan dan Sasaran 3 Manfaat Penelitian 4 Kebaruan (Novelty) 4 Alur Pemikiran 6 2. BIO-EKOLOGI Orcaella brevirostris: SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi 7 Sebaran 8 Kelimpahan 10 Status Perlindungan 10 Preferensi Habitat 11 Ancaman terhadap Kelestarian 12 Upaya Konservasi Jenis KELIMPAHAN DAN SEBARAN POPULASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR Pendahuluan 14 Bahan dan Metode 15 Hasil 20 Pembahasan 26 Simpulan ANALISIS KELANGSUNGAN HIDUP POPULASI: PELUANG KEPUNAHAN POPULASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Pendahuluan 31 Bahan dan Metode 32 Hasil 37 Pembahasan 39 Simpulan KARAKTERISTIK HABITAT PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR Pendahuluan 42 Bahan dan Metode 42 Hasil 47 Pembahasan 53 Simpulan 56 xv xvi xvii

14 xiv 6. KOORDINASI ANTAR ORGANISASI DALAM JARINGAN KERJA KONSERVASI PESUT MAHAKAM Pendahuluan 58 Bahan dan Metode 59 Hasil 62 Pembahasan 70 Simpulan KONSISTENSI KEBIJAKAN DALAM KONTEKS KONSERVASI PESUT MAHAKAM Pendahuluan 76 Bahan dan Metode 77 Hasil 78 Pembahasan 84 Simpulan DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI MAHAKAM Pendahuluan 87 Desain yang Ada Sekarang 88 Pertimbangan bagi Re-desain Konservasi Pesut 90 Re-desain Konservasi Pesut 94 Desain Konservasi Pesut Mahakam: Sebuah Konsep Penyempurnaan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 99 Saran-saran 99 DAFTAR PUSTAKA 101 LAMPIRAN 109

15 xv DAFTAR TABEL 3.1. Hasil uji beda dua rata-rata (z-test) jumlah individu kelompok antara hasil penelitian ini dengan Kreb (2004) Jarak jelajah harian 13 kelompok pesut yang diikuti selama 8-11 jam Hasil uji beda dua rata-rata (z test) jarak jelajah harian pesut antara penelitian ini dengan Kreb (2004) Kematian pesut mahakam sepanjang tahun Peluang kepunahan, laju pertumbuhan dan jumlah individu pesut mahakam pada berbagai skenario perkembangan populasi Variabel, metode dan alat yang digunakan untuk pengukuran parameter lingkungan dan kualitas air habitat pesut mahakam Kehadiran pesut yang terekam melalui land-base observation selama 5 hari berturut-turut pada masing-masing periode ketinggian air Tingkat signifikansi hasil uji Mann-Whitney untuk rata-rata jumlah ikan dan berat hasil tangkapan per hari dari 4 lokasi penangkapan Kepadatan/frekuensi lalu lintas sungai/perairan di S. Mahakam Hasil analisis regresi berganda (metode stepwise) terhadap variabel frekuensi keberadaan pesut dan habitat Organisasi/lembaga yang menjadi responden penelitian Organisasi/aktor penting dalam jaringan kerja konservasi pesut Posisi dan sentralitas organisasi/aktor dalam jaringam kerja konservasi pesut mahakam saat ini Sentralitas organisasi/aktor dalam jaringan kerja transaksi sumberdaya untuk konservasi pesut mahakam Tingkat kepentingan dan pengaruh organisasi dalam konservasi pesut Mahakam Kebijakan yang langsung tertuju pada spesies pesut mahakam dan fakta terkait pelaksanaan kebijakannya di lapangan Kebijakan di bidang perikanan yang erat kaitannya dengan konservasi pesut mahakam Matriks koherensi kebijakan yang menunjukkan seberapa banyak (kali) konsep dari suatu teks kebijakan tercantum dalam teks kebijakan lainnya Derajat koherensi antara berbagai rencana setelah perhitungan numerik 83

16 xvi DAFTAR GAMBAR 2.1. Lumba-lumba Irrawaddy Orcaella brevirostris (Sumber: tmsi.nus.edu.sg) Daerah sebaran lumba-lumba irrawaddy (O. Brevirostris); Sumber Jefferson et al. (2008) Sebaran lumba-lumba Irrawaddy/pesut mahakam (Orcaella brevirostris) di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur; Sebaran musiman (arsir warna hijau), sebaran yang tercatat dari tahun (arsir warna kuning) [Kreb et al. 2007] Peta lokasi penelitian (garis tebal hitam) Berbagai ciri-ciri sirip yang membedakan individu-individu pesut Mahakam Sebaran pesut mahakam tahun 2012 (arsir warna jingga); Bulatan Hitam menunjukkan dua habitat inti (core area) pesut mahakam sebelum terjadi perubahan sebaran dan perpindahan pesut dari Muara Pahu Trayek pergerakan harian 13 kelompok pesut (focal group) yang masing-masing diikuti selama 8-11 jam. Panjang setiap segmen sungai yang diwarnai belum tentu merepresentasikan panjang keseluruhan trayek pergerakan harian karena pesut bisa bergerak bolakbalik dalam segmen tersebut Prediksi perkembangan jumlah individu populasi pesut mahakam dalam 100 tahun ke depan berdasarkan 6 skenario Lokasi land-base observation dan pengamatan lalu lintas perairan (titik hijau) serta pengukuran dan pengambilan sampel kualitas air (bendera merah) Perbandingan hasil tangkapan ikan di 7 lokasi pada level air rendah dan air sedang. Gambar atas menunjukkan jumlah individu ikan yang tertangkap (ekor) dan gambar bawah menunjukkan berat (kg) ikan yang tertangkap Tanggul pembatas yang melindungi kebun kelapa sawit dari luapan air S. Kedang Pahu Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam. Jaringan kerja ini dibuat dengan hanya mempertimbangkan ada tidaknya komunikasi dan tanpa mempertimbangkan nilainya (frekuensi komunikasi Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam berdasar- Kan frekuensi koordinasi/komunikasi minimal 2 kali setahun Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam berdasarkan transaksi sumberdaya Matriks kepentingan-pengaruh dalam konservasi pesut mahakam Penangkapan ikan dengan menggunakan setrum listrik dari generator Usulan kawasan perlindungan habitat pesut Muara Muntai dan sekitarnya 96

17 xvii DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil Pengukuran dan analisis parameter kualitas air habitat pesut Mahakam Kriteria, indikator dan skor kepentingan dan pengaruh organisasi Foto-foto sirip pesut sebagai dasar identifikasi individu dalam penelitian ini 114

18 xviii

19 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Pesut mahakam adalah jenis satwaliar yang dilindungi di Indonesia (Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa). Jenis ini berada dalam kondisi sangat terancam punah karena jumlah individu dewasa diduga kurang dari 50 ekor. Oleh sebab itu, sejak tahun 2000, pesut mahakam dimasukkan ke dalam kategori critically endangered oleh Badan Konservasi Alam Dunia atau IUCN (Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008). Penghitungan populasi terakhir pada tahun 2010 menunjukkan bahwa populasi pesut mahakam diduga hanya berjumlah 91 ekor dengan kisaran = (Kreb & Susanti 2011). Saat ini, status populasi dan bio-ekologi pesut mahakam sebagian besar sudah berhasil diungkap (Kreb 2004); kawasan perlindungan habitat pesut mahakam sudah ditetapkan di salah satu habitat terpentingnya di Muara Pahu (Kreb et al. 2010); monitoring populasi secara periodik telah dilakukan (Kreb et al. 2007; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011); dan yang tidak kalah pentingnya, sejak 2008 pesut mahakam ditetapkan sebagai spesies yang menjadi fokus dan prioritas upaya konservasi jenis di Indonesia (Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional ). Sesuai arahan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/Menhut-II/2008, pelestarian spesies prioritas dilakukan berdasarkan sebuah kerangka kerja yang dinamakan strategi dan rencana aksi konservasi. Oleh sebab itu, sejak tahun 2010 telah disusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam (SRAK Pesut). SRAK Pesut tersebut berisikan visi, misi, strategi dan rencana aksi pelestarian pesut mahakam. Secara garis besar SRAK Pesut mencakup desain kawasan perlindungan bagi habitat pesut mahakam serta desain rencana, sistem dan aktivitas/kegiatan konservasi yang akan dilakukan hingga tahun Khusus untuk desain kawasan perlindungan, SRAK Pesut juga mengadopsi desain kawasan pelestarian alam habitat pesut mahakam yang telah ditetapkan Bupati Kutai Barat di wilayah Muara pahu. Pada dasarnya SRAK Pesut dibuat sebagai solusi atas berbagai permasalahan konservasi pesut mahakam yang teridentifikasi dan dihadapi hingga tahun Tetapi, sampai dengan tahun 2013, strategi dan rencana aksi ini belum dapat diimplementasikan karena proses penetapannya menjadi sebuah kebijakan masih belum selesai. Sementara itu, dinamika populasi, habitat dan lingkungan pesut terus berlangsung di S. Mahakam, dan salah satu yang terpenting adalah terjadinya fenomena perubahan sebaran pesut mahakam. Penelitian intensif bio-ekologi pesut mahakam selama mengungkapkan bahwa di S. Mahakam terdapat 2 daerah utama sebaran (habitat inti/core area) populasi pesut mahakam yakni Muara Pahu Penyinggahan dan Pela Muara Kaman (Kreb 2004; Kreb & Susanti 2008; Kreb et al. 2010). Namun demikian, habitat inti Muara Pahu Penyinggahan yang pada tahun 2005 diketahui mendukung 78% populasi pesut mahakam, sejak tahun 2007 kelihatannya mulai ditinggalkan. Pemantauan populasi tahun 2007 mencatat bahwa pada tahun

20 2 tersebut jumlah individu pesut mahakam yang tinggal di habitat inti Muara Pahu Penyinggahan menurun hingga 57% dari total populasi (Kreb & Susanti 2008). Fenomena ini juga diikuti oleh temuan kelompok besar pesut mahakam (16-18 ekor) di S. Kedang Rantau di sekitar Muara Kaman, dimana sebelumnya jumlah individu terbanyak yang pernah tercatat di tempat itu hanya 6 ekor. Gejala perubahan terdeteksi kembali di tahun 2010 saat pemantauan populasi kembali dilakukan. Pemantauan populasi pesut mahakam di tahun 2010 (Kreb & Susanti 2011) tidak menemukan pesut mahakam di habitat inti Muara Pahu Penyinggahan. Pesut mahakam saat ini cenderung lebih banyak berkumpul di daerah hilir Muara Muntai hingga habitat inti Pela Muara Kaman. Dinamika/perubahan sebaran pesut mahakam tersebut di atas diperkirakan memiliki implikasi yang luas dalam kerangka kerja pelestarian pesut mahakam dan memunculkan permasalahan baru. Implikasi dan permasalahan baru tersebut tentu saja tidak terakomodasi dalam konsep SRAK Pesut yang ada sekarang. Oleh sebab itu, melalui penelitian ini, penulis bermaksud untuk mendesain kembali (re-desain) SRAK Pesut dengan mempertimbangkan implikasi dan permasalahan yang muncul sehubungan dengan perubahan sebaran pesut di S. Mahakam tersebut. Pertanyaan Penelitian (Research Question) Daerah Muara Pahu Penyinggahan di Kabupaten Kutai Barat, yang selama ini dikenal sebagai habitat inti dan telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan bagi habitat pesut mahakam, diindikasikan tidak digunakan lagi sebagai habitat oleh pesut mahakam. Data dari serangkaian survei yang dilakukan tahun 2007 dan 2010 mengungkapkan hal tersebut. Bertitik tolak dari fenomena tersebut, pertanyaan pertama yang muncul adalah: Apakah sebaran pesut mahakam memang sudah berubah? Berbagai pertanyaan lain kemudian juga mengikuti: Apakah habitat inti Muara Pahu Penyinggahan sudah tidak penting bagi pesut mahakam? Kemana pesut mahakam-pesut mahakam berpindah? Apa penyebab pesut mahakam meninggalkan habitat intinya di Muara Pahu Penyinggahan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini. Ketika fenomena perubahan sebaran pesut terlihat di S. Mahakam, diduga telah terjadi perubahan pada habitatnya yakni perairan S. Mahakam beserta anak-anak sungainya. Kebijakan penetapan kawasan perlindungan habitat bagi pesut mahakam di wilayah perairan Kecamatan Muara Pahu merupakan kulminasi dari proses pengusulan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Berbagai lokakarya telah menghasilkan kesepahaman dan kesepakatan di antara para pihak tentang langkah atau upaya konservasi pesut mahakam, khususnya dalam konteks kawasan perlindungan. Pemerintah adalah bagian dari para pihak tersebut dan secara strategis memainkan peran yang sangat penting dalam keseluruhan proses. Tetapi, fenomena perubahan sebaran telah terjadi dan hal itu paralel dengan proses perkembangan penetapan kawasan perlindungan pesut. Dari sini muncul pertanyaan, Apakah telah terjadi inkonsistensi kebijakan pemerintah di wilayah Muara Pahu dan sekitarnya, yang ternyata tidak sejalan dengan program-program konservasi pesut yang telah disepakati? Atau, apakah ada hambatan dalam

21 3 koordinasi ketika mengimplementasikan program-program konservasi yang telah disepakati? Pertanyaan-pertanyaan di atas juga diajukan untuk jaringan kerja konservasi pesut mahakam secara keseluruhan yang mencakup dua wilayah kabupaten. Sejak tahun 2000 hingga sekarang, populasi pesut mahakam berstatus critically endangered. Jumlahnya saat ini relatif rendah yakni kurang dari 100 individu. Ancaman-ancaman yang selama ini sudah teridentifikasi seperti kematian langsung dan kerusakan/penurunan kualitas habitat, masih potensial terjadi dan menjadi tantangan terbesar pelaku konservasi pesut mahakam untuk dapat mencegah dan mengatasinya. Dengan berbagai kemungkinan timbulnya ancaman dan upaya-upaya konservasi yang dilakukan di masa depan, muncul suatu pertanyaan: Apakah dalam jangka waktu tertentu ke masa depan (misalnya 100 tahun) pesut mahakam dapat bertahan hidup? Kondisi-kondisi semacam apa yang harus dipenuhi agar pesut mahakam dapat lestari dalam jangka waktu tertentu yang diinginkan? Keputusan manajemen seperti apa yang harus diambil pengelola? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab melalui penelitian ini, khususnya dengan menerapkan Analisis Kelangsungan Hidup Populasi. Tujuan dan Sasaran Pada dasarnya kegiatan penelitian disertasi ini dimaksudkan untuk mengungkap fenomena perubahan sebaran pesut mahakam dan melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Adaptasi tersebut akan berwujud sebuah desain ulang (re-desain) bagi konservasi pesut mahakam, yang didasarkan atas sintesis dari hasil-hasil pengungkapan terhadap fenomena di atas. Pengungkapan fenomena perubahan sebaran pesut diprediksi akan mencakup hal-hal pokok seperti dinamika dalam populasi (perilaku, sebaran, demografi), habitat (kualitas, kuantitas, sebaran, nilai penting) dan lingkungan sosial-politik (kebijakan). Hal-hal pokok tersebut akan menjadi tujuan penelitian ini. Dengan demikian, rumusan dari tujuan penelitian disertasi ini adalah: 1. Memprediksi kemampuan populasi pesut mahakam untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu ke masa depan melalui penerapan Analisis Kelangsungan Hidup Populasi atau Population Viability Analysis (PVA). 2. Mengungkap karakteristik habitat yang sesuai bagi kehidupan pesut mahakam. 3. Menguji konsistensi kebijakan dan efektivitas koordinasi pelestarian pesut mahakam. 4. Menyempurnakan desain konservasi pesut mahakam dengan mengakomodasi situasi terkini dari populasi dan habitat pesut mahakam serta lingkungan sosial-politik yang mendukung upaya konservasinya. Dalam Sub Bab: Pertanyaan Penelitian (Research Question), peneliti sudah mengajukan berbagai pertanyaan terkait fenomena perubahan dan kelangsungan hidup populasi pesut mahakam. Jawaban atas petanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya adalah panduan bagi peneliti untuk mencapai keempat tujuan di atas. Oleh karena itu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian akan menjadi target/sasaran dari penelitian disertasi ini. Sasaran-sasaran tersebut adalah sebagai berikut:

22 4 1. Menghitung jumlah individu, angka kematian dan angka kelahiran pesut mahakam. 2. Mengetahui dan memetakan sebaran pesut mahakam. 3. Mengidentifikasi perubahan perilaku (pergerakan harian dan ukuran kelompok). 4. Menghitung daya dukung habitat S. Mahakam bagi pesut mahakam. 5. Melakukan PVA untuk memprakirakan kemungkinan kelangsungan hidup pesut mahakam, mengevaluasi ancaman yang dihadapi, serta meningkatkan proses pengelolaan dan pengambilan keputusan. 6. Menilai kepentingan habitat inti Muara Pahu Penyinggahan, Pela Muara Kaman dsk, dan wilayah Muara Muntai dsk yang kini diindikasikan menjadi lokasi tempat berpindahnya pesut-pesut dari Muara Pahu. 7. Mengidentifikasi faktor-faktor habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan pesut mahakam. 8. Menguji konsistensi kebijakan dan koordinasi dari para pihak terkait. 9. Menganalisis kebijakan terkait konservasi pesut mahakam. Manfaat Penelitian Penelitian/disertasi ini, terutama sekali, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengelolaan dan konservasi pesut mahakam dalam hal: 1. Memberikan landasan pemikiran dan argumentasi bagi strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam. 2. Memberikan prinsip-prinsip bagi perencanaan dan pengelolaan konservasi pesut mahakam mahakam. 3. Memberikan pedoman bagi para pihak untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi pesut mahakam. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan dalam rangka melengkapi ilmu pengetahuan tentang spesies ini dan mengupdate data dan informasi terdahulu tentang pesut mahakam mahakam. Kebaruan (Novelty) Novelty dari penelitian ini dapat dilihat dari dua segi yakni sebagai output (hasil) maupun sebagai sebuah metodologi baru. Dari segi output, novelty tersebut meliputi: 1. Dinamika bioekologi pesut mahakam yang terkait dengan fenomena perubahan sebarannya. 2. Kualitas perairan habitat pesut mahakam. Dari segi metodologi, penelitian ini menghasilkan novelty sebagai berikut: 1. Aplikasi substitusi matematis untuk menentukan daya dukung. 2. Desain konservasi dengan pendekatan multidisiplin ekologi populasi, kebijakan dan kelembagaan.

23 5 Alur Pemikiran Penelitian ini bertitik-tolak dari perubahan sebaran pesut yang terjadi di perairan S. Mahakam di Kalimantan Timur. Perubahan sebaran ini mempunyai implikasi serius. Kawasan perlindungan habitat pesut di daerah Muara Pahu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Barat dan dibangun melalui proses panjang kerjasama para pihak terancam kehilangan relevansinya dan berpeluang tidak efektif dalam pelestarian pesut mahakam. Sementara itu, kawasan perlindungan habitat pesut di Kabupaten Kutai Kartanegara yang sedang dalam proses pengusulan menjadi tidak komprehensif lagi karena (jika memang perubahan sebaran bersifat permanen) tidak mencakup perlindungan habitat di daerah sebaran barunya di kabupaten ini. Uraian di atas mengindikasikan bahwa program-program konservasi dalam pengelolaan pesut mahakam perlu dire-desain agar dapat mengakomodasi perubahan-perubahan yang terjadi. Re-desain konservasi pesut mahakam adalah suatu produk dari proses sintesis atas berbagai situasi terkini dan prediksi peluang di masa depan dari seluruh aspek yang mempengaruhi kelangsungan hidup populasi pesut mahakam. Aspek yang dimaksud disini adalah populasi, habitat dan lingkungan sosial (kebijakan). Dipandang dari aspek populasi, re-desain memerlukan informasi tentang status terkini populasi dan juga prediksi kondisi populasi dimasa depan. Informasi tersebut adalah produk dari Analisis Kelangsungan Hidup Populasi yang akan menjadi bagian penting dari penelitian ini. Keluaran lain dari proses tersebut yang akan berguna dalam menre-desain konservasi pesut mahakam adalah berbagai pilihan skenario terkait peluang hidup populasi dan risiko kepunahan Aspek penting lain yang diperlukan dalam re-desain adalah informasi tentang habitat yang menyangkut status dan kesesuaian habitat. Hal ini penting untuk diungkap karena perairan S. Mahakam yang merupakan habitat pesut bersifat dinamis. Data yang ada hingga saat ini membuktikan atau setidaknya mengindikasikan bahwa perubahan memang terjadi di habitat pesut. Bahkan, fenomena yang terjadi, yang menjadi alasan pokok dari penelitian ini, dihipotesiskan sebagai akibat dari adanya dinamika (perubahan) di habitat pesut mahakam. Dinamika juga terjadi dalam lingkungan sosial/politik yang menjadi atmosfer pengelolaan pesut mahakam. Berbagai kebijakan, yang mencakup berbagai sektor dan yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan pesut atau habitatnya, telah diterbitkan. Namun demikian, diduga ada kelemahan dalam implementasi kebijakan-kebijakan. Satu kebijakan dengan kebijakan lainnya juga berpotensi saling kontradiksi, inkonsisten atau kontraproduktif. Situasi semacam itu diduga sebagai pemicu terjadinya perubahan kondisi habitat pesut mahakam yang berujung pada munculnya fenomena perubahan sebaran. Jika skenario di atas memang benar terjadi, maka patut diduga lingkungan sosial-politik konservasi pesut mahakam sudah berubah. Dengan demikian, pertimbanganpertimbangan sosial-politik yang melandasi program-program konservasi pesut mahakam selama ini menjadi kurang relevan dengan kondisi terkini populasi,

24 6 habitat dan pengelolaan serta konservasi satwa tersebut. Di sinilah kemudian terlihat pentingnya suatu re-desain konservasi pesut mahakam. Re-desain memerlukan input berupa berbagai macam informasi yang menyangkut konsistensi kebijakan dan efektivitas koordinasi, yang kesemuanya diperoleh melalui serangkaian analisis terhadap dinamika sosial/politik yang terjadi.

25 7 2. BIO-EKOLOGI Orcaella brevirostris Gray, 1866: SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orcaella brevirostris Gray, 1866 adalah nama ilmiah yang diberikan kepada satu jenis mamalia air yang hidup di perairan pesisir tropis dan sub tropis wilayah Indo-Pasifik (Stacey & Arnold 1999). Jenis ini dikenal secara umum dengan nama Irrawaddy Dolphin (lumba-lumba Irrawaddy). Lumba-lumba Irrawaddy hidup di perairan laut, payau maupun air tawar seperti sungai atau danau, sehingga diberi julukan: facultative river dolphin (Leatherwood & Reeves 1994; Kreb 2004). Di Indonesia, masyarakat mengenalnya dengan nama pesut; nama yang diambil dan berasal dari sebutan masyarakat lokal terhadap jenis satwa ini yang hidup di perairan S. Mahakam Kalimantan Timur. Dalam Bahasa Indonesia, O. brevirostris kadang-kadang disebut dengan nama lumba-lumba air tawar, sebuah sebutan yang kurang tepat karena sesungguhnya sebagian besar populasi jenis ini adalah penghuni perairan laut pesisir. Orcaella brevirostris, secara taksonomi ditempatkan dalam Kelas Mamalia, Ordo Cetacea, Sub Ordo Odontoceti, Superfamili Delphinoidea, Famili Delphinidae, Subfamili Orcininae dan Genus Orcaella. O. brevirostris memiliki sinonim Orcaella fluminalis Anderson, Gambar 2.1. Lumba-lumba Irrawaddy Orcaella brevirostris (Sumber: Secara fisik, oleh Chakraborty & De (2007), perawakan O. brevirostris digambarkan berbentuk torpedo (Gambar 2.1). Satwa dewasa memiliki panjang tubuh bervariasi antara 1,9 m hingga 2,75 m (Marsh et al. 1989; Stacey & Arnold 1999). Pada bagian atas tubuh di belakang kepala terdapat lubang nafas yang terletak di sebelah kiri garis tengah tubuh. Warna kulit bervariasi, abu-abu terang hingga abu-abu gelap atau abu-abu kebiruan (Marsh et al. 1989). Kepala O. brevirostris berbentuk membulat dengan dahi tinggi (Stacey & Arnold 1999; Marsh et al. 1989). Garis mulut mengarah miring ke depan-bawah dari sekitar mata. Jenis satwa ini tidak memiliki paruh sebagaimana kebanyakan lumba-lumba. Lumba-lumba Irrawaddy memiliki dua sirip dada yang relatif besar dan ujungnya

26 8 membulat, sirip punggung kecil berbentuk segitiga yang terletak di belakang bagian tengah tubuh dan sirip ekor horisontal (Marsh et al. 1989). Sebaran Lumba-lumba Irrawaddy (O. brevirostris) hidup di perairan dangkal pesisir tropis dan subtropis Indo-Pasifik Barat. Sebarannya meliputi Teluk Benggala (India, Bangladesh) dan Asia Tenggara (Gambar 2.2) [Marsh et al. 1989; Stacey & Arnold 1999; Reeves et al. 2003]. Gambar 2.2. Daerah Sebaran Lumba-lumba Irrawaddy, O. brevirostris (arsir warna merah); Sumber: Jefferson et al. (2008) Di beberapa tempat dalam wilayah sebarannya, populasi kecil dari O. brevirostris hidup terisolasi di danau payau atau pedalaman sungai yang berair tawar (Stacey & Arnold 1999; Reeves et al. 2003). Dua populasi terisolasi di Danau (D.) Chilika, India (Pattnaik et al. 2007) dan D. Songkhla, Thailand (Kittiwattanawong et al. 2007). Tiga populasi sudah beradaptasi dan sepenuhnya hidup di perairan tawar sungai-sungai besar seperti S. Mahakam, Indonesia (Tas an & Leatherwood 1984; Kreb 2004), S. Ayeryarwady, Myanmar (Reeves et al. 2003; Smith & Mya 2007) dan S. Mekong, Vietnam, Laos dan Kamboja (Beasley et al. 2007; Beasley 2007; Dove et al. 2008). Di perairan Indonesia, O. brevirostris tercatat di banyak tempat: S. Mahakam, Kalimantan Timur (Tas an & Leatherwood 1984; Kreb 2004), S. Kumai, Kalimantan Tengah (Kartasana & Suwelo 1994); Segara Anakan di pantai Selatan Jawa Tengah (Morzer Bruyns 1966); Teluk Balikpapan dan Sangkulirang

27 9 serta perairan di sepanjang pesisir Kalimantan Timur (Kreb 2004); dan berbagai tempat lain di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi (Morzer Bruyns 1966). Di S. Mahakam, O. Brevirostris (nama lokal: pesut mahakam) tidak menyebar merata di seluruh bagian sungai, anak-anak sungai serta danau-danaunya. Populasi pesut mahakam umumnya terkonsentrasi di bagian tengah S. Mahakam (Gambar 2.3). Keseluruhan daerah sebaran historis pesut mahakam mencakup: 1) alur Sungai Mahakam antara Loa Kulu di bagian hilir (± 90 km dari muara) dan Burit Halau (Long Bagun) di bagian hulu (± 600 km dari muara); 2) danau-danau Mahakam seperti D. Semayang, D. Melintang dan D. Jempang; serta 3) anak-anak sungainya seperti S. Kedang Rantau (sampai sejauh Sedulang), S. Kedang Kepala (hingga Muara Ancalong), S. Belayan, S. Kedang Pahu (sampai sejauh Damai) dan S. Ratah hingga sejauh 100 km ke arah hulunya [Kreb 2004]. Gambar 2.3. Sebaran Lumba-lumba Irrawaddy/Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur; Sebaran musiman (arsir warna hijau), sebaran yang tercatat dari tahun (arsir warna kuning) (Kreb et al., 2007). Penelitian intensif bio-ekologi pesut mahakam selama mengungkapkan bahwa di S. Mahakam terdapat 2 habitat inti (core area) populasi pesut yakni Muara Pahu Penyinggahan dan Pela Muara Kaman (Kreb & Susanti 2008; Kreb et al. 2010). Kedua wilayah sebaran utama ini merepresentasikan dua kelompok populasi yang ada. Tahun 2005 habitat utama Muara Pahu Penyinggahan dan Pela Muara Kaman mendukung masing-masing 72% dan 28% populasi pesut mahakam. Tahun 2007, proporsi itu berubah menjadi 57% dan 46% (Kreb & Susanti 2008).

28 10 Pesut mahakam diperkirakan sudah menghilang dari D. Jempang (Priyono 1993; Kreb 2004). Di sebagian besar D. Semayang dan D. Melintang, pesut mahakam juga sudah tidak terlihat ketika air rendah (Kreb et al. 2007; Kreb & Susanti 2008). Di anak-anak S. Mahakam seperti S. Kedang Rantau, S. Kedang Kepala dan S. Kedang Pahu, daerah sebaran pesut juga semakin menyusut. Dalam periode saja diperkirakan pesut mahakam telah kehilangan 15% dari wilayah jelajah historisnya (Kreb & Budiono 2005; Kreb et al. 2007). Kelimpahan Tidak ada data yang memadai mengenai kelimpahan (jumlah individu) lumba-lumba irrawaddy di seluruh wilayah sebarannya. Namun demikian, karena fokus perhatian terutama ditujukan kepada populasi-populasi air tawar di S. Mahakam, S. Ayeryarwady dan S. Mekong, kelimpahan dari daerah-daerah tersebut sudah diketahui (Smith & Mya 2007; Beasley 2007; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Selain itu, kelimpahan populasi D. Songkhla di Thailand dan D. Chilika di India (Kittiwattanawong et al. 2005; Pattnaik et al. 2005) juga telah dihitung. Di perairan S. Ayeryarwady, dua survei antara mencatat keberadaan 32 dan 56 individu (Mya & Aung 2010). Di S. Mekong, penghitungan tahun dengan menggunakan metode capture-markrecapture, menduga populasi lumba-lumba Irrawaddy di sungai tersebut tinggal 70 individu dengan kisaran individu (Vibol et al. 2010). Untuk populasi di D. Chilika, dua survei di tahun 2007 dan 2010 yang dilakukan dengan penghitungan serentak dari 18 perahu menghasilkan perkiraan populasi berturut-turut sebesar 135 dan 158 individu (Choudhury et al. 2010). Sementara itu, belum ada laporan tentang jumlah yang akurat tentang kelimpahan lumba-lumba Irrawaddy di D. Songkhla, Thailand. Namun demikian, survei udara yang dilakukan tahun 2004 menunjukkan bahwa populasi di D. Songkhla tidak lebih dari 20 individu (Kittiwattanawong et al. 2007). Dua survei populasi pesut di S. Mahakam telah dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 dengan menggunakan metode capture-mark-recapture Petersen dan identifikasi foto sirip punggung. Hasilnya, pada tahun 2007, jumlah populasi pesut mahakam diperkirakan 90 individu dengan kisaran ekor (Kreb & Susanti, 2008), sedangkan pada tahun 2010 jumlahnya 91 ekor dengan kisaran ekor (Kreb & Susanti 2011). Status Perlindungan Sampai tahun 1996, IUCN Redlist of Threatened Species menempatkan lumba-lumba Irrawaddy dalam kategori Data Deficient (Reeves et al. 2008). Sejak tahun 2000, dengan semakin bertambahnya informasi mengenai jenis ini, status kelangkaan keseluruhan populasinya berubah menjadi vulnerable. Status vulnerable terus bertahan ketika IUCN menerbitkan The IUCN Redlist of Threatened Species tahun 2008 (Reeves et al. 2008).

29 11 Walaupun secara keseluruhan populasi lumba-lumba Irrawaddy dimasukkan ke dalam kategori vulnerable, secara lokal terdapat populasi-populasi yang memiliki status kelangkaan berbeda. Populasi S. Mahakam memperoleh status critically endangered sejak tahun 2000 setelah penelitian yang mendalam tentang kelimpahannya di tahun (Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008). Populasi S. Mekong dan S. Ayeryarwady dimasukkan ke dalam kategori critically endangered pada tahun 2004 (Smith 2004; Smith & Beasley 2004). Status ini diberikan karena jumlah individu dewasa produktif di masing-masing populasi diduga kurang dari 50 ekor dan diperkirakan populasinya akan terus menurun akibat adanya ancaman bagi kelestariannya (Reeves et al. 2008; Jefferson et al. 2008). Dua sub populasi lain yang secara geografis terisolasi, yakni populasi D. Songkhla dan Selat Malampaya, Pelawan (Filipina), pada tahun 2004 juga dimasukkan ke dalam kategori critically endangered karena jumlahnya yang kecil dan persebarannya terbatas (Smith & Beasley 2004; Reeves et al. 2008). Populasi lumba-lumba Irrawaddy (pesut) di S. Mahakam Indonesia sudah dilindungi Pemerintah Indonesia sejak tahun 1975, melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 45/Kpts/Um/1/1975. Status perlindungan tersebut kemudian diperkuat Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sejak 2008, pesut mahakam bahkan ditetapkan sebagai spesies yang menjadi fokus dan prioritas upaya konservasi jenis di Indonesia (Peraturan Menteri Kehutanan No. 57 Tahun 2008). Preferensi Habitat Lumba-lumba Irrawaddy hidup pada berbagai macam habitat: laut pesisir, estuari/muara sungai berair payau, danau/laguna berair payau dan sungai/danau air tawar (Marsh et al. 1989; Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007). Keberadaan lumba-lumba Irrawaddy di suatu tempat sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan. Areal-areal yang menyediakan habitat bagi sejumlah besar ikan dan hewan air lainnya pada umumnya menjadi tempat-tempat yang disukai oleh lumbalumba Irrawaddy/pesut karena di tempat semacam itulah pakan bagi satwa ini melimpah (Kreb & Budiono 2005; Beasley et al. 2007). Lumba-lumba Irrawaddy menyukai pertemuan anak sungai, cabang sungai dan belokan sungai (Stacey & Hvenegaard 2002; Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007, Reeves et al. 2008) s. Satwa ini juga menyukai badan-badan air yang dalam (Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007; Smith et al. 2009), terutama yang berada pada pertemuan arus, seperti pada muara anak-anak sungai. Pertemuan dua sungai biasanya menciptakan pusaran air kuat yang akan memerangkap ikanikan yang merupakan mangsa pesut (Kreb & Budiono 2005). Di S. Mahakam, pesut senang tinggal di perairan yang relatif dalam. Pada level air tinggi, pesut menyebar ke hampir seluruh wilayah yang dikenal sebagai daerah sebarannya, termasuk danau-danau dan anak sungai Mahakam. Saat level air rendah, pesut mahakam lebih suka berada di tempat-tempat yang memiliki kedalaman yang memadai seperti alur utama S. Mahakam (Kreb & Budiono 2005).

30 12 Di S. Mahakam, areal-areal yang diidentifikasi sebagai habitat yang disukai oleh pesut adalah: (1) Muara Pahu dan sekitarnya, (2) S. Pela yang merupakan alur sungai penghubung D. Semayang dengan S. Mahakam, (3) Muara Kaman dan sekitarnya serta 4) Muara Muntai dan sekitarnya. Keempat lokasi ini merupakan tempat pertemuan anak sungai-anak sungai dengan alur utama S. Mahakam. Di samping itu, anak-anak sungai tersebut merupakan akses keluarnya ikan dari rawa-rawa dan danau yang merupakan tempat berkembangbiaknya (Kreb & Budiono 2005). Ancaman Terhadap Kelestarian Populasi lumba-lumba Irrawaddy (O. brevirostris) yang hidup di perairan tawar dan payau sedang terancam punah. Berbagai ancaman dihadapi oleh populasi-populasi yang hidup di S. Mahakam, S. Ayeyarwady, S. Mekong, D. Songkhla dan D. Chilika. Satu populasi laut yang terisolasi di Selat Malampaya Pelawan Filipina juga terancam punah (Reeves et al. 2003; Smith et al. 2003; Smith et al. 2007). Ancaman paling utama yang dihadapi lumba-lumba Irrawaddy yang terdapat di perairan tawar adalah kematian akibat terjerat jaring penangkap ikan/ jaring insang atau gillnet (Reeves et al. 2003; Smith et al. 2003). Beasley et al. (2007) menyatakan bahwa 87% kematian yang terjadi setiap tahun di S. Mekong Kamboja pada periode adalah akibat terperangkap di jaring semacam itu. Sedangkan di S. Mahakam, angkanya adalah 66% dari kematian pesut per tahun (Kreb et al. 2007). Pesut memang sering ditemukan sedang mencari makan di dekat jaring. Beberapa nelayan bahkan menggunakan pola mencari makan pesut sebagai indikator waktu dan lokasi untuk memasang jaring, sehingga resiko pesut terperangkap jaring semakin meningkat (Kreb & Susanti 2008). Ancaman kematian lain datang dari kecelakaan akibat tertabrak alat transportasi sungai (Reeves et al. 2008). Di S. Mahakam kematian akibat tertabrak speed-boat adalah 4% dari seluruh kematian yang terjadi dari tahun (Kreb & Susanti 2008). Kematian sebelum atau saat dilahirkan dan akibat pembunuhan masing-masing terhitung sekitar 8% dari semua kasus kematian yang tercatat; kasus pembunuhan kebanyakan terjadi di daerah yang terisolasi dimana jarang ditemui lumba-lumba (Kreb & Susanti 2008). Di S. Mahakam dan S. Ayeyarwady, ancaman juga terjadi dari aktivitas penangkapan ikan ilegal dengan menggunakan listrik (penyetruman), racun dan jaring pukat (Smith & Mya 2007; Kreb & Susanti 2008). Teknik penangkapan ikan yang tidak selektif ini menyebabkan berkurangnya ikan yang menjadi pakan lumba-lumba Irrawaddy/pesut (Smith et al. 2007). Di samping itu, ancaman muncul dari kehilangan dan degradasi habitat. Ancaman ini muncul akibat pembangunan dam, penambangan emas dan batubara, sedimentasi sebagai akibat dari penebangan hutan di daerah tangkapan air, polusi kimiawi dari perkebunan dalam skala besar seperti kelapa sawit dan penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam kegiatan pertambangan (Smith & Mya 2007; Beasley et al. 2007; Reeves et al. 2008; Kreb & Susanti 2008; Kreb et al. 2010).

31 13 Upaya Konservasi Jenis Secara global, salah satu langkah terpenting dalam upaya konservasi jenis O. brevirostris adalah memberinya status vulnerable atau rentan (Reeves et al. 2008) untuk mengingatkan dunia bahwa jenis ini sedang menghadapi risiko kepunahan yang tinggi di alam. Tiga populasi air tawar di S. Mahakam, S. Ayeryarwady dan S. Mekong, serta populasi air payau dan laut masing-masing di D. Songkhla dan Selat Malampaya bahkan sudah diberi status critically endangered atau sangat terancam punah (Smith 2004; Smith & Beasley 2004; Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008; Reeves et al. 2008). Status kelangkaan bagi lumba-lumba Irrawaddy tersebut di atas ditentukan melalui serangkaian upaya survei sistematis di tiap-tiap lokasi sebarannya. Sebagai konsekuensi dari status tersebut, berbagai strategi dan aksi telah direncanakan dan dilakukan. Salah satunya adalah upaya untuk mewujudkan kawasan perlindungan bagi populasi dan habitat satwa ini (Kreb et al. 2010). Di S. Ayeryarwady, Myanmar, satu kawasan perlindungan bagi O. brevirostris sudah ditetapkan dan 2 lokasi lagi diusulkan untuk ditetapkan (Mya & Aung 2010). Di S. Mahakam Indonesia, satu kawasan perlindungan habitat pesut mahakam yang terletak di wilayah Muara Pahu Kabupaten Kutai Barat telah ditetapkan dengan Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor /K.471/2009 tanggal 4 Juni Sementara itu, satu lokasi kawasan perlindungan habitat pesut di Kabupaten Kutai Kartanegara sedang dalam proses penetapan. Satu lagi kawasan perlindungan bagi lumba-lumba Irrawaddy terdapat di India, yaitu di D. Chilika. Status kawasan perlindungan ini adalah Situs Ramsar (Choudhury et al. 2010). Tiga lokasi di wilayah Sundarbans Bangladesh saat ini sedang diusulkan untuk ditetapkan sebagai kawasan perlindungan (Smith et al. 2010). Selain upaya penetapan kawasan perlindungan bagi habitat dan populasi lumba-lumba Irrawaddy, berbagai langkah atau aksi telah disepakati oleh para penggiat konservasi jenis lumba-lumba ini (Smith & Reeves 2000; Kreb et al. 2010) yakni: 1. Mendorong masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pengelolaan. 2. Memastikan agar pemanfaatan sumber daya perairan dan hutan tepian sungai berkelanjutan dan menguntungkan bagi masyarakat setempat. 3. Melarang dan menerapkan peraturan pelarangan penggunaan metode penangkapan ikan yang tidak selektif, termasuk rengge, rawai, bom ikan, racun, dan setrum. 4. Melaksanakan program pendidikan lingkungan, dengan fokus utama pada jenis perairan dan menjelaskan alasan pembentukan kawasan perlindungan. 5. Memastikan pelaksanaan undang-undang dan peraturan perlindungan cetacea (dan satwa lain) yang menjadi tujuan pembentukan kawasan perlindungan. 6. Pemantauan kualitas air dan menerapkan standar resmi. Mengatur penggunaan kapal bermotor, bahkan untuk kegiatan pelaksanaan undang-undang dan monitoring, karena dapat membahayakan cetacea dan satwa perairan lainnya.

32 14 3. KELIMPAHAN DAN SEBARAN POPULASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray. 1866) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR Pendahuluan Lumba-lumba Irrawaddy (Orcaella brevirostris Gray, 1866) yang hidup di perairan tawar sedang terancam punah karena populasinya yang kecil dan terisolasi, menghadapi berbagai macam tekanan yang mengancam kelestariannya (Reeves et al. 2003; Smith et al. 2003; Smith et al. 2007). Oleh karena itu, tiga populasi air tawar dari lumba-lumba ini sekarang berstatus critically endangered atau sangat terancam punah (Smith 2004; Smith & Beasley 2004; Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008; Reeves et al. 2008). Ketiga populasi tersebut adalah populasi S. Mahakam di Kalimantan, populasi S. Ayeryarwady di Myanmar dan populasi S. Mekong di Kamboja. Populasi lumba-lumba Irrawaddy di S. Mahakam Indonesia (pesut mahakam) sudah dilindungi Pemerintah Indonesia sejak tahun 1975, melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 45/Kpts/Um/1/1975. Status perlindungan tersebut kemudian diperkuat melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pemberian status kelangkaan dan perlindungan terhadap pesut mahakam telah menyebabkan perhatian dan upaya-upaya konservasi jenis ini mengalami peningkatan. Jika pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an sangat memprihatinkan, maka sejak 1997, setelah serangkaian penelitian intensif dilakukan (Kreb 2004), perhatian dan upaya konservasi terhadap populasi pesut mahakam meningkat secara signifikan. Saat ini, status populasi dan bio-ekologi pesut mahakam sebagian besar sudah berhasil diungkap (Kreb 2004); kawasan perlindungan habitat pesut mahakam sudah ditetapkan di salah satu habitat terpentingnya di Muara Pahu (Kreb et al. 2010); monitoring populasi secara periodik telah dapat dilakukan (Kreb et al. 2007; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011); dan yang tidak kalah pentingnya, sejak 2008 pesut mahakam ditetapkan sebagai spesies yang menjadi fokus dan prioritas upaya konservasi jenis di Indonesia (Peraturan Menteri Kehutanan No. 57 Tahun 2008). Pengelolaan populasi dan habitat secara intensif merupakan keharusan ketika suatu spesies mendapat prioritas untuk dilestarikan (Lamb et al. 2008). Dalam konteks pengelolaan yang intensif, pemahaman atas dinamika populasi menjadi sangat penting (Beasley 2007) untuk membantu pengelola keputusan yang tepat. Salah satu aspek populasi yang penting diketahui dan perlu diungkap paling dulu adalah jumlah individu atau kelimpahan populasi (Campbell 2002; Corkeron 2011). Kelimpahan populasi dari waktu-ke-waktu dapat menggambarkan kondisi habitat dan kecenderungan perkembangan populasi yang berguna bagi pengelola untuk membuat strategi pengelolaan (Gerber & Hatch 2002). Perkembangan populasi juga dipengaruhi oleh kelahiran dan kematian anggota populasi. Oleh karena itu, jumlah individu yang lahir dan mati juga sangat penting diketahui.

33 15 Penghitungan jumlah individu pesut mahakam yang akurat dan dapat dipercaya telah dilakukan pada tahun-tahun 2005, 2007 dan 2010 (Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Hasilnya berturut-turut adalah 89, 90 dan 91 individu. Sejak tahun 1995 hingga tahun 2011 terjadi kematian sebanyak 71 individu dengan rata-rata 4 individu per tahun. Sedangkan, kisaran jumlah individu yang lahir per tahunnya adalah 5-6 individu (Kreb 2004; Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011) Tahun 2012, melalui penelitian ini, telah dilakukan kegiatan survei populasi untuk menduga jumlah individu, angka kelahiran dan kematian terkini pesut di S. Mahakam. Angka-angka parameter populasi tersebut selanjutnya digunakan dalam Analisis Kelangsungan Hidup Populasi untuk memprediksi peluang kepunahan/kelestarian pesut mahakam di masa depan dan membuat rencanarencana untuk pengelolaan populasi dan habitatnya. Suatu fenomena telah terjadi di S. Mahakam. Pesut mahakam kini sulit dan jarang dijumpai di daerah Muara Pahu Penyinggahan (Kreb & Noor 2012), padahal daerah yang berada di Kabupaten Kutai Barat ini dikenal sebagai habitat inti (core area) pesut mahakam (Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Fenomena ini telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah telah terjadi perubahan dalam sebaran pesut mahakam? atau Kemana pesut mahakam-pesut mahakam tersebut pindah? Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan itu, penelitian terhadap sebaran populasi pesut mahakam dilakukan. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Identifikasi individu pesut dilakukan berdasarkan analisis foto sirip punggung. Oleh sebab itu, foto sirip punggung merupakan bahan yang sangat vital bagi penelitian ini. Pengambilan foto sirip dilakukan dengan menggunakan 3 buah kamera digital: Nikon D700s + Lensa 300mm/f4.0, Nikon D70s + Lensa70-300mm/f4-5.6 dan Nikon D300 + Lensa mm/f Ketiga kamera tersebut dioperasikan oleh 3 orang yang berbeda. Alat lain yang sangat penting bagi penelitian ini adalah ces/ketinting yaitu perahu kecil yang dilengkapi mesin tempel berkekuatan 18 dan 20 PK. Penelitian ini juga menggunakan teropong binokuler dan GPS. Teropong binokuler Fujinon 7 X 50 dan Nikon 12 X 25 digunakan dalam proses pengamatan/pencarian pesut, sedangkan GPS 60 Garmin dipakai untuk menentukan posisi perjumpaan dengan pesut, trajektori pergerakan pesut dan trayek perjalanan survei. Pengumpulan Data 1. Kelimpahan Pendugaan jumlah individu pesut mahakam tahun 2012 dilakukan dengan menggunakan metode tangkap-tandai-dan tangkap kembali berdasarkan identifikasi foto sirip punggung (Kreb et al. 2007; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Metode semacam ini telah diuji dan diterapkan pada beberapa populasi O. brevirostris seperti di S. Mahakam (Kreb 2004), S. Mekong (Beasley 2007) dan D. Chilika, India (Sutaria 2008) serta dianggap layak dan

34 16 direkomendasikan untuk digunakan menghitung dan menduga populasi pesut di S. Mahakam (Kreb et al. 2010). Pengumpulan data untuk menghitung kelimpahan pesut mahakam dilakukan dengan menelusuri alur S. Mahakam dari Muara Kaman (± 188 km dari muara) sampai Laham (± 557 km dari muara), termasuk anak-anak sungainya (S. Kedang Rantau, S. Kedang Kepala, S. Belayan, S. Pela, S. Kedang Pahu dan S. Ratah) serta danau-danaunya yakni D. Semayang dan D. Melintang (Gambar 3.1). Penelusuran sungai dilakukan dengan menggunakan perahu motor kecil (ces/ketinting) yang bergerak dengan kecepatan antara km/jam (rata-rata 13,6 km/jam). Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian (garis tebal hitam) Alur sungai yang ditelusuri ditentukan berdasarkan data perjumpaan yang berasal dari survei-survei terdahulu (Kreb & Budiono 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Individu-individu di S. Ratah tidak termasuk dalam pengamatan karena kesulitan untuk mengarungi jeram-jeram S. Ratah dalam keadaan air rendah seperti saat survei ini dilakukan. Penelusuran S. Ratah hanya dilakukan sampai Kampung Ma au (10 km dari muara S. Ratah) dan data tentang keberadaan pesut di S. Ratah diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat. Data dikumpulkan melalui 2 kali survei. Survei pertama disebut penangkapan dan survei kedua disebut penangkapan kembali. Kedua survei dilakukan pada saat kondisi/level air S. Mahakam rendah di musim kemarau. Survei pertama dilakukan pada 9-14 Juli 2012 dan survei kedua pada September Total waktu kedua survei adalah 90,9 jam dan total panjang alur sungai yang ditelusuri adalah km.

35 17 Observasi pesut pada kedua survei dilakukan oleh 3 orang pengamat. Dua pengamat memantau arah depan. Salah satunya berdiri dan menggunakan teropong binokuler. Satu pengamat lainnya, memantau arah belakang untuk memastikan tidak ada pesut yang luput dari pengamatan (Kreb 2004). Dalam setiap survei, ketika terjadi perjumpaan dengan individu/kelompok pesut, semua individu ditangkap dan ditandai dengan cara mengambil foto sirip punggungnya. Foto sirip punggung diambil secara perpendicular atau tegak lurus bidang sirip (Kreb 2004; Beasley 2007; Sutaria 2009). Proses pengambilan foto sirip dilakukan sampai semua individu diyakini telah diambil foto siripnya. Pengamatan dan pengambilan foto sirip dari setiap perjumpaan rata-rata menghabiskan waktu selama 45 menit. Keseluruhan waktu yang telah dihabiskan untuk pengamatan dan pengambilan foto sirip pada semua perjumpaan selama survei populasi ini adalah 18,2 jam. 2. Sebaran Data primer sebaran pesut diperoleh melalui kegiatan penelusuran dan pengamatan di S. Mahakam (beserta anak-anak sungai dan danaunya) selama rentang waktu Februari 2012 hingga Januari 2013, termasuk pada saat yang bersamaan dengan dua survei yang dilakukan untuk menduga kelimpahan. Total panjang alur sungai yang ditelusuri dan diamati untuk mengetahui sebaran pesut mahakam adalah 4.611,3 km. Wilayah studi sebaran pesut membentang dari Tenggarong (Kabupaten Kutai Kartanegara) di hilir hingga Laham (Kabupaten Kutai Barat) di hulu. Kegiatan penelusuran dan pengamatan selama rentang waktu tersebut di atas mencatat 134 perjumpaan dengan pesut mahakam. Setiap perjumpaan direkam posisinya dengan menggunakan GPS. Koordinat semua lokasi perjumpaan yang terekam kemudian dipetakan untuk menentukan sebaran pesut mahakam. Penelitian ini, secara khusus telah merekam trajektori dari pergerakan 13 kelompok pesut untuk mengetahui jelajah hariannya. Koordinat hasil rekaman trajektori tersebut juga digunakan untuk memetakan sebaran pesut di S. Mahakam. Untuk melengkapi peta sebaran pesut, informasi tentang perjumpaan pesut dari masyarakat, khususnya di wilayah-wilayah yang jarang/kadang-kadang dikunjungi pesut, telah dikumpulkan. 3. Ukuran Kelompok dan Jarak Jelajah Harian Ukuran kelompok adalah jumlah individu pesut mahakam yang tergabung dalam suatu kelompok. Ukuran kelompok diperoleh melalui identifikasi terhadap individu dalam kelompok-kelompok yang dijumpai selama penelitian berlangsung (Februari 2012 Januari 2013). Bahan utama bagi identifikasi individu adalah foto-foto sirip punggung yang diambil ketika terjadi perjumpaan dengan kelompok pesut. Seratus dua belas (112) kelompok telah dijumpai, baik melalui penjelajahan sungai dengan menggunakan perahu motor maupun melalui pengamatan dari pos observasi darat di 7 lokasi yakni Muara Kaman, Pela, Muara Muntai, Minta, Tering, Sebulu dan Tenggarong (lihat Land-base Observation di Bab 5). Jarak jelajah harian pesut mahakam diukur dengan mengikuti pergerakan satu kelompok pesut mahakan selama hari terang (8 11 jam) dan merekam trayek jelajahnya dengan menggunakan GPS. Pergerakan kelompok diikuti dengan

36 18 menggunakan perahu motor kecil/ces dalam jarak ± 50 m dari kelompok agar pergerakan pesut tidak terpengaruh oleh kehadiran pengamat. Kecepatan perahu motor pengamat disesuaikan dengan kecepatan pergerakan pesut. Angka Kelahiran dan Kematian Angka kelahiran pesut mahakam pada tahun 2012 diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan selama periode Februari 2012 hingga Januari Adanya pesut yang lahir diidentifikasi melalui keberadaan bayi pesut yang berumur kurang dari 1 tahun. Secara visual, kategori/kelas umur bayi untuk pesut ditentukan oleh kriteria sebagai berikut (Kreb 2004): 1) panjang tubuh kurang dari separuh (< ½) rata-rata panjang individu dewasa, 2) hampir sepanjang waktu berada dekat sekali dengan induknya, dan 3) memperlihatkan cara berenang yang masih kikuk/kaku. Jumlah pesut mahakam yang mati di tahun 2012 diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, wawacara dengan masyarakat, database Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI) serta laporan masyarakat. Informasi tentang kematian pesut yang berasal dari wawancara, hanya diperhitungkan apabila informan bisa menyebutkan secara pasti tentang lokasi, waktu dan kronologis kejadian serta saksi-saksi yang menguatkan dan dapat dilacak keberadaannya. Analisis Data 1. Identifikasi Individu Proses terpenting dalam menentukan jumlah individu yang tertangkap (baik pada survei pertama maupun kedua) adalah mengidentifikasi dan mengenali individu-individu untuk dapat membedakan satu dari yang lainnya. Identifikasi dilakukan melalui analisis dari ratusan foto sirip punggung yang diperoleh dari survei. Foto-foto yang digunakan dalam analisis adalah foto dengan kualitas tinggi yang memperlihatkan dengan jelas ciri-ciri khas sirip setiap individu (Gambar 3.2) seperti pola luka, tonjolan, lekukan, kurva dll (Kreb 2004) yang membedakannya dari individu lain. Analisis foto dilakukan oleh dua orang agar obyektivitas tetap terjaga. Untuk membantu proses identifikasi digunakan pula katalog foto individu pesut mahakam yang dimiliki oleh YK-RASI. 2. Pendugaan Jumlah Individu Populasi Pendugaan jumlah individu populasi pesut mahakam dilakukan dengan menggunakan metode Petersen yang didasarkan atas penerapan teknik tangkaptandai-tangkap kembali. Dalam konteks ini, penangkapan dan penandaan berarti mengambil foto sirip punggung pesut (=menangkap) dan mengidentifikasinya berdasarkan ciri spesifik sirip punggung (=menandai) agar bisa dibedakan dengan individu pesut lainnya. Hasil identifikasi individu memberikan keluaran berupa jumlah individu yang tertangkap /teridentifikasi pada survei pertama (n 1 ), jumlah individu yang tertangkap /teridentifikasi pada survei kedua (n 2 ), serta jumlah individu yang tertangkap pada survei pertama dan tertangkap kembali pada survei kedua (m).

37 19 Gambar 3.2. Berbagai ciri-ciri sirip yang membedakan individu-individu pesut mahakam Angka-angka tersebut kemudian dimasukkan ke dalam persamaan Chapman (eq.1) [Sutherland 2006] untuk menduga jumlah individu populasi pesut mahakam yang ada pada tahun 2012 (N). ( )( ) ( ). (eq.1) Selanjutnya, batas-batas kepercayaan terendah dan tertinggi atau selang kepercayaan 95% (CL 1,2 ) dan koefisien variabel (CV) jumlah individu dugaan dihitung dengan persamaan-persamaan matematis berikut ini:. (eq.2) ( ) ( )( ) ( ) ( ) (eq.3) dimana,

38 20 ( ) ( ) ( ) (eq.4) dan, (eq.5) 3. Analisis Sistem Informasi Geografi Sebaran pesut ditentukan berdasarkan koordinat lokasi perjumpaan dan trayek pergerakan kelompok pesut yang terekam dalam GPS. Data tersebut dianalisis dengan bantuan program komputer ArcView GIS v3.2 untuk memperoleh peta sebaran. 4. Analisis Statistik Deskriptif dan Inferensial Data jumlah individu dari semua kelompok yang dijumpai selama penelitian dan jarak pergerakan harian 13 kelompok dianalisis dengan statistik deskriptif untuk memperoleh nilai rata-rata (mean), keragaman (varian) dan simpangan baku/standar deviasinya. Nilai rata-rata jumlah individu kelompok dan jarak jelajah pesut dari dua masa yang berbeda, yakni dari periode (Kreb 2004) dan sekarang (hasil penelitian ini), dianalisis dengan uji beda dua rata-rata (z-test). Hasil Kelimpahan Survei pertama ( penangkapan ) mencatat 11 kali perjumpaan dengan kelompok pesut. Empat perjumpaan terjadi di S. Kedang Rantau, satu perjumpaan di S. Kedang Kepala dan enam perjumpaan di S. Mahakam (Muara Kaman, Kotabangun dan Sebemban). Berdasarkan foto-toto sirip diidentifikasi (ditandai) 48 individu yang berbeda. Angka 48 ini merupakan variabel n 1 dalam perhitungan pendugaan jumlah individu pesut. Survei kedua mencatat 13 perjumpaan dengan kelompok pesut. Tujuh kali perjumpaan terjadi di S. Mahakam. Perjumpaan lainnya terjadi di S. Kedang Rantau (3 perjumpaan), S. Pela (2 perjumpaan) dan S. Belayan (satu perjumpaan). Dua perjumpaan di S. Mahakam tidak berhasil memperoleh foto sirip karena pengamat kehilangan jejak kelompok ini. Namun demikian, dari 11 perjumpaan lainnya berhasil diidentifikasi (ditandai) 35 individu pesut yang berbeda. Dengan demikian, nilai bagi variabel n 2 dalam persamaan eq.1 adalah 35. Analisis silang hasil identifikasi dari kedua survei mengungkapkan bahwa ada 18 individu yang teridentifikasi (tertangkap) baik pada survei pertama maupun survei kedua. Dengan menggunakan nilai 18 untuk variabel m pada persamaan eq.1, diduga jumlah populasi pesut di S. Mahakam pada tahun 2012 adalah sebanyak 92 individu (CV = 15%; selang kepercayaan 95% = ).

39 21 Sebaran Penelitian ini mencatat 132 perjumpaan dengan pesut mahakam. Di alur utama S. Mahakam, perjumpaan terjadi antara Rantau Empang di hilir (178 km dari muara) hingga Muara Pahu di hulu (330 km dari muara) [Gambar 3.3]. Perjumpaan terbanyak (107 kali) terjadi di wilayah Pela Muara Kaman (Kabupaten Kutai Kartanegara), yang merupakan salah satu daerah utama sebaran dan core area pesut (Kreb 2004). Gambar 3.3. Sebaran pesut mahakam tahun 2012 (arsir warna jingga); Bulatan merah menunjukkan dua habitat inti (core area) pesut mahakam sebelum terjadi perubahan sebaran dan perpindahan pesut dari Muara Pahu Frekuensi perjumpaan yang cukup banyak (18 kali) di alur utama S. Mahakam juga terjadi di wilayah Muara Muntai. Daerah ini sekarang menjadi lebih sering digunakan dan ditinggali oleh pesut mahakam. Hasil wawancara dengan masyarakat di Muara Muntai dan sekitarnya mengkonfirmasi hal tersebut. Land-base observation yang dilakukan selama penelitian ini juga mengungkapkan bahwa frekuensi dan durasi perjumpaan serta jumlah individu yang terlihat di Muara Muntai, baik pada level air rendah maupun air sedang, lebih tinggi dari daerah Muara Pahu Penyinggahan (Kabupaten Kutai Barat) yang selama ini dianggap sebagai salah satu dari dua daerah sebaran utama pesut (core area). Di daerah Muara Pahu Penyinggahan sendiri, penelitian ini hanya sekali mencatat perjumpaan langsung. Beberapa perjumpaan langsung juga tercatat di Kutai Barat di daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan dengan Kutai Kartanegara seperti Loa Deras-Bakung dan Minta.

40 22 Perjumpaan dengan pesut mahakam juga sering terjadi di anak-anak S. Mahakam yang besar seperti S. Kedang Rantau, S. Kedang Kepala, S. Belayan dan S. Pela (alur sungai yang menghubungkan S. Mahakam dengan D. Semayang). Di S. Kedang Rantau, ketika permukaan air sedang, pesut mahakam bahkan bisa dijumpai di anak sungainya, yakni S. Sabintulung. Keberadaan pesut mahakam di anak-anak sungai, pada level air rendah dan sedang, umumnya tidak sampai jauh ke bagian hulu. Titik terjauh di S. Kedang Rantau dimana perjumpaan pesut tercatat pada tahun 2012 adalah Tunjungan (22,3 km dari muara). Di S. Kedang Kepala, catatan perjumpaannya adalah sampai Muara Siran (6,7 km dari muara), tempat dimana alur sungai kecil dari D. Siran bermuara. Di S. Belayan, pengamatan tahun 2012 mencatat perjumpaan terjauh adalah sekitar 13,12 km dari muaranya di S. Mahakam, yakni di satu lokasi yang berada antara Sebelimbingan dan Muhuran. Di S. Pela, pesut tercatat hingga D. Semayang (4 km). Selain perjumpaan langsung, penelitian ini juga mencatat laporan/informasi dari masyarakat tentang keberadaan pesut di luar daerah yang telah disebutkan di atas. Pada tahun 2012, pesut dilaporkan beberapa kali terlihat di Sebulu dan Tenggarong. Di tahun-tahun sebelumnya, catatan perjumpaan di daerah-daerah tersebut sangat sedikit. Pada saat level air relatif tinggi, pesut mahakam dilaporkan terlihat di Desa Semayang dan Desa Melintang. Lebih jauh ke hulu, pesut dilaporkan terlihat di sekitar Melak, Long Iram dan Laham, pada periode level air sedang di S. Mahakam. Selain perjumpaan langsung, penelitian ini juga mencatat laporan/informasi dari masyarakat tentang keberadaan pesut di luar daerah yang telah disebutkan di atas. Pada tahun 2012, pesut dilaporkan beberapa kali terlihat di Sebulu dan Tenggarong. Di tahun-tahun sebelumnya, catatan perjumpaan di daerah-daerah tersebut sangat sedikit. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat yang tinggal di S. Ratah, diduga 4-5 ekor pesut yang terperangkap di antara jeram-jeram sungai ini sejak 1998 masih berada di sana. Survei monitoring populasi pesut tahun 2007 (Kreb & Susanti 2008) mengungkapkan bahwa pesut-pesut di S. Ratah terlihat di dua tempat, yakni di lokasi yang berada 20 dan 100 km dari muaranya. Namun demikian, wawancara dengan masyarakat kampung Ma au mengungkapkan bahwa kelompok yang tadinya berada di hilir telah berpindah lebih jauh ke hulu. Untuk memperkuat dugaan tentang perubahan sebaran pesut, Land-base observation telah dilakukan di tujuh lokasi di S. Mahakam (lihat Bab 5; hasil penelitian tentang Nilai Penting Habitat). Hasil observasi tersebut mengungkapkan bahwa dalam pengamatan sepanjang siang hari ( WITA) di Muara Pahu selama 5 hari berturut-turut (55 jam) baik di level air rendah maupun sedang, hanya ada 1 perjumpaan (1 kelompok, 3 individu) yang terlihat dan teridentifikasi berada di daerah ini. Sementara itu, di daerah lainnya yakni Muara Muntai, Pela dan Muara Kaman, dalam jangka waktu pengamatan yang sama, frekuensi kemunculan pesut, berturut-turut adalah 10, 45 dan 47 kali. Ukuran Kelompok dan Jarak Jelajah Harian Seratus tiga belas (n = 113) kelompok telah dijumpai selama penelitian ini. Kelompok terkecil terdiri atas 2 individu, sedangkan yang terbesar 32 individu. Kelompok 32 individu pesut mahakam yang terlihat di S. Kedang Kepala adalah kelompok terbesar yang pernah tercatat selama ini. Rata-rata jumlah individu

41 23 kelompok pesut mahakam yang tercatat dalam penelitian ini adalah 5 individu (SD = 3.8). Tabel 3.1. Hasil uji beda dua rata-rata (z-test) jumlah individu kelompok antara hasil penelitian ini dengan Kreb (2004) Sumber n X SD var z 0 z α/2 Kreb (2004) Penelitian ini Tabel 3.1 menunjukkan bahwa rata-rata ukuran kelompok berdasarkan penelitian ini (5 individu) tidak berbeda secara signifikan dengan ukuran kelompok hasil penelitian Kreb (2004). Jadi rata-rata ukuran kelompok pesut mahakam saat ini sama dengan periode tahun Tabel 3.2. Jarak jelajah harian 13 kelompok pesut yang diikuti selama 8-11 jam No Focal Group Jarak (km) Jumlah Individu (ekor) Waktu (jam) 1 FG-1 Kedang Rantau FG-2 Kedang Rantau FG-3 Kedang Rantau - Kedang Kepala ,5 4 FG-4 Kedang Rantau - Mahakam FG-5 Kedang Rantau - Rantau Empang ,8 6 FG-6 Kedang Rantau - Pela ,3 7 FG-7 Murunan-Pela ,2 8 FG-8 Belayan-Pela ,5 9 FG-9 Bukit Jering - Pela ,6 10 FG-10 Kotabangun - Kedang Kepala ,2 11 FG-11 Muara Muntai - Sebemban FG-12 Delta Muara Muntai - Batuq ,8 13 FG-13 Delta Muara Muntai -Loa Deras ,7 Pergerakan harian tiga belas (n = 13) kelompok pesut (focal group) telah diikuti selama penelitian ini (Tabel 3.2 dan Gambar 3.4). Jarak pergerakan harian terpendek yang tercatat adalah 16, 6 km, sedangkan yang terjauh adalah km. Rata-rata jarak pergerakan adalah 27,3 km (SD = 2,5 km).

42 24 Gambar 3.4. Trayek pergerakan harian 13 kelompok pesut (focal group) yang masingmasing-masing diikuti selama 8-11 jam. Panjang setiap segmen sungai yang yang diwarnai belum tentu merepresetasikan panjang keseluruhan trayek pergerakan harian karena pesut bisa bergerak bolak-balik dalam segmen tersebut.

43 25 Jarak pergerakan rata-rata harian kelompok pesut yang diamati dalam penelitian ini ternyata lebih jauh (z = 3,18; P < 0,05) dari kelompok-kelompok yang diamati Kreb (2004) pada perioe (n = 27; jarak rata-rata = 10 km; SD = 8,6; waktu pengamatan per kelompok > 6 jam) ketika sebaran pesut masih mencakup wilayah Muara Pahu. Tabel 3.3. Hasil uji beda dua rata-rata (z-test) jarak jelajah harian pesut antara penelitian ini dengan Kreb (2004) Sumber (Sources) n X SD var z 0 z α/2 Kreb (2004) ,6 73,96 Penelitian ini 13 27,3 2,5 6,25 3, Angka Kelahiran dan Kematian Lima ekor bayi pesut tercatat selama penelitian tahun Umur individuindividu tersebut pada saat perjumpaan berkisar antara 1 bulan hingga kurang lebih satu tahun. Berdasarkan fakta tersebut sepanjang tahun 2012 jumlah pesut yang lahir diduga sebanyak 5 ekor. Tahun 2012 mencatat jumlah kematian terbesar sejak tahun 2003 yakni 6 individu (Tabel 3.4). Tiga individu diidentifikasi sebagai anak pesut (umur 1-2 tahun), dan dua individu diantaranya berkelamin betina. Penyebab kematian lima dari enam individu tersebut adalah terjerat jaring insang untuk menangkap ikan (bahasa lokal: rengge/pukat). Satu dari anak pesut betina yang mati di atas ditemukan langsung oleh peneliti di Muara Muntai. Tanda-tanda luka bekas jeratan rengge di bagian dada dan pangkal ekor menunjukkan bahwa penyebab kematiannya adalah terjerat rengge. Tiga kematian tercatat berada di Kabupaten Kutai Barat, yang berdasarkan data terakhir merupakan tempat-tempat dimana pesut mahakam sudah jarang terlihat. Tabel 3.4. Kematian pesut mahakam sepanjang tahun 2012 No. Lokasi Penemuan 1 Tenggarong 2 Muara Semayang Kelas Umur Tidak Diketahui Jenis Kelamin Tidak diketahui Penyebab Kematian terjerat rengge Anak; < 1 th. Betina terjerat rengge Keterangan Mayat pesut hanyut dari hulu dan ditemukan di Tenggarong; Sumber informasi YK-RASI Ditemukan terapung dalam keadaan mati; sumber informasi YK-RASI 3 Penyinggahan 4 Bohoq 5 Muara Muntai Tidak Diketahui Tidak Diketahui 6 Penyinggahan Anak, < 1 th Tidak diketahui Tidak diketahui terjerat rengge tidak diketahui Anak, ± 2 th. Betina terjerat rengge Tidak diketahui terjerat rengge Ditemukan terapung dalam keadaan mati; informasi pengemudi ces Mayat pesut hanyut dari hulu dan ditemukan di Bohoq (Kutai Barat); sumber informasi YK-RASI Ditemukan terapung dalam keadaan mati di tengah S. Mahakam oleh peneliti Informasi langsung dari pemasang rengge

44 26 Pembahasan Sejak tahun 2000, keseluruhan populasi lumba-lumba Irrawaddy diberi status Vulnerable. Status Vulnerable terus bertahan sampai IUCN menerbitkan The IUCN Redlist of Threatened Species tahun 2008 (Reeves et al. 2008). Walaupun secara keseluruhan populasi jenis ini dimasukkan ke dalam kategori Vulnerable, namun secara lokal ada beberapa sub populasi yang memiliki status kelangkaan berbeda. Salah satunya adalah populasi air tawar yang hidup di S. Mahakam. Populasi lumba-lumba Irrawaddy di S. Mahakam ini, yang secara lokal dikenal dengan nama pesut mahakam, sejak tahun 2000 memperoleh status Critically Endangered (Kreb & Smith 2000; Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008). Status ini diberikan karena populasi pesut mahakam memiliki kurang dari 50 individu dewasa sehingga memenuhi Kriteria D untuk Critically Endangered (Jefferson et al. 2008). Tahun 2012, populasi pesut mahakam diduga berjumlah 92 individu. Dari jumlah itu, jika proporsi individu dewasa tetap 50% (Kreb 2004), maka jumlah individu dewasa saat ini diduga hanya 46 ekor. Itu berarti bahwa populasi pesut mahakam masih memenuhi kriteria D dari IUCN. Dengan demikian status Critically Endangered masih tetap berlaku untuk populasi S. Mahakam ini. Kondisi seperti itu masih sangat mengkhawatirkan dan belum dapat memberikan optimisme akan kelangsungan hidup populasi pesut mahakam ini. Apalagi 3 survei monitoring populasi sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Hasil survei tahun 2005, 2007dan 2010 berturut-turut menduga jumlah individu pesut sebanyak 89, 90 dan 91 ekor (Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Oleh sebab itu merupakan hal yang logis apabila perkembangan populasi pesut mahakam dianggap lambat. Sejak tahun 1995, ketika jumlah kematian mulai dicatat (Kreb 2004), penurunan yang signifikan dari jumlah kematian pesut yang terdeteksi memang terjadi. Pada periode , sebelum pesut memperoleh perhatian yang serius, kematian yang terdeteksi masih berada pada tingkat rata-rata 6 individu per tahun (Kreb 2004). Setelah itu ( ), sejak penelitian intensif dilakukan (Kreb 2004) dan kampanye pelestarian digalakkan, rata-rata jumlah individu yang mati menjadi lebih sedikit yakni 3 individu per tahun. Secara keseluruhan, sejak 1995 hingga 2012, rata-rata jumlah pesut yang mati per tahun sebanyak 4 individu (Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011; Kreb & Noor 2012). Walaupun jumlah individu yang mati setiap tahun cenderung menurun, bagi populasi pesut mahakam yang relatif kecil rata-rata kematian 4 individu per tahun tetap mengkhawatirkan. Apalagi tahun 2012 mencatat jumlah kematian yang relatif banyak yakni 6 ekor dan sebagian besar (83%) diakibatkan oleh sebabsebab yang seharusnya dapat dihindari yakni terjerat jaring penangkap ikan. Jaring penangkap ikan/jaring insang (rengge/pukat) memang menjadi penyebab utama dari kematian pesut (Kreb 2004; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011; Kreb & Noor 2012). Dari 77 kematian yang diketahui penyebabnya, 66% diantaranya adalah akibat terjerat jaring penangkap ikan (jaring insang/rengge/ gillnet). Kematian akibat terjerat jaring penangkap ikan memang merupakan ancaman paling utama yang dihadapi lumba-lumba Irrawaddy yang terdapat di perairan tawar (Reeves et al. 2003; Smith et al. 2003). Beasley et al. (2007)

45 27 menyatakan bahwa 87% kematian yang terjadi setiap tahun di S. Mekong di Kamboja pada periode adalah akibat terperangkap jaring semacam itu. Kematian lumba-lumba sungai akibat terjerat jaring pada dasarnya bukanlah suatu kesengajaan, tetapi lebih merupakan kecelakaan (Culik 2004; Kreb et al. 2010). Jaring yang dipasang untuk menangkap ikan secara tidak sengaja justru menjerat pesut. Pesut yang terperangkap di jaring akan mati akibat tidak bisa ke permukaan untuk bernafas. Di berbagai tempat di mana lumba-lumba sungai hidup, penggunaan rengge memang menimbulkan dilema, khususnya dalam upaya pelestarian jenis-jenis mamalia air tersebut. Apabila penggunaannya tidak dibatasi (diatur) maka alat tangkap ini sangat potensial untuk menimbulkan kematian (Elliot et al. 2009). Sebaliknya, apabila penggunaan rengge dilarang sama sekali maka hal itu akan memutus mata pencaharian masyarakat, karena jaring/rengge tersebut merupakan salah satu alat penangkap ikan yang diandalkan nelayan untuk mencari nafkah. Tempat-tempat yang diketahui terdapat banyak ikan merupakan tempat yang umumnya dipilih masyarakat nelayan untuk memasang jala/rengge. Tempat itu pula yang disukai oleh lumba-lumba sungai (Sinha et al. 2010; Kelkar 2008), termasuk pesut (Kreb et al. 2007). Di S. Mahakam, pesut memang sering ditemukan sedang mencari makan di dekat jaring. Pesut mahakam bahkan memiliki kecenderungan untuk memangsa ikan-ikan yang terjerat di rengge (Kreb 2004). Nelayan bahkan menggunakan pola mencari makan pesut sebagai indikator waktu dan lokasi untuk memasang jaring, sehingga resiko pesut terperangkap jaring semakin meningkat (Kreb & Susanti 2008). Kehadiran pesut seringkali malah menyebabkan ikan-ikan terperangkap di rengge karena menghindar ke tepi sungai dan kebanyakan rengge dipasang di tepi sungai. Hasil pengamatan tahun 2012 memperlihatkan bahwa populasi pesut mahakam masih menunjukkan potensi perkembangan dengan adanya individuindividu baru yang lahir. Lima ekor diduga telah lahir di tahun Jumlah kelahiran yang tercatat ini masih berada pada kisaran yang sama dengan periode yakni 5 6 individu per tahun (Kreb 2004; Kreb et al. 2007). Jika angka kelahiran tersebut dibandingkan dengan angka rata-rata kematian per tahun yakni 4 individu (Kreb & Susanti 2011), maka bisa diharapkan populasi pesut mahakam akan mengalami peningkatan. Namun demikian kewaspadaan tetap diperlukan sehubungan dengan angka kematian yang cukup tinggi di tahun 2012 ini dan fakta bahwa kelimpahan populasi di tahun 2012 berada dalam kisaran yang hampir sama dengan kelimpahan tahun sebelumnya. Survei monitoring pesut tahun 2007 telah mendeteksi adanya penurunan jumlah pesut yang mendiami core area Muara Pahu Penyinggahan dan penemuan kelompok besar pesut di S. Kedang Rantau, Muara Kaman (Kreb & Susanti 2008). Survei berikutnya di tahun 2010 bahkan tidak lagi menjumpai pesut di wilayah Muara Pahu Penyinggahan (Kabupaten Kutai Barat). Populasi pesut dianggap seluruhnya telah berada di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kreb & Susanti 2011). Penelitian tahun 2012 mengungkap fakta bahwa telah terjadi perubahan sebaran pesut di S. Mahakam. Daerah Muara Pahu Penyinggahan yang sebelumnya merupakan habitat inti (core area) dan salah satu pusat sebaran pesut (Kreb 2004; Kreb et al. 2007), sekarang tidak lagi penting bagi pesut. Kemunculan pesut di wilayah ini sekarang bersifat insidentil, bersamaan dengan waktu-waktu

46 28 dimana kelimpahan ikan meningkat. Pesut dapat dikatakan tidak lagi tinggal di wilayah Muara Pahu-Penyinggahan. Pesut yang berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya (Kreb 2004; Kreb & Budiono 2005; Kreb & Susanti 2008) diketahui merupakan resident di wilayah Muara Pahu Penyinggahan, kini telah meninggalkan tempat tersebut dan pindah lebih ke hilir yakni ke daerah Muara Muntai dan Pela Muara Kaman. Pela Muara Kaman adalah salah satu dari dua wilayah yang diidentifikasi sebagai core area bagi pesut mahakam, selain Muara Pahu Penyinggahan. (Kreb 2004; Kreb & Budiono 2005). Fakta lain yang menguatkan dugaan telah terjadi perubahan sebaran adalah hasil land-base observation yang menunjukkan bahwa kehadiran pesut di daerah Muara Pahu sangat sedikit jika dibandingkan dengan Muara Kaman, Pela dan Muara Muntai. Perbandingan lainnya dapat dilakukan dengan melihat fakta-fakta di tahun sebelumnya. Observasi selama 3 hari berturut-turut pada level air sedang-tinggi di tahun 2007 (Kreb & Susanti 2008), mencatat keberadaan 12 sampai 21 individu setiap hari di Muara Pahu. Dari pengamatan itu, secara keseluruhan, telah teridentifikasi 26 individu yang berbeda. Kemudian, dari pengamatan yang sama saat air rendah tahun 2007, terungkap bahwa setiap harinya ada 12 individu yang tercatat berada di sekitar Muara Pahu. Saat itu, tercatat ada 22 individu yang berbeda di tempat tersebut. Hasil yang sama yakni rata-rata 12 individu (3 kelompok) per hari juga terungkap dari pengamatan serupa di Muara Pahu antara tahun (Kreb 2004; Kreb & Budiono 2005). Seiring dengan ditinggalkannya daerah Muara Pahu Penyinggahan, kemunculan pesut di wilayah yang lebih jauh ke hulu dari Muara Pahu juga semakin jarang. Hal ini logis karena untuk mencapai bagian hulu S. Mahakam yang dulu merupakan wilayah jelajahnya, saat ini pesut harus menempuh perjalanan yang jauh dari Pela Muara Kaman (< 280 km), atau setidaknya dari Muara Muntai (< 250 km). Suatu jarak tempuh yang jauhnya dua kali lipat dibanding jika ditempuh dari Muara Pahu. Namun demikian, pada kondisi tertentu, pesut masih menjelajah sampai ke hulu sebagaimana telah dilihat dan dilaporkan oleh beberapa responden penelitian ini di sekitar Melak dan Long Iram. Penelitian ini sendiri telah mencatat bahwa pesut telah menempuh jarak yang jauh dari Muara Kaman hingga Muara pahu (141 km). Satu kelompok pesut, yang terdiri atas 3 individu telah teridentifikasi (melalui foto siripnya) di Muara Kaman, Pela, Muara Muntai dan Muara Pahu. Informasi/laporan masyarakat di tahun 2012 menunjukkan bahwa kemunculan pesut di daerah-daerah yang berada di bagian hilir Muara Kaman seperti Sebulu (53 km Dari Muara Kaman), atau bahkan Tenggarong (92 km dari Muara Kaman), menjadi lebih sering dibandingkan sebelumnya. Kemunculan pesut di hilir tersebut terjadi seiring dengan semakin banyaknya pesut yang berada di Muara Kaman. Berdasarkan analisis foto sirip tercatat ada 43 individu pesut berbeda yang dijumpai di Muara Kaman. Kelompok besar yang tercatat pada tahun 2012 di wilayah ini adalah 32 individu. Dengan semakin banyaknya pesut yang berada di Muara Kaman, maka kemungkinan bahwa ada kelompokkelompok yang bergerak ke hilir menjadi semakin besar. Hal ini dapat dipadankan dengan pergerakan ke hulu ketika sebagian besar pesut mahakam tinggal di Muara Pahu (Kreb 2004; Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008). Penelitian ini tidak dapat menjelaskan dengan pasti mengapa pesut semakin sering

47 29 bergerak jauh ke hilir dari Muara Kaman. Namun demikian, karena pergerakan pesut utamanya adalah untuk mencari makan (Kreb 2004), sebagaimana populasi lumba-lumba irrawaddy (Stacey 1987; Parra 2005; Kelkar 2008), maka pergerakan pesut hingga jauh ke hilir diduga ada hubungannya dengan usaha untuk memperoleh makanan, baik itu sehubungan dengan pergerakan (ruaya) ikan mangsa ke hilir atau eksplorasi untuk mencari makanan. Fakta semakin seringnya perjumpaan pesut di tempat-tempat yang sebelumnya minim data perjumpaan juga terjadi di S. Belayan. Dalam periode saja diperkirakan pesut mahakam telah kehilangan 15% dari wilayah jelajah historisnya (Kreb & Budiono 2005; Kreb et al. 2007). Pengalaman telah membuktikan bahwa penyusutan wilayah jelajah dan sebaran pesut telah terjadi di Danau Jempang (Priyono 1994; Kreb & Budiono 2005; Sumaryono et al. 2008; Kreb & Susanti 2008; Kreb et al. 2010). Dengan bukti-bukti bahwa pesut tidak lagi mendiami wilayah Muara Pahu Penyinggahan, indikasi penyusutan habitat telah terlihat dan kehilangan wilayah jelajah telah terjadi kembali. Sekarang pesut mahakam bisa dikatakan terkonsentrasi di core area yang tersisa yakni Pela Muara Kaman, serta Muara Muntai dan sekitarnya. Di kedua tempat itu populasi pesut menjadi semakin padat dan secara teoritis persaingan antar individu pesut dalam mendapatkan makanan dan ruang akan semakin meningkat. Adanya persaingan antar individu menyebabkan satwa meningkatkan daya upaya untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutrisinya. Wujud dari upaya tersebut adalah berjalan/bergerak lebih jauh untuk mencari dan mendapatkan makanan (Chapman & Teichroeb 2012). Persaingan juga menyebabkan laju perolehan pakan individu menurun sehingga hal itu berdampak pada peningkatan jarak jelajah harian (Pontzer & Kamilar 2009). Teori itu bersesuaian dengan fakta yang ada sekarang. Jarak pergerakan rata-rata harian kelompok pesut yang diamati dalam penelitian ini ternyata lebih jauh dari kelompok-kelompok yang diamati Kreb (2004) pada perioe (n = 27; jarak rata-rata = 10 km; SD = 8,6; waktu pengamatan per kelompok > 6 jam) ketika sebaran pesut masih mencakup wilayah Muara Pahu. Persaingan pesut mahakam dengan manusia (masyarakat setempat), terutama nelayan, juga akan meningkat, apalagi sekarang pesut berada pada daerah-daerah yang populasi penduduknya banyak dan ketergantungan masyarakatnya terhadap sumberdaya perairan juga tinggi. Persaingan antara manusia dengan cetacea seperti itu juga terjadi di berbagai tempat di dunia (Tamura 2001; Bearzi 2002; Reeves et al. 2003; Herr et al. 2009; Parra & Jedensjo 2009; Kelkar et al. 2010; Sinha et al. 2010; Gomez-Salazar 2011). Simpulan Kelimpahan pesut mahakam di tahun 2012 adalah sebesar 92 individu (CV = 15%; selang kepercayaan 95% = ). Pada tahun 2012, jumlah pesut yang lahir adalah sebanyak 5 ekor dan jumlah yang mati sebanyak 6 ekor. Rata-rata kelimpahan kelompok pesut mahakam adalah 5 individu (SD = 3,8 individu) dan rata-rata jarak pergerakan hariannya adalah 27,3 km (SD = 2,5 km).

48 30 Sebaran pesut di S. Mahakan telah berubah. Salah satu habitat inti (core area), yakni Muara Pahu-Penyinggahan, yang sebelumnya diketahui sangat penting bagi pesut mahakam, saat ini tidak lagi ditinggali oleh pesut. Pesut-pesut sekarang pindah dan mendiami serta terkonsentrasi di habitat inti lainnya yakni Pela Muara Kaman. Bukti-bukti dari penelitian ini menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan habitat pesut di S. Mahakam.

49 31 4. ANALISIS KELANGSUNGAN HIDUP POPULASI: PELUANG KEPUNAHAN POPULASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Pendahuluan Orcaella brevirostris adalah nama ilmiah yang diberikan kepada satu jenis mamalia air yang hidup di perairan pesisir tropis dan sub tropis wilayah Indo- Pasifik (Stacey & Arnold 1999). Jenis ini dikenal secara umum dengan nama Irrawaddy Dolphin (lumba-lumba Irrawaddy). Di Indonesia, masyarakat umumnya mengenalnya dengan nama pesut; nama yang diambil dan berasal dari sebutan masyarakat lokal terhadap jenis satwa ini yang hidup di perairan S. Mahakam, Kalimantan Timur. Populasi pesut di S. Mahakam adalah salah satu dari tiga populasi air tawar dari lumba-lumba Irrawaddy yang ada di dunia. Dua populasi air tawar lainnya terdapat di S. Ayeryarwady di Myanmar (Reeves et al. 2003; Smith & Mya 2007) dan S. Mekong di Vietnam, Laos dan Kamboja (Beasley et al. 2007; Beasley 2007; Dove et al. 2008). Saat ini ketiga populasi ini memperoleh status critically endangered (Smith 2004; Smith & Beasley 2004; Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008). Ancaman paling utama yang dihadapi lumba-lumba Irrawaddy yang terdapat di perairan tawar adalah kematian akibat terjerat alat penangkap ikan berupa jaring insang atau gillnet (Reeves et al. 2003; Smith et al. 2003). Beasley et al. (2007) menyatakan bahwa 87% kematian yang terjadi di S. Mekong di Kamboja pada periode adalah akibat terperangkap di jaring semacam itu. Sedangkan di Sungai Mahakam, angkanya adalah 66% dari seluruh kematian yang tercatat (Kreb et al. 2007). Ancaman kematian lain datang dari kecelakaan akibat tertabrak alat transportasi sungai (Reeves et al. 2008). Di S. Mahakam kematian akibat tertabrak speed-boat adalah 4% dari seluruh kematian yang terjadi dari tahun 1995 sampai saat ini (Kreb & Susanti 2008). Kematian sebelum atau saat dilahirkan dan akibat pembunuhan masing-masing terhitung sekitar 8% dari semua kasus kematian yang tercatat (Kreb & Susanti 2008). Di S. Mahakam dan S. Ayeyarwady, ancaman juga terjadi dari aktivitas penangkapan ikan ilegal dengan menggunakan listrik (penyetruman) dan racun (Smith & Mya 2007; Kreb & Susanti 2008). Teknik penangkapan ikan yang tidak selektif ini menyebabkan berkurangnya ikan yang menjadi pakan lumba-lumba Irrawaddy/pesut (Smith et al. 2007). Disamping itu, ancaman muncul dari kehilangan dan degradasi habitat. Ancaman semacam itu muncul sebagai akibat pembangunan dam, penambangan emas dan batubara, sedimentasi sebagai akibat dari penebangan hutan di daerah tangkapan air, polusi kimiawi dari perkebunan dalam skala besar seperti kelapa sawit dan penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam kegiatan pertambangan (Smith & Mya 2007; Beasley et al. 2007; Reeves et al. 2008; Kreb & Susanti 2008; Kreb et al. 2010). Sampai tahun 2012, dimana penelitian untuk disertasi ini dilakukan, kematian pesut masih terjadi di S. Mahakam. Dengan adanya berbagai ancaman kematian tersebut, nasib populasi pesut mahakam, yang kini berjumlah 92

50 32 individu (kisaran individu), dipertanyakan: apakah dalam jangka waktu tertentu ke masa depan (misalnya 100 tahun) pesut mahakam dapat bertahan hidup? Ketika populasi suatu spesies kecil dan/atau terisolasi, perubahan atau variasi genetik, demografik dan lingkungan yang bersifat stokastik maupun deterministik, yang terjadi dalam populasi akan meningkatkan risiko kepunahan (Clark et al. 1991; Boyce 1992; Lacy 1993; Frankham 2003). Risiko demikian itu pula yang dipercaya akan dihadapi populasi pesut mahakam yang relatif kecil dan terisolasi di S. Mahakam pada masa depan jika berbagai ancaman di atas terus berlangsung. Untuk mengantisipasi atau meminimalisasi risiko kepunahan, berbagai kondisi yang dibutuhkan oleh populasi untuk bertahan hidup perlu dipenuhi dan keputusan-keputusan manajemen harus diambil. Dalam rangka menjawab pertanyaan tentang peluang kepunahan dan membuat antisipasi terhadap kemungkinan kepunahan dilakukan Analisis Kelangsungan Hidup Populasi (AKHP)/Population Viability Analysis terhadap populasi pesut mahakam. AKHP dilakukan karena telah digunakan secara luas dalam biologi konservasi dan dianggap sebagai alat yang ampuh untuk membuat simulasi proses kepunahan yang berlangsung pada populasi kecil dan selanjutnya menilai kemampuannya untuk tetap bertahan (survive) dalam jangka panjang serta mempertimbangkan pilihan-pilihan manajemen (Clark et al. 1991; Lindenmayer et al. 1993; Zhang & Zheng 2007). Selain itu, secara khusus AKHP juga memiliki kemampuan untuk: 1] memprakirakan ukuran populasi di masa datang (Barrio 2007; Zhang & Zheng 2007); 2] menduga peluang kepunahan/survival suatu populasi dalam jangka waktu tertentu (Boyce 1992; Akçakaya 2000; Zhang & Zheng 2007, Strem 2008, Lu & Sun 2011); 3] menilai dan memilih/menentukan strategi/kebijakan pengelolaan (konservasi) yang efektif, efisien dan cocok untuk memaksimalisasi peluang populasi untuk survive (Clark et al. 1991; Boyce 1992; Akçakaya & Sjögren- Gulve 2000); dan 4] mengidentifikasi kebutuhan riset/penelitian di masa datang (Keedwell 2004; Zeigler et al. 2010). Berdasarkan hal-hal tersebut, AKHP pesut mahakam dalam penelitian ini dilakukan untuk mencapai sasaran-sasaran berikut ini: 1) menduga ukuran populasi di masa datang; 2) menduga peluang kepunahan/survival jenis ini dalam 100 tahun ke depan; 3) mengidentifikasi kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya; dan 4) membuat keputusan manajemen untuk pelestarian. Bahan dan Metode Bahan dan Alat AKHP berbasis demografi memerlukan perhitungan yang rumit. Namun demikian, karena ketersediaan dan perkembangan yang pesat dari perangkat lunak (program) komputer yang dapat mensimulasikan proses kepunahan yang rumit, pelaksanaan AKHP menjadi lebih mudah dan cepat (Beissinger 2002). AKHP dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program komputer VORTEX ver9.23.

51 33 Data Input Program computer VORTEX v9.23 memerlukan masukan data bagi parameter inputnya agar dapat dijalankan untuk menganalisis berbagai skenario yang akan dihadapi dan dijalani oleh populasi. Masukan data bagi VORTEX sangat beragam dan cukup banyak. Beberapa parameter input, baik yang terkait langsung dengan pesut mahakam atau cetacea air tawar lainnya, diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya (Kreb 2004; Kreb & Susanti 2008; Krab & Susanti 2011). Data input seperti sistem reproduksi, umur reproduktif, umur reproduksi maksimum dan jumlah anak dalam sekali melahirkan adalah masukan-masukan yang bersifat seperti itu. Parameter input seperti: jumlah iterasi, waktu simulasi, definisi kepunahan dan tekanan inbreeding ditentukan oleh peneliti. Nilai-nilai input lainnya seperti ukuran populasi awal, daya dukung, tingkat kelahiran dan kematian dihitung dan ditentukan berdasarkan data/informasi yang diperoleh dari penelitian ini. Berikut ini adalah parameter, nilai dan sumber dari data input bagi AKHP. 1. Jumlah Iterasi, Waktu Simulasi, Definisi Kepunahan, Jumlah Populasi Seratus iterasi umumnya memadai untuk AKHP, tetapi untuk meminimalisiasi kesalahan baku jumlah iterasi dapat ditingkatkan (Lacy 1993). Oleh sebab itu, peluang kepunahan pesut mahakam akan diduga dengan manjalankan simulasi (iterasi) sebanyak 500 kali untuk setiap skenario. AKHP digunakan untuk menduga peluang kepunahan pesut mahakam dalam 100 tahun ke depan, sehingga waktu simulasi yang diinput ke dalam proses simulasi adalah 100 tahun. Definisi kepunahan yang digunakan dalam proses AKHP adalah punah jika hanya satu jenis kelamin yang tersisa (only 1 sex remains). Walaupun selama ini pesut sering dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar berdasarkan wilayah sebaran utamanya (Muara Pahu Penyingggadan dan Pela Muara Kaman), namun populasi pesut mahakam tetap dianggap sebagai sebuah populasi tunggal. Kondisi terkini lebih memperkuat anggapan tersebut, karena sekarang pesut lebih banyak berkumpul di salah satu wilayah yakni Pela Muara Kaman. Dengan pertimbangan tersebut, parameter jumlah populasi diisi dengan nilai Tekanan Inbreeding, Environmental concordance of reproduction and survival, Bencana Tekanan inbreeding dipercaya terjadi pada hampir semua spesies organisme yang berkembang biak secara seksual dan hal tersebut berdampak pada penurunan kemampuan untuk bertahan hidup/survival (Miller & Lacy 2005). Tetapi belum ada penelitian khusus yang mengungkapkan nilai tekanan inbreeding pada pesut mahakam, sehingga nilai default lethal equivalent 3,14 (dengan 50% lethal alleles) dipilih untuk parameter ini. Nilai 3,14 adalah nilai tengah bagi tekanan inbreeding dari 40 populasi mamalia yang diteliti oleh Ralls et al. (1988). Environmental concordance of reproduction and survival dipilih untuk diperhitungkan dalam AKHP jika terdapat fakta bahwa tahun yang baik untuk berkembangbiak juga merupakan tahun yang baik untuk bertahan hidup/survival (Miller & Lacy 2005). Penelitian di S. Mahakam (Syachraini et al. 2006) mengungkapkan bahwa ada fluktuasi tahunan kelimpahan ikan di sungai ini,

52 34 sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun-tahun dimana kelimpahan ikan tinggi maka peluang survival pesut di tahun tersebut meningkat. Selama ini tidak ada variasi kondisi lingkungan ekstrim di habitat pesut mahakam yang sangat mempengaruhi perkembangbiakan atau kemampuan survival jenis ini. Diasumsikan situasi semacam itu juga akan tetap berlangsung di masa depan. Atas dasar itulah pilihan tidak ada bencana (no catastrophes) ditetapkan bagi parameter jumlah bencana dalam simulasi AKHP. 3. Sistem Reproduksi Input untuk sistem reproduksi dalam VORTEX mencakup 7 variabel. Berikut ini adalah uraian dari keenam variabel tersebut: 1) sistem perkawinan pesut mahakam adalah poligami (Kreb 2004), 2) Usia reproduktif betina adalah 9 tahun (Kreb 2004), 3) Usia reproduktif jantan adalah 12 tahun. Secara fisik pesut jantan diasumsikan mencapai kedewasaan pada umur yang sama dengan betinanya. Namun demikian, pesut jantan baru mencapai kematangan sosial, dimana ia dapat berkompetisi secara efektif dalam memperebutkan betina, beberapa tahun kemudian (Connor et al. 2000; Kreb 2004). Oleh sebab itu, diasumsikan bahwa umur reproduktif jantan adalah 12 tahun. 4) Umur maksimum untuk bereproduksi pada pesut belum diketahui sehingga variabel ini didefiniskan berdasarkan asumsi VORTEX bahwa setiap individu bereproduksi sepanjang masa dewasanya sampai mengalami kematian (Miller & Lacy 2005). Berdasarkan asumsi tersebut umur maksimum pesut diambil dari hasil penelitian yang menyebutkan bahwa pesut dapat hidup sampai umur 30 tahun (Marsh et al. 1989). 5) Jumlah maksimum anak setiap kelahiran adalah 1 ekor. Tidak ada laporan mengenai kelahiran kembar selama ini. 6) Sex ratio saat kelahiran adalah 50%, sesuai dengan nilai yang umum pada famili cetacea (Berta & Summich 1999). 7) Reproduksi tidak terkait kepadatan (Kreb 2004). 4. Tingkat Reproduksi Tingkat reproduksi dinyatakan dalam persentase betina dewasa yang melahirkan. Variabel ini didefinisikan sebagai rata-rata jumlah kelahiran per tahun dibagi jumlah betina dewasa. Penelitian ini mencatat bahwa ada 5 anak pesut yang berumur < 1 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun 2012 ada 5 kelahiran. Penelitian terdahulu (Kreb 2004) mengungkapkan bahwa selama rentang waktu , angka kelahiran berkisar 5-6 individu per tahun. Survei populasi 2010 mencatat keberadaan 5 individu dari kelas umur 0-1 tahun (Kreb & Susanti 2011). Dengan demikian, sangat beralasan jika diduga bahwa rata-rata jumlah kelahiran adalah 5 individu per tahun. Pesut dewasa mencakup 50% dari populasi pesut yang ada (Kreb & Susanti 2011). Jika sekarang diduga ada 92 individu pesut mahakam, maka diperkirakan 46 ekor diantaranya adalah individu dewasa. Empat puluh dua individu berhasil diketahui jenis kelaminnya berdasarkan identifikasi foto dan katalog individu YK- RASI. Dua puluh enam diantaranya (62%) adalah betina. Jika proporsi 62% dari sampel sebesar 42 adalah representasi dari keseluruhan populasi pesut mahakam yang berjumlah 92 individu, maka jumlah betina dewasa diduga adalah 28 individu. Dengan jumlah kelahiran per tahun 5 individu dan jumlah betina dewasa 28 individu, tingkat reproduksi diperhitungkan sebesar 17,5%.

53 35 Variasi lingkungan (standar deviasi) dari persentase betina dewasa yang melahirkan dianggap 0 karena penelitian ini tidak memiliki cukup data untuk menghitungnya. Untuk pesut mahakam, setiap kehamilan dianggap 100% akan melahirkan maksimum satu anak. 5. Tingkat Kematian Dengan menggunakan angka kelahiran per tahun sebesar 5 indivdu dan jumlah individu pesut di tahun 2012 sebanyak 92 ekor, maka persentase jumlah bayi (kelas umur 0-1 tahun) adalah 5,4%. Kemudian, jika 5 individu yang lahir pada tahun tertentu tidak ada yang mati, maka pada setiap tahun berikutnya akan ada 5 individu di kelas umur 1-2. Dengan demikian, di tahun 2012 seharusnya ada 5 individu di kelas umur 1-2 tahun, dan persentasenya adalah 5,4%. Tingkat kematian pada setiap kelas umur didefinisikan sebagai persentase jumlah individu kelas umur tertentu yang mati sebelum mencapai kelas umur berikutnya (Miller & Lacy 2005), atau jika dirumuskan dalam persamaan matematis adalah: jumlah individu yang mati dalam kelas umur tertentu dibagi jumlah individu awal yang hidup di kelas umur tersebut Tahun 2012, karena ada kematian 2 individu umur 0-1 tahun dan 1 individu umur 1-2 tahun maka besar tingkat kematian di kedua kelas umur tersebut berturut-turut adalah 40% dan 20%. Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung tingkat kematian kelas umur 2-9 tahun dan 9-30 tahun. Apabila persentase kelas umur 0-2 tahun 10.8% dan diasumsikan bahwa individu dewasa mencakup 50%, maka persentase kelas umur 2-9 adalah sebesar 39,2%. Dengan demikian jumlah individu yang ada pada kelas umur 2-9 tahun dan 9-30 tahun berturut-turut adalah 36 dan 46 individu. Tiga individu yang mati tahun 2012 adalah anak pesut (kelas umur 0-2 tahun). Tiga lainnya tidak teridentifikasi. Namun demikian, jika diasumsikan bahwa satu diantaranya adalah kelas umur 2-9 tahun dan dua lainnya adalah kelas umur 9-30 tahun, maka tingkat kematian pada kedua kelas umur tersebut masingmasing adalah 2,8% dan 4,3%. 6. Mate Monopolization Sebelumnya telah dinyatakan bahwa sistem perkawinan pesut mahakam adalah poligami (Kreb 2004). Dalam sistem ini, diasumsikan terdapat 50% populasi pesut jantan yang aktif dalam perkawinan. 7. Populasi Awal Simulasi AKHP ini didasarkan atas jumlah individu populasi sebanyak 92 ekor. Sebaran individu menurut kelas umur dan jenis kelamin didasarkan atas persentase masing-masing kelas umur dan perbandingan jantan-betina yang telah diperoleh sebelumnya. Persentasi masing-masing kelas umur adalah sebagai berikut: 0-1 = 5,4%; 1-2 = 5,4%; 2-9 = 39,2%; dan 9-30 = 50%. Sedangkan persentase jumlah betina diduga sebesar 62%. Dengan demikian sebaran individu masing-masing kelas umur untuk jantan adalah sebagai berikut: 0-1 = 2; 1-2 = 2; 2-8 = 2; 8-26 = 1. Sedangkan untuk betina adalah 0-1 = 3; 1-2 = 3; 2-8 = 4; 8-14 = 2; dan = 1.

54 36 8. Daya Dukung Populasi pesut mahakam hidup secara terisolasi di sebagian S. Mahakam, khususnya di bagian tengah daerah aliran sungai ini. Selain itu, habitat pesut mahakam juga memiliki batas-batas tertentu dalam hal kemampuannya untuk menyediakan sumberdaya bagi pesut. Oleh karena itu, secara teoritis, ada jumlah maksimum (K) pesut yang mampu didukung oleh perairan S. Mahakam. Jumlah maksimum ini di dalam VORTEX disebut Daya Dukung (Miller & Lacy 2005). Di dalam simulasi ini, daya dukung habitat pesut mahakam adalah 181 individu. Jumlah ini diperoleh dengan menerapkan operasi subsitusi matematis pada persamaan pertumbuhan populasi logistik. Nilai-nilai N 0, N 1 N 2 dan N 3 diambil dari jumlah individu pesut di tahun-tahun 2005, 2007, 2010 dan 2012 yakni 89, 90, 91 dan 92 individu. Operasi substitusi bisa dilakukan karena dalam pertumbuhan populasi logistik nilai r (laju pertumbuhan) sama di setiap saat pertumbuhan. Environment Variation (EV) atau deviasi standar dari nilai daya dukung diasumsikan 10% atau 18 individu. Skenario Skenario dalam konteks analisis kelangsungan hidup populasi adalah berbagai pilihan (alternatif) perkembangan populasi dengan kombinasi input tertentu (spesifik) yang menggambarkan berbagai situasi yang mungkin dialami populasi. Berikut ini adalah berbagai skenario yang digunakan dalam analisis ini. Skenario 1 merupakan gambaran kondisi populasi saat ini sebagaimana dideskripsikan dalam Subsub Bab Data Input di atas. Tingkat kematian diasumsikan sama dengan tahun 2012 yakni 6 individu per tahun. Skenario 2 dibedakan dengan skenario 1 adalah dalam hal tingkat kematian. Tingkat kematian dalam skenario 2 didasarkan atas rata-rata angka kematian per tahun sejak yakni 4 individu (Kreb 2004; Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008; Krab & Susanti 2011, Kreb & Noor 2012). Jika proporsi tingkat kematian kelas umur dewasa, remaja dan anak berturut-turut adalah 76%, 9% dan 15% (Kreb and Noor 2012) diterapkan pada angka kematian 4 individu per tahun maka sebaran individu yang mati berdasarkan kelas umur adalah 1 indivdu (0-2 tahun), 0 individu (2-9 tahun) dan 3 individu (9-30 tahun). Skenario 3 dibuat atas dasar asumsi bahwa pengelolaan populasi pesut mahakam dilakukan secara lebih intensif. Pengelolaan tersebut diharapkan dapat menekan angka kematian pesut hingga ke tingkat 2 individu per tahun. Skenario 4 menyimulasikan peluang kepunahan apabila empat individu di S. Ratah dievakuasi dan digabungkan kembali dengan seluruh pesut yang ada S. Mahakam. Sejak 1998, 6 ekor pesut (2 jantan dan 4 betina) terperangkap di S. Ratah yang berarus deras (Kreb 2004). Dua individu diantaranya mati di tahun 1999 dan Hingga saat ini, 4 individu di S. Ratah tersebut masih berada di sana. Informasi dari masyarakat yang diperoleh pada saat survei populasi tahun 2012 memperkuat dugaan tersebut. Skenario 5 dan 5.1 menyimulasikan peluang kepunahan apabila daya dukung habitat menuurun dari 181 menjadi 150 individu. Fenomena perubahan sebaran pesut di S. Mahakam (lihat Bab 3) menunjukkan adanya penyusutan luas habitat pesut. Salah satu konsekuensi logis dari perubahan tersebut adalah berkurangnya daya dukung S. Mahakam, karena wilayah Muara Pahu-Penyinggahan yang merupakan core area tidak lagi ditinggali pesut. Diasumsikan bahwa

55 37 dengan hilangnya wilayah Muara Pahu-Penyinggahan, daya dukung habitat pesut mahakam berkurang menjadi 150 individu, sedangkan nilai EV tetap 10% yakni 15. Skenario 5 menggunakan tingkat kematian sama dengan Skenario 2, sedangkan Skenario 5.1 menggunakan tingkat kematian yang sama dengan Skenario 1. Skenario 6 dibuat berdasarkan pengalaman tahun Ketika itu Bupati Kutai Kartanegara mengajukan permohonan izin penangkapan pesut mahakam untuk program konservasi eksitu di Tenggarong. Permohonan tersebut tidak disetujui oleh Kementerian Kehutanan. Namun demikian, berdasarkan pengalaman tersebut dicoba untuk disimulasikan Skenario 6 yang mengakomodasi pemanenan sebanyak 8 individu yang terdiri atas 1 jantan dan 7 betina. Hasil Simulasi terhadap seluruh skenario menunjukkan bahwa 100 tahun ke depan pesut mahakam belum punah (Tabel 4.1). Peluang kepunahan terbesar (34%) terlihat pada skenario 5.1 yang menyimulasikan terjadinya penurunan daya dukung habitat akibat penyusutan habitat dan tingkat kematian sebagaimana terjadi pada tahun Setelah itu ada skenario 1 yang memiliki peluang kepunahan yang cukup besar yakni 29%. Tabel 4.1. Peluang Kepunahan, Laju Pertumbuhan dan Jumlah Individu Pesut Mahakam Pada Berbagai Skenario Perkembangan Populasi 1 Skenario Tingkat kematian sama dengan kondisi tahun 2012 (6 individu/th) Peluang Kepunahan/ PE (%) Det-r Ukuran populasi akhir (individu) N SD 29-0,029 8,45 5,03 2 Tingkat kematian rata-rata 4 individu/tahun 0,6-0,011 38,52 19, Tingkat kematian dikurangi hingga 2 individu/tahun Penambahan melalui translokasi 4 individu dari S. Ratah Penurunan daya dukung akibat penyusutan habitat (MR=Skenario 2) Penurunan daya dukung akibat penyusutan habitat (MR=Skenario 1) 0 0, ,58 13,71 0,4-0,011 38,04 19,38 1,6-0,011 27,77 14, ,029 8,18 4,72 6 Pemanenan untuk konservasi eksitu 1,4-0,011 32,40 17,58 Skenario 2 yang disimulasikan pada tingkat kematian 4 individu per tahun mempunyai peluang kepunahan 0,6%. Dalam skenario ini dapat dilihat bahwa populasi pesut mahakam mengalami peningkatan jumlah individu dalam dua

56 38 puluh tahun pertama, walaupun setelah itu jumlahnya terus mengalami penurunan. Hasil simulasi yang menarik bisa dilihat pada Skenario 2 dan 4 (Gambar 4.1). Kurva hasil simulasi kedua skenario nyaris berimpit. Peluang kepunahan Skenario 4 yang menyimulasikan pemindahan 4 individu pesut yang terisolasi di S. Ratah kembali ke S. Mahakam untuk bergabung dengan kelompok besarnya, ternyata sama dengan Skenario 2. Jadi kelihatannya translokasi semacam itu tidak akan memberikan dampak yang berarti dalam mengurangi risiko kepunahan. Keterangan: Skenario 1(biru tua) : Tingkat kematian 6 ind/tahun Skenario 2 (hijau muda) : Tingkat kematian 4 ind/tahun Skenario 3 (biru muda) : Tingkat kematian 2 ind/tahun Skenario 4 (merah) : Translokasi 4 individu dari S. Ratah Skenario 5 (merah muda) : Penurunan daya dukung; tingkat kematian = skenario 2 Skenario 5.1 (kuning) : Penurunan daya dukung; tingkat kematian = skenario 1 Skenario 6 (biru tua) : Pemanenan 8 ind untuk konservasi eksitu Gambar 4.1. Prediksi Perkembangan Jumlah Individu Populasi Pesut Mahakam dalam 100 Tahun ke Depan Berdasarkan 6 Skenario Risiko kepunahan kelihatannya tidak ada apabila tingkat kematian pesut dapat diturunkan ke angka 2 individu per tahun (PE = 0%). Dalam kondisi tersebut, simulasi memperlihatkan bahwa populasi pesut mahakam tumbuh dengan r positif dan dalam model pertumbuhan logistik. Skenario ini tidak menunjukkan adanya penurunan jumlah individu hingga 100 tahun ke depan. Walaupun diprediksi bahwa pesut belum punah pada 100 tahun mendatang, simulasi menunjukkan bahwa pada seluruh skenario, kecuali Skenario 3, ukuran

57 39 populasi akhir pada tahun ke-100 (Tabel 4.1) jauh lebih rendah dibandingkan ukuran awalnya di tahun Semua skenario itu, selain skenario 3, memperlihatkan bahwa populasi berkembang dengan laju pertumbuhan (r) yang negatif sehingga pada akhirnya populasi menjadi semakin sedikit. Gambar 4.1 memperlihatkan secara lebih jelas bagaimana pertumbuhan negatif itu berjalan dari dekade ke dekade berikutnya. Tiga skenario terburuk diperlihatkan oleh penurunan daya dukung akibat penyusutan habitat (Skenario 5), tingkat kematian yang tinggi sebesar 6 individu per tahun (Skenario 1) dan kombinasi antara tingkat kematian 6 individu per tahun yang disertai penurunan daya dukung (Skenario 5.1). Ketiga skenario tersebut, pada akhir tahun ke-100, diprediksi akan menyisakan populasi dengan jumlah individu sebanyak 28 individu (Skenario 5), 8 individu (Skenario 5.1) dan 8 individu (Skenario 1). Tiga skenario terburuk diperlihatkan oleh penurunan daya dukung akibat penyusutan habitat (Skenario 5), tingkat kematian yang tinggi (6 individu per tahun) [Skenario 1] dan kombinasi antara tingkat kematian 6 individu per tahun yang disertai penurunan daya dukung (Skenario 5.1). Ketiga skenario tersebut, pada akhir tahun ke-100, diprediksi akan menyisakan populasi dengan jumlah individu sebanyak 28 individu (Skenario 5), 8 individu (Skenario 5.1) dan 8 individu (Skenario 1). Pembahasan Penghitungan jumlah individu populasi pesut mahakam telah dilakukan pada tahun 2005, 2007, 2010 serta 2012, dan hasilnya berturut-turut adalah 89, 90, 91 dan 92 individu (Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008; Krab & Susanti 2011 dan Kreb & Noor 2012). Jika dibandingkan dengan prediksi perkembangan populasi sebagaimana tertera pada Gambar 4.1, Skenario 2 kelihatannya cocok dengan situasi tersebut. Peningkatan jumlah individu yang tercatat sejak 2005 hingga 2012 diperkirakan merupakan bagian dari tren meningkat yang terjadi pada dua puluh tahun awal perkembangan populasi yang diprediksikan. Tetapi, sebagaimana hasil simulasi untuk Skenario 2, kenaikan tersebut akan diikuti oleh penurunan yang kontinu dalam delapan dekade berikutnya. Oleh sebab itu, hasilhasil pendugaan jumlah indivdu pesut mahakam dari tahun yang kelihatannya bagus tetap harus diwaspadai karena dengan tingkat kematian 4 individu per tahun ancaman terhadap kepunahan pesut mahakam masih tetap ada. AKHP pesut mahakam ini juga menunjukkan bahwa penambahan jumlah individu di S. Mahakam lewat translokasi 4 ekor pesut yang terperangkap di S. Ratah tidak diperlukan. Hal yang paling penting dalam konservasi pesut adalah mendorong agar angka kematian pesut bisa ditekan paling tidak pada tingkat 2 individu per tahun (Skenario 3). Dengan tingkat kematian seperti itu, bisa diharapkan bahwa populasi pesut mahakam tidak pernah mengalami penurunan hingga tahun ke-100 (PE = 0%). Dalam konteks pelestarian populasi spesies terancam punah, menurunkan tingkat kematian berarti mengurangi peristiwa kematian yang sebab-sebabnya secara teoritis bisa dikontrol oleh pengelola (Kelkar et al. 2010; Waqas et al. 2012). Di S. Mahakam, sebagian besar kematian pesut adalah dampak dari

58 40 aktivitas manusia (Kreb 2004; Kreb & Susanti 2011). Di antara sebab-sebab yang berasal dari aktivitas manusia, penyumbang terbesar bagi kematian pesut adalah akibat terjerat rengge/jaring penangkap ikan secara tidak sengaja (Kreb & Budiono 2005; Kreb et al. 2010). Penyebab kematian yang berasal dari aktivitas manusia pada dasarnya adalah sebab-sebab yang bisa dikontrol. Oleh sebab itu, jika kita ingin mengaplikasikan Skenario 3, maka fokus pengelolaan sebaiknya ditujukan pada manajemen untuk mengontrol penggunaan rengge/jaring. Manajemen penggunaan rengge akan mencakup pengaturan terhadap kepadatan jaring di suatu tempat tertentu, ukuran mata jaring yang boleh digunakan, waktu dan tempat pemasangan serta sistem pengawasan terhadap jaring oleh si pemasang. Teori tentang daya dukung habitat mengemukakan bahwa kehilangan habitat akan menyebabkan menurunnya daya dukung (Ovaskainen & Hanski 2002; Yu et al. 2011). Daya dukung habitat yang menurun akan berdampak pada berkurangnya kelimpahan dan meningkatnya peluang kepunahan dari spesies yang hidup di dalamnya (Griffen & Drake 2008; Swift & Hannon 2010). Teori di atas bersesuaian dengan simulasi dari Skenario 5 dan 5.1 yang memberikan hasil bahwa dalam 100 tahun populasi pesut akan terus menurun ketika daya dukung habitatnya berkurang. Skenario berkurangnya daya dukung akibat kehilangan habitat sangat relevan dengan kondisi pesut di daerah aliran sungai Mahakam karena: 1) pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa pesut pernah kehilangan 15% wilayah jelajahnya, termasuk Danau Jempang (Priyono 1994; Kreb & Budiono 2005; Kreb et al. 2007; Kreb et al. 2010), dan 2) sekarang pesut kembali kehilangan sebagian habitatnya yaitu Muara Pahu-Penyinggahan (lihat Bab II). Di masa antara tahun 1974 sampai dengan 1988, telah ditangkap sebanyak 28 ekor pesut mahakam untuk dipelihara dan dipamerkan di oceanarium Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta (Tas an & Leatherwood 1984; Kreb 2004). Namun demikian, saat ini tidak ada lagi pesut yang tersisa di sana. Selain itu, selama periode tahun , dilaporkan ada 7 ekor pesut yang ditangkap secara ilegal dari S. Mahakam (Kreb 2004) dan nasibnya hingga kini tidak diketahui. Tahun 2002, permohonan penangkapan kembali diajukan kepada Kementerian Kehutanan, dan kali ini diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Fakta kegagalan Taman Impian Jaya Ancol rupanya tidak menyurutkan keinginan Kabupaten Kutai Kartanegara untuk memohon ijin penangkapan pesut guna keperluan konservasi eksitu. Pada akhirnya permohonan itu ditolak oleh Kementerian Kehutanan, tetapi berdasarkan pengalaman itu penulis mencoba menyimulasikan apa yang akan terjadi apabila dalam kondisi populasi seperti sekarang ini penangkapan 8 ekor pesut direalisasikan. Ternyata hasilnya adalah jumlah individu populasi pesut mahakam akan terus menurun (r = -0,011) hingga akhirnya diperkirakan tinggal 34 ekor pada tahun ke-100. Simulasi jelas menunjukkan bahwa penangkapan/ pengambilan untuk tujuan apapun tidak bisa diakomodasi karena justru akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap populasi pesut mahakam. Secara keseluruhan, proses AKHP menunjukkan bahwa peluang kepunahan pesut mahakam dalam 100 tahun ke depan masih di bawah 40%. Semua skenario menunjukkan bahwa seratus tahun yang akan datang pesut mahakam masih ada. Tetapi, angka peluang saja belum menunjukkan gambaran situasi yang menyeluruh tentang perkembangan populasi. Buktinya simulasi menunjukkan bahwa hampir semua skenario, kecuali Skenario 3, membawa populasi pesut

59 41 kepada situasi yang mengkhawatirkan yakni penurunan yang terus menerus (ditunjukkan oleh nilai r yang negatif). Oleh sebab itu, perkembangan populasi yang ditunjukkan oleh grafik (Gambar 4.1) dan nilai r (Tabel 4.1) harus menjadi dasar pertimbangan utama dalam mengambil keputusan manajemen. Simpulan Seratus tahun ke depan pesut mahakam berpeluang masih tetap ada, tetapi dalam jumlah yang semakin menurun. Penurunan jumlah individu akan terjadi pada semua skenario yang dikemukakan, kecuali pada Skenario 3 yang mengasumsikan tingkat kematian sebesar 2 individu per tahun. Pilihan untuk menekan tingkat kematian menjadi 2 individu per tahun adalah kebutuhan manajemen untuk melestarikan pesut mahakam. Upaya menekan kematian pesut mahakam harus berorientasi pada penyebab terbesar kematian pesut yakni terperangkap jaring penangkap ikan/rengge. Pengaturan penggunaan rengge adalah pilihan manajemen yang paling penting bagi pelestarian pesut mahakam.

60 42 5. KARAKTERISTIK HABITAT PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray. 1866) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR Pendahuluan Lumba-lumba Irrawaddy (Orcaella brevirostris Gray, 1866) hidup pada berbagai macam habitat: laut pesisir, estuari/muara sungai berair payau, danau/laguna berair payau dan sungai/danau air tawar (Marsh et al. 1989; Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007). Keberadaan lumba-lumba Irrawaddy di suatu tempat sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan (Baird & Mounsouphom 1994). Areal-areal yang menyediakan habitat bagi sejumlah besar ikan dan hewan air lainnya pada umumnya menjadi tempat-tempat yang disukai oleh lumba-lumba Irrawaddy karena di tempat semacam itulah pakan bagi satwa ini melimpah (Beasley et al. 2007; Kreb & Budiono 2005). Lumba-lumba Irrawaddy (di S. Mahakam jenis ini disebut pesut mahakam) yang hidup di perairan sungai menyukai pertemuan anak sungai atau cabang sungai (Kreb 2004). Satwa ini juga begitu menyukai badan-badan air yang dalam, terutama yang berada pada pertemuan arus, seperti pada muara anak-anak sungai (Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007; Smith et al. 2010). Pertemuan dua sungai biasanya menciptakan pusaran air kuat yang akan memerangkap ikan-ikan yang merupakan mangsa pesut (Kreb & Budiono 2005). Di Mahakam, areal-areal yang diidentifikasi sebagai habitat yang disukai oleh pesut adalah: (1) Muara Pahu dan sekitarnya, (2) Sungai Pela yang merupakan alur sungai penghubung Danau Semayang dengan Sungai Mahakam, serta (3) Muara Kaman dan sekitarnya (Kreb 2004). Ketiga lokasi ini merupakan tempat pertemuan anak sungai-anak sungai dengan alur utama Sungai Mahakam. Di samping itu, anak sungai-anak sungai tersebut merupakan akses keluarnya ikan dari rawa-rawa dan danau yang merupakan tempat berkembangbiaknya (Kreb & Budiono 2005). Penelitian tentang habitat lumba-lumba irrawaddy pada umumnya merujuk pada preferensi habitat (Stacey & Hvenegaard 2002; Kreb 2004; Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007; Reeves et al. 2008). Sangat sedikit penelitian yang secara khusus ditujukan untuk mempelajari kualitas habitatnya. Satu-satunya studi khusus tentang habitat pesut mahakam adalah yang dilakukan Priyono (1993; 1994) di Danau Semayang dan sekitarnya. Karena hanya dilakukan di D. Semayang dan sekitarnya, penelitian ini hanya mencakup sebagian kecil habitat pesut mahakam. Oleh karena itu, karakteristik habitat pesut mahakam secara menyeluruh tetap belum diketahui. Dalam rangka mengetahui karakteristik habitat pesut mahakam secara menyeluruh, penelitian ini dilakukan. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Land-base Observation dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa teropong binokuler Nikon 12 X 25 dan kamera digital Nikon D70s + Lensa70-

61 300mm/f Selain itu, untuk mengambil foto sirip dari individu pesut diperlukan perahu motor kecil (ces/ketinting) bermesin tempel (luar) berkekuatan 18 PK. Perahu motor kecil juga penting dalam pengambilan sampel air dan proses pemasangan jaring untuk menangkap ikan. Alat untuk menangkap ikan adalah jaring insang/rengge (gillnet) berukuran 15m X 2 m dengan mata jaring 3,8 cm. Dalam penelitian ini digunakan jaring insang sebanyak 14 buah (masingmasing 2 buah di setiap lokasi). Untuk mengukur berat total ikan hasil tangkapan digunakan timbangan. Pengukuran kepadatan lalu lintas perairan hanya memerlukan alat ukur waktu. Sementara itu, bermacam-macam alat digunakan untuk pengukuran kedalaman dan parameter kualitas air, baik yang langsung diukur di lapangan maupun yang dianalisis di laboratorium. Alat-alat yang digunakan untuk pengukuran parameter kualitas air adalah sebagaimana Tabel 5.1. Tabel 5.1. Variabel, metode dan alat yang digunakan untuk pengukuran parameter lingkungan dan kualitas air habitat pesut mahakam 43 Parameter yang diukur Satuan Metode Alat Kedalaman m Pengukuran langsung Plastimo Echotest II Temperatur/Suhu o C Pengukuran langsung Conductivity Meter, WTW cond 3210 Kekeruhan/Turbidity NTU Analisis laboratorium Turbidimeter, WTW Turb 430 IR Kecerahan cm Pengukuran langsung Secchi Disk TDS mg/l Pengukuran langsung Conductivity Meter, WTW cond 3210 TSS mg/l Analisis laboratorium Kertas Saring, Oven, Timbangan Analitik, Pompa Vacum ph mg/l Pengukuran langsung ph Meter, WTW ph 3110 DO mg/l Pengukuran langsung DO Meter, WTW Oxi 315i BOD mg/l Analisis laboratorium DO Meter, WTW Oxi 315i COD mg/l Analisis laboratorium Erlenmeyer, Beaker Glass, Pipet, Oven Fe (Besi) mg/l Analisis laboratorium AAS, Model Atomic Mn (Mangan) mg/l Analisis laboratorium AAS, Model Atomic Ammonia (NH 3 -N) mg/l Analisis laboratorium Spektrofotometer, Spectronic GENESYS 20 Plankton Ind/l Analisis laboratorium Planktonet, Mikroskop, Kamera Pengumpulan Data 1. Land-base Observation Land-based observation atau pengamatan dari satu titik di darat/tepi sungai (Kreb 2004; Lopez et al. 2005) dilakukan untuk mengungkap nilai penting suatu wilayah sebagai habitat pesut. Nilai tersebut didekati lewat kehadiran pesut. Kehadiran pesut di suatu lokasi ditandai dengan adanya perjumpaan. Frekuensi

62 44 dan durasi perjumpaan serta jumlah individu yang tercatat pada setiap perjumpaan adalah karateristik dari perjumpaan yang menjadi indikator dari nilai penting habitat. Ketiga indikator ini adalah variabel yang diukur dalam penelitian ini. Land-based observation dilakukan di 7 lokasi, baik pada level air rendah maupun air sedang. Ketujuh lokasi adalah 1) Muara Pahu, 2) Pela, 3) Muara Kaman, 4) Muara Muntai, 5) Minta, 6) Sebulu dan 7) Tenggarong (Gambar 5.1). Lokasi-lokasi tersebut mewakili kedua habitat inti/core area yang telah teridentifikasi selama ini (Muara Pahu-Penyinggahan dan Pela-Muara Kaman) [Kreb 2004; Kreb & Budiono 2005], daerah yang berada di antaranya serta daerah yang dianggap sudah ditinggalkan oleh pesut mahakam. Gambar 5.1. Lokasi Land-base Observation dan Pengamatan Lalu Lintas Perairan (titik hijau) dan Pengukuran serta Pengambilan Sampel Kualitas Air (bendera merah) Pada masing-masing periode level air, pengamatan dilakukan selama 5 hari berturut-turut. Setiap harinya pengamatan berlangsung sepanjang siang hari mulai jam sampai dengan WITA. Dari setiap perjumpaan dengan pesut dicatat data berikut ini: waktu mulai dan berakhirnya perjumpaan, jumlah individu (ukuran kelompok) serta perilaku/aktivitas. Suatu perjumpaan dianggap berakhir apabila individu/kelompok tersebut tidak terlihat lagi dalam 15 menit. Kemunculan pesut yang terjadi setelah jeda waktu 15 menit dianggap sebagai catatan/ perjumpaan baru. 2. Penangkapan Ikan dengan Jaring Insang Potensi mangsa pesut didekati dengan jumlah tangkapan ikan di tujuh wilayah yang sama dengan pengamatan Land-base Observation. Penangkapan

63 45 ikan dilakukan dengan menggunakan 2 set jaring insang/rengge (gillnet) dengan mata jaring berukuran 3,8 cm, panjang 15 m dan lebar 2 m. Ukuran mata jaring sebesar 3,8 cm dipilih karena dapat menangkap ikan-ikan berukuran kecil yang merupakan mangsa utama pesut. Pemasangan jaring dilakukan baik pada periode level air rendah maupun air sedang. Setiap periode dipasang selama 4 hari berturut-turut. Karena terdapat perbedaan musim kelimpahan ikan di setiap lokasi sesuai dengan fluktuasi ketinggian air, maka pada kondisi air sedang, pemasangan jaring dilakukan sesuai dengan saat kelimpahan ikan di masing-masing tempat tersebut relatif tinggi. Jaring dipasang sepanjang siang hari, mulai jam pagi hingga sore, di tepi sungai pada tempat-tempat yang diketahui sebagai tempat yang banyak ikan dan umum digunakan oleh masyarakat untuk memasang jaring. Jaring dipasang sejajar dengan tepi sungai pada kedalaman yang sama dengan lebar jaring/rengge. Jaring diawasi secara ketat untuk mencegah terjeratnya pesut secara tidak sengaja. Jam sore jaring diangkat dan dilepas. Jumlah ikan dan berat total ikan yang tertangkap dicatat setiap selesai pengangkatan jaring. 3. Pengukuran Kepadatan Lalu Lintas Sungai Kepadatan lalu lintas perairan didekati dengan jumlah perahu/kapal yang melintas di satu tempat dalam jangka waktu satu jam (frekuensi). Frekuensi perahu/kapal yang bergerak melintasi daerah sebaran pesut mahakam akan diukur lewat pengamatan dari darat atau di atas permukaan air (rakit/rumah apung) yang stasioner. Titik-titik pengamatan ditempatkan di tujuh lokasi yang identik dengan titik land-based observation. Pengamatan lalu lintas perairan dilakukan baik pada saat level air rendah maupun sedang. Jumlah jam pengamatan di setiap lokasi berkisar antara jam. Pencatatan frekuensi perahu/kapal yang melintas di setiap stasiun pengamatan akan dikelompokkan ke dalam kategori sebagai berikut: 1) perahu kecil/ces dengan mesin tempel bertenaga < 40 hp; 2) perahu dengan mesin dalam bertenaga > 40 hp; 3) speedboat dan 4) tugboat + tongkang atau kapal. Keempat kategori di atas diadopsi dari Kreb (2004) dan Kreb & Rahadi (2004) agar hasilnya dapat dibandingkan. 4. Pengukuran Parameter dan Pengambilan Sampel Air Pengumpulan data kualitas perairan dilakukan dengan mengukur parameter kualitas air langsung di lapangan dan mengambil sampel air untuk dianalisis di laboratorium. Pengukuran dan pengambilan sampel air dilakukan di sembilan daerah, mulai dari Tenggarong hingga Long Hubung. Sembilan daerah tersebut adalah Tenggarong, Sebulu, Muara Kaman, Pela, Muara Muntai, Minta, Muara Pahu, Tering dan Long Hubung. Semua daerah itu mencakup seluruh wilayah sebaran historis pesut mahakam. Di setiap daerah, data pengukuran dan sampel air diambil paling sedikit dari 3 lokasi. Di daerah seperti Muara Kaman, Pela dan Muara Pahu yang memiliki anak-anak sungai dan danau yang diketahui juga merupakan habitat pesut, lokasi pengukuran dan pengambilan sampel bisa mencapai 5-6 lokasi. Secara keseluruhan ada 35 lokasi tempat pengukuran dan pengambilan sampel kualitas air (Gambar 5.1).

64 46 Penelitian ini mengukur nilai 13 parameter kualitas air. Selain itu, satu parameter fisik lapangan yang berpengaruh terhadap keberadaan pesut mahakam yakni kedalaman (Kreb 2004), juga diukur. Kedalaman sungai dan lima parameter kualitas air diukur langsung di lapangan, sementara delapan parameter lainnya dianalisis di laboratorium. Analisis sampel air dalam penelitian ini dilakukan di Laboratorium Air Pusrehut/PPHT Universitas Mulawarman. Analisis Data 1. Analisis Kualitas Air Tidak semua parameter kualitas air dapat langsung diukur di lapangan. Sebagian diantaranya harus dianalisis terlebih dahulu di laboratorium kualitas air. Untuk parameter kualitas air di atas, peneliti tidak melakukan sendiri analisisnya, tetapi menyerahkannya pada laboratorium Air Pusrehut/PPHT Universitas Mulawarman. 2. Analisis Deskriptif Hasil pengukuran lapangan dan analisis laboratorium parameter kualitas air akan dianalisis secara deskriptif dengan mengacu pada peraturan perundangan yang sudah ditetapkan. Peraturan perundangan yang menjadi acuan adalah yang umum dikenal dengan standar/baku mutu kualitas air. Baik buruknya kualitas perairan yang menjadi habitat pesut akan ditentukan dengan apakah air Sungai Mahakam (dan anak-anak sungainya) memenuhi baku mutu atau tidak. Dalam peraturan yang menyangkut baku mutu kualitas air, dikenal adanya klasifikasi berdasarkan peruntukannya, misalnya untuk bahan baku air minum perikanan atau pertanian. Penelitian ini mengambil standar baku mutu untuk perikanan karena ini menyangkut kelayakan perairan untuk mendukung kehidupan ikan yang merupakan pakan utama dari pesut mahakam. 3. Analisis Statistik Secara deskriptif semua parameter/variabel habitat yang diukur dan dianalisis akan dibandingkan. Hasil pengamatan dari seluruh variabel antara keempat lokasi pengamatan diperbandingkan Uji statistik akan dilakukan untuk membuktikan ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan dari variabel-variabel yang menjadi indikator kondisi habitat diantara lokasi-lokasi pengamatan. Perbandingan variabel antar lokasi pengamatan berdasarkan kondisi ketinggian air juga akan dilakukan. Uji statistik yang digunakan dalam analisis ini adalah uji beda dua nilai tengah (Student t-test) dan uji kesamaan dua ragam (F-test). Analisis regresi berganda digunakan untuk menentukan variabel habitat yang paling berpengaruh terhadap keberadaan pesut. Analisis regresi akan dilakukan terhadap hubungan masing-masing variabel keberadaan pesut (frekuensi, durasi dan jumlah individu) dengan seluruh variabel habitat. Kolinearitas akan diperhitungkan untuk memperoleh variabel habitat yang paling berpengaruh dan tidak berkorelasi antara satu dengan lainnya. Untuk melakukan uji statistik tersebut digunakan program komputer IBM SPSS Statistics 20.

65 47 Hasil Nilai Penting Habitat Nilai penting habitat bagi pesut ditunjukkan oleh tingkat kehadiran satwa ini di lokasi-lokasi yang dianggap sebagai habitatnya. Bukan sekedar hadir, tetapi kehadiran tersebut terjadi dalam frekuensi yang tinggi, jangka waktu yang lama (durasi) dan jumlah yang banyak. Semakin tinggi frekuensi, durasi dan jumlah individu yang hadir di suatu habitat, mengindikasikan nilai penting habitat tersebut semakin tinggi pula. Tabel 5.2. Kehadiran Pesut yang Terekam melalui Land-base Observation selama 5 Hari Bertutut-turut pada Masing-masing Periode Ketinggian Air Lokasi Air Rendah Frekuensi Air Sedang Jumlah Air Rendah Durasi* (jam) Air Sedang Jumlah Rata-rata jumlah pesut/hari (ekor) Air Rendah Air Sedang Muara Kaman ,84 102,33 184,17 9,8 12 Pela ,75 64,43 155,18 11,8 7,8 Muara Muntai , ,55 4,8 3,6 Muara Pahu ,75 3,75 0 0,6 Minta ,5 2,5 0 0,6 Sebulu Tenggarong Keterangan: *) Total dari waktu (jam) yang dihabiskan setiap kelompok di satu tempat dalam satu hari Tabel 5.2 menunjukkan adanya perbedaan nilai penting di antara lokasilokasi yang dianggap sebagai habitat pesut jika dilihat dari ketiga parameter yang diukur. Perbedaan mencolok terlihat antara tiga daerah yakni Muara Kaman, Pela dan Muara Muntai dengan empat daerah lainnya. Hal yang menarik adalah lokasi Muara Pahu yang selama ini dikenal sebagai daerah sebaran utama pesut mahakam ternyata menunjukkan hasil yang rendah untuk ketiga parameter yang diukur. Dua daerah yakni Muara Kaman dan Pela menunjukkan kesamaan dalam rata-rata jumlah pesut yang tercatat setiap hari (t = -0,355; df = 18; p > 0,05). Sementara kedua daerah tersebut masing-masing menunjukkan perbedaan dengan Muara Muntai untuk parameter yang sama. Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa: 1) tidak ada perbedaan rata-rata frekuensi kemunculan pesut setiap harinya antara Muara Kaman dan Pela (t = 0,229; df = 18; p > 0,05), serta 2) tidak ada perbedaan rata-rata durasi waktu yang dihabiskan setiap kelompok pesut setiap harinya baik di Muara Kaman dan Pela (t = 1,269; df = 64; p > 0,05). Tetapi Muara Kaman dan Pela, masing-masing memiliki perbedaan rata-rata durasi waktu dengan Muara Muntai (p < 0,05). Artinya, kelompok pesut di Muara

66 48 Muntai menghabiskan waktu yang lebih lama jika berada di daerah tersebut dibandingkan apabila berada di Muara Kaman atau Pela. Potensi Mangsa Upaya penangkapan ikan dengan menggunakan jaring insang/gillnet pada 7 lokasi di S. Mahakam memberikan hasil sebagaimana Gambar 5.2. Berdasarkan rata-rata jumlah ikan yang tertangkap per hari pada kedua level air, daerah Pela, Muara Kaman dan Muara Muntai yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari Muara Pahu dan Minta yang berada di Kabupaten Kutai Barat. Demikian pula dengan berat rata-rata hasil tangkapan ikan per hari, daerah Pela, Muara Kaman dan Muara Muntai memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan Muara Pahu dan Minta. Gambar 5.2. Perbandingan Hasil Tangkapan Ikan di 7 Lokasi pada Level Air Rendah dan Air Sedang. Gambar atas menunjukkan jumlah individu ikan yang tertangkap (ekor) dan gambar bawah menunjukkan berat (kg) ikan yang tertangkap Namun demikian, uji Mann-Whitney (Uji U) menunjukkan hampir tidak ada perbedaan yang signifikan di antara empat lokasi dengan nilai tertinggi (Muara Kaman, Pela, Muara Muntai dan Muara Pahu), baik untuk jumlah maupun berat tangkapan ikan (Tabel 5.3). Satu-satunya perbedaan yang signifikan adalah pada jumlah tangkapan ikan per hari antara Pela dan Muara Pahu (p < 0,05). Perbedaan juga terjadi antara jumlah ikan (ekor) hasil tangkapan di musim level air rendah dan air sedang (t = ; p < 0,05).

67 49 Tabel 5.3. Tingkat signifikansi Hasil Uji Mann-Whitney untuk Rata-rata Jumlah ikan dan berat hasil tangkapan per hari dari 4 lokasi penangkapan Lokasi Muara Kaman Pela Muara Muntai Muara Pahu Muara Kaman - 0,878* 0,328* 0,195* Pela 0,798** - 0,065* 0,038* Muara Muntai 0,161** 0,130** - 0,505* Muara Pahu 0,083** 0,083** 0,505** - Keterangan: *) tingkat signifikansi untuk jumlah ikan yang tertangkap per hari **) tingkat signifikansi untuk berat ikan yang tertangkap per hari. Walaupun dalam penelitian ini Muara Pahu tercatat sebagai tempat yang menghasilkan tangkapan ikan yang lebih sedikit dibandingkan Pela, Muara Kaman dan Muara Muntai, tetapi secara musiman daerah ini masih mengalami periode-periode kelimpahan ikan yang tinggi. Pada periode semacam itu masyarakat nelayan di Muara Pahu dan sekitarnya secara serentak dan bersamasama menangkap ikan yang sedang melimpah. Berdasarkan pengakuan masyarakat, periode semacam itu kini berlangsung dalam waktu yang semakin singkat. Jika sebelumnya periode melimpahnya ikan bisa berlangsung bermingguminggu, belakangan ini waktunnya hanya sekitar seminggu. Pada umumnya, menurut masyarakat, melimpahnya ikan terjadi ketika air mulai surut setelah terjadinya periode air sedang/tinggi. Air surut tersebut membawa ikan-ikan dari rawa-rawa dan danau di sekitar Muara Pahu keluar ke S. Kedang Rantau dan kemudian ke S. Mahakam. Satu-satunya catatan perjumpaan pesut selama penelitian di Muara Pahu terjadi pada kondisi semacam ini. Kondisi Lalu Lintas Perairan Berbagai macam alat transportasi melintasi S. Mahakam dan anak-anak sungainya setiap hari. Alat transportasi yang paling umum dan merupakan andalan masyarakat adalah perahu motor kecil bermesin tempel yang secara lokal dinamakan ces. Ces mendominasi lalu lintas sungai/perairan di daerah hulu S Mahakam. Selain ces, dalam kategori perahu motor kecil dengan mesin < 40 hp, juga terdapat perahu penyeberangan untuk sepeda motor. Secara keseluruhan frekuensi lalu lintas perahu kecil/ces di S. Mahakam adalah 33,6 unit/jam (SD = 20.5 unit/jam). Pela adalah daerah yang memiliki frekuensi tertinggi untuk kategori ces/perahu kecil yakni 54,5 unit/jam (SD = 13,5 unit/per jam) [Tabel 5.4]. Uji t dua rata-rata antara Pela dengan masing-masing daerah menunjukkan bahwa semua kombinasi tersebut memiliki nilai p < 0,005. Hal itu berarti frekuensi lalulintas ces di Pela berbeda secara signifikan dengan ke enam daerah lainnya. Tenggarong tercatat sebagai daerah yang memiliki frekuensi tertinggi kedua (43,3 unit/jam; SD = 9,1) setelah Pela untuk kategori perahu kecil/ces. Tidak seperti Pela, dan juga daerah-daerah lain di wilayah hulu S. Mahakam, jenis alat

68 50 transportasi yang mendominasi perairan Tenggarong bukan ces tetapi perahu penyeberangan untuk sepeda motor. Kepadatan lalu lintas perahu penyeberangan sepeda motor yang tinggi di Tenggarong ini ada hubungannya dengan runtuhnya Jembatan Tenggarong yang menyebabkan semakin maraknya usaha jasa penyeberangan. Latar belakang itu juga yang menyebabkan frekuensi rata-rata lalu lintas perahu/kapal bermesin dalam (>40 hp) di Tenggarong adalah yang paling tinggi (70,3 unit/jam; SD = 22,8). Kepadatan/frekuensi itu jauh di atas daerah lain di bagian hulu S. Mahakam seperti Muara Pahu, Muara Kaman dan Muara Muntai (Tabel 5.4). Tabel 5.4. Kepadatan/frekuensi lalu lintas sungai/perairan di S. Mahakam Lokasi n perahu kecil/ces (mesin tempel <40 hp) perahu (mesin dalam > 40 hp) F R E K U E N S I (unit/jam) Speedboat Tugboat + tongkang /kapal Keseluruhan tipe Muara Pahu ,3 ± 13,5 1,8 ± 1,6 1,7 ± 1,3 2,8 ± 2,3 43,6 ± 13,9 Minta ,3 ± 5,8 0,8 ± 0,9 0,6 ± 0,7 1,2 ± 1,1 20,9 ± 6,0 Muara Muntai ,7 ± 28,4 1,5 ± 1,3 1,0 ± 1,0 1,4 ± 1,0 41,3 ± 29,0 Pela ,5 ± 13,5 0,9 ± 0,9 2,1 ± 1,5 0,0 ± 0,0 56,0 ± 13,9 Muara Kaman ,0 ± 11,0 1,5 ± 1,3 0,5 ± 0,9 1,4 ± 1,2 36,3 ± 11,5 Sebulu 72 5,2 ± 2,1 1,8 ± 1,2 0,4 ± 0,6 1,1 ± 1,1 8,7 ± 2,9 Tenggarong 72 43,3 ± 9,1 70,3 ± 22,8 0,4 ± 0,6 2,6 ± 1,2 115,0 ± 31,1 Keseluruhan ,6 ± 20,5 8,7 ± 22,5 1,0 ± 1,2 1,5 ± 1,6 44,4 ± 33,3 Kategori speedboat yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk perahuperahu yang secara desain serupa dengan ces tetapi menggunakan mesin yang lazim digunakan pada speed boat. Speedboat umumnya digunakan untuk transportasi cepat dari daerah-daerah di hulu S. Mahakam menuju Kotabangun di mana terdapat sarana & prasarana transportasi darat yang memadai untuk mencapai bagian yang lebih hilir dari S. Mahakam seperti Samarinda. Oleh sebab itu, kepadatan/frekuensi yang tinggi dari lalu lintas speedboat terdapat di daerahdaerah hulu yang lebih jauh dari Muara Kaman (Muara Kaman terletak di hilir Kotabangun). Kepadatan/frekuensi speedboat tertinggi terjadi di Pela (2,1 unit/jam; SD = 1,5 unit/jam). Pela merupakan jalur lintas transportasi dari berbagai daerah di D. Semayang dan D. Melintang serta jalur pintas dari hulu S. Belayan. Secara keseluruhan kepadatan/frekuensi lalu lintas speedboat di S. Mahakam adalah 1 unit/jam. Alur S. Mahakam juga berfungsi sebagai jalur transportasi kapal-kapal besar pengangkut suplai bahan bakar, hasil tambang batubara, alat-alat berat, hasil hutan kayu dan sebagainya. Secara keseluruhan, di S. Mahakam rata-rata kepadatan/frekuensi lalu lintas jenis alat transportasi ini adalah 1,5 unit/jam. Kepadatan tertinggi terdapat di Muara Pahu yakni 2,8 unit/jam (2,3 unit/jam) dan yang berikutnya adalah di Tenggarong yakni 2,6 unit/jam (SD =1.2 unit/jam).

69 51 Kepadatan di kedua daerah ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan daerah-daerah lainnya (p < 0,05). Perbedaan kepadatan yang sangat mencolok terjadi antara semua daerah dengan Pela karena S. Pela tidak dilayari oleh kapalkapal besar. Kualitas Perairan Pengukuran di 9 daerah di S. Mahakam (termasuk anak-anak sungai dan danaunya) mencatat adanya variasi rata-rata kedalaman sungai sebagaimana terlihat dalam Lampiran 1. Wilayah hulu mulai dari Muara Pahu sampai Long Hubung memiliki rata-rata kedalaman yang yang lebih kecil dibandingkan dengan wilayah di hilirnya. Secara khusus, ternyata daerah Muara Pahu umumnya mempunyai perbedaan rata-rata kedalaman yang signifikan (p < 0,05) dengan daerah-daerah di bagian hilirnya. Kondisi ini disebabkan daerah Muara Pahu terdiri atas anak-anak sungai yang relatif dangkal, khususnya saat musim kemarau. Kedalaman S. Mahakam antara level air rendah dan air sedang berbeda secara signifikan (p < 0,05). Selisih kedalaman antara dua level air tersebut bervariasi di setiap wilayah. Di wilayah hulu yang terdiri atas Minta, Muara Pahu, Tering dan Long Hubung, rata-rata selisih kedalaman antara dua level air adalah 5,7 ± 0,5 m. Di wilayah tengah yang terdiri atas Muara Muntai, Pela dan Muara Kaman, rata-rata selisih kedalaman lebih kecil yakni 3,3 ± 0,4 m. Selisih kedalaman yang terendah terdapat di Sebulu dan Tenggarong yakni rata-rata 1,6 ± 0.1 m. Masing-masing wilayah tersebut memiliki perbedaan rata-rata kedalaman yang signifikan (p < 0,05) dengan yang lainnya. Temperatur air S. Mahakam berkisar antara 26,7 o C hingga 29,7 o C. Temperatur terendah tercatat di Long Hubung. Muara Kaman adalah daerah yang memiliki temperatur air rata-rata tertinggi (29,7 ± 1,2 o C) dan berbeda secara signifikan hampir dengan semua daerah lain di bagian hulunya kecuali Muara Muntai. Perbedaan yang signifikan (t = 5,764; df = 68; p < 0,05) juga terlihat antara temperatur air pada saat level air rendah dan air sedang. Pada saat level air rendah, kekeruhan di alur utama S. Mahakam (39 ± 21 NTU) lebih rendah dibandingkan saat level air sedang (80,1 ± 38,6 NTU). Nilai tersebut berbeda secara signifikan. Namun demikian nilai kekeruhan di seluruh lokasi pengambilan contoh (termasuk anak-anak sungai maupun danau) antara level air rendah dan air sedang tidak berbeda secara signifikan (t = -0,649; df = 68; p > 0,05). Kondisi ini dipengaruhi tingkat kekeruhan yang tinggi di anak-anak sungai dan danau saat level air rendah. Pada saat level air sedang, ketika debit air S. Mahakam dan beberapa anak sungai utama tinggi, kekeruhan di alur-alur sungai tersebut meningkat. Namun demikian, pada saat yang sama kekeruhan di D. Semayang, S. Pela, S. Kedang Rantau dan S. Sabintulung rendah. Kombinasi seperti ini pada akhirnya menyebabkan secara keseluruhan tidak ada perbedaan kekeruhan di semua lokasi pengambilan contoh antara level air rendah dan air sedang. Kekeruhan disebabkan oleh keberadaan bahan organik atau anorganik yang tersuspensi dan terlarut. Penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi kekeruhan maka nilai TSS (Total Suspended Solids)/ padatan tersuspensi total, semakin meningkat pula. Di alur utama S. Mahakam, TSS pada level air rendah adalah 72,5 ± 41,8 mg/l, sedangkan pada level air sedang 99,4 ± 47,6 mg/l. Nilai rata-rata TSS untuk di alur S. Mahakam saja pada

70 52 kedua musim berbeda secara signifikan. Tetapi, ketika nilai-nilai dari anak-anak sungai dan danau diperhitungkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua level air. Sungai Sabintulung, S. Pela dan Danau Semayang menunjukkan hal yang sebaliknya karena pada level air sedang justru nilai TSS dan kekeruhannya lebih rendah dibandingkan pada level air rendah. Rata-rata ph di seluruh daerah penelitian adalah 6,5 ± 0,3. Nilai ph terendah yang tercatat adalah di S. Bolowan (5.5) dan S. Sabintulung (5,8), keduanya pada saat level air rendah. Sedangkan, ph tetinggi tercatat di Bukit Jering, Muara Kaman pada saat level air rendah. Rata-rata ph pada level air rendah (6,7 ± 0,4) lebih rendah dibandingkan rata-rata pada level air sedang (6,4 ± 2,2). Kedua nilai ph tersebut berbeda secara signifikan (p < 0.05). Nilai oksigen terlarut (DO) di ke 9 lokasi pnelitian berada pada kisaran ratarata 5,3 ± 1,5 mg/l. Lokasi yang tercacat memiliki DO terendah adalah Muara Kaman (4,6 ± 1,2 mg/l) dan yang tertinggi adalah Long Hubung (6,2 ± 2,0 mg/l). Nilai DO antara level air rendah dan air sedang berbeda secara signifikan (p < 0,05). Namun demikian tidak ada perbedaan nilai DO yang signifikan antara masing-masing daerah/lokasi. Perbedaan signifikan antara dua level air juga terjadi pada parameter BOD dan COD. Sementara nilai rata-rata keseluruhan BOD (level air rendah + air sedang) adalah 1,9 ± 0,8 mg/l dan COD adalah 22,9 ± 9,7 mg/l. Kandungan besi (Fe) di perairan pada 9 lokasi penelitian berada pada kisaran rata-rata 0,8 ± 0,7 mg/l. Dua daerah yakni Pela dan Muara Kaman mencatat rata-rata kandungan besi di atas 1,0 mg/l yaitu 1,2 mg/l (SD=1,2 mg/l) dan 1,1 mg/l (SD=0,8 mg/l). Di daerah Pela, nilai rata-rata kandungan besi yang tinggi tersebut disumbangkan oleh D. Semayang (3,1 mg/l) dan S. Pela (3,1 mg/l) pada saat level air rendah, serta S. Belayan (2,6 mg/l) dan S. Mahakam (1,1 mg/l) pada saat level air sedang. Di daerah Muara Kaman, kandungan besi di atas 1 mg/l tercatat di S. Kedang Rantau (rata-rata = 1,8 mg/l) dan S. Sabintulung (rata-rata= 1,6 mg/l) baik pada level air rendah maupun air sedang. Pada level air sedang, kandungan besi 2,7 mg/l juga tercatat di muara S. Kedang Rantau ke S. Mahakam. Di daerah Muara Pahu, kandungan besi lebih dari 1 mg/l secara konsisten terjadi di muara S. Kedang Pahu (, alur S. Kedang Pahu dan S. Jelau (anak dari S. Kedang Pahu) baik pada level air rendah maupun sedang. Pada level air sedang, kandungan besi sebesar 1,1 mg/l juga tercatat di S. Bolowan. Secara umum, di keseluruhan lokasi pengamatan terdapat perbedaan yang signifikan (t = -2,055; df = 68; p < 0,05) antara kandungan besi pada level air rendah (0,54 mg/l) dan air sedang (0,95 mg/l). Kondisi kandungan mangan (Mn) di sembilan daerah penelitian yang tertera pada Lampiran 1 terutama berasal dari kandungan yang terdeteksi di level air sedang. Pada level air rendah, di sebagian besar titik/stasiun pengambilan sampel kandungan mangan tidak terdeteksi. Hanya di Muara Pahu, kandungan mangan terdeteksi di semua titik pengambilan sampel dan pada kedua level air. Untuk seluruh daerah yang diamati rata-rata kandungan mangan adalah 0,025 mg/l. Nilai rata-rata kandungan amoniak di 9 lokasi penelitian adalah 0,1 mg/l (SD = 0,1 mg/l). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kandungan amoniak pada level air rendah dan air sedang (p > 0,05). Daerah-daerah dengan rata-rata kandungan amoniak di atas 0,1 mg/l adalah Muara Pahu (0,16 ± 0,10 mg/l), Muara Kaman (0,12 ± 0,22 mg/l) dan Minta (0,12 ± 0,04 mg/l).

71 53 Kelimpahan plankton (fitoplankton) tertinggi dalam penelitian ini terdapat di daerah Minta yakni individu/liter (SD = 492 ind/l) dan Muara Pahu sebanyak individu/liter (SD = 360 ind/l). Tiga daerah lain yang sekarang merupakan lokasi konsentrasi pesut mahakam yakni Muara Kaman, Pela dan Muara Muntai mempunyai kelimpahan plankton berturut-turut sebanyak ind/l (SD = 313 ind/l), ind/l (SD = 927 ind/l) dan ind/l (SD = 562 ind/l). Walaupun terdapat variasi dalam kelimpahan plankton, tidak ada perbedaan signifikan antara daerah-daerah tersebut. Perbedaan yang signifikan justru terlihat antara level air rendah dan air sedang. Hubungan Antara Keberadaan Pesut dengan Komponen Habitat Hubungan antara variabel keberadaan pesut dengan komponen habitat dianalisis dengan menggunakan regresi berganda metode stepwise. Hasil analisis ditunjukkan dalam Tabel 5.5. Tabel 5.5 menunjukkan ada lima variabel yang paling berpengaruh terhadap frekuensi keberadaan pesut mahakam yakni frekuensi lalu lintas ponton, jumlah tangkapan, temperatur, BOD dan kedalaman sungai (R 2 = 75,6%) Tabel 5.5. Hasil analisis regresi berganda (metode stepwise) terhadap variabel frekuensi keberadaan pesut dan habitat Variabel Habitat B Koefisien Std. Error t Sig. Konstanta -21,120 3,627-5,824 0,000 LL -1,291 0,247-5,220 0,000 Tkp 0,499 0,084 5,952 0,000 Temp 14,185 2,404 5,900 0,000 BOD 0,892 0,331 2,699 0,009 Dlm 0,520 0,198 2,617 0,012 Keterangan: LL = Frekuensi Lalu-lintas perairan; Tkp = jumlah tangkapan ikan; Temp = temperatur; BOD = biological oxygen demand; Dlm = kedalaman sungai Pembahasan Indikasi bahwa pesut mulai meninggalkan habitat inti Muara Pahu- Penyinggahan telah terlihat pada tahun 2007 (Kreb & Susanti 2008). Tahun 2010 indikasi itu semakin nyata dengan tidak ditemukannya lagi pesut di Muara Pahu ketika survei monitoring populasi dilakukan (Kreb & Susanti 2011). Penelitian tentang populasi dan sebaran pesut mahakam di tahun 2012 mengkonfirmasi bahwa pesut memang sudah tidak lagi tinggal di habitat inti Muara Pahu- Penyinggahan dan fenomena perubahan sebaran pesut di S. Mahakam telah terjadi. Sekarang pesut terkonsentrasi di habitat inti Pela-Muara Kaman.

72 54 Fenomena perubahan sebaran pesut menunjukkan bahwa nilai penting habitat inti Muara Pahu-Penyinggahan bagi kehidupan pesut mahakam semakin berkurang. Land-base observation memperkuat dugaan tentang hal tersebut. Hasil observasi tersebut mengungkapkan bahwa di Muara Pahu hanya ada 3 ekor pesut (1 kelompok) yang terlihat dan teridentifikasi berada di daerah ini Sementara itu, di daerah lainnya yakni Muara Muntai, Pela dan Muara Kaman, dalam jangka waktu pengamatan yang sama, total dari jumlah pesut yang tercatat setiap hari, berturut-turut adalah 42, 98 dan 109 ekor. Frekuensi kemunculan dan durasi keberadaan pesut di daerah tersebut juga terlihat sangat kecil dibandingkan Muara Kaman, Muara Pahu dan Muara Muntai. Perbandingan lainnya dapat dilakukan dengan melihat fakta-fakta di tahun sebelumnya. Observasi selama 3 hari berturut-turut pada level air sedang-tinggi di tahun 2007 (Kreb & Susanti 2008), mencatat keberadaan 12 sampai 21 individu setiap hari di Muara Pahu. Dari pengamatan itu, secara keseluruhan, teridentifikasi 26 individu yang berbeda. Dari pengamatan yang sama saat air rendah tahun 2007, terungkap bahwa setiap harinya ada 12 individu yang tercatat berada di sekitar Muara Pahu. Saat itu, tercatat ada 22 individu yang berbeda di tempat tersebut. Hasil yang sama yakni rata-rata 12 individu (3 kelompok) per hari juga terungkap dari pengamatan serupa di Muara Pahu antara tahun (Kreb 2004; Kreb & Budiono 2005). Hasil analisis regresi mengungkapkan bahwa variabel habitat yang berpengaruh terhadap frekuensi keberadaan pesut adalah frekuensi lalu lintas ponton, jumlah tangkapan ikan, temperatur, BOD dan kedalaman. Dua variabel habitat yakni frekuensi lalu lintas dan jumlah tangkapan ikan (potensi ikan) diduga berperan dalam hilangnya nilai penting Muara Pahu-Penyinggahan sebagai habitat pesut. Di daerah Muara Pahu, khususnya di anak S. Kedang Pahu, telah terjadi peningkatan yang luar biasa dari frekuensi lalu lintas ponton pengangkut batubara. Peningkatan itu sangat besar karena mencapai tiga kali lipat dibandingkan kondisi lalu lintas S. Mahakam pada periode tahun (Kreb 2004). Ponton pengangkut batubara sangat mengganggu kehidupan pesut karena suara mesin tugboat yang menariknya menimbulkan kebisingan yang luar biasa bagi pesut mahakam, khususnya di S. Kedang Pahu yang lebih sempit dan dangkal. Kebisingan suara yang ditimbulkan pengangkutan batubara di S. Kedang Pahu berlipat ganda karena setiap ponton terdiri atas dua tugboat; satu tugboat di depan menarik ponton dan satu lagi di belakang menahan dan mengarahkan gerakan ponton. Dampak ponton terhadap pesut secara tidak langsung juga bisa dilihat dari frekuensi lalu lintas dari jenis alat transportasi lain misalnya ces/perahu kecil. Pela adalah daerah yang memiliki frekuensi tertinggi untuk kategori ces/perahu kecil. Dibandingkan dengan Muara Pahu, frekuensi lalu lintas ces di Pela jauh lebih tinggi. Tetapi, di Pela frekuensi, durasi dan jumlah kehadiran pesut sangat tinggi. Hal itu berarti bukan sekedar frekuensi lalu lintas yang mempengaruhi keberadaan pesut tetapi jenis alat transportasinya. Ces/perahu kecil memiliki mesin di luar/atas air sehingga suara bisingnya tidak terlalu mengganggu pesut. Sedangkan mesin tugboat yang besar posisi mesinnya berada di bawah permukaan air sehingga suara bisingnya langsung dikeluarkan ke dalam air. Analisis regresi menunjukkan bahwa variabel jumlah tangkapan ikan berpengaruh secara signifikan terhadap keberadaan pesut. Jumlah tangkapan

73 55 menunjukkan potensi ikan yang ada di wilayah tertentu dan sekaligus indikasi tentang potensi (ketersediaan) pakan bagi pesut. Selain karena lalu lintas ponton yang padat, pindahnya pesut dari Muara Pahu diduga juga ada hubungannya dengan ketersediaan pakan yang semakin berkurang di Muara Pahu. Data produksi perikanan wilayah Muara Pahu tahun 2001 menunjukkan bahwa pada tahun tersebut produksi perikanan tangkap adalah sebesar 1.348,8 ton. Jauh lebih besar dibandingkan tahun 2010 yang produksinya sebesar 903,7 ton. Angka-angka tersebut memperlihatkan bahwa potensi sumberdaya perikanan di Muara Pahu telah menurun dan itu dapat diartikan bahwa sumberdaya ikan untuk pakan pesut juga berkurang. Situasi berkurangnya sumberdaya perikanan di Muara Pahu dikonfirmasi oleh masayarakat nelayan di wilayah ini. Wawancara dengan masyarakat nelayan menunjukkan bahwa 82% responden (n=46) menyatakan bahwa jumlah hasil tangkapannya semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal menarik dapat dilihat dalam data statistik produksi perikanan tangkap di Muara Pahu. Tren produksi perikanan tangkap di Muara Pahu ternyata meningkat sejak tahun 2005 (835,9 ton) hingga 2010 (903,7 ton), walaupun angkanya masih jauh di bawah produksi tahun Tren peningkatan produksi perikanan bisa jadi bukan merupakan hal menggembirakan karena ada kemungkinan peningkatan produksi tersebut dilakukan di tengah-tengah keterbatasan sumberdaya perikanan di Muara Pahu. Penangkapan ikan dilakukan dengan semakin intensif dan menguras sumberdaya yang tersedia. Dalam konteks ini, masuk akal apabila ternyata ketersediaan sumberdaya pakan bagi pesut semakin menipis karena sebagian besar ikan sudah dipanen oleh masyarakat nelayan. Penelitian ini juga menemukan bukti-bukti bahwa sebagian areal rawa di sekitar Muara Pahu sudah berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Di daerah rawa di sekitar Muara Pahu ada perusahaan kebun kelapa sawit yang memperoleh ijin lokasi sebesar ha. Sampai awal 2013, perusahaan ini telah membangun kebun seluas ha. Untuk menanam di rawa, perusahaan harus membangun tanggul-tanggul di rawa untuk membuat blok-blok (cluster) tanam yang bisa menghindarkan tanaman kelapa sawit dari kebanjiran maupun kekeringan (Gambar 5.3). Konsekuensi dari adanya tanggul-tanggul dan cluster tanam ini adalah pengurangan luas rawa yang menjadi habitat dan tempat memijahnya ikan. Tanggul juga bisa menjadi penghalang bagi keluarnya ikan dari rawa-rawa ke sungai-sungai. Situasi seperti ini sangat mungkin menyebabkan berkurangnya ikan yang bisa dipanen oleh masyarakat dan dimakan oleh pesut mahakam. Analisis terhadap parameter kualitas air di S. Mahakam (termasuk anakanak sungai dan danau-danaunya) yang secara historis merupakan habitat pesut, menunjukkan bahwa nilai-nilai parameter kualitas air masih memenuhi baku mutu untuk budidaya perikanan (Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001). Secara teoritis, hal itu berarti air S. Mahakam masih memenuhi persyaratan untuk hidupnya ikan-ikan yang umum dibudidayakan. Ikan-ikan yang secara alami hidup di perairan S. Mahakam umumnya memiliki daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan yang biasa dibudidayakan. Jadi jika perairan S. Mahakam masih memenuhi syarat bagi perkembangan ikan-ikan budidaya maka perairan sungai ini juga masih baik bagi kehidupan ikan-ikan asli penghuninya.

74 56 Gambar 5.3. Tanggul pembatas yang melindungi kebun kelapa sawit dari luapan air S. Kedang Pahu Simpulan Muara Kaman, Pela dan Muara Muntai adalah habitat yang penting bagi pesut mahakam. Di Muara Kaman dan Pela, pesut dapat dijumpai setiap hari dalam jumlah yang relatif banyak. Pesut juga menghabiskan waktu yang lama di kedua tempat ini. Sebaliknya, wilayah Muara Pahu-Penyinggahan, yang dikenal sebagai habitat inti pesut mahakam, telah kehilangan nilai pentingnya bagi pesut. Sekarang pesut sudah tidak lagi tinggal di wilayah ini. Pindahnya pesut dari Muara Pahu diduga disebabkan oleh meningkatnya frekuensi lalu lintas ponton batu bara di S. Kedang Pahu dan berkurangnya sumberdaya perikanan yang menjadi sumber pakannya. Kualitas air S. Mahakam, anak-anak sungai dan danau-danaunya relatif masih baik. Temperatur air berkisar antara 26,7 o C-29,7 o C. Wilayah hulu S. Mahakam mempunyai temperatur air yang cenderung lebih rendah dari wilayah hilirnya. Pada saat level air rendah, kekeruhan di alur utama S. Mahakam sebesar 39 ± 21 NTU, sedangkan saat level air sedang sebesar 80,1 ± 38,6 NTU. Ratarata ph di seluruh daerah penelitian adalah 6,5 ± 0,3. Nilai oksigen terlarut (DO) habitat pesut mahakam berada pada kisaran rata-rata 5,3 ± 1,5 mg/l. Nilai ratarata keseluruhan BOD (level air rendah + air sedang) adalah 1,9 ± 0,8 mg/l dan COD adalah 22,9 ± 9,7 mg/l. Kandungan besi (Fe) berada pada kisaran rata-rata 0,8 ± 0,7 mg/l sedangkan kandungan mangan (Mn) rata-rata kandungan mangan adalah 0,025 mg/l. Nilai rata-rata kandungan amoniak di 9 lokasi penelitian adalah 0,1 mg/l (SD = 0,1 mg/l). Kelimpahan plankton (fitoplankton) tertinggi

75 dalam penelitian ini terdapat di daerah Minta yakni individu/liter (SD = 492 ind/l) dan Muara Pahu sebanyak individu/liter (SD = 360 ind/l). Tiga daerah lain yang sekarang merupakan lokasi konsentrasi pesut mahakam yakni Muara Kaman, Pela dan Muara Muntai mempunyai kelimpahan plankton berturutturut sebanyak ind/l (SD = 313 ind/l), ind/l (SD = 927 ind/l) dan ind/l (SD = 562 ind/l). 57

76 58 6. KOORDINASI ANTAR ORGANISASI DALAM JARINGAN KERJA KONSERVASI PESUT MAHAKAM Pendahuluan Perubahan sebaran pesut mahakam telah terjadi di S. Mahakam, anak-anak sungai dan danau-danaunya (lihat Bab 3). Tanda-tanda awal perubahan tersebut sesungguhnya telah terlihat sejak tahun 2007 (Kreb & Susanti 2008). Kegiatan monitoring pesut tahun 2007 mengungkapkan bahwa pesut semakin berkurang di core area Muara Pahu-Penyinggahan (Kabupaten Kutai Barat) yang telah ditetapkan sebagai satu-satunya kawasan perlindungan bagi habitat pesut di S. Mahakam (Kreb & Susanti 2008). Tahun-tahun berikutnya, indikasi perubahan itu semakin jelas terlihat karena pesut semakin sulit dijumpai di Kabupaten Kutai Barat, khususnya di Muara Pahu yang merupakan habitat intinya. Kegiatan monitoring populasi pesut di tahun 2010 bahkan sama sekali tidak menemukan pesut mulai dari core area Muara Pahu-Penyinggahan sampai dengan Laham di hulu S. Mahakam (Kreb & Susanti 2011). Berbagai dugaan (hipotesis) telah dikemukakan tentang penyebab menghilangnya pesut dari core area Muara Pahu-Penyinggahan. Dugaan pertama adalah merosotnya kelimpahan ikan yang merupakan pakan pesut. Kedua adalah menyusutnta habitat rawa tempat hidup dan memijahnya ikan yang merupakan pakan pesut. Ketiga adalah semakin tingginya frekuensi lalu lintas ponton batubara di S. Kedang Pahu (Kreb et al. 2010; Kreb & Susanti 2011). Walaupun tanda-tanda perubahan sudah terlihat dan dugaan-dugaan tentang penyebabnya sudah dikemukakan, respon dan antisipasi para stake-holder terhadap perubahan tersebut tidak ada. Tidak adanya respon dan antisispasi menimbulkan banyak pertanyaan karena diketahui ada banyak pihak yang berkoordinasi dan berkomitmen untuk melestarikan pesut mahakam di Muara Pahu dan sekitarnya. Bahkan pihak-pihak tersebut telah berhasil mencapai kemajuan yang berarti dengan ditetapkannya kawasan perlindungan bagi habitat pesut di Muara Pahu (Kreb et al. 2010). Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah: Apakah pihak-pihak yang telah berkomitmen dalam konservasi pesut di core area Muara Pahu-Penyinggahan telah melakukan koordinasi untuk merespon dan mengantisipasi berbagai peristiwa tersebut di atas? Penelitian ini dilakukan terutama untuk menjawab pertanyaan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari koordinasi antar organisasi yang terlibat dalam konservasi pesut dengan menerapkan analisis jaringan kerja sosial atau Social Network Analysis (Hanneman & Riddle 2005). Analisis jaringan kerja sosial telah digunakan untuk berbagai tujuan seperti mengevaluasi proses kerja (ODC 2008; Mote et al. 2007), memeriksa dan menilai hubungan antar organisasi/koordinasi (Kwait et al. 2001; Krauss et al. 2004; Kapucu 2005) atau mempelajari evolusi jaringan kerja (Kapucu 2009). Dalam penelitian ini secara khusus, analisis jaringan kerja sosial digunakan untuk: 1) memetakan struktur hubungan koordinasi dan 2) mengidentifikasi aktor/organisasi penting dan berperan sentral dalam jaringan kerja. Identifikasi aktor-aktor penting dan sentral dalam jaringan akan diperkuat dengan analisis kepentingan-pengaruh masing-masing aktor untuk menentukan pemain kunci (Reed et al. 2009).

77 59 Bahan dan Metode Bahan dan Alat Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner penelitian. Dua macam kuesioner digunakan untuk keperluan penelitian ini. Kuesioner pertama disiapkan khusus untuk mengumpulkan data tentang hubungan koordinasi, dan yang kedua disiapkan untuk mengumpulkan data tentang kepentingan dan pengaruh dari organisasi yang terlibat dalam konservasi pesut. Data tentang hubungan koordinasi dianalisis dengan bantuan program komputer UCINET 6 (Borgatti et al. 2002), sedangkan untuk pembuatan matriks kepentingan-pengaruh digunakan program komputer IBM SPSS Statistics v20. Pengumpulan Data 1. Responden/Stakeholder Penelitian ini menganalisis data yang berasal dari 16 organisasi/lembaga yang semua terkait dengan upaya konservasi pesut mahakam. Enam belas organisasi ini terdiri atas satu organisasi vertikal pemerintah pusat [Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur], dua organisasi pemerintah Provinsi Kalimantan Timur [Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kalimantan Timur], dua organisasi non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat [Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI) dan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia] dan sebelas organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tingkat kabupaten (unit kerja Dinas dan Badan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat). Secara lengkap enam belas organisasi yang menjadi responden dapat dilihat pada Tabel 6.1. No. Tabel 6.1. Organisasi/lembaga yang menjadi responden penelitian Nama Organisasi/Lembaga Kode pada analisis 1 Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur (BKSDA Kaltim) 1KSDA 2 Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI) 2RASI 3 World Wide Fund for Nature Program Kalimantan Timur (WWF-Kaltim) 3WWF 4 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kalimantan Timur 4DKPKT 5 Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Kalimantan Timur 5BLHKT 6 Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Kutai Kartanegara 6SETKK 7 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Kutai Kartanegara 7DKPKK 8 Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Kutai Kartanegara 8HUTKK 9 Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Kutai Kartanegara 9BLHKK 10 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten. Kutai Kartanegara 10BPDKK 11 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Kutai Kartanegara 11PARKK 12 Dinas Perkebunan, Tanaman Pangan, Peternakan dan Perikanan Kabupaten Kutai Barat 12DKPKB 13 Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Kutai Barat 13HUTKB 14 Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Kutai Barat 14BLHKB 15 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Kutai Barat 15BPDKB 16 Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kutai Barat 16PARKB

78 60 Keenambelas organisasi ini ditentukan berdasarkan pilihan organisasiorganisasi itu sendiri yang dimintai pendapatnya tentang lembaga/organisasi mana yang berperan penting dalam konservasi pesut. Jawaban-jawaban itu kemudian dicek silang dengan informasi tentang tugas pokok dan fungsi serta dokumendokumen lain yang mendukung (misalnya laporan-laporan tentang lokakarya yang berkaitan dengan konservasi pesut) untuk mengkonfirmasi keterlibatan atau perannya dalam konservasi pesut. 2. Data dan Informasi yang Diperlukan Analisis jaringan kerja dengan menggunakan UCINET memerlukan datadata sebagai berikut: 1] keberadaan dan frekuensi komunikasi/koordinasi, 2] transaksi sumberdaya (menerima atau memberikan bantuan) dan 3] jenis sumberdaya yang diterima atau diberikan (dana, staf, fasilitas, bantuan teknis serta data dan informasi). Analisis kepentingan dan pengaruh memerlukan data dan informasi sebagai berikut: 1] visi, misi, tujuan, tugas pokok atau fungsi organisasi, 2] prioritas kerja, 3] harapan, 4] dukungan sumberdaya, 5] kemampuan memperjuangkan aspirasi dan 6] derajat sentralitas (degree of centrality). Data terakhir tersebut diperoleh dari analisis jaringan kerja. 3. Teknik Pengumpulan Data Sebagian data dikumpulkan melalui wawancara semi terstruktur yang dipandu dengan kuesioner penelitian. Sebagian lagi diperoleh melalui studi pustaka terhadap berbagai dokumen yang relevan. Wawancara, walaupun dilakukan dengan panduan kuesioner, bersifat fleksibel karena penting juga untuk menggali data dan informasi lain yang berkaitan dengan data pokok yang ditanyakan lewat kuesioner. Untuk mendukung kelengkapan data dan informasi, dilakukan juga wawancara terhadap informan lain di dalam organsasi yang sama untuk keperluan konfirmasi data. Analisis Data 1. Analisis Jaringan Kerja Dua produk/output dari analisis jaringan kerja adalah sociogram (diagram/ gambar jaringan kerja) dan nilai/indeks dari derajat sentralitas (Hanneman and Riddle 2005). Sociogram dan nilai/indeks tersebut secara otomatis dibangun dan dihitung oleh program komputer UCINET (Borgatti et al. 2002) dari masukan data tentang ada tidaknya hubungan antara organisasi-organisasi. Sociogram secara visual memperlihatkan struktur dari jaringan kerja: ikatan/hubungan antara aktor (organisasi yang terlibat), posisi aktor dalam jaringan, kekuatan jaringan secara keseluruhan maupun pengelompokan aktor ke dalam faksi-faksi. Nilai/indeks derajat sentralitas secara umum juga menunjukkan hal yang sama, bedanya karakteristik itu dinyatakan secara kuantitatif. Analisis jaringan kerja konservasi pesut mahakam dilakukan dengan tiga skenario. Pertama, analisis hanya didasarkan atas ada atau tidaknya komunikasi/ koordinasi antar organsasi (data biner: ada = 1; tidak ada = 0). Analisis terhadap skenario ini menghasilkan struktur jaringan kerja potensial konservasi pesut mahakam. Kedua, analisis dilakukan dengan memperhitungkan frekuensi komunikasi tetapi input data ke dalam program komputer tetap bersifat biner.

79 61 Dalam hal ini, data frekuensi akan didikotomikan menjadi komunikasi minimal dua kali setahun dan komunikasi kurang dari 2 kali setahun Jika data memenuhi kriteria pertama maka nilainya adalah 1 sedangkan jika memenuhi kriteria kedua nilainya 0. Analisis dengan skenario ini menunjukkan kondisi riil jaringan kerja koordinasi konservasi pesut mahakam. Skenario terakhir adalah menganalisis jaringan kerja dengan input transaksi sumberdaya. Wujud dari transaksi ini adalah proses memberi atau menerima sumberdaya kepada atau dari organisasi lain dalam jaringan kerja. Selain sociogram, hasil analisis lainnya adalah nilai sentralitas yang meliputi degree, closeness dan betweeness centrality. Degree centrality adalah jumlah aktor/organisasi lain yang berada paling dekat dan terikat hubungan langsung dengan suatu organisasi (Freeman 1979). Jadi aktor yang menjadi sentral dalam jaringan adalah aktor/organisasi yang memiliki paling banyak hubungan langsung dengan aktor lainnya (ODC 2008). Konsep ini diperkenalkan oleh Freeman (1979) sehingga nilai ini dikenal dengan Freeman s degree centrality (UCINET menggunakan konsep ini dalam perhitungan degree centrality). Closeness centrality menunjukkan seberapa dekat keberadaan satu aktor/organisasi terhadap aktor-aktor lainnya dalan jaringan (Freeman 1979; Faust & Wasserman 2002). Aktor yang memiliki nilai closeness centrality tinggi memiliki kemampuan untuk dapat berkomunikasi dengan aktor-aktor lainnya dalam waktu yang singkat. Sedangkan betweeness centrality memperlihatkan potensi suatu organisasi/ aktor untuk dapat mengontrol komunikasi/interaksi antara aktor-aktor lainnya karena ia berada di antara mereka (Faust and Wasserman 2002; Kapucu 2005). Frekuensi keberadaan aktor ini diantara para aktor lainnya adalah ukuran dari nilai ini (Freeman 1979). Sociogram dan ketiga nilai sentralitas antara skenario pertama dan kedua selanjutnya akan dibandingkan untuk melihat adanya kesenjangan komunikasi antara kedua kondisi tersebut. Semua keluaran analisis jaringan tersebut juga akan digunakan untuk menentukan aktor-aktor penting dalam jaringan kerja konservasi pesut. 2. Analisis Kepentingan dan Pengaruh Keluaran dari analisis ini adalah matriks kepentingan-pengaruh (Reed et al. 2009) yang akan menempatkan organisasi-organisasi dalam kategori-kategori sesuai tingkat kepentingan dan pengaruh yang dimilikinya. Posisi setiap organisasi dalam matriks ditentukan oleh nilai/skor dari kriteria kepentingan maupun pengaruhnya. Masing-masing nilai/skor tersebut merupakan jumlah dari nilai/skor organisasi untuk setiap indikator yang telah ditentukan pada kedua kriteria tersebut. Nilai/skor pada setiap indikator bersifat kategorik berjenjang lima (skala Likert: 0-5) [lihat Lampiran 2], sehingga nilai organisasi untuk setiap indikator merupakan nilai kategori ke dalam mana organisasi tersebut dikelompokkan. Nilai kategori ditentukan berdasarkan jawaban responden (organisasi) atas pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut setiap kriteria dan indikator. Indikator untuk kriteria kepentingan meliputi: 1) visi, misi, tugas pokok dan fungsi [VMTPF], 2) prioritas kerja dan 3) harapan/keinginan. VMTPF sangat relevan untuk melihat tingkat kepentingan karena dalam organisasi, VMTPF

80 62 umumnya berlaku sebagai fondasi untuk bekerja sehingga organisasi terdorong oleh kewajiban atau kebutuhan untuk mewujudkannya. Dorongan kewajiban atau kebutuhan inilah yang menjadi kepentingan organisasi. Prioritas kerja juga merupakan indikator yang baik untuk melihat kepentingan suatu organisasi dalam konservasi pesut mahakam. Logikanya, semakin prioritas bagi organisasi suatu upaya konservasi pesut mahakam maka itu menjadi petunjuk besarnya keinginan untuk mewujudkan upaya tersebut. Terakhir adalah indikator harapan/keinginan. Suatu harapan/keinginan umumnya disertai tuntutan untuk diwujudkan dan seringkali diperlakukan sebagai sebuah tujuan yang ingin dicapai. Dengan karakteristik seperti itu sebuah harapan/keinginan menjadi indikator yang baik bagi kriteria kepentingan. Penilaian untuk kriteria pengaruh didasarkan atas tiga indikator yakni: 1) dukungan sumber daya, 2) kemampuan memperjuangkan aspirasi, 3) posisi dan peran sentral dalam jaringan. Sumberdaya yang dimaksud dalam indikator pertama meliputi dana, sarana dan prasarana, tenaga terampil/ahli serta data dan informasi. Kepemilikan atas sumberdaya memberikan suatu organisasi kemampuan mempengaruhi jaringan kerja secara keseluruhan. Semakin besar dukungan sumberdaya yang dimiliki semakin besar pula pengaruhnya dalam jaringan kerja. Dengan dukungan sumberdaya, suatu organisasi dapat membuat dirinya bekerja dan berkoordinasi. Dengan kepemilikan sumberdaya, organisasi tersebut juga bisa membantu organisasi lain dalam jaringan utnuk bekerja mencapai tjuan bersama. Jadi gerakan keseluruhan jaringan kerja sangat dipengaruhi organisasi semacam itu. Pengaruh suatu organisasi juga ditunjukkan oleh kemampuannya untuk memperjuangkan aspirasi (keinginannya). Kemampuan itu ditunjukkan oleh adanya kewenangan formal, pengetahuan dan kemampuan khusus serta jaringan internasional yang dimiliki. Selain itu kontrol atas sumber daya dan penguasan informasi juga menjadi faktor yang dapat memberi organsasi kemampuan untuk memperjuangkan aspirasinya. Indikator ketiga yang menjadi petunjuk tentang pengaruh suatu organisasi adalah posisi dan peran sentralnya dalam jaringan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, posisi dan peran sentral tersebut dapat dilihat dari nilai degree centrality setiap organisasi dalam jaringan. Hasil Jaringan Kerja Koordinasi Sesuai dengan visi, misi atau tugas pokok dan fungsi organisasinya, enambelas aktor/organisasi memainkan perannya masing-masing dalam konservasi pesut mahakam. Dalam menjalankan perannya, organisasi-organisasi tersebut berinteraksi satu dengan lainnya dalam sebuah jaringan kerja yang terbentuk oleh hubungan antar organisasi yang disebut koordinasi. Berikut ini adalah koordinasi antar organisasi yang ditelaah berdasarkan frekuensi komunikasi antar aktor/organisasi 1. Jaringan Kerja Potensial Jaringan kerja seperti tampak pada Gambar 6.1 adalah jaringan kerja koordinasi untuk konservasi pesut mahakam yang tidak memperhitungkan

81 intensitas/frekuensi dari komunikasi yang dilakukan. Jaringan ini hanya memperhitungkan ada atau tidak adanya komunikasi (koordinasi) antar organisasi. Jaringan kerja sebagaimana ditunjukkan Gambar 6.1 (dengan 16 organisasi/aktor) memiliki 120 kemungkinan hubungan. Tetapi, berdasarkan hasil analisis statistik univariat dengan UCINET, jaringan ini hanya memiliki kerapatan (density) sebesar 49,2%. Artinya, jaringan ini hanya dibentuk oleh 59 hubungan (ikatan) dari 120 hubungan yang mungkin ada dalam jaringan ini. Gambar 6.1 secara jelas memperlihatkan bahwa ada dua organisasi yang berada di pusat jaringan yang terikat hubungan dengan sebagian besar organisasi dalam jaringan ini. Kedua organisasi tersebut adalah 1KSDA dan 2RASI. Analisis statistik dengan menggunakan program UCINET memperkuat hal tersebut (Tabel 6.2). Semua parameter sentralitas (centrality) dari kedua organisasi tersebut menunjukkan nilai-nilai yang relatif tinggi dibandingkan organisasi/aktor lainnya. 63 Gambar 6.1. Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam. Jaringan kerja ini dibuat dengan hanya mempertimbangkan ada tidaknya komunikasi dan tanpa memperhitungkan nilainya (frekuensi komunikasi) Hal lain yang menarik dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam adalah adanya indikasi bahwa jaringan ini sesungguhnya terbagi atas dua kelompok (Gambar 6.1). Kelompok yang pertama adalah jaringan organisasi yang berada di bagian kanan Gambar 6.1 yakni kelompok organisasi pemerintah Kabupaten Kutai Barat. Sedangkan kelompok kedua adalah jaringan organisasi yang ada di bagian kiri Gambar 6.1, yang direpresentasikan oleh organisasiorganisasi dari pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Analisis faksi dengan UCINET menunjukkan keberadaan tiga kelompok di dalam jaringan kerja

82 64 konservasi pesut mahakam secara keseluruhan. Pembagian kelompok tersebut adalah sebagai berikut: 1. 6SETKK, 7DKPKK, 8HUTKK, 9BLHKK, 10BPDKK, 11PARKK 2. 1KSDA, 2RASI, 3WWF, 12DKPKB, 13HUTKB, 14BLHKB, 15BPDKB, 16PARKB 3. 4DKPKT, 5BLHKT Tabel 6.2. Organisasi/aktor penting dalam jaringan kerja pesut mahakam No. Organisasi/ Aktor Centrality Degree Closeness Betweenness 1 1KSDA RASI WWF DKPKT BLHKT SETKK DKPKK HUTKK BLHKK BPDKK PARKK DKPKB HUTKB BLHKB BPDKB PARKB Rata-rata Std.Dev Keberadaan dua kelompok pertama sesuai dengan gambaran yang diberikan oleh sociogram. Sedikit perbedaan antara analisis faksi dengan apa yang terlihat dalam Gambar 6.1 adalah dalam analisis faksi, organisasi-organisasi seperti 1KSDA, 2RASI dan 3WWF dimasukkan ke dalam kelompok organisasi pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara karena memiliki hubungan koordinasi yang lebih banyak dengan organisasi di kabupaten tersebut. Sementara itu, Gambar 6.1 memperlihatkan bahwa 1KSDA dan 2RASI bersifat lebih netral karena berada di tengah-tengah dan menjalin hubungan/ikatan koordinasi dengan kedua faksi yang ada. Kelompok ketiga yang teridentifikasi melalui analisis faksi adalah kelompok organisasi pemerintah di tingkat provinsi (4DKPKT dan 5BLHKT). 2. Jaringan Kerja Riil Gambaran tentang jaringan koordinasi konservasi pesut mahakam menjadi jauh berbeda ketika intensitas/frekuensi komunikasi tertentu dijadikan standar. Jika analisis jaringan hanya memperhitungkan frekuensi komunikasi minimal 2

83 65 kali setahun maka jaringan kerja konservasi pesut mahakam akan terlihat seperti Gambar 6.2. Jaringan kerja seperti pada Gambar 6.2 inilah yang sesungguhnya menggambarkan situasi komunikasi dan koordinasi yang terjadi dalam 3-4 tahun sejak 2009 Gambar 6.2. Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam berdasarkan frekuensi koordinasi/komunikasi minimal 2 kali setahun Gambar 6.2 dan Tabel 6.3 memperlihatkan bahwa banyak potensi hubungan antarorganisasi yang tidak terwujud dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam dalam 3-4 tahun terakhir. Gambaran tersebut diperkuat oleh analisis statistik yang mengungkapkan bahwa jaringan ini hanya memiliki kerapatan (density) sebesar 12,5%. Artinya, jaringan ini hanya dibentuk oleh 15 hubungan (ikatan) dari 120 hubungan yang mungkin ada. Sebagian besar hubungan koordinasi hanya terjadi di antara sesama organisasi yang merupakan SKPD Kabupaten Kutai Kartanegara atau antara SKPD tersebut dengan pihak luar seperti 2RASI atau 1KSDA. Analisis jaringan kerja memperlihatkan bahwa organisasi yang memegang peranan sentral dalam koordinasi yang ada sekarang adalah 8HUTKK, 6SETKK dan 7DKPKK. Posisi sentral ketiga organisasi ini ditunjukkan oleh nilai sentralitas (Tabel 6.3). Peran dan posisi yang tidak kalah pentingnya juga dimiliki oleh 2RASI. Hal itu ditunjukkan oleh nilai-nilai variabel sentralitas yang juga relatif tinggi. Kondisi koordinasi sebagaimana diuraikan di atas sejalan dengan upaya penunjukkan kawasan perlindungan bagi habitat pesut di Kabupaten Kutai Kartanegara yang prosesnya sedang berlangsung dalam 2 tahun terakhir ini dan diinisiasi oleh 2RASI. Dengan adanya proses tersebut, 2RASI dan SKPD Kabupaten Kutai Kartanegara berkoordinasi dengan lebih intens, sehingga stuktur jaringan kerja hanya terbentuk pada kelompok organisasi tersebut (Gambar 6.2).

84 66 Sebaliknya, tidak ada koordinasi yang memadai antara SKPD di Kabupaten Kutai Barat untuk menindaklanjuti penunjukkan kawasan perlindungan habitat pesut di Muara Pahu. Akibat lemahnya koordinasi tersebut, kelompok SKPD Kabupaten Kutai Barat tidak terikat dalam struktur jaringan. Tabel 6.3. Posisi dan sentralitas organisasi/aktor dalam jaringan kerja pesut mahakam saat ini No. Organisasi/ Aktor Centrality Degree Closeness Betweenness 1 1KSDA RASI WWF DKPKT BLHKT SETKK DKPKK HUTKK BLHKK BPDKK PARKK DKPKB HUTKB BLHKB BPDKB PARKB Analisis jaringan kerja koordinasi secara keseluruhan menunjukkan bahwa koordinasi antara aktor/organisasi dalam konservasi pesut mahakam masih lemah. Potensi koordinasi banyak yang tidak terwujud karena frekuensi komunikasi antar aktor/organisasi masih terlalu rendah. Jaringan kerja koordinasi hanya tergantung pada satu aktor/orgnanisasi yakni 2RASI sehingga tanpa inisiatif atau kehadiran organisasi ini konservasi pesut mahakam berpotensi mengalami hambatan. Jaringan Kerja Transaksi Sumberdaya Proses koordinasi antar organisasi tidak hanya dicirikan oleh berapa banyak komunikasi dilakukan, tetapi juga oleh adanya transaksi sumber daya. Gambar 6.3 berikut ini adalah gambaran jaringan kerja yang menyangkut keberadaan transaksi sumberdaya tersebut. Transaksi sumberdaya yang dimaksud adalah saling memberi-menerima bantuan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.

85 67 Gambar 6.3. Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam berdasarkan transaksi sumberdaya Tabel 6.4. Sentralitas organisasi/aktor dalam jaringan kerja transaksi sumberdaya untuk konservasi pesut mahakam No. Organisasi/ Aktor Centrality Degree OutDegree InDegree 1 1KSDA RASI WWF DKPKT BLHKT SETKK DKPKK HUTKK BLHKK BPDKK PARKK DKPKB HUTKB BLHKB BPDKB PARKB Jaringan kerja transaksi sumberdaya memiliki kemungkinan maksimal 240 hubungan transaksi, tetapi hanya 21,67% (52) hubungan yang terwujud. Kebanyakan transaksi sumberdaya yang terjadi melibatkan organisasi SKPD

86 68 Kabupaten Kutai Kartanegara, 2RASI dan 1KSDA. Hal itu ditunjukkan oleh nilai degree of centrality yang tinggi dari organisasi-organisasi tersebut (Tabel 6.3). Tidak terjadi transaksi antar SKPD Kutai Barat dengan SKPD Kutai Kartanegara (Gambar 6.3). Lima organisasi SKPD Kabupaten Kutai Barat juga sangat sedikit melakukan transaksi sumberdaya antar sesamanya. Satu-satunya organisasi di luar SKPD Kabupaten yang berinteraksi dengan kedua kabupaten adalah 2RASI. Lima organisasi yakni 2RASI, 7DKPKK, 10BPDKK, 6SSETKK dan 1KSDA merupakan organisasi yang banyak berperan dalam memberikan sumberdaya kepada organisasi lain (outdegree of centrality) dalam upaya konservasi pesut mahakam (Tabel 6.4). Tiga di antara kelima organsiasi tersebut (2RASI, 6SETKK dan 1KSDA) sekaligus juga merupakan organisasi yang menerima paling banyak sumberdaya dari organisasi lainnya. Analisis Kepentingan-Pengaruh Kepentingan dan pengaruh organisasi dalam upaya konservasi pesut dapat dilihat dari nilai/skor kriteria-kriteria yang ada pada Tabel 6.5. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua organisasi memiliki harapan/keinginan yang sama yakni kelestarian populasi, habitat pesut serta kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan perekonomiannya. Hal ini ditunjukkan oleh skor 5 atau 4 pada kolom K 3 Kepentingan. Bagi sebagian organisasi harapan-harapan tersebut bisa diwujudkan karena didukung oleh visi, misi, tugas pokok dan fungsi (Kriteria K 1 ) yang diembannya. Visi, misi, tugas pokok atau fungsi adalah amanat bagi organisasi sehingga ada kewajiban atau kebutuhan untuk merealisasikannya. Dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam, sebagian organisasi terlibat karena visi, misi, tugas pokok dan fungsinya memang secara spesifik menyangkut konservasi spesies terancam punah (2RASI dan 1KSDA) atau secara umum berkaitan dengan konservasi sumber daya alam (3WWF, BLH dan dinas-dinas kabupaten terkait perikanan dan kehutanan). Untuk organisasi seperti 2RASI dan 1KSDA, nilai/skor untuk kriteria K 1 adalah 5, sedangkan bagi organisasi seperti 3WWF dan yang lainnya, nilai/skor untuk kriteria K 1 adalah 4 (Tabel 6.5). Jaringan kerja konservasi pesut mahakam terbentuk dari organisasi yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam konservasi pesut mahakam, sehingga tidak ada organisasi yang memikili nilai/skor 1 untuk kriteria K 1. Beberapa organisasi seperti 9BPDKK, 10PARKK dan 15PARKB memiliki visi, misi, tugas pokok atau fungsi yang secara tidak langsung berkaitan dengan konservasi sehingga nilai/skor untuk kriteria K 1 =3. Sementara itu, 5SETKK dan 14BPDKB memiliki nilai/skor 2 karena memiliki potensi untuk mendukung konservasi. Selain kepentingan, Tabel 6.5 juga memperlihatkan pengaruh dari masingmasing organisasi/aktor yang terlibat dalam konservasi pesut mahakam. Jika dilihat dari kriteria Dukungan Sumberdaya (P 1 ), maka kebanyakan organisasi belum bisa mencapai kondisi kecukupan sumberdaya (skor = 1-3). Hanya organisasi 2RASI yang didukung oleh sumberdaya yang memadai (skor = 5). Tiga organisasi lainnya yakni 1KSDA, 6DKPKK dan 12HUTKB didukung sumberdaya yang hampir memadai (skor = 4).

87 69 Tabel 6.5. Tingkat kepentingan dan pengaruh organisasi dalam konservasi pesut mahakam Organisasi Kepentingan (Interest) Pengaruh (Power) K 1 K 2 K 3 Total P 1 P 2 P 3 Total 1KSDA RASI WWF DKPKT SETKK DKPKK HUTKK BLHKK BPDKK PARKK DKPKB HUTKB BLHKB BPDKB PARKB Dari sisi kemampuan memperjuangkan aspirasi, tidak ada organisasi yang memiliki modal lengkap (skor = 5), tetapi ada dua organisasi yakni 1KSDA dan 2RASI, yang hampir mendekati keadaan tersebut (skor = 4) [Tabel 6.5]. Organisasi lain kemampuannya untuk memperjuangkan aspirasi dianggap kurang (skor = 1 3), termasuk organisasi pemerintah seperti badan dan dinas daerah. Organisasi pemerintah semacam itu, walaupun memiliki kewenangan formal, tetapi umumnya tidak didukung oleh faktor-faktor berikut: kontrol atas sumberdaya, kepemilikan pengetahuan dan kemampuan khusus, penguasaan informasi atau kepemilikan lobby/jaringan internasional. Pengaruh organisasi juga bisa dilihat dari derajat sentralitasnya. Tabel 6.4 menunjukkan bahwa hanya ada dua organisasi, yakni 1KSDA dan 2RASI yang memiliki derajat sentralitas tinggi (skor = 5). Nilai yang tinggi terutama disebabkan oleh banyaknya ikatan dengan organisasi lain (lihat Sub-sub Bab: Frekuensi Koordinasi). Karena terikat oleh batasan yurisdiksi, aktor/organisasi lainnya cenderung untuk berhubungan/berkoordinasi dengan sesama SKPD dalam satu wilayah. Oleh sebab itu, derajat sentralitas dalam keseluruhan jaringan kerja jauh lebih rendah dibandingkan 1KSDA dan 2RASI. Berdasarkan nilai/skor total dari kriteria kepentingan dan pengaruh dalam Tabel 6.4, posisi dan peran setiap organisasi dapat dipetakan ke dalam sebuah matriks yang dinamakan matriks kepentingan-pengaruh (Reed et al 2009) [Gambar 6.4]. Matriks ini terdiri atas empat kategori posisi/peran yakni: 1) key player, 2) subject, 3) crowd dan 4) context setter. Pemetaan organisasi ke dalam matriks di atas mengungkapkan bahwa hanya ada dua organisasi yang berperan sebagai Key player yakni 1KSDA dan 2RASI. Kemudian, ada satu organisasi yang berperan sebagai Crowd yaitu 5SETKK dan

88 70 tidak ada satu organisasipun yang berperan sebagai context setter. Sementara itu, 12 organisasi lainnya berperan subject. Kedua organisasi yang berperan sebagai key player dideskripsikan sebagai organisasi yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kelestarian pesut mahakam dan pengaruh yang besar untuk merealisasikan upaya-upaya konservasinya. Dua belas organisasi yang berperan sebagai subject juga memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kelestarian pesut tetapi pengaruhnya terhadap jalan atau tidaknya upaya konservasi pesut kecil akibat minimnya dukungan sumberdaya atau rendahnya kemampuan memperjuangkan aspirasi. Gambar 6.4. Matriks kepentingan-pengaruh dalam konservasi pesut mahakam Pembahasan Situasi yang digambarkan dalam penelitian ini adalah kondisi koordinasi sejak tahun 2009 sampai tahun Selama rentang waktu tersebut 16 organisasi telah berkomunikasi dan berkoordinasi dalam sebuah jaringan kerja untuk konservasi pesut mahakam sebagaimana Gambar 6.1. Walaupun masih terlihat ada kesenjangan komunikasi antara aktor-aktor (organisasi) Kabupaten Kutai Kartanegara dengan Kabupaten Kutai Barat, di masing-masing kabupaten setiap aktor/organisasi saling terikat dalam ikatan komunikasi. Selain itu, keberadaan aktor sentral seperti 1KSDA dan 2RASI berpotensi menambah kekuatan jaringan ini untuk bisa berhasil mewujudkan kelestarian pesut mahakam.

89 71 Namun demikian, apakah kondisi koordinasi antar aktor ini telah menunjukkan bahwa koordinasi untuk konservasi pesut mahakam sudah berjalan dengan baik? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu perlu dilihat kembali berbagai permasalahan yang dihadapi dalam konservasi pesut mahakam. Permasalahan tersebut adalah: 1) setiap tahun rata-rata terjadi kematian 4 ekor pesut mahakam (Kreb & Susanti 2011; Kreb & Noor 2012) dan sebagian besar akibat terjerat rengge 2) penangkapan ikan dengan cara-cara yang ilegal dan tidak lestari di perairan yang menjadi habitat pesut mahakam masih terjadi; 3) pesut mahakam tidak menggunakan lagi salah satu habitat terpentingnya di Muara Pahu-Penyinggahan (lihat Bab 3); dan 4) perubahan sebaran pesut mahakam dan penyusutan habitat. Selain permasalahana, juga perlu dilihat adanya kebutuhan yang mendesak untuk segera menetapkan kawasan perlindungan bagi pesut di Kabupaten Kutai Kartanegara. Uraian di atas menunjukkan bahwa konservasi pesut mahakam menghadapi berbagai permasalahan yang sulit, kompleks dan mendesak untuk ditangani. Permasalahan semacam itu harus diatasi melalui kerjasama antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan komitmen yang tinggi terhadap kelestarian jenis satwa ini. Kerjasama tersebut tentu saja tidak cukup hanya dengan berkomunikasi atau berkoordinasi dalam intensitas yang rendah, misalnya setahun sekali. Logikanya, jika hanya ada satu kesempatan untuk berkoordinasi maka tidak akan ada kesempatan berikutnya untuk menindaklanjuti. Jadi ruang untuk tindak lanjut penyelesaian masalah ada pada kesempatan kedua dalam berkoordinasi. Berdasarkan argumentasi tersebut, analisis jaringan kerja dilakukan dengan menggunakan batasan frekuensi komunikasi/ koordinasi minimal dua kali setahun. Jaringan kerja sebagaimana terlihat dalam Gambar 6.1 adalah jaringan yang hanya memperhatikan ada atau tidak adanya ikatan (komunikasi/koordinasi) antara dua organisasi. Jika intensitas komunikasi diperhatikan dan dijadikan patokan dalam analisis maka bentuk jaringan koordinasi akan menjadi seperti Gambar 6.2. Gambar 6.2 terbentuk dengan mempertimbangkan frekuensi komunikasi sebanyak minimal 2 kali setahun. Hasilnya bisa menjawab pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya bahwa koordinasi dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam belum berjalan dengan baik. Koordinasi yang tidak berjalan dengan baik terutama terjadi antara sesama organisasi SKPD Kabupaten Kutai Barat. Demikian pula antara SKPD Kabupaten Kutai Barat dengan 1KSDA dan 2RASI yang menjadi aktor sentral dalam pelestarian pesut mahakam. Situasi seperti ini sangat disayangkan karena sebelum keluarnya Keputusan Bupati Kutai Barat tentang penetapan wilayah perairan Muara Pahu dan sekitarnya sebagai kawasan perlindungan bagi pesut mahakam, koordinasi antara para pihak, khususnya 2RASI dan SKPD Kabupaten Kutai Barat (Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011) telah berjalan dengan baik. Peristiwa dramatis ditinggalkannya core area Muara Pahu-Penyinggahan oleh pesut, perubahan drastis pada areal rawa di sekitar Muara Pahu dengan adanya aktivitas perkebunan kelapa sawit serta meningkatnya frekuensi lalulintas ponton di Sungai Kedang Pahu, sesungguhnya terjadi sejak Peristiwaperistiwa besar tersebut juga telah terdeteksi dan diketahui sejak awal mula terjadi (Kreb & Susanti 2008; Kreb et al. 2010; Kreb & Susanti 2011). Tetapi, justru sejak 2010 koordinasi antar aktor/organisasi, yang sebelumnya bersinergi dalam

90 72 upaya penetapan kawasan perlindungan, melemah sehingga tidak ada respon yang memadai terhadap perubahan yang terjadi. Organisasi pemerintah yakni Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Kutai Barat yang mengemban amanat untuk mengkoordinasikan pengelolaan kawasan perlindungan pesut mahakam di Muara Pahu ternyata tidak menjalankan perannya sebagai sentral koordinasi. Tidak ada koordinasi yang memadai untuk bisa merespon dan menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi. Tanpa koordinasi BLH Kutai Barat, organisasi pemerintah lainnya juga tidak bergerak. Oleh sebab itu, gejala-gejala awal tentang semakin jarangnya pesut terlihat di Muara Pahu terus berlanjut menjadi suatu fenomena perubahan sebaran sebagaimana yang terungkap dari penelitian tentang sebaran terkini pesut mahakam (lihat Bab 3). Sekarang pesut tidak lagi menggunakan core area Muara Pahu- Penyinggahan padahal daerah itu merupakan satu-satunya kawasan perlindungan bagi pesut dan habitatnya di S. Mahakam. Sebuah ironi, yang karena kelemahan koordinasi antara para pihak, gejala-gejala awal perubahan tidak memperoleh respon dan antisipasi. Kelemahan koordinasi dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam berkaitan dengan intensitas (frekuensi) komunikasi yang kurang, padahal itu adalah hal yang paling mendasar dalam koordinasi. Menurut Gittel (2010) frekuensi komunikasi memainkan peranan yang sentral dalam koordinasi antara dua pihak. Semakin sering komunikasi dilakukan maka, melalui interaksi yang berulang-ulang tersebut, hubungan relasional antara organisasi semakin terbina dan pekerjaan akan dapat diselesaikan secara baik. Situasi sebaliknya terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam 2-3 tahun terakhir ini koordinasi yang lebih intensif terjadi di antara SKPD Kabupaten Kutai Kartanegara. Agendanya adalah membentuk kawasan perlindungan bagi pesut dan habitatnya di core area kedua bagi pesut mahakam di Pela-Muara Kaman. Sebagaimana terjadi sebelumnya di Kutai Barat, aktor/organisasi 2RASI juga memainkan peran penting sebagai inisiator. Belajar dari pengalaman Kabupaten Kutai Barat, para aktor yang terlibat dalam proses pembentukan kawasan perlindungan di Kabupaten Kutai Kartanegara harus berupaya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama: gencar di awal proses, namun kemudian mengendur setelah kawasan perlindungan terwujud. Kawasan perlindungan habitat bukanlah akhir dari koordinasi untuk konservasi pesut mahakam, tetapi justru awal dari proses koordinasi yang lebih intensif untuk mengelola populasi pesut mahakam agar tetap lestari. Koordinasi antarorganisasi juga dicirikan oleh adanya transaksi sumberdaya di antara aktornya yang memungkinkan organisasi mencapai tujuannya secara lebih efektif (Van de Ven 1979; Boland and Wilson 1994). Transaksi sumberdaya yang dimaksud adalah proses memberi-menerima bantuan. Dalam konteks jaringan kerja konservasi pesut mahakam, sumberdaya yang dimaksud meliputi dana, staf dan fasilitas, advis teknis serta data dan informasi. Jaringan kerja transaksi sumberdaya dalam konservasi pesut mahakam (Gambar 6.3) dibuat tanpa memperhatikan frekuensi komunikasi/koordniasi. Jaringan ini terbentuk semata-mata berdasarkan informasi apakah satu organisasi memberi atau menerima bantuan dari organisasi lain. Secara umum, dilihat dari konstruksinya, jaringan kerja transaksi sumberdaya bisa dikatakan masih jauh dari ideal. Banyak hubungan transaksi yang belum terbentuk (kerapatan = 21,7%)

91 73 atau jika sudah ada masih bersifat satu arah (menerima atau memberi saja). Hubungan transaksi sumberdaya yang relatif banyak terjadi diantara SKPD Kabupaten Kutai Kartanegara. Hal ini logis karena dua tahun terakhir ini koordinasi untuk membentuk kawasan perlindungan pesut dan habitatnya dilakukan dengan intensif. Sebaliknya, hubungan transaksi antara SKPD Kutai Barat sangat sedikit. Transaksi sumberdaya hanya terjadi antara tiga SKPD saja (13HUTKB, 14BLHKB dan 16PARKB) dan itupun bersifat satu arah, hanya menerima atau memberi. Fakta yang terjadi Kabupaten Kutai Barat ini sesuai dengan hasil analisis jaringan kerja frekuensi komunikasi. Dalam situasi koordinasi antara organisasi di daerah yang demikian lemah adalah hal logis jika permasalahan-permasalahan yang timbul tidak dapat direspon secara baik. Jaringan kerja konservasi pesut mahakam memiliki sedikitnya 16 aktor yang terdiri atas organisasi pemerintah dan non pemerintah (lembaga swadaya masyarakat). Empat belas diantaranya adalah organisasi pemerintah yang mencakup unit kerja vertikal pemerintah pusat, unit kerja provinsi dan SKPD kabupaten. Secara potensial, aktor yang paling penting dan memiliki peran yang sentral dalam konservasi pesut mahakam adalah 2RASI dan 1KSDA (Gambar 6.1). Keduanya terletak pada posisi yang strategis (di tengah-tengah) dalam jaringan kerja (Faust and Wassserman 1992; Kapucu 2005). Nilai degree centrality yang tinggi menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan terbanyak dengan aktoraktor lainnya sehingga mereka merupakan organisasi yang paling aktif dalam jaringan (Faust and Wassserman 1992), memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah pada organisasi lainnya dan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mengakses sumberdaya yang ada dalam jaringan (Hanneman and Riddle 2005). Nilai closeness centrality yang tinggi menunjukkan potensi kemampuan 2RASI dan 1BKSDA untuk dapat melakukan kontak atau komunikasi secara cepat dan efisien dengan aktor-aktor lainnya di dalam jaringan (Faust and Wasserman 1992; Hanneman and Riddle 2005). Sedangkan kemampuan dua organisasi ini untuk berperan sebagai jembatan bagi hubungan antara organisasiorganisasi lainnya dan mengontrol aliran informasi ditunjukkan oleh nilai betweeness centrality yang tinggi (Mote et al. 2007; ODC 2008). Aktor dengan peran sebagai jembatan seperti ini umumnya memiliki pengaruh antarpersonal yang lebih besar sehingga bisa menjadi perantara antara aktor-aktor (Faust and Wasserman 1992; Kapucu 2005). Aktor seperti 2RASI dan 1BKSDA dengan posisi dan peran sentralnya dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam dapat dikatakan sebagai pemain kunci (key player) dalam jaringan tersebut [Kapucu 2005; Mote et al. 2007]. Predikat ini sejalan dengan hasil analisis kepentingan-pengaruh (Reed et al. 2009) yang menempatkan aktor 2RASI dan 1KSDA sebagai key player. Peran 2RASI sebagai pemain kunci dalam jaringan juga terbukti ketika aktivitas koordinasi aktor/organisasi ini di Kabupaten Kutai Barat berkurang akibat berkonsentrasi pada pembentukan kawasan perlindungan di Kutai Kartanegara. Dampak berkurangnya aktivitas koordinasi organisasi ini jelas terlihat pada struktur jaringan kerja sebagaimana terlihat dalam Gambar 6.2. Berkurangnya intensitas koordinasi 2RASI tersebut ternyata juga tidak dibarengi dengan kinerja koordinasi yang memadai dari SKPD Kabupaten Kutai Barat sehingga ketika

92 74 berbagai masalah muncul, tidak mendapatkan renspon yang memadai sehingga permasalahan berkembang menjadi akut. Posisi dan peran 1KSDA sebagai pemain kunci juga perlu mendapatkan beberapa catatan khusus. Organisasi ini, karena kewenangan formalnya memang memperoleh apresiasi dari organisasi lain yang terlibat dalam jaringan kerja konservasi pesut. Tetapi karena intensitas koordinasinya dengan aktor-aktor lainnya kurang maka potensi sentralitas atau perannya sebagai key player tidak berjalan secara maksimal. Jika dikaitkan dengan fenomena perubahan sebaran pesut yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, maka akan terlihat bahwa tidak ada langkah-langkah koordinasi yang dilakukan oleh 1KSDA untuk mengatisipasi fenomena perubahan sebaran tersebut. Kelemahan koordinasi bukan melulu menjadi kesalahan organisasi tersebut, tetapi juga jaringan secara keseluruhan, karena setiap organisasi memiliki kepentingan masing-masing dalam konservasi pesut mahakam. Kepentingan tersebut tercermin dalam visi, misi, tujuan, tugas pokok atau fungsi yang diemban atau diusung oleh setiap organisasi. Jaringan kerja sebagaimana Gambar 6.1 juga memperlihatkan pola pengelompokan aktor-aktor. Analisis faksi (Hanneman and Riddle 2005) menunjukkan adanya tiga kelompok/faksi yang terbentuk karena perbedaan ruang lingkup wilayah kerja (yurisdiksi). Ketiganya adalah kelompok SKPD Kutai Kartanegara, kelompok SKPD Kutai Barat dan SKPD Provinsi Kalimantan Timur. Untuk SKPD kedua kabupaten, pengelompokkan dalam jaringan kelihatan sangat nyata. Fakta ini menunjukkan bahwa memang aktor-aktor dari kedua kabupaten kurang melakukan koordinasi untuk konservasi pesut. Saat ini, situasi kurangnya koordinasi ini mungkin belum kelihatan pengaruhnya, tetapi peningkatan koordinasi perlu dilakukan karena bagaimanapun S. Mahakam yang merupakan habitat pesut, secara ekologi tidak dibatasi oleh kewenangan formal atau yurisdiksi. Kreb et al. (2010) menyatakan bahwa habitat perairan sangat rentan terhadap kegiatan-kegiatan di luar batas-batas perairan dan adaministrasi. Keberhasilan ataupun kegagalan dari pengelolaan spesies di suatu kawasan perairan bergantung dari apa yang terjadi di luar kawasan tersebut. Konsep ini sangat relevan dengan konservasi pesut mahakam karena habitat pesut berada di perairan S. Mahakam yang termasuk ke dalam wilayah administrasi kedua kabupaten tersebut. Simpulan Jaringan kerja koordinasi untuk konservasi pesut mahakam yang mencakup 16 organisasi belum berjalan secara baik. Terdapat banyak kekosongan koordinasi di sebagian jaringan, yakni yang berkaitan dengan organisasi/aktor yang termasuk kelompok (faksi) yang bekerja di wilayah Kabupaten Kutai Barat. Kekosongan koordinasi ini terjadi bertepatan dengan mulai berlangsungnya proses pindahnya pesut dari kawasan perlindungan pesut dan habitatnya di Muara Pahu hingga berakhir sebagai fenomena perubahan sebaran pesut mahakam. Tidak ada proses koordinasi untuk merespon dan mengantisipasi proses berkurangnya pesut di Muara Pahu, oleh sebab itu kelemahan koordinasi ini memiliki kontribusi yang nyata dalam fenomena perubahan sebaran pesut mahakam.

93 75 Jaringan kerja konservasi pesut mahakam secara struktur terbagi tiga bagian. Bagian-bagian ini terbentuk berdasarkan wilayah yurisdiksi (wilayah kewenangan) sehingga koordinasi terkotak-kotak dalam wilayah tersebut. Tidak ada koordinasi antara kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat untuk konservasi pesut. Secara struktural dapat dikatakan bahwa banyak potensi hubungan antar aktor/organisasi dalam jaringan koordinasi pesut mahakam yang belum terealisasikan. Secara keseluruhan sesungguhnya terdapat dua aktor penting atau pemain kunci potensial dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam yakni YK-RASI dan BKSDA Kaltim. Tetapi peran keduanya dalam koordinasi belum diwujudkan secara maksimal.

94 76 7. KONSISTENSI KEBIJAKAN DALAM KONTEKS KONSERVASI POPULASI PESUT MAHAKAM Pendahuluan Muara Pahu-Penyinggahan dan Pela-Muara Kaman adalah dua wilayah di S. Mahakam yang telah teridentifikasi sebagai core area (habitat inti) bagi populasi pesut mahakam (Kreb 2004; Kreb & Budiono 2005). Sejak 2009, core area Muara Pahu-Penyinggahan telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan bagi pesut dan habitatnya (Keputusan Bupati Kutai Barat No /K.471/2009). Saat ini core area Pela-Muara Kaman sedang dalam proses untuk ditetapkan oleh Bupati Kutai Kartanegara sebagai kawasan perlindungan pesut dan habitatnya. Berbagai kebijakan, baik yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan konservasi pesut mahakam telah dibuat. Tetapi hingga saat ini ancaman bagi kelestarian populasi pesut mahakam masih terus terjadi (Kreb & Budiono 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011), baik di wilayah Kabupaten Kutai Barat maupun Kabupaten Kutai Kartanegara. Ketidaksesuaian antara fakta di lapangan dengan kebijakan yang telah ditetapkan menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi implementasi kebijakan. Selain itu, ketidaksesuaian tersebut menimbulkan dugaan bahwa kebijakan pelestarian pesut tidak sejalan (koheren) dengan kebijakan pembangunan daerah. Dalam rangka menjawab pertanyaan tentang konsistensi kebijakan itu maka penelitian ini dilakukan. Konsitensi dalam konteks kebijakan memiliki bermacam-macam pengertian: 1) kesesuaian antara kebijakan dengan pelaksanaan (Nathan 2005; Van Bommel & Kuindersma 2008); 2) kesesuaian antara suatu rencana dengan kebijakan yang ada (AEG 2009); 3) kesesuaian antar kebijakan (Portella & Raube 2011), 4) kesesuaian antara teori (kumpulan alasan yang memiliki legitimasi) dengan praktek manajeman (Antikarov 2011). Macam konsistensi 2 dan 3 sering disebut sebagai koherensi dan mengacu kepada sinergi antara kebijakan-kebijakan (Van Bommel & Kuindersma 2008) Konsistensi atau koherensi merupakan isu penting terkait kebijakan (Duke 2006). Efektifitas dari suatu kebijakan seringkali dikaitkan dengan konsistensi atau koherensi tersebut (Olsen 2008; Barry et al. 2010). Ketidakkonsistenan kebijakan dapat menyebabkan kontradiksi (Barry et al. 2010), konflik (Lu et al. 2011), dampak negatif (Giusti & Merenlender 2002), atau bahkan kegagalan pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, konsistensi atau koherensi menjadi parameter dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan atau kebijakan dengan implementasinya (Nathan 2005; Van Bommel & Kuindersma 2008; Portella & Raube 2011). Penelitian ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa ketidakkonsistenan dalam mengaplikasikan kebijakan mempunyai kontribusi terhadap semakin tingginya ancaman terhadap kelestarian pesut mahakam dan, secara khusus, menghilangnya pesut dari core area Muara Pahu-Penyinggahan. Untuk mencapai maksud tersebut, penelitian ini bertujuan: 1) menelaah kesesuaian antara kebijakan terkait konservasi pesut mahakam dengan kenyataan/pelaksanaannya di lapangan dan 2) menelaah koherensi antara kebijakan daerah dengan rencana strategis konservasi pesut mahakam.

95 77 Bahan dan Metode Bahan Penelitian ini membutuhkan data dan informasi tentang kebijakan yang diperoleh dari berbagai dokumen. Isi dari dokumen-dokumen ini merupakan bahan yang akan diolah dan dianalis. Adapun dokumen yang dikaji meliputi peraturan-peraturan dan rencana-rencana dari berbagai tingkatan manajemen. Pengumpulan Data Tiga macam metode pengumpulan data digunakan dalam penelitian ini. Pertama, pengamatan langsung di lapangan terhadap implementasi kebijakan atau hasil-hasilnya. Praktek-praktek yang tidak sejalan dengan kebijakan yang ada merupakan data yang dikumpulkan dengan cara ini. Pengamatan ini dilakukan di seluruh wilayah sebaran pesut mahakam. Kedua melalui wawancara dengan informan. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview) dengan panduan peneliti (semi directive interview). Wawancara dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai kebijakan yang ada dan implementasinya di lapangan. Informan untuk wawancara berasal dari 16 organisasi, baik pemerintah maupun non pemerintah, yang telah diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan konservasi pesut mahakam. Ketiga melalui penelusuran dokumen dan studi pustaka. Metode ini secara umum juga dilakukan untuk mengetahui kebijakan dan implementasinya di lapangan. Tetapi secara khusus, metode ini digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang menjadi input bagi analisis isi (content analysis) guna kepentingan mengukur koherensi antar kebijakan [Duraiappah & Bhardwaj 2007]. Analisis Data 1. Analisis Konsistensi Kebijakan Analisis konsistensi kebijakan dilakukan dengan menggunakan analisis gap atau kesenjangan yang terjadi antara sesuatu yang seharusnya dilaksanakan/ diharapkan terjadi dengan kenyataan sebenarnya. Kesenjangan yang terjadi adalah indikator bagi adanya inkonsistensi antara aturan/kebijakan dengan implementasinya di lapangan. Analisis konsistensi ini bersifat deskriptif. 2. Analisis Koherensi Analisis koherensi dilakukan terhadap Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam (SRAK Pesut) dengan rencana pembangunan daerah yang direpresentasikan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat. Sampai saat ini dokumen SRAK Pesut belum diterbitkan dan masih dibahas oleh Kementerian Kehutanan. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan draf/konsep dokumen SRAK Pesut yang masih dalam proses pembahasan. Ketiga dokumen (SRAK Pesut, RPJM Kutai Kartanegara dan RPJM Kutai Barat) ini menjadi obyek analisis isi/content analysis untuk menghitung derajat koherensi. Ada 2 kategori besar dalam analisis isi yakni analisis konseptual dan analisis relasional. Penelitian ini menggunakan analisis konseptual (Duraiappah & Bhardwaj 2007; Busch et al. 2005). Dalam analisis ini, dihitung frekuensi kemunculan suatu konsep (frasa) pada ketiga dokumen. Analisis konseptual ini

96 78 sepenuhnya akan mengacu pada tahapan-tahapan sebagaimana yang diuraikan dalam Busch et al. (2005) dan Duraiappah & Bhardwaj (2007). Konsep (frasa) yang akan dianalisis mencakup hal-hal yang berkaitan dengan tujuan, instrumen atau keputusan untuk mencapai tujuan (program dan atau kegiatan), serta aktor/pelaku atau lembaga yang berkewajiban menjalankannya. Jika frekuensi konsep sudah diperoleh, maka nilai-nilai itu dimasukkan ke dalam matriks koherensi kebijakan dan dilakukan normalisasi dengan menggunakan persamaan berikut: dimana:... (eq.1) Skor N ij n ij * n ij = Nilai frekuensi setelah normalisasi = Frekuensi munculnya konsep tertentu dalam kebijakan A pada kebijakan B = Nilai Frekuensi tertinggi yang muncul dalam semua sel Setelah normalisasi, derajat koherensi (Dk) dari masing-masing pasangan kebijakan dihitung secara sederhana dengan persamaan matematis sebagai berikut: Dk = (1 Skor N ij ), dan 0 Skor N ij 1 i j... (eq.2) Derajat koherensi (Dk) keseluruhan dihitung dengan terlebih dahulu menjumlahkan nilai-nilai dari setiap lajur dan kolom ke dalam sel sebuah lajur dan kolom tambahan pada PCM (Policy Coherence Matrix). Penjumlahan nilai dalam lajur atau kolom baru menunjukkan derajat koherensi keseluruhan kebijakan. Hasil Kesesuaian antara Kebijakan dengan Implementasinya Pemerintah, berdasarkan hasil penilaian para pakar, telah menetapkan pesut mahakam sebagai jenis yang memperoleh prioritas sangat tinggi untuk dilestarikan, baik dalam kategori mamalia secara umum maupun kategori spesies bahari dan perairan tawar (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/Menhut- II/2008). Melalui kebijakan tersebut telah ditekankan agar tindakan konservasi pesut mahakam dapat dilaksanakan secara lebih sistematik dan terarah, perlu dibuatkan strategi dan rencana aksi (Action Plan) yang di dalamnya berisi antara lain kebijakan umum, tindakan konservasi yang diperlukan, target yang ingin dicapai pada tahun mendatang dan pelaku. Selain itu, diarahkan pula agar

97 79 konservasi pesut mahakam mendapatkan dukungan kebijakan dan pendanaan yang memadai dari pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Tabel 7.1. Kebijakan yang langsung tertuju pada spesies pesut mahakam dan fakta terkait pelaksanaan kebijakannya di lapangan Kebijakan Pesut ditetapkan sebagai spesies yang menjadi prioritas untuk dikonservasi (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/Menhut-II/2008) Pesut ditetapkan sebagai Fauna Identitas Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 1989 (Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 48 Tahun 1989) Penetapan Kawasan Pelestarian Alam Habitat Pesut Mahakam (Keputusan Bupati Kutai Barat No /K.471/2009) Kondisi/Fakta di Lapangan 1. Koordinasi antara para pihak masih lemah 2. Kurang tanggapnya instansi pemerintah terhadap laporan permasalahan yang muncul 3. Pemerintah daerah tidak menjadikannya acuan dalam merumuskan pembangunan daerah 4. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi secara nasional belum ada 5. Tidak ada fasilitasi bagi pemerintah daerah untuk menyusun strategi konservasi di daerah 6. Tidak ada insentif bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan konservasi pesut 1. Perhatian Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sangat kurang dan hanya bersifat insidentil 2. Tidak ada alokasi dana khusus untuk pesut di SKPD Provinsi 1. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Barat tidak bekerja secara aktif untuk menindaklanjuti keputusan tersebut 2. Alokasi dana pemerintah untuk kawasan pelestarian ini tidak ada 3. Tidak ada koordinasi antara para pihak untuk merespon dan mengantisipasi masalah-masalah yang muncul di kawasan pelestarian dan sekitarnya 4. Rencana Pengelolaan kawasan, sesuai yang diamanatkan oleh keputusan tersebut, masih belum selesai 5. Pesut mahakam sudah tidak lagi mendiami wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan pelestarian bagi habitatnya 6. Pembukaan areal sempadan sungai (yang dalam peraturan ini ditetapkan sebagai bufferzone) untuk pelabuhan batubara, kebun kelapa sawit dan kebun masyarakat Kedua langkah tindak lanjut tersebut di atas belum sepenuhnya terwujud. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam (SRAK Pesut) walaupun sudah disusun sejak 2010 hingga sekarang belum tuntas (Tabel 7.1). Pendanaan dinilai belum memadai, walaupun beberapa organisasi/instansi (YK-RASI dan BKSDA Kaltim) telah mengalokasikan/menyediakan dana untuk kegiatankegiatan seperti monitoring populasi. Hasil wawancara dengan dinas/instansi di lingkungan Pemerintah Daerah Kutai Barat terungkap bahwa tidak ada alokasi dana untuk konservasi pesut mahakam sejak ditetapkannya kawasan pelestarian alam habitat pesut mahakam di Muara Pahu. Di Kabupaten Kutai Kartanegara, baru tahun 2012 ada alokasi dana untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan persiapan penunjukkan kawasan perlindungan bagi pesut dan habitatnya. BKSDA Kalimantan Timur dan Yayasan Konservasi RASI adalah dua organisasi/instansi

98 80 yang paling sering mengalokasikan dana untuk konservasi pesut mahakam. Selama rentang waktu tercatat 3 survei monitoring populasi dilakukan YK-RASI (2007, 2010 dan 2012) dan 2 survei dilakukan BKSDA Kalimantan Timur (2011, 2012). Sebagaimana diungkapkan dalam Bab 6, kelemahan koordinasi yang terjadi di antara organisasi/instansi yang berkaitan langsung dengan konservasi pesut mahakam adalah permasalahan serius dalam konservasi jenis ini. Contoh nyata adalah kelemahan koordinasi di Kutai Barat yang menyebabkan para aktor/organisasi yang seharusnya bertanggungjawab atas konservasi pesut mahakam gagal merespon dan mengantisipasi tanda-tanda menghilangnya pesut dari Muara Pahu sehingga terjadi fenomena perubahan sebaran. Perkembangan positif terlihat di Kabupaten Kutai Kartanegara. Atas inisiatif dan prakarsa YK- RASI, sejak 2012 para pihak (khususnya instansi pemerintah) mulai berkoordinasi dan bekerjasama untuk menetapkan kawasan perlindungan bagi pesut mahakam di daerah Pela-Muara Kaman. Alokasi dana yang terbatas, belum adanya strategi dan rencana aksi nasional konservasi pesut serta lemahnya koordinasi menunjukkan bahwa konservasi pesut mahakam belum mendapat prioritas yang tinggi untuk dilaksanakan. Hal ini memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan dalam kebijakan dan implementasinya. Sebagian besar pihak yang terkait dengan konservasi pesut kelihatannya tidak menganggap bahwa upaya pelestarian pesut mahakam sangat penting dan mendesak untuk segera dilakukan. Selain hal tersebut di atas, masih ada tanda-tanda/fakta ketidak-konsistenan pelaksanaan kebijakan terkait penetapan pesut sebagai prioritas konservasi. Fakta tersebut adalah: 1) tidak ada fasilitasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menyusun strategi konservasi di daerah; 2) tidak ada insentif dari pemerintah pusat bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan konservasi pesut; dan 3) pemerintah daerah tidak menjadikan kebijakan konservasi pesut sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan pembangunan daerah. Sejak tahun 1989, pesut ditetapkan menjadi satwa/fauna identitas Provinsi Kalimantan Timur. Tetapi perhatian pemerintah (pusat dan daerah) terhadap jenis ini tidak sebanding dengan predikat yang disandangnya. Tidak ada inisiatif dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk benar-benar menjadi inisiator atau aktor yang berperan sentral dalam konservasi pesut mahakam. Pemerintah daerah kelihatannya lebih senang membangun monumen-monumen berupa patung pesut mahakam sebagai simbol Kalimantan Timur dibandingkan terlibat langsung dalam upaya konservasinya. Kabupaten Kutai Barat sebenarnya sudah melangkah lebih maju dalam hal konservasi pesut mahakam ketika keputusan Bupati tentang penetapa kawasan pelestarian alam habitat pesut mahakam terbit. Keputusan yang diambil melalui berbagai koordinasi (rapat dan lokakarya), kajian ilmiah dan kesepakatan para pihak ini memberikan harapan yang besar bagi banyak pihak yang menginginkan kelestarian pesut mahakam. Tetapi kemudian masalah inkonsistensi menghinggapi kebijakan ini, seperti ditunjukkan oleh fakta-fakta yang tertera dalam Tabel 7.1. Peraturan/kebijakan daerah di bidang perikanan ada juga yang terkait dengan konservasi pesut. Kebijakan tersebut mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari. Bagi konservasi pesut peraturan ini penting

99 81 karena lestarinya sumberdaya perikanan akan menjamin ketersediaan pakan bagi pesut mahakam yang pakan utamanya adalah ikan. Tabel 7.2. Kebijakan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di bidang perikanan yang erat kaitannya dengan konservasi pesut mahakam Kebijakan Penggunaan setrum (electro-fishing) dan racun dalam penangkapan ikan tidak diperkenankan (Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1999 dan No. 4 Tahun 2012) Alat yang boleh digunakan dalam menangkap ikan (Perda No. 3 Tahun 1999) adalah jaring insang/rengge dengan ukuran mata minimal 4 cm Penangkapan ikan yang sedang/akan memijah tidak diperkenankan. Demikian pula mengambil, membawa, menyimpan dan memperdagangkan telur ikan, tidak diperkenankan (Perda No. 3 Tahun 1999) Semua kegiatan yang sifatnya dapat mengganggu dan merusak sumber daya perairan di lokasi suaka perikanan (reservat) dilarang untuk dilakukan (Perda No. 3 Tahun 1999) Kondisi/Fakta di Lapangan 1. Penggunaan setrum dan racun masih marak di perairan S. Mahakam, anak sungai dan danaudanaunya 2. Penggunaan setrum dengan daya yang semakin tinggi yang mampu melumpuhkan ikan tanpa pandang bulu (penggunaan generator atau accu berkapasitas besar dengan jumlah yang banyak) 3. Penggunaan metode baru untuk penyetruman udang yang menggunakan jaring berlistrik 4. Penegakan hukum terhadap pelaku penyetruman semakin lemah 5. Penyetruman dilakukan secara terang-terangan dan di tempat-tempat yang ramai serta mudah terlihat 1. Penggunaan jaring insang dengan ukuran mata jaring dibawah 4 cm 1. Penangkapan ikan yang sedang/akan memijah masih berlangsung, dan ini merupakan praktek yang umum 2. Perdagangan telur ikan 1. Penangkapan ikan masih dilakukan di dalam reservat ikan. 2. Tidak ada pengawasan yang memadai untuk melindungi suaka perikanan Di Kabupaten Kutai Kartanegara, kebijakan di bidang perikanan yang terpenting adalah Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2012 dan No. 3 Tahun Beberapa kebijakan yang terkait langsung dengan konservasi pesut dapat dilihat pada Tabel 7.2. Namun demikian, seperti kebanyakan kebijakan lainnya, masih banyak fakta-fakta yang tidak sesuai dengan isi kebijakannya. Pelanggaran yang paling menyolok terhadap kedua aturan di atas adalah penggunaan setrum (electro-fishing) untuk menangkap ikan. Penggunaan setrum ditemukan hampir di seluruh areal penelitian dan dilakukan baik siang maupun malam hari. Muara Kaman dan Pela menjadi tempat yang paling banyak ditemukannya penggunaan setrum untuk menangkap ikan. Penyetruman ikan yang dilakukan saat ini menjadi lebih berbahaya karena menggunakan generator atau menggunakan sejumlah accu (3-5 buah) [Gambar 7.1]. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat di Muara Kaman, maraknya penggunaan setrum disebabkan oleh melemahnya penegakan hukum oleh aparat, khususnya kepolisian. Sebelumnya, setiap ada pelanggaran, pelakunya ditangkap dan diproses secara hukum. Laporan-laporan masyarakat tentang terjadinya

100 82 pelanggaran direspon secara cepat oleh aparat dengan melakukan penangkapan. Selain itu, aparat juga lebih sering melakukan patroli pengawasan. Ketika penegakan hukum terhadap para penyetrum ikan dijalankan, aktivitas penyetruman ikan jarang terjadi di Muara Kaman. Gambar 7.1. Penangkapan ikan dengan menggunakan setrum listrik dari generator Perubahan penanganan terhadap pelaku-pelaku penyetruman menurut masyarakat erat hubungannya dengan kebijakan dari pimpinan kepolisian setempat. Di Kotabangun dan sekitarnya (termasuk Pela dan Danau Semayang), penegakan hukum terhadap pelaku penyetruman memang sejak lama sudah lemah dan terkesan ada pembiaran oleh aparat penegak hukum terhadap kegiatan penyetruman. Beberapa sumber di daerah tersebut bahkan mengungkapkan bahwa ada resistensi dari sebagian anggota masyarakat terhadap penegakan hukum. Akibat adanya pembiaran terhadap pelanggaran oleh aparat, masyarakat menganggap bahwa penyetruman bukan hal yang melanggar hukum sehingga apabila penegakan hukum dilakukan, masyarakat justru menolak dan menentangnya. Di Kutai Kartanegara terdapat 7 lokasi suaka perikanan (reservat). Suaka perikanan ini adalah areal yang dialokasikan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya ikan yang akan menjamin ketersediaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Di suaka semacam ini kegiatan apapun yang bersifat eksploitatif tidak diperkenankan. Namun sekali lagi, fakta di lapangan menunjukkan adanya inkonsistensi antara kebijakan dan implementasinya di lapangan. Akibat tidak adanya pengelolaan dan pengawasan yang memadai, aktivitas penangkapan ikan masih terjadi di suaka perikanan ini. Praktek pemanfaatan yang tidak lestari dan melanggar peraturan lainnya adalah perdagangan telur ikan. Telur ikan diperoleh dari ikan-ikan yang sedang berada pada musim berkembangbiaknya. Diperkirakan masyarakat mengetahui musim berkembangbiak ikan sehingga dari penangkapan tersebut dapat diperoleh jumlah telur yang relatif banyak.

101 83 Koherensi antar Kebijakan Analisis isi terhadap ketiga dokumen yang diperbandingkan menghasilkan matriks koherensi kebijakan sebagaimana Tabel 7.3. Nilai 129 dalam Tabel 7.3 menunjukkan bahwa ada 129 kali konsep (dalam bentuk frasa) tentang tujuan, instrumen/prosedur dan aktor dalam RPJM Kutai Kartanegara (RPJMKK) tercantum dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam (SRAK Pesut). Sebaliknya hanya ada sebanayak 74 kali konsep dalam SRAK Pesut tercantum dalam RPJMKK. Dengan cara yang sama angka-angka dalam sel lainnya dibaca dan diartikan. Tabel 7.3. Matriks koherensi kebijakan yang menunjukkan seberapa banyak (kali) konsep dari suatu teks kebijakan tercantum dalam teks kebijakan lainnya SRAK Pesut RPJMKK RPJMKB SRAK Pesut RPJMKK RPJMKB Keterangan: 1. SRAK Pesut: Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam (draf) 2. RPJMKK: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Kutai Kartanegara 3. RPJMKB: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Kutai Barat Setelah angka-angka dalam Tabel 7.3 dinormalisasi dan dihitung, diperoleh tabel derajat koherensi kebijakan seperti tertera pada Tabel 7.4. Duraiappah & Bharwaj (2007) menyatakan bahwa koherensi penuh akan terjadi apabila nilai total (baris atau kolom) adalah 0, sebaliknya inkoherensi (tidak koheren) penuh apabila nilai total sama dengan 6. Tabel 7.4 menunjukkan bahwa derajat koherensi kebijakan diantara dokumen rencana yang diperbandingkan adalah 3,6. Itu berarti persentase koherensi antara rencana-rencana tersebut adalah 60%, atau bisa juga dikatakan persentase inkoherensinya sebesar 40% Tabel 7.4. Derajat koherensi antara berbagai rencana setelah perhitungan numerik SRAK Pesut RPJMKK RPJMKB Jumlah (baris) Ranking baris SRAK Pesut - 0,8 0,8 1,6 3 RPJMKK 0,9-0,3 1,2 2 RPJMKB 0,8 0,0-0,8 1 Jumlah ( kolom) 1,7 0,8 1,1 3,6 Ranking kolom Inkoherensi 40% diantara rencana-rencana tersebut adalah kontribusi dari SRAK Pesut. Nilai ranking 3, baik untuk kolom maupun baris, menunjukkan

102 84 bahwa SRAK Pesut tidak merepresentasikan dan direpresentasikan secara menyeluruh dalam rencana pembangunan jangka menengah kedua kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan daerah belum menganggap pelestarian pesut mahakam sebagai isu yang penting. Apabila dicermati lebih seksama bisa dilihat bahwa sesungguhnya koherensi antara RPJM kedua kabupaten dengan SRAK Pesut hanya sebatas pada konsep pelestarian lingkungan hidup yang sifatnya lebih umum, tidak/belum pada konsep-konsep spesifik seperti pelestarian pesut mahakam atau perlindungan habitat. Pembahasan Gubernur Kalimantan Timur dalam sambutannya untuk Lokakarya Penetapan Kawasan Perlindungan Cetacea Air Tawar di Asia, yang dilaksanakan di Samarinda tahun 2009, menyatakan bahwa: Saya menyesal atas situasi saat ini dan ketidaksesuaian antara kekaguman kita semua terhadap simbol Provinsi Kalimantan Timur ini dan kekurangmampuan kami untuk menyediakan habitat yang aman bagi mereka. Penyataan tersebut menyampaikan makna yang jelas bahwa memang ada berbagai masalah terkait pelestarian pesut mahakam yang menjadi ikon provinsi Kalimantan Timur ini. Penelitian ini mengungkapkan salah satu permasalahan/situasi yang dimaksud yaitu adanya inkonsistensi antara kebijakan dan implementasinya di lapangan serta inkoherensi antara kebijakan pelestarian pesut dan kebijakan pembangunan daerah. Masalah inkonsistensi dan inkoherensi kebijakan terkait konservasi pesut mahakam bukan semata-mata merupakan kontribusi dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan juga mempunyai andil dalam menciptakan kondisi yang kurang mendukung pelestarian pesut mahakam. Jika merunut kembali Permenhut No. P.57/Menhut-II/2008 maka dapat dilihat bahwa ada arahan-arahan dalam peraturan tersebut yang belum diimplementasikan dan merupakan kewajiban pemerintah pusat untuk merealisasikannya. Hal-hal yang belum direalisasikan tersebut adalah: strategi dan rencana aksi nasional konservasi pesut mahakam, fasilitasi bagi pemerintah daerah untuk menyusun strategi konservasinya di daerah serta pemberian insentif bagi pemerinah daerah untuk melaksanakan konservasi pesut. Menurut Makinde (2005), inkonsistensi dalam implementasi kebijakan adalah masalah utama yang dihadapi negara-negara berkembang sehingga targettarget kebijakan tidak tercapai. Inkonsistensi tersebut menurutnya selalu terkait dengan empat faktor kritis sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III (1980) yaitu komunikasi, sumberdaya, attitude, dan struktur birokrasi. Pendapat ini relevan dengan fakta-fakta yang terungkap dari penelitian ini. Lemahnya koordinasi telah teridentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi pada kegagalan para pihak dalam merespon dan mengantisipasi hilangnya pesut dari habitat intinya di Muara Pahu-Penyinggahan. Inti dari koordinasi adalah komunikasi dan itu terbukti dari penelitian ini bahwa telah terjadi kesenjangan komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konservasi pesut mahakam. Komunikasi adalah faktor yang esensial bagi efektivitas implementasi kebijakan (Makinde 2005).

103 Faktor kedua adalah sumberdaya. Kurangnya upaya konservasi pesut mahakam, walapun ada banyak pihak yang terlibat di dalamnya, disebabkan oleh alokasi anggaran yang terbatas. Ketiadaan alokasi anggaran di sebagian besar pihak yang terlibat konservasi pesut menyebabkan mereka tidak aktif dalam upaya konservasi tersebut. Inkonsistensi dalam implementasi kebijakan terkait pesut mahakam lebih banyak terkait dengan faktor ketiga yakni attitude. Attitude merefleksikan sebuah sikap mental positif, terutama komitmen, terhadap sesuatu dan secara konsisten diwujudkan dalam perilaku yang sejalan dengan sikap tersebut. Jadi ketika sebuah kebijakan yang baik (seperti kebijakan terkait konservasi pesut mahakam) tidak diimplementasikan dengan semestinya, dapat dikatakan bahwa pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap implementasinya tidak atau kurang memiliki attitude (komitmen) Lemahnya penegakan hukum lebih menunjukkan ketiadaan attitude (komitmen) dari aparat penegak hukum dibandingkan kurangnya sumberdaya, karena pada masa-masa sebelumnya ternyata hukum bisa ditegakkan. Sekarang yang terlihat adalah pembiaran oleh penegak hukum terhadap pelanggaranpelanggaran yang terjadi. Demikian pula di kalangan pemerintah daerah. Pengalaman di Kabupaten Kutai Barat menunjukkan bahwa dengan dimotori oleh YK-RASI, para pihak dapat bekerja sama mewujudkan kawasan perlindungan bagi pesut di Muara Pahu. Tetapi, tanpa ada yang memotori upaya konservasi, tidak ada langkah-langkah nyata dari organisasi pemerintah di daerah untuk menindaklajuti keputusan penetapan kawasan perlindungan tersebut. Sekali lagi, hal ini menunjukkan tidak adanya attitude dari pihak-pihak di Kabupaten Kutai Barat untuk melestarikan pesut. Tidak adanya attitude mungkin dapat diungkapkan dengan istilah yang lebih tepat yakni tidak ada komitmen. Pemerintah pusat juga tidak menunjukkan attitude ketika arahan-arahan dalam Permenhut No. P.57/Menhut-II/2008 yang menjadi tanggungjawabnya tidak dilaksanakan. Salah satunya adalah strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam yang belum juga selesai padahal telah disusun sejak Tanpa dokumen tersebut tidak ada pedoman bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan arahan lainnya yakni menfasilitasi pemerintah daerah untuk menyusun strategi konservasi pesut di daerah atau memberikan insentif pada pemerintah daerah untuk melaksanakan konservasi pesut. Melihat kebiasaan atau perilaku birokrasi di Indonesia yang sangat bergantung dan terikat aturan formal (Putrianti 2009), maka tanpa adanya strategi dan rencana aksi nasional sebagai pedoman bagi konservasi pesut, arahan-arahan tersebut tidak akan dijalankan. Penelitian ini juga mengungkap adanya inkoherensi antara strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam (SRAK Pesut) dengan rencana pembangunan (RPJM) Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat yang memiliki pesut di wilayahnya ini. Inkoherensi muncul karena ada dua pendekatan atau orientasi yang berbeda antara rencana konservasi pesut dengan rencana pembangunan daerah. Pembangunan daerah tidak berorientasi/fokus kepada konservasi tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi. Hal itu terlihat dari berbagai pernyataan tentang rencana ataupun program seperti peningkatan produksi perkebunan, perikanan dan pertambangan. Walaupun RPJM kedua kabupaten sudah mengakomodasi prinsip pelestarian lingkungan, dalam konteks pelestarian pesut mahakam, pelaksanaan 85

104 86 rencana-rencana pembangunan daerah tersebut harus selalu dikritisi karena berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kelestarian pesut mahakam. Peningkatan produksi perikanan tangkap misalnya berpotensi meningkatkan konflik kepentingan dengan konservasi pesut mahakam karena keduanya bergantung kepada sumberdaya perikanan. Persaingan/konflik kepentingan seperti itu sudah banyak diungkap oleh para ahli/peneliti (Herr et al. 2009; Parra & Jedensjo 2009; Kelkar et al. 2010; Sinha et al. 2010; Gomez-Salazar 2011). Peningkatan produksi perkebunan yang dicapai melalui ekstensifikasi lahan perkebunan pada daerah-daearh rawa juga perlu mendapatkan perhatian serius. Rawa-rawa mahakam adalah sumber penghidupan bagi penduduk/masyarakat di sepanjang sungai ini (MacKinnon et al. 1996) karena kebanyakan dari mereka adalah nelayan yang bergantung pada sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat. Alih fungsi rawa menjadi lahan perkebunan untuk meningkaktan produksi pertanian (perkebunan) sangat berpotensi mengurangi kuantitas sumberdaya perikanan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Penurunan kuantitas sumberdaya perikanan tidak hanya akan berdampak kepada masyarakat nelayan tetapi juga pada pesut mahakam yang pakan utamanya adalah ikan. Simpulan Pesut mahakam sudah ditetapkan sebagai jenis mamalia yang mendapatkan prioritas yang sangat tinggi untuk dilestarikan. Pesut mahakam juga telah ditetapkan sebagai fauna identitas Provinsi Kalimantan Timur. Di Kutai Barat, habitat intinya di Muara Pahu telah ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam habitat pesut mahakam. Selain itu, dari bidang perikanan, beberapa kebijakan yang terkait dan sangat mendukung konservasi pesut mahakam juga sudah diterbitkan. Tetapi, kebijakan-kebijakan tersebut tidak diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Ada inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan. Inkonsistensi tersebut disebabkan kurangnya attitude (komitmen) dari orang-orang di organisasi/lembaga yang terlibat dalam konservasi pesut mahakam. Penelitian ini juga mengungkap adanya inkoherensi antara strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam (SRAK Pesut) dengan rencana pembangunan (RPJM) dari kedua kabupaten yang memiliki pesut di wilayahnya ini. Inkoherensi muncul karena ada dua pendekatan atau orientasi yang berbeda antara rencana konservasi pesut dengan rencana pembangunan daerah. Pembangunan daerah tidak berorientasi/fokus kepada konservasi tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi.

105 87 8. DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI MAHAKAM Pendahuluan Sebaran pesut di S. Mahakam telah mengalami perubahan (lihat Bab 3). Pesut mahakam yang sebelumnya terdistribusi pada dua daerah utama sebaran (habitat inti/core area) yakni Muara Pahu-Penyinggahan di Kabupaten Kutai Barat dan Pela-Muara Kaman di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kreb 2004; Kreb & Budiono 2005), sekarang terkonsentrasi di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, khususnya di wilayah Kotabangun (Pela) hingga Muara Kaman. Habitat inti Muara Pahu-Penyinggahan yang pada tahun 2005 diketahui mendukung 78% populasi pesut, kini sudah tidak lagi ditinggali pesut mahakam. Fenomena perubahan sebaran ini menunjukkan bahwa penyusutan habitat telah terjadi kembali di S. Mahakam. Sebelumnya, diperkirakan pesut mahakam telah kehilangan 15% dari wilayah jelajah historisnya selama periode tahun (Kreb & Budiono 2005; Kreb et al. 2007), termasuk di dalamnya D. Jempang (Priyono 1994; Kreb & Budiono 2005; Kreb et al. 2010). Perubahan sebaran pesut mahakam mempunyai implikasi yang luas dalam konservasi pesut mahakam. Pertama adalah pada Keputusan Bupati Kutai Barat yang telah menetapkan wilayah perairan Kecamatan Muara Pahu sebagai kawasan pelestarian alam habitat pesut mahakam. Sebagai kawasan perlindungan bagi pesut, tentu saja efektivitasnya dipertanyakan apabila ternyata tidak ada pesut yang tinggal di dalamnya. Kedua, adanya tempat-tempat tertentu yang belum tercakup dalam sistem kawasan pelestarian yang telah direncanakan, seperti misalnya Muara Muntai. Ketiga, kebutuhan yang semakin mendesak terhadap keberadaan kawasan perlindungan habitat di core area Pela-Muara Kaman yang kini menjadi pusat konsentrasi pesut mahakam. Keempat, kebutuhan untuk segera mengatasi kelemahan koordinasi dan inkonsistensi kebijakan yang menyebabkan konservasi pesut mahakam tidak berjalan secara optimal. Pengalaman di Kabupaten Kutai Barat memberikan pelajaran bahwa kebijakan penetapan kawasan perlindungan bagi pesut tidak cukup untuk mencapai tujuan konservasi pesut mahakam apabila pihak-pihak yang terlibat tidak bersinergi untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Konservasi pesut mahakam selama ini berjalan tanpa adanya sebuah rencana induk yang menjadi pedoman bekerja. Selama ini, organisasi/lembaga yang memiliki perhatian terhadap konservasi pesut bekerja sendiri-sendiri atau, kadang-kadang dalam jaringan, dengan konsepnya masing-masing dan tidak terintegrasi. Strategi dan rencana aksi nasional konservasi pesut mahakam (SRAK Pesut) yang sudah mulai disusun sejak tahun 2010, sampai tahun 2013 belum terbit, padahal dokumen ini yang diharapkan bisa menjadi pedoman bekerja bagi pihak-pihak yang peduli terhadap konservasi pesut mahakam. Strategi dan rencana aksi tersebut berisikan desain bagi konservasi pesut mahakam. Sementara proses penerbitan kebijakan strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam berlangsung, fenomena perubahan sebaran pesut di S. Mahakam terjadi. Kemunculan fenomena tersebut menuntut penyesuaian-penyesuaian dalam

106 88 strategi dan rencana aksi yang sedang diproses. Berdasarkan rangkaian penelitian disertasi ini, penyesuaian tersebut dilakukan. Desain yang Ada Sekarang Satu-satunya dokumen resmi yang mendeskripsikan desain konservasi pesut mahakam adalah Surat Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor: /K.471/ 2009 tanggal 4 Juni Keputusan ini telah menetapkan visi, misi dan alokasi ruang bagi Kawasan Pelestarian Alam Habitat Pesut Mahakam di Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat. Alokasi ruang bagi pelestarian habitat pesut tersebut mencakup areal seluas ha yang meliputi wilayah perairan (badan sungai) dan juga daratan di sempadan sungai sebagai wilayah penyangganya. Desain kawasan pelestarian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sungai Mahakam sepanjang 36 km antara Tepian Ulak dan Rambayan, beserta sempadan sungai selebar 150 m di kedua tepinya sebagai bufferzone. 2. Sungai Kedang Pahu sepanjang 22 km antara Muara Pahu dan muara Sungai Jelau (anak sungai Kedang Pahu), beserta sempadan sungai selebar 150 m di kedua tepinya sebagai bufferzone. 3. Sungai Baroh sepanjang 10 km antara Muara Pahu dan Danau Jempang, beserta sempadan sungai selebar 150 m di kedua tepinya sebagai bufferzone. 4. Sungai Bolowan sepanjang 13 km dari muara sungai hingga Kampung Beloan di bagian hulunya, beserta sempadan sungai selebar 500 m di kedua tepinya sebagai bufferzone. Dalam rangka pembentukan kawasan pelestarian/perlindungan habitat di Kabupaten Kutai Kartanegara, sebuah proposal telah diajukan kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara oleh Yayasan Konservasi RASI (YK-RASI 2008). Dalam proposal tersebut sebuah rancangan desain kawasan perlindungan telah diusulkan. Usulan kawasan perlindungan/pelestarian habitat pesut mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara mencakup: 1. Sungai Mahakam sepanjang 32 km dari Muara Kaman hingga Kotabangun, beserta sempadan sungai selebar 150 m di kedua tepinya sebagai bufferzone. 2. Sungai Kedang Rantau sepanjang 16 km dari muara (Muara Kaman) sampai muara Sungai Sabintulung (anak sungai Kedang Rantau), beserta sempadan sungai selebar 150 m di kedua tepinya sebagai bufferzone. 3. Sungai Kedang Kepala sepanjang 7,3 km dari muara sampai Muara Siran, beserta sempadan sungai selebar 150 m di kedua tepinya sebagai bufferzone. 4. Sungai Pela sepanjang 4,3 km dari muaranya sampai muara Danau Semayang, beserta sempadan sungai selebar 150 m di kedua tepinya sebagai bufferzone. Kedua desain kawasan perlindungan di atas diakomodasi dalam rancangan/draf Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam untuk sepuluh tahun ke depan. Secara umum, desain konservasi pesut mahakam yang diuraikan dalam strategi dan rencana aksi yang bersifat nasional tersebut mencakup: visi, misi, strategi dan rencana aksi. Visi konservasi pesut mahakam adalah meningkatkan populasinya melalui peningkatan kualitas habitat dan sumber pakannya. Sedangkan misinya adalah:

107 1. Peningkatan perlindungan populasi Pesut Mahakam dengan menetapkan secara hukum (legalisasi) dua kawasan perlindungan bagi habitat lumba-lumba Sungai Mahakam di Kabupaten Kutai Barat dan Kutai Kartanegara. 2. Menyiapkan anggaran dana tahunan bagi perlindungan populasi Pesut Mahakam. 3. Meningkatkan restorasi habitat Pesut Mahakam di dalam dan di luar kawasan termasuk hutan pinggir sungai. 4. Meningkatkan monitoring dan penegakan hukum untuk kegiatan illegal yang berdampak negatif terhadap sumber daya perikanan dan kehutanan serta mengadakan penyuluhan dan bantuan masyarakat untuk penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan 5. Meningkatkan monitoring luas dan kualitas air di habitat Pesut Mahakam yang potensial serta monitoring perkembangan populasi pesut (perubahan jumlah, ancaman, angka kematian dan kelahiran). 6. Penguatan pelaksanaan aturan kawasan lindung sempadan sungai hutan rawa gambut dan hutan dataran rendah sebagai pendukung habitat Pesut Mahakam di luar kawasan konservasi. 7. Peningkatan kolaborasi antar stakeholder pengelola kawasan hutan dan penggunaan kawasan lainnya dengan pengamanan populasi dan habitat Pesut Mahakam. 8. Meningkatkan kesadaran masyarakat dan generasi muda terhadap kepentingan pelestarian pesut Mahakam Strategi yang digunakan dalam mencapai misi di atas adalah melakukan penguatan kapasitas dalam hal penelitian, perlindungan, populasi, sumber daya manusia, kelembagaan dan pendanaan. Selanjutnya setiap strategi dijabarkan ke dalam seperangkat rencana aksi (kegiatan). Rencana aksi tersebut meliputi: 1. Penelitian: a) Menginventarisasi habitat Pesut Mahakam yang berada di luar dan di dalam kawasan konservasi. b) Mengetahui kualitas habitat dan sebaran populasi c) Menentukan lokasi prioritas. d) Inventarisasi dan pengumpulan informasi, data sekunder hasil penelitian. e) Melakukan pemetaan sebaran habitat dan lokasi prioritas. f) Mengetahui dinamika populasi, luas dan sebaran habitat yang potensial. 2. Perlindungan: a) Membuat konsep dan proses peraturan untuk menetapkan sempadan sungai selebar 500m pada habitat Pesut Mahakam. b) Mengidentifikasi sumber pencemaran sungai di habitat Pesut Mahakam. Memberikan saran teknis kepada sumber pencemar. c) Melakukan restorasi sempadan sungai. d) Membuat aturan yang mempertegas bagi pengelola kawasan untuk melaksanakan restorasi habitat Pesut Mahakam di sekitar areal IUPHHK, perkebunan dan pertambangan. e) Melakukan penanaman pohon sekat bakar, pencegahan penebangan illegal, serta mengatasi atau mencegah konflik lahan f) Menetapkan kawasan perlindungan pada daerah/habitat utama pesut mahakam 89

108 90 3. Populasi: a) Mengidentifikasi kawasan yang potensial sebagai habitat inti Pesut Mahakam. b) Melakukan restorasi habitat. c) Melakukan pengelolaan populasi di luar kawasan konservasi, jumlah individu dalam kelompok, seks rasio dan komposisi individu menurut kelas umur. d) Memonitor kerusakan habitat dan pertumbuhan populasi. e) Melakukan penilaian dan sosialisasi jasa lingkungan secara ekologis dan ekonomis. f) Melakukan penyuluhan dan sosialisasi nilai penting Pesut Mahakam kepada pemerintah daerah, masyarakat swasta pengelola kawasan 4. Sumberdaya Manusia: Melaksanakan kegiatan pelatihan GIS dan perpetaan, kemampuan teknik silvikultur jenis-jenis pohon dan restorasi habitat, teknik restorasi dan rehabilitasi lahan pengendalian pencemaran air, pelatihan teknik pengendalian kebakaran hutan dan mengenai peraturan perundangan dan penegakan hukum, dan pelatihan teknik dan metode kolaborasi. 5. Kelembagaan dan Pendanaan: a) Mengidentifikasi masalah kelembagaan antar stakeholder terkait dengan pengelolaan habitat, status kawasan dan populasi Pesut Mahakam. b) Merancang sistem kelembagaan pengelolaan Pesut Mahakam secara kolaboratif antara pemerintah (Balai KSDA dan Balai Taman Nasional), pemangku kepentingan (Pemerintah Daerah, Pengelola IUPHHK, Pertambangan, Perkebunan, masyarakat lokal, Universitas dan LSM). c) Membentuk lembaga koordinasi dengan anggota antar sektor dan swasta yang terkait dengan pembangunan di areal sekitar habitat Pesut Mahakam. d) Merencanakan dan melaksanakan program pengelolaan kolaboratif konservasi Pesut Mahakam e) Membuat perjanjian atau aturan bersama untuk pelaksanaan kesepakatan peningkatan populasi f) Merancang sistem pendanaan berkelanjutan guna mendukung terlaksananya program Desain konservasi pesut mahakam yang ada sekarang, sebagaimana diuraikan di atas, juga mendesain indikator kinerja, tatawaktu, dan pihak-pihak yang terlibat. Pertimbangan bagi Re-desain Konservasi Pesut Implikasi Kelimpahan, Sebaran dan Analisis Kelangsungan Hidup Populasi Analisis kelangsungan hidup populasi memprediksi dalam seratus tahun ke depan jumlah individu pesut berkurang hingga 38 ekor. Situasi yang lebih buruk dapat terjadi apabila penyusutan habitat terus berlangsung dan/atau tingkat kematian melampaui 4 individu per tahun, seperti yang terjadi pada tahun 2012 Pada tahun 2012 sebanyak 6 individu mati. Skenario terbaik untuk menjamin kelestarian pesut adalah menekan tingkat kematian pesut hingga hanya 2 individu per tahun. Simulasi analisis kelangsungan hidup populasi terhadap skenario ini menunjukkan bahwa populasi seratus tahun ke depan diduga akan mencapai 153

109 individu. Skenario terbaik tersebut bekerja atas asumsi bahwa tidak ada penurunan daya dukung yang diakibatkan oleh penyusutan habitat atau pengambilan/penangkapan pesut untuk keperluan apapun termasuk untuk konservasi eks-situ. Dalam upaya mewujudkan skenario terbaik tersebut langkah terpenting yang harus diambil adalah mencegah kematian pesut oleh sebab-sebab yang berasal dari aktivitas manusia. Sesuai pengalaman di S. Mahakam, sebab kematian yang harus mendapat perhatian dan prioritas tinggi untuk ditangani adalah kematian tidak sengaja akibat terjerat jaring insang/rengge. Pengaturan penggunan jaring insang adalah upaya krusial untuk mengurangi tingkat kematian pesut. Penelitian ini mengungkapkan bahwa ada 92 ekor pesut hidup di S. Mahakam pada tahun Pesut mahakam sebanyak itu sekarang terkonsentrasi di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yakni mulai dari Muara Muntai hingga Pela-Muara Kaman yang diidentifikasi sebagai salah satu habitat inti (core area) pesut mahakam. Satu lagi habitat inti (core area) yang telah teridentifikasi yakni Muara Pahu-Penyinggahan, yang berada di Kabupaten Kutai Barat, sekarang tidak lagi digunakan secara intensif dan ditinggali oleh pesut mahakam. Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bahwa sebaran pesut di S. Mahakam telah mengalami perubahan. Perubahan sebaran mengindikasikan bahwa habitat pesut semakin menyusut. Sebagaimana dikemukakan di atas, skenario terbaik untuk kelangsungan hidup populasi pesut dapat diwujudkan apabila penyusutan habitat yang berdampak pada penurunan daya dukung tidak terjadi lagi. Oleh sebab itu, seluruh habitat yang sekarang digunakan oleh pesut perlu dijamin keamanannya dari berbagai ancaman degradasi yang bisa menyebabkan penyusutan dan penurunan daya dukung. Cakupan wilayah habitat yang perlu diamankan adalah seluruh daerah utama sebarannya sekarang yakni Muara Muntai dan core area Pela-Muara Kaman. Core area Pela-Muara Kaman sudah tercakup dalam desain konservasi (SRAK Pesut) yang sedang dalam proses untuk ditetapkan sebagai kawasan perlindungan habitat pesut. Wilayah Muara Muntai dan sekitarnya tidak tercakup dalam draf SRAK Pesut. Tiga belas individu dijumpai di wilayah ini selama penelitian. Land-base observation juga mengungkapkan bahwa kelompokkelompok pesut menghabiskan waktu yang lebih lama ketika berada di Muara Muntai dibandingkan ketika berada di Muara Kaman atau Pela. Muara Muntai dan sekitarnya penting bagi pesut karena danau dan rawa di wilayah ini merupakan penghasil sumberdaya perikanan yang menyediakan kebutuhan pakan utamanya. Potensi sumberdaya perikanan yang besar di Muara Muntai juga ditunjukkan oleh data statistik Kabupaten Kutai Kartanegara (BPS Kukar 2010). Data itu mengungkapkan bahwa Muara Muntai adalah daerah penghasil perikanan tangkap terbesar di Kutai Kartanegara. Fakta bahwa Muara Muntai penting dari sisi ekonomi (produksi perikanan tangkap) dan konservasi, menunjukkan bahwa potensi konflik kepentingan di wilayah ini tinggi. Kematian pesut sebanyak 5 individu akibat terjerat jaring insang yang terjadi di tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya membuktikan betapa besar potensi konflik ekonomi dan konservasi pesut mahakam. Oleh karena itu, habitat pesut mahakam di Muara Muntai dan sekitarnya harus 91

110 92 termasuk ke dalam jaringan kawasan perlindungan pesut agar strategi dan rencana aksi konservasi dapat diimplementasikan di wilayah ini. Kawasan perlindungan habitat pesut di Pela-Muara Kaman (Kabupaten Kutai Kartanegara) sebagaimana direncanakan dalam konsep SRAK Pesut, mencakup alur sungai sepanjang 55,3 km dengan bufferzone selebar 150 m di kanan-kiri alur sungai. Penelitian ini mengungkapkan bahwa masih ada setidaknya tiga alur sungai yang penting untuk diintegrasikan ke dalam rencana kawasan perlindungan habitat pesut Kutai Kartanegara tersebut. Pertama adalah alur S. Belayan mulai muaranya di S. Mahakan sampai dengan ± 13 km ke arah hulu di wilayah Kampung Muhuran. Kedua, S. Sabintulung sepanjang 5 km mulai dari muaranya di S. Kedang Rantau sampai dengan kampung Sabintulung. Alur ini berada di rawa-rawa yang sangat potensial menghasilkan sumberdaya perikanan. Ketiga, alur S. Kedang Rantau mulai dari muara S. Sabintulung ke arah hulu sampai dengan kampung Tunjungan (6,5 km). Tiga alur sungai tersebut di atas saat ini sudah masuk dalam peta usulan kawasan perlindungan habitat pesut Kutai Kartanegara dan sedang dalam proses penetapan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Implikasi Analisis Jaringan Kerja Enam belas aktor (organisasi) terlibat dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam. Jumlah aktor/organisasi yang relatif banyak itu tidak secara otomatis menyebabkan prospek pelestarian pesut mahakam menjadi semakin baik karena para aktor tidak terhubungkan oleh jaringan koordinasi yang baik. Kekosongan komunikasi/koordinasi terjadi di antara aktor yang bekerja di wilayah Kabupaten Kutai Barat. Ironisnya, kekosongan tersebut terjadi setelah terbitnya keputusan bupati tentang penetapan wilayah Muara Pahu sebagai kawasan perlindungan bagi habitat pesut di tahun 2009, padahal tiga tahun sebelumnya para aktor/organisasi di Kutai Barat bekerjasama dan berkoordinasi demi terbitnya keputusan tersebut. Setelah keputusan penetapan terbit dan koordinator untuk implementasi keputusan ditunjuk, yaitu BLH Kutai Barat, komunikasi/koordinasi di antara para aktor/organisasi yang merupakan SKPD Kabupaten Kutai Barat malah terputus. Sementara itu, YK-RASI yang sebelumnya beperan besar dalam menginisiasi dan memelopori koordinasi diantara para pihak demi ditetapkannya kawasan perlindungan habitat pesut di Muara Pahu (Kabupaten Kutai Barat) mengalihkan fokusnya untuk merealisasikan hal yang sama di Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam situasi dimana komunikasi/koordinasi tidak berjalan, fenomena perubahan sebaran pesut mahakam terjadi. Tidak ada koordinasi yang memadai untuk merespon dan mengantisipasi feneomen perubahan tersebut padahal gejala-gejalanya bahkan sudah terdeteksi sebelum keputusan penetapan kawasan perlindungan habitat pesut di Muara Pahu terbit. Sebaliknya, saat YK-RASI mengalihkan fokusnya ke Kabupaten Kutai Kartanegara, jaringan komunikasi/koordinasi diantara para aktor/organisasi pemerhati konservasi pesut mahakam di kabupaten ini berjalan dengan lebih baik. Jaringan kerja yang didominasi oleh aktor/organisasi SKPD Kutai Kartanegara ini berupaya agar kawasan perlindungan bagi habitat pesut mahakam di core area kedua di Pela-Muara Kaman bisa terealisasi. Kondisi ini serupa dengan yang

111 93 terjadi di Kabupaten Kutai Barat ketika para pihak di sana bekerjasama dan berkoordinasi untuk terwujudnya kawasan perlindungan habitat pesut di core area Muara Pahu-Penyinggahan. Fungsi/peran jaringan kerja konservasi pesut mahakam di Kabupaten Kutai Kartanegara bukan sekedar mewujudkan kawasan perlindungan habitat pesut di kabupaten ini. Belajar dari pengalaman Kabupaten Kutai Barat di Muara Pahu, jaringan kerja ini harus terus berperan dan bekerjasama (baik antar sektor maupun litas kabpaten) dalam implementasi kawasan perlindungan habitat jika nantinya kebijakan tersebut diterbitkan. Beban jaringan kerja konservasi pesut mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara lebih berat karena kini pesut terkonsentrasi di wilayah perairan kabupaten ini dan kelangsungan hidup populasinya tergantung pada bagaimana jaringan kerja ini bekerjasama untuk mewujudkan skenario menekan tingkat kematian pesut hingga 2 individu per tahun dan mencegah penyusutan habitat yang dapat menyebabkan berkurangnya daya dukung habitat. Analisis jaringan kerja konservasi pesut mahakam menunjukkan bahwa komunikasi/koordinasi adalah hal yang sangat krusial bagi konservasi pesut mahakam. Oleh sebab itu, penguatan jaringan kerja koordinasi menjadi agenda penting dalam desain konservasi pesut mahakam. Untuk mendukung penguatan jaringan kerja koordinasi, peran aktor/organisasi, khususnya SKPD perlu ditingkatkan melalui pemberdayaan. SKPD dalam analisis kepentingan-pengaruh masuk dalam kategori subyek yakni aktor yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah. Aktor-aktor (organisasi-organisasi) seperti SKPD memiliki potensi besar untuk mendukung konservasi pesut mahakam karena memiliki kewenangan formal dalam bidang kerjanya yang bisa bermanfaat dalam pelestarian pesut. Hanya saja, pengaruh berupa kewenangan formal tidak didukung oleh adanya pengetahuan dan kemampuan khusus, jaringan internasional serta kontrol terhadap sumberdaya sehingga aktor-aktor ini memiliki kekurangan kapabilitas untuk memberikan dampak yang signifikan pada upaya konservasi pesut. Implikasi Analisis Konsistensi dan Koherensi Kebijakan Secara nasional pesut mahakam mendapatkan prioritas yang sangat tinggi untuk dilestarikan. Hal itu ditegaskan dalam Permenhut No. P.57/Menhut-II/2008. Peraturan menteri kehutanan tersebut merupakan payung bagi langkah-langkah atau upaya konservasi pesut mahakam. Selain itu, pesut mahakam dijadikan sebagai fauna identitas Provinsi Kalimantan Timur sehingga sepantasnya jika pelestariannya mendapatkan perhatian yang khusus, baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat di Kalimantan Timur. Selangkah lebih maju, pemerintah Kabupaten Kutai Barat sejak 2009 telah menetapkan kebijakan untuk melindungi dan melestarikan habitat pesut di salah satu habitat intinya yakni Muara Pahu- Penyinggahan. Sejalan dengan kebijakan-kebijakan yang menyangkut konservasi pesut di atas, beberapa kebijakan daerah terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan telah ada untuk mendukung konservasi pesut. Sangat disayangkan peraturan atau keputusan yang mengikuti kebijakankebijakan tersebut di atas ternyata tidak diimplementasikan dengan sungguhsungguh. Fakta-fakta seperti kurangnya komunikasi/koordinasi dan alokasi

112 94 sumberdaya, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa kebijakan tidak dilaksanakan secara konsisten. Inkonsistensi tersebut disebabkan kurangnya attitude dan komitmen dari orang-orang di organisasi/lembaga yang terlibat dalam konservasi pesut mahakam. Penelitian ini juga mengungkap adanya inkoherensi antara strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam (SRAK Pesut) dengan rencana pembangunan (RPJM) Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat. Inkoherensi muncul karena pembangunan daerah di kedua kabupaten lebih berorientasi/fokus kepada konservasi tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi. Inkonsistensi implementasi dan inkoherensi kebijakan terkait konservasi pesut mahakam adalah faktor yang berkontribusi besar terhadap munculnya permasalahan-permasalahan dalam konservasi pesut mahakam. Keduanya berakar pada tidak adanya attitudedan komitmen dari pihak-pihak yang bertanggungjawab atas implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Oleh sebab itu, desain konservasi pesut mahakam harus mencakup strategi atau rencana untuk menumbuhkan attitude dan komitmen dari orang-orang yang terlibat dalam implementasi kebijakan-kebijakan tersebut di atas. Re-desain Konservasi Pesut Konsep tentang Desain Konservasi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2008), kata desain diartikan sebagai rancangan. Dalam Bahasa Inggris, desain (design) memiliki makna bermacam-macam. Salah satunya adalah renca-na atau protokol untuk melaksanakan atau menyelesaikan sesuatu (Merriam-Webster Dictionary). Makna lainnya adalah seni membuat rencana atas sesuatu atau cara bagaimana (proses) sesuatu direncanakan atau dibuat (Cambridge Advanced Learner's Dictionary). Sebagai sebuah istilah atau konsep, desain memiliki berbagai macam definisi. Ralph & Wand (2009) mengemukakan bahwa ada banyak konsep tentang desain. Menurut mereka, beberapa konsep yang paling umum dikemukakan adalah desain sebagai proses, rencana, sistem atau kumpulan aktivitas/kegiatan. Ralph & Wand (2009) sendiri mengusulkan bahwa definisi dari desain adalah: Spesifikasi (gambaran rinci tentang struktur) dari suatu obyek, yang diciptakan oleh agen untuk mencapai tujuan dalam situasi lingkungan khusus (tertentu), dengan menggunakan seperangkat unsur sehingga struktur yang diinginkan dapat terpenuhi walaupun tetap memiliki keterbatasan Mengacu kepada definisi di atas, Grisogono (2011) menyatakan bahwa intisari dari makna desain adalah membuat sesuatu yang fungsional atau yang dapat bekerja. Sesuatu yang dimaksud disini adalah salah satu atau kombinasi dari alat, sistem, sistem dari sistem, organisasi, jaringan kerja, operasi, proses atau teori. Semua konsep atau definisi yang telah disebutkan di atas adalah relevan dengan istilah desain yang digunakan dalam penelitian ini.

113 95 Pada umumnya desain konservasi merujuk pada penentuan bentuk, luasan dan sebaran kawasan konservasi seperti yang umum dibahas dalam konsep SLOSS (Single Large or Several Small) [Meffe & Caroll 1994, Nekola & White 2002], perancangan koridor satwa (Bond 2003, Wikramanayake et al. 2004, Lombard et al. 2010), atau pada sistem zonasi kawasan atau rencana tapak (site plan) kawasan konservasi (MacKinnon et al. 1993). Desain konservasi yang dimaksud dalam penelitian ini sebagiannya memang mencakup hal-hal yang terkait dengan konsepsi perencanaan ruang bagi kawasan perlindungan habitat pesut, tetapi sebagian besar lagi akan menyangkut proses, rencana, sistem atau kumpulan aktivitas/kegiatan dan pengorganisasiannya dalam melestarian spesies (dalam hal ini pesut mahakam) sebagaimana dicontohkan dalam IUCN/Species Survival Commission (2008) dan Soehartono et al. (2007). Desain Konservasi Pesut Mahakam: Sebuah Konsep Penyempurnaan Pada dasarnya desain konservasi pesut mahakam yang dapat menjadi acuan atau pedoman bagi pelaksanaan pelestarian jenis ini belum ada. Tetapi, konsep/ draf SRAK Pesut yang berisikan rencana alokasi ruang serta aktivitas/kegiatan dalam melestarikan spesies pesut bisa dianggap sebagai desain konservasi pesut mahakam yang ada sekarang. Masalahnya adalah konsep/draf itu dibuat sesuai dengan situasi dan kondisi sebelum ada fenomena perubahan sebaran pesut mahakam. Berdasarkan penelitian disertasi ini, fenomena perubahan sebaran tersebut telah menciptakan situasi dan kondisi baru yang berbeda dengan sebelumnya. Perbedaan ini menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian dalam desain konservasi, khususnya yang menyangkut alokasi ruang bagi rencana kawasan perlindungan habitat pesut. Penelitian yang berlatar belakang perubahan sebaran ini juga telah mengungkapkan bahwa fenomena tersebut bisa terjadi karena ada kelemahan manajemen dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam. Oleh sebab itu, berbasis hasil-hasil penelitian ini dibuat penyesuaian terhadap konsep desain konservasi pesut mahakam yang ada saat ini. Upaya ini diharapkan bisa menyempurnakan SRAK Pesut sebelum kebijakan ini diimplementasikan ke lapangan. Berikut adalah beberapa hal yang perlu disempurnakan melalui re-desain konservasi pesut mahakam. Kawasan Perlindungan Habitat Pesut Mahakam Dalam konteks kawasan perlindungan habitat pesut mahakam, ada satu isu pokok yang harus mendapat perhatian, yakni menjadikan wilayah Muara Muntai dan sekitarnya sebagai bagian dari jaringan kawasan perlindungan habitat pesut karena wilayah ini penting bagi pesut. Berikut ini adalah desain kawasan perlindungan habitat pesut Muara Muntai dan sekitarnya yang sesuai dengan fenomena perubahan sebaran pesut di S. Mahakam (Gambar 8.1). Kawasan ini meliputi alur S. Mahakam di sekeliling Delta Muara Muntai sepanjang 11,54 km; alur S. Mahakam dari Muara Muntai hingga Kampung Kuyung sepanjang 11,5 km; alur S. Mahakam dari Delta sampai Kampung Batuq sepanjang 7 km; danau/sungai mati di Kampung Batuq; dan S. Rebaq Rinding sepanjang 13,1 km yang menghubungkan S. Mahakam dengan D. Jempang. Selain alur sungai yang disebutkan di atas, sempadan sungainya (ka-

114 96 wasan perlindungan setempat) selebar 150 m di kanan-kiri alur sungai juga merupakan bagian dari kawasan perlindungan pesut Muara Muntai dan sekitarnya. Gambar 8.1. Usulan kawasan perlindungan habitat pesut Muara Muntai dan sekitarnya Dari sisi konservasi pesut, wilayah Muara Muntai memiliki arti penting karena di sini terdapat lima kawasan suaka (reservat) perikanan yang dapat menjamin ketersediaan pakan bagi pesut. Sebagai kawasan yang penting bagi pesut, pengelolaan suaka perikanan harus merupakan bagian dari desain konservasi pesut mahakam. Jaringan Kerja Konservasi Pesut Mahakam Fokus dari penguatan jaringan kerja konservasi pesut mahakam adalah meningkatkan hubungan koordinasi relasional (Gittel et al. 2008; Gittel 2010). di antara aktor-aktor yang terlibat. Hubungan koordinasi relasional dinilai cocok diterapkan karena konsep ini menekankan keterpaduan antara kualitas komunikasi dan kualitas relationship dalam koordinasi. Menurut konsep ini, komunikasi yang berkualitas adalah komunikasi yang sering, tepat waktu, akurat dan berorientasi pada pemecahan masalah. Sedangkan, relationship yang berkualitas di dalam jaringan dicirikan oleh: 1) kesadaran setiap aktor/organisasi bahwa tujuan organisasinya adalah bagian dari tujuan jaringan secara keseluruhan; 2) saling mengerti tugas masing-masing dalam jaringan sehingga setiap aktor paham akan dampak setiap aktivitasnya terhadap aktivitas dan kinerja aktor lainnya; dan 3) sikap saling menghormati peran dan kompetensi aktor/organisasi lain.

115 97 Jaringan kerja dengan kualitas koordinasi seperti itu memerlukan prasyarat tertentu agar bisa diwujudkan. Prasyarat tersebut adalah ketersedian dana untuk menjalankan berbagai aktivitas koordinasi dan ketersediaan prasarana pendukung aktivitas. Setiap aktor/organisasi dalam jaringan bertanggungjawab terhadap ketersediaan dana dan prasarana karena masing-masing harus berkontribusi terhadap konservasi pesut sesuai peran dan tujuan organisasinya. Kecenderungan untuk mengonsentrasikan tugas dan pendanaan kepada satu organisasi yang ditunjuk sebagai leading agent justu akan melemahkan kekuatan dan mengabaikan potensi jaringan. Dalam konteks penyediaan dana, pemerintah pusat harus memberikan kesempatan seluas-luasnya dan kemudahan bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan sumber dana alokasi umum dan dana alokasi khusus bagi kegiatankegiatan yang berhubungan dengan konservasi pesut mahakam. Kesempatan dan kemudahan tersebut adalah wujud dari pemberian insentif kepada pemerintah daerah sebagaimana arahan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/Menhut- II/2008. Selain dana, prasyarat penguatan jaringan adalah ketersedian prasarana koordinasi. Untuk mencapai komunikasi yang berkualias, prasarana yang diperlukan adalah sistem informasi yang meliputi mekanisme komunikasi dan basis data. Penguatan pengorganisasian dan pendanaan memerlukan semacam dewan yang merupakan representasi dari semua pihak yang berkepentingan terhadap konservasi pesut. Fungsi lembaga ini adalah: 1) memfasilitasi/memediasi kepentingan dan mengelola pengaruh setiap aktor/stakeholder yang terlibat dalam konservasi pesut; 2) menggalang dana bagi konservasi pesut. Dalam konteks penggalangan dana, tugas lembaga ini adalah memfasilitasi stakeholder dari unsur pemerintah daerah (SKPD) agar dapat menangkap dana alokasi umum (DAU) atau dana alokasi khusus (DAK) untuk kepentingan konservasi pesut mahakam, dan meyakinkan pemerintah pusat bahwa daerah layak untuk memperolehnya. Untuk sumber dana di luar pemerintah, lembaga ini dapat berperan aktif untuk mencari dan menggalang dana dari pihak ketiga (sponsor/donatur) di dalam dan luar negeri, yang peduli terhadap konservasi pesut. Implementasi Kebijakan Konservasi Pesut Mahakam Implementasi kebijakan secara konsisten adalah hal terpenting dalam konservasi pesut mahakam. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, bertanggungjawab atas beberapa implementasi Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/Menhut-II/2008 yakni: 1) menerbitkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam; 2) memfasilitasi daerah untuk menyusun daerah untuk melaksanakan konservasi pesut. Dengan ditetapkannya pesut mahakam sebagai fauna identitas Kalimantan Timur, Pemerintah provinsi harus memberikan perhatian yang lebih besar dan serius terhadap pelestarian pesut mahakam. Alokasi dana pada SKPD provinsi sangat diperlukan agar organisasi-organisasi di lingkungan pemerintah provinsi dapat berkontribusi pada upaya-upaya pelestarian pesut sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Sesuai dengan fungsi koordinasi yang diembannya,

116 98 pemerintah provinsi dapat memainkan peranan yang lebih besar dalam konservasi pesut. Di tingkat kabupaten, pemerintah kabupaten berkewajiban untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya secara konsisten. Langkah krusial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah penegakan hukum secara konsisten dan penyediaan sumberdaya yang memadai. Di atas semua itu, yang terpenting adalah membangun komitmen karena dengan komitmen inilah personil-personil dalam organisasi sanggup bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mengimplementasikan kebijakan.

117 99 9. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Fakta yang terungkap dan pengalaman yang diperoleh dari fenomena perubahan sebaran pesut mendorong dilakukannya penyempurnaan (re-desain) terhadap konsep desain konservasi pesut mahakam (Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam) yang ada sekarang. Re-desain tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut: penambahan areal untuk kawasan perlindungan pesut dan habitatnya, penguatan pengorganisasian dan implementasi kebijakan secara konsisten. Penambahan kawasan perlindungan pesut diperlukan agar salah satu habitatnya yang penting di Muara Muntai dan sekitarnya dapat tercakup dalam jaringan kawasan perlindungan. Penguatan pengorganisasian jaringan kerja konservasi pesut mahakam dilakukan melalui: 1) pembentukan dewan atau lembaga yang berfungsi memfasilitasi/memediasi kepentingan dan mengelola pengaruh setiap aktor/ stakeholder yang terlibat dalam konservasi pesut; 2) penguatan pendanaan melalui pemanfaatan dana alokasi umum serta dana alokasi khusus; dan 3) penerapan sistem koordinasi relasional dalam jaringan kooordinasi konservasi pesut mahakam. Selain dana, prasyarat penguatan pengorganisasian adalah ketersedian prasarana koordinasi. Dalam rangka mencapai koordinasi/komunikasi yang berkualias, prasarana yang diperlukan adalah sistem informasi yang meliputi mekanisme komunikasi dan basis data. Inkonsistensi pelaksanaan dan inkoherensi kebijakan merupakan isu krusial dalam konservasi pesut. Oleh karena itu, penegakan hukum dan membangun komitmen untuk secara konsisten melaksanakan kebijakan merupakan langkah yang terpenting dalam konservasi pesut mahakam. Pengalaman Kabupaten Kutai Barat harus menjadi pelajaran bagi Kabupaten Kutai Kartanegara yang saat ini sedang berkoordinasi secara intensif untuk menetapkan kawasan perlindungan habitat pesut mahakam di core area Pela-Muara Kaman. Penguatan jaringan koordinasi justru harus dilakukan setelah ditetapkannya kebijakan perlindungan habitat pesut, karena di situ ada tanggung jawab yang lebih besar untuk melaksanakan amar-amar putusannya. Saran-saran 1. Kementerian Kehutanan perlu segera menyelesaikan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam yang telah tertunda selama 2,5 tahun. Kebijakan ini diperlukan untuk menjadi dasar atau pedoman bagi pelaksanaan konservasi pesut. 2. Melakukan penelitian yang mendalam terhadap penggunaan jaring insang/ rengge untuk mengetahui potensi dampaknya terhadap kehidupan pesut dan tatacara pengaturan penggunaannya. Mengadopsi hasil-hasil penelitian disertasi ini untuk penyempurnaan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam.

118 100

119 101 DAFTAR PUSTAKA [AEG] Aspen Environmental Group Policy consistency and plan amandments: Tehachapi renewable transmission project. [Internet] [diunduh 4 Maret 2013] Tersedia pada: ftp://ftp.cpuc.ca.gov/gopher-data/environ/teha chapi_renewables/finalpolicy_all.pdf Akçakaya HR Population viability analysis with demographically and spatially structured models. Ecological Bulletins 48: Akçakaya HR and Sjögren-Gulve P Population viability analysis in conservation planning: an overview. Ecological Bulletins 48: Antikarov V Hedging policy consistency theory vs. practice: the role of management s expectations in the implementation of hedging policy. Paper. Presented at the: 2011 Enterprise Risk Management Symposium Society of Actuaries, March Baird IG and Mounsouphom B Irrawaddy dolphins (Orcaella brevirostris) in Southern Lao PDR and Northeastern Cambodia. Nat. Hist. Bull. Siam Soc, 42: Barrio J Population viability analysis of The Taruka, Hippocamelus antisensis (D Órbigny, 1834) (cervidae) in Southern Peru. Rev. peru. biol. 14 (2): Barry F, King M and Matthews A Policy coherence for development: five challenges. Irish Studies in International Affairs, 21: Beasley IL Conservation of The Irrawaddy Dolphin Orcaella brevirostris (Owen in Gray 1866) in The Mekong River: Biological and Social Considerations Influencing Management. Ph.D Thesis. School of Earth and Environtmental Science, James Cook University. Beasley I, Somany P, Gilbert M, Phothitay C, Saksang Y, San LK and Sokha K Review of the Status and Conservation of Irrawaddy Dolphins Orcaella brevirostris in The Mekong River of Cambodia, Lao PDR and Vietnam. Di dalam: Smith BD, Shore RG and Lopez A, Editor. Status and Conservation of Freshwater Populations of Irrawaddy Dolphins, WCS Working Paper Series. Wildlife Conservation Society, New York: Bearzi G Interactions between Cetacean and Fisheries in the Mediterranean Sea. Di dalam: di Sciara GN, Editor Cetaceans of the Mediterranean and Black Seas: State of Knowledge and Conservation Strategies. A report to the ACCOBAMS Secretariat, Monaco, February Section 9. Beissinger SR Population Viability Analysis: Past, Present, Future. Di dalam: Beissinger SR and McCullough DR, Editors. Population Viability Analysis. The University of Chicago Press. Chicago, USA. Berta A and Sumich JL Marine Mammals: Evolutionary Biology. Academic Press. San Diego. Bolland JM and Wilson JV Three faces of integrative coordination: A model of interorganizational relations ini community-based health and human services. Health Services Research 29 (3):

120 102 Bond M Principles of wildlife corridor design. [Internet] [diunduh 2 Juli 2011]. Research Papers. Center for Bilogical Diversity. Tersedia pada: papers/ Borgatti S, Everett M and Freeman L UCINET 6 for windows, software for social network analysis, User s Guide. Columbia, SC: Analytic Technologies. Boyce MS Population viability analysis. Annual Review of Ecological System, 23: Busch C, De Maret PS, Flynn T, Kellum R, Le S, Meyers B, Saunders M, White R, and Palmquist M Content Analysis. Writing@CSU. Colorado State University Department of English. [Internet] [diunduh 16 Januari 2011] Tersedia pada: guides/research/ content/ Campbell SP, Clark JA, Crampton LH, Guerry AD, Hatch LT, Hosseini PR, Lawler JJ and O Connor RJ An assessment of monitoring effort in endangered species recovery plans. Ecological Applications, 12 (3): Chakraborty R and De JK Irrawaddy Dolphin in Northern Sunderban. A West Bengal Government English Monthly, XLIX (10). Chapman CA. and Teichroeb JA What influences the size of groups in which primates choose to live? Nature Education Knowledge, 3 (10): 9 Clark TW, Backhouse GN and Lacy RC Report of a workshop on population viability assessment as a tool for threatened species management and conservation. Australian Zoologist, 27 (1 & 2): Connor RC, Read AJ and Wrangham R Male Reproductive Strategies and Social Bonds. Di dalam: Mann J, Connor RC, Tyack PL and Whitehead H, Editors Field Studies of Dolphins and Whales. The University of Chicaho Press, Chicago: Corkeron PJ, Minton G, Collins T, Findlay K, Willson A and Baldwin R Spatial models of sparse data to inform cetacean conservation planning: an example from Oman. Endangered Species Research, 15: Culik BM Review of Small Cetaceans. Distribution, Behaviour, Migration and Threats. Marine Mammal Action Plan/Regional Seas Reports and Studies No. 177 UNEP/CMS Secretariat. Bonn, Germany. Dove V, Dove D, Trujillo F and Zanre R Abundance Estimation of The Mekong Irrawaddy Dolphin Orcaella Brevirostris Based on Mark and Recapture Analysis of Photoidentified Individuals. WWF Cambodia Technical Report. Duke S Consistency as an issue in EU external activities. European Institute of Public Administration. Working paper 99/W/06. Duraiappah AK and Bhardwaj A Measuring Policy Coherence among The MEAs and MDGs. International Institute for Sustainable Development. [Internet] [diunduh 1 Juli 2011]. Tersedia pada: Elliot W, Sohl H and Burgener V Small Cetaceans: The Forgotten Whales. WWF-International. [Internet] [diunduh 16 Januari 2011] Tersedia pada: ceans-the-forgotten-whales Faust K and Wasserman R Centrality and prestige: a review and synthesis. Journal of Quantitative Anthropology, 4:

121 103 Frankham R Genetics and conservation biology. Comptes Rendus Biologies, 326: S22-S29. Freeman L Centrality in social networks: conceptual clarification. Social Networks, 1: Gerber LR and Hatch LT Are we recovering? an evaluation of recovery criteria under The U.S. Endangered Species Act. Ecological Applications, 12 (3): Giusti GA and Merenlender AM Inconsistent application of environmental laws and policies to California's Oak Woodlands. USDA Forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-184. hlm Gomez-Salazar C, Trujillo F, Portocarrero M and Whitehead H Population, density estimates, and conservation of river dolphins (Inia and Sotalia) in the Amazon and Orinoco River Basins. Marine Mammal Science, 28 (1): Griffen BD and Drake JM Effects of habitat quality and size on extinction in experimental populations. Proceedings of The Royal Society B., 275: Grisogono AM Design as A Strategy for Dealing with Complexity. Di dalam: Sayama H, Minai AA, Braha D and Bar-Yam Y, editor. Unifying Themes in Complex Systems Volume VIII: Proceedings of the Eighth International Conference on Complex Systems. [Internet] [diunduh 17 Juli 2011]. New England Complex Systems Institute Series on Complexity (NECSI Knowledge Press, 2011). hlm Tersedia pada: edu/events/iccs2011/papers/227.pdf Hanneman RA and Riddle M Introduction to social network methods. [Internet] [diunduh 10 Oktober 2011]. University of California, Riverside. Riverside, CA. Tersedia pada: Herr H, Fock HO, Kock KH and Siebert U Spatio-temporal Interactions between Harbour Porpoise (Phocoena phocoena) and Fisheries in The German Bight : Preliminary Results. Document AC16/Doc.61 (P). 16 th ASCOBANS Advisory Committee Meeting. Brugge, Belgium, April hlm IUCN/Species Survival Commission Strategic planning for species conservation: An Overview. Version 1.0.Gland, Switzerland: IUCN. hlm. 22. Jefferson TA, Karczmarski L, Kreb D, Laidre K, O Corry-Crowe G, Reeves RR, Rojas-Bracho L, Secchi E, Slooten E, Smith BD, Wangand JY, Zhou K Orcaella brevirostris (Mahakam River subpopulation). Di dalam: IUCN IUCN Red List of Threatened Species. Version [Internet] [diunduh 16 Januari 2011] Tersedia pada: Kapucu N Interorganizational coordination in dynamic context: Networks in emergency response management. Connections, 26 (2): Kapucu N Interorganizational coordination in complex environments of disasters: The evolution of intergovernmental disaster response systems. Journal of Homeland Security and Emergency Management [Internet] [diunduh 16 Juni 2011]; 6 (1): Tersedia pada: jhsem/ vol6/iss1/47 Kelkar J Patterns of Habitat Use and Distribution of Ganges River Dolphins Platanista gangetica gangetica in A Human-dominated

122 104 Riverscape in Bihar, India. MSc. Thesis, Manipal University. Bangalore, India. Kelkar N, Krishnaswamy J, Choudhary J and Sutaria D Coexistence of fisheries with river dolphin conservation. Conservation Biology, 24 (4): Kittiwattanawong K, Chantraporsyl S, Ninwat S and Chooruk S Review of the status and conservation of Irrawaddy Dolphins Orcaella brevirostris in Songkhla Lake of Thailand. Di dalam: Smith BD, Shore RG and Lopez A, Editor. Status and Conservation of Freshwater Populations of Irrawaddy Dolphins, WCS Working Paper Series 31 Wildlife Conservation Society, Bronx, NY. hlm Krauss M, Mueller N and Luke D Interorganizational relationships within state tobacco control networks: A social network analysis. Preventing Chronic Desease [Internet] [diunduh 12 Desember 2012], 1 (4): Tersedia pada: Keedwell RJ Use of population viability analysis in conservation management in New Zealand. 1. review of technique and software. Science for Conservation, 243: Kreb D and Smith BD Orcaella brevirostris (Mahakam subpopulation). Di dalam: IUCN IUCN Red List of Threatened Species. [Internet] [diunduh 7 Februari 2007] Tersedia pada: Kreb D Facultative River Dophins: Conservation and Social Ecology of Freshwater and Coastal Irrawaddy Dolphins in Indonesia. Ph.D. Thesis. Institute for Biodiversity and Ecosystem Dynamics/Zoölogisch Museum Amsterdam (ZMA), University of Amsterdam. Kreb D and Rahadi KD Living under an aquatic freeway: effects of boats on irrawaddy dolphins (Orcaella brevirostris) in a coastal and riverine environment in Indonesia. Aquatic Mammals, 30 (3): Kreb D and Budiono Conservation management of small core areas: key to survival of a critically endangered population of irrawaddy river dolphins Orcaella brevirostris in Indonesia. Oryx 39 (2): Kreb D, Syachraini and Budiono Pesut Mahakam Conservation Program Technical Report: Abundance and Threats Monitoring Surveys During Medium-high and Low Water Levels, June & September Unpublished Report Submitted to Local Authorities in East Kalimantan and International NGOs. Kreb D, Budiono and Syachraini Status and Conservation of Irrawaddy Dolphins Orcaella brevirostris in the Mahakam River of Indonesia. Di dalam: Smith BD, Shore RG and Lopez A, Editor. Status and Conservation of Freshwater Populations of Irrawaddy Dolphins, WCS Working Paper Series 31 Wildlife Conservation Society, Bronx, NY. hlm Kreb D dan Susanti I Program Konservasi Pesut Mahakam: Laporan Teknis Survei Monitoring Jumlah Populasi dan Ancaman pada Level Air Sedang Hingga Rendah, Agustus/September & November Yayasan Konservasi RASI. Samarinda. Kreb D, Reeves RR, Thomas PJ, Braulik G and Smith BD, Editor Establishing Protected Areas for Asian Freshwater Cetaceans as Flagship Species for Integrated River Conservation Management. Samarinda, 19-24

123 105 October Final Workshop Report: Yayasan Konservasi RASI, Samarinda. Kreb D and Susanti I Pesut Mahakam Conservation Program. Technical Report: Abundance and Threats Monitoring Surveys During Medium to High Water Levels, September & October/November YK-RASI. Samarinda. Kreb D and Noor IY Pesut Mahakam Conservation Program. Technical Report: Abundance and Threats Monitoring Surveys During Low Water Levels, July & September YK-RASI. Samarinda. Kwait J, Valente TW and Celentano DD Interorganizational relationships among HIV/AIDS service organization in Baltimore: a network analysis. Journal of Urban Health, 78 (3): Lacy RC VORTEX: A Computer simulation model for population viability analysis. Wildl. Res., 20: Lamb J, Willis K, Wyckoff GR Planning with Endangered Species in Mind. Di dalam: Benton N, Ripley JD, and Powledge F (editor). Conserving Biodiversity on Military Lands: A Guide for Natural Resources Managers. [Internet] [diunduh 1 Maret 2013] Tersedia pada: diversity.org Lindenmayer DB, Clark TW, Lacy LC and Thomas VC Population viability analysis as a tool in wildlife conservation policy: with reference to australia. Environmental Management, 17 (6): Lu N and Sun YH Population viability analysis and conservation of chinese grouse Bonasa sewerzowi in Lianhuashan Nature Reserve, Northwest China. Bird Conservation International, 21: Makinde T Problems of policy implementation in developing nations: the Nigerian experience. Journal of Social Science, 11(1): Marsh H, Lloze R, Heinsohn GE and and Kasuya T Irrawaddy Dolphin Orcaella brevirostris (Gray, 1866). Di dalam: Ridgeway SH and Harisson RJ, Editor. Handbook of Marine Mammals, Vol. 4. Academic Press. London. Meffe GK and R Carroll The Design of Conservation Reserves. Dalam: Meffe GK, R Carroll and Contributors. Principles of Conservation Biology. Sinauer Associates, Inc. Massachusetts, USA. Miller PS and Lacy LC VORTEX: A Stochastic Simulation of the Extinction Process. Version 9.50 User s Manual. Apple Valley, MN: Conservation Breeding Specialist Group (SSC/IUCN). Morzer Bruyns, WFJ Some notes on Irrawaddy Dolphin, Orcaella brevirostris (Owen, 1866). Sonderdruck aus Z.f. Saugetierkunde Bd, 31 (5): Mote JE, Jordan G, Hage J and Whitestone Y New directions in the use of network analysis in research and product development evaluation. Research Evaluation, 16 (3): Nathan L Consistency and inconsistencies in South African foreign policy. International Affairs, 81 (2): Nekola JC and White PS Conservation, the two pillars of ecological explanation, and the paradigm of distance. Natural Areal Journal, 22 (4):

124 106 [ODC] Opinion Dynamics Corporation Stadewide marketing and outreach process evaluation. [Internet] [diunduh 12 Desember 2012] California Public Utilities Commission. Study ID SCE0256. Tersedia pada: Olsen GR Coherence, consistency and political will in foreign policy: the European Union s policy towards Africa. Perspectives on European Politics and Society, 9 (2): Ovaskainen O and Hanski I Transient dynamics in metapopulation response to perturbation. Theoretical Population Biology 61: Parra GJ Behavioral Ecology of Irrawaddy Orcaella brevirostris (Owen in Gray, 1866) and Indo-Pacifc Humpback Dolphins, Sousa chinensis (Osback, 1765) in Northeast Queensland, Australia: A Comparative Study. PhD Thesis, James Cook University. Pattnaik AK, Sutaria D, Khan M and Behera BP Review of the status and conservation of Irrawaddy Dolphins Orcaella brevirostris in Chilika Lagoom River of India. Di dalam: Smith BD, Shore RG and Lopez A, Editor. Status and Conservation of Freshwater Populations of Irrawaddy Dolphins, WCS Working Paper Series 31 Wildlife Conservation Society, Bronx, NY. hlm Pontzer H and Kamilar JM Great ranging associated with greater reproductive investment in mammals. PNAS, 106 (1): Portela C and Raube K Coherence in EU foreign policy: what kind of polity? Leuven Centre for Global Governance Studies. Working Paper No. 68-June Putrianti D Konsep Birokrasi Weber dan Praktik Birokrasi di Indonesia. Makalah dalam Diskusi terbatas tentang Aktualitas Konsep Konsep Birokrasi Max Weber dalam menjawab Tantangan Refoemasi Birokrasi di Indonesia. STIA LAN Bandung, 20 Januari Priyono A Telaah Habitat Pesut (Orcaella brevirostris) di Danau Semayang dan Sekitarnya. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Priyono A Telaah habitat pesut (Orcaella brevirostris Gray, 1866) di Danau Semayang dan sekitarnya. Media Konservasi, IV (3): Ralph P and Wand Y A proposal for A Formal Definition of The Design Concept. Dalam: Lyytinen K, P Loucopoulos, J Mylopoulos, and W Robinson (editors). Design Requirements Workshop (LNBIP 14). Springer- Verlag. hlm Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C, Quinn CH and Stringer L Who s in and why? a typology of stakeholder analysis methods for natural resources management. Journal of Environmental Management, 90: Reeves RR, Smith BD, Crespo EA and di Sciara GN, Compilers Dolphins, Whales and Porpoises: Conservation Action Plan for the World s Cetaceans. IUCN/SSC Cetacean Specialist Group. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Reeves RR, Jefferson TA, Karczmarski L, Laidre K, O Corry-Crowe G, Rojas- Bracho L, Secchi ER, Slooten E, Smith BD, Wang JY, and Zhou K Orcaella brevirostris. Di dalam: IUCN IUCN Red List of Threatened

125 Species. Version [Internet] [diunduh 16 Januari 2011] Tersedia pada: Sinha RK., Behera SK and Choudhary BC The Conservation Action Plan for the Ganges River Dolphin Ministry of Environment and Forests, Government of India. 33 pp Soehartono T, Susilo HD, Sitompul AF, Gunaryadi D, Purastuti EM, Azmi W, Fadhli N dan Stremme C Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Jakarta. Smith BD, Beasley I and Kreb D Marked declines in populations of irrawaddy dolphins. Oryx, 37: Smith BD Orcaella brevirostris (Ayeyarwady River subpopulation). Di dalam: IUCN IUCN Red List of Threatened Species. Version [Internet] [diunduh 28 Maret 2011] Tersedia pada: Smith BD and Beasley I Orcaella brevirostris (Mekong River subpopulation). Di dalam: IUCN IUCN Red List of Threatened Species. Version [Internet] [diunduh 28 Maret 2011] Tersedia pada: Smith BD, Shore RG and Lopez A (Editor) Status and Conservation of Freshwater Populations of Irrawaddy Dolphins. Working Paper No. 31. Wildlife Conservation Society, Bronx, NY. Smith BD, Ahmed B, Alom Z, Ahmad IU, Mowgli RM and Mansur EF Review of The Conservation Status and Protected Areas for Ganges River Dolphin Platanista gangetica and Irrawaddy Dolphin, Orcaella brevirostris in The River Sistems of Bangladesh. Di dalam: Kreb D, Reeves RR, Thomas PJ, Braulik G and Smith BD, Editor. Establishing Protected Areas for Asian Freshwater Cetaceans as Flagship Species for Integrated River Conservation Management. Samarinda, October Final Workshop report: Yayasan Konservasi RASI, Samarinda. hlm Stacey PJ Natural History and Conservation of Irrawaddy Dolphins, Orcaella brevirostris, with Special Reference to The Mekong River, Lao P.D.R. MSc.Thesis. University of Victoria. Stacey PJ and Arnold PW Orcaella brevirostris. Mammalian Species, 616: 1 8. Stacey PJ and Hvenegaard GT. Habitat use and behaviour of irrawaddy dolphins (Orcaella brevirostris). In the Mekong River of Laos. Aquatic Mammals, 28 (1): Strem RI Population Viability Analysis of The Blue-throated Macaw (Ara glaucogularis) Using Individual-Based and Cohort-based PVA Programs. M.Sc. Thesis. Graduate College of Bowling Green State University. Sumaryono, Kreb D and Budiono Protecting The Mahakam Lakes in East Kalimantan Through A Eco-Regional Development for Sustainable Livelihoods. Paper. Samarinda. Sutaria D Species Conservation in A Complex Socio-Ecological System: Irrawaddy Dolphin, Orcaella brevirostris in Chilika Lagoon, India. PhD Thesis, James Cook University. Sutherland WJ, Editor Ecological Census Technique: A Hanbook. 2 nd Edition. Cambridge University Press. Cambridge, UK. 107

126 108 Swift TL and Hannon SJ Critical thresholds associated with habitat loss: a review of the concepts, evidence, and applications. Biological Reviews, 85: Syachraini, Kreb D and Budiono Technical Report RASI Conservation Foundation: 2005 Socio-economic Assessment Survei in Middle Mahakam Lakes and Wetlands Area in East Kalimantan Indonesia. Smarinda, Indonesia. Tas an and Leatherwood S Cetaceans live-captured for Jaya Ancol Oceanarium, Djakarta, Rep. Int. Whal. Commn, 34: Van Bommel S and Kuindersma W Policy integration, coherence and governance in Dutch climate policy: a multi-level analysis of mitigation and adaptation policy. Wageningen, Alterra, Alterra-rapport Van de Ven AH, Walker G and Liston Coordination patterns within an interorganizational network. Human Relation, 31 (1): Yu T, Jianguo W, Andrew TS, Tianming W, Xiaojun K and Jianping G Population viability of the Siberian Tiger in a Changing landscape: going, going and gone? Ecological Modelling, 222: Waqas U, Malik MI and Khokhar LA Conservation of indus river dolphin (Platanista gangetica minor) in the Indus River system, Pakistan: an overview. Rec. Zool. Surv. Pakistan 21: Wikramanayake E, McKnight M, Dinerstein E, Joshi A, Gurung B and Smith D Designing a conservation landscape for tigers in human-dominated environtments. Conservation Biology, 8 (3): Zhang Y and Zheng G A population viability analysis (PVA) for cabot s tragopan (Tragopan caboti) in Wuyanling, South-east China. Bird Conservation International, 17: Zeigler SL, Fagan WF, DeFries R and Raboy BE Identifying important forest patches for the long-term persistence of the endangered goldenheaded lion tamarin (Leontopithecus chrysomelas). Tropical Conservation Science, 3 (1):

127 109 Lampiran 1. Hasil pengukuran dan analisis parameter kualitas air habitat pesut Mahakam Variabel Satuan Lokasi Penelitian Muara Kaman Pela Muara Muntai Kedalaman m 12,5 ± 5,0 11,0 ± 5,5 12,9 ± 3,2 Temperatur o C 29,7 ± 1,2 29,0 ± 1,3 27,8 ± 1,7 Kekeruhan NTU 53,7 ± 38,6 80,2 ± 72,1 66,7 ± 43,3 Kecerahan cm 22,1 ± 9,2 25,6 ± 16,8 19,5 ± 9,9 TDS mg/l 53,7 ± 38,6 80,2 ± 72,1 66,7 ± 43,3 TSS mg/l 80,1 ± 36,8 100,1 ± 77,0 84,2 ± 59,4 ph - 6,42 ± 0,35 6,62 ± 0,27 6,61 ± 0,29 DO mg/l 4,6 ± 1,2 5,5 ± 1,6 5,3 ± 1,6 BOD mg/l 2,3 ± 0,9 1,9 ± 0,7 2,0 ± 0,8 COD mg/l 28,0 ± 8,6 24,0 ± 11,0 14,1 ± 9,4 Fe mg/l 1,097 ± 0,804 1,246 ± 1,205 0,689 ± 0,456 Mn mg/l 0,037 ± 0,055 0,034 ± 0,102 0,003 ± 0,006 Ammonia mg/l 0,13 ± 0,22 0,07 ± 0,10 0,07 ± 0,09 Jumlah Plankton Ind/liter 1356 ± ± ± 562

128 110 Lampiran 1. Lanjutan Variabel Satuan Lokasi Penelitian Muara Pahu Minta Tenggarong Kedalaman m 7,7 ± 4,3 10,9 ± 1,7 11,0 ± 0,9 Temperatur o C 27,9 ± 1,4 29,0 ± 1,0 28,4 ± 0,2 Kekeruhan NTU 100,4 ± 40,3 68,9 ± 31,6 35,3 ± 13,4 Kecerahan cm 12,5 ± 3,9 16,5 ± 3,7 25,8 ± 4,2 TDS mg/l 100,4 ± 40,3 68,9 ± 31,6 35,3 ± 13,4 TSS mg/l 148,2 ± 53,0 96,4 ± 29,9 34,5 ± 9,8 ph - 6,40 ± 0,39 6,54 ± 0,28 6,12 ± 0,13 DO mg/l 5,0 ± 1,3 5,3 ± 1,6 5,6 ± 1,0 BOD mg/l 2,5 ± 1,0 1,8 ± 0,5 1,7 ± 0,4 COD mg/l 21,7 ± 6,9 18,7 ± 5,5 21,1 ± 13,9 Fe mg/l 0,964 ± 0,557 0,602 ± 0,355 0,582 ± 0,207 Mn mg/l 0,023 ± 0,050 0,021 ± 0,042 0,024 ± 0,040 Ammonia mg/l 0,16 ± 0,10 0,12 ± 0,04 3,27 ± 3,43 Jumlah Plankton Ind/liter 1626 ± ± ± 463

129 111 Lampiran 1. Lanjutan Variabel Satuan Lokasi Penelitian Sebulu Tering Long Hubung Kedalaman m 9,6 ± 3,8 15,1 ± 3,1 7,0 ± 3,6 Temperatur o C 26,9 ± 1,1 27,7 ± 1,7 26,7 ± 0,7 Kekeruhan NTU 33,6 ± 6,7 92,6 ± 27,8 76,9 ± 19,9 Kecerahan cm 27,3 ± 2,8 16,9 ± 6,3 19,6 ± 4,0 TDS mg/l 33,6 ± 6,7 92,6 ± 27,8 76,9 ± 19,9 TSS mg/l 41,5 ± 9,1 123,5 ± 36,7 104,1 ± 28,8 ph - 6,55 ± 0,37 6,68 ± 0,09 6,75 ± 0,16 DO mg/l 5,4 ± 1,0 5,9 ± 2,1 6,2 ± 2,0 BOD mg/l 1,6 ± 0,4 1,9 ± 0,5 1,7 ± 0,4 COD mg/l 21,3 ± 8,0 23,7 ± 7,6 29,1 ± 11,7 Fe mg/l 0,818 ± 0,503 0,600 ± 0,750 0,168 ± 0,105 Mn mg/l 0,014 ± 0,022 0,012 ± 0,025 0,026 ± 0,041 Ammonia mg/l 0,09 ± 0,05 0,04 ± 0,04 0,58 ± 1,01 Jumlah Plankton Ind/liter 1210 ± ± ± 302

130 112 Lampiran 2. Kriteria, Indikator dan Skor Kepentingan dan Pengaruh Organisasi Kepentingan Kriteria Indikator Skor Tupoksi spesifik pada konservasi spesies terancam punah 5 Visi, Misi serta Tugas Pokok dan Fungsi Prioritas Kerja Harapan Tupoksi secara umum meliputi konservasi sda 4 Tupoksi secara tidak langsung berkaitan dengan konservasi Tupoksi berpotensi mendukung konservasi 2 Tupoksi sama sekali tidak berkaitan dengan konservasi Sangat menjadi prioritas: 90% pekerjaan/daya upaya ditujukan untuk upaya pelestarian pesut mahakam Prioritas: 60 90% pekerjaan/daya upaya ditujukan untuk pelestarian pesut mahakam Kurang menjadi prioritas: 30 60% pekerjaan/daya upaya ditujukan untuk pelestarian pesut mahakam Tidak menjadi prioritas: 10 30% pekerjaan ditujukan untuk pelestarian pesut mahakam Kurang mendapat perhatian: <10% pekerjaan ditujukan untuk pelestarian pesut mahakam Kelestarian populasi, kelestarian habitat, produksi/ ekonomi, sosial/ budaya, politik Kelestarian dan salah satu dari produksi/ekonomi atau sosial/budaya Kelestarian populasi dan kelestarian habitat Produksi/ekonomi dan sosial/budaya Salah satu dari fungsi: produksi/ekonomi atau sosial/budaya atau politik

131 113 Lampiran 2. (Lanjutan) Pengaruh Pengaruh Kriteria Skor Dana rutin, sarana & prasarana memadai, tenaga teknis dan tenaga ahli memadai, data dan 5 Keempat faktor informasi pendukung lengkap terpenuhi tetapi dalam jumlah yang kurang memadai 4 Dukungan Sumberdaya Ada tiga faktor pendukung yang terpenuhi 3 Ada dua faktor pendukung yang terpenuhi 2 Hanya salah satu dari keempat kriteria dimiliki 1 Jika ke 5 faktor pendukung terpenui 5 Kemampuan memperjuangkan Aspirasi Jika ada 4 faktor pendukung yang terpenuhi 4 Jika ada 3 faktor pendukung yang terpenuhi 3 Jika ada 2 faktor pendukung yang terpenuhi 2 Jika hanya 1 faktor pendukung yang terpenuhi ,8 88,4 4 Degree of Centrality 65,2 76,8 3 53,6 65, ,6 1 Dukungan Sumberdaya meliputi: (1) dana, (2) sarana & prasarana, (3) tenaga terampil & tenaga ahli, (4) data & informasi, Kemampuan memperjuangkan aspirasi: (1) kewenangan formal, (2) kontrol atas sumberdaya, (3) kepemilikan pengetahuan dan kemampuan khusus, (4) penguasaan informasi, (5) memiliki lobby/jaringan internasional

132 114 Lampiran 3. Foto-foto sirip pesut sebagai dasar identifikasi individu dalam penelitian ini Foto Sirip No. Identitas Lokasi Perjumpaan Kanan Kiri 1 ObM-1 Kedang Rantau, Sabintulung Foto: Ivan Y Noor Foto: Syacraini 2 ObM-2 Kedang Rantau, Sabintulung Foto: Ivan Y Noor Foto: Danielle Kreb 3 ObM-3 Kedang Rantau, Kedang Kepala, Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 4 ObM-4 Sabintulung Foto: Ivan Y Noor Foto: Syacraini 5 ObM-5 Sabintulung, Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 6 ObM-6 Kedang Rantau, Kotabangun, Pela, Muara Muntai Foto: Ivan Y Noor Foto: Danielle Kreb 7 ObM-7 Kedang Rantau, Pela, Muara Muntai Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 8 ObM-8 Kedang Rantau, Muara Muntai Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 9 ObM-9 Murunan, Kedang Rantau, Kedang Kepala Foto: Ivan Y Noor

133 115 Lampiran 3. (Lanjutan) No. Identitas Kanan Foto Sirip Kiri Lokasi Perjumpaan 10 ObM-10 Kotabangun, Muara Muntai Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 11 ObM-11 Belayan, Muara Pahu, Pela, Sebemban, Muara Muntai, Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 12 ObM-12 Murunan, Kedang Rantau, Pela, Kedang Kepala Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 13 ObM-13 Belayan, Pela, Sebemban, Muara Muntai, Bakung Foto: Syachraini Foto: Ismail 14 ObM-14 Belayan, Kotabangun, Pela Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 15 ObM-15 Belayan, Kotabangun, Kedang Rantau, Muara Muntai Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 16 ObM-16 Belayan, Murunan, Pela Foto: Syachraini 17 ObM-17 Pela, Belayan, Muara Muntai, Kotabangun, Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 18 ObM-18 Muara Wis, Kedang Kepala, Pela Foto: Syachraini Foto: Ivan Y Noor

134 116 Lampiran 3. (Lanjutan) No. Identitas Kanan Foto Sirip Kiri Lokasi Perjumpaan 19 ObM-19 Kedang Rantau, Foto: Danielle Kreb Foto: Ivan Y Noor 20 ObM-20 Pela, Kotabangun, Muara Muntai Foto: Ivan Y Noor Foto: Danielle Kreb 21 ObM-21 Pela, Kedang Rantau, Kedang Kepala, Muara Muntai Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 22 ObM-22 Kotabangun, Kedang Kepala, Kedang Rantau, Pela Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 23 ObM-23 Kedang Kepala, Belayan, Kedang Rantau, Muara Muntai, Murunan, Bukit Jering Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 24 ObM-24 Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 25 ObM-25 Bukit Jering, Pela, Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 26 ObM-26 Bukit Jering, Pela, Kedang Kepala Foto: Ivan Y Noor 27 ObM-27 Muara Pahu, Kedang Rantau, Kedang Kepala, Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor

135 117 Lampiran 3. (Lanjutan) No. Identitas Kanan Foto Sirip Kiri Lokasi Perjumpaan 28 ObM-28 Kedang Kepala Foto: Danielle Kreb 29 ObM-29 Kedang Kepala Foto: Danielle Kreb 30 ObM-30 Kedang Rantau, Muara Muntai, Kotabangun Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 31 ObM-31 Kotabangun, Kedang Kepala, Pela Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 32 ObM-32 Kedang Kepala, Pela, Kotabangun, Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 33 ObM-33 Bukit Jering, Murunan, Pela Foto: Danielle Kreb Foto: Ivan Y Noor 34 ObM-34 Kedang Rantau Foto: Danielle Kreb 35 ObM-35 Pela, Muara Muntai Foto: Danielle Kreb Foto: Ivan Y Noor 36 ObM-36 Bukit Jering, Kotabangun Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor

136 118 Lampiran 3. (Lanjutan) No. Identitas Kanan Foto Sirip Kiri Lokasi Perjumpaan 37 ObM-37 Muara Muntai, Batuq, Pela, Belayan, Kedang Rantau, Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 38 ObM-38 Loa Deras, Bakung Foto: Ivan Y Noor 39 ObM-39 Loa Deras, Bakung Foto: Danielle Kreb 40 ObM-40 Loa Deras, Bakung Foto: Danielle Kreb 41 ObM-41 Loa Deras, Bakung Foto: Ivan Y Noor 42 ObM-42 Batuq, Pela Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 43 ObM-43 Batuq, Muara Muntai Foto: Ivan Y Noor 44 ObM-44 Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 45 ObM-45 Kedang Kepala, Kotabangun Foto: Syachraini Foto: Danielle Kreb

137 119 Lampiran 3. (Lanjutan) No. Identitas Kanan Foto Sirip Kiri Lokasi Perjumpaan 46 ObM-46 Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 47 ObM-47 Kuyung Foto: Ivan Y Noor 48 ObM-48 Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor 49 ObM-49 Kedang Rantau Foto: Danielle Kreb 50 ObM-50 Muara Muntai, Kotabangun, Kedang Rantau Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor

PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION KALIMANTAN

PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION KALIMANTAN Hak Cipta 2016 Ivan Yusfi Noor Judul: Pesut mahakam, Profil, Peluang Kepunahan dan Upaya Konservasinya Penulis: Ivan Yusfi Noor (Kepala Bidang Inventarisasi Daya Dukung Daya Tampung Sumber Daya Alam dan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

KEBERADAAN PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR *)

KEBERADAAN PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR *) Keberadaan Pesut (Orcaella brevirostris) di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur (Oktaviani, D., et al.) ABSTRAK Pesut atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Irrawaddy dolphin dengan nama ilmiah

Lebih terperinci

PROGRAM KONSERVASI PESUT MAHAKAM

PROGRAM KONSERVASI PESUT MAHAKAM PROGRAM KONSERVASI PESUT MAHAKAM LAPORAN TEKNIS: Survei monitoring jumlah populasi dan ancaman pada level air sedang hingga rendah, Agustus/September & November 2007 oleh Danielle Kreb & Imelda Susanti

Lebih terperinci

Facultative river dolphins : conservation and social ecology of freshwater and coastal Irrawaddy dolphins in Indonesia Kreb, D.

Facultative river dolphins : conservation and social ecology of freshwater and coastal Irrawaddy dolphins in Indonesia Kreb, D. UvA-DARE (Digital Academic Repository) Facultative river dolphins : conservation and social ecology of freshwater and coastal Irrawaddy dolphins in Indonesia Kreb, D. Link to publication Citation for published

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Pesut mahakam juga dikenal dengan istilah irrawady dolphin. Pesut mahakam tidak sama dengan mamalia air lain yakni lumba-lumba dan ikan paus yang hidup di laut, pesut mahakam hidup

Lebih terperinci

PEMANTAUAN STATUS POPULASI PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI PELLA (DAERAH ALIRAN SUNGAI MAHAKAM), KALIMANTAN TIMUR

PEMANTAUAN STATUS POPULASI PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI PELLA (DAERAH ALIRAN SUNGAI MAHAKAM), KALIMANTAN TIMUR Pemantauan Status Populasi... (Daerah Aliran Sungai Mahakam), Kalimantan Timur (Oktaviani, D., et al.) PEMANTAUAN STATUS POPULASI PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI PELLA (DAERAH ALIRAN SUNGAI MAHAKAM),

Lebih terperinci

PROGRAM KONSERVASI PESUT MAHAKAM

PROGRAM KONSERVASI PESUT MAHAKAM 1 PROGRAM KONSERVASI PESUT MAHAKAM LAPORAN TEKNIS: Survei monitoring jumlah populasi dan ancaman pada level air rendah, Juli &September 2012 oleh Danielle Kreb & Ivan Yusfi Noor YAYASAN KONSERVASI RASI

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR

PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR CUT MEURAH INTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perairan Indonesia merupakan perairan yang sangat unik karena memiliki keanekaragaman Cetacea (paus, lumba-lumba dan dugong) yang tinggi. Lebih dari sepertiga jenis paus

Lebih terperinci

Kritis. Genting. Rentan. A: Penurunan tajam

Kritis. Genting. Rentan. A: Penurunan tajam SPECIES CRITERIA ANI MARDIASTUTI DEPARTMENT OF FOREST CONSERVATION FACULTY OF FORESTRY BOGOR AGRICULTURAL UNIVERSITY Kritis Memiliki peluang untuk punah > 50% dalam kurung waktu 5 tahun Genting Memiliki

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PEMBUATAN DESAIN PETA KONSOLIDASI TANAH BERDASARKAN TATA RUANG WILAYAH (Studi Kasus : Desa Kalipang Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang)

PEMBUATAN DESAIN PETA KONSOLIDASI TANAH BERDASARKAN TATA RUANG WILAYAH (Studi Kasus : Desa Kalipang Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang) PEMBUATAN DESAIN PETA KONSOLIDASI TANAH BERDASARKAN TATA RUANG WILAYAH (Studi Kasus : Desa Kalipang Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang) Nama Mahasiswa : Mas Inayahtul Janna NRP : 3505 100 017 Jurusan :

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI KABUPATEN KARANGANYAR

DAMPAK PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI KABUPATEN KARANGANYAR digilib.uns.ac.id DAMPAK PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI KABUPATEN KARANGANYAR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA MEDAN TESIS. Oleh HENDRA ABDILLAH LUBIS /PWD

ANALISIS KEBUTUHAN GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA MEDAN TESIS. Oleh HENDRA ABDILLAH LUBIS /PWD ANALISIS KEBUTUHAN GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA MEDAN TESIS Oleh HENDRA ABDILLAH LUBIS 097003038/PWD S E K O L A H PA S C A S A R JA N A SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH)

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) MUH. ANSAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 iii

Lebih terperinci

PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN HIDRODINAMIKA DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI TUGAS AKHIR

PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN HIDRODINAMIKA DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI TUGAS AKHIR PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN HIDRODINAMIKA DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS : PESISIR MUARA GEMBONG, KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT) TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Hak Cipta

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN KARIR TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA PEGAWAI BADAN KOORDINASI WILAYAH II (BAKORWIL II) SURAKARTA

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN KARIR TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA PEGAWAI BADAN KOORDINASI WILAYAH II (BAKORWIL II) SURAKARTA PENGARUH FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN KARIR TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA PEGAWAI BADAN KOORDINASI WILAYAH II (BAKORWIL II) SURAKARTA TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Manajemen Universitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Habitat Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) 5.1.1 Kondisi Morfoedafik Perairan Danau Semayang dan Danau Melintang secara morfeodafik merupakan bagian dari daerah cekungan

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Thomas Hendri Hananto

Thomas Hendri Hananto TESIS PERAN CITRA MEREK SEBAGAI VARIABEL PEMEDIASI ANTARA ELECTRONIC WORD OF MOUTH DAN NIAT BELI KONSUMEN PADA TOKOPEDIA Disusun oleh : Thomas Hendri Hananto NPM : 145002267 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR DESAIN MEDIA KOMUNIKASI UNTUK PENDIDIKAN KONSERVASI BERDASARKAN PREFERENSI MASYARAKAT DAN EFEKNYA TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN, BERAU, KALIMANTAN

Lebih terperinci

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGGUNA MOBILE BANKING DI INDONESIA

KARAKTERISTIK PENGGUNA MOBILE BANKING DI INDONESIA TESIS KARAKTERISTIK PENGGUNA MOBILE BANKING DI INDONESIA Disusun oleh : Wiryani NPM : 105001491 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2015 ii iii iv KATA

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Hal HALAM COVER... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA KONSUMSI MAKANAN DENGAN STATUS GIZI SISWA SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN. Oleh : SERGIO PRATAMA

HUBUNGAN POLA KONSUMSI MAKANAN DENGAN STATUS GIZI SISWA SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN. Oleh : SERGIO PRATAMA HUBUNGAN POLA KONSUMSI MAKANAN DENGAN STATUS GIZI SISWA SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN Oleh : SERGIO PRATAMA 120100202 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 HUBUNGAN POLA KONSUMSI MAKANAN

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMETAAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN NATUNA. Oleh : MUH KHOIRUL ANWAR H

SKRIPSI PEMETAAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN NATUNA. Oleh : MUH KHOIRUL ANWAR H SKRIPSI PEMETAAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN NATUNA Oleh : MUH KHOIRUL ANWAR H 0709073. FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 PEMETAAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE

PERBANDINGAN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE PERBANDINGANN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE DAN APLIKASINYA PADA DATAA KEMATIAN INDONESIA VANI RIALITA SUPONO SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia memiliki luasan dengan luas kira-kira 5 juta km 2 (perairan dan daratan), dimana 62% terdiri dari lautan dalam batas 12 mil dari garis pantai (Polunin,

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009 LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009 Kajian Pengembangan Kompetensi Masyarakat dalam Mengelola Usaha Pariwisata Berdimensi Ekologis Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Dr. Hamidah

Lebih terperinci

TESIS. Oleh : MASYKUR NIM : P

TESIS. Oleh : MASYKUR NIM : P PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, BUDAYA ORGANISASI, DAN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN KARANGANYAR TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Manajemen

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH (Kasus Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat) RISYAT ALBERTH FAR FAR SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN SELF EFFICACY SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN SELF EFFICACY SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN SELF EFFICACY SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (Studi Kasus Pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk Cabang Jember) The Influence

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI KLINIK AGRIBISNIS PADA PRIMA TANI DI KECAMATAN LEUWI SADENG BOGOR NIA RACHMAWATI

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI KLINIK AGRIBISNIS PADA PRIMA TANI DI KECAMATAN LEUWI SADENG BOGOR NIA RACHMAWATI EFEKTIVITAS KOMUNIKASI KLINIK AGRIBISNIS PADA PRIMA TANI DI KECAMATAN LEUWI SADENG BOGOR NIA RACHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA

KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PENDUDUK USIA PRODUKTIF DESA UNTUK BERPARTISIPASI DI KEGIATAN EKONOMI NON PERTANIAN

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PENDUDUK USIA PRODUKTIF DESA UNTUK BERPARTISIPASI DI KEGIATAN EKONOMI NON PERTANIAN SKRIPSI ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PENDUDUK USIA PRODUKTIF DESA UNTUK BERPARTISIPASI DI KEGIATAN EKONOMI NON PERTANIAN (STUDI KASUS: KECAMATAN PANGURURAN DAN SIMANINDO) OLEH: VICTOR BAHTIAR

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH: KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR MARTHEN MARISAN

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH: KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR MARTHEN MARISAN ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH: KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR MARTHEN MARISAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS, EFISIENSI DAN DERAJAT OTONOMI FISKAL TERHADAP KEMAMPUAN PEREKONOMIAN DAERAH DALAM PELASANAAN OTONOMI DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS EFEKTIVITAS, EFISIENSI DAN DERAJAT OTONOMI FISKAL TERHADAP KEMAMPUAN PEREKONOMIAN DAERAH DALAM PELASANAAN OTONOMI DI KABUPATEN PROBOLINGGO ANALISIS EFEKTIVITAS, EFISIENSI DAN DERAJAT OTONOMI FISKAL TERHADAP KEMAMPUAN PEREKONOMIAN DAERAH DALAM PELASANAAN OTONOMI DI KABUPATEN PROBOLINGGO The Analysis of effectivity, efficiency and degree of

Lebih terperinci

EFFECT OF A CLIMBING LANE ON SPEED, FLOW AND VEHICLE OPERATING COST

EFFECT OF A CLIMBING LANE ON SPEED, FLOW AND VEHICLE OPERATING COST EFFECT OF A CLIMBING LANE ON SPEED, FLOW AND VEHICLE OPERATING COST SUMMARY EFFECT OF A CLIMBING LANE ON SPEED FLOW AND VEHICLE OPERATING COST, ARDHAHNI, 1996, Program Magister Sistem dan Teknik Jalan

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus: Pengelolaan Sampah Terpadu Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Perumahan Pondok Pekayon Indah, Kelurahan Pekayon Jaya, Bekasi Selatan)

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PAKET WISATA ALAM BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SISWA SMP DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MIFTACHU FIRRIDJAL

PENYUSUNAN PAKET WISATA ALAM BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SISWA SMP DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MIFTACHU FIRRIDJAL PENYUSUNAN PAKET WISATA ALAM BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SISWA SMP DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MIFTACHU FIRRIDJAL DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

PERBAIKAN DAN EVALUASI KINERJA ALGORITMA PIXEL- VALUE DIFFERENCING ( PVD) ROJALI

PERBAIKAN DAN EVALUASI KINERJA ALGORITMA PIXEL- VALUE DIFFERENCING ( PVD) ROJALI PERBAIKAN DAN EVALUASI KINERJA ALGORITMA PIXEL- VALUE DIFFERENCING ( PVD) ROJALI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key words: Auditor Judgement, Going Concern, Risk Assessment. vi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT. Key words: Auditor Judgement, Going Concern, Risk Assessment. vi Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT Analysis of the financial statements of listed companies in Indonesia Stock Exchange is usually done to determine the condition and progress of the company from time to time. Monitoring of the

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI ANALISIS REGRESI TERPOTONG DENGAN BEBERAPA NILAI AMATAN NOL NURHAFNI SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ... itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB

Lebih terperinci

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN NELAYAN DI PESISIR PANTAI KECAMATAN SINGKIL UTARA KABUPATEN ACEH SINGKIL. Tesis. Oleh: NOMI NOVIANI SIREGAR

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN NELAYAN DI PESISIR PANTAI KECAMATAN SINGKIL UTARA KABUPATEN ACEH SINGKIL. Tesis. Oleh: NOMI NOVIANI SIREGAR FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN NELAYAN DI PESISIR PANTAI KECAMATAN SINGKIL UTARA KABUPATEN ACEH SINGKIL Tesis Oleh: NOMI NOVIANI SIREGAR NIM : 107039025 PROGRAM MAGISTER AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG PENGAMATAN DAN ANALISIS DATA PASUT DAN ARUS DI KAWASAN PESISIT KECAMATAN MUARA GEMBONG, KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT. TUGAS AKHIR Karya tulis ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Lebih terperinci