KARAKTERISASI GENETIKA DAN ANATOMI KAYU PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH SERTA STRATEGI PERBANYAKANNYA ARIDA SUSILOWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISASI GENETIKA DAN ANATOMI KAYU PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH SERTA STRATEGI PERBANYAKANNYA ARIDA SUSILOWATI"

Transkripsi

1 KARAKTERISASI GENETIKA DAN ANATOMI KAYU PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH SERTA STRATEGI PERBANYAKANNYA ARIDA SUSILOWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakterisasi Genetika dan Anatomi Kayu Pinus merkusii Kandidat Bocor Getah serta Strategi Perbanyakannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013 Arida Susilowati NIM E

3 RINGKASAN ARIDA SUSILOWATI. Karakterisasi Genetika dan Anatomi Kayu Pinus merkusii Kandidat Bocor Getah serta Strategi Perbanyakannya. Dibimbing oleh SUPRIYANTO, ISKANDAR Z SIREGAR, IMAM WAHYUDI dan CORRYANTI. Kegiatan seleksi bocor getah telah dimulai tahun 2006 melalui serangkaian kegiatan survei terhadap pohon-pohon dengan produksi getah yang tinggi. Namun, database mengenai struktur produksi dan pertumbuhan, aspek genetika, anatomi kayu serta strategi perbanyakan secara massal sampai saat ini belum diperoleh. Padahal informasi tersebut penting untuk kegiatan karakterisasi dan pemuliaan dimasa mendatang. Berdasarkan informasi tersebut maka penelitian karakterisasi kandidat bocor getah dilakukan dengan tujuan untuk: i) mendapatkan data produksi pijakan yang dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk mengetahui struktur produksi dan pertumbuhan pohon plus kandidat bocor getah dan penelitian karakterisasi selanjutnya, ii) menduga parameter genetika kandidat bocor getah melalui karakterisasi secara morfogenetika, iii) menganalisis stuktur anatomi saluran resin yang diduga mempengaruhi produktivitas getah melalui karakterisasi secara makroskopis dan mikroskopis dan iv) mengembangkan teknologi perbanyakan vegetatif melalui multiplikasi tunas interfascicular, stek dan grafting untuk produksi bibit. Hasil penelitian menunjukkan KBS Cijambu memiliki produksi resin tertinggi (101.4 g/pohon/3 hari) dibanding KBS Baturaden (88.72 g/pohon/3 hari) dan Jember (64.4 g/pohon/3 hari), struktur distribusi produksi getah miring ke kanan, interval produksi yang lebih luas, serta kondisi lingkungan yang mendukung produksi getah sehingga terpilih sebagai lokasi penelitian karakterisasi kandidat bocor getah. Pengujian menggunakan korelasi pearson dari 35 karakter pertumbuhan menghasilkan 14 karakter yang berkorelasi rendah sampai sedang (r:0.024 sampai 0.417) dengan produksi getah. Berdasarkan hasil regresi multilinear terhadap 14 karakter diperoleh 4 karakter pertumbuhan yaitu diameter, jumlah cabang, tebal kulit dan luas tajuk yang paling berpengaruh terhadap produksi getah (r:0.75). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa produksi getah dipengaruhi oleh faktor genetika dan faktor lingkungan. Untuk itu kondisi lingkungan dan teknik silvikultur yang tepat juga harus diterapkan untuk manajemen tegakan karena ekspresi potensi genetika akan maksimal apabila kondisi lingkungan tumbuh dikelola dengan baik. Hasil karakterisasi secara morfogenetika menunjukkan nilai koefisien variasi genetika (KVG: %) dan heritabilitas individu (h 2 : ) yang tinggi untuk karakter produksi getah, struktur alel yang berbeda dan pengelompokan populasi yang berbeda. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa karakter produksi getah dominan dipengaruhi oleh faktor genetika, dan secara genetika kandidat bocor getah berbeda dengan pinus normal. Korelasi genetika dan fenotipik menunjukkan 3 karakter (diameter, panjang tajuk dan tebal kulit) yang berhubungan positif nyata serta 2 karakter (jumlah cabang dan tingkat serangan hama dan penyakit) yang berhubungan negatif nyata dengan produksi getah. Selanjutnya karakter-karakter tersebut dapat digunakan sebagai indikator untuk seleksi kandidat bocor getah.

4 Hasil karakterisasi secara makroskopis dan mikroskopis terhadap kayu kandidat bocor getah menunjukkan kandidat bocor getah berwarna coklat kemerahan sedangkan pada pinus normal berwarna krem keputihan, jumlah saluran resin aksial yang lebih banyak ( sampai saluran/mm 2 ) sedangkan pada pinus normal (4 0.96/mm 2 ), diameter saluran resin aksial yang lebih lebar ( µm to µm) sedangkan pada pinus normal ( µm), serta sel-sel epitelium yang lebih tebal ( µm to µm) sedangkan pada pinus normal ( ). Semakin banyak jumlah, semakin lebar diameter saluran resin dan semakin tebal epitel menyebabkan getah yang tertampung pada kandidat bocor getah lebih banyak dibandingkan pinus normal. Perbanyakan vegetatif melalui multiplikasi tunas interfascicular, stek dan grafting dapat digunakan sebagai salah satu strategi perbanyakan bibit bocor getah. Multiplikasi tunas pada penelitian ini mampu menghasilkan material baru dalam jumlah yang lebih banyak dibanding bibit normal dan perbanyakan dengan stek dari bibit umur 1 tahun juga menghasilkan 87.5% stek hidup dan berakar. Secara teknik P. merkusii bocor getah juga dapat diperbanyak dengan teknik grafting. Kata kunci: bocor getah, karakterisasi, genetika, anatomi kayu, perbanyakan

5 SUMMARY ARIDA SUSILOWATI. Genetic and Wood Anatomy Characterization of Pinus merkusii High Resin Yielder Candidates and Its Propagation Strategy. Supervised by SUPRIYANTO, ISKANDAR Z SIREGAR, IMAM WAHYUDI and CORRYANTI. Selection activities for high resin yielder candidates of Pinus merkusii in Java were started in 2006 through a series of survey and morphological studies, but specific information on its resin production structure, marker based genetic aspect, wood anatomy and propagation strategy are still not determined yet. Those information are needed for futher characterization and improvement strategy. The objectives of this research were: i) to determine resin production baseline data, growth structure and growth character related with resin production for further research, ii) to estimate genetic parameter of higher resin yielder candidate through morphogenetic characterization, iii) to analyze anatomical structure of resin duct influencing resin production through macroscopic and microscopic characterization and iv) to develop vegetative propagation strategy for higher resin yielder candidate through interfascicular shoot multiplication, cutting and grafting. The result on determination resin production baseline data, growth stucture and growth character showed that Cijambu Seedling Seed Orchard (SSO) has the highest resin production (101.4 g/tree/3days) compared to Baturaden SSO (88.72 g/tree/3days) and Jember SSO (64.4 g/tree/3days), right-skewness resin production distribution structure and wider resin production interval. Therefore Cijambu SSO was choosen for resin yielder characterization. Pearson correlation test and multiple linear regression for 14 growth characters out of 35 characters were tested. Stem diameter, branching number, bark thickness and crown had moderate correlation with resin yield (r: 0.75). It is concluded that resin production was affected by genetic and enviromental factors. Although resin production was affected by genetic and environmental factor, therefore appropriate stand management (silviculture treatment) must also be implemented because potential genetic expression would be maximized if environmental conditions is well managed. The result on morphogenetic characterization showed that resin production character has high value of coefficient genetic variation (CGV: %), narrow sense heritability for individual (h 2 : ), different allelic pattern, heterozygosity value (He:0.551 and He:0.545) and clustered with normal producer. This research showed that genetically high resin yielder candidates are different from normal resin producer. Genotypic and phenotypic correlation founded 3 characters (diameter, bark thickness and crown length) which have positive correlation and 2 characters (branch number and severity level of pest and disease attack) which negative correlation with resin yield. For resin yielder, these characters can be used as indicator for resin yielder selection. The result on anatomical structure characterization showed that high resin yielder candidate trees compared to that of normal one are as followed: darker in wood colour (reddis brown compared to creamy white), higher in number of axial resin duct ( /mm 2 to /mm 2 compared to /mm 2 ), wider in resin duct diameter ( µm to µm compared to

6 µm), thicker in epithelium cell ( µm to µm compared to µm). These differences may affect to quantity of resin yielder compared to normal producer. Vegetative propagation through interfascicular shoot multiplication, cutting and grafting provides promising strategy for mass production of high resin yielder. Interfascicular shoot multiplication provided higher new juvenile materials compared to normal seedling, while cutting from 1 year old seedling produced high rooting percentage (87.5%). Technically, pine resin yielder can also be propagated through grafting technique. Key words: resin yielder, characterization, morphogenetic, anatomy, propagation

7 Hak cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa menyebutkan sumber:pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 KARAKTERISASI GENETIK DAN ANATOMI KAYU PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH SERTA STRATEGI PERBANYAKANNYA ARIDA SUSILOWATI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Silvikultur Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

9 Penguji pada ujian tertutup: Prof (Ris) Dr Ir Nina Mindawati, MSi Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc Penguji pada ujian terbuka: Dr Ir M.Mustoha Iskandar Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar, MAgr

10

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 sampai Oktober 2012 adalah mengenai pemuliaan pohon, dengan judul Karakterisasi Genetika dan Anatomi Kayu Pinus merkusii Kandidat Bocor Getah serta Strategi Perbanyakannya. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Supriyanto selaku ketua komisi pembimbing beserta anggota komisi pembimbing Prof Dr Iskandar Z. Siregar, M ForSc, Prof Dr Imam Wahyudi, MS dan Dr Ir Corryanti, MSi yang telah dengan ikhlas dan sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Penguji luar komisi ujian tertutup Prof (Ris) Dr Ir Nina Mindawati, MSi dan Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc; penguji luar komisi pada ujian terbuka Dr Ir M.Mustoha Iskandar dan Dr Ir Ulfah J.Siregar, MAgr; Prof Dr Nurheni Wijayanto, MS selaku wakil dari Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB dan Dr Ir Basuki Wasis, MS selaku Ketua Program Studi Silvikultur Tropika IPB yang turut memberi masukan saran untuk perbaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti Kemdiknas yang telah memberikan Bantuan studi melalui BPPS 2009 dan bantuan percepatan studi 2012, Koordinator Kopertis Wilayah I Sumut-NAD yang mengijinkan penulis untuk mengikuti tugas belajar pada Program Doktor, Sekolah Pascasarjana IPB, Direktur Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology (SEAMEO-BIOTROP)-Bogor atas PhD Research Grant 2011 untuk pembiayaan penelitian dan fasilitas laboratorium sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dengan baik, tim peneliti pemuliaan pohon Puslitbang Perum Perhutani, Adm KPH Sumedang dan Adm KPH Bogor atas kerjasama penelitian dan perijinan penelitian di Kebun Benih Semai (KBS) Cijambu, Puslitbang Kehutanan-Kemenhut atas perijinan penggunaan fasilitas rumah kaca dan dan peralatan analisis anatomi kayu, serta Direktur Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEAMEO-SEARCA) atas Thesis Grant utuk pembiayaan penulisan disertasi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan keluarga besar penulis, keluarga besar Dept.Silvikultur, teman-teman program pasca sarjana IPB, serta semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu silvikultur tropika. Bogor, April 2013 Arida Susilowati

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian STRUKTUR PRODUKSI GETAH DAN PERTUMBUHAN PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 2.1 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan MORFOGENETIKA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 3.1 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan STRUKTUR ANATOMI SALURAN RESIN PADA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 4.1 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan STRATEGI PERBANYAKAN PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 5.1 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN UMUM DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA... 93

13 DAFTAR TABEL 2.1 Produksi getah beberapa famili yang ditanam di KBS Cijambu, KBS Baturaden dan KBS Jember Karakteristik tempat tumbuh KBS Cijambu, KBS Baruraden dan KBS Jember Eigenvalue keragaman karakter pertumbuhan Model pendugaan regresi linear berganda hubungan produksi getah dengan karakter pertumbuhan di KBS Cijambu Identitas famili untuk perhitungan nilai heritabilitas Kondisi lingkungan di lokasi pengambilan sampel di KBS Cijambu dan Bogor Sembilan primer mikrosatelit untuk deteksi keragaman genetika Analisis varians dan harapan kuadrat tengah dari single tree plot design untuk suatu karakter Nilai ragam famili (σ 2 f), ragam blok (σ 2 b), ragam galat (σ 2 e) koefisien variasi genetika (KVG), heritabilitas famili (h 2 f) dan individu (h 2 ) beberapa sifat penting pada pinus kandidat bocor getah Jumlah lokus dan perkiraan panjang fragment Frekuensi alel kandidat bocor getah dan normal berdasarkan 7 primer mikrosatelit dalam populasi bocor getah tinggi, bocor getah rendah dan normal Hasil amplifikasi kandidat bocor getah dan normal berdasarkan 7 primer mikrosatelit Keragaman genetika dalam populasi P.merkusii kandidat bocor getah dan normal Jarak genetika antara populasi produksi pinus Hasil perhitungan analysis of molecular variance (AMOVA) Korelasi fenotipik (di atas diagonal) dan genetika (di bawah diagonal) antar karakter produksi getah dan komponen hasil lainnya Identitas sampel untuk pengujian anatomi saluran resin Distribusi jumlah dan ukuran saluran resin pada masing-masing riap tumbuh Perbandingan rata-rata jumlah, frekuensi dan diameter saluran resin radial pada pinus kandidat bocor getah dan pinus normal Rata-rata diameter saluran resin radial dan ketebalan epitel Sudut penebalan spiral pada kandidat bocor getah Sidik ragam pengaruh penghambatan dominasi apikal dan penambahan ZPT pada jumlah tunas, panjang tunas dan pertambahan tinggi setelah 7 MSS (minggu setelah semprot) Rekapitulasi hasil sidik ragam dan nilai rata-rata terhadap beberapa variabel kualitas stek pucuk (12 MST) Kondisi makroskopis grafting kompatibel dan inkompatibel... 82

14 DAFTAR GAMBAR 1.1 Ruang lingkup penelitian karakterisasi pinus bocor getah Struktur produksi getah di KBS Cijambu, Baturaden dan Jember Produksi getah di KBS Cijambu, KBS Baturaden dan KBS Jember Sebaran produksi getah berdasarkan ketinggian tempat di KBS Cijambu Sebaran karakter pertumbuhan di KBS Cijambu Principal Component Analysis (PCA) (a) dan Dendrogram (b) untuk beberapa karakter produksi getah di KBS Cijambu Pola amplifikasi 6 primer yang diuji (a) dan amplifikasi dengan primer pm09a (b) Dendrogram pengelompokan populasi bocor getah berdasarkan jarak genetika Nei (1972) (a) dan pengelompokan genetika dengan perhitungan rata-rata nilai log-likehood L(K) (b) Dendrogram individual menggunakan matriks kovarian jarak genetika dengan 100 individual boothstap Penampang lintang (12 mm 2 ) kayu pinus kandidat bocor getah tinggi (a), kandidat bocor getah rendah (b) dan pinus produksi getah normal (c) Saluran resin aksial dan sel-sel epitel pada pohon pinus bocor getah tinggi (a), bocor getah rendah(b), dan pinus produksi getah normal (c) Penebalan spiral pada serat kayu pohon pinus kandidat bocor getah tinggi (a) dan serat pada pohon pinus produksi getah (b) Pola reiterasi semai kandidat bocor getah umur 1 tahun Keragaan tunas interfascicular dari tunas daun jarum umur 10 minggu setelah semprot Keragaan hasil stek pucuk tanpa dan dengan ZPT Penampang lintang akar stek pinus bocor getah umur 12 MST Keragaan morfologi batang grafting Pinus merkusii umur 18 tahun Keragaan penampang radial sortimen batang hasil grafting bibit pinus bocor getah umur 1 tahun (a) dan grafting pinus strain Aceh dan Kerinci umur 18 tahun (b) Sortimen batang hasil grafting umur 18 tahun pada ketinggian sambungan berbeda (a) dan penampang radial grafting dengan ketinggian berbeda (b) Keragaan daerah sambungan (interface) dari grafting pada ketinggian sambungan berbeda Pengamatan makroskopis sortimen hasil pengeboran Ilustrasi grafting kompatibel (a) dan inkompatibel (b) Penampang mikroskopis bidang lintang hasil grafting strain Aceh dan strain Kerinci umur 18 tahun Penampang mikroskopis bidang longitudinal hasil grafting strain Aceh dan strain Tapanuli umur 18 tahun... 86

15 DAFTAR LAMPIRAN 1 Tallysheet pengukuran karakter pertumbuhan dan lingkungan untuk kandidat bocor getah Hasil korelasi Pearson antara karakter pertumbuhan dan produksi getah Usulan kriteria seleksi untuk pohon plus kandidat bocor getah (idiotype) Hasil penyadapan pohon plus Pinus merkusii kandidat bocor getah asal KBS Cijambu (ketinggian 1100 m-1500 m.dpl)

16 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pinus merkusii merupakan salah satu jenis pohon yang penting untuk industri kayu pertukangan, pulp dan kertas, rehabilitasi lahan dan produksi getah di Indonesia (Suhardi et al. 1994). Salah satu produk pemasakan getah pinus yang bernilai tinggi dan sangat diminati di pasar internasional adalah gondorukem (gum rosin). Gondorukem termasuk produk potensial yang dikelompokkan sebagai pine chemical product dan memegang peranan penting sebagai andalan hasil hutan bukan kayu di Indonesia karena menghasilkan devisa negara sekitar US$ 50 juta setiap tahunnya (Fachrodji 2010) dan menyerap tenaga kerja yang cukup besar (Perum Perhutani 2010). Permasalahan yang dihadapi dalam keberlanjutan ekspor gondorukem Indonesia adalah adanya fluktuasi harga dan produktivitas getah yang rendah sehingga kalah bersaing dibandingkan dengan Republik Rakyat China (RRC) dan Brazil. Menurut Cunningham (2006) di pasar internasional Indonesia menduduki posisi ketiga sebagai penghasil gondorukem terbesar setelah (RRC) dan Brazil. RRC memiliki hutan pinus terluas yaitu 1.3 juta hektar, produksi getah sebanyak 2 kg/pohon/tahun atau sebesar 1.4 ton/ha/tahun dengan jenis pinus antara lain P. massoniana, P. yunanensis, P. laterri, P.tabulaeformis, P. keysa dan P. eliotii dan mampu menyumbangkan 75% gondorukem di pasar internasional (Xie 2004). Brazil memiliki hutan pinus seluas hektar, produksi getah 6 kg/pohon/tahun atau 8 ton/ha/tahun dengan jenis P.elliotii, P.caribeae, P.hondurensis, P. bahamanensis dan P.oocarpa mampu menyumbangkan 20% gondorukem di pasaran dunia setiap tahunnya (Mello 2008). Indonesia memiliki luasan hutan pinus hektar, namun baru hektar yang disadap dan diambil getahnya, produksi getah sebanyak 2.4 kg/pohon/tahun atau sebanyak 0.85 ton/ha/tahun mampu menyumbangkan 5% gondorukem dunia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa produktivitas per hektar per tahun pinus di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan Brazil. Berangkat dari permasalahan produktivitas getah yang rendah, beberapa alternatif seperti kegiatan pemuliaan pohon, perbaikan teknik silvikultur, perbaikan teknik penyadapan dan perbaikan manajemen pengelolaan dapat dilakukan (Fachrodji et al. 2009). Kegiatan pemuliaan tanaman merupakan solusi yang cukup prospektif untuk dikembangkan, mengingat telah ditemukannya beberapa kandidat pohon dengan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata. Walaupun belum ada nama resmi untuk kandidat pohon tersebut, penamaan yang sering digunakan adalah high resin yielder pada jenis pinus lain di daerah subtropis (Tadesse et al. 2001). Dalam disertasi ini, kandidat pohon tersebut selanjutnya diberi nama pinus bocor getah yang berarti memproduksi getah lebih melimpah dibandingkan dengan produksi rata-rata saat ini (normal). Pinus kandidat bocor getah merupakan sebutan untuk kandidat pohon plus pinus yang mampu menghasilkan getah di atas 50 g/pohon/3 hari lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi saat ini yang hanya mencapai 21 g/pohon/3 hari.

17 2 Perum Perhutani sebagai salah satu perusahan negara yang bergerak di sektor Kehutanan melalui Surat Direksi No. 289/041.6/Can/Dir tanggal 24 September 2010 perihal Penyusunan Redesain Pengelolaan Sumber Daya Hutan, mencoba menata kembali penanaman pinus dengan target produksi getah melalui beberapa cara antara lain: (1) Pengembangan dan peremajaan tanaman pinus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas getah dan menjaga kesinambungan pasokan getah pinus untuk industri; (2) Penempatan tanaman pada lokasi dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut; (3) Penanaman tanaman pinus dilaksanakan dengan menggunakan bibit unggul (bocor getah); (4) Untuk menjaga heterogenitas dan menghindarkan monokultur, maka di areal kluster pinus tersebut harus pula ditanam tanaman kayu lain (TKL) jenis non pinus (rimba lain yang khas) seluas ± 20%. Berdasarkan surat keputusan tersebut jelas dikemukakan bahwa untuk penanaman pinus selanjutnya harus menggunakan bibit unggul dengan fokus produk getah (bocor getah) Kegiatan pemuliaan pinus untuk menghasilkan genotipe unggul sebenarnya telah dimulai pada tahun 1976 di wilayah kerja Perum Perhutani melalui kerjasama Direktorat Jenderal Rehabilitasi (Ditsi), Departemen Pertanian dan Universitas Gajah Mada (UGM). Kegiatan awal berupa seleksi pohon elite (pohon plus) P.merkusii telah berhasil menemukan lebih dari 1000 famili yang dilanjutkan dengan pembangunan Kebun Benih Semai (KBS) di Sempolan, Baturaden dan Sumedang (Soeseno 1988) dengan keunggulan menghasilkan kayu, dan getah sebagai hasil sampingan. Pada tahun 2002 sampai 2009 dilakukan seleksi pohon plus yang merupakan kandidat bocor getah. Dari tahapan kegiatan ini dihasilkan kandidat-kandidat pohon plus terseleksi dari 5 lokasi survei yaitu 3 KBS hasil kegiatan pemuliaan sebelumnya, hutan pinus di Jawa dan Sulawesi Selatan. Pada kurun waktu , Perum Perhutani telah membangun penanaman uji keturunan untuk kandidat bocor getah. Untuk mempercepat realisasi progam Redesain Pengelolaan Sumber Daya Hutan, beberapa strategi yang dilakukan Perum Perhutani antara lain: melakukan survei pohon induk kandidat bocor getah, melakukan pengklonan pohon induk, melakukan penelitian pembiakan vegetatif, pengembangan SDM, pembangunan sarana dan prasarana serta analisis genetika pohon dengan kriteria harapan. Untuk pencapaian jangka pendek dan memenuhi permintaan bibit unggul, kegiatan pembuatan data produksi pijakan (production baseline data) untuk pendugaan struktur produksi dan pertumbuhan, karakterisasi secara morfogenetika dan anatomi kayu serta strategi perbanyakan vegetatif kandidat bocor getah perlu dipelajari untuk kegiatan pengembangan dan pemuliaan pinus bocor getah selanjutnya. Rangkaian penelitian ini juga merupakan salah satu elaborasi aspek genetika, anatomi dan silvikultur yang dapat memberikan kontribusi telaah ilmiah dari dunia akademik ke dunia industri.

18 3 1.2 Perumusan Masalah Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian karakterisasi pinus kandidat bocor getah adalah melakukan stratifikasi data pinus kandidat bocor getah yang ada. Seperti telah diketahui bahwa pohon pinus kandidat bocor getah merupakan hasil survei morfologi yang dilakukan pada KBS Cijambu, KBS Baturaden, KBS Jember, hutan pinus di Jawa dan Sulawesi Selatan. Hasil stratifikasi awal terhadap 5 lokasi tersebut, hanya KBS yang mencukupi ketersediaan dan kekonsistenan data. Selanjutnya data KBS digunakan sebagai data pijakan untuk menduga struktur produksi getah dan struktur pertumbuhan kandidat bocor getah. Pendugaan struktur produksi getah dan struktur pertumbuhan penting dilakukan karena mencerminkan pengaruh tempat tumbuh, sifat genetika pohon dan interaksi tempat tumbuh dengan sifat genetika pohon. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh data pijakan mengenai struktur produksi getah dan struktur pertumbuhan sebagai informasi dasar bagi penelitian karakterisasi morfogenetika, anatomi kayu dan strategi perbanyakan kandidat bocor getah. Karakterisasi secara morfogenetika dilakukan untuk menduga variabel genetika kandidat bocor getah melalui evaluasi fenotipik dan analisis genetika melalui penanda molekuler. Pohon plus kandidat bocor getah merupakan hasil survei morfologi yang cenderung dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan sehingga belum dapat membedakan karakter morfogenetika kandidat bocor getah yang diperoleh. Studi secara morfologi terhadap P.taeda oleh Burczyk et al. (1998); P. sylvestris oleh Kossuths (1984) dan P. pinaster oleh Mergen et al. (1955), menyimpulkan bahwa intensitas produksi getah lebih dipengaruhi oleh faktor genetika daripada faktor lingkungan berdasarkan pendekatan nilai heritabilitas. Sementara itu informasi morfogenetika P.merkusii dalam kaitannya dengan kandidat bocor getah sampai saat ini belum tersedia dengan baik, demikian juga analisis secara molekulernya. Beberapa penanda molekuler seperti RAPD (Random Amplified Polimorphic DNA), mikrosatelit (SSRs), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) dan SNP (Single Nucleotide Polymorphisms) dapat digunakan untuk studi variasi genetika. Penanda mikrosatelit dipilih dalam penelitian ini karena penanda kodominan, memiliki reproducibility yang tinggi, tingkat polimorfisme tinggi, multialelik, dan terdistribusi merata dalam genom (Karhu 2001). Selain kelebihan-kelebihan tersebut, penggunaan penanda mikrosatelit juga memiliki beberapa kelemahan terkait dengan proses amplifikasi dan keberadaan null alleles. Pada proses amplifikasi sering terdapat sejumlah alel yang hilang dan pasangan pita yang tidak tepat sehingga mengakibatkan adanya pita semu (Van Oosterhout et al. 2004). Permasalahan lain dalam penggunaan penanda mikrosatelit adalah adanya null alleles yang disebabkan oleh mutasi pada daerah binding dan menghalangi amplifikasi alel target (Pemberton et al. 1995). Namun menurut Chapuis dan Estoup (2007); Carlsson (2008) kelemahan penggunaan mikrosatelit tersebut masih dapat diminimalisir dengan menggunakan beberapa pendekatan statistik. Karakterisasi secara anatomi kayu ditujukan untuk melihat anatomi saluran resin yang diduga mempengaruhi produksi getah. Getah pinus merupakan eksudat yang dihasilkan oleh kelenjar yang berbentuk saluran resin (resin duct). Pohon kandidat bocor getah diduga memiliki jumlah dan frekuensi saluran resin yang

19 4 lebih banyak, diameter saluran yang lebih lebar dan sel epitel yang lebih tebal sehingga getah yang tertampung semakin banyak. Hasil verifikasi secara morfogenetika dan anatomi selanjutnya dijadikan sebagai data acuan untuk kriteria seleksi kandidat bocor getah dan strategi perbanyakan yang akan dilakukan. Strategi perbanyakan yang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan penanaman pinus kandidat bocor getah dalam jangka pendek adalah dengan melakukan perbanyakan secara vegetatif, namun cara ini juga terkendala karena pohon plus terpilih rata-rata berumur cukup tua sehingga juvenilitas dan keberhasilaannya rendah. Untuk mengatasi permasalahan juvenilitas, kegiatan multiplikasi tunas interfascicular, stek dan grafting cukup menjanjikan untuk dikembangkan. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka dalam jangka pendek penelitian ini perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan : 1) Apakah terdapat perbedaan struktur produksi antar pohon plus kandidat bocor getah 3 KBS di Pulau Jawa dan bagaimana struktur pertumbuhannya? 2) Bagaimana karakter morfogenetika pada pohon plus kandidat bocor getah? 3) Apakah terdapat perbedaan anatomi saluran resin antara pinus produksi normal dan kandidat bocor getah? 4) Bagaimana tingkat keberhasilan perbanyakan vegetatif pinus kandidat bocor getah? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian mengenai karakterisasi pinus bocor getah dalam jangka pendek ini bertujuan untuk: 1) Mendapatkan data pijakan (baseline data) produksi yang dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk mengetahui struktur produksi dan pertumbuhan pohon plus kandidat bocor getah dan untuk penelitian karakterisasi selanjutnya. 2) Menduga variabel genetika kandidat bocor getah melalui karakterisasi secara morfogenetika. 3) Menganalisis struktur anatomi saluran resin yang diduga mempengaruhi produktivitas getah melalui karakterisasi secara makroskopis dan mikroskopis. 4) Mengembangkan teknologi perbanyakan vegetatif melalui multiplikasi tunas interfascicular, stek dan grafting untuk produksi bibit pinus bocor getah.

20 5 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara ilmiah untuk seleksi pinus kandidat bocor getah di Indonesia, khususnya bagi Perum Perhutani berupa usulan kriteria seleksi pohon plus kandidat bocor getah. Informasi kriteria seleksi kandidat bocor getah sampai saat ini belum ada, padahal fokus pengelolaan hutan pinus saat ini lebih diutamakan pada produksi getah. Diharapkan dengan adanya kriteria seleksi tersebut akan mendukung program pemuliaan dengan fokus produksi getah tinggi dimasa mendatang. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian karakterisasi kandidat bocor getah terbagi dalam 4 sub penelitian yaitu struktur produksi getah dan pertumbuhan, karakterisasi morfogenetika, karakterisasi anatomi kayu dan strategi perbanyakan. Kegiatan yang dilakukan pada tiap sub penelitian dan output yang dihasilkan disajikan pada Gambar 1.1 Untuk memperoleh output hasil penelitian yang diharapkan, pencapaian kebaharuan/novelty penelitian ini didasarkan pada kriteria focus (fokus), advance (terdepan di bidangnya) dan scholar (ilmiah). Penelitian ini diawali dengan membuat data pijakan (baseline data) produksi getah sebagai landasan untuk mengetahui struktur produksi getah dan pertumbuhan kandidat bocor getah. Melalui informasi struktur produksi dan pertumbuhan tersebut, penelitian selanjutnya difokuskan untuk memperoleh informasi karakter kandidat bocor getah melalui kegiatan karakterisasi morfogenetika dan anatomi kayu. Kegiatan karakterisasi morfogenetika dan anatomi kayu difokuskan untuk memperoleh informasi indikator pinus bocor getah sebagai indikator seleksi bocor getah. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui serangkaian metode penelitian yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah (scholar) berdasarkan acuan pustaka yang diperoleh dan adaptasi metode penelitian yang telah dilakukan. Selanjutnya, informasi karakter morfogenetika dan anatomi kayu yang terangkum dalam kriteria seleksi kandidat bocor getah bermanfaat bagi pengelola dalam kegiatan seleksi pohon plus kandidat bocor getah. Informasi indikator seleksi juga dijadikan acuan untuk pemilihan pohon plus yang akan digunakan sebagai materi untuk strategi perbanyakan bibit bocor getah. Strategi perbanyakan pinus kandidat bocor getah dalam jangka pendek dapat dilakukan melalui program shortcut pembiakan vegetatif pohon tua dan secara generatif dengan menggunakan semai bocor getah. Dalam pelaksanaannya pembiakan vegetatif pohon tua kandidat bocor getah terkendala oleh masalah juvenilitas sehingga persentase keberhasilan tanamannya rendah. Untuk mengatasi permasalahan juvenilitas, kegiatan pencangkokan dan penyambungan secara berulang, stek tunas interfascicular, kultur jaringan dan penyemprotan semai dengan 6-Benzyl Amino Purine (6-BAP) menjadi menjadi alternatif solusi yang ditawarkan. Melalui teknik tersebut diharapkan akan diperoleh bibit generasi bocor getah untuk memenuhi kebutuhan penanaman pinus dalam jangka pendek.

21 6 Devisa negara dari Pinus (Pinus merkusii) Kayu getah Kayu dan getah Program pemuliaan (1976) Redesain Penanaman Pinus (2010) Conventional Breeding (butuh waktu lama) 1085 pohon Kandidat pinus bocor getah karakterisasi -produks sekarang 21 g//pohon/3 hari -Produksi target > 50 g/pohon/3 hari Produksi benih berkualitas Tegakan pohon terseleksi Analisis morfogenetika kandidat pinus bocor getah Anatomi kayu kandidat pinus bocor getah secara makroskopis dan mikroskopis Indikator Pinus bocor getah Program shortcut Pembiakan generatif dan vegetatif juvenilitas Alternatif solusi Semai bocor getah Pencangkokan Grafting (Penyambungan Penyetekan tunas Kultur jaringan Penyemprotan 6-Benzil Amino Purine (6 BAP) Perbanyakan dengan grafting dan cangkok suksesif Bibit generasi bocor getah Gambar 1.1 Ruang lingkup penelitian karakterisasi pinus bocor getah

22 7 2 STRUKTUR PRODUKSI GETAH DAN PERTUMBUHAN PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 2.1 Pendahuluan Pinus merkusii merupakan jenis pohon yang dikenal sebagai penghasil kayu dan getah yang cukup potensial. Di Indonesia P.merkusii dapat dijumpai dalam 3 strain yaitu Aceh, Tapanuli dan Kerinci dengan karakteristik yang berbeda-beda. Mengingat nilai ekonomisnya yang cukup tinggi, pada awal tahun 1920 pinus diintroduksi ke Pulau Jawa dari populasi alam di Aceh oleh Perum Perhutani dan menjadi jenis andalan kedua setelah jati. Dengan meningkatnya nilai hasil kayu dari pohon pinus pada saat itu, tahun 1976 dilakukan kegiatan seleksi untuk mendapatkan pohon plus yang memiliki karakter batang dan pertumbuhan yang bagus (Soeseno 1988; 2001) diikuti dengan pembangunan Kebun Benih Semai (KBS) di Sumedang (Jawa Barat), Baturaden (Jawa Tengah) dan Jember (Jawa Timur) Seiring dengan perubahahan paradigma pengusahaan pinus dari yang berorientasi kayu menjadi produk bukan kayu, sejak tahun 2006 progam pemuliaan pinus di Perum Perhutani tidak hanya terfokus pada kayu namun juga kepada produk bukan kayu dalam hal ini getah pinus. Seperti diketahui produk hasil pemasakan getah pinus yaitu gondorukem (gum rosin) merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang bernilai tinggi dan memegang peranan penting sebagai andalan hasil hutan bukan kayu di Indonesia karena menghasilkan devisa negara sekitar US$ 50 juta setiap tahun (Fachrodji 2010) dan menyerap tenaga kerja yang cukup besar (Perum Perhutani 2010). Oleh karena itu, kegiatan pemuliaan pohon dengan produksi getah tinggi menjadi fokus kegiatan sejak tahun 2006 sampai sekarang mengingat telah ditemukannya beberapa pinus kandidat bocor getah dengan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan ratarata pada saat ini. Kaitannya dengan produktivitas getah, informasi mengenai struktur produksi pohon pinus kandidat bocor getah di KBS milik Perum Perhutani sampai saat ini belum tersedia, padahal informasi ini penting untuk kegiatan karakterisasi dan manajemen tegakan. Struktur produksi getah menggambarkan distribusi produksi getah tiap individu kandidat bocor getah yang ada di KBS milik Perum Perhutani. Untuk kegiatan pemuliaan dengan fokus utama produksi getah, diperlukan tegakan dengan sebaran produksi getah menjulur ke kanan serta interval produksi yang luas (Nanos et al. 2000). Oleh karena itu penelitian tentang struktur produksi getah di KBS Perum Perhutani sangat diperlukan untuk mengetahui pola sebaran produksi getah KBS Perum Perhutani sebagai data dasar untuk penelitian genetika, anatomi saluran resin dan strategi perbanyakannya. Pada KBS terpilih secara khusus akan dibahas mengenai struktur pertumbuhan karena sampai saat ini informasi keterkaitan antara struktur pertumbuhan dengan produksi getah masih sedikit sekali dijumpai. Struktur pertumbuhan pada penelitian ini menggambarkan distribusi variabel pertumbuhan kandidat yang diwakili oleh variabel tinggi total pohon, diameter batang, panjang tajuk, luas tajuk, tebal kulit dan tingkat keparahan serangan hama dan penyakit.

23 8 2.2 Bahan dan Metode Bahan Bahan tanaman untuk penelitian sebaran produksi dan struktur pertumbuhan merupakan hasil uji keturunan tahun tanam di KBS Cijambu, Baturaden dan Jember dengan tujuan pemuliaan lebih difokuskan pada produksi kayu. Dalam kaitannya dengan pemisahan antara produksi getah dan kayu, maka pada tahun 2006 telah dilakukan kegiatan seleksi awal pinus yang menghasilkan getah lebih tinggi daripada produksi getah saat ini atau produksi normal (21 g/pohon/3 hari) dan terpilih 110 pohon plus (KBS Cijambu), 90 pohon plus (KBS Jember) dan 75 pohon plus (KBS Baturaden) sebagai bahan dasar untuk penelitian struktur produksi getah. Selanjutnya untuk penelitian struktur pertumbuhan dan hubungan antar karakter dilakukan melalui pengumpulan data produksi getah terkini (2011) dari KBS terpilih (KBS Cijambu). KBS terpilih selanjutnya digunakan sebagai lokasi penelitian karakterisasi kandidat bocor getah Metode Penelitian mengenai struktur produksi getah di 3 KBS dilakukan melalui stratifikasi data dan analisis statistik dengan menggunakan data sekunder produksi getah yang dimiliki Perum Perhutani tahun Selanjutnya untuk penelitian struktur pertumbuhan dan hubungan antar karakter dilakukan melalui pengumpulan data produksi getah terkini (2011). Verifikasi produksi getah dilakukan melalui penyadapan menggunakan teknik pengeboran pohon dari dua arah mata angin yang berbeda (utara-selatan) dengan menggunakan bor berdiameter 0.5 cm dan ditampung dalam plastik ukuran 20x14 cm. Getah selanjutnya dibiarkan mengalir secara alami tanpa menggunakan stimulansia selama 3 hari berturut-turut untuk mendapatkan data produksinya. Pada lokasi ini tidak pernah dilakukan kegiatan penyadapan untuk skala produksi sehingga hasil getah yang diperoleh hanya dipengaruhi oleh faktor genetika dan tempat tumbuh tanpa melibatkan pengaruh teknik penyadapan dan penggunaan stimulansia. Pemilihan pohon untuk uji produksi getah didasarkan pada nilai produksi getah yang lebih baik dari 5 pohon pembanding di sekitarnya. Penelitian struktur pertumbuhan dan hubungan antar karakter dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap 35 karakter pertumbuhan dan karakter ekologi dari 110 pohon plus yang ada di KBS Cijambu. Karakter pertumbuhan yang diamati untuk mengetahui struktur pertumbuhan meliputi: tinggi, diameter, tajuk, percabangan, tebal kulit dan tingkat keparahan serangan hama penyakit. Metode pengukuran untuk 35 karakter pertumbuhan dan ekologi mengikuti prosedur penelitian pada pohon-pohon kehutanan sebelumnya: Bacilieri et al. (1995); Cantini et al. (1999); Kremer et al. (2002); Ginwal et al. (2004); Weber dan Montes (2005); Baliuckas et al. (2005) dan Devagiri et al. (2007). Karakter dan metode pengamatan untuk penelitian struktur pertumbuhan disajikan pada Lampiran 1. Data hasil pengukuran yang diperoleh selanjutnya diolah dengan bantuan software statistik SPSS versi 17 (SPSS Inc. 2007) untuk mengetahui nilai tengah, standar deviasi, koefisien varian, korelasi dan regresi linear berganda

24 9 dengan mengacu Steel dan Torrie (1995). Standarisasi data dilakukan untuk pembuatan Principal Component Analysis (PCA). 2.3 Hasil dan Pembahasan Struktur produksi getah pohon plus kandidat bocor getah di KBS Perum Perhutani. Struktur produksi getah 3 KBS Perum Perhutani (Gambar 2.1) menunjukkan pola sebaran seperti dijumpai pada hutan tanaman lainnya dengan nilai rata-rata produksi 85.9 g/pohon/3 hari. Frekuensi produksi getah terbesar berada pada interval g/pohon/3 hari (154 pohon) dan frekuensi terkecil pada interval 150 g/pohon/3 hari (14 pohon). Hasil perhitungan struktur produksi di setiap KBS menunjukkan bahwa KBS Cijambu memiliki rata-rata tertinggi (101.4 g/pohon/3 hari) diikuti KBS Baturaden (88.72 g/pohon/3 hari) dan KBS Jember (64.4 g/pohon/3 hari). Sebaran produksi di KBS Cijambu memperlihatkan pola sebaran cenderung menjulur ke kanan, yang menunjukkan individu-individu di KBS Cijambu lebih tinggi dibandingkan produksi getah normal, sehingga KBS Cijambu sesuai untuk kegiatan pemuliaan untuk fokus getah (Gambar 2.1). Jumlah pohon pinus kandidat bocor getah di KBS Cijambu terbanyak berada pada interval g/pohon/3 hari (34%), di KBS baturaden pada interval interval g/pohon/3 hari (35%) dan KBS Jember pada interval g/pohon/3 hari (54%). Berdasarkan kemenjuluran kurva KBS Cijambu memiliki nilai g/pohon/ 3 hari (Gambar 2.1b), KBS Baturaden 175 g/pohon/ 3 hari (Gambar 2.1c) dan KBS Jember 128 g/pohon/ 3 hari (Gambar 2.1d). Dengan demikian KBS Cijambu menjulur paling ke kanan, diikuti oleh KBS Baturaden dan KBS Jember. Pada P. pinaster, Nanos et al. (2000) memilih tegakan dengan kurva produksi getah yang memiliki sebaran cenderung menjulur ke kanan dan interval produksi yang lebar untuk pemuliaan dengan fokus utama getah pinus. Dengan pertimbangan yang sama KBS Cijambu selanjutnya terpilih sebagai lokasi penelitian karakterisasi kandidat bocor getah. Berdasarkan sudut pandang konservasi genetika, individu-individu pohon yang berada pada posisi paling menjulur ke kanan (memiliki produksi tertinggi), sangat perlu untuk dikonservasi dan dikembangkan karena memiliki keragaman yang sempit, tidak banyak jumlahnya dan rawan terhadap kepunahan. Untuk perbanyakan massal dapat dikembangkan dari individu-individu pada interval dengan frekuensi tertinggi; untuk KBS Cijambu ( g/pohon/3 hari), KBS Baturaden (61-82 g/pohon/3 hari) dan KBS Jember (40-61 g/pohon/3 hari). Hal tersebut sangat dimungkinkan terkait erat dengan kondisi lingkungan setempat Produksi getah di setiap KBS menunjukkan struktur produksi yang berbeda. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan adanya peranan kondisi tanah, iklim, penggunaan bahan kimia, umur, teknik silvikultur (faktor lingkungan) dan faktor genetika tanaman dalam menentukan kuantitas produksi getah (Zamski 1972; Moulalis 1981; Philippou 1986; Papajiannopoulos 1997, 2002). Hasil penelitian pada pinus bergetah banyak di daerah temperate yang dilakukan oleh Tadesse et al. (2001); Roberds et al. (2003); Burczyk et al. (1998); Kossuths (1984) dan Mergen et al. (1955) yang menemukan peranan faktor genetika yang

25 10 lebih dominan dalam menentukan karakter produksi getah. Namun kedua faktor tersebut bersama-sama mendukung ekspresi suatu karakter, karena fenotipe produksi getah merupakan hasil interaksi dari pengaruh faktor genetika dan lingkungan (Rodrigues et al. 2009) Frekuensi Frekuensi Produksi getah (g/pohon/3 hari) Produksi getah (g/pohon/3 hari) a. 3 KBS b. KBS Cijambu Frekuensi Frekuensi Produksi getah (g/pohon/3 hari) Produksi getah (g/pohon/3 hari) c. KBS Baturaden d. KBS Jember Frekuensi KBS KBS Jember KBS Cijambu KBS Baturaden P r o d u k s i g e t a h ( g / p o h o n / 3 h a r i) Gambar 2.1 Struktur produksi getah di KBS Cijambu, Baturaden dan Jember. Seluruh KBS (a), KBS Cijambu (b), KBS Baturaden (c) dan KBS Jember (d), Seluruh KBS, KBS Cijambu, KBS Baturaden dan KBS Jember (e).

26 11 Untuk mengetahui penyebab perbedaan produksi getah di 3 KBS dilakukan penelaahan mengenai asal usul materi penanaman. Berdasarkan sejarahnya pembangunan KBS Cijambu, Baturaden dan Jember dilakukan secara bertahap pada kurun waktu dengan sumber materi genetika yang sama (Soeseno et al. 1994) dengan fokus kegiatan untuk memperoleh pohon plus dengan karakter batang yang lurus. Tegakan tersebut telah mengalami beberapa kali roquing (penjarangan) dengan fokus produksi kayu. Selanjutnya, seiring dengan perubahan kebijakan pengelolaan pinus yang berorientasi pada produksi getah, kegiatan seleksi awal telah dilakukan selama kurun waktu untuk memperoleh pohon plus dengan produksi getah yang tinggi. Hasil seleksi untuk tujuan produksi getah hanya terpilih 110 pohon plus (KBS Cijambu), 90 pohon plus (KBS Jember) dan 75 pohon plus (KBS Baturaden) sebagai kandidat bocor getah dari total 1000 famili pohon plus di setiap KBS. Hasil stratifikasi data 3 KBS menemukan pohon dari famili yang sama menghasilkan getah yang berbeda ketika ditanam pada 3 KBS yang berbeda. Pohon dari famili 507L merupakan penghasil getah tertinggi di antara semua kandidat bocor getah di 3 KBS, famili yang sama ternyata tidak masuk kategori bocor getah di KBS lainnya. Berdasarkan Tabel 2.1 beberapa pohon dari famili yang sama di KBS Cijambu menghasilkan getah yang tidak jauh berbeda jika ditanam di KBS Baturaden, hal tersebut juga ditunjukkan dengan kekonsistenan rangking produksi yang diperoleh. Sebaliknya, pohon dari famili yang sama di KBS Cijambu menghasilkan getah yang lebih rendah saat ditanam di KBS Jember, hal tersebut ditunjukkan dengan rangking produksi yang cenderung menurun. Tabel 2.1 Produksi getah beberapa famili di KBS Cijambu, KBS Baturaden dan KBS Jember KBS Cijambu (3mx3 m) Rangking Produksi getah (g pohon -1 3 hari -1 ) KBS Rangking KBS Baturaden Jember (3mx3 m) (3mx3m) Rangking No Jarak tanam Famili 1. BG NA - NA - 2. BG NA - 3. BG NA BG NA BG NA BG NA - 7. BG NA - 8. BG NA - 9. BG NA BG NA Sumber : Puslitbang SDH Perum Perhutani (2006). Keterangan : rangking 1: produksi >150 g/pohon/3 hari; rangking 2: > g/pohon/3 hari; rangking 3: > g/pohon/3 hari, rangking 4: 60 g/pohon/3 hari; NA: tidak masuk kategori bocor getah.

27 12 Ketidakkonsistenan rangking tersebut juga disebabkan karena materi genetika untuk penanaman di KBS Perum Perhutani berasal dari keturunan halfsib yang masih mengalami segregasi sehingga individu-individu dari famili yang sama berpeluang untuk memiliki fenotipe yang berbeda oleh karena perlu dilakukan kegiatan pemuliaan lanjutan untuk memperoleh kekonsistenan produksi getah. Namun demikian, berdasarkan kekonsistenan perolehan getah dari beberapa famili (famili yang sama) dapat disimpulkan bahwa produksi getah di KBS Cijambu lebih tinggi dibandingkan KBS lainnya (Gambar 2.2). Gambar 2.2 Produksi getah di KBS Cijambu, KBS Baturaden dan KBS Jember Gambar 2.2 menunjukkan bahwa kondisi lingkungan tempat tumbuh mendukung ekspresi genetika karakter produksi getah. Hal tersebut didukung oleh Wright (1976) yang menyatakan bahwa variasi lingkungan akan membatasi perolehan genetika suatu populasi karena ekspresi potensi genetika akan maksimal apabila didukung oleh kondisi lingkungan yang sesuai. Kondisi tempat tumbuh yang meliputi posisi geografis, ketinggian tempat, curah hujan, jenis tanah dan kelerengan lahan masing-masing KBS disajikan pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Karakteristik tempat tumbuh KBS Cijambu, KBS Baturaden dan KBS Jember Variabel KBS Cijambu KBS Baturaden ( * KBS Jember ( ** Posisi geograftis 107 o 45 BT 6 o.52 LS 108 o.73 BT 6 o.79 LS 113 o.52 BT 7 o.67 LS Ketinggian (m dpl) Curah hujan rata-rata (mm/tahun) Jenis tanah Andosol Andosol Regosol Kelerengan lahan (%) 11-62% 10 0 Sumber:*:Soeseno et al. (1994) ;**Nurtjahjaningsih et al. (2007) Hasil penelaahan kondisi tempat tumbuh menunjukkan ketinggian tempat dan kelerengan menjadi pembeda antara KBS Cijambu dengan dua KBS lainnya. Beberapa studi mengenai pengaruh ketinggian tempat terhadap produksi getah masih menunjukkan hasil yang berbeda. Menurut Rochidajat dan Sukawi (1979)

28 13 ketinggian tempat tumbuh berpengaruh terhadap lancarnya aliran getah karena semakin tinggi tempat maka getah akan menggumpal dan aliran getah akan terhambat akibat rendahnya temperatur udara dan intensitas cahaya matahari. Kelemahan penelitian tersebut belum mewakili selang ketinggian optimal untuk P. merkusii ( m dpl). Hasil pengukuran produksi getah pada beberapa ketinggian tempat di KBS Cijambu (Gambar 2.3) menunjukkan pohon yang menghasilkan getah tertinggi (271.2 g/pohon/3 hari) berada pada ketinggian 1327 m dpl, diikuti produksi g/pohon/3 hari pada ketinggian yang sama dan produksi g/pohon/3 hari pada ketinggian 1281 m dpl. Produksi getah lebih rendah 97.1 g/pohon/3 hari dihasilkan oleh pohon yang berada pada ketinggian 1275 m dpl dan produksi 91.8 g/pohon/3 hari berada pada ketinggian 1226 m dpl. Oleh karena itu Surat Direksi No. 289/041.6/Can/Dir Tanggal 24 September 2010 perihal Penyusunan Redesain Pengelolaan Sumber Daya Hutan butir 2 mengenai penempatan tanaman pada lokasi dengan ketinggian 1000 m dpl untuk penanaman bocor getah perlu dipertimbangkan kembali karena pada penelitian ini produksi getah lebih tinggi dijumpai pada ketinggian m dpl. Histogram produksi getah di KBS Cijambu berdasarkan ketinggian tempat disajikan pada Gambar 2.3. Gambar 2.3 Sebaran produksi getah berdasarkan ketinggian tempat di KBS Cijambu Selain ketinggian tempat, jenis tanah juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanah andosol (KBS Cijambu dan Baturaden) dicirikan dengan warna yang hitam-kecoklatan, bersifat andik, teksturnya ringan, berasal dari bahan vulkanik atau erupsi gunung berapi dan bersolum dalam dan relatif subur. Tanah regosol (KBS Jember) dicirikan dengaan solum yang dangkal, bersifat basa atau mendekati netral dan banyak ditemui di daerah pegunungan kapur dan daerah kars di Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, Nusa tenggara dan Maluku Selatan. Tanah andosol dengan tekstur ringan dan bersolum dalam serta bersifat masam lebih sesuai untuk pertumbuhan pinus dengan tujuan produksi getah, hal tersebut ditunjukkan dengan produksi getah KBS Cijambu dan KBS Baturaden yang lebih tinggi dibandingkan KBS Jember.

29 14 Berdasarkan analisis kondisi tempat tumbuh 3 KBS yang meliputi kondisi geografis, ketinggian, curah hujan, KBS Cijambu, KBS Baturaden dan KBS Jember memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Indonesian Forest Seed Project (2001) P. merkusii memerlukan persyaratan tumbuh yang tidak spesifik, dapat tumbuh pada ketinggian m dpl pada berbagai tipe tanah dan iklim, sedangkan Balai Teknologi Perbenihan (2000) mensyaratkan untuk pertumbuhan pinus yang baik diperlukan ketinggian m dpl dengan curah hujan mm/tahun. Berdasarkan kriteria tersebut KBS Cijambu memiliki kondisi lingkungan yang mendekati persyaratan kondisi optimal, sehingga untuk kegiatan pemuliaan dengan tujuan produksi getah lokasi tersebut cukup menjanjikan. Perbedaan perolehan getah dari famili yang sama di 3 KBS dipengaruhi juga adanya interaksi antara faktor genetika dan lingkungan (GxE). Hasil penelitian ini menemukan perbedaan ketidakkonsistenan hasil getah famili yang sama ketika ditanam di KBS berbeda. Sebagai contoh famili BG32 yang merupakan penghasil getah tertinggi di KBS Cijambu (271.2 g/pohon/3 hari), ternyata famili ini tidak dijumpai di KBS Baturaden dan KBS Jember karena tidak memenuhi kriteria bocor getah. Famili BG8 menghasilkan getah g/pohon/3 hari (rangking 2) di KBS Cijambu, ketika ditanam di KBS Jember produksinya turun menjadi 65.5 g/pohon/3 hari (rangking 3) dan ketika ditanam di KBS Baturaden famili tersebut tidak masuk dalam kategori bocor getah. Ketidakkonsistenan (inconsistency) perolehan getah juga dijumpai pada famili-famili lainnya (Tabel 2.1). Menurut White et al.(2007) adanya interaksi faktor genetika dan lingkungan mengakibatkan terjadinya perbedaan keragaan genotipe pohon ketika ditanam pada lingkungan yang berbeda. Pada 3 KBS milik Perum Perhutani, perbedaan keragaan genotipe tersebut ditunjukkan dengan perubahan rangking famili pada lingkungan berbeda. Besaran pengaruh GxE pada selanjutnya dapat dikuantifikasi dengan menggunakan persamaan linear. Jika nilai hasil interaksi menunjukkan nilai > 0 maka masing-masing genotipe memiliki respon berbeda pada di setiap kondisi lingkungan berbeda dan sebaliknya. Adanya interaksi GxE memerlukan kegiatan pengelolaan yang intensif berdasarkan kesesuaian tempat tumbuh masing-masing famili. Hal tersebut disebabkan karena kondisi lingkungan tersebut menentukan baik buruknya keragaan famili. Namun demikian untuk mengetahui proporsi besarnya pengaruh faktor lingkungan maupun faktor genetika dalam menentukan karakter produksi getah akan dibahas lebih mendalam di Bab 3 mengenai morfogenetika kandidat bocor getah. Adanya perbedaan perolehan getah pada 3 KBS dan interaksi GxE berakibat pada strategi pengembangan kandidat bocor getah selanjutnya. Individu famili yang memperlihatkan perolehan getah cenderung konsisten pada setiap KBS dapat menunjukkan kemampuan adaptasi yang cukup baik, sehingga selanjutnya individu tersebut dapat digunakan sebagai sumber materi penananam pada lokasi yang berbeda (sebagai contoh individu famili BG101,BG28 dan BG21). Sebaliknya, individu dari famili yang menghasilkan getah fluktuatif dan tidak konsisten menunjukkan bahwa individu tersebut hanya adaptif pada lokasi tertentu, selanjutnya untuk pengembangannya individu tersebut hanya dapat digunakan sebagai sumber materi penanaman lokal setempat (sebagai contoh individu famili BG38, BG91 dan BG53). Strategi perbanyakan untuk kandidat bocor getah akan dibahas secara lebih mendalam di Bab 5.

30 15 Hasil analisis struktur produksi getah dan karakteristik tempat tumbuh di KBS Cijambu dan kekonsistenan perolehan getah dari individu famili dapat disimpulkan bahwa KBS Cijambu memiliki kondisi tempat tumbuh yang sesuai untuk kegiatan penanaman dengan fokus utama getah. Kesesuaian tersebut tercermin dengan kemampuan individu pada KBS Cijambu untuk menghasilkan getah yang cenderung lebih tinggi, kurva struktur produksi getah cenderung miring ke kanan yang menandakan individu pohon di lokasi tersebut memiliki produksi getah tinggi dan selang produksi yang lebih lebar sebagai indikasi tingginya keragaman produksi getah di lokasi tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut fokus penelitiaan selanjutnya dipersempit di KBS Cijambu saja Struktur pertumbuhan pohon plus kandidat bocor getah Kondisi suatu tegakan hutan selalu dipengaruhi oleh keadaan tempat tumbuh, perlakuan silvikultur, umur dan sifat genetika pohon, interaksi antara setiap individu pohon terhadap keadaan tempat tumbuhnya, serta interaksi yang terjadi antar individu-individu pohonnya. Struktur pertumbuhan mampu mencerminkan pengaruh faktor-faktor tersebut melalui output pertumbuhan dan hasil (Prestzsch 2009) salah satunya produksi getah. Secara umum struktur pertumbuhan diameter batang, tinggi bebas cabang, tinggi total, valume, tajuk dan percabangan) pada pohon plus kandidat bocor getah di KBS Cijambu mengikuti pola umum yang dijumpai pada tipe tegakan hutan tanaman. Tinggi pohon pada suatu tegakan merupakan salah satu variabel penting dalam manajemen hutan karena mampu mencerminkan total volume pohon untuk tujuan komersial, mencerminkan kualitas tempat tumbuh pada tegakan seumur dan menggambarkan struktur vertikal dari suatu tegakan (Gadow et al. 2001). Sebaran tinggi pada KBS Cijambu secara umum berada pada interval nilai m dengan jumlah terbanyak pada interval rata-rata 24.5 m (Gambar 2.4a), sedangkan sebaran keliling pohon memiliki memiliki interval antara m, dengan rata-rata 0.47 m (2.4b). Kondisi tajuk merupakan salah satu komponen penting dalam studi struktur pertumbuhan karena dapat menduga kualitas kayu (Kershaw et al. 1990), tingkat kompetisi tegakan (Mitchell 1975), vigor pohon (Hasenauer dan Monserud 1996), stabilitas mekanis pohon (Wilson dan Oliver 2000) dan iklim mikro (Grace et al. 1987). Adapun variabel tajuk yang umum digunakan adalah tinggi tajuk, panjang tajuk dan luasan tajuk (Bravo et al. 2012). Hasil penelitian menunjukkan panjang tajuk di KBS Cijambu memiliki interval 8-16 m dan rata-rata m (Gambar 2.4c), untuk luasan tajuk memiliki interval nilai m 2 dengan rata-rata 361 m 2 (Gambar 2.4d). Tebal kulit umumnya digunakan untuk prediksi volume kayu dan koreksi terhadap diameter pohon sebenarnya (Bravo et al. 2012). Nilai tebal kulit berada pada interval cm dengan jumlah terbanyak berada pada rata-rata tebal 2.45 cm (Gambar 2.4e), sedangkan untuk tingkat serangan hama dan penyakit berada pada interval 0-48% dengan rata-rata 25.44% (2.4f).

31 Frekuensi Frekuensi Tinggi Total (m) Diameter (m) a. Sebaran tinggi total b. Sebaran diameter Frekuensi 5 4 Freekuensi Panjang Tajuk (m) Luas Tajuk (m) c. Sebaran panjang tajuk d. Sebaran luas tajuk Frekuensi 6 4 Frekuensi Tebal Kulit (cm) e. Sebaran tebal kulit f. Sebaran tingkat serangan hama- penyakit Gambar 2.4 Sebaran karakter pertumbuhan di KBS Cijambu. a.tinggi total, b. Diameter pohon, c. Panjang tajuk, d. Luas tajuk, e. Tebal kulit, f. Tingkat keparahan serangan hama-penyakit HP Struktur pertumbuhan pada KBS Cijambu menunjukkan pola sebaran yang lazim ditemui pada hutan tanaman seumur. Selanjutnya untuk melihat keeratan hubungan antara karakter pertumbuhan dengan produksi getah dilakukan pendugaan dengan menggunakan persamaan regresi berganda. Penelitian awal

32 17 mengenai struktur produksi getah dan hubungannya dengan karakter pertumbuhan telah dilakukan pada P. pinaster. Nanos et al. (2000) mengembangkan model produksi getah berdasarkan kerapatan tegakan, namun tidak menemukan adanya hubungan yang nyata antara keduanya. Sampai saat ini model penduga produksi getah dengan melibatkan karakter pertumbuhan juga masih jarang ditemui, tidak terkecuali di KBS Cijambu Hubungan antara karakter pertumbuhan dan produksi getah Untuk mengetahui keterkaitan antara karakter pertumbuhan dan ekologi dengan produksi getah di KBS Cijambu, dilakukan pengujiaan korelasi terhadap 35 karakter. Hasil korelasi awal menemukan 14 karakter pertumbuhan (tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter, tebal kulit, jumlah cabang, panjang tajuk, lebar tajuk, sudut cabang pertama tajuk, volume bebas cabang, volume total, keparahan serangan hama dan penyakit, kekekaran batang dan kekasaran kulit) yang memiliki hubungan dengan produksi getah (korelasi lebih dari 0.1), sedang karakter yang lain memiliki koefisien korelasi lebih kecil dari 0.1. Hasil pengujian awal tersebut masih menghasilkan data yang cukup beragam dan belum menunjukkan keeratan antar karakter yang mampu menerangkan hubungan antara produksi getah dan karakter pertumbuhan. Untuk memperoleh karakter yang lebih mampu menerangkan hubungan keduanya, selanjutnya dilakukan pengujian lanjutan terhadap 14 karakter yang diperoleh. Untuk tujuan tersebut dipilih prosedur pengujian Principal Component Analysis (PCA) dan analisis kelompok (dendrogram). Penggunaan PCA bertujuan untuk menyederhanakan karakter yang diamati dengan cara menyusutkan (reduksi) atau menghilangkan korelasi di antara variabel bebas sehingga diperoleh variabel-variabel baru yang mampu menerangkan hubungan tersebut. Pengujian PCA menghasilkan nilai akar ciri (eigenvalue) yang menggambarkan kemampuan setiap faktor mewakili variabel-variabel yang dianalisis. Nilai akar ciri juga menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varians ketiga variabel yang dianalisis. Pada pengujian ini nilai akar ciri <1 tidak digunakan untuk menghitung jumlah faktor yang terbentuk. Hasil pengujian nilai akar ciri terhadap 14 faktor hanya menemukan 6 faktor yang dapat digunakan untuk menjelaskan keragaman karakter pertumbuhan karena memiliki nilai akar ciri >1 (Tabel 2.3). Komponen 1 dan komponen 2 pada pengujian PCA (Gambar 2.5 a) merupakan hasil reduksi variabel yang diamati, sehingga jumlah karakternya lebih sedikit tanpa mengurangi obyektivitasnya. Komponen 1 memiliki nilai keragaman sebesar 26.57% dengan akar ciri sebesar dan komponen 2 memiliki keragaman sebesar 18.75% dengan akar ciri sebesar Penjumlahan antara dua komponen utama (komponen 1 dan 2) mampu menerangkan keragaman data sebesar 45.32% sehingga data dapat menjelaskan keadaan karakter pertumbuhan sebesar 45.32%. Komponen 1 didukung oleh 13 karakter secara positif (produksi getah (prod), kelurusan batang (KKB), panjang tajuk (PT), luas tajuk (luas T), lebar tajuk (LT), tinggi tajuk (TT), tinggi bebas cabang (TBC), tebal kulit (TK), volume total (Vtot), volume bebas cabang (VBC), diameter (D), hama penyakit

33 18 dan kekekaran batang(hp) ) dan 2 karakter secara negatif (sudut cabang pertama (SCP) dan jumlah cabang (CPT) ). Komponen 2 didukung oleh 1 karakter positif (jumlah cabang, CPT) ) dan 1 karakter negatif (sudut cabang pertama, SCP) ). Tabel 2.3 Eigenvalue keragaman karakter pertumbuhan Faktor PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 Eigenvalue Varian Kumulatif 26.57% 45.32% 60.17% 68.99% 77.43% 84.24% Produksi getah (g/pohon/ 3 hari) Tinggi total (m) Tinggi bebas cabang (m) Diameter pohon (m) Tebal kulit (cm) Jumlah cabang (n) Sudut percabangan ( o ) Panjang tajuk (m) Lebar tajuk (m) Kekokohan batang Hama dan penyakit Volume bebas cabang (m 3 ) Volume total (m 3 ) Luas tajuk Hasil pengujian analisis kelompok (Gambar 2.5b) menunjukkan karakter pertumbuhan membentuk dua kelompok besar, kelompok pertama hanya terdiri dari karakter sudut cabang pertama pembentuk tajuk (SCP) dan kelompok kedua terdiri dari karakter produksi getah, karakter tajuk, tinggi pohon, diameter pohon, tebal kulit dan hama penyakit. Pada kelompok kedua, karakter produksi getah berhubungan dekat dengan karakter tajuk, tinggi pohon, diameter batang, tebal kulit, volume batang dan hama penyakit sehingga membentuk kelompok tersendiri (similarity > 71.9%) sedang karakter kekasaran kulit dan jumlah cabang pembentuk tajuk memiliki hubungan yang rendah dengan similarity 71.9%. Hasil dendrogram tersebut menunjukkan karakter luas tajuk, panjang tajuk, diameter batang dan tebal kulit memiliki hubungan yang lebih dekat dengan produksi getah, sedangkan karakter jumlah cabang dan sudut percabangan memiliki hubungan yang lebih jauh dengan karakter produksi getah. Selanjutnya hasil pengujian PCA dan dendrogram dianalisis lebih lanjut dengan korelasi Pearson untuk memperoleh nilai korelasi antar karakter pertumbuhan. Berdasarkan nilai korelasi Pearson antar karakter pertumbuhan, diketahui bahwa produksi getah berhubungan positif dan nyata dengan diameter batang, tebal kulit, dan panjang tajuk, sebaliknya produksi getah berhubungan negatif dan nyata dengan jumlah cabang dan tingkat serangan hama dan penyakit. Nilai korelasi positif antara produksi getah dengan diameter pohon adalah sebesar 0.364, produksi getah dengan tebal kulit sebesar 0.423, produksi getah dengan panjang tajuk sebesar dan produksi getah dengan luas tajuk sebesar Nilai korelasi positif antara produksi getah dengan jumlah cabang adalah sebesar -

34 , dengan tingkat serangan hama penyakit sebesar (Lampiran 2). Hasil pengujian korelasi ini selanjutnya dibuat model regresi linear untuk melihat keeratan hubungan antara produksi getah dengan karakter pertumbuhan Vtot VBC D 0.25 CPT Kk HP Komponen 2 (18.75%) SCP TBC Prod TK LT PT TT luas T kkb Komponen 1 (26.57%) (a) Similarity (b) Prod TT LT PT luas T kkb TBC D VBC Variabel Vtot TK HP Kk CPT SCP (b) Gambar 2.5 Principal Component Analysis (PCA) (a) dan dendrogram (b) untuk beberapa karakter produksi getah di KBS Cijambu

35 20 Hasil pengujian lanjutan dengan regresi linear berganda menemukan 4 karakter yang memiliki hubungan nyata dengan produksi getah. Keempat karakter tersebut adalah diameter pohon, tebal kulit, luas tajuk dan jumlah cabang. Karakter diameter pohon, tebal kulit, luas tajuk berhubungan postif dengan produksi getah, sedangkan jumlah cabang berhubungan negatif dengan produksi getah. Hubungan karakter-karakter tersebut digambarkan dengan persamaan regresi linear berganda: Y: x x x x 4 (Y: produksi getah: x 1 :diameter; x 2 : Jumlah cabang; x 3 : tebal kulit; x 4 : luas tajuk). Hasil pengujian regresi linear berganda memperlihatkan koefisien korelasi sedang (r: 0.75) hampir sama dengan pengujian komponen utama (Tabel 2.4). Tabel 2.4 Model pendugaan regresi linear berganda hubungan produksi getah dengan karakter pertumbuhan di KBS Cijambu Karakter pertumbuhan Notasi Koefisien Nilai Model penduga P Intersep I Diameter (m) X Y: X X X X 4 Jumlah cabang (n) X Tebal kulit (cm) X Luas tajuk (m 2 ) X Keterangan: r: 0.75 ; P: Hubungan positif antara produksi getah dengan karakter diameter, tebal kulit dan luas tajuk mengindikasikan bahwa produksi getah akan semakin tinggi dengan semakin tingginya nilai karakter tersebut, dan sebaliknya hubungan negatif antara produksi getah dengan jumlah cabang mengindikasikan produksi getah akan semakin menurun dengan tingginya nilai karakter tersebut tersebut. Diameter pohon berhubungan positif dengan produksi getah. Hasil pengukuran di KBS Cijambu menunjukkan pohon dengan produksi getah tertinggi (271.2 g/pohon/3 hari) memiliki diameter cm, diikuti produksi g/pohon/3 hari dengan diameter 51 cm. Pohon dengan produksi rendah 72.9 g/pohon/3 hari memiliki diameter 42 cm dan pohon dengan produksi 60.7 g/pohon/3 hari, memiliki diameter 38 cm. Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa produksi getah pada KBS Cijambu meningkat seiring pertambahan diameter. Pohon dengan diameter besar memiliki riap tumbuh yang lebar, sehingga peluang untuk mendapatkan jumlah saluran resin di dalam pohon relatif lebih banyak dan jumlah getah yang tertampung juga akan semakin banyak (Coppen et al.1984). Keterkaitan antara diameter, riap tumbuh dan kondisi saluran resin akan dibahas pada Bab 4. Lebih lanjut Warren (1996) menyebutkan bahwa teknik pengaturan jarak tanam dan pemupukan dengan pupuk unsur karbon dapat dilakukan untuk meningkatkan diameter. Kegiatan pengaturan jarak tanam memungkinkan pohon untuk mendapatkan masukan cahaya matahari yang lebih besar untuk proses fotosintesis, sehingga akan menghasilkan fotosintat yang lebih banyak yang nantinya akan digunakan untuk pertumbuhan diameter. Penggunaan pupuk dengan kandungan utama karbon juga mampu memacu perkembangan struktural sel serta

36 21 proses fisiologis tumbuhan untuk memperoleh diameter yang lebar (Tuomi et al. 1988). KBS Cijambu memiliki jarak tanam 3m x 3m mampu menghasilkan getah yang lebih tinggi dibandingkan KBS lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jarak tanam 3 x 4 meter di KBS Cijambu telah sesuai untuk mendukung produksi getah. Produksi getah memiliki korelasi positif dengan kondisi tajuk. Hal tersebut terkait dengan bidang penyerapan cahaya untuk proses fotosintesis. Hasil pengukuran di KBS Cijambu menunjukkan, pohon dengan produksi getah tertinggi (271.2 g/pohon/3 hari) memiliki luas tajuk m 2, diikuti produksi g/pohon/3 hari dengan luas tajuk m 2. Pohon dengan produksi rendah 72.9 g/pohon/3 hari memiliki luas tajuk m 2 dan pohon dengan produksi 60.7 g/pohon/3 hari memiliki luas tajuk m 2. Hal ini dapat disimpulkan bahwa produksi getah meningkat seiring dengan luas tajuk. Lebih lanjut Panshin dan De Zeeuw (1980) menyebutkan bahwa pohon dengan hasil getah yang banyak dicirikan dengan lingkaran tahun yang lebar, tajuk rata atau penuh, berbentuk kerucut, dan memiliki tinggi tajuk yang berukuran setengah dari tinggi pohonnya. Tajuk yang besar memungkinkan pohon dapat menerima cahaya matahari yang lebih banyak dan aliran getah yang dihasilkan akan lebih lancar karena getah tidak menggumpal. Coppen dan Hone (1995) mengatakan bahwa pohon dengan tajuk besar relatif menerima cahaya lebih banyak dibandingkan dengan pohon bertajuk kecil. Pertumbuhan tajuk juga dapat ditingkatkan dengan teknik silvikultur yang sesuai. Kegiatan pengaturan jarak tanam dengan penjarangan dan pemangkasan cabang dapat diaplikasikan untuk tujuan memperoleh tajuk yang besar. Kegiatan penjarangan mampu meningkatkan pertumbuhan lebar dan panjang tajuk sehingga memperluas bidang fotosintesis, sedangkan pemangkasan cabang mampu mengurangi cabang-cabang tua yang kapasitas fotosintesisnya telah berkurang (Jhonson et al. 2009) dan mampu memacu pertumbuhan batang (Makinen 1999). Jumlah cabang berkorelasi negatif dengan produksi getah. Hasil pengukuran di KBS Cijambu menunjukkan pohon dengan produksi getah tertinggi (271.2 g/pohon/3 hari) memiliki jumlah cabang 28 buah, diikuti produksi g/pohon/3 hari dengan jumlah cabang 30 buah. Pohon dengan produksi rendah 72.9 g/pohon/3 hari memiliki jumlah cabang 50 buah dan pohon dengan produksi 60.7 g/pohon/3 hari memiliki jumlah cabang 55. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa produksi getah menurun seiring dengan peningkatan jumlah cabang. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Papajiannopoulos (2002) pada P.halepensis yang menemukan pohon dengan kanopi lebih terbuka (jumlah cabang lebih sedikit) mampu menghasilkan getah lebih tinggi, hal tersebut terkait dengan proses fotosintesis dan fisiologis lain yang berhubungan dengan akumulasi getah. Getah pinus dihasilkan oleh kelenjar resin yang berada di dalam xilem batang, adanya kanopi yang terbuka menyebabkan cahaya matahari yang mencapai batang akan lebih besar. Cahaya matahari yang mencapai batang mampu meningkatkan suhu batang sehingga memperlancar aliran getah akibat peningkatan penurunan viskositas getah. Hasil tersebut sesuai dengan Popp et al. (1991) pada P. taeda yang menemukan adanya peningkatan produksi getah akibat penurunan viskositas getah pada saat suhu batang yang tinggi. Pohon dengan cabang lebih sedikit, memiliki cabang yang lebih panjang sehingga memiliki luas bidang fotosintesis aktif yang lebih luas dibandingkan dengan pohon dengan

37 22 jumlah cabang lebih sedikit. Semakin luas bidang penyerapan fotosintesis, cahaya matahari yang terserap untuk proses fotosintesis akan lebih banyak, sehingga kapasitas fotosintesis lebih tinggi dan fotosintat yang dihasilkan akan semakin tinggi. Tebal kulit memiliki hubungan positif dengan produksi getah. Hasil pengukuran di KBS Cijambu menunjukkan pohon dengan produksi getah tertinggi (271.2 g/pohon/3 hari) memiliki tebal kulit 2 cm, diikuti produksi g/pohon/3 hari dengan tebal kulit 2 cm. Pohon dengan produksi rendah 72.9 g/pohon/3 hari memiliki tebal kulit 1.5 cm dan pohon dengan produksi 60.7 g/pohon/3 hari memiliki tebal kulit 1.5 cm. Hal ini dapat disimpulkan bahwa produksi getah meningkat seiring dengan penambahan ketebalan kulit. Walaupun belum ada referensi yang membahas secara khusus hubungan tersebut, namun diduga hal tersebut terkait dengan mekanisme perlindungan pohon terhadap gangguan mekanis dari luar seperti angin terhadap keutuhan saluran resin (resin duct). Lebih lanjut Niklas (1999) dan Peterson et al.(1991) menambahkan bahwa kulit kayu merupakan pelindung yang cukup sesuai untuk pohon dari stress akibat gangguan mekanis dan tekanan dari luar pohon dan biasanya meningkat seiring pertambahan diameter pohon. Clifton (1989) menduga adanya keterkaitan antara kulit kayu, angin dengan keberadaan kantong resin dalam kayu. Adanya kulit akan mengurangi kerusakan saluran resin akibat hembusan angin. Crown (1984) pada P. taeda menemukan adanya retak kayu horizontal yang mempengaruhi pembentukan kantong resin dan mengakibatkan terganggunya produksi getah. Dengan adanya perlindungan mekanis melalui keberadaan kulit yang tebal, kerusakan saluran resin akibat gangguan mekanis atau stress lingkungan dapat dikurangi. Adanya perlindungan terhadap kerusakan saluran resin oleh kulit, secara tidak langsung akan menjaga produksi getah pohon tersebut. Hasil penelitian di KBS Cijambu menemukan adanya hubungan produksi getah dengan diameter pohon, tebal kulit, luas tajuk dan jumlah cabang walaupun dengan tingkat keeratan sedang. Hasil tersebut juga sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya pada pinus lain di daerah temperate yang menemukan adanya hubungan antara produksi getah dengan karakter tinggi (Pswaray et al. 1996; Westbork 2011), karakter tajuk (Coppen dan Hone 1995; Tadesse et al.2001), jumlah cabang (Papajiannopoulos 2002) dan diameter batang (Zheng dan Xu 1992; Wang dan Zhu 1994). Korelasi sedang antara produksi getah dengan karakter pertumbuhan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Tadese et al. (2003) dengan nilai r:0.799; Kossuth (1984) dengan nilai r: 0.76 pada P. eliotii dan Roberds et al.(2003) pada P.taeda dengan nilai r:0.70. Keterkaitan antara karakter pertumbuhan dan produksi getah P. merkusii di KBS Cijambu menunjukkan keeratan yang rendah sesuai dengan penelitian sebelumnya pada jenis pinus P.taeda, P.sylvestris dan P.pinaster, hal tersebut disebabkan karena adanya pengaruh faktor genetika dalam menentukan karakter produksi getah. Proporsi pengaruh faktor genetika dalam menentukan karakter produksi getah akan dibahas lebih mendalam di Bab 3 mengenai morfogenetika kandidat bocor getah. Walaupun beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan faktor genetika lebih mempengaruhi karakter produksi getah, aplikasi teknik silvikultur yang tepat juga akan menjaga ekspresi genetika produksi getah. Hal tersebut sesuai dengan Namkoong (1980) yang menyatakan bahwa

38 23 pemeliharan tegakan juga sangat diperlukan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung ekspresi genetika suatu karakter. Pada penelitian ini teknik pengaturan jarak tanam untuk memperlebar diameter dan memperluas tajuk, serta teknik pemangkasan cabang untuk mengurangi cabang tidak produktif sangat direkomendasikan karena mendukung karakter produksi getah. Dalam meningkatkan produksi getah, tindakan teknik silvikultur intensif seperti pemupukan juga perlu dilakukan karena selama ini pohon pinus hanya diambil getahnya tetapi tidak pernah dipupuk. Beberapa jenis pupuk seperti triple superphoshate (TSP) (Knebel et al.2008) dan pupuk dengan kandungan N,P,K,Ca dan Mg (Warren et al. 1999) dapat digunakan untuk meningkatkan produksi getah. 2.4 Simpulan Struktur produksi getah di 3 KBS Perum Perhutani menunjukkan pola sebaran umumnya pada hutan tanaman dengan rata-rata produksi getah 85.9 g/pohon/3 hari. KBS Cijambu menghasilkan getah tertinggi (101.4 g/pohon/3 hari), diikuti oleh KBS Baturaden (88.72 g/pohon/3 hari) dan KBS Jember ( 64.4 g/pohon/3 hari). Hasil analisis struktur getah dan konsistensi perolehan getah menunjukkan KBS Cijambu memiliki kurva struktur produksi getah cenderung menjulur ke kanan, rata-rata produksi getah tertinggi, serta interval produksi getah yang lebar sehingga terpilih untuk penelitian karakterisasi kandidat bocor getah selanjutnya. Karakter produksi getah di KBS Cijambu berkorelasi positif dengan diameter pohon, tebal kulit dan luas tajuk, namun berkorelasi negatif dengan jumlah cabang. Untuk mendukung ekspresi produksi getah yang tercermin dari karakter-karakter pertumbuhan, teknik pengaturan jarak tanam melalui penjarangan dan pemangkasan cabang perlu dilakukan karena memacu keterbukaan kanopi untuk proses fotosintesis, pertumbuhan diameter dan pertumbuhan tajuk. Berdasarkan konsistensi perolehan getah dari famili yang sama di 3 KBS, ditemukan adanya hubungan antara kesesuaian lokasi penanaman dengan famili tertentu (interaksi GxE). Interaksi tersebut akan mempengaruhi strategi pengembangan yang dilakukan untuk famili pinus bocor getah yang terbaik. Famili-famili yang konsisten dalam menghasilkan getah di lokasi berbeda menunjukkan kemampuan adaptasi yang baik sehingga untuk strategi pengembangannya dapat dilakukan di beberapa lokasi sekaligus, sebaliknya famili-famili yang tidak konsisten dalam produksi getah pada lokasi berbeda menunjukkan famili tersebut hanya adaptif pada kondisi lokal setempat sehingga strategi pengembangannya hanya dapat dilakukan pada tempat tertentu.

39 24 3 MORFOGENETIKA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 3.1 Pendahuluan Hasil analisis struktur produksi getah dan struktur pertumbuhan pinus kandidat bocor getah di KBS Perum Perhutani (Bab 2) menunjukkan adanya interaksi genotipe dengan lingkungan KBS tertentu (interaksi GxE). Analisis morfogenetika diperlukan untuk mengetahui besaran proporsi antara faktor genetika dan faktor lingkungan dalam mempengaruhi karakter produksi getah. Namun informasi karakter morfogenetika yang berhubungan dengan produksi getah di KBS Cijambu sampai saat ini belum diperoleh, padahal informasi karakter morfogenetik penting untuk kegiatan karakterisasi dan pemuliaan pinus kandidat bocor getah dimasa mendatang. Informasi karakter morfogenetika kandidat bocor getah dapat diperoleh melalui serangkaian evaluasi fenotipik dan analisis genetika dengan bantuan penanda molekuler. Beberapa variabel genetika yang dapat digunakan sebagai acuan pertimbangan agar seleksi efektif dan efisien adalah keragaman genetika, heritabilitas, korelasi dan pengaruh dari karakter-karakter yang erat hubungannya dengan hasil pemuliaan yang diinginkan (Borojevic 1990; Falconer dan Mackay 1996). Adanya keragaman genetika mengindikasikan terdapatnya perbedaan nilai antar individu genotipe dalam populasi dan merupakan syarat keberhasilan seleksi terhadap karakter yang diinginkan. Nilai heritabilitas mampu menggambarkan efektivitas seleksi genotipe berdasarkan penampilan fenotipenya, sedangkan informasi korelasi antar karakter fenotipe diperlukan dalam seleksi tanaman, untuk mengetahui karakter yang dapat dijadikan petunjuk seleksi terhadap produktivitas getah yang tinggi (Tambarussi et al. 2010). Sebagai langkah lanjutan dari evaluasi fenotipik, kegiatan verifikasi dengan bantuan penanda molekuler juga dilakukan pada penelitian ini. Hal tersebut sebagai langkah antisipasi untuk mengatasi kelemahan evaluasi fenotipik yang cenderung terpengaruh oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan, sehingga sering tidak dapat membedakan antara genotipe yang diamati. Untuk mengatasi permasalahan tersebut penanda molekuler seperti RFLP, RAPD, AFLP dan mikrosatelit dapat digunakan. Penanda mikrosatelit dipilih pada penelitian ini karena merupakan kodominan marker, memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi, dan terdistribusi secara acak pada genom (Tautz 1989; Powell et al.1996; Lehman 1998) Penelitian mengenai evaluasi fenotipik P.merkusii pada awal pembangunan KBS yang dilakukan oleh Leksono (1996), pada P. pinaster (Tadesse et al. 2001) dan P.eliotii (Zhang et al.2010) menunjukkan bahwa karakter produksi getah memiliki heritabilitas tinggi, namun informasi di KBS Cijambu belum diperoleh, demikian juga dengan deteksi keragaman genetika dengan penanda mikrosatelit. Oleh karena itu, penelitian mengenai Morfogenetika Pinus merkusii kandidat bocor getah perlu dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai heritabilitas, keterkaitan karakter fenotipe terhadap produksi getah serta variasi genetika

40 25 melalui penanda mikrosatelit dalam rangka pengembangan kegiatan pemuliaan tanaman dimasa mendatang Bahan 3.2 Bahan dan Metode Bahan penelitian untuk evaluasi morfogenetik merupakan tanaman uji keturunan di KBS Cijambu tahun tanam dengan tujuan pemuliaan awal kelurusan batang dan pertumbuhan yang cepat. Pada awal pembangunan KBS desain yang digunakan adalah rancangan acak lengkap berblok (RCBD) dengan 5 tree line plot dan 10 blok sebagai ulangan. Setiap tahun dilakukan penanaman 200 famili yang diperoleh dari eksplorasi hutan tanaman di Jawa, namun seiring dengan kegiatan penjarangan seleksi tahap 1 dilakukan dengan fokus produksi getah. Hasil seleksi bertahap yang telah dilakukan sampai tahun 2002, tersisa 2 pohon setiap blok atau 100 famili/blok. Selanjutnya hasil uji keturunan tersebut diseleksi kembali dengan tujuan untuk memperoleh produksi getah yang tinggi. Pada saat dilakukan penelitian ini (2011) tersisa 1-2 pohon/blok yang masuk kategori kandidat bocor getah. Seleksi tahap 2 di lokasi yang sama dengan tujuan karakter produksi getah yang hanya menemukan 110 pohon plus yang memiliki produksi tinggi dari 6 tahapan penanaman uji keturunan ( ). Pada penelitian ini bahan pengujian untuk perhitungan nilai heritabilitas berasal dari 2 set tanaman uji keturunan (tahun 1982 dan tahun 1983) dengan pertimbangan kecukupan data dan kurva sebaran yang lebih lebar dibandingkan set uji keturunan tahun lainnya. Tanaman uji keturunan tahun 1982 memiliki 20 famili dengan 8 famili yang memiliki ulangan di blok yang berbeda, sedangkan tahun tanam 1983 memiliki memiliki 25 famili dengan 7 famili yang memiliki ulangan pada blok berbeda. Adapun identitas famili tahun tanam 1982 dan 1983 yang digunakan untuk penelitian disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Identitas famili untuk perhitungan nilai heritabilitas Tahun tanam 1982 Tahun tanam 1983 Famili Blok Produksi getah (g/pohon/ 3hari) Tinggi (m) Diameter (m) Famili Blok Produksi getah (g/pohon/ 3hari) Tinggi (m) Diameter (m) A I B J C K D L E M F N G O H

41 26 Untuk analisis DNA, sampel daun dan kayu dikumpulkan dari 70 pohon yang dibedakan menjadi pohon plus kelas produksi tinggi ( 150 g/pohon/3 hari) sebanyak 30 sampel, kelas produksi rendah ( 60 g/pohon/3 hari) sebanyak 30 sampel dan pohon normal ( 21 g/pohon/3 hari) sebanyak 10 sampel sebagai pembanding. Sampel yang mewakili kandidat bocor getah diambil dari KBS Cijambu Sumedang, sedangkan untuk produksi normal diambil dari Bogor. Sampel selanjutnya disimpan dalam kantong plastik tertutup yang telah diisi silica gel dan disimpan pada suhu ruangan hingga dilakukan kegiatan ekstraksi DNA. Kondisi lingkungan lokasi pengambilan sampel untuk analisis genetika disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Kondisi lingkungan di lokasi pengambilan sampel di KBS Cijambu dan Bogor Lokasi Sampel Posisi geografis Ketinggian (m dpl) Suhu ( o C) KBS Cijambu "S dan E Bogor 6 35'49"S dan106 46'51"E Pada penelitian ini digunakan 9 primer mikrosatelit yang terdiri dari 7 primer hasil pengembangan Nurtjahjaningsih et al. (2005) pada P.merkusii (pm01, pm04, pm05, pm07, pm08, pm09a, pm12) dan 2 primer dari P. densiflora (pde5) dan P.sylvestris (SPAC 11.6) yang dikembangkan oleh Soronzo et al. (1998). Primer SPAC 11.6 dan pde5 digunakan juga untuk mengetahui transferability serta polimorfismenya pada P. merkusii (Tabel 3.3). Tabel 3.3 Sembilan primer mikrosatelit untuk deteksi keragaman genetika Primer Motif Pengulangan sekuens Asesi GeneBank pm01 (TG) 12 F: AGAGAAGGCACGATTTTGTC AB R: TCCCACTAATCACTTTGAAAG pm04 (TG) 10 F: CTCTAAGTAGGACAAGGCCT AB R: CATAATCCAAGGAGTCAAGG pm05 (TG) 9 F: GAGTCTAATTGCAAACCCCA AB R: TGGAGATCTACCACTTTTTC pm07 (AC) 8 (AT) 4 F: GAATCTAAGCATATGAAATGAG AB R: CTTGTTAATGCTACTAGTTATG pm08 (AT) 2 (GT) 1 F: GCTTCAATCTATTGACCCCAT AB R: AAAGGGGCAGCTGCTACAACCAATGG pm09a (AT) 5 (GT) 18 (AT) 2 F: CCTTCTCATTTCGATATGCAC AB R: ATTAAAGGTTATATGGGGCT pm12 (GT) 5 CT(GT) 5 (AT) 5 F: GAACAATCATTGCGGGTCCCG AB R: ATGCTGCGTTTATATGTATAAGTGTC Pde5 (CA) 5 C(CA) 51 F: AACGCACCTTTCTCAATGCAC ABO38258 R: ATAAAGAGGCTACATGGTCCC SPAC 11.6 (CA) 29 (TA) 7 F: CTTCACAGGACTGATGTTCA R: TTACAGCGGTTGGTAAATG AJ223767

42 Metode Evaluasi fenotipik Sifat yang diamati pada evaluasi fenotik meliputi produksi getah dan 14 karakter kuantitatif yang diduga terkait dengan produksi getah meliputi karakter tinggi (tinggi total dan tinggi bebas cabang), karakter tajuk (rasio diameter cabang pembentuk tajuk, panjang tajuk, lebar tajuk, jumlah cabang pembentuk tajuk, sudut cabang pertama), karakter batang (diameter batang, rasio diameter cabang dan batang, volume total, volume bebas cabang, kelurusan batang) dan karakter kulit batang (tebal kulit dan kekasaran kulit). Teknik pengukuran untuk 14 karakter fenotipik tersebut mengikuti prosedur yang dilakukan oleh penelitian lain pada pohon-pohon kehutanan Bacilieri et al. (1995); Cantini et al. (1999); Kremer et al. (2002); Ginwal et al. (2004); Weber dan Montes (2005); Baliuckas et al. (2005); dan Devagiri et al. (2007). Data mengenai karakter fenotipik selanjutnya dianalisis untuk memperoleh informasi mengenai keragaman genetika, heritabilitas dan korelasi, serta komponen karakter yang memiliki keterkaitan dengan produksi getah dengan bantuan software statistik. Analisis data Perhitungan nilai heritabilitas dan variasi genetika Nilai heritabilitas menggambarkan besaran proporsi antara varians genetika maupun varians lingkungan dalam menentukan suatu karakter. Pada penelitian di KBS Cijambu variabilitas diduga dengan menggunakan analisis komponen varians menurut Steel dan Torrie (1995) sedangkan untuk pendugaan heritabilitas dilakukan melalui pendekatan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability). Pemilihan pendekatan heritabilitas dalam arti sempit karena fokus penelitian hanya pada satu lokasi (KBS Cijambu) dengan asumsi kondisi lingkungannya homogen. Pertimbangan lain, pendekatan ini digunakan oleh hampir semua pemulia pohon (Cornelius 1994) karena sesuai untuk kondisi kebun benih semai (White et al. 2007) serta sesuai untuk tujuan pemuliaan pohon untuk peningkatan daya gabung umum dengan pendekatan varians aditif (Zobel dan Talbert 1984). Variabilitas diduga dengan menggunakan analisis komponen varians menurut Steel dan Torrie (1995). Varians fenotipe, varians genotipe dapat dihitung berdasarkan : δ 2 f = (M2-M3)/r, δ 2 e = M3, δ 2 b = M1-M3/r dimana: M1: kuadrat tengah blok; M2 = kuadrat tengah genotip; M3 = kuadrat tengah galat (Tabel 3.4). Tabel 3.4 Analisis varians dan harapan kuadrat tengah dari single tree plot design untuk suatu karakter Sumber keragaman Derajat bebas Kuadrat tengah F-Hitung Harapan Kuadrat Tengah (EKT) Blok (r ) r-1 M1 M1/M3 δ 2 e + r (δ 2 b) Famili (g) g-1 M2 M2/M3 δ 2 e + r (δ 2 g) Galat (r-1)(g-1) M3 - δ 2 e Total rg-1

43 28 Analisis data untuk perhitungan parameter genetika dengan kondisi tegakan seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya, dilakukan dengan pendekatan single tree plot. Adapun model linear untuk pengamatan individu pohon dengan pendekatan single tree plot (Isik 2008) pada setiap tanaman uji keturunan adalah sebagai berikut: Y ijk : µ+ B i + F j +e ijk Keterangan: Y ijk : pengamatan individu pohon ke-k pada blok ke-i dan famili ke-j; µ:rerata umum; B i: pengaruh blok ke-i; F j : pengaruh famili ke-j;galat acak pada Y ijk. Hanya 2 ulangan yang digunakan pada penelitian. Pada penelitian ini, pendugaan nilai heritabilitas dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama dengan menggabungkan famili-famili tahun tanam 1982 dan 1983, dengan asumsi perubahan produksi getah dan karakter pertumbuhan pada kurun waktu 1 tahun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pendekatan kedua dengan membuat set masing-masing tahun tanam dengan asumsi terjadi perubahan produksi getah dan karakter pertumbuhan dengan perbedaaan 1 tahun penanaman. Heritabilitas dalam arti sempit untuk satu lokasi diduga menggunakan analisis komponen varians dan dihitung berdasarkan rumus Wright (1976); Zobel dan Talbert (1984); Falconer dan Mackay (1996); White et al. (2007); Leksono (1996) dan Hardiyanto (1996). Tanaman hasil uji keturunan dari masing-masing famili diasumsikan merupakan hasil half sib sehingga pendugaan nilai heritabilitas dan standar deviasinya mengikuti rumus untuk pendugaan heritabilitas satu lokasi: Heritabilitas famili : h 2 f : σ 2 f/ (σ 2 f + σ 2 b/nb+ σ 2 e), dengan S.E. h 2 f : (S.E σ 2 f)/ (σ 2 f + σ 2 b/nb+ σ 2 e), Heritabilitas individu: h 2 : 4δ 2 f/ (σ 2 f+ σ 2 b+ σ 2 e), dengan S.E. h 2 : (4S.E σ 2 f)/ ( δ 2 f+ σ 2 b+ σ 2 e), Keterangan: h 2 f:heritabilitas famili; h 2 :heritabilitas individu; σ 2 f:komponen ragam famili; σ 2 b: komponen ragam blok; σ 2 e: komponen ragam galat. Kriteria nilai heritabilitas (h 2 ) menurut Cotteril dan Dean (1990), yaitu: tinggi jika h 2 > 0.50, sedang jika 0.20 h dan rendah jika h 2 < Standar deviasi komponen ragam famili (S.E δ 2 ) dihitung menurut metode Anderson dan Bancroft (1952) dalam Hardiyanto (1996): S.E σ 2 f: [2/k 2 i (MS i ) 2 / (df i +2)] 0.5 Koefisien variasi genetika (KVG) dihitung menurut rumus Cornelius (1994) dengan kriteria nilai : tinggi (KVG 14.5%), sedang (5% KVG < 14.5%) dan rendah (KVG < 5%). Koefisien korelasi sederhana digunakan untuk melihat keeratan antara karakter pertumbuhan dengan produksi getah

44 29 2 Gx KVG = x100% x Korelasi fenotipik dan genetik antar karakter produksi getah Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program MS Excel, SPSS versi 17 (SPSS inc 2007) untuk mendapatkan nilai rata-rata dan nilai tengah peubah pengamatan masing pohon. Selanjutnya dilakukan uji korelasi fenotipik dan genetik antar masing-masing karakter mengikuti rumus Singh dan Chaudary (1977): Cov P Cov ( xy) G ( xy) r P(xy) = dan r G.(xy) = px py Hasil pengujian nilai KVG, heritabilitas dan korelasi pada tahap evaluasi fenotipik, selanjutnya diverifikasi melalui analisis genetika dengan bantuan penanda molekuler mikrosatelit Gx Gy Variasi genetika dengan penanda mikrosatelit Kegiatan ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Murray dan Thompson 1980) terhadap 70 sampel daun dan kayu yang telah dikumpulkan. Proses amplifikasi dilakukan dengan mesin PCR Thermal cycler (PTC-100) terhadap 13.5 ml campuran (2 µl template DNA, 2 µl nuclease free water, 7.5 green go taq dan 2 µl primer) dan dikondisikan pada suhu 95 0 C selama 2 menit (predenaturasi), 95 0 C selama 1 menit (denaturasi), 2 menit dengan suhu sesuai petunjuk primer (annealing), dan suhu 72 0 C selama 5 menit (extension dan final extension). Hasil PCR diamati dengan menggunakan gel poliakrilamid 1% yang telah diwarnai dengan perak nitrat, selanjutnya didokumentasikan dan discoring berdasarkan pola pita yang terbentuk. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan software POPGENE versi 1.31 (Yeh et al.1997), NTSYS 2.02 (Rohlf 1998) dan GenAlex 6.3 (Peakall dan Smouse 2006) untuk menduga beberapa variabel keragaman genetika meliputi persentase lokus polimorfik (PLP), jumlah alel yang teramati (na), jumlah alel efektif (ne), heterozigositas harapan (He). Analisis komponen utama (PCA) dan analysis of molecular variance (AMOVA) juga dilakukan untuk menduga pola penyebarannya. Selain itu digunakan juga software Treeview versi 32 dan Population versi serta Structure versi 2.23 (Pritchard 2000) untuk melihat pola pengelompokan individu bocor getah.

45 Hasil dan Pembahasan Sejarah pembangunan Kebun Benih Semai (KBS) P. merkusii di Cijambu, Sumedang Kebun Benih Semai (KBS) Cijambu merupakan kebun benih kombinasi uji keturunan (half-sib) dengan kriteria pohon yang memiliki batang lurus dan pertumbuhannya cepat. Pembangunan KBS Cijambu dilakukan secara bertahap ( ) bersama-sama dengan KBS Baturaden dan Sempolan. Pekerjaan ini diawali dengan pencarian pohon-pohon plus (batang lurus tinggi) dari hutan tanaman di Jawa, hutan alam di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Namun dalam pelaksanaannya benih-benih dari hutan alam tidak dapat diperoleh, sehingga pencarian pohon plus difokuskan pada hutan tanaman di Jawa. Hasil eksplorasi pohon induk selama 5 tahun di hutan tanaman menemukan 1000 famili untuk selanjutnya digunakan sebagai materi penanaman. Desain yang dipilih untuk penanaman adalah rancangan acak lengkap berblok (RCBD) terdiri dari 5 tree plot, dalam 10 blok dan setiap tahunnnya ditanam 200 famili. Setelah sudah mulai berbuah 100 famili yang jelek dan satu pohon terjelek dari setiap 5 tree plot selanjutnya ditebang sehingga tertinggal 400 pohon/blok. Pada umur 10 tahun dikurangi 50 famili terjelek dan satu pohon terjelek dari setiap plot sehingga tertinggal 150 pohon/blok. Pada umur 15 tahun dilakukan penjarangan lanjutan dan setiap famili hanya diwakili oleh 2 pohon, sehingga dijumpai 100 pohon/blok dan masih dipelihara dengan baik sampai saat ini. Seleksi dengan tujuan produksi getah dilakukan pada KBS Cijambu selama kurun waktu 2002 sampai 2009 dengan tujuan memperoleh pohon plus dengan karakter produksi getah yang tinggi (kandidat bocor getah). Hasil seleksi tersebut menemukan 110 pohon plus kandidat bocor getah yang tersebar dalam 10 blok dan 6 tahapan penanaman, namun informasi mengenai karakter morfogenetika berupa variasi genetika dan heritabilitas kandidat bocor yang dihasilkan dari seleksi tahap 2 di KBS Cijambu sampai saat ini belum diperoleh. Berdasarkan permasalahan tersebut dilakukan kajian informasi morfogenetika melalui pendekatan evaluasi fenotipik dan analisis genetika dengan penanda molekuler Varisi genetika dan heritabilitas pinus kandidat bocor getah berdasarkan hasil evaluasi fenotipik Penampilan fenotipik suatu karakter tanaman adalah merupakan hasil total dari faktor genetika, faktor lingkungan, dan interaksi antara faktor genetika dengan faktor lingkungannya (Falconer dan Mackay 1996). Pada penelitian ini besaran pengaruh faktor lingkungan dan genetika tersebut dikuantifikasi dengan menggunakan model perhitungan statistik ragam melalui pendugaan nilai koefisien variasi genetika (KVG) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability). Hasil pendugaan nilai-nilai tersebut disajikan pada sub bab variasi genetika dan heritabilitas.

46 Variasi genetika Nilai koefisien keragaman genetika mampu menggambarkan pengaruh faktor genetika maupun faktor lingkungan dalam menentukan suatu karakter. Pengetahuan mengenai variasi genetika karakter pertumbuhan diperlukan dalam kegiatan pemuliaan pohon karena menentukan strategi seleksi dan strategi perbanyakan yang akan dikembangkan. Berdasarkan klasifikasi Cornelius (1994) pada Tabel 3.5, variasi genetika di KBS Cijambu memperlihatkan nilai yang beragam dengan total kontribusi karakter antara 2.8% (karakter sudut cabang pertama tajuk) sampai kisaran 28.43% (karakter produksi getah). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa tidak semua karakter pertumbuhan di KBS Cijambu dipengaruhi oleh faktor genetika. Karakter tingkat keparahan serangan hama-penyakit dan produksi getah, memiliki nilai KVG tinggi berdasarkan klasifikasi Cornelius (1994) (KVG 14.5%). Karakter diameter, tebal kulit, jumlah cabang, panjang tajuk, lebar tajuk, sudut percabangan set 2, volume bebas cabang dan volume total memiliki nilai KVG sedang (5% KVG < 14.5%), sedangkan karakter tinggi total, tinggi bebas cabang dan sudut cabang pada set 2 memiliki nilai KVG rendah (KVG < 5%). Berdasarkan perhitungan nilai KVG menunjukkan variasi genetika tinggi diperoleh pada karakter tingkat keparahan serangan hama-penyakit ( %), diikuti produksi getah ( %). Nilai KVG tinggi menandakan bahwa karakter-karakter tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor genetika. Nilai KVG yang tinggi untuk karakter produksi getah juga telah diperoleh Roberds et al. (2003) di kebun benih P. taeda (KVG:13.7%). Nilai KVG yang tinggi untuk tingkat keparahan serangan hama penyakit juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bastein dan Alia (2000) pada P. sylvestris (KVG:26.8%) untuk serangan Hylobius abietis. Dengan demikian pada kegiatan pemuliaan pinus dengan tujuan produksi getah, kedua karakter tersebut (karakter produksi getah dan tingkat serangan hama penyakit) cukup penting untuk dipelajari karena sangat dipengaruhi oleh faktor genetika. Keterkaitan antara produksi getah dengan tingkat keparahan serangan hama dan penyakit ditemukan pada sebagian besar konifer. Beberapa penelitian sebelumnya pada pinus di daerah temperate (Kleinhentz et al. 1998; Blada 2000; Kim et al. 2003; Rafael et al. 2005) menyimpulkan serangan hama dan penyakit menyebabkan terjadinya penurunan produksi getah yang cukup signifikan, oleh karena itu studi mendalam mengenai jenis serangan dan pengaruhnya terhadap produksi getah juga telah dilakukan. Hasil yang sama juga diperoleh Raffa dan Berryman (1982) yang menemukan tingkat serangan hama dan penyakit berhubungan erat dengan kuantitas produksi getah yang dihasilkan oleh pohon. Namun studi secara spesifik mengenai hubungan tingkat serangan hama dan penyakit dengan produksi getah P.merkusii sampai saat ini belum diperoleh. Hasil penelitian pada KBS Cijambu menunjukkan, karakter produksi getah dan tingkat serangan hama dan penyakit memiliki KVG yang tinggi, hal tersebut mengindikasikan kegiatan seleksi pohon dengan fokus produksi getah, dapat dilakukan secara beriringan dengan ketahanan terhadap serangan hama penyakit karena keduanya dipengaruhi oleh faktor genetik dan terkait satu dengan lainnya.

47 32 Tabel 3.5 Nilai ragam famili (σ 2 f), ragam blok (σ 2 b), ragam galat (σ 2 e) koefisien variasi genetika (KVG), heritabilitas famili (h 2 f) dan individu (h 2 ) beberapa sifat penting pada pinus kandidat bocor getah Karakter σ 2 f σ 2 b σ 2 e KVG h 2 f SE h 2 SE (%) Umur 29 dan 30 tahun Produksi getah (g/3 hari) Tinggi total (m) Tinggi bebas cabang Diameter (m) Tebal kulit (cm) Jumlah cabang Panjang tajuk (m) Lebar tajuk (m) Sudut cabang pertama tajuk Volume bebas cabang (m 3 ) Volume total (m 3 ) Keparahan serangan hama dan penyakit Set 1 (umur 29 tahun) Produksi getah (g/3 hari) Tinggi total (m) Tinggi bebas cabang Diameter (m) Tebal kulit (cm) Jumlah cabang Panjang tajuk (m) Lebar tajuk (m) Sudut cabang pertama tajuk Volume bebas cabang (m 3 ) Volume total (m 3 ) Keparahan serangan hama dan penyakit Set 2 (umur 30 tahun) Produksi getah (g/3 hari) Tinggi total (m) Tinggi bebas cabang Diameter (m) Tebal kulit (cm) Jumlah cabang Panjang tajuk (m) Lebar tajuk (m) Sudut cabang pertama tajuk Volume bebas cabang (m 3 ) Volume total (m 3 ) Keparahan serangan hama dan penyakit

48 33 Nilai KVG untuk karakter tinggi total pohon, lebar tajuk dan panjang tajuk, jumlah cabang pembentuk tajuk masuk dalam kriteria rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor lingkungan lebih berpengaruh terhadap fenotipe karakter-karakter tersebut Heritabilitas Nilai heritabilitas (h 2 dan h 2 f) menggambarkan proporsi faktor genetika dan faktor lingkungan dalam menentukan suatu karakter. Nilai heritabilitas memiliki kisaran nilai 0-1. Nilai 0 mengindikasikan bahwa karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedang nilai 1 mengindikasikan bahwa karakter tersebut hanya dipengaruhi oleh faktor genetika. Nilai-nilai tersebut sangat penting bagi pemulia tanaman dalam menentukan strategi seleksi maupun strategi perbanyakan yang akan dilakukan agar perolehan genetikanya tetap stabil. Hasil pendugaan nilai heritabilitas famili dan individu pada tanaman uji keturunan menunjukkan karakter produksi getah memiliki heritabilitas tinggi (h 2 f: ) dan h 2 :( ), keparahan serangan hama penyakit juga menunjukkan nilai tinggi (h 2 f: dan h 2 : ). Karakter diameter batang, tebal kulit, panjang tajuk, lebar tajuk, jumlah cabang pembentuk tajuk, sudut cabang pertama, volume pohon, dan volume batang) memiliki nilai heritabilitas individu pada kisaran rendah sampai sedang (Tabel 3.5). Hasil perhitungan untuk nilai heritabilitas karakter produksi getah menunjukkan nilai yang cukup tinggi ( ). Leksono (1996) melakukan penelitian serupa di KBS Cijambu dan Sempolan pada umur tanaman 12 tahun dan menemukan nilai heritabilitas untuk produksi getah sebesar Hasil tersebut lebih tinggi dari penelitian Zhang et al. (2010) pada P.eliotii (0.37), Tadesse et al. (2001) pada P. pinaster (0.5) dan Roberds et al (2003) pada P. taeda ( ), demikian juga untuk karakter diameter batang, kekokohan batang dan kualitas cabang. Nilai heritabilitas pada penelitian ini lebih tinggi dari penelitian awal yang dilakukan pada saat umur pohon 12 tahun, hal tersebut disebabkan karena sampel pohon yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil seleksi yang difokuskan untuk tujuan produksi getah. Untuk nilai heritabilitas yang tinggi pada karakter produksi getah, Wenger (1984); Birk dan Kanowski (1988); Burczyk et al. (1998); Kossuth (1984); Mergen et al. (1955); Gill (1998) menyatakan bahwa sifat tersebut dikendalikan oleh gen. Hal ini menandakan bahwa untuk pemuliaan sifat tersebut kegiatan seleksi akan memberikan perolehan genetika yang tinggi tanpa dipengaruhi oleh interaksi faktor lain. Besaran nilai karakter tinggi pohon, diameter di KBS Cijambu sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hardiyanto (1996) dengan tujuan untuk memperoleh karakter batang yang bagus dan Leksono (1996) untuk tujuan produksi getah pada umur 12 tahun (h 2 f: 0.40 dan h 2 f: 0.43). Demikian juga untuk karakter percabangan (jumlah cabang dan sudut percabangan) di KBS Cijambu pada set 1 tergolong rendah (0.12 dan 0.07), namun pada set 2 masuk dalam kategori tinggi (0.44 dan 0.71). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya pada P.sylvestris h 2 f: 0.24 (Kowalchzyk

49 ); h 2 f: 0.23 dan pada P. taeda (Dean et al. 1986). Karakter percabangan menjadi salah satu variabel dalam evaluasi program pemuliaan pinus dengan fokus utama kayu karena terkait dengan kualitas kayu yang dihasilkan (Jhonson et al. 2009). Hasil pendugaan nilai KVG dan heritabilitas di KBS Cijambu menunjukkan karakter produksi getah memiliki nilai KVG dan heritabilitas yang tinggi, hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor genetika lebih dominan mempengaruhi karakter tersebut. Berdasarkan perolehan nilai KVG dan heritabilitas, kegiatan pemuliaan untuk karakter produksi getah dapat diawali dengan melakukan kegiatan seleksi untuk memperoleh individu-individu dengan perolehan getah tinggi. Kegiatan seleksi yang direkomendasikan untuk karakterkarakter dengan nilai variasi genetika tinggi dan heritabilitas tinggi adalah melalui seleksi massa. Hal tersebut sesuai dengan Tadesse et al. (2001) yang mengemukakan jika suatu populasi memiliki nilai heritabilitas tinggi untuk suatu karakter maka seleksi massa/seleksi fenotipik akan lebih efisien dalam memperbaiki karakter tersebut. Seleksi massa merupakan kegiatan seleksi yang didasarkan keragaan fenotipik individu pohon tanpa memperhatikan informasi tentang kinerja induk, keturunan atau kerabatnya. Lebih lanjut White et al. (2007) mengatakan kegiatan seleksi massa merupakan satu-satunya teknik seleksi yang sesuai untuk diaplikasikan pada awal kegiatan pemuliaan pohon dan berguna untuk sifat-sifat dengan heritabilitas tinggi karena fenotipe yang ada merupakan cerminan yang baik dari genotipenya. Berdasarkan struktur produksi getah dan pertumbuhan kandidat bocor getah (telah dibahas pada Bab 2), kondisi lingkungan di 3 KBS Perum Perhutani memiliki karakteristik kondisi lingkungan yang berbeda. Hasil studi pada Bab 2, menunjukkan adanya kesesuaian antara famili tertentu dengan lingkungan tertentu yang ditunjukkan dengan ketidakkonsistenan perolehan getah dari famili yang sama ketika ditanam di KBS yang berbeda. Ketidakkonsistenan perolehan getah dari famili yang sama di KBS berbeda dapat disebabkan karena sumber benih untuk materi penanaman berasal dari half sib, namun demikian kondisi lingkungan juga mempengaruhi cerminan genetik individu tersebut. Melalui pertimbangan tersebut seleksi secara famili akan sulit untuk dilakukan karena adanya kesesuaian famili tertentu dengan lokasi tertentu. Seleksi massa/seleksi fenotipe dapat mengatasi kelemahan interaksi GxE karena didasarkan pada keragaan fenotipe secara individual, sehingga individu kandidat bocor getah yang dihasilkan merupakan cerminan dari famili-famili yang adaptif di setiap KBS. Selain informasi mengenai strategi seleksi, perolehan nilai KVG dan heritabilitas juga terkait dengan strategi perbanyakan yang akan dilakukan. Jika suatu karakter memiliki nilai heritabilitas tinggi, maka strategi perbanyakan melalui pembiakan generatif mampu memberikan kontribusi terhadap ketersediaan bibit dengan karakter target, sebaliknya jika karakter tersebut memiliki nilai yang rendah maka perbanyakan secara vegetatif sangat penting untuk menjaga stabilitas bibit yang akan diperoleh. Hasil penelitian ini menemukan nilai heritabilitas yang tinggi untuk karakter produksi getah, sehingga untuk pengembangannya dapat dilakukan melalui pembiakan generatif dari benih bocor getah famili yang adaptif di setiap KBS. Namun demikian cara tersebut terkendala karena penanaman uji keturunan untuk bocor getah baru dibangun pada tahun 2007 sehingga baru mampu menghasilkan materi generatif pada 2017.

50 35 Berdasarkan kecukupan pemenuhan kebutuhan bibit bocor getah dalam jangka pendek, maka perbanyakan secara vegetatif mampu mengatasi permasalahan tersebut. Bahasan mengenai strategi perbanyakan vegetatif kandidat bocor getah disajikan pada Bab 5. Hasil penelitian ini juga memberikan informasi bahwa kegiatan seleksi yang dilakukan oleh Perum Perhutani dengan tujuan awal produksi kayu, juga mampu menghasilkan produksi getah tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan kekonsistenan nilai heritabilitas hasil penelitian leksono (1996) sebesar 0.69 pada umur tanaman 12 tahun, dengan hasil penelitian yang dilakukan pada umur tanaman 30 tahun (h 2 : ). Meskipun memiliki nilai yang relatif stabil, kegiatan pemeliharan (pemangkasan cabang, penjarangan, pembersihan tumbuhan bawah dan pemupukan ) masih tetap harus dilaksanakan untuk menjaga ekspresi genetika dari karakter target. Hal tersebut terkait dengan pernyataan Wright (1976) bahwa kondisi lingkungan yang kurang mendukung mampu merubah nilai heritabilitas suatu karakter ke arah yang kurang baik. Perubahan nilai heritabilitas di KBS Cijambu dijumpai pada beberapa karakter yang diamati pada penelitian ini. Hal tersebut dapat disebabkan karena kondisi lingkungan yang kurang mendukung sehingga menyebabkan perubahan heritabilitas karakter suatu pohon sebanyak atau lebih besar daripada perubahan di susunan genetikanya. Lebih lanjut Namkoong et al. (1980) dan Franklin et al.(1979) menyebutkan perubahan nilai heritabilitas juga dapat disebabkan oleh perubahan umur dan perbedaaan fase pertumbuhan. Perubahan nilai heritabilitas karakter pertumbuhan seperti tinggi, diameter dan ketebalan kulit selain disebabkan adanya perubahan umur dan fase pertumbuhan kemungkinan juga dipengaruhi oleh adanya praktek silvikultur seperti penjarangan dan praktek pengelolaan lainnya. Keterkaitan antara praktek silvikultur dengan perubahan nilai heritabilitas karakter pertumbuhan juga ditemukan pada P. taeda (Gwaze et al. 1997; Lopez-Upton et al. 1999). Pada penelitian ini juga dijumpai sedikit perbedaan nilai KVG dan heritabilitas beberapa karakter dengan 2 pendekatan yang berbeda. Pendekatan set tahun tanam pada penelitian ini lebih sesuai digunakan karena KBS Cijambu merupakan kebun benih yang ditanam secara bertahap dengan asal famili yang berbeda-beda dan kondisi tiap blok tahun tanaman yang relatif beragam. Meskipun memiliki sedikit perbedaan nilai KVG dan heritabilitas yang dihasilkan dari dua pendekatan tersebut, secara umum memiliki trend yang sama dan dapat disimpulkan bahwa nilai KVG dan heritabilitas untuk produksi getah di KBS Cijambu cukup tinggi, yang mengindikasikan faktor genetik lebih dominan menentukan karakter produksi getah. Selanjutnya, sebagai verifikasi hasil evaluasi fenotipik tersebut, dilakukan pengujian dengan menggunakan bantuan penanda molekuler mikrosatelit.

51 Variasi genetika kandidat bocor getah dengan penanda mikrosatelit Hasil evaluasi fenotipik terhadap kandidat bocor getah, memperlihatkan nilai KVG dan heritabilitas yang tinggi untuk karakter produksi getah yang mengindikasikan sifat produksi getah lebih dipengaruhi oleh faktor genetika. Sebagai langkah verifikasi terhadap hasil evaluasi fenotipik, selanjutnya dilakukan analisis secara genetika menggunakan penanda molekuler mikrosatelit Deskripsi DNA electropherogram Penggunaan primer mikrosatelit pada konifer pertama kali dilakukan pada P.radiata (Smith dan Devey 1994). Dibandingkan dengan gymnospermae, transfer mikrosatelit pada jenis pinus relatif lebih sulit (Diapari 2006; Scott et al dan Auckland 2002). Sebagai contoh pada P.taeda hanya sekitar 60% saja loci mikrosatelit yang teramplifikasi dengan pola polimorfik (Devey et al. 1999; Kutil dan William 2001). Hasil amplifikasi dengan menggunakan penanda mikrosatelit memperlihatkan semua primer yang digunakan memiliki kemampuan untuk mengamplifikasi pita DNA dengan baik. Terdapat 7 primer (pm01, pm05, pm07, pm09a, pm12, Pde5 dan SPAC 11.6) dengan kemampuan amplifikasi pita dengan pola polimorfik, dan 2 primer (pm04 dan pm08) dengan kemampuan amplifikasi namun dengan pola monomorfik (Gambar 3.1a). Kemampuan amplifikasi primer mikrosatelit untuk amplifikasi DNA telah teruji pada penelitian sebelumnya oleh Li et al. (2002); Lagercrantz et al. (1993); Wang et al. (1994) dan Vendramin dan Hansen (2005). Hasil amplifikasi menggunakan primer Pm09a ditunjukkan pada Gambar 3.1b. a Pm07 Pm09 Pm05 Pm01 Pde5 SPAC 300 bp 200 bp 100 bp b normal BG rendah BG tinggi 100 bp Gambar 3.1 Pola amplifikasi 6 primer yang diuji (a) dan amplifikasi dengan primer pm09a (b)

52 37 Berdasarkan Gambar 3.1a terlihat bahwa primer mikrosatelit yang digunakan pada penelitian memiliki alel dengan perkiraan panjang fragmen antara bp. Pm01 memiliki ukuran fragmen ( bp), pm05 ( bp), pm07 ( bp), pm09 (81-99 bp, pde5 ( bp) dan Spac 11.6 ( bp). Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer-primer mikrosatelit tersebut menunjukkan pola yang berbeda antara individu bocor getah dan normal. Amplifikasi dengan menggunakan primer pm09 memperlihatkan kandidat bocor getah tinggi dan rendah memiliki pola amplifikasi alel yang berbeda dengan pinus normal. Alel dengan perkiraan panjang alel 85 bp, 88 bp, 95 bp dan 99 bp dapat dijumpai pada kandidat bocor getah tinggi dan rendah, sedangkan pada pinus normal tidak dijumpai adanya alel 88 (Gambar 3.1b). Hasil amplifikasi dengan keenam primer lain (pm01, pm05, pm07, pm12, pde5 dan Spac 11.6) selanjutnya dianalisis untuk melihat struktur alelik dari masing-masing populasi produksi Struktur alelik kandidat bocor getah Hasil DNA elektropherogram (Gambar 3.1) selanjutnya dianalisis untuk memastikan panjang fragmen (bp) pita hasil amplifikasi. Hasil amplifikasi tersebut selanjutnya discoring dan dianalisis dengan bantuan software Genalex untuk mengetahui struktur alel pada ketiga populasi produksi. Hasil perhitungan struktur alel yang diperoleh menunjukkan jumlah alel keseluruhan populasi berkisar antara 3-5 alel (Tabel 3.6) Tabel 3.6 Jumlah lokus dan perkiraan panjang fragment No Lokus Alel Dugaan panjang fragment (bp) 1 Pm Pm Pm Pm09a Pm Pde Spac Jumlah alel sebanyak 4 buah dapat ditemukan pada lokus pm09, Pde5 dan SPAC 11.6, sedangkan pada lokus pm01, pm05, pm07 dan pm12 hanya dijumpai

53 38 3 alel. Jumlah alel tersebut sedikit berbeda dengan penelitian Nurtjahjaningsih et al. (2005) karena pada lokus pm07 hanya ditemukan 3 alel (referensi sebelumnya:5 alel) dan pada lokus pm09a hanya ditemukan 4 alel (referensi sebelumnya:6 alel). Nilai frekuensi alel tertinggi dijumpai pada lokus pm05 alel 108 kandidat bocor getah tinggi dan lokus pm07 alel 232 populasi pinus normal (0.700). Frekuensi alel terendah dijumpai pada lokus pm01 alel 117 kandidat bocor getah tinggi dan bocor getah rendah (0.000) serta lokus pm05 alel 118 dan lokus pm09 alel 88 pada pinus normal. Pada semua lokus mikrosatelit frekuensi alel dari masing-masing kelas produksi getah cukup beragam, sehingga memberikan peluang cukup besar untuk melakukan kegiatan seleksi untuk memperoleh karakter bocor getah di dalam populasi (Tabel 3.7). Tabel 3.7 Frekuensi alel kandidat bocor getah dan normal berdasarkan 7 primer mikrosatelit dalam populasi bocor getah tinggi, bocor getah rendah dan normal Bocor getah tinggi Bocor getah rendah Jumlah sampel (n) 30 (30) (10) Lokus Panjang fragmen (bp) Jumlah Alel Alel Frekuensi alel Normal pm pm pm pm09a pm Pde Spac Perbedaan jumlah lokus dan panjang fragmen dapat disebabkan karena terjadinya proses seleksi maupun mutasi serta perbedaan lokasi pengambilan sampel. Pada lokus pm01 dijumpai 1 alel (117) pada pinus normal, namun tidak dijumpai pada kandidat bocor getah. Pada lokus pm05, alel 118 hanya dijumpai pada kandidat bocor getah tinggi, namun pada kandidat bocor getah rendah dan normal alel tersebut tidak dijumpai. Pada lokus pm09, alel 88 dijumpai pada bocor getah namun tidak ada pada pinus normal demikian juga alel 132 pada pm12 (Tabel 3.8). Dijumpai juga adanya 1 private alel pada bocor getah tinggi dan1

54 39 private alel pada produksi normal, kemungkinan hal tersebut menjadi salah satu pembeda antara kandidat bocor getah dan normal. Tabel 3.8 Hasil amplifikasi kandidat bocor getah dan normal berdasarkan 7 primer mikrosatelit Alel Dugaan panjang fragmen (bp) Lokus Repeat pm01 (TG) N pm05 (TG) T pm07 (AC) 8 (AT) pm09a (AT) 5 (GT) 18 (AT) 2 + T R + + _ pm12 (GT) 5CT (GT) 5(AT) 5 _ + + T R + Pde5 (CA) 5C (CA) 51 _ + _ + + SPAC 11.6 (CA) 29(TA) 7 + _ + _ + _ + Keterangan: +ditemukan pada semua populasi; -:tidak menunjukkan amplifikasi; N:hanya ditemukan pada populasi pinus normal; T:hanya ditemukan pada bocor getah tinggi; TR:ditemukan pada bocor getah tinggi dan rendah Variasi genetika dalam populasi Keragaman genetika dalam populasi dihitung berdasarkan frekuensi alel dan dapat ditunjukkan oleh beberapa nilai variabel keragaman genetika (Tabel 3.9), jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne), persen lokus polimorfik (PLP) dan heterozigositas harapan (H e ) dan heterozigositas aktual (Ho). Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh nilai jumlah alel yang teramati pada setiap lokus antara dengan rata-rata dan jumlah alel efektif antara dengan rata-rata Nilai heterozigositas harapan berkisar antara dengan rata-rata Nilai rata-rata untuk heterozigositas aktual adalah dengan interval nilai Berdasarkan nilai keragaman genetika (He), kandidat bocor getah tinggi memiliki nilai yang lebih tinggi (0.551) dibanding bocor getah rendah (0.545), namun lebih rendah dari pinus normal (0.566). Hasil tersebut sedikit berbeda dengan penelitian awal yang dilakukan Nurtjahjaningsih et al. (2007) mengenai keragaman populasi induk dan anakan di KBS Sumedang (0.501), KBS Baturaden (0.468) dan hampir sama dengan KBS Sempolan (0.545) dengan penanda mikrosatelit. Penelitian dengan menggunakan penanda molekuler lain telah dilakukan oleh (Kartikawati 1998; Na iem 2000) dengan menggunakan penanda allozyme memperoleh nilai He:0.304, Siregar dan Hattemer (2005) pada hutan tanaman pinus di Jawa dengan penanda isozym memperoleh nilai He:0.389, Munawar ( 2002) dengan penanda allozyme pada strain Kerinci memperoleh nilai He: dan pada strain Tapanuli (He: 0.219). Hasil penelitian dengan penanda mikrosatelit pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan jenis pinus lain di

55 40 daerah sub tropis menurut Echt et al. (1999) pada P. strobus (He: 0.515), Boys et al. (2005) pada P.resinosa (He:0.508) dan Bucci et al. (1998) pada P. halepensis (He: 0.222), namun lebih rendah dari P. radiata (He: 0.625) menurut (Smith dan Devey 1994). Nilai tersebut masih dalam kisaran keragaman dengan penanda mikrosatelit umumnya pada pinus (He: ) menurut Smith dan Devey 1994; Thomas et al. 1999; Keys et al. 2000). Di keseluruhan populasi produksi yang diamati (kandidat bocor getah dan pinus normal) nilai heterozigositas harapan (He) lebih rendah dibandingkan dengan heterozigositas aktual (Ho), hal tersebut mengindikasikan proporsi heterozigositas yang cukup tinggi di dalam populasi. Tabel 3.9 Keragaman genetika dalam populasi Pinus merkusii kandidat bocor getah dan normal Populasi Jumlah PLP na ne Ho He sampel Bocor getah tinggi % Bocor getah rendah % Normal % Rata-rata 100% Keterangan: PLP= persentase lokus polimorfik ; na = jumlah alel teramati ; ne = jumlah alel efektif;ho: heterozigositas aktual H e = heterozigositas harapan menurut Nei s (1973) gene diversity Proporsi heterozigositas dalam populasi kandidat bocor getah menunjukkan nilai tergolong sedang, hal tersebut terjadi karena individu-individu dalam KBS merupakan tanaman hasil uji keturunan yang berasal dari famili-famili pohon induk berbeda dan menyerbuk secara bebas di populasi alaminya (segregating population). Menurut Novalina & Sagala (2011) pada tanaman tahunan yang menyerbuk bebas, kemungkinan gen-gen yang terdapat pada suatu individu tanaman memiliki genotipe berbeda-beda sehingga menyebabkan keragaman genetika tanaman hasil uji keturunan tinggi. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Feng et al. (2010) pada kebun benih P.koraiensis, dan El Kasaby (1991) pada kebun benih semai konifer umumnya. Kondisi tersebut juga dijumpai pada KBS P. merkusii di Jember hasil penelitian Nurtjahjaningsih et al. (2007). Variasi genetika pada kandidat bocor getah di KBS Cijambu dan pinus normal tergolong sedang, mengindikasikan bahwa populasi tersebut memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup tinggi terhadap perubahan lingkungan (White et al. 2007). Hal yang perlu diperhatikan pada karakterisasi kandidat bocor getah dengan bantuan penanda mikrosatelit ini adalah adanya kenyataan bahwa deteksi mikrosatelit pada karakter kuantitatif sangat ditentukan adanya proses seleksi dan mutasi yang terjadi maupun tekanan seleksi (Karhu 2001; Barton dan Turelli 1989). Adanya proses seleksi fenotipe yang dilakukan untuk pemilihan kandidat bocor getah, kemungkinan menjadi salah satu penyebab perbedaan variasi genetika kandidat bocor getah dibandingkan dengan pinus normal.

56 Variasi genetika antar populasi Keragaman genetika antar populasi dapat diidentifikasi dengan menggunakan variabel jarak genetika. Jarak genetika mengukur perbedaan struktur genetika antar dua populasi pada suatu lokus gen tertentu. Pebedaan genetika dari dua atau lebih populasi pada umumnya dianalisis dengan sebuah matrik dengan elemen-elemennya berupa jarak genetika dan pasangan kombinasi dari masing-masing populasi (Finkeldey 2005). Data mengenai jarak genetika dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.10 Tabel 3.10 Jarak genetika antar populasi produksi getah Populasi Kode Jumlah Bocor getah Bocor getah Normal sampel tinggi rendah Bocor getah tinggi T 30 **** Bocor getah rendah R **** Normal N **** Analisis jarak genetika dan dendrogram menurut Nei (1972) menunjukkan pola pengelompokan yang berbeda antar kelas produksi getah. Kandidat bocor getah membentuk kelompok tersendiri yang terpisah dari pinus normal. Jarak genetika antara bocor getah tinggi dan rendah relatif kecil (0.114) sehingga dapat disimpulkan kedua populasi tersebut berkerabat dekat sedangkan jarak genetika antara kandidat bocor getah tinggi dan normal relatif besar (0.483). Nilai jarak genetika selanjutnya diolah berdasarkan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak dibobot (Unweighted Pair-Grouping Method with Aritmatic Averaging, UPGMA) dengan menggunakan software NTSYS versi 2.02 menghasilkan pola pengelompokan seperti terlihat pada Gambar 3.2a. Hasil analisis jarak genetika, menunjukkan pengelompokan populasi yang sangat jelas menurut kelas produksinya. Hasil uji jarak UPGMA memperlihatkan populasi normal terpisah dengan populasi bocor getah. Hasil pengolahan data keragaman genetika pada populasi bocor getah dapat dilihat juga dengan melakukan pengujian model alogaritma melalui analisis struktur dengan menggunakan pendekat frekuensi alel (Pritchard 2000). Hasil pengujian dengan bantuan software structure menunjukkan pengelompokan populasi bocor getah paling optimal pada K:2. Hal tersebut terjadi karena hasil analisis logaritma memperlihatkan peluang L(K) meningkat secara liner pada K:2 Visualisasi dengan bantuan software R memperlihatkan pola warna yang berbeda, menandakan perbedaan populasi (Gambar 3.2b). Perhitungan struktur populasi menunjukkan populasi pinus hasil pengujian terpisah menjadi dua sub populasi. Hasil tersebut sesuai dengan pengelompokan berdasarkan jarak genetika yang telah dilakukan sebelumnya

57 42 a b Gambar 3.2 Dendrogram pengelompokan populasi bocor getah berdasarkan jarak genetika Nei (1972) (a) dan pengelompokan genetika dengan perhitungan rata-rata nilai log-likehood L(K)(b) Struktur genetika populasi Untuk menelaah lebih dalam mengenai penyebab terjadinya keragaman genetika dari masing-masing populasi dilakukan uji lanjutan yang lebih spesifik dengan menggunakan metode mikrosatelit. Skoring yang dilakukan terhadap hasil elektroforesis, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software GenAlex untuk memperoleh informasi sumber keragaman pada populasi yang diteliti. Hasil perhitungan software ini berbentuk tabel AMOVA seperti disajikan dalam pada Tabel 3.11.

58 43 Hasil perhitungan AMOVA (Tabel 3.11) memperlihatkan bahwa 79% keragaman terdapat di dalam populasi, sisanya (21%) disebabkan keragaman antar populasi. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Moran et al. (1988) pada KBS Acacia auliculiformis; Millar et al. (1991) pada KBS P.sylvestris dan Wu (1999) pada KBS P. tabulaeformis. Tabel 3.11 Hasil perhitungan analysis of molecular variance (AMOVA) Sumber db Jumlah Kuadrat Persentase Indeks Fiksasi keragaman Kuadrat Tengah Ragam Antar populasi % Fst: Dalam populasi % Fis: Total % Nilai diferensiasi genetika (Fst) memperlihatkan nilai yang lebih tinggi (0.1191) dibandingkan penelitian Nurtjahjanigsih (2007) sebesar 0.03 namun masih dalam kategori sedang, hal tersebut mengindikasikan bahwa adanya keseragaman genetika antar populasi, hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Siregar dan Hattemer (2005); Hardiyanto dan Danarto (2000) yang menyatakan bahwa pohon-pohon di dalam KBS berasal dari material dengan keragaman genetika yang terbatas. Nilai indeks fiksasi (Fis) menggambarkan besarnya inbreeding yang telah terjadi pada lokasi tersebut. Angka minus menunjukkan bahwa persentase heterozigot lebih besar daripada homozigot, sedangkan nilai Fis (+) menunjukkan semakin besarnya homozigositasnya yang berarti kemungkinan terjadi inbreeding semakin besar (Munawar 2002). Pada lokasi KBS Cijambu diperoleh angka Fis sebesar: yang mengindikasikan bahwa peluang inbreeding cukup rendah sehingga sangat menjanjikan untuk kegiatan pemuliaan selanjutnya. Berdasarkan nilai nilaitersebut strategi seleksi bocor getah selanjutnya sebaiknya lebih difokuskan dalam populasi Hubungan genetika antar individu populasi produksi Pengelompokan dengan menggunakan matriks kovarian jarak genetika secara individual dengan menggunakan software Population versi dan treeview 32 diperoleh dendrogram yang memperlihatkan adanya pengelompokan individu-individu penyusun populasi bocor getah maupun normal menjadi 2 kelompok besar (Gambar 3.3). Kelompok pertama terdiri campuran individu bocor getah tinggi, rendah dan normal dengan interval produksi antara g/pohon/3 hari. Kelompok kedua terdiri bocor getah rendah dengan interval produksi antara g/pohon/3 hari. Pengelompokan tersebut tidak mutlak karena perbedaan produksi getah namun cenderung dipengaruhi oleh asal sumber benih, sehingga individu-individu dari asal sumber benih yang sama akan mengelompok menjadi satu. Beragamnya pengelompokan individu populasi terjadi karena materi penanaman berasal dari famili berbeda yang ditanam secara bertahap selama kurun waktu Hasil pengelompokan ini tidak berbeda dengan pengelompokan berdasarkan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak dibobot sebelumnya.

59 44 Gambar 3.3 Dendrogram individual menggunakan matriks kovarian jarak genetika dengan 100 individual boothstap. BT:Banyumas Timur, Ku:Kuningan SKT:Surakarta,SMD:Sumedang,LW:Lawu,JBR:Jember,KDR:Kediri; BU:Bandung Utara; PKB:Pekalongan Barat;BS:Bandung Selatan. "T12 "T4 "T1 "T2 "T10 "T30 "T24 "T3 "T6 "T15 "R5 "T5 "T21 "T28 "T29 "N1 "N9 "N4 "N10 "T7 "T13 "R4 "T14 "T11 "T23 "T26 "R8 "T17 "R3 "R2 "T8 "T9 "T20 "R22 "T18 "R16 "R1 "R30 "R6 "N2 "N6 "N8 "R19 "T16 "R20 "N3 "T19 "T22 "N5 "N7 "T25 "T27 "R23 "R29 "R17 "R21 "R24 "R28 "R25 "R26 "R27 "R7 "R18 "R12 "R15 "R13 "R11 "R10 "R9 "R14 SMD LW JBR KDR BU PKB BS PKB SMD BGR PKB SMD BT SMD KDR JBR PKT KU PKB JBR lw PKB PKB BGR PKB BU BGR SMD BGR JBR SMD PKB BS PKB SMD SKT JBR KDR PKB SMD PKB SMD BS Bocor getah tinggi Campuran Bocor getah rendah

60 Korelasi fenotipik dan genotipik antara karakter produksi getah dan komponen hasil lainnya Seperti telah diketahui tingkat produksi resin pada pinus merupakan resultante dari peranan beberapa karakter pertumbuhan (Bab 2). Beberapa karakter fenotipik dilaporkan memiliki kaitan dengan produksi pada beberapa jenis pohon bergetah. Informasi mengenai keterkaitan karakter fenotipik dengan produksi getah di Indonesia banyak dilaporkan pada tanaman karet dan menunjukkan beberapa karakter seperti lilit batang, indeks penyumbatan, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, kadar sukrosa, kadar fosfat, kadar thiol dan tebal kulit memiliki pengaruh langsung terhadap produksi lateks (Goncalves et al. 2005). Koefisien korelasi genetipik dan fenotipik (Tabel 3.12) mempunyai nilai yang berbeda,mengindikasikan bahwa korelasi fenotipik yang ada tidak sepenuhnya merupakan ekspresi dari genetik. Adanya interaksi faktor lingkungan dan genetik berpengaruh terhadap penampilan fenotipik pohon dan tercermin dari nilai korelasi fenotipik yang dihasilkan. Hasil korelasi fenotipik menunjukkan karakter diameter batang, panjang tajuk dan tebal kulit berkorelasi positif nyata dengan produksi getah, sedang karakter tingkat keparahan serangan terhadap hama dan penyakit dan jumlah cabang pembentuk tajuk berkorelasi negatif nyata dengan produksi getah. Korelasi yang positif antara produksi getah dengan beberapa karakter mengindikasikan bahwa produksi getah akan semakin tinggi dengan semakin tingginya nilai karakter tersebut. Sebaliknya, korelasi negatif antara produksi getah dengan beberapa karakter mengindikasikan bahwa produksi getah akan semakin menurun dengan tingginya nilai komponen tersebut. Korelasi positif produksi getah dengan karakter diameter dan tajuk sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Westbork (2011); Tadesse et al. (2001); Zheng dan Xu (1992) dan Wang dan Zhu (1994) yang diduga terkait dengan jumlah saluran resin pada kayu dan luas bidang penyerapan fotosintesis. Korelasi negatif jumlah cabang dengan produksi getah sesuai Papajiannopoulos (2002) hal tersebut terkait dengan keterbukaan kanopi yang mendorong proses fotosintesis. Korelasi genetik antara produksi getah dengan diameter, tebal kulit, dan panjang tajuk pada penelitian ini mengindikasikan bahwa produksi getah akan semakin meningkat dengan peningkatan diameter, tebal kulit dan panjang tajuk. Sebaliknya produksi getah akan menurun seiring peningkatan jumlah cabang dan serangan hama dan penyakit. Hasil berbeda ditemui pada famili set 2 (umur tanaman 30 tahun). Pada set uji keturunan ini karakter tinggi pohon juga memiliki korelasi genetik negatif dengan produksi getah, artinya produksi getah akan menurun dengan adanya peningkatan tinggi pohon. Hasil verifikasi secara morfologi dan molekuler pada penelitian kandidat bocor getah memperlihatkan adanya hubungan antara karakter fenotipik dengan produksi getah, namun dengan keeratan yang sedang (r < 0.8) sesuai hasil pada Bab 2, hal tersebut sesuai dengan peneliti sebelumnya yang menyatakan intensitas produksi resin dipengaruhi oleh faktor genetika, dan menduga adanya gen yang berpengaruh terhadap karakter kuantitatif tersebut (Burczyk et al. 1998; Kossuth 1984 dan Mergen et al. 1955). Berdasarkan nilai korelasi genetika karakter

61 46 diameter, tebal kulit, panjang tajuk serta tingkat serangan memiliki korelasi yang nyata dengan produksi getah, sehingga untuk keperluan seleksi bocor getah selanjutnya karakter tersebut dapat dijadikan sebagai indikator seleksi Implikasi keragaman genetika terhadap kegiatan manajemen tegakan yang dilakukan untuk mendukung produksi getah. Status keragaman genetika merupakan faktor penting dalam merumuskan strategi konservasi yang efektif dan manajemen plasma nutfah. Secara umum, pohon-pohon jenis konifer memiliki keragaman genetika yang tinggi dibandingkan dengan pohon jenis yang lain. Pengetahuan mengenai keragaman genetika dari suatu populasi sangat penting untuk kegiatan konservasi yang dilakukan karena keragaman genetika yang tinggi akan membantu populasi beradaptasi terhadap perubahan lingkungan di sekelilingnya dan terjaganya biodiversitas. Lebih lanjut Namkoong et al. (1996) dalam Finkeldey (2005) menyatakan derajat keragaman genetika merupakan salah satu indikator kelestarian pengelolaan hutan. Untuk tujuan produksi getah, pengetahuan mengenai keragaman fenotipik dan genetika kandidat bocor getah sangat diperlukan dalam rangka identifikasi genotipe-genotipe superior dengan tujuan konservasi maupun pemuliaan di masa mendatang. Pada KBS Cijambu, individu-individu yang berada pada posisi menjulur ke kanan (produksi getah 150 g/pohon/3 hari) meliputi famili BG107, BG32, BG101, BG33, BG47 dan BG75 sangat perlu untuk dikonservasi dan dikembangkan karena memiliki keragaman yang sempit dan rawan terhadap kepunahan, sedangkan untuk perbanyakan massal individu-individu dengan frekuensi terbanyak (34%) dengan interval produksi g/pohon/3 hari dapat digunakan untuk sumber materi perbanyakan (telah dibahas lebih mendalam pada Bab 2). Hasil verifikasi genetika kandidat bocor getah menunjukkan bahwa produksi getah sangat dipengaruhi oleh faktor genetika, hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya nilai heritabilitas, tingginya variasi genetika dan pengelompokan populasi produksi yang berbeda antara bocor getah tinggi, rendah dan normal. Namun demikian, studi morfogenetika yang dilakukan pada penelitian ini masih merupakan informasi awal mengenai karakter produksi getah pada P. merkusii kandidat bocor getah, masih diperlukan adanya studi mendalam mengenai peranan gen dalam menentukan karakter bocor getah. Seperti halnya pada jenis pinus lain, karakter produksi getah memiliki heritabilitas tinggi, sehingga program pemuliaan sangat efektif diterapkan untuk peningkatan produktivitas getah. Beberapa pendekatan molekuler dapat dilakukan untuk memfasilitasi tujuan tersebut, salah satunya dengan marker assisted selection (MAS). Marker assisted selection merupakan metode seleksi yang mengacu pada pemanfaatan marka DNA yang berpautan dengan lokus target (genetic linkage mapping) sebagai alat untuk menduga dan membantu seleksi fenotipe sifat yang menjadi target pemuliaan. Peta tautan genetika (genetic linkage mapping) yang dihasilkan melalui pendekatan MAS akan memudahkan pemulia tanaman dalam mengidentifikasi lokus karakter kuantitatif tertentu (quantitative trait loci/ QTL). Menurut Krutovsky (2004), metode MAS cukup aplikatif untuk jenis-jenis konifer

62 47 yang memiliki ukuran genom cukup besar dan sangat bermanfaat untuk menemukan segmen kromosom homologus yang berperan mengontrol karakter tertentu. Teknik lain untuk deteksi gen pada jenis yang memiliki genom besar seperti pinus adalah dengan penanda SAMPL (Selective Amplification of Microsatellite Polymorphic Loci). Penanda SAMPL merupakan kombinasi kelebihan yang dimiliki oleh penanda AFLPs dan mikrosatelit, sehingga hasil amplifikasinya memiliki persentase polimorfik dan repeatibilty yang tinggi (Paglia & Morgenate 1998). Metode-metode tersebut telah digunakan pada P. pinaster dan P.taeda dan memberikan hasil yang cukup menjanjikan. Pada P. pinaster, De Miguel et al. (2012) telah menggunakan metode-metode tersebut dan berhasil menemukan peta tautan gen pengendali produksi getah Sampai saat ini kegiatan pemuliaan pada P.taeda dan P.pinaster lebih maju dibandingkan pada pinus lain. Kegiatan pemuliaan pada kedua pinus tersebut telah menggunakan pendekatan peta tautan genetika dengan informasi fungsional gen tertentu. Peta tautan genetika fungsional telah teruji memiliki kemampuan menyediakan penanda baru dari daerah coding tertentu (Komulainen et al. 2003, Tani et al. 2003) seperti EST-Ps (Expressed Sequence Tags Polymorphisms), EST-SSRs (EST derived microsatellites) dan SNPs (Single Nucleotide Polymorphisms). Konstruksi-konstruksi marka tersebut dapat digunakan untuk kegiatan pemuliaan konifer yang memiliki genom cukup luas. Berdasarkan informasi keberhasilan pada jenis P. taeda dan P. pinaster, marka-marka tersebut juga berpeluang untuk deteksi gen yang mengendalikan sifat produksi getah pada P. merkusii. 3.4 Simpulan Hasil perhitungan koefisien variasi genetika dan heritabilitas untuk karakter produksi getah menunjukkan nilai yang tinggi (KVG: %; h 2 : ), hal tersebut mengindikasikan karakter produksi getah dipengaruhi oleh faktor genetika. Berdasarkan nilai tersebut kegiatan seleksi massa untuk individu kandidat bocor sesuai lokasi KBS mampu memberikan harapan perolehan genetika yang baik, karena merupakan cerminan fenotipe pohon yang adaptif dengan KBS tertentu. Evaluasi kandidat bocor getah dengan bantuan penanda molekuler mikrosatelit memberikan hasil sesuai evaluasi fenotipik yang telah dilakukan. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya perbedaan struktur alel, nilai heterozigositas dan pola pengelompokan terpisah. Hal tersebut mengindikasikan secara genetika kandidat bocor getah berbeda dengan pinus normal. Hasil perhitungan sumber keragaman menunjukkan sebanyak 79% terdapat keragaman berada di dalam populasi dan 21% berada antar populasi sehingga strategi seleksi bocor getah selanjutnya lebih difokuskan dalam populasi. Hasil korelasi antara fenotipe dan genotipe menemukan karakter diameter batang, panjang tajuk, dan tebal kulit berhubungan positif nyata dengan produksi getah sedangkan karakter jumlah cabang dan tingkat serangan hama dan penyakit berhubungan negatif nyata dengan produksi getah. Sehingga selanjutnya karakter-karakter tersebut dapat digunakan sebagai indikator untuk seleksi awal kandidat bocor getah.

63 48 Tabel 3.12 Korelasi fenotipik (di atas diagonal) dan genetika (di bawah diagonal) antar karakter produksi getah dan komponen hasil lainnya Karakter Prod TTB TBC D TKB PT LT CPT SCP HP VBC Vtot Set 1 dan set 2 Prod ** * * TTB * TBC * D 0.650* ** TKB PT LT CPT SCP HP VBC ** Vtot Set 1 (umur 30 tahun) Prod TTB TBC D TKB PT LT CPT SCP HP VBC Vtot Prod * 0.403* 0.426* * * TTB * TBC * D 0.561* * 0.933** TKB PT LT CPT SCP HP VBC Vtot

64 Karakter Prod TTB TBC D TKB PT LT CPT SCP HP VBC Vtot Set 2 (umur 29 tahun) Prod * * * * TTB * * * TBC D 0.499* TKB PT LT CPT * SCP HP VBC Vtot Keteragan: **: sangat berbeda nyata pada selang kepercayaan99% * : berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% 49

65 50 4 STRUKTUR ANATOMI SALURAN RESIN PADA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 4.1 Pendahuluan Hasil analisis morfogenetika (Bab 3) menunjukkan bahwa produksi getah dipengaruhi oleh faktor genetika dan terdapat perbedaan secara genetika antara kandidat bocor getah dan pinus normal, namun karakteristik anatomi saluran resin (resin duct) pada pohon-pohon pinus bocor getah belum pernah dikaji secara mendalam. Selama ini penelitian yang terkait dengan pohon pinus bocor getah hanya berupa survei morfologi dan pengukuran produksi, belum diikuti dengan karakterisasi anatomi saluran resinnya. Oleh karena itu karakterisasi anatomi saluran resin dari pohon-pohon pinus bocor getah perlu segera ditemukan dan ditetapkan karena terkait langsung dengan produktivitas getah (resin) yang dihasilkan. Saluran resin pada pohon pinus ada dua macam yaitu saluran aksial (sejajar sumbu batang dan terletak diantara sel-sel trakeida aksial) dan saluran radial (terdapat diantara sel-sel penyusun jari-jari kayu). Ukuran saluran resin aksial pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan saluran resin radial. Seringkali kedua saluran tersebut saling berhubungan dan membentuk jaringan transportasi getah di dalam pohon (Santosa 2010). Saluran resin pada kayu pinus terbentuk melalui proses schizogenous yaitu terpisahnya sel-sel parenkim sehingga menciptakan ruang-ruang kosong diantara sel-sel tersebut. Saluran yang bentuknya memanjang tersebut dikelilingi oleh selsel epitel di sebelah luarnya yang berfungsi sebagai lapisan selubung (Wu dan Hu 1997; Evert 2006). Saluran resin juga melindungi pohon dari serangan hama dan penyakit serta patogen yang berassosiasi dengannya (Keeling dan Bohlmann 2006; Ralph et al. 2007). Pada genus pinus, saluran resin dapat terbentuk secara alamiah maupun merupakan respon tumbuhan terhadap pelukaan (traumatis), sedangkan pada genus lain seperti abies dan tsuga, saluran resin hanya terbentuk jika terdapat luka pada jaringan pohon (Fahn 1979; Evert 2006). Penelitian terkait dengan keberadaan saluran resin pada Pinaceae telah dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti Hanes (1927); Mergen et al. (1955); Werker dan Fahn (1969); Fahn (1979); Wu et al. (1987); Wu (1990); Wu dan Hu (1997). Keberadaan saluran resin pada pohon pinus yang produksi getahnya tergolong normal telah pula dilaporkan oleh Martawijaya et al.(1989); Mandang dan Pandit (2002). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa saluran resin radial pada pohon pinus normal memiliki lebar µm, tinggi µm dengan frekuensi 3-7 saluran per mm. Ukuran saluran resin pada pohon pinus bocor getah diduga lebih besar, tetap atau bahkan lebih kecil namun dengan frekuensi yang lebih banyak. Sel-sel epitel yang mengelilingi saluran resin pada pohon pinus bocor getah juga diduga lebih tebal. Namun informasi yang mendukung pernyataan tersebut sampai saat ini belum tersedia. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur anatomi saluran resin pada kayu pinus bocor getah.

66 Bahan dan Metode Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian struktur anatomi saluran resin kandidat bocor getah adalah kayu pinus dari dua pohon plus kandidat bocor getah umur 28 tahun yang diperoleh dari KBS Cijambu, Sumedang dan satu pohon pinus produksi getah normal umur 18 tahun yang tumbuh di areal rumah kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Masing-masing pohon kandidat bocor getah mewakili kelas produksi rendah (59.2 g/pohon/3 hari) dan kelas produksi tinggi (159 g/pohon/3 hari) Metode Pengambilan sampel dan pengumpulan data Pengambilan sampel dilakukan dengan melubangi batang pohon secara horizontal pada 4 (empat) arah mata angin pada ketinggian sekitar setinggi dada menggunakan bor riap berdiameter 0.5 cm. Panjang sampel pengeboran ditetapkan sampai dengan batas empulur. Total keseluruhan sampel uji sebanyak 12 buah (3 pohon x 4 lokasi pengeboran). Seluruh sampel kemudian diberi label nama pohon dan arah pengeboran, dan selanjutnya disimpan dengan wadah tertutup yang berisi larutan alkohol untuk mencegah serangan jamur. Identitas pohon yang digunakan untuk sampel pengujian anatomi disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Identitas sampel untuk pengujian anatomi saluran resin Kode Pohon Produksi Getah (g/3 hari) Tinggi Total (m) Tinggi Bebas Cabang (m) Keliling (cm) Tebal Kulit (cm) BG BG Umur (Tahun) Posisi Pohon 06'49"940; 107'47"503 06'50"093; 107'47"387 Normal Data sifat anatomi kayu yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan, pengukuran dan pengujian langsung di lapangan dan di laboratorium. Data sekunder diperoleh dari buku Atlas Kayu Indonesia Martawijaya et al. (1989) dan buku Pedoman Indentifikasi Jenis Kayu Di Lapangan (Mandang dan Pandit 2002) Pengamatan makroskopis Pengamatan makroskopis dilakukan dengan bantuan mikroskop cahaya terhadap sampel hasil pengeboran kayu. Variabel yang diukur meliputi jumlah saluran resin, frekuensi saluran resin per satuan luas dan diameter saluran resin Pengamatan mikroskopis Penelitian struktur mikroskopis saluran resin pada masing-masing riap tumbuh dilakukan melalui tiga tahapan yaitu pembuatan preparat mikrotom,

67 52 pengamatan dan pengukuran, serta pembuatan foto mikroskopis dari setiap bidang pengamatan (lintang, radial dan tangensial). Pembuatan preparat mengikuti prosedur Sass (1961) dengan beberapa modifikasi: sampel uji direndam dalam larutan PEG 2000 dan alkohol 96% dengan perbandingan 1:5 (v/v) untuk menghindari rusaknya sel-sel epitel yang ada, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 o C selama kurang lebih 5 hari untuk menguapkan alkohol yang ada. Selanjutnya dicetak dalam kotak kertas (dibuat secara khusus) dan dibekukan dalam lemari pendingin agar mudah disayat. Penyayatan dilakukan pada ketiga bidang pengamatan menggunakan mikrotom. Sayatan dibuat setebal mikron, sayatan yang utuh (tidak rusak) selanjutnya dicuci dengan aquadest, lalu didehidrasi bertingkat dalam alkohol 30%, 50%, 70% dan alkohol absolut masingmasing selama 15 menit. Selanjutnya sayatan direndam berturut-turut dalam larutan karboxylol dan toluene, lalu direkatkan pada object glass dengan bantuan entelan dan siap untuk diamati. Pengamatan dan pengukuran terhadap saluran resin dilakukan dibawah mikroskop Axio Imager Alm Zeis type Z2 dengan pembesaran kali. Setelah pengukuran, dilakukan pengambilan gambar dengan menggunakan kamera yang terintegrasi dengan mikroskop. Pengukuran sudut penebalan spiral dilakukan dengan bantuan software scion image dengan 50 kali ulangan Pengamatan makroskopis 4.3 Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan makroskopis warna kayu (Gambar 4.1) berdasarkan Munsell colour chart (1991), memperlihatkan bahwa warna kayu pinus bocor getah cenderung lebih gelap (coklat kemerahan/2.5 YR:4/4), berbeda dibandingkan dengan warna kayu pinus normal (krem keputihan/2.5 Y:6/4). Warna kayu yang dihasilkan pada kandidat bocor getah tersebut sama dengan warna yang terdapat pada kayu pinus strain Aceh hasil penelitian Suhaendi (2000). Hasil penelitian tersebut juga sama dengan hasil penelitian Matangaran (2006) yang menyebutkan pohon pinus bergetah banyak memiliki kayu berwarna kemerahan. Hasil pengamatan makroskopis juga memperlihatkan bahwa saluran resin pada kayu pinus kandidat bocor getah lebih banyak terdapat di bagian kayu akhir dan di daerah peralihan antara kayu awal dan kayu akhir. Hasil yang sama juga dijumpai pada jenis pinus dan konifer lainnya menurut penelitian Fahn (1979); Alfieri dan Evert (1968) serta Zamski (1972). Hasil perhitungan memperlihatkan adanya variasi lebar riap tumbuh serta jumlah dan diameter saluran resin pada masing-masing riap tumbuh (Tabel 4.2). Semakin lebar riap tumbuh, jumlah saluran resin cenderung bertambah.

68 53 Resin duct a Resin duct b Resin duct c Gambar 4.1 Penampang lintang (12 mm 2 ) kayu pinus kandidat bocor getah tinggi (a), kandidat bocor getah rendah (b) dan pinus produksi getah normal (c)

69 54 Tabel 4.2 Riap Tumbuh Ke- Distribusi jumlah dan ukuran saluran resin pada masing-masing riap tumbuh Kandidat bocor getah tinggi (umur 28 tahun) Lebar Riap Tumbuh (mm) Jumlah Saluran Resin Rata-rata Diameter Saluran Resin (µm ) Kandidat bocor getah rendah (umur 28 tahun) Lebar Riap Tumbuh (mm) Jumlah Saluran Resin Rata-rata Diameter Saluran Resin (µm ) Normal (umur 18 tahun) Lebar Riap Tumbuh (mm) Jumlah Saluran Resin Rata-rata Diameter Saluran Resin (µm )

70 55 Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa riap tumbuh nomor 1-18, 22 dan 23 relatif lebih sempit dengan jumlah saluran resin yang juga lebih sedikit, sedangkan riap tumbuh nomor 16, 23, dan lebih lebar dengan jumlah saluran resin yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan Panshin dan De Zeeuw (1980) yang menyatakan bahwa pohon pinus penghasil getah tinggi dicirikan dengan riap tumbuh yang lebih lebar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa riap tumbuh terlebar pada pohon dengan kelas produksi getah tinggi terdapat pada riap tumbuh nomor 25 dengan jumlah saluran sebanyak 77 buah. Pada pohon kandidat bocor getah yang lebih rendah, riap tumbuh terlebar juga terdapat pada riap tumbuh nomor 25 namun dengan jumlah saluran resin hanya sebanyak 70 buah. Ini menandakan bahwa antara lebar riap tumbuh dengan jumlah saluran resin terdapat hubungan yang positif. Semakin lebar riap tumbuhnya, akan semakin banyak saluran resin. Lebar riap tumbuh terkait dengan laju pertumbuhan pohon akibat kegiatan pemeliharaan yang dilakukan. Kegiatan pemeliharaan mampu meningkatkan pertumbuhan pohon dan memacu terbentuknya saluran resin, sehingga menghasilkan jumlah saluran resin yang lebih banyak walaupun dari segi kerapatan (frekuensi) lebih rendah dibandingkan pada lingkaran tahun yang sempit. Beberapa penelitian pada jenis pinus yang lain memperlihatkan hasil yang sama. Pada P. sylvestris, jumlah saluran resin aksial meningkat seiring dengan semakin lebarnya lingkaran tumbuh, namun kerapatan saluran resin per cm 2 lebih tinggi pada pohon dengan lingkaran tumbuh yang lebih sempit. Pada P. taeda Wimmer (2002) menemukan adanya hubungan negatif antara lebar lingkaran tumbuh dengan kerapatan saluran resin. Menurut Zamski (1972), jumlah saluran resin di dalam kayu berhubungan erat dengan ketersediaan air. Kekurangan air menurunkan aktifitas pembelahan sel kambium yang berakibat menurunnya jumlah saluran resin yang dihasilkan. Hasil perhitungan jumlah saluran resin aksial pada bocor getah rendah dan tinggi menunjukkan nilai yang hampir sama, namun memiliki lebar diameter saluran resin aksial yang berbeda. Kandidat bocor getah tinggi memiliki diameter saluran resin yang lebih lebar. Pinus normal memiliki jumlah saluran resin lebih sedikit dan diameter saluran resin yang lebih sempit dibandingkan kandidat bocor getah tinggi dan kandidat bocor getah rendah. Hasil pengukuran lanjutan terhadap diameter, jumlah dan frekuensi saluran resin pada pohon pinus bocor getah memperlihatkan jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan yang terjadi pada pohon pinus normal (Tabel 4.3). Peningkatan jumlah dan diameter saluran resin inilah yang menyebabkan adanya perbedaan produksi getah diantara keduanya. Saluran resin merupakan tempat penampungan sekresi yang dihasilkan dari mekanisme pohon yang mengalami gangguan (stress). Semakin banyak jumlah dan semakin lebar diameter saluran resin, getah yang tertampung akan semakin banyak.

71 56 Tabel 4.3 Perbandingan rata-rata jumlah, frekuensi dan diameter saluran resin radial pada pinus kandidat bocor getah dan pinus normal Variabel Normal Kandidat bocor getah rendah Peningkatan (%) Kandidat bocor getah tinggi Peningkatan (%) Jumlah saluran resin ** ** Frekuensi (jumlah /mm 2 ) ** ** Diameter saluran resin aksial (µm ) ** Keterangan: * Berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% **Sangat berbeda nyata pada selang kepercayaan 99% 415.5** Pengamatan mikroskopis saluran resin Saluran resin pada genus pinus dicirikan dengan adanya sel-sel epitelium yang berfungsi sebagai selubung. Sel epitelium pada saluran resin aksial ini berasal dari initial fusiform dan terbentuk pada akhir proses deferensiasi kambium (Fahn 1979). Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa sel-sel epitelium saluran resin aksial pada pohon kandidat bocor getah pada umumnya lebih tebal dibandingkan yang terdapat pada pohon normal (Gambar 4.2). Hal tersebut mengakibatkan produksi getah pada pohon bocor getah lebih tinggi dibandingkan pohon normal. Pengamatan terhadap diameter saluran resin radial memperlihatkan hasil yang berbeda (Tabel 4.4). Pada pohon kandidat bocor getah tinggi, diameter saluran resin radial lebih lebar dibandingkan dengan diameter saluran resin radial pada pohon kandidat bocor getah rendah, namun lebih rendah dibandingkan dengan diameter saluran resin radial pada pinus normal. Sel-sel epitel pada pohon kandidat bocor getah lebih tebal dibandingkan dengan sel-sel epitel pada pohon normal, sehingga jelas bahwa produksi getah lebih ditentukan oleh ketebalan selsel epitelium yang mengelilingi saluran resin. Tabel 4.4 Rata-rata diameter saluran resin radial dan ketebalan epitel Variabel Normal Kandidat bocor getah rendah Peningkatan (%) Kandidat bocor getah tinggi Peningkatan (%) Diameter saluran resin radial (µm ) Tebal sel epitelium (µm ) 32 na ** ** Keterangan: * Mandang dan Pandit (2002);not available * Berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% **Sangat berbeda nyata pada selang kepercayaan 99% 9 ns 148.5*

72 57 E RF ARd a E ARd b RF E ARd c Gambar 4.2 Saluran resin aksial dan sel-sel epitel pada pohon pinus bocor getah tinggi (a), bocor getah rendah(b), dan pinus produksi getah normal (c). Ard:saluran resin aksial, E:epitel, RF:jari-jari fusiform.

73 58 Pada penelitian ini jumlah saluran resin radial, frekuensi, diamater saluran resin aksial dan ketebalan epitelium kandidat bocor getah tinggi dan rendah tidak jauh berbeda. Perbedaan hanya terdapat pada lebar diameter saluran resin aksial hal tersebut menyebabkan getah yang tertampung lebih banyak pada kandidat bocor getah tinggi. Hal tersebut terkait dengan prinsip viskositas fluida pada aliran getah pinus yang ditentukan oleh jumlah dan diameter saluran resin. Pohonpohon dengan diameter saluran getah yang lebih lebar mampu menampung getah hasil sekresi epitel lebih banyak dibandingkan dengan pohon dengan diameter saluran getah sempit. Pada kandidat bocor getah tinggi dan rendah terdapat sedikit perbedaan jumlah saluran resin aksial dan radial pada bocor getah tinggi namun keduanya memiliki perbedaan diameter saluran resin, sehingga menyebabkan getah yang tertampung lebih banyak pada kandidat bocor getah tinggi. Selain dipengaruhi oleh genetika pohon yang secara alami memiliki kemampuan produksi getah yang berbeda, pembentukan saluran resin pada pinus dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan fisiologis pohon. Secara fisiologis pembentukan saluran resin juga terkait dengan hormon pertumbuhan seperti yang telah dijelaskan pada beberapa penelitian terdahulu. Fahn dan Zamski (1970) menunjukkan adanya peranan indole 3-acetic acid dan napthalena acetil acid dalam pembentukan saluran resin dan lebar riap tumbuh. Selain itu, etilen juga berperan dalam pembentukan saluran resin menurut penelitian Abeles et al. (1992) dan Yamamoto dan Kozlowski (1987). Etilen berperan sebagai penghubung antara faktor luar dan pembentukan saluran resin. Pada kondisi stress abiotik seperti adanya bahan kimia, suhu yang ekstrim, kekeringan, penyadapan, serangan hama penyakit dan gangguan pertumbuhan menyebabkan etilen melepaskan senyawa yang menstimulasi pembentukan saluran resin Penebalan spiral Penebalan spiral hanya terjadi pada bagian pembuluh beberapa spesies kayu daun lebar dan trakeid pada taxus dan Douglas fir. Pada jenis-jenis konifer keberadaan penebalan spiral menjadi salah satu penampakan yang cukup efektif untuk tujuan identifikasi kayu. Pada kasus jenis taxus, tidak ditemukan adanya saluran resin, kebalikan dari Douglas fir. Fenomena penebalan spiral pada kayu daun lebar lebih umum dijumpai dibandingkan dengan kayu daun jarum. Adanya penebalan spiral yang berhubungan dengan porositas, inklusi tilosis, pit dan tipe bidang perforasi akan memudahkan bagi identifikasi jenis-jenis kayu daun lebar (Hanson 2004). Penebalan spiral hanya ditemukan pada kandidat bocor getah tinggi dengan sudut antara 20 o -35 o (Tabel 4.5).

74 59 Ulangan Tabel 4.5 Sudut penebalan spiral pada kandidat bocor getah Sudut ( º ) Ulangan Sudut ( º ) Ulangan Sudut ( º ) Ulangan Sudut ( º ) Ulangan Sudut ( º ) ST RRd a b Gambar 4.3 Penebalan spiral pada serat kayu pohon pinus kandidat bocor getah tinggi (a) dan serat pada pohon pinus produksi getah (b). ST: penebalan ulir, RRd:saluran resin radial.

75 60 Fenomena penebalan spiral umumnya terjadi di kayu yang tumbuh di daerah sub tropis yang disebabkan oleh faktor perubahan musim (Wheeler et al. 1989). Yuniati (2012) menemukan adanya penebalan spiral pada klon jati hasil percepatan pertumbuhan yang memiliki diameter besar. Hal tersebut diduga terkait dengan pertumbuhan yang cepat sehingga mengakibatkan adanya penimbunan polisakarida pada dinding sel yang tidak merata. Dalam pinus bocor getah tinggi ditemukan juga terjadinya penebalan spiral sedangkan pada pinus produksi getah normal tidak ditemukan penebalan spiral. 4.4 Simpulan Hasil karakterisasi secara anatomi memperlihatkan bahwa kayu pohon pinus kandidat bocor getah memiliki warna yang lebih gelap (coklat kemerahan) dibandingkan kayu pinus pohon normal (krem keputihan). Warna coklat kemerahan pada kandidat bocor getah tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk seleksi awal kandidat bocor getah. Selain perbedaan warna kayu, pohon pinus kandidat bocor getah tinggi dan rendah memiliki jumlah saluran resin aksial yang lebih banyak, diameter saluran resin lebar dan sel epitel yang lebih tebal dibandingkan pinus normal. Semakin banyak jumlah saluran resin, semakin lebar diameter dan semakin tebal sel epitel maka getah yang tertampung pada kandidat bocor getah menjadi lebih banyak. Pada pohon pinus kandidat bocor getah tinggi ditemukan adanya penebalan spiral dengan besar sudut berkisar antara 20 o -35 o dan tidak ditemukan penebalan spiral pada pinus normal.

76 61 5 STRATEGI PERBANYAKAN PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 5.1 Pendahuluan Hasil-hasil penelitian pada bab 3 dan 4 menunjukkan bahwa secara genetika dan anatomi kayu, kandidat bocor getah berbeda dengan pinus normal. Pinus bocor getah sudah dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfogenetika dan struktur anatomi kayu perlu dikembangkan melalui beberapa strategi antara lain cangkok, stek, dan grafting (sambung) sebagai salah strategi perbanyakan jangka pendek (shortcut). Sesuai dengan Surat Direksi No. 289/041.6/Can/Dir Tanggal 24 September 2010 perihal Penyusunan Redesain Pengelolaan Sumber Daya Hutan dengan salah satu kesimpulan pentingnya mengenai penggunaan bibit unggul kandidat bocor getah untuk kegiatan penanaman mulai tahun 2011, maka diperlukan bibit bocor getah yang cukup banyak untuk penanaman seluruh areal Perum Perhutani. Strategi pencapaian yang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan penanaman pinus bibit unggul dalam jangka pendek adalah dengan melakukan perbanyakan secara vegetatif. Namun cara ini juga terkendala karena pohon plus terpilih ratarata berumur cukup tua dengan tingkat peremajaannya rendah yang berakibat rendahnya persentase keberhasilan untuk mendapatkan bibit dalam jumlah memadai dan tepat waktu, sedangkan penanaman untuk uji keturunan baru dilaksanakan tahun 2007 sehingga diharapkan mampu menghasilkan benih generatif pada Perbanyakan vegetatif merupakan cara yang cukup prospektif dikembangkan, terutama untuk perbanyakan tanaman terseleksi dari hasil uji keturunan dan pembangunan kebun benih klonal dari materi yang jelas asal usulnya (Mergen dan Simpson 1964). Teknik perbanyakan vegetatif juga memberikan peluang untuk memperbanyak pohon-pohon plus terpilih dengan sifat genetika sesuai keinginan dan menghasilkan bahan tanaman dengan sifat genetika yang terpilih dan bersifat seragam (Suton 2002; Ragonezi et al. 2010). Metode perbanyakan vegetatif melalui stek, cangkok dan sambung merupakan cara yang umum digunakan, namun untuk P.merkusii persentase keberhasilannya bervariasi dan cenderung menurun seiring dengan pertambahan umur tanaman. Oleh karena itu penggunaan materi vegetatif dari tanaman muda sangat direkomendasikan pada perbanyakan pinus (Mehra et al. 1983). Untuk memperoleh bahan vegetatif yang muda, beberapa cara dapat dilakukan diantaranya melalui teknik cangkok, sambung, stek secara berulang (Cameron 1980) maupun aktifasi tunas dorman (tunas interfascicular) pada tunas daun jarum. Tunas interfascicular (dwarft shoot; spur shoot; brahcyblast; fascicle; needle bundles) merupakan tunas daun jarum yang tertutup oleh seludang (sheath) dan memiliki pangkal serta ujung tunas yang kecil (Toda 1948). Pada dasarnya tunas interfascicular merupakan tunas dorman yang pemunculannya dipengaruhi oleh faktor endogen tanaman seperti ketersediaan nutrisi, hormon dan karbohidrat di organ tanaman berpengaruh terhadap proses pembentukan dan pemanjangan

77 62 tunas (Lanner 1988; Kozlowski dan Pallardy 1996). Tunas dorman yang tidak aktif ini dapat diaktivasi melalui beberapa cara, salah satunya dengan penggunaan hormon sitokinin. Keberhasilan aktifasi tunas interfascicular dengan penggunaan sitokinin dan penghambatan dominasi apikal telah dilaporkan oleh Bhuiyan et.al. (2009) pada tanaman colocasi, yuka (Kozak 2010), P. sylvestris (Mulgrew dan William 1984) dan P. strobus (Cohen dan Shanks 1975; Hinesley dan Wright 1989). Teknik stek pucuk juga memberikan peluang untuk mengatasi permasalahan perbanyakan pinus kandidat bocor getah. Pemilihan teknik stek pucuk untuk kandidat bocor karena persentase keberhasilannya relatif lebih tinggi dibanding teknik perbanyakan vegetatif lain (cangkok dan grafting) serta adanya peningkatan perolehan genetika dan peningkatan keseragaman material penanaman (Zobel dan Talbert 1984). Beberapa penelitian pemanfaatan teknik stek pucuk dari material muda jenis pinus telah dilaporkan pada P.caribaea (Henrique et al. 2006), P.radiata (Cameron 1980), P. muricata (Miliar 1987), P. taeda (Ishik et al. 2004), P. merkusii (Kertadikara et al.1996) dan P. roxburghii (Sharma dan Verma 2012). Namun dalam pelaksanaannya beberapa faktor seperti konsentrasi auksin (Thatoi et al. 2000), umur tanaman (Wise et al. 1985) dan kondisi tanaman donor (Uniya et al. 2011) mempengaruhi keberhasilan teknik ini. Teknik grafting atau dikenal dengan teknik sambung merupakan cara perbanyakan vegetatif yang umum digunakan untuk perbanyakan tanaman dengan tujuan mendapatkan sifat tertentu sesuai dengan yang diharapkan (Darikova et al. 2011). Perbanyakan dengan sambung banyak diminati karena mampu menjaga kestabilan genetika dari sifat unggul tertentu dibandingkan dengan perbanyakan secara generatif (Leakey 1985) dan prospektif untuk diaplikasikan pada jenis-jenis tertentu yang secara teknis sulit diakarkan, P. merkusii (Kertadikara et al. 1996); P. sylvestris (Anderson dan Hattemer 1978). Namun demikian keberhasilan teknik grafting juga tidak terlepas dari peranan beberapa faktor seperti kombinasi rootstock-scion, teknik perbanyakan, kondisi lingkungan selama dan setelah grafting dilakukan, aktifitas pertumbuhan dari bahan sambungan, kontaminasi hama dan penyakit serta peranan zat pengatur tumbuh (Hartmann et al. 2002). Selain faktor-faktor tersebut faktor genetika, fisiologi serta anatomi bahan grafting juga menentukan kompatibilitas dan pembentukan sambungan grafting (Leakey 1985). Lebih lanjut Mustard dan Lynch (1977) mengemukakan bahwa keberhasilan teknik grafting juga sangat ditentukan adanya proliferasi jaringan kalus di antara komponen daerah sambungan dan keberadaan jaringan pembuluh yang merupakan asal pembentukan kalus. Oleh karena itu, studi morfologi dan anatomi sangat diperlukan untuk evaluasi lebih lanjut mengenai kompatibilitas grafting. Berangkat dari permasalahan teknik perbanyakan jenis pinus yang sangat dipengaruhi oleh umur pohon, pertumbuhan yang terkait dengan fase reproduktif dan informasi keberhasilan pada pinus lain maka penelitian Strategi Perbanyakan Pinus merkusii Kandidat Bocor Getah dilakukan dengan tujuan mengembangkan teknik multiplikasi tunas interfascicular, stek dan grafting untuk perbanyakan massal bibit kandidat bocor getah. Dengan diperolehnya informasi tersebut diharapkan dapat memberikan alternatif solusi untuk pemenuhan bibit bocor getah bagi kegiatan penanaman dalam jangka pendek.

78 Bahan dan Metode Bahan Bahan penelitian multiplikasi tunas interfascicular dan stek pucuk merupakan bibit pinus kandidat bocor getah berumur 1 tahun yang diperoleh dari Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor dan telah ditanam pada polybag plastik di rumah kaca SEAMEO-BIOTROP. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah 6-BAP (6-Benzylaminopurine) dengan konsentrasi 0 ppm dan 20 ppm untuk multiplikasi, sedangkan NAA (Napthalena acetic acid) konsentrasi 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm digunakan untuk perakaran stek. Pada penelitian ini digunakan juga ZPT komersial untuk akar (Rootone-F) dengan komposisi napthalena acetamid (0.067%), methyl-1-napthalena acetic Acid (0.033%), methyl-1-napthalena acetamida (0.013 %), indole-3-butyric acid (0.057%), thiram (4 %) dan inert ingredient (95.33%) sebanyak 5g/100 stek. Media kombinasi sabut kelapa:sekam dengan perbandingan 2:1 (v/v) digunakan untuk penanaman stek (Sakai et al. 2002). Untuk bahan evaluasi grafting, pohon P. merkusii umur 18 tahun hasil topcleft grafting yang dilakukan oleh Tim peneliti Dept. Silvikultur pada tahun 1994 dengan rootstock yang berasal dari Perum Perhutani KPH Cianjur (strain Aceh) dan scion berasal dari strain Kerinci dan Tapanuli di persemaian Dept. Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Metode Multiplikasi tunas interfascicular Multiplikasi tunas interfascicular dilakukan dengan penghambatan dominasi apikal melalui pemotongan tunas utama dengan jarak 6 cm dari ujung titik tumbuh dan penyemprotan 20 ppm BAP selama 4 minggu berturut-turut. Pengamatan respon terhadap bibit yang telah diberi perlakuan, dilakukan seminggu sekali dengan variabel pengamatan meliputi waktu pemunculan tunas interfascicular baru, jumlah dan panjang tunas interfascicular, penambahan tinggi bibit, warna serta pengamatan morfologi lainnya yang terkait. Sebagai data pendukung maka akan dilihat juga anatomi tunas bibit yang digunakan untuk multiplikasi. Percobaan faktorial dengan pola dasar acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 faktor perlakuan (dua) faktor digunakan pada penelitian ini. Faktor pertama: penghambatan dominasi apikal (pemotongan dan tanpa pemotongan tunas utama) dan faktor kedua: konsentrasi BAP (tanpa BAP, 20 ppm) dengan ulangan masing- masing 5 bibit, sehingga total bahan tanaman yang digunakan sebanyak 20 bibit Stek pucuk Pembuatan stek dilakukan dengan pemotongan pucuk bibit donor terpilih sepanjang 7-10 cm dari ujung titik tumbuh dan disimpan dalam ember yang berisi air steril untuk menjaga kesegaran stek. Pucuk yang diperoleh dari persemaian selanjutnya dicuci dengan air mengalir, diikuti dengan perendaman (masingmasing 15 menit) secara berturut-turut dalam larutan arang aktif (900 mg/l) dan

79 64 (450 mg/l), akuades, fungisida dan terakhir direndam dengan ZPT (Kertadikara et al yang dimodifikasi) untuk selanjutnya ditanam di media pot-tray dan diletakkan pada sungkup propagasi. Sungkup propagasi selanjutnya ditutup dan diletakkan pada rumah kaca KOFFCO system dengan pemeliharaan secara rutin. Pengamatan kualitas perakaran dilakukan melalui pengecekan akar setelah stek berumur 3 bulan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan perlakuan konsentrasi NAA (0 ppm, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm) dan ZPT komersial (5 g/100 stek). Masing-masing perlakuan diwakili oleh 8 bahan stek sehingga jumlah total bahan stek yang diperlukan adalah 40 stek Evaluasi morfologi dan anatomi grafting Evaluasi grafting dilakukan melalui pemilihan sampel pohon berdasarkan pengamatan morfologi (kondisi scion, sambungan, rootstock, keragaan batang dan pertumbuhan diameter) menjadi 2 kategori yaitu kompatibel dan inkompatibel. Pengambilan sampel untuk evaluasi struktur anatomi dilakukan dengan melubangi batang pohon secara horizontal pada 4 arah mata angin di daerah bekas sambungan, 1 cm di bawah bekas sambungan (rootstock) dan 1 cm di atas daerah sambungan dengan menggunakan bor riap sampai dengan batas empulur. Pengamatan makroskopis dilakukan terhadap sampel hasil pengeboran kayu untuk melihat kerusakan jaringan yang terjadi dan persentase jaringan baru yang terbentuk pada tiap-tiap daerah pengamatan. Pembuatan preparat mikroskopis digunakan untuk pengamatan mikroskopis dengan fokus kondisi daerah sambungan (interface) Multiplikasi tunas interfascicular 5.3 Hasil dan Pembahasan Sidik ragam (Tabel 5.1) menunjukkan bahwa perlakuan pemotongan tunas dan penambahan BAP berpengaruh sangat nyata pada jumlah dan panjang tunas, namun tidak berpengaruh pada pertumbuhan tinggi bibit. Sedangkan interaksi penghambatan dan penambahan BAP tidak mempengaruhi jumlah tunas, panjang tunas dan pertumbuhan tinggi tanaman pada 7 minggu setelah semprot (7 MSS). Tabel 5.1 Sidik ragam pengaruh penghambatan dominasi apikal dan penambahan ZPT pada jumlah tunas, panjang tunas dan pertambahan tinggi setelah 7 MSS (minggu setelah semprot) Faktor P value Panjang Jumlah Tinggi tunas Tunas Penghambatan dominasi apikal 0.006** 0.000** ns Penambahan ZPT 0.000** 0.000** ns Interaksi penghambatan dan Penambahan ZPT ns ns ns Keteragan: **: sangat berbeda nyata pada selang kepercayaan99% ns : tidak berbeda nyata

80 Jumlah tunas Penghambatan dominasi apikal (pemotongan tunas utama) dan penyemprotan tunas secara signifikan berpengaruh pada jumlah tunas. Penghambatan tunas apikal menghasilkan rata-rata jumlah tunas yang banyak ( tunas) berbanding (0-8.8 tunas) pada kondisi tanpa penghambatan tunas apikal. Hal tersebut sesuai dengan Zimmerman dan Brown (1971) yang menyatakan bahwa pemotongan tunas utama mampu merangsang pembentukan tunas interfascicular. Demikian juga dengan perlakuan penyemprotan BAP 20 ppm mampu menstimulasi pembentukan tunas baru pada bibit dengan pemotongan tunas (14 tunas) dan tanpa pemotongan tunas (8.8 tunas). Penelitian Keever dan Morrison (2003) juga menemukan hubungan yang linear antara peningkatan konsentrasi BAP dengan jumlah tunas pada pohon Nandina domestica. Perlakuan pemotongan tanpa pemberian tanpa BAP mampu mengasilkan 5.6 tunas baru, lebih rendah dibanding dengan penambahan BAP 20 ppm yang mampu menghasilkan rata-rata 14 tunas, sedangkan perlakuan tanpa pemotongan dan tanpa penyemprotan BAP tidak menghasilkan tunas interfascicular baru. Panestsos et al. (1994) pada penelitiannya dengan penyemprotan BA 100 mg/l dan pemotongan tunas pada hibrid P.brutia x P.halepensis mampu menginduksi terbentuknya tunas interfascicular baru. Hasil yang sama juga diperoleh pada P. caribaea (Inglis 1984) dan P. sylvestris (Philion et al. 1983). Peningkatan jumlah tunas tersebut terjadi karena hormon auksin yang disintesis pada bagian pucuk menurun dengan adanya pemotongan tunas utama, sehingga menyebabkan pengaliran aliran utama nutrisi organik dari pucuk ke meristem daun interfascicular. Penambahan sitokinin eksogen mampu mengaktifkan tunas dorman dan merangsang pembelahan mitosis pada tunas interfascicular serta menyebabkan penurunan kadar auksin pucuk (Panetsos et al. 1994). Walaupun secara umum menghasilkan tunas baru yang lebih banyak, namun pertumbuhan panjang tunas yang dihasilkan relatif tidak seragam. Hal tersebut sesuai dengan Rutink et al. (2007) yang menemukan adanya peranan faktor genetika dalam ekspresi pemunculan tunas interfascicular baru sehingga respon bibit hasil perlakuan akan berbeda-beda Panjang tunas Penghambatan dominasi apikal (pemotongan tunas utama) dan penyemprotan BAP berpengaruh sangat nyata pada panjang tunas. Perlakuan pemotongan tunas menghasilkan tunas-tunas baru yang lebih panjang ( cm) dibandingkan tanpa pemotongan tunas ( cm). Beberapa penelitian juga menunjukkan hasil yang sama. Perlakuan pemotongan tunas mampu menstimulasi pembentukan tunas interfascicular baru dengan ukuran yang lebih panjang daripada kontrol (Rasmussen et al. 2003). Selanjutnya, menurut Bangert (1994) dan Li et al. (1995), perlakuan pemotongan tunas juga menyebabkan penurunan kadar auksin pada pucuk dan peningkatan kadar sitokinin pada pembuluh xylem serta peningkatan kandungan sitokinin pada jaringan batang dan tunas lateral di bawah titik pemotongan. Penyemprotan BAP 20 ppm mampu meningkatkan

81 66 panjang tunas yang dihasilkan ( cm) dibandingkan dengan BAP 0 ppm ( cm). Perbedaan panjang tunas dari perlakuan pemotongan dan tanpa pemotongan terlihat dari pola pemunculan tunas yang dihasilkan. Pada perlakuan pemotongan, tunas-tunas baru muncul di bagian bawah bekas potongan dengan ukuran yang relatif panjang, sedangkan pada tunas tanpa pemotongan dan penambahan BAP distribusi tunas tidak hanya ditemukan pada pada bagian bawah titik pemotongan namun juga pada ruas-ruas sisik sepanjang batang utama bibit dengan tunas yang relatif pendek Pertambahan tinggi Sidik ragam (5.1) menunjukkan perlakuan pemotongan tunas dan penyemprotan BAP dan serta interaksi keduanya tidak mempengaruhi pertambahan tinggi bibit. Bibit tanpa pemotongan tunas memiliki pertambahan tinggi yang lebih besar ( cm) dibanding dengan pemotongan tunas ( cm). Perlakuan penyemprotan BAP 20 ppm ternyata menurunkan pertumbuhan tinggi bibit ( cm) lebih rendah dibandingkan tanpa penyemprotan BAP ( cm). Besarnya nilai pertambahan tinggi pada bibit tanpa pemotongan dan bibit tanpa penyemprotan BAP 20 ppm dikarenakan suplai nutrisi pada bibit digunakan untuk pertumbuhan tinggi pucuk secara tunggal, sedangkan pada bibit dengan kedua perlakuan tersebut nutrisi yang ada pada bibit terbagi untuk pertumbuhan tunas-tunas baru (tunas interfascicular). Hal tersebut sesuai dengan Mutke et al.(2005) yang menyatakan bahwa penurunan tingkat pertumbuhan dapat disebabkan karena peningkatan persaingan dalam tahap perkembangan seperti pembesaran pohon Pola reiterasi Reiterasi merupakan suatu proses penyesuaian arsitektur pohon yang terkait dengan kerusakan pohon dan faktor ekologi (Halle et al. 1978), trauma, kerusakan pucuk (Del Tredici 2001) maupun pemangkasan cabang (Ishii et al. 2007). Pola reiterasi yang disebabkan karena aktivitas pemangkasan cabang atau penghilangan tunas apikal dikenal dengan istilah reiterasi traumatik (Mutke et al. 2005). Pada dasarnya terdapat dua tipe reiterasi yaitu syleptic dan proleptic. Tipe syleptic terjadi karena rangkaian proses pertumbuhan tunas apikal, sedangkan proleptic terjadi karena adanya tunas adventif. Reiterasi traumatik semai pinus bocor getah setelah perlakuan penghambatan dominasi apikal dan penyemprotan BAP memperlihatkan pola pembentukan tunas yang berbeda (Gambar 5.1). Proses reiterasi terkait dengan keberadaan meristem apikal yang mengekspresikan model maupun perubahan orientasi tunas. Pola reiterasi yang tercermin dalam arsitektur tajuk menjadi ciri penting bagi kemampuan hidup, kualitas dan stabilitas yang nantinya akan mempengaruhi pola pertumbuhan pohon (Rasmussen et al. 2010). Pada penelitian ini, semai kandidat bocor getah tanpa perlakuan BAP dan tanpa pemotongan tunas memperlihatkan pola pertumbuhan seperti semai umumnya (5.1a), namun pada semai dengan penyemprotan BAP memperlihatkan bentuk tunas yang cenderung membesar dengan arah orientasi yang tidak teratur diikuti dengan pembentukan tunas interfascicular pada pangkal tunas (5.1b).

82 67 a b c d e f g h i Gambar 5.1 Pola reiterasi semai kandidat bocor getah umur 1 tahun. a. Tanpa pemotongan tunas dan tanpa penyemprotan BAP, b. Tanpa pemotongan dan penyemprotan BAP 20 ppm, c. Pemotongan tanpa penyemprotan BAP, d.tanpa pemotongan dan penyemprotan BAP 20 ppm, e. Tunas normal sebelum penyemprotan, f. Tunas interfascicular MSS, g. Tunas interfascicular 10 MSS, h. Tunas interfascicular, i. perkembangan tunas interfascicular setelah perlakuan

83 68 Semai dengan perlakuan pemotongan tunas tanpa penyemprotan BAP, memperlihatkan pemunculan tunas interfascicular pada setiap tunas sepanjang batangnya dengan tunas yang relatif lebih pendek (5.1c), sedangkan pada semai dengan perlakuan pemotongan tunas dan penyemprotan BAP memperlihatkan pemunculan tunas yang terkonsentrasi pada bagian bawah titik pemotongan dengan ukuran yang lebih panjang (5.1d). Hal tersebut sesuai dengan beberapa penelitian mengenai pelengkungan batang utama pada bibit pinus (Wilson, 2000; Mutke et al. 2005) yang menghasilkan model tajuk yang berbeda. P.merkusii dicirikan dengan model pertumbuhan Rauh (Halle et al. 1978) dan pola reiterasi syleptic continuous. Menurut Nerovcova dan Narovec (2010), pinus memiliki kemampuan modifikasi apabila terjadi kerusakan pada tunas utama. Modifikasi pola percabangan tersebut ditunjukkan dengan perubahan percabangan dari polyarchic menjadi pola proleptic. Perbedaan pola reiterasi (arsitektur tunas dan percabangan) pada perlakuan BAP dan pemotongan tunas kemungkinan terkait dengan adanya kontrol dominasi apikal pada pucuk. Penggunaan BAP mampu merangsang pembentukan tunas interfascicular yang sebelumnya dorman. Pemotongan tunas utama menyebabkan pengaliran nutrisi dari pucuk ke meristem lateral, sehingga tunas interfascicular yang dihasilkan menjadi lebih panjang. Wilson (2000); Sterck (2005); Cline dan Harrington (2007) menemukan penambahan BAP mempengaruhi pembelahan sel dan pemanjangan sel. Adanya sitokinin berperan utama merangsang pembelahan sel sedangkan auksin dan giberalin merangsang pemanjangan sel (Srivastava 2001; Taiz dan Zeiger 2002). Penggunaan BAP secara ex vitro untuk stimulasi pembentukan tunas masih jarang didokumentasikan, namun penggunaan BAP untuk teknik kultur jaringan telah banyak dilaporkan keberhasilannya. Pada oak (Quercus suber), Romano et al. (1992) berhasil memperoleh tunas yang lebih banyak dengan perlakuan BAP 1 mg/l dibandingkan dengan zeatin. Penggunaan BAP 5 mg/l juga berhasil menstimulasi pembentukan tunas baru pada P. sylvestris (Diego et al.2009). Hasil yang hampir sama juga diperoleh Andersone dan Ievinsh (2005) pada P. sylvestris melalui teknik kultur embrio. Stimulasi tunas aksilar dengan penambahan BAP secara in vitro juga berhasil dilakukan oleh Alonso et.al.(2006) pada P. pinea Anatomi tunas Anggota genus pinus memiliki tunas vegetatif yang berbeda dibandingkan dengan kebanyakan jenis konifer lainnya. Pada tiap ujung tunas pinus dapat dijumpai organ tunas berseludang (brachyblast atau fascicle sheath) yang merupakan kumpulan sel-sel embrionik yang disebut dengan meristem apikal pucuk (apex). Tunas interfascicular terbentuk karena adanya inisiasi tunas aksiler (Gambar 5.2). Aktifitas ini juga akan membentuk 3 jenis tunas lainnya yaitu: tunas lateral, seed-cone bud dan pollen-cone bud. Tunas interfascicular pada P.merkusii merupakan tunas dorman yang diselimuti oleh seludang (fascicle sheath), berwarna coklat, bersisik dan keras dengan tunas yang berjumlah dua buah (Rajendra dan Finkelday 2008). Tunas interfascicular akan muncul setelah adanya pelengkungan terhadap tunas apikal, maupun penambahan zat pengatur tumbuh eksogen (Scweingruber et al. 2006).

84 69 Daun jarum Tunas interfascicular Gambar 5.2 Keragaan tunas interfascicular dari tunas daun jarum umur 10 minggu setelah semprot Studi mengenai proses perkembangan tunas interfascicular secara histologi pertama kali dilakukan melalui serangkaian penelitian awal dengan melihat fenomena proliferasi yang terjadi secara tidak sengaja di persemaian P. taeda. Hasil penelitian menunjukkan kemunculan tunas interfascicular diawali dengan perkembangan tunas dalam seludang bersamaan dengan pembentukan sisik daun jarum. Selanjutnya tunas interfascicular bersama-sama dengan foliar apendages muncul terpisah dan menjadi tunas baru tersendiri. Beberapa peneliti menyebut pemunculan tunas interfascicular seperti halnya tunas adventif dan dalam perkembangannya berpotensi menjadi meristem baru (Little dan Somes 1956). Cline (2000) menemukan adanya perubahan pertumbuhan tunas lateral akibat pemotongan tunas apikal. Pertumbuhan tunas lateral setelah perlakuan pemotongan tunas apikal terbagi dalam 4 (empat) tahapan, yaitu tahap 1 (pembentukan tunas lateral), tahap 2 (penghambatan dominasi apikal), tahap 3 (inisiasi pembentukan tunas lateral yang diikuti pengupasan seludang) dan tahap 4 (pemanjangan dan perkembangan tunas lateral menjadi cabang). Penurunan dominasi apikal (tahap 3) dapat terjadi karena penggunaan sitokinin (Pillay dan Railton 1983), sedangkan pemanjangan tunas dapat dipicu oleh adanya auksin dari dalam tanaman sendiri.

85 Stek pucuk Rekapitulasi sidik ragam pengaruh zat pengatur tumbuh (ZPT) terhadap keberhasilan stek pucuk pinus 12 MST (minggu setelah tanam) Pembentukan akar pada stek merupakan fase kritis yang menentukan keberhasilan perbanyakan secara vegetatif. Oleh karena itu diperlukan perlakuan yang mampu merangsang pembentukan akar stek sehingga mampu dihasilkan bibit baru dengan persentase keberhasilan berakar dan sistem perakaran yang berkualitas (De Klerk et al. 1997). Kualitas perakaran stek ditunjukkan dengan variabel jumlah, panjang akar dan juga keberadaaan kalus, karena ketiganya mencerminkan performa bibit setelah dipindahkan ke lapangan (Mohammed dan Vidaver 1990). Sidik ragam terhadap variabel kualitas stek menunjukkan bahwa pemberian ZPT dengan konsentrasi berbeda berpengaruh terhadap panjang akar sekunder, panjang akar primer dan jumlah akar sekunder, sedangkan persentase stek berakar dan persentase stek hidup tidak dipengaruhi oleh pemberian ZPT (Tabel 5.2). Tabel 5.2 Rekapitulasi hasil sidik ragam dan nilai rata-rata terhadap beberapa variabel kualitas stek (12 MST) Variabel Persentase stek hidup (%) Persentase stek berakar (%) Panjang akar primer (cm) Panjang akar sekunder (cm) Jumlah akar sekunder Zat Pengatur Tumbuh Tanpa NAA NAA 100 ppm NAA 200 ppm NAA 300 ppm ZPT komersial Signifikansi 87.5a 87.5a 100ab 87.5a 100ab * 0a 75ab 71.43ab 71.43ab b * 0 a 1.7a 4.2 ab 13.2 c 9.8 bc ** 0 a 0 a 1.5 ab 3.1 b 2.8 b ** 0 a 1 a 3.7 ab 7.3 b 7.7 b ** Keteragan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama, pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%; **: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan99% Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap keberhasilan stek pucuk P.merkusii bocor getah a. Persentase stek hidup Hasil pengamatan menunjukkan perlakuan ZPT komersial menghasilkan rata-rata persentase berakar tertinggi (87.5%). Sidik ragam (Tabel 5.2) menunjukkan bahwa perlakuan ZPT berpengaruh nyata pada persentase stek berakar. Menurut Silva (1985) untuk menginduksi akar stek pinus ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, meliputi waktu pengumpulan stek, ukuran stek, kondisi bahan stek, sumber dan umur tanaman, kondisi nutrisi, kesehatan bahan

86 71 stek, perlakuan pendahuluan terhadaap bahan stek, penyiraman, kelembaban, suhu dan faktor lainnya. Lebih lanjut Sakai et al.(2002) menyatakan keberhasilan stek ditentukan oleh kondisi lingkungan yang ideal bagi berlangsungnya proses fotosintesis secara optimal dan transpirasi yang seimbang. Kedua proses fisiologis tersebut sangat berperan terhadap metabolisme stek untuk pembentukan akar. Dari serangkaian penelitian diketahui bahwa tiga faktor lingkungan yang sangat berperan dalam pembentukan akar stek adalah kelembaban, temperatur dan intensitas cahaya. Pada penelitian ini rumah kaca dengan sistem KOFFCO (Komatsu-FORDA Fogging Cooling System) digunakan untuk mendukung kondisi lingkungan stek sehingga persentase hidup stek yang dihasilkan relatif tinggi. b. Persentase stek berakar Sidik ragam (Tabel 5.2) menunjukkan bahwa ZPT berpengaruh pada persentase berakar. Pada penelitian ini stek dengan perlakuan ZPT komersial ternyata menghasilkan persentase berakar yang paling tinggi (87.5%), hal tersebut diduga karena memiliki kandungan auksin yang lebih lengkap (NAA dan IBA) dan fungisida yang mencegah adanya serangan jamur. Pada ZPT komersial terdapat dua senyawa dengan inti napthalena yang berfungsi memperbanyak dan mendorong timbulnya suatu perakaran dan senyawa indole bermanfaat untuk memperbanyak dan mempercepat perakaran. Hasil yang sama juga diperoleh Vandeer krieken et al.(1992) pada tanaman malus melalui teknik kultur jaringan, dan menemukan persentase keberhasilan perakaran lebih tinggi dengan perlakuan kombinasi IBA dan NAA. Lebih lanjut Hartmann et al. (2002) menyatakan bahwa penggunaan IBA dan NAA secara bersama-sama lebih efektif dibandingkan penggunaan secara tunggal terutama untuk meningkatkan persentase berakar dan jumlah akar. Kombinasi antara IBA dan NAA yang terkandung pada ZPT komersial ternyata mampu menghasilkan persentase berakar lebih tinggi dan jumlah akar yang lebih banyak pada stek bibit bocor getah. Pada penelitian ini stek tanpa penambahan ZPT belum menunjukkan gejala perakaran sampai umur 12 MST, hal tersebut membuktikan penambahan ZPT eksogen diperlukan pada stek pinus. c. Panjang akar Sidik ragam (Tabel 5.2) menunjukkan bahwa perlakuan ZPT berpengaruh sangat nyata pada panjang akar primer dan sekunder. Hasil pengamatan panjang akar diketahui bahwa rata-rata akar primer terpanjang diperoleh pada perlakuan NAA 300 ppm (13.2 cm), sedangkan rata-rata akar primer terpendek diperoleh pada NAA 100 ppm (1.7 cm). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Rosier et.al (2004) pada P.virginiana yang menemukan pertambahan panjang akar primer seiring penambahan NAA yang digunakan. Pada penelitian ini ZPT komersial memiliki akar primer yang lebih pendek dibandingkan NAA 300 ppm, namun memiliki akar sekunder yang lebih banyak dan lebih panjang.

87 72 d. Jumlah akar sekunder Pemberian ZPT komersial mampu menghasilkan rata-rata jumlah akar sekunder terbanyak (7.7 buah), sedangkan jumlah akar paling sedikit diperoleh pada stek tanpa perlakuan ZPT. Sidik ragam (Tabel 5.2) menunjukkan bahwa perlakuan ZPT berpengaruh sangat nyata pada jumlah akar sekunder sekunder. Hasil uji Duncan juga memperlihatkan Perlakuan ZPT berpengaruh sangat nyata pada jumlah akar sekunder stek. Perlakuan NAA 300 ppm dan ZPT komersial memberikan hasil yang berbeda dibandingkan perlakuan lain. Hal tersebut sesuai dengan Hartmann et al yang mengemukakan bahwa pada jenis pinus, persentase berakar jumlah dan panjang akar sangat dipengaruhi oleh ZPT. Lebih lanjut Henrique et al. (2006) menyatakan bahwa persentase keberhasilan perakaran stek sangat berhubungan dengan konsentrasi ZPT yang diberikan. Hal tersebut terkait dengan kandungan asam fenol yang cukup tinggi pada stek. Kandungan asam fenol yang tinggi menurut menyebabkan tingginya orthodihydroxyphenols yang akan berakibat penurunan aktifitas IAA oksidase sehingga menurunkan perakaran stek. Dengan demikian penambahan auksin eksogen juga diperlukan pada stek bibit pinus bocor getah. Hal tersebut terlihat dari stek tanpa ZPT yang belum mampu menunjukkan gejala perakaran sampai akhir pengamatan. e. Keragaan bibit hasil stek Pada semua jenis konifer, penambahan bahan kimia, perlakuan fisik untuk merangsang perakaran dan keberhasilan stek ditentukan oleh beberapa faktor yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Beberapa faktor seperti waktu dan musim pengumpulan bahan stek, ukuran stek, kondisi needle, kondisi tanaman donor, nutrisi endogen tanaman, perlakuan pemotongan dan kesehatan bahan stek saat pengumpulan (Silva 1985). Namun demikian kondisi pertumbuhan tanaman donor merupakan hal yang paling penting menentukan keberhasilan perakaran stek (Hartmann et al. 2002; Moe dan Andersen 1988). Pembentukan akar merupakan fase kritis yang menentukan keberhasilan perbanyakan secara stek. Secara fisiologis pembentukan calon akar pada stek tergantung pada auksin endogen bahan tanaman dan komponen sinergis lain seperti diphenol. Komponen sinergis tersebut mendorong sintesis ribonucleic acid (RNA), yang merangsang inisiasi akar (Hartmann et al. 2002). Pada bagian tunas atau daun dihasilkan suatu senyawa kompleks selain auksin yang merangsang pembentukan akar. Senyawa tersebut oleh Bouillenne dan Went (1933) dalam Hartmann et al. (2002) disebut dengan rhizocaline. Rhizocaline merupakan suatu senyawa kompleks yang terdiri atas tiga komponen yaitu: 1. Faktor spesifik yang ditranslokasikan dari daun dengan sifat kimia sebagi ortho-dihydroxyphenol. 2. Faktor non spesifik (auksin) yang ditranslokasikan dan ditemukan dalam konsentrasi biologi yang rendah. 3. Faktor enzimatik yang berada dalam jaringan sel yang dimungkinkan sebagai polyphenol-oxidase. Proses inisiasi akar akan terjadi apabila ortho-dihydroxyphenol bereaksi dengan penambahan konsentrasi auksin dan enzim, sehingga terjadi akselerasi proses

88 73 respirasi dan pembelahan mitosis sel yang menyebabkan diferensiasi sel serta jaringan. Hasil pengamatan morfologi terhadap akar yang terbentuk pada setiap perlakuan memperlihatkan perakaran yang dihasilkan pada perlakuan NAA terlihat lebih besar namun sedikit memiliki akar sekunder dibanding ZPT komersial. Secara morfologi dan kesimetrisan perakaran, ZPT komersial mampu mengasilkan keragaan akar yang lebih baik (Gambar 5.3e). AA a b KL c AA AA d e Gambar 5.3 Keragaan hasil stek pucuk tanpa dan dengan ZPT. a. Tanpa ZPT, b. NAA 100 ppm, c. NAA 200 ppm, d. NAA 300 ppm dan e. ZPT komersial, AA:akar adventif, KL: kalus. Hasil pengamatan histologi terhadap akar stek yang dilakukan pada akhir penelitian memperlihatkan akar stek pinus bocor getah berasal dari proses dideferensiasi sel di daerah potongan sekitar kambium dan floem untuk selanjutnya membentuk calon akar dan diakhiri dengan pembentukan meristem

89 74 pada akar (Gambar 5.4). Hal tersebut sesuai dengan penelitian mengenai anatomi asal usul akar adventif pada stek yang dilakukan Hamann (1997) pada P. taeda dan menemukan 4 tahapan proses pembentukan akar adventif yang diawali dengan proliferasi sel pada bagian bawah stek, diferensiasi jaringan vaskuler dan periderm di daerah potongan, dediferensiasi daerah potongan sekitar kambium dan floem untuk selanjutnya membentuk calon akar dan diakhiri dengan pembentukan meristem pada akar. Pembentukan akar pada stek pucuk bibit bocor getah hampir sama dengan pembentukan akar pada P. taeda (Hamann 1997; Diaz Sala 1996) dan P.radiata (Smith dan Thorpe 1975). Akar adventif tidak berkembang langsung dari jaringan batang tertentu maupun primordia akar yang dorman, namun melalui proses pembentukan kalus dan diferensiasi jaringan vaskular di sekitar potongan stek yang terjadi sebelum inisiasi akar. Studi terkini mengenai pembentukan akar stek, menemukan adanya peranan gen-gen yang responsif terhadap auksin dalam mengontrol respon stek terhadap penambahan auksin (Tiberia et al. 2011) selain adanya peranan faktor lingkungan dan tanaman donor. Pada penelitian awal yang dilakukan ditemukan adanya kandidat gen dari kelompok ARF (Auxin response factor), protein yang mengontrol mekanisme respon stek terhadap penambahan auksin. Studi secara khusus pada P. taeda yang dilakukan oleh Goldfarb et al. (2012) menemukan adanya gen yang mirip dengan cyclin-dependent kinases (cdk1 dan cdk) yang bekerja pada epikotil dan hipokotil stek serta mengontrol pembentukan akar. Namun keterkaitan pembentukan akar dengan pengaruh gen tidak dilakukan pada penelitian ini. ox Rp Wx Wcam nx Wp 3mm Per wa Gambar 5.4 Penampang lintang akar stek pinus bocor getah umur 12 MST. wx:wounded xilem, Rp: Root primordium, wcam:wounded cambium, Per: periderm, nx: xilem baru, wp:wounded phloem, wa: wounded area, ox: xilem lama

90 Evaluasi morfologi dan anatomi grafting Morfologi batang pada grafting yang kompatibel dan inkompatibel Hasil pengamatan morfologi batang terhadap hasil grafting yang kompatibel memperlihatkan batang bawah dan batang atas telah menyatu sehingga terlihat seperti satu individu hasil perbanyakan generatif dengan pertumbuhannya diameter yang relatif hampir sama dengan pohon hasil generatif umumnya. Pada daerah sambungan terlihat morfologi yang cukup spesifik dibanding rootstock dan scion dengan ditemukannya kulit batang yang relatif halus dibandingkan serta ditemukannya tanda bekas luka potongan yang merupakan pembatas antara bagian rootstock dengan sambungan (Gambar 5.5), namun secara umum memperlihatkan batang yang lurus. Hasil pengamatan pada grafting yang inkompatibel (abnormal) memperlihatkan bentuk batang yang tidak lurus dengan ukuran batang bawah (rootstock) yang lebih kecil dari batang atas (scion) dengan diameter setinggi dada yang kecil dibandingkan pinus normal pada umur tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa gejala abnormalitas batang merupakan gejala umum yang dijumpai pada grafting yang inkompatibel. Menurut Hartmann et al. (1997) abnormalitas batang tersebut disebabkan karena perbedaan dimensi pertumbuhan antara batang bawah (rootstock) dan batang atas yang tumbuh dari scion serta perbedaan waktu pertumbuhan vegetatif antara batang bawah dan batang atas sehingga dimensi pertumbuhannya tidak sama. Pada kasus penelitian ini dapat disimpulkan bahwa batang atas (scion) mengalami pertumbuhan yang lebih cepat (overgrowth) sehingga batangnya terlihat lebih besar. Selain abnormalitas batang pada grafting yang inkompatibel ditemukan kerusakan pada daerah kulit dan korteks dan swelling pada daerah sambungan (Gambar 5.5c), namun gejala ini merupakan gejala yang umum dijumpai pada pohon hasil grafting (Copes 1980; Ahlgren 1971). Pertumbuhan diameter pada grafting yang kompatibel menunjukkan pola normal layaknya pinus hasil perbanyakan generatif yang berumur 18 tahun, dengan diameter setinggi dada 23.5 cm, sedangkan pada grafting yang inkompatibel pertumbuhan diameter cenderung lambat (11 cm). Untuk memperkuat hasil evaluasi morfologi, selanjutnya dilakukan pengujian secara anatomi untuk melihat struktur sambungan dari bidang lintang dan longitudinal. Gejala inkompatibilitas tidak selalu ditunjukkan dengan kematian grafting pada awal proses sambungan, namun beberapa grafting mampu tumbuh dan terlihat sebagai satu individu baru sampai dewasa meskipun menunjukkan gejala stress dan pola pertumbuhan yang abnormal. Lebih lanjut Hartmann et.al (2002); Copes (1969) mengemukakan gejala lain berupa penurunan pertumbuhan vegetatif, kematian pohon lebih cepat, perbedaan pertumbuhan atau vigor antara scion dan rootstock, perbedaan fase vegetatif antara scion dan rootstock, rootstock yang kerdil dan adanya patahan antar zona yang jelas pada sambungan.

91 76 Sc Sc R a R b c d Gambar 5.5 Keragaan morfologi batang grafting Pinus merkusii umur 18 tahun. a. kompatibel (scion strain kerinci, rootstock strain Aceh), a dan b inkompatibel (scion strain Tapanuli, rootstock strain Aceh), d. Tegakan hasil grafting, R:rootstock; Sc:scion

92 Pembentukan sambungan pada grafting pinus Hasil pengamatan terhadap sortimen papan radial grafting dewasa (Gambar 5.6b) masih menunjukkan adanya bekas empulur scion yang terselip pada rootstock (A), luka bekas proses penyambungan yang ditunjukkan dengan ditemukannya pucuk rootstok yang dipotong saat penyambungan (B) dan bagian bawah scion yang terbenam di dalam kayu (C). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pohon hasil grafting tidak mampu melakukan proses penyembuhan kembali secara sempurna terhadap luka pada proses pembuatan grafting namun tetap mampu tumbuh dengan membentuk kayu baru di sekitar daerah luka. Perbedaaan secara genetika pada rootstock dan scion juga terlihat pada kayu yang terbentuk (D) dengan ditemukannya batas perubahan yang jelas antara rootstock dan scion. Garis batas ini terlihat pada bagian pertemuan antara bagian atas rootstok dan bagian bawah scion. Pada grafting bibit bocor getah (5.6b) juga dijumpai kondisi seperti pada grafting dewasa. Pada grafting bibit muda ini masih terlihat adanya proses pembentukan kalus disekitar daerah sambungan dan bagian scion yang terkubur dalam rootstock (B). Seperti halnya grafting dewasa, bagian empulur pada lokasi pertemuan scion dan rootstock mengalami degenerasi jaringan (berwarna coklat dan selanjutnya mati) hal tersebut terjadi karena bagian empulur bukanlah sel meristematik, sehingga tidak dapat melakukan pembelahan sel. 3.7 cm A B D C D Daerah sambunga A B a C Gambar 5.6 Keragaan penampang radial sortimen batang hasil grafting bibit pinus bocor getah umur 1 tahun (a) dan grafting pinus strain Aceh dan Kerinci umur 18 tahun (b) b

93 78 Ketinggian sambungan awal yang berbeda diduga juga mempengaruhi pola pembentukan sambungan pada grafting. Hasil penelitian ini menunjukkan ketinggian sambungan yang rendah mampu menghasilkan individu pohon hasil grafting dengan sambungan yang lebih sempurna, yang ditunjukkan dengan morfologi batang yang lebih lurus (Gambar 5.7). 4.2 cm a 0.18 m 0.60 m 1.00 m 1.22 m 1.72 m 4.2 cm 4.2 cm b 0.18m 0.60m 1.00 m 1.22m 1.72m Gambar 5.7 Sortimen batang hasil grafting umur 18 tahun pada ketinggian sambungan berbeda (a) dan penampang radial grafting dengan ketinggian berbeda (b)

94 79 Pengamatan potongan bidang radial pada ketinggian sambungan awal dengan ketinggian yang berbeda memperlihatkan pola pembentukan sambungan yang hampir sama. Pada grafting dengan ketinggian sambungan awal yang lebih rendah (walaupun memperlihatkan sambungan sempurna), masih dijumpai adanya bagian scion yang tersisip pada rootstock dan luka bekas penyambungan, demikian juga dengan ketinggian sambungan yang lainnya (Gambar 5.8). 2.1 cm 2.1 cm a 0.18 m 0.60 m b cm cm d 1.22 m 2.1 cm c 1.00 m 2.1 cm2.1 cm e 1.72 m Gambar 5.8 Keragaan daerah sambungan (interface) dari grafting pada ketinggian sambungan berbeda. a. Kondisi daerah interface; pada ketinggian sambungan 0.18 m, b. Kondisi daerah; interface pada ketinggian sambungan 0.60 m, c. Kondisi; daerah interface pada ketinggian sambungan 1.00 m, d. Kondisi daerah interface pada ketinggian sambungan 1.22m, e. kondisi daerah interface pada ketinggian sambungan 1.72 m.

95 80 Beberapa studi mengenai anatomi zona sambungan telah dikemukakan oleh Barnett dan Miller (1994); Barnett danweatherhead (1988); Copes (1999) dan Evans (1972). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sambungan pada grafting diawali dengan pembelahan sel kalus yang berasal dari scion dan rootstock secara cepat dan diakhiri dengan proses diferensiasi melalui pembentukan kambium vaskuler (meristem lateral) dan bersatu dengan sistem pembuluh yang telah ada. Hal tersebut terjadi karena sel-sel kambium bersifat meristematik yang mampu melakukan fusi fungsional dan struktural. Setelah terjadi fusi perkembangan sambungan selanjutnya melalui 3 proses yaitu adhesi rootstock dan scion; proliferasi sel kalus pada zona sambungan atau callus bridge dan diferensiasi pada zona sambungan (Moe dan Andersen 1982). Keberhasilan proses proliferasi dan diferensiasi akan menentukan pertumbuhan pohon selanjutnya. Pada grafting, scion tidak akan tumbuh dengan baik apabila jaringan pembuluh yang terbentuk pada zona sambungan tidak berkembang dengan baik karena jaringan pembuluh merupakan lokasi bagi transportasi air dan nutrisi mineral pada tanaman. Dan sebaliknya, degenerasi rootstock juga akan terjadi jika ada gangguan floem pada zona sambungan sehingga transport karbohidrat dan metabolit lain dari scion ke sistem perakaran. Hal inilah kemungkinan penyebab terjadinya perbedaan pertumbuhan antara grafting kompatibel dan inkompatibel. Pada dasarnya inkompatibilitas terjadi karena pertumbuhan kambium scion dan rootstock tidak seirama. Jika pertumbuhan rootstock lebih cepat dari scion maka batang bawah sambungan akan menjadi lebih besar (Gambar 5.5b), atau terjadi sebaliknya jika pertumbuhan scion lebih cepat dari rootstock maka batang atas sambungan akan menjadi lebih besar (Gambar 5.5c). Pada bagian kontak kayu scion dan rootstock tidak terjadi penyambungan yang sempurna sehingga bagian kayu tersebut menjadi jaringan mati (Gambar 5.6 b). Menurut Jayawickrama et al. (1997), bagian scion merupakan bagian sangat penting pada pohon hasil grafting. Bagian scion akan menentukan pertumbuhan grafting, menentukan sifat dari suatu pohon hasil grafting, termasuk pertumbuhan dan reproduksinya. Kajian seluler mengenai pengaruh grafting terhadap pertumbuhan pohon yang dilakukan oleh Pina et al. (2009) menyebutkan kesesuaian sel rootstockscion dan komunikasi antar sel merupakan faktor penentu kesuksesan grafting. Salah satu penentu kesuksesan komunikasi antar sel grafting adalah keberadaan plasmodesmata. Plasmodesmata ini merupakan saluran pada dinding sel sebagai lintasan bagi larutan dan makromolekul diantara sitoplasma sel-sel sekelilingnya. Inkompatibilitas pada grafting terkait dengan kapasitas transportasi interseluler yang rendah dan jumlah plasmodesmata fungsional yang sedikit sehingga mengganggu pertumbuhan Anatomi daerah rootstock dan sambungan secara makroskopis Pengamatan makroskopis secara umum pada penelitian ini masih menemukan adanya bekas luka sambungan dan daerah perbatasan scion-rootstock. Pada grafting kompatibel dijumpai adanya kayu baru yang terbentuk pada daerah sambungan dan areal sekitar kulit (5.9a), yang menunjukkan telah bersatunya jaringan pada bagian scion dan rootstok. Tidak ada kerusakan signifikan yang

96 81 dijumpai pada sampel pengeboran, namun masih terlihat adanya luka bekas scion yang menempel pada rootstok (5.9c) yang telah tertutup dan bersatu dengan selsel sekitarnya. Pada bagian sambungan dijumpai adanya batas antara scion dan rootstock yang ditunjukkan dengan perbedaan warna kayu dan pembentukan kayu baru (5.9a). Pada grafting inkompatibel dijumpai adanya kulit kayu tersisip pada bagian pinggir sambungan yang menandakan bagian kulit rootstock dan scion yang tidak bersatu (5.9b), selain itu juga dijumpai adanya bekas empulur rootstok salah satu sisi yang tidak bersatu dengan scion (empulur scion menjulur ke kanan mendekati kulit), dan sebagai akibatnya terjadi ketidaksimetrisan pada riap tumbuh, sehingga kayu hanya tumbuh ke arah kiri, sedangkan kearah kanan terhenti (Gambar 5.9 bdand). Pada grafting kompatibel terlihat jelas adanya batas perubahan kayu antara scion dan rootstock (Gambar 5.9a). Sifat kayu yang dihasilkan pada daerah sambungan scion-rootstock pada grafting kompatibel, mengikuti sifat scion, hal tersebut juga ditunjukkan dengan warna kayu yang sama (5.9a). Pada grafting inkompatibel sebagian besar kayu terbentuk mengikuti scion, namun sebagian lagi masih mengikuti rootstock (Gambar 5.9b). Adapun perbandingan kondisi grafting kompatibel dan inkompatibel secara makroskopis disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Kondisi makroskopis grafting kompatibel dan inkompatibel Variabel pengamatan Sel-sel kayu baru Sel kayu yang rusak Empulur rootstock yang tidak bersatu Bagian Kompatibel ( :23.5 cm) Inkompatibel( :11 cm) Panjang (cm) Persentase (%) Panjang (cm) Persentase (%) sambungan sambungan rootstock sambungan 2 Tidak ada sambungan Tidak ada rootstock Tidak ada sambungan 2 Tidak ada sambungan Tidak ada rootstock Tidak ada 0 Tidak ada 0 Sel mati sambungan 2 Tidak ada sambungan Tidak ada rootstock Tidak ada Sambungan yang belum menempel sambungan 2 Tidak ada sambungan Tidak ada rootstock Tidak ada

97 82 a R I Sc b R I Sc c d d Gambar 5.9 Pengamatan makroskopis sortimen hasil pengeboran. a. Daerah sambungan kompatibel, b. Rootstock kompatibel, c. Sambungan inkompatibel, d. Rootstock inkompatibel, R:rootstock; I:sambungan; Sc: scion.

98 83 Pembentukan sel-sel kayu baru sedikit sekali dijumpai pada grafting yang inkompatibel dan secara keseluruhan sel kayu baru yang terbentuk juga mengalami kerusakan. Hal tersebut sesuai dengan Mckeand dan Raley (2000) yang menyatakan pembentukan sel-sel baru yang berasal dari kalus pada zona sekitar luka sambungan merupakan respon positif dan salah satu indikator makroskopis keberhasilan sambungan sedangkan pada grafting yang inkompatibel fenomena tersebut sangat sedikit dijumpai. Adapun ilustrasi Tabel 5.3 disajikan pada Gambar Untuk mempelajari lebih detail mengenai kerusakan dan kondisi daerah sambungan selanjutnya dilakukan analisis secara mikroskopis. a b Gambar 5.10 Ilustrasi grafting kompatibel (a) dan inkompatibel (b). R:rootstock, Sc:scion, E:empulur, I: interface(sambungan) Anatomi zona rootstock dan sambungan secara mikroskopis Bidang lintang Keragaan bidang lintang daerah sambungan pada kedua jenis grafting memperlihatkan hasil yang berbeda. Pada grafting kompatibel masih dijumpai beberapa ketidaknormalan terutama di zona perbatasan scion-rootstock seperti penebalan floem, lingkaran tahun yang bergelombang (undulated) dan struktur saluran resin yang rusak terutama pada zona sambungan dan peralihan (5.11a). Penebalan floem pada zona sambungan terjadi karena zona progresif yang memiliki sel floem tersambung dengan zona di bawahnya yang perkembangan xylem dan floem terbatas sehingga meningkatkan jarak antar floem. Zona ini terbentuk karena adanya aktifitas kelompok sel yang terisolasi akibat aktifitas meristematiknya tertahan setelah kambium dan sel turunan di sekitarnya membelah (Copes 1999). Pada sambungan yang inkompatibel juga ditemukannya gejala yang hampir sama dengan ditemukannya pola lingkaran tahun yang bergelombang (undulated) terutama pada bagian dekat empulur rootstock dan sambungan scion-rootstock, penebalan floem serta kerusakan saluran resin (5.11b) hanya saja kerusakan tersebut ditemukan hampir pada semua bagian kayu. Kemungkinan menjadi salah satu penyebab pertumbuhannya yang relatif lambat. Hasil serupa juga dijumpai pada evaluasi hasil grafting pada kebun benih klon pinus yang lain (Copes 1980) yang menemukan gejala yang sama pada grafting umur 4 dan 8 tahun.

99 84 a S LB R I S PF b R I S c d Gambar 5.11 Penampang mikroskopis bidang lintang hasil grafting strain Aceh dan strain Kerinci umur 18 tahun. a. Daerah sambungan kompatibel, b. Rootstock kompatibel, c. sambungan inkompatibel, d. Rootstock inkompatibel, R:rootstock, I:sambungan, Sc: scion, PF:penebalan floem, LB:lingkaran taun bergelombang, SR:saluran resin rusak

100 Bidang tangensial Keragaan bidang tangensial daerah sambungan pada kedua jenis grafting memperlihatkan hasil yang berbeda. Pada bidang tangensial grafting kompatibel masih dijumpai kerusakan pada sel jari-jari terutama di bagian sambungan dan bagian empulur demikian juga dengan bagian rootstock. Pada lokasi tersebut juga dijumpai sel-sel baru yang sangat tipis, dan jaringan kayu yang cukup lunak sehingga mengalami kerusakan ketika dipotong (Gambar 5.12a,c). Sel-sel baru yang sangat tipis tersebut diduga merupakan hasil proliferasi jaringan kalus yang terbentuk pada daerah sambungan dan membentuk penghubung (cambial bridge) antara scion dan rootstock yang nantinya akan membentuk pembuluh sekunder pada batang. Ditemukannya sel-sel baru yang lunak tersebut merupakan indikator bahwa sampai saat ini proses penyembuhan terhadap luka akibat sambungan masih dilakukan. Secara keragaan anatominya kayu baru yang terbentuk pada daerah sambungan (interface) mengikuti pola scionnya. Pada grafting yang inkompatibel kerusakan sel jari-jari ditemui pada semua bagian sambungan (luar, tengah dan dalam). Selain itu dijumpai adanya sel mati yang diduga merupakan bekas material scion pada daerah sambungan yang tidak mengalami pertumbuhan (berkayu keras) dan tidak ditemukannya sel-sel kayu lunak pada daerah sekitarnya sebagaimana grafting yang kompatibel. Hal tersebut sesuai dengan Pina et al. (2009) mengemukakan inkompatibilitas pada grafting ditunjukkan dengan sedikitnya jaringan pembuluh, diskontinuitas pembuluh dan degenerasi floem didaerah sambungan. Selanjutnya dikemukakan bahwa jumlah pembuluh yang relatif sedikit, diskontinuitas pembuluh dan degenerasi floem menyebabkan gangguan transfer nutrisi dan air oleh xylem dari akar, dan juga menyebabkan gangguan dalam transfer hasil fotosintat melalui floem. Lebih lanjut disebutkan bahwa sedikitnya plasmodesmatal yang terbentuk pada awal pertumbuhan menjadi salah satu penyebab inkompatibilitas karena merupakan jaringan dalam dinding sel sebagai lintasan makromolekul dan larutan pada sel-sel disekitarnya (Pina et al. 2009; Darikova et al. 2011). Pada teknik grafting, peluang terjadinya inkompatibilitas sambungan sangat besar karena beragam faktor penyebab. Oleh karena itu kompatibilitas grafting seharusnya dapat dideteksi lebih dini sehingga mampu meminimalisir peluang inkompatibiltas pada pohon hasil sambungan. Beberapa penelitian terkini berhasil menemukan adanya senyawa phenol dan senyawa lain pada daerah sambungan yang menjadi indikator keberhasilan sambungan (Errea et al. 2001; Mng omba et al dan Zarrouk et al. 2010). Penggunaan marka biokimia seperti fenol, pati, polipeptida dan aktivitas peroksidase sedang dikembangkan dan cukup prospektif untuk mendeteksi keberhasilan sambungan pada tahap awal pertumbuhan.

101 86 a KL R I SC a b I SC c SS d Gambar 5.12 Penampang mikroskopis bidang longitudinal hasil grafting strain Aceh dan strain Tapanuli umur 18 tahun. a.daerah sambungan kompatibel, b.rootstock kompatibel,c. Sambungan inkompatibel, d. Rootstock inkompatibel. R:rootstock, Sc:scion, E:empulur, I: Inteface:sambungan, KL:kayu lunak, SS:Scion terselip

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pinus merkusii merupakan salah satu jenis pohon yang penting untuk industri kayu pertukangan, pulp dan kertas, rehabilitasi lahan dan produksi getah di Indonesia (Suhardi

Lebih terperinci

2 STRUKTUR PRODUKSI GETAH DAN PERTUMBUHAN PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH

2 STRUKTUR PRODUKSI GETAH DAN PERTUMBUHAN PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 7 2 STRUKTUR PRODUKSI GETAH DAN PERTUMBUHAN PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 2.1 Pendahuluan Pinus merkusii merupakan jenis pohon yang dikenal sebagai penghasil kayu dan getah yang cukup potensial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yaitu di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Dalam perkembangannya tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yaitu di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Dalam perkembangannya tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pinus merkusii merupakan spesies pinus yang tumbuh secara alami di Indonesia yaitu di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Dalam perkembangannya tanaman P. merkusii banyak dibudidayakan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu

BAB I PENDAHULUAN. dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan kayu meningkat setiap tahun, sedangkan pasokan yang dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu dunia diperkirakan sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani merupakan sebuah badan usaha yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola hutan tanaman yang ada di Pulau Jawa dan Madura dengan menggunakan

Lebih terperinci

3 MORFOGENETIKA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH

3 MORFOGENETIKA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 24 3 MORFOGENETIKA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 3. Pendahuluan Hasil analisis struktur produksi getah dan struktur pertumbuhan pinus kandidat bocor getah di KBS Perum Perhutani (Bab 2) menunjukkan

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

4 STRUKTUR ANATOMI SALURAN RESIN PADA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH

4 STRUKTUR ANATOMI SALURAN RESIN PADA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 50 4 STRUKTUR ANATOMI SALURAN RESIN PADA PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 4.1 Pendahuluan Hasil analisis morfogenetika (Bab 3) menunjukkan bahwa produksi getah dipengaruhi oleh faktor genetika dan terdapat

Lebih terperinci

Penyiapan Benih Unggul Untuk Hutan Berkualitas 1

Penyiapan Benih Unggul Untuk Hutan Berkualitas 1 Penyiapan Benih Unggul Untuk Hutan Berkualitas 1 Arif Irawan 2, Budi Leksono 3 dan Mahfudz 4 Program Kementerian Kehutanan saat ini banyak bermuara pada kegiatan rehabillitasi hutan dan lahan serta kegiatan

Lebih terperinci

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata Satu (S1) Program Studi Agronomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna

BAB I PENDAHULUAN. jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Jati merupakan kayu yang memiliki banyak keunggulan, antara lain yaitu jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna (2005) yang menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perum Perhutani merupakan Perusahaan milik negara yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di Pulau Jawa dan Madura dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Pinus 2.1.1. Habitat dan Penyebaran Pinus di Indonesia Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah

Lebih terperinci

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang menjadi sentra penanaman jati adalah puau Jawa (Sumarna, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang menjadi sentra penanaman jati adalah puau Jawa (Sumarna, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu jati dikenal sebagai kayu mewah karena kekuatan dan keawetannya dan merupakan salah satu tanaman yang berkembang baik di indonesia. Hal tersebut tercermin dari

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. F) merupakan salah satu jenis penghasil kayu pertukangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi untuk berbagai macam keperluan pertukangan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jabon merah ( Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil.) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang cepat tumbuh (fast growing species) dan relatif tahan terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, karena kayu jati telah dianggap sebagai sejatining kayu (kayu yang sebenarnya).

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT SKRIPSI KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT Oleh: Fitri Yanti 11082201730 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

JMHT Vol. XV, (3): , Desember 2009 Artikel Ilmiah ISSN:

JMHT Vol. XV, (3): , Desember 2009 Artikel Ilmiah ISSN: Evaluasi Pertumbuhan dan Keragaman Genetik Tanaman Gunung (Dipterocarpus retusus blume.) dan (Dipterocarpus hasseltii blume.) Berdasarkan Penanda RAPD Growth and Genetic Variation Evaluation of Mountain

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA UMUR DAN TINGKAT JUVENILITAS DENGAN KEBERHASILAN STEK DAN SAMBUNGAN PUCUK MERANTI TEMBAGA (Shorea leprosula MIQ.

HUBUNGAN ANTARA UMUR DAN TINGKAT JUVENILITAS DENGAN KEBERHASILAN STEK DAN SAMBUNGAN PUCUK MERANTI TEMBAGA (Shorea leprosula MIQ. HUBUNGAN ANTARA UMUR DAN TINGKAT JUVENILITAS DENGAN KEBERHASILAN STEK DAN SAMBUNGAN PUCUK MERANTI TEMBAGA (Shorea leprosula MIQ.) DANU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI JAWA BARAT IBRAHIM HAMZAH

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI JAWA BARAT IBRAHIM HAMZAH ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI JAWA BARAT IBRAHIM HAMZAH DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

TEKNIK PENUNJUKAN DAN PEMBANGUNAN SUMBER BENIH. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P.

TEKNIK PENUNJUKAN DAN PEMBANGUNAN SUMBER BENIH. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P. TEKNIK PENUNJUKAN DAN PEMBANGUNAN SUMBER BENIH Dr. Ir. Budi Leksono, M.P. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta 1 I. PENDAHULUAN Sumber benih merupakan tempat dimana

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT

KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT SKRIPSI KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT Oleh: Julianti 11082201605 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS ISLAM

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penanaman di lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan Darmaga Bogor. Kebun percobaan memiliki topografi datar dengan curah hujan rata-rata sama dengan

Lebih terperinci

STUDI MODEL STRUKTUR TEGAKAN HUTAN TANAMAN Pinus merkusii Jungh et de Vriese TANPA PENJARANGAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MUTIA ADIANTI

STUDI MODEL STRUKTUR TEGAKAN HUTAN TANAMAN Pinus merkusii Jungh et de Vriese TANPA PENJARANGAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MUTIA ADIANTI STUDI MODEL STRUKTUR TEGAKAN HUTAN TANAMAN Pinus merkusii Jungh et de Vriese TANPA PENJARANGAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MUTIA ADIANTI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG JATI PURWOBINANGUN 5/13/2016

LATAR BELAKANG JATI PURWOBINANGUN 5/13/2016 JATI PURWOBINANGUN LATAR BELAKANG Jati merupakan salah satu primadona hutan rakyat di Indonesia Estmasi hutan rakyat dengan jenis utama jati mencapai 1.2 juta ha dari 1.7 juta hutan jati di Indonesia (

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jati (Tectona grandis Linn F.) merupakan salah satu produk kayu mewah

BAB I PENDAHULUAN. Jati (Tectona grandis Linn F.) merupakan salah satu produk kayu mewah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn F.) merupakan salah satu produk kayu mewah hasil hutan yang sangat diminati di pasaran. Kayu jati sering dianggap sebagai kayu dengan serat

Lebih terperinci

SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN TETUA BETINA IRR 111 DENGAN BEBERAPA TETUA JANTAN TAHUN PADA TANAMAN KARET

SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN TETUA BETINA IRR 111 DENGAN BEBERAPA TETUA JANTAN TAHUN PADA TANAMAN KARET SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN TETUA BETINA IRR 111 DENGAN BEBERAPA TETUA JANTAN TAHUN 2006-2008 PADA TANAMAN KARET (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) SKRIPSI OLEH : SULVIZAR MUSRANDA / 100301155

Lebih terperinci

EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI

EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI SKRIPSI Ajeng Widayanti PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

Lebih terperinci

EVALUASI KARAKTER BERBAGAI VARIETAS KEDELAI BIJI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) AZRISYAH FUTRA

EVALUASI KARAKTER BERBAGAI VARIETAS KEDELAI BIJI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) AZRISYAH FUTRA EVALUASI KARAKTER BERBAGAI VARIETAS KEDELAI BIJI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) AZRISYAH FUTRA 060307012 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 EVALUASI

Lebih terperinci

hutan tetap lestari, tetapi dari aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu

hutan tetap lestari, tetapi dari aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Hutan Indonesia seluas 120 juta hektar, kondisinya sangat memprihatinkan, laju deforestasi relatif masih tinggi meskipun ada penurunan. Pada periode tahun 1998-2000 laju

Lebih terperinci

PENYIAPAN BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN BERKUALITAS 1

PENYIAPAN BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN BERKUALITAS 1 PENYIAPAN BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN BERKUALITAS 1 Arif Irawan 2, Budi Leksono 3 dan Mahfudz 4 2,4 Balai Penelitian kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget Manado, E-mail : arif_net23@yahoo.com

Lebih terperinci

MORFOLOGI BENIH, PEMATAHAN DORMANSI DAN PERKECAMBAHAN BENIH KEMENYAN DURAME (Styrax benzoin Dryander)

MORFOLOGI BENIH, PEMATAHAN DORMANSI DAN PERKECAMBAHAN BENIH KEMENYAN DURAME (Styrax benzoin Dryander) MORFOLOGI BENIH, PEMATAHAN DORMANSI DAN PERKECAMBAHAN BENIH KEMENYAN DURAME (Styrax benzoin Dryander) SKRIPSI Oleh: Fatma Safira 121201007 BUDIDAYA HUTAN Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kering tidak lebih dari 6 bulan (Harwood et al., 1997). E. pellita memiliki

BAB I PENDAHULUAN. kering tidak lebih dari 6 bulan (Harwood et al., 1997). E. pellita memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Eucalyptus pellita F. Muell (E. pellita) merupakan spesies cepat tumbuh yang mampu beradaptasi dengan lingkungan tropis yang lembab dengan musim kering tidak lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) MUHAMMAD IQBAL SYUKRI DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini kebutuhan kayu di Indonesia semakin meningkat. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini kebutuhan kayu di Indonesia semakin meningkat. Peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kebutuhan kayu di Indonesia semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang mengakibatkan peningkatan konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. umumnya disebabkan oleh beberapa hal seperti berkurangnya luas kawasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. umumnya disebabkan oleh beberapa hal seperti berkurangnya luas kawasan hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dua dekade terakhir ini, industri pulp dan kertas di Indonesia berkembang pesat sehingga menyebabkan kebutuhan bahan baku meningkat dengan cepat. Sementara itu,

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN.

ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN. ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN. Dwi Nugroho Artiyanto E 24101029 DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kering yang nyata, tipe curah hujan C F, jumlah curah hujan rata-rata 1.200

BAB I PENDAHULUAN. kering yang nyata, tipe curah hujan C F, jumlah curah hujan rata-rata 1.200 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati merupakan tanaman komersil yang tumbuh pada tanah sarang, terutama pada tanah yang berkapur. Jenis ini tumbuh di daerah dengan musim kering yang nyata, tipe curah

Lebih terperinci

EVALUASI KARAKTER TANAMAN KEDELAI HASIL RADIASI SINAR GAMMA PADA GENERASI M 2

EVALUASI KARAKTER TANAMAN KEDELAI HASIL RADIASI SINAR GAMMA PADA GENERASI M 2 EVALUASI KARAKTER TANAMAN KEDELAI HASIL RADIASI SINAR GAMMA PADA GENERASI M 2 HENRY ARDIANSYAH SIPAHUTAR 060307024 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

Lebih terperinci

Dengan demikian untuk memperoleh penotipe tertentu yang diinginkan kita bisa memanipulasi faktor genetik, faktor lingkungan atau keduaduanya.

Dengan demikian untuk memperoleh penotipe tertentu yang diinginkan kita bisa memanipulasi faktor genetik, faktor lingkungan atau keduaduanya. III. SELEKSI POHON PLUS Langkah paling awal dalam pemuliaan pohon adalah seleksi pohon plus. Seperti diketahui bahwa beberapa program penangkaran bagi sifatsifat yang diinginkan dari suatu pohon dimulai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani tanaman karet Menurut Sianturi (2002), sistematika tanaman karet adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

Lebih terperinci

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H0709085 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STEK AKAR SUKUN (Artocarpus communis Forst.) BERDASARKAN PERBEDAAN JARAK AKAR DARI BATANG POHON

PERTUMBUHAN STEK AKAR SUKUN (Artocarpus communis Forst.) BERDASARKAN PERBEDAAN JARAK AKAR DARI BATANG POHON PERTUMBUHAN STEK AKAR SUKUN (Artocarpus communis Forst.) BERDASARKAN PERBEDAAN JARAK AKAR DARI BATANG POHON SURYA DANI DAULAY 061202039 PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN SIFAT ANATOMI KAYU TUSAM (Pinus merkusii) ALAMI DAN TANAMAN

PERBANDINGAN SIFAT ANATOMI KAYU TUSAM (Pinus merkusii) ALAMI DAN TANAMAN PERBANDINGAN SIFAT ANATOMI KAYU TUSAM (Pinus merkusii) ALAMI DAN TANAMAN SKRIPSI Oleh: FRISKA EVALINA GINTING 081203048/ TEKNOLOGI HASIL HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG IRFIAH FIROROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN SILVIKULTUR Metode Permudaan Metode permudaan merupakan suatu prosedur dimana suatu

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI Oleh Dheska Pratikasari NIM 091510501136 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaman Sifat Pertumbuhan dan Taksiran Repeatability Penelitian tentang klon JUN hasil perkembangbiakan vegetatif ini dilakukan untuk mendapatkan performa pertumbuhan serta

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI OLEH : HENDRIKSON FERRIANTO SITOMPUL/ 090301128 BPP-AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dimulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Kondisi curah hujan selama penelitian berlangsung berada pada interval 42.9 mm sampai dengan 460.7

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Terkait dalam peningkatan jumlah penduduk, tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Terkait dalam peningkatan jumlah penduduk, tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Terkait dalam peningkatan jumlah penduduk, tuntutan dalam pemanfaatan sumber daya

Lebih terperinci

KONTRIBUSI PENYADAPAN GETAH PINUS (Pinus merkusii) TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PENYADAP SKRIPSI HENNY MONIKA SITORUS /MANAJEMEN HUTAN

KONTRIBUSI PENYADAPAN GETAH PINUS (Pinus merkusii) TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PENYADAP SKRIPSI HENNY MONIKA SITORUS /MANAJEMEN HUTAN KONTRIBUSI PENYADAPAN GETAH PINUS (Pinus merkusii) TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PENYADAP SKRIPSI HENNY MONIKA SITORUS 071201024/MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

Sugeng Pudjiono 1, Hamdan Adma Adinugraha 1 dan Mahfudz 2 ABSTRACT ABSTRAK. Pembangunan Kebun Pangkas Jati Sugeng P., Hamdan A.A.

Sugeng Pudjiono 1, Hamdan Adma Adinugraha 1 dan Mahfudz 2 ABSTRACT ABSTRAK. Pembangunan Kebun Pangkas Jati Sugeng P., Hamdan A.A. Pembangunan Kebun Pangkas Jati Sugeng P., Hamdan A.A. & Mahfudz PEMBANGUNAN KEBUN PANGKAS JATI SEBAGAI SALAH SATU SUMBER BENIH UNTUK MENDAPATKAN BIBIT UNGGUL GUNA MENDUKUNG KEBERHASILAN PROGRAM PENANAMAN

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH:

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: DESY MUTIARA SARI/120301079 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/100301085 AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN INTERVAL PENYIRAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JAMBU AIR MADU DELI HIJAU (Syzgizium samarangense) SKRIPSI OLEH :

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN INTERVAL PENYIRAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JAMBU AIR MADU DELI HIJAU (Syzgizium samarangense) SKRIPSI OLEH : PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN INTERVAL PENYIRAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JAMBU AIR MADU DELI HIJAU (Syzgizium samarangense) SKRIPSI OLEH : FRANS JULIANTA KARO-KARO 100301151 BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : HENDRI SIAHAAN / 060307013 BDP PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Gambar 2 Lokasi penelitian dan pohon contoh penelitian di blok Cikatomas.

Gambar 2 Lokasi penelitian dan pohon contoh penelitian di blok Cikatomas. 21 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lapangan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam satu blok, yaitu di petak penelitian permanen teknologi penyadapan getah pinus (blok Cikatomas) dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang diminati dan paling banyak dipakai oleh masyarakat, khususnya di Indonesia hingga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu pembibitan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, dan penanaman dilakukan di

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS

IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS Shorea johorensis Foxw DI PT. SARI BUMI KUSUMA BERDASARKAN RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) TEDI YUNANTO E14201027

Lebih terperinci

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH :

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : DINI RIZKITA PULUNGAN 110301079 / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan upaya strategis dalam mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu domestik di Indonesia. Tujuan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan penyediaan kayu jati mendorong Perum Perhutani untuk menerapkan silvikultur intensif guna memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno,

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sengon merupakan salah satu tanaman cepat tumbuh yang dipilih dalam program pembangunan hutan tanaman industri (HTI) karena memiliki produktivitas yang tinggi dengan

Lebih terperinci

KOMPETENSI, MASA KERJA, JAM KERJA EFEKTIF, DAN KINERJA KARYAWAN DI THE DHARMAWANGSA JAKARTA

KOMPETENSI, MASA KERJA, JAM KERJA EFEKTIF, DAN KINERJA KARYAWAN DI THE DHARMAWANGSA JAKARTA KOMPETENSI, MASA KERJA, JAM KERJA EFEKTIF, DAN KINERJA KARYAWAN DI THE DHARMAWANGSA JAKARTA Tesis Untuk memenuhi sebagian Persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S 2 Program Studi Magister Manajemen

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret ISOLASI DNA DENGAN METODE DOYLE AND DOYLE DAN ANALISIS RAPD PADA SAWO SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

PRAKATA. Purwokerto, Februari Penulis. iii

PRAKATA. Purwokerto, Februari Penulis. iii PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Vegetasi Tumbuhan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PENYADAPAN GETAH PINUS DENGAN METODE BOR TANPA PIPA RIZKY RAMADHAN PURNAWATI

PRODUKTIVITAS PENYADAPAN GETAH PINUS DENGAN METODE BOR TANPA PIPA RIZKY RAMADHAN PURNAWATI PRODUKTIVITAS PENYADAPAN GETAH PINUS DENGAN METODE BOR TANPA PIPA RIZKY RAMADHAN PURNAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci