BAB I PENDAHULUAN. (BUMN) semula berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. (BUMN) semula berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan perundang-undangan yang menyangkut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semula berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk Usaha Negara 1. Perppu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara (selanjutnya disebut sebagai UU No. 9 Tahun 1969 ). Selanjutnya UU No. 9 Tahun 1969 tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut sebagai UU No. 19 Tahun 2003 ), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70 pada tanggal 19 Juni Menurut UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN diharapkan dapat mencapai tujuan awal sebagai agen pembangunan dan pendorong terciptanya korporasi. Namun karena terdapat berbagai kendala, BUMN belum 1 UU No 9 Tahun 1969 tentang Bentuk Badan Usaha Negara berasal dari Perpu No. 1 Tahun 1969 ini masuk dalam Lembaran Negara Tahun 1969 No. 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) tentang Bentuk Usaha Negara (lihat hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_1969.htm 2 Dengan berlakunya UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, maka peraturan perundang-undangan sebelumnya tidak berlaku lagi, yakni: (1) 1

2 sepenuhnya mampu berkompetisi dalam persaingan bisnis secara global. Pada sisi yang lain perkembangan ekonomi dunia berlangsung sangat dinamis, terutama berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan internasional. 3 Dalam perkembangannya, pengelolaan BUMN secara profesional masih belum dilakukan. Masalah ini berhubungan paling tidak dengan 2 (dua) kejadian penting, yaitu pertama yang berkaitan dengan isu korupsi dan yang kedua berkaitan dengan kepailitan. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Negara, bahwa persero identik dengan perseroan terbatas (untuk selanjutnya disebut PT ), maka berlaku segala ketentuan dari prinsip-prinsip yang berlaku untuk PT termasuk dalam hal kepailitan. Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 menyatakan: Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Apabila persero mengalami kepailitan, maka berlakulah ketentuan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut sebagai UU No. 40 Tahun 2007 ) maupun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut sebagai UU No. 37 Tahun 2004 ). Mengenai modal BUMN, Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2003 mengemukakan: (1) Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. 3 Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang No 19 Tahun 2003 LN Th Nomor 70, Penjelasan pada ketentuan umum. 2

3 (2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: (a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (b) Kapitalisasi cadangan; (c) Sumber lainnya. (3) Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Sebagai perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh negara, perusahaan perseroan terus mengalami perkembangan. Namun disayangkan bahwa masih terdapat masalah yang belum jelas dalam hubungannya dengan unsur kepemilikan Negara terhadap asset atau kekayaan persero khususnya bila terjadi kepailitan terhadap persero. Hal ini apabila dikaji berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ( untuk selanjutnya disebut UU No. 17 Tahun 2003 ). Pada UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 (ayat) dikemukakan mengenai definisi Keuangan Negara, yakni: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya, mengenai cakupan atau apa yang termasuk dalam Keuangan Negara, Pasal 2 huruf (g) UU No. 17 Tahun 2003, memperinci sembilan macam jenis keuangan negara yang salah satunya adalah yang terkait dengan BUMN/ BUMD, yakni: g. kekayaan negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. 3

4 Ketentuan tersebut senada dengan bunyi Pasal 4 ayat (1) dan pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang mendefinisikan modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, sebagaimana telah disebutkan di atas. Seperti diketahui, BUMN yang berbentuk Persero merupakan Perseroan Terbatas (PT) yang modalnya terbagai atas saham-saham yang seluruh atau paling sedikitnya 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara yang bertujuan utamanya adalah mengejar keuntungan. Modal BUMN (untuk bagian saham yang dimiliki Negara) merupakan dan berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Kerancuan mulai timbul, bahwa konsep kepemilikan negara terhadap kekayaan negara yang dipisahkan yang terdapat dalam UU No. 17 Tahun 2003 ini tidak sejalan atau tidak harmonis dengan konsep kekayaan yang dipisahkan merupakan kekayaan badan hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 yang mendasarkan pada teori badan hukum dari teori kuasa lingkungan. Hal tersebut menimbulkan daerah abu-abu antara hukum public dengan hukum privat atas kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN yang menjadi penyertaan modal Negara dalam BUMN persero. Adanya kerancuan mengenai konsep uang negara dan uang persero tersebut, akhirnya berpengaruh juga pada masalah permohonan kepailitan yang terjadi pada BUMN Persero. Apabila mengikuti pemikiran UU No. 17 Tahun 2003, maka terhadap BUMN Persero tidak dapat dipailitkan oleh siapapun karena menurut ketentuan Pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang 4

5 Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut sebagai UU No. 1 Tahun 2004 ), pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap uang atau surat berharga milik negara/daerah, baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pihak ketiga, padahal esensi dari kepailitan adalah bersifat umum. Karena adanya ketidak jelasan konsep tentang keuangan Negara yang bersifat publik serta tidak ada konsistensi dalam aturan hukum tersebut, maka mengakibatkan dalam praktik hukum timbul ketidakpastian hukum bahkan hingga penelitian ini dilakukan masih menjadi bahan perdebatan. Meskipun sudah diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ternyata dalam praktik masih terjadi penyimpangan. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang teresebut dalam penerapannya masih menemui kesimpangsiuran, terlebih lagi dalam menghadapi proses p itan suatu BUMN. Kesimpangsiuran ini juga terkait dengan pengertian BUMN itu sendiri yang berakibat pada bisa atau tidaknya suatu BUMN dipailitkan. Sehingga dalam hal ini UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara juga mempunyai peran dalam pertimbangan proses p itan BUMN. Hingga saat ini masih terdapat beberapa kasus BUMN Persero yang bermasalah, terutama dalam ketidakmampuan membayar utang-utang kepada kreditur dan dituntut pailit pihak ketiga, baik kreditur maupun karyawan. Namun sejumlah kerancuan masih muncul ke permukaan, yakni: 1. Masalah status BUMN yang merupakan badan hukum tersendiri, memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri/ pemiliknya (negara). 5

6 BUMN merupakan badan usaha, lembaga privat, bukan lembaga publik, dan bukan instansi pemerintah. Bagi BUMN Persero (PT) berlaku sepenuhnya UU Perseroan Terbatas, dan UU Pasar Modal bagi Persero Tbk. Adapun makna kepemilikan negara terhadap badan usaha (BUMN) merupakan kepemilikan terhadap saham, bukan terhadap asset badan usaha. Asset/ kekayaan badan usaha merupakan milik badan usaha itu sendiri. 4 Namun bagaimana dengan ketentuan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004, pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap uang atau surat berharga milik negara/ daerah, baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pihak ketiga, padahal esensi dari kepailitan adalah bersifat umum. Bagaimana pula dengan BUMN Perum? Karena Pasal 11 dan Pasal 34 UU No. 19 Tahun 2003 mengacu pada BUMN Pesero, bukan pada BUMN Perum. 2. Pasal 2 (ayat 5) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan BUMN yang bergerak dikepentingan publik. Masalahnya, apa pengertian BUMN yang bergerak pada kepentingan publik dengan BUMN yang tidak bergerak pada kepentingan publik itu apa kriteria berdasarkan perundang-undangannya? 3. Apabila sebuah BUMN Persero telah dipailitkan, namun asset yang dimiliki tidak dapat mencukupi kebutuhan pembayaran utang, maka apakah dapat diperlakukan norma piercing the corporate veil, sehingga tanggung jawab 4 Herman Hidayat, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Fungsi Dewan Komisaris BUMN (Berdasarkan UU BUMN dan UU PT), disampaikan dalam Rakor Dewan Pengawas BLU Tahun 2012 dan diselenggarakan di Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Jakarta, 27 November

7 terbatas (limited liabilities) Perseroan Terbatas (PT) menjadi tidak terbatas lagi karena lebih mementingkan aspek keadilan? Kerancuan-kerancuan dalam penafsiran perundang-undangan mengenai kepailitan BUMN, definisi BUMN yang bergerak di kepentingan publik, hingga masalah kecukupan asset untuk membayar kewajiban; tampak dari sejumlah kasus berikut sebagaimana tampak pada Tabel 1.1. Berbagai kasus permohonan untuk mempailitkan BUMN, sebagaimana tampak pada Tabel 1.1, menunjukkan terjadinya ketidaksepahaman, baik antara pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Niaga) pada Pengadilan Negeri dengan pengadilan tingkat kasasi di Mahkamah Agung, bahkan antar Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Tabel 1.1 Rekapitulasi BUMN yang Dimohon untuk Dipailitkan No Kasus BUMN & Keputusan Keterangan Tahun 1. PT. Hutama Karya (Persero) (Tahun 1998 dan 1999 PT. Hutama Karya dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga No. 24/Pailit/1998/Niaga/Jkt.Pst.jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 01 K/N/1999 Tidak terdapat perbedaan keputusan antara Pengadilan Niaga di PN Jakarta Pusat dengan keputusan Mahkamah Agung. PN dan MA sama-sama memutuskan mempailitkan PT. Hutama Karya. 2. PT. Dirgantara Indonesia (Pesero) Dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; namun keputusan Pengadilan Niaga tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (22/10/2007). Terdapat perbedaan keputusan Pengadilan Niaga dengan MA. PN Niaga Jakarta Pusat telah mempailitkan PT. Dirgantara. Sedangkan MA membatalkan keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 3. PT. Istaka Karya Hakim pada Pengadilan Niaga menolak permohonan palit dari PT. JIAC Indonesia kepada PT. Istaka Karya. Sedangkan MA justru mengabulkan permohonan kepailitan tersebut. Terdapat perbedaan keputusan antara Pengadilan Niaga dengan MA. Pengadilan Niaga menolak permohonan palit, sedangan MA justru mengabulkan permohonan pailit. 4. PT. Telekomunikasi PT. Telekomunikasi Seluler Terdapat perbedaan keputusan antara 7

8 Seluler dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. namun dibatalkan oleh MA melalui Putusan Mahkamah Agung RI No 74/K/Pdt.Sus/ PT. Nindya Karya Pengadilan Niaga memutuskan menolak mempailitkan PT. Nidya Karya. 6. PT. Djakarta Llyoyd (Persero) Dua kali diajukan pailit, namun lolos karena ada perdamaian dengan kreditur Sumber: Diolah kembali dari berbagai sumber Pengadilan Niaga dengan MA. Pengadilan Niaga mempailitkan PT. Telkomsel, sedangkan MA membatalkan keputusan Pengadilan Niaga. Majelis menolak mempailitkan PT Nindya Karya karena ada niat baik membayar hutang dari perusahaan BUMN tersebut kepada PT. Uzin Uts Indonesia (UUI), sehingga kasusnya tidak layak masuk ranah PKPU. Tidak ada konflik hukum Pada kasus PT. Hutama Karya (Persero) tidak terjadi perbedaan pendapat antara pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Niaga). Pada tahun 1998 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempailitikan PT. Hutama karya (Persero). Tahun berikutnya keputusan pengadilan tingkat pertama tersebut diperkuat oleh pengadilan tingkat kasasi. Pertimbangan hakim agung di Mahkamah Agung adalah bahwa PT.Hutama Karya bukan termasuk BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik (Perum), sehingga siapa saja dapat mengajukan permohoan pailit terhadap persero tersebut sejauh memenuhi syarat sebagai kreditur. 5 Berbeda lagi dengan kasus PT. Dirgantara Indonesia (Pesero). Dalam kasus ini terjadi perbedaan pendapat antara pengadilan tingkat pertama dan tingkat kasasi. Perusahaan BUMN persero tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat. Argumen PN Jakarta Pusat adalah mantan karyawan PT. Dirgantara Indonesia berhak mengajukan permohonan palilit, karena PT. Dirgantara 5 Uray Yanice Neysa, Kepailitan pada Badan Usaha Milik Negara (Analisis Kasus Putusan Pengadilan Niaga Nomor 24/ Pailit/ 1998/ Niaga/ Jkt.Pst). 8

9 Indonesia merupakan Persero yang terbagi atas saham. Mengacu pada Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yakni hanya perusahaan yang tidak terbagi atas saham permohonan yang pailitnya hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Sedangkan BUMN yang terbagi atas saham seharusnya dapat dipailitkan oleh siapa saja. Putusan ini sempat memunculkan perdebatan, bahkan Presiden dan Wakil Presiden pun ketika itu sempat urun bicara). 6 Sementara itu Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat, karena putusan pailit PT. Dirgantara Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu yang berhak mengajukan Kepailitan terhadap BUMN (Perum) adalah Menteri Keuangan, sedangkan kenyataannya gugatan ini diajukan oleh mantan karyawan PT. Dirgantara Indonesia terkait kekurangan pembayaran iuran pensiun setelah mereka di-phk. Hakim Agung di Mahkamah Agung menyatakan BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara, yang melaksanakan kegiatan kepentingan publik hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan. Alasan majelis hakim mengenyampingkan ketentuan tidak terbagi atas saham karena PT. Dirgantara Indonesia terpaksa membagi kepemilikannya atas saham untuk memenuhi syarat kepemilikan dari sebuah perseroan terbatas. Untuk memenuhi ketentuan UU Perseroan Terbatas bahwa suatu 6 Sudana, I Wayan; I Wayan Suardana. Pembatalan Putusan Pengadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh Mahkamah Agung Terkait dengan Putusan Pailit PT. Dirgantara Indonesia, (nd). 9

10 perseroan hanya dimiliki oleh sekurang-kurangnya dua orang, maka dibagilah saham. Tapi keseluruhan modal itu modal yang dimiliki oleh negara. Pembatalan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu dikuatkan oleh adanya lampiran Menteri Perindustrian yang menyebutkan beberapa BUMN, termasuk PT. Dirgantara Indonesia adalah objek vital industri. Selain itu PT. Dirgantara Indonesia juga dianggap sebagai asset negara, sehingga tidak bisa disita. Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, meletakkan sita saja dilarang. Kepailitan itu sita umum, hanya dapat dilakukan kepailitannya kalau dimohonkan oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Negara. 7 PT. Nindya Karya sempat dimohonkan agar Pengadilan Niaga mempailitkannya. Namun permohonan pailit tersebut dikandaskan pada tingkat pengadilan tingkat pertama. Majelis menolak mempailitkan PT. Nindya Karya karena ada niat baik membayar utang dari perusahaan BUMN tersebut kepada PT. Uzin Uts Indonesia (UUI), sehingga kasusnya tidak layak masuk ranah PKPU. Menurut Menteri BUMN (ketika itu Dahlan Iskan), tuntutan berawal ketika PT. Nindya Karya melakukan verifikasi utang yang dimiliki. BUMN ini pun mengirimkan surat kepada kreditur, namun masalah ini malah dijadikan alasan mempailitkan PT. Nindya Karya. 8 7 BUMN Cuma Bisa Dipailitkan Menkeu, MA Batalkan Pailit PT DI, 25 Oktober 2007, diunduh 15 November 2015, jam WIB 8 Feby Dwi Sutianto, BUMN Diajukan Pailit, Dahlan Iskan Sebutada Mafia., jam WIB, diunduh pada 10 November 2015, jam WIB. 10

11 Dalam kasus PT. Istaka Karya, hakim pada tingkat pertama (Pengadilan Niaga) menolak permohonan pailit dari pemohon PT. JAIC Indonesia. Majelis hakim mengemukakan dasar pertimbangan (ratio decicendi) mendasarkan keputusannya dalam menolak permohonan pailit tersebut adalah karena seluruh asset/ harta kekayaan PT. Istaka Karya adalah milik negara. Sesuai dengan ketentuan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan pailit pada BUMN yang seluruh sahamnya milik negara hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Mengingat Pemohon dalam mengajukan permohonan tersebut bukan Menteri Keuangan, dan tidak memiliki kuasa dari Menteri Keuangan, maka menurut majelis hakim tidak ada dasar hukum dari Pemohon untuk memohon agar pihak Termohon (PT. Istaka Karya) dinyatakan pailit. Hal lain yang menjadi pertimbangan majelis hakim untuk menolak permohonan pailit adalah berkaitan dengan asset PT. Istaka Karya, yang apabila dilakukan penyitaan asset maka akan terbentur dengan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap: (a) uang atau surat berharga milik negara/ pemerintah, baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga; (b) uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/ daerah; (c) barang begerak milik negara/ daerah, baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga; (d) barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya 11

12 milik negara/ daerah; (e) barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/ daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan. Berbeda dengan majelis hakim pada tingkat pertama (Pengadilan Niaga), pada tingkat kasasi hakim agung di Mahkamah Agung memutuskan bahwa PT. Istaka Karya berada di dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya. Hakim agung menyatakan bahwa judex factie Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum. Hal ini dikarenakan hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa PT. Istaka Karya adalah BUMN berbentuk Persero, sehingga terhadapnya berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas. Mengenai kekayaan negara yang disertakan sebagai modal BUMN bisa disita oleh Pengadilan, karena kekayaan itu bukan lagi milik negara, melainkan sudah menjadi harta milik BUMN tersebut. Dalam kasus PT. Telekomunikasi Seluler, terdapat sejumlah alasan mengapa hakim agung di Mahkamah Agung membatalkan keputusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Niaga), yakni: (a) Pemohon pailit tidak memiliki alasan hak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit karena tidak ada utang yang jatuh tempo (exeptio orechtmatige of ongegrond), sedangkan dalam permohonan pernyataan pailit didalilkan seolah-olah ada utang atau kewajiban yang dapat dinyatakan dengan uang dan telah jatuh tempo. (b) Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo. (c) Permohonan pernyataan pailit kabur (exception Obscurum Libelum). (d) Majelis hakim Pengadilan Niaga perkara No. 48/ pailit/2012/ PN. Niaga Jkt Pst tidak 12

13 memahami atau sangat keliru dalam memahami hukum perikatan/ perjanjian Indonesia. Sementara itu PT. Djakarta Lloyd (Persero) telah dua kali terancam dipailitkan namun selalu lolos. Dua kreditur yang sempat ingin melakukan PKPU terhadap perusahaan, telah menerima proposal perdamaian dari pihak PT. Djakarta Lloyd (Persero).Utang-utang tersebut dikonversi menjadi saham yang tak memiliki suara. Oleh karena saham PT. Djakarta Lloyd (Persero) kini tinggal 30% lagi. 9 Bila isu-isu tersebut dirangkumkan, maka terdapat tiga isu utama, yakni menyangkut (i) Definisi BUMN apakah terbagi atas saham atau tidak, yang kalau terbagi atas saham berarti bisa dipailitkan. Sebaliknya apabila tidak terbagi atas saham, maka tidak bisa dipailitkan; (ii) BUMN dapat dipailitkan atau tidak dapat dipailitkan; (iii) Asset BUMN yang sudah tertanamkan pada BUMN apakah masih merupakan asset negara (publik) atau sudah menjadi asset privat. Ketiga isu tersebut diskemakan pada Ganbar 1.1 berikut: 9 Ichsan Emrald Alamsyah, Dua Kali Tetancam Pailit, Djakarta Lloyd Kini Tumbuh Sehat, 24 Juni 2014, WIB. Lihat juga, Pailit Djakarta Llyod, BUMN: Nilai kapal Djakarta Llyod hanya US$ 6 juta, mengutip Kontan, 19 Oktober4 2010; diunduh 12 Desember 2015, jam WIB. 13

14 Problematika Mempailitkan BUMN Pasal 2 (5) UU No. 37/ 2004 (1)Saham terbagi bisa dipailitkan vs Tidak bisa dipailitkan; (2)BUMN untuk kepentingan publik atau bukan Pasal 50 UU 1/2004 & Pasal 11 UU 19/2003 Pasal 11 UU 19/2003 (BUMN dapat dipailitkan) Pasal 50 UU 1/2004 BUMN tidak dapat disita vs dapat disita tida Satus Permodalan Modal negara yang ditempatkan di BUMN tetap sebagai modal negara vs sudah menjadi modalbumn Persero Gambar 1.1 Skema Problematika Mempailitkan BUMN B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah tersebut di atas tampak terdapat ketidakharmonisan atau kesimpangsiuran hukum. Di satu sisi UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN telah mengidentikkan BUMN Persero sebagai Perseroan Terbatas (PT), sehingga berlaku ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berarti terhadap BUMN Persero ini berlaku juga UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. 14

15 Namun di sisi lain, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa terhadap BUMN Persero tidak dapat dipailitkan oleh siapa pun (Pasal 50). Di sinilah terletak area abu-abu (grey-area) antara hukum publik dengan hukum privat, antara uang negara dengan uang persero. Kemudian terhadap modal milik negara yang telah ditanamkan atas nama negara dalam BUMN Persero, apakah modal yang dipisahkan tersebut telah menjadi privat (bisnis) atau masih tetap publik (negara). Dalam hal sebuah BUMN Persero telah dipailitkan, namun asset yang dimiliki tidak dapat mencukupi kebutuhan pembayaran kewajiban, maka apakah dapat diperlakukan norma piercing the corporate veil, sehingga tanggung jawab terbatas (limited liabilities) Perseroan Terbatas (PT) menjadi tidak terbatas lagi karena lebih mementingkan aspek keadilan? Berdasarkan rumusan permasalahan ini, maka pertanyaan penelitian (research questions) yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Dalam hal mempailitkan BUMN Persero, bagaimanakah harmonisasi ketentuan Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dengan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara? 2. Terhadap modal milik negara yang telah ditanamkan atas nama negara dalam BUMN Persero, apakah modal yang dipisahkan tersebut telah berstatus privat (bisnis) atau masih tetap berstatus publik (negara)? 3. Dalam hal sebuah BUMN Persero telah dipailitkan, namun asset yang dimiliki tidak dapat mencukupi kebutuhan pembayaran kewajiban, maka apakah dapat diperlakukan norma piercing the corporate veil, sehingga 15

16 tanggung jawab terbatas (limited liabilities) Perseroan Terbatas (PT) menjadi tidak terbatas lagi karena lebih mementingkan aspek keadilan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis harmonisasi ketentuan Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dengan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dalam konteks mempailitkan BUMN Persero. 2. Menganalisis status modal milik negara yang telah dipisahkan dan ditanamkan atas nama negara dalam BUMN Persero, apakah telah berstatus privat (bisnis) atau masih tetap berstatus publik (negara). 3. Menganalisis kemungkinan diberlakukan norma piercing the corporate veil, sehingga tanggung jawab terbatas (limited liabilities) Perseroan Terbatas (PT) menjadi tidak terbatas lagi karena lebih mementingkan aspek keadilan, apabila sebuah BUMN Persero telah dipailitkan, namun asset yang dimiliki tidak dapat mencukupi kebutuhan pembayaran utang. D. Kegunaan Penelitian (1) Kegunaan Teoritis 16

17 Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin ilmu di bidang hukum bisnis, khususnya tentang kepemilikan asset BUMN Persero apabila mengalami kepailitan, tentang perbedaan BUMN yang bergerak di kepentingan publik dan BUMN yang bergerak bukan di kepentingan publik; serta kemungkinan diberlakukannya norma piercing the corporate veil apabila asset yang dimiliki BUMN Persero tidak mencukupi untuk membayar kewajibannya. (2) Kegunaan Praktis Dapat memberikan masukan pada kalangan yudikatif (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, Kejaksaaan Agung), eksekutif (pemerintah) terutama Kementerian BUMN dan jajaran kepemimpinan BUMN hingga BUMD; maupun kalangan legislatif (DPR, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, serta DPD). E. Keaslian Penelitian Dan Penelitian Terdahulu Penelitian tentang Harmonisasi Perundang-undangan Terkait Kepailitan BUMN Persero (Analisis Pasal 11 dan Pasal 34 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan 17

18 Kewajiban Pembayaran Utang) dengan isinya sebagaimana tertuang tujuan penelitian, ini adalah baru diteliti untuk pertama kalinya. Penelitian Terdahulu Sejumlah penelitian terdahulu banyak yang menyoroti tentang kepailitan BUMN, termasuk BUMN Persero. Namun setidaknya dari 5 (lima) penelitian terdahulu sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.1 tidak ada yang sama yang meneliti dengan subyek harmonisasi dengan fokus harmonisasi Analisis Pasal 11 dan Pasal 34 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Oleh karena itu penelitian ini memiliki keaslian atau orisinalitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berikut adalah penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan No Peneliti dan Judul Penelitian Hasil Penelitian 1. Kusmono. (2008).:Tanggung Tujuan penelitian adalah: (i) Jawab Direksi Persero pada Berusaha mengungkapkan batasan Pengelolaan Penyertaan Modal tentang kekayaan negara yang Negara dalam hal Terjadi dipisahkan dalam penyertaan modal Kerugian, tesis pada Sekolah pemerintah pada Persero; (ii) Untuk Pascasarjana, Universitas mengetahui ketentuan perundangundangan yang mengatur tanggung Sumatera Utara, Medan. jawab hukum Direksi Persero apabila Persero mengalami kerugian dalam transaksi bisnis; dan 18

19 (iii) Untuk mengetahui kerugian Persero tersebut dapat dikategorikan sebagai kerugian negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) Kerugian BUMN Persero bukan merupakan kerugian negara. Kedudukan pemerintah dalam BUMN Persero tidak dapat dikatakan sebagai mewakili negara sebagai badan hukum publik. (ii) Apabila BUMN Persero mengalami kerugian dalam transaksi bisnisnya, maka dapat dilakukan melalui doktrin business judgment rule yang dengan tegas diakomodasi dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT. 2. Tyassari, Yudaning.(2008). Akibat Hukum Putusan Pailit pada Badan Usaha Milik Nergara (BUMN) PT. Dirgantara Indonesia (Persero), tesis pada Program Pascasarjana, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana akibat hukum bagi para pihak terhadap pernyataan pailit, dan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbanganpertimbangan apa saja yang digunakan dalam pemutus pailit suatu BUMN. Metode pendekatan yang digunakan yuridis yang digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis. Sumber data yang dipakai adalah data sekunder. Hasil penelitian adalah (1) putusan pailit tersebut menimbulkan akibat hukum yang lebih luas baik bagi pemegang saham, kreditur, hingga karyawan; (2) Pertimbangan dalam m itkan suatu BUMN antara lain menyangkut pertimbangan: aspek yuridis, maupun aspek ekonomis dimana prospek usaha, jumlah asset yang masih memadai, masih besar dukungan terhadap 19

20 3. Fahriza Nurul Safitri (2012). Kepailitan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN): Studi Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT. Istaka Karya (Persero), tesis pada Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. 4. Sigit Priyono (2005), Akibat Hukum Perseroan Terbatas yang Dijatuhi Putusan Pailit, tesis pada Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang tenaga kerja. Hasil penelitian menyimpulkan, dalam menangani usul kepailitan PT. Dirgantara Indonesia (Pesero) dan PT. Istaka Karya (Persero), hakim belum menerapkan prinsipprinsip hukum yang benar. Hasil penelitian menyarankan perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang keuangan yang terkait dengan pengaturan BUMN, serta pertlou adanya pengertian/ makna yang sama mengenai apa yang dimaksud BUMN yang begerak di bidang kepentingan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akibat hukum kepailitan terhadap Direksi Perseroan Terbatas dan terhadap Perseroan Terbatas itu sendiri. Hasil penelitian adalah bahwa Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban, baik secara perdata, pidana terhadap adanya kepailitan Perseroan Terbatas. Pertanggungjawaban secara perdata bisa berupa tanggung jawab secara renteng atas kerugian yang diderita oleh Perseroan Terbatas apabila kepailitan terjadi karena kesalahan dan kelalaian Direksi serta kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan. Pertanggungjawaban pidana berupa penjatuhan pidana penjara, di samping itu berupa pertanggungjawaban lainnya berupa paksa badan sebagamana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan. Sedangkan akibat hukum kepailitan bagi perseroan adalah bisa berupa dihentikannya usaha dari perseroan oleh kreditur dan kurator, atau 20

21 5. Dwi Prasetyo Santoso (2005). Tanggung Jawab Direksi Sehubungan dengan Kepalitan Perseroan Terbatas, tesis pada Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro bahkan dibubarkan oleh Pengadilan Negeri atas permohonan dari kreditur dengan alasaan perseroan tidak mampu membayar hutang setelah dinyatakan pailit atau harta kekayaaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Hasil penelitian adalah bahwa Pasal 85 ayat 1 UU PT yang menyatakan Direksi wajib menjalankan perusahaan sesuai dengan kepentingan dan tujuan perseroan; hal ini merupakan fiduciary duties. Apabila pengurus tidak menjalankan perusahaan dengan baik yang mengakibatkan kerugian perusahaan, maka ia dapat dimintai pertanggungjawaban bahkan sampai pada harta pribadinya. Prinsip ini dikenal sebagai piercing the corporate veil, yang merupakan prinsip yang dianut oleh UU PT (vide Pasal 85 ayat 2 UU PT). Hal ini berarti, walaupun suatu badan hukum berbentuk PT, pengurusnya tetap dapat dimintai pertanggungjawaban sampai kepada harta pribadinya apabila tidak menjalankan perusahaan dengan baik. E. Sistematika Penelitian Hasil penelitian kepustakaan maupun lapangan akan terdiri atas tiga bagian, yakni Bagian Awal, Bagian Utama, dan Bagian Akhir. Ketiga bagian tersebut akan disusun dengan sistematika sebagai berikut: 21

22 Bagian awal tesis mencakup halaman sampul depan, halaman judul, halaman pengesahan, prakata, daftar isi, daftar tabel, daftar lampiran, dan intisari (abstrak). Bagian utama, terdiri atas Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, dan Bab V. Bab I: PENDAHULUAN, berisi latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II: TINJAUAN KEPUSTAKAAN, berisi telaah atau kajian mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, yang langsung diambil dari jurnal penelitian. Kemudian dilanjutkan ke landasan teori atau dasar pemikiran teoritis, kerangka konsep atau model penelitian (the conceptual of framework). Bab III: METODE PENELITIAN, berisi bahan, subyek, atau materi penelitian, peralatan penelitian, jalannya penelitian, hingga analisis. Bab IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, yang memuat hasil penelitian dan pembahasan yang sifatnya terpadu dan tidak dipecah menjadi sub-bab tersendiri. Bab V: PENUTUP, yang memuat kesimpulan dan saran. Adapun bagian akhir penelitian akan berisi Daftar Pustaka dan Lampiran. 22

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan tersebut tidak lagi sanggup melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan tersebut tidak lagi sanggup melaksanakan kewajiban-kewajibannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak jenis, ragam, kualitas dan variasinya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia 120 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dari seluruh penjelasan dan uraian yang diberikan pada bab-bab sebelumnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan pada Badan Usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Bab ini akan berisi kesimpulan hasil penelitian, dan saran-saran yang dapat

BAB V PENUTUP. Bab ini akan berisi kesimpulan hasil penelitian, dan saran-saran yang dapat BAB V PENUTUP Bab ini akan berisi kesimpulan hasil penelitian, dan saran-saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian. A. Kesimpulan 1. Harmonisasi Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membutuhkan modal karena keberadaan modal sangat penting sebagai suatu sarana

I. PENDAHULUAN. membutuhkan modal karena keberadaan modal sangat penting sebagai suatu sarana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan menimbulkan dampak terhadap aktifitas suatu perusahaan. Dalam menjalankan aktifitasnya, perusahaan membutuhkan modal karena keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

2017, No Cara Pemblokiran dan Pembukaan Pemblokiran Akses Sistem Administrasi Badan Hukum Perseroan Terbatas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nom

2017, No Cara Pemblokiran dan Pembukaan Pemblokiran Akses Sistem Administrasi Badan Hukum Perseroan Terbatas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nom BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1539, 2017 KEMENKUMHAM. Akses SABH Perseroan Terbatas. Pemblokiran dan Pembukaan Pemblokiran. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lazimnya dalam suatu gugatan yang diajukan oleh kreditor terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Lazimnya dalam suatu gugatan yang diajukan oleh kreditor terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah penelitian Lazimnya dalam suatu gugatan yang diajukan oleh kreditor terhadap debitor yang lalai memenuhi isi suatu kontrak, selalu disertai permohonan agar

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS SITA UMUM ASET BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA

ANALISIS YURIDIS SITA UMUM ASET BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA ANALISIS YURIDIS SITA UMUM ASET BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA Rizal Widiya Priangga Email: rizalwidiya@gmail.com Mahasiswa FH Universitas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah digugat di pengadilan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah digugat di pengadilan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah sebagai subyek hukum dalam aktifitasnya kadangkala terlibat sengketa perdata dengan mitra bisnisnya atau dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA.

LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA. LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA http://www.forbumn.com Sejumlah kalangan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review i atas kewenangan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah perusahaan untuk pertama kalinya terdapat di dalam Pasal 6 KUHD yang mengatur mengenai penyelenggaraan pencatatan yang wajib dilakukan oleh setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara I. PEMOHON Ir. Sri Bintang Pamungkas, MSISE., Ph.D. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan,

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, 114 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: a. UU Perbankan, UU Bank Indonesia, PP No.25/1999 dan SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor privat merupakan entitas mandiri yang berhak melakukan pengelolaan aset kekayaannya sendiri sebagai entitas

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online DISHARMONISASIKETENTUAN MENGENAI BADAN USAHA MILIK NEGARA, PERUSAHAAN NEGARA, DAN STATUS ANAK PERUSAHAAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Febry Liany * Naskah diterima: 14 Juni 2016; disetujui:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan salah satu sendi utama dalam kehidupan masyarakat modern, karena merupakan salah satu pusat kegiatan manusia untuk memenuhi kehidupan kesehariannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kemakmuran masyarakat. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kemakmuran masyarakat. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perekonomian merupakan salah satu aspek yang dapat menjadi alat ukur tingkat kemakmuran masyarakat. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero (selanjutnya disebut BUMN Persero) sering terjadi. Perkara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini.

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah Penelitian Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. Sengketa merupakan sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 LITERATUR Kitab Undang Undang Hukum Perusahaan ( Prof. Drs. C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, S.H., M.H.) Hukum Perusahaan Perseroan

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi syarat syarat

Lebih terperinci

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA.JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI (SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih FAKULTAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 91 TAHUN 2000 (91/2000) TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 91 TAHUN 2000 (91/2000) TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 91 TAHUN 2000 (91/2000) TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan diundangkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang piutang acap kali menjadi suatu permasalahan pada debitor. Masalah kepailitan tentunya juga tidak pernah lepas dari masalah utang piutang. Debitor tersebut

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Penyetoran. PNBP. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/PMK.02/2013 TENTANG TATA CARA PENYETORAN PENERIMAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan.

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997, banyak badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan. Meskipun kondisi

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan diundangkannya Peraturan

Lebih terperinci

KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI

KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 016/K/N/2007) STUDI KASUS HUKUM Oleh: HERMAWAN SUTRISNO Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia telah menimbulkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

Materi Minggu 6. Pengambil Keputusan Strategik: Manajer Strategik dan Corak Manajemen Strategik

Materi Minggu 6. Pengambil Keputusan Strategik: Manajer Strategik dan Corak Manajemen Strategik M a n a j e m e n S t r a t e g i k 29 Materi Minggu 6 Pengambil Keputusan Strategik: Manajer Strategik dan Corak Manajemen Strategik 6.1 Direksi Corporate Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 5 tentang

Lebih terperinci

Per June 2009 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Per June 2009 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Per June 2009 XII RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan hukum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia telah menimbulkan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga JOURNAL SKRIPSI KEDUDUKAN HUKUM KURATOR PERUSAHAAN DEBITOR PAILIT YANG DILANJUTKAN KEGIATAN USAHANYA Oleh : NIM. 031011202 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2015 JURNAL SKRIPSI ABSTRAKSI Didalam dinamika

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) SARANA PENGEMBANGAN USAHA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) SARANA PENGEMBANGAN USAHA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) SARANA PENGEMBANGAN USAHA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin dahsyat dengan datangnya kapitalis dunia. P. Berger dalam meramalkan, dalam era

BAB I PENDAHULUAN. semakin dahsyat dengan datangnya kapitalis dunia. P. Berger dalam meramalkan, dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini challenge globalisasi meruntuhkan filosofi bangsa Indonesia terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini telah diramalkan oleh P. Berger bahwa badai globalisasi

Lebih terperinci

UU No. 8/1995 : Pasar Modal

UU No. 8/1995 : Pasar Modal UU No. 8/1995 : Pasar Modal BAB1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1 Afiliasi adalah: hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat a. kedua, baik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank-Bank di Indonesia dimana bank-bank dinilai oleh Otoritas Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. Bank-Bank di Indonesia dimana bank-bank dinilai oleh Otoritas Perbankan, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dampak dari krisis ekonomi yang terjadi dipertengahan tahun 1997 yang telah membawa kesengsaraan bagi perekonomian nasional, khususnya bagi dunia Perbankan, merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Perseroan terbatas merupakan suatu badan hukum yang berbeda dengan negara sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK I. PEMOHON Yan Herimen, sebagai Pemohon I; Jhoni Boetja, sebagai Pemohon II; Edy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman penduduk. Inovasi yang berkembang akhir-akhir ini adalah. dikenal dengan istilah rumah susun.

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman penduduk. Inovasi yang berkembang akhir-akhir ini adalah. dikenal dengan istilah rumah susun. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan jumlah penduduk memang menjadi suatu problem yang harus dihadapi oleh pemerintah selaku pelaksana Negara, terlebih lagi pada tingkat daerah, baik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) definisi dari Perseroan Terbatas (selanjutnya

Lebih terperinci

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI PT MANDOM INDONESIA Tbk

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI PT MANDOM INDONESIA Tbk PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI PT MANDOM INDONESIA Tbk 1. DASAR PENYUSUNAN Pedoman dan Tata Tertib Kerja Direksi disusun berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33 /POJK.04/2014 tgl 8

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) SARANA PENGEMBANGAN USAHA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) SARANA PENGEMBANGAN USAHA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) SARANA PENGEMBANGAN USAHA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci