BAB I PENDAHULUAN. pemukiman penduduk. Inovasi yang berkembang akhir-akhir ini adalah. dikenal dengan istilah rumah susun.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. pemukiman penduduk. Inovasi yang berkembang akhir-akhir ini adalah. dikenal dengan istilah rumah susun."

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan jumlah penduduk memang menjadi suatu problem yang harus dihadapi oleh pemerintah selaku pelaksana Negara, terlebih lagi pada tingkat daerah, baik Provinsi, Kabupaten atau Kota. Permasalahan yang timbul adalah manakala pertumbuhan penduduk yang pesat namun tidak berimbang dengan ketersediaan lahan untuk pemukiman penduduk. Inovasi yang berkembang akhir-akhir ini adalah pembangunan lahan permukiman secara horizontal atau keatas yang lebih dikenal dengan istilah rumah susun. Rumah susun pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang kemudian telah diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun menjadi peraturan perundang-undangan pertama yang sifatnya nasional yang mengatur mengenai pembangunan rumah susun dan segala hal yang terkait dengan rumah susun. Akan tetapi, sifat dari undang-undang adalah bersifat umum, maka masih diperlukan suatu peraturan pelaksana yang mengatur mengenai perumahan khususnya rumah susun. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagai peraturan perundang-undangan yang baru yang mengatur

2 2 mengenai Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa urusan perumahan merupakan urusan wajib bagi pemerintah daerah 1. Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun maka semakin jelas kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada pemerintah daerah untuk ikut serta dalam mengatur pembangunan rumah susun di tingkat daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun menyebutkan bahwa untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pembangunan rumah susun yang harus dimintakan persetujuan kepada Pemerintah Daerah. Perkembangan bisnis property khususnya bidang rumah susun akhirakhir ini mengalami peningkatan yang pesat, terutama di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Seyogyanya pembangunan rumah susun atau apartemen diiringi dengan ketersediaan regulasi dari pemerintah daerah setempat yang mengatur mengenai pembangunan dan kepemilikan rumah susun serta berbagai hal lain yang terkait dengan rumah susun. Seiring dengan derasnya arus investasi property pembangunan rumah susun yang masuk ke wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah yang mengatur tentang rumah susun seharusnya mengatur bagaimana perkembangan arus investasi yang masuk 1 Diakses dari pada tanggal 5 Februari 2015 pukul

3 3 ke daerah dengan tujuan nantinya tidak merugikan daerah terlebih menyangkut perlindungan kepentingan bagi para konsumen rumah susun. Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini baru memiliki Peraturan Walikota Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2015 tentang Sertifikat Laik Fungsi Rumah Susun, Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengesahan Akta Pemisahan Rumah Susun serta Peraturan Walikota Kota Yogyakarta Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perhimpunan Pemilik Dan Penghuni Satuan Rumah Susun, sedangkan Peraturan Daerah yang mengatur tentang rumah susun belum terbit. Untuk wilayah Kabupaten Sleman, sampai saat ini belum terdapat Peraturan Daerah yang mengatur tentang rumah susun, namun pada pertengahan 2015 lalu telah dikeluarkan tiga Peraturan Bupati Sleman yang mengatur hal-hal teknis tentang rumah susun, antara lain Peraturan Bupati Sleman Nomor 40 Tahun 2015 tentang Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun, Peraturan Bupati Sleman Nomor 45 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penerbitan Sertifikat Laik Fungsi, dan Peraturan Bupati Sleman Nomor 46 Tahun 2015 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun. Pada medio tahun 2004, sebuah pelaku pembangunan rumah susun melakukan pembangunan rumah susun non hunian di wilayah Kota Yogyakarta, yaitu PT. Saphir Yogya Super Mall dengan mendirikan Saphir Square sebagai pusat perbelanjaan atau mall dengan mengusung konsep Strata Title yang lebih dikenal dalam konsep rumah susun.

4 4 Pada saat berdirinya Saphir Square, rezim undang-undang yang berlaku yang mengatur mengenai rumah susun adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun pada saat itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, dibutuhkan Peraturan Daerah yang mengatur mengenai rumah susun di tingkat daerah, terutama perizinan pembangunan rumah susun, mulai dari tahap perencanaan, tahap pembangunan, pemberian Izin Layak Huni hingga pengesahan pertelaan. Peraturan Daerah tersebut sangat berguna untuk nantinya memuluskan proses penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun di Kantor Pertanahan setempat. Akibat Peraturan Daerah yang mengatur tentang rumah susun di Kota Yogyakarta tidak kunjung terbit sebagaimana amanah dari peraturan perundang-undangan, menjadikan kondisi tersebut sebagai alasan kepada para pembeli kios bahwa mereka ditempatkan sebagai kreditor konkuren karena tidak memiliki Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagai dasar legitimasi hak atas unit kios yang dibeli oleh para pembeli kios. Pada tahun 2012 lalu PT. Saphir Yogya Super Mall diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang akibat mengalami gagal bayar atas pembayaran utang kepada PT. Bank Bukopin Tbk. Pailitnya PT. Saphir

5 5 Yogya Super Mall menjadikan posisi para pembeli kios tidak memiliki daya upaya untuk memperjuangkan hak mereka sebagai pembeli kios untuk diterbitkan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun kepada mereka untuk menghindari masuknya kios-kios yang ada di dalam Saphir Square masuk ke dalam budel pailit PT. Saphir Yogya Super Mall. Dengan kondisi tersebut, maka proses jual beli unit kios baru sampai pada tahap perjanjingan pengikatan jual beli yang dilakukan di hadapan notaris. Hingga saat PT. Saphir Yogya Super Mall dinyatakan pailit dan seluruh asset perseroan masuk dalam budel pailit, tidak satupun dari 234 (dua ratus tiga puluh empat) pembeli kios yang memegang Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagai bentuk legalitas kepemilikan sah dari unit kios. Hal ini dipicu belum adanya peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah yang mengatur tentang rumah susun sehingga proses penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tidak dapat dilakukan di Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta. Lalu, apa alasan mengapa suatu peraturan daerah tentang rumah susun begitu dibutuhkan dalam proses penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun menarik minat peneliti untuk mengkaji tentang hal tersebut. Selain itu setelah dinyatakan pailit, bagaimana status kepemilikan kios oleh para pembeli kios PT. Saphir Yogya Super Mall dan bagaimana peran serta Notaris dan PPAT dalam suatu proses transaksi jual beli satuan rumah susun menjadi fokus peneliti dalam pembahasan tesis ini.

6 6 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, ada beberapa rumusan permasalahan yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam penulisan tesis ini, antara lain sebagai berikut: 1. Mengapa proses penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun bergantung pada ketersediaan peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah yang mengatur tentang rumah susun? 2. Bagaimanakah peran serta Notaris dan PPAT dalam membantu proses jual beli satuan rumah susun kepada calon konsumen untuk membantu memperoleh hak milik atas satuan rumah susun sebelum terbitnya peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah yang mengatur mengenai rumah susun? 3. Bagaimanakah status kepemilikan atas satuan kios yang telah dibeli oleh konsumen sebelum terbitnya peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah yang mengatur mengenai rumah susun pasca PT. Saphir Yogya Super Mall diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang?

7 7 C. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai Karya Tulis Ilmiah terdahulu yang membahas salah satu atau sebagian objek bahasan dalam penelitian peneliti ini. Sepanjang penelusuran yang dilakukan oleh peneliti di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, sejauh ini tidak ditemukan penelitian yang sama mengenai kebutuhan peraturan daerah yang mengatur tentang rumah susun terkait dengan penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun, namun kemudian ditemukan penelitian yang membahas sebagian unsur penelitian dengan kajian yang sama, diantaranya: 1. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2013 dengan judul Tinjauan Yuridis Perlindungan Kepentingan Kreditor Konkuren Dalam Kasus Kepailitan (Studi Kasus Kepailitan PT. Saphir Yogya Super Mall) disusun oleh Haris Surya Saputra yang telah disahkan pada tanggal 4 Maret 2013, dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah mekanisme pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam kasus kepailitan PT. Saphir Yogya Super Mall? b. Apa alasan yang menyebabkan permohonan kasasi yang diajukan oleh PT. Saphir Yogya Super Mall ditolak?

8 8 c. Bagaimanakah perlindungan terhadap kepentingan para kreditur konkuren pasca dikeluarkannya putusan pailit Pengadilan Niaga Semarang dalam kasus kepailitan PT. Saphir Yogya Super Mall? Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut antara lain: a. Mekanisme pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada kasus kepailitan PT. Saphir Yogya Super Mall adalah sebagai berikut: 1) Permohonan pailit dimohonkan oleh PT. Bank Bukopin Tbk selaku Kreditur terhadap PT. Saphir Yogya Super Mall pada tanggal 13 Oktober 2009 di Pengadilan Niaga Semarang yang kemudian ditanggapi dengan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh Debitur PT. Saphir Yogya Super Mall pada siding tanggal 28 Oktober ) Majelis hakim atas usulan Hakim Pengawas dan Tim Pengurus memberikan PKPU Tetap kepada PT. Saphir Yogya Super Mall untuk jangka waktu 43 hari berdasarkan putusan No. 02/PKPU/2009/PN.Niaga.Smg jo. Nomor 13/Pailit/2009/PN.Niaga.Smg tanggal 28 Desember 2009.

9 9 3) Jangka waktu 43 hari adalah untuk memperoleh persetujuan atas usulan perdamaian antara Debitur dengan Kreditur yang disampaikan pada sidang tanggal 28 Oktober ) Sebagai bagian dari usulan perdamaian tersebut, telah ditandatangani Akta Addendum Perjanjian Kredit Dengan Memakai Jaminan (Restrukturisasi) Nomor 14 tanggal 29 Januari 2010 dan Akta Pengakuan Hutang Nomor 15 tanggal 29 Januari 2010 di hadapan Notaris pada tanggal 29 Januari 2010 ditetapkan jangka waktu pembayaran dari bulan Desember 2009 hingga November 2016 beserta Repayment Schedule tahap pertama yang ditandatangani pada tanggal 28 Januari ) Kemudian telah disusun Repayment Schedule tahap kedua yatu Persetujuan Penyesuaian Pembayaran Kewajiban dan Izin Perubahan Peruntukan Lantai 2 Saphir Square menjadi Hotel tertanggal 21 September 2011 dengan Nomor 9378/DKM/IX/2011. Didalam perjanjian perdamaian tersebut ditentukan jangka waktu yang ditetapkan bagi PT. Saphir Yogya Super Mall untuk memenuhi kewajibannya selama 18 bulan terhitung sejak bulan September 2011 sampai dengan bulan Februari 2013 yang dibayarkan selambat-lambatnya setiap akhir

10 10 bulan berjalan dengan kewajiban pembayaran setiap bulannya sebanyak Rp ,00 namun pihak Kreditur PT. Bank Bukopin Tbk tidak menandatangani Repayment Schedule tahap kedua tersebut. 6) Dengan demikian, maka jangka waktu PKPU sebagaimana Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi oleh Majelis Hakim adalah selama 18 bulan terhitung sejak bulan September 2011 hingga bulan Februari b. Salah satu pertimbangan yang menentukan ditolaknya Kasasi yang diajukan oleh PT. Saphir Yogya Super Mall adalah karena adanya pengajuan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian yang diajukan oleh PT. Bank Bukopin Tbk selaku Kreditur sehingga mengacu pasal 290 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, pembatalan atas perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi oleh Pengadilan Niaga tidak dapat diajukan upaya hukum baik Kasasi maupun Peninjauan Kembali. c. Perlindungan terhadap kepentingan para Kreditur Konkuren dalam perkara kepailitan telah diakomodir di dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Meskipun kedudukan mereka pada dasarnya memang lemah, namun sepanjang harta/asset debitur pailit masih mencukupi untuk

11 11 melunasi tagihan dari para Kreditur Konkuren setelah dikurangi pembayaran terlebih dahulu terhadap Kreditur pemegang hak yang didahulukan, maka para Kreditur Konkuren masih memperoleh perlindungan terhadap kepentingan mereka dalam hal pembayaran kembali tagihan piutang yang mereka miliki. Akan tetapi apabila ternyata nilai yang diperoleh setelah likuidasi asset debitur pailit ternyata tidak mencukupi, maka disanalah kepentingan para Kreditur Konkuren tidak memperoleh perlindungan meskipun didalam Undang-Undang Kepailitan telah menyediakan media untuk melindungi kepentingan para Kreditur Konkuren mulai dari pada saat pengajuan permohonan pailit, Rapat Pemungutan Suara, Rapat Verifikasi Utang, Panitia Kreditur Sementara dan Panitia Kreditur Tetap, Actio Paulina, keberatan atas daftar pembagian kepada para kreditur hingga upaya hukum atas segala putusan pengadilan yang dirasa merugikan kepentingan para Kreditur Konkuren. Pada penelitian tersebut hanya memfokuskan pada pelaksanaan dan penerapan hukum kepailitan dalam suatu kasus kepailitan serta bagaimana perlindungan hukum terhadap kepentingan para kreditur konkuren ditinjau dari hukum kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

12 12 2. Tesis, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2013 dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Kios Saphir Square Melalui Akta Perikatan Jual Beli disusun oleh Adhitya Johan Rahmadan, yang disahkan pada tanggal 14 Nopember 2013, dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Kios Saphir Square dalam Akta Perikatan Jual Beli Kios Saphir Square? b. Hambatan yang muncul dalam pelaksanaan Akta Perikatan Jual Beli Kios Saphir Square? c. Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli kios Saphir Square melalui Akta Perikatan Jual Beli? Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut antara lain: a. Perjanjian Pengikatan Jual Jual Beli Kios Saphir Square yang dituangkan dalam Akta Perikatan Jual Beli dilakukan dalam bentuk perjanjian baku, karena materi perjanjian yang akan dituangkan dalam Akta Perikatan Jual Beli ditentukan terlebih dahulu oleh Manajemen PT. Saphir Yogya Super Mall kemudian dikonsultasikan dengan notaries yang akan membuat Akta Perikatan Jual Beli. Dalam pelaksanaan Perjanjian Perikatan Jual Beli Kios Saphir Square, PT. Saphir Yogya Super Mall selaku penjual melakukan wanprestasi

13 13 karena tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk memberikan Hak Atas Satuan Rumah Susun bagi pembeli kios. b. Hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan Akta Perikatan Jual Beli Kios Saphir Square adalah: 1) Hambatan Teknis dan Administratif Perizinan Bangunan Rumah Susun Hambatan teknis dan administrative tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun yang mengatur persyaratan teknis dan administrative dalam pembangunan rumah susun didalam persyaratan teknis dan administrative tersebut ada izin pengesahan pertelaan dan izin layak huni yang belum dapat disahkan oleh Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta dikarenakan PT. Saphir Yogya Super Mall tidak memenuhi persyaratan pengesahan pertelaan dan izin layak huni. Selain itu Pemerintah Kota Yogyakarta juga tidak mempunyai Peraturan daerah atau Peraturan Walikota yang mengatur mengenai Rumah Susun, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah mengenai rumah susun sehingga perizinan

14 14 pendirian rumah susun hanya mengacu pada undangundang dan peraturan pemerintah yang sifatnya sangat umum. 2) Hambatan Kepailitan Yang Dialami PT. Saphir Yogya Super Mall Ditetapkannya status PT. Saphir Yogya Super Mall dalam keadaan pailit, menyebabkan obyek Perjanjian Pengikatan Jual Beli masuk dalam harta pailit, putusan pailit terhadap PT. Saphir Yogya Super Mall juga mengakibatkan perjanjian mengenai pemindahan hak milik atas obyek pengikatan jual beli menjadi hapus sehingga obyek perjanjian pengikatan jual beli tidak dapat beralih kepada pembeli kios Saphir Square. c. Perlindungan hukum yang didapatkan pembeli kios Saphir Square melalui Akta Perikatan Jual Beli adalah perlindungan dari Akta Perikatan Jual Beli sebagai Akta Otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat untuk dijadikan alat bukti sesuai dengan Pasal 1868 KUH Perdata, sebagai ganti rugi atas tidak terlaksananya penyerahan obyek perjanjian pengikatan jual beli kepada pembeli kios Saphir Square.

15 15 Pada penelitian tersebut, penelitian terdahulu hanya fokus pada perlindungan hukum terhadap pembeli kios Saphir Square ditinjau dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Undang- Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan Akta Perikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris. Melihat dari persamaan dan perbedaan dari sebagain unsur penelitan tersebut di atas, peneliti menyatakan dapat mempertanggungjawabkan keaslian penelitian ini dan menyatakan bahwa penelitian dengan judul Kebutuhan Peraturan Daerah Yang Mengatur Tentang Rumah Susun Terkait Dengan Penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Kepada Konsumen Rumah Susun (Studi Kasus Kepailitan PT. Saphir Yogya Super Mall Yogyakarta) belum pernah dilakukan dan dalam kesempatan ini peneliti akan meneliti masalah yang lebih memfokuskan obyek penelitian pada kebutuhan akan Peraturan Daerah yang mengatur tentang Rumah Susun terkait dengan usaha penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagai bentuk upaya perlindungan hukum kepada konsumen rumah susun, dengan mengambil contoh kasus pailitnya PT. Saphir Yogya Super Mall, dengan demikian penelitian ini adalah asli.

16 16 D. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang disampaikan oleh peneliti dalam penelitian ini, antara lain: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan hukum dan menjadi salah satu literatur di bidang hukum khususnya dalam bidang rumah susun. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dan pertimbangan bagi para Notaris dan PPAT, Pemerintah Daerah setempat maupun instansi yang berwenang dalam mengambil kebijakan-kebijakan tertentu terkait dengan pengaturan hukum bidang rumah susun, lebih luas lagi bagi pemerintah daerah yang ada selain pemerintah daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta pemerintah daerah Kota/Kabupaten yang ada didalamnya, mengingat pentingnya menyiapkan suatu peraturan daerah terkait rumah susun sebagai upaya untuk menjamin penerbitkan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun kepada konsumen rumah susun manakala investasi pembangunan rumah susun telah masuk di dalam suatu daerah, baik kabupaten maupun kota dalam suatu provinsi dan juga untuk memberikan kepastian hukum kepada konsumen rumah susun atas suatu bangunan rumah susun yang berdiri di wilayah tersebut.

17 17 E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin disampaikan oleh peneliti melalui penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengetahui lebih jauh tentang seberapa penting kebutuhan akan keberadaan peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah yang mengatur mengenai rumah susun dalam hal membantu menjamin status kepemilikan atas satuan rumah susun bagi calon konsumen rumah susun. 2. Untuk mengetahui bagaimana peranan dari Notaris dan PPAT selama belum ada peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah yang mengatur mengenai rumah susun dalam hal membantu calon konsumen rumah susun untuk memperoleh status hak milik atas satuan rumah susun. 3. Untuk mengetahui bagaimana status kepemilikan atas satuan rumah susun non hunian berupa kios yang telah dibeli oleh pembeli kios dari PT. Saphir Yogya Super Mall pasca perseroan tersebut ditetapkan dalam keadaan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 104 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV Tesis ini, maka dapat ditarik kesimpulan dari rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Kegiatan pembangunan disegala bidang ekonomi oleh masyarakat memerlukan dana yang cukup besar. Dana tersebut salah satunya berasal dari kredit dan kredit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainya, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainya, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari kehidupan manusia lainya, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga terjadi interaksi sosial

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT Bank Rakyat Indonesia ( Persero ) Tbk atau dikenal dengan nama bank BRI merupakan salah satu BUMN yang bergerak dalam bidang perbankan mempunyai fungsi intermediary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 11/KPTS/1994 TENTANG PEDOMAN PERIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 11/KPTS/1994 TENTANG PEDOMAN PERIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 11/KPTS/1994 TENTANG PEDOMAN PERIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT ; Menimbang : a. bahwa jual beli satuan rumah susun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam meminjam telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran yang sah. Pihak pemberi pinjaman yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu perjanjian tertulis merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya, maka berbagai macam upaya perlu dilakukan oleh pemerintah. lembaga keuangan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya, maka berbagai macam upaya perlu dilakukan oleh pemerintah. lembaga keuangan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan ekonomi di Indonesia terkait dengan meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia di setiap tahunnya, maka berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat oleh pihak bank. Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat oleh pihak bank. Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fasilitas kredit sangat diperlukan bagi masyarakat untuk memperoleh dana dari pihak pemberi pinjaman seperti bank dengan berbagai peruntukan baik itu modal usaha maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan memiliki rumah yang terjangkau bagi banyak orang.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan memiliki rumah yang terjangkau bagi banyak orang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Kebutuhan akan rumah menempati kedudukan kedua setelah makanan. Tanpa rumah, manusia akan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi termasuk sektor keuangan dan perbankan harus segera

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi termasuk sektor keuangan dan perbankan harus segera BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian di Indonesia mempunyai dampak yang sangat positif. Perbaikan sistem perekonomian dalam penentuan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun akan menimbulkan berbagai macam problema. Salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun akan menimbulkan berbagai macam problema. Salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang populasi manusianya berkembang sangat pesat.pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat tajam pada setiap tahun akan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN Nomor : 14

SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN Nomor : 14 SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN Nomor : 14 - Pada hari ini, Kamis, tanggal tiga puluh November tahun dua ribu sebelas (30-11-2011), pukul 10.00 WIB (sepuluh nol-nol Waktu Indonesia Barat);-----------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan tersebut dapat dilakukan antara individu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membutuhkan modal karena keberadaan modal sangat penting sebagai suatu sarana

I. PENDAHULUAN. membutuhkan modal karena keberadaan modal sangat penting sebagai suatu sarana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan menimbulkan dampak terhadap aktifitas suatu perusahaan. Dalam menjalankan aktifitasnya, perusahaan membutuhkan modal karena keberadaan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Didalam pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang. kepailitan dan PKPU, dikatakan Debitur yang tidak dapat atau

BAB V PENUTUP. 1. Didalam pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang. kepailitan dan PKPU, dikatakan Debitur yang tidak dapat atau BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Didalam pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU, dikatakan Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering kita mendapati perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Anak merupakan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kedua orang tuanya. Setiap anak tidak hanya tumbuh dan berkembang dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lainnya, pengaturan mengenai Notarisdiatur dalamundangundang

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lainnya, pengaturan mengenai Notarisdiatur dalamundangundang 1 BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya, pengaturan mengenai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan tanah dalam rangka pembangunan bagi pemenuhan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan tanah dalam rangka pembangunan bagi pemenuhan berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan tanah dalam rangka pembangunan bagi pemenuhan berbagai keperluan semakin meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Sehubungan

Lebih terperinci

PENGERTIAN PERDAMAIAN

PENGERTIAN PERDAMAIAN 1 PENGERTIAN PERDAMAIAN Suatu Perdamaian dalam kepailitan pada dasarnya adalah suatu kesepakatan antara debitur dan kreditor utk merestrukturisasi utang secara paksa (kreditur konkuren). Penyelesaian utang-piutang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akta Tanah (PPAT) yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah (PP)

BAB I PENDAHULUAN. Akta Tanah (PPAT) yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Landasan hukum terhadap eksistensi atau keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1998

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) Undang undang Nomor 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) Undang undang Nomor 2 Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) Undang undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Notaris

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA DASAR HUKUM Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA 20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan tersebut dapat dilakukan antara individu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai investasi, mengingat nilainya yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai investasi, mengingat nilainya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah merupakan kebutuhan primer bagi setiap keluarga, bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai investasi, mengingat nilainya yang semakin meningkat

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kerangka hukum formal yang komprehensif pada 30. September 1999 melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kerangka hukum formal yang komprehensif pada 30. September 1999 melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum Positif adalah Jaminan Fidusia. Lembaga jaminan kebendaan fidusia tersebut sudah digunakan di Indonesia sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang menggerakkan roda perekonomian, dikatakan telah melakukan usahanya dengan baik apabila dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. Pada awal kemerdekaan Indonesia, koperasi diatur

Lebih terperinci

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG 0 KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 318.K/Pdt/2009 Tanggal 23 Desember 2010) TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga Pengadilan dalam penyelesaian sengketa, di samping Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga Pengadilan dalam penyelesaian sengketa, di samping Pengadilan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrument efektif mengatasi kemungkinan meningkatnya akumulasi perkara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah untuk memikirkan dan melakukan upaya-upaya bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah untuk memikirkan dan melakukan upaya-upaya bagaimana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan Penduduk di Indonesia yang demikian pesat memacu Pemerintah untuk memikirkan dan melakukan upaya-upaya bagaimana dapat mensejahterakan segenap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemiliknya kepada pihak lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. pemiliknya kepada pihak lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peralihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk mengalihkan hak kepemilikan atas tanah dari pemiliknya kepada pihak

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Negara Indonesia adalah negara hukum. Semua Warga Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Negara Indonesia adalah negara hukum. Semua Warga Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Negara Indonesia adalah negara hukum. Semua Warga Negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum, dan wajib mematuhi hukum yang berlaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di Indonesia juga. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di Indonesia juga. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di Indonesia juga menyebabkan meningkatnya kebutuhan usaha dalam sektor perbankan. Hal ini ditandai dengan banyaknya

Lebih terperinci

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA Oleh : Dr. Urip Santoso, S.H, MH. 1 Abstrak Rumah bagi pemiliknya di samping berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, juga berfungsi sebagai aset bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian merupakan instrumen penting dalam membangun negara yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan tetapi perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam-meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam-meminjam uang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak untuk

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan merupakan sarana bagi pemerintah dalam mengupayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kota Surabaya dengan luas wilayah sebesar 326,36 km² merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kota Surabaya dengan luas wilayah sebesar 326,36 km² merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Surabaya dengan luas wilayah sebesar 326,36 km² merupakan salah satu kota yang memiliki keistimewaan dalam hal pengelolaan tanah. Diantara wilayah tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu sumber daya alam yang mempunyai nilai batiniah yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. salah satu sumber daya alam yang mempunyai nilai batiniah yang mendalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia. Di atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam. mewujudkan peran sertanya dalam membiayai pembangunan secara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam. mewujudkan peran sertanya dalam membiayai pembangunan secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara. Banyak negara, termasuk Indonesia mengandalkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara utama. 1 Pajak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH (PT.

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH (PT. QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH (PT. BPRS) KOTA JUANG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) menentukan secara tegas bahwa negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) menentukan secara tegas bahwa negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA.JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI (SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih FAKULTAS

Lebih terperinci