PENGARUH KELEMBABAN KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR PUTRI FURQONI AMALIA KHAMARANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH KELEMBABAN KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR PUTRI FURQONI AMALIA KHAMARANI"

Transkripsi

1 PENGARUH KELEMBABAN KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR PUTRI FURQONI AMALIA KHAMARANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kelembaban Kandang Terhadap Kejadian Mastitis Subklinis dan Bovine Tuberculosis pada Sapi Perah di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2016 Putri Furqoni Amalia Khamarani NIM B

4 2

5 3 ABSTRAK PUTRI FURQONI AMALIA KHAMARANI. Pengaruh Kelembaban Kandang terhadap Kejadian Mastitis Subklinis dan Bovine Tuberculosis pada Sapi Perah di Bogor. Dibimbing oleh MIRNAWATI BACHRUM SUDARWANTO dan MAZDANI ULFAH DAULAY Kondisi iklim merupakan faktor yang sangat penting bagi produksi dan kesehatan hewan ternak. Tingkat kelembaban yang buruk akan memengaruhi termoregulasi hewan, yang akan membuat hewan lebih mudah untuk terserang penyakit. Mastitis subklinis adalah peradangan pada jaringan internal ambing tanpa menunjukkan perubahan fisik, tetapi dapat menurunkan produksi dan kualitas susu. Bovine tuberculosis merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex dan dapat menginfeksi hampir semua spesies mamalia. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kelembaban kandang terhadap kejadian mastitis subklinis dan bovine tuberculosis pada sapi perah. Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) dan Kebon Pedes Kota Bogor. Seratus delapan puluh lima (185) sampel susu dari empat puluh tujuh (47) individu sapi perah digunakan untuk pengujian mastitis subklinis, dan empat puluh tujuh (47) sampel individu sapi digunakan untuk pengujian tuberkulin. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada asosiasi (p > 0.05) antara tingkat kelembaban terhadap kejadian mastitis subklinis maupun kejadian bovine tuberculosis di Bogor. Risiko relatif dari kedua variabel, yaitu tingkat kelembaban terhadap mastitis subklinis (SK 95% ) dan tingkat kelembaban terhadap bovine tuberculosis (SK 95% ) menunjukkan tidak signifikan. Kata Kunci : bovine tuberculosis, kelembaban, mastitis subklinis. ABSTRACT PUTRI FURQONI AMALIA KHAMARANI. Effects of Pens Humidity Level on The Occurance of Subclinical Mastitis and Bovine Tuberculosis in Dairy Cattle at Bogor. Supervised by MIRNAWATI BACHRUM SUDARWANTO and MAZDANI ULFAH DAULAY. Climate is essentials for livestock production and animals health. Poor humidity level will affect thermoregulatory responses of animals, which would make animals more susceptible to diseases. Subclinical mastitis is an inflammation of the mammary gland without visible sign of the disease, but can reduce milk production and quality. Bovine Tuberculosis is a chronic disease caused by Mycobacterium tuberculosis complex, able to infect practically most of mammalian species. The aim of this study is to determine the influence of pens humidity level to subclinical mastitis and bovine tuberculosis incidences on cattle. This research took place at Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) and Kebon Pedes Bogor. One hundred eighty five (185) milk samples from forty seven (47) cattle were used for

6 4 subclinical mastitis test in normal lactation, and forty seven (47) cattle samples were used for tuberculin test. The result showed that there was no association (p > 0.05) between humidity level to both subclinical mastitis and tuberculosis incidence in Bogor. Risk factors of both variable, humidity level towards subclinical mastitis (SK 95% ) and humidity level towards tuberculosis (SK 95% ) was insignificant. Key words: bovine tuberculosis, humidity, subclinical mastitis.

7 5 PENGARUH KELEMBABAN KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR PUTRI FURQONI AMALIA KHAMARANI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

8 6

9

10 8

11 9 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Pengaruh Kelembaban Kandang Terhadap Kejadian Mastitis Subklinis dan Bovine Tuberculosis pada Sapi Perah di Bogor. Penulisan tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan. Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu Prof Dr med vet Drh Hj Mirnawati Bachrum Sudarwanto selaku pembimbing 1, Dr Drh Mazdani Ulfah Daulay, MP selaku pembimbing 2 yang telah sabar dan banyak memberikan arahan, masukan, serta bimbingan selama penyusunan tugas akhir ini. Seluruh staff Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu selama pengamatan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada ibu Drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP, PhD selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis sedari awal perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan. Tidak lupa penulis berterimakasih kepada para peternak di Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) dan Kebon Pedes, bapak Harisman, bapak Asep, serta paramedis-paramedis yang bekerja di lapang yang telah membantu dalam pengumpulan data. Kepada keluarga tercinta, Ayahanda Lukman Hakim, Ibunda Netra Diah, Mas Rio dan Mas Rei atas dukungan, doa dan kasih sayangnya kepada penulis selama ini. Teman-teman terkasih, Hilyah Abqoriyah, Fathia Yustikadewi, Dian Anggraeni, Mentari Lentera, Elisabeth MSB, Danar Intan, Aldila Nurtriana, Aulia Anggitasari, Iccha, Rachmi, Firyal, Adinda serta seluruh angkatan 49 FKH IPB terutama teman-teman kelas Bb yang selalu memberi bantuan, dukungan, semangat dan warna selama masa perkuliahan, penelitian, penulisan, hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2016 Putri Furqoni Amalia Khamarani

12 10

13 11 DAFTAR ISI DAFTAR ISI 11i DAFTAR TABEL 12 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Mastitis Subklinis 2 Bovine Tuberculosis 3 Kondisi Kandang 4 METODE 4 Waktu dan Tempat Penelitian 4 Bahan 5 Alat 5 Metodologi 5 Penentuan Ukuran Sampel dan Teknik Penarikan Sampel 5 Prosedur Uji Tuberkulin 5 Prosedur Uji Mastitis Subklinis dengan IPB-1 Mastitis Test 5 Prosedur Uji Mastitis Subklinis dengan Metode Breed 6 Prosedur Penggunaan Termohigrometer 6 Analisis Data 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Keadaan Umum Lokasi 7 Kejadian Mastitis Subklinis 8 Kejadian Bovine Tuberculosis 10 SIMPULAN DAN SARAN 12 Simpulan 12 Saran 12 DAFTAR PUSTAKA 13 RIWAYAT HIDUP 16

14 12 DAFTAR TABEL 1 Jumlah sampel dari KUNAK dan Kebon Pedes 8 2 Rataan Kelembaban di KUNAK dan Kebon Pedes 8 3 Hubungan antara Kelembaban terhadap Kejadian Mastitis Subklinis pada Individu Sapi 10 4 Hubungan antara Kelembaban terhadap Kejadian BTB pada Individu Sapi 12

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia akan kebutuhan gizi menyebabkan permintaan bahan pangan bergizi tinggi meningkat, di antaranya berasal dari hasil produksi ternak. Hal tersebut berpengaruh terhadap produksi susu di Indonesia, karena menurut survey dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi susu Indonesia mengalami peningkatan produksi sebesar ton, dari ton pada tahun 2013 hingga ton pada tahun Walaupun terjadi peningkatan, tetapi konsumsi susu masyarakat Indonesia masih tetap rendah dibandingkan negara lain (Ditjen PKH 2012b). Susu merupakan produk pangan asal hewan yang mengandung gizi tinggi dan lengkap untuk tubuh manusia. Kandungan gizi yang tinggi juga merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri, baik bakteri yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia, maupun bakteri penyebab kerusakan susu (Hurley dan Morin 2003). Faktor yang dapat menghambat produksi susu salah satunya adalah keberadaan kasus penyakit pada ternak. Mastitis merupakan peradangan pada jaringan internal ambing yang ditandai oleh perubahan fisik maupun kimia susu, dengan atau tanpa disertai perubahan patologis pada ambing (Hurley dan Morin 2003; Subronto 2003). Mastitis dapat memengaruhi komposisi dan menghambat produksi susu (Saleh 2004). Menurut Surjowardojo (2011) mastitis dapat menyebabkan penurunan produksi susu sebesar liter/hari/ekor atau 28% 53%, dan memiliki dampak kerugian ekonomi berkisar Rp6 160 Rp11 620/hari/ekor. Semakin tinggi tingkat mastitis (maka) akan berbanding lurus dengan penurunan produksi susu, sehingga kerugian peternak semakin besar. Mastitis pada sapi perah ada dua macam, yakni mastitis subklinis dan klinis (Surjowardojo 2012). Penyakit lain yang perlu diwaspadai adalah bovine tuberculosis (BTB) yang disebabkan oleh Mycobacterium bovis (M. bovis). Selain bersifat kronis juga merupakan penyakit zoonotik (Thoen et al. 2006). Kasus BTB merupakan fenomena gunung es yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah, mengingat masih sangat sedikit laporan tentang kasus BTB di Indonesia (Putra et al. 2013). Penyakit ini dapat menular ke mamalia lainnya melalui inhalasi maupun ingesti (dari susu yang tidak dipasteurisasi) (WHO 2010). Menurut Regassa (2005), kasus infeksi M. bovis pada manusia mempunyai korelasi antara prevalensi infeksi M. bovis pada manusia dengan tingkat populasi sapi di suatu wilayah tertentu. Penurunan produksi susu pada sapi perah yang menderita BTB dapat mencapai 18% (Caffrey 1994). Hal ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi dan merupakan kendala dalam usaha meningkatkan produktivitas hewan ternak di Indonesia. Kasus BTB sangat didukung oleh kondisi lingkungan yang buruk, salah satunya adalah kelembaban yang tinggi (Good dan Duignan 2011). Kondisi iklim dan kelembaban kandang ternak harus senantiasa diperhatikan karena berperan penting dalam tingkat produksi dan kesehatan sapi. Kelembaban kandang yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah akan menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, energi, dan tingkah laku ternak sehingga ternak rentan terhadap stress.

16 2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kelembaban kandang terhadap tingkat kejadian mastitis subklinis dan BTB pada sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan peternakan rakyat Kebon Pedes Kota Bogor. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai salah satu langkah untuk pencegahan dan pengendalian kasus mastitis subklinis maupun BTB pada ternak di wilayah Bogor. TINJAUAN PUSTAKA Mastitis Subklinis Mastitis subklinis biasa diderita oleh sapi-sapi di peternakan namun tidak menampakkan perubahan yang nyata pada fisik sapi, akan tetapi produksi dan kualitas susu turun (Hurley dan Morin 2003). Umumnya radang ambing ini disebabkan oleh bakteri, zat kimia, luka termis (bakar) atau luka mekanis yang kemudian menjadi infeksi pada kelenjar ambing. Pada kejadian mastitis, tidak semua puting dari sapi terinfeksi. Hal ini disebabkan oleh mikroorganisme yang masuk melalui streak canal dan setiap puting memiliki mekanisme pertahanan yang terpisah (Surjowardojo 2011). Mastitis dapat menyebabkan perubahan fisik, kimia, mikrobiologi yang ada dalam susu. Perubahan yang dapat dicermati dalam susu meliputi perubahan warna susu, adanya gumpalan-gumpalan, serta peningkatan jumlah leukosit (Hungerfort 1990). Mastitis subklinis merupakan peradangan pada ambing tanpa ditemukan gejala klinis pada ambing dan susu. Ternak terlihat sehat, nafsu makan dan suhu tubuh normal, ambing normal, susu tidak menggumpal dan warna tidak berubah. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengujian secara rutin untuk deteksi kemungkinan terjangkitnya mastitis subklinis dengan metode pengujian yang khusus. Mastitis umumnya terjadi pada masa kering kandang. Pada masa tersebut selsel alveol sedang dirombak dan diganti, sehingga bagian sel-sel epitel yang rusak dimasuki oleh mikroorganisme sebelum sel-sel epitel alveol yang baru terbentuk (Subronto 2003). Faktor-faktor penyebab terjadinya mastitis adalah kondisi kandang dan ternak, yaitu sanitasi yang buruk, kelembaban yang tinggi, dan sapi yang cenderung lebih sering duduk di atas alas kandang (Hospido dan Sonesson 2005). Kerugian ekonomi yang dialami diantaranya adalah ongkos perawatan, pengobatan, dan penurunan kualitas susu. Penurunan kualitas susu ditandai oleh

17 perubahan kandungan susu seperti turunnya kadar laktosa, lemak, dan kasein (Kubi et al. 2009). Dampak lainnya, susu menjadi tidak stabil bila dipanaskan, produk susu pasteurisasi yang berkualitas rendah, dan cita rasa susu yang berubah (Hurley dan Morin 2003). Pengobatan pada tingkat awal mastitis lebih mudah dan lebih cepat sembuh. Namun demikian, perlu ada pengobatan terhadap puting yang terinfeksi mastitis, karena jika berlanjut akan menyebabkan puting mati (tidak lagi mengeluarkan susu). Pencegahan dini dapat dilakukan dengan selalu puting yang dikontrol secara rutin, higiene kandang ditingkatkan, pengobatan masa kering kandang dan pengafkiran sapi yang telah terinfeksi (Roberson 1999). 3 Bovine Tuberculosis Bovine tuberculosis (BTB) merupakan penyakit infeksius menular, dapat menginfeksi hewan ternak lain, hewan liar maupun manusia (bersifat zoonotik dan persisten), serta dapat dikatakan sebagai penyakit menahun (kronik) (Tarmudji dan Supar 2008). BTB kebanyakan menyerang baik sapi perah impor maupun sapi perah lokal. Penyebab utama penyakit ini adalah Mycobacterium bovis (M.bovis) yang sangat patogen (Thoen et al. 2006). Umumnya bakteri ini tidak dapat bertahan terhadap panas, sinar matahari langsung, dan kekeringan, yang menyebabkan bakteri hanya dapat hidup beberapa minggu di luar tubuh induk semangnya (Aphis Veterinary Service 2015). Hassanain et al. (2009) menyatakan bahwa BTB merupakan tipe tuberkulosis yang paling sering diderita sapi, terutama di negara berkembang, yang umumnya tingkat kesadaran akan kebersihan masih rendah dan dengan status ekonomi lemah. Hal yang mendukung terjadinya infeksi BTB adalah frekuensi kontak dengan manusia yang sangat tinggi, jarak kandang dengan pemukiman penduduk sangat dekat, kondisi lingkungan yang buruk dan nutrisi yang kurang seimbang (Good dan Duignan 2011). Penularan dari manusia penderita tuberkulosis dapat terjadi melalui dahak atau sekreta yang dikeluarkan penderita mencemari lingkungan (sekitar) (Aphis Veterinary Service 2015). Transmisi infeksi BTB sering melalui jalur respirasi pada berbagai spesies, meskipun penularan secara oral, kongenital maupun kontak luka pernah tercatat (Good dan Duignan 2011). Infeksi dapat terjadi secara horisontal dengan perantara cemaran M. bovis pada rumput, air dan udara (Thoen et al. 2006). Sapi yang telah terinfeksi pada stadium awal tidak menunjukkan gejala klinis. Gejala klinis terlihat pada stadium lanjut, sapi mengalami anoreksia, fluktuasi temperatur tubuh, kondisi tubuh turun, pembengkakan kelenjar limfe sehingga lebih mudah teraba, batuk sampai sesak nafas, dan frekuensi respirasi bertambah (Tarmudji dan Supar 2008). Penyakit ini dapat dideteksi dengan uji tuberkulin intradermal (dalam kulit), yaitu pada kulit leher (rambut setempat harus dicukur terlebih dahulu), kulit daerah pangkal ekor atau vulva pada ternak besar, kulit telinga atau kelamin luar pada babi. Selain uji intradermal, dapat juga dilakukan uji tuberkulin subkutan (dibawah kulit) (Ditjen PKH 2012a). Pengendalian yang utama dalam pencegahan M. bovis adalah dengan pembuatan program pengendalian dan pembasmian BTB, dilakukan uji tuberkulin secara berulang sampai semua sapi diketahui status kesehatannya: bebas BTB, atau jika ditemukan reaktor positif maka segera sapi yang terinfeksi

18 4 dipisahkan dari kawanannya dan dimusnahkan (Soejoedono 2004). Selain itu, kebersihan kandang perlu dijaga secara rutin dengan desinfektan yang efektif untuk membunuh bakteri TBC, yaitu mengandung senyawa phenol 2 3%, kresol 2 3% atau ortophenil 1% (Depkes RI 2005). Keberhasilan dalam penanganan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sarana dan prasarana pengobatan, obat yang diberikan (kualitasnya baik dan terjangkau), penyuluhan kepada peternak, masyarakat dan keluarga tentang BTB, dan keberadaan penyakit lain yang dapat memengaruhi daya tahan tubuh hewan (Ditjen PKH 1986). Kondisi Kandang Kelembaban udara yang ideal bagi pemeliharaan sapi perah laktasi adalah 60 80% (Santoso 1999). Kelembaban yang tinggi dapat mengurangi atau menurunkan jumlah panas yang hilang akibat penguapan, sedangkan penguapan merupakan cara untuk mengurangi panas tubuh sehingga tubuh menjadi sejuk. Jumlah panas yang hilang tergantung dari luas permukaan tubuh, bulu, jumlah dan besar kelenjar keringat, suhu lingkungan, dan kelembaban udara (Sugeng 1998). Hal tersebut dapat menyebabkan ternak stress dan berdampak pada penurunan daya tahan tubuh, dan mudah terpapar oleh penyakit, maupun penurunan produksi susu. Kelembaban yang tinggi ditambah dengan kondisi kandang yang tidak bersih dapat merangsang tumbuhnya mikroorganisme penyebab penyakit ternak dan memudahkan terjadinya infeksi sebagai faktor predisposisi (Subronto 2003). Ternak yang terserang penyakit akan mengalami penurunan nafsu makan dan berakibat pada menurunnya kecepatan pertumbuhan. Kebiasaan sapi yang jarang berdiri dan selalu duduk di atas alas kandang, dapat berperan untuk terjadinya proliferasi bakteri. Pertumbuhan bakteri di kandang didukung oleh tersedianya nutrisi, kelembaban yang sesuai, dan ph yang cocok (Bewley et al. 2001). METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2015 dan dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pengambilan sampel kelembaban lokasi yang dilanjutkan dengan pengambilan sampel susu dan pengujian di laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan di dua lokasi, yaitu Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kabupaten Bogor, dan peternakan rakyat Kebon Pedes Kota Bogor. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB.

19 5 Bahan Bahan yang digunakan adalah pereaksi IPB-1, alkohol 70%, sampel susu, alkohol 96%, eter alkohol, larutan methylen blue Löffler, minyak emersi, dan Bovituber PPD Alat Kelembaban lokasi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan termohigrometer. Pengujian tuberkulin menggunakan alat gunting dan jangka sorong. Pengambilan sampel susu menggunakan alat tabung plastik yang telah diberi label (nomor sampel dan kuartir), lap bersih, sarung tangan, masker, plastik dan coolbox. Pada tahap pengujian di laboratorium digunakan rak tabung reaksi, tabung reaksi, bunsen, pipet Breed, kertas Breed, kawat ose berujung siku, mikroskop Olympus CH30, gelas objek yang diberi label (nomor sampel dan kuartir), paddle. Metodologi Penentuan Ukuran Sampel dan Teknik Penarikan Sampel Studi ini merupakan kajian lintas seksional antara faktor risiko/paparan dengan penyakit. Teknik penarikan sampel yang digunakan yaitu purposif dengan mempertimbangkan data sekunder hasil uji tuberkulin yang telah dilakukan sebelumnya. Lokasi peternakan sapi perah yang menjadi target sampel adalah sentra peternakan sapi perah di wilayah Bogor, yaitu Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kabupaten Bogor dan peternakan rakyat di Kebon Pedes Kota Bogor. Peternakan dipilih secara acak, kemudian sapi di tiap peternakan dipilih secara acak. Prosedur Uji Tuberkulin Rambut di daerah yang akan diinjeksi (sepertiga leher bagian atas) digunting/dibersihkan. Lipatan kulit diukur dengan jangka sorong sebelum tuberkulinasi. Tuberkulin yang digunakan adalah Bovituber PPD, yaitu Purified Protein Derivate of Bovine Tuberculin. Ketebalan lipatan kulit diukur kembali 72 jam setelah injeksi. Tuberkulinasi memberikan hasil positif jika terjadi peningkatan ketebalan lipatan kulit 4 mm atau lebih. Prosedur Uji Mastitis Subklinis dengan IPB-1 Mastitis Test IPB-1 mastitis test dilakukan pada susu yang berasal dari sapi pada masa laktasi normal dan sapi dengan keadaan sehat secara klinis. Uji ini dilakukan untuk mendeteksi sapi yang diduga terkena mastitis subklinis. Paddle diisi dengan 2 ml sampel susu sesuai dengan letak kuartir, kemudian ditambahkan pereaksi IPB-1 dengan volume yang kurang lebih sama dengan sampel susu. Sampel susu dan pereaksi dihomogenkan selama detik. Apabila sampel susu yang diuji berasal dari sapi yang diduga terkena mastitis subklinis, maka pereaksi IPB-1 akan bereaksi dengan DNA dari inti sel somatis, sehingga terbentuk massa kental seperti gelatin. Semakin kental massa yang terbentuk menunjukkan bahwa tingkat reaksinya semakin tinggi, yang berarti

20 6 jumlah sel somatis semakin banyak. Bila sampel susu dan pereaksi tidak membentuk massa kental (tetap homogen), maka sampel susu yang diuji berasal dari sapi yang diduga tidak terkena mastitis subklinis. Prosedur Uji Mastitis Subklinis dengan Metode Breed Gelas objek dibersihkan dengan larutan eter alkohol dan diletakkan di atas kertas cetakan atau pola bujur sangkar seluas 1 1 cm 2 (kertas Breed). Susu yang akan diperiksa dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian susu dipipet menggunakan pipet Breed dan diteteskan sebanyak 0.01 ml susu tepat di atas kotak 1 cm 2. Sampel susu disebar membentuk kotak seluas 1 cm 2 dengan kawat ose berujung siku. Gelas objek dikering udarakan selama 5 10 menit selanjutnya difiksasi dengan nyala api bunsen. Pewarnaan dilakukan setelah sampel susu pada gelas objek mengering. Gelas objek direndam dalam larutan eter alkohol selama 2 menit. Sampel susu pada gelas objek diwarnai dengan cara dimasukkan ke dalam larutan methylen blue Löffler selama 1 2 menit. Gelas objek dimasukkan ke dalam larutan alkohol 96% untuk menghilangkan sisa zat warna yang melekat. Setelah proses pewarnaan selesai, gelas objek dikeringkan. Setelah preparat kering, jumlah sel somatis dihitung dengan menggunakan mikroskop yang telah ditetesi minyak emersi pada permukaan kotak yang telah diwarnai dengan 20 lapang pandang (pembesaran objektif 100 ), kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah lapang pandang untuk mengetahui rataan jumlah sel somatis. Setelah diketahui rataan jumlah sel somatis, kemudian dikalikan dengan faktor mikroskop, maka akan ditemukan jumlah sel somatis. Jumlah sel somatis = rataan jumlah sel somatis (faktor mikroskop). Prosedur Penggunaan Termohigrometer Alat termohigrometer diletakkan di dalam (tengah) kandang. Tombol ON ditekan agar alat mulai bekerja, selama sekitar tiga sampai lima menit. Skala digital yang tertera pada layar termohigrometer menunjukkan kelembaban lokasi. Pengambilan sampel kelembaban dilakukan di musim hujan, dua kali dalam sehari ( pagi dan sore) pada kandang yang diambil sampel tuberkulin dan sampel susu. Hasil persen kelembaban kemudian dirata-rata untuk dapat menentukan persentase tingkat kelembaban kandang. Gambar 2 Alat termohigrometer digital, portable (sumber:

21 7 Analisis Data Hasil positif atau negatif tuberkulinasi dan mastitis subklinis pada ternak dianggap sebagai variabel dependen (Y), sedangkan variabel independennya adalah faktor kelembaban (X). Asosiasi antara faktor kelembaban dan kejadian BTB dan kejadian mastitis subklinis pada sapi perah diukur menggunakan χ 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Hasil Penelitian dilaksanakan pada Sentra Peternakan sapi perah Kabupaten Bogor yang terletak di Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) dan Kota Bogor yang berupa peternakan rakyat berlokasi di Kebon Pedes. Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) diresmikan sejak tahun Wilayah KUNAK terdiri atas Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang dan Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor dengan topografi wilayah yang bergelombang sampai dengan berbukit. Terdapat dua mata air dari Sungai Cigamea yang digunakan sebagai sumber air bersih terletak di puncak bukit. Produk susu harian yang dihasilkan sekitar liter dan siap dikirim ke industri pengolahan susu di Jakarta. Sentra peternakan sapi perah yang terdapat di Kota Bogor terkonsentrasi di Kebon Pedes yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Kelurahan Kebon Pedes berada pada ketinggian 250 m dpl dengan curah hujan rata-rata m dpl. Sumber air bersih yang digunakan berasal dari Sungai Cipakancilan, Sungai Cibalok, Sungai Cikubang dan beberapa sumber mata air. Hasil produksi dari peternakan Kebon Pedes diedarkan secara retail dari rumah ke rumah di pemukiman sekitar dan sebagai suplai susu segar di Kota Bogor. Kedua peternakan memberi pakan berupa konsentrat, ampas tahu, dan hijauan. Kajian lintas seksional dilakukan dengan pengambilan sampel ternak, dan sampel susu di KUNAK (Kabupaten Bogor) dan Kebon Pedes (Kota Bogor). Jumlah sampel pada tiap peternakan dapat dilihat pada Tabel 1. Seluruh sampel ternak diuji menggunakan uji tuberkulin, sedangkan sampel susu diuji menggunakan uji IPB-1 dan uji Breed. Tabel 1 Jumlah sampel dari KUNAK dan Kebon Pedes Lokasi Jumlah Sampel Persentase KUNAK 14 kandang (138 sampel) 74.6% Kebon Pedes 6 kandang (47 sampel) 25.4% Beberapa faktor iklim sangat memengaruhi keadaan fisiologis maupun produksi sapi perah, salah satu yang paling penting adalah faktor kelembaban lingkungan. Ternak yang berada pada lingkungan yang tidak sesuai akan menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan tingkah laku (Esmay 1982). Sapi FH menunjukkan penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan pada kelembaban

22 8 55%. Bila melebihi kelembaban tersebut, maka ternak akan melakukan penyesuaian fisiologis maupun tingkah laku (McDowell 1974). Tabel 2 berikut akan menunjukkan perbedaan rataan kelembaban di KUNAK dan Kebon Pedes. Tabel 2 Rataan Kelembaban di KUNAK dan Kebon Pedes Lokasi Rataan Kelembaban KUNAK 89.4% ± 5.4 Kebon Pedes 86.5% ± 2.1 Soetarno (2003) menyatakan bahwa kelembaban ideal bagi sapi perah di Indonesia adalah antara 60 80%. Kondisi lingkungan yang lembab juga memiliki potensi untuk tumbuhnya kuman bakteri dan virus. Rataan kelembaban di KUNAK dan Kebon Pedes adalah 88.5% hasil ini menunjukkan bahwa sapi tidak berada pada produksi terbaiknya dan rentan terhadap berbagai serangan virus maupun bakteri karena gangguan kondisi fisiologis tubuh. Banyak hal yang dapat meningkatkan kelembaban kandang, salah satunya adalah air yang tergenang, sirkulasi udara yang kurang baik, ketinggian kandang yang tidak memadai, kepadatan kandang, serta intensitas cahaya dalam kandang. Kejadian Mastitis Subklinis Menurut Sudarwanto (1993) uji mastitis menggunakan IPB-1 merupakan test yang bersifat semi kuantitatif. Reagen uji mastitis IPB-1 akan berikatan dengan inti DNA dari sel somatis sehingga terbentuk masa kental, semakin kental masa yang terbentuk maka akan semakin tinggi jumlah sel somatis di dalam susu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 47 individu sapi, dihasilkan 185 sampel susu yang berasal dari masing-masing kuartir sapi, terdapat 71 sampel kuartir (38.4%) menunjukkan hasil negatif dan 114 sampel kuartir (61.6%) menunjukkan hasil positif. Hasil positif terdiri dari positif satu (1+) sebanyak 37 kuartir (20%), positif dua (2+) sebanyak 37 kuartir (20%), dan positif tiga (3+) sebanyak 40 kuartir (21.6%). Pengujian ini sangat baik untuk pemeriksaan contoh susu dalam jumlah besar dan pemeriksaan teratur di lapangan (Sukada 1996). Kelemahan pengujian ini adalah jumlah sel somatis yang didapatkan hanyalah dugaan dan dapat dikatakan sebagai diagnosa pendahuluan (Sudarwanto 1993). Sapi yang menderita mastitis subklinis memiliki jumlah sel somatis lebih dari sel/ml, mengandung bakteri patogen, dan dalam kurun waktu laktasi normal (IDF 1999). Agar dapat menentukan jumlah sel somatis di dalam susu, maka perlu dilakukan uji lanjutan menggunakan metode Breed yang bertujuan untuk mengetahui jumlah sel somatis dalam 1 ml susu. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan metode Breed, 72 sampel kuartir (38.9%) memiliki jumlah sel somatis kurang dari sama dengan sel/ml, sedangkan sisanya, 113 sampel kuartir (61.1%) memiliki jumlah sel somatis lebih dari sel/ml. Sampel susu yang diteliti berasal dari masing-masing kuartir sapi yang masih aktif menghasilkan susu dan dalam masa laktasi normal. Pada sampel individu yang menunjukkan hasil positif, maka sapi diduga terinfeksi mastitis. Treatment lebih lanjut sangat diperlukan oleh kuartir/puting yang terinfeksi agar tidak berkembang

23 untuk kemudian menjadi mastitis klinis. Kejadian mastitis klinis ditandai dengan gejala abnormalitas yang dapat terlihat dengan mata biasa, tidak seperti mastitis subklinis yang tidak menunjukkan abnormalitas fisik. Hubungan antara kelembaban terhadap kejadian mastitis subklinis dapat dilihat pada Tabel 3. Peubah kelembaban dianggap berasosiasi dengan kejadian mastitis subklinis pada individu sapi jika memiliki p < Tabel 3 Hubungan antara kelembaban terhadap kejadian mastitis subklinis pada individu sapi 9 Peubah Mastitis Subklinis Positif Negatif Relative Risk (SK 95%) χ 2 P Skor Kelembaban 87.5% > 87.5% 17 (81.0%) 24 (92.3%) 4 (19.0%) 2 (7.7%) Referensi 1.60 ( ) SK = Selang Kepercayaan Uji 2 digunakan dan diperoleh hasil bahwa pada penelitian ini kelembaban tidak memiliki asosiasi nyata terhadap kejadian mastitis subklinis (p > 0.05; SK 95% ). Hasil ini menunjukkan bahwa peternakan yang memiliki kelembaban 87.5% maupun > 87.5% tidak memiliki asosiasi meningkatkan ataupun menurunkan terjadinya mastitis subklinis. Hal ini dapat terjadi karena terbatasnya jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini. Rataan kelembaban di dua wilayah tersebut adalah 88.5% dan melebihi nilai kelembaban ideal bagi pemeliharaan sapi perah laktasi. Persentase ternak yang positif mengalami mastitis di peternakan dengan kelembaban > 87.5% (92.3%) lebih besar jika dibandingkan dengan kelembaban 87.5% (81.0%). Kelembaban yang tinggi dapat merangsang tumbuhnya mikroorganisme penyebab mastitis. Bakteri (mikroorganisme) yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis 80% didominasi antara lain oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Staphylococcus epidermidis, serta bakteri Coliform terutama Escherichia coli (Hameed et al. 2006; Sharif et al. 2009; Schroeder 2012). Beberapa faktor yang menjadi predisposisi kejadian mastitis subklinis diantaranya adalah ketinggian lokasi. Peternakan Kebon Pedes terletak pada dataran rendah sedangkan peternakan KUNAK berada di dataran tinggi. Sutarti et al. (2003) menyatakan lokasi peternakan di dataran rendah terkena mastitis 2.46 kali lebih besar daripada peternakan pada dataran tinggi. Kondisi kandang pada peternakan Kebon Pedes umumnya lebih padat dibandingkan dengan KUNAK sehingga sering kali kebersihan kandang maupun kebersihan sapi terabaikan. Kebersihan lingkungan dan jumlah kepemilikan ternak juga berasosiasi positif dan bermakna terhadap kejadian mastitis, artinya dengan kebersihan lingkungan yang buruk maka kejadian mastitis akan meningkat, demikian pula dengan jumlah kepemilikan ternak (Nurhayati dan Martindah 2015). Kepadatan sapi di dalam kandang menyebabkan sapi sulit untuk berdiri, hal ini meningkatkan risiko kontak puting susu secara langsung dengan mikroorganisme patogen yang berada di lantai kandang terutama jika sanitasi kandang buruk.

24 10 Kebersihan kandang, kebersihan pemerah dan ternak, serta kebersihan lingkungan merupakan faktor yang dinilai sangat berpengaruh terhadap terjadinya mastitis subklinis. Kandang dengan sanitasi yang buruk akan memudahkan terjadinya infeksi pada ambing karena akan memudahkan kotoran di kandang menempel pada tubuh ternak. Kondisi tersebut akan memudahkan kontak dengan mikroorganisme patogen (Subronto 2003). Menurut Sudono et al. (2003) kebersihan pemerah dan ternak harus diutamakan, karena tangan pemerah dapat menjadi sumber penularan mastitis akibat kontak bakteri antara pemerah dan sapi yang diperah. Ternak dimandikan secara rutin menggunakan air bersih yang mengalir dan disikat, bagian ambing dibersihkan menggunakan air hangat lalu dikeringkan menggunakan handuk/lap kering yang bersih. Penyebaran kuman patogen yang utama pada saat pemerahan adalah dengan bantuan alat perah, termasuk mesin perah, tangan pemerah, maupun handuk/lap yang digunakan. Hospido dan Sonesson (2005) menyatakan bahwa sumber mastitis adalah lingkungan sapi perah yang kotor sehingga dapat mengontaminasi ujung puting. Manajemen pemerahan sangat penting dalam mencegah kejadian mastitis. Manajemen pemerahan meliputi persiapan pemerahan, yaitu membersihkan kandang serta peralatan, ambing sapi dibersihkan menggunakan air hangat lalu dikeringkan menggunakan handuk/lap kering, stripping untuk mengindentifikasi mastitis. Berikutnya, pelaksanaan pemerahan dengan cara whole hand untuk mengurangi kemungkinan luka pada puting dan diakhiri dengan melakukan celup puting. Higiene dalam proses pemerahan akan menurunkan angka penularan dan menurunkan kasus mastitis subklinis baru (Surjowardojo 2011). Kejadian Bovine Tuberculosis Bovine tuberculosis merupakan penyakit yang bersifat progresif, tetapi hal ini hanya berlaku terhadap beberapa inang saja. Hewan yang terinfeksi dapat mengalami infeksi yang tidak tampak selama bertahun-tahun hingga seumur hidup, namun pada beberapa inang penyakit ini dapat mengakibatkan kematian (Daulay 2015). Uji tuberkulin telah disepakati menjadi uji standar dalam mendiagnosa kejadian BTB pada sapi. Prinsip uji tuberkulin adalah timbulnya reaksi sensitif dari dalam tubuh hewan setelah terjadinya infeksi oleh Mycobacterium sp. Uji tuberkulin dilakukan di lapangan dan penafsiran uji dilakukan 72 jam setelah perlakuan. Besarnya perbedaan angka atau selisih angka dari kedua pengukuran tempat suntikan menjadi dasar penafsiran uji (Ditjen PKH 2012a). Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa 51% ternak sampel menunjukkan negatif BTB dan 48.9% ternak sampel menunjukkan hasil positif BTB. Pollock dan Neill (2002) menyebutkan bahwa sapi dapat terinfeksi oleh M. bovis dipengaruhi lingkungan, iklim, lokasi, serta praktik peternakan yang digunakan. Hubungan antara kelembaban terhadap kejadian BTB pada sapi yang disajikan pada Tabel 4. Peubah kelembaban dianggap berasosiasi dengan kejadian BTB jika memiliki p < 0.05

25 Tabel 4 Hubungan antara kelembaban terhadap kejadian BTB pada individu sapi 11 Peubah Positif BTB Negatif Relative Risk (SK 95%) χ 2 P Skor Kelembaban 87.5% > 87.5% 10 (47.6%) 13 (50%) 11 (52.4%) 13 (50%) Referensi 1.05 ( ) SK = Selang Kepercayaan Uji 2 digunakan dan diperoleh hasil bahwa pada penelitian ini kelembaban tidak memiliki asosiasi nyata terhadap kejadian BTB (p > 0.05; SK 95% ). Hasil ini menunjukkan bahwa peternakan yang memiliki kelembaban 87.5% maupun > 87.5% tidak memiliki asosiasi meningkatkan ataupun menurunkan terjadinya BTB. Hal ini dapat terjadi karena terbatasnya jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini. Tidak adanya asosiasi antara kelembaban terhadap kejadian BTB sesuai dengan hasil penelitian dari Daulay (2015) yang menunjukkan bahwa dari 5 faktor lingkungan yang diuji, yaitu ketinggian tempat, lokasi, suhu, kelembaban, serta intensitas cahaya dalam kandang, hanya 4 faktor yang berasosiasi terhadap kejadian BTB pada sapi perah, yaitu ketinggian tempat, lokasi, suhu, dan intensitas cahaya. Persentase ternak yang positif terhadap uji tuberkulinasi pada peternakan dengan kelembaban > 87.5% (50%) lebih besar jika dibandingkan dengan kelembaban 87.5% (47.6%). Agen penyebab BTB, yaitu M. bovis mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama dalam tanah, namun tidak tahan terhadap paparan sinar matahari, radiasi ultraviolet, serta kondisi lingkungan yang kering (Biberstein dan Hirsh 1999). Sebaliknya, bila lingkungan sekitarnya lembab serta terlindung, maka M. bovis mampu bertahan hidup beberapa minggu (Ditjen PKH 2012a). Menurut Liebana et al. (2008) kepadatan kandang akan memudahkan penularan antar ternak yang rentan dengan ternak yang telah terinfeksi, terlebih jika ternak ditempatkan pada satu kandang yang sama. Pada peternakan di Kebon Pedes, jarak kandang menyatu dengan pemukiman penduduk yang padat sehingga meningkatkan kontak dengan manusia. Good dan Duignan (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi kontak dengan manusia, jarak kandang dan pemukiman yang sangat dekat akan mendukung terjadinya positif tuberkulosis secara serologis. Infeksi M. bovis pada manusia ke sapi, maupun sapi ke manusia akan lebih mudah jika terjadi kontak secara konstan. Penularan dapat terjadi melalui sekreta atau dahak yang dikeluarkan, konsumsi susu atau daging dari hewan ternak yang tidak diolah dengan baik, dan menghirup udara yang terkontaminasi (Commitee on Bovine Tuberculosis 1994; APHIS 2015). Pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan dapat dilakukan dengan mendeteksi adanya BTB dan mengeluarkan sapi reaktor, mencegah penyebarluasan infeksi dalam kelompok serta mencegah masuknya kembali penyakit di dalam kelompok. Usaha penyingkiran sapi reaktor harus diikuti dengan tindakan higiene, seperti penyucihamaan tempat pakan dan minum sapi, karena bakteri M. bovis mampu bertahan dalam air yang tergenang (Ditjen PKH 2012a). Higiene dan biosekuriti peternakan harus dilaksanakan. Hal ini meliputi tes tuberkulin secara

26 12 rutin dan karantina hewan impor, manajemen kotoran ternak, dan pemeliharaan higiene pakan dan minum ternak (Drewe et al. 2014). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kelembaban kandang tidak memiliki asosiasi nyata (p > 0.05) terhadap kejadian mastitis subklinis maupun kejadian BTB di sentra peternakan sapi perah di Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) Kabupaten Bogor dan peternakan rakyat di Kebon Pedes Kota Bogor. Risiko relatif ternak untuk mengalami mastitis subklinis maupun BTB pada peternakan yang memiliki kelembaban 87.5% maupun > 87.5% adalah tidak signifikan (SK 95% berturut-turut dan ). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 61.6% dari sampel berasal dari kuartir ambing yang menderita mastitis subklinis (menggunakan metode IPB-1) dan 61.3% menunjukkan hasil positif mastitis subklinis (menggunakan metode Breed). Selain itu hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa 48.9% dari sampel yang diperiksa berasal dari sapi yang menderita BTB (menggunakan metode tuberkulinasi). Saran Pencegahan dan pengendalian terhadap mastitis subklinis serta BTB penting dilakukan dengan memperbaiki manajemen kandang dan melaksanakan pengujian mastitis menggunakan metode khusus, maupun uji tuberkulin secara teratur pada peternakan di wilayah Bogor. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap faktor predisposisi lain dengan jumlah sampel yang berbeda.

27 13 DAFTAR PUSTAKA [APHIS] Animal and Plant Health Inspection Service National Tuberculosis Surveillence Plan. U.S Department of Agriculture [Internet]. [diunduh 2015 Desember 8]; (2):6-13. Tersedia pada: is/downloads/tbsurveillanceplan.pdf. Bewley J, Palmer RW, Jackson S A comparison of free-stall barns by modernized Wisconsin dairies. Dairy Sci. (84): Biberstein EL, Hirsh DC Mycobacterium species: The Agents of Animal Tuberculosis. Di dalam: Hirsh DC, Zee YC, editor. Vet Microbiol. Massachusetts (US): Blackwell Scientific. Caffrey JP Status of bovine tuberculosis eradication programs in Europe. Vet Microbiol. (40):1-4. Committee on Bovine Tuberculosis Evaluation of The Cooperative State- Federal Bovine Tuberculosis Eradication Program. Di dalam: Livestock Disease Eradication. Washington (US): National Academy. Daulay MU Kajian prevalensi dan faktor risiko penyakit tuberkulosis pada sapi perah di wilayah Bogor serta pengembangan media kultur Mycobacterium bovis [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia Program Penanggulangan TBC. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan R.I. [Ditjen PKH] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Petunjuk Khusus Cara Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian Republik Indonesia. [Ditjen PKH] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012a. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian Republik Indonesia. [Ditjen PKH] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012b. Program pengembangan sapi perah dalam kesiapan penyediaan susu. Seminar Nasional Peringatan Hari Susu Nusantara: 2012 Juni 1. Yogyakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Drewe JA, Pfeiffer DU, Kaneene JB Epidemiology of Mycobacterium bovis. Di dalam: Thoen CO, Steele JH, Kaneene JB, editor. Zoonotic Tuberculosis: Mycobacterium bovis and other Pathogen Mycobacteria. Ed ke-3. Michigan (US): John Wiley. Esmay ML Principle of Animal Environmental. Connecticut (US): AVI. Good M, Duignan A Perspectives on the history of bovine TB and the role of tuberculin in bovine TB eradication. Vet Med Int. 20(11):2-8.doi: /2011/ Hameed KGA, Sender G, Kossakowska AK Public health hazard due to mastitis in dairy cows. Anim Sci Pap Rep. 26(2): Hassanain NA, Soliman YA, Ghazy AA, Yasser A Bovine Tuberculosis in a dairy cattle farm as a threat to public health. Africa J Microbiol Res. 3(8): Hospido A, Sonesson U The environmetal impact of mastitis : A case study of dairy herds. Sci Total Environ. 3(43):71 82.

28 14 Hungerford, T.G Disease of Livestock. Australia (AU): McGraw-Hill. Hurley WL, Morin DE Mastitis Lesson A. America (US): University of Illinois. [IDF] International Dairy Federation Suggested interpretation of mastitis terminology. Bull Int Dairy Fed. 33:3-26. Kubi AC, Bray MP, Niba AT Mastitis causing pathogens within the dairy cattle environment. Int J Biol. 1(1):3-13. Liebana E, Johnson L, Gough J, Durr P, Jahans K, Hadley CR, Spencer Y, Hewinson RG, Downs SH Pathology of naturally occuring bovine tuberculosis in England and Wales. Vet J. 176(3): McDowell RE Animal Agriculture. San Fransisco (US): WH Freeman. Nurhayati IS, Martindah E Pengendalian mastitis subklinis melalui pemberian antibiotik saat periode kering pada sapi perah. Wartazoa. 25(2): Pollock JM, Neill SD Mycobacterium bovis infection and tuberculosis in cattle. Vet J. 163(2): doi: /tvjl Putra PGW, Besung NK, Mahatmi H Deteksi antibodi Mycobacterium tuberculosa bovis pada sapi di Wilayah Kabupaten Buleleng, Bangli, dan Karangasem Provinsi Bali. J Ilmu Kes Hewan. 1(1):1-6. Regassa A Study on Mycobacterium bovis in animals and human in and around Fiche, North Shewa zone, Ethiopia [tesis]. Debre-Zeit (ET): Faculty of Veterinary Medicine Addis Ababa University. Roberson JR The Epidemiology of Staphylococcus aureus on Dairy Farms. Proc. Natl. Mastitis Council(US). National Mastitis Council 38th Annual Meeting Proceedings [Internet]. [1999 Februari 14-17]. Virginia (US): Blacksburg. hlm 38; [diunduh 2015 Desember 28]. Tersedia pada: Saleh E Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Produksi Ternak Fakultas Pertanian. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Santoso U Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Schroeder JW Mastitis Control Program: Bovine Mastitis and Milking Management. North Dakota (US): North Dakota State University. Sharif A, Muhammad U, Ghulam M Mastitis control in dairy production. J Agric Soc Sci. 5(3): Soejoedono R Zoonosis. Lab. Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soetarno T Manajemen Budidaya Sapi Perah. Fakultas Peternakan. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Subronto Ilmu Penyakit Ternak. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Sudarwanto M Pengembangan metode dan Pereaksi untuk deteksi mastitis subklinik. Di dalam: Seminar Hasil Penelitian Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor [Internet]. [Bogor Desember 11]. Bogor (ID): IPB-PAU. Sudono A, Rosdiana FR, Setiawan RS Berternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta (ID): AgroMedia. Sugeng YB Berternak Sapi Potong. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

29 Sukada IM Kejadian mastitis subklinik oleh Streptococcus agalactiae di daerah Semplak Bogor dan pengaruhnya terhadap kualitas susu [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Surjowardojo P Tingkat kejadian mastitis dengan Whiteside test dan produksi susu sapi perah Friesien Holstein. J Ternak Tropika. 12(1): Surjowardojo P Penampilan kandungan protein dan kadar lemak susu pada sapi perah mastitis Friesian Holstein. J Exp Life Sci. 2(1): Sutarti E, Budiharta S, Sumiarta B Prevalensi dan faktor-faktor penyebab mastitis pada sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah. J Sain Vet. 21(1): Tarmudji, Supar Tuberkulosis pada sapi, suatu penyakit zoonosis. Wartazoa. 18(4): Thoen CO, Steele JH, Gilsdorf MJ Mycobacterium bovis Infection in Animals and Humans. Ed ke-2. Iowa (US): Blackwell. [WHO] World Health Organization Global Tuberculosis Control [Internet]. [diakses 2015 Desember 13]. Tersedia pada: en/. 15

30 16 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Juni tahun 1994 dari ayah Lukman Hakim dan ibu Netra Diah Andriani. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Akbar Bogor Tengah pada tahun 2000, dilanjutkan ke SD Regina Pacis Bogor. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Bogor dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 4 Bogor. Pada tahun 2012, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM). Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota BEM kabinet Pacemaker, STERIL, Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar periode , serta sebagai anggota pasif Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI).

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing 4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir. Setiap kuartir memiliki satu puting, keempat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) Sapi perah yang umum digunakan sebagai ternak penghasil susu di Indonesia adalah sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH). Sapi PFH merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi susu dipengaruhi beberapa faktor utama yang salah satunya adalah penyakit. Penyakit pada sapi perah yang masih menjadi ancaman para peternak adalah penyakit mastitis yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangsa Sapi Perah Sapi-sapi perah di Indonesia pada umumnya adalah sapi perah bangsa Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu terdapat warna

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR HILYAH ABQORIYAH

PENGARUH SUHU KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR HILYAH ABQORIYAH PENGARUH SUHU KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR HILYAH ABQORIYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu Susu adalah sekresi yang dihasilkan oleh mammae atau ambing hewan mamalia termasuk manusia dan merupakan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan sejak lahir (Lukman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. PENDAHULUAN Latar Belakang Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Seseorang pada umur produktif, susu dapat membantu

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Produksi Susu Produksi susu yang fluktuatif selama sapi laktasi hal ini disebabkan kemampuan sel-sel epitel kelenjar ambing yang memproduksi susu sudah menurun bahkan beberapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu, air dan peralatan berasal dari tujuh peternak dari Kawasan Usaha Peternakan Rakyat (Kunak), yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel susu

Lebih terperinci

tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan

tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan Novryzal Dian Abadi Ade Margani Ferriyanto Dian K M. Amriyan N Ovilia Zabitha Uswatun Hasanah Widya Alif S Tri Cahyo D. Yessy Puspitasari

Lebih terperinci

Uji Didih, Alkohol dan Derajat Asam Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar

Uji Didih, Alkohol dan Derajat Asam Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar Uji Didih, Alkohol dan Derajat Asam Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar DESKI CITRA DWITANIA DAN IDA BAGUS NGURAH SWACITA Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA Animal Agriculture Journal 5(1): 195-199, Juli 2015 On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA 2 HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 4 ABSTRACT FITRIAN WINATA.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak Karakteristik peternak pemasok susu segar industri keju yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi pendidikan, lama beternak, umur, dan pengalaman penyuluhan

Lebih terperinci

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase MURNI SARI, IDA BAGUS NGURAH SWACITA, KADEK KARANG AGUSTINA Laboratorium Kesmavet, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NANANG SYAIFUL

Lebih terperinci

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU MENANGANI AIR SUSU MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU Air susu mengandung zat-zat gizi yg sangat cocok utk perkembangbiakan bakteri penyebab kerusakan air susu. Proses produksi yg tdk hygienes, penanganan yg

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah TEKNIK PEMERAHAN DAN PENANGANAN SUSU SAPIPERAH G. Suheri Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor PENDAHULUAN Perkembangan dalam pemeliharaan sapi perah pada akhir-akhir ini cukup pesat dibandingkan tahun-tahun

Lebih terperinci

PENELITIAN PEWDAHULUAN PERBANDINGAPI TlGA METODE UMTUI( MENDIAGNOSA MASTITIS SUBKLlNlS DAN HUBUNGANNYA TERHADAP PENURUNAN PRODUKSI SUSU

PENELITIAN PEWDAHULUAN PERBANDINGAPI TlGA METODE UMTUI( MENDIAGNOSA MASTITIS SUBKLlNlS DAN HUBUNGANNYA TERHADAP PENURUNAN PRODUKSI SUSU Sebuah karya... Wujud sebahagian cita-cita Pang tersusun berkat doa dan kasih sayang orang-orang tercinta Ayzh (dm), Ibu, Mas Soni, Mas Yoni, Dini dan Mas 'Ta. PENELITIAN PEWDAHULUAN PERBANDINGAPI TlGA

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 media violet red bile agar (VRB). Sebanyak 1 ml contoh dipindahkan dari pengenceran 10 0 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari kelompok peternakan yakni Budiarso, 2001 Tingkat cemaran rata-rata Coliform yang mengkontaminasi susu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyuwangi secara astronomis terletak di antara

BAB I PENDAHULUAN. Banyuwangi secara astronomis terletak di antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyuwangi secara astronomis terletak di antara 113 53 00 114 38 00 Bujur Timur dan 7 43 00 8 46 00 Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Banyuwangi yang mencapai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Kawasan peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes berada di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor dengan jarak tempuh ke pusat pemerintahan kota

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Mycobacterium tuberculosa bovis pada Sapi di Wilayah Kabupaten Buleleng, Bangli, dan Karangasem Provinsi Bali

Deteksi Antibodi Mycobacterium tuberculosa bovis pada Sapi di Wilayah Kabupaten Buleleng, Bangli, dan Karangasem Provinsi Bali Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No. 1: 1-6 Deteksi Antibodi Mycobacterium tuberculosa bovis pada Sapi di Wilayah Kabupaten Buleleng, Bangli, dan Karangasem Provinsi Bali Detection

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitan 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di HUBUNGAN HIGIENE DAN SANITASI PEMERAHAN SUSU SAPI DENGAN Total plate count PADA SUSU SAPI DI PETERNAKAN SAPI PERAH DESA MANGGIS KABUPATEN BOYOLALI Dewik wijiastutik *) Alumnus FKM UNDIP, **) Dosen Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis bersifat tahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di peternakan Kunak, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Sampel diuji di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam Sampel daging ayam yang diteliti diperoleh dari pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan. Selama pengambilan kuisioner terdapat 24 pedagang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis Penelitian adalah penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten Purbalingga.

Lebih terperinci

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Geografis Kecamatan Busungbiu Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng memiliki letak geografis antara 114-115 Bujur Timur dan 8 03-9 23 Lintang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah merupakan sapi yang dapat menghasilkan susu yang dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas susu sapi perah dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Hal ini sangat penting dalam membantu kita untuk melakukan aktivitas kehidupan serta rutinitas sehari-hari. Bila

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG (Study on Molasses as Additive at Organoleptic and Nutrition Quality of Banana Shell Silage) S. Sumarsih,

Lebih terperinci

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

APA ITU TB(TUBERCULOSIS) APA ITU TB(TUBERCULOSIS) TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis. Penyakit Tuberkolusis bukanlah hal baru, secara umum kita sudah mengenal penyakit ini. TB bukanlah

Lebih terperinci

Kesetaraan Uji Mastitis IPB-1 dengan Metode Breed untuk Mendiagnosis Mastitis Subklinis pada Susu Kerbau Murrah dan Kambing

Kesetaraan Uji Mastitis IPB-1 dengan Metode Breed untuk Mendiagnosis Mastitis Subklinis pada Susu Kerbau Murrah dan Kambing Jurnal Veteriner Desember 2016 Vol. 17 No. 4 : 540-547 pissn: 1411-8327; eissn: 2477-5665 DOI: 10.19087/jveteriner.2016.17.4.540 Terakreditasi Nasional, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, online

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO Aan Sunani, Ratifah Academy Of Midwifery YLPP Purwokerto Program Study of D3 Nursing Poltekkes

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) Siti Amanah, Hanung Dhidhik Arifin, dan Roisu Eni Mudawaroch Program

Lebih terperinci

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014 HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA Herlina 1, Erris 2* 1 STIKes Prima Jambi 2 Politeknik Kesehatan Jambi Jurusan Kesehatan Lingkungan *Korespondensi penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus hewan dan manusia dengan ratusan strain yang berbeda, baik yang berbahaya maupun yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut : II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah FH Sapi perah Fries Holland (FH) sering dikenal dengan nama Holstein Friesian. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini paling sering menyerang organ paru dengan sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru 1.1 Pengertian Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli banteng dan telah mengalami proses domestikasi. Sapi bali telah tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3 JSV 35 (1), Juni 2017 Perlakuan Celup Puting Setelah Pemerahan Terhadap Keberadaan Bakteri Patogen... Perlakuan Celup Puting setelah Pemerahan terhadap Keberadaan Bakteri Patogen, Staphylococcus aureus,

Lebih terperinci

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA (AI) DI RW02 KELURAHAN PANUNGGANGAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANUNGGANGAN KOTA TANGERANG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein (FH) Sapi perah FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun ada yang berwarna coklat ataupun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

METODE. Materi. Metode

METODE. Materi. Metode METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah Desa Cibungbulang, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat selama 62 hari dari bulan September

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

IV. ANALISIS DAN SINTESIS IV. ANALISIS DAN SINTESIS 4.1. Analisis Masalah 4.1.1. Industri Pengolahan Susu (IPS) Industri Pengolahan Susu (IPS) merupakan asosiasi produsen susu besar di Indonesia, terdiri atas PT Nestle Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Susu merupakan minuman dengan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar maupun yang sudah

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Studi Sanitasi Dan Pemeriksaan Angka Kuman Pada Usapan Peralatan Makan Di Rumah Makan Kompleks Pasar Sentral Kota Gorontalo Tahun 2012

Studi Sanitasi Dan Pemeriksaan Angka Kuman Pada Usapan Peralatan Makan Di Rumah Makan Kompleks Pasar Sentral Kota Gorontalo Tahun 2012 Studi Sanitasi Dan Pemeriksaan Angka Kuman Pada Usapan Peralatan Makan Di Rumah Makan Kompleks Pasar Sentral Kota Gorontalo Tahun 2012 Febriyani Bobihu, 811408025 Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi perah Fries Holland (FH) merupakan bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia. Bangsa sapi ini bisa berwarna putih dan hitam ataupun merah

Lebih terperinci

The Influence of Body Condition Score in Late Pregnancy on Protein Colostrum Total and Content of Friesian Holstein Cows

The Influence of Body Condition Score in Late Pregnancy on Protein Colostrum Total and Content of Friesian Holstein Cows The Influence of Body Condition Score in Late Pregnancy on Protein Colostrum Total and Content of Friesian Holstein Cows ABSTRACT Benua Antartika 1), Puguh Surjowardojo 2), dan Sarwiyono 2) 1) Student

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TB paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan prilaku masyarakat. Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Thomas, 2004). Ada beberapa klasifikasi utama patogen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. (Thomas, 2004). Ada beberapa klasifikasi utama patogen yang dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksius dapat disebabkan oleh invasi organisme mikroskopik yang disebut patogen. Patogen adalah organisme atau substansi seperti bakteri, virus, atau parasit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebersihan makanan dan minuman sangatlah penting karena berkaitan dengan kondisi tubuh manusia. Apabila makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak terjaga kebersihannya

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT PADA PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI Oleh : 060810228 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2012

Lebih terperinci

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat ditemukan pada orang dewasa,

Lebih terperinci

HUBUNGAN MASTITIS, PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL - HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI PERAH BATURRADEN SKRIPSI

HUBUNGAN MASTITIS, PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL - HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI PERAH BATURRADEN SKRIPSI HUBUNGAN MASTITIS, PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL - HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI PERAH BATURRADEN SKRIPSI EUGINIA ANNISA PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian dengan judul Gambaran Praktik Pencegahan Penularan TB Paru di Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni I Kabupaten Pekalongan telah dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan 1. Kualitas susu sapi wilayah Surabaya dan Malang belum memenuhi Standar Nasional Indonesia No 01-0341-1998, terutama terhadap persyaratan total coliform. Namun demikian

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH

ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH Doso Sarwanto 1) dan Eko Hendarto 2) ABSTRAK Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas air yang dikonsumsinya.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan

Lebih terperinci

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN NOMOR RESPONDEN PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER Berikut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian 17 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pada bulan Juni 2011 sampai Januari 2012 bertempat di Kabupaten Sukabumi. Metode Penelitian Populasi studi Populasi studi dalam penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia dengan kelezatan dan komposisinya yang ideal karena susu mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Semua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi mastitis subklinis dengan rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap jumlah koloni Staphylococcus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Susu merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi pemenuhan

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Susu merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi pemenuhan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Susu sangat berperan sebagai asupan untuk kesehatan, kecerdasan dan pertumbuhan manusia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakteri Patogen dalam Susu Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah tercemar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Denah Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjung Gusta Medan

Lampiran 1. Denah Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjung Gusta Medan Lampiran 1. Denah Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjung Gusta Medan Lampiran 2. Data angka penyebab kematian pada narapidana dan tahanan di Indonesia tahun 2011 No Nama Penyakit Jumlah 1 HIV/AIDS 105 2

Lebih terperinci

disusun oleh: Willyan Djaja

disusun oleh: Willyan Djaja disusun oleh: Willyan Djaja 28 I PENDAHULUAN Salah satu bagian dari lingkungan adalah tatalaksana pemeliharaan. Peternak sebaiknya memperhatikan cara pemeliharaan agar memperoleh hasil yang diinginkan.

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN SKRIPSI. Disusun oleh: DEDDI HARIANTO NIM:

PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN SKRIPSI. Disusun oleh: DEDDI HARIANTO NIM: PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan (S.Pt) Pada Program Studi Peternakan Disusun

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Peranakan Fries Holstein

Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Peranakan Fries Holstein Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Peranakan Fries Mardalena 1 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas susu hasil pemerahan pagi

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6 12 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6 Maret 2016 di Kelompok Tani Ternak Wahyu Agung, Desa Sumogawe, Kecamatan

Lebih terperinci

PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER

PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER Ninik Lintang Edi Wahyuni Teknik Kimia - Politeknik Negeri Bandung Jl Gegerkalong Hilir Ciwaruga, Bandung 40012 Telp/fax :

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH KONSUMSI SERAT KASAR TERHADAP PRODUKSI DAN LEMAK SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN RAKYAT KABUPATEN KLATEN SKRIPSI.

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH KONSUMSI SERAT KASAR TERHADAP PRODUKSI DAN LEMAK SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN RAKYAT KABUPATEN KLATEN SKRIPSI. HUBUNGAN ANTARA JUMLAH KONSUMSI SERAT KASAR TERHADAP PRODUKSI DAN LEMAK SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN RAKYAT KABUPATEN KLATEN SKRIPSI Oleh : TRIO ANDRIAWAN 23010110110103 PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci