HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA"

Transkripsi

1 2 HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 4 ABSTRACT FITRIAN WINATA. The Relationship Between Using Breed Method with IPB-1 Mastitis Test for Sub-clinical Mastitis Detection. Under direction of MIRNAWATI BACHRUM SUDARWANTO and HERWIN PISESTYANI. The objective of this study was to measure the relationship between Breed method and IPB-1 mastitis test for sub-clinical mastitis detection. Two hundreds five of quarter milk samples were used in this study and the tests (Breed method and IPB-1 mastitis test) were done in paralel way. The result showed that 143 samples from 205 samples (69.76%) tested with Breed method came from the herds which suffered from sub-clinical mastitis and with IPB-1 mastitis test showed that 129 (62.93%) samples have positive reaction. This research also showed that IPB-1 mastitis test has sensitivity 85.31% and specitivity 88.71% and Kappa test reach respectively. Keywords: sub-clinical mastitis, Breed method, IPB-1 mastitis test, somatic cell count (SCC).

3 5 RINGKASAN FITRIAN WINATA. Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis. Dibimbing oleh MIRNAWATI BACHRUM SUDARWANTO dan HERWIN PISESTYANI. Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing yang ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu. Kasus mastitis terbesar adalah mastitis subklinis, karena pada kejadian mastitis subklinis tidak ditandai perubahan fisik ambing dan susu sehingga menyulitkan dalam deteksi. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik deteksi mastitis lebih dini, terutama untuk mastitis subklinis. Deteksi mastitis subklinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologi dan penghitungan jumlah sel somatis dalam susu. Pemeriksaan sampel susu untuk menghitung jumlah sel somatis dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan secara langsung menggunakan metode Breed dan pemeriksaan tidak langsung dengan menggunakan uji mastitis IPB-1. Kedua metode tersebut digunakan untuk mendiagnosa mastitis subklinis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan metode Breed dengan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis berdasarkan jumlah sel somatis. Metode dalam penelitian ini meliputi pengambilan sampel susu di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor sebanyak 205 sampel dari 54 ekor sapi. Pengambilan sampel disesuaikan dengan jadwal pemerahan di peternakan. Pengambilan sampel susu dilakukan secara aseptis, dan volume yang diambil ±10 ml. Pengujian sampel susu dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sampel susu diuji menggunakan metode Breed sebagai golden standard dan uji mastitis IPB-1. Pengambilan data dengan kuisioner juga dilakukan terhadap peternak yang diambil sampel susunya. Pengambilan data dengan kuisioner ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang tata laksana peternakan sapi perah yang diterapkan oleh peternak. Data dianalisis dengan melihat tingkat spesifisitas dan sensitivitas dari setiap uji berdasarkan pada jumlah sel somatis dengan menggunakan metode Breed sebagai metode baku uji. Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisis menggunakan uji asosiasi dan pengukuran kesesuaian menggunakan uji Kappa. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan metode Breed diperoleh 62 (30.24%) sampel mengandung jumlah sel somatis kurang dari sel/ml dan 143 (69.76%) sampel mengandung jumlah sel somatis lebih dari sel/ml. Sebanyak 69.76% dari susu sampel yang diperiksa berasal dari sapi yang sedang menderita mastitis subklinis. Dari hasil penelitian menggunakan uji mastitis IPB-1 diperoleh 76 (37.07%) sampel memberikan reaksi negatif mastitis subklinis dan 129 (62.93%) sampel memberikan reaksi positif dengan perincian 52 (25.37%) sampel memberikan reaksi positif satu (1+), 30 (14.63%) sampel memberikan reaksi posistif dua (2+) dan 47 (22.93%) sampel memberikan reaksi positif tiga (3+).

4 6 Hasil uji mastitis IPB-1 dibandingkan dengan metode Breed untuk melihat kesesuaian hasil uji. Diperoleh sensitivitas dan spesifisitas uji mastitis IPB-1 masing-masing adalah 85.31% dan 88.71%. Nilai uji Kappa uji mastitis IPB-1 adalah yang menunjukkan adanya kesesuaian hasil pengujian yang baik. Hasil sensitivitas, spesifisitas dan nilai uji Kappa yang baik dari uji mastitis IPB-1 menandakan bahwa uji mastitis IPB-1 merupakan uji yang baik untuk deteksi mastitis subklinis lebih dini sehingga kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah dapat diketahui dari awal dan tindakan pencegahan dapat dilakukan. Kata kunci : mastitis subklinis, metode Breed, uji mastitis IPB-1, jumlah sel somatis (JSS).

5 8 HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

6 3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2011 Fitrian Winata NRP. B

7 7 Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang - Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 9 Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis : Fitrian Winata : B Disetujui Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Bachrum Sudarwanto Ketua drh. Herwin Pisestyani, M.Si Anggota Mengetahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal lulus :

9 10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga skripsi berhasil diselesaikan dengan baik. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Desember 2010 dengan judul Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Bachrum Sudarwanto dan Ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penelitian dan penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh. Abdul Zahid Ilyas, M.Si selaku pembimbing akademik. Disamping itu, ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada bapak Hendra dan bapak Teddy yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian ini. Terimakasih juga disampaikan kepada Krisnia Virgihani dan Siska Aryana sebagai teman penelitian dan kepada temanteman Gianuzzi FKH 44. Penghargaan dan ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah dan ibu tercinta atas doa, dukungan dan kasih sayangnya serta Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Barat yang telah membantu dalam penyelesaian studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2011 Fitrian Winata

10 11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 7 Mei 1989 dari Ayah Dadang Irianto dan Ibu Sarien. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Jebus, Bangka Belitung. Tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di program studi sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Barat. Studi diselesaikan di Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis.

11 12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN xi xii xiii PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian Manfaat.. 2 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Anatomi dan Fisiologi Ambing Susu Mastitis.. 6 Sel Somatis Pengujian Mastitis Menggunakan IPB-1 dan Breed... 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Metode Penelitian Sampel Susu 10 Cara Pengambilan Sampel Susu Pemeriksaan Sampel Susu.. 11 Metode Breed Uji IPB-1 12 Kuisioner Analisis data HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cibungbulang berdasarkan Uji Mastitis IPB-1 dan Metode Breed. 14 Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Mastitis IPB-1 terhadap Jumlah Sel Somatis Menggunakan Metode Breed Kondisi Peternakan Sapi Perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan Hasil Kuisioner.. 18 SIMPULAN DAN SARAN. 21 DAFTAR PUSTAKA.. 22 LAMPIRAN. 25

12 13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi susu (Tyler & Ensminger 1993) Pengaruh jumlah sel somatis terhadap produksi susu (Lukman et al. 2009) Pengaruh jumlah sel somatis terhadap kualitas susu (Tolle et al. 1977, diacu dalam Sudarwanto et al. 1984) Hubungan tingkat kekentalan terhadap perkiraan jumlah sel somatis/ml (Foley et al. 1972) 9 5. Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis (Breed) (n=250) Nilai minimum, kuartil satu, dua, tiga, dan nilai maksimum dari jumlah sel somatis yang dihubungkan dengan tingkat reaksi uji mastitis IPB Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis Penentuan mastitis subklinis berdasarkan uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis (n=205) Kondisi sanitasi peternakan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner Manajemen pemerahan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner... 19

13 14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar skematik anatomi ambing sapi (DeLaval 2011) Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis metode Breed

14 15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji mastitis IPB Kuisioner pemeriksaan mastitis

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah, dengan kondisi geografis yang sangat mendukung untuk pertumbuhan hewan ternak seperti sapi perah. Luas lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman rumput seluas juta ha (Mulyani & Las 2008). Lahan seluas itu dapat mencukupi kebutuhan pakan untuk sapi perah. Produksi yang mencirikan dari usaha sapi perah adalah susu. Susu merupakan bahan pangan yang bermanfaat bagi manusia dan dibutuhkan oleh hampir semua tingkatan umur terutama bagi balita. Bahan penyusun susu terdiri dari air, karbohidrat (laktosa), lemak, protein, mineral, dan vitamin. Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan (SNI :2011, tentang Susu Segar). Produksi susu untuk setiap jenis sapi perah berbeda-beda dan produksi tersebut bergantung pada jenis sapi perah, bangsa dan umur sapi, tingkat laktasi, pakan, penyakit, interval dan waktu pemerahan, serta temperatur lingkungan. Berdasarkan laporan dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2002), yang diacu dalam Sugandi et al. (2005) bahwa target produksi harian ternak sapi perah adalah 15 liter/ekor/hari, sementara dari beberapa peternakan di Kabupaten Bandung dan Garut diperoleh gambaran rataan produksi susu sapi perah kurang dari 10 liter/ekor/hari. Kondisi turunnya produksi susu sapi antara lain diakibatkan infeksi pada jaringan internal ambing atau yang disebut dengan mastitis (Damron 2003). Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu mastitis klinis, mastitis subklinis dan mastitis non-spesifik. Mastitis klinis merupakan peradangan pada ambing yang ditandai dengan gejala panca radang (merah, bengkak, panas, rasa sakit, fungsiolesa) dan terjadi perubahan fisik pada susu. Pada mastitis subklinis tidak menampakkan terjadinya perubahan pada organ interna ambing, namun dapat diketahui dari

16 2 terjadinya penurunan produksi susu, ditemukannya kuman patogen serta terjadinya perubahan komponen susu. Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis dengan tingkat kejadian dapat mencapai 90% dan disertai penurunan produksi susu hingga 30% (Taylor & Field 2004). Kejadian mastitis subklinis yang tidak segera ditangani akan berlanjut menjadi mastitis klinis karena merugikan secara ekonomi, terjadi perubahan komposisi susu, penurunan produksi, dan mengakibatkan penyingkiran sapi lebih awal. Deteksi terhadap kasus mastitis subklinis perlu dilakukan sejak awal, kondisi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan jumlah sel somatis dalam susu. Sel somatis merupakan sel yang selalu berdegenerasi dalam tubuh dan selalu ada, antara lain sel leukosit dan sel epitel. Keberadaan sel leukosit yang banyak menandakan telah terjadinya suatu infeksi atau peradangan. Deteksi mastitis subklinis yang dilakukan sejak awal merupakan upaya pencegahan dan pengobatan yang tepat sehingga kejadian mastitis subklinis ini dapat ditangani lebih awal. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan metode Breed dengan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis berdasarkan jumlah sel somatis. Manfaat Penelitian ini dilakukan untuk memberikan manfaat kepada pengurus Koperasi Pengolah Susu (KPS) di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor sebagai pertimbangan untuk dilakukan peningkatan penyuluhan dan pelatihan kepada peternak sehingga dapat mengurangi kejadian mastitis subklinis serta pencegahan lebih dini kejadian mastitis subklinis dengan menerapkan tatalaksana peternakan yang baik. Penelitian ini juga dapat digunakan mahasiswa dan pembaca untuk melihat tingkat kejadian mastitis subklinis di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor, serta memberikan informasi mengenai hubungan antara penggunaan metode Breed

17 3 dengan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis berdasarkan jumlah sel somatis.

18 4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir. Setiap kuartir memiliki satu puting, keempat perempatan ambing di bagian medial dipisahkan oleh suatu lekuk yang disebut lekuk longitudinal atau sulcus intermamaria. Pada bagian ujung puting terdapat saluran pendek yang disebut saluran ujung puting, ductus papillaris atau streak canal. Streak canal berperan dalam pengaturan keluarnya susu dan mencegah masuknya bakteri luar ke dalam ambing (Schalm et al. 1971). Ambing yang kosong pada sapi yang sedang laktasi memiliki berat kg dengan berat rata-rata 22.7 kg (Subronto 2003). Setiap kuartir sapi mampu mensekresikan 60% susu, dan ambing sapi akan mencapai berat dan kapasitas yang maksimal pada sapi berumur enam tahun (Tyler & Ensminger 1993). Struktur pendukung utama ambing adalah kulit, ligamentum suspensorium mediale, dan ligamentum suspensorium laterale. Penyangga utama ambing adalah ligamentum suspensorium laterale et mediale, sedangkan kulit luar hanya bersifat pelindung daripada sebagai penyangga ambing. Ambing memiliki beberapa sistem yang mendukung dalam strukturnya, antara lain terdapat sistem peredaran darah, limfe, saraf, dan sistem saluran yang berperan dalam penyimpanan dan sekresi susu ke dalam sel epitel yang disebut juga dengan alveoli (Foley et al. 1972). Produksi susu pada sapi tergantung pada aktifitas alveoli. Masing-masing alveol ini dihubungkan oleh pembuluh darah kapiler yang membawa nutrisi sebagai bahan pembawa susu dan sensitif terhadap hormon oksitosin. Oksitosin disekresikan ke dalam darah, maka akan timbul kontraksi sel otot yang mampu merangsang untuk ekskresi susu.

19 5 Gambar 1 Gambar skematik anatomi ambing sapi (DeLaval 2011). Susu Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) :2011 tentang Susu Segar, susu didefinisikan sebagai cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan benar, yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Bagian terbesar susu adalah air. Air dalam susu diperoleh langsung dari cairan dalam darah melalui suatu proses selektif permeabel oleh sel epitel selapis alveolus. Faktor fisiologis yang mampu mempengaruhi jumlah dan komposisi susu antara lain; bangsa dan genetik, periode laktasi, keberadaan folikel yang tidak ovulasi, estrus, kebuntingan, jarak kelahiran, pengeluaran susu yang pertama dan terakhir, usia, dan ukuran ambing (Diggins & Bundy 1961; Ensminger 1991). Komposisi kimia susu diperlihatkan dalam Tabel 1.

20 6 Tabel 1 Komposisi susu (Tyler & Ensminger 1993) Bahan penyusun Jumlah (%) Variasi normal Air Lemak Bahan kering tanpa lemak Protein Kasein Laktalbumins dan Laktoglobulins Laktosa Mineral Bahan kering Mastitis Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing yang dapat ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu (Tyler & Ensminger 1993). Mastitis merupakan reaksi peradangan pada jaringan ambing terhadap infeksi bakteri, kimia, panas, ataupun karena perlukaan (Schmidt et al. 1988). Respon peradangan ditandai dengan peningkatan protein darah dan sel darah putih pada jaringan ambing dan susu. Tujuan dari peradangan adalah untuk netralisasi terhadap penyebab iritasi, perbaikan jaringan yang rusak, dan pengembalian fungsi normal ambing (Foley et al. 1972). Susu pada sapi yang menderita mastitis akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Perubahan secara fisik antara lain terjadinya perubahan warna, bau, rasa, dan konsistensi. Perubahan secara kimiawi meliputi penurunan jumlah kasein dan laktosa (Subronto 2003). Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu mastitis klinis, mastitis subklinis dan mastitis non-spesifik (Sudarwanto 1999). Mastitis klinis dapat ditandai dengan terjadinya perubahan kualitas susu dan ditemukan reaksi peradangan pada ambing berupa panas, merah, bengkak, fungsi abnormal, serta timbul rasa sakit bila dipalpasi. Keadaan ini berbeda dengan kejadian mastitis subklinis yang tanpa adanya perubahan secara fisik pada eksternal ambing. Perubahan yang terjadi hanya dapat ditemukan pada jaringan interna ambing. Susu mengalami perubahan berupa perubahan kualitas dan kuantitas

21 7 serta ditemukannya kuman patogen pada susu. Mastitis non-spesifik merupakan kejadian mastitis yang dapat diakibatkan oleh trauma pada ambing. Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis, karena pada kejadian mastitis subklinis tidak ditandai dengan perubahan fisik ambing sehingga menyulitkan dalam deteksi. Kejadian mastitis dapat disebabkan karena kausa infeksius dan non-infeksius. Kausa infeksius disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk melalui saluran puting susu ke dalam kelenjar ambing. Kausa non-infeksius berkaitan dengan kondisi hewan/ternak dan kondisi lingkungan. Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis antara lain; terjadinya penurunan produksi susu per kuartir per hari antara %, penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% dan penurunan kualitas hasil olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal (Sudarwanto & Sudarnika 2008a). Sel Somatis Sel somatis merupakan kumpulan sel yang terdiri dari sel epitel, sel neutrofil, eosinofil, limfosit, eritrosit, sel plasma, colostrum corpuscle. Keberadaan sel somatis dalam susu dapat dijadikan indikator dalam penilaian kualitas susu segar. Normalnya sel somatis dapat ditemukan dalam susu segar dalam batasan tertentu. Sel somatis dapat dijadikan penilaian kualitas susu. Peningkatan jumlah sel somatis dapat menandakan telah terjadinya infeksi pada ambing. Sel leukosit termasuk kedalam sel somatis, berperan dalam pertahanan tubuh untuk menyerang agen dari luar. Keberadaan leukosit yang tinggi pada susu menandakan telah terjadinya peradangan ataupun infeksi pada ambing. Keberadaan sel somatis dapat menentukan produksi dan kualitas susu, jumlah sel somatis yang tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan kualitas susu. Jumlah sel somatis yang meningkat menyebabkan kualitas produk susu menjadi menurun sebagai akibat dari aktifitas enzimatis, yaitu protease dan lipase. Aktifitas enzimatis menyebabkan penurunan produk keju, menurunnya daya tahan susu pasteurisasi, perubahan produksi asam pada produk-produk susu fermentasi, produk mentega menjadi tengik dan adanya perubahan rasa pada

22 8 sebagian produk olahan (Lukman et al. 2009). Hubungan keberadaan jumlah sel somatis terhadap produksi dan kualitas susu diperlihatkan dalam Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Pengaruh jumlah sel somatis terhadap produksi susu (Lukman et al. 2009) Jumlah sel somatis/ml Penurunan produksi susu 5 10³ % % > % Tabel 3 Pengaruh jumlah sel somatis terhadap kualitas susu (Tolle et al. 1977, diacu dalam Sudarwanto et al. 1984) Jumlah sel somatis/ml Penilaian < Baik sekali Baik Cukup Kurang > Jelek Pengujian Mastitis Menggunakan Uji Mastitis IPB-1 dan Breed Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik deteksi mastitis lebih dini, terutama untuk mastitis subklinis (Sudarwanto 1998). Deteksi mastitis subklinis dilakukan melalui pemeriksaan mikrobiologik dan penghitungan jumlah sel somatis dalam susu. Sel somatis dapat dihitung dengan menggunakan metode Breed yaitu dengan menghitung secara langsung jumlah sel somatis. Secara tidak langsung sel somatis dapat dihitung berdasarkan pada intensitas reaksi, metode yang sering dipakai antara lain Aulendorfer Mastitis Probe (AMP), California Mastitis Test (CMT), Milk Quality Test (MQT), Michigan Mastitis Test (MMT), Whiteside Test (WST) (Foley et al. 1972; Sudarwanto 1998). Sudarwanto (1993) melakukan pengembangan lebih lanjut dari pereaksi AMP dan pengembangan ini menghasilkan uji mastitis IPB-1. Prinsip kerja uji mastitis IPB-1 berdasarkan pada reaksi reagen yang berikatan dengan inti DNA dari sel somatis sehingga terbentuk masa kental seperti gelatin. Masa yang terbentuk semakin kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan makin tinggi jumlah sel somatis dalam susu. Penelitian Sudarwanto (1993) dan penelitian Sukada (1996) yang menggunakan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis, ternyata uji mastitis IPB-1 memiliki spesifisitas dan sensitivitas

23 9 yang tinggi untuk mendiagnosa mastitis subklinis, mudah pengerjaannya dan murah harganya. Kelemahan pereaksi yang digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis memiliki ph yang tidak stabil, perubahan ph menyebabkan pereaksi tidak bekerja secara optimal (Sudarwanto & Sudarnika 2008a). Kelebihan pengujian secara tidak langsung diantaranya adalah hasil lebih cepat diperoleh dengan tenaga dan waktu yang lebih sedikit. Pengujian secara tidak langsung sangat baik untuk pemeriksaan contoh susu dalam jumlah besar dan pemeriksaan teratur di lapangan (Sukada 1996). Kelemahannya adalah jumlah sel somatis yang didapatkan hanyalah dugaan dan dapat dikatakan sebagai diagnosa pendahuluan (Sudarwanto 1982). Pemeriksaan secara tidak langsung pada susu sapi yang diduga terinfeksi mastitis dapat diukur berdasarkan pada tingkat kekentalan bahan pereaksi setelah dicampur dengan susu. Tingkat kekentalan menunjukkan tingkat keparahan infeksi pada ambing. Hubungan tingkat kekentalan pereaksi terhadap susu dengan jumlah sel somatis diperlihatkan dalam Tabel 4. Tabel 4 Hubungan tingkat kekentalan terhadap perkiraan jumlah sel somatis/ml (Foley et al. 1972) Nilai Deskripsi reaksi Perkiraan jumlah sel/ml Negatif Tidak ada gel < Gel yang terbentuk sangat tipis Gel yang terbentuk agak tebal Gel yang terbentuk tebal Gel yang terbentuk sangat kental >5 10 6

24 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Oktober sampai Desember Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel susu kuartir berjumlah 205 sampel yang berasal dari 54 ekor sapi perah dalam periode laktasi normal, alkohol 70%, alkohol 96%, eter alkohol, larutan methylen blue Löeffler, Pereaksi IPB-1 dan minyak emersi. Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain tabung sampel susu, pipet Breed 0.1 ml, kertas cetakan Breed seluas 1 1 cm 2, gelas objek, ose siku, mikroskop, paddle, pemanas Bunsen, kapas dan kertas tisu, cool box, ice box, dan rak tabung sampel. Metode Penelitian Sampel Susu Sampel susu yang digunakan dalam penelitian merupakan sampel susu kuartir. Pengambilan sampel disesuaikan dengan jadwal pemerahan di peternakan. Sampel susu yang diambil dari sapi laktasi yang berada di area Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor. Jumlah sampel ditentukan dengan metode purposif, dimana jumlah dan jenis sampel ditentukan oleh peneliti berdasarkan pada kondisi peternakan. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 205 sampel yang berasal dari 54 ekor sapi perah dalam periode laktasi normal. Cara Pengambilan Sampel Susu

25 11 Pengambilan sampel susu dilakukan secara aseptis dengan cara seluruh permukaan ambing sapi dibersihkan menggunakan lap yang telah direndam larutan NaClO ppm. Kertas tisu digunakan untuk mengeringkan permukaan ambing kemudian bagian puting dibersihkan menggunakan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%. Sampel susu kuartir diambil setelah proses pembersihan puting selesai. Sampel susu dimasukkan ke dalam tabung sampel sebanyak ±10 ml. Pemeriksaan Sampel Susu Pemeriksaan jumlah sel somatis dalam susu dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan secara langsung dengan menggunakan metode Breed dan pemeriksaan tidak langsung dengan menggunakan uji mastitis IPB-1. Kedua metode tersebut digunakan untuk mendiagnosa mastitis subklinis. Metode Breed Metode Breed yang digunakan mengacu pada Sudarwanto (2009). Gelas objek dibersihkan menggunakan larutan eter alkohol dan diletakkan diatas kertas cetakan atau pola bujur sangkar seluas 1 x 1 cm 2 (kertas Breed). Susu dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian pipet susu dengan pipet Breed dan diteteskan sebanyak 0.01 ml susu tepat di atas kotak 1 cm 2. Sampel susu di atas permukaan seluas 1 cm 2 disebar menggunakan kawat ose berujung siku. Gelas objek dikering udarakan selama 5-10 menit selanjutnya difiksasi dengan nyala api bunsen. Pewarnaan Breed dilakukan dengan cara gelas objek direndam dalam larutan eter alkohol selama 2 menit. Gelas objek diwarnai dengan cara dimasukkan ke dalam larutan methylen blue Löeffler selama 1-2 menit. Gelas objek dimasukkan ke dalam larutan alkohol 96%, setelah proses pewarnaan selesai preparat dikeringkan. Penghitungan jumlah sel somatis dilakukan setelah preparat kering dengan menggunakan mikroskop (100X) dan diteteskan minyak emersi pada permukaan kotak yang diwarnai. Jumlah sel somatis dihitung dengan menggunakan 10 lapang pandang kemudian dijumlah dan dibagi dengan jumlah lapang pandang

26 12 yang digunakan untuk mendapatkan rata-rata jumlah sel somatis. Luas lapang penglihatan dihitung dengan cara menghitung diameter lapang penglihatan dari 2 mikroskop yang digunakan dengan rumus:. Sebanyak 0.01 ml susu disebarkan pada bidang lapang pandang 1 cm 2, maka jumlah sel somatis pada luas lapang pandang penglihatan adalah 0.01 ml (SNI /Rev tentang Penghitungan Jumlah Sel Somatis). Penghitungan dengan menggunakan rumus dilakukan setelah diperoleh ratarata jumlah sel somatis: jumlah sel somatis = rataan jumlah sel somatis x (faktor mikroskop). Uji IPB-1 Metode uji mastitis IPB-1 yang digunakan mengacu pada Sudarwanto (2009). Sebanyak 2 ml sampel susu dimasukkan ke dalam paddle, ditambahkan 2 ml pereaksi IPB-1. Campuran tersebut dihomogenkan selama detik dengan cara memutar paddle secara horizontal dan hati-hati. Hasil dibaca berdasarkan perubahan kekentalan yang terjadi; negatif (-) tetap homogen, positif (+,++,+++) terbentuk lendir/kental. Kuisioner Pengisian kuisioner dilakukan terhadap peternak yang dikunjungi dan diambil sampelnya. Pertanyaan yang diajukan kepada peternak berjumlah tujuh, dua pertanyaan berkaitan dengan manajemen pemeliharaan ternak dan lima pertanyaan berkaitan dengan manajemen pemerahan. Data kuisioner digunakan untuk mendapatkan informasi tentang tata laksana peternakan sapi perah yang dijalankan oleh peternak. Data kuisioner juga digunakan sebagai data pendukung terhadap kejadian mastitis subklinis di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor. Analisis Data Data dianalisis dengan melihat tingkat spesifisitas dan sensitivitas dari setiap uji berdasarkan pada jumlah sel somatis dengan menggunakan metode Breed sebagai metode uji baku. Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisis

27 13 menggunakan uji asosiasi, pengukuran kesesuaian menggunakan uji Kappa. Hasil kuisioner yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk melihat tingkat kejadian mastitis subklinis di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor.

28 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang digunakan berjumlah 205 sampel yang berasal dari 54 ekor sapi. Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cibungbulang berdasarkan Uji Mastitis IPB-1 dan Metode Breed Menurut data International Dairy Federation (IDF) (1999) bahwa sapi yang menderita mastitis subklinis memiliki jumlah sel somatis lebih dari sel/ml ditemukan bakteri patogen, serta berada pada laktasi normal. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 62 (30.24%) sampel mengandung jumlah sel somatis kurang dari sel/ml dan 143 (69.76%) sampel mengandung jumlah sel somatis lebih dari sel/ml. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan uji mastitis IPB-1 diperoleh 76 (37.07%) sampel memberikan reaksi negatif mastitis subklinis dan 129 (62.93%) sampel memberikan reaksi positif dengan perincian 52 (25.37%) sampel memberikan reaksi positif satu (1+), 30 (14.63%) sampel memberikan reaksi posistif dua (2+) dan 47 (22.93%) sampel memberikan reaksi positif tiga (3+). Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dapat dihubungkan dengan metode Breed berdasarkan pada pengelompokkan batas jumlah sel somatis. Hubungan jumlah tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis dapat ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis (Breed) (n=205) Tingkat reaksi IPB-1 Breed

29 15 Tabel 6 Nilai minimum, kuartil satu, dua, tiga, dan nilai maksimum dari jumlah sel somatis yang dihubungkan dengan tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 IPB-1 Sel somatis/ml Minimum Q1 Q2 Q3 Maksimum Pada Tabel 6 terlihat hubungan antara uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis yang dihitung menggunakan metode Breed. Pada hasil uji mastitis IPB-1 negatif (-) diperoleh nilai kuartil kedua sebesar , sedangkan pada positif satu (1+), positif dua (2+), dan positif tiga (3+) diperoleh nilai kuartil kedua masing-masing sebesar , , dan Peningkatan nilai kuartil kedua menandakan bahwa peningkatan reaksi pada uji mastitis IPB-1 diikuti dengan peningkatan jumlah sel somatis. Dari grafik boxplot dapat dilihat bahwa tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 berbanding lurus terhadap jumlah sel somatis yang dihitung menggunakan metode Breed (Gambar 1). Jumlah sel somatis Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 Gambar 2

30 16 Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis metode Breed. Tabel 7 Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis Metode Breed Pemeriksaan menggunakan uji mastitis IPB-1 Jumlah sel somatis (x ) > jumlah Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis metode Breed ditunjukkan pada Tabel 7 dengan pengelompokkan batas jumlah sel somatis mengacu pada Sudarwanto (1998). Hasil uji mastitis IPB-1 yang menunjukkan reaksi negatif (-) terdapat pada rentang jumlah sel somatis sebanyak 45 (59.21%) sampel dan 21 (27.63%) sampel berada pada rentang , hal ini menunjukkan bahwa uji mastitis IPB-1 dapat memberikan hasil reaksi negatif (-) pada sapi yang tidak menderita mastitis subklinis. Berdasarkan IDF (1999) jumlah sel somatis kurang dari sel/ml maka susu tersebut bukan berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis. Pada reaksi positif satu (1+) diperoleh hasil 18 (34.62%) sampel berada pada rentang nilai Pada reaksi positif dua (2+) dan positif tiga (3+) diperoleh hasil 22 (73.33%) sampel dan 33 (70.21%) sampel berada pada rentang nilai Hasil reaksi positif dua (2+) dan positif tiga (3+) berada pada rentang nilai yang sama, tetapi pada reaksi positif tiga (3+) masih ditemukan 14 (29.79%) sampel pada rentang > Hal ini memperlihatkan bahwa uji mastitis IPB-1 dapat mendiagnosa mastitis subklinis dengan tingkat jumlah sel somatis hingga > Uji mastitis IPB-1 merupakan uji semi kuantitatif, karena semakin tinggi intensitas reaksi yang dihasilkan menggunakan pereaksi IPB-1 diikuti dengan peningkatan jumlah sel somatis pada susu yang berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis. Reagen uji mastitis IPB-1 akan berikatan dengan inti DNA dari sel somatis sehingga terbentuk masa kental, masa yang terbentuk semakin

31 17 kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan makin tinggi jumlah sel somatis dalam susu (Sudarwanto 1993). Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Mastitis IPB-1 terhadap Jumlah Sel Somatis Menggunakan Metode Breed Pengukuran sensitivitas dan spesifisitas uji mastitis IPB-1 sampel susu dilakukan dengan membandingkan hasil uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis (Breed) sebagai uji baku (golden standard). Berdasarkan Tabel 8, sebanyak 129 (62.9%) sampel berasal dari kuartir sapi yang menderita mastitis subklinis dan 76 (37.1%) sampel memperlihatkan reaksi negatif (-) dengan menggunakan uji mastitis IPB-1. Perhitungan jumlah sel somatis secara langsung menggunakan metode Breed (golden standard) diperoleh 143 (69.8%) sampel berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis dan 62 (30.2%) sampel memperlihatkan hasil reaksi negatif (-). Tabel 8 Penentuan mastitis subklinis berdasarkan uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis (n=205) IPB-1 Jumlah sel somatis (JSS) Jumlah + ( 4 sel/ml) - ( 4 sel/ml) (59.5%) 7 (3.4%) 129 (62.9%) - 21 (10.24%) 55 (26.8%) 76 (37.1%) Jumlah 143 (69.8%) 62 (30.2%) 205 (100%) = (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%) Sensitivitas = 85.31% Spesifisitas = 88.71% Predictive value : Positif Uji = 11.29% Negatif Uji = 14.69% Measure of agreement Kappa = Uji mastitis IPB-1 menunjukkan hasil pengujian yang hampir sama dengan jumlah sel somatis (Breed) yang bisa dilihat dari nilai sensitivitasnya yang tinggi, yaitu sebesar 85.31% dan nilai spesifisitasnya sebesar 88.71%. Uji sensitivitas menunjukkan kemampuan uji mastitis IPB-1 untuk memperlihatkan hasil positif pada sapi yang menderita mastitis subklinis. Uji mastitis IPB-1 yang makin sensitif maka mampu mendeteksi mastitis subklinis meskipun jumlah sel somatis masih sangat rendah dalam susu. Uji spesifisitas menunjukkan kemampuan uji mastitis IPB-1 untuk memperlihatkan hasil yang negatif pada sapi yang tidak

32 18 menderita mastitis subklinis. Semakin spesifik suatu uji maka uji tersebut hanya mampu mendeteksi agen tertentu saja. Uji Kappa merupakan uji untuk menilai reliabilitas atau kesesuaian berdasarkan pada skala kategorikal. Hasil uji Kappa menunjukkan nilai 0.696, yang artinya uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis (metode Breed) memiliki kesesuaian yang baik diantara kedua uji tersebut. Fleiss (1981), yang diacu dalam Goldstein (2011) memberi nilai Kappa sebagai berikut: > 0.75 berarti ada kesesuaian yang sangat baik (excellent), berarti ada kesesuaian yang baik (fair to good), < 0.4 berarti kesesuaian yang jelek (poor). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarwanto dan Sudarnika (2008b) diperoleh nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 91.7% dan 96.8% serta nilai uji Kappa sebesar Hasil nilai uji yang berbeda terkait dengan jumlah sampel yang diuji dan teknik pengujian yang berbeda. Semua uji kualitatif merupakan uji yang dilakukan langsung di kandang, sementara pada penelitian ini pengujian susu dilakukan di laboratorium dan dengan kondisi susu sampel relatif dingin. Kondisi susu sampel yang relatif dingin mengakibatkan penggumpalan lemak susu sehingga akan mempengaruhi dalam pemeriksaan. Kondisi Peternakan Sapi Perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan Hasil Kuisioner Kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah dapat disebabkan karena kondisi sanitasi kandang dan tata laksana pemerahan yang dijalankan oleh peternak masih kurang baik. Berdasarkan hasil kuisioner seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9 diperoleh 42.86% peternak yang membersihkan kandangnya sebanyak tiga kali sehari, sisanya 57.13% membersihkan kandangnya dua kali sehari. Tabel 9 Kondisi sanitasi peternakan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner No Variabel Deskripsi Hasil Deskripsi (%) 1. Frekuensi pembersihan kandang (hari) 2x 3x Jarak pembuangan limbah dari kandang <15 meter 100

33 19 Tingkat kejadian mastitis subklinis pada peternakan dengan kandang yang sering dibersihkan akan lebih kecil, dibandingkan dengan kandang yang jarang dibersihkan. Tempat pembuangan limbah juga berperan terhadap terjadinya mastitis subklinis. Seluruh responden membuang limbah tidak jauh dari kandang peternakannya (<15 meter). Jarak yang terlalu dekat antara tempat pembuangan limbah dengan kandang akan menyebabkan lingkungan kandang kotor, menimbulkan pencemaran lingkungan kandang, hal ini akan menyebabkan bakteri tumbuh subur dan bermigrasi ke kandang sehingga setiap saat dapat menimbulkan kejadian mastitis subklinis. Tumpukan limbah peternakan akibat kondisi saluran pembuangan yang tidak baik/tidak lancar akan menyebabkan gangguan terhadap lingkungan antara lain berupa bau busuk dan berkembangnya serangga (Sudarwanto 1999) Kejadian mastitis subklinis yang tinggi pada peternakan sapi perah dapat disebabkan karena manajemen pemerahan yang kurang baik. Kejadian mastitis subklinis di KUNAK yang berhubungan dengan manajemen pemerahan ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Manajemen pemerahan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner No Variabel Deskripsi Hasil Deskripsi (%) 1. Periode pemandian sapi (hari) 2x sebelum diperah Pembersihan ambing sebelum diperah Tanpa dilap dilap Teat dipping setelah pemerahan Ya Tidak Tekhnik pemerahan Strip hand Penggunaan pelicin pada saat memerah Whole hand Ya Tidak Seluruh responden (100%) memandikan sapinya dua kali sehari sebelum diperah. Kebiasaan memandikan sapi dua kali sehari akan merangsang produksi susu. Sapi yang dimandikan dua kali sehari akan menghasilkan susu lebih banyak dari yang dimandikan satu kali atau yang tidak dimandikan sama sekali (Sudarwanto 1999). Sebanyak 85.72% peternak membersihkan ambing dengan cara dilap sebelum diperah dan 14.28% tanpa dilap. Sapi sebelum dan setelah

34 20 diperah putingnya dibersihkan akan berpengaruh terhadap kejadian mastitis subklinis dibandingkan dengan yang tidak dibersihkan. Bakteri ditularkan ke dalam puting yang sehat melalui tangan pemerah, mesin, lap, lantai kandang, baju pemerah, kulit dan rambut sapi, ember dan sebagainya (Sutarti et al. 2003). Ambing dapat dibersihkan menggunakan larutan NaClO dengan konsentrasi ppm dan pada konsentrasi ini susu tidak terkontaminsasi bau dari larutan. Tindakan pembersihan dapat dilakukan dengan cara teat dipping setelah pemerahan. Sudarwanto (1988), yang diacu dalam Sudarwanto (1999) menjelaskan bahwa penggunaan desinfektan melalui pencelupan puting setelah pemerahan memiliki tingkat efektivitas tinggi untuk menekan jumlah bakteri dalam susu. Membersihkan ambing sebelum pemerahan, pemeriksaan pancaran sekresi pertama, membersihkan puting sebelum pemerahan dan melakukan terapi kering kandang merupakan usaha dalam mengendalikan mastitis subklinis selain dengan melakukan teat dipping (Sudarwanto 1999). Seluruh responden memerah dengan tangan, sebanyak 71.43% peternak menggunakan metode whole hand dan 28.57% peternak menggunakan metode strip hand. Teknik pemerahan whole hand dapat menghasilkan susu lebih banyak, mengurangi pencemaran mikroorganisme, dan mengurangi perlukaan puting. Perlukaan puting merupakan predisposisi terjadinya mastitis (Sudarwanto 1998). Seluruh responden (100%) menggunakan bahan pelicin (vaseline) pada saat memerah. Penggunaan vaselin sebagai alat pelicin dan digunakan secara bersama-sama untuk semua sapi pada peternakan merupakan faktor predisposisi munculnya mastitis subklinis. Hidayat et al. (2002), yang diacu dalam Akilah (2008) menjelaskan selama pemerahan jangan menggunakan vaselin karena vaselin akan menutupi permukaan puting, bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin), penularan penyakit sulit dihindari.

35 21 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengujian mastitis subklinis menggunakan uji mastitis IPB-1 diperoleh 76 (37.07%) sampel memberikan reaksi negatif (-) dan 129 (62.93%) sampel memberikan reaksi positif (+) mastitis subklinis. Pengujian mastitis subklinis menggunakan metode Breed diperoleh 62 (30.24%) sampel negatif (-) dan 143 (69.76%) sampel positif (+) mastitis subklinis. Uji mastitis IPB-1 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu sebesar 85.31% dan 88.71% sebagai uji cepat untuk mendiagnosa mastitis subklinis lebih dini. Hasil uji Kappa menunjukkan nilai 0.696, yang artinya uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis menggunakan metode Breed (golden standart) memiliki kesesuaian yang baik diantara kedua uji tersebut. Berdasarkan hasil kuisioner, kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di KUNAK dapat disebabkan karena kondisi sanitasi kandang dan tata laksana pemerahan yang dijalankan oleh peternak masih kurang baik. Saran Nilai uji sensitivitas dan spesifisitas uji mastitis IPB-1 dapat ditingkatkan bila jumlah sampel yang diuji lebih banyak dan pengujian susu dilakukan langsung di kandang. Kejadian mastitis subklinis pada peternak yang berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor dapat diturunkan apabila peternak menjalankan program pengendalian mastitis subklinis dengan baik.

36 22 DAFTAR PUSTAKA Akilah F Evaluasi teknis pemeliharaan peternakan sapi perah rakyat di Cilumber KPSBU Lembang Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. [BSN] Badan Standardisasi Nasional SNI :2011 tentang Susu Segar. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional SNI /Rev.1992 tentang Penghitungan Jumlah Sel Somatis. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Damron WS Introduction Animal Science Global, Biological, Social, and Industry Perspective. Ed ke-2. New Jersey: Pearson edu. DeLaval The mammary gland. [Terhubung berkala]. [22 September 2011]. Diggins RV, Bundy CE Dairy Production. Ed ke-2. USA : Prentice-Hall. Ensminger ME Animal Science. Illinois: Interstate. Foley CR, Bath LD, Dickinson NF, Tucker AH Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Philadelphia: Lea & Febiger. Goldstein G Corelation methods. Di dalam: Thomas JC, Hersen M, editor. Understanding Research in Clinical and Counseling Phsycology. Ed ke-2. New York: Taylor & Francis. [IDF] International Dairy Federation Suggested interpretation of mastitis terminology. Bull Int Dairy Fed 33: Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono RR Pengaruh mastitis terhadap kualitas susu. Di dalam: Pisestyani H, editor. Higiene Pangan. FKH IPB. Bogor: Kesmavet FKH IPB. Mulyani A, Las I Potensi sumber daya lahan dan optimalisasi pengembangan komoditas penghasil bioenergi di Indonesia. J Litbang Per 27 (1) Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutjens MF Principles of Dairy Science. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hall.

37 23 Schalm OW, Carroll EJ, Jain NC Bovine Mastitis. Philadelphia: Lea & Febiger. Subronto Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Sudarwanto M Penggunaan metode Aulendorfer Mastitis Probe (AMP) untuk mendiagnosa mastitis subklinik. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian; Bogor, 7-9 Desember Bogor: Puslitbang Peternakan, Balitbang Pertanian, Dep. Pertanian. Sudarwanto M, Sanjaya AW, Soejoedono R, Siregar EA, Rumawas I, Yuwono BS Gambaran kasus mastitis di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi berdasarkan perhitungan jumlah sel radang dengan menggunakan metode Breed. Pertemuan Ilmiah Kongress PDHI IX; Bandung. Bandung: Kongress PDHI IX. Sudarwanto M Pengembangan metode dan Pereaksi untuk deteksi mastitis subklinik. Disampaikan dalam: Seminar Hasil Penelitian Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor; Bogor, 11 Desember Bogor: IPB-PAU. Sudarwanto M Pereaksi IPB-1 sebagai Pereaksi alternatif untuk mendeteksi mastitis subklinis. Med Vet 5 (1): 1-5. Sudarwanto M Usaha peningkatan produksi susu melalui program pengendalian mastitis subklinis. Di dalam: Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner; Bogor, 22 Mei Bogor: FKH IPB. Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008a. Hubungan antara ph susu dengan jumlah sel somatik sebagai parameter mastitis subklnik. Med Pet : Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008b. Nilai diagnostik tes IPB mastitis dibandingkan dengan jumlah sel somatik dalam susu. Prosiding Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional; Bogor, Agu Bogor: KIVNAS. hlm Sudarwanto M Pemeriksaan mastitis subklinis. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Bogor: Kesmavet FKH IPB. Sugandi D, Hermawan, Supratman H Perbaikan mutu pakan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas susu sapi perah. Di dalam: Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, Prasetyo LH, Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhartono, editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi

38 24 Peternakan dan Veteriner; Bogor, Sep Bogor: Puslitbang Peternakan Deptan. hlm Sukada IM Kejadian mastitis subklinik oleh Streptococcus agalactiae di daerah Semplak Bogor dan pengaruhnya terhadap kualitas susu [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutarti E, Budiharta S, Sumiarta B Prevalensi dan faktor-faktor penyebab mastitis pada sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah. J Sain Vet 21 : Taylor ER, Field GT Scientific Farm Animal Production an Introduction to Animal Science. Ed ke-8. USA: Person Prentice Hall. Tyler DH, Ensminger ME Dairy Cattle Science. Ed ke-4. New Pearson Prentice Hall. Jersey:

39 LAMPIRAN 25

40 26 Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji mastitis IPB-1 No Kuartir IPB-1 Breed (jumlah sel somatis/ml) 1 Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan kanan belakang kiri belakang kiri depan

41 27 35 Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang Kiri depan Kanan Depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang kiri belakang kiri depan Kanan depan kanan belakang

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing 4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir. Setiap kuartir memiliki satu puting, keempat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang

Lebih terperinci

Kesetaraan Uji Mastitis IPB-1 dengan Metode Breed untuk Mendiagnosis Mastitis Subklinis pada Susu Kerbau Murrah dan Kambing

Kesetaraan Uji Mastitis IPB-1 dengan Metode Breed untuk Mendiagnosis Mastitis Subklinis pada Susu Kerbau Murrah dan Kambing Jurnal Veteriner Desember 2016 Vol. 17 No. 4 : 540-547 pissn: 1411-8327; eissn: 2477-5665 DOI: 10.19087/jveteriner.2016.17.4.540 Terakreditasi Nasional, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, online

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak Karakteristik peternak pemasok susu segar industri keju yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi pendidikan, lama beternak, umur, dan pengalaman penyuluhan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN UJI MASTITIS IPB-1 DENGAN METODE BREED UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS PADA SUSU KERBAU DAN SUSU KAMBING FAISAL TANJUNG

PERBANDINGAN UJI MASTITIS IPB-1 DENGAN METODE BREED UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS PADA SUSU KERBAU DAN SUSU KAMBING FAISAL TANJUNG PERBANDINGAN UJI MASTITIS IPB-1 DENGAN METODE BREED UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS PADA SUSU KERBAU DAN SUSU KAMBING FAISAL TANJUNG FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangsa Sapi Perah Sapi-sapi perah di Indonesia pada umumnya adalah sapi perah bangsa Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu terdapat warna

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi susu dipengaruhi beberapa faktor utama yang salah satunya adalah penyakit. Penyakit pada sapi perah yang masih menjadi ancaman para peternak adalah penyakit mastitis yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di peternakan Kunak, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Sampel diuji di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Geografis Kecamatan Busungbiu Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng memiliki letak geografis antara 114-115 Bujur Timur dan 8 03-9 23 Lintang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian 17 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pada bulan Juni 2011 sampai Januari 2012 bertempat di Kabupaten Sukabumi. Metode Penelitian Populasi studi Populasi studi dalam penelitian ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

PENELITIAN PEWDAHULUAN PERBANDINGAPI TlGA METODE UMTUI( MENDIAGNOSA MASTITIS SUBKLlNlS DAN HUBUNGANNYA TERHADAP PENURUNAN PRODUKSI SUSU

PENELITIAN PEWDAHULUAN PERBANDINGAPI TlGA METODE UMTUI( MENDIAGNOSA MASTITIS SUBKLlNlS DAN HUBUNGANNYA TERHADAP PENURUNAN PRODUKSI SUSU Sebuah karya... Wujud sebahagian cita-cita Pang tersusun berkat doa dan kasih sayang orang-orang tercinta Ayzh (dm), Ibu, Mas Soni, Mas Yoni, Dini dan Mas 'Ta. PENELITIAN PEWDAHULUAN PERBANDINGAPI TlGA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu Susu adalah sekresi yang dihasilkan oleh mammae atau ambing hewan mamalia termasuk manusia dan merupakan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan sejak lahir (Lukman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu, air dan peralatan berasal dari tujuh peternak dari Kawasan Usaha Peternakan Rakyat (Kunak), yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel susu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Produksi Susu Produksi susu yang fluktuatif selama sapi laktasi hal ini disebabkan kemampuan sel-sel epitel kelenjar ambing yang memproduksi susu sudah menurun bahkan beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional.

Lebih terperinci

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NANANG SYAIFUL

Lebih terperinci

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar LAMPIRAN 47 Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar KUISIONER PETERNAK SAPI PERAH Wilayah Kabupaten : Kecamatan : Tanggal Wawancara : Nama Enumerator : I.Identitas Peternak 1. Nama Pemilik : 2.

Lebih terperinci

KUALITAS SUSU SEGAR SEBAGAI BAHAN BAKU KEJU DITINJAU DARI JUMLAH SEL SOMATIS, KADAR LEMAK, DAN KADAR PROTEIN ADIK KURNIAWAN

KUALITAS SUSU SEGAR SEBAGAI BAHAN BAKU KEJU DITINJAU DARI JUMLAH SEL SOMATIS, KADAR LEMAK, DAN KADAR PROTEIN ADIK KURNIAWAN KUALITAS SUSU SEGAR SEBAGAI BAHAN BAKU KEJU DITINJAU DARI JUMLAH SEL SOMATIS, KADAR LEMAK, DAN KADAR PROTEIN ADIK KURNIAWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji. Breed (jumlah sel somatis/ml) No Kuartir IPB-1

Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji. Breed (jumlah sel somatis/ml) No Kuartir IPB-1 LAMPIRAN 25 26 Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji mastitis IPB-1 No Kuartir IPB-1 Breed (jumlah sel somatis/ml) 1 Kanan depan 1+ 400 000 2 kanan belakang - 440 000

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. PENDAHULUAN Latar Belakang Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Seseorang pada umur produktif, susu dapat membantu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang diduga memiliki khasiat sebagai antioksidan, antibakteri dan

Lebih terperinci

PANJANG PUTING DAN PERIODE LAKTASI SEBAGAI FAKTOR PREDISPOSISI MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI KPSBU LEMBANG KABUPATEN BANDUNG

PANJANG PUTING DAN PERIODE LAKTASI SEBAGAI FAKTOR PREDISPOSISI MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI KPSBU LEMBANG KABUPATEN BANDUNG PANJANG PUTING DAN PERIODE LAKTASI SEBAGAI FAKTOR PREDISPOSISI MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI KPSBU LEMBANG KABUPATEN BANDUNG YETI NEFIA SEPTIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakteri Patogen dalam Susu Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah tercemar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein (FH) Sapi perah FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun ada yang berwarna coklat ataupun

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire, 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Sapi Perah Sapi perah adalah suatu jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire, Guernsey, Jersey dan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi mastitis subklinis dengan rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap jumlah koloni Staphylococcus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) Sapi perah yang umum digunakan sebagai ternak penghasil susu di Indonesia adalah sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH). Sapi PFH merupakan

Lebih terperinci

HASIL. Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

HASIL. Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 20 HASIL Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Jumlah Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Pengujian awal dalam penelitian ini adalah penentuan standar komposisi sel somatik sampel susu dari

Lebih terperinci

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah TEKNIK PEMERAHAN DAN PENANGANAN SUSU SAPIPERAH G. Suheri Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor PENDAHULUAN Perkembangan dalam pemeliharaan sapi perah pada akhir-akhir ini cukup pesat dibandingkan tahun-tahun

Lebih terperinci

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU MENANGANI AIR SUSU MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU Air susu mengandung zat-zat gizi yg sangat cocok utk perkembangbiakan bakteri penyebab kerusakan air susu. Proses produksi yg tdk hygienes, penanganan yg

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR HILYAH ABQORIYAH

PENGARUH SUHU KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR HILYAH ABQORIYAH PENGARUH SUHU KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR HILYAH ABQORIYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 media violet red bile agar (VRB). Sebanyak 1 ml contoh dipindahkan dari pengenceran 10 0 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase MURNI SARI, IDA BAGUS NGURAH SWACITA, KADEK KARANG AGUSTINA Laboratorium Kesmavet, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari kelompok peternakan yakni Budiarso, 2001 Tingkat cemaran rata-rata Coliform yang mengkontaminasi susu

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Total Bakteri; ph; Susu; Sapi Friesian Holstein. ABTRACT

ABSTRAK. Kata Kunci : Total Bakteri; ph; Susu; Sapi Friesian Holstein. ABTRACT On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj TOTAL BAKTERI DAN PH SUSU SEGAR SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH DAN PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL MULYOREJO TENGARAN- SEMARANG

Lebih terperinci

PEREAKSI IPB-1 SEBAGAI PEREAKSI ALTERNATIF UNTUK MENDETEKSI MASTITIS SUBKLINIS

PEREAKSI IPB-1 SEBAGAI PEREAKSI ALTERNATIF UNTUK MENDETEKSI MASTITIS SUBKLINIS PEREAKSI IPB-1 SEBAGAI PEREAKSI ALTERNATIF UNTUK MENDETEKSI MASTITIS SUBKLINIS THE IPB-I REAGENT AS AN ALTERNATIVE TOOL TO DETECT SUBCLINICAL MASTITIS Mirnawati Sudarwanto Laboratorium Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA VOLUME AMBING, LAMA MASSAGE DAN LAMA PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA SKRIPSI.

HUBUNGAN ANTARA VOLUME AMBING, LAMA MASSAGE DAN LAMA PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA SKRIPSI. HUBUNGAN ANTARA VOLUME AMBING, LAMA MASSAGE DAN LAMA PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA SKRIPSI Oleh: ILHAM HABIB FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KONDISI SANITASI PERALATAN DAN AIR TERHADAP PENINGKATAN JUMLAH TOTAL MIKROORGANISME SUSU INDIVIDU SUSU KANDANG SUSU TEMPAT PENGUMPUL SUSU DI PETERNAKAN KUNAK BOGOR SISKA ARYANA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia dengan kelezatan dan komposisinya yang ideal karena susu mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Semua

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi perah Fries Holland (FH) merupakan bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia. Bangsa sapi ini bisa berwarna putih dan hitam ataupun merah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Peranakan Fries Holstein

Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Peranakan Fries Holstein Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Peranakan Fries Mardalena 1 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas susu hasil pemerahan pagi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Kawasan peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes berada di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor dengan jarak tempuh ke pusat pemerintahan kota

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis Penelitian adalah penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten Purbalingga.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari Lokasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari Lokasi 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari 2017. Lokasi pemeliharaan ayam broiler di Peternakan milik Bapak Hadi Desa Sodong Kecamatan Mijen Kota Semarang. Analisis

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang hubungan produksi susu dengan body condition scoredan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang hubungan produksi susu dengan body condition scoredan 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang hubungan produksi susu dengan body condition scoredan tingkat peradangan ambing pada sapi perah laktasiyang dilaksanakan di BBPTU- HPT Baturraden Purwokerto

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia calabura L) UNTUK TEAT DIPPING DALAM MENURUNKAN JUMLAH BAKTERI PADA SUSU SKRIPSI. Oleh

EFEKTIFITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia calabura L) UNTUK TEAT DIPPING DALAM MENURUNKAN JUMLAH BAKTERI PADA SUSU SKRIPSI. Oleh EFEKTIFITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia calabura L) UNTUK TEAT DIPPING DALAM MENURUNKAN JUMLAH BAKTERI PADA SUSU SKRIPSI Oleh DYAH RUMANIAR PRASETYANTI PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) MEETHA RAMADHANITA PARDEDE SKRIPSI DEPARTEMEN ANATOMI,

Lebih terperinci

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017 SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI Bogor, 8-9 Agustus 2017 Latar Belakang Pertambahan populasi lambat Penurunan performa

Lebih terperinci

UJI KUALITAS SUSU Latar Belakang Tujuan Praktikum

UJI KUALITAS SUSU Latar Belakang Tujuan Praktikum UJI KUALITAS SUSU Latar Belakang Susu yang populer dan banyak dikonsumsi adalah susu sapi karena populasi sapi perah relatif tinggi dan setiap individu sapi dapat menghasilkan susu 7-20 l/hari. Susu dapat

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian Jumlah Bakteri Staphyloccus aureus dan Skor California Mastitis

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian Jumlah Bakteri Staphyloccus aureus dan Skor California Mastitis 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian Jumlah Bakteri Staphyloccus aureus dan Skor California Mastitis Test (CMT) Susu Kambing Peranakan Etawa (PE) akibat Dipping Ekstrak Daun Babadotan (Ageratum conyzoides

Lebih terperinci

MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI INDONESIA : PENDEKATANNYA

MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI INDONESIA : PENDEKATANNYA MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI INDONESIA : PENDEKATANNYA MASALAH DAN SUPAR Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 52, Bogor 16114 PENDAHULUAN Mastitis pada sapi perah merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) SEBAGAI BAHAN DIPPING PUTING TERHADAP JUMLAH COLIFORM DAN ph SUSU SKRIPSI.

PENGARUH EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) SEBAGAI BAHAN DIPPING PUTING TERHADAP JUMLAH COLIFORM DAN ph SUSU SKRIPSI. PENGARUH EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) SEBAGAI BAHAN DIPPING PUTING TERHADAP JUMLAH COLIFORM DAN ph SUSU SKRIPSI Oleh GARNIS EKA SUHENDAR PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) YANG DIBERI PERLAKUAN TEAT DIPPING

KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) YANG DIBERI PERLAKUAN TEAT DIPPING TOTAL BAKTERI DAN ph SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) YANG DIBERI PERLAKUAN TEAT DIPPING DENGAN EKSTRAK DAUN BABADOTAN (Ageratum conyzoides L.) PADA WAKTU PENGAMATAN YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh : RIF AN

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP MASTITIS SUBKLINIS

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP MASTITIS SUBKLINIS EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP MASTITIS SUBKLINIS (Efficacy of Piper betle Linn Toward Subclinical Mastitis) MASNIARI POELOENGAN, SUSAN M.N. dan ANDRIANI Balai Penelitian Veteriner,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu adalah bahan pangan dengan kandungan gizi lengkap yaitu terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu bahan pangan yang penting

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitan 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat

Lebih terperinci

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) DANI WANGSIT NARENDRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK DANI

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) Siti Amanah, Hanung Dhidhik Arifin, dan Roisu Eni Mudawaroch Program

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK BAWANTA WIDYA SUTA. 2007.

Lebih terperinci

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan ii EFEKTIFITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) DENGAN PELARUT AIR HANGAT TANPA EVAPORASI DAN KAJIAN DIFFERENSIAL LEUKOSIT PADA AYAM YANG DIINFEKSI DENGAN Eimeria tenella DENY HERMAWAN

Lebih terperinci

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA Animal Agriculture Journal 5(1): 195-199, Juli 2015 On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Ettawa Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing Kacang dengan kambing Ettawa sehingga mempunyai sifat diantara keduanya (Atabany,

Lebih terperinci

Susu merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena. vitamin, mineral, dan enzim. Menurut Badan Standart Nasional (2000).

Susu merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena. vitamin, mineral, dan enzim. Menurut Badan Standart Nasional (2000). 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena mempunyai kandungan nutrisi yang lengkap antara lain lemak, protein, laktosa, vitamin, mineral,

Lebih terperinci

Epidemiologi veteriner PKH-UB 2013

Epidemiologi veteriner PKH-UB 2013 Epidemiologi veteriner PKH-UB 2013 Quiss.. Jelaskan secara singkat istilah-istilah dalam epidemiologi berikut ini Incubation period Prevalensi Insidensi Endemic Epidemic Sporadic Vector Eradication Tuliskan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Fapet Farm dan analisis proksimat bahan pakan dan pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Ketahanan Susu Kambing Peranakan Ettawah Post-Thawing pada Penyimpanan Lemari Es Ditinjau dari Uji Didih dan Alkohol

Ketahanan Susu Kambing Peranakan Ettawah Post-Thawing pada Penyimpanan Lemari Es Ditinjau dari Uji Didih dan Alkohol Ketahanan Susu Kambing Peranakan Ettawah Post-Thawing pada Penyimpanan Lemari Es Ditinjau dari Uji Didih dan Alkohol Andriawino Berdionis Sanam, Ida Bagus Ngurah Swacita, Kadek Karang Agustina Lab. Kesmavet-Fakultas

Lebih terperinci

THE INFLUENCE OF PRE MILKING ON MILK QUALITY BASED ON REDUCTATION TEST AND CALIFORNIA MASTITIS TEST ABSTRACT

THE INFLUENCE OF PRE MILKING ON MILK QUALITY BASED ON REDUCTATION TEST AND CALIFORNIA MASTITIS TEST ABSTRACT THE INFLUENCE OF PRE MILKING ON MILK QUALITY BASED ON REDUCTATION TEST AND CALIFORNIA MASTITIS TEST Yuanita Putri Yuliana 1, Sarwiyono 2 and Puguh Surjowardojo 2 1 Student Faculty of Animal Husbandry,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. yang berbeda konsentrasi terhadap total koloni bakteri dan ph susu segar kambing

BAB III MATERI DAN METODE. yang berbeda konsentrasi terhadap total koloni bakteri dan ph susu segar kambing 13 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian mengenai pengaruh larutan dipping menggunakan desinfektan yang berbeda konsentrasi terhadap total koloni bakteri dan ph susu segar

Lebih terperinci

HUBUNGAN MASTITIS, PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL - HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI PERAH BATURRADEN SKRIPSI

HUBUNGAN MASTITIS, PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL - HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI PERAH BATURRADEN SKRIPSI HUBUNGAN MASTITIS, PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL - HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI PERAH BATURRADEN SKRIPSI EUGINIA ANNISA PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Kambing Susu merupakan bahan pangan alami yang mempunyai nutrisi sangat lengkap dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

TINJAUAN PUSTAKA. Susu TINJAUAN PUSTAKA Susu segar Susu adalah susu murni yang belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi

Lebih terperinci

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI (Comparison of Two Methods for Estimating Milk Yield in Dairy Cattle Based on Monthly Record) E. Kurnianto

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3 JSV 35 (1), Juni 2017 Perlakuan Celup Puting Setelah Pemerahan Terhadap Keberadaan Bakteri Patogen... Perlakuan Celup Puting setelah Pemerahan terhadap Keberadaan Bakteri Patogen, Staphylococcus aureus,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Susu Kuda Sumbawa Kuda Sumbawa dikenal sebagai ternak penghasil susu yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan susu kuda. Susu kuda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu berasal dari 5 kabupaten yaitu Bogor, Bandung, Cianjur, Sumedang dan Tasikmalaya. Lima sampel kandang diambil dari setiap kabupaten sehingga jumlah keseluruhan sampel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah yang sehat dan bersih yang digunakan untuk bahan utama makanan yang sangat komplit. Susu merupakan

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan sampel berdasarkan jumlah susu pasteurisasi yang diimpor dari Australia pada tahun 2011 yaitu 39 570.90 kg, sehingga jumlah sampel yang diuji dalam penelitian ini sebanyak

Lebih terperinci

Susu segar-bagian 1: Sapi

Susu segar-bagian 1: Sapi Standar Nasional Indonesia Susu segar-bagian 1: Sapi ICS 67.100.01 Badan Standardisasi Nasional Copyright notice Hak cipta dilindungi undang undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

KATEGORI KUALITAS SUSU SAPI SEGAR SECARA MIKROBIOLOGI DI PETERNAKAN X CISURUPAN - GARUT

KATEGORI KUALITAS SUSU SAPI SEGAR SECARA MIKROBIOLOGI DI PETERNAKAN X CISURUPAN - GARUT KATEGORI KUALITAS SUSU SAPI SEGAR SECARA MIKROBIOLOGI DI PETERNAKAN X CISURUPAN - GARUT R. Suhartati, Depi Irma Aryani Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada ABSTRAK Susu sapi segar merupakan media

Lebih terperinci

EVALUASI CEMARAN BAKTERI PADA SUSU SAPI SEGAR DALAM DISTRIBUSI SUSU DI KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI. Oleh : JAAFAR RIFAI

EVALUASI CEMARAN BAKTERI PADA SUSU SAPI SEGAR DALAM DISTRIBUSI SUSU DI KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI. Oleh : JAAFAR RIFAI EVALUASI CEMARAN BAKTERI PADA SUSU SAPI SEGAR DALAM DISTRIBUSI SUSU DI KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Oleh : JAAFAR RIFAI PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang diperoleh dari hasil seleksi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang diperoleh dari hasil seleksi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang diperoleh dari hasil seleksi keseluruhan oleh sel sekresi kelenjar susu yang didapat melalui pemerahan yang lengkap dari satu atau lebih

Lebih terperinci

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. A. WAKTU BEKU DARAH Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. Prinsip Darah yang keluar dari pembuluh darah akan berubah sifatnya, ialah dari sifat

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2011 sampai dengan bulan Maret 2012. Kegiatan ini dilakukan di laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen

Lebih terperinci

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH 62 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler,

Lebih terperinci

Uji Organoleptik dan Tingkat Keasaman Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar

Uji Organoleptik dan Tingkat Keasaman Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar Uji Organoleptik dan Tingkat Keasaman Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar I GUSTI AYU FITRI DIASTARI DAN KADEK KARANG AGUSTINA Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan

Lebih terperinci