VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING"

Transkripsi

1 VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING 7.1. Program Sea Farming sebagai Solusi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Persoalan yang timbul terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu yang termasuk common pool resources (CPRs) dengan karakteristik non excludable dan subtractable, belum dapat terpecahkan, terutama dalam hal kelembagaan. Kurangnya pendampingan dari pihak dinas terkait, lemahnya organisasi nelayan/pembudidaya ikan serta belum berjalannya aturan main di antara pihak yang terlibat merupakan penyebab gagalnya kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kepulauan Seribu. Salah satu alternatif kebijakan yang dapat ditelaah seperti diuraikan pada Bab VI, adalah perlunya pengembangan sistem pengelolaan perikanan dan program pelestarian sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu melalui kegiatan penstokan ulang dan usaha budidaya laut yang dikenal dengan sea farming. Sea farming dapat didefinisikan sebagai kegiatan marikultur yang difokuskan tidak hanya untuk kepentingan komersial tapi juga untuk pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Pemilihan jenis ikan yang cocok untuk program sea farming adalah jenis ikan yang tidak bermigrasi, seperti ikan kerapu. Pada saat ini PKSPL IPB sedang mengembangkan program sea farming bersama dengan Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan masyarakat Kepulauan Seribu, khususnya Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Program sea farming ini merupakan program pengelolaan sumberdaya dengan aktifitas utama marikultur dan aktifitas terkait lainnya (marine tourism) serta perbaikan kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan maupun kualitas lingkungan laut berbasis masyarakat. Sistem sea farming bertujuan untuk meningkatkan stok sumberdaya ikan (fish resources enhancement), kesejahteraan masyarakat pesisir, aktifitas berbasis kelestarian ekosistem laut (ekowisata bahari) sehingga tercapai keberlanjutan pengelolaan ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan sea farming didasarkan pada kondisi geofisik dan oseanografi di perairan Semak Daun dengan menerapkan kelembagaan pengelolaan berbasis

2 70 masyarakat untuk melakukan aktifitas marikultur, seperti budidaya pen culture (sistem kandang), cage culture (sistem keramba jaring apung), longline dan sea ranching. Selain aktifitas marikultur, dilakukan pula perbaikan ekosistem laut (terumbu karang, lamun dan mangrove) dan mengembangkan aktifitas terkait seperti wisata bahari berbasis masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir Kepulauan Seribu. Dukungan penguatan dan pengembangan kelembagaan menjadi prasyarat awal keberlanjutan program ini melalui pemberian hak pengelolaan kepada nelayan. Dengan demikian nelayan yang mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ikan tidak perlu lagi melaut terlalu jauh sehingga pada akhirnya akan menghemat biaya operasional. Kelebihan konsep sea farming jika dibandingkan dengan kegiatan budidaya yang selama ini berlangsung, antara lain: 1) Pelaku usaha pembesaran ditopang oleh banyak pemasok benih, sehingga kesinambungan kegiatan dapat terjaga. 2) Pelaku usaha pembesaran juga mendapatkan benih yang bermutu, karena sudah adapted dengan lingkungan, hal ini karena proses pendederan berlangsung di sekitar lokasi pembesaran. 3) Usaha pembudidayaan ikan menjadi relatif lebih singkat karena adanya diversifikasi ukuran panen. 4) Memungkinkan keterlibatan dari segenap lapisan masyarakat karena diterapkannya multi sistem budidaya, sesuai dengan kompetensi dan keinginan masyarakat. 5) Efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam karena diterapkannya multi sistem budidaya, hampir semua habitat karang dalam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. 6) Peluang kesinambungan usaha budidaya relatif lebih tinggi karena banyaknya pelaku usaha yang terlibat. 7) Peluang pengembangan kegiatan budidaya ikutan lainnya yang dapat bersinergi dengan konsep sea farming juga lebih besar, seperti budidaya rumput laut serta budidaya tiram (mutiara/konsumsi).

3 Sistem Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming Sea farming pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output. Sub-sistem input merupakan prasyarat awal pembentukan kelembagaan sea farming yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia faktor pendukung (supporting factors) bagi beroperasinya sea farming di lokasi yang dituju. Dalam sub-sistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demarcated fishing rights sebagai persyaratan batas sistem operasi sea farming secara geografis (system boundary). Pembentukan sistem fishing rights ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan riset partisipatif hingga mencapai kesepakatan lokal. Penentuan fishing rights ini tidak dapat dilepaskan dari analisis kesesuaian ekosistem sebagai penyokong keberhasilan operasi sea farming secara teknisekologis. Sub-sistem kedua adalah marikultur (budidaya kelautan) dimana kegiatan pembenihan, pendederan hingga pembesaran komoditas sea farming dilakukan. Sub-sistem ini merupakan jantung dari implementasi sea farming, karena input dan output ekonomi sea farming pada dasarnya berasal dari sub-sistem marikultur ini. Agar akselerasi sub-sistem marikultur ini dapat dilakukan sesuai dengan tujuan, maka dalam sub-sistem ini digunakan pendekatan community-based agribusiness system (sistem agribisnis berbasis pada masyarakat, SABM). Dalam SABM ini, sebagian besar pelaku adalah masyarakat lokal sehingga diharapkan manfaat ekonomi langsung maupun tidak langsung dari sistem sea farming ini akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat lokal. Sebagai contoh, dengan implementasi intermediary mariculture process yang melibatkan pendeder 1, pendeder 2, dan seterusnya maka alur finansial dalam bentuk perdagangan benih dapat dilakukan, menggantikan sistem konvensional yang hanya terbatas pada grower (pembesaran) (Adrianto et al. 2010). Sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output di mana komoditas sea farming akan diperdagangkan melalui sistem distribusi dan perdagangan yang adil antar pelaku sea farming dan pada saat yang sama berfungsi juga sebagai penyedia stok bagi kepentingan konservasi dan pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Fungsi konservasi ini dapat melibatkan pemerintah daerah sebagai

4 72 penjamin pasar bagi pelaku sea farming. Dengan kata lain, Pemerintah Daerah membeli stok dari pelaku sea farming bukan untuk kepentingan komersial melainkan untuk konservasi dan pengkayaan stok alam di perairan yang sesuai. Sistem kelembagaan sea farming dapat dilihat pada Gambar 11. Populasi P. Panggang Definisi Pelaku SF Lokasi Sea Farming Kesepakatan Lokal Demarcated Fishing Right Implementasi Sea Farming Community Based Agribusiness System Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat Hatchery Pendeder-1 Pendeder-2 Grower Pendeder-3 Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat Stock Enhancement Pasar Nelayan Distribusi Perdagangan Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat Gambar 11 Sistem kelembagaan sea farming (Adrianto et al. 2010). Pendekatan program sea farming di Kelurahan Pulau Panggang menggunakan konsep agribisnis, dimana pertumbuhan perekonomian masyarakat lokal digerakkan oleh pelaku-pelaku bisnis yang saling menunjang dan saling terkait sehingga usaha perekonomian dapat dilakukan secara massal dan berkesinambungan. Kendala yang dihadapi dalam usaha budidaya ikan adalah sedikitnya pelaku bisnis yang terdiri dari pelaku usaha pembenihan dan pelaku usaha pembesaran serta lamanya waktu pembesaran, yaitu berkisar antara 6 hingga 12 bulan tergantung ukuran bibit dan jenis ikan yang dibudidayakan, sehingga dapat mempengaruhi cash flow pelaku usaha karena masa panen yang lama. Jika hal

5 73 tersebut diterapkan kepada pelaku pembudidaya yang dulu merupakan nelayan maka tidak sedikit para pelaku yang mengalami kegagalan. Namun melihat potensi sumberdaya perikanan tangkap yang semakin menurun, maka usaha budidaya ikan merupakan salah satu usaha alternatif yang sangat menjanjikan. Untuk mengatasi kendala tersebut, sesuai dengan pendekatan communitybased agribusiness system maka penciptaan pelaku-pelaku usaha yang berada diantara pelaku pembenihan dan pembesaran dapat ditumbuhkan. Pelaku tersebut adalah pelaku pendederan atau raiser. Umumnya usaha pendederan ikan kerapu tidak lama sekitar dua bulan. Sehingga dalam jangka waktu yang tidak lama, maka pelaku usaha sudah dapat memperoleh pendapatan. Jika pola pengaturan musim tanam dilakukan, maka manfaat ekonomi yang diterima oleh pelaku dapat diperoleh setiap bulannya. Dalam sub sistem marikultur, pelaku usaha pendederan dapat dibagi menjadi beberapa segmen usaha berdasarkan ukuran ikan yang diproduksi, sehingga terdapat pelaku usaha pendederan I, pendederan II, pendederan III dan seterusnya. Pelaku usaha budidaya ikan tersebut saling mendukung dan saling membutuhkan. Produk hatchery menjadi input usaha pendederan I yang memproduksi ikan untuk input usaha pendederan II. Produk usaha pendederan II menjadi input usaha pendederan III dan produk usaha pendederan III menjadi input usaha pembesaran. Dalam konsep sea farming terdapat beberapa sistem budidaya yang bekerja secara sinergis, baik secara serial maupun paralel. Sistem budidaya tersebut meliputi hatchery, sea ranching, enclosure, pen culture, cage culture (apung dan tetap) dan longline (rumput laut dan tiram). Pelaku sistem dalam hal ini adalah penyedia bibit, nelayan petambak, pedagang pengumpul/pengangkut dan konsumen, sedangkan pembina/pemandu sistem adalah pemerintah, koperasi dan peneliti/lsm/lembaga pendampingan. Dengan sistem sea farming otomatis pelaku usaha penyedia bibit dan nelayan pembudidaya menjadi banyak dan saling berhubungan satu dengan lainnya, hal ini akan sangat baik bagi kesinambungan usaha budidaya dan tentunya bagi pengembangan ekonomi masyarakat setempat. Begitu pun jika dilihat dari sisi pelaku pedagang pengumpul/pengangkut atau dari sistem

6 74 pemasaran komoditi, juga cukup banyak pemain yang terlibat di dalamnya, seperti pada kegiatan pemasaran ikan kerapu (Gambar 12). Nelayan Penangkap Kerapu Penampung Di Pulau Pedagang Pengumpul Nelayan Pembudidaya Kerapu Ekspor Konsumen - Konsumsi - Restoran Gambar 12 Rantai pemasaran ikan kerapu (Adrianto et al. 2011) Secara garis besar sistem agribisnis yang dapat dikembangkan dalam sea farming seperti pada gambar berikut. Restocking Alam Penangkapan Hachery Budidaya Enclosure Budidaya Pen Culture Budidaya Cage Culture Nelayan Penangkap Konsumen (Lokal/Ekspor) Suplai Ikan Bibit Ikan Ukuran Konsumsi Gambar 13 Sistem agribisnis antar sistem budidaya dalam Konsep Sea Farming (Adrianto et al. 2011) Pada konsep sea farming ini, masing-masing sistem budidaya setelah hatchery berperan ganda sebagai pendeder yang menghasilkan benih bagi sistem budidaya berikutnya dan juga sebagai penghasil ikan ukuran konsumsi. Hatchery merupakan unit pembenihan yang berfungsi menghasilkan benih serta menjual

7 75 benih kepada sistem lainnya. Pelaku budidaya sistem enclosure membeli benih dari hatchery, output dari kegiatan bisnis dengan sistem ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan). Output ukuran bibit dari sistem ini diperlukan untuk kegiatan pembesaran (fatening) pada sistem cage culture dan atau pen culture (Adrianto et al. 2011). Pelaku budidaya sistem pen culture membeli benih dari hatchery atau dari sistem budidaya enclosure, output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi dan ikan ukuran bibit. Untuk ikan ukuran bibit yang dihasilkan dari sistem ini diperlukan untuk pembesaran juga pada sistem cage culture. Pelaku budidaya sistem cage culture membeli bibit dari hachery, enclosure, pen culture dan juga dari nelayan penangkap, dimana masing-masing bibit yang diperoleh dari masing-masing sistem tersebut memiliki keunggulan tersendiri. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi untuk pasar lokal/domestik maupun ekspor Batas Pengelolaan dan Mekanisme Sea Farming Penetapan batasan pengelolaan sumberdaya dalam kerangka sea farming berdasarkan fungsi dan kondisi sumberdaya yang disesuaikan dengan kondisi fisik lahan, kebutuhan dan budaya masyarakatnya. Secara ekologis, wilayah pengelolaan mencakup wilayah ekosistem laut dangkal (goba) Tipis di sebelah utara, goba Nawi dan goba di sebelah selatan, serta goba Sempit di sebelah barat Sistem Aturan Kunci dari aturan yang digunakan dalam sea farming adalah right-based fisheries yang merupakan alternatif pengelolaan sumberdaya secara terbuka (open access) yang mengakibatkan konflik antar nelayan dan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Salah satu pilar penting dalam pelaksanaan sea farming adalah penguatan hukum dan kelembagaan. Pemberian hak pemanfaatan perairan (use rights) yang jelas kepada pelaku sea farming merupakan prasyarat penting dalam kerangka insentif institusi menuju produksi perikanan yang berkelanjutan. Pemberian hak ini dapat dilakukan apabila diperkuat melalui mekanisme legal yang transparan dan berkeadilan. Peranan hukum dalam memelihara keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat dapat dilakukan

8 76 melalui berbagai inovasi dalam penerapan sanksi hukum, termasuk pemberian insentif dan disinsentif supaya dapat lebih mendekati rasa keadilan yang berkembang di dalam masyarakat (Adrianto et al. 2011). Sistem aturan main yang disepakati oleh Kelompok Sea Farming adalah yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Lampiran 1 dan 2). Aturan main tersebut sebenarnya mengacu pada faktor kelembagaan pengelola yang mencakup unsur-unsur : 1) wewenang (authority), 2) hak kepemilikan (right), 3) aturan (rules), 4) monitoring, accountability, dan enforcement, 5) sanksi (sanction). Pemanfaatan sumberdaya laut biasanya dikontrol oleh kewenangan tradisi yang secara alami mencerminkan organisasi masyarakat dan pemilik hak (ownership). Kelembagaan formal yang dibentuk oleh masyarakat umumnya terkait dengan aktivitas kesehariannya Sistem Hak Beberapa hak yang harus dipenuhi dalam pengelolaan sea farming menurut Adrianto et al. (2011), diantaranya adalah : a. Kelompok usaha anggota sea farming berhak memanfaatkan dan mengelola di wilayah sea farming sesuai dengan peruntukkannya dan luas yang telah ditentukan. b. Kelompok usaha anggota sea farming berhak mendapatkan pembinaan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuannya di bidang budidaya perikanan Pengaturan Hubungan Kepemilikan Kelembagaan berfungsi sebagai pengaturan hubungan kepemilikan. Hak kepemilikan (right) sistem pengelolaan berada pada seluruh masyarakat Pulau panggang dengan memenuhi persyaratan tertentu untuk bergabung dalam kelembagaan sea farming. Sehingga tercermin adanya kejelasan substansi dan struktur hak kepemilikan melalui penentuan bagaimana suatu hak dapat digunakan. Melalui aturan ini ditetapkan area sea farming dan siapa yang dijinkan menangkap dan siapa yang tidak, dan bagaimana aturan jika orang luar ikut memanfaatkan. Agar hak-hak dapat diterapkan perlu adanya monitoring

9 77 pelaksanaan aturan (monitoring, accountability, dan enforcement). Sedangkan bagi yang melanggar akan terkena sanksi hukumnya Sistem Sanksi Sanksi yang disepakati sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku menurut Adrianto et al. (2011), diantaranya adalah : a. Setiap orang atau badan hukum dalam yurisdiksi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu harus mentaati setiap hukum maupun peraturan yang berlaku, yang ditetapkan oleh pemerintah; b. Setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran dan atau kejahatan terhadap lingkungan hidup dalam yurisdiksi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berlaku ketentuan sanksi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. Selain dari POLRI atau alat penegak hukum lainnya, Bupati Kepala Daerah dapat memberikan wewenang kepada Kepala Suku Dinas Perikanan dan Pertanian untuk mengusut segala pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku Kelembagaan Informal Pengelolaan Sea Farming Beberapa norma atau aturan tak tertulis yang berlaku dalam pengelolaan sea farming umumnya sama dengan norma-norma yang dijumpai dalam masyarakat Kepulauan Seribu, diantaranya adalah : a) Meliburkan kegiatan pada hari Jumat. b) Kebiasaan untuk menyisihkan sebagian hasil panen budidaya ikan kerapu (terutama saat hasil banyak) untuk dibagikan kepada anak yatim piatu maupun janda. c) Kesepakatan masyarakat lainnya terkait pemanfaatan ruang dalam aktivitas budidaya ikan kerapu yaitu pemanfaatan bagian dari ruang perairan laut di sebelah manapun untuk aktivitas yang tidak dilarang oleh hukum, dengan catatan tidak mengganggu pemanfaatan sebelumnya.

10 Arena Aksi dalam Pengelolaan Sea Farming Analisis stakeholder dapat dikatakan sebagai suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan hasil nilai skor analisis stakeholders disajikan di Lampiran 3. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis stakeholder adalah: 1) Identifikasi aktor Hasil identifikasi aktor stakeholder terkait pengelolaan sea farming di Pulau Panggang, dikenal 8 stakeholders dengan berbagai peran (Tabel 16). Secara garis besar identifikasi dikelompokkan dalam peran pemanfaatan dan peran pengaturan. Diantara dua peran ini terdapat peran fasilitasi (penghubung). Peran pemanfaatan dilakukan oleh masyarakat anggota Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang, sementara peran pengaturan dilakukan oleh Pemerintah beserta unsurnya. Sedangkan peran fasilitas/penghubung dilakukan oleh akademisi, yaitu Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPL IPB). 2) Tabel aktor Tabel 16 Identitas stakeholder dan peranannya No. Stakeholder Peranan / Pemanfaatan 1. Masyarakat anggota Kelompok Lokasi budidaya Sea Farming Pulau Panggang 2. Pendeder dan Pedagang Lokasi budidaya / usaha Pengumpul 3. Pemerintah KAKS Penentu kebijakan (pengelola sumberdaya) dan fasilitas masyarakat 4. Pengelola Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) Penentu kebijakan (konservasi-zonasi) dan fasilitas masyarakat 5. Dinas Perhubungan Penentuan kebijakan (alur pelayaran) 6. Polairud (keamanan) Pengamanan peraturan 7. Aparat Kelurahan Lokasi penelitian 8. Perguruan tinggi (PKSPL IPB) Lokasi penelitian dan fasilitasi stakeholder lain

11 79 3) Menganalisis pengaruh dan kepentingan aktor Hasil pemetaan stakeholder berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya di dalam pengelolaan sea farming di Pulau Panggang tersaji pada Gambar 14. Gambar 14 Pemetaan stakeholder pengelolaan sea farming di Pulau Panggang. 4) Membuat aktor grid Berdasarkan hasil pemetaan stakeholder dalam pengelolaan sea farming di Pulau Panggang (Gambar 14) maka dapat diketahui aktor stakeholder yang berperan dan pengelolaan sea farming, yaitu : Kotak A (subyek) ditempati oleh masyarakat anggota pembudidaya ikan, Kelompok Sea Farming Pulau Panggang, pendeder dan pedagang pengumpul. Kelompok ini menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya dalam perumusan kebijakan. Ketergantungan tinggi disini terkait dengan

12 80 proses hasil budidaya dan pemasaran hasil produksi perikanan. Selama ini hasil budidaya oleh pembudidaya/anggota sea farming biasanya disalurkan kepada pendeder dan pihak pedagang pengumpul untuk kemudian dijual ke pasar. Kotak B (pemain) ditempati oleh Pemerintah KAKS, Pengelola TNKS dan perguruan tinggi (PKSPL IPB) yang merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan melalui perumusan berbagai kebijakan. Pemerintah KAKS melalui dinas teknisnya (Suku Dinas Perikanan dan Kelautan) berhak mengatur pemanfaatan tradisional (budidaya). Sedangkan Pengelola TNKS melalui regulasinya menetapkan wilayah perairan Pulau Panggang sebagai bagian dari zona pemanfaatan tradisional. Melalui berbagai kajian dan penelitian, akademisi mampu mempengaruhi pengelolaan sea farming di Pulau Panggang lewat berbagai program pemerintah. Kotak C (penonton) ditempati oleh aparat desa. Keberadaan mereka dinilai tidak telalu tergantung terhadap sumberdaya perikanan dan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aparat desa mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang. Kotak D (aktor) merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan, ditempati oleh pihak keamanan (Polairud) dan Dinas Perhubungan. Melalui penegakan hukum yang sesuai dengan peraturan mampu mempengaruhi pengelolaan sea farming di Pulau Panggang. Aktor sangat bervariasi jika dilihat dari derajat pengaruh dan kepentingannya. Aktor ini dapat diketegorikan sesuai dengan banyak atau sedikitnya pengaruh dan kepentingan relatifnya terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam. Kategori aktor dalam pengelolaan sea farming menurut Brown et al. (2001) adalah sebagai berikut :

13 81 a. Aktor primer, yaitu masyarakat anggota pembudidaya ikan, Kelompok Sea Farming, pendeder dan pedagang pengumpul yang memiliki pengaruh rendah terhadap hasil kebijakan tetapi kesejahteraannya penting bagi pengambil kebijakan. b. Aktor sekunder, yaitu Pemerintah bersama unsurnya, yang dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat. Hal ini disebabkan karena aktor ini adalah sebagian besar merupakan pengambil kebijakan dan terlibat dan implementasi kebijakan. Secara relatif pihak ini tidak penting, demikian pula dengan tingkat kesejahteraannya bukan suatu prioritas. c. Aktor eksternal, yaitu akademisi/perguruan tinggi (PKSPL IPB), yang dapat mempengaruhi hasil dari suatu proses melalui lobby kepada pengambil keputusan. Berdasarkan hasil analisis aktor pengelolaan sea farming di wilayah Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu teridentifikasi bahwa selama ini masing-masing aktor dalam menjalankan perannya, dilakukan berdasarkan keputusan masing-masing aktor. Hal ini disebabkan belum adanya suatu lembaga formal yang khusus dapat mengkoordinasikan masing-masing kepentingan di antara aktor. Sehingga tidak jarang di lapangan sering terjadi konflik antar aktor yang terlibat dalam menjalankan aktifitasnya Pola Interaksi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Sea Farming Ostrom (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelembagaan, perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya (level), yaitu pertama, level konstitusi (constitutional), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan. Berdasarkan kerangka pemikiran Ostrom (1990) tersebut, aktor-aktor pengelolaan sea farming di Kabupaten Kepulauan Seribu yang tergolong dalam level penentu kebijakan (collective choice level) adalah Kementerian Kelautan

14 82 dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Seribu. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menentukan kebijakan dan aturan main formal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Kepulauan Seribu. Sementara itu, yang termasuk ke dalam level operasional (operational choice level) adalah kelompok masyarakat formal (kelompok sea farming). Untuk melihat hubungan antar kelembagaan dan aktor yang terlibat dalam pengelolaan sea farming dapat dilihat pada Gambar 15. Collective Choice Level Perguruan Tinggi (PKSPL IPB) Konsultasi/ Pendampingan Pemerintah Pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) Koordinasi kegiatan Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu Konflik Kelompok Pemerintah Koordinasi kegiatan Koordinasi kegiatan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta Kelompok sea farming Konflik Kelompok Masyarakat formal Operational Choice Level Konflik Pembudidaya Konflik Kelompok masyarakat Pembudidaya Gambar 15 Hubungan antar kelembagaan dan aktor pengelolaan sea farming di Kepulauan Seribu. Berdasarkan pemetaan konflik, terdapat tiga sumber yang menjadi penyebab terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu banyaknya ikan yang rusak dan menimbulkan kematian ikan yang banyak, penyaluran benih yang semakin sedikit, keberpihakan pemerintah, khususnya Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terhadap kelompok masyarakat tertentu (Tabel 17).

15 83 Tabel 17 Tipe konflik dalam pengelolaan sea farming di perairan Pulau Panggang No. Isu-isu dan Penyebab Lokasi konflik 1. Pada tahun 2008, banyaknya ikan Perairan yang rusak dan menimbulkan Pulau kematian ikan yang banyak di dekat Panggang areal budidaya ikan atau keramba 2. Penyaluran benih yang semakin sedikit 3. Keberpihakan pemerintah, khususnya Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS terhadap kelompok masyarakat tertentu Sumber : Hasil wawancara para aktor (2010) Pulau Panggang Pulau Panggang Kelompok-kelompok yang terlibat Kelompok sea farming Penambang pasir Kelompok sea farming Pembudidaya/nelayan Kelompok sea farming Kelompok pembudidaya Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS Konflik antara anggota kelompok sea farming dengan sebagian masyarakat penambang pasir. Permasalahan terkait lingkungan yang kurang bagus disebabkan adanya aktivitas sebagian masyarakat yang merusak kondisi perairan dengan cara mengambil pasir di dekat areal budidaya ikan atau keramba. Konflik tersebut apabila tidak secepatnya dikelola secara baik maka dikhawatirkan akan mengganggu sistem pengelolaan sea farming di perairan Pulau Panggang. Oleh sebab itu perlu diserahkan kepada pemerintah daerah maupun pusat untuk mencari solusi yang tepat, seperti pemerintah memberikan kompensasi sebagai ganti rugi pencemaran lingkungan jika menyebabkan kegagalan kegiatan budidaya (kematian massal). Konflik antara pengurus kelompok sea farming dengan anggota dan juga masyarakat yang ingin menjadi anggota sea farming. Sistem dana bergulir (revolving fund) menjadi basis pembinaan kegiatan kelompok melalui pembelian benih ikan kerapu. Permasalahan benih yang disalurkan semakin sedikit, sehingga pengurus kelompok sea farming mengambil kebijakan untuk tidak menerima anggota terlalu banyak. Tertulis dalam AD dan ART kelompok, bahwa anggota berhak untuk mendapatkan benih termasuk anggota yang telah melalui proses seleksi dan pelatihan. Sejak tahun 2008 benih yang disalurkan mengalami penurunan. Sementara itu jumlah anggota terus meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan adanya konflik sosial di masyarakat dan memerlukan adanya perhatian dan kebijakan dari pemerintah setempat.

16 84 Benih yang telah disalurkan kepada anggota sea farming sebanyak 28% telah dipanen dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat. Rendahnya persentase produksi ini disebabkan beberapa permasalahan seperti kematian massal ikan akibat penyakit dan gangguan lingkungan (seperti kiriman sampah, tumpahan minyak, penambangan pasir, dan lain-lain), benih yang disalurkan tidak sehat, anggota yang tidak melaporkan hasil panennya, pencurian ikan di keramba dan lain-lain. Selain itu lamanya pemeliharaan ikan kerapu untuk mencapai ukuran panen (0,5 kg per ekor) yaitu selama 8 bulan, menyebabkan adanya benihbenih kerapu yang telah disalurkan masih dalam proses pemeliharaan. Konflik antara kelompok sea farming dengan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS, terkait dengan keputusan pemerintah dalam hal ini Sudin Kelautan dan Pertanian yang cenderung mementingkan kelompok masyarakat pembudidaya lainnya (di luar kelompok sea farming) yang memiliki pengalaman lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok sea farming. Atas keberpihakan pemerintah tersebut menimbulkan rasa kecemburuan anggota kelompok sea farming terhadap kelompok pembudidaya lainnya. Pemerintah yang seharusnya dapat berperan dalam menyatukan masing-masing kepentingan aktor belum dapat dilakukan secara optimal. Lembaga perguruan tinggi berperan dalam menjembatani hubungan antar aktor dalam hal pendampingan dan menyatukan kepentingan masing-masing aktor. Saat ini lembaga perguruan tinggi yang masih berperan selama kurang lebih 5 tahun dalam pendampingan pengelolaan sea farming di Kepulauan Seribu adalah PKSPL IPB bermitra dengan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Analisis Manfaat Ekonomi dalam Pengelolaan Sea Farming Pendampingan pada pengembangan skala usaha kelompok adalah dengan mendorong anggota kelompok untuk maju dan berkembang skala usahanya. Pengembangan skala usaha ini bertujuan untuk meningkatkan manfaat ekonomi dari pengelolaan sea farming, yang meliputi :

17 85 1) Jumlah lubang keramba dari awal usaha Berdasarkan hasil monitoring PKSPL IPB tahun 2009, perkembangan jumlah lubang keramba anggota kelompok sea farming dari tahun 2006 sampai dengan 2008 mengalami peningkatan pada setiap angkatan. Jumlah lubang keramba anggota Angkatan I mengalami peningkatan, tahun 2006 sebanyak 34 lubang, tahun 2007 sebanyak 58 lubang dan tahun 2008 sebanyak 84 lubang. Angkatan II juga mengalami peningkatan, tahun 2006 sebanyak 45 lubang, tahun 2007 sebanyak 95 lubang dan tahun 2008 sebanyak 174 lubang. Begitu pula dengan Angkatan III, tahun 2007 sebanyak 50 lubang dan tahun 2008 sebanyak 74 lubang. Selengkapnya data perkembangan keramba anggota kelompok sea farming tersaji pada Lampiran 4. 2) Jumlah benih yang dipinjamkan kepada anggota Berdasarkan hasil monitoring PKSPL IPB tahun 2009, perkembangan jumlah benih yang dipinjamkan kepada anggota kelompok sea farming juga mengalami peningkatan. Jumlah benih ikan kerapu yang telah disalurkan melalui mekanisme revolving fund selama periode sebanyak ekor benih, yang terdiri atas ekor benih ikan kerapu macan dan ekor benih ikan kerapu bebek (Gambar 16). Rekapitulasi peminjaman benih anggota Kelompok sea farming selengkapnya tersaji pada Lampiran Ekor Kerapu macan Kerapu bebek Jumlah Tahun Gambar 16 Jumlah benih yang disalurkan kepada anggota sea farming periode

18 86 3) Laju pengembalian pinjaman anggota Sesuai dengan konsep pengembangan kelembagaan sea farming, kegiatan marikultur sebagai target antara dilakukan dengan pendekatan communitybased fisheries business. Dalam konteks ini, sistem dana bergulir (revolving fund) menjadi basis pembinaan kegiatan kelompok melalui pembelian benih ikan kerapu. Pada inisiasi awal, dari total 43 anggota kelompok sea farming Pulau Panggang, 24 orang mendapat dana bergulir pertama. Data peminjaman dan pengembalian dana bergulir Kelompok Sea Farming dari tahun tersaji pada Lampiran 5. Perbandingan jumlah anggota yang meminjam dan anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman benih tersaji pada Gambar Anggota yang meminjam Anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman Ratarata Tahun Gambar 17 Jumlah anggota sea farming yang meminjam benih dan anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman periode Jumlah anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman tahun 2006 sebanyak 26 orang dari 35 orang yang meminjam. Tahun 2007 sebanyak 33 orang dari 51 orang yang meminjam. Tahun 2008 sebanyak 27 orang dari 45 orang yang meminjam. Tahun 2009 sebanyak 1 orang dari 3 orang yang meminjam. Sehingga rata-rata anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman sebanyak 22 orang dari 33 orang yang meminjam. Persentase anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman sebanyak 64,9%. Sistem dana bergulir (revolving fund) yang diterapkan seringkali tidak berjalan lancar. Hal

19 87 tersebut disebabkan adanya permasalahan kegagalan panen serta ketidakpatuhan anggota kelompok sea farming dalam mengembalikan pinjaman. 4) Jumlah penjualan hasil panen Sebelum melakukan usaha budidaya kerapu perlu dilakukan kajian perencanaan usaha budidaya kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) di kawasan perairan Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Berdasarkan data salah seorang anggota Kelompok sea farming (Syaifudin, 2005) dan PKSPL IPB (2007), diperoleh perkiraan biaya investasi, yang meliputi pembuatan jaring, misalnya dengan 4 lubang tebar masing-masing berukuran 4m x 4m, rumah jaga, sampan, dan peralatan pendukung dengan total perkiraan biaya investasi sebesar Rp ,00. Perkiraan usia investasi selama 5 tahun, maka diperoleh biaya penyusutan sebesar Rp ,00 per tahun (Lampiran 6). Biaya produksi meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pemeliharaan sebesar Rp ,00 per tahun dan biaya penyusutan sebesar Rp ,00 per tahun. Biaya variabel terdiri atas pembelian bibit Rp ,00, pakan Rp 2.000,00 dan obat-obatan sebesar Rp ,00 per tahun, sehingga diperkirakan total biaya produksi atau Total Cost (TC) sebesar Rp ,00. Harga Pokok Produksi (HPP) ikan kerapu macan diperoleh dari biaya produksi total dibagi total produksi, sehingga diperoleh nilai HPP sebesar Rp ,00 per kg. Produksi ikan kerapu macan yang dihasilkan dari penebaran ekor dengan panen 90% populasi (10% kematian) dengan asumsi berat ikan 0,5 kg per ekor, diperoleh produksi sebesar 450 kg per tahun. Jika harga jual ikan kerapu macan Rp ,00 per kg, maka perkiraan penerimaan penjualan atau Total Revenue (TR) sebesar Rp ,00, sehingga perkiraan keuntungan usaha budidaya ikan kerapu selama satu tahun (π) sebesar Rp ,00 atau tingkat keuntungannya mencapai 50,98% per tahun pada investasi total Rp ,00 untuk 5 tahun. Payback Period (PP) diperoleh dari jumlah investasi dibagi keuntungan, sehingga diperoleh nilai PP = 1,37 tahun atau sama dengan 17 bulan. Sedangkan R/C Ratio diperoleh dari penerimaan total atau Total Revenue (TR)

20 88 dibagi dengan biaya total atau Total Cost (TC), sehingga diperoleh R/C = 1,5, berarti dari setiap Rp 100,00 yang ditanamkan pada usaha budidaya ikan kerapu macan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 150,00 atau diperoleh keuntungan sebesar Rp 50,00. Dari jumlah benih yang telah disalurkan kepada anggota sea farming, 28% telah dipanen dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat. Jumlah panen tersebut relatif rendah. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kematian massal ikan akibat penyakit dan gangguan lingkungan, benih yang disalurkan tidak sehat, anggota yang tidak melaporkan hasil panennya, pencurian ikan di keramba dan lain-lain. Disamping itu lamanya pemeliharaan ikan kerapu untuk mencapai ukuran panen (0,5 kg per ekor) yaitu selama 8 bulan, sehingga benih-benih kerapu yang telah disalurkan masih dalam proses pemeliharaan. Jumlah produksi ikan kerapu tahun 2006 mencapai ekor atau kg. Tahun 2007 mencapai ekor atau kg. Tahun 2008 mencapai 170 ekor atau 100 kg. Tahun 2009 menunjukkan belum adanya anggota yang panen. Sehingga total produksi mencapai ekor atau kg. Selengkapnya data produksi (panen) ikan kerapu anggota sea farming selama periode dapat dilihat pada Gambar 18 dan Lampiran Jumlah Ekor Kg Gambar 18 Produksi ikan kerapu anggota sea farming periode

21 89 Selama periode , hasil penjualan ikan kerapu macan dengan asumsi rata-rata harga ikan kerapu macan Rp ,00/kg adalah sebesar Rp ,00. Hasil penjualan ikan kerapu bebek dengan asumsi rata-rata harga ikan kerapu bebek Rp ,00/kg adalah sebesar Rp ,00. Sehingga total penjualan ikan kerapu sebesar Rp ,00. Data hasil penjualan ikan kerapu periode tersaji pada Gambar Jumlah Kerapu macan dalam Rp ,- Kerapu bebek dalam Rp ,- Gambar 19 Hasil penjualan ikan kerapu anggota kelompok sea farming Pulau Panggang periode (dalam Rupiah). Berdasarkan data penjualan di atas dan data anggota yang panen, maka dapat terlihat pendapatan rata-rata yang diterima oleh setiap anggota sea farming (Gambar 20). Berdasarkan rata-rata pendapatan yang diterima setiap anggota periode , maka rata-rata setiap anggota sea farming memperoleh Rp ,00 setiap kali panen ikan kerapu macan selama periode 8 bulan atau Rp ,00/tahun (setelah dikurangi besaran pinjaman yang harus dikembalikan) dengan catatan pendapatan ini berasal dari benih yang dipelihara oleh anggota berkisar ekor (sesuai mekanisme pinjaman benih kelompok) dan infrastruktur keramba yang sederhana. Artinya skala usahanya masih terbatas akibat keterbatasan modal dan benih yang tersedia.

22 Ratarata Rata-rata pendapatan per anggota (Rp 1.000) untuk ikan kerapu macan Rata-rata pendapatan per anggota (Rp 1.000) untuk ikan kerapu bebek Gambar 20 Rata-rata pendapatan yang diterima setiap anggota sea farming yang panen periode (dalam Rupiah) Berdasarkan data PKSPL IPB tersebut di atas, maka kegiatan ekonomi dalam pengembangan sea farming di Pulau Panggang sudah terlihat nyata. Dalam konteks pemberdayaan ekonomi masyarakat, nilai pendapatan ini cukup menunjang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Langkah selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan skala usaha anggota sea farming ini melalui mekanisme permodalan dan teknologi. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (2007), menyebutkan bahwa untuk memperoleh pendapatan Rp ,- per bulan, maka setiap anggota sea farming harus mendapatkan pinjaman benih sebanyak ekor kerapu macan dengan KJA yang mempunyai 6 lubang/jaring. Oleh karena itu langkah sederhana yang dapat diambil oleh pembuat kebijakan adalah menyediakan benih dengan perhitungan apabila jumlah anggota ada sebanyak 100 orang, maka dibutuhkan ekor benih ikan kerapu macan ditambah dengan perbaikan keramba sehingga mencapai 6 lubang/jaring/anggota.

23 Keefektifan Biaya Transaksi Organisasi Berdasarkan kerangka analisis yang dikembangkan oleh Abdullah et.al (1998), biaya transaksi kelompok sea farming terdiri atas : 1) Biaya transaksi penyusunan keputusan, meliputi biaya pertemuan anggota, biaya pembuatan keputusan. 2) Biaya operasional bersama, meliputi biaya koordinasi dan biaya pengawasan. 3) Biaya informasi, meliputi biaya pengumpulan bahan-bahan dan biaya sosialisasi. Total biaya transaksi terkait dengan mekanisme internal pelaksanaan organisasi kelompok sea farming adalah sebesar Rp ,00 setiap tahun. Biaya transaksi tersebut lebih banyak untuk biaya operasional bersama, yaitu mencapai Rp ,00 setiap tahunnya, meliputi biaya koordinasi pengurus (rata-rata sebesar Rp ,00) dan biaya santunan anak yatim dan janda ratarata sebesar Rp ,00. Sementara itu untuk biaya penyusunan keputusan, setiap tahunnya kelompok mengeluarkan biaya transaksi untuk pertemuan anggota rata-rata sebanyak 5 kali rapat masing-masing sebesar Rp ,00 per pertemuan. Biaya pertemuan anggota umumnya dikeluarkan setiap ada pergantian pengurus dan pertemuan rutin evaluasi organisasi. Sedangkan biaya informasi dikeluarkan untuk biaya sosialisasi sebesar Rp ,00 per tahun. Biaya informasi tersebut umumnya dikeluarkan untuk perbanyakan dokumen sosialisasi. Selengkapnya biaya transaksi tersebut tersaji pada Tabel 18. Pemasukan kas Kelompok sea farming berasal dari iuran anggota dan bagi hasil 5% pengembalian dana bergulir dari setiap anggota. Efektifitas biaya transaksi dianalisis dengan melihat rasio antara total biaya transaksi yang telah dikeluarkan dengan total manfaat. Semakin kecil nilai rasio yang diperoleh maka menunjukkan semakin efektif penggunaan biaya transaksi tersebut. Total manfaat yang dipakai dalam penelitian ini adalah keuntungan anggota kelompok sea farming dalam usaha budidaya keramba jaring apung ikan kerapu di perairan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Berdasarkan Tabel 19, terlihat bahwa efektifitas biaya transaksi mencapai sekitar 0,13, yang berarti menunjukkan penggunaan biaya transaksi tersebut sudah relatif efektif.

24 92 Tabel 18 Biaya transaksi yang dikeluarkan kelompok sea farming terkait dengan mekanisme internal pelaksanaan organisasi di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu. No. Jenis Biaya Transaksi Nilai rata-rata (per tahun) A. Biaya penyusunan keputusan Rp ,00 Biaya pertemuan anggota Rp ,00 B. Biaya operasional bersama Rp ,00 1. Biaya koordinasi Rp ,00 2. Biaya santunan anak yatim dan janda Rp ,00 C. Biaya informasi Rp ,00 Biaya sosialisasi Rp ,00 Total Biaya Transaksi Rp ,00 Pendapatan anggota kelompok sea farming (Total Manfaat Langsung) Rp ,00 Efektifitas Biaya Transaksi 0,13 Sumber : Data primer, diolah Keberlanjutan Program Sea Farming Keberlanjutan program menyangkut indikator : (1) eksistensi; (2) perkembangan kelompok; dan (3) keaktifan anggota. Program sea farming merupakan program yang sudah berjalan dan masih bertahan keberadaannya. Masyarakat dan pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberlanjutan program ini mengingat kepercayaan masyarakat terhadap program ini semakin meningkat. Selain itu, telah banyak upaya yang dilakukan sehingga program ini secara garis besar perlu dilanjutkan. Perkembangan anggota kelompok sea farming setiap tahunnya cenderung mengalami perkembangan, yang didahului oleh pelatihan sea farming. Setiap tahunnya anggota sea farming meningkat sebanyak 25 orang. Dari jumlah tersebut yang aktif berkisar orang. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan hasil nilai skor analisis skenario evaluasi program disajikan di Lampiran 8. Keberlanjutan program menggunakan analisis skenario evaluasi program, yaitu :

25 93 1) Diagram Skenario Evaluasi Berdasarkan hasil analisis skenario evaluasi program sea farming dengan menggunakan software Decision Criterium Plus (DCP) dapat digambarkan mengenai kerangka pengambilan keputusan identifikasi skenario evaluasi program melalui mekanisme multi-criteria (Gambar 21). Lingkungan Sosial Ekonomi luas kegiatan sea farming Jumlah RT yang tersosialisasi Keterlibatan masyarakat Skenario A Evaluasi Sea Farming Kelembagaan Tata kelembagaan program Peran institusi terkait pencapaian tujuan Efisiensi dan efektifitas anggaran Mekanisme koordinasi Kesesuaian dengan tujuan program Skenario B Skenario C Pengelolaan program Pengalaman berusaha SDM Kemampuan dan keterampilan SDM Perilaku SDM (kejujuran, tanggung jawab) Pengembalian dana pinjaman Gambar 21 Kerangka hirarki skenario evaluasi program sea farming 2) Hasil Skenario Evaluasi Dari hasil analisis Delphi dengan menggunakan alat bantu Decision Criterium Plus (DCP) diperoleh hasil bahwa dari domain lingkungan, opsi yang optimal adalah skenario B, yaitu program dapat dilanjutkan dengan perbaikan signifikan dengan kontribusi skor sekitar 0,19, lebih besar dari opsi-opsi yang lain, dimana skenario A memiliki kontribusi skor sekitar 0,08 (Gambar 22). Skenario B Contributions to Lingkungan from Level:main criteria Skenario A Skenario C Lingkungan Gambar 22 Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain lingkungan dengan menggunakan teknik Delphi.

26 94 Sementara itu, dalam konteks kriteria domain sosial ekonomi, skenario B juga menempati rangking tertinggi dengan kontribusi skor sekitar 0,41 kemudian diikuti skenario A dengan kontribusi skor sekitar 0,16. Gambar 23 menyajikan skor skenario evaluasi program menurut domain sosial ekonomi. Skenario B Contributions to Sosial Ekonomi from Level:main criteria Skenario A Skenario C Sosial Ekonomi Gambar 23 Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain sosial ekonomi dengan menggunakan teknik Delphi. Selanjutnya dalam konteks kelembagaan, opsi skenario B tetap menjadi pilihan dengan skor tertinggi yaitu sekitar 0,17 dibandingkan skenario A dengan skor sekitar 0,08 (Gambar 24). Skenario B Contributions to Kelembagaan from Level:main criteria Skenario A Skenario C Kelembagaan Gambar 24 Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain kelembagaan dengan menggunakan teknik Delphi. Sementara itu, dalam konteks domain pengelolaan program, opsi skenario B tetap menjadi opsi paling optimal dibandingkan dengan skenario A dan skenario C. Hal ini ditunjukkan dari kontribusi skor yang secara diagram disajikan pada Gambar 25.

27 95 Contributions to Pengelolaan program from Level:main criteria Skenario B Skenario A Skenario C Pengelolaan program Gambar 25 Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain pengelolaan program dengan menggunakan teknik Delphi. Dengan menggunakan analisis agregat untuk seluruh domain, opsi skenario B memiliki skor tertinggi, yaitu 0,84 yang kemudian diikuti oleh opsi skenario A dengan skor 0,35, dan skenario C (0,0). Opsi optimal bagi skenario evaluasi program sea farming tersaji pada Gambar 26. Contributions to Evaluasi Tata Kelola Sea Farming from Level:main criteria Skenario B Skenario A Skenario C Sosial Ekonomi Lingkungan Kelembagaan Pengelolaan program Gambar 26 Analisis agregat opsi skenario evaluasi program sea farming. 3) Analisis implikasi skenario Berdasarkan Gambar 26 di atas, evaluasi terhadap skenario menghasilkan skenario B (program dapat dilanjutkan dengan syarat perbaikan yang signifikan) sebagai skenario optimal. Lebih lanjut, domain kelembagaan dan pengelolaan program menjadi domain prioritas yang perlu diperhatikan karena memiliki skor rata-rata yang rendah dibandingkan domain yang lain. Dalam konteks ini perbaikan sistem kelembagaan dan pengelolaan program menjadi sangat krusial untuk dilaksanakan sebelum program dilanjutkan. Dengan demikian diperlukan kajian mendalam terhadap upaya perbaikan kelembagaan dan proses pelaksanaan program tersebut sehingga output optimal terhadap prasyarat ini dapat dihasilkan. Karena kajian terhadap upaya perbaikan kelembagaan dan proses pelaksanaan program memerlukan waktu, maka program dapat diterminasi untuk sementara dan dapat dilanjutkan setelah

28 96 rekomendasi perbaikan mekanisme kelembagaan dan proses pelaksanaan program dihasilkan. Sehingga secara diagramatis, implikasi skenario terpilih disajikan pada Gambar 27 di bawah ini. Program Sea Farming Tahap 1 Senario B : Program Sea Farming dapat dilanjutkan dengan perubahan signifikan Kompleksitas masalah Tahap 1 Perbaikan Sistemik Program Sea Farming Tahap 1 Program Pengelolaan Sea Farming Dilanjutkan (Tahap 2) Gambar 27 Kerangka implikasi skenario terpilih Pelaksanaan skenario di atas memiliki justifikasi yang kuat berdasarkan analisis implikasi dari Skenario B yang mengkaji parameter kepercayaan masyarakat, kesan stakeholders kunci, konsekuensi hukum dan konvergensi dengan program daerah. Uraian implikasi skenario B terhadap beberapa parameter penting terkait dengan pentingnya kelanjutan program sea farming tersaji pada Tabel 19. Tabel 19 Uraian implikasi pentingnya kelanjutan program sea farming No. Parameter Implikasi 1. Kepercayaan masyarakat 2. Kesan (image) Stakeholders kunci Program sea farming merupakan program yang sudah berjalan dan masyarakat dan pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberlanjutan program ini mengingat kepercayaan masyarakat akan turun apabila program ini dihentikan total. Selain itu, telah banyak upaya yang dilakukan sehingga program ini secara garis besar perlu dilanjutkan. Mengingat tujuan program sea farming yang cukup baik, maka kesan (image) stakeholders kunci seperti pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, perguruan tinggi, serta pihak swasta yang berkepentingan perlu dipertahankan. Keberhasilan program ini merupakan taruhan kesan para stakeholders utama sehingga kelanjutan program ini menjadi sangat penting setelah upaya perbaikan signifikan terhadap proses, mekanisme dan kelembagaan pengelolaan program ini dilakukan. 3. Konsekuensi hukum Efektifitas penggunaan dana dan hasil yang dicapai dapat menjadi basis bagi upaya untuk meningkatkan kinerja dan keragaan program sea farming. Hal ini untuk menghindari konsekuensi hukum yang mungkin terjadi sehingga perbaikan signifikan dari sistem perlu dilakukan secara komprehensif. 4. Konvergensi dengan program daerah Program peningkatan kesejahteraan masyarakat dan konservasi konvergen dengan misi pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dimana lingkungan kawasan strategis perlu dilestarikan.

29 97 Dari hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pilihan Skenario B adalah yang terbaik mengingat pentingnya program pengelolaan sea farming bagi para stakeholders maupun bagi keberlanjutan kelestarian sumberdaya ikan di perairan Kepulauan Seribu Desain Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming ke Depan Perbaikan sistemik dari program sea farming perlu dilakukan untuk mendukung keberlanjutan program. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun pengelolaannya. Merencanakan suatu desain kelembagaan pengelolaan sea farming merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan, mengingat berbagai komponen yang mempunyai kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Desain kelembagaan ini harus dilakukan dengan melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat dimana tidak terjadi perubahan di dalam fungsi dan karakternya. Bromley (1988) mengatakan jika kondisi-kondisi ekonomi dan sosial masyarakat berubah, maka struktur kelembagaan yang ada tidak akan cocok lagi untuk dipakai. Anggota-anggota masyarakat akan berusaha merancang suatu aransemen kelembagaan yang baru yang lebih sesuai dengan keadaan, keterbatasan, teknologi maupun selera masyarakat pada kondisi saat itu. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk mewadahi kepentingan masing-masing aktor yang terlibat, maka perlu dibuat suatu lembaga khusus dengan struktur, keanggotaan, mekanisme pengambilan keputusan dan kewenangan yang harus disepakati oleh para aktor. Ada tiga hal penting yang harus mendapatkan kesepakatan dari para aktor tersebut yaitu: 1). Format lembaga. Struktur lembaga harus disusun sedemikian rupa sehingga kepentingan masing-masing aktor secara proporsional dapat terwakili dalam lembaga tersebut. Kepentingan-kepentingan itu harus terpresentasikan dalam konfigurasi keanggotaan yang akan dipilih berdasarkan mekanisme yang disepakati sebelumnya. 2). Mekanisme pengambilan keputusan. Sebagai sebuah lembaga yang melibatkan multi kepentingan, maka sejak awal perlu ditetapkan mekanisme pengambilan keputusan. Secara teoritik, mekanisme pengambilan keputusan

30 98 itu dapat berupa musyawarah-mufakat, pemungutan suara atau kombinasi keduanya. 3). Kewenangan Lembaga. Kewenangan dari lembaga kerjasama tersebut juga harus disepakati, diantaranya adalah pemetaan wilayah kewenangan daerah laut, identifikasi potensi sumberdaya perikanan dan sumberdaya sosial kelembagaan, perumusan kerangka kebijakan pengembangan kawasan, serta mekanisme resolusi konflik. Berdasarkan hasil analisis dalam tata kelola kelembagaan sebelumnya, maka lembaga yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS), harus melibatkan komponen masyarakat pembudidaya, pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi. Upaya ini dalam rangka mengintegrasikan masing-masing aktor ke dalam suatu tatanan kelembagaan pengelolaan yang baik dan terpadu sehingga masing-masing kepentingan dapat terwakili dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan. Secara lengkap, desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya maka lembaga yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu harus melibatkan masyarakat, pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi. Lembaga tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua level. Pertama level penentu kebijakan (Collective Choice Level). Level ini berperan dalam penentuan berbagai kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pada level ini kelompok yang terlibat adalah : 1) Pemerintah yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di sekitar wilayah perairan Kelurahan Pulau Panggang KAKS terdiri atas Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan. Selanjutnya adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bupati KAKS serta Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, ketiga lembaga tersebut bersifat pemberi instruksi kepada Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS. Disamping itu Taman Nasional Kepulauan

31 99 Seribu (TNKS) mempunyai fungsi koordinasi dengan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS dalam hal pengelolaan zona pemanfaatan. 2) Kelompok Masyarakat, yang tergabung dalam musyawarah kelompok masyarakat pengelola sumberdaya perikanan. Lembaga ini merupakan lembaga yang dibentuk untuk bersama-sama mendiskusikan persoalanpersoalan yang dihadapi oleh kelompok pembudidaya dan nelayan, baik yang formal maupun informal. Hasil dari rapat koordinasi lembaga ini biasanya akan merupakan masukan kepada pihak pengambil kebijakan dalam menentukan arah kebijakan yang terkait dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang ada di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. 3) Akademisi berperan dalam memberikan masukan kepada pemerintah daerah atau lembaga lain yang membutuhkan mengenai hasil-hasil penelitian ilmiah sehingga dapat dijadikan dasar pijak bagi pengambilan keputusan oleh pemerintah atau pihak-pihak lain terkait pengelolaan dan pengembangan sumberdaya ikan di KAKS. Akademisi ini beranggotakan unsur-unsur perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Kedua, level operasional (Operational Choice Level). Level ini berperan dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan oleh lembaga musyawarah kelompok masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Selain itu level ini juga bertugas memberi dukungan dan mengkoordinasikan aspek usaha pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Kelompok ini terdiri atas: 1) Kelompok lembaga pengelolaan sumberdaya ikan yang berada di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Lembaga ini terdiri dari kelompok pembudidaya dan nelayan, Pernitas (Perhimpunan Nelayan, Pedagang Ikan dan Tanaman Hias) dan Kelompok Sea Farming. 2) Kelompok lembaga pemasaran hasil perikanan, yang terdiri dari Koperasi, Pernitas, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), swasta, pedagang pengumpul yang berfungsi sebagai kelompok yang memasarkan hasil produksi perikanan dari kelompok nelayan. Disamping itu, kelompok ini juga berperan dalam memberikan akses permodalan bagi pembudidaya dan nelayan yang akan mengembangkan usaha perikanan.

32 100 3) Kelompok lembaga pengawas sumberdaya perikanan yang berfungsi untuk mengawasi wilayah perairan KAKS, dan juga bertugas sebagai lembaga penegak hukum bagi pelanggaran aturan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Lembaga ini terdiri dari Kepolisian dan Dinas Perhubungan. Dalam menjalankan fungsinya, lembaga ini akan sering memantau keadaan laut serta aktifitas yang terjadi dalam pemanfaatannya. Gambar 28 Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Secara grafis lokasi penelitian tersebut dapat

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tahun 2004 di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, mulai digalakkan sea farming. Sea farming adalah sistem pemanfaatan ekosistem perairan laut berbasis marikultur dengan

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS 6 II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan adalah membantu komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KEPULAUAN SERIBU

VI. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KEPULAUAN SERIBU VI. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KEPULAUAN SERIBU 6.1. Karakteristik Fisik Sumberdaya Pesisir Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara darat dan lautan, dimana ke arah laut

Lebih terperinci

Penyuluhan Perikanan yang Adaptif, Evaluatif dan Solutif

Penyuluhan Perikanan yang Adaptif, Evaluatif dan Solutif Penyuluhan Perikanan yang Adaptif, Evaluatif dan Solutif Sebuah usulan pemikiran dengan contoh kasus Evaluasi Kelompok Usaha Bersama Perikanan Tangkap () Luky Adrianto Bagian Ilmu Pengelolaan Sumberdaya

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SEA FARMING DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SEA FARMING DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SEA FARMING DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU BAMBANG YUDHO RUDIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

MODEL PEMBANGUNAN SEA FARMING

MODEL PEMBANGUNAN SEA FARMING MODEL PEMBANGUNAN SEA FARMING SECARA BERKELANJUTAN Feira Budi Arief 1, Kadarwan Soewardi 2, Rokhmin Dahuri 2, Setia Hadi 3, Luky Adrianto 2 1 Universitas Tanjung Pura Pontianak. Mahasiswa Program Doktor

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

Analisis Stakeholder dan Evaluasi Kelembagaan Pengelolaan SDAL

Analisis Stakeholder dan Evaluasi Kelembagaan Pengelolaan SDAL EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Analisis Stakeholder dan Evaluasi Kelembagaan Pengelolaan SDAL Oleh: Kastana Sapanli, S.Pi,M.Si Kriteria dan Indikator Manajemen SDAL 1. Efisiensi (Produktivitas)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera No.166, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SUMBER DAYA ALAM. Pembudidaya. Ikan Kecil. Nelayan Kecil. Pemberdayaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5719) PERATURAN

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN (Perairan Umum Daratan) Tim Penelitian : Zahri Nasution

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Manajemen Usaha Ternak Saragih (1998) menyatakan susu merupakan produk asal ternak yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan yang ada didalamnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut

Lebih terperinci

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU 7.1. Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu Identifikasi stakeholder dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai kepentingan

Lebih terperinci

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah.

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah. II. URUSAN PILIHAN A. BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Kelautan 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan 2. Pelaksanaan

Lebih terperinci

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN JUDUL REKOMENDASI Strategi Optimalisasi Unsur Unsur Positif Lokal untuk Mendukung Penerapan Prinsip Prinsip Blue Economy di Wilayah Coral Triangle SASARAN REKOMENDASI Kebijakan

Lebih terperinci

a. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten.

a. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten. Sesuai amanat Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

5 Volume 3. No. 2. Tahun 2009 ISSN

5 Volume 3. No. 2. Tahun 2009 ISSN AKUATIK-Jurnal Sumberdaya Perairan 5 Volume. No.. Tahun 009 ISSN 978-65 MODEL PENGELOLAAN EKOSISTEM PERAIRAN DANGKAL PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU F.B. ARIEF, K.SOEWARDI, R. DAHURI, S.HADI, L. ADRIANTO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

Terlaksananya kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan. Terlaksananya penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Terlaksananya kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan. Terlaksananya penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. B. URUSAN PILIHAN 1. KELAUTAN DAN PERIKANAN a. KELAUTAN 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

Holiday Resort, Senggigi-Lombok, 22 Mei 2017

Holiday Resort, Senggigi-Lombok, 22 Mei 2017 ROADMAP PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN Holiday Resort, Senggigi-Lombok, 22 Mei 2017 OUTLINE Pendahuluan Analisis Masalah Roadmap 3 4 5 ANALISISMASALAH 1. Kemantapan Kawasan

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah daratan 1,9 juta km 2 dan wilayah laut 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai 81.290 km, Indonesia memiliki potensi sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara sebagai satu kesatuan wilayah akan memberikan peluang dalam keterpaduan perencanaan serta pengembangan

Lebih terperinci

CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN LAMPIRAN XXIX PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR : Tahun 2010 TANGGAL : Juli 2010 CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URUSAN 1. Kelautan 1. Pelaksanaan

Lebih terperinci

KONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH

KONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH Kondisi terkini budidaya ikan bandeng di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Septyan Andriyanto) KONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH Septyan Andriyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Industri pariwisata di Indonesia merupakan salah satu penggerak perekonomian nasional yang potensial untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional di masa kini dan

Lebih terperinci

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN

LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN TIM PENELITI : Dr. Asnawi Risna Yusuf, M.Si Ir. Zahri

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG PERAIRAN DANGKAL SEMAK DAUN, KEPULAUAN SERIBU, BAGI PENGEMBANGAN SEA RANCHING IKAN KERAPU MACAN (EPINEPHELUS FUSCOGUTTATUS) 1

DAYA DUKUNG PERAIRAN DANGKAL SEMAK DAUN, KEPULAUAN SERIBU, BAGI PENGEMBANGAN SEA RANCHING IKAN KERAPU MACAN (EPINEPHELUS FUSCOGUTTATUS) 1 DAYA DUKUNG PERAIRAN DANGKAL SEMAK DAUN, KEPULAUAN SERIBU, BAGI PENGEMBANGAN SEA RANCHING IKAN KERAPU MACAN (EPINEPHELUS FUSCOGUTTATUS) 1 (The carrying capacity of Semak Daun shallow water, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

Peningkatan Penghargaan Terhadap Kompetensi Penyediaan jasa kebersihan kantor

Peningkatan Penghargaan Terhadap Kompetensi Penyediaan jasa kebersihan kantor URUSAN : Pertanian SKPD : Dinas Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan KODE 2 01 Dinas Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan 4.945.000.000 RUTIN 760.377.300 2 2.01.05 01 Program Pelayanan

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal

Lebih terperinci

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI Desember, 2011 KATA PENGANTAR Laporan ini merupakan Executive Summary dari kegiatan Pengkajian Model Kelembagaan dan Pengelolaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Nama Unit Pelaksana : Direktorat Kelautan dan Perikanan Email :ningsih@bappenas.go.id Abstrak Wilayah pesisir dan laut Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PROGRAM INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN (INBUDKAN) DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 03 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 40 TAHUN 2000 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 03 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 40 TAHUN 2000 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 03 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 40 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN LEBAK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014

BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 Perencanaan kinerja merupakan proses penyusunan rencana kinerja sebagai penjabaran dari sasaran dan program yang telah

Lebih terperinci

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN 185 IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN 9.1 Karakteristik Responden Dalam rangka pengambilan keputusan maka perlu dilakukan Analytical Hierarchy Process (AHP) Pengelolaan Usahatani Sayuran Dataran

Lebih terperinci

PERENCANAAN WATANG BACUKI

PERENCANAAN WATANG BACUKI PERENCANAAN WATANG BACUKI Isu Prioritas Isu-isu utama 1. Isu Sumber Daya Alam dan Lingkungan 2. Isu Sosial-Budaya gender Sub-sub isu a. Potensi sumberdaya alam yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan

Lebih terperinci

TABEL 5.1 TABEL RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF KABUPATEN SUMENEP DINAS PERIKANAN

TABEL 5.1 TABEL RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF KABUPATEN SUMENEP DINAS PERIKANAN TABEL 5.1 TABEL RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF KABUPATEN SUMENEP DINAS PERIKANAN KONDISI CAPAIAN KINERJA PROGRAM PRIORITAS DAN KERANGKA PENDANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang lndonesia adalah negara kepulauan dan maritim dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu sepanjang 81.000 km dan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau serta

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN OLEH : Arif Satria Fakultas Ekologi Manusia IPB Disampaikan padalokakarya MENGARUSUTAMAKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DALAM AGENDA PEMBANGUNAN, 23 OKTOBER

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

KJA OFFSHORE : MEMBANGUN INDUSTRI MARIKULTUR MODERN

KJA OFFSHORE : MEMBANGUN INDUSTRI MARIKULTUR MODERN 8-06-2018 1/5 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Artikel ini diambil dari : www.depkes.go.id KJA OFFSHORE : MEMBANGUN INDUSTRI MARIKULTUR MODERN DIPUBLIKASIKAN PADA : RABU, 25 APRIL 2018 00:00:00,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI MANDAILING NATAL

BUPATI MANDAILING NATAL - 1 - BUPATI MANDAILING NATAL PERATURAN BUPATI MANDAILING NATAL NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN MANDAILING NATAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

L PENDAHULUAN. Rumput laut merupakan salah satu komoditi hasil laut yang penting, karena mudah dibudidayakan dan mempunyai kegunaan yang sangat

L PENDAHULUAN. Rumput laut merupakan salah satu komoditi hasil laut yang penting, karena mudah dibudidayakan dan mempunyai kegunaan yang sangat L PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditi hasil laut yang penting, karena mudah dibudidayakan dan mempunyai kegunaan yang sangat has, yaitu untuk bahan makanan, industri

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 257 BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis terhadap permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Menindaklanjuti ketentuan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 8 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4. Keadaan Wilayah Kepulauan Seribu merupakan sebuah gugusan pulaupulau kecil yang terbentang dari teluk Jakarta sampai dengan Pulau Sibera. Luas total Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Kecamatan Labuan, Kabupaten

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Kecamatan Labuan, Kabupaten IV. METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian kelayakan Usaha pembenihan dan pembesaran ikan lele Sangkuriang dilakukan di Perusahaan Parakbada, Katulampa, Kota Bogor, Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

Lebih terperinci

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI BALI GUBERNUR BALI

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI BALI GUBERNUR BALI GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI BALI PROGRES IMPLEMENTASI 4 FOKUS AREA RENCANA AKSI GUBERNUR BALI 1 KONDISI GEOGRAFIS DAN WILAYAH ADMINISTRASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci