II. PENDEKATAN TEORITIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. PENDEKATAN TEORITIS"

Transkripsi

1 6 II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan adalah membantu komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas (Nasdian, 2006). Berarti pemberdayaan adalah bagaimana membuat komunitas bisa bekerja sendiri berdasarkan kemampuan yang telah mereka miliki. Tetapi sebelumnya kemampuan komunitas harus ditingkatkan agar mereka dapat berpatisipasi dan menyesuaikan diri dalam memenuhi kebutuhan sekarang dan nanti. Sehingga mereka dapat menentukan dan merancang masa depan mereka sendiri. Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community development (pembangunan masyarakat dan community-based delopment (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan tahap selanjutnya muncul istilah community driven development yang diterjemahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakan masyarkat (Randy & Riant, 2007). Pemberdayaan adalah sebuah proses menjadi bukan sebuah proses instan. Artinya, perlu ada suatu tahapan dimana setiap tahap terjadi proses perkembangan menuju perbaikan. Proses tersebut memerlukan waktu yang relatif lama dan partisipasi menyeluruh dari komunitas itu sendiri. Tidak bisa dijadikan dalam waktu sehari atau hanya sekadar mengenalkan program ke komunitas, kemudian

2 7 hilang sampai program berikutnya datang. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. penyadaran pengkapasitasan pendayaan Gambar 1. Tahapan Pemberdayaan (Randy & Riant, 2007) Pemberdayaan merupakan proses pemetaan dari hubungan atau relasi subjek dengan objek. Proses ini mementingkan adanya pengakuan subjek akan kemampuan atau daya yang dimiliki objek. Secara gari besar proses ini melihat pentingnya mengalirkan daya (kuasa) (flow of power) dari subjek ke objek. Dalam pengertian yang lebih luas, mengalirnya daya ini merupakan upaya atau cita-cita untuk mensinerjikan masyarakat miskin ke dalam aspek kehidupan yang lebih luas. Hasil akhir dari pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu atau kelompok yang semula sebagai objek menjadi subjek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antar subjek dengan subjek yang lain. Dengan demikian, proses pemberdayaan mengubah pola relasi lama subjek-objek menjadi subjek-subjek (Nasution, 2006). Secara operasional, pemberdayaan bergerak dari pemahaman sisi dimensi generatif, yang merupakan suatu proses perubahan dengan menempatkan kreatifitas dan prakarsa warga komunitas yang sadar diri dan terbina sebagai titik tolak. Dengan pengertian tersebut pemberdayaan mengandung dua elemen pokok, yakni: kemandirian dan partisipasi. Dalam konteks ini, yang berorientasi

3 8 memperkuat kelembagaan komunitas, maka pemberdayaan warga komunitas merupakan tahap awal menuju kepada partisipasi warga komunitas (empowerment is road to participation) khususnya dalam proses pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas. Dengan kata lain, pemberdayaan dilakukan agar warga komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian. Dalam pengertian lain pemberdayaan adalah sebuah proses membantu individual atau kelompok-kelompok yang tidak beruntung dengan cara mengajarkan mereka bernegosiasi, menggunakan media, terlibat dalam kegiatan politik, mengerti bagaimana bekerja system, dan lainnya (Ife, 1946). Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat bersangkutan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan (Randy & Riant, 2007) Kategori kemandirian Dengan kemampuan warga komunitas berpartisipasi diharapkan komunitas dapat mencapai kemandirian, yang dapat dikategorikan sebagai kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen (Nasution, 2006). 1. Kemandirian material Tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri. Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis.

4 9 2. Kemandirian intelektual Merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. 3. Kemandirian manajemen Kemandirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka Pengertian Komunitas Komunitas ialah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest), baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai masyarakat setempat. Apabila anggotaanggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kelompok kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut komunitas (Nasdian, 2006). Dalam suatu komunitas aktifitas anggotanya dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan tersebut, dimana semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk meningkatkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pembentukan pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat mendorong timbulnya inisiatif,

5 10 sifat berswadaya, dan kegotongroyongan sehingga proses pembangunan berjalan efektif (Nasdian, 2006). Dengan demikian kuat atau lemahnya suatu komunitas dilihat dari tingkat partisipasi anggotanya terhadap suatu kegiatan/program dari pemerintah. Kesadaran mereka untuk mau ikut serta dalam pemberdayaan sangat mempengaruhi keefektifan suatu proses pembangunan. Syahyuti (2005) dalam Furqon (2009), menegaskan bahwa secara umum, komunitas (community) diartikan sekelompok orang yang hidup bersama pada lokasi yang sama sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah kelompok hidup (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan (common interest). Artinya, ada sosial relationship yang kuat di antara mereka, pada satu batasan geografis tertentu. Elemen dasar yang membentuk adalah adanya interaksi yang intensif di antara anggotanya, dibandingkan dengan orang-orang di luar batas wilayah. Ukuran derajat hubungan sosial, terkait dengan kesamaan tujuan adalah pemenuhan kebutuhan utama individu dan anggota pembentuk kelompok masyarakat Pengertian Partisipasi Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara pikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang yang telah dipilihkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak

6 11 partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebgai subjek yang sadar (Nasution, 2006) Banyak alasan dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan program atau proyek, dimungkinkan (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan (Mitchell, 1997) Tingkatan partisipasi Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menjawab sampai tingkatan mana komunitas diikutsertakan dalam program SF ini. Untuk itu peneliti akan mengukurnya melalui Delapan Tingkatan Patisipasi menurut Arnstein (1969). Tabel 1. Tingkatan Pastisipasi Tingkatan partisipasi Hakekat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan 1. Manipulasi Komite berstempel Tidak ada partisipasi 2. Terapi Pemegang kekuasaan mendidik rakyat 3. Pemberitahuan Hak-hak masyarakat dan pelihan-pilihannya diidentifikasikan 4. Konsultasi Masyarakat didengar, tetapi tidak dipakai sarannya 5. Placation Saran masyarakat diterima, tetapi tidak selalu dilaksanakan 6. Kemitraan Timbal balik dinegosiasikan 7. Pendelegasian kekuasaan Masyarakat diberikan kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program 8. Kontrol oleh masyarakat Sumber: Arnstein (1969) dalam Mitchel (2000) Tokenism Tingkatan kekuasaan masyarakat

7 Konsep Wilayah dan Masyarakat Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002) 3 Secara teoritis, masyarakat pesisir didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Sedangkan jika mengacu pada UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dimaksud dengan wilayah pesisir adalah, daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Kemudian pengertian masyarakat pesisir 3

8 13 adalah, masyarakat yang terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Masyarakat Nelayan Nelayan didefinisikan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau budidaya binatang air. Pada budidaya binatang atau tanaman air, orang yang dikategorikan sebagai nelayan adalah orang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan binatang atau tanaman air. Termasuk dalam kategori pekerjaan pemeliharaan adalah pekerjaan pembenihan, pemberian makanan ikan, pemupukan dan pemberantasan hama, pengairan tambak atau kolam ikan (Dinas Perikanan Propinsi DATI I Jawa Tengah, 1994 dalam Amir Fadhilah, 2003) Hal ini berarti bahwa orang yang membuat jaring, istri, anak serta orang tua nelayan yang tidak aktif dalam operasi penangkapan ikan tidak dimasukan dalam kategori nelayan. Orang yang bekerja pada waktu pemanenan ikan atau membajak tambak atau kolam ikan tidak dimasukan ke dalam kategori nelayan (Amir Fadhilah, 2003) Konsep Sea Farming Sea Farming (SF) yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Dengan demikian, SF pada dasarnya

9 14 merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output 4. Populasi P. Panggang Definisi Pelaku SF Lokasi Sea Farming Kesepakatan Lokal Demarcated Fishing Right Implementasi Sea Farming Community Based Agribusiness System Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat Hatchery Pendeder-1 Pendeder-2 Grower Pendeder-3 Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat Stock Enhancement Pasar Nelayan Distribusi Perdagangan Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat Gambar 2. Sistem Kelembagaan SF (PKSPL-IPB, 2006) Sub-sistem pendukung merupakan prasyarat awal pembentukan kelembagaan SF yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia faktor pendukung (supporting factors) bagi beroperasinya SF di lokasi yang dituju. Dalam subsistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demarcated fishing rights sebagai persyaratan batas sistem operasi SF secara geografis (sistem boundary). Pembentukan sistem fishing rights (FR) ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan riset partisipatif hingga mencapai kesepakatan lokal. Penentuan FR 4 Diambil dari Working Paper PKSPL IPB tentang Sea Farming, 2006

10 15 ini tidak dapat dilepaskan dari analisis kesesuaian ekosistem sebagai penyokong keberhasilan operasi SF secara teknis-ekologis. Hetchery 3 Cm 3 Cm 6 Cm 6 Cm 13 Cm 13 Cm Beackyard Hetchery di Masyarakat (Daratan/Pulau) Beackyard Hetchery di Laut (Tancap) Pen Culture Pendederan Balai Sea Farming Pembesaran Keramba Apung Restocking 16 Cm Restocking 16 Cm Gambar 3. Skema Dasar SF (PKSPL-IPB, 2006) Sub-sistem kedua adalah marikultur (budidaya kelautan) di mana kegiatan pembenihan, pendederan hingga pembesaran komoditas SF dilakukan. Subsistem ini merupakan jantung dari implementasi SF karena input dan output ekonomi SF pada dasarnya berasal dari sub-sistem marikultur ini. Agar akselerasi sub-sistem marikultur ini dapat dilakukan sesuai dengan tujuan, maka dalam subsistem ini digunakan pendekatan community-based agribusiness sistem (sistem agribisnis berbasis pada masyarakat, SABM). Dalam SABM ini, sebagian besar pelaku adalah masyarakat lokal sehingga diharapkan manfaat ekonomi langsung maupun tidak langsung dari sistem SF ini akan bermuara pada kesejahteraan

11 16 masyarakat lokal. Sebagai contoh, dengan implementasi intermediary mariculture process yang melibatkan pendeder 1, pendeder 2, dan seterusnya (lihat Gambar 2) maka alur finansial dalam bentuk perdagangan benih dapat dilakukan menggantikan sistem konvensional yang hanya terbatas pada grower (pembesaran). BALAI SEA FARMING Sea Ranching Pen culture Pen culture Wisata Bahari Pen culture Marikultur Cage culture Cage culture Stock Enhancement Penangkapan Ikan berkelanjutan PASAR Gambar 4. Simulasi SF (PKSPL-IPB, 2006) Sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output di mana komoditas SF akan diperdagangkan melalui sistem distribusi dan perdagangan yang adil antar pelaku SF dan pada saat yang sama berfungsi juga sebagai penyedia stok bagi kepentingan konservasi dan pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Fungsi konservasi ini dapat melibatkan pemerintah daerah sebagai penjamin pasar bagi pelaku SF. Dengan kata lain, pemerintah daerah membeli stok dari pelaku SF bukan untuk kepentingan komersial melainkan untuk konservasi dan pengkayaan stok alam di perairan yang sesuai.

12 Sistem Pengetahuan Lokal Mitchell (1997) menjelaskan bahwa konsep sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Masyarakat lokal atau asli dapat ditemukan di setiap daerah. Dengan definisi masyarakat lokal atau asli yang cukup beragam tetapi beberapa elemen dasar yang biasanya termasuk antara lain: a. Keturunan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat b. Sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya, dan agama yang berbeda kelompok yang lebih dominan. c. Selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat. d. Keturunan masyarakat berburu, nomadik, ladang berpindah. e. Masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambilan keputusan melalui kesepakatan serta pengelolaan sumberdaya secara kelompok 2.2. Kerangka Pemikiran Kerangka Pemahaman SF Sebelum memasuki kerangka penelitian, peneliti ingin terlebih dulu menjelaskan kerangka pemahaman peneliti terhadap proses pemberdayaan masyarakat Pulau Panggang melalui konsep SF. Secara konseptual, pemberdayaan terbagi menjadi tiga tahap yaitu, tahap penyadaran, tahap pengkapasitasan, dan tahap pemberdayaan. Pada saat penyadaran masyarakat mulai diberitahu dan disadarkan bahwa mereka perlu

13 18 diberdayakan dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan sesuatu. Tahap ini bisa melalui sosialisasi dan prinsip dsarnya adalah membuat mereka mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses itu harus dimulai dari dalam diri mereka. Setelah program disosialikan, tidak semua masyarakat menerima program tersebut ada yang akomodatif dan ada juga yang resisten. Masyarakat yang akomodatif tentunya akan mengadopsi program tersebut dan akan berlanjut ke tahap kedua. Masyarakat yang resisten bukan berarti menolak mentah-mentah program tersebut, walaupun ada kemungkinan untuk hal tersebut. Mereka mungkin hanya tidak cocok dengan beberapa metode atau tujuan yang diberikan. Ini akan menjadi masukan berupa saran dan kritikan terhadap program yang tentunya akan diperbaiki dan disosialisasikan lagi. Tahap kedua adalah pengkapasitasan atau biasa disebut capacity building. mereka diberikan bekal berupa ilmu agar mereka mempunyai kecakapan (skill) dan dapat berdaya. Cara ini bisa menggunakan pelatihan, workshop, dan seminar. Proses pengkapasitasan ini mencakup tiga hal yaitu manusia, organisasi dan sistem nilai. Pada tahap ini juga masyarakat yang telah menerima bekal akan memberikan masukan dan saran terhadap program berdasarkan pengetahuan yang mereka punya sebelumnya Terakhir adalah pendayaan atau pemberian daya. Pada tahap ini mereka diberikan daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang sesuai dengan apa yang mereka dapat pada tahap pengkapasitasan. Pada tahap ini mereka juga akan memberikan masukan dan saran berdasarkan pengalaman yang telah mereka lakukan selama penerapan program SF.

14 19 Program PKSPL (sea farming) Pengenalan/Awareness Sosialisasi Perbaikan Komunitas (masy. P. panggang) Respon Respon Akomodatif Resisten Pengkapasitasan/Capacity Building Adopsi Komunitas belajar & berkembang -manusia -organisasi -sistem nilai -pelatihan -seminar -workshop Respon Masyarakat berdaya Pemberdayaan Kemandirian Gambar 5. Kerangka Pemahaman Peneliti Terhadap SF

15 20 Secara keseluruhan proses ini adalah proses yang berulang dimana ketika PKSPL-IPB mensosialisasikan program pada awal pengenalan program akan mendapat respon berupa penolakan program dari masyarakat yang mungkin belum mengerti atau tidak memerlukan program ini. Kemudian akan ada perbaikan dan disosialisasikan lagi. Pada saat pelaksanaan pun ada masukan dari masyarakat berupa saran mengenai program Kerangka Penelitian Penerapan program SF untuk masyarakat Pulau Panggang khusus untuk pembesaran ikan kerapu merupakan proses pemberdayaan masyarakat setempat agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam arti yang lebih luas. Jika dilihat dari gambar kerangka penelitian maka ada dua aspek yang akan menjadi fokus utama yaitu aspek kemandirian warga dan partisipasi warga untuk menjadi anggota dari program SF. Alasan kenapa dua aspek tersebut yang diteliti adalah karena pemberdayaan merupakan tahap awal agar komunitas dapat berpartisipasi dalam program lebih khusus dalam proses pengmabilan keputusan yang dimaksudkan untuk menumbuhkan keandirian komunitas. Untuk aspek kemandirian, variabel yang akan diukur adalah kemandirian materi, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen. Peneliti akan melihat variable mana yang berkembang setelah masyarakat mengikuti program SF ini. Dalam pemberdayaan Sedangkan untuk aspek partisipasi akan dilihat menlalui delapan tingkat partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) dalam Mitchell (1997). Delapan tingkatan tersebut adalah manipulasi, terapi, pemberitahuan, konsultasi, placation, kemitraan, pendelegasian kekuasaan,

16 21 kontrol oleh masyarakat. Peneliti akan melihat pada level mana masyarakat ikut serta dalam program SF. Program Sea Farming Partisipasi -manipulasi -terapi -pemberitahuan -konsultasi -placation -kemitraan -pendelegasian kekuasaan -kontrol masyarakat oleh Tingkat keberdayaan peserta Kemandirian -kemandirian material -kemandirian intlektual Kemandirian manajemen Kesejahteraan Masyarakat = mempengaruhi = Batasan penelitian Gambar 6. Kerangka Penelitian Hipotesa Pengarah 1. Penerapan konsep SF mempengaruhi Partisipasi komunitas nelayan di Pulau Panggang. 2. Partisipasi komunitas terhadap penerapan dan pengembangan SF telah sampai pada tahap kemitraan dan pendelegasian kekuasaan. Diharapkan bergerak menuju kontrol oleh masyarakat.

17 22 3. Partisipasi masyarakat dalam tahap kemitraan dan pendelegasian kekuasaan telah mempengaruhi tingkat kemandirian komunitas dalam hal kemandirian material, intelektual, dan manajemen Definisi Konseptual 1. SF adalah sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata 2. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau pembudidaya ikan. 3. Pemberdayaan adalah Pemberdayaan adalah membantu komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas 4. Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara pikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. 5. Kemandirian material adalah Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. 6. Kemandirian intelektual adalah pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk

18 23 dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. 7. Kemandirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka.

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING 1 PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING (Studi Kasus Komunitas Nelayan Sea Farming Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING

VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING 7.1. Program Sea Farming sebagai Solusi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Persoalan yang timbul terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tahun 2004 di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, mulai digalakkan sea farming. Sea farming adalah sistem pemanfaatan ekosistem perairan laut berbasis marikultur dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk mendorong terjadinya perubahan yang

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti mengenai wilayah pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah sewaktu-waktu, namun ada beberapa

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 69 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini dimulai dengan pendapat Spencer dan Spencer (1993:9-10) menyatakan bahwa setiap kompetensi tampak pada individu dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan mengandung pengertian suatu perubahan besar yang meliputi perubahan fisik wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan di masa lalu telah menumbuhkan suatu kesenjangan yang besar, dimana laju pertumbuhan ekonomi tidak seimbang dengan peningkatan

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial. sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial. sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lokasi tempat tinggal suku bangsa yang terasing atau terpencil mengakibatkan akses terhadap pelayanan publik menjadi terhambat dan menjadi rendah. komunitas adat terpencil

Lebih terperinci

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT BRIEF NOTE AMERTA Social Consulting & Resourcing Jl. Pulo Asem Utara Raya A20 Rawamangun, Jakarta 132 13220 Email: amerta.association@gmail.com Fax: 62-21-4719005 MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak abad ke-18, pertumbuhan penduduk di dunia meningkat dengan tajam. Lahan lahan dengan potensi untuk dipergunakan sebagai tempat bermukim pun beragam. Besarnya

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 186 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN SOSIAL TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2015, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Le

2015, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Le No.1279, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENSOS. Pemberdayaan. Sosial. Adat. Terpencil. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPULIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas laut 3,1 juta

Lebih terperinci

Conventional vs Sustainable Tourisms WISATA KONVENSIONAL 1. Satu tujuan: Keuntungan 2. Tak terencana 3. Berorientasi pada wisatawan 4. Kontrol oleh pi

Conventional vs Sustainable Tourisms WISATA KONVENSIONAL 1. Satu tujuan: Keuntungan 2. Tak terencana 3. Berorientasi pada wisatawan 4. Kontrol oleh pi STRATEGI DAN PERENCANAAN PENGEMBANGAN WISATA PANTAI DAN LAUT (Ekowisata Berbasis Masyarakat) Ani Rahmawati, S.Pi, M.Si Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA Conventional vs Sustainable Tourisms

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat, tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : Menetapkan :

MEMUTUSKAN : Menetapkan : SALINAN BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN BUPATI BINTAN NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG DAFTAR KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DI KABUPATEN BINTAN

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd BAB IPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menjadikan sektor pertanian yang iiandal dalam menghadapi segala perubahan dan tantangan, perlu pembenahan berbagai aspek, salah satunya adalah faktor kualitas sumber

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara PEMBUKAAN PSB KOTA SURABAYA Oleh: Dr. Asmara Indahingwati, S.E., S.Pd., M.M TUJUAN PROGRAM Meningkatkan pendapatan dan Kesejahteraan masyarakat Daerah. Mempertahankan

Lebih terperinci

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN OLEH : Arif Satria Fakultas Ekologi Manusia IPB Disampaikan padalokakarya MENGARUSUTAMAKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DALAM AGENDA PEMBANGUNAN, 23 OKTOBER

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Secara grafis lokasi penelitian tersebut dapat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.157, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEJAHTERAAN. Penanganan. Fakir Miskin. Pendekatan Wilayah. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5449) PERATURAN

Lebih terperinci

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENDAMPINGAN DESA DENGAN

Lebih terperinci

PERAN MANAJER RUMAH TANGGA SEBAGAI STRATEGI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PESISIR DI KABUPATEN SITUBONDO

PERAN MANAJER RUMAH TANGGA SEBAGAI STRATEGI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PESISIR DI KABUPATEN SITUBONDO PERAN MANAJER RUMAH TANGGA SEBAGAI STRATEGI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PESISIR DI KABUPATEN SITUBONDO Setya Prihatiningtyas Dosen Program Studi Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Lebih terperinci

Dengan luas laut mencapai 2/3 dari total wilayah, Indonesia dikaruniai sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah.

Dengan luas laut mencapai 2/3 dari total wilayah, Indonesia dikaruniai sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah. Latar Belakang Dengan luas laut mencapai 2/3 dari total wilayah, Indonesia dikaruniai sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah. Sumber daya alam ini, termasuk didalamnya perikanan laut, air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena termasuk dalam Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun

BAB I PENDAHULUAN. karena termasuk dalam Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ± 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 Km dan luas laut sekitar 3.273.810 Km². Sebagai negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang dilalui garis Khatulistiwa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang dilalui garis Khatulistiwa, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang wilayahnya terdiri dari banyak pulau, oleh karena itu Indonesia disebut dengan negara kepulauan. Negara Indonesia juga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan,

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS. mengkaji program-program yang berbasis masyarakat untuk meningkatkan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS. mengkaji program-program yang berbasis masyarakat untuk meningkatkan BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Pemberdayaan Pendapat mengenai makna pemberdayaan sudah banyak dikemukakan oleh para ahli, baik dari akademisi maupun pihak lainnya. Konsep

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN MASYARAKAT (D) R. Ahmad Romadhoni Surya Putra, S.Pt., M.Sc., Ph.D. Laboratorium Komunikasi dan Pembangunan Masyarakat

PEMBANGUNAN MASYARAKAT (D) R. Ahmad Romadhoni Surya Putra, S.Pt., M.Sc., Ph.D. Laboratorium Komunikasi dan Pembangunan Masyarakat PEMBANGUNAN MASYARAKAT (D) R. Ahmad Romadhoni Surya Putra, S.Pt., M.Sc., Ph.D. Laboratorium Komunikasi dan Pembangunan Masyarakat Kontrak Belajar 1. Kontrak ini berlaku untuk kuliah selama satu semester

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG DAFTAR KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DI KABUPATEN SIDOARJO DENGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

WALIKOTA PRABUMULIH PERATURAN WALIKOTA PRABUMULIH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PRABUMULIH PERATURAN WALIKOTA PRABUMULIH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA PRABUMULIH PERATURAN WALIKOTA PRABUMULIH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG DAFTAR KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DI KOTA PRABUMULIH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Badan Keswadayaan Masyarakat ( BKM) dan fungsi BKM Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan suatu institusi/ lembaga masyarakat yang berbentuk paguyuban, dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Strategi Strategi adalah perencanaan induk yang komprehensif, yang menjelaskan bagaimana mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah

Lebih terperinci

OVERVIEW PROSES PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN (Management Plan) dan RENCANA AKSI (Action Plan)

OVERVIEW PROSES PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN (Management Plan) dan RENCANA AKSI (Action Plan) OVERVIEW PROSES PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN (Management Plan) dan RENCANA AKSI (Action Plan) YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - IPB Pelatihan

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI 1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam diduga menjadi faktor penting penyebab kerusakan lingkungan (Gumilar, 2012). Pertambahan jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN Mata Kuliah : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kode MK : M10B.111 SKS : 3 (2-1) DOSEN : Syawaludin Alisyahbana Harahap, S.Pi.,., MSc. DASAR-DASAR PENGELOLAAN PESISIR UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara sebagai satu kesatuan wilayah akan memberikan peluang dalam keterpaduan perencanaan serta pengembangan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar. mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar. mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesejahteraan adalah mengukur kualitas hidup, yang merefleksikan aspek ekonomi, sosial dan psikologis. Dalam aspek ekonomi, maka kemampuan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

Dengan luas laut mencapai 2/3 dari total wilayah, Indonesia dikaruniai sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah.

Dengan luas laut mencapai 2/3 dari total wilayah, Indonesia dikaruniai sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah. Latar Belakang Dengan luas laut mencapai 2/3 dari total wilayah, Indonesia dikaruniai sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah. Sumber daya alam ini, termasuk didalamnya perikanan laut, air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Pengembangan masyarakat merupakan suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi

Lebih terperinci

ADAPTASI NELAYAN DI PERMUKIMAN NELAYAN MUARA KARANG ADITIANATA

ADAPTASI NELAYAN DI PERMUKIMAN NELAYAN MUARA KARANG ADITIANATA ADAPTASI NELAYAN DI PERMUKIMAN NELAYAN MUARA KARANG ADITIANATA Metode Penelitian Kualitatif 1. MASALAH PENELITIAN FOKUS PENELITIAN RUANG LINGKUP PENELITIAN 2. TUJUAN PENELITIAN KERANGKA TEORI / KERANGKA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

USAHA PERIKANAN TANGKAP DAN BUDIDAYA SEBAGAI MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF

USAHA PERIKANAN TANGKAP DAN BUDIDAYA SEBAGAI MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF USAHA PERIKANAN TANGKAP DAN BUDIDAYA SEBAGAI MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF OLEH: Nama : FEMBRI SATRIA P NIM : 11.02.740 KELAS : D3-MI-01 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMASI DAN KOMPUTER

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 1. TinjauanPustaka PNPM Mandiri PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan

Lebih terperinci

Mengingat :.1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang

Mengingat :.1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR Y TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA

Lebih terperinci

54 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PNPM MANDIRI

54 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PNPM MANDIRI 54 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PNPM MANDIRI Oleh: Dhio Adenansi, Moch. Zainuddin, & Binahayati Rusyidi Email: dhioadenansi@gmail.com; mochzainuddin@yahoo.com; titi.rusyidi06@yahoo.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

Budidaya ikan sistem karamba jaring apung di Waduk Kedungombo Kabupaten Boyolali. Sutini NIM K UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

Budidaya ikan sistem karamba jaring apung di Waduk Kedungombo Kabupaten Boyolali. Sutini NIM K UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN Budidaya ikan sistem karamba jaring apung di Waduk Kedungombo Kabupaten Boyolali Sutini NIM K.5404064 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara dengan

Lebih terperinci

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Nama Unit Pelaksana : Direktorat Kelautan dan Perikanan Email :ningsih@bappenas.go.id Abstrak Wilayah pesisir dan laut Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 27 PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma baru pembangunan Indonesia lebih diorientasikan pada sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas lokal. Salah satu fokus

Lebih terperinci