SELEKSI PADI HIBRIDA TERHADAP KEKERINGAN UNTUK PENGEMBANGAN DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SELEKSI PADI HIBRIDA TERHADAP KEKERINGAN UNTUK PENGEMBANGAN DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN"

Transkripsi

1 i SELEKSI PADI HIBRIDA TERHADAP KEKERINGAN UNTUK PENGEMBANGAN DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN LA ODE AFA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 i

2 ii

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Seleksi Padi Hibrida terhadap Kekeringan untuk Pengembangan di Lahan Sawah Tadah Hujan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2013 La Ode Afa NRP. A iii

4 iv

5 ABSTRACT LA ODE AFA. Selection of Hybrid Rice to Drought for Development in Rainfed Lowland. Under supervision of: BAMBANG S. PURWOKO as chairman, AHMAD JUNAEDI, OTENG HARIDJAJA and ISWARI S DEWI as members of the advisory committee. The objective of the research was to determine method and character for early selection of rice to drought and to obtain drought tolerant hybrid rice genotypes to be used further in rainfed lowland. Experiments were conducted from April 2011 until July 2012 at Seed Science and Technology Laboratory, IPB and BB Biogen greenhouse Cimanggu, Bogor, at Babakan Experiment Station, IPB, Bogor, and at irrigated lowland, Cikembar, Sukabumi, and rainfed lowland, Gantar, Indramayu. The study consisted of seven experiments. The results showed that: (1) Polyethylene glycol (PEG) 6000 could detect and differentiate the response of hybrid rice genotypes to drought stress in both germination and seedling stage. The use of 25% PEG 6000 in the seedling stage could detect early hybrid rice genotypes tolerant to drought and have a compatibility with grouping of genotypes tolerant to drought based on yield criteria in the field. Variables of root dry weight, shoot dry weight and leaf dryness score were to detect hybrid rice genotypes tolerant to drought at seedling stage. (2) Genotypes BI485A/BP12, BI485A/BP15 and BI559A/BP15 under drought stress conditions decreased root length less ( percent) than the IR64, the sensitive check variety (33.6 percent). Their grain weight, harvest index and grain yield (2.82, 2.58 and 2.72 ton ha -1 ) were higher than other genotypes. Moreover they were earlier to harvest, shorter in grain filling period and had sensitivity index to drought Hybrid genotype tolerant to drought i.e BI599/BP15 under drought stress conditions had less stomatal density, maintained higher leaf relative water content, and contained non-structural carbohydrates in stem, sheath and leaf less than other genotypes. Genotypes BI485A/BP12, BI485A/BP15 and BI559A/BP15 were tolerant to drought and potentially could be developed for rainfed lowland; (3) The yield of these genotypes under irrigated lowland were not significantly different from those of Ciherang and Hipa 7 (i.e. 5.63, 6.87 and 6.30 ton grain ha -1, respectively). BI599A/BP15 genotypes under severe drought at rainfed lowland yielded 0.90 ton grain ha -1, whereas Hipa 7 and Limboto reached 0.34 and 0.29 ton grain ha -1, respectively. Keywords: drought, early selection, hybrid rice, polyethylene glycol, rainfed lowland v

6 vi

7 RINGKASAN LA ODE AFA. Seleksi Padi Hibrida terhadap Kekeringan untuk Pengembangan di Lahan Sawah Tadah Hujan. Dibimbing oleh BAMBANG S. PURWOKO sebagai ketua, AHMAD JUNAEDI, OTENG HARIDJAJA dan ISWARI S. DEWI sebagai anggota komisi pembimbing. Salah satu masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi beras nasional adalah meningkatnya alih fungsi lahan subur dan produktif. Peningkatan produksi dapat diarahkan ke lahan sawah tadah hujan. Di lahan sawah tadah hujan, kekeringan terjadi hampir setiap tahun akibat jumlah curah hujan yang rendah dan pendeknya musim hujan. Padi hibrida diharapkan tetap menunjukkan hasil yang lebih baik pada kondisi kekeringan dibanding varietas unggul inbrida. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah pengembangan genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan dengan potensi hasil tinggi dan berumur genjah. Genotipe tersebut diperoleh melalui serangkaian tahapan seleksi. Seleksi terhadap bahan genetik dalam jumlah besar, membutuhkan banyak biaya, tenaga dan waktu, oleh karena itu, perlu didukung metode seleksi yang efektif dan efisien. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi metode dan peubah dalam seleksi dini untuk mendapatkan genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan. Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB dan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen), Cimanggu, Bogor, pada bulan April 2011 sampai Januari Sebanyak empat set percobaan telah dilakukan. Percobaan pertama yaitu penentuan konsentrasi polietilen glikol (PEG) 6000 yang memberikan cekaman kekeringan. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas berbagai konsentrasi PEG 6000 yaitu 0% (tanpa PEG 6000), 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%. Aplikasi perlakuan dilakukan dua tahap. Perlakuan tahap pertama, menggunakan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% yang dicobakan pada varietas Situ Bagendit, Limboto, IR64 dan Inpari 10. Perlakuan tahap ke dua menggunakan konsentrasi 0%, 20%, 25% dan 30% yang dicobakan pada varietas Limboto, IR64 dan Maro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larutan PEG 6000 konsentrasi 25% atau setara 0.99 MPa yang diaplikasikan pada kecambah saat muncul radikel, merupakan konsentrasi yang cukup efektif untuk menduga toleransi padi secara dini terhadap cekaman kekeringan. Percobaan ke dua yaitu pengujian dengan 25% larutan PEG 6000 pada fase perkecambahan. Percobaan menggunakan rancangan split plot, 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan PEG 6000 yang terdiri atas tanpa PEG 6000 dan larutan PEG 6000 konsentrasi 25%. Anak petak adalah genotipe/varietas yang terdiri atas BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro, Hipa 8, IR-64 (cek peka kekeringan), Limboto (cek toleran kekeringan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ini dapat mengelompokkan genotipe BI485A/BP15, BI559A/BP15 dan varietas Hipa 8 toleran kekeringan berdasarkan karakter panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah. Percobaan ke tiga yaitu pengujian dengan 25% larutan PEG 6000 dalam kultur hara pada fase bibit. vii

8 Rancangan percobaan sama dengan percobaan ke dua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ini dapat mengelompokkan genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI559A/BP15 dan varietas Maro toleran kekeringan berdasarkan karakter bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun. Percobaan ke empat yaitu pengujian dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot. Percobaan menggunakan rancangan split plot, 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan cekaman kekeringan yang terdiri atas tanpa cekaman kekeringan dan cekaman kekeringan 60% kapasitas lapangan. Anak petak adalah 12 genotipe/varietas (sama dengan percobaan ke dua dan ke tiga). Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria hasil di pot, genotipe BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 dikelompokkan toleran kekeringan. Penelitian ke lima bertujuan mengetahui respon agronomi, morfologi dan fisiologi genotipe padi hibrida terhadap simulasi cekaman kekeringan di lahan sawah dan mendapatkan genotipe hibrida yang berpotensi dikembangkan di lahan sawah tadah hujan telah dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Riset Padi Babakan, University Farm IPB, Bogor, pada bulan Desember 2011 sampai Maret Penelitian menggunakan rancangan split plot, 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan cekaman kekeringan yang terdiri atas tanpa cekaman kekeringan dan cekaman kekeringan pada akhir fase vegetatif hingga dua minggu setelah antesis. Anak petak adalah genotipe/varietas terdiri atas genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro, Hipa 6, Hipa 7, Hipa 8, IR-64 dan Limboto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 pada kondisi cekaman kekeringan mengalami penurunan panjang akar relatif kecil ( persen) dibanding dengan varietas cek peka IR64 (33.6 persen), menghasilkan bobot gabah per rumpun, indeks panen dan daya hasil gabah per hektar (masing-masing sebesar 2.82, 2.58 dan 2.72 ton ha -1 ) yang lebih tinggi dibanding dengan genotipe lainnya. Selain itu ketiga genotipe memiliki umur panen lebih cepat, periode pengisian biji yang pendek dan memiliki indeks kepekaan terhadap kekeringan Genotipe toleran kekeringan (BI599/BP15) pada kondisi cekaman kekeringan memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah, tetap mempertahankan kadar air relatif daun yang tinggi serta memiliki kandungan karbohidrat non struktural pada batang, pelepah dan daun yang lebih rendah dibanding kontrol. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 merupakan genotipe toleran kekeringan dan potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan. Penelitian ke enam dan ke tujuh bertujuan mengetahui daya hasil pendahuluan genotipe padi hibrida toleran kekeringan di lahan sawah irigasi dan saat mengalami kekeringan di lahan sawah tadah hujan. Penelitian ini dilakukan: (i) di lahan sawah irigasi Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi, pada bulan November 2011 sampai Februari 2012 dan (ii) di lahan sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu, pada bulan April sampai Juli Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, 3 ulangan.percobaan di lahan sawah irigasi menggunakan 8 genotipe padi hibrida (BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10,BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15 dan BI665A/BP6) dan 2 varietas cek (Hipa 7 dan Ciherang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 viii

9 memiliki daya hasil menyamai varietas unggul Ciherang yaitu berturut-turut masing-masing 5.63, 6.87 dan 6.30 ton gabah ha -1. Percobaan di lahan sawah tadah hujan menggunakan 4 genotipe hibrida (BI485A/BP3, BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15) dan 3 varietas cek (Hipa 7, IR64 dan Limboto). Genotipe BI599A/BP15 pada tingkat kekeringan parah mampu menghasilkan gabah 0.90 ton ha -1, sedangkan Hipa 7 (varietas hibrida yang sudah dilepas untuk lahan sawah tadah hujan) dan Limboto (varietas cek toleran kekeringan) hanya menghasilkan masing-masing 0.34 dan 0.29 ton ha -1. Berdasarkan hasil 7 set percobaan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa PEG konsentrasi 25% pada fase bibit dapat digunakan untuk mendeteksi secara dini padi hibrida/inbrida toleran kekeringan. Peubah bobot kering akar, bobot kering tajuk dan tingkat kekeringan daun merupakan karakter untuk pendugaan padi hibrida/inbrida toleran kekeringan pada fase bibit. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 pada kondisi cekaman kekeringan mengalami penurunan panjang akar relatif kecil, daya hasil gabah per hektar yang lebih tinggi serta indeks kepekaan terhadap kekeringan Genotipe toleran kekeringan (BI599/BP15) pada kondisi cekaman kekeringan memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah, tetap mempertahankan kadar air relatif daun yang tinggi serta kandungan karbohidrat non struktural yang lebih rendah pada batang, pelepah dan daun dibanding genotipe/varietas yang peka. Genotipe ini toleran kekeringan dan potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan. Genotipe BI599A/BP15 yang diuji di lahan sawah tadah hujan pada tingkat kekeringan parah mampu menghasilkan gabah 0.90 ton ha -1, sedangkan Hipa 7 dan Limboto hanya menghasilkan masing-masing 0.34 dan 0.29 ton ha -1. Kata kunci: kekeringan, padi hibrida, polietilen glikol, sawah tadah hujan, seleksi dini ix

10 x

11 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. xi

12 xii

13 SELEKSI PADI HIBRIDA TERHADAP KEKERINGAN UNTUK PENGEMBANGAN DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN LA ODE AFA Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 xiii

14 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Iskandar Lubis, M.S. (Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB) Dr. Desta Wirnas, SP., M.Si. (Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB) Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. (Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB) Dr. Suwarno (Staf peneliti Balai Besar Penelitian Padi Muara, Bogor) xiv

15 Judul Disertasi Nama NIM : : : Seleksi Padi Hibrida terhadap Kekeringan untuk Pengembangan di Lahan Sawah Tadah Hujan La Ode Afa A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si. Anggota Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Iswari S. Dewi Anggota Mengetahui Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : 19 Desember 2012 Tanggal Lulus : xv

16 xvi

17 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwataa la atas segala Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul Seleksi Padi Hibrida terhadap Kekeringan untuk Pengembangan di Lahan Sawah Tadah Hujan. Disertasi ini membahas serangkaian penelitian yang terdiri atas beberapa topik yaitu: (1) Penentuan konsentrasi larutan PEG 6000 yang memberikan cekaman kekeringan, (2) Pengujian dengan 25% PEG 6000 pada fase perkecambahan, (3) Pengujian dengan 25% PEG 6000 dalam kultur hara pada fase bibit, (4) Pengujian dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot, (5) Respon agronomi, morfologi dan fisiologi padi hibrida terhadap cekaman kekeringan di lahan sawah, (6) Uji daya hasil pendahuluan padi hibrida toleran cekaman kekeringan di lahan sawah irigasi dan (7) Uji daya hasil pendahuluan padi hibrida toleran cekaman kekeringan di lahan sawah tadah hujan. Satu topik penelitian telah dipublikasikan pada Jurnal Agrivigor vol. 11(2): , Mei- Agustus 2012 berjudul Pendugaan Toleransi Padi Hibrida terhadap Kekeringan dengan Polyetilen Glikol (PEG) 6000, dan sebagian paper sudah dipresentasikan pada: (1) Kongres dan Simposium ISSAAS, pada tanggal 7-10 November 2011 di IPB ICC dan Kampus IPB, Bogor, Indonesia, berjudul Selection of Drought Tolerance of Hybrid Rice Using Polyethylene Glycol (PEG 6000), (2) Seminar Nasional PERIPI pada Tanggal 6-7 November 2012 di IPB ICC, Bogor, Indonesia, berjudul Uji Daya Hasil Pendahuluan Genotipe Padi Hibrida Toleran Kekeringan dan (3) Kongres dan Simposium ISSAAS, pada tanggal November 2012 di Bicol University, Legazpi City, the Phillippines, berjudul Drought Simulation Effect on Physiology and Agronomy of New Rice Hybrids. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: (1) Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc selaku ketua Komisi Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu tanpa kenal lelah memberikan motivasi dan masukan dalam penelitian dan penyelesaian disertasi ini. Dari beliau penulis belajar tentang bagaimana merangkai sebuah penelitian yang komprehensif, secara sistematis dan terukur. Beliau mengajarkan banyak hal tentang prinsip kehati-hatian, konsistensi, ketekunan dan kesabaran terhadap xvii

18 segala sesuatu untuk sebuah pencapaian yang maksimal. Beliau pula tak bosanbosannya selalu mengingatkan kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi tepat waktu; (2) Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si selaku anggota Komisi Pembimbing. Dari beliau penulis mendapatkan ide-ide pembanding dan konstruktif terkait penelitian dan penyusunan disertasi ini; (3) Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc selaku anggota Komisi Pembimbing. Dari beliau penulis mendapatkan tentang pemahaman logika berpikir yang benar, ketegasan dan disiplin; dan (4) Dr. Ir. Iswari S. Dewi juga selaku anggota Komisi Pembimbing, atas saran dan ide dalam penelitian disertasi ini. Dari beliau penulis mendapatkan bagaimana memaknai sebuah ide sehingga menjadi lebih bernilai, cara berpikir yang sistematis dan terstruktur. Dengan kecerdasan, keikhlasan, kesabaran dan keluasan wawasan ilmu pengetahuan mereka telah membuka cakrawala berpikir penulis dan memberi sumbangan pemikiran yang amat berharga pada penelitian ini. Semoga sumbangsih yang besar ini menjadi ilmu yang bermanfaat dengan amal jariah yang tak terhingga. Terima kasih kepada Dr. Ir. Iskandar Lubis, M.S dan Dr. Desta Wirnas, SP., M.Si selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S selaku Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura dan sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, dan Prof. Dr. Dadang, M.Sc selaku Wakil Dekan Fakultas Pertanian atas semua saran dan koreksi yang konstruktif. Terima kasih pula kepada Dr. Suwarno selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, Dr. Ir. Maya Melati, M.Sc selaku sekretaris Mayor Agronomi dan Hortikultura dan Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. selaku Dekan Pasca Sarjana IPB atas semua saran dan koreksi yang konstruktif. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, RI yang telah memberikan beasiswa BPPS, Rektor Universitas Haluoleo yang telah memberikan izin belajar. Kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Program Studi dan staf pengajar pada Mayor Agronomi dan Hortikultura IPB penulis menyampaikan penghargaan tinggi telah menerima penulis melanjutkan studi S3. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian xviii

19 atas pendanaan penelitian melalui hibah KKP3T (Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc sebagai ketua peneliti). Kepada kepala dan staf Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Departemen AGH, IPB atas izin dan bantuannya sehingga penelitian topik 1 dan 2 terlaksana. Kepada kepala Balai BB Biogen, Cimanggu dan staf rumah kaca, disampaikan terima kasih atas izin dan bantuannya sehingga penelitian topik 3 dan 4 terlaksana. Terima kasih penulis sampaikan kepada kepala KP Laboratorium Lapangan Riset Padi Babakan, University Farm, IPB yang telah memberikan izin dan membantu pada penelitian topik 5. Percobaan uji daya hasil pendahuluan (UDHP) di lapangan sangat terbantu oleh Bapak Nurjani di Cikembar, Sukabumi dan Bapak Warlim di Gantar, Indramayu. Penulis menyampaikan apresiasi atas terselesaikannya percobaan 6 dan 7. Penghargaan tinggi kepada Bapak Ir. H. Sutono M.Si atas peminjaman alat pengukur kadar air tanah (TRIME-TDR) dan kepada Bapak Iman dan saudara Joni atas bantuannya selama penelitian. Kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana AGH terutama AGH 2009 juga disampaikan apresiasi atas kebersamaan dan motivasinya selama studi. Tak lupa diucapkan apresiasi pula pada Forum Mahasiswa Sultra di Bogor atas kebersamaan dan motivasi selama studi. Kepada kedua orang tua Almarhum L. Waho dan Almarhumah Wa Ode Kaiya, yang telah memotivasi ananda untuk studi setinggi-tingginya, terima kasih disampaikan atas segala curahan kasih dan sayangnya yang tiada batas, Allah SWT telah memberikan tempat yang layak di sisi-nya. Terima kasih disampaikan pula kepada Paman La Ode Undalo sekeluarga, La Ode Tuna, B.Sc sekeluarga, almarhum H. La Ode Takimu, atas dukungan moril maupun materil selama ini. Kepada Ir. La Ode Faimu sekeluarga dan Adikku Wa Ode Sitti Marsinah beserta ponakan, Bapak dan Ibu Mertua Drs. Asrul Tawulo SH, M.Hum (almarhum) dan Asma Dewi serta kepada kakak dan adik ipar disampaikan terima kasih atas segala dukungan dan doanya. Akhirnya terima kasih penulis sampaikan kepada istri Megawati Asrul Tawulo S.Sos, M.Si dan anakku semata wayang Wa Ode Kaiya Reifana Insyirah atas cinta, kasih sayang, ketabahan dan dukungan doa yang telah memberi spirit ayah selama ini. xix

20 Disertasi ini dipersembahkan kepada orang-orang yang penulis cintai dan mencintai penulis. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian. Bogor, Januari 2013 La Ode Afa xx

21 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Watumela pada tanggal 22 Desember 1970, merupakan putra ke dua dari tiga bersaudara, dari Ayahanda L. Waho (Almarhum) dan Ibunda Wa Ode Kaiya (almarhumah). Penulis telah menikah dengan Megawati Asrul Tawulo, S.Sos, M.Si pada tanggal 10 November Sampai saat ini penulis baru dikaruniai satu orang anak, seorang putri bernama Wa Ode Kaiya Reifana Insyirah (Refa). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, lulus pada tahun Jenjang strata dua (S2) di Program Studi Agronomi Program Pascasarjana IPB lulus tahun Selanjutnya, penulis tahun 2009 mengikuti jenjang strata tiga (S3) pada Mayor Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai dosen pada Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara sejak tahun xxi

22 xxii

23 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL xvii DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.. xx xxii PENDAHULUAN. 1 Latar Belakang.. 1 Tujuan Umum.. 5 Tujuan Khusus.. 5 Hipotesis 5 TINJAUAN PUSTAKA. 7 Kendala Budidaya Padi Sawah Tadah Hujan 7 Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Respon Morfologi Respon Fisiologi Pemanfaatan Efek Heterosis untuk Toleransi Kekeringan Metode dan Karakter Seleksi Toleransi Kekeringan PENDUGAAN DINI TOLERANSI PADI HIBRIDA TERHADAP KEKERINGAN Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode A. Pengujian dengan Larutan Polietilen Glikol (PEG) A.1. Penentuan Konsentrasi Larutan PEG 6000 yang Memberikan Cekaman Kekeringan Waktu dan Tempat Metode Penelitian Pelaksanaan Percobaan A.2. Pengujian dengan 25% Larutan PEG 6000 pada Fase Perkecambahan Waktu dan Tempat Metode Penelitian Pelaksanaan Percobaan A.3. Pengujian dengan 25% PEG 6000 Dalam Kultur Hara pada Fase Bibit xxiii

24 Waktu dan Tempat Metode Penelitian Pelaksanaan Percobaan B. Pengujian dengan Perlakuan Cekaman Kekeringan di Pot Waktu dan Tempat Metode Penelitian Pelaksanaan Percobaan Hasil dan Pembahasan.. 43 A. Pengujian dengan Larutan Polietilen Glikol (PEG) A.1. Penentuan Konsentrasi Larutan PEG 6000 yang Memberikan Cekaman Kekeringan A.2. Pengujian dengan 25% Larutan PEG 6000 pada Fase Perkecambahan Peubah Penduga Toleransi Genotipe Padi Hibrida terhadap Kekeringan pada Fase Perkecambahan A.3. Pengujian dengan 25% PEG 6000 Dalam Kultur Hara pada Fase Bibit Peubah Penduga Toleransi Genotipe Padi Hibrida terhadap Kekeringan pada Fase Bibit B. Pengujian dengan Perlakuan Cekaman Kekeringan di Pot Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan Kadar Air Relatif Daun Klorofil.. 62 Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Komponen Hasil dan Hasil Simpulan RESPON AGRONOMI, MORFOLOGI DAN FISIOLOGI PADI HIBRIDA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DI LAHAN SAWAH Abstrak. 69 Abstract. 69 Pendahuluan Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Metode Penelitian Pelaksanaan Percobaan xxiv

25 Hasil dan Pembahasan A. Karakter Agronomi dan Morfologi pada Kondisi 75 Cekaman Kekeringan... A.1. Pertumbuhan Genotipe Padi Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan A.2. Komponen Hasil dan Hasil Padi Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan B. Karakter Fisiologi Genotipe Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan B.1. Kerapatan Stomata dan Kadar Air Relatif Daun 87 B.2. Klorofil 89 B.3. Karbohidrat Total Simpulan.. 93 UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN (UDHP) GENOTIPE PADI HIBRIDA 95 Abstrak.. 95 Abstract. 95 Pendahuluan. 96 Bahan dan Metode A. Uji Daya Hasil Pendahuluan (UDHP) di Lahan Sawah Irigasi Waktu dan Tempat Metode Penelitian Pelaksanaan Percobaan B. UDHP di Lahan Sawah Tadah Hujan Waktu dan Tempat Metode Penelitian Pelaksanaan Percobaan Hasil dan Pembahasan 100 A. UDHP di Lahan Sawah Irigasi A.1. Curah Hujan A.2. Suhu A.3. Komponen Pertumbuhan A.3.1. Tinggi Tanaman A.3.2. Jumlah Anakan Produktif A.3.3. Umur Berbunga A.3.4. Umur Panen A.4. Komponen Hasil dan Hasil A.4.1. Panjang Malai A.4.2. Jumlah Gabah Total A.4.3. Jumlah Gabah Isi. 104 A.4.4. Persentase Gabah Hampa xxv

26 A.4.5. Bobot Butir A.4.6. Bobot Gabah per Rumpun dan Daya Hasil per Hektar B. UDHP di lahan Sawah Tadah Hujan B.1. Curah Hujan B.2. Suhu B.3. Komponen Pertumbuhan B.3.1. Tinggi Tanaman. 110 B.3.2. Jumlah Anakan Produktif B.3.3. Panjang Daun Bendera B.3.4. Biomasa Total B.3.5. Umur Berbunga B.4. Komponen Hasil dan Hasil B.4.1. Panjang Malai B.4.2. Jumlah Gabah Total B.4.3. Persentase Gabah Isi B.4.4. Bobot Gabah per Rumpun Simpulan. 116 PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN UMUM DAN SARAN Simpulan Umum Saran. 130 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 147 xxvi

27 DAFTAR TABEL Halaman 1 Galur mandul jantan untuk perakitan padi hibrida Galur pemulih kesuburan (restorer) yang telah diseleksi BB padi untuk perakitan padi hibrida Indeks vigor Situ Bagendit, Inpari 10, Limboto dan IR64 pada berbagai konsentrasi larutan PEG Bobot kering kecambah Situ Bagendit, Inpari 10, Limboto dan IR64 pada berbagai konsentrasi larutan PEG Indeks vigor Maro, Limboto dan IR64 pada berbagai konsentrasi larutan PEG Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap indeks vigor dan panjang akar Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap panjang plumula dan bobot kering akar Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap bobot kering kecambah Hasil analisis komponen utama beberapa peubah fase perkecambahan pada perlakuan PEG Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap tinggi tajuk dan panjang akar Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap bobot kering akar dan tajuk Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap nisbah bobot akar tajuk (NAT) dan skor tingkat kekeringan daun (SES IRRI) Hasil analisis komponen utama beberapa peubah fase bibit pada perlakuan PEG Pengaruh cekaman kekeringan di pot dan genotipe terhadap bobot kering akar dan bobot kering tajuk Pengaruh cekaman kekeringan di pot dan genotipe terhadap jumlah gabah isi per malai Pengaruh cekaman kekeringan di pot terhadap persentase gabah hampa dan bobot 100 butir xxvii

28 17 Pengaruh cekaman kekeringan di pot dan genotipe terhadap bobot gabah per rumpun, indeks panen, indeks toleransi dan indeks kepekaan terhadap kekeringan Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan luas daun Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap panjang akar saat panen Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap bobot kering tajuk saat panen Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap bobot kering akar saat panen Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap umur panen dan periode pengisian biji Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap panjang malai, jumlah gabah isi dan bobot butir Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap persentase gabah hampa dan bobot gabah per rumpun Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap hasil gabah per hektar, indeks panen, indeks toleransi kekeringan dan indeks kepekaan kekeringan Distribusi dan frekuensi hujan selama penanaman padi hibrida di lahan sawah, Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi Rata-rata curah hujan selama pertumbuhan padi hibrida di lahan sawah irigasi, Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi Keadaan suhu selama penanaman padi hibrida di lahan sawah, Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi Komponen pertumbuhan genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah irigasi Komponen hasil dan hasil genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah irigasi Distribusi dan frekuensi hujan selama penanaman padi hibrida di lahan sawah tadah hujan, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu. 108 xxviii

29 32 Rata-rata curah hujan selama pertumbuhan padi hibrida di lahan sawah tadah hujan, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu Keadaan suhu selama penanaman padi hibrida di lahan sawah tadah hujan, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu Komponen pertumbuhan genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah tadah hujan Komponen hasil dan hasil genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah tadah hujan Genotipe toleran cekaman kekeringan berdasarkan beberapa metode pengujian Korelasi indeks vigor, panjang akar, panjang plumul, bobot kering akar, bobot kering kecambah pada perlakuan PEG 6000 dan bobot gabah per rumpun perlakuan cekaman kekeringan di pot dan simulasi kekeringan di lahan sawah Korelasi tinggi tajuk, panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, nisbah bobot akar tajuk, skor tingkat kekeringan daun fase bibit pada perlakuan PEG 6000 dan bobot gabah per rumpun perlakuan cekaman kekeringan di pot dan simulasi kekeringan di lahan sawah xxix

30 xxx

31 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan alur kegiatan penelitian Pola respon peubah panjang plumula (PP) dan panjang akar (PA) varietas Limboto (A), Inpari 10 (B), Situ Bagendit (C) dan IR64 (D) pada berbagai konsentrasi larutan PEG Dendrogram genotipe padi hibrida toleran kekeringan berdasarkan peubah panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah Penampilan daun beberapa genotipe hibrida dan varietas cek pada konsentrasi 25% larutan PEG Dendrogram genotipe padi hibrida toleran kekeringan berdasarkan peubah bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun Pengaruh cekaman kekeringan di pot terhadap kadar air relatif daun Pengaruh cekaman kekeringan di pot terhadap kandungan klorofil skor SPAD Perubahan kadar air tanah selama periode pengeringan pada kedalaman ±16 cm Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kerapatan stomata Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kadar air relatif daun Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kandungan klorofil Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap karbohidrat non struktural Kadar air tanah selama percobaan di lahan sawah tadah hujan Penampilan genotipe BI599A/BP15 (H7) dan varietas Limboto (H12) pada fase reproduktif di lahan sawah tadah hujan pada kondisi kekeringan sangat parah xxxi

32 xxxii

33 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil analisis tanah sawah Babakan Dramaga (SBD), University Farm Institut Pertanian Bogor Rekapituasi hasil analisis ragam pengaruh berbagai konsentrasi larutan polietilen glikol (PEG) Rekapituasi hasil analisis ragam pengujian dengan 25% larutan PEG Rekapituasi hasil analisis ragam pengujian dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot Perhitungan kandungan klorofil dan karbohidrat total Rekapituasi hasil analisis ragam respon agronomi, morfologi dan fisiologi padi hibrida terhadap cekaman kekeringan di lahan sawah Hasil analisis tanah sawah tadah hujan (STH) Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu Data curah hujan (mm) selama berlangsungnya penelitian di lahan sawah Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi Rekapituasi hasil analisis ragam uji daya hasil pendahuluan (UDHP) padi hibrida Data curah hujan (mm) selama berlangsungnya penelitian di lahan sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu Hasil pengamatan kadar air tanah selama penelitian di lahan sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu Data suhu udara ( 0 C) selama berlangsungnya penelitian di lahan sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu Distribusi hujan selama percobaan simulasi cekaman kekeringan di lahan sawah Frekuensi dan jumlah curah hujan bulanan selama percobaan cekaman kekeringan di lahan sawah xxxiii

34 xxxiv

35 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan salah satu bahan makanan pokok penduduk Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan per tahun 1.36% (BPS 2009), harus diikuti dengan ketersediaan beras. Ketersediaan beras dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas padi. Salah satu upaya peningkatan produktivitas padi dilakukan dengan mengembangkan varietas padi hibrida. Padi hibrida telah terbukti menghasilkan produksi yang sangat tinggi. Rata-rata potensi hasil padi hibrida dapat mencapai 11.4 t ha t ha -1 gabah kering atau 15-20% lebih tinggi dibanding varietas unggul inbrida (IR64) (Badan Litbang 2007; Villa et al. 2011). Meningkatnya kelangkaan air di bidang pertanian akibat perubahan iklim global menyebabkan sawah beririgasi dan tadah hujan sering rawan kekeringan. Cekaman kekeringan merupakan salah satu masalah yang menghambat produktivitas padi, karena pada umumnya pada keadaan kekeringan produksi lebih rendah dan umur panen lebih lama (Boyer 1992; Richards 1996; Nguyen et al. 1997; Blum 2004) dibandingkan dengan kondisi normal. Pengembangan produktivitas (intensifikasi) merupakan alternatif terbaik untuk dilakukan pada saat perluasan areal sudah semakin sulit seiring dengan berkurangnya lahan produktif di Jawa. Lahan sawah tadah hujan di Indonesia dengan luasan ± 2.1 juta ha diharapkan dapat menjadi lumbung padi ke dua nasional setelah lahan sawah irigasi. Jika produksi padi dapat ditingkatkan sebesar ± 1.0 ton ha padi inbrida, maka dari lahan sawah tadah hujan seluas ± 2.1 juta ha dapat diperoleh tambahan produksi padi ± 2.1 juta ton. Permasalahan yang dihadapi di lahan sawah tadah hujan adalah kekeringan hampir terjadi setiap tahun akibat jumlah curah hujan yang rendah dan pendeknya musim hujan (Serraj et al. 2008). Cekaman kekeringan merupakan pembatas utama produksi dan stabilitas produksi padi pada ekosistem tadah hujan (Srinivasan et al. 2008). Lingkungan tersebut memerlukan genotipe toleran yang mampu meminimalkan kehilangan hasil akibat kekeringan dan mempunyai indeks kepekaan yang kecil terhadap kekeringan. -1 dibandingkan

36 2 Kekeringan dapat menurunkan laju pertumbuhan akar, tajuk tanaman dan indeks luas daun (Perez et al. 1996; Olsson et al. 1997; Farooq et al. 2008). Menurunnya pertumbuhan akar ini akan menurunkan penyerapan hara dan air sehingga mempengaruhi proses fisiologi antara lain menurunnya fotosintesis. Hal ini dapat menurunkan pertumbuhan dan meningkatkan kehampaan gabah. Pada akhirnya kekeringan menurunkan hasil bahkan sampai menggagalkan panen (Takagi 1976; Van Dat 1986; Samaullah et al. 1996; IRRI 2002). Cekaman kekeringan pada padi dapat terjadi pada pertumbuhan awal, saat berbunga atau pengisian biji. Saat berbunga dan pengisian biji merupakan fase pertumbuhan yang peka bagi tanaman padi terhadap kekeringan. Kekeringan pada fase tersebut dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang atau tidak menghasilkan gabah (Lubis et al. 1993; Hijmans dan Serraj 2008), kehilangan produksi dapat mencapai lebih dari 75% (Venuprasad et al. 2008; Serraj et al. 2009). Salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut adalah mengembangkan varietas padi yang relatif toleran kekeringan dengan umur genjah, mempunyai peluang yang besar untuk ditanam pada daerah beriklim kering dengan periode hujan singkat. Pengembangan genotipe tanaman yang mengkonsumsi air sedikit merupakan pendekatan yang dapat memberikan harapan untuk keberlanjutan produktivitas tanaman pada daerah yang memiliki kelangkaan air (Serraj et al. 2009; Farooq et al. 2010). Padi hibrida mampu menunjukkan sifat superior (efek heterosis), terutama toleran kekeringan dengan potensi hasil tinggi dan berumur genjah. Perakitan padi hibrida sistem 3 galur yang menggunakan galur mandul jantan (GMJ) tipe Wild abortive (WA) dan Kalinga (KA) dengan galur pemulih kesuburan (R) telah menghasilkan beberapa genotipe padi hibrida yang memiliki nilai standar heterosis tinggi berdasarkan perbandingan terhadap varietas hibrida yang telah dilepas dan varietas cek (Purwoko et al. 2010). Padi hibrida mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengakumulasi bahan kering dan mentranslokasikan cadangan makanan dari batang dan helaian daun ke bagian spikelet (Villa et al. 2011). Sistem perakaran padi hibrida yang lebih kuat dan aktivitas perakarannya lebih luas, diduga akan dapat beradaptasi dengan kondisi cekaman kekeringan. Kemampuan akar untuk menyerap air pada kondisi kering menjadi ukuran dalam

37 3 mengidentifikasi galur/varietas toleran terhadap kekeringan. Sifat fisik berupa perakaran yang panjang, padat, dan diameter akar yang besar menjadi tolok ukur galur/varietas padi toleran kekeringan (Suardi 1988; Mackill et al. 1996). Perakaran yang padat dan dalam akan meningkatkan serapan air dari tanah. Perbedaan kedalaman perakaran dan penyesuaian ketersediaan air dengan fenologi tanaman merupakan faktor yang menentukan efisiensi penggunaan air (Golluscio dan Oesterheld 2007). Untuk mengetahui toleransi kekeringan dan memecahkan persoalan banyaknya galur yang akan diuji di lapangan serta kemungkinan pemanfaatan padi hibrida yang berpeluang ditanam pada sawah tadah hujan, maka perlu dicari metode pengujian yang dapat mengidentifikasi secara dini genotipe padi hibrida toleran kekeringan. Metode pengujian yang paling memberikan kesesuaian hasil dengan uji lapangan adalah metode yang tepat untuk mendeteksi secara dini toleransi genotipe tertentu terhadap kekeringan sehingga dapat mempercepat siklus seleksi dalam program perbaikan atau perakitan varietas. Penggunaan polietilen glikol (PEG) dalam pengujian toleransi benih terhadap kekeringan dengan memperhitungkan indeks kekeringan telah banyak digunakan (Bouslama dan Schapaugh 1984; Nemoto et al. 1995). Penggunaan PEG untuk uji toleransi terhadap kekeringan pada benih padi dilakukan pada tingkat tegangan air -2 dan -12 bar dilakukan di IRRI dan banyak peneliti menggunakan konsentrasi 15-20% dengan PEG PEG dengan bobot molekul 6000 telah banyak digunakan dalam melakukan penelitian pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan tanaman termasuk padi (Balch et al. 1996; Verslues et al. 2006). Selain itu, metode pengujian toleransi terhadap kekeringan yang dianggap dapat menggambarkan kondisi lapangan yang sesungguhnya adalah dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot (metode pot). Metode pot dapat memberikan informasi kehilangan air melalui evapotranspirasi selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Altman (2003) menyatakan salah satu strategi dalam pemuliaan tanaman untuk memperoleh galur-galur toleran kekeringan adalah dengan mengevaluasi adaptasi tanaman pada lokasi dan kondisi cekaman. Dengan demikian untuk melihat kesesuaian metode pengujian dini (laboratorium dan rumah kaca) dengan

38 4 uji lapangan maka pengujian genotipe toleran kekeringan dapat dilakukan dengan cara menanam langsung pada sawah tadah hujan (in situ) atau pada simulasi kekeringan di lahan sawah irigasi. Penilaian toleransi genotipe terhadap cekaman kekeringan sebaiknya dinyatakan dalam tingkat produktivitas tanaman (Passioura 1983). Beberapa peneliti menyarankan agar kuantifikasi toleransi genotipe terhadap cekaman kekeringan diukur dengan suatu ukuran yang membandingkan secara relatif antara hasil suatu genotipe pada kondisi tercekam dengan kondisi tidak tercekam kekeringan (Fischer dan Maurer 1978; Lin dan Binns 1988; Langer et al. 1999). Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan berkaitan dengan mekanisme adaptasi yang dapat dicirikan dengan perubahan-perubahan karakter baik karakter agronomi dan morfologi maupun karakter fisiologi tanaman. Perubahan karakter tersebut merupakan adaptasi yang umum dijumpai pada tanaman yang tumbuh pada cekaman kekeringan, sehingga dapat dijadikan indikator toleransi tanaman terhadap kekeringan. Tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan mempertahankan diri melalui beberapa mekanisme fisiologi yaitu: (i) penghindaran (avoidance): menjaga agar status air di dalam tanaman tidak berkurang, (ii) toleransi (tolerance): mempertahankan fungsi organ walaupun kekurangan air dan (iii) pemulihan (recovery): memperbaiki kondisi tanaman yang telah mengalami kondisi cekaman kekeringan (Blum 2004) serta (iv) melepaskan diri (escape): mempercepat fase reproduktif sebelum terjadi cekaman kekeringan (Fukai dan Cooper 1995). Penelitian tentang padi hibrida untuk sawah tadah hujan belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu perlu dipelajari metode pengujian dan respon agronomi, morfologi dan fisiologi padi hibrida terhadap cekaman kekeringan yang berpotensi dikembangkan di lahan sawah tadah hujan. Rangkaian kegiatan yang telah dilakukan untuk mengevaluasi metode dan peubah dalam seleksi dini genotipe padi hibrida toleran kekeringan serta daya hasilnya di lapangan seperti yang disajikan pada Gambar 1.

39 5 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode pengujian dan genotipe padi hibrida toleran kekeringan yang berpotensi dikembangkan di lahan sawah tadah hujan. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi metode dan peubah dalam seleksi dini untuk mendapatkan genotipe padi hibrida toleran kekeringan. 2. Mengetahui respon agronomi, morfologi dan fisiologi padi hibrida terhadap cekaman simulasi kekeringan di lahan sawah dan mendapatkan genotipe hibrida yang potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan. 3. Mengetahui daya hasil padi hibrida toleran cekaman kekeringan di lahan sawah tadah hujan. Hipótesis Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Metode seleksi toleran kekeringan di laboratorium dan rumah kaca berkorelasi positif dengan toleran kekeringan di lapangan. 2. Toleransi padi hibrida terhadap cekaman kekeringan dapat ditandai dengan karakter fisiologi dan morfologi. 3. Padi hibrida yang toleran cekaman kekeringan akan tetap berdaya hasil tinggi di lahan sawah tadah hujan.

40 6 PERCOBAAN TAHAP I Pendugaan dini toleransi padi hibrida terhadap cekaman kekeringan PERCOBAAN TAHAP II PERCOBAAN TAHAP III A. Pengujian dengan larutan PEG 6000 A.1. Penentuan konsentrasi larutan PEG 6000 yang memberikan cekaman kekeringan A.2. Pengujian dengan 25% PEG 6000 pada fase perkecambahan A.3. Pengujian dengan 25% PEG 6000 dalam kultur hara pada fase bibit B. Pengujian dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot Respon agronomi, morfologi dan fisiologi padi hibrida terhadap cekaman kekeringan di lahan sawah A. Uji daya hasil pendahuluan padi hibrida toleran cekaman kekeringan di lahan sawah irigasi B. Uji daya hasil pendahuluan padi hibrida toleran cekaman kekeringan di lahan sawah tadah hujan OUTPUT 1. Didapatkan konsentrasi PEG 6000 yang memberikan cekaman kekeringan 2. Didapatkan metode dan peubah seleksi dini 4. Diketahui respon agronomi, morfologi dan fisiologi dan didapatkan genotipe hibrida toleran kekeringan 3. Didapatkan genotipe hibrida toleran kekeringan potensi hasil tinggi Gambar 1 Bagan alur kegiatan penelitian

41 7 TINJAUAN PUSTAKA Kendala Budidaya Padi Sawah Tadah Hujan Padi dapat dibudidayakan pada berbagai kondisi agroekologi seperti sawah tadah hujan, air-dalam, pasang surut, ladang atau gogo dan sawah irigasi, hal ini tergantung pada jenis/varietas padi. Salah satu zona agroekologi yang sering ditanami padi adalah di lahan sawah tadah hujan (FAO 2004). Luas lahan sawah tadah hujan di Indonesia 2.08 juta ha (Badan Litbang 2005). Sistem produksi padi yang diterapkan adalah teknologi budidaya padi gogo rancah (gora), terutama untuk wilayah yang mempunyai 4-5 bulan basah dalam setahun. Studi yang dilakukan pada tahun 1994 tampak rata-rata hasil padi di lahan sawah tadah hujan pada musim hujan (MH) antara ton ha -1 gabah kering panen (GKP), sedangkan pada musim kemarau (MK) antara ton ha -1 GKP (Fagi 1995). Rendahnya produksi padi pada musim kemarau disebabkan oleh rendahnya tingkat ketersediaan air yang tergantung curah hujan. O Toole (2004) menyatakan padi merupakan jenis tanaman yang dikembangkan pada lingkungan semiaquatik dan secara khusus sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan dan pengaruhnya terhadap produktivitas padi sering tergantung pada banyaknya dan distribusi curah hujan dari total curah hujan musiman. Suatu kasus yang terjadi pada percobaan di IRRI (Los Banos, Philippina) selama musim hujan 2006, dimana curah hujan musiman lebih dari mm, tetapi dalam sehari terjadi hujan hanya 320 mm yang bertepatan dengan fase pembungaan menyebabkan penurunan produksi biji dan indeks panen secara tajam dibandingkan dengan kontrol irigasi (Hijmans dan Serraj 2008). Hal ini menunjukkan bahwa distribusi curah hujan dan jumlah hari hujan selama fase pertumbuhan tanaman adalah penting untuk mendukung pertumbuhan dan produksi padi sawah tadah hujan. Perkembangan tanaman padi dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu (i) fase vegetatif yang dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi malai meliputi: fase perkecambahan, pemunculan dan pertumbuhan kecambah, pembentukan anakan, anakan maksimum dan pemanjangan batang; (ii) fase reproduktif yang dimulai dari inisiasi malai sampai pembungaan meliputi: fase inisiasi malai, perkembangan malai (bunting, pemunculan malai/heading, pembungaan, polinasi

42 8 dan fertilisasi); dan (iii) fase pematangan yang dimulai dari pembungaan sampai matang penuh meliputi: fase masak susu, pengerasan, dan pematangan biji (De Datta 1981). Pada pertumbuhan awal yaitu fase vegetatif, kekurangan air dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat. Saat berbunga dan pengisian biji merupakan fase pertumbuhan yang peka bagi tanaman padi terhadap kekeringan. Kekeringan pada fase tersebut dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang atau tidak menghasilkan gabah (Lubis et al. 1993). Penurunan hasil akibat defisit air setelah fase berbunga terjadi karena penurunan jumlah gabah isi dan meningkatnya sterilitas (kehampaan) (Sikuku et al. 2010). Padi peka terhadap defisit air pada fase reproduksi (Fukai dan Lilley 1994; Pirdashti et al. 2004). Fase bunting dan antesis adalah fase yang paling sensitif (Sikuku et al. 2010). Kekeringan menyebabkan pengurangan terbesar terhadap hasil gabah ketika bertepatan dengan fase reproduksi (Cruz dan O'Toole 1984), sehingga berpengaruh terhadap stabilitas hasil (Babu dan Pathan 1996). Faktor pembatas pertumbuhan tanaman padi di lahan sawah tadah hujan lebih kompleks dibandingkan dengan lahan sawah irigasi. Kendala produksi padi di lahan sawah tadah hujan dihadapkan pada permasalahan kekeringan karena pasokan air hujan yang sulit diprediksi. Mackill et al. (1996) dan Boling et al. (2004) mengemukakan kekeringan di persemaian, kekeringan pada fase vegetatif, dan kekeringan pada fase pembungaan padi yang disebabkan oleh faktor iklim/cuaca yang tidak menentu lebih mempersulit usaha penanggulangan penurunan produksi. Lahan sawah tadah hujan dengan iklim kering dimana terjadi periode hujan singkat, jumlah dan intensitas curah hujan yang rendah, distribusi curah hujan yang tidak merata sepanjang musim, dan adanya kondisi biofisik-kimia tanah yang beragam menjadi kendala utama budidaya padi di lahan tadah hujan (Quisenberry 1982; Serraj et al. 2008). Setiap kultivar mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menghasilkan dalam kondisi cekaman kekeringan. Kehilangan hasil karena cekaman kekeringan dapat berguna dalam menilai toleransi tanaman terhadap kekeringan (Pirdashti et al. 2004). Penanaman varietas toleran kekeringan merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut (Suardi et al. 2004). Pengembangan kultivar baru dengan sifat toleransi

43 9 kekeringan dan potensi hasil tinggi untuk meningkatkan dan menstabilkan hasil panen untuk lahan tadah hujan perlu dilakukan (Sikuku et al. 2010). Perubahan iklim global yang dapat menyebabkan intensitas kejadian iklim ekstrim atau perubahan pola curah hujan yang dapat berimplikasi pada intensitas kejadian kekeringan (efek El-Nino), merupakan tantangan dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Data Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air (Ditjen PLA) Departemen Pertanian menunjukkan bencana kekeringan yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 1998, 2006 dan 2007 adalah sebagai berikut: (1) pada tahun 1998 seluas hektar yang terkena kekeringan, hektar mengalami puso (gagal panen) dan kerugian yang ditanggung sebanyak ton gabah kering panen, (2) pada tahun 2006 seluas hektar yang terkena kekeringan, hektar mengalami puso (gagal panen) dan kerugian yang ditanggung sebanyak ton gabah kering panen, dan (3) pada tahun 2007 seluas hektar yang terkena kekeringan, hektar mengalami puso (gagal panen) dan kerugian yang ditanggung sebanyak ton gabah kering panen. Fenomena El-nino menjadi ancaman serius pengembangan padi terutama padi sawah tadah hujan. Kekeringan adalah fenomena yang sering berulang dan faktor pembatas penting pada produksi padi tadah hujan di Asia, terutama curah hujan pendek yang sering terjadi ketika waktu produksi padi. Tercatat 23 juta hektar areal padi (20% dari luas areal padi) di Asia mengalami kekeringan dengan intensitas yang berbeda. Kekeringan merupakan faktor utama yang menyebabkan rendah dan tidak stabilnya produksi padi di wilayah ini (Pandey dan Bhandari 2008). Tujuh puluh persen (70%) petani padi sawah tadah hujan menghadapi masalah kekeringan pada fase reproduktif (Hijmans dan Serraj 2008) dengan penurunan produksi yang sangat parah dibandingkan dengan terjadinya kekeringan pada fase vegetatif. Kekeringan mengurangi produktivitas karena berpengaruh langsung terhadap produksi biomasa dan pembentukan biji (Atlin et al. 2008). Untuk menunjang pertumbuhan tanaman, air sangat diperlukan sebagai pelarut nutrisi dan proses fotosintesis serta menjaga keseimbangan air yang keluar melalui jaringan tanaman dan permukaan tanah melalui proses evapotranspirasi. Tanaman padi khususnya padi sawah tadah hujan membutuhkan bulan basah

44 10 secara berurutan minimal 5 bulan (dengan pelumpuran). Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan di atas 200 mm bulan -1 dan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm bulan -1. Fagi dan Las (1998) menyatakan waktu tanam optimum padi sawah bila curah hujan > 200 mm/bulan. Perubahan iklim dan degradasi sumber daya air dan lahan akibat kerusakan lingkungan hutan dan tata air menyebabkan frekuensi gelombang panas dan periode kekeringan diprediksi akan lebih sering terjadi (Luterbacher et al. 2004; Schär et al. 2004). Hal tersebut akan mengacaukan pola dan distribusi curah hujan dan merupakan ancaman serius terhadap kelangsungan pertanian khususnya lahan sawah tadah hujan di dunia termasuk Indonesia karena kekeringan. Ketepatan prediksi awal dan normalitas musim hujan sangat menentukan keberhasilan produksi padi di lahan sawah tadah hujan. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan estimasi faktor tersebut di lapangan sangat sulit ditentukan secara tepat, sebab awal musim hujan dan distribusi curah hujan pada tiap musim di suatu daerah selalu berubah-ubah. Salah satu alternatif yang mungkin dapat dikembangkan untuk mengatasi kendala tersebut adalah menanam varietas toleran kekeringan. Cekaman kekeringan pada lingkungan tertentu bervariasi keparahannya dari tahun ke tahun karena keragaman jumlah dan distribusi curah hujan. Kebutuhan air lahan sawah tadah hujan untuk mencapai kondisi jenuh bervariasi tergantung tinggi tempat dan tekstur tanah. Berdasarkan tinggi tempat, semakin tinggi tempat kondisi jenuh air akan semakin singkat, sebaliknya semakin rendah tempat kondisi jenuh air/lembab akan semakin lama. Berdasarkan tekstur tanah, semakin ringan tekstur tanah maka kondisi jenuh air akan semakin singkat, sebaliknya semakin berat tekstur tanah kondisi jenuh air akan semakin lama. Pada kondisi jenuh air padi akan tumbuh dengan baik. Jumlah kebutuhan air tanaman padi sawah untuk pertumbuhan bibit, pengolahan tanah dan untuk pertumbuhan dari transplanting sampai panen ditentukan oleh banyak faktor, yaitu tipe tanah, topografi, tingkat kekeringan, kedalaman muka air tanah, pemeliharaan tanggul, pemupukan, lamanya tanaman di lapangan, metode pengolahan tanah, dan permintaan evaporasi selama musim pertumbuhan. De Datta (1981) menyatakan bahwa pengolahan lahan semai seluas

45 m 2 (untuk kebutuhan tanam seluas 1 hektar) membutuhkan air mm dan untuk mengairi pertumbuhan tanaman semai selama 21 hari membutuhkan mm. Keperluan air dari transplanting sampai panen sebanyak mm, dengan penggunaan air 6-10 mm per hari. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman padi sawah sebagai tanaman semiaquatik membutuhkan air yang banyak untuk pertumbuhan dan produksi optimal dan efisiensi penggunaan air sangat ditentukan oleh banyak faktor. Sebanyak liter air digunakan untuk menghasilkan 1 kg gabah pada padi sawah irigasi (Al-Saeedi et al. 1999). Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Air penting bagi tanaman karena: (i) air merupakan bagian yang esensial bagi protoplasma dan membentuk persen bobot segar jaringan yang tumbuh aktif, (ii) air adalah sebagai pelarut, di dalamnya terdapat gas-gas, garam-garam dan zat-zat terlarut lainnya, yang bergerak keluar masuk sel, dari organ ke organ dalam proses transpirasi, (iii) air adalah sebagai pereaksi dalam fotosintesis dan pada berbagai proses hidrolisis dan (iv) air esensial untuk menjaga turgiditas diantaranya dalam pembesaran sel, pembukaan stomata dan menyangga bentuk (morfologi) daun-daun muda atau struktur lainnya yang berliginin sedikit. Penyebab utama keragaman hasil tanaman dari tahun ke tahun atau dari musim ke musim, terutama di daerah tropik seperti Indonesia adalah ketersediaan air, yang sangat ditentukan oleh keadaan curah hujan. Tidak stabilnya curah hujan menyebabkan tidak menentunya keadaan air tanah, sehingga tanaman sering mengalami kekeringan (Quisenberry 1982; Serraj et al. 2008). Kekeringan dapat didefinisikan menurut perspektif meteorologi, hidrologi dan pertanian. Menurut perspektif meteorologi kekeringan didefinisikan sebagai kurangnya curah hujan dari rata-rata curah hujan normal pada suatu periode waktu tertentu. Kekeringan menurut perspektif hidrologi, merupakan keadaan ketika jumlah air yang tersedia lebih sedikit dibandingkan jumlah air yang dibutuhkan. Di bidang pertanian, definisi kekeringan adalah jumlah air yang tidak mencukupi untuk pertumbuhan optimal tanaman pertanian (Wilhite dan Glantz 1985; Jodo 1995); atau kekeringan terjadi ketika kadar air tanah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman (evapotranspirasi) menyebabkan kehilangan produksi. Hal

46 12 ini tergantung pada ketepatan waktu, lama dan keparahan yang dapat mendatangkan bencana kronis atau cekaman kekeringan inherent yang akan membutuhkan perbedaan mekanisme untuk mengatasinya, strategi adaptasi dan tujuan pemuliaan tanaman (Serraj et al. 2008). Kekeringan merupakan kendala lingkungan yang besar pada tanaman yang dibudidayakan karena mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman (Breda et al. 2006; Galle dan Feller 2007). Pada kondisi kekeringan, tanaman harus mampu mempertahankan diri melalui beberapa mekanisme adaptasi dan toleransi serta kemampuan untuk pulih setelah cekaman kekeringan terjadi. Diketahui bahwa akar tanaman merupakan organ yang pertama kali merasakan kurangnya ketersediaan air, kemudian mengirimkan signal hidraulik dan/atau kimia ke pucuk yang menimbulkan beberapa respon adaptif diantaranya penutupan stomata, penurunan luas daun dan pertukaran gas (Tardieu dan Davies 1993). Berdasarkan hubungan antara respon tanaman terhadap defisit air tanah dapat dijelaskan kekhasan hubungan tersebut sebagai suatu urutan dari tiga fase secara berturut-turut terhadap dehidrasi air tanah. Fase I terjadi sebelum mencapai nilai ambang batas, dimana air masih tersedia bebas dari tanah dan transpirasi tidak dibatasi oleh ketersediaan air tanah. Fase II dimulai ketika ketersediaan air tanaman mencapai nilai ambang batas dan laju serapan air tidak sebanyak laju transpirasi potensial. Pada fase tersebut terjadi penurunan konduktansi stomata, pembatasan laju transpirasi pada level yang sama dengan serapan air tanah, yang menyebabkan pemeliharaan keseimbangan status air tanaman. Fase III tercapai dimana tanaman tidak mampu lebih lama lagi membatasi transpirasi melalui konduktansi stomata, pada tanaman toleran mungkin lebih menggunakan mekanisme yang lain untuk adaptasi kekeringan sehingga terus hidup. Diakhir fase I atau awal fase II selama kekeringan, semua proses utama berkontribusi terhadap penghambatan produksi tanaman, termasuk perluasan daun, laju fotosintesis dan pertumbuhan (Serraj et al. 1999). Pada akhir fase II, proses fisiologis dalam mendukung pertumbuhan efektivitasnya mencapai nol dan tidak terjadi pertumbuhan lebih lanjut pada tanaman. Pada fase III proses fisiologis umumnya difokuskan untuk bertahan, yang secara umum melibatkan mekanisme pengaturan osmotik (Serraj dan Sinclair 2002). Peningkatan produksi

47 13 tanaman dan produktivitas air pada kondisi kekeringan membutuhkan optimalisasi proses fisiologi yang terlibat pada fase-fase kritis (utamanya fase II) (Serraj et al. 2008). Tanaman dalam menghadapi kondisi cekaman kekeringan mengembangkan strategi yang berbeda sehingga dikenal kelompok tanaman toleran dan tanaman peka terhadap cekaman lingkungan kekeringan. Tanaman yang memiliki daya adaptasi yang baik (toleran) akan mampu tumbuh dan berproduksi pada lingkungan ekstrim atau tercekam kekeringan meskipun mengalami penurunan produksi (Sikuku et al. 2010). Tanaman yang tidak memiliki daya adaptasi yang baik (peka) akan mengalami hambatan pertumbuhan atau gagal panen atau kematian, yang sangat tergantung pada kapan terjadinya cekaman kekeringan selama periode tumbuh tanaman tersebut (Gunes et al. 2008). Kekeringan dalam waktu singkat yang bertepatan dengan fase pembungaan tanaman menyebabkan penurunan produksi gabah dan indeks panen secara drastis dibanding kontrol (Hijmans dan Serraj 2008). Cekaman kekeringan pada fase sebelum dan setelah antesis mengurangi bobot kering tanaman dan respon tanaman pada awal dan akhir cekaman kekeringan nyata bervariasi. Pengurangan produksi bahan kering kultivar chickpea pada cekaman kekeringan lebih parah berpengaruh pada fase setelah antesis, kemudian fase sebelum antesis (Gunes et al. 2008). Kesuburan serbuk sari (pollen) pada gandum dan eksersi malai serta pecahnya anter pada padi sangat dipengaruhi kekeringan ketika cekaman kekeringan terjadi pada fase reproduksi. Namun ketika cekaman kekeringan dilakukan pada fase vegetatif, gandum tidak terlalu terpengaruh kekeringan dibandingkan padi (Praba et al. 2009). Tingkat cekaman kekeringan sangat tergantung pada waktu dan lamanya cekaman kekeringan (Serraj et al. 2008). Kekeringan menyebabkan kehilangan produksi tanaman dapat melebihi kehilangan produksi dari semua penyebab lainnya, karena tingkat keparahan dan lama cekaman merupakan hal yang kritis (Farooq et al. 2008). Mitra (2001) menyatakan mekanisme yang digunakan tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu melepaskan diri dari kekeringan (drought escape), menghindari kekeringan (drought avoidance) dan mentoleransi kekeringan (drought tolerance). Namun,

48 14 tanaman budidaya dapat menggunakan lebih dari satu mekanisme pada waktu mengatasi kekeringan. Drought escape didefinisikan sebagai kemampuan tanaman untuk melengkapi siklus hidupnya sebelum tanah dan tanaman mengalami defisit air yang parah. Mekanisme ini melibatkan perkembangan fenologi yang cepat (pembungaan lebih awal dan pemasakan lebih awal) dan remobilisasi asimilat praantesis. Drought avoidance adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan relatif tinggi meskipun kekurangan kadar air tanah. Tanaman mengembangkan strategi untuk memelihara turgor dengan meningkatkan kedalaman akar atau mengembangkan sistem akar yang efisien untuk memaksimalkan penyerapan air, dan mengurangi kehilangan air melalui pengurangan konduktansi epidermis (stomata dan lenticular), mengurangi radiasi yang diabsorbsi dengan menggulung atau melipat daun dan mengurangi evapotransporasi permukaan daun (luas daun). Mekanisme drought tolerance adalah kemampuan sel-sel jaringan tanaman untuk tetap hidup dan berfungsi meskipun kandungan air dalam jaringan berkurang atau dalam keadaan kekeringan, dimana tanaman mempertahankan turgor dengan pengaturan osmotik untuk menginduksi akumulasi solut dalam sel sehingga elastisitas sel meningkat (Pugnaire et al. 1999; Mitra 2001; De Datta 2002). Adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan harus mencerminkan keseimbangan antara mekanisme melepaskan diri dari kekeringan (escape), penghindaran dan toleransi dengan tetap menjaga produktivitas tanaman. Respon tanaman untuk bertahan di bawah kondisi defisit air melalui serangkaian proses morfologi, fisiologis, selular dan molekuler yang berpuncak pada toleransi cekaman (Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki 2007). Proses-proses tersebut meliputi perubahan pada pertumbuhan tanaman, mengecilnya volume sel, penurunan luas daun, peningkatan rasio akar-tajuk, sensitivitas stomata, berkuranganya kerapatan stomata. Hal tersebut berimplikasi pada penurunan laju fotosintesis, perubahan akumulasi senyawa osmotik terlarut dan aktivitas enzim serta ekspresi gen (Kramer 1980; Mullet dan Whitsit 1996, Navarri-Izo dan Rascio 1999; Pugnaire et al. 1999). Kelompok tanaman toleran memiliki strategi

49 15 adaptasi dan mekanisme respon yang berbeda baik secara morfologi maupun fisiologi. Respon Morfologi Mekanisme penghindaran dari kekeringan (avoidance) dengan mengurangi kehilangan air banyak berhubungan dengan respon secara morfologi misalnya perubahan struktural stomata dan mengurangi luas daun, meningkatkan ketebalan daun, pertumbuhan akar yang lebih dalam dan perubahan ketebalan lilin daun (Galle dan Feller 2007; Agbicodo et al. 2009). Cekaman kekeringan cenderung meningkatkan panjang perakaran tanaman dan rasio akar tajuk (Farooq et al. 2008). Hal tersebut berkaitan dengan upaya tanaman dalam mencapai lapisan tanah yang lebih dalam, karena pada umumnya lapisan yang lebih dalam memiliki kelembaban yang lebih besar dibandingkan dengan tanah yang ada di lapisan atas (Breseghello et al. 2008). Kemampuan tanaman untuk mempertahankan pertumbuhan akar sangat penting dalam mempertahankan penyerapan air dan hara dalam keadaan cekaman kekeringan (Hamim et al. 2008). Perubahan arsitektur akar karena kekeringan tergantung genotipe. Bentuk dan kedalaman akar sangat bervariasi antar kultivar (Price et al. 1997; Venuprasad et al. 2002) tetapi beberapa kultivar padi gogo sangat sensitif terhadap kondisi tanah kering pada fase pembungaan (Atlin et al. 2008). Beberapa kultivar menunjukkan densitas akar yang sama pada perlakuan cekaman dan tanpa cekaman, sedangkan perubahan arsitektur akar yang lain memproduksi akar yang sangat dalam, ketika cekaman kekeringan terjadi (Breseghello et al. 2008). Sistem akar memainkan peranan penting untuk tanaman dalam memperoleh air dan merupakan komponen penting dalam toleransi terhadap cekaman defisit air. Pertumbuhan pemanjangan akar berhubungan dengan pengaturan potensial osmotik (Sharp et al. 2004). Pada padi, beberapa kelompok telah menunjukkan pentingnya komponen perakaran tertentu yang memberikan kontribusi terhadap hasil yang lebih tinggi dalam lingkungan kekurangan air dan mengidentifikasi QTL yang sesuai untuk sifat toleransi terhadap kekeringan (Bruce et al. 2002). Pada kondisi cekaman kekeringan kehilangan air daun yang rendah, menceminkan transpirasi residual rendah, ini mungkin akibat adanya lilin daun.

50 16 Fungsi penting lilin daun adalah untuk meningkatkan efisiensi stomata mengontrol pengurangan kehilangan air setelah stomata menutup (Clarke dan Richards 1988). Sebagai respon terhadap cekaman kekeringan, deposisi lilin epikutikular dimulai beberapa hari sebelum cekaman kekeringan parah terjadi dan tanaman toleran sering memiliki lilin daun lebih tebal dibandingkan tanaman peka (Shepherd dan Griffiths 2006). Kombinasi lilin daun dan sudut daun (ketegakan) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan radiasi. Lilin meningkatkan reflektansi radiasi, dan dengan demikian mengurangi suhu daun dan spikelet, meningkatkan kelangsungan hidup daun dan floret (Richards et al. 1986). Kultivar gandum toleran kekeringan RAC875 menunjukkan kadar klorofil lebih tinggi, lilin daun yang lebih banyak, luas daun bendera yang lebih kecil, dan daun lebih tebal dibandingkan dengan Kukri dan Excalibur. Kandungan klorofil yang tinggi dalam RAC875 merupakan refleksi ketebalan daun pada kultivar tersebut. Tebal daun akan memiliki kerapatan kloroplas yang lebih tinggi per satuan luas, dan karena itu kadar klorofil tinggi per satuan luas daun (Araus et al. 1986). Excalibur, di sisi lain, menunjukkan daun lebih menggulung, lilin daun moderat, mempertahankan daun lebih hijau sama seperti RAC875, luas daun yang lebih besar, dan daun kurang tebal. Kedua kultivar toleran kekeringan memiliki kehilangan air daun lebih rendah, mencerminkan transpirasi residual lebih rendah. Pengurangan luas daun dalam jangka pendek memiliki peran yang mirip dengan penutupan stomata, yang memungkinkan tanaman untuk menghindari kerusakan potensial air daun dengan mengurangi aliran air melalui permukaan daun. Membatasi pembukaan stomata mungkin disebabkan oleh kekeringan yang menginduksi perubahan pada tingkatan mesofil/kloroplas atau perubahan morfologi pada tempat stomata. Perubahan tersebut dapat berupa penghambatan jalur difusi disebabkan oleh perubahan pada tempat stomata (adanya lilin pada pinggir kutikular) (Galle dan Feller 2007). Dalam jangka panjang, pengurangan luas daun dapat menyimpan air tanah untuk tahap perkembangan tanaman berikutnya melalui pengurangan transpirasi (Tardieu 2005). Penggulungan daun yang tinggi pada Excalibur dapat mengurangi luas daun yang efektif menyebabkan berkurangnya intersepsi radiasi sehingga mengurangi transpirasi pada kondisi cekaman air (Loss dan Siddique

51 ). Penggulungan daun adalah sifat sekunder yang dimiliki oleh tanaman untuk karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan (Bänziger et al. 2000). Tingkat toleransi cekaman kekeringan berbeda antar kultivar. Pada kondisi defisit air yang meningkat pertumbuhan tanaman dicegah sehingga ukuran berbagai bagian tumbuhan berkurang. Kultivar gandum yang toleran juga memelihara kesuburan serbuk sari yang lebih tinggi sedangkan padi toleran memiliki kesuburan spikelet tinggi. Sensitivitas terbesar hasil gandum terhadap cekaman kekeringan terjadi pada tahap awal pengembangan spikelet, sekitar 5 hari setelah penyerbukan. Pada padi, sensitivitas terbesar terjadi tak lama setelah heading (Praba et al. 2009). Defisit air menurunkan hasil padi karena menurunkan jumlah anakan, panjang malai dan persentase gabah isi. Selain itu, defisit air mempengaruhi umur panen dan hasil gabah karena terjadi penurunan jumlah anakan, panjang malai dan persentase gabah isi (Sikuku et al. 2010). Respon Fisiologi Cekaman kekeringan akan menyebabkan adanya perubahan pada proses fisiologi seperti pada pembelahan sel, sintesis protein dan fotosintesis (Mitra 2001; Altman 2003; Zulkarnain et al. 2009). Defisit air menurunkan konduktansi stomata dan kadar air relatif. Sementara aktivitas peroksidase dan akumulasi prolin meningkat pada padi dengan perlakuan cekaman kekeringan (Zulkarnain et al. 2009). Hamim et al. (2008) menyatakan kekeringan menyebabkan penurunan kadar air relatif hingga kurang dari 43%, sedangkan kadar air relatif tanaman kontrol mendekati 80%. Praba et al. (2009) menyatakan mekanisme toleransi yang membedakan kultivar toleran dan peka pada gandum dan padi adalah pengaturan konduktansi stomata dan pemeliharaan status air daun. Kadar air relatif daun merupakan ukuran dari adaptasi terhadap cekaman kekeringan dan perkiraan osmotic adjustment, yang dianggap sebagai salah satu mekanisme paling penting untuk adaptasi terhadap lingkungan tanaman dengan air yang terbatas (Jain dan Chattopadhyay 2010). Selama perlakuan cekaman kekeringan pada kacang tunggak cultivar PUSABGD72 dan ICCV2 menunjukkan adanya peningkatan kadar air relatif daun setelah 3 hari perlakuan cekaman kekeringan. Hal ini terjadi akibat peningkatan transportasi air dari kompartemen

52 18 lain dari tanaman ke daun untuk menjaga turgor, atau mungkin hasil dari penyesuaian osmotik akibat peningkatan sintesis osmolit. Setelah peningkatan awal ini, kadar air relatif daun pada kedua kultivar tersebut menunjukkan penurunan yang tajam sampai dengan akhir perlakuan (12 hari). Namun, pada akhir perlakuan kadar air relatif daun PUSABGD72 10% lebih tinggi dari ICCV2 (Jain dan Chattopadhyay 2010). Penutupan stomata tidak selalu berhubungan dengan setiap perubahan kadar air relatif. Kacang tunggak kultivar EPACE-1 menunjukkan respon awal stomata terhadap penipisan air substrat tidak dipicu oleh perubahan kadar air daun. Oleh karena itu, hanya dengan perubahan kadar air relatif saja, tidak dapat digunakan sebagai suatu indikator kekeringan untuk sebagian spesies tanaman. Komunikasi akar daun, tidak tergantung status air daun yang menginformasikan pucuk tentang perubahan di zona akar tetapi juga ditentukan oleh faktor lainnya (Agbicodo et al. 2009). Gunes et al. (2008) menyatakan bahwa kultivar toleran kekeringan memiliki kadar air relatif daun, asam askorbat dan konsentrasi prolin tinggi, tetapi permeabilitas membran rendah dibandingkan dengan kultivar peka kekeringan. Tanaman juga memiliki mekanisme untuk menghadapi cekaman kekeringan dengan mengakumulasi senyawa osmoprotektan dan larutan yang sesuai seperti prolin. Prolin dapat berinteraksi dengan sistem membran, mengatur keseimbangan keasaman sitosol dengan mengatur perbandingan NADH/NAD+, berfungsi sebagai sumber energi dan membantu sel untuk menghadapi cekaman oksidatif. Oleh karena hal tersebut di atas, prolin disebut sebagai osmoprotektan (Konstantinova et al. 2002). Peningkatan prolin pada umumnya terjadi pada saat cekaman berat, yaitu 12 dan 14 hari setelah cekaman kekeringan pada tanaman kedelai (Hamim et al. 2008). Tingginya kandungan prolin pada umumnya berbanding lurus dengan tingkat cekaman kekeringan yang ditunjukkan oleh penurunan potensial air (Iannucci et al. 2002). Akumulasi prolin pada tanaman memiliki efek positif pada kadar air relatif tanaman. Kadar air relatif tinggi dapat dihasilkan dari proses osmoregulasi, seperti asam amino bebas, termasuk prolin, atau gula sering terakumulasi dalam tanaman karena cekaman kekeringan (Franca et al. 2000).

53 19 Prolin adalah salah satu indikator respon adaptif terhadap cekaman kekeringan (Yoshiba et al. 1997; Jain dan Chattopadhyay 2010). Prolin dan kadar ABA pada kacang tunggak kultivar PUSABGD72 dan ICCV2 meningkat setelah 3 hari perlakuan cekaman kekeringan dan akumulasi prolin sangat tinggi pada kultivar PUSABGD72 dibanding ICCV2, 12 hari setelah perlakuan cekaman kekeringan (Gunes et al. 2008; Jain dan Chattopadhyay 2010). Toleransi tanaman pada cekaman kekeringan dapat dilihat dari daya pemulihan (recovery), yaitu terjadinya laju pertumbuhan yang cepat segera setelah cekaman kekeringan terhenti (Chang et al. 1972). Genotipe dengan daya pemulihan baik, memiliki rangsangan pertumbuhan lebih cepat dibanding genotipe kontrol, karena terdapat zat prolin sebagai sumber energi untuk pertumbuhan setelah cekaman kekeringan dihentikan. Kultivar gandum Excalibur dan RAC875 toleran kekeringan mengadopsi perbedaan sifat secara morfologi dan mekanisme fisiologi untuk mengurangi cekaman kekeringan. Excalibur paling responsif terhadap tingkat ketersediaan air dan menunjukkan tingkat pengaturan osmotik tinggi, konduktansi stomata tinggi, kadar ABA terrendah, dan pemulihan lebih cepat pada perlakuan cekaman kekeringan. RAC875 lebih konservatif dan terkendali, dengan pengaturan osmotik moderat, lilin (waxiness) daun tinggi, kandungan klorofil tinggi, dan pemulihan lebih lambat akibat cekaman kekeringan. Pengaturan osmotik, di samping untuk menjaga turgor dan mempertahankan fungsi selular untuk waktu yang lama pada kondisi kekeringan, memungkinkan tanaman untuk pulih lebih cepat akibat cekaman kekeringan (Izanloo et al. 2008). Perbedaan kemampuan pengaturan osmotik pada tanaman berkontribusi untuk menjaga produktivitas tanaman pada cekaman kekeringan (Morgan 1980; Blum et al. 1999). Pada bunga mekar (anthesis), sel-sel polen selama meiosis lebih peka terhadap cekaman air, dan defisit air selama fase tersebut secara signifikan mengurangi pembentukan biji sebagai akibat sterilitas serbuk sari (Saini dan Aspinall 1982). Kapasitas untuk menyesuaikan secara osmotik dapat meningkatkan fertilitas spikelet karena perkembangan serbuk sari (pollen) yang dapat berlangsung baik. Pada cekaman kekeringan parah, tanaman dengan kemampuan untuk menyesuaikan secara osmotik dapat mempertahankan turgor

54 20 ketika potensial air daun berkurang (Morgan 1980). Pinter dan Kalman (1978) menyatakan pengaturan osmotik disebabkan oleh peningkatan akumulasi bahan larut misalnya asam amino prolin dan asparagin sehingga mampu menjaga turgor tanaman. Morgan dan Condon (1986) menemukan hubungan positif antara pembentukan benih (seed set) dan pemeliharaan turgor dan menyimpulkan bahwa genotipe dengan pemeliharaan turgor rendah menghasilkan sedikit benih. Cekaman kekeringan menyebabkan tanaman mengalami penurunan laju fotosintesis akibat penurunan konduktansi stomata (Morison dan Lawlor 1999; Hamim 2005). Selain hal tersebut, kekeringan yang berat dapat mengakibatkan kerusakan langsung dari perangkat-perangkat fotosintesis seperti fotosistem I dan II (PSI dan PSII) (Genty et al. 1987; Colom dan Vazzana 2003; Subrahmanyam et al. 2006). Salah satu penyebab kerusakan tanaman pada kondisi kekeringan ialah terjadinya cekaman oksidatif yang disebabkan terakumulasinya senyawa Reactive Oxygen Species (ROS) seperti singlet oksigen (O 2 ), hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), superoksida (O 2 ) dan hidroksil radikal (OH) (Prochazkova et al. 2001). Radikal tersebut dapat menyebabkan kerusakan melalui beberapa cara yaitu memutus ikatan rantai protein, merusak membran lemak dan bereaksi dengan DNA sehingga menyebabkan mutasi sel (Sgherri dan Nazari-Izzo 1995). Tanaman memiliki mekanisme untuk meningkatkan ketahanannya dalam mengatasi terjadinya cekaman oksidatif. Mekanisme tersebut diantaranya dengan meningkatkan aktifitas enzim antioksidan seperti Glutathion Peroxidase (GPX), dan Superoxide Dismutase (SOD), serta senyawa antioksidan lainnya yang dapat menyelamatkan tanaman dari ROS (Jiang dan Huang 2001). Kerusakan cekaman oksidatif terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan pada kemampuan enzim antioksidan toksifikasi ROS di dalam tanaman (Rodriguez et al. 2002). Izumi dan Schroeder (2004) menyatakan tanaman transgenik yang memiliki banyak kandungan SOD memiliki ketahanan yang lebih baik pada berbagai kondisi cekaman yang dihadapinya. Walaupun demikian nilai dari aktivitas enzim antioksidan pada beberapa tumbuhan masih relatif beragam responsnya terhadap cekaman oksidatif. Terzi et al. (2010) menyatakan kultivar kacang tunggak yang berbeda memiliki efisiensi fotokimia dan penggunaan enzim antioksidan yang berbeda untuk jenis ROS.

55 21 Bosch dan Alegre (2002) menunjukkan bahwa selain terjadi peningkatan aktivitas enzim antioksidan, tanaman juga mengakumulasi metabolit seperti askorbat dan α-tokoferol yang berfungsi untuk mengatur tingkat keaktifan oksigen pada jaringan tanaman. Beberapa mekanisme lain yang sudah umum diketahui ketika terjadi cekaman kekeringan pada tanaman antara lain ialah tanaman akan melakukan pengaturan osmotik dengan mengakumulasi senyawa organik diantaranya glisin betain atau sukrosa dan juga mengakumulasi ion anorganik dari tanah berupa K +, Cl - atau Na + di dalam sel (Taiz dan Zeiger 2002). Lin dan Wang (2002) juga menyatakan bahwa tiap genotipe tanaman memiliki keseimbangan yang berbeda antara ROS dan antioksidan. Kekeringan memicu produksi hormon asam absisat (ABA), yang menyebabkan penutupan stomata dan menginduksi ekspresi gen yang terkait dengan cekaman (Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki 2007). Sel penjaga (guard sel) mengintegrasikan sinyal tingkat ketersediaan air dan CO 2, hormon, cahaya dan kondisi lingkungan lainnya, untuk mengatur ukuran apertur stomata. Hormon ABA adalah antitranspirant endogen yang mengurangi laju kehilangan air melalui pori-pori stomata pada epidermis daun. Peningkatan biosintesis ABA terjadi sebagai respon terhadap kekurangan air, yang menyebabkan redistribusi intraseluler dan akumulasi ABA dalam sel penjaga. Peningkatan kadar ABA menyebabkan efluks ion, hilangnya turgor sel penjaga, dan penutupan pori stomata (Bray 1997; Schroeder et al. 2001). Kelebihan energi eksitasi dari konversi energi cahaya menjadi energi kimia adalah sumber generasi ROS dalam sel penjaga. Oleh karena itu kloroplas tidak hanya memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga merupakan sensor informasi lingkungan, dan sinyal redoks kloroplas memungkinkan tanaman untuk membiasakan diri dengan cekaman lingkungan (Pfannschmidt 2003). Pemanfaatan Efek Heterosis untuk Toleransi Kekeringan Penggunaan dasar-dasar genetika akan sangat membantu dalam peningkatan toleransi kekeringan pada tanaman padi (Babu dan Pathan 1996). Padi hibrida cenderung lebih unggul dalam mentolerir kekeringan (Tian et al. 1980). Keragaan

56 22 tanaman hibrida F 1 tergantung pada pemilihan tetua yang akan memberikan hibrida heterotik. Heterosis (hybrid vigor) pada padi menunjukkan superioritas hibrida (F1) dibandingkan tetua pembentuknya dalam hal kejaguran pertumbuhan (growth vigor), vitalitas, kapasitas reproduktif, ketahanan terhadap cekaman biotik dan ketoleranan terhadap cekaman abiotik, adaptabilitas, hasil biji serta karakteristik lain (Yuan et al. 2003; Virmani dan Kumar 2004). Secara substansial terdapat variasi genetik di dalam Oryza sativa untuk sifat toleransi terhadap kekeringan. Beberapa varietas sangat toleran pada cekaman jangka pendek sekitar pembungaan, sebaliknya pada varietas lain dengan jelas mengurangi pembentukan benih dan indeks panen (Atlin et al. 2008). Pengembangan padi hibrida yang sesuai dengan kondisi Indonesia adalah sistem tiga galur yang memerlukan mandul jantan sitoplasmik (CMS/GMJ/galur A), galur pelestari (galur B) dan pemulih kesuburan (galur R) (Virmani et al. 1997). Populasi padi hibrida F1 sebagai materi genetik untuk pengujian seleksi toleransi kekeringan dari persilangan dua jenis Galur mandul jantan steril sitoplasmik (GMJ) dengan 15 galur pemulih kesuburan (restorer/r) (Purwoko et al. 2010). GMJ tersebut adalah mandul jantan tipe Wild abortive (WA) dan Kalinga (KA) beserta galur pelestari pasangan masing-masing yang telah mempunyai sterilitas 100%, karakter agronomis dan morfologi bunga yang mendukung penyerbukan silang, serta tahan terhadap hawar daun bakteri (Tabel 1). Galur mandul jantan merupakan kunci utama dalam perakitan padi hibrida sistem 3 galur. Tabel 1 Galur mandul jantan untuk perakitan padi hibrida No. Tipe GMJ Karakter GMJ 1. Wild abortive (WA) (BI485 dan BI 599) 100 % steril, umur genjah, tahan HDB strain III dan IV 2. Kalinga (KA) (BI665) Sumber: Purwoko et al. (2010) dan Rumanti (2012) 100 % steril, sangat tahan HDB strain III, tahan HDB strain IV Lima belas galur pemulih kesuburan (R) dengan berbagai karakter unggul, yaitu antara lain mempunyai jumlah pollen banyak, umur genjah, tahan kekeringan,

57 23 tahan terhadap hama wereng batang coklat, atau penyakit hawar daun bakteri (Tabel 2). Tabel 2 Galur pemulih kesuburan (restorer) yang telah diseleksi BB padi untuk perakitan padi hibrida No. Galur Restorer Karakter restorer 1. IR53942 Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik 2. S4124F Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, pulen, tahan HDB 3. BP51-1 Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, kualitas gabah baik 4. BP1028F Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, agak toleran kering 5. BH25B-MR-2-2-B Genjah, Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik 6. R42 Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, kualitas gabah baik 7. BP2274-3E-4-1 Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, tahan WBC 8. CRS 39 (BP2510E-5-3-1) Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, tahan WBC 9. CRS 8 (BP2276-5E-28-2) Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, tahan WBC 10. CRS 9 (BP2278-2E-17-1) Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, tahan WBC 11. SMD9C-7 Toleran kekeringan, umur panen 90 HST 12. SMD10C-6 Toleran kekeringan, umur panen 86 HST 13. SMD11C-12 Toleran kekeringan, umur panen 88 HST 14. SMD12C-9 Toleran kekeringan, umur panen 89 HST 15. SMD13C-6 Toleran kekeringan, umur panen 90 HST Sumber: Purwoko et al. (2010) Indonesia telah berhasil mengembangkan padi hibrida (Suwarno et al. 2003). Sasaran utama dari program penelitian padi hibrida adalah merakit varietas padi hibrida yang adaptif terhadap kondisi lingkungan tumbuh di Indonesia dengan nilai heterosis daya hasil 20-25% lebih tinggi dibandingkan dengan varietas padi inbrida terbaik. Sampai dengan tahun 2010 telah dilepas ± 45 varietas hibrida yang memiliki beberapa keunggulan sifat baik secara morfologi maupun fisiologi. Pada karakter morfologi, padi hibrida memiliki sistem

58 24 perakaran lebih kuat, anakan lebih banyak, jumlah gabah per malai lebih banyak, dan bobot butir yang lebih tinggi. Dari aspek fisiologi, padi hibrida memiliki aktivitas perakaran yang lebih luas, area fotosintesis yang lebih luas, intensitas respirasi yang lebih rendah dan translokasi asimilat yang lebih tinggi. Padi hibrida dalam mewujudkan potensinya umumnya memerlukan areal penanaman dengan syarat tumbuh tertentu. Teknologi pemuliaan seperti penggunaan padi hibrida untuk lahan kering akan makin penting di masa depan, dan apabila pemulia padi mampu meningkatkan potensi hasil sekitar 1 ton ha -1 di atas padi gogo lokal, maka akan diperoleh tambahan produksi beras secara siginifikan (Sutaryo et al. 2004). Padi hibrida yang ideal toleran terhadap kekeringan adalah padi yang memberikan hasil panen lebih tinggi dibandingkan padi lain apabila terjadi cekaman kekeringan dan tetap berpenampilan baik bila tidak ada cekaman kekeringan (Fukai dan Cooper 1995). Sifat yang terdapat pada padi toleran cekaman kekeringan dapat berupa sifat konstitutif dan indusibel (Blum 2002; 2005). Sifat konstitutif tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya cekaman. Sifat indusibel muncul pada saat tanaman terkena cekaman kekeringan dan merupakan proses adaptasi tanaman. Ciri umum padi hibrida mempunyai perakaran dengan volume besar, sehingga mampu menyerap air dari lapisan tanah yang lebih dalam. Arsitektur akar dan kedalaman akar sangat bervariasi antar kultivar (Venuprasad et al. 2002). Kemampuan untuk mempertahankan akumulasi biomasa dan pembentukan benih pada tanah yang relatif kering dan menambah air dari tanah yang dalam, merupakan kunci utama yang dibutuhkan varietas toleran kekeringan (Atlin et al 2008). Hal ini akan menyebabkan padi hibrida dapat beradaptasi terhadap kondisi kekurangan air. Salah satu mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah kemampuan akar untuk menyerap air di lapisan tanah paling dalam (Fukai et al. 1999). Sutaryo et al. (2004) melaporkan sifat perakaran yang dalam memberikan sumbangan pada hasil gabah yang tinggi. Keunggulan hasil gabah hibrida yang baik terhadap kontrol terbaik minimal adalah sekitar 1 ton ha -1 atau dengan heterosis standar minimal sebanyak 15% (Virmani 2001; Mao 2001).

59 25 Metode dan Karakter Seleksi Toleransi Kekeringan Seleksi untuk toleransi kekeringan pada berbagai jenis tanaman sudah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai metode seleksi. Metode tersebut berupa seleksi langsung dan tidak langsung. Seleksi langsung dilaksanakan pada lahan bercekaman seperti pada lahan sawah tadah hujan (Breseghello et al. 2008; Sie et al. 2008). Seleksi tidak langsung dengan menirukan kondisi cekaman yang terjadi di lapangan dapat dilaksanakan di laboratorium atau di rumah kaca. Seleksi di laboratorium biasanya menggunakan PEG pada kultur in vitro (Lestari 2007; Satoh et al. 2008) dan pada fase kecambah (Ogawa dan Yamauchi 2006; Ai et al. 2008; Satoh et al. 2008; Efendi 2009; Imanparasat dan Hasanpanah 2009; Jajarmi 2009; Gholami et al. 2010; Herawati 2010), pada fase vegetatif dengan menggunakan media pasir (Chazen dan Newman 1994; Efendi 2009). Disamping itu seleksi untuk toleransi kekeringan di rumah kaca dapat dilakukan dengan menggunakan metode lain misalnya dengan menumbuhkan padi pada lapisan lilin (campuran parafin dan vaselin) (Suardi 2002), media campuran tanah dan sabut kelapa (Satoh et al. 2008), media campuran perlit dan tanah (Praba et al. 2009) dalam pot plastik hitam, media tanah dalam pot silinder/pipa PVC (Breseghello et al. 2008; Courtois 2008; Sikuku et al. 2010) dan media hidroponik (Xu et al. 2004; Yue et al. 2006; Courtois 2008) serta dengan menggunakan penanda molekuler (Xiong 2008). Metode-metode seleksi tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dan pemilihan metode uji sangat tergantung pada ketersediaan bahan/alat pengujian (kemampuan laboratorium), banyaknya bahan yang akan diseleksi, dan kemudahan dalam pelaksanaannya. Samac dan Tasfaye (2003) menyatakan metode yang dipilih harus murah, pelaksanaannya cepat dan handal untuk menyeleksi genotipe dalam jumlah banyak sekaligus dan dapat memisahkan genotipe toleran dan peka (Lewis dan Christiansen 1981; Fukai et al. 2008; Sie et al. 2008). Seleksi langsung terhadap hasil di lapangan pada lingkungan bercekaman sesuai dengan lingkungan target sangat sulit dilakukan, disebabkan oleh beragamnya kondisi lingkungan dan cekaman kekeringan sering terjadi pada waktu yang tidak tepat (Fukai et al. 2008). Intensitas kejadian dan distribusi

60 26 curah hujan musiman yang tidak menentu serta jenis dan tipe tanah yang berbeda pada suatu wilayah akan memberikan keragaman respon, sehingga menyulitkan dalam menilai genotipe toleran dan peka, bila dilakukan seleksi langsung di lapangan. Kehilangan hasil di lapangan baik sawah tadah hujan maupun sawah irigasi tidak hanya disebabkan oleh faktor kekeringan tetapi juga faktor-faktor lingkungan lainnya yang saling berinteraksi. Spehar dan Sauza (2006) menyatakan pengujian di lapangan dapat menghadapi lebih dari satu cekaman dan faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Adanya berbagai interaksi yang terjadi di lapangan akan menyulitkan untuk memilah antara pengaruh lingkungan kekeringan dan genotipe. Hal tersebut dapat diperbaiki dengan melakukan seleksi pada lingkungan terkontrol seperti di rumah kaca. Seleksi dengan menggunakan media tanah atau campuran media tanah dengan bahan lain di rumah kaca akan memberikan tekanan seleksi yang hampir mendekati keadaan kekeringan di lapangan. Media tanam yang digunakan dapat diambil dari lingkungan daerah target produksi dan memiliki hampir semua cekaman yang dijumpai di lapangan misalnya aspek jenis dan tekstur tanah. Metode seleksi akan baik bila terdapat konsistensi hasil antara percobaan di rumah kaca (terkontrol) dan di lapangan terhadap cekaman kekeringan pada padi. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan genotipe S3842-5g-2-2 dan S3842-5g- 2-3 adalah genotipe toleran kekeringan, baik di rumah kaca maupun di lapangan dalam kondisi tercekam. Kedua galur secara konsisten menampilkan persentase kehampaan gabah yang relatif rendah dan daya hasil relatif tinggi dibanding dengan genotipe lainnya serta nilai indeks kepekaan terhadap kekeringan yang relatif stabil. Meskipun seleksi di rumah kaca kondisi lingkungannya relatif dapat dikendalikan bila dibandingkan dengan lapangan, akan tetapi seleksi menggunakan media di pot umumnya menghadapi adanya hambatan mekanis untuk penetrasi dan perkembangan akar karena ukuran pot yang sangat terbatas, sementara akar merupakan paramater kriteria seleksi penting untuk tanaman toleran kekeringan. Breseghello et al. (2008) menyatakan cekaman kekeringan menyebabkan perubahan arsitektur akar (tingginya kerapatan dan kedalaman akar)

61 27 yang sama untuk semua kultivar, namun terdapat korelasi negatif kedalaman akar yang ditanam pada pot meskipun evaluasi di rumah kaca korelasinya positif dengan resistensi kekeringan di lapangan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya volume tanah dalam pot dibandingkan volume tanah di lapangan. Di rumah kaca tanaman dapat dipelihara sampai panen dengan kondisi cekaman kekeringan mendekati kondisi lapangan. Hasil gabah per rumpun dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi langsung, dan dapat dijadikan sebagai tahapan seleksi diantara seleksi pendahuluan dan sebelum seleksi di lapangan pada kondisi alami yang mahal (Carver dan Ownby 1995). Penelitian yang telah dilakukan IRRI menunjukkan bahwa seleksi langsung untuk produksi pada kondisi cekaman kekeringan, dikombinasikan dengan seleksi untuk potensi produksi pada kondisi optimum adalah jalan yang efektif untuk mengembangkan setiap kultivar. Seleksi toleran kekeringan pada generasi awal akan lebih efisien dilakukan pada lingkungan terkendali, karena benih yang tersedia relatif sedikit, tetapi genotipe yang akan diseleksi sangat banyak. Metode seleksi yang dapat memberikan hasil cepat dan dilaksanakan dengan mudah dan murah merupakan solusi untuk mengatasi masalah dalam program pemuliaan tanaman pada generasi awal. PEG dapat digunakan untuk mendeteksi secara cepat toleransi genotipe terhadap cekaman kekeringan pada fase kecambah dan dapat juga digunakan pada fase bibit/vegetatif dengan sistem hidroponik (Kumashiro dan Yamaguchi-Shinozaki 2008). Polietilen glikol (PEG) merupakan senyawa yang stabil, non ionik, polymer panjang dari ethylene oxide yang larut dalam air dan dapat digunakan dalam sebaran berat molekul yang luas (Mexal et al. 1975). PEG dengan berat molekul (BM) lebih dari 4000 dapat menginduksi stres air pada tanaman dengan mengurangi potensial air tanpa menyebabkan keracunan (Verslues at al. 2006). Penggunaan molekul PEG dengan BM 6000 tidak menimbulkan penetrasi pada pori dinding sel sehingga PEG tidak masuk dalam apoplas dan air terisolasi tidak hanya dari sel tapi juga dari dinding sel (Carpita et al. 1979). Mekanisme penurunan potensial air telah dijelaskan oleh Michel dan Kaufman (1973) total massa -CH 2 -O-CH 2 - atau kekuatan matriks subunit-etilen dalam mata rantai polimer PEG merupakan faktor penting yang mengontrol besarnya penurunan

62 28 potensial air. PEG yang dilarutkan dalam air menyebabkan molekul air (H 2 O) akan tertarik ke atom oksigen pada subunit-etilen oksida melalui ikatan hidrogen sehingga potensial air menurun. Berdasarkan sifat tersebut, PEG banyak digunakan untuk simulasi cekaman kekeringan dibanding dengan bahan osmotikum lainnya seperti melibiose dan mannitol. Asay dan Johnson (1983) menyatakan PEG dapat mendeteksi dan membedakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan. Bila terdapat akar yang rusak atau putus, tanaman dapat mengabsorbsi PEG dengan berat molekul , sehingga selama percobaan perlu dihindari terjadinya kerusakan akar. Penggunaan PEG dalam induksi cekaman kekeringan pada tanaman sudah dipakai sejak lama antara lain pada tanaman tomat, tembakau, dan padi (Hsissou dan Bouharmont 1994). PEG 6000 untuk penapisan genotipe toleran kekeringan telah digunakan pada tanaman gandum (Blum et al. 1980; Rauf et al. 2004), kedelai (Widoretno et al. 2002), kacang tanah (Adisyahputra et al. 2005), cabai, tomat, tembakau, dan padi (Verslues at al. 2006) serta pear millet (Radhouane 2007). Penggunaan PEG 6000 sebagai alternatif metode seleksi kekeringan telah dilakukan pada genotipe jagung dan diperoleh hasil di laboratorium berkorelasi dengan yang terjadi di rumah kaca atau di lapangan (Efendi 2009). PEG menginduksi penghambatan perkecambahan berhubungan dengan cekaman osmotik (Sidari et al. 2008). Laju perkecambahan benih dan persentase perkecambahan akhir serta jumlah air yang diabsorbsi oleh benih sangat rendah dengan naiknya tingkat cekaman osmotik, dan lebih banyak berkurang pada PEG 6000 (Jajarmi 2009). Seshu dan Sorrells (1986) menyatakan larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 5% mempunyai potensial osmotik MPa (1.26 bar) sedangkan konsentrasi 20% mempunyai potensial osmotik MPa (7.06 bar) dan Mexal et al. (1975) menyatakan larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25%, masing-masing setara dengan -0.03, -0.19, -0.41, dan MPa. Tanah dalam kondisi kapasitas lapang mempunyai potensial osmotik bar dan dalam kondisi titik layu permanen mempunyai potensial osmotik bar. Oleh karena itu PEG dapat digunakan untuk simulasi kondisi lingkungan kekeringan yang menirukan kondisi dilapangan.

63 29 Penggunaan PEG sebagai metode seleksi untuk cekaman defisit air telah banyak dilakukan, namun konsistensi hasil dengan hasil pengujian cekaman kekeringan pada pot di rumah kaca dan di lapangan masih perlu modifikasi. Sistem hidroponik akan menyebabkan program evaluasi sangat seragam untuk kondisi kekeringan dengan menambahkan bahan yang dapat menciptakan kondisi defisit air (Kumashiro dan Yamaguchi-Shinozaki 2008). Dengan menggunakan PEG, Cabuslay et al. (2002) dapat mendeteksi perbedaan respon genotipe terhadap defisit air. Evaluasi dan karakterisasi serta seleksi tanaman padi yang toleran cekaman kekeringan merupakan tahap yang penting dalam pemuliaan tanaman. Untuk melakukan proses seleksi genotipe hibrida khususnya yang berhubungan dengan ketoleranan cekaman kekeringan dapat dilakukan dengan melihat ciri-ciri morfologi pada sistem perakarannya. Taiz dan Zeiger (2002) menjelaskan pertahanan tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan adalah dengan membatasi perkembangan luas daun, perkembangan akar untuk mencapai zona yang masih basah dan penutupan stomata untuk membatasi transpirasi. Hasil penelitian Babu et al. (2003) melaporkan bahwa karakter akar berkorelasi positif dengan produksi pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil biji pada kondisi cekaman merupakan sifat primer untuk seleksi. Sifat sekunder yang tepat sebagai kriteria seleksi adalah (1) secara genetik berasosiasi dengan hasil biji pada cekaman kekeringan; (2) heritabilitas tinggi; (3) stabil dan mudah diukur; (4) tidak berasosiasi dengan kehilangan hasil pada kondisi pertumbuhan optimal (Bruce et al. 2002). Menurut Blum (2002), karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan dapat dipilah menjadi karakter konstitutif dan adaptif. Karakter konstitutif adalah (i) merupakan karakter yang dikendalikan oleh gen-gen yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, (ii) berperan dalam mengendalikan status air jaringan tanaman dan produktivitas dalam keadaan cekaman kekeringan dan (iii) terekspresi tanpa ada cekaman kekeringan. Umur berbunga, pertumbuhan akar, warna daun, bulu daun, lapisan lilin pada permukaan daun, daun tetap hijau, luas daun dan kerapatan stomata merupakan karakter konstitutif. Karakter adaptif bersifat indusibel merupakan karakter yang dikendalikan oleh gen-gen yang

64 30 terekspresi sebagai respons terhadap cekaman. Karakter tersebut meliputi (i) solut kompatibel yang berperan dalam menjaga turgor dan melindungi organel sel seperti manitol, sorbitol, inositol, fruktan dan prolin dan (ii) aktivitas enzim antioksidan seperti superoxide dismutase (SOD). Pada genotipe padi umur 21 hari setelah cekaman kekeringan menunjukkan korelasi fenotipik antara hasil biji dengan beberapa sifat morfologi dan fisiologi. Nilai kehijauan daun, lebar daun dan panjang daun secara konsisten berkorelasi positif dengan hasil biji pada kondisi kekeringan, sedangkan hasil biji dan jumlah anakan, umur berbunga 50%, dan suhu daun, terdapat indikasi korelasi yang berbeda antar tahun (Sie et al. 2008). Farid (2004) melaporkan karakter morfologi tinggi tanaman, panjang akar dan bobot tajuk padi gogo umur 15 hari setelah tanam dapat digunakan sebagai karakter seleksi toleran terhadap kekeringan pada fase perkecambahan. Padi gogo toleran kekeringan menunjukkan laju akumulasi prolin yang lebih tinggi dibanding varietas peka. Sebaliknya akumulasi ABA padi gogo toleran kekeringan relatif rendah dibanding dengan varietas peka kekeringan. Tanaman yang toleran cekaman kekeringan memiliki mekanisme toleransi dengan meningkatkan akumulasi prolin, bobot akar dan panjang akar (Dingkuhn et al. 1991; Farid 2004). Arsitektur akar merupakan kunci resistensi kekeringan, dan perubahan arsitektur akar tergantung genotipe. Tanaman dengan akar dalam dapat mengatasi periode kering yang panjang, mendapatkan air dari lapisan tanah yang dalam pada kondisi lingkungan dimana terdapat temperatur tinggi, kelembaban udara rendah, kapasitas retensi air tanah yang rendah menyebabkan dehidrasi tanah yang cepat (Breseghello et al. 2008). Padi yang toleran terhadap kekeringan diidentifikasi berhubungan dengan kedalaman dan kerapatan perakaran, besarnya kemampuan mempertahankan vigor pada kondisi ada cekaman air, kutikula yang tebal dan regulasi stomata (Chang et al. 1974), akumulasi prolin (Chu dan Li 1979) dan akumulasi ABA (Dingkuhn et al. 1991; Shinozaki dan Yamaguchi 1997). Salah satu senyawa osmotik yang umum disintesis dan diakumulasi pada jaringan tanaman yang dicekam kekeringan adalah prolin (Yang dan Kao 1999). Peningkatan prolin sangat nyata terjadi pada tanaman toleran jika dibandingkan dengan yang peka (Yoshiba et al. 1997). Delauney dan Verma (1993) terdapat

65 31 indikasi korelasi positif antara akumulasi prolin dengan adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Akumulasi senyawa osmotik terlarut ini dapat digunakan sebagai uji sederhana untuk mengetahui toleransi tanaman terhadap kekeringan (Kirkham 1990). Oleh karena itu prolin dapat dijadikan indikator karakter seleksi tanaman yang toleran kekeringan. Levitt (1980) menyatakan prolin dapat digunakan sebagai kriteria pengelompokan tanaman toleran terhadap cekaman kekeringan. Agbicodo et al. (2009) mengusulkan dua pendekatan untuk penapisan (screening) dan pemuliaan untuk toleransi kekeringan. Pertama adalah pendekatan empiris atau penampilan yang memanfaatkan hasil biji dan komponen hasil sebagai kriteria utama, karena hasil adalah ekspresi integrasi dari tampilan seluruh sifat-sifat yang berkaitan dengan produktivitas pada cekaman kekeringan. Ke dua adalah pendekatan analitis atau fisiologis yang mengidentifikasi sifat spesifik secara fisiologis atau morfologi yang berkontribusi nyata terhadap pertumbuhan dan hasil dalam hal kekeringan. Toleransi suatu genotipe terhadap kekeringan dapat diukur dengan menggunakan indeks kepekaan terhadap kekeringan. Parameter ini dapat menekankan pada kecilnya kehilangan hasil akibat kekeringan (Clarke et al. 1992). Kriteria yang sangat praktis untuk toleransi kekeringan adalah hasil pada kondisi kekeringan, meskipun hasil juga tidak mudah diukur secara tepat. Sifat fisiologi dipertimbangkan sebagai potensi kriteria seleksi untuk memperbaiki hasil yang secara genetik berkorelasi dengan hasil dan memiliki heritabilitas yang tinggi dibandingkan hasil (Kumashiro dan Yamaguchi-Shinozaki 2008).

66 32

67 33 PENDUGAAN DINI TOLERANSI PADI HIBRIDA TERHADAP KEKERINGAN Early Detection of Hybrid Rice Tolerance to Drought Abstrak Penelitian bertujuan mengevaluasi metode dan peubah dalam seleksi dini untuk mendapatkan genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan. Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB dan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB BIOGEN) Cimanggu, Bogor, pada bulan April 2011 sampai Januari Rancangan penelitian terdiri atas: (i) rancangan acak lengkap dengan perlakuan berbagai konsentrasi PEG 6000; 4 ulangan (ii) rancangan split plot dengan perlakuan PEG 6000 (petak utama) dan genotipe/varietas (anak petak); 3 ulangan dan (iii) rancangan split plot dengan perlakuan cekaman kekeringan 60% kapasitas lapangan (petak utama) dan genotipe/varietas (anak petak); 3 ulangan. Bahan tanaman terdiri atas genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro, Hipa 8, IR-64, dan Limboto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi PEG % cukup efektif untuk menduga toleransi genotipe padi hibrida terhadap kekeringan. Metode seleksi dini dapat mengelompokkan genotipe toleran kekeringan berdasarkan peubah pada masing-masing metode pengujian. Genotipe BI485A/BP15, BI559A/BP15 dan varietas Hipa 8 merupakan genotipe toleran kekeringan berdasarkan karakter panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah. Berdasarkan karakter bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun, genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI559A/BP15 dan varietas Maro dikelompokkan toleran kekeringan. Berdasarkan kriteria hasil dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot genotipe BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 dikelompokkan toleran kekeringan. Kata kunci: kekeringan, padi hibrida, pendugaan dini, polietilen glikol Abstract An experiment was conducted at Seed Science and Technology Laboratory, Department of Agronomy and Horticulture, Agriculture Faculty, IPB and BB Biogen greenhouse Cimanggu, Bogor, from April 2011 until January The objective of the experiment was to evaluate selection methods and characters to determine rice drought tolerant genotypes at early stage. The designs of the experiment were: (i) completely randomized design with treatment of concentrations of PEG 6000, (ii) a split plot design, the main plot was PEG 6000 consisted of control and concentration 25% of PEG The sub plot was hybrid genotypes, i.e. 12 genotypes, and (iii) a split plot design, the main plot was drought stress consisted of control and drought stress (water content 60% of field capacity). The sub plot was hybrid genotypes, i.e. 12 genotypes. The experiments were replicated 3 times. Plant material consisted of genotypes BI485A/BP3,

68 34 BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, and Maro varieties, Hipa 8, IR-64, and Limboto varieties. The results showed that concentration 25% of PEG 6000 could detect hybrid rice genotypes tolerant to drought. The early selection method could classify drought tolerant genotypes based on characters in each selection method. Genotype BI485A/BP15, BI559A/BP15 and Hipa 8 varieties were drought tolerant based on the character of root length, root dry weight and seedling dry weight in germination test. Based on the character of root dry weight, shoot dry weight and leaf score dried, genotypes BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, Maro BI559A/BP15 and Maro varieties were tolerant to drought based on seedling test. Based on yield in drought stress experiment in pot, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI559A/BP15 BI485A/BP15 were grouped as tolerant to drought. Keywords: drought, hybrid rice, early detection, polyethylene glycol Pendahuluan Kekeringan terjadi hampir setiap tahun di areal pertanaman padi. Padi hibrida dengan rata-rata potensi hasil 15-20% lebih tinggi dibanding varietas IR64 (Badan Litbang 2007; Villa et al. 2011), diharapkan tetap menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding varietas unggul lainnya pada kondisi cekaman kekeringan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah penanaman genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan. Genotipe tersebut diperoleh melalui serangkaian tahapan kegiatan. Tahapan seleksi merupakan kegiatan yang penting dan utama untuk mendapatkan bahan genetik unggul. Seleksi terhadap bahan genetik dalam jumlah besar membutuhkan banyak biaya, tenaga dan waktu, karena itu, perlu didukung metode seleksi yang efektif dan efisien. Seleksi dapat dilakukan pada fase perkecambahan dan atau fase bibit untuk mengatasi lamanya waktu dan banyaknya biaya dan tenaga yang dibutuhkan serta mengurangi jumlah genotipe yang diuji di lapangan. Seleksi langsung terhadap hasil di lapangan pada lingkungan bercekaman sesuai dengan lingkungan target sangat sulit dilakukan, disebabkan oleh beragamnya kondisi lingkungan dan cekaman kekeringan sering terjadi pada waktu yang tidak tepat (Fukai et al. 2008). Oleh karena itu perlu dicari metode seleksi yang dapat mengidentifikasi secara dini genotipe padi hibrida toleran kekeringan. Metode seleksi yang baik diharapkan murah, cepat pelaksanaannya dan handal untuk menyeleksi genotipe

69 35 sekaligus dalam jumlah banyak dan dapat memisahkan genotipe toleran dan peka (Lewis dan Christiansen 1981; Fukai et al. 2008; Sie et al. 2008). Penggunaan polietilen glikol (PEG) dalam pengujian ketahanan benih terhadap kekeringan dengan memperhitungkan indeks kekeringan telah banyak digunakan (Nemoto et al. 1995; Bouslama dan Schapaugh 1984). PEG dengan bobot molekul 6000 telah banyak digunakan dalam melakukan penelitian pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan tanaman termasuk padi (Balch et al. 1996; Verslues et al. 2006), tetapi masih menunjukkan hasil yang belum konsisten dengan hasil di lapangan. Herawati (2010) menyimpulkan bahwa PEG 6000 jika digunakan sebagai agen penyeleksi masih perlu dilakukan modifikasi untuk mendapatkan konsistensi dengan hasil di lapangan. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan bahwa seleksi dengan menggunakan media tanah di pot akan memberikan tekanan seleksi yang hampir mendekati keadaan kekeringan di lapangan. Media tanam yang digunakan dapat diambil dari lingkungan daerah target produksi dan memiliki hampir semua cekaman yang dijumpai di lapangan misalnya aspek jenis dan tekstur tanah. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi metode dan peubah dalam seleksi dini untuk mendapatkan genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan. Bahan dan Metode A. Pengujian dengan Polietilen glikol (PEG) 6000 A.1. Penentuan Konsentrasi Larutan PEG 6000 yang Memberikan Cekaman Kekeringan Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan pada bulan April 2011, di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Metode Penelitian Rancangan perlakuan yang digunakan adalah berbagai konsentrasi larutan PEG 6000 (w/v) yang terdiri atas: 0% (tanpa PEG 6000), 5%, 10%,

70 36 15%, 20%, 25% dan 30%, yang menurut Mexal et al. (1975) berturut-turut setara dengan 0.00, -0.03, -0.19, -0.41, -0.67, dan MPa. Aplikasi perlakuan dilakukan dua percobaan. Percobaan tahap pertama, menggunakan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% yang dicobakan pada varietas Situ Bagendit, Limboto, IR64 dan Inpari 10. Percobaan tahap ke dua menggunakan konsentrasi 0%, 20%, 25% dan 30% yang dicobakan pada varietas Limboto, IR64 dan Maro. Varietas yang digunakan bukan merupakan bagian dari faktor perlakuan sehingga pengaruh perlakuan dianalisis pada masing-masing varietas. Setiap perlakuan diulang empat kali. Satuan percobaan ialah satu cawan petri berisi 20 kecambah. Pelaksanaan Percobaan Sebanyak 20 benih tiap verietas dikecambahkan sampai muncul radikel (±1 mm) kemudian kecambah ditempatkan dalam cawan petri yang berisi 10 ml larutan PEG 6000 sesuai dengan perlakuan. Kontrol sebagai pembanding, hanya dengan pemberian 10 ml air sebagai media perkecambahan optimal. Perlakuan diberikan selama 6 hari. Peubah yang diamati adalah indeks vigor (dihitung kecambah yang tumbuh normal kuat dan serempak), panjang akar, panjang plumula, dan bobot kering kecambah. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan percobaan yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) menggunakan fasilitas uji SAS 9.1. A.2. Pengujian dengan 25% Larutan PEG 6000 pada Fase Perkecambahan Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan pada bulan Mei 2011, di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.

71 37 Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan split plot dalam rancangan acak lengkap 3 ulangan. Petak utama adalah cekaman kekeringan yang terdiri atas 2 taraf yaitu kontrol (tanpa pemberian larutan PEG 6000) dan konsentrasi 25% larutan PEG 6000 dan anak petak adalah varietas/genotipe hibrida yang terdiri atas 12 taraf yaitu genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro, Hipa 8, IR-64 (cek peka kekeringan) (Kumar et al. 2009; Sutaryo et al. 2004), Limboto (cek toleran kekeringan). Satuan percobaan ialah satu cawan petri berisi 20 kecambah. Pelaksanaan Percobaan Sebanyak 20 benih tiap genotipe/verietas dikecambahkan sampai muncul radikel (±1 mm), kemudian kecambah ditempatkan dalam cawan petri yang berisi 10 ml larutan PEG 6000 sesuai dengan perlakuan. Kontrol sebagai pembanding, hanya dengan pemberian 10 ml air sebagai media perkecambahan optimal. Perlakuan diberikan selama 6 hari, kemudian dilakukan pengamatan. Peubah yang diamati adalah indeks vigor, panjang plumula, panjang akar, bobot kering akar, bobot kering plumula, bobot kering kecambah dan indeks penurunan rata-rata setiap peubah. Indeks penurunan rata-rata setiap peubah ditentukan dengan menggunakan rumus Jiang dan Lafitte (2007). Penurunan rata-rata (%) = [1-(Vs/Vp)] x 100 Keterangan: Vs= nilai peubah pada kondisi cekaman kekeringan Vp=nilai peubah pada kondisi tanpa cekaman kekeringan Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan percobaan yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1. Analisis komponen utama (AKU) dan korelasi digunakan untuk menentukan peubah yang berkontribusi besar terhadap keragaman dan peubah yang saling berhubungan. Analisis kelompok digunakan untuk mengelompokkan genotipe padi hibrida toleran terhadap cekaman kekeringan.

72 38 A.3. Pengujian dengan 25% PEG 6000 Dalam Kultur Hara pada Fase Bibit Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011, di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB BIOGEN), Cimanggu, Bogor. Metode Penelitian Rancangan perlakuan yang digunakan adalah rancangan split plot dalam rancangan acak kelompok 3 ulangan. Petak utama adalah cekaman kekeringan yang terdiri atas 2 taraf yaitu kontrol (tanpa pemberian larutan PEG 6000) dan konsentrasi 25% PEG 6000 dan anak petak adalah varietas/genotipe hibrida yang terdiri atas 12 taraf yaitu genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro, Hipa 8, IR-64 (cek peka kekeringan), Limboto (cek toleran kekeringan). Pelaksanaan Percobaan Pengujian fase bibit terhadap toleransi cekaman kekeringan dilakukan dalam kultur hara menggunakan sistem hidroponik seperti yang disarankan oleh Kumashiro dan Yamaguchi-Shinozaki (2008). Kontrol (tanpa pemberian larutan PEG 6000), hanya dengan larutan hara. Perlakuan cekaman kekeringan dilakukan dengan pemberian konsentrasi 25% PEG 6000 dalam larutan hara. Air yang hilang selama percobaan akibat transpirasi diganti dengan menambahkan air/aquades setiap hari. Selama pertumbuhan ph media dipertahankan pada ph 4.5 dengan penambahan NaOH 1 N atau HCl 1 N. Kecambah normal (bibit) dari tiap genotipe/verietas yang berumur satu minggu dengan panjang akar yang seragam dipindahkan pada media tanam melalui lubang-lubang styrofoam yang telah diapungkan pada permukaan media/bak plastik kapasitas 8 liter larutan hara selama 7 hari. Dua bak plastik sebagai petak utama yang dilengkapi dengan aerator, ditanami 6 varietas/genotipe padi hibrida per bak dengan 5 bibit per unit

73 39 percobaan. Bak-bak ini disusun sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. Jarak antar petak utama adalah 25 cm, dan jarak anak petak adalah 10 cm serta jarak antar kelompok adalah 50 cm. Peubah yang diamati adalah tinggi tajuk, panjang akar, bobot kering akar dan tajuk, nisbah bobot akar tajuk (NAT), tingkat kekeringan daun (skor SES IRRI) dan indeks penurunan rata-rata setiap peubah ditentukan dengan menggunakan rumus Jiang dan Lafitte (2007). Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan percobaan yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1. Analisis komponen utama (AKU) dan korelasi digunakan untuk menentukan peubah yang berkontribusi besar terhadap keragaman dan peubah yang saling berhubungan. Analisis kelompok digunakan untuk mengelompokkan genotipe padi hibrida toleran terhadap cekaman kekeringan. B. Pengujian dengan Perlakuan Cekaman Kekeringan di Pot Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 sampai Januari 2012, di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB BIOGEN), Cimanggu, Bogor. Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah split plot dalam rancangan acak kelompok 3 ulangan. Petak utama adalah cekaman kekeringan yang terdiri atas 2 taraf yaitu kontrol (kondisi air optimal) dan cekaman kekeringan 60% kapasitas lapangan pada periode kritis tanaman yaitu saat antesis (bunga padi telah keluar 50%) hingga 3 hari setelah antesis (Lafitte et al. 2006; Liu et al. 2006). Anak petak adalah genotipe/varietas hibrida yang terdiri atas dua belas taraf yaitu 10 genotipe/varietas hibrida dan 1 varietas cek toleran kekeringan dan 1 varietas cek peka kekeringan (bahan tanaman sama dengan percobaan pada pengujian dengan 25% larutan PEG 6000).

74 40 Pelaksanaan Percobaan Media tanam yang digunakan adalah media tanah yang diambil dari lahan sawah percobaan Babakan Dramaga, University Farm, IPB, yang juga merupakan tempat pelaksanaan percobaan simulasi kekeringan di lahan sawah. Media tanah tersebut sebelum digunakan, ditentukan kadar air tanah pada kapasitas lapangan (pf 2.54) dan titik layu permanen (pf 4.20) berdasarkan metode pressure plate/membrane apparatus (Sudirman et al. 2006). Contoh tanah utuh yang dikeluarkan dari ring (tabung) kuningan, diambil setebal 1 cm dari bagian tengah ring. Tanah setebal 1 cm tersebut dibagi menjadi empat, masing-masing untuk pf 1.00 (tekanan 10 cm kolom air), pf 2.00 (tekanan 100 cm kolom air), pf 2.54 (tekanan 1/3 atm), dan pf 4.20 (tekanan 15 atm). Contoh tanah untuk penetapan kadar air pada pf 4.20 dikeringudarakan, ditumbuk dan disaring dengan ayakan 2 mm. Tanah untuk penetapan pf 1.00, pf 2.0 dan pf 2.54 diletakkan di atas piringan (plate) dan pressure plate apparatus, sedangkan tanah untuk penetapan pf 4.20 diletakkan di atas piringan (plate) dan pressure membrane apparatus. Contoh tanah dalam piringan dijenuhi dengan air sampai berlebihan, dan direndam selama 48 jam. Kemudian piringan dimasukkan ke dalam panci dan ditutup rapat-rapat. Selanjutnya diberikan tekanan sesuai dengan pf yang dikehendaki, sampai keseimbangan tidak menetes lagi, tercapai selama ±48 jam. Contoh tanah dikeluarkan dari dalam panci, untuk ditetapkan kandungan airnya. Selain itu dilakukan analisis tekstur, kandungan bahan organik, kapasitas tukar kation dan kadar NPK. Hasil analisis disajikan pada Lampiran 1. Tanah yang telah dihaluskan dan dikeringanginkan dicampur merata dan kemudian dimasukkan dalam pot plastik yang memiliki daya tampung 10 liter dengan bobot tanah 10 kg per pot. Pot yang telah diisi tanah kemudian dijenuhkan dengan air. Untuk menjamin keseragaman tinggi media dalam pot maka setelah penjenuhan diukur tinggi permukaan pot 8 cm dari permukaan tanah. Pot-pot tersebut lalu disusun sesuai dengan jarak 30 cm untuk masing-masing kondisi pengairan. Bibit hasil persemaian dipindahtanam pada media percobaan (pot plastik) setelah berumur 21 hari dengan 1 bibit per pot. Tanaman dipupuk dengan pupuk

75 41 urea 200 kg/ha (5 g/pot), 100 kg/ha (2.5 g/pot) SP-36, dan 100 kg/ha (2.5 g/pot) KCl. Pengaturan pengairan pada setiap pot dilakukan sesuai perlakuan. Taraf perlakuan tanpa cekaman kekeringan yaitu kontrol, air dipertahankan dalam kondisi optimal selama fase pertumbuhan hingga panen. Tinggi air dipertahankan 3 cm dari permukaan tanah atau disesuaikan dengan fase pertumbuhan, sedangkan taraf perlakuan cekaman kekeringan 60% kapasitas lapangan pada saat antesis dilakukan dengan cara menghentikan pengairan 7 ± 1 hari sebelum antesis dan cekaman kekeringan tersebut dipertahankan sampai dengan 3 hari setelah antesis. Monitor kadar air tanah selama masa pengeringan tersebut menggunakan alat pengukur kadar air tanah (soil moisture meters, TRIME-TDR), dan dikombinasikan dengan metode timbang berdasarkan bobot kering tanah terutama pada kondisi kadar air 60% kapasitas lapangan. Bobot tanah kering udara (BU) yang dimasukkan dalam pot ditentukan berdasarkan kadar air tanah sebagai berikut: BU=Bobot tanah kering oven (BO) + (% KA x BO), sedang kadar air tanah (KA % bobot) ditentukan berdasarkan: KA =((100-BO)/BO) x 100. Kadar air tanah kemudian dikonversi menjadi persen volume (KAv): KA % bobot x bobot isi (BI). Jadi bobot tanah dalam pot pada kadar air 60% kapasitas lapangan (KL) adalah BU + (0.6 x (KL-KAv) x BO). Selama perlakuan cekaman kekeringan, bobot total tiap pot dipertahankan dengan menambahkan bobot basah tanah dengan bobot pot. Penyesuaian kadar air tanah selama perlakuan (KA 60% KL) dilakukan setiap hari, dengan tetap memperhitungkan pertambahan bobot tanaman dari genotipe/varietas yang sesuai. Untuk keperluan tersebut dipersiapkan tanaman untuk didestruksi. Untuk menjamin keseragaman waktu pemberian perlakuan cekaman kekeringan pada saat antesis, maka masing-masing varietas/genotipe ditanam berdasarkan periode waktu berbunga. Urutan penanaman yaitu genotipe BI599A/BP5 dan Hipa 8, lima hari kemudian ditanam BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI665A/BP6, Maro, dan IR64, dan setelah sembilan hari dari tanam pertama ditanam BI485A/BP3, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP15 dan Limboto. Sebelum perlakuan cekaman kekeringan diberikan, semua pot yang digunakan untuk perlakuan cekaman kekeringan diairi setinggi 3

76 42 cm dari permukaan tanah. Air yang hilang selama percobaan akibat evapotranspirasi diganti sesuai dengan jumlah air yang hilang dengan menambahkan air setiap hari. Peubah yang diamati adalah panjang akar, panjang daun bendera, tinggi tanaman, bobot kering tajuk, bobot kering akar, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, persentase gabah hampa, bobot 100 butir, bobot gabah per rumpun, indeks panen, nisbah bobot akar-tajuk, kadar air relatif daun, kandungan klorofil, indeks penurunan rata-rata terhadap setiap peubah dan peubah toleransi cekaman kekeringan yaitu indeks toleransi (IT) dan indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK). Pengamatan pada peubah fisiologi dilakukan pada umur ± 3 hari setelah antesis (akhir perlakuan cekaman kekeringan) terhadap peubah kadar air relatif dan klorofil daun. Kadar air relatif daun ditentukan dengan menimbang 0.5 g daun segar (Bs). Daun direndam dalam air selama 4 jam, kemudian ditimbang berat basah daun (Bb). Daun dikeringkan selama 24 jam pada suhu 85 0 C, kemudian ditentukan berat keringnya (Bk) (Farooq et al. 2010). Kadar air relatif daun (%) ditentukan berdasarkan persamaan: KAR (%) = ((Bs-Bk)/(Bb-Bk)) x 100. Kandungan klorofil daun ditentukan dengan menggunakan klorofil meter type SPAD 502. Indeks toleransi (IT) dihitung dengan menggunakan formula: Ys IT (%) = x 100 Yn Keterangan: Ys = Hasil gabah genotipe pada perlakuan cekaman kekeringan Yn= Hasil gabah genotipe pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol) Kriteria untuk menentukan tingkat toleransi tanaman terhadap kekeringan adalah berdasarkan perbandingan nilai IT varietas cek (Limboto). Indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK) dihitung berdasarkan formula yang telah dikembangkan oleh Fischer dan Maurer (1978) sebagai berikut:

77 43 ISK=(1-Hc/Hk)/(1-Hcr/Hkr) Keterangan: ISK = Indeks kepekaan genotipe tertentu Hc = Hasil gabah dari genotipe tertentu pada perlakuan cekaman kekeringan Hk = Hasil gabah dari genotipe tertentu pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol) Hcr = Rata-rata hasil gabah dari seluruh genotipe pada perlakuan cekaman kekeringan Hkr = Rata-rata hasil gabah dari seluruh genotipe pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol) Kriteria untuk menentukan tingkat toleransi tanaman terhadap kekeringan adalah berdasarkan perbandingan nilai ISK varietas cek (Limboto). Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan percobaan yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kesesuaian metode pengujian PEG 6000 dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot terhadap hasil. Hasil dan Pembahasan A. Pengujian dengan Larutan Polietilen Glikol (PEG) 6000 A.1. Penentuan Konsentrasi Larutan PEG 6000 yang Memberikan Cekaman Kekeringan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berbagai konsentrasi larutan PEG 6000 yang diberikan pada kecambah saat muncul radikel berpengaruh nyata terhadap indeks vigor (IR64), panjang plumula (Situ Bagendit, Inpari 10, IR64 dan Maro) dan bobot kering kecambah (Inpari 10 dan IR64), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar pada semua varietas yang diuji (Lampiran 2). Pemberian larutan PEG 6000 pada konsentrasi 25% dapat menurunkan indeks vigor IR64 (varietas peka kekeringan) yang berbeda nyata dibanding dengan konsentrasi larutan PEG 6000 yang lebih rendah (0%, 5%, 10%, 15% dan 20%). Varietas Limboto, Situ Bagendit dan Inpari 10 memiliki indeks vigor yang tetap tinggi pada larutan PEG 6000 konsentrasi 25% (Tabel 3).

78 44 Tabel 3 Indeks vigor Situ Bagendit, Inpari 10, Limboto dan IR64 pada berbagai konsentrasi larutan PEG 6000 Perlakuan Indeks vigor (%) [PEG 6000] (%) Situ Bagendit Inpari 10 Limboto IR a a a a a b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05. Pola pertumbuhan panjang akar dan plumula pada konsentrasi 25% larutan PEG 6000 pada semua varietas yang diuji menunjukkan pola yang sama yaitu lebih memacu pertumbuhan panjang akar dibandingkan pertumbuhan plumula (Gambar 2). Pada kondisi cekaman kekeringan pertumbuhan tajuk lebih terhambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan akar (Wu dan Cosgrove 2000). Panjang plumula pada konsentrasi 15% menunjukkan penurunan yang nyata pada varietas Situ Bagendit dan Inpari 10, sedangkan panjang plumula varietas Limboto dan IR64 menurun secara nyata pada konsentrasi 20%. Panjang (cm) a a PA PP A 8 a B a a a a b b 6 c c d Panjang (cm) a a ab b b C c a a a a b D b Konsentrasi PEG 6000 (%) Konsentrasi PEG 6000 (%) Keterangan: Histogram yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing gambar tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05. Gambar 2 Pola respon peubah panjang plumula (PP) dan panjang akar (PA) varietas Limboto (A), Inpari 10 (B), Situ Bagendit (C) dan IR64 (D) pada berbagai konsentrasi larutan PEG 6000

79 45 Penghambatan panjang plumula varietas IR64 pada larutan PEG 6000 konsentrasi 20% disertai dengan penghambatan panjang akar. Pada konsentrasi 25% semakin menghambat pertumbuhan plumula pada varietas IR64. Michel dan Kaufman (1973) dan Verslues et al. (2006) menyatakan bahwa penurunan pertumbuhan akar dan tunas karena PEG mengikat air sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini berimplikasi pada semakin rendahnya bobot kering kecambah varietas IR64 (Tabel 4). Bobot kering kecambah varietas Limboto dan Situ Bagendit pada larutan PEG 6000 konsentrasi 25% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan konsentrasi yang lebih rendah. Bobot kering kecambah varietas Inpari 10 pada larutan PEG 6000 konsentrasi 25% menurun secara nyata bila dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Perlakuan konsentrasi 25% juga menurunkan bobot kering kecambah IR64 yang tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 20%, tetapi konsentrasi 20% berbeda nyata dengan konsentrasi yang lebih rendah (Tabel 4). Tabel 4 Bobot kering kecambah Situ Bagendit, Inpari 10, Limboto dan IR64 pada berbagai konsentrasi larutan PEG 6000 Perlakuan Bobot kering kecambah (mg) [PEG 6000] (%) Situ Bagendit Inpari 10 Limboto IR bc ab ab a a ab ab a ab bc c 5.70 c Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05. Apabila konsentrasi larutan PEG 6000 ditingkatkan sampai dengan 30% maka indeks vigor menurun secara nyata baik pada varietas Maro maupun Limboto dan bahkan menghambat secara total kecambah varietas IR64 (Tabel 5). Semakin pekat konsentrasi PEG semakin banyak sub unit etilen yang mengikat air, sehingga kecambah semakin sulit menyerap air yang mengakibatkan tanaman mengalami cekaman kekeringan (Verslues et al. 2006). PEG menginduksi penghambatan perkecambahan karena berhubungan

80 46 dengan cekaman osmotik (Sidari et al. 2008). Laju perkecambahan benih dan persentase perkecambahan serta jumlah air yang diabsorbsi benih sangat rendah dengan naiknya tingkat cekaman osmotik (Jajarmi 2009). Tabel 5 Indeks vigor Maro, Limboto dan IR64 pada berbagai konsentrasi larutan PEG 6000 Perlakuan Indeks vigor (%) [PEG 6 000] (%) Maro Limboto IR 64 0 a a a a a a a 97.5 b 95.0 b b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05. c 0.0 c Michel dan Kaufman (1973) menyatakan bahwa total massa -CH 2 -O- CH 2 - atau kekuatan matriks subunit-etilen dalam mata rantai polimer PEG merupakan faktor penting yang mengontrol besarnya penurunan potensial air. PEG yang dilarutkan dalam air menyebabkan molekul air (H 2 O) akan tertarik ke atom oksigen pada subunit-etilen oksida melalui ikatan hidrogen sehingga potensial air menurun. Oleh karena itu Asay dan Johnson (1983) menyatakan PEG dapat mendeteksi dan membedakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa larutan PEG 6000 konsentrasi 25% atau setara 0.99 MPa yang diaplikasikan pada kecambah saat muncul radikel berukuran panjang ±1 mm, merupakan konsentrasi yang cukup efektif untuk menduga toleransi padi hibrida secara dini terhadap cekaman kekeringan. Meskipun selama ini banyak peneliti menggunakan PEG 6000 pada konsentrasi 15-20% yang diaplikasikan pada benih utuh untuk menduga toleransi tanaman padi terhadap cekaman kekeringan (Verslues et al., 2006; Herawati, 2010), tetapi hasilnya belum konsisten. Blum et al. (1980) melaporkan penggunaan PEG 6000 dengan tingkat potensial air sampai MPa dapat digunakan untuk seleksi toleransi genotipe gandum terhadap cekaman kekeringan.

81 47 A.2. Pengujian dengan 25% Larutan PEG 6000 pada Fase Perkecambahan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa peubah bobot kering plumula hanya dipengaruhi oleh perlakuan PEG 6000, sedangkan interaksi antara PEG 6000 dan genotipe berpengaruh nyata terhadap peubah indeks vigor, panjang akar, panjang plumula, bobot kering akar dan bobot kering kecambah (Lampiran 3). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan respon antar genotipe akibat perlakuan PEG 6000 konsentrasi 25% pada peubah fase perkecambahan (Tabel 6, 7 dan 8). Perlakuan PEG 6000 menghasilkan rata-rata indeks vigor paling rendah pada varietas IR64 yang merupakan cek peka kekeringan, dengan persentase penurunan sebesar 86.7 persen. Indeks vigor rata-rata tertinggi diperoleh pada genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12 dan BI485A/BP15 dengan persentase penurunan hanya sebesar masing-masing 3.3 persen, yang tidak berbeda nyata dengan Limboto (varietas cek toleran kekeringan) dan genotipe lainnya kecuali berbeda nyata dengan genotipe BI599A/BP5, Maro dan IR64 (Tabel 6). Rendahnya indeks vigor karena pertumbuhan akar dan tunas terhambat. Michel dan Kaufmann (1973) dan Verslues et al. (2006) menyatakan bahwa penurunan pertumbuhan akar dan tunas karena PEG mengikat air sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Pada konsentrasi 25% upaya pemanjangan akar semakin menghambat pertumbuhan plumula. Zapico et al. (2008) menyatakan bahwa pada konsentrasi 15% PEG 6000 perkecambahan genotipe padi sawah lebih peka dibandingkan padi gogo. PEG menginduksi penghambatan perkecambahan berhubungan dengan cekaman osmotik (Sidari et al. 2008). Laju perkecambahan benih dan persentase perkecambahan serta jumlah air yang diabsorbsi benih sangat rendah dengan naiknya tingkat cekaman osmotik (Jajarmi 2009). Hal ini berimplikasi pada semakin rendahnya laju pertumbuhan kecambah yang menyebabkan indeks vigor menurun (Tabel 6). Genotipe/varietas toleran menunjukkan indeks vigor yang tetap tinggi, karena ada keseimbangan antara pemanjangan akar untuk mendapatkan air, yang akan mendukung pertumbuhan plumula.

82 48 Panjang akar terpanjang akibat perlakuan PEG 6000 diperoleh pada genotipe BI485A/BP15 yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan BI599/BP15, BI485A/BP12, Hipa 8 dan Limboto, tetapi berbeda nyata dengan IR64. Rata-rata panjang akar genotipe tersebut yaitu berturut-turut masingmasing sebesar 6.36, 5.39, 4.77, 5.57 dan 5.13 cm, dengan persentase peningkatan panjang akar berturut-turut masing-masing sebesar 7.2, 1.9, 71.4 dan 2.6 persen sedangkan IR64 hanya 3.50 cm dengan persentase penurunan sebesar 33.2 persen (Tabel 6). Tabel 6 Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap indeks vigor dan panjang akar Indeks vigor (%) Panjang akar (cm) Genotipe Kontrol 25% PEG Penurunan Kontrol 25% PEG Penurunan 6000 relatif (%) 6000 relatif (%) BI485A/BP3 ab 96.7 b efg 3.86 cdefg 4.51 (16.8) BI485A/BP5 ab 96.7 ab a 6.51 defg a BI485A/BP ab abcd cdefg a BI485A/BP ab cdefg bcdefg (1.9) a BI485A/BP ab abc 5.93 ab 6.36 (7.3) BI599A/BP5 ab 96.7 d abc 5.96 abcdef a BI599A/BP ab abcdef abcde (7.2) BI665A/BP6 ab 96.7 ab cdefg efg Maro a c efg 3.85 efg Hipa 8 ab 96.7 ab g 3.25 abcd 5.57 (71.4) IR64 a e abcde fg Limboto a ab abcdef abcdef (2.6) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05; angka dalam kurung= peningkatan. Panjang plumula tertinggi akibat perlakuan PEG 6000 diperoleh pada genotipe BI485A/BP12 yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan BI599A/BP15, BI485/BP15, BI485/BP3, BI485/BP5 dan BI485/BP10 yaitu berturut-turut masing-masing 4.52, 4.46, 4.27, 4.03, 4.01 dan 3.87 cm dengan persentase penurunan masing-masing sebesar 17.7, 26.5, 31.6, 40.2 dan 35.4 persen. Panjang plumula terrendah diperoleh pada IR64 yaitu sebesar 2.02 cm dengan persentase penurunan sebesar 62.8 persen yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan Hipa 8 yaitu sebesar 2.79 cm dengan persentase penurunan 40.7 persen (Tabel 7). Pada kondisi defisit air terjadi pemanjangan akar yang mengakibatkan penghambatan pertumbuhan plumula. Hasil penelitian Zapico et al. (2008) menunjukkan bahwa selama proses

83 49 perkecambahan plumula lebih terhambat dibandingkan akar kecambah terhadap defisit air, karena banyak karbohidrat dipasok ke akar kecambah. Tabel 7 Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap panjang plumula dan bobot kering akar Panjang plumula (cm) Genotipe Kontrol 25% PEG Penurunan 6000 relatif (%) bc BI485A/BP gh a BI485A/BP gh abc BI485A/BP ghi cd BI485A/BP efg bc BI485A/BP fgh bc BI599A/BP hij ab BI599A/BP efg cde BI665A/BP hi Maro bc 5.76 j Hipa 8 efg 4.60 jk IR64 cd 5.43 k Limboto def 4.88 ij Bobot kering akar (mg) Kontrol 25% PEG Penurunan 6000 relatif (%) gh 1.70 cdefg 2.10 (23.5) defgh 1.90 efgh cdefg 2.10 cdef 2.20 (4.8) defgh 1.90 bcd 2.40 (26.3) cdefg 2.0 bc 2.40 (20.0) fgh 1.80 cdefg 2.00 (11.1) bcdef 2.30 a 3.10 (34.8) cdefg 2.00 bcdef 2.20 (10.0) bcde 2.30 bcdef ab 2.60 bcd ab 2.60 h a 2.90 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05; angka dalam kurung= peningkatan. Secara umum perlakuan PEG 6000 dapat meningkatkan bobot kering akar, karena terjadi pemanjangan akar dan terbentuknya rambut akar pada akar primer. Bobot kering akar tertinggi diperoleh pada genotipe BI599A/BP15 yaitu sebesar 3.10 mg dengan persentase peningkatan sebesar 34.8 persen, yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Limboto (cek toleran kekeringan) yaitu sebesar 2.90 mg, tetapi berbeda nyata dibandingkan dengan genotipe lainnya. Bobot kering akar terrendah diperoleh pada varietas IR64 (cek peka kekeringan) yaitu sebesar 1.50 mg dengan persentase penurunan sebesar 42.3 persen yang berbeda nyata dibandingkan dengan genotipe dan varietas cek lainnya, yang rata-rata bobot keringnya bervariasi antara mg (Tabel 7). Bobot kering kecambah rata-rata tertinggi akibat perlakuan PEG 6000 diperoleh pada genotipe BI599A/BP15 yaitu 5.70 mg dengan persentase penurunan sebesar 10.9 persen, yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Limboto yaitu sebesar 4.80 mg dengan persentase penurunan bobot kering kecambah yang relatif lebih tinggi yaitu sebesar 18.6 persen.

84 50 Bobot kering kecambah rata-rata Limboto tidak berbeda nyata dibandingkan dengan genotipe lain kecuali dengan genotipe BI599A/BP5, varietas Maro dan IR64. Bobot kering kecambah IR64 paling rendah yaitu 2.80 mg dengan persentase penurunan sebesar 51.7 persen (Tabel 8). Tabel 8 Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap bobot kering kecambah Genotipe Bobot kering kecambah (mg) Kontrol 25% PEG 6000 Penurunan relatif (%) BI485A/BP3 bcdefgh 5.00 ghi BI485A/BP5 ab 5.80 hi BI485A/BP10 abcd 5.60 hi BI485A/BP12 bcdefg 5.20 defghi BI485A/BP15 bcdefg 5.20 efghi BI599A/BP5 fghi 4.50 i BI599A/BP15 a 6.40 abc BI665A/BP6 bcdefg 5.00 fghi Maro bcdef 5.30 i Hipa 8 bcde 5.50 ghi IR64 ab 5.80 j Limboto ab 5.90 cdefgh Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05. Bobot kering kecambah yang tinggi pada beberapa genotipe yang diuji, karena terjadi pertumbuhan akar yang tetap diikuti pertumbuhan plumula (Tabel 6 dan 7). Diduga genotipe hibrida mampu memobilisasi cadangan makanan dalam benih untuk mendukung perkecambahan (pertumbuhan akar dan plumula), meskipun dalam kondisi defisit air. Serraj et al. (2008) menyatakan bahwa tanaman toleran merespon defisit air mungkin dengan mengoptimalkan proses-proses fisiologis pada fase-fase kritis sehingga tanaman dapat tumbuh dan menghemat air. Pada konsentrasi 25% PEG 6000 upaya pemanjangan akar semakin menghambat pertumbuhan plumula. Hal ini berimplikasi pada semakin rendahnya bobot kering kecambah (laju pertumbuhan kecambah) varietas IR64.

85 51 Peubah Penduga Toleransi Genotipe Padi Hibrida terhadap Kekeringan pada Fase Perkecambahan Hasil analisis komponen utama (AKU) menunjukkan bahwa komponen utama pertama mampu memberikan penjelasan paling besar pada keragaman kecambah yaitu sebesar 71.2 persen, sedangkan komponen utama kedua menerangkan keragaman sebesar 14.1 persen (Tabel 9). Komponen utama pertama menunjukkan bahwa bobot kering kecambah, indeks vigor, bobot kering akar, panjang akar dan panjang plumula memberikan sumbangan keragaman yang relatif besar yaitu masing-masing sebesar 0.51, 0.46, 0.46, 0.38 dan Pada komponen utama ke dua yang memberikan sumbangan keragaman didominasi oleh peubah panjang akar, bobot kering akar dan panjang plumula yaitu masing-masing sebesar -0.61, dan Tabel 9 Hasil analisis komponen utama beberapa peubah fase perkecambahan pada perlakuan larutan PEG 6000 Peubah Komponen utama I II III Indeks vigor Panjang akar Panjang plumula Bobot kering akar Bobot kering kecambah Akar ciri Proporsi keragaman (%) Kumulatif keragaman (%) Peubah-peubah yang memberikan kontribusi relatif besar terhadap keragaman dan saling berkorelasi dapat dijadikan sebagai indikator dalam mengelompokkan genotipe hibrida toleran kekeringan pada fase perkecambahan. Analisis kelompok berdasarkan peubah panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah menghasilkan dendrogram yang menempatkan genotipe BI485A/BP15, BI599A/BP15 dan varietas Hipa 8 satu kelompok dengan Limboto (toleran kekeringan) pada tingkat kemiripan 57.3%. Genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12,

86 52 BI599A/BP5, BI665A/BP6 dan varietas Maro satu kelompok dengan IR64 (peka kekeringan) (Gambar 3). Dengan demikian, metode seleksi menggunakan 25% larutan PEG 6000 pada fase perkecambahan berdasarkan kriteria panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah dapat menduga genotipe BI485A/BP15, BI599A/BP15 dan varietas Hipa 8 toleran kekeringan berdasarkan perbandingan varietas cek Limboto. Persen kemiripan 44, , , , BI485A/BP3 BI485A/BP10 Peka BI485A/BP5 BI599A/BP5 BI485A/BP12 BI665A/BP6 Genotipe/Varietas Toleran Maro IR64 BI485A/BP15 Hipa 8 BI599A/BP15 Limboto Gambar 3 Dendrogram genotipe padi hibrida toleran kekeringan berdasarkan peubah panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah Penggunaan PEG 6000 untuk pendugaan toleransi genotipe padi hibrida terhadap kekeringan dapat menggunakan sistem hidroponik (kultur hara). Selanjutnya untuk mengetahui kemungkinan penggunaan metode tersebut maka dilanjutkan pengujian pada fase bibit. A.3. Pengujian dengan 25% PEG dalam Larutan Hara pada Fase Bibit Penggunaan PEG 6000 untuk pendugaan toleransi padi hibrida terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit menunjukkan pengaruh yang relatif sama dengan pengujian pada fase perkecambahan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara PEG 6000 dan genotipe berpengaruh nyata terhadap tinggi tajuk, panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, nisbah bobot akar tajuk dan skor tingkat kekeringan daun (Lampiran 3). Hal ini mengindikasikan bahwa

87 53 terdapat perbedaan respon antar genotipe akibat perlakuan PEG 6000 konsentrasi 25% pada fase bibit (Tabel 10, 11 dan 12). Pada perlakuan PEG 6000, tinggi tajuk rata-rata tertinggi diperoleh pada genotipe BI485A/BP10 yaitu sebesar cm dengan persentase penurunan hanya 40.1 persen, yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan genotipe BI599A/BP15, BI485/BP15, BI485/BP12, BI485/BP3, BI599/BP5 dan varietas Maro, serta varietas cek Limboto dan IR64 yaitu berturut-turut sebesar 9.59, 9.03, 8.82, 8.53, 7.97, 10.05, 8.95 dan 8.44 cm. Bila dibandingkan dengan kontrol, persentase penurunan tinggi tajuk genotipe tersebut relatif tinggi yaitu berturutturut masing-masing sebesar 39.6, 51.9, 46.1, 41.5, 50.4, 44.5, 42.4 dan 47.0 persen. Tinggi tajuk terrendah diperoleh pada BI665A/BP6 yaitu 6.74 cm dengan persentase penurunan mencapai 53.5 persen, tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan genotipe BI485A/BP5, BI599A/BP5, BI485A/BP3 dan BI485A/BP12 (Tabel 10). Pada kondisi cekaman kekeringan pertumbuhan tajuk lebih terhambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan akar (Wu dan Cosgrove 2000). Oleh karena itu tinggi tajuk pada 25% larutan PEG 6000 lebih rendah dibanding dengan tanpa larutan PEG Pola pengaruh perlakuan PEG 6000 pada fase bibit terhadap panjang akar relatif sama dibandingkan dengan perlakuan PEG 6000 pada fase perkecambahan. Secara umum perlakuan PEG 6000 menyebabkan pemanjangan akar. Perlakuan PEG 6000 menghasilkan rata-rata panjang akar terpanjang pada genotipe BI485A/BP5 yaitu 8.29 cm atau meningkat sebesar 23.4 persen, yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan genotipe lainnya kecuali berbeda nyata dibandingkan dengan IR64 dan Hipa 8. Panjang akar rata-rata genotipe BI485A/BP15, BI485A/BP12 dan BI485A/BP10 yaitu masing-masing berturutturut sepanjang 8.11, 7.85, dan 7.71 cm, dengan persentase peningkatan panjang akar masing-masing sebesar 10.0, 26.6, 1.6 persen, berbeda nyata dibandingkan dengan panjang akar varietas cek IR64 yaitu 5.34 cm dengan persentase penurunan sebesar 38.4 persen. Varietas cek Limboto memiliki panjang akar yang relatif lebih panjang dibanding kontrol yaitu 6.39 cm atau meningkat sebesar 11.7 persen (Tabel 10).

88 54 Tabel 10 Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap tinggi tajuk dan panjang akar Tinggi tajuk (cm) Genotipe Kontrol 25% PEG Penurunan 6000 relatif (%) e BI485A/BP fghi de BI485A/BP ghi bcd BI485A/BP f cde BI485A/BP fghi ab BI485A/BP fgh de BI599A/BP fghi bcd BI599A/BP fg e BI665A/BP i Maro abc f Hipa 8 a hi IR64 de fghi Limboto de fgh Panjang akar (cm) Kontrol 25% PEG Penurunan 6000 relatif (%) bcde 6.56 abcde 6.98 (6.4) bcde 6.72 ab 8.29 (23.4) abcd 7.59 abc 7.71 (1.6) 6.20 cde abc 7.85 (26.6) abcd 7.37 abc 8.11 (10.0) abcde 7.12 abcde abcde 7.22 abcde abcde 7.25 abcde cde 6.19 bcde 6.56 (6.0) e 5.42 de 5.75 (6.1) a 8.67 e de 5.72 bcde 6.39 (11.7) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05; angka dalam kurung= peningkatan. Pemanjangan akar pada genotipe BI485A/BP5 menyebabkan pertumbuhan tajuk terhambat, sehingga lebih rendah dibanding genotipe lainnya. Wu dan Cosgrove (2000) menyatakan bahwa pemanjangan atau modifikasi akar merupakan bentuk adaptasi tanaman, sehingga akar mempunyai daya jangkau yang lebih dalam untuk mengabsorbsi air. Hamim et al. (2008) menyatakan bahwa kemampuan tanaman untuk mempertahankan pertumbuhan akar sangat penting dalam mempertahankan penyerapan air dan hara dalam keadaan cekaman kekeringan. Hasil penelitian Matsura et al. (1996) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara panjang akar dan kemampuan suatu genotipe untuk beradaptasi pada kondisi defisit air. Oleh karena itu genotipe yang memiliki akar yang relatif panjang pada 25% PEG 6000 diduga akan toleran terhadap cekaman kekeringan di lapangan. Beberapa genotipe antara lain BI599/BP15 terjadi keseimbangan antara pemanjangan akar dan pertumbuhan tajuk, yang menunjukkan bahwa genotipe ini toleran terhadap kekeringan. Jadi dalam menilai genotipe toleran terhadap kekeringan kedua peubah tersebut dapat menjadi pertimbangan. Peningkatan panjang akar akibat perlakuan PEG 6000 tidak diikuti dengan peningkatan bobot kering akar. Rata-rata persentase penurunan bobot kering akar berkisar antara persen (Tabel 11). Bobot kering akar tertinggi

89 55 diperoleh pada varietas cek Limboto yaitu seberat 4.00 mg dengan persentase penurunan 31.0 persen, yang berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP5 yaitu seberat 2.50 mg dengan penurunan bobot 55.4 persen. Genotipe BI599A/BP5 memiliki bobot kering akar paling rendah yaitu seberat 2.40 mg dengan penurunan bobot 63.1 persen. Genotipe hibrida dengan bobot kering akar rata-rata tertinggi adalah genotipe BI485A/BP12 dan BI599A/BP15 yaitu masing-masing seberat 3.50 mg dengan penurunan bobot yaitu berturut-turut masing-masing 45.3 dan 41.7 persen, tetapi tidak berbeda nyata dengan genotipe lainnya (Tabel 11). Penurunan bobot kering akar ini berkaitan dengan upaya tanaman untuk memacu pertumbuhan panjang akar, tetapi menekan pertambahan masa akar akibatnya kepadatan akar relatif kecil, yang berimplikasi pada penurunan bobot kering akar. Tabel 11 Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap bobot kering akar dan tajuk Bobot kering akar (mg) Bobot kering tajuk (mg) Kontrol Genotipe 25% PEG Penurunan Kontrol 25% PEG Penurunan 6000 relatif (%) 6000 relative (%) BI485A/BP3 ef 5.00 hij e f BI485A/BP5 def 5.60 ij cd f BI485A/BP10 a 8.20 hij a f BI485A/BP12 bcd 6.40 hi abc f BI485A/BP15 bcd 6.30 hij ab f BI599A/BP5 bcd 6.50 j bcd f BI599A/BP15 cde 6.00 hi cd f BI665A/BP6 fg 4.60 hij d f Maro b 7.20 hij abc f Hipa 8 bc 6.80 hij ab f IR64 def 5.50 hij d f Limboto de 5.80 gh de f Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05. Pengaruh perlakuan PEG 6000 terhadap persentase penurunan bobot kering tajuk berkisar antara persen (Tabel 11). Genotipe BI599A/BP15 memiliki bobot kering tajuk cenderung lebih tinggi dibanding dengan genotipe lainnya dan varietas cek yaitu seberat 6.60 mg dengan persentase penurunan 63.9 persen. Varietas cek Limboto memiliki bobot kering tajuk 6.20 mg dengan penurunan bobot sebesar 62.9 persen. Persentase penurunan bobot kering tajuk

90 56 terbesar akibat perlakuan PEG 6000 terdapat pada Hipa 8 yaitu sebesar 82.1 persen, sementara IR64 hanya sebesar 72.4 persen (Tabel 11). Nisbah bobot akar tajuk (NAT) meningkat pada perlakuan PEG Nisbah bobot kering akar terrendah diperoleh pada genotipe BI599A/BP15 yaitu 0.54, yang tidak berbeda nyata dibanding genotipe lainnya, tetapi berbeda nyata dibanding genotipe BI665A/BP6 dan Hipa 8. Genotipe BI665A/BP6 dan Hipa 8 yang memiliki NAT tertinggi yaitu masing-masing sebesar 0.74 dan 0.80 (Tabel 12). Tabel 12 Pengaruh larutan PEG 6000 terhadap nisbah bobot akar tajuk (NAT) dan skor tingkat kekeringan daun (SES IRRI) Genotipe Nisbah bobot akar tajuk (NAT) Skor tingkat kekeringan daun Kontrol 25% PEG 6000 Kontrol 25% PEG 6000 BI485A/BP3 d 0.37 bc 0.63 g 0.0 bc 4.9 BI485A/BP5 d 0.30 bc 0.63 g 0.0 a 8.3 BI485A/BP10 d 0.34 c 0.57 g 0.0 e 2.5 BI485A/BP12 d 0.30 bc 0.66 g 0.0 ef 2.2 BI485A/BP15 d 0.29 bc 0.62 g 0.0 de 3.1 BI599A/BP5 d 0.33 bc 0.61 g 0.0 ab 7.0 BI599A/BP15 d 0.33 c 0.54 g 0.0 e 2.1 BI665A/BP6 d 0.27 ab 0.74 g 0.0 ab 7.4 Maro d 0.34 bc 0.63 g 0.0 ef 1.5 Hipa 8 d 0.31 a 0.80 g 0.0 cd 4.2 IR64 d 0.31 bc 0.63 g 0.0 abc 5.3 d bc g ef Limboto Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05. Farooq et al. (2008) menyatakan bahwa cekaman kekeringan cenderung meningkatkan panjang perakaran tanaman dan rasio bobot akar tajuk, karena karbohidrat lebih banyak ditranslokasikan ke akar untuk perkembangan akar yang menyebabkan pertumbuhan tajuk terhambat, akibatnya NAT meningkat. Pada kondisi defisit air yang meningkat, pertumbuhan tanaman dicegah dan ukuran berbagai bagian tumbuhan berbeda (Praba et al. 2009). Perlakuan PEG 6000 menyebabkan daun mengalami kekeringan. Berdasarkan skor tingkat kekeringan daun, genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP15 dan varietes Maro tidak berbeda nyata dengan varietas cek Limboto (Tabel 12). Genotipe tersebut berada pada

91 57 kategori skor tingkat kekeringan daun antara 0 3 yang termasuk kategori toleran kekeringan berdasarkan kriteria SES IRRI. Galle dan Feller (2007) dan Agbicodo et al. (2009) menyatakan bahwa pertahanan tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan adalah dengan membatasi perkembangan luas daun, menyebabkan perkembangan akar untuk mendapatkan air dan penutupan stomata untuk membatasi transpirasi. Rendahnya skor tingkat kekeringan daun pada beberapa genotipe hibrida yang diuji disebabkan karena genotipe tersebut memiliki kemampuan menggulungkan daun terutama bagian ujung dengan pangkal daun yang tetap membuka, sehingga transpirasi dapat ditekan dan fotosintesis masih dapat berlangsung (Gambar 4). BI485/BP10 BI485/BP12 BI485/BP15 BI599/BP15 IR64 Limboto Gambar 4 Penampilan daun beberapa genotipe hibrida dan varietas cek pada konsentrasi 25% larutan PEG 6000 Peubah Penduga Toleransi Genotipe Padi Hibrida terhadap Kekeringan pada Fase Bibit Hasil analisis komponen utama (AKU) menunjukkan bahwa komponen utama pertama mampu memberikan penjelasan paling besar pada keragaman fase bibit yaitu sebesar 60.6 persen, sedangkan komponen utama kedua menerangkan keragaman sebesar 25.2 persen (Tabel 13). Pada komponen utama pertama menunjukkan bahwa tinggi tajuk, panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan nisbah bobot akar tajuk serta skor tingkat kekeringan daun memberikan sumbangan keragaman yang relatif besar yaitu masing-masing sebesar 0.49, 0.06,

92 , 0.51, dan Pada komponen utama kedua yang memberikan sumbangan keragaman didominasi oleh peubah panjang akar sebesar 0.63, peubah NAT sebesar dan peubah bobot kering akar sebesar Tabel 13 Hasil analisis komponen utama beberapa peubah fase bibit pada perlakuan PEG 6000 Peubah Komponen utama I II III Tinggi tajuk Panjang akar Bobot kering akar Bobot kering tajuk Nisbah bobot akar tajuk Skor kekeringan daun Akar cirri Proporsi keragaman (%) Kumulatif keragaman (%) Peubah-peubah yang memberikan kontribusi relatif besar terhadap keragaman dan saling berkorelasi dapat dijadikan sebagai indikator dalam mengelompokkan genotipe hibrida toleran kekeringan pada fase bibit. Analisis kelompok berdasarkan peubah bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun menghasilkan dendrogram pada tingkat kemiripan 64.0%, penggunaan larutan PEG 6000 pada fase bibit dapat memisahkan dua kelompok genotipe hibrida. Kelompok pertama adalah genotipe yang satu kelompok dengan varietas cek Limboto (toleran kekeringan) yang terdiri atas BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI485A/BP10, BI599A/BP15 dan varietas Maro. Kelompok kedua adalah genotipe yang satu kelompok dengan varietas cek IR64 (peka kekeringan), yang terdiri atas BI485A/BP3, BI665A/BP6, BI485A/BP5, BI599A/BP5 dan Hipa 8 (Gambar 5). Dengan demikian, metode seleksi menggunakan 25% larutan PEG 6000 pada fase bibit berdasarkan kriteria bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun dapat menduga genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI485A/BP10, BI599A/BP15 dan varietas Maro toleran kekeringan berdasarkan perbandingan varietas cek Limboto.

93 59 Evaluasi dan karakterisasi serta seleksi tanaman padi yang toleran cekaman kekeringan merupakan tahap yang penting dalam pemuliaan tanaman. Untuk melakukan proses seleksi genotipe hibrida khususnya yang berhubungan dengan toleransi cekaman kekeringan dapat dilakukan dengan melihat ciri-ciri morfologi terutama pada sistem perakarannya. Farid (2004) melaporkan karakter morfologi tinggi tanaman, panjang akar dan bobot tajuk padi gogo umur 15 hari setelah tanam dapat digunakan sebagai karakter seleksi toleran terhadap kekeringan. Babu et al. (2003) melaporkan bahwa karakter akar berkorelasi positif dengan produksi pada kondisi cekaman kekeringan. Oleh karena itu peubah-peubah yang saling berkorelasi dapat dijadikan indikator untuk mengelompokkan genotipe hibrida toleran kekeringan. Persen kemiripan 41, , , , BI485A/BP3 Peka IR64 Hipa 8 BI485A/BP5 BI599A/BP5 BI665A/BP6 BI485A/BP10 Genotipe/Varietas Toleran BI599A/BP15 BI485A/BP12 BI485A/BP15 Maro Limboto Gambar 5 Dendrogram genotipe padi hibrida toleran kekeringan berdasarkan peubah bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun Selanjutnya untuk mengetahui efektifitas penggunaan PEG 6000 dalam mendeteksi secara dini genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan, maka harus ada perbandingan dengan hasil uji lapangan atau perlakuan cekaman kekeringan yang mendekati kondisi lapangan. Untuk itu dilakukan pengujian dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan bahwa seleksi dengan menggunakan media tanah atau campuran media tanah dengan bahan lain di pot akan memberikan tekanan seleksi yang hampir mendekati keadaan kekeringan di lapangan.

94 60 B. Pengujian dengan Perlakuan Cekaman Kekeringan di Pot Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan Hasil analisis ragam menunjukkan interaksi cekaman kekeringan dan genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, panjang daun bendera, panjang akar dan nisbah bobot akar tajuk. Interaksi cekaman kekeringan dan genotipe hanya berpengaruh nyata pada peubah bobot kering tajuk dan bobot kering akar (Lampiran 4). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan respon antar genotipe akibat cekaman kekeringan pada peubah bobot kering tajuk dan bobot kering akar (Tabel 14), sedangkan pada peubah pertumbuhan yang lain, respon antar genotipe akibat cekaman kekeringan relatif sama karena pemberian cekaman yang relatif singkat pada saat pertumbuhan vegetatif yang sudah stabil. Bobot kering akar terrendah akibat perlakuan cekaman kekeringan diperoleh pada IR64 yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI665A/BP6, Maro dan Hipa 8. Meskipun demikian akibat perlakuan cekaman kekeringan bobot kering akar genotipe BI485A/BP12 meningkat sebesar 38.4 persen. Bobot kering akar tertinggi terdapat pada varietas cek Limboto dengan peningkatan sebesar 27.9 persen, yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan genotipe BI599A/BP15 dengan peningkatan 13.2 persen dan BI599A/BP5 dengan peningkatan 21.5 persen. Genotipe tersebut tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP5 dan BI485A/BP3 serta varietas Maro dan Hipa 8, yang masingmasing bobot kering akarnya relatif menurun akibat perlakuan cekaman kekeringan (Tabel 14). Bobot kering akar yang meningkat pada beberapa genotipe diduga karena tanaman lebih mengembangkan masa akar dengan membentuk rambut-rambut akar dari pada pemanjangan akar sebagai upaya untuk memperluas daya jangkau akar untuk mendapatkan air. Hal ini berimplikasi pada meningkatnya bobot kering akar tetapi membatasi pertumbuhan panjang akar. Adanya hambatan mekanis untuk penetrasi dan perkembangan akar karena volume tanah dalam pot yang terbatas menyebabkan pengaruh cekaman kekeringan terhadap panjang akar tidak berbeda nyata antar genotipe. Breseghello et al. (2008) menyatakan cekaman kekeringan menyebabkan perubahan arsitektur akar (tingginya kerapatan dan

95 61 kedalaman akar) yang sama untuk semua kultivar, namun terdapat korelasi negatif kedalaman akar yang ditanam pada pot dengan hasil. Tabel 14 Pengaruh cekaman kekeringan di pot dan genotipe terhadap bobot kering akar dan bobot kering tajuk Bobot kering akar (g) Bobot kering tajuk (g) Genotipe Kontrol Cekaman Penurunan Kontrol Cekaman Penurunan kekeringan relatif (%) kekeringan relatif (%) BI485A/BP3 a defgh a ab BI485A/BP5 abcd bcdef bcde bcde (1.7) BI485A/BP10 bcde 9.67 bcdefg ef cdef (13.1) BI485A/BP12 i 4.45 efghi 6.16 (38.4) g fg (38.9) BI485A/BP15 abc ghi bcde ef BI599A/BP5 defghi 7.72 bcdefg 9.38 (21.5) cdef abcd (16.7) BI599A/BP15 cdefg 8.46 bcdef 9.57 (13.2) cdef bcde (16.0) BI665A/BP6 cdefgh 8.42 efghi def cdef (4.0) Maro bcdefg 8.87 defghi bcde fg Hipa 8 ab defghi bcde bcdef IR64 cdefgh 8.08 hi ef fg Limboto cdefgh 8.25 abcd (27.9) bcdef abc (17.1) x y Rata-rata (0.5) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05; angka dalam kurung= peningkatan. Bobot kering tajuk beberapa genotipe meningkat akibat perlakuan cekaman kekeringan tetapi tidak berbeda nyata dibanding kontrol. Bobot kering tajuk terrendah diperoleh pada varietas IR64 yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro dan Hipa 8. Bobot kering tajuk tertinggi terdapat pada genotipe BI599A/BP3 yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Limboto, genotipe BI485A/BP5, BI599A/BP5, BI485A/BP15 dan varietas Hipa 8. Peningkatan bobot kering tajuk berkaitan dengan adanya upaya pemulihan (recovery) tanaman karena adanya pengairan kembali. Bentuk pemulihan tanaman yaitu munculnya tunas pada buku batang utama dan anakan baru. Kemampuan pemulihan berhubungan dengan kemampuan kultivar membentuk anakan setelah kekeringan (Lilley dan Fukai 1994). Hal ini terjadi pada semua genotipe yang diuji termasuk varietas cek baik Limboto maupun IR64 meskipun pada proporsi yang berbeda-beda, kecuali pada genotipe BI665A/BP3 dan Hipa 8 yang tidak membentuk anakan/tunas baru. Adanya daya pemulihan tanaman dengan munculnya tunas/anakan baru

96 62 menyebabkan bobot kering tajuk meningkat sehingga nisbah bobot akar tajuk pada saat panen tidak berbeda nyata antar genotipe. Kadar Air Relatif Daun Cekaman kekeringan menurunkan kadar air relatif daun (KARD) baik genotipe hibrida maupun varietas cek. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP3, BI599A/BP15, BI485A/BP10 dan Limboto dapat mempertahankan KARD tetap tinggi yaitu berturut-turut masing-masing sebesar 61.9, 52.8, 46.1, 45.5 dan 50.4 persen (Gambar 6). Praba et al. (2009) menyatakan bahwa cekaman air mengurangi kadar air relatif daun, pemanjangan daun dan stabilitas membran. Kadar air relatif (%) BI485A/BP3 BI485A/BP Pengairan normal BI485A/BP10 BI485A/BP12 BI485A/BP15 BI599A/BP5 BI599A/BP15 Cekaman kekeringan BI665A/BP6 Maro Hipa 8 IR64 Limboto Gambar 6 Pengaruh cekaman kekeringan di pot terhadap kadar air relatif daun Hamim et al. (2008) menyatakan kekeringan menyebabkan penurunan kadar air relatif hingga lebih dari 43%, sedangkan kadar air relatif tanaman kontrol mendekati 80%. Praba et al. (2009) menyatakan mekanisme toleransi yang membedakan kultivar toleran dan peka pada gandum dan padi adalah pengaturan konduktansi stomata dan pemeliharaan status air daun. Klorofil Perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan penurunan kandungan klorofil pada semua genotipe yang diuji (Gambar 7). Liu et al. (2006) melaporkan bahwa cekaman kekeringan dapat menurunkan kandungan klorofil daun barley baik

97 63 genotipe peka kekeringan maupun toleran kekeringan. Kandungan klorofil genotipe toleran Tamor dan Arta menurun masing-masing sebesar 10.7 dan 1.6 persen dan genotipe peka Marocco9-75 dan W12291 menurun masing-masing sebesar 31.3 dan 30.1 persen. Colom dan Vazzana (2003) dan Subrahmanyam et al. (2006) menyatakan bahwa cekaman kekeringan yang berat dapat mengakibatkan kerusakan langsung pada perangkat-perangkat fotosintesis seperti fotosistem I dan II (PSI dan PSII). Hasil penelitian Pieters dan Souki (2005) menunjukkan bahwa cekaman kekeringan menyebabkan aktivitas PS II dan kandungan klorofil pada daun bendera tanaman padi berkurang, tetapi sebaliknya kandungan xantofil daun meningkat yang dapat menyerap kelebihan cahaya akibat penyinaran yang tinggi pada kondisi kekeringan. Klorofil (Skor SPAD 502) BI485A/BP3 BI485A/BP5 Pengairan normal Cekaman kekeringan BI485A/BP10 BI485A/BP12 BI485A/BP15 BI599A/BP5 BI599A/BP15 BI665A/BP6 Maro Hipa 8 IR64 Limboto Gambar 7 Pengaruh cekaman kekeringan di pot terhadap kandungan klorofil skor SPAD 502 Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Komponen Hasil dan Hasil Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi cekaman kekeringan dan genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap peubah panjang malai, bobot 100 butir dan persentase gabah hampa. Interaksi hanya berpengaruh nyata pada peubah jumlah gabah isi per malai, bobot gabah per rumpun dan indeks panen (Lampiran 4). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan respon antar genotipe akibat cekaman kekeringan pada peubah jumlah gabah isi per malai, bobot gabah per rumpun dan indeks panen (Tabel 15 dan 17). Pada perlakuan cekaman kekeringan, jumlah gabah isi tertinggi diperoleh pada genotipe BI485A/BP12 yaitu sebanyak 94.9 butir dengan penurunan relatif hanya 47.6 persen yang tidak berbeda nyata dengan genotipe lainnya dan varietas

98 64 cek Limboto, kecuali berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP3 dan IR64 yaitu masing-masing menghasilkan jumlah gabah 2.1 butir dengan penurunan relatif 97.2 persen dan 35.7 butir dengan penurunan relatif 73.2 persen. Jumlah gabah isi yang rendah karena meningkatnya gabah hampa dengan rata-rata peningkatan dapat mencapai 72.1 persen (Tabel 16). Liu et al. (2006) menyatakan bahwa cekaman air dapat menggagalkan polen untuk menyerbuk sampai 67 persen dari total gabah per malai. Saat terjadi penyerbukan, polen mencapai mikrofil pada ovul lebih lama 1 8 hari. Polen tidak dapat keluar pada permukaan bunga karena bunga gagal membuka akibat cekaman kekeringan. Hal ini berimplikasi pada penurunan hasil (bobot gabah per rumpun) yang sangat drastis dengan rata-rata penurunan relatif dapat mencapai 78.0 persen (Tabel 17), karena cekaman kekeringan terjadi pada fase kritis (fase reproduktif) yaitu tepat pada saat antesis atau awal pengisian biji. Praba et al. (2009) menyatakan bahwa padi sangat peka terhadap cekaman kekeringan yang terjadi tak lama setelah heading. Kekeringan dalam waktu singkat yang bertepatan dengan fase pembungaan menyebabkan penurunan produksi gabah dan indeks panen secara drastis dibanding kontrol (Hijmans dan Serraj 2008). Tabel 15 Pengaruh cekaman kekeringan di pot dan genotipe terhadap jumlah gabah isi per malai Jumlah gabah isi (butir) Genotipe Kontrol Cekaman Penurunan relatif kekeringan (%) BI485A/BP3 ef 74.5 g BI485A/BP5 bc ef BI485A/BP10 bc ef BI485A/BP12 bc de BI485A/BP15 b ef BI599A/BP5 cd efg BI599A/BP15 b ef BI665A/BP6 bc efg Maro bc efg Hipa 8 b ef IR64 cd fg Limboto a ef Rata-rata x y 68.6 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05.

99 65 Pada stadia bunga mekar (anthesis), sel-sel polen selama meiosis lebih peka terhadap cekaman air, dan defisit air selama fase tersebut secara signifikan mengurangi pembentukan biji sebagai akibat sterilitas serbuk sari (Saini dan Aspinall 1982). Cekaman kekeringan pada fase reproduktif menghambat eksersi malai dan pecahnya anter (Praba et al. 2009), karena menurunnya pemanjangan pangkal malai, yang menyebabkan sterilitas gabah yang ada di dalam pelepah daun, sehingga hasil gabah menurun (Ji et al. 2005). Cekaman kekeringan yang diberikan pada saat pembungaan akan menyebabkan penurunan gabah isi hingga 80 persen (Liu et al. 2006). Jumlah gabah isi yang rendah akibat perlakuan cekaman kekeringan, berimplikasi pada persentase gabah hampa yang tinggi yaitu berkisar antara persen, sedangkan bobot seratus butir tidak berbeda nyata antar genotipe. Penurunan bobot seratus butir relatif kecil yaitu hanya sebesar 11.0 persen ( Tabel 16). Tabel 16 Pengaruh cekaman kekeringan di pot terhadap persentase gabah hampa dan bobot 100 butir Persentase gabah hampa Bobot seratus butir (g) Genotipe per malai (%) Kontrol Cekaman Kontrol Cekaman Penurunan kekeringan kekeringan relatif (%) BI485A/BP BI485A/BP BI485A/BP BI485A/BP BI485A/BP BI599A/BP BI599A/BP BI665A/BP Maro Hipa IR Limboto Rata-rata y 24.7 x 72.1 x 2.45 y Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada masing-masing peubah berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05. Genotipe BI485A/BP3 baik pada cekaman kekeringan maupun kontrol cenderung menghasilkan gabah hampa yang tinggi. Genotipe ini mempunyai kemampuan membentuk anakan yang banyak tetapi tidak diikuti dengan pengisian

100 66 biji yang baik sehingga menghasilkan gabah isi dan bobot gabah per rumpun sangat rendah (Tabel 17). Feng et al. (2007) menyatakan bahwa jumlah anakan yang banyak menyebabkan kehampaan gabah dan berkurangnya bobot malai. Bobot gabah per rumpun akibat perlakuan cekaman kekeringan tertinggi diperoleh pada genotipe BI599A/BP15 yaitu sebesar g yang tidak berbeda nyata dengan BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, Limboto, Hipa 8 dan Maro. Genotipe BI485A/BP3 memiliki bobot gabah per rumpun paling rendah yaitu 0.53 g yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan IR64 (Tabel 17). Bobot gabah genotipe BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 akibat cekaman kekeringan menurun berturut-turut sebesar 70.9, 67.6, 64.8, 75.9 dan 70.1 persen yang relatif sama dengan Limboto (76.8 persen) tetapi relatif lebih rendah dibanding IR64 yaitu sebesar 85.4 persen. Hal ini berimplikasi pada nilai indeks panen yang tinggi pada genotipe BI485A/BP12 yaitu sebesar 0.47 kemudian diikuti genotipe BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15, berturut-turut sebesar 0.32, 0.32, 0.30 dan 0.29 (Tabel 15). Villa et al. (2011) melaporkan bahwa indeks panen hibrida yang tinggi, disebabkan realokasi cadangan karbohidrat yang sangat efektif pada padi hibrida dibandingkan dengan inbrida, baik pada kondisi tanpa cekaman kekeringan maupun cekaman kekeringan. Peng et al. (1999) menyatakan bahwa tingginya produksi hibrida dibanding dengan inbrida terutama karena meningkatnya produksi biomasa. Kumar et al. (2006) dan Kamoshita et al. (2004) menyatakan bahwa pembagian asimilat dari batang dan daun ke biji meningkat selama cekaman kekeringan dengan cara mempercepat penuaan pada daun, periode pengisian biji lebih pendek, tetapi remobilisasi meningkat. Yang et al. (2001) menyatakan bahwa selama pra antesis, persen 14 C tersimpan pada batang, ketika terjadi cekaman kekeringan persen 14 C lebih tinggi direlokasikan ke biji dibandingkan dengan jumlah yang diremobilisasi pada kondisi tanpa cekaman kekeringan. Genotipe yang memiliki bobot gabah per rumpun dan indeks panen yang tinggi berimplikasi pada nilai indeks toleransi kekeringan (IT) yang tinggi dan indeks kepekaan kekeringan (ISK) yang rendah. IT tertinggi dan ISK terrendah diperoleh pada genotipe BI485A/BP12 yaitu masing-masing sebesar 35.0 persen

101 67 dan 0.83, diikuti BI599A/BP15 yaitu masing-masing sebesar 30.2 persen dan Genotipe lain yang menunjukkan indek toleransi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Limboto adalah BI485A/BP5, BI485A/BP10 dan BI485A/BP15 (Tabel 17). Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 merupakan hibrida F1 dari tetua toleran cekaman kekeringan. Genotipe BI485A/BP12 juga merupakan genotipe yang berumur genjah, karena itu genotipe ini memberikan hasil lebih tinggi dibanding genotipe lainnya pada kondisi kekeringan. Sikuku et al. (2010) melaporkan bahwa varietas NERICA 2 toleran kekeringan dengan bobot gabah per malai dan rasio gabah isi lebih tinggi dan merupakan varietas genjah dibanding NERICA 4 dan 11. Pencapaian hasil yang relatif baik dari beberapa genotipe tersebut, karena kemampuannya dalam mengatur proses fisiologis antara lain mengurangi kehilangan air. Tabel 17 Pengaruh cekaman kekeringan di pot dan genotipe terhadap bobot gabah per rumpun, indeks panen, indeks toleransi dan indeks kepekaan terhadap kekeringan Bobot gabah per Genotipe rumpun (g) Kontrol Cekaman kekeringan BI485A/BP3 f i 0.53 BI485A/BP5 a fg BI485A/BP10 abc fgh BI485A/BP12 de fg a BI485A/BP fgh BI599A/BP5 ab gh BI599A/BP15 abc fg BI665A/BP6 ab gh Maro bcd gh Hipa 8 abc gh IR64 cde hi Limboto e gh Rata-rata x y Penurunan relatif (%) Indeks panen IT (%) Kontrol Cekaman kekeringan fg 0.33 h bcd 1.14 fg b 1.23 fg a 1.64 f bcd 1.11 fg bc 1.17 g bcd 1.12 fg b 1.21 g cd 0.99 gh de 0.96 gh bcd 1.09 gh e 0.80 gh x 1.07 y 0.24 ISK Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05; IT=indeks toleransi kekeringan; ISK=indeks kepekaan terhadap kekeringan.

102 68 Simpulan 1. Seleksi dengan PEG 6000 konsentrasi 25% pada fase perkecambahan cukup efektif digunakan untuk menduga toleransi genotipe padi hibrida terhadap cekaman kekeringan. 2. Dari metode seleksi dini pada fase perkecambahan, peubah panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah merupakan peubah untuk pendugaan genotipe padi hibrida toleran kekeringan. 3. Dari metode seleksi dini pada fase bibit, peubah bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun merupakan peubah untuk pendugaan genotipe padi hibrida toleran kekeringan. 4. Genotipe BI485A/BP15, BI559A/BP15 dan varietas Hipa 8 toleran kekeringan berdasarkan metode seleksi dini pada fase perkecambahan. 5. Genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI559A/BP15 dan varietas Maro toleran kekeringan berdasarkan metode seleksi dini pada fase bibit. 6. Genotipe BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 adalah toleran kekeringan berdasarkan metode seleksi dini baik pada fase perkecambahan, fase bibit dan metode pot.

103 69 RESPON AGRONOMI, MORFOLOGI DAN FISIOLOGI PADI HIBRIDA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DI LAHAN SAWAH Response of Agronomy, Morphology and Physiology of Hybrid Genotypes Tolerant to Drought in Lowland Abstrak Penelitian bertujuan mengetahui respon agronomi, fisiologi dan morfologi genotipe padi hibrida terhadap simulasi cekaman kekeringan di lahan sawah dan mendapatkan genotipe hibrida yang berpotensi dikembangkan di lahan sawah tadah hujan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Riset Padi Babakan, University Farm IPB, Bogor, pada bulan Desember 2011 sampai Maret Penelitian menggunakan rancangan split plot dengan 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan cekaman kekeringan yang terdiri atas tanpa cekaman kekeringan dan cekaman kekeringan pada akhir fase vegetatif hingga awal pengisian biji. Cekaman kekeringan yang diberikan ialah 60% kapasitas lapangan. Anak petak adalah genotipe/varietas terdiri atas genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro, Hipa 6, Hipa 7, Hipa 8, IR-64 dan Limboto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 pada kondisi cekaman kekeringan mengalami penurunan panjang akar relatif kecil, menghasilkan bobot gabah per rumpun, indeks panen dan daya hasil gabah per hektar yang lebih tinggi serta indeks kepekaan terhadap kekeringan 0.50 yang lebih rendah dibanding dengan genotipe lainnya. Bobot gabah per rumpun genotipe tersebut hanya menurun masing-masing sebesar 9.5, 16.1 dan 15.6 persen, sedangkan IR64 mencapai 52.7 persen. Genotipe toleran kekeringan (BI599/BP15) pada kondisi cekaman kekeringan memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah, tetap mempertahankan kadar air relatif daun yang tinggi serta memiliki kandungan karbohidrat non struktural pada batang, pelepah dan daun yang lebih rendah dibanding kontrol. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 merupakan genotipe toleran kekeringan dan potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan. Kata kunci: cekaman kekeringan, lahan sawah, padi hibrida Abstract An experiment was conducted at Babakan Experiment Station, University Farm IPB, Bogor, from December 2011 until March The objective of the experiment was to study agronomy, morphology and physiology of hybrid genotypes in response to drought stress in lowland and determine hybrid genotypes tolerant to drought. A split plot design was used with 3 replications. The main plot was drought stress consisted of control and drought stress at the end vegetative stage, until early grain filling period. The sub plot was hybrid genotypes, consisted of BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, Maro, Hipa 6, Hipa 7, Hipa 8, IR-64 and Limboto. The results showed that genotypes BI485A/BP12,

104 70 BI485A/BP15 and BI559A/BP15 in drought stress conditions had relatively less reduction in root length, resulting in higher grain weight, harvest index and grain yield higher and less in index of sensitivity to drought 0.50 than the other genotypes. The grain weight of the genotypes decreased 9.5, 16.1 and 15.6 percent, respectively, while IR64 decreased 52.7 percent. Hybrid genotypes tolerant to drought (BI599/BP15) under drought stress condition had less stomatal density, higher leaf relative water content and less in non-structural carbohydrate content in stem, sheath and leaf. Genotypes BI485A/BP12, BI485A/BP15 and BI559A/BP15 were tolerant to drought and potentially can be developed in rainfed lowland. Keywords: drought stress, lowland, hybrid rice Pendahuluan Salah satu masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi beras nasional adalah meningkatnya alih fungsi lahan subur dan produktif, untuk kegiatan pembangunan non pertanian. Pergeseran ini menyebabkan lahan sawah beririgasi semakin sempit, sehingga upaya intensifikasi mengarah pada lahanlahan marginal dengan sumber daya air yang sangat terbatas seperti lahan sawah tadah hujan. Lahan sawah tadah hujan yang selama ini belum dimanfaatkan dengan optimal diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi beras nasional. Kendala yang sering muncul pada lahan sawah tadah hujan adalah kekeringan, karena terbatasnya periode hujan. Efek negatif dari kekeringan adalah menurunkan pertumbuhan tanaman dan bahkan menggagalkan panen. Kekeringan dapat menurunkan laju pertumbuhan akar, tajuk tanaman dan indeks luas daun (Perez et al. 1996; Olsson et al. 1997; Farooq et al. 2008). Menurunnya pertumbuhan akar ini akan menurunkan penyerapan hara dan air sehingga proses fisiologi dan fotosintesis menurun, akibatnya menurunkan pertumbuhan dan meningkatkan kehampaan gabah. Pada akhirnya kekeringan menurunkan hasil bahkan sampai menggagalkan panen (Takagi 1976; Van Dat 1986; Samaullah et al. 1996; IRRI 2002). Oleh karena itu diperlukan varietas/genotipe padi yang berdaya hasil tinggi serta toleran terhadap kekeringan, sehingga dapat beradaptasi dengan baik di lahan sawah tadah hujan. Seleksi akan efektif dan efisien bila telah diketahui respon morfologi, fisiologi yang berkorelasi dengan karakter agronomi di lapangan. Seleksi

105 71 langsung di lapangan pada lingkungan sawah tadah hujan dapat dilakukan di lahan sawah melalui simulasi cekaman kekeringan. Metode seleksi akan baik bila terdapat konsistensi antar metode pengujian dengan hasil di lapangan terhadap cekaman kekeringan pada padi (Samaullah dan Darajat 2001). Penelitian bertujuan untuk mengetahui respon agronomi, fisiologi dan morfologi genotipe padi hibrida terhadap simulasi cekaman kekeringan di lahan sawah dan mendapatkan genotipe hibrida yang berpotensi dikembangkan di lahan sawah tadah hujan. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai April 2012, di Laboratorium Lapangan Riset Padi Babakan, University Farm Institut Pertanian Bogor, Bogor. Metode Penelitian Percobaan ini menggunakan rancangan split plot dalam rancangan acak kelompok 3 ulangan. Petak utama merupakan simulasi kekeringan di lahan sawah yang mengkondisikan tanah tanpa genangan atau daerah akar tercekam kekeringan yang terdiri atas 2 taraf yaitu kontrol (pengairan optimal), dan cekaman kekeringan (penghentian pengairan empat minggu setelah tanam hingga dua minggu setelah antesis). Anak petak adalah varietas/genotipe hibrida yang terdiri dari 14 taraf yaitu genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro, Hipa 6, Hipa 7, Hipa 8, IR-64 (cek peka kekeringan), Limboto (cek toleran kekeringan). Pelaksanaan Percobaan Pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia, sama dengan percobaan cekaman kekeringan di pot. Penyiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah dua kali, untuk pelumpuran tanah yang baik. Ukuran petak percobaan setiap unit perlakuan 2.0 m x 1.5 m. Terdapat 14 petak percobaan

106 72 sebagai kelompok, untuk 8 genotipe dan 4 varietas hibrida serta 2 variteas cek peka dan toleran kekeringan. Jarak antar perlakuan pada anak petak adalah 0.25 m, jarak antar petak utama 2.0 m dan jarak antar kelompok dibuat dengan lebar 5.0 m. Untuk menghindari pengaruh rembesan dari petakan percobaan lain, maka petakan perlakuan cekaman kekeringan dibuat jarak 5.0 m dengan petakan percobaan yang ada di sekitarnya yang disertai dengan pembuatan saluran drainase sebagai penghalang. Bibit hasil persemaian dipindahtanam (transplanting) setelah berumur 21 hari. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 25 cm, bibit ditanam 1 bibit per lubang. Pemupukan dilakukan dengan Urea 300 kg, SP kg, dan KCl 100 kg per hektar. Seluruh pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea diberikan tiga kali, masing-masing pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara optimal, sedangkan penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan landak dan cara manual pada saat tanaman berumur tiga dan lima minggu setelah tanam. Untuk menjamin keseragaman waktu pemberian perlakuan cekaman kekeringan pada saat antesis, maka masing-masing varietas/genotipe ditanam berdasarkan periode waktu berbunga. Urutan penanaman yaitu genotipe BI599A/BP5 dan Hipa 8, lima hari kemudian ditanam BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI665A/BP6, Maro dan IR64, dan setelah sembilan hari dari tanam pertama ditanam BI485A/BP3, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP15, Hipa 6, Hipa 7 dan Limboto. Sistem pengairan berdasarkan perlakuan (karakter sawah) yang dicobakan. Pengaturan pengairan pada setiap petak dilakukan sesuai perlakuan. Pada perlakuan kontrol, air dipertahankan dalam kondisi optimal selama fase pertumbuhan hingga panen. Tinggi air pada petakan disesuaikan fase pertumbuhan tanaman. Perlakuan cekaman kekeringan dilakukan dengan menghentikan pengairan 4 minggu setelah tanam hingga 2 minggu setelah antesis untuk mengkondisikan cekaman kekeringan pada saat antesis/awal pengisian biji. Petak percobaan yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan dihindarkan dari pengaruh hujan selama periode pengeringan dengan membangun rumah plastik. Setelah periode pengeringan, naungan rumah plastik dibuka dan petakan tersebut

107 73 dikondisikan seperti kontrol. Monitor kadar air tanah selama masa pengeringan tersebut menggunakan alat pengukur kadar air tanah (soil moisture meters, TRIME-TDR), yang ditempatkan di tengah petakan percobaan. Peubah yang diamati adalah (a) karakter agronomi dan morfologi (panjang akar, luas daun dan tinggi tanaman, bobot kering tajuk, bobot kering akar, nisbah bobot akar-tajuk, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi, persentase gabah hampa, bobot 1000 butir, bobot gabah per rumpun, indeks panen, umur berbunga 50%, umur panen 85% menguning dan periode pengisian biji serta indeks penurunan rata-rata terhadap setiap peubah); (b) karakter fisiologi (kerapatan stomata, kadar air relatif daun, kandungan klorofil dan kandungan karbohidrat nonstruktural); dan (c) peubah toleransi cekaman kekeringan yaitu indeks toleransi (IT) dan indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK). Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap data curah hujan dan suhu sebagai data pendukung. Indeks toleransi (IT) dihitung dengan menggunakan formula: Ys IT (%) = x 100 Yn Keterangan: Ys = Hasil gabah genotipe padi yang tumbuh pada perlakuan cekaman kekeringan Yn = Hasil gabah genotipe padi yang tumbuh pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol) Kriteria untuk menentukan tingkat toleransi tanaman terhadap kekeringan adalah berdasarkan perbandingan nilai IT varietas cek (Limboto). Indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK) dihitung berdasarkan formula yang telah dikembangkan oleh Fischer dan Maurer (1978) sebagai berikut: ISK=(1-Hc/Hk)/(1-Hcr/Hkr) Keterangan: ISK = Indeks kepekaan genotipe tertentu Hc = Hasil gabah dari genotipe tertentu pada perlakuan cekaman kekeringan Hk = Hasil gabah dari genotipe tertentu pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol)

108 74 Hcr = Rata-rata hasil gabah dari seluruh genotipe pada perlakuan cekaman kekeringan Hkr = Rata-rata hasil gabah dari seluruh genotipe pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol) Kriteria untuk menentukan tingkat toleransi tanaman terhadap kekeringan adalah berdasarkan perbandingan nilai ISK varietas cek (Limboto). Pengamatan pada peubah fisiologi menggunakan 2 genotipe hibrida yaitu BI485/BP3 (kategori peka), BI599/BP15 (ketegori toleran) dan 2 varietas cek yaitu IR64 (kategori peka), Limboto (kategori toleran) serta Hipa 7 (hibrida baru). Pengamatan dilakukan pada umur 8 minggu setelah tanam (akhir perlakuan cekaman kekeringan). Kadar air relatif daun ditentukan dengan menimbang 0.5 g daun segar (Bs). Daun direndam dalam air selama 4 jam, kemudian ditimbang berat basa daun (Bb). Daun dikeringkan selama 24 jam pada suhu 85 0 C, kemudian ditentukan berat keringnya (Bk) (Farooq et al. 2010). Kadar air relatif daun (%) ditentukan berdasarkan persamaan: KAR (%) = ((Bs-Bk)/(Bb-Bk)) x 100. Analisis klorofil dilakukan berdasarkan metode Yoshida et al. (1976). Sebanyak ± 0.03 g daun sampel yang diambil dari daun ke satu, ke dua dan ke tiga, dihaluskan dengan mortar. Selama penghalusan daun sampel ditambahkan aseton 80% sebanyak 4 ml untuk menghindari pencoklatan pada sampel. Daun yang sudah halus dimasukkan ke dalam tabung reaksi selanjutnya disentrifuge rpm selama dua menit. Supernatan diambil, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi bersih. Endapan pada tabung reaksi ditambah aseton 80% sebanyak 4 ml, disentrifuge kembali, kemudian supernatan dicampurkan ke dalam tabung reaksi yang sudah terisi supernatan 4 ml. Supernatan sebanyak 8 ml dari hasil dua kali sentrifuge divortek selama beberapa menit, selanjutnya ditera 10 ml dengan penambahan aseton 80%. Hasil peneraan dibaca menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang A645 dan A663. Kandungan klorofil ditentukan dengan menggunakan persamaan seperti disajikan pada Lampiran 5. Analisis karbohidrat total (non struktural), dilakukan berdasarkan metode yang dimodifikasi dari Yoshida et al. (1976). Sebanyak 100 mg sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge. Ke dalam sampel ditambahkan 2 ml air distilasi dan dipanaskan selama 15 menit dalam air

109 75 mendidih. Selanjutnya didinginkan, setelah dingin ditambahkan 2 ml 9.2 N HClO 4, kemudian didiamkan selama 15 menit sambil sekali-sekali diaduk. Setelah itu, ditepatkan menjadi 10 ml dan disentrifuge. Supernatan dimasukkan dalam tabung sentrifuge bersih. Pada residu ditambahkan kembali 2 ml 4.6 N HClO 4, kemudian didiamkan selama 15 menit sambil sekali-kali diaduk. Selanjutnya ditepatkan menjadi 10 ml dan disentrifuge. Supernatan dari dua kali sentrifuge sebanyak 20 ml ditera menjadi 50 ml. Dipipet 100 μl ekstrak, kemudian ditambahkan H 2 O menjadi 2 ml. Selanjutnya ke dalam ekstrak ditambahkan 5 ml reagent Anthrone 0.1%, kemudian divortek. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih selama 7.5 menit, kemudian didinginkan dalam bak yang berisi air es. Setelah itu ekstrak dibaca menggunakan spektofotometer pada 630 nm. Kandungan karbohidrat total (glukosa) ditentukan dengan menggunakan persamaan seperti disajikan pada Lampiran 5. Data hasil pengamatan (kecuali data hasil pengamatan fisiologi) dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara peubah dari metode seleksi dini terhadap hasil. Sementara itu data hasil pengamatan peubah fisiologi dilakukan tabulasi dan data rata-rata hasil tabulasi ditampilkan dalam bentuk diagram. Hasil dan Pembahasan A. Karakter Agronomi dan Morfologi pada Kondisi Cekaman Kekeringan A.1. Pertumbuhan Genotipe Padi Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan Hasil analisis ragam menunjukkan interaksi cekaman kekeringan dan genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, luas daun, umur berbunga 50% dan nisbah bobot akar tajuk. Interaksi kekeringan dan genotipe hanya berpengaruh nyata pada peubah panjang akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, umur panen dan periode pengisian biji (Lampiran 6).

110 76 Akibat cekaman kekeringan di lahan sawah yang terjadi di akhir fase vegetatif hingga dua minggu setelah antesis menunjukkan bahwa peubah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, luas daun, umur berbunga 50% dan nisbah bobot akar tajuk antar genotipe tidak berbeda nyata, yang secara umum mengalami penurunan relatif kecil yaitu berturut-turut masing-masing sebesar 15.1, 16.6 dan 9.8 persen (Tabel 18). Tabel 18. Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan luas daun Tinggi tanaman (cm) Anakan poduktif Luas daun (cm 2 ) Genotipe Kontrol Cekaman kekeringan Kontrol Cekaman kekeringan Kontrol Cekaman kekeringan BI485A/BP BI485A/BP BI485A/BP BI485A/BP BI485A/BP BI599A/BP BI599A/BP BI665A/BP Maro Hipa Hipa Hipa IR Limboto Rata-rata x y x 11.7 y 9.8 x y Penurunan relatif (%) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada masing-masing peubah berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = Sementara itu cekaman kekeringan pada kadar air ± 60% kapasitas lapangan, mulai terjadi pada awal fase pengisian biji (Gambar 8). Kadar air tanah pada kapasitas lapangan (pf 2.54) yaitu 25.6% dan titik layu permanen (pf 4.2) yaitu 15.5%. Dengan demikian pada saat terjadi cekaman kekeringan pertumbuhan tanaman telah stabil, oleh karena itu penurunan pertumbuhan relatif kecil. Secara umum tinggi tanaman akibat cekaman kekeringan pada genotipe hibrida berkisar cm dan varietas hibrida berkisar

111 77 cm, sedangkan varietas ceka Limboto dan IR-64 berturut-turut yaitu dan cm. Jumlah anakan produktif genotipe hibrida berkisar anakan, dan varietas hibrida berkisar anakan, sedangkan varietas cek Limboto dan IR-64 berturut-turut 6.0 dan 12.3 anakan. Sementara itu luas daun genotipe hibrida berkisar cm 2 dan varietas hibrida berkisar cm 2, sedangkan varietas cek Limboto dan IR-64 berturut-turut dan cm 2 (Tabel 18). Kadar air tanah (% volume) Minggu setelah tanam Gambar 8 Perubahan kadar air tanah selama periode pengeringan pada kedalaman ± 16 cm Hal yang berbeda terjadi pada peubah panjang akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, umur panen dan periode pengisian biji. Akibat perlakuan cekaman kekeringan antar genotipe/varietas memberikan respon yang berbeda pada peubah panjang akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, umur panen dan periode pengisian biji. Panjang akar antar genotipe berbeda nyata baik pada kondisi tanpa cekaman kekeringan (kontrol) maupun cekaman kekeringan. Panjang akar pada kondisi cekaman kekeringan lebih pendek dibandingkan dengan pada kontrol. Pada kondisi cekaman kekeringan genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12 dan BI599A/BP5 serta varietas cek Limboto menghasilkan panjang akar yang lebih panjang yaitu berturut-turut masing-masing 19.44, dan cm serta cm, berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP5, varietas cek IR64 dan Hipa 6 (Tabel 19). Berdasarkan nilai penurunan relatif, semua genotipe yang diuji menunjukkan penurunan panjang akar yang relatif kecil (berkisar antara persen) bila dibandingkan dengan varietas cek IR64 (mencapai 33.6 persen)

112 78 kecuali genotipe BI665A/BP6, yang mengalami penurunan panjang akar 33.7 persen. Fenomena penghambatan pemanjangan akar pada kondisi cekaman kekeringan bila dibandingkan dengan tanpa cekaman kekeringan diduga berhubungan dengan perubahan sifat fisik tanah sawah, setelah mengalami kekeringan. Pembajakan dan pelumpuran tanah menyebabkan banyaknya butir tanah halus yang akan meningkatkan pori mikro dan pembentukan lapisan tapak bajak yang kedap air. Tabel 19 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap panjang akar saat panen Panjang akar (cm) Genotipe Kontrol Cekaman Penurunan relatif (%) Kekeringan BI485A/BP3 bcde h BI485A/BP5 cdef i BI485A/BP10 cdefg fgh BI485A/BP12 abcd gh BI485A/BP15 defgh h BI599A/BP5 fghi gh BI599A/BP15 abcd h BI665A/BP6 a h Maro efghi hi Hipa 6 efghi i Hipa 7 bcde hi Hipa 8 abc h IR64 bcd i Limboto ab gh Rata-rata x y 23.6 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = Perubahan sifat fisik tanah sawah akibat pembentukan padas akan menghambat drainase dan dalamnya akar tanaman tetapi tidak menghambat akar ke samping, sehingga pada perlakuan kontrol masih terjadi pemanjangan akar secara horisontal (Darmawijaya 1997). Perubahan sifat fisik tanah tersebut, jika mengalami kekeringan menyebabkan tanah sawah membentuk struktur tanah yang kompak dan keras sehingga menghambat pertumbuhan akar baik secara vertikal maupun horisontal, akibatnya rata-rata panjang akar genotipe padi hibrida pada

113 79 kondisi kekeringan tidak lebih panjang dari kontrol. Beberapa hasil penelitian di lahan sawah (Gowda et al. 2011) menunjukkan bahwa 69% - 94% akar terdapat pada kedalaman 10 cm dan sangat sedikit akar ditemukan >30 cm. Penetrasi akar ke dalam secara vertikal dapat membantu padi menghindari cekaman kekeringan, meskipun demikian penetrasi akar dibatasi oleh kehadiran hardpan. Hardpan yang berkembang dari pelumpuran dapat memperbaiki kapasitas retensi air tanah (Sharma dan De Datta 1985), tetapi menghalangi penetrasi akar untuk mencapai kelembaban pada zona yang lebih dalam setelah tanah mengalami kekeringan (Babu et al. 2001; Clark et al. 2002; Samson et al. 2002). Gowda et al. (2011) melaporkan bahwa pada kondisi genangan dan macak-macak, resistensi penetrasi akar pada kedalaman 10 cm masing-masing sebesar 0.64 MPa dan 1.70 MPa. Selanjutnya dilaporkan bahwa pada kekuatan tanah MPa, penetrasi akar menurun >50 persen dan sangat menurun pada 3.00 MPa dan >3.00 MPa (Bengough dan Mullins 1990). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa panjang akar varietas cek Limboto pada kondisi cekaman kekeringan memiliki akar yang lebih panjang, tetapi berdasarkan nilai penurunan relatif panjang akar dapat mencapai 29.7 persen, namun masih lebih rendah dibanding IR64 (Tabel 19). Gowda (2011) menyatakan bahwa terdapat variasi genetik pada kedalaman akar, kultivar padi gogo cenderung memiliki akar dalam dibanding kultivar padi sawah. Hal yang sama dinyatakan oleh Yu et al. (1995) bahwa secara umum kultivar padi gogo memiliki kemampuan penetrasi yang baik dibandingkan dengan kultivar padi sawah. Lafitte et al. (2006) melaporkan bahwa penurunan panjang akar genotipe padi sawah IR2266 lebih besar bila dibandingkan dengan genotipe padi gogo CT9993, yang lebih beradaptasi pada kondisi kekurangan air di lahan sawah tadah hujan. Lebih lanjut Lafitte et al. (2006) melaporkan bahwa cekaman kekeringan dapat menurunkan hasil gabah padi sawah sebesar 75 persen. Masle (1992) menyatakan bahwa pengaruh hardpan pada perkembangan akar menyebabkan terjadinya perubahan secara fisiologi dan morfologi pada pertumbuhan termasuk penurunan laju transpirasi dan penambahan luas daun dan akhirnya penurunan pada akumulasi bahan kering.

114 80 Bobot kering tajuk dan akar tanaman juga menurun akibat cekaman kekeringan, kecuali bobot kering tajuk varietas cek Limboto tidak berbeda nyata antara kontrol dan cekaman kekeringan. Pada kondisi cekaman kekeringan, bobot kering tajuk antar genotipe tidak berbeda nyata. Genotipe BI665A/BP6 menghasilkan bobot kering tajuk tertinggi, kemudian diikuti varietas cek Limboto dan genotipe/varietas cek lainnya (Tabel 20). Penurunan bobot kering tajuk pada kondisi cekaman kekeringan berdasarkan nilai penurunan relatif berkisar antara 26.9 persen sampai dengan 63.7 persen. Varietas cek Limboto dan genotipe BI485A/BP12 akibat cekaman kekeringan mengalami penurunan bobot kering tajuk kurang dari 30 persen. Tabel 20 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap bobot kering tajuk saat panen Genotipe Bobot kering tajuk (g) Kontrol Cekaman Kekeringan Penurunan relatif (%) BI485A/BP3 cdef hij BI485A/BP5 bcde ij BI485A/BP10 efg ij BI485A/BP12 fgh ij BI485A/BP15 defg ij BI599A/BP5 efgh ij BI599A/BP15 bc ghij BI665A/BP6 b efgh Maro def ij Hipa 6 b j Hipa 7 bcde ij Hipa 8 a ij IR64 bcd ij Limboto bcdef fghij Rata-rata x y 45.6 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = Penurunan bobot kering tajuk berkaitan dengan penurunan luas daun, sebagai upaya untuk menghindari cekaman kekeringan. Sinclair dan Muchow (2001) menyatakan bahwa ukuran daun yang lebih kecil menyebabkan daun kehilangan kesempatan untuk intersepsi radiasi matahari lebih banyak, mengakibatkan produksi bahan kering menurun. Pola pengaruh cekaman kekeringan terhadap bobot kering tajuk, sama halnya dengan pada bobot kering akar. Penurunan bobot kering akar akibat cekaman kekeringan berdasarkan nilai

115 81 penurunan relatif cukup besar yaitu antara 33.4 persen sampai dengan 69.3 persen. Gowda et al. (2011) menyatakan bahwa pengaruh cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan akar mungkin berbeda sebab masa akar dan panjang akar dapat menunjukkan tren yang berlawanan khususnya ketika diameter akar menurun karena kekeringan menyebabkan akar lebih panjang tetapi masa akar berkurang. Hal ini berimplikasi pada besarnya penurunan bobot kering akar (Tabel 21). Tabel 21 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap bobot kering akar saat panen Genotipe Bobot kering akar (g) Kontrol Cekaman Kekeringan Penurunan relatif (%) BI485A/BP3 bcde 2.38 fgh BI485A/BP5 bcde 2.38 fgh BI485A/BP10 bcde 2.37 gh BI485A/BP12 defg 1.82 h BI485A/BP15 bcde 2.32 fgh BI599A/BP5 cdef 2.09 gh BI599A/BP15 bc 2.63 fgh BI665A/BP6 bc 2.73 efgh Maro bcde 2.41 gh Hipa 6 bc 2.75 h Hipa 7 bcd 2.54 gh Hipa 8 a 3.49 gh IR64 ab 2.96 gh Limboto bc 2.75 fgh Rata-rata x y 48.0 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = Penurunan bobot kering tajuk yang diikuti penurunan bobot kering akar pada kondisi cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan nisbah bobot kering akar tajuk (NAT) relatif kecil pada beberapa genotipe yang diduga toleran kekeringan seperti genotipe BI485A/BP5, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15. Nisbah bobot akar tajuk juga bervariasi antar sistem budidaya. Pada kondisi lahan kering nisbah bobot akar tajuk meningkat (Price et al. 2002), dibandingkan dengan nisbah akar-tajuk pada kondisi lahan sawah (Azhiri-Sigari et al. 2000; Banoc et al. 2000). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan nisbah bobot akar tajuk dan pertumbuhan

116 82 panjang akar, tetapi kondisi kekeringan yang sangat parah dan kehadiran hardpan telah mengurangi partisi asimilat ke akar (Gowda et al. 2011). Pengamatan yang dilakukan pada saat tanaman berbunga menunjukkan bahwa umur berbunga 50 persen tidak berbeda nyata antar genotipe akibat perlakuan kekeringan di lahan sawah, tetapi umur panen antar genotipe berbeda nyata (Tabel 22). Hal ini berkaitan dengan cekaman kekeringan mulai terjadi pada akhir fase vegetatif hingga dua minggu setelah antesis (Gambar 8). Tabel 22 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap umur panen dan periode pengisian biji Umur berbunga (hari) Umur panen (hari) Periode pengisian Genotipe biji (hari) Kontrol Cekaman Kontrol Cekaman Kontrol Cekaman kekeringan kekeringan kekeringan BI485A/BP fg efg bcde 27.7 bcde 28.0 BI485A/BP efg gh ab 29.7 abc 29.0 BI485A/BP jkl ijk fghi 24.7 defg 26.3 BI485A/BP lm n 99.7 ghij 24.3 k 21.3 BI485A/BP hi m bcde 28.0 efgh 25.7 BI599A/BP de def ab 29.7 abc 29.0 BI599A/BP fg lm bcde 27.3 ijk 23.0 BI665A/BP c c defg 26.3 bcde 27.3 Maro gh klm bcde 28.0 efgh 25.7 Hipa d efg ghij 24.0 hijk 23.7 Hipa efg efg fghi 24.7 cdef 27.0 Hipa ab a cdef 27.0 bcd 28.3 IR def c fghi 24.7 a 31.0 Limboto ij ijk jk 22.0 jk 22.0 Rata-rata x y x y Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = Pada perlakuan cekaman kekeringan, beberapa genotipe lebih mempercepat umur panen atau memperpendek periode pengisian biji (Tabel 22). Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 serta Maro akibat cekaman kekeringan mempercepat hari kematangan gabah/umur panen 4 hingga 5 hari dibanding kontrol. Periode pengisian biji pada genotipe tersebut juga menjadi lebih pendek yaitu berturut-turut masing-masing 21.3, 25.7 dan 23.0 hari dibanding varietas cek IR64, yang mencapai 31.0 hari (Tabel 22). Yang et al. (2003) melaporkan bahwa defisit air selama pengisian biji pada padi, dapat menginduksi senesen lebih awal, penurunan fotosintesis, meningkatnya

117 83 remobilisasi cadangan C pra-simpan dari batang ke biji dan memperpendek periode waktu pengisian biji. Periode aktif pengisian biji dapat dipersingkat 5-6 hari pada kondisi cekaman kekeringan moderat dan hari pada kondisi cekaman kekeringan parah dibanding dengan tanpa cekaman kekeringan. A.2. Komponen Hasil dan Hasil Padi Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi cekaman kekeringan dan genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap peubah panjang malai, jumlah gabah isi per malai dan bobot butir. Interaksi cekaman kekeringan dan genotipe hanya berpengaruh nyata pada persentase gabah hampa, bobot gabah per rumpun, hasil gabah per hektar dan indeks panen (Lampiran 6). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan respon antar genotipe akibat cekaman kekeringan pada peubah persentase gabah hampa, bobot gabah per rumpun, hasil gabah per hektar dan indeks panen. Tabel 23. Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap panjang malai, jumlah gabah isi dan bobot butir Panjang malai (cm) Jumlah gabah isi Bobot butir (g) Genotipe (butir) Kontrol Cekaman Kontrol Cekaman Kontrol kekeringan kekeringan BI485A/BP BI485A/BP BI485A/BP BI485A/BP BI485A/BP BI599A/BP BI599A/BP BI665A/BP Maro Hipa Hipa Hipa IR Limboto Rata-rata x y 88.0 x 56.1 y x Cekaman kekeringan Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti huruf yang tidak sama pada masing-masing peubah berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = y

118 84 Akibat perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah yang terjadi pada akhir fase vegetatif hingga dua minggu setelah antesis, antar genotipe secara umum menghasikan panjang malai, jumlah gabah isi dan bobot gabah butir yang relatif sama, akan tetapi pada peubah jumlah gabah isi cenderung tinggi pada genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP15, Limboto dan Hipa 7 dibanding dengan IR64. Jumlah gabah isi genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP15, Limboto dan Hipa 7 yaitu berturut-turut sebesar 88.9, 69.1, 84.0, 78.7 dan 67.9 butir, sedangkan IR64 hanya 35.0 butir (Tabel 23). Hal ini berimplikasi pada rendahnya persentase gabah hampa genotipe/varietas tersebut. Pada perlakuan cekaman kekeringan genotipe BI485A/BP12, BI599A/BP15, BI485A/BP15 dan BI485A/BP10 menghasilkan persentase gabah hampa terrendah yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Limboto dan Hipa7 yaitu berturut-turut sebesar 41.2, 46.9, 48.1 dan 54.0 persen serta 48.3 dan 54.4 persen (Tabel 24). Hal ini berimplikasi pada tingginya bobot gabah per rumpun genotipe BI485A/BP12 yaitu sebesar g yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP15, BI599A/BP15 dan varietas Hipa 7 serta Limboto yaitu berturut-turut sebesar 12.40, 16.78, 17.02, dan g (Tabel 24). Daya hasil BI485A/BP12 adalah 2.82 ton ha -1 yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP15, BI599A/BP15 yaitu berturut-turut sebesar 1.98, 2.58, 2.72, 2.04 dan 2.73 ton ha -1, sedangkan IR64 hanya menghasilkan gabah 1.42 ton ha -1 (Tabel 25). Hasil genotipe hibrida tersebut erat kaitannya dengan meningkatnya remobilisasi cadangan asimilat dari daun dan batang ke biji pada kondisi defisit air. Yang et al. (2003) menyatakan bahwa kondisi defisit air, selama pengisian biji dapat meningkatkan remobilisasi C dan pengisian biji pada padi hibrida yang dihasilkan dari sistem tiga galur. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 akibat perlakuan cekaman kekeringan menurunkan bobot gabah per rumpun yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan varietas IR64, tetapi relatif sama dengan varietas Limboto dan Hipa 7. Penurunan relatif bobot gabah per rumpun pada genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP15, varietas Limboto dan Hipa 7 berturut-turut hanya sebesar 9.5, 16.1, 15.6, 14.1 dan 23.7 persen, sedangkan IR64 menurun sebesar 52.7 persen (Tabel 24).

119 85 Tabel 24 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap persentase gabah hampa dan bobot gabah per rumpun Persentase gabah Genotipe hampa (%) Kontrol Cekaman kekeringan BI485A/BP3 cdefgh 60.3 ab 73.9 BI485A/BP5 defghi 56.5 bcdef 63.8 BI485A/BP10 ij 44.7 efghij 54.0 BI485A/BP12 hij 48.0 j 41.2 BI485A/BP15 ghij 50.0 hij 48.1 BI599A/BP5 hij 48.0 bcdef 63.5 BI599A/BP15 efghi 55.2 hij 46.9 BI665A/BP6 abcd 68.5 a 79.9 Maro fghij 50.4 abcd 68.7 Hipa 6 fghij 51.4 bcdefg 63.0 Hipa 7 efghij 54.0 efghij 54.4 Hipa 8 bcdefg 63.2 abc 70.6 IR64 hij 48.7 abcd 66.3 Limboto hij 48.5 hij 48.3 Rata-rata y 53.4 x 60.2 Bobot gabah (g rumpun -1 ) Penurunan Kontrol Cekaman relatif (%) kekeringan abcde hi bcdef fghi a defgh abc abcd a abcde abcde efghi a abcd defghi i ab fghi abcde efghi abcde defg cdef ghi abc fghi a abcd x y Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = Villa et al. (2011) melaporkan bahwa secara umum hasil biji padi hibrida lebih tinggi dibanding dengan padi inbrida pada berbagai kondisi lingkungan. Pada lahan sawah yang tercekam kekeringan, padi hibrida yang berbunga lebih awal umumnya produksinya tinggi. Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh Lafitte dan Courtois (2002) bahwa produksi pada kondisi cekaman kekeringan secara konsisten lebih tinggi pada kultivar yang matang lebih awal. Kumar et al. (2006) menyatakan bahwa pada kondisi cekaman kekeringan pada padi, bahan kering diredistribusi dari daun dan batang, berkontribusi secara nyata pada hasil biji kultivar NSG-19 dan Sabita yang matang lebih awal. Selanjutnya Lafarge et al. (2009) menyatakan bahwa tingginya hasil hibrida, akibat laju pertumbuhan batang yang tinggi dan partisi asimilat yang baik diantara organ-organ tanaman.

120 86 Tabel 25 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap hasil gabah per hektar, indeks panen, indeks toleransi kekeringan dan indeks kepekaan kekeringan Hasil gabah (ton ha -1 ) Indeks panen (IP) Indeks Genotipe Kontrol Cekaman kekeringan abcde BI485A/BP bcdef BI485A/BP a BI485A/BP abc BI485A/BP a BI485A/BP abcde BI599A/BP a BI599A/BP defghi BI665A/BP Maro ab Hipa 6 abcde Hipa 7 abcde Hipa 8 cdef IR64 abc Limboto a Rata-rata x hi fghi defgh abcd abcde efghi abcd i fghi efghi defg ghi fghi abcd y Kontrol fghij hijk cdefg bcd cdefg defghi fghij jk cdefgh ghijk ghijk jk fghij cdefgh Cekaman kekeringan y x ijk cdefghi cdef a ab cdefgh bc k defghi bcde cdefg hijk efghi cdef toleransi kekeringan (%) Indeks kepekaan kekeringan Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = Persentase gabah hampa yang tinggi pada beberapa genotipe akibat perlakuan cekaman kekeringan (Tabel 24) berimplikasi pada indeks panen yang rendah (Tabel 25). Indeks panen pada perlakuan cekaman kekeringan berbeda nyata antar genotipe. Genotipe BI485A/BP12 menghasilkan indeks panen tertinggi yaitu 0.76, kemudian diikuti genotipe BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 dengan nilai indeks panen masing-masing 0.70 dan Villa et al. (2011) melaporkan bahwa indeks panen padi hibrida nyata lebih tinggi dibandingkan dengan padi inbrida baik pada kondisi cekaman kekeringan maupun tanpa cekaman kekeringan. Yang et al. (2003) menyatakan bahwa tingginya indeks panen karena meningkatnya remobilisasi asimilat akibat defisit air. Defisit air menyebabkan laju pengisian biji meningkat dan periode waktu pengisian biji memendek. Rata-rata laju pengisian biji pada tanaman yang mengalami kekeringan moderat dan kekeringan parah, telah meningkat 22% dan 48% pada percobaan pot dan 19% dan 38% pada percobaan lapangan, dibandingkan dengan kondisi tanpa cekaman kekeringan. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa

121 87 penurunan biomasa tanaman genotipe peka akibat cekaman kekeringan akan berdampak pada penurunan hasil padi, sehingga biomasa dan indeks panen yang tinggi dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk mendapatkan genotipe toleran kekeringan. Hasil gabah dan indeks panen yang tinggi pada genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP15 menyebabkan nilai indeks toleransi relatif tinggi dan indeks kepekaan terhadap kekeringan yang relatif rendah pada genotipe tersebut (Tabel 25). Berdasarkan nilai indeks toleransi yang relatif tinggi yaitu lebih dari 80 persen dengan persentase penurunan hasil gabah per rumpun kurang dari 20 persen dan indeks kepekaan terhadap kekeringan kurang dari 0.5 atau nilai-nilai dari peubah toleransi terhadap cekaman kekeringan yang relatif sama dengan varietas cek Limboto maka genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 termasuk kategori toleran kekeringan. B. Karakter Fisiologi Genotipe Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan Tanaman dalam menghadapi kondisi cekaman kekeringan akan memberikan respon perubahan morfologi dan serangkaian proses fisiologi yang bermuara pada toleransi terhadap cekaman kekeringan. Perubahan pada proses fisiologi akibat perlakuan cekaman kekeringan berupa terhambatnya proses pembelahan sel, sintesis protein, fotosintesis termasuk perubahan partisi dan akumulasi karbohidrat (Mitra 2001; Altman 2003; Pieters dan Souki 2005) dan perubahan konduktansi stomata serta kadar air relatif daun (Zulkarnain et al. 2009). B.1. Kerapatan Stomata dan Kadar Air Relatif Daun Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe BI599A/BP15 yang termasuk genotipe toleran kekeringan, baik berdasarkan metode pengujian dengan PEG 6000 maupun perlakuan cekaman kekeringan di pot, menghasilkan tingkat kerapatan stomata yang rendah dan tetap mempertahankan status air daun relatif tetap tinggi (Gambar 9 dan 10) akibat perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah. Tingkat kerapatan stomata yang rendah diduga dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan, karena efisiensi stomata mengontrol pengurangan kehilangan air. Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki (2007) menyatakan bahwa salah satu respon tanaman terhadap kondisi defisit air

122 88 adalah berkurangnya kerapatan stomata. Selain itu, Kumar et al. (2006) melaporkan bahwa meningkatnya produksi bahan kering pada kondisi kekeringan terkait dengan pemeliharaan kadar air relatif daun yang tinggi pada pembungaan. Pengurangan bahan kering pada IR-20 pada cekaman kekeringan, karena terjadi pengurangan kadar air relatif daun. Pengairan normal Cekaman kekeringan Kerapatan stomata (mm -2 ) BI485A/BP3 BI485A/BP15 BI599A/BP15 IR64 Limboto Hipa 7 Gambar 9 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kerapatan stomata Jongdee et al. (2002) menyatakan bahwa kemampuan memelihara status potensial air daun selama cekaman kekeringan nampaknya penting untuk stabilitas produksi pada lingkungan yang mengalami kekeringan. Venuprasad et al. (2011) melaporkan bahwa pemberian cekaman kekeringan yang lama yaitu hari setelah tanam pada galur-galur padi Near Isogenic (NILs) menunjukkan terjadinya penurunan kadar air relatif daun. Penurunan kadar air relatif daun NILs peka menunjukkan kecenderungan penurunan yang tinggi dibanding NILs toleran, walaupun perbedaan ini tidak nyata secara statistik. Pada 97 hari setelah tanam kadar air relatif nyata lebih tinggi pada galur toleran dibanding galur peka IR B. Sama dengan hasil penelitian ini, penelitian pada tanaman kacang tunggak menunjukkan kultivar toleran dapat mempertahankan kadar air relatif daun lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar peka kekeringan (Gunes et al. 2008; Jain dan Chattopadhyay 2010).

123 89 Pengairan normal Cekaman kekeringan KARD (%) BI485A/BP3 BI599A/BP15 IR64 Limboto Hipa 7 Gambar 10 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kadar air relatif daun B.2. Klorofil Akibat cekaman kekeringan kandungan klorofil daun pada genotipe hibrida dan varietas cek menunjukkan penurunan kecuali pada varietas Limboto (Gambar 11). Banyak peneliti telah melaporkan bahwa cekaman kekeringan dapat menyebabkan terganggunya aktivitas fotosistem II, akibat penurunan kandungan klorofil (Pieters dan Souki 2005). Defisit air secara nyata mengurangi laju fotosintesis daun bendera selama pengisian biji. Degradasi kandungan klorofil juga berkaitan dengan proses senesen. Cekaman kekeringan pada genotipe toleran dapat mempercepat laju senesen. Yang et al. (2003) menyatakan bahwa pada kondisi pengairan yang baik, kandungan klorofil daun bendera menurun secara perlahan dengan menuanya daun. Laju penurunan meningkat setelah tanaman terekspos pada defisit air. Defisit air yang meningkat menyebabkan peningkatan penuaan daun. Induksi senesen yang terjadi lebih awal akibat defisit air mungkin berhubungan dengan reduksi serapan N dari tanah dan meningkatnya sintesis ABA (Davies dan Zhang 1991). Penurunan fotosintesis akibat defisit air berhubungan dengan senesen lebih awal dan menurunnya kandungan klorofil (Siddique et al. 1999). Izanloo et al. (2008) melaporkan bahwa pada kondisi defisit air kultivar gandum toleran kekeringan RAC875 menunjukkan daun yang lebih tebal, luas daun bendera yang lebih kecil dan kadar klorofil lebih tinggi

124 90 dibandingkan dengan Kurki dan Excalibur. Kandungan klorofil yang tinggi pada RAC875 mungkin refleksi ketebalan daun pada kultivar tersebut. Daun yang tebal akan memiliki kerapatan kloroplas yang lebih tinggi per satuan luas dan karena itu kadar klorofil tinggi per satuan luas daun. Varietas cek Limboto diduga memiliki strategi seperti ini (daun yang tebal), sehingga kandungan klorofil daun tetap tinggi pada akhir cekaman kekeringan. Klorofil (mg g -1 ) Klorofil a Klorofil b BI485A/BP3 (kontrol) Kekeringan BI599A/BP15 (kontrol) Kekeringan IR64 (kontrol) Kekeringan Limboto (kontrol) Kekeringan Hipa 7 (kontrol) Kekeringan Gambar 11 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kandungan klorofil B.3. Karbohidrat Total Kandungan karbohidrat pada batang, pelepah dan daun genotipe padi hibrida lebih rendah akibat cekaman kekeringan, sedangkan pada akar cenderung lebih tinggi dibanding tanpa cekaman kekeringan (kontrol). Kandungan karbohidrat daun genotipe BI485A/BP3 dan BI599A/BP15 pada kondisi cekaman kekeringan lebih rendah dibanding kontrol berturut-turut dan mg g -1, sedangkan kontrol berturut-turut dan mg g -1. Sama halnya dengan kandungan karbohidrat daun pada varietas IR64, Limboto dan Hipa 7, juga cenderung rendah pada kondisi cekaman kekeringan tetapi lebih tinggi dibanding genotipe BI485A/BP3 dan BI599A/BP15 berturut-turut , dan mg g -1, dibanding kontrol. Kandungan karbohidrat daun varietas IR64, Limboto dan Hipa

125 91 7 pada kontrol berturut-turut , , mg g -1. Sementara itu akibat cekaman kekeringan, karbohidrat pelepah dan batang genotipe hibrida terutama BI599A/BP15 mengalami penurunan yang sangat tinggi dibanding kontrol yaitu berturut-turut 53.9 dan 56.7 persen. Kandungan karbohidrat batang genotipe BI599A/BP15 pada kondisi cekaman kekeringan juga lebih rendah (84.85 mg g -1 ) bila dibanding kandungan karbohidrat batang pada genotipe BI485A/BP3 ( mg), varietas cek IR-64 ( mg g -1 ), Limboto ( mg g -1 ) dan Hipa 7 ( mg g -1 ). Kandungan karbohidrat akar baik pada genotipe hibrida maupun varietas cek akibat cekaman kekeringan, cenderung lebih tinggi dibanding kontrol. Genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP15, varietas IR-64, Limboto dan Hipa 7 akibat cekaman kekeringan memiliki kandungan karbohidrat akar berturut-turut , , , dan mg g -1, sedangkan pada kontrol memiliki kandungan karbohidrat akar berturut-turut 88.60, , 85.02, , dan mg g -1 (Gambar 12). Karbohidrat (mg glukosa g bk -1 ) Daun Pengairan normal Cekaman kekeringan Pelepah Karbohidrat (mg glukosa g bk -1 ) BI485A/BP3 BI599A/BP15 IR64 Limboto Hipa 7 Batang BI485A/BP3 BI599A/BP15 IR64 Limboto Hipa 7 Akar Gambar 12 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap karbohidrat non struktural

126 92 Kandungan karbohidrat yang lebih rendah baik pada batang, pelepah dan daun pada kondisi cekaman kekeringan disebabkan oleh karena realokasi asimilat pra-antesis yang cepat dari daun dan batang ke biji selama fase pengisian biji. Yang et al. (2003) menyatakan bahwa defisit air selama pengisian biji pada padi menginduksi senesen lebih awal, penurunan fotosintesis, meningkatnya remobilisasi cadangan C pra-simpan dari batang ke biji dan memperpendek periode waktu pengisian biji serta memperbaiki produksi biji. Pada saat dimulainya penghentian pengairan (9 hari setelah antesis) sekitar 75% 14 C ditemukan di batang, dan sekitar 8% di biji. Setelah 24 hari penghentian pengairan (33 hari setelah antesis), 14 C pada batang berkurang menjadi 35-37% pada kekeringan moderat, 17-19% pada kekeringan parah dan 52-58% pada kondisi pengairan yang baik. Namun sebaliknya 14 C pada biji meningkat 45-46% pada perlakuan kekeringan moderat, 62-66% pada kekeringan parah, dan hanya 19-22% pada pengairan yang baik pada 33 hari setelah antesis. Rata-rata laju pengisian biji pada tanaman yang mengalami kekeringan moderat dan kekeringan parah, meningkat 17-20% dan 36-39%. Yang et al. (2002) menyatakan bahwa remobilisasi dan senesen adalah proses yang terjadi bersamaan pada padi. Proses tersebut dipercepat oleh cekaman kekeringan yang terjadi selama pengisian biji dan kemungkinan berhubungan dengan level ABA yang tinggi, meningkatnya aktivitas α-amilase, dan aktivasi yang tinggi dari sukrosa-fosfat sintase pada tanaman padi. Yang et al. (2003) menyatakan bahwa percepatan daun senesen berkorelasi dengan persentase pengisian biji yang tinggi dan produksi tinggi, pada galur padi tipe baru. Dwyer et al. (1995) telah mengamati pada jagung bahwa realokasi cepat karbohidrat dari batang ke biji menyebabkan bobot biji yang tinggi, dibanding pada jagung dengan karakter stay green. Tingginya karbohidrat pada akar, merupakan respon tanaman untuk pertumbuhan akar (menembus hardpan) pada kondisi cekaman kekeringan. Asch et al. (2004) melaporkan bahwa proporsi total bahan kering yang dialokasikan ke bagian akar atau pucuk tergantung pada laju menurunnya kekeringan tanah. Lebih lanjut Gregory et al. (1996) menyatakan bahwa alokasi asimilat pada akar adalah tinggi pada awal fase vegetatif tetapi menurun dengan nyata pada pembungaan

127 93 dan hampir tidak berarti pada antesis. Kawata dan Soejima (1974) menunjukkan bahwa produksi akar setelah pembungaan memainkan peranan penting pada periode pengisian biji. Simpulan 7. Terdapat perbedaan respon antar genotipe hibrida akibat perlakuan cekaman kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan secara nyata menurunkan panjang akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot gabah per rumpun dan hasil gabah per hektar. 8. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 terpilih sebagai genotipe toleran kekeringan dan potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan, karena pada kondisi cekaman kekeringan: a. Penurunan panjang akar yang relatif lebih kecil ( persen) dibanding dengan varietas cek peka IR64 (33.6 persen). b. Menghasilkan bobot gabah per rumpun, indeks panen dan daya hasil gabah per hektar yang lebih tinggi dibanding dengan genotipe lainnya. Selain itu memiliki umur panen lebih cepat, periode pengisian biji yang pendek serta memiliki indeks toleransi 80 persen dan indeks kepekaan terhadap kekeringan c. Mampu menghasilkan gabah masing-masing sebesar 2.82, 2.58 dan 2.72 ton ha -1, yang relatif sama dengan Limboto yaitu 2.73 ton ha. Hipa 7 hanya menghasilkan 2.04 ton dan IR64 hanya mampu menghasilkan 1.42 ton gabah ha -1. d. Bobot gabah per rumpun genotipe tersebut hanya menurun masing-masing sebesar 9.5, 16.1 dan 15.6 persen, sedangkan IR64 mencapai 52.7 persen. 9. Genotipe toleran kekeringan yang diwakili oleh BI599/BP15 pada kondisi cekaman kekeringan memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah, tetap mempertahankan kadar air relatif daun yang tinggi serta kandungan karbohidrat non struktural yang lebih rendah pada batang, pelepah dan daun dibanding genotipe hibrida yang peka (BI485/BP3) dan varietas cek peka (IR64).

128 94

129 95 UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN (UDHP) GENOTIPE PADI HIBRIDA Preliminary Yield Trial of Hybrid Rice Genotypes Abstrak Penelitian bertujuan mengetahui daya hasil pendahuluan genotipe padi hibrida toleran kekeringan di lahan sawah irigasi dan saat mengalami kekeringan di lahan sawah tadah hujan. Penelitian ini dilakukan: (i) di lahan sawah irigasi Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi, pada bulan November 2011 sampai Februari 2012 dan (ii) di lahan sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu, pada bulan April sampai Juli Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan 3 ulangan. Sebanyak 8 genotipe padi hibrida (BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15 dan BI665A/BP6) dan 2 varietas cek (Hipa 7 dan Ciherang) digunakan pada percobaan di lahan sawah irigasi, 4 genotipe hibrida (BI485A/BP3, BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15) dan 3 varietas cek (Hipa 7, IR64 dan Limboto) digunakan pada percobaan di lahan sawah tadah hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 yang diuji di lahan sawah irigasi, menyamai daya hasil varietas unggul Ciherang yaitu berturut-turut 5.63, 6.87 dan 6.30 ton gabah ha -1. Genotipe BI599A/BP15 yang diuji di lahan sawah tadah hujan pada tingkat kekeringan parah mampu menghasilkan gabah 0.90 ton ha -1, sedangkan Hipa 7 (varietas hibrida yang sudah dilepas untuk lahan sawah tadah hujan) dan Limboto (varietas cek toleran kekeringan) hanya menghasilkan masing-masing 0.34 dan 0.29 ton ha -1. Kata kunci: daya hasil, padi hibrida, sawah irigasi, sawah tadah hujan Abstract Two experiments were conducted at: (i) irrigated lowland, village of Bojong, sub district Cikembar, Sukabumi, from November 2011 until February 2012, and (ii) rainfed lowland, village of Sanca, sub district Gantar, Indramayu, from April until July The objective of the experiment was to determine yield of hybrid rice genotypes tolerant to drought. A randomized block design with three replications was used. The treatment consisted of 8 hybrid rice genotypes (BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15 and BI665A/BP6) and 2 checks varieties (Hipa 7 and Ciherang) for experiment in lowland irrigated, 4 hybrid genotypes (BI485A/BP3, BI485A/BP12, BI485A/BP15 and BI599A/BP15) and 3 check varieties (Hipa 7, IR64 and Limboto) for experiment in rainfed lowland. The yield of genotype BI485A/BP12, BI485A/BP15 and BI559A/BP15 under irrigated lowland, showed non significant with Ciherang and Hipa 7 check varieties, i.e 5.63, 6.87 and 6.30 ton grain ha -1, respectively. BI599A/BP15 genotype under severe drought rainfed lowland yielded 0.90 ton grain ha -1, whereas Hipa 7 (hybrid variety, suitable for rainfed lowland) and Limboto (check of drought tolerant variety) reached 0.34 and 0.29 ton grain ha -1, respectively. Keywords: yelded, hybrid rice, irrigated lowland, rainfed lowland

130 96 Pendahuluan Padi hibrida merupakan teknologi alternatif dalam upaya meningkatkan produktivitas padi. Penelitian di beberapa negara tropis menunjukkan padi hibrida mempunyai keunggulan hasil lebih dari satu ton per hektar dibanding padi inbrida (Virmani dan Kumar 2004). Salah satu komponen yang menunjang keberhasilan pengembangan padi hibrida adalah tersedianya varietas unggul yang mempunyai heterosis tinggi, yang mampu meningkatkan potensi hasil sebesar 15-20%. Pengujian daya hasil padi hibrida sejak tahun 1982 hingga 2011 menunjukkan keunggulan dibanding padi inbrida dalam hal produktivitas gabah kering dan umur (Suprihatno 1989; Villa et al. 2011). Penelitian padi hibrida terus dilakukan untuk meningkatkan produksi padi yaitu dengan perakitan padi hibrida berpotensi hasil tinggi dan umur genjah serta toleran kekeringan untuk lahan marjinal seperti lahan sawah tadah hujan. Perakitan dengan metode pemuliaan tanaman untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas yang tinggi belum cukup untuk dinilai sebagai kultivar. Hal tersebut dikarenakan genotipe-genotipe padi harus mampu beradaptasi dan stabil pada suatu lokasi atau berbagai lokasi pada berbagai musim, sehingga dapat menilai suatu genotipe dapat dilepas sebagai suatu kultivar unggul. Nilai kestabilan pada genotipegenotipe padi harus tinggi karena mencerminkan kondisi genetik pada padi yang homogenitasnya tinggi dan konsisten di berbagai lokasi atau lingkungan tumbuh yang berbeda. Pentingnya sifat kestabilan dan daya adaptasi suatu genotipe padi, menjadikannya sebagai syarat untuk pelepasan kultivar (Harsanti et al. 2003). Genotipe padi hibrida yang potensial untuk dikembangkan di lahan sawah tadah hujan, telah diidentifikasi melalui serangkaian pengujian pada lingkungan terkendali. Pengujian dengan menggunakan PEG 6000 dan cekaman kekeringan di pot serta simulasi di lapangan, telah berhasil mengidentifikasi beberapa genotipe padi hibrida toleran kekeringan yaitu genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15. Genotipe tersebut perlu diuji pada kondisi insitu (uji lapangan) untuk mendapatkan genotipe dengan sifat-sifat padi hibrida berdaya hasil tinggi, baik pada lingkungan tumbuh yang optimal maupun sub optimal. Pengujian di lahan sawah tadah hujan dan sawah irigasi diperlukan agar karakter-karakter yang baik dapat diekspresikan sesuai kondisi lingkungan

131 97 tumbuhnya, sehingga seleksi dapat dilakukan pada genotipe berpotensi hasil tinggi. Penampilan relatif dari berbagai genotipe biasanya bervariasi pada lingkungan yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara genotipe dengan lingkungan, sehingga menyulitkan untuk mengidentifikasi genotipe yang ideal. Adaptabilitas merupakan kemampuan tanaman untuk tetap menghasilkan pada berbagai lingkungan, karena itu hasil adalah suatu kriteria penting untuk mengevaluasi daya adaptasi (Nor dan Cady 1979). Pengujian pada skala kecil diharapkan dapat memberikan informasi daya hasil pendahuluan genotipe padi hibrida toleran kekeringan dan berpotensi dikembangkan di lahan sawah tadah hujan dalam skala yang lebih luas. Penelitian bertujuan untuk mengetahui daya hasil pendahuluan genotipe padi hibrida toleran kekeringan di lahan sawah irigasi dan saat mengalami kekeringan di lahan sawah tadah hujan. Bahan dan Metode A. Uji Daya Hasil Pendahuluan (UDHP) di Lahan Sawah Irigasi Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Februari 2012, di lahan sawah irigasi Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Iklim di lokasi penelitian termasuk beriklim sedang dengan suhu ratarata C dan curah hujan berkisar mm tahun -1. Metode Penelitian Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok 3 ulangan dan genotipe/ varietas yang diuji terdiri atas 8 genotipe padi hibrida yaitu BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, dan 2 varietas cek yaitu Ciherang dan Hipa 7. Pelaksanaan Percobaan Penyiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah dua kali, untuk pelumpuran tanah yang baik. Ukuran petak percobaan setiap unit perlakuan

132 m x 1.5 m, dengan jarak antar perlakuan 50 cm, dan antar kelompok 100 cm. Bibit hasil persemaian dipindahtanam setelah berumur 21 hari, bibit ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, 1 bibit per lubang. Pemupukan dilakukan dengan Urea 300 kg, SP kg, dan KCl 100 kg per hektar. Seluruh pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea diberikan tiga kali, masing-masing pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara optimal, sedangkan penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan landak dan cara manual pada saat tanaman berumur tiga dan lima minggu setelah tanam. Sistem pengairan merupakan irigasi non teknis dan pengairan tanaman dilakukan sesuai dengan karakter sawah yang digunakan. Pengairan dipertahankan dalam kondisi optimal selama fase pertumbuhan hingga panen. Tinggi air pada petakan disesuaikan fase pertumbuhan tanaman. Pengamatan dilakukan pada lima rumpun tanaman sampel. Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah total, persentase gabah hampa, bobot butir, bobot gabah per rumpun, umur berbunga 50% dan umur panen 85% menguning. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1. B. UDHP di Lahan Sawah Tadah Hujan Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012, di lahan sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Iklim di lokasi penelitian termasuk beriklim panas dengan suhu rata-rata C dan curah hujan berkisar mm tahun -1. Metode Penelitian Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok 3 ulangan dan genotipe/varietas yang diuji terdiri atas 4 genotipe padi hibrida yaitu BI485A/BP3 (kategori peka kekeringan), BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15

133 99 (kategori toleran kekeringan), dan 1 varietas hibrida yaitu Hipa 7 (varietas yang sudah dilepas sesuai untuk lahan sawah tadah hujan), serta 2 varietas inbrida yaitu IR-64 (cek peka kekeringan) dan Limboto (cek toleran kekeringan). Pelaksanaan Percobaan Diambil sampel tanah untuk dianalisis sifat fisik dan kimia antara lain penetapan kadar air tanah pada kapasitas lapangan (pf 2.54) dan titik layu permanen (pf 4.20) berdasarkan metode pressure plate/membrane apparatus (Sudirman et al. 2006). Selain itu dilakukan analisis tekstur, kandungan bahan organik, kapasitas tukar kation dan kadar NPK (Lampiran 7). Penyiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah dua kali, untuk pelumpuran tanah yang baik. Ukuran petak percobaan setiap unit perlakuan 3.00 m x 1.75 m, dengan jarak antar perlakuan 50 cm, dan antar kelompok 100 cm. Bibit hasil persemaian dipindahtanam setelah berumur 21 hari, bibit ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, 1 bibit per lubang. Pemupukan dilakukan dengan Urea 300 kg, SP kg, dan KCl 100 kg per hektar. Seluruh pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea diberikan tiga kali, masing-masing pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara optimal, sedangkan penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan landak dan cara manual pada saat tanaman berumur tiga dan lima minggu setelah tanam. Sistem pengairan bersumber dari air hujan, karena itu dilakukan pencatatan terhadap curah hujan dan kondisi kadar air tanah selama penelitian berlangsung. Dua buah penangkar curah hujan dipasang di lokasi penelitian. Pengukuran terhadap kadar air tanah di lapangan dilakukan dengan pendekatan bobot tanah kering oven. Pengamatan dilakukan pada lima rumpun tanaman sampel. Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan produktif, bobot kering tanaman bagian atas (biomasa), umur berbunga 50%, panjang malai, jumlah gabah total, persentase gabah isi dan bobot gabah per rumpun.

134 100 Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1. Hasil dan Pembahasan A. UDHP di Lahan Sawah Irigasi A.1. Curah Hujan Komponen iklim yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman padi antara lain adalah curah hujan. Jumlah, distribusi dan frekuensi hujan yang tidak sesuai selama musim tanam padi, mempengaruhi pertumbuhan dan hasil. Tanaman padi sawah sering mengalami kekeringan akibat pasokan air yang terbatas. Curah hujan yang memadai penting untuk memenuhi kebutuhan air tanaman selama fase pertumbuhan terutama pada periode-periode kritis tanaman. Distribusi dan frekuensi hujan selama percobaan (musim tanam Oktober 2011 Februari 2012) disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 8. Distribusi dan frekuensi curah hujan selama fase pertumbuhan tanaman padi cukup baik, yang memenuhi standar kebutuhan air untuk padi sawah yaitu >200 mm/bulan (Fagi dan Las 1998). Keadaan curah hujan baik dari aspek jumlah maupun sebaran selama fase pertumbuhan maupun pematangan adalah berada pada tingkat ketersediaan air yang ideal sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan pencapaian hasil maksimal padi hibrida. Tabel 26 Distribusi dan frekuensi hujan selama penanaman padi hibrida di lahan a) sawah irigasi, Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi Bulan/Tahun Curah hujan (mm) Frekuensi hujan (hari) Oktober November Desember Januari Februari Keterangan: a) =Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Observatori Geofisika Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Curah hujan yang ada, jika disesuaikan dengan kebutuhan air untuk tanaman padi sawah, maka ketersediaan air di lokasi percobaan ini, tidak menjadi masalah.

135 101 Dengan demikian keterbatasan air pengairan dapat dipenuhi dari curah hujan. Pada fase masak penuh, jumlah curah hujan < 200 mm dan hanya terjadi selama delapan hari, merupakan kondisi cukup baik untuk mempercepat pematangan biji dan waktu panen. Tabel 27 Rata-rata curah hujan selama pertumbuhan padi hibrida di lahan sawah irigasi, Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi b) a) Frekuensi hujan Fase Pertumbuhan CH (mm) (hari) Kecukupan Tanam-Primordia (60 hari) Cukup Pembungaan-Pengisian Biji (30 hari) Cukup Pematangan Biji Cukup Masak penuh Cukup Keterangan: a) =Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Observatori Geofisika Pelabuhan Ratu, Sukabumi.; b) =Fase pertumbuhan tanaman padi varietas berumur 120 hari (Yoshida 1981). A.2. Suhu Selain curah hujan, komponen iklim yang juga sangat penting untuk pertumbuhan tanaman padi sawah adalah suhu. Kondisi suhu udara rata-rata selama percobaan, mulai November 2011 hingga Februari 2012 adalah berturutturut masing-masing 29.6, 29.9, 27.8 dan C (Tabel 28). Kondisi suhu udara ini berada pada kisaran yang cukup sesuai untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi sawah (Yoshida 1981). Tabel 28 Keadaan suhu selama penanaman padi hibrida di lahan sawah irigasi, a) Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi Bulan/tahun Suhu maksimum ( 0 C) 0 Suhu minimum ( C) Rata-rata ( C) Okrober November Desember Januari Februari Keterangan: a) =Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Observatori Geofisika Pelabuhan Ratu, Sukabumi. A.3. Komponen Pertumbuhan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan genotipe/varietas terhadap komponen pertumbuhan hanya berpengaruh nyata pada

136 102 peubah tinggi tanaman, umur berbunga 50% dan umur panen, sedangkan pada peubah jumlah anakan produktif tidak berpengaruh nyata (Lampiran 9). Hasil uji DMRT rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga dan umur panen disajikan pada Tabel 29. A.3.1. Tinggi Tanaman Hampir semua genotipe yang diuji mempunyai tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang dan Hipa 7, kecuali BI599A/BP15, BI599A/BP5 dan BI665A/BP6. Genotipe BI599A/BP15 paling tinggi yang tidak berbeda nyata dengan BI599A/BP5 (Tabel 29). Tinggi tanaman penting kaitanya dengan kerebahan. IRRI menetapkan standar tinggi tanaman untuk padi tipe baru sawah adalah 100 cm (Peng et al. 2008). Ma et al. (2006) menyatakan bahwa karakteristik tanaman ideal agar tidak muda rebah adalah cm. Oleh karena itu genotipe ini merupakan genotipe yang ideal untuk dikembangkan di lahan sawah karena memiliki tinggi yang tahan terhadap kerebahan, karena tinggi tanaman berada pada kisaran standar prototipe tanaman ideal. Tabel 29 Komponen pertumbuhan genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah irigasi Genotipe Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif BI485A/BP3 d BI485A/BP5 cd BI485A/BP10 d BI599A/BP5 ab BI665A/BP6 bc BI485A/BP12 d BI485A/BP15 cd BI599A/BP15 a Ciherang d Hipa 7 d Umur berbunga 50% (hari) Umur panen (hari) de 85.3 a de 85.0 b cd 86.3 cd c 87.3 b ab 91.7 a de 85.7 bc e 84.7 d cd 86.3 b a 92.3 a b a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05. A.3.2. Jumlah Anakan Produktif Jumlah anakan produktif menunjukkan tidak berbeda nyata antar genotipe dan varietas cek. Rata-rata jumlah anakan produktif berkisar antara (Tabel

137 103 29). Peng et al. (1994) menyatakan bahwa kapasitas anakan yang rendah untuk pindahtanam yaitu 8-10 anakan produktif. Selanjutnya Peng et al. (2004) menyatakan bahwa padi super hibrida di Cina memiliki anakan produktif per m 2. Genotipe yang diuji memiliki rata-rata anakan produktif berada pada kisaran untuk pindahtanam (transplanting). A.3.3. Umur Berbunga Umur berbunga rata-rata antar genotipe tidak berbeda nyata kecuali genotipe BI665A/BP6 yang waktu berbunga 50% lebih lama, tetapi genotipe ini tidak berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang dan Hipa 7. Secara umum genotipegenotipe yang diuji lebih cepat berbunga yaitu hari sedangkan umur berbunga varietas cek Ciherang dan Hipa7 yaitu masing-masing 92.3 dan 90.3 hari (Tabel 29). Umur berbunga sangat berhubungan dengan efisiensi terhadap pemanfaatan sumber daya air dan hara, karena fase pertumbuhan vegetatif yang lebih singkat. Umur berbunga yang lebih singkat umumnya memiliki daya adaptasi yang baik terhadap kekeringan dengan lebih mempercepat waktu pematangan gabah (Lafitte et al. 2006). A.3.4. Umur Panen Umur panen rata-rata genotipe yang diuji berbeda nyata dibanding dengan varietas cek kecuali genotipe BI485A/BP3 dan BI665A/BP6. Rata-rata umur panen genotipe yang diuji antara hari. Secara umum genotipe padi hibrida memiliki umur yang relatif lebih genjah dibanding dengan umur panen varietas cek yaitu 120 hari (Tabel 29). Umur panen sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim setempat terutama suhu. Penanaman di lokasi dengan suhu rendah akan lebih memperpanjang umur panen dibandingkan di lokasi dengan suhu tinggi. Sama halnya bila dilakukan penanaman di rumah kaca dan di lahan terbuka akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap umur panen. Di lahan terbuka umumnya lebih memperpendek umur panen. Perbedaan faktor lingkungan menyebabkan siklus hidup tanaman berbeda. Yoshida (1981) menyatakan bahwa perbedaan umur panen lebih ditentukan oleh lamanya fase pertumbuhan vegetatif

138 104 karena lama fase reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan. A.4. Komponen Hasil dan Hasil Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan genotipe/varietas terhadap komponen hasil dan hasil hanya berpengaruh nyata pada peubah jumlah gabah isi, jumlah gabah total, bobot butir dan persentase gabah hampa, sedangkan pada peubah panjang malai, bobot gabah per rumpun dan daya hasil per hektar tidak berpengaruh nyata (Lampiran 9). Hasil uji DMRT rata-rata panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah total, persentase gabah hampa, bobot butir dan bobot gabah per rumpun serta daya hasil per hektar disajikan pada Tabel 28. A.4.1. Panjang Malai Rata-rata panjang malai antar genotipe dan varietas cek tidak berbeda nyata. Panjang malai genotipe berkisar cm, sedangkan varietas cek Ciherang yaitu 23.7 cm dan Hipa 7 yaitu cm (Tabel 30). Panjang malai umumnya berkorelasi dengan jumlah gabah per malai. Zang et al. (2010) menyatakan bahwa malai yang besar dengan jumlah gabah per malai yang banyak dapat meningkatkan kepadatan gabah. A.4.2. Jumlah Gabah Total Rata-rata jumlah gabah per malai antar genotipe berbeda nyata. Jumlah gabah rata-rata tinggi pada genotipe BI665A/BP6 (219.2 butir) yang berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang (153.0 butir) (Tabel 30). Jumlah gabah total yang relatif tinggi pada genotipe hibrida merupakan implikasi dari panjang malai yang cenderung lebih panjang pada genotipe padi hibrida (Zang et al. 2010). A.4.3. Jumlah Gabah Isi Jumlah gabah isi berbeda nyata antar genotipe dan varietas cek. Genotipe BI665A/BP6 menghasilkan jumlah gabah isi tertinggi, disusul genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP5 yaitu berturut-turut masing-

139 105 masing sebanyak 162.9, 153.6, dan butir, tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas cek Hipa 7 yaitu sebanyak butir. Jumlah gabah isi varietas cek Ciherang hanya butir yang berbeda nyata dengan genotipe BI665A/BP6, BI485A/BP12 dan BI485A/BP15, tetapi tidak berbeda nyata dengan genotipe lainnya. Jumlah gabah isi rata-rata genotipe hibrida berkisar antara butir, sedangkan varietas cek Ciherang dan Hipa 7 masing-masing butir dan butir (Tabel 30). Peng dan Khush (2003) menyatakan bahwa kriteria untuk hasil yang lebih tinggi adalah jumlah gabah per malai sekitar 150 butir. Tabel 30 Komponen hasil dan hasil genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah irigasi Genotipe Panjang malai (cm) Jumlah gabah total (butir) Jumlah gabah isi (butir) BI485A/BP bc BI485A/BP d BI485A/BP cd BI599A/BP bcd BI665A/BP a BI485A/BP bcd BI485A/BP bcd BI599A/BP bcd Ciherang cd Hipa ab bcd d bcd abcd a ab abc bcd d abcd Persentase gabah hampa (%) ab abc abc bcd ab d cd abc bcd a Bobot butir (g) c cd bc a cd bc cde b de e Bobot gabah per rumpun (g) Hasil gabah (ton ha -1 ) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05. A.4.4. Persentase Gabah Hampa Persentase gabah hampa berbeda nyata antar genotipe dan varietas cek. Persentase gabah hampa genotipe berkisar antara persen, sedangkan varietas cek sebesar 17.9 dan 28.2 persen. Persentase gabah hampa terrendah diperoleh pada genotipe BI485A/BP12 yaitu sebesar 11.6 persen yang tidak berbeda nyata dengan BI485A/BP15, BI599A/BP5 dan vatietas cek Ciherang yaitu berturut-turut masing-masing sebesar 16.3, 17.3 dan 17.9 persen. Genotipe dengan persentase gampa hampa tertinggi adalah BI665A/BP6 yaitu sebesar 26.0 persen yang tidak berbeda nyata dibanding dengan genotipe BI485A/BP3,

140 106 BI485A/BP5, BI485A/BP10 dan varietas cek Hipa 7 yaitu masing-masing 25.6, 20.3, 21.5 dan 28.2 persen (Tabel 30). Proses pengisian biji ditentukan oleh sumber (source) dalam mendukung limbung (sink) atau karena proses penuaan. Sumber yang terbatas dalam mendukung limbung karena akumulasi fotosintat yang rendah atau proses penuaan yang lebih cepat akan meningkatkan persentase gabah hampa. Abdullah et al. (2008) melaporkan bahwa salah satu penyebab kehampaan adalah tidak seimbangnya antara sink (limbung) yang besar dan source (sumber) yang sedikit. Lebih lanjut dijelaskan suatu galur yang mempunyai jumlah gabah per malai banyak, tetapi sumber kurang mendukung, seperti daun lebar, tipis, mendatar, cepat menua dan berumur genjah, menyebabkan hasil asimilat rendah dan tidak mencukupi untuk mendukung pengisian gabah, mengakibatkan kehampaan tinggi. Bahan kering pada daun mulai menurun 10 hari setelah pengisian biji dan daun yang relatif besar, berperan penting dalam memasok fotosintat ke biji (Shigenori et al. 2003). A.4.5. Bobot Butir Bobot butir genotipe hibrida yang diuji berada pada kisaran g. Secara umum genotipe hibrida memiliki bobot butir nyata lebih tinggi dibanding dengan varietas cek Hipa 7 dan Ciherang, kecuali genotipe BI485A/BP5, BI485A/BP15 dan BI665A/BP6 tidak berbeda nyata dengan varietas cek. Bobot butir tertinggi diperoleh pada genotipe BI599A/BP5 yaitu sebesar g, kemudian diikuti genotipe BI599A/BP15 yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP10 dan BI485A/BP12 yaitu masingmasing sebesar g dan g (Tabel 30). Ma et al. (2006) menyatakan bahwa karakter tanaman tipe ideal dengan malai berat memiliki bobot butir, g. Padi tipe baru dengan bobot gabah g dan panjang malai >26 cm serta jumlah gabah yang banyak merupakan ukuran limbung (sink) yang cukup baik untuk mendukung hasil gabah tinggi. Tanaman yang mempunyai jumlah gabah per malai yang banyak membutuhkan asimilat yang banyak untuk pengisian gabah, karena itu harus didukung oleh ukuran daun yang ideal antara lain lebar daun sedang, tebal, agak terkulai dan tidak cepat menua serta berumur

141 107 sedang seperti genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, dan BI599A/BP15. A.4.6. Bobot Gabah per Rumpun dan Daya Hasil per Hektar Bobot gabah antar genotipe dan varietas cek tidak berbeda nyata. Bobot gabah per rumpun genotipe berkisar antara g, sedang bobot gabah per rumpun vartas cek Ciherang yaitu g dan Hipa 7 yaitu g. Bobot gabah genotipe-genotipe tersebut bila dikonversi ke daya hasil berkisar antara ton ha -1. Genotipe BI485A/BP15 memiliki hasil gabah tertinggi yaitu g rumpun -1 atau 6.87 ton ha -1 (Tabel 30). Genotipe tersebut mempunyai potensi hasil tinggi, meskipun pengujian tahap awal masih dilakukan pada skala kecil. Pengujian dalam skala yang lebih luas dan pada lahan bercekaman diharapkan tidak akan menurunkan hasil yang nyata pada genotipe yang toleran kekeringan. Virmani et al. (1997) menyatakan tolok ukur penting dalam perakitan padi hibrida adalah perbandingan hasil antara hibrida dengan varietas cek. Genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP10, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 bila dibandingkan dengan varietas cek Ciherang cenderung menunjukkan peningkatan yaitu berturut-turut masing-masing sebesar 7.2, 2.8, 12.1, 1.6 dan 2.8 persen (Tabel 30). Genotipe hibrida tersebut diharapkan tidak bersifat spesifik lokasi karena umumnya hasil hibrida bersifat spesifik lokasi dimana penampilan (fenotipe) dipengaruhi oleh lingkungan selain genetik (Satoto dan Suprihatno 1998). Cara yang efektif untuk mengembangkan suatu kultivar padi sawah dengan potensi hasil tinggi baik pada kondisi optimum maupun pada kondisi sub otpimum (cekaman kekeringan) maka seleksi langsung dapat mengkombinasikan seleksi di lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Untuk itu dilakukan uji daya hasil pendahuluan genotipe hibrida toleran kekeringan yang potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan.

142 108 B. UDHP di Lahan Sawah Tadah Hujan B.1. Curah Hujan Budidaya padi sawah tadah hujan sangat tergantung pada curah hujan. Curah hujan yang terbatas sering menjadi kendala utama produksi dan stabilitas produksi padi sawah tadah hujan. Tanaman padi sawah sering mengalami kekeringan akibat curah hujan yang rendah dan pendeknya musim hujan, terutama pada fase-fase kritis tanaman, atau karena waktu tanam yang tidak tepat. Pada kondisi seperti ini perlu budidaya padi sawah yang toleran terhadap kekeringan, sehingga masih dapat menghasilkan meskipun produksi lebih rendah dibanding produksi padi sawah pada kondisi normal. Fagi dan Las 1998) menyatakan bahwa standar kebutuhan air untuk padi sawah yaitu >200 mm/bulan. Oleh kerena itu untuk mendapatkan lahan sawah tadah hujan yang tercekam kekeringan atau curah hujan kurang dari standar kebutuhan air untuk padi sawah seperti banyak dijumpai di lahan sawah tadah hujan pada beberapa daerah di Indonesia maka dilakukan peregeseran waktu tanam dari waktu tanam kebiasaan masyarakat setempat, agar diketahui daya hasil genotipe padi hibrida pada kondisi tersebut. Waktu tanam dari percobaan ini dimundurkan selama satu setengah bulan atau enam minggu dari kebiasaan tanam masyarakat setempat yaitu musim tanam Maret Juni 2012 menjadi April-Juli Distribusi dan frekuensi hujan selama percobaan disajikan pada Tabel 31, 32 dan Lampiran 10. Tabel 31 Distribusi dan frekuensi hujan selama penanaman padi hibrida di lahan a) sawah tadah hujan, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu Bulan/Tahun 2012 Curah hujan (mm) Frekuensi hujan (hari) Maret April Mei Juni Juli - - Keterangan: a) = Pengukuran langsung; - = tidak ada hujan Distribusi dan frekuensi curah hujan selama fase vegetatif (tanam sampai primordia) berada pada tingkat ketersediaan tidak cukup yaitu hanya 94.7 mm dan terjadi hujan hanya 7 hari. Pada fase pembungaan sampai pengisian biji berada

143 109 pada tingkat ketersediaan air yang sangat kritis yaitu 0.6 mm dan terjadi hujan hanya 1 hari, sedangkan pada fase pematangan-masak penuh tidak terjadi hujan. Fase-fase pertumbuhan dimana terdapat curah hujan yang rendah dan pendeknya musim hujan mengakibatkan tanaman mengalami cekaman kekeringan yang sangat parah, yang terjadi sejak 2 minggu setelah tanam. Hasil monitoring kadar air tanah disajikan pada Gambar 13 dan Lampiran 11, sedangkan kadar air tanah pada kapasitas lapangan (38.6%) dan titik layu permanen (26.9%) secara detail disajikan pada Lampiran 7. Tabel 32 Rata-rata curah hujan selama pertumbuhan padi hibrida di lahan sawah tadah hujan, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu b) a) Frekuensi hujan Fase Pertumbuhan CH (mm) (hari) Kecukupan Tanam-Primordia (60 hari) Tidak cukup Pembungaan-Pengisian Biji (30 hari) Sangat kritis Pematangan Biji - - Sangat kritis Masak penuh - - Sangat kritis Keterangan: - = tidak ada hujan; a) =Pengukuran langsung di lapangan. b) =Fase pertumbuhan tanaman padi varietas berumur 120 hari (Yoshida 1981). Kadar air tanah (% volume) Kedalaman ±10 cm Kedalaman ±20 cm Rata-rata Kadar air pf 2.54 = 38.6% Kadar air pf 4.20 = 26.9% Hari setelah tanam Gambar 13 Kadar air tanah selama percobaan di lahan sawah tadah hujan

144 110 B.2. Suhu Selain curah hujan, komponen iklim yang juga sangat penting untuk pertumbuhan tanaman padi sawah tadah hujan adalah suhu. Kondisi suhu udara rata-rata selama percobaan, mulai Maret hingga Juli adalah berturut-turut masingmasing 26.9, 27.7, 27.9, 27.2 dan C (Tabel 33 dan Lampiran 12). Kondisi suhu ini berada pada kisaran yang cukup sesuai untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi sawah (Yoshida 1981). Tabel 33 Keadaan suhu selama penanaman padi hibrida di lahan sawah tadah a) hujan, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu Bulan/tahun 2012 Suhu maksimum ( 0 C) 0 Suhu minimum( C) Rata-rata ( C) Maret April Mei Juni Juli Keterangan: a) =Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Stasiun Meteorologi Jatiwangi. B.3. Komponen Pertumbuhan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan genotipe/varietas terhadap komponen pertumbuhan hanya berpengaruh nyata nyata pada peubah tinggi tanaman, panjang daun bendera, bobot biomasa dan umur berbunga 50%, sedangkan pada peubah jumlah anakan produktif tidak berpengaruh nyata (Lampiran 9). Hasil uji DMRT rata-rata tinggi tanaman, anakan produktif, panjang daun bendera, umur berbunga dan biomasa total disajikan pada Tabel 34. B.3.1. Tinggi Tanaman Hasil uji DMRT menunjukkan bahwa tinggi tanaman tertinggi diperoleh pada genotipe BI599A/BP15 yang tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas cek Limboto, tetapi berbeda nyata dengan varietas cek IR64 dan Hipa 7. Genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP12 dan BI485A/BP15 dibanding dengan varietas cek IR64 dan Hipa 7 saling tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dibanding dengan varietas cek Limboto (Tabel 34). Curah hujan dan frekuensi hujan yang

145 111 sangat rendah sejak fase vegetatif sangat menghambat pertumbuhan tinggi tanaman yaitu hanya berkisar antara cm, karena pembelahan sel terhambat (Nonami 1998). Oleh karena itu akibat cekaman kekeringan pada lahan sawah tadah hujan, tinggi tanaman rata-rata genotipe lebih rendah dari standar tinggi tanaman untuk padi tipe baru sawah adalah 100 cm (Peng et al. 2008). Meskipun demikian genotipe BI599A/BP15 yang toleran kekeringan masih dapat mencapai tinggi cm yang relatif sama dengan varietas cek Limboto yaitu cm. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan bahwa terbatasnya suplai air dapat menekan pertumbuhan tanaman antara cm pada lingkungan tumbuh tercekam kekeringan. Kumar et al. (2009) melaporkan bahwa pada kondisi kekeringan parah penurunan tinggi tanaman pada galur-galur toleran 6-12 cm sedangkan galur-galur peka 16-27cm. B.3.2. Jumlah Anakan Produktif Jumlah anakan produktif tidak menunjukkan perbedaan nyata antar genotipe dan varietas cek. Rata-rata jumlah anakan produktif berkisar antara (Tabel 34). Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan dan pertumbuhan anakan tidak dipengaruhi oleh cekaman kekeringan yang terjadi. Genotipe yang diuji memiliki rata-rata anakan produktif sesuai untuk pindahtanam (transplanting) yaitu 8-10 (Peng et al. 1994). Tabel 34 Komponen pertumbuhan genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah tadah hujan Genotipe Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif BI485A/BP3 bc BI485A/BP12 bc BI485A/BP15 c BI599A/BP15 a IR64 c Limboto ab Hipa 7 c Panjang daun bendera (cm) ab ab abc a c a bc Umur berbunga (hari) a b ab b ab b b Biomasa total (g) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05. b ab ab a c a b

146 112 B.3.3. Panjang Daun Bendera Panjang daun bendera antar genotipe hibrida tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Genotipe BI599A/BP15 tidak berbeda nyata dengan genotipe lainnya termasuk varietas cek Limboto kecuali berbeda nyata dengan IR64 dan Hipa 7 (Tabel 34). Penurunan luas daun dan total biomasa suatu varietas/galur pada kondisi cekaman kekeringan, membuktikan bahwa varietas/galur tersebut peka terhadap kekeringan (Farooq et al. 2010). B.3.4. Biomasa Total Biomasa total di bagian atas tanah dapat menggambarkan besarnya kemampuan akumulasi bahan kering tanaman selama pertumbuhan. Biomasa total (bobot kering tanaman) rata-rata tertinggi diperoleh pada genotipe BI599A/BP15 yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP12 dan BI485A/BP15, namun berbeda nyata dengan BI485A/BP3 yaitu berturut-turut masing-masing sebesar 34.67, 32.95, dan g rumpun -1. Ketiga genotipe yang disebut pertama memiliki bobot kering tanaman yang relatif sama dengan varietas cek Limboto sebesar g rumpun -1 tetapi berbeda nyata dengan varietas cek IR64. IR64 memiliki bobot kering tanaman terrendah yaitu sebesar g rumpun -1. Varietas cek Hipa 7 memiliki bobot kering tanaman sebesar g rumpun -1 yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP12 dan BI485A/BP5, tetapi berbeda nyata dengan BI599A/BP15 (Tabel 32). Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa total bahan kering pada genotipe yang umur berbunganya lebih panjang menurun secara gradual pada kondisi cekaman kekeringan. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman yang berbunga terlambat mungkin menghentikan pertumbuhan awal selama siklus pertumbuhan menyebabkan bobot kering menurun. Genotipe BI599A/BP15, BI485A/BP12 dan BI485A/BP15 memiliki umur berbunga yang relatif lebih pendek sehingga mampu menghasilkan bobot kering relatif lebih tinggi pada kondisi kekeringan parah. Kumar et al. (2007) menyatakan bahwa galur-galur toleran mempunyai kemampuan mempertahankan produksi biomasa yang tinggi pada tanah kering dan indeks panen yang tinggi. Pantuwan et al. (2002) menyatakan bahwa pengaruh bahan kering terhadap produksi biji tergantung kondisi pertumbuhan

147 113 dan ini menjadi alasan sebagian besar genotipe berinteraksi dengan lingkungan sering ditemukan pada percobaan multilokasi di lahan sawah tadah hujan. B.3.5. Umur Berbunga Umur berbunga rata-rata terpendek diperoleh pada varietas cek Limboto yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI599A/BP15, BI485A/BP12 dan HIPA 7. Umur berbunga rata-rata terlama diperoleh pada genotipe BI485A/BP3 yang tidak berbeda nyata dibanding dengan genotipe BI485A/BP15 dan varietas cek IR64 (Tabel 34). Umur berbunga sangat berhubungan dengan efisiensi terhadap pemanfaatan sumber daya air dan hara, karena fase pertumbuhan vegetatif yang lebih singkat. Umur berbunga yang lebih singkat umumnya memiliki daya adaptasi yang baik terhadap kekeringan dengan lebih mempercepat waktu pematangan gabah. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa pada kondisi kekeringan parah galur toleran menunda pembungaan hanya 2 hari dibanding galur peka yang dapat menunda pembungaan 10 hari. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan bahwa genotipe yang dapat berbunga lebih cepat dan menghasilkan jumlah gabah hampa sedikit pada kondisi lingkungan tumbuh yang suplai airnya terbatas memiliki sifat toleran kekeringan. Keterlambatan saat berbunga genotipe yang tumbuh di lingkungan tercekam kekeringan akan memperpendek fase pengisian biji, yang berpengaruh terhadap hasil. B.4. Komponen Hasil dan Hasil Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan genotipe/varietas terhadap komponen hasil dan hasil berpengaruh nyata pada peubah panjang malai, jumlah gabah total, persentase gabah isi dan bobot gabah per rumpun serta daya hasil per hektar (Lampiran 9). Hasil uji DMRT rata-rata panjang malai, jumlah gabah total, persentase gabah isi dan bobot gabah per rumpun serta daya hasil per hektar disajikan pada Tabel 35.

148 114 B.4.1. Panjang Malai Rata-rata panjang malai antar genotipe dan varietas cek tidak berbeda nyata, kecuali berbeda nyata dengan varietas cek IR64. Varietas cek IR64 memiliki panjang malai terrendah yaitu 17.9 cm, sedangkan panjang malai genotipe berkisar cm (Tabel 35). Kondisi kekeringan parah menghambat panjang malai varietas cek IR64 yang peka kekeringan karena eksersi malai terhambat. Penghambatan ini menyebabkan sebagian gabah berada dalam pelepah daun dan menjadi gabah steril yang berimplikasi pada hasil gabah yang menurun (Ji et al. 2005). Panjang malai umumnya berkorelasi positif dengan jumlah gabah per malai (Zang et al. 2010). B.4.2. Jumlah Gabah Total Rata-rata jumlah gabah total per malai antar genotipe berbeda nyata. Jumlah gabah total cukup tinggi pada genotipe BI485A/BP3 tetapi tidak berbeda nyata dibanding dengan BI599A/BP15 yaitu masing-masing sebesar dan butir. Jumlah gabah total genotipe-genotipe tersebut masih lebih rendah dibanding dengan varietas cek Limboto yaitu butir, tetapi lebih tinggi dibanding varietas cek Hipa 7 dan IR64 yaitu masing-masing sebanyak dan 64.7 butir (Tabel 35). Jumlah gabah total per malai yang tinggi harus didukung oleh source yang cukup untuk pengisian gabah yang lebih baik (Jun et al. 2006). B.4.3. Persentase Gabah Isi Secara umum persentase gabah isi genotipe sangat rendah yaitu berkisar antara persen. Genotipe BI599A/BP15 memiliki persentase gabah isi tertinggi yaitu sebesar 30.9 persen tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan Hipa 7, tetapi berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP3, IR64 dan Limboto. Persentase gabah isi terrendah (3.3 persen) dicapai pada genotipe BI485A/BP3. Persentase gabah isi varietas cek IR64 dan Limboto relatif rendah yaitu berturut-turut sebesar 10.3 dan 7.5 persen (Tabel 35). Terjadinya kekeringan yang parah menyebabkan sumber (source) terganggu, sehingga pengisian biji sangat tergantung pada karakter dan mekanisme tanaman mengatasi cekaman kekeringan. Persentase gabah isi yang relatif tinggi pada

149 115 genotipe BI599A/BP15 disebabkan genotipe ini mempunyai umur berbunga lebih cepat. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan bahwa salah satu sifat genotipe toleran kekeringan adalah menghasilkan jumlah gabah hampa sedikit pada kondisi lingkungan tumbuh yang suplai airnya terbatas. Pantuwan et al. (2002) menyatakan bahwa mekanisme drought escape dari genotipe umur genjah dengan hasil tinggi pada kondisi cekaman kekeringan yang panjang mungkin dari kontribusi asimilat pra-antesis sebagai sumber asimilat selama periode pengisian biji. Pada kondisi kekeringan parah gabah hampa pada galur CT9993 toleran kekeringan mencapai 71 persen, sedangkan pada galur IR62266 peka kekeringan mencapai 91 persen (Kumar et al. 2007). Tabel 35 Komponen hasil dan hasil genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah tadah hujan Genotipe Panjang malai (cm) Jumlah gabah total malai -1 (butir) BI485A/BP BI485A/BP12 a BI485A/BP15 a BI599A/BP15 a IR64 b Limboto a Hipa 7 a a ab cd d bc e a cd Persentase gabah isi (%) b ab ab a b b ab Bobot gabah rumpun -1 (g) Hasil gabah (ton ha b b b b b b a a b b b b ab ab Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05. B.4.4. Bobot Gabah per Rumpun Bobot gabah genotipe per rumpun berkisar antara g rumpun -1. Persentase gabah isi yang tinggi berimplikasi pada tingginya hasil atau bobot gabah per rumpun. Oleh karena itu genotipe BI599A/BP15 memiliki bobot gabah tertinggi yaitu sebesar 5.62 g rumpun -1 atau daya hasil 0.90 ton gabah ha -1 yang tidak berbeda nyata dengan varietas hibrida Hipa 7 tetapi berbeda nyata dengan genotipe lainnya dan varietas cek IR64 maupun Limboto. Hipa 7 direkomendasikan untuk ditanam di lahan sawah tadah hujan (Suprihatno et al. 2011). Bobot gabah terrendah diperoleh pada genotipe BI485A/BP3 yaitu sebesar 0.54 g rumpun -1, tetapi tidak berbeda nyata dengan ketiga varietas cek dan -1 )

150 116 genotipe BI485A/BP12 dan BI485A/BP15 (Tabel 35). Hasil gabah yang diperoleh pada genotipe BI599A/BP15 sama dengan hasil gabah yang diperoleh pada galur CT9993 yang merupakan genotipe toleran kekeringan ketika ditanam pada kondisi kekeringan yang sangat parah di wilayah Raipur India Timur Laut. Galur CT9993 juga hanya mampu menghasilkan 0.95 ton ha -1 (Kumar et al. 2007). Pantuwan et al. (2002) menyatakan bahwa genotipe dengan kemampuan yang tinggi dalam memproduksi bahan kering total dengan siklus pertumbuhan yang pendek, akan menguntungkan untuk ditanam pada lahan yang mengalami kondisi cekaman kekeringan. Produksi biji tergantung asimilat pra-antesis dan sumber asimilat. Adanya perbedaan daya hasil pada genotipe BI599A/BP15 dibanding dengan genotipe lainnya mungkin karena perbedaan pada kontribusi bahan kering pra-antesis untuk produksi biji. Oleh karena itu genotipe BI599A/BP15 yang berumur relatif lebih genjah dan mampu merealokasi cadangan asimilat dari batang ke biji pada kondisi kekeringan menyebabkan hasil gabahnya tinggi. Simpulan 1. Pada lahan sawah irigasi, semua genotipe yang diuji menghasilkan bobot gabah per rumpun dan hasil gabah per hektar tidak berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang dan Hipa Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 yang toleran kekeringan memiliki daya hasil di lahan sawah irigasi menyamai varietas unggul Ciherang yaitu berturut-turut masing-masing 5.63, 6.87 dan 6.30 ton ha Genotipe BP599A/BP15 pada kondisi kekeringan sangat parah di lahan sawah tadah hujan secara umum menghasilkan tinggi tanaman, anakan produktif, panjang daun bendera, biomasa total, panjang malai, persentase gabah isi dan bobot gabah per rumpun relatif lebih baik dibanding genotipe lainnya. 4. Daya hasil per hektar genotipe BP599A/BP15 pada kondisi kekeringan sangat parah di lahan sawah tadah hujan mampu menghasilkan 0.90 ton gabah ha -1, sedangkan Hipa 7 (varietas hibrida yang sudah dilepas untuk lahan sawah tadah hujan) dan Limboto (varietas cek toleran kekeringan) hanya menghasilkan masing-masing 0.34 dan 0.29 ton ha -1.

151 PEMBAHASAN UMUM Salah satu teknologi alternatif dalam upaya meningkatkan produksi padi di lahan sawah tadah hujan adalah pengembangan galur/genotipe hibrida. Beberapa genotipe padi hibrida yang memiliki nilai standar heterosis tinggi berdasarkan perbandingan terhadap varietas cek dengan rata-rata potensi poduksi ton ha -1, telah diperoleh dari perakitan padi hibrida sistem 3 galur yang menggunakan GMJ tipe Wild abortive (WA) dan Kalinga (KA) dengan galur pemulih kesuburan (R) (Purwoko et al. 2010). Genotipe-genotipe tersebut belum diketahui toleransinya terhadap kekeringan. Genotipe hibrida potensial untuk dikembangkan di lahan sawah tadah hujan masih membutuhkan proses seleksi. Dalam seleksi dihadapkan pada masalah banyaknya galur/genotipe yang akan diuji di lapangan, sehingga membutuhkan banyak biaya, tenaga dan waktu. Oleh karena itu diperlukan pengembangan metode pengujian/seleksi yang efektif dan efisien serta dapat mendeteksi secara dini genotipe-genotipe hibrida yang potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan, sehingga dapat mengatasi banyaknya galur yang akan diuji di lapangan dan mempercepat siklus seleksi dalam perbaikan atau perakitan varietas. Percobaan menggunakan perlakuan berbagai konsentrasi PEG 6000 menunjukkan bahwa larutan PEG 6000 konsentrasi 25% atau menurut Mexal et al. (1975) setara 0.99 MPa, cukup efektif memberikan cekaman kekeringan pada padi sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi secara dini genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan. Asay dan Johnson (1983) menyatakan PEG dapat mendeteksi dan membedakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan, karena PEG dapat menginduksi stres air pada tanaman dengan mengurangi potensial air (Verslues at al. 2006), dan dapat digunakan pada potensial air sampai MPa (Blum et al. 1980). Penggunaan larutan PEG 6000 untuk pengujian genotipe padi hibrida terhadap cekaman kekeringan baik pada fase perkecambahan maupun fase bibit serta perlakuan cekaman kekeringan di pot dapat mengidentifikasi beberapa genotipe hibrida toleran kekeringan berdasarkan perbandingan varietas cek Limboto (Gambar 3 dan 5 serta Tabel 17, 25 dan 36). Untuk menentukan metode mana yang efektif dapat mendeteksi secara dini genotipe toleran kekeringan, maka

152 118 harus ada kesesuaian dengan pengelompokan genotipe hibrida toleran kekeringan berdasarkan kriteria hasil dari perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah (Tabel 25 dan 36). Tabel 36 Genotipe toleran cekaman kekeringan berdasarkan beberapa metode pengujian PEG 6000 Cekaman Simulasi No. Fase 2)*PS Fase bibit kekeringan di pot kekeringan 1)*S perkecambah 3)*S (KA 60 % KL) 3) di lahan sawah 1 BI485A/BP15 BI485A/BP15 BI485A/BP15 BI485A/BP15 2 BI599A/BP15 BI599A/BP15 BI599A/BP15 BI599A/BP15 3 Hipa 8 BI485A/BP12 BI485A/BP12 BI485A/BP BI485A/BP10 BI485A/BP Maro BI485A/BP5 - Keterangan: Berdasarkan peubah 1) = panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah; 2) =bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun; 3) = indeks toleransi dan indeks kepekaan terhadap kekeringan; KA 60% KL=Kadar air tanah 60% kapasitas lapangan; *S=berkorelasi dengan hasil simulasi; *PS=berkorelasi dengan hasil di pot dan simulasi. Tabel 36 menunjukkan bahwa penggunaan 25% PEG 6000 pada fase perkecambahan yang dapat mengidentifikasi genotipe BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 serta Hipa 8 sebagai genotipe toleran kekeringan berdasarkan karakter/peubah panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah berkorelasi dengan hasil dari perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah (Tabel 37). Penggunaan 25% PEG 6000 pada fase bibit dapat mengidentifikasi genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 serta Maro sebagai genotipe toleran kekeringan berdasarkan karakter/peubah bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun yang berkorelasi dengan hasil dari perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah dan di pot (Tabel 38). Hal ini membuktikan bahwa PEG 6000 dapat mendeteksi secara dini genotipe toleran dan peka kekeringan, tetapi seleksi dini dengan menggunakan 25% PEG 6000 pada fase bibit umur 7 hari dalam kultur hara dapat mengelompokkan genotipe hibrida toleran kekeringan yang paling sesuai dengan pengelompokan genotipe toleran kekeringan berdasarkan kriteria hasil di lapangan dibandingkan dengan pada fase perkecambahan (Tabel 36).

153 119 Tabel 37 Korelasi indeks vigor, panjang akar, panjang plumula, bobot kering akar, bobot kering kecambah pada perlakuan PEG 6000 dan bobot gabah per rumpun perlakuan cekaman kekeringan di pot dan simulasi kekeringan di lahan sawah Peubah P akar P plumula BK akar BK kecambah BGRp BGRs Indek vigor ** 0.68* 0.82** P akar * 0.60* * P plumula ** BK akar 0.92** ** BK kecambah * BGRp 0.56* Keterangan: P=panjang, BK=bobot kering, BGRp=bobot gabah per rumpun di pot, BGRs=bobot gabah per rumpun di lahan sawah, *=nyata pada α=0.05, **=sangat nyata pada α=0.01. Pada stadia bibit umur 7 hari dengan kondisi pertumbuhan perakaran dan tajuk yang relatif seragam, tanaman lebih responsif terhadap cekaman kekeringan dibanding pada fase perkecambahan yang masih dipengaruhi oleh faktor internal benih. Adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan dicirikan oleh adanya perubahan karakter bukan hanya pada perubahan karakter akar tapi juga karakter daun. Perubahan karakter terutama pada tingkat kekeringan daun atau penggulungan daun sebagai respon dari tanaman ketika terpapar cekaman kekeringan sudah dapat dievaluasi pada fase bibit dibanding pada fase kecambah. Herawati (2010) menyatakan penggunaan PEG 6000 pada stadia bibit umur 7 hari lebih disarankan untuk mengamati perbedaan panjang akar relatif pada penapisan padi gogo untuk hasil yang lebih baik. Oleh karena itu, penggunaan PEG 6000 konsentrasi 25% pada stadia bibit dalam kultur hara dapat mengidentifikasi genotipe toleran kekeringan lebih mendekati pengelompokan genotipe toleran kekeringan berdasarkan kriteria hasil di lapangan (di pot dan di lahan sawah). Metode seleksi dini menggunakan PEG 6000 konsentrasi 25% pada stadia bibit umur 7 hari dalam kultur hara cukup handal, pelaksanaannya mudah dan relatif cepat serta dapat mengatasi masalah banyaknya jumlah individu yang harus diseleksi jika dilakukan langsung di lapangan, yang membutuhkan biaya yang lebih banyak. Lewis dan Christiansen (1981); Fukai et al. (2008); Sie et al. (2008) menyatakan bahwa metode yang dipilih tidak hanya murah dan pelaksanaannya cepat tetapi juga harus handal untuk menyeleksi genotipe dalam jumlah banyak sekaligus dan dapat memisahkan genotipe toleran dan peka. Kumashiro dan

154 120 Yamaguchi-Shinozaki (2008) menyatakan metode seleksi yang dapat memberikan hasil cepat dan dilaksanakan dengan mudah dan murah merupakan solusi untuk mengatasi masalah dalam program pemuliaan tanaman pada generasi awal. Tabel 38 Korelasi tinggi tajuk, panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, nisbah bobot akar tajuk, skor tingkat kekeringan daun fase bibit pada perlakuan PEG 6000 dan bobot gabah per rumpun perlakuan cekaman kekeringan di pot dan simulasi kekeringan di lahan sawah Peubah P akar BK akar BK tajuk NAT SKD BGRp BGRs Tinggi tajuk ** -0.75** -0.79** P akar * 0.38 BK akar 0.79** ** * BK tajuk -0.62* -0.85** * NAT SKD * BGRp 0.56* Keterangan: P=panjang, BK=bobot kering, NAT=nisbah bobot akar tajuk, SKD=skor tingkat kekeringan daun, BGRp=bobot gabah per rumpun di pot, BGRs=bobot gabah per rumpun di lahan sawah, *=nyata pada α=0.05, **=sangat nyata pada α=0.01. Percobaan di pot dengan perlakuan cekaman kekeringan pada kadar air 60% kapasitas lapangan yang diberikan pada saat antesis tidak menyebabkan penurunan pertumbuhan yang nyata. Penurunan pertumbuhan relatif kecil karena cekaman kekeringan terjadi pada saat pertumbuhan vegetatif relatif sudah stabil. Namun demikian akibat perlakuan cekaman kekeringan terjadi penurunan hasil yang drastis berkisar antara persen, atau rata-rata mencapai 78.4 persen. Media di pot umumnya menghadapi adanya hambatan mekanis untuk penetrasi dan perkembangan akar karena ukuran pot yang sangat terbatas, sementara akar merupakan paramater kriteria seleksi penting untuk tanaman toleran kekeringan (Breseghello et al. 2008). Hal ini berimplikasi pada nilai indeks toleransi yang relatif sangat rendah dan indeks kepekaan yang relatif tinggi, sehingga dalam penentuan genotipe toleran kekeringan dan peka berdasarkan kriteria nilai indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK) < 1.0 dikategorikan sebagai toleran kekeringan dan nilai ISK 1.0 dikategorikan sebagai peka terhadap cekaman kekeringan atau berdasarkan perbandingan nilai ISK varietas cek Limboto dan IR64.

155 121 Pada percobaan simulasi kekeringan di lahan sawah, pengaruh perlakuan cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan, relatif sama dengan pengaruh perlakuan cekaman kekeringan di pot yaitu secara umum menurunkan pertumbuhan yang relatif kecil (Tabel 18), kecuali terhadap peubah panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering tajuk. Respon tanaman secara morfologi menunjukkan bahwa perlakuan cekaman kekeringan menghambat pertumbuhan panjang akar baik pada genotipe hibrida maupun varietas cek, dibandingkan dengan tanpa cekaman kekeringan. Rata-rata penurunan panjang akar mencapai 23.6 persen. Semua genotipe memiliki panjang akar yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Limboto, kecuali genotipe BI485A/BP5 (Tabel 19). Hal yang sama juga terjadi pada bobot kering tajuk (Tabel 20), karena terjadinya penurunan luas daun yang berdampak pada pengurangan produksi bahan kering. Hal ini berimplikasi pada nisbah akar tajuk (NAT) yang relatif kecil pada genotipe hibrida uji termasuk genotipe toleran kekeringan. Nisbah akar tajuk (NAT) yang kecil diduga karena adanya tren yang berlawanan antara perkembangan masa akar dan pajang akar akibat cekaman kekeringan. Ketika diameter akar menurun karena kekeringan menyebabkan akar lebih panjang tetapi masa akar berkurang, yang menyebabkan bobot kering akar menurun dan NAT rendah (Gowda et al. 2011). Nisbah akar tajuk bervariasi antar sistem budidaya. Pada kondisi lahan kering NAT meningkat (Price et al. 2002), dibandingkan dengan NAT di lahan sawah pada kondisi cekaman kekeringan (Banoc et al. 2000). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan NAT dan pertumbuhan panjang akar, tetapi kondisi kekeringan yang sangat parah dan kehadiran lapisan padas (hardpans) yang kompak dan keras telah mengurangi partisi asimilat ke akar menyebabkan pertumbuhan akar terhambat (Gowda et al. 2011). Rata-rata bobot gabah per rumpun yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah relatif lebih tinggi dibanding dengan bobot gabah per rumpun pada perlakuan cekaman kekeringan di pot, karena adanya kemampuan penetrasi akar untuk mencapai zona yang lembab pada kedalaman ± 20 cm di lahan sawah, meskipun pada lapisan tanah bagian atas sudah sangat kekeringan.

156 122 Genotipe yang diidentifikasi toleran kekeringan akibat perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah adalah BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 dengan daya hasil berturut-turut 2.82, 2.58 dan 2.72 ton gabah per ha, yang relatif sama dengan Limboto yaitu sebesar 2.73 ton per ha, sedangkan IR64 hanya menghasilkan 1.42 ton per ha. Genotipe tersebut juga menghasilkan indeks panen yang tinggi yaitu berturut-turut 0.76, 0.70 dan Hasil gabah yang tinggi berimplikasi pada nilai indeks toleransi terhadap kekeringan (IT) yang tinggi dan nilai indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK) yang rendah. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 menghasilkan nilai IT 80 persen dan ISK 0.50 (Tabel 25). Penetapan kriteria genotipe toleran kekeringan berdasarkan nilai IT dan ISK tampak pada kisaran nilai yang berbeda antara simulasi kekeringan di lahan sawah dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot. Hal ini disebabkan pengujian pada media pot memiliki banyak faktor pembatas untuk perkembangan akar dibanding dengan perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah dimana dinamika air tanah cukup tinggi pada saat periode pengeringan. Curah hujan pada saat penelitian cukup tinggi mulai sejak tanam sampai dengan panen (Lampiran 13 dan 14). Dengan demikian selama periode pengeringan kemungkinan pengaruh dinamika air tanah pada saat periode tersebut tidak dapat dihindari, meskipun demikian hasil pengamatan kadar air tanah pada kedalaman ± 16 cm menunjukkan sudah terjadi cekaman kekeringan pada akhir vegetatif hingga 2 minggu setelah antesis (awal pengisian biji) seperti yang diharapkan. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 akibat cekaman kekeringan mempercepat hari kematangan gabah/umur panen, 4 hingga 5 hari dan memperpendek periode pengisian biji dibanding tanpa cekaman kekeringan (Tabel 22). Pengaruh kekeringan terhadap umur panen dan periode pengisian biji sangat tergantung pada genotipe (Lafitte et al. 2006). Villa et al. (2011) melaporkan bahwa secara umum hasil biji padi hibrida lebih tinggi dibanding dengan padi inbrida pada berbagai kondisi lingkungan. Pada lahan sawah yang tercekam kekeringan, padi hibrida yang berbunga lebih awal umumnya produksinya tinggi. Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh Lafitte dan Courtois (2002) bahwa produksi pada kondisi cekaman kekeringan secara konsisten lebih

157 123 tinggi pada kultivar yang matang lebih awal. Pantuwan et al. (2002) menyatakan bahwa mekanisme drought escape dari genotipe umur genjah dengan hasil tinggi pada kondisi cekaman kekeringan karena adanya kontribusi cadangan asimilat pra-antesis selama periode pengisian biji. Genotipe BI599A/BP15 pada perlakuan cekaman kekeringan memiliki tingkat kerapatan stomata yang rendah dan tetap mempertahankan status air daun relatif tetap tinggi (Gambar 9 dan 10). Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki (2007), menyatakan bahwa salah satu respon tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah berkurangnya kerapatan stomata. Jain dan Chattopadhyay (2010) melaporkan bahwa kultivar toleran mempertahankan kadar air relatif daun lebih tinggi bila dibandingkan dengan kultivar peka. Kandungan klorofil daun pada genotipe yang diidentifikasi sebagai genotipe toleran menunjukkan penurunan kandungan klorofil, sama halnya dengan varietas cek lainnya kecuali pada varietas cek Limboto (Gambar 11), yang diduga memiliki daun yang lebih tebal dan sifat mempertahankan kehijauan daun selama terjadi cekaman kekeringan (Lilley dan Fukai 1994). Daun yang tebal akan memiliki kerapatan kloroplas yang lebih tinggi per satuan luas dan karena itu kadar klorofil per satuan luas daun tinggi. Varietas cek Limboto, diduga memiliki strategi pemulihan dengan tetap mempertahankan kehijauan daun selama cekaman kekeringan, sehingga kandungan klorofil daun tetap tinggi pada akhir cekaman kekeringan (Gambar 11). Cekaman kekeringan menyebabkan rendahnya karbohidrat nonstruktural baik pada batang, pelepah dan daun genotipe hibrida (Gambar 12). Kandungan karbohidrat yang rendah ini karena terjadi realokasi asimilat pra-antesis yang cepat dari daun dan batang ke biji selama fase pengisian biji. Hal ini dapat memperpendek periode waktu pengisian biji dan memperbaiki produksi biji. Produksi biji tergantung asimilat pra-antesis dan sumber asimilat (Pantuwan et al. 2002). Pada akhir periode cekaman kekeringan, dimana sumber fotosintesis terbatas, pengisian biji pada gandum dan barley tergantung cadangan pada batang (Bindinger et al. 1977). Oleh karena itu hasil biji pada genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe lain.

158 124 Uji daya hasil pendahuluan (UDHP) telah dilakukan di lapangan untuk mendapatkan galur/genotipe padi sawah dengan potensi produksi tinggi dengan umur genjah baik pada kondisi pengairan optimal maupun pada kondisi kekeringan. Pengujian di lapangan diperlukan agar karakter-karakter yang baik dapat diekspresikan, sehingga seleksi dapat dilakukan pada genotipe yang berpotensi hasil tinggi. UDHP di lahan sawah irigasi, menunjukkan bahwa delapan genotipe hibrida yang diuji memiliki daya hasil yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang dan Hipa 7. Hasil ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol) percobaan simulasi kekeringan di lahan sawah, karena kondisi kesuburan tanah yang rendah (Lampiran 1). UDHP Di Lahan sawah irigasi Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 memiliki daya hasil menyamai varietas cek Ciherang yaitu berturut-turut 5.63, 6.87 dan 6.30 ton ha -1 (Tabel 30). Galur-galur/genotipe tersebut mempunyai postur batang yang sedang yaitu ±100 cm, yang tahan terhadap kerebahan dan umumnya petani lebih menyukai tanaman dengan ketinggian sedang ( cm), karena lebih memudahkan petani pada saat panen (Kamandalu 2005). Dari segi anakan produktif, genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 mempunyai jumlah anakan anakan produktif (Tabel 29). Anakan produktif merupakan salah satu komponen hasil yang menentukan tinggi rendahnya hasil gabah. Pemuliaan padi tipe baru juga diarahkan pada pembentukan jumlah anakan produktif antara 8-12 batang rumpun -1 dengan jumlah gabah butir malai -1 (Peng dan Khush 2003). Jumlah anakan produktif yang optimal akan mendukung hasil gabah yang tinggi, karena jumlah anakan yang banyak dan tidak produktif menjadi pesaing dari anakan produktif untuk mendapatkan cahaya matahari dan hara. Komponen hasil genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 mempunyai panjang malai yang relatif panjang yaitu ± 25 cm. Genotipe tersebut juga mempunyai malai yang lebat yaitu berturut-turut 173.7, dan butir gabah malai -1 yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang mupun Hipa 7 yaitu berturut-turut dan butir gabah malai -1 (Tabel 30). Tingkat

159 125 kehampaan gabah genotipe tersebut berturut-turut sebesar 11.6, 16.3 dan 20.8 persen, lebih rendah dibanding varietas Hipa 7 yang mencapai 28.2 persen, sedangkan tingkat kehampaan gabah Ciherang sebesar 17.9 persen. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 mempunyai umur panen yang genjah dibanding varitas cek Ciherang dan Hipa 7 yaitu berturut-turut 116.7, dan hari, sedangkan umur panen cek Ciherang dan Hipa 7 yaitu 120 hari (Tabel 29). Di daerah tropis, umur varietas yang optimum untuk dapat berpotensi hasil tinggi adalah 120 hari, karena tanaman dianggap mempunyai cukup waktu untuk proses fotosintesis dan pertumbuhan vegetatif untuk mendukung hasil tinggi (Yoshida dan Parao 1976). Umur varietas padi hari dapat diharapkan sudah dapat memberikan hasil yang maksimal (Abdullah 2004). Sebaliknya varietas padi dengan umur genjah mempunyai peluang yang besar untuk ditanam pada daerah iklim kering dengan periode hujan singkat, karena dapat melepaskan diri dari kekeringan (drought escape). Mekanisme ini melibatkan perkembangan fenologi yang cepat (pembungaan lebih awal dan pemasakan lebih awal) dan remobilisasi asimilat pra-antesis (Mitra 2001). Hasil percobaan di lahan sawah tadah hujan dimana tanaman berada pada kondisi tingkat cekaman kekeringan sangat parah, karena hanya 2 minggu pertama setelah tanam terjadi hujan (Tabel 31 dan 32, Gambar 13 dan Lampiran 11). Ini menunjukkan bahwa genotipe BI599A/BP15 mampu menghasilkan bobot gabah 5.62 gram rumpun -1 dengan daya hasil 0.9 ton ha -1. Hasil ini 3x lebih tinggi dibanding varietas cek Hipa7 yang dideskripsikan untuk lahan sawah tadah hujan dengan daya hasil 0.34 ton gabah ha -1. Sementara varietas Limboto merupakan varietas toleran kekeringan hanya mampu menghasilkan 0.29 ton gabah ha -1 (Tabel 35). Limboto merupakan varietas toleran kekeringan. Selama pertumbuhan di lapangan pada kondisi kekeringan sangat parah Limboto tetap mempertahankan kehijauan daun tetap tinggi tetapi tingkat pengisian gabah jauh lebih rendah dibandingkan dengan genotipe BI599A/BP15 (Gambar 14 dan Tabel 35). Fukai dan Cooper (1995) menyatakan bahwa ada 4 kategori sifat resistensi kekeringan pada padi tadah hujan yaitu melepaskan diri dari kekeringan (drought escape),

160 126 penghindaran (drought avoidance), toleransi (drought tolerance) dan pemulihan (drought recovery) setelah kekeringan terjadi. (Fukai et al. 1999) menyatakan bahwa pemeliharaan kehijauan daun pada kondisi kekeringan merupakan contoh mekanisme adaptasi toleransi kekeringan padi tadah hujan. Drought escape merupakan strategi yang sangat efektif untuk mengurangi pengaruh yang tidak menguntungkan dari kekeringan yang menyesuaikan ketersediaan air dengan fenologi tanaman (Mitchell et al. 1998). Dengan demikian kehijauan daun Limboto pada kondisi kekeringan parah dimana hanya terjadi hujan dua minggu pertama setelah tanam, mengindikasikan varietas Limboto bersifat toleran kekeringan, sedangkan genotipe BI599A/BP15 mengembangkan lebih dari satu mekanisme/strategi adaptasi yaitu drought escape dan toleransi kekeringan. Pada kondisi kekeringan genotipe BI599A/BP15 disamping mempercepat umur berbunga/panen (Tabel 22 dan 34) juga memiliki kerapatan stomata yang rendah dan tetap mempertahankan kadar air relatif daun tetap tinggi pada kondisi kekeringan (Gambar 9 dan 10). Mitra (2001) menyatakan bahwa sering kali tanaman menggunakan lebih dari satu mekanisme untuk toleran kekeringan. Oleh karena itu genotipe BI599A/BP15 mampu menghasilkan gabah yang lebih baik pada kondisi kekeringan dibandingkan genotipe yang lain. Gambar 14 Penampilan genotipe BI599A/BP15 (H7) dan varietas Limboto (H12) pada fase reproduktif di lahan sawah tadah hujan pada kondisi kekeringan sangat parah Semua genotipe yang diuji dalam kondisi kekeringan yang parah tersebut mengalami penghambatan pertumbuhan dengan tinggi postur batang kurang dari 100 cm atau berkisar antara cm (Tabel 34). Dibandingkan dengan genotipe

Lampiran 1 Hasil analisis tanah sawah Babakan Dramaga (SBD), University Farm Institut Pertanian Bogor

Lampiran 1 Hasil analisis tanah sawah Babakan Dramaga (SBD), University Farm Institut Pertanian Bogor LAMPIRAN 147 148 Lampiran 1 Hasil analisis tanah sawah Babakan Dramaga (SBD), University Farm Institut Pertanian Bogor Sifat kimia Nomor ph(1:5) Hasil analisis dihitung berdasarkan contoh tanah kering

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

TOLERANSI VARIETAS PADI HITAM (Oryza sativa L.) PADA BERBAGAI TINGKAT CEKAMAN KEKERINGAN. Tesis Program Studi Agronomi

TOLERANSI VARIETAS PADI HITAM (Oryza sativa L.) PADA BERBAGAI TINGKAT CEKAMAN KEKERINGAN. Tesis Program Studi Agronomi TOLERANSI VARIETAS PADI HITAM (Oryza sativa L.) PADA BERBAGAI TINGKAT CEKAMAN KEKERINGAN Tesis Program Studi Agronomi Oleh Samyuni S611308012 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi Pertumbuhan tanaman padi dibagi kedalam tiga fase: (1) vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial); (2) reproduktif (primordial

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI /Pemuliaan Tanaman

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI /Pemuliaan Tanaman KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.)TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI 080307008/Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kandungan karbondioksida mengakibatkan semakin berkurangnya lahan. subur untuk pertanaman padi sawah (Effendi, 2008).

I. PENDAHULUAN. kandungan karbondioksida mengakibatkan semakin berkurangnya lahan. subur untuk pertanaman padi sawah (Effendi, 2008). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk yang semakin bertambah pesat setiap tahunnya justru semakin memperparah permasalahan di bidang pertanian. Bukan hanya dari tingkat kebutuhan beras yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih BAHAN DAN METODE Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang penapisan galur-galur padi (Oryza sativa L.) populasi RIL F7 hasil persilangan varietas IR64 dan Hawara Bunar terhadap cekaman besi ini dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sebagian besar petani menjadikan tanaman padi sebagai pilihan utama untuk dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak dibutuhkan oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi 5 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk dalam famili Graminae yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas ini merupakan bumbung kosong

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.) SKRIPSI PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.) Oleh : IrvanSwandi 10882003293 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh 81 PEMBAHASAN UMUM Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selama cekaman suhu rendah diantaranya; (a) faktor fisiologi, faktor lingkungan sebelum dan sesudah fase penting pertumbuhan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul 147 PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul Karakter morfologi tanaman pada varietas unggul dicirikan tipe tanaman yang baik. Hasil penelitian menunjukkan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi tanaman padi menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai

II.TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi tanaman padi menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai 9 II.TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Taksonomi tanaman padi menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai berikut : Regnum Divisio Sub Divisio Class Ordo Family Genus : Plantae

Lebih terperinci

PENGUJIAN TOLERANSI KEKERINGAN PADI GOGO (Oryza sativa L.) PADA STADIA AWAL PERTUMBUHAN. Oleh Ana Satria A

PENGUJIAN TOLERANSI KEKERINGAN PADI GOGO (Oryza sativa L.) PADA STADIA AWAL PERTUMBUHAN. Oleh Ana Satria A PENGUJIAN TOLERANSI KEKERINGAN PADI GOGO (Oryza sativa L.) PADA STADIA AWAL PERTUMBUHAN Oleh Ana Satria A34404006 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMBERIAN POLIMER PENYIMPAN AIR PADA SAWAH BUKAAN BARU SKRIPSI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMBERIAN POLIMER PENYIMPAN AIR PADA SAWAH BUKAAN BARU SKRIPSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMBERIAN POLIMER PENYIMPAN AIR PADA SAWAH BUKAAN BARU SKRIPSI RYAN ISKANDAR 060301050 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN i METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN ROY EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L) TERHADAP BERBAGAI TINGKAT GENANGAN AIR PADA BERBAGAI JARAK TANAM DISERTASI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L) TERHADAP BERBAGAI TINGKAT GENANGAN AIR PADA BERBAGAI JARAK TANAM DISERTASI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L) TERHADAP BERBAGAI TINGKAT GENANGAN AIR PADA BERBAGAI JARAK TANAM DISERTASI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

Deteksi Dini Toleransi Padi Hibrida terhadap Kekeringan menggunakan PEG Early Detection of Hybrid Rice Tolerance to Drought Using PEG 6000

Deteksi Dini Toleransi Padi Hibrida terhadap Kekeringan menggunakan PEG Early Detection of Hybrid Rice Tolerance to Drought Using PEG 6000 Deteksi Dini Toleransi Padi Hibrida terhadap Kekeringan menggunakan PEG 6000 Early Detection of Hybrid Rice Tolerance to Drought Using PEG 6000 La Ode Afa 1 *, Bambang Sapta Purwoko 2, Ahmad Junaedi 2,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan

Lebih terperinci

PENGUJIAN TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI PADA LAHAN SAWAH YANG MENGALAMI CEKAMAN KEKERINGAN

PENGUJIAN TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI PADA LAHAN SAWAH YANG MENGALAMI CEKAMAN KEKERINGAN PENGUJIAN TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI PADA LAHAN SAWAH YANG MENGALAMI CEKAMAN KEKERINGAN Yummama Karmaita, SP Pembimbing Prof. Dr. Ir. Aswaldi Anwar, MS dan Dr. Ir. EttiSawasti, MS Lahan yang mengalami

Lebih terperinci

Sesuai Prioritas Nasional

Sesuai Prioritas Nasional Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Peningkatan Effisiensi Pengisian Dan Pembentukan Biji Mendukung Produksi Benih Padi Hibrida id Oleh Dr. Tatiek Kartika Suharsi MS. No Nama Asal Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI ABSTRAK Aksesi gulma E. crus-galli dari beberapa habitat padi sawah di Jawa Barat diduga memiliki potensi yang berbeda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo 3 TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering. Lahan kering yang digunakan untuk tanaman padi gogo rata-rata lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman. Tanaman padi

Lebih terperinci

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015 KAJIAN KETAHANAN TERHADAP CEKAMAN PADA PADI HITAM DAN PADI MERAH TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Megister Pertanian Pada Program Studi Agronomi Oleh: Intan Rohma Nurmalasari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teoritis 2.1.1. Sawah Tadah Hujan Lahan sawah tadah hujan merupakan lahan sawah yang dalam setahunnya minimal ditanami satu kali tanaman padi dengan pengairannya sangat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA HUSIN KADERI Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru Jl. Kebun Karet, Loktabat Banjarbaru RINGKASAN Percobaan

Lebih terperinci

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO Sutardi, Kristamtini dan Setyorini Widyayanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta ABSTRAK Luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia, karena padi merupakan pangan pokok bagi lebih dari setengah penduduk dunia (Lu 1999). Menurut Pusat Data dan

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kacang Hijau Kacang hijau termasuk dalam keluarga Leguminosae. Klasifikasi botani tanman kacang hijau sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis

Lebih terperinci

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

Halimursyadah et al. (2013) J. Floratek 8: 73-79

Halimursyadah et al. (2013) J. Floratek 8: 73-79 Halimursyadah et al. (213) J. Floratek 8: 73-79 PENGGUNAAN POLYETHYLENE GLYCOLE SEBAGAI MEDIA SIMULASI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BEBERAPA VARIETAS BENIH KACANG TANAH (Arachis hypogaea

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR

KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR Charles Y. Bora 1 dan Buang Abdullah 1.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur. Balai Besar Penelitian

Lebih terperinci

RESPON VARIETAS TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN PADA FASE PERTUMBUHAN VEGETATIF

RESPON VARIETAS TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN PADA FASE PERTUMBUHAN VEGETATIF RESPON VARIETAS TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN PADA FASE PERTUMBUHAN VEGETATIF SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Prasyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan komoditas utama penduduk Indonesia. Kebutuhan beras terus meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan penduduk (Sinar Tani 2011). Beras merupakan bahan

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI OLEH: RIZKI RINALDI DALIMUNTHE 080301018 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A24052710 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, Mei Penyusun

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, Mei Penyusun RIWAYAT HIDUP Penyusun memiliki nama lengkap Mukhammad Abizar dilahirkan di kota Metro, Lampung pada tanggal 6 Mei 1992. Penyusun merupakan putra sulung dari 3 saudara dari pasangan Bapak Ir. H. M.Yusuf

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh:

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh: PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK SKRIPSI Oleh: CAROLINA SIMANJUNTAK 100301156 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping

BAB I PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping itu Indonesia merupakan daerah agraris dengan profesi utama penduduknya sebagai petani terutama

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE 10 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Rumah Kaca Instalasi

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang HASIL DA PEMBAHASA 21 Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang Tabel 1 menunjukkan hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh

Lebih terperinci

RESPON BEBERAPA VARIETAS PADI DAN PEMBERIAN AMELIORAN JERAMI PADI PADA TANAH SALIN

RESPON BEBERAPA VARIETAS PADI DAN PEMBERIAN AMELIORAN JERAMI PADI PADA TANAH SALIN RESPON BEBERAPA VARIETAS PADI DAN PEMBERIAN AMELIORAN JERAMI PADI PADA TANAH SALIN OKTAVIANUS SINURAYA 050307037 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGARUH KEMATANGAN BENIH TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L).Merrill)

PENGARUH KEMATANGAN BENIH TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L).Merrill) SKRIPSI PENGARUH KEMATANGAN BENIH TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L).Merrill) Oleh: Siti Rosmiati 10982008360 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

METODE UJI TOLERANSI PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP SALINITAS PADA STADIA PERKECAMBAHAN RATIH DWI HAYUNINGTYAS A

METODE UJI TOLERANSI PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP SALINITAS PADA STADIA PERKECAMBAHAN RATIH DWI HAYUNINGTYAS A METODE UJI TOLERANSI PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP SALINITAS PADA STADIA PERKECAMBAHAN RATIH DWI HAYUNINGTYAS A24050113 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

KAJIAN FISIOLOGI KOMPETISI ANTARA TANAMAN PADI SAWAH DENGAN GULMA Echinochloa crus-galli

KAJIAN FISIOLOGI KOMPETISI ANTARA TANAMAN PADI SAWAH DENGAN GULMA Echinochloa crus-galli KAJIAN FISIOLOGI KOMPETISI ANTARA TANAMAN PADI SAWAH DENGAN GULMA Echinochloa crus-galli ABSTRAK Tiap varietas padi memiliki pertumbuhan dan produksi serta kemampuan kompetisi yang berbeda terhadap gulma

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN DEPAN... i HALAMAN JUDUL... ii LEMBAR PERSETUJUAN. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT v UCAPAN TERIMA KASIH vi ABSTRAK viii ABSTRACT. ix RINGKASAN..

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A34103038 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lima persen penduduk Indonesia mengkonsumsi bahan makanan ini (Swastika

I. PENDAHULUAN. lima persen penduduk Indonesia mengkonsumsi bahan makanan ini (Swastika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia adalah padi. Penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Sembilan puluh lima persen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan terhadap pangan khususnya beras, semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, sedangkan usaha diversifikasi pangan berjalan lambat. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Ragam Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap karakter-karakter yang diamati. Hasil rekapitulasi analisis ragam (Tabel 2), menunjukkan adanya

Lebih terperinci

PEMBERIAN PUPUK P DAN Zn UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN P DAN Zn DI TANAH SAWAH SKRIPSI OLEH : KIKI DAMAYANTI

PEMBERIAN PUPUK P DAN Zn UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN P DAN Zn DI TANAH SAWAH SKRIPSI OLEH : KIKI DAMAYANTI PEMBERIAN PUPUK P DAN Zn UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN P DAN Zn DI TANAH SAWAH SKRIPSI OLEH : KIKI DAMAYANTI 110301232 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.)

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) SKRIPSI Oleh : FIDELIA MELISSA J. S. 040307013 / BDP PET PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA ALLEN WIJAYA 070301024 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan yang menghasilkan beras sebagai sumber makanan pokok sebagian penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

Jurnal Agrotek Indonesia 1 (1) : (2016) ISSN :

Jurnal Agrotek Indonesia 1 (1) : (2016) ISSN : Jurnal Agrotek Indonesia 1 (1) : 29 36 (2016) ISSN : 2477-8494 Pengaruh Ketersediaan Hara terhadap Pertumbuhan dan Produksi 9 Genotip Padi dalam Kondisi Kekeringan Effect of Nutrient Availability on Growth

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH BIBIT DAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO YANG DIMODIFIKASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH

PENGARUH JUMLAH BIBIT DAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO YANG DIMODIFIKASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH 1 PENGARUH JUMLAH BIBIT DAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO YANG DIMODIFIKASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) DI KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN SKRIPSI OLEH : STEPHANIE C.C. TAMBUNAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH

ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH Studi Kasus: Sekolah Dasar Negeri Di Kabupaten Sukohardjo Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan lahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan lahan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Lahan Kering dan Potensinya di Bali Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK MAJEMUK PELET DARI BAHAN ORGANIK LEGUM COVER CROP (LCC) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI VARIETAS IR 64 PADA MUSIM PENGHUJAN

PENGARUH PUPUK MAJEMUK PELET DARI BAHAN ORGANIK LEGUM COVER CROP (LCC) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI VARIETAS IR 64 PADA MUSIM PENGHUJAN PENGARUH PUPUK MAJEMUK PELET DARI BAHAN ORGANIK LEGUM COVER CROP (LCC) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI VARIETAS IR 64 PADA MUSIM PENGHUJAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mencapai Derajat

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al.

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al. 2 memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al. Analisis Root re-growth (RRG) Pengukuran Root Regrowth (RRG) dilakukan dengan cara mengukur panjang akar pada saat akhir perlakuan cekaman Al dan pada saat

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS DAN DOSIS PUPUK ORGANIK PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI

PENGARUH JENIS DAN DOSIS PUPUK ORGANIK PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI PENGARUH JENIS DAN DOSIS PUPUK ORGANIK PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) DENGAN METODE SRI (The System of Rice Intensification) SKRIPSI Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI OLEH MIRZAH FIKRIATI A24053678 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Rumah kaca University Farm, Cikabayan, Dramaga, Bogor. Ketinggian tempat di lahan percobaan adalah 208 m dpl. Pengamatan pascapanen dilakukan

Lebih terperinci

METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN i METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN ROY EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 009 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. banyak mengandung zat-zat yang berguna bagi tubuh manusia, oleh karena itu

1. PENDAHULUAN. banyak mengandung zat-zat yang berguna bagi tubuh manusia, oleh karena itu 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tomat adalah satu diantara produk hortikultura yang mempunyai beragam manfaat, yaitu bisa dimanfaatkan dalam bentuk segar sebagai sayur, buah dan olahan berupa makanan,

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN BEBERAPA CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L.

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN BEBERAPA CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L. PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN BEBERAPA CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L.) METODE SRI SKRIPSI OLEH : ADIFA OLAN I. SIMATUPANG 040301004 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O. glaberrima Steud.

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA HERAWATY SAMOSIR 060307005 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH KETERSEDIAAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens) SKRIPSI DWI INTAN HARDILA

PENGARUH KETERSEDIAAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens) SKRIPSI DWI INTAN HARDILA PENGARUH KETERSEDIAAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens) SKRIPSI DWI INTAN HARDILA 080805039 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGGUNAAN RADIASI SINAR GAMMA UNTUK PERBAIKAN DAYA HASIL DAN UMUR PADI (Oryza sativa L.) VARIETAS CIHERANG DAN CEMPO IRENG

PENGGUNAAN RADIASI SINAR GAMMA UNTUK PERBAIKAN DAYA HASIL DAN UMUR PADI (Oryza sativa L.) VARIETAS CIHERANG DAN CEMPO IRENG PENGGUNAAN RADIASI SINAR GAMMA UNTUK PERBAIKAN DAYA HASIL DAN UMUR PADI (Oryza sativa L.) VARIETAS CIHERANG DAN CEMPO IRENG TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Magister Pertanian

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI OLEH : HENDRIKSON FERRIANTO SITOMPUL/ 090301128 BPP-AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK FOSFOR DAN KALSIUM TERHADAP KUALITAS BENIH KEDELAI SETELAH MASA SIMPAN

PENGARUH PUPUK FOSFOR DAN KALSIUM TERHADAP KUALITAS BENIH KEDELAI SETELAH MASA SIMPAN PENGARUH PUPUK FOSFOR DAN KALSIUM TERHADAP KUALITAS BENIH KEDELAI SETELAH MASA SIMPAN KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA Oleh Fetrie Bestiarini Effendi A01499044 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SISTEM TANAM DAN UMUR BIBIT PADA TANAMAN PADI SAWAH (Oryza sativa L.) VARIETAS INPARI 13

SISTEM TANAM DAN UMUR BIBIT PADA TANAMAN PADI SAWAH (Oryza sativa L.) VARIETAS INPARI 13 52 JURNAL PRODUKSI TANAMAN Vol. 1 No. 2 MEI-2013 ISSN: 2338-3976 SISTEM TANAM DAN UMUR BIBIT PADA TANAMAN PADI SAWAH (Oryza sativa L.) VARIETAS INPARI 13 CROPPING SYSTEM AND SEEDLING AGE ON PADDY (Oryza

Lebih terperinci

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L.) TOLERAN ALUMINIUM SKRIPSI OLEH : SITI KURNIA /PEMULIAAN TANAMAN

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L.) TOLERAN ALUMINIUM SKRIPSI OLEH : SITI KURNIA /PEMULIAAN TANAMAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L.) TOLERAN ALUMINIUM SKRIPSI OLEH : SITI KURNIA 090301007/PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan kebutuhan makanan yang bernilai gizi tinggi. Bahan makanan yang bernilai gizi tinggi

Lebih terperinci

DAYA SIMPAN BENIH KAKAO (Theobroma cacao L.) DENGAN PEMBERIAN POLYETHYLENE GLYCOL (PEG) PADA BERBAGAI WADAH SIMPAN

DAYA SIMPAN BENIH KAKAO (Theobroma cacao L.) DENGAN PEMBERIAN POLYETHYLENE GLYCOL (PEG) PADA BERBAGAI WADAH SIMPAN DAYA SIMPAN BENIH KAKAO (Theobroma cacao L.) DENGAN PEMBERIAN POLYETHYLENE GLYCOL (PEG) PADA BERBAGAI WADAH SIMPAN Oleh: SRINIDIYANTI MISRUN 060301052/BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGENDALIAN MUTU PRODUKSI BENIH KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacquin) DI PUSAT PENELITIAN KELAPA SAWIT MARIHAT, SUMATERA UTARA

PENGENDALIAN MUTU PRODUKSI BENIH KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacquin) DI PUSAT PENELITIAN KELAPA SAWIT MARIHAT, SUMATERA UTARA PENGENDALIAN MUTU PRODUKSI BENIH KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacquin) DI PUSAT PENELITIAN KELAPA SAWIT MARIHAT, SUMATERA UTARA RANI KURNILA A24052666 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH INTERVAL PENYIRAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL EMPAT KULTIVAR JAGUNG (Zea mays L.)

PENGARUH INTERVAL PENYIRAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL EMPAT KULTIVAR JAGUNG (Zea mays L.) PENGARUH INTERVAL PENYIRAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL EMPAT KULTIVAR JAGUNG (Zea mays L.) Danti Sukmawati Ciptaningtyas 1, Didik Indradewa 2, dan Tohari 2 ABSTRACT In Indonesia, maize mostly planted

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU DAN CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI HIBRIDA (Oryza sativa L.) Oleh Gita Septrina A

PENGARUH WAKTU DAN CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI HIBRIDA (Oryza sativa L.) Oleh Gita Septrina A PENGARUH WAKTU DAN CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI HIBRIDA (Oryza sativa L.) Oleh Gita Septrina A34104069 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci