MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MEMINTA PADA ANAK AUTIS MELALUI MEDIA PECS (PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM)
|
|
- Ratna Rachman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MEMINTA PADA ANAK AUTIS MELALUI MEDIA PECS (PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM) NASKAH PUBLIKASI Disusun dan Diajukan Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Psikologi Profesi Bidang Kekhususan Psikologi Pendidikan Diajukan oleh: Atik Murwati, S.Psi T PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2 LEMBAR PENGESAHAN Naskah Publikasi MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MEMINTA PADA ANAK AUTIS MELALUI MEDIA PECS (PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM) Diajukan Oleh : Atik Murwati, S.Psi T Disahkan dan Disetujui oleh : Pembimbing Utama Dr. Nisa Rachmah Nur Anganthi, M.Si, Psi Tanggal 15 November 2013 Pembimbing Pendamping Dra. Juliani Prasetyaningrum, M.Si, Psi. Tanggal 15 November
3 3
4 PENDAHULUAN Jumlah penyandang autisme mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penyandang autisme di seluruh dunia mencapai kurang lebih 35 juta jiwa pada tahun 2007 berdasarkan catatan dari PBB ( 2010). Di Amerika Serikat menurut NICHCY (Nasional Information Center for Children and Youth with Disabilities) memperkirakan bahwa jumlah penyandang autisme dan PDD (Pervasive Developmental Disorder) pada tahun 2000 mendekati per kelahiran. Jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang signifikan. Jika tahun 2008 rasio anak autis 1 dari 100 anak, maka di 2012 terjadi peningkatan yang cukup memprihatinkan dengan jumlah rasio 1 dari 88 orang anak saat ini mengalami autisme. Hasil penelitian ini dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Perkiraan ini mengalami peningkatan 23% dibandingkan data tahun 2008, yaitu 1 dari 100 anak yang menderita autisme (Harnowo, 2012). Kemudian diketahui bahwa autisme secara umum berjumlah empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (Maulana, 2012). Indonesia belum memiliki data yang sesungguhnya mengenai jumlah penyandang autisme, namun menurut Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa yakni Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan 1:5.000 anak, sekarang meningkat menjadi 1:500 anak (Kompas, 2000). Insiden dan prevalen ASD adalah 2:1000 penduduk pertahun, dan 10:1000 penduduk pertahun. Hal ini patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia tahun 2010 mencapai lebih dari 237,5 juta (BPS, 2010) dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14 % sehingga diperkirakan jumlah penyandang autisme di Indonesia sekitar 2,4 juta orang, yakni bertambah sekitar 500 orang penyandang baru tiap tahunnya (Sutadi, 2011). Prevalensi di atas menjadikan kekhawatiran semua pihak akan terjadinya epidemologis penyandang autisme. Menurut Peeters dan Gillberg dalam Tincani (2004) sekitar separuh jumlah anak yang diduga autisme akan mengalami kesulitan berkomunikasi hingga dewasa. Kesulitan berkomunikasi pada anak autis tersebut menimbulkan perilaku yang tidak terkontrol seperti menendang, melempar benda-benda 1
5 di sekitarnya, menyakiti diri sendiri maupun orang di dekatnya, dan perilaku tantrum lainnya. Berikut ini hasil survey peneliti di tiga tempat pusat terapi anak berkebutuhan khusus di Surakarta yang memiliki anak autis dengan kondisi non verbal sebagai berikut: Perkembangan komunikasi yang terhambat mengakibatkan anak melakukan komunikasi dengan cara yang tidak lazim (antara lain: tantrum, bersikap agresif sebagai bentuk protes terhadap respon orang lain, menghindari situasi yang tidak menyenangkan, melindungi dari kontak fisik atau perhatian, inisiasi atau regulasi interaksi sosial) (Prizant & Wheterby dalam Trunoyudho, 2009). Ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif juga sering membuat frustrasi, yang mengarah pada penarikan diri dan/atau membentuk perilaku bermasalah (Schopler, 1995). Hal ini mengakibatkan hambatan dalam proses belajar sehingga anak perlu dibantu untuk meningkatkan komunikasi dengan menggunakan alat bantu. Menurut Sussman (2004) anak autis memiliki gaya belajar yang berbeda-beda yaitu Rote learner, yakni kecenderungan menghafalkan informasi apa adanya tanpa memahami arti simbol yang dihafalkan Gestalt learner, yakni melihat sesuatu secara global, Visual learner, yakni senang dan lebih mudah mencerna informasi yang dapat dilihat daripada yang hanya dapat didengar, Hand-on learner, yakni senang mencobacoba dan mendapatkan pengetahuan melalui pengalamannya, Auditory learner, yakni senang bicara dan mendengarkan orang lain, Pada umumnya anak-anak autis memiliki kemampuan yang menonjol di bidang visual (misalnya gambar atau tulisan dari bendabenda, kejadian, tingkah laku maupun konsep-konsep abstrak) daripada hanya mendengar. Dengan melihat gambar dan tulisan, anak-anak autis akan membentuk gambaran mental yang jelas dan relatif permanen dalam benaknya (Hodgdon dalam Ginanjar, 2007). Anak dengan gaya belajar visual leaners sangat tertarik dengan permainan seperti puzzle, dan balok-balok karena mereka dapat melihat dan menggunakannya. Beberapa anak visual leaners juga sangat tertarik dengan angka dan huruf dan bahkan bisa membaca beberapa kata tanpa 2
6 mempelajarinya terlebih dahulu (Sussman,2004). Ada beberapa metode alat bantu komunikasi alternatif atau AAC (Augmentative and Alternative Communication) yang menggunakan gambar dan simbol, Braille, gesture dan berbagai macam aktivitas dengan tubuh dan gerakan mata. Metode-metode tersebut akan mempermudah anak autis dalam melakukan komunikasi (Bondy dan Frost, 2001). Beberapa metode yang disusun menggunakan gambar yaitu compic (Computerize Picture) dan PECS (Picture Exchange Communication System). Compic memiliki beberapa tahapan antara lain yaitu pertama kontak mata, kemudian identifikasi gambar, menyamakan benda dan benda, menyamakan benda dengan foto, menyamakan benda dengan gambar, menyamakan benda dengan compic, kemudian baru siap memakai compic. Kelebihannya gambar sangat sederhana (simple), bervariasi dan rancangan dapat dibuat berulang-ulang. Kelemahan compic tahapannya sangat banyak sehingga sangat sulit dilakukan pada anak autisme yang belum bisa kontak mata dan gambar kurang spesifik karena hanya simbol sederhana. PECS memiliki tahapan yang jelas dan sesuai dengan tahapan komunikasi pada anak autisme tanpa ada syarat tertentu dan gambarnya bebas, bisa menggunakan apa saja (Ginanjar 2002). Metode PECS Bondy & Frost (2010) memiliki beberapa tahapan yang disesuaikan dengan tahapan komunikasi pada anak autis yaitu dari fase satu sampai enam. Fase 1 adalah anak belajar menukar kartu gambar dengan sesuatu yang dia sangat sukai dengan spontan. Fase 2 memperluas spontanitas meminta dengan kartu. Fase 3 diskriminasi gambar. Fase 4 menyusun kalimat dengan gambar. Fase 5 menanggapi pertanyaan, dan fase 6, memberi komentar secara spontan dan responsif. Langkah demi langkah dalam metode PECS disesuaikan dengan perkembangan komunikasi anak autis. Proses pembelajaran anak autis yang juga dilakukan setahap demi setahap secara konsisten dan intensif sehingga anak autis mudah memahami dan bersifat efektif ( Bondy & Frost, 2010) Pendekatan yang dipakai dalam metode PECS adalah teori operant Conditioning dari Skinner (Bondy & Frost, 2010), yakni perilaku akan cenderung diulang apabila ada penguat atau reinforcer yang menguatkan perilaku. Metode PECS menggunakan reinforcement berupa 3
7 makanan, mainan ataupun hal lain yang disukai anak autis. Carr dan Felce (2006) melaporkan bahwa lima dari 24 anak yang telah menerima 15 jam pengajaran PECS sampai fase 3 selama 4-5 minggu serentak terbukti meningkat dalam produktifitas bicara. Sebuah penelitian lain yang bertujuan mengetahui pengaruh sistem komunikasi PECS dalam perkembangan perilaku meminta dan bicara pada anak autis prasekolah dinyatakan bahwa dua dari tiga anak berhasil mencapai tingkat master PECS namun tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam penggunaan perkiraan kata-kata yang dapat dimengerti (Ganz, Simpson, Corbine- Newsome, 2007). Metode PECS ternyata dapat meningkatkan kemampuan perilaku meminta pada anak autis tipe non verbal, yang diberikan pada dua orang anak autis(trunoyudho & Kumara, 2009). Pertimbangan lain peneliti menggunakan PECS adalah bahwa sistem ini hanya membutuhkan gerakan motorik yang relatif sedikit, tidak mengharuskan anak untuk mengenali bahasa isyarat, tidak butuh biaya banyak dalam pembuatannya, dapat dibawa kemana-mana, dapat dipakai dalam berbagai situasi dan dapat mudah dipahami dan diterapkan oleh banyak orang. Berdasarkan pada latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah mengetahui tahapan kemampuan komunikasi meminta pada anak autis dan dinamika psikologis anak autis di Talenta Center dan Permata Bunda melalui pengajaran media PECS? LANDASAN TEORI Menurut KBBI (kbbi.web.id) Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti sanggup melakukan sesuatu, sehingga kemampuan adalah kesanggupan melakukan sesuatu, sedangkan definisi komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Definisi meminta adalah berkatakata supaya diberi atau mendapat sesuatu. Berdasar uraian di atas maka kemampuan komunikasi meminta adalah kesanggupan seseorang untuk mengirimkan atau menerima pesan yang tujuannya mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Menurut Puspita (2003) komunikasi melibatkan perkembangan penguasaan bahasa yang mencakup: bahasa isyarat, simbol (misalnya kata, gambar, tulisan), bahasa melalui bicara atau kombinasi dari ketiganya. Perkembangan bahasa mencakup dua aspek atau komponen yang harus dilalui 4
8 secara bertahap, dengan aspek pertama merupakan pra-syarat penguasaan aspek kedua. a. Bahasa Reseptif Bahasa reseptif atau pemahaman adalah berbagai informasi yang diterima anak dengan cara mendengar aneka suara, melihat bahasa tubuh dan sistem tanda yang formal, atau juga membaca simbol di sekitarnya. Singkatnya, bahasa pemahaman adalah berbagai hal yang dipahami dari dunia sekitarnya. Maka penting sekali menyediakan lingkungan yang sarat informasi bagi individu autisme agar ia dapat memahami berbagai hal di sekitarnya serta mendorongnya untuk terus menerus berinteraksi dengan lingkungannya (Potter & Whittaker, 2001; Sussman, 1999). Anak harus sudah mengembangkan bahasa pemahamannya lebih dulu sebelum ia dapat mengembangkan bahasa pengungkapan, dan terampil berkomunikasi. b. Bahasa Ekspresif Bahasa ekspresif (pengungkapan) adalah apa yang diutarakan seseorang yang biasanya menjadi inti komunikasi antara individu yang satu dengan yang lain. Pengungkapan dapat terjadi melalui menangis, tertawa, kata-kata, gerakan, isyarat, sistem formal seperti bahasa isyarat, maupun melalui berbagai alat bantu seperti communication board (papan komunikasi), komputer atau kombinasi semuanya itu. Bahasa pengungkapan terjadi melalui proses berikut: Memilih kata-kata atau gerakangerakan yang sesuai, Menyusun kata atau gerakan tersebut dalam urutan yang tepat, Mengatur, mengkoordinasikan dan menggerakkan berbagai otot, sesuai urutan tertentu untuk memproduksi tindakan atau kata-kata tersebut. Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah dalam hal komunikasi (Delphie, 2006). Oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak autis sangat berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam penguasaan bahasa dan bicara. Kesulitan dalam komunikasi ini dikarenakan anak autis mengalami gangguan dalam berbahasa (verbal dan non verbal), padahal bahasa merupakan media utama dalam komunikasi. Sebagian besar dari mereka dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata sederhana namun kosa katanya terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Karena kosa katanya terbatas maka banyak perkataan yang mereka 5
9 ucapkan tidak dapat dipahami orang lain. Mereka yang dapat berbicara senang meniru ucapan dan membeo (echolalia). Beberapa diantara mereka seringkali menunjukkan kebingungan akan kata ganti. Misalnya mereka tidak menggunakan kata saya dan kamu secara benar atau tidak mengerti ketika lawan bicaranya beralih dari kamu menjadi saya atau sebaliknya (Riyanti, 2002). Menurut Sussman (2004) Ia berpendapat bahwa komunikasi anak autisme berkembang melalui empat tahapan: a. The own agenda stage ( Tahapan asyik dengan dunianya sendiri) Pada tahapan ini anak lebih suka bemain sendiri dan tampaknya tidak tertarik pada orang-orang di sekitarnya. Kita harus memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajah anak, agar dapat mengetahui keinginannya. Anak seringkali mengambil sendiri bendabenda yang diinginkannya. b. The requester stage (Tahapan meminta) Anak mulai menyadari bahwa tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang di sekitarnya. Bila menginginkan sesuatu, anak biasanya menarik tangan kita dan mengarahkannya ke benda yang diinginkannya. Sebagian anak telah mampu mengulangi kata-kata atau suara tetapi bukan untuk berkomunikasi melainkan untuk menenangkan dirinya dan juga anak mulai bisa mengikuti perintah sederhana tapi responnya belum konsisten. c. The early communication stage (Tahapan komunikasi awal) Anak telah menyadari bahwa ia bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara konsisten pada situasi khusus. Namun demikian, inisiatif berkomunikasi masih terbatas pada pemenuhan kebutuhannya. Anak mulai memahami isyarat visual/gambar komunikasi dan memahami kalimatkalimat sederhana yang kita ucapkan. Bila terlihat perkembangan bahwa anak mulai memanggil nama, menunjuk sesuatu yang diinginkan, atau melakukan kontak mata untuk menarik perhatian, maka berarti anak sudah siap untuk melakukan komunikasi dua arah. d. The partner stage (Tahapan komunikasi timbal balik) Tahapan ini merupakan fase yang paling efektif yakni dua arah, tetapi biasanya anak masih terpaku pada kalimat-kalimat yang telah dihapalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan yang tepat pada situasi baru. Bagi anak-anak yang masih mengalami kesulitan untuk 6
10 berbicara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian gambar atau menyusun kartu-kartu bertulis. Siegell (1996) menyebutkan bahwa anak autis dalam berinteraksi atau berkomunikasi dipengaruhi oleh tujuh hal yang merupakan ciri khas mereka dalam mempersepsikan dunia yaitu visual thinking (berfikir visual), processing problem (kesulitan memproses informasi), communication frustration (kesulitan berkomunikasi), social and emotional (masalah emosi dan sosial), problem of control (kesulitan mengontrol diri), problem of conection (kesulitan dalam menalar), dan system intregation problem yaitu proses informasi ke otak bekerja secara tunggal sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus. Menurut Sussman (2002) perkembangan komunikasi pada anak autis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: kemampuan berinteraksi, cara anak berkomunikasi, alasan di balik komunikasi yang dilakukan anak, dan tingkat pemahaman anak. Setiap individu dengan autis memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Menurut Susman ( 2009) gaya belajar autisme dikelompokkan secara umum menjadi: a. Rote learner, yakni kecenderungan menghafalkan informasi apa adanya tanpa memahami arti simbol yang dihafalkan (misalnya dapat mengucapkan alfabet secara lengkap tetapi tidak tahu bahwa huruf-huruf tersebut dapat digabung dengan huruf lain dan menghasilkan kata yang bermakna). b. Gestalt learner, yakni melihat sesuatu secara global (misalnya anak menghafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata perkata). c. Visual learner, yakni senang dan lebih mudah mencerna informasi yang dapat dilihat daripada yang hanya dapat didengar. d. Hand-on learner, yakni senang mencobacoba dan mendapatkan pengetahuan melalui pengalamannya. e. Auditory learner, yakni senang bicara dan mendengarkan orang lain. Gaya ini biasanya digabungkan dengan gaya lain oleh anak autisme dalam belajar. Puspita (2005) mengemukakan bahwa kebanyakan individu dengan autisme adalah visual learner sehingga sangat penting untuk memasangkan stimuli auditori dengan stimuli visual saat proses pembelajaran. PECS adalah suatu pendekatan untuk melatih berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol visual (Bondy dan Frost, 2010). PECS dirancang oleh Andrew Bondy dan Lori 7
11 Frost pada tahun 1985 dan mulai dipublikasikan pada tahun 1994 di Amerika Serikat. Awalnya PECS ini digunakan untuk siswa-siswa pra sekolah yang mengalami autisme dan kelainan lainnya yang berkaitan dengan gangguan komunikasi. Siswa yang menggunakan PECS ini adalah mereka yang perkembangan bahasanya tidak menggembirakan dan mereka tidak memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan PECS telah meluas dapat digunakan untuk berbagai usia dan lebih diperdalam lagi. PECS merupakan salah satu dari sistem komunikasi augmentatif yaitu salah satu sistem yang digunakan orang berkebutuhan khusus yang memiliki gangguan dalam berkomunikasi untuk menggantikan atau melengkapi kemampuan komunikasi yang terbatas (Bondy & Frost, 2010) Penggunakan PECS bukan berarti menyerah bahwa anak tidak akan bicara, tetapi dengan adanya bantuan gambar-gambar atau simbol-simbol maka pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan secara verbal dapat dipahami secara jelas. Memang, pada tahap awalnya anak diperkenalkan dengan simbol-simbol non verbal. Namun pada fase akhir dalam penggunaan PECS ini, anak dimotivasi untuk berbicara. Meskipun PECS bukanlah program untuk mengajarkan anak autis cara berbicara, pada akhirnya mendorong mereka untuk berbicara. Materi pembelajaran pada modul PECS yang disusun oleh Bondy & Frost (2002) ada enam fase perlakuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dengan media gambar. Adapun tujuan dari fase-fase tersebut adalah sebagai berikut: a. Fase I, tujuannya adalah agar anak mampu meminta dengan pertukaran gambar pada mitra komunikasi (MK). b. Fase II, tujuannya adalah agar anak berkomunikasi menggunakan buku/papan komunikasi, dan menyerahkan gambar pada tangan mitra komunikasinya secara spontan. c. Fase III, tujuannya adalah agar anak mampu memilih gambar atau diskriminasi gambar sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat. d. Fase IV, tujuannya adalah melakukan percakapan sederhana melalui menyusun kalimat dengan 8
12 kartu bergambar saya mau.. dan gambar aitem dalam strip kalimat. e. Fase V,tujuannya adalah mengajarkan menjawab pertanyaan sederhana secara spontan f. Fase VI,tujuannya adalah mengajarkan berkomentar secara spontan dan responsif Menurut Bondy & Frost (2010) pencapaian keberhasilan master adalah apabila anak berhasil melakukan pertukaran secara mandiri sampai 80% dari total kesempatan yang diberikan. Pada penelitian ini, peneliti melakukan intervensi sampai fase IV saja karena pada penelitian ini untuk melihat kemampuan komunikasi sampai dalam taraf partner stage yaitu anak mampu melakukan percakapan sederhana dengan mitra komunikasi. Pendekatan behavioral pada PECS meliputi pengkondisian operan (operant conditioning) yakni konsekuensi perilaku yang akan menyebabkan perubahan probabilitas perilaku itu akan diulang. Pengkondision operan terdiri dari penguatan imbalan (reinforcement) yakni konsekuensi yang akan meningkatkan probabilitas perilaku akan terjadi dan hukuman (punishment) yakni konsekuensi yang akan menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku (Skinner dalam Santrock, 2007). Dalam penerapan prinsip pengkondisian operan untuk mengubah perilaku manusia terdapat tiga analisis perilaku yang penting dalam bidang pendidikan yakni: meningkatkan perilaku yang diinginkan, menggunakan dorongan (prompt) dan pembentukan (shaping), dan mengurangi perilaku yang tidak diharapkan (Alberto & Troutman dalam Santrock, 2007) Pendapat yang lain menyatakan bahwa sistem PECS ini menggunakan prinsip dasar operant conditioning, yaitu dorongan (prompt), pembentukan (shaping) dan different reinforcement (Charlop-Christy, dkk dalam Trunoyudho, 2009). Kartu dalam PECS berfungsi sebagai stimulus kemudian sebagai responnya adalah anak akan memberikan kartu PECS pada pasangan komunikasi. Reinforcement berupa item sesuai dengan gambar yang diberikan anak pada mitra komunikasi. Dorongan (prompt) diperlukan diawal pemberian stimulus untuk melakukan respon yang tepat. Shaping atau pembentukan adalah pembentukan perilaku baru secara bertahap dengan memberikan reinforcement untuk memperkuat respon yang diinginkan. 9
13 Prompting sering digunakan bersamaan dengan shaping untuk memfasilitasi penguasaan perilaku baru. Proses shaping akan efektif apabila intruksi atau prompt diberikan di setiap level (Sundel & Sundel dalam Trunoyudho, 2009). Berdasarkan pengalaman Wallin (2007) ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh PECS ini, antara lain: a. Setiap pertukaran menunjukkan tujuan yang jelas dan mudah dipahami. Pada saat tangan anak menunjuk gambar atau kalimat, maka dapat dengan cepat dan mudah, permintaan atau pendapatnya itu dipahami. Melalui PECS, anak telah diberikan jalan yang lancar dan mudah untuk menemukan kebutuhannya. b. Sejak dari awal, tujuan komunikasi ditentukan oleh anak. Anak-anak tidak diarahkan untuk merespon kata-kata tertentu atau pengajaran yang ditentukan oleh orang dewasa, akan tetapi anakanak didorong untuk secara mandiri memperoleh jembatan komunikasinya dan terjadi secara alamiah. Guru atau pembimbing mencari apa yang anak inginkan untuk dijadikan penguatan dan jembatan komunikasi dengan anak. c. Komunikasi menjadi sesuatu yang penuh makna dan motivasi yang tinggi bagi anak autis. d. Bahan-bahan yang digunakan cukup murah, mudah disiapkan, dan bisa dipakai kapan saja dan di mana saja. Simbol PECS dapat dibuat dengan digambar sendiri atau dengan foto. e. PECS tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapun. Setiap orang dapat dengan mudah memahami simbol PECS sehingga anak autis dapat berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya dengan keluarganya sendiri. Pembelajaran komunikasi melalui PECS ini harus dimulai dari obyek yang benarbenar anak inginkan. Oleh karenanya menurut Bondy dan Frost (2002) dalam penerapan PECS ini perlu adanya penggunaan modifikasi perilaku. Melalui modifikasi perilaku tersebut akan diketahui apa yang anak inginkan dan hal itu akan menjadi penguatan bagi anak untuk melakukan komunikasi melalui pertukaran gambar. Dengan intervensi komunikasi PECS dalam penelitian ini diharapkan akan meningkatkan kemampuan komunikasi meminta dari Sussman yakni dari the own agenda stage, kemudian the requester stage, lalu the early communication stage, dan terakhir the partner stage. Hal tersebut, sebagaimana tujuan awal intervensi PECS, yaitu agar anak mampu untuk mendekati 10
14 partner komunikasi dengan tujuan meminta sesuatu yang disukainya dengan menggunakan bantuan gambar (Bondy & Frost, 2002). Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa kartu dalam PECS berfungsi sebagai stimulus kemudian responnya adalah memberikan kartu tersebut pada mitra komunikasi. Lalu penguatan imbalannya (reinforcement) berupa item sesuai gambar PECS yang diberikan anak pada mitra komunikasi. Reinforcement tersebut hanya diberikan sebagai respon yang sesuai harapan sehingga akan diulang dan respon yang tidak sesuai harapan tidak diberikan reinforcement sehingga tidak diulang (Payan dalam Coopper et al, 1987). Beberapa strategi yang digunakan pada teori operant conditioning yang diaplikasikan pada media PECS yaitu dorongan atau bantuan (prompt) diperlukan diawal pemberian stimulus untuk melakukan respon yang tepat. Bentuk-bentuk prompt dalam PECS ada bantuan penuh, bantuan sedikit atau bantuan verbal, gesture, dan model. Shaping atau pembentukan adalah pembentukan perilaku yang di lakukan dengan langkah-langkah kecil dan bertahap dengan memberikan reinforcement untuk memperkuat respon yang diinginkan. Prompting sering digunakan bersamaan dengan shaping untuk memfasilitasi penguasaan perilaku baru. Proses shaping akan efektif apabila intruksi atau prompt diberikan di setiap level ( Martin dan Gear, 2007). Pada PECS shaping dilakukan pada tiap fase dengan memecah menjadi langkahlangkah kecil dari tujuan yang hendak dicapai pada masing-masing fase, seperti pada fase I dibentuk ambil, gapai, lepas (Bondy & Frost, 2001). Setelah proses shaping terbentuk maka dalam tahapan PECS perlu ada backward chaining yang berfungsi untuk mengevaluasi kembali tahapan yang telah tercapai pada tahapan sebelumnya. Berdasarkan uraian tersebut dapat dideskripsikan kemampuan komunikasi meminta pada anak autis melalui media PECS. DEFINISI OPERASIONAL Definisi operasional merupakan penegasan dari konstrak atau variabel yang digunakan dengan cara tertentu untuk mengukurnya, sehingga dapat menghindari salah pengertian dan penafsiran adalah: 1. Media PECS yang diterapkan di sini adalah salah satu system komunikasi augmentative yang diungkap melalui beberapa fase yaitu : Fase I, meminta ke mitra komunikasi melalui pertukaran 11
15 gambar dengan cara mengambil, menggapai, melepas; Fase II, meningkatkan spontanitas meminta melalui pertukaran gambar dengan mitra komunikasi namun menambah jarak antara subjek dengan mitra komunikasi dan subjek dengan papan komunikasi; Fase III, yakni membedakan keragaman gambar dan mengambil gambar sesuai dengan aitem yang paling disukai subjek ; Fase IV, yakni menyusun kalimat sederhana dengan media gambar berupa kartu dengan tulisan Saya Mau dan gambar aitem yang diinginkan. 2. Kemampuan komunikasi meminta adalah kemampuan subjek dalam menyampaikan kebutuhan yang diinginkan dari orang lain untuk dirinya sesuai dengan tahapan komunikasi pada anak penyandang autisme. Adapun tahap pertama Own agenda stage meliputi: Menangis, menjerit, merebut, melihat, meraih dan mengambil sendiri makanan atau benda. Tahap kedua Requester stage meliputi: menarik tangan orang lain bila menginginkan sesuatu, menengadahkan tangan, gesture (mengekspresikan gerak tubuh atau wajah). Tahap ketiga Early communication stage meliputi : mampu secara konsisten menggunakan media gambar, sinnyal, suara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tahap keempat Partner stage yaitu mampu melakukan percakapan sederhana. Ketrampilan komunikasi meminta diukur dengan menggunakan observasi dengan metode tallying behavioural. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu proses penelitian guna memperoleh pemahaman berdasarkan pada tradisi metodologi penyelidikan tertentu untuk mengeksplorasi masalah kemanusiaan atau masalah sosial dalam setting yang alami (Creswell,2010 ). Desain yang digunakan adalah A--- B----C yaitu tanpa treatment treatmen---- Efek treatment. Langkah selanjutnya adalah mencatat ukuran perilaku sebelum perlakuan selama perlakuan dan setelah perlakuan sehingga bisa diketahui efek dari treatment. Efek dari treatment ditampilkan dalam bentuk grafik catatan perilaku. Rancangan penelitian secara lebih jelas dapat dilihat dalam skema berikut : A B C Tanpa Treatment Treatment Efek Treatment Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian yaitu melihat satu target perubahan perilaku pada seorang 12
16 individu atau sekelompok individu yang menjadi fokusnya (shaugnessy, 2007). Pada tahap pertama biasanya adalah tahap observasi atau baseline stage. Selama tahap ini peneliti mencatat perilaku subjek sebelum memberikan treatment apapun. Setelah baseline terbentuk peneliti akan memberikan treatment pada subyek dan mencatat perilaku subjek selama intervensi sehingga menghasilkan perubahan atau mencapai kriteria yang ditentukan. Tahap selanjutnya melihat efek dari treatment dengan membandingkan dengan baseline performance. Efek dari treatment paling mudah dilihat dengan menggunakan grafik catatan perilaku (Shaughnessy, 2007). Menurut Kratochwill & Brody (dalam Shaughnessy,2007). Langkah selanjutnya adalah mencatat ukuran perilaku sebelum perlakuan selama perlakuan dan setelah perlakuan sehingga bisa diketahui efek dari treatment. Efek dari treatment paling mudah menggunakan grafik catatan perilaku. ANALISIS DATA Setelah perlakuan PECS dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah analisa data dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hal ini dilakukan untuk mengetahui deskripsi dari perlakuan PECS dalam meningkatkan tahapan komunikasi pada anak penyandang autism. Data yang terkumpul pada penelitian ini dianalisis menggunakan analisa visual, yaitu menginterpretasikan hasil data grafik secara akurat dan bermakna dengan melihat perubahan perilaku yang terjadi berdasarkan tampilan grafik (Cooper, dkk,1987). Analisis secara kualitatif dilakukan dengan analisis visual inspection untuk melihat perubahan dari waktu ke waktu ( Barlow & Hersen, 1984) didapatkan dengan skor (M) dari lembar observasi perilaku meminta harian. Analisis visual digunakan untuk mengetahui frekuensi keberhasilan perilaku meminta subyek baik pada fase baseline maupun selama intervensi PECS fase I IV hingga follow up serta mengetahui waktu yang dibutuhkan subyek hingga mampu meminta item yang diinginkan dengan membuat strip kalimat dan memberikan pada pasangan komunikasi secara mandiri. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang diperoleh dari observasi, wawancara, sharing dan diskusi dengan orang tua dan terapis. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data antara lain: 1. Membuat diskriptif subyek penelitian yang dituliskan meliputi: identitas dengan nama inisial, umur, jenis 13
17 kelamin, status dalam keluarga, kemampuan komunikasi 2. Membuat transkrip verbatim wawancara 3. Memberikan penomeran pada hasil wawancara 4. Membuat hasil observasi dengan event recording 5. Melakukan koding dari transkrip verbatim 6. Menemukan kata kunci yang muncul dari observasi dan wawancara 7. Menyusun hasil checklist 8. Pembahasan hasil penelitian dengan membuat grafik. HASIL Hasil perhitungan interobserver agreement selama proses pelaksanaan PECS pada subyek AS skor rata-rata sebesar 89% sedangkan pada subyek IG rata-rata sebesar 83%, pada FT rata-rata sebesar 94% dan RM sebesar 88%. Hal ini menunjukan pengamatan yang dilakukan oleh kedua observer reliable. Peningkatan ketrampilan komunikasi terjadi pada ketiga subyek penelitian dari tahap requester stage ke tahap early communication stage, dan satu subyek tidak mengalami peningkatan ketrampilan komunikasi meminta dan tetap berada dalam tahap requester stage. Hasil kemampuan komunikasi meminta melalui media PECS adalah sebagai berikut: Kesimpulan dari uraian di atas dapat dilihat pada grafik 4.15 bahwa kemampuan komunikasi meminta melalui pertukaran gambar dibutuhkan waktu 15 sesi dengan 230 trial. Hasil kemampuan komunikasi meminta melalui pertukaran gambar secara garis besar mengalami peningkatan meskipun terlihat ada penurunan kemampuan pertukaran diawal fase 4 karena partisipan mengalami penyesuaian awal terhadap banyaknya proses shaping pada fase IV dan kemudian naik kembali pada sesi 15 sampai mencapai pertukaran mandiri hampir 70%. Stimulus dan reinforcement yang efektif dipakai untuk partisipan AS adalah grubi. Bantuan yang sering dipakai 14
18 adalah bantuan penuh yaitu coterapist membantu secara fisik dan sedikit bantuan berupa verbal seperti memanggil nama. pada fase II di sesi 6-9 mencapai pertukaran mandiri 100%. Fase III mengalami 100% pertukaran mandiri namun hanya satu sesi di sesi 10. Kesimpulan RM memiliki kemampuan meminta melalui PECS sampai fase II dan awal fase III dengan cukup baik. Grafik di atas dapat disimpulkan bahwa IG ada peningkatan komunikasi dengan pertukaran gambar secara mandiri pada fase I dan fase II namun mengalami penurunan pada fase II ke fase III dan terjadi kemandirian pertukaran gambar yang sangat fluktuatif disebabkan adanya kondisi partisipan sedikit tidak berminat pada reinforce dan kondisi emosi yang labil. Pada grafik di atas terlihat RM memiliki kemampuan meminta dengan pertukaran gambar secara mandiri mencapai 100% pada fase I di sesi 1-5, dan menurun pada saat memulai fase II, kemudian naik kembali Partisipan FT memiliki perilaku tidak pernah diam dan minat yang berlebihan terhadap suatu barang yang berwarna terang dan mengkilap. Kertas yang masih putih polos dan masih halus tidak lecek sangat disukai subjek FT. FT sangat suka makanan yang krispi dan tidak manis. Pada saat fase baseline FT tidak mau diam dan harus dipegangi erat oleh asisten terapis dan itu masih kewalahan. FT sangat suka naik kepangkuan orang baik itu terapis maupun peneliti, juga suka naik kursi dan meja disaat ada keinginan yang tidak diketahui. Fase I disesi pertama, dilalui dengan perjuangan yang cukup melelahkan karena semua gambar dirusak, diremas-remas bahkan kadang dimakan. Sehingga peneliti kesulitan mencari gambar yang sesuai dengan aitem. Pada sesi 1 dan 2 subjek masih mau 15
19 meminta aitem yang disukai dengan 100% pada sesi 2 dan 40% pada sesi 3, namun setelah itu FT sangat terobsesi dengan gambar yang dilapisi plastik oleh peneliti sehingga keliatan mengkilap. Pada sesi 4 FT tidak berhasil melakukan pertukaran gambar secara mandiri. Pada sesi 5 FT hanya mampu melakukan 3 pertukaran dari 7 kesempatan itupun dengan mencari kesempatan FT mau memperhatikan lawan bicara. Akhirnya partisipan FT tidak bisa dilanjutkan lagi karena tidak ada terapis yang bisa membantu dalam penelitian kami karena para terapis sedang memiliki tugas pada anak-anak yang lain. Demikian pula adanya program baru di tempat terapis tersebut sehingga peneliti tidak bisa meneruskan kembali penelitian ini. PEMBAHASAN Ada tiga faktor yang mempengaruhi kecepatan dalam mempelajari PECS yaitu, macam aitem yang membuat individu termotivasi untuk melakukan inisiatif komunikasi, penggunaan simbol-simbol yang konkret yang seperti aslinya, Pembelajaran yang berpusat pada meminta dengan lebih penguatan motivasi dan reward yang diberikan untuk anak autis berkomunikasi secara fungsional (Bondy & Frost, 2002). Pada subjek AS berusia 4 tahun dengan tingkat autisme sedang melakukan 253 kesempatan pada 16 sesi mencapai fase IV awal. Pada awal baseline subjek memiliki sifat yang aktif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi serta memiliki minat yang tinggi pada reinforce sehingga subjek melakukan perilaku meminta yang kurang tepat. Seperti menyerobot, mengambil dan mencari sendiri makanan. Setelah memasuki fase I- IV subjek sangat antusias mengikuti sesi-sesi. Pada saat terakhir di fase IV sudah memahami konsep namun kurangnya konsistensi dalam pemberian baik di rumah dan di sekolah dan waktu pemberian yang terbatas menyebabkan kemampuan masih kurang konsisten karena pemberian rutinitas pada anak autis merupakan hal yang penting dalam proses pembentukan perilaku (Schreibeman dalam Tincani,2004). Diawal fase baseline subjek IG sangat pasif dan hampir tidak melakukan perilaku meminta kecuali pada saat waktu makan snack, maka dia akan mengambil makanan yang ada di meja atau menengadahkan tangan kalau makanan dibawa terapis. Pada subjek IG melakukan 163 kesempatan pada 21 sesi masih berada 16
20 pada fase III karena subjek yang memiliki karakteristik pasif dan pendiam, memiliki bahasa reseptif yang baik namun kurang dalam bahasa ekspresif. Subjek IG kurang ada kemauan terhadap makanan yang menjadi reinforce, minat anak pada reinforcer kurang (Tincani,2004). Pada subjek RM memiliki karakteristik yang hampir sama dengan I namun R lebih bisa dalam menggoda atau menganggu teman dengan cara mengambil makanan teman yang duduk disebelahnya. RM sangat suka makan namun kurang beraktivitas. RM juga sudah dididik makan sendiri meskipun masih berantakan. R sampai fase III master setelah melakukan 11 sesi dengan 168 kesempatan. Pada awal fase I subjek RM sangat suka sekali karena banyak reinforce yang disediakan untuk mengetahui yang paling disukai. RM tidak suka makan buah dan lebih suka pada nasi dan sambal serta makanan kecil yang krispi. Kemampuan pertukaran gambar RM cukup baik dan mudah dalam memahami konsepnya. Namun karena ada faktor teknis maka pemakaian RM dihentikan sampai fase III. FT adalah subjek yang memiliki tingkat spectrum autis yang lebih berat dibanding ketiga subjek lainnya. Subjek FT terlihat hiperaktif dan ada perilaku yang obsesif dan diulang-ulang. FT sudah melakukan 10 sesi tetapi belum ada yang master pada fase I dengan 58 kesempatan. Kemampuan bahasa reseptif cukup baik dan bahasa ekspresifnya juga ada meskipun belum bisa dimengerti orang lain. Pada saat pemberian PECS sangat sulit sekali karena FT sangat obsesif terhadap barang yang mengkilap, berwarna dari kertas yang agak kaku. Sehingga peneliti merasa kesulitan terhadap keobsesifanya terhadap kartu PECS dan perilaku hiperaktif yang membuat kewalahan. Berikut ini kendala yang terjadi selama proses penelitian dan berbagai macam hal yang dapat mempengaruhi penguasaan PECS. Pertama, waktu yang sangat singkat yang diberikan untuk memberikan intervensi PECS hanya sekitar tiga puluh menit setiap hari dan tidak diintegrasikan dalam program terapi sehingga muncul ketidak konsistenan padahal kekonsistenan sangat dibutuhkan pada anak autis (Tincani,2004). Reinforcer kurang kuat (Tincani,2004) karena keterbatasan peneliti maupun karena situasi kondisi anak autisme yang selalu berubah-ubah minatnya. Pada saat assesment reinforcer aitem yang disukai anak ternyata pada saat lain waktu anak sudah tidak menyukainya sehingga gambar dan aitem yang ada tidak sesuai minat saat itu sehingga peneliti menggunakan bekal 17
21 yang dibawa anak saat itu yang pada akhirnya peneliti harus menggambar aitem dulu dan atau mencari gambar yang serupa atau tidak berbeda jauh. Hal tersebut membuat waktu menjadi lama dan anak juga kurang tertarik dengan gambar tangan. Dengan kondisi masing-masing subjek yang berbeda-beda dari tingkat spektrum, kognitif, perilaku, dan emosi yang berbedabeda menjadikan masing-masing memiliki kemampuan dalam peningkatan ketrampilan komunikasi dan peningkatan fase PECS (Ganz & Simpson, 2004). Minat anak terhadap reinforcer juga mempengaruhi keinginan dia dalam meminta atau berkomunikasi dengan orang lain (Tincani,2004). Seperti pada subjek IG seperti tidak menyukai reinforce yang disediakan. Tapi berbeda dengan subjek yang memiliki minat terhadap reinforce seperti subjek AS akan sangat mudah untuk merangsang melakukan komunikasi meminta. Kondisi yang fluktuatif juga mmembuat anak terganggu selama proses pelaksanaan. Pembentukan rutinitas pada anak autis merupakan hal penting untuk menguasai sesuatu (Maulana,2012). Kurangnya evaluasi kemampuan yang telah dicapai melalui metode backward chaining juga kurang konsisten peneliti lakukan disebabkan keterbatasan waktu yang diberikan oleh tempat penelitian. Anak autis pada umumnya belajar atau menyelesaikan tugas dengan lebih mudah apabila menggunakan cara yang kongkrit dan tertsruktur dibanding dengan cara yang abstrak (Wing, 1999). PECS memiliki tahapan yang terstruktur dan bertahap langkah demi langkah.penggunaan gambar PECS yang ditukar dengan aitem lebih mudah dipahami anak daripada menggunakan stimulus auditory dan verbal (Charlop-Christy, et al, 2002). Pendidikan yang diberikan untuk anak autis hendaknya bertahap dari hal yang terkecil dan naik ke hal yang lebih besar lagi dan lebih sedikit sulit dan seterusnya sampai anak bisa berbaur dengan anak non berkebutuhan khusus (Siegel,1996). Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain yaitu: reinforcer yang kurang diminati anak dan juga gambar yang kurang jelas, Pengambilan data observasi dengan dan interview yang kurang lengkap dan mendalam, waktu penelitian yang kurang karena proses pembelajaran pada anak autis dibutuhkan konsistensi dan dengan tahapan kecil sehingga terbentuk perilaku sehingga dibutuhkan pengulangan sesering mungkin. 18
22 KESIMPULAN Dari keempat partisipan tiga orang mengalami peningkatan kemampuan komunikasi dari requester stage ke early communication stage. Ketiga partisipan itu adalah AS, IG dan RM dengan pencapaian PECS terakhir AS pada fase III, IG fase III dan RM fase II. Sedangkan FT tidak mengalami peningkatan kemampuan komnikasi meminta masih tetap dalam tahap requester stage. Beberapa factor yang mempengaruhi peningkatan kemampuan komunikasi pada partisipan ini adalah, minat pada reinforce,kondisi fisik seperti, lapar, kenyang, mengantuk dan tingkat spectrum autismenya. Selain itu juga kemampuan pemahaman masing-masing anak dan karakteristik kepribadian anak yang ceria, aktif atau pendiam dan hipoaktif atau hiperaktif. Faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan komunikasi anak autis seperti kondisi yang mendukung dan penuh motivasi dari keluarga akan sangat membantu dan kondisi yang acuh tak acuh terhadap anak akan menghambat peningkatan kemampuan komunikasi. DAFTAR PUSTAKA Angermeier, K, Schlosser, R.W, Luiselli, J. K, Harrington, Carter,B. Effects of Iconicity on Requesting With the Picture Exchange Communication on Requesting with the Picture Exchange Communication System in Children with Autism Spectrum Disorder. Research in Autism Spectrum Disorders 2 (2008) Baron,S. And Bolton,P.(1994) Autism The Fact. London: Oxford University Press. Bondy, Andy & Frost, Lori, (2002). PECS and Other Visual Communication Strategi in Autism. First Edition. Woodbine House :Library of Congress Cataloging in Publication Data. Budiman, Melly, (2002). Seminar Strategi Visual Mengatasi Masalah Perilaku dan Masalah Komunikasi Anak Autisme, Makalah Yayasan Autisme Indonesia. Carr, Deborah & Felce, Janet (2006), Brief Report: Increase in Production of spoken Word in some Children With Autism after PECS teaching to Phase III. Journal Autism Dev. Disorder (2007) 37: Charlop- Christy, M.H.,Carpenter, M.,Le,L.,LeBlanc, L.A.,& Kellet,K. (2002). Using the Picture Exchange Communication System With Children with Autism: Assessment of PECS Acquisition, Speech, Social Communicative Behavior, And Problem Behavior. Journal of Applied Behavior Analysis 2002,35,
23 Cihak, David F.(2006). Teaching Student With Autism to Read Pictures. Research in Autism Spectrum Disorder 1 (2007) Delphie, Bandi. (2006). Pembelajaran anak Berkebutuhan Khusus(dalam setting pendidikan inklusi) Cetakan I. Bandung: Rafika Aditama DSM-IV.(1994). Diagnostic and Statistical. Manual of Mental Disorder. Fouth Edition. Washington DC: American Psychiatric Association. Ganz, J.B, Simpson, R.L, Corbin, J- Newsome. The Impact of the Picture Exchange Communication System on Requesting and Speech Development in Preschoolers With Autism Spectrum Disorder and Similar Characteristics. Research in Autism Spectrum Disorder 2 (2008) Ginanjar, Adriana(2002). Seminar Meningkatkan Berkomunikasi Anak Autis. Makalah: Mandiga. Greenspan, S.I., & Wieder, S. (1998). The Child With Specialneed. US: Persens Publishing. Handoyo,(2006). Autisma. Cetakan ke empat. Jakarta:PT Bhuana Ilmu Populer Hodgdon, Linda, A Visual Strategies for improving Communication- Practical Support for School and Home. Quik Roberts Publishing: Michigan - US KBBI, www. Kbbi.web.id Lund, S. K, Troha, J.M.(2007) Teaching Young People Who are blind and have Autism to Make Requests Using a Variation on the Picture Exchange Communication System with Tactile Symbol: A Preliminary Investigation. Journal Autism Dev. Disorder (2008) 38: Maslim, Rusdi,(2004). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta : FK Jiwa Unika Atmajaya Martin, G & Pear, J (2007) Behavior modification: what it is and how do it.new Jersey, USA : Pearson Education,Inc. Marzuki, M.M.(2002).Metodologi Riset. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Maulana, Mirza(2012). Anak Autis: Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat. Cetakan VI. Yogyakarta: Kata Hati. Peeters,T.(2004) Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan bagi Penyandang Autis. Jakarta: Dian Rakyat Puspita, Diah. (2005). Seminar PECS, Makalah Yayasan Bina Autisme Torison. Sabir, E. (2006). Komunikasi, Terapi Wicara dan Intervensi. Komplilasi Hasil Lokakarya dan Pelatihan. Yogyakarta: Sekolah Lanjutan Autis Fredofios Yogyakarta Indonesia 20
24 Santrock, J.W.(2007). Life Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Edisi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Schopler, E.,Mesibov,G.B. & Hearsey, K.(1995). Structured Teaching in the TEACCH system. In E. Schopler& G.B. Mesibov (Eds), Learning and cognition in autism: Current issue in autism (pp )new York: Plenum Shaughhnessy, John J.(2007). Metodologi Penelitian Psikologi. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Siegel, B. (1996). The Word Of The Autistic Child- Understanding And Treating Autistic Spectrum Disorder. New York: Oford University Press. Smart, Aqila(2001). Anak Cacat Bukan Kiamat. Cetakan I.Yogyakarta: Kata Hati. Sunanto,(2005). Pengantar Penelitian dengan subjek tunggal. Jepang: University of Tsukuba. Tissot, C., & Evans,R. (2003). Visual Teaching Strategies for Childreen With Autism. Early Child Development and Care, 173 (4), Trunoyudho, E.A. (2009).Penggunaan PECS untuk Meningkatkan Level Kemampuan Perilaku Meminta Pada Anak Autisme Tipe Non Verbal. Naskah Publikasi Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Wallin, J.M.(2004). Visual Support PECS. rt/makingpecs.html Wing, Lorna (1996). The Autistic Spectrum. London. Yoder, Paul J, Lieberman,Rebecca G. (2009).Brief Report: Randomized Test of the Efficacy of Picture Exchange Communication System on Highly Generalized Picture Echange in Children with ASD. Journal Autism Dev Disorder (2010) 40: Sussman, Fern. (2004). More Than Word. Fifth printing. Canada: The Hanen Center Publisher. Sutadi, R. (2011). Autisme Dari A sampai Z.Majalah anak spesial Cetakan I. Jakarta: CV Anak Spesial Mandiri. Tincani, M. (2004) Comparing The Picture Echange Communication System And Sign Language Training For Children With Autism. Focus on autism and development Dissabilities, 19 (3),
BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Hidayat, 2005). Memiliki
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan individu yang berbeda dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Hidayat, 2005). Memiliki anak adalah suatu kebahagiaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia. Pada awal tahun 1990-an, jumlah penyandang autisme diperkirakan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang signifikan di seluruh dunia. Pada awal tahun 1990-an, jumlah penyandang autisme diperkirakan sekitar
Lebih terperinciMENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MEMINTA PADA ANAK AUTIS MELALUI MEDIA PECS (PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM)
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MEMINTA PADA ANAK AUTIS MELALUI MEDIA PECS (PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM) TESIS Disusun dan Diajukan Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Psikologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan
13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar anak berkembang dengan kondisi fisik atau mental yang normal. Akan tetapi, sebagian kecil anak mengalami hambatan dalam perkembangannya atau memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peningkatan di seluruh dunia. Jumlah penyandang autis di Indonesia naik delapan
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, prevalensi anak penyandang autisme telah mengalami peningkatan di seluruh dunia. Jumlah penyandang autis di Indonesia naik delapan kali lipat dalam
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Autism berasal dari kata Yunani autos yang berarti self (diri). Kata
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Autisme 1. Pengertian Autisme Autism berasal dari kata Yunani autos yang berarti self (diri). Kata Autisme ini digunakan didalam bidang psikiatri untuk menunjukkan gejala menarik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. kadangkala mengalami gangguan baik sebelum proses kelahiran maupun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup selalu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak kadangkala mengalami gangguan baik sebelum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang berbeda-beda, diantaranya faktor genetik, biologis, psikis dan sosial. Pada setiap pertumbuhan dan
Lebih terperinciUTAMI TRIE WAHYUNI
UTAMI TRIE WAHYUNI 07.9.0 am_000@yahoo.com SERI KAJIAN ILMIAH, Volume, Nomor, Januari 0 EFEK METODE PRIMING DALAM MENINGKATKAN INISIASI SPONTAN ANAK AUTIS TERHADAP TEMAN SEBAYA Yang Roswita, Utami Trie
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat berkembang secara baik atau tidak. Karena setiap manusia memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Setiap orang tua menginginkan anaknya lahir secara sehat sesuai dengan pertumbuhannya. Akan tetapi pola asuh orang tua yang menjadikan pertumbuhan anak tersebut dapat
Lebih terperinciOleh TIM TERAPIS BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH
Oleh TIM TERAPIS BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH Pendahuluan Tidak ada anak manusia yang diciptakan sama satu dengan lainnya Tidak ada satupun manusia tidak memiliki
Lebih terperinciHASIL PENELITIAN Uji validitas dan reliabilitas Uji signifikansi
HASIL PENELITIAN Uji validitas dan reliabilitas Validitas alat ukur dalam penelitian ini adalah validitas isi, yaitu taraf sejauh mana isi atau item item alat ukur dianggap dapat mengukur hal hal yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Banyak keterampilan yang harus dikuasai oleh manusia baik sebagai makhluk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak keterampilan yang harus dikuasai oleh manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Salah satu keterampilan yang penting dan harus dikuasai
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasif anak yang mengakibatkan gangguan keterlambatan pada bidang kognitif,
Lebih terperinciPENDIDIKAN BAGI ANAK AUTIS. Mohamad Sugiarmin
PENDIDIKAN BAGI ANAK AUTIS Mohamad Sugiarmin Pengantar Perhatian pemerintah dan masyarakat Upaya bantuan Sumber dukungan Tantangan dan Peluang Konsep Anak Autis dan Prevalensi Autism = autisme yaitu nama
Lebih terperinciKata kunci: Anak autis, pengajaran berstruktur, metode TEACCH.
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOORDINASI MOTORIK ANAK AUTIS MELALUI PENGAJARAN BERSTRUKTUR BERDASARKAN METODE TEACCH (TREATMENT EDUCATION OF AUTISTIC AND RELATED COMMUNICATION HANDICAPPED CHILDREN) Dra. Sri Widati,
Lebih terperinciPENANGANAN LAYANAN PENDIDIKAN ANAK AUTISTIK. Mata Kuliah PENDIDIKAN ANAK AUTIS
PENANGANAN LAYANAN PENDIDIKAN ANAK AUTISTIK Mata Kuliah PENDIDIKAN ANAK AUTIS PROGRAM INTERVENSI DINI Discrete Trial Training (DTT) dari Lovaas (Metode Lovaas) ABA (Applied Behaviour Analysis) TEACCH (Treatment
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN Penelitian yang akan dilaksanakan haruslah berdasarkan kajian-kajian dan metode penelitian yang telah didesain sebelum penelitian dilaksanakan. Penelitian didasari oleh masalah
Lebih terperinciPembelajaran Anak Autis Dengan Metode Picture Exchange Communication System (PECS) Berbasis Multimedia Augmented Reality
Pembelajaran Autis Dengan Metode Picture Exchange Communication System (PECS) Berbasis Multimedia Augmented Reality Taryadi 1, Ichwan Kurniawan 2 Program Studi Teknik Informatika, STMIK Widya Pratama,
Lebih terperinciPENGARUH PEMANFAATAN MEDIA KARTU JADWAL TERHADAP KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK AUTIS
PENGARUH PEMANFAATAN MEDIA KARTU JADWAL TERHADAP KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK AUTIS William Antonius Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang Email : anawobani@gmail.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dapat dipastikan dalam kehidupan ini, bahwa setiap pasangan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dapat dipastikan dalam kehidupan ini, bahwa setiap pasangan yang telah menikah pastilah mendambakan hadirnya buah hati di tengah-tengah kehidupan mereka, yaitu
Lebih terperinci2015 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROGRAM SON-RISE PADA KELUARGA DALAM MENGURANGI PERILAKU OFF-TASK PADA ANAK AUTIS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Autis bukan sesuatu hal yang baru lagi bagi dunia, pun di Indonesia, melainkan suatu permasalahan gangguan perkembangan yang mendalam di seluruh dunia termasuk
Lebih terperinciTERAPI APPLIED BEHAVIOUR ANALYSIS UNTUK MENINGKATKAN KOMUNIKASI ANAK AUTIS SKRIPSI. Oleh: Prestisia Noviarta Hapsari
TERAPI APPLIED BEHAVIOUR ANALYSIS UNTUK MENINGKATKAN KOMUNIKASI ANAK AUTIS SKRIPSI Oleh: Prestisia Noviarta Hapsari 06810249 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2011 TERAPI APPLIED BEHAVIOUR
Lebih terperinciMENINGKATKAN KETRAMPILAN KOMUNIKASI PADA ANAK AUTIS ADRIANA S. GINANJAR
MENINGKATKAN KETRAMPILAN KOMUNIKASI PADA ANAK AUTIS ADRIANA S. GINANJAR Masalah Komunikasi Salah satu ciri utama pada gangguan autistik adalah hambatan yang besar dalam berkomunikasi dan berbicara Orangtua
Lebih terperinciAdriatik Ivanti, M.Psi, Psi
Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi Autism aritnya hidup sendiri Karakteristik tingkah laku, adanya defisit pada area: 1. Interaksi sosial 2. Komunikasi 3. Tingkah laku berulang dan terbatas A. Adanya gangguan
Lebih terperinciTIME OUT : ALTERNATIF MODIVIKASI PERILAKU DALAM PENANGANAN ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER)
TIME OUT : ALTERNATIF MODIVIKASI PERILAKU DALAM PENANGANAN ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. UNESCO pada tahun 2014 mencatat bahwa jumlah anak autis di dunia mencapai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak-anak autis di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data UNESCO pada tahun 2014 mencatat bahwa jumlah anak autis di dunia mencapai 35 juta jiwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistriadini Alamsyah Sidik, 2014
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu fungsi manusia selain sebagai makhluk individu adalah sebagai makhluk sosial. Dengan fungsi tersebut, antara satu individu dengan individu lain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meningkat 400% menjadi 1 banding 625 (Mash & Wolfe, 2005). Tahun 2006,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka pertumbuhan anak autis di dunia dalam dekade terakhir sungguh mengkhawatirkan, lihat saja pada awal tahun 2000 prevalensi penyandang autis masih 1:2.500 (Tanguay,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak adalah karunia yang diberikan oleh Tuhan kepada umatnya. Setiap orang yang telah terikat dalam sebuah institusi perkawinan pasti ingin dianugerahi seorang anak.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Autis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Autis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasif anak yang mengakibatkan gangguan keterlambatan pada bidang kognitif,
Lebih terperinciAnak Penyandang Autisme dan Pendidikannya. Materi Penyuluhan
Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya Materi Penyuluhan Disajikan pada Penyuluhan Guru-guru SD Citepus 1-5 Kecamatan Cicendo, Kota Bandung Dalam Program Pengabdian Masyarakat Dosen Jurusan PLB, FIP,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, komunikasi menjadi hal terpenting dalam kehidupan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, komunikasi menjadi hal terpenting dalam kehidupan yang mana manusia tidak bisa terhindar dari proses komunikasi. Pentingnya proses komunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Ponija, 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut
Lebih terperinciEFEKTIFITAS TEKNIK SHAPING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL NAMA-NAMA BINATANG BAGI ANAK AUTIS X KELAS DII/C DI SLB PERWARI PADANG
Volume 2 Nomor 3 September 2013 E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu Halaman : 560-571 EFEKTIFITAS TEKNIK SHAPING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Autis merupakan gangguan perkembangan yang menghambat berbagai aspek dalam kehidupan anak dengan gangguan autis. Anak autis rata-rata mengalami gangguan perkembangan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa dan berbahasa adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah alat verbal
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bahasa dan berbahasa adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sementara berbahasa adalah proses penyampaian
Lebih terperinciX₁ X₂ X₃ X₄ X₅... O₁ O₂ O₃ O₄ O₅ O₁ O₂ O₃ O₄ O₅... O₁ O₂ O₃ O₄ O₅ Baselin1 (A1) Intervensi (B) Baseline (A2)
BAB III METODE PENELITIAN Sesuai dengan rumusan masalah maka penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan kasus tunggal atau Single Subject Research (SSR). Metode penelitian eksperimen yang dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan setiap manusia pasti diikuti dengan beberapa macam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan setiap manusia pasti diikuti dengan beberapa macam perkembangan, mulai dari perkembangan kognisi, emosi, maupun sosial. Secara umum, seorang individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan sumber kebahagiaan dan penerus dari suatu keluarga. Setiap
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Anak merupakan sumber kebahagiaan dan penerus dari suatu keluarga. Setiap orang tua mempunyai keinginan untuk selalu mencurahkan segenap perhatian dan kasih sayang
Lebih terperinciPENERAPAN PENDEKATAN MULTISENSORI UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN MAKNA KATA PADA ANAK AUTISTIK ABSTRAK
PENERAPAN PENDEKATAN MULTISENSORI UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN MAKNA KATA PADA ANAK AUTISTIK Maman Abdurahman SR dan Dede Supriyanto Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK
Lebih terperinciJURNAL SKRIPSI. Oleh Mahardhika Hevi Kusumastuti NIM
PENINGKATAN KEMAMPUAN BAHASA EKSPRESIF MELALUI PICTURE EXCHANGE COMMUNICATION SYSTEM (PECS) PADA ANAK AUTIS DI SEKOLAH AUTIS-HIPERAKTIF AROGYA MITRA AKUPUNTUR KLATEN JAWA TENGAH JURNAL SKRIPSI Diajukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelahiran anak merupakan dambaan setiap keluarga yang tidak ternilai harganya. Anak adalah anugerah yang diberikan Tuhan, yang harus dijaga, dirawat, dan diberi bekal
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah Penelitian Pengukuran frekuensi kemampuan bahasa reseptif dan rekam kejadian pre test dan post test dilakukan di ruang kelas Sekolah Terpadu ABK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pada anak bersifat terus menerus. Banyak hal baru diperoleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pada anak bersifat terus menerus. Banyak hal baru diperoleh selama perkembangan sejak dilahirkan dan sesuai keadaan dan tingkatan tahapan perkembangan.
Lebih terperinciABSTRAK Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha
ABSTRAK Penelitian ini berjudul Peningkatan Komunikasi Ekspresif melalui PECS (Picture Exchange Communication System) pada Anak dengan Autisme di SLB X Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hasil survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menyatakan bahwa dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menyatakan bahwa dari 237.641.326 jiwa total penduduk Indonesia, 10% diantaranya yaitu sebesar + 22.960.000 berusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terjadi pada anak-anak, diantaranya adalah ganguan konsentrasi (Attention
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini banyak dijumpai berbagai macam gangguan psikologis yang terjadi pada anak-anak, diantaranya adalah ganguan konsentrasi (Attention Deficit Disorder) atau yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lembaga-lembaga kemasyarakatan. Kelompok-kelompok ini biasanya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat mempunyai kelompok-kelompok sosial maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan. Kelompok-kelompok ini biasanya mengadakan hubungan kerjasama yaitu melalui
Lebih terperinciSISTEM INFORMASI MONITORING PERKEMBANGAN TERAPI AUTISME PADA SEKOLAH INKLUSI
SISTEM INFORMASI MONITORING PERKEMBANGAN TERAPI AUTISME PADA SEKOLAH INKLUSI Tan Amelia 1, M.J. Dewiyani Sunarto 2, Tony Soebijono 3 1 Institut Bisnis dan Informatika Stikom Surabaya, Jl. Raya Kedung Baruk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, seperti yang tercantum dalam Undang Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak. Autis pertama kali ditemukan oleh Kanner pada tahun
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Istilah autis sudah cukup populer di kalangan masyarakat, karena banyak media massa dan elektronik yang mencoba untuk mengupasnya secara mendalam. Autisme
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah rancangan Case Experimental
BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah rancangan Case Experimental Design atau disebut juga sebagai penelitian subjek tunggal (Single Subject Research). Subjek tunggal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ADHD merupakan istilah berbahasa Inggris kependekan dari Attention Deficit Hiperactivity Disorder (Attention = perhatian, Deficit = kekurangan, Hiperactivity
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, hak manusia dalam memperoleh pendidikan telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang telah diamandemen, Di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang telah ada, maupun timbulnya perubahan karena unsur-unsur yang baru. 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkembangan adalah suatu proses yang berlangsung secara teratur dan terus menerus, baik perubahan itu berupa bertambahnya jumlah atau ukuran dari hal-hal yang telah
Lebih terperinciSandu Siyoto* *Progam Studi Pendidikan Ners STIKES Surya Mitra Husada Kediri Jl. Manila Sumberece No. 37 Kediri
VISUAL SCHEDULE TERHADAP PENURUNAN BEHAVIOR PROBLEM SAAT AKTIVITAS MAKAN DAN BUANG AIR PADA ANAK AUTIS (Visual Schedule towards the Decline of Behavioral Problems in Feeding Activities and Defecation in
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
36 BAB III METODE PENELITIAN A. Subyek Penelitian dan Lokasi Penelitian 1. Subyek Penelitian Subyek penelitian yaitu seorang anak autistik berusia tujuh tahun, lakilaki berinisial N. Subyek tersebut dipilih
Lebih terperinciROLE PLAY METHOD MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA ANAK AUTIS
1 ROLE PLAY METHOD MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA ANAK AUTIS Aldina Surya Murni (100100230) dan Drs. Zaini Sudarto, M.Kes (PLB-FIP UNESA, e-mail: suryamurnialdina@yahoo.co.id ) Abstract: The purpose
Lebih terperinciPEMBELAJARAN ANAK AUTIS. Sukinah,M.Pd Staf pengajar Jurusan Pendidikan luar Biasa FIP UNY
PEMBELAJARAN ANAK AUTIS Sukinah,M.Pd Staf pengajar Jurusan Pendidikan luar Biasa FIP UNY PENGERTIAN Istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti sendiri, dan Isme yang berati aliran. Autisme berarti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Kelainan ini dikenal dan
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Kelainan ini dikenal dan diperkenalkan tahun 1943 oleh seorang psikolog anak di Amerika Serikat bernama Leo Kanner
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Membaca merupakan bagian terpenting dari pelajaran bahasa Indonesia di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membaca merupakan bagian terpenting dari pelajaran bahasa Indonesia di kelas yang paling dasar, bahkan dapat dikatakan pelajaran yang paling dominan. Tujuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. interaksi sosial (Sintowati, 2007). Autis merupakan gangguan perkembangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Autis adalah suatu gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan perkembangan fungsi psikologis yang meliputi gangguan dan keterlambatan dalam bidang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Gangguan autistik muncul sekitar tahun 1990-an. Autistik mulai dikenal secara luas sekitar tahun 2000-an (Yuwono, 2009: 1). Berbicara adalah salah satu aspek yang sangat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kompleks pada anak, mulai tampak sebelum usia 3 tahun. Gangguan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Autisme dipandang sebagai kelainan perkembangan sosial dan mental yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak akibat kerusakan selama pertumbuhan fetus, atau saat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dari hari ke hari istilah autisme semakin banyak diperbincangkan di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari hari ke hari istilah autisme semakin banyak diperbincangkan di mana-mana. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan autisme semakin lama semakin meningkat. Namun,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. memberikan intervensi pada sasaran penelitian. Eksperimen yang dilakukan
BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penenlitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen, karena peneliti memberikan intervensi pada sasaran penelitian. Eksperimen yang dilakukan dalam penelitian
Lebih terperinci2014 PENGGUNAAN TEKNIK BEHAVIOR CONTRACT
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku merupakan suatu bentuk perbuatan atau aktivitas yang dilakukan oleh individu dalam kehidupannya sehari-hari baik yang dapat diamati secara langsung maupun
Lebih terperinciSanti E. Purnamasari, M.Si., Psikolog UMBY
Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog UMBY Perkembangan bahasa Tahap perkembangan yang paling menakjubkan pada masa anak adalah saat anak mulai bisa berbicara Arti bahasa : Adalah suatu sistem komunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. interaksi sosial, tidak bisa mengamati dan mengolah informasi. Orang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Autisme merupakan gangguan dalam perkembangan komunikasi, interaksi sosial, tidak bisa mengamati dan mengolah informasi. Orang dengan Autisme Spectrum Disorder (ASD)
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
A. Latar Belakang 1. Tumbuh Kembang Anak BAB I PENDAHULUAN Dalam pengertian tumbuh - Gangguan bicara dan bahasa. kembang anak terkandung dua pengertian yang berbeda yakni pertumbuhan dan perkembangan.
Lebih terperinciPOLA INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS. Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan. Mencapai derajat Sarjana S-1
POLA INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Psikologi Disusun Oleh : YULI TRI ASTUTI F 100 030
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penjelasan dari individu dengan gejala atau gangguan autisme telah ada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penjelasan dari individu dengan gejala atau gangguan autisme telah ada sejak sekitar abad 18, namun titik kritis dalam sejarah keilmuan gangguan autisme adalah pada
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian Variabel merupakan suatu atribut atau ciri-ciri mengenai sesuatu diamati dalam penelitian. Dengan demikian variabel dapat berbentuk benda atau kejadian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain dengan tujuan tertentu. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena
Lebih terperinciNASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Anak Usia Dini
PENANGANAN KOMUNIKASI ANAK AUTIS MELALUI MEDIA PECS PADA ANAK KB MEKAR JAYA BANDARDAWUNG KECAMATAN TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2012/2013 NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak sekali
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak sekali rangsang dari lingkungannya. Perilaku yang kita ketahui, baik pengalaman kita sendiri ataupun
Lebih terperinciJURNAL PENDIDIKAN KHUSUS PENGARUH BERMAIN LOTTO TERHADAP KONSENTRASI BELAJAR ANAK AUTIS DI SDLB BHAKTI WIYATA SURABAYA
JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS PENGARUH BERMAIN LOTTO TERHADAP KONSENTRASI BELAJAR ANAK AUTIS DI SDLB BHAKTI WIYATA SURABAYA Diajukan kepada Universitas Negeri Surabaya untuk Memenuhi Persyaratan Penyelesaian
Lebih terperinciBABI PENDAHULUAN. Anak adalah permata bagi sebuah keluarga. Anak adalah sebuah karunia
BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah permata bagi sebuah keluarga. Anak adalah sebuah karunia dan perhiasan dunia bagi para orangtua. Banyak pasangan muda yang baru
Lebih terperinci2016 PENGGUNAAN TEKNIK TEGURAN TERHADAP PERILAKU STEREOTYPE PADA PESERTA DIDIK TOTALLY BLIND DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG
A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Orang tunanetra merupakan seseorang yang kehilangan seluruh maupun sebagian dari fungsi penglihatannya, terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari ketunanetraan,
Lebih terperinciPENGGUNAAN METODE PECS (Picture Exchange Communication System) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANAK AUTIS
PENGGUNAAN METODE PECS (Picture Exchange Communication System) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANAK AUTIS 1) Euis Heryati, 2) Riksma Nurahmi RA, 3) Een Ratnengsih 1 Departemen Pendidikan Khusus,
Lebih terperinciPenerapan Reinforcement Theory Pada Anak
Penerapan Reinforcement Theory Pada Anak Beragam problem terkait dengan motivasi berprestasi siswa di sekolah seringkali dihadapi guru. Ada siswa yang senantiasa menyelesaikan pekerjaan, namun jarang mengerjakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perancangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perancangan Masyarakat seakan acuh pada keadaan orang yang memiliki kekurangan didalam dirinya. Banyak orang yang merasa dikucilkan dan merasa dirinya tidak di anggap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan anak merupakan sebuah proses yang indah di mata
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan anak merupakan sebuah proses yang indah di mata orang tua. Karena anak merupakan buah cinta yang senantiasa ditunggu oleh pasangan yang telah menikah.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reza Febri Abadi, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak bisa hidup sendiri karena selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Dalam melaksanakan fungsinya
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah suatu objek yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Variabel yang terdapat pada penelitian
Lebih terperinciMENGURANGI PERILAKU REPETITIF MENEPUK TANGAN SAAT PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN TEKNIK TOKEN ECONOMIC PADA ANAK AUTIS DI SLB TUNAS KASIH SURABAYA
JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS MENGURANGI PERILAKU REPETITIF MENEPUK TANGAN SAAT PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN TEKNIK TOKEN ECONOMIC PADA ANAK AUTIS DI SLB TUNAS KASIH SURABAYA Diajukan kepada Universitas Negeri
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
265 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan tujuan penelitian yaitu memodifikasi metode PECS (Picture Exchange Communication System) ke dalam aplikasi multimedia sehingga dapat mengembangkan
Lebih terperinciPERKEMBANGAN ANAK USIA PRASEKOLAH
PERKEMBANGAN ANAK USIA PRASEKOLAH Oleh: Sri Maslihah PENDAHULUAN Dunia anak adalah dunia yang senantiasa menarik perhatian dengan berbagai tingkah laku anak yang luar biasa dinamis, variatif dan inovatif.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental. Tepatlah bila dikatakan bahwa usia dini adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Anak merupakan harapan bagi setiap orang tua agar kelak menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Setiap orang tua berharap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Melisa, Fenny. 09 April Republika Online Anak Indonesia Diperkirakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Menurut penelitian selama 50 tahun terakhir tercatat prevalensi autis mengalami
Lebih terperinciLAMPIRAN. Tabel Karakteristik ADHD dan gangguan Sensori Integrasi (SI) Karakteristik Permasalahan ADHD Gangguan SI Terlalu lelah.
LAMPIRAN LAMPIRAN Tabel Karakteristik ADHD dan gangguan Sensori Integrasi (SI) Karakteristik Permasalahan ADHD Gangguan SI Tingkat Aktifitas Tingkat aktifitas Gelisah, Terlalu lelah Jumlah pergerakan tidak
Lebih terperinciPERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH
PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH Pendahuluan Pada hakikatnya, anak manusia, ketika dilahirkan telah dibekali dengan bermacam-macam potensi yakni kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang
Lebih terperinciPENINGKATAN KEMAMPUAN BERBAHASA EKSPRESIF DAN RESEPTIF ANAK AUTIS DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN ABA (APPLIED BEHAVIOR ANALYSIS)
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBAHASA EKSPRESIF DAN RESEPTIF ANAK AUTIS DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN ABA (APPLIED BEHAVIOR ANALYSIS) Mika Nur Cahyanti *1 Imanuel Hitipeuw *2 Abdul Huda *3 1 Jurusan Pendidikan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan subjek tunggal ( Single Subject Research ) yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yaitu
BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari suatu perlakuan (intervensi) yang
Lebih terperinci