BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi Keluarga 1. Definisi Resiliensi Keluarga Menurut McCubbin dan McCubbin (1988), resiliensi keluarga merupakan pola perilaku positif dan kemampuan fungsional yang dimiliki oleh individu dan keluarga yang ditampilkan dalam situasi sulit atau menekan. Pola perilaku positif dan kemampuan fungsional ini menentukan kemampuan keluarga untuk pulih dengan tetap mempertahankan integritasnya sebagai sebuah kesatuan dengan tetap mempertahankan dan memperbaiki kesejahteraan anggota keluarga dan unit keluarga secara keseluruhan. Dalam beberapa pengertian, resiliensi keluarga atau family resilience memiliki makna yang sama dengan family strength dan ketahanan keluarga. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh McCubbin (dalam Puspitawati, 2012) mendefinisikan ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) merupakan suatu konsep holistik yang merangkai alur pemikiran suatu sistem, mulai dari kualitas ketahanan sumberdaya, strategi coping dan appraisal. Ketahanan keluarga merupakan proses dinamis dalam keluarga untuk melakukan adaptasi positif terhadap bahaya dari luar dan dari dalam keluarga.

2 11 Ketahanan keluarga menurut UU No. 10 tahun 1992 merupakan kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan, serta mengandung kemampuan fisik-material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. (Kamus Istilah Kependudukan dan Keluarga Berencana, 2011) Sementara itu, The National Network for Family Resilience pada 1995, menyebutkan bahwa ketahanan keluarga menyangkut kemampuan individu atau keluarga untuk memanfaatkan potensinya dalam menghadapi tantangan hidup, termasuk kemampuan untuk mengembalikan fungsifungsi keluarga seperti semula dalam menghadapi tantangan dan krisis (Puspitawati, 2012). Werner (dalam Walsh, 1996) mengemukakan bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat memengaruhi resiliensi. Krisis dan tantangan memiliki dampak terhadap seluruh anggota keluarga dan proses di dalam keluargalah yang dapat membantu memulihkan krisis dan hubungan di dalam keluarga. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi keluarga yakni mengarah pada kemampuan keluarga menghadapi dan mengelola masalah dalam situasi sulit dan menekan agar fungsi keluarga tetap berjalan dengan harmonis untuk mencapai kesejahteraan lahir dan kebahagaiaan batin anggota keluarganya.

3 12 2. Komponen Resiliensi Keluarga Resiliensi keluarga tidak bisa dilepaskan dari faktor risiko dan faktor pelindung (Walsh, 2006). Faktor risiko adalah faktor yang mendorong munculnya hasil yang negatif pada keluarga. Sedangkan faktor pelindung adalah faktor yang mengurangi kemungkinan munculnya hasil negatif tersebut (Mackay dalam Wandasari, 2012). Untuk mengurangi hasil negatif ini, maka Walsh (2006) menyebutkan bahwa proses kunci dari resilensi keluarga yang berperan sebagai faktor pelindung. Ketiga proses kunci tersebut adalah sistem keyakinan, pola organisasi dan proses komunikasi. a. Sistem Keyakinan Walsh (2006) menjelaskan bahwa sistem keyakinan keluarga merupakan inti dari semua keberfungsian keluarga dan merupakan dorongan yang kuat bagi terbentuknya resiliensi. Keluarga menghadapi krisis dan kesulitan dengan memberi makna pada kesulitan tersebut dengan cara mengaitkan dengan lingkungan sosial, nilai-nilai budaya dan spritiual, generasi yang sebelumnya, dan dengan harapan serta keinginan di masa yang akan datang. Bagaimana keluarga memandang masalah dan pilihan penyelesaiannya dapat membuat keluarga mampu mengatasi masalah tersebut atau malah menjadi putus asa dan tidak berfungsi dengan baik. Belief atau keyakinan merupakan kacamata bagi seseorang dalam memandang dunianya yang memengaruhi apa yang dilihat atau

4 13 diabaikan serta apa yang dipersepsikan (Wright, Watson & Bell; Walsh, 2006). Wright dkk. menjelaskan bahwa sistem keyakinan keluarga meliputi nilai, pendirian, sikap, bias dan asumsi yang bergabung dan membentuk dasar pemikiran yang memicu respon emosional, mengarahkan keputusan, dan mengatur tingkah laku (Walsh, 2006). Walsh mengemukakan tiga area kunci dalam sistem keyakinan keluarga yaitu: memberi makna pada kesulitan, pandangan yang positif, serta transenden dan spiritualitas dengan penjelasan sebagai berikut : 1) Memberi makna pada kesulitan Pandangan keluarga bahwa kesulitan yang sedang dialami adalah hal yang masuk akal dan mengambil hikmah dari apa yang terjadi merupakan hal yang sangat penting bagi resiliensi (Antonovsky; Walsh, 2006). Keluarga yang melihat kesulitan sebagai tantangan berasama dan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan keluarga mampu mendorong keluarga untuk bertahan dan bangkit dari kesulitan tersebut (Walsh, 2006). 2) Pandangan positif Pandangan positif merupakan hal yang penting bagi resiliensi (Walsh, 2006). Keluarga yang berpandangan positif memiliki harapan akan masa depan yang lebih baik, memandang sesuatu secara optimis, percaya diri dalam menghadapi masalah, serta memaksimalkan kekuatan dan potensi yang dimiliki. Selain itu,

5 14 pandangan positif juga terlihat pada inisiatif dan usaha yang gigih anggota keluarga dalam menghadapi kesulitan, serta menguasai situasi yang dapat dikendalikan dan menerima situasi yang tidak dapat dikendalikan. 3) Transenden dan spiritualitas Transenden memberikan makna, tujuan dan hubungan di luar diri seseorang, keluarganya dan masalah yang dihadapi (Walsh, 2006). Transenden memberikan kejelasan mengenai kehidupan seseorang dan memberi dukungan ketika mengalami stres. Nilainilai transenden dapat membuat seseorang menilai kehidupan dan hubungannya dengan orang lain sebagai sesuatu yang berharga dan penting. Di dalam kelaurga, nilai-nilai transenden dapat membuat mereka melihat kenyataan dari sudut pandang yang lebih luas dan selalu memunculkan harapan. Werner dan Smith menjelaskan bahwa spritualitas merupakan penghayatan terhadap nilai-nilai yang tertanam yang membuat seseorang dapat memaknai, merasakan kesatuan dan keterhubungan dengan orang lain. Spritiualitas dapat dialami seseorang baik di lingkungan agama maupun di luar itu. Agama dan spiritualitas menawarkan rasa nyaman dan hikmah di balik kesulitan. Keyakinan pribadi membuat seseorang tangguh dalam menghadapi kesusahan dan mampu mengatasi tantangan. (Walsh, 2006).

6 15 b. Pola Organisasi Untuk menghadapi krisis dan kesulitan secara efektif, keluarga harus menggerakan dan mengatur sumber daya mereka, menahan tekanan, dan mengatur kembali submber daya tersebut sesui dengan kondisi yang berubah (Walsh, 1998). Pola organisasi keluarga dipertahankan oleh norma-norma eksternal dan internal dan dipengaruhi oleh budaya dan sistem keyakinan keluarga. Terdapat tiga elemen dari pola organisasi yaitu fleksibilitas, keterhubungan, dan sumber daya sosial dan ekonomi dengan penjelasan sebagai berikut : 1) Fleksibilitas. Fleksibilitas mencakup kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan dengan bangkit kembali, mengatur ulang dan beradaptasi dengan situasi yang berubah. Fleksibilitas juga dapat terwujud dengan tetap dilaksanakannya kegiatan dan kebiasaan yang rutin dilakukan keluarga sehingga dapat menjaga kontinuitas dan mengembalikan stabilitas keluarga yang dapat mendorong resiliensi. Pola kepemimpinan yang otoritatif, kerja sama dalam pengasuhan serta adanya kesetaraan dan saling menghargai juga merupakan salah satu bentuk fleksibilitas yang dapat mendorong terbentuknya resiliensi. 2) Keterhubungan Keterhubungan atau kohesi merupakan ikatan struktural dan emosional pada anggota keluarga. Menurut Olson dan Gorel

7 16 keluarga dengan ikatan yang kuat cenderung merasa puas dan terhubung dengan apa yang ada di dalam keluarga tersebut (Walsh, 2006). Bentuk keterhubungan dalam keluarga adalah saling mendukung, bekerja sama, komitmen serta tetap menghormati perbedaan, keinginan dan batasan individu. 3) Sumber daya sosial dan ekonomi Dalam menghadapi situasi krisis, keluarga besar dan jaringan sosial dapat menyediakan bantuan, dukungan emosional dan adanya rasa keterikatan terhadap sebuah kelompok. Ketika keluarga mengalami kesulitan dalam menghadap masalah di dalam keluarga, maka mereka cenderung akan meminta bantuan di luar seperti keluarga besar, teman, tetangga dan komunitas mereka. Selain itu, untuk dapat memperkuat keberfungsiannya, keluarga juga harus memperoleh kestabilan ekonomi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. c. Proses Komunikasi Komunikasi dapat memfasilitasi seluruh fungsi keluarga dan merupakan hal yang penting bagi resiliensi (Walsh, 2006). Pada situasi krisis, komunikasi merupakan hal yang esensial dalam membantu proses pemecahan masalah. Epstein (dalam Walsh, 2003) menjelaskan bahwa komunikasi meliputi transmisi keyakinan, pertukaran informasi, ekspresi emosi dan proses pemecahan masalah. Ada tiga aspek komunikasi yang baik yaitu kejelasan, ungkapan emosi dan

8 17 penyelesaian masalah yang kolaboratif, seperti yang dijelaskan sebagai berikut. 1) Kejelasan Kejelasan dalam berkomunikasi mencakup informasi yang disampaikan secara langsung, tepat, spesifik, jujur dan masingmasing anggota memiliki informasi dan pemahaman yang sama mengenai situasi krisis yang dihadapi, serta adanya keterbukaan komunikasi di dalam keluarga. 2) Ungkapan emosi Keluarga yang berfungsi dengan baik dapat mengungkapkan emosi yang dirasakannya dengan nyaman baik emosi positif seperti bahagia, berterima kasih, cinta dan harapan maupun emosi negatif seperti sedih, takut, marah dan kecewa. Selain itu, anggota keluarga juga saling memahami apa yang dirasakan oleh anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga yang juga bertanggung jawab terhadap apa yang ia rasakan dengan tidak menyalahkan orang lain atas itu, serta interaksi yang diwarnai dengan hal yang menyenangkan seperti humor. 3) Pemecahan masalah secara kolaboratif Pemecahan masalah secara efektif merupakan hal yang esensial bagi keluarga untuk menghadapi situasi krisis dan kesulitan. Proses pemecahan masalah yang efektif ini meliputi masalah dan penyebab terkait, brainstroming mengenai

9 18 kemungkinan pemecahan masalah, saling berbagi dalam mengambil keputusan, berfokus pada tujuan dengan mencoba mengambil langkah-langkah konkret dan belajar dari kesalahan. Pendapat lain dikemukakan oleh Mackay (2003) yang menjelaskan beberapa hal yang mendukung terbentuknya resiliensi keluarga (family resilience) dalam Social Policy Journal of New Zealand yang mencakup aspek kohesivitas keluarga, sistem kepercayaan keluarga, peranan agama, strategi coping dan komunikasi. Aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Kohesivitas keluarga (family cohesion) Hubungan emosi antar anggota keluarga adalah hal yang sangat penting dalam menjalankan fungsi keluarga. Keluarga yang memiliki pertalian emosi yang baik, lebih baik dalam menghadapi tantangan untuk mencapai kesejahteraan dan mengatasi tekanan (stress) dengan baik. Kohesivitas keluarga adalah hubungan emosional yang erat antar masing-masing anggota keluarga sehingga mendukung fungsi keluarga, menimbulkan keinginan untuk terus bersatu dengan keluarganya. 2. Sistem kepercayaan keluarga (family belief systems) Aspek ini mencakup nilai, sikap, pendirian, prasangka, dan anggapan yang dimiliki keluarga. Hal tersebut memberikan gambaran

10 19 bagaimanan cara keluarga memandang kehidupan serta menghadapi persoalan hidup yang dimiliki, sehingga berdampak pada kemampuan keluarga untuk menghadapi krisis. 3. Peranan agama (the role of religion) Scazoni dan Arnett (dalam Mackay, 2003) menjelaskan bahwa kesungguhan beragama memiliki pengaruh positif terhadap komitmen perkawinan dan strategi penyelesaian masalah dalam perkawinan/keluarga. Dalam hal ini bagaimana peran agama dalam kehidupan keluarga dapat berpengaruh terhadap komitmen keluarga untuk tetap bersatu, menjalankan peran dalam keluarga dan dalam penyelesaian masalah dalam keluarga. 4. Strategi coping (coping strategies) Strategi menangani masalah dalam keluarga mewakili kompetensi dan resiliensi. Coping mengarah pada respon yang sesuai terhadap tekanan, kompetensi mengarah pada karakteristik yang dibutuhkan untuk melakukan adaptasi yang baik dan resiliensi mencerminkan hasil ketika kompetensi dan coping dilakukan. Strategi coping memberikan gambaran bagaimana keluarga menangani masalah, menggunakan respon yang tepat dan mampu beradaptasi dengan kesulitan sehingga memunculkan kemampuan menghadapi masalah.

11 20 5. Komunikasi (communication) Komunikasi merupakan aspek kunci dari keberfungsian keluarga. Komunikasi efektif sangat penting dibangun dalam keluarga untuk menentukan pengambilan keputusan, bernegosiasi, menyepakati keputusan bersama, dan hubungan timbal balik satu sama lain dalam kehidupan keluarga. Komponen resiliensi keluarga juga dikemukakan oleh Otto (dalam McCubin, 1998; Puspitawati, 2012) meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Keutuhan keluarga, loyalitas dan kerjasama dalam keluarga b. Ikatan emosi yang kuat c. Saling menghormati antar anggota keluarga d. Fleksibilitas dalam melaksanakan peran keluarga e. Kemampuan pengasuhan dan perawatan tumbuh kembang anak f. Komunikasi yang efektif g. Kemampuan mendengarkan dengan sensitif h. Pemenuhan kebutuhan spiritual keluarga i. Kemampuan memelihara hubungan dengan lingkungan luar keluarga j. Kemampuan untuk meminta bantuan apabila dibutuhkan k. Kemampuan untuk berkembang melalui pengalaman l. Mencintai dan mengerti m. Komitmen spiritual n. Berpartisipasi aktif dalam masyarakat.

12 21 Artinya, komponen atau aspek yang telah disebutkan akan mendorong terbentuknya keluarga yang resilien, yakni keluarga yang mampu menghadapi kesulitan, bangkit dengan cara-cara yang positif dari kesulitan tersebut. 3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Resiliensi Keluarga Simon, Murphy dan Smith (dalam Wandasari, 2012) menjelaskan tiga hal yang dapat memengaruhi resiliensi keluarga : a. Durasi situasi sulit yang dihadapi Mencakup berapa lama keluarga tersebut mengalami situasi sulit. McCubbin dan McCubbin (1998) menjelaskan bahwa keluarga yang mengalami situasi sulit dalam jangka waktu yang relatif singkat, hanya memerlukan perubahan dalam keluarga, sedangkan keluarga yang mengalami situasi dalam jangka waktu panjang memerlukan penyesuaian terhadap situasi yang dialami. b. Tahap perkembangan keluarga Tahap perkembangan pada saat keluarga mengalami krisis atau tantangan, memengaruhi resiliensi keluarga (McCubbin dan McCubbin, 1988; Walsh, 1998). Tahap perkembangan keluarga ini memengaruhi jenis tantangan atau krisis yang dihadapi dan kekuatan yang dimiliki keluarga untuk dapat mengatasi dan bangkit dari krisis atau tantangan tersebut.

13 22 c. Sumber dukungan internal dan eksternal Sumber dukungan internal dan eksternal yang digunakan saat menghadapi situasi sulit juga dapat memengaruhi resiliensi (Walsh, 2006). McCubbin dan McCubbin berpendapat bahwa keluarga yang tidak hanya mengandalkan dukungan internal, tetapi juga mencari dukungan dari lingkungan sosial seperti keluarga besar, teman dan anggota komunitasnya menunjukkan resiliensi yang lebih besar (Murphy dan Smith, 2005;Wandasari, 2012) B. Keluarga 1. Definisi Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998 dalam Kertamuda, 2009). Keluarga merupakan hubungan atau interaksi antara dua orang atau lebih dan mempunyai ikatan darah, ikatan karena pernikahan, kekerabatan yang didalamnya terdapat suatu sistem yang saling mengikat satu sama lain seperti adanya aturan, perbedaan budaya dan perbedaan peran setiap anggota (Kertamuda, 2009). 2. Bentuk-bentuk Keluarga Kertamuda (2009) menyebutkan bahwa keluarga di Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh suatu sistem, baik itu kekerabatan, budaya, aturan-

14 23 aturan yang berlaku dan juga sistem nilai yang ada. Bentuk keluarga juga erat kaitannya dengan semakin kompleksnya kehidupan saat ini yang ditimbulkan oleh status sosial dan ekonomi dan juga dinamika yang terjadi dalam keluarga Indonesia. Terdapat beberapa tipe/bentuk keluarga, diantaranya adalah sebagai berikut : a. Keluarga batih (Nuclear family) Keluarga batih merupakan satu unit keluarga terkecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Keluarga batih tidak menjalin hubungan fungsional yang berorientasi pada kerabat dari keluarga salah satu pihak (Goode; Sunarto; Kertamuda, 2009). Keluarga batih sebagai keluarga inti memiliki keunggulan, yaitu keakraban yang terjalin dalam hubungan satu anggota keluarga dengan anggota lain. Keakraban dapat menciptakan suatu komunikasi yang baik satu dengan yang lain. Di samping keunggulan dalam komunikasi, keluarga batih di satu sisi memiliki kekurangan, yaitu keterbatasan anggota dalam keluarga sehingga interaksi yang terjadi hanya terbatas pada keterlibatan orang yang di luar keluarga akan sangat sulit diterima. b. Keluarga luas (Extended family) Keluarga luas terdiri atas beberapa keluarga batih. Salah satu ciri keluarga luas adalah joint family, yang terdiri atas beberapa orang kakak beradik beserta anak-anak mereka, dan saudara kandung perempuan mereka yang belum menikah (Sunarto, dalam Kertamuda,

15 ). Keluarga luas merupakan keluarga yang di dalamnya termasuk sejumlah keluarga ini adalah salah satu ciri dari keluarga Indonesia, dimana ikatan darah menjadi pemersatu dalam hubungan satu dengan yang lain. c. Keluarga konjugal atau pertalian (Conjugal family) Keluarga ini terdiri atas pasangan suami istri beserta anak dan mepunyai hubungan dengan kerabat dari keluarga yang berorientasi pada salah atau kedua belah pihak (Goode; Sunarto; Kertamuda, 2009). Keluarga konjugal yang seringkali ditemui adalah adanya kerabat (bukan ikatan darah) yang tinggal dengan keluarga tersebut. d. Keluarga dengan orang tua tunggal (Single parent family) Keluarga dengan orang tua tunggal merupakan keluarga yang hanya salah satu dari orang tua yang tinggal bersama anaknya (mungkin ibu, mungkin ayah) dan bertanggung jawab sepenuhnya atas anak setelah kematian pasangannya, perceraian atau karena kelahiran anak di luar nikah (Hurlock dalam Kertamuda, 2009) 3. Fungsi Keluarga Benokraitis (dalam Kertamuda, 2009) mengemukakan lima fungsi dari keluarga yang terdiri dari : a. Mengatur aktivitas seksual Setiap masyarakat mempunyai norma atau aturan dalam hubungan seksual. Terdapat banyak hubungan seksual yang melanggar hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya, hubungan

16 25 seksual yang terjadi antara saudara sedaran atau dikenal dengan inses (incest), seperti hubungan antara kakak dan adik, ayah dan anak kandung, panan dan keponakan, kakek dan cucu. b. Tempat anak bersosialisasi Anak menyerap banyak hal dari keluarga seperti sikap, keyakinan, serta nilai-nilai dalam keluarga, dan anak juga belajar kemampuan dalam berinteraksi yang kelak dapat bermanfaat dalam kehidupannya di masa mendatang. c. Jaminan dan keamanan secara ekonomi Keluarga sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan baik itu keamanan stabilitas finansial seperti makanan, perlindungan, pakaian dan sumber materi untuk kelangsungan hidup. d. Pemberi dukungan emosional Keluarga adalah kelompok utama yang penting karena keluarga memberikan dukungan, cinta dan kebutuhan emosional yang membuat anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya, sehinggga membuat mereka bahagia. e. Tempat status sosial Kelas sosial dapat dikategorikan sama dengan tingkat dalam kemasyarakatan yang terkait dengan kekayaan, pendidikan, kekuatan, prestise, dan sumber nilai-nilai. Kelas sosial dapat memengaruhi kehidupan keluarga. Misalnya dari mana asal keluarga, berapa jumlah anak, bagaimana hubungan orang tua dan anaknya, hingga bagaimana

17 26 pasangan saling berinteraksi yang dapat mencerminkan kelas sosial dari suatu keluarga. C. Fase-Fase dan Dimensi Duka Cita 1. Fase Duka Cita Duka cita (grieve) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai di saat kita kehilangan orang yang kita cintai. (Santrock, 2007). Feldman, dkk. (2007) menjelaskan bahwa duka karena kehilangan kehilangan seseorang yang dirasakan dekat dan proses menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut- secara praktik dapat memengaruhi semua aspek kehidupan mereka yang ditinggalkan. Kehilangan sering kali membawa perubahan dalam status dan peran (misalnya, dari seorang isteri menjadi janda atau dari seorang nak menjadi seorang piatu). Kondisi tersebut dapat memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi-kehilangan teman dan terkadang pemasukan. Akan tetapi, pertama-tama adalah rasa duka respon emosional yang dialami pada awal fase berduka. Santrock (2007) menjelaskan bahwa di fase awal, orang yang ditinggalkan akan merasa terkejut, tidak percaya, dan lumpuh, sering menangis atau mudah marah. Fase ini terjadi sesaat setelah kematian dan biasanya berlangsung selama 1-3 hari. Fase kedua ditandai dengan perasaan sakit yang berkepanjangan akibat kematian, memori dan gambaran-gambaran visual mengenai kematian, kesedihan dan susah tidur, mudah tersinggung dan kegelisahan.

18 27 Muncul tidak lama setelah kematian, dan fase ini sering memuncak di minggu kedua hingga keempat setelah kematian dan biasanya mereda setelah beberapa bulan, tetapi dapat juga bertahan hingga 1-2 tahun. Fase ketiga, biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian. Fase resolusi duka cita ini ditandai dengan mengingat aktivitas sehari-hari dengan orang yang meninggal, kemudian kembali menjalin hubungan baru dengan orang lain. Sementara itu, menurut Kubbler-Ross dikutip dari blog.kenz.or.id, dijelaskan bahwa ada lima fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika mengalami duka cita akibat kematian anggota keluarga. Tahapan tersebut terbagi menjadi lima tahap yakni sebagai berikut : a. Shock (terkejut) Pada tahapan ini rasa tidak percaya akan kematian orang tua terjadi. Anggota keluarga terkejut, diikuti berbagai macam reaksi psikologis seperti kesedihan, perasaan kehilangan, menangis dan tertekan. b. Denial (penyangkalan) Pada tahapan kedua, anggota keluarga berusaha menyangkal kematian dengan mengatakan hal tersebut tidak boleh terjadi karena tidak ingin berpisah dengan salah satu orang tua. c. Anger (kemarahan) Pada tahapan ini, anggota keluarga mulai mengungkit penyebab kematian dan menyalahkan orang-orang yang terlibat serta

19 28 menyesalinya. Hal tersebut seperti menyalahkan Tuhan, menyalahkan situasi dan orang lain, dokter, tim medis dan hal lainnya. d. Mourning (berkabung) Fase ini merupakan fase yang berlangsung cukup lama, bisa berlangsung beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun. Perasaan depresi, rasa bersalah, rasa kehilangan, kesepian, panik dan menangis tanpa pemicu yang jelas bisa saja ditampakkan dalam fase ini, bahkan bisa termanifestasi dalam penyakit fisik ringan. e. Recovery (pemulihan) Pada fase ini, anggota keluarga mulai pulih dari perasaan kehilangan seiring dengan berjalannya waktu. Anggota keluarga yang ditinggalkan mulai bisa menjalani aktivitas sehari-hari dengan baik dan telah menerima kehilangan tanpa kesedihan seperti sebelumnya. Sementara itu, John Bowlbly (dalam Brooks, 2011) menjelaskan empat fase dalam proses kedukaan : (1) sebuah periode kekakuan yang berlangsung berjam-jam atau berminggu-minggu dimana seseorang harus menerima fakta kematian, tetapi belum mampu meredakan emosi karena lukanya sangat besar, (2) periode memprotes dan merindukan di mana seseorang menolak menerima fakta kematian dan mencari-cari orang yang meninggal, (3) periode kesedihan dan putus asa dimana kenyataan kematian telah diterima secara emosional dan hidup tanpa orang tersebut terlihat tidak tertahankan, dan (4) periode pengaturan hidup kembali untuk meneruskan hidup tanpa orang tersebut.

20 29 Tidak ada waktu spesifik mengenai berapa lama seseorang berduka. Anak mungkin melalui kedukaan lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Diperkirakan biasanya satu tahun merupakan jangka waktu yang umum untuk berduka, dan merasa sedih dan berduka setelah setahun mengindikasikan adanya masalah. Dibutuhkan 2 tahun atau lebih sebelum orang-orang mengatur kembali hidupnya dan mencapai keseimbangan emosional yang stabil. Namun, akan tetap ada pengingat dan kemunculan tiba-tiba pada kedukaan yang mendalam (Brooks, 2011). 2. Dimensi Duka Cita Menurut Jacob (dalam Santrock, 2007) duka cita tidaklah sederhana, tidak hanya sekedar pernyataan emosi, tetapi lebih kompleks, proses yang lambat laun terjadi, bersifat multi-dimensi. Hal tersebut meliputi: a. Kerinduan terhadap orang yang meninggal b. Rasa cemasa karena perpisahan dengan orang yang meninggal c. Reaksi yang bersifat tiba-tiba terhadap kehilangan yang mengakibatkan emosi tumpul, kelumpuhan dan ketidakpercayaan, dan ledakan kepanikan atau penuh dengan air mata yang berlebihan d. Keputusasaan dan kesedihan yang mengandung penolakan, gejala deprsif, apatis, kehilangan arti mengenai kegiatan yang melibatkan orang yang telah pergi dan perasaan kesunyian.

21 30 D. Dinamika Resiliensi Keluarga pada Keluarga yang Salah Satu Orang tuanya telah Meninggal Nevid dkk. (2003) menjelaskan bahwa peristiwa menyedihkan kehilangan orang yang dicintai seperti pasangan atau orang tua menjadi peristiwa perubahan hidup yang menjadi sumber stres dan membutuhkan penyesuaian diri yang amat sulit. Bagi anak, kematian orang tua merupakan kehilangan terburuk. Anak telah kehilangan sosok tempat ia bergantung untuk mendapatkan keamanan dalam hidup, dan orang tua yang masih hidup kehilangan pendampingnya (Brooks, 2011). Setelah kematian salah satu orang tua, orang tua yang masih hidup menghadapi tanggungjawab baru untuk melindungi anak-anaknya sendiri (Schonfeld & Quackenbush, 2009). Kematian salah satu orang tua, mengubah bentuk keluarga yang awalnya terdiri dari ayah, ibu dan anak menjadi keluarga dengan satu orang tua/single parent family. Keluarga dengan orang tua tunggal merupakan keluarga yang hanya salah satu dari orang tua yang tinggal bersama anaknya (mungkin ibu, mungkin ayah) dan bertanggungjawab sepenuhnya atas anak setelah kematian pasangannya (Hurlock dalam Kertamuda, 2009). Berubahnya bentuk keluarga menuntut keluarga tersebut untuk kembali menyesuaikan diri pada situasi kehilangan dengan melewati fase-fase sulit dalam masa duka cita. Dalam masa duka cita, anggota keluarga memiliki dinamika psikologis seperti kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan

22 31 akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai di saat seseorang kehilangan orang yang dicintai (Santrock, 2007). Selain dinamika psikologis yang dialami masing-masing anggota keluarga, Feldman, dkk. (2007) menjelaskan bahwa duka karena kehilangan kehilangan seseorang yang dirasakan dekat dan proses menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut secara praktik dapat memengaruhi semua aspek kehidupan mereka yang ditinggalkan. Kehilangan sering kali membawa perubahan dalam status dan peran (misalnya, dari seorang isteri menjadi janda atau dari seorang anak menjadi seorang piatu). Kondisi tersebut dapat memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi. Tidak bisa dihindarkan bahwa fase duka dan perasaan kehilangan dalam keluarga mempengaruhi kondisi keluarga. Beralihnya bentuk keluarga menjadi keluarga dengan orang tua tunggal membuat fungsi keluarga berubah dan membutuhkan penyesuaian kembali selama fase krisis. Oleh karena itu, keluarga harus memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi sulit secara positif agar dapat kembali bangkit dari masa krisis yang dialami. Kemampuan tersebut menurut McCubbin dan McCubbin (1998), disebut dengan resiliensi keluarga. Resiliensi keluarga merupakan pola perilaku positif dan kemampuan fungsional yang dimiliki oleh individu dan keluarga yang ditampilkan dalam situasi sulit atau menekan. Pola perilaku positif dan kemampuan fungsional ini menentukan kemampuan keluarga untuk pulih dengan tetap mempertahankan integritasnya sebagai sebuah

23 32 kesatuan dengan tetap mempertahankan dan memperbaiki kesejahteraan anggota keluarga dan unit keluarga secara keseluruhan. Untuk mengurangi dampak negatif dari kejadian sulit yang dialami seperti kematian salah satu orang tua, maka Walsh (2006) menyebutkan bahwa proses resilensi keluarga berperan sebagai faktor pelindung. Ketiga proses kunci tersebut adalah sistem keyakinan, pola organisasi dan proses komunikasi. Walsh (2003) mengemukakan tiga area kunci dalam sistem keyakinan keluarga yaitu: memberi makna pada kesulitan, pandangan yang positif, serta transenden dan spiritualitas. Pada kunci kedua yakni pola organisasi, terdiri dari fleksibilitas, keterhubungan, dan sumber daya sosial dan ekonomi. Kunci ketiga yakni proses komunikasi, terdiri dari kejelasan, ungkapan emosi dan penyelesaian masalah yang kolaboratif. Untuk mencapai keluarga yang resilien pasca-kematian salah satu orang tua, diperlukan proses yang panjang dan berbeda-beda pada masing-masing keluarga. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, tidak menjelaskan apakah salah satu keluarga dinyatakan resilien atau tidak, melainkan untuk meneliti dinamika resilensi dalam keluarga. Dinamika resiliensi keluarga dijabarkan melalui aspek-aspek resiliensi keluarga, yang memberikan gambaran bagaimana keluarga tersebut menghadapi dan menjalani fase duka sebagai masa sulit dalam keluarga. Penjelasan diatas, dapat dijelaskan sebagai kerangka berpikir dalam penelitian yang digambarkan sebagai berikut :

24 33 Keluarga Inti Salah satu orang tua meninggal 1. Pola keyakinan 2. Sistem organisasi 3. Komunikasi 1. Menghadapi duka cita sebagai masa sulit yang dialami oleh keluarga 2. Kesulitan yang dihadapi setelah kematian salah satu orang tua Dinamika Resilensi Keluarga Gambar 1. Kerangka berfikir penelitian

25

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lebih kuat dan berkembang setelah melewati masa krisis. 2005) melalui model yang dibangunnya yang bernama the resilience

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lebih kuat dan berkembang setelah melewati masa krisis. 2005) melalui model yang dibangunnya yang bernama the resilience BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Family Resilience 1. Pengertian Family Resilience Family resilience merupakan suatu konsep yang berkembang dari resiliensi individu (Kalil, 2003). Menurut Walsh (2006), resiliensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana seseorang akan kehilangan orang yang meninggal dengan penyebab dan peristiwa yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pengatasan Masalah Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) pengatasan masalah merupakan suatu proses usaha individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai situasi selama rentang kehidupannya, begitu pula pada keluarga yang memiliki anak dengan hidrosefalus.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin menuntut pengorbanan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia adalah salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada fase ini seorang individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan sumber kepribadian seseorang. Di dalam keluarga dapat ditemukan berbagai elemen dasar yang dapat membentuk kepribadian seserang. Tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir hingga lansia. Ketika memasuki usia dewasa awal tugas perkembangan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kepribadian seorang anak merupakan gabungan dari fungsi secara nyata maupun fungsi potensial pola organisme yang ditentukan oleh faktor keturunan dan penguatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan menjumpai berbagai permasalahan kecil ataupun besar sedikit ataupun banyak. Permasalahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menikah merupakan salah satu tujuan hidup bagi setiap orang. Usia dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal tersebut merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti mempunyai harapan-harapan dalam hidupnya dan terlebih pada pasangan suami istri yang normal, mereka mempunyai harapan agar kehidupan mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Keluarga adalah institusi pertama yang dibangun, ditetapkan dan diberkati Allah. Di dalam institusi keluarga itulah ada suatu persekutuan yang hidup yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak 1. Pengertian Coping Stress Coping adalah usaha dari individu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dari lingkungannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada hakikatnya adalah mahkluk sosial dan mahkluk pribadi. Manusia sebagai mahluk sosial akan berinteraksi dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap individu pasti mengalami kesulitan karena individu tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan dalam kehidupannya. Kesulitan dapat terjadi pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakberdayaan. Menurut UU No.13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakberdayaan. Menurut UU No.13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa lanjut usia (lansia) merupakan tahap terakhir dari tahapan perkembangan manusia. Didalam masyarakat, masa lansia sering diidentikkan dengan masa penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan yang pertama ditemui oleh setiap individu dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia. Keluarga menjadi struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai gangguan postpartum depression. Depresi postpartum keadaan emosi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai gangguan postpartum depression. Depresi postpartum keadaan emosi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu tugas perkembangan yang utama dari seorang wanita adalah hamil dan melahirkan seorang anak, dan kemudian membesarkannya. Kehamilan adalah masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian BAB I PENDAHULUAN I.I Latar belakang Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian seorang ayah. Kematian adalah keadaan hilangnya semua tanda tanda kehidupan secara permanen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian Menurut UU No.10 tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan berumah tangga, setiap keluarga tentunya akan mendambakan kehadiran seorang anak sebagai pelengkap kebahagiaan kehidupan pernikahan mereka. Setiap pasangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hidup manusia dialami dalam berbagai tahapan, yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia diciptakan pastilah memiliki sebuah keluarga, baik keluarga kecil maupun keluarga besar dan keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia dihadapkan dengan berbagai konteks komunikasi yang berbeda-beda. Salah satu konteks komunikasi yang paling sering dihadapi

Lebih terperinci

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing PENGANTAR Konflik dalam Pernikahan Pernikahan melibatkan dua individu yang berbeda dan unik, baik dari kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing pasangan menuntut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah dan memiliki anak adalah salah satu fase yang dialami dalam kehidupan dewasa awal. Alasan utama untuk melakukan pernikahan adalah adanya cinta dan komitmen

Lebih terperinci

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com Krisis merupakan suatu titik balik yang memungkinkan individu untuk tumbuh dan berkembang, atau menyebabkan dirinya merasa tidak puas, gagal, dan kehidupannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan

Lebih terperinci

2016 HUBUNGAN ANTARA FAMILY RESILIENCE DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PNS WANITA DI KOTA BANDUNG

2016 HUBUNGAN ANTARA FAMILY RESILIENCE DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PNS WANITA DI KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari skripsi yang akan membahas beberapa hal terkait penelitian, termasuk latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar belakang Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes melitus, cedera dan penyakit paru obstruktif kronik serta penyakit kronik lainnya merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari orang-orang yang bisa diandalkan, menghargai dan menyayangi kita yang berasal dari teman, anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap pasangan menikah pasti menginginkan agar perkawinannya langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan akan kelanggengan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal ini di jelaskan dalam Al-Qur an : Kami telah menjadikan kalian berpasang-pasangan (QS.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah bersatunya dua orang manusia yang bersama-sama sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat keterikatan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran dan fungsi ibu dalam kehidupan seorang anak sangat besar. Anak akan lebih merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama seperti halnya tahap-tahap perkembangan pada periode sebelumnya, pada periode ini, individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. normal dan sehat, bekerja me nyajikan kehidupan sosial yang mengasyikkan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. normal dan sehat, bekerja me nyajikan kehidupan sosial yang mengasyikkan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bekerja mencerminkan kondisi manusia yang sehat lahir dan batin, sedangkan tidak bekerja sama sekali, mengindikasikan kondisi macet atau sakit atau adanya suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri, saling membutuhkan dan saling tergantung terhadap manusia lainnya, dengan sifat dan hakekat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang kerap muncul dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB III TEMUAN PENELITIAN. kedukaan X mahasiswi Fakultas Teologi UKSW pasca kematian kedua orang tua.

BAB III TEMUAN PENELITIAN. kedukaan X mahasiswi Fakultas Teologi UKSW pasca kematian kedua orang tua. BAB III TEMUAN PENELITIAN Dalam bab ini saya akan membahas temuan hasil penelitian terkait studi kasus kedukaan X mahasiswi Fakultas Teologi UKSW pasca kematian kedua orang tua. Mengawali deskripsi hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu bisa mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya, agar. dalam kehidupan suami istri. Putusnya hubungan perkawinan yang

BAB I PENDAHULUAN. individu bisa mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya, agar. dalam kehidupan suami istri. Putusnya hubungan perkawinan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kodrat individu sebagai mahluk sosial yang menyebabkan individu tidak dapat menghidar dari interaksi dengan lingkungan. Dalam diri individu terdapat suatu dorongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Panti sosial asuhan anak menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (2004:4) adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Keluarga merupakan pondasi terbentuknya pribadi yang sehat baik secara

BAB I PENDAHULUAN. individu. Keluarga merupakan pondasi terbentuknya pribadi yang sehat baik secara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan individu. Keluarga merupakan pondasi terbentuknya pribadi yang sehat baik secara fisik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. (Wawancara dengan Bapak BR, 3 Maret 2008)

1. PENDAHULUAN. (Wawancara dengan Bapak BR, 3 Maret 2008) 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketika putri saya meninggal dunia, saya merasa kehilangan bagian dari diri saya. Saya merasa tidak utuh dan segala sesuatu tidak akan pernah sama lagi. Beberapa hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana anak mengalami pola disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak telah mencapai masa remaja dimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dukungan Keluarga 1. Pengertian Keluarga Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala

Lebih terperinci

BERDUKA DAN KEHILANGAN. Niken Andalasari

BERDUKA DAN KEHILANGAN. Niken Andalasari BERDUKA DAN KEHILANGAN Niken Andalasari DEFENISI KEHILANGAN adalah kenyataan/situasi yang mungkin terjadi dimana sesuatu yang dihadapi, dinilai terjadi perubahan, tidak lagi memungkinkan ada atau pergi/hilang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi 1. Definisi Komunikasi Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin, yaitu communication, yang akar katanya adalah communis, tetapi

Lebih terperinci

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: SITI SOLIKAH F100040107 Kepada FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA Sepanjang daur kehidupan tidak terlepas dari situasi yang dapat mempengaruhi respon emosi individu. Salah satu situasi yang mempengaruhi emosi individu adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Selama 10 tahun saya menjanda, tidak ada pikiran untuk menikah lagi, karena pengalaman yang tidak menyenangkan dengan perkawinan saya. Tapi anak sudah besar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umum dan pola hidup. Penelitian Agoestina, (1982) di Bandung (dalam

BAB I PENDAHULUAN. umum dan pola hidup. Penelitian Agoestina, (1982) di Bandung (dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangannya wanita tidak mungkin lepas dari menopause, karena menopause merupakan peristiwa yang pasti akan dialami oleh setiap wanita dan tidak bisa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk membantu anak-anak yang tidak memiliki orang tua. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari makhluk hidup lainnya. Mereka memiliki akal budi untuk berpikir dengan baik dan memiliki kata hati.

Lebih terperinci

Disusun Oleh : SARI INDAH ASTUTI F

Disusun Oleh : SARI INDAH ASTUTI F HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA PENDERITA PASCA STROKE DI RSUD UNDATA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah tempat di mana anak berkembang dan bertumbuh, baik secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit terkecil dalam

Lebih terperinci

SINOPSIS THESIS FENOMENA MASYARAKAT MENGATASI MASALAH DAN DAYA TAHAN DALAM MENGHADAPI STRESS. Oleh: Nia Agustiningsih

SINOPSIS THESIS FENOMENA MASYARAKAT MENGATASI MASALAH DAN DAYA TAHAN DALAM MENGHADAPI STRESS. Oleh: Nia Agustiningsih SINOPSIS THESIS FENOMENA MASYARAKAT MENGATASI MASALAH DAN DAYA TAHAN DALAM MENGHADAPI STRESS Oleh: Nia Agustiningsih BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berbagai masalah ekonomi yang terjadi menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

Menurut Knox (1985) terdapat tiga faktor yang menentukan kesiapan menikah, yaitu usia menikah, pendidikan, dan rencana karir. Pada dasarnya usia

Menurut Knox (1985) terdapat tiga faktor yang menentukan kesiapan menikah, yaitu usia menikah, pendidikan, dan rencana karir. Pada dasarnya usia 57 PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan menikah dan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah. Penelitian ini dilakukan pada keluarga yang memiliki anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Masalah Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat dalam kehidupannya. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan yang begitu pesat dan perkembangan mental

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss). BAB II LANDASAN TEORITIS A. GRIEF 1. Definisi Grief Menurut Rando (1984), grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap makhluk hidup didunia memiliki keinginan untuk saling berinteraksi. Interaksi social yang biasa disebut dengan proses sosial merupakan syarat utama terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa tua merupakan masa paling akhir dari siklus kehidupan manusia, dalam masa ini akan terjadi proses penuaan atau aging yang merupakan suatu proses yang dinamis sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unit sosial terkecil di dalam lingkungan masyarakat. Bagi anak, keluarga merupakan tempat pertama mereka untuk berinteraksi. Keluarga yang

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian ini. Selanjutnya juga akan dipaparkan hasil diskusi dan saran. 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kurun waktu terdekat ini kemajuan disegala aspek kehidupan menuntut masyarakat untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam

Lebih terperinci

Dying & Bereavement. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi

Dying & Bereavement. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi Dying & Bereavement Unita Werdi Rahajeng, M.Psi www.unita.lecture.ub.ac.id Kematian Berakhirnya fungsi-fungsi biologis tertentu, seperti pernafasan dan tekanan darah, serta kekakuan tubuh dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membuat perubahan hidup positif adalah sebuah proses multi tahapan yang dapat menjadi kompleks dan menantang. Pengalaman emosi marah, benci, dan kesedihan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri 1. Definisi Kontrol Diri Kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah respon diri sendiri, terutama untuk membawa diri mereka kepada standar yang sudah ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk selalu menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain menimbulkan sikap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ibu Tiri Istilah ibu tiri secara harfiyah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Ibu merupakan panggilan yang takzim kepada wanita, sedangkan tiri berarti bukan darah daging

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sepanjang hidup, artinya secara fisik individu akan terus tumbuh namun akan berhenti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker adalah sel-sel tubuh yang tumbuh tanpa kendali dan dapat menyebar ke seluruh tubuh. Kanker merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada manusia modern.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik maupun emosional. Semakin bertambahnya usia, individu akan mengalami berbagai macam

Lebih terperinci