TINJAUAN TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT PERIKANAN TRADISIONAL STUDI KASUS INDONESIA-AUSTRALIA PUSPITA ANDINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT PERIKANAN TRADISIONAL STUDI KASUS INDONESIA-AUSTRALIA PUSPITA ANDINI"

Transkripsi

1 TINJAUAN TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT PERIKANAN TRADISIONAL STUDI KASUS INDONESIA-AUSTRALIA PUSPITA ANDINI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tinjauan terhadap Kebijakan Pemerintah Terkait Perikanan Tradisional Studi Kasus Indonesia- Australia benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2017 Puspita Andini NIM C

3 ABSTRAK PUSPITA ANDINI. Tinjauan terhadap Kebijakan Pemerintah terkait Perikanan Tradisional Studi Kasus Indonesia-Australia. Dibimbing oleh TRI WIJI NURANI dan AKHMAD SOLIHIN. Posisi Indonesia yang sangat strategis membuat hukum laut menjadi sangat penting, terlebih dalam kegiatan perikanan tradisional yang sudah berlangsung lama di sekitar perairan perbatasan Indonesia-Australia. Kegiatan perikanan tradisional ini telah diatur dalam aturan kesepakatan kedua negara, MoU Box. Tetapi, pada pelaksanannya masih terdapat pelanggaran yang dilakukan nelayan tradisional Indonesia saat melakukan aktivitasnya. Begitu pula sebaliknya, aparat Australia yang melakukan pelanggaran kemanusiaan terhadap para nelayan tradisional Indonesia. Hal ini perlu dikaji karena masih menjadi isu pembahasan kedua negara. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perkembangan kondisi kegiatan perikanan tradisional dan melihat lembaga mana saja yang bertanggung jawab dalam masalah ini, serta menyusun strategi untuk meminimalisir permasalahan yang ada. Metode yang digunakan adalah kajian pustaka dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kegiatan perikanan tradisional masih berlangsung hingga kini dan belum adanya pembaharuan mengenai perjanjian tentang perikanan tradisional, (2) Dalam pengembalian ABK ke tanah air, pihak PSDKP dan Kementerian Luar Negeri bekerja sama sama namun, masih terdapat kekosongan lembaga dalam mendampingi masa sidang ABK, (3) Upaya yang dapat dilakukan yaitu menguatkan dan meningkatkan koordinasi antara institusi. Kata kunci: Australia, Indonesia, perikanan tradisional ABSTRACT PUSPITA ANDINI. The Review of Goverment s Policy Regarding Tradisional Fisheries Case Study at Indonesia-Australia. Supervised by TRI WIJI NURANI dan AKHMAD SOLIHIN. Strategic s positions of Indonesia cause the law of sea is to be very important, especially in the traditional fishing activities of longstanding in the waters around border of Indonesia-Australia. This traditional fishing activities have been arranged in the Memorandum of Understanding between Indonesia and Australia in 1974 or MoU Box. However, in its implementation there are violations committed by Indonesian traditional fishermen while doing activities. Otherwise, Australian goverment who was commit violations against humanity Indonesian traditional fishermen. This problem are needed solving, due to they become an issue of discussion between Indonesia and Australia. The purpose of this study are to describe the progress of the condition of traditional fishing activity and see which institution are responsible for this problem, and to arrange strategies to minimize the problems that exist. The methods used was a literature review with descriptive analysis. The results showed that: (1) The activities of traditional fisheries has continue until now and there is no renewal of the treaty on

4 traditional fisheries, (2) In the return of ABK to their homeland, PSDKP and Ministry of Foreign Affairs worked closely together but theres was still a vacancy institutions in the accompanying ABK session period, (3) The effort to do was strengthen and improve the coordination between institutions. Keywords: Australia, Indonesia, traditional fisheries

5 TINJAUAN TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT PERIKANAN TRADISIONAL STUDI KASUS INDONESIA-AUSTRALIA PUSPITA ANDINI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

6

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2016 ini ialah perikanan tradisional di wilayah perbatasan, dengan judul Tinjauan terhadap Kebijakan Pemerintah Terkait Perikanan Tradisional (Studi Kasus Indonesia- Australia) Penulis menyadari bahwa penyusunan usulan penelitian ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr Ir Tri Wiji Nurani MSi dan Bapak Akhmad Solihin SPi MH selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan masukan sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini. 2. Bapak Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro selaku penguji dan Bapak Dr Mochammad Riyanto SPi MSi selaku komisi pendidikan atas saran dan masukannya 3. Dosen-dosen PSP atas ilmu yang telah diberikan selama studi serta Pak Zulfa dan Bu Fina yang selama ini membantu penulis dalam hal administrasi. 4. Pengawasan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta atas bantuan dan kerjasama dalam pengambilan data. 5. Bapak, ibu serta kaka dan adik tersayang (Angga Saepul Rahman dan Muhammad Fardhan Nurdiansyah) yang selalu memberikan do a, dukungan dan semangat. 6. Keluarga besar PSP 49, Ursa Mayor 1436H dan Geng Syu atas semangat persahabatan yang terjalin selama berjuang bersama. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dalam penyempurnaan hasil akhir. Penulis berharap tulisan ini juga dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak yang membutuhkan. Bogor, Januari 2017 Puspita Andini

8 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian METODE Waktu dan Tempat Metode Penelitian Prosedur Pengumpulan Data Prosedur Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP vi vi vi

9 DAFTAR TABEL 1 Prosedur pengumpulan data 4 2 Prosedur analisis data 4 3 Matriks faktor internal 5 4 Matriks faktor eksternal 5 5 Matriks SWOT 6 6 Matriks internal factor evaluation (IFE) 16 7 Matriks external factor evaluation (EFE) 17 8 Strategi dalam mengurangi penangkapan terhadap nelayan tradisional 19 DAFTAR GAMBAR 1 Diagram analisis SWOT 5 2 Peta wilayah operasi nelayan tradisional di MoU Box 9 3 Tahapan yang dilalui ABK yang tertangkap 14 4 Tahapan pengembalian ABK ke Indonesia 15 5 Diagram Cartesius 18 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kapal nelayan tradisional dan jenis teripang 23 yang bernilai ekonomis tinggi 2 Perjanjian Indonesia-Australia dalam MoU Perjanjian Indonesia-Aistralia dalam MoU Perjanjian Indoensia-Australia dalam Agreed Minutes Pasal 51 ayat 1 UNCLOS 1982 yang mengatur perikanan tradisional 35 6 Lampiran penilaian bobot faktor strategis internal 36 7 Lampiran penilaian bobot faktor strategis eksternal 37 8 Riwayat Hidup 38

10 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara Kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dengan pulau dan luas perairan laut yang mencapai 5,1 juta km² dan garis pantai sepanjang km. Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia, dan dua Samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Posisi strategis seperti itu membuat alur laut Indonesia sangat penting bagi pelayaran dunia. Luas wilayah lautan yang amat besar serta lokasi geografis inilah yang menyebabkan hukum laut memiliki nilai yang amat penting bagi Indonesia (Akbar 2012). Media jurnal maritim (2014) menyatakan Indonesia rawan konflik dengan beberapa negara tetangga. Indonesia masih belum mampu menghadapi satu negara Asia Tenggara, baik dari sisi militer maupun ekonomi. Beberapa negara yang disebutkan yaitu India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filiphina, Papua, dan Australia. Salah satu masalah negara tetangga yang saat ini masih jadi permasalahan mengenai nelayan Indonesia adalah Australia. Kedekatan wilayah yang merupakan klaim Australia dengan Indonesia membuat landas kontinen dari keduanya saling tumpah tindih (Indrawasih dan Wahyono 2010). Puncaknya pada saat adanya Clean Water Operation yang diadakan oleh pemerintah Australia dalam rangka pemberantasan Illegal Fishing. Upaya Australia ini berujung pada penahanan para nelayan yang ditangkap oleh pihaknya. Permasalahan ini pun berkaitan dengan penangkapan nelayan tradisional di wilayah perairan Australia. Penangkapan terhadap nelayan-nelayan tradisional Indonesia oleh pihak Australia sampai saat ini belum dapat diselesaikan dengan baik (Irawati dan Wahjoe 2011). Menurut Wuryandari (2014) ada tiga indikasi masalah ini berkembang menjadi isu yang hangat dan perlu dikaji. Pertama, menjadi isu pembahasan dalam pertemuan bilateral. Kedua, penangkapan nelayan tradisional masih terus berlangsung dan ketiga, kasus penangkapan ini menimbulkan komplikasi dalam hubungan kedua negara. Nelayan Indonesia memiliki hak melakukan penangkapan ikan di bagian tertentu di perairan Australia. Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Memorandum of Understanding between the Goverment of Australia and The Goverment of the Republic of Indonesia Regarding the Operation of Indonesian Traditional Fishermen in Area of the Australian Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf (MoU Box 1974). Perjanjian ini mengakui adanya hak perikanan tradisional Indonesia dalam menangkap ikan di wilayah perairan Australia yang telah ditentukan. Wilayah penangkapan ikan ini sering disebut sebagai wilayah MoU Box (Nasution 2008) Upaya Indonesia dalam menangani masalah ini sudah dilakukan dalam bentuk sosialisasi dengan para nelayan agar tidak melanggar dan mengetahui batas-batas penangkapan, namun tetap saja hingga kini pelanggaran masih terjadi (Nasution 2008). Penelitian ini perlu dilakukan terhadap kebijakan pemerintah untuk mengidentifikasi bagaimana sejauh ini para nelayan tradisional terlibat dalam pelanggaran kegiatan penangkapan ikan, serta penangkapan terhadap nelayan tradisional Indonesia yang dilakukan oleh pihak Australia dan

11 2 memberikan solusi agar tercapai strategi meminimalisir permasalahan penangkapan nelayan tradisional. Perumusan Masalah Perikanan tradisional Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Terlebih bagi nelayan tradisional di Pulau Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan negara tetangga, Australia. Menurut Rani (2012) wilayah perbatasan mempunyai peranan dan nilai strategis dalam mendukung tegaknya kedaulatan negara. Indonesia dan Australia sudah melangsungkan banyak perjanjian mengenai perbatasan wilayah. Namun, tetap saja ada pihak yang melanggar, seperti adanya nelayan tradisional yang nakal melewati batas tersebut dan dari pihak Australia juga yang memberikan pelangaran kemanusiaan terhadap nelayan di perbatasan. Pihak dari Indonesia sendiri belum terlalu fokus terhadap masalah ini. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu: 1. Bagaimana perkembangan pengaturan nelayan tradisional di wilayah MoU Box? 2. Bagaimana status kelembagaan dalam menangani kasus yang terjadi wilayah MoU Box? 3. Bagaimana permasalahan nelayan di wilayah MoU Box dan strategi apa yang dapat dilakukan dalam mengurangi pelanggaran? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi perkembangan pengaturan nelayan tradisional yang telah ditetapkan dalam MoU Box 2. Mengidentifikasi instansi yang bertanggung jawab terhadap permasalahan nelayan tradisional di wilayah MoU Box 3. Menentukan strategi untuk mengurangi pelanggaran dan penangkapan terhadap nelayan tradisional Indonesia dengan menggunakan analisis SWOT Manfaat Penelitian Adanya tinjauan kebijakan pemerintah untuk nelayan tradisional ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana perkembangan kondisi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional di wilayah perbatasan saat ini. Selain itu, mengenai lembaga yang bertanggung jawab dalam menangani penangkapan di wilayah perbatasan ini ditujukan untuk pentingnya dalam menjaga atau mengamankan wilayah perbatasan negara. Serta meninjau pelanggaran yang dilakukan oleh para nelayan Indonesia dan memberi masukan terhadap pemerintah agar memberikan fokus untuk perikanan tradisional di masa mendatang. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi beberapa hal seperti ketentuan MoU Box Indonesia-Australia tahun 1974, 1981 dan Agreed Minutes Selain itu, perikanan tradisional suatu negara menurut UNCLOS 1982 dan pengembalian

12 nelayan tradisional menurut PSDKP dan yang terakhir pelanggaran para nelayan tradisional. PENELITIAN TERDAHULU Peneitian terkait yang telah dilakukan mengenai kebijakan hak perikanan tradisional dalam MoU Box 1974 yaitu oleh Nasution (2008) yang melakukan penelitian mengenai identifikasi pengaturan perjanjian antara Indonesia dengan Australia yang menyepakati hak perikanan tradisional di wilayah MoU Box, mengidentifikasi hambatan-hambatan kedua negara dalam melaksanakan perjanjian dan mengidentifikasi upaya yang perlu dilakukan pemerintah dalam menjamin kesinambungan hak perikanan tradisional bagi nelayan tradisional. Berdasarkan penelitian tersebut perjanjian dalam MoU dan Agreed minutes hanya memuat hal-hal pokok saja sehingga dapat membuka peluang Autralia untuk menafsirkan secara sepihak, selai itu dalam pelaksanaan implementasi mengenai hak perikanan tradisional muncul faktor penghambat dari nelayan dan pemerintah Australia itu sendiri. Salah satu faktor penghambat dari nelayan yaitu rendahnya tingkat pendidikan nelayan. Selanjutnya, upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dapat dikatakan belum maksimal karena sikap yang kurang serius dalam menangani masalah hak perikanan tradisional dengan tidak adanya penanganan nelayan yang dideportasi dan tidak adanya koordinasi anatar pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia. Wuryandari (2014) meneliti mengenai isu nelayan tradisional yang menjadi pembahasan serius kedua negara. Penelitian ini bertujuan untuk memahami persoalan penangkapan nelayan tradisional sebagai bahan pijakan untuk mencari solusi dari masalah tersebut yang tidak hanya untuk kepentingan kedua negara, tetapi untuk keamanan dan kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia. METODE 3 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan April hingga bulan Juni 2016 di instansi-instansi yang terkait dengan masalah perbatasan wilayah Indonesia - Australia, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Perpustakaan Universitas Indonesia. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode studi literatur yang dipadukan dengan metode yuridis formal. Menurut Nazir (1988) studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Jenis data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan pejabat, terkait masalah wilayah perbatasan, yaitu dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Luar Negeri. Data sekunder diperoleh dari hasil kajian pustaka penelitian terdahulu, artikel media massa, dan literatur lainnya yang menunjang.

13 4 Prosedur Pengumpulan Data Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan penelitian lapangan menggunakan metode purposive sampling dengan ketentuan bahwa responden dapat memahami masalah yang terkait, dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Prosedur pengumpulan data Jenis data Kegiatan Tahap awal (April 2016) Wawancara di PSDKP dengan Bapak Aceng Primer Wahyudi (Subdit Pelanggaran Bukti dan Awak Kapal) Tahap kedua (Mei 2016) Studi pustaka di Universitas Indonesia (bukubuku, jurnal dan artikel media massa) Sekunder Metode pengumpulan data sekunder menggunakan analisis isi (dokumen) Data yang diperoleh atau dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder yang bersifat kualitatif, yang dijelaskan dalam Tabel 2. Tabel 2 Prosedur analisis data Tujuan 1 Tujuan 2 Tujuan 3 Jenis Analisis Analisis deskriptif dan analisis isi Menggambarkan kondisi nelayan tradisional terkini yang dalam kegiatan penangkapannya telah diatur dalam MoU Box dan melihat sejauh mana pelaksanaan yang dilakukan Analisis deskriptif dan analisis kebijakan publik Tujuan dari analisis kebijakan adalah untuk melihat seberapa jauh perkembangan kebijakan dan peran pemerintah terhadap perikanan tradisional Memaparkan kegiatan dalam pembebasan ABK yang ditangkap Analisis deskriptif dan analisis SWOT Memaparkan permasalahan nelayan tradisional Indonesia yang ditangkap oleh pihak Australia Analisis ini digunakan dengan tujuan untuk menggagas ide dan solusi dalam mengurangi pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan tradisional dan menjadikan perikanan tradisional yang lebih baik. Menurut Rangkuti (2006) Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Untuk merencanakan strategi, perlu adanya evaluasi terhadap faktor internal dan faktor eksternal. Analisis faktor internal menghasilkan adanya kekuatan dan kelemahan

14 suatu perusahaan yang dapat diidentifikasi dan ditabulasikan ke dalam matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Sedangkan analisis faktor eksternal menghasilkan adanya peluang dan ancaman yang dapat diidetifikasi dan ditabulasikan dalam matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE). Bentuk tabulasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 Matriks faktor internal Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor Kekuatan: 1. : Kelemahan: 1. : Total 1 Sumber: Rangkuti (2006) Tabel 4 Matriks faktor eksternal Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor Kekuatan: 1. : Kelemahan: 1. : Total 1 Sumber: Rangkuti (2006) Pemberian bobot dari internal dan eksternal berkisar 0,0 sampai dengan 1,00, sedangkan pemberian nilai rating berkisar antara 1 sampai 4. Nilai skor didapat dari hasil perkalian antara bobot dengan rating. Setelah didapat hasil perhitungan nilai skor faktor IFE dan EFE dilanjutkan dengan tahap penentuan posisi melalui diagram analisis SWOT yang tertera pada Gambar 1 dan Tabel 5. 5

15 6 Peluang Kuadran 3 Mendukung strategi turn around Kelemahan Kuadran 4 Mendukung strategi defensif Kuadran 1 Mendukung strategi agresif Kekuatan Kuadran 2 Mendukung strategi diversifikasi Sumber : Rangkuti 2006 Ancaman Gambar 1 Diagram Analisis SWOT Kuadran 1: Kuadran 2: Kuadran 3: Kuadran 4: Situasi ini menguntungkan. Perusahaan memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Meskipun menghadapi ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan strategi diversifikasi. Perusahaan memiliki peluang yang besar, namun disisi internal masih terdapat kelemahan yang harus dikurangi Situasi ini tidak menguntungkan. Dalam menentukan dan melaksanakan program terdapat kelemahan dari pihak internal dan ancaman dari pihak eksternal Tabel 5 Matriks SWOT Strenght (S) EFAS/IFAS Tentukan 5-10 faktor kekuatan internal Strategi Strenght - Opportunities (O) Opportunities (SO): Tentukan 5-10 Ciptakan strategi yang faktor peluang menggunakan kekuatan eksternal untuk memanfaatkan peluang Threats (T) Tentukan 5-10 faktor ancaman internal Strategi Strenght Threats (ST): Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Weakness (W) Tentukan 5-10 faktor kekuatan internal Strategi Weakness Opportunities (WO): Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi Weakness Threats (WT): Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

16 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perikanan Tradisional Nelayan Indonesia dan Kondisi Perikanan Tradisional Perikanan tradisional sudah melekat dengan masyarakat nelayan di daerah Timur. Orang-orang Bajau adalah orang yang pertama kali melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Australia, yang sebelumnya mereka sudah mencapai Kupang (Pulau Timor) pada tahun Mereka melakukan pelayaran untuk menangkap teripang, yang pada saat itu teripang menjadi komoditi utama menembus pasar Asia. Sejarah Bajau tidak bisa dilepaskan dengan aktivitas nelayannya sebagai pemburu teripang dan salah satu bukti yang mendukung adalah surat yang ditulis oleh seorang pejabat Dutch East India Company mengenai adanya 40 perahu kecil Bajau disekitar perairan pulau Rote dan mereka melaut ke arah selatan (Australia). Perjalanan dalam menangkap teripang, suku Bajau melanjutkan pelayaran ke arah selatan dan dalam perjalanannya mereka menemukan Ashmore Reef (Pulau Pasir). Suku Bajau diyakini juga oleh sebagian besar penduduk Pulau Rote sebagai penemu pulau Ashmore Reef. Selain itu, terdapat pula nelayan Makassar yang sudah berlayar mencari teripang hingga ke daerah yang terletak di selatan pulau Rote. Bukti ini terdokumentasi dalam lukisan yang dibuat suku Aborigin di dinding goa. Bukti selanjutnya yaitu adanya dokumen yang menyangkut perizinan pajak untuk nelayan Makasar yang mengambil teripang di perairan Australia. Berbagai catatan sejarah memperlihatkan bahwa kegiatan penangkapan dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional yang melaut hingga ke perairan Australia sudah dilakukan ratusan tahun dan masih dilakukan hingga kini. Namun, hingga saat ini Ashmore Reef berada dalam wilayah Australia dan sudah menjadi Cagar Alam Nasional Australia sehingga kegiatan perikanan tradisional dibatasi (Wuryandari 2014). Posisi Ahsmore Reef sendiri letaknya lebih dekat dengan Indonesia, yakni 78 mil dari garis pantai pulau Rote dan 190 mil dari pantai barat Australia. Masyarakat Rote mengganggap pulau tersebut milik orang Rote, namun sayangnya pihak Australia lebih memiliki bukti hukum yang kuat akan kepemilikan Ashmore Reef (Christoforus 2015) Pengaruh besar kegiatan perikanan ini rupanya memancing nelayan-nelayan lain ikut untuk melakukan penangkapan di sekitar wilayah perbatasan Australia. Sumberdaya yang melimpah akhirnya mendorong para nelayan melaut hingga ke perairan Australia. Seiring berjalannya waktu, Australia pada akhirnya memutuskan untuk membatasi wilayah penangkapan dengan mengekspansi wilayah perairan Australia ke 200 mil dari garis pantai yang dideklarasikan pada tahun 1979 sehingga mendorong nelayan Indonesia melaut ke arah Utara (Adhuri 2013). Selain suku Bajau, terdapat pula orang-orang yang berasal dari Makassar, Buton, Bugis dan Madura. Mereka semua melakukan kegiatan perikanan tradisional dengan target tangkapan teripang dengan menggunakan kapal tradisional. Kapal nelayan tradisional terlampir pada Lampiran 1. Menurut Panggabean et al. (2012) terdapat 5 jenis teripang yang merupakan target penangkapan karena mempunyai nilai ekonomis tinggi yaitu Holothuria nobilis,

17 8 Stichopus chloronutus, Bohadschia argus, Bohadschia sp dan Bohadschia marmorata, terlampir pada Lampiran 1. Pengecualian daerah penangkapan yang dilakukan oleh perjanjian Indonesia-Australia terkenal dengan sebutan MoU Box; wilayah perairan yang boleh dilewati yaitu Ashmore Reef, Seringapatam Reef, Cartier Island, Scott Reef, dan Browse Island. Pembatasan ini dilakukan pihak Australia untuk mempersempit wilayah daerah operasional nelayan tradisional Indonesia. Namun hal ini menimbulkan dampak yang berarti bagi para nelayan tradisional Indonesia. Pengaturan Hak Perikanan Tradisional Nelayan tradisional merupakan nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan dan berbagai jenis organisme yang menempel di dasar (bergerak/tidak) selama beberapa dekade dengan cara yang tradisional. Nelayan dari Indonesia bagian timur dan selatan telah melakukan penangkapan ikan secara tradisional di perairan lepas pantai Australia. Nelayan Indonesia secara tradisional menggunakan kapal-kapal, peralatan, dan metode penangkapan ikan yang serba tradisional. Pengertian nelayan tradisional sendiri menurut UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, menyatakan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (5 GT). Hak nelayan tradisional Indonesia telah ditetapkan dalam perjanjian antara Indonesia dengan Australia melalui MoU Box 1974 berisi tentang hasil diskusi yang diselenggarakan di Jakarta pada 6-7 November Australia mengakui hak para nelayan tradisional Indonesia yang telah berabad-abad lampau mencari penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar gugusan pulau karang negara itu. Perjanjian tersebut memberikan izin kepada nelayan tradisional Indonesia untuk beroperasi di zona perikanan eksklusif dan daerah landas kontinen yang berhadapan dengan pulau Australia. Zona eksklusif penangkapan diukur sejauh 12 mil ke laut dari garis pangkal laut wilayah Australia diukur. Hak perikanan tradisional ini sendiri merupakan satusatunya hak perikanan tradisional yang secara resmi diakui karena nelayan tradisional telah lebih dahulu melakukan penangkapan ikan di daerah perbatasan Indonesia-Australia. Sehingga sampai saat ini pemerintah Australia mengakui kegiatan penangkapan ini yang berlanjut sampai sekarang. MoU 1974 menetapkan sebagai daerah operasi perikanan tradisional adalah: a. Ashmore Reef (Pulau Pasir) LS BT b. Cartier Islet (Pulau Baru) LS BT c. Scott Reef LS BT d. Seringapatam Reef (Pulau Datu) LS BT e. Browse Islet LS BT Dengan persyaratan sebagai berikut; a. Operasi hanya terbatas untuk nelayan tradisional.

18 b. Pendaratan nelayan tradisional Indonesia untuk mengambil air bersih harus dilakukan di East Islet dan Middle Islet of Ashmore Reef, sehingga dilarang mengambil air tawar di luar daerah yang sudah ditetapkan. c. Kapal-kapal perikanan tradisional yang membutuhkan shelter dapat melakukannya dalam kepulauan tersebut di atas, tetapi orang-orangnya tidak boleh pergi ke darat. d. Untuk berlindung dari serangan badai dan gelombang besar; nelayan tradisional hanya diperkenankan berlindung di antara kelima pulau-pulau tersebut, tetapi tidak diperkenankan mendarat. e. Diwajibkan tidak melakukan penangkapan penyu, tidak melakukan penangkapan/pengambilan jenis ikan bergerak dan organisme sedenter di luar wilayah perikanan tradisional, f. Tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merusak lingkungan hidup, misalnya membakar hutan. Sedangkan jenis ikan dan organisme lain yang boleh ditangkap ditetapkan sebagai berikut: a. Di perairan wilayah perikanan tradisional, yang boleh ditangkap ialah semua jenis ikan; b. Di dasar perairan laut wilayah perikanan tradisional, yang boleh diambil: trochus (lola), beche de mar (teripang), abalone (simping), green snail (siput hijau), sponges dan molusca (binatang lunak) Hak perikanan tradisional tetap diakui berdasarkan MoU 1974, sedangkan dalam MoU 1981 difokuskan dalam perbatasan wilayah laut antara Indonesia dan Australia karena banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Indonesia dan membatasi kegiatan para nelayan. Kemudian tahun 1989 masuk ke dalam Agree Minutes. Dalam Agreed Minutes 1989 ditetapkan daerah yang lebih luas dari sebelumnya yaitu di samping apa yang telah disepakati seperti status pulau Ashmore Reef dan Cartier Islet sehingga melebar ke arah zona perikanan Australia dan landas kontinen dengan batasan-batasan. Kegiatan penangkapan pun dibatasi karena dua pulau tersebut menjadi kawasan yang dilindungi, lebih jelasnya terdapat pada Gambar 2. 9

19 10 Sumber: Stacey dalam Adhuri (2010) Gambar 2 Peta Wilayah Operasi Nelayan Tradisional di MoU Box Peta di atas menunjukan wilayah MoU Box, wilayah yang diizinkan bagi nelayan tradisional untuk melakukan kegiatan penangkapan oleh pemerintah Australia. Wilayah penangkapan ikan oleh nelayan tradisional terdapat di lima pulau di atas. Namun, pada Ashmore Reef yang sudah menjadi cagar alam nasional Australia, berlaku ketentuan khusus untuk para nelayan. Perubahan ini berada pada perjanjian Agreed Minutes Jika kondisi cuaca buruk maka kapal nelayan diperbolehkan berlindung di Pulau Baru (salah satu gugusan pulau Ashmore Reef) dan diizinkan juga untuk mengambil air bersih/air minum. Nelayan tradisional pun diizinkan untuk mengambil ikan hanya untuk dimakan ditempat. Hak perikanan tradisional mendapatkan pengakuan hukum melalui Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa tanpa mengurangi arti dari Pasal 49, negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan yang lain yang sah dengan negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan itu berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dalam perjanjian bilateral hukum antara mereka. Hal demikian tidak

20 boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya (Solihin 2011). Tiga aturan yang disusun dalam rangka mengkoordinasi kegiatan perikanan tradisional, diantaranya yaitu; 1. MoU Tahun 1974 Pemerintah Indonesia dan Australia telah melakukan penandatanganan perjanjian mengenai hak perikanan tradisional bagi nelayan tradisional Indonesia dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan tertentu pada zona perikanan eksklusif dan landas kontinen Australia. Perjanjian kedua negara yang ditandatangani pada tanggal 7 November 1974 menghasilkan Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf (Solihin 2011) seperti yang telampir pada Lampiran 1. Beberapa hal yang diatur dalam MoU 1974 ini yaitu: a. Wilayah yang diperbolehkan dalam penangkapan ikan oleh nelayan tradisional b. Jenis-jenis ikan yang boleh diambil c. Kegiatan yang boleh dilakukan dan dilarang 2. MoU Tahun 1981 Perjanjian kedua yang dilakukan pada tahun 1981 ini disebabkan Pemerintah Australia mengumumkan wilayah perikanan pada 1 November 1979 dari 12 mil menjadi 200 mil. Hal yang sama dilakukan juga oleh Pemerintah Indonesia pada 21 Maret 1980 yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Perjanjian kedua yang berlangsung Oktober 1981 ini menghasilkan Memorandum of Understanding between the Republic of Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement Arrangement. Perjanjian ini terlampir dalam Lampiran 2. Perjanjian yang kedua ini lebih menitikberatkan pada batas wilayah laut antara Indonesia dan Australia. Hal ini disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Oleh karenanya, untuk membatasi kegiatan para nelayan tradisional Indonesia, maka pada tahun 1983 Pemerintah Australia mengubah status peruntukan Ashmore Reef dari daerah yang diperbolehkan untuk penangkapan ikan menjadi kawasan taman nasional laut yang harus dilindungi, sehingga dilarang penangkapan jenis-jenis biota yang selama ini diperbolehkan ditangkap (Solihin 2011). 3. Agreed Minutes 1989 Perjanjian ketiga yang dilakukan pihak Indonesia dan Australia pada tahun 1989 menghasilkan Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Australia and Indonesia on Fisheries. Perjanjian ini dilampirkan dalam Lampiran 3 yang mengatur: (a) Status Ashmore Reef dan Cartier Islet berubah menjadi Cagar Alam Nasional Australia, sehingga adanya pembatasan kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan tradisional. (b) Kerjasama kedua negara dalam mengadakan mata pencaharian pengganti bagi para nelayan. 11

21 12 Tentang Penerapan Hak-Hak Perikanan Tradisional Menurut Hasjim Djalal dalam Natabaya (1994) pengakuan adanya hak-hak perikanan tradisional diberikan kualifikasi agar tetap dihormati tentang hak-hak perikanan tradisional, yaitu: Pertama, konsepsi hak-hak perikanan tradisional (traditional fishing rights) harus dengan jelas dibedakan dengan konsep hak-hak tradisional untuk menangkap ikan. Berdasarkan kebiasaan hukum internasional, semua negara mempunyai hak-hak tradisional untuk menangkap ikan dilaut bebas, sedangkan hak-hak perikanan tradisional haruslah didasarkan pada kenyataan dan praktekpraktek yang masih dilakukan. Maka eksistensi praktek yang sudah lama di daerah tertentu dari perairan kepulauan Indonesia harus pertama kali ada sebelum hak-hak perikanan tradisional diakui. Kedua, konsep perikanan tradisional tidak mengesampingkan kewajiban nelayan asing untuk mentaati hukum Indonesia dan tidak mengurangi hak pemerintah Indonesia untuk melindungi sumberdaya hayati dan kesejahteraan nelayan pantainya. Dengan kata lain, konsepsi hak-hak perikanan tradisional tidak boleh bertentangan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengembangkan industri perikanan untuk kesejahteraan para nelayan. Ketiga, konsep perikanan tradisional harus berdasarkan pada kegiatan penangkapan ikan yang senyatanya (actual fishing), dan harus didefinisikan dengan jelas. Istilah tradisional akan menyangkut beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Tradisional harus diuji dari kerangka waktu (terms of time frame), bahwa keberadaan yang nyata dari kegiatan penangkapan ikan dalam jangka waktu yang lama. 2. Tradisional harus menunujukan daerah yang dikunjungi oleh nelayan secara berulang-ulang dan relatif konstan. 3. Tradisional juga harus menunjuk pada nelayannya sendiri, dalam arti hak itu diberikan hanya pada nelayan yang sama yang mengunjungi tempat itu secara tradisional. 4. Tradisional juga harus menunjuk pada peralatan dan kapal yang digunakan serta jumlah tangkapan. Hal ini berarti bahwa dalam mengkualifikasi hak perikanan tradisional, kapal-kapal yang digunakan harus relatif tradisional. Oleh karena itu tidak diberikan hak perikanan tradisional kepada kapal-kapal modern dengan peralatan modern, terutama karena kapal-kapal dan peralatan modern itu akan merugikan nelayan Indonesia. Kategori tradisional fishing right, Djalal (1988) dalam Solihin (2010) mengingatkan empat syarat yang harus diperhatikan, yaitu; (1) Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di suatu perairan tersebut. (2) Nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat tertentu. (3) Hasil tangkapan nelayan secara tradisional adalah jenis-jenis ikan tertentu. (4) Nelayan-nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan daerah tersebut. Berdasarkan hasil diskusi dan penelitian, maka sampai saat ini belum ada perkembangan kebijakan mengenai perikanan tradisional di perbatasan Australia,

22 karena masih mengacu pada tiga aturan, yakni MoU Box 1974, MoU 1981 dan Agreed Minutes Pelanggaran Nelayan Tradisional Indonesia di Wilayah Perbatasan Kasus penangkapan nelayan tradisional bukanlah menjadi hal biasa bagi pemerintah. Ada tiga faktor yang mendorong nelayan Indonesia melaut hingga melakukan pelanggaran. Pertama, faktor tradisi. Mereka sudah turun temurun melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah tersebut. Kedua, dorongan faktor ekonomi. Ketiga, faktor relatif masih berlimpahnya sumber hayati laut di perairan Australia yang berbatasan dengan Indonesia (Wuryandari 2014). Kabar bahwa pihak Australia telah melakukan penenggelaman kapal terhadap kapal nelayan tradisional pun telah diketahui pemerintah. Bahkan penangkapan ini diikuti dengan penyitaan kapal dan penenggelaman kapal. Selain itu, tidak adanya perlindungan terhadap nelayan tradisional Indonesia yang dijamin dalam MoU Box 1974 (Indrawasih dan Wahyono 2010). Beberapa aktivitas nelayan tradisional yang melanggar sebagai berikut; a. Nelayan tradisional Indonesia dituduh telah melakukan illegal fishing di perairan Australia. Penuduhan ini terkadang tidak diiringi bukti yang nyata oleh pihak Australia. Nelayan Indonesia lantas digiring dan dipenjarakan. b. Pencurian sirip hiu. Wilayah perairan Australia dikenal dengan sumberdaya ikan hiu yang melimpah. Sirip ikan hiu ini memiliki harga jual yang tinggi. Perilaku yang salah yang dilakukan nelayan Indonesia adalah hanya mengambil sirip hiunya dan membiarkan bangkai dari ikan hiu itu sendiri berserakan dan dibuang sembarangan. c. Melewati batas perairan Indonesia dan masuk perairan Australia. Australia menanggapi bahwa nelayan tradisional merupakan nelayan yang hanya menggunakan metode tradisional. Nelayan tidak mengetahui posisi mereka karena perlengkapan canggih tidak diperbolehkan dalam penangkapan. Pihak yang Berwenang dalam Permasalahan di Wilayah MoU Box Saat pelaksanaannya ternyata banyak ditemukan berbagai macam penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan tradisional Indonesia yang beroperasi di Australia, akibatnya banyak nelayan yang ditangkap. Tak jarang beberapa Anak Buah Kapal (ABK) dibawa umur pun ikut dipenjarakan. Penangkapan hingga dibebaskannya ABK akan dijelaskan dalam skema gambar berikut: 13

23 14 pihak yang terlibat Tertangkapnya ABK Pihak Keamanan Australia Persidangan LSM Australia Masa Tahanan LSM Australia Pemulangan ABK PSDKP & Kementerian Luar Negeri Gambar 3 Tahapan yang dilalui ABK yang tertangkap Pertama, nelayan yang melakukan pelanggaran langsung ditindak dimulai dengan menangkap ABK. Ini terjadi ketika para nelayan sudah melawati batas perairan Indonesia. Nelayan tradisional Indonesia terkadang tidak mengetahui jelas wilayah yang masih diperbolehkan untuk menangkap ikan. Peralatan yang digunakan pun seadanya, tidak canggih seperti membawa GPS (Global Positioning System), sehingga nelayan terbawa arus hingga masuk perairan Australia. Pihak Australia langsung menangkap nelayan yang melanggar. Setelah tertangkap, mereka akan menjalani persidangan untuk menimbang berapa lama mereka akan menjalani hukuman. Hukuman bisa diperingan jika dari Indonesia mendampingi pada masa sidang. Namun, masih terdapat kekosongan dalam pendampingan saat masa siding dan masa tahanan. Menurut Adriyanto (2011) nelayan tradisional yang dihukum, tidak mendapat pendampingan dan bahkan pembelaan dilakukan oleh pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Hak Asasi Manusia dari Australia. Masa tahanan yang dilalui tergantung dengan pelanggaran yang sudah dilakukan. Adapula pengurangan masa tahanan jika tahanan ABK tersebut melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Tak jarang, tiap tahunnya nelayan Indonesia tertangkap pihak keamanan Australia. Selanjutnya, setelah melalui tahap sidang dan hukuman, para ABK dikembalikan ke daerah masing-masing yang pemulangannya dibantu oleh Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Terdapat rangkaian pengembalian ABK yang dijelaskan pada Gambar 4.

24 15 Konjen Indonesia di Australia memberikan surat kepada pihak PSDKP untuk melanjutkan proses pengembalian awak kapal PSDKP menjemput awak kapal di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali Pemulangan awak kapal ke daerah masingmasing dan pihak Australia telah memberikan biaya untuk mereka Gambar 4 Tahapan pemulangan ABK ke Indonesia Pengembalian ABK ke Indonesia mulai diserahterimakan kepada pihak PSDKP. PSDKP melanjutkan tugas dari Konsulat Jenderal (konjen) ini hingga awak kapal kembali ke daerah masing-masing. Masalah kapal yang ditangkap oleh pihak Australia tidak akan pernah dikembalikan kepada pemilik kapal. Kapal akan diambil oleh pihak Australia dan dikarantina, kemudian kapal dibakar atau ditenggelamkan. Kondisi kapal sudah menjadi milik pemerintah Australia sehingga itu tergantung terhadap keputusan pemerintah Australia. Jarang sekali pemerintah Australia mengembalikan kapal nelayan secara utuh, hal ini dimaksudkan agar para nelayan Indonesia jera atas tindakan yang telah dilakukannya. Namun, tak sedikit pula nelayan-nelayan tersebut kembali lagi mencari ikan di perbatasan Australia karena mereka menilai bahwa pemerintah Indonesia tidak peduli dengan nasib mereka yang masih saja setiap tahunnya nelayan tradisional tersebut menjadi korban kekerasan aparat pemerintah Australia (Solihin 2014) Strategi dalam Mengurangi Penangkapan terhadap Nelayan Tradisional Analisis SWOT dalam menganalisa permasalahan ini yaitu melihat seberapa peluang dan kekuatan pemerintah Indonesia yang dimiliki terhadap perikanan tradisional untuk meminimalisir kelemahan dan ancaman dari pihak Australia, sehingga dapat meningkatkan pemahaman nelayan tradisional terhadap peraturan yang ada dan meminimalisir penangkapan terhadap nelayan tradisional Indonesia. Faktor Internal Faktor internal berupa kekuatan yang mempengaruhi, antara lain: 1. Wilayah MoU Box memiliki banyak sumber daya ikan (SDI) 2. Nelayan yang beroperasi merupakan nelayan tradisional yang memiliki hak penangkapan.

25 16 Menurut Wuryandari (2014) Nelayan yang beroperasi di wilayah MoU Box berasal dari Indonesia Timur seperti nelayan dari Pulau Rote, Flores, Alor, Buton, Sabu, Madura, Timor, Sulawesi, dan Maluku sejak abad Terdapat batasan wilayah tangkapan untuk nelayan tradisional. 4. Adanya kejelasan hukum mengenai hak perikanan tradisional. Adapun faktor internal berupa kelemahan, antara lain: 1. Kementerian Luar Negeri belum sepenuhnya dalam masa sidang. Nelayan tradisional Indonesia tidak mendapat pendampingan, bahkan pembelaan. Selama ini, pembelaan dilakukan oleh pihak LSM Hak Asasi Australia. 2. Rendahnya tingkat pengetahuan nelayan mengenai wilayah MoU Box 3. Tidak ada data rekapan mengenai siapa saja nelayan tradisional. Faktor Eksternal Faktor eksternal berupa peluang yang mempengaruhi, antara lain: 1. PSDKP bergerak cepat dalam pemulangan ABK. 2. Dapat merancang kebijakan baru yang lebih mengedepankan hak perikanan tradisional. Adapun faktor eksternal berupa ancaman yang mempengaruhi, antara lain: 1. Wilayah penangkapan semakin dipersempit. Adanya perubahan status pulau Ashmore Reef dan Cartier Islet dalam Agree Minutes 1989 menjadi kawasan pelestarian alam, sehingga wilayah penangkapan ikan menjadi terbatas (Adrianto 2011). 2. Pelanggaran kemanusiaan akan terjadi lagi kepada nelayan tradisional. 3. Dimanfaatkannya wilayah tersebut oleh nelayan modern. Berdasarkan faktor internal dan eksternal yang sudah ditinjau, maka dapat diketahui matriks internal factor evaluation (IFE) yang menggambarkan nilai dari faktor internal, yaitu kekuatan dan kelemahan dari kegiatan perikanan nelayan tradisional yang dapat dilihat pada Tabel 6 dan untuk perhitungan penilaian bobot matriks IFE dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 6 Matriks internal factor evaluation (IFE) Faktor Internal Bobot Rating Skor Kekuatan (Strenghts) 1. Wilayah MoU Box memiliki banyak 0,14 3 0,42 SDI 2. Nelayan yang beroperasi merupakan 0,13 3 0,39 nelayan tradisional yang memiliki hak penangkapan 3. Terdapat batasan wilayah tangkapan 0,13 2 0,26 untuk nelayan tradisional 4. Adanya kejelasan hukum mengenai hak ,34 perikanan tradisional Sub total S 0,57 1,41

26 17 Kelemahan (Weaknesses) 1. Kementerian Luar Negeri belum 0,15 2 0,30 sepenuhnya pendampingan dalam masa sidang 2. Rendahnya tingkat pengetahuan nelayan 0,14 1 0,14 mengenai wilayah MoU Box 3. Tidak ada data rekapan mengenai siapa 0,14 2 0,28 saja nelayan tradisional Sub total W 0,43 0,72 Total 1,00 2,23 Berdasarkan Tabel 6 nilai sub total S sebesar 1,41 dan nilai sub total W sebesar 0,72. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai Strenghts (S) lebih besar daripada Weakness (W) sehingga selisih dari kedua nilai tersebut bernilai (+)0,69. Selanjutnya, Matriks eksternal factor evaluation (EFE) yang menggambarkan nilai dari faktor eksternal, yaitu peluang dan ancaman dari kegiatan perikanan nelayan tradisional yang dapat dilihat pada Tabel 7 dan untuk perhitungan penilaian bobot matriks EFE dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 7 Matriks external factor evaluation (EFE) Faktor Eksternal Bobot Rating Skor Peluang (Opportunities) 1. PSDKP bergerak cepat dalam pemulangan 0,21 2 0,42 ABK 2. Adanya peluang pembaharuan aturan yang 0,23 3 0,69 lebih mengedepankan hak perikanan tradisional Sub total O 0,44 1,11 Ancaman (Threats) 1. Wilayah penangkapan semakin dipersempit 0,18 2 0,36 2. Pelanggaran kemanusiaan akan terjadi lagi 0,21 2 0,42 kepada nelayan tradisional 3. Dimanfaatkannya wilayah tersebut oleh 0,18 3 0,54 nelayan modern Sub total T 0,57 1,32 Total 1,00 2,43 Tabel 7 menunjukkan nilai sub total O yaitu 1,11 dan nilai sub total T sebesar 1,32. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai Opportunity (O) lebih kecil daripada Threats (T) sehingga selisih dari kedua nilai tersebut bernilai (-)0,21. Berdasarkan hasil olah data matriks internal dan ekstrenal maka dapat diaplikasikan ke dalam diagram cartesius yang dapat dilihat pada Gambar 5.

27 18 Peluang (1,11) III. Turnaround I. Growth Kelemahan (0,72) 0,21 0,69 Kekuatan (1,41) IV. Defence II. Diversifikasi Ancaman (1,32) (Sumber: Hasil pengolahan data 2016) Gambar 5 Diagram Cartesius Berdasarkan hasil olah data matriks internal dan eksternalnya (Gambar 5) maka dapat diambil kesimpulan bahwa strategi mengurangi penangkapan terhadap nelayan berada di kuadran 2, yaitu meskipun menghadapi ancaman, kegiatan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan strategi diversifikasi.

28 Tabel 4 Strategi dalam mengurangi penangkapan terhadap nelayan tradisional Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness) EFAS IFAS Peluang (Opportunities) 1. Wilayah MoU Box memiliki banyak SDI 2. Nelayan yang beroperasi merupakan nelayan tradisional yang memiliki hak penangkapan 3. Terdapat batasan wilayah tangkapan untuk nelayan tradisional 4. Adanya kejelasan hukum mengenai hak perikanan tradisional Kementerian Luar Negeri belum sepenuhnya pendampingan dalam masa sidang 2. Rendahnya tingkat pengetahuan nelayan mengenai wilayah MoU Box 3. Tidak ada data rekapan mengenai siapa saja nelayan tradisional 1. PSDKP bergerak cepat dalam pemulangan ABK 2. Adanya peluang pembaharuan aturan yang lebih mengedepankan hak perikanan tradisional Ancaman (Threats) 1. Wilayah penangkapan semakin dipersempit 2. Pelanggaran kemanusiaan akan terjadi lagi kepada nelayan tradisional 3. Dimanfaatkannya wilayah tersebut oleh nelayan modern 1. Merancang aturan baru dengan mementingkan kehidupan jangka panjang nelayan tradisional 2. Meningkatkan kerjasama berbagai instansi 1. Perkuat wilayah penangkapan dengan meningkatkan pengawasan di wilayah perairan. 2. Meningkatkan pelaporan guna meminimalisir pelanggaran 1. Meningkatkan intensitas sosialisasi dengan nelayan tradisional 2. Meningkatkan kualitas pegetahuan nelayan tradisional 3. Meningkatkan kerjasama antara instansi terkait 1. Meningkatkan terjalinnya koordinasi instansi yang bertanggung jawab dalam permasalahan ini Berdasarkan Tabel 4 diperoleh strategi dalam mengurangi penangkapan terhadap nelayan tradisional, antara lain: 1. Meningkatkan intensitas sosialisasi dengan nelayan tradisional hingga mereka paham terhadap aturan yang berlaku bagi kegiatan perikanan tradisional. 2. Meningkatkan koordinasi antara institusi yang saling terkait terhadap permasalahan ini. 3. Meningkatkan pengawasan di wilayah perairan guna membantu nelayan tradisional agar tidak adanya pelanggaran kemanusiaan.

29 20 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kegiatan perikanan tradisional sudah diatur dalam MoU Box. MoU Box memberikan pengakuan atas hak penangkapan ikan bagi nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan Australia yang sudah disepakati kedua negara dan yang sebelumnya sudah dilakukan dari dahulu kala. Namun, dalam perkembangan aturannya hingga saat ini belum ada perubahan aturan. Ketentuan masih mengacu pada tiga MoU Box. Wilayah operasional yang dipersempit hingga pembatasan penangkapan sumberdaya tidak menyurutkan nelayan tradisional untuk berhenti melaut dan malah menjadi isu pembahasan dari kedua negara karena adanya penangkapan nelayan tersebut. 2. Sedangkan dalam hal instansi yang bertanggung jawab, masih terdapat kekosongan pada masa persidangan. ABK belum didampingi sepenuhnya dari pihak Indonesia, namun PSDKP dan Kemeneterian Luar Negeri bekerjasama saat pemulangan ABK. 3. Strategi dalam mengurangi penangkapan terhadap nelayan tradisional, antara lain; meningkatkan intensitas sosialisasi dengan nelayan tradisional hingga mereka paham terhadap aturan yang berlaku bagi kegiatan perikanan tradisional, meningkatkan koordinasi antara institusi, dan meningkatkan pengawasan di wilayah perairan. Saran 1. Perlu adanya sosialisasi secara terus-menerus dari pemerintah untuk para nelayan perbatasan mengenai apa yang boleh dilakukan dan dilarang, agar tidak terjadi lagi pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak Australia dan peningkatan mata pencaharian altenatif. 2. Perlunya penguatan peran Kementerian Luar Negeri dalam masa persidangan. 3. Untuk penelitian lanjutan, disarankan agar lebih dalam menelaah kondisi perikanan tradisional secara langsung untuk melihat kondisi sesungguhnya dan melihat bagaimana aturan yang berlaku di kebijakan pemerintah hingga aturan di lapang sebenarnya.

30 21 DAFTAR PUSTAKA Adhuri DS Traditional and Modern Trepang Fisheries on The Border of the Indonesia and Australian Fishing Zone. Di dalam: Clark M, May SK, editor. Macassa History and Heritage Journeys, Encounters, and Influences; Australian National University Adrianto L, Akhmad S dan M. Arsyad Al Amin Nelayan Tradisional Pelintas Batas: Tinjauan Aspek Hukum, Sosial ekonomi, dan Ekologi. Bogor (ID): IPB Press Agreed Minutes Agreed Minutes Of Meeting Between Officials Of Australia And Indonesia On Fisheries Akbar D Pengaturan Laut Tertutup (Enclosed Sea) dan Laut Semi Tertutup (Semi-Enclosed Sea) dalam Hukum Laut [skripsi] Jakarta (ID): Universitas Indonesia Christoforus G Keabsahan Status Kepimilikan Pulau Pasir oleh Australia Berkaitan dengan Kegiatan Nelayan Tradisional Berdasarkan UNCLOS 1982 [skripsi] Yogyakarta (ID): Universitas Atmajaya Yogyakarta Indrawasih R, Wahyono A Kerjasama Bilateral dalam Kerangka Penyelesaian Masalah Nelayan Pelintas Batas Perairan Indonesia-Australia. Jurnal Kependudukan LIPI 5(2):53-72 Irawati, Wahjoe O Tanggung Jawab Negara dalam Melindungi Hak Nelayan Tradisional Indonesia di Perairan Australia. Jurnal Mimbar. 27(1):11-20 Jurnal Maritim Indonesia Rawan Konflik dengan Sepuluh Negara Tetangga. Muhammad SF Analisa Strategi Sistem Informasi Pemasaran Produk pada Home Industri Growth Semarang [Internet]. [diunduh pada 2016 Juni 20]. Tersedia pada MoU Box Memorandum Of Understanding Between The Government Of Australia And The Government Of The Republic Of Indonesia Regarding The Operations Of Indonesian Traditional Fishermen In Areas Of The Australian Exclusive Fishing Zone And Continental Shelf MoU Agreement Between The Government Of The Republic Of Indonesia And The Government Of Australia Relating To Cooperation In Fisheries Nasution HAK Kebijakan Tradisional Fishing Right dalam MoU Box 1974 (Kasus daerah Papela, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Teggara Timur) [skripsi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Natabaya HAS Laporan Penelitian tentang Aspek-aspek Hukum Pengelolaan Perikanan di Perairan Nasional Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jakarta(ID): Badan Pembinaan Hukum Nasional Nazir M Metode Penelitian. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Panggabean AS, Mahulette RP, Prescott J Hasil Tangkapan Teripang (Sea cucumber) di Perairan Karang Scott Pulau Datu Australia. Jurnal BAWAL 4(1):19-26

31 22 Rangkuti F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID): PT Gramedia Rani F Strategi Pemerintah Indonesia dalam Meningkatkan Keamanan Wilayah Perbatasan Menurut Perspektif Sosial Pembangunan. Jurnal Transnasional. 4(1):1-17 Solihin A Konflik Illegal Fishing di Wilayah Perbatasan Indonesia- Australia. Jurnal Marine Fisheries. 1(1):29-36 Solihin A Hak Ekonomi Nelayan Tradisional Indonesia di Wilayah Perbatasan. Jurnal Opinio Juris. 3(3) Solihin A Tata Kelembagaan Penanganan Nelayan Tradisional Indonesia Pelintas Batas di wilayah Perairan Australia. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. 1(3): Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Wuryandari G Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia: Permasalahan dan Prospek. Jurnal Penelitian Politik LIPI. 11(1):1-20

32 Lampiran 1. Kapal nelayan tradisional dan jenis teripang yang bernilai ekonomis tinggi 23 Kapal nelayan tradisional Jenis teripang yang bernilai ekonomis tinggi: Holothuria nobilis Stichopus chloronutus Bohadschia argus Bohadschia marmorata

33 24 Lampiran 2. Perjanjian Indonesia dan Australia dalam MoU Box 1974 MEMORANDUM OF UNDERSTANDING BETWEEN THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA AND THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA REGARDING THE OPERATIONS OF INDONESIAN TRADITIONAL FISHERMEN IN AREAS OF THE AUSTRALIAN EXCLUSIVE FISHING ZONE AND CONTINENTAL SHELF Following discussions held in Jakarta on 6 to 7 November, 1974, the representatives of the Government of Australia and of the Government of the Republic of Indonesia have agreed to record the following understanding. 1. These understanding shall apply to operations by Indonesian traditional fishermen in the exclusive fishing zone and over the continental shelf adjacent to the Australian mainland and offshore islands. By ''traditional fishermen" is meant the fishermen who have traditionally taken fish and sedentary organisms in Australian waters by methods which have been the tradition over decades of time. By "exclusive fishing zone" is meant the zone of waters extending twelve miles seaward off the baseline fro m which the territorial sea of Australia is measured. 2. The Government of the Republic of Indonesia understands that in relation to fishing in the exclusive Australian fishing zone and the exploration for and exploitation of the living natural resources of the Australian continental shelf, in each case adjacent to : Ashmore Reef (Pulau Pasir) (Latitude 12 15' South Longitude ', East) Cartier Islet (Latitude 12 32' South, Longitude ' East) Scott Reef (Latitude 14 03' South, Longitude ' East) Seringapatam Reef (Pulau Datu) (Latitude 11 37' South, Longitude '122 03' East) Browse Islet (Latitude 14 06' South, Longitude ' East). The Government of Australia will, subject to paragraph 8 of these understandings, refrain from applying its laws regarding fisheries to Indonesian traditional fishermen who conduct their operations in accordance with these understandings. 3. The Government 3. The Goverment of the Republic of Indonesia understands, that, in the parts of the areas described in paragraph 2 of these understandings where the Government of Australia is authorised by international law to regulate fishing or exploitation for or exploitation of the living natural resources of the Australian continental shelf by foreign nationals, the Government of Australia will permit operations by Indonesian nationals subject to the following conditions : (a) Indonesian operations in the areas mentioned in paragraph 2 of the understandings shall be confined to traditional fishermen. (b) Landings by Indonesian traditional fishermen shall be confined to East Islet (Latitude 12 15' South, Longitude ' East)

34 and Middle Islet (Latitude 12 15' South, Longitude ' East) of Ashmore Reef for the purpose of obtaining supplies of fresh water. (c) Traditional Indonesian fishing vessels may take shelter within the island groups described in paragraph 2 of these understanding but the persons on board shall not go ashore except.as allowed in (b) above. 4. The Government of the Republic of Indonesia understands, that Indonesian fishermen will not be permitted to take turtles in the Australian exclusive fishing zone. Trochus, beche de mer, abalone, green snail, sponges and all molluscs will not be taken from the seabed from high water marks to the edge of the continental shelf, except the seabed adjacent to Ashmore and Cartier Islands, Browse Islet and the Scott and Seringapatam Reefs. 5. The Government of the Republic of Indonesia understands that the persons on board Indonsian fishing vessels engaging in fishing in the exclusive Australian fihing zone or exploring for or exploiting the living natural resources of te Australian continental shelf, in either case in areas other than those specifie in paragraph 2 of these understandings, shall be subject to the provisions ofaustralian law. 6. The Government The Government of Australia understands that the Government of the Republic of Indonesia will use its best endeavours to notify all Indonesian fishermen likely to operate in areas adjacent to Australia of the contents of these understandings. 7. Both Governments will facilitate the exchange of information concerning the activities of the traditional Indonesian fishing boats operating in the area west of the Timor Sea. 8. The Government of the Republic of Indonesia understands that the Government of Australia will, until the twenty-eighth day of February, 1975, refrain from applying its laws relating to fisheries to Indonesian traditional f ishermen in areas of the Australian exclusive fishing zone and continental shelf other than those specified in paragraph 2 of these understandings. Jakarta, November 7, FIRST ASSISTANT SECRETARY FISHERIES DIVISION, AUSTRALIAN DEPARTMENT OF AGRICULTURE, Signed DIRECTOR OF CONSULAR AFFAIRS DEPARTMENT OF FOREIGN AFFAIRS OF INDONESIA, Signed ( A.. BOLLEN ) ( AGUS YAMAN)

35 26 Lampiran 3. Perjanjian Indonesia dan Australia dalam MoU 1981 AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA RELATING TO COOPERATION IN FISHERIES The Government of the Republic of Indonesia and the Government of Australia ("the Parties"); Wishing to build further on the close bilateral relations between Indonesia and Australia; Fully committed to maintaining, renewing and further strengthening the mutual respect, friendship and cooperat ion between their two countries through existing agreements and arrangements, as well as their policies of promoting constructive neighbourly cooperation; Desirous of cooperating in the field of fisheries; Recognising that both Parties exercise sovereignty, sovereign rights or jurisdiction over adjacent maritime areas in accordance with international law, including the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea; Noting that certain boundaries between the Republic of Indonesia and Australia have yet to be established and that the fisheries line established under the 1981 Memorandum of Understanding concerning the Implementation of a Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement Line is of provisional status; Recalling the 1974 Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Australia regarding the operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australian Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf and the 1989 guidelines and procedures for the implementation of that Memorandum of Understanding; Recalling their mutual interest in the rational management, conservation and optimum utilisation of the living resources of the sea; Taking into account developments in the Law of the Sea; Recognising that coastal States are obl1ged to seek, either directly or through appropriate subregional or regional organisations, to agree upon measures necessary to coordinate and ensure the conservation and development of shared stocks; Wishing to promote the development of mutually beneficial economic, scientific and technological exchanges relating to fisheries matters, including at the regional level;

36 27 Recognising their respective obligations under other related international agreements; HAVE AGREED AS FOLLOWS : ARTICLE 1 The Parties shall facilitate cooperation in fisheries research relevant to the conservation and optimum utilisation of marine living resources. ARTICLE 2 1. The Parties shall exchange available information related to fisheries of mutual interest, including: (a) fishing catch and effort data from foreign and domestic vessels; (b) the results of scientific research into: (i) ecological studies; (ii) population dynamics; and (iii) stock distribution, abundance and assessment of sustainable yield; (c) the development of national fisheries management programs; and (d) fisheries monitoring, control and surveillance systems and technology. 2. The Parties shall establish channels of communication to facilitate the exchange of information and this may include the convening of technical meetings on marine areas or stocks of special interest to both Parties, including but not limited to: (a) pelagic shark; (b) tuna; (c) demersal finfish; and (d) trochus. ARTICLE 3 1. The Parties shall seek to develop complementary regimes for the conservation management and optimum utilisation of shared stocks, straddling stocks and highly migratory species. 2. The Parties shall cooperate directly or through appropriate international organisations to assure the conservation and management of marine living resources of the high seas. ARTICLE 4 The Parties shall facilitate cooperation through exchanges and training of fisheries and marine conservation personnel, including managers, scientists and students.

37 28 ARTICLE 5 The Parties shall exchange available information on technological developments related to fisheries, including: (a) innovations in fishing gear which assist the development of sustainable fishing techniques; (b) monitoring, assessing and reducing the effects of fishing on marine mammals and other protected marine biota; and (c) processing of fish products and other aspects of post-harvest technology. ARTICLE 6 1. If a Party determines that it can make fisheries resources under its jurisdiction available to nationals of the other Party, and the latter Party wishes to exploit those resources, the Parties shall seek to establish subsidiary agreements or arrangements between the two Governments for the conduct of fishing operations. 2. Any such subsidiary agreement or arrangement shall specify terms and conditions of access, including: (a) procedures for recording vessel position, catch and effort; (b) licence requirements; (c) catch disposal requirements; (d) provision for observers; and (e) access fees. ARTICLE 7 Each Party shall take steps intended to ensure that: (a) its fishing vessels do not fish in areas subject to the enforcement jurisdiction of the other Party unless authorised under this or other agreements or arrangements or otherwise permitted under the other Party's laws; and (b) any of its fishing vessels licensed to fish in areas subject to the enforcement jurisdiction of the other Party comply with the laws of that Party applicable to foreign fishing vessels (including the terms and conditions of licences) and the provisions of this and other applicable agreements. ARTICLE 8 In the event that enforcement action needs to be taken against fishing vessels or nationals of the other Party by a Party for offences against its laws, the Party shall notify the other Party promptly through the diplomatic channel of the action taken, including the results of legal proceedings involving the vessels or persons concerned. ARTICLE 9 The Parties shall exchange information and cooperate in regard to aquaculture. Such cooperation may take the form of, but is not limited to:

38 29 (a) management, including environment protection measures; (b) technological developments; and (c) marketing. ARTICLE 10 The Parties shall promote trade in the fisheries sector including, as appropriate, through encouragement and facilitation of: (a) joint ventures in the processing of fish products; and (b) cooperation in the marketing of fish products, fishing gear and fish processing equipment. ARTICLE 11 Pending final delimitation of the outstanding maritime boundaries between the two countries, the Parties shall interpret and implement this Agreement consistently with the existing maritime boundary agreements between the Parties and the 1981 Memorandum of Understanding concerning the Implementation of a Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement Line. ARTICLE Consultations between officials of the Parties shall be held from time to time at the request of either Party. 2. These consultations may include technical meetings on marine areas or fish stocks of special interest to both Parties as referred to in Article 2. ARTICLE This Agreement shall enter into force on the date of the later of the written notifications by which each Party shall notify the other that it has complied with its constitutional requirements necessary for the entry into force of the Agreement. 2. This Agreement shall remain in force until the expiration of twelve months from the date on which either Party shall have given notice in writing to the other of its intention to terminate the Agreement. ARTICLE 14 This Agreement shall be reviewed upon the expiration of five years from the date of its entry into force. ARTICLE 15 Nothing in this Agreement shall prejudice: (a) the position of either Party in regard to the extent of its maritime zones; or (b) the 1974 Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Australia regarding the operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australian

39 30 Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf and the 1989 guidelines and procedures for the implementation of that Memorandum of Understanding. IN WITNESS WHEREOF, the undersigned, being duly authorised by their respective Governments, have signed this Agreement. DONE in duplicate at Jakarta, this twenty second day of April 1992, in the English language. FOR THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA Signed ALI ALATAS FOR THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA Signed PHILIP FLOOD

40 31 Lampiran 4. Perjanjian Indonesia dan Australia dalam Agreed Minutes 1989 AGREED MINUTES OF MEETING BETWEEN OFFICIALS OF AUSTRALIA AND INDONESIA ON FISHERIES 1. In accordance with the agreement reached by Mr Ali Alatas, the Foreign Minister of Indonesia and Senator Gareth Evans, the Foreign Minister of Australia in Canberra on 2 March 1989, Officials from Indonesia and Australia met in Jakarta on 28 and 29 April 1989 to discuss activities of Indonesian fishing vessels under the Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Australia regarding the operation of Indonesian traditional fishermen in an Area of the AustralianFishing Zoneand Continental Shelf, concluded in Jakarta on 7 November They also discussed activities of Indonesian fishing vessels in the Australian Fishing Zone off the coast of North West Australia and in the Arafura Sea, and fishing in the waters between Christmas Island and Java. Memorandum of Understanding of Officials reviewed the operation of the MOU. Both sides stressed their desire to address the issues in a spirit of cooperation and good neighbourliness. They noted that there had been a number of developments since 1974 which had affected the MOU. In 1974 Australia and Indonesia exercised jurisdiction over fisheries on 12 nautical miles from their respective territorial sea baselines. In 1979 and 1980, Australia and Indonesia respectively extended their fisheries jurisdiction to 200 nautical miles from their respective territorial sea baselines, and in 1981 a provisional fishing line was agreed. Since the areas referred to in the MOU are south of this line, new arrangements are necessary for the access by Indonesian traditional fishermen to these areas under the MOU. 3. The Australian side informed the Indonesian side that there were also changes in the status of Ashmore Reef and Cartier Islet as a separate territory of the Commonwealth of Australia and the establishment of the Ashmore Reef National Nature Reserve. The Australian side further informed that there had been a considerable increase in the number of Indonesianfishermenvisiting the Australian Fishing Zone and a depletion of fishery stocks around the Ashmore Reef; that wells on Middle Islet and East Islet where Indonesian traditional fishermen were permitted under the MOU to land for taking fresh water had been contaminated; that Australia had also incurred international obligations to protect wildlife, including that in the territory of Ashmore and Cartier Islands. The Indonesian side took note of this information. 4. Since the conclusion of the MOU, both Indonesia and Australia had become parties to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 5. The Indonesian and Australian Officials discussed the implications of the developments mentioned in the preceding paragraphs. They affirmed the continued operation of the MOU for Indonesian traditional fishermen operating

41 32 by traditional methods and using traditional fishing vessels. An Australian proposal that Indonesian traditional fishermen could conduct fishing not only in the areas adjacent to Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef andbrowse Islet as designated in the MOU, but in awider 'box' area in the Australirn Fishing Zone and Continental shelf was welcomed by the Indonesian side. A sketch map and coordinates of this 'box' area appears in Annex 1 of these Agreed Minutes. 6. In view of the developments that had occurred since 1974 as highlighted above, Officials considered that to improve the implementation of the MOU, practical guidelines for implementing the MOU as appears in the Annex of these Agreed Minutes were considered necessary. 7. The Indonesian side informed the Australian side on measures that had been and were being taken by the Indonesian authorities to prevent breaches of the MOU. The Indonesian side also indicated its willingness to assist in preventing breaches of the MOU and to take necessary steps to inform Indonesian fishermen of the practical guidelines annexed to these Agreed Minutes. 8. The Indonesian and Australian Officials agreed tomake arrangements for cooperation in developing alternative income projects in Eastern Indonesia for traditional fishermen traditionally engaged in fishing under the MOU. The Indonesian side indicated they might include mariculture and nucleus fishing enterprise schemes (Perikanan Inti Rakyat or PIR). Both sides mutually decided to discuss the possibility of channelling Australian aid funds to such projects with appropriate authorities in their respective countries. North West Coast of Australia 9. The Indonesian and Australian Officials discussed matters related to the activities of Indonesian fishing vessels in the Australian Fishing Zone off the coast of North West Australia. They noted that those activities were outside the scope of the MOU and that Australiawould take appropriate enforcement action. The Australian side indicated the legaland economic implications of such activities. 10. The Indonesian and Australian Officials felt the need for a longterm solution to the problem. To this end, they agreed to make arrangements for cooperation in projects to provide income alternatives in Eastern Indonesia for Indonesian fishermen engaged in fishing off the coast of North West Australia. The Indonesian side indicated that they might include mariculture and nucleus fishing enterprise schemes (Perikanan Into Rakyat or PIR). Both sides decided mutually to discuss the possibility of channelling Australian aid funds to such projects with appropriate authorities in their respective countries. Arafura Sea 11. Indonesian and Australian Officials discussed the activities of Indonesian nontraditional fishingvessels in the Arafura Sea on the Australian side of the

42 provisional fishing line of Officials agreed that both Governments should take effective measures, including enforcement measures, to prevent Indonesian nontraditional fishing vessels from fishing on the Australian side of the provisional fishing line without the authorisation of the Australian authorities. 12.Officials agreed to make arrangements for cooperation in exchange of information on shared stocks in the Arafura Sea for the purpose of effective management and conservation of the stocks. Fishing in water between Christmas Island and Java and other waters. 13.The Officials of Indonesia and Australia noted that fisheries elimitation in waters between Christmas Island and Java and in the west of the provisional fishing line remained to be negotiated and agreed. Pending such an agreement, the Officials noted that both Governments would endeavour to avoid incidents in the area of overlapping jurisdictional claims. Wildlife Cooperation 14.The Indonesian and Australian Officials considered the mutual advantages of the exchange of information on wildlife species populations believed to be common to both countries. It was agreed that each country's nature conservation authorities would exchange information on such wildlife populations andmanagement programs and cooperation in the management of wildlife protected areas. In the first instance Indonesian authorities would be consulted on the management plan for the Ashmore Reef National Nature Reserve. Consultations 15.The Indonesian andaustralian Officials agreed tohold consultations as and when necessary to ensure the effective implementation of the MOU and Agreed Minutes. 33 Alan Brown Nugroho Head of the Australian Delegation Wisnumurti Head of the Indonesian Delegation PRACTICAL GUIDELINES FOR IMPLEMENTING THE 1974 MOU 1. Access to the MOU area would continue to be limited to Indonesian traditional fishermen using traditional methods and traditional vessels consistent with the tradition over decades of time, which does not include fishing methods or vessels utilising motors or engines. 2. The Indonesian traditional fishermen would continue to conduct traditional activities under the MOU in the areaof the Australian Fishing Zone and the continental shelf adjacent to Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott reef,

43 34 Seringapatam Reef and Browse Islet. In addition Indonesian traditional fishermen would be able to conduct traditional fishing activities in an expanded area as described in the sketch map and coordinates attached to Annex 1 of the Agreed Minutes. 3. To cope with the depletion of certain stocks of fish and sedentary species in the Ashmore Reef area, the Australian Government had prohibited all fishing activities in the Ashmore Reef National Nature Reserve, but was expected soon to adopt a management plan f~i thereserve which might allow some subsistence fishing by the Indonesian traditional fishermen. The Australian side indicated that Indonesiawould be consulted on the draft plan. Because of the low level of stock, the taking of sedentary species particularly Trochus niloticus in the reserve would be prohibited at this stage to allow stocks to recover. The possibility of renewed Indonesian traditional fishing of the species would be considered in future reviews of the management plan. 4. As both Australia and Indonesia are parties to CITES, Officials agreed that any taking of protected wildlife including turtles and clams,would continue to be prohibited in accordance with CITES. 5. Indonesian traditional fishermen would be permitted to land on West Islet for the purpose of obtaining supplies of fresh water. The Indonesian side indicated its willingness to discourage Indonesian traditional fishermen from landings on East and Middle Islets because of the lack of fresh water on the two islets. Jakarta, 29 April 1989

44 Lampiran 5 Pasal 51 ayat 1 UNCLOS 1982 yang mengatur perikanan tradisional 35 Article 51 Existing agreements, traditional fshing rights and existing submarine cables 1. Without prejudice to article 49, an archipelagic State shall respect existing agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic waters. The terms and conditions for the exercise of such rights and activities, including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request of any the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them. Such rights shall shall not be transferred to or shared with third States or their nationals. Pasal 51 Perjanjian yang berlaku, hak perikanan tradisional dan kabel laut yang ada 1. Tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 49, Negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan Negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah Negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak akan kegiatan demikian, berlaku, atas permintaan salah satu Negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hak demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan Negara ketiga atau warga negaranya.

45 36 Lampiran 6 Penilaian bobot faktor strategis internal Faktor Strategis Internal Total Bobot Kekuatan 1. Wilayah MoU Box x ,14 memiliki banyak SDI 2. Nelayan yang 2 x ,13 beroperasi merupakan nelayan tradisional yang memiliki hak penangkapan 3. Terdapat batasan 1 2 x ,13 wilayah tangkapan untuk nelayan tradisional 4. Adanya kejelasan x ,17 hukum mengenai hak perikanan tradisional Kelemahan 1 Kementerian Luar x ,15 Negeri belum sepenuhnya pendampingan dalam masa sidang 2 Rendahnya tingkat x ,14 pengetahuan nelayan mengenai wilayah MoU Box 3 Tidak ada data rekapan x 10 0,14 mengenai siapa saja nelayan tradisional Total 71 1,00 Catatan: Pemberian bobot rating berdasarkan penilaian intuitif peneliti

46 37 Lampiran 7 Penilaian bobot faktor strategis eksternal Faktor Strategis Eksternal Total Bobot Peluang 1. PSDKP bergerak cepat dalam pemulangan ABK 2. Adanya peluang pembaharuan aturan yang lebih mengedepankan hak perikanan tradisional Ancaman x ,21 3 x ,23 1. Wilayah penangkapan semakin 2 2 x ,18 dipersempit 2. Pelanggaran kemanusiaan x 2 8 0,21 akan terjadi lagi kepada nelayan tradisional 3. Dimanfaatkannya wilayah x 7 0,18 tersebut oleh nelayan modern Total 39 1,00 Catatan: Pemberian bobot rating berdasarkan penilaian intuitif peneliti

47 38 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 April 1994 dari Bapak Saparudin dan Ibu Neni Nur aeni. Penulis anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui adalah SDN Puspiptek, MTs Pembangunan Nurul Islam, dan lulus pada tahun 2012 dari MAN 1 Tangerang Selatan. Pada tahun yang sama, penulis diterima masuk di IPB melalui jalur SNMPTN Undangan dan diterima di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Jurusan Teknologi Manajemen Perikanan Tangkap, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh studi di Institut Pertanian Bogor, penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan dan masyarakat yaitu Forum Keluarga Muslim FPIK sebagai anggota divisi Islamic Student Center (ISC) periode 1435H dan divisi Multimedia Kreatif (MK) periode 1436 H. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Pendidikan Agama Islam 2015/2016 dan menjadi anggota dari Panitia Asisten Pendidikan Agama Islam 1436 H. Prestasi yang pernah diterimanya yaitu Juara 1 Tulis Cerpen dalam mewakili departement PSP dalam Fisheries Marine and Art Contest selama dua tahun berturut-turut yaitu pada Tahun 2014 dan 2015.

TATA KELEMBAGAAN PENANGANAN NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA PELINTAS BATAS DI WILAYAH PERAIRAN AUSTRALIA

TATA KELEMBAGAAN PENANGANAN NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA PELINTAS BATAS DI WILAYAH PERAIRAN AUSTRALIA Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 1 No. 3, Desember 2014: 121-128 ISSN : 2355-6226 TATA KELEMBAGAAN PENANGANAN NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA PELINTAS BATAS DI WILAYAH PERAIRAN AUSTRALIA Akhmad

Lebih terperinci

Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia

Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia http://akhmad_solihin.staff.ipb.ac.id/2011/02/16/penyelesaian-sengketa-nelayan-pelintas-batas-di-w il Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia Penyelesaian Sengketa Nelayan

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PEMAPARAN

SISTEMATIKA PEMAPARAN PENYELESAIAN BATAS MARITIM DENGAN NEGARA-NEGARA TETANGGA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MEMINIMALISIR KEGIATAN IUU FISHING I Surabaya 22 September 2014 Seminar Hukum Laut Nasional 2014 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA. Jacklyn Fiorentina

TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA. Jacklyn Fiorentina 1 TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA Jacklyn Fiorentina (Pembimbing I) (Pembimbing II) I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Progam Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. urgensinya terhadap pemeliharaan integritas wilayah. wilayah secara komprehensif dengan negara-negara tetangganya.

BAB I PENDAHULUAN. urgensinya terhadap pemeliharaan integritas wilayah. wilayah secara komprehensif dengan negara-negara tetangganya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah perbatasan antar negara adalah salah satu ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini karena menyangkut masalah kedaulatan

Lebih terperinci

HAK EKONOMI NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA DI WILAYAH PERBATASAN. Akhmad Solihin

HAK EKONOMI NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA DI WILAYAH PERBATASAN. Akhmad Solihin HAK EKONOMI NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA DI WILAYAH PERBATASAN Akhmad Solihin Abstract Indonesian Fisherman Society faced to the complexity of problem, especially Indonesian Fisherman Society in frontier

Lebih terperinci

(archipelagic state) dan sekaligus negara pantai yang memiliki banyak pulau

(archipelagic state) dan sekaligus negara pantai yang memiliki banyak pulau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan (archipelagic state) dan sekaligus negara pantai yang memiliki banyak pulau pulau terluar yang berbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul : Manifestasi Asas Nasional Pasif dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul : Manifestasi Asas Nasional Pasif dalam Perjanjian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul : Manifestasi Asas Nasional Pasif dalam Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dalam rangka Melindungi

Lebih terperinci

JURNAL KEABSAHAN STATUS KEPEMILIKAN PULAU PASIR OLEH AUSTRALIA BERKAITAN DENGAN KEGIATAN NELAYAN TRADISIONAL BERDASARKAN UNCLOS 1982.

JURNAL KEABSAHAN STATUS KEPEMILIKAN PULAU PASIR OLEH AUSTRALIA BERKAITAN DENGAN KEGIATAN NELAYAN TRADISIONAL BERDASARKAN UNCLOS 1982. JURNAL KEABSAHAN STATUS KEPEMILIKAN PULAU PASIR OLEH AUSTRALIA BERKAITAN DENGAN KEGIATAN NELAYAN TRADISIONAL BERDASARKAN UNCLOS 1982 Diajukan oleh : GORBACHEV CHRISTOFORUS NPM : 100510342 Program Studi

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di lokasi perusahaan Bintang Gorontalo dan waktu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di lokasi perusahaan Bintang Gorontalo dan waktu 22 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lokasi perusahaan Bintang Gorontalo dan waktu penelitian dimulai pada bulan April 2013 sampai bulan Juni 2013. B.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian: Masterplan Sentul City (Atas); Jalur Sepeda Sentul City (Bawah) Tanpa Skala

BAB III METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian: Masterplan Sentul City (Atas); Jalur Sepeda Sentul City (Bawah) Tanpa Skala BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini mengambil lokasi di jalur sepeda Sentul City, Bogor, Indonesia (Gambar 4). Adapun waktu kegiatan penelitian ini kurang lebih selama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari 2013 hingga April 2013. Dengan tahapan pengumpulan data awal penelitian dilaksanakan pada Bulan

Lebih terperinci

JURNAL EFEKTIFITAS MOU BOX 1974 TERHADAP HAK PERIKANAN TRADISIONAL NELAYAN TRADISIONAL NUSA TENGGARA TIMUR

JURNAL EFEKTIFITAS MOU BOX 1974 TERHADAP HAK PERIKANAN TRADISIONAL NELAYAN TRADISIONAL NUSA TENGGARA TIMUR JURNAL EFEKTIFITAS MOU BOX 1974 TERHADAP HAK PERIKANAN TRADISIONAL NELAYAN TRADISIONAL NUSA TENGGARA TIMUR Disusun oleh: MARIA SARI AWIDA NPM : 050509135 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum :Hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

D. Bambang Setiono Adi, Alfan Jauhari. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya

D. Bambang Setiono Adi, Alfan Jauhari. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Studi Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Kabupaten Trenggalek dengan Menggunakan Metode SWOT (Strenghts Weakness Opportunity Threats) dan QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix) D.

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

KONFLIK ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA-AUSTRALIA Illegal Fishing Conflict at Indonesia-Australia Border Area

KONFLIK ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA-AUSTRALIA Illegal Fishing Conflict at Indonesia-Australia Border Area Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 1, No. 1, November 2010 Hal: 29-36 KONFLIK ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA-AUSTRALIA Illegal Fishing Conflict at Indonesia-Australia Border Area Oleh:

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat internasional, pasti tidak lepas dari masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum internasional yang sering muncul

Lebih terperinci

BAGANISASI DI PERAIRAN PULAU SEBATIK DALAM MENGATASI ILLEGAL FISHING ( Baganisasi in the Sebatik Island Waters on Combating Illegal Fishing)

BAGANISASI DI PERAIRAN PULAU SEBATIK DALAM MENGATASI ILLEGAL FISHING ( Baganisasi in the Sebatik Island Waters on Combating Illegal Fishing) BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20 No. 2 Edisi April 2012 Hal 205-211 BAGANISASI DI PERAIRAN PULAU SEBATIK DALAM MENGATASI ILLEGAL FISHING ( Baganisasi in the Sebatik Island Waters on Combating Illegal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian berlokasi di Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan yang berada di kawasan Taman Wisata Perairan Gili Matra, Desa Gili Indah,

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Strategi penanganan, risiko biaya kontrak, SWOT. iii

ABSTRAK. Kata Kunci : Strategi penanganan, risiko biaya kontrak, SWOT. iii ABSTRAK Dalam kegiatan konstruksi tidak akan terlepas dari aspek risiko yang berakibat kerugian. Untuk menghindari atau mengurangi risiko, salah satu usaha yang dilakukan adalah mengidentifikasi risiko

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Supriadi R 1), Marhawati M 2), Arifuddin Lamusa 2) ABSTRACT

PENDAHULUAN. Supriadi R 1), Marhawati M 2), Arifuddin Lamusa 2) ABSTRACT e-j. Agrotekbis 1 (3) : 282-287, Agustus 2013 ISSN : 2338-3011 STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BAWANG GORENG PADA UMKM USAHA BERSAMA DI DESA BOLUPOUNTU JAYA KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI Business

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Strategi Pengembangan Pariwisata Sekitar Pantai Siung Berdasarkan Analisis SWOT Strategi pengembangan pariwisata sekitar Pantai Siung diarahkan pada analisis SWOT.

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek BAB V KESIMPULAN Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. maka perlu dilengkapi dengan berbagai sarana penunjang sebagai sarana pokok, melalui suatu perencanaan pengembangan

PENDAHULUAN. maka perlu dilengkapi dengan berbagai sarana penunjang sebagai sarana pokok, melalui suatu perencanaan pengembangan STUDI PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PRIGI KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN MENGGUNAKAN METODE SWOT (STRENGHTS WEAKNESS OPPORTUNITY THREATS) DAN QSPM (QUANTITATIVE STRATEGIC PLANNING MATRIX) D.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek/ Subjek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah UMKM Kipas Bambu yang terletak di Desa Jipangan Bangunjiwo Kasihan Bantul. Kemudian subjek dari penelitian ini

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa serta dikelilingi oleh ratusan pulau-pulau kecil yang disebut Gili (dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 31 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Bulan Februari 2013 hingga Agustus 2013 di kelompok pembudidaya Padasuka Koi Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diteliti oleh penulis. Lokasi penelitian dilakukan di Swalayan surya pusat

BAB III METODE PENELITIAN. diteliti oleh penulis. Lokasi penelitian dilakukan di Swalayan surya pusat BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian Lokasi penelitian merupakan suatu tempat dimana peneliti akan memperoleh atau mencari suatu data yang berasal dari responden yang akan diteliti oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

BAB V INDIKASI KEKUATAN, KELEMAHAN, ANCAMAN DAN PELUANG

BAB V INDIKASI KEKUATAN, KELEMAHAN, ANCAMAN DAN PELUANG BAB V INDIKASI KEKUATAN, KELEMAHAN, ANCAMAN DAN PELUANG 5.1 Analisis SWOT Analisis strengths, weakness, oppurtunities dan threats (SWOT) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Taman Wisata Alam Gunung Tampomas Propinsi Jawa Barat, selama kurang lebih tiga (3) bulan, yaitu dari bulan Maret - Juni.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Kayu bawang, faktor-faktor yang mempengaruhi, strategi pengembangan.

Kayu bawang, faktor-faktor yang mempengaruhi, strategi pengembangan. Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Agroforestry Koordinator : Ir. Budiman Achmad, M.For.Sc. Judul Kegiatan : Paket Analisis Sosial, Ekonomi, Finansial, dan Kebijakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

B. Identifikasi Kelemahan (Weakness). Sedangkan beberapa kelemahan yang ada saat ini diidentifikasikan sebagai berikut: Sektor air limbah belum

B. Identifikasi Kelemahan (Weakness). Sedangkan beberapa kelemahan yang ada saat ini diidentifikasikan sebagai berikut: Sektor air limbah belum B. Identifikasi Kelemahan (Weakness). Sedangkan beberapa kelemahan yang ada saat ini diidentifikasikan sebagai berikut: Sektor air limbah belum menjadi prioritas. Belum ada strategi pengelolaan air limbah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN Pelabuhan Perikanan. Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN Pelabuhan Perikanan. Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN 1.1.1. Pelabuhan Perikanan Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, 2006. Menyatakan bahwa pelabuhan perikanan adalah tempat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Metode Penelitian 4.3 Metode Pengambilan Sampel

IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Metode Penelitian 4.3 Metode Pengambilan Sampel 14 IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret-April 2009. Tempat penelitian berlokasi di Kota Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4.2 Metode Penelitian

Lebih terperinci

Gambar 2.5 Diagram Analisis SWOT

Gambar 2.5 Diagram Analisis SWOT 32 Gambar 2.5 Diagram Analisis SWOT Kuadran 1: Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Perusahaan tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Pasir,

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Pasir, BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Dengan fokus penelitian yaitu pengembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 29 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi yang sesuai untuk Rumah Makan Ayam Goreng & Bakar Mang Didin Asgar yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 10 Lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 10 Lokasi penelitian. 3 METODE PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar, Pemerintah Aceh. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Wisata Ekologis (KWE) Puspa Jagad yang berada di Desa Semen, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar pada

Lebih terperinci

METODE Lokasi dan Waktu Teknik Sampling

METODE Lokasi dan Waktu Teknik Sampling METODE Metode yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisis data adalah kombinasi antara pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survei kepada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Desain yang digunakan untuk penelitian ini adalah desain penelitian pengembangan. Sugiyono (2011) menyatakan bahwa penelitian pengembangan merupakan metode

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA Oleh : Dr. Dina Sunyowati,SH.,MHum Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum-Universitas Airlangga Email : dinasunyowati@gmail.com ; dina@fh.unair.ac.id Disampaikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Kegiatan magang ini berlokasi di permukiman Telaga Golf Sawangan, yang terletak di Depok.

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Kegiatan magang ini berlokasi di permukiman Telaga Golf Sawangan, yang terletak di Depok. 9 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Kegiatan magang ini berlokasi di permukiman Telaga Golf Sawangan, yang terletak di Depok. U Gambar 2. Peta Telaga Golf Sawangan, Depok Sumber: Anonim 2010.

Lebih terperinci

: Arief Budiman Npm : Fakultas : Ekonomi Jurusan : Manajemen Dosen Pemb : Sri Kurniasih Agustin, SE., MM

: Arief Budiman Npm : Fakultas : Ekonomi Jurusan : Manajemen Dosen Pemb : Sri Kurniasih Agustin, SE., MM ANALISIS ANALISIS STRATEGI DAYA SAING IKAN HIAS INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL STRATEGI DAYA SAING IKAN HIAS INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL Nama : Arief Budiman Npm : 1910703 Fakultas : Ekonomi Jurusan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. (c)foto Satelit Area Wisata Kebun Wisata Pasirmukti

BAB III METODOLOGI. (c)foto Satelit Area Wisata Kebun Wisata Pasirmukti BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Kegiatan magang dilaksanakan di Kebun Wisata Pasirmukti yang terletak pada Jalan Raya Tajur Pasirmukti Km. 4, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Lebih terperinci

Pelaksanaan monitoring, controlling, surveillance kapal pengangkut ikan di atas 30 GT di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung

Pelaksanaan monitoring, controlling, surveillance kapal pengangkut ikan di atas 30 GT di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(4): 135-139, Desember 2016 ISSN 2337-4306 Pelaksanaan monitoring, controlling, surveillance kapal pengangkut ikan di atas 30 GT di Pelabuhan Perikanan Samudera

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

Sumber: Anonim (2011) Gambar 2. Peta Lokasi Ocean Ecopark Ancol

Sumber: Anonim (2011) Gambar 2. Peta Lokasi Ocean Ecopark Ancol 10 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Magang Kegiatan magang dilaksanakan di Ocean Ecopark Ancol yang terletak di Jalan Lodan Timur No.7, Jakarta Utara (Gambar 2). Ocean Ecopark yang terletak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan, meliputi empat kabupaten yaitu : Kabupaten Takalar, Bone, Soppeng, dan Wajo. Penentuan lokasi penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendayagunaan sumber daya kelautan menjanjikan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari potensi yang terkandung dalam eksistensi Indonesia

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini dilakukan Bulan Januari-April 2015.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini dilakukan Bulan Januari-April 2015. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Pulau Pahawang Kecamatan Marga Punduh Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini dilakukan Bulan Januari-April 2015.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA PENYULUH DAN PENENTUAN PENGEMBANGAN STRATEGI KINERJA PENYULUH PERTANIAN ORGANIK ATAS DASAR FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL KOTA BATU

EVALUASI KINERJA PENYULUH DAN PENENTUAN PENGEMBANGAN STRATEGI KINERJA PENYULUH PERTANIAN ORGANIK ATAS DASAR FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL KOTA BATU P R O S I D I N G 447 EVALUASI KINERJA PENYULUH DAN PENENTUAN PENGEMBANGAN STRATEGI KINERJA PENYULUH PERTANIAN ORGANIK ATAS DASAR FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL KOTA BATU Hendro prasetyo 1 dan Tri Oktavianto

Lebih terperinci

2 METODOLOGI PENELITIAN

2 METODOLOGI PENELITIAN 11 2 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Desember 2013 di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Pelabuhan Singapura (Port of Singapore Authority).

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. 243 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayah

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mulya Kencana Kecamatan Tulang Bawang

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mulya Kencana Kecamatan Tulang Bawang III. METODELOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mulya Kencana Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, dengan pertimbangan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. yang harus di kembangkan dalam Pariwisata di Pulau Pasaran.

III. METODE PENELITIAN. yang harus di kembangkan dalam Pariwisata di Pulau Pasaran. 37 III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Strategi Pengembangan Pariwisata di Pulau Pasaran dan juga untuk mengetahu apa saja

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA A. Kasus Pencurian Ikan Di Perairan Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

METODE KAJIAN. 3.1 Kerangka Pemikiran

METODE KAJIAN. 3.1 Kerangka Pemikiran III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Potensi perikanan yang dimiliki Kabupaten Lampung Barat yang sangat besar ternyata belum memberikan kontribusi yang optimal bagi masyarakat dan pemerintah daerah.

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU PUSPITA SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan 31 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lanskap wisata TNB, Sulawesi Utara tepatnya di Pulau Bunaken, yang terletak di utara Pulau Sulawesi, Indonesia. Pulau

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Defenisi Operasional Penelitian

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Defenisi Operasional Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dimana responden petani dipilih dari desa-desa penghasil HHBK minyak kayu putih,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek dan Subjek Penelitian 1. Objek Penelitian Penelitian ini berlokasi pada obyek wisata alam Pantai Siung yang ada di Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang merupakan satu kesatuan dan harus dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batu Bara pada ruang

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batu Bara pada ruang 23 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batu Bara pada ruang lingkup wilayah kerja Dinas Perkebunan Kabupaten Batu Bara dan Dinas Pertanian

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian dilaksanakan pada perusahaan CV Septia Anugerah Jakarta, yang beralamat di Jalan Fatmawati No. 26 Pondok Labu Jakarta Selatan. CV Septia Anugerah

Lebih terperinci

III..METODOLOGI. A. Lokasi dan Waktu Kajian

III..METODOLOGI. A. Lokasi dan Waktu Kajian 31 III..METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Kajian 1. Lokasi Kajian Kajian ini dilaksanakan di Kecamatan Semparuk Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Lembaga yang menjadi subyek kajian ialah Unit Pelaksana Kegiatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif analisis yaitu suatu metode yang meneliti suatu objek pada masa sekarang (Nazir,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian merupakan segala sesuatu yang mencakup

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian merupakan segala sesuatu yang mencakup BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian merupakan segala sesuatu yang mencakup tentang pendekatan yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

VI. PERUMUSAN STRATEGI

VI. PERUMUSAN STRATEGI VI. PERUMUSAN STRATEGI 6.1. Analisis Lingkungan Dalam menentukan alternatif tindakan atau kebijakan pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, dibutuhkan suatu kerangka kerja yang logis. Analisis

Lebih terperinci